II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Superkonduktor Bahan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Superkonduktor
Bahan superkonduktor pertama kali ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang
fisikawan Belanda dari Universitas Leiden yaitu Heike Kamerlingh Onnes. Pada
tanggal 10 Juli 1908, Onnes mencairkan helium dengan cara mendinginkan
hingga suhu 4 K atau -269ºC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai
mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada saat
itu diketahui bahwa hambatan dari suatu logam akan menurun ketika didinginkan
di bawah suhu ruang, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah
hambatan yang dicapai ketika suhu logam mendekati 0 K atau nol mutlak
(Widodo, 2010).
Beberapa ilmuwan lainnya, William Kelvin memperkirakan bahwa elektron yang
mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak.
Sedangkan ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan
akan menghilang pada suhu mencapai nol mutlak. Untuk mengetahui yang
sebenarnya terjadi, kemudian Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri yang
sangat murni. Sambil menurunkan suhunya, Onnes mengukur hambatannya.
Ketika pada suhu 4,2 K, Onnes melihat hambatannya tiba-tiba menjadi hilang
tetapi
arusnya
mengalir
melalui
kawat
merkuri
terus-menerus.
6
Pada keadaan tidak adanya hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan
energi sedikitpun. Onnes mengalirkan arus pada suatu kumparan superkonduktor
dalam rangkaian tertutup, kemudian sumber arusnya dicabut. Satu tahun
kemudian, Onnes mengukur arusnya dan ternyata arus masih tetap mengalir.
Kemudian oleh Onnes fenomena ini diberi nama superkonduktivitas. Atas
penemuannya itu, Onnes dianugerahi Nobel Fisika pada tahun 1913 (Yuliati,
2010).
Pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan
bahwa bahan superkonduktor menolak medan magnet. Telah diketahui bahwa,
jika suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet maka arus induksi akan
mengalir
dalam
konduktor
tersebut.
Akan
tetapi,
arus
dalam
bahan
superkonduktor yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan magnet tersebut,
sehingga material superkonduktor tidak dapat ditembus oleh medan magnet.
Fenomena ini dikenal dengan istilah diamagnetisme dan efek ini kemudian
dinamakan Efek Meissner (Ismunandar & Chun, 2002).
Pada tahun 1957, tiga orang fisikawan yaitu Barden, Cooper dan Schrieffer
mengajukan teori tentang superkonduktor yaitu bahwa elektron-elektron dalam
superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada
dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan ini disebut pasangan
Cooper. Teori ini dikenal dengan nama teori BCS. Teori BCS menjadikan ketiga
ilmuwan tersebut memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972 (Pikatan, 1989).
Pada tahun 1986 fisikawan dari Switzerland yaitu Alex Müller and George
Bednorz, melakukan penelitian di Laboratorium Riset IBM di Rüschlikon.
7
Mereka berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur lanthanum,
barium, tembaga, dan oksigen yang bersifat superkonduktor pada suhu tertinggi
30 K. Penemuan ini menjadi populer karena selama ini keramik dikenal sebagai
isolator dan pada suhu ruang tidak dapat menghantarkan listrik sama sekali.
Setahun kemudian keduanya diberi penghargaan hadiah Nobel (Aruku, 2009).
Pada bulan Februari 1987, ditemukan suatu keramik yang bersifat superkonduktor
pada suhu 90 K. Sehingga dapat didinginkan menggunakan nitrogen cair. Karena
suhunya cukup tinggi dibandingkan material superkonduktor yang lain, maka
material-material tersebut diberi nama superkonduktor suhu tinggi. Suhu tertinggi
superkonduktor saat ini adalah 138 K, yaitu untuk bahan Hg0.8Ti1.2Ba2Ca2Cu3O8.33
(Ismunandar & Chun, 2002).
B. Karakteristik Superkonduktor
Suatu bahan dapat dibedakan berdasarkan sifat konduktivitas elektrik atau
resistivitasnya. Ada empat kelompok bahan berdasarkan resistivitasnya, yaitu:
isolator (106-1020 Ωm), semikonduktor (10-4-106 Ωm), konduktor (10-8-10-4 Ωm),
dan superkonduktor (nilai resistivitasnya nol) (Juhari, 2005).
1. Tanpa resistivitas (ρ = 0) pada T < Tc
Pada suhu rendah, bahan superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol
(ρ = 0). Material yang didinginkan di dalam nitrogen cair atau helium cair,
resistivitasnya akan turun seiring dengan penurunan suhu. Pada suhu tertentu,
resistivitas material akan turun secara drastis menjadi nol. Suhu dimana
resistivitas material turun drastis menjadi nol ini disebut suhu kritis (Tc), yaitu
8
terjadinya transisi dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor (Pikatan,
1989). Hubungan antara suhu dengan resistivitas terlihat pada Gambar 1.
ρ
Tc
T
Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas listrik (Pikatan, 1989).
Dari Gambar 1, pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan
normal, artinya bahan tersebut memiliki resistivitas listrik. Dalam keadaan
normal bahan ini dapat berupa konduktor, penghantar yang jelek atau isolator.
Untuk suhu T ≤ Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor, artinya bahan
akan menolak medan yang datang, disebabkan karena medan luar yang
diberikan selalu sama besar dengan magnetisasi bahan. Hal ini ditandai dengan
resistivitasnya turun drastis menjadi nol (Pikatan, 1989).
2. Medan magnetik superkonduktor nol (B = 0)
Suatu bahan dikatakan sebagai superkonduktor jika menampilkan sifat
diamagnetik, yaitu medan magnet (B) sama dengan nol jika bahan didinginkan
hingga di bawah Tc dan medan magnet yang diberikan tidak terlalu tinggi
(Sukirman dkk, 2003). Hal ini terjadi karena superkonduktor menolak fluks
magnet yang mencoba memasuki bahan superkonduktor (Cyrot & Pavuna,
1992).
9
C. Efek Meissner
Pada tahun 1933, Meissner dan Ochsenfeld mengamati sifat kemagnetan
superkonduktor. Ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetik
sempurna (menolak medan magnet), sehingga apabila sebuah magnet tetap
diletakkan di atas bahan superkonduktor, maka magnet tersebut akan melayang.
Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan
yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan. Fenomena ini
dikenal dengan nama efek Meissner. Jika bahan superkonduktor yang berada di
atas suhu kritisnya (T > Tc) diletakkan di atas suatu medan magnet, maka medan
magnet akan menerobos ke dalam bahan, sehingga terjadi induksi magnet di
dalam bahan. Sebaliknya, jika bahan superkonduktor yang berada di bawah suhu
kritisnya (T < Tc) dikenai medan magnet, maka superkonduktor akan menolak
medan magnet yang mengenainya (Pikatan, 1989). Efek Meissner bahan
superkonduktor ditunjukkan seperti Gambar 2 dan Gambar 3.
H
H
Gambar 2. Efek Meissner (Windartun, 2010).
Gambar 3. Bahan superkonduktor dapat melayangkan magnet di atasnya
(Ismunandar, 2002).
10
Pada tahun 1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik
superkonduktor mendapatkan bahwa intensitas medan magnet masih dapat
menembus bahan superkonduktor walaupun hanya sebatas permukaan saja,
ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini dinyatakan oleh
parameter λ yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet ternyata
berkurang secara eksponensial terhadap kedalamannya. Sedangkan λ membesar
dengan naiknya suhu. Pada T = Tc harga λ tak berhingga besarnya, sehingga
medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian bahan tersebut, atau dengan
kata lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan keadaan normalnya.
Teori London juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan superkonduktor
arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan
arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian
konduktor. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal, superkonduktor
tipe I dan tipe II adalah seperti pada Gambar 4.
Bc
(a)
Bc1 Bc
(b)
Bc2
Gambar 4. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor:
(a) tipe I dan (b) tipe II (Pikatan, 1989).
Berdasarkan Gambar 4, superkonduktor tipe I memiliki satu nilai medan magnet
kritis (Bc), sedangkan superkonduktor tipe II memiliki dua nilai medan magnet
11
kritis (Bc1 dan Bc2) (Salmah, 2001). Superkonduktor tipe I membutuhkan suhu
yang sangat dingin agar menjadi bahan superkonduktor, yaitu ketika medan
magnet luar (H) lebih kecil dari medan magnet kritis (Bc). Sehingga medan
magnet luar akan ditolak sepenuhnya oleh bahan superkonduktor. Contoh
superkonduktor tipe I adalah Hg, Pb dan La.
Sedangkan superkonduktor tipe II, pada daerah medan magnet B < Bc1 bahan
superkonduktor bersifat seperti superkonduktor tipe I dan pada daerah Bc1 < B <
Bc2 medan magnet luar dapat menembus bahan. Pada kondisi ini superkonduktor
dalam keadaan tercampur. Contoh superkonduktor tipe II adalah V3Si dan Nb3Sn
(Smitth, 1990).
D. Superkonduktor Sistem BSCCO
Superkonduktor sistem BSCCO merupakan superkonduktor oksida keramik yang
mempunyai struktur berlapis-lapis, sehingga menyebabkan bahan superkonduktor
sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Selain itu, superkonduktor sistem
BSCCO memiliki sifat anisotropi superkonduktivitas yang tinggi dan panjang
koherensi yang pendek (Herlyn, 2008).
Superkonduktor
sistem
BSCCO
memiliki
keunggulan
dibandingkan
superkonduktor keramik yang lainnya karena suhu kritisnya (Tc) relatif tinggi dan
tidak mengandung unsur beracun. Dalam superkonduktor sistem BSCCO dikenal
3 fase superkonduktif yaitu fase 2201 (Bi2Sr2CuO) memiliki suhu kritis (Tc)
sebesar 10 K, fase 2212 ( Bi2Sr2CaCu2O) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 80 K
12
dan fase 2223 (Bi2Sr2Ca2Cu3O) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 110 K
(Siswanto, 1999). Struktur kristal sistem BSCCO ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur kristal sistem BSCCO (Lehndroff, 2001).
E. Sintesis Superkonduktor BSCCO-2223
Untuk memperoleh fase tunggal atau kristal tunggal superkonduktor fase 2223 ada
beberapa upaya yang telah dilakukan, seperti menggunakan doping Pb dan Ag,
doping Pb dan Sb, menggunakan fluks (Bi2O3, KCI, dan NaCl). Selain itu juga
dilakukan dengan mengubah beberapa parameter pemrosesan seperti variasi
komposisi awal (Rachmawati, 2009).
Superkonduktor fase 2223 adalah superkonduktor yang memiliki Tc paling tinggi
daripada fase 2201 dan 2212, sehingga banyak penelitian dilakukan untuk
mendapatkan fase 2223 murni. Menurut Strobel (1992) walaupun pada proses
sintesis senyawa yang diinginkan merupakan fase dengan komposisi dan struktur
13
tertentu, namun hasil akhir biasanya akan menghadirkan beberapa fase lain.
Diagram fase superkonduktor dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram fase superkonduktor BSCCO.
Berdasarkan Gambar 6, terdapat lima daerah yang terjadi pembentukan fase 2223,
yaitu daerah fase BSCCO-2212+BSCCO-2223+L1, daerah c (BSCCO-2223+(Sr,
Ca)2CuO3+L1), daerah d (BSCCO-2223+(Sr, Ca)2CuO3+CuO+L1), daerah fase
BSCCO-2223+(Sr, Ca)2CuO3+CuO, dan daerah fase BSCCO-2212+BSCCO2223. Terdapat dua daerah fase yang berupa padatan, yaitu daerah yang tidak
mengandung cairan (L1). Untuk menghindari fase impuritas seperti CuO, (Sr,
Ca)2CuO3 dan fase lainnya, maka daerah fase BSCCO-2212 dan BSCCO-2223
merupakan daerah yang paling efektif dalam menumbuhkan fase 2223, karena
hanya mengandung fase 2212 dan fase 2223 (Marhaendrajaya, 2001). Sedangkan
14
fase 2223 terbentuk dari proses pengintian dan penumbuhan fase 2212 yang
terjadi pada suhu 840 C sampai 880 C (Sukirman, 2003).
F. Kalsinasi
Kalsinasi merupakan perlakuan panas yang bertujuan untuk menghilangkan zatzat yang tidak diperlukan di bawah titik leleh. Pada proses ini terjadi reaksi
dekomposisi secara endotermik, dimana garam seperti karbonat/ hidroksida akan
menguap sehingga menghasilkan produk padatan yang berupa oksida (Irfan,
2012). Contoh reaksi yang terjadi pada kalsinasi adalah:
CaCo3
CaO(s) + CO2(g)
(1)
BaCO3
BaO(s) + CO2(g)
(2)
(Ningrum, 2006).
Peristiwa yang terjadi selama kalsinasi antara lain:
1. Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH), berlangsung sekitar suhu
100 C sampai 300 C.
2. Pelepasan gas-gas, seperti CO2 berlangsung sekitar suhu 600 C dan pada
tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup drastis.
3. Pada suhu lebih tinggi sekitar 800 C struktur kristal sudah terbentuk, pada
kondisi ini ikatan antar partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas
(Mukti, 2012).
Selain menghilangkan zat-zat yang tidak diperlukan, kalsinasi juga mempengaruhi
fraksi volume dalam sintesis bahan superkonduktor BSCCO. Fraksi volume akan
semakin besar dengan kenaikan suhu dan waktu tahan kalsinasi serta sintering
15
(Khafifah, 2010). Kalsinasi yang tidak sempurna mengakibatkan permukaan
sampel menggelembung. Beberapa faktor yang mempengaruhi kalsinasi, yaitu
suhu pemanasan, waktu penahanan suhu dan kecepatan pendinginan (Suryawan,
2008).
G. Sintering
Sintering merupakan proses pembakaran (pemanasan pada temperatur tinggi)
yang secara global menurunkan energi bebas disertai perubahan dimensional.
Menurut Van Vlack (1991) sintering merupakan proses pengikatan secara termal
yang bertujuan untuk merubah bentuk partikel-partikel kecil atau kelompokkelompok kecil yang seragam sehingga membentuk ikatan yang kuat dan keras.
Prinsip-prinsip yang melandasi proses sintering ditunjukkan pada Gambar 7.
(a)
(b)
Gambar 7. Prinsip sintering (a) sebelum sintering, (b) setelah sintering (Van
Vlack, 1991).
Terdapat tiga tahapan dalam sintering, antara lain:
1. Tahap Awal
Secara mikrostruktural pada keadaan awal terdapat pemuaian, belum terjadi
proses sintering dan susunan patikel tidak berubah. Selama sintering tahap
16
awal terjadi penyusunan kembali (rearrangement), yaitu sedikit gerakan atau
rotasi partikel untuk mempertinggi jumlah kontak antarpartikel dan
pembentukan kaitan antar butir (neck).
2. Tahap Intermedier (kedua)
Pada tahap kedua ukuran kaitan antar butir tumbuh dan porositasnya menurun
dikarenakan partikel-partikel saling mendekat. Pada tahap ini mulai terjadi
pertumbuhan butir (grain growth), terbentuk pori yang berbentuk pipa, jarak
antar butir semakin dekat dan terjadi penyusutan.
3. Tahap Akhir
Pada tahap ini pori yang berbentuk pipa akhirnya menjadi pori yang bulat,
ukuran butir meningkat dan laju penyusutan pori lebih kecil (Oktara dkk,
2007).
H. X-Ray Diffraction (XRD)
Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifatsifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya.
Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir,
tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncakpuncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-X
yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari
kristal. Intensitas sinar-X berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam
kristal.
Ketajaman sinar-X
kesempurnaan kristal.
yang didifraksikan merupakan ukuran dari
17
Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi
(2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-X karena
panjang gelombang sinar-X berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X
yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3-2,5
Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-X dengan kisi pada bidang Kristal
menghasilkan
interferensi
konstruktif
berupa
puncak-puncak
intensitas.
Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi
memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991).
(3)
dengan: n = 1, 2, 3…. (orde difraksi), λ = panjang gelombang, d (hkl) = jarak
antar bidang, θ = sudut difraksi, dan hkl = indeks miller. Terjadinya difraksi sinarX oleh atom ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema difraksi sinar-X oleh atom dalam kristal (Cullity, 1978).
I. Scanning Electron Microscopy (SEM)
Menurut Gabriel (1985) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat
untuk menganalisis struktur mikro dan morfologi pada bidang material sains,
18
kedokteran dan biologi. SEM dapat membentuk bayangan permukaan spesimen
secara mikroskopik. Kemampuan analisis SEM melebihi mikroskop optik
(Sutiani, 2009).
Teori SEM didiskripsikan oleh fisikawan Jerman Dr. Max Knoll pada 1935.
Tetapi fisikawan Jerman lainnya Dr. Manvred von Ardenne mengklaim telah
melakukan penelitian prinsip-prinsip SEM dan interaksinya terhadap sampel pada
tahun 1937. Pada 1942 tiga orang ilmuwan Amerika yaitu Dr. Vladimir Kosma
Zworykin, Dr. James Hillier dan Dr. Snijder, benar-benar membangun sebuah
mikroskop elektron pemindaian SEM dengan resolusi hingga 50 nm atau
magnifikasi 8.000 kali. Sebagai perbandingan, SEM modern sekarang ini
mempunyai resolusi hingga 1 nm atau pembesaran 400.000 kali (Hadiyanti,
2012).
Menurut Gabriel (1985) SEM mempunyai kemampuan daya pisah atau resolusi
yang sangat tinggi, hingga orde 100 Å. Daya pisah SEM dihasilkan oleh berkas
elektron sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang yang jauh lebih
pendek daripada panjang gelombang cahaya tampak. Hubungan daya pisah (d)
dengan panjang gelombang (λ) dirumuskan oleh Reyleigh:
(4)
dengan β adalah celah efektif lensa objektif. Makin besar panjang gelombang,
maka daya pisahnya semakin baik. Selain daya pisah yang baik, SEM mampu
memperlihatkan bayangan relief yang ditimbulkan oleh kontras elektron sekunder
dan kedalaman fokus (depth of field) sehingga menampilkan gambar dengan pola
dua dimensi. Secara lengkap prinsip kerja SEM dapat dilihat pada Gambar 9.
19
Electron gun
Electron beam
Anode
Magnetic lens
Backscattered
electron detector
Specimen
Secondary
electron detector
Stage
Gambar 9. Prinsip Kerja Scanning Electron Microscopy (SEM).
Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan sampel dengan berkas elektron
berenergi tinggi yang dihasilkan electron gun. Elektron ditembakkan ke arah
sampel yang melalui anoda dan magnetic lens, kemudian dipantulkan kembali
oleh permukaan sampel. Berkas elektron (elektron sekunder) yang dipantulkan
oleh sampel akan diterima oleh detektor. Elektron sekunder atau elektron pantul
yang terdeteksi diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan
dalam pola gelap terang pada layar monitor Cathode Ray Tube (CRT). Pada layar
CRT ini gambar struktur sampel diperbesar dan bisa dilihat (Rahmat, 2011).
20
J. Celref (Cell Refinement)
Celref adalah perangkat lunak yang digunakan untuk memperbaiki parameter kisi
dengan metode least-square yang dibuat oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu di
Laboratorium des Materiaux et du Genie Physique Ecole Nationale Superieure de
Physique de Grenoble. Celref dapat digunakan untuk membantu menetapkan
space group dari data XRD hasil pengukuran. Perangkat lunak ini sangat berguna
untuk menyelesaikan data yang memiliki puncak overlap karena banyak puncak
kecil yang muncul dari hasil XRD. Berdasarkan data tersebut dipilih kurang dari
20 puncak tertinggi dan terorientasi (Janghorban, 2009).
Jika proses refine menggunakan puncak tertinggi tidak sesuai dengan jumlah
puncak yang berlaku dalam program, maka akan dicari model yang tepat sehingga
sesuai dengan data awal yang diukur. Misalnya mengukur data XRD hanya dalam
satu puncak, yaitu puncak maksimum sudut theta daripada menggunakan banyak
puncak. Apabila menggunakan banyak puncak akan menghasilkan koreksi
kesalahan yang lebih banyak (Laugier dan Bochu, 1999).
Download