dampak penghapusan tarif impor

advertisement
DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR
KEDELAI DI INDONESIA
Oleh:
RONI
A 14105600
PROGRAM SARJANA EKTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
RONI, Dampak Penghapusan Tarif Impor Kedelai di Indonesia. dibawah
bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.
Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional.Indikator mendasar kemakmuran suatu bangsa adalah tersedianya pangan
yang cukup, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Meskipun kedelai bukan
sebagai bahan pangan utama, tetapi kedelai merupakan komoditas palawija yang
dimasukan ke dalam kebijakan pangan nasional.
Terkait dengan itu, berkembang tuntutan keberpihakan kepada petani
dalam bentuk pembatasan impor komoditas pertanian. Tuntutan ini muncul
sebagai reaksi terhadap kondisi yang terjadi beberapa tahun terakhir dimana; (i)
Pasar Indonesia semakin banyak dimasuki oleh produk (pertanian) impor dengan
harga yang murah, (ii) Luas areal tananam dan produksi beberapa komoditas
pertanian cenderung menurun atau stagnan (tetap), dan (iii) Banyak negara,
khususnya negara maju, yang melakukan perlindungan kepada petani mereka.
Sentimen seperti ini cepat memperoleh dukungan politisi dan masyarakat luas,
terutama setelah melihat dan mendengar kenyataan bahwa negara-negara utama
pengekspor produk pertanian ke Indonesia, seperti Amerika Serikat, banyak
mengeluarkan milyaran dollar untuk melindungi petaninya.
Gambaran perkedelaian nasional, data limabelas tahun terakhir
menunjukan bahwa terjadi kecenderungan menurunnya luas areal panen yang
berakibat pada menurunnya produksi kedelai nasional. Pada tahun 1994 luas areal
panen nasional 1.564.179 hektar turun menjadi 549.412 hektar pda tahun 2008
atau turun sebesar 49,79 persen. Produksi pada tahun 1998 mencapai 1.304.950
ton turun menjadi 723.535 ton pada tahun 2008, atau turun sebesar 44,55 persen
(Deptan, 2008). Konsumsi kedelai per kapta per tahun terbaru sebesar 15,37 kg.
Sedangkan pemenuhan kebutuhan kedelai nasional 65,46 persennya dipenuhi dari
impor.
Liberalisasi perdagangan dalam berbagai kebijakan terutama penghapusan
tariff impor atau kuota terhadap komoditi kedelai akhir-akhir ini akan
berpengaruh terhadap keragaan permintaan dan penawaran kedelai sehingga
mempengaruhi harga dunia. Perubahan-perubahan harga dunia selanjutnya akan
mempengaruhi keputusan produsen dalam investasinya dan mempengaruhi
keputusan konsumen dalam mengkonsumsi kedelai.
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah di paparkan
diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi dampak
kebijakan penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia. Sehubungan dengan itu
faktor yang akan dikupas sebagai berikut; (1) menghitung dekomposisi tarif dan
estimasi skenario analisis, (2) mengestimasi dampak kebijakan impor terhadap
harga pada tingkat grosir dan jumlah permintaan, harga produsen dan jumlah
penawaran, dan jumlah impor, (3) mengestimasi dampak kebijakan tarif terhadap
surplus ekonomi yaitu surplus konsumen, produsen, perubahan penerimaan
pemerintah dan surplus ekonomi neto, dan (4) mengestimasi dampak kebijakan
tarif terhadap usahatani.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder time series
sebanyak 40 data (1969-2008) yang diperoleh dari berbagai sumber seperti
Deptan, BPS, Depperindag, jurnal, depkeu dan lainnya. Kemudian dilakukan
analisis dengan pendekatan model keseimbanagan parsial dan regresi simultan
untuk mensimulasikan skenario kebijakan dan mencari elastisitasnya.
Dekomposisi tarif yang diterapkan oleh pemerintah Indinesia untuk saat
ini sebesar 1.222,23 per kg dan skenario kebijakan yang lakukan oleh penulis
adalah sebagai berikut; D1 (mempertahankan tarif impor) dan D0 (mengahapus
tarif impor). Kebijakan proteksi (penerpan tarif impor (D1)) lebih meminimalkan
dampak secara signifikan. Dampak menghapus tarif impor berdasarkan hasil
simulasi adalah menurunkan harga kedelai domestik baik pada tingkat produsen
(petani) maupun pedegang besar (grosir). Jika pemerintah menghapuskan
kebijakan proteksi tersebut (seperti sekarang), dikhawatirkan kedepannya akan
menyebabkan pertanian kedelai Indonesia semakin terpuruk.
Oleh karena itu disarankan agar: (1) Pemerintah perlu tetap
mempertahankan kebijkan penerapan tarif impor (30 persen, Skenaro D1) seperti
yang pernah dilakukan tahun 70-80-an, (2) Terus berjuang bersama dengan
negara-negara lain untuk menekan negara-negara ekspotir kedelai agar bersedia
secara sungguh-sungguh menurunkan subsidi ekspor dan bantuan domestik
sehinnga harga dunia stabil, dan (3) terus mengupayakan perbaikan efisienasi
usahatani kedelai untuk meningkatkan daya saing. Pada muaranya diharapakan
Indonesia dapat mewujudkan cita-citanya yaitu dapat berswasembada kedelai dan
mempunyai ketahanan pangan yang solid.
DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR
KEDELAI DI INDONESIA
Oleh:
RONI
A 14105600
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN
DENGAN
INI
SAYA
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BERJUDUl ”DAMPAK PENGHAPUSAN TARIF IMPOR KEDELAI DI
INDONESIA ” BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM
PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Oktober 2008
RONI
Judul
Nama
NRP
: Dampak Penghapusan Tarif Impor Kedelai di Indonesia
: Roni
: A14105600
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus Ph.D
NIP. 131 578 790
Menyetujui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu, pada tanggal 23 November 1982. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Madun bin
Sarkam dan Ibu Sutincem binti Toha.
Penulis memulai jenjang pendidikan pada tahun 1989 di Sekolah Dasar
Negeri Cangkingan V Kecamatan Karangampel, lulus tahun 1995, lalu
melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Karangampel, lulus pada tahun 1998. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTA Negeri 1 Sliyeg, Indramayu dan lulus
pada tahun 2001.
Pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru) pada Program Diploma III Agribisnis Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan jenjang pendidikan
di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Selama manjadi mahasiswa,
penulis bekerja di Bank Mandiri dan aktif dalam berbagai organisasi di kampus
atau diluar kampus.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Judul skripsi ini adalah ”Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif
Impor Kedelai di Indonesia”. Adapun skripsi ini merupakan syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Belakangan ini terjadi kenaikan harga kedelai dunia yang berdampak
langsung terhadap meningkatnya harga kedelai lokal. Kenaikan tersebut mencapai
lebih dari seratus persen yang menyebabkan banyak pengrajin tahu, tempe gulung
tikar karena tidak mampu memebeli bahan baku tersebut. Konsumen pun terkena
dampak yang tidak kurang lebih baik dari para pengrajin tempe dan tahu tersebut.
Untuk mengatasi dampak yang lebih serius dari itu pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang sangat tidak populer yaitu menghapus tarif impor dari 10 persen
menjadi nol persen. Oleh karena fenomena tersebut penulis tertarik mengkaji
dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia. Ditengah
kebijakan pemerintah yang tidak populer dan bertentangan dengan visi pertanian
Indonesia yaitu berpihak terhadap nasib petani kecil.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dan keterbatasan.
Bogor, September 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Alhamdulilah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan
segala kerendahaan hati, dukungan, dan bantuan baik secara moril maupu materil
yang penulis peroleh, dalam kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua saya yang tercinta yang telah memberikan kasih sayang,
dorongan moril maupun materil serta do’a yang terus mengalir sehingga
penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi ini
2. Bapak Muhammad Firdaus Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam
proses penulisan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan sangat
baik.
3. Kakak-kakak ku yang selalu tulus dan tanpa lelah dalam memberikan
semangat dan bantuan moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Keluarga besar Ekstensi MAB, IPB, yang telah memberikan bantuan dalm
bentuk pelayanan. Mohon maaf penulis tidak dapat disebutkan satupersatu.
5. Sahabat saya Ety Toifah yang selalu ada dan tanpa lelah meberikan
semangat, doa dan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
diselasaikan.
Akhir kata penulis mendedikasikan seluruh goresan skripsi ini sabagai
bakti untuk kedua orang tuaku Ibu dan Bapak. Semoga Allah SWT membalas
budi baik yang telah diberikan kepada penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP PENULIS........................................................................ iii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii
I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 11
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 14
II. TTINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 15
2.1 Teori dan Kebijakan Internasional ........................................................ 15
2.2 Hambatan Perdagangan ......................................................................... 16
2.2.1 Hambatan Tarif (Tariff Barriers) .................................................. 16
2.2.2 Hambatan Non Tarif (Non Tariff Barriers) .................................. 17
2.3 Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia ............................................. 18
2.4 Kebijakan Perkedelaian Pascareformasi ............................................... 18
2.5 Hasil Penelitian Terdahulu .................................................................... 20
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 23
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................. 23
3.1.1 Teori Permintaan ........................................................................... 23
3.1.2 Teori Penawaran ............................................................................ 24
3.1.3 Teori Kebijakan Perdagangan Internasional .................................. 25
3.1.4 Kebijakan Tarif Impor .................................................................. 26
3.1.5 Biaya dan Manfaat Tarif ............................................................... 28
3.2 Model Persamaan Simultan .................................................................... 29
3.3 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 31
3.4 Asumsi dan Batasan Penelitian .............................................................. 36
3.4.1 Asumsi Penelitian ......................................................................... 36
3.4.2 Batasan Penelitian ......................................................................... 36
3.5 Hipotesis Penelitian................................................................................ 37
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 38
4.1 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 38
4.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 38
4.2.1 Metode Analisis ........................................................................... 39
4.2.1.1 Estimasi Dampak Penghapusan Tarif Impor ................... 40
4.2.1.2 Estimasi Dampak Usaha Tani ......................................... 44
4.2.1.3 Dekomposisi Tarif ........................................................... 45
4.2.2 Analisis Persamaan Simultan ....................................................... 46
4.2.2.1 Identifikasi Model ........................................................... 46
4.2.2.2 Validasi Model ................................................................ 50
4.2.2.3 Simulasi Model Persamaan Simultan............................... 51
4.2.2.4 Simulasi Historis .............................................................. 52
4.3 Definisis Operasional ........................................................................... 53
V. GAMABARAN UMUM PERKEDELAIAN NASIONAL ...................... 55
5.1 Produksi Kedelai Indonesia .................................................................. 55
5.2 Konsumsi Kedelai Nasional.................................................................. 57
5.3 Impor Kedelai Indonesia ....................................................................... 60
5.4 Kebijakan Perkedelaian Nasional ......................................................... 62
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 71
6.1 Hasil Validasi Model Persamaan Simultan........................................... 71
6.2 Dekomposisi Tarif ................................................................................ 84
6.3 Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor...................................... 84
6.3.1
Dampak terhadap Harga Grosir, Permintaan dan
Surplus Konsumen .................................................................... 84
6.3.2
Dampak terhadap Harga Petani (Produsen), Produksi ............. 87
6.3.3
Dampak terhadap Impor dan Penerimaan Pemerintah ............. 89
6.3.4
Dampak terhadap Surplus Ekonomi Netto................................ 91
6.4 Dampak Kebijakan Perdagangan (Impor) Kedelai terhadap Usahatani
Kedelai Nasional ................................................................................... 93
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 99
7.1 Kesimpulan ........................................................................................... 99
7.2 Saran...................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 102
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... 105
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
di Indonesia Tahun 1990-2007 .................................................................
3
2.
Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai Indonesia Tahun 1994-2008.....
6
3.
Perkembangan Impor Komoditi Kedelai (termasuk bungkil kedelai)
Indonesia Menurut Negara Asal, 2002-2007........................................
8
1.
4.
Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Kedelai
di Indonesia pada Tahun 1969-2008 ........................................................ 56
5.
Penurunan Jumlah Konsumsi Pada Rentang Tahun 1971-2005 (Ton).... 58
6.
Perkembangan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia dari
Tahun 1969-2008 (Kg per Tahun)............................................................ 59
7.
Neraca Perubahan Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesi
Tahun 1969-2008...................................................................................... 61
8.
Program Prokema 2000: Sasaran Produksi dan Peranan Impor Indonesia
Tahun 1998-2003...................................................................................... 66
9.
Hasil Perbandingan Program Prokema dengan Kondisi Riil
(Yang SebenarnyaTerjadi) pada Tahun 1998-2003.................................. 66
10. Hasil Validasi Persamaan Simultan.......................................................... 71
11. Hasil Regresi Persamaan Harga Paritas Impor pada Tingkat Grosir........ 72
12. Hasil Regresi Persamaan Konsumsi Kedelai Per Kapita ......................... 75
13. Hasil Regresi Persamaan Harga Kedelai pada Tingkat Produsen ........... 78
14. Hasil Regresi Persamaan Jumlah Produksi (Penawaran) Kedelai............ 81
15. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga
Petani, Penawaran (Produksi) dan Surplus Produsen pada Periode Tahun
1969-2008................................................................................................. 83
16. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga
Petani, Penawaran (Produksi) dan Surplus Produsen pada Periode Tahun
1969-2008................................................................................................. 87
17. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor terhadap Volume Impor
dan Penerimaan Pemerintah pada Periode Tahun 1969-2008 .................. 89
18. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap
Perubahan Total Kesejahteraan (Surplus Netto) pada Periode
Tahun 1969-2008...................................................................................... 92
19. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor terhadap Keuntungan
Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur pada
Periode Tahun 1969-2008 ....................................................................... 94
20. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap
Keuntungan Usahatani Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat
dan Jawa Timur pada Periode Tahun 1969-2008 .................................... 96
21. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai.... 117
22. Data Keragaan Kedelai Di Indonesia Periode Taahun 1969-2008........... 118
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Market Share Volume Impor Komoditi Tanaman Pangan
Tahun 1994–2008.................................................................................
7
2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan....................................
23
3. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran.....................................
24
4. Dampak Keseimbangan Parsial akibat Pemberlakuan Tarif ...............
27
5. Biaya dan Manfaat Pemberlakuan Tarif ..............................................
28
6. Kerangka Model Ekonometrika.....................................................................
30
7. Ilustrasi Konsep Dampak kebijakan Tarif terhadap Perdagangan
Kedelai di Indonesia.............................................................................
33
8. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian .......................................
35
9. Ilustrasi Dampak Pengenaan Tarif Impor............................................
39
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1 Hasil Regresi Persamaan Simultan ........................................................ 105
2
Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai . 117
3
Data Keragaan Kedelai Nasional Periode 1969-2008............................ 118
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional.
Pembangunan
pertanian
nasional
muaranya
bertujuan
untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Adapun visi
pembangunan pertanian Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera,
khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing,
berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi. Indikator mendasar dari
kemakmuran suatu bangsa adalah tersedianya pangan yang cukup, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu bahan pangan yang dikonsumsi
masyarakat Indonesia adalah kedelai. Meskipun kedelai bukan sebagai bahan
pangan utama, tetapi kedelai merupakan komoditas palawija yang dimasukan ke
dalam kebijakan pangan nasional.
Belakangan ini berkembang tuntutan keberpihakan kepada petani dalam
bentuk pembatasan impor komoditas pertanian. Tuntutan ini muncul sebagai
reaksi terhadap kondisi yang terjadi beberapa tahun terakhir dimana; (i) Pasar
Indonesia semakin banyak dimasuki oleh produk (pertanian) impor dengan harga
yang murah, (ii) Luas areal tananam dan produksi beberapa komoditas pertanian
cenderung menurun atau stagnan (tetap), dan (iii) Banyak negara, khususnya
negara maju, yang melakukan perlindungan kepada petani mereka. Sentimen
seperti ini cepat memperoleh dukungan politisi dan masyarakat luas, terutama
setelah melihat dan mendengar kenyataan bahwa negara-negara utama pengekspor
2
produk pertanian ke Indonesia. Ambil salah satu contoh, Amerika Serikat yang
telah banyak mengeluarkan milyaran dollar untuk melindungi petaninya.
Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah Indonesia sejak dasawarsa
terakhir ini telah dan sedang melakukan upaya untuk meningkatkan produksi
kedelai nasional. Upaya tersebut terus dilakukan karena kedelai merupakan
komoditas penting dalam pencapaian ketahanan pangan dan perekonomian
nasional. Upaya-upaya dalam peningkatan produksi dan pemenihan kebutuhan
kedelai telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1986. Pada tahun anggaran
1990/1991 sampai dengan tahun anggaran 1997/1998 juga dilakukan upaya
berkesinambungan dalam rangka peningkatan produksi kedelai nasional. Pada
tahun 2001 pemerintah telah melakukan peningkatan produksi kedelai dengan
program Gema Palagung 2001 (Deptan, 2000).
Upaya-upaya pemerintah dalam rangka peningkatan produksi kedelai selalu
sempurna dalam perencanaannya. Dalam kenyataannya (aktualisasi) sasaran
produksi kedelai nasional belum dapat tercapai, karena berbagai kendala dan
permasalahan yang dihadapi. Belajar dari kegagalan yang terdahulu, pada tahun
2008 ini pemerintah sedang melaksanakan Program dan Aksi Peningkatan
Produksi Kedelai Nasional Tahun 2008 yaitu aksi percepatan peningkatan
produksi kedelai nasional yaitu sasaran produksi mencapai 1,2 juta ton dengan
luas panen 760.000 hektar (Deptan, 2008). Rencana dari program pemerintah
tersebut adalah untuk mengurangi jumlah impor kedelai dan memperpaiki
perkedelaian nasional.
Program pemerintah tersebut dilandasi dari fakta kemunduran perkedelaian
nasional. Data limabelas tahun terakhir menunjukan bahwa terjadi kecenderungan
3
menurunnya luas areal panen yang berakibat pada menurunnya produksi kedelai
nasional. Pada tahun 1994 luas areal panen nasional 1.564.179 hektar turun
menjadi 549.412 hektar pda tahun 2008 atau turun sebesar 49,79 persen. Produksi
pada tahun 1998 mencapai 1.304.950 ton turun menjadi 723.535 ton pada tahun
2008, atau turun sebesar 44,55 persen (Deptan, 2008). Penurunan jumlah produksi
kedelai juga disebabkan oleh permasalahan harga kedelai. Harga kedelai petani
yang kalah bersaing dengan kedelai impor akan mempengaruhi keputusan petani
dalam menanam kedelai. Pada akhirnya jumlah produksi kedelai nasional pun
akan berkurang akhibat semakin sedikitnya petani menanam kedelai.
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai
di Indonesia Tahun 1990-2007.
Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
1994
1.406.039
1.564.179
1.112
1995
1.476.285
1.679.092
1.137
1996
1.277.736
1.515.937
1.186
1997
1.118.140
1.356.108
1.213
1998
1.094.262
1.305.640
1.193
1999
1.151.079
1.382.848
1.201
2000
824.484
1.017.634
1.234
2001
678.848
826.932
1.218
2002
544.522
673.056
1.236
2003
526.796
671.600
1.275
2004
565.155
723.483
1.280
2005
621.541
808.353
1.301
2006
580.534
747.611
1.288
2007
502.104
664.438
1.323
2008*
549.412
723.535
1.317
Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan 2008, Diolah.
Keterangan: (*) ARAM II 2008.
4
Melihat posisi kedelai yang sangat strategis di negeri ini, maka dibutuhkan
suatu kebijakan yang tepat. Dengan kebijakan yang tepat, diharapkan tidak ada
pihak yang mengambil keuntungan yang dapat merugikan bangsa. Ketua Umum
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudohusodo (2005)
mengilustrasikan, bahwa dimasa yang akan datang akan terjadi lonjakan
kebutuhan pangan yang sangat besar, tak terkecuali kedelai. Melihat hal tersebut ,
sehingga dibutuhkan persiapan dan pembenaan. Tak lain dikarenakan kedelai
yang mempunyai banyak kegunaan, yaitu selain untuk dikonsumsi langsung
maupun sebagai bahan agroindustri seperti tempe, tahu, susu kedelai, tauco, dan
kecap, kedelai juga digunakan untuk keperluan industri pakan ternak.
Data konsumsi kedalai yang terbaru untuk berbagai kepentingan adalah
sebagai berikut: untuk bibit 2,0 persen dari total produksi, diolah untuk produk
bukan makanan 0,7 persen dari total produksi, sedangkan kedelai yang tercecer
5,0 persen dari total produksi dan sisanya 92,3 persen diolah menjadi bahan
makanan, terutama tempe, tahu dan kecap (BPS, 2007). Dari berbagai produk
hasil olahan kedelai, maka data yang konsisten adalah data pengolahan tempe,
tahu dan kecap.
Pengadaan dan pengembangan komoditas kedelai sangat penting dan
strategis. Mengingat produksi nasional akhir-akhir ini belum mampu mencukupi
kebutuhan nasional. Padahal dahulu sebelum tahun 1975 Indonesia merupakan
negara pengekspor kedelai tetapi sekarang justru yang terjadi sebaliknya. Hal
tersebut disebabkan peningakatan permintaan kedelai yang begitu cepat,
sementara produksi berkembang dengan lambat bahkan lebih cenderung menurun.
Konsumsi meningkat dari 2,83 kg per kapita per tahun pada tahun 1969 menjadi
5
10 kg per kapita per tahun pada tahun 2008 atau meningkat rata-rata 7,29 persen
per tahun (BPS, 2008).
Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan yang luas sudah semestinya
harus mampu mengembangkan produksi kedelai nasional sendiri. Dengan
berswasembada kedelai, pemenuhan kebutuhan dalam negeri pun tidak mutlak
tergantung pada produk impor. Apalagi bila produk impor ternyata merupakan
hasil rekayasa genetika dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas. Sehingga
jika terjadi kenaikan harga kedelai impor yang terlalu tinggi, Indonesia tidak
terlalu besar terkena dampaknya.
Seiring pertambahan penduduk dengan pertambahan konsumsi akan kedelai
yang semakin meningkat, maka dibutuhkan suatu jalan keluar. Salah satu jalan
keluarnya adalah meningkatkan jumlah produksi sesuai dengan jumlah
pertambahan penduduk dan konsumsi. Sementara peningkatan jumlah penduduk
dan konsumsi semakin cepat, tetapi hal tersebut tidak diikuti oleh peningkatan
jumlah produksi kedelai. Keadaan tersebut diperparah dengan keadaan
perkedelaian Indonesia yaitu produksi kedelai yang berjalan stagnan bahkan
relatif menunjukan penurunan. Penurunan produksi kedelai di Indonesia
disebabkan oleh semakin berkurangnya lahan untuk produksi, yang dikonversikan
untuk perumahan dan industri. Kondisi tersebut semakin memicu untuk terjadinya
impor kedelai. Impor tersebut untuk menutupi kekurangan permintaan dalam
negeri yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sedikitmya 2,5 juta
ton per tahun jumlah kebutuhan kedelai nasional sekarang ini, 70 persennya atau
sekitar 1,5 juta ton dipenuhi melalui impor. Jumlah tersebut sebagian besar
6
digunakan untuk kebutuhan industri pakan ternak, makanan dan minuman serta
industri rumah tangga.
Jumlah kebutuhan kedelai nasional yang tidak dapat dipenuhi dari produksi
kedelai nasional, akhirnya senantiasa dipenuhi melalui impor. Seperti yang terlihat
pada data sepuluh tahun di bawah ini. Seperti pada data lainnya menunjukan
dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (Tabel 2) konsumsi kedelai meningkat 160
persen. Kondisi ini semakin memperlebar kesenjangan antara produksi dan
konsumsi. Sehingga tak heran jika Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor
kedelai di dunia dengan pangsa yang cukup besar, selain Belanda, Jepang, Korea
Selatan dan Jerman.
Tabel 2. Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesia Tahun 1994-2008
Persentase Impor terhadap
konsumsi
(%)
Tahun
Produksi
(ton)
Konsumsi
(ton)
Impor
(ton)
1994
1.564.179
2.365.000
800.153
33.83
1995
1996
1.679.092
1.515.937
2.287.000
2.263.000
606.993
745.819
26.54
32.96
1997
1.356.108
1.973.000
616.109
31.23
1998
1.305.640
1.649.000
344.050
20.86
1999
1.382.848
2.684.000
1.301.152
48.48
2000
1.017.634
2.264.000
1.276.366
56.38
2001
2002
826.932
673.056
1.960.000
2.017.000
1.133.068
1.343.944
57.81
66.63
2003
671.600
2.016.000
1.344.400
66.69
2004
723.483
2.015.000
1.291.517
64.10
2005
808.353
1.987.469
1.086.177
54.65
2006
747.611
2.022.516
1.078.420
53.32
2007
2008*
664.438
723.535
2.059.000
2.095.000
1.199.839
1.371.465
58.27
65.46
Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008, diolah.
Keterangan: (*) ARAM II 2008.
7
Kecenderungan meningkatnya pangsa kedelai impor di Indonesia,
menunjukan bahwa pasar kedelai dalam negeri memiliki prospek yang cukup
baik. Hal ini akan banyak dimanfaatkan oleh para importir untuk megambil
keuntungan, karena terdapat gap (selisih) yang sangat besar antara harga kedelai
lokal dengan kedelai impor. Sebagai gambaran harga kedelai impor Rp 1.900 per
kg sedangkan harga kedelai lokal mencapai Rp 2.500 per kg (BPS, 2006).
Kontribusi impor kedelai saat ini menempati urutan kedua untuk market
share berdasarkan nilai impor komoditi tanaman pangan tahun 1994–2008.
Market share (pangsa pasar) kedelai sebesar 28 persen dengan rata-rata volume
impor mencapai 2,65 juta ton per tahun dengan nilai 651,792,068 USD (BPS,
2008). Market share volume impor komoditi tanaman pangan dapat dilihat pada
Gambar 1.
Produk Tanaman
Pangan Lainnya
1%
Ubi kayu
1%
Gandum
Beras
17%
41%
Jagung
11%
Kacang Tanah
1%
Kedelai 28%
Gambar 1. Market Share Volume Impor Komoditi Tanaman Pangan Tahun
1994 – 2008.
Sumber: BPS (2008), Diolah.
8
Negara eksportir kedelai utama ke Indonesia adalah Amerika Serikat,
dengan rata–rata share impor Indonesia dari tahun 1994–2008 sebesar 54 persen
atau 1,42 juta ton per tahun dari seluruh impor kedelai Indonesia.
India
menempati posisi kedua dengan rata–rata share sebesar 19 persen atau sekitar
491,935,245 kg per tahun (Deptan, 2008). Apabila kondisi ini dibiarkan terjadi
terus menerus dikhawatirkan akan menambah keterpurukan perkedelaian nasional.
Dampak jangka panjangnya Indonesia akan selalu ketergantungan terhadap
kedelai impor, sehingga akan menjadi sulit untuk memperbaikinya kembali. Hal
ini sudah terbukti, terjadinya kenaikan harga kedelai impor yang melebihi 100
persen. Kondisi tersebut bukan hanya berdampak terhadap konsumen bahkan
petani pun akan terkena dampak negatifnya.
Tabel 3. Perkembangan Impor Komoditi Kedelai (termasuk bungkil kedelai)
Indonesia Menurut Negara Asal, 2002-2007.
Tahun Pengamatan
Negara
2002
2003
Malaysia
52.672
50.477
Argentina
254.604
284.786
Brazil
179.287
293.041
India
478.411
532.213
Amerika 1.159.795 1.274.818
Total
2.227.317 2.568.473
Malaysia
13,235
13,681
Argentina
Brazil
India
Amerika
Total
45,865
33,428
84,554
270,788
475,155
61,827
62,920
108,096
280,243
558.718
2004
2005
2006
2007
Volume (ton)
109.073
87.720
28.104
10.518
193.132
220.632
699.354
240
407.217
620.981
409.074
503.982
487.494
231.539
717.973
2.036.976 1.415.678 1.635.109
977.828
2.728.358 2.716.618 2.773.371 2.881.735
Nilai (000USD)
25,766
20,280
10,085
4,939
48,722
111,436
454,390
611,140
43,043
87,139
97,536
309,593
591,104
48,877
145,035
54,114
435,369
706,677
Sumber : Subdit Analisa dan Informasi Pasar, Dit. PI (2007) diolah
Keterangan: (-) Data tidak tersedia.
242,230
136,116
198,082
361,033
967,957
9
Disisi lain Indonesia sebagai anggota WTO harus mematuhi Agreement on
Agriculture (AoA). AoA memuat
kesepakatan untuk mengurangi hambatan
perdagangan pertanian melalui program reformasi jangka panjang secara bertahap
(Gradual Reform). Yang pada akhirnya diharapkan akan tercipta suatu sistem
perdagangan komoditas pertanian yang adil dan berorientasi pasar (a fair and
equitable market oriented agriculture system). Inti kesepakatan AoA adalah: (1)
Meningkatkan akses pasar melalui pengurangan hambatan perdagangan, berupa
penurunan tarif impor, tarifikasi hambatan non tarif, (2) Pengurangan subsidi
ekspor (export subsidy), dan (3) Pengurangan bantuan kepada petani dalam negeri
(domestic support) (Deptan, 2002).
Selanjutnya ada tiga kelompok negara yang terlibat dalam perdagangan
dunia pada sektor pertanian. Pertama, negara produsen eksportir yang konsisten
dan efisien. Bagi kelompok negara ini, liberalisasi perdagangan dunia akan
menguntungkan karena peluang pasar dunia akan terbuka lebar bagi komoditas
ekspor mereka. Kedua, negara produsen eksportir yang kurang efisien atau yang
memiliki banyak petani kecil dan masih membutuhkan bantuan pemerintah. Bagi
kelompok negara seperti ini, AoA menimbulkan dampak negatif terhadap upaya
pengembangan ekspor pertanian. Ketiga, negara konsumen importir hasil
pertanian. Kelompok negara seperti ini akan diuntungkan karena liberalisasi
perdagangan berarti produk bermutu tinggi dengan harga yang bersaing akan
merupakan pilihan yang efisien. Berdasarkan data Sekretariat WTO (Juni, 2000),
Indonesia merupakan importir kesatu untuk beras dan kesepuluh untuk kedelai
dan bungkil kedelai.
10
Liberalisasi perdagangan dalam berbagai bentuk kebijakan, adalah
penghapusan tarif impor atau kuota terhadap komoditi kedelai. Kebijakan tersebut
akan berpengaruh terhadap keragaan permintaan dan penawaran kedelai sehingga
mempengaruhi harga domestik. Perubahan-perubahan harga dunia selanjutnya
akan mempengaruhi keputusan produsen dalam investasinya dan konsumen dalam
mengkonsumsi kedelai. Perubahan-perubahan ekonomi global, regional bahkan
perubahan pengelolaan dalam sistem ekonomi Indonesia dari sistem sentralisasi
menjadi sistem desentralisasi akan sangat berpengaruh terhadap perdagangan
komoditas pertanian, termasuk kedelai. Gejolak dari sistem perdagangan dunia
adalah tak menentunya terhadap perubahan harga komoditi. Hal tersebut terbukti
sekarang dengan naiknya harga kedelai impor dunia yang mencapai lebih dari 100
persen. Harga kedelai impor berubah dari Rp 900 per kg menjadi Rp 9.000 per kg.
Keadaan tersebut terpicu dari kekhawatiran masyarakat internasional yang
tidak mendapatkan kedelai lagi. Alasannya Amerika Serikat sebagai negara
eksportir kedelai terbesar didunia akan mengurangi produksi kedelai. Kebijakan
pengurangan produksi kedelai dilakukan untuk menunjang kebijakan baru.
Kebijakan baru tersebut adalah peningkatan jumlah produksi jagung yang
berkaitan untuk program bio-fuel berbahan baku jagung. Untuk mensukseskan
program tersebut pemerintah membutuhkan lahan, maka selanjutnya pemerintah
mengkonversi lahan kedelai menjadi lahan jagung. Berawal dari issue tersebut
harga kedelai impor di seluruh pasar internasonal mengalami kenaikan yang
sangat besar dan susah dikontrol. Hal ini perlu diantisipasi agar stabilitas pasar
kedelai dalam negeri dapat terjamin. Penanganan dan kebijakan yang tepat
diharapkan dapat meminimalisir dampak terhadap konsumen dan produsen.
11
Dalam hal ini pemerintah selaku decisión maker (pengambil kebijakan) tak boleh
salah dalam menentukan dan menerapkan kebijakan.
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan perdagangan internasional
yang kerap kali dilakukan adalah tarif. Kebijakan yang baik seyogyanya tidak
akan menimbulkan dampak negatif dikemudian hari. Produsen (petani) dan
konsumen sebagai objek yang akan merasakan dampaknya, seharusnya sudah
diperhitungkan secara cermat dan matang oleh para pelaku pengambil kebijakan.
Kebijakan penghapusan tarif impor secara potensial akan memberikan dampak
negatif terhadap penerimaan usaha tani. Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai salah
satu lumbung kedelai nasional diperkirakan yang akan menerima dampak negatif
tersebut. Apabila dampak negatif yang diterima oleh para petani dikedua wilayah
tersebut dirasakan sangat besar, dikhawatirkan produksi kedelai nasional akan
semakin terpuruk.
1.2.
Perumusan Masalah
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah melalui Departemen Pertanian
(Deptan) meminta penambahan daftar komoditi yang dikenakan perlambatan
penurunan tarif bea masuk (BM) dalam kerangka CEPT (Common Effective
Prefferential Tariff /skim penurunan tarif BM) intra ASEAN. Selain gula dan
beras, Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan meminta agar ditambahkan lagi
kedelai dan jagung. Alasannya, komoditi ini termasuk satu paket usulan Indonesia
untuk dikenakan proteksi dan promosi ke WTO. Hal ini sangat perlu dilakukan
oleh pemerintah, karena petani sampai saat ini masih harus dilindungi. Sebagai
gambaran, beberapa negara ASEAN, mampu menerapkan BM kedelai sesuai skim
penurunan tarif CEPT intra ASEAN 0-5 persen. Misalnya Thailand menerapkan
12
BM 5 persen untuk dua jenis kedelai yakni HS.1201.00.100 dan HS.1201.00.900.
Filipina diketahui menetapkan BM kedelai jenis HS. 1201.00.1000 juga 5 persen.
Namun, Filipina menetapkan BM jagung impor 50 persen dan Thailand 60 persen
Disisi lain pengenaan tarif akan semakin menyulitkan para pengusaha
agribisnis yang memakai bahan baku utama kedelai. Karena pemberlakuan tarif
akan menaikan harga kedelai di dalam negeri. Itu sebabnya di era global saat ini,
kedelai sangat rentan terhadap situasi perdagangan dunia. Apalagi Indonesia yang
merupakan negara importir terbesar kesepuluh menurut data WTO. Sebagai
gambaran, dari sedikitnya 2,1 juta ton kebutuhan kedelai dewasa ini, lebih dari
65,5 persen atau sekitar 1,3 juta dipasok dari impor terutama asal AS sebagai
produsen utama dunia. Sisanya dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri yang
jumlahnya terus berkurang, di tengah kecenderungan meningkatnya kebutuhan
akan kedelai. Akibatnya volume impor kedelai terus meningkat dari tahun ke
tahun, seiring terus meningkatnya kebutuhan terutama untuk pembuatan tahu dan
tempe.
Dewasa ini terjadi kendala baru untuk mendapatkan kedelai di pasar dunia
yang semakin langka. China sebagai salah satu produsen terbesar kedelai, ternyata
mengimpor kedelai dari AS dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan
dalam negerinya. Sementara itu, luas areal tanam kedelai di AS yang semakin
berkurang. Penyebabnya dari semakin lemahnya daya saing kedelai dengan
jagung adalah adanya issue global tentang Bio-fuel (BioDiesel) dari bahan baku
jagung. Hal ini akan menyebabkan permintaan kedelai semakin tinggi sementara
pasokan kedelai dunia semakin berkurang. Pada akhirnya akan meningkatkan
harga kedelai dipasar dunia. Dengan kenaikan harga kedelai impor dari Rp 3.500
13
per kg menjadi Rp 7.000 hingga Rp 7.500 per kg dan saat ini mencapai Rp 8000
per kg, membuat para produsen tahu tempe yang sebagian besar usaha kecil dan
rumah tangga terpaksa berhenti berproduksi, menunggu harga kembali normal
(Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), 2008).
Impor kedelai yang makin terbebani fluktuasi kurs rupiah dan bea masuk
10 persen yang masih dikenakan pemerintah, padahal bea masuk di China sudah 0
(nol) persen. Atas berbagai situasi ini, akhirnya kedelai sampai ke tangan para
perajin tahu dan tempe dengan harga sangat mahal, kenaikan harga kedelai yang
melebihi 100 persen pada awal tahun 2008 ini. Kondisi ini sangat memberatkan
bagi para pengusaha tahu dan tempe. Dan tentunya, konsumen yang
mengkonsumsi tahu dan tempe juga terkena dampaknya dari kenaikan harga
kedelai impor. Harga yang mahal tersebut pada akhirnya akan menambah jumlah
pengeluaran yang harus di tanggung oleh konsumen. Apabila masalah ini di
diamkan ada sekitar 1,2 juta usaha kecil dan rumah tangga dengan jumlah tenaga
kerja sebanyak 2,5 juta orang dan 5.000 perusahaan skala besar dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 780 ribu orang terancam gulung tikar. Disebabkan karena
masalah pasokan bahan baku yang akan semakin membebani biaya produksi
(GAPMMI, 2008).
Menanggapi berbagai pro dan kontra terhadap pemberlakuan tarif impor
atau bea masuk ini, baik yang terkait urgensi, tingkat tarif yang akan dikenakan
(Level of Tariff Rate), maupun dampak potensial yang akan ditimbulkan oleh tarif
impor. Hal ini sesuai dengan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu terjadi
gejolak terhadap kenaikan harga kedelai yang melebihi 100 persen.
14
Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan semakin tingginya
harga kedelai pada tingkat domestik adalah dengan menghilangkan tarif impor.
Kebijakan tersebut diharapkan akan menurunkan harga kedelai pada tingkat
domestik, tentunya juga diharapakan tidak menimbulkan dampak negatif yang
tidak terlalu besar khususnya bagi para petani.
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah di paparkan
diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi dampak dari
dekomposisi tarif, harga produsen, konsumen, surplus producen, produksi,
permintaan, surplus konsumen, jumlah impor, perdagangan netto, penerimaan
pemerintah dan perubahan penerimaan usahatani.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan oleh seluruh stakeholder
dalam memajukan perkedelaian nasional, sehingga diharapkan Indonesia kelak
bisa berswasembada kedelai dan terlepas dari ketergantungan terhadap kedelai
impor. Stakeholder yang terkait diantaranya mencakup tiga pihak yaitu
pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pelaku ekonomi, dan akademisi sebagai
data dasar (Bench Mark Data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam
bidang ini.
14
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Perdagangan Internasional
Kebijakan perdagangan internasional termasuk dalam ilmu ekonomi
internasional. Menurut Salvatore (1997), Ilmu ekonomi internasional mengkaji
saling ketergantungan antar negara. Secara spesifik, ilmu ekonomi internasional
membahas teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan internasional,
paluta pasar asing dan neraca pembayaran (Balance of Payment), serta ilmu
makroekonomi pada perdagangan terbuka.
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek
mikroekonomi ilmu ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masingmasing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta
berhubungan
dengan
harga
relatif
satu
komoditas.
Teori
perdagangan
internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta
keuntungan yang di perolehnya (Salvatore, 1997). Masih menurut pendapat
Salvatore (1997), kebijakan perdagangan internasional mengkaji alasan-alasan
serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta yang hal-hal menyangkut
proteksionisme baru (New Protectionism).
Salvatore menyimpulkan, model perdagangan internasional pada dasarnya
sama-sama memiliki sejumlah kesamaan sebagai berikut;
1. Kapasitas produktif dari dari suatu perekonomian terbuka akan dapat di
ketahui berdasarkan kurva batas-batas kemungkinan produksinya, dan
sesungguhnya perbedaan di dalam batas-batas kemungkinan produksi
16
itulah yang membuka peluang bagi terjadinya hubungan perdagangan
diantara negara-negara yang bersangkutan.
2. Batas-batas
kemungkinan
produksi
senantiasa
menetukan
skedul
penawaran relatif dari masing-masing negara.
3. Keseimbangan dunia akan ditentukan oleh permintaan relatif dunia dan
skedul penawaran relatif dunia yang terletak antara skedul-skedul
penawaran relatif nasional (per negara).
2.2
Hambatan Perdagangan
Perdagangan bebas (Free Trade) akan dapat memaksimalkan output dan
keuntungan bagi setiap negara yang terlibat di dalamnya, apabila tidak ada
berbagai bentuk hambatan. Namun pada kenyataannya, hampir di setiap negara
masih menerapkan berbagai bentuk hambatan. Karena hambatan-hambatan
tersebut berkaitan erat dengan praktek dan kepentingan perdagangan atau
komersial dari masing-masing negara. Hambatan-hambatan tersebut biasa disebut
sebagai kebijakan perdagangan (Trade Policy) atau kebijakan komersial
(Commercial Policy).
2.2.1
Hambatan Tarif (Tariff Barries)
Bentuk hambatan perdagangan yang paling penting atau menonjol secara
sejarah adalah tarif (Tariff). Salvatore (1997) mendefinisikan, tarif adalah pajak
atau cukai yang di kenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintaslintas wilayah negara. Tarif merupakan bentuk kebijakan yang paling tua dan
secara tradisional telah di gunakan sebagai bentuk penerimaan pemerintah sejak
lama. Ditinjau dari aspek asal komoditi, Salvatore membedakan tarif menjadi dua
17
macam yaitu tarif impor (Import Tariff), yakni pajak yang di kenakan untuk setiap
komoditi yang diimpor dari negara lain; dan tarif ekspor (Export Tariff) yang
merupakan pajak untuk suatu komoditi yang di ekspor.
Ditinjau dari mekanisme perhitungannya, ada beberapa jenis tarif yaitu (1)
Tarif spesifik (Specific Tariff) merupakan pajak yang di kenakan sebagai beban
tetap unit barang yang diimpor, (2) Tarif ad valorem (Ad Valorem Tariff) adalah
pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang
yang di impor, dan (3) Tarif campuran (Compound Tariff) adalah gabungan dari
keduanya (Salvatore,1997). Hambatan perdagangan berupa
tarif ini banyak
dipakai untuk sektor pertanian.
2.2.2
Hambatan Non Tarif (Non Tariff Barriers)
Peranan tarif di negara-negara industri telah menurun dalam era modern
sekarang ini,
khususnya untuk sektor manufaktur, karena pemerintah dari
berbagai negara lebih suka memberlakukan berbagai macam dan bentuk hambatan
non tarif. Menurut Salavatore (1997) ada berbagai bentuk hambatan nontarif,
diantaranya yaitu (1) Kuota impor, (2) Pembatasan ekspor sukarela (VERs,
Voluntary Export Restraints), (3) Aneka standar dan ketentuan teknis,
administratif dan berbagai macam ketentuan lainnya yang menghambat
perdagangan (impor), seperti subsidi kredit ekspor, hambatan birokrasi, kebijakan
pengutamaan produk dalam negeri, pajak perbatasan dan perjanjian komoditi
internasional, (4) Kartel-kartel internasional dan (5) Dumping.
18
2.3
Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia
Kedelai merupakan sumber bahan makanan yang mempunyai kandungan
protein cukup tinggi yaitu 15 persen (FMPI, Forum Masyarakat Perunggasan
Indonesia, 2007). Kedelai juga merupakan sumber bahan makanan yang paling
banyak di konsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kedelai banyak digunakan
sebagai bahan baku untuk tempe, tahu, kecap, tauco, susu, kosmetik, obat dan
pakan ternak. Berdasarkan catatan dan informasi yang ada, informasi
pekembangan penanaman kedelai di Indonesia baru dapat diikuti mulai tahun
1918 dimana tercatat luas areal panen kedelai sebesar 158.900 hektar.
Kedelai nasional masih dihasilkan terutama dari tanaman usahatani rakyat
yang sebagian besar berskala usaha relatif kecil dan tersebar sebagian besar di
pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat (Deptan, 2007).
Berdasarkan kajian Puslitbang Tanaman Pangan (2005) pengembangan usahatani
kedelai di lahan sawah dan lahan kering di tempuh melalui; (1) perluasan areal,
(2) peningkatan produktivitas hasil, (3) peningkatan stabilitas hasil, (4) penekanan
senjang hasil, (5) penekanan kehilangan hasil dan, (6) sistem produksi kedelai
yang berkelanjutan berwawasan lingkungan.
2.4
Kebijakan Perkedelaian Pascareformasi
Produksi kedelai dalam negeri dari tahun ke tahun semakin menurun.
Tahun 2007, misalnya produksi kedelai turun sebesar 18,6 persen dari tahun 2006
yang mnencapai 747.611 ton (Deptan, 2008). Tahun 2000, produksi kedelai
Amerika Serikat (AS) melimpah sehingga sulit untuk menampung penen kedelai
petaninya. Untuk menjaga insentif bagi petaninya, pemerintah AS melalui USDA
(United State Departement of Agriculture) meluncurkan kredit ekspor, GSM 102.
19
pada tahun 2000 kredit ekspor di berikan sebesar 12 juta dollar AS dan tahun
2001 sebesar 750 juta dollar AS. Fasilitas kredit ini di berikan khusus kepada
importir kedelai Indonesia. Dengan fasilitas kredit tersebut, importir Indonesia
banyak yang mendatangkan kedelai dari AS, karene harganya lebih murah Rp 550
per kg bila dibandingkan dengan kedelai lokal. Harga kedali lokal Rp 2.500 per kg
sedangkan kedelai impor Rp 1.950 per kg ( Prabowo H, 2008).
Prabowo H (2008) menjelaskan, kebijakan AS yang diterima begitu saja
oleh pemerintah Indonesia tanpa mengkaji resiko yang lebih panjang, akan
menyebabkan
kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Dampak
selanjutnya, petani lambat laun tak lagi bersemangat untuk menanam kedelai.
Pada akhirnya petani pun menjauhi kedelai dan beralih menanam jagung, ubi
jalar, kacang tanah, dan tanaman palawija lain yang lebih menguntungkan. Hal
tersebut ditambah dengan adanya UU N0.12/1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman. Undang-undang tersebut membebaskan petani untuk mengembangkan
komoditas yang mereka sukai (Deptan).
Menurut Prabowo H (2008), kebijakan pemerintah yang menurunkan tarif
impor dari 10 persen menjadi nol persen tidak akan berarti banyak. Karena
menurutnya, penurunan tarif impor yang hanya 10 persen tidak sebanding dengan
peningkatan harga kedelai yang mencapai 100 persen. Harga kedelai impor saat
ini Rp 8.000 per kg, dengan penurunan tarif impor menjadi nol persen, hanya
menurunkan harga kedelai sebesar Rp 800 per kg.
20
2.5
Hasil Penelitian Terdahulu
Tarif impor biasanya menaikan harga dalam negeri termasuk harga
produsen, tetapi analis regresi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al (2000)
memperlihatkan bahwa harga kedelai dalam negeri tidak dipengaruhi oleh tarif
impor. Lebih jauh hasil penelitian itu memperlihatkan bahwa harga kedelai
ditingkat produsen dipengaruhi oleh harga paritas dan volume impor kedelai.
Kumenaung (2002), meneliti dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi
terhadap keragaan industri komoditas kedelai di Indonesia dengan menggunakan
model persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa
kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi
adalah kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga
kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk.
Dalam mengestimasi dampak kebijakan, Erwidodo dan Hadi (2002)
menganalisis tarif impor jagung dengan menggunakan Partial Welfare Analysis.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa usaha tani jagung masih menguntungkan
dan mampu bersaing dengan jagung impor, dengan memberikan keuntungan
bersih pada kisaran 29-35 persen. Dengan demikian menurut penelitian Erwidodo
dan Hadi, pemerintah tidak mempunyai alasan cukup kuat untuk memberlakukan
tarif impor jagung.
Dampak kebijakan proteksi beras, pernah diteliti oleh Prajogo U.Hadi dan
Budi W.(2005). Penelitian tersebut menunjukan bahwa kebijakan proteksi yang
merupakan kombinasi tarif dan nontarif meningkatkan harga produsen, jumlah
produksi, surplus produsen dan pendapatan petani serta menurunkan impor beras
secra signifikan. Kebijakan yang dilakukan adalah pengenaan tarif impor sebesar
21
Rp 450 per kg, yang mengkombinasikan dengan kebijakan non tarif yaitu
pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor, sebelum negara-negara lain
(eksportir) bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestik secara
signifikan.
Desi Rahmawati (2005), menganalisis dampak kebijakan tarif impor dan
variabel-variabel yang mempengaruhi volume impor gula. Untuk anlisis dampak
pengenaan tarif menggunakan pendekatan keseimbangan parsial (Partial
Equilibrium Approach) dan analisis variabel-variabel yang mempengaruhi volume
impor gula menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa jumlah permintaan, tarif dan produksi kedelai
mempengaruhi jumlah volume impor kedelai secara signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian Purnamasari (2006), mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai di Indonesia dengan
menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa faktor–faktor yang mempengaruhi produksi kedelai nasional adalah luas
areal panen, produktivitas kedelai dan harga kedelai. Sedangkan faktor-faktor
yang secara nyata mempengaruhi jumlah impor kedelai adalah harga kedelai
internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi
kedelai.
Penelitian terdahulu mengenai tarif impor kedelai menunjukan bahwa
pemberlakuan tarif impor tidak efektif dalam menaikan harga dalam negeri,
karena pada saat tarif impor menurun, nisbah harga konsumen terhadap harga
paritas malah meningkat. Oleh karena kebijakan tarif tidak efektif dalam
22
menaikan harga kedelai domestik, maka peningkatan kesejahteraan sebagai akibat
dari penghapusan tarif tersebut mungkin tidak terjadi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini
mengkaji dampak pemberlakuan tarif impor terhadap komoditas kedelai di
Indonesia
dengan
menggunakan
analisis
keseimbangan
parsial
(Partial
Equilibrium) dan persamaan simultan. Sejauh pengamatan dan tinjauan pustaka
yang dilakukan oleh penulis, penelitian mengenai dampak pemberlakuan tarif
impor terhadap komoditas kedelai di Indonesia dengan menggunakan analisis
keseimbangan parsial (Partial Equilibrium) belum pernah dilakukan.
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Permintaan
Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli
oleh para pelanggan/konsumen selama periode waktu tertentu berdasarkan
sekelompok kondisis tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
adalah haraga barang yang bersangkutan, harga dan ketersediaan barang lain yang
berkaitan,
perkiraan akan perubahan harga, pendapatan konsumen, selera,
preferensi konsumen, pengeluaran periklanan dan sebagainya (Papas, 1995).
Kecuali faktor harga yang bersangkutan, faktor-faktor lain yang mempengaruhi
permintaan tersebut akan menggeser kurva permintaan. Pergeseran kurva
pemintaan berdasarkan Gambar 2, ditunjukan pergeseran dari D1 ke D2.
P (harga)
B
P2
A
P1
D1
0
Q2
Q1
D2
Q (kuantitas)
Gambar 2. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan
Sumber: Papas, 1995
Berdasarkan Gambar 2, kurva permintaan menunjukan bahwa kuantitas
permintaan responsif terhadap harga, bila harga tinggi maka jumlah/kuantitas
permintaan akan sedikit begitu pun sebaliknya. Pergerakan kurva permintaan dari
24
A ke B dipengaruhi oleh harga barang yang bersangkutan yaitu perubahan harga
dari P1 ke P2. pengenaan tarif impor dengan pendekatan analisa kurva permintaan
akan merubah posisi harga barang yang bersangkutan sehingga terjadi pergerakan
terhadap kurva permintaan tersebut.
3.1.2. Teori Penawaran
Penawaran merupakan jumlah sutu barang dan jasa yang rela dan mampu
dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan berdasarkan
sekelompok kondisi tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran adalah
harga barang yang bersangkutan, harga barang lain yang berkaitan, teknologi,
tingkat masukan/input, cuaca dan sebagainya. Komponen kunci dalam penetapan
penawaran adalah keuntungan marjinal dan biaya marjinal yang berkaitan dengan
keluaran/output (Papas, 1995). Kecuali faktor harga yang bersangkutan, faktorfaktor lain yang mempengaruhi penawaran tersebut akan menggeser kurva
penawaran. Pergeseran kurva penawaran berdasarkan Gambar 3, ditunjukan
pergeseran dari S1 ke S2.
P (harga)
S2
S1
P2
P1
0
N
M
Q (kuantitas)
Q1
Q2
Gambar 3. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran
Sumber: Papas, 1995
25
Kurva penawaran
yang terlihat pada Gambar 3, menunjukan bahwa
kuantitas penawaran responsif terhadap harga, bila harga naik maka kuantitas
(jumlah) yang ditawarkan pun akan naik, begitu juga sebaliknya. Pergerakan
kurva penawaran dari M ke N dipengaruhi oleh barang yang bersangkutan yaitu
perubahan P1 ke P2. Pergerakan tarif impor dengan pendekatan analisa kurva
penawaran akan merubah posisi harga barang yang bersangkutan, sehingga terjadi
pergerakan kurva penawaran tersebut.
Menurut Kumenaung (2002) menyatakan bahwa penawaran kedelai
bersifat elastis terhadap perubahan harganya. Elastisitas harga kedelai di pulau
Jawa lebih besar dibandingkan di luar pulau Jawa. Hal ini berimplikasi pada
perluasan areal panen yang seharusnya lebih besar di Jawa dibandingkan di luar
wilayah Jawa.
3.1.3. Teori Kebijakan Perdagangan Internasional
Teori kebijakan perdagangan internasional termasuk dalam ilmu ekonomi
internasional. Menurut Salvatore (1997), Ilmu ekonomi internasional mengkaji
saling ketergantungan antar negara. Secara spesifik, ilmu ekonomi internasional
membahas teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan internasional,
valuta pasar asing dan neraca pembayaran (Balance of Payment), serta ilmu
makroekonomi pada perdagangan terbuka.
Teori
kebijakan
perdagangan
internasional
merupakan
aspek
mikroekonomi ilmu ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masingmasing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta
berhubungan
dengan
harga
relatif
satu
komoditas.
Teori
perdagangan
internasional menganalisa dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta
26
keuntungan yang di perolehnya (Salvatore, 1997). Masih menurut Salvatore
(1997), kebijakan perdagangan internasional mengkaji alasan-alasan serta
pengaruh
pembatasan
perdagangan,
serta
yang
hal-hal
menyangkut
proteksionisme baru (New Protectionism).
3.1.4
Kebijakan Tarif Impor
Tarif impor secara teori dapat meningkatkan harga barang domestik pada
negara pengimpor. Akhibatnya untuk konsumen pada negara pengimpor secara
relatif akan mengalami kerugian. Para produsen di negara pengimpor akan
memperoleh keuntungan.
Menurut Salvatore (1997), dampak pemberlakuan tarif impor terhadap
konsumsi (Consumtion Effect of The Tariff) yakni berkurangnya konsumsi
domestik. Dampak pengenaan tarif terhadap produksi (Production Effect of The
Tariff) adalah peningkatan produk domestik (khususnya terhadap komoditi yang
semula lebih banyak di impor). Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan
(Trade Effect of The Tariff) yaitu turunnya impor akibat kenaikan harga di negara
pengimpor.
Dampak-dampak keseimbangan parsial akibat pemberlakuan tarif impor
dapat di lihat pada Gambar 4 berikut ini.
27
27
Pq ( harga )
Sq
E
PE
P2
G
P1
A C
J
H
Sf + T
T
M
N
B
Sf
Dq
Q (quantitas)
Q1
Q2
Q3
Q4
Gambar 4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif.
Sumber: Salvatore, 1997
Dalam Gambar 4, Dq dan Sq melambangkan kurva permintaan dan
penawaran komoditi (barang) Q di negara pengimpor atau di istilahkan dengan
Negara 2. dalam kondisi perdagangan bebas harga komoditi C adalah P1. Negara 2
akan mengkonsumsinya sebanyak Q4 (AB); Q1 (AC) diantaranya merupakan
produksi domestik, sedangkan Q4-Q1 (CB) harus di impor dari negara lain. Jika
Negara 2 memberlakukan tarif sebesar T persen terhadap komoditi Q, maka Pq
akan naik menjadi P2 yang sebelumnya di P1, itilah harga yang harus ditanggung
oleh konsumen di Negara 2,sedangkan harga bagi konsumen dunia tidak berubah.
Akibatnya, penduduk pada Negara 2 akan menurunkan tingkat konsumsinya
sebanyak Q3 (GH), serta akan merubah seluruh komposisinya menjadi; Q2 (GJ)
merupakan produksi domestik, sedangkan Q3-Q2 (JH) harus diimpor dari negara
lain untuk menutupi kekurangan kebutuhan domestik. Dengan demikian, dampak
pemberlakuan tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, adalah sebesar
(– (Q4-Q3)) (BN), dampak terhadap produksi bersifat positif, yakni sebesar ( Q2Q1) (CM). Namun secara keseluruhan, pemberlakuan tarif akan merugikan
28
perdagangan, yakni [-{(Q4-Q3) + (Q2-Q1)}] (BN + CM), meskipun tarif
memberikan penerimaan kepada pemerintah Negara 2 sebanyak [(Q4-Q3) + (Q2Q1)] (MJHN) dikali dengan kenaikan harga akibat adanya tarif (P2-P1).
Ada empat dampak yang ditimbulkan dari pengenaan tarif yaitu (1)
dampak terhadap konsumsi, (2) dampak terhadap produksi, (3) dampak terhadap
penerimaan pemerintah, dan (4) dampak terhadap perdagangan ( Salvatore,1997).
3.1.5
Biaya dan Manfaat Tarif
Seperti yang telah dijelaskan oleh Salvatore, bahwa untuk membandingkan
biaya dan manfaat tarif, diperlukan perhitungan secara cermat agar dapat
diputuskan tarif secara keseluruhan dapat memberikan gambaran keuntungan atau
kerugian. Pendekatan yang biasa di tempuh untuk mengukur biaya dan manfaat
tarif tergantung pada dua konsep yang lazim digunakan dalam analisis
makroekonomi adalah surplus konsumen dan surplus produsen. Hal ini dapat
diilustrasikan pada Gambar 5. diperoleh dari pengembangan pada Gambar 4.
Pq ( harga )
Sq
R
E
PE
P2
G
J
H
a
c
d
ba
P1
A
B
C
b
N
Q1
Q2
Q3
Dq
Q (quantitas)
Q4
Gambar 5. Biaya dan Manfaat dari Pemberlakuan Tarif.
Sumber: Salvatore, 1997.
29
3.2
Model Persamaan Simultan
Perumusan model merupakan langkah pertama dan langkah yang paling
penting untuk kita lakukan dalam melakukan suatu penelitian atau mempelajari
berbagai hubungan antar variabel-variabel. Model digunakan untuk mewakili
hubungan variabel-variabel dalam bentuk matematik dimana suatu fenomena
ekonomi dapat dipelajari secara empirik (Koutsoyiannis,1997).
Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
persamaan simultan (simultaneous-equations system). Menurut Supranto (1983),
model pesamaan simultan merupakan suatu himpunan persamaan dimana variabel
tak bebas dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel bebas dalam
beberapa persamaan lainnya, yaitu keadaan dimana di dalam sistem persamaan
suatu variabel sekaligus mempunyai dua peranan, yaitu sebagai variabel tak bebas
dan variabel bebas. Jadi, tidak hanya variabel tak bebas Y yang ditentukan,
misalnya oleh variabel bebas X, tetapi bisa juga X ditentukan oleh Y, sehingga X
dan Y nilainya ditentukan secara bersama-sama (Jointly of Simultaneously
Determined).
Didalam model persamaan simultan, terdapat dua jenis persamaan yaitu
persamaan identitas dan persamaan struktural, dimana persamaan struktural
menunjukan pengaruh langsung dari setiap variabel bebas terhadap variabel tak
bebas. Kerangka model ekonoetrika dapat dilihat pada Gambar 6.
(+)
(+)
Konsumsi
kedelai
(+)
Harga kedelai
impor
(+)
(+)
Produktivitas
kedelai
(+)
(-)
(-)
(-)
(+)
(+)
(+)
Produksi kedelai
(-)
Dummy
kebijakan tariff
impor
(+)
Harga kedelai
domestic/ grosir
(-)
Gambar 6. Kerangka Model Ekonometrika
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)(+)
Jumlah kedelai impor
(+)
(+)
(-)
(+)
Lag
produktivitas
Pendapatan perkapita
Populasi
penduduk
Lag jumlah
kedelai impor
Harga jagung
dunia
Harga kedelai
internasional /(CIF)
Exschange rate
Lag harga
kedelai impor
(-)
(+)
(+)
(-)
(+)
(+)
: Variabel Eksogen
(+)
Lag luas areal
panen
(-)
Harga kedelai di
tingkat produsen
(+)
Lag harga kedelai di
tingkat produsen
: Variabel Endogen
Keterangan:
Luas areal panen
kedelai
(-)
Harga benih
kedelai
Lag harga
kedelai
30
31
3.3
Kerangka Pemikiran Operasional
Pasar kedelai Indonesia saat ini merupakan competitive market (pasar
bersaing) yang terbuka untuk impor. Dengan kebijakan penghapusan tarif impor
yang dilakukan pemerintah saat ini dan dihilangkannya monopoli BULOG
terhadap pengadaan dan distribusi kedelai, sebagai tuntutan dari liberalisasi
perdagangan semakin menambah peluang masuknya kedelai impor.
Kebutuhan kedelai nasional yang sangat bergantung dari Amerika Serikat,
bermula dari pemberian fasilitas kredit, khusus kepada importir kedelai Indonesia
melalui USDA pada athun 2000. Dengan fasilitas kredit tersebut, impotir
Indonesia banyak yang mendatangkan kedelai dari Amerika Serikat. Alasanya
jelas, karena harga kedelai yang berasal dari Amerika Serikat tersebut sangat
murah, apabila dibandingkan dengan harga kedelai lokal sangat berbeda
signifikan (Deptan, 2006).
Fluktuasi harga kedelai di pasar dunia tampaknya ditransmisikan secara
proporsional, terbukti dengan terbentuknya harga kedelai yang lebih tinggi di
pasar domestik dibandingkan dengan harga kedelai di pasar dunia. Harga kedelai
lokal waktu itu seharga Rp 2500 per kg, sedangkan harga kedelai impor dari
Amerika Serikat seharga Rp 1950 per kg. Dari kedua harga tersebut terdapat
margin antara kedelai lokal dan impor yaitu sebesar Rp 550 per kg. Hal ini terkait
dengan faktor-faktor lain, diantaranya nilai tukar rupiah yang terus berfluktuasi,
adanya biaya pengiriman (transfer cost), serta hambatan-hambatan lainnya
meskipun pada tahun 1998-2002 pernah dihapuskan tarif impor kedelai sama
dengan nol.
32
Dampak panjang dari ketergantungan tersebut bagi petani kedelai adalah
mereka semakin meninggalkan dan malas untuk menanam kedelai karena dari
faktor harga petani lokal, akan sulit bersaing dengan kedelai impor.Dampak
selanjutnya, harga kedelai domestik akan sangat tergantung pada kondisi
perkedelaian ( produksi ) dari Amerika Serikat. Dampak yang paling terasasa saat
ini adalah naiknya harga kedelai domestik melebihi 100% akibat produksi kedelai
AS semakin berkurang. Kondisi ini semakin tidak terkontrol akibat adanya tarif
impor sebesar 10 persen.
Dampak kebijakan perdagangan kedelai (kebijakan proteksi) di negara
impotir netto (net importir) kedelai seperti Indonesia dapat diestimasi dengan
menggunakan pendekatan model Keseimbangan Parsial (partial equilibrium
model) sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7 dan disimulasi yang
sebelumnya dihitung dengan menggunakan model persamaan simultan. Harga
barang-barang normal di pasar dunia lebih murah dari pada di pasar dalam negeri.
Namun harga yang berlaku di pasar dalam negeri menjadi sama dengan harga
yang berlaku di pasar internasional apabila ada impor yang dapat menutup defisit
produksi (yaitu selisih antara produksi dan konsumsi).
Pada Kondisi 1: (Ada kebijakan tarif impor yang menyebabkan harga
kedelai yang berlaku di pasar dalam negeri (PD1) lebih tinggi dari pada harga
dunia (PW) dengan selisish T). Pada posisi ini, jumlah produksi (penawaran)
adalah QM1 = QD1 – QS1, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor adalah
sebesar daerah segiempat
”cdgh”. Surplus produsen adalah sebesar daerah
segitiga ”acPD1” yang lebih kecil dari pada surplus konsumen yaitu sebesar daerah
”bdPD1”. Perubahan kesejahteraan masyarakat (surplus ekonomi) total adalah
33
sebesar daerah ”acdb” karena ada surplus ekonomi yang hilang (deadweight sosial
loss, DWSL) sebesar daerah segitiga ”cef dan ”dhg”.
Pada Kondisi 2. (Tanpa kebijakan tarif impor, harga yang berlaku di pasar
dalam negeri turun dari PD1 menjadi sama dengan harga dunia (PW)). Pada posisi
ini, jumlah produksi (penawaran) turun menjadi QS2, jumlah konsumsi
(permintaan) naik menjadi QD2, jumlah impor meningkat menjadi QM2 = QD2 QS2, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor hilang (menjadi nol). Surplus
produsen turun menjadi sebesar daerah segitiga ”aePW”, yang semakin jauh lebih
kecil daripada surplus konsumen yang meningkat menjadi sebesar daerah ”bhPW”.
Surplus ekonomi total meningkat menjadi sebesar daerah ”aehb”.
Harga (Rp/kg)
S
b
E
PD 1
T
{P
c
W
e
d
f
g
h
D
a
0
Volume (ton)
QS2
QS1
QD 1
QD 2
Gambar 7. Ilustrasi Konsep Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Terhadap
Perdagangan Kedelai di Indonesia.
Gambar 7 diatas mengilustrasikan dampak kebijakan tarif impor kedelai di
Indonesia. Kondisi 1 mencerminkan kondisi pada saat penelitian dilaksanakan
(2008). Jika pemerintah menghilangkan seluruh biaya tarif impor, maka
34
perdagangan kedelai di Indonesia akan berada pada kondisi 2. Perbedaan kinerja
perdagangan kedelai nasional antara Kondisi 2 dan Kondisi 1 dianggap
merupakan dampak dari penerapan kebijakan menghilangkan tarif impor.
Pada tahap selanjutnya dihitung perubahan harga domestik akhibat
dihilangkannya tarif impor. Perhitungannya dilakukannya dengan mengunakan
simulasi persamaan simultan. Kebijakan pemerintah menghilangkan tarif impor
sebesar nol persen dihipotesis dapat menurunkan harga domestik kedelai.
Penurunan tersebut diperkirakan terjadi pada tingkat pedagang grosir dan
produsen (petani). Di samping pemerintah ingin menrunkan harga kedelai pada
tingkat pedagang besar juga diharapkan dapat menurunkan harga kedelai paritas
impor.
Terakhir, menghitung perubahan terhadap keuntungan usahatani. Dengan
diberlakukannya pembebasan tarif impor oleh pemerintah tersebut, dihapkan tidak
terlampau banyak berdampak negatif terhadap perubahan keuntungan usahatani.
Karena pemerintah sadar betul bahwa hal ini jika berdampak besar maka akan
mematikan keiinginan petani untuk menanam kedelai. Perhitungan tersebut
dihitung dengan membandingkan terhadap dua wilayah yang di indikasikan secara
signifikan paling bisa mewakili seluruh wilayah Indonesia. Kedua wilayah
tersebut adalah Jawa Timur dan Jawa Barat.
35
Penurunan
produktifitas
Penurunan produksi
Kedelai nasional
Penurunan luas
areal panen
Impor kedelai
(ketergantungan pada kedelai AS)
Kebutuhan
kedelai nasional
semakin
meningkat
Perkembangan
industri
pengolahan
kedelai
Kebijakan proteksi tarif impor
(tuntutan keberpihakan kepada petani
dan swasembada kedelai)
Pertumbuhan
penduduk
Tingginya harga
dunia
Upaya
meningkatkan
gairah petani untuk
menanam kedelai
(swasembada
kedelai)
Analisis dampak penghapusan tarif impor kedelai
Dampak harga domestik
dan paritas impor
Surplus
konsumen
Dampak tarif impor
terhadap kesejahteraan
Surplus
produsen
Penerimaan
pemerintah
Dampak terhadap
Keuntungan Usahatani
Surplus
ekonomi neto
Dampak kebijakan tarif impor terhadap jumlah permintaan,
harga produsen dan jumlah penawaran, serta perubahan jumlah
impor.
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
36
3.4.
Asumsi dan Batasan Penelitian
3.4.1. Asumsi Penelitian
Dalam menentukan dampak kebijakan tarif impor kedelai, di pakai
beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Harga kedelai di Indonesia (domestik) di pengaruhi oleh harga kedelai
dunia, karena ketergantungan terhadap kedelai impor sangat tinggi
2. Indonesia termasuk negara kecil (negara 2) dalam produksi dan
perdagangan kedelai, sehingga pengenaan tarif impor tidak dapat
mempengaruhi harga kedelai di pasar dunia.
3. Kenaikan atau peningkatan harga kedelai akibat pengenaan tarif impor
hanya akan mempengaruhi harga kedelai domestik.
4. Untuk menghitung dampak netto yang ditimbulkan oleh tarif impor
terhadap kesejahteraan nasional, dengan mengasumsikan selisih antara
(dalam mata uang) manfaat biaya untuk setiap kelompok adalah sama
dengan nilai sosialnya.
5. Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kedelai warna kuning,
karena kedelai ini merupakan proporsi terbesar yang di konsumsi oleh
masyarakat kita.
3.4.2
Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada kedelai untuk
industri tahu, tempe, kecap dan pengadaan bibit. Karena data ini yang lebih
konsisten tersedia setiap tahunnya. Penulis juga tidak membahas kedelai
berbentuk bungkil kedelai yang diperuntukan untuk pembuatan pakan ternak.
Keterbatasan lain yang tidak dapat di penuhi dalam skripsi ini adalah tidak
37
mengkonversi harga-harga sesuai dengan tingkat inflasi yang terjadi pada setiap
tahun pengamatannya.
3.5
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan pemaparan kerangka pemikiran
terhadap dampak penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia, maka hipotesis
penelitian yang diambil atau digunakan adalah:
1. Terjadi penurunan harga kedelai domestik akibat penghapusan tarif impor
2. Ada pengaruh signifikan antara harga kedelai domestik (produsen dan
grosir) dengan kebijakan tarif impor
3. Nilai tukar rupiah terhadap USD berhubungan positif terhadap harga
kedelai domestik.
4. Harga kedelai domestik dan dunia di pengaruhi oleh kebijakan tarif impor
domestik
5. Produksi (penawaran) kedelai domestik di pengaruhi oleh harga kedelai di
tingkat produsen dan kebijakan tarif impor.
6. Harga kedelai domestik di pengaruhi oleh harga kedelai dunia.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitia ini berasal dari data skunder
dan primer. Data skunder yang digunakan adalah dalam bentuk data tahunan
(deret waktu) dari tahun 1968-2008. Data primer di peroleh dari hasil wawancara
dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan maslah penelitian.
Dengan data sekunder di peroleh dari berbagai instansi/lembaga
pemerintah yang terkait dengan masalah penelitian, diantaranya Badan Pusat
Statistik (BPS), Departemen Pertanian (Deptan), Direktorat Jendral Tanaman
Pangan, Departemen Industri dan Perdagangan (Depperindag), Badan Usaha
Logistik (BULOG), Jurnal Penelitian, disertasi, tesis, skripsi serta literaturliteratur yang relevan dengan masalah penelitian.
4.2.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalalah metode deskriftif dan kuantitatif.
Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran yang luas tentang
berbagai aspek kebijakan tarif impor dan faktor lain yang terkait, yang diharapkan
dapat membantu mempertajan analis kuantitatif. Data yang telah dikumpulkan
kemudian diolah dengan menggunakan alat hitung (kalkulator) dan komputer.
Hasil disajikan dalam bentuk tabulasi dan diuraikan secara deskriptif berdasarkan
tinjauan teoritisnya.
Analisis kuantitaif pada tingkat makro menggunakan pendekatan
keseimbangan parsial (Partial Equilibrum Approach) untyuk memahami dampak
39
tarif impor terhadap harga kedelai domestik, produksi, permintaan, dan impor
kedelai, serta dampak kesejahteraan produsen, konsumen, dan penerimaan,
pemerintah.
4.2.1
Metode Analisis
Secara diagramatis, dampak penerapan tarif impor dapat di ilustrasikan
dengan menggunakan Gambar 9. Perimaan tarif impor akan meningkatkan harga
kedelai di pasar domestik, menurunkan kuantitas impor kedelai, dan kuantitas
permintaan dipasar domestik. Perubahan kesejahteraan akibat pemberlakuan tarif
impor di hitung berdasarkan perubahan ”surplus” konsumen dan produsen serta
peruibahan penerimaan pemerintah, yang secara netto menghasilkan perubahan
tingkat kesejahteraan masyarakat (Net Social Welfare). Dalam analisis di
pergunakan harga kedelai domestik rata-rata yang terjadi di beberapa kota besar di
Indonesia, bukan harga eceran (Retail) di salah satu kota saja.
Pq ( harga )
Pq ( harga )
Sq
R
R
Sq
E
E
J
G
P2
P1
A
a
B
P1
C
A
Dq
H
c
b
Sf + T
d
B
C
M
N
Q1
Q2
Q3
Sf
Dq
Q
Qs
QD
(a) Sebelum Pengenaan Tarif
Q4
(b) Sesudah Pengenaan Tarif
Gambar 9. Ilustrasi Dampak Pengenaan Tarif Impor Kedelai
Q
40
Dari Gambar 8 (a), sebelum adanya pengenaan tarif impor harga kedelai
domestik sebesar P1, produksi kedelai domestik sebesar Qs dan konsumsi sebesar
QD serta jumlah impor kedelai sebesar QD – Qs. Pada tingkat harga seperti itu,
surplus konsumen terjadi sebanyak bidang ABR. Akibat adanya penerapan tarif
kondisi tersebut menjadi berubah pada Gambar 9 (b). Kondisi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: (1) Penurunan surplus konsumen = -(a + d + c + d), (2)
Peningkatan surplus produsen = a, (3) Penerimaan pemerintah dari tarif = c, dan
(4) Total penurunan surplus atau biaya proteksi (bobot mati) = b + d.
4.2.1.1 Estimasi Dampak Penghapusan Tarif Impor
a. Perhitungan Harga Dunia dan Harga Paritas Impor
Harga impor yang tercermin pada harga impor (CIF) di pelabuhan
Indonesia dalam mata uang rupiah dihitung dengan formula (1) sebagai berikut:
PWR = PWD x ER ...............................................................................................(1)
dimana :
PWR
= Harga impor di pelabuhan Indonesia dalam rupiah (Rp/kg)
PWD
= Harga impor di pelabuhan Indonesia (CIF) ($US/kg)
ER
= Nilai tukar (RP/$US)
Harga paritas impor di tingkat grosir (PMG) diperoleh melalui pengalihan
PWR dengan bilangan 1,08 dimana 0,08 (8 persen) adalah persentase biaya bongkar
dan administrasi di pelabuhan Indonesia, yaitu:
PMG = 1,08 x PWR ...........................................................................................(2)
Harga paritas impor pada tingkat grosir (PMG) diperoleh melalui estimasi
regresi dari persamaan (3) berikut:
Ln PMG = δ0 + δ1 Ln ER + δ2 Ln PWD + δ3Dummy + et...............................(3)
41
b. Estimasi Dampak Kebijakan Tarif Impor
Dengan adanya kebijakan impor kedelai yang terdiri dari kebijakan tariff
dan non tarif, maka harga grosir (wholesale price) di dalama negeri akan naik.
Perbedaan antara harga grosir awal (PWS1) dan harga paritas impor
(PMG)
merupakan tarif implisit (TI) yang terbentuk karena kebijakan impor tersebut,
yaitu:
TI = PWS1 - PMG .............................................................................................(4)
b.1.
Dampak Terhadap Harga Grosir dan Jumlah Permintaan
Jika kebijakan impor kedelai (tarif dan non tarif) dihapus, maka seluruh
tarif spesifik (TI) akan hilang, sehingga harga grosir akan turun menjadi
PWS2 = PWS1 – TI..............................................................................................(5)
Persentase perubahan harga grosir (%dPWS) dihitung dengan formula
sebagai berikut:
%dPWS = TI/Pws1 x 100....................................................................................(6)
Persentase perubahan jumlah permintaan (%dQD) sebagai akibat dari
turunnya harga grosir (%dPWS) karena dihapusnya kebijakan impor adalah:
(%dQD) = (%dPWS) x ED .................................................................................(7)
ED pada persamaan (6) adalah elastisitas permintaan kedelai, yang
diestimasi dengan persamaan (8) berikut:
ln QDCt =α0 + α1 ln PWS1 + α2 ln YCt + α3 Dummy + et .....................................(8)
Dimana :
QDC = Jumlah permintaan kedelai per kapita per tahun (kg) di Indonesia
PWS
= Harga kedelai di tingkat grosir seluruh Indonesia (Rp/kg)
YC = Pendapatan nasional riil per kapita per tahun (Rp) di Indonesia
42
T
= Tahun pengamatan (1969-2008)
Ln
= Logaritma natural
Dummy
= (1; ada tarif dan 0; tarif dihapus)
α1
= Elastisitas permintaan kedelai terhadap barang sendiri (ED)
et
= Estimasi error
Perubahan absolut jumlah permintaan (dQD) merupakan perkalian
persentase perubahan permintaan (%dQD) dengan jumlah permintaan awal (QD1),
yaitu:
dQD = %QD x QD1 ........................................................................................(9)
Jumlah permintaan setelah penghapusan kebijakan impor (QD2) adalah:
QD2 = QD1 + dQD ........................................................................................(10)
b.2.
Perubahan Harga Produsen dan Jumlah Penawaran
Dengan
turunnya harga kedelai di tingkat grosir (PWS), maka harga
kedelai di tingkat produsen (PF) juga turun melalui mekanisme transmisi harga
yang diestimasi dengan persamaan (11) di bawah ini (β1 adalah elastisitas
transmisi harga, EP):
Ln PFt = β0 + β1 ln PWSt + β2 ln Im + β3 Dummy + et
.............................(11)
Persentase perubahan harga produsen (%dPF) sebagai akibat dari turunnya
harga grosir (%dPWS ) dihitung dengan formula (11) berikut:
%dPF = %dPWS x EP....................................................................................(12)
Perubahan absolut harga produsen (dPF) merupakan perkalian persentase
perubahan harga produsen (%dPF ) dengan harga produsen awal (PF1), yaitu:
dPF = %dPF x PF1......................................................................................(13)
43
Harga produsen setelah terjadi perubahan (PF2) adalah:
PF2 = PF1 + dP...............................................................................................(14)
Persentase perubahan jumlah penawaran (%dQS) sebagai akibat dari
turunnya harga produsen (%dPF) karena dihapusnya kebijakan impor adalah:
%dQS = %dPF x ES....................................................................................(15)
ES pada persamaan (15) adalah elastisitas penawaran kedelai yang di
estimasi dengan persamaan (16) berikut :
Ln QSt = γ0 + γ1 ln Lp + γ2 ln PFt + γ3 ln Im + γ4 Dummy + et ………….(16)
Dimana :
QS
= jumlah penawaran/produksi kedelai (ton) di Indonesia
PF
= harga kedelai di tingkat produsen (RP/kg) di Indonesia
t
= tahun pengamatan (1969-2008)
Lp
= Luas Panen kedelai (ha) di Indonesia
Im
= jumlah impor kedelai (ton) Indonesia
Dummy
= (1; ada tarif dan 0; tarif dihapus)
γ1
= elastisitas penawaran kedelai terhadap harga sendiri (ES)
et
= estimasi error
Perubahan absolut jumlah penawaran (dQS) merupakan perkalian
presentase perubahan penawaran (%dQS) dengan jumlah penawaran awal (QS1),
adalah sebagai berikut:
dQS = % dQS x QS1....................................................................................(17)
Jumlah penawaran setelah penghapusan tarif (QS2) adalah:
QS2 = QS1 + dQS ............................................................................................(18)
44
b.3.
Perubahan Jumlah Impor
Jumlah impor kedelai sesudah penghapusan tarif (QM2) merupakan selisih
antara jumlah permintaan setelah penghapusan kebijakan impor (QD2) dengan
jumlah penawaran setelah penghapusan tarif (QS2) adalah:
QM2 = QD2 – QS2 ............................................................................................(19)
Perubahan jumlah impor (dQM) adalah selisih antara jumlah impor setelah
perubahan tarif (QM2) dan jumlah impor awal (QM1), yaitu:
dQM2 = QM2 – QM1 …………………………………………………………(20)
b.4.
Perubahan Surplus Ekonomi
Surplus ekonomi terdiri dari surplus produsen, surplus konsumen,
penerimaan pemerintah dari pajak impor, yang jumlah seluruhnya merupakan
surplus ekonomi neto. Perubahan surplus produsen (dPS), perubahan surplus kon
sumen (dCS), perubahan penerimaan pemerintah dari pajak impor (dGR) dan
perubahan surplus ekonomi neto (dNS) dihitung dengan formula (21) sampai
dengan (24) sebagai berikut:
dPS = dPWS x (QS1 + dQS /2)
…………………………………………(21)
dCS = dPWS x (QD1 – dQD /2)
…………………………………………(22)
dGR = (QM2 x T2) – (QM1 x T1)……………………………………………..(23)
dNS = dPS + dCS + dGR .............................................................................(24)
4.2.1.2 Estimasi Dampak Pada Tingkat Usahatani
Penurunan harga produsen sebagai akibat turunnya harga grosir karena
tariff impor akan menurunkan keuntungan petani. Dengan asumsi faktor lain tetap
(ceteris paribus) maka turnnya keuntungan usahatani hanya disebabkan oleh
45
turnnya harga produsen. Perubahan keuntungan usahatani kedelai per hektare
permusim di hitung dengan formula (25) berikut:
dK = QY (PF2 – PF1).......................................................................................(25)
Dimana:
dK = Perubahan keuntungan usahatani kedelai (Rp/ha)
QY = Produksi kedelai nasional (kg/ha)
PF1 = Harga kedelai ditingkat produsen sebelum penghapusan tarif (Rp/kg)
PF2 = Harga kedelai ditingkat produsen sesudah penghapusan tarif (Rp/kg)
4.2.1.3 Dekomposisi Tarif
Jika perbedaan antara harga kedelai di tingkat grosir awal (PWS1) dan
harga paritas impor di tingkat grosir (PMG) melibihi tarif eksplisit yaitu tarif impor
kedelai yang ditetapkan secra resmi oleh pemerintah (10 persen), maka berarti ada
dampak kebijakan nontarif yang ikut menaikan harga kedelai di tingkat grosir.
Kebijakan nontarif yang dimaksud adalah pengaturan, pengawasan dan
pembatasan impor. untuk mengestimasi dampak kebijakan tarif dan kebijakan
nontarif secara terpisah, perlu dilakukan dekomposisi tarif menjadi tarif eksplisit
dan tarif implisit. Karena nilai total tarif implisit sudah diketahui dari hasil
perhitungan persamaan (3) dan nilai eksplisit sudah diketahui (10 persen), maka
nilai tarif impor implisit karena kebijakan nontarif dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan (26) sebagai berikut:
TII = TI - TE................................................................................................(26)
46
Dimana:
TII = Tarif implisit spesifik karena kebijakan non tarif (RP/kg)
TI = Total tarif spesifik karena kebijakan impor (Rp/kg)
TE1 = Tarif eksplisit, yaitu tarif resmi ketetapan pemerintah (Rp/kg)
4.2.2. Analisis Persamaan Simultan
Metode persamaan simultan digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel exogen (exogenous variable) terhadap variabel endogen (endogenous
variable) dalam hubungan yang bersifat simultan (saling berkaitan). Variabel
exogen adalah variabel yang tidakdipengaruhi oleh variabel lain yang terdapat
dalam model sistem persamaan simultan, sedangkan variabel endogen adalah
variabel yang keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lain yang terdapat di
dalam model sistem persamaan simultan.
Variabel exogen yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
permintaan kedelai, penawaran kedelai dan harga kedelai pada tingkat grosir serta
harga kedelai pada tingkat petani. Untuk melakukan analisis dengan
menggunakan persamaan regresi simultan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap
estimasi dan tahap simulasi. Tahap estimasi digunakan untuk menduga nilai
koefisien dari masing-masing variabel independen, sedangkan tahap simulasi
digunakan untuk mengetahui dampak dari kebijakan penghapusan tarif impor
kedelai.
4.2.2.1 Identifikasi Model
Menurut Koutsoyiannis (1997), masalah identifikasi muncul hanya untuk
persamaan-persamaan yang di dalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus
di estimasi secara statistik (dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul
47
dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang
kondisi
equilibrium,
karena
dalam
hubungan-hubungan
tersebut
tidak
memerlukan pengukuran.
Dalam teori ekonometrika terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu
identifikasi, yaitu :
1. Persamaan Underidentified
Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak
tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih persamaanpersamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified. Jika suatu persamaan
atau model underidentified maka tidak mungkin dilakukan pendugaan dari seluruh
parameter yang ada dengna teknik ekonometrika manapun.
2.
Persamaan Identified
Jika suatu persamaan memiliki bentuk statistik tunggal maka persamaan
tersebut dapat diidentifikasikan (identified), dan persamaan tersebut bisa exactly
identified atau overidentified. Dalam persamaan yang teridentifikasi, koefisien
yang terdapat di dalamnya dapat diduga secara statistik. Jika persamaan exactly
identified maka metode yang sesuai untuk pendugaan adalah Indirect Least
Square (ILS). Sedangkan jika persamaan overidentified maka metode yang dapat
digunakan salah satunya adalah Two Least Square (2SLS).
48
Berdasarkan teori Koutsoyiannis (1997), terdapat dua tahap identifikasi
terhadap suatu model persamaan simultan, adalah sebagai berikut:
1. Order Condition
Order condition digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-persamaan
yang ada dapat di identifikasi atau tidak dapat di identifikasi. Langkah-langkah
dalam order condition, yaitu :
a.
Bila (K-M)≥ (G-I), maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi
b.
Bila (K-M)< (G-I), maka persamaan tersebut tidak dapat diidentifikasi
atau underidentified.
2.
Rank Condition
Rank Condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan dimana
setelah
dilakukan
uji
order
condition
menghasilkan
kesimpulan
dapat
diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly
identified atau overidentified. langkah-langkah rank condition adalah :
a. Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang ruas
kanannya nol.
b. Susun matriks koefisien dari dari seluruh variabel yang ada untuk
persamaan-persamaan tersebut .
c. Jika kia ingin mengidentifikasi persamaan ke-i maka coret baris persamaan
itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan tersebut.
d.
Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat dihitung.
49
e. Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol maka
simpulkan :
a)
Persamaan tersebut overidentified, bila (K-M)>(G-1).
b)
Persamaan tersebut exactly identified, bila (K-M)=(G-1).
Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut
underidentified.
Model persamaan simultan yang ada terdiri dari tiga persamaan tujuh total
variabel di dalam model. Didalam model terdapat tiga variabel endogen dan
empat variabel eksogen. Uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat di
identifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model, dimana hasil
pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan
eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan
total persamaan dalam model dengan satu.
Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identified untuk
masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua
determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil
pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan
eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan
total persamaan dalam model dengan satu. Hasil identifkasi yang menghasilkan
kesimpulan over identified memungkinkan persamaan untuk destimasi dengan
metode Two-Stage Least Square (2SLS).
50
4.2.2.2 Validasi Model
Validasi suatu model dilakukan untuk melihat keragaman antara kondisi
aktual dengan hasil simulasi. Validasi model persamaan simultan menggunakan
solusi metode newton. Validasi juga untuk melihat seberapa valid suatu
persamaan digunakan untuk mensimulasi atau menganalisis suatu persoalan.
Validasi suatu model biasanya dilihat dari beberapa parameter yang digunakan
sebagai indikasi validitas suatu monel persamaal simultan.
Indikator statistik yang digunakan untuk validasi model Root Means
Squarse Percent Error (RMSPE) dan Theil Inequality Coefficient (U-Theil) serta
dekomposisinya. Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh
nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai
aktualnya dalam ukuran relatif atau seberapa dekat nilai-nilai dugaan itu
mengikuti nilai aktual. Indikator U-Theil digunakan untuk mengukur daya
prediksi model, selang nilainya dari 0-1. semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil
semakin baik pendugaan model. Formula RMSPE dan U-Theil adalah: ( Pindyck
and Rubinfeld, 1998)
RMSPE =
s
a
1 ⎛ Yt −Yt ⎞
⎟
∑⎜
a
n ⎜
⎟
⎠
⎝ Yt
2
n
t =1
U
(Y
∑ (Y )
1 n
∑
n t =1
=
1
n
n
t =1
t
s
t
2
s
+
)
∑ (Y )
−Yt
1
n
a
2
n
t =1
t
a
2
51
Dimana:
Yst
= Nilai Simulasi dasar
Yat
= Nilai pengamatan aktual
T
= Jumlah periode pengamatan
RMSE = Root means squares error
RMSPE
U
= Root means squares percent error
= Theil’s inequlity coefficient
Dekomposisi dari U-Theil adalah UM (bias proporsi), US (bias variance),
dan UC (bias covariance). UM adalah proporsi bias yang menunjukan indikator
kesalahan sistematik, karena komponen ini mengukur sampai seberapa jauhnilai
rata-rata simulasi dan aktualnya menyimpang satu dari yang lainnya. UR adalah
indikator kesalahan dari komponen regresi yang mengukur penyimpangan
kemiringan regresi. UC adalah komponen bias residual. Suatu model mempunyai
daya prediksi yang baik jika UM dan US mendekati nol dan UC mendekati satu.
4.2.2.3 Simulasi Model Persamaan Simultan
Apabila validasi merupakan pengujian terhadap goodness of fit dari
suatu model, maka analisis simulasi diarahkan mengukur dampak perubahan
eksogen. Adapun tujuan dilakukannya simulasi adalah: (1) pengujian dan evaluasi
model, (2) analisis kebijakan historis, dan (3) analisis peramalan (Pyndyck dan
Rubinfeld,. 1991).
Simulasi digunakan untuk mempelajari perilaku model bila kebijakan
diterapkan dalam suatu periode pengamatan (Kumenaung, 2002). Periode simulasi
dalam penelitian ini adalah periode historis yaitu dari tahun 1969-2008. Rentang
52
simulasi historis bertujuan untuk mengevaluasi dampak kebijakan (policy review)
terhadap penawaran, konsumsi, impor, dan harga kedelai.
Tujuan simulasi kebijakan adalah melihat dan mencari alternatif kebijakan
yang efektif untuk mendorong peningkatan produksi kedelai nasional dan
muaranya diharapkan Indonesia bisa menghilangkan ketergantungan terhadap
peranan kedelai impor. Guna mendapatkan pilihan kebijakan yang paling baik
berbagai simulasi kebijakan dapat dilakukan.
4.2.2.4 Simulasi Historis
Simulasi kebijakan untuk periode historis dari tahun 1969-2008 dilakukan
menurut kebijakan ekonomi dan kebijakan perdagangan yang disusun berdasarkan
fenomena aktual kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah Indonesia dalam
perdagangan kedelai (khususnya tarif
Strategi yang pernah ditempuh pemerintah Indonesia untuk melindungi
pertanian kedelai nasional adalah strategi defensif. Strategi ini dijalankan sampai
akhir 1997 dan dilakukan kembali tahun 2002 sampai akhir 2007. Ada dua
instrumen kebijakan yang digunakan saat itu, yaitu: (1) Pengenaan tarif impor
kedelai mulai dari Lima persen sampai 30 persen selama kurun waktu 30 tahun
yaitu dari tahun 1969-1997 dan tahun 2002-2007, dan (2) kebijkan non tarif
berupa pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor kedelai yang mempunyai
dampak menaikan harga. Sebagaimana telah disebutkan dalam metode analisis,
kebijakan; (1) disebut pengenaan “Tarif Eksplisit” (TE), sedangkan kenaikan
harga akibat kebijakan (2) disebut “Tarif implisit” (TI).
Kenaikan harga dalam negeri sebagai akibat kebijakan tersebut tercermin
pada selisih antara harga paritas impor kedelai di tingkat grosir (PMG) dan harga
53
kedelai aktual ditingkat grosir awal (PWS1). Hasil analisis regresi menunjukan
bahwa besaran PMG adalah Rp 6.432,77 per kg, sedangkan PWS1 adalah Rp
7.655,00 per kg. Selisih kedua harga ini adalah Rp 2.413,70 per kg untuk D1 dan
Rp 2.176,70 per kg untuk D0, yaitu kenaikan harga kedelai sebagai dampak dari
kedua kebijakan protektif tersebut.
Adapun dekomposisi tarif dapat dibuat skenario kebijakan penghapusan
tarif impor sebagai berikut;
D0 = sebelum penghapusan tarif impor
D1 = Sesudah penghapusan tarif impor
4.3.
Definisi Operasional
Ada beberapa definisi yang dipakai sebagai acuan atau asumsi dalam
penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
1. Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kedelai warna kuning,
karena kedelai ini merupakan proporsi terbesar yang dikonsumsi oleh
masyarakat kita.
2. Produksi kedelai Indonesia (domestik) adalah
jumlah total produksi
kedelai di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton.
3. Volume impor kedelai Indonesia merupakan jumlah seluruh impor kedelai
yang dipasarkan dipasar domestik setiap tahun, tidak termasuk impor
ilegal, dan dinyatakan dalam satuan ton.
54
4. Tarif impor adalah tarif yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap kedelai
yang berupa tarif Ad Valorem yakni pajak yang dikenakan berdasarkan
angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor.
5. Jumlah kebutuhan (konsumsi) kedelai di Indonesia adalah jumlah
konsumsi kedelai per kapita dikalikan dengan jumlah penduduk setiap
tahun, dinyatakan dalam satuan ton.
6. Harga kedelai dunia adalah harga kedelai di USDA Free on Board
kemudian dikonversikan kedalam nilai rupiah per kilogram.
7. Nilai tukar rupiah adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
Serikat berdasarkan rata-rata tiap tahun yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
BAB V
GAMBARAN UMUM PERKEDELAIAN NASIONAL
5.1
Produksi Kedelai Indonesia
Pengembangan kedelai di Indonesia dilakukan dengan berbagai usaha,
salah satunya adalah peningkatan produksi. Berbagai upaya tersebut yang
dilakukan oleh pemerintah tak terkecuali untuk pemenuhan kebutuhan nasional
dan mewujudkan swasembada kedelai. Kebutuhan tersebut diantaranya untuk
pangan dan industri pengolahan tahu, kecap dan tempe. Perkembangan produksi
kedelai Indonesia dipengaruhi beberapa faktor teknis, ekonomis dan sosiokultur
masyarakat.
Sejak tahun 1975 Indonesia tidak mampu lagi mempertahankan
swasembada kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dari
tahun 1975 dan pengadaan stok pada tahun-tahun berikutnya, pemerintah mulai
malakukan impor kedelai. Impor kedelai pada awalnya sebanyak 17.802 ton.
Tahun- tahun berukutnya volume impor terus meningkat menjadi 171.746 ton
pada tahun 1976 dan 1.371.465 ton pada tahun 2008. Ini berarti bahwa sejak tahun
1975 sampai 2008 Indonesia tetap sebagai negara pengimpor (net importer).
Secara statistik angka peningkatan impor kedelai Indonesia sejak tahun 1975
sampai 2008 menunjukan angka sebesar 1.353.663 ton atau setiap tahun
peningkatan impor sebesar 42.301,97 ton per tahun. 40,91 persen per tahun. Data
perkembangan produksi, luas areal panen, produktivitas dan impor kedelai
Indonesia secara lengkap disajikan pada Tabel 4.
56
Tabel 4. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Kedelai di
Indonesia pada Tahun 1969-2008.
Tahun
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Luas Panen
Jumlah
Perubahan
(Ha)
(%)
553.000
695.000
25.68
680.000
-2.16
698.000
2.65
733.014
5.02
768.027
4.78
751.689
-2.13
646.336
-14.02
646.121
-0.03
733.142
13.47
784.489
7.00
726.013
-7.45
809.978
11.57
607.778
-24.96
639.847
5.28
858.854
34.23
896.220
4.35
1.253.767
39.90
1.100.565
-12.22
1.177.360
6.98
1.198.096
1.76
1.133.765
-5.37
1.367.156
20.59
1.664.182
21.73
1.468.316
-11.77
1.406.039
-4.24
1.476.285
5.00
1.277.736
-13.45
1.118.140
-12.49
1.094.262
-2.14
1.151.079
5.19
824.484
-28.37
678.848
-17.66
544.522
-19.79
526.796
-3.26
565.155
7.28
621.541
9.98
580.534
-6.60
502.104
-13.51
549.412
9.42
Produksi
Jumlah
Perubahan
(Ton)
(%)
388.898
497.883
28.02
515.644
3.57
518.229
0.50
541.040
4.40
589.239
8.91
589.831
0.10
521.777
-11.54
522.821
0.20
616.539
17.93
679.825
10.26
652.762
-3.98
703.811
7.82
521.394
-25.92
536.103
2.82
769.384
43.51
869.718
13.04
1.226.737
41.05
1.160.963
-5.36
1.270.418
9.43
1.315.113
3.52
1.487.207
13.09
1.554.694
4.54
1.868.342
20.17
1.707.126
-8.63
1.564.179
-8.37
1.679.092
7.35
1.515.937
-9.72
1.356.108
-10.54
1.305.640
-3.72
1.382.848
5.91
1.017.634
-26.41
826.932
-18.74
673.056
-18.61
671.600
-0.22
723.483
7.73
808.353
11.73
747.611
-7.51
664.438
-11.13
723.535
8.89
Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008, Diolah.
Keterangan: (*) ARAM II 2008
Produktivitas
Jumlah
Perubahan
(Ton/ha)
(%)
0.703
0.716
1.87
0.758
5.85
0.742
-2.09
0.738
-0.59
0.767
3.94
0.785
2.28
0.807
2.88
0.809
0.23
0.841
3.93
0.867
3.05
0.899
3.75
0.869
-3.36
0.858
-1.27
0.838
-2.33
0.896
6.92
0.970
8.33
0.978
0.83
1.055
7.81
1.079
2.29
1.098
1.73
1.312
19.50
1.137
-13.31
1.123
-1.27
1.163
3.56
1.112
-4.32
1.137
2.24
1.186
4.31
1.213
2.23
1.193
-1.62
1.201
0.69
1.234
2.74
1.218
-1.31
1.236
1.47
1.275
3.14
1.280
0.41
1.301
1.59
1.288
-0.98
1.323
2.76
1.317
-0.48
57
Upaya pemerintah untuk memacu produksi kedelai nasional adalah
dengan mengurangi peranan impor kedelai. Berbagai paket program telah
dilakukan sejak tahun 1980 antara lain; (a) intensifikasi melalui gerakan khusus
(Gersus) kedelai yang disertai dengan paket kedit, (b) introduksi varietas unggul,
(c) penyuluhan usahatani kedelai, (d) operasi khusus (Opsus) kedelai dengan pola
kemitraan, (e) kebijaksanaan harga, (f) pembatasan impor melalui tarif impor, dan
(g) tahun 2001 dengan program Gema Palagung 2001, serta (h) terakhir tahun
2008 diadakan Program dan Aksi Peningkatan Produksi Kedelai Nasional Tahun
2008. Dalam paket kredit usaha tani palawija, sudah terkandung didalamnya
subsidi pupuk dan pestisida.
Dalam upaya peningkatan produksi kedelai Indonesia, kontribusi
utamanya luas areal panen harus ditambah. Hal lainnya yang lebih urgen adalah
pengadaan bibit yang empunyai produktivitas tinggi. Di Indonesia potensi
perluasan luas areal panen masih cukup besar. Potensi tersebut dapat
dikembangkan dari lahan sawah maupun lahan kering, yang dilakukan melalui
peningkatan indeks pertanaman dan perluasan areal panen baru.
5.2
Konsumsi Kedelai Nasional
Kebutuhan nasional akan kacang kedelai dapat diturunkan dari penjum-
lahan antara angka produksi nasional dan impor kedelai. Kebutuhan akan kedelai
secara tegas memperlihatkan peningkatan. Peningkatan konsumsi kedelai di
Indonesia sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2008 berdasarkan Tabel 5
menunjukan angka rata-rata sebesar 50.075,82 ton.
Pendekatan lain dapat dilakukan dengan menggunakan angka konsumsi
kedelai perkapita per tahun, selama 39 tahun belakang (Lihat Tabel 6). Tingkat
58
konsumsi kedelai perkapita per tahun pada masyarakat Indonesia sejak tahun 1969
sampai 2008 telah menunjukkan angka rata-rata 0.323 kg per tahun. Artinya setiap
tahun rata-rata peningkatan konsumsi kedelai per kapita di Indonesia adalah 0,323
kg. Selama 39 tahun belakang (1969-2008) , pertumbuhan konsumsi per kapita
per tahun terlihat semakin tinggi yaitu mencapai 3,58 persen per tahun.
Peningkatan kebutuhan akan kedelai ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya
konsumsi masyarakat terhadap produk tahu dan tempe serta untuk pasokan
industri kecap.
Berdasarkan data pengamatan selama 39 tahun (1969-2008), terlihat pada
Tabel 5. Penurunan konsumsi tersebut diduga terjadi karena pada saat tersebut
terjadi kenaikan harga kedelai.
Tabel 5.
Penurunan Jumlah Konsumsi Kedelai di Indonesi
pada Rentang Tahun 1971-2005 (Ton).
Tahun
Pengamatan
1971
1973
1977
1980
1981
1982
1987
1989
1993
1994
1995
1996
1997
1998
2000
2001
2003
2004
2005
Jumlah Penurunan Konsumsi
(Ton)
-5.839
-7.866
-69.561
-79.481
-43.709
-147.815
-156.303
-79.736
-129.000
-66.000
-78.000
-24.000
-290.000
-324.000
-420.000
-304.000
-1.000
-1.000
-27.531
Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008. Diolah.
59
Walaupun tidak setiap tahun menunjukkan peningkatan, tetapi ada pada
beberapa tahun pengamatan terhadap konsumsi kedelai justru menunjukkan
penurunan. Penurunan jumlah konsumsi kedelai yang paling mencolok terjadi
pada tahun 2000 yaitu sebesar 420.000 ton.
Tabel 6. Perkembangan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia dari
Tahun 1969-2008 (Kg per Tahun).
Tahun
Konsumsi per kapita
Pengamatan
(kg/kap/th)
1969
3.07
1970
3.82
1971
3.91
1972
3.81
1973
3.62
1974
4.12
1975
4.10
1976
4.71
1977
4.07
1978
4.80
1979
5.52
1980
5.54
1981
6.38
1982
5.74
1983
5.61
1984
6.71
1985
6.71
1986
8.87
1987
8.17
1988
9.43
1989
9.32
1990
10.22
1991
10.35
1992
12.06
1993
11.54
1994
11.20
1995
11.00
1996
9.90
1997
10.31
1998
10.40
1999
11.70
2000
8.80
2001
9.80
2002
10.12
2003
10.53
2004
11.55
2005
12.46
2006
13.41
2007
14.34
2008*
15.37
Rata-rata
Perubahan
kg/kap/th)
0.75
0.09
-0.10
-0.19
0.50
-0.02
0.61
-0.64
0.73
0.72
0.02
0.84
-0.64
-0.13
1.10
0
2.16
-0.70
1.26
-0.11
0.90
0.13
1.71
-0.52
-0.34
-0.20
-1.10
0.41
0.09
1.30
-2.90
1
0.32
0.41
1.02
0.91
0.95
0.93
1.03
0.32
Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan, 2008. Diolah.
Perubahan
(%)
19.63
2.30
-2.62
-5.25
12.14
-0.49
12.95
-15.72
15.21
13.04
0.36
13.17
-11.15
-2.32
16.39
0.00
24.35
-8.57
13.36
-1.18
8.81
1.26
14.18
-4.51
-3.04
-1.82
-11.11
3.98
0.87
11.11
-32.95
10.20
3.16
3.89
8.83
7.30
7.08
6.49
6.70
3.58
60
5.3
Impor Kedelai Indonesia
Kebijakan pemerintah dalam perdagangan kedelai internasional akan
sangat mempengaruhi jumlah kedelai yang diimpor. Kebijakan perdagangan
internasional yang secar historis mempengaruhi jumlah impor antara lain pajak
impor (Tarif impor), kuota impor (pembatasan impor), dan perubahan nilai tukar.
Dengan membandingkan data antara perkembangan konsumsi dan produksi
kedelai akan dapat diketahi posisi neraca konsumsi dan produksi serta jumlah
impor yang dilakukan.
Berdasarkan hasil pengamatan pada data 39 tahun terakhir (1969-2008)
perkembangan jumlah impor kedelai Indonesia relatif atau cenderung terus
mengalami peningkatan. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 7. bahwa terdapat
kecenderungan perubahan jumlah konsumsi yang diikuti dengan jumlah
penungkatan impornya. Pada tahun 1969-1975 jumlah impor kedelai Indonesia
bernilai negatif. Tanda negatif berarti pada periode tersebut Indonesia melakukan
ekspor kedelai bukan impor. Tetapi sejak periode tersebut Indonesia justru yang
terjadi adalah sebaliknya yaitu melakukan impor. Indonesia semenjak saat
tersebut tidak mampu melepaskan peranan terhadap impor kedelai. Bahkan
jumlah impor kedelai mengalami peningkatan. Sejak tahun 1976 sampai sekarang
Indonesia belum mampu melepaskan predikat sebagai negara importir kedelai (net
importir) yang melekat pada bangsa ini.
Penurunan jumlah impor kedelai dapat dilakukan dengan upaya. Ada
beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah dengan instrumen kebijakan
terpadu yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan
internasional.
61
Tabel 7. Neraca Perubahan Produksi, Konsumsi dan Impor Kedelai di Indonesi
Tahun 1969-2008.
Tahun
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008*
Produksi
Jumlah
Perubahan
(Ton)
(%)
388.898
497.883
28.0
515.644
3.6
518.229
0.5
541.040
4.4
589.239
8.9
589.831
0.1
521.777
-11.5
522.821
0.2
616.539
17.9
679.825
10.3
652.762
-4.0
703.811
7.8
521.394
-25.9
536.103
2.8
769.384
43.5
869.718
13.0
1.226.737
41.0
1.160.963
-5.4
1.270.418
9.4
1.315.113
3.5
1.487.207
13.1
1.554.694
4.5
1.868.342
20.2
1.707.126
-8.6
1.564.179
-8.4
1.679.092
7.3
1.515.937
-9.7
1.356.108
-10.5
1.305.640
-3.7
1.382.848
5.9
1.017.634
-26.4
826.932
-18.7
673.056
-18.6
671.600
-0.2
723.483
7.7
808.353
11.7
747.611
-7.5
664.438
-11.1
723.535
8.9
Konsumsi
Jumlah
Perubahan
(Ton)
(%)
192.119
429.520
123.6
423.681
-1.4
447.573
5.6
439.707
-1.8
506.122
15.1
512.691
1.3
600.149
17.1
530.588
-11.6
646.105
21.8
734.458
13.7
654.977
-10.8
1.075.360
64.2
934.590
-13.1
764.780
-18.2
1.194.680
56.2
1.224.010
2.5
1.667.840
36.3
1.513.470
-9.3
1.794.680
18.6
1.774.360
-1.1
2.167.430
22.2
2.362.070
9.0
2.692.070
14.0
2.567.530
-4.6
2.489.860
-3.0
2.443.360
-1.9
2.287.660
-6.4
2.118.710
-7.4
1.860.740
-12.2
2.684.000
44.2
2.294.000
-14.5
1.960.000
-14.6
2.017.000
2.9
2.016.000
0.0
2.215.000
9.9
2.022.517
-8.7
2.122.561
4.9
2.325.998
9.6
2.395.923
3.0
Sumber: Deptan, Ditjen Tanaman Pangan 2008, Diolah.
Keterangan: (*) ARAM II 2008.
Impor
Jumlah
Perubahan
(Ton)
(%)
-1.000
-4.000
300.0
0
-100.0
-3.000
100.0
-36.000
1100.0
-4.000
-88.9
17.802
-545.1
171.746
864.8
89.101
-48.1
130.499
46.5
176.620
35.3
100.878
-42.9
361.000
257.9
361.000
0.0
221.520
-38.6
401.678
81.3
301.952
-24.8
359.041
18.9
286.702
-20.1
465.837
62.5
384.700
-17.4
526.325
36.8
631.038
19.9
690.287
9.4
722.472
4.7
800.153
10.8
606.993
-24.1
745.819
22.9
616.109
-17.4
344.050
-44.2
1.301.152
278.2
1.276.366
-1.9
1.133.068
-11.2
1.343.944
18.6
1.344.400
0.0
1.291.517
-3.9
1.086.177
-15.9
1.078.420
-0.7
1.199.839
11.3
1.672.388
39.4
62
5.4
Kebijakan Kedelai Nasional
Dewasa ini terjadi gejolak harga terhadap komoditas kedelai. Gejolak
harga tersebut terjadi bukan hanya pada negara Indonesia, tetapi terjadi pada
hampir semua negara di belahan dunia ini. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat
(USA) selaku produsen kedelai terbesar di dunia mengurangi supply (penawaran)
kedelainya ke pasaran dunia, sehingga terjadi kelangkaan dan pada akhirnya
menaikan harga kedelai dunia. Amerika Serikat mengurangi supply (penawaran)
kedelainya karena lahan untuk pertanian kedelai dikonversi menjadi lahan
pertanian jagung. Jagung menjadi komoditas yang sangat mahal dikarenakan
komoditi ini dijadikan sebagai bahan baku untuk BioDiesel (Bio-Fuel). Oleh
karena sebab tersebut hampir semua para petani di USA beralih untuk menanam
jagung dengan alasan lebih menguntungkan (profit oriented).
Dampak dari masalah dalam negeri USA tersebut, Indonesia selaku negara
net importir kedelai terbesar menerima dampaknya. Misalnya terjadi kenaikan
harga kedelai dalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen pada akhir 2007.
Kenaikan harga kedelai domestik disebakkan oleh naiknya harga kedelai impor
dari USA dan diperburuk lagi dengan adanya tarif impor sebesar 10 persen yang
ditetapkan pemerintah. Dengan keadaan tersebut sangatlah wajar jika harga
kedelai dalam negeri menjadi semakin mahal.
Melihat kebelakang sejarah kebijakan kedelai yang pernah terjadi di
Indonesia. Sebenarnya berbagai kebijakan tentang perkedelaian pernah dilakukan
oleh pemerintah. Segala macam kebijakan tersebut dilakukan untuk upaya dapat
meningkatkan kwalitas perkedelaian di Indonesia yaitu untuk peningkatan
63
produksi, perbaikan tataniaga, perbaikan harga produsen dan yang pasti
mengurangi jumlah impor.
Pada tahun 1980 dan 1990 pemerintah menetapkan kebijakan tentang
sarana dan prasaran produksi, yaitu menetapkan harga dasar pupuk urea Rp 70 per
kilogram menjadi Rp 165 per kilogram pada tahun 1990.
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tataniaga kedelai adalah
Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 406/MPP/Kep/11/1997, yang berlaku mulai 1 Januari 1998. Kebijakan
tersebut menerangkan bahwa impor kedelai yang semula hanya dilakukan oleh
Bulog diubah menjadi boleh dilakukan oleh importir umum. Kebijakan tersebut
memberikan dampak memacu peningkatan impor kedelai dari USA, China,
Argentina dan Brazil dalam jumlah besar. Sehingga hal tersebut akan
mempengaruhi pasokan kedelai di dalam negeri dan kestabilan harga domestik.
Dampak yang lebih buruk adalah akan mempengaruhi motivasi petani produsen
secara negatif untuk menanam kedelai. Pada akhirnya dampak kebijakan tersebut
menurunkan produksi kedelai nasional.
Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 444/KMK.01/1998
tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor
beberapa produk tertentu. Terhitung 29 September 1998, tarif bea masuk kedelai
impor yang semula lima persen dihilangkan menjadi 0 (nol) persen. Kebijakan
tersebut justru memperburuk kondisi petani kedelai dalam negeri. Berdasarkan
teori perdagangan Salvatore, kebijakan tersebut akan menyebabkan turunnya
harga kedelai pada tingkat petani. Sebaliknya, kebijakan tersebut menguntungkan
64
industri pengolahan kedelai, karena dapat menikmati murahnya harga kedelai
impor dengan kualitas dan pasokan yang lebih menjamin kontinuitas produknya.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 146/MPP/Kep/4/1999 tentang perubahan lampiran Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang ketentuan
umum dibidang ekspor, terhitung mulai tanggal 22 April 1998 komoditas kedelai
adalah akan bebas diekspor. Pada awalnya, berdasarkan Keputusan Menteri
Perdagangan dan Koperasi Nomor 503 dan 504/Kp/XII/1982, Keppres Nomor
103, Keppres Nomor 50 tahun 1995 dan Keputusan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 juli 1997
adalah untuk tujuan pengendalian stok, harga dan mutu, maka impor kedelai.
Semua tugas tersebut hanya dapat dilakukan oleh Bulog. Dengan ditetapkannya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 406/MPP/Kep/II/1997
tentang perubahan lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 dan keluarnya Keppres Nomor 19 tahun 1998, maka
komoditas kedelai dibebaskan dari tataniaga impor, bukan hanya dapat dilakukan
oleh Bulog saja, tetapi melainkan dapat dilakukan oleh importir umum.
Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) Nomor 444/KMK.01/1998
tanggal 29 September 1998, tentang perubahan tarif bea masuk dan
penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk beberapa produk tertentu.
Kepmenkeu tersebut membahas atau menerangkan bahwa tarif bea masuk kedelai
impor dihilangkan menjadi 0 (nol) persen. Ketentuan ini berlaku bagi barang
impor yang dokumen PIB-nya telah mendapat nomor pendaftaran dari kantor
65
pelayanan Ditjen Bea dan Cukai. Sejak tanggal diberlakukannnya keputusan
menkeu tersebut kedelai impor semakin meningkat jumlahnya.
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
557/KMK.01/2003
tentang
perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk
beberapa produk tertentu maka diputuskan bahwa tariff bea masuk kedelai impor
menjadi 15 persen. Dan diperbaharui lagi menjadi 10 persen pada tahun 2006
serta yang terakhir yaitu tahun 2008 tarif bea masuk impor kedelai dirubah
menjadi 0 (nol) persen kembali. Untuk kali ini bukan hanya melalui satu
keputusan menteri saja melainkan juga dengan dikeluarkannya Keppres dari
presiden. Hal tersebut dilakukan karena terjadi sangat tingginya perubahan harga
kedelai didalam negeri yang mencapai lebih dari 100 persen. Keputusan menteri
keuangan nomor 557 tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan stok
kedelai di dalam negeri, peningkatan konsumsi dan semakin tingginya harga
dalam negeri..
.Kebijakan
pemerintah
yang
berhubungan
dengan
pengembangan
(peningkatan) kedelai nasional, juga terus dilakukan. Salah satunya melalui
Program Kedelai Mandiri tahun 2000 (Prokema 2000). Program tersebut bertitik
tolak (berdasarkan) dari adanya Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan
Pengendali Bimas. Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan Pengendali
Bimas tersebut Nomor 102/SK/Mentan/Bimas/IV/1998 tanggal 15 April 1998,
yaitu mengenai pembentukan kelompok kerja peningkatan produksi kedelai.
Peraturan tersebut tentang pembuatan rencana pengembangan kedelai lokal dan
impor dengan menggunakan sarana produksi pertanian sampai dengan tahun
2003. Untuk lebih jelasnya dapat diilustrasikan melalui Tabel 8 berikut.
66
Tabel 8. Program Prokema 2000: Sasaran Produksi dan Peranan Impor Indonesia
Tahun 1998-2003.
No
Keterangan
1999 2000* 2001* 2002* 2003*
1
Produksi
1.306
1.383
2.252
2.475
2.578
2.705
2
Konsumsi
1.649
2.684
2.240
2.275
2.308
2.345
3
Surplus
-343
-1.301
12
200
270
360
4
Kebutuhan Impor
343
1.301
-
-
-
5
Peranan Impor
tda
tda
tda
1998
ada
Ada
tda
Sumber: Deptan. Diolah dari Prokema 2000.
Keterangan: (*) Angka Proyeksi (Sasaran)
Berdasarkan tabel diatas, pemerintah mentargetkan pada tahun 2001
Indonesia sudah bisa bebas dari peranan impor kedelai. Diharapkan juga pada
tahun 2001 Indonesia sudah bisa memproduksi kedelai sebanyak 2.578 ribu ton.
Surplus produksi kedelai pun ditargetkan pada tahun 2003 sudah bisa mencapai
360 ribu ton. Target terakhir dari adanya program tersebut Indonesia bisa
berswasembada kedelai sendiri.
Tabel 9. Hasil Perbandingan Program Prokema Dengan Kondisi Riil (yang
Sebenarnya Terjadi) pada Tahun 1998-2003
No
1
2
3
4
5
6
7
Keterangan
Realisasi produksi
Selisih dengan kondisi riil
Realisasi konsumsi
Selisih dengan kondisi riil
Surplus
Kebutuhan impor riil
Peranan impor riil
Sumber: Diolah Dari Tabel 8.
1998
1.306
0
1.649
0
1999
1.383
0
2.684
0
2000
1.018
1.234
2.264
24
-343
343
ada
-1.301
1.301
ada
-1.246
1.246
ada
2001 2002 2003
827
673
672
1.648 1.905 2.033
1.960 2.017 2.016
-315
-291
-329
1.133 -1.344 -1.344
1.133 1.344 1.344
ada
ada
ada
67
Dari Tabel 8 dapat terlihat bahwa sasaran dari Program Prokema ialah
menghilangkan peranan impor dan meningkatkan produksi, sehingga tercapai
surplus produksi kedelai. Dari sasaran tersebut diharapkan Indonesia bisa
mewujudkan swasembada kedelai pada tahun 2001. Program tersebut ternyata
belum mampu mencapai sasaran atau target pemerintah. Pada kondisi riil
(sebenarnya) rencana tersebut ternyata jauh meleset dari yang telah diprogramkan.
Justru yang terjadi adalah semakin meningkatnya kebutuhan impor dari tahun ke
tahun.
Menyikapi kegagalan program tersebut, pemerintah melalui Departemen
Pertanian membuat kebijakan baru pada awal tahun 2008 yaitu Program Bangkit
Kedelai Nasional dengan Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai
Tahun 2008. Sasaran dari program tersebut adalah meningkatkan produksi
nasional mencapai 1,2 juta ton. Uraian dari program tersebut adalah luas tanam
mencapai satu juta hektar dengan perkiraan luas panen mencapai 760 ribu hektar
dan rata-rata produktivitas 1,54 ton per hektar. Strategi dari program percepatan
produksi kedelai tahun 2008 yaitu (1) peningkatan produktivitas, (2) perluasan
areal tanam, (3) pengamanan produksi, dan (4) penguatan kelembagaan dan
dukungan pembiayaan.
Langkah-langkah operasional program percepatan produksi kedelai pada
tahun 2008 adalah yang pertama, peningkatan produktivitas untuk luas tanam 500
ribu hektar yang terbagi; (1) melalui bantuan benih untuk luas tanam 210.000
hektar, (2) optimalisasi pembinaan untuk luas tanam 290.000 hektar. Kedua,
perluasan areal tanam untuk areal tanam baru seluas 500 ribu hektar yang terinci
sebagai berikut; (1) sekolah lapang pengolahan tanaman terpadu (SL_PTT) di
68
daerah yang belum pernah tanam kedelai sebanyak 200 ribu hektar, (2) upaya
khusus peningkatan produksi kedelai sebanyak 200 ribu hektar dan (3) pola
kemitraan dengan Bulog, INKOPTI, Swasta, BUMN (CSR) dan Perbankan
sebanyak 100 ribu hektar.
Pada skala internasional kebijakan perdagangan tentang pertanian
umumnya, termuat dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang
persetujuan World Trade Organization (WTO). Indonesia
sebagai salah satu
negara anggota diwajibkan memenuhi senua aturan WTO sesuai komitmen yang
tercantum dalam skedul XXI tahun 1994. Komitmen tersebut diantaranya
Indonesia wajib mengganti kebijakan tataniaga impor hasil pertaniannya menjadi
kebijakan tarif setara. Tarif baru tersebut dapat lebih tinggi dari batas maksimum
40 persen. Tarif tersebut berdasarkan rumus yang telah disepakati dalam Putaran
Uruguay dan berlaku sejak 1 januari 1995.
Letter of Intent (LoI) tanggal 15 januari 1998 dalam kesepakatan dengan
IMF (International Monetery Found). Dalam kesepakatan tersebut Indonesia
diwajibkan sepenuhnya untuk mematuhi ketentuan yang lebih berat dari pada
ketentuan WTO. Dalam hal ini yang paling berdampak negatif bagi petani kedelai
local adalah penghapusan monopoli impor kedelai oleh Bulog dan penurunan tarif
bea masuk menjadi setinggi-tingginya 5.0 persen. Tentu saja hal ini semakin
membuat petani kedelai kita terpukul dan tidak bias bersaing dengan kedelai
impor. Konsekuensi ketentuan tersebut adalah penghapusan monopoli impor
kedelai oleh Bulog melalui Kep.MPP.No.406/MPP/Kep/II/97 efektif berlaku
tanggal 1 Januari 1998 serta penurunan bea masuk oleh Kepmenkeu No.
69
444/KMK.01/1998 tanggal 29 September 1998, dimana impor HS.1201.00.100
bea masuknya (tarif impor) menjadi 0 (nol) persen.
Arah kebijakan impor sebelum reformasi sebagaimana telah dijelaskan
diatas bahwa, Indonesia telah terikat meratifiksi dan menandatangni bersama
dengan WTO dan IMF. Dimana sistem monopoli dan aturan bea masuk (tarif
impor) barang impor sudah ditentukan frame worknya secara global. Hal ini
tentunya tidak bisa secara sepihak Indonesia menetapkan aturan baik dalam
bentuk tariff barriers maupun non tariff barriers. Selanjutnya Indonesia hanya
dapat menuruti peraturan tersebut, walaupun disisi lain keadaan ini sudah sangat
merugikan pertanian kita umumnya dan kedelai khususnya.
Adapun sikap dan posisi Indonesia terhadap kebijakan perdagangan
internasional dapat digolongkan berdasarkan tiga hal. Pertama, Food Security
(Ketahanan Pangan), Indonesia berpendirian bahwa ketahanan pangan tidak
semata-mata dipenihi melalui leberalisasi perdagangan. Kedua, Market Acces,
Tariff Peaks dan Eskalasi, Indonesia mendukung upaya-upaya perluasan akses
pasar bagi produk pertanian. Indonesia menginginkan agar produk tropis tidak
dikenai tarif eskalasi. Indonesia menginginkan adanya pengurangan tarif bagi
produk pertanian dari negara berkembang dan penghapusan tarif (Tarif Peaks,
tarif eskalasi). Indonesia juga mengusulkan penghapusan hambatan non tarif pada
negara maju. Ketiga, Special Safeguard (SSG), yaitu Indonesia mengusulkan dan
menghendaki SSG untuk produk pertanian yang dihasilkan Negara maju
dihapuskan, namun SSG bagi produk pertanian yang dihasilkan negara
berkembang tetap diberikan. Keempat, Domestic Subsidy, karena adanya aspek
70
negative dari domestik subsidi yang diberikan negara maju kepada petaninya
sehingga diusulkan dihapuskan.
Dalam era globalisasi permasalahan tarif impor memang menjadi
penghambat. Menghilangkan tarif impor untuk saat ini memang masih sulit
dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Kondisi tersebut akan berlangsung atau
dilaksakan sampai keadaan perkedelaian nasional yang dinilai oleh pemeritah
relatif lebih stabil atau desakan dari internasional yang tidak bisa dihindari.
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan dikemukakan dampak penghapusan tarif impor
terutama terhadap perubahan harga kedelai dari sisi produsen dan konsumen pada
tingkat domestik. Keragaan komoditas kedelai yang diamati pada periode tahun
1969-2008.
6.1
Hasil Validasi Model Persamaan Simultan
Validasi model persamaan simultan komoditas kedelai di Indonesia dalam
penelitian ini menggunakan beberapa indikator statistik diantaranya yaitu Root
Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE), R2,
Casewise Diagnostic, Uji Signifikansi, dan U’Theil. RMSPE digunakan untuk
mengukur seberapa dekat nilai masing-masing variabel endogen hasil pendugaan
mengikuti nilai aktualnya selama periode pengamatan atau seberapa jauh
penyimpangan dalam ukuran persen. Selanjutnya untuk melihat keeratan arah
(slope) antara nilai aktual dengan hasil simulasi, digunakan nilai koefesien
determinasi (R2). Pengujuan validasi model persamaan simultan dapat di lihat
pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Hasil Validasi Model Persamaan Simultan.
Model
R
R2
R2
(adj)
df
P_value
F-hit
Std
error of
estimate
1
0,978a
0,956
0,952
3
0,000a
257,826
0,30057
2
0,953a
0,908
0.901
3
0,000a
118,976
0,14371
3
0,992a
0,984
0,982
3
0,000a
723,580
0,14970
4
0,995a
0,990
0,989
4
0.000a
846,980
0,04673
72
Berdasarkan hasil output regresi terhadap empat persamaan simultan
tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Persamaan simultan untuk mengestimasi harga kedelai paritas impor pada
tingkat grosir di Indonesia.
Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode “Ordinary Least
Square (OLS)” memberikan autput regresi sebagai berikut:
Ln PMG = -0,107 + 0,944 ln ER + 0,463 ln PWD + 0,237 Dummy
Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi determinasi
( R-Sq) sebesar 95,6 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi (R-Sq adj)
sebesar 95,2 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 95,6 persen
keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas
yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 3 persen dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti model
sudah bisa di anggap fit (baik).
Tabel 11. Hasil Regresi Persamaan Harga Paritas Impor pada Tingkat Grosir
Variabel
Koefesien
Standar
Eror Koef
t-value
p-value
Konstanta
-0.107
0.638
-0.167
0.868
Ln ER
0.944
0.062
15.135
0.000
0.816
Ln PWD
0.463
0.75
6.201
0.000
0.279
Dummy
0.237
0.167
1.424
0.163
0.063
S= 73.129
R-Sq= 95.6%
Keterangan : nyata pada taraf 5 %
VIF
(beta)
R-Sq (adj)= 95.2%
73
Berdasarkan Tabel 11 dapat di intepretasikan antara lain, konstanta -0,107
; artinya jika ln ER, PWD dan dummy nilainya 0, maka harga kedelai paritas impor
(lnPMG ) nilainya negatif yaitu sebesar -0,107. Koefesien regresi variabel Ln ER
sebesar 0,944 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan Ln PMG
mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai paritas impor akan mengalami
kenaikan sebesar Rp
0,994 per kg. Koefisien bernilai positif artinya terjadi
hubungan positif antara PWD dengan harga kedelai paritas impor, semakin naik
PWD maka harga kedelai paritas impor akan semakin meningkat.
. Koefisien regresi variabel PWD sebesar 0,463; artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan ln PMG mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai
paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,463 per kg. Koefisien
bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara PWD dengan harga kedelai
paritas impor, semakin naik PWD maka harga kedelai paritas impor akan semakin
meningkat.
Koefesien regresi variabel dummy sebesar 0,237 , artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan jika kebijakan tarif impor dipertahankan maka harga
kedelai paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp
0,234 per kg.
Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara dummy dengan
harga kedelai paritas impor, apabila kebijakan tarif impor dipertahankan maka
harga kedelai paritas impor naik.
Berdasarkan hasil regresi diatas diperoleh angka R sebesar 0,995. Hal ini
menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara ln ER, ln PWD dan
Dummy terhadap harga kedelai paritas impor pada tingkat pedagang grosir.
Angka R2 (R square) sebesar 0,956 atau 95,6 persen menunjukan persentase
74
sumbangan pengaruh variabel independen (lnER, lnPWD dan dummy) terhadap
variabel dependen (lnPMG/ harga paritas impor tingkat grosir) sebesar 95,6 persen.
Atau variasi variabel independen yang digunakan dalam model satu mampu
menjelaskan sebesar 95,6 persen variasi variabel dependen (lnPMG). Sedangkan
sisanya sebesar 4,4 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain yang tidak
dimasukan dalam model penelitian ini.
R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan,nilai ini selalu
labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Standard
error of estimate adalah suatu ukuran banyaknya kesalahan model persamaan
regresi simultan dalam memprediksi nilai ln PMG. Dari hasil regresi di dapat nilai
0,30057 atau Rp 0,30057 per kg. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam
prediksi harga paritas impor kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar Rp
0,30057 per kg.
Nilai F hitung sebesar 257,826 dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan
tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedom yang
ditampilkan yaitu dF1=3 dan dF2=36. Oleh karena itu F hitung > F tabel, yaitu
257,826 > 2,866, maka tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
signifikan antara lnER, lnPWD dan dummy (ada tidaknya kebijakan) secara
bersama-sama terhadap lnPMG.
2) Persamaan untuk mengestimasi konsumsi kedelai per kapita per tahun
untuk mencari nilai koefesien regresi terhadap harga grosir sebagai nilai
elastisitas permintaan harga kedelai terhadap barang sendiri adalah:
Ln QDCt = - 0,777 – 0,045 ln PWS1 + 0,244 ln YCt +0,229 Dummy
75
Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi
determinasi ( R-Sq) sebesar 90,8 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi
(R-Sq adj) sebesar 90,1 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 90,8
persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel
bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 3 persen
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti
model sudah bisa di anggap fit (baik).
Tabel 12. Hasil Regresi Persamaan Konsumsi Kedelai Per Kapita di Indonesia
Variabel
Koefesien
Standar
Eror Koef
t-value
p-value
Konstanta
-0.777
0.260
-2.991
0.005
LnPWS
-0.045
0.139
-0.324
0.748
-0.135
LnYCt
0.244
0.089
2.729
0.010
1.164
Dummy
0.229
0.077
2.964
0.005
0.181
S= 8.115
R-Sq= 90.8%
VIF
(beta)
R-Sq (adj)= 90.1%
Keterangan: nyata pada taraf 5 %
Hasil regresi tersebut dapat dijelaskan antara lain, konstanta -0,777 ;
artinya jika dummy, lnPWS1 dan lnYCt nilainya 0, maka konsumsi kedelai per kapita
per tahun (lnQDCt) nilainya negatif yaitu sebesar -0,777. Koefesien regresi variabel
lnPWS1 sebesar -0,045 , artinya jika variabel independen lainnya tetap dan lnPWS1
mengalami kenaikan 1%, maka konsumsi kedelai per kapita per tahun akan
mengalami penurunan sebesar Rp 0,045 per kg. Koefisien bernilai negatif artinya
76
terjadi hubungan negatif antara lnPWS1 dengan lnQDCt, semakin naik lnPWS1 maka
konsumsi kedelai per kapita per tahun akan semakin menurun.
. Koefisien regresi variabel lnYCt sebesar 0,244; artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan lnYCt mengalami kenaikan 1%, maka konsumsi
kedelai per kapita per tahun akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,244 per kg.
Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara lnYCt dengan
konsumsi kedelai per kapita per tahun, semakin naik PWD maka konsumsi kedelai
per kapita per tahun akan semakin meningkat.
Koefesien regresi variabel dummy sebesar 0,229 , artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan kebijakan impor dipertahankan, maka harga kedelai
paritas impor akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,229 per kg. Koefisien
bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara dummy dengan konsumsi
kedelai per kapita per tahun, apabila kebijakan tarif impor dipertahankan maka
konsumsi kedelai per kapita per tahun akan naik.
Berdasarkan hasil regresi diperoleh angka R sebesar 0,953. Hal ini
menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara ln PWS1, lnYCt dan
dummy terhadap jumlah permintaan kedelai per kapita per tahun di Indonesia.
Hasil regresi yang lainnya adalah angka R2 (R square) sebesar 0,908 atau 90,8
persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel
independen (lnPWS1, lnYCt dan dummy) terhadap variabel dependen (lnQDCt/
jumlah permintaan kedelai per kapita per tahun) sebesar 90,8 persen. Atau variasi
variabel independen yang digunakan dalam model satu
mampu menjelaskan
sebesar 90,8 persen variasi variabel dependen (lnQDCt). Sedangkan sisanya sebesar
77
9,2 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukan
dalam model penelitian ini.
Adjusted R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini
selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Nilai
dari Adjusted R square 90,1 persen. Standard error of estimate adalah suatu
ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam
memprediksi nilai lnQDCt. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,14371 atau Rp
0,14371 per kg per tahun. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi
harga paritas impor kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar Rp 0,14371 per
kg per tahun.
F hitung sebesar 118,976 dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan
tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedom yang
ditampilkan yaitu df1=3 dan df2=36. Oleh karena itu F hitung > F tabel, yaitu
118,976 > 2,866, maka tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
signifikan antara lnPWS1, lnYCt dan dummy secara bersama-sama terhadap lnQDCt.
3) Persamaan untuk mengestimasi harga kedelai pada tingkat produsen
(petani) untuk mencari nilai koefesien regresi terhadap harga grosir
sebagai nilai elastisitas trasmisi harga adalah:
Ln PFt = 1,508 + 0,895 ln PWSt – 0,043 ln Im – 0,250 Dummy
Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi
determinasi ( R-Sq) sebesar 98,4 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi
(R-Sq adj) sebesar 98,2 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 98,4
persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel
bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen
78
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti
model sudah bisa di anggap fit (baik).
Tabel 13. Hasil Regresi Persamaan Harga Kedelai pada Tingkat Produsen
di Indonesia
VIF
Variabel
Koefesien
Standar
Eror Koef
t-value
p-value
Konstanta
1.508
0.182
8.282
0.000
LnPWSt
0.895
0.031
28.904
0.000
1.088
LnIM
-0.043
0.008
5.260
0.000
-0.183
Dummy
-0.250
0.076
-3.309
0.002
-0.080
S= 49.454
R-Sq= 98.4%
(beta)
R-Sq (adj)= 98.2%
Keterangan: nyata pada taraf 5 %
Persamaan regresi tersebut dapat dijelaskan antara lain, konstanta 1,508 ;
artinya jika dummy, lnIM dan lnPWSt nilainya 0, maka harga kedelai pada tingkat
produsen (petani) (lnPFt) nilainya sebesar Rp 1,508 per kg. Koefesien regresi
variabel ln PWSt
sebesar 0,895 , artinya jika variabel independen lainnya
tetap dan lnPWSt mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai pada tingkat
produsen (petani) akan mengalami kenaikan sebesar Rp 0,895 per kg. Koefisien
bernilai positif artinya terjadi hubungan yang positif antara lnPWSt dengan lnPFt,
semakin naik lnPWS1 maka harga kedelai pada tingkat produsen (petani) akan
semakin naik.
Koefisien regresi variabel lnIM sebesar -0.043; artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan lnIM mengalami kenaikan 1%, maka harga kedelai
pada tingkat produsen (petani) akan mengalami penurunan sebesar Rp 0.043 per
79
kg. Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara lnIM dengan
harga kedelai pada tingkat produsen (petani) akan semakin menurun.
Koefesien regresi variabel dummy sebesar -0.250 , artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan kebijakan impor dipertahankan, maka harga kedelai
paritas impor akan mengalami penurunan sebesar Rp 0.250 per kg. Koefisien
bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara dummy dengan harga
kedelai pada tingkat produsen (petani), apabila kebijakan tarif impor
dipertahankan maka harga kedelai paritas impor akan turun.
Berdasarkan tabel di atas diperoleh angka R sebesar 0,992. Hal ini
menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat kuat antara lnPFt, lnPWSt dan
dummy terhadap harga kedelai pada tingkat produsen (petani). Hasil regresi yang
lainnya adalah angka R2 (R square) sebesar 0,984 atau 98,4 persen. Hal ini
menunjukan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (lnPWSt,
lnIM dan dummy) terhadap variabel dependen (lnPFt/ harga kedelai pada tingkat
produsen (petani)) sebesar 98,4 persen. Atau variasi variabel independen yang
digunakan dalam model satu mampu menjelaskan sebesar 98,4 persen variasi
variabel dependen (lnPFt,). Sedangkan sisanya sebesar 1,6 persen dipengaruhi atau
dijelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini.
Adjusted R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini
selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Nilai
dari Adjusted R square 98,2 persen. Standard error of estimate adalah suatu
ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam
memprediksi nilai lnPFt. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,14970 atau Rp 0,14970
80
per kg. Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi harga paritas impor
kedelai pada tingkat pedagang grosir sebesar Rp 0,14970 per kg.
Nilai F hitung sebesar 723,580dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan
tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedomi (df) yang
ditampilkan yaitu df1=3 dan df2=36. Oleh karena itu F hitung > F tabel, yaitu
118,976 > 2,866, maka tolak Ho dan terima H1. Jadi dapat disimpulkan bahwa
ada pengaruh signifikan antara lnPWSt, lnIM dan dummy secara bersama-sama
terhadap lnPFT.
4) Persamaan untuk mengestimasi jumlah produksi (penawaran) kedelai
nasional untuk mencari nilai koefesien regresi terhadap harga produsen
sebagai nilai elastisitas penawaran terhadap harga sendiri adalah:
Ln QSt = -3.116 + 1.146 ln LP + 0.170 ln PFt + 0.003 ln Im + -0.005 Dummy
Berdasarkan fungsi dugaan tersebut diperoleh nilai koefesiensi
determinasi ( R-Sq) sebesar 99 persen dan nilai koefesien determinasi terkoreksi
(R-Sq adj) sebesar 98,9 persen. Angka ( R-Sq) tersebut menunjukan bahwa 98,4
persen keragaman dari variabel tak bebas dapat diterangkan oleh variabel-variabel
bebas yang digunakan dalam model, sedangkan sisanya yaitu sebesar 1 persen
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Hal ini berarti
model sudah bisa di anggap fit (baik). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 14.
81
Tabel 14.
Hasil Regresi Persamaan Jumlah Produksi (Penawaran) Kedelai di
Indonesia
VIF
Variabel
Koefesien
Standar
Eror Koef
t-value
p-value
Konstanta
-3.116
0.338
-9.211
0.000
LnPFt
0.170
0.011
15.541
0.000
0.413
LpLP
1.146
0.024
46.870
0.000
0.879
LnIM
0.003
0.002
1.157
0.255
0.030
Dummy
-0.005
0.026
-0.200
0.843
-0.004
S= 7.473
R-Sq= 99.0%
(beta)
R-Sq (adj)= 98.9%
Keterangan: nyata pada taraf 5%
Berdasarkan Tabel 14 hasil regresi tersebut dapat dijelaskan antara lain,
konstanta -3.116; artinya jika Dummy, lnIM, lnLp dan lnPFt nilainya 0, maka
jumlah produksi (penawaran) kedelai (lnQSt) nilainya sebesar -3.116. Koefesien
regresi variabel lnPFt sebesar 0,170 , artinya jika variabel independen lainnya tetap
dan lnPFt mengalami kenaikan 1%, maka jumlah produksi (penawaran) kedelai
akan mengalami kenaikan sebesar 0,170 ton. Koefisien bernilai positif artinya
terjadi hubungan yang positif antara lnPFt dengan lnQSt, semakin naik ln PFt maka
jumlah produksi (penawaran) kedelai akan semakin naik.
Koefisien regresi variabel lnLP sebesar 1.146; artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan lnLP mengalami kenaikan 1%, maka jumlah
produksi (penawaran) kedelai akan mengalami kenaikan sebesar 1.146 ton.
82
Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara lnLP dengan
jumlah produksi (penawaran) kedelai akan semakin naik.
Koefisien regresi variabel lnIM sebesar 0.003; artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan lnIM
mengalami kenaikan 1%, maka jumlah
produksi (penawaran) kedelai akan mengalami kenaikan sebesar 0.003 ton.
Koefisien bernilai positif artinya terjadi hubungan positif antara lnIM dengan
jumlah produksi (penawaran) kedelai akan semakin naik.
Koefesien regresi variabel Dummy sebesar -0.005, artinya jika variabel
independen lainnya tetap dan kebijakan impor dipertahankan, maka jumlah
produksi (penawaran) kedelai akan mengalami penurunan sebesar 0,005 ton.
Koefisien bernilai negatif artinya terjadi hubungan negatif antara dummy dengan
jumlah produksi (penawaran) kedelai, apabila kebijakan tarif impor dipertahankan
maka jumlah produksi (penawaran) kedelai akan turun.
Berdasarkan hasil regresi pada persamaan empat diperoleh angka R
sebesar 0,995. Angka tersebut menunjukan bahwa terjadi hubungan yang sangat
kuat antara lnLp, lnIM, lnPFT dan dummy terhadap jumlah penawaran/produksi
kedelai di Indonesia. Hasil regresi yang lainnya adalah angka R2 (R square)
sebesar 0,990 atau 99,0 persen. Hal ini menunjukan bahwa persentase sumbangan
pengaruh variabel independen (lnLp, lnIM, lnPFT dan dummy) terhadap variabel
dependen (lnQSt/ jumlah penawaran/produksi kedelai di Indonesia) sebesar 99,0
persen. Atau
variasi variabel independen yang digunakan dalam model satu
mampu menjelaskan sebesar 99,0 persen variasi variabel dependen (lnQSt,).
Sedangkan sisanya sebesar 1,0 persen dipengaruhi atau dijelaskan oleh variasi lain
yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini.
83
Adjusted R square adalah nilai R Square yang telah disesuaikan, nilai ini
selalu labih kecil dari R Square dan angka ini bisa memiliki angka negatif. Nilai
dari Adjusted R square 98,9 persen. Standard error of estimate adalah suatu
ukuran banyaknya kesalahan model persamaan regresi simultan dalam
memprediksi nilai lnQSt. Dari hasil regresi di dapat nilai 0,04673 atau 0,04673 ton.
Hal ini berarti banyaknya kesalahan dalam prediksi harga paritas impor kedelai
pada tingkat pedagang grosir sebesar 0,04673 ton.
Nilai F hitung sebesar 846,980 dan signifikansi (P-value) =0,000a dengan
tingkat alpha yang ditetapkan adalah 5 persen. Degree of freedom yang
ditampilkan yaitu df1=3 dan df2=36. Oleh karena F hitung > F tabel, yaitu
846,980 > 2,634, maka tolak Ho. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara lnLp, lnIM, lnPFT dan dummy secara bersama-sama
terhadap lnQSt.
Berdasarkan hasil perhitungan regresi simultan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa semua model persamaan simultan tersebut valid untuk dapat
mengestimasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai di Indonesia.
6.2
Dekomposisi Tarif
Harga dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perubahan harga kedelai
impor, kurs rupiah dan kebijakan tarif. Kenaikan harga dalam negeri sebagai
akibat kebijakan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor kedelai
di tingkat grosir (PMG) dan harga kedelai aktual ditingkat grosir awal (PWS1). Hasil
analisis menunjukan bahwa PMG adalah Rp 6.432,77 per kg, sedangkan PWS1
adalah Rp 7.655,00 per kg. Selisih kedua harga ini adalah Rp 2.413,70 per kg
84
untuk D1 dan Rp 2.176,70 per kg untuk D0 yaitu kenaikan harga kedelai sebagai
dampak dari kedua kebijakan protektif tersebut.
6.3
Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor
Hasil analisis dampak kebijakan perdagangan (impor) dengan tarif pada
dua skenario D0 dan D1 sebagaimana diperlihatkan pada hasil analisis simulasi
menunjukan bahwa dampak positif terjadi pada skenario D0 dan negatif pada
skenario D1, baik terhadap harga grosir, harga produsen, permintaan, penawaran,
impor maupun kesejahtaraan.
6.3.1
Dampak terhadap
Konsumen
Harga
Grosir,
Permintaan
dan
Surplus
Pada skenario D0 (penghapusan tarif impor) hasil simulasi menunjukan
penurunan terhadap harga grosir sebesar 25,28 persen, atau berubah dari nilai
sebelumnya sebesar 18,20 persen dan surplus konsumen turun sebesar 51,52
persen atau turun sebesar Rp 2,7 milyar. Dampak terhadap permintaan
menunjukan nilai perubahan yang positif yaitu 69,74 persen atau terjadi
peningkatan jumlah permintaan kedelai sebesar 2.346,82 ton.
Peningkatan jumlah permintaan kedelai di tingkat domestik terjadi akibat
penurunan harga pada tingkat grosir. Peningkatan jumlah permintaan tersebut
akan tetapi tidak berdampak pada perubahan yang positif terhadap susplus
konsumen. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan
permintaan kedelai yang meningkat sebagai akibat penghapusan tarif impor tidak
berpengaruh signifikan terhadap perubahan surplus konsumen yang positif pula.
Pada skenario D1 (mempertahankan tarif impor) menunjukan perubahan
dampak yang lebih
ringan dari pada menghilangkan tarif impor. Hal ini
85
dibuktikan dari hasi analisis simulasi yaitu perubahan harga kedelai pada tingkat
grosir dan surplus konsumen turun masing-masing sebesar 7,09 persen dan 3,04
persen. Begitu pun dampak terhadap perubahan permintaan yang relatif lebih
ringan yaitu naik sebesar 28,21 persen.
Secara jelas dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap
harga grosir, permintaan dan surplus konsumen dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga
Grosir di Indonesia, Permintaan dan Surplus konsumen pada Periode
Tahun 1969-2008.
Skenario Simulasi
Variabel
Perubahan harga grosir (%)
Perubahan harga grosir (Rp/kg)
Harga grosir t2 (Rp/kg)
Perubahan permintaan (%)
Perubahan permintaan (Ton)
Permintaan tahun t2 (Ton 000)
Surplus konsumen (Rp Juta)
Perubahan
D1 (10)
D0 (0)
-7,09
-25,28
-18,20
-626,82
-2.176,70
-1.549,88
8.219,66
6.432,77
-1.786,88
28,21
97,95
69,74
675,81
2.346,82
1.671,01
3.071,71
4.742,72
1.671,01
-1.289.993
-2.660.994
-1.371.001,33
Perubahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan
penghapusan tarif impor kedelai adalah menurunkan surplus konsumen. Secara
umum dampak terhadap harga grosir, permintaan dan surplus konsumen, akan
memberikan dampak yang tidak terlalu besar jika menerapakan kebijakan
mempertahankan tarif impor. Alasannya jelas, karena kebijakan tersebut akan
menguntungkan dari kedua pihak yaitu konsumen dan produsen. Hal ini sesuai
86
dengan hasil simulasi yang menunjukan dampak terkecil baik dari segi perubahan
harga grosir, permintaan (konsumsi) dan surplus konsumen.
Secara historis dapat dideskripsikan bahwa penurunan surplus konsumen
kedelai disebabkan oleh penurunan harga kedelai pada tingkat domestik.
Sebenarnya skenario ini sudah memenuhi harapan pemerintah yang ingin
menurunkan harga kedelai pada tingkat domestik. Tujuannya untuk menstabilkan
harga kedelai domestik yang akhir-akhir ini semakin mahal karena dampak
meningkatnya harga kedelai dunia.
Hasil simulasi tersebut menunjukan gejala yang bertentangan dengan
teori permintaan dan penawaran. Berdasarkan teori permintaan dan penawaran
jika terjadi penurunan tarif impor maka harga dalam negeri akan mengalami
penurunan. Selanjutnya penuerunan harga tersebut akan memberikan dampak
terhadap peningkatan permintaan dan akhirnya surplus konsumen pun akan
bertambah. Salah satu penyebab penyimpangan tersebut diduga terjadi karena
penurunan tarif yang tidak proporsional dengan kenaikan harga yang melebihi 100
persen. Secara matematis dapat diilustrasikan, harga kedelai impor semula Rp
1200 per kg naik menjadi Rp 8000 per kg, sedangkan penurunan tarif hanya 10
persen. Artinya dengan penurunan tarif 10 persen tersebut hanya dapat
menurunkan harga kedelai domestik sekitar Rp 800 per kg atau menjadi Rp 7200
per kg. Dengan harga kedelai sebesar Rp 7200 per kg tidak cukup signifikan
untuk menekan jumlah oportunitas pengeluaran untuk membeli kedelai. Hal
tersebut tidak akan mempengaruhi terhadap peningkatan jumlah konsumsinya dan
pada akhirnya jumlah surplus konsumen menjadi berkurang.
87
7.3.2
Dampak terhadap Harga Petani (Produsen), Produksi (Penawaran)
dan Surplus Produsen
Pada skenario D0 (penghapusan tarif impor) hasil simulasi menunjukan
penurunan terhadap harga kedelai pada tingkat petani (produsen) sebesar 22,63
persen, atau berubah dari nilai sebelumnya sebesar 16,29 persen dan surplus
produsen turun sebesar 70,79 persen atau turun sebesar Rp 3,6 milyar. Dampak
terhadap penawaran (produksi) pun menunjukan nilai perubahan yang negatif
yaitu 3,85 persen atau terjadi penurunan jumlah penawaran kedelai domestik
sebesar 27.830,00 ton.
Penurunan jumlah penawaran (produksi) kedelai di tingkat domestik
terjadi akibat penurunan harga pada tingkat petani. Penurunan jumlah penawaran
tersebut akan berdampak pada perubahan yang negatif terhadap susplus produsen.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan penawaran
(produksi) kedelai yang menurun sebagai akibat penghapusan tarif impor akan
berpengaruh signifikan terhadap perubahan surplus produsen yang positif pula.
Oleh karena terjadi penurunan harga pada tingkat petani maka dampak
selanjutnya akan menunkan minat para petani untuk menanam kedelai atau yang
sudah menanamnya akan mengkonversikan lahanya untuk tanaman palawija
lainnya ayng lebih menguntungkan.
Pada skenario D1 (mempertahankan tarif impor) menunjukan perubahan
dampak yang lebih
ringan dari pada menghilangkan tarif impor. Dari sisi
produsen (petani), kebijakan mempertahankan tarif impor akan sangat membantu
mereka. Dengan adanya tarif harga kedelai yang mereka hasilkan akan relatif
dapat bersaing dengan harga kedelai impor yang lebih murah. Hal ini dibuktikan
dari hasi analisis simulasi yaitu perubahan harga kedelai pada tingkat petani dan
88
surplus produsen turun masing-masing sebesar 6,34 persen dan 29, 20 persen.
Begitu pun dampak terhadap perubahan penawaran (produksi) yang relatif lebih
ringan yaitu naik sebesar 1,08 persen
Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap harga grosir,
permintaan dan surplus konsumen, secara jelas dan ringkas dapat dilihat pada
Tabel 16.
Tabel 16. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap Harga
Petani, Penawaran (Produksi) dan Surplus Produsen pada Periode
Tahun 1969-2008.
Skenario Simulasi
Variabel
Perubahan
D1 (10)
D0 (0)
-6.34
-22.63
-16.29
-497.62
-1.727.66
-1.230.04
Harga produsen t2 (Rp/Kg)
7.349.32
5.907.41
-1.441.91
Perubahan penawaran (%)
-1.08
-3.85
-2.77
Perubahan penawaran(Ton 000)
-7.80
-27.83
-20.03
Penawaran kedelai t2 (Ton 000)
715.70
358.085.9
695.67
1.225.921
-20.03
Dampak terhadap harga produsen (%)
Perubahan harga produsen (Rp/Kg)
Surplus produsen (Rp 000)
-867.835.49
Perubahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan
penghapusan tarif impor kedelai akan menurunkan surplus produsen. Secara
umum dampak terhadap harga kedelai pada tingkat petani (produsen), penawaran
(produksi) dan surplus produsen, akan lebih baik jika menerapakan kebijakan
mempertahankan atau menerapkan kembali tarif impor. Alasannya jelas karena
hal ini sesuai dengan hasil simulasi yang menunjukan dampak terkecil baik dari
89
segi perubahan harga kedelai pada tingkat petani (produsen), penawaran
(produksi) dan surplus produsen.
Secara historis dapat dideskripsikan bahwa penurunan surplus produsen
kedelai disebabkan oleh penurunan harga kedelai pada tingkat domestik.
Sebenarnya skenario ini yang sebenarnya membuat dilematis pihak pemerintah.
Karena secara langsung pemerintah sendiri yang menghancurkan harapan petani
kedelai untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya dengan lebih layak. Oleh karena
itu agar pemerintah tidak mengalami dilematika dalam menentukan arah
kebijakan perkedelaian nasional seyogyanya mempertiambangkan kembali
peniadaan tarif impor tersebut.
6.3.3
Dampak Terhadap Impor dan Penerimaan Pemerintah
Berdasarkan hasil analisis pada skenario D0 (penghapusan tarif impor)
hasil simulasi menunjukan peningkatan terhadap volume impor kedelai nasional
yang sangat besar yaitu sebesar 142,0 persen. Hal tersebut dapat jika di
nominalkan sebesar 2.374.650,0 ton, jika dibandingkan dengan posisi nilai awal
volume kedelai impor sebesar 1.672.388 ton .
Penerimaan pemerintah jelas tidak ada karena pemasukan pemerintah dari
tarif impor telah dihilangkan. Berdasarkan hasil simulasi tersebut pemerintah
telah banyak kehilangan pemasukan dari pajak impor yaitu sebesar Rp 3,6 milyar.
Disamping itu pemerintah mengalami kerugian berupa defisit perdagangan akibat
nilai dan volume impor kedelai semakin meningkat.
Pada skenario D1 (mempertahankan tarif impor) hasil simulasi
menunjukan peningkatan terhadap volume impor kedelai nasional juga tetapi
relatif tidak besar dan ringan (wajar) yaitu sebesar 40 persen. Hal tersebut dapat
90
jika di nominalkan sebesar 683.610,0 ton, jika dibandingkan dengan posisi nilai
awal volume kedelai impor sebesar 1.672.388 ton .
Dampak kebijakan penghapusan tarif impoir kedelai terhadap perubahan
volume impor dan penerimaan pajak pemerintah dari tarif impor, secara ringkas
dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Terhadap Volume Impor
dan Penerimaan Pemerintah pada Periode Tahun 1969-2008.
Skenario Simulasi
Variabel
Perubahan
D1 (10)
D0 (0)
1.672.,4
1.672.4
0
40,87
1,42
101,13
683,61
2.374,65
1.691,04
Volume impor t2 (Ton 000)
2.356,01
4.047,05
1.691,04
Penerimaan pemerintah (Rp juta)
1732,34
-3640,32
-3813,55
Volume impor t1 (Ton 000)
Perubahan volume impor (%)
Perubahan volume impor (Ton 000)
Meniadakan
tarif
impor
kedelai
dikhawatirkan
akan
sangat
membahayakan pertanian kedelai di Indonesia. Alasan pernyataan ini, didasarkan
pada hasil simulasi yang menunjukan jumlah volume impor kedelai yang semakin
meningkat, apabila tarif impor semakin dikurangi bahkan sampai ditiadakan. Pada
hasil simulasi skenario D0 yang menunjukan peningkatan terhadap jumlah volume
impor kedelai akan sangat menguntungkan bagi petani kedelai lokal, karena hasil
produksinya dapat diserap oleh pasar. Sebaliknya pada skenario ini, akan sedikit
banyak merugikan bagi para pedagang besar dan importer. Hal tersebut beralasan
91
karena para pedagang besar dan importer harus banyak mengeluarkan jumlah
uang untuk mendapatkan kedelai impor yang harganya semakin mahal.
Disamping pemerintah akan banyak kehilangan pemasukan dari pajak
impor. Dengan semakin banyak impor kedelai yang masuk kedalam negeri maka
akan semakin banyak uang kita yang dibelanjakan keluar negeri, sehingga akan
terintegrasi pada berkurangnya neraca perdagangan luar negeri.
Seyogyanya pemerintah mempertahankan kebijakan tarif impor, karena
walupun menunjukan hasil yang negatif tetapi hasil tersebut masih dianggap wajar
dengan nilai penurunnan tersebut. Dengan memepertahan kebijakan tarif impor
pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak impor sebesar Rp 1,7 milyar
dan yang lebih pasti pemerintah akan mengurangi defisit perdangan. Dengan
memperthankan tarif impor sebenarnya pemerintah sudah bisa menurunkan harga
kedelai domestik sebesar 6-7 persen dengan asumsi pemerintah menerapkan tarif
impor sebesar lima persen.
6.3.4
Dampak Terhadap Surplus Ekonomi Netto
Hasil analisis simulasi pada kedua kebijakan tersebut menunjukan bahwa
surplus ekonomi netto akan sama-sama menurun. Pada kebijakan peniadaan tarif
impor, dampak negatif akan dirasakan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan
mempertahankan kebijakan adanya tarif impor. Dengan tiadanya tarif impor maka
surplus produsen dan penerimaan pemerintah akan hilang, sehingga pada akhirnya
secara keseluruhan atau netto akan mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari
hasi perhitungan simulasi yang negatif yaitu Rp 1,4 milyar untuk skenario D1 dan
7,5 milyar untuk skenario D0 (penghapusan tarif impor).
92
Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap total
kesejahteraan (Surplus Netto), dapat di lihat pada Tabel 18 dibawah ini.
Tabel 18.
Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap
Perubahan Total Kesejahteraan (Surplus Netto) pada Periode Tahun
1969-2008
Skenario Simulasi
Variabel
Surplus konsumen (Rp Juta)
Surplus produsen (Rp Juta)
Penerimaan pemerintah (RpJuta)
Surplus netto (Rp Juta)
Perubahan
D1 (10)
D0 (0)
-1.289,9
-2.660,9
-1.371,0
-358,1
-1.225,9
-867,8
173,2
-3.640,3
-3.813,5
-1.474,8
-7.527,2
-6.052,4
Terlihat bahwa sistem perdagangan yang semakin liberal (bebas) seperti
yang diharapkan pada kesepakatan WTO memberikan surplus ekonomi nasional
semakin besar. Sistim perdagangan yang liberal ( tarif impor 0 persen) dengan
memberikan surplus ekonomi netto yang besar, berarti ekonomi nasional semakin
efisien. Namun dari aspek distribusi, produsen (petani lokal) akan menerima
surplus yang semakin jauh lebih kecil daripada konsumen, yang berarti aspek
pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah tidak terwujud.
Mengingat dan kita ketahui semua bahwa petani kedelai pada umumnya
miskin, maka keberpihakan kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan
mereka dari kemiskinan. Dengan alasan ini dan alasan lain seperti penyediaan
lapangan kerja dan pengembangan pedesaan serta mencapai swasembada kedelai
nasional, maka kebijakan yang bersifat protektif (defensif) masih tetap diperlukan.
93
Penerapan kebijakan protektif tersebut baik dengan penerapan tarif impor
kedelai, maupun dalam bentuk kebijakan laian seperti; pengaturan , pengawasan,
dan pembatasan impor kedelai seperti yang pernah dilakukan pada periode 19801995 melalui institusi Bulog.
6.4
Dampak
Kebijakan
Perdagangan
(Impor)
Kedelai
terhadap
Usahatani Kedelai Nasional
Kebijakan perdagangan kedelai yang pernah dilakukan oleh pemerintah
Indonesia, tidak hanya berdampak pada ekonomi kedelai pada tingkat makro
nasional seperti yang telah dibahas diatas. Kebijakan ini juga telah berdampak
pada tingkat mikro usaha tani melaui mekanisme perubahan harga output. Dari
hasil analisis diatas dapat diketahui bahwa kedua skenario kebijakan tersebut
dapat menurunkan harga kedelai pada tingkat grosir melalui mekanisme transmisi
harga, penurunan harga grosir akan berdampak pada turunnya harga produsen.
Penurunan harga produsen yang terjadi pada kedelai untuk keempat
skenario tersebut, sebagaimana telah diungkapkan diatas adalah 25,28 persen
untuk kebijakan penghapusan tarif impor
dan 7,09 persen untuk kebijakan
mempertahankan tarif impor. Terlihat bahwa dampak skenario mempertahan tarif
impor (D1) lebih meringankan bagi petani daripada dampak skenario kebijakan
yang menghilangkan tarif impor. Pada skenari pembebasan tarif impor akan
sangat merugikan petani lokal sebesar 33,71 persen untuk wilayah Jawa Barat dan
31,12 persen untuk Jawa Timur karena jelas terlihat dapat mengurangi keuntungan
usaha tani kedelai mereka.
Dampak kebijakan perdagangan (impor) kedelai terhadap perubahan
harga petani akan terintegrasi terhadap perubahan keuntungan usahatani.
94
Perubahan keuntungan usahatani (untuk perbandingan digunakan dua wilayah
yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur), yang diilustrasikan pada Tabel 19. Pemilihan
tempat atau wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, didasarkan pada luas areal panen
dari kedua wilayah tersebut merupakan terbesar di Indonesia dan memiliki historis
perubahan harga yang relatif konstan tiap tahun. Disamping alasan tesebut diatas
pemilihan tempat juga didasarkan pada Rencana Kerja Dewan Kedelai Nasional
untuk Program Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai Nasional
tahun 2008 yang menetapkan kedua wilayah tersebut sebagai percontohan dan
terdapat dalam peta stategis program tersebut. Atas pertimbangan tersebut
diputuskan untuk memilih kedua wilayah tersebut.
Tabel 19. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor terhadap Keuntungan
Usahatani Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur
pada Periode Tahun 1969-2008.
Uraian
Jawa Barat
Jawa Timur
Rataan
1.1611.000,00
12.767.805,00
12.189.402,50
Produksi (ton)
1.700,00
1.879,00
1.789,50
Harga (Rp/kg)
6.830,00
6.795,00
6.812,50
Biaya (Rp)
2.902.750.00
3.191.951,25
3.047.350,63
Keuntungan (Rp)
8.708.250.00
9.575.853,75
9.142.051,88
Penerimaan T1 (Rp)
Dampak perubahan harga terhadap keuntungan usahatani diperlihatkan
pada Tabel 20. Terlihat bahwa keuntungan usaha tani kedelai mengalami
95
penurunan sangat besar jika kebijakan menghapus tarif impor (nol persen)
diterapkan. Hal ini seperti terlihat pada skenario D0 yang menurunkan keuntungan
usahatani rata-rata sebesar 32,41 persen per ha per musim untuk kedua wilayah
tersebut. Penurunan keuntungan usahatani untuk kedua wilayah tersebut masingmasing sebesar Rp 2,93 juta per ha per musim untuk wilayah Jawa Barat dan Rp
2,98 juta per ha per musim untuk wilayah Jawa Timur. Rata-rata perubahan
keuntungan untuk kedua wilayah tersebut dapat menurunkan keuntungan
usahatani sebesar Rp 2,1 juta per ha per musim.
Kebijakan penerapan atau mempertahankan tarif impor akan berdampak
negatif kecil terhadap keuntungan usahatani. Kebijakan ini seperti yang terlihat
dari hasil analisis simulasi pada skenario D0 (menghilangkan tarif impor kedelai).
Pada skenario D0 (menghilangkan tarif impor kedelai) keuntungan usahatani tidak
akan menurunkan keuntungan usahatani yang terlalu besar. Hal ini tercermin dari
hasil simulasi sebesar 9,45 persen per ha musim untuk kedua wilayah Jawa Barat
dan 9,11 persen untuk wilayah JawaTimur.
96
Tabel 20. Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai terhadap
Keuntungan Usahatani Kedelai Per Hektar di Provinsi Jawa Barat dan
Jawa Timur pada Periode Tahun 1969-2008.
Simulasi Skenario
Uraian
Perubahan
D1
D0
Jawa Barat
-7.09
-25.28
-18.20
Jawa Timur
-7.09
-25.28
-18.20
Rataan
-7.09
-25.28
-18.20
Jawa Barat
6345.75
5103.20
-1242.56
Jawa Timur
6313.23
5077.22
-1236.01
Rataan
6329.49
5090.21
-1239.28
Jawa Barat
10787780.10
8675434.08
-2112346.02
Jawa Timur
10732498.65
8631280.80
-2101217.85
Rataan
10760139.38
8653357.44
-2106781.94
Jawa Barat
7885030.10
5772684.08
-2112346.02
Jawa Timur
7829748.65
5728530.80
-2101217.85
Rataan Keuntungan t2 (Rp)
7857389.38
5750607.44
-2106781.94
Jawa Barat
-823219.90
-2935565.92
-2112346.02
Jawa Timur
-878501.35
-2979719.20
-2101217.85
Rataan
-850860.63
-2957642.56
-2106781.94
Jawa Barat
-9.45
-33.71
-24.26
Jawa Timur
-9.17
-31.12
-21.94
Rataan
-9.31
-32.41
-23.10
Perubahan Harga (%)
Harga t2 (Rp/kg)
Penerimaan t2 (Rp)
Keuntungan t2 (Rp)
Perbhan Keuntungan (Rp)
Perubhn Keuntungan (%)
97
Petani kedelai di wilayah Jawa Barat akan terkena dampak negatif lebih
serius (besar) dibanding pada wilayah Jawa Timur untuk musim yang sama,
apabila pemerintah menerapkan kebijakan menghapus tarif impor kedelai. Hal ini
tercermin pada lebih tingginya penurunan keuntungan usahatani di wilayah Jawa
Barat, baik secara mutlak maupun relatif pada semua skenario. Bahkan perubahan
keuntungan usahtani untuk petani di wilayah Jawa Barat akan berkurang sebesar
Rp 2,93 juta per ha per musim jika skenario D0 diterapakan (Tabel 20). Apabila
pemerintah menerapkan skenario D1 maka dampak negatif yang terlalu besar
dapat dihindarkan walaupun menunjukan nilai penurunan keuntungan usahatani
untuk kedua wilayah tersebut . Hal ini tercermin pada nilai
penurunan
keuntungan usahatani, yang lebih kecil baik secara absolut maupun relatif.
Dengan kondisi perkedelaian sekarang ini, akan sangat tidak bijak
pemerintah mengeluarkan kebijkan yang menghapus tarif impor. Dalam hal ini
pemerintah menurut pandangan penulis mematikan perkedelaian nasional yang
selama ini justru terus digalakan tentang bangkit kedelai nasional. Dengan adanya
hambatan tarif saja, jumlah volume impor kedelai nasional masih terus meningkat,
apalagi hambatan tarif dihilangkan. Pemerintah tidak belajar dari pengalaman
dahulu yang menggilangkan tarif impor. Pada saat itu pertanian kedelai nasional
mengalami kemunduran, hal tersebut ditandai jumlah volume impor kedelai
selalau naik rata-rata sebesar tujuh persen selama lima tahun diberlakukan tarif
impor nol persen. Disamping gejala itu, dampak terhadap jumlah produksi
kedelai nasional pun selalume nunjukan nilai perubahan yang negatif. Sehingga
petani kedelai pada akhirnya meninggalkan kedelai dan menanam palawija
lainnya yang lebih menguntungkan. Lahan untuk pertanian kedelai pun akhirnya
98
berkurang pula seiring banyak petani yang mengkonversikan lahannya untuk
tanaman lain.
Berdasarkan pengalaman yang telah terjadi, seyogyanya pemerintah lebih
bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan. Alasannya karena kebijakan tersebut
akan berdampak negatif terhadap produsen dan konsumen. Memperhatikan nasib
para petani kedelai seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah daripada hanya
memperhatikan nasib segelintir para importir kedelai yang mempunyai modal
besar. Dari hal inilah seyogyanya pemerintah mempertimbangkan seluruh
pengambilan keputusan. Biar bagaimana pun, para petani kecil yang dapat
memerikan andil besar dalam pencapaian swasemabada kedelai dan ketahanan
pangan nasional.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
1. Penurunan harga dalam negeri sebagai akibat dari kebijakan penghapusan
tarif impor kedelai. Hal tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas
impor kedelai di tingkat grosir (PMG) dan harga kedelai aktual ditingkat
grosir awal (PWS1) yang masih tinggi.
2. Dampak kebijakan pemerintah menghilangkan atau menghapus tarif impor
kedelai yang utama adalah menurunkan harga kedelai domestik baik pada
tingkat petani maupun grosir, masing-masing sebesar dan 22,68 persen
25,28 persen. Dampak selanjutnya dari penghapusan tarif impor kedelai
adalah menurunkan jumlah penawaran (produksi) kedelai..
3. Dampak yang sangat tidak diharapkan dari penghapusan tarif impor pun
terjadi yaitu meningkatkan jumlah volume impor sebesar 141,99 persen.
4. Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap perubahan
perubahan kesejahteraan nasional adalah menurunkan menurunkan
surplus
produsen,
konsumen,
surplus
netto
dan
menghilangkan
penerimaan pajak impor kedelai.
5. Dampak kebijakan penghapusan tarif impor kedelai terhadap perubahan
keuntungan usahatani adalah menurunkan keuntungan usahatani rata-rata
sebesar 32,41 persen untuk kedua wilayah yaitu Jawa Timur an Jawa
Barat.
100
7.2
Saran
Kebijakan perdagangan kedelai yang seyogyanya diterapkan oleh
pemerintah Indonesia adalah kebijakan proteksi. Kebijakan proteksi yang
dimaksud dalam hal ini adalah mempertahankan penetapan tarif impor kedelai.
Walaupun kebijakan ini tidak bisa diterapkan selamanya, tetapi untuk saat ini
kebijakan ini akan sangat membantu untuk melindungi para petani kedelai kita.
Kebijakan pemerintah yang sekarang ditarapkan yaitu menghapuskan tarif impor
menjadi nol persen, dikhawatirkan akan menyebakan usahatani kedelai semakin
hancur sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar Amerika (dunia)
akan semakin besar.
Implikasi kebijakan ke depan adalah mempertahankan kebijkan proteksi
(penetapan tarif) yang selama ini pernah ditempuh, yaitu pengenaan tarif impor
dan seyogyanya dikombinasikan dengan kebijakan nontarif seperti pengawasan,
pengaturan dan pembatasan impor. Sebelum negara-negara eksportir kedelai
bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestik secara signifikan yang
selama ini sangat mendistorsi pasar kedelai dunia.
Terus berjuang bersama-sama dengan negara-negara berkembang lainnya
yang tergabung kedalam kelompok G-33 pada sidang-sidang Komite Pertanian
(Committee on Agriculture) WTO agar negara-negara maju dan negara-negara
berkembang tertentu menurunkan subsidi ekspor dan subsidi domestik secara
signifikan. Biar bagaimana pun kebijakan liberalisasi perdagangan akan sangat
menguntungkan bagi para konsumen, karena konsumen bisa mendapatkan barang
yang kwalitasnya bagus dengan harga yang relatif murah.
101
Kebijakan proteksi tigak mungkin dilakukan secara terus-menerus dalam
jangka panjang karena tuntutan globalisasi yang semakin kuat. Oleh karena itu,
upaya-upaya perbaikan efisiensi ekonomi perkedelaian nasional perlu terus
dijlankan. Hal ini untuk mempersiapkan agribisnis kedelai nasional dalam
menghadapi globalisasi. Kedepannya semoga perkedelaian nasional dapat bangkit
dari keterpurukan. Muaranya yang pasti bisa berswasenbada kedelai sendiri dan
pada akhirnya Indonesia mempunyai ketahanan pangan yang solid. Untuk dapat
mencapai cita-cita tersebut bukan hanya dibebankan hanya pada pemerintah saja,
tetapi semua stakeholder yang terkait dengan masalah perkedelaian harus saling
membantu untuk mensukseskannya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, N. 2006. Analisis Integrasi Pasar Kedelai Domestik dan Pasar Kedelai
Dunia, serta Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Program Studi
Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 1999-2007. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia:
Impor 1999-2007, Jilid II. BPS. Jakarta.
_________________. 1992-2007. Statistik Harga Perdagangan Besar Beberapa
Provinsi Di Indonesia: The Wholesale Price Statistics in Several
Provinces in Indonesia. BPS. Jakarta.
_________________.1992-2007. Statistik Harga Produsen (Pertanian Pangan
dan Perkebunan Rakyat): Producer Price Statistics. BPS.Jakarta.
_________________. 2000-2007. Indikator Pertanian: Agriculture Indikators.
BPS. Jakarta.
_________________.1986-2007. Pendapatan Nasional Indonesia: National
Income of Indonesia. BPS. Jakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Statistik Pertanian: Agricultural Statistics. Deptan.
Jakarta.
__________________. 2008. Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi
Kedelai Tahun 2008. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Deptan.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2007. Statistik Pertanian
Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan
Jakarta.
___________________. 2008. Budidaya Kedelai. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Tanaman Pangan. Jakarta.
Erwidodo, H dan H. Pudjihastuti. 2003. Impor Jagung: Perlukah Tarif Impor
Diberlakukan: Jawaban Analisis Simulasi..Jurnal. Jurnal Agro Ekonomi
Volume 21 (2): 175-195.Oktober 2003.
Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia. 2007. Laporan Tahunan 2006. Forum
Masyarakat Perunggasan Indonesia. Jakarta.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GPMMI). 2008.
Laporan Tahunan 2007. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman
Indonesia (GPMMI). Jakarta.
103
Hadi, P.U. dan S.Nuryanti. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi
Gula Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi vol. 23 (1): 82-99.
Hadi, P.U.dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi
Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Volume 23 (2): 159-174.
Oktober 2005.
Hutabarat, B, Purba, J.H. dan Nuryanti, S. 2007.Dampak Penurunan Bantuan
Domestik terhadap Kinerja Ekonomi Komoditas Pertanian Indonesia:
Analisis Simulasi Kebijakan . Jurnal Agro Ekonomi Vol.25 (1):55-83.
Mei 2007.
Ilham, N dan S. Hermanto.2007. Dampak Kebijakan Harga Pangan dan
Kebijakan Moneter terhadap Stabilitas Ekonomi Makro: Impact of Food
Price Policy on Macro Economic Stability. Jurnal Agro Ekonomi Vol.25
(1):55-83. Mei 2007.
Koutsoyiannis, A. 1997. Theory Of Econometrics: An Introductory Expotition Of
Econometrics Methods. Second Edition. The Macmillan Press Ltd.,
London.
Kumenaung, A.G. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi
Perdagangan terhadap Keragaan Industri Komoditas Kedelai
Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
National Agency for Export Development Ministri of Trade Repulic of Indonesia
(NAFED). 2008. Agriculture Commodity Prices. The 22nd Indonesia
Trade Expo Journal. Jakarta.
Papas. 1995. Ekonomi Internasional. Edisi Revisi. Jilid I. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2005. Hasil Utama
Penelitian Tanaman Pangan. Bogor.
Priyatno, D. 2008. Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service
Solution) Untuk Analisis Data dan Uji Statistik. MediaKom. Jakarta.
Purnamasari, R. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Impor Kedelai di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian
dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahmawati. D. 2005. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Impor dan Variabelvariabel yang Mempengaruhi Volume Impor Gula. Skripsi. Departemen
Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
104
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan oleh Drs. Haris
Munandar. Edisi kelima. Jilid I. Penerbit Erlangga. Jakarta
Subdit Analisis dan Informasi Pasar Direktorat Perdagangan Internasional. 2007.
Neraca Perdagangan Komoditi Kedelai di Indonesia. Jakarta.
Swastika, D.K.S. 1997. Swasembada Kedelai: Antara Harapan dan Kenyataan.
Juranal. FAF Vol.15 (1 dan 2): 57-66. Desember 1997.
Yudohusodo, S. 2005. Ketahanan Pangan Indonesia. Laporan Tahuanan 2004
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Jakarta.
Lampiran 1. Hasil Regresi Persamaan Simultan
[DataSet3]
Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1
Dummy, lnLP, lnIM, lnHPa
. Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lnPr
Model Summaryb
Model
R
1
R Square
.995a
Adjusted R Square
.990
Std. Error of the
Estimate
.989
.04673
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnLP, lnIM, lnHP
b. Dependent Variable: lnPr
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
7.399
4
1.850
.074
34
.002
7.473
38
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnLP, lnIM, lnHP
b. Dependent Variable: lnPr
Mean Square
F
846.980
Sig.
.000a
106
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Model
B
1
(Constant)
Coefficients
Std. Error
t
Sig.
Beta
-3.116
.338
lnHP
.170
.011
lnLP
1.146
lnIM
Dummy
Standardized
-9.211
.000
.413
15.541
.000
.024
.879
46.870
.000
.003
.002
.030
1.157
.255
-.005
.026
-.004
-.200
.843
a. Dependent Variable: lnPr
Casewise Diagnosticsb
Case
Number
Std. Residual
lnPr
Predicted Value
Residual
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
.436
-.144
.697
-.152
-.568
-.159
-.530
-.093
-.133
-.210
.114
1.080
-.385
-.194
-1.259
-1.247
.253
-.937
.361
.252
.119
4.431
.540
-.599
.487
-.755
-1.486
-.251
.703
.043
12.87
13.12
13.15
13.16
13.20
13.29
13.29
13.16
13.17
13.33
13.43
13.39
13.46
13.16
13.19
13.55
13.68
14.02
13.96
14.05
14.09
14.21
14.26
14.44
14.35
14.26
14.33
14.23
14.12
14.08
12.8496
13.1267
13.1174
13.1671
13.2266
13.2975
13.3148
13.1644
13.1762
13.3398
13.4247
13.3395
13.4780
13.1691
13.2489
13.6083
13.6682
14.0638
13.9431
14.0382
14.0845
14.0029
14.2348
14.4680
14.3272
14.2953
14.3995
14.2417
14.0872
14.0780
.02039
-.00675
.03256
-.00712
-.02656
-.00745
-.02477
-.00436
-.00620
-.00979
.00534
.05047
-.01800
-.00908
-.05885
-.05825
.01182
-.04376
.01687
.01176
.00555
.20706
.02523
-.02799
.02277
-.03528
-.06946
-.01174
.03284
.00202
Status
107
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
-.342
-.676
-.436
.309
1.144
.311
.259
-.136
-.847
.
14.14
13.83
13.63
13.42
13.42
13.49
13.60
13.52
13.41
13.49
14.1560
13.8616
13.6504
13.4056
13.3665
13.4755
13.5879
13.5263
13.4496
.
-.01597
-.03159
-.02036
.01445
.05348
.01454
.01213
-.00635
-.03958
.
Ma
Std. Deviation
N
a. Missing Case
b. Dependent Variable: lnPr
Residuals Statisticsa
Minimum
Maximum
Mean
Predicted Value
12.8496
14.4680
13.6528
.44125
39
Residual
-.06946
.20706
.00000
.04420
39
Std. Predicted Value
-1.820
1.847
.000
1.000
39
Std. Residual
-1.486
4.431
.000
.946
39
a. Dependent Variable: lnPr
Regression
[DataSet3]
Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1
Dummy, lnIM, lnHGa
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lnHP
. Enter
108
Model Summaryb
Model
R
1
R Square
.992a
Adjusted R Square
.984
Std. Error of the
Estimate
.982
.14970
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnIM, lnHG
b. Dependent Variable: lnHP
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
48.647
3
16.216
.807
36
.022
49.454
39
F
723.580
Sig.
.000a
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnIM, lnHG
b. Dependent Variable: lnHP
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Model
1
Standardized
Coefficients
t
Sig.
8.282
.000
B
Std. Error
(Constant)
1.508
.182
lnHG
.895
.031
1.088
28.904
.000
lnIM
-.043
.008
-.183
-5.260
.000
Dummy
-.250
.076
-.080
-3.309
.002
a. Dependent Variable: lnHP
Beta
109
Casewise Diagnosticsa
Case
Std. Residual
lnHP
Predicted Value
Residual
1
1.878
4.84
4.5588
.28118
2
1.576
4.92
4.6841
.23594
3
.915
5.00
4.8630
.13703
4
-.874
5.09
5.2208
-.13078
5
-1.475
5.17
5.3907
-.22075
6
-2.016
5.25
5.5518
-.30176
7
.780
5.33
5.2132
.11682
8
1.191
5.42
5.2417
.17834
9
1.062
5.50
5.3411
.15895
10
-.207
5.58
5.6110
-.03104
11
-.417
5.67
5.7324
-.06238
12
-1.547
5.65
5.8816
-.23159
13
-1.276
5.77
5.9610
-.19097
14
-1.167
5.84
6.0146
-.17465
15
-.611
5.98
6.0714
-.09140
16
-.635
6.13
6.2251
-.09506
17
-.940
6.15
6.2907
-.14071
18
-.403
6.25
6.3103
-.06027
19
.312
6.42
6.3734
.04664
20
.505
6.50
6.4244
.07562
21
1.087
6.64
6.4772
.16276
22
-.315
6.56
6.6071
-.04710
23
-.084
6.64
6.6526
-.01263
24
.002
6.73
6.7297
.00028
25
-1.731
6.71
6.9691
-.25910
26
-.869
6.79
6.9201
-.13010
27
.745
7.07
6.9585
.11151
28
1.217
7.15
6.9678
.18218
29
.783
7.12
7.0028
.11721
30
.621
7.21
7.1171
.09293
31
-.440
7.28
7.3459
-.06594
Number
110
32
.785
7.84
7.7225
.11750
33
-.118
7.88
7.8976
-.01760
34
.318
7.92
7.8724
.04757
35
-.132
7.96
7.9798
-.01978
36
.353
8.16
8.1072
.05282
37
.297
8.15
8.1055
.04449
38
-.106
8.26
8.2759
-.01590
39
1.346
8.75
8.5485
.20150
40
-.412
8.83
8.8917
-.06174
a. Dependent Variable: lnHP
Residuals Statisticsa
Minimum
Predicted Value
Maximum
Mean
Std. Deviation
N
4.5588
8.8917
6.5528
1.11685
40
-.30176
.28118
.00000
.14383
40
Std. Predicted Value
-1.785
2.094
.000
1.000
40
Std. Residual
-2.016
1.878
.000
.961
40
Residual
a. Dependent Variable: lnHP
Regression
[DataSet3]
Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1
Dummy, lnHG, lnGNPa
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lnCp
. Enter
111
Model Summaryb
Model
R
1
R Square
.953a
Adjusted R Square
.908
Std. Error of the
Estimate
.901
.14371
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnHG, lnGNP
b. Dependent Variable: lnCp
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
Regression
Residual
Total
df
Mean Square
7.372
3
2.457
.744
36
.021
8.115
39
F
Sig.
118.976
.000a
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnHG, lnGNP
b. Dependent Variable: lnCp
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Model
B
1
Std. Error
(Constant)
-.777
.260
lnHG
-.045
.139
lnGNP
.244
Dummy
.229
a. Dependent Variable: lnCp
Standardized
Coefficients
t
Sig.
Beta
-2.991
.005
-.135
-.324
.748
.089
1.164
2.729
.010
.077
.181
2.964
.005
112
Casewise Diagnosticsa
Case
Residual
Std. Residual
lnCp
Predicted Value
1
-.640
1.12
1.2120
-.09196
2
.578
1.34
1.2569
.08308
3
.627
1.36
1.2699
.09010
4
.273
1.34
1.3007
.03926
5
-.678
1.29
1.3874
-.09738
6
-.481
1.42
1.4891
-.06911
7
-.811
1.41
1.5266
-.11656
8
-.167
1.55
1.5740
-.02396
9
-1.525
1.40
1.6192
-.21917
10
-.531
1.57
1.6463
-.07628
11
-.087
1.71
1.7225
-.01252
12
-.638
1.71
1.8016
-.09164
13
.078
1.85
1.8388
.01117
14
-.769
1.75
1.8605
-.11054
15
-1.305
1.72
1.9076
-.18755
16
-.279
1.90
1.9401
-.04006
17
-.413
1.90
1.9593
-.05932
18
1.409
2.18
1.9775
.20250
19
.549
2.10
2.0212
.07883
20
1.344
2.24
2.0469
.19314
21
1.001
2.23
2.0861
.14389
22
1.406
2.32
2.1180
.20204
23
1.309
2.34
2.1519
.18812
24
2.160
2.49
2.1796
.31044
25
1.728
2.45
2.2016
.24841
26
1.063
2.42
2.2673
.15271
27
.627
2.40
2.3099
.09013
28
-.404
2.29
2.3480
-.05802
29
-.388
2.33
2.3857
-.05572
30
-1.017
2.34
2.4862
-.14617
31
1.287
2.46
2.2751
.18489
Number
113
32
-.838
2.17
2.2904
-.12041
33
-.573
2.28
2.3624
-.08241
34
-.558
2.31
2.3901
-.08015
35
-.361
2.35
2.4018
-.05184
36
-1.329
2.45
2.6410
-.19104
37
-1.168
2.52
2.6879
-.16786
38
-.875
2.60
2.7257
-.12569
39
-.649
2.66
2.7533
-.09325
40
1.043
2.73
2.5801
.14991
a. Dependent Variable: lnCp
Residuals Statisticsa
Minimum
Predicted Value
Residual
Maximum
Mean
Std. Deviation
N
1.2120
2.7533
2.0250
.43476
40
-.21917
.31044
.00000
.13807
40
-1.870
1.675
.000
1.000
40
-1.525
2.160
.000
.961
40
Std. Predicted Value
Std. Residual
a. Dependent Variable: lnCp
Regression
[DataSet3]
Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables Removed
Method
1
Dummy, lnCIF, lnNTRIa
.
Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: lnHG
114
Model Summaryb
Model
R
R Square
Adjusted R Square
1
.978a
.956
.952
Std. Error of the
Estimate
.30057
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnCIF, lnNTRI
b. Dependent Variable: lnHG
ANOVAb
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Regression
69.876
3
23.292
257.826
.000a
Residual
3.252
36
.090
Total
73.129
39
a. Predictors: (Constant), Dummy, lnCIF, lnNTRI
b. Dependent Variable: lnHG
Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Model
1
Coefficients
t
Sig.
-.167
.868
B
Std. Error
(Constant)
-.107
.638
lnNTRI
.944
.062
.816
15.135
.000
lnCIF
.463
.075
.279
6.201
.000
Dummy
.237
.167
.063
1.424
.163
a. Dependent Variable: lnHG
\
Standardized
Beta
115
Casewise Diagnosticsa
Case
Std. Residual
lnHG
Predicted Value
Residual
1
-.595
3.69
3.8690
-.17898
2
-.303
3.83
3.9210
-.09100
3
-.105
4.03
4.0617
-.03167
4
.148
4.43
4.3854
.04456
5
-.743
4.62
4.8433
-.22334
6
.301
4.80
4.7094
.09060
7
1.402
4.89
4.4687
.42130
8
.606
5.03
4.8480
.18203
9
-.267
5.11
5.1902
-.08024
10
-.690
5.43
5.6375
-.20747
11
-.360
5.58
5.6883
-.10835
12
.044
5.72
5.7068
.01315
13
1.096
5.87
5.5407
.32928
14
.983
5.93
5.6346
.29544
15
-.292
5.97
6.0577
-.08771
16
-.093
6.17
6.1980
-.02800
17
.257
6.23
6.1527
.07730
18
-.637
6.26
6.4513
-.19134
19
-.360
6.32
6.4282
-.10822
20
-.697
6.40
6.6096
-.20956
21
-.794
6.45
6.6888
-.23876
22
-.158
6.61
6.6575
-.04753
23
-.116
6.67
6.7047
-.03474
24
.120
6.76
6.7238
.03619
25
.925
7.03
6.7519
.27806
26
.494
6.98
6.8315
.14847
27
.499
7.01
6.8600
.14996
28
.194
7.03
6.9718
.05819
29
-1.780
7.06
7.5950
-.53495
30
-2.766
7.16
7.9913
-.83130
31
-2.437
7.20
7.9324
-.73237
Number
116
32
-.555
7.62
7.7868
-.16685
33
.263
7.81
7.7310
.07904
34
.293
7.79
7.7019
.08813
35
.322
7.91
7.8131
.09693
36
.385
8.33
8.2142
.11577
37
.364
8.32
8.2106
.10945
38
1.294
8.51
8.1211
.38885
39
1.645
8.82
8.3254
.49458
40
2.113
8.94
8.3049
.63512
a. Dependent Variable: lnHG
Residuals Statisticsa
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
N
Predicted Value
3.8690
8.3254
6.4080
1.33854
40
Residual
-.83130
.63512
.00000
.28878
40
Std. Predicted Value
-1.897
1.432
.000
1.000
40
Std. Residual
-2.766
2.113
.000
.961
40
a. Dependent Variable: lnHG
117
Lampiran 2. Hasil Simulasi Kebijakan
Tabel 21. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Penghapusan Tarif Impor Kedelai
Skenario simulasi
D1(10%) D0 (0 %)
0.6531
0.6531
9120
9120
5956.27
5956.27
Variabel
Notasi Sumber
Harga Impor-CIF (US$/Kg)
Nilai Tukar (Rp/US$)
Harga Impor-CIF (Rp/Kg)
Harga Paritas Impor Tingkat
Grosir (Rp/Kg)
Harga Grosir t (Rp/Kg)
Tarif Impor Spesifik Implisit
TI1 (Rp/Kg)
Tarif Impor Spesifik Eksplisit
TI2(Rp/Kg)
Harga Produsen t1 (Rp/Kg)
Volume Impor (Ton 000)
Permintaan Kedelai T1 (Ton
000)
Produksi Kedelai (Ton 000)
Elastisitas Permintaan Kedelai
Elastisitas Penawaran Kedelai
Elastisitas Transmisi Harga Pws
Ke PF
Dampak Perubahan Kebijakan
Perubahan Harga Grosir (Rp/Kg)
Harga Grosir t2 (Rp/Kg)
Perubahan Harga Grosir (%)
Dampak Terhadap Harga
Produsen (%)
Perubahan Harga Produsen
(Rp/Kg)
Harga Produsen t2 (Rp/Kg)
Dampak Terhadap Permintaan
(%)
Perubahan Permintaan (Ton)
Permintaan Tahun t2 (Ton 000)
Dampak Terhadap Penawaran
(%)
Perubahan Penawaran Kedelai
(Ton)
Penawaran Kedelai t2 (Ton 000)
Impor t2 (Ton 000)
Dampak Terhadap Impor (Ton)
Dampak Thd Surplus Konsumen
(Rp000)
Dampak Thd Surplus Produsen
(Rp000)
Dampak Thd Penerimaan
Pemerintah (Rp000)
Dampak Terhadap Surplus Netto
(Rp000)
PWD
ER
PWR
Data
Data
PWD*ER
PMG
PWS1
PWR*1.08
Regresi
6432.77
8846.48
6432.77
8609.48
Ti1
PWS-PMG
2413.70
2176.70
Ti2
PF1
QM1
Skenario
Regresi
Data
1786.88
0.00
7846.94 7635.0753
1672.4
1672.4
QD1
QS1
ED
ES
Data
Data
Regresi
Regresi
2395.9
723.5
-0.045
0.170
2395.9
723.5
-0.045
0.170
EP
Regresi
0.895
0.895
-626.82
8219.66
-7.09
-2176.70
6432.77
-25.28
-1549.88
-1786.88
-18.20
-6.34
-22.63
-16.29
dPWS
Ti2 - Ti1
PWS2
PWS1+ dPWS
%dPWS (dPWS/PWS1)*100
Perubahan
%dPF
%dPWS *EP
dPF
PF2
%dPF*PF1/100
PF1+dPF
-497.62
7349.32
-1727.66
5907.41
-1230.04
-1441.91
%dQD
dQD
QD2
%dPWS* ED
%dQD*QD1/100
QD1+dQD
28.21
675.81
3071.71
97.95
2346.82
4742.72
69.74
1671.01
1671.01
%dQS
%dPF*ES
-1.08
-3.85
-2.77
dQS
QS2
QM2
dQM
%dQS*QS1/100
QS1+dQS
QD2-QS2
QM2-QM1
-7.80
715.70
2356.01
683.61
-27.83
695.67
4047.05
2374.65
-20.03
-20.03
1691.04
1691.04
dCS
dPWS*(QD1-dQD/2)
-1289993
-2660994 -1371001.33
dPS
dPF*(QS1+dQS/2)
-358085.9
-1225921
dGR
(QM2*TI2)-(QM1*TI1) 173234.4
-3640316 -3813550.22
dCS+dPS+dGR
-7527231 -6052387.04
dNS
-1474844
-867835.49
118
Lampiran 3. Data Kedelai Indonesia
Tabel 22. Data Keragaan Kedelai Nasional Periode 1969-2008
T
1969
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Lp
553000
695000
680000
698000
733014
768027
751689
646336
646121
733142
784489
726013
809978
607778
639847
858854
896220
1253767
1100565
1177360
1198096
1133765
1367156
1664182
1468316
1406039
1476285
1277736
1118140
1094262
1151079
824484
678848
544522
526796
565155
621541
580534
502104
549412
Pr
388898
497883
515644
518229
541040
589239
589831
521777
522821
616539
679825
652762
703811
521394
536103
769384
869718
1226737
1160963
1270418
1315113
1487207
1554694
1868342
1707126
1564179
1679092
1515937
1356108
1305640
1382848
1017634
826932
673056
671600
723483
808353
747611
664438
723535
Prv
0.703
0.716
0.758
0.742
0.738
0.767
0.785
0.807
0.809
0.841
0.867
0.899
0.869
0.858
0.838
0.896
0.97
0.978
1.055
1.079
1.098
1.312
1.137
1.123
1.163
1.112
1.137
1.186
1.213
1.193
1.201
1.234
1.218
1.236
1.275
1.28
1.301
1.288
1.323
1.317
Kn
192119
429520
423681
447573
439707
506122
512691
600149
530588
646105
734458
654977
1075360
934590
764780
1194680
1224010
1667840
1513470
1794680
1774360
2167430
2362070
2692070
2567530
2489860
2443360
2287660
2118710
1860740
2684000
2294000
1960000
2017000
2016000
2215000
2022517
2122561
2325998
2395923
Im
-1000
-4000
0
-3000
-36000
-4000
17802
171746
89101
130499
176620
100878
361000
361000
221520
401678
301952
359041
286702
465837
384700
526325
631038
690287
722472
800153
606993
745819
616109
344050
1301152
1276366
1133068
1343944
1344400
1291517
1086177
1078420
1199839
1672388
119
Lanjutan Lampiran 3
Tabel 22. Data Keragaan Kedelai Nasional Periode 1969-2008
Gnp
2683
3290
3605
4405
6508
10201
12087
15035
18332
21879
30541
43435
52102
57675
70339
82887
90789
98490
118795
135183
159111
187304
216551
247438
285849
367941
441148
518296
607151
935679
1015967
1172757
1623229
1808762
1936261
2190476
2649960
3193995
Cif
0.01986
0.01965
0.02166
0.04372
0.11811
0.08667
0.05247
0.11837
0.24882
0.28462
0.31587
0.32839
0.22183
0.23420
0.28029
0.32316
0.26383
0.23226
0.22025
0.29634
0.32975
0.27201
0.27373
0.26823
0.27162
0.29359
0.28767
0.33704
0.33672
0.34446
0.37747
0.21183
0.19583
0.21292
0.26400
0.30650
0.27440
0.26842
NTRI
358
381
420
420
420
423
421
421
421
634
632
634
643
692
994
1076
1131
1655
1652
1729
1795
1901
1992
2062
2110
2200
2308
2383
4650
7000
8000
9100
8940
8330
8465
9290
9830
9020
Tik
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
5
5
5
5
0
0
0
0
0
15
15
15
10
Hp
125.98
136.89
148.73
161.6
175.59
190.78
207.29
225.23
244.72
265.89
288.9
284.38
321
345.43
395.7
458.34
468.47
517
612.15
665.17
766.22
705.11
766.22
837.47
816.52
887
1170.95
1271.45
1230.9
1350.57
1454.23
2538.11
2632.19
2752.43
2858.23
3497.46
3468.71
3885.37
HTG
39.94
46.29
56.18
83.74
101.5
121.49
133.2
152.81
166.31
228.42
265.74
306.31
352.65
376.41
393.28
476.46
505.7
524.34
558.06
600.1
634.18
743.21
790.07
860.43
1131.32
1071.82
1110.89
1130.38
1160.28
1284.42
1335.09
2035
2462.42
2412.5
2725
4157.28
4101
4976.07
Cp
3.07
3.82
3.91
3.81
3.62
4.12
4.10
4.71
4.07
4.80
5.52
5.54
6.38
5.74
5.61
6.71
6.71
8.87
8.17
9.43
9.32
10.22
10.35
12.06
11.54
11.20
11.00
9.90
10.31
10.40
11.70
8.80
9.80
10.12
10.53
11.55
12.46
13.41
120
Keterangan:
T
= Tahun Pengamatan
Lp
= Luas Panen Kedelai Nasional (Ha)
Pr
= Produksi ( penawaran) Kedelai Nasional (Ton)
Prv
= Produktivitas Kedelai Nasional (Ton/ha)
Kn
= Konsumsi (Kebutuhan) Kedelai Nasional (Ton)
Im
= Impor Kedelai Indonesia (Ton)
Gnp
= Pendapatan Nasional Kotor per kapita (Rp)
Cif
= Harga Kedelai Impor di Pelabuhan Indonesia (U$D/kg)
NTRI = Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika (Rp)
Tik
= Tarif Impor Kedelai (persen)
Hp
= Harga Kedelai Nasional Pada Tingkat Produsen (Petani) (Rp/kg)
HTG = Harga Kedelai Nasional Pada Tingkat Grosir (Pedagang Besar) (Rp/kg)
Cp
= Konsumsi Kedelai Nasional Per Kapita (Kg)
101
Download