teori relativitas dan kosmologi

advertisement
TEORI RELATIVITAS
DAN KOSMOLOGI
Dr. Eng. Rinto Anugraha NQZ
Jurusan Fisika FMIPA UGM
2011
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, akhirnya buku Teori Relativitas dan Kosmologi ini dapat kami
selesaikan. Buku ini disusun untuk digunakan sebagai bahan perkuliahan mata kuliah Teori
Relativitas di Jurusan Fisika FMIPA UGM. Isi buku ini sedapat mungkin disesuaikan dengan
silabus mata kuliah yang terdapat dalam Buku Panduan FMIPA UGM.
Penyajian buku ini dimulai dari Teori Relativitas Khusus, serta beberapa penerapannya,
baik pada bidang Elektrodinamika, maupun dinamika partikel relativistik. Selanjutnya
ditelaah Teori Relativitas Umum yang diawali dari analisis matematika tensor. Setelah
merumuskan persamaan gravitasi Einstein, disajikan beberapa penerapan Teori Relativitas
Umum, seperti pada lubang hitam, presesi orbit planet, pergeseran cahaya bintang, kosmologi
dan lain-lain. Khusus pembahasan kosmologi disediakan dua bab, yaitu pada Bab V dan VI.
Pada Bab penutup, ditelaah dinamika gerak partikel dan foton baik dalam lubang hitam
maupun di jagad raya.
Meski telah disiapkan cukup lama, kami menyadari bahwa buku ini masih memiliki
banyak kekurangan. Diantaranya, tidak terdapat soal-soal latihan. Barangkali pula di sana sini
masih terdapat salah tulis dan ketik. Karena itu kami dengan tangan terbuka sangat
mengharap masukan positif dari para pembaca, dalam rangka penyempurnaan buku ini.
Akhirnya kami berharap, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan fisika di
masa depan.
Yogyakarta, Mei 2011
Dr. Eng. Rinto Anugraha NQZ
DAFTAR ISI
BAB I TEORI RELATIVITAS KHUSUS
1.1 Pendekatan Energetika dan Penjabaran Kaedah
Transformasi Lorentz
1.2 Transformasi Lorentz untuk besaran ( E , p )
1.3 Metode lain penurunan bentuk eksplisit besaran-besaran
fisis relativistik
1.4 Transformasi Lorentz Vektor-4 melalui Transformasi
Koordinat-4
1.5 Kaedah Transformasi untuk Vektor
1.6 Ruang-Waktu Minkowski dan Kaedah Transformasi Lorentz
1.7 Transformasi Lorentz untuk besaran-besaran elektrodinamika
Soal-Soal Latihan Bab I
BAB II PENERAPAN TEORI RELATIVITAS KHUSUS
2.1 Paradoks Kembar
2.2 Tinjauan Gerakan Partikel relativistik yang dikenai Gaya
Konstan dan Medan Gravitasi Seragam
2.2.1 Gerakan Partikel oleh Gaya Konstan
2.2.2 Gerakan Partikel dalam Medan Gravitasi Seragam
2.3 Efek Compton
Soal-Soal Latihan Bab II
1
2
9
15
18
18
19
25
30
33
33
38
38
42
51
58
BAB III
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
ANALISIS TENSOR DAN TEORI RELATIVITAS UMUM
Analisis Ruang Riemann
Operasi pada Tensor
Ruang Datar dan Lengkung
Tensor Metrik
Turunan Kovarian
Tensor Riemann-Christoffel, Ricci dan Einstein
Persamaan Geodesik
Teori Relativitas Umum
Hukum Gravitasi Einstein
Soal-Soal Latihan Bab III
61
61
64
65
67
68
69
71
72
80
86
BAB IV
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
PENERAPAN TEORI RELATIVITAS UMUM
Penyelesaian Schwarzschild
Presesi Orbit Planet
Pembelokan cahaya bintang di sekitar massa massif
Gelombang gravitasi
Lubang hitam Schwarzschild dan Kruskal-Szekeres
Struktur bintang
Soal-Soal Latihan Bab IV
93
93
100
105
109
111
115
119
BAB V
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA
Pendahuluan
Asas Kosmologi
Geometri Bolahiper
Metrik Robertson-Walker
Pergeseran merah galaksi
Ekspansi Jagad Raya
Sejarah Suhu Jagad Raya menurut Big Bang
Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro
Soal-Soal Latihan Bab V
121
121
124
125
126
127
130
133
139
145
BAB VI
6.1
6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
KOSMOLOGI : DINAMIKA JAGAD RAYA
Dinamika Jagad Raya
Rapat Energi dan Tekanan Jagad Raya
Masa Dominasi Materi
Horison Partikel dan Horison Peristiwa
Masa Dominasi Radiasi
Data Fisis Jagad Raya
Masa Depan Jagad Raya
Soal-Soal Latihan Bab VI
149
149
155
157
166
167
171
173
175
BAB VII DINAMIKA GERAK PARTIKEL DAN FOTON
7.1 Persamaan Gravitasi Einstein
7.2 Persamaan Geodesik
7.3 Dinamika Gerak Partikel dalam Medan Schwarzschild
7.4 Dinamika Gerak Foton dalam Bidang Datar Medan
Schwarzschild
7.5 Dinamika Gerak Foton secara Radial dalam Medan
Schwarzschild
7.6 Dinamika Gerak Partikel dan Foton dalam Jagad Raya
bermetrik Robertson-Walker
7.7 Solusi Persamaan Eisntein untuk Jagad Raya
7.8 Dinamika Gerak Partikel dalam Jagad Raya
7.9 Dinamika Gerak Foton dalam Jagad Raya
7.10 Dinamika Metrik de Sitter
7.11 Dinamika Gerak Foton dalam Metrik de Sitter
7.12 Dinamika Gerak Partikel dalam Metrik de Sitter
7.13 Metrik dan Jagad Raya de Sitter
7.14 Dinamika Gerak Foton dalam Jagad Raya de Sitter
Soal-Soal Latihan Bab VII
177
178
179
179
Daftar Pustaka
213
183
185
186
187
188
197
198
200
202
204
205
207
1
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
BAB I
TEORI RELATIVITAS KHUSUS
Fisika adalah ilmu yang berupaya secara ilmiah menelaah gejala alam mulai
dari skala mikro (partikel elementer) hingga skala makro (jagad raya), serta mulai
dari kelajuan rendah hingga kelajuan maksimum. Teori relativitas merupakan salah
satu tulang punggung fisika modern. Sumbangannya terutama dalam bentuk
penataan dan pelurusan konsep−konsep dasar dalam fisika, khususnya yang
berkaitan dengan ruang−waktu, momentum−energi sebagai aspek kinematika semua
gejala alam, yang selanjutnya mengangkat cahaya sebagai pembawa isyarat
berkelajuan maksimum.
Sumbangan teori relativitas, dalam hal ini adalah teori relativitas khusus
adalah mampu menampilkan persamaan Maxwell, yang merupakan persamaan
dasar dalam elektrodinamika, dalam bentuk yang kovarian. Konsekuensi teori
relativitas khusus adalah kelajuan gelombang elektromagnet dalan ruang vakum
sama dengan c (laju cahaya di ruang hampa). Beberapa percobaan menunjukkan
bahwa dalam elektromagnetik, tidak ada kerangka istimewa. Dalam kerangka
inersial, kelajuan cahaya sama dengan c, atau dengan kata lain, c merupakan suatu
besaran invarian. Selain itu sistem persamaan Maxwell berlaku dalam smua
kerangka inersial, yang oleh karena itu konsep ruang−waktu dan momentum−energi
yang mutlak harus diganti.
Ada tiga asas yang melandasi teori relativitas khusus, yaitu :
Asas ke nol (Asas perpadanan / korespondensi) : untuk setiap gerakan berkelajuan
rendah (momentum rendah), konsep−konsep dan hukum−hukum relativistik
yang muncul harus sesuai dengan konsep−konsep yang telah ada dalam teori
Newton.
Asas pertama : Semua hukum alam bersifat tetap bentuknya (kovarian) terhadap
perpindahan peninjauan dari kerangka inersial satu menuju kerangka inersial
yang lain.
___________________________________________________________________
2
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Asas kedua : Laju maksimal yang dapat dimiliki oleh isyarat tidak bergantung
(invarian) dari kerangka acuan inersial yang digunakan.
Nilai kelajuan maksimal c ini merupakan salah satu tetapan alam yang sangat
penting dalam fisika dan memegang peranan utama dalam penelusuran konsep
ruang−waktu serta momentum−energi. Nilainya sebagaimana yang ditetapkan oleh
Badan Umum Internasional mengenai Berat dan Ukuran adalah c = 299792458 m/s.
Hal ini berarti satu meter adalah jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam ruang
vakum selama selang waktu 1/299792458 detik.
Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menelusuri kaedah
transformasi antara besaran−besaran fisis (transformasi Lorentz) dari kerangka
~
inersial yang satu (K) menuju kerangka inersial yang lain (K ) yang bergerak
dengan kecepatan konstan V terhadap K.
Pendekatan pertama yang digunakan bersifat konvensional yaitu dengan
memilih ruang dan waktu sebagai variabel awal yang digunakan dalam
merumuskan kaedah transformasi Lorentz. Dengan pendekatan ini, kaedah
transformasi untuk besaran momentum dan energi baru ditelusuri kemudian.
Pendekatan kedua bersifat pendekatan energetika, yaitu dengan memilih
momentum−energi sebagai variabel awal, yang selanjutnya transformasi untuk
besaran ruang dan waktu baru ditampilkan kemudian. Menurut Muslim (1997),
pendekatan ini tampil lebih ringkas dan lebih sesuai apabila diterapkan untuk proses
mikroskopik pada zarah elementer, mengingat data−data pada proses hamburan dan
spektroskopi biasanya melibatkan besaran momentum dan energi.
Berikut ini akan dijabarkan perumusan kaedah transformasi Lorentz melalui
pendekatan energetika (momentum−energi), mengacu pada Muslim (1997).
1.1
Pendekatan Energetika dan Penjabaran Kaedah Transformasi Lorentz
Menurut asas korespondensi, perumusan hukum Newton kedua yang
berbentuk
dp
F=
dan dE = F . dr = dW
dt
(1.1)
___________________________________________________________________
3
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
dapat pula berlaku dalam energetika relativistik (untuk momentum dan energi
relativistik), dengan modifikasi definisi bagi momentum p . Dalam hal ini, F
adalah gaya luar yang melakukan kerja dW pada zarah dalam selang waktu dt,
dengan akibat terjadinya perubahan momentum sebesar dp dan energi sebesar dE
sewaktu zarah tersebut melakukan pergeseran sejauh dr . Perubahan tenaga tersebut
dapat dituliskan sebagai
 dr   dp  (1.2)
dE =   . dr = dp .   = v . dp .
 dt 
 dt 
Pada saat zarah dalam keadaan rehat ( v = 0 ), energi zarah bernilai E0 yang
dinamakan dengan energi rehat. Selanjutnya jika zarah bergerak ( v ≠ 0 ), energi
zarah tersebut akan bertambah dengan energi kinetik sebesar Ek menjadi energi
total E yang dirumuskan sebagai
E = E0 + E k .
Jika zarah tersebut bergerak lurus maka v // p sehingga
dE = v dp.
(1.3)
(1.4)
Untuk foton dengan v = c konstan dan invarian (asas kedua teori relativitas), maka
diperoleh energi foton sebesar
E = ∫ dE = c ∫ dp = pc + konstan .
(1.5)
Mengingat tidak ada foton dengan kecepatan nol, maka disimpulkan bahwa tetapan
konstan tersebut sama dengan nol. Jadi diperoleh
E 2 = p 2 c 2 untuk v = c.
(1.6)
Selanjutnya untuk zarah bermassa dengan v atau p atau Ek sembarang,
bentuk kuadrat momentum p 2 dapat diuraikan ke dalam suatu deret Taylor dalam
Ek = E − E0 yang berbentuk
p 2 = a0 + a1 Ek + a2 Ek2 + ...
(1.7)
Untuk zarah rehat (v = 0), nilai p maupun Ek = 0, sehingga a0 = 0. Dari
sini, perilaku zarah untuk kecepatan rendah diberikan oleh koefisien a1 . Untuk
___________________________________________________________________
4
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
zarah berkelajuan tinggi, Ek tinggi sehingga nilai E 2 ≈ Ek2 , mengingat untuk
daerah ini E0 dapat diabaikan. Dari kondisi ini diperoleh a0 = 1 / c 2 , sedangkan
untuk a3 dan seterusnya sama dengan nol. Adapun untuk kelajuan rendah, tentu
saja a1 ≠ 0 . Jadi untuk sembarang daerah kelajuan / energi kinetik, berlaku kaitan
dispersi untuk zarah bebas yang berbentuk
p 2 = p . p = a1Ek + Ek2 / c 2 untuk 0 ≤ v ≤ c.
(1.8)
Apabila ungkapan di atas diambil turunannya, serta dengan mengingat bahwa
dEk = d ( E − E0 ) = dE
(1.9)
2p . dp = (a1 + 2 Ek / c 2 ) dE
(1.10)
p
dE = 1
. dp
2
a + Ek / c
2 1
(1.11)
diperoleh
atau
yang harus = v . dp . Dari sini diperoleh kesamaan
p=v
(
1
2
)
a1 + Ek / c 2 .
(1.12)
Pangkat dua persamaan di atas adalah

aE
E2 
p 2 = v 2  14 a1 + 1 2 k + 4k 
c
c 

yang harus bernilai sama dengan
p 2 = a1 Ek + Ek2 / c 2 .
(1.13)
(1.14)
Dua persamaan terakhir di atas dapat dituliskan dengan mengumpulkan Ek yang
berpangkat sama sebagai
 v 2  Ek2
 v2 
1 − 2  2 + a1 1 − 2  Ek = 14 a12 v 2 .
 c c
 c 




Dengan mengalikan persamaan di atas dengan
(1.15)
c2
, diperoleh
(1 − v 2 / c 2 )
a12 v 2 c 2
(1.16)
4(1 − v 2 / c 2 )
___________________________________________________________________
Ek2 + a1c 2 Ek =
5
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
yang ternyata sama dengan p 2 c 2 . Dengan demikian
p=
a1v
2 1 − v2 / c2
.
(1.17)
Untuk kelajuan rendah, berlaku rumus Newton :
p = mv
(1.18)
dan
1 − v2 / c2 ≈ 1
(1.19)
sehingga
mv =
a1v
2
atau
a1 = 2m .
(1.20)
Dengan mengisikan hasil ini ke dalam pers. (1.17) diperoleh vektor momentum
relativistik sebagai
p=
mv
1− v / c
2
2
= γmv
(1.21)
≥ 1.
(1.22)
dengan
γ =
1
1 − v2 / c2
Selanjutnya dengan mengisikan nilai a1 = 2m ke dalam pers. (1.12) diperoleh
γmv = v(m + Ek / c 2 )
(1.23)
Ek = mc 2 (γ − 1) .
(1.24)
atau
Mengingat energi kinetik partikel adalah energi relativistik partikel dikurangi
dengan energi rehatnya, atau yang dituliskan sebagai
E k = E − E0
(1.25)
dengan E = energi relativistik partikel dan E0 = energi rehat partikel.
Selanjutnya dapat dilakukan identifikasi berikut :
___________________________________________________________________
6
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
E = γmc 2 =
mc 2
(1.26)
1 − v2 / c2
dan
E0 = mc 2
(1.27)
Untuk limit non−relativistik, bentuk
γ − 1 = (1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 − 1 ≈ (1 + v 2 / 2c 2 ) − 1 = v 2 / 2c 2
(1.28)
sehingga tenaga kinetik nonrelativistik menjadi
Ek = mc 2 (v 2 / 2c 2 ) = 12 mv 2
(1.29)
yang bersesuaian dengan teori Newton.
Kuadrat energi relativistik partikel bernilai
E2 =
(
m 2c 4
1
=
m 2c 4 − m 2v 2c 2 + m 2v 2c 2
2
2
2
2
1− v / c
1− v / c
m 2 c 4 (1 − v 2 / c 2 ) 
mv
=
+
2
2

2
2
(1 − v / c )
 1− v / c
)
2
 2
 c = m 2 c 4 + p 2 c 2


(1.30)
sehingga
E=
p 2c 2 + m 2c 4
Hubungan antara p, v dan E dapat dituliskan dalam bentuk
Ev
2
2
p = γmv = γmc v / c = 2 .
c
(1.31)
(1.32)
Dari persamaan (1.31), dapat dibuat ilustrasi yang menggambarkan hubungan
tersebut dalam segitiga siku-siku, seperi yang terdapat pada Gambar 1.1.
mc 2
E
p
Gambar 1.1
Segitiga siku-siku antara E, pc dan mc 2
___________________________________________________________________
7
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Contoh soal :
Tentukan kecepatan sebuah partikel dalam c atau laju cahaya dalam ruang hampa
agar
a.
rumus Newton p = mv dapat digunakan dengan kesalahan 10 −6 .
b.
rumus E k = 1 mv 2 dapat digunakan dengan kesalahan yang sama.
2
c.
rumus p = mv hanya memberikan setengah dari nilai momentum yang
sebenarnya dimiliki partikel tersebut.
d.
rumus E k = 1 mv 2 hanya memberikan nilai setengah dari yang sebenarnya
2
dimiliki oleh partikel tersebut.
e.
Tenaga kinetik partikel sama dengan 10 × tenaga rehatnya.
Jawaban :
a.
Jika rumus momentum
p = mv(1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 = mv(1 − β 2 ) −1 / 2
seperti yang terdapat pada persamaan (1.21) diuraikan menggunakan deret,
diperoleh
p = mv(1 + 1 β 2 + 3 β 4 + ...) .
2
8
Dengan demikian rumus Newton yang hanya memuat suku pertama deret di
atas dapat digunakan dengan kesalahan 10 −6 , jika
1 β2
2
≤ 10 −6
atau
v ≤ 1,41 × 10 −3 c = 4,24 × 10 5 m/s .
Kecepatan ini cukup tinggi (lebih dari 100 kali kecepatan bunyi di udara).
b.
Tenaga kinetik partikel seperti dirumuskan pada persamaan (1.24) adalah
E k = mc 2 [(1 − β 2 ) −1 / 2 − 1]
yang jika diuraikan ke dalam deret menjadi
E k = 1 mv 2 (1 + 3 β 2 + ...) .
2
4
___________________________________________________________________
8
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Jadi supaya rumus tenaga kinetik klasik masih dapat digunakan dengan
tingkat kesalahan tersebut, maka
≤ 10 −6
3 2
β
4
atau
v ≤ 1,15 × 10 −3 c .
Nilai ini sedikit lebih kecil dari nilai pada (a).
c.
Untuk pertanyaan tersebut
mv = 1 mv(1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2
2
yang berarti
v = 1 3c.
2
d.
Untuk pertanyaan tersebut
1 mv 2
2
= 1 mc 2 [(1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 − 1]
2
yang berarti
1 + β 2 = (1 − β 2 ) −1 / 2 .
Bentuk ini dapat dituliskan dalam bentuk
(1 + 2 β 2 + β 4 )(1 − β 2 ) = 1 − β 6 − β 4 + β 2 = 1
sehingga
β 2 ( β 4 − β 2 − 1) = 0 .
Bentuk persamaan kuadrat dalam β 2 di atas memiliki akar positif
β 2 = 1 ( 5 − 1)
2
sehingga
v = 0,79 c = 2,36 × 108 m/s.
e.
Untuk
E k = mc 2 [(1 − β 2 ) −1 / 2 − 1] = 10mc 2
maka
___________________________________________________________________
9
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
(1 − β 2 ) −1 / 2 = 11
sehingga
β2 =
120
121
atau
v = 2,988 × 108 m/s.
1.2
Transformasi Lorentz untuk besaran ( E , p)
~
Ditinjau transformasi Lorentz antara kerangka K dan kerangka K yang
bergerak terhadap K dengan kecepatan V, yang secara linear menghubungkan
~
perangkat besaran ( E , p x , p y , p z ) dan ( E , ~
px , ~
py , ~
p z ) serta sebagai bentuk
pengkhususan dipilih transformasi yang hanya ditinjau ke arah salah satu sumbu
koordinat saja, dalam hal ini dipilih sumbu x. Bentuk transformasi Lorentz tersebut
adalah (Muslim, 1985)
~
E = Γ' ( E + bp x ) ; ~
p x = Γ( p x + aE ) ; ~
p y = p y dan ~
pz = pz .
(1.33)
Jadi pada bentuk di atas, komponen momentum ke arah sumbu y dan z tidak
mengalami perubahan, sehingga transformasi hanya melibatkan pasangan ( E , p x ) .
Untuk mencari parameter−parameter transformasi yaitu Γ, Γ' , a dan b, akan ditinjau
dua kasus khusus yaitu kasus partikel bermassa rehat m yang rehat masing−masing
~
~
di K dan K . Ilustrasi tentang kerangka K dan K terdapat pada Gambar 1.2.
~
z
z
V
O
x
~
O
~
y
y
~
x
~
Gambar 1.2. Kerangka K dan K
___________________________________________________________________
10
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
~
Saat partikel rehat di K , yang berarti
~
px = ~
py = ~
pz = 0
(1.34)
maka memberikan
p y = pz = 0
(1.35)
p x + aE = 0
(1.36)
p x = − aE .
(1.37)
serta
atau
Padahal hubungan antara p, v dan E adalah
Ev
p= 2
c
(1.38)
sehingga diperoleh kesimpulan
a=−
v
.
c2
(1.39)
~
Mengingat partikel tersebut rehat di K , itu berarti partikel tersebut bergerak dengan
kecepatan v = V = V nx di K. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa
a=−
V
.
c2
(1.40)
Selanjutnya saat partikel rehat di K, yang berarti
px = p y = pz = 0 ,
yang dari transformasi Lorentz memberikan
~
py = ~
pz = 0
(1.41)
(1.43)
serta
2
V
~
p x = ΓaE = − 2 Γmc 2 = −ΓVm.
c
(1.44)
~
Partikel tersebut berarti bersama−sama dengan kerangka K bergerak terhadap K
~
dengan kecepatan v = −V = −V nx . Dengan demikian momentum partikel di K
bernilai
___________________________________________________________________
11
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
mV
px = −
(1.45)
1 − V 2 / c2
sehingga diperoleh
1
Γ=
.
1 − V 2 / c2
~
~
Kemudian dihitung nilai energi E di K menurut
~
E=
mc 2
1−V / c
2
2
(1.46)
= Γ' (mc 2 + 0)
(1.47)
= Γ.
(1.48)
sehingga diperoleh
Γ' =
1
1 − V 2 / c2
~
Untuk menentukan tetapan b, ditinjau kembali partikel yang rehat di K ,
~
~
sehingga transformasi Lorentz untuk energi E di K menghasilkan
~
E = mc 2 = Γ' (Γmc 2 + bΓmV )
(1.49)
atau
bmV =
(
)
mc 2
− mc 2 = mc 2 1 − V 2 / c 2 − 1 = − mV 2
2
Γ
(1.50)
yang berarti bahwa
b = −V .
(1.51)
~
Dengan demikian transformasi Lorentz antara kerangka K dan kerangka K
yang bergerak dengan kecepatan V ke arah sumbu x untuk perangkat besaran
~
( E , p x , p y , p z ) dan ( E , ~
px , ~
py , ~
p z ) adalah
~
E=
E − Vp x
1 − V 2 / c2
;
p − VE / c 2
~
px = x
;
1 − V 2 / c2
~
p =p ; ~
p =p .
y
y
z
z
(1.52)
(1.53)
(1.54)
Selanjutnya dilakukan perluasan jika arah V sembarang. Dengan melakukan
substitusi :
___________________________________________________________________
12
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
p x → p// ;
(1.55)
p y dan p z → p⊥ ;
p xV → p//V = p ⋅ V
(1.56)
(1.57)
diperoleh
E −p⋅V
~
E=
;
1 − V 2 / c2
~
p // − VE / c 2
p // =
;
1 − V 2 / c2
~
p⊥ = p ⊥
(1.58)
(1.59)
(1.60)
~
Karena K bergerak terhadap K dengan kecepatan − V , maka transformasi balik
untuk bentuk di atas adalah
E=
~ ~ E +p⋅V
;
1 − V 2 / c2
~
~
p // + VE / c 2
p // =
;
1 − V 2 / c2
~
p⊥ = p⊥
(1.61)
(1.62)
(1.63)
Ditinjau sebuah partikel bermassa m yang bergerak di K dengan kecepatan v
~
~
~
dan di K dengan kecepatan v . Kaedah transformasi untuk energi E di kerangka
~
K memberikan

2

mc 2
1
mc
m
v
⋅V 
~

(1.64)
E=
=
−


1 − v '2 / c 2
1 − V 2 / c2  1 − v2 / c2
1 − v2 / c2 
yang dengan membalik pembilang dan penyebut persamaan di atas, kemudian
menyederhanakannya diperoleh
1 − v2 / c2
1 − v' / c = 1 − V / c
.
1 − v ⋅ V / c2
2
2
2
2
(1.65)
Jika pada persamaan di atas diisikan v = c, maka v’ juga sama dengan c. Hal ini
berarti kecepatan cahaya di semua kerangka acuan inersial bernilai tetap (invarian)
yang sama dengan c.
___________________________________________________________________
13
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Akibat lain dari persamaan di atas adalah dengan menuliskannya sebagai
1
1
1
=
2
γ ' Γγ 1 − v ⋅ V / c
(1.66)
γ'
= Γ(1 − v ⋅ V / c 2 )
γ
(1.67)
atau
Sementara itu dari pers. (1.63) untuk komponen momentum tegaklurus diperoleh
~
γ ' mv ⊥ = γmv ⊥
(1.68)
yang menghasilkan kaedah kecepatan tegaklurus sebagai
~
v⊥
v⊥ =
.
Γ(1 − v ⋅ V / c 2 )
Sedangkan untuk komponen momentum yang sejajar, diperoleh
~
γ ' mv // = Γ(γmv // − Vγmc 2 / c 2 ) = Γγm( v // − V )
(1.69)
(1.70)
sehingga
~
v // =
v−V
.
1 − v ⋅ V / c2
(1.71)
Dengan menggunakan kaedah penjumlahan kecepatan di atas, dapat
~
diturunkan transformasi koordinat (ct , r ) dan (c~
t , r ) menurut resep
v = dr / dt
(1.72)
dan
~
~
v = d r / d~
t .
Untuk transformasi kecepatan tegaklurus, diperoleh
d ~
dr⊥
r
=
.
~ ⊥
dt
Γ dt (1 − v ⋅ V / c 2 )
(1.73)
(1.74)
Dengan berlakunya simetri gerak pada panjang yang tegaklurus V , untuk vektor
koordinat yang tegaklurus diperoleh
~
r⊥ = r⊥
(1.75)
~
d r⊥ = dr⊥ ,
(1.76)
dan sekaligus juga
sehingga
___________________________________________________________________
14
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
d~
t = dt Γ(1 − v ⋅ V / c 2 ) = Γ(dt − dr ⋅ V / c 2 ) .
(1.77)
~
Untuk syarat awal : t = t = 0 dan r = 0 , integrasi persamaan di atas memberikan
hasil transformasi waktu koordinat :
~
t = Γ(t − r ⋅ V / c 2 ) .
(1.78)
Sementara itu dari kaedah transformasi kecepatan yang sejajar, bentuknya dapat
ditulis sebagai
~
d r//
dr// − Vdt
d ~
=
~ r// =
dt
Γdt (1 − v ⋅ V / c 2 ) dt (1 − v ⋅ V / c 2 )
(1.79)
atau
~
d r// = Γ(dr// − Vdt ) .
(1.80)
Dengan menerapkan syarat awal
~ ~
t = t = 0 dan r// = r// = 0 ,
maka pengintegralan persamaan di atas memberikan
~
r// = Γ(r// − Vt ) .
(1.81)
Gabungan antara pers. (1.75) dan (1.81) menghasilkan
~ r = r + (Γ − 1)(r ⋅ V )V / V 2 − ΓVt
(1.82)
Contoh Soal :
Sebuah pesawat antariksa dilihat dari bumi sedang bergerak ke arah timur dengan
kecepatan v p = 0,6c iˆ dan dalam waktu lima detik akan bertabrakan dengan sebuah
komet yang sedang bergerak ke arah barat dengan kecepatan vk = −0,8c iˆ .
a.
Dilihat dari pesawat antariksa, berapakah kecepatan komet mendekatinya ?
b.
Menurut pilot pesawat antariksa tersebut, berapa waktu yang tersedia untuk
menghindari tabrakan tersebut?
Jawaban :
a.
Ditinjau dari pesawat antariksa yang bergerak dengan kecepatan V = v p
terhadap bumi (kerangka K), kecepatan komet mendekati pesawat tersebut
dapat dicari dengan perumusan
___________________________________________________________________
15
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
v // k − V
− 0,8c − 0,6c
v ' // k =
= iˆ
= −0,946c iˆ .
1 − v //V / c 2
1 − (−0,8c)(−0,6c) / c 2
Jadi kecepatan komet tersebut menurut pilot pesawat adalah 0,946c
mendekati pesawat tersebut.
b.
Dengan menggunakan dilatasi waktu, dapat ditentukan waktu yang tersedia
bagi pilot tersebut untuk menghindari tabrakan. Karena faktor dilatasi waktu
adalah
Γ = (1 − 0,6 2 ) −1 / 2 = 1,25
maka
∆t ' =
1.3
∆t
5
=
detik = 4 detik .
Γ 1,25
Metode lain penurunan bentuk eksplisit besaran−
−besaran fisis relativistik
Metrik ruang−waktu datar empat dimensi (metrik Minkowski) yang
digunakan dalam teori relativitas khusus muncul dari bentuk invarian metrik
ds 2 = η µν dx µ dxν = −c 2 dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 = −c 2 dt 2 + dr 2
(1.83)
dengan vektor koordinat−4 kontravarian dirumuskan
x µ = ( x 0 , x m ) = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct , x, y, z ) = (ct , r )
(1.84)
Pada metrik pers. (1.83), komponen tensor metrik rank−2 kovarian adalah
− η00 = η11 = η22 = η33 = 1
(1.85)
dan
η µν = 0 untuk µ ≠ ν .
(1.86)
Sementara itu pasangan komponen tensor metrik rank−2 kontravarian adalah
− η 00 = η11 = η 22 = η 33 = 1
(1.87)
dan
η µν = 0 untuk µ ≠ ν
(1.88)
Kaitan antara waktu pribadi τ dengan elemen garis s adalah
ds 2 = −c 2 dτ 2
(1.89)
___________________________________________________________________
16
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
sehingga pers. (1.83) menjadi
(
)
1
(1.90)
dx 2 + dy 2 + dz 2
2
c
Diperkenalkan vektor kecepatan−3 v yang memiliki komponen−komponen
dτ 2 = dt 2 −
Cartesan
vx =
dx
dy
dz
, vy =
, vz =
dt
dt
dt
(1.91)
Dengan substitusi komponen−komponen kecepatan−3 di atas, pers. (1.90) dapat
dituliskan menjadi
[
]
(1.92)
1/ 2
 v2 
dt
dτ = 1 − 2  dt = ,
γ
c 

(1.93)
1
v2 
2
2
2 
2
dτ = dt 1 − 2 (dx / dt ) + (dy / dt ) + (dz / dt )  = dt 1 − 2 
c 
 c


2
2
atau
dengan
γ =
1
2 2 .
1− v / c
(1.94)
Didefinisikan vektor kecepatan−4 kontravarian V µ yang memiliki komponen
Vµ =
dx µ dx µ dt
d
=
= γ (ct , r ) = γ (c, v )
dτ
dt dτ
dt
(1.95)
sedangkan komponen vektor kecepatan−4 kovarian Vµ dapat dicari dari V µ dengan
menggunakan tensor metrik kovarian pers. (1.85) − (1.86) :
Vµ = η µν V ν = γ (−c, v ) .
(1.96)
Sementara untuk vektor kecepatan−4 kontravarian P µ , komponen−komponennya
adalah
 γmc 2
  E 
P µ = mV µ = mγ (c, v ) = 
, γmv  =  , p 
 c
 c 
(1.97)
E = γmc 2
(1.98)
dengan energi :
___________________________________________________________________
17
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
dan momentum−3 :
p = γmv .
(1.99)
Hasil pers. (1.98) dan (1.99) berturut-turut sama dengan pers. (1.26) dan (1.21).
Sedangkan vektor momentum−4 kovarian Pµ adalah
Pµ = η µν Pν = (− E / c, p)
(1.100)
Adapun vektor gaya−4 kontravarian F µ memiliki komponen−komponen
Fµ =
dP µ dP µ dt
 dE 
=
=γ
,f 
dτ
dt dτ
 cdt 
(1.101)
dengan gaya−3 f didefinisikan sebagai
dp
f=
dt
(1.102)
Sementara itu vektor gaya−4 kovarian Fµ dirumuskan sebagai
 dE 
Fµ = η µν F ν = γ  −
, f  .
 c dt 
(1.103)
Perkalian dalam (inner product) antara dua vektor kovarian dan kontravarian
akan menghasilkan suatu skalar, seperti misalnya
v2 
2 2
22
2 2

VµV = γ (−c, v)γ (c, v) = −γ c + γ v = −γ c 1 − 2  = −c 2
 c 
(1.104)
2
Pµ P µ = (− E / c, p)( E / c, p) = −(E / c ) + p 2 = − m 2 c 2
(1.105)
µ
dan
Dari turunan pers. (1.104) di atas diperoleh
0=
(
)
 dE 
 dE 
d
mVµV µ = FµV µ + Vµ F µ = γ  −
, f γ (c, v) + γ (−c, v)γ 
, f 
dτ
 c dt 
 c dt 
 dE 
= 2γ 2  −
+ f ⋅ v
 dt

(1.106)
sehingga diperoleh
dE = f ⋅v
dt
(1.107)
___________________________________________________________________
18
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Dengan hasil di atas, vektor gaya−4 kontravarian dan kovarian berturut−turut dapat
dituliskan menjadi
(
F µ = γ f ⋅ v / c, f
dan
(
)
(1.108)
)
(1.109)
E 2 = p 2c 2 + m 2c 4 .
(1.110)
Fµ = γ − f ⋅ v / c, f
Dari pers. (1.105) berlaku kaitan
Sementara dari pers. (1.107) :
dE = v ⋅ f dt = v ⋅ dp .
(1.111)
Bentuk di atas sama dengan pers. (1.2)
1.4
Transformasi Lorentz Vektor−4 melalui Transformasi Koordinat−4
Berikut ini akan dijabarkan kaedah alih bentuk Lorentz untuk komponen
vektor−4, baik dalam bentuk kovarian maupun kontravarian melalui transformasi
koordinat−4 (1.3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu) di ruang−waktu Minkowski.
Mula−mula diberikan aturan transformasi koordinat untuk vektor dalam ruang
sembarang berdimensi N. Selanjutnya diberikan deskripsi ruang−waktu Minkowski
yang menjadi wahana teori relativitas khusus Einstein. Diberikan kaitan
transformasi koordinat di dalam ruang−waktu tersebut bagi dua kerangka inersial
yang salah satunya bergerak dengan kecepatan konstan V terhadap lainnya.
Dengan kaitan tersebut selanjutnya melalui kaedah transformasi untuk vektor,
nilai−nilai komponen beberapa vektor−4 dihitung dan diperoleh relasi yang
mengaitkan besaran−besaran pada kedua kerangka tersebut. Vektor−4 yang dipilih
di sini berkaitan berkaitan dengan masalah dalam dinamika relativistik dan
elektrodinamika, seperti vektor kecepatan−4, vektor momentum−4, vektor gaya−4,
vektor potensial−4 dan vektor kerapatan−4.
1.5
Kaedah Transformasi untuk Vektor
Ditinjau suatu ruang berdimensi N dengan koordinat
___________________________________________________________________
19
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
x N = ( x1 , x 2 ,..., x N ) .
(1.112)
Jika dilakukan transformasi ke koordinat
~
x N = (~
x 1, ~
x 2 ,..., ~
xN )
(1.113)
di dalam ruang tersebut, kaedah transformasi yang mengubungkan vektor
~
~
kontravarian Aν dan A µ serta antara vektor kovarian Aν dan Aµ berturut−turut
adalah (Lawden, 1982)
~ µ ∂~
xµ ν
A = ν A
∂x
(1.114)
∂xν ~
Aν = ~ µ A µ ,
∂x
(1.115)
~
∂xν
Aµ = ~ µ Aν
∂x
(1.116)
dengan inversi
serta
dengan inversi
Aµ =
∂~
xµ ~
Aµ .
∂xν
(1.117)
Di sini telah digunakan kesepakatan penjumlahan Einstein, yaitu jika terdapat
indeks berulang, maka penjumlahan harus dilakukan meliputi jangkuan indeks
tersebut. Apabila penjumlahan tak ingin dilakukan, maka hal tersebut harus
diungkapkan secara eksplisit.
1.6
Ruang−Waktu Minkowski dan Kaedah Transformasi Lorentz
Metrik ruang waktu Minkowski dengan koordinat
x µ = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct, x, y, z) = (ct , r )
(1.118)
dapat mengambil bentuk
ds 2 = g µν dx µ dxν = −c 2 dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 = −c 2 dt 2 + dr 2
(1.119)
g µν = η µν (ηmn = δ mn , η00 = −1, η0 m = ηm0 = 0 )
(1.120)
dengan
___________________________________________________________________
20
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Ditinjau dua kerangka inersial yakni kerangka K dengan koordinat x µ dan
~
x µ yang bergerak dengan kecepatan konstan V
kerangka K dengan koordinat ~
terhadap kerangka K ke arah
r .V r// = 2 V
V
(1.121)
Kaitan Lorentz antara koordinat−4 di dalam ruang−waktu Minkowski adalah
(Zahara dkk, 1997)
~
r// = Γ(r// − Vt )
(1.122)
~
r⊥ = r⊥
(1.123)
~
t = Γ(t − r.V / c 2 )
(1.124)
dengan
Γ=
1
1 − V 2 / c2
.
Kalau komponen ruang di atas ingin digabungkan, hasilnya
~ ~ ~
(Γ − 1)(r.V ) Γct r = r// + r⊥ = r +
V−
V
c
V2
(1.125)
(1.126)
yang jika diuraikan ke dalam komponen−komponennya menjadi
(Γ − 1) x jV j i ΓV i 0 i
i
~
x ni = x ni +
V ni −
x ni
c
V2
(1.127)
atau
 i (Γ − 1)V iV j
i
~
x = δ j +

V2

 j ΓV i 0
x −
x

c

(1.128)
Sedangkan penguraian untuk komponen waktu adalah
V
~
c t = Γ(ct − i x i )
c
(1.129)
V
~
x 0 = Γ( x 0 − i x i ) .
c
(1.130)
atau
___________________________________________________________________
21
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
~
Dari pers. (1.128) dan (1.130), jika dilakukan derivatif parsial koordinat K
terhadap K, diperoleh
(Γ − 1)V iV j
∂~
xi
i
=δ j +
∂x j
V2
(1.131)
∂~
xi
ΓV i
=
−
c
∂x 0
(1.132)
ΓV
∂~
x0
=− i
i
c
∂x
(1.133)
∂~
x0
= Γ.
∂x 0
(1.134)
Ditinjau suatu vektor−4 kontravarian di ruang K
S µ = ( S 0 , S m ) = ( S 0 , S)
(1.135)
~
dan vektor−4 kontravarian di ruang K
~
~ ~
~ ~
S µ = (S 0 , S m ) = (S 0 , S) .
(1.136)
Dengan menggunakan kaedah transformasi untuk komponen vektor kontravarian,
diperoleh :
 0 S⋅V
ΓVn n
~ 0 ∂~
x 0 ν ∂~
x 0 0 ∂~
x0 n
0

S = Γ S −
S = ν S = 0 S + n S = ΓS −

c
c
∂x
∂x
∂x


(1.137)
dan
~
∂~
xm
∂~
xm
∂~
xm
ΓV m 0  m (Γ − 1)V mVn  n
S
S m = ν Sν = 0 S 0 + n S n = −
S +  δ n +

c
∂x
∂x
∂x
V2


(Γ − 1)S ⋅ V m ΓS 0 m
m
= S +
V −
V
(1.138)
c
V2
yang jika dinyatakan dalam notasi vektor menjadi
~ (Γ − 1)S ⋅ V ΓS 0 S=S+
V−
V.
c
V2
(1.139)
Mengingat bentuk
(S ⋅ V )V / V 2 = S // ,
kaedah untuk komponen vektor S yang sejajar V adalah
(1.140)
___________________________________________________________________
22
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
(
)
~
ΓS 0 S // = S // + (Γ − 1)S // −
V = Γ S // − ( S 0 / c)V .
(1.141)
c
Sementara itu kaedah untuk komponen vektor S yang tegaklurus V adalah
~
S⊥ = S ⊥ .
(1.142)
Selanjutnya ditinjau vektor kecepatan−4 kontravarian :
V µ = (γ c, γ v )
(1.143)
sehingga
S0 = γc
(1.144)
S =γv.
(1.145)
dan
Dengan menggunakan hasil pers. (1.137), untuk komponen ke nol, diperoleh

γ v⋅V 
~

γ c = Γ γ c +
(1.146)
c 

yang memberikan hasil

γ~
v⋅V 
= Γ1 + 2  .
γ
c 

(1.147)
Persamaan di atas menghubungkan faktor dilatasi partikel yang bergerak di kedua
kerangka. Sedangkan dengan menggunakan pers. (1.139) untuk komponen vektor,
diperoleh
~
(
Γ
−
1
)
γ
v
⋅V
Γγ c V
−
V
γ~ v = γ v +
c
V2
(1.148)
yang jika disederhanakan menjadi
(Γ − 1) v ⋅ V v+
V
−
Γ
V
~
V2
v=
 v⋅V 
Γ1 − 2 
c 

(1.149)
Persamaan di atas menghubungkan vektor kecepatan−3 di kedua kerangka acuan.
Kaedah untuk v // adalah
___________________________________________________________________
23
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
~
v // − V
v // =
v⋅ V
1− 2
c
(1.150)
Sedangkan untuk v ⊥ adalah
~
v⊥ =
v⊥
 v⋅V
Γ1 − 2 
c 

(1.151)
Berikutnya ditinjau vektor momentum−4 kontravarian yang memiliki
komponen :
P µ = ( E / c, p )
(1.152)
sehingga
S0 = E / c
(1.153)
S = p.
(1.154)
dan
Kaedah transformasi Lorentz untuk energi adalah

p⋅V 
~

E / c = Γ E / c −
c 

(1.155)
atau
(
)
~
E = Γ E −p⋅V .
(1.156)
Bentuk (1.156) di atas sama dengan pers. (1.58). Adapun kaedah transformasi
Lorentz untuk vektor momentum−3 adalah
~ (Γ − 1)p ⋅ V ΓE p=p+
V− 2 V.
V2
c
(1.157)
Untuk komponen vektor momentum−3 sejajar dan tegaklurus, kaedahnya adalah
(
~
ΓE p // = p // + (Γ − 1)p // − 2 V = Γ p // − ( E / c 2 )V
c
)
(1.158)
dan
~
p⊥ = p ⊥
(1.159)
Bentuk (1.158) dan (1.159) di atas sama dengan bentuk pers. (1.59) dan (1.60).
Selanjutnya ditinjau vektor gaya−4 kontravarian :
___________________________________________________________________
24
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
(
F µ = γ f ⋅ v / c, f
)
(1.160)
sehingga
f ⋅v
S =γ
c
(1.161)
S =γ f .
(1.162)
~
(Γ − 1)γ f ⋅ V Γγ f ⋅ v ~
V−
V
γ f =γ f +
V2
c2
(1.163)
0
dan
Diperoleh
yang dengan menggunakan pers. (1.139), bentuk di atas dapat dituliskan menjadi
(Γ − 1) f ⋅ V Γ f ⋅ v V− 2 V
~ f +
2
V
c
f =
.
(1.164)
 v⋅V
Γ1 − 2 
c 

Kaedah f untuk komponen sejajar dan tegaklurus berturut−turut adalah
Γ f ⋅ v f ⋅v ~ f // + (Γ − 1) f // − 2 V f // − 2 V
c
c
f// =
=
(1.165)
.
 v⋅V 
 v⋅V
1 − 2 
Γ1 − 2 
c
c 



dan
~
f⊥ =
f⊥
(1.166)
.
 v⋅V 
Γ1 − 2 
c 

~
Selanjutnya jika ditinjau kasus khusus dengan v = V , atau partikel rehat di K ,
yang berarti bahwa :
V⋅V
1 − 2 = Γ−2 ,
c
(f ⋅ V )V = f //V V = f //V 2 ,
(1.167)
(1.168)
sehingga
___________________________________________________________________
25
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
 V2 
f // 1 − 2 
~ 0
c  f// = 
= f //
 V2 
1 − 2 

c 

(1.169)
dan
~ 0
f⊥
f⊥ = − 2 = Γ f⊥ .
(1.170)
ΓΓ
~
Jadi untuk kerangka rehat partikel di K , kaedah transformasi Lorentz untuk vektor
gaya−3 adalah
~ 0 ~ 0 ~ 0 f = f// + f⊥ = f // + Γf ⊥ .
(1.171)
Transformasi Lorentz untuk besaran−
−besaran elektrodinamika
Diketahui ρ dan v berturut−turut adalah rapat muatan dan kecepatan aliran
relatif terhadap suatu kerangka inersial K. Rapat arus j dirumuskan sebagai
j = ρv .
(1.172)
1.7
Persamaan kontinuitas muatan dirumuskan sebagai
∂ρ
+ ∇. j = 0
∂t
(1.173)
Dalam elektrodinamika dikenal skalar potensial listrik φ dan vektor
potensial listrik−3 A yang mana gabungan keduanya bersama−sama membentuk
suatu vektor potensial−4 A µ dengan komponen
A µ = ( A0 , A m ) = (φ / c, A )
(1.174)
Mengikuti sistem satuan SI, terdapat perumusan−perumusan berikut
1 ∂φ
+
∇
.
A
=0
c 2 ∂t
1 ∂2A
− 2 2 + ∇ 2 A = −µ0 j
c ∂t
−
1 ∂ 2φ
+ ∇ 2φ = − µ 0 ρc 2
c 2 ∂t 2
(1.175)
(1.176)
(1.177)
___________________________________________________________________
26
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Gabungan dua persamaan di atas menghasilkan
∆ Aµ = − µ0 j µ
(1.178)
dengan vektor kerapatan−4 j µ didefinisikan sebagai
j µ = ( j 0 , j ) = ( ρ c, j ) .
(1.179)
Operator skalar−4 ∆ didefinisikan sebagai
1 ∂2
1 ∂2
∂2
∂2
∂2
2
∆ = ∂µ∂ = − 2 2 + ∇ = − 2 2 + 2 + 2 + 2
c ∂t
c ∂t
∂x
∂y
∂z
µ
Operator
turunan
koordinat−4
kovarian
dan
kontravarian
(1.180)
masing-masing
dirumuskan sebagai
∂µ =
∂
∂  1 ∂
 ∂

= 0 , m =
,∇
µ
∂x
 ∂x ∂x   c ∂t 
 1 ∂

∂ µ = η µν ∂ν =  −
,∇
 c ∂t 
(1.181)
(1.182)
Bentuk syarat Lorentz pers. (1.175) dapat dituliskan sebagai
∂ µ Aµ = 0
(1.183)
sedangkan bentuk persamaan kontinuitas muatan (pers. (1.173)) dapat dituliskan
menjadi
∂µ jµ = 0
(1.184)
Kaedah transformasi Lorentz untuk komponen vektor kerapatan−4 adalah

j⋅V 
~

ρ c = Γ ρ c −
(1.185)

c


atau

j⋅V 
~
ρ = Γ ρ − 2 
c 

(1.186)
serta
~ (Γ − 1) j ⋅ V j = j+
V − Γ ρV ,
2
V
~
j// = Γ j// − ρV ,
(
)
(1.187)
(1.188)
___________________________________________________________________
27
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
dan
~
j⊥ = j⊥ .
(1.189)
Sementara itu kaedah transformasi Lorentz untuk komponen vektor
potensial−4 adalah
~
φ
φ A ⋅V 

= Γ −

c
c
c


(1.190)
atau
~
(
)
φ = Γ φ − A⋅V ,
(1.191)
serta
~ (Γ − 1) A ⋅ V Γφ A=A+
V− 2 V,
V2
c
(1.192)
~
φ 

A // = Γ A // − 2 V  ,
c


(1.193)
~
A⊥ = A⊥ .
(1.194)
dan
~
Jika kita ingin mencari transformasi balik dari kerangka K ke kerangka K,
hal itu dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan substitusi V = − V . Dengan
substitusi ini, diperoleh kaedah transformasi Lorentz besaran-besaran berikut ini :
Vektor kecepatan−3 :
~ ~ (Γ − 1) v ⋅ V v+
V
+
Γ
V
V2
v=
~  v ⋅ V 
Γ1 + 2 
c 

~
v // + V
v // =
~ v⋅ V
1+ 2
c
~
v⊥
v⊥ =
~  v⋅V 
Γ1 + 2 
c 

(1.195)
(1.196)
(1.197)
___________________________________________________________________
28
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
(
~ ~ E = Γ E +p⋅V
Energi :
Vektor momentum−3 :
)
~ ~
~ (Γ − 1)p ⋅ V ΓE +
p=p+
V
V
V2
c2
~
 ~
E 
p // = Γ p // + 2 V 
c


~
p⊥ = p⊥
(1.199)
(1.200)
(1.201)
Vektor gaya−3 :
~ ~ ~ (Γ − 1) f ⋅ V Γ f ⋅ ~
v f
+
V
+
V
2
V2
c
f=
~  v⋅V 
Γ1 + 2 
c 

~ ~
~
f ⋅v f// + 2 V
c
f // =
~  v ⋅ V 
1 +

2 

c


~
f⊥
f⊥ =
~ .
 v⋅V 
Γ1 + 2 
c 

Rapat muatan
Vektor rapat arus
~ 
j ⋅V
ρ = Γ ρ~ + 2 

c 


~ ~ (Γ − 1) j ⋅ V j= j+
V + Γρ~V
2
V
~
j// = Γ j// + ρ~V 


~
j⊥ = j⊥ .
(1.198)
~ ~ Skalar potensial listrik : φ = Γ φ + A ⋅ V 


(1.202)
(1.203)
(1.204)
(1.205)
(1.206)
(1.207)
(1.208)
(1.209)
___________________________________________________________________
29
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Vektor potensial−3 listrik :
~ ~ (Γ − 1) A ⋅ V Γφ~ A=A+
V+ 2 V
V2
c
~
 ~
φ 
A // = Γ A // + 2 V 
c


~
A⊥ = A⊥ .
(1.210)
(1.211)
(1.212)
Dari telaah di atas, tampak bahwa teori relativitas khusus berperan besar
dalam menata dan meluruskan besaran-besaran fisika yang mendasar, seperti
besaran panjang, waktu, kecepatan, momentum, energi dan sebagainya. Selanjutnya
juga telah dikaji proses penurunan kaedah transformasi Lorentz besaran-besaran di
atas yang menunjukkan bahwa hukum fisika memiliki bentuk yang tetap di dalam
semua kerangka acuan inersial.
___________________________________________________________________
30
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
Soal-Soal Latihan Bab I
1.
Sebuah pesawat bergerak ke arah timur dengan laju 0,8 c diukur menurut
menara yang diam. Pesawat tersebut melepaskan peluru dengan laju 0,6 c
terhadap pesawat. Carilah masing-masing laju dan arah gerak peluru terhadap
menara jika arah peluru terhadap pesawat adalah
2.
(a)
timur
(b)
utara
(c)
barat
(d)
timur laut.
Sebuah partikel bermassa m bergerak terhadap kerangka I dengan kecepatan
v = (c / 5)(iˆ − 2 ˆj + 2kˆ) . Jika terdapat kerangka II yang bergerak terhadap
kerangka I dengan kecepatan V = (c / 5)(2iˆ + ˆj − 2kˆ) , carilah :
(a)
momentum dan tenaga kinetik dan tenaga total partikel menurut
kerangka I.
(b)
kecepatan, momentum, tenaga kinetik dan tenaga total partikel menurut
kerangka II.
3.
Dua buah partikel bergerak sepanjang sumbu Z kerangka K masing-masing
dengan kecepatan v1 dan v 2 dengan v1 > v2 . Agar ditinjau dari K’, kedua
partikel tersebut mempunyai kecepatan yang berlawanan, tunjukkan bahwa
kecepatan gerak kerangka K’ ke arah sumbu Z terhadap K besarnya adalah
c 2 − v1v2 − (c 2 − v12 )(c 2 − v22 )
v1 − v2
4.
.
Sebuah elektron dalam suatu akselerator tenaga tinggi bergerak dengan
kelajuan 0,5 c. Carilah kerja yang harus dilakukan terhadap elektron untuk
menaikkan kelajuannya menjadi
(a)
0,75 c
___________________________________________________________________
31
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
(b)
0,99 c
(c)
Untuk kedua nilai kelajuan tersebut, tentukan faktor peningkatan tenaga
kinetik maupun momentum elektron.
5.
Sebuah inti radioaktif bergerak dengan kecepatan v = 0,6c iˆ terhadap
kerangka K (lab), sewaktu ia memancarkan partikel beta dengan kecepatan
v β = 0,75c ˆj terhadap inti tersebut (kerangka K 0 ).
(a)
Tentukan besar dan arah kecepatan partikel beta menurut kerangka K.
(b)
Jika partikel beta tersebut tetap dipancarkan dengan kelajuan 0,75 c di
K 0 , namun arahnya dilihat dari K sejajar dengan sumbu y, tentukan
arah pancaran diamati dari inti dan kelajuan partikel beta diamati di K.
6.
Di kerangka K, dua partikel A dan B bergerak masing-masing dengan
kecepatan v A = vA î dan v B = vB î ( v B > v A > 0 ). Jika terdapat kerangka
~
K yang bergerak terhadap K dengan kecepatan V = V î (diketahui
vB > V > v A > 0 ) :
(a)
(b)
~
~
~
Tentukan kecepatan A dan B menurut K , yaitu v A dan v B .
~
Jika menurut pengamat yang rehat di K , kecepatan A dan B sama besar
namun berlawanan arah, tunjukkan bahwa
V=
7.
2
(c 2 + v A v B ) − (c 2 − v A
)(c 2 − vB2 )
vA + v B
.
Di kerangka K, sebuah partikel bergerak dengan kecepatan u . Di K tersebut
juga terdapat medan E dan B . Bagaimanakah cara menentukan gaya Lorentz
pada partikel tersebut di kerangka K’, dimana K’ bergerak dengan kecepatan
V terhadap K ? Jika gaya Lorentz di K’ tersebut telah diperoleh, bagaimana
cara menguji bahwa nilai yang diperoleh itu benar ?
___________________________________________________________________
32
Teori Relativitas Khusus
___________________________________________________________________________________________
8.
Diketahui
vektor−4
kontravarian
: X µ = γ (Y / c , c Z )
dengan
γ=
(1 − u 2 / c 2 ) , u = vektor kecepatan−3 dan c laju cahaya di ruang hampa.
(a) tuliskan kaedah tranformasi Lorentz untuk besaran Y dan Z . (Petunjuk :
jangan lupa relasi antara γ dengan γ ’ )
(b)
Jika terdapat hubungan : Y = k c dan Z = k u / c dengan k suatu
invarian Lorentz, carilah invarian Lorentz yang dapat diperoleh dari
vektor−4 tersebut, serta berapakah nilainya ?
9.
Jelaskan bahwa gaya Lorentz yang dirasakan oleh sebuah partikel di kerangka
K menjadi gaya Coulomb di kerangka diam K’. Bagaimana dengan
sebaliknya, gaya Coulomb di K’ menjadi gaya Lorentz di K ?
10.
Di kerangka K’, sebuah partikel bermassa rehat m bermuatan q bergerak
dengan kecepatan konstan u ’. Di K’ tersebut terdapat medan listrik E ’ dan
medan imbas magnet B ’. Jika kerangka K’ bergerak terhadap kerangka K
dengan kecepatan konstan V :
(a)
Tentukan energi, energi kinetik dan momentum partikel di K maupun di
K’.
(b)
Carilah kecepatan partikel, medan listrik dan medan imbas magnet di K.
(c)
Nyatakan gaya Lorentz yang bekerja pada partikel di K maupun K’.
(d)
Tuliskan tiga invarian Lorentz yang melibatkan besaran-besaran di atas.
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
33
___________________________________________________________________________________________
BAB II
PENERAPAN TEORI RELATIVITAS KHUSUS
Teori Relativitas Khusus sebagai salah salah satu pilar fisika modern memiliki
beberapa kegunaan dalam menelaah secara lebih kompak dan terpadu berbagai
gejala alam. Berikut ini akan disajikan beberapa penerapan teori relativitas khusus
pada beberapa fenomena, diantaranya adalah persoalan paradoks kembar, gerak
partikel relativistik dalam medan gaya konstan dan medan gravitasi seragam, efek
hamburan Compton dan sebagainya.
2.1
Paradoks Kembar (Twin Paradox)
Paradoks kembar (atau paradoks jam) adalah satu persoalan yang cukup
membingungkan dalam relativitas khusus. Kasus paradoks kembar dapat dinyatakan
sebagai berikut : Misalkan kita punya dua orang kembar : John dan Mary. John
diputuskan tetap tinggal di bumi, sementara Mary menjadi astronot yang akan
mengadakan perjalan ruang angkasa menuju sebuah bintang. Mary mengendarai
pesawat ruang angkasa dan terbang menuju bintang tersebut dengan kecepatan V
(diasumsikan agar nampak efek relativitas, nilai V dalam orde c) dan sesudah sesaat
tiba di bintang, Mary kembali ke bumi dan bertemu dengan John dengan kecepatan
yang sama. Lihat Gambar 2.1
Bumi
Bintang
Gambar 2.1
Perjalanan pulang pergi bumi-bintang
Teori relativitas khusus menyatakan bahwa jika Mary bergerak terhadap John, maka
selang waktu dalam kerangka inersial Mary mengalami dilatasi sebesar γ yang
dirumuskan
γ = 1 − V 2 / c2 .
(2.1)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
34
___________________________________________________________________________________________
Jadi pada akhir perjalanan Mary, dia lebih muda daripada John. Paradoks muncul
dari kenyataan bahwa (dengan mengabaikan selang waktu saat Mary bergerak
dipercepat dan diperlambat), Mary berada dalam kerangka inersial, dan selanjutnya
dari prinsip relativitas, Mary dapat mengklaim bahwa Johnlah yang bergerak, bukan
dia. Kalau demikian selang waktu John seharusnya yang mengalami dilatasi, bukan
Mary, sehingga saat Mary kembali, ia menjumpai saudara kembarnya itu lebih
muda daripadanya. Manakah yang benar ?
Untuk menyederhanakan kasus ini, diasumsikan perjalanan Mary terjadi saat
ia lahir (yang juga berarti saat John lahir). Pada saat itu, berarti waktu lokal T = 0
dan posisi X = 0. Selanjutnya akan dibandingkan jarak bumi−bintang menurut
kedua orang tersebut. Jarak antara bumi dan bintang diukur oleh pengamat yang
stasioner di bumi (John) adalah DJ . Jarak bumi − bintang yang diukur oleh Mary
adalah
DM = DJ / γ .
(2.2)
Perumusan ini disebabkan oleh adanya kontraksi Lorentz. Indeks J dan M berturutturut menunjukkan pengukuran menurut John dan Mary. Akan diukur umur relatif
John dan Mary. Caranya, pertama dengan melakukan penghitungan dalam kerangka
John dan selanjutnya penghitungan dikerjakan dalam kerangka Mary. Nanti akan
ditunjukkan bahwa dua penghitungan tersebut akan memperoleh hasil yang sama.
Kesamaan ini menunjukkan tidak adanya perbedaan antara dua kerangka inersial
yang ditinjau.
Sekarang penghitungan dilakukan dalam kerangka John. Mary menempuh
perjalanan total (menuju bintang dan kembali ke bumi) sejauh 2 DJ dengan
kecepatan V (−V saat kembali). Perjalanan bumi−bintang bolak-baik ini memakan
waktu 2 DJ / V . Transformasi Lorentz untuk waktu memberikan hubungan antara
waktu yang ditunjukkan oleh jam milik John ( TJ ) dan waktu yang ditunjukkan oleh
Mary ( TM ) sebagai
TM = γ [TJ −
VX J
]
c2
(2.3)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
35
___________________________________________________________________________________________
dengan X J adalah jarak antara mereka. Selama perjalanan Mary menuju ke
bintang, berlaku persamaan
X J = V TJ .
(2.4)
Substitusi persamaan di atas ke dalam pers. (2.3), diperoleh
TM = γ [TJ − (V 2 / c 2 )TJ ] = γ [1 − (V 2 / c 2 )]TJ =
TJ
γ
.
(2.5)
Dalam bentuk penulisan selang waktu,
∆ TM =
∆ TJ
γ
.
(2.6)
Persamaan ini menunjukkan bahwa jam Mary bergerak lebih lambat daripada jam
milik John dengan faktor 1 / γ . Di sini perlu diingat bahwa
γ ≥ 1.
(2.7)
Dengan cara yang sama dapat ditunjukkan pula bahwa hal tersebut berlaku
pula untuk perjalanan Mary pulang ke bumi. Saat kembali ke bumi dengan
kecepatan yang sama, jam milik Mary juga bergerak lebih lambat dari jam milik
John dengan faktor yang sama : 1 / γ . Maka selama perjalanan total, umur John
adalah
AJ =
2 DJ
,
V
(2.8)
sedangkan umur Mary adalah
AM =
2 DJ 1
.
V γ
(2.9)
Tampak bahwa umur John lebih besar daripada umur Mary, atau dengan kata lain
dalam kerangka John, saat Mary kembali ke bumi, John lebih tua. Selisih umur
mereka adalah
 1  2 DJ
AJ − AM = 1 − 
.
 γ V
(2.10)
Bagaimanakah penghitungan dalam kerangka Mary ? Seluruh besaran yang
tadinya dihitung pada kerangka John, sekarang diukur oleh Mary. Transformasi
Lorentz memberikan hubungan antara waktu milik jam John dan waktu milik jam
Mary sebagai
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
36
___________________________________________________________________________________________
VX 

TJ = γ  TM − 2M  .
c 

(2.11)
Dan dengan penurunan selanjutnya dapat ditunjukkan kaitan untuk selang waktu
masing-masing jam sebagai
∆ TJ =
∆ TM
(2.12)
γ
yang berarti jam milik John bergerak lebih lambat daripada jam milik Mary dengan
faktor 1/γ. Sekilas nampak adanya paradoks atau kontradiksi dengan ungkapan
sebelumnya yang menyatakan bahwa jam Mary bergerak lebih lambat daripada
John. Namun demikian yang sebenarnya tidak demikian, karena hal ini disebabkan
relativitas khusus menyatakan bahwa kita tidak dapat menghubungkan waktu yang
ditunjukkan oleh jam pada tempat yang berbeda (yang dalam hal ini umur orang
kembar yang terpisah) sampai kemudian kedua orang tersebut bertemu kembali.
Ketika mereka berdua bertemu kembali, baru tampaklah siapa yang lebih tua atau
lebih muda dengan cara membandingkan selang waktu yang ditunjukkan oleh jam
masing-masing.
Menurut Mary, perjalanannya memakan waktu 2 DM / V , sehingga selama
perjalanan, umur Mary adalah
AM =
2 DM
γ
.
(2.13)
Perlu diingat bahwa telah diasumsikan bahwa waktu untuk mempercepat dan
memperlambat roket telah diabaikan. Karena jam John bergerak lebih lambat
dengan faktor 1/γ, John berumur
AJ =
2 DM 1
.
V γ
(2.14)
Jika dilatasi waktu menjadi satu-satunya faktor dalam penghitungan, Mary
dapat mengklaim bahwa dirinya berusia lebih tua dari John dengan selisih umur
mereka adalah
 1  2D
 1  2 DJ 1
AM − AJ = 1 −  M = 1 − 
 γ V
 γ V γ
(2.15)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
37
___________________________________________________________________________________________
dan dijumpai adanya ketidakcocokan dengan hasil sebelumnya. Bagaimana caranya
memecahkan masalah ini ?
Di sini terdapat faktor lain yang dapat menyelesaikan ketidakcocokan
tersebut. Ketika Mary sampai ke bintang dan kemudian kembali, dia mengubah
kerangka inersialnya. Sebelum Mary tiba di bintang, hubungan antara jam John dan
jam Mary yang diukur oleh Mary adalah
VD 

TJ = γ  TM − 2M  .
c 

(2.16)
Sesaat setelah ia meninggalkan bintang menuju bumi, relasi antara jam keduanya
adalah
VD

TJ = γ  TM + 2M
c


.

(2.17)
Dua persamaan terakhir di atas menunjukkan adanya kontradiksi dalam waktu / jam
milik John yang diukur oleh Mary, sesaat setelah Mary berganti keadaan (dari
menuju bintang menjadi meninggalkan bintang. Selisih pengukuran waktu milik
John ini menurut Mary adalah
2VDM 2VDJ
= 2 .
γ c2
c
(2.18)
Selisih ini terjadi akibat terjadinya perubahan kerangka inersial Mary. Dengan
demikian dalam kerangka Mary, selisih antara umur John dengan Mary adalah
selisih umur yang telah dihitung pada pers. (2.15) ditambah dengan selisih umur
mereka akibat terjadinya perubahan kerangka inersial Mary. Akhirnya selisih umur
Mary dengan John adalah
 1  2 DJ 1 2VDJ
2 DJ  1 V 2  2 DJ

−
AJ − AM =  − 1
+ 2 =
+
.
V  γ 2 c 2  Vγ
c
γ
 V γ
(2.19)
V2
=1
c2
(2.20)
Karena
1
γ2
+
maka
AJ − AM =
 1  2 DJ
2 DJ 2 D J
−
= 1 − 
.
V
Vγ
 γ V
(2.21)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
38
___________________________________________________________________________________________
Ternyata dalam kerangka Mary, selisih umur antara John dan Mary juga sama
seperti yang telah dihitung pada kerangka John. Dari dua penghitungan tersebut
ditunjukkan bahwa setelah kembali ke bumi, Mary yang menempuh perjalanan
berusia lebih muda daripada saudara kembarnya, John.
2.2
Tinjauan Gerakan Partikel Relativistik yang dikenai Gaya Konstan dan
Medan Gravitasi Seragam
Salah satu latihan yang cukup mudah dalam persoalan mekanika klasik
elementer adalah menyelesaikan problem gerakan sebuah partikel dalam dua
dimensi yang dikenai suatu gaya konstan. Untuk gerakan nonrelativistik, gaya yang
bekerja pada partikel dalam medan gravitasi seragam (uniform) bersifat konstan,
dan persamaan trayektori / lintasan partikel tersebut berbentuk parabola.
Dalam tinjauan teori relativitas khusus, gaya gravitasi yang berkaitan dengan
medan gravitasi seragam tidaklah bersifat konstan, namun merupakan fungsi
kecepatan partikel yang diperoleh dengan menetapkan massa gravitasi sama dengan
massa inersial. Berikut ini akan dicari penyelesaian eksak untuk gerakan pada kasus
tersebut dan juga gerakan dengan gaya konstan.
2.2.1 Gerakan partikel oleh gaya konstan
Pertama kali akan dicari penyelesaian untuk gerakan dibawah pengaruh gaya
konstan. Sebuah partikel dengan massa rehat m ditembakkan dari titik O dengan
kecepatan awal V0 pada bidang X−Y yang membuat sudut θ dengan sumbu X.
Sebuah gaya konstan F bekerja pada partikel dengan arah sejajar pada sumbu Y
negatif. Didefinisikan
F
g= .
m
Persamaan gerakan partikel tersebut adalah
dp
= mg
dt
(2.22)
(2.23)
atau
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
39
___________________________________________________________________________________________
(
)
d
mcγ β = mg
dt
(2.24)
V
1
β=
dan γ =
.
c
1− β 2
(2.25)
dengan
Dengan mengintegralkan pers. (2.24) diperoleh
gt
βγ = β 0γ 0 +
c
(2.26)
1
V0
β0 =
dan γ 0 =
.
c
1 − β 02
(2.27)
dengan
Pers. (2.26) dapat dituliskan dalam komponen-komponen ke sumbu X dan Y
sebagai
β xγ = β 0γ 0 cos θ
(2.28)
β yγ = β 0γ 0 sin θ − σ
(2.29)
dan
dengan
σ=
gt
.
c
(2.30)
Dengan mengingat bahwa
γ =
1
1 − β x2 − β y2
,
(2.31)
penyelesaian untuk β x , β y dan γ dapat dinyatakan sebagai fungsi σ yang nilainya
adalah
βx =
βy =
β 0γ 0 cos θ
γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2
β 0γ 0 sin θ − σ
γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2
(2.32)
(2.33)
dan
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
40
___________________________________________________________________________________________
γ = γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 .
(2.34)
Dengan mengintegralkan pers. (2.32) dan (2.33) diperoleh
γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 + σ − β 0γ 0 sin θ
c 2 β 0γ 0 cos θ
x=
ln
g
γ 0 (1 − β 0 sin θ )
(2.35)
dan
)
(
c2
y=
γ 0 − γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 .
g
(2.36)
Dalam limit nonrelativistik,
β 0 << 1 dan σ << 1
(2.37)
sehingga pers. (2.35) dan (2.36) tereduksi ke bentuk
x=
c2
β 0 cos θ σ = v0 cos θ t
g
(2.38)
dan
y=
c2
c2
1
β 0 sin θ σ − σ 2 = v0 sin θ t − gt 2 .
g
2g
2
(2.39)
Juga untuk gerakan nonrelativistik berlaku korespondensi
β x = β 0 cos θ = konstan.
(2.40)
Untuk θ = π / 2 , pers. (2.34), (2.33) dan (2.36) tereduksi menjadi
γ = γ 02 − 2 β 0γ 0σ + σ 2
βy =
(2.41)
β 0γ 0 − σ
γ 02
− 2 β 0γ 0σ + σ
(2.42)
2
dan
y=
(
c2
γ 0 − γ 02 − 2 β 0γ 0σ + σ 2
g
)
(2.43)
yang merupakan solusi untuk gerakan relativistik satu dimensi.
Posisi tinggi maksimum partikel pada sumbu y positif ym dapat diperoleh
dengan mengisikan
βy = 0
(2.44)
ke dalam pers. (2.33) sehingga
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
41
___________________________________________________________________________________________
σ = β 0γ 0 sin θ .
(2.45)
Substitusi hasil ini ke pers. (2.36) dihasilkan
ymax
)
(
c2
= γ 0 1 − 1 − β 02 sin 2 θ .
g
(2.46)
c2
(γ 0 − 1)
g
(2.47)
Untuk θ = π / 2 , berarti
ymax =
yang dalam limit non−relativistik akan tereduksi menjadi
ymax =
v02
.
2g
(2.48)
Hasil di atas sama dengan hasil tinggi maksimum partikel yang ditembakkan tegak
lurus ke atas dengan kecepatan awal v0 dalam medan gravitasi g.
Sementara itu jarak maksimum pada arah x positif, dalam hal ini y = 0
sehingga dari pers. (2.36) diperoleh
σ = 2 β 0γ 0 sin θ .
(2.49)
Substitusi ke dalam pers. (2.35) diperoleh
xmax =
c 2 β 0γ 0 cos θ 1 + β 0 sin θ
ln
.
g
1 − β 0 sin θ
(2.50)
Dari persamaan di atas, tampak bahwa xmax merupakan fungsi β 0 dan θ . Nilai
maksimum xmax untuk β 0 tertentu dapat dicari dengan menurunkan persamaan di
atas ke θ kemudian hasilnya diisikan sama dengan nol. Hasilnya nilai θ max yang
menyebabkan xmax diberikan oleh persamaan berikut
sin θ max ln
1 + β 0 sin θ max 2 β 0 (1 − sin 2 θ max )
=
.
1 − β 0 sin θ max
1 − β 02 sin 2 θ max
(2.51)
Ternyata nilai θ max yang menyebabkan xmax masih merupakan fungsi kecepatan
zarah β 0 . Limit non−relativistik untuk ymax dan xmax adalah
ymax =
v02 sin 2 θ
2g
(2.52)
dan
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
42
___________________________________________________________________________________________
xmax =
v02 sin 2θ
.
g
(2.53)
2.2.2 Gerakan Partikel dalam Medan Gravitasi Seragam
Persamaan keadaan untuk keadaan ini adalah
(
)
d
γmcβ = γmg .
dt
(2.54)
Dengan memilih
g = − g ˆj
(2.55)
maka komponen-komponen pers. (2.54) adalah
d
(γmcβ x ) = 0
dt
(2.56)
(
(2.57)
dan
)
d
γmcβ y = −γmg .
dt
Integrasi pers. (2.56) menghasilkan
β xγ = β 0γ 0 cos θ .
(2.58)
Dengan mengingat bahwa
γ =
1
1 − β x2 − β y2
,
(2.59)
diperoleh
 γ + γ 2 −α 2
= − ln
γ + γ 2 −α2
γ 2 −α2
0
 0
γ
dγ
σ = −∫
γ0




(2.60)
dengan
α 2 = γ 02 (1 − β 02 sin 2 θ ) .
(2.61)
Kemudian dari pers. (2.60) :
γ =
γ 0 1 + β 0 sin θ
2 
σ
e

+ eσ (1 − β 0 sin θ ) .

(2.62)
Dari pers. (2.58) :
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
43
___________________________________________________________________________________________
βx =
[e
−σ
2 β 0 cos θ
.
(1 + β 0 sin θ ) + eσ (1 − β 0 sin θ )
]
(2.63)
Akhirnya dari pers. (2.59) diperoleh
βy =
e −σ (1 + β 0 sin θ ) − eσ (1 − β 0 sin θ )
.
e −σ (1 + β 0 sin θ ) + eσ (1 − β 0 sin θ )
(2.64)
Gerakan partikel dapat ditelusuri dengan mengintegralkan pers. (2.63) dan
(2.64) yang hasilnya adalah
x=
β 0 cos θ
2c 2
g 1 − β 2 sin 2 θ
0
 −1  σ 1 − β 0 sin θ
tan  e
1 + β 0 sin θ




 − tan −1  1 − β 0 sin θ

 1 + β sin θ
0



 , (2.65)


dan
y=−
c 2  e −σ (1 + β 0 sin θ ) + eσ (1 − β 0 sin θ ) 
ln 
.
2
g 

(2.66)
Seperti halnya pada telaah di atas, untuk β 0 dan σ kecil, pers. (2.63)−(2.66)
tereduksi ke bentuk limit non−relativistik berikut :
v x = v 0 cos θ
(2.67)
v y = v0 sin θ − gt
(2.68)
x = v0 cos θ t
(2.69)
y = v0 sin θ t − 12 gt 2 .
(2.70)
dan
Untuk θ = π / 2 , diperoleh solusi untuk persolan gerak jatuh bebas secara
relativistik sebagai
γ =
[e
2
γ0
βy =
−σ
(1 + β 0 ) + eσ (1 − β 0 )
e −σ (1 + β 0 ) − eσ (1 − β 0 )
e −σ (1 + β 0 ) + eσ (1 − β 0 )
x=0
]
(2.71)
(2.72)
(2.73)
dan
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
44
___________________________________________________________________________________________
c 2  e −σ (1 + β 0 ) + eσ (1 − β 0 ) 
y = − ln 
.
g 
2

(2.74)
Dalam limit non−relativistik, pers. (2.72) dan (2.74) tereduksi ke
v y = v0 − gt
(2.75)
y = v0t − 12 gt 2 .
(2.76)
dan
Tinggi maksimum ymax dapat diperoleh dengan mengisikan
βy = 0
(2.77)
ke dalam pers. (2.72) dan untuk σ diperoleh
1 + β 0 sin θ 
σ = 12 ln 
.
1 − β 0 sin θ 
(2.78)
Substitusi nilai ini ke pers. (2.74), dihasilkan tinggi maksimum
ymax = −
c2
ln(1 − β 02 sin 2 θ )
2g
(2.79)
Untuk θ = π / 2 , persamaan di atas menjadi
ymax =
c2
ln(γ 0 )
g
(2.80)
yang dalam limit non−relativistik tereduksi menjadi
ymax =
v02
.
2g
(2.81)
Jangkauan partikel maksimum pada arah sumbu x atau xmax dapat diperoleh
dengan mengisikan
y=0
(2.82)
ke dalam pers. (2.66) dan untuk nilai σ yang bersangkutan diperoleh
1 + β 0 sin θ 
.
1 − β 0 sin θ 
σ = ln 
(2.83)
Substitusi hasil ini ke pers. (2.65) dihasilkan jangkauan maksimum
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
45
___________________________________________________________________________________________
xmax =
β 0 cos θ
2c 2
g 1 − β 2 sin 2 θ
0
 −1  1 + β 0 sin θ
tan 

 1 − β 0 sin θ


 − tan −1  1 − β 0 sin θ

 1 + β sin θ
0



 (2.84)


Kembali di sini xmax adalah fungsi β 0 dan θ . Untuk nilai β 0 tertentu, nilai
xmax dapat diperoleh sehingga untuk kondisi tersebut nilai sudut proyeksi θ max
adalah solusi persamaan berikut :

 1 + β 0 sin θ
sin θ max tan −1 

 1 − β 0 sin θ


 − tan −1  1 − β 0 sin θ

 1 + β sin θ
0






(2.85)
= β 0γ 02 cos 2 θ max 1 − β 02 sin 2 θ max
Adapun limit non−relativistik untuk ymax dan xmax adalah
ymax =
v02 sin 2 θ
2g
(2.86)
xmax =
v02 sin 2θ
.
g
(2.87)
dan
Selanjutnya ditinjau gerak sebuah partikel pada dua dimensi (x, y) yang
memiliki momentum awal p0 dalam arah sumbu x yang dikenai gaya konstan f
sepanjang sumbu y. Akan dicari bagaimanakah trayektori partikel tersebut secara
relativistik. Dimulai dari persamaan gerak zarah
dp =F
dt
untuk mana komponen-komponen gaya F adalah
(2.88)
Fx = 0 =
dp x
dt
(2.89)
Fy = f =
dp y
dan
dt
.
(2.90)
Penyelesaian dua persamaan terakhir di atas memberikan
p x = p0
(2.91)
dan
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
46
___________________________________________________________________________________________
f t = py
(2.92)
Kuadrat momentum dan energinya masing-masing diberikan oleh
p 2 = p x2 + p 2y = p02 + f 2t 2
(2.93)
dan
E 2 = p 2 c 2 + m 2 c 4 = f 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4 .
(2.94)
Untuk mengolah kedua hasil di atas lebih lanjut, hubungan antara momentum,
energi dan kecepatan relativistik dapat dituliskan sebagai
p = γmv = (γmc 2 / c 2 ) v = Ev / c 2
(2.95)
atau
c2 v= p
E
(2.96)
sehingga jika diambil komponen-komponennya adalah
vx =
dx
=
dt
vy =
dy
=
dt
c 2 p0
(2.97)
f 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4
dan
Fc 2t
F 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4
.
(2.98)
Pada pers. (2.97) dilakukan substitusi
fct =
p02 c 2 + m 2 c 4 sinh u
(2.99)
sehingga
f 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4 = ( p02 c 2 + m 2 c 4 )(1 + sinh 2 u ) = ( p02 c 2 + m 2 c 4 ) cosh 2 u (2.100)
dan
dt =
p02 c 2 + m 2 c 4
cosh u du .
cf
(2.101)
Jadi
dx =
c 2 p0
cosh u p02 c 2 + m 2c 4
p02 c 2 + m 2 c 4
cp0
cosh u du =
du
cf
f
(2.102)
yang dengan mengintegralkan persamaan terakhir di atas diperoleh
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
47
___________________________________________________________________________________________
x=
cp0
u + C.
f
(2.103)
Untuk syarat batas,
x(t = 0) = 0
(2.104)
serta mengingat bahwa untuk t = 0 maka u = 0 sehingga diperoleh C = 0 :
u=
f
x
cp0
(2.105)
yang memberikan hubungan antara t dan x secara
t=
p02 c 2 + m 2 c 4
 f x
 .
sinh 
cf
cp
 0
(2.106)
Selanjutnya dengan mengingat
dy dy / dt v y
f
=
=
=
t=
dx dx / dt v x p0
p02 c 2 + m 2 c 4
 f x

sinh
cp0
 cp0 
(2.107)
sehingga
y ( x) =
p02 c 2 + m 2 c 4
 f x
 + C .
cosh
f
 cp0 
(2.108)
Untuk syarat batas
y ( x = 0) = 0
(2.109)
maka
C=−
p02 c 2 + m 2 c 4
f
(2.110)
sehingga
y ( x) =
p02 c 2 + m 2 c 4 
 f x 
 − 1
cosh 
f
cp
 0 

(2.111)
Jadi persamaan trayektori partikel tersebut berbentuk kurva cosinus hiperbolik yang
melalui titik (0, 0).
Adapun jika ingin dicari kaitan y sebagai fungsi t, dapat digunakan identitas
dalam trigonometri hiperbolik :
cosh u = 1 + sinh 2 u
(2.112)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
48
___________________________________________________________________________________________
sehingga dengan menggunakan pers. (2.112), bentuk pers. (2.111) dapat ditulis
menjadi


p02 c 2 + m 2 c 4 

1
+


f



y (t ) =

p02 c 2 + m 2 c 4  p02 c 2 + m 2 c 4 + c 2 f 2t 2


−
1
f
p02 c 2 + m 2 c 4


=
=
2


cf t
 − 1

p02 c 2 + m 2 c 4 


1
f
(
p02 c 2 + m 2 c 4 + c 2 f 2t 2 −
)
p02 c 2 + m 2 c 4 .
(2.113)
Sedangkan inversi pers. (2.106) adalah
x=

cp0
cf t
sinh −1 
 p 2c 2 + m 2c 4
f
0





(2.114)
Untuk kondisi tak relativistik, pada hubungan t sebagai fungsi x, nilai
f x
<< 1
cp0
(2.115)
sehingga dengan menggunakan deret Maclaurin untuk u << 1 :
sinh u =
 
 1
(e u − e − u ) 1 
u2
u2
= 1 + u +
+ ...  − 1 − u +
− ...  ≈ (2u ) = u
2
2 
2
2
 2
 
(2.116)
serta mengingat
m 2 c 2 + p02 c 2 ≈ mc 2
(2.117)
mc 2 f x m x
=
cf cp0
p0
(2.118)
p0
t = v0 t
m
(2.119)
maka
t≈
atau
x(t ) =
dengan v0 adalah kecepatan awal partikel pada arah sumbu x. Gerak yang diberikan
oleh persamaan di atas melukiskan gerak lurus beraturan (GLB) yang tak memiliki
percepatan.
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
49
___________________________________________________________________________________________
Sementara itu hubungan tak relativistik antara y dan t diperoleh dengan
menuliskan pers. (2.113) untuk
p02 c 2 << m 2 c 4 dan c 2 f 2t 2 << m 2 c 4
(2.120)
dalam bentuk
y (t ) =
[
1 2
2 2
2 2 2
2 4
 mc 1 + ( p0 c + c f t ) / m c
f 
(
[
]
1/ 2
[
− mc 2 1 + p02 c 2 / m 2 c 4
]
[
≈
1
mc 2 1 + ( p02 c 2 + c 2 f 2t 2 ) / 2m 2 c 4 − mc 2 1 + p02 c 2 / 2m 2 c 4
f
=
f 2
t =
2m
1
2
]
1/ 2 


])
at 2
(2.121)
dengan a adalah percepatan ke arah sumbu y yang besarnya sama dengan gaya ke
arah sumbu y dibagi massa partikel. Gerak yang diberikan oleh persamaan di atas
melukiskan gerak lurus berubah beraturan (GLBB) dengan percepatan a searah
sumbu y.
Dari dua persamaan di atas, hubungan non-relativistik antara y dan x dapat
dituliskan sebagai
y=
fm 2
a
x = 2 x2 .
2
2 p0
2v0
(2.122)
Hubungan di atas dapat pula dicari dari rumus (2.111) yang untuk gerak nonrelativistik berlaku
f x
<< 1
cp0
(2.123)
sehingga dengan mengingat untuk u << 1 :
 

e u + e − u 1  
u2
u2
cosh u =
=
1+ u +
+ ... + 1 − u +
+ ...  ≈ 1 + 12 u 2


2
2  
2
2
 

(2.124)
sehingga pers. (2.111) menjadi
2
 fm
mc 2  1  f x 
1 + 
 − 1 = 2 x 2
y ( x) ≈
f  2  cp0 
 p0

(2.125)
Gerak yang diberikan pada persamaan di atas melukiskan gerak parabola.
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
50
___________________________________________________________________________________________
Berikutnya ditinjau sebuah partikel yang bergerak dipercepat dari keadaan
rehat dengan percepatan tetap a0 dalam kerangka rehatnya ke kecepatan vm di K.
Untuk lintasan partikel yang lurus, akan dicari waktu yang diperlukan oleh partikel
tersebut untuk mencapai kecepatan vm , baik yang diukur di kerangka K, maupun di
kerangka rehat partikel tersebut K 0 .
Kaedah transformasi percepatan a' di kerangka K’ dengan percepatan a di
kerangka K dirumuskan sebagai (Muslim, 1985)
a + Γ −1 − 1 (n ⋅ a ) n − V × (a × v ) / c 2
a' =
(2.126)
Γ 2 (1 − V ⋅ v / c 2 )3
dengan V = V n = kecepatan kerangka K’ terhadap K, v = kecepatan partikel di
kerangka K dan Γ = (1 − V 2 / c 2 ) −1 / 2
(
)
Jika dipilih K’ = K 0 = kerangka rehat partikel maka
V=v
(2.127)
dan
Γ = γ = (1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2
dan untuk gerakan zarah yang lurus maka v // n // a , sehingga
a + γ −1 − 1 a
a
a' = a 0 = 2
=
γ (1 − v ⋅ v / c 2 )3 (1 − v 2 / c 2 ) 3 / 2
(
)
(2.128)
(2.129)
Selain itu mengingat
dt
dt
1
1
=
=
=
.
2
2
2
dt ' dt 0 γ (1 − v / c ) (1 − v / c 2 )1 / 2
(2.130)
Jadi :
v (t )
t
v (t )
dt
1
t = ∫ dt = ∫
dv = ∫ dv
dv
a
t =0
v =0
v=0
1
=
a0
v (t )
dv
v
=
2 3/ 2
(1 − v / c )
a0 1 − v 2 / c 2
v =0
∫
2
(2.131)
sehingga waktu yang diperlukan partikel untuk mencapai kecepatan vm di kerangka
K adalah
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
51
___________________________________________________________________________________________
tm =
vm
a0 1 − vm2 / c 2
.
(2.132)
Sementara itu
t0 =
t0
∫ t0 =
t0 =0
c
=
2 a0
t
∫
1 − v 2 / c 2 dt =
t =0
1
a0
v (t )
dv
2
2
v =0 1 − v / c
∫
v(t )
1 
c
c+v
 1
+
ln
.

 dv =
1− v / c 1+ v / c 
2a0 c − v
v =0 
∫
(2.133)
Jadi waktu yang diperlukan untuk mencapai kecepatan partikel vm menurut
kerangka K 0 adalah
t0 m =
2.3
c + vm
c
ln
.
2 a 0 c − vm
(2.134)
Efek Compton
Dalam percobaannya pada tahun 1927, Compton telah menemukan bahwa
sinar X (sebagai salah satu bentuk gelombang elektromagnetik) yang dihamburkan
oleh suatu bahan akan menyebabkan frekuensinya, sekaligus juga panjang
gelombangnya berubah. Jika mula-mula sebuah foton awal dengan panjang
gelombang λ maka foton tersebut akan dihamburkan oleh bahan yang dikenai foton
tersebut dengan panjang gelombang λ’ dan membentuk sudut θ terhadap arah
datang foton. Bagaimanakah hubungan antara tiga besaran tersebut dan juga massa
elektron sebagai partikel yang menghamburkan foton tersebut ? Berikut akan
diturunkan perumusan efek Compton. Lihat gambar 2.2 di bawah ini.
λ
e
θ
φ
λ'
e
Gambar. 2.2 Hamburan Compton
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
52
___________________________________________________________________________________________
Mula-mula foton awal dengan frekuensi ν atau panjang gelombang λ. Energi
dan momentum awal foton berturut-turut sama dengan hν dan hν/c. Setelah
dihamburkan, frekuensinya menjadi ν’ atau panjang gelombangnya λ’. Energi dan
momentum akhir foton tersebut berturut-turut adalah hν’ dan hν’/c. Adapun untuk
elektron bermassa m, mula-mula dalam keadaan rehat sehingga energi dan
momentum awalnya berturut-turut adalah mc2 dan 0. Setelah ditumbuk foton,
elektron tersebut memiliki momentum akhir p dan energi
p 2 + m 2c 4 .
Pada peristiwa ini digunakan hukum kekekalan momentum yang menyatakan
bahwa momentum awal sama dengan momentum akhir, jika dituliskan dalam
komponen-komponennya menjadi :
Komponen x :
Komponen y :
hν hν '
=
cos θ + p cos φ
c
c
(2.135)
hν '
sin θ − p sin φ
c
(2.136)
0=
Sedangkan hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi awal sama dengan
energi akhir, maka
hν = hν ' + K
(2.137)
dengan K adalah tenaga kinetik elektron setelah ditumbuk foton.
Pers. (2.135) dan (2.136) dapat dituliskan menjadi
pc cos φ = hν − hν ' cosθ
(2.138)
pc sin φ = hν ' sin θ
(2.139)
dan
Dengan menguadratkan dua persamaan di atas, kemudian menjumlahkannya,
diperoleh
( pc) 2 = (hν ) 2 + (hν ' ) 2 − 2h 2νν ' cos θ
(2.140)
Adapun elektron yang terpental berlaku
E = mc 2 + K
(2.141)
dan
E 2 = ( pc) 2 + (mc 2 ) 2
(2.142)
sehingga
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
53
___________________________________________________________________________________________
( pc) 2 = K 2 + 2 Kmc 2 .
(2.143)
Dari pers. (2.137) :
K = hν − hν '
(2.144)
sehingga dengan mengisikan (2.144) ke (2.143) diperoleh
( pc) 2 = (hν ) 2 + (hν ' ) 2 − 2h 2νν ' + 2(hν − hν ' )mc 2
(2.145)
Dengan membandingkan (2.140) dan (2.145) dihasilkan bentuk
− 2h 2νν ' cos θ = −2h 2νν ' + 2(hν − hν ' )mc 2
(2.146)
yang jika masing-masing ruas dibagi dengan 2hνν ' mc yang kemudian dilakukan
pengaturan ruas, akhirnya diperoleh
λ' = λ +
h
(1 − cos θ ) .
mc
(2.147)
Rumus di atas diturunkan dengan menggunakan dua asas yaitu asas kekekalan
momentum dan kekekalan energi. Padahal keduanya dapat disatukan dalam vektor
momentum−4. Karena itu perumusan efek Compton dapat pula diturunkan dengan
menggunakan notasi kovarian vektor momentum−4.
Ditinjau sebuah foton γ dengan frekuensi awal ν atau frekeuensi sudut ω.
Energi foton γ tersebut adalah E = hν sedang vektor momentum−3 foton adalah
p = ℏ k dengan k = ω / c adalah vektor bilangan gelombang dan ω adalah vektor
frekuensi sudut. Momentum−4 kovarian foton awal tersebut adalah
Pµγ = ( Eγ / c, pγ ) = (hν / c, ℏ k ) .
(2.148)
Dengan menggunakan komponen tensor metrik (+1, −1, −1, −1) maka bentuk
momentum−4 kontravarian foton awal tersebut adalah
P µ γ = ( hν / c , − ℏ k ) .
(2.149)
Sedangkan momentum−4 kovarian dan kontravarian foton akhir γ’ tersebut
berturut-turut adalah
Pµγ ' = ( Eγ ' / c, pγ ' ) = (hν ' / c, ℏ k ' ) .
(2.150)
P µ γ ' = ( hν ' / c , − ℏk ' ) .
(2.151)
dan
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
54
___________________________________________________________________________________________
Untuk elektron awal e yang berada dalam keadaan rehat, momentum−4 awal
kovarian dan kontravarian berturut-turut adalah
Pµe = ( Ee / c, p e ) = (mc,0)
(2.152)
dan
P µ e = (mc,0) .
(2.153)
Sedangkan momentum−4 elektron akhir e' kovarian dan kontravarian berturut-turut
adalah
Pµe ' = ( Ee' / c, p e ' ) = ( p 2 + m 2 c 2 , p)
(2.154)
dan
Pµ
e'
= ( p 2 + m 2 c 2 , −p ) .
(2.155)
Hukum kekekalan momentum−4 kovarian dan kontravarian untuk peristiwa
hamburan ini dapat dituliskan sebagai
Pµγ + Pµe = Pµγ ' + Pµe '
(2.156)
dan
Pµ γ + Pµ e = Pµ γ ' + Pµ
e'
(2.157)
Dua persamaan di atas dapat ditulis menjadi
Pµγ + Pµe − Pµγ ' = Pµe '
(2.158)
P µ γ + P µ e − P µ γ ' = P µ e'
(2.159)
dan
Dengan mengalikan masing-masing ruas persamaan di atas dengan diperoleh
Pµγ P µ γ + Pµγ P µ e − Pµγ P µ γ ' + Pµe P µ γ + Pµe P µ
e
− Pµe P µ γ ' − Pµγ ' P µ γ − Pµγ ' P µ e + Pµγ ' P µ γ ' = Pµe ' P µ e '
(2.160)
Mengingat
h 2 ℏ 2 (2π ) 2
Pµγ P µ γ = (hν / c) 2 − (ℏ k ) 2 = 2 −
=0,
2
λ
Pµγ P µ e =
λ
hν
hmc
mc + 0 =
c
λ
(2.161)
(2.162)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
55
___________________________________________________________________________________________
Pµγ P µ γ ' =
 νν ' kk ' cos θ
hν hν '
− ℏ 2k ⋅ k ' = h 2  2 −
c c
(2π ) 2
c
Pµe P µ γ = mc
 h2
 =
(1 − cos θ )
λλ
'

(2.163)
hν
hmc
+0=
c
λ
(2.164)
Pµe P µ e = (mc)(mc) + 0 = m 2 c 2 ,
Pµe P µ γ ' = mc
Pµγ ' P µ γ
hν '
hmc
+0=
c
λ'
 νν ' kk ' cos θ
hν ' hν
=
− ℏ 2k ⋅ k ' = h 2  2 −
c c
(2π ) 2
c
Pµγ ' P µ e =
(2.165)
(2.166)
 h2
 =
(1 − cos θ )
λλ
'

hν '
hmc
mc + 0 =
c
λ'
(2.167)
(2.168)
h 2 ℏ 2 (2π ) 2
Pµγ ' P µ γ ' = (hν ' / c) 2 − (ℏ k ' ) 2 = 2 −
= 0,
λ'
λ '2
Pµe ' P µ e ' = (p 2 + m 2 c 2 ) − p 2 = m 2 c 2 ,
(2.169)
(2.170)
maka
0 +
hmc
λ
−
h2
λλ '
(1 − cosθ )
+
hmc
λ
+ m 2c 2 −
hmc
h2
−
(1 − cosθ ) − hmc + 0 =
λλ '
λ'
λ'
m2c 2
atau
2
 1 1  2h
2hmc −  =
(1 − cos θ ) .
 λ λ '  λλ '
Dengan mengalikan masing-masing ruas di atas dengan
(2.171)
λλ '
2hmc
, diperoleh
perumusan efek Compton
λ' − λ =
h
(1 − cos θ ) .
mc
(2.172)
Selanjutnya akan dihitung berapakah tenaga kinetik elektron yang terpental
oleh tumbukan foton tersebut. Sebelum tumbukan energi foton dan elektron
berturut-turut adalah
Eγ =
hc
λ
(2.173)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
56
___________________________________________________________________________________________
dan
Ee = mc 2 .
(2.174)
Setelah terjadi tumbukan, energi foton adalah
Eγ ' =
hc
hc
=
λ ' λ + (h / mc)(1 − cosθ )
(2.175)
Menggunakan asas kekekalan energi, energi elektron setelah tumbukan adalah
Ee' = Eγ + Ee − Eγ ' =
hc
λ
+ mc 2 −
hc
.
λ + λ0 (1 − cos θ )
(2.176)
Dari nilai energi tersebut, tenaga kinetik elektron yang terpental tersebut adalah
energi elektron dikurangi energi rehatnya yang bernilai
Te ' =
 hc λ0 (1 − cos θ )
hc 
1
1 −
 =
.
λ  1 + (λ0 / λ )(1 − cos θ ) 
λ λ + λ0 (1 − cos θ )
(2.177)
Hubungan antara sudut pentalan foton (θ ) dengan sudut pentalan elektron
(φ ) dan panjang gelombang foton datang (λ) dapat ditelusuri dengan dengan
menggunakan hukum kekekalan momentum. Untuk komponen ke arah y,
h
sin θ = pe ' sin φ .
λ'
(2.178)
Momentum elektron setelah tumbukan dirumuskan sebagai
2
1
1
pe ' =
Ee2' − m 2 c 4 =
c
c
 2 hc

hc
 mc +
 − m 2 c 4
−
λ λ + λ0 (1 − cos θ ) 

1
=
c
 2 hc  λ0 (1 − cos θ )  
2 4
 mc +

  − m c

λ  λ + λ0 (1 − cos θ )  

2
1 hcλ0 (1 − cos θ ) 2mc 2 λ2 + 2mc 2 λλ0 (1 − cos θ ) + hcλ0 (1 − cos θ )
=
c
λ2
[λ + λ0 (1 − cosθ )]2
(2.179)
sehingga dengan mengisikan hasil di atas ke pers. (2.178) diperoleh
sin φ =
(hcλ0 (1 − cos θ ))(2mc
hc sin θ
λ + λ0 (2mc λ + hc)(1 − cos θ )
2 2
2
)
(2.180)
Mengingat identitas trigonometri berikut :
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
57
___________________________________________________________________________________________
sin θ = 2 sin
θ
2
cos
θ
2
dan
1 − cos θ = 2 sin 2
θ
(2.181)
2
maka akhirnya diperoleh
sin φ =
cos(θ / 2)
(λ0 / h )(mcλ2 + λ0 (h + mcλ ) sin 2 (θ / 2))
.
(2.182)
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
58
___________________________________________________________________________________________
Soal-Soal Latihan BAB II
1.
Pada kasus paradoks kembar, John tinggal di bumi selama 30 tahun
sedangkan Mary menempuh perjalanan menuju sebuah bintang yang berjarak
20 tahun cahaya dengan kecepatan 0,75 c pulang pergi.
2.
(a)
Berapakah selisih umur keduanya ketika Mary pulang ke bumi?
(b)
Berapakah jarak yang ditempuh menurut Mary?
Sebuah partike yang memiliki momentum awal p0 dalam arah sumbu Y
dikenai gaya konstan F sepanjang arah sumbu X. Tentukan trayektori partikel
secara relativistik. Bandingkan hasilnya dengan yang diperoleh secara klasik
(mekanika Newton).
3.
Sebuah partikel bermassa m bergerak sepanjang sumbu X di bawah pengaruh
gaya F = 2mc 2 a /(a − x) 2 . Pada saat t = 0, partikel tersebut rehat di titik O.
Tunjukkan bahwa waktu yang diperlukan partikel ini untuk bergerak dari O
ke titik x (< a) diberikan oleh
t=
4.
x x + 3a
.
a 3c
Sebuah partikel bermassa m bergerak dengan kecepatan v sepanjang suatu
garis lurus di bawah pengaruh gaya gesekan sebesar −mv/k yang menentang
gerakannya. K adalah tetapan gaya yang dimensi waktu. Tunjukkan bahwa
selang waktu yang diperlukan gaya untuk mengubah kelajuan zarah dari 4c/5
menjadi 3c/5 adalah k[ln(3 / 2) + 5 / 12] .
5.
Sebuah partikel dengan massa m bergerak sepanjang sumbu X di bawah
pengaruh gaya tarikan ke titik asal O sebesar F = mc 2 x0 / x 2 . Mula-mula
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
59
___________________________________________________________________________________________
partikel tersebut rehat di x = x0 . Tunjukkan bahwa gerakan partikel berupa
getaran selaras sederhana dengan periode T = 2π x0 / c .
6.
Tunjukkan bahwa kelajuan relatif v dua benda yang masing-masing memiliki
vektor kecepatan v1 dan v2 terhadap kerangka K, bernilai
v2 =
(v1 − v2 ) 2 − (v1 × v2 ) 2 / c 2
.
(1 − v1 .v2 / c 2 ) 2
Tunjukkan bahwa jika v2 = c maka v juga sama dengan c.
7.
Tunjukkan bahwa sebuah benda yang bergerak lurus di bawah pengaruh gaya
konstan dan gaya gesekan Fg = − kv 2 yang sebanding dengan pangkat dua
kecepatan,
v(t ) = v L
mempunyai
kecepatan
pada
saat
t
sebesar
(v0 + vL ) exp(kvLt / m) + (v0 − v L ) exp(− kvLt / m)
dengan v0 dan vL
(v0 + vL ) exp(kvLt / m) − (v0 − v L ) exp(− kvL t / m)
berturut-turut adalah kecepatan awal dan kecepatan tertinggi benda.
8.
Sebuah pesawat ruang angkasa bermassa m dan motor roketnya dimatikan,
meluncur dengan kecepatan tinggi v melintasi daerah antar bintang dan
menyebabkan gesekan yang menurut pengukuran awak pesawat dengan gaya
gesekan sebesar − α mv 2 . Gunakan kaitan F dx = v dp serta p = γmv untuk
menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh pesawat sewaktu kecepatannya
berubah dari v1 ke v 2 adalah
x=
1  1 1 1 + γ 1   1 1 1 + γ 2
−
− ln
 − ln
α  γ 1 2 1 − γ 1   γ 2 2 1 − γ 2



dengan
γ 1 = (1 − v12 / c 2 ) −1/ 2
dan
γ 2 = (1 − v 22 / c 2 ) −1 / 2 .
Tentukan pula nilai x jika v 2 = 0 .
___________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Khusus
60
___________________________________________________________________________________________
9.
Pada hamburan Compton, tentukan hubungan antara sudut hamburan dengan
panjang gelombang foton sebelum tumbukan, dimana energi foton setelah
hamburan menjadi berkurang setengahnya.
___________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
61
BAB III
ANALISIS TENSOR DAN
TEORI RELATIVITAS UMUM
Untuk setiap sistem fisis, setiap hukum yang menghubungkan besaran fisis
tidak akan bergantung kepada pemilihan sistem koordinat. Hal ini berarti,
persamaan gerak sistem (baik zarah maupun medan) akan memiliki bentuk yang
tetap (tidak berubah) di dalam semua sistem koordinat. Persamaan yang tidak
berubah bentuknya terhadap transformasi koordinat dikatakan memiliki sifat
kovarian terhadap transformasi tersebut. Sifat inilah yang menyebabkan tensor
banyak digunakan untuk menelaah suatu sistem fisis.
Tensor adalah besaran yang merupakan perluasan dari vektor, seperti halnya
vektor merupakan perluasan dari besaran skalar. Tensor memiliki komponenkomponen seperti halnya vektor. Besaran vektor sangat penting di dalam fisikan
karena ia menyatakan objek dengan kaedah-kaedah yang tetap sama meskipun
kerangka acuan yang dipilih berubah-ubah. Perubahan kerangka acuan memang
menyebabkan nilai komponen tensor berubah pula, namun kaedah-kaedah yang
berlaku bagi komponen tensor tetap tidak berubah.
Teori Relativitas Umum adalah salah satu teori fisika modern yang cukup
besar peranannya dalam menerangkan struktur ruang-waktu dan jagad raya. Teori
ini adalah teori yang indah, memiliki daya pikat ramalan terhadap gejala alam
yang cukup menarik, namun memiliki persyaratan matematik berupa analisis
tensor. Karena itulah dalam hand out ini akan disajikan analisis tensor sebagai
jembatan untuk memahami teori relativitas umum.
3.1
Analisis Ruang Riemann
Pada pasal ini akan diuraikan landasan formalisme matematik hukum
gravitasi Einstein. Dimulai dari penjelasan tentang skalar, vektor, dan tensor,
dilanjutkan dengan analisis ruang Riemann, hingga pada penurunan rumus-rumus
tensor.
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
62
3.1.1 Skalar, Vektor dan Tensor
Ditinjau sebuah ruang berdimensi N dengan sistem koordinat
K = ( x1 , x 2 ,..., x N )
(3.1)
Sistem koordinat dalam ruang tersebut dapat ditransformasi menjadi
K = ( x 1 , x 2 ,..., x N )
(3.2)
Akan ditinjau tiga perangkat besaran yang memiliki sifat tertentu pada perubahan
sistem koordinat tersebut, yaitu skalar, vektor dan tensor.
Misalkan ada sebuah perangkat besaran fisis yang memiliki nilai V di K dan
nilai V di K . Jika
V =V
(3.3)
yaitu V bersifat invarian, maka besaran tersebut dinamakan skalar. Contoh besaran
skalar adalah laju cahaya di ruang-waktu datar vakum dan muatan listrik.
Misalkan terdapat seperangkat N besaran A µ ( µ = 1, 2, …, N ) yang
nilainya ditentukan oleh N bilangan. Di K, besaran tersebut memiliki komponen
( A1 , A2 ,..., A N )
(3.4)
sedangkan di K dinyatakan sebagai
( A 1 , A 2 ,..., A N ) .
(3.5)
∂xν µ N
A = ∑ ∂ µ xν A µ
µ
µ =1 ∂x
µ =1
(3.6)
Jika terdapat hubungan
N
Aν = ∑
maka perangkat A µ = ( A1 , A2 ,..., A N ) adalah vektor kontravarian di K. Lambang
∂ µ menyatakan ∂ / ∂x µ .
Analog dengan di atas, jika di K perangkat Aµ memiliki komponen
( A1 , A2 ,..., AN ) ,
(3.7)
sedangkan di K komponennya berbentuk
( A1 , A2 ,..., AN )
(3.8)
serta berlaku hubungan
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
63
N
∂x µ
A
=
∂ν x µ Aµ
∑
µ
ν
µ =1 ∂x
µ =1
N
Aν = ∑
(3.9)
maka Aµ disebut komponen kovarian di K. Lambang ∂ µ menyatakan ∂ / ∂x µ .
Dari pengertian di atas, vektor adalah besaran yang lambang komponennya
memiliki satu indeks. Jika indeksnya terletak di atas (bawah) dinamakan vektor
kontravarian (kovarian).
Tensor merupakan perluasan vektor. Indeks tensor lebih besar dari satu.
Banyaknya indeks disebut rank r dengan jumlah komponen N r . Tensor B µν ,
Cαβγ berturut-turut dinamkana tensor rank−2 kontravarian dan tensor rank−3
kovarian. Karena jumlah rank tensor lebih dari satu maka dimungkinkan terdapat
indeks yang terletak di atas dan di bawah. Tensor seperti ini dinamakan tensor
µ
campuran (mixed tensor) Sebagai contoh Dαβ
dinamakan tensor rank−3
campuran. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa vektor dan skalar tak lain
merupakan tensor rank−1 dan rank−0.
Persamaan transformasi untuk tensor kontravarian serupa dengan bentuk
produk (3.2) yaitu
B µν =
∂x µ ∂xν αβ
∑ α βB .
α , β =1 ∂x ∂x
N
(3.10)
Demikian pula kaedah transformasi persamaan tensor kontravarian mengikuti
produk pers. (3.10) yaitu
∂xα ∂x β
= ∑
B .
µ
ν αβ
α , β =1 ∂x ∂x
N
Bµν
(3.11)
Sedangkan untuk tensor campuran berlaku kaedah
Bνµ =
∂x µ ∂x β α
∑ α ν Bβ .
α , β =1 ∂x ∂x
N
(3.12)
Pers. (3.10), (3.11) dan (3.12) dapat dikembangkan untuk tensor dengan peringkat
yang lebih tinggi.
Selanjutnya untuk mempersingkat penulisan akan digunakan kesepakatan
penjumlahan Einstein meliputi indeks berulang yang menyatakan bahwa jika di
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
64
dalam sebuah bentuk terdapat sepasang indeks yang sama dengan salah satu
terletak di atas dan yang lainnya di bawah, maka penjumlahan harus dilakukan
terhadap bentuk tersebut meliputi jangkauan indeks berulang tersebut. Jadi dari
pers. (3.1) sampai dengan (3.12), tanda Σ tidak perlu dituliskan. Namun jika
bentuk yang memuat indeks berulang tersebut tidak ingin dijumlahkan, hal
tersebut harus ditegaskan secara eksplisit.
3.2
Operasi pada Tensor
Operasi yang berlaku pada tensor adalah :
1.
Kombinasi linear
Berlaku jika tensor-tensor tersebut memiliki jenis yang sama seperti
µ
µ
µ
aAαβ
+ bBαβ
= cCαβ
.
(3.13)
µ
Adapun bentuk aAαβ
+ bBαµν tidak didefinisikan.
2.
Perkalian luar
Terhadap dua tensor atau lebih yang memiliki indeks yang berbeda, dapat
dilakukan perkalian luar seperti
β
Aαβ Bµν = Cαµν
.
3.
(3.14)
Kontraksi
Proses menyamakan sepasang atau lebih pasangan indeks kovarian dan
kontravarian, seperti
kontraksi (α , β )
β
β
Cαµν
   
→ C βµν
= C µν
(3.15)
disebut kontraksi meliputi indeks (α , β ) . Proses kontraksi menurunkan rank
tensor sebanyak 2.
4.
Perkalian dalam
Proses ini dilakukan terhadap tensor sehingga faktor-faktornya memiliki
sepasang indeks sekutu atau lebih seperti
Aαβµ Bγα = Cγβµ .
5.
(3.16)
Hukum pembagian
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
65
Ditinjau kasus berikut. Misalkan C = A µ Bµ merupakan suatu skalar untuk
sembarang vektor kontravarian A µ , maka Bµ pasti merupakan suatu vektor
kovarian. Sebaliknya jika C merupakan suatu skalar untuk sembarang vektor
kovarian Bµ maka A µ pasti merupakan suatu vektor kontravarian. Hal ini
dapat diperluas untuk tensor.
3.3
Ruang Datar dan Lengkung
Ditinjau dua buah titik yang berdekatan dalam ruang tiga dimensi yang
dinyatakan dengan koordinat Cartesan. Kedua titik itu masing-masing A (x, y, z)
dan B (x + dx, y + dy, z + dz). Kuadrat jarak antara keduanya adalah
ds 2 = dx 2 + dy 2 + dz 2 .
(3.17)
Jika dilakukan perpindahan ke koordinat silinder melalui transformasi
x = ρ cos φ , y = ρ sin φ , z = z
(3.18)
ds 2 = dρ 2 + ρ 2 dφ 2 + dz 2 .
(3.19)
maka jaraknya menjadi
Melalui transformasi inversi
y
x
ρ = x 2 + y 2 , φ = arctan , z = z
(3.20)
pers. (3.19) dapat diubah kembali menjadi pers. (3.17).
Ruang tiga dimensi dimana bentuk ds 2 dapat dikembalikan ke bentuk
dx 2 + dy 2 + dz 2 dinamakan ruang datar atau ruang Euclid. Jika tidak dapat dicari
suatu sistem koordinat ( x, y, z ) yang memenuhi pers. (3.17) maka ruang tersebut
dinamakan ruang lengkung atau ruang Riemann.
Bentuk ds 2 untuk ruang datar satu dan dua dimensi berturut-turut adalah
dx 2 dan dx 2 + dy 2 . Contoh ruang datar untuk dimensi tersebut masing-masing
adalah garis lurus dan bidang datar. Sedangkan contoh ruang lengkung dua
dimensi adalah permukaan bola, ellipsoida, paraboloida, permukaan sadel kuda
dan lain-lain.
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
66
Contoh ruang datar empat dimensi (3 dimensi ruang berkoordinat x, y, z dan
satu dimensi waktu berkoordinat t) dengan invarian kuadrat elemen garis adalah
ruang-waktu Minkowski yang memiliki bentuk ds 2 adalah
ds 2 = − dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 .
(3.21)
Adapun contoh ruang−waktu lengkung empat dimensi adalah apa yang dinamakan
dengan ruang bermetrik Schwarzschild untuk mana kuadrat elemen garisnya
berbentuk
 r
ds 2 = −1 − S
r

−1
 2  rS 
2
2
2
2
2
 dt + 1 −  dr + r (dθ + sin θ dφ ) .
r 


(3.22)
Beberapa konsekuensi kelengkungan ruang yang membedakan antara ruang
Riemann (ruang lengkung) dengan ruang Euclid (ruang datar) adalah
1.
Jumlah sudut dalam segitiga dengan sisi-sisi segitiga merupakan
penghubung terpendek antara titik sudutnya tidak sama dengan 1800.
2.
Perbandingan antara keliling dengan diameter lingkaran ≠ π.
3.
Garis penghubung terpendek antara dua titik tidak berbentuk garis lurus
melainkan garis lengkung.
4.
Dua garis yang sejajar lokal dapat berpotongan.
5.
Penggambaran ruang lengkung di dalam ruang datar memerlukan satu
dimensi tambahan. Karena itu jika ingin digambar, misalnya permukaan bola
(3.2 dimensi), diperlukan ruang datar 3 dimensi.
Ilustrasi antara ruang datar dan ruang lengkung dua dimensi terdapat pada
Gambar 3.1.
Gambar 3.1
Ruang datar (kiri) dan ruang lengkung dua dimensi (kanan)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
67
3.4
Tensor Metrik
Ditinjau dua buah titik x µ dan x µ + dx µ di dalam ruang sembarang
berdimensi N. Kuadrat jarak antara kedua titik tersebut dinyatakan oleh
ds 2 = g µν dx µ dxν
(3.23)
dengan µ ,ν = 1, 2, …, N dan
g11
g = det g µν =
⋯
⋮
g N1
⋮
(3.24)
g N 1 ⋯ g NN
ds 2 disebut kuadrat elemen jarak dan g µν adalah tensor metrik kovarian.
Hubungan antara tensor metrik gαβ dalam kerangka K dan g µν dalam
kerangka K adalah
gαβ =
∂x µ ∂xν
g µν
∂x α ∂x β
(3.25)
Pers. (3.23) dapat diubah bentuknya menjadi
ds 2 =
1
2
(( g µν + gνµ ) + ( g µν − gνµ ) ) dx µ dxν
(3.26)
Dengan mengambil
( g µν − gνµ ) dx µ dxν = 0
(3.27)
maka
g µν = gνµ
(3.28)
sehingga g µν efektif merupakan suatu tensor simetri.
Jika x µ = x µ (t ) dengan t adalah suatu parameter maka
ds 2 = g µν
dx µ dxν 2
dt
dt dt
(3.29)
sehingga jarak antara kedua titik adalah
1/ 2

dx µ dxν 

s = ∫  g µν

dt
dt


t1
t2
dt .
(3.30)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
68
Perkalian dalam antara tensor metrik kontravarian g µν dan tensor metrik
kovarian g µν menghasilkan
1, α = ν
g αµ g µν = δνa = 
0, α ≠ ν
(3.31)
dengan δνα adalah delta Kronecker. Jadi untuk mendapatkan tensor metrik metrik
kontravarian g µν dapat digunakan rumus
g µν =
kofaktor g µν
g
(3.32)
dengan
kofaktor g µν = (−1) µ +ν minor g µν .
(3.33)
Kaitan antara A µ dengan Aν di suatu kerangka K tertentu dihubungkan
melalui persamaan
A µ = g µν Aν
(3.34)
Aν = gνµ A µ .
(3.35)
dan
Perumusan di atas dapat diperluas untuk tensor, seperti jika akan ditentukan suatu
besaran skalar B dari tensor kontravarian rank−2 B µν maka berlaku persamaan
B = g µν B µν
3.5
(3.36)
Turunan Kovarian
Ditinjau persamaan transformasi untuk vektor berikut
Aµ =
∂x µ ν
A .
∂xν
(3.37)
Dengan menurunkan A µ terhadap xα , diperoleh
∂α Aµ = (∂ν ∂α x µ ) Aν + (∂ν x µ )(∂α Aν )
(3.38)
yang bukan merupakan tensor. Karena itu perlu dicari cara untuk membentuk
tensor dengan menggunakan turunan parsial tersebut. Untuk itu didefinisikan
lambang Christoffel sebagai berikut :
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
69
1.
Lambang Christoffel jenis pertama yang dinyatakan sebagai
[ µν , β ] =
2.
1
2
(∂ µ gνβ + ∂ν g βµ + ∂ β g µν ) .
(3.39)
Lambang Christoffel jenis kedua yang dinyatakan oleh persamaan
α 
α
Γµν
=   = g αβ [ µν , β ].
µν 
(3.40)
Kedua lambang Christoffel tersebut bukan merupakan tensor.
Kedua lambang Christoffel tersebut digunakan untuk mendefinisikan
turunan kovarian. Turunan kovarian suatu vektor kontravarian A µ didefinisikan
sebagai
µ α
A µ;ν = ∂ν A µ + Γαν
A
(3.41)
Sedangkan turunan kovarian vektor kovarian Aµ adalah
α
Aµ ;ν = ∂ν Aµ − Γµν
Aα
(3.42)
Dapat ditunjukkan bahwa A µ;ν dan Aµ ;ν merupakan tensor. Generalisasi proses
penurunan kovarian pers. (3.41) dan (3.42) untuk tensor dengan rank yang lebih
tinggi adalah sebagai berikut.
1.
Tensor kontravarian rank n
µ n µ1 µ 2 ...µ n −1α
µ1 αµ 2 ...µ n
A µ;ν1 µ 2 ...µ n = ∂ν A µ1 µ 2 ...µ n + Γνα
A
+ ... + Γνα
A
2.
Tensor kovarian rank n
A µ1 µ 2 ...µ n ;ν = ∂ν Aµ1 µ 2 ...µ n + Γµα1ν Aαµ 2 ...µ n + ... + Γµαnν Aµ1 µ 2 ...µ n −1α .
3.
(3.43)
(3.44)
Tensor campuran rank m kontravarian dan rank n kovarian
µ m µ1 µ 2 ...µ m −1 β
µ1 βµ 2 ...µ m
Aνµ11νµ2 2......νµn m;ν = ∂ν Aνµ11νµ22......ν µn m + Γβα
Aν 1ν 2 ...ν n + ... + Γβα
Aν 1ν 2 ...ν n
µ1 µ 2 ...µ m
− Γνβ1α Aβν
− ... − Γνβnα Aνµ1ν1 µ22......ν µn −m1 β
2 ...ν n
3.6
(3.45)
Tensor Riemann-Christoffel, Ricci dan Einstein
Dari pers. (3.44)
η
Aµ ;ν = ∂ν Aµ − Γµν
Aη
(3.46)
dan dengan menurunkan kovarian sekali lagi diperoleh
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
70
(
)
β
β
Aµ ;να = ∂α Aµ ;ν − Γµα
Aβ ;ν − Γαν
Aµ ; β
(3.47)
Jika pers. (3.46) disubstitusikan ke (3.47) dihasilkan
(
)
(
)
(
)
)
(
)
η
β
η
β
η
Aµ ;να = ∂α ∂ν Aµ − Γµν
Aη − Γµα
∂ν Aβ − Γβν
Aη − Γαν
∂ β Aµ − Γµβ
Aη (3.48)
Dengan menukar indeks µ dan α diperoleh
(
)
(
η
β
η
β
η
Aµ ;αν = ∂ν ∂α Aµ − Γµν
Aη − Γµν
∂α Aβ − Γβα
Aη − Γνα
∂ β Aµ − Γµβ
Aη (3.49)
Jika pers. (3.49) dikurangi pers. (3.48) akan dihasilkan
(
)
η
η
η
β
η
β
Aµ ;αν − Aµ ;να = ∂α Γµν
− ∂ν Γµα
+ Γβα
Γµν
− Γβν
Γµα
Aη
(3.50)
Karena Aµ ;αν − Aµ ;να adalah tensor kovarian rank−3 dan Aη adalah tensor rank−1
sembarang kovarian maka ungkapan yang terdapat dalam kurung pada persamaan
di atas haruslah merupakan suatu tensor campuran rank−1 kontravarian dan rank−3
kovarian. Hal ini dapat dibuktikan melalui hukum pembagian. Dengan demikian
pers. (3.50) dapat dituliskan menjadi
η
Aµ ;αν − Aµ ;να = Rµαν
Aη
(3.51)
η
dengan Rµαν
adala tensor Riemann-Christoffel yang dirumuskan sebagai
η
η
η
η
β
η
β
Rµαν
= ∂α Γµν
− ∂ν Γµα
+ Γβα
Γµν
− Γβν
Γµα
(3.52)
Pada ruang Euclid selalu dapat dipilih suatu sistem koordinat dengan
µν
η
= η µν sehingga semua nilai lambang Christoffel lenyap. Nilai Rµαν
juga
lenyap. Jadi nilai tensor Riemann-Christoffel lenyap di ruang datar.
Tensor kelengkungan Rβµαν dapat ditentukan dengan perkalian dalam antara
η
tensor metrik g βη dengan tensor Riemann-Cristoffel Rµαν
menurut persamaan
η
Rβµαν = g βη Rµαν
.
(3.53)
η
Kontraksi Rµαν
teradap indeks (η ,ν ) menghasilkan tensor Ricci Rµα
ν
ν
ν
β
ν
β
η
Rµαν

→ Rνµαν = Rµα = ∂α Γµν
− ∂ν Γµα
+ Γβα
Γµν
− Γβν
Γµα
(3.54)
Skalar kelengkungan R diperoleh melalui perkalian dalam antara g µα
dengan Rµα yang dituliskan sebagai
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
71
R = g µα Rµα
(3.55)
Tensor Einstein yang digunakan dalam teori relativitas umum didefinisikan
sebagai
Gµν = Rµν − 12 g µν R
(3.56)
Jika tetapan kosmologi Λ diikutsertakan, persamaan tensor Einstein menjadi
Gµν = Rµν − 12 g µν R − Λg µν
3.7
(3.57)
Persamaan Geodesik
Ditinjau dalam ruang dua titik x µ dan x µ + dx µ . Menurut pers. (3.30), jarak
antara kedua titik tersebut adalah
1/ 2

dx µ dxν 


s12 = ∫  g µν

dt
dt

t1 
t2
dt =
t2
∫
F dt
(3.58)
t1
Syarat stasioner bagi jarak kedua titik itu agar s12 bernilai ekstrem akan
dipenuhi jika
t2
δs12 = δ ∫ F dt = 0 .
(3.59)
t1
dengan δs12 adalah variasi dari s12 . Bentuk (3.59) merupakan integral aksi fungsi
Lagrange
F dan persamaan lintasan t. Dengan menggunakan persamaan Euler-
Lagrange berikut
d ∂ F

dt  ∂xɺ µ
 ∂ F
−
 ∂x µ = 0

(3.60)
maka
d  1 ∂F

dt  2 F ∂xɺ µ
1 ∂F
1  d  ∂F

=
−
 
µ
2 F  dt  ∂xɺ µ
 2 F ∂x
1 ∂F dF 
 ∂F
= 0 (3.61)
− µ −
2 F ∂xɺ µ dt 
 ∂x
Di sini t dapat diambil sama dengan jarak s12 sepanjang kurva lintasan. Untuk
kasus ini karena s parameter sembarang maka
dF
dx µ
dx µ dxν
= 0, xɺ µ =
, F = g µν
ds
ds
ds ds
(3.62)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
72
sehingga diperoleh
∂F
= 2 g µν xɺν
µ
∂xɺ
(3.63)
∂gαβ
∂F
= xɺα xɺ β
.
µ
∂x
∂x µ
(3.64)
dan
Pers. (3.61) menjadi
∂g µν dxη dxν ∂gαβ dxα dx β
d  ∂F  ∂F
d 2 xν
= 2 g µν
+2 η
− µ
=0

−
ds  ∂xɺ µ  ∂x µ
ds 2
∂x ds ds
∂x ds ds
(3.65)
Dengan menggunakan lambang Christoffel jenis pertama serta mengalikannya
dengan g µη , persamaan di atas pada akirnya dapat dituliskan menjadi
α
β
d 2 xη
η dx dx
+ Γαβ
=0.
ds ds
ds 2
(3.66)
Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan geodesik. Persamaan ini digunakan
untuk menelaah gerakan jatuh bebas partikel dalam ruang bermetrik tertentu.
Lintasan partikel dalam ruang lengkung dari titik A ke B diilustrasikan pada
Gambar 3.2.
Gambar 3.2
Lintasan lengkung dalam ruang lengkung
3.8
Teori Relativitas Umum
Sebelum teori Relativitas Umum (TRU) diperkenalkan oleh Einstein pada
tahun 1915, orang mengenal sedikitnya tiga hukum gerak yaitu mekanika Newton,
relativitas khusus dan gravitasi newton. Mekanika Newton sangat berhasil di
dalam menerangkan sifat gerak benda berkelajuan rendah. Namun mekanikan ini
gagal untuk benda yang kelanjuannya mendekati laju cahaya. Di samping itu,
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
73
transformasi Galilei gagal apabila diterapkan pada hukum-hukum seperti
persamaan Maxwell yang sifatnya menjadi tidak kovarian di dalam kerangka
inersial.
Kekurangan ini ditutupi oleh Einstein dengan mengemukakan Teori
Relativitas Khusus (TRK). Teori ini dibangun di atas dua asas, yaitu :
1.
Semua hukum fisika memiliki bentuk yang tetap (kovarian) di dalam
sebarang kerangka inersial.
2.
Kelajuan cahaya di dalam ruang hampa bernilai tetap (invarian) dan tidak
bergantung pada gerak sumber maupun pengamat.
Asas kedua di atas merupakan tulang punggung TRK Einstein. Tanpa adanya
pernyataan kedua tersebut, tidak ada TRK Einstein, yang ada hanyalah teori
relativitas klasik (Newton-Galilei).
Teori Relativitas Khusus Einstein berhasil menerangkan fenomena benda
saat melaju mendekati laju cahaya. Di samping itu TRK berhasil merumuskan
kekovarianan persamaan Maxwell di sebarang kerangka inersial dengan
menggunakan transformasi Lorentz sebagai pengganti transformasi Galilei. Teori
ini juga lebih lengkap daripada mekanika Newton, karena untuk gerak dengan
kelajuan rendah, mekanika relativistik tereduksi menjadi mekanika Newton. Salah
satu implikasi teori ini adalah ungkapan tidak ada benda atau sinyal yang dapat
bergerak lebih cepat daripada cahaya.
Hukum yang ketiga adalah gravitasi Newton. Hukum ini berlaku pada
medan gravitasi lemah. Besarnya gaya gravitasi antara dua benda masing-masing
bermassa m1 dan m2 yang dipisah oleh jarak sejauh r adalah
F = −(Gm1m2 )(r / r 3 )
(3.67)
dengan G adalah tetapan gravitasi universal. Tanda minus pada persamaan di atas
menunjukkan bahwa gaya gravitasi bersifat tarik-menarik.
Hukum gravitasi Newton berhasil menerangkan fenomena gerak bendabenda langit yang dipengaruhi oleh interaksi gravitasi antar benda-benda tersebut
dengan ketelitian tinggi. Namun sayangnya, hukum ini tidak konsisten dengan
TRK. Jika sebuah benda digerakkan maka gaya gravitasi benda tersebut terhadap
benda lain akan berubah dalam sekejap, atau terjadi aksi spontan. Dengan kata
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
74
lain, efek gravitasi haruslah merambat dengan kelajuan takhingga, sesuatu yang
bertentangan dengan TRK.
Einstein berkali-kali mencoba merumuskan teori gravitasi yang konsisten /
kompatibel dengan Teori Relativitas Khusus. Upayanya di tahun 1915
menghasilkan Teori Relativitas Umum (TRU). Ia mengemukakan saran yang
cukup revolusioner bahwa gravitasi bukanlah seperti gaya-gaya yang lain, namun
gravitasi merupakan efek dari kelengkungan ruang-waktu karena adanya
penyebaran massa dan energi di dalam ruang-waktu tersebut. Teori Relativitas
Umum ini dibangun di atas dua asas, yaitu pertama, asas kesetaraan (principle of
equivalence) dan kedua, kovariansi umum (general covariance) (Krane, 1992 ;
Weinberg, 1972).
Untuk menjelaskan asas kesetaraan ini perlu diberikan penggambaran
sebagai berikut (Krane, 1992). Misalnya seorang astronot berada di dalam roket
yang masih berada pada landasannya di permukaan bumi. Sebuah benda yang
dilepaskan teramati jatuh ke bawah dengan percepatan g = 9,8 m/s2 (Gambar 3.3a).
Kemudian diandaikan roket tersebut berada di ruang angkasa dengan medan
gravitasi amat kecil sehingga dapat diabaikan. Mesin peluncur kemudian
dinyalakan sehingga memberikan percepatan yang dikendalikan tepat sebesar g =
9,8 m/s2. Sekali lagi benda tersebut dilepaskan. Maka benda tersebut akan
meluncur ke bawah dengan percepatan a
= 9,8 m/s2 (Gambar 3.3b). Kedua
percobaan yang bersifat angan-angan tersebut memberikan hasil sama.
Einstein
menggunakan
hasil
percobaan
angan-angan
itu
untuk
mengemukakan asas kesetaraan yang berbunyi, “Tidak ada percobaan yang dapat
dilakukan dalam daerah kecil (lokal) yang dapat membedakan medan gravitasi
dengan sistem dipercepat yang setara”. Pernyataan daerah kecil ini perlu
disebutkan karena alasan berikut. Seandainya kita melepaskan dua benda yang
terpisah sejauh jarak kecil r, maka di dekat permukaan bumi setiap benda bergerak
sepanjang lintasan jari-jari menuju pusat bumi sehingga kedua benda tersebut
makin lama makin dekat. Namun jika lebar roket cukup kecil, perbedaannya tidak
akan teramati. Hal ini persis seperti percobaan di dalam roket yang meluncur di
ruang angkasa yang dilepaskan dengan percepatan tertentu (Krane, 1992).
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
75
Gambar 3.3. (a) Roket berada di permukaan bumi dengan
percepatan gravitasi 9,8 m/s2 (b) Roket bergerak dipercepat ke atas
sebesar 9,9 m/s2 di ruang angkasa dengan medan gravitasi yang dapat diabaikan
Salah satu implikasi asas kesetaraan adalah kesamaan massa inersia dan
massa gravitasi (Wospakrik, 1987). Sifat ini memungkinkan kita untuk
menghilangkan efek gravitasi yang muncul dengan menggunakan kerangka acuan
dipercepat yang sesuai. Sebenarnya hal ini sebagai konsekuensi dari medan
gravitasi yaitu semua benda yang berada di dalamnya akan merasakan percepatan
yang sama serta tidak bergantung dari ukuran maupun massanya. Misalnya sebuah
benda yang bermassa m jatuh di dalam medan gravitasi dengan percepatan
gravitasi sebesar g. Dengan memilih koordinat (y, t), menurut mekanika Newton,
persamaan gerak benda tersebut adalah
mI
d2y
= mG g .
dt 2
(3.68)
Melalui persamaan transformasi :
y ' = y − 12 gt 2 dan t ' = t
(3.69)
pada koordinat ( y ' , t ' ) maka pers. (3.68) menjadi
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
76
mI
d 2 y'
+ m I g = mG g
dt ' 2
(3.70)
Karena massa inersial m I sama dengan massa gravitasi mG maka
d 2 y'
m 2 =0
dt '
(3.71)
Dengan demikian kita dapat memilih kerangka acuan inersial ( y ' , t ' ) untuk
menghilangkan efek gravitasi pada kerangka (y, t). Atau dengan kata lain,
kerangka (y, t) adalah kerangka dipercepat dengan percepatan sebesar g terhadap
kerangka inersial ( y ' , t ' ) pada daerah tanpa medan gravitasi. Contoh penerapan
persamaan di atas adalah bahwa sebuah sistem pengamatan jatuh bebas dalam
medan gravitasi bumi seperti misalnya sebuah elevator yang kabel gantungnya
putus adalah kerangka inersial lokal. Seorang pengamat dalam elevator tersebut
dapat melepaskan sebuah benda dari keadaan rehat (dalam kerangka pengamat)
dan akan mendapati bahwa benda tersebut tetap rehat. Kesimpulannya adalah
hukum gerak pada kerangka inersial dalam daerah tanpa medan gravitasi sama
dengan hukum gerak pada kerangka jatuh bebas di dalam medan gravitasi.
Sebenarnya medan gravitasi nyata tidaklah sepenuhnya sama dengan medan
gravitasi yang setara dengan kerangka dipercepat. Pada tempat yang jauh dari
sumber, medan gravitasi nyata selalu lenyap, sementara medan gravitasi yang
setara dengan suatu kerangka dipercepat selalu memiliki nilai tertentu. Sebaliknya
medan gravitasi yang setara dengan kerangka dipercepat akan segera lenyap begitu
percepatan kerangka dilenyapkan. Sedangkan medan gravitasi nyata tidak dapat
dihilangkan oleh pemilihan kerangka acuan manapun.
Berkait dengan elevator yang jatuh bebas tersebut sebenarnya terdaat
takhingga banyakbya kerangka acuan inersial. Kemudian kita dapat menggunakan
transformasi Lorentz untuk mengaitkan kerangka-kerangka inersial tersebut.
Dengan kata lain, hukum alam yang berlaku pada kerangka inersial menurut asas
kovariansi TRK, harus pula berlaku pada kerangka tak-inersial (seperti kerangka
jatuh bebas dalam medan gravitasi). Inilah yang dimaksud dengan asas kovariansi
umum yang berbunyi, “Hukum alam harus memiliki bentuk yang tetap terhadap
sebarang pemilihan transformasi koordinat”.
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
77
Implikasi penerapan asas ini akan menuntun kita kepada beberapa ramalan
yang mengbah cara pandang kita tentang ruang-waktu (Krane, 1992). Andaikata
seberkas cahaya ditembakkan menembus roket dari sebuah sumber yang rehat
dalam ruang dengan medan gravitasi yang dapat diabaikan (Gambar 3.4a). Jika
roket dalam keadaan rehat terhadap sumber, lintasan berkas cahaya dalam roket
menurut pengamat di dalam roket akan berbentuk garis lurus. Kemudian roket
tersebut bergerak dengan laju tetap terhadap sumber dengan arah tegak lurus pada
arah rambat cahaya (Gambar 3.4b). Pengamat di dalam roket tersebut akan melihat
lintasan cahaya di dalam roket berupa garis lurus miring yang membentuk sudut
v/c (v << c) terhadap arah horisontal. Jika roket tersebut mengalami percepatan,
maka v akan selalu berubah sehingga v/c juga selalu berubah (Gambar 3.4c).
Pengamat dalam roket tersebut akan melihat berkas cahaya melintasi suatu lintasan
lengkung.
Jika asas kesetaraan benar, perilaku berkas cahaya dalam roket yang
dipercepat haruslah sama seperti dalam medan gravitasi. Berarti, berkas cahaya
harus pula menempuh lintasan lengkung dalam medan gravitasi.
Gambar 3.4 (a) Roket dalam keadaan rehat terhadap sumber cahaya
(b) Roket bergerak dengan laju v konstan (c) Roket bergerak
dipercepat dengan percepatan a konstan
Berkas cahaya memiliki tempat khusus dalam pemahaman kita tentang
ruang-waktu karena cahaya harus melintasi lintasan terpendek dan selangsung
mungkin antara dua titik dalam ruang. Jika tidak demikian, ada kemungkinan
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
78
terdapat benda lain yang menempuh kedua titik tadi dalam selang waktu yang
lebih singkat, yang dengan demikian lebih cepat dari cahaya, dan hal ini
bertentangan dengan relativitas khusus. Jika berkas cahaya menempuh lintasan
lengkung sebagai lintasan terpendek antara dua titik dalam ruang, maka ruang itu
tentulah lengkung, serta penyebab kelengkungannya adalah medan gravitasi.
Karena medan gravitasi ditimbulkan oleh materi, diperoleh kesimpulan bahwa
kelengkungan ruang-waktu terjadi karena adanya penyebaran materi di dalam
ruang-waktu tersebut. Jika materi tersebut dilenyapkan, ruang-waktu menjadi
datar.
Lintasan terpendek yang menghubungkan dua buah titik dalam geometri
lengkung disebut geodesik. Dalam ruang datar, lintasan geodesiknya adalh garis
lurus, sedangkan pada permukaan bola, lintasannya berupa busur lingkaran besar.
Penegertian tersebut akan lebih mudah dipahami dengan contoh berikut. Sebuah
batu di atas bumi akan jatuh karena adanya tarikan gravitasi. Menurut Newton,
batu tersebut akan bergerak menuju pusat bumi. Tetapi, apakah benda tersebut
mengetahui letak pusat bumi ?
Ini merupakan masalah mendasar dari gerakan benda oleh pengaruh
gravitasi. Apa yang diterangkan menurut teori Newton bersifat spekulatif, batu
tersebut dianggap mengetahui kemana arah yang hendak dituju. Sementara
menurut Einstein, batu tersebut sama sekali tidak mengetahui dimana pusat bumi,
namun ia hanya mengikuti garis kelengkungan setempat dari ruang-waktu. Garis
itu ada dimana-mana seperti halnya garis gaya medan listrik yang ditimbulkan oleh
muatan listrik (Krane, 1992).
Dengan konsep yang baru, teori relativitas umum benar-benar memberikan
pandangan yang baru sama sekali mengenai ruang−waktu. Konsep bahwa ruangwaktu dapat melengkung jika di dalamnya terdapat materi massif memberikan
beberapa implikasi baru. Diantaranya, jika cahaya bintang melewati sebuah benda
langit massif seperti matahari, maka ramalan teori relativitas umum adalah cahaya
bintang tersebut akan dibelokkan di sekitar matahari tersebut. Membeloknya
cahaya bintang tersebut bukan disebabkan oleh tertariknya cahaya bintang karena
pengaruh gaya gravitasi bumi, melainkan ruang-waktu di sekitar matahari tersebut
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
79
melengkung. Jika bukan konsep teori relativitas umum yang digunakan, tetapi
konsep teori relativitas khusus dan gravitasi Newton, yang dalam hal ini cahaya
bintang dianggap memiliki massa yang sebanding dengan energinya, memang
penghitungan menunjukkan adanya pembelokan, namun sayangnya nilai
ramalannya hanya setengah dari ramalan teori relativitas umum. Pengamatan
astronomi menunjukkan bahwa ternyata ramalan teori relativitas umumlah yang
lebih sesuai.
Ramalan teori relativitas umum yang lain, bahwa orbit planet mengelilingi
matahari mengalami presesi. Lagi-lagi ramalan tersebut dibuktikan oleh
pengamatan. Selain itu teori relativitas umum juga menyajikan gagasan adanya
gelombang gravitasi (gravitational waves) yang muncul akibat terjadinya
pergerakan materi massif di dalam ruang-waktu. Cukup banyak orang yang
mencoba mengamati adanya gelombang gravitasi di jagad raya ini.
Salah satu implikasi yang cukup spektakuler adalah munculnya gagasan
lubang hitam (black hole) yang dibatasi oleh event horizon dimana segala
peristiwa yang terjadi di dalam event horizon tidak dapat diamati dari luar. Lubang
hitam adalah sebuah konsep matematik yang muncul dari solusi persamaan
gravitasi Einstein dengan memiliki sifat-sifat fisis tertentu. Karena itulah orang
berupaya untuk mencari, adakah lubang hitam di jagad raya ini.
Perkembangan lebih lanjut mengenai telaah lubang hitam diantaranya adalah
kajian tentang lubang putih (white hole). White hole adalah solusi lain dari
persamaan gravitasi Einstein, dimana sifat-sifatnya berlawanan dengan sifat-sifat
lubang hitam. Kalau pada lubang hitam, mater-materi di sekitarnya akan ditarik
masuk ke dalam, maka pada konsep lubang putih, materi-materi akan dilontarkan
keluar. Orang kemudian menciptakan gagasan bahwa lubang hitam dan lubang
putih disatukan melalui suatu kerongkongan (throat). Materi yang diserap oleh
lubang hitam akan dikeluarkan melalui lubang putih. Gabungan lubang hitam
dengan lubang putih tersebut dikenal dengan nama lubang ulat (worm hole).
Implikasi selanjutnya menghasilkan gagasan tentang time machine dan time travel
yang dilakukan dengan wahana lubang ulat.
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
80
Implikasi teori relativitas umum yang lain adalah mengenai jagad raya.
Solusi persamaan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya memberikan hasil-hasil
yang sama sekali tak terduga dari pandangan orang sebelumnya. Diantaranya
ternyata jagad raya bersifat dinamik, ia mengalami pengembangan (dan mungkin
saja mengalami pengerutan). Jika jagad raya mengalami pengembangan / ekspansi,
tentunya pada masa lalu ia berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Jikaterus ditarik
ke belakang, ada saat dimana jagad raya berukuran sangat kecil, bersuhu amat
tinggi dengan rapat energi amat tinggi. Analisis ini jika digabungkan dengan faktafakta dalam fisika partikel tentulah amat menantang. Menarik untuk dikaji,
bagaimana jagad raya pada masa lalu sebagai media untuk melakukan penciptaan
dan pemusnahan partikel yang biasanya dikaji dalam fisika partikel. Hal menarik
lain adalah bagaimana masa depan jagad raya di masa depan.
3.9
Hukum Gravitasi Einstein
Sebuah kenyataan yang mencolok : hukum Gravitasi Newton memiliki
bentuk yang mirip dengan hukum Coulomb dalam listrik. Dalam hukum Coulomb,
terdapat persamaan potensial listrik
∇ 2φ = −4πkρ (r )
(3.72)
dengan φ adalah skalar potensial listrik, k adalah tetapan dan ρ (r ) adalah rapat
muatan sumber. Analog dengan persamaan di atas, persamaan potensial medan
gravitasi Newton berbentuk
∇ 2φ = 4πGρ (r )
(3.73)
dengan G adalah tetapan gravitasi universal dan ρ (r ) adalah rapat massa sumber
medan gravitasi. Kedua persamaan di atas termasuk jenis persamaan Poisson.
Dengan digunakannya geometri Riemman, pers. (3.73) harus diubah dan
diperluas. Potensial gravitasi diperluas menjadi kelengkungan ruang-waktu yang
tertuang dalam tensor Einstein, yaitu
Gµν = Rµν − 12 g µν R .
(3.74)
Jika tetapan kosmologi Λ ingin diikutsertakan, persamaan tensor Einstein menjadi
Gµν = Rµν − 12 g µν R − Λg µν .
(3.75)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
81
Adapun rapat massa yang menimbulkan potensial medan gravitasi diperluas
menjadi tensor energi−momentum Tµν dengan rapat massa−energi termasuk salah
satu komponen di dalamnya.
Melihat bentuk pers. (3.73) yang menyatakan bahwa potensial medan
gravitasi sebanding dengan rapat massa sumber medan, maka dapat dilakukan
perluasan bahwa kelengkungan ruang−waktu sebanding pula dengan tensor
energi−momentum yang dirumuskan sebagai
Rµν − 12 g µν R = −κTµν .
(3.76)
Persamaan di atas menampilkan hukum gravitasi Einstein dengan κ berupa suatu
tetapan positif yang ada hubungannya dengan G. Dua bentuk variasi persamaan
tersebut adalah
Rνµ − 12 δνµ R = −κTνµ
(3.77)
R µν − 12 g µν R = −κT µν .
(3.78)
dan
Secara berturut-turut, kedua persamaan terakhir di atas disajikan dalam bentuk
persamaan tensor campuran dan kontravarian. Jika dilakukan kontraksi terhadap
pers. (3.77), diperoleh
R = κT
(3.79)
sehingga hukum gravitasi Einstein dapat dibawa ke bentuk
Rµν = κ ( 12 g µν T − Tµν ) .
(3.80)
Jika tetapan kosmologi diikutsertakan, bentuk persamaan gravitasi Einstein yang
termodifikasi adalah
Rµν − 12 g µν R − Λg µν = −κTµν .
(3.81)
Salah satu keunggulan teori relativitas umum adalah teori yang kovarian ini
akan tereduksi menjadi hukum gravitasi Newton pada medan gravitasi lemah. Sifat
ini dikenal sebagai asas korespondensi. Dalam ruang-waktu yang berisi medan
gravitasi, geometri yang digunakan adalah geometri Riemann, sedangkan dalam
ruang-waktu tanpa medan gravitasi, geometri yang digunakan adalah geometri
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
82
Euclid. Pada ruang Euclid, metrik ruang-waktu diberikan oleh metrik Minkowski
yang dirumuskan sebagai
ds 2 = η µν dx µ dxν = −dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 .
(3.82)
Karena itu dalam medan gravitasi lemah, metrik ruang-waktu yang digunakan
tidak berbeda jauh dari metrik di atas. Tensor metrik g µν dalam medan gravitasi
lemah dapat didekati dengan bentuk
g µν = η µν + hµν
(3.83)
dengan η µν adalah tensor metrik Minkowski dan hµν kecil ( << 1).
Ditinjau sebuah partikel yang bergerak dalam medan gravitasi lemah, dengan
tensor metrik diberikan oleh persamaan di atas. Partikel tersebut dalam ruangwaktu menempuh lintasan yang dinamakan sebagai lintasan geodesik. Persamaan
geodesik lintasan tersebut dirumuskan sebagai
α
β
d 2 xµ
µ dx dx
+
Γ
= 0.
αβ
ds ds
ds 2
(3.84)
Melalui kaitan
ds 2 = −dτ 2
(3.85)
persamaan di atas menjadi
α
β
d 2xµ
µ dx dx
+
Γ
=0
αβ
dτ dτ
dτ 2
(3.86)
Dengan mengisikan α = β = 0 diperoleh
d 2xµ
µ  dt 
+ Γ00
  = 0.
2
dτ
 dτ 
2
(3.87)
Karena medan tersebut bersifat stasioner, seluruh turunan g µν terhadap
lenyap, sehingga
µ
Γ00
= − 12 g µν ∂ν h00 .
(3.88)
Dengan demikian persamaan (3.87) di atas dapat dipecahkan menjadi dua
persamaan berikut :
2
d 2 x 1  dt 
=   ∇h00
dτ 2 2  dτ 
(3.89)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
83
dan
d 2t
= 0.
dτ 2
(3.90)
Pers. (3.90) menyatakan bahwa dt / dτ bernilai konstan. Dengan membagi kedua
ruas pers. (3.89) dengan ( dt / dτ ) 2 , diperoleh percepatan gerak benda
d 2x 1
= ∇h00 .
dt 2 2
(3.91)
Di sisi lain, jika φ adalah potensial gravitasi Newton pada jarak r dari titik
massa M yang besarnya
φ =−
GM
r
(3.92)
maka percepatan benda itu sama dengan − ∇φ . Dihubungkan dengan pers. (3.91),
diperoleh hasil
h00 = − 2φ + tetapan.
(3.93)
Pada tempat yang jauh dari sumber medan gravitasi, sistem koordinatnya
menjadi sistem koordinat Minkowski, sehingga h00 lenyap. Demikian pula dengan
φ sebagaimana pers. (3.92) sehingga tetapan di atas bernilai nol. Akhirnya
diperoleh
g 00 = −(1 + 2φ )
(3.94)
sedangkan pasangan kontravariannya adalah
g 00 = −(1 + 2φ ) −1 .
(3.95)
Selanjutnya hukum gravitasi Einstein akan direduksi ke hukum gravitasi
Newton pada kasus normal dimana intensitas medan gravitasi bernilai lemah dan
distribusi materi bersifat statik. Pereduksian ini akan menghasilkan hubungan
antara κ (gravitasi Einstein) dan G (gravitasi Newton).
Ditinjau bentuk tensor Riemann-Christoffel dalam medan lemah. Tensor
metrik diberikan oleh pers. (3.83). Nilai lambang Christoffel jenis kedua adalah
 ∂g βµ ∂gνβ ∂g µν
α
Γµν
= 12 g αβ  ν + µ − β
∂x
∂x
 ∂x
 1 αβ  ∂hβµ ∂hνβ ∂hµν
 = 2 η  ν + µ − β
∂x
∂x

 ∂x

 .

(3.96)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
84
Jika nilai perkalian hµν diabaikan, nilai tensor Ricci untuk µ = µ = 0 bernilai
ν
R00 = ∂ 0 Γ0νν − ∂ν Γ00

 ∂hβ 0 ∂hνβ ∂h
= ∂ 0  12 ηνβ  ν + 0 − 0βν
∂x
∂x
 ∂x


∂h

 ∂h
∂h  
  − ∂ν  12 ηνβ  β00 + 00β − 00



∂x
∂x β  

 ∂x

(
)
= 12 ηνβ ∂ 0 ∂ 0 hνβ + ∂ν ∂ β h00 − ∂ 0 ∂ β h0ν − ∂ 0 ∂ν h0 β .
(3.97)
Jika distribusi materi bersifat statis maka hµν bukan fungsi t atau
∂ 0 hµν = 0
(3.98)
sehingga pers. (3.97) menjadi
R00 = 12 ηνβ ∂ν ∂ β h00 =
1
2
(η
)
∂1∂1 + η 22∂ 2 ∂ 2 + η 33∂ 3∂ 3 h00 =
11
1
2
∇ 2 h00
(3.99)
dengan
∇2 =
∂2
∂2
∂2
+
+
.
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
(3.100)
Dengan menggunakan pers. (3.73) dan (3.93), pers. (3.99) menjadi
R00 = −∇ 2φ = −4πGρ .
(3.101)
Tensor energi-momentum fluida sempurna dirumuskan sebagai
Tµν = ( ρ + p )VµVν + g µν p
(3.102)
Karena distribusi materi bersifat statik (dapat dianggap sebagai kumpulan
debu / dust ) materi tersebut tidak memiliki tekanan internal p sehingga pers.
(3.102) tereduksi ke bentuk
Tµν = ρVµVν .
(3.103)
Selain itu vektor kecepatan−4 adalah
Vµ = (−1,0)
(3.104)
sehingga seluruh komponen Tµν lenyap kecuali T00 = ρ . Skalar T dapat dihitung
dengan perkalian dalam antara tensor metrik kontravarian dengan tensor energimomentum kovarian untuk dust sebagai
T = g µν Tµν = g 00T00 = −
ρ
1 + 2φ
.
(3.105)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
85
Dengan menggunakan pers. (3.80), nilai R00 adalah

ρ
R00 = κ (12 g 00T − T00 ) = κ  12 . − (1 + 2φ ). −
1 + 2φ


− ρ  = − 12 κρ

(3.106)
Dihubungkan dengan pers. (3.101), akhirnya diperoleh
κ = 8πG
(3.107)
sehingga persamaan gravitasi Einstein (3.76) menjadi
Rµν − 12 g µν R = −8πGTµν
(3.108)
Adapun persamaan gravitasi Einstein dengan hadirnya tetapan kosmologi
dirumuskan sebagai
Rµν − 12 g µν R − g µν Λ = −8πGTµν .
(3.109)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
86
Soal-Soal Latihan BAB III
1.
Uraikan perbandingan antara Teori Relativitas Khusus dan Umum Einstein.
2.
Dalam kerangka K berdimensi dua dengan koordinat x1 = x dan x 2 = y ,
sebuah tensor T αβ memiliki komponen
T 11 = −T 22 = 1 dan T 12 = T 21 = 0 .
~
Jika pada kerangka K yang berkoordinat
~
x1 = ~
x = x + y dan ~
x 2 = ~y = x − y ,
~
tensor tersebut adalah T µν maka
(a)
~
Tuliskan kaedah transformasi antara T αβ dan T µν .
(b)
~
Carilah seluruh nilai komponen T µν .
(c)
Jika metrik di K adalah
ds 2 = dx 2 − dy 2 ,
tuliskan tensor metrik di K, kemudian carilah seluruh komponen Tαβ .
(d)
3.
~
carilah metrik dan tensor metrik di K , tuliskan kaedah transformasi
~
~
antara Tαβ dengan Tµν , serta tentukan seluruh komponen Tµν .
Metrik permukaan bola dua dimensi berjari-jari 1 dengan koordinat
x µ = (θ , φ ) dirumuskan sebagai
ds 2 = dθ 2 + sin 2 dφ 2 .
Tunjukkan bahwa R12 = R21 = 0 . Gunakan persamaan geodesik untuk
menentukan lintasan terpendek antara titik (θ 1 , φ1 ) dan (θ 2 , φ 2 ) .
4.
Metrik ruang-waktu dalam suatu daerah ruang kosong tertentu diberikan
oleh
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
87
ds 2 = eα (dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − e β dt 2
dengan α , β adalah hanya fungsi z . Tunjukkan bahwa persamaan gravitasi
Einstein memberikan
2α ' '+α ' 2 +α ' β ' = 0 ,
4α ' '+2 β ' '+ β ' 2 −α ' β ' = 0 ,
2 β ' '+ β ' 2 +α ' β ' = 0 .
Tanda ‘ menunjukkan turunan ke z. Tunjukkan bahwa
eα = A(k − z ) 4
dan
e β = B(k − z ) −2
dengan A, B dan k tetapan.
5.
Tunjukkan bahwa persamaan Einstein dapat dituliskan dalam bentuk
R µν + Λg µν = κ ( 12 Tg µν − T µν ) .
6.
Di dalam suatu bola cairan homogen bergravitasi statik, rapat massa pribadi
adalah ρ (tetapan) dan tekanan p. Komponen tensor energi−momentum
lenyap kecuali untuk
T11 = T22 = T33 = p , T44 = − ρ c 2 .
Diasumsikan bahwa metrik medan gravitasi di dalam bola tersebut diberikan
oleh persamaan
ds 2 = a dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − b c 2 dt 2
dengan a = exp α dan b = exp β . Tunjukkan bahwa solusi persamaan
Einstein memberikan
d
[r (1 − exp(−α ))] = κ c 2 ρ r 2 ,
dr
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
88
dβ exp α − 1
=
+ κrp exp α ,
dr
r
d 2β
dr 2
+
2
1  dβ 
1 dα dβ 2 dα
−
= κ ( p − c 2 ρ ) exp α .

 −
2  dr 
2 dr dr r dr
Asumsikan α = 0 untuk r = 0 dan p = 0 untuk r = a (permukaan bola),
kemudian tunjukkan bahwa
exp(−α ) = 1 − q r 2
dengan
q = κ c2 ρ / 3
dan
p=c ρ
2
7.
1 − qr 2 − 1 − qa 2
3 1 − qa 2 − 1 − qr 2
.
Sebuah atom yang stasioner pada suatu jarak koordinat Schwarzschild r dari
pusat ), memancarkan cahaya berfrekuensi ν yang diamati oleh seorang
pengamat stasioner pada koordinat R (> r) dari pusat O. Tunjukkan bahwa
frekuensi yang diamati adalah ν − δν dengan
1
r
δν / ν = m −
1

R
sampai dengan orde pertama dalam m.
8.
Diketahui Aij adalah suatu tensor kovarian. Jika Bij = A ji , tunjukkan bahwa
Bij juga suatu tensor kovarian.
9.
Di kerangka K dengan koordinat x µ = ( s, t ) terdapat suatu vektor A µ
dengan komponen
A1 = 1 dan A 2 = 2.
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
89
Terdapat kerangka K’ dengan koordinat x' µ = (u , v) dimana hubungan
antara koordinat-koordinat tersebut adalah
u = s + t dan v = s − t .
Jika di K’ terdapat vektor A' µ , carilah komponen vektor tersebut.
10.
Jika Ai adalah sebuah vektor kovarian, tunjukkan bahwa
Bij = ∂Ai / ∂x j − ∂A j / ∂x i
tertansformasi seperti sebuah tensor kovarian.
11.
Dengan mendiferensialkan persamaan
g ij g jk = δ ki
terhadap x i , tunjukkan bahwa berlaku hubungan
∂g im
∂x l
= − g mk g ij
∂g jk
∂x l
,
serta tunjukkan pula berlakunya
∂g im
m
 i 
+ g ij   + g mj   = 0 .
∂x l
 j l
 j l
12.
Jika θ dan φ adalah sudut azimut dan sudut polar pada permukaan
lingkaran dengan jari-jari 1, diperoleh metrik
ds 2 = dθ 2 + sin 2 θ dφ 2
untuk permukaan tersebut. Tunjukkan bahwa lambang Christoffel yang tak
lenyap adalah
θ 
  = − sin θ cos θ
φ φ 
dan
φ  φ 
  =   = cot θ .
θ φ  φ θ 
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
90
Tunjukkan bahwa komponen tensor Ricci diberikan oleh
Rθφ = Rφθ = 0 , Rθθ = −1 , Rφφ = − sin 2 θ .
Tunjukkan pula bahwa skalar kelengkungan diberikan oleh R = −2.
13.
( x, y ) adalah koordinat Kartesan dan (r , θ ) adalah koordinat polar pada
sebuah bidang Euclidean. Aij adalah sebuah medan tensor simetrik yang
didefinisikan di dalam bidang tersebut melalui komponen-komponennya
yaitu
Axx = A yy = 0 , Axy = A yx = x / y + y / x .
Tunjukkan bahwa komponen kutub kontravarian dari medan tensor tersebut
dinyatakan dalam variabel r dan θ adalah
A rr = 2 , A rθ = Aθ r = (2 cot 2θ ) / r , Aθθ = −2 / r 2 .
14.
x, y, z adalah koordinat Kartesan datar dalam ruang tiga dimensi. Persamaan
parametrik untuk parabolida hiperbolik diberikan dalam bentuk x = u + v ,
y=u −v,
z = uv . Sebuah medan tensor kovarian pada permukaan
parabolida hiperbolik tersebut memiliki komponen
Auu = u 2 , Auv = Avu = −uv , Avv = v 2 .
Tunjukkan bahwa komponen kontravarian medan tensor tersebut bernilai
seperempat dari komponen kovarian masing-masing.
15.
x, y adalah koordinat Kartesan datar pada bidang Euclidean. u , v adalah
koordinat kurvilinear yang didefinisikan oleh
x = a cosh u cos v , y = a sinh u sin v .
Sebuah vektor kovarian memiliki komponen Ax , A y pada titik ( x, y ) dan
komponen kurvilinear Au , Av . Tunjukkan bahwa
Ax =
2( Au sinh u cos v − Av cosh u sin v)
.
a(cosh 2u − cos 2v)
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
91
16.
x, y adalah koordinat Kartesan datar pada bidang Euclidean. Koordinat
kuvilinear u, v didefinisikan melalui persamaan transformasi
u = 12 ( x 2 − y 2 ) , v = xy .
Tunjukkan bahwa metrik dalam kerangka uv adalah
ds 2 =
du 2 + dv 2
2 u +v
2
.
2
Sebuah vektor kovarian memiliki komponen Kartesan ( Ax , A y ) dan
komponen kurvilinear ( Au , Av ) . Tunjukkan bahwa
Au =
xAx − yA y
x2 + y2
serta carilah perumusan untuk Av .
17.
Pada permukaan bola beruji satu dengan θ dan φ adalah koordinat azimut
dan kutub, tunjukkan bahwa geodesik permukaan bola memiliki bentuk
tan θ = tan α sin(φ + β )
dengan α , β adalah tetapan sembarang.
18.
Diberikan ruang-waktu yang memiliki metrik
ds 2 = dx 2 + dy 2 + e 2θ dz 2 − e 2φ dt 2
dengan θ , φ adalah fungsi z saja. Tunjukkan bahwa tensor RiemannChristoffel lenyap, jika dan hanya jika
d 2φ
dz 2
−
2
dφ dθ  dφ 
+   = 0.
dz dz  dz 
Jika φ = −θ , tunjukkan bahwa ruang−waktu tersebut bersifat datar jika
φ = 12 ln(a + bz ) ,
dengan a dan b tetapan.
__________________________________________________________________
Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
92
19.
Jika ruang−waktu memiliki metrik
ds 2 = e λ (dr 2 + dz 2 ) + r 2 e − ρ dφ 2 − e ρ dt 2
dengan λ , ρ adalah fungsi r dan z saja, tunjukkan bahwa persamaan medan
gravitasi Einstein dalam ruang kosong Rij = 0 mempersyaratkan bahwa λ
dan ρ memenuhi persamaan
2
2
∂λ ∂ρ r  ∂ρ 
 ∂ρ  
+
=   −    ,
∂r ∂r 2  ∂r 
 ∂z  

∂ρ ∂ρ
∂λ ∂ρ
+
=r
,
∂r ∂z
∂z ∂z
∂2ρ
∂r
∂ 2λ
∂r 2
20.
+
∂ 2λ
∂z 2
+
2
∂2ρ
∂r 2
+
+
∂2ρ
∂z
2
∂2ρ
∂z 2
+
1 ∂ρ
= 0,
r ∂r
+
1  ∂ρ 
 ∂ρ 
  +  
2  ∂r 
 ∂z 

2
2
 = 0.

Suatu ruang dua dimensi memiliki metrik
ds 2 = g11 (dx1 ) 2 + g 22 (dx 2 ) 2
dengan g11 dan g 22 merupakan fungsi x1 dan x 2 .
Carilah nilai R11 , R12 , R21 , R22 .
Jika
R = g ij Rij ,
tunjukkan bahwa
Rij = 12 Rg ij .
__________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
93
BAB IV
PENERAPAN TEORI RELATIVITAS UMUM
Telah diturunkan persamaan gravitasi Einstein dengan pengabaian tetapan
kosmologi yang dirumuskan sebagai
Rµν − 12 g µν R = −(8πG / c 4 ) Tµν
(4.1)
Selanjutnya persamaan tersebut akan diterapkan untuk menelaah beberapa gejala
alam. Pertama kali akan diturunkan solusi persamaan gravitasi Einstein untuk
objek statik bermassa M yang diletakkan pada pusat koordinat dengan pemilihan
koordinat empat dimensi berupa 3 dimensi koordinat ruang polar (r ,θ ,φ ) dan satu
dimensi koordinat waktu (t). yang nantinya dikenal solusi Schwarzschild.
4.1
Penyelesaian Schwarzschild
Berikut ini akan diturunkan metrik yang mendeskripsikan medan gravitasi
isotropik statik. Agar lebih mudah diperoleh, metrik ruang−waktu 4 dimensi (3
dimensi ruang dan 1 dimensi waktu) akan dirumuskan dalam wakilan koordinat
bola. Dalam koordinat bola, 3 koordinatnya adalah
x m = ( x1 , x 2 , x 3 ) = (r ,θ ,φ ) .
(4.2)
Metrik ruang−waktu datar dalam wakilan koordinat bola diberikan oleh
ds 2 = −c 2 dt 2 + dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) .
(4.3)
Mengikuti penulisan Weinberg (1972), nilai c sementara diisikan sama dengan 1
sehingga metrik di atas menjadi
ds 2 = − dt 2 + dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
(4.4)
Selanjutnya akan ditinjau metrik untuk medan gravitasi isotropik statik.
Tensor metrik untuk medan tersebut, yang dalam hal ini untuk komponen g tt dan
g rr hanya merupakan fungsi radial r. Bentuk metriknya menjadi
ds 2 = − B (r ) dt 2 + A(r ) dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
(4.5)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
94
dimana metrik di atas akan kembali ke metrik Minkowski jika sumber medan
gravitasi dilenyapkan. Dari metrik di atas, komponen tensor metrik kovarian yang
tak lenyap adalah
g tt = − B(r ) , g rr = A(r ), gθθ = r 2 , gφφ = r 2 sin 2 θ
(4.6)
dengan fungsi A(r ) dan B (r ) ingin dicari untuk dapat menyelesaikan persamaan
medan gravitasi. Mengingat g µν bersifat diagonal, komponen tensor metrik
kontravarian bernilai
g tt = −
1
1
1
1
, g rr =
, g θθ = 2 , g φφ = 2 2 .
B(r )
A(r )
r
r sin θ
(4.7)
Selanjutnya determinan matriks yang menyajikan komponen tensor metrik adalah
g yang bernilai
g = − A(r ) B (r )r 4 sin 2 θ
(4.8)
sehingga elemen volume invarian adalah
dV = g dr dθ dφ = A(r ) B(r ) r 2 sin θ dr dθ dφ .
(4.9)
Hubungan affine (affine connection) atau lambang Christoffel dapat
dihitung dengan menggunakan formula
 ∂g ρµ ∂gνρ ∂g µν
λ
Γµν
= 12 g λρ  ν + µ − ρ
∂x
∂x
 ∂x

 .

(4.10)
Dengan rumus di atas dan metrik yang diberikan oleh pers. (4.6) dan (4.7),
komponen-komponen lambang Christoffel yang tak lenyap bernilai
Γrrr =
1 dA(r )
,
2 A(r ) dr
r
Γθθ
=−
r
,
A(r )
r sin 2 θ
Γφφ = −
,
A(r )
r
Γttr =
1 dB (r )
,
2 A(r ) dr
1
Γrθθ = Γθθ r = Γφφ r = Γrφφ = ,
r
(4.11)
(4.12)
(4.13)
(4.14)
(4.15)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
95
θ
Γφφ
= − sin θ cos θ ,
(4.16)
φ
φ
Γφθ
= Γθφ
= cot θ ,
(4.17)
dan
Γtrt = Γrtt =
1 dB(r )
.
2 B(r ) dr
(4.18)
Lebih lanjut, dibutuhkan besaran tensor Ricci yang dirumuskan sebagai
Rµκ =
λ
∂Γµλ
∂xκ
−
λ
∂Γµκ
∂x λ
η λ
η η
+ Γµλ
Γκη − Γµκ
Γλη .
(4.19)
Dari lambang-lambang Christoffel di atas, komponen-komponen tensor Ricci
diberikan sebagai
Rrr =
B' ' (r ) 1 B' (r )  A' (r ) B' (r )  1 A' (r )

−
−
+
,
2 B(r ) 4 B(r )  A(r ) B (r )  r A(r )
(4.20)
1 r  A' (r ) B' (r ) 
1
 −
 +
+
,
2 A(r )  A(r ) B(r )  A(r )
(4.21)
Rθθ = −1 +
Rφφ = Rθθ sin 2 θ ,
Rtt = −
B' ' (r ) 1 B' (r )  A' (r ) B' (r )  1 B' (r )

−
+
+
,
2 A(r ) 4 A(r )  A(r ) B(r )  r A(r )
(4.22)
(4.23)
dan
Rµν = 0 untuk µ ≠ ν.
(4.24)
Pada persamaan –persamaan di atas, tanda aksen berarti turunan / derivatif
ke r. Dari hasil di atas, komponen Rrθ , Rrφ , Rtθ , Rtφ dan Rθφ lenyap, serta
Rφφ = Rθθ sin 2 θ
yang menunjukkan konsekuensi dari invariansi terhadap
transformasi rotasi pada metrik tersebut. Sementara itu Rrt lenyap akibat
konsekuensi adanya invariansi bentuk metrik ketika dilakukan transformasi
pembalikan waktu t → −t .
Selanjutnya persamaan medan gravitasi Einstein akan diterapkan untuk
metrik isotropik statik tersebut. Persamaan medan gravitasi Einstein untuk ruang
kosong tersebut berbentuk
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
96
Rµν = 0 .
(4.25)
Dari pers. (4.20) dan (4.23), hubungan antara Rrr dan Rtt dapat ditulis menjadi
Rrr Rtt
1  A' B ' 
+
= −  + .
A
B
rA  A B 
(4.26)
Dengan menerapkan pers. (4.25), persamaan di atas menjadi
A'
B'
=−
A
B
(4.27)
A(r ) B (r ) = konstan.
(4.28)
atau
Selanjutnya syarat batas untuk A dan B adalah bahwa untuk r → ∞ , bentuk
metrik isotropik statik tersebut harus kembali ke bentuk metrik Minkowski dalam
koordinat bola, yang berarti
lim A(r ) = lim B (r ) = 1.
r→∞
r→∞
(4.29)
Dengan syarat batas ini hubungan antara A(r ) dan B (r ) dapat dituliskan secara
lebih eksplisit dalam bentuk
A(r ) =
1
.
B(r )
(4.30)
Adapun komponen tensor Ricci yang lain pada pers. (4.20) − (4.21) dapat
dituliskan menjadi
Rθθ = −1 + B ' (r )r + B (r )
(4.31)
dan
Rrr =
B ' ' B ' Rθθ '
+
=
2 B rB 2rB
(4.32)
yang dengan mengingat bahwa Rθθ = 0 maka
rB ' + B =
d
(rB ) = 1 .
dr
(4.33)
Solusi persamaan diferensial di atas adalah
rB (r ) = r + tetapan.
(4.34)
Untuk menentukan nilai tetapan integrasi di atas, kita ingat bahwa untuk jarak
yang cukup jauh dari pusat massa M yang terletak di pusat koordinat O,
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
97
komponen g tt = − B harus bernilai mendekati − (1 + 2 U ) dengan U adalah
potensial Newtonian benda bermassa M pada jarak r yang bernilai U = −GM / r.
Jadi nilai tetapan integrasi di atas adalah −2GM, sehingga
 2GM 
B ( r ) = 1 −

r 

(4.35)
dan
−1
 2GM 
A(r ) = 1 −
 .
r 

(4.36)
Akhirnya bentuk metrik isotropik statik untuk ruang−waktu 4 dimensi
berkoordinat bola adalah
−1
 2GM  2  2GM 
2
2
2
2
2
ds = −1 −
dt + 1 −
 dr + r (dθ + sin θ dφ ) .
r
r




2
(4.37)
Bentuk metrik ini pertama kali diturunkan oleh K. Schwarzschild pada tahun
1916. Karena itu, metrik ini sering disebut metrik Schwarzschild. Bentuk metrik
tersebut masih mengisikan nilai c = 1. Apabila nilai c diisikan, bentuk metrik
Schwarzschild menjadi
−1
 2GM 
 2GM 
ds = −1 − 2 c 2 dt 2 + 1 − 2  dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . (4.38)
c r 
c r 


2
Bentuk 2GM / c 2 sering disingkat menjadi m (bersatuan panjang), sehingga
metrik di atas menjadi
−1
 2m  2 2  2 m 
2
2
2
2
2
ds = −1 −
c dt + 1 −
 dr + r (dθ + sin θ dφ )
r 
r 


2
(4.39)
Metrik Schwarzschild ini bersifat simetri bola dan merepresentasikan medan
gravitasi di luar suatu partikel bersimetri bola dengan pusat partikel terletak pada
pusat koordinat bola (r ,θ ,φ ) .
Dari pers. (4.39) tampak bahwa metrik tersebut tidak valid untuk
r = 2m =
2GM
c2
(4.40)
Jarak tersebut dinamakan radius Schwarzschild. Dalam satuan SI, c = 3 × 108 dan
untuk bumi, GM = 3,991 × 1014, sehingga radius Schwarzschild untuk partikel
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
98
bumi adalah sekitar 9 mm, karena itu tidak ada persoalan jika metrik ini
diterapkan untuk bumi. Namun ada keadaan tertentu jika radius Schwarzschild
cukup besar, untuk mana hal ini terjadi jika M bernilai cukup besar, sementara ruji
partikel tersebut cukup kecil, hal mana yang dapat terjadi pada lubang hitam
(black holes) . Penggambaran radius Schwarzschild dalam lubang hitam dapat
dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1
lubang hitam Schwarzschild bermassa M beradius rS
Metrik Schwarzschild dapat dinyatakan dalam bentuk “isotropik”, yaitu
dengan mengenalkan variabel koordinat radial baru :
(
ρ = 12 r − m + r 2 − 2mr
)
(4.41)
atau transformasi baliknya adalah
2

m 
 .
r = ρ 1 +
 2ρ 
(4.42)
Substitusi bentuk di atas ke dalam metrik Schwarzschild akan memberikan
2
4
(
)
m
 1 − m / 2r  2 2 
2
2
2
2
2
ds 2 = −
 c dt + 1 +  dρ + ρ (dθ + sin φ dθ ) .
 1 + m / 2r 
 2r 
(4.43)
Dapat pula dibentuk koordinat harmonik
X 1 = R sin θ cos φ
(4.44)
X 2 = R sin θ sin φ
(4.45)
X 3 = R cos θ
(4.46)
t=t
(4.47)
dan
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
99
dengan
R =r −m
(4.48)
yang menghasilkan metrik
(
)
2
2
1− m / R  2 2  m  2 1+ m / R  m 2
ds 2 = −
c
dt
+
1
+
d
X
+




 4 X ⋅ dX
R

1− m / R  R
1+ m / R 
(4.49)
dengan
R 2 = X2 .
(4.50)
Metrik Schwarzschild dapat juga dinyatakan dalam bentuk koordinat kuasiMinkowski dengan mendefinisikan
x1 = r sin θ cos φ
(4.51)
x 2 = r sin θ sin φ
(4.52)
x 3 = r cos θ
(4.53)
t
(4.54)
dan
=t
sehingga diperoleh
−1
 (x ⋅ dx ) 2
2  2m 
 2m  2 2
+
+
−
−
.
ds 2 = −1 −
c
dt
d
x
1
1




2
r 
r 


 r
(4.55)
Adapun jika dilakukan transformasi
u =v+
2 3/ 2
r
3a
(4.56)
dan
 r +a

v = t + 2a r − a 2 ln

 r −a
(4.57)
dihasilkan metrik
µ2
4
ds = − dv +
du 2 + µ 2 (u − v) 4 / 3 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
2/3
9 (u − v)
2
2
(4.58)
dengan
a 2 = 2m
(4.59)
dan
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
100
µ3 =
4.2
9a 2
.
4
(4.60)
Presesi Orbit Planet
Ditinjau partikel-partikel berupa planet-planet yang bergerak mengelilingi
matahari. Di sini dipilih koordinat bola dengan matahari diletakkan pada pusat
koordinat. Materi matahari tersebut menyebabkan ruang-waktu di sekitarnya
menjadi ruang-waktu bermetrik Schwarzschild. Tentu saja massa planet yang
mengelilingi matahari memberikan sumbangan perubahan metrik, namun
mengingat massa total planet jauh lebih kecil daripada massa matahari,
sumbangan tersebut dapat diabaikan. Dengan demikian sistem yang ditinjau
adalah partikel planet bergerak mengelilingi matahari dengan menempuh lintasan
geodesik.
Metrik Schwarzschild dapat diubah bentuknya menjadi
2
 2m  2 1  dr
2
2
2
2 
dτ 2 = 1 −
dt
−
+
r
(
d
θ
+
sin
θ
d
φ
) 

r 
c 2  1 − 2m / r


(4.61)
dengan koordinat-4 tetap berbentuk
x µ = ( x 0 , x m ) = (ct , r ,θ ,φ ) .
(4.62)
Dengan menggunakan persamaan geodesik berikut (Lawden, 1982)
d
dτ

dx β  ∂g µν dx µ dxν
 2 gαβ
− α

 ∂x dτ dτ = 0 ,
d
τ


(4.63)
diperoleh set persamaan geodesik sebagai berikut
d
dτ
m
mc 2  dt 
 r dr 
 dr 
 dθ 
2  dφ 
θ
−
−
r
sin
+
r

+






  =0
r 2  dτ 
 r − 2m dτ  (r − 2m) 2  dτ 
 dτ 
 dτ 
2
2
2
2
(4.64)
d  2 dθ  2
 dφ 
r
 − r sin θ cosθ   = 0
dτ  dτ 
 dτ 
(4.65)
d  2 2 dφ 
 r sin θ
=0
dτ 
dτ 
(4.66)
2
dan
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
101
d  r − 2m dt 

=0.
dτ  r dτ 
(4.67)
Bentuk metrik Schwarzschild (4.61) dapat dituliskan menjadi
2
2
2
2

r  dr 
c 2 (r − 2m)  dt 
2  dθ 
2  dφ 
2
+
r
+
sin
−
θ


 


 
  = −c .
r − 2 m  dτ 
r
 dτ  
 dτ 
 dτ 
(4.68)
Selanjutnya dipilih koordinat bola sedemikian sehingga planet tersebut
bergerak pada bidang planar atau
θ =π /2.
(4.69)
dθ
=0
dτ
(4.70)
Maka
dan dari integrasi pers. (4.66) dan (4.67) serta mengisikan θ = π / 2 , diperoleh
dφ
h
= 2
dτ r
(4.71)
dt
kr
=
dτ r − 2 m
(4.72)
dan
dengan h dan k adalah tetapan integrasi.
Substitusi dθ / dτ dan dt / dτ dari dua persamaan terakhir di atas, serta
mengisikan θ = π / 2 ke pers. (4.68), selanjutnya dihasilkan
2
2
2mc 2
 dr  h
2
2
.
  + 3 (r − 2m) = c (k − 1) +
r
r
 dτ 
(4.73)
Selanjutnya dengan mengeliminasi dτ dari persamaan di atas dan pers. (4.71)
didapat persamaan orbit planet dalam bentuk
2
 h dr  h 2
2mc 2 2mh 2
 2
 + 2 = c 2 (k 2 − 1) +
+ 3
r
r
r
 r dφ 
(4.74)
Dengan substitusi
1
u= ,
r
(4.75)
bentuk di atas berubah menjadi
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
102
2
 du 
c2
2mc 2
  + u 2 = 2 (k 2 − 1) + 2 u + 2mu 3 .
h
h
 dφ 
(4.76)
Dengan menurunkan persamaan terakhir di atas ke φ , akhirnya dihasilkan
persamaan orbit planet mengelilingi matahari bermassa M dalam bentuk
d 2u
mc 2
+ u = 2 + 3mu 2 .
2
dφ
h
(4.77)
Sementara itu dalam mekanika klasik, persamaan orbit planet menurut
mekanika Newton adalah
d 2u
GM
+u = 2
2
dφ
h
(4.78)
dengan M adalah massa matahari dan h adalah momentum sudut konstan
persatuan massa partikel planet yang dirumuskan sebagai
r2
dφ
= h.
dt
(4.79)
Jika variabel waktu t dalam mekanika klasik bersesuaian dengan swawaktu
(proper time) τ dalam teori relativitas, pers. (4.71) dan (4.79) menjadi identik dan
pemilihan nilai h yang terdapat dalam pers. (4.71) dapat diterima. Selanjutnya
juga diperoleh
m=
GM
c2
(4.80)
hal mana yang juga telah diperoleh sebelumnya dari pers. (40). Pers. (4.77) yang
diperoleh secara relativistik ternyata bersesuaian dengan hasil dari mekanika
klasik [pers. (4.78)] dengan adanya suku tambahan sebesar 3mu 2 . Perbandingan
antara suku tambahan ini yang sebesar 3mu 2 dengan bentuk awal dalam
mekanika klasik yang sebesar mc 2 / h 2 adalah
3h 2 c 2
3
= 2 r 2φɺ 2 .
2
c
c
(4.81)
Faktor rφɺ adalah komponen transversal kecepatan planet, dan untuk planet-planet
yang terdapat dalam tata surya, nilai terbesar dimiliki oleh planet Merkurius, yaitu
sebesar 4,8 × 10 4 m/s. Mengingat c = 3 × 108 m/s, nilai perbandingan di atas
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
103
untuk planet Merkurius adalah 7,7 ×10 −8 . Nilai ini sangat kecil, namun efek ini
bersifat akumulatif sehingga untuk rentang waktu yang cukup panjang, perubahan
nilai dapat diamati secara signifikan.
Penyelesaian untuk persamaan klasik (4.78) adalah
u=
µ
h2
{1 + e cos(φ − ω )}
(4.82)
dengan e = eksentrisitas orbit dan ω = longitude perihelion.
Dari solusi klasik tersebut, suku tambahan relativistik bernilai
3mu 2 =
3mµ 2
{1 + e cos(φ − ω )}2 .
4
h
(4.83)
Pers. (4.77) dapat dituliskan menjadi
µ 3mµ 2
d 2u
+ u = 2 + 4 {1 + e cos(φ − ω )}2 .
2
dφ
h
h
(4.84)
Dengan adanya suku tambahan yang telah diisikan di atas, diperoleh penyelesaian
yaitu penyelesaian mula-mula yang berbentuk pers. (4.83) ditambah dengan
penyelesaian khusus yang berbentuk
[
]
3mµ 2
1 + 12 e 2 − 16 e 2 cos 2(φ − ω ) + eφ sin(φ − ω ) .
h4
(4.85)
Dengan menjumlahkan penyelesaian di atas ke dalam penyelesaian pers. (4.82)
akan diperoleh
u=
=
µ 
3mµe

φ
ω
φ sin(φ − ω )
1
+
e
cos(
−
)
+
2 
2
h 
h

µ
h2
(4.86)
[1 + e cos(φ − ω − δω )]
dengan
δω =
3mµφ
h2
(4.87)
untuk mana suku berorde O(δω 2 ) telah diabaikan.
Persamaan di atas mengindikasikan bahwa longitude perihelion seharusnya
secara ajeg meningkat dengan besarnya pertambahan sebesar
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
104
δω =
3mµ
3µ 2
3µ
φ
=
φ= 2 φ
2
2 2
h
c h
c l
(4.88)
dengan
l=
h2
µ
(4.89)
adalah semi latus rectum orbit. Dengan mengambil satuan SI : µ = 1,33 × 10 20
untuk matahari, c = 3 × 108 dan l = 5,79 × 1010 untuk Merkurius, maka nilai
prediksi presesi orbit perihelion planet Merkurius selama seratus tahun (satu abad)
adalah
43′′ =
43
derajat .
3600
Prediksi ini ternyata bersesuaian dengan hasil eksperimen yang telah
dilakukan oleh Clemence pada tahun 1943 (Weinberg, 1972). Clemence
menemukan bahwa presesi planet Merkurius dalam jangka waktu 1 abad sebesar
(43,11 ± 0,45)' ' . Ilustrasi presesi orbit planet yang bersifat kumulatif ini disajikan
pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2
Presesi Orbit Planet
Sebenarnya nilai presesi orbit planet Merkurius yang diamati dalam
eksperimen jauh lebih besar itu. Nilai menurut eksperimen adalah
∆φ eksp = (5600,73 ± 0,41) ' '
(4.90)
Sedangkan teori Newton memberikan presesi Merkurius sebesar
∆φ Newton = (5557,62 ± 0,20)' '
(4.91)
yang mana angka menurut prediksi teori newton tersebut meliputi 5025' ' yang
berasal dari rotasi bumi berdasarkan sistem kerangka koordinat astronomik, dan
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
105
sekitar 532' ' karena gangguan gravitasi yang dihitung oleh teori gangguan
Newtonian dari gerakan planet lain, seperti Venus, bumi dan Jupiter. Selisih
antara hasil eksperimen dengan prediksi Newtonian itulah yang murni akibat
digunakannya relativitas umum.
Adapun data perbandingan presesi beberapa planet antara prediksi relativitas
umum dengan hasil eksperimen diberikan pada tabel di bawah ini (Weinberg,
1972)
Tabel 4.1 Perbandingan presesi beberapa planet antara
relativitas umum dengan hasil eksperimen
Sudut Presesi tiap
Jumlah
Prediksi TRU
eksperimen
revolusi (detik)
revolusi / abad
(detik/abad)
(detik/abad)
Merkurius
0,1038
415
43,03
43,11 ± 0,45
2
Venus
0,058
149
8,6
8,4 ± 4,8
3
Bumi
0,038
100
3,8
5,0 ± 1,2
4
Icarus
0,115
89
10,3
9,8 ± 0,8
No
Planet
1
Dengan membandingkan antara prediksi teori relativitas umum dengan hasil
eksperimen nampak adanya kecocokan yang cukup baik. Hasil ini mendukung
kebenaran teori relativitas umum dalam menelaah gejala jagad raya akibat adanya
interaksi gravitasi antar partikel massif.
4.3
Pembelokan cahaya bintang di sekitar massa massif
Cahaya melintasi ruang-waktu melalui lintasan geodesik. Untuk cahaya,
elemen garis yang ditempuh olehnya sama dengan nol atau
ds = 0 .
(4.92)
Dari nolnya kuadrat elemen garis, swawaktunya juga nol. Karena itu
persamaan metrik Schwarzschild dengan dituliskan dengan substitusi τ → λ
yang merupakan parameter sembarang sebagai
2
2
2
2
2

r  dr 
 dt 
2  dθ 
2  dφ   c
  + r 
 + sin θ    − (r − 2m)  = 0 . (4.93)
r − 2 m  dλ 
 dλ   r
 dλ 
 dλ 
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
106
Tanpa kehilangan peninjauan secara umum, diisikan θ = π / 2 sehingga
berkas cahaya ditinjau dalam bidang ekuator, dan dengan penurunan yang sama
seperti halnya pada presesi gerak planet, diperoleh persamaan diferensial
d 2u
+ u = 3mu 2
2
dφ
(4.94)
dengan
1
u= .
r
(4.95)
Pada pendekatan pertama untuk solusi pers. (4.94), suku kanan diabaikan
terlebih dahulu. Bentuk penyelesaiannya adalah
u=
1
cos(φ + α )
R
(4.96)
dengan R adalah tetapan integrasi. Ini adalah persamaan polar untuk garis lurus,
dimana jarak tegak lurus dari pusat atraksi adalah R.
Tanpa kehilangan generalisasi, nilai α diisikan sama dengan nol. Dengan
mengisikan
u=
cos φ
R
(4.97)
pada ruas kanan pers. (4.94), bentuk persamaan tersebut menjadi
d 2u
3m
+ u = 2 cos 2 φ .
2
dφ
R
(4.98)
Penyelesaian dalam penghampiran kedua dalam bentuk persamaan polar sinar
cahaya adalah
u=
1
m
cos φ + 2 (2 − cos 2 φ ) .
R
R
(4.99)
Pada akhir sinar, nilai
u=0
(4.100)
sehingga
m
2m
cos 2 φ − cos φ −
= 0.
R
R
(4.101)
Dengan asumsi
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
107
m
<< 1 ,
R
(4.102)
persamaan kuadrat tersebut memiliki akar yang kecil dan akar yang besar. Untuk
akar yang kecil, penghampiran nilainya adalah
2m
R
(4.103)
 π 2m 
+

2 R 
(4.104)
cos φ = −
sehingga
φ = ±
pada keadaan awal dan akhir lintasan cahaya. Maka nilai sudut pembelokan
cahaya bintang yang melintasi massa massif yang diletakkan di pusat koordinat
yang menimbulkan medan Schwarzschild adalah
4m
.
R
(4.105)
Untuk cahaya yang melintas dekat matahari : R = jari-jari matahari = 6,95 ×
108 m dan m = 1,5 × 103 m, sehingga nilai prediksi pembelokan adalah
4m
1,77
derajat.
= 8,62 × 10−6 radian = 1,77' ' =
R
3600
(4.106)
Ilustrasi pembelokan cahaya bintang di sekitar massa massif terdapat pada
Gambar 4.3.
θ
matahari
Gambar 4.3
Pembelokan cahaya bintang di sekitar matahari
Prediksi ini juga secara umum bersesuaian dengan hasil eksperimen.
Pengamatan pertama kali dilakukan pada tahun 1919, saat beberapa team
ekspedisi berangkat ke Sobral, Brazil dan Principe, Teluk Guinea untuk
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
108
mengamati adanya pembelokan cahaya bintang saat terjadi gerhana matahari.
Mengapa harus dilakukan pada saat terjadi gerhana matahari ? Cara cerdik ini
diusulkan oleh Einstein ketika mengajukan hipotesis adanya pembelokan cahaya
bintang saat cahaya tersebut melewati dekat matahari. Menurutnya, pada siang
hari, cahaya bintang tertutup oleh sinar matahari. Namun saat gerhana, cahaya
bintang tersebut dapat nampak. Dengan membandingkan antara posisi bintang
tersebut saat matahari lewat dekat cahaya bintang tersebut, dengan saat matahari
tidak berada di dekat cahaya bintang tersebut, dapat dibandingkan apakah terjadi
pergeseran posisi bintang. Pada pengamatan di tahun 1919 tersebut setelah
mempelajari sejumlah posisi bintang, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa
cahaya bintang yang lewat dekat matahari telah membelok dengan sudut sebesar
1,98 ± 0,16 detik dan 1,61 ± 0,40 detik. Nilai pengamatan pertama ini cukup dekat
dengan ramalan teori relativitas umum sebesar 1,75 detik.
Tabel 4.2 Pengamatan pembelokan cahaya bintang
pada beberapa peristiwa gerhana
No
1
2
Tanggal gerhana
29 Mei 1919
21 September 1922
3
9 Mei 1929
4
19 Juni 1936
Jumlah bintang
Sudut pembelokan
yang diamati
(detik)
Sobral, Brazil
7
1,98 ± 0,16
Principe, Teluk Guinea
5
1,61 ± 0,40
Australia
11 − 14
1,77 ± 0,40
Australia
18
1,42 s.d. 2,16
Australia
62 − 85
1,72 ± 0,15
Australia
145
1,82 ± 0,20
Sumatra
17 − 18
2,24 ± 0,10
Rusia
16 − 29
2,73 ± 0,31
Jepang
8
1,28 s.d. 2,13
Tempat pengamatan
5
20 Mei 1947
Brazil
51
2,01 ± 0,27
6
25 Februari 1952
Sudan
9 − 11
1,70 ± 0,10
Sejak tahun 1919 telah dilakukan pengamatan kira-kira terhadap 380
bintang sepanjang gerhana matahari yang terjadi pada tahun 1922, 1929, 1936,
1947 dan 1952. Data hasil eksperimen tersebut disajikan pada Tabel 4.2. Nilai
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
109
pengamatan tersebut bervariasi dari 1,3 hingga 2,7 detik, namun paling banyak di
antara 1,7 hingga 2 detik. Eksperimen terbaru pada hasil tersebut adalah 1,70 ±
0,10 detik, yang cukup baik kesesuaiannya dengan prediksi teori relativitas umum.
Hasil eksperimen ini semakin menguatkan kebenaran teori relativitas umum,
setelah bukti pertama di atas, yaitu prediksi presisi sudut orbit planet yang
berevolusi memutari matahari.
4.4
Gelombang gravitasi
Untuk menelaah gelombang gravitasi, diasumsikan bahwa medan gravitasi
bersifat lemah, sehingga koordinat x µ bersifat quasi−Minkowski. Karena tensor
metrik diberikan sebagai
g µν = δ µν + hµν
(4.107)
dengan hµν < < 1 dan suku derajat dua atau lebih tinggi dari hµν atau
derivatifnya dapat diabaikan. Ditinjau kerangka koordinat tersebut bersifat
harmonik sehingga tensor metrik memenuhi persamaan
α
g µν Γµν
= 0.
(4.108)
Untuk orde pertama, pers. (4.108) tereduksi ke bentuk
[µµ ,α ] = hµα , µ − 12 hµµ ,α
= 0.
(4.109)
Dengan diturunkan, bentuk di atas menjadi
hµα , µν − 12 hµµ ,να = 0 .
(4.110)
Dengan menukar indeks ν dan α , kemudian menambahkan persamaan baru
tersebut ke pers. (4.110), diperoleh
hµν , µα + hµα , µν − hµµ ,να = 0 .
(4.111)
Bentuk tensor Ricci untuk tensor metrik (4.107) adalah
Rνα =
2
∂ 2 hµν
∂ 2 hαµ
∂ 2 hνα
1  ∂ hµµ
+
−
−

2  ∂xν ∂xα ∂x µ ∂x µ ∂x µ ∂xα ∂x µ ∂xν



(4.112)
Dengan menggunakan hasil (4.111), pers. (4.112) tereduksi ke bentuk
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
110
Rνα = 12 hνα , µµ
(4.113)
sehingga skalar kelengkungan R bernilai
R = g να Rνα = 12 hνν , µµ .
(4.114)
Selanjutnya tensor Einstein diberikan oleh
Rνα − 12 gνα R = 12 hνα , µµ − 14 δνα hββ , µµ = 12 h'να , µµ
(4.115)
dengan
h'να = hνα − 12 δνα hββ .
Akhirnya persamaan gravitasi Einstein dapat dinyatakan dalam bentuk
h'να , µµ = −2κTνα .
(4.116)
(4.117)
Dalam ruang hampa, tensor energi-momentum lenyap, sehingga pers. (4.117)
tereduksi ke bentuk
 ∂2
∂2
∂2
∂2 
h'να , µµ =  2 + 2 + 2 − 2 2  h'να = 0 .
∂y
∂z
c ∂t 
 ∂x
(4.118)
Pers. (4.118) di atas merupakan persamaan gelombang yang menunjukkan bahwa
gelombang gravitasi merambat dalam ruang hampa dengan laju sama dengan laju
cahaya.
Selanjutnya ditinjau solusi untuk pers. (4.118) di atas dalam bentuk
persamaan gelombang−datar :
*
h' µν = eµν exp(ik λ x λ ) + eµν
exp(−ikλ x λ ) .
(4.119)
bentuk di atas memenuhi pers. (4.118) jika
kµ k µ = 0
(4.120)
dimana hubungan antara vektor kontravarian k ν dan vektor kovarian k µ
dihubungkan oleh tensor metrik g µν sebagai
k µ = g µν k ν .
(4.121)
Bentuk matriks eµν bersifat simetri :
eµν = eνµ
(4.122)
yang sering pula disebut tensor polarisasi (polarization tensor)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
111
4.5
Lubang hitam Schwarzschild dan Kruskal−
−Szekeres
Geometri ruang−waktu Schwarzschild yang diberikan oleh metrik
dr 2
 2m  2 2
ds 2 = −1 −
c
dt
+
+ r 2 (dθ 2 + r 2 sin 2 dφ 2 )

r 
1 − 2m / r

(4.123)
tampak memiliki sifat singularitas saat r = 2m , karena pada keadaan tersebut g tt
menjadi lenyap dan g rr bernilai takhingga. Daerah tersebut sering disebut sebagai
jari-jari Schwarzschild, permukaan Schwarzschild, horison Schwarzschild, bola
Schwarzschild atau singularitas Schwarzschild.
Pada daerah di sekitar r = 2m , ada sifat yang berbeda untuk koordinat r dan
t. Pada daerah r > 2m, pada t direction atau ∂ / ∂t bersifat bak−waktu (timelike)
karena g tt < 0 , sedangkan r direction atau ∂ / ∂r adalah bak−ruang (spacelike)
karena g rr > 0 . Sebaliknya pada daerah r < 2m, ∂ / ∂t adalah bak−ruang
(spacelike) karena g tt > 0
dan ∂ / ∂r adalah bak−waktu (timelike) karena
g rr < 0 .
Dengan sifat di sekitar r = 2m ini, Kruskal dan Szekeres melakukan
transformasi koordinat yang menghubungkan antara koordinat r dan t dengan
koordinat radial takberdimensi u dan koordinat waktu takberdimensi v yang
dirumuskan sebagai
u = r / 2m − 1 e r / 4 m cosh(t / 4m)
v = r / 2m − 1 e
r / 4m
} untuk
r > 2m
(4.124)
sinh(t / 4m)
Dengan transformasi koordinat ini, metrik Schwarzschild berubah menjadi
ds 2 = (32m 3 / r )e − r / 2 m (− dv 2 + du 2 ) + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
(4.125)
Metrik di atas dikatakan sebagai geometri Schwarzschild dalam koordinat
Kruskal-Szekeres. Di sini, besaran r dapat dinyatakan dalam fungsi u dan v
sebagai
(r / 2m − 1) e r / 2 m = u 2 − v 2 .
(4.126)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
112
Motivasi untuk melakukan transformasi koordinat Kruskal-Szekeres diawali
dengan mengenalkan sistem koordinat yang berbeda, pertama kali dilakukan oleh
Eddington (4.1924) dan Finkelstein (4.1958) (Misner dkk, 1973). Mereka
~
~
mengenalkan koordinat U dan V yang masing-masing melambangkan koordinat
radial keluar (outgoing) dan masuk (ingoing) pada geodesik nol, yaitu untuk gerak
foton jatuh bebas (freely falling photon). Untuk gerakan radial foton jatuh bebas
ds 2 = 0
(4.127)
dθ = dφ = 0
(4.128)
dan
sehingga metrik Schwarzschild menjadi (c = 1)
dr 2
 2m  2
.
0 = −1 −
 dt +
r 
1 − 2m / r

(4.129)
Untuk gerak foton keluar, dilakukan transformasi
~
U =t −r*
(4.130)
sedangkan untuk gerak foton masuk, persamaan transformasinya adalah
~
V =t +r*
(4.131)
Di sini r* diberikan sebagai
r* = r + 2m ln
r
−1 .
2m
(4.132)
Untuk gerakan radial foton keluar (outgoing), metrik Schwarzschild pada
pers. (4.123) menjadi
~
 2m  ~ 2
0 = −1 −
 dV + 2dV dr .
r 

Persamaan di atas memiliki dua akar, yaitu
~
dV
=0
dr
(4.133)
(4.134)
dan
~
dV
2
=
.
dr 1 − 2m / r
(4.135)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
113
Sedangkan untuk gerak radial foton masuk (ingoing), bentuk metrik
Schwarzschild menjadi
~
 2m  ~ 2
0 = −1 −
 dU − 2dU dr .
r 

(4.136)
Persamaan di atas memiliki dua akar yaitu
~
dU
=0
dr
(4.137)
dan
~
dU
2
=−
.
dr
1 − 2m / r
Selanjutnya
transisi
dari
koordinat
(4.138)
Eddington−Finkelstein
ke
Kruskal−Szekeres dilakukan, pertama dengan menuliskan dari pers. (4.130) dan
(4.131) sebagai
~ ~
V − U = 2r *
(4.139)
~ ~
V + U = 2t
(4.140)
dan
sehingga metrik Schwarzschild berubah menjadi
 2m  ~ ~ 2
2
2
2
ds 2 = −1 −
 dU dV + r (dθ + sin θ dφ ) .
r 

(4.141)
Dalam metrik di atas masih terdapatbentuk 1 − 2m / r yang menunjukkan adanya
singularitas di r = 2m . Kemudian disusun persamaan berikut
~ ~
V −U 
r*  r

 r 

 = exp
exp
− 1 exp
=
.
 2m   2m 
 2m 
 2m 
Berikutnya dengan mendefinisikan
~
 U 
r
 r 
 t 
~
 = −
u = − exp −
− 1 exp
 exp −

2m
 4m 
 4m 
 4m 
(4.142)
(4.143)
dan
~
V 
r
 r 
 t 
=
v~ = − exp
−
1
exp
exp



,

4
m
2
m
4
m
4
m






(4.144)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
114
substitusi ini akan menghilangkan bentuk 1 − 2m / r dalam koefisien koordinat.
Dalam wakilan koordinat yang baru, metrik Schwarzschild berbentuk
 32m3 
r  ~ ~ 2
2
2
2
 exp −
ds 2 = −
 du dv + r (dθ + sin θ dφ )

 2m 
 r 
(4.145)
Tampak bahwa bentuk 1 − 2m / r telah lenyap, sehingga metrik tersebut tetap valid
untuk r = 2m . Terakhir dengan melakukan substitusi berikut, diperoleh metrik
dalam koordinat Kruskal−Szekeres, yaitu :
r
 r 
 t 
− 1 exp
 cosh 

2m
 4m 
 4m 
u=
1 ~ ~
(v − u ) =
2
v=
1 ~ ~
r
 r 
 t 
(v + u ) =
− 1 exp
 sinh 

2
2m
 4m 
 4m 
(4.146)
dan
(4.147)
sehingga diperoleh pula
dv 2 − du 2 = dv~ du~ .
(4.148)
Akhirnya diperoleh metrik berkoordinat Kruskal−Szekeres yang berbentuk
(
)
 32m3 
r  2
2
2
2
2
2
 exp −
ds 2 = 
 du − dv + r (dθ + sin θ dφ ) .

r
2
m




(4.149)
Ilustrasi metrik berkoordinat Kruskal−Szekeres disajikan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4
Ilustrasi ruang−waktu bermetrik Kruskal−Szekeres
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
115
4.6
Struktur Bintang
Berikut ini akan ditelaah struktur bintang statik simetri bola beserta
dinamika tekanan, rapat massa dan medan gravitasi. Dari metrik isotropik statik
(nilai c diisikan sama dengan 1) yang berbentuk
ds 2 = − B (r ) dt 2 + A(r ) dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
(4.150)
komponen tensor metrik kovarian adalah
g rr = A(r ) ,
gφφ = r 2 sin 2 θ ,
gθθ = r 2 ,
g tt = − B (r )
g µν = 0 untuk µ ≠ ν .
dan
(4.151)
Diasumsikan tensor energi-momentum pada keadaan ini berbentuk tensor untuk
fluida sempurna (perfect fluid) yang berbentuk
Tµν = pg µν + ( p + ρ )U µUν
(4.152)
dengan :
p
= tekanan pribadi (proper pressure),
ρ
= rapat energi total pribadi (proper total energy density), dan
Uµ
= vektor kecepatan−4,
yang memenuhi persamaan
g µν U µUν = −1 .
(4.153)
Mengingat fluida dalam keadaan rehat, diambil nilai-nilai
U r = Uθ = U φ = 0
(4.154)
dan
Ut = −
1
−g
tt
= − B(r ) .
(4.155)
Diasumsikan bahwa sistem yang ditinjau tak gayut waktu t serta bersifat simetri
bola yang membawa konsekuensi bahwa tekanan p dan rapat energi ρ hanya
fungsi koordinat radial r.
Dengan menggunakan nilai-nilai komponen tensor metrik, tensor energimomentum fluida sempurna ke dalam tensor Ricci dan persamaan gravitasi
Einstein, diperoleh persamaan-persamaan berikut :
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
116
Rrr =
B ' ' B '  A' B '  A'
−
= −4πG ( ρ − p ) A
 + −
2 B 4 B  A B  rA
(4.156)
r  A' B '  1
2
 − +  + = −4πG ( ρ − p )r
2A  A B  A
(4.157)
B ' ' B '  A' B '  B '
+
= −4πG ( ρ + 3 p ) B .
 + −
2 A 4 A  A B  rA
(4.158)
Rθθ = −1 +
dan
Rtt = −
Tanda aksen yang terdapat pada persamaan di atas menunjukkan d / dr.
Sebagai tambahan analisis,
persamaan yang menyatakan keseimbangan
hidrostatik (hydrostatic equilibrium) diberikan oleh (Weinberg, 1972)
B'
2 p'
=−
.
B
p+ρ
(4.159)
Langkah pertama untuk menyelesaikan persamaan-persamaan di atas adalah
mencari nilai A(r ) , yaitu dengan membentuk persamaan berikut
Rrr Rθθ Rtt
A'
1
1
+ 2 +
= − 2 − 2 + 2 = −8πGρ .
2A r
2B
rA
r
Ar
(4.160)
Persamaan di atas dapat dituliskan menjadi
d r
2
  = 1 − 8πGρr .
dr  A 
(4.161)
Penyelesaian persamaan diferensial di atas dengan syarat A(r = 0) berhingga
diberikan dalam bentuk
 2GΜ (r ) 
A(r ) = 1 −

r


−1
(4.162)
dengan
r
Μ (r ) =
~ 2 ρ (~
r ) d~
r.
∫ 4πr
~
(4.163)
r =0
Untuk mengeliminasi A(r ) dan B (r ) dari pers. (4.157), digunakan pers. (4.159)
dan (4.162) yang kemudian menjadi
rp '  GΜ
 2GΜ 
 +
− 1 + 1 −
− 4πGρr 2 = −4πG ( ρ − p )r 2 .
1 −
r  ρ + p 
r

(4.164)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
117
Kita dapat menuliskan persamaan di atas dalam bentuk
−1

p (r )  4πr 3 p (r )  2GΜ (r ) 


 1+
− r p ' (r ) = GΜ (r ) ρ (r )1 +
1 −
 . (4.165)
ρ (r ) 
Μ (r ) 
r


2
Ketika kita menghitung ρ (r ), Μ (r ) dan p (r ) , dapat dengan segera diperoleh
A(r ) dari pers. (4.162). Selanjutnya untuk memperoleh B (r ) , pers. (4.165) dapat
digunakan untuk menuliskan pers. (4.159) dalam bentuk
B ' 2G (Μ + 4πr 3 p )
=
.
B r 2 1 − 2GΜ / r
(4.166)
Solusi untuk syarat batas B (∞) = 1 adalah
−1
 ∞ 2G
r )  ~ 
 2GΜ (~
3
~
~
~
B (r ) = exp− ∫ 2 Μ ( r ) + 4πr p (r ) 1 −
 dr 
~
r


 r~ = r r

(
)
(4.167)
Di luar bintang, p (r ) dan ρ (r ) lenyap, dan Μ (r ) adalah tetapan yang
bernilai Μ (R ) , sehingga pers. (4.162) dan (4.167) memberikan
B(r ) =
1
2GΜ (r )
=1−
A(r )
r
untuk r ≥ R .
(4.168)
Sekarang ditinjau keadaan dimana bintang memiliki rapat energi konstan :
ρ = konstan.
(4.169)
Dengan ρ konstan, pers. (4.164) dapat ditulis menjadi
−1
 8πGρr 2 
− p' (r )
 .
= 4πGr 1 −

3
[ p (r ) + ρ ][ p (r ) + ρ / 3]


(4.170)
Di permukaan bintang dengan r = R, nilai tekanan pribadi (proper pressure)
p haruslah lenyap atau
p(r = R) = 0
(4.171)
sehingga syarat batas ini memberikan bentuk
p(r ) + ρ
1 − 8πGρR 2 / 3
=
.
3 p(r ) + ρ
1 − 8πGρr 2 / 3
(4.172)
Untuk mencari tekanan p, rapat energi ρ dinyatakan dalam massa bintang secara
ρ=
3M
untuk r < R
4πR 3
(4.173)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
118
sehingga diperoleh tekanan bintang
2
3
3M  1 − (2GM / R) − 1 − (2GMr / R 
.
p(r ) =
4πR 3  1 − (2GMr 2 / R 3 − 3 1 − (2GM / R) 


(4.174)
Komponen tensor metrik A(r ) dapat dihitung menggunakan pers. (4.162) :
 2GMr 2 

A(r ) = 1 −
3

R


−1
(4.175)
sedangkan komponen tensor metrik B (r ) dapat dihitung dengan menggunakan
pers. (4.174) ke dalam integral (4.167) yang memberikan
2
1
2GM
2GMr 2 
B(r ) = 3 1 −
− 1−
 .
3
4
R
R


(4.176)
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
119
Soal-Soal Latihan BAB IV
1.
Bagaimanakah konsep gravitasi Newton dan Einstein terhadap kasus :
sebuah massa M simetri bola ditempatkan di pusat koordinat.
2.
Apakah metrik Schwarzschild menyimpan singularitas di dalamnya? Ketika
dilakukan transformasi koordinat ke koordinat Kruskal−Szekeres, apakah
seluruh singularitas menjadi lenyap? Jelaskan.
3.
Tunjukkan bahwa transformasi Kruskal−Szekeres
u = r / 2m − 1 exp(r / 4m) cosh(ct / 4m) ,
v = r / 2m − 1 exp(r / 4m) sinh(ct / 4m)
mengubah metrik Schwarzschild ke bentuk
ds 2 =
32m 3 (du 2 − dv 2 )
+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
r exp(r / 2m)
dengan r diberikan dalam bentuk u dan v oleh persamaan
u 2 − v 2 = (r / 2m − 1) exp(r / 2m) .
Tunjukkan bahwa persamaan lintasan foton yang bergerak radial adalah
u ± v = tetapan.
4.
Tunjukkan bahwa transformasi
u = v + 2r 3 / 2 / 3a ,
v = t + 2a r − a 2 ln[( r + a) /( r − a ) ]
dengan a 2 = 2m akan mengubah metrik Schwarzschild ke bentuk
2
ds =
4 µ 2 du 2
9(u − v)
2/3
+ µ 2 (u − v) 4 / 3 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − dv 2
dengan µ 3 = 9a 2 / 4 .
_______________________________________________________________________________
Penerapan Teori Relativitas Umum
_________________________________________________________________________________________
120
5.
Tunjukkan bahwa dengan melakukan transformasi koordinat
m

r = r ' 1 +

2r ' 

2
ke dalam metrik Schwarzschild diperoleh metrik dalam bentuk ‘isotropik”
yaitu
2
2
m

 1 − m / 2r '  2 2
2
2
2
2
2
ds = 1 +
 (dr ' + r ' (dθ + sin θ dφ )) − 
 c dt .
2r ' 

 1 + m / 2r ' 
2
6.
Pada metrik Schwarzschild :
(a)
Tentukan jari-jari dimana sebuah foton menempuh gerakan melingkar.
(b)
Tentukan periode orbit foton tersebut yang diukur oleh seorang
pengamat tetap.
7.
Buktikan persamaan (4.43).
8.
Buktikan persamaan (4.49).
9.
Buktikan persamaan (4.55).
10.
Buktikan persamaan (4.58).
11.
Buktikan bahwa jika peristiwa pembelokan cahaya bintang hanya dipandang
sebagai tarikan foton relativistik oleh medan gravitasi Newton benda massif,
maka sudut pembelokan cahaya bintang tersebut hanya bernilai setengah
dari ramalan relativitas umum.
12.
Carilah lintasan gerak foton pada metrik Kruskal−Szekeres.
13.
Buktikan persamaan (4.156)−(4.158).
_______________________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
121
BAB V
KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA
5.1
Pendahuluan
Sebagaimana ditulis oleh Krane (1992), setiap kemajuan baru di dalam
pemahaman jagad raya ternyata semakin memperkecil peran kita di dalamnya.
Walaupun demikian, setiap kemajuan ini selalu menimbulkan rasa kekaguman
baru. Astronomi abad ke tujuh belas mengungkapkan fakta bahwa bumi bukanlah
pusat tata surya melainkan salah satu dari beberapa planet yang mengitari
matahari. Pada abad ke sembilan belas, para astronom mengarahkan teleskopnya
ke bintang-bintang dan menggunakan peralatan spektroskopi yang dikembangkan
untuk mengukur berbagai panjang gelombang cahaya bintang. Ditemukan fakta
bahwa matahari kita ternyata hanya sebuah bintang biasa yang kedudukannya
tidaklah istimewa dalam skala galaksi. Matahari kita ternyata adalah satu dari
sekitar 1011 bintang dalam galaksi kita yang dikenal dengan nama galaksi Bima
Sakti.
Dari teleskop para astronom, terungkap pula beberapa objek aneh seperti
gumpalan nebula redup yaitu sepotong cahaya lebar yang melebihi ukuran bintang.
Beberapa nebula ini kemudian dapat disimpulkan sebagai kabut gas dalam galaksi,
yang dapat menyatakan materi baru dari mana bintang dibentuk, atau sisa dari
bintang yang mengakhiri hidupnya dengan ledakan dahsyat.
Selain itu diperoleh pula nebula yang agak redup. Namun hal ini masih
menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya hakikat nebula yang agak redup
ini. Kepastian tentang pertanyaan ini hanya dapat terpecahkan bila cahaya semua
objek redup dapat dipisahkan menjadi bintang-bintang tunggal. Hal ini adalah
persoalan eksperimental yang amat sulit, karena memerlukan pencahayaan sebuah
pelat foto sepanjang malam, pada saat mana para astronom bergulat dalam
kedinginan malam di atas puncak gunung untuk menjaga fokus teleskopnya tetap
mengarah ke nebula, sebagai akibat rotasi bumi dan perubahan suhu yang
menyebabkan perubahan ukuran teleskop. Pada tahun 1920−an, Edwin Hubble
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
122
berhasil memisahkan cahaya berbagai bintang dalam galaksi tetangga kita, serta
menyimpulkan ukuran, kecemerlangan dan jaraknya dari kita.
Semakin banyak nebula dan galaksi yang ditemukan, semakin pula
kedudukan kita di jagad raya. Matahari kita tidak saja hanya satu dari sekitar 1011
bintang dalam galaksi Bima Sakti, melainkan mungkin galaksi Bima Sakti sendiri
merupakan satu di antara 1011 galaksi yang ada di jagad raya.
Pengamatan Hubble juga menghasilkan pernyataan yang menarik : setiap
galaksi bergerak menjauhi kita (dan menjauhi yang lainnya) dengan kelajuan yang
amat tinggi. Semakin jauh sebuah galaksi dari kita, semakin tinggi lajunya.
Kesimpulan mengesankan ini akan menuntun kita ke model standar jagad raya
beserta asal usulnya. Jika semua galaksi bergerak saling menjauhi, maka mereka
sebelumnya tentulah berdekatan. Jika kita kembali cukup jauh ke masa lampau,
semua materi tentulah berasal dari sebuah titik singularitas berkerapatan takhingga
yang mengalami ledakan dahsyat. Peristiwa itu dikenal sebagai Big Bang (Ledakan
Besar).
Informasi yang lebih menghebohkan datang menyusul. Pada tahun 1965, dua
astronom yang bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan pijaran
radiasi latar belakang gelombang mikro dari sisa-sisa ledakan besar yang mengisi
seluruh jagad raya dan terus menghujami bumi, meskipun telah mengalami
pendinginan selama kurang lebih 15 milyar tahun.
Karya eksperimental yang telah dirintis oleh Hubble, Penzias dan Wilson
merupakan landasan untuk berspekulasi mengenai asal mula, evolusi dan masa
depan jagad raya. Semua teori ini termasuk dalam bidang kajian kosmologi yang
berasaskan pada teori relativitas umum dengan paduan bidang astronomi, fisika
partikel, fisika statistik, termodinamika dan elektrodinamika. (Krane, 1992)
Di dalam jagad raya paling tidak terdapat empat jenis interaksi dasar
(mungkin dapat ditambah satu lagi yaitu interaksi maha lemah atau superweak).
Keempat interaksi tersebut masing-masing adalah interaksi kuat, lemah,
elektromagnetik dan gravitasi. Interaksi elektromagnetik (EM) bermediator foton
dan berjangkauan jauh terjalin antara zarah−zarah bermuatan listrik dan/atau
bermomen magnet dan berlangsung secara makro dan mikro dalam atom inti dan
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
123
zarah elementer. Teori kuantum interaksi medan elektromagnetik dikenal dengan
nama Elektrodinamika Kuantum (QED) dan merupakan teori interaksi yang paling
akurat dan luas cakupannya. Interaksi kuat yang berjangkauan pendek serta
bersama−sama dengan interaksi EM mempertahankan paritas, hanya muncul
dalam daerah kuantum serta berperan dalam interaksi antar nukleon dalam inti
atom dan antar penyusun nukleon dan meson yaitu tiga jenis kuark (u, d dan s)
dengan mediator partikel gluon bermassa. Teori interaksi kuat yang melibatkan
zarah−zarah hadron ini disebut Kromodinamika Kuantum (QCD). Interaksi lemah
yang hanya muncul pada daerah mikro, melibatkan zarah neutrino dan bekerja
pada peluruhan beta inti, pion, muon dan sebagainya dengan mediator partikel
bermassa W ± (bermuatan) dan Z (netral) serta melanggar kekekalan paritas. Teori
untuk interaksi ini disebut Flavordinamika Kuantum (QFD). Interaksi yang paling
lemah dari keempat interaksi dasar adalah interaksi gravitasi yang berperan dalam
interaksi jangkauan jauh antar massa dan antar massa dengan foton dengan
mediator graviton tak bermassa. Teori kuantum yang menjelaskan interaksi
gravitasi antar partikel bermassa dikenal dengan nama Geometrodinamika
Kuantum (QGD).
Pada materi massif seperti bintang dan galaksi, muatan mereka praktis netral
sehingga interaksi elektromagnetik tak bekerja pada struktur skala besar jagad
raya. Pada pada skala ini, hanya interaksi gravitasi saja yang bekerja. Oleh karena
itu hukum gravitasi Einstein yang didasarkan pada teori relativitas umum akan
sanggup memberikan gambaran jagad raya secara komprehensif, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Teori Gravitasi Einstein sendiri mampu meramalkan beberapa fenomena di
jagad raya dengan ketelitian tinggi. Teori ini adalah teori yang menyempurnakan
teori gravitasi Newton. Beberapa fenomena di jagad raya yang terbuktikan
ramalannya dengan ketelitian tinggi adalah :
1.
pembelokan cahaya bintang
2.
presesi orbit planet
3.
pergeseran merah gravitasi
gema tunda waktu radar (Weinberg, 1972; Krane 1992).
4.
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
124
Relativitas umum juga menyajikan beberapa ramalan menarik seperti adanya
lubang hitam (black holes), gelombang gravitasi (gravitational waves), singularitas
ruang-waktu dan sebagainya. Meskipun teori ini memiliki daya pikat, keindahan
estetis dan sementara ini lulus dalam tes eksperimental, jumlah tes tersebut
sebenarnya masih tergolong langka. Nampaknya agak berlebihan jika jagad raya
dapat ditelaah hanya dengan menggunakan teori ini. Namun akan diperoleh bahwa
paling tidak secara kuantitatif, ramalan teori relativitas umum sesuai dengan
beberapa pengamatan, seperti fenomena ekspansi jagad raya, ramalan sisa-sisa
radiasi Big Bang dan sebagainya.
Tidak digunakannya gravitasi Newton untuk menelaah interaksi gravitasi
dalam jagad raya disebabkan oleh keterbatasan teori itu sendiri. Memang gravitasi
Newton itu sendiri memberikan pemerian secara kuantitatif yang serupa dengan
solusi persamaan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya (Weinberg, 1972).
Namun teori Newton menganggap bahwa ruang di jagad raya bersifat Euclid
(datar). Newton tidak mengenal istilah ruang lengkung. Padahal menurut Einstein,
keberadaan medan gravitasi dalam ruang menyebabkan ruang di jagad raya
menjadi lengkung, dengan geometri ruang bersifat Riemannian. Kelengkungan
ruang untuk skala galaksi memang masih dapat diabaikan, namun untuk skala
besar jagad raya, efek ini dapat dijumlahkan sehingga tak dapat diabaikan lagi.
Oleh karena itu penelaahan keadaan fisis jagad raya dilakukan dengan
menyelesaikan persamaan medan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya.
5.2
Asas Kosmologi
Dalam skala besar jagad raya, mulai dari jarak 107 parsec, seluruh materi
dapat dianggap sebagai fluida yang kontinu, homogen dan isotrop. Pernyataan ini
membawa kepada kesimpulan bahwa tidak ada pengamat galaksi yang dipandang
istimewa di jagad raya ini. Dengan kata lain, seluruh pengamat bergerak bersama
galaksi dan melihat proses skala besar yang sama dalam evolusi jagad raya. Inilah
yang dinamakan dengan asas kosmologi (cosmological principle). Sedangkan teori
keadaan ajeg (steady state theory) didasarkan pada asas kosmologi sempurna
(perfect cosmological principle) yang menyatakan bahwa seluruh pengamat
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
125
galaksi melihat struktur skala besar jagad raya yang sama untuk seluruh waktu.
Berdasarkan fakta-fakta, ditemui bahwa yang lebih tepat adalah asas pertama,
bukan asas kedua.
5.3
Geometri Bolahiper (Hypersphere geometry)
Dalam ruang Euclid empat dimensi
x i = ( x1 , x 2 , x 3 , x 4 )
(5.1)
kuadrat elemen garis dirumuskan sebagai
dl 2 = ηij dx i dx j = (dx1 ) 2 + (dx 2 ) 2 + (dx 3 ) 2 + (dx 4 ) 2
(5.2)
Bentuk persamaan bolahiper (hypersphere) tiga dimensi dalam ruang empat
dimensi menyerupai bentuk persamaan permukaan bola dua dimensi dalam ruang
tiga dimensi. Persamaan bolahiper tersebut adalah
( x1 ) 2 + ( x 2 ) 2 + ( x 3 ) 2 + ( x 4 ) 2 = S 2
(5.3)
dengan S adalah ruji bolahiper. Jika persamaan di atas diturunkan maka bentuknya
menjadi
x1dx1 + x 2 dx 2 + x 3dx 3 + x 4 dx 4 = 0
(5.4)
atau
dx 4 = −
x1dx1 + x 2 dx 2 + x 3dx 3
.
x4
(5.5)
Dengan memasukkan pers. (5.5) ke (5.2) diperoleh
3
1
dl = ∑ (dx ) +
(2 x 4 ) 2
i =1
2
i 2
 3 i 2
 d ∑ ( x ) 
 i =1

2
(5.6)
yang menyatakan bentuk umum persamaan kuadrat elemen garis pada bolahiper.
Jika ruang Euclid tersebut dinyatakan dalam koordinat polar
(u , θ , φ )
(5.7)
melalui persamaan transformasi
x1 = u sin θ cos φ ,
x 2 = u sin θ sin φ ,
x 3 = u cos θ
(5.8)
maka
(
u = ( x1 )1 + ( x 2 ) 2 + ( x 3 )3
)
1/ 2
(5.9)
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
126
dan
S = u 2 + (x 4 ) 2
(5.10)
sehingga
dl 2 = du 2 + u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) +
=
u 2 du 2
S 2 − u2
du 2
+ u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) .
2
1 − (u / S )
(5.11)
(5.12)
Dengan substitusi
u = Sr
(5.13)
 dr 2

+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )  .
dl 2 = S 2 
2
1− r

(5.14)
diperoleh
Jika pada pers. (5.3), S 2 diganti dengan − S 2 , pers. (5.14) menjadi
 dr 2

dl 2 = S 2 
+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )  .
2
1+ r

(5.15)
Kedua metrik di atas dapat dituliskan sekaligus dalam ungkapan
 dr 2
2
2
2
2 
dl 2 = S 2 
+
r
(
d
θ
+
sin
θ
d
φ
) 
2
1
−
kr


(5.16)
dengan k = 1 untuk pers. (5.14) dan k = −1 untuk pers. (5.15). Jika diisikan k = 0 ,
dihasilkan ruang Euclid tiga dimensi.
5.4
Metrik Robertson-Walker
Metrik Robertson-Walker dibangun di atas dua asumsi berikut :
1.
Adanya waktu kosmik x0 dalam koordinat Gauss, yaitu koordinat yang ikut
bergerak bersama pengamat
2.
Asas homogen dan isotrop jagad raya.
Metrik jagad raya mengambil bentuk
ds 2 = g µν dx µ dxν
(5.17)
Persamaan transformasi untuk g i 0 adalah
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
127
gi0 =
∂x j ∂x k
∂x j
g
=
g j0
jk
∂x i ∂x 0
∂x i
yang menggambarkan bahwa g i 0 menentukan arah tertentu pada ruang tiga
dimensi. Hal ini bertentangan dengan asumsi kedua di atas sehingga ditarik
kesimpulan bahwa g i 0 = 0 untuk i = 1, 2, 3. Bentuk metrik jagad raya tereduksi ke
bentuk
ds 2 = g 00 (dx 0 ) 2 + g ij dx i dx j
(5.18)
Ditinjau dua kejadian yang masing-masing terjadi pada waktu x 0 dan
x 0 + dx 0 . Diketahui dτ adalah swawaktu / waktu pribadi (proper time) antara dua
kejadian tersebut. Karena koordinat spatial pengamat tidak pernah berubah, bentuk
metrik (5.18) menjadi
− dτ 2 = g 00 (dx 0 ) 2
(5.19)
Berdasarkan asumsi pertama, swawaktu τ = ∫ dτ sama dengan waktu kosmik
x 0 = t sehingga g 00 = −1 . Bentuk metrik (5.18) menjadi
ds 2 = − dt 2 + g ij dx i dx j
(5.20)
Dengan mengambil t konstan, metrik di atas menjadi
ds 2 = g ij dx i dx j = dl 2
(5.21)
Berdasarkan asas kosmologi, setiap pengamat akan mendapati ruang spatial
bersifat homogen dan isotrop. Oleh karena itu, bentuk dl 2 adalah bentuk umum
elemen garis pers. (5.16) sehingga pers. (5.20) dituliskan sebagai
 dr 2

ds 2 = − dt 2 + S 2 
+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) 
2
 1 − kr

(5.22)
Metrik di atas dinamakan metrik Robertson-Walker. S adalah faktor skala kosmik
yang merupakan fungsi t saja. Untuk k = +1, nilai S menyatakan ruji spatial
bolahiper 3 dimensi dalam ruang empat dimensi spatial.
5.5
Pergeseran merah galaksi
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
128
Informasi penting yang diperoleh mengenai faktor skala kosmik S (t ) akan
membawa pada pengamatan pergeseran frekuensi cahaya yang dipancarkan dari
sumber tertentu. Untuk menghitung pergeseran frekuensi ini, kita akan
menempatkan diri kita pada titik awal koordinat r = 0. Ditinjau cahaya yang
merambat hanya pada arah r dengan θ dan φ konstan. Persamaan geodesik
cahaya tersebut adalah
0 = dτ 2 = dt 2 − S 2
dr 2
1 − kr 2
(5.23)
atau
−
dt
dr
=
.
S
1 − kr 2
(5.24)
Jika cahaya meninggalkan galaksi dengan koordinat (r1 ,θ1 , φ1 ) pada saat t1
maka cahaya tersebut akan sampai pada kita pada saat t 0 yang diberikan oleh
persamaan
t0
dt
∫S
= f (r1 )
(5.25)
t1
dengan
r1
f (r1 ) = ∫
0
sin −1 r1

dr
= r1
1 − kr 2 sinh −1 r
1

k = +1
k =0
(5.26)
k = −1
Galaksi tersebut memiliki koordinat (r1 ,θ1 , φ1 ) konstan sehingga f (r1 ) tak
gayut waktu. Selanjutnya jika cahaya berikutnya meninggalkan r1 pada waktu
t1 + δt1 , cahaya tersebut akan sampai kepada kita pada waktu t0 + δt0 dengan
hubungan sebagai
t 0 + δt 0
∫
t 1 + δt 1
dt
= f (r1 )
S
(5.27)
yang berimplikasi pada hubungan
δt 0
S (t 0 )
=
δt1
S (t1 )
.
(5.28)
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
129
Cahaya berfrekuensi ν 0 yang dipancarkan akan teramati berfrekuensi ν 1 melalui
hubungan
ν 0 δt1 S (t1 )
=
=
.
ν 1 δt0 S (t0 )
(5.29)
Didefinisikan pergeseran merah z sebagai fraksi pertambahan panjang
gelombang
z=
λ0 − λ1
.
λ1
(5.30)
Karena
λ0 ν 1
=
λ1 ν 0
(5.31)
maka
z=
S (t0 )
− 1.
S (t1 )
(5.32)
Jadi z akan bernilai positif jika
S (t0 ) > S (t1 )
(5.33)
yang menyatakan adanya ekspansi jagad raya.
Jika galaksi yang diamati cukup dekat pada skala besar, t0 − t1 relatif kecil
dan S (t1 ) dapat dinyatakan dalam deret Taylor sebagai
S (t1 ) = S (t0 ) − (t 0 − t1 ) Sɺ (t 0 ) + 12 (t 0 − t1 ) 2 Sɺɺ(t 0 ) − ...
(
)
= S (t0 ) 1 − H 0 (t0 − t1 ) − 12 q0 H 0 (t 0 − t1 ) 2 − ...
(5.34)
dengan H 0 dan q0 berturut-turut menyatakan tetapan Hubble dan parameter
perlambatan untuk saat ini. Kedua besaran itu dikatakan konstanta, meski
sebenarnya nilai gayut waktu. Namun untuk rentang waktu yang relatif kecil, jika
dibandingkan dengan usia jagad raya, kedua nilai di atas praktis konstan. Secara
umum keduanya didefinisikan sebagai
H=
Sɺ
S
(5.35)
dan
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
130
q=−
SSɺɺ
Sɺ 2
(5.36)
Dengan substitusi pers. (5.34) − (5.36) ke (5.32) diperoleh hasil
z = H 0 (t0 − t1 ) + ( 12 q0 + 1) H 02 (t 0 − t1 ) 2 + ...
(5.37)
Dengan mengamati z untuk sejumlah galaksi serta menghitung (t 0 − t1 ) setiap
galaksi, ekspansi z di atas menghasilkan nilai H 0 dan q0 saat ini yang besarnya
masing-masing adalah (Weinberg, 1972)
H 0 = 75 km/sMpc
(5.38)
q0 = 1,2 ± 0,4.
(5.39)
Selanjutnya kedua nilai tersebut dipakai untuk menelaah sifat fisis jagad raya.
5.6
Ekspansi Jagad Raya
Bukti adanya ekspansi jagad raya berasal dari efek pergeseran Doppler
cahaya yang dipancarkan oleh galaksi-galaksi jauh. Pergerakan bintang-bintang
atau galaksi dekat relatif terhadap kita tidaklah cukup memberikan bukti adanya
ekspansi jagad raya. Beberapa bintang di galaksi kita bergerak menuju kita dan
panjang gelombang yang dipancarkannya teramati mengalami pergeseran ke
panjang gelombang yang lebih pendek (pergeseran biru). Sementara itu beberapa
bintang lainnya bergerak menjauhi kita sehingga cahayanya mengalami pergeseran
ke arah panjang gelombang yang lebih besar atau dikenal sebagai pergeseran
merah.
Jika kita beralih ke cahaya yang berasal dari galaksi-galaksi di dekat kita,
kembali akan diperoleh beberapa di antara mereka mengalami pergeseran biru, dan
beberapa lainnya mengalami pergeseran merah. Hanya jika kita alihkan perhatian
kepada galaksi-galaksi jauh, barulah nampak secara konvergen galaksi-galaksi
tersebut bergerak menjauhi kita serta cahaya yang dipancarkannya mengalami
pergeseran merah.
Bagaimanakah kita dapat meyakini adanya pengembangan jagad raya yang
menyebabkan terjadinya pergeseran merah tersebut ? Sekurang-kurangnya terdapat
tiga alasan yaitu (Krane, 1992) :
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
131
1.
Menurut pengamatan, jumlah galaksi yang mengalami pergeseran merah dan
biru tidak seimbang. Semua galaksi jauh bergerak menjauhi kita. Oleh
karena itu pergeseran merah ini tidak dapat dijelaskan sebagai pergeseran
acak sejumlah galaksi yang mematuhi suatu distribusi tertentu.
2.
Pergeseran merah itu nampaknya bukanlah pergeseran merah galaksi
menurut relativitas umum. Hal ini disebabkan materi dalam galaksi tidaklah
terlalu padat sehingga tidak dapat menghasilkan pergeseran yang besar.
3.
Pergeseran yang diamati berbanding lurus dengan jarak galaksi dari kita.
Agaknya kenyataan ini merupakan langkah paling penting untuk mendukung
gagasan ekspansi jagad raya yang biasanya diungkapkan sebagai Hukum
Hubble, yaitu
v = Hd
(5.40)
dengan v adalah laju galaksi, H adalah tetapan Hubble dan d adalah jarak galaksi
dari kita.
Hukum Hubble tersebut dapat diturunkan dari metrik Robetrson-Walker.
Jika tempat kita dipilih dengan koordinat r = 0, maka jarak radial galaksi ( r1 ,θ , φ )
terhadap kita pada waktu kosmik t adalah
d =S
r1
∫
r =0
dr
1 − kr 2
= Sf ( r1 )
(5.41)
dengan f ( r1 ) seperti pada pers. (5.26). Laju pergerakan galaksi tersebut terhadap
kita diberikan sebagai
dS
Sɺ
v = dɺ = f ( r1 )
= f ( r1 ) S = Hd
dt
S
(5.42)
yaitu hukum Hubble.
Bagaimanakah hukum Hubble melukiskan ekspansi jagad raya ? Ditinjau
kiasan jagad raya yang digambarkan oleh sistem koordinat tiga dimensi pada
Gambar 5.1 yang mana setiap titik mewakili sebuah galaksi. Galaksi Bima Sakti
dipilih pada titik O. Jarak mula-mula suatu galaksi terhadap Bima Sakti adalah d.
Setelah jagad raya mengembang yang digambarkan oleh menjauhnya semua titik
tersebut, jarak tersebut menjadi d’. Diasumsikan pengembangan tersebut terjadi
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
132
sedemikian sehingga seluruh jarak ukur bertambah dengan faktor pengali konstan
k pada waktu t. Rumus yang berlaku adalah x ' = kx . Jadi d ' = kd . Dengan
demikian jika dalam selang waktu t galaksi tersebut menempuh jarak d '− d
menjauhi Bima Sakti, laju pergerakannya adalah
v=
d '−d
d ( k − 1)
=
.
t
t
(5.43)
Jika kita bandingkan antara kelajuan galaksi 1 dan 2 diperoleh
v1 d1
=
v2 d 2
(5.44)
yang identik dengan hukum Hubble. Pers. (5.44) di atas sekaligus menunjukkan
bahwa makin jauh jarak galaksi dari kita, makin cepat pula ia meninggalkan kita.
Gambar 5.1.
Kiasan pengembangan jagad raya dengan kiasan kawat
Perlu dicatat di sini bahwa ekspansi jagad raya berlangsung sedemikian
sehingga tidak ada satu tempat/ruang di jagad yang menjadi pusat ekspansi. Semua
titik/ruang mengalami ekspansi sehingga tidak ada titik yang memiliki kedudukan
istimewa di jagad raya. Jika kita mengecat beberapa titik pada balon kemudian
meniupnya, tampak bahwa setiap titik bergerak saling menjauhi. Semakin jauh
jarak antara dua titik, semakin cepat pula keduanya menjauh.
Peristiwa fisis ekspansi jagad raya ini melahirkan dua teori besar. Teori
pertama, jika setiap galaksi bergerak saling menjauhi, berarti di masa lampau jarak
mereka lebih dekat. Kalau kita menengok lebih jauh lagi, akan didapati seluruh
galaksi dan materi lainnya mula-mula berada pada titik singularitas dengan
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
133
kerapatan dan temperatur takhingga besar. Teori ini dikenal sebagai hipotesis Big
Bang (Ledakan Besar) yang dikemukakan oleh George Gamow dkk pada tahun
1948. Teori kedua, kerapatan jagad raya selalu konstan. Sewatu galaksi-galaksi
bergerak saling menjauhi, dalam ruang antargalaksi terus diciptakan materi baru
agar kerapatan jagad raya selalu konstan. Galaksi atau materi baru yang diciptakan
akan menyebabkan jagad raya tampak sama sepanjang masa, baik pada masa
lampau, sekarang maupun masa depan. Teori ini dikenal dengan hipotesis Steady
State (Keadaan Ajeg) yang dikemukakan oleh Hoyle dkk pada tahun 1960. Teori
kedua ini menggunakan asas kosmologi sempurna, sebagaimana tersebut pada
pasal 2. Pengamatan dengan teleskop radio yang dilakukan oleh Penzias dan
Wilson di tahun 1965 berhasil menyingkap adanya suatu radiasi latar belakang
kosmik pada daerah gelombang mikro yang diyakini sebagai sisa-sisa radiasi Big
Bang. Dengan demikian pengamatan tunggal ini mengunggulkan teori Big Bang
dari semua model kosmologi lainnya.
5.7
Sejarah Suhu Jagad Raya menurut Big Bang
Menurut teori Big Bang, jagad raya berasal dari suatu ledakan besar yang
menghamburkan seluruh isi jagad raya ke segala arah ruang. Saat ledakan terjadi,
jagad raya berukuran titik berkerapatan energi takhingga, bersuhu takhingga besar.
Saat jagad raya terus mengembang dan usianya bertambah, suhunya semakin
mengecil. Akhirnya suhu jagad raya sampai pada ambang penciptaan partikelantipartikel.
Menurut Weinberg (1972), garis besar sejarah suhu (thermal history) jagad
raya adalah sebagai berikut :
1.
Pada suhu T > 1012 K, jagad raya berisi banyak sekali variasi partikel pada
kesetimbangan suhu, seperti foton, lepton, meson dan nukleon beserta
antipartikel masing-masing. Suhu ambang bagi penciptaan nukleon ini
adalah sekitar 1013 K. Di atas suhu tersebut, energi jagad raya sedemikian
tinggi sehingga mungkin mampu menciptakan kuark yang lebih berat dari
nukleon seperti kuark jenis charmed, bottom dan top (Griffith, 1987).
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
134
2.
Pada T ≈ 1012 K, jagad raya berisi foton, muon, antimuon, elektron, positron,
neutrino dan antineutrino. Terdapat percampuran nukeon dalam jumlah amat
kecil, dengan neutron dan proton berjumlah kurang lebih sama. Semua
partikel masih berada dalam kesetimbangan suhu.
3.
Ketika T < 10
12
K, muon dan antimuon mengalami proses pelenyapan
(annihilation). Setelah seluruh muon lenyap, pada T ≈ 1,3 × 1011 K, neutrino
dan antineutrino mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel
lain. Partikel e ± , γ dan sebagian kecil nukleon berada pada kesetimbangan
suhu dengan T ∝ S −1.
4.
Ketika T < 10
11
K atau t ≈ 10−2 s, perbedaan massa proton dan neutron
menyebabkan terjadinya perubahan percampuran nukleon sehingga proton
lebih banyak daripada neutron.
5.
Ketika T < 5 × 109 K atau t ≈ 4 s, pasangan elektron-positron mengalami
pelenyapan sehingga melenyapkan seluruh positron dan menyisakan sedikit
elektron. Jagad raya hanya didominasi oleh foton, neutrino dan antineutrino
dengan suhu foton lebih tinggi 40,1 % daripada suhu neutrino-antineutrino.
Perbandingan neutron terhadap proton kira-kira 1 : 5.
6.
Pada T ≈ 109 K atau t ≈ 180 s, terjadi fusi antara proton dengan neutron yang
membentuk inti yang lebih berat seperti deuterium dan helium.
7.
Ekspansi bebas foton, neutrino dan antineutrino terus berlanjut dengan Tγ =
1,401 Tν ∝ S −1 . Pada 103 K < T < 105 K, nilai rapat energi foton, neutrinoantinuetrino menjadi di bawah rapat energi rehat hidrogen dan helium. Atom
hidrogen terbentuk kira-kira pada T ∝ 4000 K setelah elektron bergabung
dan inti atom membentuk atom hidrogen. Dimulailah masa dominasi radiasi.
Pada tabel 5.1 di bawah ini disajikan beberapa partikel elementer penyusun
jagad raya beserta energi rehat dan suhu ambang yang berkaitan suhu tersebut.
Nilai suhu ambang tersebut diperoleh melalui kaitan persamaan
T=
E
k
(5.45)
dengan k adalah tetapan Boltzmann.
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
135
Tabel 5.1.
Partikel utama penyusun jagad raya beserta energi dan suhu ambang
No
Partikel
Energi (MeV)
Suhu ambang (× 109 K)
1
Foton
0
0
2
ν, ν
≈0
≈0
3
e− , e+
0,511
5,9
4
µ−, µ+
106
1230
5
π −, π +
140
1620
6
p, p
938
10880
7
n, n
940
10910
Kali ini akan ditelaah sejarah suhu jagad raya secara lebih rinci, dimulai dari
1012 K > T > 1,3 × 1011 K ketika moun ( µ + ) dan antimuon ( µ − ) cukup jarang.
Pengisi penting jagad raya, adalah elektron-positron ( e − , e + ), foton (γ), neutrinoantineutrino untuk elektron (ν e ,ν e ) serta neutrino-antineutrino untuk muon
(ν µ ,ν µ ) yang seluruhnya masih berada pada kesetimbangan suhu (thermal
equilibrium). Foton memenuhi distribusi Planck sedangkan elektron-positron dan
neutrino-antineutrino memenuhi distribusi Fermi. Neutrino dan antineutrino
tersebut dihasilkan, dilenyapkan dan dihamburkan melalui reaksi berikut :
e − + µ + ←→ν e + ν µ
(5.46)
ν e + µ − ←→ν µ + e −
(5.47)
ν µ + µ + ←→ν e + e +
(5.48)
e + + µ − ←→ν e + ν µ
(5.49)
ν e + µ + ←→ν µ + e +
(5.50)
ν µ + µ − ←→ν e + e − .
(5.51)
Pada masa dominasi radiasi berlaku kaitan antara rapat energi (ρ) dengan
suhu (T) jagad raya yang dirumuskan sebagai
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
136
ρ ∝T4.
(5.52)
Sedangkan juga pada masa dominasi radiasi, hubungan antara rapat energi dengan
ruji atau faktor skala kosmik (S) jagad raya dirumuskan sebagai
T ∝ S −1 .
(5.53)
Ketika T turun hingga 1,3 × 1011 K, ν µ dan ν µ (mungkin juga ν e dan ν e )
mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel dalam kesetimbangan
suhu
dan
mulai
melakukan
ekspansi
bebas
(free
expansion).
Tetapi,
ketidakgandengan ini tidak berdampak apa-apa pada distribusi partikel. Partikel
yang berada di dalam kesetimbangan suhu tersebut masih berperilaku seperti
partikel ultrarelativistik sehingga suhu mereka tetap sebanding dengan S −1 . Rapat
jumlah neutrino dan antineutrino bebas sebanding dengan S −3 dan mengalami
pergeseran merah oleh faktor S −1 seperti foton. Suhunya juga menurun mengikuti
S −1 . Selanjutnya terjadi ketidakgandengan (decoupled) kedua neutrino (ν e ,ν e )
pada saat T = 1010 K, namun hal ini juga tidak membawa pengaruh pada fungsi
distribusi neutrino dan antineutrino. Secara keseluruhan pada rentang suhu 1012 K
> T > 5 × 109 K, nilai rapat energi neutrino dan antineutrino baik untuk elektron
maupun untuk muon adalah sama yaitu sebesar
7 aT 4
16
(5.54)
8π 5 k 4
= 7,5 × 10−16 J m−3 K−4.
3 3
15c h
(5.55)
ρν e = ρν e = ρν µ = ρν µ = ρν =
dengan tetapan Stefan-Boltzmann
a=
Pada saat me < kT , e ± bersifat relativistik sehingga
ρ e − = ρ e + = 2 ρν =
7 aT 4
.
8
(5.56)
Rapat energi untuk elektron dan positron bernilai dua kali rapat energi neutrino
karena elektron dan positron memiliki dua keadaan spin. Rapat energi total jagad
raya saat rentang suhunya 1012 K > T > 5 × 109 K adalah jumlah rapat energi
neutrino, elektron, positron dan foton sebesar
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
137
ρ total =
9aT 4
.
2
(5.57)
Berikutnya saat T di bawah suhu 1010 K, partikel yang berperan penting di
dalam kesetimbangan suhu hanyalah e ± dan γ. Neutrino dan antineutrino tidak
mengalami pemanasan ketika pelenyapan elektron-positron sehingga suhu
keduanya turun sebanding dengan S −1 . Selanjutnya untuk T < 5 × 109 K, suhu
neutrino dan antineutrino ( Tν ) harus dibedakan dengan suhu foton dan partikel
bermuatan lainnya (T). Suhu foton lebih besar daripada suhu neutrino dengan
faktor sebesar
T

 Tν


T
=3
< 10 K
9
11
= 1,401 .
4
(5.58)
Untuk T < 109 K, partikel yang tersisa di kesetimbangan suhu adalah sejumlah
kecil nukleon dan elektron setelah seluruh pasangan e + e − mengalami proses
pelenyapan. Kedua nilai Tν dan T turun mengikuti S −1 dengan perbandingan
antara keduanya seperti yang disajikan pada persamaan di atas. Nantinya suhu
foton Tγ juga akan berbeda dengan suhu materi T setelah T turun di bawah 4000
K, yaitu saat suhu yang memungkinkan terbentuknya atom hidrogen. Suhu foton
ini akan terus menurun mengikuti S −1 .
Radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro yang ditemukan orang
memiliki suhu saat ini sebesar
Tγ 0 = 2,7 K.
(5.59)
Karena itu seharusnya suhu radiasi benda hitam neutrino dan antineutrino sebesar
Tν 0 =
Tγ 0
3
11 / 4
= 1,9 K.
(5.60)
Dari saat T ≈ 109 K hingga saat ini, rapat energi foton, neutrino dan
antineutrino yang membentuk rapat energi radiasi adalah
ρ R = 1,45 aTγ4 .
(5.61)
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
138
Selama masa dominasi radiasi, nilai rapat energi ρ ∝ S −4 . Solusi persamaan
dinamika jagad raya untuk keadaan tersebut adalah
t=
3
+ tetapan.
32πGρ
(5.62)
Tabel 5.2
Deskripsi suhu, usia dan ruji jagad raya
T (K)
T / Tν
S / S0
T (detik)
1 × 1012
1,000
1,9 × 10−12
0
6 × 1011
1,000
3,2 × 10−12
1,94 × 10−4
3 × 1011
1,000
6,4 × 10−12
1,13 × 10−3
2 × 1011
1,000
9,6 × 10−12
2,61 × 10−3
1 × 1011
1,000
1,9 × 10−11
1,08 × 10−2
6 × 1010
1,000
3,2 × 10−11
3,01 × 10−3
3 × 1010
1,001
6,4 × 10−11
0,121
2 × 10
−11
10
1,002
9,6 × 10
1 × 1010
1,008
1,9 × 10−10
1,103
6 × 109
1,022
3,1 × 10−10
3,14
3 × 109
1,081
5,9 × 10−10
13,83
2 × 109
1,159
8,3 × 10−10
35,2
1 × 109
1,346
2,6 × 10−9
1,82 × 102
3 × 108
1,401
9,0 × 10−9
2,08 × 103
1 × 108
1,401
2,7 × 10−8
1,92 × 104
1 × 107
1,401
2,7 × 10−7
1,92 × 106
1 × 106
1,401
2,7 × 10−6
1,92 × 108
1 × 105
1,401
2,7 × 10−5
1,92 × 1010
1 × 104
1,401
2,7 × 10−4
1,92 × 1012
4 × 103
1,401
6,3 × 10−4
1,20 × 1013
0,273
Semenjak 1012 K > T > 5 × 109 K, rapat energi dirumuskan oleh pers. (5.57)
sehingga diperoleh (nilai c diisikan)
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
139
t=
c2
+ tetapan
48πGaT 4
2
 1010 K 
 detik + tetapan.
= 1,09 × 

T


(5.63)
Jika t = 0 dimulai saat T = 1012 K (tentu saja yang benar tidak demikian), maka
diperlukan waktu 0,0107 detik agar suhu turun ke 1011 K dan selanjutnya sebesar
1,07 detik untuk turun ke 1010 K.
Adapun dari 109 K > T > Tγ 0 , waktu yang diperlukan adalah
t=
c2
+ tetapan
15,5πGaTγ4
2
 1010 K 
 + tetapan.
= 1,92 × 

 T 
(5.64)
Waktu yang diperlukan agar suhu turun dari 109 K menuju 108 K adalah sekitar 5,3
jam. Jika radiasi terus lebih dominan daripada materi sampai terbentuknya atom
hidrogen pada T = 4000 K, usia jagad raya saat itu sekitar 400.000 tahun.
Pada Tabel 5.2 disajikan deskripsi suhu usia, usia dan ruji jagad raya dengan
sumber dari Weinberg (1972).
5.8.
Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro
Pengembangan jagad raya menyebabkan suhunya menurun, demikian pula
dengan suhu radiasi foton. Hal ini membawa pula pada perubahan panjang
gelombang foton yang bergeser ke arah yang lebih besar, yang dikenal sebagai
pergeseran merah (red shift). Meskipun demikian, distribusi spektrum radiasi foton
tetap seperti yang dimiliki oleh radiasi benda hitam. Pada tahun 1940-an, para
ilmuwan kosmolog Big Bang seperti Gamow dan lainnya meramalkan bahwa suhu
“bola api” sekarang menurun menjadi suhu yang berorde 5 sampai dengan 10 K.
Foton-foton tersebut akan memiliki energi kT dalam orde 10−3 eV yang berkaitan
dengan panjang gelombang berorde 1 mm, yaitu dalam daerah spektrum
gelombang mikro (microwaves).
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
140
Spektrum panjang gelombang radiasi ini dilukiskan oleh distribusi Planck
melalui perumusan
u ( λ ) dλ =
8πhc
λ
5
dλ
exp(hc / λkT ) − 1
(5.65)
dengan u (λ ) dλ adalah rapat energi radiasi yang dipancarkan pada rentang
panjang gelombang λ dan λ + dλ . Distribusi panjang gelombang untuk suatu
suhu tertentu memiliki nilai maksimum pada λmax yang dirumuskan dalam hukum
pergeseran Wien sebagai
λmaxT = 2,898 × 10−3 K m.
(5.66)
Rapat energi radiasi total untuk seluruh panjang gelombang diperoleh dari hukum
Stefan-Boltzmann yaitu dengan mengintegralkan pers. (5.65) yang hasilnya
ρ=
∞
∫ u ( λ ) dλ =
λ =0
8π 5 k 4 4
T .
15c 3h 3
(5.67)
Ketika jagad raya mengembang, suhu T turun sehingga nilai λmax membesar.
Panjang gelombang λmax membesar dengan faktor f, yang berpadanan dengan
penurunan suhu T dengan faktor f sehingga ρ mengecil sebesar f 4 .
Dengan substitusi
λ=
hc
,
E
(5.68)
pers. (5.65) dapat dituliskan sebagai
u ( E ) dE =
8πE 3
dE
.
3 3
h c exp( E / kT ) − 1
(5.69)
Persamaan di atas menyatakan kerapatan energi foton. Jika nilai di atas dibagi E,
hasilnya menyatakan jumlah foton berenergi E persatuan volume atau n(E) yang
dirumuskan sebagai
n( E ) dE =
8πE 2
dE
.
3 3
h c exp( E / kT ) − 1
(5.70)
Jumlah foton untuk seluruh rentang energi persatuan volume atau N dapat dicari
dengan mengintegralkan persamaan di atas yang nilainya adalah
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
141
∞
8πk 3T 3
N = ∫ n( E ) dE = 3 3
hc
E =0
∞
x 2 dx
∫ exp( x) − 1
x =0
(5.71)
untuk mana telah dilakukan substitusi
x=
E
.
kT
(5.72)
Nilai integral tersebut dapat dicari secara numerik, sehingga akhirnya diperoleh
jumlah foton persatuan volume sebesar
N = 2,03 × 107 T 3 foton m−3.
(5.73)
Sementara itu nilai rapat energi dari pers. (5.67) adalah
ρ = 4,73 × 103 T 4 eV m−3,
(5.74)
sehingga energi rata-rata tiap foton adalah
Erata −rata =
ρ
N
= 2,33 × 10−4 T eV.
(5.75)
Selanjutnya beralih pada upaya eksperimental untuk mendeteksi radiasi
gelombang mikro serta penentuan suhunya. Dari pers. (5.65) tampak bahwa suhu T
dapat ditentukan dengan mengukur energi radiasi benda hitam pada sembarang
panjang gelombang. Namun untuk menunjukkan bahwa radiasinya mematuhi
aturan spektrum radiasi benda hitam, maka diperlukan pengukuran dalam suatu
rentang panjang gelombang.
Pada tahun 1965, Penzias dan Wilson menggunakan suatu teleskop radio
yang dipasang untuk panjang gelombang 7,35 cm. Pada panjang gelombang
tersebut terekam suatu “desis” yang mengganggu teleskop mereka yang sulit untuk
dihilangkan. Setelah upaya untuk menghilangkan gangguan itu ternyata sia-sia,
mereka berkesimpulan bahwa asal radiasi tersebut adalah suatu sumber tak dikenal
yang menghujami teleskop mereka dari segala arah, baik siang maupun malam.
Dari energi radiasi pada panjang gelombang 7,35 cm tersebut mereka
menyimpulkan bahwa suhu radiasi benda hitam adalah 3,1 ± 1,0 K. Dalam
perkembangan selanjutnya ternyata disimpulkan bahwa radiasi tersebut adalah
warisan dari “bola api” Big Bang. Pada Gambar 5.2 disajikan distribusi radiasi
benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro (Krane, 1992).
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
142
Gambar 5.2
Distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro
Sejak penemuan tersebut telah dilakukan pula pengamatan pada berbagai
panjang gelombang dalam rentang 0,1 hingga 100 cm. Semua pengamatan
memberikan kesimpulan suhu yang sama. Nilai baku suhu radiasi kosmik latar
belakang gelombang mikro adalah 2,7 ± 0,1 K. Semua hasil pengamatan
menampakkan kecocokan yang tinggi. Kecocokan ini akan lebih meyakinkan jika
dilakukan pula pengamatan pada panjang gelombang di bawah 0,1 cm. Hanya
sayangnya, radiasi pada panjang gelombang tersebut mengalami penyerapan kuat
oleh atmosfer bumi. Oleh karena itu teleskop radio di permukaan bumi tidak dapat
bermanfaat. Namun demikain data yang dicatat oleh stasiun balon yang
diterbangkan di atas atmosfer bumi membuktikan bahwa intensitas radiasi pada
rentang panjang gelombang di bawah 0,1 cm memang mematuhi aturan radiasi
benda hitam yang bersuhu 2,7 K (Krane, 1992).
Selain itu terdapat metode eksperimen lain yang mendukung kebenaran nilai
suhu yang disimpulkan dari pengukuran dengan teleskop radio. Salah satu molekul
dwiatom dalam ruang antarbintang yang dicirikan dari spektrum serapnya adalah
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
143
Sianogen atau CN. Tingkat energi molekul adalah gabungan dari keadaan
elektronik, vibrasi dan rotasi. Pada keadaan dasar, molekuk CN menyerap energi
radiasi pada panjang gelombang λ = 387,46 nm pada ujung biru spektrum tampak.
Keadaan rotasi pertama memiliki energi sebesar 4,70 × 10−4 eV di atas keadaan
dasar. Pada keadaan ini, panjang gelombang garis serapnya adalah 387,40 nm. Jika
kita mengukur spektrum serap, perbandingan intensitas kedua garis serap ini
merupakan ukuran perbandingan jumlah molekul pada keadaan dasar dan dalam
keadaan rotasi pertamanya.
Jika CN berada pada T = 0, semua molekulnya harus berada dalam keadaan
dasar. Pada suhu T, populasi keadaan eksitasi ditentukan oleh faktor Boltzmann
exp(− E / kT ) . Bobot statistik tingkat tersebut dirumuskan sebagai
N1 2 L1 + 1
=
exp[− ( E1 − E2 ) / kT ] .
N 2 2 L2 + 1
(5.76)
Oleh karena itu penentuan jumlah relatif molekul pada kedua tingkat tersebut
adalah suatu cara untuk menentukan suhu gas. Pengamatan terhadap intensitas
kedua garis serap gas CN di atas menunjukkan bahwa sekitar 25 % molekulnya
berada dalam keadaan tereksitasi. Persamaan di atas menjadi
25 % 2 × 1 + 1
=
exp(−4,70 × 10 − 4 eV / kT )
75 % 2 × 0 + 1
(5.77)
yang berarti
T = 2,5 K.
(5.78)
Hal ini berarti bahwa pada ruang antar bintang yang amat dingin, terdapat sesuatu
yang memanasi molekul-molekul gas CN sehingga memiliki suhu tersebut (Krane,
1992).
Pengamatan terhadap radiasi kosmik menunjukkan bahwa radiasi tersebut
bersifat isotrop (merata) pada seluruh arah hingga ketelitian 10−3. Sifat ini sesuai
dengan asas kosmologi.
Suhu T = 2,7 K ini dapat dikatakan sebagai suhu jagad raya. Hal ini tentu
saja berlaku untuk skala besar (large scale). Dengan menggunakan suhu ini, dapat
dihitung bahwa dalam setiap volume satu meter kubik ruang di jagad raya, terdapat
sekitar 4 × 108 buah foton. Sumbangannya bagi rapat energi jagad raya adalah
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
144
sekitar 2,5 × 105 eV m−3 atau kira-kira setengah dari energi rehat sebuah elektron.
Jadi setiap foton memiliki energi rata-rata sebesar 6,3 × 10−4 eV.
Mengingat fenomena di atas, pantaslah jika Big Bang merupakan salah satu
teori yang cukup menerangkan gejala penciptaan jagad raya dan ekspansinya.
Namun demikian terdapat teori baru yang mampu memberikan tambahan
penjelasan yang belum mampu dijelaskan oleh teori Big Bang, diantaranya adalah
teori jagad raya yang mengalami inflasi (inflationary universe). Hal-hal yang
belum dapat dijelaskan oleh teori Big Bang adalah, mengapa jagad raya nampak
begitu datar dan seragam, darimanakah munculnya ketidakteraturan rapat massa
jagad raya pada skala kecil, dan sebagainya. Namun demikian telaah jagad raya
yang mengalami inflasi tersebut tidak akan dibahas di sini.
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
145
Soal-Soal Latihan BAB V
1.
Jelaskan alasan mengapa munculnya pergeseran merah galaksi-galaksi jauh
merupakan isyarat terjadinya ekspansi jagad raya?
2.
Apakah tetapan Hubble benar-benar sebuah tetapan? Apakah terhadap jarak
yang jauh, ia mengalami perubahan? Bagaimanakah terhadap selang waktu
yang lama, akankah ia juga mengalami perubahan?
3.
Bagaimanakah kesimpulan anda, bahwa saat umur jagad raya sekitar 10 −4
detik, perbandingan antara jari-jari jagad raya saat itu dengan jari-jari jagad
raya saat ini adalah sekitar 10 −12 (jari-jari jagad raya saat ini sekitar 10 26
m)?
4.
Jelaskan perbedaan antara jagad raya terbuka, datar serta tertutup.
5.
Buktikan persamaan (5.15).
5.
Asumsikan suatu jagad raya bermetrik
ds 2 = −c 2 dt 2 + R 2 (t ) dr 2 + sin 2 r (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
dengan
R (t ) = R0t 2 / 3 .
Seorang pengamat pada t = t1 mengamati suatu galaksi yang berjarak pribadi
D tegaklurus dengan garis sight pada t = t0 . Tentukan pergeseran merah
yang diamati dalam suku R0 , t0 , t1 .
6.
Asumsikan jagad raya bersifat isotropik dan datar secara spasial. Metrik
jagad raya tersebut dapat mengambil bentuk
ds 2 = − dt 2 + a 2 (t )(dr 2 + r 2 dθ 2 + r 2 sin 2 θ dφ 2 )
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
146
dengan r , θ , φ adalah koordinat yang ikut bergerak (comoving coordinate).
Jagad raya ini diasumsikan didominasi matero dengan rapat materi ρ (t )
pada waktu t. Solusi persamaan Einstein adalah
aɺ 2 =
8πG
4πG
ρ a 2 dan aɺɺ = −
ρ a.
3
3
Dari fakta bahwa cahaya merambat sepanjang geodesik null, tunjukkan
bahwa pergeseran merah kosmologi dari garis spektrum yang dipancarkan
pada waktu te dan diterima pada waktu t0 yang didefinisikan sebagai
λ − λe
Z= 0
,
λe
adalah
a
Z = 0 −1
ae
dengan a0 = a(t0 ) dan ae = a (te ) .
7.
Asumsikan bahwa geometri jagad raya dilukiskan oleh metrik RobertsonWalker (c = 1)
 dr 2

+ r 2 dΩ 2  .
ds 2 = −dt 2 + R 2 (t )
 1 − kr 2



Sebuah pesawat ruang angkasa bergerak relatif terhadap seorang pengamat
kosmologis dengan kecepatan v. Beberapa waktu kemudian ketika jagad raya
telah mengembang dengan faktor skala 1 + z , tentukan kecepatan v' relatif
terhadap pengamat tersebut.
8.
Gunakan hukum Hubble untuk memperkirakan panjang gelombang 590 nm
spektrum garis Na yang diamati terpancarkan dari galaksi yang jaraknya dari
bumi adalah
(a)
1 juta tahun cahaya
(b)
100 juta tahun cahaya
(c)
1 milyar tahun cahaya
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
147
9.
Carilah panjang gelombang dari puncak spektrum radiasi benda hitam yang
bersuhu 2,7 K.
10.
Keadaan rotasi pertama sianogen berada pada energi 4,70 × 10 −4 eV di atas
keadaan dasar. Hitunglah populasi relatif keadaan dasar dan ketiga keadaan
rotasi pertama pada suhu T = 2,7 K.
11.
12.
Kapankah suhu jagad raya berada di bawah suhu ambang bagi
(a)
Penciptaan nukleon
(b)
Penciptaan meson π
(c)
Terbentuknya atom hidrogen
Saat jagad raya memungkinkan foton menghasilkan meson K ( E0 = 500
MeV)
13.
(a)
Pada suhu berapakah peristiwa itu dapat terjadi?
(b)
Pada usia berapakah jagad raya saat memiliki suhu tersebut?
Andaikata rapat jumlah neutrino saat terjadi Big Bang sama dengan rapat
jumlah foton sekarang, hitunglah energi diam seluruh neutrino yang dapat
memberikan kerapatan kritis yang diperlukan untuk menghasilkan jagad raya
tertutup.
14.
Karena kita belum memiliki teori kuantum gravitasi, kita tidak dapat
menganalisis jagad raya sebelum waktu Planck, sekitar 10 −43 detik. Jika kita
menganggap bahwa sifat jagad raya selama masa iu ditentukan oleh teori
kuantum, relativitas dan grvitasi, waktu Planck haruslah ditentukan oleh
tetapan dasar dari ketiga teori ini : h, c dan G. Jadi kita dapat menuliskan
t P = hα c β G γ .
(a)
Lakukan analisis dimensi untuk menentukan α , β dan γ .
(b) Hitunglah waktu Planck tersebut.
__________________________________________________________________
Kosmologi : Sejarah Jagad Raya
_________________________________________________________________________________________
148
(c)
Kita dapat pula melakukan hal yang sama untuk menentukan panjang
Planck l P dan massa Planck mP . Tentukan pula panjang Planck dan
massa Planck.
15.
Mengapa suhu neutrino lebih rendah daripada suhu radiasi latarbelakang
gelombang mikro?
__________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
149
BAB VI
KOSMOLOGI : DINAMIKA JAGAD RAYA
Interaksi antar materi pada skala besar jagad raya saat ini hanya dipengaruhi
oleh gravitasi. Karena itu, pemecahan persamaan medan gravitasi Einstein akan
sanggup memberikan deskripsi jagad raya secara klasik, baik pada asperk kualitatif
maupun kuantitatif. Ada beberapa model jagad raya yang dapat disajikan sebagai
penyelesaian persamaan Einstein.
6.1
Dinamika Jagad Raya
Persamaan medan gravitasi Einstein akan diselesaikan untuk objek fisis jagad
raya. Terlebih dahulu akan dihitung tensor energi-momentum gas galaksi. Setiap
partikel (galaksi) di jagad raya bergerak mengikuti garis dunia (world line).
Kecepatan−4 partikel tersebut dapat dinyatakan oleh vektor kontravarian V µ
Vµ =
dx µ
dτ
(6.1)
dengan x µ adalah vektor koordinat−4 dan τ adalah swawaktu (proper time) yang
diukur oleh jam standar yang ikut bergerak bersamanya. Partikel-partikel di jagad
raya dapat dianggap sebagai fluida sempurna (perfect fluid). Tensor energimomentum untuk fluida sempurna dirumuskan sebagai (Anugraha, 1997)
T µν = ( ρ + p )V µV ν + pg µν
(6.2)
dengan ρ adalah rapat massa galaksi dan p adalah tekanan jagad raya.
Sepanjang garis dunia partikel gas galaksi, koordinat (r , θ , φ ) bernilai
konstan. Dari keadaan ini, metrik Robertson-Walker (Anugraha, 1997) memberikan
ds 2 = −dt 2
(6.3)
ds 2 = −dτ 2
(6.4)
Padahal dari definisi,
yang berarti
τ =t.
(6.5)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
150
Jadi kecepatan−4 partikel tersebut di kerangka Robertson-Walker adalah
V µ = (1,0)
(6.6)
Komponen tensor metrik kovarian untuk metrik Robertson-Walker yang
nilainya tak lenyap adalah
g 00 = −1 , g11 =
S2
, g 22 = S 2 r 2 dan g 33 = S 2 r 2 sin 2 θ
2
1 − kr
(6.7)
Adapun pasangan komponen kontravarian yang tak nol adalah
g 00 = −1 , g 11 =
1 − kr 2
1
1
, g 22 = 2 2 dan g 33 = 2 2 2
2
S
S r
S r sin θ
(6.8)
Dari bentuk persamaan (6.1), tensor energi-momentum fluida sempurna
memiliki komponen kovarian
Tµν = ( ρ + p )VµVν + pg µν
(6.9)
Dari kecepatan−4 kontravarian di atas, nilai kecepatan−4 kovarian adalah
Vµ = (−1,0) .
(6.10)
Dengan demikian komponen kovarian tensor energi-momentum yang tak lenyap
adalah
T00 = ρ , T11 =
pS 2
, T22 = pS 2 r 2 dan T33 = pS 2 r 2 sin 2 θ
2
1 − kr
(6.11)
Lambang Christoffel jenis kedua dirumuskan sebagai (Lawden, 1992)
 ∂gνβ ∂g βµ ∂g µν
α
Γµν
= 12 g αβ  µ + ν − β
∂x
∂x
 ∂x



(6.12)
Dari pers. (6.7), (6.8) dan (6.12), nilai-nilai lambang Christoffel jenis kedua
yang tak lenyap adalah
0
Γmn
=
1
2
∂g mn
kr
1 dS a 1
2
1
, Γma 0 = Γ0am =
δ m , Γ11 =
, Γ22
= − r (1 − kr 2 ) , Γ33
=
2
∂t
S dt
1 − kr
1
2
3
Γ33
sin 2 θ , Γ122 = Γ21
= Γ133 = Γ31
=
1
2
3
3
, Γ33
= − 12 sin 2θ , Γ23
= Γ32
= cot θ
r
(6.13)
Tensor Ricci dirumuskan sebagai (Lawden, 1982)
Rµα =
ν
∂Γµν
∂x
α
−
ν
∂Γµα
ν
∂x
ν
β
ν
β
+ Γβα
Γµν
− Γβν
Γµα
(6.14)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
151
Dengan nilai-nilai lambang Christoffel di atas, nilai komponen tensor Ricci
yang tidak lenyap adalah
ν
∂Γ0νν ∂Γ00
ν
β
R00 = 0 − ν + Γβν 0 Γ0βν − Γβν
Γ00
∂x
∂x
=
∂ 1
∂
2
3
1 1
2 2
3 3
ν
(Γ01 + Γ02
+ Γ03
) − ν (0) + Γ10
Γ01 + Γ20
Γ02 + Γ30
Γ03 − Γβν
.0
∂t
∂x
3 d 2S
=
S dt 2
R11 =
(6.15)
ν
1 
 ∂Γ110 ∂Γ11
∂Γ1νν ∂Γ11
∂
ν
β
ν
β
1
2
3


+
−
+
Γ
Γ
−
Γ
Γ
=
(
Γ
+
Γ
+
Γ
)
−
β 1 1ν
βν 11
11
12
13
 ∂x 0
∂x1 
∂x1 ∂xν
∂x1

(
1 0
1
1 1
2 2
3 3
Γ11 + Γ110 Γ10
+ Γ11
Γ11 + Γ21
Γ12 + Γ31
Γ13
= Γ01
(
)
1 0
2 0
3 0
1 1
1
1
− Γ01
Γ11 + Γ02
Γ11 + Γ03
Γ11 + Γ11
Γ11 + Γ122 Γ11
+ Γ133 Γ11
1
=−
1 − kr 2
R22 =
)
2
 S d 2S

 dS 


+
2
+
2
k
 dt 
 dt 2



(6.16)
ν
∂Γ2νν ∂Γ22
ν
β
−
+ Γβν 2 Γ2βν − Γβν
Γ22
ν
2
∂x
∂x
(
3
2
1 
 ∂Γ22
∂Γ23
∂Γ22
2 0
1
3 3

=
−  0 + 1  + Γ02
Γ22 + Γ122 Γ22
+ Γ32
Γ23
2
∂x
∂x 
 ∂x
(
)
0 1
0 2
0 3
1 1
1 2
1 3
− Γ22
Γ01 + Γ22
Γ02 + Γ22
Γ03 + Γ22
Γ11 + Γ22
Γ12 + Γ22
Γ13
)
2
 S d 2S

 dS 
= − r2
+
2
+ 2k 
2


 dt

 dt 


R33 =
(6.17)
ν
∂Γ3νν ∂Γ33
ν
β
−
+ Γβν 3Γ3βν − Γβν
Γ33
ν
3
∂x
∂x
0
1
2 
 ∂Γ33
∂Γ33
∂Γ33
∂

= 3 (0) −  0 + 1 + 2 
∂x
∂x
∂x 
 ∂x
(
− (Γ
3 0
1
3 2
0 3
1 3
2 3
+ Γ03
Γ33 + Γ133 Γ33
+ Γ23
Γ33 + Γ33
Γ30 + Γ33
Γ31 + Γ33
Γ32
1 0
01Γ33
)
2 0
3 0
1 1
1
1
3 2
+ Γ02
Γ33 + Γ03
Γ33 + Γ11
Γ33 + Γ122 Γ33
+ Γ133 Γ33
+ Γ23
Γ33
)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
152
2
 S d 2S

 dS 


= − r sin θ
+
2
+
2
k
 dt 
 dt 2



2
2
(6.18)
Nilai skalar kelengkungan adalah
R = g µν Rµν = g 00 R00 + g 11R11 + g 22 R22 + g 33 R33
=−
6
S2
 S d 2 S  dS  2


+   +k
2
 dt

 dt 


(6.19)
Kini persamaan Einstein yang berbentuk
Rµν − 12 g µν R − g µν Λ = −8πGTµν
(6.20)
akan diselesaikan dengan menggunakan hasil-hasil di atas. Untuk komponen−00
diperoleh
R00 − 12 g 00 R − g 00 Λ = −8πGT00
3 d 2S
−
S dt 2
1
2
6
(−1) . − 2
S
 S d 2 S  dS  2


 − Λ.(−1) = − 8πGρ
+
+
k
 dt 
 dt 2



atau
2
 dS 
2
2
8
1
 dt  + k − 3 ΛS = 3 πGρS .
(6.21)
Untuk komponen−11 diperoleh
R11 − 12 g11R − g11Λ = −8πGT11
−
1
1 − kr 2
2
2
2
 S d 2S


6  S d 2 S  dS 
 dS 

 −1 S
 − Λ.(−1)
+
2
+
2
k
.
−
+
+
k
2 
2
 dt 
 dt 
 dt 2
 2 1 − kr 2

S
dt




=−
8πGpS 2
1 − kr 2
atau
2
2 S d 2 S  dS 
+   + k − ΛS 2 = −8πGpS 2 .
dt 2
 dt 
(6.22)
Untuk komponen−22 dan −33 juga diperoleh hasil yang sama dengan seperti pada
komponen−11.
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
153
Selanjutnya model jagad raya standar diperoleh jika Λ = 0. Bentuk pers.
(6.21) dan (6.22) berturut-turut menjadi
Sɺ 2 + k = 83 πGρS 2
(6.23)
2 SSɺɺ + Sɺ 2 + k = −8πGpS 2
(6.24)
Pada bentuk di atas telah digunakan lambang
dS
Sɺ =
dt
(6.25)
d 2S
Sɺɺ = 2
dt
(6.26)
dan
untuk menyingkat penulisan. Jika pers. (6.23) dan (6.24) digabungkan, diperoleh
4πG
Sɺɺ = −
( ρ + 3 p) S
3
(6.27)
atau
2 SɺSɺɺ = −
8πG
( ρ + 3 p ) SSɺ .
3
(6.28)
Sementara itu kalau pers. (6.23) diturunkan ke t, didapat bentuk
2 SɺSɺɺ =
8πG d ( ρS 2 )
3
dt
(6.29)
Dengan menyamakan ruas kanan (6.28) dan (6.29) diperoleh bentuk
d ( ρS 2 )
+ ( ρ + 3 p ) SSɺ = 0 .
dt
(6.30)
Jika pada ruas kiri persamaan terakhir dikalikan dengan S, bentuk terakhir tersebut
menjadi
S
d ( ρS 2 )
d ( ρS 3 )
d (S 3 )
+ ρS 2 Sɺ + 3 pS 2 Sɺ =
+p
=0
dt
dt
dt
(6.31)
atau
d ( ρS 2 )
d (S 3 )
= −p
.
dt
dt
(6.32)
Alternatif bentuk lain untuk pers. (6.32) adalah
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
154
S3
dp d [ S 3 ( ρ + p )]
.
=
dt
dt
(6.33)
Pers. (6.33) dikenal sebagai persamaan kekekalan energi. Sementara itu pers. (6.32)
dapat dibentuk menjadi
d ( ρS 3 )
d (S 3 ) ɺ
Sɺ
= −p
S
dt
dt
(6.34)
d ( ρS 3 )
= −3 pS 2 .
dS
(6.35)
atau
Dengan menyatakan persamaan keadaan p = p ( ρ ) , persamaan terakhir dapat
digunakan untuk menyatakan ρ sebagai fungsi S. Sebagai contoh jika rapat energi
jagad raya didominasi oleh materi non-relativistik dengan pengabaian nilai tekanan
(p ≈ 0 ), pers. (6.35) memberikan
ρS 3 = konstan.
(6.36)
Pada keadaan dimana rapat energi didominasi oleh partikel relativistik (radiasi)
maka p = 13 ρ (Weinberg, 1972) sehingga dari (6.35) diperoleh
ρS 4 = konstan.
(6.37)
Dengan mengetahui ρ sebagai fungsi S, dapat ditentukan S(t) untuk seluruh
waktu t. Model jagad raya dengan metrik Robertson-Walker ini dikenal dengan
model Friedmann.
Dinamika jagad raya di masa lalu, sekarang dan masa depan dapat dianalisis
melalui persamaan-persamaan yang telah disebutkan di atas. Pers. (6.27)
menunjukkan bahwa “percepatan” Sɺɺ / S bernilai negatif karena besaran ρ + 3 p
selalu positif. Karena menurut definisi S > 0 dan Sɺ / S juga > 0 (karena yang
nampak pergeseran merah, bukan pergeseran biru), maka kurve S(t) dengan t
haruslah berbentuk kurve cekung dan memiliki nilai S(t) = 0 pada suatu waktu
tertentu di masa lalu. Didefinisikan pada saat itu sebagai awal waktu t = 0 sehingga
S (t = 0) = 0
(6.38)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
155
Waktu saat ini (t 0 ) disebut usia jagad raya sejak t = 0. Jika Sɺɺ = 0 untuk 0 ≤ t ≤ t 0
maka Sɺ = K = konstan dan S = Kt. Nilai
Sɺ (t 0 )
= H 0 = t 0−1
S (t 0 )
(6.39)
t 0 = H 0−1
(6.40)
atau
Karena Sɺɺ selalu negatif untuk 0 ≤ t ≤ t 0 maka usia jagad raya haruslah lebih kecil
dari waktu Hubble yang dirumuskan sebagai
t 0 < H 0−1
(6.41)
Untuk saat di masa depan, nilai tekanan p tidak pernah negatif. Dari pers.
(6.32) nampak bahwa rapat ρ harus lebih kecil dari kenaikan S 3 .
Untuk nilai k = −1, Sɺ (t ) definit positif, sehingga S (t ) monoton naik. Saat t
→ ∞ , S (t ) → ∞ . Untuk k = 0, S (t ) juga monoton naik, tetapi kenaikannya lebih
lambat dari t. Adapun untuk k = +1, Sɺ (t ) = 0 ketika ρS 2 = 3 / 8πG . Karena Sɺɺ
definit negatif maka S (t ) akan membesar lalu mencapai nilai maksimum (saat Sɺ (t )
= 0) lalu mengecil sampai S = 0 pada suatu waktu yang terhingga di masa depan.
Jadi secara kualitatif, model dan nasib jagad raya di masa depan ditentukan oleh
tanda kelengkungan ruang. Jika k = −1 atau 0, jagad raya akan berekspansi selamalamanya. Sedangkan jika k = +1, ekspansi terseut akan berhenti dan kemudian
mengalami kontraksi balik menuju keadaan singular S = 0.
6.2
Rapat Energi dan Tekanan Jagad Raya
Pada masa kini ( t = t 0 ) , rapat energi dan tekanan jagad raya diberikan oleh
pers. (6.23) dan (6.24) sebagai
ρ0 =
3(k / S 02 + H 02 )
8πG
(6.42)
dan
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
156
p0 = −
k / S 02 + (1 − 2q0 ) H 02
8πG
(6.43)
Disini, S 0 adalah faktor skala kosmik untuk saat sekarang (t = t0 ) , H 0 dan q0
berturut-turut adalah konstanta Hubble dan parameter perlambatan, dengan nilai
masing-masing 75 km(s Mpc)−1 dan 1,2. Dari pers. (6.42), nilai kelengkungan ruang
k / S 02 dapat bernilai positif, nol atau negatif, sehingga ρ 0 dapat bernilai lebih
besar, sama atau lebih kecil dari rapat kritis (critical density) yang dirumuskan
sebagai
3H 02
= 1,1 × 10−26 kg/m3
ρc =
8πG
(6.44)
untuk mana telah diisikan nilai k = 0.
Akan terlihat nanti bahwa nilai
p0 << ρ 0
(6.45)
sehingga dapat diambil nilai p0 = 0. Hal ini menunjukkan bahwa rapat energi jagad
raya saat ini didominasi oleh materi non-relativistik. Pers. (6.43) menjadi
k
= (2q0 − 1) H 02
2
S0
(6.46)
dan (6.42) memberikan perbandingan rapat energi saat ini dengan rapat kritis (6.44)
sebagai
ρ0
= 2q0
ρc
(6.47)
atau
ρ0 =
3q0 H 02
.
4πG
(6.48)
Pers. (6.48) di atas memberikan informasi bahwa q0 tidak pernah bernilai
negatif. Maka untuk q0 >
sedangkan untuk q0 <
1
2
1
2
, kelengkungan jagad raya bernilai positif (k = +1),
, kelengkungan jagad raya bernilai negatif (k = −1). Jika
rapat energi jagad raya saat ini sama dengan rapat kritis maka ruang-waktu bersifat
datar yang berkorelasi dengan nilai q0 = 12 .
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
157
Berdasarkan pengamatan, rapat massa-energi jagad raya yang disumbang oleh
materi yang tampak, yaitu galaksi adalah (Weinberg, 1972)
ρ galaksi = 3,1 × 10 −28 kg / m3 .
(6.49)
Jika massa-energi hanya terkonsentrasi di galaksi, pers. (6.48) memberikan nilai
parameter perlambatan
q0 = 0,014 jika ρ 0 = ρ galaksi
(6.50)
yang berimplikasi pada model jagad raya terbuka dengan kelengkungan ruang
bernilai negatif. Namun, nilai q0 ini tidak sesuai dengan hasil analisis q antara
hubungan pergeseran dan luminositas yang memberikan nilai q0 = 1,2 (Weinberg,
1972). Di sini ada dua kemungkinan penyebab terjadinya ketidaksesuaian. Pertama,
penghitungan nilai q melalui hubungan pergeseran merah dan luminositas
menghasilkan nilai q0 yang tidak sesuai. Atau kedua, adanya massa yang hilang
(missing mass) berupa materi gelap (dark matter) yang belum dapat dideteksi orang.
Tampaknya, kemungkinan kedua inilah yang lebih masuk akal. Sebab paling tidak,
ada beberapa kandiidat materi jagad raya yang dapat menyumbang massa-energi
agar nilai rapat kritis dapat terlampaui, seperti lubang hitam (black holes), lubang
hitam mini, radiasi latar belakang gelombang mikro, “lautan” neutrino, graviton
serta materi antar galaksi. Faktor kesulitan teknologi yang menyebabkan orang
belum dapat memastikan materi apa saja yang dapat menyumbang massa jagad agar
dapat melebihi massa kritis jagad raya.
6.3
Masa Dominasi Materi
Dinamika jagad raya dapat ditentukan melalui solusi persamaan Einstein
(6.23) dan (6.24) dengan pengabaian tetapan kosmologi Λ
8πGρS
Sɺ 2 + k =
3
dan
2
2 SSɺɺ + Sɺ 2 + k = −8πGpS 2 .
(6.51)
(6.52)
Pada masa dominasi materi, p dapat diabaikan (p ≈ 0 ) sehingga pers. (6.52)
menjadi
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
158
2SSɺɺ + Sɺ 2 + k = 0 .
(6.53)
Bentuk terakhir ini dapat dituliskan menjadi
d ( SSɺ 2 )
= − kSɺ .
dt
(6.54)
Jika persamaan tersebut diintegralkan, dihasilkan bentuk
SSɺ 2 = C − kS
(6.55)
dengan C suatu tetapan integrasi. Dengan substitusi (6.55) ke (6.51) diperoleh
ρS 3 =
3C
= tetapan
8πG
(6.56)
yang menunjukkan bahwa C adalah suatu tetapan positif. Pers. (6.56) melukiskan
bahwa selama masa dominasi materi, berlaku persamaan kekekalan massa-energi
dengan bentuk yang serupa dengan pers. (6.12).
Pada saat sekarang ini, jagad raya didominasi oleh materi. Pers. (6.52) dapat
dituliskan menjadi
2
 SSɺɺ   Sɺ 
k
= −2 2  −   = (2q0 − 1)H 02
S 02
 Sɺ  0  S  0
S 02 =
atau
k
.
(2q0 − 1)H 02
(6.57)
(6.58)
dengan indeks−0 menyatakan keadaan pada masa sekarang. Pers. (6.55) dapat
dituliskan sebagai
C = S 0 Sɺ02 + kS0 = S 03 H 02 + kS0 .
(6.59)
Dengan substitusi (6.59) ke (6.56), besaran C dapat dinyatakan dalam besaran q0
dan H 0 untuk tiga nilai k :
•
Untuk k = +1, q0 > 12 : C =
•
Untuk k = 0, q0 =
•
Untuk k = −1, q0 < 12 : C =
1
2
2q0
H 0 (2q0 − 1)3 / 2
: C = S 03 H 02
2q0
H 0 (1 − 2q0 )3 / 2
(6.60)
(6.61)
(6.62)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
159
Pers. (6.55) akan diselesaikan untuk menentukan nilai S dan t sebagai fungsi
suatu parameter θ
yang dikenal dengan sudut pengembangan jagad raya
(development angel)
6.3.1 Untuk k = + 1
Pers. (6.55) menjadi
SSɺ 2 = C − S .
(6.63)
Melalui persamaan transformasi
S=
C (1 − sin θ )
2
(6.64)
diperoleh
Cθɺ sin θ
Sɺ =
2
(6.65)
C (1 − cos θ )θɺ
= 1.
2
(6.66)
sehingga pers. (6.63) menjadi
Dengan mengintegralkan ke t diperoleh
t=
C (θ − sin θ )
+D
2
(6.67)
dengan D suatu tetapan integrasi. Dari syarat awal S(t) = 0 dihasilkan D = 0.
Dengan substitusi nilai C dari pers. (6.60) akhirnya diperoleh
S=
q0
(1 − cos θ )
H 0 (2q0 − 1) 3 / 2
(6.68)
t=
q0
(θ − sin θ ) .
H 0 (2q0 − 1)3 / 2
(6.69)
dan
Pers. (6.68) dan (6.69) melukiskan kurva S sebagai fungsi t dengan parameter
θ yang berbentuk sikloid. Kurva tersebut ditampilkan pada Gb. 1. Jagad raya yang
dilukiskan oleh nilai k = +1 ini adalam jagad raya yang berhingga (finite universe).
Jagad raya pada model ini berekspansi dari keadaan singular
S = t =θ = 0,
(6.70)
lalu ketika θ = π mencapai ruji maksimum sebesar
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
160
S maks =
2q0
H 0 (2q0 − 1)3 / 2
(6.71)
pada saat
t=
πq0
H 0 (2q0 − 1) 3 / 2
(6.72)
kemudian kembali berkontraksi menuju singularitas ketika θ = 2π pada saat
t=
2πq0
.
H 0 (2q0 − 1) 3 / 2
(6.73)
Jika pers. (6.68) dan (6.69) diturunkan ke θ akan diperoleh laju pertambahan
ruji jagad raya sebesar
dS
dS dθ 1 + cos θ
=
=
.
dt
dt
sin θ
dθ
(6.74)
Laju pertambahan ruji jagad raya pada saat awal ketika jagad raya mulai
berekspansi yaitu saat t → 0 + atau θ → 0 + adalah
lim
t → 0+
dS
→∞.
dt
(6.75)
Keanehan nilai tersebut sudah dapat diduga, mengingat adanya asumsi
pengabaian tekanan. Padahal pada masa awal, jagad raya didominasi oleh radiasi
sehingga pengabaian tersebut tidak benar. Namun demikian asumsi tersebut dapat
dibenarkan untuk masa sekarang ini. Dapat dihitung pula laju pengerutan ruji jagad
raya ketika mengakhiri masa kontraksi menuju keadaan singularitas adalah sebesar
lim
θ → 2π
dS
→ −∞ .
dt
−
(6.76)
Adapun laju pengembangan ruji jagad raya pada ruji maksimum tentu saja sama
dengan nol, yang terjadi saat θ = π .
Hasil dua persamaan di atas menunjukkan bahwa ada suatu masa tertentu
dimana laju pengembangan / pengerutan ruji jagad raya melebihi laju cahaya di
ruang hampa yang dirumuskan sebagai
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
161
dS 1 + cos θ
=
>1= c
dt
sin θ
(6.77)
0 < θ < π / 2 atau 3π / 2 < θ < 2π .
(6.78)
sehingga diperoleh
Hal ini berarti setengah dari sudut sudut pengembangan jagad raya ketika
berekspansi atau setengah dari sudut pengerutan jagad raya ketika berkontraksi
menyebabkan laju pertambahan / pengerutan ruji jagad raya lebih besar daripada
laju cahaya di ruang hampa.
Selanjutnya akan ditentukan ruji dan usia jagad raya saat ini. Pers. (6.64)
dapat dituliskan sebagai
cos θ 0 = 1 −
2S0
1
=
−1
C
q0
(6.79)
 1

− 1
 q0

(6.80)
2q0 − 1
.
q0
(6.81)
sehingga
θ 0 = cos −1 
dan
sin θ 0 =
Jika hasil ini diisikan ke dalam pers. (6.68) dan (6.69) dihasilkan nilai-nilai
S0 =
H0
1
2q0 − 1
(6.82)
dan
t0 =
 −1 −1
q0
1 
 cos (q0 − 1) −
.
3/ 2 
2q0 − 1 
H 0 (2q0 − 1) 
(6.83)
Dengan mengisikan nilai H 0 = 75 km (s.Mpc)−1 atau H 0−1 = 13 milyar tahun dan
q0 = 1,2 maka diperoleh nilai
Ruji jagad raya = S 0 = 11 milyar tahun cahaya
(6.84)
dan
Usia jagad raya = t 0 = 7 milyar tahun
(6.85)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
162
Hubungan antara rapat energi dan sudut pengembangan θ dapat diturunkan
dari pers. (6.51). Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai
3( Sɺ 2 + 1)
ρ=
8πGS 2
(6.86)
Dengan menggunakan hasil (6.68) dan (6.74) diperoleh
ρ=
3H 02 (2q0 − 1) 3
.
4πGq02 (1 − cos θ ) 3
(6.87)
Ini berarti ketika t → 0 + atau θ → 0 + maka ρ → ∞ yang menunjukkan bahwa rapt
energi jagad raya saat terjadi Big Bang bernilai takhingga. Nilai rapat energi jagad
raya saat ini sebesar ρ 0 dapat dihitung dengan hasil
ρ0 =
3H 02 (2q0 − 1) 3
3H 02 q0
=
4πG
4πGq02 (2 − q0−1 ) 3
(6.88)
yang identik dengan hasil yang ditelaah sebelumnya.
Dari pers. (6.80), secara umum q berubah terhadap waktu t atau sudut
pengembangan θ yang dirumuskan sebagai
q=
1
1 + cos θ
(6.89)
Karena θ mulai dari 0 − 2π sepanjang evolusi jagad raya, maka nilai q bernilai
mulai dari
1
2
sampai ∞ ketika ruji jagad raya mencapai maksimum lalu mengecil
kembali ke nilai
1
2
.
6.3.2 Untuk k = 0
Pers. (6.55) menjadi
SSɺ 2 = C.
(6.90)
Dengan mengintegralkan pers. (6.90) terhadap t kemudian menggunakan pers.
(6.61) akan dihasilkan
S  3H 0 t 
=

S0  2 
2/3
(6.91)
Grafik S versus t terdapat pada Gb. 1. Limit t → ∞ menghasilkan nilai S → ∞ . Jadi
jagad raya dengan k = 0 adalah model jagad raya terbuka (open universe). Nilai S
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
163
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ruji jagad raya karena jagad raya menurut
model ini tidak bertepi. Oleh karena itu S(t) lebih tepat disebut sebagai suatu faktor
skala kosmik yang menyatakan pengembangan jagad raya. Nilai maksimum S(t)
tidak bermakna.
Usia jagad raya saat ini ketika S = S 0 adalah
t0 =
2
3H 0
(6.92)
Dengan H 0−1 = 13 milyar tahun, diperoleh
Usia jagad raya = t 0 = 8,7 milyar tahun.
(6.93)
Jika pers. (6.91) diturunkan ke pers. t dihasilkan
1/ 3
dS  2 H 02 S 03 

=
dt  3t 
(6.94)
yang menunjukkan bahwa laju pengembangan mula-mula bernilai tak hingga,
kemudian terus mengecil hingga mendekati nol saat t → ∞ .
Rapat energi jagad raya dapat ditentukan yaitu
ρ=
1
.
6πGt 2
(6.95)
Rapat energi saat ini menjadi
2

 2  


ρ 0 = 6πG

3H 0  



−1
=
3H 02
= ρc
8πG
(6.96)
sesuai dengan pers. (6.44). Jadi rapat energi saat ini sejak dari t = 0 hingga menuju
takhingga menurut model k = 0 sama dengan rapat kritis. Secara umum untuk
rentang waktu yang panjang, rapat energi jagad raya untuk model k = 0 selalu sama
dengan rapat kritisnya.
6.3.3 Untuk k = −1
Pers. (6.55) menjadi
SSɺ 2 = C + S .
(6.97)
Melalui persamaan transformasi
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
164
S=
q0
C (cosh ψ − 1)
=
(cosh ψ − 1)
2
H 0 (1 − 2q0 ) 3 / 2
(6.98)
t=
q0
C (sinh ψ − ψ )
=
(sinh ψ − ψ )
2
H 0 (1 − 2q0 ) 3 / 2
(6.99)
diperoleh
Pada Gb. 1 ditunjukkan kurva S sebagai fungsi t. Seperti halnya pada model k
= −1, jika t → ∞ atau ψ → ∞ maka S → ∞ . Jadi S di sini adalah faktor skala
kosmik, bukan ruji jagad raya karena nilainya tak memiliki makna. Ini dapat juga
dipahami dari nilai kelengkungan ruang yang negatif.
Jika (6.98) dan (6.99) masing-masing diturunkan ke ψ akan diperoleh laju
pengembangan jagad raya sebesar
dS dS / dψ cosh ψ + 1
=
=
.
dt
dt / dψ
sinh ψ
(6.100)
k = −1
S
k=0
k = +1
O
t
Gambar. 6.1
Kurva S sebagai fungsi t untuk tiga nilai k
Ketika jagad raya mulai mengembang ( t → 0 + atau ψ → 0 + ) menurut model ini
didapat laju pengembangan faktor skala kosmik sebesar
lim
t → 0+
dS
→∞.
dt
(6.101)
Adapun untuk t → ∞ maka nilainya adalah
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
165
lim
t→∞
dS
=1= c .
dt
(6.102)
Hal ini menunjukkan bahwa laju pengembangan jagad raya pada model k = −1
sepanjang waktu selalu lebih besar dari laju cahaya di ruang hampa.
Dengan menggunakan hasil (6.97) dan (6.100), terdapat ungkapan
cosh ψ 0 = 1 +
2S
1
=
−1
C q0
(6.103)
sehingga
 1

− 1
 q0

ψ 0 = cosh −1 
(6.104)
dan
sinh ψ 0 =
1
.
q0 (1 − 2q0 )3 / 2
(6.105)
Jika hasil ini dimasukkan ke dalam pers. (6.99) akan dihasilkan bentuk
t0 =
1
H0
 1
q0 cosh −1 (q0−1 − 1) 

.
−
 1 − 2q

(1 − 2q0 )
0


(6.106)
Dengan anggapan bahwa rapat massa-energi jagad raya hanya terkonsentrasi di
galaksi, maka nilai q0 = 0,0014. Dengan H 0−1 = 13 milyar tahun, diperoleh
Usia jagad raya = t 0 = 12,4 milyar tahun.
(6.107)
Hubungan antara rapat energi dan ψ dapat dituliskan sebagai
ρ=
3( Sɺ 2 − 1)
.
8πGS 2
(6.108)
Dengan menggunakan pers. (6.98) dan (6.100), pers. (6.108) dapat dituliskan
menjadi
ρ=
3H 02 (1 − 2q0 ) 3
.
4πGq02 (cosh ψ − 1) 3
(6.109)
Ini berarti bahwa untuk t → 0 + atau ψ → 0 + maka ρ → ∞ . Adapun untuk t → ∞
atau ψ → ∞ maka ρ → 0 . Nilai rapat energi saat ini sebesar ρ 0 dapat dihitung
sebesar
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
166
ρ0 =
3H 02 (1 − 2q0 )3
3H 02 q0
=
4πG
4πGq02 (q0−1 − 2) 3
(6.110)
yang serupa dengan pers. (6.44).
Dari pers. (6.103), secara umum q menurut model k = −1 berubah terhadap
waktu t atau ψ dengan perumusan
q=
1
.
1 + cosh ψ
Karena ψ mulai dari 0 − ∞, maka q mulai dari
6.4
1
2
(6.111)
lalu mengecil sampai dengan nol.
Horison Partikel dan Horison Peristiwa
Ditinjau koordinat r untuk mana suatu objek memancarkan foton pada waktu
t1 yang selanjutnya diamati pada waktu t 0 di koordinat r = 0. Karena t1 tidak dapat
lebih kecil dari t = 0 saat ekspansi jagad raya dimulai, jarak objek terjauh dengan
koordinat r yang dapat diamati saat ini disebut dengan horison partikel (particle
horison) yang dirumuskan sebagai
r
d H = S0 ∫
0
t0
dr
1 − kr
2
dt
.
S
0
= S0 ∫
(6.112)
Untuk k = +1, pers. (6.68) dan (6.69) memberikan
dt
= dθ
S
(6.113)
sehingga dengan menggunakan pers. (6.80) dan (6.82) diperoleh
θ0
d H = S 0 ∫ dθ = S 0θ 0 =
0
cos −1 (q0−1 − 1)
H 0 2 q0 − 1
(k = +1)
(6.114)
Untuk k = 0 dan −1, nilai d H berturut-turut adalah
t0
d H = S0 ∫
0
ψ0
dt
2
=
2/3
H0
S 0 (3H 0t / 2)
d H = S 0 ∫ dψ =
0
cosh −1 (q0−1 − 1)
H 0 1 − 2 q0
(k = 0)
(6.115)
(k = −1)
(6.116)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
167
Dengan mengisikan nilai H 0−1 = 13 milyar tahun, q0 = 1,2 (k = +1) dan
q0 = 0,0014 (k = −1), diperoleh horison partikel dengan nilai berturut-turut :
•
19 milyar tahun cahaya (k = +1),
•
26 milyar tahun cahaya (k = 0), dan
•
65 milyar tahun cahaya (k = −1).
Jika sebuah peristiwa di koordinat r terjadi pada waktu t 0 , kita akan
mengamatinya pada waktu t1 yang dirumuskan oleh persamaan
r
∫
0
dr
1 − kr
=
2
t1
dt
∫S
.
(6.117)
t0
Jarak terjauh suatu peristiwa yang dapat kita amati adalah
d E = S0
t max
∫
t0
dt
S
(6.118)
dengan
t max =
2πq0
untuk k = +1
H 0 (2q0 − 1)3 / 2
(6.119)
untuk k = 0 atau −1.
(6.120)
dan
t max = ∞
Besaran d E ini disebut sebagai horison peristiwa (event horison)
Pada kasus k = +1, nilai d E adalah
d E = S 0 (θ max − θ 0 ) =
2π − cos −1 (q0−1 − 1)
H 0 2q0 − 1
(6.121)
Dengan mengisikan nilai-nilainya diperoleh horison peristiwa untuk k = +1 sebesar
50 milyar tahun cahaya. Arti fisis horison peristiwa ini adalah cahaya yang
dipancarkan dari suatu peristiwa terjauh tidak akan kita amati sebelum jagad raya
jatuh menuju keadaan singularitas. Adapun untuk k = 0 atau −1, diperoleh d E
takhingga sehingga peristiwa terjauh yang terjadi saat ini tidak akan dapat diamati.
6.5
Masa Dominasi Radiasi
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
168
Dibandingkan dengan masa kini, peran radiasi bak elektromagnetik pada
masa awal ekspansi jagad raya menjadi dominan (Peebles, 1971). Meskipun saat itu
radiasi dan materi berada dalam keadaan setimbang dengan yang satu menciptakan
yang lain atau sebaliknya, materi memiliki energi amat tinggi sehingga berperilaku
ultra relativistik. Dari teori relativitas khusus, energi materi ultra relativistik bernilai
E = p 2 + m 2 ≈ p , seperti yang berlaku bagi radiasi. Karena materi berperilaku
sama seperti radiasi, masa awal jagad raya ditelaah dengan asumsi seolah-olah
jagad raya hanya berisi radiasi. Dengan demikian rapat energi jagad raya saat itu
tidak lain adalah rapat energi radiasi bak radiasi elektromagnetik.
Radiasi latar belakang gelombang mikro yang ditemukan pada tahun 1965
oleh Penzias dan Wilson didapati bersifat isotrop untuk setiap pengamat galaksi.
Rapat energi radiasi adalah ρ yang bernilai sama untuk setiap pengamat. Untuk
pengamat yang ikut bergerak dalam kerangka Robertson-Walker, nilai kecepatan−4
pengamat kontravarian adalah
V µ = (1,0)
(6.122)
Diasumsikan bahwa variasi wakttu terhadap komponen medan E m dan B m radiasi
tersebut bersifat acak. Kaitan antara komponen tersebut dirumuskan sebagai
< E m E n > + < B m B n > = Aη mn
dengan tanda <
(6.123)
> menunjukkan nilai rerata. Jika dilakukan penjumlahan pada
persamaan di atas meliputi jangkauan m, n = 1, 2, 3 maka diperoleh
3
2 2
m n
m n
<
E
E
>
+
<
B
B
>
=
E
+ B = 2ρ = A
∑
m,n =1
3
∑η mn = 3 A
(6.124)
m , n =1
atau
A=
2ρ
3
(6.125)
sehingga pers. (6.124) menjadi
2 ρη mn
<E E >+<B B >=
.
3
m
n
m
n
(6.126)
Nilai komponen tensor energi−momentum medan elektromagnetik T µν
dirumuskan sebagai
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
169
T
dengan
T mn
(6.127)
)
+ B 2 adalah rapat energi medan elektromagnetik
= T m 0 = S m = (E × B) m adalah komponen ke−m vektor Poynting
= 12 η mn E 2 + B 2 − E m E n + B m B n adalah tensor tegangan Maxwell.
T 00 = ρ =
T 0m
(E
ρ
S 

=  mn 
S
T


µν
1
2
2
(
) (
)
(6.128)
(6.129)
(6.130)
Akan dihitung nilai rata-rata komponen T µν dari nilai di atas. Dari pers.
(6.130) diperoleh
(
) (
< T mn > = 12 < η mn > E 2 + B 2 − < E m E n > + < B m B n >
)
(6.131)
Jika i ≠ j maka
< T mn > = 0.
(6.132)
Sedangkan untuk i = j berlaku
< T mn > =< T 11 > =< T 22 > =< T 33 > = −
2ρ 1
ρ
+ 2 .2 ρ =
3
3
(6.133)
Selanjutnya mengingat radiasi bersifat ajeg (steady), laju aliran energi pada
sembarang arah bernilai nol sehingga nilai rata-rata vektor Poynting lenyap yang
dirumuskan sebagai
< S m > = < T 0m > = < T m0 > = 0
(6.134)
Sementara itu
< T 00 > = ρ .
(6.135)
Dengan demikian hanya untuk µ = ν sajalah yang mengakibatkan nilai T µν tidak
lenyap. Jadi T µν dari pers. (6.127) tereduksi ke bentuk
T µν = 43 ρV µV ν + 13 η µν ρ
dengan kecepatan−4 pengamat galaksi V µ = (1,0) .
(6.136)
(6.137)
Persamaan di atas dapat dituliskan dalam bentuk kovarian sebagai
Tµν = 43 ρVµVν + 13 η µν ρ
(6.138)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
170
Dalam kerangka Robertson-Walker, bentuk η µν diperluas menjadi tensor metrik
g µν . Sementara itu kecepatan−4 kovarian pengamat galaksi adalah Vµ = (1,0) .
Dengan demikian komponen tensor medan elektromagnetik di dalam kerangka
Robertson-Walker dapat dihitung sebagai
T00 = ρ , T11 =
ρS 2
3(1 − kr 2 )
, T22 =
ρS 2 r 2
3
dan T33 =
ρS 2 r 2 sin 2 θ
3
(6.139)
Jika pers. (6.139) dihubungkan dengan pers. (6.11) untuk fluida sempurna,
nampak bahwa radiasi elektromagnetik berlaku untuk seperti fluida sempurna
dengan rapat energi ρ dan tekanan yang setara dengan nilai
1
3
ρ . Dengan demikian
pada masa dominasi radiasi dapat dikatakan bahwa nilai tekanan jagad raya sama
dengan sepertiga nilai rapat energinya.
Dengan menggunakan nilai komponen tensor Ricci yang telah dihitung,
persamaan Einstein untuk objek jagad raya pada masa dominasi radiasi dapat
diselesaikan.
Dengan
mengabaikan
tetapan
kosmologi
Λ,
komponen−00
memberikan
8πGρS
Sɺ 2 + k =
3
2
(6.140)
sedangkan komponen−11, −22 dan −33 memberikan hasil yang sama berupa
8πGρS
2 SSɺɺ + Sɺ 2 + k = −
3
2
(6.141)
Telah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa pada
masa-masa awal ekspansi jagad raya, nilai
dS
Sɺ =
>> 1 = k
dt
(6.142)
untuk ketiga nilai k. Jadi nilai k pada dua penyelesaian persamaan Einstein di atas
dapat diabaikan. Dengan mengeliminasi nilai ρ diperoleh
SSɺɺ + Sɺ 2 =
d ( SSɺ )
=0
dt
(6.143)
Melalui dua kali pengintegralan dihasilkan
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
171
A
Sɺ = dan S 2 = 2 At
S
(6.144)
dengan A tetapan positif. Substitusi hasil terakhir ini ke pers. (6.140) akan
dihasilkan
ρ=
3 1
32πG t 2
(6.145)
Jika diasumsikan bahwa selama masa ini, radiasi berada dalam kesetimbangan
suhu dengan materi, maka spektrum radiasi tersebut memenuhi aturan spektrum
radiasi benda hitam. Kaitan antara suhu T dengan rapat energi ρ diberikan dalam
hukum Stefan-Boltzmann (disini nilai c diisikan) dengan perumusan (Lawden,
1982)
ρ = aT 4
(6.146)
dengan
a=
8π 5 k 4
= 7,5.10 −16 Jm − 3 K − 4
3 3
15c h
(6.147)
adalah tetapan Stefan-Boltzmann. Besaran k, h dan c berturut-turut adalah tetapan
Boltzmann, tetapan Planck dan laju cahaya di ruang hampa. Akhirnya dengan
menyamakan pers. (6.145) dan (6.146) dihasilkan kaitan antara usia t dan suhu
jagad T pada masa dominasi radiasi yaitu
 3c 2  1

T = 

 32πGa  t
= 1,52 × 1010 t −1 / 2
(6.148)
Jika diamati, persamaan di atas berisi tiga tetapan dasar dalam teori kuantum
gravitasi yaitu G, c dan h. Persamaan di atas juga menceritakan bahwa ketika jagad
raya berusia satu detik, suhunya kira-kira 1,52 × 1010 K . Ketika waktu t bertambah,
maka suhunya menurun.
6.6
Data Fisis Jagad Raya
Kini data fisis jagad raya diungkap, dengan pembatasan hanya untuk model
jagad raya tertutup (k = +1)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
172
Tabel 6.1
Data fisis jagad raya (k = +1)
No
Besaran jagad raya
Lambang
Nilai
1
Tetapan Hubble
H0
75 km/secMpc
2
Waktu Hubble
H 0−1
13 milyar tahun
3
Parameter perlambatan
q0
1,2
4
Ruji saat ini
S0
11 milyar tahun cahaya
5
Ruji saat ekspansi maksimum
S max
19 milyar tahun cahaya
6
Usia saat ini
t0
7,1 milyar tahun
7
Waktu Big Bang−ekspansi maks.
1
t
2 max
29,5 milyar tahun
8
Waktu Big Bang − Big Crunch
t max
59 milyar tahun
9
Volume saat ini
2π 2 S 03
2,2 × 1079 m3
10
Rapat energi saat ini
ρ0
2,5 × 10−26 kg/m3
11
Volume saat ekspansi maksimum
3
2π 2 S max
1,1 × 1080 m3
ρ min
5,0 × 1027 kg/m3
θ0
0,55 π
12
Rapat energi saat ekspansi
maksimum
13
Sudut pengembangan
14
Laju pertambahan ruji saat ini
(dS / dt )0
0,85 c
15
Laju pertambahan volume saat ini
6π 2 S 02 Sɺ0
1,6 × 1062 m3/s
16
Massa total materi
ρ 0V0
5,6 × 1053 kg
17
Jumlah ekuivalen massa materi
mtotal / msun
2,8 × 1028
18
Jumlah ekuivalen massa baryon
mtotal / mproton
3,4 × 1080
19
Horison partikel
dH
19 milyar tahun cahaya
20
Horison peristiwa
dE
50 milyar tahun cahaya
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
173
6.7
Masa Depan Jagad Raya
Bagaimanakah masa depan jagad raya ? Apakah akan terus mengembang
selamanya ataukah pada akhirnya akan terhenti dan kembali menyusut ? Apakah
akan terjadi suatu kebalikan Big Bang yaitu semacam Big Crunch (Penciutan
Dahsyat), ketika seluruh materi di jagad raya tertarik menuju satu titik, serta radiasi
2,7 K memanas kembali ? Setelah Big Crunch, apakah akan terjadi lagi the New
Big Bang yang memulai evolusi jagad raya yang baru ? (Krane, 1992).
Dari telaah pada pasal 3, rapat energi jagad raya yang disumbang oleh galaksi
tampak bernilai lebih kecil daripada rapat kritis yang memisahkan model jagad
terbuka dengan model jagad tertutup. Sementara itu analisis pergeseran merah
galaksi menunjukkan model jagad raya tertutup. Manakah yang lebih mendekati
fakta ?
Jika nilai H 0 dan q0 berturut-turut adalah 75 km/secMpc dan 1,2, agaknya
masih sangat lama bagi jagad raya untuk mencapai ekspansi maksimum, terlebih
lagi untuk mencapai kontraksi akhir. Waktu yang diperlukan untuk keduanya
berturut-turut adalah 23 dan 52 milyar tahun.
Dalam kaitannya dengan alam, pertanyaan yang cukup mendasar adalah
tentang adanya peradaban lain di jagad ini. Apakah manusia hanyalah satu-satunya
makhluk beradab di jagad yang amat luas dan hampir kosong ini yang menempati
bumi yang tak istimewa ? Ataukah jagad raya penuh berisi bentuk-bentuk
kehidupan lain di luar jangkauan pemikiran manusia ? Apapun jawaban untuk
keduanya sama-sama menimbulkan rasa kagum, takut dan takjub.
Demikian pula masa depan jagad raya ini telah memiliki dua kemungkinan
yang sama-sama menimbulkan rasa takut dan kagum.
(1) Jagad raya akan mengembang selamanya, semua bintang dan galaksi akan
menggunakan seluruh energinya sampai habis hingga menjadi lubang hitam.
Seluruh proton akan meluruh menjadi antilepton. Jagad raya akan menjadi
dingin dan gelap, serta seluruh kehidupan berakhir.
(2) Ekspansi jagad raya akan berhenti yang diikuti dengan penyusutan gravitasi,
serta seluruh jagad raya luluh menjadi satu titik. Mungkin akan terbentuk jagad
raya yang baru dengan hukum-hukum alam yang berbeda. Tidak ada yang
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
174
mengetahui kapan dan bagaimana peristiwa itu akan terjadi, kecuali Tuhan yang
telah menciptakan jagad raya ini.
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
175
Soal-Soal Latihan BAB VI
1.
Tunjukkan bahwa metrik Robertson−Walker dapat dinyatakan dalam bentuk
2


S
 [du 2 + u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )] − c 2 dt 2
ds = 
2
 1 + ku / 4 
2
melalui persamaan transformasi
r=
2.
u
1 + ku 2 / 4
.
Tunjukkan bahwa metrik de Sitter
ds 2 = A 2 exp(2 HT )(dr 2 + r 2 dθ 2 + r 2 sin 2 θ dφ 2 ) − c 2 dt 2
dapat ditransformasi ke bentuk
du 2
2
ds =
2 2
1− H u / c
2
+ u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − c 2 (1 − H 2 u 2 / c 2 ) dT 2
melalui persamaan transformasi
r=
3.
u exp(− HT )
A 1 − H 2u 2 / c 2
, t =T +
ln(1 − H 2 u 2 / c 2 )
.
2H
Tunjukkan bahwa untuk seluruh model Friedmann dengan Λ = p = 0 , jarak
galaksi dengan pergeseran merah z diberikan oleh
d=
4.
c[q 0 z + (q 0 − 1)( 2q 0 z + 1 − 1)]
H 0 q 02
.
Tunjukkan bahwa jika Λ tidak lenyap dalam model Friedmann, maka S (t )
memenuhi
SSɺ 2 = c 2 ( D − kS + ΛS 3 / 3)
___________________________________________________________________
Kosmologi : Dinamika Jagad Raya
___________________________________________________________________________________________
176
dengan D adalah parameter rapat materi yang didefinisikan oleh persamaan
κc 2 ρS 3 = 3D . Tunjukkan bahwa untuk kasus khusus k = 0 , D = 0 akan
menghasilkan jagad raya de Sitter.
5.
Suatu jagad raya yang berisi radiasi berapat energi U memiliki persamaan
keadaan
2 SSɺɺ + Sɺ 2 + kc 2 − c 2 ΛS 2 = − 13 κc 2US 2 ,
3( Sɺ 2 + kc 2 ) − c 2 ΛS 2 = κc 2US 2 .
Tunjukkan bahwa
S 2 Sɺ 2 = c 2 ( D − kS 2 + 13 ΛS 4 )
dengan D adalah parameter rapat energi yang didefinisikan oleh persamaan
3D = κUS 4 .
6.
Untuk jagad raya yang berisi radiasi, jika k = 1, Λ = 3 / 4 D dan S = 0 pada t =
0, tunjukkan bahwa pada sembarang t berlaku
S 2 = 2 D[1 − exp(−ct / D )] .
Jika S = 2 D pada t = 0, tunjukkan bahwa jagad raya tersebut statik tetapi
tidak stabil.
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
177
BAB VII
DINAMIKA GERAK PARTIKEL DAN FOTON
Selama beberapa abad sejak kemunculannya di abad ke−17, gravitasi
Newton menjadi hukum yang melandasi dan mendeskripsikan gerak benda−benda
yang terikat dalam interaksi gravitasi. Keakuratannya untuk menganalisis dinamika
gerak benda langit misalnya, tak diragukan lagi. Namun, ada beberapa gejala yang
tak mampu dijelaskan dengan gravitasi Newton, seperti presesi orbit planet di
sekitar matahari (sebagai benda massif), pembelokan cahaya ketika melewati benda
massif (misalnya cahaya bintang yang lewat di sekitar matahari) dan sebagainya
(Bose, 1980)
Teori relativitas umum yang dirumuskan oleh Einstein pada tahun 1915
dalam bentuk teori gravitasi Einstein ternyata mampu menerangkan fenomena
tersebut. Teori ini menyempurnakan gravitasi Newton dengan memasukkan efek
kelengkungan ruang−waktu akibat hadirnya materi di dalamnya. Gravitasi Newton
merupakan bentuk khusus dari gravitasi Einstein untuk medan gravitasi lemah
(Lawden, 1982).
Persamaan gravitasi Einstein dirumuskan dalam bentuk persamaan tensor. Jika
dinamika sistem ingin diselidiki melalui persamaan ini, mula−mula metrik
ruang−waktu sistem tersebut dirumuskan sehingga diperoleh nilai tensor metrik.
Selanjutnya nilai komponen simbol Christoffel, tensor Ricci dan skalar
kelengkungan dapat ditentukan. Selain itu, tensor energi−momentum dalam sistem
tersebut harus dirumuskan pula. Pada akhirnya semua nilai tersebut diisikan ke
dalam persamaan gravitasi Einstein lalu diselesaikan.
Kasus yang dapat diselesaikan secara analitik harus memiliki persyaratan
simetri ruang−waktu misalnya penempatan materi statik bermassa M di pusat
koordinat. Untuk sistem ini, Schwarszchild menemukan penyelesaian berupa metrik
Schwarszchild (Misner dkk, 1973). Untuk objek bermassa M massif, terdapat
besaran ruji Schwarszchild Rs = GM / c 2 . Dari metrik tersebut, dapat diturunkan
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
178
konsep lubang hitam yang dibatasi oleh horison peristiwa, dimana setiap
partikel/foton yang berada di dalam horison peristiwa tidak dapat keluar darinya.
Belakangan ditemukan salah satu sifat lubang hitam yang ternyata dapat
melepaskan sebagian materi, jika konsep kuantum diisikan ke dalamnya (Hawking,
1974). Yang jelas, lubang hitam telah menjadi salah satu objek fisis dan matematis
yang memancing rasa keingintahuan orang untuk mengetahui karakteristiknya lebih
dalam.
Pada bab ini dikaji berbagai perilaku gerak foton dan partikel (yang
bermassa jauh lebih kecil dari massa lubang hitam Schwarszchild) di sekitar lubang
hitam Schwarszchild.
7.1
PERSAMAAN GRAVITASI EINSTEIN
Persamaan gravitasi Einstein (Weinberg, 1972) dirumuskan sebagai
Rµν − (1 / 2) g µν R = − (8πG / c 4 )Tµν
(7.1)
dengan R µν = tensor Ricci kovarian rank−2, g µν = tensor metrik kovarian rank−2,
R = skalar kelengkungan, G = tetapan gravitasi universal, c = laju cahaya di ruang
hampa dan Tµν = tensor energi−momentum kovarian rank−2.
Penyelesaian persamaan gravitasi Einstein untuk objek partikel statik bermassa
M yang diletakkan di pusat koordinat (0,0,0) dalam koordinat ruang−waktu 4
dimensi
x µ = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct , r ,θ , φ )
adalah metrik (elemen garis) Schwarszchild yang berbentuk (Lawden, 1982)
ds 2 = −(1 − 2m / r )c 2 dt 2 + (1 − 2m / r )−1 dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) .
(7.2)
dengan
ds 2 = kuadrat elemen garis, dan
m = GM/c2.
Dari metrik (7.2) di atas diperoleh komponen tensor metrik kovarian rank-2
sebagai berikut :
g 00 = −(1 − 2m / r ) , g11 = (1 − 2m / r ) −1 , g 22 = r 2 , g 33 = r 2 sin θ
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
179
dan g µν = 0 untuk µ ≠ ν .
7.2
(7.3)
PERSAMAAN GEODESIK
Dinamika partikel bermassa (dengan massa partikel = m p <<< M) yang
bergerak jatuh bebas di dalam ruang lengkung mematuhi persamaan geodesik
d 2xµ
ds 2
µ
+ Γαβ
dx α dx β
=0
ds ds
(7.4a)
yang dapat diubah bentuknya menjadi
d 
dxν  ∂ gαβ dx α dx β
 2 g µν
−
= 0.
ds 
ds  ∂ x µ ds ds
Dinamika gerak untuk foton dapat diperoleh dengan mengisikan ds
(7.4b)
2
= 0 pada
metrik ruang-waktu.
7.3 DINAMIKA GERAK PARTIKEL DALAM MEDAN
SCHWARZSCHILD
Dengan menggunakan persamaan (7.4b) untuk tensor metrik kovarian rank−2
yang terdapat pada persamaan (7.3), diperoleh set persamaan geodesik partikel di
ruang−waktu tersebut yaitu :
d  r dr 
m
mc 2  dt 
 dr 
 dθ 
2  dφ 
θ
+
−
r
−
r
sin
+
 


 


  =0,
ds  r − 2m ds  (r − 2m) 2  ds 
r 2  ds 
 ds 
 ds 
2
2
2
2
(7.5a)
d  2 dθ 
 dφ 
2
r
 − r sin θ cos θ   = 0 ,
ds  ds 
 ds 
(7.5b)
d  2
dφ 
2
 r sin θ
=0,
ds 
ds 
(7.5c)
2
dan
d  r − 2m dt 

 = 0.
ds  r ds 
(7.5d)
Persamaan metrik
ds 2 = g µν dx µ dxν
(7.6a)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
180
dapat dituliskan sebagai
dx µ dxν
=1,
ds ds
g µν
(7.6b)
sehingga persamaan (7.2) menjadi
2
2
2
2

c 2 (r − 2m)  dt 
r  dr 
2  dθ 
2  dφ  
θ
+
+
sin
r
−
 

  
  = 1.

r − 2m  ds 
r
 ds 
 ds  
 ds 
Dalam
rangka
mengolah
persamaan
(7.5)
lebih
lanjut,
(7.7)
selanjutnya
diintroduksikan kaitan antara s = elemen garis dengan τ = waktu pribadi yang
dirumuskan sebagai (Lawden, 1982)
ds 2 = −c 2 dτ 2 .
(7.8)
Dengan kaitan ini, persamaan (7.5a), (7.5b), (7.5c) dan (7.5d) dapat dilakukan
substitusi sehingga diperoleh hasil : untuk persamaan tersebut, bentuknya tetap
setelah melalui penggantian s → τ. Sedangkan persamaan (7.7) berubah sedikit
menjadi :
2
2
2
2

c 2 (r − 2m)  dt 
r  dr 
2  dθ 
2  dφ  
2
  + r 
 + sin θ    −
  = −c .
r − 2 m  dτ 
r
 dτ 
 dτ  
 dτ 
(7.9)
Ditinjau partikel yang jatuh bebas pada daerah r > 2m secara radial dengan θ
dan φ konstan, yang berarti dθ = dφ = 0 . Persamaan (7.5d) di atas dapat dituliskan
menjadi
dt / dτ = kr /(r − 2m) ,
(7.10)
dengan k merupakan suatu suatu tetapan. Jika kita mengambil keadaan awal saat
t = 0, r = R > 2m
dan
dr / dt t =0 = u
dengan 0 ≤ u < c , akhirnya diperoleh
2
(r − 2m) 2 (2mc 2 ( R − r )( R − 2m) 2 + u 2 R 3 (r − 2m))
 dr 
.
  =
r 3 ( R − 2 m) 3
 dt 
(7.11)
Selanjutnya pengintegralan persamaan (7.11) di atas menghasilkan
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
181
t
r
t =0
r=R
∫ dt = t = ∫
r 3 / 2 ( R − 2m) 3 / 2 dr
(r − 2m){2mc 2 ( R − r )( R − 2m) 2 + u 2 R 3 (r − 2m)}1 / 2
.
(7.12)
Terlihat dari integral (7.12) di atas, jika batas atas integrasi r → 2m, maka t → ∞.
Hal ini mengindikasikan bahwa rentang waktu t digelar menuju takhingga.
Untuk kasus khusus dimana partikel dilepaskan dalam keadaan rehat (u = 0),
persamaan (7.11) tereduksi menjadi
(dr / dt ) 2 = 2mc 2 (1 − 2m / R ) −1 (1 − 2m / r ) 2 (r −1 − R −1 ) ,
(7.13)
atau
dr / dt = ± c 2m /(1 − 2m / R) (1 − 2m / r ) (1 / r − 1 / R) .
(7.14)
Dari persamaan (7.14), nilai dr / dt bergantung pada suku (1 − 2m / r ) dan
(1 / r − 1 / R) , karena
2m /(1 − 2m / R ) > 0 untuk R > 2m .
Untuk suku (1 − 2m / r ) , nilai r dapat bernilai sembarang, sehingga keadaan
dr / dt ditentukan oleh suku
(1 / r − 1 / R) . Pada suku terakhir ini, agar nilai di
dalam akar tidak menjadi imaginer, haruslah dipenuhi syarat
(1 / r − 1 / R ) > 0 atau r < R.
Hal ini berarti jarak radial partikel tersebut berkurang dengan bertambahnya waktu
t. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan partikel tersebut menuju ke
arah lubang hitam. Jadi tanda yang diambil pada persamaan (7.14) adalah tanda
minus, sehingga lebih tepat dituliskan sebagai
dr / dt = −c 2m /(1 − 2m / R) (1 − 2m / r ) (1 / r − 1 / R) .
(7.15)
Penyelesaian persamaan (7.15) adalah
R
ct = ( R / 2m − 1)1 / 2 ∫
r
r 3 / 2 dr
.
(r − 2m)( R − r )1 / 2
(7.16)
Dari integral (7.16) di atas tampak bahwa nilai t → ∞ saat r → 2m. Ini berarti dalam
koordinat Schwarzschild, partikel tersebut membutuhkan koordinat waktu (t) yang
tak terhingga untuk mencapai horison peritiwa berupa bola beruji 2m.
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
182
Kini yang diukur adalah waktu pribadi (τ) partikel tersebut. Jika persamaan
(7.10) diisikan ke dalam persamaan (7.9) untuk gerak radial, diperoleh
2
2
r  dr 
c 2 ( r − 2m )
c 2 ( R − 2 m) 3
 r 
2
−
 

 = −c
2
2
2 2
r − 2 m  dτ 
r
R{c ( R − 2m) − u R }  r − 2m 
atau
2
c 2 2mc 2 ( R − r )( R − 2m) 2 + u 2 R 3 (r − 2m)
 dr 
.
  =
Rr
c 2 ( R − 2 m) 2 − u 2 R 2
 dτ 
(7.17)
Dengan mengisikan syarat batas :
r = R saat τ = 0 ,
persamaan (7.17) memberikan
r
cτ = ∫
R1 / 2 r 1 / 2 {c 2 ( R − 2m) 2 − u 2 R 2 }1 / 2 dr
2
2
2 3
1/ 2
R {2 mc ( R − r )( R − 2 m) + u R ( r − 2 m)}
.
(7.18)
Untuk kasus khusus keadaan awal partikel adalah keadaan rehat (u = 0),
persamaan (7.17) tereduksi menjadi
(dr / dτ ) 2 = 2mc 2 (1 / r − 1 / R ) .
(7.19)
atau
dr / dτ = ±c 2m (1 / r − 1 / R) .
(7.20)
Sama halnya pada telaah untuk nilai dr/dt di atas, agar nilai dr / dτ tidak imaginer
harus dipenuhi syarat
(1 / r − 1 / R ) > 0 atau r < R
yang menunjukkan bahwa gerak partikel tersebut menuju ke arah lubang hitam.
Karena itu juga dipilih tanda minus sehingga (7.20) menjadi
dr / dτ = −c 2m (1 / r − 1 / R) .
(7.21)
Pengintegralan dengan syarat batas :
τ = 0 saat r = R
memberikan hasil
cτ = ( R 3 / 2m)
( ρ−ρ
2
)
+ 12 cos −1 (2 ρ − 1) ,
(7.22)
dengan
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
183
ρ =r/R
dan nilai invers cosinus dapat diambil untuk kuadran satu atau dua. τ adalah waktu
yang dihitung oleh jam yang ikut bergerak bersama partikel. Berbeda dengan nilai t,
ternyata nilai τ tetap berhingga, walaupun r → 2m.
7.4 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM BIDANG DATAR MEDAN
SCHWARZSCHILD
Selanjutnya ditinjau gerak foton khusus pada bidang datar dengan θ = π / 2 .
Untuk gerakan demikian, metrik Schwarszchild (7.2) menjadi
ds 2 = −(1 − 2m / r )c 2 dt 2 + (1 − 2m / r )−1 dr 2 + r 2 dφ 2
(7.23)
Lambang Christoffel dirumuskan sebagai (Weinberg, 1972)
∂g αβ
 ∂g βν ∂g
µ
Γαβ
= 12 g µν  α + να
− ν
β
∂x
∂x
 ∂x




(7.24)
Untuk metrik pada persamaan (7.23) digunakan lambang
x 0 = t , x1 = r dan x 2 = φ ,
maka nilai lambang Christoffel yang tak lenyap adalah
0
1
1
Γ01
= Γ100 = Γ11
= mr −2 (1 − 2m / r ) −1 , Γ00
= c 2 m(1 − 2m / r )r −1 ,
1
2
Γ22
= − r (1 − 2m / r ) , Γ122 = Γ21
= r −1 .
(7.25)
Dengan menggunakan persamaan geodesik (7.4a), diperoleh set persamaan
d 2t
ds
+ 2Γ100
2
dt dr
=0
ds ds
(7.26a)
1  dt 
1  dr 
1  dφ 
+
Γ
+
Γ
+
Γ
  =0




00
11
22
ds 2
 ds 
 ds 
 ds 
2
d 2r
d 2φ
ds
2
2
+ 2Γ21
2
dφ dr
=0
ds ds
2
(7.26b)
(7.26c)
Selanjutnya ditinjau kurva orbit foton di sekitar lubang hitam dengan r
= r0 = konstan. Dalam rangka melihat dinamika gerak yang berhubungan dengan
swawaktu, dilakukan substitusi s → τ, yang selanjutnya persamaan (7.26a), (7.26b)
dan (7.26c) memberikan
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
184
d 2t
dτ 2
=0
(7.27a)
dt 
1  dφ 
 + Γ22   = 0
 dτ 
 dτ 
2
2
1 
Γ00

d 2φ
dτ 2
(7.27b)
=0
(7.27c)
Penyelesaian persamaan (7.27a) dan (7.27c) adalah
t = k1τ + k 2
(7.28a)
φ = k 3τ + k 4
(7.28b)
dan
dengan tetapan k i adalah tetapan sembarang. Akhirnya untuk r0 > Rs , persamaan
(7.27b) memberikan
dφ
= ± c m /(r0 ) 3
dt
(7.29)
Mengingat kaitan (7.8), bentuk metrik dapat dipakai untuk mendapatkan
∆τ = c −1 ∫ − g µν dx µ dxν = c −1 ∫ c 2 (1 − 2m / r0 )dt 2 − (r0 ) 2 dφ 2
(7.30)
yang dengan menggunakan persamaan (7.29) diperoleh
∆τ = c −1 ∫ c 2 (1 − 2m / r0 ) − c 2 m / r0 dt = 1 − 3m / r0 ∆t .
(7.31)
Untuk foton, ∆τ = 0, mengingat swawaktu foton = 0, yang berarti lintasan gerak
foton tersebut adalah lingkaran dengan ruji r0 = 3m .
Persamaan (7.26c) dapat dituliskan menjadi
d ( r 2 dφ / dτ ) / dτ = 0
yang berarti
r 2 dφ / dτ = konstan = L
(7.32)
dengan tetapan L adalah momentum sudut partikel per satuan massa lubang hitam.
Selain tetapan L tersebut terdapat tetapan lain yang dapat diperoleh dengan
menuliskan persamaan (7.26a) sebagai
d [(1 − 2m / r )(dt / dτ )] / dτ = 0
atau
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
185
[(1 − 2m / r )(dt / dτ )] = konstan = E
(7.33)
dengan tetapan Ec 2 dapat diartikan sebagai energi total partikel (mencakup energi
potensial gravitasi) per satuan massa lubang hitam. Dengan menggunakan dua
tetapan di atas, persamaan (7.23) untuk ds 2 = 0 dapat dinyatakan sebagai
( Ec) 2 = (dr / dτ ) 2 + ( L / r ) 2 (1 − 2m / r )
(7.34)
Persamaan (7.34) di atas dapat dibaca sebagai persamaan gerak partikel
dengan total energi sama dengan
1
2
( Ec) 2 yang bergerak dalam potensial efektif satu
dimensi sebesar
V (r ) = 12 ( L / r ) 2 (1 − 2m / r ) .
(7.35)
Nilai ekstrem (maksimum) potensial tersebut didapat melalui
dV
L2
L2 m
= − 3 (1 − 2m / r ) + 4 = 0
dr
r
r
atau
r = 3m
(7.36)
yang mana nilai r tersebut tak gayut terhadap L.
7.5
DINAMIKA GERAK FOTON SECARA RADIAL DALAM MEDAN
SCHWARZSCHILD
Selanjutnya untuk gerak foton ( dτ = 0 ) secara radial ( dθ = dφ = 0 ), dari
persamaan (7.23) diperoleh
0 = −(1 − 2m / r )c 2 dt 2 + (1 − 2m / r )−1 dr 2
atau
dr / dt = c(1 − 2m / r ) .
(7.37)
Nilai dr / dt dapat dikatakan sebagai laju foton pada daerah di sekitar lubang
hitam. Tampak dari persamaan (7.37) di atas bahwa untuk daerah di luar lubang
hitam (r > 2m) , nilai laju foton selalu kurang dari c. Bahkan saat foton tepat berada
di horison peristiwa r = 2m , laju foton tepat sama dengan nol. Ini berarti ketika
horison peristiwa berimpit dengan foton yang tepat gagal melepaskan diri dari
lubang hitam (pada r = 2m ). Dari persamaan (7.37) disimpulkan bahwa nilai laju
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
186
foton hanya sama dengan c ketika foton berada di tempat jauh tak berhingga
r → ∞ , (arti fisisnya : pengaruh lubang hitam tidak mengenai foton tersebut) atau
jika lubang hitam tersebut dilenyapkan ( m = 0 ) dengan arti fisis : ruang−waktu
menjadi datar (Minkowski) sehingga laju foton = c di sembarang tempat.
7.6
DINAMIKA GERAK PARTIKEL DAN FOTON DALAM JAGAD
RAYA BERMETRIK ROBERTSON-WALKER
Pada tinjauan klasik (non-kuantum), deskripsi jagad raya diperoleh melalui
solusi persamaan gravitasi Einstein. Persamaan ini dirumuskan dalam bentuk
persamaan tensor. Jika dinamika sistem ingin diselidiki melalui persamaan ini,
mula−mula metrik ruang−waktu sistem tersebut dirumuskan sehingga diperoleh
nilai tensor metrik. Selanjutnya nilai komponen simbol Christoffel, tensor Ricci dan
skalar kelengkungan dapat ditentukan. Selain itu, tensor energi−momentum dalam
sistem tersebut harus dirumuskan pula. Pada akhirnya semua nilai tersebut diisikan
ke dalam persamaan gravitasi Einstein lalu diselesaikan. Karena tensor yang terlibat
adalah tensor rank−2, maka untuk sistem ruang−waktu 4 dimensi terdapat 16
komponen penyelesaian. Namun tensor metrik sistem biasanya bersifat simetri
sehingga 16 komponen penyelesaian tersebut tereduksi menjadi 10 komponen.
Lebih khusus lagi, jika tensor metrik g µν bernilai tak lenyap hanya untuk µ = ν,
penyelesaian persamaan itu hanya berisi 4 komponen saja. Akan tetapi di dalam 4
komponen penyelesaian tersebut biasanya berisi suku persamaan diferensial orde 2
yang tak linier sehingga banyak kasus sulit diselesaikan secara analitik. Kasus yang
dapat diselesaikan secara analitik harus memiliki persyaratan simetri ruang−waktu.
Akan dikaji gerak foton dan partikel bermassa di dalam jagad raya yang
bermetrik Robertson−Walker. Dalam konteks teori relativitas umum, gerak foton
dapat ditinjau dengan nolnya selang waktu pribadi yang dimilikinya. Sedangkan
gerak partikel dapat ditelaah dengan menggunakan persamaan geodesik untuk gerak
jatuh bebas. Persamaan geodesik yang digunakan untuk menelaah gerakan partikel
berbentuk persamaan diferensial non linear orde 2 yang menggabungkan beberapa
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
187
observabel, seperti empat koordinat polar (r, t, θ, φ), parameter k yang menentukan
jenis kelengkungan ruang, faktor jarak S dan elemen garis s.
7.7
SOLUSI PERSAMAAN EINSTEIN UNTUK JAGAD RAYA
Persamaan gravitasi Einstein dirumuskan sebagai (Weinberg, 1972)
R µν − (1 / 2) g µν R − Λg µν = −8πGTµν
(7.38)
Laju cahaya di ruang hampa telah dipasang pada nilai c = 1.
Penyelesaian persamaan (7.38) untuk objek jagad raya bermetrik RobertsonWalker adalah dua buah persamaan diferensial (Anugraha, 1997)
(dS / dt ) 2 + k − (Λ / 3) S 2 = (8 / 3)πGρS 2
(7.39)
dan
2 S (d 2 S / dt 2 ) + (dS / dt ) 2 + k − ΛS 2 = −8πGpS 2 .
(7.40)
Metrik Robertson-Walker itu sendiri dirumuskan sebagai (Weinberg, 1972)
dτ 2 = g µν dx µ dxν = dt 2 − S 2 dr 2 /(1 − kr 2 ) − r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) (7.41)
dengan : dτ 2 = kuadrat swa-waktu, S = faktor skala jagad raya, dan k = tetapan
kelengkungan ruang yang dapat bernilai −1, 0 atau 1.
Untuk merumuskan tensor metrik di atas telah digunakan prinsip kosmologi
(cosmological principle) yang menyatakan bahwa setiap pengamat (galaksi)
memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada pengamat yang memiliki kedudukan
yang istimewa di jagad raya.
Dari metrik (7.41) di atas diperoleh nilai-nilai tensor metrik
g 00 = 1 , g11 = S 2 /(kr 2 − 1) , g 22 = − r 2 , g 33 = − r 2 sin θ
dan g µν = 0 untuk µ ≠ ν .
(7.42)
Untuk memperoleh hasil persamaan (7.39) dan (7.40) telah diasumsikan jagad
raya bersifat homogen isotrop dengan gas galaksi seperti fluida sempurna (perfect
fluid) dengan tensor energi-momentum kovarian rank-2 yang bersangkutan adalah
Tµν = ( ρ + p )V µ Vν + g µν p
(7.43)
dan kecepatan-4 kovarian gas yang ikut bergerak bersama pengamat di dalam
kerangka Robertson-Walker adalah
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
188
Vµ = (−1,0) .
(7.44)
Dinamika partikel bermassa yang bergerak jatuh bebas di dalam ruang
lengkung mematuhi persamaan geodesik (Lawden, 1982)
d
dτ

dxν  ∂ g αβ dx α dx β
 2 g µν
−
= 0.

dτ  ∂ x µ dτ dτ

Adapun dinamika gerak foton dapat diperoleh dengan mengisikan ds
(7.45)
2
= 0 pada
metrik tersebut.
7.8
DINAMIKA GERAK PARTIKEL DALAM JAGAD RAYA
Disajikan 3 model jagad raya untuk mana dinamika gerakan partikel dan foton
akan ditelaah. Ketiga model jagad raya tersebut sebagai bagian dari penyelesaian
persamaan (7.39) dan (7.40) yang mungkin adalah sebagai berikut (Anugraha,
1997).
1.
Model debu (Λ = 0 dan p = 0) dengan k = 0
Pada model ini, sifat jagad raya adalah datar (flat) tak bertekanan, dimana
perubahan faktor skala sebagai fungsi waktu adalah
S = S 0 ((3 / 2) H 0 t ) 2 / 3
(7.46)
dengan S = faktor skala jagad raya, t = usia jagad raya, dan H 0 = tetapan Hubble.
2.
Model Einstein
Pada model ini nilai faktor skala adalah
S = konstan
(7.47)
dengan S = faktor skala jagad raya.
3.
Model de Sitter
Pada model ini nilai H sebagai salah satu papameter jagad raya selalu konstan setiap
saat sehingga penyelesaian persamaan gravitasi Einstein untuk faktor skala kosmik
sebagai fungsi waktu t adalah
S = S 0 exp( Ht )
(7.48)
dengan S = faktor skala jagad raya, t = umur jagad raya, dan H = tetapan Hubble.
1.
Model debu (Λ = 0 dan p = 0) dengan k = 0
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
189
Kini ditinjau gerakan partikel secara jatuh bebas di jagad raya bermodel debu
datar. Pada model ini jagad raya bersifat datar (flat) dengan kelengkungan ruang
sama dengan nol. Akan ditinjau dua jenis gerakan partikel pada jagad raya model
ini yaitu gerakan radial (r sebagai fungsi t) dan sudut polar φ sebagai fungsi t.
Dari persamaan (7.46) dengan menurunkan S ke t diperoleh
S0 H 0
dS
=
.
dt (3H 0 t / 2)1 / 3
(7.49)
Dengan mengisikan µ = 0, 1, 2, 3, ke dalam persamaan (7.45), diperoleh set
persamaan geodesik sebagai berikut.
µ=0⇒
∂ g 22
d 
dt  ∂ g11  dr 
 2 g 00
−
  −
dτ 
dτ  ∂ t  dτ 
∂t
2
∂ g 33  dφ 
 dθ 

 −
  =0
∂ t  dτ 
 dτ 
2
2
atau
d 2t
dτ 2
+ S 0 H 0 (3H 0 t / 2)
µ=1⇒
1/ 3
2
2
 dr  2
2  dθ 
2
2  dφ 
  + r 
 + r sin θ    = 0
 dτ 
 dτ  
 dτ 
∂ g 33
d 
dr  ∂ g 22  d θ 
 2 g11
−

 −
dτ 
dτ 
∂ r  dτ 
∂r
2
(7.50)
 dφ 

 =0
 dτ 
2
atau
d
dτ
µ=2⇒
 2 dr 
2  dθ 
2
2  dφ 
S
 + S r
 + S r sin θ 
 =0
dτ 

 dτ 
 dτ 
2
d
dτ
2
(7.51)
dθ  ∂ g 33  dφ 

 2 g 22
−
  =0
dτ  ∂ θ  dτ 

2
atau
d  2 2 dθ 
 dφ 
2 2
S r
 + S r sin θ cos θ   = 0
dτ 
dτ 
 dτ 
(7.52)
d 
dφ  d 
dφ 
2 2
2
 2 g 33
=
 − 2 S r sin θ
=0
dτ 
dτ  dτ 
dτ 
(7.53)
2
µ=3⇒
Ditinjau gerakan partikel secara radial sehingga dθ = dφ = 0 . Persamaan
(7.50) dan (7.51) tereduksi ke bentuk
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
190
d 2t
dτ 2
+ S 0 H 0 (3H 0 t / 2)
1/ 3 
2
dr 
  =0
 dτ 
(7.54)
dan
d  2 dr 
S
 = 0.
dτ 
dτ 
(7.55)
Dari persamaan (7.55) maka
dr
A
A
= 2 = 2 2
.
dτ S
S 0 H 0 (3H 0 t / 2) 4 / 3
(7.56)
Jika bentuk di atas dibawa ke persamaan (7.54) diperoleh
d 2t
dτ
2
+
B
t
7/3
=0
(7.57)
dengan
B=
A2
S 0 3 H 0 3 (3H 0 / 2) 7 / 3
.
(7.58)
Melalui substitusi
p=
dt
dτ
maka
d 2t
dτ
2
=p
dp
dt
sehingga persamaan (7.57) dapat dituliskan menjadi
pdp = − Bt −7 / 3 dt .
Dengan melalukan pengintegralan diperoleh
2
3B − 4 / 3
 dt 
t
+C
  =
2
 dτ 
(7.59)
atau
3B − 4 / 3
dt
=
t
+C
dτ
2
(7.60)
dengan C tetapan integrasi.
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
191
Persamaan (7.60) di atas dapat diatur sebagai
τ =∫
dt
3B
2t 4 / 3
.
(7.61)
+C
Persamaan (7.61) di atas menyatakan hubungan antara waktu pribadi partikel
yang bergerak jatuh bebas dengan waktu koordinatnya. Sayangnya, integral pada
persamaan di atas sulit diselesaikan secara analitik, sehingga diperlukan komputasi
numerik. Kecuali jika pada integral (7.61) di atas diambil nilai C = 0 maka integral
di atas dapat diselesaikan yaitu
τ=
3(3 / 2) 2 / 3 S 0 3 / 2 H 0 8 / 3 5 / 3
2 2/3
t
t
dt
=
+ konstanta
3B ∫
5A
(7.62)
Jika hasil (7.60) diisikan ke persamaan (7.52) diperoleh
3B − 4 / 3
At −4 / 3
t
+C = 2 2
2
S 0 H 0 (3H 0 / 2) 4 / 3
dr
dt
atau
r=
A
S 0 2 H 0 2 (3H 0 / 2) 4 / 3
∫
t −4 / 3 dt
3B − 4 / 3
t
+C
2
(7.63)
yang juga sulit diselesaikan secara analitik jika C ≠ 0. Jika dipilih C = 0 maka
penyelesaian analitik persamaan di atas adalah
r=
2A
2
2
3 B S 0 H 0 (3H 0 / 2)
 128

2
=
t
 3S 3 H 4 
 0 0

4/3
∫t
−2 / 3
dt
1/ 6
+ konstanta.
(7.64)
Persamaan (7.63) maupun (7.64) sama-sama menyatakan hubungan antara
koordinat r dalam jagad raya dengan model di atas sebagai fungsi waktu
koordinatnya (t).
Selanjutnya ditinjau gerakan pada r konstan = r0 pada bidang planar θ = π /
2 . Persamaan (7.50), (7.51) dan (7.53) tereduksi ke bentuk
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
192
d 2t
dτ 2
+
S 0 H 0 r02 (3H 0
/ 2)
1 / 3 1 / 3  dφ
2

  =0
 dτ 
t
 dφ 
S r0 
 =0
 dτ 
(7.65)
2
2
(7.66)
dφ
A
= 2.
dτ S
(7.67)
Untuk penyelesaian dengan memperhitungkan persamaan (7.66) terlebih
dahulu, diperoleh nilai φ = konstanta sehingga nilai tetapan A = 0, dan dari
persamaan (7.65) : t = τ + konstanta. Namun jika hanya diperhitungkan set
persamaan (7.65) dan (7.67) maka kalau hasil (7.67) diisikan ke (7.65) akan
diperoleh
d 2t
dτ
2
+
(2 / 3) 7 / 3 r02 A 2 1
S 03 H 04 / 3
t
7/3
=
d 2t
dτ
2
+
D
t
7/3
= 0.
(7.68)
Bentuk persamaan di atas mirip dengan persamaan (7.57) sehingga dengan
model penyelesaian yang sama akan diperoleh
2
3D − 4 / 3
 dt 
t
+C
  =
2
 dτ 
(7.69)
dt
3D − 4 / 3
=
t
+C
dτ
2
(7.70)
atau
dengan C tetapan integrasi.
Persamaan di atas dapat diatur sebagai
τ =∫
dt
3D
2t 4 / 3
.
(7.71)
+C
Lagi-lagi integral pada persamaan (7.71) di atas sulit diselesaikan secara
analitik, sehingga diperlukan komputasi numerik. Kecuali jika pada integral (7.34)
di atas diambil nilai C = 0 maka integral di atas dapat diselesaikan yaitu
τ=
3(3 / 2) 2 / 3 S 03 / 2 H 02 / 3 5 / 3
2
2/3
t
dt
=
t
+ konstanta
3D ∫
5 Ar0
(7.72)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
193
Selanjutnya dengan mengisikan (7.70) ke (7.67) diperoleh
dφ dt dφ
=
dt dτ dt
φ=
3D − 4 / 3
t
+C
2
A
S 02 (3H 0 / 2) 4 / 3
∫
=
A
S 02 (3H 0 t
/ 2) 4 / 3
t −4 / 3 dt
3D − 4 / 3
t
+C
2
atau
+ konstanta
(7.73)
yang juga sulit diselesaikan secara analitik, kecuali jika telah dipilih nilai tetapan
integrasi C = 0. Untuk kasus pemilihan tetapan C = 0 maka
 144t 2
φ =  3 4 6
 S 0 H 0 r0




1/ 6
+ konstanta
(7.74)
Persamaan (7.74) di atas menyatakan hubungan antara sudut polar φ sebagai fungsi
waktu t untuk partikel yang bergerak pada r konstan di bidang planar.
Dari dua model gerakan di atas masing-masing untuk r dan φ sebagai fungsi t,
ternyata diperoleh penyelesaian yang serupa yaitu keduanya sebagai fungsi t 1 / 3 .
2.
Model Einstein
Dari persamaan geodesik (7.65) dan nilai tensor metrik pada persamaan (7.41),
jika diisikan µ = 0 maka
d 
dt 
 2 g 00
 = 0 atau
dτ 
dτ 
dt
= A = konstanta
dτ
(7.75)
Jika diisikan µ = 1 diperoleh
−
1
d 2r
1 − kr 2 dτ 2
 dr 
 dθ 
2  dφ 
−
  + 2r 
 + 2r sin θ   = 0
2 2
(1 − kr )  dτ 
 dτ 
 dτ 
2kr
2
2
2
(7.76)
Untuk µ = 2 diperoleh
d 2θ
dr dθ
 dφ 
−r
− 2r
+ r 2 sin θ cosθ   = 0
2
dτ dτ
dτ
 dτ 
2
2
(7.77)
Sedangkan untuk µ = 3 diperoleh
dφ
B
= 2
dτ r sin 2 θ
(7.78)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
194
dengan B = konstanta.
Sekarang ditinjau gerakan radial sehingga dθ = dφ = 0 . Persamaan (7.77) dan
(7.78) berturut-turut menyatakan 0 = 0 dan B = 0. Persamaan (7.76) menjadi
(1 − kr )
2
d 2r
dτ 2
2
 dr 
+ 2kr   = 0
 dτ 
(7.79)
Dengan mengisikan (7.75) ke (7.79) diperoleh
(1 − kr 2 )
d 2r
dt 2
2
 dr 
+ 2kr   = 0
 dt 
(7.80)
Dilakukan substitusi v = dr / dt , maka persamaan (7.80) dapat dituliskan
menjadi
dv


v (1 − kr 2 ) + 2krv  = 0
dr


(7.81)
dv
2kr
= 2
dr
v kr − 1
(7.82)
dengan dua penyelesaian
v = 0 dan
Penyelesaian pertama memberikan nilai
r = konstan
(7.83)
sedangkan dari penyelesaian kedua diperoleh untuk ketiga nilai k berturut-turut
adalah
1 + D exp( Et )
1 − D exp( Et )
k = 1 ⇒ v = dr / dt = C (r 2 − 1) ⇒ r =
k = 0 ⇒ v = 0 ⇒ r = konstan
(7.85)
k = −1 ⇒ v = dr / dt = C (r 2 + 1) ⇒ r = tg ( Dt + E ) .
(7.86)
(7.84)
dengan C, D dan E adalah tetapan integrasi. Jadi penyelesaian untuk jagad raya
model Einstein untuk gerakan radial adalah persamaan trayektori persamaan (7.84)
− (7.86) yang bergantung pada nilai k.
3.
Model de Sitter
Persamaan faktor skala jagad raya sebagai fungsi waktu untuk model de Sitter
ini adalah
S = S 0 exp( Ht )
(7.87)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
195
Persamaan geodesik yang bersangkutan adalah
2
d 2t
 dr 
µ=0⇒
+ HS 02 exp(2 Ht )  = 0
dτ
 dτ 
d 
2 dr 
2  dθ 
2
2  dφ 
µ =1⇒
 − 2S
 + 2S r   + 2S r sin θ   = 0
dτ 
dτ 
 dτ 
 dτ 
(7.89)
d 
 dφ 
2 2 dθ 
2 2
µ =2⇒
 − 2S r
 + 2S r sin θ cosθ   = 0
dτ 
dτ 
 dτ 
(7.90)
µ =3⇒
(7.88)
2
2
2
dφ
B
= 2 2
dτ S r sin 2 θ
(7.91)
dengan B suatu konstanta.
Kembali ditinjau gerakan radial, sehingga dθ = dφ = 0 . Untuk jenis gerakan
ini, persamaan (7.89) menjadi
dr
A
= 2
dτ S
(7.92)
dengan A suatu tetapan. Dengan mengisikan persamaan (7.92) ke persamaan (7.88)
diperoleh
d 2t
+ C exp(−2 Ht ) = 0
dτ
(7.93)
dengan
C=
AH
S 04
.
Dilakukan substitusi
p=
dt
dτ
sehingga
d 2t
dτ
2
= p
dp
.
dt
Persamaan (7.93) dapat dituliskan menjadi
pdp = −C exp(−2 Ht )dt
yang jika diintegralkan bernilai
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
196
2
 dt 
  = CH exp(−2 Ht ) + D
 dτ 
(7.94)
atau
dτ =
dt
CH exp(−2 Ht ) + D
.
(7.95)
Untuk mengintegralkan persamaan (7.95) di atas dilakukan substitusi
u = CH exp(−2 Ht ) + D
sehingga
t = −(1 / 2 H )(ln[u 2 − D ) − ln[CH ])
dan
dt = −
udu
H (u 2 − D)
.
Persamaan (7.95) menjadi
τ=
=
1
2H

1
∫ 
D u +
D
−

 du
u− D
1
 CH exp(−2 Ht ) + D + D 
 + konstanta
ln
2 H D  CH exp(−2 Ht ) + D − D 
1
(7.96)
Hasil persamaan (7.94) selanjutnya diisikan ke persamaan (7.92) sehingga
dihasilkan
2
4
dr A D + ( AH / S 0 ) exp(−2 Ht )
=
dt
S 02 exp(−2 Ht )
(7.97)
∫ exp(2Ht )
(7.98)
atau
r=
A
S 02
D + ( AH 2 / S 04 ) exp(−2 Ht ) dt
yang sulit diselesaikan secara analitik jika D ≠ 0. Namun jika D = 0 maka
r=
A3 / 2
S 04
exp( Ht ) + konstanta.
(7.99)
Persamaan (7.99) di atas menyatakan hubungan antara r sebagai fungsi t untuk
gerakan partikel jatuh bebas dalam jagad raya bermodel de Sitter.
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
197
7.9
DINAMIKA GERAK FOTON DALAM JAGAD RAYA
Kalau pada dinamika partikel, gerakan jatuh bebasnya ditelaah dengan
persamaan geodesik, maka tidak demikian pada gerakan foton, mengingat nilai
dτ foton = 0. Karena swa-waktu foton bernilai demikian maka gerakannya dikaji
dengan mengisikan dτ 2 = 0 dari metrik Robertson-Walker pada persamaan (7.41)
yang dapat dituliskan sebagai
 1
S
 1 − kr 2

 dr 
2  dθ 
2
2  dφ 
  +r 
 + r sin θ  
 dt 
 dt 
 dt 
2
2
2
2

 = 1.


(7.100)
Dari persamaan (7.100) di atas dapat ditelaah gerakan foton baik untuk koordinat r,
θ maupun φ sebagai fungsi t untuk model-model jagad raya di atas, bergantung pada
perumusan S sebagai fungsi t.
1.
Model debu (Λ
Λ = 0 dan p = 0) dengan k = 0
Pada model ini ditinjau gerakan radial saja, gerakan sudut polar saja dan
gerakan sudut θ saja. Untuk gerakan radial semata, persamaan (7.100) tereduksi
menjadi
dr =
t −2 / 3 dt
S 0 (3H 0 / 2) 2 / 3
(7.101)
yang jika diintegralkan akan menghasilkan
r=
3
S 0 (3H 0 / 2)
2/3
t 1 / 3 + konstanta.
(7.102)
Dengan cara yang sama dapat diperoleh nilai φ sebagai fungsi t untuk gerakan pada
r konstan = r0 di bidang planar θ = π / 2 yaitu
φ=
3
S 0 r0 (3H 0 / 2)
2/3
t 1 / 3 + konstanta.
(7.103)
Sedangkan nilai θ sebagai fungsi t untuk gerakan pada r konstan = r0 dan φ =
konstan ternyata serupa dengan persamaan (7.103) yaitu
θ=
3
S 0 r0 (3H 0 / 2)
2/3
t 1 / 3 + konstanta.
(7.104)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
198
2.
Model Einstein
Untuk model ini, bentuk persamaan gerakannya lebih sederhana lagi karena
nilai S yang konstan. Untuk ketiga gerakan foton jatuh bebas seperti halnya pada
model debu di atas, diperoleh penyelesaian berturut-turut sebagai berikut :
1.
gerakan radial
k = +1 ⇒
r = sin(t / S + C )
(7.105)
k =0 ⇒
r =t/S +C
(7.106)
k = −1 ⇒
r = tg (t / S + C )
(7.107)
2.
gerakan θ untuk ketiga nilai k ⇒
θ = t /( Sr0 ) + C
(7.108)
3.
gerakan φ untuk ketiga nilai k ⇒
φ = t /( Sr0 ) + C
(7.109)
Untuk semua persamaan pada model ini, C adalah tetapan integrasi.
7.10 DINAMIKA METRIK DE SITTER
Untuk menelaah ruang de Sitter, pertama kali dirumuskan metrik
ruang−waktu de Sitter sebagai (Lawden, 1982)
ds 2 = g µν dx µ dxν
= − (1 − r 2 / R 2 )c 2 dt 2 +
dr 2
1− r / R
2
2
+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) .
(7.110)
dengan R konstan.
Lambang Christoffel dirumuskan sebagai (Lawden, 1982)
(
)
α = 1 g αβ ∂g
ν
µ
β
Γµν
βµ / ∂x + ∂gνβ / ∂x − ∂g µν / ∂x .
2
(7.111)
Dari nilai-nilai lambang Christoffel, dapat dicari nilai tensor Ricci Rµα yang
dirumuskan sebagai (Lawden, 1982)
Rµα =
∂Γνµν
∂x
α
−
∂Γνµα
ν
∂x
β
β
+ Γνβα Γµν
− Γνβν Γνα
.
(7.112)
Untuk menelaah gerakan partikel jatuh bebas, dirumuskan persamaan
geodesik lintasan partikel dalam ruang bermetrik sebagai (Lawden, 1982)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
199
2
d 
dx β  ∂g µν dx µ dxν
gαβ
−
=0.
ds 
ds  ∂xα ds ds
(7.113)
Gerakan foton dapat diselidiki dengan mengisikan nilai ds 2 = 0 mengingat
swawaktunya lenyap.
Pada metrik (7.110) telah dipilih koordinat−4 yang berbentuk :
x µ = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct , r , θ , φ ) .
(7.114)
Tampak bahwa koordinat−3 spatial dipilih dalam bentuk koordinat bola. Dari
metrik persamaan (7.110), nilai komponen tensor metrik kovarian yang tak lenyap
adalah :
g 00 = (r 2 / R 2 ) − 1 , g11 = R 2 /( R 2 − r 2 ) , g 22 = r 2 , g 33 = r 2 sin 2 θ .
(7.115)
Adapun nilai g µν untuk µ ≠ ν bernilai lenyap. Nilai komponen tensor metrik dari
persamaan (7.115) di atas bersifat simetri. Mengacu pada persamaan (7.115) di atas,
untuk r → R, tensor metrik mengalami singularitas.
Sementara itu relasi antara tensor metrik kovarian dan kontravarian adalah
1, α = µ
gαβ g βµ = δ αµ = 
,
0, α ≠ µ
(7.116)
Hubungan di atas memungkinkan untuk mendapatkan komponen tensor metrik
kontravarian yang tak lenyap dengan nilai-nilai sebagai berikut :
g 00 = R 2 /(r 2 − R 2 ) , g11 = 1 − (r 2 / R 2 ) ,
g 22 = 1 / r 2 , g 33 = 1 /(r 2 sin 2 θ ) .
(7.117)
Sama halnya dengan tensor metrik kovarian, nilai tensor metrik kontravarian juga
bersifat simetri. Demikian pula tensor metrik kontravarian mengalami simgularitas
untuk r = 0 dan r = R.
Langkah selanjutnya, dari nilai tensor metrik yang tertera pada persamaan
(7.115) dan (7.117), dapat dihitung nilai-nilai lambang Christoffel yang tak lenyap
dengan menggunakan rumus persamaan (7.111) sebagai berikut :
1
0
0
1
Γ00
= r (r 2 − R 2 ) / R 4 ; Γ10
= Γ01
= r /(r 2 − R 2 ) ; Γ11
= r /( R 2 − r 2 ) ;
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
200
1
2
2
1
Γ22
= r (r 2 − R 2 ) / R 2 ; Γ21
= Γ12
= 1 / r ; Γ33
= r sin 2 θ (r 2 − R 2 ) / R 2 ;
3
3
2
3
3
Γ13
= Γ31
= 1 / r ; Γ33
= −(1 / 2) sin 2θ ; Γ23
= Γ32
= cot θ .
(7.118)
Jika diamati, beberapa lambang Christoffel menuju tak hingga untuk r = 0, r = R
serta θ = nπ dengan n = bilangan bulat.
Nilai-nilai lambang Christoffel yang terdapat pada persamaan (7.118) di atas
selanjutnya sapat digunakan untuk menghitung komponen simetri tensor Ricci
memanfaatkan persamaan (7.112) sebagai berikut :
R00 =
3( R 2 − r 2 )
R4
; R11 =
3
; R 33 = R 22 sin θ = −
2
r 2 − R2
3r 2 sin 2 θ
R2
. (7.119)
Untuk r → R, nilai R11 → ∞ , sementara R22 dan R33 lenyap untuk r = 0.
Akhirnya, skalar kelengkungan R dapat ditentukan menggunakan tensor
metrik kontravarian pada persamaan (7.117) dan tensor Ricci pada persamaan
(7.119) dengan nilai
R = g µν R µν = −
12
R2
.
(7.120)
Sesuai sifatnya, skalar kelengkungan di atas bernilai konstan, bukan merupakan
fungsi variabel koordinat.
7.11 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM METRIK DE SITTER
Ditinjau gerak foton untuk mana swa−waktunya lenyap, atau
dσ 2 = −c −2 ds 2 = 0 ,
(7.121)
sehingga metrik de Sitter pada persamaan (7.110) untuk gerak foton menjadi
c 2 (r 2 − R 2 )dt 2
R
2
+
R 2 dr 2
2
R −r
2
+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) = 0 .
(7.122)
Akan diambil kasus khusus : pada t = 0, foton berada di r = r0 dan
selanjutnya bergerak keluar sepanjang garis lurus secara radial dengan θ = konstan
dan φ = konstan. Ini menyebabkan dθ = dφ = 0 sehingga persamaan (7.122)
menjadi
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
201
2
c 2 (R 2 − r 2 )2
 dr 
.
  =
 dt 
R4
(7.123)
Jika diambil akar positif (mengingat untuk t positif, r bergerak keluar) diperoleh
dr
R2 − r 2
=
c dt
R2
.
(7.124)
Pengintegralan menghasilkan
R+r
ct
1
ln
=
+k,
2R R − r R 2
(7.125)
dengan k tetapan integrasi. Dengan mengingat syarat batas : r (t = 0) = r0 , untuk
mana 0 ≤ r0 < R memberikan
k=
R + r0
1
ln
2 R R − r0
,
(7.126)
sehingga persamaan (7.125) dapat dituliskan dalam bentuk
t=
R ( R + r )( R − r0 )
ln
.
2c ( R − r )( R + r0 )
(7.127)
Untuk bentuk khusus : r0 = 0 , persamaan di atas menjadi
t=
R R+r
.
ln
2c R − r
(7.128)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa nilai t hanya valid untuk daerah 0 ≤ r < R .
Untuk r → R maka t → ∞ . Persamaan (7.128) dapat dinyatakan dalam ungkapan
r=R
exp(2ct / R ) − 1
.
exp(2ct / R ) + 1
(7.129)
Selanjutnya diambil kasus khusus : foton bergerak dengan r = r0 = konstan
dan φ konstan sehingga persamaan (7.122) dapat dituliskan
2
c 2 ( R 2 − r02 )
 dθ 
= konstan.

 =
 dt 
r02 R 2
(7.130)
Jika diambil akar positifnya, diperoleh
dθ =
c R 2 − r02
r0 R
dt ,
(7.131)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
202
sehingga untuk syarat batas : θ (t = 0) = θ 0 dihasilkan
θ (t ) = θ 0 +
c R 2 − r02
r0 R
t.
(7.132)
Gerakan foton pada kasus ini adalah berupa gerakan azimut melingkar pada
r = r0 = konstan dengan kecepatan sudut azimut konstan sebesar
( c / r0 R )( R 2 − r02 )1 / 2 .
Pada gerakan ini perlu diberikan pembatasan bahwa r0 ≠ 0 kecepatan sudutnya
tidak tak hingga, juga r0 ≠ R agar kecepatan sudutnya tidak lenyap. Ini berarti,
syarat gerakan melingkar stabil terletak pada daerah 0 < r = r0 < R .
Demikian pula untuk gerakan foton polar dengan r = r0 =
konstan dan
θ = θ 0 = konstan yang menyebabkan persamaan (7.122) memiliki ungkapan
2
2
dφ c R − r0
=
= konstan.
dt
r0 sin θ 0 R
(7.133)
Pengintegralan dengan syarat batas φ (t = 0) = φ 0 memberikan
φ (t ) = φ 0 +
c R 2 − r02
r0 sin θ 0 R
t.
(7.134)
Mirip dengan gerakan foton secara azimut di atas, pada gerakan foton polar ini,
syarat agar gerakan stabil adalah r0 ≠ 0 , r0 ≠ R , θ 0 ≠ 0 dan θ 0 ≠ π . Kecepatan
sudut polar gerak foton ini bernilai konstan = ( c / r0 sin θ 0 R )( R 2 − r02 )1 / 2 .
7.12 DINAMIKA GERAK PARTIKEL DALAM METRIK DE SITTER
Selanjutnya ditelaah persamaan geodesik lintasan partikel di dalam metrik de
Sitter. Metrik (7.110) dapat ditulis dalam bentuk

 r 2 − R 2  c dt  2  R 2  dr  2


  + r 2  dθ
+

 R 2  ds 
 R 2 − r 2  ds 
 ds




2

2  dφ 
 + sin θ  

 ds 
2
 = 1.

(7.135)
Dengan menggunakan persamaan geodesik (7.113) maka diperoleh set persamaan
diferensial berikut :
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
203
dt
k R2
,
=
ds c (r 2 − R 2 )
(7.136)
2
2
d  R 2 dr  ∂  r 2 − R 2  c dt 
∂  R 2  dr 
2
−

 −  2
 
ds  R 2 − r 2 ds  ∂r  R 2  ds 
∂r  R − r 2  ds 
( )
(
2
)
2
∂ 2  dθ 
∂ 2 2  dφ 
−
r 
r sin θ   = 0,
 −
∂r
∂r
 ds 
 ds 
2
(
)
(7.137)
2
d  2 dθ  ∂ 2 2  dφ 
r sin θ   = 0 .
r
−
ds  ds  ∂θ
 ds 
dφ
l
.
=
ds r 2 sin 2 θ
(7.138)
(7.139)
dengan k dan l tetapan integrasi.
Ditinjau gerakan partikel secara radial, sehingga dθ = dφ = 0 . Persamaan
(7.135) tereduksi ke bentuk
 r 2 − R 2  c dt  2  R 2  dr  2



=1.
+
 R 2  ds   R 2 − r 2  ds 




(7.140)
Dengan mengisikan nilai dt / ds dari persamaan (7.136) ke persamaan (7.140) di
atas, diperoleh
k 2R2
r 2 − R2
+
R2
2
k 2R4
 dr 
  = 1,
R 2 − r 2 c 2 (r 2 − R 2 ) 2  dt 
(7.141)
yang jika disederhanakan menjadi
2
c 2 [(k 2 + 1) R 2 − r 2 ][ R 2 − r 2 ]2
 dr 
=
.
 
 dt 
k 2R6
(7.142)
Dari persamaan di atas, diambil akar positif yang memberikan ungkapan
dr
2
2
2
2
2 1/ 2
[−r + R ][− r + (k + 1) R ]
=
c dt
kR 3
.
(7.143)
Ruas kiri persamaan di atas dapat diintegralkan dengan menggunakan rumus
(Abramowitz dkk, 1965) untuk bc > ad
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
204
dx
∫ (ax2 + b)(cx2 + d )1/ 2
=
1
2[b(bc − ad )]1/ 2
ln
[b(cx2 + d )]1/ 2 + x(bc − ad )1/ 2
[b(cx2 + d )]1/ 2 − x(bc − ad )1 / 2
(7.144)
sehingga pengintegralan persamaan (7.143) memberikan
1
2kR 2
ln
(k 2 + 1) R 2 − r 2 + kr
(k 2 + 1) R 2 − r 2 − kr
=
ct
kR 3
+K,
(7.145)
dengan K tetapan integrasi. Untuk syarat batas, misalnya r (t = 0) = 0 diperoleh K =
0 sehingga
(k 2 + 1) R 2 − r 2 + kr
R
t=
ln
.
2c
(k 2 + 1) R 2 − r 2 − kr
(7.146)
Dari persamaan di atas, terdapat syarat : 0 ≤ r ≤ R k 2 + 1 agar nilai di dalam akar
tidak negatif serta r ≠ R agar penyebut ≠ 0. Dua syarat tersebut dapat digabung
menjadi
0 ≤ r < R atau R < r < R k 2 + 1 .
(7.147)
7.13 METRIK DAN JAGAD RAYA DE SITTER
Dari metrik de Sitter yang terdapat pada persamaan (7.110), dilakukan
transformasi dari koordinat−4 (ct , r , θ , φ ) ke (cT ,σ ,θ , φ ) melalui substitusi
 A 2σ 2 exp(2cT / R ) 

ct = cT − R ln1 −
2


R


(7.148)
r = Aσ exp(cT / R )
(7.149)
dengan A tetapan positif. Melalui transformasi tersebut metrik de Sitter menjadi
ds 2 = −c 2 dT 2 + A 2 exp(2cT / R )[dσ 2 + σ 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )] . (7.150)
Bentuk metrik ini sama dengan metrik jagad raya de Sitter yang berasal dari metrik
Robertson−Walker yang dirumuskan sebagai
 dσ 2

ds 2 = −c 2 dT 2 + S 2 
+ σ 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )  ,
 1 − kσ 2



(7.151)
kemudian dengan mengisikan untuk jagad raya de Sitter beberapa nilai berikut :
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
205
•
S = A exp(Ht ) yang berasal dari asumsi bahwa nilai tetapan Hubble H =
S −1 (dS / dt ) selalu konstan sepanjang waktu T. Selanjutnya diperoleh
hubungan H = c / R .
•
jagad raya bersifat datar (flat) karena tidak memiliki rapat massa ρ maupun
tekanan p sehingga nilai tetapan kelengkungan k = 0.
Dari kedua asumsi di atas, diperoleh metrik de Sitter.
Invers transformasi persamaan (7.148) dan (7.149) adalah
σ=
r exp(−ct / R )
A 1− r / R
2
2
cT = ct + R ln 1 − r 2 / R 2 .
(7.152)
(7.153)
7.14 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM JAGAD RAYA DE SITTER
Ditinjau sebuah foton yang dilepaskan dari titik (σ ,θ , φ ) secara radial ke
pusat O pada waktu T0 dalam jagad raya de Sitter dengan metrik diberikan pada
persamaan (7.150). Mengingat untuk foton, swawaktunya lenyap serta gerakannya
dipilih bersifat radial, persamaan (7.150) berbentuk
c 2 dT 2 = A 2 exp(2cT / R )dσ 2 .
(7.154)
Karena gerakan foton menuju O, diambil akar negatif dari persamaan di atas
sehingga dapat ditulis menjadi
exp(−cT / R ) dT = −( A / c) dσ .
(7.155)
Jika diintegralkan
T
0
T0
σ
A
∫ exp(−cT / R) dT = − c ∫ dσ
atau
exp(−cT / R) = exp(−cT0 / R) − ( Aσ / R) .
(7.156)
Dengan menyederhanakan bentuk di atas, diperoleh
T = T0 −
R
ln[1 − ( Aσ / R ) exp(cT0 / R )] .
c
(7.157)
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
206
Dari hasil terakhir di atas, selang waktu yang diperlukan menurut pengamat di
ruang de Sitter bagi foton untuk menempuh gerakan tersebut adalah
∆T = T − T0 = −
R
ln[1 − ( Aσ / R ) exp(cT0 / R )] .
c
(7.158)
Untuk nilai di atas, tentu saja harus dipenuhi
1 − ( Aσ / R) exp(cT0 / R) > 0
(7.159)
σ < ( R / A) exp(−cT0 / R) .
(7.160)
atau
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
207
Soal-Soal Latihan BAB VII
1.
Suatu daerah ruang-waktu memiliki metrik
ds 2 = dx 2 + dy 2 + dz 2 − x 2 dt 2 .
Sebuah partikel pada saat t = 0 berada pada posisi (1, 0, 0). Jika partikel
tersebut dilepaskan dan bergerak jatuh bebas, tunjukkan bahwa ia bergerak
sepanjang sumbu x dengan persamaan gerakan x = sech t . Sebuah foton
dipancarkan dari titik (1, 0, 0) pada t = 0 pada arah sumbu y positif.
Tunjukkan bahwa pada saat tersebut
dx / dt = dz / dt = 0 , dy / dt = 0
serta lintasan foton tersebut adalah lingkaran dengan persamaan x 2 + y 2 = 1 .
2.
Jagad raya de Sitter memiliki metrik
ds 2 = A −1dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − Ac 2 dt 2
dengan
A =1 − r 2 / R2
dan R tetapan. Saat t = 0, sebuah foton meninggalkan pusat r = 0 dan bergerak
keluar sepanjang garis lurus dengan θ = tetapan dan φ = tetapan. Carilah
koordinat r pada waktu t dan tunjukkan bahwa
r = R / 2 saat t = ( R ln 3) / 2c
serta
r → R saat t → ∞ .
3.
r ,θ , z adalah koordinat kuasi−silindris dalam suatu medan gravitasi yang
memiliki metrik
ds 2 = r 2 (dr 2 + dθ 2 ) + r (dz 2 − dt 2 ) .
Sebuah partikel diletakkan pada titik r = 1 , θ = z = 0 pada medan tersebut
dengan kecepatan dr / dt = dz / dt = 0 , dθ / dt = 3 / 2 . Tunjukkan bahwa jika
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
208
partikel tersebut jatuh bebas, ia bergerak pada bidang z = 0 antara lingkaran
berjari-jari r = 1 dan r = 3 , pertama kali mengenai lingkaran terluar pada
θ = 3π . Sebuah foton dipancarkan dari titik r = 1 , θ = z = 0 dan bergerak
dengan kecepatan awal dr / dt = dz / dt = 0 . Tunjukkan bahwa lintasan foton
tersebut berbentuk spiral dengan persamaan
r = 1 + 14 θ 2
pada bidang z = 0.
4.
Metrik de Sitter dapat dinyatakan dalam bentuk
ds 2 = exp(2ct / R )(dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − c 2 dt 2
dengan R suatu tetapan, dan x, y, z dapat diperlakukan sebagai koordinat
Kartesan tegaklurus. Tunjukkan bahwa trayektori partikel jatuh bebas dan
foton adalah garis lurus. Sebuah partikel ditempatkan pada pusat saat t = 0
dengan kecepatan V sepanjang sumbu x positif. Tunjukkan bahwa koordinat x
pada waktu t diberikan oleh
x = ( R / V )[c − c 2 − V 2 (1 − exp(2ct / R ) ] .
Sebuah benda pada titik x = X di sumbu x memancarkan foton yang bergerak
menuju pusat saat t = 0. Tunjukkan bahwa foton tersebut akan tiba di O pada
waktu
t = −( R / c) ln(1 − X / R ) .
5.
r ,θ , φ adalah koordinat kuasi−kutub bola pada sebuah medan gravitasi yang
bersifat simetri bola terhadap pusat r = 0. Metrik ruang−waktu adalah
ds 2 =
r 2 dr 2
(r + 1) 2
+ r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) −
r dt 2
.
r+2
Sebuah partikel diletakkan pada titik r = 1, θ = π / 2 , φ = 0 pada waktu t = 0
dengan kecepatan sedemikian sehingga dr / dt = dθ / dt = 0 , dφ / dt = 1 / 6 .
Partikel tersebut kemudian bergerak jatuh bebas. Tunjukkan bahwa trayektori
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
209
lintasan partikel tersebut terletak pada bidang θ = π / 2 dan memiliki
persamaan kutub
r=
6.
5 − cos( 8 / 3 φ )
3 + cos( 8 / 3 φ )
.
Carilah persamaan gerakan foton yang bergerak secara radial di dalam bola
Schwarzschild dan tunjukkan bahwa foton tersebut bergerak keluar dari pusat
O mengambil koordinat waktu t yang tak hingga untuk mencapai bola
tersebut. Buktikan pula bahwa foton yang bergerak menuju pusat O dari
r = R < 2m membutuhkan waktu t = T yang diberikan oleh
cT = − R − 2m ln(1 − R / 2m)
untuk mencapai O.
7.
Sebuah partikel bergerak sepanjang garis radial menuju O dalam daerah r >
2m. Untuk kondisi awal t = 0, r = R, dr / dt = 0 , buktikan bahwa
2
2m 
 dr 
2
  = 2mc 1 −

R 
 dt 

−1
2
 2m   1 1 
1 −
  − .
r  r R

Selanjutnya tunjukkan pula bahwa
1/ 2 R
 R

ct = 
− 1
 2m 
r 3 / 2 dr
∫ (r − 2m)( R − r )1/ 2
r
1/ 2
 R

=
− 1
 2m 
[ r(R − r) + (R + 4m) cos
−1
]
1 − γ
r / R − 2m ln
1 + γ



dengan
γ=
2 m( R − r )
.
r ( R − 2 m)
Tunjukkan bahwa ct → ∞ untuk r → 2m .
8.
Sebuah foton dipancarkan dari titik r = m , θ = π / 2, φ = 0 di dalam lubang
hitam Shwarzschild dengan kecepatan sudut dθ / dt = 0 , dφ / dt = (3 3 )c / m .
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
210
Tunjukkan bahwa kecepatan awal diberikan oleh dr / dt = ±2 7 c . Pada kasus
dimana nilai awal dr / dt adalah negatif, tunjukkan bahwa foton tersebut
bergerak pada bidang θ = π / 2 dan jatuh ke O sepanjang trayektori
6m = r[3 coth 2 {(α − φ ) / 2} − 1]
dengan α = ln 5 + 21 .
9.
r ,θ , φ adalah koordinat Schwarzschild. Seorang pengamat tetap pada titik
R,θ , φ mengirim sinyal secara radial menuju pusat O. Sinyal dipantulkan
oleh sebuah benda kecil pada titik r ,θ , φ dan kembali ke pengamat.
Tunjukkan bahwa waktu antara transmisi dan penangkapan sinyal kembali
yang diukur oleh jam standar pengamat adalah
2 1 − 2m / R 
R − 2m 
 R − r + 2m ln
.
c
r − 2m 

10.
Sebuah foton dipancarkan dari titik (r , θ , φ ) sepanjang radius menuju pusat
pada waktu t dalam jagad raya de Sitter. Tunjukkan bahwa waktu yang
diperlukan untuk mencapai pusat O adalah
−
11.
ln(1 − ( HAr / c) exp( Ht )
.
H
Dalam ruang dua dimensi dimana metriknya diberikan oleh
ds 2 =
dr 2 + r 2 dθ 2
r 2 − a2
−
r 2 dr 2
(r 2 − a 2 ) 2
(r > a),
tunjukkan bahwa persamaan diferensial lintasan geodesik dapat dituliskan
dalam bentuk
2  dr 
2
2 2
2 4
a 
 +a r =k r
 dθ 
dengan k 2 adalah suatu tetapan, sedemikian sehingga k 2 = 1 jika dan hanya
jika, geodesik tersebut null.
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
211
12.
Didefinisikan koordinat (r , φ ) pada kerucut lingkaran yang memiliki sudut
setengah vertikal α sehingga metrik permukaan kerucut tersebut diberikan
oleh
ds 2 = dr 2 + r 2 sin 2 α dφ 2 .
Tunjukkan bahwa keluarga lintasan geodesik diberikan oleh
r = a sec(φ sin α − β )
dengan α , β adalah tetapan sembarang.
13.
Suatu ruang tiga dimensi memiliki metrik
ds 2 = λ dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )
dengan λ merupakan fungsi r saja. Tunjukkan bahwa sepanjang lintasan
geodesik untuk θ = π / 2 serta dθ / ds = 0 saat s = 0, berlaku
φ = ∫ λ dψ
dengan r = b secψ .
14.
Jika ruang−waktu memiliki metrik
ds 2 = e 2kx (dx 2 + dy 2 + dz 2 − dt 2 )
dengan k tetapan, serta
v 2 = (dx / dt ) 2 + (dy / dt ) 2 + (dz / dt ) 2 ,
tunjukkan bahwa benda yang bergerak jatuh bebas memenuhi persamaan
1 − v 2 = (1 − V 2 )e 2kx
dengan v = V untuk x = 0.
15.
Jika ruang−waktu memiliki metrik
ds 2 = α 2 (dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − α c 2 dt 2
dengan α = (1 − kx) −1 dan k tetapan, serta
___________________________________________________________________
Dinamika Gerak Partikel dan Foton
___________________________________________________________________________________________
212
v 2 = (dx / dt ) 2 + (dy / dt ) 2 + (dz / dt ) 2 ,
tunjukkan bahwa untuk benda yang bergerak jatuh bebas tersebut dipenuhi
persamaan
V 2 − v 2 = kc 2 x
dengan v = V untuk x = 0.
16.
Jika metrik ruang−waktu adalah
ds 2 = α 2 (dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − kα dt 2
dengan α adalah fungsi x saja dan k tetapan, carilah persamaan diferensial
yang membangun lintasan garis dunia partiel yang bergerak jatuh bebas. Jika
x, y dan z diinterpretasikan sebagai koordinat Kartesan tegaklurus oleh
seorang pengamat dan t adalah variabel waktunya, tunjukkan bahwa terdapat
suatu persamaan energi untuk partikel tersebut dalam bentuk
1 v 2 − k = tetapan.
2
2α
___________________________________________________________________
Daftar Pustaka
213
_______________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Anugraha, R., 1997 : Teori Relativitas Umum Einstein dan Penerapannya pada
Model Standar Alam Semesta pada keadaan awal, sekarang dan masa
depan, Skripsi, Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta.
Bose, S.K., 1980 : An Introduction to General Relativity, cetakan ke 10, Wiley
Eastern Limited.
Farmer, G., 1966, Derivation of Compton Scattering Relation in Covariant
Notation, American Journal of Physics, Vol. 34, p. 614.
Hawking, S., 1974 : Black Hole Explosion ? Nature, vol. 248, p. 30 − 33.
Krane, K., 1992 : Fisika Modern, UI Press, Jakarta.
Lapidus, I.R., 1972, Motion of a Relativistic Particle Acted Upon by a Constant
Force and a Uniform Gravitational Field, American Journal of Physics, Vol.
40, p. 984 − 988.
Lawden, D.F., 1982 : An Introduction to Tensor Calculus, Relativity and
Cosmology, John Wiley & Sons, New York.
Misner, C.W., Thorne, K.S., Wheeler, J.A., 1973 : Gravitation, W.H. Freeman &
Company, New York.
Muller, R.A., 1972, The Twin Paradox in Special Relativity, American Journal of
Physics, Vol. 40, p. 966 − 969.
Muslim, 1985 : Teori Relativitas Khusus, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Muslim, 1986 : Analisis Vektor dan Tensor dalam Fisika Matematik, Fakultas
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Muslim, 1997 : Teori Relativitas Khusus, Produk dan Eksponen Paradigma
Simetri, Unifikasi dan Optimasi dalam Fisika Modern, Lab Atom−Inti
FMIPA UGM, Yogyakarta.
Peebles, P.J.E., 1971 : Physical Cosmology, Princeton University Press
Siemon, R.E., Snider, D.R., Elastic Collisions as Lorentz Transformations with
Application to Compton Scattering, American Journal of Physics, Vol. 34,
p. 614 − 615.
Weinberg, S., 1972 : Gravitation and Cosmology : Principles and Applications of
the General Theory of Relativity, John Wiley & Sons, New York.
Wospakrik, H.J., 1987 : Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum dan Biografi
Albert Einstein, ITB, Bandung.
Zahara, M., Muslim, 1992 : Relativitas Khusus dan Mekanika Kuantum Sebagai
Sokoguru Fisika Masa Kini, Berkala Ilmiah MIPA, No. 2, Tahun IV,
FMIPA UGM Yogyakarta.
_______________________________________________________________________________
Download