nilai dalam wacana filosofis - Al

advertisement
Ernita Dewi, S. Ag., M. Hum
Syarifuddin, S. Ag., M. Hum
NILAI
DALAM
WACANA
FILOSOFIS
Editor:
Drs. Fuadi, M. Hum
Diterbitkan Oleh:
Ushuluddin Publishing
2013
i
PERPUSTAKAAN NASIONAL
KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)
NILAI DALAM WACANA FILOSOFIS
Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Tahun 2013
Ushuluddin Publishing
vi + 240 hlm, 13 cm x 20,5 cm
ISBN: 978-602-14439-4-1
Hak Cipta Pada Penulis
All Right Reserved
Cetakan Pertama, September 2013
Pengarang : Ernita Dewi, S.Ag, M. Hum & Syarifuddin, S.Ag., M. Hum
Editor
: Drs. Fuadi, M. Hum
Layout
: Jundy Grafika
Ushuluddin Publishing
Jl. Lingkar Kampus Darussalam, Banda Aceh 23111
Telp (0651) 7551295 /Fax. (0651) 7551295
Email:
ii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, buku dihadapan pembaca
sekalian telah dapat kami selesaikan, dengan judul “ Nilai
dalam Wacana Filosofis”. Adalah suatu kebanggaan
tersendiri bagi kami, sehingga buku dihadapan pembaca
sekalian telah dapat kami selesaikan penyusunannya sesuai
dengan waktu yang ditetapkan. Mudah-mudahan kehadiran
buku ini, walau masih banyak kekurangannya, dapat
meningkatkan suatu gairah disertai perhatian kita semua
terhadap Filsafat Nilai. Kemudian shalawat beriringan salam
kami sampaikan kehadirat Nabi Muhammad, panutan kita
semua, pembawa gairah nilai-nilai keislaman bagi
kehidupan manusia suutuhnya, Beliau merupakan tokoh
besar pembawa risalah ketuhanan, yang telah membawa
nilai-nilai perubahan dan peradaban bagi kehidupan umat
manusia sampai akhir zaman.
Buku dihadapan pembaca ini, berfokus pada tiga
titik pembahasan, sesuai pembahasan aksiologi atau filsafat
nilai, yang secara formal menjadi pembicaraan dan kajian
pada pertengahan abad ke-19, walaupun dalam
kenyataannya telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Tiga titik
pembahasan tersebut adalah tentang nilai, etika, dan
estetika, serta dilengkapi dengan beberapa pemikiran dan
pandangan para filsuf tentang nilai, yaitu di dunia Islam
diwakili oleh Ibnu Maskawaih, dan di dunia Barat diwakili
oleh Karl Marx dengan sudut pandang materialismenya,
serta konsep nilai menurut Max Scheler dan Henri Bergson.
Nilai sangat mempengaruhi kehidupan manusia, dan
manusia sendiri menciptakan nilai-nilai tersebut, sehingga
manusia sendiri tidak dapat hidup tanpa nilai. Nilai begitu
berarti dalam perjalanan hidup manusia, dan nilailah yang
dapat membuat sesuatu dapat berharga, dikehendaki,
dipuji, dihormati, dijunjung tinggi, dicari, dicita-citakan dan
iii
sebagainya. Sebagai pengarah, petunjuk, bahkan sebagai
pemandu dalam kehidupan manusia. Intinya nilai sangat
berarti bagi kehidupan. Maka sebagaimana disebutkan di
atas, kajian nilai ini meliputi bidang etika dan estetika. Etika
membicarakan perilaku seseorang atau kelompok, sehingga
semua perilaku memiliki nilai; baik atau tidak baik.
Demikian juga estetika, yang menitikberatkan sudut
pandangnya pada segi karya manusia dari sudut indah atau
jelek. Sebagaimana dimaksudkan oleh Sutardjo A.
Wiramihardja, nilai indah dan jelek merupakan pasangan
dikotomis, dalam arti bahwa yang dipermasalahkan secara
essensial adalah pengindraan atau persepsi yang dapat
menimbulkan rasa senang dan rasa nyaman pada suatu
pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lain.
Akhirnya, kepada Allah jua kita menyerahkan diri
dengan penuh pengharapan hidayah dan taufiq-Nya. Harus
diakui bahwa buku ini masih sangat banyak kekurangan,
sehingga masukan, kritikan dan perlu kiranya berupa saransaran. Semoga pula buku kecil ini dapat membawa manfaat
kepada kita semua dan dapat diterima sebagai amal
kebaikan oleh-Nya.
Amin yaa rabbal ‘alaim
Billaahitaufiq wal hidayah
Banda
2013
Penulis
iv
Aceh,
Agustus
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR – iii
DAFTAR ISI – v
BAB I RUANG LINGKUP KAJIAN FILSAFAT NILAI –1
 Syarifuddin
BAB II KEDUDUKAN ETIKA DALAM FILSAFAT NILAI – 41
 Syarifuddin
BAB III KEDUDUKAN ESTETIKA DALAM FILSAFAT NILAI –103
 Ernita Dewi
BAB IV PANDANGAN PARA FILSUF TENTANG NILAI
A. Pandangan Filsuf Islam: Nilai Menurut Ibnu Maskawaih – 129
 Ernita Dewi
B. Pandangan Filsuf Barat –
1. Nilai Materialisme dalam Perspektif Karl Marx – 145
 Ernita Dewi
2. Konsep Nilai Menurut Max Scheler – 192
 Syarifuddin
3. Nilai Menurut Henri Bergson – 216
 Syarifuddin
v
vi
BAB 1
RUANG LINGKUP KAJIAN FILSAFAT NILAI
Oleh: Syarifuddin
A. Pengertian Nilai
Sesungguhnya manusia tidak dapat hidup tanpa
nilai. Nilai sebagai suatu sifat atau kualitas yang membuat
sesuatu menjadi berharga, layak diinginkan atau
dikehendaki, dipuji, dihormati, dan dijunjung tinggi, pantas
dicari, diupayakan dan dicita-citakan perwujudannya,
merupakan pemandu dan pengarah dalam kehidupan kita
sebagai manusia.1 Oleh karenanya, nilai merupakan sesuatu
yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Sesuatu dapat dikatakan bernilai
apabila sesuatu itu berharga dan dapat berguna bagi
kehidupan manusia. Nilai sama dengan sesuatu yang
membuat seseorang menjadi senang, apalagi nilai tersebut
sangat identik dengan segala sesuatu dengan apa yang
diinginkan. Nilai diartikan juga sebagai sifat-sifat atau halhal yang dianggap penting atau berguna bagi kemanusiaan.2
Nilai tersebut praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan
manusia serta melembaga secara objektif di dalam
masyarakat.3
Pembahasan masalah Filsafat Nilai merupakan nama
lain dari aksiologi, yang secara sejarah kemunculannya
diawali pada pertengahan abad ke-19. Pembicaraan
1 J. Sudarminta, Kata Pengantar, dalam buku Nilai, Etika
Aksiologi Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 5.
2 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1999, hal. 677.
3 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam,
Bandung: Trigenda Karya, 1993, hal. 110.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|1
mengenai aksiologi ini, sebenarnya sudah ada sejak zaman
Yunani Kuno, namun pembicaraannya masih dalam lingkup
secara khusus yang pembicaraannya hanya dalam lingkup
tertentu pada waktu itu. Maka nilai “value” termasuk ke
dalam kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai
dibahas dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat,
sebagai disebutkan di atas, yaitu Filsafat Nilai (axiology,
theory of value), dan filsafat juga sering diartikan sebagai
sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Maka istilah nilai di dalam
bidang filsafat dipakai dalam rangka untuk menunjuk kata
benda abstrak yang artinya ‘keberhargaan’ (worth) atau
‘kebaikan’ (goodness), dan kata kerja yang artinya
merupakan suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai
atau melakukan penilaian.4
Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang
berarti nilai atau dapat juga dikatakan sebagai sesuatu yang
berharga. Jadi, aksiologi dapat diartikan sebagai wacana
filsufis yang membicarakan tentang nilai dan penilaian.5
Aksiologi sendiri merupakan asal kata dari bahasa Yunani
yaitu axios yang memiliki arti sesuai atau wajar, sedangkan
logos berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi dapat diartikan
sebagai wacana filsufis yang membicarakan nilai atau
penilaian. Sebagai suatu teori yang membicarakan tentang
nilai dan membahas tentang hakikat nilai sehingga disebut
sebagai Filsafat Nilai.6 Hakikat nilai di sini ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan, yang menurut Louis O. Kattsoff
terdapat banyak cabang, seperti ekonomi, etika, estetika,
4Kaelan, Pendidikan Pancasila, Proses Reformasi UUD Negara
Amandemen 2002, Pancasila sebagai Sistem Filsafat, Pancasila sebagai
Etika Politik, Paradigma Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara,
Yogyakarta: Paradigma, 2004, hal. 87.
5 Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Sistematika
Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi),
Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, Bandung: PT Refika Aditama,
2006, hal. 155.
6 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rieneka Cipta, 2010, hal.
231.
2| Nilai dalam Wacana Filosofis
filsafat agama, dan epistemologi yang berhubungan dengan
kebenaran.7
Dalam Dictionary of sosciology and Related Sciences,
sebagaimana ditulis oleh Kaelan, dikemukakan bahwa nilai
merupakan suatu kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda yang tujuannya adalah untuk memuaskan
manusia. Maka sifat dari suatu benda yang menyebabkan
menarik minat seseorang atau kelompok, (the believed
capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi nilai
itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat
pada suatu objek, bukan merupakan objek itu sendiri.
Sesuatu itu mengandung nilai artinya memiliki sifat atau
ada kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Misalnya, bunga
itu indah, perbuatan itu baik, pria itu menyenangkan. Indah,
baik, menyenangkan adalah merupakan sifat atau kualitas
yang melekat pada bunga dan perbuatan. Maka dengan
demikian, nilai itu sebenarnya adalah merupakan suatu
kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataankenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataankenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain,
kemudian untuk selanjutnya baru diambil suatu keputusan.
Keputusan tersebut merupakan keputusan nilai yang dapat
menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak
benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah.
Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu
memiliki atau berhubungan dengan unsur-unsur yang ada
pada manusia sebagai subjek penilai, yaitu berupa unsurunsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan berupa
kepercayaan. Maka sesuatu itu baru dapat dikatakan
bernilai, oleh karena sesuatu itu mengandung harga,
7 Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy, New York: The Ronald
Press Company, 1986, hal. 325.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|3
berguna, benar, indah, baik, bagus, bermanfaat, dan lain
sebagainya.8
Nilai mengandung cita-cita, harapan-harapan,
dambaan-dambaan dan berupa keharusan. Ketika seseorang
berbicara tentang nila, maka pada dasarnya orang itu
berbicara tentang sesuatu hal yang ideal, tentang hal yang
merupakan cita-cita, haparan, dambaan, serta keharusan.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das sollen,
bukan das sein, maka dalam hal ini masuk ke dalam
kerohanian bidang makna normatif, bukan kognitif, masuk
ke dalam dunia yang ideal bukan merupakan dunia yang
real. Meskipun demikian, di antara keduanya, antara das
sollen dan das sein, antara yang bermakna normatif dan
kognitif, antara dunia ideal dan dunia real, maka saling
berhubungan atau saling berkaitan secara erat. Artinya,
bahwa das sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang
ideal harus menjadi real, yang bermakna normatif harus
direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang tak lain
adalah merupakan suatu fakta.9
Selanjutnya dalam rangka menjelaskan adanya nilai,
hakikat, serta memiliki maknanya, Lorens Bagus dalam
Kamus Filsafat10 menjelaskan tentang nilai dari Bahasa
Inggris, value, dari bahasa Latin valere yang berarti berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Oleh Lorens Bagus
memberikan ke dalam beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Nilai dalam bahasa Inggris berarti value yang memiliki
padanan arti seperti; berguna, mampu akan, berdaya,
berlaku, kuat.
2. Ditinjau dari segi harkat, nilai merupakan kualitas
suatu hal yang menjadikan hal tersebut dapat disukai,
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 87.
R. Soejadi dan Silvester A. Khodi, Filsafat, Ideologi dan Wacana
Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1989, hal. 21.
10 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005, hal. 713-714.
8
9
4| Nilai dalam Wacana Filosofis
diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek
kepentingan.
3. Nilai ditinjau dari segi keistimewaan, Nilai ditinjau dari
segi keistimewaan, mupakan apa yang dihargai, dinilai
tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan
dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai
negatif”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya
jelek atau buruk akan menjadi suatu “nilai negatif” atau
“tidak bernilai”.
4. Ditinjau dari ilmu ekonomi, yang bergelut yang
bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda
material, pertama kali menggunakan secara umum kata
‘nilai’
Nilai mempunyai bermacam makna, seperti
mengandung nilai yang artinya berguna. Merupakan nilai
yang
artinya
baik,
benar
atau
indah.
Mempunyai nilai yang artinya merupakan objek keinginan.
Mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang
mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai
tertentu. Memberi nilai yang artinya menanggapi sesuatu
sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan
nilai
tertentu.
Makna yang dikandung nilai tersebut menimbulkan tiga
masalah yang bersifat umum, seperti:
1. Apakah yang dinamakan nilai itu?
2. Apakah yang menyebabkan bahwa suatu objek atau
perbuatan bernilai? dan
3. Bagaimanakah cara mengetahui nilai dapat diterapkan?
B. Beberapa Pendapat Ahli tentang Nilai.
Nilai dalam pendekatan terminologis, para ahli
mengajukan aneka pengertian tentang nilai, sesuai dengan
sudut pandang yang digunakan atau berdasarkan lingkup
keilmuan para ahli tersebut, diantaranya adalah;
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|5
1. Driyarkara, filsuf, menurutnya “nilai adalah hakikat suatu
hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh
manusia”.
2. Max Scheller, filsuf Jerman, mengatakan bahwa, “ nilai
merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada
pembawanya, merupakan kualitas apriori atau
merupakan yang telah dapat dirasakan manusia tanpa
melalui pengalaman inderawi terlebih dahulu”.
3. Sidi Gazalba, mengatakan “nilai adalah sesuatu yang
bersifat abstrak, ideal, nilai bukan merupakan benda
konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan
salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan
berdasarkan penghayatan yang dikehendaki atau yang
tidak dikehendaki”.
4. Fraenkel, menurutnya, “value is any idea, a concept, about
what some one think is important in life, (nilai adalah idea
atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang
dipikirkan seseorang atau yang dianggap penting oleh
seseorang, biasanya mengacu kepada estetika
(keindahan), etika polaperilaku, dan logika benar-salah
atau keadilan)”.
5. Ending Sumantri berpendapat, bahwa “nilai adalah
seseuatu yang berharga, yang penting dan berguna serta
menyenangkan
dalam kehidupan manusia yang
dipengaruhi pengetahuan dan sikap yang ada pada diri
atau hati nuraninya.
6. H. M. Chotob Thoha menganggap “nilai adalah
merupakan sikap yang melekat pada sesuatu sistem
kepercayaan yang telah berhubungan dengan subjek
yang memberi arti manusia yang meyakini, atau
dikatakan juga nilai sebagai sesuatu yang bermanfaat
dan berguna bagi manusia sebagai acuan dalam suatu
tingkah laku.
7. Richard Merril, menurutnya nilai adalah patokan atau
standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing
6| Nilai dalam Wacana Filosofis
seseorang atau kelompok ke arah satisfaction, fulfillment,
and meaning.
8. Kenneth Andersen dalam bukunya “Introduction to
Communication Theory and Practise” mendefinisikan nilai
sebagai jenis sikap, suatu sikap yang sedemikian
umumnya dan sedemikian pervasifnya, sehingga relevan
bagi sejumlah besar permasalahan dan kegiatan (a
special kind of attitude, an attitude which is so general and
so pervasive that it is relevant to a large number of inssues,
responses, activities”.
9. Kuntjaraningrat, mengatakan “merupakan suatu sistem
nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup
dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai
dalam hidup.
C. Hakikat Nilai
Sebagaimana berdasarkan beberapa pengertian di
atas tentang nilai, dapatlah dikemukakan kembali bahwa
nilai itu adalah merupakan rujukan dan keyakinan dalam
menentukan suatu pilihan. Sejalan dengan definisi yang
telah dikemukakan, maka maksud dengan hakikat nilai
adalah; berupa norma, etika, peraturan, undang-undang,
adat kebiasaan, aturan agama, dan berupa rujukan yang
lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi
seseorang. Nilai bersifat abstrak, keberadaannya ada dibalik
fakta, memunculkan berupa tindakan, terdapat dalam moral
seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis dan
berkembang ke arah yang lebih kompleks.11
11 Dudung Rahmat Hidayat, Mulyadi, Hakikat dan Makna Nilai,
Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Umum, pada
Program Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia, 2006.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|7
Nilai sebagai kualitas yang independen tidak
berbeda dengan benda. Sebagaimana warna biru tidak
berubah menjadi merah manakala objek yang berwarna
biru dicat menjadi merah, demikian juga halnya dengan
nilai yang tetap tidak terpengaruh oleh perubahan yang
terjadi dalam objek yang digabunginya. Maka nilai itu
mutlak, nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan, tanpa
memperhatikan hakikatnya, maka nilai itu akan bersifat
historis, sosial, biologis atau murni individual. Hanya
pengetahuan tentang nilailah yang bersifat relatif, akan
tetapi bukan nilai itu sendiri.12
Menurut Kattsoff,13 hakikat nilai hanya dapat
dijawab melalui tiga macam cara, yaitu;
1. Subjektivitas, yaitu nilai sepenuhnya berhakikat
subjektif. Ditinjau berdasarkan sudut pandang ini,
maka nilai merupakan suatu reaksi yang diberikan oleh
manusia sebagai pelaku dan keberadaannya yang
tergantung berdasarkan suatu pengalaman.
2. Objektivisme logis, yaitu nilai merupakan kenyataan
yang ditinjau dari segi ontologis, namun tidak terdapat
dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan
suatu esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
3. Objektivisme metafisis, yaitu nilai merupakan suatu
unsur objektif yang menyusun kenyataan.
D. Ciri-ciri Nilai
K. Bertens, menjelaskan definisi tentang nilai
melalui cara memperbandingkannya dengan fakta. Fakta
menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung
begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku,
sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat
ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 115.
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, dialihbahasan oleh:
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, hal. 323.
12
13
8| Nilai dalam Wacana Filosofis
dilukiskan satu demi satu dan uraian itu pada prinsipnya
dapat diterima oleh semua orang. Nilai berperanan dalam
suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan
dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu
berkaitan dengan penilaian seseorang, sementara fakta
menyangkut ciri-ciri objektif saja. Perlu dicatat dalam
membedakan nilai dan fakta bahwa fakta selalu mendahului
nilai. Terlebih dahulu ada fakta yang berlangsung, baru
kemudian menjadi mungkin memberikan penilaian
terhadap fakta tersebut.
Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri sebagai
berikut,
a. Nilai berkaitan dengan subjek. Kalau tidak ada subjek
yang menilai, maka tidak akan ada nilai. Tanpa
kehadiran manusia, gunung mungkin saja meledak.
Akan tetapi untuk dapat menilai apakah dengan
ledakannya itu dapat merugikan atau tidak, sangat
tergantung tergantung terhadap kehadiran subjek
dalam rangka untuk menilai atau melakukan suatu
penilaian.
b. Nilai tampil dalam suatu konteks yang sangat praktis, di
mana subjek ingin membuat sesuatu. Dalam
pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada
nilai.
c. Nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek
pada sifat-sifat yang sifat-sifat tersebut dimiliki oleh
objek. Nilai tidak dimiliki oleh objek pada dirinya,
karena objek yang sama bagi pelbagai subjek dapat
menimbulkan nilai yang berbeda-beda. Pada konteks
ini harus dilakukan penjelasan, sebab objek yang sama
dapat melahirkan suatu penilaian yang berbeda-beda
dari subjek yang berbeda pula.14
14
Mukijat, Asas-asas Etika, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal.
68.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|9
Menurut J.R. Fraenkel, mengemukakan nilai
memiliki beberapa ciri, yaitu sebagai berikut;
a. Nilai itu merupakan suatu konsep yang keberadaannya
tidak dalam dunia yang empirik, melainkan berada
dalam pikiran manusia.
b. Nilai juga sebagai standar dalam perilaku, adapaun
ukuranlah yang akan menentukan apa yang dapat
menjadi segala sesuatu sebagai yang indah, apa yang
efisien, apa yang dapat berharga yang kemudian ingin
dipelihara serta dapat dipertahankan.
c. Nilai itu sesuatu hal yang direfleksikan dalam suatu
perkataan demikian juga dalam perbuatan.
d. Nilai merupakan abstraksi atau berupa idealis manusia
tentang apa yang dianggap penting dalam kehidupan
manusia tentunya.
E. Nilai Merupakan Kualitas Empiris yang Tidak dapat
Didefinisikan dan sebagai Objek suatu Kepentingan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nilai adalah
kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, baik secara lahir ataupun batin, dan dalam
kehidupan manusia, nilai menjadi landasan, alasan, atau
berupa motivasi dalam bersikap, bertindak apakah disadar
atau tidak. Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat
diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai
bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan,
dimengerti, dan dihayati oleh manusia.15 Kualitas
merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu objek
atau suatu segi dari barang yang merupakan bagian dari
barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya.
Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas yang
diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai
contoh pengertian baik, artinya pengertian nilai.
15
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 92.
10| Nilai dalam Wacana Filosofis
Menurut Moore, sebagaimana dikutip oleh
Kattsoff,16 mengatakan bahwa baik merupakan pengertian
yang bersahaja, namun tidak dapat diterangkan apakah baik
itu. Pendefinisian nilai juga didasarkan pada hal-hal lain,
seperti rasa nikmat atau kepentingan. Moore menyebutnya
sesat-pikir naturalistis. Nilai tidak dapat didefinisikan
maksudnya nilai-nilai tidak dapat dipersamakan dengan
pengertian-pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan
dengan cara-cara lain, seperti dengan menunjukkan
contohnya sehingga dapat diketahui secara langsung. Jika
nilai merupakan suatu kualitas objek atau perbuatan
tertentu, maka objek dan perbuatan tersebut dapat
didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi tidak dapat
sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan
tidak berarti nilai tidak bisa dipahami.
Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai
walapun nilai tersebut sudah jelas. Apabila seseorang
mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang
lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan
maka pasti akan dijumpai semacam keadaan, perangkat,
sikap atau kecenderungan untuk setuju atau menentang.
Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu: sikap
setuju atau menentang tersebut sama sekali bersangkut
paut dengan masalah nilai sikap tersebut bersangkutan
dengan sesuatu yang tidak hakiki sikap tersebut merupakan
sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai.
Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua
berarti bahwa, misalkan sikap tersebut ditimbulkan oleh
suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian dari
hakikatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila
seseorang mengatakan x bernilai maka dalam arti yang
sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut
mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau
menentang oleh Perry sebagaimana dijelaskan oleh
16
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat……, hal. 325.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|11
Kattsoff,17 yang disebut kepentingan. Perry juga
berpendapat bahwa setiap objek yang ada dalam kenyataan
maupun pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun
yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika berhubungan
dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan.
F. Nilai Objektif dan Nilai Subjektif
Pada prinsipnya nilai adalah semata-mata realitas
psikologi yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan,
karena terdapat dalam jiwa manusia dan tentunya tidak
pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dianggap
terdapat pada suatu benda sampai kemudian terbukti
ketidakbenarannya. Maka menjadi wajar ketika nilai itu
dibedakan antara nilai subjektif dan nilai objektif, atau ada
yang membedakan berupa nilai perorangan dan nilai
kemasyarakatan. Tetapi penggolongan yang terpenting
adalah nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik
adalah berupa sifat baik dari suatu benda sebagai alat atau
sarana untuk suatu hal lainnya (instrumental/contributory
value), yakni nilai yang bersifat sebagai alat atau membantu.
Sedangkan nilai intrinsik adalah sifat baik dari benda yang
bersangkutan, atau sebagai suatu tujuan, ataupun demi
kepentingan dari benda itu sendiri.18
Berdasarkan pertanyaan tentang, apakah nilai itu
bersifat objektif atau subjektif, menurut The Liang Gie
terdapat kepada dua jenis jawaban, yaitu;
a. Menurut kaum subjektivisme, nilai itu sangat
bergantung dan berkaitan dengan pengalaman manusia
sebagai subjek.
b. Sedangkan menurut kaum objektivisme, nilai itu adalah
merupakan unsur-unsur yang berpadu pada realitas,
Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat……, hal. 329.
Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan alQur’an dan Hadits, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 86.
17
18
12| Nilai dalam Wacana Filosofis
bersifat metafisik, objektif, dan bahkan aktif. Misalnya,
ada definisi tentang keindahan yang dinyatakan sebagai
nilai positif, intrinsik, dan diobjektifkan, yakni sebagai
suatu kualitas yang ada dan terdapat pada benda.19
Bagi kelompok subjektif mereka menganggap bahwa
pernyataan nilai menunjukkan pada perasaan atau berupa
emosi dari sesuatu yang disukai atau tidak disukai. Tidak
lebih dari itu; makan, minum, mendengar musik, melihat
indahnya terbenam matahari, menikmati air terjun, hal ini
dianggap bernilai, kenapa dianggap bernilai, karena pada
persoalan-persoalan seperti ini dapat membangkitkan rasa
senang serta dapat menimbulkan pengalaman-pengalaman
yang disukai dan disenangi, bahkan dapat memuaskan rasa
batin terhadap apa yang memberikan rasa senang dan rasa
keindahan dari apa yang disenangi dan disukai. Menurut
Lorens Bagus, pandangan ini menganggap bahwa nilai-nilai,
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada sama
sekali dalam dunia real objektif, melainkan merupakan
suatu perasaan-perasaan, sikap-sikap pribadi, dan
merupakan penafsiran terhadap suatu kenyataan.20
Ada yang beranggapan bahwa, tidak ada nilai di luar
suatu penghargaan seseorang terhadap nilai. Maka antara
emosi dan kesadaran sangat diperlukan dalam rangka untuk
adanya kebaikan dan pemahaman seseorang terhadap
kebaikan itu. Kepuasan keinginan adalah merupakan nilai
yang sesungguhnya, sesuatu yang memberikan kesan puas,
tak lain adalah merupakan alat atau dengan kata lain adalah
merupakan instrument. Dapat saja sesuatu benda dianggap
benda itu berharga, namun belum tentu benda tersebut
19 The Liang Gie, Garisbesar Estetik (Filsafat Keindahan),
Yogyakarta: Karya Yogyakarta, 1976, hal. 41-42.
20 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005, hal. 718.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|13
bernilai.21 Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz, nilai itu
objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari
hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan
menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur
segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian
tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis
ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi
manusia seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai
subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.22
Sedangkan bagi kelompok objektif, mereka
beranggapan bahwa nilai itu objektif karena terdapat di
dunia empiris dan manusia harus menggalinya. Nilai-fakta
kualitas atau kumpulan kualitas mengundang orang untuk
melakukan suatu pertimbangan. Maka, sesuatu yang
terpisah dari pengamatan menarik perasaan moral atau
berupa perasaan keindahan. Seseorang mempunyai
perhatian kepada benda-benda dan pengalamanpengalaman yang nampak kepadanya memiliki nilai, bukan
perhatiannyalah yang menciptakan nilai. Dalam istilah
awam mengekspresikan hal tersebut jika seseorang dapat
mengatakan “lukisan yang indah dan menarik, dapat
menawan hatiku”.23
Menurut Sidi Gazalba, mereka menganggap
keindahan atau ciri-ciri yang menimbulkan suatu keindahan
merupakan sifat yang melekat pada benda indah, apakah
21 Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat, Alihbahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984,
hal. 123-14.
22 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004, hal. 64-65.
23 Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat……, hal. 124.
14| Nilai dalam Wacana Filosofis
seseorang mengamatinya atau tidak. Pengamatan hanyalah
menemukan atau menyingkapkan kualitas indah yang
sudah ada pada suatu benda yang sudah adanya dari sejak
awal. Sebagai contoh misalnya; tentang atribut Tuhan,
Tuhan itu maha kuasa, apakah diakui oleh manusia atau
tidak. Maka bagi orang yang mengakuinya disebut sebagai
orang beriman, sedangkan bagi yang menentang atau pun
yang tidak mengakuinya disebut kafir. Akan tetapi yang
perlu dipahami dan diketahui adalah, bahwa Tuhan itu
sudah ada sebelum manusia itu ada, bahka adanya manusia
disebabkan oleh adanya Tuhan atau karena Tuhan
mengadakannya (menciptakannya). Tuhan menciptakan
alam dan manusia, dan Tuhan menguasai keduanya, hal ini
apakah diakui oleh manusia atau tidak.
Maka kalau demikian halnya, bagi Gazalba kemudian
menimbulkan pertanyaan, ciri-ciri apakah yang membuat
suatu benda itu menjadi indah dan memiliki nilai, apa
kualitas keindahan. Maka menurut kaum objektif;
keindahan itu terjadi dengan pertimbangan antara bagianbagian yang ada pada benda dan nilai keindahan wujud
yang melekat pada benda itu kalau dipenuhi asas-asas
tertentu mengenai bentuk suatu benda.24 Maka nilai itu
akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena
adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme.
Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar
secara realitas benar-benar ada.25
Menurut Lorens Bagus,26 bagi teori objektivisme
nilai dapat terbagi dalam beberapa bagian, yaitu;
24 Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan SeniBudaya Karya Manusia, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988, hal. 70-71.
25 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004, hal. 65.
26 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005, hal. 716.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|15
a. Teori objektivisme nilai adalah teori nilai yang
menyatakan bahwa nilai-nilai, seperti nilai kebaikan,
kebenaran, keindahan, keadilan, itu semua ada dalam
dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitasentitas, kualitas-kualitas, atau hubungan nyata, dalam
bentuk yang sama sebagaimana dapat ditemukan
objek-objek, kualitas-kualitas, atau berupa hubunganhubungan seperti meja, kursi, merah, hijau.
b. Teori objektivitas nilai adalah merupakan suatu
pandangan yang menyatakan bahwa nilai-nilai adalah
objektif dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung
oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten
sebagai sesuatu yang terbaik dalam situasi itu.
Selanjutnya bagi mereka yang menganggap dan
berpendapat bahwa nilai itu objektif akan mengatakan
bahwa keindahan dan kebaikan itu dihargai oleh semua
pihak dan bahwa di antara orang-orang terpelajar dan
kritikus terdapat kesempatan umum tentang pertimbangan
nilai estetik. Bagi pengikut aliran objektivis akan
mengatakan bahwa setelah perdebatan yang berlangsung
beberapa tahun suatu Universal Declaration of Human Right
telah disahkan oleh Sidang Umum Perserikatan BangsaBangsa. Mereka juga akan mengatakan bahwa kesepakatan
tentang nilai-nilai fundamental mencerminkan kondisi fisik,
psikologi, dan sosial serta keperluan manusia di mana saja.
Jika nilai itu subjektif, ia akan hanya mencerminkan berupa
keinginan, kepentingan atau kemauan seseorang. Tetapi
meskipun nilai yang dicari itu bersifat kemasyarakatan,
moral atau berdasarkan keindahan, maka pilihan orang
akan tetap menjadi terbatas. Pribadi-pribadi dan golongangolongan yang menyimpang terlalu jauh dari norma-norma
yang telah disetujui, cenderung untuk menghilangkan diri
mereka dari “yang diakui”. Pengalaman dan latihan dalam
16| Nilai dalam Wacana Filosofis
bidang yang dinilai akan menjadikan seseorang lebih
uniform.27
G. Letak Nilai
Dalam buku Soejono Dirdjosiswono, Esesnsi
Moralitas dalam Sosiologisme, sebagaimana dikutip oleh
Cecep Sumarna, menjelaskan bahwa, pada sadarnya nilai itu
terletak di antara persoalan intrinsik dan ekstrinsik. Nilai
intrinsik merupakan nilai itu berada di dalam objek itu
sendiri. Sedangkan nilai ekstrinsik adalah adanya nilai
tergantung pada penghargaan subjek. Persoalan ini
kemudian ternyata mempengaruhi pemikiran para filsuf,
yang selanjutnya justeru melahirkan perdebatan, yaitu
antara mereka yang menganggap bahwa ilmu itu bebas nilai
karena ilmu memiliki nilainya sendiri, dan mereka yang
menganggap bahwa nilai berdiri di luar ilmu dan karenanya,
ilmu semestinya ditopang oleh nilai.
Makanya nilai merupakan persoalan apresiasi,
positif-negatif yang tergantung pada disposisi subjek serta
hubungan antara subjek dengan objek. Perbedaan
penghargaan terhadap objek serta hubungan terhadap
objek akan sangat tergantung pada bakat, naluri,
pendidikan, sejarah, ruang, waktu, selera, pengetahuan dan
lain-lain. Selain itu, disposisi individu dipengaruhi oleh
kebudayaan, agama, dan adat istiadat masyarakat.28
Apabila nilai ada pada barang secara objektif (tidak
secara subjektif), maka tentunya tidak aka nada perbedaan
nilai antara subjek-subjek. Air adalah benda cair, maka
cairnya air itu objektif ada pada air. Bahwa air itu cair, tidak
27 Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat……, hal. 125.
28 Soejono Dirdjosiswono, Esensi Moralitas dalam Sosiologisme,
Bandung: Mandar Maju, 1996, hal. 107. Lihat juga; Cecep Sumarna,
Filsafat Ilmu, dari Hakikat Menuju Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004, hal. 122.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|17
pernah ada perbedaan pendapat yang ditimbulkan
dikarenakan air itu cair. Ada orang yang mengatakan jelek.
Bahwa rambut itu hitam semua orang pasti akan setuju.
Bahwa rambut panjang atau gondrong itu bagus, maka hal
belum tentu semua orang akan setuju, maka di sini
perbedaan pendapat akan terjadi, kenapa dapat terjadi, hal
ini tidak lain, dikarenakan nilai itu tak lain karena
ditentukan oleh subjek. Disposisi subjek itu bergantung lagi
pada bakat, berdasarkan naluri pendidikan, sejarah, ruang
dan waktu, selera, pengetahuan, cita-cita dan sebagainya.
Disposisi masyarakat ditentukan oleh adat, kebudayaan
atau agama. Disposisi individu dipengaruhi sekali oleh
kebudayaan dan agama masyarakatnya.29
Nilai tidak aka nada dengan sendirinya atau nilai itu
tidak berdiri sendiri, sebagaimana wujud dari suatu barang.
Maka suatu barang tertentu ia akan tetap ada, walaupun
manusia itu tidak ada, atau tidak ada manusia yang
melihatnya. Bunga-bunga atau alam dengan pemandangan
yang indah akan tetap ada, walaupun tidak ada mata yang
memandang atau walaupun tidak ada manusia yang
mengagumi keindahannya. Akan tetapi nilai itu menjadi
tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau tidak melihatnya.
Karena nilai itu baru timbul, ketika terjadi suatu hubungan
interaksi antara manusia sebagai subjek dan hal yang dilihat
serta yang dinilai sebagai suatu objek. Setelah terjadinya
kontak antara subjek dengan objek, baru setelahnya
timbullah masalah nilai, perbedaan selera atau perbedaan
sudut pandang yang didasarkan, apakah karena
pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya, maka
menyebabkan perbedaan terhadap nilai. Perbedaan ini
merupakan sumber dari perbedaan pandangan dan sikap,
selanjutnya menuju kepada perselisihan, tantangan,
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada: Dunia
Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai, Jakarta: Bintang Bulan,
hal. 484-485.
29
18| Nilai dalam Wacana Filosofis
bentrokan, kenapa hal semacam ini dapat terjadi, tak lain
adalah karena di samping karena perbedaan sebab, juga
dikarenakan perbedaan penilaian yang kemudian menjadi
latar belakang.
Maka untuk dapat disimpulkan; perbedaan selera
adalah merupakan perbedaan hubungan antara subjek
dengan objek, nilai tidak dapat berdiri sndiri (pada barang),
nilai selalu berharga bagi seseorang (karena sifat hubungan
subjek dan objek), dan nilai tidak diberikan oleh barang
atau tindakan, akan tetapi oleh jiwa manusia. Walaupun
nilai diciptakan oleh subjek, namun nilai juga memiliki
kepribadian sendiri, ia tidak dapat diperlakukan oleh jiwa
secara sewenang-wenang atau sekehendak hati. Di sini
tersembunyi garis persamaan nilai pada individu dan
kesatuan sosial, karena itulah kemudian orang dapat
berkata tentang segi objektivitas nilai. Nilai diberikan
kepada objek berdasarkan sifat ideal, nilai itu serba tetap,
tapi objek kepada apa nilai itu dikaitkan dapat berubahubah. Misalnya; nilai indah itu serba tetap, nilai ini misalnya
dilekatkan pada lukisan. Lukisan itu dapat berubah-ubah
atau berbeda-beda, dan tentunya memang demikian adanya.
Karena itulah, nilai itu dapat dipisahkan dari lukisan. Nilai
baik dan buruk itu selalu tetap. Tetapi tindakan ke dalam
mana nilai itu dimasukkan berbeda-beda. Nilai yang
diberikan manusia kepada suatu objek, maka dihayatinya
berdasarkan bahan-bahan yang dapat ditangkap.30
H. Alat Nilai
Alat kebenaran adalah budi (pikiran) dengan
kerjanya berpikir. Kebenaran sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, selalu menuntut persesuaian antara
pengetahuan dengan objeknya. Yang menentukan
pengetahuan itu benar atau salah, terletak pada fakta
30
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat……, hal. 485-491.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|19
empiris dan hasil berdasarkan olah pikiran. Sementara itu,
alat untuk menilai bukanlah budi, melainkan hati
(perasaan) atau merasa. Apakah sesuatu dianggap bernilai
atau tidak, semuanya yang memutuskan adalah perasaan.31
Apabila suatu pengetahuan itu dianggap benar,
maka sudah pasti membawa kepuasan kepada pikiran dan
batin, walaupun yang puas adalah budi, namun apabila
mendapat nilai, maka puaslah perasaan, maka sampailah
puas itu ke hati. Keputusan yang dihasilkan oleh budi dan
hati tentunya tidak saling identik. Benar dan salah adalah
putusan budi, baik dan buruk putusan hati, maka yang baik
itu belum tentu benar dan yang benar belum tentu baik,
sekalipun yang ideal adalah manakala yang baik sekalipun
juga benar. Misalnya, tentang tidak sama antara yang baik
dan yang benar.
Menurut Sidi Gazalba,32 suatu putusan budi dan hati
merupakan dua hal yang tidak indentik, benar dan salah
merupakan putusan dari budi, sedangkan baik dan buruk
merupakan putusan hati, maka yang baik itu belum tentu
benar, demikian juga yang benar itu belum tentu baik.
Antara budi dan hati selalu saling mempengaruhi, karena
keduanya sering berinteraksi. Oleh karenanya, persesuaian
antara budi dan hati melahirkan kemauan, yang menjadi
pangkal lakuperbuatan.
Sasaran budi adalah alam nyata, aktivitas kerjanya
adalah berpikir. Pikiran membentuk pengetahuan,
didasarkan pada hukum berpikir dalam rangka membentuk
kebenaran. Karena berpikir dengan budi dengan berpangkal
pada objek, maka disebut berpikir objektif. Sedangkan
sasaran hati adalah alam ideal, aktivitasnya adalah merasa.
Perasaan membentuk penghayatan, maka hukum rasa
adalah membentuk nilai-nilai positif. Oleh karenanya
31
32
Soejono Dirdjosiswono, Esensi Moralitas dalam……, hal. 135.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat……, hal. 4492-496.
20| Nilai dalam Wacana Filosofis
berpikir dengan budi yang berpangkal pada subjek, maka
disebut sebagai berpikir subjektif.
Pertumbuhan dan perkemabangan rasa dan pikir
menentukan nilai-nilai, karena sistem nilai berbeda dengan
pernbedaan masyarakat (bahkan individu) dan kebudayaan.
Walau nilai ditentukan oleh rasa, namun piker juga ikut
berperan, ia menyusun, mengatur bahan-bahan yang
diterima oleh rasa. Peranan pikir sangat luas, meliputi
menyelidiki, mempertimbangkan, memperbandingkan,
mengatur dan menyimpulkan. Maka dengan demikian,
menjadi jelas hubungan antara hati dan budi, jika hati baik
maka akan baik budinya, selanjutnya akan baik juga
kerjanya yakni berupa pemikiran, demikian juga sebaliknya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu untuk
diperincikan rasa rohaniah berupa rasa-agama, rasa-etika,
rasa-estetika, rasa-intelek, rasa-sosial, dan rasa-diri sendiri.
Selanjutnya dapat juga diperincikan nilai-nilai itu dalam
jenis, yaitu:
a. Nilai agama, yaitu berhubungan dengan suruhan dan
larangan Tuhan.
b. Nilai etika, yaitu menyangkut soal baik dan buruk.
c. Nilai estetika, yaitu menyangkut indan dan jelek.
d. Nilai intelek, yaitu nilai yang berhubungan dengan
logika dan pengetahuan.
e. Nilai sosial, yaitu menyangkut hubungan antara
manusia dengan pergaulan hidup.
f. Nilai diri, yaitu berhubungan dengan masalah pribadi.
Selanjutnya yang menjadi bagian lain sebagai alat
nilai adalah dalam segi kebudayaan (di samping adat),
sebagaimana diketahui, kebudayaan adalah perwujudan
aktif nilai-nilai beserta hasilnya. Kebudayaan adalah
kehidupan manusia, makanya kebudayaan bernilai dan
nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan beragam,
nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, pengetahuan, teknik, seni,
filsafat. Agamapun diperlukan manusia, maka agama
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|21
mengandung nilai. Agama setiap bidang dalam kebudayaan
dan agama berbeda-beda, yaitu:
a. Nilai sosial, interaksi antara pribadi dan masyarakat
berkisar sekitar nilai baik atau buruk, pantas atau tidak
pantas, semestinya atau tidak semestinya sopan santun
atau kurang ajar. Nilai-nilai baik dalam masyarakat,
yang dituntut pada setiap anggota masyarakat
mewujudkannya, disebut susila atau moral.
b. Nilai ekonomi, ekonomi merupakan hubungan antara
manusia dengan benda. Benda diperlukan dan dianggap
penting karena kegunaannya. Nilai ekonomi
menyangkut nilai guna.
c. Nilai politik, politik merupakan suatu pembentukan dan
penggunaan kekuasaan. Maka nilai politik menyangkut
nilai kekuasaan.
d. Nilai pengetahuan, nilai ini menyangkut nilai
kebenaran.
e. Nilai seni, nilai seni ini menyangkut nilai bentuk-bentuk
yang menyenangkan estetik.
f. Nilai filsafat, nilai filsafat menyangkut nilai hakikat
kebenaran bersama nilai-nilai itu sendiri.
g. Nilai agama, yaitu yang menyangkut nilai ketuhanan
(nilai kepercayaan, ibadat, ajaran, pandangan, dan sikat
hidup serta amal), yang kesemuanya terbagi dalam baik
dan buruk
Perbedaan yang terjadi pada kebudayaan membawa
perbedaan pada tataran tata nilai, perbedaan tersebut
terjadi dikarenakan terjadi perbedaan pada pengalaman,
sejarah, pemikiran, pengetahuan, cita-cita, lingkungan,
pendeknya adalah terjadinya perbedaan cara hidup.
Demikian juga yang terjadi dalam perbedaan kepercayaan
(agama) yang dianut oleh manusia, maka akan terjadi
perbedaan sudut pandang dalam segi baik dan buruk. Maka
dalam kehidupan manusia, terdapat dua alat (sumber) nilai,
yaitu:
22| Nilai dalam Wacana Filosofis
1. Akal pikiran, yaitu yang berpangkal pada manusia, yang
diwujudkan melalui filsafat.
2. Naqal, yaitu yang berpangkal dari Tuhan, yang
perwujudannya melalui agama.
Akal itu pada manusia, berbeda-beda dan bersifat
nisbi, untuk itu nilai tersebut berbeda-beda sejalan dengan
perbedaan yang ditimbulkan oleh filsafat. Sedangkan naqal
(wahyu) itu satu dan serba tetap, bersifat mutlak, mengatasi
ruang dan waktu.33
I. Hierarki Nilai
Sebagaimana disampaikan oleh Kaelan dalam
bukunya,34 persoalan nilai, ternyata menimbulkan berbagai
macam pendapat, bahkan menimbulkan berbagai macam
aliran. Demikian juga lahir berbagai macam pandangan,
yang kesemuanya itu tergantung pada titik tolak dan sudut
pandangnya masing-masing dalam menentukan apakah
tentang pengertian serta hierarki nilai. Semisal pandangan
yang dikemukakan oleh kaum materialis, yang menyatakan
bahwa nilai tertinggi adalah materi, untuk itu, pada
hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya saja nilai
macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai
tersebut dengan manusia. Banyak usaha yang dilakukan
dalam rangka untuk mengolong-golongkan nilai dan
penggolongan
tersebut melahirkan
beranekaragam
pandangan, tergantung pada sudut pandang dalam rangka
penggolongan tersebut.
Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang
ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu
pada secara nyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang
lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya.
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan
Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hal. 218-219.
34 Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 88-89.
33
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|23
Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat kelompokkan
dalam empat tingkatan sebagai berikut, yaitu:
1. Nilai-nilai kenikmatan, dalam tingkatan ini terdapat
deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan yang tidak
mengenakkan (die wertreihe des angenehmen und
unangehmen), yang menyebabkan orang menjadi
senang atau menderita tidak mengenakkan.
2. Nilai-nilai kehidupan, dalam tingkatan ini terdapat nilainilai yang penting dalam kehidupan (werte des vitalen
fuhlens), misalnya kesehatan, kesegaran jasmani,
kesejahteraan umum.
3. Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkat ini terdapat nilainilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak
tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan.
Nilai-nilai semacam ini adalah berupa keindahan,
kebenaran, keadilan, dan pengetahuan murni yang
dicapai dalam filsafat.
4. Nilai-nilai kerohanian, dalam tingkatan ini terdapatlah
modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci
(wermodalitas des heiligen ung unheiligen), nilai-nilai
semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai
manusiawi kepada delapan kelompok, yaitu:
1. Nilai-nilai ekonomis, yang ditujukan kepada harga pasar
dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
2. Nilai-nilai kejasmanian, yang ditujukan kepada
kesehatan, efesiensi dan keindahan dalam kesehatan
badan.
3. Nilai-nilai hiburan, yang ditujukan kepada permainan
dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada
pengayaan kehidupan.
4. Nilai-nilai sosial, berasal mula dari keutuhan
kepribadian dan sosial yang diinginkan.
5. Nilai-nilai watak, keseluruhan dari keutuhan
kepribadian dan sosial yang diinginkan.
24| Nilai dalam Wacana Filosofis
6. Nilai-nilai estetis, berupa nilai-nilai keindahan dalam
alam raya ini serta yang berhubungan dengan nilai seni.
7. Nilai-nilai intelektual, yaitu nilai-nilai pengetahuan dan
pengajaran kepada suatu kebenaran.
8. Nilai-nilai keagamaan.
Selanjutnya
persoalan
nilai-nilai
ini
juga
disampaikan oleh Notonogoro, menurut Notonogoro nilai
terbagi kepada tiga macam, yaitu:
1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
kehidupan jasmani manusia, atau berupa keperluan
material ragawi manusia.
2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi
manusia dalam rangka untuk dapat mengadakan
berupa kegiatan atau aktivitas.
3. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi rohani manusia, nilai kerohanian ini dapat
dibedakan lagi atas empat macam, yaitu:
a. Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada
akal budi manusia (rasio, budi, cipta).
b. Nilai keindahan atau nilai estetis, yang bersumber
pada unsure perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau nilai moral, yaitu nilai yang
bersumber pada unsur kehendak manusia (will,
wollen, karsa).
d. Nilai religius, yaitu yang merupakan nilai
kerohanian tertinggi dan bersifat mutlak. Nilai
religius ini bersumber kepada kepercayaan dan
keyakinan manusia.
Menurut Sandin, apabila dilihat dari sifatnya, nilai
dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu:
1. Nilai yang memiliki sifat relatif stabil dan bertahan dari
waktu ke waktu mengikuti kelangsungan hidup sistem
sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
2. Nilai sebagai suatu bentuk keyakinan, memiliki
komponen kognitif, afektif, dan psikomotrik.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|25
3. Nilai memiliki dua kategori utama, yaitu nilai
instrumental dan nilai terminal. Nilai instrumental
adalah nilai yang menyangkut gaya perilaku yang
dipandang sebagai nilai yang sesuai atau bernilai atau
berharga. Sementara nilai terminal adalah nilai yangthe
end state, dimana nilai-nilai instrumental menjadi
bermakna.
4. Nilai-nilai disusun atau diorganisasikan ke dalam suatu
sistem nilai, yang menjadi keyakinan mengenai polapola hidup manusia yang terus berkembang sesuai
dengan perkembangan budayanya.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, sebagaimana
mengikuti filsuf dan pedagog Jerman Eduard Spranger
(1882-1963), bagi Takdir nilai bertolak dari enam gugus
nilai, yaitu:
1. Nilai-nilai teoritis atau gugus nilai ilmu pengetahuan.
Penilaian teoritis mengikuti tolak ukur benar-salah.
Yang bernilai positif adalah berupa kebenaran, dan
yang bernilai negative adalah berupa kekeliruan.
2. Nilai-nilai ekonomis atau gugus nilai-nilai ekonomi.
Sesuatu itu akan bernilai secara ekonomis tergantung
dari apakah sesuatu itu menguntungkan atau tidak
menguntungkan, atau malahan merugikan. Jadi,
kriterianya adalah berupa untung atau rugi.
3. Nilai-nilai religius atau gugus nilai agama. Nilai religius
tertinggi adalah yang Kudus. Maka lawan dari yang
Kudus adalah yang profan.
4. Nilai-nilai estetik atau gugus nilai seni. Penilaian estetik
adalah mengenai indah-tidaknya sesuatu. Yang indah
dianggap bernilai positif dan yang jelek atau tidak
indah dianggap bernilai negatif.
5. Nilai-nilai politis atau gugus nilai kuasa. Dalam dimensi
nilai-nilai politis yang bernilai positif adalah berupa
kekuasaan, dan yang bernilai negatif adalah
ketertundukan.
26| Nilai dalam Wacana Filosofis
6. Nilai-nilai sosial atau gugus nilai solidaritas. Inilah
berupa nilai-nilai yang menentukan apa yang positif
dan apa yang negatif dalam hubungannya dengan orang
lain. Kriterianya adalah baik-buruk, juga solider-egois.
Bagi Sutan Takdir Alisjahbana, enam nilai itu melalui
pelbagai konfigurasi, menentukan sistem nilai atau berupa
sistem moral khas setiap kepribadian, setiap kelompok
sosial, dan juga setiap kebudayaan. Dalam pengertian ini,
nilai-nilai
merupakan
kekuatan-kekuatan integratif
manusia, masyarakat, dan budaya.35
Menurut Franz Magnis Suseno, buku utama Takdir
adalah Value as Integrating Force, yang mau merintis
sebuah ilmu menyeluruh tentang manusia, menguraikan
peran kunci konstelasi nilai-nilai itu dalam tiga dimensi
realitas manusia yang sekaligus merupakan “tiga proses
etis”, yaitu dalam pembentukan kepribadian, dalam
kehidupan sosial masyarakat, dan dalam kebudayaan.
Pengintegrasian keenam nilai tersebut menentukan
keutuhan manusia dalam tiga dimensi itu: dalam dimensi
karakter individual diharapkan tercapai integrasi personal.
Integrasi kepribadian itu menurut Takdir harus tercapai
pada tiga pusat manusia, dalam kehidupan instingtual,
emosional, dan intelektua. Jadi, perlunya tercapai integrasi
vital, integrasi hati, dan integrasi budi.36
Menurut J. De. Finance, filsuf Perancis, membagi
nilai-nilai berdasarkan kaitannya dengan aspek spiritual
manusia. Menurut De Finance, semakin tinggi dan baik salah
satu nilai, maka semakin berkaitlah ia dengan aspek
spiritual manusia yang lebih tinggi. Beberapa pembagian
nilai menurut De Finance, yaitu:
35 Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, dari Gotholoco ke
Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta:
Kanisius, 2005, hal. 135.
36 Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat……, hal. 136.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|27
1. Nilai-nilai pra-manusiawi (pra human). Yang berlaku
untuk manusia tetapi tidak membuatnya manusiawi
(nilai-nilai hedonis dan biologis).
2. Nilai-nilai manusia par-moral (human value par-moral),
berkaitan dengan kepentingan sosial atau kultural
yaitu: nilai-nilai ekonomi, intelektual, nilai-nilai estetis.
3. Nilai-nilai moral (moral value), meliputi nilai-nilai yang
merupakan tindak pelaksanaan kebebasan dalam
realisasinya terhadap kewajiban (duty) dan kebaikan.
4. Nilai-nilai spiritual dan religius: nilai-nilai dalam
lingkup yang “suci” dan “Tuhan”.
Eric Fromm, membagi nilai ke dalam dua ringkasan
yang sangat padat, yaitu sebagai berikut:
1. Nilai-nilai ekonomis, yaitu nilai-nilai yang menyangkut
dunia/lingkup “having” (pemilikan): keberadaan di
dunia dengan kecenderungan atau memiliki semua.
2. Nilai-nilai entitatif, yaitu nilai-nilai yang menyangkut
dunia being. Nilai ini dasariah demi eksistensi sama
dengan being sebagai ruang keberadaan di dunia
dengan nilai-nilai yang mengembangkan pribadi.37
Menurut Kaelan, masih banyak lagi cara
pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan oleh
N. Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa
nilai, hakikat keuntungan yang diperoleh, dan hubungan
antara pendukung nilai dan keuntungan yang didapatkan.
Begitu juga dengan pengelompokan nilai yang menjadi nilai
intrinsik dan nilai ekstrinsik, nilai ojektif dan nilai subjektif,
nilai positif dan nilai negative (disvalue) dan sebagainya.
Berdasarkan uraian mengenai macam-macam nilai
tersebut, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai
itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan
37 FX. Mudji Sutrisno, Determinisme sebagai Antitese Kebebasan
dan Fenomenologi Nilai, dalam Manusia dalam Pijar-Pijar Kekayaan
Dimensinya, Editor FX. Mudji Sutrino, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 8889.
28| Nilai dalam Wacana Filosofis
tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau
immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat
mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi
manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah untuk
diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun
dengan alat pengukur seperti berat, panjang, luas, tinggi,
dan sebagainya. Sedangkan nilai kerohanian/spiritual lebih
sulit untuk mengukurnya. Dalam menilai hal-hal
kerohanian/spiritual, yang menjadi alat ukurannya adalah
berupa hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera,
cipta, rasa, karsa dan berupa keyakinan manusia.
Selain nilai-nilai yang dikemukakan oleh para tokoh
aksiologi tersebut yang menyangkut tentang wujud
macamnya, nilai-nilai tersebut juga berkaitan dengan
tingkatan-tingkatannya. Hal ini dapat dilihat secara objektif
karena nilai-nilai tersebut menyangku segala aspek
kehidupan manusia. Ada sekelompok nilai yang memiliki
kedudukan atau hierarki yang lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai-nilai lainnya ada yang lebih rendah bahkan ada
tingkatan nilai yang bersifat mutlak. Namun demikian, hal
ini sangat tergantung pada filsafat dari masyarakat atau
bangsa sebagai subjek pendukung nilai-nilai tersebut. Bagi
negara yang paham keagamaannya masih kental, maka
nilai-nilai religius merupakan suatu nilai yang tertinggi dan
mutlak, sedangkan suatu bangsa yang menganut paham
sekuler, nilai yang tertinggi adalam berupa akal pikiran
manusia, sehingga ketuhanan di bawah otoritas pemikiran
dan akal manusia.38
J.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praktis
Menurut Kaelan39 dalam bukunya Pendidikan
Pancasila, dalam kaitannya dengan derivasi atau berupa
38
39
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, hal. 90.
Kaelan, Pendidikan Pancasila……, 91-92.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|29
penjabarannya, maka nilai-nilai dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu nilai dasar, nilai instrumental,
dan nilai praksis. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Nilai dasar. Nilai berdasarkan realisasi sangat
berhubungan dengan tingkah laku manusia dan bersifat
nyata, namun nilai tetap memiliki nilai dasar
(ontologism), yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari
atau makna yang terdalam nilai tersebut. Nilai dasar
universal sifatnya karena menyangkut hakikat
kenyataan objektif segala sesuatum misalnya hakikat
Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya. Jika nilai
dasar ini berkaitan dengan hakikat Tuhan, maka nilai
ini bersifat mutlak karena hakikat Tuhan adalah kausa
prima (sebab pertama), sehingga segala sesuatu
diciptakan (berasal) dari Tuhan. Demikian juga bila
nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia, maka
nilai tersebut bersumber pada hakikat kodrat manusia,
jika nilai ini dijabarkan pada tataran hukum
kemanusiaan, maka kemudian diistilah sebagai hak
dasar atau hak asasi, demikian juga jika dikaitkan
dengan hakikat suatu benda dan lain-lain. Nilai dasar
ini dapat juga disebut sebagai sumber norma yang
kemudian direalisasikan dalam kehidupan bersifar
praksis.
b. Nilai instrumental. Dalam rangka untuk merealisasikan
dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar di atas
harus memiliki suatu formulasi serta parameter atau
ukuran yang jelas. Maka nilai instrumental ini
merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan
dapat diarahkan. Apabila nilai instrumental ini
berkaitan dengan kehidupan manusia secara real dalam
kehidupan sehari-hari, maka menjadi suatu norma
moral, namun jika berkaitan dengan suatu organisasi
atau negara, maka nilai-nilai instrumental merupakan
suatu arahan, kebijaksanaan atau strategi yang
30| Nilai dalam Wacana Filosofis
bersumber pada nilai dasar, jadi dapat juga dikatakan
bahwa nilai istrumetal ini merupakan suatu eksplitasi
dari nilai dasar.
c. Nilai praksis. Nilai ini merupakan penjabaran
selanjutnya dari nilai instrumental dalam suatu
kehidupan yang nyata. Sehingga nilai ini merupakan
suatu perwujudan dari nilai tersebut. Walaupun
memungkinkan berbeda pada wujudnya, namun tidak
dapat menyimpang atau bahkan tidak dapat
bertentangan, dikarenakan adalah nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis merupakan suatu sistem
perwujudannya yang tidak boleh menyimpang dari
sistem tersebut.
K. Tingkat dan Pembagian Nilai
Menurut Sidi Gazalba,40 nilai itu bertingkat-tingkat.
Dalam susunannya, yang satu selalu akan berhubungan
dengan yang lain atau demikian juga sebaliknya. Yang baik
berhubungan dengan yang bagus, yang jahat berhubungan
dengan benci. Yang baik berlawanan dengan yang buruk,
dan yang indah berlawanan dengan yang jelek. Dalam
kenyataan tingkat-tingkat tersebut tidak ada, ia bersifat
ideal, dengan demikian, maka tingkat-tingkat itu ada dalam
rohani manusia. Nilai memberikan kehidupan batin dan
makna kehidupan, tanpa itu semua tindakan dan semua
barang akan sama saja, karena sama adanya. Kehidupan
batin berlangsung karena di belakang wujud tindakan,
barang dan peristiwa, manusia menghadapi nilai-nilai,
tindakan barang dan peristiwa itu baru member makna
kepada kepada kehidupan manakala dipandang dari segi
nilai agama dan kebudayaan.
40
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat……, hal. 498-510.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|31
Nilai memaksa orang mengarah kepadanya. Nilai
etika memaksa orang berlaku-berbuat kepadanya. Nilai
guna barang memaksa manusia untuk memilikinya. Maka
dipandang berdasarkan subjek yang bertindak dan menilai,
apabila nilai yang bersangkutan bersifat etika, maka kita
harus berbuat demikian, maka nilai itu memanggil kita.
Susunan nilai etika umumnya terbagi kepada dua bagian,
yaitu baik dan buruk. Demikian pula nilai agama, nilai baik
dan buruk dalam agama identik dengan pahala dan dosa,
nilai pahala dan dosa di akhirat nanti diwujudkan dalam
bentuk surge dan neraka. Islam dating dengan tingkattingkat nilai yang lebih banyak dan ini memberikan gerak
kepada muslim lebih luas dalam pilihan. Maka dalam Islam
memiliki lima tingkat nilai Islam, yaitu;
1. Fardhu atau wajib. Yaitu sesuatu yang wajib, mesti,
tidak boleh tidak. Bagi yang mengerjakannya akan
mendapatkan pahala dan bagi yang meninggalkannya
akan berdosa, bahkan akan celaka di dunia. Dalam
kehidupan sehari-hari malah yang fardhu menjadi
suatu keutamaan dan pujian, apabila ditinggalkan akan
mendapatkan celaan dan apabila dikerjakan akan
mendapat pujian. Jadi, nilai fardhu itu adalah baik.
2. Sunnat atau mandup. Dapat diartikan juga sebagai
menurut jalan yang seharusnya atau patut. Bagi yang
melakukannya
mendapat
pahala,
bagi
yang
meninggalkannya tidak berdosa. Nilainya adalah
setengah baik.
3. Mubah atau jaiz atau halal. Dapat diartikan boleh, tidak
ada halangan. Tidak ada perintah yang menyuruhnya
atau bahkan yang melarang dan mencegahnya. Mubah
itu berhubungan dengan laku suatu perbuatan, halal itu
mengenai barang. Dalam melaksanakan sesuatu yang
berhubungan dengan mubah tidak ada ganjaran apaapa, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Nilainya
adalah netral (hampa nilai)
32| Nilai dalam Wacana Filosofis
4. Makruh. Nilai ini dapat dikatakan tidak disukai, boleh
dikerjakan tapi alangkan baiknya ditinggalkan, artinya
kalau dikerjakan tidak berdosa, namun apabila
ditinggalkan mendapat pahala. Nilainya adalah
setengah buruk.
5. Haram. Nilai ini haram untuk dikerjakan, apabila
mengerjakannya akan berdosa dan apabila ditinggalkan
akan mendapat pahala. Maka nilainya adalah buruk
bahkan sangat buruk.
Demikianlah
tingkat nilai-nilai
Islam
dan
perwujudannya dalam kehidupan pemeluknya yang hidup
dalam tata nilai Islam. Di samping itu, juga dikenal dengan
beragam tata nilai lainnya, antara lain adalah;
1. Nilai saling tantang, yaitu nilai ini dapat dikelompokkan
dalam dua-dua bagiannya dengan saling tantang,
misalnya; nilai dan tidak bernilai, seperti baik-buruk,
indah-jelek, manfaat-mudharat, sopan-kurang ajar,
nikmat-siksaan.
a. Nilai keorangan dan kebendaan. Nilai keorangan
hanya dapat peruntukkan kepada orang-orang
secara individual saja, seperti setia, pengasih,
pembenci, curang, terpelajar, pendendam, jujur,
egois, cemburu dan sebagainya. Sedangkan nilai
kebendaan hanya diruntukkan bagi barang-barang
saja, misalnya; kemudahan, mewah, bagus, mahal,
indah, dan sebagainya.
b. Nilai sendiri. Yaitu nilai yang terletak pada dirinya
sendiri, yang diperuntukkan tidak hanya orang,
namun juga kepada barang.
c. Nilai individual dan nilai sosial. Nilai yang dianut
oleh seorang individu menjadi berbeda nilai yang
dianut sebagian besar anggota masyarakat, nilai
yang dianut secara sendiri-sendiri disebut nilai
individual, sedangkan nilai-nilai yang dianut oleh
sebagian besar anggota masyarakat disebut nilai
sosial.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|33
d. Nilai pinjaman atau turunan, nilai ini karena ada
keterkaitan dengan nilai lain, dan berlawanan
dengan nilai sendiri. Nilai ini pula dikatakan pada
sesuatu yang bagi seseorang memiliki kegunaan
tertentu. Misalnya; uang kertas, karena dianggap
bernilai karena dengan kertas tersebut dapat
mendapatkan barang yang lain, sehingga nilai yang
ditimbulkan oleh kertas tersebut dapat ditukarkan
dengan benda lainnya. Contoh yang lain, misalnya
giro dapat bernilai karena uang yang ada dalam
rekening, cangkul dapat bernilai untuk membajak
sawah, mobil bernilai karena perlu untuk
pengangkutan, dan sebagainya.
e. Nilai pancaran. Nilai ini terpancar secara khusus
pada bagian-pagiannya, yang pada hakikatnya
sudah
memiliki
nilai.
Misalnya,
badan
pemerintahan
mempunyai
nilai
tersendiri,
pegawainya memiliki nilai yang terpancar dari
dinas tempat mereka bekerja atau dinas yang
diwakilinya. Contoh yang lain, misalnya pegawai
kantor gubernur, mereka merasa nilainya
tersendiri, bahkan dapat menjadi kebanggaan
tersendiri ketika bertemu dengan pegawai dari
dinas yang lain, atau bertemu dengan pegawai dari
kantor bupati atau walikota.
2. Nilai pancaran indera. Nilai pancaran indera ini terbagi
kepada nilai nikmat, nilai hidup, dan nilai guna.
a. Nilai nikmat atau hedonismee. Nilai ini tergantung
pada nilai kenikmatan dan kepuasan rasa dalam
suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia. Suatu
tindakan dikerjakan serta dilaksanakan sematamata berdasarkan rasa nikmat, apabila tidak
memberikan nilai kenikmatan maka dianggap tidak
bernilai. Bagi penganut nilai ini, rasa puas atau
kenikmatan dan bahagia disamakan. Kebahagiaan
menenangkan manusia.
34| Nilai dalam Wacana Filosofis
b. Nilai vitalisme atau nilai serbahidup. Bagi penganut
vitalisme beranggapan bahwa, yang bernilai adalah
yang mencerminkan kekuatan dalam hidup
manusia, manusia yang kuasa adalah manusia yang
baik, sekalipun kekuasaan dan kekuatan itu
dipergunakannya untuk menaklukkan orang lain
yang lemah.
c. Nilai serbaguna atau utilitarisme. Nilai yang
dianggap baik oleh utilitaris adalah yang berguna
atau yang bermanfaat. Ada juga utiliarisme pribadi
yaitu ukuran kegunaan berdasarkan pribadi, dan
ada juga utilitarisme sosial yaitu nilai kegunaan
berdasarkan masyarakat dan Negara, hal ini dapat
diamati dan dipahami bahwa kecenderungan
penentuan nilai pada kegunaan dan manfaat.
d. Nilai pragmatisme. Aliran ini menjadi bagian dari
utiletarisme, dan berkembang di Amerika Serikat
dan digolongkan orang ke dalam filsafat hidup.
Menurut pragmatisme, segala sesuatu dianggap
bernilai adalah menentukan kegunaan yang praktis
dan manfaat yang praktis sebagai ukuran
perkembangan kehidupan manusia. Dapat juga
dikatakan sebagai serbapraktis, yang benar adalah
yang berguna, kegunaan dan kemanfaatan
merupakan satu-satunya ukuran dan hakikat
kebenaran.
3. Nilai yang berguna, pemahaman ini lebih kea rah Islam,
di mana di dunia Islam ada yang memahami bahwa,
yang benar adalah yang berguna, hal ini membawa
kepada ajaran iman dan amal saleh. Amal saleh adalah
berupa tindakan dan perbuatan yang taat kepada Allah,
sedangkan iman intinya adalah tauhid, keyakinan
kepada Allah. Tuhan menyeru hamba-Nya berbuat dan
berlaku kepada perbuatan yang baik dan berguna dan
melarang untuk berbuat kejahatan. Tuhan adalah Maha
Benar, maka tindakan yang benar adalah tindakan
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|35
menurut suruhan-Nya, dan tindakan itu pasti berguna
dan bermanfaat bagi hamba yang melakukannya.
4. Nilai berdasarkan pandangan manusia. Menurut Islam
sesuatu yang yang dipandang berguna oleh manusia
belum tentu benar, karena manusia adalah makhluk
Tuhan yang nisbi. Yang benar bagi seseorang belum
tentu benar bagi orang lain, yang benar pada suatu
waktu, belum tentu benar pada waktu yang lain.
Sekalipun menghasilkan kegunaan bagi yang
melakukan, belum tentu benar bagi masyarakat, bagi
umat manusia dan seterusnya. Oleh karenanya,
kebenaran hanya ada pada Tuhan dan hanya milik
Tuhan. Tuhan menyuruh manusia berbuat sesuatu,
pasti sesuatu itu ada manfaat dan kegunaan bagi
manusia seutuhnya.
5. Nilai-nilai rohani, nilai ini dapat dibagi kepada; nilai
logika, nilai estetika, nilai etika, dan nilai agama.
a. Nilai logika atau nilai keilmuan. Pengetahuan,
penelitian, putusan, penuturan, pembahasan, teori
atau cerita dapat mengandung nilai logika dan
tentunya dapat tidak. Sebuah karya ilmiah, harus
mengandung nilai logika, karena logika menjadi
metode berpikir dalam ilmu. Sebagaimana
pengalaman suatu ilmu, kritik yang pertama
terhadap suatu ilmu, biasanya akan dipertanyakan;
apakah ia mengandung nilai kebenaran atau tidak,
kalau kemudian dinyatakan tidak, maka dianggap
belum memenuhi ukuran atau persyaratan suatu
ilmu. Masyarakat yang warganya menjunjung tinggi
nilai ini. Pada umumnya berkembang dan cepat
maju. Walaupun kegiatan pendidikan dan proses
belajar ada di dalam setiap masyarakat, namun
nyatanya tidak semua masyarakat sama tingkat
kemajuannya. Hal ini disebabkan oleh kadar
penghargaan mereka terhadap nilai keilmuan tidak
sama. Pikirkanlah, mengapa bangsa Jepang, Jerman,
36| Nilai dalam Wacana Filosofis
dan bangsa Barat mampu menguasai perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara kita jauh
tertinggal?
b. Nilai estetika. Nilai ini selalu disangkutpautkan
dengan suatu hasil karya manusia, nilai ini berupa;
keindahan. Maka suatu bentuk yang menyenangkan
dari hasil karya manusia biasanya mengandung nilai
tersebut. Nilai estetika berhubungan dengan
ekspresi perasaan atau isi jiwa seseorang mengenai
keindahan. Setiap orang memiliki penghayatan yang
berbeda terhadap keindahan. Ada orang yang
penghayatan estetikanya disalurkan lewat gambar,
sastra, arsitektur, tari-tarian, musik dan nyanyian,
ukir-ukiran, dan tata warna. Hampir semua aspek
kehidupan manusia diwarnai oleh nilai estetika.
Setiap kali membeli tas, buku, dan pakaian baru,
salah satu pertimbangan pilihan Anda adalah
keindahan penampilannya. Bahkan, cara orang
berbicara pun tidak terlepas dari unsur nilai
keindahan.
c. Nilai etika. Nilai etika hanya diperuntukkan kepada
manusia saja. Nilai etika pada prinsipnya bersifat
memaksa, karena memaksa seseorang mengarah
kepadanya. Sebagai contoh, mencuri itu jahat, dan
bagi orang yang melakukan mencuri, orang tersebut
dapat dihukum, apalagi sampai dapat meresahkan
suatu masyarakat. Oleh karenanya, manusia sampai
diwajibkan bahkan dipaksa untuk tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat meresahkan
masyarakat. Nilai etika adalah segala sesuatu yang
menyangkut perilaku terpuji. Dalam kehidupan
sehari-hari kita sering menyebutnya dengan istilah
tatakrama atau sopan-santun. Nilai etika disebut
juga nilai watak atau nilai kepribadian. Nilai watak
tercermin pada sikap adil, kejujuran, keberanian
bertindak, dan kemampuan mengontrol diri.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|37
Misalnya, orang yang menjunjung nilai watak tidak
akan mengingkari janji yang ia sepakati. Ukuran
terpuji atau tidaknya sesuatu, bergantung penilaian
masyarakat yang bersangkutan. Secara umum,
perilaku suka menolong dan rela berkorban demi
orang lain dianggap terpuji. Anda akan mendapat
pujian dari orang lain, karena telah melakukan
perbuatan yang baik atau mulia. Anda akan dicela
orang lain, apabila melakukan tindakan yang tercela.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa dalam pergaulan
hidup bermasyarakat ada nilai etika yang berperan
mengendalikan perilaku kita. Dalam berbicara,
berpakaian, makan, berlalu-lintas, bertamu, dan
perbuatan lainnya, semua dikendalikan oleh nilai
etika.
a. Nilai agama. Nilai ini, segala sesuatu dapat
dianggap
bernilai,
apabila
tindakan
dan
perbuatannya sesuai dengan pandangan suatu
agama. Baik dan buruk suatu perbuatan
berdasarkan baik atau tidaknya dalam pandangan
suatu agama yang dianut oleh seseorang. Nilai
religius berkaitan dengan kepercayaan terhadap
Tuhan. Hanya orang atheis yang tidak percaya akan
adanya kekuatan Tuhan. Setiap agama dan
kepercayaan meyakini adanya kekuatan Tuhan.
Keyakinan itu berpengaruh terhadap perilaku
manusia.
Sehingga,
secara
umum
orang
berpedoman pada ajaran-ajaran yang diyakini
berasal dari Tuhan. Tuhan mengajak kepada
kebaikan dan keselamatan. Apabila Anda selalu
berbuat baik, suka membantu sesama, tidak
menyakiti orang lain, dan patuh menjalankan
perintah agama dengan didasari keyakinan bahwa
itu semua akan dibalas dengan pahala dari Tuhan,
maka Anda telah berpedoman pada nilai-nilai
religius.
38| Nilai dalam Wacana Filosofis
Daftar Rujukan
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Dudung Rahmat Hidayat, Mulyadi, Hakikat dan Makna Nilai,
Makalah Mata Kuliah Pendidikan Nilai dalam
Pendidikan Umum, pada Program Pendidikan
Umum,
Sekolah
Pascasarjana
Universitas
Pendidikan Indonesia, 2006.
Franz Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat, dari Gotholoco ke
Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke
Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
FX.
Mudji Sutrisno, Determinisme sebagai Antitese
Kebebasan dan Fenomenologi Nilai, dalam Manusia
dalam Pijar-Pijar Kekayaan Dimensinya, Editor FX.
Mudji Sutrino, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rieneka Cipta, 2010.
Harol H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalanpersoalan Filsafat, Alihbahasa H.M. Rasjidi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
J. Sudarminta, Kata Pengantar, dalam buku Nilai, Etika
Aksiologi Max Scheler, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Proses Reformasi UUD Negara
Amandemen 2002, Pancasila sebagai Sistem Filsafat,
Pancasila sebagai Etika Politik, Paradigma
Bermasyarakat,
Berbangsa
dan
Bernegara,
Yogyakarta: Paradigma, 2004.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy, New York: The
Ronald Press Company, 1986.
Bab 1, Ruang Lingkup Kajian Filsafat Nilai
|39
______________, Pengantar Filsafat, dialihbahasan oleh: Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam,
Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Mukijat, Asas-asas Etika, Bandung: Mandar Maju, 1995.
R. Soejadi dan Silvester A. Khodi, Filsafat, Ideologi dan
Wacana Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya, 1989.
Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan alQur’an dan Hadits, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002.
Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian, Relevansi Islam dengan
Seni-Budaya Karya Manusia, Jakarta: Pustaka
AlHusna, 1988.
___________, Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada: Dunia
Filsafat, Teori Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai,
Jakarta: Bintang Bulan.
___________, Masyarakat Islam, Pengantar Sosiologi dan
Sosiografi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Soejono Dirdjosiswono, Esensi Moralitas dalam Sosiologisme,
Bandung: Mandar Maju, 1996, hal. 107. Lihat juga;
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, dari Hakikat Menuju
Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Sistematika
Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu
(Epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia,
Aksiologi, Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
The Liang Gie, Garisbesar Estetik (Filsafat Keindahan),
Yogyakarta: Karya Yogyakarta, 1976.
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
40| Nilai dalam Wacana Filosofis
BAB 2
KEDUDUKAN ETIKA DALAM FILSAFAT NILAI
Oleh: Syarifuddin
A. Pengertian Etika
Kata etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang
merupakan bentuk tunggal, memiliki arti tempat tinggal,
padang rumput, kandang, kebiasaan adat, watak, perasaan,
sikap dan cara berpikir. Bentuk jamak dari kata ta etha yang
memiliki arti adat istiadat.1 Menurut Kanter,2 arti dari kata
adat istiadatlah yang kemudian menjadi latar belakang
terbentuknya istilah etika. Oleh filsuf Yunani Aristoteles
(384-322 SM), etika digunakan untuk menunjukkan filsafat
moral yang menjelaskan fakta moral tentang nilai dan
norma moral, perintah, tindakan kebijakan, dan suara hati.
Secara etimologis, etika berarti ilmu apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan
dengan hidup yang baik dan yang buruk. Yang dimaksud di
sini adalah adat istiadat atau kebiasaan baik yang melekat
pada kodrat manusia, seperti kebiasaan berbuat dan
berkata jujur, menghormati orang tua, mengutamakan
keselarasan dalam relasi dengan sesama makhluk dan alam.
Kebiasaan-kebiasaan ini merupakan kaidah atau prinsip
untuk berbuat baik, bukan berupa hasil dari evaluasi atas
suatu tindakan. Kaidah tersebut melekat pada kodrat
manusia dan karenanya akan selalu menuntut kehendak
bebas manusia untuk hanya memilih yang baik dan benar.
Kebiasaan kebiasaan tersebut juga menyangkut dengan
tanggung jawab dan berupa kewajiban serta sanksi moral,
1
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal.
4.
2 E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, Sebuah Pendekatan SosioReligius, Jakarta: Storia Grafika, 2001, hal. 2.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|41
sehingga pada akhirnya kebiasaan-kebiasaan moral
tersebut menjadi sesuatu yang bernilai bagi kehidupan
individu dan orang lain dalam tatanan masyarakat, dan
tertanam dalam hati nurani setiap pelaku kebiasaan moral
tersebut.3
Etika adalah refleksi kritis, metodis dan sistematis
tentang tingkah laku manusia sejauh berkaitan dengan
norma-norma atau tentang tingkah laku manusia dari sudut
baik dan buruk. Segi normatif merupakan sudut pandang
yang khas bagi etika. Etika mempersoalkan apa yang boleh
atau apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang baik atau
tidak baik untuk dilakukan. Jadi tugas utama etika adalah
menyelidiki apa yang harus dilakukan oleh manusia. Etika
juga bergerak dalam bidang intelektual, akan tetapi
objeknya langsung berkaitan dengan kehidupan praktis
yang dijalankan oleh manusia.4 Etika mengajak manusia
untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri, sesama
manusia, lingkungannya demikian juga kepada Tuhan.
Dalam hal tanggung jawab inilah etika selalu berusaha
mengarahkan manusia secara praktis dalam skala ukuran
baik dan buruk. Hasilnya manusia dapat mengatur tingkah
lakunya.5
Endang Daruni Asdi,6 dalam laporan penelitiannya
juga mengatakan, persoalan etika, yang juga disebut sebagai
filsafat moral, merupakan perbincangan yang telah lama
dipersoalkan oleh para filsuf. Persoalan ini disebabkan
karena persoalan tentang etika menyangkut tentang
3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000, hal. 217.
4 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 11.
5 Husainy Ismail, Jalan Menuju Filsafat, Suatu Uraian
Pendahuluan Ilmu Filsafat, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press,
1993, hal. 108.
6 Endang Daruni Asdi, Sistem-Sistem Etika pada Masa Yunani
Kuno, Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Filsafat, Universitas
Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal. 108.
42| Nilai dalam Wacana Filosofis
kehidupan manusia yang mempermasalahkan tentang “yang
baik” dan “yang buruk” dalam melakukan hubungan antar
manusia. Pada dasarnya etika tidak saja menarik bagi para
ahli filsafat saja, melainkan para ahli ilmu pengetahuan yang
lain juga mempermasalahkan sesuai dengan bidangnya
masing-masing, misalnya para dokter, para pakar hukum
dan para pakar yang lainnya, sehingga dikenal bermacammacam bidang etika yang sesuai dengan pembahasannya.
Berdasarkan sejarah filsafat dapat diketahui bahwa etika
telah diminati oleh para ahli filsafat sejak zaman Yunani
Kuno. Tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles
telah berkecimpung di bidang ini. Luasnya bidang ini
menyebabkan pembahasannya tidak pernah tuntas untuk
diperbincangkan.
Etika yang asal katanya berasal dari etikos, yang
dalam bentuk tunggalnya memiliki banyak arti, yaitu tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap serta cara berpikir, yang
bentuk jamaknya ta etha memiliki arti kebiasaan, baik
berupa kebiasaan individu maupun kebiasaan masyarakat,
dan etika lebih mengindahkan tabiat daripada perbuatanperbuatan lahiriah.7 Istilah lain yang dekat dengan etika
adalah moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin “mos”
(tengah), “mores” (jamak) dan kata sifatnya “moralis”.
Bentuk jamak “more” yang memiliki arti kebiasaan, adat,
kata sifat “moralis” yang berarti susila.8 Susila dapat berarti
norma-norma yang baik, peraturan hidup yang benar atau
dapat juga berarti perintah yang baik.9 Secara etimologis
kata etika dan kata moral dapat diartikan yang sama, yaitu
7 James F. Drane, Religion and Ethics, New York: Paulist Press,
1976, hal. 6.
8 Gunawan A, Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 90.
9 S.A. Kodhi, Referendum dalam Negara Demokrasi Pancasila,
Suatu Tinjauan Kefilsafatan dan Yuridis Konstitusional, Yogyakarta:
Universitas ATMA JAYA, 1988, hal. 35.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|43
suatu adat kebiasaan, hanya saja kedua kata tersebut
berasal dari bahasa yang berbeda, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan
moral berasal dari bahasa Latin.10
Kamus Besar Bahasa Indonesia,11 memberikan tiga
arti yang cukup lengkap tentang etika, yaitu:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral atau dapat disebut
juga dengan akhlak,
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak,
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu
golongan atau oleh masyarakat umum.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat
dirumuskan tentang definisi dari etika adalah, pertama,
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau oleh sekelompok orang dalam
masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya, atau dapat
juga dirumuskan sebagai siatu sistem nilai yang dimiliki
fungsi menjaga dan mengatur hidup manusia baik
perorangan maupun bersama. Kedua, etika juga berarti
sebagai kumpulan asas atau berupa nilai moral, dalam hal
ini dapat dimaksudkan sebagai kode etik sebagaimana
tentang kode etik wartawan, kode etik advokat, kode etik
kedokteran dan sebagainya. Ketiga, etika dapat juga
dipahami sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk.
Dalam kaitan ini, etika baru dipahami sebagai ilmu, jika
asas-asas dan nilai-nilai tentang yang baik dan yang buruk
dijelaskan secara rasional, kritis, sistematis, dan dengan
dukungan metode yang jelas, dalam hal ini etika dapat
10 Suhardi, Makna Etis Cangget Agung dalam Adat Perkawinan
Tulang Bawang, Yogyakarta: Tesis Program Studi Ilmu Filsafat, Jurusan
Ilmu-Ilmu Humaniora, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2002, hal. 96.
11 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988.
44| Nilai dalam Wacana Filosofis
disamakan artinya dengan filsafat moral atau ilmu tentang
moralitas.
Menurut E.Y. Kanter,12 etika bukan sumber
tambahan bagi ajaran moral, melainkan filsafat atau
pemikiran rasional-kritis dan mendasar tentang ajaran dan
pandangan moral. Jadi, etika bukanlah sebuah ajaran
melainkan merupakan sebuah kajian ilmu. Etika
merefleksikan mengapa seseorang harus mengikuti
moralitas tertentu atau bagaimana kita harus mengambil
sikap yang bertanggungjawab ketika berhadapan dengan
berbagai moralitas. Dalam pengertian ini, etika memberikan
orientasi mengapa harus bersikap begini atau bersikap
begitu, sehingga mampu mempertanggungjawabkan
kehidupannya. Etika memberikan evaluasi menganai suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia, apakah manusia
itu memuji atau sebaliknya malah mencelanya.
Etika sebagai ilmu membantu merefleksikan unsurunsur etis ketika berhadapan dengan berbagai pendapat
tentang moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendapatpendapat moral itu sering berbeda satu sama lain, manakah
yang benar? Apakah dasar objektif dari pendapat tersebut?
Mana norma moralnya? Berdasarkan permasalahan ini,
etika memberikan refleksi kritis, rasional, metodis, dan
sistematis tentang perbuatan manusia sejauh itu berkaitan
dengan norma moral. Demikian juga halnya etika juga
sering dipakai dalam arti yang lebih longgar, yaitu untuk
menunjukkan secara keseluruhan pandangan moral sebuah
kelompok sejauh merupakan suatu kesatuan yang
sistematis.
Etika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang segala persoalan kebaikan dalam
kehidupan manusia semuanya, mengenai gerak-gerik
pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan
perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat
12
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 12.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|45
merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas
kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab,
melainkan membahas tata sifat-sifat dasar , atau adat
istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah
laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode
pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri
ke dalam etika dan menerapkan pada situasi kehidupan
konkret.13
Pada perkembangan selanjutnya, etika dihubungkan
dengan hal-hal yang berkait erat dengan nilai, sehingga
etika menjadi bagian dari ranah aksiologi yang bahkan
sering disebut dengan filsafat tingkah laku manusia. Pada
saat inilah etika memiliki pengertian yang sangat berbeda
dengan sebelumnya. Franz Magnis Suseno member
pengertian etika sebagai ilmu yang mengkaji tentang nilai,
sedangkan Sudikno member pengertian etika sebagai
sebuah usaha manusia untuk mencari norma baik dan
buruk. Pengertian ini kemudian menjadikan etika sebagai
sesuatu yang sangat berbeda dengan istilah sebelumnya,
yaitu adat istiadat, namun memiliki landasan pemikiran
atau berupa suatu kerangka berpikir yang pada akhirnya
melahirkan suatu sikap yang lebih bernilai.14
Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan
dalam rangka bersikap kritis dan rasional, dalam rangka
membentuk pendapat seseorang serta dapat bertindak
sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkannya
sendiri. Etika dapat menyanggupkan seseorang untuk dapat
mengambil suatu sikap yang rasional terhadap semua
norma, baik berupa norma-norma yang bersifat tradisi
maupun norma-norma lainnya. Sekaligus etika membantu
13 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
Pus Wilayah, 1996, hal. 62.
14Alexandra Indrayanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan,
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008, hal. 18.
46| Nilai dalam Wacana Filosofis
seseorang untuk lebih menjadikan seseorang mejadi
otonom.
Sesungguhnya, otonomi manusia tidak terletak pada
dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan
kesewenang-wenangan,
melainkan
tercapai
dalam
kebebasan untuk hanya mengakui norma-norma yang
menjadi suatu keyakinan seseorang sebagai kewajibannya.
Justeru dalam persaingan ideologi-ideologi dan berbagai
sistem normatif, berhadapan dengan berbagai macam
lembaga-lembaga yang semakin hari semakin kuasa yang
seolah-olah dapat begitu saja menuntut agar masyarakat
dapat tunduk terhadap ketentuan-ketentuan mereka. Etika
perlu sebagai pengantar pemikiran kritis dan dewasa yang
dapat membedakan apa yang asli dan apa yang dianggap
palsu dan dengan demikian memungkinkan seseorang
untuk dapat mengambil sikap sendiri atau dapat ikut
menentukan suatu arah perkembangan masyarakat. Etika
dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung
jawab bagi orang yang memiliki keahlian dalam ilmu
kemasyarakatan, pendidik, politikus dan pengaran serta
bagi siapa saja yang tidak rela diombang-ambingkan oleh
kegoncangan norma-norma masyarakat saan sekarang ini.15
Ruang lingkup etika menurut Heru Santoso
menjelaskan, etika menaruh perhatian pada pembicaraan
mengenai prinsip-prinsip pembenaran tentang keputusan
yang telah ada. Etika tidak akan memberikan kepada
manusia arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan
tetap tentang cara hidup dengan kebajikan.16 Sedangkan
15 Franz von Magnis, Seri Driyarkara, Etika Umum, MaslahMaslah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1975, hal. 1314.
16Heru Santosa, Landasan Etis bagi Perkembangan Teknologi,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000, hal. 20-21.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|47
menurut Hamzah Ya’qub,17 ruang lingkup dalam etika
berdasarkan etika Islam adalah sebagai berikut:
a. Etika menyelidiki sejarah dan berbagai aliran, baik
yang lama maupun yang baru tentang tingkah laku
yang dilakukan oleh manusia.
b. Etika
membahas
tentang
cara-cara
menghukum/menilai mengenai baik dan buruknya
sesuatu pekerjaan.
c. Etika menyelidiki faktor-faktor penting yang mencetak,
mempengaruhi dan yang mendorong lahirnya tingkah
laku manusia yang meliputi manusia itu sendiri,
fitrahnya, adat kebiasaannya, lingkungannya, suara
hatinya, kehendak dan cita-citanya.
d. Etika menerangkan mana perbuatan yang baik dan
mana perbuatan yang buruk yang harus dilakukan
serta dihindari oleh manusia.
e. Etika mengajarkan cara-cara yang perlu ditempuh
demikian juga meningkatkan budi pekerti ke jenjang
kemuliaan, misalnya dengan cara melatih diri untuk
mencapai suatu perbuatan bagi kesempurnaan pribadi.
f. Etika menegaskan arti dan tujuan hidup yang
sebenarnya, sehingga dapatlah manusia terangsang
secara aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhkan
segala kelakuan yang buruk dan tercela.
Menurut M. Yatimin Abdullah,18 pemakaian untuk
membedakan
arti
mengenai
definisi
etika
ini,
perumusannya dapat diperjelas sebagai berikut:
1. Etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang
membicarakan tentang “Etika suku-suku Indian, Etika
17
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponogoro, 1996, hal.
17-19.
18M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006, hal. 5-6.
48| Nilai dalam Wacana Filosofis
Agama Hindu, Etika Protestan (Max Weber, The
Protestan The Spirit of Capitalim), Etika Islam, Etika
Konghucu” tidak dimaksudkan ilmu, melainkan arti
pertama tadi. Secara singkat, arti ini dapat dirumuskan
juga sebagai sistem nilai. Boleh juga dicatat lagi, sistem
nilai tersebut dapat berfungsi dalam kehidupan
manusia baik dalam taraf perseorangan maupun pada
taraf sosial.
2. Etika dapat dipakai dalam arti asas norma tingkah laku,
tata cara melakukan, sistem perilaku, tata karma. Lebih
tegasnya lagi adalah kode etik. Misalnya, “kode etik
jurnalistik, kode etik pegawai negeri, kode etik guru,
kode etik mubaligh”, di sini tidak dimaksudkan ilmu
melainkan arti tata cara. Secara singkat, arti ini dapat
dirumuskan juga sebagai suatu sistem aturan atau
berupa peraturan-peraturan.
3. Etika dapat dipakai dalam arti perilaku baik buruk,
boleh tidak boleh, suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang. Etika semacam ini baru dapat diakui
apabila perilaku etis asas-asas dan nilai-nilai yang
terkandung menjadi ukuran baik-buruk secara umum,
diterima oleh masyarakat di suatu tempat, menjadi
persetujuan bersama dan dilaksanakan secara bersama
pula.
4. Etika dapat dipakai dalam arti, ilmu tentang perbuatan
yang baik dan yang buruk. Etika baru menjadi ilmu bila
disusun secara metodis dan sistematis yang terdiri dari
asas-asas dan nilai-nilai baik dan buruk. Dalam
masyarakat sering kali tanpa disadari menjadi suatu
bahan referensi atau rujukan bagi suatu penelitian
perilaku etika yang disusun secara sistematis dan
metodis mengarah pada filsafat. Etika di sini sama
artinya dengan filsafat etika.
Sebagai cabang dari filsafat, etika memberikan
tuntutan kepada manusia terutama tingkah laku dan
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan baik
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|49
buruknya.
Etika sebagai cabang-cabang filsafat
memasukkan ruang lingkupnya pada pandanganpandangan dan persoalan-persoalan tingkah laku baikburuk, diungkapkan dalam batas-batas pernyataan. Etika
dipengaruhi dalam dua pengertian, seperti yang dijelaskan
oleh Suyono Sumargono, sebagaimana dikutip M. Yatimin
sebagai berikut:
1. Etika terlibat dalam pernyataan seperti saya atau kita
mempelajari etika. Dalam penggunaan ini etika
dimaksud suatu kemampuan pengetahuan mengenai
pemeliharaan perbuatan yang dilakukan dan
dikerjakan oleh seseorang.
2. Etika dipakai bila orang mengatakan, “ia seorang yang
bersifat etis, ia seorang adil, ia seorang pembunuh, ia
seorang pembohong, ia seorang penipu.” Di sini ruang
lingkupnya
mencapai
suatu
predikat
yang
dipergunakan untuk membedakan barang-barang
perbuatan atau orang-orang tertentu dengan orang
lain.
Etika tidak hanya mengetahui pantandangan
(theory), bahkan setengah dari tujuan-tujuannya, ia
memengaruhi
dan mendorong kehendak supaya
membentuk kehidupan yang suci dan bersih, menghasilkan
kebaikan, kesempurnaan, dan member faedah kepada
sesama manusia. Oleh karenya, etika itu sendiri mendorong
sekaligus mengajak manusia agar berbuat baik, tetapi ia
tidak selalu berhasil kalau seandainya tidak ditaati oleh
kesucian manusia.19
Sebelum menjelaskan pembahasan tentang etika
secara lebih lanjut, maka dalam hal ini sangat diperlukan
untuk menjernihkan pemakaian beberapan istilah yang
memiliki keterkaitan dengan etika, hal ini menjadi perlu
agar dalam pemakaiannya sehari-hari tidak terjadi
keranjuan dan tidak salah dalam penggunaannya, apalagi
19
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi……, hal. 13
50| Nilai dalam Wacana Filosofis
dalam pergaulan sehari-hari orang sering melakukan
kerancuan penggunaannya.
B. Etika dan Etiket
Dalam kehidupan bermasyarakat sering mendengar
pemakaian kata etika dan etiket, kedua kata ini sering
digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian yang sama.
Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, kata etika
sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang memiliki beberapa
arti, yang kemudian dapat diartikan sebagai adat istiadat.
Hubungan antara etika dan etiket, dalam keseharian banyak
salah dalam menggunakannya, sehingga orang tidak dapat
lagi membedakan mana yang dikatakan etika dan mana
yang dikatakan etiket, bahkan dalam pemakaian kata
sebagai praktek pun sering salah penggunaannya.
Dalam bahasa Inggris, bentuk kata etika dan etiket
memiliki perbedaan. Kata ethics berpadanan kata etika,
yang memiliki arti sistem prinsip moral bagi perilaku
manusia. Etika berkaitan dengan nilai dan moral bagi
penilaian baik dan buruk terhadap suatu perbuatan
manusia sebagai manusia yang merupakan ciptaan terindah
Tuhan. Sedangkan padanan kata etiquette adalah etiket,
yang berarti aturan-aturan kesopanan atau tata karma bagi
perilaku manusia dalam pergaulan masyarakat atau
sebagaimana digunakan si antara anggota-anggota pada
suatu profesi. Etiket berkenaan dengan bersopan santun
dalam suatu pergaulan masyarakat.20
Berdasarkan pengertian etika secara etimologis,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu merupakan
sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu yang membahas
tentang adat kebiasaan yang berhubungan dengan hidup
yang baik dan buruk, atau dikatakan juga sebagai kebiasaan
baik yang melekat pada kodrat manusia. Maka antara etika
20 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London:
Oxford University Press, 1995, hal. 393.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|51
dan etiket memiliki persamaan, namun juga memiliki
perbedaan. Persamaannya terletak pada objek persoalan,
yaitu yang berkenaan tentang perilaku manusia. Kedua
istilah ini sama-sama berupaya mengatur perilaku manusia
secara normatif, yakni memberi norma pada tingkah laku
yang dilakukan oleh manusia sehingga dapat menentukan
mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh untuk dilakukan.
Menurut Kanter,21 antara etika dan etiket memiliki
perbedaan yang sangat mendasar. Etika tidak hanya
terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan, akan tetapi
juga memberi norma tentang persuatan tersebut. Etika
menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan, sehingga etika selalu
berlaku di mana dan kapan saja, entah ada atau tidak ada
orang lain sebagai saksi mata. Berdasarkan hal tersebut
prinsip-prinsip etika tidak dapat untuk ditawar-tawar, akan
tetapi merupakan suatu keharusan atau berupa kewajiban
untuk dilakukan. Etika tidak bergantung pada apakah ada
atau tidak ada orang lain yang melihat ketika suatu
perbuatan itu dilakukan, karena etika itu bersifat absolute
dan universal, misalnya; larangan untuk melakukan
pencurian, larangan ini selalu berlaku di segala tempat dan
segala waktu, apakah ada orang lain yang melihat atau
tidak, larangan ini tentunya tetap akan berlaku.
Etika menuntut orang agar sungguh-sungguh
menjadi baik, agar memiliki sikap etis. Orang yang bersikap
etis tidak akan munafik, akan tetapi selalu mengutamakan
kejujuran dan kebenaran, dalam artian, etika itu
menyangkut manusia dari dalam, dari kerohanian dirinya.
Nilai dan norma moral telah terinternalisasi dalam diri dan
dalam hati nurani, sehingga perintah untuk tidak
membunuh, mencuri atau tidak berdusta muncul daru suara
hati.
21
E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 3-5.
52| Nilai dalam Wacana Filosofis
Etiket, lebih menyangkut cara dalam melakukan
suatu perbuatan, umumnya cara tersebut merupakan cara
yang tepat dan diharapkan serta ditujukan bagi suatu
kalangan tertentu, misalnya; memberikan sesuatu cara
menggunakan tangan kanan dan dianggap dilanggar etiket
apabila dilakukan dengan tangan kiri. Berdasarkan hal ini,
etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok
sosial atau kebudayaan tertentu dan tentunya sangat
bergantung pada kehadiran orang lain. Etiket baru dapat
dikatakan berlaku manakala ada orang lain yang melihat
dan menyaksikan, apabila tidak ada orang yang melihat dan
menyaksikan maka etiket tidak berlaku. Dalam hal tata cara
makan misalnya, jika kita makan sendiri, kita dapat makan
sambil meletakkan kaki di atas meja atau kita dapat makan
sambil menggoyang-goyangkan pinggul dan itu tentunya
tidak melanggar etiket. Akan tetapi baru dapat dinilai dan
dapat dikatakan telah melanggar, apabila kita makan
bersama-sama orang lain.
Dengan demikian, etiket bersifat local dan relatif.
Etiket hanya memiliki keterbatasan pada tempat dan
berupa kebudayaan kelompok sosial tertentu saja. Suatu
tindakan yang menurut suatu nilai budaya tidak sopan,
belum tentu berlaku pula untuk kebudayaan atau kelompok
masyarakat yang lain. Selain itu, etiket mengenai manusia
hanya dari luar saja, hal ini tentu memungkinkan seseorang
untuk bersikap munafik, dari luar seseorang tampak sangat
sopan dan lembut, akan tetapi di dalam dirinya penuh
kebusukan dan kebohongan. Maka selanjutnya menurut
Bertens, sebagaimana dikutip oleh Alexandra Indriyanti
Dewi, etika sebagai ilmu atau usaha manusia di dalam
mencari norma atau nilai yang lebih mulia, maka ada
perbedaan mendasar antara etika dan etiket yang oleh
Bertens diurai sebagai berikut:
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|53
Etika
Menyangkut
masalah
apakah suatu perbuatan
boleh dilakukan atau tidak.
Tidak tergantung pada hadir
tidaknya orang lain.
Bersifat absolute artinya
prinsip etika tidak dapat
ditawar berlakunya.
Tidak hanya memandang
segi lahiriah tetapi juga dari
segi batiniah.
Etiket
Menyangkut cara suatu
perbuatan
yang
harus
dilakukan manusia.
Hanya
berlaku
dalam
pergaulan hidup.
Relatif, karena adat di satu
tempat dapat berbeda di
tempat lain.
Hanya memandang manusia
dari segi lahiriyahnya saja.
Dengan demikian etika sebagai ilmu tidaklah
terletak di dalam tataran konsep, tetapi lebih jauh
merupakan aplikasi yang sudah mengalami berbagai macam
pertimbangan-pertimbangan. Jika nilai hanya terletak di
dalam kerangka pemikiran sebagai bahan pertimbangan
maka etika melahirkan sikap sebagai hasil dari
pertimbangan.22
C. Etika dan Moral
Kata yang agak dekat dengan etika adalah kata
moral. Kata moral berasal dari bahasa Latin mos dan bentuk
jamaknya adalah mores, yang memiliki arti adat istiadat,
kebiasaan, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, dan juga cara
hidup. Maka secara etimologis, kata etika dalam bahasa
Yunani sama dengan arti kata moral dalam bahasa Latin,
yaitu adat istiadat mengenai baik buruk suatu perbuatan.23
Adat istiadat ini merupakan konsep yang mencerminkan
perilaku aktual anggota masyarakat tentang apa yang
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum……, hal. 18-19.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok
Etika Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 19.
22
23
54| Nilai dalam Wacana Filosofis
diizinkan atau dilarang untuk dapat dilakukan. Konsep ini
merupakan model-model atau patokan kelakuan yang
dianut oleh anggota suatu masyarakat. Oleh karenanya, adat
istiadat secara keseluruhan mengandung moralitas dari
suatu komunitas sosial atau masyarakat.24
Menurut AI. Purwa Hadiwardoyo,25 moral itu
menyangkut dengan kebaikan. Orang yang tidak baik juga
disebut sebagai orang yang tidak memiliki moral, atau
sekurang-kurangnya disebut sebagai orang yang tidak
bermoral. Maka, secara sederhana dapat menyamakan
moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi.
Pada hakikatnya, moral memuat dua segi yang berbeda,
yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah
orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin tersebut
juga sering disebut dengan kata hati. Orang yang baik
memiliki hati yang baik, akan tetapi sikap batin yang baik
baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam
perbuatan lahiriah yang baik pula.
Franz Magnis Suseno membedakan antara ajaran
moral dengan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan,
khutbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar manusia dapat
menjadi manusia yang baik serta menjadi harapan banyak
orang.26 Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai
orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua
dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisantulisan orang bijak. Etika bukanlah sumber tambahan bagi
ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika
merupakan sebuah ilmu, bukanlah ajaran moral. Dengan
Lorens Bagus, Kamus Filsafat……, hal. 672.
AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:
Kanisius, 1990, hal. 13.
26 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia,
1985, hal. 14.
24
25
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|55
demikian antara etika dan ajaran moral tidak berada pada
tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus
hidup, bukanlah etika, melainkan berupa ajaran moral. Etika
mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita
dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab terhadap
dengan pelbagai ajaran moral.27
Moral pada prinsipnya memiliki sama dengan etika
dalam konteks baik dan buruk, hubungan keduanya juga
sangat erat, mengingat etika sangat memerlukan moras
sebagai landasan atau berupa pijakan di dalam melahirkan
sikap tertentu. Banyak sekali para ahli yang kemudian
membuat analogi seperti apa sebenarnya hubungan antara
moral dan etika itu.
Beberapa ahli mengartikan moral dan etika secara
etimologis tidak ada bedanya, yaitu suatu norma atau nilai
yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok.
Sehingga jika terjadi pelanggaran seseorang atau suatu
kelompok. Sehingga jika terjadi pelanggaran atas norma
tersebut
seringkali
seseorang
dikatakan
bahwa
perbuatannya tidak etis atau tingkah lakunya bejat dan
tidak bermoral. Contohnya, seseorang membunuh orang
lain agar organ tubuhnya dapat diperjualbelikan, hal ini
merupakan suatu perbuatan sadis, tidak etis, dan dapat juga
dikatakan sebagai tindakan tidak bermoral. Dengan
demikian, kata etis dan tidak bermoral merupakan suatu
kata yang nampaknya hampir sama, namun pada
kenyataannya memiliki perbedaan yang cukup mendasar.
Memang tidak terlalu mudah menarik garis pemisah
antara moral dan etika, karena keduanya di dalam arti
tertentu memiliki unsure yang sama yaitu nilai. Namun
menilik kata “tidak etis” maka yang terlintas di dalam
pikiran adalah bahwa perbuatan tersebut sudah terjadi
atau sekurang-kurangnya hampir terjadi. Di sini letak
perbedaan mendasar antara kaidah etika dan kaidah moral.
27
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, …… hal. 14.
56| Nilai dalam Wacana Filosofis
Apabila seseorang dikatakan melakukan suatu tindakan
yang “tidak etis” maka perbuatan tersebut sudah terjadi dan
tentunya ada ketentuan moral yang telah dilanggar. Oleh
karena itu, moral merupakan suatu konsep nilai sedangkan
etika merupakan suatu konsep perilaku. Konsep nilai
melandasi kansep perilaku sehingga suatu perbuatan
tertentu dapat terjadi.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil
sebuah contoh, yaitu sebagaiman terdapat dalam ketentuan
moral seorang dokter yang dilarang untuk menyakiti
pasiennya. Namun di dalam melakukan perawatan
(treatment) seorang dokter kadangkala tidak dapat
menghindari dampak sakit yang dialami oleh si pasien.
Misalnya ketika melakukan injeksi, padahal injeksi tersebut
dapat mempercepat kesembuhan seorang pasien. Oleh
karena itu, seorang dokter tetap melakukan injeksi tidak
dalam konteks menyakiti pasien meskipun terasa sakit,
melainkan melandaskan pada konsep etis di mana sakit
yang sedikit itu akan menyembuhkan dalam jangka waktu
yang lebih cepat. Dapat dibayangkan, seandainya suatu
ketentuan moral untuk tidak menyakiti seorang, dokter
tidak berbuat apapun untuk pasiennya.
Tindakan dokter tersebut merupakan tindakan etis
dan bukan merupakan suatu tindakan moral. Karena
meskipun dokter tersebut mungkin tidak memenuhi konsep
moralitas tertentu, namun dengan pertimbangan etis yang
mengkaji nilai moral tersebut menghasilkan perbuatan yang
menyakitkan tetapi lebih cepat menyembuhkan pasien yang
sedang diobatinya. Pertimbangan ini juga dilandasi dengan
aspek teleologi, di mana keuntungan atau manfaat yang
didapatkan jauh lebih besar dari rasa sakit atau berupa
kerugian yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu
membedakan antara landasan moral dan landasan etika, di
mana keduanya juga akan berhubungan erat seperti dua sisi
mata uang.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|57
Etika dalam hal ini merupakan tinjauan praktis dan
kritis dalam rangka untuk mengatasi permasalahanpermasalahan tertentu dengan menggunakan moral sebagai
referensinya. Etika dalam hal ini juga mempertanyakan
secara kritis mengapa seseorang harus mengikuti ketentuan
moral tertentu dan bagaimana dalam mengambil sikap
untuk bertanggungjawab terhadap konsep moral yang
secara terus menerus mengalami ssssperubahan dalam
mengikuti pertimbangan peradaban. Untuk itu, etika tidak
menentukan benar dan salah, karena hal yang demikian ini
telah diatur oleh yang namanya konsep moral.28
Dengan kata lain, moral rupanya hanya dapat diukur
secara tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang
hanya dapat dinilai secara tepat apabila hati maupun
perbuatannya ditinjau bersama dan disitulah terletak
kesulitannya, orang hanya dapat menilai orang lain dari
luar, dari perbuatan lahiriahnya, sementara hatinya hanya
dapat dinilai dengan hanya menduga-duga. Maka untuk
menilai sikap batin maupun perbuatan lahir diperlukan
suatu alat, yakni ukuran moral. Maka ukuran yang dapat
dipakai untuk menilai suatu kebaikan yang dimiliki oleh
manusia, menurut Purwa Hadiwardoyo,29 berdasarkan
pengalaman dan pengamatan, kiranya dapat dikatakan
bahwa sekurang-kurangnya dapat mengenal adanya dua
ukuran yang berbeda, yakni ukuran yang ada dalam hati
orang dan ukuran yang dipakai oleh orang pada waktu
mereka menilai diri seseorang. Dalam hati seseorang ada
ukuran subjektif, sedangkan orang lain kemungkinan
memakai ukuran yang lebih objektif.
Maka masalah ukuran moral, sebagaimana sering
mendengar istilah hati nurani dan norma. Kedua istilah itu
memang dapat membantu pemahaman seseorang tentang
ukuran moral, secara singkat dapat dikatakan bahwa hati
28
29
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum,……, hal. 20-22.
AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan……, hal. 14-15.
58| Nilai dalam Wacana Filosofis
nurani dapat menyediakan ukuran subjektif, sedang norma
menunjuk pada ukuran objektif. Baik yang subjektif maupun
yang objektif mengandung ukuran yang benar atas
moralitas manusia. Dengan kata lain; hati nurani
memberitahukan mana yang benar, norma diberikan untuk
menunjukkan kepada semua orang mana yang benar itu.
Oleh karenanya, kata moral selalu mengacu pada
baik buruknya manusia sebagai manusia, hal ini dapat
dipahami manakala mendengan ada orang yang
mengatakan, “perbuatannya tidak bermoral”. Maksud dari
ucapan ini adalah perbuatan tersebut dianggap buruk atau
tidak baik atau salah karena melanggar nilai-nilai dan
norma-norma moral yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Maka moral berarti nilai-nilai atau norma-norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang
dalam mengatur suatu tingkah lakunya, menyangkut apa
yang baik dan yang buruk atau apa yang benar dan apa yang
salah, ini berarti moral menyangkut nilai dan norma
bagaimana cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan
dengan orang lain agar seseorang itu menjadi manusia yang
baik, yang bermoral sebagai manusia. Jika boleh menarik
garis batas antara moral dan etika.
Menurut Amin Abdullah,30 ‘moral’ adalah aturanaturan normatif atau (dalam bahasa agama disebut juga
sebagai akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat
tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan
tata nilai moral dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi,
sedangkan ‘etika’ adalah bidang garap filsafat. Realitas
moral dalam kehidupan masyarakat yang menjernihkan
lewat suatu studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang
dibidangi oleh etika. Jadi, studi kritis terhadap kajian
30 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 147.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|59
moralitas menjadi wilayah kajian etika, sehingga moral
tidak lain adalah objek material daripada etika.
Berbeda dari etika, yakti filsafat moral, maka akhlak
lebih dimaksudkan sebagai ‘studi paket’ atau ‘produk jadi’
yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim. Akhlak atau
kadang disebut juga dengan tasawuf adalah merupakan
seperangkan
nilai-nilai
keagamaan
yang
harus
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu
mempertanyakan dan menguyah secara kritis terlebih
dahulu.
Perbuatan yang dilakukan oleh manusia dapat
dikatakan baik apabila tujuan akhir atau tujuan sasaran
perbuatan, motivasi dan lingkungan juga baik. Ketiga hal
tersebut merupakan faktor penentu moralitas perbuatan
manusia. Jika salah satu di antara faktor-faktor tersebut
tidak ada, maka keseluruhan dari perbuatan itu menjadi
tidak baik. Sasaran atau tujuan akhir diwujudkan dalam
pelaksanaan suatu perbuatan, perbuatan itu terjadi karena
secara bebas dan sadar merupakan motivasi dalam
menjalankan perbuatan itu, di sini moralitas perbuatan
terletak pada kehendak bebas si pelaku dalam mengerjakan
suatu perbuatan. Perbuatan itu dikehendaki karena
perbuatan itu mempunyai nilai, dan dilakukan juga dengan
berpatokan pada norma-norma tertentu pula.31
Nilai menurut Bertens,32 merupakan suatu
perbuatan akan tampak jelas manakala perbuatan itu
sendiri sudah dilakukan. Hal ini berarti, nilai merupakan
suatu apresiasi atas fakta atau peristiwa yang terjadi, maka
dalam hal ini fakta mendahului nilai. Berdasarkan hal ini,
nilai memiliki 3 (tiga) cirri, yaitu: nilai berkaitan dengan
subjek yang menilai, nilai terjadi dalam praksis hidup ketika
subjek ingin membuat sesuatu dan nilai merupakan sifat31
32
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 5.
K. Bertens, Etika……, hal. 141.
60| Nilai dalam Wacana Filosofis
sifat yang ditambahkan oleh subjek pada sifat-sifat yang
memiliki objek karena dari dirinya sendiri objek tidak
memiliki nilai.
Nilai moral tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi
berkaitan dengan nilai-nilai yang lainnya. Setiap nilai dapat
mempunyai bobot moral bila diikutsertakan dalam suatu
tingkah laku moral. Misalnya, kesetiaan adalah suatu nilai
moral, dan nilai ini akan mendapat makna apabila
diterapkan pada nilai manusiawi yang lebih umum seperti
cinta antara suami dan isteri atau antara anak dan ibu
bapaknya. Kendati nilai moral itu menumpang pada nilai
lain agar dapat dimaknai. Menurut Bertens,33 nilai moral
tetap memiliki ciri-ciri khas sebagai berikut: Pertama,
berkaitan dengan tanggung jawab. Nilai moral berhubungan
dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Suatu
nilai moral hanya dapat terwujud dalam perbuatanperbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab si
pelaku perbuatan tersebut. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa manusia sendiri menjadi sumber bagi nilai moralnya.
Manusia sendiri yang secara bebas membuat tingkah laku
menjadi baik atau buruk dari sudut moral. Maka di sini,
kebebasan dan tanggung jawab merupakan syarat mutlak
bagi nilai moral perbuatan manusia.
Kedua, berkaitan dengan hati nurani. Umumnya,
semua nilai mengandung semacam imbauan untuk dapat
diakui atau dapat diwujudkan. Tetapi pada nilai moral,
imbauan tersebut lebih mendesak karena perwujudannya
merupakan imbauan dari hati nurani. Hati nurani akan
menuduh kita apabila meremehkan atau menentang nilainilai moral, dan akan memuji jika nilai itu diwujudkan. Hati
nurani akan selalu menghimbau untuk melakukan suatu
perbuatan yang bernilai moral, dan akan melarangnya bila
perbuatan bertentangan dengan nilai moral.
33
K. Bertens, Etika……, hal. 143-147.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|61
Ketiga, mewajibkan kita secara absolute dan tidak
dapat ditawar-tawar untuk diwujudkan atau diakui. Nilai
moral harus diakui dan harus direalisasikan. Immanuel
Kant, filsuf Jerman, mengatakan bahwa nilai moral bersifat
imperatif kategoris (perintah) dan nilai yang lain bersifat
imperatif hipotesis. Artinya, nilai moral mewajibkan bagi
seseorang tanpa adanya syarat, suatu keharusan yang
mutlak untuk dilakukan. Misalnya, kejujuran mewajibkan
seseorang untuk harus mengembalikan barang yang
dipinjam, suka atau tidak suka. Sedangkan, nilai lain
menuntut adanya syarat tertentu agar dapat dilakukan.
Kewajiban absolut pada nilai moral terjadi karena nilai
tersebut berlaku bagi manusia sebagai manusia, berlaku
untuk setiap manusia tanpa kecuali atau tanpa ada
dispensasi. Nilai moral menyangkut pribadi manusia
sebagai totalitas atau keseluruhan. Nilai moral tidaklah
berasal dari luar diri manusia, melainkan berakar dalam sisi
kemanusiaan seseorang. Jika tidak diakui dan tidak
dilaksanakan, ia dianggap cacat sebagai manusia. Kegagalan
dalam melaksanakan nilai moral dapat merendahkan
martabat pribadi sebagai manusia. Kegagalan dalam
melaksanakan nilai moral merendahkan martabat pribadi
sebagai manusia, atau merupakan kegagalan total sebagai
manusia. Sementara nilai lain hanya menyangkut satu aspek
saja dari pribadi manusia. Sementara nilai lain hanya
menyangkut satu aspek saja dari pribadi manusia dan
berasal dari luar diri manusia sehingga ada pengecualian
atau berupa dispensasi dalam upaya perwujudannya.
Kegagalan dalam upaya tersebut tidak merendahkan
martabat dirinya sebagai manusia, hanya mendatangkan
kekecewaan saja.
Keempat, nilai moral bersifat formal. Dalam arti, nilai
moral tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti
pada nilai-nilai lain dalam usaha perwujudannya. Kita
merealisasikan nilai moral dengan cara mengikutsertakan
nilai-nilai yang lain dalam suatu tingkah laku moral. Max
62| Nilai dalam Wacana Filosofis
Scheler mengungkapkan hal yang sama dengan menegaskan
bahwa nilai-nilai moral “mengikuti” pada nilai-nilai yang
lain.
Menurut Alexandra Indrayanti Dewi,34 kebenaran
etika ditentukan oleh baik berupa faktor internal maupun
berupa faktor eksternal.
1. Faktor Internal yang melandasi tindakan etis.
a. Kepercayaan atau berupa keimanan seseorang.
Kepercayaan atau keimanan seseorang pada saat
usia yang sangat dini, sehingga menghasilkan
internalisasi nilai yang kadangkala hampir mutlak.
Ketika internalisasi ini demikian kuatnya, maka
ada kecenderungan untuk bersikap fanatik
sehingga tidak jarang menutup perspektif nilai dari
sumber yang lain.
b. Pendidikan. Dasar pendidikan sangat menentukan
terhadap pandangan seseorang. Semakin sedikit
referensi pengetahuan yang disampaikan maka
semakin kecil juga kemampuan seseorang untuk
mengkaji suatu permasalahan berdasarkan
landasan pemikiran yang ilmiah. Oleh karena itu,
perilaku yang dilakukan dilandaskan pada
instingtif manusia, dalamrangka untuk bertahan
hidup, untuk berkembang biak, dan untuk
memperoleh kehidupan. Namun, jika landasan
pendidikan yang diberikan kepada seseorang dari
usia yang sangat dini tersebut melekat kuat, maka
dapat dipastikan landasan itulah yang akan
memiliki pengaruh sangat besar pada fase
kehidupan selanjutnya. Suatu perilaku yang
berdasarkan suatu moralitas tertentu sangat
ditentukan oleh bagaimana dasar pendidikan
masing-masing individu dan tahapan-tahapan
perkembangannya.
34
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum, …… hal. 22-36
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|63
c. Kepribadian dan aspek psikologisnya. Selain
pendidikan, struktur kepribadian juga sangat
menentukan
pengambilan
keputusan
dan
pengakajian
setiap
nilai
yang
terdapat
disekelilingnya. Untuk itulah perlu mengenal
struktur kepribadian manusia, yang dalam
pemikiran Sigmund Fruid membagi kepada tiga
tingkatan, yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga
struktur kepribadian tersebut yang mempengaruhi
setiap keputusan etis yang dibuat oleh seseorang.
Meskipun internalisasi nilai tetap tidak dapat
diabaikan karena bagaimana pun super ego akan
menyaring setiap nilai atau berupa pengaruh yang
masuk ke dalam dirinya. Watak yang dibentuk
dalam struktur kepribadian ini ikut serta di dalam
menyaring pada setiap pandangan baru.
2. Faktor eksternal yang melandasi tindakan etis.
a. Situasi dan kondisi yang dialami. Setiap keputusan
yang diambil oleh seseorang di dalam menghadapi
suatu permasalahan yang sama kemungkinan akan
cenderung berbeda, hal ini dikarenakan
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang
dihadapi.
b. Aspek politik. Situasi politik terkadang menjadi
pertimbangan yang sangat penting di dalam
memutuskan suatu permasalahan etis.
c. Aspek ekonomi. Ekonomi biasanya menjadi
permasalahan yang dilematis di dalam setiap
pertimbangan etis.
d. Aspek teknologi dan ilmu pengetahuan. Teknologi
telah melahirkan industry dan ilmu pengetahuan
yang telah melahirkan penemuan-penemuan baru
di segala bidang. Pertimbangan teknologi dan ilmu
pengetahuan
seharusnya
menjadi
100%
diusahakan untuk kepentingan umat manusia dan
64| Nilai dalam Wacana Filosofis
tidak seharusnya dijadikan sebagai aspek
pertimbangan industry dan ekonomi.
e. Aspek hukum dan adat istiadat. Hukum menjadi
faktor yang tidak kalah penting sebagai salah satu
aspek pemberi pertimbangan di dalam membuat
keputusan etis.
f. Aspek sosial. Aspek ini tidak banyak berbeda
dengan aspek budaya dan adat di mana setiap
individu yang akan mengambil keputusan pasti
akan dipengaruhi oleh kehidupan sosialnya.
Begitupun sebaliknya, setiap aspek sosial selalu
dipengaruhi individu-individu yang membentuk
suatu hubungan sosial. Dalam setiap keputusan
yang diambil dipastikan memiliki dampak yang
tidak kecil, oleh karenanya selalu perlu
mempertimbangkan efek sosialnya.
D. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Etika.
Menurut M. Yatimin, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi etika, namun menurut Iman Al-Ghazali agar
manusia sejauh kesanggupan yang benar meniru-niru
perangai dan sifat-sifat yang benar dan disukai oleh Tuhan,
yaitu sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, bersyukur,
menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Adapun faktor-faktor tersebut yaitu:
1. Sifat manusia. Sifat manusia tidak dapat ditinggalkan
ataupun dihilangkan. Sifat manusia itu terbagi menjadi
beberapa bagian, yang diantaranya adalah sifat baik
dan sifat buruk. Sifat baik ini sangat penting dan wajib
bagi setiap manusia untuk dijaga, dipelihara, dipupuk,
dipraktekkan serta dilestarikan. Adapun cara menjaga
dan melestarikannya dapat dilakukan dengan cara
melakukan perbuatan yang dapat member kesenangan
bagi diri sendiri demikian juga orang lain. Sifat baik
dapat diperoleh dengan cara melakukan perbuatan
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|65
yang dianjurkan oleh Allah Swt., dengan cara
melakukan perbuatan yang dianjurkan oleh-Nya. Dapat
dilakukan dengan cara berbuat baik kepada sesama
manusia. Demikian juga, sifat manusia yang buruk, ini
yang menjadi masalah yang berat yang selalu harus
dilakukan dalam rangka mencari solusinya. Sifat buruk
mempengaruhi etika. Sifat yang demikian ini membuat
seseorang menjadi lupa kendali yang di antaranya
dapat berubah-ubah.
2. Norma-norma etika. Norma etika tidak dapat disangkal
dan mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku
baik. Dengan praktik kehidupan sehari-hari motivasi
yang terkuat dan terpenting bagi perilaku norma etika
adalah agama. Mengapa perbuatan ini tidak dapat
dilakukan, hampir selalu diberikan jawaban spontan
karena agama sangat melarangnya. Karena hal itu
sangat bertentangan dengan yang namanya kehendak
Tuhan. Contoh konkret adalah masalah norma tingkah
laku yang aktual, seperti hubungan seksualitas sebelum
melaksanakan acara perkawinan atau pernikahan serta
berupa masalah lainnya yang berhubungan dengan
seksualitas. Menghadapi masalah-masalah yang
demikian, banyak orang kemudian mengambil sikap,
“aku ini orang yang beragama dan agama yang aku anut
sangat melarang perbuatan yang demikian, maka aku
akan merasa berdosa apabila aku melakukan perbuatan
yang berdosa ini, apalagi kalau aku melanggar dan aku
mengetahuinya”.
3. Aturan-aturan agama. Setiap agama mengandung suatu
ajaran etika yang selalu menjadi pegangan bagi
perilaku penganutnya. Ajaran berperilaku baik sedikit
berbeda, akan tetapi secara menyeluruh perbedaan
tidak terlalu besar. Dapat dikatakan ajaran etika yang
terkandung di dalam suatu agama meliputi dua macam
aturan. Di satu pihak sangat banyak aturan berbicara
dengan cara agak mendetail. Banyak orang yang tidak
66| Nilai dalam Wacana Filosofis
menyadari dan memahami bahwa hidup manusia ada
dalam jaringan norma etika. Konsep norma etika
memiliki arti penyiku, yaitu alat yang selalu digunakan
oleh tukang kayu. Dari sinilah berkembang aturan dan
pedoman, standar atau ukuran baik yang ditulis
maupun yang tidak ditulis. Makna ini mempunyai
implikasi normatif, yaitu bagaimana sebenarnya
sesuatu itu berada atau terjadi, sehingga merupakan
petunjuk atau berupa perintah, setidak-tidaknya
menjadi harapan.
4. Fenomena kesadaran etika. Fenomenologi ini termasuk
faktor-faktor yang mempengaruhi etika. Gejala apa
yang kelihatan selalu muncul dalam kesadaran etika
seseorang. Kesadaran seseorang timbul apabila harus
mengambil suatu keputusan mengenai sesuatu yang
menyangkut kepentingan pribadinya, hak dan
kepentingan orang lain.
Sebagaimana dijelaskan oleh M. Yatimin Abdullah di
atas, keputusan dalam melakukan atau tidak melakukan
sesuatu sesungguhnya tidak disebabkan oleh suatu faktor
yang dating dari luar kesadaran manusia itu sendiri, akan
tetapi melainkan didasarkan pada faktor-faktor tersebut di
atas walaupun tidak secara total.35
E. Sistematika Etika
Franz Magnis Suseno,36 secara sangat sederhana
menegaskan bahwa etika dibagi ke dalam dua bagian, yaitu
etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas
prinsip-prinsip moral dasar, seperti kebebasan dan suara
hati, atau membahas tentang kondisi-kondisi dasar manusia
untuk bertindak secara etis, teori-teori etika dan prinsipM. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi……, hal. 39-41.
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani
sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1996. Hal. 7.
35
36
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|67
prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia
dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik dan
buruknya suatu tindakan. Sedangkan etika khusus
membahas tentang penerapan prinsip-prinsip dasar
tersebut pada masing-masing bidang kehidupan manusia.
Etika khusus ini juga disebut sebagai etika terapan (applied
ethics).
Menurut Burhanuddin Salam, mengenai etika
khusus, etika ini menerangkan penerapan prinsip-prinsip
moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Penerapan ini dapat berwujud manusia mengambil
keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan
kegiatan yang khusus yang didasari oleh cara, teori, dan
prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat
juga berwujud; bagaimana saya menilai perilaku pribadi
saya dan juga pribadi orang selain saya dalam suatu bidang
kegiatan
dan
berupa
kehidupan
khusus
yang
dilatarbelakangi oleh suatu kondisi yang tentunya
memungkinkan manusia bertindak secara etis. Cara
bagaimana mengambil keputusan atau suatu tindakan, dan
teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.37
Etika khusus, selanjutnya dibagi lagi dalam dua
bagian, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika
individual membicarakan mengenai kewajiban seseorang
terhadap dirinya sendiri. Sedangkan etika sosial membahas
tentang kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai
manusia. Menurut Kanter,38 antara etika individual dan
etika sosial tidak dapat dipisahkan secara tajam, karena
kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai manusia saling
berkaitan.
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan
manusia baik secara perorangan dan langsung, maupun
Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Terhadap
Kehidupan Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hal. 7.
38 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 15.
37
68| Nilai dalam Wacana Filosofis
secara bersama dan dalam bentuk kelembagaan (keluarga,
masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandanganpandangan dunia dan ideologi, sikap dan pola perilaku
dalam bidang kegiatan masing-masing, maupun tentang
tanggung jawab manusia terhadap makhluk hidup lainnya,
serta alam semesta pada umumnya.
Menurut Burhanuddin Salam, tujuan dan fungsi dari
etika sosial, pada dasarnya untuk menggugah berupa
kesadaran yang dimiliki oleh manusia akan tanggung
jawabnya sebagai manusia dalam kehidupan bersama di
segala macam dimensi. Etika sosial dalam bidang
kekhususan masing-masing, berusaha merumuskan prinsipprinsip moral dasar yang berlaku untuk bidang khusus
tersebut.39 Selanjutnya Kanter menjelaskan, bahwa pada
dewasa ini etika sosial sedang menjadi sorotan yang sangat
tajam. Etika sosial ini menyangkut tentang kesadaran dan
tanggung jawab manusia dalam kehidupan bersama dengan
sesama dan lingkungannya. Etika sosial, pada dasarnya juga
membahas masalah-masalah aktual pada zaman ini, yaitu
tentang sikap terhadap sesama, keluarga, profesi (biomedis,
bisnis, hukum, iptek, jurnalistik), politik, dan lingkungan
hidup secara rasional, kritis, dan sistematis. Etika sosial
membicarakan juga tentang prinsip-prinsip atau normanorma moral bagi masalah khusus tersebut. Karenanya,
orang menemukan nama-nama seperti etika keluarga, etika
profesi, etika politik, etika kedokteran, atau etika
lingkungan hidup.40
F. Macam-Macam Etika
Persoalan tentang etika atau filsafat moral selalu
menarik untuk dibahas dan dikaji, karena permasalahan ini
menyangkut manusia yang dikaitkan hubungannya dengan
39
40
Burhanuddin Salam, Etika Sosial……, hal, 9.
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 15.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|69
manusia lainnya. Manusia sebagai makhluk yang berakal
dengan sadar mengetahui bahwa manusia itu merupakan
pusat perhatiannya sendiri. Manusia mempunyai tujuan
dalam kehidupannya dan tujuan tersebut pada dasarnya
adalah berupa kebaikan dan kebahagiaan. Sebagaimana
dalam sejarah filsafat Barat, etika merupakan suatu cabang
filsafat yang sangat berpengaruh sejak zaman Socrates
(470-399 SM). Etika membahas berupa baik-buruk atau
benar tidaknya tingkah laku dan tindakan yang dilakukan
oleh manusia serta sekaligus menyoroti kewajibankewajiban manusia. Etika tidak mempersoalkan apa dan
siapa manusia itu, akan tetapi bagaimana manusia itu
seharusnya berbuat dan bertindak.
Jan Hendrik Rapar memandang, ada berbagai
pembagian etika yang dibuat oleh para ahli yang membahas
tentang etika. Beberapa ahli membagi etika ke dalam dua
bagian, yakni etika deskriptif dan etika normatif. Demikian
juga dengan par ahli yang lain, ada juga yang membagi ke
dalam etika normatif dan metaetika. Sedangkan para ahli
yang lain lagi membagi ke dalam tiga bidang studi, yaitu
etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika.41 Selanjutnya
dalam pembahasan berikut akan dibahas ketiga pembagian
etika ini;
a. Etika Deskriptis
Etika deskriptif berisi aturan-aturan moral pada
masing-masing kelompok manusia yang sesuai dengan
kenyataannya dan hanya memberikan apa yang berlaku
dalam kelompok-kelompok tersebut. Dengan demikian
dapatlah diketahui perbedaan dan persamaan dari masingmasing kelompok yang diketahui.
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan
berupa kesadaran dan pengalaman moral secara derkriptif.
Hal ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa
41
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, ……, hal. 62.
70| Nilai dalam Wacana Filosofis
ada berbagai fenomena moral yang dapat digambarkan dan
diuraikan secara pendekatan ilmiah, seperti yang dilakukan
terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan
seni. Oleh karenanya, etika deskriptif digolongkan ke dalam
bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat
dengan sosiologi. Hubungannya dengan sosiologi, etika
deskriptif berupaya menemjukan dan menjelaskan berupa
kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu
kultur tertentu.
Bertens mengatakan, ilmu pengetahuan lainnya
berusaha untuk membuat deskripsi yang cermat lewat
pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta
tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan.42 Menurut
Achmad Charris Zubair, etika deskriptif tidak dapat
membicarakan tentang ukuran-ukuran bagi tanggapan
kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang etika
deskriptif mencampuradukkan antara menerima suatu
tanggapan kesusilaan dengan kebenarannya. Singkatnya,
etika deskriptif hanya melukiskan tentang predikat dan
tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai.43
b. Etika Normatif
Etika normatif kerap kali juga disebut sebagai
filsafat moral (moral philosophy) atau disebut juga dengan
etika filsafati (philosophical ethics). Etika normatif dapat
dibagi ke dalam dua teori, yaitu berupa teori-teori nilai
(theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of
obligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat-sifat
kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan membahas
tentang tingkah laku.44
Bertens, Etika, ……, hal. 84.
Achmad Charris Zubair, Kuliah Filsafat, Jakarta: Rajawali
Press, 1987, hal. 94.
44 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,……, hal. 63.
42
43
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|71
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang
mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk
menanggapi atau menilai suatu perbuatan. Menerangkan
apa yang seharusnya terjadi dan apa yang seharusnya
dilakukan, dan memungkinkan kita untuk mengukur dengan
apa yang seharusnya terjadi. Etika normatif ini,
bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang
benar.45 Menurut Endang Daruni Asdi, etika normatif ini
bersifat umum yang memberikan ketentuan norma-norma
yang biasanya tidak tertulis. Meskipun demikian, normanorma ini dipatuhi oleh kelompoknya demikian juga diakui
oleh kelompok yang lainnya.46
Heru Santosa dalam bukunya Landasan Etis bagi
Perkembangan Teknologi,47 dengan mengutip pendapat
Bertens, berpendapat; etika normatif merupakan bagian
terpenting dari etika dan bidang tempat diskusi-diskusi
yang paling menarik tentang masalah-masalah moral
berlangsung. Di sini ahli yang bersangkutan tidak bertindak
sebagai penonton yang netral, seperti halnya dalam etika
deskriptif, akan tetapi juga melibatkan diri dengan
mengemukakan penilaiannya tentang perilaku manusia.
Etika normatif ini kemudian dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
Pertama, etika umum, yaitu etika yang memandang
berupa tema-tema yang umum, seperti; apa itu norma etis,
jika ada norma etis, bagaimana hubungan satu sama
lainnya. Mengapa norma moral mengikat kita. Apa itu nilai
dan apakah kekhususan nilai moral. Bagaimana hubungan
antara tanggung jawab manusia dan kebebasan. Tema-tema
seperti inilah yang menjadi objek penyelidikan etika umum.
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, ……, hal, 94.
Endang Daruni Asdi, Sistem-Sistem Etika pada Masa Abad
Pertengahan, Yogyakarta: Laporan Penelitian pada Fakultas Ilmu Filsafat
Universitas Gadjah Mada, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1989, hal. 12.
47 Heru Santosa, Landasan Etis……, hal. 15-16.
45
46
72| Nilai dalam Wacana Filosofis
Kedua, etika khusus. Etika khusus ini berusaha menerapkan
prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku
manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu istilah
yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan juga
bahwa dalam etika khusus itu premis faktual untuk sampai
pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normative juga.
Etika khusus mempunyai tradisi, yang kerap kali
dilanjutkan dengan memakai suatu norma baru, yaitu “etika
terapan” (applied ethics).
c. Metaetika
Metaetika merupakan suatu studi analitis terhadap
disiplin etika. Metaetika baru muncul pada abad XX, yang
secara khusus menyelidiki dan menetapkan arti serta
makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat
pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau
menyalahkan suatu tindakan. Istilah-istilah normatif yang
sering mendapat atau menjadi perhatian khusus antara lain,
tentang keharusan, baik buruk, benar salah, yang terpuji,
yang adil, yang baik, yang semestinya.
Jan Hendrik Rapar,48 membagi aliran metaetika ke
dalam enam teori yang cukup terkenal, yaitu:
1. Teori naturalis. Teori ini mengatakan bahwa istilahistilah moral sesungguhnya mengenai hal-hal atau
fakta-fakta yang pelik dan rumit. Istilah-istilah normatif
etik, seperti baik dan benar, dapat disamakan dengan
istilah-istilah deskriptif, yang dikehendaki Tuhan, yang
diidamkan, atau yang biasa. Teori naturalis ini juga
berpendapat
bahwa
pertimbangan-pertimbangan
moral dapat dilakukan lewat penyelidikan dan
penelitian ilmiah.
2. Teori kognitif. Teori ini menyatakan bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral tidak selalu benar,
sewaktu-waktu dapat keliru. Itu berarti keputusan
48
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat……, hal. 65-66.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|73
3.
4.
5.
6.
moral dapat menjadi subjek pengetahuan atau kognisi.
Teori kognitif dapat bersifat naturalis dan dapat juga
bersifat non naturalis.
Teori intuitif. Teori ini berpendapat bahwa
pengetahuan manusia tentang baik dan yang buruk
diperoleh secara intuitif. Teori intuitif menolak
kemungkinan untuk memberi batasan-batasan nonnormatif terhadap istilah-istilah normatif etis. Bagi
teori intuitif, pengetahuan manusia tentang yang baik
dan yang buruk, atau benar tidaknya suatu perbuatan
dan tindakan.
Teori subjektif. Teori ini menekankan bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya
hanya dapat mengungkapkan fakta-fakta objektif.
Karena itu, apabila seseorang mengatakan bahwa
sesuatu itu benar, sebenarnya ia mengatakan bahwa ia
menyetujui sesuatu itu benar demikian. Sebaliknya, ia
hanya mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap apa
yang dikatakan salah itu.
Teori emotif. Teori ini menegaskan bahwa
pertimbangan-pertimbangan
moral
tidak
mengungkapkan sesuatu apapun yang dapat disebut
salah atau benar, kendati hanya secara subjektif.
Pertimbangan-pertimbangan moral tidak lebih dari
suatu ungkapan emosi semata-mata. Menurut teori
emotif, istilah-istilah etis tidak memiliki makna apapun
kendati hanya sebagai tanda dari luapan perasaan dan
dalam hal ini, sama saja seperti kritikan, seruan dan
umpatan.
Teori imperatif. Teori ini berpendapat bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral sesungguhnya
bukanlah ungkapan dari sesuatu yang dapat dinilai
salah atau benar. Teori imperatif mengatakan bahwa
istilah-istilah moral itu sesungguhnya hanya
merupakan istilah-istilah samar dari keharusankeharusan ataupun perintah. Jadi, apabila dikatakan
74| Nilai dalam Wacana Filosofis
“kebohongan itu tidak baik”, yang dimaksudkan adalah
“jangan berbohong”, atau dimaksudkan juga adalah
“lakukanlah hal yang baik”.
Teori emotif dan teori imperatif dapat dimasukkan
ke dalam non-kognitisme. Teori subjek tidak dapat disebut
non-kognitisme, emotinisme, dan imperatinisme dapat
dimasukkan ke dalam skpetisisme.
Golongan yang dapat masuk ke dalam skeptisisme
adalah teori-teori yang mengajarkan bahwa sesungguhnya
tidak ada kebenaran moral, yang mengemukakan bahwa
prinsip-prinsip moral tidak dapat dibuktikan kebenarannya,
yang berpendapat bahwa salah benarnya suatu perbuatan
itu hanyalah semata-mata persoalan adat, kebiasaan atau
selera, atau yang mengatakan bahwa norma-norma etis
tidak mutlak. Karena itu, relativisme pun termasuk ke
dalam skeptisisme karena relatif dan hanya benar serta
berlaku dalam suatu lingkungan budaya tertentu dan dalam
kurun waktu tertentu pula.
G. Etika Religius
Etika religius adalah ajaran etika yang mendasarkan
pada kitab-kitab suci yang ada pada tiap-tiap agama. Tiaptiap kitab suci suatu agama berisi nilai-nilai dan ajaranajaran tentang cara hidup di dunia ini bersama dengan
manusia lain dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Cara-cara
hidup menurut ajaran tiap agama harus dilakukan menurut
norma-norma etika yang sesuai dengan ajaran tersebut.
Norma-norma agama telah menentukan hukum-hukum
tersebut bagi pelanggar norma-norma etika agama itu yang
berlaku di dunia dan di akhirat kelak. Etika religius
beranggapan bahwa perbuatan yang bermoral merupakan
perwujudan dari iman. Iman merupakan relasi seorang
pribadi manusia dan norma-moral menggerakkan
keputusan-keputusan moral sebagai perwujudan dari iman
itu sendiri.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|75
Di Indonesia sebagai pedoman nilai-nilai etik adalah
etik agama, sebab manusia Indonesia umumnya masih
mematuhi agama masing-masing, malah ajaran etika agama
dapat dianggap bahkan menjadi sebagai pedoman serta
penuntun kehidupan. Etika mana pun juga tetap akan
membawa kesejahteraan masyarakatnya dan member
kepuasan kepada pemeluknya untuk memiliki tingkah laku
yang baik, dan terutama karena nilai-nilai agama itu berlaku
secara mutlak. Oleh sebab itu, etika agama harus dikenal
dengan baik. Untuk itu, etika religius yang dipahami oleh
setiap manusia sesuai dengan agama mana yang mereka
anut dan peluk. oleh karenanya, di Indonesia sangat konsen
dan dipatuhi oleh pemeluknya terhadap ajaran-ajaran yang
telah menjadi pegangannya sesuai dengan agama yang
menjadi
kepercayaannya
masing-masing.
menurut
Tashihiko Izutsu,49 etika religius adalah etika yang
berdasarkan pada ajaran agama Islam, sebagaimana
menurutnya:
“konsep etika religius dalam al-Qur’an dengan
banyak cara kita dapat memulai dari sistem hukum
Islam yang luas dan terperinci, yang pada abad-abad
selanjutnya, mampu mengatur fase tingkah laku
manusia sampai sekecil-kecilnya. Sehingga kita bisa
melihat bahwa al-Qur’an sebagai sumber asli dari
semua perintah dan larangan”
Al-Qur’an merupakan sumber segala-galanya bagi
ajaran Islam, karena semua konsep tentang kehidupan
tercantum di dalamnya. Konsep etika religius merupakan
yang paling penting dan paling dasar dari semua yang
berhubungan dengan moralitas. Pemikiran Islam dalam alQur’an tidak memberikan perbedaan yang jelas antara
agama dan etika. Bahasa etik al-Qur’an dalam hal ini, yang
49 Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam alQur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 3.
76| Nilai dalam Wacana Filosofis
tersusun atas berbagai konsep kunci yang berhubungan
dengan etika sosial. Bidang ini pun, secara essensial
mempunyai sifat religius, karena semua aturan tingkah laku
pada akhirnya tergantung pada perintah dan larangan
wahyu. Tetapi konsepnya membahas hubungan horizontal
antara manusia yang hidup dalam komunitas religius yang
sama, sementara konsep religius membahas hubungan
vertikal antara manusia dengan Tuhannya.50 Berdasarkan
ini, berarti nilai-nilai etika religius yang asasi terdapat
dalam al-Qur’an.
Semangat etika al-Qur’an tersebut hendaknya
menjadi rantai penghubung (jiwa) antara ajaran al-Qur’an
yang religius (agamis) dengan kajian disiplin-disiplin ilmu
dan aturan-aturan yang bersifat duniawi (sekuler). Dengan
demikian, hasilnya akan masih tetap mengandung nilai
agamis, tentu tanpa meninggalkan ketentuan hukum yang
sangat sedikit tapi pokok. Sehingga nilai ganda bersifat
duniawi dan ukhrawi akan dapat diperoleh yang
berkonsekuwensi pahala di akhirat kelak. Ajaran etika yang
terdapat dalam al-Qur’an perlu penjabaran secara lebih
lanjut.51
Etika Islam menggunakan ukuran kebaikan dan
keburukan bersifat mutlak, pedomannya adalah al-Qur’an
dan as-Sunnah. Dipandang dari segi ajaran yang mendasar,
etika Islam tergolong ke dalam etika teologis. Menurut Ali
Yafie, aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran
baik dan buruk bagi perbuatan manusia adalah yang
didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang
diperintahkan oleh Tuhan itulah yang baik dan segala
perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan yang
buruk, sebagaimana tertera di dalam kitab suci.
Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika……, hal. 305.
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial:
Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS, 2000, hal. 144.
50
51
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|77
Etika Islam adalah doktrin etis yang berdasarkan
ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dengan
sifat-sifat terpuji (mahmudah). Adapun sifat-sifat terpuji
tersebut adalah ; setia dan jujur (amanah), pemaaf (al-afwu)
berlaku benar (shiddieq), menepati janji (al-wafa), adil
(‘adl), memelihara kesucian diri (al-iffafah), malu (haya’),
kuat (quwwah), sabar (as-shabr), kasih sayang (ar-rahman),
murah hati (as-sakha’u), tolong menolong (at-ta’awun),
damai (al-ishlah), persaudaraan (al-ikha’), silaturahmi,
menghormati tamu (adl-dliyafah), merendah diri (tawadlu’),
menundukkan diri hanya kepada Allah (khusyu’), berbuat
baik (al-ihsan), memelihara kebersihan badan (annadhafah), selalu cenderung kepada kebaikan (as-shalihah),
merasa cukup dengan apa yang ada (al-qana’ah), tenang
(sakinah), lemah lembut (ar-rifqu), dan lain-lain sikap dan
sifat yang baik.52
Agama memberi makna dan nilai moral kepada
hidup pribadi seseorang, masyarakat, dan kebudayaan.
Maka, agama meletakkan landasan etik, moral dan spiritual
bagi seluruh kegiatan penganutnya. Landasan etika
mengacu kepada tanggung jawab bersama dan landasan
moral mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
Dikatakan baik karena menopang dan menghormati hidup,
dan dikatakan buruk karena merusak kehidupan.
Sementara landasan spiritual mengarahkan kegiatan pada
kesejahteraan bersama sesuai dengan amanah dari Allah.
Dalam pengertian ini, agama harus tampil sebagai sebuah
kekuatan moral dan nilai yang besar dan kritis atau
kekuatan etis yang berkarya dalam menyampaikan suarasuara pembaruan dan perubahan demi tercapainya sebuah
tatanan hidup yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih
berkeadilan, lebih bebas dan manusiawi bagi semua orang.53
52
53
Hamzah Ya’qub, Etika Islam……,hal. 98.
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 168.
78| Nilai dalam Wacana Filosofis
Umumnya orang beragama berpendapat bahwa
moralitas itu erat terkait dengan agama dan tidak mungkin
orang dapat sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama.
Alasannya karena ; pertama, moralitas pada hakekatnya
bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik.
Jalan terbaik untuk menjamin tercapainya kebahagiaan
yang sejati adalah melaksanakan perintah dan kehendak
Allah. Apa yang menjadi perintah dan kehendak Allah tidak
mungkin dapat diketahui dan dipahami apabila tanpa
adanya agama. Karenanya, moralitas atau hal hidup baik
bagi manusia senantiasa mengandaikan agama. Kedua,
agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia
yang paling lama bertahan sejak dahulu kala. Dengan
demikian moralitas dalam suatu masyarakat erat terjalin
dengan praktek hidup beragama. Dan ketiga, tentunya
agama dapat menjadi penjamin yang kuat bagi hidup
bermoral.
Henri Bergson (1859-1941) sebagaimana dikutip
oleh I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat,54 sumber
moral haruslah suatu kenyataan yang supraintelektual, yang
ada. Hanya berkat hubungan pribadi dengan Allah, manusia
akan mampu mengatasi ikatan primordialnya yang
egosentris atau sosiosentris serta mengarahkan diri dengan
sepenuh hati kepada kemanusiaan. Kontak dengan Allah ini
mengalir secara emosi kreatif (emotion creative) agar
manusia menghargai sesamanya sebagai makhluk yang
agung berharga dalam dirinya sendiri, dan bukannya
sebagai lawan yang harus ditentang dan dikotak-kotakkan
atau kawan sekelompok yang harus didahulukan.
Keseluruhan pengertian tentang etika dalam alQur’an dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, istilahistilah yang berkaitan dengan etika kaum muslim dalam
komunitas Islam (ummah), dan kedua,istilah-istilah etika
54 I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat, Wajah Baru Etika
dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 114.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|79
yang bersifat keagamaan. Konsep-konsep etika tersebut
menekankan sifat hakiki manusia sebagai makhluk
religius.55 Manusia religius ini dalam waktu yang bersamaan
adalah juga manusia yang berakhlak, manusia etis. Dasar
etika al-Qur’an adalah keimanan kepada Allah. Iman
menjadi titik tolak berperilaku. Karena dengan iman
seseorang akan merasakan adanya Tuhan yang Maha Kuasa,
Mahamurah, Mahakasih, Mahaadil, Maha Pengampun,
Mahabenar dan Maha Mengetahui. Iman ini akan mendasari
relasi etik seseorang kepada Tuhan dan sesamanya.56
Derajat iman seseorang tampak pada tingkatan iman
yang menunjuk pada kebaikan atau perilaku yang dapat
dinilai berdasarkan sejumlah indicator, seperti kecintaan
pada perbuatan baik dan ketidaksenangan pada perbuatan
buruk. Kehidupan muslim yang baik terwujud pada akhlak
yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini
sesuai dengan Sunnatullah (hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT). Sejalan dengan penjelasan
Toshiko Izutsu,57 Dawam Rahardjo,58 mengatakan bahwa
konsep etika dalam al-Qur’an dapat dibedakan dalam tiga
kategori berikut.
Pertama, sifat-sifat etis pada Tuhan. Hal ini
tercermin dalam sifat-sifat Allah, seperti Pengasih,
Pemurah, Pengampun atau Adil. Ameer Ali,59 menegaskan
bahwa kaum muslimin mengimani Allah sebagi Penguasa
dari seluruh jagat raya. Allah itu Yang Mahasuci,
Mahadamai, Mahasetia, Pemimpin para abdi-Nya, Pelindung
anak yatim piatu, Penunjuk jalan bagi yang sesat, Penghibur
bagi mereka yang mendapat musibah, Sahabat bagi mereka
55
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 1996, hal. 418.
56 Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika……, hal. 23-27..
57 Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika……, hal. 257.
58 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an……, hal. 418-419.
59 Ameer Ali, The Spirit of Islam, London: Christophers, 1922,
hal. 150.
80| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang sedang terampas haknya ; dalam tangan-Nya
terletaklah kebaikan, karena Dia adalah Mahamurah, Maha
Pengampun, Yang Mendengarkan, Yang Pengasih, Yang
Selalu Dekat, Yang Paling Baik Hati, yang cinta-Nya kepada
manusia lebih lembut dari cinta manusia kepada anakanaknya. Allah sebenarnya tidak bertanggung jawab kepada
siapapun, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa Allah
memiliki sifat atau sikap etis. Hanya saja Allah sendiri yang
menyatakan sifat-sifat tersebut kepada manusia, yang
ditangkap dan dinilai oleh manusia mengandung makna etis
bagi dirinya sendiri. Kenyataan tentang sifat Tuhan ini
mendasari konsep etika Ilahiyah.
Kedua, sikap dasar manusia terhadap Allah. Sikap
dasar ini merupakan respons etis manusia terhadap sifatsifat Tuhan. Itulah yang sidebut agama. Dalam artian ini,
agama bisa disebut sebagai respons etis manusia terhadap
sifat-sifat Tuhan. Respons itu diwujudkan dalam usaha
penumbuhan sifat-sifat Ilahiyah pada diri seseorang
sebagaimana telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad
SAW “Takhllaqu bi’akhlaqi Ilahi” (berakhlaklah dengan
akhlak Tuhan). Sehingga manusia memiliki akhlak Tuhan,
seperti adil, pemurah, kasih sayang dan pengampun kepada
sesama. Jawaban manusia ini juga dinyatakan dengan
bersyukur (syukr) melalui ibadah (shalat, puasa, zakat, haji)
dan relasi yang baik dengan sesame manusia seturut akhlak
Tuhan. Bila manusia menjalankan akhlak Tuhan, ia akan
memperoleh nikmat, karunia, kasih saying dan ampunan
dari Allah.
Ketiga, prinsip-prinsip dan aturan perilaku bagi
individu dan masyarakat. Hal ini diatur dengan seperangkat
prinsip moral dengan segala turunannya. Itulah yang
disebut etika sosial. Dasar utamanya adalah cinta
persaudaraan. Cinta persaudaraan ini bukan hanya tertuju
kepada sesame kaum muslim, tetapi juga kepada semua ras
di atas bumi. Kaum muslim diwajibkan untuk toleransi dan
mencintai semua orang. Setelah periode turunnya al-Qur’an
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|81
di zaman Nabi Muhammad, sistem ini menjadi hukum Islam
yang bersumber pada al-Qur’an, Hadits, al-Qias, dan ijma’.
Pada hakikatnya, ketiga konsep etika ini tidak dapat
dipahami secara terpisah, akan tetapi berkaitan satu sama
lain. Ketiga konsep ini berkaitan dalam konsep etika yang
teosentris. Konsep etika manusia tidak terlepas dari konsep
disekitar Tuhan, konsep etika manusia merupakan respon
atas tindakan-tindakan Ilahiyah. Misalnya, dalam etika
sosial keagamaan ada ketentuan bahwa manusia tidak boleh
berbuat zalim kepada sesamanya. Karena Tuhan tidak
pernah berbuat zalim kepada manusia sebagai umat-Nya.
H. Aliran-Aliran dalam Etika
1. Naturalisme
Aliran naturalism memandang bahwa, perbuatan
yang sesuai dengan fitrah (naluri) manusia itu sendiri, baik
mengenai fitrah lahir maupun fitran secara batin, atau yang
menekankan dorongan-dorongan alamiah seseorang
dipuaskan tanpa arahan dari suatu norma yang independen
dari golongan-golongan ini.60 Kebahagiaan yang menjadi
tujuan setiap manusia didapat dengan jalan memenuhi
panggilan fitran (nature) kejadian manusia itu sendiri, oleh
karena itulah aliran ini dinamakan dengan naturalism.61
Aliran ini berpendirian bahwa segala sesuatu dalam
dunia ini akan menuju kepada suatu tujuan tertentu, yaitu
dengan memenuhi panggilan nature setiap sesuatu akan
dapat sampai kepada kesempurnaan. Benda-benda dan
tumbu-tumbuhan juga menuju kepada tujuan yang satu dan
akan dapat dicapainya secara otomatis tanpa pertimbangan
atau perasaan. Hewan menuju kepada tujuan itu lewat
naluri kehewanannya, sedangkan manusia akan menuju
Loren Bagus, Kamus……, hal. 688.
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987, hal. 96.
60
61
82| Nilai dalam Wacana Filosofis
kepada tujuan itu dengan akal pikirannya. Akal bagi
manusia menjadi washilah untuk mencapai tujuan
kesempurnaan,
maka manusia harus
melakukan
kewajibannya dengan berpedoman kepada akal, akallha
yang menjadi pedoman hidup manusia sampai kapan pun
tanpa batasannya.
Tokoh aliran naturalism ini adalah Zeno (340-264
SM), merupakan filsuf Yunani yang terkenal dengan
perguruan dan aliran “Stoa”. Zeno berpendapat bahwa
dirinya adalah bahagian dari alam fitrahnya (nature).
2. Hedonismee
Aliran hedonismee telah tersebar luas sebagai suatu
sikap hidup, di samping hedonismee adalah salah satu dari
teori etika yang paling tua bahkan dari abad kea bad aliran
ini dapat ditemukan kembali. Aliran hedonismee bertolak
dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia selalu
menginginkan kenikmatan atau berupa kesenangan dalam
hidup dan kehidupannya, yang dalam bahasa Yunani
disebut “hedone”, dari kata inilah kemudian timbul istilah
hedonismee.62 Karena kenikmatan dan kesenangan itu
merupakan tujuan hidup manusia, maka menurut aliran ini
jalan yang akan mengantarkan kepada kenikmatan
dipandangnya sebagai keutamaan.
Hedonismee pertama kali diperkenalkan oleh
Aristippos pendiri mazhab Cyrene (400 SM). Aristippos
adalah salah seorang murid dari Sokrates (469 – 399 SM),
menurut Aristippos, kebahagiaan atau kenikmatan sama hal
nya dengan kesenangan. Oleh karenanya, suatu perbuatan
dapat disebut baik sejauh perbuatan itu dapat memberikan
nilai kesenangan dan dapat memberikan kenikmatan.63
62 De Vos, Pengantar Etika, alih bahasa oleh Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987, hal. 161.
63 Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z,
Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 90.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|83
Menurut Poespoprodjo, aliran hedonismee ini kemudian
diperluas dan diperkenalkan kembali oleh Epicuros (341271 SM), bagi Epicuros hidup bukan hanya berupa
kesenangan saja akan tetapi juga mendapatkan kedamaian,
begitu juga dengan kesenangan intelektual lebih baik
karena lebih bertahan lama, akan tetapi bagi manusia tidak
cukup tanpa ada baginya berupa kesenangan-kesenangan
inderawi. Epicuros kemudian juga berpendapat bahwa
orang yang bijaksana dapat mengatur kehidupannya
sedemikian rupa, sehingga ia dapat mencapai kesenangankesenangan dengan sebanyak mungkin dan ia tentunya
mendapatkan kesedihan sangat sedikit sekali.64
Menurut Epicuros, ada tiga macam kenikmatan,
yaitu : pertama,kenikmatan yang wajar dan sangat
diperlukan sekali dan kenikmatan ini selalu didambakan
oleh setiap orang, seperti makanan dan minuman. Kedua,
kenikmatan yang wajar tetapi belum diperlukan sama
sekali, yaitu seperti kenikmatan makanan yang enak lebih
dari pada biasanya, dan ketiga, kenikmatan yang tidak wajar
yaitu kenikmatan yang tidak diperlukan, yang dirasakan
oleh manusia atas dasar pikiran yang salah, misalnya
kemegahan harta benda. Tetapi menurut Epicuros, nikmat
yang dicari oleh manusia haruslah berupa kenikmatan yang
sesungguhnya, karena diantara kenikmatan ada yang
mempunyai akibat yang justru bertentangan dengan
kenikmatan, yakni berupa penderitaan. Dengan demikian,
kenikmatan yang dicari oleh manusia menurut Epicuros
adalah berupa kenikmatan yang tidak mengakibatkan
penderitaan dalam kehidupan manusia.65
Hedonisme juga mempengaruhi filsuf Inggris, John
Locke (1632-1704). John Locke berpendapat bahwa yang
64 W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999, hal. 60.
65 Hamzah Ya’cub, Etika Islam, Bandung: Diponogoro, 1996, hal.
44.
84| Nilai dalam Wacana Filosofis
disebut baik adalah apa yang menyebabkan kesenangan,
sebaliknya, dinamakan jahat karena mendatangkan
ketidaksenangan dalam diri manusia. Bahkan dalam
kehidupan modern sekarang ini secara implicit, hedonisme
kian lama kian bertumbuh subur. Prinsip-prinsip hedonistis
sesungguhnya sedang berjalan hingga sekarang ini, hal ini
tampak jelas dalam publisitas periklanan masyarakat yang
sangat konsumeristis.
Sesungguhnya hedonisme ini berkaitan erat dengan
berbagai daya kemampuan (faculty) pada diri manusia,
seperti kemampuan inderawi, inteletual dan spiritual.
Perwujudan dan pemenuhan daya kemampuan tersebut
justeru membawa rasa nikmat dan kesenangan tersendiri.
Ada kesenangan inderawi karena dorongan pancaindera
terpenuhi. Jika kita tahu sesuatu atau memperoleh
pemahaman baru tentang sesuatu hal, maka kita merasakan
kenikmatan intelektual. Bila kita dapat menghayati dan
mempraktekkan nilai-nilai moral, maka kita mengalami
kenikmatan moral. Demikian juga halnya kenikmatan
religius akan dirasakan bila kita menghayati serta
mengamalkan nilai-nilai religius, apalagi jika kita dapat
bertemu dengan Tuhan yang selalu kita dambakan dan kita
puja siang dan malam.66
Menurut Mangunhardjana, kenikmatan merupakan
suatu kenyataan hidup, orang dapat merasakan yang
namanya kenikmatan dalam bentuk, kadar dan frekuwensi
yang berbeda. Kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang
tentunya akan berbeda dengan kenikmatan yang dirasakan
oleh orang lain. Yang satu mungkin lebih kerap dari orang
lain. Yang lain lagi kemungkinan lebih suka pada
kenikmatan dalam kadar yang berbeda dan lebih sederhana,
dan yang lainnya lagi lebih suka pada kenikmatan yang
mewah. Ada yang lebih mengutamakan kenikmatan
66
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 26.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|85
duniawi, dan ada yang lain lebih mementingkan kenikmatan
religius.67
Menurut Kanter, hedonisme tidak dapat dijadikan
berupa prinsip sekaligus sebagai patokan moral bagi suatu
penilaian moral yang berupa baik dan buruk atas suatu
perbuatan. Kenikmatan itu sendiri jelas bermacam-macam
dan ada tingkatnya. Setiap orang pun merasakan
kenikmatan yang berbeda, maka kenikmatan itu bersifat
sebjektif. Hal ini berarti pula, kenikmatan itu bersifat relatif.
Karena relative, kenikmatan tidak dapat diterima menjadi
prinsip moral.68
Menurut Aristoteles, nikmat itu baik asal saja tidak
menjadi tujuan. Segala kegiatan yang berhasil akan
memberikan rasa nikmat yang tidak berhingga. Tanpa
nikmat, kegiatan apapun terasa kurang sempurna. Baik
buruknya perasaan nikmat bergantung pada perbuatan
yang memberikan rasa nikmat tersebut, dikatakan baik,
apabila perbuatan penghasil rasa nikmat itu adalah baik
demikian halnya sebaliknya. Maka, nikmat itu bukanlah
berupa suatu pengalaman bagi manusia yang bersifat
mandiri, melainkan suatu pengalaman yang menyertai
suatu tindakan yang lain. Sebagai tujuan, nikmat masih
bergantung pada tujuan-tujuan yang lain pula. Itulah
sebabnya, sikmat bukanlah tujuan terakhir bagi manusia,
tujuan terakhir dan tertinggi manusia adalah kebahagiaan.
3. Eudemonisme
Eudemonisme ini merupakan pandangan yang
berasal dari filsuf Aristoteles. Aristoteles menegaskan
bahwa dalam setiap kegiatan manusia ingin mencapai
tujuan. Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh manusia dan ini
merupakan cita-cita manusia adalah berupa kebahagiaan.
Eudemonisme berasal dari kata “eudaimonia”, yang secara
67
68
A. Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika……, hal. 91.
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 27-28.
86| Nilai dalam Wacana Filosofis
harfiah memiliki arti; mempunyai roh pengawal (demon)
yang baik, artinya mujur dan beruntung. Dengan demikian,
pertama-tama sekali mengacu kepada keadaan lahiriah,
kemudian lebih dititikberatkan kepada suasana batiniah
yang kemudian mempunyai arti “bahagia”, dalam arti hidup
berbahagia atau kebahagiaan. Kata ini menggambarkan
perasaan tenang terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai berupa
penyelarasan diri. Orang yang telah mencapai tingkatan
eudemonia mempunyai keinsafan akan kepuasan yang
sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga
secara rohani.69
Prinsip dasar yang menjadi etikanya Aristoteles
adalah bahwa hendaknya manusia hidup dan bertindak
sedemikian rupa sehingga dapat mencapai hidup seperti
yang dicita-citakan dan didamba-dambakan, yaitu mencapai
hidup yang baik, yang bermutu, dan yang berhasil.
Memperoleh hidup yang yang berhasil, sebagaimana yang
dicita-citakan, itu apabila mencapai tujuan akhir yang
dicapai melalui segala daya upaya dan cara, Aristoteles
menyatakan, bahwa kebahagiaan yang diperoleh serta
dicapai dengan cara mengejar kenikmatan, kekayaan, atau
berupa kedudukan yang terhormat adalah merupakan
pandangan yang salah. Hidup yang demikian merupakan
tidaklah mungkin merupakan tujuan terakhir yang
dikehendaki oleh manusia.70
Eudemonisme sebagai salah satu aliran dalam etika
yang juga sudah tersebar luas, Aristoteles secara tegas
menetapkan kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari
perbuatan manusia. Paham ini dapat mengambil dalam
berbagai bentuk. Demikianlah ada juga berbentuk
eudemonisme keagamaan, yang mengajarkan agar manusia
mempersatukan dengan Tuhan demi mendapatkan
69
70
De Vos, Pengantar Etika……, hal. 168.
Franz Magnis Suseno, ……., hal, 91.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|87
kebahagiaan yang dapat diberikannya, apa pun sifat
kebahagiaan tersebut.71
Sebagai titik pusat dari teori etika Aristoteles adalah
berupa tindakan. Nilai tertinggi bagi manusia adalah
terletak pada suatu tindakan yang merupakan kemampuan
atau berupa potensialitas khas manusia. Manusia dapat
mencapai kebahagiaan dengan cara mengembangkan diri.
Manusia dalam mencapai kebahagiaan bukanlah dengan
cara pasif dalam menikmati sesuatu, melainkan dalam
bentuk bertindak. Dengan bertindak maka ia menjadi nyata.
Suatu hidup yang bermutu tidak akan tercapai melalui
nikmat yang pasif, melainkan akan diperoleh melalui hidup
yang aktif. Jadi, yang membahagiakan adalah kalau kita
mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga bakatbakat yang kita punyai dan kita miliki dapat menjadi
kenyataan. Manusia adalah makhluk yang banyak potensi,
akan tetapi potensi-potensi tersebut baru menjadi suatu
kenyataan
kalau
seandainya
manusia
mau
merealisasikannya. Kebahagiaan akan tercapai dalam
mempergunakan atau mengaktifkan bakat-bakat dan
kemampuan-kemampuan yang dimilki oleh manusia.
Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri,
termasuk dalam mempertanggungjawabkan keahlian dan
kemampuan yang dimilikinya. Oleh karenanya salah satu
kewajiban dasar yang harus dilakukan oleh manusia adalah
mengembangkan diri. Ia semakin dapat bahagia, semakin ia
mengembangkan diri.72
Menurut Aristoteles, sebagaimana ditulis oleh
Sumiyem,73 seseorang akan mencapai tujuan akhir dalam
hidupnya yaitu dengan menjalankan fungsinya secara baik.
Jika manusia menjalankan fungsinya sebagi manusia secara
De Vos, Pengantar Etika……, hal. 169.
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika……, hal. 28.
73 Sumiyem, Makna Etis Upacara Begalan dalam Perkawinan
Adat Banyumasan, Tesis Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Filsafat,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002, hal, 56.
71
72
88| Nilai dalam Wacana Filosofis
baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan.
Menurut Aristoteles, akal budi atau rasio merupakan fungsi
yang khas yang ada pada diri manusia, oleh karena itu
manusia akan mencapai tujuan dengan menjalankan secara
paling baik berupa kegiatan-kegiatan rasional nya dan tidak
cukup melakukan demikian beberapa kali saja akan tetapi
harus sebagai sikap yang tetap. Hal itu berarti kegiatankegiatan rasional itu harus dijalankan dengan disertai
keutamaan.
Menurut Aristoteles keutamaan adalah berupa
sikap-sikap batin yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini
Aristoteles telah membagi keutamaan menjadi dua bagian,
yaitu : keutamaan intelektual dan keutamaan moral.
Keutamaan intelektual menyempurnakan secara langsung
rasio itu sendiri. Dengan keutamaan moral, rasio
menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan dalam
kehidupan sehari-hari. Keutamaan menurut Aristoteles
merupakan jalan tengah diantara dua jalan yang ekstrim
dan berlawanan, keutamaan adalah keseimbangan antara
kurang dan terlalu banyak. Jalan tengah memiliki
keseimbangan dan keteraturan. Melalui jalan tengah orang
dapat berada dalam wilayah yang sederhana, tidak
berlebihan tapi tidak juga kekurangan. Keutamaan yang
menentukan jalan tengah ini, oleh Aristoteles disebut
berupa kebijaksanaan praktis (phronesis). Phronesis
menentukan apa yang dianggap sebagai berkeutamaan
dalam suatu situasi konkrit, karena itu keutamaan
merupakan inti dari keseluruhan kehidupan moral.
Kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui tindakan
yang mengaktualisasikan seluruh potensi yang ada dalam
diri manusia. Kebahagiaan akan diraih hanya dengan
mengembangkan diri. Lewat pengembangan diri, seseorang
akan berupaya menemukan hidup yang baik, yaitu berupa
hidup yang terasa bermakna, positif, bermutu, dan
memuaskan. Itu dicapai lewat perenungan hal-hal Ilahi
(theoria) dan partisipasi aktif dalam suatu kehidupan
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|89
bersama sebagi makhluk sosial (praxis). Hal itu sangat
menentukan apakah ia menjadi bahagia atau tidak, apakah
hidupnya menjadi bermutu/berhasil atau tidak. Erich
Fromm (1900-1980) katakan bahwa mutu kehidupan
manusia tidak ditentukan oleh apa yang dimiliki (having),
melainkan oleh apa yang menjadi dirinya sendiri.74
Tindakan pengembangan diri dalam rangka untuk
meraih kebahagiaan harus dipandu oleh rasio manusia itu
sendiri. Dengan menjalankan kegiatan-kegiatan rasional
secara baik dan tepat, maka manusia pasti mencapai tujuan
terakhir itu. Tetapi kegiatan rasional itu mestilah dilakukan
dengan memperhatikan keutamaan intelektual (aretai
dianoetikai) dan keutamaan moral (aretai etikai).
Keutamaan menjadi jalan tengah dalam proses pencarian
itu. Misalnya, kemurahan hati adalah keutamaan yang
menjadi jalan tengah itu oleh Aristoteles disebut
kebijaksanaan praktis (phronesis). Phronesis merupakan
kemampuan orang untuk mengambil sikap dan mengambil
keputusan bijaksana dalam memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari, atau kebiasaaan bertindak
berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam menentukan
baik dan buruk suatu perbuatan bagi manusia. Phronesis
memuat kesadaran manusia. Kesadaran moral ini berkaitan
dengan pilihan-pilihan rasional yang tepat terhadap nilai
dan norma masyarakat. Manusia hidup dengan baik apabila
ia dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dalam
kehidupan bernegara dan menjalankannya menurut aturan
yang berlaku.75
Kebahagiaan memang merupakan yang selalu dicitacitakan oleh semua orang tanpa terkecuali siapa pun.
Namun, kebahagiaan Aristoteles hanya berupa aspek
horizontal, sementara aspek vertical (transcendental) tidak
diperhitungkan. Padahal untuk mencapai kebahagiaan
74
75
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 28.
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum,……, hal. 29.
90| Nilai dalam Wacana Filosofis
sejati, manusia perlu mengusahakan kebahagiaan yang
sesuai dengan makhluk moral dan religius. Kebahagiaan
material dan kebahagiaan sosial hanyalah berupa alat dan
sarana untuk mencapai kebahagiaan rohani. Kebahagiaan
rohani adalah merupakan kebahagiaan yang terakhir bagi
kehidupan manusia.76
4. Utilitarianisme
Utilitarianisme diturunkan dari kata Latin utilis,
yang berarti berguna, berfaedah, bermanfaat dan
menguntungkan.77 Menurut aliran ini, yang baik adalah yang
berguna, yang berfaedah dan yang menguntungkan.
Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak
bermanfaat, tidak berfaedah dan merugi. Maka, baikburuknya suatu perilaku dan perbuatan bergantung pada
keguanaannya. Keguanaan atau keuntungan menjadi
prinsip, norma, criteria dan cita-cita moral.78
Utilitarisme tampil sebagai sistem etika yang telah
berkembang, bahkan juga sebagai pendirian yang agak
bersahaja mengenai hidup. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, aliran ini mengatakan bahwa orang yang baik
adalah orang yang membawa manfaat, dan yang
dimaksudkannya adalah agar setiap orang menjadikan
dirinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya. Akan
tetapi dalam kenyataannya seseuatu yang bermanfaat tidak
pernah berdiri sendiri; sesuatu hal senantiasa bermanfaat
bagi sesuatu hal yang lainnya. Umpamanya, obat dapat
bermanfaat untuk memulihkan kesehatan, sejumlah barang
tertentu bermanfaat bagi pertanian, dan sebagainya. Begitu
pula kebalikannya, hal-hal yang merugikan.79
76 A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dar A sampai Z,
Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 53-57.
77 Hamzah Ya’cub, Etika Islam….., hal.44.
78 Bertens, Etika, ……, hal. 247-249.
79 De Vos, Pengantar Etika……, hal. 181.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|91
Menurut Franz Magnis Suseno,80 utilitarisme adalah
meruapakan etika yang menilai kebaikan seseorang dari
aspek apakah perbuatannya menghasilkan suatu yang baik
atau tidak baik. Maksud yang sebenarnya dari aliran
utilitarisme adalah agar semua orang selalu bertindak
sedemikian rupa hingga sebanyak mungkin memberikan
manfaat dan menghindari akibat buruk, dengan cara itu
orang akan mendapatkan kebahagiaan. Yang khas bagi
utilitarisme, bahwa akibat-akibat bauk yang ditimbulkan
suatu perbuatan tidak hanya dipandang dari kepentingan si
pelaku, akan tetapi juga bermanfaat bagi kepentingan
semua orang yang terkena akibat dari tindakan tersebut.
Tokoh aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan
John Mill (1806-1973). Menurut Bentham, kehidupan
manusia ditentukan oleh dua ketentuan besar yaitu nikmat
dan perasaan sakit sehingga tujuan moral tindakan manusia
adalah
memaksimalkan
perasaan
nikmat,
dan
meminimalkan perasaan sakit.81 Gagasan ini bertolak sekali
dengan aliran hedonisme, Benthan merumuskan prinsip
utilitarisme sebagai kebahagiaan yang sebesar mungkin
bagi jumlah yang sebesar mungkin. Prinsip ini harus
mendasari kehidupan politik dan reundang-undangan.
Berbeda dengan Bentham, John Stuart Mill
mengemukakan bahwa kebaikan yang tertinggi (summun
bonum) adalah yang memberikan manfaat, maka segala
tingkah laku manusia selalu diarahkan kepada pekerjaan
yang membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.82 Lebih
lanjut Sudiardja menjelaskan bahwa John Stuart Mill
mengajarkan , suatu tindakan itu disebut baik kalau selaras
dengan kecenderungan untuk memberikan kebahagiaan,
salah kalau sebaliknya menghasilkan kesakitan. Bagi John
80 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok
Etika Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 122
81 Franz Magnisi Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani
sampai Abad ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hal. 180.
82 Hamzah Ya’qub, Etika Islam,….., hal. 45.
92| Nilai dalam Wacana Filosofis
Stuart Mill, tujuan moral bukanlah hanya sebatas untuk si
pelaku, melainkan kebahagiaan itu untuk semua orang, dan
kebahagiaan bukanlah sekedar untuk kebaikan melainkan
kebaikan itu sendiri. Misalnya seseorang yang
mengumpulkan uang sebanyak mungkin, bukan hanya
semata-mata demi untuk uang itu sendiri, akan tetapi
kebahagiaan yang ditimbulkan karena seseorang memiliki
uang yang banyak, dengan demikian uang tersebut hanya
dikejar sebagai sarana dari tujuan yang sesungguhnya.
Selanjutnya bagi John Stuart Mill, kehidupan sosial adalah
sesuatu yang wajar bagi manusia. Antara perhatian
seseorang dan perhatian masyarakat tidak ada perbedaan
yang jelas.83
John Stuart Mill menegaskan bahwa suatu tindakan
dianggap baik dan betul apabila mendatangkan kebahagiaan
dan salah apabila menghasilkan rasa sakit. Kebahagiaan itu
dapat menjadi norma etis jika kebahagiaan tersebut
mengenai banyak orang, bukan hanya untuk satu orang atau
untuk si pelaku saja. Kebahagiaan satu orang tidak boleh
dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain,
sehingga raja dan seseorang bawahan harus diperlakukan
sama dalam mendapatkan kebahagiaan, karenanya, setiap
orang bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan
kebahagiaan sebesar mungkin bagi banyak mungkin orang.
Sebagai pendirian etis, utilitarisme terasa masuk
akal. Apa arti suatu perbuatan bila tidak mendatangkan
kegunaan, manfaat atau keuntungan. Semua perbuatan baru
bernilai manakala akibat dan tujuannya sudah
dipertimbangkan. Karena itu, sebelum ditaati, aturan-aturan
harus dapat dipertanggungjawabkan akibatnya bagi orang
yang terkena aturan tersebut. Itu berarti, manusia harus
bertanggung jawab atas perilaku dan perbuatannya. Karena
manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama orang
lain dalam masyarakat.
83
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral……, hal. 47.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|93
Perasaan sosial merupakan tenaga yang kuat, yang
mungkin meningkat kalau orang bertambah maju. Kalau
orang bekerjasama dalam masyarakat sebagaimana
mestinya, perhatiannya pun akan menjadi sama, sebab
mereka sadar bahwa perhatian orang lain menurut
hakikatnya berada dalam keadaan yang selaras dengan
perhatian seseorang. Tujuan John Stuart Mill adalah hendak
meningkatkan rasa senang yang sebanyak-banyaknya
bukanlah tujuan untuk meningkatkan kebahagiaan bagi
seseorang saja.84
Tujuan
dari
utilitarisme
adalah
mencari
kesempurnaan hidup sebanyak mungkin baik dari segi
kualiti maupun dari segi kuantiti. Jadi tujuannya adalah
kebahagiaan (happiness) orang banyak. Pengorbanan
misalnya dipandang baik apabila pengorbanan itu
mendatangkan manfaat, lain daripada itu hanyalah
pengorbanan yang dianggap sia-sia belaka.
5. Deontologi
Deontologi berasal dari bahasa Yunani deon, yang
memiliki arti apa yang harus dilakukan, kewajiban teoti
deontologi menganggap suatu tindakan dapat dibenarkan
dengan menunjukkan bahwa suatu tindakan itu benar,
bukan dengan menunjukkan tindakan-tindakan tersebut
mempunyai akibat baik. Jadi etika deontologis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan melekat pada tindakan itu
sendiri, bukan tergantung kepada akibat-akibatnya.85
Aliran etika deontologi berpendapat bahwa suatu
tindakan dilakukan semata-mata berdasarkan tindakan itu
sendiri, artinya suatu tindakan bernilai moral disebabkan
tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan kewajiban
Heru Santosa, Landasan Etis……, hal. 37.
Ridwan Ahmad Sukri, Kebebasan Moral dalam Pandangan
John Stuart Mill dan Fazlur Rahman, Suatu Studi Etika Komparatif,
Yogyakarta: Laporan Penelitian, Departemen Pendidikan Nasional
Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada, 2000, hal. 5.
84
85
94| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari apapun
akibat dari tindakan tersebut, karena pada dasarnya
kewajiban merupakan kebaikan. Melaksanakan kebaikan
merupakan tuntutan dari kodrat manusia. Dengan
demikian, kewajiban adalah merupakan keharusan atau
merupakan keniscayaan dari principium identitas atau
manusia adalah manusia, karena itu manusia harus berlaku
sebagai manusia dan jika tidak maka manusia dianggap
sebagai manusia yang mengingkari kemanusiaannya
sendiri.86
Menurut A. Sonny Keraf,87 etika deontologi adalah
suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban, suatu
tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik
pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang
harus dilakukan. Etika ini sama sekali tidak
mempermasalahkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau
buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah
diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral dari
suatu tindakan.
Menurut Lili Thahjadi,88 sistem moral deontologi
diciptakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) seorang filsuf
Jerman. Kant berpendapat, yang dapat dikatakan baik dalam
arti yang sesungguhnya, tanpa adanya pembatasan,
hanyalah berupa kehendak baik. Sejauh seseorang
berkehendak baik, maka ia dianggap baik. Kehendak baik
itu selalu baik dan dalam kebaikannya tidak bergantung
pada sesuatu di luar dirinya. Sedangkan semua hal lain yang
baik, seperti watak, kesehatan, dan kekayaan, bukan baik
pada dirinya sendiri, melainkan hanya baik secara terbatas
86 Driyarkara, Pancasila dan Religi, Mencari Kepribadian
Nasional, Bandung: PT Jemmars, 1977, hal. 28.
87 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002, hal.
9.
88 S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang
Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal. 50.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|95
atau dengan syarat. Yakni, jika semua itu diabadikan dan
dipakai oleh kehendak baik. Karena bila dipakai oleh
kehendak jahat manusia, maka akan menjadi jelek sekali.
Bahkan keutamaan-keutamaan pun dapat disalahgunakan
oleh kehendak yang jahat. Sehingga syarat mutlak bagi
pelbagai sifat manusia adalah kehendak baik.
Kehendak menjadi baik jika kehendak itu mau
melakukan kewajiban. Suatu perbuatan dilakukan karena
wajib dilakukan. Bila perbuatan itu dilakukan dengan
maksud atau memiliki motif yang lain, perbuatan itu tidak
dapat disebut baik, kendatipun motifnya luhur. Tetapi,
perbuatan itu juha tidak baik bila dilakukan berdasarkan
atau sesuai dengan kewajiban. Karena jika perbuatan
dilakukan berdasarkan kewajiban, itu disebut legalistis, dan
itu belum memenuhi norma moral. Baru semata-mata
karena kewajiban, perbuatan itu dinilai baik.89
Menurut Kant, kemauan baik adalah syarat mutlak
untuk bertindak secara moral. Kemauan baik menjadi
kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia
dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan
tindakannya. Tindakan yang baik adalah tindakan yang
tidak saja sesuai dengan kewajiban tetapi karena dijalankan
berdasarkan dan demi kewajiban. Kant menolak segala
tindakan yang bertentangan dengan kewajiban sebagai
tindakan yang baik, walaupun tindakan itu mendatangkan
konsekuensi yang baik.90
Franz Magnis Suseno91 berpendapat, ada tiga
kemungkinan orang memenuhi kewajibannya. Pertama,
karena hal itu menguntungkan, seperti mendapat nama baik
pada langganan, dan ini hanya masalah kebijaksanaan.
Kedua, karena merasa langsung mendorong dalam hati,
seperti membantu orang yang menderita karena terdorong
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 33.
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan……, hal. 10.
91 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika……, hal. 144.
89
90
96| Nilai dalam Wacana Filosofis
oleh rasa kewajiban, dan ini termasuk masalah konstitusi
emosional. Ketiga, karena demi kewajiban yang baik, karena
hanya mau memenuhi apa yang telah menjadi kewajiban,
dan ini adalah kehendak yang baik, tanpa adanya
pembatasan. Melakukan perbuatan demi kewajiban adalag
betul-betul perbuatan moral. Melakukan suatu kewajiban
karena mau memenuhi kewajiban disebut moralitas.
Lantas, apakah yang menjadi suatu kewajiban moral.
Menurut Kant, sebagaimana dijelaskan oleh Kanter,92 yang
criteria tersebut adalah inperatif kategoris. Kewajiban
moral mengandung suatu inperatif kategoris, yakni inperatif
(perintah) yang mewajibkan begitu saja, tanpa syarat, tanpa
pengecualian, dan mengungkapkan suatu keharusan.
Engkau harus begitu saja untuk melakukan suatu
perbuatan. Misalnya, janji harus selalu ditepati, entah itu
dilakukan dengan senang hati atau tidak. Imperatif
kategoris menjiwai semua peraturan etis sehingga dapat
berlaku umum, selalu, dan di mana-mana. Inperatif
kategoris ini memuat perintah, bertindaklah secara moral.
Perintah ini tidak bergantung pada pelbagai maksud atau
tujuan atau kondisi, melainkan berlaku di mana dan kapan
saja, tanpa pengecualian. Sedangkan perintah yang lain
selalu mengandaikan adanya syarat dan pengecualian
(inperatif hipotesis), sehingga tidak dapat menjadi norma
moral. Dasar seseorang dapat bertindak sesuai dengan
imperatif kategoris adalah otonomi kehendak, dan bukan
heteronomi kehendak.
Otonomi kehendak memainkan peranan penting
dalam pelaksanaan inperatif kategoris. Kehendak bersifat
otonom manakala dapat menentukan diri sendiri.
Sedangkan heteronomi kehendak membiarkan diri
ditentukan oleh faktor dari luar diri seperti kecenderungan
atau emosi. Otonomi kehendak memberikan hukum moral
kepada dirinya sendiri dan mendorong seseorang untuk
92
E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum……, hal. 34-35.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|97
mengikuti hukum moralnya sendiri. Menurut Bertens,93
dengan adanya keotonomian kehendak itu diketemukanlah
kebebasan manusia. Kebebasan ini tidak berarti bebas dari
segala ikatan, akan tetapi manusia itu bebas dengan
mentaati hukum moral.
Nilai tertinggi bagi manusia adalah penyatuan
kebahagiaan dengan moralitas. Dalam hidup sekarang ini
dan di sini, moralitas tidak menjamin kebahagiaan. Maka,
nilai tertinggi ini baru akan terpenuhi dalam hidup sesudah
hidup sekarang ini dan di sini, itu pun jika jiwa tidak ikut
mati. Agar perbuatan dan kesadaran moral tidak percuma,
maka harus diakui bahwa jiwa tidak mati dan adanya
pengada yang mahatahu, mahakuasa, dan suci. Hanya
Dialah, Allah, yang dapat menjamin pemenuhan nilai
tertinggi.
Daftar Rujukan
A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dar A sampai Z,
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002.
A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London:
Oxford University Press, 1995.
AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Alexandra Indrayanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan,
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008.
Ahmad Qodri A. Azizy, Islam dan Permasalahan Sosial:
Mencari Jalan Keluar, Yogyakarta: LkiS, 2000.
Achmad Charris Zubair, Kuliah Filsafat, Jakarta: Rajawali
Press, 1987.
93
K. Bertens, Etika….., hal. 257.
98| Nilai dalam Wacana Filosofis
Ameer Ali, The Spirit of Islam, London: Christophers, 1922.
Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Terhadap
Kehidupan Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
De Vos, Pengantar Etika, alih bahasa oleh Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Driyarkara, Pancasila dan Religi, Mencari Kepribadian
Nasional, Bandung: PT Jemmars, 1977.
E. Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, Sebuah Pendekatan SosioReligius, Jakarta: Storia Grafika, 2001.
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Endang Daruni Asdi, Sistem-Sistem Etika pada Masa Yunani
Kuno, Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas
Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok
Etika Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987.
_________, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 1985.
_________, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad
ke-19, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Franz von Magnis, Seri Driyarkara, Etika Umum, MaslahMaslah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 1975.
Gunawan A, Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponogoro, 1996.
Heru Santosa, Landasan Etis bagi Perkembangan Teknologi,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2000.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|99
Husainy Ismail, Jalan Menuju Filsafat, Suatu Uraian
Pendahuluan Ilmu Filsafat, Banda Aceh: Syiah
Kuala University Press, 1993.
I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat, Wajah Baru Etika
dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
James F. Drane, Religion and Ethics, New York: Paulist Press,
1976.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
Pus Wilayah, 1996.
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000.
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
M.
Dawam Rahardjo, Ensiklopedi
Paramadina, 1996.
al-Qur’an,
Jakarta:
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006.
Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z,
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Ridwan Ahmad Sukri, Kebebasan Moral dalam Pandangan
John Stuart Mill dan Fazlur Rahman, Suatu Studi
Etika Komparatif, Yogyakarta: Laporan Penelitian,
Departemen Pendidikan Nasional Fakultas Ilmu
Filsafat, Universitas Gadjah Mada, 2000.
S.A. Kodhi, Referendum dalam Negara Demokrasi Pancasila,
Suatu
Tinjauan
Kefilsafatan
dan
Yuridis
Konstitusional, Yogyakarta: Universitas ATMA
JAYA, 1988.
100| Nilai dalam Wacana Filosofis
S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant
tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta:
Kanisius, 1991.
Suhardi, Makna Etis Cangget Agung dalam Adat Perkawinan
Tulang Bawang, Yogyakarta: Tesis Program Studi
Ilmu Filsafat, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora,
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2002, hal. 96.
Sumiyem, Makna Etis Upacara Begalan dalam Perkawinan
Adat Banyumasan, Tesis Program Pascasarjana,
Fakultas Ilmu Filsafat, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2002.
Tashihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam alQur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999.
Bab 2, Kedudukan Etika dalam Filsafat Nilai
|101
102| Nilai dalam Wacana Filosofis
Bab 3
KEDUDUKAN ESTETIKA DALAM
FILSAFAT NILAI
Oleh: Ernita Dewi
A. Pendahuluan
Diskursus tentang nilai menjadi semakin urgen dan
menarik untuk dikaji seiring dengan perkembangan
peradaban manusia yang semakin mengabaikan makna nilai
dalam kehidupannya. Teknologi komunikasi yang
berkembang pesat menggiring manusia untuk mulai
berpikir praktis individualis dan cendrung melihat nilai
pada aspek material saja, bahkan terkadang bebas dari nilai
baik itu secara etika maupun estetika.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat, dan
aksiologi sebagai cabang dari filsafat telah mempelajari nilai
secara lebih mendalam. Problematika tenteng nilai muncul
untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19.
Sebelumnya beberapa filsuf telah membicarakan tentang
nilai termasuk Plato yang telah membahas tentang nilai
secara mendetail dalam karyanya, dan bahwa keindahan,
kebaikan, dan kesucian merupakan tema yang penting bagi
para pemikir di sepanjang zaman.1
Begitu juga dengan minat untuk mempelajari
keindahan belum menghilang sama sekali, keindahan
sebagaimana yang nampak dewasa ini sebagai salah satu
perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia,
sebuah cara yang disebut dengan nilai. Penemuan ini
merupakan salah satu penemuan yang terpenting dalam
filsafat dewasa ini, dan secara mendasar mengandung arti
1 Risieri Frondizi, What is Value, terj. Cuk Ananta Wijaya Filsafat
Nilai,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hal.1
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|103
perbedaan antara ada (being) dengan nilai (value). Baik
pada zaman kuno maupun pada zaman moderen, orang
tanpa menyadarinya, menempatkan nilai di bawah dan
mengukur keduanya dengan tolok ukur yang sama. Dewasa
ini penelitian tentang nilai dilakukan dengan melibatkan
semua unsur yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu
kajian nilai yang bersifat menyeluruh. Oleh karena itu, saat
ini etika ataupun estetika sebagai warisan filsafat kuno,
mulai melangkah jauh ke depan ke arah peningkatan
kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.2
Berbicara tentang nilai berarti kita mendiskusikan
sesuatu yang tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaknya di
dunia ini nilai membutuhkan pengemban untuk mengakui
keberadaannya. Oleh karena itu nilai nampak kepada kita
seolah-olah hanya merupakan kualitas dari pengemban nilai
itu, keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari sepotong
pakaian, kegunaan dari sebuah peralatan. Munculnya suatu
nilai setelah ada benda yang kemudian dikaji dan diberikan
penilaian yang dapat dikategorikan dalam bentuk indah
atau jelek, baik atau buruk, berguna atau tidak berguna, dan
nilai positif seperti keadilan, kesenangan atau nilai negatif
seperti ketidakadilan dan kesulitan.
Selain itu nilai juga tersusun secara hirarkhis, yakni
ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah.
Orang mungkin membagi manusia menjadi gemuk dengan
yang kurus, yang tinggi dengan yang pendek, yang belum
kawin dan yang sudah kawin, dan sebagainya tanpa perlu
mengartikan bahwa kelompok satu lebih penting daripada
kelompok lain. Nilai dalam bentuk hirarkhi juga ditunjukkan
dengan tabel penilaian tentang seorang anak berprestasi
mendapatkan nilai tertinggi dan anak yang prestasinya
kurang mendapatkan nilai yang rendah.
2
Risieri Frondizi, What is…, hal.2
104| Nilai dalam Wacana Filosofis
B. Pengertian Estetika
Kata estetika berasal dari kata kerja Yunani yang
berarti merasakan (to sense, or perceive). Kata tersebut
mempunyai akar yang sama dengan kata teori dan teater.
Pengalaman estetika tergolong dalam tingkat persepsi
dalam pengalaman manusia. Agar lebih jelasnya untuk
memahami estetika maka terlebih dahulu harus dipahami
perbedaan antara sensasi atau rasa indera (sensation),
percept dan concept. Karena adanya suatu perangsang, kita
menerima sensation melalui salah satu panca indera.3
Istilah estetika sendiri baru muncul tahun 1750 oleh
seorang filsuf minor bernama A.G Baumgarten (1714-1762),
istilah ini diambil dari bahasa Yunani Kuno, aistheton, yang
berarti “kemampuan melihat lewat penginderaan”.
Baumgarten menamakan seni itu sebagai pengetahuan
sensoris, yang dibedakan dengan logika sebagai
pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan,
sedangkan tujuan adalah kebenaran. 4
Estetika adalah filsafat tentang nilai keindahan, baik
yang terdapat di alam maupun dalam aneka benda seni
buatan manusia. Istilah estetika muncul pertama sekali di
linkungan barat, mulai sejak zaman Yunani kuno yaitu Plato,
Aristoteles dan Sokrates. Sampai sekarang masih menjadi
persoalan, Filsafat estetika yang timbul pada zaman Yunani
merupakan bagian dari pemikiran filsufis seorang filsuf.
Karena filsafat berupaya memberikan jawaban yang
mendasar tentang segala hal secara logis, maka persoalan
seni dan keindahan juga menjadi persoalan yang harus
dijawab.
Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang
didalamnya mencari suatu keidahan, atau segi-segi
Harold H.Titus,Living Issue in Philosophy, terj, Persoalanpersoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal.125
4 Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB, 2000), hal.25
3
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|105
penyelidikan terhadap hakekat keindahan.5 Di sisi lain,
estetika disebut juga sebagai sesuatu yang dibahas dalam
filsafat nilai ditinjau dari segi akhlak yang bersifat perilaku
baik-buruk (indah-jelek). Akan tetapi dalam memaknai arti
estetika para ahli berbeda pendapat tentang arti estetika
sebagaimana ungkapan ahli berikut ini:“Estetika pada
mulanya diartikan dengan teori tentang penyerapan
penghayatan pengamalan indera. Kemudian dikembangkan
menjadi hakekat seni dan keindahan yang dimasukkan ke
dalam lapangan nilai,sehingga Jonan Cohn (Jerman)
menyebutkan sebagai teori tentang keindahan dan seni.
Bahkan Max Desair (Jerman) menambahkan lapangan
estetika lebih jauh dari keindahan belaka, tetapi termasuk
juga yang sedih, lucu, bergaya, kemilau, dan yang buruk
serta etotika (percintaan laki-laki dan perempuan)
sedangkan Teodoee Lipps mengatakan bahwa hakikat
estetika adalah kesan yang dibentuk oleh alam, yang
menyusup dalam diri manusia.6
Pengalaman estetik yang merupakan hasil dari
pengalaman perceptual biasanya bersifat visual (terlihat)
atau auditory (terdengar) walaupun tidak terbatas kepada
dua bidang tersebut. Pengalaman keindahan mungkin ada
hubungannya dengan rasa sentuh, rasa atau bau.
Pengalaman keindahan mencakup perhatian yang
menyenangkan dan pengalaman-pengalaman perceptual
sejauh ia timbul yang bebas dari pengaruh terhadap suatu
fenomena, baik yang alami atau yang dibuat manusia. Emosi
estetik dapat dibangkitkan karena hasil-hasil kesenian
ketika seorang seniman berusaha menimbulkan respons,
tetapi juga dibangkitkan oleh bermacam-macam objek atau
Louis O, Kattsoff, Elements of Philosophy, terj. Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal.378
6 Harold H.Titus, Living Issues…, hal.115
5
106| Nilai dalam Wacana Filosofis
pengalaman-pengalaman yang terjadi, kadang-kadang
secara tidak disangka-sangka dalam kehidupan sehari-hari.7
C. Nilai dan Estetika (Keindahan)
Terdapat bermacam-macam pendapat tentang
objek apakah yang menarik respon estetik dari suatu benda
seni. Keindahan terletak dari imajinasi atau pada kreatifitas
seni yang memunculkan nilai praktis. Seringkali seseorang
tidak dapat mengatakan bahwa benda-benda tertentu pada
zaman sekarang merupakan karya seni yang mengandung
nilai estetis. Jika kita sendiri tidak menemukan keindahan
estetis dalam benda yang untuk orang lain sangat bernilai,
lebih baik kita menangguhkan pertimbangan kita sehingga
kita dapat melakukan analisa yang tepat tentang
pengalaman keindahan. William James mengatakan bahwa
manusia tidak mempunyai mata selain untuk melihat aspek
benda-benda yang sudah terlatih untuk membedakannya.
Dalam syair atau seni, kita memerlukan orang dapat
memberitahukan kepada kita, aspek apa yang harus
ditonjolkan, efek apa yang harus dikemukakan, dan efek apa
yang harus dikagumi, sebelum rasa keindahan berkembang
penuh. Latiha mata dan telinga yang berlangsung lama
sangat diperlukan utuk menemukan nilai estetik yang
murni.8
Ketika seseorang dihadapkan untuk memilih nilainilai yang diperlukan dalam hidupnya, maka ada
kesepakatan yang berlaku secara luas tentang kelompok
nilai tertentu yaitu nilai agama, moral, estetik, intelektual,
keilmuan, ekonomi dan sebagainya. Disamping itu ada
kesepakatan mengenai jumlah nilai tersebut, seperti
Harold H. Titus, Living Issue…,hal.126
Louis O, Kattsoff, Elements of Philosophy, terj. Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal.378
Harold H. Titus, Living Issue…, hal. 128
7
88
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|107
wataknya, hubungannya antara yang satu dengan yang
lainnya, derajat masing-masing dan prinsip-prinsip yang
harus kita pakai untuk mengadakan pilihan.
Keputusan kita tentang nilai selalu dipengaruhi
oleh bermacam-macam nilai tradisional yang kita wariskan
dari masa lalu dan yang terpancang dalam bahasa, adat
istiadat dan lembaga-lembaga kita. Pemikir-pemikir Yunani
membicarakan berbagai macam nilai seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan, dan kebahagiaan. Aristoteles dalam
bukunya yang berjudul Ethics mengemukakan beberapa
keutamaan nilai. Dalam Islam terdapat nilai-nilai kebaikan
sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan hadis Nabi
Muhammad Saw, yang menjadi pedoman dan landasan
bertindak kaum muslimin.
Secara umum nilai dapat dibagi dalam bentuk nilai
intrinsik dan ekstrinsik. Suatu benda adalah berharga
secara intrinsik (baik dari dalam dirinya sendiri) jika benda
itu dinilai untuk dirinya bukan karena ia dapat
menghasilkan sesuatu lainnya. Sesuatu benda adalah
berharga secara ekstrinsik (baik karena sesuatu hal dari
luar) jika benda itu merupakan sarana untuk mendapatkan
benda lain. Kebanyakan benda-benda yang kita lihat dan
kita pakai dalam aktivitas kita sehari-hari, dari buku-buku
sampai komputer, juga gedung-gedung dan lembagalembaga semua itu mengandung nilai ekstrinsik.9
Nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik tidak harus
terpisah satu dengan yang lainnya. Benda yang sama dapat
bernilai instrinsik dan kemudian dapat berubah nilainya
menjadi ekstrinsik. Contohnya pengetahuan dapat dinilai
baik untuk dirinya sendiri dan juga sebagai sarana untuk
hal-hal yang lain serta berharga seperti keberhasilan
ekonomi dan kekuasaan.
Nilai juga ada yang bersifat permanen dan kurang
permanen, untuk itu nilai yang permanen harus
9
Harold H.Titus, Living Issue…, hal.129
108| Nilai dalam Wacana Filosofis
didahulukan dari nilai yang kurang permanen. Sebagai
contoh nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan.
Uang yang kita miliki akan seketika habis setelah kita
berbelanja atau maka-makan di restoran. Akan tetapi nilai
pesahabatan akan tetap abadi jika kita dapat saling
menjaganya, dan nilai ilmu pengetahuan akan tetap ada
selama kita mampu berbagi dengan orang lain untuk tujuan
memberikan pencerahan dan kecerdasan bagi yang
membutuhkan. Nilai kasih sayang akan senantiasa bertahan
ketika seseorang dengan penuh keikhlasan tanpa pamrih
mau menolong orang lain.
Meskipun sangat dibutuhkan, namun nilai ekonomi
dan fisik tidak akan memuaskan secara permanen bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, karena sifatnya yang
instrinsik. Akan tetapi sepanjang sejarang pengalaman
hidup manusia telah menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial,
intelektual, estetik dan agama lebih memberi kepuasan
daripada nilai-nilai material.10
D. Makna Nilai dalam Aspek Subjektif dan Objektif
Nilai itu “objektif” jika tidak tergantung pada subjek
atau kesadaran yang menilai, sebaliknya nilai itu subjektif
jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung
pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
Adakalanya seseorang cendrung memberikan penilaian
bersifat subjektif, ketika merasakan telah menemukan di
dalam sudut pandang yang berlawanan tentang suatu
khayalan belaka, sama dengan orang yang menjadi korban
halusinasi menakutkan akibat bayangan tentang hantu yang
diciptakannya sendiri. Di sisi lain, adakalanya ketika ia
menunjukkan bukti kepada kita tentang nilai itu merupakan
realitas objektif yang seharusnya diajukan sesuai dengan
10
Harold H.Titus, Living Issue…, hal.130
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|109
bukti-bukti yang dibutuhkan. Ketika seseorang menciptakan
satu karya seni yang tidak cukup syarat untuk dikatakan
indah, maka nilai keindahan tersebut sangat tergantung dari
subjek untuk mencari dalil argumentatif agar karyanya
tersebut dapat dikatakan indah, tentunya dengan
mengutamakan pendapat pribadi, yang berbeda dengan
orang lain.11
Subyetivisme memiliki dasar yang kuat untuk
mengatakan bahwa nilai tidak bebas dari penilaian. Nilai
mendahului penilaian, jika tidak ada yang dinilai, maka
penilaian mustahil dilakukan. Antara nilai dan penilaian
dijelaskan dengan mengambil analogi antara objek dengan
persepsi, objek diketahui setelah ada persepsi untuk
menentukan tentang objek tersebut, begitu juga dengan
nilai, diketahui dan diberikan nama setelah dilakukan
penilaian.
Ketika
menjelaskan
tentang
nilai,
kaum
subjektivisme berlindung pada pengalaman, dengan
argumentasi apabila nilai itu objektif maka para individu
mesti sampai pada satu kesepakatan tentang nilai-nilai
tersebut. Namun sejarah menunjukkan pada kita adanya
ketidaksepakatan tentang nilai secara berkepanjangan. Hal
itu diakibatkan oleh kenyataan bahwa masing-masing orang
memiliki selera tersendiri yang berbeda dengan orang lain.
Dalam hal menjelaskan tentang nilai kaum objektif
percaya bahwa suatu kebenaran tidak tergantung pada
subjektivitas seseorang, akan tetapi ditentukan oleh
objektivitas fakta, dengan demikian nilai tidak dipengaruhi
oleh perhitungan banyak atau sedikitnya penilaian yang
diberikan. Pendapat orang yang berselera rendah tidak
mengurangi keindahan sebuah karya seni. Meskipun akan
menjadi usaha sia-sia untuk mencapai satu kesatuan
pendapat, bagi kaum objektivis ini bukan pendapat terakhir,
sebab ada pendapat lain yang mneyebutkan bahwa
11
Risieri Frondizi, What is…, hal.21
110| Nilai dalam Wacana Filosofis
ketidaksesuai mengacu pada benda, bukan pada nilai. Tidak
seorang pun yang bisa gagal menghargai keindahan, yang
mungkin terjadi adalah bahwa orang tidak dapat mengenali
kehadiran keindahan dalam objek tertentu, baik itu sebuah
patung, lukisan atau pun simfoni.
Merujuk pada argumentasi kaum objektif, kaum
subjektif justru melihat ketidak sesuai tersebut justru
terletak pada nilai itu sendiri. Sebagai contoh seorang Cina
dengan seorang Amerika ketika menilai keindahan sebuah
sepatu, pasti akan berbeda tergantung pemahaman dan
selera masing-masing. Begitu juga ketika dua orang
memutuskan tentang nilai yang ada dalam putusan sebuah
hukuman, ketulusan perilaku seseorang, ketidaksepakatan
atas berbagai objek ini seringkali menampakkan
ketidaksesuaian yang mendalam dalam kaitannya dengan
apa yang dimengerti melalui istilah keindahan, keadilan
atau pun kepantasan.12
Contoh konkret yang diajukan oleh kaum subjektif
tentang subjektifitas nilai adalah pada perangko, dimana
letak nilai sebuah perangko, apakah pada kualitas
kertasnya, atau keindahan gambarnya atau pada
cetakannya, dimana nilai dapat ditempatkan. Perangkoperangko itu tidak akan benilai jika bukan pada orang yang
gemar filateli. Keinginan untuk mengumpulkannyalah yang
memberi nilai pada perangko tersebut, jika kepentingan ini
hilang, maka nilai yang diberikan juga ikut hilang. Begitu
juga halnya dengan kasus nilai estetis, sangat tergantung
pada serangkaian kondisi yang bersifat subjektif, kultural
dan sebagainya. Nilai keindahan sebuah lukisan akan tidak
terdeteksi pada seseorang yang tidak memiliki mata. Begitu
juga ketika menilai keindahan musik, menjadi tidak berarti
bagi seseorang yang tidak bisa mendengar.
Menjawab persoalan tersebut, kaum objektifis
memiliki jawaban tersendiri, bahwa terkadang kita juga
12
Risieri Frodizi, What is…, hal.24
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|111
menilai sesuatu yang tidak menyenangkan kita. Sebagai
contoh siapa orang yang mampu mempertaruhkan
hidupnya untuk menyelamatkan orang lain yang tenggelam
di lautan. Tetapi penyelamatan itu dilakukan dengan
pertimbangan nilai moral yang sifatnya objektif, walaupun
orang itu tidak merasa senang menjatuhkan dirinya dalam
masalah, tetapi dilakukan juga karena itu suatu kewajiban
moral.
Perseteruan antara kaum subjektif dan objektif
seakan tidak pernah berakhir, keduanya berpegang teguh
pada dalil masing-masing. Untuk menyelesaikan polemik
ini, maka banyak pemikir yang beralih pada pembahasan
tentang kriteria dan metode yang digunakan dalam
menentukan suatu nilai. John Dewey menyebutkan bahwa
persoalan nilai sangat ditentukan oleh persoalan
metodologis. Tanpa metode yang jelas maka diskusi tentang
nilai akan mengalami kebuntuan. Dewey sebagai filsuf
beraliran pragmatis yang empiris menyebutkan bahwa
pengalaman merupakan hakim tertinggi yang akan
bercerita tentang sesuatu yang bernilai dan mengandung
keindahan atau kesenangan.13
E. Estetika Dalam Filsafat Nilai
Kaum materialis cenderung mengatakan nilai
bersifat subjektif sedangkan menurut kaum idealis, nilai
bersifat objektif. Seandainya kita sepakat memandang nilaisekedar merupakan reksi-reaksi subjektif, maka jika
keindahan menggambarkan nilai, keindahan pun
merupakan sekedar reaksi subjektif. Maka benarlah apa
yang terkandung dalam ungkapan “Mengenai masalah
selera tidaklah perlu ada pertentangan”. Ditinjau dari sudut
pandangan semacam ini, melihat keindahan terbenam
matahari, serupa dengan menyukai kerang-sesuatu yang
13
Risieri Frodizi, What is…, hal.37
112| Nilai dalam Wacana Filosofis
semata-mata bersifat perseorangan. Tiada seorangpun
berhak mendakwakan diri betul atau tidak dalam hal ini,
karena pernyataan-pernyataan semacam itu tidak
mengandung makna.
Siapapun yang berbicara tentang kebenaran dan
kebaikan, pasti akan teringat , dan kepada istilah ketiga
yaitu estetika (keindahan). Epistemologi bersangkutan
dengan teori kebenaran dan etika berkaitan dengan teori
mengenai kebaikan ditinjau dari segi kesusilaan. Istilah
aksiologi dipakai untuk memberikan batasan pengertian
terhadap penyelidikan mengenai kebaikan pada umumnya,
sedangkan bagi penyelidikan mengenai hakekat keindahan
dinamakan estetika. Meskipun demikian, estetika
mempersoalkan pula teori-teori mengenai seni.
Estetika merupakan suatu teori yang meliputi: (1)
penyelidikan mengenai yang indah, dan (2) penyelidikan
mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni, (3)
pengalaman yang bertalian dengan seni termasuk di
dalamnya penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau
perenungan atas seni.14
Ketika kita mendengar suara lagu yang merdu dari
sebuah radio, maka kita akan mengatakan karya musik yang
indah. Begitu juga ketika kita memandang sebuah foto air
terjun maka kita akan mengatakan indah sekali gambarnya.
Secara tiba-tiba kita akan menyadari bahwa kita telah
menggunakan kata yang sama yaitu indah pada dua benda
dan situasi tang berbeda.
Berbicara keindahan dalam arti kata yang
sebenarnya perlu dikaitkan dengan isi atau makna yang
dikandungnya. Seorang wanita yang indah bukan hanya
merupakan wanita yang dapat menyenangkan mata,
melainkan seorang wanita yang mampu mengungkapkan
suatu makna. Sering terjadi ada seorang wanita yang tidak
secantik wanita lain, namun lebih indah, sebab kecantikan
14
Louis O. Kattsoff, Elemetns of…,hal. 381
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|113
biasanya hanya dikaitkan dengan sesuatu yang hanya
sekedar menyenangkan mata, sedangkan indah meliputi
banyak hal. Sesungguhnya di dunia ini terdapat lebih
banyak jumlah wanita yang cantik dibandingkan dengan
jumlah wanita yang indah. 15
Menurut istilah yang lain, suatu objek yang indah
bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik ,
melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Tetapi
terdapat kesulitan saat menentuka makna selaras. Sejumlah
karya seni dewasa ini tidak dapat dikatakan selaras bagianbagiannya,
meskipun
kadang-kadang
justru
ketidakselarasannya tersebut dikatakan mengungkapkan
keselarasan yang menyeluruh. Ungkapan ini kiranya ikut
mendasari pengertian keindahan. Begitu juga ada ungkapan
keindahan dalam situasi yang jelek. Kematian dapat
dikatakan bukan hal yang mengandung keindahan, tetapi
situasi kesedihan, namun seorang seniman bernama Saint
justru menciptakan tarian kematian (Dance Macabre) yang
menggambarkan suasana keindahan bercampur keredupan.
Terlepas dari banyaknya pendapat orang terhadap tarian
ini, Melvin Rader mengatakan “Keindahan dapat dihasilkan
oleh hakikat hal yang diungkapkan atau oleh berhasilnya
pengungkapan.16
Berbicara nilai keindahan memang tidak bisa
dilepaskan dari suatu karya seni, sebab keindahan sangat
identik dengan seni. Suatu karya seni akan dinilai dari aspek
keindahannya, tanpa nilai keindahan maka karya seni tidak
menghasilkan apapun. Sebagai contoh ketika kita
memperhatikan sebuah gambar yang indah mengenai
wanita yang jelek dan membandingkannya dengan gambar
yang jelek mengenai wanita yang indah, maka
kesimpulannya adalah nilai indah mengenai wanita yang
jelek dapat membawa pesan-pesan tertentu atau
15
16
Yacob Sumardjo, Filsafat…, hal.25
Louis O Kattsoff, Elemets of…,hal.382
114| Nilai dalam Wacana Filosofis
mengandung makna tertentu,itulah yang disebut karya seni.
Adapun gambar yang jelek mengenai wanita yang indah
tidak mungkin disebut karya seni karena tidak
mengungkapkan keindahan wanita tersebut, artinya yang
indah itu hanya wanitanya dan bukan gambarnya. Untuk
dapat dinamakan karya seni maka setidak-tidaknya dalam
salah satu seginya harus terdapat keindahan, disamping
gambar itu harus juga mengandung makna meskipun
sekedar bersifat simbolis atau impresionistis.17
Nilai estetika bagi seorang penganut aliran idealis
didasarkan pada aspek kejiwaan. Filsuf Italia Bernedet to
Croce, melalui karya besarnya yang masih sangat
berpengaruh
sampai
sekarang
dengan
judul
Aesthetics,mencoba mendekati masalah estetika dengan
jalan melakukan analisa mengenai kegiatan kejiawaan, yang
memberikan petunjuk pertama mengenai hakekat seni, bagi
Croce seni merupakan kegiatan kejiwaan.
Pandangan yang dianut Croce bersifat subjektif,
karena hakekat seni diletakkan pada instuisi serta perasaan
seseorang. Santayana, dalam bukunya berjudul The Sence of
Beauty, juga memandang keindahan dan seni berhubungan
secara intrinsic dengan manusiannya, namun dengan cara
yang lain. Keindahan suatu objek dapat diketahui setelah
ada proses pencerapan, kalau tidak dicerap tentu keindahan
suatu benda tidak diketahui. Tentu saja tidak mungkin
seseorang membayangkan suatu objek yang tidak
mempunyai eksistensi.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu
kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa
bersangkutan dengan perasaan. Perhatikan sebuah
bangunan, ketika orang melihatnya, tampak sejumlah sifat
melekat padanya, yaitu warnanya, luasnya,bangunannya,
kepadatannya, dan sebagainya, akhirnya dapat pula orang
menambahkan satu sifat lagi yaitu keindahan. Sejatinya
17
Louis O Kattoff, Elemets of…, hal.383
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|115
suatu onyek dipandang mempunyai sifat-sifat sebagai
kualitas-kualitas segenap kesan yang kita peroleh darinya,
maka cepat atau lambat kita akan menyadari bahwa hal-hal
seperti warna, terdapat di dalam subjek yang bersangkutan
dan bukan pada objeknya.18
Warna pada sebuah objek ialah cara kita
memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan. Oleh karena
itu sangat mudah dimengerti bahwa rasa nikmat atau sakit
bersifat subjektif, karena kedua macam rasa itu tidak akan
dimengerti secara masuk akal sebagai kualitas-kualitas yang
terdapat pada objek lain. Tetapi orang dapat
membayangkan keindahan yang terdapat pada objek yang
lain, artinya orang dapat memproyeksikan perasaannya.
Keindahan juga berkaitan dengan nilai kenikmatan,
seperti saat seseorang bangun pagi, matahri memancarkan
sinarnya yang indah, seseorang dalam keadaan sehat sangat
menikmatinya suasana pagi dengan pancaran sinar
matahari, orang tersebut pasti akan mengatakan pagi yang
indah, meskipun pagi itu tidak indah tetapi orang tersebut
mengalami perasaan senang ketika menghabiskan waktu
paginya. Dalam keadaan seperti itu seseorang cenderung
mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya
memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita cerap,
padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Sebenarnya terdapat banyak rasa nikmat yang tidak
merupakan bagian dari citra kita mengenai sesuatu objek,
dan untuk membedakan antara rasa nikmat yang
merupakan bagian dari citra kita mengenai suatu objek
dengan yang buka, maka digunakan kata kindahan. Menurut
Santayana keindahan merupakan rasa nikmat yang
dianggap sebagai kualitas barang sesuatu. Sebagai
akibatnya tidak mungkin ada keindahan yang terpisahkan
dari pemahaman kita mengenai objek, yang merupakan
keindahan, yaitu rasa nikmat, tidak akan bermakna jika
18
Louis O Kattsoff, Elemets of…, hal.386
116| Nilai dalam Wacana Filosofis
tidak dialami. Selanjutnya jika objek tidak menimbulkan
rasa nikmat pada siapa pun, maka tidak mungkin objek
tersebut dikatakan indah.19
Tentu saja perpsektif Santayana menimbulkan pro
dan kontra, apalagi jika semua keindahan dikaitkan dengan
nilai kenikmatan, akan tetapi Santayana telah berbicara
mengenai unsure hakiki untuk memahami keindahan.
Apabila keindahan senantiasa dihubungkan dengan
kenikmatan, adakalanya keindahan tidak berhubungan
dengan kenikmatan. Meskipun rasa nikmat senantias
menyertai keindahan, namun tidak berarti kedua hal
tersebut sama sepenuhnya.
Timbulnya keberatan-keberatan terhadap definisi
keindahan berdasarkan perasaan atau kenikmatan,
menunjukkan teori-teori yang bersangkutan belum
sepenuhnya benar, untuk itu muncul teori-teori lain yang
mendefinisikan keindahan, yaitu: pertama, keindahan
terdapat di dalam objek sebagai salah satu kualitasnya,
(kedua), keindahan hendaknya dicari pada hubungan yang
terdapat antara objek manusianya.
Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art
and Shcolasticism mengatakan bahwa keindahan bukannlah
terletak pada objek perasaan akan tetapi lebih kepada objek
hasil tangkapan. Maritain tidak mengingkari peranan yang
dipunyai oleh alat-alat inderawi, karena akal menangkap
sesuatu dengan jalan melakukan abstraksi dan analisa.
Akibatnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui alatalat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang
diperlukan untuk menangkap keindahan. Maratain
mengatakan bahwa suatu objek dapat menimbulkan
kesenangan pada akal sebagai satu-satunya sarana langsung
yang dapat ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut
merupakan sesuatu yang indah. Keindahan ialah sesuatu di
dalam objek yang dapat menimbulkan kesenangan pada
19
Louis O Kattsoff, Elements of…, hal.387
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|117
akal semata-mata karena keadaannya sebagai objek
tangkapan akali.20
Maritain menghubungkan antara akal dan
keindahan karena suatu objek mmeiliki kesempurnaan
tertentu yang juga dipunyai akal. Akal merasa senang pada
sesuatu yang indah, karena di dalam sesuatu yang indah ia
menemukan kembali dirinya, mengenal kembali dirinya,
dan berhubungan dengan pancarannya sendiri. Ciri-ciri
khas yang harus mempunyai objek suatu objek agar dapat
dikatakan indah dapat ditemukan dengan ajaln
memperhatikan apa yang diutamakan oleh akal.
Akal senantiasa gelisah apabila menyadari dirinya
kurang sempurna. Berdasarkan anggapan tersebut, maka
salah satu syarat keindahan ialah harus ada keutuhan atau
kesempurnaa, karena yang dapat disebut indah ialah
sesuatu yang manakala ditangkap dapat menimbulkan
kesenangan pada akal. Disamping faktor akali yang
menentukan keindahan, seseorang juga senantiasa
menentukan keindahan dengan mengacu pada pengalaman
sebagai unsure hakiki dalam penilaian estetis. Jika tidak
terdapat pengalaman, maka tidak mungkin ada penilaian
estetis. Keindahan dapat dikenal melalui pengalaman, dan
terbentuk pengalaman membayangkan sesuatu. John Dewey
sebagai seorang pragmatis, menerima unsur ini dan
memakainya sebagai dasarbagi teorinya yang terdapat
dalam bukunya berjudul Art as Experience.
Pendekatan Dewey terhadap segala pengalaman
didasarkan atas pengalaman hidup seseorang, dan di dalam
pengalaman hidup tersebut Dewey mencari makna
keindahan. Pengalaman hendaknya tidak dipisahkan dari
alam lingkungan tempat individu yang bersangkutan berda,
karena tidak mungkin ada pengalaman yang terpisah dari
suatu keadaan lingkungan tertentu. Menurut Dewey
“Pengalaman merupakan akibat, tanda imbalan yang terjadi
20
Louis O Kattsoff, Elements of…, hal.389
118| Nilai dalam Wacana Filosofis
karena adanya keadan saling mempengaruhi antara
organisme dengan alam lingkungan. Karena pengalaman
merupakan keberhasilan organisme dalam perjuangan serta
merupakan hasil-hasil yang dicapainya di alam bendabenda, maka sesungguhnya pengalaman merupakan seni
dalam awal perkembangannya. Bahkan dalam bentukbentuknya yang paling awal,pengalaman hidup sudah
mengandung semacam janji akan terjadinya cerapan yang
menimbulkan kesenangan yang disebut pengalaman
estetis.21
Kunci pemikiran Dewey mengenai keindahan
terdapat pada kata-kata “keberhasilan” dan “hasil-hasil yang
dicapai”. Pengalaman estetis merupakan pegalaman yang
menyeluruh, suatu pengalaman lengkap, yang didalamnya
terdapat kualitas perasaan yang menimbulkan kepuasaan
sebagai akibat keikutsertaan serta keberhasilan. Pada
hakekatnya tidak terdapat perbedaan antara pengalaman
estetis dengan pengalaman bukan estetis sebagai
pengalaman. Hanya aspek keberhasilan itulah yang
membedakan suatu pengalaman dengan pengalaman yang
lain.
Hal yang sangat unik dalam memahami estetika
adalah kenyataan bahwa ilmu-ilmu estetika merupakan
ilmu untuk melihat ilmu lain secara mudah lewat panca
indera dan sentuhan hati. Mengenai estetika banyak para
peneliti mengkaji tentang nilai-nilai estetika barat, lain
halnya dengan estetika Islam, hanya sedikit orang yang
membahasnya. Padahal secara sadar harus diakui bahwa
estetika Islam lebih menarik kita kaji dari pada estetika
barat. Banyak pegelaran-pegelaran telah diadakan yang
21John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balsh &
Co.,1934), hal.22-23
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|119
berhubungan dengan seni, seperti festival-festival musik
Islam, kaligrafi, dan bahkan sastra-sastra.22
F. Estetika Islam
Salah satu pemikir Islam yang sangat konsen dengan
nilai estetika dalam Islam adalah Ismail Raji Al-Faruqi.
Beliau mencoba membangkitkan kembali estetika dalam
Islam sebagai hal yang sangat menarik untuk dikaji. Dalam
pemahaman Ismail Raji Al-Faruqi seni atau estetika
dipandang sebagai ekspresi estetis Alquran, yang
menurutnya seni Islam pada dasarnya adalah seni Qurani.23
Seni peradaban Islam dapat dilihat sebagai
pernyataan estetis yang berasaskan al-Quran. Aspek budaya
Islam ini harus dipandang dalam kaitannya dengan sifatsifat al-Quran dari segi asas dan motivasi. Begitu juga
dnegan peradaban Islam harus dilihat sebagai ungkapan
yang estetika sama bentuk dengan pelaksanaannya,
sesungguhnya kesenian Islam adalah kesenian al-Quran. 24
Bangkit di tengah pengaruh tradisi asing (YunaniRomawi dan sumber Hellenistik) yang telah berakar selama
beberapa abad diberbagai wilayah Semit Timur, Islam
membawakan sebuah tuntutan baru bagi ekspresi estetis.
Kaum muslim memerlukan pola estetis yang dapat
menyediakan objek bagi kontemplasi estetis yang akan
menyokong ideologi dasar dan struktur masyarakat menjadi
sarana yang secara kontinu mengingatkan kepada prinsipprinsip Islam. Karya seni Islam bertujuan untuk
meneguhkan kesadaran terhadap Wujud Transenden, yang
22 Oliver Leaman, Estetika Islam : Menafsirkan Seni dan
Keindahan, (Bandung: Mizan, 2005), hal.12
23 Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusomo
(Yogyakarta: Bentang, 1999), hal.vi
24Ismail Razi al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1992, hal.
172.
120| Nilai dalam Wacana Filosofis
menjadi tujuan akhir hidup manusia. Orientasi dan tujuan
estetika Islam tidak bisa dicapai dengan pengambaran
melalui alam, tetapi hanya bisa direalisasikan melalui
kontemplasi, terhadap karya artistik yang dapat membawa
pengamatnya kepada instuisi tentang kebenaran itu sendiri
bahwa Allah sangat berbeda dengan ciptaanNya dan tidak
dapat direpresentasikan atau diekspresikan.25
Menurut Al-Faruqi selain ditentukan oleh ajaran alQuran, seni Islam juga bersifat “Qurani” dalam arti bahwa
kitab suci al-Quran menjadi model utama dan tertinggi bagi
kreativitas dan produk estetis. al-Quran dinyatakan sebagai
“karya seni pertama dalam Islam”. Bukan berarti bahwa alQuran dianggap sebagai karya sastra jenius dari Nabi
Muhammad, sebagaimana yangs eringkali dinyatakan oleh
kalangan non muslim. Sebaliknya orang Islam menyakini isi
dan bentuknya bersifat Ilahi yang merupakan representasi
pola-pola infinit dari seni Islam.
Ekspresi dan ajaran al-Quran mengkontruksikan
sebuah wolrd view yang mendasari terciptanya seni Islam
yang berbeda dengan kebudayaan lain. Seni Islam tidak
menganut semboyan seni untuk seni, seperti yang
berkembang dalam seni Barat, melainkan seni membawa
kesadaran pengamat kepad ide transendensi Tuhan.
Bahkan, Rasyidi memasukkan pengalaman keindahan atau
estetika bersama-sama dengan pengalaman ilmiah,
pengalaman moral, pengalaman dalams ejarah dan
pengalaman keagamaan, sebagai salah satu bukti kuat
tentang keberadaan Allah, artinya wilayah ontologismetafisis mampu dicapai seseorang melalui pengalaman
estetis.
Estetika dalam Islam tidak hanya terpaku pada
bentuk dan nilai yang tampak, akan tetapi estetika Islam
lebih melihat keindahan itu dengan nilai yang tersembunyi
25Ismail Razi al-Faruqi, Seni Tauhid, Terj.Hartono Hadikusumo
(Yogyakarta : Bentang, 1999), hal.1
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|121
tidak dapat dijangkau panca indera, dalam melihat nilai
estetika Islam harus dilihat lewat pikiran halus dan
pendekatan hati. Meskipun masih ada penolakan terhadap
seni dalam Islam, karena ditakutkan akan bertentangan
dengan nilai moralitas, akan tetapi ajaran Islam
mengandung nilai keindahan, bahkan Allah Swt sebagai
Khaliq yang Maha Indah sangat mencintai keindahan.
Keteraturan alam semesta mencerminkan keindahan yang
tiada tara, begitu juga dengan semua ciptaan Allah Swt
mengandung nilai keindahan.
Secara tegas Nasr memberikan pendapatnya
mengenai sumber seni Islam bersumber dari dua sumber
pokok ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi. Nasr
mengatakan bahwa al-Qur’an berisi kumpulan petunjuk
bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya kepada
Tuhan, sebagai pusat kehidupan Islam dan merupakan
dunia bagi umat Muslim.26 Secara umum pengertian alQur’an bagi Muslim adalah sebuah kitab kumpulan petunjuk
bagi manusia yang berasal dari Allah yang diturunkan
kepada Rasullullah Muhammad melalui malaikat Jibril.
Umat Islam mempercayai bahwa al-Qur’an adalah
mukjizat dari Nabi Muhammad yang akan abadi sepanjang
zaman. Menurut Oliver Leaman bahwa kemukjizatan alQur’an berada pada nilai estetika yang merupakan hasil
kreasi yang luar biasa yang hal ini dapat dipercaya sebagai
berasal dari Tuhan,27 walaupun ia menolak segala argumen
kemukjizatan al-Qur’an yang diberikan oleh para pemikir
Islam. Ini membuktikan kebesaran al-Qur’an secara estetik
memang sebuah kemukjizatan yang abadi dan sesuai
dengan tantangan yang dilontarkan al-Qur’an sendiri yang
26Seyyed Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, terj.
Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, (Yogyakarta: Pu saka, 2001),
hlm.23.
27Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir S eni dan Keindahan,
terj. Irfan Abubakar, (Bandung: Mizan, 2005), hlm.255.
122| Nilai dalam Wacana Filosofis
mempersilahkan siapapun membuat al-Qur’an tandingan
yang niscaya tidak akan dapat dilakukan.
Nasr berpendapat bahwa kesucian al-Qur’an
menyebabkan semua yang terkait dengan bentuk al-Qur’an
juga suci. Bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Qur’an
adalah bahasa suci umat Islam, karena ia terkait langsung
dengan dzat al-Qur’an yang memang turun dengan bahasa
Arab. Kesucian bahasa Arab bukan karena tingginya sastra
Arab yang dipakai. Kalau ini ukurannya, sebenarnya bahasa
Arab masih kalah tinggi kesusasteraannya dengan bahasa
Persia28 Sehingga semua ritus peribadatan dan segala ritus
keislaman termasuk mengucapkan perkataan (doa) dengan
bahasa Arab merupakan sebuah kewajiban khususnya
dalam ibadah shalat.
Tidak ada yang namanya kebebasan dalam diri
manusia. Manusia senantiasa diliputi Yang Mutlak pada
setiap kehidupannya. Manusia tidak dapat melepaskan diri
dari lingkup Ketuhanan dalam segala hal. Rasio manusia
dengan demikian tidak dapat bebas sebebas-bebasnya
berfikir29 yang dapat berakibat mendorong terciptanya
tingkah laku yang tidak sesuai dengan hakekat kebenaran.
Sarana yang dapat membimbing manusia untuk
menghindari perbuatan yang demikian hanyalah dengan
mengikuti petunjuk-petunjuk dari ajaran agama, khususnya
Islam. Dalam Islam telah tersedia segala rujukan untuk
melakukan segala hal yang telah tertuang dalam al-Qur’an
dan Sunnah Nabi. Keduanya memberikan wawasan dan
Nasr, Islam…, hlm.25.
tentang bebas tidak berfikir telah sejak lama
terjadi. Kaum Islam yang menghargai akal berpendapat bahwa akal
adalah anugerah terbesar manusia yang membedakan dengan makhluk
lainnya. sehingga tidak mempergunakan akal sebagaimana mestinya
termasuk mengingkari nikmat Allah. Kesalahan berfikir tidak berdosa,
tapi kebenaran dalam berfikir mendapat pahala, sehingga tidak ada
alasan menutup pintu ijtihad.. lihat Abd al-Mutaal al-Saidi, Keb ebasan
Berfikir Dalam Islam,terj. Ibnu Burdah (Yogyakarta: Adi Wacana, 19 99),
hlm. 11-16.
28
29Perdebatan
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|123
pengetahuan mengenai spiritualitas yang bermuara pada
ketuhanan.
Pendapat Nasr yang demikian sejalan dengan
pandangan seni dari Mohammad Iqbal yang dengan tegas
mengatakan bahwa seni harus berhubungan dengan etika
dan dia harus berada dibawah kendali moral, sehingga tidak
ada yang disebut seni – betapapun ekspresifnya seorang
seniman – kecuali ia mampu menimbulkan nilai-nilai yang
cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan
dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia
dan masyarakat. 30
Keterikatan yang sangat kuat antara agama dan
karya seni budaya seperti yang terlihat di atas disatu sisi
memang mempunyai pengaruh yang positif, yaitu selalu
terpeliharanya nilai-nilai etik yang ada sepanjang jaman. Hal
ini sempat kacau pada era modern dengan banyak
disinyalir mulai tergradasinya nilai-nilai universal yang
tinggi. Seni tidak hanya sebatas karya yang berupa objek
hiburan semata yang diukur secara material ansich
berdasar nilai pasar. Makna yang terkandung di dalamnya
tetap terpelihara dengan baik. Kandungan makna yang
dalam menjadi nilai spiritual yang tinggi yang
menghubungkan manusia dengan Tuhan. Visi keilahian
mensyaratkan segala sesuatu harus suci, terhindar dan
terlepas dari unsur duniawiah yang buruk.
Akan tetapi yang demikian juga mempunyai
dampak kurang bagus pula dalam perkembangan kreatifitas
seni. Aturan yang ada dalam al- Qur’an dan Sunnah terbatasi
dalam bentuk teks suci yang masih memerlukan penafsiran
atau interpretasi. Bahkan menurt Palmer, manusia mulai
bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali terus
30Soleh,
Wacana..., hlm. 309. Lebih jelas lagi lihat Syarif, Iqbal:
Tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil, (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 133.
124| Nilai dalam Wacana Filosofis
melakukan penafsiran.31 Bahkan dalam kondisi tidur pun
manusia mampu mendapatkan pengetahuan dan tentunya
masih dapat diinterpretasikan. 32
Jika demikian halnya, maka, kreatifitas manusia
dalam mengekspresikan hasil perenungannya juga tidak
dapat dibatasi. Perenungan yang berdasarkan ketajaman
intelektual juga memunculkan manifestasi yang terus
berkembang, tidak terbatas pada kaidah-kaidah Arabes dan
pandangan Phytagorean. Dengan demikian seni dapat terus
berkembang dan menghasilkan karya-karya yang lain yang
juga memancarkan Keindahan Universal dengan bentuk
yang lain pula. Bentuk disini adalah bentuk estetik
inderawiyah33 yang tentunya berupa bentuk material
sebagai konsekuensi keanekaragaman bentuk diwilayah
eksoteris.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kebebasan seni memang perlu guna mendapatkan sebuah
karya estetis yang terus tercurah, tapi juga perlu
memperhatikan aspek norma dan batas etika yang ada agar
senantiasa terjaga keindahan lahir dan batin. Karena batin
yang suci juga ditentukan lahir yang suci pula. Cara ini
memungkinkan seni Islam terus berkembang secara anggun
dan menyejukkan jiwa dan memuaskan pancaindera.
Nilai estetika dalam Islam tidak bisa dipisahkan
dari nilai akhlak dan keduanya harus berjalan secara
bersamaan. Menampilkan perempuan telanjang bagi
31Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai
Interpretasi, terj.Masnur Hery dan Damanhuri Muhammed, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), Hlm.9.
32Fuad Nashori menyatakan dalam bukunya bahwa manusia
dalam keadaan suci mampu mendapatkan sebuah pengetahuan berupa
mimpi akan kebenaran dalam tidurnya. Pengetahuan itu berupa
pengetahuan di masa depan (mimpi prediktif), kehidupan di masa lalu
(mimpi retrospektif), petunjuk hidup dan peringatan hidup. Lebih jelas
lihat Fuad Nashori, Mimp...,hlm.5-6
33Herbert Marcuse, Cinta dan Peradaban, terj. Imam Baehaqi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.235.
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|125
sebagian seniman merupakan keindahan seni yang patut
untuk dipertontonkan. Mengumbar aurat di atas pentas atau
panggung merupakan keindahan, bahkan semakin minim
pakaian yang digunakan maka semakin seksi dan indah.
Bagian-bagian aurat yang tidak pantas untuk ditampilkan
menjadi pantas untuk dipamerkan atas nama seni dan
keindahan. Memperlihatkan aurat dalam Islam adalah
larangan yang harus dijalankan, tidak ada pembenaran
untuk mengatakan bahwa seseorang perempuan demi
keindahan seni dapat telanjang di depan umum. Begitu juga
dengan kaum laki-laki, semuanya memiliki batasan nilai
indah dan nilai akhlak yang sudah diatur dalam Alquran dan
hadis, yang harus diikuti. Nilai keindahan dalam Islam tidak
ditentukan oleh hawa nafsu atau keinginan subjektif
manusia, tetapi nilai kebaikan dan keindahan sudah
ditetapkan, dan kita sebagai umat muslim mengikutinya,
sebab nilai-nilai dalam Islam bersifat Universal bahkan
sangat rasional.
G.
Penutup
Nilai adalah ukuran yang diberikan kepada suatu
benda atau perbuatan yang diberikan dalam kategori baik
atau buruk, indah atau jelek, berguna atau tidak berguna.
Penilaian adalah hal yang senantiasa diberikan oleh
seseorang, tidak ada benda yang tidak dinilai, karena
dengan label nilai yang diberikan akan diketahui kualitas
dari benda atau perbuatan yang ada. Tanpa nilai maka tidak
akan pernah diketahui berguna atau tidaknya sesuatu dalam
kehidupan manusia. Begitu pentingnya persoalan nilai
sehingga banyak pemikir yang merumuskan tentang nilai
walaupun dalam perspektif yang berbeda.
Nilai senantiasa ditempatkan pada pengemban, baik
itu berupa benda atau perbuatan manusia, yang dilihat dari
aspek etika atau estetika. Nilai keindahan merupakan faktor
yang sangat dominan untuk mengetahui kualitas sesuatu.
Keindahan dapat dipancarkan dari suatu karya atau juga
126| Nilai dalam Wacana Filosofis
dari tingkah laku. Betapa indahnya gaya berbicara seorang
yang dalam dirinya sudah ada nilai seni. Sebab antara seni
dan keindahan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling
berkaitan. Pribadi yang santun akan menunjukkan sikap
hidup penuh keteraturan dan keindahan jauh dari arogansi
serta keburukan.
Harus diakui dalam penetapan nilai baik atau buruk,
nilai indah atau jelek, sesuai atau tidaknya dengan etika,
para filsuf masih berbeda pendapat dan belum memiliki
suatu kesepakatan. Ada filsuf yang berpendapat bahwa nilai
ditentukan secara subjektif tergantung pada orangnya dan
apa yang dirasakannya, ada juga yang berpendapat bahwa
nilai itu sangat objektif tidak tergantung kepada seseorang
akan tetapi nilai tersebut melekat pada nilai, sehingga orang
bisa mengatakan bahwa itu indah, karena memang benda
itu indah.
Berbeda dengan keindahan yang mengandung
ambivalensi dari berbagai kalangan pemikir di barat, Islam
justru menetapkan keindahan dengan ketentuan syariat dan
akhlakul karimah. Keindahan dalam Islam tidak berlawanan
dengan hukum yang telah ditetapkan, misalnya seorang
perempuan tidak boleh memperlihatkan auratnya
dihadapan umum, ketentuan ini berlaku umum bagi yang
namanya muslimah. Tidak ada pembenaran demi kreatifitas
seni maka memperlihatkan tubuh pada orang lain adalah
benar, yang namanya telanjang adalah perbuatan dosa yang
bernilai buruk.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Harold H.Titus,Living Issue in Philosophy, terj, Persoalanpersoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Herbert Marcuse, Cinta dan Peradaban, terj. Imam Baehaqi
,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Bab 3, Kedudukan Estetika dalam Filsafat Nilai
|127
Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala
Lumpur, 1992.
Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusomo,
Yogyakarta: Bentang, 1999.
Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: ITB, 2000.
John Dewey, Art as Experience, New York: Minton, Balsh &
Co.,1934.
Louis O, Kattsoff, Elements of Philosophy, terj. Pengantar
Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Oliver Leaman, Estetika Islam : Menafsirkan Seni dan
Keindahan, Bandung: Mizan, 2005.
Seyyed Hossein Nasr, Islam Antara Cita dan Fakta, terj.
Abdurrahman
Wahid
dan
Hasyim
Wahid,
Yogyakarta: Pusaka, 2001.
Syarif Iqbal, Tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf
Jamil, Bandung: Mizan, 1993
Risieri Frondizi, What is Value, terj. Cuk Ananta Wijaya
Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai
Interpretasi, terj.Masnur Hery dan Damanhuri
Muhammed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
128| Nilai dalam Wacana Filosofis
Bab 4
PANDANGAN PARA FILSUF TENTANG NILAI
A. Pandangan
Maskawaih
Filsuf
Islam:
Nilai
Menurut
Ibnu
Oleh: Ernita Dewi
1. Pendahuluan
Nilai-nilai ajaran akhlak merupakan suatu
kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, walaupun
pada kenyataannya masih banyak masyarakat Muslim
kurang menggali nilai-nilai ajaran akhlak. Ibnu Miskawaih
yang merupakan bapak etika Islam mencoba mempelajari
dan mengembangkan nilai-nilai ajaran akhlak melalui
pendidikan. Karena menurutnya, pendidikan merupakan
jembatan dan cara paling ampuh untuk mengembangkan
nilai-nilai akhlak. Pendidikan akhlak menurut Miskwaih
adalah jiwa, fitrah dan manusia, kebaikan dan kebahagiaan,
keadilan, persahabatan dan cinta, kesehatan jiwa serta
perannya pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran Miskawaih sesuai dengan al-Qur’an dan
Hadis. Konsep akhlak Ibnu Miskawaih didasarkan pada
konsepnya tentang manusia. Tujuannya adalah untuk
memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia agar
mencapai tingkatan manusia yang seimbang atau harmoni
(al-adalat), sehingga perbuatannya mencapai tingkat
perbuatan (af’al ilahiyyat). Perbuatan yang demikian adalah
perbuatan yang semata-mata baik yang lahir secara
spontan. Empat ajaran pokok Miskwaih tentang keutamaan
akhlak yaitu: kearifan (al-hikmah), sederhana (al-iffah),
berani (as-saja’ah), dan adil (al-adalah). Keempat pokok
ajaran Miskawaih ini adalah induk akhlak yang mulia.
Namun, Miskawaih menegaskan bahwa di antara semua itu,
yang tengah adalah bersifat terpuji dan yang ekstrem adalah
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|129
tercela. Sehingga, perlu usaha bagi manusia untuk
menumbuhkan sifat terpuji itu dalam diri manusia,
tujuannya adalah untuk menjalani hidup yang lebih baik.
2. Riwayat Hidup Maskawaih
Ibnu Maskawaih adalah seorang ilmuan hebat yang
dikenal sebagai filsuf, penyair dan, mendidik dan sejarawan.
Maskwaih dilahirkan di Ray, Persia (Iran sekarang) pada
sekitar 320 H/9M. pada era kejayaan Kekhalifahan
Abbasiyyah. Ibnu Maskawaih adalah seorang keturunan
Persia, yang konon dulunya keluarganya dan dia beragama
Majuzi dan pindah ke dalam Islam. Ibnu Maskawaih berbeda
dengan al-Kindi dan al-Farabi yang lebih menekankan pada
aspek metafisik, ibnu Maskawaih lebih pada tataran filsafat
etika seperti al-Ghazali.1
Sejarah dan filsafat merupakan dua bidang yang
sangat disenanginya. Sejak masih muda, ia dengan tekun
mempelajari sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi
pustakawan Ibnu al-‘Abid, tempat dia menuntut ilmu dan
memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya
Dengan kau melit. Tak hanya itu, Ibnu Miskawaih juga
merupakan seorang yang aktif dalam dunia politik di era
kekuasaan Dinasti Buwaih, di Baghdad. Ibnu Miskawaih
meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada
istana Pangeran Buwaih sebagai bendaharawan dan
beberapa jabatan lain.
Dia mengkombinasikan karier politik dengan
peraturan filsafat yang penting. Tak hanya di kantor
Buwaiah di Baghdad, ia juga mengabdi di Isfahan dan Rayy.
Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan
menulis. Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak
(etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang
lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, dan sejarah. Bahkan
1 Jalaluddin, dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 134
130| Nilai dalam Wacana Filosofis
dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu
Miskawaih inilah satu-satunya tokoh filsafat. Semasa
hidupnya, ia merupakan anggota kelompok intelektual
terkenal seperti al-Tawhidi and al-Sijistani. Sayangnya ia
harus menghembuskan nafas terakhirnya di Asfahan 9 Safar
421 H (16 Februari 1030 M).
3. Konsep Akhlak Menurut Ibnu Maskawaih
Akhlak merupakan hal yang paling utama yang
harus ada pada diri manusia, karena akhlak adalah tingkah
laku, tabi’at, atau sikap yang hadir atau lahir dari diri
seseorang. Itu disebabkan karena manusia diciptakan
Tuhan sebagai makhluk yang paling mulia, dan kemuliaan
manusia itu ditentukan oleh ketakwaan dan akhlaknya. Jika
takwa tidak dimiliki dan akhlak tidak dipunyai oleh
manusia, maka jangan harap kemuliaan itu akan hinggap
menjadi harkat dan predikat manusia. Kurangnya takwa
dan akhlak akan membuat predikat mulia turun menjadi
hina atau bahkan lebih hina dari binatang. Pendidikan
akhlak yang diintrodusir pertama kali oleh Ibnu Maskawaih
memiliki urgensi yang sangat signifikan dalam membentuk
kepribadian bangsa kedepan. Semua krisis kebangsaan yang
terjadi di dunia baik ekonomi, politik, dan sosial-budaya
sekarang karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka acuan
dan anutan.2
Akhlak menurut konsep Ibnu Maskawayh ialah
suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya
untuk berbuat tanpa berpikir dan mempertimbangkan
terlebih dahulu. Adapun tingkah laku manusia terbagi
menjadi dua unsur, yaitu unsur watak naluriah dan unsur
kebiasaan serta latihan. Meskipun Maskawayh dalam
beberapa hal sepakat dengan pemikiran Plato dan
Imam Tholkhah, Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan;
Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 244
2
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|131
Aristoteles, namun banyak pendapat keduanya yang ditolak
oleh Maskawayh diantaranya, pendapat yang mengatakan
bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Menurut Ibnu
Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi
terpuji dengan jalan pendidikan (tarbiyah al-akhlak) dan
latihan-latihan. Pemikiran seperti ini sejalan dengan Islam
yang secara eksplisit telah mendorong manusia kepada
syariat agama yang bertujuan untuk mengokohkan dan
memperbaiki akhlak manusia.3
Akhlak merupakan hal yang sangat penting dan
mendasar. Dengan akhlak dapat ditetapkan ukuran segala
perbuatan manusia, baik buruk, benar salah, halal dan
haram. Berbicara pada tatanan ahklak tentu tidak dapat
dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan
Allah yang semrna. Akhlak adalah mutiara hidup yang
membedakan mahkluk manusia dengan mahkluk hewani.
Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya
sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Oleh karena itu,
ahklak sangatlah urgen untuk manusia, urgensi ahklak ini
tidak dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perorangan,
tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara4. Islam merupakan agama yang sangat
menjunjung tinggi ahklak yang mulia. Bahkan diutusnya
Rasulullah ke dunia ini bertujuan untuk menyempurnakani
ahklak manusia. Rasulullullah Saw bersabda bahwa orang
yang sangat saya cintai dan yang paling dekat tempat
duduknya dengan saya diantara kalian adalah yang paling
baik akhlaknya5.
Akhlak fondasi yang kokoh bagi terciptanya
hubungan baik antara hamba dan Allah Swt dan antara
3 Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,hal:13.
4 Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar,… hal:13
5 Kamal al Hadari, Manajemen Ruh, Cahaya, Bogor, 2004, hal: 27
132| Nilai dalam Wacana Filosofis
sesama manusia. Akhlak yang mulia tidak lahir berdasarkan
keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi
membutuhkan proses panjang, yakni melalui pendidikan
akhlak6. Pendidikan akhlak merupakan permasalahan
utama yang selalu menjadi tantangan manusia sepanjang
sejarahnya.
Islam
telah
menetapkan
pentingnya
keseimbangan dan kesempurnaan dalam ahklak. Akhlak
dalam Islam merupakan sekumpulan prinsip dan kaidah
yang mengandung perintah atau larangan dari Allah.
Prinsip-prinsip atau keidah-kaidah tersebut dijelaskan oleh
Rasululullah Saw, dalam perkataan, perbuatan dan
ketetapan-ketetapan beliau yang mempunyau kaitan
dengan tasyri’. Untuk itu dalam mengarungi kehidupan,
setiap muslim wajib berpegang pada prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah tersebut7.
Maka tidak salah jika Ibnu Maskawaih yang
merupakan bapak etika Islam mengatakan bahwa akhlak
tidak bersifat natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu
diusahakan secara bertahap, antara lain melalui
pendidikan.8 Ibnu Maskawaih berpandangan bahwa
pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang
dimiliki manusia. Melalui pendidikan yang berlangsung
secara berkesinambungan sejak dari keluarga sampai ke
jenjang formal bersama dengan para pendidik, seorang anak
akan diberikan pemahaman tentang apa yang baik dan yang
buruk. Kebiasaan ini akan menjadi bagian hidup yang tidak
terpisahkan dari aktivitas kesehariannya, karena anak-anak
sudah mengerti apa alasan dia melakukan perbuatan
tersebut.
Ibnu Miskawaih telah merumuskan dasar-dasar
etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al6 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani Press,
Jakarta, 2004, hal: 9
7 Ali Abdul Hakim, 2004, hal: 81
8 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), hal. 221
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|133
A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak).
Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal
dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat
Islam,dan pengalaman pribadi.Menurut Ibnu Miskawaih,
akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti
peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan
diperhitungkan sebelumnya, sehingga dapat dijadikan fitrah
manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah
dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan
khuluq yang baik, menurutnya ada kalanya manusia
mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturanaturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait
sopan santun. Ibnu Maskawayh memperhatikan pula proses
pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya,
kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa
kebinatangan dan jiwa. Tugas orang dewasa adalah
menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan
jiwa kemanusiaannnya. ''Jiwa manusia pada anak-anak
mengalami proses pekembangan. Sementara itu syarat
utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan
syarat sosial,'' ungkap Ibnu Miskawayh. Sementara nilainilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada
aspek jasmai dan rohani. Maskawayh pun mengharuskan
keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah
ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah,suka
mengalah, mengutamakan kepentingan orang lain, rasa
wajib taat, menghormat kedua orangtua,serta sikap positif
lainnya.
Oleh karena itu, Ibnu Maskawaih menawarkan
konsep akhlak berdasarkan pada doktrin jalan tengah.
Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah The Doktrin of the Mean atau The
Golden, doktrin ini juga sudah dikenal oleh para filsuf
sebelum Ibnu Maskawaih. Ibnu Maskawaih secara umum
memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut
134| Nilai dalam Wacana Filosofis
antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni,
utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan
tetapi Ibnu Maskawaih cenderung berpendapat bahwa
keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi
tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan
masing-masing jiwa manusia. Dari sini terlihat bahwa Ibnu
Maskawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali
buat pribadi.9
Ibnu Maskawaih memulai membahas akhlak dengan
membahas mengenai jiwa, jiwa manusia menurutnya ada
tiga, yaitu: jiwa al-bahimiyah, al-ghadabiyah, dan annathiqah.10 Menurut Ibnu Maskawaih, posisi tengah jiwa albahimiyah adalah al-‘iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan
dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah
jiwa al-ghadabiyah adalah as-saja’ah atau perwira, yaitu
keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung
ruginya. Sedangkan posisi tengah dari jiwa an-nathiqah
adalah al-hikmah yaitu kebijaksanaan. Perpaduan ketiga
posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
Kesemua keutamaan akhlak tersebut merupakan pokok
atau induk akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya
seperti jujur, ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya
merupakan cabang dari induk akhlak tersebut.
Menurut Ibnu Maskawaih, al-‘iffah (menjaga diri),
as-saja’ah (keberanian), al-hikmah (kebijaksanaan), al‘adalah (keadilan) merupakan pokok atau induk akhlak
yang mulia. Doktrin ajaran tengah yang ditawarkan
Maskawaih sejalan dengan ajaran Islam, yaitu ayat al-Qur’an
yang
artinya:
“Dan
orang-orang
yang
apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak
9 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, TT), hal.
8
10 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 8
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|135
(pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yang demikian.”
Ibnu Maskawaih menegaskan bahwa setiap
keutamaan tersebut memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang
tengah bersifat terpuji dan yang ekstrem tercela. Dalam
menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut,
Ibnu Maskawaih tidak membawa satu ayat pun dari alQur’an, dan tidak pula membawa dalil al-hadits. Namun
demikian menurut Abd al-Halim Mahmud dan Al-Ghazali,
bahwa spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran
Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak
dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi isyarat untuk
itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros,
melainkan harus bersifat diantara kikir dan boros. Hal ini
sejalan dengan Q.S Al-Isra’: 29 yang berbunyi:11
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu dan jangan pula kamu terlalu
mengulurkannya, karena kalau demikian kamu
menjadi tercela dan menyesal.” (Q.S Al-Isra’ ayat 29)
Dengan dalil tersebut, walaupun Ibnu Maskawaih
tidak menggunakan dalil-dalil ayat al-Qur’an dan hadits
untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun
konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Doktrin jalan
tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang
mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya,
pada
tarik-menarik
antara
kebutuhan,
peluang,
kemampuan, dan aktivitas. Karena sebagai makhluk sosial,
manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti
gerak zaman. Yang menjadi pemicu perkembangan tersebut
adalah ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi,
dan lainnya. Ukuran akhlak tengah disini selalu mengalami
perubahan menurut perubahan ekstrem kekurangan
maupun ektrem kelebihannya. Ukuran kesederhanaan
11
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 9
136| Nilai dalam Wacana Filosofis
dibidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota
tidak dapat disamakan, dan juga dikalangan mahasiswa dan
dosen. Demikian juga pada tingkat kesederhanaan pada
masyarakat negara maju otomatis akan bebeda dengan
tingkat
kesederhanaan
pada
masyarakat
negara
berkembang. Dengan demikian, doktrin jalan tengah tidak
hanya memiliki nuansa dinamis saja tetapi juga fleksibel.
Karena itu, doktrin tersebut dapat berlaku terus-menerus
sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman tanpa
menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan
akhlak tentunya.12 Jadi, dengan doktrin jalan tengah,
manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
Karena dasar pemikiran Ibnu Maskawaih dalam
bidang akhlak, maka konsep pendidikan yang dibangunnya
pun adalah pendidikan akhlak. Baik itu tujuan pendidikan,
materi pendidikan, maupun semua hal yang berbau-bau
dengan pendidikan. Untuk yang pertama yang menjadi
sasaran Ibnu Maskawaih adalah membicarakan mengenai
tujuan pendidikan akhlak. Karena menurut Ibnu
Maskawaih, Tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya
sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga
mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
sejati dan sempurna. Dan tujuan pendidikan akhlak yang
diinginkan Ibnu Maskawaih bersifat menyeluruh, yakni
mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang
seluas-luasnya.13
Selanjutnya materi pendidikan akhlak, sesuai
dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu
Maskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi didikan yang memberi jalan bagi
tercapainya tujuan pendidikan. Materi-materi yang
dimaksudkannya diabdikan sebagai pengabdian kepada
12
13
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 10
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 12
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|137
Allah Swt. Sejalan dengan itu, Ibnu Maskawaih
menyebutkan tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai
materi pendidikan akhlaknya, yaitu: 1.) hal-hal yang wajib
bagi kebutuhan tubuh manusia, 2.) hal-hal yang wajib bagi
jiwa, dan 3.) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan
sesame manusia. Ketiga hal tersebut menurut Ibnu
Maskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis
besar dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi dua
kelompok. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pemikira (al-ulum al-fikriyah), dan Kedua, ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan indera (al-ulum al-bissiyat). Berbeda
dengan al-Ghazali, Ibnu Maskawaih tidak membedabedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya, antara ilmuilmu agama dengan ilmu umum, serta hukum
mempelajarinya.
Secara sepintas Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa
materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan
manusia antara lain shalat, puasa, dan sa’i.14 Selanjutnya
materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi
keperluan jiwa dicontohkannya dengan pembahasan akidah
yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesarannya,
serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi
yang terkait dengan kehidupan sosial manusia dicontohkan
dengan materi ilmu mu’amalat, pertanian, perkawinan, dan
lainnya. 15
4. Filsafat Moral Akhlak
Dalam bidang inilah Ibnu Miskawaih banyak di sorot
di karenakan langkahnya filsuf islam yang membahas
bidang ini..secara praktek etika sebenarnya sudah
berkembang di dunia Islam,terutama karena islam sendiri
sarat berisi ajaran tentang akhlak. Bahkan tujuan di utusnya
Nabi Muhammad saw. adalah untuk menyempurnakan
14
15
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 12-13
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh,… hal. 14
138| Nilai dalam Wacana Filosofis
akhlak manusia. Ibnu miskawaih mencoba menaiikan taraf
kajian etika dari praktis ke teoritis-filsufis,namun dia tidak
sepenuh nya meninggalkan aspek praktis.
Moral,etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih
adalah sikap mental yang mengandung gaya dorong untuk
berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan.Sikap mental
terbagi dua,yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal
dari kebiasaan dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak
jarang menghasilkan akhlak yang terpuji ; kebanyakan
akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih
dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu
Miskawaih sangat menekankan pentingnya pendidikan
untuk membentuk akhlak yang baik. Dia memberikan
perhatian
penting
pada
masa
kanak-kanak,yang
menurutnya merupakan mata rantai antara jiwa hewan
dengan jiwa manusia.16
Masalah pokok yang dibicarakan dalam kajian
akhlak
adalah kebaikan (al-khair),kebahagiaan (alsa’dah),dan keutamaan (al-fadhila). Kebaikan adalah suatu
keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan
kesempurnaan wujud. Kebaikan ada dua,yaitu kebaikan
umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah
kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya
sebagai manusia,atau dengan kata lain ukuran-ukuran
kebaikan yang di sepakati oleh seluruh manusia. Kebaikan
khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi.
Kebaikan yang kedua inilah yang di sebut kebahagiaan.
Karena itu dapat di katakan bahwa kebahagiaan itu
berbeda-beda bagi tiap orang.17
Ada dua pandangan pokok tentang kebahagian. Yang
pertama di wakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya
jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama
manusia masih berhubungan badan ia tidak akan
16
17
Syarif, Para Filsuf Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal 91
Syarif, Para Filsuf,… hal. 92.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|139
memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua di pelopori
oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan
dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait
dengan badan. Ibnu Miskawaih mencoba mengkompromi
kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya,karena
pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan,
maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan
badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika
di bandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang
bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan,
serta menghambat perkembangan jiwanya menuju
kehadirat Allah. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan
sempurna yang mampu mengantar manusia menuju
berderajat malaikat.18
Tentang keutamaan, Ibnu Miskawaih berpendapat
bahwa azas semua keutamaan adalah cinta kepada semua
manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat
tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih memandang
sikap uzlah (memencilkan diri dari masyarakat) sebagai
mementingkan diri sendiri. Uzlah tidak dapat mengubah
masyarakat menjadi baik walaupun orang yang uzlah itu
baik. Karena itu dapat dikatakan bahwa pandangan Ibnu
Miskawaih tentang akhlak adalak manusia dalam konteks
masyarakat.
Ibnu Miskawaih juga mengemukakan tentang
penyakit-penyakit moral. Di antaranya adalah rasa takut,
terutama takut mati, dan rasa sedih. Kedua penyakit itu
paling baik jika diobati dengan filsafat. Filsafat moral sangat
berkaitan dengan psikologi, sehingga Miskawaih memulai
risalah besarnya itu dengan moral/akhlak, Tahdzib alAkhlaq, dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Disini
pemaparannya kurang filsufis, tetapi snagat rinci. Masalah
peralihan dari psikologi ia menyamakan dengan
pembawaan-pembawaan ruh dengan kebajikan-kebajikan.
18
Syarif, Para Filsuf,… hal. 93.
140| Nilai dalam Wacana Filosofis
Sejauh ini, Miskawaih adalah Platonis, tetapi ia menjadi
Aristotelian dan menganggap kebajikan sebagai jalan
tengah diantara dua kejahatan. Ia menggunakan doktrin ini
untuk mengartikan empat kebajikan utama.19
Miskawaih juga membahas doktrin-doktrin yang
berlainan dan menyimpulkan dengan mengatakan bahwa
kita harus menolak ajaran yang mengatakan bahwa
kebahagiaan hanya dapat diperoleh setelah mati, dan
menekankan bahwa hal itu dapat pula dicapai di dunia ini.
Kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan
mengupayakan kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Kemudian, Miskawaih membahas tentang keadilan,
persahabatan dan cinta secara terinci tentang arti dari
ketiga hal tersebut. Hal yang menarik pada bagian ini adalah
tentang dua macam cinta, yaitu:
a) Cinta manusia kepada Tuhan, dan Cinta murid
kepada guru.
Cinta bagian pertama ialah cinta yang sangat sulit
dicapai oleh makhluk yang fana, dan cinta ini hanya
sebagian kecil saja yang mendapatkannya. Sedangkan untuk
cinta yang kedua, Miskawaih menyamakannya dengan cinta
anak kepada orang tuanya dengan cinta murid kepada
gurunya, dan ia berpendapat bahwa cinta yang terakhir ini
lebih mulia dan lebih pemurah, karena guru mengajar ruh
kita dan dengan petunjuk mereka kita memperoleh
kebahagiaan sejati. Guru adalah bapak ruhani dan orang
yang dimuliakan, kebaikan yang diberikan kepada muridnya
merupakan kebaikan Ilahiah, karena ia membawanya
kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang
tinggi dan menunjukkan kepada muridnya kehidupan dan
keberkatan yang abadi.20
19
20
Syarif, Para Filsuf,… hal. 94.
Syarif, Para Filsuf,… hal. 94.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|141
Orang yang bahagia dalah orang yang mempunyai
sahabat dan berusaha agar dirinya bermanfaat bagi mereka.
Miskawaih
mengutip
pendapat
Aristoteles
yang
mengatakan bahwa manusia itu membutuhkan teman
dalam hidupnya, dalam keadaan baik ataupun dalam
keadaan buruk.
Secara umum, tulisan Miskawaih tentang keadilan
bersifat Aristoteles. Meskipun baginya kebajikan ini
merupakan suatu bayangan dari keesaan Tuhan,
keseimbangan sejati. Misalnya, seorang raja adalah sebagai
Khalifah Tuhan, dan dapat melaksanakan kebijaksanaan
secara terinci sesuai dengan keadaan waktu dan tempat
tanpa merusak nilai-nilai kehendak Ilahiah. Aristoteles
mengakui kebajikan secara samar-samar dalam bentuk
kebebasan yang tidak sempurna. Ia berpendapat bahwa hal
itu berarti memberi orang-orang yang layak, dalam proporsi
dan waktu yang tepat. Sedangkan bagi Miskawaih, hal itu
merupakan keberlebihan terhadap keadilan dan dapat
menghilangkan segala kemungkinan meremehkan keadilan
itu sendiri, asalkan efek prasangkanya terbatas pada orang
yang baik, dan penerima itu sendiri merupakan suatu
pilihan yang layak untuk itu. Dengan demikian,
kemurahanhatian merupakan suatu bentuk keadilan yang
aman dari gangguan. Akhirnya, Miskawaih membahas
penyembuhan penyakit jiwa. Ia menyebutkan penyakitpenyakit yang paling penting; marah, bangga diri, suka
bertengkar, khianat, penakut, sombong, takut dan susah,
dan dikaitkan dengan cara-cara penyembuhannya.21
5. Jiwa Manusia dan Akhlak
Ibnu Miskwaih, dalam karyanya yang berjudul
Tahdzib al-Akhlaq menjelaskan bahwa tujuan penulisan
buku tersebut untuk mengembangkan nilai moralitas dalam
21
Syarif, Para Filsuf,… hal. 95.
142| Nilai dalam Wacana Filosofis
jiwa. Jalan terbaik dalam mewujudkan adalah memahami
terlebih dahulu seluk-beluk jiwa. Dalam konsepsi
Miskawaih, jiwa dilukiskan sebagai sesuatu yang bersifat
imateria, bukan bagian tubuh, tidak membutuhkan tubuh,
tidak dapat ditangkap oleh indera jasmani, dan merupakan
substansi sederhana. Ibnu Miskwaih membuktikan
kebenaran jiwa dengan mengemukakan argumentasi
adanya fakta tentang penerimaan atau rekaman kesadaran
manusia terhadap berbagai bentuk yang berasal dari bendabenda jasmani/emperik, dan juga terhadap ide-ide rasional
yang abstrak. Bila yang merekam atau yang menerima
bersifat jasmani, tentu hal tersebut mustahil terjadi, sebab
benda jasmani hanya dapat menerima satu bentuk dalam
satu waktu, dan hanya bisa dapat menerima bentuk-bentuk
yang berbeda pada waktu yang berlainan.22
Rekaman/penerimaan kesadaran diri manusia pada
bentuk-bentuk konkret dan abstrak berlangsung secara
berkesinambungan, dan tidak terjadi pergantian bentukbentuk lama dengan bentuk-bentuk yanag beru diterima.
Oleh karena itu, jelas bahwa yang menerima atau merekam
bukanlah sesuatu yang bersifat jasmani, melainkan
substansi yang immaterial yang dikenal dengan sebutan
jiwa.
Menurut Miskawaih, faktor yang membedakan jiwa
manusia dengan jiwa binatang ialah adanya potensi akal
dalam jiwa manusia, sedangkan potensi akal bukan untuk
dimiliki pengetahuan teoritis (memiliki gambaran yang
benar tentang realitas) dan pengetahuan praktis
(pengetahuan tentang perbuatan baik dan menghindari
perbuatan buruk). Kebaikan dan kebahagiaan manusia
terletak pada mengaktualnya potensi akal dalam jiwa secara
sempurna.
Manusia yang paling sempurna kemanusiaannya
ialah manusia yang paling benar aktivitas berpikir dan
22
Syarif, Para Filsuf,… hal. 45.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|143
mulia ikhtiarnya. Manusia paling utama ialah manusia
paling mampu mewujudkan perilaku yang membedakan
dirinya dari binatang. Karena itu, manusia wajib
bersungguh-sungguh mewujudkan kebaikan dan menolak
kejahatan. Dalam rangka mewujudkan kebaikan-kebaikan
itu, manusia perlu membangun kerja sama dengan manusia
lainnya. Demi tercapainya sebuah kerja sama, manusia
hanya saling mencintai dan menyadari bahwa
kesempurnaan kebaikan, dan kebahagiaan tidak tercapai
tanpa kebersamaan.23
Daftar Rujukan
Jalaluddin, dan Usman Said. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.
Imam
Tholkhah, Ahmad Barizi. Membuka Jendela
Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2004.
Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga. Pengantar Studi Akhlak.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Kamal al Hadari. Manajemen Ruh. Bogor: Cahaya. 2004.
Ali Abdul Halim Mahmud. Akhlak Mulia, Jakarta: Gema
Insani Press. 2004.
Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri
Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, TT.
Syarif. Para Filsuf Muslim. Bandung: Mizan, 1993.
23
Syarif, Para Filsuf,… hal. 45.
144| Nilai dalam Wacana Filosofis
B. Pandangan Filsuf Barat
1. Nilai Materialisme Dalam Perspektif Kalr Marx
Oleh: Ernita Dewi
a. Pengantar
Materialisme adalah aliran yang berpendapat bahwa
segala sesuatu yang ada adalah benda yang kongkrit dan
bukan abstrak. Suatu benda atau aktivitas dianggap
memiliki nilai karena ada manfaat secara materi.
Materialisme lebih mengarah pada kehidupan ekonomi,
sebab perhitungan yang muncul kemudian adalah materi,
sedangkan materi sangat identik dengan ekonomi, uang
dan kebendaan. Penekanan pada nilai materi mengarahkan
orang pada berpikir yang ada untungnya dengan
melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat spiritual.
Materialisme berasal dari bahasa Latin, yaitu materia
yang berarti bahan atau bahan untuk menyusun sesuatu.24
Secara istilah materialisme dapat diberi definisi dengan
beberapa cara: pertama, materialisme adalah teori yang
mengatakan bahwa atom materi sendiri yang ada, dan
materi yang bergerak merupakan unsur-unsur yang
membentuk alam, dan yang dikatakan akal, pikiran serta
kesadaran manusia, termasuk didalamnya segala proses
psikal (sesuatu yang tidak tampak, seperti jiwa, roh, ide)
merupakan
mode
materi
tersebut
dan
dapat
disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik atau materi yang
bergerak. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat
ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik.25 Oleh karena itu,
24 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hal. 586.
25 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz,
2006), hal. 39.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|145
materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya segala
sesuatu itu adalah bahan belaka atau materi.26
Diskursus tentang materilisme sudah lama
dikembangkan dalam kajian filsafat terutama sejak muncul
filsuf kealaman zaman klasik seperti Demokritos yang
mengatakan bahwa sumber dari segala sesutau yang ada di
dunia ini adalah atom-atom.27 Pemikiran Democritos
beranggapan bahwa atom adalah materi yang dapat
dijelaskan secara bendawi dan bukan sesuatu yang abstrak.
Paham tersebut terus berkembang hingga abad
modern. Dalam pandangan materialisme modern
menyatakan bahwa alam itu merupakan kesatuan materi
yang tidak terbatas, dan alam temasuk didalamnya segala
materi dan energi (gerak dan tenaga) selalu ada dan akan
tetap ada, dan bahwa alam adalah realitas yang keras, dapat
disentuh, material, dan objektif yang dapat diketahui oleh
semua manusia. Materialisme modern mengatakan bahwa
materi itu ada sebelum jiwa, dan dunia material adalah yang
pertama.28
b. Riwayat Hidup Karl Marx dan Karyanya
Karl Marx dikenal sebagai sosoknya sudah lama
tiada, tapi sampai detik ini pemikiran-pemikiran ekonomi
dan teori kemasyarakatannya sangat menginspirasi
berbagai kalangan diberbagai belahan dunia.29 Karl Marx
adalah salah satu tokoh materialisme abad 19 M, yang
mengembangkan paham ini secara mendalam dan
26 Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 62.
27 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hal. 55.
28 Atang Abdul Hakim, dkk, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hal . 363.
29 Frederick Engels, Tentang Kapital Marx, terj. Oey Hay Djoen, (
Bandung: Ultimus, 2006), hal. V.
146| Nilai dalam Wacana Filosofis
ekstrem30 dan pembangkit kembali materialisme dengan
memberi interpretasi dan hubungan baru dengan sejarah
manusia.31 Materialisme historis Karl Marx merupakan hasil
pemikiran ilmu yang terbesar yang pada dasarnya dari
dialektika Hegel. Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818 di
Jerman dan meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 1883 di
London. Ayahnya bernama Heinrich Marx dan ibunya
bernama Henrietta Philips32. Kedua orang tuanya berasal
dari keturunan Yahudi.33
Ketika Karl Marx masih remaja, ayahnya sangat
khawatir melihat kondisi anaknya. Karena Karl Marx
seorang putra yang luar biasa dengan kecerdasan yang
tajam dan cermerlang, Karl Marx juga memiliki sikap keras
kepala dan mau menang sendiri atau egois. Ayahnya takut
akan kondisi anaknya yang keras kepala, karena akan
mengundang permusuhan dengan orang lain, khususnya
orang penting. Meskipun demikian kondisi anaknya,
ayahnya selalu memberikan nasihat-nasihat untuk menjadi
anak yang beradap, sopan, dan tidak menentang
keradikalan pemikiran anaknya. Sedangkan ibunya, sangat
terkejut melihat kondisi anaknya yang radikal.34
Karl Marx masuk sekolah menengah pada tahun
1830 di Trier, ia sangat menguasai matematika dan teologi,
minat utamanya adalah sastra dan seni. Kecenderungan
Karl Marx terhadap sastra dan seni disebabkan adanya
pengaruh dari ayahnya dan teman akrab ayahnya, yaitu
Freiherr Ludwig von Westphalen35, yang pada akhirnya
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran..., hal. 63
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko,
dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 1018.
32 Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx, terj. Eri Setiyawati Alkhatap,
dkk., (Yogyakarta: Jejak, 2007), hal. 31.
33 Fadhli. “Formulasi Nilai Sosial Dalam Perspektif Karl Marx,”
Skripsi, ( Banda Aceh: Ushuluddin, 2001), hal. 11.
34 Isaiah Berlin, Biografi karl Marx..., hal. 28
35 Freiherr Ludwig von Westphalen adalah seorang pejabat
pemerintah Prussia terkemuka, dan ia menjadi bagian dari golongan
30
31
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|147
menjadi mertua Kalr Marx. Freiher, tertarik dengan
kemampuan yang luar biasa Karl Marx yang penuh
semangat, dan mendorongnya untuk membaca, serta
mengajaknya berjalan-jalan sambil berbagi-bagi ilmu.
Tulisannya pada masa remaja memperlihatkan jiwa
ketaatan
agama
Kristen
dan
kerinduan untuk
mengorbankan diri demi kepentingan kemanusiaan.36
Selesai dari sekolah Gymnasium, pada tahun 1835
Karl Marx melanjutkan pendidikan ke Universitas di Bonn
dengan belajar hukum, namun tidak begitu lama di
Universitas tersebut, ia menuju Berlin dan melanjutkan
pendidikannya di Universitas Berlin, juga mempelajari
hukum dan filsafat pada tahun 1836. Berlin merupakan
tempat ia banyak mempelajari masalah-masalah sosial dan
politik, serta masuk dalam pergerakan Young Hegelian
sayap kiri. Karl Marx masuk dalam suatu perkumpulan yang
disebut dengan Klub Doktor, yang anggota-anggotanya
dengan giat terlibat dalam kesusasteraan baru dan
pergerakan filsafat dan Karl Marx menjadi anggota yang
paling radikal. Klub Doktor memakai filsafat Hegel dalam
mengkritik berbagai hal, terutama sistem-sistem politik
yang otoriter dan menentang pengaruh agama Protestan di
Prussia.37 Klub Doktor yang dipimpin oleh Bruno Bauer,
seorang dosen muda dalam bidang teologi dan yang
mengembangkan pemikiran bahwa injil adalah bukan suatu
catatan yang bersejarah, akan tetapi catatan fantasi manusia
liberal dan terpelajar kelas atas Jerman, yang wakil-wakilnya dapat
ditemui digaris depan setiap gerakan yang tercerahkan dan progresif di
negara mereka pada paro pertama abad kesembilan belas. Isaiah Berlin,
Biografi Karl Max…, hal. 31
36 Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx..., hal. 31
37 Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003), hal. 47.
148| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan emosional manusia
dan Yesus bukan suatu person yang bersejarah.38
Kemudian ia memperoleh gelar doktor pada tahun
1841 di Universitas Jena dengan disertasinya tentang
filsafat Euphicurus dan Demokritus.39 Kemudian Karl Marx
beralih propesinya menjadi jurnalistik. Dalam usia dua
puluh empat tahun, yaitu pada tahun 1842 ia menjadi editor
surat kabar liberal Rheincih Zaitung di Cologne, ia rajin
menulis isu-isu sosial dan politik disurat kabar, tetapi
dianggap ia terlalu radikal dalam pemikirannya.40
Pada tahun 1843, Karl Marx menikahi Jenny Von
Westphalen seorang putri pejabat pemerintahan Prussia
terkemuka, yaitu Freiherr Ludwig von Westphalen.41
Setelah menikah mereka pergi ke Paris dan disinilah ia
berjumpa dengan Joseph Proudhon (1809-1865) dan
bersahabat dengan Friedrich Engels, sehingga menjadi
kawan seperjuangan seumur hidupnya dan Karl Marx
mengenal istilah materialisme historis adalah dari Engels
sendiri. Friedrich Engels (1820-1895) merupakan kawan
setia selalu membantu menanggung kebutuhan sehari-hari
keluarga Karl Marx maupun pembiayaan karya-karyanya
dalam persiapan dan penerbitannya dalam sejumlah
bahasa.42
Dari Paris, Karl Marx dibuang ke Brussels (Belgia)
pada tahun 1845 beserta keluarganya dan F. Engels
mengikutinya43. Tiga tahun kemudian pada awal revolusi,
Karl Marx dan keluarganya diusir dari Belgia dan pindah ke
London. London merupakan tempat tinggal sampai akhir
hidupnya. Di Belgia, Karl Marx dan Engels masih sempat
Fadhli, Formulasi Nilai Sosial..., hal. 12
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran..., hal. 154
40 Fadhli, Formulasi Nilai Sosial..., hal. 12
41 Isaiah Berlin, Biografi Karl Marx..., hal. 81
42
Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan
Ekonomi, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hal. 185.
43 Fadhli, Formulasi Nilai Sosial..., hal. 14
38
39
Pemikiran
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|149
menulis tulisan mereka yang paling terkenal, yaitu
Manifesto Komunis. Selama revolusi 1848, Karl Marx
kembali ke Jerman dan mendirikan sebuah harian atau
media masa. Tetapi akhirnya revolusi Eropa gagal dan Karl
Marx harus kembali ke London.44
Sebelum Karl Marx meninggal dunia, ia sering
mengalami kesakitan. Pada tahun 1882 setelah musim
dingin yang sangat hebat, dokter mengirim Karl Marx ke
kota Algiers, Afrika Utara, untuk penyembuhan. Ia
menghabiskan waktu selama satu bulan di Afrika Utara
yang teramat dingin dan basah. Kemudian Karl Marx
kembali ke Eropa dalam keadaan sakit dan lelah. Setelah
beberapa minggu sia-sia berkelana dari satu kota ke kota
lainnya di French Riviera untuk mencari sinar matahari, ia
pergi ke Paris dan tinggal beberapa minggu disana, dan
kemudian pergi ke London. Pada tahun berikutnya, tahun
1883, ia kembali jatuh sakit. Karl Marx meninggal dunia
ketika tidurnya, dalam keadaan duduk dikursi diruang
belajarnya. Ia dikuburkan dipemakaman Highgate dan
ditempatkan berdampingan dengan istrinya. Tidak banyak
yang hadir pada pemakamannya hanya anggota-anggota
keluarganya, beberapa teman pribadinya, dan wakil para
pekerja dari berbagai negeri.45
Karya tulis Karl Marx diantaranya, yaitu: pertama,
Philosophical and Economic Manuscripts dari tahun 1844,
juga disebut Naskah-naskah Paris, yang baru dicetak untuk
pertama kalinya pada tahun 1929 di Moskow. Didalamnya
Karl Marx menganalisis segi-segi utama keterasingan
manusia dalam pekerjaan. Dalam refleksi-refleksi itu
tampak apa yang sering disebut oleh Karl Marx, yaitu
humanisme atau suatu gambaran manusia sebagai makhluk
yang seharusnya bebas dan universal, individual dan sosial
serta alami. Naskah-naskah ini adalah tulisan Karl Marx
44
45
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 52
Ibid, hal. 288.
150| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang paling filsufis dimana nilai-nilai etis yang mendasari
seluruh karyanya. Naskah-naskah inilah yang mengubah
gambaran Marxisme tradisional, bahwa Karl Marx pertamatama harus dilihat sebagai ekonomi dan sosiologi yang
bebas nilai, yang tidak mempunyai keyakinan-keyakinan
filsufis dan etis. Sebaliknya, dalam naskah-naskah Paris itu
Karl Marx tampil sebagai pemikir yang dengan penuh
semangat
hendak
mengembalikan
manusia
dari
46
keterasingannya ke dalam keutuhannya.
Kedua, The Holy Family. Didalamnya Karl Marx
menyatakan dirinya berpisah dari teman-teman Hegelian
Muda. Pada masa Karl Marx masuk Klub Doktor, mereka
terpecah menjadi dua yang saling bertentangan, yaitu
Hegelian Kiri dan Hegelian Kanan. Dalam penilaian Karl
Marx, Hegelian Kanan merupakan idealistik atau religius,
karena mereka mencari akar keterasingan manusia dalam
cara berpikir, bukan dalam susunan sistem produksi yang
keliru, seperti sistem kapitalisme.47
Ketiga, pada tahun 1846 Karl Marx menulis karya
tulisnya bersama Engels dengan judul The German Ideologi.
Dalam karya ini, Karl Marx merumuskan perbedaannya
dengan Feuerbach (yang tetap dikaguminya) serta
menyerang Max Stirner (seorang anarkis dan individualis
ekstrem). Dalam karya ini, Karl Marx menegaskan bahwa
sosialisme, yaitu penghapusan hak milik pribadi, bukan
sekedar tuntutan etis, melainkan keniscayaan objektif. Karl
Marx mengklaim bahwa ia menemukan hukum yang
mengatur perkembangan masyarakat dan sejarah, dan
hukum itu adalah prioritas bidang ekonomi. Oleh kerena itu,
Karl Marx menyebut anggapannya dengan pandangan
sejarah yang materialistik. Mulai saat itu, Karl Marx
menganggap dirinya sebagai penemu sosialisme ilmiah,
artinya sosialisme yang tidak berdasarkan harapan dan
46
47
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 49
Ibid, hal. 50.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|151
tuntutan belaka, melainkan berdasarkan analisis ilmiah
terhadap hukum perkembangan masyarakat.48
Pada tahun 1848, Karl Marx menulis karyanya
bersama Engels yang sangat terkenal dengan judul
Manifesto Komunis. Dalam karya ini, menyatakan bahwa
sejarah perkembangan masyarakat dari awalnya adalah
sejarah yang berkisar pada pertentangan kelas dan
perjuangan kelas. Penafsiran Karl Marx tentang
perkembangan sejarah berkaitan dengan serangkaian
perjuangan antar kelas. Tiap perjuangan berlangsung akan
menghasilkan suasana baru dalam masyarakat, dan suasana
baru akan melahirkan suasana baru lagi.49
Dalam masyarakat kapitalisme, telah muncul kaum
borjuis sebagai kelas yang berkuasa. Memang banyak
kemajuan telah tercapai oleh masyarakat kapitalisme,
seperti dibidang produksi dan dalam hal peningkatan
produktivitas tenaga kerja manusia. Hal itu belum pernah
terjadi pada zaman sebelumnya. Walaupun begitu,
kapitalisme tidak mengurangi pemerasan terhadap tenaga
kerja, bahkan terus meningkatkan pemerasan para
pekerja.50
Oleh karena itu, perjuangan kelas akan terjadi dan
meninggkat. Kaum proletar sebagai kelas yang baru
merupakan akibat dari perkembangan kapitalisme sendiri
atau akibat ulah kapitalisme. Dalam tahap selanjutnya,
tekanan hidup memaksa kaum proletar untuk
meningkatkan perjuangan atas kepentingannya sendiri.
Kontradiksi menjadi semakin jelas antara besarnya
kemampuan berproduksi dalam sistem kapitalisme, namun
dipihak lain, kemampuan berkomsumsi kaum proletar
menjadi semakin terbatas. Kaum proletar ini terus-menerus
Ibid, hal. 51.
hal. 52.
50 Sumitro Djojohadikusumo, perkembangan Pemikiran..., hal.
48
49Ibid,
188
152| Nilai dalam Wacana Filosofis
dan menjadi semakin miskin. Dan pada akhirnya kaum
proletar akan memperjuangkan hak-hak mereka terusmenerus sampai pada akhirnya sistem kapitalisme akan
runtuh.51
Setelah karya Manifesto Komunis, pada tahun 1867
Karl Marx menerbitkan buku pertama dari karya utamanya
yang dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran
ramalannya tentang kehancuran kapitalisme dan
keniscayaan sosialisme, yaitu Das Kapital. Mekipun Das
Kapital mengecewakan banyak teman Karl Marx sendiri,
karena dianggap terlalu kering dan tidak jelas maksudnya.52
Dalam karya di atas, Karl Marx berbicara sebagai
seorang ahli ekonomi, yaitu ia berusaha memperlihatkan
bahwa cara produksi kapitalis dengan sendirinya mesti
membawa kapitalisme kepada keruntuhannya sendiri. Jadi
analisis ekonomi tentang kapitalisme merupakan dasar
pandangan Karl Marx tentang keniscayaan revolusi sosialis
dan pewujudan masyarakat komunisme tanpa kelas.53
Secara subjektif, setiap filsuf selalu berusaha
mencari atau memahami sesuatu yang disebut kebenaran.
Setiap para filsuf mungkin berbeda pendapat mengenai
definisi kebenaran sesuatu, tetapi pada tingkat apapun
definisi kebenaran, baik bersifat rasional maupun irrasional
itu merupakan sesuatu yang objektif. Sesuatu pengertian
yang menurut dia benar dan bekeinginan kebenarannya
diterima semua orang, hal ini sulit terjadi, karena setiap
orang memiliki pemahaman sendiri. Tidak ada seorang pun
yang akan sibuk dalam perburuan atau memahami filsafat,
jika ia mengira bahwa semua filsafat hanyalah ekspresi dari
akibat yang irrasional, tetapi kenapa para filsuf sibuk
memahami filsafat, justru adanya ekspresi lain untuk
memahami sesuatu, yaitu rasional. Semua filsuf akan setuju
51Ibid,
hal. 189.
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 54
53 Ibid, hal. 161.
52
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|153
bahwa setiap filsuf memiliki ekspresi atau alasan-alasan
yang ekstra-rasional masing-masing untuk memahami
sesuatu kebenaran, karena apa yang ia pahami belum tentu
yang lain memahaminya. Karl Marx percaya kepada
kebenaran doktrinnya sendiri dan tidak menganggap
doktrinnya hampa. Pada zamanya, ia melihat adanya kaum
pemberontak terhadap kaum lainnya. Apa yang bisa
dikatakan mengenai konflik ini, yaitu adanya pandangan
yang subjektif dan objektif tentang sesuatu.54
Karl Marx mengatakan dirinya materialis, tetapi
bukan jenis meterialis abad 18 M, yaitu hanya menafsirkan
dunia ini. Tipe materialis Karl Marx, katanya adalah yang
dibawah pengaruh Hegelian, yaitu filsafat dialektikanya.
Dalam ajaran Hegel, dialektis adalah bahan yang paling
utama. Dialektis berasal dari kata dialego yang artinya
membuat percakapan, polemik. Dalam proses berpikir
dapat dibagi tiga lapisan, yaitu pendapat, jawaban dan
persatuan. Persatuan itu merupakan pendapat baru yang
menuntut keberatan atau pendapat yang baru lagi.
Demikian proses itu berlangsung terus membimbing sampai
pengetahuan yang lebih terang. Proses itu dinamakan oleh
murid-murid Hegel dengan tesis, antitesis dan sintesis.55
Salah satu murid Hegel adalah Karl Marx.
Berbeda dengan materialisme tradisional atau yang
lama. Karl Marx mengatakan materialisme lama
menganggap keliru bahwa penginderaan adalah pasif, dan
menyamakan antara aktivitas atau subjek dengan objek,
ketika seseorang mengatakan secara objektifnya, saya
sanggup menganggkat seratus sak beras dalam jangka dua
puluh menit, maka hal ini objektif hanya dalam pikiran,
54 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, dan Kaitannya
Dengan Kondisi Sosio-politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit
Jatmiko, dkk., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 1022.
55 Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat
Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal.
164.
154| Nilai dalam Wacana Filosofis
padahal secara objektif atau praktis belum tentu benar.
Dalam pandangan Karl Marx, semua penginderaan atau
pencerapan merupakan interaksi antara subjek dan objek,
artinya penginderaan hal yang terpenting dalam memahami
sesuatu. Pertanyaan, apakah kebenaran objektif termasuk
dalam pemikiran manusia ataukah tidak, itu bukan
pertanyaan teoritis, tetapi pertanyaan praktis, demikian
kata Karl Marx. Kebenaran pikiran, yaitu realitas dan
kekuasaan, harus diperagakan dalam praktek. Karl Marx
mengatakan para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan
beragam cara, padahal tugas mereka sebenarnya adalah
mengubahnya. 56
Pemikiran Karl Marx tidak hanya dipengaruhi oleh
dialektika Hegel, tetapi juga dipengaruhi Feuerbach. Karl
Marx memakai istilah materi dalam pikirannya pada intinya
berasal dari ajaran Feuerbach seorang murid dari Hegel.
Feuerbach bermaksud atas segala pikirannya dalam
persoalan religius. Ia memandang manusia sebagai Tuhan
untuk manusia dan Tuhan adalah pikiran manusia. Manusia
dalam hakikatnya adalah makhluk yang bermasyarakat, dan
masyarakat dalam persatuannya dengan manusia yang lain,
manusia itu adalah makhluk yang sejati. Dari Feuerbach,
Karl Marx mengambil pikiran tentang humanisme yaitu citacita untuk melepaskan manusia dari perbudakkannya, dan
dari pikiran itu Karl Marx dibimbing ke sosialisme.
Feuerbach mengajarkan apakah manusia itu, yaitu hanya
makhluk yang berindra dan itu adalah realita yang sejati.
Semua yang disebut rohani dan spiritual yang umumnya
hanya ilusi manusia.57
Karl Marx juga terpengaruh dengan pemikiran
Joseph Proudhan (1808-1865) yang sangat membenci kaum
kapitalis. Proudhon menyatakan dalam sebuah pertanyaan
dan kemudian ia jawab sendiri, yaitu apa yang dimaksud
56
57
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat..., hal. 1020
Rustam E. Tamburaka, pengantar Ilmu Sejarah…, hal. 165
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|155
dengan kekayaan (what is property)? kekayaan adalah hasil
curian (property is theft). Kekayaan yang dimaksud oleh
Proudhon adalah kekayaan yang dimiliki kaum kapitalis.
Kekayaan tersebut pada hakikatnya merupakan hasil
rampokan dari kaum buruh, yaitu dengan menggaji mereka
dengan tingkat upah yang rendah. Pandangan Proudhon
inilah yang sesungguhnya menjadi dasar pemikiran Karl
Marx tentang kapitalis.58
Karl Marx sangat membenci sistem perekonomian
liberal-kapitalisme yang digagas oleh Adam Smit (17291790). Untuk menunjukkan kebenciannya Karl Marx
menggunakan berbagai argumen dalam membuktikan
bahwa sistem liberal kapitalisme itu buruk. Argumenargumen yang disusun Karl Marx dapat dilihat dari berbagai
segi, baik dari sisi moral, sosiologi maupun ekonomi.
Dari segi moral Karl Marx melihat bahwa sistem
kapitalisme mewarisi ketidak adilan dari dalam.
Ketidakadilan ini akhirnya akan membawa masyarakat
kapitalis ke arah kondisi ekonomi dan sosial yang tidak bisa
dipertahankan, walupun ada pengakuan bahwa sistem yang
didasarkan pada mekanisme pasar ini lebih efisien, sistem
ini tetap dikecam. Hal itu karena sistem liberal tersebut
tidak perduli tentang masalah kepincangan dan
kesenjangan sosial. Dengan menerapkan sistem upah besi
kaum buruh dalam sistem perekonomian liberalkapitalisme tidak akan pernah mampu mengangkat
derajatnya lebih tinggi, karena sebagaimana diucapkan Karl
Marx, yaitu pasar bebas memang telah mentakdirkannya
demikian. Untuk mengangkat harkat para buruh yang
sangat menderita dalam sistem liberal-kapitalisme tersebut,
Karl Marx mengajak kaum buruh untuk bersatu. Sistem
perekonomian liberal-kapitalisme harus digantikan dengan
sistem lain yang lebih memperhatikan masalah pemerataan
58 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi,
RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 72.
156| Nilai dalam Wacana Filosofis
(Jakarta:
bagi semua untuk semua, yaitu sistem perekonomian
sosialis-komunis.59
Dari segi sosiologi, Karl Marx melihat adanya
sumber konflik antar kelas. Dalam sistem liberalkapitalisme yang diamati Karl Marx, ada sekelompok orang
(para pemilik modal) yang menguasai kapital, dan dilain
pihak ada sekelompok orang lainnya (kaum buruh) sebagai
kelas proletar yang sepertinya sudah ditakdirkan untuk
selalu menduduki posisi kelas bawah. Karl Marx
mengatakan, jika tidak dilakukan sesuatu, maka jumlah
kaum nestapa ini akan semakin besar. Sebagai langkah
antisipasi, Karl Marx menganjurkan agar sistem liberalkapitalisme yang menyebabkan kaum buruh menderita
tersebut harus diperbaiki, atau lebih tepat lagi diganti
dengan sistem sosialis yang lebih berpihak kepada golongan
kaum buruh. Sistem perekonomian liberal-kapitalisme
harus diganti, karena sistem ini cenderung menciptakan
masyarakat berkelas-kelas, yaitu kelas kapitalisme yang
kaya raya dan kelas buruh yang sangat menderita. Karl
Marx tidak menginginkan bentuk masyarakat berkelaskelas seperti ini. Obat satu-satunya yang dapat dilakukan
dalam usaha menciptakan masyarakat tanpa kelas itu
adalah dengan memperjuangkan sistem sosialis atau
komunisme.60
Adapun pakar yang sangat mempengaruhi
pemikiran Karl Marx tentang ekonomi adalah Francois
Quesnaiy (1694-1774) dari Perancis yang bermazhab
physiokrasi. Physiokrasi berasal dari bahasa Yunani dan
merupakan penyatuan dari istilah physis yang artinya fisika,
ilmu alam dan cratos yang artinya kekuatan, kekuasaan.
Mazhab ini membela keadilan, karena pada zamannya
kehidupan kaum tani sangat tertekan, pajak-pajak yang
tinggi, berbagai macam kerja paksa, pungutan-pungutan
59
60
Deliarnov, perkembangan pemikiran..., hal. 73
Ibid, hal. 74.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|157
liar, semuanya itu dibebankan atas pundak rakyat
penduduk di sektor pertanian. Karl marx mengakui
Quesnaiy adalah pemikir yang pertama kalinya menyajikan
suatu gambaran secara mendasar mengenai proses ekonomi
dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Karl Marx
juga terpengaruh dengan David Ricardo (1772-1823) yang
bermazhab klasik. Karl Marx terpengaruh dengan teori
tentang nilai dan upah yang dikembangkan David Ricardo.61
Dari segi ekonomi, Karl Marx melihat bahwa
akumulasi
kapital
ditangan
kaum
kapitalisme
memungkinkan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang
tinggi. Akan tetapi, pembangunan dalam sistem kapitalisme
sangat bias atau menguntungkan terhadap pemilik modal.
Untuk bisa membangun secara nyata bagi seluruh lapisan
masyarakat, perlu dilakukan perombakan struktural melalui
rovolusi sosial. Jika langkah ini berhasil (sistem
komunisme), langkah berikutnya yang harus diambil adalah
penataan kembali hubungan produksi (khususnya dalam
sistem pemilikan tanah, alat-alat produksi, dan modal).
Menurut Karl Marx, hanya atas dasar hubungan yang lebih
manusiawi ini pembangunan dapat berjalan lancar tanpa
hambatan dan dapat diterima oleh seluruh lapisan rakyat.62
Karl Marx meramalkan bahwa suatu masa sistem
liberal-kapitalisme akan hancur. Sistem liberal-kapitalisme
hancur bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain, melainkan
karena keberhasilannya sendiri. Dalam penilaian Karl Marx
sistem liberal-kapitalisme mewarisi daya self destruction,
yaitu daya dari dalam yang akan membawa kehancuran bagi
sistem perekonomian liberal-kapitalisme itu sendiri. Bagi
Karl Marx sistem liberal-kapitalisme adalah suatu sistem
yang sudah busuk dari dalam dan tidak mungkin diperbaiki.
Sistem liberal-kapitalisme lebih menguntungkan mereka
61
Sumitro Djojohadikusumo, perkembangan Pemikiran..., hal.
62
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran..., hal. 74
13
158| Nilai dalam Wacana Filosofis
diatas penderitaan kaum buruh, hal wajar pada suatu saat
kaum buruh akan menyerang mereka. Untuk membawa
masyarakat pada kehidupan yang lebih baik, tidak ada jalan
lain. Menurut Karl Marx sistem liberal-kapitalisme tersebut
harus dihancurkan dan diganti dengan sistem yang lebih
manusiawi, yaitu sistem sosial-komunisme.63
Setelah kita melihat latar belakang pemikiran Karl
Marx diatas, ternyata Karl Marx memiliki tahap-tahap
perkembangan pemikiran dalam kehidupannya. Semua ahli
sependapat bahwa pemikiran Karl Marx mangalami
perkembangan ketika masa muda dan masa tuanya.
Pendapat paling keras tentang adanya perubahan radikal
dalam pemikiran Karl Marx, dikemukakan oleh Lois
Althusser dalam buku Paur Marx. Althusser berpendapat
bahwa diantara pemikiran Karl Marx masa mudanya dan
masa tuanya terjadi sebuah potongan atau perubahan
tajam. Karl Marx pra-1848 adalah humanis, dan Karl Marx
pasca 1845 adalah anti humanis atau ilmia. Pendapat ini
dipengaruhi oleh pandangan strukturalistik Althusesser
maupun oleh kecurigaan komunisme resmi terhadap filsafat
Karl Marx muda (Althusser waktu itu anggota komite
sentral partai komunis Perancis). Mayoritas para ahli
sebaliknya menekankan untuk kontinuitas dalam pemikiran
Karl Marx. Adanya kontinuitas untuk pertama kali
diutarakan dalam tahun 50 an oleh Jean-Tves Cavez SJ
dalam karya raksasa La Pensee de Karl Marx.64 Oleh karena
itu, jelas ada perkembangan dan perubahan dalam
pemikiran Karl Marx, tetapi perkembangan itu berjalan
dalam berkesinambungan.
c. Pengaruh Pemikiran Karl Marx
Konsep materialisme yang ada diatas telah
memberikan gambaran atau titik terang materialisme yang
63
64
Ibid, hal. 75.
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 6
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|159
dibangun oleh Karl Marx (1818-1883). Ia termasuk tokoh
yang mengembangkan materialisme yang lebih runcing dan
ekstrem yang sangat berpegang pada materialisme sejati.
Pemikiran Karl Marx sangat dipengruhi oleh filsafat Hegel
dan Feurbach dalam mengembangkan materialisme
historis. Dari Hegel, Karl Marx menerima ajaran dialektika
dan pendapat lain tentang hubungan rapat antara filsafat,
sejarah, dan masyarakat. Sedangkan dari Feurbach, Karl
Marx menerima ajaran tentang kecenderungan terhadap
kerohanian yang dapat dikembalikan kepada yang jasmani
dan pengarahan minat kepada manusia yang hidup di dalam
masyarakat. Marx menghubungkan rapat-rapat antara
filsafat dan ekonomi, yang paling penting baginya adalah
bertindak, bukan kehendak dan tahu saja. Tugas ahli pikir
adalah mengubah dunia, bukan menerangkan dunia.65
Dalam perkembangan filsafat materialisme Karl
Marx, ia mengembangkan konsep materialisme dialektika
dan melahirkan materialisme historis. Pada prinsipnya
materialisme dialektika dan materialisme historis
menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang berkenaan
dengan sejarah rohani dan perkembangan manusia,
merupakan akibat-akibat dan refleksi-refleksi kegiatan
ekonomis manusia. Inti materialisme dialektika adalah
pemutlakkan materi yang bergerak dalam waktu dan ruang
atau pengukuhan terhadap yang ada tanpa suatu sebab.
Kontradiksi yang dikukuhkan oleh teori ini hanya bisa
menjadi syarat kemungkinan perkembangan lebih jauh,
tetapi kontradiksi itu tidak dapat menjadi landasan
perkembangan yang memadai.66
Oleh karena itu, roh manusia tidak bisa menjadi
produk perkembangan alam secara murni yang naik dari
yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, karena roh
manusia mengandaikan suatu sebab yang memadai supaya
65
66
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran…, hal. 63
Lorens Bagus, Kamus filsafat…, hal. 597
160| Nilai dalam Wacana Filosofis
bekerja di dalam alam inorganis dan organis.67 Dan salah
satu prinsip materialisme dialektika ialah perubahan dalam
kuantitas dapat mengakibatkan perubahan dalam kualitas.
Artinya, bahwa suatu kejadian pada taraf kuantitatif dapat
menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru. Dengan cara
itulah kehidupan berasal dari materi mati dan kesadaran
manusiawi berasal dari kehidupan organis.68
Kemudian materialisme historis berpendapat bahwa
dinamika sejarah di tentukan oleh dialektika pada basis
material. Teori ini pada dasarnya atau refleksi berangkat
dengan titik tolak aliensi atau keterasingan. Pada abad ke 19
M, kaum pekerja tertekan dan diperas tenaganya serta
terasing dari dirinya sendiri dan dari masyarakat. Atas
dasar ini, Karl Marx beranggapan bahwa pengkomunisan
total segala cara produksi sebagai satu-satunya pemecahan
problem itu, sebab dengan cara ini keterasingan dapat
dihilangkan.69 Karl Marx, menyatakan manusia itu dianggap
manusia sejauh ia bermasyarakat dan manusia individu
yang hanya mementingkan dirinya sendiri tidak berarti,
seperti para penganut sistem kapitalisme. Masyarakat harus
berkembang dan perkembangannya disebut sejarah. Marx
berkeyakinan bahwa sejarah manusia menuju ke suatu
keadaan ekonomis tertentu, yaitu komunisme, dimana milik
pribadi akan diganti dengan milik bersama. Perkembangan
menuju fase sejarah ini akan berlangsung secara mutlak dan
tidak mungkin dihindarkan.70
Materialisme menurut Karl Marx mempunyai paham
bahwa alam semesta menurut sifatnya adalah material atau
terdiri dari materi ke materi. Materi itu benar-benar ada
dan hukum-hukumnya tidak dapat diketahui sepenuhnya
oleh manusia. Materi itu abadi, dalam arti tidak diciptakan
Ibid, hal. 600.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), hal. 159.
69 Lorens Bagus, Kamus filsafat…, hal. 604
70 Surajiyo, Ilmu filsafat…, hal. 160
67
68
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|161
oleh kekuatan lain. Pandangan ini sangat bertentangan
dengan ajaran Islam, Allah Swt menurut pandangan agama
adalah cretio ex-nihillo.71 Dalam pandangan dunia Ilahiah
bahwa keberadaan alam ini memiliki tujuan, bersandar
pada wujud yang memiliki perasaan dan berdasarkan pada
sebuah rancangan, sistem, serta perhitungan yang pasti.
Sedangkan dalam pandangan dunia materialisme bahwa
alam ini tidak didasari oleh rancangan sebelumnya, tidak
memiliki perancang yang berperasaan, tanpa tujuan dan
tanpa perhitungan.72
Pemikiran Karl Marx mempengaruhi kehidupan
jutaan manusia dan memberikan pengaruh dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat modern, khususnya pada
materialisme historis, sosiologi, ekonomi, filsafat.73 Ketika
usianya lima puluh tahun, gagasan-gagasannya menjadi
mapan. Karyanya Das Capital diterjemahkan kedalam
bahasa Rusia pada tahun 1872 dan dibaca secara luas oleh
orang, kemudian Karl Marx menjadi terkenal dan menikmati
kontak reguler dengan para teoritikus seluruh Eropa yang
berpikiran sejalan dengannya.74
Das Kapital adalah karya terbesar Karl Marx yang
merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam
sejarah dunia. Karya ini mengungkapkan sebuah pandangan
yang menyeluruh atas dunia dan sejarah dunia, yang
didalamnya faktor-faktor ekonomi dan kelas memainkan
peran yang menentukan sejarah kehidupan manusia. Karl
Marx merupakan tokoh yang memberikan pemahaman baru
terhadap ekonomi dan kelas dalam perubahan sosial. Tidak
ada pemikir serius pada masa kini yang tidak menganggap
pentingnya faktor ekonomi dan kelas, dan jika ada pemikir
71 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta:
Prenada Media, 2003), hal. 158.
72 Muhsin Qiraati, Mencari Tuhan, (Bogor: Cahaya, 2001), hal. 1.
73 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf Dunia Yang Mengerakkan,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 161.
74 Diane Callinson, Lima Puluh Filsuf…, hal. 162
162| Nilai dalam Wacana Filosofis
yang tidak menganggap faktor ekonomi dan kelas sebagai
perubahan sosial, maka ia bukan pemikir yang serius. Oleh
karena itu, para pemikir serius pada masa kini berutang
budi pada Karl Marx. Sebelum Karl Marx memberikan
pemahaman baru terhadap ekonomi dan kelas, jauh
sebelumnya jarang muncul pemikir yang memperhatikan
ekonomi dan kelas sebagai agen dalam perubahan sosial,
meskipun ada namun tidak seruncing dan seekstrem Karl
Marx. Ia berpendapat bahwa perubahan yang ada pada
kehidupan masyarakat disebabkan faktor ekonomi. Karl
Marx sangat mempengaruhi kita semua dan bukan hanya
mempengaruhi mereka yang sedang atau pernah menjadi
seorang Marxisme, dan karena pemikiran Karl Marx dunia
ini menjadi sebuah dunia yang berbeda, tidak hanya secara
objektif, tetapi juga dalam cara kita memandang dunia ini.75
Karya Karl Marx yang sangat berpengaruh juga adalah
The Communist Manifesto atau Manifesto Komunis. Dalam
karya ini, berisikan tentang pertentangan kelas. Menurut
Karl Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga
sekarang pada hakikatnya adalah pertentangan kelas. Sejak
zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak
yang terikat, dan pada zaman pertengahan ada tuan tanah
sebagai pemilik tanah dan hamba sahaya yang menggarap
tanah bukan kepunyaannya. Kemudian pada zaman modern
ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh
yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan.
Bahkan pada zaman modern ada masyarakat kelas kaya dan
kelas masyarakat tidak memiliki atau miskin. Menurut Karl
Marx, semua kelas-kelas masyarakat ini timbul sebagai hasil
dari kehidupan ekonomi masyarakat.76 Oleh karena itu,
dalam pengamatan Karl Marx, diseluruh dunia ini sepanjang
75 Bryan Magee, Memoar Seorang Filsuf: Pengembaraan di
Belantara Filsafat, terj. Eko Prasetyo, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005),
hal. 43.
76 Deliarnov, perkembangan pemikiran..., hal. 75
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|163
sejarah, kelas yang lebih bawah atau tidak memiliki sesuatu,
selalu berusaha untuk membebaskan dan meningkatkan
status kesejahteraan mereka dengan cara memperjuangkan
kelas mereka. Karl Marx meramalkan bahwa kaum proletar
yang terdiri dari para buruh akan bangkit melawan
kesewenang-wenangan kaum pemilik modal dan akan
menghancurkan kelas yang berkuasa.77
d. Nilai Materialisme Historis
Materialisme adalah yang berkeyakinan bahwa tidak
ada sesuatu selain materi itu sendiri, apa yang disebut
dengan pikiran, roh, kesadaran dan jiwa, tidak lain adalah
materi yang sedang bergerak.78 Dalam kajian filsafat nilai,
penempatan materi bagi sebab segala sesuatu yang bernilai,
tanpa materi Dalam kehidupan kemasyarakatan, satusatunya yang nyata adalah adanya masyarakat. Kesadaran
masyarakat yaitu ide-ide, teori-teori, dan pandanganpandangan masyarakat hanya mewujudkan suatu gambarcermin dari apa yang nyata. Ibarat kita bercermin, wujud
kita yang ada dalam cermin itu bukan yang nyata, tetapi
pantulan dari yang nyata. Oleh karena itu, dalam memahami
daya-daya pendorong dan perkembangan yang ada didalam
kehidupan kemasyarakatan, jangan berdasarkan daripada
ide-ide dan teori-teori masyarakat itu, sebab semuanya itu
hanya gambaran-gambaran dari hal yang nyata. Untuk
mencari daya pendorong kehidupan kemasyarakatan harus
berdasarkan materi, yaitu cara memproduksi barangbarang materi, seperti mesin dan alat-alat kerja lainnya.
Karena alat-alat produksi tersebut yang menentukan
perkembangan kehidupan kemasyarakatan.79
77Ibid,
hal. 78.
Lorens Bagus, kamus Filsafat..., hal. 593
79 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2..., hal. 121
78
164| Nilai dalam Wacana Filosofis
Adapun historis adalah ibarat pohon senantiasa
mendeskripsikan proses tumbuh dan berkembang dari
bumi ke udara atau dari bawa ke atas. Dalam proses tumbuh
dan berkembang tersebut, kemudian memunculkan cabang,
dahan, daun, kembang, bunga, dan buah.80 Historis
merupakan gambaran masa lalu tentang manusia dan
sekitarnya sebagai makhluk sosial yang disusun secara
ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut
dengan tafsiran dan penjelasan, yang memberikan
pengertian tentang apa yang telah berlalu. Dalam
pengertian lain, historis adalah salah satu bidang ilmu yang
meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan
perkembangan masyarakat dan kemanusiaan dimasa
lampau, beserta segala kejadiannya dengan maksud untuk
meneliti secara kritis. Dari seluruh hasil penelitian dan
penyelidikan tersebut, untuk dijadikan suatu bukti adanya
keadaan masa lampau serta melihat perubahannya pada
masa sekarang, dan bagaimana perkembangannya pada
masa akan datang.81 Dari pengertian historis tersebut, yang
menjadi hakikat historis adalah manusia, waktu, dan ruang.
Hanya dengan adanya manusia, waktu, dan ruang historis
bisa berproses. Tanpa adanya ketiga hal ini, maka sejarah
tidak ada.82 Oleh karena itu, materi adalah sesuatu yang
mempunyai waktu dan menempati ruang.
Penafsiran historis sebelum Karl Marx, sangat
beragam pengertiannya, yang dimulai dari sudut pandang
agama, politik, kepahlawanan, dan ide-ide. Dari sudut
pandang agama, historis ditafsirkan sebagai ketentuan Yang
Maha Kuasa, yaitu memandang perkembangan manusia
sebagai suatu rencana Tuhan dalam alam semesta.
Kesukaran pokok dalam penafsiran sejarah dari sudut
80 Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat, dan Sejarah, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2006), hal. 39.
81 Ibid, hal. 40.
82Ibid, hal. 42.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|165
agama terletak pada kenyataan bahwa kemauan Tuhan
tidak diketahui dan tidak akan dapat diketahui oleh
manusia dengan pengalaman langsung. Sementara Tuhan
hanya satu, dan penafsiran manusia mengenai Tuhan
beragam sudut pandang, ada yang mentiadakan dan ada
mengakui Tuhan. Rencana Tuhan terhadap umat manusia
adalah banyak dan berlainan,83 dan manusia tidak
mengetahui rencana Tuhan.
Dari sudut pandang politik, yang menentukan
kekuatan-kekuatan dalam historis adalah orang-orang
terpadang, seperti para raja-raja, pembuat undang-undang,
perperangan, orang pembuat perjanjian perdamaian dan
sebagainya. Oleh karena itu, tulisan-tulisan tentang historis,
sebagian besar adalah keterangan-keterangan tentang para
raja-raja, dewan perwakilan rakyat, peperanganpeperangan, dan perjanjian-perjanjian perdamaian. Dari
pandangan politis ini memiliki kekurangan, karena dengan
cara ini menimbulkan kecenderungan untuk terlalu
membesar-besarkan para penguasa atau pihak terpandang
yang dilakukan oleh sebagian orang terhadap mereka
(penguasa), sebab para penulis menyusun historis
kehidupan mereka seluruhnya. Politis dipandang oleh para
negarawan, kaum politisi, dan ahli-ahli pikir, sebagai satusatunya unsur yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Melalui penyelesaian-penyelesaian politis adalah jawaban
yang paling tepat bagi persoalan-persoalan kehidupan
manusia. Tetapi alam manusia dan persoalan-persoalan
kehidupannya lebih berbelit-belit daripada politik. Oleh
karena itu, politik hanya merupakan satu cara pendekatan
historis kehidupan manusia, dan politis bukan cara yang
83William
Ebenstein, Isme-isme yang Mengguncang Dunia:
Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme, (Yogyakarta: Narasi, 2006),
hal. 2.
166| Nilai dalam Wacana Filosofis
mendalam diantara banyak metode lainnya dalam
memahami kehidupan manusia.84
Salah satu tokoh abad 19 yang membahas dan
mengembangkan historis secara ilmiah adalah Karl Marx,
yang melihat dari sudut pandang ekonomi sebagai
penyebab perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dari
pengertian materi dan historis diatas dapat kita simpulkan
bahwa materialisme historis adalah suatu paham yang
menyatakan bahwa materi merupakan hal yang sangat
dibutuhkan oleh historis, karena tanpa ada manusia, waktu,
dan ruang, maka historis tidak bisa berproses untuk
berkembang. Historis sangat bergantung kepada materi.
Dalam materialisme historis diungkapkan bahwa manusia
hanya dapat dipahami selama ia ditempatkan dalam
konteks historis, dan manusia pada hakikatnya adalah insan
berhistoris.85
e. Pokok-pokok Konsep Materialisme Historis Karl
Marx
Ilmu historis merupakan konsepsi dasar yang
melihat manusia dan alam sebagai realitas yang berubah.
Perubahan ini terjadi karena adanya dialektika, seperti asalusul sesuatu pasti ada tujuannya, ada sebab dan ada akibat,
ada maju dan ada mundur, ada dasar-dasar dan ada relasirelasi. Sampai sejauh ini, konsepsi Karl Marx menunjukkan
bahwa, pertama, realitas manusia dan alam itu berubah
atau bersejarah, dan kedua, manusia adalah bagian dan satu
kesatuan dengan alam. Inilah pandangan dasar Karl Marx
yang membedakan dari semua filsuf dan ilmuwan modern.
Oleh karena itu, seperti ilmu alam yang telah diteliti dan
dipraktekkan sepanjang sejarah masyarakat manusia itu
84
85
Ibid, hal. 3.
Tojib84.
blogspot.com/2008/07/peta-pemikiran-karl-
marx.html
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|167
sendiri kemudian diwariskan dari generasi demi generasi
dengan pencapaian-pencapaian yang menonjol sejak zaman
Pencerahan Eropa, sejarah manusia yang masih samarsamar itu kemudian dibahas oleh Karl Marx sebagai suatu
ilmu, yaitu mengungkapkan dasar-dasar konseptual dan
metode yang bisa diterapkan pada semua kondisi historis
manusia. Seperti alam, masyarakat manusia kini mulai
dibahas secara konseptual dari sudut pandang sejarah.
Kritik historis ini sangat menentukan atau sebagai titik pijak
dari semua pemikiran Karl Marx. Kritik historis ini adalah
dasar Karl Marx dalam mengkritik pemikiran Hegel,
idealisme secara umum dan ekonomi politik dari para
pemikir ekonomi abad ke-18 dan 19 di Eropa.86
Konsepsi Karl Marx tentang historis bermula dari
prinsip bahwa produksi adalah dasar dari setiap tatanan
sosial, dan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas
ditentukan oleh apa yang dihasilkan dan bagaimana ia
dihasilkan, dan dipertukarkan. Dalil pokok yang digunakan
Karl Marx dalam menganalisa masyarakat ialah penafsiran
ekonominya tentang historis. Produksi barang dan jasa
merupakan yang membantu manusia dalam hidupnya, dan
pertukaran barang-barang dan jasa-jasa ini adalah dasar
dari segala proses dan lembaga-lembaga sosial. Karl Marx
tidak menuduh faktor ekonomi adalah satu-satunya yang
penting dalam proses pembentukan historis. Karl Marx
memang mendakwakan faktor ekonomi adalah yang
terpenting sebagai dasar untuk membangun superstruktur
kebudayaan, perundang-undangan, pemerintahan, dan
diperkuat oleh ideologi-ideologi politik, sosial, keagamaan,
kesusastraan, dan artistik yang sejalan. Secara umum, Karl
Marx melukiskan hubungan diantara kondisi-kondisi
materiil kehidupan manusia dan ide-ide manusia.
Sebagaimana pernyataan Karl Marx :
86
Hidayatullah, Materialisme Historis…, hal. 73
168| Nilai dalam Wacana Filosofis
“bukanlah kesadaran manusia yang menentukan adanya
mereka, akan tetapi sebaliknya. Adanya mereka dalam
kehidupan sosiallah yang menentukan kesadaran
mereka.”87
Sebelum Karl Marx, perubahan pokok dibidang
sosial sebagian besar dianggap sebagai perbuatan
pemimpin-pemimpin besar politik, perbuatan undangundang, dan kaum pelopor dalam membuat perubahanperubahan. Karl Marx menolak kebiasaan untuk meletakkan
titik berat pada kekuatan pribadi sebagai penggerak yang
utama dalam suatu perubahan sosial yang penting. Karl
Marx mencari teori perubahan sosial pada sebab-sebab
ekonomis yang tidak ada hubungannya dengan
keperibadian, dan bahkan menghapuskan sistem hak milik
pribadi. Dua konsepsi utama yang digunakan Karl Marx
sebagai pendekatan dalam perubahan sosial, yaitu pertama,
kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, hubungan
produksi. Konflik diantara kedua faktor ini merupakan
sebab yang lebih dalam dari perubahan dasar dibidang
sosial.88
Proses perubahan melalui konflik merupakan proses
dialektika. Menurut Karl Marx, pangkal dari semua
perubahan adalah dilakukannya pengisapan atau eksploitasi
para kapitalis terhadap kaum buruh. Pengisapan terhadap
kaum buruh tersebut telah memungkinkan terjadinya
akumulasi kapital dipihak pemilik modal, tetapi
menyebabkan kemiskinan dikalangan buruh. Dialektika
historis merupakan suatu keniscayaan, yaitu sesuatu yang
pasti bakal terjadi, dan yang jelasnya jika kaum buruh sudah
tidak tahan lagi mereka akan menghancurkan revolusi. Para
pekerja akan menghancurkan pabrik-pabrik an merusak
segala milik kaum pemilik modal.89
William Ebenstein, Isme-isme Yang Mengguncang…, hal. 6
Ibid, hal. 13.
89 Deliarnov, Perkembangan Pemikiran…, hal. 80
87
88
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|169
Secara pokok dapat dijelaskan bahwa pedomanpedoman dasar dalam konsep materialisme historis adalah:
pertama, landasan dasar setiap masyarakat terletak pada
tata susunan ekonominya. Khususnya hal itu yang
menyangkut perimbangan-perimbangan kekuatan yang
menentukan proses produksi. Landasan dasar dan tata
susunan ekonomi yang dimaksud menumbuhkan citarasa,
cara berfikir, perilaku, dan bahkan peradaban manusia
secara menyeluruh. Kedua, setiap tata susunan ekonomi
masyarakat terdiri atas golongan-golongan kelas, dan
masing-masing kelas menganut pandangan hidupnya
sendiri dan mempunyai kepentingannya sendiri. Ketiga,
perkembangan sejarah merupakan serangkaian tahapan
yang susul-menyusul dan berkisar hanya pada pergulatan
konflik antarkelas.90
Dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok konsep
materialisme historis Karl Marx dan sebagai ajaran yang
aslinya sebagai berikut:
1. Faktor yang paling penting yang menyebabkan
perkembangan historis, yaitu faktor ekonomi.91 Dari
basis ekonomi timbullah segala yang disebut rohani
dan
akibat-akibat
perbuatan
rohani,
seperti
kebudayaan, kesenian, agama, ide dan sebagainya,
semua itu dinamakan bangunan atas (uberbau).92
2. Basis ekonomi bergerak secara dialektis dan akibatakibat gerakan itu adalah pertentangan sosial, dan
selanjutnya pertentangan sosial itu menyebabkan
perjuangan kaum buruh terhadap kelas yang
menguasai mereka. Kemenangan perjuangan kaum
buruh memusnahkan pertentangan antar kelas-kelas
itu.
90
Sumitro Djojohadikusumo, perkembangan Pemikiran…, hal.
210
Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah…, hal. 166
Uberbau adalah proses kehidupan sosial, politik, dan
sprititual yang ditentukan oleh materi.
91
92
170| Nilai dalam Wacana Filosofis
Menurut Karl Marx, yang menjadi motor perubahan
dan perkembangan masyrakat adalah pertentangan antara
kelas-kelas sosial. Kelas-kelas sosial merupakan aktor
historis yang sebenarnya. Jadi yang menentukan jalannya
historis bukan orang-orang tertentu, seperti raja, pemilik
tanah, pemilik pabrik, melainkan kelas-kelas sosial yang
masing-masing memperjuangkan kepentingan mereka.
Kepentingan mereka bukan apa yang dikehendaki oleh
orang-orang tertentu, melainkan ditentukan secara objektif
oleh kedudukan kelas masing-masing dalam proses
produksi. Diumpamakan, sekelompok orang selalu
bertindak berdasarkan kepentingan mereka untuk
mempertahankan diri, maka kelas-kelas lain, yaitu kelas
atas tentu selalu berkepentingan untuk mempertahankan
kedudukan mereka, sedangkan kelas-kelas bawah
sebaliknya berkepentingan untuk mengubah situasi dimana
mereka tertindas. Karl Marx tidak beranggapan bahwa
seseorang secara buta mengikuti kepentingan kelasnya,
seakan-akan ia tidak mempunyai pendirian dan cita-cita
sendiri. Tetapi cita-cita dan tujuan-tujuan seseorang selalu
sudah bergerak dalam kerangka acuan visi kelas sosialnya,
dan visi itu ditentukan oleh kepentingannya sebagai kelas.93
Dalam pandangan Karl Marx, semua kelompok
masyarakat akan mengalami fase-fase perkembangan yang
dimulai dari komunisme primitif, perbudakan, feodalisme,
kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Dalam masyarakat
komunisme primitif (masyarakat persukuan), sosialisme,
dan komunisme, alat produksi merupakan milik bersama.
Dalam kelompok-kelompok tersebut tidak ada pengisapan
dari satu kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat lainnya. Namun, dalam tiga kelompok
masyarakat yang lain, yaitu perbudakan, feodalisme, dan
kapitalisme alat-alat atau modal produksi dimiliki dan
dikendalikan oleh suatu kelompok, sedangkan elompok
93
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 125
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|171
lainnya hanya sebagai pekerja. Dalam masyarakat seperti ini
sangat potensial terjadi pengisapan dari suatu kelas
masyarakat terhadap kelas masyarakat lainnya. Para tuan
akan menindas budak, para tuan tanah mengisap buruh
tani, dan para pemilik modal akan mengisap kaum buruh.94
Menurut Karl Marx, historis masyarakat manusia
adalah historis berbagai macam sistem produktif yang
berbasis eksploitasi kelas. Karl Marx mengatakan kita dapat
membagi historis setiap masyarakat ke dalam setiap masa,
dan setiap masa itu didominasi oleh mode produksi (caracara memproduksi) tertentu dengan hubungan ciri khas
kelas sendiri. Semua masyarakat sebenarnya akan melalui
semua tahap perkembangan ini dalam historis, yaitu yang
dimulai dari komunisme primitif, perbudakan, feodalisme,
kapitalisme, sosialisme dan kelak semuanya akan menjadi
komunisme. Namun, tidak semua masyarakat berevolusi
dengan kecepatan yang sama. Itulah sesabnya mengapa
pada suatu masa tertentu dalam historis berbagai
masyarakat menunjukkan mode produksi yang berbedabeda, atau berbagai masyarakat tersebut berada pada tahap
perkembangan historis yang berbeda-beda.95
Kemajuan teknologi membawa berbagai perubahan
dan perkembangan dalam kehidupan manusia, dan bahkan
teknologi mampu menciptakan kelas baru dalam
masyarakat. Teknologi memiliki kekuatan dan kekuasaan
untuk merombak institusi yang bergerak lamban tersebut.
Terciptanya kelas baru tentu sesuai dengan kemauan dan
keinginan para perombaknya, yaitu mereka yang menguasai
kekuasaan. Adanya kelas baru yang tercipta, maka untuk
sementara keadaan kehidupan penguasa akan membaik,
meskipun para pekerja menderita, mau tidak mau mereka
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran…, hal. 83
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori
Fungsionalisme Hingga Postmodernisme, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2009), hal. 79.
94
95
172| Nilai dalam Wacana Filosofis
tunduk kepada penguasa demi kelangsungan hidup. Akan
tetapi, kemudian teknologi kembali bergrak lebih cepat
melebihi gerak institusi yang ada. Contoh, ketika fase
feodalisme dimana pada awalnya para pekerja dengan
mudah mendapatkan tanah yang disewakan dari tuan tanah,
namun pada akhirnya sangat sulit untuk mendapatkan
tanah dari tuan tanah, dikarenakan pada saat itu juga
teknologi berkembang. Akibat dari kecepatan teknologi
bergerak, maka timbul lagi kelas masyarakat baru, yang
pada gilirannya akan melakukan perombakan terhadap
institusi yang ada, sesuai yang mereka inginkan. Proses
seperti ini akan berjalan terus-menerus. Menurut Karl Marx,
gerak dari proses ini pasti, niscaya, tidak dapat ditahan,
sehingga akhirnya sampai pada tahap atau fase paling tinggi
yang disebutnya komunisme penuh.96
Setelah melihat tahap-tahap perkembangan
masyarakat yang tertera diatas, apa yang menjadi hukum
perkembangan masyarakat tersebut.
Hukum umum
perkembangan masyarakat adalah suatu hukum yang
objektif. Hukum itu timbul dan berlangsung secara objektif
didalam masyarakat, dan diluar kesadaran dan diluar
kemauan manusia. Berlangsung dan terlaksananya hukum
perkembangan masyarakat tidak bisa dihindari, dan tidak
bisa ditolak oleh manusia dengan kekuatan apapun. Hal ini
telah menjadi kepastian sejarah dalam proses
perkembangan masyarakat.
Hukum
perkembangan
masyarakat dimulai dari proses kebutuhan hidup manusia
yang pokok, yaitu mempertahankan dan melangsungkan
hidup dalam proses kehidupan dan perkembangan
selanjutnya.97
96Ibid,
hal. 85.
97http://lenterarakyat.blogspot.com/2009/02/materialisme-
historis.html
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|173
f.
Ekonomi Kapitalisme Dalam Pandangan Karl Marx
Pada dasarnya munculnya ilmu ekonomi sebagai
ilmu pengetahuan yang mandiri adalah berkaitan erat
dengan sejarah munculnya kapitalisme modern, yaitu
sekitar akhir abad ke-18 M. Dengan demikian ilmu ekonomi
sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri,
keberadaanya masih relatif baru.98 Kapitalisme modern
bermula dari kekuasaan dan penipuan terhadap para kaum
buruh Inggris, yaitu dari tanah mereka (kaum buruh)
didirikan pabrik-pabrik yang ditentukan oleh revolusi
industri. Para orang kaya besar pemilik pabrik-pabrik
pemintalan tekstil meraup keuntungan dari eksploitasi,
yang dimulai dari anak-anak kecil dan perempuan, lalu
kaum laki-laki dewasa.99
Dalam pandangan Karl Marx kegiatan manusia yang
paling penting adalah kegiatan ekonomi,100 karena dengan
ekonomi manusia dapat menjalankan perkembangan dalam
kehidupannya. Ekonomi dipandang baik apabila tidak ada
kesenjangan dalam memperoleh keuntungan, dan
pengisapan terhadap orang lain. Ekonomi kapitalisme
merupakan sistem pengisapan terhadap orang lain. Oleh
karena itu, Karl Marx sangat memusuhi sistem ekonomi
kapitalisme. Sebagaimana yang kita ketahui, dari segi proses
kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui
satu hukum, yaitu hukum tawar-menawar di pasar. Jadi,
kapitalisme adalah ekonomi yang bebas, yaitu bebas dari
berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain, orang
boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun.
Kemudian bebas dari pembatasan-pembatasan produksi,
artinya orang bebas mengerjakan dan memproduksikan apa
pun yang dikehendakinya. Bebas dari pembatasan tenaga
98 Edilius, dkk., Pengantar Ekonomi Perusahaan (Jakarta: Rineka
Cipta, 1992), hal. 1.
99Robert Lekachman dan Borin van Loon, Kapitalisme: Teori…,
hal. 170
100 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial…, hal. 77
174| Nilai dalam Wacana Filosofis
kerja, orang boleh mencari pekerjaan dimanapun, dan tidak
terikat pada tempat kejanya. Dalam sistem kapitalisme para
pemilik pabrik, industri dan lainnya, bebas membayar upah
para pekerja sesuai dengan kehendakknya.101
Hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi
persaingan, produksivitas produksi harus ditingkatkan
terus-menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan
serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah
mungkin, dengan demikian lama kelamaan semua bentuk
usaha yang diarahkan secara tidak murni keuntungan akan
kalah, dan itu berarti bahwa hanya usaha-usaha besar yang
dapat berkuasa, dan toko-toko dan perusahaan-perusahaan
kecil tidak dapat menyaingi efisiensi kerja, kecuali usahausaha yang besar. Lama kelamaan semua bidang produksi
maupun pelayanan dijalankan secara kapitalistik. Semua
yang dijalankan secara iseng-iseng dan sampingan, misalnya
membuka biro perjalanan, akan dijalankan dengan semakin
efisien, dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh usahausaha besar. Maka usaha kecil akan dimakan oleh yang
besar. Sungguh meggegerkan kita sistem kapitalisme yang
mementingkan kekayaan sendiri melalui persaingan yang
tidak sehat, apakah ini bukan sebuah bentuk penghianatan
terhadap yang lain. Dari persaingan ini nampak bahwa
kapitalisme ingin menghilangkan kelas-kelas yang
banyak.102
Begitu pula kelas petani lama-kelamaan akan hilang.
Pertanian menjadi usaha produksi hasil pertanian. Hanya
usaha besar yang dapat bertahan dan mampu
mengorganisasikan pertanian secara kapitalistik, karena
mereka memiliki modal yang banyak. Akhirnya tinggal dua
kelas sosial saja, yaitu para pemilik modal besar, yang
mereka berjumlah sedikit dan kelas buruh. Sementara itu,
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 163
Karl Marx, Das Capital, Volume 3, terj. Samuel Moore dan
Edward Aveling, (New York: International Publishers, 1967), hal. 222.
101
102
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|175
kelas buruh pun mengalami perkembangan. Kelas buruh
bertambah terus, karena kebanyakan anggota kelas
menengah yang kehilangan dasar eksistensi mereka, yaitu
tidak dapat bertahan dalam persaingan dengan modal besar
dan akhirnya bangkrut, lalu mereka masuk ke dalam kelas
buruh.103
Akibat dari sistem kapitalisme ini, kelas menengah
(para pemilik modal yang sedikit) menjadi semakin sadar
akan situasinya, akan ekploitasi yang mereka derita, dan
situasi mereka sebagai kelas proletariat. Pada mulanya para
buruh belum mempunyai kesadaran kelas. Mereka
berhadapan dengan kaum kapitalis sendiri-sendiri. Mereka
bersaingan satu sama lain dalam mencari tempat kerja.
Tetapi pengalaman bersama dalam memperjuangkan
kepentingan mereka terhadap para kapitalis menjadi kaum
buruh semakin sadar bahwa mereka merupakan satu kelas
senasib sepenanggungan. Buruh tidak lagi merasa diri
sebagai tukang kayu, tukang cat, tukang tani melainkan
sama-sama buruh. Konflik antara buruh dan pemilik modal
tidak lagi bersifat lokal, melainkan regional dan nasional.
Kaum buruh memperjuangakan kepentingan mereka
bersama-sama. Maka kesadaran bahwa mereka merupakan
satu kelas yang mempunyai misi perjuangan bersama
semakin kuat.104
Oleh karena itu, sistem ekonomi kapitalisme sangat
dibenci oleh Karl Marx, dan untuk menunjukkan
kebenciannya, ia menggunakan berbagai argumen
membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalisme itu buruk.
Argumen-argumen itu mencakup dari segi moral, sosiologi,
dan ekonomi. Dari argumen-argumen tersebut Karl Marx
meramalkan bahwa kapitalisme akan hancur, dan yang
menghancurkannya adalah Undang-undang perkembangan
dan perubahan sosial yang tidak kenal ampun, yaitu kaum
103
104
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx..., hal. 166
Ibid, hal. 166.
176| Nilai dalam Wacana Filosofis
buruh akan menyerang kaum pemilik, dikarenakan mereka
tidak tahan lagi atas sewenang-wenang kaum pemilik modal
terhadap mereka. Karl Marx mula-mula menggunakan teori
penggali kubur, yaitu semakin berhasil kapitalisme, dan
semakin kuat organisasi perusahaan kapitalis, akan tetapi
semakin tidak dapat dielakkan pula terciptanya penggali
kubur sendiri, karena kaum proletar yang sadar akan
keadaan mereka, sehingga menyerang dan mengahancurkan
para pemilik modal besar.105
g. Sangahan Terhadap Materialisme Historis Karl
Marx
Dengan memahami penafsiran ekonomis Karl Marx,
menambah pemahaman kita tentang historis. Sesungguhnya
tidak mungkin menulis tentang sejarah dengan tidak
memberikan sedikit perhatian sekurang-kurangnya
terhadap hubungan kekuatan-kekuatan dan konflik-konflik
ekonomis dengan soal-soal politik, militer dan internasional.
Oleh karena itu, interpretasi ekonomis Karl Marx
mempunyai kekurangan yang sama dengan teori-teori
pemikir lainnya, Karl Marx dalam anggapannya seakan-akan
telah menemukan kunci utama bagi penafsiran sejarah,106
yaitu hanya melalui faktor ekonomi. Karl Marx mengatakan
ekonomi merupakan kunci paling utama dalam historis
kehidupan dan perkembangan masyarakat manusia. Apabila
diperlukan hanya satu faktor, apakah faktor agama,
peperangan, politik, ekonomi, dan lainnya, untuk melakukan
penafsiran dan penggambaran tentang sesuatu historis
masyarakat, yang seharusnya lebih tepat dilakukan dengan
beberapa faktor, maka penafsiran akan terbukti terlalu
berat. Tidak pernah ada satu faktor yang dengan sendirinya
lebih berpengaruh disepanjang sejarah, tetapi faktor
105
106
William Ebenstein, Isme-isme Yang Mengguncang…, hal. 28
Ibid, hal. 8.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|177
manakah yang lebih penting dalam suatu keadaan tertentu,
apakah faktor ekonomi, agama, politik yang lebih
berpengaruh. Bukanlah hal mudah dalam menjelaskan satu
keadaan dengan cara banyak faktor. Karl Marx dalam
konsep materialisme historisnya yang menjadi faktor utama
perkembangan kehidupan masyarakat adalah faktor
ekonomi, dan bukan faktor yang lain, seperti politik, perang,
pemerintah, dan lainnya, mekipun ada pengaruhnya dari
berbagai faktor tersebut.107
Terlepas
dari
masalah
di
atas,
penulis
mencantumkan salah satu dari banyak para pengkritik Karl
Marx, yaitu Jurgen Habermas (1929-).108 Tidaklah
berlebihan kiranya jika dikatakan Habermas adalah salah
seorang kritikus Karl Marx yang paling radikal dalam
mempersoalkan inti teoritis dari seluruh Marxisme. Dalam
pandangan Habermas, Karl Marx banyak belajar dari Hegel.
Filsafat Hegel mengandaikan adanya hubungan dialektis
Ibid, hal. 9.
Jurgen Habermas adalah tokoh yang banyak mewarisi idealideal modern Pencerahan. Ia adalah pembela gigih dari kebaikan dan
kesinambungan pemikiran modernis untuk masa kini, dan menolak
pembantaian oleh post-modernisme kemungkinan manusia mencapai
kemajuan melalui kebenaran. Bagi Habermas, kita dapat dan harus
memelihara kepercayaan terhadap Pencerahan dalam kekuasaan
rasionalitas manusia untuk mendorong kemampuan kita untuk
mengetahui berbagai hal dengan pasti, karena dalam kemampuan dasar
kita sebagai manusia untuk berbicara satu sama lain kita memiliki rasio
untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang
ditemukan ketika berkomunikasi. Hebermas mengatakan bahwa kita
tidak dihambat oleh kebudayaan, dan tidak jadi soal betapa beragam latar
belakang kebudayaan kita, tidak jadi soal betapa besar perbedaan
pengalaman hidup kita. Manusia selalu mempunyai satu hal yang sama,
yaitu kemampuan kita yang unik menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi. Habermas mengatakan bahwa selama kita bersungguhsungguh dalam keinginan untuk melakukan sesuatu, kemampuan
berkomunikasi melalui bahasalah yang selalu memberikan kemampuan
kepada kita untuk saling mengerti satu sama lain, lintas budaya, dan
membangun komunitas moral lintas budaya. Pip Jones, Pengantar TeoriTeori Sosial..., hal. 232
107
108
178| Nilai dalam Wacana Filosofis
antara subjek dan objek pengetahuan dalam sebuah
pengetahuan sejarah. Dalam wawasan Hegelian ini, menurut
Habermas teori Karl Marx yang sebetulnya bersifat historis
dengan alasan: Pertama, Karl Marx memandang masyarakat
sebagai sebuah totalitas, yang memandang aspek sosial dan
ekonomi secara integral. Kedua, masyarakat juga dipandang
sebagai proses historis yang dialektis. Ketiga, dalam
pemikiran Karl Marx, teori dan praktis terpadu atau
bersatu.109
Habermas mengatakan bahwa status kritis dari teori
sosial Karl Marx adalah berdiri diantara filsafat dan ilmu
pengetahuan. Teori Karl Marx menjadi kritis karena
mengaitkan kritik dengan krisis objektif (penghisapan
terhadap kaum buruh), dari hal ini lalu menjadi jelas bahwa
teori Karl Marx betul-betul mau memberi basis empiris
pada filsafat.110 Maksud dari teori Karl Marx ini adalah
untuk mengatasi krisis di abad 19, yaitu krisis ekonomi
yang bersifat objektif.111 Pada abad 19 dimana industriindustri telah banyak menyengsarakan rakyat banyak
(kaum buruh).
h. Pandangan Islam terhadap Nilai Materialisme
Setelah melihat bagaimana konsep materialisme historis
Karl Marx yang dibahas diatas, maka pada pembahasan ini
penulis mengkaji bagaimana pandangan Islam terhadap
materialisme historis Karl Marx. Materialisme dalam
memperoleh kesadaran dan pengetahuan hanya bersandar
pada indera. Segala apa yang tidak dapat dicapai oleh indera
dengan penglihatannya dianggap tidak ada, dan segala
sesuatu yang tidak dapat diterima akal yang merupakan
potensi fundamental indera mustahil akan menjadi objek
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat…, hal. 58
Ibid, hal. 59.
111 Ibid, hal. 62.
109
110
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|179
ilmu pengetahuan secara objektif.112 Pemikiran dalam
pandangan materialisme merupakan sebagai refleksi materi
dan salah satu pengeluaran darinya (materi). Oleh karena
itu, aliran ini menafikan dan menolak peranan langit, yaitu
agama dan wahyu dalam alam pikiran.113
Karl Marx memandang segala sesuatu diluar materi,
seperti agama, wahyu, ide adalah akibat dari materi itu
sendiri atau materi yang sedang bergerak. Materi yang
hubungannya dengan kehidupan manusia, yang disebut
oleh Karl Marx dengan materialisme historis. Materialisme
historis memandang manusia itu mengalami perubahan dan
perkembangan yang diakibatkan oleh materi (ekonomi).
Dari setiap fase perkembangan manusia itu berbeda-beda
dalam sistem ekonomi masyarakatnya, yaitu sistem
persukuan, perbudakan, feodalisme, kapitalisme, dan
komunisme. Karl Marx mempelajari dari berbagai fase
perkembangan itu, ia mendapatkan sebuah masalah, yaitu
penghisapan terhadap kaum buruh oleh pemilik kekayaan.
Oleh karena itu, Karl Marx tidak hanya tinggal diam saja
melihat kondisi ini, tetapi ia memberikan kritikan-kritikan
yang tajam terhadap sistem ekonomi yang merugikan
sepihak. Karl Marx sadar akan hal setiap perkembangan dan
perubahan masyarakat, dengan menyatakan mau tidak mau
masyarakat tetap mengalami dan melalui tahap-tahap fase
perkembangan itu, dan hal ini merupakan proses sejarah.
Dengan kritikan yang tajam, Karl Marx menghapuskan hak
milik pribadi, kelas-kelas sosial, sehingga pengisapan dan
kecurangan sosial lainnya terhapuskan, dan hal ini
merupakan cita-cita Karl Marx dalam konsep materialisme
historisnya.
Apakah mungkin hak-hak milik pribadi dan kelaskelas sosial akan terhapuskan dipermukaan bumi ini?
Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam, (Jakarta: Media
Da’wah, t.t.), hal. 72.
113 Ibid, hal. 121.
112
180| Nilai dalam Wacana Filosofis
Menurut penulis sendiri, tidak mungkin akan terhapuskan
hal itu, karena sejak dari dulu kala hingga sekarang hak
milik pribadi, kelas-kelas sosial, dan sistem penguasa selalu
ada. Apakah mungkin ini adalah takdir Allah Swt yang telah
ditetapkanNya. Sebagaimana firman Allah Swt, dalam Q.S
An-Nahl ayat 71: yang artinya: dan Allah melebihkan
sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau
memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang
mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu.
Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.114
Dari firman Allah Swt tersebut, benar bahwa Allah telah
menciptakan adanya hak milik pribadi dan kelas-kelas
sosial, tetapi mereka banyak tidak bersyukur kepadaNya,
sehingga terjadinya kesenjangan sosial. Satu sisi Karl Marx
benar, karena membela kaum budak yang diupah tidak
sesuai dengan pekerjaan sehingga mereka terasingkan, mau
tidak mau mereka harus menerima nasib, meskipun upah
kecil demi melangsungkan kehidupan. Tetapi apakah pantas
mereka diupah dengan upah yang kecil, tentunya tidak, dan
para pemilik kekayaan sungguh tidak bermoral. Dari
kondisi-kondisi seperti ini Karl Marx ingin mengapuskan
hak milik pribadi dan adanya sistem kelas-kelas sosial.
Pengapusan hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial ini yang
menjadi masalah, sesuatu yang mustahil akan terwujudkan.
Mungkinkah Karl Marx melampaui kekuatan Allah Swt, bagi
Karl Marx mungkin, karena ia adalah seorang yang tidak
bertuhan.
Dalam agama Islam adanya perbedaan kelas-kelas
sosial dan hak milik pribadi dalam kehidupan manusia
merupakan Sunatullah (hukum alam). Adanya kelas-kelas
sosial, dalam visi Islam merupakan salah satu dari hakikat
kehidupan nyata yang bersumber dari perbedaan dorongan
114 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,
(Bandung: Diponegoro, t.t.), hal. 274.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|181
(keinginan), kemampuan, kesungguhan dan kecerdasan
manusia yang menghasilkan berbagai macam akibatnya
(hasil). Contohnya, seseorang yang bersungguh-sungguh
belajar, maka ia akan cerdas dan mudah mendapatkan
pekerjaannya. Agama Islam tidak membutakan diri dari
perbedaan-perbedaan kelas sosial kehidupan manusia, akan
tetapi Islam menganjurkan dan mengaturnya agar selalu
berada dalam lingkup Syari’at dan keadilan yang tidak
bertujuan terciptanya persamaan yang sempurna, tidak
semuanya hak milik pribadi diberikan kepada orang lain
untuk mensamaratakan, umpamanya seseorang yang kaya
harus membagikan kekayaannya kepada orang lain, hal ini
mustahil dalam Islam. Dalam Islam adanya kelas-kelas
sosial dan hak milik pribadi yang sesuai dengan Syari’at
merupakan keseimbangan diantara pihak-pihak yang
berbeda, dan Islam mengajarkan adanya hak milik pribadi
dan kelas-kelas sosial merupakan keadilan, tetapi sesuai
dengan Syari’at.115 Dalam Q.S Ali Imran ayat 14:
Artinya: dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanitawanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).116
Bila perbedaan sosial dan ekonomi berlandaskan
kepada sebab-sebab yang sah, seperti karena kemampuan,
keuletan kerja dan usaha keras manusia, hal ini
menimbulkan perbedaan umat menjadi kelas-kelas sosial
yang berbeda-beda, dan Islam memandang adanya
perbedaan-perbedaan kelas sosial bukanlah sebuah
kekurangan dan kehinaan umat manusia, tetapi sebagai
ikatan universal yang dalam metodenya mempunyai
kedudukan yang tinggi. Sebagaimana Islam telah menjalin
115
116
Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam…, hal. 259
Departemen Agama RI, Al-Quran…, hal. 52
182| Nilai dalam Wacana Filosofis
hubungan yang saling mengikat antara individu dan umat,
maka demikian pula Islam mengatur dan mengendalikan
batasan perbedaan kelas sehingga hubungan kelas-kelas
sosial tersebut tetap berimbang. Karena keseimbangan
dengan ikatan saling menopang dan menggabungkan
berbagai kelas tersebut adalah keadilan sikap pertengahan
dalam metode Islam.117
Dalam Islam mengwajibkan umatnya untuk
mambayar zakat dengan tujuan menghindari kesenjangan
sosial antara yang kaya dengan si miskin. Bahkan zakat
dapat memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki
dari diri orang-orang yang miskin. Zakat merupakan ibadah
yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial, dan ekonomi
yang berdampak positif terhadap perwujudan solidaritas
sosial, rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian
persaudaraan Islam, pengikat persatuan umat dan
bangsa.118
Apabila kelas-kelas sosial dan hak milik pribadi
tidak sesuai dengan Syari’at, yaitu terjadinya kesombongan,
menghina, melecehkan, tidak membayar zakat, dan
mengabaikan orang-orang miskin, sehingga dari hal ini
terjadinya kontradiksi, permusuhan, dan pertarungan
antara kelas bawah dan kelas atas. Terjadinya kontradiksi
dalam kehidupan manusia termasuk salah satu dari
kenyataan objektif dan realita sosial yang tidak ditolak
keberadaannya oleh metode Islam. Akan tetapi Islam juga
membuat aturan-aturan untuk pertarungan antara kedua
kelas tersebut, dan memberikan batasan tujuan-tujuannya.
Tujuannya adalah mengembalikan hubungan antar kelas
tersebut kepada tingkat keseimbangan dan keadilan. Tujuan
ini bukannya menafikan sama sekali sisi kutub yang lain
Ibid, hal. 260.
Wawan Susetya, Tangan di Atas Lebih baik Daripada Tangan
di Bawah: Menyelami Nikmatnya Bershadaqah, (Yogyakarta: Tugu
Publisher, 2007), Hal. 168.
117
118
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|183
sebagaimana dalam peradaban Barat, yaitu mengapus kelas
saingannya, seperti teori Karl Marx. Pengapusan kelas
saingan merupakan karakteristik peradaban Barat, karena
mereka mempunyai pengertian tersendiri tentang
cakrawala kebebasan kelas dalam perbedaan, yaitu
cakrawala yang terkadang tidak mengenal batas.
Sebagaimana kaum borjuasi berusaha untuk menghilangkan
feodalisme, dan proletariat telah dan masih berusaha
menghapus borjuasi.119
Dalam pandangan Islam, tidak mengabaikan realita
adanya perbedaan-perbedaan kelas sebagai konsekwensi
perbedaan sosial alami. Islam mengajarkan adanya
perbedaan kelas sosial, maka yang harus dilakukan adalah
berusaha untuk memelihara kelestarian perbedaan tersebut
dalam batas sebab-sebab yang sah dan memelihara
cakrawalanya (batasan) agar tidak melampaui batas
keseimbangan yang merupakan tingkat keadilan
pertengahan. Apabila cakrawala tersebut melampaui batas
keseimbangan dan kezaliman sosial mengambil alih
kedudukan keadilan sosial, atau terjadinya kecurangan
(menzalimi) kelas lain, maka dalam Islam tidak ada
salahnya masyarakat menyaksikan penolakan kelas, bahkan
Islam memandangnya sebagai salah satu sunnah Allah Swt
yang berlaku dalam masyarakat, yaitu yang membawa
fenomena sosial dari tingkat kezaliman dan kepincangan
kepada tingkat keseimbangan dan keadilan antara kelas.
Dengan bahasa lain bahwa adanya kebaikan dan keburukan
dalam kehidupan manusia merupakan sunnah Allah Swt.120
Penolakan sosial yang merupakan salah satu sunnah
Allah Swt, dalam masyarakat adalah sarana mengembalikan
hubungan kelas bila keluar dari lingkaran perbedaan yang
sah dan alami dalam ikatan universal kepada lingkaran
kontradiksi yang saling bermusuhan dan memecah belah
119
120
Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam… hal. 160.
Ibid, hal. 161.
184| Nilai dalam Wacana Filosofis
kesatuan dan persatuan umat. Dari lingkup perpincangan
dan kezaliman kepada lingkup keseimbangan dan keadilan,
agar umat selalu menjadi suatu liga yang membawa misi
Islam, yaitu aqidah, syari’ah, peradaban, dan bukannya
merupakan kelas yang membawa misi sebagaimana dalam
peradaban Barat, yaitu kelas borjuis dan misinya
liberalisme kapitalisme, dan kaum proletar dengan misinya
totalisme komunisme.121
Dalam materialisme historis Karl Marx, kita
dapatkan bahwa keadaan materi (ekonomi) adalah dasar
pertama dan kriteria yang paling besar dalam perbedaan
kelas secara sosial, dan jenis pekerjaan dalam metode
tersebut tidak lain dari pembatasan tingkat keadaan materi.
Adapun dalam metode Islam, kriteria yang membedakan
kelas tersebut adalah banyak jumlahnya dan bermacammacam, tidak cukup dengan faktor materi saja. Sebagai
contoh, seorang anak petani yang keluar dari kelas petani
dan ia menjadi seorang professional, baik dokter, sarjana,
negarawan, komandan meliter, sesungguhnya ia termasuk
ke dalam kelas sosial yang baru yang dibedakan secara
sosial, meskipun sianak ekonominya atau gajinya sama
seperti ayahnya, umpama sianak gaji perbulannya menjadi
PNS satu juta dan ayahnya sebagai petani satu juta juga,
sianak dan ayahnya tetap sebagai kelas sosial yang berbeda,
sianak adalah pegawai negeri sipil dan ayahnya petani.122
i.
Kasus Indonesia
Indonesia adalah negara berkembang yang masih
sangat terpengaruh oleh nilai materialisme. Pencarian
terhadap nilai kenikmatan tidak jarang telah menyebabkan
orang-orang kehilangan rasa malu dan mengedepankan
sikap hedonismee. Akibatnya penyimpangan terhadap
hukum negara maupun hukum Islam semakin tinggi. Maka
121
122
Ibid, hal. 263.
Ibid, hal. 264.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|185
tidak mengherankan apabila tingkat korupsi semakin tinggi
di Indonesia, yang tidak lagi mengenal batas umur dan
pendidikan. Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang
sangat sulit obatnya, dan merongrong ekonomi bangsa.
Banyaknya koruptor telah menimbulkan kesenjangan
secara ekonomi, jumlah penduduk miskin bertambah, yang
kaya semakin zalim. Hal ini diakibatkan oleh semangat dan
dorongan materialisme yang sangat kuat, dan menggeser
rasa keimanan seseorang.
Menanggapi persoalan materilisme yang sudah
merajalela, maka keimanan harus diperkuat kembali, ajaran
agama Islam harus dapat diamalkan secara kaffah, dan yang
paling penting adanya penegakan hukum terhadap pelaku
korupsi yang mencari kekayaan untuk kepentingan sendiri
dan golongannya.
j.
Penutup
Karl Marx adalah salah seorang filsuf materialisme
pada abad modern. Tetapi ia bukan tipe materialisme
sebelum modern atau ortodoks yang hanya menjelaskan
tentang alam. Sebuah pernyataan Karl Marx yang terkenal,
yaitu tugas ahli pikir adalah mengubah dunia, dan bukan
menerangkan dunia. Dia membuktikan pernyataan ini
dengan mengubah materialisme sebelumnya yang hanya
membicarakan dan memperdebatkan asal-usul alam,
menjadi materialisme yang hubungannya dengan
kehidupan sosial manusia, dia menyebutnya dengan
materialisme historis. Materialisme historis adalah
membicarakan perkembangan kehidupan masyarakat, dan
penyebab perkembangan itu adalah faktor materi
(ekonomi). Oleh karena itu, objek kajian materialisme
historis adalah kehidupan masyarakat. Dari faktor materi
ini terciptanya kelas-kelas sosial, yaitu kelas atas dan kelas
bawah. Kelas atas adalah orang yang menguasai dan
memiliki materi, seperti tanah, pabrik-pabrik, industri, dan
186| Nilai dalam Wacana Filosofis
bentuk kekayaan lainnya. Sedangkan kelas bawah adalah
orang yang tidak memiliki materi, sehingga mereka untuk
bertahan hidup memperjualkan tenaga kepada para pemilik
materi demi mendapatkan materi (upah).
Adanya kelas-kelas sosial ini, Karl Marx mempelajari
bahwa kelas atas mengupah kelas bawa sesuai dengan
kehendak mereka, atau dengan upah kecil. Tujuan upah
kecil ini agar para kelas atas memperoleh keuntungan yang
banyak, dan tidak perduli dengan para pekerja, bahkan para
pekerja dijadikan sebagai alat kekayaan mereka. Karl Marx
menyatakan kekayaan para kelas atas adalah hasil
rampasan hak-hak para pekerja. Akibat dari upah kecil ini,
dikatakan oleh Karl Marx para pekerja terasingkan,
sebenarnya pada dasarnya setiap manusia mengingginkan
kepuasan materi sepuas-puasnya, tetapi apa boleh buat
para pekerja tidak dapat menikmati materi sepuasnya.
Karena para pekerja tidak merasa puas, menurut Karl Marx
para pekerja akan menghancurkan para kelas atas atau
terjadinya kontradiksi diantara mereka. Akibat dari
kontradiksi ini maka terjadinya perubahan dalam
kehidupan masyarakat. Dari perubahan ini terciptalah
perkembangan kehidupan baru. Dengan istilah lain, dalam
setiap situasi kehidupan masyarakat selalu terjadinya
perubahan, yang disebut oleh Karl Marx adalah proses
dialektika.
Materialism historis Karl Marx, ia mengkritik adanya
hak milik pribadi dan kelas-kelas sosial, yaitu dengan tujuan
semua kekayaan adalah milik bersama, inilah cita-cita Karl
Marx atau dengan istilah teorinya, yaitu sosialisme.
Seseorang dikatakan manusia adalah sejauh ia
bermasyrakat, yaitu mengutamakan kepentingan bersama,
daripada kepentingan dirinya sendiri.
Berbeda dengan pandangan Islam, adanya kelaskelas sosial dan hak milik pribadi merupakan hukum alam
dan bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh manusia itu
sendiri. Akan tetapi Islam mengajarkan agar kelas-kelas
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|187
sosial saling menghargai sesama mereka. Terjadinya
kesenjangan sosial, Islam mengajarkan agar kembali kepada
syari’at, dan bukan menghapus atau menyerang kelas
tertentu, seperti keinginan Karl Marx, hak milik pribadi
harus dihapuskan dalam kehidupan sosial. Sesuatu yang
mustahil pengapusan hak milik pribadi dan kelas-kelas
sosial dalam pandangan Islam.
Daftar Rujukan
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004.
Atang Abdul Hakim, dkk. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia, 2008.
Anthoni Giddens dan David Held. Perdebatan Klasik dan
Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan
Konflik. terj. Vedi R. Hadiz. Jakarta: PT Rajawali,
1987.
Burhanuddin Salam.
Logika materiil: Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat. terj. Sigit Jatmiko,
dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Bryan Magee. Memoar Seorang Filsuf: Pengembaraan di
Belantara Filsafat. terj. Eko Prasetyo. Bandung:
Mizan Pustaka, 2005.
Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu. Bandung: Pustaka Bumi
Quraisy, 2004.
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007.
Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahan. Bandung:
t.t.
188| Nilai dalam Wacana Filosofis
Diane Collinson. Lima Puluh Filsuf Dunia Yang Mengerakkan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Edilius, dkk. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Jakarta:
Rineka Cipta, 1992.
Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme
Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Franz Magnis Suseno. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1987.
F.
Budi Hardiman. Menuju Masyarakat
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Komunikatif.
Frederick Engels. Tentang Kapital Marx. terj. Oey Hay Djoen.
Bandung: Ultimus, 2006.
Fadhli. Formulasi Nilai Sosial Dalam Perspektif Karl Marx.
Skripsi. Banda Aceh: Ushuluddin, 2001.
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta:
Kanisius, 1980.
Isaiah Berlin. Biografi Karl Marx. terj. Eri Setiyawati
Alkhatap, dkk. Yogyakarta: Jejak, 2007.
J. Sudarminta.
2002.
Epistimologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius,
Juhaya S. Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Juraid Abdul Latief. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta:
Bumi Aksara, 2006.
Karl Marx. Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Volume I.
terj. Oey Hay Djoen. Jakarta: Hasta Mitra, 2004.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|189
Karl Marx. Das Capital. Volume 3. terj. Samuel Moore dan
Edward Aveling. New York: International
Publishers, 1967.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. Yogjakarta: ArRuzz, 2006.
Muhsin Qiraati. Mencari Tuhan. Bogor: Cahaya, 2001.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Buku Daras Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, 2003.
Pip Jones. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori
Fungsionalisme Hingga Postmodernisme. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2009.
Rustam E. Tamburaka. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori
Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat, dan Iptek. Jakarta:
Rineka Cipta, 1999.
Robert Lekachman dan Borin van Loon. Kapitalisme: Teori
dan Sejarah Perkembangan. Yogyakarta: Resist Book,
2008.
Saifullah Kamalie. Karakteristik Metode Islam. Jakarta: Media
Da’wah, t.t.
Stephen Palmquis. Pohon Filsafat, Teks Kuliah Pengantar
Filsafat. terj. Muhammad Shodiq. Yogyakarta: PT
Pustaka Pelajar, 2002.
Sumitro Djojohadikusumo. Perkembangan Pemikiran
Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu pengantar. Jakarta: Bumi
Aksara, 2008.
Suparlan Suhartono. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern.
Yogjakarta: Ar-Ruzz, 2005.
190| Nilai dalam Wacana Filosofis
William Ebenstein. Isme-isme yang Mengguncang Dunia;
Komunisme, Fasisme, Kapitalisme, Sosialisme.
Yogyakarta: Narasi, 2006.
Susetya. Tangan di Atas Lebih Baik Daripada Tangan di
Bawah: Menyelami Nikmatnya Bershadaqah.
Yogyakarta: Tugu Publisher, 2007.
Kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-karlmarx.html.
Tojib84.
blogspot.com/2008/07/peta-pemikiran-karlmarx.html.
http://lenterarakyat.blogspot.com/2009/02/materialismehistori.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|191
2. Konsep Nilai Menurut Max Scheler
Oleh: Syarifuddin
a. Pendahuluan
Sungguh kemungkinan sekali dalam filsafat Jerman
kontemporer tidak ada orang lain yang dapat dibandingkan
dengan orang seperti Max Scheler, ia memiliki kelebihan
yang luar biasa, seperti memiliki kekuatan ide dan memiliki
gaya prosanya yang menawan. Scheler dianggap berhasil
memasukkan ke dalam tulisan prosanya suatu kekuatan
emosional yang kemudian dianggap sebagai ilham terhadap
teorinya. Scheler tidak menempatkan pribadinya dalam
rangka melayani berbagai idenya, idenya agaknya
mengikuti cara nafsunya yang meluap, nafsu ini kemudian
dinyatakan dala berbagai bentuk tema yang ia pilih untuk
dipikirkan secara tulus dan serius. Scheler merasa
terpanggil dan pilihannya menjadi cocok dengan dunianya,
yaitu dirinya merasa tertarik pada persoalan manusia dan
bahkan ia mengabdikan seluruh hidupnya pada tema
manusia.123
Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai. Berbeda
dengan Mill yang mengatakan bahwa manusia bertindak
berdasarkan kepuasan diri, Scheler menyatakan bahwa nilai
adalah hal yang dituju manusia Jika ada orang yang
mengejar kenikmatan, maka hal itu bukan demi kepuasan
perasaan, melainkan karena kenikmatan dipandang sebagai
suatu nilai. Nilai tidak bersifat relatif, melainkan mutlak.
Nilai bukan ide atau cita-cita, melainkan sesuatu yang
kongkret, yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang
bergetar dan dengan emosi.
123 Risieri Frondisi, Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan Cuk
Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 102.
192| Nilai dalam Wacana Filosofis
b. Riwayat hidup Max Scheler
Max Scheler adalah seorang filsuf Jerman yang
berpengaruh dalam bidang fenomenologi, filsafat sosial, dan
sosiologi pengetahuan. Ia berjasa dalam menyebarluaskan
fenomenologi Husserl. Scheler dilahirkan pada tahun 1874
di Muenchen. Ibunya seorang Yahudi dan ayahnya
beragama Protestan. Ketika umurnya menanjak ke 15 tahun
dan belajar di sekolah menengah pada tahun 1889,
kemudian ia masuk agama Katolik. Ia menempuh studi itu di
Muenchen, Berlin, Heidelberg dan Jena. Pada tahun 1898, ia
meninggalkan gereja Katolik, yang dikarenakan suatu
konflik sosial.124 Hidup Scheler penuh dengan drama dan
krisis, namun sebagai filsuf ia sangat cemerlang, dikagumi,
bahkan pernah cukup berpengaruh dalam dunia filsafat di
benua Eropa.125
Pada tahun 1897 Scheler mencapai promosi di
bawah bimbingan professor Rudolf Eucken di Jena
berdasarkan karangannya tentang “Sumbangan Pikiran
untuk Menetapkan Hubungan antara Prinsip-Prinsip Logis
dan Etis”. Eucken merupakan filsuf yang sangat dihormati
oleh Scheler, bahkan Eucken sangat gigih menentang
dominasi positivism dan materialism pada waktu itu.
Eucken menganggap bahwa adanya roh di samping materi,
dengan menitikberatkan nilai-nilai manusiawi, seperti
kesusilaan, agama, dan kebudayaan.
Pada tanggal 2 Oktober 1899, dua belas hari
setelah ia dipermandikan di Gereja Katolik, Max Scheler
menikan dengan Amelie di catatan sipil, ia menikah dengan
wanita yang sebelumnya sudah pernah menikah (janda
cerai). Hal yang demikian, gereja Katolik tidak
membenarkan pernikahan yang demikian, dan sejak saat
124 K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX Jilid 1, Jakarta: PT.
Gramedia, 1981, hal. 105.
125 Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, 12 Teks Kunci,
Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal. 15.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|193
itulah Max Scheler memutuskan diri dari partisipasinya dari
kehidupan sakramental gereja, namun demikian Scheler
tetap menganggap dirinya sebagai seorang Katolik. Malah
ketika masih muda, saat yang bersamaan sebagai dosen
muda di sebuah universitas yang anti katolik, malah ia
memiliki keberanian untuk membela hak kelompok
mahasiswa Katolik yang ketika itu terjadi perdebatan antara
organisasi mahasiswa Katolik dengan pejabat universita.
Setelah ia menjadi dosen di Jena, namun tidak
begitu lama dikarenakan terjadi insiden kecil oleh isterinya
dan selanjutnya Scheler atas bantuan Husserl kemudian ia
menjadi dosen di Universitas Muenchen di kotanya sendiri,
kemudian di sinilah ia berkenalan dan belajar serta
memahami dengan fenomenologi Husserl. Melalui
kepribadiannya dan kejeniusan filsafatnya, Scheler sangat
mengesankan banyak orang.126 Pada tahun 1900
sebelumnya, Scheler sudah pernah mencapai habilitation di
Jena dengan karangannya tentang “Metode Transendental
dan Psikologi”.
Pada tahun 1919, Scheler menjabat guru besar di
Koln. Pada tahun 1922 yang ditandai dengan terbitnya jilid
pertama Der Formalismus in der Ethik und die Materiale
Wertethik, yang diterbitkan dalam Jahrbuch fur Philosophie
und Phanomenologische Fordchung volume pertama, pada
tahun 1913, yang dieditori oleh Husserl. Pada periode ini
banyak artikel yang dikumpulkan dalam dua jilid;
Concerning the Revolution in Values atau “Mengenai
Revolusi dalam Nilai-Nilai” dan The Eternal in Man atau
“Keabadian dalam Manusia”, dan buku ini berisi tentang
esensi aksiologi Scheler, karena etikanya dapat diubah yang
kemudian menjadi sebuah teori nilai.127
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler,
Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 17-18.
127 Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 104-105.
126
194| Nilai dalam Wacana Filosofis
Kemudian ia meninggal dunia di Frankfurt pada
tahun 1928. Maka pada menjelang akhir hidupnya, Mac
Scheler mengalami suatu perubahan yang sangat mendalam,
bahkan Scheler meninggalkan konsepsi yang teistis dan
Kristen, hal ini kemudian menjadi berlaku sebagai dasar
bagi aksiologinya, dalam rangka menghapuskan jejak
konsepsi
teologis
revolusioner,
walaupun belum
dirumuskan secara utuh, dan dianggap gagasannya ini
dirumuskannya dengan suatu gaya yang sangat berani.
Gagasan tersebut Scheler tulis dalam bukunya, The Position
of Man in the Cosmos (Kedudukan Manusia dalam Kosmos),
dalam bukunya ini Scheler menulis:
“Kami menolak hipotesis teis tentang “Tuhan yang
spiritual dan berpribadi, yang maha kuasa dalam
Spiritualitasnya”. Bagi kami hubungan yang dijalin
manusia dengan prinsip alam semesta terkandung
dalam fakta bahwa prinsip ini dipahami secara
langsung dan disadari di dalam diri manusia sendiri,
yang sebagai makhluk hidup, makhluk spiritual,
hanya mereupakan sebuah nucleus parsial dari gerak
hati dan semangat dari ‘Ada yang mengada melalui
dirinya sendiri’, itu merupakan ide kuno dari
Spinoza, Hegel dan yang lainnya: ada yang pertama
yang memperoleh kesadaran dirinya di dalam
manusia… Kedatangan manusia dan kehadiran
Tuhan mengimplikasikan satu sama lain, secara
timbale balik, sejak awalnya, menurut konsepsi kami.
Manusia tidak dapat memenuhi nasibnya tanpa
mengetahui dirinya sebagai salah satu anggota dari
dua atribut Ada yang tertinggi dan sebagai penghuni
Ada; juga tidak dapat menjadi Ada melalui Dirinya
sendiri tanpa kerjasama manusia. Roh dan gerak
hati, dua atribut ada, tidak sempurna dalam dirinya
sendiri tanpa memperhatikan adanya peresapan
timbale balik yang berangsur-angsur, sebagai tujuan
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|195
akhir, namun agaknya, berkembang selama
perwujudannya dalam sejarah; ruh manusia di
dalam evolusi hidup universa.128
c. Fenomenologi Max Scheler
Fenomenologi
merupakan
aliran
yang
membicarakan tentang suatu fenomena atau gejala sesuatu
yang menampakkan diri. Tokoh dan pendirinya adalah
Edmund Husserl (1859-1938) yang baginya ada kebenaran
untuk semua orang dan menurutnya juga kebenaran itu
dapat dicapai oleh siapa pun. Akan tetapi, fenomenologi
baginya adalah dalam rangka menemukan pemikiran yang
benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda”
sendiri. Kembali kepada “benda-benda” yang dimaksudkan
oleh Husserl adalah bahwa “benda-benda” diberi
kesempatan untuk berbicara tentang hakikat dirinya.
Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi
tergantung kepada orang yang membuat pernyataan,
melainkan ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Namun benda-benda itu tidak secara langsung
memperlihatkan hakikatnya, hakikat tersebut berada
dibalik yang kelihatannya, dan dalam menemukan hakikat
tersebut adalah melalui intuisi.129
Intuisi memiliki kemampuan yang tepat dalam
menangkap serta merasakan nilai serta tanpa memerlukan
dasar pengalaman inderawi terlebih dahulu terhadap objek
bernilai yang terkait. Dalam penangkapan dan memahami
nilai, maka akan dapat merasakan hal yang sebenarnya,
yang diberikan kepada seseorang secara terang dan jelas,
bahkan sekalipun tanpa menggunakan pembawa nilai
bersangkutan. Terdapat suatu jenis pengalaman yang
objeknya sama sekali tidak dapat diterima oleh pemahaman
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 105-106.
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Prenada Media, 2003, hal. 179-180.
128
129
196| Nilai dalam Wacana Filosofis
akal, sebagaimana telinga atau indera pendengaran buta
terhadap warna; jenis pengalaman ini memberikan objekobjek yang sungguh objektif yang diatur dalam suatu
susunan yang tetap; yaitu pengalaman akan nilai-nilai
beserta ketersusunannya yang bersifat hierarkis.
Keteraturan dan hukum yang termuat dalam pengalaman
ini bersifat pasti serta jelas, seperti dalam logika serta
matematika.
Menurut Scheler orang berhubungan dengan dunia
terutama tidak melalui persepsi intelektual tetapi melalui
perasaan terhadap nilai. Hubungan emosional mendahului
kegiatan intelektual. Seluruh hubungan utama dengan dunia
tidak hanya dengan dunia luar, tetapi juga dengan dunia
batin, tidak hanya dengan yang lain tetapi juga dengan diri
manusia sendiri, bukan bersifat konseptual, bukan suatu
hubungan persepsi, tetapi pada pokoknya selalu bersifat
emosional dan mewujudkan nilai. Dimensi nilai dari dunia
kenyataan diungkapkan dalam dan melalui proses dinamis
perasaan intensional.130
Maka menurut Husserl usaha dalam melihat hakikat
dengan intuisi adalah dengan pendekatan reduksi, yaitu
dengan cara penundaan segala pengetahuan yang ada
tentang objek sebelum pengamatan intuisi dilakukan, atau
dapat juga diartikan penyaringan atau pengecilan. Dan
reduksi ini juga merupakan salah satu prinsip yang
mendasari sikap fenomenologis, maka untuk mengetahui
segala sesuatu seorang fenomenolis harus bersikap netral,
tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian
yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan berbicara
tentang dirinya sendiri.131
Berbeda dengan yang dikemukakan Husserl,
fenomenologi bagi Max Scheler (1874-1928) lebih dikenal
Paulus Wahana, Nilai Etika….., hal. 71-72.
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984, hal. 112.
130
131
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|197
dengan sebutan “gerakan fenomenologi”. Istilah tersebut
digunakan untuk membedakan corak fenomenologi Scheler
dengan Husserl, meskipun memang, sebelumnya Scheler
sempat demikian terinspirasi oleh Husserl, namun
pengisolasian diri Husserl terhadap permasalahan hidup
sehari-hari berikut kecenderungannya pada idealismetransendental membuat Scheler syarat mengkonstruksi
konsep fenomenologinya sendiri. Di samping itu, perbedaan
mendasar antara Scheler dengan Husserl adalah, Scheler
sama sekali tak tertarik dengan persoalan fundamental ilmu
pengetahuan berikut tak terobsesi untuk mengganti
terminus filsafat dengan fenomenologi. Sebagai seseorang
yang berlatar belakang praksis dan berupaya memecahkan
persoalan hidup sehari-hari, Scheler sekedar menempatkan
fenomenologi sebagai salah satu alternatif guna
memecahkan persoalan tersebut.132
Menurut Max Scheler, fenomenologi bukanlah nama
dari suatu ilmu pengetahuan baru, demikian juga tidak
untuk mengganti nama ‘filsafat’, namun hanya berupa sikap
pengamatan spiritual, yang membuat orang dapat melihat
dan mengalami sesuatu, yang kiranya akan tetap
tersembunyi tanpa sikap tersebut, yaitu suatu realitas dari
fakta-fakta jenis khusus. Fenomenologi bukan merupakan
metode, sebagai prosedur pemikiran tentang fakta-fakta
yang terarah pada tujuan dalam memperoleh hasil kegiatan.
Fenomenologi merupakan sikap atau prosedur pengamatan
terhadap fakta-fakta baru yang sedang dihadapi sebelum
adanya proses pemikiran secara logis dalam rangka untuk
menghasilkan kesimpulan. Fenomenologi merupakan usaha
dalam menampilkan hal yang diberikan secara langsung dan
ada dalam kesadaran manusia. Scheler secara langsung
menggunakan fenomenologi untuk beraneka ragam tema
filsafat, khususnya bidang nilai, etika, dan filsafat agama.133
132
133
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 37.
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 38.
198| Nilai dalam Wacana Filosofis
Fokus utama dalam gerakan fenomenologi Scheler
adalah pengetahuan yang bersifat perspektif, yakni
menyangkut posisi sosial-budaya seseorang. Pada era
Scheler, di mana pergulatan antar berbagai ideologi tengah
santer bersaing untuk mendapatkan simpati rakyat—
fasisme, komunisme, liberalisme, Protestan serta Katolik—
Scheler percaya bahwa hanya seorang intelektual-lah yang
mampu bersikap objektif dan mampu memisahkan dunia
politik dengan perjuangan berbagai ideologi. Melalui sikap
objektif tersebut, Scheler meyakini seorang intelektual akan
dapat mengungkap sumber-sumber sosial dari berbagai
ideologi politik yang ada. Selanjutnya, intelektual syarat
menggiring para pemeluk ideologi untuk tak sekedar
memahami ideologinya sendiri, tetapi juga prasangka
berikut kritikan ideologi-ideologi lain terhadap ideologinya.
Dengan demikian, dapatlah ditilik secara jelas bahwa
fenomenologi Scheler lebih memiripkan bentuknya sebagai
sosiologi pengetahuan, dan memang, pandangan
fenomenologi-nya begitu mempengaruhi pemikiran Karl
Mannheim kemudian.134
Ditinjau berdasarkan konteksnya, tampaklah jelas
bahwa fenomenologi Scheler berupaya menelisik motif
serta alasan pribadi seseorang dalam menganut ideologi
tertentu, berikut berupaya menyingkap pandangan ideologi
lain terhadap ideologi yang dianut seseorang tersebut
sehingga tersajikan secara gamblang kelebihan berikut
kekurangan dari masing-masing ideologi yang ada. Di satu
sisi, sebagaimana fenomenologi Husserl dan verstehen
Weber, fenomenologi Scheler tak menunjukkan kemampuan
subjek individu dalam memanipulasi diri, orang lain, ruang
serta waktu yang melingkupinya. Meskipun memang, esensi
dari ideologi adalah sebentuk instrumen guna
memanipulasi dunia, namun manipulasi yang dilakukan
134 M. Irving Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995, hal. 228-231.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|199
individu dengan ideologi yang dianutnya sesungguhnya tak
lebih dari manipulasi ideologi itu sendiri, bukan manipulasi
subjek yang otonom.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, metode
fenomenologi Scheler terutama bertumpu pada karya
Husserl yang bernama penelitian-penelitian tentang logika
dan ia tidak merasa tertarik kepada usaha yang dilakukan
Husserl di kemudian haru dalam rangka mendasarkan
fenomenologi sebagai suatu “ilmu rigorus”. Dari sini dapat
dirasakan perbedaan mendasar antara Husserl dengan
Scheler, Husserl sebagai seorang sarjana klasik yang
mencurahkan segala perhatiannya kepada masalah-masalah
yang paling fundamental dan sedapatmungkin Husserl
menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Berbalik sama
sekali dengan Scheler, bagi Scheler antara filsafat dengan
kehidupan yang bersifat konkret tidak dapat dipisahkan,
dalam kehidupannya selalu menganggap serius terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapinya, sehingga Scheler
sering sambil duduk-duduk di warung kopi (café) ia
menyempatkan selalu untuk menulis. Scheler dengan penuh
kesetiaanya, selalu mengomentari masalah-masalah yang
actual yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karenanya,
metode fenomenologis bagi Scheler sama dengan suatu cara
tertentu untuk dalam memandang realitas.
Fenomenologi bagi Scheler merupakan suatu sikap,
bukan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran .
dalam sikap itu seseorang akan mengadakan suatu
hubungan langsung dengan realitas yang berdasarkan
intuisi. Hubungan tersebut dinamakannya sebagai
“pengalaman fenomenologis”. Yang memainkan dalam
pengalaman
fenomenologis
tersebut
bukannya
sembarangan fakta, melainkan fakta-fakta jenis yang
tertentu, yaitu berupa fakta-fakta fenomenologis. Bahwa
benda, realitas, ataupun objek tidaklah secara langsung
memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui
pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah
200| Nilai dalam Wacana Filosofis
hakekat. Hakekat benda itu ada di balik yang kelihatan itu.
Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir
yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua
(second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada
pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan
hakekat, yang disebut dengan wesenchau, melihat (secara
intuitif) hakekat gejala-gejala.135
Selanjutnya Scheler menganggap, bahwa benda
dianggap sebagai “sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu,
adalah keliru menginginkan inti nilai dari benda-benda,
atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang
sama. Dunia benda-benda terdiri atas segala sesuatu, maka
dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan sejarah. Dan jika
nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda,
maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya.
Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan
prinsip yang didasarkan diatasnya bersifat relatif.136
Menurut Scheler, empirisme itu tidak keliru, sebagaimana
yang dipercayai oleh Immanuel Kant, karena kewajiban
tidak dapat diturunkan dari realitas, maka keadilan itu
bersifat independen. Menurt Kant, kewajiban, kesadaran
tentang hukum moral, mendahului nilai; sebaliknya, Scheler
berpendapat bahwa nilai itu mendahului kewajiban dan
berlaku sebagai dasar bagi hukum moral.137 Scheler
kemudian membedakan tiga jenis fakta, yaitu;
a. Fakta natural. Fakta ini berasal dari pengenalan yang
bersifat inderawi dan menyangkut dengan bendabenda konkrit, fakta yang semacam ini akan tampak
dalam pengalaman biasa.
b. Fakta ilmiah. Fakta ini mulai melepaskan diri dari
pencerapan inderawi yang langsung dan akan semakin
135 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986, hal. 113.
136 Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 109.
137 Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 113.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|201
menjadi abstrak; dapat terjadi bahwa fakta ilmiah
dijadikan suatu formula simbolis yang dapat
diperhitungkan dan dimanipulasikan, sehingga
kaitannya dengan suatu realitas inderawi sangatlah
menipis.
c. Fakta fenomenologis yang disebut juga sebagai fakta
murni. Fakta ini berupa “isi intuitif” atau berupa hakikat
yang diberikan dalam pengalaman langsung, tak
tergantung dari berada tidaknya dalam realitas di luar.
Fakta fenomenologis selalu “diberikan” sepenuhpenuhnya, bukanlah sebagian saja seperti misalnya simbolsimbol dank arena itu tidak mungkin terancam ilusi.
Menurut Scheler fakta-fakta jenis lain, seperti fakta natural
dan fakta ilmiah mempunyai dasarnya dalam fakta-fakta
fenomenologis.138
Dalam pendekatan fenomenologis sebagaimana
yang dimengerti oleh Scheler, secara skematis dapat
dibedakan tiga unsur berikut ini:
1. “Penghayatan” (erleben); berupa pengalaman intuitif
yang secara langsung menuju kepada “yang diberikan”,
dengan demikian menghadapi di sini suatu sikap yang
sama sekali aktif, bertentangan dengan bentuk-bentuk
penghayatan yang lain yang bersifat pasif belaka.
2. Perhatian kepada washeit (whatness: apa-nya, esensi),
sambil tidak memperhatikan segi eksistensi (adanya).
Inilah salah satu aspek dari apa yang ditunjukkan
Husserl sebagai “reduksi transsendental”.
3. Perhatian kepada hubungan satu sama lain
(wesenszusammenhang) antara esensi-esensi tadi.
Hubungan itu bersifat apriori: “diberikan” dalam
intuisi, terlepas dari kenyataan. Hubungan satu sama
lain antara esensi-esensi itu dapat bersifat logis belaka
maupun juga berupa non-logis. Prinsip kontradiksi (“A
138
K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 109-110.
202| Nilai dalam Wacana Filosofis
bukanlah non-A”) dapat dikemukakan sebagai contoh
tentang hubungan antara satu sama lain antara esensiesensi logis (dasarnya adalah bahwa “ada” dan “tidak
ada” tidak mungkin diperdamaikan). Dan kenyataan
bahwa warna tidak mungkin tanpa keluasan
(extension), dapat disebut sebagai contoh tentang
hubungan satu sama lain yang bersifat non-logis.
Max Scheler memahami fenomenologi sebagai alat
besar yang dapat membawa kepada suatu keputusan bagi
pandangan manusia. Scheler mengungkapkan harapannya
bahwa fenomenologi akan membawa masuk orang ke kebun
bunga dari penjara yang telah bertahun-tahun
membelenggunya. Yang dimaksud dengan penjara di sini
adalah lingkungan hidup manusia yang dibatasi oleh suatu
pemikiran yang terarah pada hal yang bersifat mekanis
serta yang dapat dimekanisasikan, sedangkan kebun bunga
adalah dunia ciptaan Allah yang berwarna-warni.139
d. Konsep Nilai Max Scheler
Pada hakikatnya Scheler bukanlah seorang
penyusun sistem, sebagaimana kebanyakan filsuf Jerman, ia
dapat dikatan dalam buku-bukunya banyak memuatkan
penggalan-penggalan, ia banyak menyoroti berbagai
persoalan, tentang manusia, hubungan manusia dengan
Tuhannya, dan bahkan Scheler menjawab persoalanpersoalan yang dihadapinya dengan menggunakan
metodika fenomenologi Husserl. Namun demikian Scheler
tidak berpusat pemikirannya pada metode ini, metode ini
sesungguhnya hanya sebagai sarana dalam menyoroti serta
menyelidiki hakikat manusia. Cara berpikirnya tidak formal,
melainkan material. Karena itu Scheler tidak dapat merasa
puas dengan etika wajib formal yang diajarkan oleh Kant,
139
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 38.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|203
melainkan ia mengusahakan suatu etika yang mengingatkan
manusia untuk mewujudkan nilai-nilai.140
Sejak zaman Yunani purba, para filsuf telah
membicarakan dan menulis segi, teori tentang problematika
nilai. Sekarang, penyelidikan tentang apa yang dinilai oleh
manusia, dan apa yang harus dinilai, telah menjadi suatu
perhatian baru. Penyelidikan mengenai teori umum
khususnya tentang nilai tersebut, asal, watak, klasifikasi dan
tempat terjadinya nilai di dunia terbit secara teratur.
Penyelidikan tentang nilai dalam suatu tingkah laku
manusia (etik) serta penyelidikan tentang nilai dalam dunia
seni (estetik) merupakan dua bidang yang besar yang samasama berhubungan erat dengan nilai.141
Pada hakikatnya, pemikiran Scheler tentang nilai
berdasarkan karya besarnya berjudul Der Formalismus in
der Ethik und die material Wert Ethik (Etika Formalisme dan
Etika Nilai Material), dalam buku ini Scheler menunjukkan
dengan jelas tentang dua tema, yaitu; pertama, Scheler
bermaksud mengajukan suatu penilaian kritis terhadap
etika formal Kant. Dan kedua, Scheler berusaha mengatasi
formalism Kant, dan mendirikan etika nilai material baru.
Namun dalam pembahasan di sini, tidak membicarakan
serta membandingkan antara Scheler dengan Kant, secara
gambling hanya membicarakan konsep nilai Max Scheler.
Scheler menolak etika material yang empiris (yang
mendasarkan pada pengalaman indera dan bersifat
aposteriori), dan menerima prinsip apriori Kant (yang
mendasarkan
pada
prinsip
yang
keberadaannya
mendahului pengalaman dan bersifat mutlak serta tetap).
Prinsip apriori ini merupakan titik tolak dalam pemikiran
140 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1988, hal. 110.
141 Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa
H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hal. 120.
204| Nilai dalam Wacana Filosofis
Scheler, ia juga berusaha menemukan suatu titik tolak yang
bersifat apriori yang bersifat mutlak dan tetap.142
Menurut Scheler, nilai adalah hal yang dituju oleh
perasaan, yang mewujudkan apriori emosi. Nilai bukanlah
idea atau cita, melainkan sesuatu yang konkrit yang hanya
dapat dialami dengan jiwa yang bergetar, dengan emosi.
Mengalami nilai tidak sama dengan mengalami secara
umum, dalam mendengar, melihat, mencium, dan lain
sebagainya. Akal tidak dapat melihat nilai, sebab nilai itu
tampil jikalau ada rasa yang diarahkan kepada sesuatu. Nilai
adalah hal yang dituju perasaan, apriori perasaan. Dari sini
menjadi jelas bahwa pendapat Scheler tentang nilai berbeda
sekali dengan pendapat yang dikemukakan oleh Immanuel
Kant. Menurut Kant, nilai adalah merupakan suatu a priori
formal, akan tetapi menurut Scheler nilai itu adalah a priori
material. Tidaklah benar, jikalau dikatakan bahwa manusia
berusaha mendapatkan kenikmatan atau kepuasan
perasaan. Sebab yang diusahakan oleh manusia adalah nilai.
Juga jikalau orang bermaksud mendapatkan kenikmatan,
hal yang demikian itu, bukanlah demi untuk mendapatkan
kepuasan perasaan, melainkan karena kenikmatan itu
dipandang sebagai suatu nilai. Tidak semua nilai dikaitkan
dengan usaha. Orang dapat merasa adanya nilai, sekalipun
ia tidak berusaha untuk mendapatkannya.143
Menurut Scheler, adalah tidak mungkin untuk
mengkritik dunia benda-benda yang ada pada satu jaman
tertentu, karena etika pasti didasarkan pada benda-benda
tersebut. Juga salah, bahwa setiap prinsip etis yang
berusaha untuk menetapkan tujuan yang berkaitan dengan
nilai moral dari hasrat yang terukur. Sebab tujuan,
sebagaimana adanya, tidak pernah baik ataupun buruk,
sebab benda-benda itu bebas dari nilai yang harus
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 47-48.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1980, hal. 145.
142
143
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|205
direalisasikan. Dengan model pemikiran seperti ini, maka
menurut Scheler, perilaku yang baik dan yang buruk tidak
dapat diukur dengan menghubungkannya dengan tujuan
karena konsep tentang baik dan buruk tidak dapat disarikan
dari isi empiris tujuan. Jelasnya, Scheler ingin mengatakan
bahwa nilai itu berasal dari benda-benda, namun tidak
tergantung pada mereka. Dan dari ketidaktergantungan
tersebut memungkinkan benda itu untuk “menyusun”
sebuah etika aksiologis yang sekaligus material dan a
priori.144
Menurut Max Scheler, hal atau barang yang baik
pada hakikatnya adalah hal bernilai atau hal dari nilai, hal
bernilai harus dibedakan dengan nilai. Benda bernilai
adalah pembawa nilai, seperti halnya benda sebagai
pembawa warna. Nilai merupakan kualitas yang dapat
terwujud dalam benda, akan tetapi sama sekali tidak identik
dengan benda-benda tersebut. Selanjutnya Scheler
menunjukkan perbedaan antara nilai dengan barang
bernilai, sambil memberikan contoh, bagi Scheler baik
berupa pengalaman akan nilai maupun kepastian akan nilai
bagaimana pun juga tidak tergantung pada pengalaman
terhadap pembawa nilai. Akan tampak bahwa dimensi nilai
dari suatu objek merupakan pengetahuan pertama dan asli
yang dimiliki serta bahwa pengetahuan berikutnya akan
objek tersebut baru hadir melalui nilai sebagai
perantaranya. Kualitas nilai itu tidak pernah berubah ketika
pembawanya berubah, bahkan tidak rusak ketika
pembawanya dimatikan atau dihancurkan. Ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan jelas antara nilai dengan pembawa
nilai. Warna biru tidak pernah menjadi merah ketika objek
yang berwarna biru dicat menjadi merah, demikian pula
suatu nilai tertentu tidak akan pernah berubah ketika
pembawanya menjadi berubah. Nilai persahabatan tidak
144
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 110.
206| Nilai dalam Wacana Filosofis
akan terhapus, ketika seorang teman menunjukkan
ketidaksetiaannya.145
Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya
dengan membandingkan “nilai” dengan “warna” untuk
menunjukkan bahwa didalam kasus keduanya terdapat
persoalan tentang kualitas yang keberadaannya tidak
tergantung pada benda. Scheler mengatakan bahwa “merah”
sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa mengalami
perlunya untuk mengkonsepsikannya sebagai yang meliputi
permukaan yang berbadan. Nilai sebagai kualitas yang
independen tidak berbeda dengan benda. Sebagaimana
warna biru tidak berubah menjadi merah manakala objek
yang berwarna biru dicat merah, demikian juga halnya
dengan nilai yang tetap tidak terpengaruh oleh perubahan
yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Pengkhianatan
seorang sahabat misalnya, tentunya tidak akan mengubah
terhadap nilai persahabatan tentunya. Ketidaktergantungan
nilai mengimplikasikan ketidakdapatberubahnya, nilai itu
tidak berubah. Selain itu, nilai itu mutlak, nilai tidak
dikondisikan oleh perbuatan, tanpa memperhatikan
hakikatnya, nilai itu bersifat historis, sosial, biologis, atau
murni individual. Hanya pengetahuan kita tentang nilai
yang bersifat relative, akan tetapi bukan nilai itu sendiri.146
Dengan cara yang sama, “nilai” yang terkandung di
dalam benda serta pembentukan atas suatu “kebaikan”
tidak tergantung pada benda tersebut. Menurut Scheler, kita
tidak memahami, misalnya nilai kenikmatan atau estetik
melalui induksi yang umum. Dalam kasus tertentu, satu
objek atau perbuatan tunggal cukup memadai bagi kita
untuk menangkap nilai yang terkandung di dalamnya.
Sebaliknya, kehadiran nilai yang menyertai objek yang
bernilai memiliki hakekat “baik”. Dengan cara ini, kita tidak
memeras keindahan dari benda yang indah; karena
145
146
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 53-54.
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 115.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|207
keindahan mendahului bendanya.147 Dan bila dikaitkan
dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler, manusia
bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu
berada diluar diri manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan
bahwa tugas manusia adalah mengakui nilai-nilai itu serta
mengikutinya dalam hidup.148
Menurut Max Scheler, nilai etika menurutnya dapat
ditemukan melalui pengalaman indrawi manusia, dan
secara apriori ditangkap oleh manusia melalui perasaan
emosinya. Ungkapan inilah yang mendasari seluruh nilai
etika Scheler.149 Bagi Scheler, nilai-nilai tidak berubah dan
tidak bersifat subjektif. Nilai-nilai dapat ditangkap secara
langsung berdasarkan intuisi. Nilai-nilai tidak tergantung
pada subjek, akan tetapi sebaliknya, subjek seakan
terhantung pada nilai-nilai dan hierarki yang berlaku antara
nilai-nilai itu. Tidak dapat dikatakan pula bahwa lebih dulu
suatu benda diamati dan baru melalui suatu proses
abstraksi sifat “indah” dilepaskan dari benda itu. Kita secara
langsung dapat melihat benda itu, sebagai contok melihat
lukisan sebagai indah. Bahkan dikatakan Scheler,
pengenalan tentang nilai mendahului pengenalan tentang
benda. Melihat suatu lukisan yang indah berarti
“menerapkan” padanya nilai “indah”. Tidak dapat
dihindarkan kesimpulan bahwa nilai-nilai berlaku secara
objektif dan apriori.150
Menurut Scheler, nilai tidak bersifat relatif,
melainkan mutlak, tidak dapat berubah, dan berada demi
dirnya sendiri. Jikalau ada yang berubah, maka yang
berubah bukan nilai, melainkan pengenalan seseorang akan
nilai dan nisbah seseorang terhadap nilai itu. Memang rasa
atau pengenalan terhadap nilai dapat berbeda-beda,
Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai……, hal. 111.
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat,
Jakarta: Rieneka Cipta, 1997, hal. 140.
149 Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 17-47.
150 K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 111-112.
147
148
208| Nilai dalam Wacana Filosofis
demikian juga pertimbangan seseorang terhadap nilai,
macam nilai yang menjadi pemberi arah kepada perbuatan
dan lain sebagainya. Akan tetapi nilai itu sendiri tidak
berubah.
Karenanya, suasana perasaan manusia ada
bermacam-macam, yaitu perasaan inderawi, seperti; rasa
enak, pahit, manis dan sebagainya. Perasaan vital, seperti;
lelah, segar, sedih dan sebagainya. Perasaan rohani, seperti;
bahagia, damai, senang, dan sebagainya, oleh karenanya ada
bermacam-macam nilai juga. Ada nilai kehidupan inderawi,
yang dapat disebut kenikmatan, ada nilai di bidang rasa
vital, yang dapat disebut kebaikan atau berupa
kesejahteraan, dan ada nilai rohani, yaitu umpamanya
keadilan, kebenaran, keindahan, kecucian, dan sebagainya.
Sudah barang tentu tidak semua nilai sama tinggi dan
rendahnya.151
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pada
dasarnya sungguh banyak sekali nilai itu, maka berdasarkan
penelitian fenomenologi Scheler, Scheler membagi empat
kelompok nilai, yaitu;
a. Nilai pertama adalah nilai tentang tidak nikmat atau
nikmat dan nilai ini berhubungan dengan kenikmatan
yang didapat dari kenikmatan indrawi.152 Deretan nilai
ini ‘yang enak’ dan ‘yang tidak enak’, fungsi yang
bersangkutan dengannya adalah perasaan inderawi
dengan dua bentuk, yaitu menikmati dan menderita,
pada lain pihak yang sesuai dengannya adalah keadaan
perasaan “perasaan perseptif”, nikmat dan perasaan
sakit tergantung dari segala macam bentuk
pengorganisasian tindakan yang dilakukan oleh
manusia.153 Indera-indera ini berbeda-beda pelbagai
Harus Hadiwijono, Sari Sejarah……, hal. 145-146.
Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi
dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta:
Kanisius, 2004, hal. 298.
153 Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 23-24.
151
152
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|209
benda dapat tempat sebagai menyenangkan atau tidak
menyenangkan kepada pelbagai macam individu, tetapi
nilai-nilai itu sendiri tetap sama.154
b. Nilai kedua adalah nilai vital yang berhubungan dengan
kondisi kesehatan manusia juga menyangkut kebesaran
hati dan keberaniannya.155 Benda-benda bernilai
modalitas memuat semua kualitas yang tercakup dalam
tegangan antara “yang luhur” dan “yang hina” atau yang
baik
dalam artian khas istilahnya yang
menyamakannya dengan yang bermutu dan yang
buruk. Nilai-nilai lanjutan atau nilai-nilai teknis dan
nilai-nilai symbol yang sesuai dengan nilai vital itu
adalah semua nilai yang terletak dalam wilayah artian
“keselamatan” dan “kesejahteraan”, dan yang lebih
rendah dibandingkan dengan “yang luhur” dan “yang
hina”, sebagai keadaan bernilai di sini termasuk semua
bentuk perasaan akan kehidupan, sebagai perasaan
reaksi jawaban di sini misalnya; bergembira dan
bersedih hati, sebagai reaksi jawaban instingtusl dapat
disebut “berani”, “takut”, ingin membalas dendam,
marah dan sebagainya. Kualitas-kualitas nilai itu
merupakan kekayaan luar biasa dan yang sesuai
dengannya di sini bahkan disindir saja tidak
mungkin.156 Nilai-nilai vital merupakan modalitas nilai
yang sama sekali mandiri, dan dalam arti apa pun tidak
dapat dikembalikan pada nilai-nilai “yang enak” dan
“tidak enak” maupun pada nilai-nilai rohani. Dengan
menerima nilai-nilai pada persoalan ini, sepertinya
Scheler dipengaruhi oleh Nietzsche.157
c. Nilai ketiga dinamakan nilai rohani yang berhubungan
dengan sikap kita terhadap keadilan dan estetika.158
K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 112.
Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual……, hal. 298.
156 Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 24.
157 K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 112.
158 Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual……, hal. 298.
154
155
210| Nilai dalam Wacana Filosofis
Tindakan dan fungsi-fungsi yang menangkap nilai-nilai
itu merupakan fungsi perasaan rohani dan tindakan
yang mendahului pilihan rohani, cinta, dan kebencian.
Fungsi-fungsi itu kelihatan berlainan dan fungsi-fungsi
dan tindakan-tindakan vital dengan nama yang sama,
baik secara murni fenomenologis maupun karena
struktur internal mereka.nilai-nilai rohani dibagi ke
dalam jenis-jenis utama, seperti, pertama, nilai “yang
indah” dan “yang jelek” serta seluruh wilayah nilai-nilai
murni estetik. Kedua, nilai-nilai “yang benar” dan “yang
tidak benar”, “benar” di sini bukan dalam arti dapat
dibenarkan,
kenyataan-kenyataan
yang
masih
merupakan “nilai”, dan sama sekali lain dari “betul”
dan “tidak betul” dalam arti sesuai dengan sebuah
undang-undang dan gagasan Negara serta dari gagasan
komunitas hidup yang mendasarinya. Ketiga, nilai-nilai
“pengertian kebenaran murni” murni karena demi
pengetahuan itu sendiri, bukan demi pemanfaatannya,
sebagaimana mau direalisasikan oleh filsafat. Perasaanperasaan itu berubah-ubah terus dan dalam ini tidak
tergantung dari perubahan-perubahan dalam suasana
si bidang perasaan vital, apalagi dari suasana perasaanperasaan inderawi, karena perasaan rohani itu muncul
langsung sesuai dengan perubahan nilai-nilai objekobjek sendiri menurut aturannya sendiri.159 Nilai-nilai
rohani ini tidak tergantung dari hubungan timbal balik
antara organism dengan dunia disekitarnya, nilai-nilai
ini meliputi antara lain; nilai-nilai estetis (bagus dan
tidak bagus/jelek), nilai-nilai yang menyangkut dengan
benar dan salah, nilai-nilai yang berhubungan dengan
pengetahuan murni atau pengetahuan yang dijalankan
dengan tanpa pamrih.160
159
160
Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 25-27.
K. Bertens, Filsafat Barat……, hal. 112.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|211
d. Nilai keempat, Scheler menyebutnya nilai objek absolut
yang berhubungan dengan sesuatu yang dianggap
kudus.161 Nilai ini mempunyai satu syarat kehadirannya
yang sangat pasti; kualitas-kualitas itu hanya muncul
dalam kaitan dengan objek-objek yang dipahami “objekobjek mutlak”. Maksud di sini bukan suatu golongan
objek yang disefinisi secara khusus, melainkan secara
prinsipil setiap objek dalam “lingkungan mutlak”.
Modalitas nilai ini sama sekali tidak berkaitan dengan
benda-benda, kekuatan-kekuatan, orang-orang nyata,
lembaga-lembaga yang dipelbagai zaman dan oleh
pelbagai bangsa dianggap kudus (dari pandanganpandangan fetisisme sampai ke paham Allah yang
paling murni). Semuanya ini termasuk cakupan objekobjek bernilai terberi dalam lingkungan nilai yang tidak
termasuk ajaran nilai apriori dan ajaran tentang urutan
hirarkis nilai-nilai. Namun dilihat dalam perspektif
nilai-nilai “yang Kudus” semua nilai lain sekaligus
muncul sebagai symbol nilai-nilai kekudusan itu.162
Berdasarkan pembahasan nilai menurut Max Scheler
di atas, menunjukkan bahwa manusia sendiri bukanlah
pencipta nilai, nilai itu berlaku dalam situasi apapun dan itu
terlepas dari manusia. Tugas manusia hanyalah mengakui
nilai-nilai, serta mewujudkannya dalam suatu kenyataan
yang konkret.163 Dalam perwujudannya nilai itu tidak
berada pada dirinya sendiri, melainkan selalu tampak
sebagai yang ada pada pembawa nilai, atau disebut juga
pada objek bernilai. Pembawa nilai ini merupakan objek
yang nyata. Bagi Scheler, nilai sebagai fenomena dasar yang
tidak dapat direduksikan atau dikembalikan pada fenomena
lainnya, misalnya hasil pemahaman rasional inderawi, dan
Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual……, hal. 298.
Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh……, hal. 27.
163 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa Soejono
Soemargono, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1988, hal. 111.
161
162
212| Nilai dalam Wacana Filosofis
fenomena dasar ini ditemukan dan dipahami melalui intuisi
perasaan terhadap nilai tersebut. Dengan demikian, nilai itu
telah tersedia bagi perasaan intensional, sebagai hubungan
intensional antara perasaan dengan nilai yang
bersangkutan. Bagi Scheler, pikiran itu pada prinsipnya buta
terhadap nilai, nilai itu tidak dirasakan dengan pikiran,
melainkan sampai dapat dirasakan melalui intuisi
emosional atau penangkapan dan pemahaman secara
langsung dengan perasaan emosi.164
e. Penutup
Demikianlah nilai dalam pemikiran Max Scheler
yang menurutnya lebih ke fenomenologi nilai, yang
merupakan suatu yang ditawarkannya dalam rangka untuk
menangkap dan menjelaskan nilai-nilai yang ditemukannya,
tetapi sebenarnya tidak dapat memberikan suatu bukti
tentang keberadaan suatu nilai-nilai serta ketersusunannya
yang bersifat objektif universal serta ahistoris, karena
dengan adanya perbedaan latar belakang sosiohistoris,
tentu saja tidak ada jaminan kesamaan antara hasil dari
intuisi Max Scheler dengan hasil intuisi orang lain tentang
nilai tersebut. Suatu hasil yang sangat luar biasa, Scheler
telah mampu membedakan antara ‘nilai’ dengan ‘hal yang
bernilai’. Menurut Scheler, nilai merupakan suatu kualitas
yang memiliki keberadaan secara objektif, tidak tergantung
pada sikap dan ada tidaknya subjek, serta keberadaannya
bersifat apriori, yang sama sekali tidak bergantung pada
hal-hal yang empiris.
Maka yang menjadi pusat filsafat Sheler adalah etika,
etikanya berakar dalam sebuah pengalaman dasar,
pengalaman akan nilai. Baginya, nilai adalah sebuah kualitas
atau berupa sifat yang membuat apa yang bernilai maka
akan menjadi bernilai. Maka yang bernilai itu adalah berupa
164
Paulus Wahana, Nilai Etika……, hal. 70-74.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|213
tindakan atau hubungan, yang pasti adalah berupa
kenyataan yang dialami di dunia ini. Scheler tidak mau
merumuskan sebuah teori, namun ia melukiskan apa yang
memperlihatkan diri apabila seseorang mencoba untuk
membuka hati.
Daftar Rujukan
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984.
Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa Soejono
Soemargono, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
1988.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1980.
Franz Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, 12 Teks
Kunci, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih
bahasa H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat,
Jakarta: Rieneka Cipta, 1997.
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Prenada Media, 2003.
K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX Jilid 1, Jakarta: PT.
Gramedia, 1981.
M. Irving Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995.
Risieri Frondisi, Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan Cuk
Ananta Wijaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler,
Yogyakarta: Kanisius, 2004.
214| Nilai dalam Wacana Filosofis
Simon L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi
dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman
Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|215
3. Nilai Menurut Henri Bergson
Oleh: Syarifuddin
a. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pada abad ke-20 ini, berkembang cepat termasuk
perkembangan industrialisasi. Beserta hal demikian pula,
segala pemikiran manusia mengarah kepada pemikiran
bendawi, apalagi pascaempirisme dan positivisme, semua
berpangku pada nilai-nilai nyata yang bersifat
eksperimentasi dan observasi. Akal manusia bagaikan
mesin penggerak untuk menyelidiki segala sesuatu, dianalis,
dibongkar dan ditafsirkan serta disusun kembali. Demikian
pula ilmu yang menyelidiki manusia dipandang sebagai
mesin yang terdiri dari bagian-bagian yang menjadikan
perkembangan jagad dan manusia itu berjalan secara
mekanis, masing-masing mempunyai bagian-bagian
tersendiri dan berjalan berdasarkan hukum-hukum yang
telah ditentukan. Demikian juga manusia, roh bukanlah
peristiwa yang berdiri sendiri, kerja roh disebabkan karena
akibat suatu proses-proses bendawi yang berjalan
dikarenakan suatu keharusan yang diakibatkan oleh
mekanik. Maka reaksi terhadap permasalahan di atas, salah
satunya adalah apa yang disebut dalam filsafat hidup yang
dianut oleh Henri Bergson (1859-1941), filsuf Prancis
berdarah Prancis-Yahudi.165
Filsafat Bergson di samping disebut sebagai filsafat
hidup, disebut juga sebagai filsafat vitalisme, dan ada juga
yang menyeburkan sebagai filsafat evolusi sebagaimana
dikatakan oleh Bernard Delfgaauw dalam bukunya Filsafat
Abad 20. Ungkapan ‘filsafat evolusi’ menunjukkan salah satu
kecenderungan penting dalam pemikiran Bergson. Maka
165 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Prenada Media, 2003, hal. 175.
216| Nilai dalam Wacana Filosofis
semenjak terbit bukunya Essai sur les Donnees immediate de
la Conscience (1889), secara tegas Bergson telah memihak
dalam menghadapi permasalahan pada zaman hidupnya.
Bergson mengikuti garis yang dianut pada abad ke-19, yang
tidak ingin melepaskan diri dari ilmu pengetahuan positif
dan dapat pula dikatakan bahwa, salah satu tujuan
filsafatnya adalah dalam rangka untuk memperbaharui
tafsir dalam ilmu.166
Bergson dan filsafatnya sangat dipengaruhi oleh
teori Darwin, menurut Bergson cara manusia bertindak
sangat ditentukan oleh dunia sekitarnya. Darwin sendiri
menekankan bahwa manusia yang sekarang ini merupakan
hasil dari suatu proses evolusi, di mana manusia memiliki
naluri untuk bertahan hidup. Pada prinsipnya, karakter
demikian ini merupakan suatu hal yang alami dalam
menjalankan proses hidup. Dalam menjawan proses evolusi
tersebut yang selalu dipakai dalam rangka memperbaiki
keberadaan hidup, bagi Bergson pada proses tersebut
adanya élan vital atau berupa daya hidup atau sebagaimana
orang menyebutnya, filsafat Bergson adalah filsafat hidup.
Dengan élan vital dibawa menuju ke tingkat yang lebih
tinggi yaitu menuju kepada keketeraturan. Filsafat hidup
atau pandangan hidup di mana di dalamnya terkandung
suatu tujuan hidup, ditentukan oleh pandangan tentang asal
mula manusia dan alam semesta ini. Jika asal mula itu
dipandang sebagai sesuatu yang spiritual, maka tujuan
hidup tentu juga akan bersifat spiritual, maka sikap, cara,
dan seluruh tingkah laku hidup sehari-hari tentunya
bersifat spiritual pula. Demikian juga jika asal mula
dipandang sebagai sesuatu yang material, maka mulai dari
166 Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001, hal. 83-84.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|217
tujuan hidup sampai ke tingkat hidup sehari-hari tentulah
bersifat material juga.167
Proses evolusi merupakan proses dinamis, demikian
juga terhadap pemikiran Bergson, selalu berjalan dan
melalui pada tahapan-tahapan yang demikian. Sebagaimana
pemikiran Bergson tentang pembagian moral, yang
membagi kepada moral statis dan moral dinamis,
masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, demikian
juga dengan pemikirannya tentang agama, sebagaimana
dikaitkan bahwa pada menjelang akhir hidupnya Bergson
merupakan filsul yang taat terhadap keyakinannya. Bergson
membagi agama kepada agama statis dan agama dinamis.
b. Riwayat Hidup dan Karyanya.
Henri Bergson (1859-1941) merupakan seorang
filsuf Perancis, yang lahir di Paris dari perkawinan antara
wanita Inggris dan pria Yahudi Polandia. Sebagian hidupnya
yang sangat produktif dihabiskan sebagai dosen bidang
filsafat serta sebagai seorang penulis. Berrgson merupakan
filsuf Prancis pertama yang setelah Auguste Comte
mempunyai pengaruh internasional. Pemikirannya disebut
“vitalisme” atau “filsafat hidup”, karena tekanan yang
diberikan kepada elan vital, “daya hidup” sebagai kekuatan
yang menggerakkan proses evolusi.168 Sebagai seorang
filsuf ternama abad ke-20, baginya pengetahuan yang
mengabsolutkan adalah pengetahuan yang karena intuisi
dan pemikiran rasional merupakan suatu pemikiran yang
lebih banyak dan palsu, hal ini yang dianggab sebagai salah
seorang filsuf yang mendobrak banyak filsuf, hal ini pula
membuatnya menjadi dikenal, sampai dikemudian hari
167 Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Credo ut inteligam,
Saya percaya, supaya mengerti (Anselmus), Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004,
hal. 72-73.
168 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 100.
218| Nilai dalam Wacana Filosofis
mendapatkan hadiah nobel tahun 1927 untuk karya
literatur.
Selama di Paris Bergson masuk pendidiakan pada
Lycee Condorcet dan selanjutnya diteruskan di Ecole
Normale, lulus pada tahun 1881. Selanjutnya Bergson
mengajar filsafat di Angers dan Clermont-Ferrand.
Kemudian kembali ke Paris, mengajar di beberapa Lycee
dan di Ecole Normale. Tahun 1900, Bergson dianugerahkan
Chair pada College de France, kemudian pada tahun itu juga
Bergson menerbitkan Loughter, selanjutnya pada tahun
1907 Bergson menerbitkan karyanya Creative Evolution,
merupakan karya yang telah memberikannya reputasi
internasional dan menjadi sangat populer. Tahun 1911
mengunjungi Inggris untuk memberikan kuliah di
Birmingham dan Oxford.
Tahun 1914, Bergson terpilih menjadi anggota
Academie Francaise dan pada tahun ini juga sebagian dari
bukunya dimasukkan ke dalam indeks buku-buku yang
dilarang oleh Holy Office di Roma karena antiintelektualismenya dianggap berbahaya bagi ajaran Katolik
Roma. Pada sisi yang lain, filsafatnya terus dibaca dan
dikagumi secara luas dan pengaruhnya pada para pemikir
lain sangat mendalam. Pada tahun 1919 koleksi esainya,
Mind energy, diterbitkan dan pada tahun 1922 Duree et
simultaneite, sebuah diskusi dengan Eistein yang
membicarakan tentang relativisme.
Model berfilsafat Bergson yang penuh bunga bahasa
dan penuh inspirasi, ternyata mengundang banyak kritik
tajam sekaligus juga mengundang kekaguman. Kritikus yang
paling utama adalah Julien Benda, yang menyebut Bergson
sebagai sebuah contoh agung kemunduran filsafat dan
kebudayaan umum yang telah meninggalkan pemikiran
analitis dan ilmiah dengan mendukung emosionalisme,
ketidakmenentuan, sikap pasif dan feminin. Kritik tajam
juga datang dari yang lainnya, diantaranya; filsuf Amerika
Charles Sander Peirce yang merasa tersinggung karena
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|219
dianggap ada kesamaannya dengan Bergson oleh William
James, para filsuf Katolik Roma di Perancis, Jaxques
Maritain, demikian juga dari kaum modernis ajaran Katolik
Roma. Bagi mereka pemikiran Bergson sangat mengancam
keyakinan Katolik Roma, bahkan mereka menganjurkan
bagi Bergson untuk pentingnya pengalaman keagamaan
personal. Yang paling menarik adalah Bergson saat tua
justeru dekat dengan ajaran Katolik.169
Bergson pensiun dari jabatan guru besarnya di
College de France pada tahun 1921 karena kesehatannya
buruk. Pasca perang dunia pertama, Bergson banyak
memberi perhatian pada politik internasional dan bekerja
mempromosikan kerjasama dan koeksistensi damai di
antara negara-negara. Setelah pecah Perang Dunia Kedua,
selama Bergson tinggal di Paris, Bergson diwajibkan untuk
mendaftar sebagai seorang Yahudi, antri berjam-jam dalam
cuaca dingin dalam rangka memenuhi persyaratan dan
akhirnya Bergson mengidap penyakit pneumonia yang
kemudian membawanya kematian pada tanggal 3 Januari
1941.170
c. Beberapa Karya Bergson
1. 1897, Matiere et Memoire, Materi dan Ingatan
2. 1907, L’Evolution creatrice, Evolusi yang berdaya
cipta
3. 1919, L’Energie spirituelle, Energi rohani
4. 1922, Duree et simultaneite, Keberlangsungan dan
Kebersamaan waktu
5. 1932, Les deux sources de la morale et de la religion,
Kedua sumber moral dan agama.171
169 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf Dunia yang Menggerakkan,
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001, hal. 196.
170 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, 2001, hal. 192-193.
171 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 102.
220| Nilai dalam Wacana Filosofis
d. Konsep Nilai Henri Bergson
1) Jalan menuju kesadaran moral
Bergson melahirkan filsafat hidupnya sebagai reaksi
terhadap pandangan materialisme dan pragmatisme.172
Sebagaimana kita ketahutahui menurut materialism
kebenaran tidaklah ditentukan berdasarkan gambaran,
melainkan oleh benda dan seluruh kenyataan yang ada
dirumuskan dan ditentukan oleh benda. Sedangkan
menurut pragmatisme suatu sikap, metode dan filsafat yang
memahami akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan
sebagai suatu ukuran dalam rangka menetapkan nilai dan
kebenaran atau sebagaimana yang dimaksudkan William
James, suatu sikap memandang jauh terhadap benda-benda
pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang
dianggap sangat penting serta melihat ke depan kepada
benda-benda yang terakhir, buah-buah, dan fakta-fakta.173
Konsep nilai dalam pemikiran Bergson berhubungan
dengan pemikirannya tentang aliran vitalisme atau filsafat
kehidupannya, Bergson mempostulatkan dorongan vital,
élan vital, yang merupakan realitas fundamental yang
melaluinya kekuatan kosmik dialami dan Bergson
menentang semua titik pandangan yang menganggap akal,
rasionalitas dan ilmu sebagai hal yang superior.174 Bagi
Bergson, elan vital merupakan penggerak yang pertama
yang bekerja dalam dunia, dan aktif dalam suatu proses
evolusi.175 Pada sisi yang lain juga, kurang lebih 25 tahun
setelah Bergson menulis Creative evolution, Bergson
berubah menjadi orang yang semakin religius dan mistis
172 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum,
dari Menodologi sampai Teofilsufi, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 399.
173 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, Bandung: Ciptapustaka
Media, 2005, hal. 201-217. Mengenai pragmatism, lihat juga: William
James, Pragmatism, New York: Longmas Green, 1967, hal. 54-55.
174 Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, hal. 192.
175 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005, hal. 192.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|221
dalam pandangannya. Dalam bukunya The Two Sources of
Morality, Bergson mencoba menguji secara filsufis jawabanjawaban antropologis dan sosiologis terhadap persoalanpersoalan mengenai asal-usul moralitas dan agama. Bagi
Bergson, sumber fenomena tersebut dapat ditemukan sekali
lagi dalam kedatangan secara serempak pikiran manusia
dengan élan vital; dan pikiran yang paling mampu
mempengaruhi kesatuan ini adalah berupa pikiran mistik.176
Filsafat hidup atau ‘vitalisme’, merupakan yang
membicarakan kehidupan sehari-hari dan juga yang
menembus melampauinya. Filsafat ini berhubungan dengan
pandangan hidup yang menjadi pedoman dalam pengaturan
sikap, cara, dan tingkah laku kehidupan sehari-hari dalam
rangka mencapai tujuan hidup.177 Filsafatnya meneropong
alam hidup sambil mempergunakan penemuan-penemuan
ilmu biologi. Uraian dan penjelasan Bergson memikat,
karena Bergson meneropong seluruh garis perkembangan
kehidupan, dari makhluk-makhluk bersel satu sampai
dengan manusia dan masyarakatnya (moral, religi),
akibatnya hakikat kehidupan beserta tujuannya baru
menjadi jelas bila diteliti roh. Akibat problematika
kehidupan membawa manusia lebih jauh, kepada dunia
rohani yang bertepatan dengan persoalan evolusi. Oleh
karenanya,
vitalisme
Bergson
sekaligus
bersifat
178
spiritualisme.
Sumber dari segala sesuatu yang terus mengalir
adalah élan vital, satu hasrat vital, impuls yang bukan
merupakan suatu substansi tapi kekuatan, penghasil segala
bentuk yang selalu baru dan lebih baik. Élan vital ini
merupakan sumber hidup vegetatif dan sensible, di mana
terdapat kekuatan naluriah (instinct) dan intelek. Pada
Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, hal. 195.
Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat……, hal. 71-72.
178 C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Sebuah
Pengantar dalam Permasalahan Filsafat, diindonesiakan oleh Dick
Hartoko, Jakarta: PT Gramedia, 1980, hal. 192-193.
176
177
222| Nilai dalam Wacana Filosofis
manusia, élan vital ini terangkat hingga kesadaran dan
kebebasan, namun perkembangan intelek riskan untuk
tidak mengetahui barang-barang real, (intelek mengetahui
hanya hubungan konsep-konsep, dan bukan objek real).
Naluri dan intelek bersatu dalam intuisi, yang merupakan
kekuatan pengetahuan dan metafisis. Pengetahuan atas
hidup sebagai ritme dinamis dan sumber yang tidak pernah
kering hanya mungkin tercapai setelah kita sadar akan
kekeliruan dari hypothesis mekanistis dan finalistis.179
Berdasarkan hal yang demikian, Bergson melihat
seluruh proses evolusi sebagai usaha élan vital dalam
rangka untuk membebaskan diri dari determinisme materi.
“Daya hidup” menterjemahkan materi kasar dalam
‘dinamik’. Eksistensi menjadi tegangan, keluasan statis dari
dunia anorganis menjadi dinamik padat dalam dunia
organis. Ketiga bidang dalam proses ini, bidang vegetative,
bidang instingtif (binatang-binatang), dan bidang rasional
(manusia), tidak dianggap sebagai tahap-tahap hierarkis
dalam suatu evolusi, melainkan sebagai tiga “arah”, tiga
kemungkinan yang dipilih oleh élan vital untuk
membebaskan diri keterikatan pada materi. Segala sesuatu
yang dilihat sekeliling itu memang hasil, residu, sedimentasi
dari kegiatan élan vital dalam periode-periode sebelum
jaman kita.180
Dalam tahap pertama dorongan ini bertautan
dengan naluri kebinatangan, pada tahap kedua berkaitan
dengan inteligensi manusia. Dorongan ini menciptakan
suatu komunitas insan dan moralitas sosial. Melampaui ini,
dalam diri para tokoh profetis agung dari agama yang
dinamis, maka dorongan tersebut menjadi meningkat
kepada mistisisme religius. Selnjutnua ia akan
menghasilkan suatu moralitas yang mengikat seluruh umat
http://romopatris.blogspot.com/2011/08/Pandanganbergson-atas-problem.htm.
180 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 103-104.
179
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|223
manusia. Pikiran yang abstrak, konseptual meningkatkan
control terhadap alam secara teknis dan eksternal. Akan
tetapi, suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang
kenyataan mungkin hanya dengan menggunakan intuisi.
Intuisis inilah yang memanfaatkan konsep-konsep yang
luwes, tumpang tindih, metaforis yang digunakan untuk
menggambarkan kenyataan.181
Bagi Bergson, kehidupan bukan semata-mata suatu
peristiwa biologis dan vital, melainkan sesuatu yang bersifat
spiritual, rohani. Materialism dialektis melukiskan dayadaya perkembangan dalam materi dengan berpangkal pada
kemauan sosial. Demikian juga Bergson menggambarkan
alam kebendaan dengan berpangkal pada suatu tahap yang
lebih tinggi, yaitu berupa roh dan kesadaran manusia. Hidup
merupakan suatu arah di dalam suatu organisme itu yang
memperoleh kebebasan dengan mempergunakan kekuatankekuatan fisis. Kehidupan terutama diketahui dengan
berpangkal pada pengalaman manusia yang menghayati
sesuatu yang sedang berlangsung dalam waktu. Gairah
kehidupan dapat dilukiskan sebagai suatu kesadaran yang
meluncur dan menerobos materi (la conscience a travers la
matiere).182
Intuisi merupakan suatu tenaga rohani, suatu
kecakapan yang dapat melepaskan diri akal, kecakapan
untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Instuisi
ini merupakan naluri yang telah mendapatkan kesadaran
diri, yang telah disampaikan untuk memikirkan sasarannya
serta memperluas sasaran itu menurut kehendak dan
kemauan diri sendiri dengan tanpa batas. Intuisi adalah
suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran
akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi
adalah untuk mengenal hakikat pribadi atau “aku” dengan
lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan.
181
182
Lorens Bagus, Kamus Filsafat……, hal. 255-256.
C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat….., hal. 194.
224| Nilai dalam Wacana Filosofis
Maka hakikat yang sebenarnya, baik dari “aku” maupun dari
“seluruh kenyataan” oleh intuisi dilihat sebagai
“kelangsungan murni” atau “masa murni”, yang keadaannya
berbeda sekali dengan “waktu” yang dikenal akal.
Berdasarkan dari apa yang dijelaskan tersebut, bagi
Bergson segala sesuatu dikerjakan berdasarkan dua
pengertian yang saling bertentangan, seperti; materi dan
hidup, akal dan intuisi, waktu dan masa murni atau
kelangsungan murni, statis, dan dinamis.183
Intuisi juga memainkan peranan dalam pengetahuan
manusia yang berhubungan dengan organism-organisme
hidup di dalam suatu evolusi kehidupan. Oleh karenanya,
finalitas metafisis diganti dengan daya kehidupan yang
mencari-cari jalan menuju hari depan. Pandangan demikian
juga diterapkan Bergson dalam pemikirannya bidang moral
dan religi (etika dan agama). Pada persoalan ini kemudian
sepertinya tidak memiliki jalan lain, sepertinya kehilangan
gairah dalam mencari jalan-jalan baru; moral menjadi
legalistis, berdasarkan naluri kelompok saja, religi
merupakan suatu jawaban sekaligus sebuah keputusan
akhir dari gairah kehidupan yang berhadapan dengan maut
yang mengancam. Pada persoalan ini adanya suatu
semangat untuk mendobrak kemandegan itu dengan
menghayati suatu moral personal dan dalam mistik para
pemimpin agama.184 Inteligensi yang dimiliki oleh manusia
jangan pula direduksikan pada kecakapan hanya untuk
mengukur dan menghitung, Bergson menyebutnya
inteligensi yang berlawanan dengan penggunaan yang lazim
dan lawannya sebagaimana disebut sebelumnya, yaitu
intuisi, dalam arti suatu partisipasi bersama kehidupan
Harus Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1980, hal. 137.
184 C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat……, hal. 194.
183
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|225
intim makhluk-makhluk. Sesungguhnya inteligensi manusia
meliputi, baik berupa inteligensi maupun berupa intuisi.185
Intuisi bagi Bergson merupakan kemampuan yang
dimiliki oleh manusia dalam rangka untuk meraih
kenyataan yang tidak tergantung pada posisi seseorang ,
dengan perkataan lain kenyataan mutlak. Merupakan
penglihatan langsung yang tidak tehalang oleh apapun,
mengungkapkan kesadaran secara langsung, yaitu berupa
penglihatan yang tidak berbeda dari objeknya, atau dengan
kata lain suatu kontak langsung dengan objeknya. Intuisi
merupakan, “a sympathy whereby one carries oneself into the
interior of an object to coincide with what is unique and
therefore inexpressible in it”. Sehingga intuisi ini menduduki
tempat sentral dalam filsafat Bergson, apalagi manusia
sebagai makhluk hidup dan satu-satunya yang memiliki
inteligensi dan dengan inteligensinya manusia menghadapi
hidup dan memiliki kedudukan yang amat penting dalam
hidup manusia.
Kecerdasannya,
masyarakat
dan
bahasanya
mengatakan dengan tegas perbedaannya dengan makhluk
hewan. Selanjutnya ada intelek yang mampu menganalisis
persoalan dalam artian melakukan melalui seleksi. Seleksi
berisikan pemecahan dan penilaian. Tentu saja dalam hal ini
mengenai pemecahan dan penilaian segala sesuatu yang
telah ada, dan intelek bagi Bergson hanya mampu sejauh
mengenai pengetahuan saja. Ia akan mampu meraih
pemikiran konseptual dan diskursif, mampu menganalisis
persoalan secara ilmiah dan intelek tidak ada lain, kecuali
sebagai fungsi praktis operasional olah piker manusia.
Intelek ini akan timbul dalam maksud yang khusus, yaitu
untuk membuat manusia mampu menguasai benda-benda
dalam alam. Ia merupakan perpanjangan indra yang dimiliki
oleh manusia, yang berfungsi untuk menciptakan alat-alat
185 Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, Sintesa Filsufis tentang
Makhluk Paradoksal, Jakarta: PT. Gramedia, 1989, hal. 119.
226| Nilai dalam Wacana Filosofis
dan
memikirkan
penggunaan
benda-benda
bagi
kelangsungan hidupnya. Namun kemampuan ini hanya
tertuju pada benda mati yang sudah tertentu saja.
Sedangkan emosi bagi Bergson merupakan gerakan
kejiwaan yang efektif, karena gerakan kejiwaan ini menuju
kepada kemajuan. Contoh yang diberikan oleh Bergson
mengenai emosi ini adalah tentang musik dan karya sastra
yang dengannya mampu menggugah emosi dalam hati
sanubari manusia, dan mengantar manusia untuk bertindak
secara moral. Karya seorang genius merupakan suatu hasil
dari emosi dan selanjutnya menggugah emosi pada diri
orang lain secara khusus “a work of a genius is in most cases
the outcome of an emotion unique of its kind, which seemed to
baffle expression, and yet which had to express itself”. Maka
emosi sangat menentukan dan dapat tergugah dan tentunya
menjadi sangat menentukan oleh suatu karya genius, dan ini
bukanlah suatu emosi biasa, dan emosi ini pula oleh
Bergson meletakkan pada posisi dan usur dalam melakukan
tindakan moral.
Maka hubungan antara emosi, inteligensi dan intuisi
dengan moral dan agama, pendidikan moral, akal sangat
diperlukan bagi dasar pendidikan itu, sangat menentukan
tugas dan kewajiban dan penghubungan penentuan dengan
kaidah-kaidah yang kemudian terjabar dalam pengetrapan.
Pada kenyataannya, moral yang sempurna tidak pernah ada
tanpa adanya refleksi, melakukan perenungan, analisis, dan
berupa argument-argumen dengan orang lain maupun
dengan diri sendiri lewat suatu pemikiran yang mendalam.
Jika pelaksanaan pendidikan tertuju untuk
peningkatan inteligensi supaya dapat memberikan
kepercayaan dan kehalusan pada rasa moral, jalan yang
ditempuh adalah memberikan petunjuk kepada kehendak.
Maka dalam hal ini, menurut Bergson yang perlu dilakukan
adalah memberikan latihan dan cara mistik. Latihan
terlaksana secara alami melalui kebiasaan-kebiasaan
kelompok, terjadi secara otomatis dan spontan. Maka ketika
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|227
semakin berkembangnya suatu masyarakat yang dilakukan
berdasarkan pembagian kerja, selanjutnya dengan
sendirinya masyarakat akan terpilah-pilah, kelompok itu
dibebani untuk menyelaraskan diri dengan masyarakat.
Maka disiplin akan menjadikan seseorang untuk jujur, pada
tataran latihan tentunya hanya berlaku dalam suasana
impersonal. Sedangkan jalan kedua, Bergson menyebutnya
religius (agama), atau bahkan Bergson menyebutnya mistik,
berisikan unsur-unsur religius, dan tidak saja metafisis.186
2) Etika dan Agama sebagai Nilai
Buku yang tulis Bergson pada tahun 1932 dengan
judul Les Deux Sources de la Morale et de la Relion atau
Kedua Sumber Moral dan Agama.187 Buku ini merupakan
pandangan Bergson tentang moral dan agama, diterbitkan
ketika Bergson sudah berumur 73 tahun, pikiran pokoknya
buku ini adalah perbedaan antara moral tertutup dan moral
terbuka, masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka,
agama yang statis dan agama yang dinamis.188 Menurut
Bergson, tulisannya ini sebagai sintesis terbaik dari seluruh
filsafatnya, pembahasannya tentang ketertutupan dan
keterbukaan, antara unsur statis dan unsur dinamis,
merupakan suatu perbedaan pokok antara waktu kuantitatif
dan keberlangsungan kualitatif. Apakah dalam persoalan
moral dan dalam persoalan agama memperlihatkan suatu
unsur dialektika dari suatu sistem tertutup dan tendensitendensi kreatif dalam membuka sistem ini. Setiap sistem
religius dan etis merupakan “residu”, “abu” dari suatu
inspirasi kreatif yang sudah lewat. Moral dan agama statis
merupakan hasil semangat kreatif yang sudah memadat.189
186 Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 93-100.
187 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 103.
188 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis, Jakarta: PT
Gramedia, 1985, hal. 264.
189 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 104.
228| Nilai dalam Wacana Filosofis
Bahkan Bergson dalam bukunya ini menguraikan dengan
sangat teliti tentang moral dan agama.190 Dan dalam buku
ini juga Bergson mencoba menguji secara filsufis jawabanjawaban antropologis dan sosiologis terhadap persoalanpersoalan mengenai asal-usul moralitas dan agama.
Menurut Bergson, sumber fenomena tersebut dapat
ditemukan dalam kedatangan secara serempak pikiran
manusia dengan élan vital; dan pikiran yang paling mempu
mempengaruhi kesatuan ini adalah pikiran mistik.191
Moral tertutup dan moral terbuka
Dalam pembahasan moral, Bergson menggunakan
pengertian masyarakat yang tertutup dan masyarakat
terbuka, moral yang tertutup dan moral yang terbuka.
Disadari atau tidak, sejak masa kecil manusia sudah
mengenal larangan-larangan yang diperkenalkan oleh orang
tuanya, saudara, guru dan lainnya, dan kepatuhannya
terhadap larangan berdasarkan suatu kebiasaan.
Masyarakat tertutup bagi Bergson adalah masyarakat yang
menjadi suatu sumber kewajiban-kewajiban moral dan
sumber adat istiadat. Sedangkan masyarakat terbuka adalah
masyarakat yang memiliki asasnya yang meliputi seluruh
umat manusia. Demikian juga yang dimaksud dengan moral
terbuka, merupakan suatu moral yang terbuka mutlak bagi
seluruh umat manusia, sedangkan moral yang tertutup
adalah moral yang hanya berlaku bagi suatu masyarakat
tertentu saja yang bagi masyarakat tersebut juga memiliki
keterbatasannya.192
Tidak mungkin ada moral persekutuan tanpa ada
agama yang menjamin kesatuan persekutuan. Tanpa agama,
moral tidak akan dapat bertahan dan tanpa moral,
perseketuan tidak akan bertahan. Karenanya agama
Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi……, hal. 86.
Diane Collinson, Lima Puluh Filsuf……, hal. 195.
192 Harus Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat……, hal.138.
190
191
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|229
tertutup dapat dirumuskan sebagai “suatu reaksi defensif
dari alam terhadap pengaruh akal pikiran, sepanjang akal
pikiran menindas perorangan dan membuyarkan
persekutuan”. Yang dimaksud oleh Bergson dalam hal ini
adalah kecerdasan konseptual-teknik. Berlawanan dengan
agama tertutup yang statik, didapati agama yang terbuka
dinamik. Sementara agama statik mempertahankan
kehidupan pada taraf yang telah dicapainya, sementara
agama dinamik membawa kehidupan lebih jauh sampai
perkembangannya yang penuh dalam suasana kasih sayang,
kasih sayang manusia bertalian dengan kasih sayang kepada
Tuhan yang dipuja manusia.193
a. Moral tertutup
Moral tertutup menandai masyarakat tertutup.
Suatu masyarakat adalah tertutup tidak dikarenakan oleh
sebab keterbatasannya menurut ruang, demikian juga tidak
karena meliputi sebagian saja dari umat manusia,
melainkan karena dikuasai oleh suatu moral yang hanya
berlaku terhadap para warga masyarakat saja dan tidak
terhadap mereka di luar masyarakat itu, dengan kata lain,
suatu moral yang tertutup. Prinsip dasar moral tertutup
adalah kerukunan di dalam kelompok dan permusuhan ke
luar. Bergson tidak setuju dengan mereka yang melihat
suatu kesinambungan antara keluarga, negara, dan umat
manusia. Kerukunan dalam keluarga dapat membina
seseorang untuk menjadi warga negara yang baik, keluarga
dan negara berhubungan erat satu sama lain, karena
keduanya mempunyai moral yang tertutup. Dalam suatu
negara setiap warga negara memihak kepada sesama warga
negara dan melawan musuh, bahkan dalam keadaan damai
sekalipun. Bagi Bergson, kedamaian selama ini tidak lain
daripada persiapan untuk berperang, sekurang-kurangnya
dalam arti pertahanan tetapi dapat juga dalam arti agresi.
193
Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20……, hal. 88.
230| Nilai dalam Wacana Filosofis
Maka peralihan dari negara ke umat manusia sama besar
dengan peralihan dari yang berhingga ke yang tak
berhingga. Berdasarkan penjelasan tersebut, sumber moral
tertutup menurut Bergson, dengan segala aturan serta
kewajibannya adalah desakan sosial (la pression sosiale)
atau desakan kerukunan, yang harus dimengerti sejalan
dengan insting yang berperan pada taraf ‘masyarakat
binatang’, paling jelas pada serangga seperti semut dan
lebah. Karena itu moral ini mempunyai asal mula infrarasional. Bagi Bergson, kehidupan etis tidak berasal dari
rasio, kewajiban etis berasal dari desakan sosial yang
bertujuan tetap mempertahankan kehidupan dan
kerukunan masyarakat.194
b. Moral terbuka
Moral terbuka menurut Bergson menandakan
masyarakat terbuka, maka moral itu dapat dikatakan
terbuka, karena menurut kodratnya bersifat universal dan
mencari kesatuan antara seluruh umat manusia. Moral ini
bersifat dinamis, sebab tertuju pada perubahan masyarakat
dan tidak ada maksud untuk mempertahankan masyarakat
sebagaimana adanya. Para nabi (dalam Perjanjian Lama)
telah membawa suatu perubahan lewat moral yang dibawa
secara terbuka, dan mereka para nabi tersebut tidak pernah
mengecualikan ajaran yang mereka bawa terhadap kaum
miskin dan golongan budak (hamba sahaya), sekalipun
mereka para nabi mengemukakan aturan-aturan moral
(etis) hanya untuk masyarakat Israel saja. Menurut Bergson,
terutama agama Kristen telah mengajukan moral terbuka
dan masyarakat terbuka.
Moral terbuka tidak berdasarkan kewajiban,
melainkan berupa anjuran, himbauan, aspirasi, appèl. Dalam
sejarah telah dikenal dengan tokoh-tokoh besar, orangorang suci, pahlawan-pahlawan, mereka tidak hanya
194
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 264.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|231
mencanangkan dalam perjuangan mereka berupa cinta
kasih secara universal sebagai cita-cita, namun jauh
daripada itu, mereka juga mewujudkan dalam kepribadian
dan kehidupan mereka, sehingga mereka menjadi contoh
dan suri tauladan. Cara hidup mereka telah menggugah hati
orang lain, dan apa yang mereka lakukan bukan karena
paksaan atau berupa desakan sosial, bukan juga karena
berupa alas an-alasan rasional yang dapat diterangkan dan
dimengerti, melainkan karena suri tauladan dan himbauan.
Maka Bergson mengatakan; moral terbuka mempunyai asalusul supra rasional. Moral tersebut berasal dari suatu
émotion créatrice, suatu emosi kreatif yang mendorong
tokoh-tokoh besar.195
Agama statis dan agama dinamis.
a. Agama statis
Pada hakikatnya Bergson tidak puas dengan
psikologi, karena psikologi tidak sepenuhnya tidak dengan
sepenuhnya memperhatikan bagian dari alam pikiran
manusia, alam pikiran mengahasilkan takhayul bersifat
fantasi. Psikologi menghubungkan gambaran-gambaran
semacam ini dengan mendasarkan pada penemuan hasil
dari ilmu pengetahuan, karya seni dan sastra, serta
menempatkannya di bawah imajinasi. Bergson memberikan
tempat khusus bagi gagasan atau gambaran fantasmik dan
tindakan yang menghasilkannya disebut ‘fungsi dalam
menciptakan mitos’, dan pada kenyataannya tidak ada satu
masyarakat pun yang tidak memiliki agama.
Menurut Bergson, jika pada suatu saat inteligensi
manusia sudah mulai mengancam kohesi masyarakat, maka
pada saat itu haruslah ada keseimbangan dari lawan yang
menaham ancaman itu, untuk itu kalau bukan insting,
karena insting sudah terdesak oleh inteligensi, maka ia
adalah berupa sisa-sisa dari insting yang masih melekat
195
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 265.
232| Nilai dalam Wacana Filosofis
pada tepi intelegensi, dan melalui intelegensi ini kembali ia
menghasilkan gambaran berupa imajinasi dalam rangka
untuk melawan kerja intelegensi, inilah yang disebut
dengan ‘fungsi pencipta mitos’. Perkembangan yang
memuncak yang ada pada diri manusia, membuat manusia
justeru dapat menemukan hal-hal yang baru, yaitu berupa
inisiatif. Menurut Bergson, suatu daya tarik dari inisiatif
perorangan yang langsung, dapat menimbulkan bahaya bagi
suatu disiplin sosial.
Jika berdasarkan kecerdasannya, ketika seorang
individu lupa kepada komunitas masyarakat dan hanya
mementingkan diri sendiri, yang justeru terjadi adalah sikap
egois, maka seandainya tidak ada yang dapat untuk
mengendalikan sikap individual tersebut, maka akal akan
terus
menerus
berusaha
untuk
mementingkan
kepentingannya sendiri. Pada tahap ini sangat
mementingkan agama untuk sebuah reaksi dalam
menghalau sifat merusak. Oleh karenanya, manusia sangat
paham terhadap arti kematian, semua makhluk hidup
berakhir dengan kematian, terhadap anggapan akan hidup
terus di dunia, merupakan hal yang bertentangan dengan
kehendak alam, maka manusia dihadapkan pada permainan
khusus antara gambaran dan ide-ide, yang melekat pada
agama pada masa permulaan pertumbuhannya. Hal ini
menunjang adanya suatu aktivitas naluri manusia yang pada
akhirnya mengarah kepada gambaran-gambaran terhadap
lahirnya ide-ide religius.
Gairah hidup tidak mau tahu tentang hal yang
aksidental, yang belum diketahui sebelumnya, yang tidak
pasti, yang tidak terduga. Namun manusia dapat menyadari
terhadap lahirnya gambaran-gambaran tentang kekuatankekuatan yang murah hati (ada juga kekuatan-kekuatan
yang tidak murah hati) yang membantu manusia mencapai
tujuannya. Namun demikian, ‘gairah hidup’ tetap optimistis
untuk menghadapinya. Gambaran-gambaran religius yang
timbul, oleh Bergson mendefinisikan “they are defensive
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|233
reactions of nature against the representation, by the
intelligence of a depressive margin of the unexpected between
the initiative taken and the effect desired”. Berdasarkan
persoalan di atas, Bergson dapat mendefinisikan terhadap
apa yang dinamakan dengan agama statis secara
keseluruhan.196
Berdasarkan penjelasan Harun Hadiwijono,197
agama statis merupakan timbul dari hasil karya
perkembangan. Dalam perkembangan alam telah
memberikan
kepada
manusia
kecakapan
untuk
menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat
manusia yang seorang dengan yang lain dan dapat mengikat
manusia dengan hidup. Karena akalnya manusia tahu,
bahwa ia harus mati. Juga karena akalnya ia tahu, bahwa
ada rintangan-rintangan yang tidak terduga, yang
merintangi usahanya untuk mencapai tujuannya. Alam telah
membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit
ini dengan khayalan-khayalan. Demikianlah timbul agama
sebagai alat bertahan terhadap segala sesuatu yang dapat
menjadikan manusia putus asa.
Agama statis ini menunjang kesatuan sosial,
manusia tidak lagi memiliki insting seperti binatang,
manusia mempunyai akal budi, tetapi lebih cenderung
kepada mengutamakan kepentingannya sendiri dan
mengabaikan kepentingan masyarakat. Oleh karenanya,
akal budi yang dimiliki oleh manusia, lebih bersifat kritis
dan lebih memajukan kepentingan serta sikap individual,
hal ini justeru lebih membahayakan kepentingan
masyarakat. Dalam rangka untuk mengimbangi pengaruh
akal budi, manusia memiliki la fanction fabulatrice; yaitu
berupa fungsi dan daya menghasilkan mitos-mitos, hal ini
dapat juga dikatakan sebagai bagian dari fantasi.
196
197
Djuretna A. Imam Muhni, Agama dan Religi……, hal. 100-105.
Harun Hadiwijono, Seri Sejarah Filsafat……, hal. 138.
234| Nilai dalam Wacana Filosofis
Maka Bergson menekankan bahwa fungsi fabulatif
itu merupakan buah hasil agama, bukan sebaliknya agama
yang dihasilkan oleh fantasi. Dalam masyarakat primitive,
fungsi fabulatif memegang peranan kuat, agama
mempertahankan susunan sosial. Menurut apa yang
diceritakan berdasarkan mitos-mitos, maka laranganlarangan dan adat kebiasaan berasal dari dewa-dewa.
Dengan menjamin berlakunya adat kebiasaan dan
menghukum bagi setiap yang melakukan pelanggaran, para
dewa melindungi susunan masyarakat.198
b. Agama dinamis
Agama dinamis adalah agama terbuka, oleh Bergson
disamakan dengan mistik. Mistik oleh Bergson diuraikan
oleh “identifikasi dengan kekuatan kreatif yang
mengungkapkan diri dalam hidup”. Kekuatan kreatif ini
berasal dari Allah, tetapi tidak sama dengan Allah. Allah
memerlukan pencipta-pencipta, karena hanya penciptapencipta pantas diciptai oleh-Nya. Tugas mistik adalah
menekankan agama dinamis dalam suatu dunia yang sering
terlalu teknis, mistik dan teknik saling memerlukan. Teknik
telah berhasil memperbesar “badan” manusia, tetapi badan
yang luas memerlukan suatu ekspansi rohani, suatu jiwa
yang luas. Ekspansi teknis sampai sekarang belum diikuti
oleh suatu ekspansi rohani yang sepadan, maka dunia teknis
memerlukan pahlawan-pahlawan, seniman-seniman, dan
orang mistik untuk memperluas dimensi-dimensi jiwa dunia
teknis.199
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, dalam
agama statis, fungsi menciptakan mitos menghasilkan
agama statis. Di sinilah menurut Bergson berfungsinya
intuisi, sehingga manusia perlu mendasarkan dirinya pada
sebuah kekuatan. Jiwa yang kuat dan luhur yang mampu
198
199
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 266.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 105.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|235
berusahan dan tidak pernah berhenti untuk bertanya,
apakah prinsip yang selalu menyentuhnya adalah
merupakan sesuatu yang transenden, sebab utama
terjadinya segala sesuatu di dunia, apakah hanya berupan
suatu pancaran saja. Maka jiwa luhur tersebut tanpa
kehilangan kepribadiannya cukup merasa bahagia, selalu
diliputi oleh sesuatu yang jauh lebih mulia dari dirinya
sendiri, bagaikan besi diliputi oleh api yang membuatnya
membara dan bercahaya. Keterikatan kepada hidup
selanjutnya merupakan keterikatan yang tidak terpisah dari
suatu prinsip, kegembiraan dalam kegembiraan, kasih
kepada sesuatu yang penuh kasih. Pelepasan diri dari
masing-masing hal yang khusus akan menjadi keterikatan
kepada hidup pada umumnya. Maka di sini Bergson sampai
kepada sesuatu apa yang sering orang-orang maksud
dengan tasawuf.200
Agama dinamis adalah yang diberikan oleh intuisi,
dengan perantaraan agama ini manusia dapat berhubungan
dengan asas yang Lebih Tinggi, yang lebih kuasa daripada
dirinya sendiri, yang menyalami dia tanpa menghapuskan
kepribadiannya. Karena agama inilah manusia diikatkan
kepada hidup dan masyarakat atas dasar yang lebih tinggi.
Maka bentuk agama yang lebih tinggi menurut Bergson
adalah mistik.201
Mistik dalam filsafat Bergson.
Mistik merupakan agama dinamis, para mistisi
bersatu dengan usaha kreatif yang “berasal dari Allah dan
barangkali malah dapat disamakan dengan Allah”. Bergson
mempelajari mistik dalam agama Yunani, mistik Timur dan
mistik Kristen. Bergson berpendapat bahwa, agama Kristen
mistik mencapai bentuknya yang lain lengkap, karena di situ
mistik disertai aktivitas dan kreativitas. Mistik yang
200
201
Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 105-106.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat……, hal. 105.
236| Nilai dalam Wacana Filosofis
berbalik dari dunia supaya mempersatukan diri dengan
suatu pusat Ilahi, menurut Bergson tidak boleh disebut
mistik yang lengkap. Menurut Bergson, jika refleksi filsufis
dapat sampai pada adanya suatu energi kreatif yang bekerja
dalam dunia, refleksi lebih lanjut atas mistik dapat
memperoleh penjelasan tentang kodratnya prinsip
kehidupan ini, yaitu berupa cinta. Melalui mistik dapat kita
belajar bahwa energi kreatif adalah cinta.202
Menurut Bergson, pada kenyataannya seorang
mistik merupakan alat Tuhan dalam menyampaikan kasih
Tuhan kepada hambanya manusia, berdasarkan kekuatan
yang diterimanya dari Tuhan. Cinta kasih mistik tidak hanya
cinta kasih manusia kepada Tuhan, melainkan sama dengan
kasih Tuhan kepada kemanusiaan seluruhnya. Melaului
Tuhan dan dalam kekuatan Ilahi, mistik angung ini
mencintai manusia seluruhnya. Maka cinta kasih ini bersifat
khusus, bukan perkembangan naluri, juga bukan berasal
dari satu ide, buka merupakan suatu sensasi ataupun
pikiran melainkan keduanya dengan efek yang jauh lebih
besar, ia berakar pada dasar perasaan dan akal manusia
yang paling dalam.203
Masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka
a. Masyarakat tertutup
Pembicaraan ini, sebagaimana dijelaskan oleh
Djuretna A. Imam Muhni dalam bukunya, Moral dan Religi,
Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson,204 sebagaimana
dijelaskan oleh Bergson, masyarakat tertutup merupakan
masyarakat di mana seluruh kehidupan anggota-anggotanya
hanya tertuju atau terbatas pada hidup masyarakat itu
sendiri. Tanpa sama sekali memperhatikan apa yang telah
terjadi di luar masyarakat itu sendiri, kehidupan bersama
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 267.
Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 109-110.
204 Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 110.
202
203
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|237
hanya pada tataran dalam rangka mempertahankan diri,
anggota masyarakat selalu dalam keadaan siap berperang.
Hidup mereka hanya berdasarkan naluri, setiap manusia
tunduk dan lebur dalam suatu masyarakat tanpa memiliki
kepribadian. Kekuatan yang mereka miliki untuk kehidupan
moral yang berupa “kewajiban moral”, justeru menekan,
mencekam dengan erat dalam diri mereka, mereka dapat
hidup langsung, jika pada suatu saat intelegensi cenderung
merusak atau mengganggu kohesinya, akan ditolak oleh
yang namanya insting yang masih mereka miliki, yaitu suatu
daya dalam bentuk “daya mencipta mitos”, dan daya atau
kemampuan ini merupakan sumber yang menghasilkan
agama statis. Maka, dalam masyarakat tertutup berkuasalah
moral tertutup, dan anggota masyarakatnya menganut
agama statis juga.
b. Masyarakat terbuka
Masyarakat terbuka menurut Bergson adalah
merupakan
masyarakat
yang
meliputi
seluruh
kemanusiaan. Perubahan yang berasal dari masyarakat
tertutup menjadi masyarakat terbuka, bukanlah hanya
perluasan atau pelebaran, melainkan terjadi suatu
perubahan secara radikal, perubahan tersebut bukan
kuantitas, melainkan kualitas masyarakat itu. Pada dataran
ini telah terjadi suatu perubahan, kemampuan yang terjadi
dalam diri seseorang yang terpilih. Sesunggunya dorongan
selalu hadir dalam suatu kehidupan, pada suatu waktu
dalam perjalanannya akan berhenti pada manusia dalam
masyarakat tertutup, dan akan terbangun kembali oleh
seseorang yang terpilih, demikianlah kehidupan mistik
sebagaimana yang dimaksud oleh Bergson. Dengan
intuisinya, manusia meraih agama yang dinamis,
mendapatkannya serta sekaligus menganutnya. Kehidupan
238| Nilai dalam Wacana Filosofis
moral terbuka dan agama dinamis merupakan dasar
fundamental menuju ke arah masyarakat terbuka.205
e. Penutup
Demikianlah pemikiran Bergson tentang nilai, yang
dalam pemikirannya berpangku pada nilai evolusi, bergerak
dari dataran statis menuju ke yang dinamis. Bagi Bergson,
filsafatnya merupakan kesadaran dan berupa suatu refleksi
yang merujuk kepada data yang langsung diperoleh dan
didapatkan melalui intuisi. Bergson mengklarifikasikan akal
sebagai suatu fakulti personal, sambil menekankan bahwa
secara filsufis secara sadar terlebih dahulu mengikuti titik
pandang yang dipilihnya. Maka Bergson beranggapan
bahwa filsuf sebagai orang yang menghadapi pikiran yang
essensial agar dapat menemukan kondisi-kondisi dari
sebuah totalitas pengetahuan.
Dengan demikian, sebagaimana tulis Bertens,206
Bergson melihat agama statis sebagai suatu reaksi terhadap
pengaruh negative dari akal budi baik bagi individu maupun
bagi masyarakat. Agama statis tersebut terutama menandai
masyarakat primitif, namun tidak hanya terbatas di situ
saja. Agama statis masih tetap ada sejauh mentalitas primitif
masih hidup terus dalam kebudayaan manusia. Kalau dalam
perang modern kedua belah pihak percaya bahwa Allah
memihak kepada meraka, maka menurut Bergson di sini
masih kelihatan suatu suasana agama statis. Alasannya
adalah; mereka memperlakukan Allah sebagai dewa
nasional, biarpun keduanya barangkali mengaku dirinya
takwa kepada Allah yang Esa.
205
206
Djurenta A. Imam Muhni, Agama dan Religi….., hal. 111.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX……, hal. 266.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|239
Daftar Rujukan
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat
Umum, dari Menodologi sampai Teofilsufi, Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, Alih Bahasa Soejono
Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2001.
C.A. van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Sebuah
Pengantar
dalam
Permasalahan
Filsafat,
diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Jakarta: PT
Gramedia, 1980.
Diane
Collinson, Lima Puluh Filsuf Dunia yang
Menggerakkan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2001.
Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson, Yogyakarta: Kanisius,
1994.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Hasan
Bakti Nasution, Filsafat
Ciptapustaka Media, 2005.
Umum,
Bandung:
Harus Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:
Kanisius, 1980.
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta:
Prenada Media, 2003.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II Prancis, Jakarta: PT
Gramedia, 1985.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005.
240| Nilai dalam Wacana Filosofis
Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri, Sintesa Filsufis tentang
Makhluk Paradoksal, Jakarta: PT. Gramedia, 1989.
Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Credo ut
inteligam, Saya percaya, supaya mengerti
(Anselmus), Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.
William James, Pragmatism, New York: Longmas Green,
1967.
http://romopatris.blogspot.com/2011/08/Pandanganbergson-atas-problem.htm.
Bab 4, Pandangan Para Filosof tentang Nilai
|241
242| Nilai dalam Wacana Filosofis
Download