BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film sebagai Media Komunikasi Massa Film bermula pada akhir abad ke-19 sebagai teknologi baru, tetapi konten dan fungsi yang ditawarkan masih sangat jarang. Film kemudian berubah menjadi alat fungsi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua, menawarkan cerita, panggung, musik, drama, humor dan trik teknis bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media massa yang sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalan jumlah yang besar secara cepat, bahkan di wilayah pedesaan. 5 Sebagai media massa, film merupakan bagian dari respon terhadap penemuan waktu luang, waktu libur dan kerja, dan sebuah jawaban atas tuntutan untuk cara menghabiskan waktu luang keluarga yang sifatnya terjangkau dan (biasanya) terhormat. Film memberikan keuntungan budaya bagi kelas pekerja yang telah dinikmati oleh kehidupan sosial mereka yang cukup baik. Dinilai dari pertumbuhannya yang fenomenal, permintaan yang dipenuhi oleh film sangatlah tinggi. Dari elemen penting yang di atas, bukanlah teknologi ataupun iklim politik, Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Salemba Humanika. 2011. Hal 35 5 7 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 8 tetapi kebutuhan individu yang dipenuhi oleh filmlah yang paling penting. Hal yang paling jelas adalah mereka yang kabur dari realitas yang membosankan kedunia yang glamor, keinginan yang kuat untuk terjebak di dalamnnya, pencarian tokoh idola dan pahlawan, keinginan untuk menisis waktu luang dengan aman, murah, dan dengan bersosialisasi.6 Pencarian film sebagai “bsnisnis pertunjukan” dalam bentuk baru bagi pasar yang meluas bukanlah keseluruhan ceritanya. Terdapan tiga elemen penting lainnya dalam sejarah film. Pertama, penggunaan film sebagai propaganda sangatlah signifikan, terutama jika diterapkan untuk tujuan nasional atau kebangsaan, bedasarkan jangkauan yang luas, sifatnya yang rill, dampak emosional dan popularitas. Dua elemen laindalam sejarah film adalah munculnya beberapa sekolah seni film (Huaco, 1963) dan munculnya gerakan film documenter. Film semacam ini berbeda dari yang umum karena memiliki daya Tarik bagi minoritas atau memiliki elemen realitas yang kuat (atau keduannya). Keduannya memiliki hubungan, sebagian tidak disengaja dengan film sebagai propaganda karena keduanya cenderung muncul pada saat adanya krisis sosial.7 Masih ditemukan adanya elemen propaganda ideologis yang terlihat samar dibanyak film hiburan populer, bahkan dalam masyarakat yang cenderung “bebas” dari politik. Hal ini mencerminkan pencampuran dari berbagai kekuatan: percobaan Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Salemba Humanika. 2011. Hal 35 7 ibid. 6 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 yang hati-hati atas kontrol sosial; penerapan nilai konservatif; atau populasi sembrono; beragam cara pemasaran dan iklan menerobos masuk keranah hiburan dan pengejaran bagi daya Tarik massa.8 Walaupun adanya dominasi fungsi hiburan dalam sejarah film, film seringkali menampilkan kecenderungan pembelajaran atau propagandis. Film cenderung lebih rentan dari pada media lain terhadap gangguan dari luar dan sering kali tunduk pada tekanan untuk seragam karena terlalu banyak modal yang terlibat.9 Meskipun media film telah dinomer duakan terhadap yelevisi, film juga lebih menyatu dengan media lain, terutama penerbitan buka, musik pop, dan televisi. Film telah mendapatkan peran yang besar, (Jowett dan Linton, 1980) walaupun berkurangnya khalayak mereka sendiri sebagai sebuah pajangan bagi media lain dan sebagai sumber kebudayaan yang darinnya menghasilkan buku, kartun strip, lagu dan bintang televisi, serta serial. Oleh karna itu, film adalah sebuah penciptabudaya massa, bahkan menurunnya penonton film kemudian di kompensasikan oleh para menonton film domestik yang dijangkau oleh televisi, rekaman digital, kabel dan saluran satelit.10 Denis McQuail. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Salemba Humanika. 2011. Hal 36 9 ibid. 10 ibid. Hal 37 8 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 2.1.1 Pengertian Film Film merupakan teks—struktur linguistik yang kompleks dan kode-kode visual yang disusun untuk memproduksi makna-makna khusus. Film bukan hanya sekedar koleksi atas gambaran atau stereotipe. Film-film membentuk makna melalui susunan tanda-tanda visual dan verbal. Struktur tekstual inilah yang harus kita periksa karena disinilah makna dihasilkan. Singkatnya, film-film melahirkan ideologi. Ideologi bisa didefinisikan sebagai sistem representasi/penggambaran ‘sebuah cara pandang’ terhadap dunia yang terlihat menjadi ‘universal’ atau ‘natural’ tetapi sebenarnya merupakan struktur kekuatan tertentu yang membentuk masyarakat kita.11 Sebagai sebuah bentuk kesenian, film sama dengan media artistik lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin dalam susunannya yang beragam itu. seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film juga mempergunakan garis susunan warna, bentuk, volume dan massa, sama baiknya dalam saling pengaruh-mempengaruhi secara halus antara cahaya dan bayangbayang. Sebagain besar petunjuk-petunjuk komposisi fotografi yang dijadikan panutan dalam film juga sama dengan yang dipergunakan dalam seni lukis dan seni pahat.12 Sarah Gamble. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme. Jalasutra: Yogyakarta. 2010. Hal 120 12 Joseph M. Boggs. Cara Menilai Sebuah Film . Yayasan Citra : Jakarta. 1992. Hal 4 11 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 Seperti halnya drama, film melakukan komunikasi verbal lewat dialog, dan memiliki irama yang halus. Film berkomunikasi lewat citra, metafora dan lambanglambang. Berbeda dengan media lainnya, film adalah sesuatu yang unik karena sifatnya yang “bergerak”. Sehingga film bisa melewati keterbatasan dalam lukisan, foto, pahatan, drama panggung karena film memiliki kebebasan dalam mengambil beragam sudut pandang, ruang dan waktu yang tak terbatas. Lambang-lambang yang dikomunikasikan pun langsung melalui gambar visual dan suara yang nyata. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang di harapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. 13 Suara bisa berupa ucapan kata, atmosfir natural seperti suara angin, maupun suara musik yang mengiringi sebuah adegan. 2.1.2 Jenis-Jenis Film Heru Effendy menyebutkan setidaknya ada beberapa jenis film yang lazim diketahui oleh masyarakat, yaitu:14 a. Film Dokumenter (Documentarry Films) Dokumenter adalah sebutan untuk film pertama karya Luemiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga Drs. Alex Sobur, M.Si. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. 2009. Hal 128 Heru Effendy. Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser. Panduan dan Pustaka Konfiden : Jakarta. 2002. Hal 11-14 13 14 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 puluh enam tahun kemudian, kata-kata documenter digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris, John Grieson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty. Film documenter menyajikan realitas melalui berbagai cara dan dibuat melalui berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, bahwa film dokumenter tidak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, maupun propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter berpijak pada hal yang senyata mungkin. Hingga dewasa ini, berbagai aliran yang bersumber dari dokumenter telah banyak bermunculan dikalangan para pembuat dan komunitas film, misalnya docudrama (docudrama). b. Film Cerita Pendek (Short Films) Durasi film pendek biasanya berdurasi dibawah 60 menit. Di banyak Negara berkembang seperti jerman, Australia, Kanada, dan Amerika Serikat, film cerita pendek dijadikan eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/kelompok untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak dihasilkan oleh mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Meskipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok kerumah-rumah produksi atau saluran televisi. c. Film Cerita Panjang (Feature-Length Films) Adalah film yang berdurasi lebih dari 60 menit, lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok film ini. Beberapa http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 film misalnya, Dances With Volves, bahkan durasi lebih dari 120 menit. Film-film produksi India, rata-rata berdurasi lebih dari 180 menit. 2.1.3 Tipe / Genre film Beberapa tipe atau genre film adalah sebagai berikut : 15 a. Film Aksi Film aksi biasanya termasuk energi tinggi, besar anggaran, stunts fisik dan mengejar, mungkin dengan penyelamatan, pertempuran, perkelahian, lolos, krisis destruktif (banjir, ledakan, bencana alam, kebakaran, dll), non-stop gerak, ritme spektakuler dan mondar-mandir , dan petualang, sering ‘baik-pria’ dua dimensi pahlawan (atau baru, pahlawan) berjuang melawan ‘orang jahat’ – semua yang dirancang untuk eskapisme penonton murni. Termasuk mata-mata / spionase seri ‘fantasi’ James Bond, film seni bela diri, dan apa yang disebut ‘blaxploitation’ film. Sebuah sub-genre utama adalah film bencana. Lihat juga Bencana Terbesar dan Adegan Film Crowd dan Terbesar Adegan Chase Classic dalam Film. b. Film Horor Film horor dirancang untuk menakut-nakuti dan memanggil ketakutan tersembunyi kita yang terburuk, sering kali di final, menakutkan mengejutkan, sementara menawan dan menghibur kita pada saat yang sama dalam pengalaman katarsis. Film horor menampilkan berbagai gaya, dari klasik Nosferatu awal diam, untuk monster 15 Siti Karlinah. Komunikasi Massa. Universitas Terbuka : Jakarta. 2004. Hal 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 CGI hari ini dan manusia gila. Mereka sering digabungkan dengan fiksi ilmiah ketika ancaman atau rekayasa terkait dengan korupsi teknologi, atau ketika Bumi terancam oleh alien. Fantasi dan genre film supranatural tidak biasanya identik dengan genre horor. Ada banyak sub-genre horor: pedang, teror remaja, pembunuh berantai, setan, Dracula, Frankenstein, dll. Lihat momen Film paling menakutkan situs ini dan koleksi scenes diilustrasikan. c. Film Drama Drama serius, plot-driven presentasi, karakter realistis menggambarkan, pengaturan, situasi kehidupan, dan cerita yang melibatkan pengembangan karakter dan interaksi yang intens. Biasanya, mereka tidak berfokus pada efek khusus, komedi, atau tindakan. Film drama mungkin genre film terbesar, dengan banyak subset. Lihat juga melodrama, epik (drama historis), atau genre romantis. Film biografi Drama (atau “biopics”) adalah sebuah sub-genre utama, seperti ‘dewasa’ film (dengan konten subjek dewasa) 2.2 Film Dalam Tatanan Ideologis Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut. Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki unsur paksaan.Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film komunikasi yang terjadi lebih bersifat satu arah. Dimana kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai macam informasi yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 ada dan ditampilkan dalam film, dan kita secara tidak sadar diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari pembuatnya. Memang film sudah terbukti bisa mempengaruhi ideologi penontonnya. Film sebagai media pada dasarnya merupakan hiburan tersendiri bagi penonton. Selain sebagai hiburan tersendiri, ketika film yang sebenarnya memiliki ideologi bisa menyampaikan pesan dan penontonnya bisa terpengaruh maka film itu berhasil dalam menyampaikannya. Ketika calon penonton pada umumnya menikmati film sebagai sajian audio-visual ini memilihnya sebagai hiburan, mereka mencoba menyelam bersama dalam film itu. Mencoba menikmati saat bersama, tertawa, menangis dan merasa ikut ambil bagian di dalam film tersebut. Selain itu ketika menonton film ada semacam upaya untuk katarsis, melarikan diri sesaat dari hiruk pikuk persoalan sehari-hari. Kemudian film juga dimanfaatkan sebagai alat untuk mendukung propaganda ideologi, pendidikan politik dan hal-hal lainnya. Pada kondisi ini penonton digiring untuk menonton, memahami dan menjadi bagian dari propaganda politik dalam pembuatan film. Mengenai ideologi dalam dunia perfilman di Indonesia bisa dikatakan bahwa film sekarang sangat miskin ideologi. Lihat saja film-film saat ini hanya berisikan kisahkisah remaja, percintaan, horor, hingga komedi dewasa yang sangat misikin ideologi. Production House (PH) membuat film-film tersebut dengan dalih ‘tuntutan pasar’. Padahal tuidak semua tuntutan pasar itu baik, akhirnya sines kita miskin ideologi dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 hanya sekadar mencari keuntungan materi semata. Hal ini mengakibatkan penonton kita tidak akan mendapatkan ‘ilmu’ maupun ‘ideologi’ ketika menonton film. Begitu jarangnya film kita yang memuat kisah mengenai kritikan terhadap penguasa, pemerintah maupun pemimipin kita. Lihat saja, film di India, Jepang mereka bisa melakukan kritikan terhadap siapa saja baik itu pemimpin atau raja mereka, pemerintah, pejabat, polisi, maupun terhadap warga negaranya sendiri. Ini diakibatkan pemerintahan kita sejak zaman Orde Baru (Orba) dimana Soeharto memang melarang segala macam bentuk film yang sarat pesan dan kritikan. Akibatnya penonton kita cenderung malas untuk melihat film yang sarat akan ideologi. Meskipun begitu saat ini masih ada film-film kita yang menyitir realita kehidupan yang sebenarnya bukan hanya membuat film yang sesuai dengan tuntutan pasar. Contohnya film Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, GIE, Berbagi Suami, Detik Terakhir, Ruang, Badai Pasti Berlalu, Jamila dan Sang Presiden, Alangkah Lucuya Negeri Ini, Laskar Pelangi dan banyak lagi film berisi lain. 2.3 Hiperealitas Jean Baudrillard Dalam kerangka semiotika sebagai sebuah kondisi dominasi tanda di dalam berbagai aspek realitas. Tanda mendominasi realitas ketika ia menjadi pendefinisi realitas itu sendiri. Artinya, tanda sebagai representasi dari realitas malah menguasai realitas tersebut dan mengklaim kebeneran didalamnya berdasarkan mekanismenya sendiri, yang terlepas dari kebenaran realitas itu sendiri. Lewat permainan bebas http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 tanda ( free play of signs ) sebuah lukisan realitas dibangun seakan-akan sebuah kebenaran, padahal dibaliknya disembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Begitu dominasinya tanda, sehingga realitas sebagai referensinya menjadi tenggelam. Dapat dilihat disini, bahwa dibalik konsep melampaui atau hyper, ada dimensi Bahasa atau semiotika yang dapat dibentangkan. Sehingga, dalam konteks semiotika, istilah hyper realitas dapat di tapsirkan sebagai “realitas melampaui yang tercipta akibat penggunaan tanda-tanda (signs) dalam penggambaran realitas, sedemikian rupa, sehingga perbedaan antara realitas dan bukan realitas (non reality) didalamnya menjadi lebur”. Dalam hal ini, peran tanda sangat penting dibalik fenomena hyper realitas, oleh karna itu menjadi wujud dominan rumus realitas itu sendiri. Lantas, apakah ada yang dapat disebut sebagai tanda melampaui? Dalam hal ini, diperlukan sebuah ruang interpretasi, untuk melihat berbagai tipologi tanda dan symbol yang beroperasi dalam bahasa, agar dapat diketahui mana tanda yang normal dan mana tanda yang di anggap melampaui. Sebuah tanda dikatakan melampaui, ketika ia telah keluar dari batas sifat, alam dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan media informasi. Tanda dapat berkembang kearah melampaui. Ketika ia telah kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya dengan perkataan lain, ketika ia telah kehilangan fungsi informasinya. Berbagai tipologi tanda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : dalam semiotika dikenal sebenarnya (proper sign) , yaitu tanda yang merupakan cermin realitas. Ia menyatakan makna yang sebenarnya; membentangkan kebenaran (truth); menyingkapkan keaslian; menjadi refleksi dari realitas. Ia adalah tanda yang jujur, asli, tulen, dan apa adanya. Tanda seperti ini di http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 kategorikan oleh baudrillard kedalam orde pertandaan (signification) yaitu tanda yang merefleksikan realitas (reflection of a basic reality), bukan simulasi realitas, sehingga ia tidak merupakan bagian dari dunia hiperealitas. Semiotika mengenal pula tanda palsu (pseudo sign), yaitu tanda-tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan, berpretensi, gadungan, yang didalam proses pertandaannya, ia menciptakan semacam reduksionisme realitas lewat reduksi penanda atau reduksi petanda. Penanda berpretensi seperti sebenarnya (asli) padahal palsu; penanda berpretensi menjelaskan sebuah realitas, padahal menyembunyikannya. Tanda dikatakan juga palsu, ketika ia (yang bersifat parsial), digunakan untuk menyembunyikan realitas (yang total). Meskipun demikian Baudrillard juga tidak memasukan tanda palsu ini didalam kerangka hiperealitas. Ia termasuk kedalam orde malefice yaitu penopang realitas lewat tanda (mask and pererts a basic reality). Bagi Baudrillard, dunia yang dilipat adalah dunia yang dimasukkan kedalam layar lebar, kedalam citra, kedalam objek, dan kedalam tanda-tanda (sign world). Dunia ini diringkas menjadi citra (image world), kedalam tanda (sign world), yang didalamnya citra dan tanda-tanda itu tidak lagi memerlukan relasinya dengan realitas, yaitu sebagai alat pengungkap kebenaran tentang realitas. Bukan dunia yang direpresentasikan lewat tanda, akan tetapi tanda itu sendiri kini telah menjadi duniadunia tanda. Apa yang berlangsung kini adalah semacam pemadatan dunia ke dalam citra dan tanda-tanda, yang pada titik tertentu citra dan tanda-tanda itu telah kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya, dengan pesan yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 ingin disampaikannya dan dengan makna yang ingin diungkapkannya. Baudriallard menyebut kecendrungan kelipatan bahasa dan semiotika ini sebaagai ekstasi komunikasi, meskipun Baudriallard tidak memberikan penjelasan yang akurat dan tuntas dengan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Apa yang dilihat oleh Baudriallard adalah lenyapnya transendensi, kedalaman, dan kebenaran dalam wawancara komunikasi, yang menghasilkan sebuah bentuk permukaan imanen bahasa dan komunikasi di dalam berbagai medianya, khususnya televisi. Didalam layar televisi, kata Baudriallard, jagat raya… (dan) tubuh kita sendiri menjelma menjadi layar monitor. Artinya, ada sebuah penempatan atau pelipatan dunia dan manusia ke dalam wujud layar dan citra.16 Istilah simulasi dan simulakra (simulacra, plural: simulacrum) yang dalam penelusuran sejarah filsafat akan membawa kedua konsep tersebut ke dalam pemikiran Yunani, khususnya Plato. Di dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, istilah simulakra (simulacra) diartikan sebagai : 1) sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain 2) salinan (copy) Sementara di dalam Collins Thesaurus, kata salinan mempunyai sinonim sebagai berikut : archetype, counterfeit, duplicate, facsimile, forgery, image, imitation, 16 Yasraf A. Piliang. Dunia yang Dilipat. Jalasutra: Yogyakarta. 2009. Hal 84 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 likeness, model, pattern, photocopy, Photostat, print, replica, replication, representation, reproduction, transcription, Xerox.17 Baudrillard dalam upaya menjelaskan konsep simulakrum, menggunakan beberapa sinonim kata salinan di atas di dalam berbagai tulisannya, khususnya katakata counterfeit, duplicate, facsimile, model, reproduction, dan xerox. Tapi bagi Baudrillard, simulakrum bukanlah kata lain dari simulasi. Meskipun semua simulasi adalah simulakrum, tetapi tidak semua simulakrum adalah simulasi. Simulasi, menurut Baudrillard, adalah simulakrum dalam bentuknya yang sangat khusus. Baudrillard di dalam Simulations, menjelaskan tiga order penampakan (appearance), yaitu : 1. counterfeit 2. production 3. simulation hanya dua order pertama (counterfeit dan production) yang dimaknainya secara eksplisit sebagai simulakrum, yaitu ketika sesuatu meniru, mengkopi, menduplikasi, atau mereproduksi sesuatu yang lain sebagai modelnya. Sementara, simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian khusus, yang disebutnya simulakrum sejati (pure simulacrum), dalam pengertian bahwa sesuatu tidak Yasraf A Piliang. Posrealitas ; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra : Yogyakarta. 2010. Hal 57 17 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri, atau “ it is its own pure simulacrum.” Dalam hal ini, salinan dan asli, duplikasi dan orisinal, model dan referensi, adalah objek atau entitas yang sama. Hanya simulakrum sejati seperti ini yang merupakan bagian dari apa yang disebut Baudrillard.18 Sedangkan istilah simulasi (simulation) di dalam Oxford Advanced Learner’s, diartikan sebagai (1) sebuah situasi yang di dalamnya kondisi tertentu diciptakan secara artifisial (lewat komputer) dalam rangka mendapatkan pengalaman tentang sesuatu yang ada di dalam realitas dan (2) tindakan berpretensi seakan-akan sesuatu itu nyata, padahal tidak. Misal, dalam rangka latihan menerbangkan pesawat, seorang calon pilot menggunakan simulasi terbang, berupa perangkat tiruan pesawat terbang (dengan bantuan citra komputer) yang terlihat seperti sesungguhnya. Tetapi Baudrillard tidak mau berhenti dengan pengertian seperti itu. Baginya simulasi jauh lebih luas pengertian dan cakupannya, sehingga mencakup pengertian yang kedua, “tindakan berpretensi seakan-akan sesuatu itu nyata, padahal tidak”. 19 Simulasi dalam hal ini, menjelaskan penciptaan sebuah kondisi tertentu (wahana teknologi, media, sosial, politik, budaya) secara artifisial - dengan menggunakan teknologi mutakhir (teknologi simulasi), sehingga benar-benar dapat dilihat dan dialami sebagai sebuah fakta yang nyata, padahal ia tak lebih dari hasil manipulasi Yasraf A Piliang. Posrealitas ; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra : Yogyakarta. 2010. Hal 58 19 Ibid. Hal 59-60 18 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 teknologis. Sehingga, istilah simulasi menurut pandangan Baudrillard, tidak hanya digunakan secara terbatas untuk menjelaskan fenomena simulasi teknologis, seperti wahana simulasi terbang - tetapi dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena yang sangat luas, seperti simulasi sosial, politik, hukum, media, terror, perang, skandal, seni, musik, televisi, seksualitas, spiritualitas.20 Secara tegas Baudrillard mengatakan; simulasi tidak merujuk pada sesuatu di luar dirinya dan menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi - Pure simulacrum. Baudrillard melihat simulakrum sebagai keterputusan sebuah citra dengan realitas, dalam pengertian citra tersebut tidak lagi mereproduksi dunia realitas di luar dirinya, akan tetapi memproduksi dirinya sendiri. Keterputusan citra dengan realitas inilah sehingga dapat diciptakan “model-model” yang nyata yang tanpa asal (origin) dan realitas yang disebut simulasi. Simulasi adalah kondisi tertentu yang diciptakan secara artifisial (lewat komputer atau teknologi simulasi) dalam rangka mendapatkan pengalaman tertentu, yang diandaikan seakan-akan sebagai sesuatu yang nyata, padahal tak lain dari halusinasi. 21 Dengan contoh yang gampang Baudrillard menggambarkan dunia simulasi dengan sebuah analogi peta. Menurutnya, bila dalam ruang nyata, sebuah peta merupakan representasi dari sebuah teritori, maka dalam mekanisme simulasi yang terjadi adalah sebaliknya. Peta mendahului teritori, realitas-realitas teritorial sosial, Yasraf A Piliang. Posrealitas ; Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Jalasutra : Yogyakarta. 2010. Hal 8-9 21 Audifax. Imagining Lara Croft : Psikosemiotika, Hiperealitas dan Simbol-simbol Ketaksadaran. Jalasutra: Yogyakarta. 2006. Hal xxxvii 20 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 budaya atau politik, kini dibangun berlandaskan model-model dari peta yang sudah ada. Dalam dunia simulasi, bukan realitas, melainkan model-model yang ditawarkan televisi, iklan atau tokoh-tokoh kartun. Bintang film seperti Madonna atau Leonardo de Caprio ; iklan Levis atau jam tangan Guess; telenovela Maria Mercedes atau Esmeralda; tokoh Boneka Barbie, Doraemon, Mickey Mouse yang kini menjadi model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan sosial, budaya serta politik masyarakat dewasa ini ( Piliang, 1998:194).22 Dalam wacana simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan yang palsu sangat tipis. Manusia kini hidup dalam ruang khayali yang nyata sebuah fiksi yang faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru di mana manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Lewat televisi misalnya, dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tidak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Dengan televisi realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Realitas simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat dewasa ini. 23 Medhy Aginta Hidayat. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Jalasutra: Yogyakarta. 2012. Hal 83 23 Medhy Aginta Hidayat. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Jalasutra: Yogyakarta. 2012. Hal 84 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 Dalam dunia simulasi sulit untuk membedakan batas-batas antara imajinasi dan realitas. Keduannya jadi setara karena posisi imajinasi berada dalam realitas itu sendiri. Jika dalam prinsip relitas nyata dapat dibrdakan antara yang benar dan yang salah, nyata-imajiner, maka simulasi meluruskan kedua kutub perbedaan tadi. Dengan demikian, konsep simulasi dari Baudrillard ini bersebrangan dengan konsep representasi maupun dissimulation (false representation). Simlasi membalik hubungan antara representasi dan yang direpresentasikan (realitas). Jika dalam representasi, realitass atau refernsi tetap bisa ditemukan dibalik citra atau tanda. Lain halnya dengan simulasi, yang menggantikan the real word dengan pseudo world melalui ploriferasi alam citra atau tanda dan model-model yang munncul menjadi the real dan diyakini sebagai the real. Dengan demikian, terjadi jalinan antara citra atau tanda atau kmodel dengan the real yang tidak mungkin lagi untuk dibedakan. 2.4 Semiotika 2.4.1 Pengertian Semiotika Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensial sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.24 24 Indiwan Seto. Semiotika Komunikasi. Mitra Wacana media : 2011. Hal 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 Pembahasan yang luas tentang nama bidang studi yang disebut “semiotika” telah muncul di Negara-negara Anglo Saxon (Segers, 2000: 5). Seseorang menyebut semiologi jika ia berpikir tentang tradisi Saussurean. Dalam terbitan-terbitan Prancis istilah-istilah semiologie kerap dipakai. Elements de semiologie misalnya, adalah salah satu judul yang dipakai oleh Roland Barthes (1964). Namun istilah semiotics digunakan dalam kaitannya dengan karya Alex Sanders Peirce dan Charles Morris. 25 Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah keduanya juga mengandung pengertian yang persis sama, sehingga penggunaan kedua istilah tersebut lebih menunjukkan pemikiran pemakainya. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tandatanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal 25 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. 2009. Hal 15 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001: 53).26 Fiske dalam bukunya Cultural and Communication mengemukakan bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu:27 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang enggunakannnya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dalam konteks semiotika, sebuah tanda mempunyai nilai berdasarkan kemampuannya menghasilkan makna (meaning). Ferdinand de Saussure mengungkapkan bahwa tanda-tanda tersusun dari dua elemen, yaitu aspek citra 26 27 Ibid. Hal 15 Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi. Kencana: Jakarta. 2008. Hal 167 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan.28 Kajian ilmu semiotika dalam film semakin banyak di jumpai dan sangat menarik. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan mataforis. Jelas bahwa topik dari film menjadi sangat pokok dalam semiotika media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikasi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi dan wawasan, pada tingkat interpretant.29 Dan dari sekian tokoh yang mengembangkan ilmu semiotika, peneliti akan menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce sebagai landasan penelitian terhadap film S1mOne. Peneliti juga menganggap bahwa teori Peirce adalah teori mudah dan tepat untuk mengkaji sebuah film. 2.4.2 Teori Semiotika Peirce Charles Sanders Peirce merujuk kepada “doktrin formal tentang tandatanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda : tak hanya bahasa dan sistem konunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia 28 29 Alex Sobur. Analisis Teks Media. PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2004. Hal 95 Marcel Danesi. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jalasutra : Yogyakarta. 2010. Hal 134 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 itu sendiri pun - sejauh terkait dengan pikiran manusia - seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.30 Tanda-tanda itu antara lain tanda gerak atau isyarat, tanda verbal yang dapat berbentuk ucapan kata, maupun tanda non-verbal yang dapat berupa bahasa tubuh. Menurut Charles S. Peirce semiotika berangkat dari tiga elemen utama, yang disebut teori segitiga makna atau triangle meaning (Fiske, 1990&Littlejohn, 1998) yang berupa : 31 a. Tanda, adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merajuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek. b. Acuan Tanda (Objek), adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. c. Penggunaan Tanda (Interpretant), konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Yang dikupas teori segitiga adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. 30 31 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya : Bandung. 2009. hal 13 Kriyantono Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Kencana : Jakarta. Hal 263 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 Hubungan antara tanda, objek, dan interpretant digambarkan Peirce sebagai berikut : Sign Interpretant Object Gambar 2.5.2 Segitiga Makna Teori Pierce. Peirce membedakan tipe-tipe tanda menjadi ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi diantara representamen dan objeknya. a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas. Contohnya sebagian besar rambu lalu lintas merupakan tanda yang ikonik karena ‘menggambarkan’ bentuk yang memiliki kesamaan dengan objek yang sebenarnya. b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial diantara representamen dan objeknya. Di dalam indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya bersifat kongkret, aktual dan biasanya melalui suatu cara yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 sekuensial atau kausal. Contohnya jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang atau binatang yang telah lewat disana, ketukan pintu merupakan indeks dari kehadiran seorang tamu dirumah kita. c. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Tak sedikit dari rambu lalu lintas yang bersifat simbolik.32 Peirce membagi tanda dan cara kerjanya ke dalam tiga kategori seperti yang akan dijelaskan di dalam table di bawah ini : Jenis Tanda Ikon Ditandai dengan Contoh Proses Kerja - Persamaan (kesamaan) - Kemiripan Gambar, foto, dan patung - dilihat Indeks - hubungan sebab akibat - keterkaitan - diperkirakan Simbol - - asap----api - gejala---penyakit - kata-kata - isyarat konvensi atau kesepakatan sosial - dipelajari Tabel 2.5.2 Jenis Tanda dan Cara Kerjanya 32 Indiwan Seto Wahyu W. Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi komunikasi. Mitra Wacana Media: Jakarta. 2011. Hal 13-14 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 31 2.5 Realitas 2.5.1 Pengertian Realitas Pada abad ke 13 istilah realitas diperkenalkan ke dalam filsafat, adalah Duns Scotus yang menggunakan istilah itu sebagai sinonim being (yang-ada, pengada).33 Penjelasan ontology paradigma konstruktivis mengatakan realitas merupakan konstruksi social yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas social bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilain relavan oleh pelaku sosial.34 Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebgi kepastisn bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik.35 Realitas sosial itu “ada” dilihaat dari subjektivitas “ada” itu sendiri dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai “kedirian”nya, namun juga dilihat dari makna “kedirian” itu berada, bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya, serta bagaimana pula lingkungan menerimannya. Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakara: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2002. Hal 937 Deny N. Hidayat. Paradugma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi. Jakarat: IKSI dan Rosda. 1999. Hal 39 35 Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. 2009. Hal 195 33 34 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 32 2.5.2 Realitas Sosial Setiap gejala sosial memiliki frnomena yang dapat diungkapnya oleh peneliti. Gejala sosial dimaksud adalah suatu fenomena yang menandakan adanya realias sosial yang penting untuk diungkapkan. Realitas sosial memiliki realitas ganda (double reality), di satu sisi memiliki realitas fakta sosial, yaitu sistem yang tersusun atas segala apa yang seyatannya di dalam mental yang membayangkan segala apa yang seharusnya ada.36 Realitas sosial adalah proses dialekta yang berlangsung dalam proses simultan: (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural produk manusia; (2) objektivitas, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi; (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengn lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotannya.37 Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wcana public, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat denga kepentingan-kepentingan.38 Soetandoyo Wignjoesoebroto. Norma dan Nilai Sosial. Jakara: Kencana. 2004. Hal 23 Burhan Bungin. Penelitian Kualitatif. Jakarta.2009. Hal 84 38 Ibid. Hal 89 36 37 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 33 2.5.3 Konstruksi Realitas Istilah kontruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman (1966) melalui bukunya The Social Contruction of Reality: kemudian A Treatise in The Sociological of Knowledge, dan kemudian diterbitkan dalam bahasa indonesia di bawah judul tafsir sosial atas kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan (1990). Dalam buku tersebut mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Mereka telah berhasil menunjukan bagaimana posisi-posisi teoritis Waber dan Durkheim dapat digabungkan menjadi suatu teori yang komprehensif tentang tindakan sosial tanpa kehilangan logika intinya.39 Tentang proses kontruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah usaha mengkontruksi realitas.40 Tahap tahap kontruksi realitas, sebagai berikut:41 1. Tahap pertama adalah kontruksi pembenaran sebagai suatu bentuk kontruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Dengan Alex Sobur. Analisis Teks Media: Suatu Pengentar untuk Analisis Wacana. Analisis Semiotika dan analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 2009. Hal 91 40 Ibnu Hamad. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. 2004. Hal 11 41 Burhan Bungin. Sosiologi komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013. Hal 212 39 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 34 kata lain, informasi media massa sebagai otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian. Ini adalah pembentukan kontruksi tahap pertama. 2. Tahap kedua adalah kesediaan dikontruksi oleh media massa yaitu sikap generik dari tahap yang pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca dan pemirsa media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya di kontruksi oleh media massa. 3. Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumif, dimana seseorang secara habit bergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Tnp hari, tanpa menonton televisi, tanpa hari tanpa membaca koran, tanpa hari tanpa mendengar radio, dan sebagainya. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila ia belum membaca koran atau menonton televisi pada hari itu. http://digilib.mercubuana.ac.id/