HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi pH, Suhu, dan Waktu Inkubasi Optimum untuk Produksi Enzim Tanin Asil Hidrolase (Tanase) Pola produksi enzim tanase dengan menggunakan media padat pada berbagai suhu pertumbuhan disajikan pada Gambar 10. Kondisi optimum untuk produksi enzim tanase dari A. niger yang diisolasi dari kulit buah kakao pada pH 5.5, suhu 28o C dan waktu inkubasi selama 3 hari. Nilai aktivitas tertinggi yang diperoleh yaitu sebesar 0.167 U/ml (Gambar 10b). 0.18 0.16 0.1 Aktivitas tanase (U/ml) Aktivitas tanase (U/ml) 0.12 0.08 0.06 0.14 0.12 0.1 0.08 0.04 0 1 2 3 4 5 6 0.06 0 Waktu Inkubasi (Hari) pH 4 pH 4.5 pH 5 pH 5.5 pH 6 1 2 3 4 Waktu inkubasi (hari) pH 4 pH 4.5 (a) pH 5 5 6 pH 5.5 pH 6 (b) 0.16 0.120 Aktivitas tanase (U/ml) Aktivitas tanase (U/ml) 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.100 0.080 0.060 0.040 0 1 pH 4 2 3 4 Waktu inkubasi (hari) pH 4.5 pH 5 (c) 5 pH 5.5 6 pH 6 0 pH 4 1 2 3 4 Waktu inkubasi (hari) pH 4.5 pH 5 pH 5.5 (d) Gambar 10 Pola produksi enzim tanase menggunakan media padat pada suhu: (a) 26 (b) 28 (c) 30 dan (d) 32o C. 5 6 pH 6 Suhu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selular mikroorganisme, pembentukan spora, germinasi dan fisiologi mikroba, yang lebih lanjut mempengaruhi pembentukan enzim. Produksi enzim tanase dari A. niger pada berbagai perlakuan pH dan waktu inkubasi menunjukkan nilai optimal pada suhu 28o C.. Beberapa penelitian memberikan hasil yang sama diantaranya penelitian Sanchez (2003) dan penelitian Lekha dan Lonsane (1997) dengan menggunakan kapang A. niger. Jenis kapang yang berbeda memiliki suhu pertumbuhan yang berbeda pula (Atlas 1989). Seperti dari hasil penelitian Banerjee et al. (2005) yang menunjukkan produksi tanase dari A. foetidus dan R.oryzae mencapai nilai optimal pada suhu 30o C. Pada suhu 26o C aktivitas tanase menunjukkan aktivitas tanase yang rendah begitu juga dengan suhu pertumbuhan 30 dan 32o C. Suhu pertumbuhan yang rendah menyebabkan aktivitas enzimatik yang rendah pula sehingga tidak memungkinkan untuk menjalankan reaksi metabolisme yang dibutuhkan pada proses reproduksi. Sebaliknya pada suhu tinggi, protein dapat mengalami denaturasi akibat gangguan pada struktur tiga dimensinya, dan reaksi enzimatik dapat terganggu sehingga pertumbuhan mikroba menjadi terhambat. Selain itu, penelitian Mackenzie et al. (1994) melaporkan bahwa pada suhu di atas nilai optimal untuk pertumbuhan, ekskresi enzim protease berlangsung cepat dan diduga protease ini dapat memotong bagian protein enzim tanase sehingga aktivitas tanase menjadi berkurang. Pertumbuhan kapang A. niger untuk menghasilkan enzim tanase juga dipengaruhi oleh pH. Hasil penelitian me nunjukkan bahwa produksi tanase tertinggi pada berbagai suhu pertumbuhan, diperoleh pada pH pertumbuhan 5.5 kecuali suhu 26o C. Suhu 26o C menunjukkan aktivitas tanase tertinggi pada pH 5, hanya saja nilai ini tidak signifikan dengan aktivitas tanase pada pH 5.5. Hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian Sabu et al. (2005) dan Ramirez-Coronel et al. (2003) menggunakan pH medium yang sama untuk produksi tanase dari A. niger. Ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sanchez (2003) yang menunjukkan produksi tanase meningkat pada pH medium sebesar 4. Hal ini disebabkan variasi pH yang digunakan pada penelitian Sanchez (2003) hanya terbatas pada pH 4 dan 7. Selain itu, isolat kapang yang digunakan juga berbeda. Menurut Atlas (1989), nilai pH dapat mempengaruhi struktur dan fungsi protein sehingga enzim yang terdapat dalam sistem akan inaktif jika mikroba tumbuh pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Selain itu, jika pH pertumbuhan terlalu rendah, akan mengganggu gradien proton antara lingkungan di luar dan di dalam sel sehingga mengganggu kemampuan sel untuk menghasilkan energi (Ray 2000). Waktu inkubasi optimum untuk produksi tanase A. niger dari penelitian ini pada berbagai suhu dan pH pertumbuhan terdapat pada hari ke-3 inkubasi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kar et al. (1999) dan Pinto et al. (2001). Berbeda halnya dengan penelitian Sanchez (2003) dan Albertse (2002) yang menggunakan waktu inkubasi selama 24 jam untuk produksi tanase dari A. niger. Hal ini kemungkinan disebabkan jenis media yang digunakan berbeda dimana kedua peneliti tersebut menggunakan media cair untuk produksi tanase. Selain itu, penelitian Albertse (2002) menggunakan jumlah asam tanat yang lebih sedikit sebagai induser yaitu sebesar 1% sehingga dalam jangka waktu 24 jam, produksi tanase menjadi optimal. Penelitian Banerjee et al. (2005) juga menunjukkan waktu inkubasi optimal yang berbeda walaupun jenis media yang digunakan sama dengan penelitian ini yaitu media padat. Penelitian tersebut menemukan waktu inkubasi optimal sebesar 48 jam untuk produksi tanase. Hal ini berkaitan dengan komposisi media yang digunakan. Banerjee et al. (2005) menggunakan bubuk tanaman T. chebula dan C. digyna yang mengandung tanin sebagai media untuk menghasilkan tanase. Selain itu, jenis kapang yang digunakan juga berbeda dimana Banerjee et al. (2005) menggunakan jamur R. oryzae dan A. foetidus. Penelitian Rana dan Bhat (2005) dan Sabu et al. (2005) juga menemukan waktu inkubasi optimal yang berbeda untuk produksi tanase. Mereka menemukan bahwa waktu inkubasi selama 96 jam dapat meningkatkan produksi tanase dengan fermentasi media padat. Selain isolat yang digunakan berbeda, jenis media juga berpengaruh terhadap produksi tanase. Sabu et al. (2005) menggunakan jenis dan komposisi induser yang berbeda dimana induser yang digunakan adalah metil galat dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan penelitian ini yaitu sebesar 4% sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai optimal. Sebaliknya Rana dan Bhat (2005) menggunakan jumlah asam tanat yang lebih sedikit yaitu sebesar 2.5%. Akan tetapi sumber karbon lain yang digunakan adalah glukosa dimana struktur glukosa diketahui lebih sederhana dibandingkan asam tanat. Selain itu, glukosa dapat langsung ditranspor ke dalam sel untuk dimanfaatkan oleh fungi. Berbeda halnya dengan asam tanat yang harus didegradasi terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan. Hal inilah yang kemungkinan menyebabkan waktu inkubasi pada penelitian Rana dan Bhat (2005) lebih lama dibandingkan penelitian ini. Menurut Ray (2000), bila media pertumbuhan mengandung berbagai jenis nutrisi, maka mikroba akan memanfaatkan nutrisi yang paling sederhana terlebih dahulu. Setelah itu, mikroba akan menggunakan zat makanan yang lebih kompleks dengan memanfaatkan enzim ekstraseluler yang dimilikinya atau diproduksinya. Pada hari keempat terjadi penurunan aktivitas tanase. Hal ini kemungkinan disebabkan asam tanat dalam media telah menipis sehingga mikroba memanfaatkan nutrisi lain yang terkandung dalam media. Selain itu, penumpukan produk dapat bertindak sebagai korepresor yang dapat mencegah sintesis enzim (Gumbira-Said 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Aguilar et al. (2001a) melaporkan bahwa penumpukan asam galat dalam media dapat menimbulkan represi katabolit pada sintesis tanase. Lebih lanjut, penelitian Banerjee et al. (2005) menemukan bahwa pada 72 jam waktu inkubasi, jumlah asam galat yang dihasilkan sebesar 67% dan nilai ini tidak berbeda nyata dengan jumlah asam galat pada 84 jam waktu inkubasi. Hanya saja terjadi penurunan aktivitas enzim yang nyata dimana pada 72 jam waktu inkubasi aktivitas enzim sebesar 28 U/ml sedangkan pada 84 jam waktu inkubasi menurun hingga 17 U/ml. Hal ini diduga bahwa asam galat dapat bertindak sebagai korepresor pada sintesis enzim tanase. Optimasi Media Produksi Tanase Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis media dan konsentrasi induser yang terbaik pada produksi enzim tanase. Jenis media yang digunakan adalah media padat dan media cair, yang dimodifikasi dari media Sanchez (2003). Sedangkan konsentrasi induser yang diuji adalah 3%, 5%, 7% dan 0% sebagai kontrol. Induser yang digunakan adalah asam tanat. Semua perlakuan diinkubasi pada suhu 28 o C selama 3 hari sesuai dengan penelitian tahap pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi tanase tertinggi diperoleh pada media padat dengan konsentrasi induser sebesar 5%. Aktivitas tertinggi yang diperoleh adalah sebesar 1.441 U/ml. Pada media padat, aktivitas tanase yang diperoleh dari semua konsentrasi induser menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan media cair (Gambar 11). 1.6 Aktivitas tanase (U/ml) 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0% 2% 4% 6% 8% Konsentrasi induser media cair media padat Gambar 11 Aktivitas enzim tanase pada media padat dan cair dengan beberapa konsentrasi induser. Hasil analisis varian dua arah menunjukkan bahwa jenis media dan konsentrasi induser berpengaruh nyata terhadap aktivitas tanase (Lampiran 14a). Berdasarkan hasil uji Duncan, aktivitas tanase pada konsentrasi induser 0% dan 3% tidak berbeda nyata, sedangkan aktivitas tanase pada konsentrasi induser 3% dan 7% berbeda nyata. Antara konsentrasi induser 5% dengan konsentrasi induser 0, 3 dan 7%, aktivitas tanase berbeda nyata pada selang tingkat kesalahan 5% (Lampiran 14b). Beberapa penelitian menunjukkan konsentrasi induser optimal yang berbeda-beda untuk produksi enzim tanase. Hal ini kemungkinan disebabkan jenis induser yang digunakan dan juga kondisi penelitian yang berbeda. Penelitian Banerjee et al. (2005) melaporkan bahwa produksi tanase meningkat pada konsentrasi induser (tanin) sebesar 3.5% dan mengalami penurunan produksi pada penambahan tanin sebesar 4%. Tanin yang digunakan adalah tanin yang terkandung dalam tumbuhan dimana kemungkinan kandungan senyawa tersebut lebih sedikit dibandingkan induser yang digunakan pada penelitian ini. Aissam et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan asam tanat sebesar 1% menunjukkan aktivitas tanase tertinggi pada A. niger HA37. Hanya saja jumlah induser tersebut belum dapat dikatakan optimal karena variasi asam tanat yang digunakan hanya terbatas 0.2, 0.5 dan 1%. Lebih lanjut Najera et al. (2002) melaporkan bahwa aktivitas tanase mengalami peningkatan sebesar 68% pada konsentrasi asam tanat sebesar 2.5%. Hal ini kemungkian karena jenis media yang digunakan adalah media terendam. Menurut Holker et al. (2004), pengaruh represor katabolik pada media terendam lebih besar dibandingkan media padat. Kandungan protein yang terdapat dalam media juga menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada media padat dibandingkan media cair. Pada konsentrasi induser 0%, kadar protein yang dihasilkan sebesar 0.3175 mg/ml untuk media cair dan 0.4135 mg/ml pada media padat. Sedangkan untuk konsentrasi induser 3%, jumlah protein yang terdapat dalam media cair dan padat adalah masing- masing 0.4723 mg/ml dan 0.5474 mg/ml. Pada konsentrasi induser 5% kadar protein menunjukkan nilai tertinggi yaitu 0.4944 mg/ml untuk media cair dan 0.7119 mg/ml pada media padat, sedangkan jumlah protein pada konsentrasi induser 7% adalah 0.4867 mg/ml untuk media cair dan 0.6299 mg/ml pada media padat (Gambar 12). Hasil analisis varian dua arah menunjukkan bahwa jenis media dan konsentrasi induser berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang terdapat dalam media (Lampiran 14c). 0,8 Kadar protein (mg/ml) 0,7 0,6 0,5 0,4 Cair Padat 0,3 0,2 0,1 0 0 3 5 7 Konsentrasi induser (%) Gambar 12 Kadar protein pada media padat dan cair dengan beberapa konsentrasi induser. Berdasarkan data aktivitas total (U/ml) dan kadar protein, dapat diketahui nilai aktivitas spesifik tanase pada masing- masing perlakuan (Gambar 13). Seperti halnya aktivitas total, aktivitas spesifik tanase tertinggi diperoleh pada media padat dengan konsentrasi induser sebesar 5%. Aktivitas spesifik (U/mg) 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 2 4 Konsentrasi induser (%) Media cair 6 8 Media padat Gambar 13 Aktivitas spesifik enzim tanase pada media padat dan cair dengan beberapa konsentrasi induser. Pada konsentrasi induser sebesar 0%, aktivitas enzim di kedua media memiliki nilai yang relatif sama. Menurut Fardiaz (1989a), tanpa induser enzim terinduksi tetap diproduksi tetapi dalam jumlah yang kecil. Penambahan asam tanat sebesar 3% menunjukkan peningkatan produksi tanase pada kedua media. Asam tanat diduga dapat membentuk kompleks dengan represor sehingga represor menjadi inaktif dan proses transkripsi DNA menjadi mRNA dapat berlangsung. Aktivitas tanase mengalami penurunan baik pada media cair maupun padat dengan penambahan induser sebesar 7%. Jumlah asam tanat yang berlebih dalam media diduga dapat bertindak sebagai represor yang menghambat disintesisnya mRNA sehingga pembentukan enzim juga terhambat. Seperti yang diungkapkan oleh Gumbira-Said (1987), jumlah substrat yang berlebih dapat bertindak sebagai represor yang akan terikat pada gen operator sehingga mencegah disintesisnya mRNA oleh gen-gen struktural. Selain itu, apabila jumlah substrat ditingkatkan di atas nilai optimal untuk produksi tanase, akan meningkatkan jumlah panas yang dihasilkan dan mengurangi proses aerasi sehingga menurunkan produksi enzim (Banerjee et al. 2005). Jenis media yang paling baik untuk menghasilkan enzim tanase pada A. niger dalam penelitian ini ialah media padat. Dari berbagai konsentrasi induser, penggunaan media padat memberikan nilai aktivitas enzim yang paling tinggi dibandingkan media cair. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga memberikan hasil yang sama. Penelitian Aguilar et al. (2001b) melaporkan bahwa aktivitas tanase mengalami peningkatan 2.5 kali pada media padat (Solid State Fermentation) dibandingkan media terendam (Submerged Fermentation) pada A. niger Aa-20. Lekha dan Lonsane (1994) menemukan bahwa produksi tanase pada Aspergillus niger PKL 104 mengalami peningkatan 2.5 hingga 4.8 kali pada media padat dibandingkan media terendam dan media cair. Pada penelitian ini, penggunaan media padat dapat meningkatkan produksi tanase hingga 2 kali dibandingkan media cair. Fermentasi media padat (SSF) didefinisikan sebagai pertumbuhan mikroorganisme pada substrat padat yang telah dibasahi, dimana media tersebut berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan dan metabolisme mikroba (Rahardjo et al. 2002). Umumnya kapang filamentus lebih cocok untuk hidup pada media padat karena memiliki toleransi yang tinggi terhadap aktivitas air yang rendah, memiliki potensial yang tinggi untuk mengekskresikan enzim hidrolitik dan karena morfologinya. Morfologi kapang filamentus memungkinkan fungi untuk membentuk koloni dan menembus substrat padat agar dapat memperoleh nutrien. Pada fermentasi media padat, mikroorganisme dapat tumbuh antara fragmen substrat yaitu di dalam matriks substrat atau pada permukaan substrat. Mikroba yang berada di dalam dan permukaan substrat memanfaatkan substrat dan mensekresikan metabolit dan enzim. Model pertumbuhan fungi filamentus pada substrat padat ditunjukkan pada Gambar 14. Setelah tahap germinasi, fungi filamentus membentuk hifa tubular yang akan mengalami perpanjangan di ujung dan pada saat yang bersamaan membentuk percabangan di sepanjang hifa. Hifa fungi dapat membentuk jaringan pori tiga dimensi yang disebut miselium. Pada awalnya, miselia tumbuh di dalam matriks substrat (permukaan 3), kemudian pada permukaan substrat (permukaan 2) dan selanjutnya menghadap ke luar atau ke udara (permukaan 1). Penetrasi ke dalam substrat dapat mempercepat kolonisasi pada permukaan substrat jika oksigen cukup tersedia untuk proses tersebut. Karena miselia terus menerus mengalami pertumbuhan, permukaan 1 akan menjadi padat dan pori-porinya akan tertimbun oleh air yang akan dipindahkan ke permukaan 2. Permukaan 2 selanjutnya akan menebal sedemikian luasnya sehingga bagian yang luang menjadi anaerob, dan persediaan oksigen menipis pada matriks substrat. Pada kondisi ini, miselia yang berada di permukaan 2 dan 3 akan berhenti mengalami pertumbuhan dan fermentasi mulai berjalan. Aerial miselia Pori Koloni Pori Penetratif miselia Substrat Gambar 14 Model pertumbuhan fungi filamentus pada substrat padat. Peningkatan produksi enzim hidrolitik pada fermentasi media padat disebabkan oleh pertumbuhan aerial hifa yang juga mengalami peningkatan. Aerial hifa berperan penting pada proses respirasi selama pertumbuhan fungi. Penelitian Rahardjo et al. (2002) melaporkan bahwa aerial hifa dari A. oryzae yang tumbuh pada substrat tepung gandum, memberikan pemasukan oksigen sebesar 75%. Jumlah oksigen yang dikonsumsi ini sebanding dengan jumlah αamilase yang dihasilkan oleh A. oryzae. Artinya bahwa aerial hifa dapat mempercepat pemasukan oksigen sehingga pembentukan aerial miselium akan berlimpah. Pembentukan aerial miselium yang berlimpah dapat meningkatkan produksi enzim hidrolitik. Selain produktivitas enzim yang tinggi, penggunaan fermentasi media padat juga memberikan stabilitas produk yang tinggi dan pengaruh represi katabolik lebih rendah (Holker et al. 2004; Aguilar et al. 2001b). Rana dan Bhat (2005) melaporkan bahwa produksi tanase pada media padat mencapai aktivitas tertinggi pada 96 jam waktu inkubasi sedangkan untuk media cair, aktivitas tanase tertinggi dihasilkan setelah 120 jam waktu inkubasi. Ini berarti, penggunaan media padat lebih efisien untuk produksi enzim tanase dibandingkan media cair. Penelitian Aguilar et al. (2002) melaporkan bahwa aktivitas protease pada media terendam 10 kali lebih tinggi dibandingkan pada media padat. Dengan rendahnya aktivitas proteolitik dari protease pada media padat, maka produksi tanase menjadi tinggi. Fraksinasi Amonium Sulfat Enzim tanase yang diproduksi pada media padat merupakan enzim ekstrak kasar. Untuk menghasilkan enzim yang lebih murni dilakukan pengendapan dengan amonium sulfat pada berbagai tingkat kejenuhan. Amonium sulfat merupakan garam yang umum digunakan pada pengendapan protein karena kelarutannya yang tinggi di dalam air, relatif lebih murah, dan tersedia pada tingkat kemurnian yang tinggi. Selain itu, amonium sulfat umumnya dapat digunakan tanpa mempengaruhi aktivitas enzim. Proses pengendapan dengan amonium sulfat dilakukan pada suhu dingin (4o C) dengan tujuan agar amonium sulfat dapat terlarut tanpa menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Setelah itu, larutan didiamkan selama 3 jam pada suhu rendah agar proses agregasi molekul- molekul protein menjadi sempurna. Endapan yang diperoleh dapat diambil melalui sentrifugasi pada 7700 g selama 20 menit. Endapan selanjutnya disuspensikan pada bufer sitrat dan didialisis untuk menghilangkan sisa garam yang terdapat dalam enzim. Hasil pemurnian dengan amonium sulfat menunjukkan bahwa aktivitas tanase tertinggi diperoleh pada tingkat kejenuhan 60% yaitu sebesar 4.110 U/ml (Gambar 15). Jika dilihat dari kadar protein, pada tingkat kejenuhan 55% diperoleh hasil yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.514 mg/ml. Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan bahwa aktivitas tanase pada tingkat kejenuhan amonium sulfat 55% dan 60% tidak berbeda nyata begitu pula dengan kadar protein yang diperoleh (Lampiran 15d). 4,500 4,110 Aktivitas tanase (U/ml) 4,000 3,318 3,500 3,304 3,000 2,300 2,500 1,672 1,748 2,000 2,236 1,862 1,482 1,456 1,500 1,000 0,602 0,500 0,000 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Tingkat kejenuhan ammonium sulfat (%) Gambar 15 Aktivitas enzim tanase pada berbagai tingkat kejenuhan amonium sulfat. Dari nilai aktivitas total dan kadar protein yang dihasilkan, dapat diketahui aktivitas spesifik tanase dimana pada tingkat kejenuhan amonium sulfat sebesar 60% dihasilkan aktivitas spesifik sebesar 8.607 U/mg. Jika dibandingkan dengan enzim ekstrak kasar, aktivitas spesifik yang diperoleh setelah dialisis meningkat sebanyak 4 kali. Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan aktivitas spesifik pada tingkat kejenuhan amonium sulfat 60% berbeda nyata dengan tingkat kejenuhan 55% (Lampiran 15g). Penelitian Sabu et al. (2005) menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini dimana aktivitas spesifik tanase tertinggi diperoleh pada tingkat kejenuhan 40-60%. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Rajakumar dan Nandy (1983) dari jamur Penicillium chrysogenum, dimana tingkat kejenuhan amonium sulfat yang digunakan pada proses pemurnian tanase sebesar 100%. Perbedaan tingkat kejenuhan amonium sulfat berhubungan dengan jumlah asam amino hidrofilik yang terdapat pada protein enzim. Menurut Scopes (1987), protein enzim yang memiliki lebih banyak asam amino hidrofilik membutuhkan konsentrasi garam yang lebih tinggi untuk mengendapkannya yaitu pada tingkat kejenuhan 50-60%. Sebaliknya, jika protein enzim mengandung lebih banyak asam amino hidrofobik, jumlah amonium sulfat yang diperlukan lebih sedikit. Penelitian Hatamoto et al. (1996) menemukan bahwa protein enzim tanase berbentuk globular yang mengandung dua subunit. Kedua subunit tersebut dihubungkan melalui ikatan disulfida membentuk heterooktamer. Hasil analisis sekuensing menunjukkan bahwa tanase mengandung lebih banyak asam amino hidrofilik. Seperti yang telah diungkapkan pada paragraf sebelumnya, aktivitas tanase tertinggi diperoleh pada tingkat kejenuhan 60%. Setelah itu, terjadi penurunan pada tingkat kejenuhan 65% hingga 80% baik ditinjau dari aktivitas total maupun kadar protein. Pada tingkat kejenuhan amonium sulfat di bawah nilai optimal, ionion garam akan melingkupi molekul- molekul protein dan mencegah bersatunya molekul- molekul ini sehingga protein melarut. Peristiwa ini disebut salting in. Pada tingkat kejenuhan amonium sulfat yang cukup, terjadi peningkatan muatan listrik di sekitar protein yang akan menarik mantel air dari protein. Interaksi hidrofobik di antara sesama molekul protein pada suasana ionik tinggi akan menurunkan kelarutan protein sehingga protein akan terendapkan. Interaksi molekul- molekul protein dalam amonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Interaksi molekul- molekul protein dalam amonium sulfat. Jika konsentrasi amonium sulfat yang ditambahkan ke dalam larutan melebihi nilai optimal yang dibutuhkan untuk mengendapkan molekul protein, kelebihan ion- ion garam dapat menarik molekul- molekul protein sehingga molekul- molekul tersebut terlarut kembali. Dengan demikian, jumlah protein yang terendapkan menjadi lebih sedikit (Scopes 1987). Karakterisasi Enzim Tanase Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas Tanase. Aktivitas enzim tanase mencapai nilai optimum pada suhu 50o C yaitu sebesar 5.125 U/ml (Gambar 17). Pada suhu 35, 40 dan 45o C aktivitas tanase juga menunjukkan nilai yang tinggi. Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan bahwa aktivitas tanase pada suhu 35, 40, 45 dan 50o C tidak berbeda nyata (Lampiran 16b). Hasil penelitian sebelumnya memberikan hasil yang sama. Penelitian Sabu et al. (2005) menyimpulkan bahwa tanase yang diproduksi dari media padat memiliki suhu optimal 30-40o C sedangkan penelitian Mahendrar et al. (2006) menemukan bahwa tanase memiliki suhu optimal 35-50o C. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Ramirez-Coronel et al. (2003), dimana suhu optimal tanase yang diperoleh lebih tinggi yaitu sebesar 60-70o C. Hal ini kemungkinan disebabkan isolat kapang yang digunakan berbeda. 5.5 Aktivitas tanase (U/ml) 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 20 30 40 50 60 70 80 90 Suhu (oC) Gambar 17 Pengaruh suhu terhadap aktivitas tanase. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tanase termasuk enzim ekstraseluler termostabil. Menurut Rahardjo et al. (2002), fermentasi media padat memiliki masalah pada pemindahan panas yang dihasilkan dari reaksi metabolisme sel mikroba. Akibatnya suhu sel mikroba pada media padat el bih tinggi dibandingkan mikroba yang tumbuh pada media cair. Bagi sebagian besar enzim, suhu optimal untuk menjalankan reaksi katalisis berada pada atau di atas suhu tempat enzim tersebut terdapat (Murray et al. 2003). Penurunan aktivitas tanase mulai terlihat pada suhu 55o C yaitu sebesar 4.383 U/ml, dan terus mengalami penurunan hingga 2.475 U/ml pada suhu 85o C. Hal ini disebabkan terjadinya denaturasi protein yang dapat menghilangkan daya katalisis enzim. Jika suatu protein terdenaturasi, struktur tiga dimensi yang bersifat khusus dari rantai polipeptida terganggu. Dengan demikian struktur protein tersebut menjadi terbuka dan acak tanpa ada kerusakan pada struktur kerangka kovalennya, tetapi aktivitas biologisnya menjadi tidak berfungsi. Pengaruh pH terhadap Aktivitas Tanase. Aktivitas katalitik suatu enzim dapat dipengaruhi oleh perubahan pH dengan berbagai cara. Seperti halnya protein, enzim memiliki gugus yang dapat terionisasi dimana perubahan pH dapat menyebabkan perubahan gugus tersebut. Akibatnya enzim dapat mengalami perubahan struktur atau konformasi sehingga kehilangan aktivitasnya (Copeland 2000). Pada Gambar 18 terlihat bahwa aktivitas tanase mencapai nilai maksimum sebesar 10.633 U/ml pada pH 6. Hasil uji Duncan (a = 5%) menunjukkan bahwa aktivitas tanase pada pH 6 berbeda nyata dengan aktivitas tanase pada semua perlakuan pH yang digunakan (Lampiran 16d). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sama seperti penelitian Sharma et al. (1999) dan Sabu et al. (2005) yang menggunakan A. niger pada produksi tanase. 12 Aktivitas tanase (U/ml) 10 8 6 4 2 0 2 4 6 8 10 pH Gambar 18 Pengaruh pH terhadap aktivitas tanase. Pengaruh Substrat terhadap Aktivitas Tanase. Pada penelitian ini, digunakan dua macam substrat untuk menguji spesifisitas tanase yaitu asam tanat dan gallotanin. Dari grafik pada Gambar 19 diperoleh nilai Km untuk asam tanat dan gallotanin adalah masing- masing sebesar 0.401 mM dan 6.611 mM. Sedangkan nilai Vmaks untuk asam tanat dihasilkan sebesar 10.804 U/ml dan Vmaks untuk gallotanin sebesar 12.406 U/ml. Dari nilai Km di atas, terlihat bahwa tanase yang dihasilkan pada penelitian ini lebih reaktif mendegradasi asam tanat dibandingkan gallotanin. 0.14 y = 0.0371x + 0.0926 2 1/v R = 0.98733 0.07 0 -4 -3 -2 -1 0 1 2 -0.07 1/[S] mM Asam tanat 0.8 y = 0.5328x + 0.0806 R2 = 0.9788 0.6 1/v 0.4 0.2 0 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 -0.2 -0.4 1/[S] mM Gallotanin Gambar 19 Grafik Lineweaver-Burk untuk asam tanat dan gallotanin. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan nilai Km dan Vmaks yang bervariasi pada tanase. Penelitian Rajakumar dan Nandy (1983) menemukan nilai Km untuk tanase yang diisolasi dari P. chrysogenum sebesar 0.48 x 10-4 M dengan substrat asam tanat. Sedangkan penelitian Sharma et al. (1999) menghasilkan nilai Km dan Vmaks masing- masing sebesar 0.2 mM dan 5 µmol/min/mg protein untuk tanase dengan substrat asam tanat. Tanase yang dihasilkan dari A. oryzae memiliki nilai Km sebesar 4.2 x 10-4 M untuk asam tanat dan 9.4 x 10-3 M untuk metil galat. Penelitian Farias et al. (1994) menggunakan 3 jenis substrat untuk menguji spesifisitas tanase yaitu asam aleppo tanat, hamanelitanin dan metil galat dimana nilai Km dari ketiga substrat tersebut masing- masing sebesar 0.94 ± 0.12; 5.07 ± 0.8; dan 7.49 ± 0.61 mM dengan nilai Vmaks sebesar 10.50 ± 0.61; 12.41 ± 0.84; dan 11.12 ± 0.42 U/ml. Sedangkan penelitian Sabu et al. (2005) menghasilkan nilai Km dan Vmaks masing- masing sebesar 1.03 mM dan 4.25 µmol/menit untuk tanase yang diisolasi dari A. niger. Untuk substrat gallotanin, dihasilkan Km sebesar 5.9 mM pada tanase yang diisolasi dari daun Quercus robur (Niehaus & Gross 1997). Tanase memiliki dua aktivitas yang terpisah yaitu aktivitas esterase dan depsidase. Aktivitas esterase adalah kemampuan tanase untuk mengkatalis reaksi hidrolisis galoil ester yang terikat pada molekul glukosa atau alkil. Sedangkan aktivitas depsidase adalah aktivitas tanase untuk mengkatalis reaksi hidrolisis ikatan antara dua residu galoil (Haslam & Stangroom 1966). Melihat struktur asam tanat dan gallotanin seperti yang terdapat pada Gambar 20, asam tanat mengandung 1 ikatan depsid tanpa memiliki ikatan ester, sedangkan gallotanin memiliki 5 ikatan depsid dan 5 ikatan ester. OH O HO C OH O O C Depsidase HO Asam Tanat OH OH HO OH HO HO O Esterase OH OH O O O OH O O O HO OH O O O O Depsidase OH OH OH OH HO HO O O OH OH O O OH 4 OH Gallotanin Gambar 20 Aktivitas esterase dan depsidase pada asam tanat dan gallotanin. Berdasarkan nilai Km yang diperoleh dari kurva Lineweaver-Burk, mengindikasikan bahwa tanase yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki aktivitas yang lebih tinggi terhadap substrat yang mengandung ikatan depsid dibandingkan ikatan ester. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh komposisi media yang digunakan untuk menghasilkan tanase. Menurut Haslam dan Stangroom (1966), jika mikroba ditumbuhkan pada media yang mengandung substrat dengan ikatan ester, maka tanase yang dihasilkan akan memiliki aktivitas esterase yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas depsidase. Sebaliknya jika substrat yang digunakan dalam media mengandung ikatan depsid, maka tanase yang dihasilkan akan memiliki aktivitas depsidase yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas esterase. Pada penelitian ini, substrat yang terdapat dalam media adalah asam tanat sehingga tanase yang diperoleh memiliki aktivitas depsidase yang lebih tinggi dibandingkan aktivitas esterase. Pengaruh Penambahan Ion Logam terhadap Aktivitas Tanase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ion- ion logam dapat mempengaruhi aktivitas tanin asil hidrolase. Pada konsentrasi yang lebih rendah yaitu 10 mM, aktivitas tanase dapat ditingkatkan oleh ion Mg2+, Na+ dan K+. Sedangkan jika konsentrasinya dinaikkan sebesar 50 mM, Mg2+ dapat menghambat aktivitas tanase. Penambahan ion Zn2+, Cu2+, Ca2+, Mn2+ dan Fe2+ diketahui dapat menurunkan aktivitas tanase baik pada konsentrasi 10 mM maupun 50 mM. Pengaruh penambahan ion logam terhadap aktivitas tanase dapat dilihat pada Gambar 21. 14 Aktivitas tanase (U/ml) 12 10 8 10 mM 50 mM 6 4 2 0 Kontrol Zn Mg Cu Ca Na Mn K Fe Jenis logam Gambar 21 Pengaruh penambahan ion logam terhadap aktivitas tanase. Pada Tabel 3 terlihat bahwa penambahan ion logam pada konsentrasi yang berbeda, memberikan efek penghambatan yang berbeda pula. Untuk logam Zn, Cu dan Mn, semakin besar konsentrasi logam efek penghambatannya semakin besar. Sedangkan untuk logam Ca dan Fe, konsentrasi logam 10 dan 50 mM memberikan pengaruh penghambat yang sama. Penambahan ion Mg2+ sebesar 10 mM mampu meningkatkan aktivitas tanase, sebaliknya pada konsentrasi 50 mM ion Mg2+ dapat menurunkan aktivitas tanase. Hal ini diduga pada konsentrasi yang rendah ion Mg2+ mampu menstabilkan konformasi enzim dengan terikat pada sisi alosterik sehingga mempengaruhi pengikatan enzim dengan substrat. Pada konsentrasi yang tinggi, ion Mg2+ dapat menurunkan stabilitas konformasi enzim dan bertindak sebagai inhibitor enzim (Gutfreund 1972). Tabel 3 Pengaruh penambahan ion logam terhadap aktivitas tanase Jenis Logam Kontrol Zn Mg Cu Ca Na Mn K Fe Aktivitas Relatif (%) 10 mM 50 mM 100 100 95 65 120 78 78 40 90 91 112 102 92 57 119 107 0 0 Beberapa penelitian memberikan hasil yang sama pada pengaruh ion logam terhadap aktivitas tanase. Penelitian Rajakumar dan Nandy (1983) menemukan bahwa penambahan Zn, Cu, Mn, Ca dan Fe sebesar 20 mM memberikan efek penghambatan masing- masing sebesar 45%, 53%, 22%, 33% dan 45%. Sedangkan penelitian Sabu et al. (2005) melaporkan bahwa logam Zn2+, Mn2+, Cu2+ dan Fe2+ pada konsentrasi 0.1 M menghambat aktivitas tanase hingga 100%. Menurut Suhartono (1989), pena mbahan garam dapat meningkatkan kekuatan ion dan mempertinggi konstanta dielektrik pelarut yang ada serta dapat mempengaruhi kestabilan molekul protein. Kestabilan molekul protein berkaitan dengan kestabilan ikatan- ikatan yang ada pada molekul enzim yakni ikatan hidrogen, ikatan Van der waals, interaksi hidrofobik maupun gaya tarik menarik listrik antara muatan yang berbeda pada molekul- molekul penyusun. Molekul protein enzim yang stabil tentunya akan mempengaruhi pengikatan enzim dengan substrat baik pada sisi aktifnya maupun perubahan konformasi tiga dimensi enzim tersebut. Ion logam memiliki fungsi yang beragam dalam reaksi katalisis. Ion logam dapat bertindak sebagai nukleofil dan mengaktifkan nukleofil dengan menyumbangkan elektronnya. Seperti halnya proton, ion logam dapat pula bertindak sebagai elektrofil dengan cara menerima elektron lewat ikatan s atau p. Selain itu, ion logam dapat pula “menutupi” nukleofil sehingga mencegah reaksi samping yang mungkin terjadi (Murray et al. 2003).