tinjauan yuridis terhadap perjanjian sewa rahim (surrogate mother)

advertisement
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN SEWA RAHIM
(SURROGATE MOTHER) BERDASARKAN TERMINOLOGI HUKUM
PERDATA
Mutia Az Zahra, Rosa Agustina, Endah Hartati
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perjanjian sewa rahim (Surrogate Mother ) adalah perjanjian seorang wanita yang
mengikatkan dirinya dengan pihak lain (suami istri) untuk menjadi hamil dan setelah
melahirkan menyerahkan anak atau bayi tersebut. Di Indonesia Surrogate Mother ini belum
memiliki dasar hukum yang pasti mengenai pelaksanaannya sehingga memunculkan masalahmasalah dalam melakukan perjanjiannya. Surrogate Mother bukan merupakan upaya
kehamilan diluar cara alamiah yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan
Menteri Kesehatan, serta dianggap tidak memenuhi syarat dalam melakukan perjanjian. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa Surrogate Mother belum dapat dilakukan di Indonesia
karena bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan permasalahan terhadap status dan
hak waris anak.
JURIDICIAL ANALYSIS OF THE SURROGACY AGREEMENT (SURROGATE
MOTHER) BASED ON CIVIL LAW TERMINOLOGY
Abstract
Surrogate Mother is an agreement between a woman who associate themselves with other
parties (husband and wife) to become pregnant and after she given birth, she reinquish the
baby. Surrogate Mother in Indonesia doesn’t have a valid fundamantal law about the
implementation that raises problems by doing the agrrement. Surrogate Mother isn’t an
attempt pregancy wich is regulated in the Health Constitusion and Regulations the Minister of
Health, and also not eligible the reuirement of agreement. The result concluded that Surrogate
Mother doesn’t been able to do Indonesia because contrary to the constitusion and make
problem with status and inheritance of children rights.
Keyword: Surrogate Mother, KUHPerdata.
Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 1, menyatakan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang
bahagia dan kekal. Keluarga dalam pengertian ini adalah suatu kesatuan yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak(-anak).1 Namun pada kenyataannya sekarang, tidak semua pasangan dapat
membentuk sebuah keluarga atau melahirkan anak(-anak). Hal ini dapat dikarenakan beberapa
hal seperti adanya penyakit yang mengakibatkan pasangan suami istri tidak dapat melahirkan
keturunan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan keputusasaan bagi pasangan suami istri yang
ingin mempunyai keturunan.
Namun dalam perkembangannya, kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran
menemukan cara pengawetan sperma dan metode pembuahan diluar rahim atau yang dikenal
dengan sebutan In Vitro Fertilization (IVF) pada tahun 1970-an. In Vitro Fertilization (IVF),
yaitu terjadinya penyatuan/pembuahan benih laki-laki terhadap benih wanita pada suatu
cawan petri (di laboratorium), yang mana setelah terjadinya penyatuan tersebut (zygote), akan
di implantasikan atau ditanam kembali di rahim wanita, yang biasanya pada wanita yang
punya benih tersebut (program bayi tabung) atau ditanamkan pada rahim wanita lain yang
tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan sumber benih tersebut. Untuk hal ini
dilakukan melalui perjanjian sewa (surrogacy) yang dikenal dengan isilah surrogate mother
(ibu pengganti).2
Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (UU Kesehatan) diatur
bahwa upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri
yang sah dengan ketentuan:
1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan
dalam rahim istri dimana ovum berasal;
2. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu;
3. Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Dari penjelasan pasal diatas, berarti bahwa metode atau kehamilan diluar cara alamiah,
hanya dapat dilakukan melalui cara bayi tabung saja. Selain itu, dijelaskan kembali dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 Penyelenggaraan Pelayanan
Tekknologi Reproduksi Buatan, dalam pasal 2 ayat (3) dikatakan bahwa pelayanan teknologi
reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terkait perkawinan
1
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia,
(Surabaya: Airlangga University Press, 1998), hlm. 38.
2
Dr. H. Dezriza Ratman, MH. Kes, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkan
Sewa Rahim di Indonesia?, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,2012, hlm. 2.
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu
indikasi medik. Dari kedua peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa metode kehamilan
diluar cara alamiah, hanya boleh dilakukan melalui metode bayi tabung dan terhadap
pasangan suami istri yang sah.
Sewa rahim sangat erat kaitannya dengan perjanjian sewa menyewa. Menurut pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dimana suatu orang mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih”. Lahirnya suatu perjanjian, apabila terdapat dua orang atau lebih mengikatkan
diri satu sama lain dan berjanji untuk menuaikan prestasi tertentu.
Landasan hukum mengenai perjanjian sewa rahim belum diatur secara rinci dalam
peraturan perundang-undangan, namun secara yuridis terdapat beberapa pasal dalam
KUHPerdata yang dapat dipergunakan untuk mengkaji subtansi dari perjanjian sewa rahim,
yaitu pasal 1320 KUHPerdata.3 Dalam perjanjian sewa rahim, apabila dikaitkan dengan syarat
sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata maka terdapat beberapa hal perlu
dipertanyakan. Salah satunya adalah mengenai hal tertentu yang diatur dalam perjanjian sewa
rahim, dimana dalam ketentuan pasal 127 UU Kesehatan disebutkan bahwa tekhnologi
reproduksi untuk membantu kehamilan diluar ilmiah hanya dapat dilakukan dengan metode
bayi tabung.
Dalam hukum perjanjian, menganut asas kebebasan berkontrak. Hal ini juga diatur
dalam pasal 1338 yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa para pihak
dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian. Lalu bila
dihubungkan dengan syarat sah perjanjian, bagaimana kedudukan dari perjanjian sewa rahim
tersebut, ketika dalam suatu perjanjian sewa rahim kedua belah pihak yaitu pasangan suami
istri dan calon ibu pengganti sama-sama bersedia dan telah bersepakat untuk melakukan
perjanjian sewa rahim tersebut.
Selain dilihat melalui peraturan perundang-undangan, permasalahan mengenai
perjanjian sewa rahim ini juga harus dipandang dari segi etika serta agama. Di Indonesia,
yang sebagaian besar penduduknya menganut agama Islam , dan hukum dalam ajaran agama
Islam juga dijadikan sebagai salah satu sumber hikum positif di Indonesia menjelaskan bahwa
dalam Islam tidak mengenal penitipan janin kepada wanita lain. Selain itu, lahirnya bayi dari
hasil perjanjian sewa rahim akan menimnbulkan permasalahan hukum seperti penentuan
3
Ibid., hlm 68
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
nasab sang anak dan siapakah yang menjadi ibu yang sesungguhnya. Begitu juga dalam
keyakinan agama lainnya yang dianut di Indonesia, adanya sewa rahim ini masih
menimbulkan kontrofersi antara boleh atau tidaknya
Dalam program surrogate mother dengan prosedur-prosedur yang benar maupun
rahim dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomis sangatlah tidak etis, karena dalam hukum
agama secara tegas mengatakan bahwa penciptaan manusia adalah hak dan kedaulatan Tuhan,
artinya manusia harus menghormati dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur.
Dari banyak pandangan serta segi pengaturannya, perjanjian sewa rahim menyebabkan
terjadinya banyak permasalahan hukum. Apabila dilihat dari sudut pandang hukum perjanjian
dalam KUHPerdata, apakah perjanjian tersbut dapat dikatakan sah? Dan sejauh mana asas
kebebasan berkontrak itu dapat diterapkan dalam perjanjian?. Lalu jika dilihat dari dampak
apa saja yang dapat terjadi setelah adanya perjanjian tersebut, bagaimanakah status anak yang
lahir dari adanya perjanjian tersbut? Bagaimana hak waris anak? Dan bagaimanakah
hubungan antara anak hasil perjanjian sewa rahim dengan ibu penggantinya? Masalah ini
masih menjadi perdebatan dan kontrofersi, mengingat di Indonesia tidak hanya diterapkan
hukum yang berdasarkan atas hubungan antar orang saja, tetapi juga masih kental dengan
pandangan dari sudut etika, moral dan agama.
Untuk itu penelitian ini memiliki pokok permasalahan: 1) Bagaimanakah pengaturan
mengenai perjanjian sewa rahim atau surrogate mother dalam hukum di Indonesia? 2)
Bagaimanakah kedudukan perjanjian sewa rahim atau surrogate mother menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata? 3) Apasajakah akibat hukum yang dapat terjadi dari adanya
perjanjian sewa rahim atau surrogate mother tersebut?
Tinjauan Teoritis:
Dalam tulisan ini, penulis memberikan pngertian terhadap istilah-istilah yang
digunakan sebagai berikut:
1. Perkawinan yang Sah
Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Lalu pada ayat (2) dikatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surrogate Mother / Ibu Pengganti
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
Menurut Black’s Law Dictionary 7th Edition yang dimaksud dengan surrogate mother
adalah “A woman who carries a child to term on behalf of another woman and then
assigns her parental rights to that woman and the father;. A person who carries out
the role of a mother”
3. Perjanjian
Adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
4. Sewa Menyewa
Menurut pasal 1548 KUHPerdata, perjanjian sewa menyewa adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain
kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran
sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya.
5. Perjanjian Sewa Rahim
Adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengaitkan dirinya dengan pihak lain
(suami isteri) untuk menjadi hamil dan setelah melahirkan anak atau bayi tersebut
6. Teknologi Reproduksi Berbantu
Adalah upaya medis, agar pasangan suami istri yang sukar memperoleh keturunan,
dapat memperolehnya melalui metoda fertilisasi in-vitro dan pemindahan embrio
(FIV-PE) dengan menggunakan peralatan dan cara-cara mutakhir.
7. Fertilisasi In-Vitro
Adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur (ovum) dibuahi diluar tubuh
wanita. Fertilisasi in-vitro lebih dikenal dengan sebutan bayi tabumg. Bayo tabung
adalah salah satu metode untuk mengatasai masalah kesuburan ketika metode lainnya
tidak berhasil.4
Metode Penelitian
Dilihat dari datanya,bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridisnormatif yang bertumpu pada alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan dokumen.
Untuk bentuk penelitian ini adalah penelitian evaluatif. Pemilihan bentuk ini karena dengan
penelitian evaluatif dimaksudkan untuk menilai program-program yang dijalankan. Dalam hal
4
id.m.wikipedia.org/wiki/fertilisasi_in_vitro, diakses pada 7 September 2011
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
ini
dilakukan
untuk
menilai
keberlakuan
KUHPerdata
dalam
melakukan
suatu
perjanjian,khususnya perjanjian sewa-menyewa.
Dalam melakukan penelitian ini, alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
studi kepustakaan. Selain itu, untuk mendukung penelitian ini maka dilakukan wawancara
dengan pihak yang berkompeten sehingga dapat memberikan pendapatnya. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian kali ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
kepustakaan yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian kali ini antara lain:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,dan konvensi. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan 4) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 5)
Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi 6) Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 039/Menkes/SK/I/2010.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu menganalisa, emmahami, dan menjelaskan bahan hukum
primer, yang meliputi jurnal, makalah, laporan penelitan dan bukum. Sumber sekunder
dalam penelitian ini yaitu berupa buku-buku yang bertemakan perikatan, perjanjian,
sewa-menyewa, hukum kesehatan dan tentangg teknologi reproduksi.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan atas bahan hukum prier dan sekunder, yang meliputi kamus, bibliografi,
buku tahunan, buku petunjuk, indeks dan lain-lain.
Pembahasan
Indonesia mengatur mengenai langkah pembuahan diluar rahim atau kehamilan diluar
cara alami melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah
diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Meskipun
tersebut bersifat memperbarui, namum kekuatan UU No. 23 Tahun 1992 tetap berlaku selama
tidak bertentangan. Pasal 72 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa,
dalam menentukan kehidupan reproduksinya, bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia
sesuai dengan norma agama. Dapat diambil kesimpulan dari ketentuan pasal ini bahwa hak
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
untuk bereproduksi harus tetap menghormati nilai-nilai luhur yang baik dengan tidak
merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia sesuai dengan nilai-nilai agama yang
dianutnya. Pengaturan lebih khusus mengenai teknologi reproduksi diatur dalam Permenkes
No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Buatan dan peraturan yang paling baru adalah Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi.
Pelaksanaan proses kehamilan di luar cara alami tersebut hanya dapat dilaksanakan
jika secara medis dapat dibuktikan bahwa pasangan suami istri yang sah benar-benar tidak
dapat memperoleh keterununan secara alami, pasangan suami istri tersebut barulah dapat
melakukan kehamilan diluar cara alamiah sebagai upaya terakhir melalui ilmu pengetahuan
dan teknologi dan kedokteran. Aturan hukum terhadap pelayanan untuk mendapatkan
keturunan dengan metode di luar cara alami (yang merupakan bayi tabung dan surrogate
mother) yang telah dijelaskan diatas,dapat dinyatakan bahwa metode kehamilan di luar alami
harus dilakukan berdasarkan:
1. Pasangan yang menginginkan anak atau keterunan dengan metode kehamilan diluar
alami harus merupakan pasangan terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Hal ini
berdasarkan pada:
a. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama) Pasal 16 ayat (1) menyatakan:
Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan;
b. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1) menyatakan:
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami
istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-undang kesehatan yang
baru dengan yang lama adalah pada kata “upaya terakhir”. Pada undang-undang
kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya terakhir dihilangkan. Hal ini berarti
seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia serta kemajuan
teknologi yang ada, untuk melakukan metode kehamilan diluar alamiah dapat
langsung dilakukan apabila didapatkan indikasi medik ataupun terdapat kelainan
medis.
c. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1) menyatakan:
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami
istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-undang kesehatan yang
baru dengan yang lama adalah pada kata “upaya terakhir”. Pada undang-undang
kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya terakhir dihilangkan. Hal ini berarti
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia serta kemajuan
teknologi yang ada, untuk melakukan metode kehamilan diluar alamiah dapat
langsung dilakukan apabila didapatkan indikasi medik ataupun terdapat kelainan
medis.
d. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah Sakit, pada pedoman nomor 1 dijelaskan bahwa: pelayanan
teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri
yang bersangkutan.
2. Hasil pembuahan luar rahim (In Vitro Fertilization) harus dikembalikan kepada wanita
(sang istri) dimana sel telur (ovum) tersebut berasal. Hal ini berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yaitu dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(baru) dalam pasal 127 ayat (1) huruf (a), dijelaskan: asil pembuahan sperma dan
ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana
ovum berasal.
3. Metode kehamilan di luar cara alamiah harus berdasarkan indikasi medik (penyebab
infertilitas). Hal ini berdasarkan ketentuan undang-undang diantaranya yaitu:
a. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah Sakit, pada pedoman nomor 1 dijelaskan bahwa: pelayanan
teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri
yang bersangkutan.
b. SK Dirjen Yan Medik Depkes tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah Sakit, dalam pedoman nomor 2 dijelaskan: pelayanan
reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka
pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaa pelayanan infertilitas secara
keseluruhan.
4. Oleh tenaga medis dan fasilitas yang ditunjuk atau yang telah ditentukan. Hal ini
diatud dalam undang-undang yaitu:
a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam pasal 2 huruf (b) dan (c),
dijelaskan: dilakukakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu, dan pada fasilitas kesehatan tertentu.
b. Permenkes RI No. 73 /Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Buatan,pada pasal 3 ayat (1) dan (2), dijelaskan:
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
1) Penyelanggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan,hanya dapat
dilakukan di rumah sakit umum pemerintah kelas A,B dan rumah sakit
umum swasta kelas utama.
2) Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan tekologi reproduksi buatan
harus:
- Memenuhi persyaratan tenaga, sarana dan prasarana;
- Memiliki bagian infertilitas;
- Menggunakan dan menerapkan metode pelayanan teknologi reproduksi
buatan yang telah terbukti manfaatnya.
Jadi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah dijelaskan diatas, untuk
pelaksanaan praktik terhadap surrogate mother di Indonesia, untuk saat ini tidak
dimungkinkan dilaksanakan secara legal/terang-terangan di sarana kesehatan yang ada di
Indonesia.
Selain melihat berdasarkan aspek pengaturan dalam perundang-undangan di
Indonesia, adanya sewa rahim ini juga erat kaitannya dengan perjanjian sebagai dasar dari
adanya praktek ini. Pada kasus surrogate mother, apabila dikaitkan dengan pasal 1320
KUHPerdata dapat dikatakan pada syarat subjektifnya sudah memenuhi syarat. Yaitu dengan
adanya para pihak yang telah bersepakat dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum atau
perjanjian tersebut. Namun dalam syarat objektifnya, praktik surrogate mother mempunyai
permasalahan pada syarat keempat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu mengenai sebab
yang halal. Menurut pasal 1337 KUHPersata, sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu
sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak dan dari isi dari
perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan maupun dengan
ketertiban umum. Selain itu, suatu sebab yang halal berarti objek yang diperjanjikan bukanlah
objek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Misalnya perjanjian perdagangan
manusia atausenjata ilegal.5
Pada kasus surrogate mother, prestasi yang diberikan oleh wanita surrogate adalah
menyewakan rahimnya untuk ditanami embrio dari pasangan orang tua biologis untuk
mengandung dan melahirkan. Permasalahannya adalah apakah rahim dapat disamakan dengan
barang yang dapat menjadi objek sewa menyewa.
Dengan demikian ada beberapa alasan sehingga perjanjian pada praktik surrogate
mother berdasarkan ketentuan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata dapat dikatakan
5
http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada 20 November 2014
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
tidak sah karena tidak memenuhi ketentuan mengenai “adanya sebab yang halal” diantaranya
adalah:
1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif), seperti yang
telah dijelaskan dalam Bab 3 pada point surrogate mother berdasarkan aspek hukum
kesehatan:
a) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan , dalam pasal 127 ayat (1).
b) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
dalam pasal 43 ayat (3).
c) Permenkes No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Buatan, dalam Pasal 4.
d) SK Dirjen Yan Medik Depkes Tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah sakit.
2. Bertentangan dengan kesusilaan:
a) Tidak sesuai dengan norma moral dan adat-istiadat atau kebiasaan umumnya
masyarakat Indonesia atau di lingkungan masyarakat Indonesia.
b) Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Meskipun salah satu diantara kepercayaan atau agama tersebut membolehkan
untuk dilakukannya sewa rahim, yaitu pada agama Hindu. Namun pada
konsepnya. Sewa rahim atau “iatnya” dalam agama Hindu tidak dapat
disamakan dengan sewa rahim karena dilakukan dengan secara sukarela tanpa
menuntut bayaran.
3. Bertentangan dengan ketertiban umum karena akan menjadi perjunjingan di
masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari
pergaulan.
4. Pasal 1339 KUHPerdata yang menjelaskan “perjanjian-perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi untuk segala
sesuatu yang menurut sifatnya perjajian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang”. Sehingga pasal ini menegaskan bahwa dalam menentukan suatu
perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui
dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan dan undangundang.
5. Bertentangan dengan pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, dimana
rahim itu bukanlah suatu benda (menurut hukum kebendaan) dan tidak dapat
disewakan (menurut hukum sewa menyewa) yang terdapat pada KUHPerdata.
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
Persyaratan lain yang masih menjadi polemik adalah mengenai “suatu hal tertentu”.
Dalam pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek dalam perjanjian adalah barangbarang yang dapat diperdagangkan. Sedangkan yang menjadi objek dalam perjanjian sewa
rahim disini adalah rahim dalam tubuh wanita surrogate yang merupakam organ manusia
yang tidak dapat disamakan dengan “barang”.
Pasal 499 KUHPerdata menjelaskan, yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap
barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengertian benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki atau dijadikan
objek hak milik. Jadi cakupannya sangat luas, oleh karena di samping istilah benda (zaak), di
dalamnya terdapat istilah barang (goed) dan hak (recht). Ini berarti istilah benda
pengertiannya masih bersifat abstrak karena tidak saja meliputi benda berwujud tetapi juga
benda tidak berwujud. Sedangkan barang mempunyai pengertian yang lebih sempit karena
bersifat konkrit dan berwujud artinya dapat dilihat dan diraba misalnya, buku, pensil, meja,
kursi dan lain-lain. 6
Pada kasus surrogate mother, tidaklah pantas dikatakan bahwa rahim adalah suatu
benda atau barang karena rahim tidak didapatkan dari penguasaan di dunia karena langsung
satu paket dengan kehidupan manusia yang diberikan oleh Penciptanya serta tidak ada pula
hak yang melekat pada rahim untuk dipertahankan dari orang lain karena logikanya tidak ada
satu orang pun yang menginginkan atau merebut rahim orang lain untuk dimiliki. Walaupun
kenyataannya bahwa rahim adalah benda padat (dapat dilihat dan dapat dipegang) tetapi
bukanlah benda yang dimaksud dalam pasal 499 KUHPerdata.7 Jadi dapat dikatakan bahwa
rahim bukanlah objek hukum, melainkan bagian dari seorang wanita sehingga tetap menjadi
bagian dari subjek hukum.
Selain rahim tidak dapat disamakan dengan benda, perjanjian sewa rahim juga tidak
dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam KUHPerdata.
Perjanjian ini tidak dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa karena tidak terdapat
dua unsur pokok dari perjanjian sewa menyewa , yakni objek yang berupa benda serta harga.
Objek dari perjanjian ini tidak dapat merujuk kepada rahim, sebab tidak dapat ditentukan
perihal penyerahan, pembebanan, dan daluarsa dari objek tersebut. Dengan kata lain,
perjanjian ini tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian sewa rahim maupun sewa menyewa
6
Ny. Frieda Husni Hasbullah S.H., M.H., Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi
Kenikmatan, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit In-Hil-Co, 2005), Hlm. 19.
7
Dr. H. Desriza Ratman., Loc Cit., Hlm. 113.
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
rahim.8
Berikut ini akan dijelaskan mengenai tabel perbandingan antara perjanjian sewa
menyewa dan surrogate mother dilihat yang dari aspek hak dan kewajibannya.
Tabel perbandingan sewa menyewa dan surrogate mother
Sewa Menyewa
Hak
Kewajiban
Penyewa
- menikmati fugsi barang yang
menjadi objek sewa
Berdasar pasal 1560
KUHPerdata:
- memakai barang yang disewa
sebagai seorang “bapak rumah
yang baik”
- membayar harga sewa pada
waktu yang telah ditentukan
- mengembalikan barang yang
disewa dalam keadaan semula
setelah habis waktunya
- tidak boleh menyewakan lagi
barang sewaannya
Yang Menyewakan
- menikmati imbalan hasil barang
yang disewakan
- meminta barang yang disewakan
Berdasarkan pasal 1550
KUHPerdata: - menyerahkan barang
yang disewakan
- memelihara barang yang disewakan
- memberikan kepada si penyewa
kenikmatan tentram
- menyerahkan barang yang
disewakan dalam keadaan baik
- menanggung segala kekurangan
pada benda yang disewakan
Surrogate Mother
Surrogate Mother
Surrogate Mother
Hak
Kewajiban
Pasangan Suami Istri
Mendapatkan imbalan sesuai yang mendapatkan anak dari hasil sewa
diperjanjikan
rahim
menjaga dan merawat calon bayi
sampai kelahiran
membayar imbalan kepada surrogate
mother sesuai yang diperjanjikan
Berdasarkan tabel perbandingan diatas, dapat diketahui bahwa antara perjanjian sewa
menyewa dengan sewa rahim apabila dilihat dari hak dan kewajibannya, terdapat banyak
perbedaan. Pada perjanjian sewa menyewa, penyewa memiliki hak untuk menikmati dan
menguasai barang yang menjadi objek sewa selama waktu yang diperjanjikan, hal ini berbeda
dengan sewa rahim, dimana pasangan suami istri tidak dapat menikmati rahim yang
8
Sista Noor Elvina, Perlindungan Hak Untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother, dalam
Artikel Ilmiah, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), Hlm. 13.
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
disewanya. Namun rahim disini disewa untuk memberikan jasa berupa membesarkan bayi
dari pasangan suami istri yang membayar ibu pengganti tersebut. Selain itu, dalam hal
penyerahan barang yang menjadi objek sewa, dalam perjanjian sewa menyewa yang
menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang tersebut kepada penyewa agar barang
tersebut dapat dinikmati oleh penyewa. Berbeda pada kasus sewa rahi, dimana ibu pengganti
tidak dapat menyerahkan rahimnya kepada suami istri untuk dinikmati oleh mereka. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa antara perjanjian sewa menyewa dengan perjanjian sewa
rahim memiliki banyak perbedaan,sehingga tidak dapat disamakan konsep antara perjanjian
sewa menyewa dengan perjanjian sewa rahim.
Secara terminologi kata “surrogate” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dapat berarti wakil; pengganti atau wali.9 Oleh karena itu, surrogate mother lebih tepat
dikatakan sebagai perjanjian jasa ibu pengganti.
Adanya sewa rahim ini juga berdampak pada anak yang dilahirkan. Akibat hukum
yang dapat terjadi terhadap anak hasil dari sewa rahim ini adalah terhadap status anak dan hak
waris anak. Apabila status anak hasil dari kasus surrogate mother dikaitkan dengan pengertian
mengenai anak sah dan tidak sah,dilihat dari status perkawinan wanita yang menjadi ibu
pengganti maka: 10
1. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui
Bila status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda, maka anak yang dilahirkan
adalah “anak diluar perkawinan yang tidak diakui”,yaitu anak yang dilahirkan karena
zina, yaitu akibat dari perhubungan suami atau istri dengan laki-laki atau perempuan.
2. Anak Sah
Bila status wanita surrogate-nya terikat dalam perkawinan yang sah (dengan
suaminya), maka anak yang dilahirkan adalah anak sah pasangan suami istri yang
disewa rahimnya, sampai bapak (suami dari waita yang menjadi ibu pengganti)
mengatakan “tidak” berdasarkan pasal 251, 252dan 253 KUHPerdata dengan
pemeriksaan darah atau DNA dan keputusan tetap
oleh pengadilan dan juga
berdasarkan pasal 44 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan:ada
ayat (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya
bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat
daripada perzinahan tersebut, (2) Pengadilan memberikan keputusan tentang
9
John M.Echols, et al. Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), Hlm. 571.
10
Dr. H. Desriza Ratman., Loc Cit., Hlm. 120
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Persoalan mengenai anak hasil sewa rahim ini membuat kebingungan dalam
menentukan status anak. Secara biologis, anak hasil sewa rahim ini memang merupakan anak
dari pasangan suami istriyang mempunyai sel telur dan sperma, namun karena dilahirkan
melalui ibu yang berbeda yang secara biologis atau genetik bukan merupakan ibunya, dan
dalam peraturan disebutkan bahwa sah tidaknya anak dilihat dari status perkawinan ibu yang
melahirkannya.
Sedangkan untuk hak waris anak hasil dari surrogate mother dapat ditentukan
berdasarkan status anak tersebut berdasarkan status perkawinan wanita yang menjadi ibu
pengganti (surrogate mother). Jadi apabila dikaitkan berdasar KUHPerdata, hak waris anak
hasil sewa rahim yaitu: 11
1. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui (bila wanita surrogate-nya berstatus gadis
atau janda). Berarti ibu yang melahirkan tidak terikat pada perkwinan yang sah,
menurut:
a. Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
b. Pasal 288 KUHPerdata: Untuk ibu yang melahirkan si anak dapat menyelidiki
siapa ibunya.
c. Untuk bapak biologisnya (karena status anak zina) anak dilarang menyelidikinya
(pasal 287 KUHPerdata)
Dengan demikian untuk hak waris anak, hanya berhubungan (perdata) dengan ibunya
atau keluarga ibunya saja, sementara hak waris terhadap bapak biologisnya, anak tidak
berhak menuntut hak waris dari bapak biologisnya (pasal 869 KUHPerdata) selama si
bapak harus memberi nafkah secukupnya sesuai dengan kemampuannya (pasal 867
dan 868 KUHPerdata)
2. Anak sah (bila wanita surrogate masih berstatus istri dari suaminya yang terikat dalam
perkawinan yang sah):
a. Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
b. Pasal 250 KUHPerdata: anak yang diahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya, maka anak tersebut adalah
11
Op. Cit., Hlm. 121-122
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
anak sah pasangan tersebut dan berhak mendapat hak waris penuh sesuai dengan
hukum waris yang berlaku dari suami wanita surrogate. Tetapi bila suami dari
ibu pengganti tersbut tidak mengakui, maka status anak tersebut jatuhnya
menjadi anak zina dan pewarisannya sama seperti point diatas dengan cara
menyangkalkan berdasarkan:
1) Pasal 251,252 dan 253 KUHPerdata dengan mengajukan ke pengadilan
untuk dilakukan tes darah (golongan darah atau tes DNA) dan
2) Pasal 44 UU No 1 Tahun 1974: seorang suami dapat menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa
istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Dan,
pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
Hukum waris di Indonesia menjelaskan bahwa warisan akan diberikan kepada
seseorang yang merupakan kerabat atau ahli waris dari sang pewaris ataupun bukan
kerabat yang diberikan melalui hibah. Pada dasarnya, adanya sewa rahim ini dilakukan
atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis antara pasangan suami istri
dengan sang ibu pengganti sampai dengan lahirnya anak tersebut. Perjanjian tersebut
hanya berlaku sampai lahirnya anak saja, dan tidak sampai kepada hubungan anak dengan
ibu penggantinya.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Selain masih dianggap bertentangan dengan norma dan etika yang berlaku di
masyarakat, pengaturan terhadap praktik surrogate mother di Indonesia belum diatur
secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Hukum positif di Indonesia hanya
mengatur mengenai teknologi reproduksi buatan hanya untuk bayi tabung saja,
sedangkan untuk sewa rahim (surrogate mother) tidak ada ketentuan khusus yang
membolehkan adanya sewa rahim. Hanya saja pada Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 43 ayat (3) pada huruf b,
dikatakan bahwa kelebihan embrio dari hasil pembuahan in vitro fertilizatation tidak
boleh ditanamkan pada rahim perempuan lain. Selain itu, meskipun terdapat peraturan
yang menyinggung bahwa tidak diperbolehkan melakukan sewa rahim, tidak diatur
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
mengenai sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan sewa rahim tersebut.
2. Kedudukan sewa rahim apabila dilihat menurut pengaturan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dapat dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian, hukum kebendaan
dan perjanjian sewa menyewa. Apabila dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian,
maka sewa rahim ini tidak memenuhi syarat mengenai sebab yang halal karena
bertentangan dengan peraturan di Indonesia khususnya dengan Undang-Undang
Kesehatan. Dalam hukum kebendaan, rahim yang menjadi objek sewa dalam kasus
sewa rahim ini tidak dapat disamakan dengan benda atau barang yang menjadi objek
dari sewa menyewa. Selain itu, rahim tidak dapat disamakan dengan pengertian benda
yang diatur dalam pasal 499 KUHPerdata. Sedangkan menurut perjanjian sewa
menyewa, sewa rahim juga tidak dapat disamakan dengan konsep perjanjian sewa
menyewa dalam KUHPerdata karena hak dan kewajiban yang dilakukan para pihak
berbeda. Oleh karena itu,perjanjian ini lebih tepat sebagai perjanjian jasa ibu
pengganti.
3. Akibat hukum yang dapat terjadi dari adanya sewa rahim adalah terhadap status anak
dan hak waris anak hasil sewa rahim ini. Terhadap status anak dilihat dari status
perkawinan ibu yang melahirkannya, apabila anak tersebut lahir dari ibu pengganti
yang mempunyai suami yang sah maka anak tersebut merupakan anak sah dari ibu
pengganti dan suaminya. Namun apabila anak tersebut lahir dari seorang janda anak
seorang gadis, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak tidak sah karena
lahir diluar perkawinan. Untuk menjadikan anak hasil sewa rahim ini sebagai anak
sah, maka pasangan suami istri atau orang tua genetis dari anak tersebut dapat
melakukan pengangkatan anak. Sedangkan mengenai hak waris anak, apabila anak
tersebut merupakan anak sah maka anak tersebut berhak atas waris dari ibu pengganti
dan suaminya, tetapi apabila anak tersebut merupakan anak sah maka anak tersebut
hanya memiliki hubungan keperdataa saja dengan ibu yang melahirkannya. Pada
dasarnya, adanya sewa rahim ini dilakukan atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun
tidak tertulis antara pasangan suami istri dengan sang ibu pengganti sampai dengan
lahirnya si bayi. Perjanjian tersebut hanya berlaku sampai lahirnya si anak saja, dan
tidak sampai kepada hubungan anak dengan ibu penggantinya. Oleh karena itu, anak
hasil sewa rahim tidak berhak atas waris dari ibu pengganti nya karena si ibu
pengganti hanya bertanggung jawab sampai dengan lahirnya si anak. Dengan
demikian, hak waris si anak adalah kepada orang tua biologisnya bukan kepada ibu
penggantinya.
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
Saran
Untuk pemerintah, sebaiknya melakukan pengkajian terhadap adanya kasus sewa
rahim di Indoneisa, agar dibuatkan peraturan perundang-undangan secara khusus tentang
sewa rahim surrogate mother yang memuat tentang mekanisme, prosedur serta persyaratan
yang harus dipenuhi apabila memang nantinya perjanjian surrogacy
diperbolehkan di
Indonesia.Selain itu, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto SH,. SpF.,
Msi., baiknhya dibentuk suatu dewan khusus yang disebut sebagai Dewan Sensor yang
menangani boleh tidaknya pasangan suami istri yang akan melakukan sewa rahim, dengan
berbagai persyaratan tertentu. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan sewa rahim dapat
dilakukan secara legal dan menjamin hak-hak para pihak yang melakukannya serta hak anak
yang lahir dari sewa rahim ini. Dan yang paling penting, dalam melakukan sewa rahim ini
dibuatkan suatu perjanjian surrogacy secara khusus dan dalam bentuk tertulis yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban antara para pihak yang didalamnya juga mengatur mengenai
status anak setelah lahir, sejauh mana hubungan anak dengan ibu penggantinya,sehingga
menghindari permasalahan yang akan timbul akibat lahirnya anak dari sewa rahim ini.
Daftar Referensi
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek], cet. IV, diterjemahkan
Subekti. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2009
________. Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun
1974.
________. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009,
LN No. 144 Tahun 2009
________. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PP
No.61 Tahun 2014, Lembaran Negara Indonesia Tahun 2014 Nomor 169.
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
039/Menkes/SK/I/2010.
Buku
Hasbullah Frieda Husni. Hukum Kebendaan:Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan, Jilid I. Cet
3. Jakarta: Ind-Hil-Co, 2002.
Projodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: PT. Bale Bandung, 1985.
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
_________. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung: Penerbit
Sumur Bandung, 1991.
Ratman, Desriza. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa
Rahim di Indonesia?. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012.
Satrio, J. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang. Purwokerto:
PT.Citra Aditya Bakti, 2002.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 21. Jakarta: PT Intermasa, 2003.
________. Hukum Perjanjian. Cet. 31. Jakarta: PT. Intermasa, 2005.
________. Aneka Perjanjian. Cet 10. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Thamrin, Husni. Aspek Hukum Bayi Tabung dan Sewa Rahim: Prespektif Hukum Perdata dan
Hukum Islam.Cet 1. Yogyakarta: Aswaja Presindo,2013.
Yanggo, Chumizah. Problematika Hukum Islam kontemporer I. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002.
Jurnal dan Skripsi:
Elvina, Sista Noor. Perlindungan untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother.
Malang: Fakultas HukumUniversitas Brawijaya, 2012.
Ramadhan, Fajar Wahyu. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan Melalui Ibu Pengganti
(Surrogate Motther)Ditinjau dari Hukum Kekeluargaan Islam. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia: Depok, 2012.
Setiawan, Fajar Bayu, Himna Asihsalista, dan Nikki Ramadhani M. Pranoto. Kedudukan
Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif Indonesia dalam Private Law Edisi 01
Maret-Juni 2013. Solo: Universitas Negeri Sebelas. Maret, 2013.
Yuliardi, Supmi. Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan Melalui Ibu Pengganti
(SURROGATE MOTHER) Pada Kontrak Subrogasi Diyinjau dari Hukum Perdata dan
Hukum Islam. Mataram, 2014.
Internet:
id.m.wikipedia.org/wiki/fertilisasi_in_vitro, diakses pada 7 September 2011
http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada 20 November 2014
Tinjauan yuridis..., Mutia Az Zahra, FH, 2015
Download