Siaran Pers Masyarakat Penyandang Disabilitas Merespon Perkembangan Pembahasan RUU Penyandang Disabilitas PENYANDANG DISABILITAS TAGIH JANJI KAMPANYE JOKOWI Dalam Pandangan dan Pendapat Presiden Joko Widodo terhadap RUU Penyandang Disabilitas yang disampaikan pada Rapat Kerja bersama Komisi VIII tidak mencerminkan komitmennya dalam mendukung perjuangan untuk pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Padahal Presiden Joko Widodo telah menandatangani Piagam Soeharso sebagai komitmennya untuk berjuang bersama para penyandang disabilitas untuk mendukung lahirnya UU yang mampu memberikan kepastian bagi penyandang disabilitas dalam memperoleh hak ekonomi, sosial, politik, pekerjaan, kebudayaan, jaminan pendidikan, dan jaminan sosial, sesuai dengan UUD NRI 1945 dan Konvensi PBB tentang jaminan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Untuk itu Kami, masyarakat penyandang disabilitas menagih janji Presiden Joko Widodo untuk membuktikan komitmennya, yang ikut berkontribusi atas keterpilihannya sebagai Presiden RI. Dalam Pandangan dan Pendapat Presiden terhadap RUU Penyandang Disabilitas ada empat poin utama yang menunjukan lemahnya komitmen Presiden dalam mewujudkan UU Penyandang Disabilitas yang berpihak kepada masyarakat, dan mengarah kepada perubahan cara pandang kebijakan pemerintah terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pertama, Presiden mempertanyakan kuota 2% untuk penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan, baik di lembaga pemerintahan ataupun perusahaan swasta. Sikap itu menunjukan bahwa Presiden tidak memahami urgensi dari adanya kuota pegawai dalam lembaga pemerintahana atau tenaga kerja pada bidang swasta. Keberadaan kuota akan memperbesar kesempatan penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan, dan hal itu harus dilakukan dengan intervensi dari pemerintah sebagai pihak yang menjalankan amanat dalam pelaksanaan perlindungan warga negara. Kuota pekerjaan juga merupakan affirmative action, atau upaya pendukung dari pemerintah, agar tercipta ruang-ruang pekerjaan yang inklusif yang membaurkan masyarakat penyandang disabilitas ditengah lingkungannya. Kebijakan kuota tenag akerja ini bukan hal baru, bahkan pada kahir 2015 Menteri tenaga Kerja dan Menteri BUMN baru saja menandatangani kesepahaman untuk pengalokasikan kuota tenaga kerja di sektor BUMN. Kedua, Pemerintah menolak adanya fasilitas potongan biaya untuk akses pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. Ditengah fasilitas publik yang belum ramah, para penyandang disabilitas harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengakses fasilitas tersebut. Biaya lebih juga harus dikeluarkan penyandang disabilitas yang memerlukan alat bantu dalam aktivitas kesehariannya. Oleh karena itu, perlu ada kompensasi dari Pemerintah untuk bisa memberikan insentif kepada para penyandang disabilitas dalam rangka memperbesar peran serta masyarakat penyandang disabilitas di ruang publik. Keberpihakan Presiden terhadap kebijakan potongan biaya untuk layanan publik bukan semata pemberian karena belas kasih, tetapi dalam upaya mendorong terbentuknya masyarakat yang inklusif dan memperbesar peluang para penyandang disabilitas untuk beraktifitas dan akhirnya berkontribusi untuk bangsa dan negara. Ketiga, Pemerintah bersikeras untuk tetap menjadikan Kementerian Sosial sebagai leading sektor tunggal isu disabilitas dan berwenang sebagai lembaga satu-satunya yang melakukan pendataan terhadap disabilitas. Disabilitas adalah isu lintas kementerian. Kementerian Sosial hanya menjadi leading sektor dalam isu disabilitas pada sektor sosial, dan begitu pun Kementerian/Lembaga yang lain. Isu disabilitas harus menjadi arus utama di pemerintahan. Begitu pula dengan kebijakan pendataan yang harus memasukan unsur disabilitas dalam setiap pelaksanaannya di Kementerian/Lembaga manapun. Sebagai rujukan, Badan Pusat Statistik harus diberikan tugas untuk membuat standar pengambilan data untuk disabilitas dan menentukan ruang lingkup disabilitas berdasrarkan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, Pemerintah menolak pembentukan Komisi Nasional Disabilitas sebagai lembaga negara yang fokus dalam menjamin implementasi dari UU Penyandang Disabilitas kelak. Presiden beranggapan bahwa tugas pelaksanaan UU Penyandang Disabilitas kelak akan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Argumentasi itu menunjukan adanya kekhawatiran Pemerintah untuk terjadinya tumpang tindih kewenangan. Perlu dipertegas dalam hal ini bahwa keberadaan KND tidak akan mengambil fungsi atau bidang kerja dari Kementerian yang ada, tetapi dalam struktur birokrasi yang sektoral ada berbagai permasalahan menyangkut isu disabilitas yang tidak disentuh oleh Kementerian manapun. Sebagai contoh perihal penghormatan terhadap budaya bahasa isyarat bagi masyarakat tuli, yang tidak diakui sebgaai bagian kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika. Oleh karena itu, perlu ada satu lembaga negara yang melihat isu disabilitas secara menyeluruh. Keberadaan KND adalah untuk menyempurnakan birokrasi di internal pemerintahan, agar di masa dapat mampu mengimplementasikan UU Penyandang Disabilitas dengan baik. Kebijakan pembentukan KND tidak berdiri sendiri, karena harus didukung oleh kebijakan lainnya seperti pembentukan koordinasi nasional dibawah komando Presiden sebagai kepala pemerintahan, dan adanya kewenangan bagi Kementerian/Lembaga untuk megalokasikan anggaran pada APBN bagi pembiayan implementasi UU Penyandang Disabilitas yang berkaitan dnegan sektor dari Kementerian/Lembaga terkait. Berdasarkan kepada hal tersebut, kami, Masyarakat Penyandang Disabilitas Indonesia mengajukan desakan sebagai berikut. 1. menagih janji Presiden Joko Widodo terhadap komitmennya mendukung perjuangan pembentukan UU Penyandang Disabilitas yang berpihak kepada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat penyandang disabilitas, dengan mengubah cara pandang untuk lebih berpihak kepada masyarakat; 2. mendesak Presiden Joko Widodo untuk membentuk koordinasi antara Kementerian/Lembaga terkait dalam isu disabilitas sebagai urusan lintas Kementerian/lembaga. Hal itu penting agar apa yang sudah dilaksanakan dengan baik oleh satu Keneteiran/Lembaga dapat terintegrasi dengan kebijakan dari Kementerian/Lembaga lain; 3. menghimbau kepada masayrakat Indonesia untuk terlibat aktif dalam memantau dan memberikan kontribusi positif terhadap pembahasan RUU Penyandang Disabilitas. Contact Person: Ariani Soekanwo (PPUA Penca_085780537865); Aria Indrawati (Pertuni_081511478478); Yeni Rosa Damayanti (Perhimpunan Jiwa Sehat_081282967011); Maulani Rotinsulu (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia_08128253598); Mahmud Fasa (FKPCTI_081808363744); Tigor Hutapea (LBH Jakarta_081287296684); Fajri Nursyamsi (PSHK_0818100917)