4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Penentuan Model Pendekatan komputasi pada mekanisme raksi yang berlangsung pada suatu sistem reaksi yang melibatkan katalis sering kali melibatkan berbagai asumsi dan penyederhanaan sistem. Hal ini mutlak diperlukan sebab pada kenyataannya, sistem reaksi yang terlibat memiliki begitu banyak jalur kemungkinan. Hal tersebut berlaku pula untuk dehidrogenasi sikloheksena hingga menjadi benzena dengan bantuan batu bara. Penyederhanaan awal yang digunakan adalah pada sisi skloheksena (termasuk di dalamnya reaktan, zat-antara, dan produk). Penelitian ini membatasi pada enam struktur zat-antara yang mungkin terjadi. Selain disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang ada, hal ini juga dperlukan untuk memfokuskan penelitian pada berbagai kemungkinan mekanisme yang secara intuitif dianggap paling dominan. Berbagai kemungkinan struktur molekul yang terlibat dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 Berbagai kemungkinan struktur molekul sikloheksena dan turunannya yang terlibat dalam penelitian ini. Selanjutnya penyederhanaan yang dilakukan adalah pada batu bara. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat begitu banyak kemungkinan bentuk gugus aktif dalam batu bara yang mampu berperan sebagai katalis dalam proses dehidrogenasi ini. Dari berbagai kemungkinan 25 tersebut, dipakai dua kemungkinan struktur yang dianggap cukup mewakili batu bara (Gambar 4.2). Gambar 4.2 Model struktur pusat aktif batu bara, a) model Zigzag dan b) model bangku Kedua struktur ini dianggap cukup karena memenuhi beberapa kriteria, yaitu: • berukuran cukup kecil sehingga memudahkan perhitungan, • mewakili dua kemungkinan sisi aktif yang dianggap paling dominan dalam batu bara (bentuk bertakik dan bangku). • Memiliki bagian aromatik yang mempengaruhi titik aktif model, sesuai dengan kenyataan bahwa batu bara merupakan bentuk tidak sempurna dari grafit. Penyederhanaan selanjutnya dilakukan pada penentuan mekanisme reaksi. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa jumlah sisi aktif yang ada sangat melimpah bila dibandingkan dengan sikloheksena yang bereaksi. Dengan demikian, setelah suatu senyawa sikloheksena (atau zat-antara) mengalami dehidrogenasi pada suatu sisi aktif, maka sikloheksena tersebut akan mengalami reaksi lanjutan pada sisi aktif yang lain. Dengan demikian, setiap perhitungan akan berlangsung dengan menggunakan model sisi aktif yang masih “segar” (belum berikatan dengan hidrogen hasil dehidrogenasi). Implikasi dari penyederhanaan mekanisme reaksi tersebut muncul pada metode pengolahan data energi untuk mendapatkan entalpi, energi pengaktifan, dan penggambaran diagram energi reaksi. Data dalam penelitian ini seluruhnya ditampilkan dalam bentuk nilai relatif terhadap senyawa reaktan (sikloheksena dan model batu bara yang dipakai, M1). M1 = 0 Dengan demikian, nilai energi suatu spesi zat-antara atau produk ke-n (Mn) akan tampil sesuai persamaan: M n = M n −1 + ∆H reaksi 26 Entalpi reaksi dihitung dengan melibatkan energi hasil perhitungan reaktan(MH), produk(M), model batu bara “segar” (G) dan model batu bara yang terhidrogenasi (GH). ∆H reaksi = E ( M ) + E (GH ) − [E ( MH ) + E (G )] Energi pengaktifan dihitung dengan mengambil selisih antara energi hasil perhitungan keadaan transisi (TS) dengan pereaksi (M-H dan G), Ea = E (TS ) − [E ( MH ) + E (G )] Sedangkan nilai energi keadaan transisi (MTS) dihitung dengan menambahkan energi pengaktifan pada nilai energi spesi pereaksi. MTS = M + Ea 4.2 Metode Komputasi Dari beberapa penelitian sebelumnya secara umum disimpulkan bahwa metode UHF/631G(d) cukup optimal untuk menentukan struktur sistem reaksi9,10,11,14,15. Meski demikian, sering kali energi hasil perhitungan dengan UHF/6-31G(d) dianggap masih kurang baik untuk menggambarkan keadaan secara nyata. Asumsi tersebut belum dapat dikonfirmasikan dalam penelitian ini karena keterbatasan data-data eksperimental untuk sistem yang sedang dipelajari. Dalam penelitian ini digunakan satuan Angstrom untuk jarak, dan derajad untuk sudut. Parameter struktur untuk seluruh sistem molekul yang dihitung dalam penelitian ini disajikan dan diolah dalam bentuk matriks Z. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perhitungan. Satuan untuk energi seluruhnya dikonversikan dari Hartree/molekul ke kiloJoule/mol dengan faktor konversi 1Hartree/molekul=2625,499974 KJ/mol. Pada pengolahan data energi hasil perhitungan dengan UHF/6-31G(d), perlu dilakukan koreksi terhadap sumbangan energi termal (vibrasi dan ZPE) sebesar 0.892914,15 .Contoh input data yang dipakai dalam penelitian ini, baik untuk optimasi struktur maupun keadaan transisi, ditampilkan dalam lampiran. 4.3 Struktur dan Energi Reaktan, Zat-antara, dan Keadaan Transisi Secara umum, seluruh tahapan reaksi yang diteliti merupakan reaksi eksoterm. Menurut postulat Hammond, untuk reaksi yang bersifat eksoterm, struktur keadaan transisi akan lebih mendekati struktur pereaksi. Dengan demikian, postulat ini akan menuntun pada hipotesis 27 awal bahwa hidrogen yang lepas dalam reaksi adalah hidrogen aksial. Beberapa keadaan transisi yang ditemukan ternyata sepakat dengan postulat ini Secara ideal, dengan adanya kenyataan bahwa struktur aktif pada batu bara cenderung bertindak sebagai katalis, maka tidak akan ditemukan perubahan struktur baik pada saat gugus tersebut belum, sedang maupun telah bereaksi. Pada keadaan paling ekstrim, maka hanya titik yang mengalami reaksi saja yang mengalami perubahan, sedangkan titik yang lain tidak. Kemiripan struktur model grafit pada tiga keadaan tersebut juga menjadi parameter kualitatif untuk menentukan keandalan struktur ini sebagai model. 4.4 Berbagai Kemungkinan Mekanisme Reaksi Gambar 4.3 menunjukkan secara umum skema mekanisme reaksi secara keseluruhan yang mungkin terjadi dalam reaksi dehidrogenasi sikloheksena menjadi benzena dengan bantuan batu bara. Pada penelitian ini, TS4 dan M5 tidak ditentukan struktur dan energinya karena seluruh kemungkinan jalur reaksi bermuara di struktur ini. Dengan demikian, tidak ada jalur lain yang dapat dilewati oleh sikloheksena selain melampaui TS4. Gambar 4.3 Skema mekanisme reaksi yang mungkin terjadi dalam dehidrogenasi sikloheksena pada grafit Dari skema tersebut, dapat diturunkan beberapa kemungkinan mekanisme reaksi yang memiliki kebolehjadian yang cukup tinggi. Mekanisme tersebut antara lain: a. TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 M 1 ←⎯ → M 2 ←⎯ ⎯→ M 3 ←⎯→ ⎯ M 4 ←⎯ ⎯→ M 5 b. TS 1 TS 5 TS 11 TS 4 M 1 ←⎯ → M 2 ←⎯ ⎯→ M 8 ←⎯ ⎯→ M 4 ←⎯ ⎯→ M 5 28 c. TS 6 TS 7 TS 3 TS 4 M 1 ←⎯ ⎯→ M 6 ←⎯ ⎯→ M 3 ←⎯→ ⎯ M 4 ←⎯ ⎯→ M 5 d. TS 6 TS 10 TS 11 TS 4 M 1 ←⎯ ⎯→ M 6 ←⎯ ⎯→ M 8 ←⎯ ⎯→ M 4 ←⎯ ⎯→ M 5 e. TS 6 TS 8 TS 9 TS 4 M 1 ←⎯ ⎯→ M 6 ←⎯→ ⎯ M 7 ←⎯ ⎯→ M 4 ←⎯ ⎯→ M 5 Penelitian ini secara umum menghasilkan skema reaksi untuk dua tipe model sisi aktif batubara. Tipe pertama merupakan skema sisi aktif berbentuk bangku yang ditampilkan pada Gambar 4.4. Sedangkan skema kedua merupakan bentuk zigzag yang ditampilkan pada Gambar 4.5. Perlu diperhatikan bahwa kedua skema tersebut melibatkan lebih dari satu titik aktif (radikal). Dalam penelitian ini diasumsikan reaksi terjadi pada titik aktif yang berada tepat di antara titik aktif yang lain. Hal ini ditujukan untuk mendekati keadaan nyata, bahwa titik aktif pada batu bara cenderung menyebar dan dipengaruhi oleh titik aktif dan cincin aromatik khas grafit dari berbagai arah. Gambar 4.4 Skema Mekanisme Energi pada model sisi aktif batu bara berbentuk Bangku 29 Gambar 4.5 skema Mekanisme Energi pada model sisi aktif batu bara berbentuk Zigzag Pada skema tersebut terdapat beberapa nilai energi yang memiliki tanda tanya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa nilai tersebut merupakan pendekatan yang diambil karena hasil perhitungan frekuensi pada struktur keadaan transisi tersebut masih menghasilkan dua frekuensi imajiner, alih-alih satu frekuensi yang disyaratkan untuk suatu keadaan transisi. Meski demikian, nilai energi tersebut dianggap cukup mendekati keadaan transisi karena frekuensi imajiner kedua begitu kecil jika dibandingkan frekuensi imajiner pertama (sekitar 1:100). Dengan demikian, struktur tersebut dianggap cukup mewakili keadaan transisi yang diharapkan. Berdasarkan pendekatan yang cukup kasar, diketahui bahwa entalpi reaksi dapat diperkirakan dari resultan nilai energi ikatan yang terbentuk dan yang putus. Pemutusan ikatan akan melepaskan energi, dan sebaliknya terjadi pada pembentukan ikatan. Pada setiap tahap reaksi dalam penelitian ini selalu terjadi satu pemutusan ikatan C-H pada sikloheksena (dan turunannya) yang disertai dengan pembentukan ikatan C-H pada model batu-bara. Keberadaan batu-bara sebagai katalis menuntun pada hipotesa awal bahwa pembentukan ikatan C-H akan memiliki peran yang lebih kecil daripada pemutusan ikatan C-H. Dengan demikian, diharapkan seluruh tahapan reaksi akan terjadi secara eksoterm. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang ditampilkan pada skema energi kedua model grafit. Merujuk pada skema reaksi model bangku pada Gambar 4.4, tampak bahwa mekanisme reaksi dengan energi pengaktifan terendah terjadi pada mekanisme 1, yaitu: TS 1 TS 2 TS 3 TS 4 M 1 ←⎯ → M 2 ←⎯ ⎯→ M 3 ←⎯→ ⎯ M 4 ←⎯ ⎯→ M 5 30 Meskipun demikian, untuk tahap dehidrogenasi pertama, beda nilai energi pengaktifan bagi pemutusan hidrogen alpha dan beta tidak terlalu jauh (berselang sekitar 20 KJ/mol). Rendahnya energi pengaktifan bagi dehidrogenasi kedua untuk zat-antara dengan radikal di posisi beta dibandingkan dengan zat-antara dengan radikal di posisi alpha juga dapat menaikkan probabilitas terjadinya jalur reaksi ini. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa mekanisme 1 bukan satu-satunya jalur mekanisme yang mungkin terjadi. Studi lebih lanjut mengenai kinetika reaksi mutlak diperlukan untuk mempertegas hal ini. Skema reaksi model zigzag menampilkan profil energi yang sedikit berbeda dari skema bangku (Gambar 4.5). Meskipun masih menunjukkan profil entalpi yang selalu negatif, skema model zigzag menampilkan alur reaksi yang cenderung lebih landai daripada skema bangku. Kesamaan profil juga muncul secara kualitatif pada nilai energi hasil dehidrogenasi kedua. Baik model zigzag maupun bangku, keduanya menampilkan bahwa bentuk biradikal memiliki energi yang lebih tinggi daripada bentuk tanpa radikal. Selain itu, untuk bentuk tanpa radikal (diena), kedua skema menunjukkan bahwa diena yang memiliki ikatan rangkap pada posisi alpha cenderung memiliki energi lebih rendah daripada diena dengan ikatan rangkap yang terpisah cukup jauh. Hal ini mendukung asumsi bahwa diena terkonjugasi cenderung memiliki energi yang lebih rendah (dan lebih stabil) daripada diena yang tidak terkonjugasi karena adanya resonansi awan elektron. Penjelasan yang sama juga berlaku bagi perbedaan energi struktur hasil dehidrogenasi pertama (radikal alpha dan radikal di posisi beta). Skema zigzag menampilkan profil mekanisme dengan energi terendah yang berbeda dengan skema bangku. Pada model zigzag menunjukkan bahwa mekanisme kedua adalah mekanisme reaksi dengan energi pengaktifan paling rendah, dan otomatis diharapkan menjadi mekanisme dengan keboleh-jadian yang tertinggi. Meskipun demikian, adanya energi pengaktifan yang masih berupa perkiraan kasar pada mekanisme kedua, dan kenyataan bahwa bentuk zat-antara biradikal merupakan bentuk yang berenergi tinggi masih menuntut diadakannya studi lebih lanjut yang melibatkan pula mekanisme yang lain. Keboleh-jadian bagi mekanisme ini memiliki permasalahan yang sama dengan mekanisme terendah pada model bangku. Penelitian lebih mendalam atas laju reaksi mutlak diperlukan untuk seluruh kemungkinan reaksi. 31