Metroxylon sp. - IPB Repository

advertisement
24
TINJAUAN PUSTAKA
Sagu
Tanaman sagu (Gambar 1) termasuk tumbuhan monokotil, keluarga
Palmae, Marga Metroxylon, ordo Spadisiflorae. Nama Metroxylon berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari kata ”Metra” dan ”Xylon”. Metra berarti isi
batang, sedang Xylon berarti kayu (Flach, 1983).
Gambar 1. Tanaman Sagu
Tanaman sagu digolongkan secara garis besar menjadi dua golongan yaitu
golongan yang berbunga/berbuah satu kali dan golongan yang berbunga atau
berbuah dua kali atau lebih (Soerjono, 1980). Golongan sagu yang berbunga atau
berbuah satu kali bernilai ekonomis lebih tinggi karena memiliki kandungan pati
yang tinggi. Jenis sagu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah Metroxylon
rumphii Martius, Metroxylon sagus Rottboll, Metroxylon sylvester Martius,
Metroxylon micracantum Martius, Metroxylon longispinum Martius. Sedangkan
golongan yang berbunga atau berbuah dua kali atau lebih rendah mengandung
karbohidrat, tumbuh di daerah dataran tinggi yang terdiri dari Metroxylon filare
dan Metroxylon elanum.
25
Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu, karena
merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat
menghasilkan pati sagu. Tinggi pohon sagu dapat mencapai 15 meter (Ruddle et
al., 1978). Ukuran dari batang sagu dan kandungan patinya tergantung pada jenis
sagu, umur dan habitatnya. Pada bagian dalam batang pohon sagu terdapat gumbar
(empulur) yang mengandung karbohidrat. Pada umur panen sekitar 11 tahun ke
atas empelur sagu mengandung pati sekitar 15-20 persen (Rumalu, 1981 dalam
Haryanto dan Pangloli, 1992). Setiap pohon sagu dapat menghasilkan sagu
berkisar antara 50-500 kg tepung sagu basah (Sastrapradja et al., 1980).
Kandungan pati maksimal ada pada saat sagu sebelum berbunga.
Munculnya primordia bunga biasanya menunjukkan kandungan pati menurun.
Kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan
bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan
menjadi kosong dan tanaman sagu mati. Keadaan tersebut mempermudah petani
untuk mengetahui kandungan pati sagu secara maksimum (Haryanto dan Pangloli,
1992).
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan asli Indonesia. Selain di
Indonesia sagu ditemukan hanya dibeberapa negara lain, seperti Papua New
Guinea, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Ruddle et al., 1978). Indonesia memiliki
areal sagu terbesar dengan luas sekitar 1,5 juta hektar atau 60% dari 2,5 juta hektar
sagu dunia. Peta populasi sagu dunia disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta populasi sagu dunia (sumber: www. traditionaltree.org)
26
Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial disamping beras,
khususnya bagi sebagian masyarakat di kawasan Timur Indonesia seperti Papua
dan Maluku. Beberapa produk olahan pati sagu antara lain papeda, sinoli, soun,
ongol-ongol, dan sebagainya. Diperkirakan sekitar 90% areal sagu Indonesia
berada di kawasan Timur Indonesia. Lima daerah potensial sagu terbesar di
Indonesia, yaitu untuk Papua 600.000 hektar; Maluku 94.949 hektar; riau 51.250
hektar; Sulawesi Utara 23.400 hektar dan Sulawesi Tenggara 13.706 hektar
(Chiljo,2009).
Umumnya daerah pertumbuhan sagu pada daerah terisolasi dan jauh dari
perkotaan. Sagu banyak tumbuh di daerah-daerah marjinal, dimana tumbuhan
penghasil karbohidrat lainnya lebih sulit untuk tumbuh. Pemanfaatan sagu di
Indonesia belum maksimal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang
hanya memiliki luas areal sagu seluas 1,5% dan 0,2% dari total luas areal sagu
dunia. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat rendah yang ditandai
dengan kapasitas dan produktivitas pengolahan yang masih rendah. Hal ini
disebabkan oleh sebagian besar pengolahan sagu ditujukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Cara sederhana tersebut menghasilkan rendemen yang rendah
dan kurang efisien.
Pati sagu di pasar internasional digunakan sebagai bahan subsitusi tepung
terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, industri
perekat, dan industri farmasi. Pemanfaatan dan nilai tambah sagu ditingkat petani
masih sangat sederhana. Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak,
kalsium, dan zat besi yang tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu berpotensi
sebagai bahan baku untuk membuat bioenergi.
Batang merupakan komponen hasil utama pada tanaman sagu. Tepung
sagu diperoleh dari empulur, sehingga pengolahan hasilnya cukup berat dan
memerlukan alat yang khusus pula. Batang sagu yang sudah ditebang selanjutnya
dikuliti untuk mendapatkan empulur yang mengandung tepung. Selanjutnya,
empulur yang dihasilkan diparut agar memudahkan peremasan (pengepresan).
Peremasan dilakukan dengan menggunakan alat pres untuk mengeluarkan pati dari
parutan empulur. Setelah selesai peremasan, dilakukan penyaringan untuk
membuang serat-serat kasar dari empulur. Suspensi pati yang didapatkan
27
kemudian diendapkan untuk memisahkan pati sagu dari air. Langkah selanjutnya
adalah pengeringan, pengepakan dan penyimpanan atau distribusi ke konsumen.
Peralatan pengolahan sagu sudah tersedia atau mudah disediakan kecuali
untuk kegiatan pemarutan. Pemarutan empulur dapat dilakukan dengan
menggunakan alat berupa silinder berpaku yang digerakkan oleh generator.
Silinder
berpaku
mudah
direkayasa
di
pedesaan,
sementara
generator
membutuhkan biaya yang cukup mahal. Kondisi seperti ini tidak mudah bagi
kebanyakan masyarakat Papua yang rata-rata berpendapatan sangat rendah. Oleh
karena itu, umumnya masyarakat Papua menggunakan teknik pengolahan dan
peralatan tradisional.
Untuk meningkatkan efisiensi pengolahan sagu, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Papua telah merakit alat pangkur sagu dan alat
peremas spesifik lokasi, yaitu pangkur rantai, pangkur tali, dan pangkur gendong.
Pangkur merupakan alat pemarut empulur untuk mempermudah peremasan,
sedangkan alat peremas digunakan untuk memisahkan tepung sagu dari empulur.
Pangkur dirakit dengan menggunakan bahanbahan yang tersedia di pedesaan.
Konstruksi pangkur terdiri atas silinder kayu berpaku, gir sepeda roda belakang,
pegas, dan rantai atau tali yang berfungsi sebagai belt. Penggunaan pangkur lebih
efisien dibandingkan dengan pengolahan cara tradisional.
Ekstraksi Pati Sagu
Cara dan alat pengambilan pati sagu dapat dibedakan antara lain (1) cara
tradisional; (2) tradisional yang disempurnakan; dan (3) cara modern. Pengambilan
pati sagu pada umumnya terdiri dari dua tahap pekerjaan, yaitu penghancuran
”ela” atau bagian lunak dari batang sagu setelah ditebang serta pemerasan ”ela”
yang
telah
dihancurkan.
Proses
penghancuran
”ela”
bertujuan
untuk
menghancurkan serat yang ada pada batang sagu, sehingga tepung yang
terkandung dalam serat dapat diambil semaksimal mungkin.
Pati sagu perlu dipisahkan dari serbuk batang yang tercampur. Pemisahan
dilakukan dengan pemerasan dan pengendapan. Serbuk batang sagu yang telah
dikeruk dimasukkan ke dalam keranjang, lalu diangkut ke tempat pemerasan, dan
dituang ke dalam bak pemerasan. Pemerasan dilakukan dengan tangan atau
28
menggunakan kaki. Untuk memudahkn pemisahan pati sagu, serat-serat batang
tersebut diberi air. Pemerasan dihentikan setelah air yang menetes jernih.
Sifat Fisika Kimia Pati
Pati merupakan salah satu bentuk karbohidrat tanaman yang terbentuk
melalui proses fotosintesis. Pati terdapat dalam butir-butir kecil atau granula yang
terkumpul dalam biji, umbi dan bagian dalam batang. Adapun sumber pati yang
telah banyak digunakan antara lain ubi kayu, ubi jalar, jagung, beras, sagu,
kentang, dan barley (Brautlecht, 1953).
Bentuk dan ukuran granula khas untuk setiap jenis pati, sehingga sifat ini
dapat digunakan untuk menentukan sumbernya (Hill dan Kelly, 1942). Granula
pati terdiri atas lapisan tipis yang merupakan susunan melingkar dari molekulmolekul pati dengan bentuk kristal kecil yang disebut micella. Granula pati dalam
keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa
(Brautlecht, 1953). Granula pati sagu berbentuk ellips dengan ukuran 20 -60 µ.
Sifat fisika kimia pati sagu sebagai berikut :
Gelatinisasi
Bila granula pati dimasukkan ke dalam air dingin maka akan terjadi
pengembangan granula yang dapat bersifat bolak-balik (reversible). Besarnya
pengembangan tergantung pada jenis pati dan perlakuan sebelumnya (Williams,
1968). Pengembangan terjadi karena sejumlah kecil air menyerap ke bagian amorf
dari granula pati, yang memiliki ikatan intermolekuler kurang kuat. Bila suspensi
pati dipanaskan maka air akan lebih mudah masuk ke dalam granula. Mula-mula
terjadi sedikit pengembangan sampai tercapai suhu 60oC akan terjadi
pengembangan granula yang sangat cepat dengan meningkatnya suhu (Radley,
1968).
Pengembangan granula pati karena pemanasan ini disebut suhu gelatinisasi
pati dan proses ini tidak kembali (irreversible). Suhu pada saat terjadinya
pengembangan granula pati dengan membentuk gel disebut suhu gelatinisasi.
Pengembangan granula pati akan menyebabkan terjadinya beberapa perubahan
diantaranya hilangnya sifat birefringent granula, peningkatan viscositas dan
kecerahan suspensi (Radley, 1968).
29
Menurut Brautlecht (1953), ukuran granula pati sagu berkisar antara 10-70
µm, sebagian besar terdiri dari granula berukuran besar (50-70 µm), dan hanya
sedikit yang berukuran kecil (10-20 µm). Umumnya butiran pati yang berukuran
kecil akan menggelatinisasi lebih lambat dan pada suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan butiran pati yang berukuran besar, karena setiap granula
akan mengembang pada saat tercapainya suhu gelatinisasi masing-masing. Oleh
karena itu, adanya variasi dari ukuran gelatinisasi dan merupakan ciri khas dari
masing-masing jenis pati. Suhu gelatinisasi pati sagu berkisar pada 60oC
(Jarowenko, 1976).
Amilosa dan Amilopektin
Amilosa adalah komponen berantai lurus dengan ikatan α-(1,4) D-glukosa.
Tiap polimer pati mengandung 200-2000 unit D-glukosa. Amilosa bersifat
hidrofilik, karena banyak mengandung gugus hidroksil pada molekulnya yang
bersifat polar. Rantai lurus amilosa cenderung membentuk susunan paralel satu
sama lain dan saling berkaitan melalui ikatan hidrogen. Jika hal ini terjadi maka
afinitas amilosa terhadap air akan menurun karena adanya ikatan antara molekul.
Kumpulan molekul amilosa akan meningkat sampai mencapai suatu titik dimana
terjadi pengendapan bila konsentrasinya rendah, dan akan terbentuk gel bila
konsentrasinya tinggi.
Amilopektin adalah polimer berantai cabang, yang setiap cabang terdiri 1525 unit D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) glikosidik dan pada tempat sambungan
percabangannya dengan ikatan α-(1,6) glikosidik. Perbandingan antara jumlah
amilosa dan amilopektin dari tiap jenis pati berlainan, pada umumnya pati
mengandung amilosa sekitar 22-26 % dengan amilopektin 74-78 % (Whistler,
1977). Khususnya pati sagu menurut Johnson dan Peterson (1974) perbandingan
kandungannya adalah 17-27 % amilosa dan 73-83 % amilopektin.
Komposisi Kimia Pati Sagu
Komposisi kimia pati sagu sangat bervariasi. Variasi tersebut tidak banyak
dipengaruhi oleh perbedaan spesies, umur, dan habitat di mana pohon sagu
tumbuh. Faktor utama yang mempengaruhi variasi tersebut adalah faktor
pengolahanannya. Komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 1.
30
Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu dalam 100 gram bahan
Komponen
Kadar
Kalori (kal)
285,0
Air (%)
27,0
Protein (%)
0,2
Karbohidrat (%)
71,0
Serat kasar (%)
0,3
Kalsium (mg)
30,0
Besi (mg)
0,7
Lemak, karoten, thiamin dan vitamin C
Sangat sedikit
Sumber: Ruddle et al. (1978).
Sirup Glukosa Pati Sagu
Sirup glukosa pati sagu berupa cairan jernih dan kental dengan komponen
utamanya glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati. Hidrolisis pati menjadi
glukosa dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan enzim atau asam pada
waktu, suhu, dan pH tertentu. Berbagai metode hidrolisis pati telah banyak
dikembangkan, diantaranya hidrolisis asam, hidrolisis enzim dan kombinasi antara
asam dan enzim.
Hidrolisis pati menjadi sirup glukosa dengan asam telah lama digunakan
pada pembuatan sirup glukosa dan menghasilkan sirup glukosa dengan DE-42
yang banyak digunakan pada industri permen. Hidrolisis secara asam memiliki
kekurangan dibandingkan dengan hidrolisis enzim, yaitu timbulnya warna dan
flavor yang tidak diinginkan, sehingga dapat menurunkan mutu produk, serta
memerlukan kondisi proses yang ekstrim. Berbeda dengan hidrolisis enzimatis,
selain kondisi proses yang tidak ekstrim, pemakaian enzim dapat menghasilkan
rendemen dan mutu larutan glukosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan
hidrolisis secara asam. Pada hidrolisis secara enzimatis ikatan pati terpotong
secara teratur atau sesuai dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan hidrolisis
secara asam pemotongan terjadi secara acak.
Terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi pati pada proses hidrolisis pati
sagu, yaitu tahap gelatinisasi, likuifikasi, dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi
merupakan tahapan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap
31
likuifikasi berupa proses hidrolisis pati parsial yang yang ditandai dengan
menurunnya viscositas, dan tahap sakarifikasi adalah proses lebih lanjut dari
hidrolisis untuk menghasilkan glukosa (Chaplin dan Buckle, 1990).
Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim
α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak, sehingga dihasilkan
glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Enzim α-amilase merupakan
enzim yang
menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan
memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus α-(1,4) glikosidik
dan amilosa, amilopektin, dan glikogen. Ikatan α-(1,6) glikosidik tidak dapat
diputus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih
pendek (Nikolov dan Reilly, 1991). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari
Bacillus amyloquefaciens, B. licheniformis, Aspergillus oryzae, dan A. niger. Nilai
pH optimum untuk aktivitas enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60oC.
Apabila suhu dinaikkan, maka pH optimum pun semakin meningkat sampai
kisaran tujuh (Tjokroadikoesomo, 1986).
Pada likuifikasi pati biasanya α-amilase yang digunakan memiliki aktivitas
yang tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0,5-0,6 kg/ton pati atau
1500 U/kg substrat kering (Chaplin dan Bucke, 1990). Enzim α-amilase komersial
dibuat oleh Novo Industry AS antara lain dengan nama Termamyl yang
mempunyai ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110oC. Stabilitas Termamyl
tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion dan ekuivalen dekstrosa.
Dosis α-amilase yang biasa digunakan antara 0,5-0,6 kg Termamyl 120 L per ton
pati kering. Satu kNU (kilo Novo α-amilase Unit) adalah jumlah enzim yang dapat
menghidrolisis 5,26 pati (gram standar) per jam dengan suhu 37oC, pH 5,6 pada
kondisi standar.
Proses selanjutnya adalah sakarifikasi oleh enzim amiloglukosidase.
Amiloglukosidase merupakan eksoenzim yang terutama memecah ikatan α-(1,4)
dengan melepaskan unit-unit glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan
amilopektin untuk memproduksi β-D-Glukosa. Nama trivial yang sering
digunakan pada enzim ini adalah amiloglukosidase (AMG), glukomilase, dan
gamma-amilase (Kulp, 1975). Amiloglukosidase ditemukan pada tahun 1950-an
dan digunakan secara luas pada teknologi bioproses pati dan industri makanan.
32
Kegunaan yang luas dan spesifik menyebabkan amiloglukosidase digunakan pada
produksi gula cair.
Amiloglukosidase diproduksi pada skala besar dari kapang dan khamir,
tetapi hanya Aspergillus dan Rhizopus yang digunakan secara komersial. Suhu
optimum untuk amiloglukosidase berkisar 40-60oC dengan pH optimum 3-8.
amiloglukosidase yang umum digunakan pada tahap likuifikasi berasal dari
Aspergillus niger. Pada kondisi yang sesuai, amiloglukosidase ditambahkan
dengan dosis berkisar 1,65-0,80 liter enzim per ton pati dengan dosis sebesar 200
U/kg pati (Chaplin dan Buckle, 1990). Amiloglukosidase yang berasal dari Novo
yaitu AMG yang tersedia dalam bentuk cairan dengan aktivitas 200, 300 atau 400
AGU g-1. satu AGU
(Amiloglukosidase Unit)
adalah jumlah enzim yang
menghidrolisis 1 µmol maltosa per menit pada suhu 25oC dan kondisi standar
(Kearsley dan Dziedzic, 1995).
Kultivasi Etanol
Menurut Prescot dan Dunn (1959), etanol dapat diproduksi dari gula
melalui kultivasi pada kondisi tertentu. Sedangkan pati dan karbohidrat lainnya
dapat dihidrolisis menjadi gula kemudian dikultivasi untuk membentuk etanol.
Etanol merupakan nama kimia untuk alkohol dengan rumus kimia C2H5OH.
Etanol adalah suatu cairan tak berwarna dengan bau yang khas. Berat jenis secara
spesifikasi cairan ini pada 15oC sebesar 0,7937 dan mulai mendidih pada suhu
78,32oC (760 mm air raksa).
Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses
kultivasi
karbohidrat
gula
dari
sumber
dengan
menggunakan
bantuan
mikroorganisme. Proses produksi etanol berbahan baku karbohidrat dapat dilihat
pada Gambar 4.
Mikroba yang digunakan dalam kultivasi etanol adalah khamir. Khamir
yang biasa digunakan untuk menghasilkan etanol adalah Saccharomyces
cerevisiae var. ellipsoides. Khamir ini sering digunakan pada kultivasi etanol
karena menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi,
mampu hidup pada suhu yang tinggi, tetap stabil selama kondisi kultivasi dan
dapat bertahan hidup pada pH rendah (Rehm dan Reed, 1981).
33
Gambar 4. Diagram alir proses produksi etanol (Wyman, 2001)
Saccharomyces cerevisiae var. ellipsoides dapat diperoleh dalam bentuk
kultur murni biasanya digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol (brewing
yeast dan wine yeast). Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai
untuk pertumbuhan dan perkembang-biakannya. Unsur-unsur dasar yang
dibutuhkan berupa karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi, dan magnesium.
Unsur karbon banyak diperoleh dari gula dan sumber nitrogen didapatkan dari
amonia, asam amino, peptida, pepton, nitrit atau urea tergantung pada jenis
khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama dari
pembentukan alkohol dari gula.
Pada awal
proses
kultivasi, khamir memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya, sehingga kultivasi berlangsung secara aerob. Selanjutnya setelah
terbentuk CO2, reaksi akan berubah secara anaerob. Alkohol yang terbentuk akan
menghalangi kultivasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15%
volume. Konsentrasi alkohol akan menghalangi kultivasi, tergantung pada suhu
dan jenis khamir yang digunakan (Prescot dan Dunn, 1959).
Khamir tumbuh terbaik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa
khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi
aerobik selanjutnya digantikan dengan proses kultivasi pada kondisi anaerobik
34
karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap
keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh
lebih besar dari pada energi yang dihasilkan pada kultivasi (Barnett et al., 2000).
Apabila terdapat udara pada proses kultivasi maka etanol yang dihasilkan lebih
sedikit, karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula
menjadi karbondioksida dan air.
Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada suhu 25-30 oC dan
maksimum pada 35-47 oC. Sedangkan pH optimum adalah 4-5. Batas minimal aw
untuk khamir biasanya adalah 0,88-0,94 sedangkan untuk khamir osmofilik dapat
tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0,32-0,65. Namun banyak juga
khamir osmofilik yang pertumbuhannya terhenti pada aw 0,78 seperti pada larutan
garam atau sirup (Frazier dan Westhoff, 1978).
Menurut Casida (1968), pH pertumbuhan khamir yang baik adalah pada
rentang antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil
samping kultivasi. Nilai pH pertumbuhan
berhubungan
positif dengan
pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi, maka lag fase akan lebih singkat dan
aktifitas kultivasi akan meningkat. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga
tergantung pada konsentrasi gula dan etanol. Nilai pH dapat dipertahankan dalam
medium konstan dengan menambahkan buffer (larutan penyangga).
Paturau (1981) menyatakan bahwa kultivasi etanol memerlukan waktu 3072 jam. Prescott dan Dunn (1959) menyatakan waktu kultivasi etanol adalah 3-7
hari. Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa proses konversi gula menjadi
etanol dan CO2 dilakukan oleh sel khamir Pada kondisi anaerob, metabolisme
glukosa menjadi etanol melalui jalur Embden Meyerhoff-Parnas yang merupakan
reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor
aseptor fosfat, reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terforforilasi,
reaksi oksidasi-reduksi
dan reaksi dekarboksilasi. Jalur Embden Meyerhoff-
Parnas dapat dilihat pada Gambar 5.
35
Keterangan
:
ATP
ADP
NAD
NADP
NADPH
=
=
=
=
=
Adenosin Trifosfat
Adenin Difosfat
Nikotinamida Adenin Dinukleotida
Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat
Nikotinamida Adenin Dinukleotida Tereduksi
Gambar 5. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway (Prescott dan Dunn, 1959)
Enzim yang berperan dalam pembuatan etanol dari glukosa adalah
heksosinase,
fosfoheksoisomerase.,
fosfofruktokinase,
aldose,
triosefosfat
isomerase, 3-fosfat gliseraldehid dehidrogenase, fosfogliserokinase, piruvat
karboksilase, dan alkohol dehidrogenase.
Secara teoritis konversi molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2
molekul CO2 menurut persamaan Gay Lussac sebagai berikut:
36
Berdasarkan persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa secara teoritis 51,1
% gula diubah menjadi etanol dan 48,9 % diubah menjadi karbondioksida. Akan
tetapi hasil ini tidak sepenuhnya dapat tercapai diakibatkan karena adanya hasil
samping. Pada kenyataannya hanya 90-95 % dari nilai tersebut yang dapat
tercapai. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam kultivasi tergantung pada
jenis khamir yang digunakan dan kadar gula, sedangkan konsentrasi produk
samping dipengaruhi oleh suhu, aerasi, kadar gula, dan keasaman (Underkofler
dan Hickey,1954). Produk samping yang dihasilkan berupa asam piruvat dan asam
laktat.
Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P
dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian diubah menjadi fruktosa
1,6-di-P menggunakan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P selanjutnya
dipecah menjadi dua molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat
dan gliseridehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi
gliserolfosfat, kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit
sekunder. Gliseraldehid-3-P tereduksi membentuk asam 1,3-di-fosfogliserat
kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan
fosfat dan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya, 3-P-asam gliserat
membentuk 2-P-asam gliserat kemudian terbentuk asam fosfoetanol piruvat
dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi dekarboksilasi, asam piruvat akan
membentuk asetaldehid dan CO2 yang berikutnya akan mengalami reaksi oksidasi
membentuk etanol.
Penambahan inokulum khamir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk,
diantaranya dalam bentuk suspensi atau dalam bentuk kering. Banyaknya suspensi
khamir yang ditambahkan dalam kultivasi besar adalah sekitar 1-3 % (Prescott dan
Dunn,1959). Menurut Undekofler dan Hickey (1954) paling sedikit penambahan
inokulum aktif pada pembuatan wine adalah sekitar 1 % apabila substrat yang
dipergunakan bersih dan bebas dari khamir yang tidak diinginkan. Sementara itu,
Rinaldy (1987) menggunakan konsentrasi inokulum sebesar 10 % (v/v).
Komposisi media untuk setiap mikroba berbeda satu dengan yang lainnya.
Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroba adalah sumber karbon, nitrogen,
mineral terutama fosfat (Casida, 1968). Pertumbuhan mikrobial dipengaruhi oleh
37
konsentrasi komponen penyusun media pertumbuhannya. Pasokan sumber karbon
merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan optimal, akan tetapi
pada kenyataannya konsentrasi sumber karbon mempunyai batas maksimum.
Apabila konsentrasi sumber karbon melampaui batas maka laju pertumbuhan akan
terhambat (Sa’id, 1987).
Sumber karbon yang digunakan pada kultivasi etanol skala industri adalah
karbohidrat yang dapat diperoleh dari berbagai jenis pati seperti jagung, serelia,
kentang, sagu, ubi kayu, dan lain-lain. Sumber nitrogen yang dapat dipergunakan
dalam proses kultivasi diantaranya corn steep liquor, ekstrak gandum atau tauge,
hidrolisat kasein, dan ekstrak khamir. Vogel (1983) membedakan sumber nitrogen
menjadi sumber organik dan anorganik, yang termasuk sumber organik adalah
corn steep liquor, urea, protein, ekstrak khamir dan tepung ikan, sedangkan
sumber nitrogen anorganik adalah gas amonia, amonium hidroksida dan amonium
sulfat.
Menurut Hartoto (1992) sumber nitrogen yang biasa digunakan untuk
kultivasi skala besar adalah garam amonium, urea atau amonia. Pemilihan garam
ammonium sebagai sumber nitrogen disebabkan oleh faktor ekonomis yaitu harga
yang relatif murah dan mudah didapat. Selain itu NPK dan ZA juga harga
ekonomis dan mudah didapat.
Kinetika Fermentasi
Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel.
Sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya
(Reed dan Rehm, 1983). Kinetika kultivasi mempelajari perkembang-biakan
mikroba yang dilanjutkan oleh kenaikan konsentrasi biomassaa karena konsumsi
substrat. Pada saat yang bersamaan dihasilkan produk baik metabolit primer
maupun metabolit skunder (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994).
Menurut Bailey dan Olis (1991) kultivasi media cair dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu kultivasi sistem nir-sinambung (batch), kultivasi semi
sinambung (fed-batch), dan sistem sinambung (continuous). Pada kultivasi nirsinambung, pemanenan produk dilakukan setelah kultivasi berakhir dan tidak
dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama kultivasi berlangsung
(Rachman, 1989).
38
Proses kultivasi untuk pertumbuhan mikroba secara umum mengikuti pola
pertumbuhannya. Fase-fase pertumbuhan mikroba secara umum yaitu fase
permulaan (initial phase), fase pertumbuhan dipercepat (phase of accelerated
growth), fase logaritma atau eksponensial (logaritmic phase atau exponential
phase), fase pertumbuhan yang mulai terhambat (phase of neganitive accelerated
growth), fase kematian yang dipercepat (phase of accelerated death), fase
kematian logaritma (logaritmic death phase) (Hidayat et al., 2006). Fase
eksponensial terjadi pertumbuhan secara cepat dimana jumlah sel bertambah
secara eksponensial terhadap waktu. Menurut Rehm dan Reed (1981) pada fase
eksponensial kondisi lingkungan berubah karena substrat dan nutrien dikonsumsi,
sementara dihasilkan metabolit.
Pada saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk
penghambat maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner
konsentrasi biomassa mencapai maksimum. Setelah fase tersebut terjadi fase
kematian yang ditandai dengan penurunan jumlah individu sel yang hidup (Bailey
dan Olis, 1991). Pertumbuhan mikroba pada proses kultivasi secara umum
Fase
Fase
adaptasi log/eksponensial
Fase pertumbuhan lambat
Ln konsentrasi biomassa
mengikuti pola seperti disajikan pada Gambar 6.
Fase stasioner
Waktu
Gambar 6. Kurva pertumbuhan mikroba.
Pada keadaan lingkungan tertutup/nir-sinambung (batch) pertumbuhan
mikrobial dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
39
dx
xx........................................................................................... (1)
dt
keterangann :
x
:
Konsentrasi sel
t
:
waktu kultivasi
µ
:
laju pertumbuhan spesifik
α
:
laju lisis sel yang menghambat pertumbuhan
Pada kondisi yang sesuai maka penurunan massa sel sangat kecil, sehingga
α dapat diabaikan, maka persamaan 1 menjadi:
dx
 x .................................................................................................. (2)
dt
Integrasi dari persamaan 2 untuk menghasilkan nilai peningkatan massa sel
pada suatu selang waktu tertentu adalah:
x2
t2
dx
X1dxt1dt............................................................................................ (3)
akan diperoleh persamaan:
x2

ln
t atau
x 

 1
ln
x
ln
x

t....................................... (4)
2
1 
Laju pertumbuhan spesifik (µ) bersifat tidak konstan tergantung pada
kondisi lingkungan fisik dan kimianya. Nilai laju pertumbuhan maksimum (µmaks)
dicapai pada kondisi pasokan substrat dan nutrien masih berlebih serta konsentrasi
zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan masih rendah.
Menurut Wang et al. (1979), koefisien hasil sel hidup terhadap sumber
karbon dinyatakan sebagai Yx/s, koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi
produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s, sedangkan koefisien produk
terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Perhitungan yang biasa
dilakukan
untuk
proses
pembentukan
pertumbuhan sel adalah sebagai berikut:
produk
yang berasosiasi
dengan
40
Yx / s 
  X  X o 

  X  X o   Yx / s S o  S  ................................ (5)
S o  S 
S
Yp / s 
P P  Po 

 P  Po   Y p / s S o  S  ................................... (6)
S S o  S 
Yp / x 
P  Po 
P

 P  Po   Y p / x  X o  X  .............................. (7)
X  X o  X 
Parameter-parameter di atas perlu diketahui agar pada kultivasi skala yang
lebih besar dapat ditentukan jumlah substrat yang diperlukan untuk menghasilkan
jumlah produk dan biomassa yang tertentu. Informasi tersebut digunakan untuk
meningkatkan efisiensi kultivasi.
Kultur fed-batch merupakan kultur
batch dengan pemasukan secara
sinambung atau secara teratur dengan medium tanpa pengeluaran cairan kultur,
sehingga volume kultur bertambah dengan bertambahnya waktu. Pembentukan
biomassa pada sistem ini dapat ditulis dalam persamaan di bawah ini (Hidayat,
2006).
Xt  Xo  Y (Sr  S ) ................................................................................ (8)
Konsentrasi biomassa akhir dihasilkan pada saat S = 0 yang dapat dijelaskan
sebagai Xmaks, dan X0 relatif kecil terhadap Xmaks, sehingga :
X maks  Y .Sr ............................................................................................ (9)
Jika pada waktu X = Xmaks mulai dimasukkan substrat baru dengan laju umpan
pengenceran yang kurang/lebih kecil dari µmaks, maka semua substrat akan
dikonsumsi sama cepatnya dengan kultur awal, sehingga :
FSr  . X / Y ......................................................................................... (10)
X = total biomassa dalam kultur, diuraikan oleh X = µV dimana V merupakan
volume fermentor pada waktu t. Dari persamaan 10 dapat disimpulkan bahwa
substrat yang masuk setara dengan substrat yang dikonsumsi oleh sel. Jadi dS/dt =
0. Meskipun total gula dalam kultur (X) bertambah dengan waktu, konsentrasi sel
(x) sebenarnya tetap konstan, dan dx/dt = 0, oleh karena itu µ = D. Laju
pengenceran akan berkurang dengan bertambahnya volume dan D (laju dilusi)
akan memberikan bentuk:
41
D
F
......................................................................................................(11)
(V0  Ft )
Menurut kinetika Monod, sisa substrat akan berkurang dengan semakin
rendah D dan menghasilkan peningkatan konsentrasi sel. Quasi – steady state
dapat tercapai pada D < µmaks dan Ks < Sr.
Penggunaan kultur fed-batch dalam industri kultivasi mampu membuat
sisa konsentrasi substrat menjadi sangat rendah. Rendahnya sisa substrat
memberikan keuntungan dalam:
1. Mengurangi pengaruh penekanan (represi) langsung dari sumber karbon yang
digunakan dan membuat kondisi kultur dalam kapasitas aerasi fermentor.
2. Menghindari efek toksik dari komponen medium.
Download