DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh: RONI A 14105600 PROGRAM SARJANA EKTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN RONI, Dampak Penghapusan Tarif Impor Kedelai di Indonesia. dibawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS. Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.Indikator mendasar kemakmuran suatu bangsa adalah tersedianya pangan yang cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Meskipun kedelai bukan sebagai bahan pangan utama, tetapi kedelai merupakan komoditas palawija yang dimasukan ke dalam kebijakan pangan nasional. Terkait dengan itu, berkembang tuntutan keberpihakan kepada petani dalam bentuk pembatasan impor komoditas pertanian. Tuntutan ini muncul sebagai reaksi terhadap kondisi yang terjadi beberapa tahun terakhir dimana; (i) Pasar Indonesia semakin banyak dimasuki oleh produk (pertanian) impor dengan harga yang murah, (ii) Luas areal tananam dan produksi beberapa komoditas pertanian cenderung menurun atau stagnan (tetap), dan (iii) Banyak negara, khususnya negara maju, yang melakukan perlindungan kepada petani mereka. Sentimen seperti ini cepat memperoleh dukungan politisi dan masyarakat luas, terutama setelah melihat dan mendengar kenyataan bahwa negara-negara utama pengekspor produk pertanian ke Indonesia, seperti Amerika Serikat, banyak mengeluarkan milyaran dollar untuk melindungi petaninya. Gambaran perkedelaian nasional, data limabelas tahun terakhir menunjukan bahwa terjadi kecenderungan menurunnya luas areal panen yang berakibat pada menurunnya produksi kedelai nasional. Pada tahun 1994 luas areal panen nasional 1.564.179 hektar turun menjadi 549.412 hektar pda tahun 2008 atau turun sebesar 49,79 persen. Produksi pada tahun 1998 mencapai 1.304.950 ton turun menjadi 723.535 ton pada tahun 2008, atau turun sebesar 44,55 persen (Deptan, 2008). Konsumsi kedelai per kapta per tahun terbaru sebesar 15,37 kg. Sedangkan pemenuhan kebutuhan kedelai nasional 65,46 persennya dipenuhi dari impor. Liberalisasi perdagangan dalam berbagai kebijakan terutama penghapusan tariff impor atau kuota terhadap komoditi kedelai akhir-akhir ini akan berpengaruh terhadap keragaan permintaan dan penawaran kedelai sehingga mempengaruhi harga dunia. Perubahan-perubahan harga dunia selanjutnya akan mempengaruhi keputusan produsen dalam investasinya dan mempengaruhi keputusan konsumen dalam mengkonsumsi kedelai. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah di paparkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia. Sehubungan dengan itu faktor yang akan dikupas sebagai berikut; (1) menghitung dekomposisi tarif dan estimasi skenario analisis, (2) mengestimasi dampak kebijakan impor terhadap harga pada tingkat grosir dan jumlah permintaan, harga produsen dan jumlah penawaran, dan jumlah impor, (3) mengestimasi dampak kebijakan tarif terhadap surplus ekonomi yaitu surplus konsumen, produsen, perubahan penerimaan pemerintah dan surplus ekonomi neto, dan (4) mengestimasi dampak kebijakan tarif terhadap usahatani. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder time series sebanyak 40 data (1969-2008) yang diperoleh dari berbagai sumber seperti Deptan, BPS, Depperindag, jurnal, depkeu dan lainnya. Kemudian dilakukan analisis dengan pendekatan model keseimbanagan parsial dan regresi simultan untuk mensimulasikan skenario kebijakan dan mencari elastisitasnya. Dekomposisi tarif yang diterapkan oleh pemerintah Indinesia untuk saat ini sebesar 1.222,23 per kg dan skenario kebijakan yang lakukan oleh penulis adalah sebagai berikut; D1 (mempertahankan tarif impor) dan D0 (mengahapus tarif impor). Kebijakan proteksi (penerpan tarif impor (D1)) lebih meminimalkan dampak secara signifikan. Dampak menghapus tarif impor berdasarkan hasil simulasi adalah menurunkan harga kedelai domestik baik pada tingkat produsen (petani) maupun pedegang besar (grosir). Jika pemerintah menghapuskan kebijakan proteksi tersebut (seperti sekarang), dikhawatirkan kedepannya akan menyebabkan pertanian kedelai Indonesia semakin terpuruk. Oleh karena itu disarankan agar: (1) Pemerintah perlu tetap mempertahankan kebijkan penerapan tarif impor (30 persen, Skenaro D1) seperti yang pernah dilakukan tahun 70-80-an, (2) Terus berjuang bersama dengan negara-negara lain untuk menekan negara-negara ekspotir kedelai agar bersedia secara sungguh-sungguh menurunkan subsidi ekspor dan bantuan domestik sehinnga harga dunia stabil, dan (3) terus mengupayakan perbaikan efisienasi usahatani kedelai untuk meningkatkan daya saing. Pada muaranya diharapakan Indonesia dapat mewujudkan cita-citanya yaitu dapat berswasembada kedelai dan mempunyai ketahanan pangan yang solid. DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh: RONI A 14105600 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUl ”DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI INDONESIA ” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Oktober 2008 RONI Judul Nama NRP : Dampak Penghapusan Tarif Impor Kedelai di Indonesia : Roni : A14105600 Menyetujui, Dosen Pembimbing Muhammad Firdaus Ph.D NIP. 131 578 790 Menyetujui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu, pada tanggal 23 November 1982. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Madun bin Sarkam dan Ibu Sutincem binti Toha. Penulis memulai jenjang pendidikan pada tahun 1989 di Sekolah Dasar Negeri Cangkingan V Kecamatan Karangampel, lulus tahun 1995, lalu melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Karangampel, lulus pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTA Negeri 1 Sliyeg, Indramayu dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada Program Diploma III Agribisnis Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Selama manjadi mahasiswa, penulis bekerja di Bank Mandiri dan aktif dalam berbagai organisasi di kampus atau diluar kampus. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah ”Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai di Indonesia”. Adapun skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Belakangan ini terjadi kenaikan harga kedelai dunia yang berdampak langsung terhadap meningkatnya harga kedelai lokal. Kenaikan tersebut mencapai lebih dari seratus persen yang menyebabkan banyak pengrajin tahu, tempe gulung tikar karena tidak mampu memebeli bahan baku tersebut. Konsumen pun terkena dampak yang tidak kurang lebih baik dari para pengrajin tempe dan tahu tersebut. Untuk mengatasi dampak yang lebih serius dari itu pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak populer yaitu menghapus tarif impor dari 10 persen menjadi nol persen. Oleh karena fenomena tersebut penulis tertarik mengkaji dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia. Ditengah kebijakan pemerintah yang tidak populer dan bertentangan dengan visi pertanian Indonesia yaitu berpihak terhadap nasib petani kecil. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Bogor, September 2008 Penulis UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur Alhamdulilah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala kerendahaan hati, dukungan, dan bantuan baik secara moril maupu materil yang penulis peroleh, dalam kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua saya yang tercinta yang telah memberikan kasih sayang, dorongan moril maupun materil serta do’a yang terus mengalir sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi ini 2. Bapak Muhammad Firdaus Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan sangat baik. 3. Kakak-kakak ku yang selalu tulus dan tanpa lelah dalam memberikan semangat dan bantuan moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Keluarga besar Ekstensi MAB, IPB, yang telah memberikan bantuan dalm bentuk pelayanan. Mohon maaf penulis tidak dapat disebutkan satupersatu. 5. Sahabat saya Ety Toifah yang selalu ada dan tanpa lelah meberikan semangat, doa dan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselasaikan. Akhir kata penulis mendedikasikan seluruh goresan skripsi ini sabagai bakti untuk kedua orang tuaku Ibu dan Bapak. Semoga Allah SWT membalas budi baik yang telah diberikan kepada penulis. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................... i UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... ii RIWAYAT HIDUP PENULIS........................................................................ iii DAFTAR ISI....................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 11 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 14 II. TTINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 15 2.1 Teori dan Kebijakan Internasional ........................................................ 15 2.2 Hambatan Perdagangan ......................................................................... 16 2.2.1 Hambatan Tarif (Tariff Barriers) .................................................. 16 2.2.2 Hambatan Non Tarif (Non Tariff Barriers) .................................. 17 2.3 Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia ............................................. 18 2.4 Kebijakan Perkedelaian Pascareformasi ............................................... 18 2.5 Hasil Penelitian Terdahulu .................................................................... 20 III. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 23 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................. 23 3.1.1 Teori Permintaan ........................................................................... 23 3.1.2 Teori Penawaran ............................................................................ 24 3.1.3 Teori Kebijakan Perdagangan Internasional .................................. 25 3.1.4 Kebijakan Tarif Impor .................................................................. 26 3.1.5 Biaya dan Manfaat Tarif ............................................................... 28 3.2 Model Persamaan Simultan .................................................................... 29 3.3 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 31 3.4 Asumsi dan Batasan Penelitian .............................................................. 36 3.4.1 Asumsi Penelitian ......................................................................... 36 3.4.2 Batasan Penelitian ......................................................................... 36 3.5 Hipotesis Penelitian................................................................................ 37 IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 38 4.1 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 38 4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 38 4.2.1 Metode Analisis ........................................................................... 39 4.2.1.1 Estimasi Dampak Penghapusan Tarif Impor ................... 40 4.2.1.2 Estimasi Dampak Usaha Tani ......................................... 44 4.2.1.3 Dekomposisi Tarif ........................................................... 45 4.2.2 Analisis Persamaan Simultan ....................................................... 46 4.2.2.1 Identifikasi Model ........................................................... 46 4.2.2.2 Validasi Model ................................................................ 50 4.2.2.3 Simulasi Model Persamaan Simultan............................... 51 4.2.2.4 Simulasi Historis .............................................................. 52 4.3 Definisis Operasional ........................................................................... 53 V. GAMABARAN UMUM PERKEDELAIAN NASIONAL ...................... 55 5.1 Produksi Kedelai Indonesia .................................................................. 55 5.2 Konsumsi Kedelai Nasional.................................................................. 57 5.3 Impor Kedelai Indonesia ....................................................................... 60 5.4 Kebijakan Perkedelaian Nasional ......................................................... 62 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 71 6.1 Hasil Validasi Model Persamaan Simultan........................................... 71 6.2 Dekomposisi Tarif ................................................................................ 84 6.3 Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor...................................... 84 6.3.1 Dampak terhadap Harga Grosir, Permintaan dan Surplus Konsumen .................................................................... 84 6.3.2 Dampak terhadap Harga Petani (Produsen), Produksi ............. 87 6.3.3 Dampak terhadap Impor dan Penerimaan Pemerintah ............. 89 6.3.4 Dampak terhadap Surplus Ekonomi Netto................................ 91 6.4 Dampak Kebijakan Perdagangan (Impor) Kedelai terhadap Usahatani Kedelai Nasional ................................................................................... 93 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 99 7.1 Kesimpulan ........................................................................................... 99 7.2 Saran...................................................................................................... 100 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... 105 DAFTAR TABEL Tabel Halaman Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1990-2007 ................................................................. 3 2. Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1994-2008..... 6 3. Perkembangan Impor Komoditi Kedelai (termasuk bungkil kedelai) Indonesia Menurut Negara Asal, 2002-2007........................................ 8 1. 4. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia pada Tahun 1969-2008 ........................................................ 56 5. Penurunan Jumlah Konsumsi Pada Rentang Tahun 1971-2005 (Ton).... 58 6. Perkembangan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia dari Tahun 1969-2008 (Kg per Tahun)............................................................ 59 7. Neraca Perubahan Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesi Tahun 1969-2008...................................................................................... 61 8. Program Prokema 2000: Sasaran Produksi dan Peranan Impor Indonesia Tahun 1998-2003...................................................................................... 66 9. Hasil Perbandingan Program Prokema dengan Kondisi Riil (Yang SebenarnyaTerjadi) pada Tahun 1998-2003.................................. 66 10. Hasil Validasi Persamaan Simultan.......................................................... 71 11. Hasil Regresi Persamaan Harga Paritas Impor pada Tingkat Grosir........ 72 12. Hasil Regresi Persamaan Konsumsi Kedelai Per Kapita ......................... 75 13. Hasil Regresi Persamaan Harga Kedelai pada Tingkat Produsen ........... 78 14. Hasil Regresi Persamaan Jumlah Produksi (Penawaran) Kedelai............ 81 15. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga Petani, Penawaran (Produksi) dan Surplus Produsen pada Periode Tahun 1969-2008................................................................................................. 83 16. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga Petani, Penawaran (Produksi) dan Surplus Produsen pada Periode Tahun 1969-2008................................................................................................. 87 17. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor terhadap Volume Impor dan Penerimaan Pemerintah pada Periode Tahun 1969-2008 .................. 89 18. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Perubahan Total Kesejahteraan (Surplus Netto) pada Periode Tahun 1969-2008...................................................................................... 92 19. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor terhadap Keuntungan Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur pada Periode Tahun 1969-2008 ....................................................................... 94 20. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Keuntungan Usahatani Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur pada Periode Tahun 1969-2008 .................................... 96 21. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai.... 117 22. Data Keragaan Kedelai Di Indonesia Periode Taahun 1969-2008........... 118 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Market Share Volume Impor Komoditi Tanaman Pangan Tahun 1994–2008................................................................................. 7 2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan.................................... 23 3. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran..................................... 24 4. Dampak Keseimbangan Parsial akibat Pemberlakuan Tarif ............... 27 5. Biaya dan Manfaat Pemberlakuan Tarif .............................................. 28 6. Kerangka Model Ekonometrika..................................................................... 30 7. Ilustrasi Konsep Dampak kebijakan Tarif terhadap Perdagangan Kedelai di Indonesia............................................................................. 33 8. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ....................................... 35 9. Ilustrasi Dampak Pengenaan Tarif Impor............................................ 39 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Hasil Regresi Persamaan Simultan ........................................................ 105 2 Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai . 117 3 Data Keragaan Kedelai Nasional Periode 1969-2008............................ 118 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan pertanian nasional muaranya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Adapun visi pembangunan pertanian Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera, khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi. Indikator mendasar dari kemakmuran suatu bangsa adalah tersedianya pangan yang cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah kedelai. Meskipun kedelai bukan sebagai bahan pangan utama, tetapi kedelai merupakan komoditas palawija yang dimasukan ke dalam kebijakan pangan nasional. Belakangan ini berkembang tuntutan keberpihakan kepada petani dalam bentuk pembatasan impor komoditas pertanian. Tuntutan ini muncul sebagai reaksi terhadap kondisi yang terjadi beberapa tahun terakhir dimana; (i) Pasar Indonesia semakin banyak dimasuki oleh produk (pertanian) impor dengan harga yang murah, (ii) Luas areal tananam dan produksi beberapa komoditas pertanian cenderung menurun atau stagnan (tetap), dan (iii) Banyak negara, khususnya negara maju, yang melakukan perlindungan kepada petani mereka. Sentimen seperti ini cepat memperoleh dukungan politisi dan masyarakat luas, terutama setelah melihat dan mendengar kenyataan bahwa negara-negara utama pengekspor 2 produk pertanian ke Indonesia. Ambil salah satu contoh, Amerika Serikat yang telah banyak mengeluarkan milyaran dollar untuk melindungi petaninya. Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah Indonesia sejak dasawarsa terakhir ini telah dan sedang melakukan upaya untuk meningkatkan produksi kedelai nasional. Upaya tersebut terus dilakukan karena kedelai merupakan komoditas penting dalam pencapaian ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Upaya-upaya dalam peningkatan produksi dan pemenihan kebutuhan kedelai telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1986. Pada tahun anggaran 1990/1991 sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 juga dilakukan upaya berkesinambungan dalam rangka peningkatan produksi kedelai nasional. Pada tahun 2001 pemerintah telah melakukan peningkatan produksi kedelai dengan program Gema Palagung 2001 (Deptan, 2000). Upaya-upaya pemerintah dalam rangka peningkatan produksi kedelai selalu sempurna dalam perencanaannya. Dalam kenyataannya (aktualisasi) sasaran produksi kedelai nasional belum dapat tercapai, karena berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi. Belajar dari kegagalan yang terdahulu, pada tahun 2008 ini pemerintah sedang melaksanakan Program dan Aksi Peningkatan Produksi Kedelai Nasional Tahun 2008 yaitu aksi percepatan peningkatan produksi kedelai nasional yaitu sasaran produksi mencapai 1,2 juta ton dengan luas panen 760.000 hektar (Deptan, 2008). Rencana dari program pemerintah tersebut adalah untuk mengurangi jumlah impor kedelai dan memperpaiki perkedelaian nasional. Program pemerintah tersebut dilandasi dari fakta kemunduran perkedelaian nasional. Data limabelas tahun terakhir menunjukan bahwa terjadi kecenderungan 3 menurunnya luas areal panen yang berakibat pada menurunnya produksi kedelai nasional. Pada tahun 1994 luas areal panen nasional 1.564.179 hektar turun menjadi 549.412 hektar pda tahun 2008 atau turun sebesar 49,79 persen. Produksi pada tahun 1998 mencapai 1.304.950 ton turun menjadi 723.535 ton pada tahun 2008, atau turun sebesar 44,55 persen (Deptan, 2008). Penurunan jumlah produksi kedelai juga disebabkan oleh permasalahan harga kedelai. Harga kedelai petani yang kalah bersaing dengan kedelai impor akan mempengaruhi keputusan petani dalam menanam kedelai. Pada akhirnya jumlah produksi kedelai nasional pun akan berkurang akhibat semakin sedikitnya petani menanam kedelai. Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia Tahun 1990-2007. Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 1994 1.406.039 1.564.179 1.112 1995 1.476.285 1.679.092 1.137 1996 1.277.736 1.515.937 1.186 1997 1.118.140 1.356.108 1.213 1998 1.094.262 1.305.640 1.193 1999 1.151.079 1.382.848 1.201 2000 824.484 1.017.634 1.234 2001 678.848 826.932 1.218 2002 544.522 673.056 1.236 2003 526.796 671.600 1.275 2004 565.155 723.483 1.280 2005 621.541 808.353 1.301 2006 580.534 747.611 1.288 2007 502.104 664.438 1.323 2008* 549.412 723.535 1.317 Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan 2008, Diolah. Keterangan: (*) ARAM II 2008. 4 Melihat posisi kedelai yang sangat strategis di negeri ini, maka dibutuhkan suatu kebijakan yang tepat. Dengan kebijakan yang tepat, diharapkan tidak ada pihak yang mengambil keuntungan yang dapat merugikan bangsa. Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudohusodo (2005) mengilustrasikan, bahwa dimasa yang akan datang akan terjadi lonjakan kebutuhan pangan yang sangat besar, tak terkecuali kedelai. Melihat hal tersebut , sehingga dibutuhkan persiapan dan pembenaan. Tak lain dikarenakan kedelai yang mempunyai banyak kegunaan, yaitu selain untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan agroindustri seperti tempe, tahu, susu kedelai, tauco, dan kecap, kedelai juga digunakan untuk keperluan industri pakan ternak. Data konsumsi kedalai yang terbaru untuk berbagai kepentingan adalah sebagai berikut: untuk bibit 2,0 persen dari total produksi, diolah untuk produk bukan makanan 0,7 persen dari total produksi, sedangkan kedelai yang tercecer 5,0 persen dari total produksi dan sisanya 92,3 persen diolah menjadi bahan makanan, terutama tempe, tahu dan kecap (BPS, 2007). Dari berbagai produk hasil olahan kedelai, maka data yang konsisten adalah data pengolahan tempe, tahu dan kecap. Pengadaan dan pengembangan komoditas kedelai sangat penting dan strategis. Mengingat produksi nasional akhir-akhir ini belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Padahal dahulu sebelum tahun 1975 Indonesia merupakan negara pengekspor kedelai tetapi sekarang justru yang terjadi sebaliknya. Hal tersebut disebabkan peningakatan permintaan kedelai yang begitu cepat, sementara produksi berkembang dengan lambat bahkan lebih cenderung menurun. Konsumsi meningkat dari 2,83 kg per kapita per tahun pada tahun 1969 menjadi 5 10 kg per kapita per tahun pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 7,29 persen per tahun (BPS, 2008). Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan yang luas sudah semestinya harus mampu mengembangkan produksi kedelai nasional sendiri. Dengan berswasembada kedelai, pemenuhan kebutuhan dalam negeri pun tidak mutlak tergantung pada produk impor. Apalagi bila produk impor ternyata merupakan hasil rekayasa genetika dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas. Sehingga jika terjadi kenaikan harga kedelai impor yang terlalu tinggi, Indonesia tidak terlalu besar terkena dampaknya. Seiring pertambahan penduduk dengan pertambahan konsumsi akan kedelai yang semakin meningkat, maka dibutuhkan suatu jalan keluar. Salah satu jalan keluarnya adalah meningkatkan jumlah produksi sesuai dengan jumlah pertambahan penduduk dan konsumsi. Sementara peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi semakin cepat, tetapi hal tersebut tidak diikuti oleh peningkatan jumlah produksi kedelai. Keadaan tersebut diperparah dengan keadaan perkedelaian Indonesia yaitu produksi kedelai yang berjalan stagnan bahkan relatif menunjukan penurunan. Penurunan produksi kedelai di Indonesia disebabkan oleh semakin berkurangnya lahan untuk produksi, yang dikonversikan untuk perumahan dan industri. Kondisi tersebut semakin memicu untuk terjadinya impor kedelai. Impor tersebut untuk menutupi kekurangan permintaan dalam negeri yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sedikitmya 2,5 juta ton per tahun jumlah kebutuhan kedelai nasional sekarang ini, 70 persennya atau sekitar 1,5 juta ton dipenuhi melalui impor. Jumlah tersebut sebagian besar 6 digunakan untuk kebutuhan industri pakan ternak, makanan dan minuman serta industri rumah tangga. Jumlah kebutuhan kedelai nasional yang tidak dapat dipenuhi dari produksi kedelai nasional, akhirnya senantiasa dipenuhi melalui impor. Seperti yang terlihat pada data sepuluh tahun di bawah ini. Seperti pada data lainnya menunjukan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (Tabel 2) konsumsi kedelai meningkat 160 persen. Kondisi ini semakin memperlebar kesenjangan antara produksi dan konsumsi. Sehingga tak heran jika Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor kedelai di dunia dengan pangsa yang cukup besar, selain Belanda, Jepang, Korea Selatan dan Jerman. Tabel 2. Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1994-2008 Persentase Impor terhadap konsumsi (%) Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton) Impor (ton) 1994 1.564.179 2.365.000 800.153 33.83 1995 1996 1.679.092 1.515.937 2.287.000 2.263.000 606.993 745.819 26.54 32.96 1997 1.356.108 1.973.000 616.109 31.23 1998 1.305.640 1.649.000 344.050 20.86 1999 1.382.848 2.684.000 1.301.152 48.48 2000 1.017.634 2.264.000 1.276.366 56.38 2001 2002 826.932 673.056 1.960.000 2.017.000 1.133.068 1.343.944 57.81 66.63 2003 671.600 2.016.000 1.344.400 66.69 2004 723.483 2.015.000 1.291.517 64.10 2005 808.353 1.987.469 1.086.177 54.65 2006 747.611 2.022.516 1.078.420 53.32 2007 2008* 664.438 723.535 2.059.000 2.095.000 1.199.839 1.371.465 58.27 65.46 Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008, diolah. Keterangan: (*) ARAM II 2008. 7 Kecenderungan meningkatnya pangsa kedelai impor di Indonesia, menunjukan bahwa pasar kedelai dalam negeri memiliki prospek yang cukup baik. Hal ini akan banyak dimanfaatkan oleh para importir untuk megambil keuntungan, karena terdapat gap (selisih) yang sangat besar antara harga kedelai lokal dengan kedelai impor. Sebagai gambaran harga kedelai impor Rp 1.900 per kg sedangkan harga kedelai lokal mencapai Rp 2.500 per kg (BPS, 2006). Kontribusi impor kedelai saat ini menempati urutan kedua untuk market share berdasarkan nilai impor komoditi tanaman pangan tahun 1994–2008. Market share (pangsa pasar) kedelai sebesar 28 persen dengan rata-rata volume impor mencapai 2,65 juta ton per tahun dengan nilai 651,792,068 USD (BPS, 2008). Market share volume impor komoditi tanaman pangan dapat dilihat pada Gambar 1. Produk Tanaman Pangan Lainnya 1% Ubi kayu 1% Gandum Beras 17% 41% Jagung 11% Kacang Tanah 1% Kedelai 28% Gambar 1. Market Share Volume Impor Komoditi Tanaman Pangan Tahun 1994 – 2008. Sumber: BPS (2008), Diolah. 8 Negara eksportir kedelai utama ke Indonesia adalah Amerika Serikat, dengan rata–rata share impor Indonesia dari tahun 1994–2008 sebesar 54 persen atau 1,42 juta ton per tahun dari seluruh impor kedelai Indonesia. India menempati posisi kedua dengan rata–rata share sebesar 19 persen atau sekitar 491,935,245 kg per tahun (Deptan, 2008). Apabila kondisi ini dibiarkan terjadi terus menerus dikhawatirkan akan menambah keterpurukan perkedelaian nasional. Dampak jangka panjangnya Indonesia akan selalu ketergantungan terhadap kedelai impor, sehingga akan menjadi sulit untuk memperbaikinya kembali. Hal ini sudah terbukti, terjadinya kenaikan harga kedelai impor yang melebihi 100 persen. Kondisi tersebut bukan hanya berdampak terhadap konsumen bahkan petani pun akan terkena dampak negatifnya. Tabel 3. Perkembangan Impor Komoditi Kedelai (termasuk bungkil kedelai) Indonesia Menurut Negara Asal, 2002-2007. Tahun Pengamatan Negara 2002 2003 Malaysia 52.672 50.477 Argentina 254.604 284.786 Brazil 179.287 293.041 India 478.411 532.213 Amerika 1.159.795 1.274.818 Total 2.227.317 2.568.473 Malaysia 13,235 13,681 Argentina Brazil India Amerika Total 45,865 33,428 84,554 270,788 475,155 61,827 62,920 108,096 280,243 558.718 2004 2005 2006 2007 Volume (ton) 109.073 87.720 28.104 10.518 193.132 220.632 699.354 240 407.217 620.981 409.074 503.982 487.494 231.539 717.973 2.036.976 1.415.678 1.635.109 977.828 2.728.358 2.716.618 2.773.371 2.881.735 Nilai (000USD) 25,766 20,280 10,085 4,939 48,722 111,436 454,390 611,140 43,043 87,139 97,536 309,593 591,104 48,877 145,035 54,114 435,369 706,677 Sumber : Subdit Analisa dan Informasi Pasar, Dit. PI (2007) diolah Keterangan: (-) Data tidak tersedia. 242,230 136,116 198,082 361,033 967,957 9 Disisi lain Indonesia sebagai anggota WTO harus mematuhi Agreement on Agriculture (AoA). AoA memuat kesepakatan untuk mengurangi hambatan perdagangan pertanian melalui program reformasi jangka panjang secara bertahap (Gradual Reform). Yang pada akhirnya diharapkan akan tercipta suatu sistem perdagangan komoditas pertanian yang adil dan berorientasi pasar (a fair and equitable market oriented agriculture system). Inti kesepakatan AoA adalah: (1) Meningkatkan akses pasar melalui pengurangan hambatan perdagangan, berupa penurunan tarif impor, tarifikasi hambatan non tarif, (2) Pengurangan subsidi ekspor (export subsidy), dan (3) Pengurangan bantuan kepada petani dalam negeri (domestic support) (Deptan, 2002). Selanjutnya ada tiga kelompok negara yang terlibat dalam perdagangan dunia pada sektor pertanian. Pertama, negara produsen eksportir yang konsisten dan efisien. Bagi kelompok negara ini, liberalisasi perdagangan dunia akan menguntungkan karena peluang pasar dunia akan terbuka lebar bagi komoditas ekspor mereka. Kedua, negara produsen eksportir yang kurang efisien atau yang memiliki banyak petani kecil dan masih membutuhkan bantuan pemerintah. Bagi kelompok negara seperti ini, AoA menimbulkan dampak negatif terhadap upaya pengembangan ekspor pertanian. Ketiga, negara konsumen importir hasil pertanian. Kelompok negara seperti ini akan diuntungkan karena liberalisasi perdagangan berarti produk bermutu tinggi dengan harga yang bersaing akan merupakan pilihan yang efisien. Berdasarkan data Sekretariat WTO (Juni, 2000), Indonesia merupakan importir kesatu untuk beras dan kesepuluh untuk kedelai dan bungkil kedelai. 10 Liberalisasi perdagangan dalam berbagai bentuk kebijakan, adalah penghapusan tarif impor atau kuota terhadap komoditi kedelai. Kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap keragaan permintaan dan penawaran kedelai sehingga mempengaruhi harga domestik. Perubahan-perubahan harga dunia selanjutnya akan mempengaruhi keputusan produsen dalam investasinya dan konsumen dalam mengkonsumsi kedelai. Perubahan-perubahan ekonomi global, regional bahkan perubahan pengelolaan dalam sistem ekonomi Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi akan sangat berpengaruh terhadap perdagangan komoditas pertanian, termasuk kedelai. Gejolak dari sistem perdagangan dunia adalah tak menentunya terhadap perubahan harga komoditi. Hal tersebut terbukti sekarang dengan naiknya harga kedelai impor dunia yang mencapai lebih dari 100 persen. Harga kedelai impor berubah dari Rp 900 per kg menjadi Rp 9.000 per kg. Keadaan tersebut terpicu dari kekhawatiran masyarakat internasional yang tidak mendapatkan kedelai lagi. Alasannya Amerika Serikat sebagai negara eksportir kedelai terbesar didunia akan mengurangi produksi kedelai. Kebijakan pengurangan produksi kedelai dilakukan untuk menunjang kebijakan baru. Kebijakan baru tersebut adalah peningkatan jumlah produksi jagung yang berkaitan untuk program bio-fuel berbahan baku jagung. Untuk mensukseskan program tersebut pemerintah membutuhkan lahan, maka selanjutnya pemerintah mengkonversi lahan kedelai menjadi lahan jagung. Berawal dari issue tersebut harga kedelai impor di seluruh pasar internasonal mengalami kenaikan yang sangat besar dan susah dikontrol. Hal ini perlu diantisipasi agar stabilitas pasar kedelai dalam negeri dapat terjamin. Penanganan dan kebijakan yang tepat diharapkan dapat meminimalisir dampak terhadap konsumen dan produsen. 11 Dalam hal ini pemerintah selaku decisión maker (pengambil kebijakan) tak boleh salah dalam menentukan dan menerapkan kebijakan. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perdagangan internasional yang kerap kali dilakukan adalah tarif. Kebijakan yang baik seyogyanya tidak akan menimbulkan dampak negatif dikemudian hari. Produsen (petani) dan konsumen sebagai objek yang akan merasakan dampaknya, seharusnya sudah diperhitungkan secara cermat dan matang oleh para pelaku pengambil kebijakan. Kebijakan penghapusan tarif impor secara potensial akan memberikan dampak negatif terhadap penerimaan usaha tani. Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai salah satu lumbung kedelai nasional diperkirakan yang akan menerima dampak negatif tersebut. Apabila dampak negatif yang diterima oleh para petani dikedua wilayah tersebut dirasakan sangat besar, dikhawatirkan produksi kedelai nasional akan semakin terpuruk. 1.2. Perumusan Masalah Beberapa waktu yang lalu, pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) meminta penambahan daftar komoditi yang dikenakan perlambatan penurunan tarif bea masuk (BM) dalam kerangka CEPT (Common Effective Prefferential Tariff /skim penurunan tarif BM) intra ASEAN. Selain gula dan beras, Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan meminta agar ditambahkan lagi kedelai dan jagung. Alasannya, komoditi ini termasuk satu paket usulan Indonesia untuk dikenakan proteksi dan promosi ke WTO. Hal ini sangat perlu dilakukan oleh pemerintah, karena petani sampai saat ini masih harus dilindungi. Sebagai gambaran, beberapa negara ASEAN, mampu menerapkan BM kedelai sesuai skim penurunan tarif CEPT intra ASEAN 0-5 persen. Misalnya Thailand menerapkan 12 BM 5 persen untuk dua jenis kedelai yakni HS.1201.00.100 dan HS.1201.00.900. Filipina diketahui menetapkan BM kedelai jenis HS. 1201.00.1000 juga 5 persen. Namun, Filipina menetapkan BM jagung impor 50 persen dan Thailand 60 persen Disisi lain pengenaan tarif akan semakin menyulitkan para pengusaha agribisnis yang memakai bahan baku utama kedelai. Karena pemberlakuan tarif akan menaikan harga kedelai di dalam negeri. Itu sebabnya di era global saat ini, kedelai sangat rentan terhadap situasi perdagangan dunia. Apalagi Indonesia yang merupakan negara importir terbesar kesepuluh menurut data WTO. Sebagai gambaran, dari sedikitnya 2,1 juta ton kebutuhan kedelai dewasa ini, lebih dari 65,5 persen atau sekitar 1,3 juta dipasok dari impor terutama asal AS sebagai produsen utama dunia. Sisanya dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri yang jumlahnya terus berkurang, di tengah kecenderungan meningkatnya kebutuhan akan kedelai. Akibatnya volume impor kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring terus meningkatnya kebutuhan terutama untuk pembuatan tahu dan tempe. Dewasa ini terjadi kendala baru untuk mendapatkan kedelai di pasar dunia yang semakin langka. China sebagai salah satu produsen terbesar kedelai, ternyata mengimpor kedelai dari AS dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Sementara itu, luas areal tanam kedelai di AS yang semakin berkurang. Penyebabnya dari semakin lemahnya daya saing kedelai dengan jagung adalah adanya issue global tentang Bio-fuel (BioDiesel) dari bahan baku jagung. Hal ini akan menyebabkan permintaan kedelai semakin tinggi sementara pasokan kedelai dunia semakin berkurang. Pada akhirnya akan meningkatkan harga kedelai dipasar dunia. Dengan kenaikan harga kedelai impor dari Rp 3.500 13 per kg menjadi Rp 7.000 hingga Rp 7.500 per kg dan saat ini mencapai Rp 8000 per kg, membuat para produsen tahu tempe yang sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga terpaksa berhenti berproduksi, menunggu harga kembali normal (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), 2008). Impor kedelai yang makin terbebani fluktuasi kurs rupiah dan bea masuk 10 persen yang masih dikenakan pemerintah, padahal bea masuk di China sudah 0 (nol) persen. Atas berbagai situasi ini, akhirnya kedelai sampai ke tangan para perajin tahu dan tempe dengan harga sangat mahal, kenaikan harga kedelai yang melebihi 100 persen pada awal tahun 2008 ini. Kondisi ini sangat memberatkan bagi para pengusaha tahu dan tempe. Dan tentunya, konsumen yang mengkonsumsi tahu dan tempe juga terkena dampaknya dari kenaikan harga kedelai impor. Harga yang mahal tersebut pada akhirnya akan menambah jumlah pengeluaran yang harus di tanggung oleh konsumen. Apabila masalah ini di diamkan ada sekitar 1,2 juta usaha kecil dan rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 2,5 juta orang dan 5.000 perusahaan skala besar dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 780 ribu orang terancam gulung tikar. Disebabkan karena masalah pasokan bahan baku yang akan semakin membebani biaya produksi (GAPMMI, 2008). Menanggapi berbagai pro dan kontra terhadap pemberlakuan tarif impor atau bea masuk ini, baik yang terkait urgensi, tingkat tarif yang akan dikenakan (Level of Tariff Rate), maupun dampak potensial yang akan ditimbulkan oleh tarif impor. Hal ini sesuai dengan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu terjadi gejolak terhadap kenaikan harga kedelai yang melebihi 100 persen. 14 Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan semakin tingginya harga kedelai pada tingkat domestik adalah dengan menghilangkan tarif impor. Kebijakan tersebut diharapkan akan menurunkan harga kedelai pada tingkat domestik, tentunya juga diharapakan tidak menimbulkan dampak negatif yang tidak terlalu besar khususnya bagi para petani. 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah di paparkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi dampak dari dekomposisi tarif, harga produsen, konsumen, surplus producen, produksi, permintaan, surplus konsumen, jumlah impor, perdagangan netto, penerimaan pemerintah dan perubahan penerimaan usahatani. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan oleh seluruh stakeholder dalam memajukan perkedelaian nasional, sehingga diharapkan Indonesia kelak bisa berswasembada kedelai dan terlepas dari ketergantungan terhadap kedelai impor. Stakeholder yang terkait diantaranya mencakup tiga pihak yaitu pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pelaku ekonomi, dan akademisi sebagai data dasar (Bench Mark Data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam bidang ini. 14 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Perdagangan Internasional Kebijakan perdagangan internasional termasuk dalam ilmu ekonomi internasional. Menurut Salvatore (1997), Ilmu ekonomi internasional mengkaji saling ketergantungan antar negara. Secara spesifik, ilmu ekonomi internasional membahas teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan internasional, paluta pasar asing dan neraca pembayaran (Balance of Payment), serta ilmu makroekonomi pada perdagangan terbuka. Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikroekonomi ilmu ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masingmasing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif satu komoditas. Teori perdagangan internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang di perolehnya (Salvatore, 1997). Masih menurut pendapat Salvatore (1997), kebijakan perdagangan internasional mengkaji alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta yang hal-hal menyangkut proteksionisme baru (New Protectionism). Salvatore menyimpulkan, model perdagangan internasional pada dasarnya sama-sama memiliki sejumlah kesamaan sebagai berikut; 1. Kapasitas produktif dari dari suatu perekonomian terbuka akan dapat di ketahui berdasarkan kurva batas-batas kemungkinan produksinya, dan sesungguhnya perbedaan di dalam batas-batas kemungkinan produksi 16 itulah yang membuka peluang bagi terjadinya hubungan perdagangan diantara negara-negara yang bersangkutan. 2. Batas-batas kemungkinan produksi senantiasa menetukan skedul penawaran relatif dari masing-masing negara. 3. Keseimbangan dunia akan ditentukan oleh permintaan relatif dunia dan skedul penawaran relatif dunia yang terletak antara skedul-skedul penawaran relatif nasional (per negara). 2.2 Hambatan Perdagangan Perdagangan bebas (Free Trade) akan dapat memaksimalkan output dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya, apabila tidak ada berbagai bentuk hambatan. Namun pada kenyataannya, hampir di setiap negara masih menerapkan berbagai bentuk hambatan. Karena hambatan-hambatan tersebut berkaitan erat dengan praktek dan kepentingan perdagangan atau komersial dari masing-masing negara. Hambatan-hambatan tersebut biasa disebut sebagai kebijakan perdagangan (Trade Policy) atau kebijakan komersial (Commercial Policy). 2.2.1 Hambatan Tarif (Tariff Barries) Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting atau menonjol secara sejarah adalah tarif (Tariff). Salvatore (1997) mendefinisikan, tarif adalah pajak atau cukai yang di kenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintaslintas wilayah negara. Tarif merupakan bentuk kebijakan yang paling tua dan secara tradisional telah di gunakan sebagai bentuk penerimaan pemerintah sejak lama. Ditinjau dari aspek asal komoditi, Salvatore membedakan tarif menjadi dua 17 macam yaitu tarif impor (Import Tariff), yakni pajak yang di kenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain; dan tarif ekspor (Export Tariff) yang merupakan pajak untuk suatu komoditi yang di ekspor. Ditinjau dari mekanisme perhitungannya, ada beberapa jenis tarif yaitu (1) Tarif spesifik (Specific Tariff) merupakan pajak yang di kenakan sebagai beban tetap unit barang yang diimpor, (2) Tarif ad valorem (Ad Valorem Tariff) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang di impor, dan (3) Tarif campuran (Compound Tariff) adalah gabungan dari keduanya (Salvatore,1997). Hambatan perdagangan berupa tarif ini banyak dipakai untuk sektor pertanian. 2.2.2 Hambatan Non Tarif (Non Tariff Barriers) Peranan tarif di negara-negara industri telah menurun dalam era modern sekarang ini, khususnya untuk sektor manufaktur, karena pemerintah dari berbagai negara lebih suka memberlakukan berbagai macam dan bentuk hambatan non tarif. Menurut Salavatore (1997) ada berbagai bentuk hambatan nontarif, diantaranya yaitu (1) Kuota impor, (2) Pembatasan ekspor sukarela (VERs, Voluntary Export Restraints), (3) Aneka standar dan ketentuan teknis, administratif dan berbagai macam ketentuan lainnya yang menghambat perdagangan (impor), seperti subsidi kredit ekspor, hambatan birokrasi, kebijakan pengutamaan produk dalam negeri, pajak perbatasan dan perjanjian komoditi internasional, (4) Kartel-kartel internasional dan (5) Dumping. 18 2.3 Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia Kedelai merupakan sumber bahan makanan yang mempunyai kandungan protein cukup tinggi yaitu 15 persen (FMPI, Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia, 2007). Kedelai juga merupakan sumber bahan makanan yang paling banyak di konsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kedelai banyak digunakan sebagai bahan baku untuk tempe, tahu, kecap, tauco, susu, kosmetik, obat dan pakan ternak. Berdasarkan catatan dan informasi yang ada, informasi pekembangan penanaman kedelai di Indonesia baru dapat diikuti mulai tahun 1918 dimana tercatat luas areal panen kedelai sebesar 158.900 hektar. Kedelai nasional masih dihasilkan terutama dari tanaman usahatani rakyat yang sebagian besar berskala usaha relatif kecil dan tersebar sebagian besar di pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat (Deptan, 2007). Berdasarkan kajian Puslitbang Tanaman Pangan (2005) pengembangan usahatani kedelai di lahan sawah dan lahan kering di tempuh melalui; (1) perluasan areal, (2) peningkatan produktivitas hasil, (3) peningkatan stabilitas hasil, (4) penekanan senjang hasil, (5) penekanan kehilangan hasil dan, (6) sistem produksi kedelai yang berkelanjutan berwawasan lingkungan. 2.4 Kebijakan Perkedelaian Pascareformasi Produksi kedelai dalam negeri dari tahun ke tahun semakin menurun. Tahun 2007, misalnya produksi kedelai turun sebesar 18,6 persen dari tahun 2006 yang mnencapai 747.611 ton (Deptan, 2008). Tahun 2000, produksi kedelai Amerika Serikat (AS) melimpah sehingga sulit untuk menampung penen kedelai petaninya. Untuk menjaga insentif bagi petaninya, pemerintah AS melalui USDA (United State Departement of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor, GSM 102. 19 pada tahun 2000 kredit ekspor di berikan sebesar 12 juta dollar AS dan tahun 2001 sebesar 750 juta dollar AS. Fasilitas kredit ini di berikan khusus kepada importir kedelai Indonesia. Dengan fasilitas kredit tersebut, importir Indonesia banyak yang mendatangkan kedelai dari AS, karene harganya lebih murah Rp 550 per kg bila dibandingkan dengan kedelai lokal. Harga kedali lokal Rp 2.500 per kg sedangkan kedelai impor Rp 1.950 per kg ( Prabowo H, 2008). Prabowo H (2008) menjelaskan, kebijakan AS yang diterima begitu saja oleh pemerintah Indonesia tanpa mengkaji resiko yang lebih panjang, akan menyebabkan kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Dampak selanjutnya, petani lambat laun tak lagi bersemangat untuk menanam kedelai. Pada akhirnya petani pun menjauhi kedelai dan beralih menanam jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan tanaman palawija lain yang lebih menguntungkan. Hal tersebut ditambah dengan adanya UU N0.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Undang-undang tersebut membebaskan petani untuk mengembangkan komoditas yang mereka sukai (Deptan). Menurut Prabowo H (2008), kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif impor dari 10 persen menjadi nol persen tidak akan berarti banyak. Karena menurutnya, penurunan tarif impor yang hanya 10 persen tidak sebanding dengan peningkatan harga kedelai yang mencapai 100 persen. Harga kedelai impor saat ini Rp 8.000 per kg, dengan penurunan tarif impor menjadi nol persen, hanya menurunkan harga kedelai sebesar Rp 800 per kg. 20 2.5 Hasil Penelitian Terdahulu Tarif impor biasanya menaikan harga dalam negeri termasuk harga produsen, tetapi analis regresi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al (2000) memperlihatkan bahwa harga kedelai dalam negeri tidak dipengaruhi oleh tarif impor. Lebih jauh hasil penelitian itu memperlihatkan bahwa harga kedelai ditingkat produsen dipengaruhi oleh harga paritas dan volume impor kedelai. Kumenaung (2002), meneliti dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi terhadap keragaan industri komoditas kedelai di Indonesia dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi adalah kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk. Dalam mengestimasi dampak kebijakan, Erwidodo dan Hadi (2002) menganalisis tarif impor jagung dengan menggunakan Partial Welfare Analysis. Hasil analisis memperlihatkan bahwa usaha tani jagung masih menguntungkan dan mampu bersaing dengan jagung impor, dengan memberikan keuntungan bersih pada kisaran 29-35 persen. Dengan demikian menurut penelitian Erwidodo dan Hadi, pemerintah tidak mempunyai alasan cukup kuat untuk memberlakukan tarif impor jagung. Dampak kebijakan proteksi beras, pernah diteliti oleh Prajogo U.Hadi dan Budi W.(2005). Penelitian tersebut menunjukan bahwa kebijakan proteksi yang merupakan kombinasi tarif dan nontarif meningkatkan harga produsen, jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani serta menurunkan impor beras secra signifikan. Kebijakan yang dilakukan adalah pengenaan tarif impor sebesar 21 Rp 450 per kg, yang mengkombinasikan dengan kebijakan non tarif yaitu pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor, sebelum negara-negara lain (eksportir) bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan. Desi Rahmawati (2005), menganalisis dampak kebijakan tarif impor dan variabel-variabel yang mempengaruhi volume impor gula. Untuk anlisis dampak pengenaan tarif menggunakan pendekatan keseimbangan parsial (Partial Equilibrium Approach) dan analisis variabel-variabel yang mempengaruhi volume impor gula menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa jumlah permintaan, tarif dan produksi kedelai mempengaruhi jumlah volume impor kedelai secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian Purnamasari (2006), mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai di Indonesia dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi produksi kedelai nasional adalah luas areal panen, produktivitas kedelai dan harga kedelai. Sedangkan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi jumlah impor kedelai adalah harga kedelai internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi kedelai. Penelitian terdahulu mengenai tarif impor kedelai menunjukan bahwa pemberlakuan tarif impor tidak efektif dalam menaikan harga dalam negeri, karena pada saat tarif impor menurun, nisbah harga konsumen terhadap harga paritas malah meningkat. Oleh karena kebijakan tarif tidak efektif dalam 22 menaikan harga kedelai domestik, maka peningkatan kesejahteraan sebagai akibat dari penghapusan tarif tersebut mungkin tidak terjadi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini mengkaji dampak pemberlakuan tarif impor terhadap komoditas kedelai di Indonesia dengan menggunakan analisis keseimbangan parsial (Partial Equilibrium) dan persamaan simultan. Sejauh pengamatan dan tinjauan pustaka yang dilakukan oleh penulis, penelitian mengenai dampak pemberlakuan tarif impor terhadap komoditas kedelai di Indonesia dengan menggunakan analisis keseimbangan parsial (Partial Equilibrium) belum pernah dilakukan. BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh para pelanggan/konsumen selama periode waktu tertentu berdasarkan sekelompok kondisis tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah haraga barang yang bersangkutan, harga dan ketersediaan barang lain yang berkaitan, perkiraan akan perubahan harga, pendapatan konsumen, selera, preferensi konsumen, pengeluaran periklanan dan sebagainya (Papas, 1995). Kecuali faktor harga yang bersangkutan, faktor-faktor lain yang mempengaruhi permintaan tersebut akan menggeser kurva permintaan. Pergeseran kurva pemintaan berdasarkan Gambar 2, ditunjukan pergeseran dari D1 ke D2. P (harga) B P2 A P1 D1 0 Q2 Q1 D2 Q (kuantitas) Gambar 2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan Sumber: Papas, 1995 Berdasarkan Gambar 2, kurva permintaan menunjukan bahwa kuantitas permintaan responsif terhadap harga, bila harga tinggi maka jumlah/kuantitas permintaan akan sedikit begitu pun sebaliknya. Pergerakan kurva permintaan dari 24 A ke B dipengaruhi oleh harga barang yang bersangkutan yaitu perubahan harga dari P1 ke P2. pengenaan tarif impor dengan pendekatan analisa kurva permintaan akan merubah posisi harga barang yang bersangkutan sehingga terjadi pergerakan terhadap kurva permintaan tersebut. 3.1.2. Teori Penawaran Penawaran merupakan jumlah sutu barang dan jasa yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan berdasarkan sekelompok kondisi tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang lain yang berkaitan, teknologi, tingkat masukan/input, cuaca dan sebagainya. Komponen kunci dalam penetapan penawaran adalah keuntungan marjinal dan biaya marjinal yang berkaitan dengan keluaran/output (Papas, 1995). Kecuali faktor harga yang bersangkutan, faktorfaktor lain yang mempengaruhi penawaran tersebut akan menggeser kurva penawaran. Pergeseran kurva penawaran berdasarkan Gambar 3, ditunjukan pergeseran dari S1 ke S2. P (harga) S2 S1 P2 P1 0 N M Q (kuantitas) Q1 Q2 Gambar 3. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran Sumber: Papas, 1995 25 Kurva penawaran yang terlihat pada Gambar 3, menunjukan bahwa kuantitas penawaran responsif terhadap harga, bila harga naik maka kuantitas (jumlah) yang ditawarkan pun akan naik, begitu juga sebaliknya. Pergerakan kurva penawaran dari M ke N dipengaruhi oleh barang yang bersangkutan yaitu perubahan P1 ke P2. Pergerakan tarif impor dengan pendekatan analisa kurva penawaran akan merubah posisi harga barang yang bersangkutan, sehingga terjadi pergerakan kurva penawaran tersebut. Menurut Kumenaung (2002) menyatakan bahwa penawaran kedelai bersifat elastis terhadap perubahan harganya. Elastisitas harga kedelai di pulau Jawa lebih besar dibandingkan di luar pulau Jawa. Hal ini berimplikasi pada perluasan areal panen yang seharusnya lebih besar di Jawa dibandingkan di luar wilayah Jawa. 3.1.3. Teori Kebijakan Perdagangan Internasional Teori kebijakan perdagangan internasional termasuk dalam ilmu ekonomi internasional. Menurut Salvatore (1997), Ilmu ekonomi internasional mengkaji saling ketergantungan antar negara. Secara spesifik, ilmu ekonomi internasional membahas teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan internasional, valuta pasar asing dan neraca pembayaran (Balance of Payment), serta ilmu makroekonomi pada perdagangan terbuka. Teori kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikroekonomi ilmu ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masingmasing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif satu komoditas. Teori perdagangan internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta 26 keuntungan yang di perolehnya (Salvatore, 1997). Masih menurut Salvatore (1997), kebijakan perdagangan internasional mengkaji alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta yang hal-hal menyangkut proteksionisme baru (New Protectionism). 3.1.4 Kebijakan Tarif Impor Tarif impor secara teori dapat meningkatkan harga barang domestik pada negara pengimpor. Akhibatnya untuk konsumen pada negara pengimpor secara relatif akan mengalami kerugian. Para produsen di negara pengimpor akan memperoleh keuntungan. Menurut Salvatore (1997), dampak pemberlakuan tarif impor terhadap konsumsi (Consumtion Effect of The Tariff) yakni berkurangnya konsumsi domestik. Dampak pengenaan tarif terhadap produksi (Production Effect of The Tariff) adalah peningkatan produk domestik (khususnya terhadap komoditi yang semula lebih banyak di impor). Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan (Trade Effect of The Tariff) yaitu turunnya impor akibat kenaikan harga di negara pengimpor. Dampak-dampak keseimbangan parsial akibat pemberlakuan tarif impor dapat di lihat pada Gambar 4 berikut ini. 27 27 Pq ( harga ) Sq E PE P2 G P1 A C J H Sf + T T M N B Sf Dq Q (quantitas) Q1 Q2 Q3 Q4 Gambar 4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif. Sumber: Salvatore, 1997 Dalam Gambar 4, Dq dan Sq melambangkan kurva permintaan dan penawaran komoditi (barang) Q di negara pengimpor atau di istilahkan dengan Negara 2. dalam kondisi perdagangan bebas harga komoditi C adalah P1. Negara 2 akan mengkonsumsinya sebanyak Q4 (AB); Q1 (AC) diantaranya merupakan produksi domestik, sedangkan Q4-Q1 (CB) harus di impor dari negara lain. Jika Negara 2 memberlakukan tarif sebesar T persen terhadap komoditi Q, maka Pq akan naik menjadi P2 yang sebelumnya di P1, itilah harga yang harus ditanggung oleh konsumen di Negara 2,sedangkan harga bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibatnya, penduduk pada Negara 2 akan menurunkan tingkat konsumsinya sebanyak Q3 (GH), serta akan merubah seluruh komposisinya menjadi; Q2 (GJ) merupakan produksi domestik, sedangkan Q3-Q2 (JH) harus diimpor dari negara lain untuk menutupi kekurangan kebutuhan domestik. Dengan demikian, dampak pemberlakuan tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, adalah sebesar (– (Q4-Q3)) (BN), dampak terhadap produksi bersifat positif, yakni sebesar ( Q2Q1) (CM). Namun secara keseluruhan, pemberlakuan tarif akan merugikan 28 perdagangan, yakni [-{(Q4-Q3) + (Q2-Q1)}] (BN + CM), meskipun tarif memberikan penerimaan kepada pemerintah Negara 2 sebanyak [(Q4-Q3) + (Q2Q1)] (MJHN) dikali dengan kenaikan harga akibat adanya tarif (P2-P1). Ada empat dampak yang ditimbulkan dari pengenaan tarif yaitu (1) dampak terhadap konsumsi, (2) dampak terhadap produksi, (3) dampak terhadap penerimaan pemerintah, dan (4) dampak terhadap perdagangan ( Salvatore,1997). 3.1.5 Biaya dan Manfaat Tarif Seperti yang telah dijelaskan oleh Salvatore, bahwa untuk membandingkan biaya dan manfaat tarif, diperlukan perhitungan secara cermat agar dapat diputuskan tarif secara keseluruhan dapat memberikan gambaran keuntungan atau kerugian. Pendekatan yang biasa di tempuh untuk mengukur biaya dan manfaat tarif tergantung pada dua konsep yang lazim digunakan dalam analisis makroekonomi adalah surplus konsumen dan surplus produsen. Hal ini dapat diilustrasikan pada Gambar 5. diperoleh dari pengembangan pada Gambar 4. Pq ( harga ) Sq R E PE P2 G J H a c d ba P1 A B C b N Q1 Q2 Q3 Dq Q (quantitas) Q4 Gambar 5. Biaya dan Manfaat dari Pemberlakuan Tarif. Sumber: Salvatore, 1997. 29 3.2 Model Persamaan Simultan Perumusan model merupakan langkah pertama dan langkah yang paling penting untuk kita lakukan dalam melakukan suatu penelitian atau mempelajari berbagai hubungan antar variabel-variabel. Model digunakan untuk mewakili hubungan variabel-variabel dalam bentuk matematik dimana suatu fenomena ekonomi dapat dipelajari secara empirik (Koutsoyiannis,1997). Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem persamaan simultan (simultaneous-equations system). Menurut Supranto (1983), model pesamaan simultan merupakan suatu himpunan persamaan dimana variabel tak bebas dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel bebas dalam beberapa persamaan lainnya, yaitu keadaan dimana di dalam sistem persamaan suatu variabel sekaligus mempunyai dua peranan, yaitu sebagai variabel tak bebas dan variabel bebas. Jadi, tidak hanya variabel tak bebas Y yang ditentukan, misalnya oleh variabel bebas X, tetapi bisa juga X ditentukan oleh Y, sehingga X dan Y nilainya ditentukan secara bersama-sama (Jointly of Simultaneously Determined). Didalam model persamaan simultan, terdapat dua jenis persamaan yaitu persamaan identitas dan persamaan struktural, dimana persamaan struktural menunjukan pengaruh langsung dari setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Kerangka model ekonoetrika dapat dilihat pada Gambar 6. (+) (+) Konsumsi kedelai (+) Harga kedelai impor (+) (+) Produktivitas kedelai (+) (-) (-) (-) (+) (+) (+) Produksi kedelai (-) Dummy kebijakan tariff impor (+) Harga kedelai domestic/ grosir (-) Gambar 6. Kerangka Model Ekonometrika (+) (+) (-) (+) (+)(+) Jumlah kedelai impor (+) (+) (-) (+) Lag produktivitas Pendapatan perkapita Populasi penduduk Lag jumlah kedelai impor Harga jagung dunia Harga kedelai internasional /(CIF) Exschange rate Lag harga kedelai impor (-) (+) (+) (-) (+) (+) : Variabel Eksogen (+) Lag luas areal panen (-) Harga kedelai di tingkat produsen (+) Lag harga kedelai di tingkat produsen : Variabel Endogen Keterangan: Luas areal panen kedelai (-) Harga benih kedelai Lag harga kedelai 30 31 3.3 Kerangka Pemikiran Operasional Pasar kedelai Indonesia saat ini merupakan competitive market (pasar bersaing) yang terbuka untuk impor. Dengan kebijakan penghapusan tarif impor yang dilakukan pemerintah saat ini dan dihilangkannya monopoli BULOG terhadap pengadaan dan distribusi kedelai, sebagai tuntutan dari liberalisasi perdagangan semakin menambah peluang masuknya kedelai impor. Kebutuhan kedelai nasional yang sangat bergantung dari Amerika Serikat, bermula dari pemberian fasilitas kredit, khusus kepada importir kedelai Indonesia melalui USDA pada athun 2000. Dengan fasilitas kredit tersebut, impotir Indonesia banyak yang mendatangkan kedelai dari Amerika Serikat. Alasanya jelas, karena harga kedelai yang berasal dari Amerika Serikat tersebut sangat murah, apabila dibandingkan dengan harga kedelai lokal sangat berbeda signifikan (Deptan, 2006). Fluktuasi harga kedelai di pasar dunia tampaknya ditransmisikan secara proporsional, terbukti dengan terbentuknya harga kedelai yang lebih tinggi di pasar domestik dibandingkan dengan harga kedelai di pasar dunia. Harga kedelai lokal waktu itu seharga Rp 2500 per kg, sedangkan harga kedelai impor dari Amerika Serikat seharga Rp 1950 per kg. Dari kedua harga tersebut terdapat margin antara kedelai lokal dan impor yaitu sebesar Rp 550 per kg. Hal ini terkait dengan faktor-faktor lain, diantaranya nilai tukar rupiah yang terus berfluktuasi, adanya biaya pengiriman (transfer cost), serta hambatan-hambatan lainnya meskipun pada tahun 1998-2002 pernah dihapuskan tarif impor kedelai sama dengan nol. 32 Dampak panjang dari ketergantungan tersebut bagi petani kedelai adalah mereka semakin meninggalkan dan malas untuk menanam kedelai karena dari faktor harga petani lokal, akan sulit bersaing dengan kedelai impor.Dampak selanjutnya, harga kedelai domestik akan sangat tergantung pada kondisi perkedelaian ( produksi ) dari Amerika Serikat. Dampak yang paling terasasa saat ini adalah naiknya harga kedelai domestik melebihi 100% akibat produksi kedelai AS semakin berkurang. Kondisi ini semakin tidak terkontrol akibat adanya tarif impor sebesar 10 persen. Dampak kebijakan perdagangan kedelai (kebijakan proteksi) di negara impotir netto (net importir) kedelai seperti Indonesia dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan model Keseimbangan Parsial (partial equilibrium model) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7 dan disimulasi yang sebelumnya dihitung dengan menggunakan model persamaan simultan. Harga barang-barang normal di pasar dunia lebih murah dari pada di pasar dalam negeri. Namun harga yang berlaku di pasar dalam negeri menjadi sama dengan harga yang berlaku di pasar internasional apabila ada impor yang dapat menutup defisit produksi (yaitu selisih antara produksi dan konsumsi). Pada Kondisi 1: (Ada kebijakan tarif impor yang menyebabkan harga kedelai yang berlaku di pasar dalam negeri (PD1) lebih tinggi dari pada harga dunia (PW) dengan selisish T). Pada posisi ini, jumlah produksi (penawaran) adalah QM1 = QD1 – QS1, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor adalah sebesar daerah segiempat ”cdgh”. Surplus produsen adalah sebesar daerah segitiga ”acPD1” yang lebih kecil dari pada surplus konsumen yaitu sebesar daerah ”bdPD1”. Perubahan kesejahteraan masyarakat (surplus ekonomi) total adalah 33 sebesar daerah ”acdb” karena ada surplus ekonomi yang hilang (deadweight sosial loss, DWSL) sebesar daerah segitiga ”cef dan ”dhg”. Pada Kondisi 2. (Tanpa kebijakan tarif impor, harga yang berlaku di pasar dalam negeri turun dari PD1 menjadi sama dengan harga dunia (PW)). Pada posisi ini, jumlah produksi (penawaran) turun menjadi QS2, jumlah konsumsi (permintaan) naik menjadi QD2, jumlah impor meningkat menjadi QM2 = QD2 QS2, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor hilang (menjadi nol). Surplus produsen turun menjadi sebesar daerah segitiga ”aePW”, yang semakin jauh lebih kecil daripada surplus konsumen yang meningkat menjadi sebesar daerah ”bhPW”. Surplus ekonomi total meningkat menjadi sebesar daerah ”aehb”. Harga (Rp/kg) S b E PD 1 T {P c W e d f g h D a 0 Volume (ton) QS2 QS1 QD 1 QD 2 Gambar 7. Ilustrasi Konsep Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Terhadap Perdagangan Kedelai di Indonesia. Gambar 7 diatas mengilustrasikan dampak kebijakan tarif impor kedelai di Indonesia. Kondisi 1 mencerminkan kondisi pada saat penelitian dilaksanakan (2008). Jika pemerintah menghilangkan seluruh biaya tarif impor, maka 34 perdagangan kedelai di Indonesia akan berada pada kondisi 2. Perbedaan kinerja perdagangan kedelai nasional antara Kondisi 2 dan Kondisi 1 dianggap merupakan dampak dari penerapan kebijakan menghilangkan tarif impor. Pada tahap selanjutnya dihitung perubahan harga domestik akhibat dihilangkannya tarif impor. Perhitungannya dilakukannya dengan mengunakan simulasi persamaan simultan. Kebijakan pemerintah menghilangkan tarif impor sebesar nol persen dihipotesis dapat menurunkan harga domestik kedelai. Penurunan tersebut diperkirakan terjadi pada tingkat pedagang grosir dan produsen (petani). Di samping pemerintah ingin menrunkan harga kedelai pada tingkat pedagang besar juga diharapkan dapat menurunkan harga kedelai paritas impor. Terakhir, menghitung perubahan terhadap keuntungan usahatani. Dengan diberlakukannya pembebasan tarif impor oleh pemerintah tersebut, dihapkan tidak terlampau banyak berdampak negatif terhadap perubahan keuntungan usahatani. Karena pemerintah sadar betul bahwa hal ini jika berdampak besar maka akan mematikan keiinginan petani untuk menanam kedelai. Perhitungan tersebut dihitung dengan membandingkan terhadap dua wilayah yang di indikasikan secara signifikan paling bisa mewakili seluruh wilayah Indonesia. Kedua wilayah tersebut adalah Jawa Timur dan Jawa Barat. 35 Penurunan produktifitas Penurunan produksi Kedelai nasional Penurunan luas areal panen Impor kedelai (ketergantungan pada kedelai AS) Kebutuhan kedelai nasional semakin meningkat Perkembangan industri pengolahan kedelai Kebijakan proteksi tarif impor (tuntutan keberpihakan kepada petani dan swasembada kedelai) Pertumbuhan penduduk Tingginya harga dunia Upaya meningkatkan gairah petani untuk menanam kedelai (swasembada kedelai) Analisis dampak penghapusan tarif impor kedelai Dampak harga domestik dan paritas impor Surplus konsumen Dampak tarif impor terhadap kesejahteraan Surplus produsen Penerimaan pemerintah Dampak terhadap Keuntungan Usahatani Surplus ekonomi neto Dampak kebijakan tarif impor terhadap jumlah permintaan, harga produsen dan jumlah penawaran, serta perubahan jumlah impor. Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian 36 3.4. Asumsi dan Batasan Penelitian 3.4.1. Asumsi Penelitian Dalam menentukan dampak kebijakan tarif impor kedelai, di pakai beberapa asumsi sebagai berikut: 1. Harga kedelai di Indonesia (domestik) di pengaruhi oleh harga kedelai dunia, karena ketergantungan terhadap kedelai impor sangat tinggi 2. Indonesia termasuk negara kecil (negara 2) dalam produksi dan perdagangan kedelai, sehingga pengenaan tarif impor tidak dapat mempengaruhi harga kedelai di pasar dunia. 3. Kenaikan atau peningkatan harga kedelai akibat pengenaan tarif impor hanya akan mempengaruhi harga kedelai domestik. 4. Untuk menghitung dampak netto yang ditimbulkan oleh tarif impor terhadap kesejahteraan nasional, dengan mengasumsikan selisih antara (dalam mata uang) manfaat biaya untuk setiap kelompok adalah sama dengan nilai sosialnya. 5. Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kedelai warna kuning, karena kedelai ini merupakan proporsi terbesar yang di konsumsi oleh masyarakat kita. 3.4.2 Batasan Penelitian Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada kedelai untuk industri tahu, tempe, kecap dan pengadaan bibit. Karena data ini yang lebih konsisten tersedia setiap tahunnya. Penulis juga tidak membahas kedelai berbentuk bungkil kedelai yang diperuntukan untuk pembuatan pakan ternak. Keterbatasan lain yang tidak dapat di penuhi dalam skripsi ini adalah tidak 37 mengkonversi harga-harga sesuai dengan tingkat inflasi yang terjadi pada setiap tahun pengamatannya. 3.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan pemaparan kerangka pemikiran terhadap dampak penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia, maka hipotesis penelitian yang diambil atau digunakan adalah: 1. Terjadi penurunan harga kedelai domestik akibat penghapusan tarif impor 2. Ada pengaruh signifikan antara harga kedelai domestik (produsen dan grosir) dengan kebijakan tarif impor 3. Nilai tukar rupiah terhadap USD berhubungan positif terhadap harga kedelai domestik. 4. Harga kedelai domestik dan dunia di pengaruhi oleh kebijakan tarif impor domestik 5. Produksi (penawaran) kedelai domestik di pengaruhi oleh harga kedelai di tingkat produsen dan kebijakan tarif impor. 6. Harga kedelai domestik di pengaruhi oleh harga kedelai dunia. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitia ini berasal dari data skunder dan primer. Data skunder yang digunakan adalah dalam bentuk data tahunan (deret waktu) dari tahun 1968-2008. Data primer di peroleh dari hasil wawancara dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan maslah penelitian. Dengan data sekunder di peroleh dari berbagai instansi/lembaga pemerintah yang terkait dengan masalah penelitian, diantaranya Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian (Deptan), Direktorat Jendral Tanaman Pangan, Departemen Industri dan Perdagangan (Depperindag), Badan Usaha Logistik (BULOG), Jurnal Penelitian, disertasi, tesis, skripsi serta literaturliteratur yang relevan dengan masalah penelitian. 4.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis yang digunakan adalalah metode deskriftif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran yang luas tentang berbagai aspek kebijakan tarif impor dan faktor lain yang terkait, yang diharapkan dapat membantu mempertajan analis kuantitatif. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan alat hitung (kalkulator) dan komputer. Hasil disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif berdasarkan tinjauan teoritisnya. Analisis kuantitaif pada tingkat makro menggunakan pendekatan keseimbangan parsial (Partial Equilibrum Approach) untyuk memahami dampak 39 tarif impor terhadap harga kedelai domestik, produksi, permintaan, dan impor kedelai, serta dampak kesejahteraan produsen, konsumen, dan penerimaan, pemerintah. 4.2.1 Metode Analisis Secara diagramatis, dampak penerapan tarif impor dapat di ilustrasikan dengan menggunakan Gambar 9. Perimaan tarif impor akan meningkatkan harga kedelai di pasar domestik, menurunkan kuantitas impor kedelai, dan kuantitas permintaan dipasar domestik. Perubahan kesejahteraan akibat pemberlakuan tarif impor di hitung berdasarkan perubahan ”surplus” konsumen dan produsen serta peruibahan penerimaan pemerintah, yang secara netto menghasilkan perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat (Net Social Welfare). Dalam analisis di pergunakan harga kedelai domestik rata-rata yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, bukan harga eceran (Retail) di salah satu kota saja. Pq ( harga ) Pq ( harga ) Sq R R Sq E E J G P2 P1 A a B P1 C A Dq H c b Sf + T d B C M N Q1 Q2 Q3 Sf Dq Q Qs QD (a) Sebelum Pengenaan Tarif Q4 (b) Sesudah Pengenaan Tarif Gambar 9. Ilustrasi Dampak Pengenaan Tarif Impor Kedelai Q 40 Dari Gambar 8 (a), sebelum adanya pengenaan tarif impor harga kedelai domestik sebesar P1, produksi kedelai domestik sebesar Qs dan konsumsi sebesar QD serta jumlah impor kedelai sebesar QD – Qs. Pada tingkat harga seperti itu, surplus konsumen terjadi sebanyak bidang ABR. Akibat adanya penerapan tarif kondisi tersebut menjadi berubah pada Gambar 9 (b). Kondisi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Penurunan surplus konsumen = -(a + d + c + d), (2) Peningkatan surplus produsen = a, (3) Penerimaan pemerintah dari tarif = c, dan (4) Total penurunan surplus atau biaya proteksi (bobot mati) = b + d. 4.2.1.1 Estimasi Dampak Penghapusan Tarif Impor a. Perhitungan Harga Dunia dan Harga Paritas Impor Harga impor yang tercermin pada harga impor (CIF) di pelabuhan Indonesia dalam mata uang rupiah dihitung dengan formula (1) sebagai berikut: PWR = PWD x ER ...............................................................................................(1) dimana : PWR = Harga impor di pelabuhan Indonesia dalam rupiah (Rp/kg) PWD = Harga impor di pelabuhan Indonesia (CIF) ($US/kg) ER = Nilai tukar (RP/$US) Harga paritas impor di tingkat grosir (PMG) diperoleh melalui pengalihan PWR dengan bilangan 1,08 dimana 0,08 (8 persen) adalah persentase biaya bongkar dan administrasi di pelabuhan Indonesia, yaitu: PMG = 1,08 x PWR ...........................................................................................(2) Harga paritas impor pada tingkat grosir (PMG) diperoleh melalui estimasi regresi dari persamaan (3) berikut: Ln PMG = δ0 + δ1 Ln ER + δ2 Ln PWD + δ3Dummy + et...............................(3) 41 b. Estimasi Dampak Kebijakan Tarif Impor Dengan adanya kebijakan impor kedelai yang terdiri dari kebijakan tariff dan non tarif, maka harga grosir (wholesale price) di dalama negeri akan naik. Perbedaan antara harga grosir awal (PWS1) dan harga paritas impor (PMG) merupakan tarif implisit (TI) yang terbentuk karena kebijakan impor tersebut, yaitu: TI = PWS1 - PMG .............................................................................................(4) b.1. Dampak Terhadap Harga Grosir dan Jumlah Permintaan Jika kebijakan impor kedelai (tarif dan non tarif) dihapus, maka seluruh tarif spesifik (TI) akan hilang, sehingga harga grosir akan turun menjadi PWS2 = PWS1 – TI..............................................................................................(5) Persentase perubahan harga grosir (%dPWS) dihitung dengan formula sebagai berikut: %dPWS = TI/Pws1 x 100....................................................................................(6) Persentase perubahan jumlah permintaan (%dQD) sebagai akibat dari turunnya harga grosir (%dPWS) karena dihapusnya kebijakan impor adalah: (%dQD) = (%dPWS) x ED .................................................................................(7) ED pada persamaan (6) adalah elastisitas permintaan kedelai, yang diestimasi dengan persamaan (8) berikut: ln QDCt =α0 + α1 ln PWS1 + α2 ln YCt + α3 Dummy + et .....................................(8) Dimana : QDC = Jumlah permintaan kedelai per kapita per tahun (kg) di Indonesia PWS = Harga kedelai di tingkat grosir seluruh Indonesia (Rp/kg) YC = Pendapatan nasional riil per kapita per tahun (Rp) di Indonesia 42 T = Tahun pengamatan (1969-2008) Ln = Logaritma natural Dummy = (1; ada tarif dan 0; tarif dihapus) α1 = Elastisitas permintaan kedelai terhadap barang sendiri (ED) et = Estimasi error Perubahan absolut jumlah permintaan (dQD) merupakan perkalian persentase perubahan permintaan (%dQD) dengan jumlah permintaan awal (QD1), yaitu: dQD = %QD x QD1 ........................................................................................(9) Jumlah permintaan setelah penghapusan kebijakan impor (QD2) adalah: QD2 = QD1 + dQD ........................................................................................(10) b.2. Perubahan Harga Produsen dan Jumlah Penawaran Dengan turunnya harga kedelai di tingkat grosir (PWS), maka harga kedelai di tingkat produsen (PF) juga turun melalui mekanisme transmisi harga yang diestimasi dengan persamaan (11) di bawah ini (β1 adalah elastisitas transmisi harga, EP): Ln PFt = β0 + β1 ln PWSt + β2 ln Im + β3 Dummy + et .............................(11) Persentase perubahan harga produsen (%dPF) sebagai akibat dari turunnya harga grosir (%dPWS ) dihitung dengan formula (11) berikut: %dPF = %dPWS x EP....................................................................................(12) Perubahan absolut harga produsen (dPF) merupakan perkalian persentase perubahan harga produsen (%dPF ) dengan harga produsen awal (PF1), yaitu: dPF = %dPF x PF1......................................................................................(13) 43 Harga produsen setelah terjadi perubahan (PF2) adalah: PF2 = PF1 + dP...............................................................................................(14) Persentase perubahan jumlah penawaran (%dQS) sebagai akibat dari turunnya harga produsen (%dPF) karena dihapusnya kebijakan impor adalah: %dQS = %dPF x ES....................................................................................(15) ES pada persamaan (15) adalah elastisitas penawaran kedelai yang di estimasi dengan persamaan (16) berikut : Ln QSt = γ0 + γ1 ln Lp + γ2 ln PFt + γ3 ln Im + γ4 Dummy + et ………….(16) Dimana : QS = jumlah penawaran/produksi kedelai (ton) di Indonesia PF = harga kedelai di tingkat produsen (RP/kg) di Indonesia t = tahun pengamatan (1969-2008) Lp = Luas Panen kedelai (ha) di Indonesia Im = jumlah impor kedelai (ton) Indonesia Dummy = (1; ada tarif dan 0; tarif dihapus) γ1 = elastisitas penawaran kedelai terhadap harga sendiri (ES) et = estimasi error Perubahan absolut jumlah penawaran (dQS) merupakan perkalian presentase perubahan penawaran (%dQS) dengan jumlah penawaran awal (QS1), adalah sebagai berikut: dQS = % dQS x QS1....................................................................................(17) Jumlah penawaran setelah penghapusan tarif (QS2) adalah: QS2 = QS1 + dQS ............................................................................................(18) 44 b.3. Perubahan Jumlah Impor Jumlah impor kedelai sesudah penghapusan tarif (QM2) merupakan selisih antara jumlah permintaan setelah penghapusan kebijakan impor (QD2) dengan jumlah penawaran setelah penghapusan tarif (QS2) adalah: QM2 = QD2 – QS2 ............................................................................................(19) Perubahan jumlah impor (dQM) adalah selisih antara jumlah impor setelah perubahan tarif (QM2) dan jumlah impor awal (QM1), yaitu: dQM2 = QM2 – QM1 …………………………………………………………(20) b.4. Perubahan Surplus Ekonomi Surplus ekonomi terdiri dari surplus produsen, surplus konsumen, penerimaan pemerintah dari pajak impor, yang jumlah seluruhnya merupakan surplus ekonomi neto. Perubahan surplus produsen (dPS), perubahan surplus kon sumen (dCS), perubahan penerimaan pemerintah dari pajak impor (dGR) dan perubahan surplus ekonomi neto (dNS) dihitung dengan formula (21) sampai dengan (24) sebagai berikut: dPS = dPWS x (QS1 + dQS /2) …………………………………………(21) dCS = dPWS x (QD1 – dQD /2) …………………………………………(22) dGR = (QM2 x T2) – (QM1 x T1)……………………………………………..(23) dNS = dPS + dCS + dGR .............................................................................(24) 4.2.1.2 Estimasi Dampak Pada Tingkat Usahatani Penurunan harga produsen sebagai akibat turunnya harga grosir karena tariff impor akan menurunkan keuntungan petani. Dengan asumsi faktor lain tetap (ceteris paribus) maka turnnya keuntungan usahatani hanya disebabkan oleh 45 turnnya harga produsen. Perubahan keuntungan usahatani kedelai per hektare permusim di hitung dengan formula (25) berikut: dK = QY (PF2 – PF1).......................................................................................(25) Dimana: dK = Perubahan keuntungan usahatani kedelai (Rp/ha) QY = Produksi kedelai nasional (kg/ha) PF1 = Harga kedelai ditingkat produsen sebelum penghapusan tarif (Rp/kg) PF2 = Harga kedelai ditingkat produsen sesudah penghapusan tarif (Rp/kg) 4.2.1.3 Dekomposisi Tarif Jika perbedaan antara harga kedelai di tingkat grosir awal (PWS1) dan harga paritas impor di tingkat grosir (PMG) melibihi tarif eksplisit yaitu tarif impor kedelai yang ditetapkan secra resmi oleh pemerintah (10 persen), maka berarti ada dampak kebijakan nontarif yang ikut menaikan harga kedelai di tingkat grosir. Kebijakan nontarif yang dimaksud adalah pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor. untuk mengestimasi dampak kebijakan tarif dan kebijakan nontarif secara terpisah, perlu dilakukan dekomposisi tarif menjadi tarif eksplisit dan tarif implisit. Karena nilai total tarif implisit sudah diketahui dari hasil perhitungan persamaan (3) dan nilai eksplisit sudah diketahui (10 persen), maka nilai tarif impor implisit karena kebijakan nontarif dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (26) sebagai berikut: TII = TI - TE................................................................................................(26) 46 Dimana: TII = Tarif implisit spesifik karena kebijakan non tarif (RP/kg) TI = Total tarif spesifik karena kebijakan impor (Rp/kg) TE1 = Tarif eksplisit, yaitu tarif resmi ketetapan pemerintah (Rp/kg) 4.2.2. Analisis Persamaan Simultan Metode persamaan simultan digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel exogen (exogenous variable) terhadap variabel endogen (endogenous variable) dalam hubungan yang bersifat simultan (saling berkaitan). Variabel exogen adalah variabel yang tidakdipengaruhi oleh variabel lain yang terdapat dalam model sistem persamaan simultan, sedangkan variabel endogen adalah variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lain yang terdapat di dalam model sistem persamaan simultan. Variabel exogen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah permintaan kedelai, penawaran kedelai dan harga kedelai pada tingkat grosir serta harga kedelai pada tingkat petani. Untuk melakukan analisis dengan menggunakan persamaan regresi simultan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap estimasi dan tahap simulasi. Tahap estimasi digunakan untuk menduga nilai koefisien dari masing-masing variabel independen, sedangkan tahap simulasi digunakan untuk mengetahui dampak dari kebijakan penghapusan tarif impor kedelai. 4.2.2.1 Identifikasi Model Menurut Koutsoyiannis (1997), masalah identifikasi muncul hanya untuk persamaan-persamaan yang di dalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus di estimasi secara statistik (dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul 47 dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang kondisi equilibrium, karena dalam hubungan-hubungan tersebut tidak memerlukan pengukuran. Dalam teori ekonometrika terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu identifikasi, yaitu : 1. Persamaan Underidentified Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih persamaanpersamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified. Jika suatu persamaan atau model underidentified maka tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengna teknik ekonometrika manapun. 2. Persamaan Identified Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal maka persamaan tersebut dapat diidentifikasikan (identified), dan persamaan tersebut bisa exactly identified atau overidentified. Dalam persamaan yang teridentifikasi, koefisien yang terdapat di dalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly identified maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least Square (ILS). Sedangkan jika persamaan overidentified maka metode yang dapat digunakan salah satunya adalah Two Least Square (2SLS). 48 Berdasarkan teori Koutsoyiannis (1997), terdapat dua tahap identifikasi terhadap suatu model persamaan simultan, adalah sebagai berikut: 1. Order Condition Order condition digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan yang ada dapat di identifikasi atau tidak dapat di identifikasi. Langkah-langkah dalam order condition, yaitu : a. Bila (K-M)≥ (G-I), maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi b. Bila (K-M)< (G-I), maka persamaan tersebut tidak dapat diidentifikasi atau underidentified. 2. Rank Condition Rank Condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan dimana setelah dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly identified atau overidentified. langkah-langkah rank condition adalah : a. Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas kanannya nol. b. Susun matriks koefisien dari dari seluruh variabel yang ada untuk persamaan-persamaan tersebut . c. Jika kia ingin mengidentifikasi persamaan ke-i maka coret baris persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut. d. Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat dihitung. 49 e. Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol maka simpulkan : a) Persamaan tersebut overidentified, bila (K-M)>(G-1). b) Persamaan tersebut exactly identified, bila (K-M)=(G-1). Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut underidentified. Model persamaan simultan yang ada terdiri dari tiga persamaan tujuh total variabel di dalam model. Didalam model terdapat tiga variabel endogen dan empat variabel eksogen. Uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat di identifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model, dimana hasil pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model dengan satu. Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identified untuk masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan total persamaan dalam model dengan satu. Hasil identifkasi yang menghasilkan kesimpulan over identified memungkinkan persamaan untuk destimasi dengan metode Two-Stage Least Square (2SLS). 50 4.2.2.2 Validasi Model Validasi suatu model dilakukan untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan hasil simulasi. Validasi model persamaan simultan menggunakan solusi metode newton. Validasi juga untuk melihat seberapa valid suatu persamaan digunakan untuk mensimulasi atau menganalisis suatu persoalan. Validasi suatu model biasanya dilihat dari beberapa parameter yang digunakan sebagai indikasi validitas suatu monel persamaal simultan. Indikator statistik yang digunakan untuk validasi model Root Means Squarse Percent Error (RMSPE) dan Theil Inequality Coefficient (U-Theil) serta dekomposisinya. Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif atau seberapa dekat nilai-nilai dugaan itu mengikuti nilai aktual. Indikator U-Theil digunakan untuk mengukur daya prediksi model, selang nilainya dari 0-1. semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil semakin baik pendugaan model. Formula RMSPE dan U-Theil adalah: ( Pindyck and Rubinfeld, 1998) RMSPE = s a 1 ⎛ Yt −Yt ⎞ ⎟ ∑⎜ a n ⎜ ⎟ ⎠ ⎝ Yt 2 n t =1 U (Y ∑ (Y ) 1 n ∑ n t =1 = 1 n n t =1 t s t 2 s + ) ∑ (Y ) −Yt 1 n a 2 n t =1 t a 2 51 Dimana: Yst = Nilai Simulasi dasar Yat = Nilai pengamatan aktual T = Jumlah periode pengamatan RMSE = Root means squares error RMSPE U = Root means squares percent error = Theil’s inequlity coefficient Dekomposisi dari U-Theil adalah UM (bias proporsi), US (bias variance), dan UC (bias covariance). UM adalah proporsi bias yang menunjukan indikator kesalahan sistematik, karena komponen ini mengukur sampai seberapa jauhnilai rata-rata simulasi dan aktualnya menyimpang satu dari yang lainnya. UR adalah indikator kesalahan dari komponen regresi yang mengukur penyimpangan kemiringan regresi. UC adalah komponen bias residual. Suatu model mempunyai daya prediksi yang baik jika UM dan US mendekati nol dan UC mendekati satu. 4.2.2.3 Simulasi Model Persamaan Simultan Apabila validasi merupakan pengujian terhadap goodness of fit dari suatu model, maka analisis simulasi diarahkan mengukur dampak perubahan eksogen. Adapun tujuan dilakukannya simulasi adalah: (1) pengujian dan evaluasi model, (2) analisis kebijakan historis, dan (3) analisis peramalan (Pyndyck dan Rubinfeld,. 1991). Simulasi digunakan untuk mempelajari perilaku model bila kebijakan diterapkan dalam suatu periode pengamatan (Kumenaung, 2002). Periode simulasi dalam penelitian ini adalah periode historis yaitu dari tahun 1969-2008. Rentang 52 simulasi historis bertujuan untuk mengevaluasi dampak kebijakan (policy review) terhadap penawaran, konsumsi, impor, dan harga kedelai. Tujuan simulasi kebijakan adalah melihat dan mencari alternatif kebijakan yang efektif untuk mendorong peningkatan produksi kedelai nasional dan muaranya diharapkan Indonesia bisa menghilangkan ketergantungan terhadap peranan kedelai impor. Guna mendapatkan pilihan kebijakan yang paling baik berbagai simulasi kebijakan dapat dilakukan. 4.2.2.4 Simulasi Historis Simulasi kebijakan untuk periode historis dari tahun 1969-2008 dilakukan menurut kebijakan ekonomi dan kebijakan perdagangan yang disusun berdasarkan fenomena aktual kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia dalam perdagangan kedelai (khususnya tarif Strategi yang pernah ditempuh pemerintah Indonesia untuk melindungi pertanian kedelai nasional adalah strategi defensif. Strategi ini dijalankan sampai akhir 1997 dan dilakukan kembali tahun 2002 sampai akhir 2007. Ada dua instrumen kebijakan yang digunakan saat itu, yaitu: (1) Pengenaan tarif impor kedelai mulai dari Lima persen sampai 30 persen selama kurun waktu 30 tahun yaitu dari tahun 1969-1997 dan tahun 2002-2007, dan (2) kebijkan non tarif berupa pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor kedelai yang mempunyai dampak menaikan harga. Sebagaimana telah disebutkan dalam metode analisis, kebijakan; (1) disebut pengenaan “Tarif Eksplisit” (TE), sedangkan kenaikan harga akibat kebijakan (2) disebut “Tarif implisit” (TI). Kenaikan harga dalam negeri sebagai akibat kebijakan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor kedelai di tingkat grosir (PMG) dan harga 53 kedelai aktual ditingkat grosir awal (PWS1). Hasil analisis regresi menunjukan bahwa besaran PMG adalah Rp 6.432,77 per kg, sedangkan PWS1 adalah Rp 7.655,00 per kg. Selisih kedua harga ini adalah Rp 2.413,70 per kg untuk D1 dan Rp 2.176,70 per kg untuk D0, yaitu kenaikan harga kedelai sebagai dampak dari kedua kebijakan protektif tersebut. Adapun dekomposisi tarif dapat dibuat skenario kebijakan penghapusan tarif impor sebagai berikut; D0 = sebelum penghapusan tarif impor D1 = Sesudah penghapusan tarif impor 4.3. Definisi Operasional Ada beberapa definisi yang dipakai sebagai acuan atau asumsi dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut: 1. Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kedelai warna kuning, karena kedelai ini merupakan proporsi terbesar yang dikonsumsi oleh masyarakat kita. 2. Produksi kedelai Indonesia (domestik) adalah jumlah total produksi kedelai di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton. 3. Volume impor kedelai Indonesia merupakan jumlah seluruh impor kedelai yang dipasarkan dipasar domestik setiap tahun, tidak termasuk impor ilegal, dan dinyatakan dalam satuan ton. 54 4. Tarif impor adalah tarif yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap kedelai yang berupa tarif Ad Valorem yakni pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. 5. Jumlah kebutuhan (konsumsi) kedelai di Indonesia adalah jumlah konsumsi kedelai per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk setiap tahun, dinyatakan dalam satuan ton. 6. Harga kedelai dunia adalah harga kedelai di USDA Free on Board kemudian dikonversikan kedalam nilai rupiah per kilogram. 7. Nilai tukar rupiah adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berdasarkan rata-rata tiap tahun yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. BAB V GAMBARAN UMUM PERKEDELAIAN NASIONAL 5.1 Produksi Kedelai Indonesia Pengembangan kedelai di Indonesia dilakukan dengan berbagai usaha, salah satunya adalah peningkatan produksi. Berbagai upaya tersebut yang dilakukan oleh pemerintah tak terkecuali untuk pemenuhan kebutuhan nasional dan mewujudkan swasembada kedelai. Kebutuhan tersebut diantaranya untuk pangan dan industri pengolahan tahu, kecap dan tempe. Perkembangan produksi kedelai Indonesia dipengaruhi beberapa faktor teknis, ekonomis dan sosiokultur masyarakat. Sejak tahun 1975 Indonesia tidak mampu lagi mempertahankan swasembada kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dari tahun 1975 dan pengadaan stok pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah mulai malakukan impor kedelai. Impor kedelai pada awalnya sebanyak 17.802 ton. Tahun- tahun berukutnya volume impor terus meningkat menjadi 171.746 ton pada tahun 1976 dan 1.371.465 ton pada tahun 2008. Ini berarti bahwa sejak tahun 1975 sampai 2008 Indonesia tetap sebagai negara pengimpor (net importer). Secara statistik angka peningkatan impor kedelai Indonesia sejak tahun 1975 sampai 2008 menunjukan angka sebesar 1.353.663 ton atau setiap tahun peningkatan impor sebesar 42.301,97 ton per tahun. 40,91 persen per tahun. Data perkembangan produksi, luas areal panen, produktivitas dan impor kedelai Indonesia secara lengkap disajikan pada Tabel 4. 56 Tabel 4. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Kedelai di Indonesia pada Tahun 1969-2008. Tahun 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Luas Panen Jumlah Perubahan (Ha) (%) 553.000 695.000 25.68 680.000 -2.16 698.000 2.65 733.014 5.02 768.027 4.78 751.689 -2.13 646.336 -14.02 646.121 -0.03 733.142 13.47 784.489 7.00 726.013 -7.45 809.978 11.57 607.778 -24.96 639.847 5.28 858.854 34.23 896.220 4.35 1.253.767 39.90 1.100.565 -12.22 1.177.360 6.98 1.198.096 1.76 1.133.765 -5.37 1.367.156 20.59 1.664.182 21.73 1.468.316 -11.77 1.406.039 -4.24 1.476.285 5.00 1.277.736 -13.45 1.118.140 -12.49 1.094.262 -2.14 1.151.079 5.19 824.484 -28.37 678.848 -17.66 544.522 -19.79 526.796 -3.26 565.155 7.28 621.541 9.98 580.534 -6.60 502.104 -13.51 549.412 9.42 Produksi Jumlah Perubahan (Ton) (%) 388.898 497.883 28.02 515.644 3.57 518.229 0.50 541.040 4.40 589.239 8.91 589.831 0.10 521.777 -11.54 522.821 0.20 616.539 17.93 679.825 10.26 652.762 -3.98 703.811 7.82 521.394 -25.92 536.103 2.82 769.384 43.51 869.718 13.04 1.226.737 41.05 1.160.963 -5.36 1.270.418 9.43 1.315.113 3.52 1.487.207 13.09 1.554.694 4.54 1.868.342 20.17 1.707.126 -8.63 1.564.179 -8.37 1.679.092 7.35 1.515.937 -9.72 1.356.108 -10.54 1.305.640 -3.72 1.382.848 5.91 1.017.634 -26.41 826.932 -18.74 673.056 -18.61 671.600 -0.22 723.483 7.73 808.353 11.73 747.611 -7.51 664.438 -11.13 723.535 8.89 Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008, Diolah. Keterangan: (*) ARAM II 2008 Produktivitas Jumlah Perubahan (Ton/ha) (%) 0.703 0.716 1.87 0.758 5.85 0.742 -2.09 0.738 -0.59 0.767 3.94 0.785 2.28 0.807 2.88 0.809 0.23 0.841 3.93 0.867 3.05 0.899 3.75 0.869 -3.36 0.858 -1.27 0.838 -2.33 0.896 6.92 0.970 8.33 0.978 0.83 1.055 7.81 1.079 2.29 1.098 1.73 1.312 19.50 1.137 -13.31 1.123 -1.27 1.163 3.56 1.112 -4.32 1.137 2.24 1.186 4.31 1.213 2.23 1.193 -1.62 1.201 0.69 1.234 2.74 1.218 -1.31 1.236 1.47 1.275 3.14 1.280 0.41 1.301 1.59 1.288 -0.98 1.323 2.76 1.317 -0.48 57 Upaya pemerintah untuk memacu produksi kedelai nasional adalah dengan mengurangi peranan impor kedelai. Berbagai paket program telah dilakukan sejak tahun 1980 antara lain; (a) intensifikasi melalui gerakan khusus (Gersus) kedelai yang disertai dengan paket kedit, (b) introduksi varietas unggul, (c) penyuluhan usahatani kedelai, (d) operasi khusus (Opsus) kedelai dengan pola kemitraan, (e) kebijaksanaan harga, (f) pembatasan impor melalui tarif impor, dan (g) tahun 2001 dengan program Gema Palagung 2001, serta (h) terakhir tahun 2008 diadakan Program dan Aksi Peningkatan Produksi Kedelai Nasional Tahun 2008. Dalam paket kredit usaha tani palawija, sudah terkandung didalamnya subsidi pupuk dan pestisida. Dalam upaya peningkatan produksi kedelai Indonesia, kontribusi utamanya luas areal panen harus ditambah. Hal lainnya yang lebih urgen adalah pengadaan bibit yang empunyai produktivitas tinggi. Di Indonesia potensi perluasan luas areal panen masih cukup besar. Potensi tersebut dapat dikembangkan dari lahan sawah maupun lahan kering, yang dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman dan perluasan areal panen baru. 5.2 Konsumsi Kedelai Nasional Kebutuhan nasional akan kacang kedelai dapat diturunkan dari penjum- lahan antara angka produksi nasional dan impor kedelai. Kebutuhan akan kedelai secara tegas memperlihatkan peningkatan. Peningkatan konsumsi kedelai di Indonesia sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2008 berdasarkan Tabel 5 menunjukan angka rata-rata sebesar 50.075,82 ton. Pendekatan lain dapat dilakukan dengan menggunakan angka konsumsi kedelai perkapita per tahun, selama 39 tahun belakang (Lihat Tabel 6). Tingkat 58 konsumsi kedelai perkapita per tahun pada masyarakat Indonesia sejak tahun 1969 sampai 2008 telah menunjukkan angka rata-rata 0.323 kg per tahun. Artinya setiap tahun rata-rata peningkatan konsumsi kedelai per kapita di Indonesia adalah 0,323 kg. Selama 39 tahun belakang (1969-2008) , pertumbuhan konsumsi per kapita per tahun terlihat semakin tinggi yaitu mencapai 3,58 persen per tahun. Peningkatan kebutuhan akan kedelai ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe serta untuk pasokan industri kecap. Berdasarkan data pengamatan selama 39 tahun (1969-2008), terlihat pada Tabel 5. Penurunan konsumsi tersebut diduga terjadi karena pada saat tersebut terjadi kenaikan harga kedelai. Tabel 5. Penurunan Jumlah Konsumsi Kedelai di Indonesi pada Rentang Tahun 1971-2005 (Ton). Tahun Pengamatan 1971 1973 1977 1980 1981 1982 1987 1989 1993 1994 1995 1996 1997 1998 2000 2001 2003 2004 2005 Jumlah Penurunan Konsumsi (Ton) -5.839 -7.866 -69.561 -79.481 -43.709 -147.815 -156.303 -79.736 -129.000 -66.000 -78.000 -24.000 -290.000 -324.000 -420.000 -304.000 -1.000 -1.000 -27.531 Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008. Diolah. 59 Walaupun tidak setiap tahun menunjukkan peningkatan, tetapi ada pada beberapa tahun pengamatan terhadap konsumsi kedelai justru menunjukkan penurunan. Penurunan jumlah konsumsi kedelai yang paling mencolok terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 420.000 ton. Tabel 6. Perkembangan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia dari Tahun 1969-2008 (Kg per Tahun). Tahun Konsumsi per kapita Pengamatan (kg/kap/th) 1969 3.07 1970 3.82 1971 3.91 1972 3.81 1973 3.62 1974 4.12 1975 4.10 1976 4.71 1977 4.07 1978 4.80 1979 5.52 1980 5.54 1981 6.38 1982 5.74 1983 5.61 1984 6.71 1985 6.71 1986 8.87 1987 8.17 1988 9.43 1989 9.32 1990 10.22 1991 10.35 1992 12.06 1993 11.54 1994 11.20 1995 11.00 1996 9.90 1997 10.31 1998 10.40 1999 11.70 2000 8.80 2001 9.80 2002 10.12 2003 10.53 2004 11.55 2005 12.46 2006 13.41 2007 14.34 2008* 15.37 Rata-rata Perubahan kg/kap/th) 0.75 0.09 -0.10 -0.19 0.50 -0.02 0.61 -0.64 0.73 0.72 0.02 0.84 -0.64 -0.13 1.10 0 2.16 -0.70 1.26 -0.11 0.90 0.13 1.71 -0.52 -0.34 -0.20 -1.10 0.41 0.09 1.30 -2.90 1 0.32 0.41 1.02 0.91 0.95 0.93 1.03 0.32 Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008. Diolah. Perubahan (%) 19.63 2.30 -2.62 -5.25 12.14 -0.49 12.95 -15.72 15.21 13.04 0.36 13.17 -11.15 -2.32 16.39 0.00 24.35 -8.57 13.36 -1.18 8.81 1.26 14.18 -4.51 -3.04 -1.82 -11.11 3.98 0.87 11.11 -32.95 10.20 3.16 3.89 8.83 7.30 7.08 6.49 6.70 3.58 60 5.3 Impor Kedelai Indonesia Kebijakan pemerintah dalam perdagangan kedelai internasional akan sangat mempengaruhi jumlah kedelai yang diimpor. Kebijakan perdagangan internasional yang secar historis mempengaruhi jumlah impor antara lain pajak impor (Tarif impor), kuota impor (pembatasan impor), dan perubahan nilai tukar. Dengan membandingkan data antara perkembangan konsumsi dan produksi kedelai akan dapat diketahi posisi neraca konsumsi dan produksi serta jumlah impor yang dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan pada data 39 tahun terakhir (1969-2008) perkembangan jumlah impor kedelai Indonesia relatif atau cenderung terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 7. bahwa terdapat kecenderungan perubahan jumlah konsumsi yang diikuti dengan jumlah penungkatan impornya. Pada tahun 1969-1975 jumlah impor kedelai Indonesia bernilai negatif. Tanda negatif berarti pada periode tersebut Indonesia melakukan ekspor kedelai bukan impor. Tetapi sejak periode tersebut Indonesia justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu melakukan impor. Indonesia semenjak saat tersebut tidak mampu melepaskan peranan terhadap impor kedelai. Bahkan jumlah impor kedelai mengalami peningkatan. Sejak tahun 1976 sampai sekarang Indonesia belum mampu melepaskan predikat sebagai negara importir kedelai (net importir) yang melekat pada bangsa ini. Penurunan jumlah impor kedelai dapat dilakukan dengan upaya. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah dengan instrumen kebijakan terpadu yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan internasional. 61 Tabel 7. Neraca Perubahan Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesi Tahun 1969-2008. Tahun 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008* Produksi Jumlah Perubahan (Ton) (%) 388.898 497.883 28.0 515.644 3.6 518.229 0.5 541.040 4.4 589.239 8.9 589.831 0.1 521.777 -11.5 522.821 0.2 616.539 17.9 679.825 10.3 652.762 -4.0 703.811 7.8 521.394 -25.9 536.103 2.8 769.384 43.5 869.718 13.0 1.226.737 41.0 1.160.963 -5.4 1.270.418 9.4 1.315.113 3.5 1.487.207 13.1 1.554.694 4.5 1.868.342 20.2 1.707.126 -8.6 1.564.179 -8.4 1.679.092 7.3 1.515.937 -9.7 1.356.108 -10.5 1.305.640 -3.7 1.382.848 5.9 1.017.634 -26.4 826.932 -18.7 673.056 -18.6 671.600 -0.2 723.483 7.7 808.353 11.7 747.611 -7.5 664.438 -11.1 723.535 8.9 Konsumsi Jumlah Perubahan (Ton) (%) 192.119 429.520 123.6 423.681 -1.4 447.573 5.6 439.707 -1.8 506.122 15.1 512.691 1.3 600.149 17.1 530.588 -11.6 646.105 21.8 734.458 13.7 654.977 -10.8 1.075.360 64.2 934.590 -13.1 764.780 -18.2 1.194.680 56.2 1.224.010 2.5 1.667.840 36.3 1.513.470 -9.3 1.794.680 18.6 1.774.360 -1.1 2.167.430 22.2 2.362.070 9.0 2.692.070 14.0 2.567.530 -4.6 2.489.860 -3.0 2.443.360 -1.9 2.287.660 -6.4 2.118.710 -7.4 1.860.740 -12.2 2.684.000 44.2 2.294.000 -14.5 1.960.000 -14.6 2.017.000 2.9 2.016.000 0.0 2.215.000 9.9 2.022.517 -8.7 2.122.561 4.9 2.325.998 9.6 2.395.923 3.0 Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan 2008, Diolah. Keterangan: (*) ARAM II 2008. Impor Jumlah Perubahan (Ton) (%) -1.000 -4.000 300.0 0 -100.0 -3.000 100.0 -36.000 1100.0 -4.000 -88.9 17.802 -545.1 171.746 864.8 89.101 -48.1 130.499 46.5 176.620 35.3 100.878 -42.9 361.000 257.9 361.000 0.0 221.520 -38.6 401.678 81.3 301.952 -24.8 359.041 18.9 286.702 -20.1 465.837 62.5 384.700 -17.4 526.325 36.8 631.038 19.9 690.287 9.4 722.472 4.7 800.153 10.8 606.993 -24.1 745.819 22.9 616.109 -17.4 344.050 -44.2 1.301.152 278.2 1.276.366 -1.9 1.133.068 -11.2 1.343.944 18.6 1.344.400 0.0 1.291.517 -3.9 1.086.177 -15.9 1.078.420 -0.7 1.199.839 11.3 1.672.388 39.4 62 5.4 Kebijakan Kedelai Nasional Dewasa ini terjadi gejolak harga terhadap komoditas kedelai. Gejolak harga tersebut terjadi bukan hanya pada negara Indonesia, tetapi terjadi pada hampir semua negara di belahan dunia ini. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat (USA) selaku produsen kedelai terbesar di dunia mengurangi supply (penawaran) kedelainya ke pasaran dunia, sehingga terjadi kelangkaan dan pada akhirnya menaikan harga kedelai dunia. Amerika Serikat mengurangi supply (penawaran) kedelainya karena lahan untuk pertanian kedelai dikonversi menjadi lahan pertanian jagung. Jagung menjadi komoditas yang sangat mahal dikarenakan komoditi ini dijadikan sebagai bahan baku untuk BioDiesel (Bio-Fuel). Oleh karena sebab tersebut hampir semua para petani di USA beralih untuk menanam jagung dengan alasan lebih menguntungkan (profit oriented). Dampak dari masalah dalam negeri USA tersebut, Indonesia selaku negara net importir kedelai terbesar menerima dampaknya. Misalnya terjadi kenaikan harga kedelai dalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen pada akhir 2007. Kenaikan harga kedelai domestik disebakkan oleh naiknya harga kedelai impor dari USA dan diperburuk lagi dengan adanya tarif impor sebesar 10 persen yang ditetapkan pemerintah. Dengan keadaan tersebut sangatlah wajar jika harga kedelai dalam negeri menjadi semakin mahal. Melihat kebelakang sejarah kebijakan kedelai yang pernah terjadi di Indonesia. Sebenarnya berbagai kebijakan tentang perkedelaian pernah dilakukan oleh pemerintah. Segala macam kebijakan tersebut dilakukan untuk upaya dapat meningkatkan kwalitas perkedelaian di Indonesia yaitu untuk peningkatan 63 produksi, perbaikan tataniaga, perbaikan harga produsen dan yang pasti mengurangi jumlah impor. Pada tahun 1980 dan 1990 pemerintah menetapkan kebijakan tentang sarana dan prasaran produksi, yaitu menetapkan harga dasar pupuk urea Rp 70 per kilogram menjadi Rp 165 per kilogram pada tahun 1990. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tataniaga kedelai adalah Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 406/MPP/Kep/11/1997, yang berlaku mulai 1 Januari 1998. Kebijakan tersebut menerangkan bahwa impor kedelai yang semula hanya dilakukan oleh Bulog diubah menjadi boleh dilakukan oleh importir umum. Kebijakan tersebut memberikan dampak memacu peningkatan impor kedelai dari USA, China, Argentina dan Brazil dalam jumlah besar. Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pasokan kedelai di dalam negeri dan kestabilan harga domestik. Dampak yang lebih buruk adalah akan mempengaruhi motivasi petani produsen secara negatif untuk menanam kedelai. Pada akhirnya dampak kebijakan tersebut menurunkan produksi kedelai nasional. Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 444/KMK.01/1998 tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor beberapa produk tertentu. Terhitung 29 September 1998, tarif bea masuk kedelai impor yang semula lima persen dihilangkan menjadi 0 (nol) persen. Kebijakan tersebut justru memperburuk kondisi petani kedelai dalam negeri. Berdasarkan teori perdagangan Salvatore, kebijakan tersebut akan menyebabkan turunnya harga kedelai pada tingkat petani. Sebaliknya, kebijakan tersebut menguntungkan 64 industri pengolahan kedelai, karena dapat menikmati murahnya harga kedelai impor dengan kualitas dan pasokan yang lebih menjamin kontinuitas produknya. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 tentang perubahan lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang ketentuan umum dibidang ekspor, terhitung mulai tanggal 22 April 1998 komoditas kedelai adalah akan bebas diekspor. Pada awalnya, berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 503 dan 504/Kp/XII/1982, Keppres Nomor 103, Keppres Nomor 50 tahun 1995 dan Keputusan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 juli 1997 adalah untuk tujuan pengendalian stok, harga dan mutu, maka impor kedelai. Semua tugas tersebut hanya dapat dilakukan oleh Bulog. Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 406/MPP/Kep/II/1997 tentang perubahan lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 dan keluarnya Keppres Nomor 19 tahun 1998, maka komoditas kedelai dibebaskan dari tataniaga impor, bukan hanya dapat dilakukan oleh Bulog saja, tetapi melainkan dapat dilakukan oleh importir umum. Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) Nomor 444/KMK.01/1998 tanggal 29 September 1998, tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk beberapa produk tertentu. Kepmenkeu tersebut membahas atau menerangkan bahwa tarif bea masuk kedelai impor dihilangkan menjadi 0 (nol) persen. Ketentuan ini berlaku bagi barang impor yang dokumen PIB-nya telah mendapat nomor pendaftaran dari kantor 65 pelayanan Ditjen Bea dan Cukai. Sejak tanggal diberlakukannnya keputusan menkeu tersebut kedelai impor semakin meningkat jumlahnya. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.01/2003 tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk beberapa produk tertentu maka diputuskan bahwa tariff bea masuk kedelai impor menjadi 15 persen. Dan diperbaharui lagi menjadi 10 persen pada tahun 2006 serta yang terakhir yaitu tahun 2008 tarif bea masuk impor kedelai dirubah menjadi 0 (nol) persen kembali. Untuk kali ini bukan hanya melalui satu keputusan menteri saja melainkan juga dengan dikeluarkannya Keppres dari presiden. Hal tersebut dilakukan karena terjadi sangat tingginya perubahan harga kedelai didalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen. Keputusan menteri keuangan nomor 557 tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan stok kedelai di dalam negeri, peningkatan konsumsi dan semakin tingginya harga dalam negeri.. .Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan (peningkatan) kedelai nasional, juga terus dilakukan. Salah satunya melalui Program Kedelai Mandiri tahun 2000 (Prokema 2000). Program tersebut bertitik tolak (berdasarkan) dari adanya Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan Pengendali Bimas. Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan Pengendali Bimas tersebut Nomor 102/SK/Mentan/Bimas/IV/1998 tanggal 15 April 1998, yaitu mengenai pembentukan kelompok kerja peningkatan produksi kedelai. Peraturan tersebut tentang pembuatan rencana pengembangan kedelai lokal dan impor dengan menggunakan sarana produksi pertanian sampai dengan tahun 2003. Untuk lebih jelasnya dapat diilustrasikan melalui Tabel 8 berikut. 66 Tabel 8. Program Prokema 2000: Sasaran Produksi dan Peranan Impor Indonesia Tahun 1998-2003. No Keterangan 1999 2000* 2001* 2002* 2003* 1 Produksi 1.306 1.383 2.252 2.475 2.578 2.705 2 Konsumsi 1.649 2.684 2.240 2.275 2.308 2.345 3 Surplus -343 -1.301 12 200 270 360 4 Kebutuhan Impor 343 1.301 - - - 5 Peranan Impor tda tda tda 1998 ada Ada tda Sumber: Deptan. Diolah dari Prokema 2000. Keterangan: (*) Angka Proyeksi (Sasaran) Berdasarkan tabel diatas, pemerintah mentargetkan pada tahun 2001 Indonesia sudah bisa bebas dari peranan impor kedelai. Diharapkan juga pada tahun 2001 Indonesia sudah bisa memproduksi kedelai sebanyak 2.578 ribu ton. Surplus produksi kedelai pun ditargetkan pada tahun 2003 sudah bisa mencapai 360 ribu ton. Target terakhir dari adanya program tersebut Indonesia bisa berswasembada kedelai sendiri. Tabel 9. Hasil Perbandingan Program Prokema Dengan Kondisi Riil (yang Sebenarnya Terjadi) pada Tahun 1998-2003 No 1 2 3 4 5 6 7 Keterangan Realisasi produksi Selisih dengan kondisi riil Realisasi konsumsi Selisih dengan kondisi riil Surplus Kebutuhan impor riil Peranan impor riil Sumber: Diolah Dari Tabel 8. 1998 1.306 0 1.649 0 1999 1.383 0 2.684 0 2000 1.018 1.234 2.264 24 -343 343 ada -1.301 1.301 ada -1.246 1.246 ada 2001 2002 2003 827 673 672 1.648 1.905 2.033 1.960 2.017 2.016 -315 -291 -329 1.133 -1.344 -1.344 1.133 1.344 1.344 ada ada ada 67 Dari Tabel 8 dapat terlihat bahwa sasaran dari Program Prokema ialah menghilangkan peranan impor dan meningkatkan produksi, sehingga tercapai surplus produksi kedelai. Dari sasaran tersebut diharapkan Indonesia bisa mewujudkan swasembada kedelai pada tahun 2001. Program tersebut ternyata belum mampu mencapai sasaran atau target pemerintah. Pada kondisi riil (sebenarnya) rencana tersebut ternyata jauh meleset dari yang telah diprogramkan. Justru yang terjadi adalah semakin meningkatnya kebutuhan impor dari tahun ke tahun. Menyikapi kegagalan program tersebut, pemerintah melalui Departemen Pertanian membuat kebijakan baru pada awal tahun 2008 yaitu Program Bangkit Kedelai Nasional dengan Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2008. Sasaran dari program tersebut adalah meningkatkan produksi nasional mencapai 1,2 juta ton. Uraian dari program tersebut adalah luas tanam mencapai satu juta hektar dengan perkiraan luas panen mencapai 760 ribu hektar dan rata-rata produktivitas 1,54 ton per hektar. Strategi dari program percepatan produksi kedelai tahun 2008 yaitu (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan areal tanam, (3) pengamanan produksi, dan (4) penguatan kelembagaan dan dukungan pembiayaan. Langkah-langkah operasional program percepatan produksi kedelai pada tahun 2008 adalah yang pertama, peningkatan produktivitas untuk luas tanam 500 ribu hektar yang terbagi; (1) melalui bantuan benih untuk luas tanam 210.000 hektar, (2) optimalisasi pembinaan untuk luas tanam 290.000 hektar. Kedua, perluasan areal tanam untuk areal tanam baru seluas 500 ribu hektar yang terinci sebagai berikut; (1) sekolah lapang pengolahan tanaman terpadu (SL_PTT) di 68 daerah yang belum pernah tanam kedelai sebanyak 200 ribu hektar, (2) upaya khusus peningkatan produksi kedelai sebanyak 200 ribu hektar dan (3) pola kemitraan dengan Bulog, INKOPTI, Swasta, BUMN (CSR) dan Perbankan sebanyak 100 ribu hektar. Pada skala internasional kebijakan perdagangan tentang pertanian umumnya, termuat dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang persetujuan World Trade Organization (WTO). Indonesia sebagai salah satu negara anggota diwajibkan memenuhi senua aturan WTO sesuai komitmen yang tercantum dalam skedul XXI tahun 1994. Komitmen tersebut diantaranya Indonesia wajib mengganti kebijakan tataniaga impor hasil pertaniannya menjadi kebijakan tarif setara. Tarif baru tersebut dapat lebih tinggi dari batas maksimum 40 persen. Tarif tersebut berdasarkan rumus yang telah disepakati dalam Putaran Uruguay dan berlaku sejak 1 januari 1995. Letter of Intent (LoI) tanggal 15 januari 1998 dalam kesepakatan dengan IMF (International Monetery Found). Dalam kesepakatan tersebut Indonesia diwajibkan sepenuhnya untuk mematuhi ketentuan yang lebih berat dari pada ketentuan WTO. Dalam hal ini yang paling berdampak negatif bagi petani kedelai local adalah penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog dan penurunan tarif bea masuk menjadi setinggi-tingginya 5.0 persen. Tentu saja hal ini semakin membuat petani kedelai kita terpukul dan tidak bias bersaing dengan kedelai impor. Konsekuensi ketentuan tersebut adalah penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog melalui Kep.MPP.No.406/MPP/Kep/II/97 efektif berlaku tanggal 1 Januari 1998 serta penurunan bea masuk oleh Kepmenkeu No. 69 444/KMK.01/1998 tanggal 29 September 1998, dimana impor HS.1201.00.100 bea masuknya (tarif impor) menjadi 0 (nol) persen. Arah kebijakan impor sebelum reformasi sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa, Indonesia telah terikat meratifiksi dan menandatangni bersama dengan WTO dan IMF. Dimana sistem monopoli dan aturan bea masuk (tarif impor) barang impor sudah ditentukan frame worknya secara global. Hal ini tentunya tidak bisa secara sepihak Indonesia menetapkan aturan baik dalam bentuk tariff barriers maupun non tariff barriers. Selanjutnya Indonesia hanya dapat menuruti peraturan tersebut, walaupun disisi lain keadaan ini sudah sangat merugikan pertanian kita umumnya dan kedelai khususnya. Adapun sikap dan posisi Indonesia terhadap kebijakan perdagangan internasional dapat digolongkan berdasarkan tiga hal. Pertama, Food Security (Ketahanan Pangan), Indonesia berpendirian bahwa ketahanan pangan tidak semata-mata dipenihi melalui leberalisasi perdagangan. Kedua, Market Acces, Tariff Peaks dan Eskalasi, Indonesia mendukung upaya-upaya perluasan akses pasar bagi produk pertanian. Indonesia menginginkan agar produk tropis tidak dikenai tarif eskalasi. Indonesia menginginkan adanya pengurangan tarif bagi produk pertanian dari negara berkembang dan penghapusan tarif (Tarif Peaks, tarif eskalasi). Indonesia juga mengusulkan penghapusan hambatan non tarif pada negara maju. Ketiga, Special Safeguard (SSG), yaitu Indonesia mengusulkan dan menghendaki SSG untuk produk pertanian yang dihasilkan Negara maju dihapuskan, namun SSG bagi produk pertanian yang dihasilkan negara berkembang tetap diberikan. Keempat, Domestic Subsidy, karena adanya aspek 70 negative dari domestik subsidi yang diberikan negara maju kepada petaninya sehingga diusulkan dihapuskan. Dalam era globalisasi permasalahan tarif impor memang menjadi penghambat. Menghilangkan tarif impor untuk saat ini memang masih sulit dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Kondisi tersebut akan berlangsung atau dilaksakan sampai keadaan perkedelaian nasional yang dinilai oleh pemeritah relatif lebih stabil atau desakan dari internasional yang tidak bisa dihindari. BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dikemukakan dampak penghapusan tarif impor terutama terhadap perubahan harga kedelai dari sisi produsen dan konsumen pada tingkat domestik. Keragaan komoditas kedelai yang diamati pada periode tahun 1969-2008. 6.1 Hasil Validasi Model Persamaan Simultan Validasi model persamaan simultan komoditas kedelai di Indonesia dalam penelitian ini menggunakan beberapa indikator statistik diantaranya yaitu Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE), R2, Casewise Diagnostic, Uji Signifikansi, dan U’Theil. RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing variabel endogen hasil pendugaan mengikuti nilai aktualnya selama periode pengamatan atau seberapa jauh penyimpangan dalam ukuran persen. Selanjutnya untuk melihat keeratan arah (slope) antara nilai aktual dengan hasil simulasi, digunakan nilai koefesien determinasi (R2). Pengujuan validasi model persamaan simultan dapat di lihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Hasil Validasi Model Persamaan Simultan. Model R R2 R2 (adj) df P_value F-hit Std error of estimate 1 0,978a 0,956 0,952 3 0,000a 257,826 0,30057 2 0,953a 0,908 0.901 3 0,000a 118,976 0,14371 3 0,992a 0,984 0,982 3 0,000a 723,580 0,14970 4 0,995a 0,990 0,989 4 0.000a 846,980 0,04673 72 Berdasarkan hasil output regresi terhadap empat persamaan simultan tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Persamaan simultan untuk mengestimasi harga kedelai paritas impor pada tingkat grosir di Indonesia. Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode “Ordinary Least Square (OLS)” memberikan autput regresi sebagai berikut: Ln PMG = -0,107 + 0,944 ln ER + 0,463 ln PWD + 0,237 Dummy Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi determinasi ( R-Sq) sebesar 95,6 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi (R-Sq adj) sebesar 95,2 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 95,6 persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 3 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti model sudah bisa di anggap fit (baik). Tabel 11. Hasil Regresi Persamaan Harga Paritas Impor pada Tingkat Grosir Variabel Koefesien Standar Eror Koef t-value p-value Konstanta -0.107 0.638 -0.167 0.868 Ln ER 0.944 0.062 15.135 0.000 0.816 Ln PWD 0.463 0.75 6.201 0.000 0.279 Dummy 0.237 0.167 1.424 0.163 0.063 S= 73.129 R-Sq= 95.6% Keterangan : nyata pada taraf 5 % VIF (beta) R-Sq (adj)= 95.2% 73 Berdasarkan Tabel 11 dapat di intepretasikan antara lain, konstanta -0,107 ; artinya jika ln ER, PWD dan dummy nilainya 0, maka harga kedelai paritas impor (lnPMG ) nilainya negatif yaitu sebesar -0,107. Koefesien regresi variabel Ln ER sebesar 0,944 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan Ln PMG mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,994 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara PWD dengan harga kedelai paritas impor, semakin naik PWD maka harga kedelai paritas impor akan semakin meningkat. . Koefisien regresi variabel PWD sebesar 0,463; artinya jika variabel independen lainnya tetap dan ln PMG mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,463 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara PWD dengan harga kedelai paritas impor, semakin naik PWD maka harga kedelai paritas impor akan semakin meningkat. Koefesien regresi variabel dummy sebesar 0,237 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan jika kebijakan tarif impor dipertahankan maka harga kedelai paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,234 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara dummy dengan harga kedelai paritas impor, apabila kebijakan tarif impor dipertahankan maka harga kedelai paritas impor naik. Berdasarkan hasil regresi diatas diperoleh angka R sebesar 0,995. Hal ini menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara ln ER, ln PWD dan Dummy terhadap harga kedelai paritas impor pada tingkat pedagang grosir. Angka R2 (R square) sebesar 0,956 atau 95,6 persen menunjukan persentase 74 sumbangan pengaruh variabel independen (lnER, lnPWD dan dummy) terhadap variabel dependen (lnPMG/ harga paritas impor tingkat grosir) sebesar 95,6 persen. Atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model satu mampu menjelaskan sebesar 95,6 persen variasi variabel dependen (lnPMG). Sedangkan sisanya sebesar 4,4 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan,nilai ini selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Standard error of estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam memprediksi nilai ln PMG. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,30057 atau Rp 0,30057 per kg. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi harga paritas impor kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar Rp 0,30057 per kg. Nilai F hitung sebesar 257,826 dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedom yang ditampilkan yaitu dF1=3 dan dF2=36. Oleh karena itu F hitung > F tabel, yaitu 257,826 > 2,866, maka tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan antara lnER, lnPWD dan dummy (ada tidaknya kebijakan) secara bersama-sama terhadap lnPMG. 2) Persamaan untuk mengestimasi konsumsi kedelai per kapita per tahun untuk mencari nilai koefesien regresi terhadap harga grosir sebagai nilai elastisitas permintaan harga kedelai terhadap barang sendiri adalah: Ln QDCt = - 0,777 – 0,045 ln PWS1 + 0,244 ln YCt +0,229 Dummy 75 Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi determinasi ( R-Sq) sebesar 90,8 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi (R-Sq adj) sebesar 90,1 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 90,8 persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 3 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti model sudah bisa di anggap fit (baik). Tabel 12. Hasil Regresi Persamaan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia Variabel Koefesien Standar Eror Koef t-value p-value Konstanta -0.777 0.260 -2.991 0.005 LnPWS -0.045 0.139 -0.324 0.748 -0.135 LnYCt 0.244 0.089 2.729 0.010 1.164 Dummy 0.229 0.077 2.964 0.005 0.181 S= 8.115 R-Sq= 90.8% VIF (beta) R-Sq (adj)= 90.1% Keterangan: nyata pada taraf 5 % Hasil regresi tersebut dapat dijelaskan antara lain, konstanta -0,777 ; artinya jika dummy, lnPWS1 dan lnYCt nilainya 0, maka konsumsi kedelai per kapita per tahun (lnQDCt) nilainya negatif yaitu sebesar -0,777. Koefesien regresi variabel lnPWS1 sebesar -0,045 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnPWS1 mengalami kenaikan 1%, maka konsumsi kedelai per kapita per tahun akan mengalami penurunan sebesar Rp 0,045 per kg. Koefisien bernilai negatif artinya 76 terjadi hubungan negatif antara lnPWS1 dengan lnQDCt, semakin naik lnPWS1 maka konsumsi kedelai per kapita per tahun akan semakin menurun. . Koefisien regresi variabel lnYCt sebesar 0,244; artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnYCt mengalami kenaikan 1%, maka konsumsi kedelai per kapita per tahun akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,244 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara lnYCt dengan konsumsi kedelai per kapita per tahun, semakin naik PWD maka konsumsi kedelai per kapita per tahun akan semakin meningkat. Koefesien regresi variabel dummy sebesar 0,229 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan kebijakan impor dipertahankan, maka harga kedelai paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,229 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara dummy dengan konsumsi kedelai per kapita per tahun, apabila kebijakan tarif impor dipertahankan maka konsumsi kedelai per kapita per tahun akan naik. Berdasarkan hasil regresi diperoleh angka R sebesar 0,953. Hal ini menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara ln PWS1, lnYCt dan dummy terhadap jumlah permintaan kedelai per kapita per tahun di Indonesia. Hasil regresi yang lainnya adalah angka R2 (R square) sebesar 0,908 atau 90,8 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (lnPWS1, lnYCt dan dummy) terhadap variabel dependen (lnQDCt/ jumlah permintaan kedelai per kapita per tahun) sebesar 90,8 persen. Atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model satu mampu menjelaskan sebesar 90,8 persen variasi variabel dependen (lnQDCt). Sedangkan sisanya sebesar 77 9,2 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. Adjusted R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Nilai dari Adjusted R square 90,1 persen. Standard error of estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam memprediksi nilai lnQDCt. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,14371 atau Rp 0,14371 per kg per tahun. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi harga paritas impor kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar Rp 0,14371 per kg per tahun. F hitung sebesar 118,976 dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedom yang ditampilkan yaitu df1=3 dan df2=36. Oleh karena itu F hitung > F tabel, yaitu 118,976 > 2,866, maka tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan antara lnPWS1, lnYCt dan dummy secara bersama-sama terhadap lnQDCt. 3) Persamaan untuk mengestimasi harga kedelai pada tingkat produsen (petani) untuk mencari nilai koefesien regresi terhadap harga grosir sebagai nilai elastisitas trasmisi harga adalah: Ln PFt = 1,508 + 0,895 ln PWSt – 0,043 ln Im – 0,250 Dummy Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi determinasi ( R-Sq) sebesar 98,4 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi (R-Sq adj) sebesar 98,2 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 98,4 persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen 78 dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti model sudah bisa di anggap fit (baik). Tabel 13. Hasil Regresi Persamaan Harga Kedelai pada Tingkat Produsen di Indonesia VIF Variabel Koefesien Standar Eror Koef t-value p-value Konstanta 1.508 0.182 8.282 0.000 LnPWSt 0.895 0.031 28.904 0.000 1.088 LnIM -0.043 0.008 5.260 0.000 -0.183 Dummy -0.250 0.076 -3.309 0.002 -0.080 S= 49.454 R-Sq= 98.4% (beta) R-Sq (adj)= 98.2% Keterangan: nyata pada taraf 5 % Persamaan regresi tersebut dapat dijelaskan antara lain, konstanta 1,508 ; artinya jika dummy, lnIM dan lnPWSt nilainya 0, maka harga kedelai pada tingkat produsen (petani) (lnPFt) nilainya sebesar Rp 1,508 per kg. Koefesien regresi variabel ln PWSt sebesar 0,895 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnPWSt mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai pada tingkat produsen (petani) akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,895 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan yang positif antara lnPWSt dengan lnPFt, semakin naik lnPWS1 maka harga kedelai pada tingkat produsen (petani) akan semakin naik. Koefisien regresi variabel lnIM sebesar -0.043; artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnIM mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai pada tingkat produsen (petani) akan mengalami penurunan sebesar Rp 0.043 per 79 kg. Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara lnIM dengan harga kedelai pada tingkat produsen (petani) akan semakin menurun. Koefesien regresi variabel dummy sebesar -0.250 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan kebijakan impor dipertahankan, maka harga kedelai paritas impor akan mengalami penurunan sebesar Rp 0.250 per kg. Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara dummy dengan harga kedelai pada tingkat produsen (petani), apabila kebijakan tarif impor dipertahankan maka harga kedelai paritas impor akan turun. Berdasarkan tabel di atas diperoleh angka R sebesar 0,992. Hal ini menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara lnPFt, lnPWSt dan dummy terhadap harga kedelai pada tingkat produsen (petani). Hasil regresi yang lainnya adalah angka R2 (R square) sebesar 0,984 atau 98,4 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (lnPWSt, lnIM dan dummy) terhadap variabel dependen (lnPFt/ harga kedelai pada tingkat produsen (petani)) sebesar 98,4 persen. Atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model satu mampu menjelaskan sebesar 98,4 persen variasi variabel dependen (lnPFt,). Sedangkan sisanya sebesar 1,6 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. Adjusted R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Nilai dari Adjusted R square 98,2 persen. Standard error of estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam memprediksi nilai lnPFt. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,14970 atau Rp 0,14970 80 per kg. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi harga paritas impor kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar Rp 0,14970 per kg. Nilai F hitung sebesar 723,580dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedomi (df) yang ditampilkan yaitu df1=3 dan df2=36. Oleh karena itu F hitung > F tabel, yaitu 118,976 > 2,866, maka tolak Ho dan terima H1. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan antara lnPWSt, lnIM dan dummy secara bersama-sama terhadap lnPFT. 4) Persamaan untuk mengestimasi jumlah produksi (penawaran) kedelai nasional untuk mencari nilai koefesien regresi terhadap harga produsen sebagai nilai elastisitas penawaran terhadap harga sendiri adalah: Ln QSt = -3.116 + 1.146 ln LP + 0.170 ln PFt + 0.003 ln Im + -0.005 Dummy Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi determinasi ( R-Sq) sebesar 99 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi (R-Sq adj) sebesar 98,9 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 98,4 persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti model sudah bisa di anggap fit (baik). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14. 81 Tabel 14. Hasil Regresi Persamaan Jumlah Produksi (Penawaran) Kedelai di Indonesia VIF Variabel Koefesien Standar Eror Koef t-value p-value Konstanta -3.116 0.338 -9.211 0.000 LnPFt 0.170 0.011 15.541 0.000 0.413 LpLP 1.146 0.024 46.870 0.000 0.879 LnIM 0.003 0.002 1.157 0.255 0.030 Dummy -0.005 0.026 -0.200 0.843 -0.004 S= 7.473 R-Sq= 99.0% (beta) R-Sq (adj)= 98.9% Keterangan: nyata pada taraf 5% Berdasarkan Tabel 14 hasil regresi tersebut dapat dijelaskan antara lain, konstanta -3.116; artinya jika Dummy, lnIM, lnLp dan lnPFt nilainya 0, maka jumlah produksi (penawaran) kedelai (lnQSt) nilainya sebesar -3.116. Koefesien regresi variabel lnPFt sebesar 0,170 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnPFt mengalami kenaikan 1%, maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan mengalami kenaikan sebesar 0,170 ton. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan yang positif antara lnPFt dengan lnQSt, semakin naik ln PFt maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan semakin naik. Koefisien regresi variabel lnLP sebesar 1.146; artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnLP mengalami kenaikan 1%, maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan mengalami kenaikan sebesar 1.146 ton. 82 Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara lnLP dengan jumlah produksi (penawaran) kedelai akan semakin naik. Koefisien regresi variabel lnIM sebesar 0.003; artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnIM mengalami kenaikan 1%, maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan mengalami kenaikan sebesar 0.003 ton. Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara lnIM dengan jumlah produksi (penawaran) kedelai akan semakin naik. Koefesien regresi variabel Dummy sebesar -0.005, artinya jika variabel independen lainnya tetap dan kebijakan impor dipertahankan, maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan mengalami penurunan sebesar 0,005 ton. Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara dummy dengan jumlah produksi (penawaran) kedelai, apabila kebijakan tarif impor dipertahankan maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan turun. Berdasarkan hasil regresi pada persamaan empat diperoleh angka R sebesar 0,995. Angka tersebut menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara lnLp, lnIM, lnPFT dan dummy terhadap jumlah penawaran/produksi kedelai di Indonesia. Hasil regresi yang lainnya adalah angka R2 (R square) sebesar 0,990 atau 99,0 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (lnLp, lnIM, lnPFT dan dummy) terhadap variabel dependen (lnQSt/ jumlah penawaran/produksi kedelai di Indonesia) sebesar 99,0 persen. Atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model satu mampu menjelaskan sebesar 99,0 persen variasi variabel dependen (lnQSt,). Sedangkan sisanya sebesar 1,0 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. 83 Adjusted R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Nilai dari Adjusted R square 98,9 persen. Standard error of estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam memprediksi nilai lnQSt. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,04673 atau 0,04673 ton. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi harga paritas impor kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar 0,04673 ton. Nilai F hitung sebesar 846,980 dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedom yang ditampilkan yaitu df1=3 dan df2=36. Oleh karena F hitung > F tabel, yaitu 846,980 > 2,634, maka tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara lnLp, lnIM, lnPFT dan dummy secara bersama-sama terhadap lnQSt. Berdasarkan hasil perhitungan regresi simultan diatas maka dapat disimpulkan bahwa semua model persamaan simultan tersebut valid untuk dapat mengestimasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia. 6.2 Dekomposisi Tarif Harga dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perubahan harga kedelai impor, kurs rupiah dan kebijakan tarif. Kenaikan harga dalam negeri sebagai akibat kebijakan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor kedelai di tingkat grosir (PMG) dan harga kedelai aktual ditingkat grosir awal (PWS1). Hasil analisis menunjukan bahwa PMG adalah Rp 6.432,77 per kg, sedangkan PWS1 adalah Rp 7.655,00 per kg. Selisih kedua harga ini adalah Rp 2.413,70 per kg 84 untuk D1 dan Rp 2.176,70 per kg untuk D0 yaitu kenaikan harga kedelai sebagai dampak dari kedua kebijakan protektif tersebut. 6.3 Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Hasil analisis dampak kebijakan perdagangan (impor) dengan tarif pada dua skenario D0 dan D1 sebagaimana diperlihatkan pada hasil analisis simulasi menunjukan bahwa dampak positif terjadi pada skenario D0 dan negatif pada skenario D1, baik terhadap harga grosir, harga produsen, permintaan, penawaran, impor maupun kesejahtaraan. 6.3.1 Dampak terhadap Konsumen Harga Grosir, Permintaan dan Surplus Pada skenario D0 (penghapusan tarif impor) hasil simulasi menunjukan penurunan terhadap harga grosir sebesar 25,28 persen, atau berubah dari nilai sebelumnya sebesar 18,20 persen dan surplus konsumen turun sebesar 51,52 persen atau turun sebesar Rp 2,7 milyar. Dampak terhadap permintaan menunjukan nilai perubahan yang positif yaitu 69,74 persen atau terjadi peningkatan jumlah permintaan kedelai sebesar 2.346,82 ton. Peningkatan jumlah permintaan kedelai di tingkat domestik terjadi akibat penurunan harga pada tingkat grosir. Peningkatan jumlah permintaan tersebut akan tetapi tidak berdampak pada perubahan yang positif terhadap susplus konsumen. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan permintaan kedelai yang meningkat sebagai akibat penghapusan tarif impor tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan surplus konsumen yang positif pula. Pada skenario D1 (mempertahankan tarif impor) menunjukan perubahan dampak yang lebih ringan dari pada menghilangkan tarif impor. Hal ini 85 dibuktikan dari hasi analisis simulasi yaitu perubahan harga kedelai pada tingkat grosir dan surplus konsumen turun masing-masing sebesar 7,09 persen dan 3,04 persen. Begitu pun dampak terhadap perubahan permintaan yang relatif lebih ringan yaitu naik sebesar 28,21 persen. Secara jelas dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap harga grosir, permintaan dan surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga Grosir di Indonesia, Permintaan dan Surplus konsumen pada Periode Tahun 1969-2008. Skenario Simulasi Variabel Perubahan harga grosir (%) Perubahan harga grosir (Rp/kg) Harga grosir t2 (Rp/kg) Perubahan permintaan (%) Perubahan permintaan (Ton) Permintaan tahun t2 (Ton 000) Surplus konsumen (Rp Juta) Perubahan D1 (10) D0 (0) -7,09 -25,28 -18,20 -626,82 -2.176,70 -1.549,88 8.219,66 6.432,77 -1.786,88 28,21 97,95 69,74 675,81 2.346,82 1.671,01 3.071,71 4.742,72 1.671,01 -1.289.993 -2.660.994 -1.371.001,33 Perubahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan penghapusan tarif impor kedelai adalah menurunkan surplus konsumen. Secara umum dampak terhadap harga grosir, permintaan dan surplus konsumen, akan memberikan dampak yang tidak terlalu besar jika menerapakan kebijakan mempertahankan tarif impor. Alasannya jelas, karena kebijakan tersebut akan menguntungkan dari kedua pihak yaitu konsumen dan produsen. Hal ini sesuai 86 dengan hasil simulasi yang menunjukan dampak terkecil baik dari segi perubahan harga grosir, permintaan (konsumsi) dan surplus konsumen. Secara historis dapat dideskripsikan bahwa penurunan surplus konsumen kedelai disebabkan oleh penurunan harga kedelai pada tingkat domestik. Sebenarnya skenario ini sudah memenuhi harapan pemerintah yang ingin menurunkan harga kedelai pada tingkat domestik. Tujuannya untuk menstabilkan harga kedelai domestik yang akhir-akhir ini semakin mahal karena dampak meningkatnya harga kedelai dunia. Hasil simulasi tersebut menunjukan gejala yang bertentangan dengan teori permintaan dan penawaran. Berdasarkan teori permintaan dan penawaran jika terjadi penurunan tarif impor maka harga dalam negeri akan mengalami penurunan. Selanjutnya penuerunan harga tersebut akan memberikan dampak terhadap peningkatan permintaan dan akhirnya surplus konsumen pun akan bertambah. Salah satu penyebab penyimpangan tersebut diduga terjadi karena penurunan tarif yang tidak proporsional dengan kenaikan harga yang melebihi 100 persen. Secara matematis dapat diilustrasikan, harga kedelai impor semula Rp 1200 per kg naik menjadi Rp 8000 per kg, sedangkan penurunan tarif hanya 10 persen. Artinya dengan penurunan tarif 10 persen tersebut hanya dapat menurunkan harga kedelai domestik sekitar Rp 800 per kg atau menjadi Rp 7200 per kg. Dengan harga kedelai sebesar Rp 7200 per kg tidak cukup signifikan untuk menekan jumlah oportunitas pengeluaran untuk membeli kedelai. Hal tersebut tidak akan mempengaruhi terhadap peningkatan jumlah konsumsinya dan pada akhirnya jumlah surplus konsumen menjadi berkurang. 87 7.3.2 Dampak terhadap Harga Petani (Produsen), Produksi (Penawaran) dan Surplus Produsen Pada skenario D0 (penghapusan tarif impor) hasil simulasi menunjukan penurunan terhadap harga kedelai pada tingkat petani (produsen) sebesar 22,63 persen, atau berubah dari nilai sebelumnya sebesar 16,29 persen dan surplus produsen turun sebesar 70,79 persen atau turun sebesar Rp 3,6 milyar. Dampak terhadap penawaran (produksi) pun menunjukan nilai perubahan yang negatif yaitu 3,85 persen atau terjadi penurunan jumlah penawaran kedelai domestik sebesar 27.830,00 ton. Penurunan jumlah penawaran (produksi) kedelai di tingkat domestik terjadi akibat penurunan harga pada tingkat petani. Penurunan jumlah penawaran tersebut akan berdampak pada perubahan yang negatif terhadap susplus produsen. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan penawaran (produksi) kedelai yang menurun sebagai akibat penghapusan tarif impor akan berpengaruh signifikan terhadap perubahan surplus produsen yang positif pula. Oleh karena terjadi penurunan harga pada tingkat petani maka dampak selanjutnya akan menunkan minat para petani untuk menanam kedelai atau yang sudah menanamnya akan mengkonversikan lahanya untuk tanaman palawija lainnya ayng lebih menguntungkan. Pada skenario D1 (mempertahankan tarif impor) menunjukan perubahan dampak yang lebih ringan dari pada menghilangkan tarif impor. Dari sisi produsen (petani), kebijakan mempertahankan tarif impor akan sangat membantu mereka. Dengan adanya tarif harga kedelai yang mereka hasilkan akan relatif dapat bersaing dengan harga kedelai impor yang lebih murah. Hal ini dibuktikan dari hasi analisis simulasi yaitu perubahan harga kedelai pada tingkat petani dan 88 surplus produsen turun masing-masing sebesar 6,34 persen dan 29, 20 persen. Begitu pun dampak terhadap perubahan penawaran (produksi) yang relatif lebih ringan yaitu naik sebesar 1,08 persen Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap harga grosir, permintaan dan surplus konsumen, secara jelas dan ringkas dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga Petani, Penawaran (Produksi) dan Surplus Produsen pada Periode Tahun 1969-2008. Skenario Simulasi Variabel Perubahan D1 (10) D0 (0) -6.34 -22.63 -16.29 -497.62 -1.727.66 -1.230.04 Harga produsen t2 (Rp/Kg) 7.349.32 5.907.41 -1.441.91 Perubahan penawaran (%) -1.08 -3.85 -2.77 Perubahan penawaran(Ton 000) -7.80 -27.83 -20.03 Penawaran kedelai t2 (Ton 000) 715.70 358.085.9 695.67 1.225.921 -20.03 Dampak terhadap harga produsen (%) Perubahan harga produsen (Rp/Kg) Surplus produsen (Rp 000) -867.835.49 Perubahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan penghapusan tarif impor kedelai akan menurunkan surplus produsen. Secara umum dampak terhadap harga kedelai pada tingkat petani (produsen), penawaran (produksi) dan surplus produsen, akan lebih baik jika menerapakan kebijakan mempertahankan atau menerapkan kembali tarif impor. Alasannya jelas karena hal ini sesuai dengan hasil simulasi yang menunjukan dampak terkecil baik dari 89 segi perubahan harga kedelai pada tingkat petani (produsen), penawaran (produksi) dan surplus produsen. Secara historis dapat dideskripsikan bahwa penurunan surplus produsen kedelai disebabkan oleh penurunan harga kedelai pada tingkat domestik. Sebenarnya skenario ini yang sebenarnya membuat dilematis pihak pemerintah. Karena secara langsung pemerintah sendiri yang menghancurkan harapan petani kedelai untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan lebih layak. Oleh karena itu agar pemerintah tidak mengalami dilematika dalam menentukan arah kebijakan perkedelaian nasional seyogyanya mempertiambangkan kembali peniadaan tarif impor tersebut. 6.3.3 Dampak Terhadap Impor dan Penerimaan Pemerintah Berdasarkan hasil analisis pada skenario D0 (penghapusan tarif impor) hasil simulasi menunjukan peningkatan terhadap volume impor kedelai nasional yang sangat besar yaitu sebesar 142,0 persen. Hal tersebut dapat jika di nominalkan sebesar 2.374.650,0 ton, jika dibandingkan dengan posisi nilai awal volume kedelai impor sebesar 1.672.388 ton . Penerimaan pemerintah jelas tidak ada karena pemasukan pemerintah dari tarif impor telah dihilangkan. Berdasarkan hasil simulasi tersebut pemerintah telah banyak kehilangan pemasukan dari pajak impor yaitu sebesar Rp 3,6 milyar. Disamping itu pemerintah mengalami kerugian berupa defisit perdagangan akibat nilai dan volume impor kedelai semakin meningkat. Pada skenario D1 (mempertahankan tarif impor) hasil simulasi menunjukan peningkatan terhadap volume impor kedelai nasional juga tetapi relatif tidak besar dan ringan (wajar) yaitu sebesar 40 persen. Hal tersebut dapat 90 jika di nominalkan sebesar 683.610,0 ton, jika dibandingkan dengan posisi nilai awal volume kedelai impor sebesar 1.672.388 ton . Dampak kebijakan penghapusan tarif impoir kedelai terhadap perubahan volume impor dan penerimaan pajak pemerintah dari tarif impor, secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Terhadap Volume Impor dan Penerimaan Pemerintah pada Periode Tahun 1969-2008. Skenario Simulasi Variabel Perubahan D1 (10) D0 (0) 1.672.,4 1.672.4 0 40,87 1,42 101,13 683,61 2.374,65 1.691,04 Volume impor t2 (Ton 000) 2.356,01 4.047,05 1.691,04 Penerimaan pemerintah (Rp juta) 1732,34 -3640,32 -3813,55 Volume impor t1 (Ton 000) Perubahan volume impor (%) Perubahan volume impor (Ton 000) Meniadakan tarif impor kedelai dikhawatirkan akan sangat membahayakan pertanian kedelai di Indonesia. Alasan pernyataan ini, didasarkan pada hasil simulasi yang menunjukan jumlah volume impor kedelai yang semakin meningkat, apabila tarif impor semakin dikurangi bahkan sampai ditiadakan. Pada hasil simulasi skenario D0 yang menunjukan peningkatan terhadap jumlah volume impor kedelai akan sangat menguntungkan bagi petani kedelai lokal, karena hasil produksinya dapat diserap oleh pasar. Sebaliknya pada skenario ini, akan sedikit banyak merugikan bagi para pedagang besar dan importer. Hal tersebut beralasan 91 karena para pedagang besar dan importer harus banyak mengeluarkan jumlah uang untuk mendapatkan kedelai impor yang harganya semakin mahal. Disamping pemerintah akan banyak kehilangan pemasukan dari pajak impor. Dengan semakin banyak impor kedelai yang masuk kedalam negeri maka akan semakin banyak uang kita yang dibelanjakan keluar negeri, sehingga akan terintegrasi pada berkurangnya neraca perdagangan luar negeri. Seyogyanya pemerintah mempertahankan kebijakan tarif impor, karena walupun menunjukan hasil yang negatif tetapi hasil tersebut masih dianggap wajar dengan nilai penurunnan tersebut. Dengan memepertahan kebijakan tarif impor pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak impor sebesar Rp 1,7 milyar dan yang lebih pasti pemerintah akan mengurangi defisit perdangan. Dengan memperthankan tarif impor sebenarnya pemerintah sudah bisa menurunkan harga kedelai domestik sebesar 6-7 persen dengan asumsi pemerintah menerapkan tarif impor sebesar lima persen. 6.3.4 Dampak Terhadap Surplus Ekonomi Netto Hasil analisis simulasi pada kedua kebijakan tersebut menunjukan bahwa surplus ekonomi netto akan sama-sama menurun. Pada kebijakan peniadaan tarif impor, dampak negatif akan dirasakan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mempertahankan kebijakan adanya tarif impor. Dengan tiadanya tarif impor maka surplus produsen dan penerimaan pemerintah akan hilang, sehingga pada akhirnya secara keseluruhan atau netto akan mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari hasi perhitungan simulasi yang negatif yaitu Rp 1,4 milyar untuk skenario D1 dan 7,5 milyar untuk skenario D0 (penghapusan tarif impor). 92 Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap total kesejahteraan (Surplus Netto), dapat di lihat pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Perubahan Total Kesejahteraan (Surplus Netto) pada Periode Tahun 1969-2008 Skenario Simulasi Variabel Surplus konsumen (Rp Juta) Surplus produsen (Rp Juta) Penerimaan pemerintah (RpJuta) Surplus netto (Rp Juta) Perubahan D1 (10) D0 (0) -1.289,9 -2.660,9 -1.371,0 -358,1 -1.225,9 -867,8 173,2 -3.640,3 -3.813,5 -1.474,8 -7.527,2 -6.052,4 Terlihat bahwa sistem perdagangan yang semakin liberal (bebas) seperti yang diharapkan pada kesepakatan WTO memberikan surplus ekonomi nasional semakin besar. Sistim perdagangan yang liberal ( tarif impor 0 persen) dengan memberikan surplus ekonomi netto yang besar, berarti ekonomi nasional semakin efisien. Namun dari aspek distribusi, produsen (petani lokal) akan menerima surplus yang semakin jauh lebih kecil daripada konsumen, yang berarti aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah tidak terwujud. Mengingat dan kita ketahui semua bahwa petani kedelai pada umumnya miskin, maka keberpihakan kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan ini dan alasan lain seperti penyediaan lapangan kerja dan pengembangan pedesaan serta mencapai swasembada kedelai nasional, maka kebijakan yang bersifat protektif (defensif) masih tetap diperlukan. 93 Penerapan kebijakan protektif tersebut baik dengan penerapan tarif impor kedelai, maupun dalam bentuk kebijakan laian seperti; pengaturan , pengawasan, dan pembatasan impor kedelai seperti yang pernah dilakukan pada periode 19801995 melalui institusi Bulog. 6.4 Dampak Kebijakan Perdagangan (Impor) Kedelai terhadap Usahatani Kedelai Nasional Kebijakan perdagangan kedelai yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tidak hanya berdampak pada ekonomi kedelai pada tingkat makro nasional seperti yang telah dibahas diatas. Kebijakan ini juga telah berdampak pada tingkat mikro usaha tani melaui mekanisme perubahan harga output. Dari hasil analisis diatas dapat diketahui bahwa kedua skenario kebijakan tersebut dapat menurunkan harga kedelai pada tingkat grosir melalui mekanisme transmisi harga, penurunan harga grosir akan berdampak pada turunnya harga produsen. Penurunan harga produsen yang terjadi pada kedelai untuk keempat skenario tersebut, sebagaimana telah diungkapkan diatas adalah 25,28 persen untuk kebijakan penghapusan tarif impor dan 7,09 persen untuk kebijakan mempertahankan tarif impor. Terlihat bahwa dampak skenario mempertahan tarif impor (D1) lebih meringankan bagi petani daripada dampak skenario kebijakan yang menghilangkan tarif impor. Pada skenari pembebasan tarif impor akan sangat merugikan petani lokal sebesar 33,71 persen untuk wilayah Jawa Barat dan 31,12 persen untuk Jawa Timur karena jelas terlihat dapat mengurangi keuntungan usaha tani kedelai mereka. Dampak kebijakan perdagangan (impor) kedelai terhadap perubahan harga petani akan terintegrasi terhadap perubahan keuntungan usahatani. 94 Perubahan keuntungan usahatani (untuk perbandingan digunakan dua wilayah yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur), yang diilustrasikan pada Tabel 19. Pemilihan tempat atau wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, didasarkan pada luas areal panen dari kedua wilayah tersebut merupakan terbesar di Indonesia dan memiliki historis perubahan harga yang relatif konstan tiap tahun. Disamping alasan tesebut diatas pemilihan tempat juga didasarkan pada Rencana Kerja Dewan Kedelai Nasional untuk Program Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai Nasional tahun 2008 yang menetapkan kedua wilayah tersebut sebagai percontohan dan terdapat dalam peta stategis program tersebut. Atas pertimbangan tersebut diputuskan untuk memilih kedua wilayah tersebut. Tabel 19. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor terhadap Keuntungan Usahatani Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur pada Periode Tahun 1969-2008. Uraian Jawa Barat Jawa Timur Rataan 1.1611.000,00 12.767.805,00 12.189.402,50 Produksi (ton) 1.700,00 1.879,00 1.789,50 Harga (Rp/kg) 6.830,00 6.795,00 6.812,50 Biaya (Rp) 2.902.750.00 3.191.951,25 3.047.350,63 Keuntungan (Rp) 8.708.250.00 9.575.853,75 9.142.051,88 Penerimaan T1 (Rp) Dampak perubahan harga terhadap keuntungan usahatani diperlihatkan pada Tabel 20. Terlihat bahwa keuntungan usaha tani kedelai mengalami 95 penurunan sangat besar jika kebijakan menghapus tarif impor (nol persen) diterapkan. Hal ini seperti terlihat pada skenario D0 yang menurunkan keuntungan usahatani rata-rata sebesar 32,41 persen per ha per musim untuk kedua wilayah tersebut. Penurunan keuntungan usahatani untuk kedua wilayah tersebut masingmasing sebesar Rp 2,93 juta per ha per musim untuk wilayah Jawa Barat dan Rp 2,98 juta per ha per musim untuk wilayah Jawa Timur. Rata-rata perubahan keuntungan untuk kedua wilayah tersebut dapat menurunkan keuntungan usahatani sebesar Rp 2,1 juta per ha per musim. Kebijakan penerapan atau mempertahankan tarif impor akan berdampak negatif kecil terhadap keuntungan usahatani. Kebijakan ini seperti yang terlihat dari hasil analisis simulasi pada skenario D0 (menghilangkan tarif impor kedelai). Pada skenario D0 (menghilangkan tarif impor kedelai) keuntungan usahatani tidak akan menurunkan keuntungan usahatani yang terlalu besar. Hal ini tercermin dari hasil simulasi sebesar 9,45 persen per ha musim untuk kedua wilayah Jawa Barat dan 9,11 persen untuk wilayah JawaTimur. 96 Tabel 20. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Keuntungan Usahatani Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur pada Periode Tahun 1969-2008. Simulasi Skenario Uraian Perubahan D1 D0 Jawa Barat -7.09 -25.28 -18.20 Jawa Timur -7.09 -25.28 -18.20 Rataan -7.09 -25.28 -18.20 Jawa Barat 6345.75 5103.20 -1242.56 Jawa Timur 6313.23 5077.22 -1236.01 Rataan 6329.49 5090.21 -1239.28 Jawa Barat 10787780.10 8675434.08 -2112346.02 Jawa Timur 10732498.65 8631280.80 -2101217.85 Rataan 10760139.38 8653357.44 -2106781.94 Jawa Barat 7885030.10 5772684.08 -2112346.02 Jawa Timur 7829748.65 5728530.80 -2101217.85 Rataan Keuntungan t2 (Rp) 7857389.38 5750607.44 -2106781.94 Jawa Barat -823219.90 -2935565.92 -2112346.02 Jawa Timur -878501.35 -2979719.20 -2101217.85 Rataan -850860.63 -2957642.56 -2106781.94 Jawa Barat -9.45 -33.71 -24.26 Jawa Timur -9.17 -31.12 -21.94 Rataan -9.31 -32.41 -23.10 Perubahan Harga (%) Harga t2 (Rp/kg) Penerimaan t2 (Rp) Keuntungan t2 (Rp) Perbhan Keuntungan (Rp) Perubhn Keuntungan (%) 97 Petani kedelai di wilayah Jawa Barat akan terkena dampak negatif lebih serius (besar) dibanding pada wilayah Jawa Timur untuk musim yang sama, apabila pemerintah menerapkan kebijakan menghapus tarif impor kedelai. Hal ini tercermin pada lebih tingginya penurunan keuntungan usahatani di wilayah Jawa Barat, baik secara mutlak maupun relatif pada semua skenario. Bahkan perubahan keuntungan usahtani untuk petani di wilayah Jawa Barat akan berkurang sebesar Rp 2,93 juta per ha per musim jika skenario D0 diterapakan (Tabel 20). Apabila pemerintah menerapkan skenario D1 maka dampak negatif yang terlalu besar dapat dihindarkan walaupun menunjukan nilai penurunan keuntungan usahatani untuk kedua wilayah tersebut . Hal ini tercermin pada nilai penurunan keuntungan usahatani, yang lebih kecil baik secara absolut maupun relatif. Dengan kondisi perkedelaian sekarang ini, akan sangat tidak bijak pemerintah mengeluarkan kebijkan yang menghapus tarif impor. Dalam hal ini pemerintah menurut pandangan penulis mematikan perkedelaian nasional yang selama ini justru terus digalakan tentang bangkit kedelai nasional. Dengan adanya hambatan tarif saja, jumlah volume impor kedelai nasional masih terus meningkat, apalagi hambatan tarif dihilangkan. Pemerintah tidak belajar dari pengalaman dahulu yang menggilangkan tarif impor. Pada saat itu pertanian kedelai nasional mengalami kemunduran, hal tersebut ditandai jumlah volume impor kedelai selalau naik rata-rata sebesar tujuh persen selama lima tahun diberlakukan tarif impor nol persen. Disamping gejala itu, dampak terhadap jumlah produksi kedelai nasional pun selalume nunjukan nilai perubahan yang negatif. Sehingga petani kedelai pada akhirnya meninggalkan kedelai dan menanam palawija lainnya yang lebih menguntungkan. Lahan untuk pertanian kedelai pun akhirnya 98 berkurang pula seiring banyak petani yang mengkonversikan lahannya untuk tanaman lain. Berdasarkan pengalaman yang telah terjadi, seyogyanya pemerintah lebih bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan. Alasannya karena kebijakan tersebut akan berdampak negatif terhadap produsen dan konsumen. Memperhatikan nasib para petani kedelai seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah daripada hanya memperhatikan nasib segelintir para importir kedelai yang mempunyai modal besar. Dari hal inilah seyogyanya pemerintah mempertimbangkan seluruh pengambilan keputusan. Biar bagaimana pun, para petani kecil yang dapat memerikan andil besar dalam pencapaian swasemabada kedelai dan ketahanan pangan nasional. BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Penurunan harga dalam negeri sebagai akibat dari kebijakan penghapusan tarif impor kedelai. Hal tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor kedelai di tingkat grosir (PMG) dan harga kedelai aktual ditingkat grosir awal (PWS1) yang masih tinggi. 2. Dampak kebijakan pemerintah menghilangkan atau menghapus tarif impor kedelai yang utama adalah menurunkan harga kedelai domestik baik pada tingkat petani maupun grosir, masing-masing sebesar dan 22,68 persen 25,28 persen. Dampak selanjutnya dari penghapusan tarif impor kedelai adalah menurunkan jumlah penawaran (produksi) kedelai.. 3. Dampak yang sangat tidak diharapkan dari penghapusan tarif impor pun terjadi yaitu meningkatkan jumlah volume impor sebesar 141,99 persen. 4. Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap perubahan perubahan kesejahteraan nasional adalah menurunkan menurunkan surplus produsen, konsumen, surplus netto dan menghilangkan penerimaan pajak impor kedelai. 5. Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap perubahan keuntungan usahatani adalah menurunkan keuntungan usahatani rata-rata sebesar 32,41 persen untuk kedua wilayah yaitu Jawa Timur an Jawa Barat. 100 7.2 Saran Kebijakan perdagangan kedelai yang seyogyanya diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah kebijakan proteksi. Kebijakan proteksi yang dimaksud dalam hal ini adalah mempertahankan penetapan tarif impor kedelai. Walaupun kebijakan ini tidak bisa diterapkan selamanya, tetapi untuk saat ini kebijakan ini akan sangat membantu untuk melindungi para petani kedelai kita. Kebijakan pemerintah yang sekarang ditarapkan yaitu menghapuskan tarif impor menjadi nol persen, dikhawatirkan akan menyebakan usahatani kedelai semakin hancur sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar Amerika (dunia) akan semakin besar. Implikasi kebijakan ke depan adalah mempertahankan kebijkan proteksi (penetapan tarif) yang selama ini pernah ditempuh, yaitu pengenaan tarif impor dan seyogyanya dikombinasikan dengan kebijakan nontarif seperti pengawasan, pengaturan dan pembatasan impor. Sebelum negara-negara eksportir kedelai bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan yang selama ini sangat mendistorsi pasar kedelai dunia. Terus berjuang bersama-sama dengan negara-negara berkembang lainnya yang tergabung kedalam kelompok G-33 pada sidang-sidang Komite Pertanian (Committee on Agriculture) WTO agar negara-negara maju dan negara-negara berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan. Biar bagaimana pun kebijakan liberalisasi perdagangan akan sangat menguntungkan bagi para konsumen, karena konsumen bisa mendapatkan barang yang kwalitasnya bagus dengan harga yang relatif murah. 101 Kebijakan proteksi tigak mungkin dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang karena tuntutan globalisasi yang semakin kuat. Oleh karena itu, upaya-upaya perbaikan efisiensi ekonomi perkedelaian nasional perlu terus dijlankan. Hal ini untuk mempersiapkan agribisnis kedelai nasional dalam menghadapi globalisasi. Kedepannya semoga perkedelaian nasional dapat bangkit dari keterpurukan. Muaranya yang pasti bisa berswasenbada kedelai sendiri dan pada akhirnya Indonesia mempunyai ketahanan pangan yang solid. Untuk dapat mencapai cita-cita tersebut bukan hanya dibebankan hanya pada pemerintah saja, tetapi semua stakeholder yang terkait dengan masalah perkedelaian harus saling membantu untuk mensukseskannya. DAFTAR PUSTAKA Agustina, N. 2006. Analisis Integrasi Pasar Kedelai Domestik dan Pasar Kedelai Dunia, serta Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 1999-2007. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia: Impor 1999-2007, Jilid II. BPS. Jakarta. _________________. 1992-2007. Statistik Harga Perdagangan Besar Beberapa Provinsi Di Indonesia: The Wholesale Price Statistics in Several Provinces in Indonesia. BPS. Jakarta. _________________.1992-2007. Statistik Harga Produsen (Pertanian Pangan dan Perkebunan Rakyat): Producer Price Statistics. BPS.Jakarta. _________________. 2000-2007. Indikator Pertanian: Agriculture Indikators. BPS. Jakarta. _________________.1986-2007. Pendapatan Nasional Indonesia: National Income of Indonesia. BPS. Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Statistik Pertanian: Agricultural Statistics. Deptan. Jakarta. __________________. 2008. Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2008. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Deptan. Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2007. Statistik Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan Jakarta. ___________________. 2008. Budidaya Kedelai. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Jakarta. Erwidodo, H dan H. Pudjihastuti. 2003. Impor Jagung: Perlukah Tarif Impor Diberlakukan: Jawaban Analisis Simulasi..Jurnal. Jurnal Agro Ekonomi Volume 21 (2): 175-195.Oktober 2003. Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia. 2007. Laporan Tahunan 2006. Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia. Jakarta. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GPMMI). 2008. Laporan Tahunan 2007. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GPMMI). Jakarta. 103 Hadi, P.U. dan S.Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi vol. 23 (1): 82-99. Hadi, P.U.dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Volume 23 (2): 159-174. Oktober 2005. Hutabarat, B, Purba, J.H. dan Nuryanti, S. 2007.Dampak Penurunan Bantuan Domestik terhadap Kinerja Ekonomi Komoditas Pertanian Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan . Jurnal Agro Ekonomi Vol.25 (1):55-83. Mei 2007. Ilham, N dan S. Hermanto.2007. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan Kebijakan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro: Impact of Food Price Policy on Macro Economic Stability. Jurnal Agro Ekonomi Vol.25 (1):55-83. Mei 2007. Koutsoyiannis, A. 1997. Theory Of Econometrics: An Introductory Expotition Of Econometrics Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd., London. Kumenaung, A.G. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Komoditas Kedelai Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. National Agency for Export Development Ministri of Trade Repulic of Indonesia (NAFED). 2008. Agriculture Commodity Prices. The 22nd Indonesia Trade Expo Journal. Jakarta. Papas. 1995. Ekonomi Internasional. Edisi Revisi. Jilid I. Penerbit Erlangga. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2005. Hasil Utama Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Priyatno, D. 2008. Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution) Untuk Analisis Data dan Uji Statistik. MediaKom. Jakarta. Purnamasari, R. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmawati. D. 2005. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Variabelvariabel yang Mempengaruhi Volume Impor Gula. Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 104 Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan oleh Drs. Haris Munandar. Edisi kelima. Jilid I. Penerbit Erlangga. Jakarta Subdit Analisis dan Informasi Pasar Direktorat Perdagangan Internasional. 2007. Neraca Perdagangan Komoditi Kedelai di Indonesia. Jakarta. Swastika, D.K.S. 1997. Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan. Juranal. FAF Vol.15 (1 dan 2): 57-66. Desember 1997. Yudohusodo, S. 2005. Ketahanan Pangan Indonesia. Laporan Tahuanan 2004 Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Jakarta. Lampiran 1. Hasil Regresi Persamaan Simultan [DataSet3] Variables Entered/Removedb Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Dummy, lnLP, lnIM, lnHPa . Enter a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lnPr Model Summaryb Model R 1 R Square .995a Adjusted R Square .990 Std. Error of the Estimate .989 .04673 a. Predictors: (Constant), Dummy, lnLP, lnIM, lnHP b. Dependent Variable: lnPr ANOVAb Model 1 Sum of Squares Regression Residual Total df 7.399 4 1.850 .074 34 .002 7.473 38 a. Predictors: (Constant), Dummy, lnLP, lnIM, lnHP b. Dependent Variable: lnPr Mean Square F 846.980 Sig. .000a 106 Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model B 1 (Constant) Coefficients Std. Error t Sig. Beta -3.116 .338 lnHP .170 .011 lnLP 1.146 lnIM Dummy Standardized -9.211 .000 .413 15.541 .000 .024 .879 46.870 .000 .003 .002 .030 1.157 .255 -.005 .026 -.004 -.200 .843 a. Dependent Variable: lnPr Casewise Diagnosticsb Case Number Std. Residual lnPr Predicted Value Residual 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 .436 -.144 .697 -.152 -.568 -.159 -.530 -.093 -.133 -.210 .114 1.080 -.385 -.194 -1.259 -1.247 .253 -.937 .361 .252 .119 4.431 .540 -.599 .487 -.755 -1.486 -.251 .703 .043 12.87 13.12 13.15 13.16 13.20 13.29 13.29 13.16 13.17 13.33 13.43 13.39 13.46 13.16 13.19 13.55 13.68 14.02 13.96 14.05 14.09 14.21 14.26 14.44 14.35 14.26 14.33 14.23 14.12 14.08 12.8496 13.1267 13.1174 13.1671 13.2266 13.2975 13.3148 13.1644 13.1762 13.3398 13.4247 13.3395 13.4780 13.1691 13.2489 13.6083 13.6682 14.0638 13.9431 14.0382 14.0845 14.0029 14.2348 14.4680 14.3272 14.2953 14.3995 14.2417 14.0872 14.0780 .02039 -.00675 .03256 -.00712 -.02656 -.00745 -.02477 -.00436 -.00620 -.00979 .00534 .05047 -.01800 -.00908 -.05885 -.05825 .01182 -.04376 .01687 .01176 .00555 .20706 .02523 -.02799 .02277 -.03528 -.06946 -.01174 .03284 .00202 Status 107 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 -.342 -.676 -.436 .309 1.144 .311 .259 -.136 -.847 . 14.14 13.83 13.63 13.42 13.42 13.49 13.60 13.52 13.41 13.49 14.1560 13.8616 13.6504 13.4056 13.3665 13.4755 13.5879 13.5263 13.4496 . -.01597 -.03159 -.02036 .01445 .05348 .01454 .01213 -.00635 -.03958 . Ma Std. Deviation N a. Missing Case b. Dependent Variable: lnPr Residuals Statisticsa Minimum Maximum Mean Predicted Value 12.8496 14.4680 13.6528 .44125 39 Residual -.06946 .20706 .00000 .04420 39 Std. Predicted Value -1.820 1.847 .000 1.000 39 Std. Residual -1.486 4.431 .000 .946 39 a. Dependent Variable: lnPr Regression [DataSet3] Variables Entered/Removedb Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Dummy, lnIM, lnHGa a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lnHP . Enter 108 Model Summaryb Model R 1 R Square .992a Adjusted R Square .984 Std. Error of the Estimate .982 .14970 a. Predictors: (Constant), Dummy, lnIM, lnHG b. Dependent Variable: lnHP ANOVAb Model 1 Sum of Squares Regression Residual Total df Mean Square 48.647 3 16.216 .807 36 .022 49.454 39 F 723.580 Sig. .000a a. Predictors: (Constant), Dummy, lnIM, lnHG b. Dependent Variable: lnHP Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1 Standardized Coefficients t Sig. 8.282 .000 B Std. Error (Constant) 1.508 .182 lnHG .895 .031 1.088 28.904 .000 lnIM -.043 .008 -.183 -5.260 .000 Dummy -.250 .076 -.080 -3.309 .002 a. Dependent Variable: lnHP Beta 109 Casewise Diagnosticsa Case Std. Residual lnHP Predicted Value Residual 1 1.878 4.84 4.5588 .28118 2 1.576 4.92 4.6841 .23594 3 .915 5.00 4.8630 .13703 4 -.874 5.09 5.2208 -.13078 5 -1.475 5.17 5.3907 -.22075 6 -2.016 5.25 5.5518 -.30176 7 .780 5.33 5.2132 .11682 8 1.191 5.42 5.2417 .17834 9 1.062 5.50 5.3411 .15895 10 -.207 5.58 5.6110 -.03104 11 -.417 5.67 5.7324 -.06238 12 -1.547 5.65 5.8816 -.23159 13 -1.276 5.77 5.9610 -.19097 14 -1.167 5.84 6.0146 -.17465 15 -.611 5.98 6.0714 -.09140 16 -.635 6.13 6.2251 -.09506 17 -.940 6.15 6.2907 -.14071 18 -.403 6.25 6.3103 -.06027 19 .312 6.42 6.3734 .04664 20 .505 6.50 6.4244 .07562 21 1.087 6.64 6.4772 .16276 22 -.315 6.56 6.6071 -.04710 23 -.084 6.64 6.6526 -.01263 24 .002 6.73 6.7297 .00028 25 -1.731 6.71 6.9691 -.25910 26 -.869 6.79 6.9201 -.13010 27 .745 7.07 6.9585 .11151 28 1.217 7.15 6.9678 .18218 29 .783 7.12 7.0028 .11721 30 .621 7.21 7.1171 .09293 31 -.440 7.28 7.3459 -.06594 Number 110 32 .785 7.84 7.7225 .11750 33 -.118 7.88 7.8976 -.01760 34 .318 7.92 7.8724 .04757 35 -.132 7.96 7.9798 -.01978 36 .353 8.16 8.1072 .05282 37 .297 8.15 8.1055 .04449 38 -.106 8.26 8.2759 -.01590 39 1.346 8.75 8.5485 .20150 40 -.412 8.83 8.8917 -.06174 a. Dependent Variable: lnHP Residuals Statisticsa Minimum Predicted Value Maximum Mean Std. Deviation N 4.5588 8.8917 6.5528 1.11685 40 -.30176 .28118 .00000 .14383 40 Std. Predicted Value -1.785 2.094 .000 1.000 40 Std. Residual -2.016 1.878 .000 .961 40 Residual a. Dependent Variable: lnHP Regression [DataSet3] Variables Entered/Removedb Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Dummy, lnHG, lnGNPa a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lnCp . Enter 111 Model Summaryb Model R 1 R Square .953a Adjusted R Square .908 Std. Error of the Estimate .901 .14371 a. Predictors: (Constant), Dummy, lnHG, lnGNP b. Dependent Variable: lnCp ANOVAb Model 1 Sum of Squares Regression Residual Total df Mean Square 7.372 3 2.457 .744 36 .021 8.115 39 F Sig. 118.976 .000a a. Predictors: (Constant), Dummy, lnHG, lnGNP b. Dependent Variable: lnCp Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model B 1 Std. Error (Constant) -.777 .260 lnHG -.045 .139 lnGNP .244 Dummy .229 a. Dependent Variable: lnCp Standardized Coefficients t Sig. Beta -2.991 .005 -.135 -.324 .748 .089 1.164 2.729 .010 .077 .181 2.964 .005 112 Casewise Diagnosticsa Case Residual Std. Residual lnCp Predicted Value 1 -.640 1.12 1.2120 -.09196 2 .578 1.34 1.2569 .08308 3 .627 1.36 1.2699 .09010 4 .273 1.34 1.3007 .03926 5 -.678 1.29 1.3874 -.09738 6 -.481 1.42 1.4891 -.06911 7 -.811 1.41 1.5266 -.11656 8 -.167 1.55 1.5740 -.02396 9 -1.525 1.40 1.6192 -.21917 10 -.531 1.57 1.6463 -.07628 11 -.087 1.71 1.7225 -.01252 12 -.638 1.71 1.8016 -.09164 13 .078 1.85 1.8388 .01117 14 -.769 1.75 1.8605 -.11054 15 -1.305 1.72 1.9076 -.18755 16 -.279 1.90 1.9401 -.04006 17 -.413 1.90 1.9593 -.05932 18 1.409 2.18 1.9775 .20250 19 .549 2.10 2.0212 .07883 20 1.344 2.24 2.0469 .19314 21 1.001 2.23 2.0861 .14389 22 1.406 2.32 2.1180 .20204 23 1.309 2.34 2.1519 .18812 24 2.160 2.49 2.1796 .31044 25 1.728 2.45 2.2016 .24841 26 1.063 2.42 2.2673 .15271 27 .627 2.40 2.3099 .09013 28 -.404 2.29 2.3480 -.05802 29 -.388 2.33 2.3857 -.05572 30 -1.017 2.34 2.4862 -.14617 31 1.287 2.46 2.2751 .18489 Number 113 32 -.838 2.17 2.2904 -.12041 33 -.573 2.28 2.3624 -.08241 34 -.558 2.31 2.3901 -.08015 35 -.361 2.35 2.4018 -.05184 36 -1.329 2.45 2.6410 -.19104 37 -1.168 2.52 2.6879 -.16786 38 -.875 2.60 2.7257 -.12569 39 -.649 2.66 2.7533 -.09325 40 1.043 2.73 2.5801 .14991 a. Dependent Variable: lnCp Residuals Statisticsa Minimum Predicted Value Residual Maximum Mean Std. Deviation N 1.2120 2.7533 2.0250 .43476 40 -.21917 .31044 .00000 .13807 40 -1.870 1.675 .000 1.000 40 -1.525 2.160 .000 .961 40 Std. Predicted Value Std. Residual a. Dependent Variable: lnCp Regression [DataSet3] Variables Entered/Removedb Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Dummy, lnCIF, lnNTRIa . Enter a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: lnHG 114 Model Summaryb Model R R Square Adjusted R Square 1 .978a .956 .952 Std. Error of the Estimate .30057 a. Predictors: (Constant), Dummy, lnCIF, lnNTRI b. Dependent Variable: lnHG ANOVAb Model 1 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Regression 69.876 3 23.292 257.826 .000a Residual 3.252 36 .090 Total 73.129 39 a. Predictors: (Constant), Dummy, lnCIF, lnNTRI b. Dependent Variable: lnHG Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1 Coefficients t Sig. -.167 .868 B Std. Error (Constant) -.107 .638 lnNTRI .944 .062 .816 15.135 .000 lnCIF .463 .075 .279 6.201 .000 Dummy .237 .167 .063 1.424 .163 a. Dependent Variable: lnHG \ Standardized Beta 115 Casewise Diagnosticsa Case Std. Residual lnHG Predicted Value Residual 1 -.595 3.69 3.8690 -.17898 2 -.303 3.83 3.9210 -.09100 3 -.105 4.03 4.0617 -.03167 4 .148 4.43 4.3854 .04456 5 -.743 4.62 4.8433 -.22334 6 .301 4.80 4.7094 .09060 7 1.402 4.89 4.4687 .42130 8 .606 5.03 4.8480 .18203 9 -.267 5.11 5.1902 -.08024 10 -.690 5.43 5.6375 -.20747 11 -.360 5.58 5.6883 -.10835 12 .044 5.72 5.7068 .01315 13 1.096 5.87 5.5407 .32928 14 .983 5.93 5.6346 .29544 15 -.292 5.97 6.0577 -.08771 16 -.093 6.17 6.1980 -.02800 17 .257 6.23 6.1527 .07730 18 -.637 6.26 6.4513 -.19134 19 -.360 6.32 6.4282 -.10822 20 -.697 6.40 6.6096 -.20956 21 -.794 6.45 6.6888 -.23876 22 -.158 6.61 6.6575 -.04753 23 -.116 6.67 6.7047 -.03474 24 .120 6.76 6.7238 .03619 25 .925 7.03 6.7519 .27806 26 .494 6.98 6.8315 .14847 27 .499 7.01 6.8600 .14996 28 .194 7.03 6.9718 .05819 29 -1.780 7.06 7.5950 -.53495 30 -2.766 7.16 7.9913 -.83130 31 -2.437 7.20 7.9324 -.73237 Number 116 32 -.555 7.62 7.7868 -.16685 33 .263 7.81 7.7310 .07904 34 .293 7.79 7.7019 .08813 35 .322 7.91 7.8131 .09693 36 .385 8.33 8.2142 .11577 37 .364 8.32 8.2106 .10945 38 1.294 8.51 8.1211 .38885 39 1.645 8.82 8.3254 .49458 40 2.113 8.94 8.3049 .63512 a. Dependent Variable: lnHG Residuals Statisticsa Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 3.8690 8.3254 6.4080 1.33854 40 Residual -.83130 .63512 .00000 .28878 40 Std. Predicted Value -1.897 1.432 .000 1.000 40 Std. Residual -2.766 2.113 .000 .961 40 a. Dependent Variable: lnHG 117 Lampiran 2. Hasil Simulasi Kebijakan Tabel 21. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai Skenario simulasi D1(10%) D0 (0 %) 0.6531 0.6531 9120 9120 5956.27 5956.27 Variabel Notasi Sumber Harga Impor-CIF (US$/Kg) Nilai Tukar (Rp/US$) Harga Impor-CIF (Rp/Kg) Harga Paritas Impor Tingkat Grosir (Rp/Kg) Harga Grosir t (Rp/Kg) Tarif Impor Spesifik Implisit TI1 (Rp/Kg) Tarif Impor Spesifik Eksplisit TI2(Rp/Kg) Harga Produsen t1 (Rp/Kg) Volume Impor (Ton 000) Permintaan Kedelai T1 (Ton 000) Produksi Kedelai (Ton 000) Elastisitas Permintaan Kedelai Elastisitas Penawaran Kedelai Elastisitas Transmisi Harga Pws Ke PF Dampak Perubahan Kebijakan Perubahan Harga Grosir (Rp/Kg) Harga Grosir t2 (Rp/Kg) Perubahan Harga Grosir (%) Dampak Terhadap Harga Produsen (%) Perubahan Harga Produsen (Rp/Kg) Harga Produsen t2 (Rp/Kg) Dampak Terhadap Permintaan (%) Perubahan Permintaan (Ton) Permintaan Tahun t2 (Ton 000) Dampak Terhadap Penawaran (%) Perubahan Penawaran Kedelai (Ton) Penawaran Kedelai t2 (Ton 000) Impor t2 (Ton 000) Dampak Terhadap Impor (Ton) Dampak Thd Surplus Konsumen (Rp000) Dampak Thd Surplus Produsen (Rp000) Dampak Thd Penerimaan Pemerintah (Rp000) Dampak Terhadap Surplus Netto (Rp000) PWD ER PWR Data Data PWD*ER PMG PWS1 PWR*1.08 Regresi 6432.77 8846.48 6432.77 8609.48 Ti1 PWS-PMG 2413.70 2176.70 Ti2 PF1 QM1 Skenario Regresi Data 1786.88 0.00 7846.94 7635.0753 1672.4 1672.4 QD1 QS1 ED ES Data Data Regresi Regresi 2395.9 723.5 -0.045 0.170 2395.9 723.5 -0.045 0.170 EP Regresi 0.895 0.895 -626.82 8219.66 -7.09 -2176.70 6432.77 -25.28 -1549.88 -1786.88 -18.20 -6.34 -22.63 -16.29 dPWS Ti2 - Ti1 PWS2 PWS1+ dPWS %dPWS (dPWS/PWS1)*100 Perubahan %dPF %dPWS *EP dPF PF2 %dPF*PF1/100 PF1+dPF -497.62 7349.32 -1727.66 5907.41 -1230.04 -1441.91 %dQD dQD QD2 %dPWS* ED %dQD*QD1/100 QD1+dQD 28.21 675.81 3071.71 97.95 2346.82 4742.72 69.74 1671.01 1671.01 %dQS %dPF*ES -1.08 -3.85 -2.77 dQS QS2 QM2 dQM %dQS*QS1/100 QS1+dQS QD2-QS2 QM2-QM1 -7.80 715.70 2356.01 683.61 -27.83 695.67 4047.05 2374.65 -20.03 -20.03 1691.04 1691.04 dCS dPWS*(QD1-dQD/2) -1289993 -2660994 -1371001.33 dPS dPF*(QS1+dQS/2) -358085.9 -1225921 dGR (QM2*TI2)-(QM1*TI1) 173234.4 -3640316 -3813550.22 dCS+dPS+dGR -7527231 -6052387.04 dNS -1474844 -867835.49 118 Lampiran 3. Data Kedelai Indonesia Tabel 22. Data Keragaan Kedelai Nasional Periode 1969-2008 T 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Lp 553000 695000 680000 698000 733014 768027 751689 646336 646121 733142 784489 726013 809978 607778 639847 858854 896220 1253767 1100565 1177360 1198096 1133765 1367156 1664182 1468316 1406039 1476285 1277736 1118140 1094262 1151079 824484 678848 544522 526796 565155 621541 580534 502104 549412 Pr 388898 497883 515644 518229 541040 589239 589831 521777 522821 616539 679825 652762 703811 521394 536103 769384 869718 1226737 1160963 1270418 1315113 1487207 1554694 1868342 1707126 1564179 1679092 1515937 1356108 1305640 1382848 1017634 826932 673056 671600 723483 808353 747611 664438 723535 Prv 0.703 0.716 0.758 0.742 0.738 0.767 0.785 0.807 0.809 0.841 0.867 0.899 0.869 0.858 0.838 0.896 0.97 0.978 1.055 1.079 1.098 1.312 1.137 1.123 1.163 1.112 1.137 1.186 1.213 1.193 1.201 1.234 1.218 1.236 1.275 1.28 1.301 1.288 1.323 1.317 Kn 192119 429520 423681 447573 439707 506122 512691 600149 530588 646105 734458 654977 1075360 934590 764780 1194680 1224010 1667840 1513470 1794680 1774360 2167430 2362070 2692070 2567530 2489860 2443360 2287660 2118710 1860740 2684000 2294000 1960000 2017000 2016000 2215000 2022517 2122561 2325998 2395923 Im -1000 -4000 0 -3000 -36000 -4000 17802 171746 89101 130499 176620 100878 361000 361000 221520 401678 301952 359041 286702 465837 384700 526325 631038 690287 722472 800153 606993 745819 616109 344050 1301152 1276366 1133068 1343944 1344400 1291517 1086177 1078420 1199839 1672388 119 Lanjutan Lampiran 3 Tabel 22. Data Keragaan Kedelai Nasional Periode 1969-2008 Gnp 2683 3290 3605 4405 6508 10201 12087 15035 18332 21879 30541 43435 52102 57675 70339 82887 90789 98490 118795 135183 159111 187304 216551 247438 285849 367941 441148 518296 607151 935679 1015967 1172757 1623229 1808762 1936261 2190476 2649960 3193995 Cif 0.01986 0.01965 0.02166 0.04372 0.11811 0.08667 0.05247 0.11837 0.24882 0.28462 0.31587 0.32839 0.22183 0.23420 0.28029 0.32316 0.26383 0.23226 0.22025 0.29634 0.32975 0.27201 0.27373 0.26823 0.27162 0.29359 0.28767 0.33704 0.33672 0.34446 0.37747 0.21183 0.19583 0.21292 0.26400 0.30650 0.27440 0.26842 NTRI 358 381 420 420 420 423 421 421 421 634 632 634 643 692 994 1076 1131 1655 1652 1729 1795 1901 1992 2062 2110 2200 2308 2383 4650 7000 8000 9100 8940 8330 8465 9290 9830 9020 Tik 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 5 5 5 5 0 0 0 0 0 15 15 15 10 Hp 125.98 136.89 148.73 161.6 175.59 190.78 207.29 225.23 244.72 265.89 288.9 284.38 321 345.43 395.7 458.34 468.47 517 612.15 665.17 766.22 705.11 766.22 837.47 816.52 887 1170.95 1271.45 1230.9 1350.57 1454.23 2538.11 2632.19 2752.43 2858.23 3497.46 3468.71 3885.37 HTG 39.94 46.29 56.18 83.74 101.5 121.49 133.2 152.81 166.31 228.42 265.74 306.31 352.65 376.41 393.28 476.46 505.7 524.34 558.06 600.1 634.18 743.21 790.07 860.43 1131.32 1071.82 1110.89 1130.38 1160.28 1284.42 1335.09 2035 2462.42 2412.5 2725 4157.28 4101 4976.07 Cp 3.07 3.82 3.91 3.81 3.62 4.12 4.10 4.71 4.07 4.80 5.52 5.54 6.38 5.74 5.61 6.71 6.71 8.87 8.17 9.43 9.32 10.22 10.35 12.06 11.54 11.20 11.00 9.90 10.31 10.40 11.70 8.80 9.80 10.12 10.53 11.55 12.46 13.41 120 Keterangan: T = Tahun Pengamatan Lp = Luas Panen Kedelai Nasional (Ha) Pr = Produksi ( penawaran) Kedelai Nasional (Ton) Prv = Produktivitas Kedelai Nasional (Ton/ha) Kn = Konsumsi (Kebutuhan) Kedelai Nasional (Ton) Im = Impor Kedelai Indonesia (Ton) Gnp = Pendapatan Nasional Kotor per kapita (Rp) Cif = Harga Kedelai Impor di Pelabuhan Indonesia (U$D/kg) NTRI = Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika (Rp) Tik = Tarif Impor Kedelai (persen) Hp = Harga Kedelai Nasional Pada Tingkat Produsen (Petani) (Rp/kg) HTG = Harga Kedelai Nasional Pada Tingkat Grosir (Pedagang Besar) (Rp/kg) Cp = Konsumsi Kedelai Nasional Per Kapita (Kg) 101