Sejarah Dansa Tango PKI-Militer dan Arah Rekonsiliasi

advertisement
Sejarah Dansa Tango PKI-Militer dan Arah Rekonsiliasi
9 August 2016
Fathun Karib
Harian Indoprogress
http://indoprogress.com/2016/08/sejarah-dansa-tango-pki-militer-dan-arah-rekonsiliasi/
“If I can’t dance, I don’t want to be part of your revolution”. -Emma Goldman-
TULISAN Iwan Gardono Sujatmiko Revolusi, Kudeta, Rekonsiliasi di salah satu media
cetak (Kompas, 27/07/2016), membahas bagaimana PKI (Partai Komunis Indonesia)
dengan ideologi politiknya berusaha merebut kekuasaan. Namun, narasi sejarahnya luput
menjelaskan bagaimana kelompok elit politik lain, dengan ideologi yang dimilikinya juga,
terlibat dalam perebutan kekuasaan. Ia misalnya berargumen bahwa “kehancuran PKI
sebagai contoh konflik total…” Pertanyaannya adalah konflik dengan siapa? Apakah PKI
hanya satu-satunya kelompok yang memiliki ideologi? Jikalau ideologi PKI gagal,
kelompok manakah yang ideologinya sukses? Seperti dansa Tango, PKI bukanlah
satu-satunya kelompok politik yang memiliki hasrat berdansa menuju kekuasaan; It
takes two to Tango!
Zaman Ideologi
Arena kontestasi politik pada tiap zaman memiliki konteksnya tersendiri. Sujatmiko
memenggal konteks ini dengan mengatakan “pemimpin PKI konsisten melaksanakan dan
perebutan kekuasaan oleh Alimin dan Muso (1926), Muso dan Amir Sjarifuddin (1948)
ataupun Aidit (1965)”. Kita tentu mahfum pemberontakan PKI di Banten dan Sumatera
Barat (1926-1927) bukan melawan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), tetapi
Negara Kolonial Belanda. Bukankah semua aktor politik di jaman pergerakan seperti
1
Sukarno, Hatta, Sjahrir dan yang lainnya juga menentang Belanda? Begitupun diawal
republik ini berdiri, terjadi kontestasi di antara tiga format ideologi bernegara yaitu
NKRI (Sukarno), Negara Komunis Indonesia (NKI) (Muso) dan Negara Islam Indonesia
(NII) (Kartosuwiryo). Sukarno dengan ideologi nasionalisme dan konsepsi Pancasilanya,
berhasil menjadi pemenang dengan mengalahkan sahabat seperguruannya semasa di
Jl.Peneleh 7.
Pada era demokrasi liberal, artikulasi ideologi tercermin melalui perseteruan di antara
kabinet dengan parlemen. Kelima partai politik PNI, PSI, PKI, NU dan Masyumi
merupakan kekuatan politik yang saling menjatuhkan. Instabilitas pemerintahan selama
10 tahun dan munculnya PRRI/Permesta, mendorong Sukarno mendeklarasikan
demokrasi terpimpin. Masyumi-PSI masuk kotak dan kekuatan partai menurun karena
ditutupnya jalur pemilu.
Pada titik ini, di bawah kekuasaan Sukarno, tersisa dua kekuatan politik utama lainnya di
final kontestasi: PKI pimpinan Aidit dan Militer di bawah Jendral Nasution. Apa yang
diperebutkan? Siapa yang kiranya akan menggantikan Sukarno? Jika Sukarno mengambil
jalan kanan integralisme nasional dan Aidit menuju jalan ke kiri, lain halnya dengan
Nasution. Saingan PKI ini unik mengingat ideologi yang diusungnya pragmatis dan bukan
bersumber dari isme-isme atau agama. Ideologi tersebut adalah Dwi-Fungsi ABRI yang
bersumber dari konsepsiJalan-Tengah. Sejarah mencatat kelompok dengan ideologi ini
sukses memenangkan kontes dan ‘berhak’ atas kekuasaan selama 32 tahun. Bila
Sujatmiko menyebut ideologi PKI “…menghasilkan pemimpin revolusioner-totaliter dan
berusaha merebut kekuasaan…” maka kelompok di bawah Nasution dan konsepsi jalan
tengahnya menciptakan pemimpin diktaktor-militer bernama Suharto.
Revolusi yang mewarnai dunia kala itu tidak hanya milik ‘si kaos merah’, tetapi juga ‘si
jaket hijau’. Tanpa perlu menyebut jumlah statistik, kekerasan yang dipraktikkan rezim
Orde Baru kurang lebih sama mengerikannya seperti revolusi berdarah yang Sujatmiko
sebut dilakukan hanya oleh para komunis di berbagai penjuru dunia. Sejarah dunia
mencatat, di era tersebut kudeta tidak hanya dilakukan oleh komunis tetapi juga kudeta
militer di berbagai negara Amerika Latin dan Asia, seperti yang terjadi di Chile. Dari
sudut pandang kapital internasional, institusi negara yang memiliki kapasitas kekerasan
adalah militer. Ini menjadi strategi geo-politik Imperialisme Amerika di Dunia Ketiga,
termasuk Asia Tenggara. Rudolf Mrazek (1978, 15), misalnya, menyebutkan bahwa para
pembuat kebijakan luar negeri Amerika di Asia Tenggara memiliki kecenderungan untuk
opsi “reform coups” guna mencegah perkembangan komunisme kala itu.
Tri-Fungsi ABRI dan Dimensi Agraria
2
Dwi-fungsi ABRI, sebagai ideologi, menekankan fungsi menjaga keamanan dan memegang
kekuasaan. Bila fungsi pertama menekankan fungsi alamiah militer, maka fungsi kedua
memperlihatkan
hasrat
berkuasa
yang
tidak
eksklusif
milik
PKI.
Istilah Tri-fungsi sebenarnya lebih tepat karena pada periode 1957-1959, selain
memberikan kekuasaan dalam darurat militer, Sukarno juga menyerahkan pengelolaan
perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di bawah kendali Nasution. Sukarno
tidak memiliki pilihan selain menyandarkan kekuasaannya pada peran militer sebagai
penguasa tertinggi dalam keadaan perang menghadapi separatisme. Di bawah komando
tertinggi Nasution, militer berkembang menjadi organisasi yang mampu mengelola
sumber daya. Konsekuensinya, konflik pertama antara militer dan PKI bernuansa
perebutan sumber daya agraria. Tahun 1956, pertikaian pertama antara keduanya
meletus, memperebutkan perkebunan tembakau milik Belanda di Medan (Pelzer, 1982:
147-148).
Terkait dengan penguasaan militer terhadap aset-aset Belanda, Sujatmiko luput melihat
pentingnya peristiwa-peristiwa pada periode 1956-1959 yang memicu tingginya cakupan
pembunuhan massal pasca 30 September 1965. Pada periode setelah UU Darurat
dikeluarkan, secara hukum hanya militer yang boleh menguasai dan mengelola aset hasil
nasionalisasi. Dalam keadaan perang, Letkol Ginting, penguasa darurat di Sumatra Utara,
mengumumkan dekrit yang mengatur pendudukan lahan perkebunan tembakau yang ilegal
(Pelzer 1982, 148).
Sukarno turut membentuk arena kontestasi yang melibatkan dimensi agraria pada
periode 1957-1959 dan 1960-1965. Bila pada 1957-1959 nasionalisasi menjadi agenda
politik Sukarno, maka pada 1960-1965 land reformdigunakan Sukarno untuk meredam
semakin berkembangnya kekuatan militer. Pada periode ini, PKI mendapatkan momentum
menggunakan land reform untuk kepentingannya. Tahun 1960 ayunan pendulum bergerak
ke arah kiri dan PKI menggunakan agenda land reform untuk kepentingannya. Sukarno
mengeluarkan UU Pokok Agraria (UUPA), UU Pokok Bagi Hasil (UUPBH) dan
menghentikan berlakunya darurat perang. Berhentinya darurat perang dan perubahan
agenda Sukarno, menjadi ancaman para pengelola aset Belanda yang baru. Pada tahun
1961, di Kediri terjadi konflik antara petani-petani simpatisan PKI dengan pihak militer
pengelola perkebunan gula (Sujatmiko 1992, 162). Ini menunjukkan bagaimana dimensi
agraria merupakan faktor penting dan seringkali dilupakan dalam membicarakan Dansa
Tango PKI dengan Militer.
Arah Rekonsiliasi
3
Narasi Dansa Tango di antara PKI dan Militer ini kedepannya dapat menentukan arah
cerita rekonsiliasi yang berbeda. Argumen Sujatmiko mengenai hasrat PKI berdansa
dalam revolusi sejak tahun 1926 tidaklah tepat. Pembacaan lebih seksama terhadap PKI
dan lawan-lawan dansanya pada masa kolonial (1926), pembentukan negara (1948) dan
konflik agraria (1957-1965) memberikan makna berbeda. Untuk itu rekonsiliasi sangat
bergantung pada tiga pemaknaan baru.
Pertama, rekonsiliasi akan sangat bergantung pada pasang-surut hubungan sipil-militer.
Dua peristiwa penting, seperti simposium tandingan dan reaksi terhadap keputusan di
Den Hag, menjadi cermin bagi kita untuk dapat menakar tingkat kesulitan dan tantangan
terhadap proses rekonsiliasi, setidaknya 4 tahun mendatang.
Kedua, arah rekonsiliasi sebaiknya tidak hanya melibatkan mereka yang pernah ambil
bagian dalam kontestasi dan para korban tetapi rekonsiliasi kebangkitan bangsa.
Penderitaan ini adalah penderitaan bangsa secara menyeluruh karena adanya kesadaran
akan dampak kepentingan ekonomi-politik dunia yang lebih luas pada konflik yang pernah
terjadi. Akibat dari ini Indonesia mengalami perang saudara. Baik pihak yang menang dan
kalah di antara sesama saudara, bangsa kita yang menjadi Abu! Kedaulatan bangsa dan
sumberdaya milik rakyat Indonesia seharusnya menjadi dasar rekonsiliasi di masa depan.
Ketiga, rekonsiliasi dengan demikian menjadi bukan perkara masa lalu dan milik manusia
Indonesia yang terjebak hidup dengan mentalitas jaman ideologi. Perkara rekonsiliasi
adalah perkara menentukan masa depan hidup bermasyarakat dengan menerima masa lalu
dan mencegah kekerasan di masa mendatang. Perkara rekonsiliasi adalah perkara
kesadaran generasi muda berikutnya untuk tidak hanya mendengar satu narasi dari
pemenang konflik. Perkara rekonsiliasi adalah perkara kemanusiaan yang adil dan
beradab. Adab kita memperlakukan mereka yang terkalahkan ke posisi bermartabat di
mata kemanusiaan. Hakikat keadilanlah yang menjadi kunci rekonsiliasi bukan hukuman,
stigma, dan tindak kekerasan. Keadilan sejak dalam hati, pikiran dan tindakan dimulai
dengan lapang menerima sejarah Dansa Tanggo ini!***
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Fisip UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta
4
Download