TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA RAHIM (SURROGATE MOTHER) BERDASARKAN TERMINOLOGI HUKUM PERDATA Mutia Az Zahra, Rosa Agustina, Endah Hartati Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 E-mail: [email protected] Abstrak Perjanjian sewa rahim (Surrogate Mother ) adalah perjanjian seorang wanita yang mengikatkan dirinya dengan pihak lain (suami istri) untuk menjadi hamil dan setelah melahirkan menyerahkan anak atau bayi tersebut. Di Indonesia Surrogate Mother ini belum memiliki dasar hukum yang pasti mengenai pelaksanaannya sehingga memunculkan masalahmasalah dalam melakukan perjanjiannya. Surrogate Mother bukan merupakan upaya kehamilan diluar cara alamiah yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan, serta dianggap tidak memenuhi syarat dalam melakukan perjanjian. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Surrogate Mother belum dapat dilakukan di Indonesia karena bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan permasalahan terhadap status dan hak waris anak. JURIDICIAL ANALYSIS OF THE SURROGACY AGREEMENT (SURROGATE MOTHER) BASED ON CIVIL LAW TERMINOLOGY Abstract Surrogate Mother is an agreement between a woman who associate themselves with other parties (husband and wife) to become pregnant and after she given birth, she reinquish the baby. Surrogate Mother in Indonesia doesn’t have a valid fundamantal law about the implementation that raises problems by doing the agrrement. Surrogate Mother isn’t an attempt pregancy wich is regulated in the Health Constitusion and Regulations the Minister of Health, and also not eligible the reuirement of agreement. The result concluded that Surrogate Mother doesn’t been able to do Indonesia because contrary to the constitusion and make problem with status and inheritance of children rights. Keyword: Surrogate Mother, KUHPerdata. Pendahuluan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 1, menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Keluarga dalam pengertian ini adalah suatu kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak(-anak).1 Namun pada kenyataannya sekarang, tidak semua pasangan dapat membentuk sebuah keluarga atau melahirkan anak(-anak). Hal ini dapat dikarenakan beberapa hal seperti adanya penyakit yang mengakibatkan pasangan suami istri tidak dapat melahirkan keturunan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan keputusasaan bagi pasangan suami istri yang ingin mempunyai keturunan. Namun dalam perkembangannya, kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran menemukan cara pengawetan sperma dan metode pembuahan diluar rahim atau yang dikenal dengan sebutan In Vitro Fertilization (IVF) pada tahun 1970-an. In Vitro Fertilization (IVF), yaitu terjadinya penyatuan/pembuahan benih laki-laki terhadap benih wanita pada suatu cawan petri (di laboratorium), yang mana setelah terjadinya penyatuan tersebut (zygote), akan di implantasikan atau ditanam kembali di rahim wanita, yang biasanya pada wanita yang punya benih tersebut (program bayi tabung) atau ditanamkan pada rahim wanita lain yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan sumber benih tersebut. Untuk hal ini dilakukan melalui perjanjian sewa (surrogacy) yang dikenal dengan isilah surrogate mother (ibu pengganti).2 Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: 1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dimana ovum berasal; 2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; 3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Dari penjelasan pasal diatas, berarti bahwa metode atau kehamilan diluar cara alamiah, hanya dapat dilakukan melalui cara bayi tabung saja. Selain itu, dijelaskan kembali dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 Penyelenggaraan Pelayanan Tekknologi Reproduksi Buatan, dalam pasal 2 ayat (3) dikatakan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terkait perkawinan 1 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1998), hlm. 38. 2 Dr. H. Dezriza Ratman, MH. Kes, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkan Sewa Rahim di Indonesia?, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,2012, hlm. 2. Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa metode kehamilan diluar cara alamiah, hanya boleh dilakukan melalui metode bayi tabung dan terhadap pasangan suami istri yang sah. Sewa rahim sangat erat kaitannya dengan perjanjian sewa menyewa. Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana suatu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Lahirnya suatu perjanjian, apabila terdapat dua orang atau lebih mengikatkan diri satu sama lain dan berjanji untuk menuaikan prestasi tertentu. Landasan hukum mengenai perjanjian sewa rahim belum diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan, namun secara yuridis terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dapat dipergunakan untuk mengkaji subtansi dari perjanjian sewa rahim, yaitu pasal 1320 KUHPerdata.3 Dalam perjanjian sewa rahim, apabila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata maka terdapat beberapa hal perlu dipertanyakan. Salah satunya adalah mengenai hal tertentu yang diatur dalam perjanjian sewa rahim, dimana dalam ketentuan pasal 127 UU Kesehatan disebutkan bahwa tekhnologi reproduksi untuk membantu kehamilan diluar ilmiah hanya dapat dilakukan dengan metode bayi tabung. Dalam hukum perjanjian, menganut asas kebebasan berkontrak. Hal ini juga diatur dalam pasal 1338 yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian. Lalu bila dihubungkan dengan syarat sah perjanjian, bagaimana kedudukan dari perjanjian sewa rahim tersebut, ketika dalam suatu perjanjian sewa rahim kedua belah pihak yaitu pasangan suami istri dan calon ibu pengganti sama-sama bersedia dan telah bersepakat untuk melakukan perjanjian sewa rahim tersebut. Selain dilihat melalui peraturan perundang-undangan, permasalahan mengenai perjanjian sewa rahim ini juga harus dipandang dari segi etika serta agama. Di Indonesia, yang sebagaian besar penduduknya menganut agama Islam , dan hukum dalam ajaran agama Islam juga dijadikan sebagai salah satu sumber hikum positif di Indonesia menjelaskan bahwa dalam Islam tidak mengenal penitipan janin kepada wanita lain. Selain itu, lahirnya bayi dari hasil perjanjian sewa rahim akan menimnbulkan permasalahan hukum seperti penentuan 3 Ibid., hlm 68 Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 nasab sang anak dan siapakah yang menjadi ibu yang sesungguhnya. Begitu juga dalam keyakinan agama lainnya yang dianut di Indonesia, adanya sewa rahim ini masih menimbulkan kontrofersi antara boleh atau tidaknya Dalam program surrogate mother dengan prosedur-prosedur yang benar maupun rahim dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomis sangatlah tidak etis, karena dalam hukum agama secara tegas mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah hak dan kedaulatan Tuhan, artinya manusia harus menghormati dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur. Dari banyak pandangan serta segi pengaturannya, perjanjian sewa rahim menyebabkan terjadinya banyak permasalahan hukum. Apabila dilihat dari sudut pandang hukum perjanjian dalam KUHPerdata, apakah perjanjian tersbut dapat dikatakan sah? Dan sejauh mana asas kebebasan berkontrak itu dapat diterapkan dalam perjanjian?. Lalu jika dilihat dari dampak apa saja yang dapat terjadi setelah adanya perjanjian tersebut, bagaimanakah status anak yang lahir dari adanya perjanjian tersbut? Bagaimana hak waris anak? Dan bagaimanakah hubungan antara anak hasil perjanjian sewa rahim dengan ibu penggantinya? Masalah ini masih menjadi perdebatan dan kontrofersi, mengingat di Indonesia tidak hanya diterapkan hukum yang berdasarkan atas hubungan antar orang saja, tetapi juga masih kental dengan pandangan dari sudut etika, moral dan agama. Untuk itu penelitian ini memiliki pokok permasalahan: 1) Bagaimanakah pengaturan mengenai perjanjian sewa rahim atau surrogate mother dalam hukum di Indonesia? 2) Bagaimanakah kedudukan perjanjian sewa rahim atau surrogate mother menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? 3) Apasajakah akibat hukum yang dapat terjadi dari adanya perjanjian sewa rahim atau surrogate mother tersebut? Tinjauan Teoritis: Dalam tulisan ini, penulis memberikan pngertian terhadap istilah-istilah yang digunakan sebagai berikut: 1. Perkawinan yang Sah Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Surrogate Mother / Ibu Pengganti Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 Menurut Black’s Law Dictionary 7th Edition yang dimaksud dengan surrogate mother adalah “A woman who carries a child to term on behalf of another woman and then assigns her parental rights to that woman and the father;. A person who carries out the role of a mother” 3. Perjanjian Adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 4. Sewa Menyewa Menurut pasal 1548 KUHPerdata, perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya. 5. Perjanjian Sewa Rahim Adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengaitkan dirinya dengan pihak lain (suami isteri) untuk menjadi hamil dan setelah melahirkan anak atau bayi tersebut 6. Teknologi Reproduksi Berbantu Adalah upaya medis, agar pasangan suami istri yang sukar memperoleh keturunan, dapat memperolehnya melalui metoda fertilisasi in-vitro dan pemindahan embrio (FIV-PE) dengan menggunakan peralatan dan cara-cara mutakhir. 7. Fertilisasi In-Vitro Adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi diluar tubuh wanita. Fertilisasi in-vitro lebih dikenal dengan sebutan bayi tabumg. Bayo tabung adalah salah satu metode untuk mengatasai masalah kesuburan ketika metode lainnya tidak berhasil.4 Metode Penelitian Dilihat dari datanya,bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridisnormatif yang bertumpu pada alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan dokumen. Untuk bentuk penelitian ini adalah penelitian evaluatif. Pemilihan bentuk ini karena dengan penelitian evaluatif dimaksudkan untuk menilai program-program yang dijalankan. Dalam hal 4 id.m.wikipedia.org/wiki/fertilisasi_in_vitro, diakses pada 7 September 2011 Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 ini dilakukan untuk menilai keberlakuan KUHPerdata dalam melakukan suatu perjanjian,khususnya perjanjian sewa-menyewa. Dalam melakukan penelitian ini, alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Selain itu, untuk mendukung penelitian ini maka dilakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten sehingga dapat memberikan pendapatnya. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian kali ini antara lain: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,dan konvensi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 4) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 5) Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi 6) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, emmahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang meliputi jurnal, makalah, laporan penelitan dan bukum. Sumber sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa buku-buku yang bertemakan perikatan, perjanjian, sewa-menyewa, hukum kesehatan dan tentangg teknologi reproduksi. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum prier dan sekunder, yang meliputi kamus, bibliografi, buku tahunan, buku petunjuk, indeks dan lain-lain. Pembahasan Indonesia mengatur mengenai langkah pembuahan diluar rahim atau kehamilan diluar cara alami melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Meskipun tersebut bersifat memperbarui, namum kekuatan UU No. 23 Tahun 1992 tetap berlaku selama tidak bertentangan. Pasal 72 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa, dalam menentukan kehidupan reproduksinya, bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. Dapat diambil kesimpulan dari ketentuan pasal ini bahwa hak Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 untuk bereproduksi harus tetap menghormati nilai-nilai luhur yang baik dengan tidak merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Pengaturan lebih khusus mengenai teknologi reproduksi diatur dalam Permenkes No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan dan peraturan yang paling baru adalah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pelaksanaan proses kehamilan di luar cara alami tersebut hanya dapat dilaksanakan jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami istri yang sah benar-benar tidak dapat memperoleh keterununan secara alami, pasangan suami istri tersebut barulah dapat melakukan kehamilan diluar cara alamiah sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dan kedokteran. Aturan hukum terhadap pelayanan untuk mendapatkan keturunan dengan metode di luar cara alami (yang merupakan bayi tabung dan surrogate mother) yang telah dijelaskan diatas,dapat dinyatakan bahwa metode kehamilan di luar alami harus dilakukan berdasarkan: 1. Pasangan yang menginginkan anak atau keterunan dengan metode kehamilan diluar alami harus merupakan pasangan terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini berdasarkan pada: a. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama) Pasal 16 ayat (1) menyatakan: Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan; b. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1) menyatakan: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-undang kesehatan yang baru dengan yang lama adalah pada kata “upaya terakhir”. Pada undang-undang kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya terakhir dihilangkan. Hal ini berarti seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia serta kemajuan teknologi yang ada, untuk melakukan metode kehamilan diluar alamiah dapat langsung dilakukan apabila didapatkan indikasi medik ataupun terdapat kelainan medis. c. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1) menyatakan: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-undang kesehatan yang baru dengan yang lama adalah pada kata “upaya terakhir”. Pada undang-undang kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya terakhir dihilangkan. Hal ini berarti Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia serta kemajuan teknologi yang ada, untuk melakukan metode kehamilan diluar alamiah dapat langsung dilakukan apabila didapatkan indikasi medik ataupun terdapat kelainan medis. d. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, pada pedoman nomor 1 dijelaskan bahwa: pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan. 2. Hasil pembuahan luar rahim (In Vitro Fertilization) harus dikembalikan kepada wanita (sang istri) dimana sel telur (ovum) tersebut berasal. Hal ini berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) dalam pasal 127 ayat (1) huruf (a), dijelaskan: asil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. 3. Metode kehamilan di luar cara alamiah harus berdasarkan indikasi medik (penyebab infertilitas). Hal ini berdasarkan ketentuan undang-undang diantaranya yaitu: a. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, pada pedoman nomor 1 dijelaskan bahwa: pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan. b. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, dalam pedoman nomor 2 dijelaskan: pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaa pelayanan infertilitas secara keseluruhan. 4. Oleh tenaga medis dan fasilitas yang ditunjuk atau yang telah ditentukan. Hal ini diatud dalam undang-undang yaitu: a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam pasal 2 huruf (b) dan (c), dijelaskan: dilakukakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada fasilitas kesehatan tertentu. b. Permenkes RI No. 73 /Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan,pada pasal 3 ayat (1) dan (2), dijelaskan: Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 1) Penyelanggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan,hanya dapat dilakukan di rumah sakit umum pemerintah kelas A,B dan rumah sakit umum swasta kelas utama. 2) Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan tekologi reproduksi buatan harus: - Memenuhi persyaratan tenaga, sarana dan prasarana; - Memiliki bagian infertilitas; - Menggunakan dan menerapkan metode pelayanan teknologi reproduksi buatan yang telah terbukti manfaatnya. Jadi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan diatas, untuk pelaksanaan praktik terhadap surrogate mother di Indonesia, untuk saat ini tidak dimungkinkan dilaksanakan secara legal/terang-terangan di sarana kesehatan yang ada di Indonesia. Selain melihat berdasarkan aspek pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia, adanya sewa rahim ini juga erat kaitannya dengan perjanjian sebagai dasar dari adanya praktek ini. Pada kasus surrogate mother, apabila dikaitkan dengan pasal 1320 KUHPerdata dapat dikatakan pada syarat subjektifnya sudah memenuhi syarat. Yaitu dengan adanya para pihak yang telah bersepakat dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum atau perjanjian tersebut. Namun dalam syarat objektifnya, praktik surrogate mother mempunyai permasalahan pada syarat keempat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu mengenai sebab yang halal. Menurut pasal 1337 KUHPersata, sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak dan dari isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun dengan ketertiban umum. Selain itu, suatu sebab yang halal berarti objek yang diperjanjikan bukanlah objek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Misalnya perjanjian perdagangan manusia atausenjata ilegal.5 Pada kasus surrogate mother, prestasi yang diberikan oleh wanita surrogate adalah menyewakan rahimnya untuk ditanami embrio dari pasangan orang tua biologis untuk mengandung dan melahirkan. Permasalahannya adalah apakah rahim dapat disamakan dengan barang yang dapat menjadi objek sewa menyewa. Dengan demikian ada beberapa alasan sehingga perjanjian pada praktik surrogate mother berdasarkan ketentuan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dapat dikatakan 5 http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada 20 November 2014 Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan mengenai “adanya sebab yang halal” diantaranya adalah: 1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif), seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 3 pada point surrogate mother berdasarkan aspek hukum kesehatan: a) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan , dalam pasal 127 ayat (1). b) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 43 ayat (3). c) Permenkes No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan, dalam Pasal 4. d) SK Dirjen Yan Medik Depkes Tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah sakit. 2. Bertentangan dengan kesusilaan: a) Tidak sesuai dengan norma moral dan adat-istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungan masyarakat Indonesia. b) Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Meskipun salah satu diantara kepercayaan atau agama tersebut membolehkan untuk dilakukannya sewa rahim, yaitu pada agama Hindu. Namun pada konsepnya. Sewa rahim atau “iatnya” dalam agama Hindu tidak dapat disamakan dengan sewa rahim karena dilakukan dengan secara sukarela tanpa menuntut bayaran. 3. Bertentangan dengan ketertiban umum karena akan menjadi perjunjingan di masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan. 4. Pasal 1339 KUHPerdata yang menjelaskan “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjajian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Sehingga pasal ini menegaskan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan dan undangundang. 5. Bertentangan dengan pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, dimana rahim itu bukanlah suatu benda (menurut hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (menurut hukum sewa menyewa) yang terdapat pada KUHPerdata. Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 Persyaratan lain yang masih menjadi polemik adalah mengenai “suatu hal tertentu”. Dalam pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek dalam perjanjian adalah barangbarang yang dapat diperdagangkan. Sedangkan yang menjadi objek dalam perjanjian sewa rahim disini adalah rahim dalam tubuh wanita surrogate yang merupakam organ manusia yang tidak dapat disamakan dengan “barang”. Pasal 499 KUHPerdata menjelaskan, yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki atau dijadikan objek hak milik. Jadi cakupannya sangat luas, oleh karena di samping istilah benda (zaak), di dalamnya terdapat istilah barang (goed) dan hak (recht). Ini berarti istilah benda pengertiannya masih bersifat abstrak karena tidak saja meliputi benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud. Sedangkan barang mempunyai pengertian yang lebih sempit karena bersifat konkrit dan berwujud artinya dapat dilihat dan diraba misalnya, buku, pensil, meja, kursi dan lain-lain. 6 Pada kasus surrogate mother, tidaklah pantas dikatakan bahwa rahim adalah suatu benda atau barang karena rahim tidak didapatkan dari penguasaan di dunia karena langsung satu paket dengan kehidupan manusia yang diberikan oleh Penciptanya serta tidak ada pula hak yang melekat pada rahim untuk dipertahankan dari orang lain karena logikanya tidak ada satu orang pun yang menginginkan atau merebut rahim orang lain untuk dimiliki. Walaupun kenyataannya bahwa rahim adalah benda padat (dapat dilihat dan dapat dipegang) tetapi bukanlah benda yang dimaksud dalam pasal 499 KUHPerdata.7 Jadi dapat dikatakan bahwa rahim bukanlah objek hukum, melainkan bagian dari seorang wanita sehingga tetap menjadi bagian dari subjek hukum. Selain rahim tidak dapat disamakan dengan benda, perjanjian sewa rahim juga tidak dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini tidak dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa karena tidak terdapat dua unsur pokok dari perjanjian sewa menyewa , yakni objek yang berupa benda serta harga. Objek dari perjanjian ini tidak dapat merujuk kepada rahim, sebab tidak dapat ditentukan perihal penyerahan, pembebanan, dan daluarsa dari objek tersebut. Dengan kata lain, perjanjian ini tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian sewa rahim maupun sewa menyewa 6 Ny. Frieda Husni Hasbullah S.H., M.H., Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit In-Hil-Co, 2005), Hlm. 19. 7 Dr. H. Desriza Ratman., Loc Cit., Hlm. 113. Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 rahim.8 Berikut ini akan dijelaskan mengenai tabel perbandingan antara perjanjian sewa menyewa dan surrogate mother dilihat yang dari aspek hak dan kewajibannya. Tabel perbandingan sewa menyewa dan surrogate mother Sewa Menyewa Hak Kewajiban Penyewa - menikmati fugsi barang yang menjadi objek sewa Berdasar pasal 1560 KUHPerdata: - memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumah yang baik” - membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan - mengembalikan barang yang disewa dalam keadaan semula setelah habis waktunya - tidak boleh menyewakan lagi barang sewaannya Yang Menyewakan - menikmati imbalan hasil barang yang disewakan - meminta barang yang disewakan Berdasarkan pasal 1550 KUHPerdata: - menyerahkan barang yang disewakan - memelihara barang yang disewakan - memberikan kepada si penyewa kenikmatan tentram - menyerahkan barang yang disewakan dalam keadaan baik - menanggung segala kekurangan pada benda yang disewakan Surrogate Mother Surrogate Mother Surrogate Mother Hak Kewajiban Pasangan Suami Istri Mendapatkan imbalan sesuai yang mendapatkan anak dari hasil sewa diperjanjikan rahim menjaga dan merawat calon bayi sampai kelahiran membayar imbalan kepada surrogate mother sesuai yang diperjanjikan Berdasarkan tabel perbandingan diatas, dapat diketahui bahwa antara perjanjian sewa menyewa dengan sewa rahim apabila dilihat dari hak dan kewajibannya, terdapat banyak perbedaan. Pada perjanjian sewa menyewa, penyewa memiliki hak untuk menikmati dan menguasai barang yang menjadi objek sewa selama waktu yang diperjanjikan, hal ini berbeda dengan sewa rahim, dimana pasangan suami istri tidak dapat menikmati rahim yang 8 Sista Noor Elvina, Perlindungan Hak Untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother, dalam Artikel Ilmiah, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), Hlm. 13. Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 disewanya. Namun rahim disini disewa untuk memberikan jasa berupa membesarkan bayi dari pasangan suami istri yang membayar ibu pengganti tersebut. Selain itu, dalam hal penyerahan barang yang menjadi objek sewa, dalam perjanjian sewa menyewa yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang tersebut kepada penyewa agar barang tersebut dapat dinikmati oleh penyewa. Berbeda pada kasus sewa rahi, dimana ibu pengganti tidak dapat menyerahkan rahimnya kepada suami istri untuk dinikmati oleh mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian sewa menyewa dengan perjanjian sewa rahim memiliki banyak perbedaan,sehingga tidak dapat disamakan konsep antara perjanjian sewa menyewa dengan perjanjian sewa rahim. Secara terminologi kata “surrogate” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat berarti wakil; pengganti atau wali.9 Oleh karena itu, surrogate mother lebih tepat dikatakan sebagai perjanjian jasa ibu pengganti. Adanya sewa rahim ini juga berdampak pada anak yang dilahirkan. Akibat hukum yang dapat terjadi terhadap anak hasil dari sewa rahim ini adalah terhadap status anak dan hak waris anak. Apabila status anak hasil dari kasus surrogate mother dikaitkan dengan pengertian mengenai anak sah dan tidak sah,dilihat dari status perkawinan wanita yang menjadi ibu pengganti maka: 10 1. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui Bila status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda, maka anak yang dilahirkan adalah “anak diluar perkawinan yang tidak diakui”,yaitu anak yang dilahirkan karena zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau istri dengan laki-laki atau perempuan. 2. Anak Sah Bila status wanita surrogate-nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami istri yang disewa rahimnya, sampai bapak (suami dari waita yang menjadi ibu pengganti) mengatakan “tidak” berdasarkan pasal 251, 252dan 253 KUHPerdata dengan pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap oleh pengadilan dan juga berdasarkan pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan:ada ayat (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut, (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang 9 John M.Echols, et al. Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hlm. 571. 10 Dr. H. Desriza Ratman., Loc Cit., Hlm. 120 Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Persoalan mengenai anak hasil sewa rahim ini membuat kebingungan dalam menentukan status anak. Secara biologis, anak hasil sewa rahim ini memang merupakan anak dari pasangan suami istriyang mempunyai sel telur dan sperma, namun karena dilahirkan melalui ibu yang berbeda yang secara biologis atau genetik bukan merupakan ibunya, dan dalam peraturan disebutkan bahwa sah tidaknya anak dilihat dari status perkawinan ibu yang melahirkannya. Sedangkan untuk hak waris anak hasil dari surrogate mother dapat ditentukan berdasarkan status anak tersebut berdasarkan status perkawinan wanita yang menjadi ibu pengganti (surrogate mother). Jadi apabila dikaitkan berdasar KUHPerdata, hak waris anak hasil sewa rahim yaitu: 11 1. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui (bila wanita surrogate-nya berstatus gadis atau janda). Berarti ibu yang melahirkan tidak terikat pada perkwinan yang sah, menurut: a. Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Pasal 288 KUHPerdata: Untuk ibu yang melahirkan si anak dapat menyelidiki siapa ibunya. c. Untuk bapak biologisnya (karena status anak zina) anak dilarang menyelidikinya (pasal 287 KUHPerdata) Dengan demikian untuk hak waris anak, hanya berhubungan (perdata) dengan ibunya atau keluarga ibunya saja, sementara hak waris terhadap bapak biologisnya, anak tidak berhak menuntut hak waris dari bapak biologisnya (pasal 869 KUHPerdata) selama si bapak harus memberi nafkah secukupnya sesuai dengan kemampuannya (pasal 867 dan 868 KUHPerdata) 2. Anak sah (bila wanita surrogate masih berstatus istri dari suaminya yang terikat dalam perkawinan yang sah): a. Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah b. Pasal 250 KUHPerdata: anak yang diahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya, maka anak tersebut adalah 11 Op. Cit., Hlm. 121-122 Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 anak sah pasangan tersebut dan berhak mendapat hak waris penuh sesuai dengan hukum waris yang berlaku dari suami wanita surrogate. Tetapi bila suami dari ibu pengganti tersbut tidak mengakui, maka status anak tersebut jatuhnya menjadi anak zina dan pewarisannya sama seperti point diatas dengan cara menyangkalkan berdasarkan: 1) Pasal 251,252 dan 253 KUHPerdata dengan mengajukan ke pengadilan untuk dilakukan tes darah (golongan darah atau tes DNA) dan 2) Pasal 44 UU No 1 Tahun 1974: seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Dan, pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Hukum waris di Indonesia menjelaskan bahwa warisan akan diberikan kepada seseorang yang merupakan kerabat atau ahli waris dari sang pewaris ataupun bukan kerabat yang diberikan melalui hibah. Pada dasarnya, adanya sewa rahim ini dilakukan atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis antara pasangan suami istri dengan sang ibu pengganti sampai dengan lahirnya anak tersebut. Perjanjian tersebut hanya berlaku sampai lahirnya anak saja, dan tidak sampai kepada hubungan anak dengan ibu penggantinya. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Selain masih dianggap bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di masyarakat, pengaturan terhadap praktik surrogate mother di Indonesia belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Hukum positif di Indonesia hanya mengatur mengenai teknologi reproduksi buatan hanya untuk bayi tabung saja, sedangkan untuk sewa rahim (surrogate mother) tidak ada ketentuan khusus yang membolehkan adanya sewa rahim. Hanya saja pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 43 ayat (3) pada huruf b, dikatakan bahwa kelebihan embrio dari hasil pembuahan in vitro fertilizatation tidak boleh ditanamkan pada rahim perempuan lain. Selain itu, meskipun terdapat peraturan yang menyinggung bahwa tidak diperbolehkan melakukan sewa rahim, tidak diatur Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 mengenai sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan sewa rahim tersebut. 2. Kedudukan sewa rahim apabila dilihat menurut pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian, hukum kebendaan dan perjanjian sewa menyewa. Apabila dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian, maka sewa rahim ini tidak memenuhi syarat mengenai sebab yang halal karena bertentangan dengan peraturan di Indonesia khususnya dengan Undang-Undang Kesehatan. Dalam hukum kebendaan, rahim yang menjadi objek sewa dalam kasus sewa rahim ini tidak dapat disamakan dengan benda atau barang yang menjadi objek dari sewa menyewa. Selain itu, rahim tidak dapat disamakan dengan pengertian benda yang diatur dalam pasal 499 KUHPerdata. Sedangkan menurut perjanjian sewa menyewa, sewa rahim juga tidak dapat disamakan dengan konsep perjanjian sewa menyewa dalam KUHPerdata karena hak dan kewajiban yang dilakukan para pihak berbeda. Oleh karena itu,perjanjian ini lebih tepat sebagai perjanjian jasa ibu pengganti. 3. Akibat hukum yang dapat terjadi dari adanya sewa rahim adalah terhadap status anak dan hak waris anak hasil sewa rahim ini. Terhadap status anak dilihat dari status perkawinan ibu yang melahirkannya, apabila anak tersebut lahir dari ibu pengganti yang mempunyai suami yang sah maka anak tersebut merupakan anak sah dari ibu pengganti dan suaminya. Namun apabila anak tersebut lahir dari seorang janda anak seorang gadis, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak tidak sah karena lahir diluar perkawinan. Untuk menjadikan anak hasil sewa rahim ini sebagai anak sah, maka pasangan suami istri atau orang tua genetis dari anak tersebut dapat melakukan pengangkatan anak. Sedangkan mengenai hak waris anak, apabila anak tersebut merupakan anak sah maka anak tersebut berhak atas waris dari ibu pengganti dan suaminya, tetapi apabila anak tersebut merupakan anak sah maka anak tersebut hanya memiliki hubungan keperdataa saja dengan ibu yang melahirkannya. Pada dasarnya, adanya sewa rahim ini dilakukan atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis antara pasangan suami istri dengan sang ibu pengganti sampai dengan lahirnya si bayi. Perjanjian tersebut hanya berlaku sampai lahirnya si anak saja, dan tidak sampai kepada hubungan anak dengan ibu penggantinya. Oleh karena itu, anak hasil sewa rahim tidak berhak atas waris dari ibu pengganti nya karena si ibu pengganti hanya bertanggung jawab sampai dengan lahirnya si anak. Dengan demikian, hak waris si anak adalah kepada orang tua biologisnya bukan kepada ibu penggantinya. Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 Saran Untuk pemerintah, sebaiknya melakukan pengkajian terhadap adanya kasus sewa rahim di Indoneisa, agar dibuatkan peraturan perundang-undangan secara khusus tentang sewa rahim surrogate mother yang memuat tentang mekanisme, prosedur serta persyaratan yang harus dipenuhi apabila memang nantinya perjanjian surrogacy diperbolehkan di Indonesia.Selain itu, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto SH,. SpF., Msi., baiknhya dibentuk suatu dewan khusus yang disebut sebagai Dewan Sensor yang menangani boleh tidaknya pasangan suami istri yang akan melakukan sewa rahim, dengan berbagai persyaratan tertentu. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan sewa rahim dapat dilakukan secara legal dan menjamin hak-hak para pihak yang melakukannya serta hak anak yang lahir dari sewa rahim ini. Dan yang paling penting, dalam melakukan sewa rahim ini dibuatkan suatu perjanjian surrogacy secara khusus dan dalam bentuk tertulis yang mengatur mengenai hak dan kewajiban antara para pihak yang didalamnya juga mengatur mengenai status anak setelah lahir, sejauh mana hubungan anak dengan ibu penggantinya,sehingga menghindari permasalahan yang akan timbul akibat lahirnya anak dari sewa rahim ini. Daftar Referensi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], cet. IV, diterjemahkan Subekti. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2009 ________. Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974. ________. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009, LN No. 144 Tahun 2009 ________. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PP No.61 Tahun 2014, Lembaran Negara Indonesia Tahun 2014 Nomor 169. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010. Buku Hasbullah Frieda Husni. Hukum Kebendaan:Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Jilid I. Cet 3. Jakarta: Ind-Hil-Co, 2002. Projodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: PT. Bale Bandung, 1985. Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015 _________. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1991. Ratman, Desriza. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012. Satrio, J. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang. Purwokerto: PT.Citra Aditya Bakti, 2002. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 21. Jakarta: PT Intermasa, 2003. ________. Hukum Perjanjian. Cet. 31. Jakarta: PT. Intermasa, 2005. ________. Aneka Perjanjian. Cet 10. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995. Thamrin, Husni. Aspek Hukum Bayi Tabung dan Sewa Rahim: Prespektif Hukum Perdata dan Hukum Islam.Cet 1. Yogyakarta: Aswaja Presindo,2013. Yanggo, Chumizah. Problematika Hukum Islam kontemporer I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Jurnal dan Skripsi: Elvina, Sista Noor. Perlindungan untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother. Malang: Fakultas HukumUniversitas Brawijaya, 2012. Ramadhan, Fajar Wahyu. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan Melalui Ibu Pengganti (Surrogate Motther)Ditinjau dari Hukum Kekeluargaan Islam. Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Depok, 2012. Setiawan, Fajar Bayu, Himna Asihsalista, dan Nikki Ramadhani M. Pranoto. Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif Indonesia dalam Private Law Edisi 01 Maret-Juni 2013. Solo: Universitas Negeri Sebelas. Maret, 2013. Yuliardi, Supmi. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan Melalui Ibu Pengganti (SURROGATE MOTHER) Pada Kontrak Subrogasi Diyinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam. Mataram, 2014. Internet: id.m.wikipedia.org/wiki/fertilisasi_in_vitro, diakses pada 7 September 2011 http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada 20 November 2014 Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015