Produksi dan Karakterisasi Enzim Tanin Asil

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi pH, Suhu, dan Waktu Inkubasi Optimum untuk Produksi Enzim
Tanin Asil Hidrolase (Tanase)
Pola produksi enzim tanase dengan menggunakan media padat pada
berbagai suhu pertumbuhan disajikan pada Gambar 10. Kondisi optimum untuk
produksi enzim tanase dari A. niger yang diisolasi dari kulit buah kakao pada pH
5.5, suhu 28o C dan waktu inkubasi selama 3 hari. Nilai aktivitas tertinggi yang
diperoleh yaitu sebesar 0.167 U/ml (Gambar 10b).
0.18
0.16
0.1
Aktivitas tanase (U/ml)
Aktivitas tanase (U/ml)
0.12
0.08
0.06
0.14
0.12
0.1
0.08
0.04
0
1
2
3
4
5
6
0.06
0
Waktu Inkubasi (Hari)
pH 4
pH 4.5
pH 5
pH 5.5
pH 6
1
2
3
4
Waktu inkubasi (hari)
pH 4
pH 4.5
(a)
pH 5
5
6
pH 5.5
pH 6
(b)
0.16
0.120
Aktivitas tanase (U/ml)
Aktivitas tanase (U/ml)
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.100
0.080
0.060
0.040
0
1
pH 4
2
3
4
Waktu inkubasi (hari)
pH 4.5
pH 5
(c)
5
pH 5.5
6
pH 6
0
pH 4
1
2
3
4
Waktu inkubasi (hari)
pH 4.5
pH 5
pH 5.5
(d)
Gambar 10 Pola produksi enzim tanase menggunakan media padat
pada suhu: (a) 26 (b) 28 (c) 30 dan (d) 32o C.
5
6
pH 6
Suhu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selular
mikroorganisme, pembentukan spora, germinasi dan fisiologi mikroba, yang lebih
lanjut mempengaruhi pembentukan enzim. Produksi enzim tanase dari A. niger
pada berbagai perlakuan pH dan waktu inkubasi menunjukkan nilai optimal pada
suhu 28o C.. Beberapa penelitian memberikan hasil yang sama diantaranya
penelitian Sanchez (2003) dan penelitian Lekha dan Lonsane (1997) dengan
menggunakan kapang A. niger. Jenis kapang yang berbeda memiliki suhu
pertumbuhan yang berbeda pula (Atlas 1989). Seperti dari hasil penelitian
Banerjee et al. (2005) yang menunjukkan produksi tanase dari A. foetidus dan
R.oryzae mencapai nilai optimal pada suhu 30o C.
Pada suhu 26o C aktivitas tanase menunjukkan aktivitas tanase yang rendah
begitu juga dengan suhu pertumbuhan 30 dan 32o C. Suhu pertumbuhan yang
rendah menyebabkan aktivitas enzimatik yang rendah pula sehingga tidak
memungkinkan untuk menjalankan reaksi metabolisme yang dibutuhkan pada
proses reproduksi. Sebaliknya pada suhu tinggi, protein dapat mengalami
denaturasi akibat gangguan pada struktur tiga dimensinya, dan reaksi enzimatik
dapat terganggu sehingga pertumbuhan mikroba menjadi terhambat. Selain itu,
penelitian Mackenzie et al. (1994) melaporkan bahwa pada suhu di atas nilai
optimal untuk pertumbuhan, ekskresi enzim protease berlangsung cepat dan
diduga protease ini dapat memotong bagian protein enzim tanase sehingga
aktivitas tanase menjadi berkurang.
Pertumbuhan kapang A. niger untuk menghasilkan enzim tanase juga
dipengaruhi oleh pH. Hasil penelitian me nunjukkan bahwa produksi tanase
tertinggi pada berbagai suhu pertumbuhan, diperoleh pada pH pertumbuhan 5.5
kecuali suhu 26o C. Suhu 26o C menunjukkan aktivitas tanase tertinggi pada pH 5,
hanya saja nilai ini tidak signifikan dengan aktivitas tanase pada pH 5.5. Hasil
penelitian sebelumnya yaitu penelitian Sabu et al. (2005) dan Ramirez-Coronel et
al. (2003) menggunakan pH medium yang sama untuk produksi tanase dari A.
niger. Ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanchez (2003) yang
menunjukkan produksi tanase meningkat pada pH medium sebesar 4. Hal ini
disebabkan variasi pH yang digunakan pada penelitian Sanchez (2003) hanya
terbatas pada pH 4 dan 7. Selain itu, isolat kapang yang digunakan juga berbeda.
Menurut Atlas (1989), nilai pH dapat mempengaruhi struktur dan fungsi
protein sehingga enzim yang terdapat dalam sistem akan inaktif jika mikroba
tumbuh pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Selain itu, jika pH
pertumbuhan terlalu rendah, akan mengganggu gradien proton antara lingkungan
di luar dan di dalam sel sehingga mengganggu kemampuan sel untuk
menghasilkan energi (Ray 2000).
Waktu inkubasi optimum untuk produksi tanase A. niger dari penelitian ini
pada berbagai suhu dan pH pertumbuhan terdapat pada hari ke-3 inkubasi. Hasil
ini sesuai dengan penelitian Kar et al. (1999) dan Pinto et al. (2001). Berbeda
halnya dengan penelitian Sanchez (2003) dan Albertse (2002) yang menggunakan
waktu inkubasi selama 24 jam untuk produksi tanase dari A. niger. Hal ini
kemungkinan disebabkan jenis media yang digunakan berbeda dimana kedua
peneliti tersebut menggunakan media cair untuk produksi tanase. Selain itu,
penelitian Albertse (2002) menggunakan jumlah asam tanat yang lebih sedikit
sebagai induser yaitu sebesar 1% sehingga dalam jangka waktu 24 jam, produksi
tanase menjadi optimal.
Penelitian Banerjee et al. (2005) juga menunjukkan waktu inkubasi optimal
yang berbeda walaupun jenis media yang digunakan sama dengan penelitian ini
yaitu media padat. Penelitian tersebut menemukan waktu inkubasi optimal sebesar
48 jam untuk produksi tanase. Hal ini berkaitan dengan komposisi media yang
digunakan. Banerjee et al. (2005) menggunakan bubuk tanaman T. chebula dan C.
digyna yang mengandung tanin sebagai media untuk menghasilkan tanase. Selain
itu, jenis kapang yang digunakan juga berbeda dimana Banerjee et al. (2005)
menggunakan jamur R. oryzae dan A. foetidus.
Penelitian Rana dan Bhat (2005) dan Sabu et al. (2005) juga menemukan
waktu inkubasi optimal yang berbeda untuk produksi tanase. Mereka menemukan
bahwa waktu inkubasi selama 96 jam dapat meningkatkan produksi tanase dengan
fermentasi media padat. Selain isolat yang digunakan berbeda, jenis media juga
berpengaruh terhadap produksi tanase. Sabu et al. (2005) menggunakan jenis dan
komposisi induser yang berbeda dimana induser yang digunakan adalah metil
galat dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan penelitian ini yaitu sebesar
4% sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai optimal.
Sebaliknya Rana dan Bhat (2005) menggunakan jumlah asam tanat yang lebih
sedikit yaitu sebesar 2.5%. Akan tetapi sumber karbon lain yang digunakan adalah
glukosa dimana struktur glukosa diketahui lebih sederhana dibandingkan asam
tanat. Selain itu, glukosa dapat langsung ditranspor ke dalam sel untuk
dimanfaatkan oleh fungi. Berbeda halnya dengan asam tanat yang harus
didegradasi terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan. Hal inilah yang
kemungkinan menyebabkan waktu inkubasi pada penelitian Rana dan Bhat (2005)
lebih lama dibandingkan penelitian ini. Menurut Ray (2000), bila media
pertumbuhan
mengandung
berbagai
jenis
nutrisi,
maka
mikroba
akan
memanfaatkan nutrisi yang paling sederhana terlebih dahulu. Setelah itu, mikroba
akan menggunakan zat makanan yang lebih kompleks dengan memanfaatkan
enzim ekstraseluler yang dimilikinya atau diproduksinya.
Pada hari keempat terjadi penurunan aktivitas tanase. Hal ini kemungkinan
disebabkan asam tanat dalam media telah menipis sehingga mikroba
memanfaatkan nutrisi lain yang terkandung dalam media. Selain itu, penumpukan
produk dapat bertindak sebagai korepresor yang dapat mencegah sintesis enzim
(Gumbira-Said 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Aguilar et al. (2001a)
melaporkan bahwa penumpukan asam galat dalam media dapat menimbulkan
represi katabolit pada sintesis tanase. Lebih lanjut, penelitian Banerjee et al.
(2005) menemukan bahwa pada 72 jam waktu inkubasi, jumlah asam galat yang
dihasilkan sebesar 67% dan nilai ini tidak berbeda nyata dengan jumlah asam
galat pada 84 jam waktu inkubasi. Hanya saja terjadi penurunan aktivitas enzim
yang nyata dimana pada 72 jam waktu inkubasi aktivitas enzim sebesar 28 U/ml
sedangkan pada 84 jam waktu inkubasi menurun hingga 17 U/ml. Hal ini diduga
bahwa asam galat dapat bertindak sebagai korepresor pada sintesis enzim tanase.
Optimasi Media Produksi Tanase
Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis media dan
konsentrasi induser yang terbaik pada produksi enzim tanase. Jenis media yang
digunakan adalah media padat dan media cair, yang dimodifikasi dari media
Sanchez (2003). Sedangkan konsentrasi induser yang diuji adalah 3%, 5%, 7%
dan 0% sebagai kontrol. Induser yang digunakan adalah asam tanat. Semua
perlakuan diinkubasi pada suhu 28 o C selama 3 hari sesuai dengan penelitian
tahap pertama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi tanase tertinggi diperoleh
pada media padat dengan konsentrasi induser sebesar 5%. Aktivitas tertinggi yang
diperoleh adalah sebesar 1.441 U/ml. Pada media padat, aktivitas tanase yang
diperoleh dari semua konsentrasi induser menunjukkan hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan media cair (Gambar 11).
1.6
Aktivitas tanase (U/ml)
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0%
2%
4%
6%
8%
Konsentrasi induser
media cair
media padat
Gambar 11 Aktivitas enzim tanase pada media padat dan cair
dengan beberapa konsentrasi induser.
Hasil analisis varian dua arah menunjukkan bahwa jenis media dan
konsentrasi induser berpengaruh nyata terhadap aktivitas tanase (Lampiran 14a).
Berdasarkan hasil uji Duncan, aktivitas tanase pada konsentrasi induser 0% dan
3% tidak berbeda nyata, sedangkan aktivitas tanase pada konsentrasi induser 3%
dan 7% berbeda nyata. Antara konsentrasi induser 5% dengan konsentrasi induser
0, 3 dan 7%, aktivitas tanase berbeda nyata pada selang tingkat kesalahan 5%
(Lampiran 14b).
Beberapa penelitian menunjukkan konsentrasi induser optimal yang
berbeda-beda untuk produksi enzim tanase. Hal ini kemungkinan disebabkan jenis
induser yang digunakan dan juga kondisi penelitian yang berbeda. Penelitian
Banerjee et al. (2005) melaporkan bahwa produksi tanase meningkat pada
konsentrasi induser (tanin) sebesar 3.5% dan mengalami penurunan produksi pada
penambahan tanin sebesar 4%. Tanin yang digunakan adalah tanin yang
terkandung dalam tumbuhan dimana kemungkinan kandungan senyawa tersebut
lebih sedikit dibandingkan induser yang digunakan pada penelitian ini. Aissam et
al. (2005) melaporkan bahwa penambahan asam tanat sebesar 1% menunjukkan
aktivitas tanase tertinggi pada A. niger HA37. Hanya saja jumlah induser tersebut
belum dapat dikatakan optimal karena variasi asam tanat yang digunakan hanya
terbatas 0.2, 0.5 dan 1%. Lebih lanjut Najera et al. (2002) melaporkan bahwa
aktivitas tanase mengalami peningkatan sebesar 68% pada konsentrasi asam tanat
sebesar 2.5%. Hal ini kemungkian karena jenis media yang digunakan adalah
media terendam. Menurut Holker et al. (2004), pengaruh represor katabolik pada
media terendam lebih besar dibandingkan media padat.
Kandungan protein yang terdapat dalam media juga menunjukkan hasil yang
lebih tinggi pada media padat dibandingkan media cair. Pada konsentrasi induser
0%, kadar protein yang dihasilkan sebesar 0.3175 mg/ml untuk media cair dan
0.4135 mg/ml pada media padat. Sedangkan untuk konsentrasi induser 3%,
jumlah protein yang terdapat dalam media cair dan padat adalah masing- masing
0.4723 mg/ml dan 0.5474 mg/ml. Pada konsentrasi induser 5% kadar protein
menunjukkan nilai tertinggi yaitu 0.4944 mg/ml untuk media cair dan 0.7119
mg/ml pada media padat, sedangkan jumlah protein pada konsentrasi induser 7%
adalah 0.4867 mg/ml untuk media cair dan 0.6299 mg/ml pada media padat
(Gambar 12). Hasil analisis varian dua arah menunjukkan bahwa jenis media dan
konsentrasi induser berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang terdapat dalam
media (Lampiran 14c).
0,8
Kadar protein (mg/ml)
0,7
0,6
0,5
0,4
Cair
Padat
0,3
0,2
0,1
0
0
3
5
7
Konsentrasi induser (%)
Gambar 12 Kadar protein pada media padat dan cair dengan
beberapa konsentrasi induser.
Berdasarkan data aktivitas total (U/ml) dan kadar protein, dapat diketahui
nilai aktivitas spesifik tanase pada masing- masing perlakuan (Gambar 13). Seperti
halnya aktivitas total, aktivitas spesifik tanase tertinggi diperoleh pada media
padat dengan konsentrasi induser sebesar 5%.
Aktivitas spesifik (U/mg)
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0
2
4
Konsentrasi induser (%)
Media cair
6
8
Media padat
Gambar 13 Aktivitas spesifik enzim tanase pada media padat dan cair
dengan beberapa konsentrasi induser.
Pada konsentrasi induser sebesar 0%, aktivitas enzim di kedua media
memiliki nilai yang relatif sama. Menurut Fardiaz (1989a), tanpa induser enzim
terinduksi tetap diproduksi tetapi dalam jumlah yang kecil. Penambahan asam
tanat sebesar 3% menunjukkan peningkatan produksi tanase pada kedua media.
Asam tanat diduga dapat membentuk kompleks dengan represor sehingga represor
menjadi inaktif dan proses transkripsi DNA menjadi mRNA dapat berlangsung.
Aktivitas tanase mengalami penurunan baik pada media cair maupun padat
dengan penambahan induser sebesar 7%. Jumlah asam tanat yang berlebih dalam
media diduga dapat bertindak sebagai represor yang menghambat disintesisnya
mRNA sehingga pembentukan enzim juga terhambat. Seperti yang diungkapkan
oleh Gumbira-Said (1987), jumlah substrat yang berlebih dapat bertindak sebagai
represor yang akan terikat pada gen operator sehingga mencegah disintesisnya
mRNA oleh gen-gen struktural. Selain itu, apabila jumlah substrat ditingkatkan di
atas nilai optimal untuk produksi tanase, akan meningkatkan jumlah panas yang
dihasilkan dan mengurangi proses aerasi sehingga menurunkan produksi enzim
(Banerjee et al. 2005).
Jenis media yang paling baik untuk menghasilkan enzim tanase pada A.
niger dalam penelitian ini ialah media padat. Dari berbagai konsentrasi induser,
penggunaan media padat memberikan nilai aktivitas enzim yang paling tinggi
dibandingkan media cair. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
juga memberikan hasil yang sama. Penelitian Aguilar et al. (2001b) melaporkan
bahwa aktivitas tanase mengalami peningkatan 2.5 kali pada media padat (Solid
State Fermentation) dibandingkan media terendam (Submerged Fermentation)
pada A. niger Aa-20. Lekha dan Lonsane (1994) menemukan bahwa produksi
tanase pada Aspergillus niger PKL 104 mengalami peningkatan 2.5 hingga 4.8
kali pada media padat dibandingkan media terendam dan media cair. Pada
penelitian ini, penggunaan media padat dapat meningkatkan produksi tanase
hingga 2 kali dibandingkan media cair.
Fermentasi
media
padat
(SSF)
didefinisikan sebagai pertumbuhan
mikroorganisme pada substrat padat yang telah dibasahi, dimana media tersebut
berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan dan metabolisme mikroba
(Rahardjo et al. 2002). Umumnya kapang filamentus lebih cocok untuk hidup
pada media padat karena memiliki toleransi yang tinggi terhadap aktivitas air yang
rendah, memiliki potensial yang tinggi untuk mengekskresikan enzim hidrolitik
dan karena morfologinya. Morfologi kapang filamentus memungkinkan fungi
untuk membentuk koloni dan menembus substrat padat agar dapat memperoleh
nutrien.
Pada fermentasi media padat, mikroorganisme dapat tumbuh antara fragmen
substrat yaitu di dalam matriks substrat atau pada permukaan substrat. Mikroba
yang berada
di dalam dan permukaan substrat memanfaatkan substrat dan
mensekresikan metabolit dan enzim. Model pertumbuhan fungi filamentus pada
substrat padat ditunjukkan pada Gambar 14. Setelah tahap germinasi, fungi
filamentus membentuk hifa tubular yang akan mengalami perpanjangan di ujung
dan pada saat yang bersamaan membentuk percabangan di sepanjang hifa. Hifa
fungi dapat membentuk jaringan pori tiga dimensi yang disebut miselium. Pada
awalnya, miselia tumbuh di dalam matriks substrat (permukaan 3), kemudian pada
permukaan substrat (permukaan 2) dan selanjutnya menghadap ke luar atau ke
udara (permukaan 1). Penetrasi ke dalam substrat dapat mempercepat kolonisasi
pada permukaan substrat jika oksigen cukup tersedia untuk proses tersebut.
Karena miselia terus menerus mengalami pertumbuhan, permukaan 1 akan
menjadi padat dan pori-porinya akan tertimbun oleh air yang akan dipindahkan ke
permukaan 2. Permukaan 2 selanjutnya akan menebal sedemikian luasnya
sehingga bagian yang luang menjadi anaerob, dan persediaan oksigen menipis
pada matriks substrat. Pada kondisi ini, miselia yang berada di permukaan 2 dan 3
akan berhenti mengalami pertumbuhan dan fermentasi mulai berjalan.
Aerial miselia
Pori
Koloni
Pori
Penetratif miselia
Substrat
Gambar 14 Model pertumbuhan fungi filamentus pada substrat padat.
Peningkatan produksi enzim hidrolitik pada fermentasi media padat
disebabkan oleh pertumbuhan aerial hifa yang juga mengalami peningkatan.
Aerial hifa berperan penting pada proses respirasi selama pertumbuhan fungi.
Penelitian Rahardjo et al. (2002) melaporkan bahwa aerial hifa dari A. oryzae
yang tumbuh pada substrat tepung gandum, memberikan pemasukan oksigen
sebesar 75%. Jumlah oksigen yang dikonsumsi ini sebanding dengan jumlah αamilase yang dihasilkan oleh A. oryzae. Artinya bahwa aerial hifa dapat
mempercepat pemasukan oksigen sehingga pembentukan aerial miselium akan
berlimpah. Pembentukan aerial miselium yang berlimpah dapat meningkatkan
produksi enzim hidrolitik. Selain produktivitas enzim yang tinggi, penggunaan
fermentasi media padat juga memberikan stabilitas produk yang tinggi dan
pengaruh represi katabolik lebih rendah (Holker et al. 2004; Aguilar et al. 2001b).
Rana dan Bhat (2005) melaporkan bahwa produksi tanase pada media padat
mencapai aktivitas tertinggi pada 96 jam waktu inkubasi sedangkan untuk media
cair, aktivitas tanase tertinggi dihasilkan setelah 120 jam waktu inkubasi. Ini
berarti, penggunaan media padat lebih efisien untuk produksi enzim tanase
dibandingkan media cair. Penelitian Aguilar et al. (2002) melaporkan bahwa
aktivitas protease pada media terendam 10 kali lebih tinggi dibandingkan pada
media padat. Dengan rendahnya aktivitas proteolitik dari protease pada media
padat, maka produksi tanase menjadi tinggi.
Fraksinasi Amonium Sulfat
Enzim tanase yang diproduksi pada media padat merupakan enzim ekstrak
kasar. Untuk menghasilkan enzim yang lebih murni dilakukan pengendapan
dengan amonium sulfat pada berbagai tingkat kejenuhan. Amonium sulfat
merupakan garam yang umum digunakan pada pengendapan protein karena
kelarutannya yang tinggi di dalam air, relatif lebih murah, dan tersedia pada
tingkat kemurnian yang tinggi. Selain itu, amonium sulfat umumnya dapat
digunakan tanpa mempengaruhi aktivitas enzim.
Proses pengendapan dengan amonium sulfat dilakukan pada suhu dingin
(4o C) dengan tujuan agar amonium sulfat dapat terlarut tanpa menyebabkan
terjadinya denaturasi protein. Setelah itu, larutan didiamkan selama 3 jam pada
suhu rendah agar proses agregasi molekul- molekul protein menjadi sempurna.
Endapan yang diperoleh dapat diambil melalui sentrifugasi pada 7700 g selama 20
menit. Endapan selanjutnya disuspensikan pada bufer sitrat dan didialisis untuk
menghilangkan sisa garam yang terdapat dalam enzim.
Hasil pemurnian dengan amonium sulfat menunjukkan bahwa aktivitas
tanase tertinggi diperoleh pada tingkat kejenuhan 60% yaitu sebesar 4.110 U/ml
(Gambar 15). Jika dilihat dari kadar protein, pada tingkat kejenuhan 55%
diperoleh hasil yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.514 mg/ml. Hasil uji Duncan (a =
5%) menunjukkan bahwa aktivitas tanase pada tingkat kejenuhan amonium sulfat
55% dan 60% tidak berbeda nyata begitu pula dengan kadar protein yang
diperoleh (Lampiran 15d).
4,500
4,110
Aktivitas tanase (U/ml)
4,000
3,318
3,500
3,304
3,000
2,300
2,500
1,672 1,748
2,000
2,236
1,862
1,482
1,456
1,500
1,000
0,602
0,500
0,000
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
Tingkat kejenuhan ammonium sulfat (%)
Gambar 15 Aktivitas enzim tanase pada berbagai tingkat kejenuhan
amonium sulfat.
Dari nilai aktivitas total dan kadar protein yang dihasilkan, dapat diketahui
aktivitas spesifik tanase dimana pada tingkat kejenuhan amonium sulfat sebesar
60% dihasilkan aktivitas spesifik sebesar 8.607 U/mg. Jika dibandingkan dengan
enzim ekstrak kasar, aktivitas spesifik yang diperoleh setelah dialisis meningkat
sebanyak 4 kali. Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan aktivitas spesifik pada
tingkat kejenuhan amonium sulfat 60% berbeda nyata dengan tingkat kejenuhan
55% (Lampiran 15g).
Penelitian Sabu et al. (2005) menunjukkan hasil yang sama dengan
penelitian ini dimana aktivitas spesifik tanase tertinggi diperoleh pada tingkat
kejenuhan 40-60%. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Rajakumar
dan Nandy (1983) dari jamur Penicillium chrysogenum, dimana tingkat kejenuhan
amonium sulfat yang digunakan pada proses pemurnian tanase sebesar 100%.
Perbedaan tingkat kejenuhan amonium sulfat berhubungan dengan jumlah asam
amino hidrofilik yang terdapat pada protein enzim. Menurut Scopes (1987),
protein enzim yang memiliki lebih banyak asam amino hidrofilik membutuhkan
konsentrasi garam yang lebih tinggi untuk mengendapkannya yaitu pada tingkat
kejenuhan 50-60%. Sebaliknya, jika protein enzim mengandung lebih banyak
asam amino hidrofobik, jumlah amonium sulfat yang diperlukan lebih sedikit.
Penelitian Hatamoto et al. (1996) menemukan bahwa protein enzim tanase
berbentuk globular yang mengandung dua subunit. Kedua subunit tersebut
dihubungkan melalui ikatan disulfida membentuk heterooktamer. Hasil analisis
sekuensing menunjukkan bahwa tanase mengandung lebih banyak asam amino
hidrofilik.
Seperti yang telah diungkapkan pada paragraf sebelumnya, aktivitas tanase
tertinggi diperoleh pada tingkat kejenuhan 60%. Setelah itu, terjadi penurunan
pada tingkat kejenuhan 65% hingga 80% baik ditinjau dari aktivitas total maupun
kadar protein. Pada tingkat kejenuhan amonium sulfat di bawah nilai optimal, ionion garam akan melingkupi molekul- molekul protein dan mencegah bersatunya
molekul- molekul ini sehingga protein melarut. Peristiwa ini disebut salting in.
Pada tingkat kejenuhan amonium sulfat yang cukup, terjadi peningkatan muatan
listrik di sekitar protein yang akan menarik mantel air dari protein. Interaksi
hidrofobik di antara sesama molekul protein pada suasana ionik tinggi akan
menurunkan kelarutan protein sehingga protein akan terendapkan. Interaksi
molekul- molekul protein dalam amonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Interaksi molekul- molekul protein dalam amonium sulfat.
Jika konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan ke dalam larutan
melebihi nilai optimal yang dibutuhkan untuk mengendapkan molekul protein,
kelebihan ion- ion garam dapat menarik molekul- molekul protein sehingga
molekul- molekul tersebut terlarut kembali. Dengan demikian, jumlah protein yang
terendapkan menjadi lebih sedikit (Scopes 1987).
Karakterisasi Enzim Tanase
Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas Tanase. Aktivitas enzim tanase
mencapai nilai optimum pada suhu 50o C yaitu sebesar 5.125 U/ml (Gambar 17).
Pada suhu 35, 40 dan 45o C aktivitas tanase juga menunjukkan nilai yang tinggi.
Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan bahwa aktivitas tanase pada suhu 35, 40,
45 dan 50o C tidak berbeda nyata (Lampiran 16b). Hasil penelitian sebelumnya
memberikan hasil yang sama. Penelitian Sabu et al. (2005) menyimpulkan bahwa
tanase yang diproduksi dari media padat memiliki suhu optimal 30-40o C
sedangkan penelitian Mahendrar et al. (2006) menemukan bahwa tanase memiliki
suhu optimal 35-50o C. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan
Ramirez-Coronel et al. (2003), dimana suhu optimal tanase yang diperoleh lebih
tinggi yaitu sebesar 60-70o C. Hal ini kemungkinan disebabkan isolat kapang yang
digunakan berbeda.
5.5
Aktivitas tanase (U/ml)
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
20
30
40
50
60
70
80
90
Suhu (oC)
Gambar 17 Pengaruh suhu terhadap aktivitas tanase.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tanase termasuk enzim
ekstraseluler termostabil. Menurut Rahardjo et al. (2002), fermentasi media padat
memiliki masalah pada pemindahan panas yang dihasilkan dari reaksi
metabolisme sel mikroba. Akibatnya suhu sel mikroba pada media padat el bih
tinggi dibandingkan mikroba yang tumbuh pada media cair. Bagi sebagian besar
enzim, suhu optimal untuk menjalankan reaksi katalisis berada pada atau di atas
suhu tempat enzim tersebut terdapat (Murray et al. 2003).
Penurunan aktivitas tanase mulai terlihat pada suhu 55o C yaitu sebesar 4.383
U/ml, dan terus mengalami penurunan hingga 2.475 U/ml pada suhu 85o C. Hal ini
disebabkan terjadinya denaturasi protein yang dapat menghilangkan daya katalisis
enzim. Jika suatu protein terdenaturasi, struktur tiga dimensi yang bersifat khusus
dari rantai polipeptida terganggu. Dengan demikian struktur protein tersebut
menjadi terbuka dan acak tanpa ada kerusakan pada struktur kerangka
kovalennya, tetapi aktivitas biologisnya menjadi tidak berfungsi.
Pengaruh pH terhadap Aktivitas Tanase. Aktivitas katalitik suatu enzim
dapat dipengaruhi oleh perubahan pH dengan berbagai cara. Seperti halnya
protein, enzim memiliki gugus yang dapat terionisasi dimana perubahan pH dapat
menyebabkan perubahan gugus tersebut. Akibatnya enzim dapat mengalami
perubahan struktur atau konformasi sehingga kehilangan aktivitasnya (Copeland
2000).
Pada Gambar 18 terlihat bahwa aktivitas tanase mencapai nilai maksimum
sebesar 10.633 U/ml pada pH 6. Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan bahwa
aktivitas tanase pada pH 6 berbeda nyata dengan aktivitas tanase pada semua
perlakuan pH yang digunakan (Lampiran 16d). Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan hasil yang sama seperti penelitian Sharma et al. (1999) dan Sabu et
al. (2005) yang menggunakan A. niger pada produksi tanase.
12
Aktivitas tanase (U/ml)
10
8
6
4
2
0
2
4
6
8
10
pH
Gambar 18 Pengaruh pH terhadap aktivitas tanase.
Pengaruh Substrat terhadap Aktivitas Tanase. Pada penelitian ini,
digunakan dua macam substrat untuk menguji spesifisitas tanase yaitu asam tanat
dan gallotanin. Dari grafik pada Gambar 19 diperoleh nilai Km untuk asam tanat
dan gallotanin adalah masing- masing sebesar 0.401 mM dan 6.611 mM.
Sedangkan nilai Vmaks untuk asam tanat dihasilkan sebesar 10.804 U/ml dan Vmaks
untuk gallotanin sebesar 12.406 U/ml. Dari nilai Km di atas, terlihat bahwa tanase
yang dihasilkan pada penelitian ini lebih reaktif mendegradasi asam tanat
dibandingkan gallotanin.
0.14
y = 0.0371x + 0.0926
2
1/v
R = 0.98733
0.07
0
-4
-3
-2
-1
0
1
2
-0.07
1/[S] mM
Asam tanat
0.8
y = 0.5328x + 0.0806
R2 = 0.9788
0.6
1/v
0.4
0.2
0
-0.6
-0.4
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
-0.2
-0.4
1/[S] mM
Gallotanin
Gambar 19 Grafik Lineweaver-Burk untuk asam tanat dan gallotanin.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan nilai Km dan Vmaks yang
bervariasi pada tanase. Penelitian Rajakumar dan Nandy (1983) menemukan nilai
Km untuk tanase yang diisolasi dari P. chrysogenum sebesar 0.48 x 10-4 M dengan
substrat asam tanat. Sedangkan penelitian Sharma et al. (1999) menghasilkan nilai
Km dan Vmaks masing- masing sebesar 0.2 mM dan 5 µmol/min/mg protein untuk
tanase dengan substrat asam tanat. Tanase yang dihasilkan dari A. oryzae memiliki
nilai Km sebesar 4.2 x 10-4 M untuk asam tanat dan 9.4 x 10-3 M untuk metil galat.
Penelitian Farias et al. (1994) menggunakan 3 jenis substrat untuk menguji
spesifisitas tanase yaitu asam aleppo tanat, hamanelitanin dan metil galat dimana
nilai Km dari ketiga substrat tersebut masing- masing sebesar 0.94 ± 0.12; 5.07 ±
0.8; dan 7.49 ± 0.61 mM dengan nilai Vmaks sebesar 10.50 ± 0.61; 12.41 ± 0.84;
dan 11.12 ± 0.42 U/ml. Sedangkan penelitian Sabu et al. (2005) menghasilkan
nilai Km dan Vmaks masing- masing sebesar 1.03 mM dan 4.25 µmol/menit untuk
tanase yang diisolasi dari A. niger. Untuk substrat gallotanin, dihasilkan Km
sebesar 5.9 mM pada tanase yang diisolasi dari daun Quercus robur (Niehaus &
Gross 1997).
Tanase memiliki dua aktivitas yang terpisah yaitu aktivitas esterase dan
depsidase. Aktivitas esterase adalah kemampuan tanase untuk mengkatalis reaksi
hidrolisis galoil ester yang terikat pada molekul glukosa atau alkil. Sedangkan
aktivitas depsidase adalah aktivitas tanase untuk mengkatalis reaksi hidrolisis
ikatan antara dua residu galoil (Haslam & Stangroom 1966). Melihat struktur
asam tanat dan gallotanin seperti yang terdapat pada Gambar 20, asam tanat
mengandung 1 ikatan depsid tanpa memiliki ikatan ester, sedangkan gallotanin
memiliki 5 ikatan depsid dan 5 ikatan ester.
OH
O
HO
C
OH
O
O
C
Depsidase
HO
Asam Tanat
OH
OH
HO
OH
HO
HO
O
Esterase
OH
OH
O
O
O
OH
O
O
O
HO
OH
O
O
O
O
Depsidase
OH
OH
OH
OH
HO
HO
O
O
OH
OH
O
O
OH
4
OH
Gallotanin
Gambar 20 Aktivitas esterase dan depsidase pada
asam tanat dan gallotanin.
Berdasarkan nilai Km yang diperoleh dari kurva Lineweaver-Burk,
mengindikasikan bahwa tanase yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki
aktivitas yang lebih tinggi terhadap substrat yang mengandung ikatan depsid
dibandingkan ikatan ester. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh komposisi
media yang digunakan untuk menghasilkan tanase. Menurut Haslam dan
Stangroom (1966), jika mikroba ditumbuhkan pada media yang mengandung
substrat dengan ikatan ester, maka tanase yang dihasilkan akan memiliki aktivitas
esterase yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas depsidase. Sebaliknya jika
substrat yang digunakan dalam media mengandung ikatan depsid, maka tanase
yang dihasilkan akan memiliki aktivitas depsidase yang lebih tinggi dibandingkan
aktivitas esterase. Pada penelitian ini, substrat yang terdapat dalam media adalah
asam tanat sehingga tanase yang diperoleh memiliki aktivitas depsidase yang
lebih tinggi dibandingkan aktivitas esterase.
Pengaruh Penambahan Ion Logam terhadap Aktivitas Tanase. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ion- ion logam dapat mempengaruhi aktivitas tanin
asil hidrolase. Pada konsentrasi yang lebih rendah yaitu 10 mM, aktivitas tanase
dapat ditingkatkan oleh ion Mg2+, Na+ dan K+. Sedangkan jika konsentrasinya
dinaikkan sebesar 50 mM, Mg2+ dapat menghambat aktivitas tanase. Penambahan
ion Zn2+, Cu2+, Ca2+, Mn2+ dan Fe2+ diketahui dapat menurunkan aktivitas tanase
baik pada konsentrasi 10 mM maupun 50 mM. Pengaruh penambahan ion logam
terhadap aktivitas tanase dapat dilihat pada Gambar 21.
14
Aktivitas tanase (U/ml)
12
10
8
10 mM
50 mM
6
4
2
0
Kontrol
Zn
Mg
Cu
Ca
Na
Mn
K
Fe
Jenis logam
Gambar 21 Pengaruh penambahan ion logam terhadap aktivitas tanase.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa penambahan ion logam pada konsentrasi yang
berbeda, memberikan efek penghambatan yang berbeda pula. Untuk logam Zn, Cu
dan Mn, semakin besar konsentrasi logam efek penghambatannya semakin besar.
Sedangkan untuk logam Ca dan Fe, konsentrasi logam 10 dan 50 mM
memberikan pengaruh penghambat yang sama. Penambahan ion Mg2+ sebesar 10
mM mampu meningkatkan aktivitas tanase, sebaliknya pada konsentrasi 50 mM
ion Mg2+ dapat menurunkan aktivitas tanase. Hal ini diduga pada konsentrasi yang
rendah ion Mg2+ mampu menstabilkan konformasi enzim dengan terikat pada sisi
alosterik sehingga mempengaruhi pengikatan enzim dengan substrat. Pada
konsentrasi yang tinggi, ion Mg2+ dapat menurunkan stabilitas konformasi enzim
dan bertindak sebagai inhibitor enzim (Gutfreund 1972).
Tabel 3 Pengaruh penambahan ion logam terhadap aktivitas tanase
Jenis Logam
Kontrol
Zn
Mg
Cu
Ca
Na
Mn
K
Fe
Aktivitas Relatif (%)
10 mM
50 mM
100
100
95
65
120
78
78
40
90
91
112
102
92
57
119
107
0
0
Beberapa penelitian memberikan hasil yang sama pada pengaruh ion logam
terhadap aktivitas tanase. Penelitian Rajakumar dan Nandy (1983) menemukan
bahwa penambahan Zn, Cu, Mn, Ca dan Fe sebesar 20 mM memberikan efek
penghambatan masing- masing sebesar 45%, 53%, 22%, 33% dan 45%.
Sedangkan penelitian Sabu et al. (2005) melaporkan bahwa logam Zn2+, Mn2+,
Cu2+ dan Fe2+ pada konsentrasi 0.1 M menghambat aktivitas tanase hingga 100%.
Menurut Suhartono (1989), pena mbahan garam dapat meningkatkan
kekuatan ion dan mempertinggi konstanta dielektrik pelarut yang ada serta dapat
mempengaruhi kestabilan molekul protein. Kestabilan molekul protein berkaitan
dengan kestabilan ikatan- ikatan yang ada pada molekul enzim yakni ikatan
hidrogen, ikatan Van der waals, interaksi hidrofobik maupun gaya tarik menarik
listrik antara muatan yang berbeda pada molekul- molekul penyusun. Molekul
protein enzim yang stabil tentunya akan mempengaruhi pengikatan enzim dengan
substrat baik pada sisi aktifnya maupun perubahan konformasi tiga dimensi enzim
tersebut.
Ion logam memiliki fungsi yang beragam dalam reaksi katalisis. Ion logam
dapat
bertindak
sebagai
nukleofil
dan
mengaktifkan
nukleofil
dengan
menyumbangkan elektronnya. Seperti halnya proton, ion logam dapat pula
bertindak sebagai elektrofil dengan cara menerima elektron lewat ikatan s atau p.
Selain itu, ion logam dapat pula “menutupi” nukleofil sehingga mencegah reaksi
samping yang mungkin terjadi (Murray et al. 2003).
Download