Signalling Theory

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori Persinyalan (Signalling Theory) pertama kali dikembangkan oleh Ross
(1977). Signalling theory menjelaskan bahwa laporan keuangan yang baik merupakan
sinyal atau tanda bahwa perusahaan juga telah beroperasi dengan baik. Manajer
berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik
sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan.Teori sinyal
menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi
laporan keuangan kepada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan
informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar
karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang
akan datang daripada pihak luar (khususnya investor dan kreditur).
Menurut Wolk et al. (2001) teori sinyal menjelaskan alasan perusahaan
menyajikan informasi untuk pasar modal. Teori sinyal mengemukakan tentang
bagaimana seharusnya perusahaan memberikan sinyal-sinyal pada pengguna laporan
keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh
manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi
atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada
1
perusahaan lain. Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh
manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Rustiarini (2010) menyatakan untuk
mengurangi asimetri informasi maka perusahaan harus mengungkapkan informasi
yang dimiliki, baik informasi keuangan maupun non keuangan. Salah satu informasi
yang diungkapkan oleh perusahaan adalah informasi tentang tanggung jawab sosial
perusahaan atau corporate social responsibility.
2.1.2 Teori Legitimasi
Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam
rangka mengembangkan perusahaan ke depan. Legitimasi dapat dijadikan sebagai
wahana untuk mengkonstruksi strategi perusahaan, terutama terkait dengan upaya
memposisikan diri di tengah lingkungan masyarakat. Legitimasi merupakan suatu
keadaan psikologis keberpihakan orang dan kelompok orang yang sangat peka
terhadap gejala lingkungan sekitarnya baik fisik maupun non fisik (Nor Hadi, 2009).
Gray et al. (1996) (dalam Nor Hadi, 2009) berpendapat bahwa legitimasi
merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan
terhadap masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat. Hal
ini mengharuskan perusahaan beroperasi sesuai dengan harapan masyarakat. Menurut
Deegan (2002) (dalam Nor Hadi, 2009) social disclosure dapat dijadikan salah satu
representasi keberpihakan sosial (tanggung jawab sosial) perusahaan terhadap pihak
eksternal.
2
Pattern (1992) (dalam Nor Hadi, 2009) menyatakan bahwa upaya yang perlu
dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif, yaitu
dengan cara:
1) Melakukan identifikasi dan komunikasi/dialog dengan publik.
2) Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan
dan lingkungan serta membangun persepsinya tentang perusahaan.
3) Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait dengan
masalah social responsibility.
Teori legitimasi dapat dijadikan pijakan bagaimana seharusnya perusahaan
merumuskan kebijakan agar tetap memperoleh pengakuan dan kepercayaan dari
stakeholders. Terlebih dalam hal kebijakan pengungkapan serta kebijakan
keberpihakan sosial lain yang dapat berpengaruh terhadap kinerja sosial dan
keuangan perusahaan (Nor Hadi, 2009).
Melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan serta mengungkapkan
pelaksanaan tersebut merupakan salah satu cara perusahaan untuk memperoleh
legitimasi dan pengakuan di masyarakat. Perusahaan yang memperoleh pengakuan
dari masyarakat dapat mempertahankan keberlangsungan usahanya dimana hal ini
akan berdampak pada citra baik perusahaan yang nantinya akan direspon dengan baik
oleh investor.
3
2.1.3 Agency Theory
Manajer memperoleh upah dan insentif lainnya dari perusahaan karena mewakili
pemilik perusahaan dalam mengambil keputusan. Seorang manajer adalah seorang agen
(agent) yang bertindak atas nama pemegang saham (principal). Hubungan antara
principal dan agent ini disebut dengan hubungan keagenan (Rao, 1992:27)
Apabila pengambil keputusan (decision maker) bukan seorang pemilik maka
keputusan managerial akan dipengaruhi oleh faktor-faktor selain kesejahteraan pemilik
perusahaan. Hal ini merupakan asal mula masalah keagenan (agency problem). Masalah
keagenan ini tentu tidak diinginkan karena menimbulkan alokasi sumberdaya yang tidak
efisien. Ketidakefisiensi ini menyebabkan kesejahteraan pemilik berkurang. Kerugian ini
merupakan biaya keagenan (agency cost).Biaya keagenan ini merugikan perusahaan
karena menyebabkan penurunan nilai perusahaan.
Teori keagenan (agency theory) yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling
(1976) dalam Thohiri (2013) menyatakan bahwa umumnya semua pemegang saham
yang termasuk dalam level manajemen memiliki kepentingan tersendiri. Namun,
Demsetz dan Villalonga (2001) yang meneliti dua dimensi dari kepemilikan saham yaitu
lima pemegang saham terbesar dan kepemilikan managerial, mengemukakan pendapat
yang berbeda. Menurut Demsetz dan Villalonga (2001), seorang yang mempunyai posisi
sebagai anggota dewan (board member) bisa dikarenakan dia mempunyai atau mewakili
seseorang di luar perusahaan yang memiliki saham perusahaan dalam jumlah besar.
Anggota dewan seperti ini tidak memiliki kepentingan yang sama seperti para manajer
perusahaan. Namun, konflik kepentingan bisa timbul apabila investor di luar perusahaan
4
(outside investor) memiliki kepentingan tersendiri atas perusahaan tersebut. Teori
keagenan ini telah menjadi titik tolak pengembangan topik dalam studi ini. Hasil
penelitian Ramadhani dan Hadiprajitno (2012) menemukan bahwa kepemilikan
manajemen memiliki pengaruh sebagai variabel moderasi yang memperkuat
hubungan antara CSR terhadap nilai perusahaan.
2.1.4
Teori Persepsi
Teori perusahaan (theory of the firm) mempostulatkan bahwa maksud atau
tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai
perusahaan (value of the firm). Menurut Sartono (2008:14), nilai perusahaan diartikan
sebagai harga yang bersedia dibayar oleh calon investor seandainya suatu perusahaan
akan dijual. Agustina (2012) menyatakan nilai perusahaan di pasar modal merupakan
persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan
dengan harga saham dan profitabilitas. Harga saham yang tinggi akan membuat
investor percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini, namun juga pada
prospek perusahaan di masa depan. Pujiati dan Widanar (2009) menyatakan harga
pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor keseluruhan atas setiap
ekuitas yang dimiliki. Jadi, tingkat harga saham mencerminkan tingkat kepercayaan
dan persepsi investor terhadap perusahaan. Dalam penelitian ini persepsi investor
diukur dengan menggunakan rasio Price to Book Value (PBV).
Rasio PBV menunjukkan tingkat kemampuan perusahaan menciptakan nilai
relatif terhadap jumlah modal yang diinvestasikan (Hidayati, 2010). Semakin tinggi
5
harga saham, semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham.
Keberhasilan perusahaan menciptakan nilai tersebut memberikan harapan kepada
pemegang saham berupa keuntungan yang lebih besar pula (Sartono, 2001).
Hermuningsih dan Wardani (2009) menyatakan PBV yang tinggi akan membuat
pasar percaya atas prospek perusahaan ke depan. Hal ini berarti bahwa rasio PBV
mencerminkan kepercayaan atau persepsi investor terhadap perusahaan.
Damodaran (2001) dalam Hidayati (2010) mengungkapkan bahwa rasio
PBVmempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut:
1) Nilai buku mempunyai ukuran intuitif yang relatif stabil yang dapat
dibandingkan dengan harga pasar. Investor yang kurang percaya dengan
metode discounted cash flow dapat menggunakan PBV sebagai perbandingan.
2) Nilai buku memberikan standar akuntansi yang konsisten untuk semua
perusahaan. PBV dapat dibandingkan antara perusahaan-perusahaan yang
sama sebagai petunjuk adanya undervaluation atau overvaluation.
3) Perusahaan-perusahaan dengan earnings negatif, yang tidak bisa dinilai
dengan menggunakan price earnings ratio (PER) dapat dievaluasi
menggunakan PBV.
2.1.5
Corporate Social Responsibility
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis
untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui
6
kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka,
komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk
pembangunan.
Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau CSR adalah mekanisme bagi
suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap
lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders,
yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004 dalam
Anggraini, 2006). Menurut Solihin (2009) dalam Mulyadi dan Anwar (2012) CSR
didefinisikan sebagai kontribusi bisnis untuk pengembangan berkelanjutan sehingga
perusahaan tidak hanya memastikan return kepada shareholders, menggaji karyawan,
dan memproduksi barang dan jasa kepada konsumen, tetapi perusahaan juga harus
memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
CSR secara global mulai digunakan pada tahun 1970 dan kemudian menjadi
sebuah isu setelah diterbitkannya buku berjudul Cannibals With Forks: The Triple
Bottom Line in 21st Century Business oleh John Elkington pada tahun 1998.
Elkington mengembangkan tiga hal penting yaitu economic growth, environmental
protection, dan society equity yang kemudian berkembang menjadi profit, people, dan
planet. Konsep Triple Bottom Line menurut Mulyadi dan Anwar (2012) menjelaskan
mengenai perusahaan yang menginginkan keberlangsungan usaha yang berkelanjutan
harus memperhatikan 3 komponen berikut:
7
1)
Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan merupakan tujuan utama dari setiap
kegiatan usaha. Profit dapat ditingkatkan dengan meningkatkan manajemen melalui
mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu, dan juga penggunaan
bahan baku se-efisien mungkin.
2)
People
Dukungan dari masyarakat dalam lingkungan bisnis diperlukan untuk
keberlangsungan hidup perusahaan. Sebagai suatu kesatuan integral dengan
masyarakat, perusahaan perlu memiliki komitmen dalam memberikan manfaat
optimal kepada masyarakat. Hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan
masyarakat dan nama baik dalam masyarakat akan membuat perusahaan menjaga
eksistensinya dalam lingkungan tersebut.
3)
Planet
Terdapat hubungan kausal antara perusahaan dengan lingkungan. Jika
perusahaan merawat lingkungan mereka, maka alam akan memberikan timbal balik
bagi perusahaan. Manfaat yang didapat tersebut antara lain kesehatan, kenyamanan,
dan juga ketersediaan bahan baku alami.
Menurut
Anggraini
(2006)
pertanggungjawaban
sosial
perusahaan
diungkapkan di dalam laporan yang disebut Sustainability Reporting. Sustainability
Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial,
pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan
8
berkelanjutan (sustainable development). Sustainability Reporting meliputi pelaporan
mengenai ekonomi, lingkungan dan pengaruh sosial terhadap kinerja organisasi
(ACCA, 2004 dalam Anggraini, 2006). Sustainability report harus menjadi dokumen
strategik yang berlevel tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang
Sustainability Development yang membawanya menuju kepada core business dan
sektor industrinya.
Menurut Rustiarini (2010) pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan
merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan
ekonomi perusahaan terhadap masyarakat. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab
kemitraan bersama antara perusahaan, pemerintah, lembaga sumber daya masyarakat,
serta komunitas setempat. Kewajiban perusahaan atas CSR diatur dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Pengaturan CSR
juga bertujuan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungannya.
2.1.6 Hubungan Antara Variabel Bebas dan Variabel Moderasi Terhadap
Variabel Terikat Pada Penelitian Ini
9
2.1.6.1 Hubungan Pengungkapan CSR Terhadap Persepsi Investor
Pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan yang merupakan
persepsi investor terhadap perusahaan yang berkaitan dengan harga saham. Hal ini
sejalan dengan paradigma enlightened self-interest yang menyatakan bahwa stabilitas
dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya dapat dicapai jika perusahaan
melakukan tanggung jawab sosial kepada masyarakat (Hartanti, 2006 dalam
Rustiarini, 2010).
CSR merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan dalam memperbaiki
kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas operasional
perusahaan. Semakin banyak bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan perusahaan
terhadap lingkungannya, image perusahaan menjadi meningkat. Investor lebih
berminat pada perusahaan yang memiliki citra yang baik di masyarakat karena
semakin baiknya citra perusahaan, loyalitas konsumen semakin tinggi sehingga dalam
jangka panjang penjualan perusahaan akan membaik dan profitabilitas perusahaan
juga meningkat. Jika perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan
meningkat. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Plumlee et al. (2010)
dalam penelitiannya membuktikan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai
perusahaan. Dipertegas oleh Bidhari et al. (2013) dan Agustina (2012) membuktikan
dalam penelitiannya bahwa pengungkapan CSR mampu mempengaruhi nilai
perusahaan. Kusumadilaga (2010) dan Kamaludin (2010) memberikan pemahaman
yang sama bahwa pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan secara
10
positif. Kwon (2013) dan Rustiarini (2010) menemukan hal yang sama dimana
pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan.
2.1.6.2 Hubungan Profitabilitas Terhadap Persepsi Investor
Menurut Saidi (2004) (dalam Agustina, 2012) profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Para investor menanamkan saham
pada perusahaan adalah untuk mendapatkan return, yang terdiri dari deviden dan
capital gain. Semakin tinggi kemampuan memperoleh laba, maka semakin besar
return yang diharapkan investor, sehingga menjadikan nilai perusahaan menjadi lebih
baik.
Hubungan antara profitabilitas perusahaan dengan pengungkapan tanggung
jawab
sosial
perusahaan
telah
menjadi
postulat
(anggapan
dasar)
untuk
mencerminkan pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial.
Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar
pengungkapan CSR (Bowman & Haire, 1976 dan Preston, 1978, Hackston & Milne,
1996 dalam Anggraini, 2006). Karena profitabilitas berbanding lurus dengan CSR
sehingga secara tidak langsung profitabilitas juga akan dapat mengubah persepsi
investor.
2.1.6.3 Hubungan Kepemilikan Manajemen Terhadap Persepsi Investor
Kepemilikan manajemen merupakan persentase kepemilikan saham yang
dimiliki oleh manajemen perusahaan. Nurlela dan Islahuddin (2008) menyatakan
dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan
11
dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan yang merupakan persepsi investor
terhadap perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang
meningkat.
Thohiri (2013) menganalisis bagaimana nilai perusahaan dipengaruhi oleh
distribusi kepemilikan manajemen antara pihak manajer yang menikmati manfaat dan
pihak luar yang tidak menikmati manfaat. Dalam kerangka ini, peningkatan
kepemilikan manajemen akan mengurangi agency difficulties melalui pengurangan
insentif untuk mengkonsumsi manfaat/keuntungan dan mengambil alih kekayaan
pemegang saham. Pengurangan ini sangat potensial dalam misalokasi sumber daya
yang pada gilirannya untuk peningkatan nilai perusahaan.
Konflik kepentingan antara manajer dengan pemilik menjadi semakin besar
ketika kepemilikan manajer terhadap perusahaan semakin kecil (Jensen & Meckling,
1976). Dalam hal ini manajer akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan
dirinya
dibandingkan
kepentingan
perusahaan.
Sebaliknya
semakin
besar
kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer
dalam memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata lain biaya kontrak dan
pengawasan menjadi rendah. Manajer perusahaan akan mengungkapkan informasi
sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus
mengorbankan sumber daya untuk aktivitas tersebut (Gray, et al., 1988 dalam
Anggraini, 2006). Leland dan Pyle (1977) dan Ross (1977) mengemukakan hipotesis
bahwa insider ownership atau kepemilikan saham oleh manajemen dan kebijakan
12
finansial dapat membantu menyelesaikan asimetri informasi antara manajer dengan
investor eksternal perusahaan. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
Haruman (2008) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan
terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan mencerminkan bagaimana persepsi
investor terhadap perusahaan.
2.2 Hipotesis
2.2.1 Pengaruh Pengungkapan CSR Terhadap Persepsi Investor
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan proses
pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan
terhadap masyarakat. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan bersama
antara perusahaan, pemerintah, lembaga sumber daya masyarakat, serta komunitas
setempat (Rustiarini, 2010).
Perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut
dapat meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan Teori Signal (Signalling Theory),
manajer yang memiliki informasi pengungkapan CSR tentang perusahaan berupaya
menyampaikan informasi tersebut kepada investor luar agar harga saham perusahaan
meningkat (Sugiarto, 2009 dalam Agustina, 2012). Harga saham perusahaan yang
meningkat akan meningkatkan kepercayaan atau persepsi investor terhadap
perusahaan. Pengungkapan CSR diharapkan dapat meningkatkan harga saham
perusahaan yang nantinya akan memberikan dampak positif terhadap persepsi
13
investor. Dengan melakukan pengungkapan CSR maka akan meningkatkan
kepercayaan investor terhadap perusahaan karena investor tidak hanya melihat kinerja
keuangan perusahaan saja tetapi juga kinerja lingkungan dan sosialnya. Hal ini
terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Plumlee et al. (2010), Bidhari et al.
(2013),
Agustina (2012) dan Kusumadilaga (2010) menemukan bahwa pengungkapan
CSR berpengaruh pada nilai perusahaan. Nilai perusahaan merupakan persepsi
investor terhadap perusahaan yang berkaitan dengan harga saham (Kwon, 2013), dan
(Rustiarini, 2010).
Jadi semakin baik dan lengkap pengungkapan CSR yang
dilakukan maka diharapkan persepsi investor akan semakin meningkat. Sehingga
pengungkapan CSR berpengaruh positif pada persepsi investor. Berdasarkan
penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Pengungkapan CSR berpengaruh positif dan signifikan terhadap Persepsi
Investor.
2.2.2 Pengaruh Profitabilitas dalam Hubungan Pengungkapan CSR terhadap
Persepsi Investor
Agustina (2012) menyatakan profitabilitas merupakan salah satu kinerja
finansial yang berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Profitabilitas menunjukkan
tingkat keuntungan bersih yang mampu diraih oleh perusahaan saat menjalankan
operasinya. Para pemegang saham selalu menginginkan keuntungan dari investasi
yang mereka tanamkan pada perusahaan, keuntungan tersebut diperoleh dari
14
keuntungan setelah bunga dan pajak, sehingga mereka tertarik pada perusahaan yang
mampu menghasilkan tingkat keuntungan bersih yang tinggi.
Investor lebih tertarik untuk menginvestasikan modalnya pada korporasi yang
ramah lingkungan. Anggraini (2006) semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan
maka semakin besar pengungkapan informasi sosial yang dilakukan perusahaan,
artinya tingkat profitabilitas yang dicapai perusahaan akan membuat semakin kuat
hubungan pengungkapan sosial perusahaan dengan persepsi investor. Sehingga,
Corporate Social Responsibility akan meningkatkan nilai perusahaan pada saat
profitabilitas perusahaan meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Rosiana (2013) menyatakan profitabilitas mampu memperkuat pengaruh
pengungkapan CSR terhadap nilai perusahaan.Berdasarkan penjelasan di atas
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2: Profitabilitas memperkuat pengaruh positif dan signifikan pengungkapan CSR
terhadap persepsi investor.
2.2.3 Pengaruh Kepemilikan Manajemen dalam Hubungan Pengungkapan CSR
terhadap Persepsi Investor
Kepemilikan manajemen merupakan persentase saham perusahaan yang
dimiliki oleh manajemen perusahaan. Manajer yang sekaligus pemegang saham akan
meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham
juga akan meningkat (Ramadhani dan Hadiprajitno, 2012).
15
Semakin besar kepemilikan manajerial dalam perusahaan maka manajemen
akan cenderung meningkatkan kinerjanya dan berusaha meningkatkan kepercayaan
investor terhadap perusahaan, sehingga permintaan saham perusahaan akan
meningkat dan berdampak pada meningkatnya harga saham perusahaan (Hanni dan
Surya, 2013). Meningkatnya harga saham perusahaan tersebut juga menguntungkan
manajemen yang memiliki saham perusahaan, sehingga apabila kepemilikan
manajemen tinggi, manajemen akan melakukan suatu usaha salah satunya adalah
memperluas pengungkapan CSR yang diharapkan dapat menjadi sinyal baik dan
meningkatkan kepercayaan atau persepsi investor. Kepemilikan manajemen membuat
para manajer termotivasi untuk meningkatkan kinerja yang nantinya dapat
meningkatkan nilai perusahaan yang tercermin dalam peningkatan harga saham
perusahaan. Tidak adanya kepemilikan manajemen membuat adanya perbedaan
kepentingan antara prinsipal dan agen dimana hal yang dilakukan manajer untuk
kepentingannya sendiri akan menambah biaya perusahaan sehingga menyebabkan
penurunan keuntungan perusahaan yang nantinya akan berpengaruh pada harga
saham perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen maka
manajemen cenderung lebih giat untuk kepentingan pemegang saham.
Ramadhani dan Hadiprajitno (2012) telah meneliti pengaruh kepemilikan
manajemen sebagai variabel moderasi dalam hubungan pengungkapan CSR pada
nilai perusahaan. Ramadhani dan Hadiprajitno menemukan bahwa kepemilikan
16
manajemen mampu memoderasi pengaruh pengungkapan CSR pada nilai perusahaan.
Berdasarkan penjelasan di atas dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3: Kepemilikan manajemen memperkuat pengaruh positif dan signifikan
pengungkapan CSR terhadap persepsi investor.
PROFITABILITAS
( X 2)
PENGUNGKAPAN
CSR
( X 1)
PERSEPSI
INVESTOR
(Y )
KEPEMILIKAN
MANAJEMEN
( X 3)
Gambar 3.2 Konsep Penelitian
17
Download