22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KESALAHAN, TINDAK PIDANA, DAN LINGKUNGAN HIDUP 2.1. Tinjauan Umum Tentang Kesalahan 2.1.1. Pengertian Kesalahan Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban pidana dimana di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Tentang kesalahan ini Bambang Poernomo menyebutkan bahwa : Kesalahan itu mengandung segi psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih, baru kemudian segi yang kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat.1 Berdasarkan pendapat Bambang Poernomo tersebut dapat diketahui untuk adanya suatu kesalahan harus ada keadaan psikis atau batin tertentu, dan harus ada hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan suatu celaan, yang pada nantinya akan menentukan dapat atau tidaknya seseorang di pertanggungjawabkan secara pidana. 1 Bambang Poernomo, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, h.145. 23 Menurut Moeljatno, syarat-syarat kesalahan yaitu 1. 2. 3. 4. Melakukan perbuatan pidana 22(sifat melawan hukum); Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab; Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; Tidak ada alasan pemaaf.2 Kesalahan sebagai faktor penentu dalam menentukan dapat tidaknya seseorang di pertanggungjawabkan secara pidana dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) dan kesalahan dalam bentuk kealpaan (culpa). Tentang apa arti dari kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP Indonesia, lain halnya dengan Swiss di mana dalam Pasal 18 KUHP Swiss dengan tugas memberikan pengertian tentang kesengajaan yaitu, “barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.3 Ilmu hukum pidana membedakan tiga macam bentuk kesengajaan, yaitu : 1. Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet als oogmerk) Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat / melalaikan kewajiban hukum (tindak 2 3 Moeljatno, op.cit, h.164. Moeljatno, op.cit, h.171. 24 pidana pasif) dan tahu juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil).4 2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) Kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya pasti menimbulkan akibat yang tidak dituju itu dilakukan juga maka disini terdapat kesengajaan sebagai kepastian.5 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan.6 Salah satu bentuk dari kesalahan adalah culpa, menurut Wirjono Prodjodikoro arti kata dari culpa adalah : 4 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), h.96. 5 Ibid, h.97. 6 Ibid, h.96. 25 “Kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak di sengaja terjadi”.7 Mengenal kealpaan itu, Moeljatno menguntip dari Scmidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentu WvS sebagai berikut : Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut, dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.8 Terkait dengan pendapat yang diutarakan tersebut, Moeljatno berkesimpulan bahwa kesengajaan berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, akan tetapi bentuk dari kesengajaan berbeda dengan kealpaan. Kesengajaan adalam mengenai sikap batin orang menentang larangan. Sedangkan kealpaan adalah sikap kurang mengindahkan 7 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco Jakarta, Bandung (selanjutnya disingkat Wirjono Prodjodikoro I), h.61. 8 Moeljatno, op.cit, h.198. 26 larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif sehingga menimbulkan keadaan yang dilarang.9 Selanjutnya, dengan menguntip pendapat Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.10 2.1.2. Unsur-unsur Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Kesalahan terdiri atas beberapa unsur : 9 Moeljatno, op.cit, h.199. Moeljatno, op.cit, h.201. 10 27 1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau zurechtnungsfahigkeit) Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus terpenuhi untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat dipidana. Kemampuan bertanggungjawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana, yaitu bahwa pelaku dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak pada saat melakukan tindak pidana. Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada : a. Kemampuan untuk membeda-bedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan.11 Penjelasan pertama mengenai kemampuan dalam membeda-bedakan mempunyai pengertian bahwa faktor akal (intellectual factor) yaitu dapat membedabedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.12 Pasal yang mengatur mengenai kemampuan bertanggungjawab ini adalah Pasal 44 ayat 1 KUHP. Selain itu berdasarkan Undang-Undang ada beberapa hal yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu bertanggungjawab, misalnya masih 11 12 Moeljatno, op.cit, h.165. Moeljatno, op.cit, h.74. 28 dibawah umur, ingatannya terganggu oleh penyakit, daya paksa, pembebanan terpaksa yang melampaui batas. Apabila keadaan-keadaan tersebut melekat pada pelaku tindak pidana, maka Undang-Undang memaafkan pelaku sehingga terbebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. 2. Hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan kealpaan (Culpa/Alpa) merupakan unsur kedua dari kesalahan dimana keduanya merupakan hubungan batin antara pelaku tindak pidana dengan perbuatan yang dilakukan. Mengenai kesengajaan (dolus/opzet), KUHP tidak memberikan pengertian. Namun pengertian kesengajaan dapat di ketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yang memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”. Hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan kesengajaan (dolus/opzet) yaitu : a) Teori kehendak (wilstheorie) Inti dari kesengajaan ini adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan Undang-Undang. b) Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellingtheorie) 29 Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya suatu perbuatan, orang tidak bisa menghendaki akibat melainkan hanya dapat membayangkannya.13 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan pembenar. Menurut Teguh Prasetyo berdasarkan doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni : a. b. Dasar pemaaf (schulduits luitings gronden), yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Dasar pembenar (rechts vaarding ings gronden), yang bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin si pembuat.14 Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.15 Alasan pemaaf atau schulduitsluttingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannnya atau criminal responsibility. Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. 13 Tri Andrisman, 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, h.102-103. 14 Teguh Prastyo, 2011, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, h.106-107. 15 Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi II), h.18. 30 2.2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 2.2.1. Pengertian Tindak Pidana Pemahaman tentang tindak pidana tidak terlepas dari pemahaman tentang pidana itu sendiri. Istilah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan. Secara umum pemidanaan merupakan bidang dari pembentukan Undang-Undang karena adanya asas legalitas. Asas ini tercantum dalam Pasal 1 KUHP yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia poenali” yang artinya “tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya Undang-Undang hukum pidana terlebih dahulu”. Ketentuan Pasal 1 KUHP menunjukkan hubungan yang erat antara suatu tindak pidana, pidana dan Undang-Undang (hukum pidana) terlebih dahulu. Pengertian hukuman lebih luas dari pengertian pidana, jadi pidana termasuk salah satu jenis hukuman. Demikian dapat dikatakan pula bahwa pidana adalah perasaan tidak enak yakni penderitaan dan perasaan sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar Undang-Undang hukum pidana. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, namun berdasarkan asas konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk 31 memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.16 Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit setidaknya ada tujuh istilah, antara lain : a. b. c. d. e. f. g. Tindak pidana dapat dikatakan sebagai istilah resmi dalam perundangundangan pidana Indonesia. Hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tidak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini salah satunya adalah Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H; Peristiwa pidana digunakan beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Prof. A. Zainal Abidin, S.H. dalam buku beliau yang berjudul Hukum Pidana Pembentuk UndangUndang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 pada Pasal 14 Ayat (1); Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit; Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M. H. Tirtaamidjjaja; Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan Tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia; Perbuatan yang dapat dihukum digunakan oleh pembentuk UndangUndang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak; Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya buku Asas-asas Hukum Pidana.17 Arti tindak pidana tersebut pada dasarnya adalah sama sedangkan perbedaan istilah itu tergantung dari perspektif para pakar hukum memandangnya. 2.2.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana 16 17 Ibid, h.67. Ibid, h.67-68. 32 Terhadap unsur-unsur tindak pidana, ada ahli yang berpendapat bahwa antara unsur subjektif (pelaku / pembuat pidana) dengan unsur objektif (perbuatan) tidak perlu dilakukan pemisahan dan ada pula yang merasa perlu untuk dipisahkan. Golongan yang merasa perlu dilakukan pemisahan disebut aliran monisme, sedangkan yang merasa perlu untuk dipisahkan disebut aliran dualisme. Berikut uraian singkat mengenai kedua aliran ini : 1. Aliran Monisme Paham monisme ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana.18 Adami Chazawi berpendapat ada banyak ahli hukum yang menganut pandangan monisme ini, dalam pendekatan terhadap tindak pidana, antara lain : J.E. Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana adalah ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”; b. Wirjoni Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana; c. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah “kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipermasalahkan”; d. Simons merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan dapat dihukum”.19 Aliran Dualisme a. 2. 18 19 Ibid, h.76. Ibid, h. 75. 33 Pada aliran dualisme memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut. Para ahli hukum yang paham dengan aliran dualisme ini misalnya Pompe, Vos, Tresna Roeslan Saleh, A. Zainal Abidin, Fetcher mengatakan “perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik orang yang melakukannya”.20 Menurut aliran ini kemampuan bertanggungjawab melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghbuungkan dengan (adanya) pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Kemampuan bertanggungjawab merupakan hal yang lain dari tindak pidana dalam artian abstrak, yakni mengenai syarat untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang perbuatannya telah terbukti melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dijatuhi pidana.21 Unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang 1. Unsur tindak pidana menurut beberapa teori Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah dengan melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuat. Beberapa contoh dari batasan tindak pidana menurut beberapa pendapat ahli menguntip dari Adam Chazawi adalah sebagai berikut : Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah : 20 George P. Fletcher, 2000. Rethinking Criminal Law, Oxford University Press, Oxford, 21 Adami Chazawi II, op.cit. h.73-74. h.455. 34 a. b. c. Perbuatan; Yang dilarang (oleh aturan hukum); Ancaman Pidana (bagi yang melanggar larangan). Menurut R. Tresna tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni; a. Perbuatan / rangkaian perbuatan (manusia); b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Diadakan tindakan penghukuman. Menurut Vos unsur-unsur tindak pidana adalah : a. Kelakuan manusia; b. Diancam dengan pidana; c. Dalam peraturan perundang-undangan.22 2. Unsur tindak pidana dalam undang-undang Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat tentang pelanggaran. Rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Unsur tingkah laku; Unsur melawan hukum; Unsur kesalahan; Unsur akibat konstitutif; Unsur keadaan yang menyertai; Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana; Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana; Unsur objek hukum tindak pidana; Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana; Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. Dua dari sebelas unsur diatas diantaranya unsur kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif. 22 Adami Chazawi II, op.cit, h.79-80. 35 2.3. Tinjauan Umum Tentang Lingkungan Hidup 2.3.1. Pengertian Lingkungan Hidup Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini sangat luas, namun untuk praktisnya dibatasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia sebagai faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial, dan lain-lain. Lingkungan sebagai sumber daya merupakan asset yang dapat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3) UUDNRI tahun 1945 yang menyatakan bahwa, bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengenai lingkungan hidup Leden Merpaung mengatakan : Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis ruang tersebut tidak terbatas jumlahnya, namun secara praktis ruang itu selalu diberi batas menurut kebutuhan yang dapat ditentukan, misalnya jurang, sungai, atau laut, faktor politik atau faktor lainnya. Jadi lingkungan hidup harus diartikan luas, yaitu tidak hanya lingkungan fisik dan biologi, tetapi juga lingkungan ekonomi, sosial, dan budaya.23 Undang-Undang No. 23 Tahun 1977 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 1 yang berlaku sebelumnya merumuskan pengertian lingkungan hidup adalah “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. 23 Leden Merpaung, 1997, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, h.5. 36 Perkembangan selanjutnya setelah berlakunya UUPPLH, tidak terdapat perbedaan yang mendasar, karena dalam Pasal 1 butir 1 UUPPLH disebutkan bahwa : “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya”. Manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi demi kelangsungan hidup. Lingkungan sosial yang serasi itu bukan hanya di butuhkan oleh orang seorang, melainkan juga oleh seluruh orang dalam kelompoknya.24 Adapun komponen pokok lingkungan sosial dalam rangka pengelolaan lingkungan, antara lain : a. Pengelompokan sosial Berbagai macam cara orang membentuk persekutuan atau pengelompokan sosial. Adapun yang paling sederhana adalah yang di landasi hubungan kekerabatan, seperti keluarga inti atau batih, marga, suku bangsa dan lain-lain. Akan tetapi karena mobilitas manusia yang tinggi, banyak orang yang berasal dari satu kelompok keturunan tersebar luas dan mendirikan pemukiman secara terpisah dan berjauhan. Terjadinya pembentukan kesatuan sosial yang berdasarkan hubungan kerabat sekaligus atas dasar kebersamaan lingkungan pemukiman. 24 Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, h.4. 37 b. Penataan sosial Penataan sosial sangat diperlukan untuk mengatur ketertiban hidup dalam bermasyarakat yang mempersatukan lebih dari satu orang. Setiap orang harus jelas kedudukannya dan peran-peran yang harus dilakukan, dan mengetahui apa yang harus diberikan dan apa yang dapat diharapkan dari pihak lainnya. Dengan demikian setiap anggota dapat memperkirakan sikap dan tindakan anggota lain serta cara menanggapinya secara efektif, sehingga mewujudkan hubungan sosial yang selaras, serasi, dan seimbang. c. Media sosial Untuk menggalang kerja sama mempersatukan sejumlah orang, diperlukan media baik yang berupa simbol-simbol maupun kepentingankepentingan yang tidak mungkin di kerjakan sendiri-sendiri secara terpisah. Kepentingan bersama itu pada umumnya berkisar pada upaya memenuhi kebutuhan hidup biologis, sosiologis, maupun kejiwaan. d. Pranata sosial Suatu kesatuan sosial, betapapun kecilnya, memerlukan aturan-aturan sebagai pedoman bersama dalam mengembangkan sikap menghadapi tantangan dalam kehidupan bersama. Kebanyakan pranata sosial di kembangkan atas dasar kepentingan pengusaha lingkungan pemukiman yang amat penting artinya bagi kelangsungan hidup masyarakat yang bersangkutan. Mereka tidak mempunyai hak dan kewajiban yang atas 38 penguasaan sumber daya alam secara perorangan maupun kolektif, seperti hak adat dan hak ulayat. e. Pengendalian dan pengawasan sosial Setiap kesatuan sosial mengembangkan pola-pola dan mekanisme pengendalian yang sampai batas tertentu sangat efektif. Akan tetapi, dengan perluasan jaringan sosial yang semakin luas kompleks serta melibatkan banyak orang yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, ekonomi, maupun kesatuan dan agama, pengendalian dan pengawasan sosial setempat itu terasa semakin kurang memadai. Sementara itu, berbagai pranata dan perundangan yang bersifat nasional selain kadangkadang bertentangan dengan pranata sosial setempat, sering kali diartikan secara berbeda oleh masyarakat karena mengacu pada adat dan tradisi masing-masing kelompok. f. Kebutuhan sosial Lingkungan sosial itu terbentuk karena di dorong oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, kebutuhan yang mendasar dan sederhana seperti makanan harus dipenuhi dengan melibatkan pihak lain. Kebutuhan mendasar mencakup kebutuhan dasar biologis, kebutuhan sosial dan kebutuhan kejiwaan. Kebutuhan dasar biologis meliputi makan, minum, seks dan reproduksi, mempertahankan diri, kesehatan, dan sebagainya. Kebutuhan sosial, antara lain mencakup kebutuhan untuk hidup bersama secara harmonis, kelompok sosial, 39 keteraturan, ketertiban dan sebagainya. Kebutuhan kejiwaan mencakup kebutuhan akan etika, moral, keindahan, hiburan, dan sebagainya.25 2.3.2. Tindak Pidana Lingkungan Hidup Tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja yang dapat menimbulkan kerusakan maupun pencemaran terhadap lingkungan hidup serta melanggar ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan yang mengatur mengenai lingkungan hidup. Tindak pidana lingkungan hidup yang dimaksud adalah pencemaran dan perusakan lingkungan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Ruang lingkup tindak pidana yang diatur dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV meliputi : 1) Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup. Delik dolusnya diatur dalam Pasal 98 (1) UUPPLH dengan ancaman pidana penjara minimal 3 tahun, maksimal 10 tahun, dan denda minimal Rp 3 miliar, maksimal Rp 10 miliar yang dapat diperberat apabila mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia (ayat 3). Delik culpanya diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UUPPLH dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun maksimal 3 tahun, dan denda minimal Rp 1 miliar, maksimal Rp 3 miliar yang dapat diperberat 25 Ibid, h.17-20. 40 apabila mengakibatkan orang luka dan / atau bahaya kesehatan manusia (ayat 2) atau mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia (ayat 3). 2) Melanggar baku mutu air, limbah, baku mutu emis, atau baku mutu gangguan. Diancam dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar (PAsal 100 ayat 1 UUPPLH). Menurut ayat (2) pidana dalam ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. 3) Melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g UUPPLH. Ancaman pidana penjara minimal 1 tahun maksimal 3 tahun dan denda minimal Rp 1 miliar maksimal Rp 3 miliar (Pasal 101 UUPPLH). 4) Melakukan pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) UUPPLH. Dipidana dengan pidana penjara minimal 1 tahun maksimal 3 tahun dan denda minimal Rp 1 miliar maksimal Rp 3 miliar (Pasal 102 UUPPLH). 5) Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UUPPLH. Dipidana dengan pidana penjara 1 tahun maksimal 3 tahun dan denda minimal Rp 1 miliar maksimal Rp 3 miliar (Pasal 103 UUPPLH). 41 6) Melakukan dumping (pembuangan) limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 UUPPLH. Dipidana penjara maksimal 3 tahun dan denda Rp 3 miliar (Pasal 104 UUPPLH). 7) Memasukkan limbah kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (1) huruf c UUPPLH. Dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun, maksimal 12 tahun, dan denda minimal Rp 4 miliar, maksimal Rp 12 miliar (Pasal 105 UUPPLH). 8) Memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (1) huruf d. Dipidana dengan pidana penjara minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun, dan denda minimal Rp 5 miliar, maksimal Rp 15 miliar (Pasal 106). 9) Memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat (1) huruf b UUPPLH. Dipidana dengan pidana penjara minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun, dan denda minimal Rp 5 miliar, maksimal Rp 15 miliar (Pasal 107 UUPPLH). 10) Melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h UUPPLH. Dipidana dengan pidana penjara minimal 3 tahun, maksimal 10 tahun, denda minimal Rp 3 miliar, denda maksimal Rp 10 miliar (Pasal 108 UUPPLH). 11) Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) UUPPLH. Dipidana 42 dengan pidana penjara minimal 1 tahun, maksimal 3 tahun, denda minimal Rp 1 miliar, dan denda maksimal Rp 3 miliar (Pasal 109 UUPPLH). 12) Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I UUPPLH. Dipidana dengan pidana maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar (Pasal 110 UUPPLH). 13) Pejabat memberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) UUPPLH. Dipidana dengan pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 3 miliar (Pasal 111 UUPPLH). 14) Pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud Pasal 71 dan Pasal 72 UUPPLH, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta (Pasal 112 UUPPLH). 15) Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j UUPPLH. Dipidana 43 dengan pidana penjara maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar (Pasal 113 UUPPLH). 16) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah. Dipidana dengan pidana penjara maksimal 1 tahun denda maksimal Rp 1 miliar (Pasal 114 UUPPLH). 17) Sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta (Pasal 115 UUPPLH). Semua tindakan pidana tersebut, menurut Pasal 97 UUPPLH adalah merupakan “kejahatan”. Ada dua macam delik yang diperkenalkan dalam UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu delik materiil (generic crimes) dan delik formil (specific crimes). Delik materiil (generic crimes) merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai berbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi. Oleh karena itu, delik formil dikenal juga sebagai Administrative Dependant Crimes.