2.1. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)

advertisement
39
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
2.1. Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)
Sebagai sebuah konsep yang populer, ternyata Corporate Social
Responsibility belum memiliki pengertian yang benar-benar dapat
dijadikan sebagi pedoman di dalam penerapannya atau dengan kata
lain CSR belum memiliki definisi yang tunggal. Misalnya, World
Business Council, sebuah lembaga internasional yang berdiri tahun
1995 dan beranggotakan lebih dari 120 perusahaan multinasional
yang berasal dari 30 negara yang bergerak di bidang pembangunan
berkelanjutan, memberikan definisi secara luas mengenai CSR.
Dalam publikasinya yang berjudul “Making Good Business Sense”
oleh Lord Holme dan Richard Watts, lembaga ini menjelaskan
pengertian CSR sebagai berikut 40:
“Corporate Social Responsibility is the continuing commitment
by business to behave ethically and contribute to economic
development while improving the quality of life of the workforce
and their families as well as of the local community and society
at large”.
Pengertian yang diberikan diatas, apabila diterjemahkan dalam
Bahasa Indonesia secara bebas kurang lebih berarti: “komitmen dunia
usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara
40
Mallen Baker, 2004, Corporate Social Responsibility: What Does It mean?, News and
Resources, www.mallenbaker.net, diakses tanggal 5 Agustus 2011.
40
legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan
dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan”.
Lembaga lain, misalnya Bank Dunia memiliki pengertiannya
sendiri mengenai Corporate Social Responsibility (CSR). Bank Dunia
merumuskan Corporate Social Responsibility 41:
“the commitment of business to contribute to sustainable
economic development working with employees and their
representatives the local community and society at large to
improve quality of life, in ways that are both good for business
and good for development".
Selanjutnya,
Corporate
didefinisikan oleh Uni
Social
Responsibility
sebagaimana
Eropa, lembaga perhimpunan negara-negara
di benua Eropa, adalah:
"CSR is a concept whereby companies integrate social and
environmental concerns in their business operations and in their
interaction with their stakeholders on a voluntary basic".
Apabila diterjemahkan secara bebas, CSR adalah suatu konsep
dimana
perusahaan
mengintegrasikan
kepedulian
sosial
dan
lingkungan hidup dalam operasional usahanya dan dalam berinteraksi
dengan
para
stakeholders
yang
didasari
kesukarelaan.
Masih
berkaitan dengan pengertian CSR, menurut Yusuf Wibisono, CSR
didefinisikan
sebagai
tanggung
jawab
perusahaan
kepada
para
pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek
41
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, 2008, Corporate Social responsibility: prinsip,
Pengaturan dan Implementasi, Malang: In-Trans Publising, hlm. 29
41
ekonomi, sosial, dan lingkungan (triple bottom line) dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. 42
Selain rumusan tersebut diatas, para ahli lain juga tidak
ketinggalan
memberikan
definisi
mengenai
Corporate
Social
Responsibility, diantaranya penjelasan yang diberikan oleh, Michael
Hopkins 43:
“CSR is concerned with treating the stakeholders of the firm
etchically or in a responsible manner. ‘Ethically or responsible’
means treating stakeholders in a manner deemed acceptable in
civilized societies. Social includes economic responsibility,
stakeholders exist both within a firm and outside. The natural
environment is a stakeholder. The wider aim of social
responsibility is to create higher standards of living, while
preservinmg the profitability of the corporation, for people both
within and outside the corporation”.
Lebih jauh, menurut Soeharto Prawirokusumo, 44 tanggung jawab
sosial adalah sebuah konsep yang luas yang berhubungan dengan
kewajiban perusahaan atau organisasi dalam memaksimumkan impact
positif terhadap masyarakatnya. Tanggung jawab sosial para pelaku
usaha dalam suatu perusahaan terdiri atas empat dimensi tanggung
jawab yaitu; ekonomi, hukum, etika dan philanthropies.
Dari berbagai rumusan diatas, dapat disimpulkan bahwa sampai
saat ini belum ada kesamaan bahasa dalam merumuskan dan
memaknai CSR sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun
42
Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social
Responsibility, Jakarta: Fasco Publishing, hlm. 7.
43
Michel Hopkins, 2003, The Business Case For CSR: Where Are We?, International
Journal for Business Performance Management, Vol. 5, No. 2, hlm. 125.
44
Soeharto Prawirokusumo, 2003, Perilaku Bisnis Modern – Tinjauan pada Etika Bisnis
dan Tanggung Jawab Sosial, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 22, No 4, hlm 83.
42
dari perbedaan pengertian yang disampaikan diatas dapat ditarik
sebuah benang merah tentang elemen-elemen penting dari CSR,
antara lain: (1) prilaku perusahaan atau masyarakat bisnis; (2) upaya
mensinergiskan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup;
(3) membangun interaksi dengan stakeholder. Dalam penelitian ini
lebih ditekankan pada penggunaan kerangka sustainable development
theory dan triple bottom line theory yang mensyaratkan adanya
keseimbangan dalam operasional perusahaan antara tujuan untuk
mengakumulasi
keuntungan
dengan
kebutuhan
untuk
menjaga
kelestarian lingkungan dan membangun interaksi harmonis dengan
masyarakat.
Akan tetapi yang sulit untuk dapat disepakati antara definisi
satu dengan definisi yang lain adalah standar yang berkaitan dengan
kekuatan pendorong CSR. Pengertian yang diberikan oleh Uni Europa
misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa CSR didasari oleh
kesukarelaan.
Sedangkan
menggarisbawahi
bahwa
disisi
CSR
yang
lain,
merupakan
Michael
Hopkins
tanggungjawab
etis
sehingga dapat diartikan sebagai sebuah kewajiban yang dapat
digunakan untuk melakukan penilaian apakah sebuah perusahaan
bertindak etis atau tidak.
Dalam konteks Indonesia, beragam pengertian tentang CSR
dapat pula ditemukan dari beberapa ketentuan perturan perundangundangan
yang
ada.
Jika
dilakukan
perbandingan
antara
UU
43
Penanaman Modal dengan UU Perseroan Terbatas, maka dapat dilihat
perbedaan pengertian CSR sebagai berikut:
1. Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang nomor 25
Tahun
2007
menegaskan
tentang
Penanaman
Modal
(UUPM)
bahwa “tanggung jawab sosial perusahaan
adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan
penanaman modal untuk menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan
budaya
masyarakat
setempat”.
Jadi
dapat
disimpulkan
bahwa, UU PM menekankan CSR sebagai upaya perusahaan
untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana
ia melakukan aktivitas usahanya.
2. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menegaskan bahwa
“tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.
Jadi,
UU
PT
lebih
menekankan
CSR
sebagai
wujud
komitmen perusahaan dalam mewujudkan konsep sustainable
development.
44
Dari pengertian diatas, nampaknya tujuan dari CSR dalam UU
PT jauh lebih luas karena meletakkan paradigma pembangunan
berkelanjutan
dan
menjangkau
pembangunan
ekonomi
nasional.
Namun sayangnya bahasa yang digunakan oleh UU PM jauh lebih
tegas yakni CSR dinilai sebagai ‘tanggung jawab yang melekat’
sedangkan dalam UU PT, CSR hanya dinilai sebatas ‘komitmen’
perusahaan.
Selain
itu,
UU
PT
melihat
bahwa
CSR
idealnya
merupakan suatu ‘win-win solution’, dalam artian CSR tidak hanya
menguntungkan perusahaan melainkan juga entitas lain di luar
perusahaan seperti masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan
tersebut berdiri. Karena keragaman pengertian tersebut, maka CSR
seyogyanya
tidak
menyediakan
didefinisikan
framework
yang
secara
sifatnya
ketat
melainkan
fleksibel
namun
dengan
tanpa
merubah konsep awalnya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
cepatnya laju perkembangan hukum bisnis.
Terlepas dari keberagaman dan ketidakjelasan pengertian CSR,
terdapat satu hal yang nampak jelas yakni CSR merupakan konsep
yang mencoba mendorong kepedulian dan tanggung jawab dunia
usaha terhadap lingkungan di sekitarnya. Kepedulian dan tanggung
jawab ini pada tingkat yang paling minimal yakni tanggung jawab
perusahaan terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan
usahanya
mulai
dari
dampak
terhadap
kesehatan,
ekonomi,
lingkungan, sampai sosial budaya dan hukum setempat. Sehingga
45
dalam mewujudkan tanggung jawab ini dalam bentuk praktek,
perusahaan harus menggunakan strategi CSR yang tepat dalam
melakukan intervensi terhadap dampak-dampak tersebut.
2.2. Sejarah dan Perkembangan Corporate Social Responsibility
(CSR)
Di awal kelahirannya konsep CSR ditentang oleh para penganut
doktrin ekonomi klasik (kapitalis murni). Hal ini dikarenakan oleh
pandangan
dominan
bahwa
perusahaan
tidak
perlu
melakukan
tanggung jawab sosial karena pelayanan sosial merupakan tugas dari
negara yang timbul dari pembayaran pajak sebagai kompensasi dari
perusahaan kepada negara. Jadi fungsi perusahaan hanyalah bertugas
untuk
mencari
keuntungan
sebesar-besarnya
tanpa
terbebani
kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial.
Pandangan ini juga dianut luas oleh Milton Friedman, bapak
dari Neo-Liberalisme. Pada tahun 1962, Milton Friedman dalam
bukunya yang berjudul: Capitalism and Freedom (Friedman 1992)
dan salah satu tulisannya yang termuat dalam The New York Times
Magazine (September 1970) 45 pada intinya berpendapat, bahwa satusatunya
tujuan
dari
social
responsibility
perusahaan
adalah
memaksimalkan pendapatan dan kekayaan perusahaan bagi para
pemegang
45
sahamnya.
Berawal
dari
pendapat
Friedman
inilah
Milton Friedman, 1970, The Social responsibility of Business is to Increase its Profits,
The New York Times Magazine, http://www.colorado.edu/studentgroups/libertarians/issues/
friedman, diakses tanggal 5 Agustus 2011. hlm 1.
46
akhirnya banyak perusahaan yang bersikap anti sosial dan dalam
banyak hal melakukan praktik yang eksploitatif terhadap pekerja dan
lingkungan
hidup
dengan
tujuan
semata-mata
untuk
mengakumulasikan keuntungan.
Dalam perkembangannya, banyak reaksi bermunculan dalam
merespon
praktek-praktek
korporasi
yang
eksploitatf
tersebut.
Misalnya komunitas internasional mulai mendorong penghormatan
dan pelindungan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam operasi
korporasi. Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir ini organisasiorganisasi internasional ataupun di banyak negara juga memberikan
perhatian pada tanggung jawab korporasi dan menerapkan Corporate
Social Responsibility dengan tujuan sebagai kompetitif advantage
(SHRM 2007). 46
Sebelumnya, pada dekade 1980 sampai 1990-an, wacana CSR
terus mengalami perkembangan pesat. Salah satunya adalah pada
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio pada 1992
yang menegaskan dan menyepakati bahwa terdapat kebutuhan untuk
melakukan perubahan paradigma pembangunan dari pertumbuhan
ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan berkelanjutan
(sustainable development). Hal ini tidak hanya didorong untuk
dilakukan oleh negara atau pemerintah tetapi juga menjadi pedoman
bagi kalangan korporasi. Ada 5 hal penting yang disepakati terkait
46
Yusuf Wibisono, loc. cit.
47
dengan konsep keberlanjutan tersebut, yaitu: (1) ketersediaan dana,
(2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi
dalam
kebijakan
(masyarakat,
korporat
dan
pemerintah),
(5)
mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John
Elkington melalui konsep "3P" (Profit, people, and planet). Konsep
ini dituangkan dalam bukunya "Cannibals with Forks, the Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business" yang dirilis pada tahun
1997 sebagaimana dikutip oleh Wayne Visser, et.al. 47 la berpendapat
bahwa jika perusahaan ingin operasionalnya berlanjut (sustain), maka
ia perlu memperhatikan 3P diatas. Jadi, perusahaan tersebut tidak
bisa, cuma memburu profit semata, namun ia juga harus memberikan
kontribusi positif kepada masyarakat (people), dan ikut aktif dalam
menjaga lingkungan hidup (planet).
Selanjutnya, dalam pertemuan internasional Johannesburg pada
tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep
social responsibility. Konsep ini, melengkapi dua konsep yang ada
sebelumnya yaitu economic growth dan environmental sustainability.
Dalam perkembangannya, ketiga konsep ini menjadi dasar bagi
perusahaan
dalam
melaksanakan
tanggung
jawab
sosialnya
(Corporate Social Responsibility). Lebih lanjut, pada 7 Juli 2007 di
Jenewa, Swiss, sebuah pertemuan bertema United Nations (UN)
47
Wayne Visser Et. al., 2010, The A-Z of Corporate Social Responsibility, UK: John
Wiley & Sons Ltd, hlm. 406.
48
Global Compact dibuka Sekjen PBB bertujuan mendorong perusahaan
untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat
yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility.
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak awal
tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah melakukan
CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”.
Walaupun
berbeda
secara
gramatikal,
secara
faktual
aksinya
mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta”
dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt” 48, sejak tahun
2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang
aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi
kepada berbagai perusahaan nasional.
2.3. Perbandingan Konsep dan Perkembangan CSR
Di
tingkat
internasional,
terdapat
banyak
prinsip
yang
mendukung praktik CSR di banyak sektor bisnis. Kesadaran tentang
pentingnya
mengimplementasikan
kecenderungan
global
seiring
CSR
dengan
ini
semakin
juga
menjadi
meningkatnya
kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah
lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah
sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Gejala yang
48
Rosita Candra Kirana, 2009, Studi Perbandingan Pengaturan Tentang Corporate
Social Responsibility di Beberapa Negara Dalam Upaya Perwujudan Prinsip Good Corporate
Governance, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, hlm. 40.
49
biasa disebut dengan lahirnya kesadaran sebagai konsumen etis ini
sudah banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Inggris ataupun Jerman.
Menghadapi tren global dan masih marak terjadinya resistensi
masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah saatnya setiap perusahaan
mempertimbangkan dengan serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi
dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya. Selain itu, perusahaan
juga
diharapkan
membuat
laporan
setiap
tahunnya
kepada
stakeholder-nya. Laporan yang bersifat non financial ini akan dapat
digunakan sebagai acuan perusahaan dalam melihat dimensi sosial,
ekonomi dan lingkungannya. Dan sebaliknya, laporan tersebut juga
dapat menjadi acuan bagi masyarakat dalam menilai perusahaan
tersebut.
Strategi melalui mekanisme pelaporan publik untuk mendorong
tanggungjawab perusahaan telah banyak dilakukan di beberapa
belahan dunia. Misalnya di Uni Eropa pada 13 Maret 2007, Parlemen
Uni
Eropa
mengeluarkan
resolusi
berjudul
“Corporate
Social
Responsibility: A New Partnership”. Resolusi ini mendesak Komisi
Eropa untuk meningkatkan kewajiban yang terkait dengan persoalan
akuntabilitas perusahaan seperti tugas direktur (directors’ duties),
kewajiban langsung luar negeri (foreign direct liabilities) dan
pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (environmental
and social reporting).
50
Di Inggris, dikarenakan telah banyaknya aturan dan undangundang yang mengatur praktik bisnis di Inggris, maka regulasi
khusus CSR sepertinya tidak diperlukan lagi. Sekedar diketahui,
perusahaan di Inggris ini tidak lepas dari pengamatan publik
(masyarakat dan negara) karena perusahaan diikat oleh kode etik
usaha dan harus transparan dalam praktik bisnisnya. Terdapat
mekanisme
komplain
yang
bisa
digunakan
oleh
publik
untuk
melakukan
protes terbuka ke perusahaan yang dianggap merugikan
masyarakat/ konsumen/buruh/lingkungan.
Lebih jauh, tahun lalu pemerintah Inggris mensahkan Companies
Act 2006 yang mewajibkan perusahaan yang sudah tercatat di bursa
efek untuk melaporkan bukan saja kinerja perusahaan (kinerja
ekonomi dan financial) melainkan kinerja sosial dan lingkungan
hidup. Laporan ini harus terbuka untuk dapat diakses dan dilakukan
penilaian oleh publik. Dengan demikian, perusahaan didesak agar
semakin bertanggung jawab dalam operasi bisnisnya.
Selain itu negara-negara seperti Australia, Kanada, Perancis,
Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat telah mengadopsi
code of conduct CSR yang meliputi aspek lingkungan hidup,
hubungan industrial, gender, korupsi, dan hak asasi manusia (HAM).
Berbasis pada aspek itu, mereka mengembangkan regulasi guna
mengatur
CSR.
membuat
laporan
Australia,
tahunan
misalnya,
CSR
dan
mewajibkan
mengatur
perusahaan
standardisasi
51
lingkungan hidup, hubungan industrial, dan HAM. Sementara itu,
Kanada mengatur CSR dalam aspek kesehatan, hubungan industrial,
proteksi lingkungan, dan penyelesaian masalah sosial.
Jadi, penerapan CSR di beberapa negara dapat dijadikan
referensi dalam mendorong penerapan CSR di Indonesia. Oleh karena
itu penting sekiranya melihat secara lebih jauh konsep CSR dalam
konteks nasional di beberapa kawasan yang secara ekonomi dan
budaya korporasinya telah cukup maju sembari dibandingkan dengan
kondisi di Indonesia sendiri.
2.3.1.
CSR di Eropa
Menurut European Commission (Komisi Eropa), CSR
adalah konsep dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian
sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan atas dasar
sukarela. Di Eropa, perusahaan menjalankan CSR memiliki
tujuan dan strategi yang selaras dengan tujuan strategis untuk
Eropa 2010 yang didefinisikan pada KTT Lisbon 49:
“to turn Europe into the most competitive and dynamic
knowledge based economy in the world by 2010”.
Terlepas dari adanya berbagai praktik CSR baik dalam
sektor bisnis dan negara, sebenarnya pendekatan terhadap
konsep CSR secara formal di Eropa sendiri belumlah ditetapkan.
49
www.csreurope.org., di akses tanggal 10 Agustus 2011.
52
Namun,
sebuah
Roadmap
Eropa
untuk
bisnis
2010
telah
diluncurkan pada 2005 sebagai sebuah inisiatif yang dipimpin
oleh sebuah lembaga bernama CSR Europe bersama perusahaanperusahaan yang menjadi National Partner Organisations-nya di
seluruh negara-negara Eropa. Kegiatan yang didorong dalam
Roadmap tersebut diharapkan dapat berkontribusi terhadap
Strategi Lisbon dalam mendorong hal sebagai berikut 50:
•
Sebuah
visi
yang
jelas
untuk
kontribusi
Eropa
menuju usaha yang berkelanjutan dan kompetitif di
Eropa.
•
Komitmen
untuk
Enterprise
Eropa
yang
berkelanjutan dan kompetitif
•
Daya tarik bisnis untuk Uni Eropa, pemerintah dan
pemangku
dengan
kepentingan
bisnis
dalam
dilibatkan
bersama-sama
pencapaian
pembangunan
berkelanjutan di Eropa. Para stakeholder yang secara
eksplisit disebutkan adalah karyawan dan perwakilan
mereka, organisasi konsumen dan organisasi non
pemerintah, investor, akademisi, dekan dan guru.
Berkaitan dengan penerapan CSR di Eropa, tentu saja
memiliki karakteristik tersendiri dari tempat yang lain. Adapun
50
Ibid.
53
karakteristik dari bentuk Corporate Social Responsibility di
Eropa adalah sebagai berikut 51:
a.
Bisnis yang memiliki kepemimpinan yang kuat dan
keterlibatannya dalam CSR.
Setelah meluncurkan Roadmap Eropa tentang
CSR, kegiatan bisnis mulai menunjukkan antusiasme
yang besar untuk berpartisipasi dalam Aliansi Eropa
mengenai CSR, yang dilakukan pada Maret 2006.
Aliansi ini adalah sebuah jaringan yang bersifat
terbuka bagi perusahaan-perusahaan Eropa, yang
diluncurkan oleh Komisi Eropa pada tahun 2006
dalam rangka untuk mempromosikan dan mendorong
CSR lebih jauh. Aliansi ini pula merupakan payung
politik untuk inisiatif CSR oleh perusahaan besar,
perusahaan kecil dan menengah, serta para pemangku
kepentingan.
b. Keanekaragaman istilah dan bentuk CSR di negaranegara Eropa yang secara tematik bergantung pada
situasi politik dan ekonominya.
Elemen-elemen
kunci
yang
menentukan
keragaman pendekatan-pendekatan dalam penerapan
CSR, yakni:
51
ibid
54
• Faktor-faktor kontekstual seperti sosial politik,
demografi, kelembagaan dan perkembangan
teknologi;
• Strategi dalam melakukan intervensi CSR yang
diadopsi oleh kalangan bisnis, termasuk di
dalamnya pertimbangan yang berkaitan dengan
efisiensi
reputasi,
kepercayaan
dan
operasional;
• Dinamika stakeholder yang menjadi dasar bagi
kalangan bisnis untuk melakukan intervensi
termasuk
di
dalamnya
tekanan
eksternal
stakeholder seperti investor dan LSM.
c.
Komisi Eropa dan pemerintah nasional dari negaranegara anggota Uni Eropa memainkan peranan yang
berbeda
dan
saling
melengkapi
dalam
mempromosikan CSR.
Pada tahun 2001, Komisi Eropa mengeluarkan
kebijakan
mengenai
Green
Paper
untuk
mulai
pembahasan terkait konsep CSR dan bagaimana
mempromosikannya.
Saat
ini,
justru
perusahaan
memegang peranan utama dalam mendorong lembaga
CSR Europe untuk berada di garis depan penerapan
55
CSR secara global dan pengaturan agenda bisnis
yang bertanggung jawab dan kompetitif di Eropa.
Khusus pengaturan CSR di Eropa, dapat dilihat
dari pengaturannya oleh salah satu negara anggota
Uni Eropa, misalnya Inggris. Inggris memiliki the
2003 Corporate Responsibility Bill yang merupakan
respon atas kegagalan penerapan White Paper on
Modernising Company Law yang mengatur tentang
transparansi atau akuntabilitas perusahaan kepada
stakeholder. Pasal
Bill
tersebut
2 dari Corporate Responsibilty
mengatur
tentang
penerapan
ekstrateritorial CSR di semua bidang, kewajiban
perusahaan
untuk
stakeholder,
dan
melakukan
konsultasi
membebankan
dengan
kewajiban
bagi
perusahaan untuk menyiapkan dan mempublikasikan
laporan perusahaan. Pasal 7 dan 8 menekankan pada
kewajiban direksi terhadap sosial dan lingkungan.
Pasal
6
membebankan
perusahaan
merger,
induk
tanggung
terhadap
pembagian,
akuisisi
anak
dan
jawab
kepada
perusahaannya,
restrukturisasi
lainnya yang menyebabkan kerugian bagi seseorang
atau lingkungan hidup di wilayah Inggris.
56
Hal yang sama juga dilakukan oleh legislasi
Inggris Raya dalam hal investasi dana pensiun.
Dipersyaratkan bahwa setiap investasi dana pensiun
harus
memasukkan
sosial,
lingkungan,
penyimpanan
dan
pertimbangan-pertimbangan
atau
etis
penerapan
dalam
investasi
pemilihan,
tersebut. 52
Selain itu, keterlibatan pemangku kepentingan yang
merupakan ciri penting dari CSR Eropa juga menjadi
proses prosedural yang harus diikuti dalam praktek
investasi.
2.3.2. CSR di Amerika
Di Amerika konsep Corporate Social Responsibility
lebih
dikenal
dengan
Corporate
Citizenship. 53
Corporate
Citizenship sendiri dapat didefinisikan sebagai usaha untuk
memperluas
memasukkan
lingkungan
hubungan
antara
pemahaman
dan
politik.
bisnis
tentang
Konsep
dan
masyarakat
tanggung
ini
juga
guna
jawab
sosial,
melihat
bahwa
perusahaan memiliki tugas, hak dan tanggung jawab karena
perusahaan diperlakukan sebagai anggota masyarakat biasa
52
Illias Bantekas, 2004, Corporate Social Responsibility in International Law, 22
Boston University International Law Review, hlm 326.
53
Rosita,
2010,
Corporate
Social
Responsibility,
Blog
Archive,
www.rosita.staff.uns.ac.id. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.
57
seperti halnya warga negara pada umumnya yang terlibat dan
berpartisipasi dalam berbagai bentuk pemerintahan masyarakat.
Dalam pandangan teori korporasi klasik di Amerika
Serikat, CSR dimaknai sebagai tanggung jawab para manajer
dan direksi kepada pemegang saham. Pandangan tradisional ini
tidak mencakup kewajiban manajemen untuk memperhatikan
kepentingan
konstituen
perusahaan
yang
berada
diluar
manajemen dan pemegang saham. Hal ini membatasi penerapan
CSR menjadi praktek yang terjadi secara internal atau dalam
perusahaan semata sehingga memunculkan anggapan bahwa
perusahaan sebagai entitas yang egostik karena seolah-olah
hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. 54
Istilah Corporate Citizenship sendiri telah digunakan
Amerika Serikat sebagai referensi untuk filantropi perusahaan.
Namun
istilah
tersebut
baru
memperoleh
pengakuan
dan
pengertiannya berubah secara radikal sebagai tanggung jawab
perusahaan pada 1990-an. Hal ini terjadi ketika di Eropa
Perusahaan Corporate Citizenship dibentuk pada tahun 1997
dan, berbagai dunia akademik di Inggris, Jerman, AS dan
Australia membentuk pusat-pusat kajian Corporate Citizenship
dan pada 2001 menerbitkan Journal of Corporate Citizenship. 55
54
Gary von Stange, 1994, Corporate Social Responsibility through Constituency
Statutes: Legend or Lie ?, 11 Hofstra Labour Law Journal, hlm 465.
55
Malcolm McIntosh dalam Wayne Visser Et. al. 2010, loc. cit, h. 88.
58
Selain itu pula, pada 2001 inisiatif seperti UN Global
Compact menyebutkan tentang Corporate Citizenship. Istilah ini
dimaksudkan
sebagai
model
bisnis
yang
memasukkan
keprihatinan terhadap hak asasi manusia, standar tenaga kerja
dan perlindungan lingkungan sebagai nilai-nilai dasar dari
pengoperasian strategi bisnis. Sehingga corporate citizenship
dapat digambarkan sebagai sebuah metafora aspiratif bagi
perusahaan untuk terlibat dalam pengembangan dunia yang lebih
baik, yaitu sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan
kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan dalam
kegiatan usahanya dan juga pada cara perusahaan berinteraksi
dengan stakeholder yang dilakukan secara sukarela.
2.3.3. CSR di Indonesia
Perusahaan-perusahaan
di
Indonesia
lebih
sering
menerapkan bentuk community development sebagai salah satu
bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan yang
mengedepankan
konsep
ini
akan
lebih
menekankan
pada
pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat
sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi
modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang.
Dewasa ini dengan adanya kemajuan informasi dan
teknologi serta desakan globalisasi, tuntutan perusahaan untuk
59
menjalankan CSR semakin besar. Karena setidaknya ada tiga
alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti merespon
dan mengembangkan isu tanggung jawab soaial sejalan dengan
operasi usahanya, yaitu:
a.
Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh
karenanya
wajar
bila
perusahaan
memperhatikan
kepentingan masyarakat;
b. Kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki
hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme;
c.
Kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah
satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari
konflik sosial.
Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang
dapat memberikan kejelasan kriteria dalam penerapan CSR
ditambah dengan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan
Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang
memperlakukan CSR sebagai ‘kosmetik’. 56 Dengan demikian,
demi keberhasilan dalam melakukan program CSR sebenarnya,
diperlukan komitmen yang kuat, partisipasi aktif semua pihak
yang peduli terhadap program CSR karena program ini begitu
penting sebagai bentuk kewajiban perusahaan untuk bertanggung
56
Mas Achmad Daniri, 2005, Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapnnya
Dalam Konteks Indonesia, Jakarta: PT. Ray Indonesia, hlm. 14.
60
jawab atas keutuhan kondisi-kondisi masyarakat dan lingkungan
sekitar.
2.4. Dunia Usaha, Etika Bisnis dan Masyarakat
2.4.1. CSR dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam perusahaan
telah
menjadi
Perserikatan
suatu
Bangsa
mengakomodasi
pembangunan
isu
yang
Bangsa
berbagai
berkelanjutan,
kontroversial
(PBB).
pendapat
serta
Sebagai
dalam
forum
upaya
untuk
mengenai
untuk
konsep
memperkuat
implementasi kebijakan, Sekretaris Jenderal PBB pada saat itu
yaitu Kofi Annan, 57 meluncurkan “The Global Compact” pada
bulan Juni 1999. Melalui Global Compact tersebut, Annan
menantang kalangan bisnis secara langsung untuk berkontribusi
pada “keberlanjutan” dan “globalisasi”.
Pembangunan berkelanjutan dianggap sebagai paradigma
pembangunan yang sangat ambisius karena mencakup semua hal
yang secara inheren menyiratkan konflik kepentingan dalam
masyarakat.
Seperti
yang
diungkapkan
oleh
Gjolberg,
“achieving sustainable development presupposes – given the
57
Maria Gjolberg and Audun Ruud, 2005, Working Paper: The UN Global Compact- A
Contribution to Sustainable Development?, Centre for Development and the Environment
University of Oslo, hlm. 7
61
existence of situations of irreconcilable conflicts of interest –
the use of binding, and not only voluntary measures”. 58
Dengan
pembangunan
demikian
jelas
berkelanjutan
bahwa
dalam
dibutuhkan
mencapai
kewajiban
yang
mengikat karena pelaksanaan sukarela dipercaya tidak akan
mampu
mendamaikan
lingkungan
yang
kepentingan
sering
kali
ekonomi,
berkonflik
satu
sosial
dan
sama
lain
sebagaimana diungkap oleh Gjolberg diatas.
Selain
itu,
untuk
mewujudkan
suatu
pembangunan
berkelanjutan, pasti akan menimbulkan suatu keadaan atau
situasi
kalah
atau
menang.
Dalam
konteks
perusahaan,
pembangunan berkelanjutan menekankan pada perubahan bottom
line ekonomi yang selama ini menjadi dasar yang dominan
dalam operasional mereka. Dalam situasi ini, setidaknya dalam
jangka waktu yang pendek akan terdapat kerugian ekonomi dari
perusahaan akibat dari penerapan perubahan yang dimaksud
untuk mengakomodir bottom line sosial dan lingkungan hidup
sukarela.
Definisi pembangunan berkelanjutan sendiri diberikan
oleh
WCED
(World
Commission
on
Environment
and
Development) tahun 1987 dalam laporannya berjudul “Our
Common Future”. Komisi ini berusaha untuk mengatasi konflik
58
Ibid.
62
antara kepentingan untuk melakukan pelestarian lingkungan dan
tujuan pembangunan dengan merumuskan definisi pembangunan
berkelanjutan sebagai berikut 59 :
“Sustainable development is development which meets the
needs of the present without compromising the ability of
future generations to meet their own needs”.
(pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan
yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengkompromikan kemampuan dari generasi berikutnya
dalam memenuhi kebutuhan mereka)
Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya disepakati
adanya 3 aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan,
yakni:
•
Aspek
Ekonomi:
dimana
suatu
sistem
ekonomi
berkelanjutan harus mampu menghasilkan barang dan
jasa
secara
berkesinambungan
dan
menghindari
terjadinya ketidakseimbangan sistem sektoral yang
mengakibatkan rusaknya sistem pertanian dan industri.
•
Aspek
Lingkungan:
suatu
sistem
keberlanjutan
lingkungan harus mampu mempertahankan sumber
daya alam secara stabil, menghindari over eksploitasi
sumber daya alam termasuk didalamnya pemeliharaan
keanekaragaman
59
Ibid.
hayati,
stabilitas
atmosfer,
dan
63
pelestarian fungsi ekosistem lainnya yang tidak bisa
digolongkan sebagai sumber daya ekonomi.
Aspek Sosial: sebuah sistem sosial yang berkelanjutan
•
harus
mampu
memadai,
mencapai
penyediaan
ekuitas
distribusi
pelayanan
sosial
secara
termasuk
kesehatan dan pendidikan, kesetaraan gender, dan
akuntabilitas partisipasi dalam politik.
Dalam
konteks
perusahaan,
sustainability
merupakan
salah satu tujuan utama dari semua perusahaan. Dalam mencapai
tujuan
ini
perusahaan
juga
harus
berupaya
keras
untuk
menyeimbangkan antara kinerja ekonomi, kesejahteraan sosial
(well-being), dan peremajaan serta pelestarian lingkungan hidup
yang terkait dalam proses produksinya. Salah satu upaya untuk
mencapai keseimbangan ini yakni dengan jalan menerapkan
program-program CSR.
Jadi dapat disimpulkan bahwa CSR berkaitan erat dengan
upaya dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Dengan kata
lain, CSR dapat dianggap sebagai “vehicle” (kendaraan) guna
mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan
yang selama ini dianggap berbenturan satu dengan yang lain.
Pemilihan
bentuk
misalnya
melalui
pelaksanaan
program
dari
CSR
penanaman
oleh
perusahaan
pohon
mempunyai
64
dampak langsung terhadap usaha pelestarian lingkungan yang
menjadi salah satu pilar dalam pembangunan berkelanjutan.
2.4.2. Peran
CSR
dalam
Mencapai
MDGs
(Millenium
Development Goals)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000 telah
mencanangkan delapan tujuan yang hendak dicapai negaranegara
di
dunia
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dan
kemakmuran global. Impian itu dikenal dengan nama tujuan
pembangunan milenium atau Millenium Development Goals
(MDGs) dengan target pencapaian pada 2015.
Adapun delapan sasaran MDGs tersebut adalah: (1)
menghapus kemiskinan dan kelaparan, (2) pendidikan untuk
semua orang, (3) promosi kesetaraan gender, (4) penurunan
kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi
HIV/AIDS, (7) menjamin keberlanjutan lingkungan, dan (8)
kemitraan global dalam pembangunan.
Sejatinya, CSR dapat berkontribusi dalam pencapaian
kedelapan terget MDGs diatas. Misalnya, melalui pelaksanaan
CSR dalam bentuk program pembuatan pendidikan di daerah
terpencil
yang
pembangunan
saat
dari
ini
sulit
pemerintah,
dijangkau
berarti
oleh
program
perusahaan
yang
melaksanakan CSR ini telah membantu pemerintah dalam
65
mencapai target nomor 2 yakni pelayanan pendidikan secara
universal. Begitu juga dengan program CSR dalam penyediaan
obat
Anti-Retroviral
sebegaimana
banyak
(ARV)
bagi
dilakukan
oleh
penyandang
HIV/AIDS
organisasi
filantropis
seperti Bill and Melinda Gates Foundation yang merupakan
program CSR dari perusahaan raksasa Microsoft mempunyai
dampak langsung terhadap pencapain target pembangunan global
khususnya dalam upaya memerangi HIV/AIDS.
Berdasarkan alasan tersebut, maka semakin menguatkan
bahwa CSR merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan
dalam upaya mencapai target pembangunan millenium (MDGs).
Namun
permasalahannya
disini
adalah
berapa
banyak
perusahaan yang mampu melaksanakan program CSR secara
sukarela dan berdampak signifikan sebagaimana yang dilakukan
oleh Microsoft. Hal ini akan berkaitan erat dengan pertanyaan
apakah CSR merupakan kegiatan sukarela (voluntary) atau
kegiatan
yang
wajib
(mandatory)
dilakukan
oleh
sebuah
perusahaan.
Jika CSR merupakan kegiatan sukarela, maka sebuah
perusahaan mempunyai kebebasan dalam menentukan sikapnya
apakah ia akan berkontribusi dalam membantu pencapain MDGs
atau tidak dan tidak ada entitas luar yang bisa memaksa
perusahaan tersebut untuk melakukannya. Oleh karena itu,
66
paradigma
CSR
haruslah
dipertegas
namun
bukan
dengan
memisahkan antara aspek voluntary atau mandatory dari CSR.
Melainkan kedua hal tersebut dijalankan lewat suatu formulasi
yang
saling
melengkapi
sebagai
wujud
tanggung
jawab
perusahaan atas segala dampak pembangunan yang didasarkan
atas ‘mental frontier’ 60 yang mereka lakukan selama ini.
2.4.3. CSR Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
Indonesia
kekeluargaan
menganut
dan
sistem
berdasarkan
perekonomian
demokrasi
berasaskan
ekonomi
dimana
Pancasila menjadi landasan filosofisnya. Dalam konteks CSR
sebagai bentuk kegiatan ekonomi dan bisnis, maka pelaksanaan
dan pengaturan CSR sebenarnya tidak terlepas dari prinsip dan
landasan
filosofis
sistem
perekonomian
nasional
tersebut.
Secara hirarki peraturan perundangan di Indonesia, prinsip CSR
ini sesuai dengan maksud dan tujuan berbangsa dan bernegara
sebagaimana yang termaktub dalam preambul UUD 1945 yang
menegaskan bahwa:
”...........Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial......”
60
Isa Wahyudi dan Busyra Azheri, 2008, op. cit, h. 121.
67
Selain dalam pembukaan diatas, batang tubuh UUD 1945
juga memiliki relevansi dalam memberikan landasan hukum bagi
CSR khususnya Pasal 33 ayat (1) dan (4) yang berbunyi:
(1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan;
(4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi
efisiensi
ekonomi
dengan
berkeadilan,
lingkungan,
keseimbangan
berkelanjutan,
kemandirian,
kemajuan
prinsip
serta
dan
kebersamaan,
berwawasan
dengan
menjaga
kesatuan
ekonomi
nasional.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terjadi pergeseran
penafsiran terhadap karakteristik CSR di Indonesia. CSR yang
pada awalnya merupakan program pelayanan sosial perusahaan
yang bersifat sukarela dapat ditafsirkan menjadi program yang
wajib dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Jadi, tidak ada
alasan bagi perusahaan untuk tidak melaksanakan prinsip CSR
dalam aktivitas usahanya karena setiap aktivitas usaha harus
memiliki prinsip sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33 ayat
(4) diatas. Namun terdapat kebutuhan untuk menterjemahkan
landasan hukum diatas menjadi peraturan perundangan yang
lebih operasional untuk membuat kewajiban tersebut menjadi
bersifat imperatif. Pada titik inilah UU No. 40 tahun 2007
68
tentang Perseroan Terbatas dilahirkan dengan memasukkan
klausul CSR pada Pasal 74.
Pada prakteknya, pelaksanaan aturan terkait CSR di
Indonesia dilengkapi pula oleh peraturan perundang-undangan
yang lain. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan
tersebut diharapkan dapat berjalan selaras dalam mendukung
dan memberikan efek yang positif terhadap pelaksanaan CSR di
Indonesia. Beberapa undang-undang yang dimaksud adalah UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH), UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman
Modal,
UU
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, serta peraturan-peraturan pemerintah tentang
BUMN dan yang terkait lainnya.
Keterkaitan
antara
aturan
tentang
CSR
dengan
UU
tersebut diatas merupakan hal yang vital dalam mencapai tujuan
CSR
yang
lingkungan
diharapkan.
Misalnya
hidup,
PPLH
UU
di
bidang
penyelamatan
memperkenalkan
instrumen
ekonomi lingkungan hidup menjadi salah satu strategi untuk
mendorong pemerintah, perusahaan dan masyarakat menlakukan
pelestarian lingkungan. Pada Pasal 42 UU PPLH diatur beberapa
bentuk instrumen ekonomi lingkungan hidup ini termasuk di
dalamnya ayat (2) huruf (c) insentif dan/atau disinsentif.
Selanjutnya pendekatan insentif/disinsentif ini dijabarkan oleh
69
Pasal 43 ayat (3) salah satunya melalui sistem penghargaan
kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Jadi dapat ditafsirkan disini bahwa CSR menjadi alat
ukur untuk menilai layak atau tidaknya sebuah perusahaan
mendapatkan penghargaan kinerja dibidang perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan
hidup.
Sehingga
dari
penilaian
berdasarkan kegiatan CSR perusahaan tersebut, pemerintah
dapat
mengeluarkan
kebijakan
insentif/disinsentif
terhadap
perusahaan yang dimaksud misalnya melalui pengurangan pajak
atau sebaliknya memberikan peringatan.
Selajutnya, pengaturan CSR yang ada di Indonesia masih
bersifat sempit. Hal ini dapat dilihat dari cakupan CSR yang
hanya mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam bidang
pemanfaatan sumber daya alam saja untuk menyelenggarakan
CSR. Sehingga perusahaan-perusahaan yang tidak memanfaatkan
sumber daya alam secara langsung ditafsirkan tidak wajib
melakukan CSR. Hal ini pada gilirannya akan berkaitan dengan
mekanisme pelaporan tahunan perusahaan karena perusahaan
yang dimaksud dalam Pasal 74 UUPT akan memiliki kewajiban
untuk melaporkan kegiatan tahunan CSR-nya kepada Badan
Pasar Modal. Akan tetapi belum ada ketegasan dari pemerintah
sendiri mengenai seberapa penting laporan tahunan perusahaan
70
tersebut mengingat hingga saat belum ada cukup kesadaran bagi
perusahaan untuk melaporkan kegiatan CSR mereka.
Pengungkapan CSR yang telah dilakukan perusahaan
memang sudah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) c.
Pengungkapan tersebut dengan jalan pencantuman kegiatan CSR
dalam laporan tahunan perusahaan. Adapun Pasal 66 tersebut
berbunyi sebagai berikut:
(1) Direksi menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS
setelah ditelaah oleh Dewan Komisaris dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan setelah tahun buku Perseroan
berakhir.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus
memuat
sekurang
kurangnya:
(c).
laporan
pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Aturan tentang laporan tahunan dalam UU Perseroan
Terbatas memang belum tegas untuk menekan perusahaan dalam
melaksanakan CSR. Bahkan tidak terdapat kejelasan terkait
sanksi atau peringatan yang dapat diberikan kepada perusahaan
yang tidak mencantumkan CSR dalam laporan tahunannya.
Terlebih lagi ternyata laporan tahunan dengan mencantumkan
CSR
dianggap
bukan
merupakan
hal
yang
prioritas
bagi
kepentingan perusahaan. Hal tersebut harus menjadi bahan
71
koreksi bahwa pentingnya pencantuman CSR dalam laporan
tahunan untuk diatur lebih tegas lagi ke depan dan juga
dibutuhkan kontrol dari pemerintah serta masyarakat akan
kinerja CSR perusahaan di Indonesia. Karena secara tidak
langsung
laporan
tahunan
dapat
menjadi
bukti
pemberian
legitimasi dari masyarakat penerima manfaat CSR terhadap
eksistensi dan kinerja suatu perusahaan.
2.4.4. Motivasi dan Prinsip Pelaksanaan CSR
Setidaknya ada tiga alasan mengapa kalangan dunia usaha
melaksanakan
CSR
sejalan
dengan
operasi
perusahaannya.
Ketiga alasan itu dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Pulic Relations
Usaha
untuk
komunitas
menanamkan
terhadap
persepsi
kegiatan
yang
positif
kepada
dilakukan
oleh
perusahaan.
b. Strategi Defensif
Usaha
yang
dilakukan
perusahaan
guna
menangkis
anggapan negatif komunitas yang sudah tertanam dalam
kegiatan
perusahaan,
dan
biasanya
untuk
melawan
‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas. Usaha CSR
72
yang dilakukan adalah untuk merubah anggapan yang
berkembang sebelumnya dengan menggantinya dengan
anggapan baru yang sifatnya positif.
c. Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan
Melakukan program untuk kebutuhan komunitas sekitar
perusahaan atau kegiatan perusahaan yang berbeda dari
hasil perusahaan itu sendiri.
Carroll 61 menggambarkan CSR dalam sebuah piramid yang
terdiri dari empat struktur tanggung jawab; ekonomi, hukum,
etika, dan filantrofi. Keempatnya merupakan kesatuan utuh CSR
dan idealnya dijalankan dari yang paling dasar. Dua struktur di
bawah harus dijalankan terlebih dahulu, sebelum memenuhi dua
struktur berikutnya.
Perkembangan CSR juga tidak bisa lepas dari konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), definisi
pembangunan berkelanjutan menurut The Brundtland Comission,
adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia
saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. The Brundtland
Comission merupakan komisi yang dibentuk untuk menanggapi
meningkatnya
61
keprihatinan
dari
para
pemimpin
dunia
Archie B. Caroll, 1999, Corporate Social Responsibility: Evolution of a Definitional
Construct, Business and Society, http://bas.sagepub.com/, diakses pada tanggal 30 Agustus 2011,
hlm. 289.
73
menyangkut
peningkatan
kerusakan
lingkungan
hidup
dan
sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini
mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber
daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial.
Pengenalan konsep Sustainable Development memberikan
dampak kepada perkembangan definisi dan konsep CSR. The
Organization
(OECD)
for
Economic
merumuskan
CSR
Cooperation
sebagai
and
kontribusi
Development
bisnis
bagi
pembangunan berkelanjutan serta adanya perilaku korporasi
yang
tidak
semata-mata
menjamin
adanya
pengembalian
investasi dan keuntungan bagi pemegang saham, upah bagi para
karyawan, dan pembuatan produk serta jasa bagi para pelanggan,
melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi perhatian
terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai
yang ada di masyarakat.
Setidaknya terdapat tiga alasan penting mengapa kalangan
dunia usaha harus merespon CSR agar sejalan dengan jaminan
keberlanjutan operasional perusahaan. Alasan tersebut adalah:
Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat, oleh
karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan
masyarakat.
beroperasi
Perusahaan
dalam
harus
tatanan
menyadari
lingkungan
bahwa
sosial
mereka
masyarakat.
Kegiatan sosial oleh perusahaan disini dapat berfungsi sebagai
74
kompensasi atau upaya timbal balik atas pemanfaatan sumber
daya alam atau sumber daya ekonomi oleh perusahaan yang
sering kali bersifat ekspansif dan eksploitatif.
Kedua,
kalangan
bisnis
dan
masyarakat
semestinya
memiliki hubungan yang bersifat saling menguntungkan atau
simbiosis
mutualisme.
Untuk
mendapatkan
dukungan
dari
masyarakat, wajar bila perusahaan dituntut untuk memberikan
kontribusi positif kepada masyarakat sehingga bisa tercipta
harmonisasi hubungan bahkan pengangkat citra dan performa
perusahaan.
Ketiga, kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk
meredam atau bahkan menghindarkan perusahaan dari konflik
sosial. Potensi konflik itu bisa berasal dari dampak operasional
perusahaan atau akibat kesenjangan struktural dan ekonomis
yang timbul antara masyarakat dengan komponen perusahaan.
Pada
hakikatnya
CSR
adalah
nilai
yang
melandasi
aktivitas perusahaan. Hal ini dikarenakan CSR menjadi pijakan
komprehensif
ekonomi,
perusahaan
sosial,
dalam
kesejahteraan
mempertimbangkan
dan
lingkungan
aspek
hidup.
Perusahaan semestinya tidak mengimplementasikan CSR secara
parsial, misalnya berupaya memberdayakan masyarakat lokal,
sedangkan di sisi yang lain, secara internal kesejahteraan
karyawannya sendiri tidak terjamin, perusahaan tersebut tidak
75
disiplin dalam membayar pajak, menumbuh-suburkan praktik
korupsi dan kolusi, atau mempekerjakan anak di bawah umur.
Oleh karena itu, CSR di dalamnya mencakup empat landasan
pokok yang satu dengan lainnya saling berkaitan, yakni:
a. Landasan
pokok
CSR
dalam
aktivitas
ekonomi,
meliputi: kinerja keuangan berjalan baik, investasi
modal berjalan sehat, kepatuhan dalam pembayaran
pajak, tidak terdapat praktik suap/korupsi, tidak ada
konflik kepentingan, tidak dalam keadaan mendukung
rezim yang korup, menghargai hak atas kemampuan
intelektual/paten, dan tidak melakukan sumbangan
politis/lobi untuk memuluskan usahanya,
b. Landasan pokok CSR dalam isu lingkungan hidup,
meliputi:
tidak
berkontribusi
melakukan
dalam
pencemaran,
perubahan
iklim,
tidak
tidak
berkontribusi atas limbah diatas ambang batas, tidak
melakukan pemborosan air, tidak melakukan praktik
pemborosan energi, tidak melakukan penyerobotan
lahan, tidak berkontribusi dalam kebisingan, dan
menjaga keanekaragaman hayati
76
c. Landasan pokok CSR dalam isu sosial, meliputi:
menjamin kesehatan karyawan atau masyarakat yang
terkena
dampak,
tidak
mempekerjakan
anak,
memberikan dampak positif terhadap masyarakat,
melakukan
proteksi
konsumen,
menjunjung
keberanekaragaman, menghormati hak asasi manusia,
menjaga privasi, melakukan praktik derma sesuai
dengan kebutuhan, bertanggung jawab dalam proses
outsourcing
dan
off-shoring,
dan
akses
untuk
memperoleh barang-barang tertentu dengan harga
wajar
d. Landasan
pokok
CSR
dalam
isu
kesejahteraan,
meliputi: memberikan kompensasi terhadap karyawan,
memanfaatkan subsidi dan kemudahan yang diberikan
pemerintah, menjaga kesehatan karyawan, menjaga
keamanan kondisi tempat kerja, menjaga keselamatan
dan kesehatan kerja, dan menjaga keseimbangan
kerja/hidup
Selain itu perusahaan bukanlah sebuah entitas tunggal,
melainkan
ia
menjadi
bagian
dari
pemangku
kepentingan
(stakeholder). Secara sederhana definisi stakeholder adalah
kelompok-kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi
77
oleh
organisasi
tersebut
sebagai
dampak
dari
aktifitas-
aktifitasnya. Stakeholder terdiri dari:
a. Pelanggan:
berhak
mendapatkan
produk/pelayanan
berkualitas, dan layak.
b. Masyarakat: berhak mendapatkan perlindungan dari
kejahatan bisnis, dan mendapatkan hubungan yang baik
dari keberadaan perusahaan
c. Pekerja: berhak mendapatkan jaminan keamanan dalam
bekerja,
mendapatkan
mendapatkan
jaminan
perlakukan
keselamatan,
yang
adil
dan
dan
non
diskriminasi
d. Pemegang Saham: berhak mendapatkan harga saham
yang layak dan keuntungan saham.
e. Lingkungan: berhak mendapatkan jaminan terhadap
perlindungan alam, dan mendapatkan rehabilitasi
f. Pemerintah:
berhak
mendapatkan
laporan
atas
pemenuhan persyaratan hukum
g. Lembaga
Swadaya
Masyarakat
(LSM):
berhak
menjalankan fungsi kontrol baik terhadap regulasi
maupun komitmen perusahaan.
Dalam
dirangkul
dan
konteks
penerapan
dilibatkan
baik
CSR,
dalam
stakeholder
tahap
wajib
perencanaan,
implemantasi dan evaluasi. Jikapun stakeholder tidak dilibatkan
78
dalam proses perencanaan, setidaknya mendapatkan kontribusi
berupa dampak positif dari program yang dilaksanakan. Andai
terdapat satu stakeholder yang tidak mendapatkan manfaat atau
kepuasan
dari
perusahaan,
maka
akan
berpotensi
masalah bagi keberlanjutan perusahaan dikemudian hari.
menjadi
Download