bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas layanan sebagai salah satu realisasi dari tata
kelola pemerintahan yang baik (Good Corporate Governance) mensyaratkan
penerapan tata kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di setiap
instansi penyelenggara pelayanan publik [1].
Dalam Pedoman Tata Kelola TI Nasional Versi 1 Tahun 2007, bahwa
lingkup proses tata kelola adalah sebagai berikut [2] :
a. Perencanaan Sistem
Proses ini menangani identifikasi kebutuhan organisasi dan formulasi inisiatifinisiatif TIK apa saja yang dapat memenuhi kebutuhan organisasi tersebut.
b. Manajemen Belanja/Investasi
Proses ini menangani pengelolaan investasi/belanja TIK.
c. Realisasi Sistem
Proses ini menangani pemilihan, penetapan, pengembangan/akuisisi sistem
TIK, serta manajemen proyek TIK.
d. Pengoperasian Sistem
Proses ini menangani operasi TIK yang memberikan jaminan tingkat layanan
dan keamanan sistem TIK yang dioperasikan.
e. Pemeliharaan Sistem
Proses ini menangani pemeliharaan aset-aset TIK untuk mendukung
pengoperasian sistem yang optimal.
Berdasarkan lingkup proses di atas, manajemen investasi TI menjadi
penting agar pelaksanaan investasi TI sesuai kebutuhan dan perencanaan strategis
dari implementasi TI demi mewujudkan pelaksanaan IT Governance yang efektif
dan efiesien. Hal ini menjadi dasar bagi organisasi pemerintahan dalam mengelola
dan mengembangkan TIK.
1
Namun demikian
tidak
mudah
untuk
mengimplementasikannya.
Kesulitan implementasi sangat umum ditemukan di berbagai lembaga tinggi
negara [3]. Pengembangan dan implementasi TI pada lembaga pemerintahan, pada
umumnya berjalan lambat, inefisien dan minim kesinambungan. Banyak faktor
yang menunjang ketidakberhasilan ini, mulai hambatan manajerial, seperti
ketidakcukupan anggaran, solusi yang tidak sesuai, buruknya perencanaan,
lemahnya koordinasi, implementasi serta monitoring dan evaluasi aplikasi yang
dikembangkan, ketidakjelasan distribusi kewenangan antar satuan kerja, sampai
hambatan geografis dan infrastruktur [4].
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) tidak luput dari masalah
ini. Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memiliki arsitektur sistem informasi
yang terintegrasi antara satker-satker di bawah Mahkamah Agung khususnya
mengenai organisasi pengelolaan teknologi dan sistem informasi termasuk
prosedur pengelolaan TI, arsitektur data/informasi, arsitektur aplikasi, dan
arsitektur infrastruktur teknologinya [5].
Sebagai Lembaga Tinggi Negara, Mahkamah Agung (MA) berusaha
merevitalisasi fungsi sebagai pengadilan tertinggi, di antaranya dengan
modernisasi proses kerja [6]. Untuk mewujudkan keberhasilan pengembangan ini
tentu tidak terlepas dari kebijakan pengembangan
TI, salah satunya melalui
investasi di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Pengembangan TI telah mulai dilakukan MA sejak pertengahan tahun
1980-an, dengan dikembangkannya aplikasi database yang melakukan registrasi
elektronik pada direktorat perdata. Selanjutnya implementasi TI mulai
berkembang ke cakupan yang lebih kompleks [4]. Hingga pada tahun 2004,
aplikasi yang dikembangkan adalah sama sekali baru, artinya semua dibangun dari
awal,
seperti aplikasi sistem
administrasi
perkara.
Lingkup
sistempun
membengkak, menjadi kumpulan aplikasi yang terdiri dari beragam modul, yang
meliputi manajemen perkara, manajemen kepegawaian, manajemen aset,
manajemen pengawasan dan pembinaan, perpustakaan, administrasi hukum,
logistik, perencanaan, arsip, sampai portal internet.
Gaffar dkk [3] menyatakan beberapa realita yang terjadi ketika
2
Mahkamah Agung mengeluarkan Laporan Hasil Kegiatan Pemetaan Keberadaan
Sistem Informasi di MA, yaitu:
a. Pemborosan dana akibat kegagalan operasional pada beberapa inisiatif
komputerisasi di MA dan jajaran pengadilan di bawahnya
b. Usaha komputerisasi yang gagal di MA dan jajaran pengadilan di bawahnya
juga mencakup inisiatif komputerisasi yang dananya berasal dari bantuan luar
negeri
c. Tingkat keberhasilan dan mutu yang beragam dari komputerisasi di MA dan
jajaran pengadilan di bawahnya
d. Komputerisasi yang berjalan tidak memberikan dampak efisiensi dan
efektifitas pelaksanaan dan pengelolaan proses kerja MA dan jajaran
pengadilan di bawahnya
e. Pendekatan komputerisasi di MA dan jajaran pengadilan di bawahnya
menyebabkan duplikasi effort dan sumber daya
f. Proses kerja tata kelola TI yang dilaksanakan MA dan jajaran pengadilan di
bawahnya tidak lengkap, tidak terintegrasi, dan belum memenuhi karakteristik
proses kerja yang matang dan terkelola dengan baik
g. MA dan jajaran pengadilan di bawahnya tidak memiliki fungsi organisasi TI
yang lengkap untuk mendukung terlaksananya tata kelola TI yang baik dan
sehat
h. MA dan jajaran pengadilan di bawahnya tidak memiliki personil TI yang
benar-benar memiliki pengalaman dan keahlian yang nyata dalam bidang TI.
Kondisi pemanfaatan TI di lingkungan MA dan badan-badan peradilan di
bawahnya masih berjalan secara sporadis. Ada berbagai inisiatif yang secara
parsial dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan proses kerja yang ada.
Berbagai sistem yang ada juga tidak saling terhubung sehingga tidak bisa
memberikan manfaat yang maksimal bagi organisasi. Dengan demikian, terdapat
kesenjangan antara kondisi saat ini dengan arsitektur ideal yang diidamkan [6].
Kenyataan ini tentu harus ditanggapi secara serius. Kenapa hal ini terjadi,
salah satunya tentu berasal dari bagaimana pengelolaan kebijakan, khususnya
3
investasi TI. Tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk menyukseskan setiap
program. Suatu manajemen investasi yang tepat harus dirancang sedemikian rupa
sehingga kegagalan-kegalan di masa lalu tidak terulang kembali.
Menyadari hal ini, Mahkamah Agung, pada awal tahun 2007,
pengelolaan teknologi informasi dilaksanakan secara lebih mandiri, Mahkamah
Agung mulai meninggalkan mekanisme ad hoc yang sejak lama dipakainya dalam
mengelola TI, dan mengadopsi sistem yang lebih permanen. Fungsi pengelolaan
teknologi informasi mulai dimasukkan sebagai salah satu fungsi permanen di
bawah Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi (BUA) Mahkamah
Agung
yaitu
Bagian
Pengembangan Teknologi
Informasi
dan
Bagian
Pemeliharaan Teknologi Informasi, dan pada periode ini pejabat-pejabat struktural
dan stafnya mulai efektif bekerja, mengambil alih fungsi-fungsi yang sebelumnya
dilaksanakan oleh vendor. Ada beberapa hal yang mencirikan tata pengelolaan
teknologi informasi pada periode ini, pertama, dimulainya era kemandirian
pengelolaan teknologi informasi, kedua, peningkatan signifikan dalam kapasitas
dan kualitas infrastruktur teknologi informasi, dan ketiga, terjadi kemajuan
signifikan yang diperoleh dari sinergi inisiatif teknologi informasi Mahkamah
Agung dengan dukungan donor yang makin terfokus dan efektif [4].
Tidak hanya itu, Mahkamah Agung terus berbenah diri. Di dalam cetak
biru pembaharuan pengadilan 2010-2035, tata kelola TI juga menjadi fokus
kajian. Disebutkan bahwa memiliki manajemen informasi yang menjamin
akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi serta menjadi organisasi modern
berbasis TI terpadu adalah salah satu penunjang penting yang akan mendorong
terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang agung [6]. Oleh karena itu, segenap
pemangku kepentingan di lingkungan MA dan badan-badan peradilan di
bawahnya menempatkan pembenahan TI sebagai salah satu prioritas perubahan.
Dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung,
apalagi setelah ditunjuknya satu biro khusus pengelola TI, maka dirasa perlu
untuk menilai pengelolaan TI, khususnya investasi TI. Sebagai catatan, sejak
tahun 2007, MA belum pernah melakukan audit sistem pengelolaan TI-nya. Maka
penelitian ini menjadi tepat dilakukan sebagai salah satu penilaian awal terkait TI.
4
Salah satu standar yang digunakan dalam menilai pengelolaan investasi
TI adalah kerangka kerja COBIT yang pada saat ini telah sampai pada versi 5.
Penggunaan COBIT 5 dengan pertimbangan bahwa kerangka kerja ini merupakan
standar yang diakui dan diterima secara internasional, direkomendasikan untuk
penerapan tata kelola TI yang baik serta merupakan edisi terbaru dari Framework
COBIT ISACA (Information System Audit and Control Association) yang
menyediakan penjabaran tata kelola TI untuk menggambarkan peran utama dari
informasi dan teknologi dalam menciptakan nilai perusahaan [7].
Sebagai evaluasi,
COBIT 5 menyediakan suatu model pengukuran
untuk mengetahui kapabilitas dari proses yang telah dijalankan. Metode yang
digunakan adalah Process Assessment Model (PAM), yang sesuai dengan dengan
ISO/IEC 15504.
Model ini
menyediakan 6 tingkatan kapabilitas dengan
indikator-indikator sebagai pedoman atas interprestasi tujuan proses dan outcome
yang didefinisikan oleh COBIT 5 dan atribut proses yang didefinisikan dalam
ISO/IEC 15504-2 [8]. Pengukuran kapabilitas ini penting dilakukan untuk
mengetahui berada pada tingkatan berapakah proses tata kelola yang telah
dilaksanakan berdasarkan COBIT 5. Hasil pengukuran ini tentu bisa dijadikan
bahan pertimbangan atau perbaikan tata kelola selanjutnya.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Pengelolaan teknologi infromasi yang dilakukan oleh Biro Hukum dan Humas
MARI masih belum mencerminkan tata kelola yang baik.
b. Biro Hukum dan Humas MARI belum pernah melakukan audit terhadap tata
kelola TI-nya sehingga dirasa perlu melakukan evaluasi untuk mengetahui
tingkat kapabilitas proses tata kelola khususnya yang terkait dengan investasi
TI.
5
1.3
Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang membahas mengenai evaluasi atau
penilaian terhadap pengelolaan teknologi informasi. Di antaranya adalah :
a. Ramadhanty [9], membahas penerapan tata kelola TI pada PT. Indonesia
Power dengan menggunakan COBIT 4.1. Penelitian ini menemukan bahwa
pelaksanaan pengelolaan TI telah disesuaikan dengan rencana strategis
perusahaan dan menghasilkan kematangan pada kisaraan 3, yang berarti belum
mencapai tingkatan best practice.
b. Kesumawarhani [10] membahas penilaian tata kelola TI di PT. Timah yang
diukur dengan menggunakan maturity level dalam COBIT 4.1. Hasil penelitian
yang bersifat kualitatif ini menyatakan bahwa PT. Timah memperoleh level 3,7
(defined) dalam pengelolaan TInya.
c. Elvina [11] mengukur tingkat layanan TI di Kominfo dengan menggunakan
kerangka kerja COBIT 5. Hasilnya menujukkan bahwa tingkat kapabilitas
proses TI hanya berada pada level 1 dan 2.
d. Siregar [12] mengukur tingkat layanan TI pada Pemerintah Kota Sungai Penuh
Provinsi Jambi dengan menggunakan kerangka kerja COBIT 5. Hasil
pengukuran menunjukkan secara umum tingkat kapabilitas proses pengelolaan
berada pada level 1. Prioritasi perbaikan tingkat kapabilitas proses pada
penelitian ini berdasarkan prinsip nilai kesenjangan (gap value) dan upaya
(effort) dari jumlah aktivitas tiap proses.
e. Irfansyah [13], melakukan pengukuran dengan Process Assessment sesuai
standar ISO 15504 dan Value Chain Framework untuk analisis industri. Dari
hasil pengukuran, dapat dikatakan proses teknologi informasi di PT. XYZ
masih belum berjalan secara optimal dan keterlibatan teknologi informasi
kedalam pengelolaan event masih minim.
f. Witanti dan Falahah [14], Kozina dan Popović [15], Tampubolon dan Suharso
[16] mengeksplorasi kerangka kerja Val IT dan manfaatnya bagi organisasi. Di
sini mereka menjelaskan setiap domain dan proses Val IT. Studi literatur yang
dilakukan menemukan bahwa melalui tiga domain dan prinsip Val IT
6
menghasilkan pengelolaan TI yang efektif dengan mengenali kategori yang
berbeda dari investasi dan menentukan pertanggujawabannya.
g. Suharsono [17] mengangkat tema penggunaan kerangka kerja Val IT untuk
menilai perencanaan investasi TI pada Universitas Sangga Buana YPKP
Bandung. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi seluruh proses Val IT.
Kemudian, dilakukan analisis dengan memakai Business Case untuk menilai
suatu perencanaan investasi TI berdasarkan analisis keselarasan TI dengan
sasaran strategis Universitas Sangga Buana YPKP, analisis keuntungan
finansial dan nonfinansial, serta analisis risiko. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Universitas Sangga Buana YPKP telah berhasil menerapakan Val IT
sebagai pedoman dalam melaksanakan perencanaan investasi TI.
h. Takarendehang [18] melakukan pengkajian tentang keterlibatan unit bisnis
pada pengelolaan investasi TI dengan menggunakan kerangka kerja VaL IT
dan COBIT. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa unit bisnis TI telah
terlibat dalam semua proses pengelolaan investasi TI, namun pengukuran
tingkat maturitas untuk setiap proses dalam domain Val IT menujukkan bahwa
proses-proses yang telah dilakukan perlu ditinjau kembali.
i. Kumaralalita et al [19], melakukan penelitian yang berfokus pada manajemen
TI dan memetakannya untuk melihat kepatuhan berdasarkan kerangka kerja
yang dipilih. Hasil analisis menggambarkan proses dalam setiap domain
berdasarkan praktik saat ini. Kerangka kerja yang digunakan adalah edisi
terbaru yaitu Val IT 2.0. Di akhir penelitian disimpulkan bahwa bank tersebut,
telah menyelaraskan investasi TI dengan tujuan bisnis.
Penelitian ini tidak akan lengkap jika tidak didasari oleh data-data dari
Mahkamah Agung sendiri, diantaranya adalah :
a. Suyudi dkk [4] melakukan pemetaan implementasi teknologi informasi pada
lembaga penegak hukum di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di dua institusi,
yaitu Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. Kajian ini dilaksanakan dengan metode pengumpulan data primer
dan sekunder, survei website dan focus group discussion. Dari penelitian ini
7
diketahui bahwa perlu perhatian khusus terhadap strategi pengembangan TI
berkelanjutan.
b. Gaffar dkk [3] mengkritisi sistem informasi Mahkamah Agung dan jajaran
peradilan di bawahnya. Dengan menggunakan pendekatan root-cause analysis
yang menelusuri masalah-masalah TI yang dialami ke penyebab strategisnya
serta rekomendasi yang dikelompokkan dan diberi nomor urut prioritas
implementasinya.
Berdasarkan
penelitian-penelitian sebelumnya,
serta
temuan
yang
diperoleh mendorong peneliti untuk menganalisis tata kelola investasi di
Mahkamah Agung. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena
berfokus pada tata kelola investasi TI dengan menggunakan kerangka kerja yang
relatif baru yaitu COBIT 5. Penelitian ini juga merupakan penelitian pertama yang
dilakukan di Mahkamah Agung dengan menggunakan suatu kerangka kerja
terukur. Penelitian tentang kondisi TI pada Mahkamah Agung yang dilakukan
sebelumnya hanya didasarkan pada investigasi secara umum tanpa adanya suatu
standar pengukuran.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui pada
level berapakah tingkat kapabilitas proses tata kelola investasi TI di Biro Hukum
dan Humas Mahkamah Agung RI, serta memberikan rekomendasi aktivitas yang
dapat dilakukan untuk perbaikan tata kelola investasi TI selanjutrnya.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Memberi gambaran dan penilaian yang objektif kepada Mahkamah Agung,
khususnya Biro Hukum dan Humas, tentang pelaksanaan tata kelola
investasi teknologi informasi.
b. Memberi usulan langkah-langkah terbaik bagi Mahkamah Agung pada
saat akan mengambil keputusan investasi teknologi Informasi.
8
Download