TEORI RELATIVITAS DAN KOSMOLOGI Dr. Eng. Rinto Anugraha NQZ Jurusan Fisika FMIPA UGM 2011 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, akhirnya buku Teori Relativitas dan Kosmologi ini dapat kami selesaikan. Buku ini disusun untuk digunakan sebagai bahan perkuliahan mata kuliah Teori Relativitas di Jurusan Fisika FMIPA UGM. Isi buku ini sedapat mungkin disesuaikan dengan silabus mata kuliah yang terdapat dalam Buku Panduan FMIPA UGM. Penyajian buku ini dimulai dari Teori Relativitas Khusus, serta beberapa penerapannya, baik pada bidang Elektrodinamika, maupun dinamika partikel relativistik. Selanjutnya ditelaah Teori Relativitas Umum yang diawali dari analisis matematika tensor. Setelah merumuskan persamaan gravitasi Einstein, disajikan beberapa penerapan Teori Relativitas Umum, seperti pada lubang hitam, presesi orbit planet, pergeseran cahaya bintang, kosmologi dan lain-lain. Khusus pembahasan kosmologi disediakan dua bab, yaitu pada Bab V dan VI. Pada Bab penutup, ditelaah dinamika gerak partikel dan foton baik dalam lubang hitam maupun di jagad raya. Meski telah disiapkan cukup lama, kami menyadari bahwa buku ini masih memiliki banyak kekurangan. Diantaranya, tidak terdapat soal-soal latihan. Barangkali pula di sana sini masih terdapat salah tulis dan ketik. Karena itu kami dengan tangan terbuka sangat mengharap masukan positif dari para pembaca, dalam rangka penyempurnaan buku ini. Akhirnya kami berharap, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan fisika di masa depan. Yogyakarta, Mei 2011 Dr. Eng. Rinto Anugraha NQZ DAFTAR ISI BAB I TEORI RELATIVITAS KHUSUS 1.1 Pendekatan Energetika dan Penjabaran Kaedah Transformasi Lorentz 1.2 Transformasi Lorentz untuk besaran ( E , p ) 1.3 Metode lain penurunan bentuk eksplisit besaran-besaran fisis relativistik 1.4 Transformasi Lorentz Vektor-4 melalui Transformasi Koordinat-4 1.5 Kaedah Transformasi untuk Vektor 1.6 Ruang-Waktu Minkowski dan Kaedah Transformasi Lorentz 1.7 Transformasi Lorentz untuk besaran-besaran elektrodinamika Soal-Soal Latihan Bab I BAB II PENERAPAN TEORI RELATIVITAS KHUSUS 2.1 Paradoks Kembar 2.2 Tinjauan Gerakan Partikel relativistik yang dikenai Gaya Konstan dan Medan Gravitasi Seragam 2.2.1 Gerakan Partikel oleh Gaya Konstan 2.2.2 Gerakan Partikel dalam Medan Gravitasi Seragam 2.3 Efek Compton Soal-Soal Latihan Bab II 1 2 9 15 18 18 19 25 30 33 33 38 38 42 51 58 BAB III 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 ANALISIS TENSOR DAN TEORI RELATIVITAS UMUM Analisis Ruang Riemann Operasi pada Tensor Ruang Datar dan Lengkung Tensor Metrik Turunan Kovarian Tensor Riemann-Christoffel, Ricci dan Einstein Persamaan Geodesik Teori Relativitas Umum Hukum Gravitasi Einstein Soal-Soal Latihan Bab III 61 61 64 65 67 68 69 71 72 80 86 BAB IV 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 PENERAPAN TEORI RELATIVITAS UMUM Penyelesaian Schwarzschild Presesi Orbit Planet Pembelokan cahaya bintang di sekitar massa massif Gelombang gravitasi Lubang hitam Schwarzschild dan Kruskal-Szekeres Struktur bintang Soal-Soal Latihan Bab IV 93 93 100 105 109 111 115 119 BAB V 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA Pendahuluan Asas Kosmologi Geometri Bolahiper Metrik Robertson-Walker Pergeseran merah galaksi Ekspansi Jagad Raya Sejarah Suhu Jagad Raya menurut Big Bang Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro Soal-Soal Latihan Bab V 121 121 124 125 126 127 130 133 139 145 BAB VI 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 KOSMOLOGI : DINAMIKA JAGAD RAYA Dinamika Jagad Raya Rapat Energi dan Tekanan Jagad Raya Masa Dominasi Materi Horison Partikel dan Horison Peristiwa Masa Dominasi Radiasi Data Fisis Jagad Raya Masa Depan Jagad Raya Soal-Soal Latihan Bab VI 149 149 155 157 166 167 171 173 175 BAB VII DINAMIKA GERAK PARTIKEL DAN FOTON 7.1 Persamaan Gravitasi Einstein 7.2 Persamaan Geodesik 7.3 Dinamika Gerak Partikel dalam Medan Schwarzschild 7.4 Dinamika Gerak Foton dalam Bidang Datar Medan Schwarzschild 7.5 Dinamika Gerak Foton secara Radial dalam Medan Schwarzschild 7.6 Dinamika Gerak Partikel dan Foton dalam Jagad Raya bermetrik Robertson-Walker 7.7 Solusi Persamaan Eisntein untuk Jagad Raya 7.8 Dinamika Gerak Partikel dalam Jagad Raya 7.9 Dinamika Gerak Foton dalam Jagad Raya 7.10 Dinamika Metrik de Sitter 7.11 Dinamika Gerak Foton dalam Metrik de Sitter 7.12 Dinamika Gerak Partikel dalam Metrik de Sitter 7.13 Metrik dan Jagad Raya de Sitter 7.14 Dinamika Gerak Foton dalam Jagad Raya de Sitter Soal-Soal Latihan Bab VII 177 178 179 179 Daftar Pustaka 213 183 185 186 187 188 197 198 200 202 204 205 207 1 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ BAB I TEORI RELATIVITAS KHUSUS Fisika adalah ilmu yang berupaya secara ilmiah menelaah gejala alam mulai dari skala mikro (partikel elementer) hingga skala makro (jagad raya), serta mulai dari kelajuan rendah hingga kelajuan maksimum. Teori relativitas merupakan salah satu tulang punggung fisika modern. Sumbangannya terutama dalam bentuk penataan dan pelurusan konsep−konsep dasar dalam fisika, khususnya yang berkaitan dengan ruang−waktu, momentum−energi sebagai aspek kinematika semua gejala alam, yang selanjutnya mengangkat cahaya sebagai pembawa isyarat berkelajuan maksimum. Sumbangan teori relativitas, dalam hal ini adalah teori relativitas khusus adalah mampu menampilkan persamaan Maxwell, yang merupakan persamaan dasar dalam elektrodinamika, dalam bentuk yang kovarian. Konsekuensi teori relativitas khusus adalah kelajuan gelombang elektromagnet dalan ruang vakum sama dengan c (laju cahaya di ruang hampa). Beberapa percobaan menunjukkan bahwa dalam elektromagnetik, tidak ada kerangka istimewa. Dalam kerangka inersial, kelajuan cahaya sama dengan c, atau dengan kata lain, c merupakan suatu besaran invarian. Selain itu sistem persamaan Maxwell berlaku dalam smua kerangka inersial, yang oleh karena itu konsep ruang−waktu dan momentum−energi yang mutlak harus diganti. Ada tiga asas yang melandasi teori relativitas khusus, yaitu : Asas ke nol (Asas perpadanan / korespondensi) : untuk setiap gerakan berkelajuan rendah (momentum rendah), konsep−konsep dan hukum−hukum relativistik yang muncul harus sesuai dengan konsep−konsep yang telah ada dalam teori Newton. Asas pertama : Semua hukum alam bersifat tetap bentuknya (kovarian) terhadap perpindahan peninjauan dari kerangka inersial satu menuju kerangka inersial yang lain. ___________________________________________________________________ 2 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Asas kedua : Laju maksimal yang dapat dimiliki oleh isyarat tidak bergantung (invarian) dari kerangka acuan inersial yang digunakan. Nilai kelajuan maksimal c ini merupakan salah satu tetapan alam yang sangat penting dalam fisika dan memegang peranan utama dalam penelusuran konsep ruang−waktu serta momentum−energi. Nilainya sebagaimana yang ditetapkan oleh Badan Umum Internasional mengenai Berat dan Ukuran adalah c = 299792458 m/s. Hal ini berarti satu meter adalah jarak yang ditempuh oleh cahaya dalam ruang vakum selama selang waktu 1/299792458 detik. Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menelusuri kaedah transformasi antara besaran−besaran fisis (transformasi Lorentz) dari kerangka ~ inersial yang satu (K) menuju kerangka inersial yang lain (K ) yang bergerak dengan kecepatan konstan V terhadap K. Pendekatan pertama yang digunakan bersifat konvensional yaitu dengan memilih ruang dan waktu sebagai variabel awal yang digunakan dalam merumuskan kaedah transformasi Lorentz. Dengan pendekatan ini, kaedah transformasi untuk besaran momentum dan energi baru ditelusuri kemudian. Pendekatan kedua bersifat pendekatan energetika, yaitu dengan memilih momentum−energi sebagai variabel awal, yang selanjutnya transformasi untuk besaran ruang dan waktu baru ditampilkan kemudian. Menurut Muslim (1997), pendekatan ini tampil lebih ringkas dan lebih sesuai apabila diterapkan untuk proses mikroskopik pada zarah elementer, mengingat data−data pada proses hamburan dan spektroskopi biasanya melibatkan besaran momentum dan energi. Berikut ini akan dijabarkan perumusan kaedah transformasi Lorentz melalui pendekatan energetika (momentum−energi), mengacu pada Muslim (1997). 1.1 Pendekatan Energetika dan Penjabaran Kaedah Transformasi Lorentz Menurut asas korespondensi, perumusan hukum Newton kedua yang berbentuk dp F= dan dE = F . dr = dW dt (1.1) ___________________________________________________________________ 3 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ dapat pula berlaku dalam energetika relativistik (untuk momentum dan energi relativistik), dengan modifikasi definisi bagi momentum p . Dalam hal ini, F adalah gaya luar yang melakukan kerja dW pada zarah dalam selang waktu dt, dengan akibat terjadinya perubahan momentum sebesar dp dan energi sebesar dE sewaktu zarah tersebut melakukan pergeseran sejauh dr . Perubahan tenaga tersebut dapat dituliskan sebagai dr dp (1.2) dE = . dr = dp . = v . dp . dt dt Pada saat zarah dalam keadaan rehat ( v = 0 ), energi zarah bernilai E0 yang dinamakan dengan energi rehat. Selanjutnya jika zarah bergerak ( v ≠ 0 ), energi zarah tersebut akan bertambah dengan energi kinetik sebesar Ek menjadi energi total E yang dirumuskan sebagai E = E0 + E k . Jika zarah tersebut bergerak lurus maka v // p sehingga dE = v dp. (1.3) (1.4) Untuk foton dengan v = c konstan dan invarian (asas kedua teori relativitas), maka diperoleh energi foton sebesar E = ∫ dE = c ∫ dp = pc + konstan . (1.5) Mengingat tidak ada foton dengan kecepatan nol, maka disimpulkan bahwa tetapan konstan tersebut sama dengan nol. Jadi diperoleh E 2 = p 2 c 2 untuk v = c. (1.6) Selanjutnya untuk zarah bermassa dengan v atau p atau Ek sembarang, bentuk kuadrat momentum p 2 dapat diuraikan ke dalam suatu deret Taylor dalam Ek = E − E0 yang berbentuk p 2 = a0 + a1 Ek + a2 Ek2 + ... (1.7) Untuk zarah rehat (v = 0), nilai p maupun Ek = 0, sehingga a0 = 0. Dari sini, perilaku zarah untuk kecepatan rendah diberikan oleh koefisien a1 . Untuk ___________________________________________________________________ 4 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ zarah berkelajuan tinggi, Ek tinggi sehingga nilai E 2 ≈ Ek2 , mengingat untuk daerah ini E0 dapat diabaikan. Dari kondisi ini diperoleh a0 = 1 / c 2 , sedangkan untuk a3 dan seterusnya sama dengan nol. Adapun untuk kelajuan rendah, tentu saja a1 ≠ 0 . Jadi untuk sembarang daerah kelajuan / energi kinetik, berlaku kaitan dispersi untuk zarah bebas yang berbentuk p 2 = p . p = a1Ek + Ek2 / c 2 untuk 0 ≤ v ≤ c. (1.8) Apabila ungkapan di atas diambil turunannya, serta dengan mengingat bahwa dEk = d ( E − E0 ) = dE (1.9) 2p . dp = (a1 + 2 Ek / c 2 ) dE (1.10) p dE = 1 . dp 2 a + Ek / c 2 1 (1.11) diperoleh atau yang harus = v . dp . Dari sini diperoleh kesamaan p=v ( 1 2 ) a1 + Ek / c 2 . (1.12) Pangkat dua persamaan di atas adalah aE E2 p 2 = v 2 14 a1 + 1 2 k + 4k c c yang harus bernilai sama dengan p 2 = a1 Ek + Ek2 / c 2 . (1.13) (1.14) Dua persamaan terakhir di atas dapat dituliskan dengan mengumpulkan Ek yang berpangkat sama sebagai v 2 Ek2 v2 1 − 2 2 + a1 1 − 2 Ek = 14 a12 v 2 . c c c Dengan mengalikan persamaan di atas dengan (1.15) c2 , diperoleh (1 − v 2 / c 2 ) a12 v 2 c 2 (1.16) 4(1 − v 2 / c 2 ) ___________________________________________________________________ Ek2 + a1c 2 Ek = 5 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ yang ternyata sama dengan p 2 c 2 . Dengan demikian p= a1v 2 1 − v2 / c2 . (1.17) Untuk kelajuan rendah, berlaku rumus Newton : p = mv (1.18) dan 1 − v2 / c2 ≈ 1 (1.19) sehingga mv = a1v 2 atau a1 = 2m . (1.20) Dengan mengisikan hasil ini ke dalam pers. (1.17) diperoleh vektor momentum relativistik sebagai p= mv 1− v / c 2 2 = γmv (1.21) ≥ 1. (1.22) dengan γ = 1 1 − v2 / c2 Selanjutnya dengan mengisikan nilai a1 = 2m ke dalam pers. (1.12) diperoleh γmv = v(m + Ek / c 2 ) (1.23) Ek = mc 2 (γ − 1) . (1.24) atau Mengingat energi kinetik partikel adalah energi relativistik partikel dikurangi dengan energi rehatnya, atau yang dituliskan sebagai E k = E − E0 (1.25) dengan E = energi relativistik partikel dan E0 = energi rehat partikel. Selanjutnya dapat dilakukan identifikasi berikut : ___________________________________________________________________ 6 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ E = γmc 2 = mc 2 (1.26) 1 − v2 / c2 dan E0 = mc 2 (1.27) Untuk limit non−relativistik, bentuk γ − 1 = (1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 − 1 ≈ (1 + v 2 / 2c 2 ) − 1 = v 2 / 2c 2 (1.28) sehingga tenaga kinetik nonrelativistik menjadi Ek = mc 2 (v 2 / 2c 2 ) = 12 mv 2 (1.29) yang bersesuaian dengan teori Newton. Kuadrat energi relativistik partikel bernilai E2 = ( m 2c 4 1 = m 2c 4 − m 2v 2c 2 + m 2v 2c 2 2 2 2 2 1− v / c 1− v / c m 2 c 4 (1 − v 2 / c 2 ) mv = + 2 2 2 2 (1 − v / c ) 1− v / c ) 2 2 c = m 2 c 4 + p 2 c 2 (1.30) sehingga E= p 2c 2 + m 2c 4 Hubungan antara p, v dan E dapat dituliskan dalam bentuk Ev 2 2 p = γmv = γmc v / c = 2 . c (1.31) (1.32) Dari persamaan (1.31), dapat dibuat ilustrasi yang menggambarkan hubungan tersebut dalam segitiga siku-siku, seperi yang terdapat pada Gambar 1.1. mc 2 E p Gambar 1.1 Segitiga siku-siku antara E, pc dan mc 2 ___________________________________________________________________ 7 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Contoh soal : Tentukan kecepatan sebuah partikel dalam c atau laju cahaya dalam ruang hampa agar a. rumus Newton p = mv dapat digunakan dengan kesalahan 10 −6 . b. rumus E k = 1 mv 2 dapat digunakan dengan kesalahan yang sama. 2 c. rumus p = mv hanya memberikan setengah dari nilai momentum yang sebenarnya dimiliki partikel tersebut. d. rumus E k = 1 mv 2 hanya memberikan nilai setengah dari yang sebenarnya 2 dimiliki oleh partikel tersebut. e. Tenaga kinetik partikel sama dengan 10 × tenaga rehatnya. Jawaban : a. Jika rumus momentum p = mv(1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 = mv(1 − β 2 ) −1 / 2 seperti yang terdapat pada persamaan (1.21) diuraikan menggunakan deret, diperoleh p = mv(1 + 1 β 2 + 3 β 4 + ...) . 2 8 Dengan demikian rumus Newton yang hanya memuat suku pertama deret di atas dapat digunakan dengan kesalahan 10 −6 , jika 1 β2 2 ≤ 10 −6 atau v ≤ 1,41 × 10 −3 c = 4,24 × 10 5 m/s . Kecepatan ini cukup tinggi (lebih dari 100 kali kecepatan bunyi di udara). b. Tenaga kinetik partikel seperti dirumuskan pada persamaan (1.24) adalah E k = mc 2 [(1 − β 2 ) −1 / 2 − 1] yang jika diuraikan ke dalam deret menjadi E k = 1 mv 2 (1 + 3 β 2 + ...) . 2 4 ___________________________________________________________________ 8 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Jadi supaya rumus tenaga kinetik klasik masih dapat digunakan dengan tingkat kesalahan tersebut, maka ≤ 10 −6 3 2 β 4 atau v ≤ 1,15 × 10 −3 c . Nilai ini sedikit lebih kecil dari nilai pada (a). c. Untuk pertanyaan tersebut mv = 1 mv(1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 2 yang berarti v = 1 3c. 2 d. Untuk pertanyaan tersebut 1 mv 2 2 = 1 mc 2 [(1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 − 1] 2 yang berarti 1 + β 2 = (1 − β 2 ) −1 / 2 . Bentuk ini dapat dituliskan dalam bentuk (1 + 2 β 2 + β 4 )(1 − β 2 ) = 1 − β 6 − β 4 + β 2 = 1 sehingga β 2 ( β 4 − β 2 − 1) = 0 . Bentuk persamaan kuadrat dalam β 2 di atas memiliki akar positif β 2 = 1 ( 5 − 1) 2 sehingga v = 0,79 c = 2,36 × 108 m/s. e. Untuk E k = mc 2 [(1 − β 2 ) −1 / 2 − 1] = 10mc 2 maka ___________________________________________________________________ 9 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ (1 − β 2 ) −1 / 2 = 11 sehingga β2 = 120 121 atau v = 2,988 × 108 m/s. 1.2 Transformasi Lorentz untuk besaran ( E , p) ~ Ditinjau transformasi Lorentz antara kerangka K dan kerangka K yang bergerak terhadap K dengan kecepatan V, yang secara linear menghubungkan ~ perangkat besaran ( E , p x , p y , p z ) dan ( E , ~ px , ~ py , ~ p z ) serta sebagai bentuk pengkhususan dipilih transformasi yang hanya ditinjau ke arah salah satu sumbu koordinat saja, dalam hal ini dipilih sumbu x. Bentuk transformasi Lorentz tersebut adalah (Muslim, 1985) ~ E = Γ' ( E + bp x ) ; ~ p x = Γ( p x + aE ) ; ~ p y = p y dan ~ pz = pz . (1.33) Jadi pada bentuk di atas, komponen momentum ke arah sumbu y dan z tidak mengalami perubahan, sehingga transformasi hanya melibatkan pasangan ( E , p x ) . Untuk mencari parameter−parameter transformasi yaitu Γ, Γ' , a dan b, akan ditinjau dua kasus khusus yaitu kasus partikel bermassa rehat m yang rehat masing−masing ~ ~ di K dan K . Ilustrasi tentang kerangka K dan K terdapat pada Gambar 1.2. ~ z z V O x ~ O ~ y y ~ x ~ Gambar 1.2. Kerangka K dan K ___________________________________________________________________ 10 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ ~ Saat partikel rehat di K , yang berarti ~ px = ~ py = ~ pz = 0 (1.34) maka memberikan p y = pz = 0 (1.35) p x + aE = 0 (1.36) p x = − aE . (1.37) serta atau Padahal hubungan antara p, v dan E adalah Ev p= 2 c (1.38) sehingga diperoleh kesimpulan a=− v . c2 (1.39) ~ Mengingat partikel tersebut rehat di K , itu berarti partikel tersebut bergerak dengan kecepatan v = V = V nx di K. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa a=− V . c2 (1.40) Selanjutnya saat partikel rehat di K, yang berarti px = p y = pz = 0 , yang dari transformasi Lorentz memberikan ~ py = ~ pz = 0 (1.41) (1.43) serta 2 V ~ p x = ΓaE = − 2 Γmc 2 = −ΓVm. c (1.44) ~ Partikel tersebut berarti bersama−sama dengan kerangka K bergerak terhadap K ~ dengan kecepatan v = −V = −V nx . Dengan demikian momentum partikel di K bernilai ___________________________________________________________________ 11 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ mV px = − (1.45) 1 − V 2 / c2 sehingga diperoleh 1 Γ= . 1 − V 2 / c2 ~ ~ Kemudian dihitung nilai energi E di K menurut ~ E= mc 2 1−V / c 2 2 (1.46) = Γ' (mc 2 + 0) (1.47) = Γ. (1.48) sehingga diperoleh Γ' = 1 1 − V 2 / c2 ~ Untuk menentukan tetapan b, ditinjau kembali partikel yang rehat di K , ~ ~ sehingga transformasi Lorentz untuk energi E di K menghasilkan ~ E = mc 2 = Γ' (Γmc 2 + bΓmV ) (1.49) atau bmV = ( ) mc 2 − mc 2 = mc 2 1 − V 2 / c 2 − 1 = − mV 2 2 Γ (1.50) yang berarti bahwa b = −V . (1.51) ~ Dengan demikian transformasi Lorentz antara kerangka K dan kerangka K yang bergerak dengan kecepatan V ke arah sumbu x untuk perangkat besaran ~ ( E , p x , p y , p z ) dan ( E , ~ px , ~ py , ~ p z ) adalah ~ E= E − Vp x 1 − V 2 / c2 ; p − VE / c 2 ~ px = x ; 1 − V 2 / c2 ~ p =p ; ~ p =p . y y z z (1.52) (1.53) (1.54) Selanjutnya dilakukan perluasan jika arah V sembarang. Dengan melakukan substitusi : ___________________________________________________________________ 12 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ p x → p// ; (1.55) p y dan p z → p⊥ ; p xV → p//V = p ⋅ V (1.56) (1.57) diperoleh E −p⋅V ~ E= ; 1 − V 2 / c2 ~ p // − VE / c 2 p // = ; 1 − V 2 / c2 ~ p⊥ = p ⊥ (1.58) (1.59) (1.60) ~ Karena K bergerak terhadap K dengan kecepatan − V , maka transformasi balik untuk bentuk di atas adalah E= ~ ~ E +p⋅V ; 1 − V 2 / c2 ~ ~ p // + VE / c 2 p // = ; 1 − V 2 / c2 ~ p⊥ = p⊥ (1.61) (1.62) (1.63) Ditinjau sebuah partikel bermassa m yang bergerak di K dengan kecepatan v ~ ~ ~ dan di K dengan kecepatan v . Kaedah transformasi untuk energi E di kerangka ~ K memberikan 2 mc 2 1 mc m v ⋅V ~ (1.64) E= = − 1 − v '2 / c 2 1 − V 2 / c2 1 − v2 / c2 1 − v2 / c2 yang dengan membalik pembilang dan penyebut persamaan di atas, kemudian menyederhanakannya diperoleh 1 − v2 / c2 1 − v' / c = 1 − V / c . 1 − v ⋅ V / c2 2 2 2 2 (1.65) Jika pada persamaan di atas diisikan v = c, maka v’ juga sama dengan c. Hal ini berarti kecepatan cahaya di semua kerangka acuan inersial bernilai tetap (invarian) yang sama dengan c. ___________________________________________________________________ 13 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Akibat lain dari persamaan di atas adalah dengan menuliskannya sebagai 1 1 1 = 2 γ ' Γγ 1 − v ⋅ V / c (1.66) γ' = Γ(1 − v ⋅ V / c 2 ) γ (1.67) atau Sementara itu dari pers. (1.63) untuk komponen momentum tegaklurus diperoleh ~ γ ' mv ⊥ = γmv ⊥ (1.68) yang menghasilkan kaedah kecepatan tegaklurus sebagai ~ v⊥ v⊥ = . Γ(1 − v ⋅ V / c 2 ) Sedangkan untuk komponen momentum yang sejajar, diperoleh ~ γ ' mv // = Γ(γmv // − Vγmc 2 / c 2 ) = Γγm( v // − V ) (1.69) (1.70) sehingga ~ v // = v−V . 1 − v ⋅ V / c2 (1.71) Dengan menggunakan kaedah penjumlahan kecepatan di atas, dapat ~ diturunkan transformasi koordinat (ct , r ) dan (c~ t , r ) menurut resep v = dr / dt (1.72) dan ~ ~ v = d r / d~ t . Untuk transformasi kecepatan tegaklurus, diperoleh d ~ dr⊥ r = . ~ ⊥ dt Γ dt (1 − v ⋅ V / c 2 ) (1.73) (1.74) Dengan berlakunya simetri gerak pada panjang yang tegaklurus V , untuk vektor koordinat yang tegaklurus diperoleh ~ r⊥ = r⊥ (1.75) ~ d r⊥ = dr⊥ , (1.76) dan sekaligus juga sehingga ___________________________________________________________________ 14 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ d~ t = dt Γ(1 − v ⋅ V / c 2 ) = Γ(dt − dr ⋅ V / c 2 ) . (1.77) ~ Untuk syarat awal : t = t = 0 dan r = 0 , integrasi persamaan di atas memberikan hasil transformasi waktu koordinat : ~ t = Γ(t − r ⋅ V / c 2 ) . (1.78) Sementara itu dari kaedah transformasi kecepatan yang sejajar, bentuknya dapat ditulis sebagai ~ d r// dr// − Vdt d ~ = ~ r// = dt Γdt (1 − v ⋅ V / c 2 ) dt (1 − v ⋅ V / c 2 ) (1.79) atau ~ d r// = Γ(dr// − Vdt ) . (1.80) Dengan menerapkan syarat awal ~ ~ t = t = 0 dan r// = r// = 0 , maka pengintegralan persamaan di atas memberikan ~ r// = Γ(r// − Vt ) . (1.81) Gabungan antara pers. (1.75) dan (1.81) menghasilkan ~ r = r + (Γ − 1)(r ⋅ V )V / V 2 − ΓVt (1.82) Contoh Soal : Sebuah pesawat antariksa dilihat dari bumi sedang bergerak ke arah timur dengan kecepatan v p = 0,6c iˆ dan dalam waktu lima detik akan bertabrakan dengan sebuah komet yang sedang bergerak ke arah barat dengan kecepatan vk = −0,8c iˆ . a. Dilihat dari pesawat antariksa, berapakah kecepatan komet mendekatinya ? b. Menurut pilot pesawat antariksa tersebut, berapa waktu yang tersedia untuk menghindari tabrakan tersebut? Jawaban : a. Ditinjau dari pesawat antariksa yang bergerak dengan kecepatan V = v p terhadap bumi (kerangka K), kecepatan komet mendekati pesawat tersebut dapat dicari dengan perumusan ___________________________________________________________________ 15 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ v // k − V − 0,8c − 0,6c v ' // k = = iˆ = −0,946c iˆ . 1 − v //V / c 2 1 − (−0,8c)(−0,6c) / c 2 Jadi kecepatan komet tersebut menurut pilot pesawat adalah 0,946c mendekati pesawat tersebut. b. Dengan menggunakan dilatasi waktu, dapat ditentukan waktu yang tersedia bagi pilot tersebut untuk menghindari tabrakan. Karena faktor dilatasi waktu adalah Γ = (1 − 0,6 2 ) −1 / 2 = 1,25 maka ∆t ' = 1.3 ∆t 5 = detik = 4 detik . Γ 1,25 Metode lain penurunan bentuk eksplisit besaran− −besaran fisis relativistik Metrik ruang−waktu datar empat dimensi (metrik Minkowski) yang digunakan dalam teori relativitas khusus muncul dari bentuk invarian metrik ds 2 = η µν dx µ dxν = −c 2 dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 = −c 2 dt 2 + dr 2 (1.83) dengan vektor koordinat−4 kontravarian dirumuskan x µ = ( x 0 , x m ) = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct , x, y, z ) = (ct , r ) (1.84) Pada metrik pers. (1.83), komponen tensor metrik rank−2 kovarian adalah − η00 = η11 = η22 = η33 = 1 (1.85) dan η µν = 0 untuk µ ≠ ν . (1.86) Sementara itu pasangan komponen tensor metrik rank−2 kontravarian adalah − η 00 = η11 = η 22 = η 33 = 1 (1.87) dan η µν = 0 untuk µ ≠ ν (1.88) Kaitan antara waktu pribadi τ dengan elemen garis s adalah ds 2 = −c 2 dτ 2 (1.89) ___________________________________________________________________ 16 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ sehingga pers. (1.83) menjadi ( ) 1 (1.90) dx 2 + dy 2 + dz 2 2 c Diperkenalkan vektor kecepatan−3 v yang memiliki komponen−komponen dτ 2 = dt 2 − Cartesan vx = dx dy dz , vy = , vz = dt dt dt (1.91) Dengan substitusi komponen−komponen kecepatan−3 di atas, pers. (1.90) dapat dituliskan menjadi [ ] (1.92) 1/ 2 v2 dt dτ = 1 − 2 dt = , γ c (1.93) 1 v2 2 2 2 2 dτ = dt 1 − 2 (dx / dt ) + (dy / dt ) + (dz / dt ) = dt 1 − 2 c c 2 2 atau dengan γ = 1 2 2 . 1− v / c (1.94) Didefinisikan vektor kecepatan−4 kontravarian V µ yang memiliki komponen Vµ = dx µ dx µ dt d = = γ (ct , r ) = γ (c, v ) dτ dt dτ dt (1.95) sedangkan komponen vektor kecepatan−4 kovarian Vµ dapat dicari dari V µ dengan menggunakan tensor metrik kovarian pers. (1.85) − (1.86) : Vµ = η µν V ν = γ (−c, v ) . (1.96) Sementara untuk vektor kecepatan−4 kontravarian P µ , komponen−komponennya adalah γmc 2 E P µ = mV µ = mγ (c, v ) = , γmv = , p c c (1.97) E = γmc 2 (1.98) dengan energi : ___________________________________________________________________ 17 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ dan momentum−3 : p = γmv . (1.99) Hasil pers. (1.98) dan (1.99) berturut-turut sama dengan pers. (1.26) dan (1.21). Sedangkan vektor momentum−4 kovarian Pµ adalah Pµ = η µν Pν = (− E / c, p) (1.100) Adapun vektor gaya−4 kontravarian F µ memiliki komponen−komponen Fµ = dP µ dP µ dt dE = =γ ,f dτ dt dτ cdt (1.101) dengan gaya−3 f didefinisikan sebagai dp f= dt (1.102) Sementara itu vektor gaya−4 kovarian Fµ dirumuskan sebagai dE Fµ = η µν F ν = γ − , f . c dt (1.103) Perkalian dalam (inner product) antara dua vektor kovarian dan kontravarian akan menghasilkan suatu skalar, seperti misalnya v2 2 2 22 2 2 VµV = γ (−c, v)γ (c, v) = −γ c + γ v = −γ c 1 − 2 = −c 2 c (1.104) 2 Pµ P µ = (− E / c, p)( E / c, p) = −(E / c ) + p 2 = − m 2 c 2 (1.105) µ dan Dari turunan pers. (1.104) di atas diperoleh 0= ( ) dE dE d mVµV µ = FµV µ + Vµ F µ = γ − , f γ (c, v) + γ (−c, v)γ , f dτ c dt c dt dE = 2γ 2 − + f ⋅ v dt (1.106) sehingga diperoleh dE = f ⋅v dt (1.107) ___________________________________________________________________ 18 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Dengan hasil di atas, vektor gaya−4 kontravarian dan kovarian berturut−turut dapat dituliskan menjadi ( F µ = γ f ⋅ v / c, f dan ( ) (1.108) ) (1.109) E 2 = p 2c 2 + m 2c 4 . (1.110) Fµ = γ − f ⋅ v / c, f Dari pers. (1.105) berlaku kaitan Sementara dari pers. (1.107) : dE = v ⋅ f dt = v ⋅ dp . (1.111) Bentuk di atas sama dengan pers. (1.2) 1.4 Transformasi Lorentz Vektor−4 melalui Transformasi Koordinat−4 Berikut ini akan dijabarkan kaedah alih bentuk Lorentz untuk komponen vektor−4, baik dalam bentuk kovarian maupun kontravarian melalui transformasi koordinat−4 (1.3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu) di ruang−waktu Minkowski. Mula−mula diberikan aturan transformasi koordinat untuk vektor dalam ruang sembarang berdimensi N. Selanjutnya diberikan deskripsi ruang−waktu Minkowski yang menjadi wahana teori relativitas khusus Einstein. Diberikan kaitan transformasi koordinat di dalam ruang−waktu tersebut bagi dua kerangka inersial yang salah satunya bergerak dengan kecepatan konstan V terhadap lainnya. Dengan kaitan tersebut selanjutnya melalui kaedah transformasi untuk vektor, nilai−nilai komponen beberapa vektor−4 dihitung dan diperoleh relasi yang mengaitkan besaran−besaran pada kedua kerangka tersebut. Vektor−4 yang dipilih di sini berkaitan berkaitan dengan masalah dalam dinamika relativistik dan elektrodinamika, seperti vektor kecepatan−4, vektor momentum−4, vektor gaya−4, vektor potensial−4 dan vektor kerapatan−4. 1.5 Kaedah Transformasi untuk Vektor Ditinjau suatu ruang berdimensi N dengan koordinat ___________________________________________________________________ 19 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ x N = ( x1 , x 2 ,..., x N ) . (1.112) Jika dilakukan transformasi ke koordinat ~ x N = (~ x 1, ~ x 2 ,..., ~ xN ) (1.113) di dalam ruang tersebut, kaedah transformasi yang mengubungkan vektor ~ ~ kontravarian Aν dan A µ serta antara vektor kovarian Aν dan Aµ berturut−turut adalah (Lawden, 1982) ~ µ ∂~ xµ ν A = ν A ∂x (1.114) ∂xν ~ Aν = ~ µ A µ , ∂x (1.115) ~ ∂xν Aµ = ~ µ Aν ∂x (1.116) dengan inversi serta dengan inversi Aµ = ∂~ xµ ~ Aµ . ∂xν (1.117) Di sini telah digunakan kesepakatan penjumlahan Einstein, yaitu jika terdapat indeks berulang, maka penjumlahan harus dilakukan meliputi jangkuan indeks tersebut. Apabila penjumlahan tak ingin dilakukan, maka hal tersebut harus diungkapkan secara eksplisit. 1.6 Ruang−Waktu Minkowski dan Kaedah Transformasi Lorentz Metrik ruang waktu Minkowski dengan koordinat x µ = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct, x, y, z) = (ct , r ) (1.118) dapat mengambil bentuk ds 2 = g µν dx µ dxν = −c 2 dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 = −c 2 dt 2 + dr 2 (1.119) g µν = η µν (ηmn = δ mn , η00 = −1, η0 m = ηm0 = 0 ) (1.120) dengan ___________________________________________________________________ 20 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Ditinjau dua kerangka inersial yakni kerangka K dengan koordinat x µ dan ~ x µ yang bergerak dengan kecepatan konstan V kerangka K dengan koordinat ~ terhadap kerangka K ke arah r .V r// = 2 V V (1.121) Kaitan Lorentz antara koordinat−4 di dalam ruang−waktu Minkowski adalah (Zahara dkk, 1997) ~ r// = Γ(r// − Vt ) (1.122) ~ r⊥ = r⊥ (1.123) ~ t = Γ(t − r.V / c 2 ) (1.124) dengan Γ= 1 1 − V 2 / c2 . Kalau komponen ruang di atas ingin digabungkan, hasilnya ~ ~ ~ (Γ − 1)(r.V ) Γct r = r// + r⊥ = r + V− V c V2 (1.125) (1.126) yang jika diuraikan ke dalam komponen−komponennya menjadi (Γ − 1) x jV j i ΓV i 0 i i ~ x ni = x ni + V ni − x ni c V2 (1.127) atau i (Γ − 1)V iV j i ~ x = δ j + V2 j ΓV i 0 x − x c (1.128) Sedangkan penguraian untuk komponen waktu adalah V ~ c t = Γ(ct − i x i ) c (1.129) V ~ x 0 = Γ( x 0 − i x i ) . c (1.130) atau ___________________________________________________________________ 21 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ ~ Dari pers. (1.128) dan (1.130), jika dilakukan derivatif parsial koordinat K terhadap K, diperoleh (Γ − 1)V iV j ∂~ xi i =δ j + ∂x j V2 (1.131) ∂~ xi ΓV i = − c ∂x 0 (1.132) ΓV ∂~ x0 =− i i c ∂x (1.133) ∂~ x0 = Γ. ∂x 0 (1.134) Ditinjau suatu vektor−4 kontravarian di ruang K S µ = ( S 0 , S m ) = ( S 0 , S) (1.135) ~ dan vektor−4 kontravarian di ruang K ~ ~ ~ ~ ~ S µ = (S 0 , S m ) = (S 0 , S) . (1.136) Dengan menggunakan kaedah transformasi untuk komponen vektor kontravarian, diperoleh : 0 S⋅V ΓVn n ~ 0 ∂~ x 0 ν ∂~ x 0 0 ∂~ x0 n 0 S = Γ S − S = ν S = 0 S + n S = ΓS − c c ∂x ∂x ∂x (1.137) dan ~ ∂~ xm ∂~ xm ∂~ xm ΓV m 0 m (Γ − 1)V mVn n S S m = ν Sν = 0 S 0 + n S n = − S + δ n + c ∂x ∂x ∂x V2 (Γ − 1)S ⋅ V m ΓS 0 m m = S + V − V (1.138) c V2 yang jika dinyatakan dalam notasi vektor menjadi ~ (Γ − 1)S ⋅ V ΓS 0 S=S+ V− V. c V2 (1.139) Mengingat bentuk (S ⋅ V )V / V 2 = S // , kaedah untuk komponen vektor S yang sejajar V adalah (1.140) ___________________________________________________________________ 22 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ ( ) ~ ΓS 0 S // = S // + (Γ − 1)S // − V = Γ S // − ( S 0 / c)V . (1.141) c Sementara itu kaedah untuk komponen vektor S yang tegaklurus V adalah ~ S⊥ = S ⊥ . (1.142) Selanjutnya ditinjau vektor kecepatan−4 kontravarian : V µ = (γ c, γ v ) (1.143) sehingga S0 = γc (1.144) S =γv. (1.145) dan Dengan menggunakan hasil pers. (1.137), untuk komponen ke nol, diperoleh γ v⋅V ~ γ c = Γ γ c + (1.146) c yang memberikan hasil γ~ v⋅V = Γ1 + 2 . γ c (1.147) Persamaan di atas menghubungkan faktor dilatasi partikel yang bergerak di kedua kerangka. Sedangkan dengan menggunakan pers. (1.139) untuk komponen vektor, diperoleh ~ ( Γ − 1 ) γ v ⋅V Γγ c V − V γ~ v = γ v + c V2 (1.148) yang jika disederhanakan menjadi (Γ − 1) v ⋅ V v+ V − Γ V ~ V2 v= v⋅V Γ1 − 2 c (1.149) Persamaan di atas menghubungkan vektor kecepatan−3 di kedua kerangka acuan. Kaedah untuk v // adalah ___________________________________________________________________ 23 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ ~ v // − V v // = v⋅ V 1− 2 c (1.150) Sedangkan untuk v ⊥ adalah ~ v⊥ = v⊥ v⋅V Γ1 − 2 c (1.151) Berikutnya ditinjau vektor momentum−4 kontravarian yang memiliki komponen : P µ = ( E / c, p ) (1.152) sehingga S0 = E / c (1.153) S = p. (1.154) dan Kaedah transformasi Lorentz untuk energi adalah p⋅V ~ E / c = Γ E / c − c (1.155) atau ( ) ~ E = Γ E −p⋅V . (1.156) Bentuk (1.156) di atas sama dengan pers. (1.58). Adapun kaedah transformasi Lorentz untuk vektor momentum−3 adalah ~ (Γ − 1)p ⋅ V ΓE p=p+ V− 2 V. V2 c (1.157) Untuk komponen vektor momentum−3 sejajar dan tegaklurus, kaedahnya adalah ( ~ ΓE p // = p // + (Γ − 1)p // − 2 V = Γ p // − ( E / c 2 )V c ) (1.158) dan ~ p⊥ = p ⊥ (1.159) Bentuk (1.158) dan (1.159) di atas sama dengan bentuk pers. (1.59) dan (1.60). Selanjutnya ditinjau vektor gaya−4 kontravarian : ___________________________________________________________________ 24 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ ( F µ = γ f ⋅ v / c, f ) (1.160) sehingga f ⋅v S =γ c (1.161) S =γ f . (1.162) ~ (Γ − 1)γ f ⋅ V Γγ f ⋅ v ~ V− V γ f =γ f + V2 c2 (1.163) 0 dan Diperoleh yang dengan menggunakan pers. (1.139), bentuk di atas dapat dituliskan menjadi (Γ − 1) f ⋅ V Γ f ⋅ v V− 2 V ~ f + 2 V c f = . (1.164) v⋅V Γ1 − 2 c Kaedah f untuk komponen sejajar dan tegaklurus berturut−turut adalah Γ f ⋅ v f ⋅v ~ f // + (Γ − 1) f // − 2 V f // − 2 V c c f// = = (1.165) . v⋅V v⋅V 1 − 2 Γ1 − 2 c c dan ~ f⊥ = f⊥ (1.166) . v⋅V Γ1 − 2 c ~ Selanjutnya jika ditinjau kasus khusus dengan v = V , atau partikel rehat di K , yang berarti bahwa : V⋅V 1 − 2 = Γ−2 , c (f ⋅ V )V = f //V V = f //V 2 , (1.167) (1.168) sehingga ___________________________________________________________________ 25 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ V2 f // 1 − 2 ~ 0 c f// = = f // V2 1 − 2 c (1.169) dan ~ 0 f⊥ f⊥ = − 2 = Γ f⊥ . (1.170) ΓΓ ~ Jadi untuk kerangka rehat partikel di K , kaedah transformasi Lorentz untuk vektor gaya−3 adalah ~ 0 ~ 0 ~ 0 f = f// + f⊥ = f // + Γf ⊥ . (1.171) Transformasi Lorentz untuk besaran− −besaran elektrodinamika Diketahui ρ dan v berturut−turut adalah rapat muatan dan kecepatan aliran relatif terhadap suatu kerangka inersial K. Rapat arus j dirumuskan sebagai j = ρv . (1.172) 1.7 Persamaan kontinuitas muatan dirumuskan sebagai ∂ρ + ∇. j = 0 ∂t (1.173) Dalam elektrodinamika dikenal skalar potensial listrik φ dan vektor potensial listrik−3 A yang mana gabungan keduanya bersama−sama membentuk suatu vektor potensial−4 A µ dengan komponen A µ = ( A0 , A m ) = (φ / c, A ) (1.174) Mengikuti sistem satuan SI, terdapat perumusan−perumusan berikut 1 ∂φ + ∇ . A =0 c 2 ∂t 1 ∂2A − 2 2 + ∇ 2 A = −µ0 j c ∂t − 1 ∂ 2φ + ∇ 2φ = − µ 0 ρc 2 c 2 ∂t 2 (1.175) (1.176) (1.177) ___________________________________________________________________ 26 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Gabungan dua persamaan di atas menghasilkan ∆ Aµ = − µ0 j µ (1.178) dengan vektor kerapatan−4 j µ didefinisikan sebagai j µ = ( j 0 , j ) = ( ρ c, j ) . (1.179) Operator skalar−4 ∆ didefinisikan sebagai 1 ∂2 1 ∂2 ∂2 ∂2 ∂2 2 ∆ = ∂µ∂ = − 2 2 + ∇ = − 2 2 + 2 + 2 + 2 c ∂t c ∂t ∂x ∂y ∂z µ Operator turunan koordinat−4 kovarian dan kontravarian (1.180) masing-masing dirumuskan sebagai ∂µ = ∂ ∂ 1 ∂ ∂ = 0 , m = ,∇ µ ∂x ∂x ∂x c ∂t 1 ∂ ∂ µ = η µν ∂ν = − ,∇ c ∂t (1.181) (1.182) Bentuk syarat Lorentz pers. (1.175) dapat dituliskan sebagai ∂ µ Aµ = 0 (1.183) sedangkan bentuk persamaan kontinuitas muatan (pers. (1.173)) dapat dituliskan menjadi ∂µ jµ = 0 (1.184) Kaedah transformasi Lorentz untuk komponen vektor kerapatan−4 adalah j⋅V ~ ρ c = Γ ρ c − (1.185) c atau j⋅V ~ ρ = Γ ρ − 2 c (1.186) serta ~ (Γ − 1) j ⋅ V j = j+ V − Γ ρV , 2 V ~ j// = Γ j// − ρV , ( ) (1.187) (1.188) ___________________________________________________________________ 27 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ dan ~ j⊥ = j⊥ . (1.189) Sementara itu kaedah transformasi Lorentz untuk komponen vektor potensial−4 adalah ~ φ φ A ⋅V = Γ − c c c (1.190) atau ~ ( ) φ = Γ φ − A⋅V , (1.191) serta ~ (Γ − 1) A ⋅ V Γφ A=A+ V− 2 V, V2 c (1.192) ~ φ A // = Γ A // − 2 V , c (1.193) ~ A⊥ = A⊥ . (1.194) dan ~ Jika kita ingin mencari transformasi balik dari kerangka K ke kerangka K, hal itu dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan substitusi V = − V . Dengan substitusi ini, diperoleh kaedah transformasi Lorentz besaran-besaran berikut ini : Vektor kecepatan−3 : ~ ~ (Γ − 1) v ⋅ V v+ V + Γ V V2 v= ~ v ⋅ V Γ1 + 2 c ~ v // + V v // = ~ v⋅ V 1+ 2 c ~ v⊥ v⊥ = ~ v⋅V Γ1 + 2 c (1.195) (1.196) (1.197) ___________________________________________________________________ 28 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ ( ~ ~ E = Γ E +p⋅V Energi : Vektor momentum−3 : ) ~ ~ ~ (Γ − 1)p ⋅ V ΓE + p=p+ V V V2 c2 ~ ~ E p // = Γ p // + 2 V c ~ p⊥ = p⊥ (1.199) (1.200) (1.201) Vektor gaya−3 : ~ ~ ~ (Γ − 1) f ⋅ V Γ f ⋅ ~ v f + V + V 2 V2 c f= ~ v⋅V Γ1 + 2 c ~ ~ ~ f ⋅v f// + 2 V c f // = ~ v ⋅ V 1 + 2 c ~ f⊥ f⊥ = ~ . v⋅V Γ1 + 2 c Rapat muatan Vektor rapat arus ~ j ⋅V ρ = Γ ρ~ + 2 c ~ ~ (Γ − 1) j ⋅ V j= j+ V + Γρ~V 2 V ~ j// = Γ j// + ρ~V ~ j⊥ = j⊥ . (1.198) ~ ~ Skalar potensial listrik : φ = Γ φ + A ⋅ V (1.202) (1.203) (1.204) (1.205) (1.206) (1.207) (1.208) (1.209) ___________________________________________________________________ 29 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Vektor potensial−3 listrik : ~ ~ (Γ − 1) A ⋅ V Γφ~ A=A+ V+ 2 V V2 c ~ ~ φ A // = Γ A // + 2 V c ~ A⊥ = A⊥ . (1.210) (1.211) (1.212) Dari telaah di atas, tampak bahwa teori relativitas khusus berperan besar dalam menata dan meluruskan besaran-besaran fisika yang mendasar, seperti besaran panjang, waktu, kecepatan, momentum, energi dan sebagainya. Selanjutnya juga telah dikaji proses penurunan kaedah transformasi Lorentz besaran-besaran di atas yang menunjukkan bahwa hukum fisika memiliki bentuk yang tetap di dalam semua kerangka acuan inersial. ___________________________________________________________________ 30 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ Soal-Soal Latihan Bab I 1. Sebuah pesawat bergerak ke arah timur dengan laju 0,8 c diukur menurut menara yang diam. Pesawat tersebut melepaskan peluru dengan laju 0,6 c terhadap pesawat. Carilah masing-masing laju dan arah gerak peluru terhadap menara jika arah peluru terhadap pesawat adalah 2. (a) timur (b) utara (c) barat (d) timur laut. Sebuah partikel bermassa m bergerak terhadap kerangka I dengan kecepatan v = (c / 5)(iˆ − 2 ˆj + 2kˆ) . Jika terdapat kerangka II yang bergerak terhadap kerangka I dengan kecepatan V = (c / 5)(2iˆ + ˆj − 2kˆ) , carilah : (a) momentum dan tenaga kinetik dan tenaga total partikel menurut kerangka I. (b) kecepatan, momentum, tenaga kinetik dan tenaga total partikel menurut kerangka II. 3. Dua buah partikel bergerak sepanjang sumbu Z kerangka K masing-masing dengan kecepatan v1 dan v 2 dengan v1 > v2 . Agar ditinjau dari K’, kedua partikel tersebut mempunyai kecepatan yang berlawanan, tunjukkan bahwa kecepatan gerak kerangka K’ ke arah sumbu Z terhadap K besarnya adalah c 2 − v1v2 − (c 2 − v12 )(c 2 − v22 ) v1 − v2 4. . Sebuah elektron dalam suatu akselerator tenaga tinggi bergerak dengan kelajuan 0,5 c. Carilah kerja yang harus dilakukan terhadap elektron untuk menaikkan kelajuannya menjadi (a) 0,75 c ___________________________________________________________________ 31 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ (b) 0,99 c (c) Untuk kedua nilai kelajuan tersebut, tentukan faktor peningkatan tenaga kinetik maupun momentum elektron. 5. Sebuah inti radioaktif bergerak dengan kecepatan v = 0,6c iˆ terhadap kerangka K (lab), sewaktu ia memancarkan partikel beta dengan kecepatan v β = 0,75c ˆj terhadap inti tersebut (kerangka K 0 ). (a) Tentukan besar dan arah kecepatan partikel beta menurut kerangka K. (b) Jika partikel beta tersebut tetap dipancarkan dengan kelajuan 0,75 c di K 0 , namun arahnya dilihat dari K sejajar dengan sumbu y, tentukan arah pancaran diamati dari inti dan kelajuan partikel beta diamati di K. 6. Di kerangka K, dua partikel A dan B bergerak masing-masing dengan kecepatan v A = vA î dan v B = vB î ( v B > v A > 0 ). Jika terdapat kerangka ~ K yang bergerak terhadap K dengan kecepatan V = V î (diketahui vB > V > v A > 0 ) : (a) (b) ~ ~ ~ Tentukan kecepatan A dan B menurut K , yaitu v A dan v B . ~ Jika menurut pengamat yang rehat di K , kecepatan A dan B sama besar namun berlawanan arah, tunjukkan bahwa V= 7. 2 (c 2 + v A v B ) − (c 2 − v A )(c 2 − vB2 ) vA + v B . Di kerangka K, sebuah partikel bergerak dengan kecepatan u . Di K tersebut juga terdapat medan E dan B . Bagaimanakah cara menentukan gaya Lorentz pada partikel tersebut di kerangka K’, dimana K’ bergerak dengan kecepatan V terhadap K ? Jika gaya Lorentz di K’ tersebut telah diperoleh, bagaimana cara menguji bahwa nilai yang diperoleh itu benar ? ___________________________________________________________________ 32 Teori Relativitas Khusus ___________________________________________________________________________________________ 8. Diketahui vektor−4 kontravarian : X µ = γ (Y / c , c Z ) dengan γ= (1 − u 2 / c 2 ) , u = vektor kecepatan−3 dan c laju cahaya di ruang hampa. (a) tuliskan kaedah tranformasi Lorentz untuk besaran Y dan Z . (Petunjuk : jangan lupa relasi antara γ dengan γ ’ ) (b) Jika terdapat hubungan : Y = k c dan Z = k u / c dengan k suatu invarian Lorentz, carilah invarian Lorentz yang dapat diperoleh dari vektor−4 tersebut, serta berapakah nilainya ? 9. Jelaskan bahwa gaya Lorentz yang dirasakan oleh sebuah partikel di kerangka K menjadi gaya Coulomb di kerangka diam K’. Bagaimana dengan sebaliknya, gaya Coulomb di K’ menjadi gaya Lorentz di K ? 10. Di kerangka K’, sebuah partikel bermassa rehat m bermuatan q bergerak dengan kecepatan konstan u ’. Di K’ tersebut terdapat medan listrik E ’ dan medan imbas magnet B ’. Jika kerangka K’ bergerak terhadap kerangka K dengan kecepatan konstan V : (a) Tentukan energi, energi kinetik dan momentum partikel di K maupun di K’. (b) Carilah kecepatan partikel, medan listrik dan medan imbas magnet di K. (c) Nyatakan gaya Lorentz yang bekerja pada partikel di K maupun K’. (d) Tuliskan tiga invarian Lorentz yang melibatkan besaran-besaran di atas. ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 33 ___________________________________________________________________________________________ BAB II PENERAPAN TEORI RELATIVITAS KHUSUS Teori Relativitas Khusus sebagai salah salah satu pilar fisika modern memiliki beberapa kegunaan dalam menelaah secara lebih kompak dan terpadu berbagai gejala alam. Berikut ini akan disajikan beberapa penerapan teori relativitas khusus pada beberapa fenomena, diantaranya adalah persoalan paradoks kembar, gerak partikel relativistik dalam medan gaya konstan dan medan gravitasi seragam, efek hamburan Compton dan sebagainya. 2.1 Paradoks Kembar (Twin Paradox) Paradoks kembar (atau paradoks jam) adalah satu persoalan yang cukup membingungkan dalam relativitas khusus. Kasus paradoks kembar dapat dinyatakan sebagai berikut : Misalkan kita punya dua orang kembar : John dan Mary. John diputuskan tetap tinggal di bumi, sementara Mary menjadi astronot yang akan mengadakan perjalan ruang angkasa menuju sebuah bintang. Mary mengendarai pesawat ruang angkasa dan terbang menuju bintang tersebut dengan kecepatan V (diasumsikan agar nampak efek relativitas, nilai V dalam orde c) dan sesudah sesaat tiba di bintang, Mary kembali ke bumi dan bertemu dengan John dengan kecepatan yang sama. Lihat Gambar 2.1 Bumi Bintang Gambar 2.1 Perjalanan pulang pergi bumi-bintang Teori relativitas khusus menyatakan bahwa jika Mary bergerak terhadap John, maka selang waktu dalam kerangka inersial Mary mengalami dilatasi sebesar γ yang dirumuskan γ = 1 − V 2 / c2 . (2.1) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 34 ___________________________________________________________________________________________ Jadi pada akhir perjalanan Mary, dia lebih muda daripada John. Paradoks muncul dari kenyataan bahwa (dengan mengabaikan selang waktu saat Mary bergerak dipercepat dan diperlambat), Mary berada dalam kerangka inersial, dan selanjutnya dari prinsip relativitas, Mary dapat mengklaim bahwa Johnlah yang bergerak, bukan dia. Kalau demikian selang waktu John seharusnya yang mengalami dilatasi, bukan Mary, sehingga saat Mary kembali, ia menjumpai saudara kembarnya itu lebih muda daripadanya. Manakah yang benar ? Untuk menyederhanakan kasus ini, diasumsikan perjalanan Mary terjadi saat ia lahir (yang juga berarti saat John lahir). Pada saat itu, berarti waktu lokal T = 0 dan posisi X = 0. Selanjutnya akan dibandingkan jarak bumi−bintang menurut kedua orang tersebut. Jarak antara bumi dan bintang diukur oleh pengamat yang stasioner di bumi (John) adalah DJ . Jarak bumi − bintang yang diukur oleh Mary adalah DM = DJ / γ . (2.2) Perumusan ini disebabkan oleh adanya kontraksi Lorentz. Indeks J dan M berturutturut menunjukkan pengukuran menurut John dan Mary. Akan diukur umur relatif John dan Mary. Caranya, pertama dengan melakukan penghitungan dalam kerangka John dan selanjutnya penghitungan dikerjakan dalam kerangka Mary. Nanti akan ditunjukkan bahwa dua penghitungan tersebut akan memperoleh hasil yang sama. Kesamaan ini menunjukkan tidak adanya perbedaan antara dua kerangka inersial yang ditinjau. Sekarang penghitungan dilakukan dalam kerangka John. Mary menempuh perjalanan total (menuju bintang dan kembali ke bumi) sejauh 2 DJ dengan kecepatan V (−V saat kembali). Perjalanan bumi−bintang bolak-baik ini memakan waktu 2 DJ / V . Transformasi Lorentz untuk waktu memberikan hubungan antara waktu yang ditunjukkan oleh jam milik John ( TJ ) dan waktu yang ditunjukkan oleh Mary ( TM ) sebagai TM = γ [TJ − VX J ] c2 (2.3) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 35 ___________________________________________________________________________________________ dengan X J adalah jarak antara mereka. Selama perjalanan Mary menuju ke bintang, berlaku persamaan X J = V TJ . (2.4) Substitusi persamaan di atas ke dalam pers. (2.3), diperoleh TM = γ [TJ − (V 2 / c 2 )TJ ] = γ [1 − (V 2 / c 2 )]TJ = TJ γ . (2.5) Dalam bentuk penulisan selang waktu, ∆ TM = ∆ TJ γ . (2.6) Persamaan ini menunjukkan bahwa jam Mary bergerak lebih lambat daripada jam milik John dengan faktor 1 / γ . Di sini perlu diingat bahwa γ ≥ 1. (2.7) Dengan cara yang sama dapat ditunjukkan pula bahwa hal tersebut berlaku pula untuk perjalanan Mary pulang ke bumi. Saat kembali ke bumi dengan kecepatan yang sama, jam milik Mary juga bergerak lebih lambat dari jam milik John dengan faktor yang sama : 1 / γ . Maka selama perjalanan total, umur John adalah AJ = 2 DJ , V (2.8) sedangkan umur Mary adalah AM = 2 DJ 1 . V γ (2.9) Tampak bahwa umur John lebih besar daripada umur Mary, atau dengan kata lain dalam kerangka John, saat Mary kembali ke bumi, John lebih tua. Selisih umur mereka adalah 1 2 DJ AJ − AM = 1 − . γ V (2.10) Bagaimanakah penghitungan dalam kerangka Mary ? Seluruh besaran yang tadinya dihitung pada kerangka John, sekarang diukur oleh Mary. Transformasi Lorentz memberikan hubungan antara waktu milik jam John dan waktu milik jam Mary sebagai ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 36 ___________________________________________________________________________________________ VX TJ = γ TM − 2M . c (2.11) Dan dengan penurunan selanjutnya dapat ditunjukkan kaitan untuk selang waktu masing-masing jam sebagai ∆ TJ = ∆ TM (2.12) γ yang berarti jam milik John bergerak lebih lambat daripada jam milik Mary dengan faktor 1/γ. Sekilas nampak adanya paradoks atau kontradiksi dengan ungkapan sebelumnya yang menyatakan bahwa jam Mary bergerak lebih lambat daripada John. Namun demikian yang sebenarnya tidak demikian, karena hal ini disebabkan relativitas khusus menyatakan bahwa kita tidak dapat menghubungkan waktu yang ditunjukkan oleh jam pada tempat yang berbeda (yang dalam hal ini umur orang kembar yang terpisah) sampai kemudian kedua orang tersebut bertemu kembali. Ketika mereka berdua bertemu kembali, baru tampaklah siapa yang lebih tua atau lebih muda dengan cara membandingkan selang waktu yang ditunjukkan oleh jam masing-masing. Menurut Mary, perjalanannya memakan waktu 2 DM / V , sehingga selama perjalanan, umur Mary adalah AM = 2 DM γ . (2.13) Perlu diingat bahwa telah diasumsikan bahwa waktu untuk mempercepat dan memperlambat roket telah diabaikan. Karena jam John bergerak lebih lambat dengan faktor 1/γ, John berumur AJ = 2 DM 1 . V γ (2.14) Jika dilatasi waktu menjadi satu-satunya faktor dalam penghitungan, Mary dapat mengklaim bahwa dirinya berusia lebih tua dari John dengan selisih umur mereka adalah 1 2D 1 2 DJ 1 AM − AJ = 1 − M = 1 − γ V γ V γ (2.15) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 37 ___________________________________________________________________________________________ dan dijumpai adanya ketidakcocokan dengan hasil sebelumnya. Bagaimana caranya memecahkan masalah ini ? Di sini terdapat faktor lain yang dapat menyelesaikan ketidakcocokan tersebut. Ketika Mary sampai ke bintang dan kemudian kembali, dia mengubah kerangka inersialnya. Sebelum Mary tiba di bintang, hubungan antara jam John dan jam Mary yang diukur oleh Mary adalah VD TJ = γ TM − 2M . c (2.16) Sesaat setelah ia meninggalkan bintang menuju bumi, relasi antara jam keduanya adalah VD TJ = γ TM + 2M c . (2.17) Dua persamaan terakhir di atas menunjukkan adanya kontradiksi dalam waktu / jam milik John yang diukur oleh Mary, sesaat setelah Mary berganti keadaan (dari menuju bintang menjadi meninggalkan bintang. Selisih pengukuran waktu milik John ini menurut Mary adalah 2VDM 2VDJ = 2 . γ c2 c (2.18) Selisih ini terjadi akibat terjadinya perubahan kerangka inersial Mary. Dengan demikian dalam kerangka Mary, selisih antara umur John dengan Mary adalah selisih umur yang telah dihitung pada pers. (2.15) ditambah dengan selisih umur mereka akibat terjadinya perubahan kerangka inersial Mary. Akhirnya selisih umur Mary dengan John adalah 1 2 DJ 1 2VDJ 2 DJ 1 V 2 2 DJ − AJ − AM = − 1 + 2 = + . V γ 2 c 2 Vγ c γ V γ (2.19) V2 =1 c2 (2.20) Karena 1 γ2 + maka AJ − AM = 1 2 DJ 2 DJ 2 D J − = 1 − . V Vγ γ V (2.21) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 38 ___________________________________________________________________________________________ Ternyata dalam kerangka Mary, selisih umur antara John dan Mary juga sama seperti yang telah dihitung pada kerangka John. Dari dua penghitungan tersebut ditunjukkan bahwa setelah kembali ke bumi, Mary yang menempuh perjalanan berusia lebih muda daripada saudara kembarnya, John. 2.2 Tinjauan Gerakan Partikel Relativistik yang dikenai Gaya Konstan dan Medan Gravitasi Seragam Salah satu latihan yang cukup mudah dalam persoalan mekanika klasik elementer adalah menyelesaikan problem gerakan sebuah partikel dalam dua dimensi yang dikenai suatu gaya konstan. Untuk gerakan nonrelativistik, gaya yang bekerja pada partikel dalam medan gravitasi seragam (uniform) bersifat konstan, dan persamaan trayektori / lintasan partikel tersebut berbentuk parabola. Dalam tinjauan teori relativitas khusus, gaya gravitasi yang berkaitan dengan medan gravitasi seragam tidaklah bersifat konstan, namun merupakan fungsi kecepatan partikel yang diperoleh dengan menetapkan massa gravitasi sama dengan massa inersial. Berikut ini akan dicari penyelesaian eksak untuk gerakan pada kasus tersebut dan juga gerakan dengan gaya konstan. 2.2.1 Gerakan partikel oleh gaya konstan Pertama kali akan dicari penyelesaian untuk gerakan dibawah pengaruh gaya konstan. Sebuah partikel dengan massa rehat m ditembakkan dari titik O dengan kecepatan awal V0 pada bidang X−Y yang membuat sudut θ dengan sumbu X. Sebuah gaya konstan F bekerja pada partikel dengan arah sejajar pada sumbu Y negatif. Didefinisikan F g= . m Persamaan gerakan partikel tersebut adalah dp = mg dt (2.22) (2.23) atau ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 39 ___________________________________________________________________________________________ ( ) d mcγ β = mg dt (2.24) V 1 β= dan γ = . c 1− β 2 (2.25) dengan Dengan mengintegralkan pers. (2.24) diperoleh gt βγ = β 0γ 0 + c (2.26) 1 V0 β0 = dan γ 0 = . c 1 − β 02 (2.27) dengan Pers. (2.26) dapat dituliskan dalam komponen-komponen ke sumbu X dan Y sebagai β xγ = β 0γ 0 cos θ (2.28) β yγ = β 0γ 0 sin θ − σ (2.29) dan dengan σ= gt . c (2.30) Dengan mengingat bahwa γ = 1 1 − β x2 − β y2 , (2.31) penyelesaian untuk β x , β y dan γ dapat dinyatakan sebagai fungsi σ yang nilainya adalah βx = βy = β 0γ 0 cos θ γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 β 0γ 0 sin θ − σ γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 (2.32) (2.33) dan ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 40 ___________________________________________________________________________________________ γ = γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 . (2.34) Dengan mengintegralkan pers. (2.32) dan (2.33) diperoleh γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 + σ − β 0γ 0 sin θ c 2 β 0γ 0 cos θ x= ln g γ 0 (1 − β 0 sin θ ) (2.35) dan ) ( c2 y= γ 0 − γ 02 − (2 β 0γ 0 sin θ )σ + σ 2 . g (2.36) Dalam limit nonrelativistik, β 0 << 1 dan σ << 1 (2.37) sehingga pers. (2.35) dan (2.36) tereduksi ke bentuk x= c2 β 0 cos θ σ = v0 cos θ t g (2.38) dan y= c2 c2 1 β 0 sin θ σ − σ 2 = v0 sin θ t − gt 2 . g 2g 2 (2.39) Juga untuk gerakan nonrelativistik berlaku korespondensi β x = β 0 cos θ = konstan. (2.40) Untuk θ = π / 2 , pers. (2.34), (2.33) dan (2.36) tereduksi menjadi γ = γ 02 − 2 β 0γ 0σ + σ 2 βy = (2.41) β 0γ 0 − σ γ 02 − 2 β 0γ 0σ + σ (2.42) 2 dan y= ( c2 γ 0 − γ 02 − 2 β 0γ 0σ + σ 2 g ) (2.43) yang merupakan solusi untuk gerakan relativistik satu dimensi. Posisi tinggi maksimum partikel pada sumbu y positif ym dapat diperoleh dengan mengisikan βy = 0 (2.44) ke dalam pers. (2.33) sehingga ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 41 ___________________________________________________________________________________________ σ = β 0γ 0 sin θ . (2.45) Substitusi hasil ini ke pers. (2.36) dihasilkan ymax ) ( c2 = γ 0 1 − 1 − β 02 sin 2 θ . g (2.46) c2 (γ 0 − 1) g (2.47) Untuk θ = π / 2 , berarti ymax = yang dalam limit non−relativistik akan tereduksi menjadi ymax = v02 . 2g (2.48) Hasil di atas sama dengan hasil tinggi maksimum partikel yang ditembakkan tegak lurus ke atas dengan kecepatan awal v0 dalam medan gravitasi g. Sementara itu jarak maksimum pada arah x positif, dalam hal ini y = 0 sehingga dari pers. (2.36) diperoleh σ = 2 β 0γ 0 sin θ . (2.49) Substitusi ke dalam pers. (2.35) diperoleh xmax = c 2 β 0γ 0 cos θ 1 + β 0 sin θ ln . g 1 − β 0 sin θ (2.50) Dari persamaan di atas, tampak bahwa xmax merupakan fungsi β 0 dan θ . Nilai maksimum xmax untuk β 0 tertentu dapat dicari dengan menurunkan persamaan di atas ke θ kemudian hasilnya diisikan sama dengan nol. Hasilnya nilai θ max yang menyebabkan xmax diberikan oleh persamaan berikut sin θ max ln 1 + β 0 sin θ max 2 β 0 (1 − sin 2 θ max ) = . 1 − β 0 sin θ max 1 − β 02 sin 2 θ max (2.51) Ternyata nilai θ max yang menyebabkan xmax masih merupakan fungsi kecepatan zarah β 0 . Limit non−relativistik untuk ymax dan xmax adalah ymax = v02 sin 2 θ 2g (2.52) dan ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 42 ___________________________________________________________________________________________ xmax = v02 sin 2θ . g (2.53) 2.2.2 Gerakan Partikel dalam Medan Gravitasi Seragam Persamaan keadaan untuk keadaan ini adalah ( ) d γmcβ = γmg . dt (2.54) Dengan memilih g = − g ˆj (2.55) maka komponen-komponen pers. (2.54) adalah d (γmcβ x ) = 0 dt (2.56) ( (2.57) dan ) d γmcβ y = −γmg . dt Integrasi pers. (2.56) menghasilkan β xγ = β 0γ 0 cos θ . (2.58) Dengan mengingat bahwa γ = 1 1 − β x2 − β y2 , (2.59) diperoleh γ + γ 2 −α 2 = − ln γ + γ 2 −α2 γ 2 −α2 0 0 γ dγ σ = −∫ γ0 (2.60) dengan α 2 = γ 02 (1 − β 02 sin 2 θ ) . (2.61) Kemudian dari pers. (2.60) : γ = γ 0 1 + β 0 sin θ 2 σ e + eσ (1 − β 0 sin θ ) . (2.62) Dari pers. (2.58) : ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 43 ___________________________________________________________________________________________ βx = [e −σ 2 β 0 cos θ . (1 + β 0 sin θ ) + eσ (1 − β 0 sin θ ) ] (2.63) Akhirnya dari pers. (2.59) diperoleh βy = e −σ (1 + β 0 sin θ ) − eσ (1 − β 0 sin θ ) . e −σ (1 + β 0 sin θ ) + eσ (1 − β 0 sin θ ) (2.64) Gerakan partikel dapat ditelusuri dengan mengintegralkan pers. (2.63) dan (2.64) yang hasilnya adalah x= β 0 cos θ 2c 2 g 1 − β 2 sin 2 θ 0 −1 σ 1 − β 0 sin θ tan e 1 + β 0 sin θ − tan −1 1 − β 0 sin θ 1 + β sin θ 0 , (2.65) dan y=− c 2 e −σ (1 + β 0 sin θ ) + eσ (1 − β 0 sin θ ) ln . 2 g (2.66) Seperti halnya pada telaah di atas, untuk β 0 dan σ kecil, pers. (2.63)−(2.66) tereduksi ke bentuk limit non−relativistik berikut : v x = v 0 cos θ (2.67) v y = v0 sin θ − gt (2.68) x = v0 cos θ t (2.69) y = v0 sin θ t − 12 gt 2 . (2.70) dan Untuk θ = π / 2 , diperoleh solusi untuk persolan gerak jatuh bebas secara relativistik sebagai γ = [e 2 γ0 βy = −σ (1 + β 0 ) + eσ (1 − β 0 ) e −σ (1 + β 0 ) − eσ (1 − β 0 ) e −σ (1 + β 0 ) + eσ (1 − β 0 ) x=0 ] (2.71) (2.72) (2.73) dan ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 44 ___________________________________________________________________________________________ c 2 e −σ (1 + β 0 ) + eσ (1 − β 0 ) y = − ln . g 2 (2.74) Dalam limit non−relativistik, pers. (2.72) dan (2.74) tereduksi ke v y = v0 − gt (2.75) y = v0t − 12 gt 2 . (2.76) dan Tinggi maksimum ymax dapat diperoleh dengan mengisikan βy = 0 (2.77) ke dalam pers. (2.72) dan untuk σ diperoleh 1 + β 0 sin θ σ = 12 ln . 1 − β 0 sin θ (2.78) Substitusi nilai ini ke pers. (2.74), dihasilkan tinggi maksimum ymax = − c2 ln(1 − β 02 sin 2 θ ) 2g (2.79) Untuk θ = π / 2 , persamaan di atas menjadi ymax = c2 ln(γ 0 ) g (2.80) yang dalam limit non−relativistik tereduksi menjadi ymax = v02 . 2g (2.81) Jangkauan partikel maksimum pada arah sumbu x atau xmax dapat diperoleh dengan mengisikan y=0 (2.82) ke dalam pers. (2.66) dan untuk nilai σ yang bersangkutan diperoleh 1 + β 0 sin θ . 1 − β 0 sin θ σ = ln (2.83) Substitusi hasil ini ke pers. (2.65) dihasilkan jangkauan maksimum ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 45 ___________________________________________________________________________________________ xmax = β 0 cos θ 2c 2 g 1 − β 2 sin 2 θ 0 −1 1 + β 0 sin θ tan 1 − β 0 sin θ − tan −1 1 − β 0 sin θ 1 + β sin θ 0 (2.84) Kembali di sini xmax adalah fungsi β 0 dan θ . Untuk nilai β 0 tertentu, nilai xmax dapat diperoleh sehingga untuk kondisi tersebut nilai sudut proyeksi θ max adalah solusi persamaan berikut : 1 + β 0 sin θ sin θ max tan −1 1 − β 0 sin θ − tan −1 1 − β 0 sin θ 1 + β sin θ 0 (2.85) = β 0γ 02 cos 2 θ max 1 − β 02 sin 2 θ max Adapun limit non−relativistik untuk ymax dan xmax adalah ymax = v02 sin 2 θ 2g (2.86) xmax = v02 sin 2θ . g (2.87) dan Selanjutnya ditinjau gerak sebuah partikel pada dua dimensi (x, y) yang memiliki momentum awal p0 dalam arah sumbu x yang dikenai gaya konstan f sepanjang sumbu y. Akan dicari bagaimanakah trayektori partikel tersebut secara relativistik. Dimulai dari persamaan gerak zarah dp =F dt untuk mana komponen-komponen gaya F adalah (2.88) Fx = 0 = dp x dt (2.89) Fy = f = dp y dan dt . (2.90) Penyelesaian dua persamaan terakhir di atas memberikan p x = p0 (2.91) dan ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 46 ___________________________________________________________________________________________ f t = py (2.92) Kuadrat momentum dan energinya masing-masing diberikan oleh p 2 = p x2 + p 2y = p02 + f 2t 2 (2.93) dan E 2 = p 2 c 2 + m 2 c 4 = f 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4 . (2.94) Untuk mengolah kedua hasil di atas lebih lanjut, hubungan antara momentum, energi dan kecepatan relativistik dapat dituliskan sebagai p = γmv = (γmc 2 / c 2 ) v = Ev / c 2 (2.95) atau c2 v= p E (2.96) sehingga jika diambil komponen-komponennya adalah vx = dx = dt vy = dy = dt c 2 p0 (2.97) f 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4 dan Fc 2t F 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4 . (2.98) Pada pers. (2.97) dilakukan substitusi fct = p02 c 2 + m 2 c 4 sinh u (2.99) sehingga f 2 c 2t 2 + p02 c 2 + m 2 c 4 = ( p02 c 2 + m 2 c 4 )(1 + sinh 2 u ) = ( p02 c 2 + m 2 c 4 ) cosh 2 u (2.100) dan dt = p02 c 2 + m 2 c 4 cosh u du . cf (2.101) Jadi dx = c 2 p0 cosh u p02 c 2 + m 2c 4 p02 c 2 + m 2 c 4 cp0 cosh u du = du cf f (2.102) yang dengan mengintegralkan persamaan terakhir di atas diperoleh ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 47 ___________________________________________________________________________________________ x= cp0 u + C. f (2.103) Untuk syarat batas, x(t = 0) = 0 (2.104) serta mengingat bahwa untuk t = 0 maka u = 0 sehingga diperoleh C = 0 : u= f x cp0 (2.105) yang memberikan hubungan antara t dan x secara t= p02 c 2 + m 2 c 4 f x . sinh cf cp 0 (2.106) Selanjutnya dengan mengingat dy dy / dt v y f = = = t= dx dx / dt v x p0 p02 c 2 + m 2 c 4 f x sinh cp0 cp0 (2.107) sehingga y ( x) = p02 c 2 + m 2 c 4 f x + C . cosh f cp0 (2.108) Untuk syarat batas y ( x = 0) = 0 (2.109) maka C=− p02 c 2 + m 2 c 4 f (2.110) sehingga y ( x) = p02 c 2 + m 2 c 4 f x − 1 cosh f cp 0 (2.111) Jadi persamaan trayektori partikel tersebut berbentuk kurva cosinus hiperbolik yang melalui titik (0, 0). Adapun jika ingin dicari kaitan y sebagai fungsi t, dapat digunakan identitas dalam trigonometri hiperbolik : cosh u = 1 + sinh 2 u (2.112) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 48 ___________________________________________________________________________________________ sehingga dengan menggunakan pers. (2.112), bentuk pers. (2.111) dapat ditulis menjadi p02 c 2 + m 2 c 4 1 + f y (t ) = p02 c 2 + m 2 c 4 p02 c 2 + m 2 c 4 + c 2 f 2t 2 − 1 f p02 c 2 + m 2 c 4 = = 2 cf t − 1 p02 c 2 + m 2 c 4 1 f ( p02 c 2 + m 2 c 4 + c 2 f 2t 2 − ) p02 c 2 + m 2 c 4 . (2.113) Sedangkan inversi pers. (2.106) adalah x= cp0 cf t sinh −1 p 2c 2 + m 2c 4 f 0 (2.114) Untuk kondisi tak relativistik, pada hubungan t sebagai fungsi x, nilai f x << 1 cp0 (2.115) sehingga dengan menggunakan deret Maclaurin untuk u << 1 : sinh u = 1 (e u − e − u ) 1 u2 u2 = 1 + u + + ... − 1 − u + − ... ≈ (2u ) = u 2 2 2 2 2 (2.116) serta mengingat m 2 c 2 + p02 c 2 ≈ mc 2 (2.117) mc 2 f x m x = cf cp0 p0 (2.118) p0 t = v0 t m (2.119) maka t≈ atau x(t ) = dengan v0 adalah kecepatan awal partikel pada arah sumbu x. Gerak yang diberikan oleh persamaan di atas melukiskan gerak lurus beraturan (GLB) yang tak memiliki percepatan. ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 49 ___________________________________________________________________________________________ Sementara itu hubungan tak relativistik antara y dan t diperoleh dengan menuliskan pers. (2.113) untuk p02 c 2 << m 2 c 4 dan c 2 f 2t 2 << m 2 c 4 (2.120) dalam bentuk y (t ) = [ 1 2 2 2 2 2 2 2 4 mc 1 + ( p0 c + c f t ) / m c f ( [ ] 1/ 2 [ − mc 2 1 + p02 c 2 / m 2 c 4 ] [ ≈ 1 mc 2 1 + ( p02 c 2 + c 2 f 2t 2 ) / 2m 2 c 4 − mc 2 1 + p02 c 2 / 2m 2 c 4 f = f 2 t = 2m 1 2 ] 1/ 2 ]) at 2 (2.121) dengan a adalah percepatan ke arah sumbu y yang besarnya sama dengan gaya ke arah sumbu y dibagi massa partikel. Gerak yang diberikan oleh persamaan di atas melukiskan gerak lurus berubah beraturan (GLBB) dengan percepatan a searah sumbu y. Dari dua persamaan di atas, hubungan non-relativistik antara y dan x dapat dituliskan sebagai y= fm 2 a x = 2 x2 . 2 2 p0 2v0 (2.122) Hubungan di atas dapat pula dicari dari rumus (2.111) yang untuk gerak nonrelativistik berlaku f x << 1 cp0 (2.123) sehingga dengan mengingat untuk u << 1 : e u + e − u 1 u2 u2 cosh u = = 1+ u + + ... + 1 − u + + ... ≈ 1 + 12 u 2 2 2 2 2 (2.124) sehingga pers. (2.111) menjadi 2 fm mc 2 1 f x 1 + − 1 = 2 x 2 y ( x) ≈ f 2 cp0 p0 (2.125) Gerak yang diberikan pada persamaan di atas melukiskan gerak parabola. ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 50 ___________________________________________________________________________________________ Berikutnya ditinjau sebuah partikel yang bergerak dipercepat dari keadaan rehat dengan percepatan tetap a0 dalam kerangka rehatnya ke kecepatan vm di K. Untuk lintasan partikel yang lurus, akan dicari waktu yang diperlukan oleh partikel tersebut untuk mencapai kecepatan vm , baik yang diukur di kerangka K, maupun di kerangka rehat partikel tersebut K 0 . Kaedah transformasi percepatan a' di kerangka K’ dengan percepatan a di kerangka K dirumuskan sebagai (Muslim, 1985) a + Γ −1 − 1 (n ⋅ a ) n − V × (a × v ) / c 2 a' = (2.126) Γ 2 (1 − V ⋅ v / c 2 )3 dengan V = V n = kecepatan kerangka K’ terhadap K, v = kecepatan partikel di kerangka K dan Γ = (1 − V 2 / c 2 ) −1 / 2 ( ) Jika dipilih K’ = K 0 = kerangka rehat partikel maka V=v (2.127) dan Γ = γ = (1 − v 2 / c 2 ) −1 / 2 dan untuk gerakan zarah yang lurus maka v // n // a , sehingga a + γ −1 − 1 a a a' = a 0 = 2 = γ (1 − v ⋅ v / c 2 )3 (1 − v 2 / c 2 ) 3 / 2 ( ) (2.128) (2.129) Selain itu mengingat dt dt 1 1 = = = . 2 2 2 dt ' dt 0 γ (1 − v / c ) (1 − v / c 2 )1 / 2 (2.130) Jadi : v (t ) t v (t ) dt 1 t = ∫ dt = ∫ dv = ∫ dv dv a t =0 v =0 v=0 1 = a0 v (t ) dv v = 2 3/ 2 (1 − v / c ) a0 1 − v 2 / c 2 v =0 ∫ 2 (2.131) sehingga waktu yang diperlukan partikel untuk mencapai kecepatan vm di kerangka K adalah ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 51 ___________________________________________________________________________________________ tm = vm a0 1 − vm2 / c 2 . (2.132) Sementara itu t0 = t0 ∫ t0 = t0 =0 c = 2 a0 t ∫ 1 − v 2 / c 2 dt = t =0 1 a0 v (t ) dv 2 2 v =0 1 − v / c ∫ v(t ) 1 c c+v 1 + ln . dv = 1− v / c 1+ v / c 2a0 c − v v =0 ∫ (2.133) Jadi waktu yang diperlukan untuk mencapai kecepatan partikel vm menurut kerangka K 0 adalah t0 m = 2.3 c + vm c ln . 2 a 0 c − vm (2.134) Efek Compton Dalam percobaannya pada tahun 1927, Compton telah menemukan bahwa sinar X (sebagai salah satu bentuk gelombang elektromagnetik) yang dihamburkan oleh suatu bahan akan menyebabkan frekuensinya, sekaligus juga panjang gelombangnya berubah. Jika mula-mula sebuah foton awal dengan panjang gelombang λ maka foton tersebut akan dihamburkan oleh bahan yang dikenai foton tersebut dengan panjang gelombang λ’ dan membentuk sudut θ terhadap arah datang foton. Bagaimanakah hubungan antara tiga besaran tersebut dan juga massa elektron sebagai partikel yang menghamburkan foton tersebut ? Berikut akan diturunkan perumusan efek Compton. Lihat gambar 2.2 di bawah ini. λ e θ φ λ' e Gambar. 2.2 Hamburan Compton ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 52 ___________________________________________________________________________________________ Mula-mula foton awal dengan frekuensi ν atau panjang gelombang λ. Energi dan momentum awal foton berturut-turut sama dengan hν dan hν/c. Setelah dihamburkan, frekuensinya menjadi ν’ atau panjang gelombangnya λ’. Energi dan momentum akhir foton tersebut berturut-turut adalah hν’ dan hν’/c. Adapun untuk elektron bermassa m, mula-mula dalam keadaan rehat sehingga energi dan momentum awalnya berturut-turut adalah mc2 dan 0. Setelah ditumbuk foton, elektron tersebut memiliki momentum akhir p dan energi p 2 + m 2c 4 . Pada peristiwa ini digunakan hukum kekekalan momentum yang menyatakan bahwa momentum awal sama dengan momentum akhir, jika dituliskan dalam komponen-komponennya menjadi : Komponen x : Komponen y : hν hν ' = cos θ + p cos φ c c (2.135) hν ' sin θ − p sin φ c (2.136) 0= Sedangkan hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi awal sama dengan energi akhir, maka hν = hν ' + K (2.137) dengan K adalah tenaga kinetik elektron setelah ditumbuk foton. Pers. (2.135) dan (2.136) dapat dituliskan menjadi pc cos φ = hν − hν ' cosθ (2.138) pc sin φ = hν ' sin θ (2.139) dan Dengan menguadratkan dua persamaan di atas, kemudian menjumlahkannya, diperoleh ( pc) 2 = (hν ) 2 + (hν ' ) 2 − 2h 2νν ' cos θ (2.140) Adapun elektron yang terpental berlaku E = mc 2 + K (2.141) dan E 2 = ( pc) 2 + (mc 2 ) 2 (2.142) sehingga ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 53 ___________________________________________________________________________________________ ( pc) 2 = K 2 + 2 Kmc 2 . (2.143) Dari pers. (2.137) : K = hν − hν ' (2.144) sehingga dengan mengisikan (2.144) ke (2.143) diperoleh ( pc) 2 = (hν ) 2 + (hν ' ) 2 − 2h 2νν ' + 2(hν − hν ' )mc 2 (2.145) Dengan membandingkan (2.140) dan (2.145) dihasilkan bentuk − 2h 2νν ' cos θ = −2h 2νν ' + 2(hν − hν ' )mc 2 (2.146) yang jika masing-masing ruas dibagi dengan 2hνν ' mc yang kemudian dilakukan pengaturan ruas, akhirnya diperoleh λ' = λ + h (1 − cos θ ) . mc (2.147) Rumus di atas diturunkan dengan menggunakan dua asas yaitu asas kekekalan momentum dan kekekalan energi. Padahal keduanya dapat disatukan dalam vektor momentum−4. Karena itu perumusan efek Compton dapat pula diturunkan dengan menggunakan notasi kovarian vektor momentum−4. Ditinjau sebuah foton γ dengan frekuensi awal ν atau frekeuensi sudut ω. Energi foton γ tersebut adalah E = hν sedang vektor momentum−3 foton adalah p = ℏ k dengan k = ω / c adalah vektor bilangan gelombang dan ω adalah vektor frekuensi sudut. Momentum−4 kovarian foton awal tersebut adalah Pµγ = ( Eγ / c, pγ ) = (hν / c, ℏ k ) . (2.148) Dengan menggunakan komponen tensor metrik (+1, −1, −1, −1) maka bentuk momentum−4 kontravarian foton awal tersebut adalah P µ γ = ( hν / c , − ℏ k ) . (2.149) Sedangkan momentum−4 kovarian dan kontravarian foton akhir γ’ tersebut berturut-turut adalah Pµγ ' = ( Eγ ' / c, pγ ' ) = (hν ' / c, ℏ k ' ) . (2.150) P µ γ ' = ( hν ' / c , − ℏk ' ) . (2.151) dan ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 54 ___________________________________________________________________________________________ Untuk elektron awal e yang berada dalam keadaan rehat, momentum−4 awal kovarian dan kontravarian berturut-turut adalah Pµe = ( Ee / c, p e ) = (mc,0) (2.152) dan P µ e = (mc,0) . (2.153) Sedangkan momentum−4 elektron akhir e' kovarian dan kontravarian berturut-turut adalah Pµe ' = ( Ee' / c, p e ' ) = ( p 2 + m 2 c 2 , p) (2.154) dan Pµ e' = ( p 2 + m 2 c 2 , −p ) . (2.155) Hukum kekekalan momentum−4 kovarian dan kontravarian untuk peristiwa hamburan ini dapat dituliskan sebagai Pµγ + Pµe = Pµγ ' + Pµe ' (2.156) dan Pµ γ + Pµ e = Pµ γ ' + Pµ e' (2.157) Dua persamaan di atas dapat ditulis menjadi Pµγ + Pµe − Pµγ ' = Pµe ' (2.158) P µ γ + P µ e − P µ γ ' = P µ e' (2.159) dan Dengan mengalikan masing-masing ruas persamaan di atas dengan diperoleh Pµγ P µ γ + Pµγ P µ e − Pµγ P µ γ ' + Pµe P µ γ + Pµe P µ e − Pµe P µ γ ' − Pµγ ' P µ γ − Pµγ ' P µ e + Pµγ ' P µ γ ' = Pµe ' P µ e ' (2.160) Mengingat h 2 ℏ 2 (2π ) 2 Pµγ P µ γ = (hν / c) 2 − (ℏ k ) 2 = 2 − =0, 2 λ Pµγ P µ e = λ hν hmc mc + 0 = c λ (2.161) (2.162) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 55 ___________________________________________________________________________________________ Pµγ P µ γ ' = νν ' kk ' cos θ hν hν ' − ℏ 2k ⋅ k ' = h 2 2 − c c (2π ) 2 c Pµe P µ γ = mc h2 = (1 − cos θ ) λλ ' (2.163) hν hmc +0= c λ (2.164) Pµe P µ e = (mc)(mc) + 0 = m 2 c 2 , Pµe P µ γ ' = mc Pµγ ' P µ γ hν ' hmc +0= c λ' νν ' kk ' cos θ hν ' hν = − ℏ 2k ⋅ k ' = h 2 2 − c c (2π ) 2 c Pµγ ' P µ e = (2.165) (2.166) h2 = (1 − cos θ ) λλ ' hν ' hmc mc + 0 = c λ' (2.167) (2.168) h 2 ℏ 2 (2π ) 2 Pµγ ' P µ γ ' = (hν ' / c) 2 − (ℏ k ' ) 2 = 2 − = 0, λ' λ '2 Pµe ' P µ e ' = (p 2 + m 2 c 2 ) − p 2 = m 2 c 2 , (2.169) (2.170) maka 0 + hmc λ − h2 λλ ' (1 − cosθ ) + hmc λ + m 2c 2 − hmc h2 − (1 − cosθ ) − hmc + 0 = λλ ' λ' λ' m2c 2 atau 2 1 1 2h 2hmc − = (1 − cos θ ) . λ λ ' λλ ' Dengan mengalikan masing-masing ruas di atas dengan (2.171) λλ ' 2hmc , diperoleh perumusan efek Compton λ' − λ = h (1 − cos θ ) . mc (2.172) Selanjutnya akan dihitung berapakah tenaga kinetik elektron yang terpental oleh tumbukan foton tersebut. Sebelum tumbukan energi foton dan elektron berturut-turut adalah Eγ = hc λ (2.173) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 56 ___________________________________________________________________________________________ dan Ee = mc 2 . (2.174) Setelah terjadi tumbukan, energi foton adalah Eγ ' = hc hc = λ ' λ + (h / mc)(1 − cosθ ) (2.175) Menggunakan asas kekekalan energi, energi elektron setelah tumbukan adalah Ee' = Eγ + Ee − Eγ ' = hc λ + mc 2 − hc . λ + λ0 (1 − cos θ ) (2.176) Dari nilai energi tersebut, tenaga kinetik elektron yang terpental tersebut adalah energi elektron dikurangi energi rehatnya yang bernilai Te ' = hc λ0 (1 − cos θ ) hc 1 1 − = . λ 1 + (λ0 / λ )(1 − cos θ ) λ λ + λ0 (1 − cos θ ) (2.177) Hubungan antara sudut pentalan foton (θ ) dengan sudut pentalan elektron (φ ) dan panjang gelombang foton datang (λ) dapat ditelusuri dengan dengan menggunakan hukum kekekalan momentum. Untuk komponen ke arah y, h sin θ = pe ' sin φ . λ' (2.178) Momentum elektron setelah tumbukan dirumuskan sebagai 2 1 1 pe ' = Ee2' − m 2 c 4 = c c 2 hc hc mc + − m 2 c 4 − λ λ + λ0 (1 − cos θ ) 1 = c 2 hc λ0 (1 − cos θ ) 2 4 mc + − m c λ λ + λ0 (1 − cos θ ) 2 1 hcλ0 (1 − cos θ ) 2mc 2 λ2 + 2mc 2 λλ0 (1 − cos θ ) + hcλ0 (1 − cos θ ) = c λ2 [λ + λ0 (1 − cosθ )]2 (2.179) sehingga dengan mengisikan hasil di atas ke pers. (2.178) diperoleh sin φ = (hcλ0 (1 − cos θ ))(2mc hc sin θ λ + λ0 (2mc λ + hc)(1 − cos θ ) 2 2 2 ) (2.180) Mengingat identitas trigonometri berikut : ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 57 ___________________________________________________________________________________________ sin θ = 2 sin θ 2 cos θ 2 dan 1 − cos θ = 2 sin 2 θ (2.181) 2 maka akhirnya diperoleh sin φ = cos(θ / 2) (λ0 / h )(mcλ2 + λ0 (h + mcλ ) sin 2 (θ / 2)) . (2.182) ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 58 ___________________________________________________________________________________________ Soal-Soal Latihan BAB II 1. Pada kasus paradoks kembar, John tinggal di bumi selama 30 tahun sedangkan Mary menempuh perjalanan menuju sebuah bintang yang berjarak 20 tahun cahaya dengan kecepatan 0,75 c pulang pergi. 2. (a) Berapakah selisih umur keduanya ketika Mary pulang ke bumi? (b) Berapakah jarak yang ditempuh menurut Mary? Sebuah partike yang memiliki momentum awal p0 dalam arah sumbu Y dikenai gaya konstan F sepanjang arah sumbu X. Tentukan trayektori partikel secara relativistik. Bandingkan hasilnya dengan yang diperoleh secara klasik (mekanika Newton). 3. Sebuah partikel bermassa m bergerak sepanjang sumbu X di bawah pengaruh gaya F = 2mc 2 a /(a − x) 2 . Pada saat t = 0, partikel tersebut rehat di titik O. Tunjukkan bahwa waktu yang diperlukan partikel ini untuk bergerak dari O ke titik x (< a) diberikan oleh t= 4. x x + 3a . a 3c Sebuah partikel bermassa m bergerak dengan kecepatan v sepanjang suatu garis lurus di bawah pengaruh gaya gesekan sebesar −mv/k yang menentang gerakannya. K adalah tetapan gaya yang dimensi waktu. Tunjukkan bahwa selang waktu yang diperlukan gaya untuk mengubah kelajuan zarah dari 4c/5 menjadi 3c/5 adalah k[ln(3 / 2) + 5 / 12] . 5. Sebuah partikel dengan massa m bergerak sepanjang sumbu X di bawah pengaruh gaya tarikan ke titik asal O sebesar F = mc 2 x0 / x 2 . Mula-mula ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 59 ___________________________________________________________________________________________ partikel tersebut rehat di x = x0 . Tunjukkan bahwa gerakan partikel berupa getaran selaras sederhana dengan periode T = 2π x0 / c . 6. Tunjukkan bahwa kelajuan relatif v dua benda yang masing-masing memiliki vektor kecepatan v1 dan v2 terhadap kerangka K, bernilai v2 = (v1 − v2 ) 2 − (v1 × v2 ) 2 / c 2 . (1 − v1 .v2 / c 2 ) 2 Tunjukkan bahwa jika v2 = c maka v juga sama dengan c. 7. Tunjukkan bahwa sebuah benda yang bergerak lurus di bawah pengaruh gaya konstan dan gaya gesekan Fg = − kv 2 yang sebanding dengan pangkat dua kecepatan, v(t ) = v L mempunyai kecepatan pada saat t sebesar (v0 + vL ) exp(kvLt / m) + (v0 − v L ) exp(− kvLt / m) dengan v0 dan vL (v0 + vL ) exp(kvLt / m) − (v0 − v L ) exp(− kvL t / m) berturut-turut adalah kecepatan awal dan kecepatan tertinggi benda. 8. Sebuah pesawat ruang angkasa bermassa m dan motor roketnya dimatikan, meluncur dengan kecepatan tinggi v melintasi daerah antar bintang dan menyebabkan gesekan yang menurut pengukuran awak pesawat dengan gaya gesekan sebesar − α mv 2 . Gunakan kaitan F dx = v dp serta p = γmv untuk menunjukkan bahwa jarak yang ditempuh pesawat sewaktu kecepatannya berubah dari v1 ke v 2 adalah x= 1 1 1 1 + γ 1 1 1 1 + γ 2 − − ln − ln α γ 1 2 1 − γ 1 γ 2 2 1 − γ 2 dengan γ 1 = (1 − v12 / c 2 ) −1/ 2 dan γ 2 = (1 − v 22 / c 2 ) −1 / 2 . Tentukan pula nilai x jika v 2 = 0 . ___________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Khusus 60 ___________________________________________________________________________________________ 9. Pada hamburan Compton, tentukan hubungan antara sudut hamburan dengan panjang gelombang foton sebelum tumbukan, dimana energi foton setelah hamburan menjadi berkurang setengahnya. ___________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 61 BAB III ANALISIS TENSOR DAN TEORI RELATIVITAS UMUM Untuk setiap sistem fisis, setiap hukum yang menghubungkan besaran fisis tidak akan bergantung kepada pemilihan sistem koordinat. Hal ini berarti, persamaan gerak sistem (baik zarah maupun medan) akan memiliki bentuk yang tetap (tidak berubah) di dalam semua sistem koordinat. Persamaan yang tidak berubah bentuknya terhadap transformasi koordinat dikatakan memiliki sifat kovarian terhadap transformasi tersebut. Sifat inilah yang menyebabkan tensor banyak digunakan untuk menelaah suatu sistem fisis. Tensor adalah besaran yang merupakan perluasan dari vektor, seperti halnya vektor merupakan perluasan dari besaran skalar. Tensor memiliki komponenkomponen seperti halnya vektor. Besaran vektor sangat penting di dalam fisikan karena ia menyatakan objek dengan kaedah-kaedah yang tetap sama meskipun kerangka acuan yang dipilih berubah-ubah. Perubahan kerangka acuan memang menyebabkan nilai komponen tensor berubah pula, namun kaedah-kaedah yang berlaku bagi komponen tensor tetap tidak berubah. Teori Relativitas Umum adalah salah satu teori fisika modern yang cukup besar peranannya dalam menerangkan struktur ruang-waktu dan jagad raya. Teori ini adalah teori yang indah, memiliki daya pikat ramalan terhadap gejala alam yang cukup menarik, namun memiliki persyaratan matematik berupa analisis tensor. Karena itulah dalam hand out ini akan disajikan analisis tensor sebagai jembatan untuk memahami teori relativitas umum. 3.1 Analisis Ruang Riemann Pada pasal ini akan diuraikan landasan formalisme matematik hukum gravitasi Einstein. Dimulai dari penjelasan tentang skalar, vektor, dan tensor, dilanjutkan dengan analisis ruang Riemann, hingga pada penurunan rumus-rumus tensor. __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 62 3.1.1 Skalar, Vektor dan Tensor Ditinjau sebuah ruang berdimensi N dengan sistem koordinat K = ( x1 , x 2 ,..., x N ) (3.1) Sistem koordinat dalam ruang tersebut dapat ditransformasi menjadi K = ( x 1 , x 2 ,..., x N ) (3.2) Akan ditinjau tiga perangkat besaran yang memiliki sifat tertentu pada perubahan sistem koordinat tersebut, yaitu skalar, vektor dan tensor. Misalkan ada sebuah perangkat besaran fisis yang memiliki nilai V di K dan nilai V di K . Jika V =V (3.3) yaitu V bersifat invarian, maka besaran tersebut dinamakan skalar. Contoh besaran skalar adalah laju cahaya di ruang-waktu datar vakum dan muatan listrik. Misalkan terdapat seperangkat N besaran A µ ( µ = 1, 2, …, N ) yang nilainya ditentukan oleh N bilangan. Di K, besaran tersebut memiliki komponen ( A1 , A2 ,..., A N ) (3.4) sedangkan di K dinyatakan sebagai ( A 1 , A 2 ,..., A N ) . (3.5) ∂xν µ N A = ∑ ∂ µ xν A µ µ µ =1 ∂x µ =1 (3.6) Jika terdapat hubungan N Aν = ∑ maka perangkat A µ = ( A1 , A2 ,..., A N ) adalah vektor kontravarian di K. Lambang ∂ µ menyatakan ∂ / ∂x µ . Analog dengan di atas, jika di K perangkat Aµ memiliki komponen ( A1 , A2 ,..., AN ) , (3.7) sedangkan di K komponennya berbentuk ( A1 , A2 ,..., AN ) (3.8) serta berlaku hubungan __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 63 N ∂x µ A = ∂ν x µ Aµ ∑ µ ν µ =1 ∂x µ =1 N Aν = ∑ (3.9) maka Aµ disebut komponen kovarian di K. Lambang ∂ µ menyatakan ∂ / ∂x µ . Dari pengertian di atas, vektor adalah besaran yang lambang komponennya memiliki satu indeks. Jika indeksnya terletak di atas (bawah) dinamakan vektor kontravarian (kovarian). Tensor merupakan perluasan vektor. Indeks tensor lebih besar dari satu. Banyaknya indeks disebut rank r dengan jumlah komponen N r . Tensor B µν , Cαβγ berturut-turut dinamkana tensor rank−2 kontravarian dan tensor rank−3 kovarian. Karena jumlah rank tensor lebih dari satu maka dimungkinkan terdapat indeks yang terletak di atas dan di bawah. Tensor seperti ini dinamakan tensor µ campuran (mixed tensor) Sebagai contoh Dαβ dinamakan tensor rank−3 campuran. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa vektor dan skalar tak lain merupakan tensor rank−1 dan rank−0. Persamaan transformasi untuk tensor kontravarian serupa dengan bentuk produk (3.2) yaitu B µν = ∂x µ ∂xν αβ ∑ α βB . α , β =1 ∂x ∂x N (3.10) Demikian pula kaedah transformasi persamaan tensor kontravarian mengikuti produk pers. (3.10) yaitu ∂xα ∂x β = ∑ B . µ ν αβ α , β =1 ∂x ∂x N Bµν (3.11) Sedangkan untuk tensor campuran berlaku kaedah Bνµ = ∂x µ ∂x β α ∑ α ν Bβ . α , β =1 ∂x ∂x N (3.12) Pers. (3.10), (3.11) dan (3.12) dapat dikembangkan untuk tensor dengan peringkat yang lebih tinggi. Selanjutnya untuk mempersingkat penulisan akan digunakan kesepakatan penjumlahan Einstein meliputi indeks berulang yang menyatakan bahwa jika di __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 64 dalam sebuah bentuk terdapat sepasang indeks yang sama dengan salah satu terletak di atas dan yang lainnya di bawah, maka penjumlahan harus dilakukan terhadap bentuk tersebut meliputi jangkauan indeks berulang tersebut. Jadi dari pers. (3.1) sampai dengan (3.12), tanda Σ tidak perlu dituliskan. Namun jika bentuk yang memuat indeks berulang tersebut tidak ingin dijumlahkan, hal tersebut harus ditegaskan secara eksplisit. 3.2 Operasi pada Tensor Operasi yang berlaku pada tensor adalah : 1. Kombinasi linear Berlaku jika tensor-tensor tersebut memiliki jenis yang sama seperti µ µ µ aAαβ + bBαβ = cCαβ . (3.13) µ Adapun bentuk aAαβ + bBαµν tidak didefinisikan. 2. Perkalian luar Terhadap dua tensor atau lebih yang memiliki indeks yang berbeda, dapat dilakukan perkalian luar seperti β Aαβ Bµν = Cαµν . 3. (3.14) Kontraksi Proses menyamakan sepasang atau lebih pasangan indeks kovarian dan kontravarian, seperti kontraksi (α , β ) β β Cαµν → C βµν = C µν (3.15) disebut kontraksi meliputi indeks (α , β ) . Proses kontraksi menurunkan rank tensor sebanyak 2. 4. Perkalian dalam Proses ini dilakukan terhadap tensor sehingga faktor-faktornya memiliki sepasang indeks sekutu atau lebih seperti Aαβµ Bγα = Cγβµ . 5. (3.16) Hukum pembagian __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 65 Ditinjau kasus berikut. Misalkan C = A µ Bµ merupakan suatu skalar untuk sembarang vektor kontravarian A µ , maka Bµ pasti merupakan suatu vektor kovarian. Sebaliknya jika C merupakan suatu skalar untuk sembarang vektor kovarian Bµ maka A µ pasti merupakan suatu vektor kontravarian. Hal ini dapat diperluas untuk tensor. 3.3 Ruang Datar dan Lengkung Ditinjau dua buah titik yang berdekatan dalam ruang tiga dimensi yang dinyatakan dengan koordinat Cartesan. Kedua titik itu masing-masing A (x, y, z) dan B (x + dx, y + dy, z + dz). Kuadrat jarak antara keduanya adalah ds 2 = dx 2 + dy 2 + dz 2 . (3.17) Jika dilakukan perpindahan ke koordinat silinder melalui transformasi x = ρ cos φ , y = ρ sin φ , z = z (3.18) ds 2 = dρ 2 + ρ 2 dφ 2 + dz 2 . (3.19) maka jaraknya menjadi Melalui transformasi inversi y x ρ = x 2 + y 2 , φ = arctan , z = z (3.20) pers. (3.19) dapat diubah kembali menjadi pers. (3.17). Ruang tiga dimensi dimana bentuk ds 2 dapat dikembalikan ke bentuk dx 2 + dy 2 + dz 2 dinamakan ruang datar atau ruang Euclid. Jika tidak dapat dicari suatu sistem koordinat ( x, y, z ) yang memenuhi pers. (3.17) maka ruang tersebut dinamakan ruang lengkung atau ruang Riemann. Bentuk ds 2 untuk ruang datar satu dan dua dimensi berturut-turut adalah dx 2 dan dx 2 + dy 2 . Contoh ruang datar untuk dimensi tersebut masing-masing adalah garis lurus dan bidang datar. Sedangkan contoh ruang lengkung dua dimensi adalah permukaan bola, ellipsoida, paraboloida, permukaan sadel kuda dan lain-lain. __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 66 Contoh ruang datar empat dimensi (3 dimensi ruang berkoordinat x, y, z dan satu dimensi waktu berkoordinat t) dengan invarian kuadrat elemen garis adalah ruang-waktu Minkowski yang memiliki bentuk ds 2 adalah ds 2 = − dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 . (3.21) Adapun contoh ruang−waktu lengkung empat dimensi adalah apa yang dinamakan dengan ruang bermetrik Schwarzschild untuk mana kuadrat elemen garisnya berbentuk r ds 2 = −1 − S r −1 2 rS 2 2 2 2 2 dt + 1 − dr + r (dθ + sin θ dφ ) . r (3.22) Beberapa konsekuensi kelengkungan ruang yang membedakan antara ruang Riemann (ruang lengkung) dengan ruang Euclid (ruang datar) adalah 1. Jumlah sudut dalam segitiga dengan sisi-sisi segitiga merupakan penghubung terpendek antara titik sudutnya tidak sama dengan 1800. 2. Perbandingan antara keliling dengan diameter lingkaran ≠ π. 3. Garis penghubung terpendek antara dua titik tidak berbentuk garis lurus melainkan garis lengkung. 4. Dua garis yang sejajar lokal dapat berpotongan. 5. Penggambaran ruang lengkung di dalam ruang datar memerlukan satu dimensi tambahan. Karena itu jika ingin digambar, misalnya permukaan bola (3.2 dimensi), diperlukan ruang datar 3 dimensi. Ilustrasi antara ruang datar dan ruang lengkung dua dimensi terdapat pada Gambar 3.1. Gambar 3.1 Ruang datar (kiri) dan ruang lengkung dua dimensi (kanan) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 67 3.4 Tensor Metrik Ditinjau dua buah titik x µ dan x µ + dx µ di dalam ruang sembarang berdimensi N. Kuadrat jarak antara kedua titik tersebut dinyatakan oleh ds 2 = g µν dx µ dxν (3.23) dengan µ ,ν = 1, 2, …, N dan g11 g = det g µν = ⋯ ⋮ g N1 ⋮ (3.24) g N 1 ⋯ g NN ds 2 disebut kuadrat elemen jarak dan g µν adalah tensor metrik kovarian. Hubungan antara tensor metrik gαβ dalam kerangka K dan g µν dalam kerangka K adalah gαβ = ∂x µ ∂xν g µν ∂x α ∂x β (3.25) Pers. (3.23) dapat diubah bentuknya menjadi ds 2 = 1 2 (( g µν + gνµ ) + ( g µν − gνµ ) ) dx µ dxν (3.26) Dengan mengambil ( g µν − gνµ ) dx µ dxν = 0 (3.27) maka g µν = gνµ (3.28) sehingga g µν efektif merupakan suatu tensor simetri. Jika x µ = x µ (t ) dengan t adalah suatu parameter maka ds 2 = g µν dx µ dxν 2 dt dt dt (3.29) sehingga jarak antara kedua titik adalah 1/ 2 dx µ dxν s = ∫ g µν dt dt t1 t2 dt . (3.30) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 68 Perkalian dalam antara tensor metrik kontravarian g µν dan tensor metrik kovarian g µν menghasilkan 1, α = ν g αµ g µν = δνa = 0, α ≠ ν (3.31) dengan δνα adalah delta Kronecker. Jadi untuk mendapatkan tensor metrik metrik kontravarian g µν dapat digunakan rumus g µν = kofaktor g µν g (3.32) dengan kofaktor g µν = (−1) µ +ν minor g µν . (3.33) Kaitan antara A µ dengan Aν di suatu kerangka K tertentu dihubungkan melalui persamaan A µ = g µν Aν (3.34) Aν = gνµ A µ . (3.35) dan Perumusan di atas dapat diperluas untuk tensor, seperti jika akan ditentukan suatu besaran skalar B dari tensor kontravarian rank−2 B µν maka berlaku persamaan B = g µν B µν 3.5 (3.36) Turunan Kovarian Ditinjau persamaan transformasi untuk vektor berikut Aµ = ∂x µ ν A . ∂xν (3.37) Dengan menurunkan A µ terhadap xα , diperoleh ∂α Aµ = (∂ν ∂α x µ ) Aν + (∂ν x µ )(∂α Aν ) (3.38) yang bukan merupakan tensor. Karena itu perlu dicari cara untuk membentuk tensor dengan menggunakan turunan parsial tersebut. Untuk itu didefinisikan lambang Christoffel sebagai berikut : __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 69 1. Lambang Christoffel jenis pertama yang dinyatakan sebagai [ µν , β ] = 2. 1 2 (∂ µ gνβ + ∂ν g βµ + ∂ β g µν ) . (3.39) Lambang Christoffel jenis kedua yang dinyatakan oleh persamaan α α Γµν = = g αβ [ µν , β ]. µν (3.40) Kedua lambang Christoffel tersebut bukan merupakan tensor. Kedua lambang Christoffel tersebut digunakan untuk mendefinisikan turunan kovarian. Turunan kovarian suatu vektor kontravarian A µ didefinisikan sebagai µ α A µ;ν = ∂ν A µ + Γαν A (3.41) Sedangkan turunan kovarian vektor kovarian Aµ adalah α Aµ ;ν = ∂ν Aµ − Γµν Aα (3.42) Dapat ditunjukkan bahwa A µ;ν dan Aµ ;ν merupakan tensor. Generalisasi proses penurunan kovarian pers. (3.41) dan (3.42) untuk tensor dengan rank yang lebih tinggi adalah sebagai berikut. 1. Tensor kontravarian rank n µ n µ1 µ 2 ...µ n −1α µ1 αµ 2 ...µ n A µ;ν1 µ 2 ...µ n = ∂ν A µ1 µ 2 ...µ n + Γνα A + ... + Γνα A 2. Tensor kovarian rank n A µ1 µ 2 ...µ n ;ν = ∂ν Aµ1 µ 2 ...µ n + Γµα1ν Aαµ 2 ...µ n + ... + Γµαnν Aµ1 µ 2 ...µ n −1α . 3. (3.43) (3.44) Tensor campuran rank m kontravarian dan rank n kovarian µ m µ1 µ 2 ...µ m −1 β µ1 βµ 2 ...µ m Aνµ11νµ2 2......νµn m;ν = ∂ν Aνµ11νµ22......ν µn m + Γβα Aν 1ν 2 ...ν n + ... + Γβα Aν 1ν 2 ...ν n µ1 µ 2 ...µ m − Γνβ1α Aβν − ... − Γνβnα Aνµ1ν1 µ22......ν µn −m1 β 2 ...ν n 3.6 (3.45) Tensor Riemann-Christoffel, Ricci dan Einstein Dari pers. (3.44) η Aµ ;ν = ∂ν Aµ − Γµν Aη (3.46) dan dengan menurunkan kovarian sekali lagi diperoleh __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 70 ( ) β β Aµ ;να = ∂α Aµ ;ν − Γµα Aβ ;ν − Γαν Aµ ; β (3.47) Jika pers. (3.46) disubstitusikan ke (3.47) dihasilkan ( ) ( ) ( ) ) ( ) η β η β η Aµ ;να = ∂α ∂ν Aµ − Γµν Aη − Γµα ∂ν Aβ − Γβν Aη − Γαν ∂ β Aµ − Γµβ Aη (3.48) Dengan menukar indeks µ dan α diperoleh ( ) ( η β η β η Aµ ;αν = ∂ν ∂α Aµ − Γµν Aη − Γµν ∂α Aβ − Γβα Aη − Γνα ∂ β Aµ − Γµβ Aη (3.49) Jika pers. (3.49) dikurangi pers. (3.48) akan dihasilkan ( ) η η η β η β Aµ ;αν − Aµ ;να = ∂α Γµν − ∂ν Γµα + Γβα Γµν − Γβν Γµα Aη (3.50) Karena Aµ ;αν − Aµ ;να adalah tensor kovarian rank−3 dan Aη adalah tensor rank−1 sembarang kovarian maka ungkapan yang terdapat dalam kurung pada persamaan di atas haruslah merupakan suatu tensor campuran rank−1 kontravarian dan rank−3 kovarian. Hal ini dapat dibuktikan melalui hukum pembagian. Dengan demikian pers. (3.50) dapat dituliskan menjadi η Aµ ;αν − Aµ ;να = Rµαν Aη (3.51) η dengan Rµαν adala tensor Riemann-Christoffel yang dirumuskan sebagai η η η η β η β Rµαν = ∂α Γµν − ∂ν Γµα + Γβα Γµν − Γβν Γµα (3.52) Pada ruang Euclid selalu dapat dipilih suatu sistem koordinat dengan µν η = η µν sehingga semua nilai lambang Christoffel lenyap. Nilai Rµαν juga lenyap. Jadi nilai tensor Riemann-Christoffel lenyap di ruang datar. Tensor kelengkungan Rβµαν dapat ditentukan dengan perkalian dalam antara η tensor metrik g βη dengan tensor Riemann-Cristoffel Rµαν menurut persamaan η Rβµαν = g βη Rµαν . (3.53) η Kontraksi Rµαν teradap indeks (η ,ν ) menghasilkan tensor Ricci Rµα ν ν ν β ν β η Rµαν → Rνµαν = Rµα = ∂α Γµν − ∂ν Γµα + Γβα Γµν − Γβν Γµα (3.54) Skalar kelengkungan R diperoleh melalui perkalian dalam antara g µα dengan Rµα yang dituliskan sebagai __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 71 R = g µα Rµα (3.55) Tensor Einstein yang digunakan dalam teori relativitas umum didefinisikan sebagai Gµν = Rµν − 12 g µν R (3.56) Jika tetapan kosmologi Λ diikutsertakan, persamaan tensor Einstein menjadi Gµν = Rµν − 12 g µν R − Λg µν 3.7 (3.57) Persamaan Geodesik Ditinjau dalam ruang dua titik x µ dan x µ + dx µ . Menurut pers. (3.30), jarak antara kedua titik tersebut adalah 1/ 2 dx µ dxν s12 = ∫ g µν dt dt t1 t2 dt = t2 ∫ F dt (3.58) t1 Syarat stasioner bagi jarak kedua titik itu agar s12 bernilai ekstrem akan dipenuhi jika t2 δs12 = δ ∫ F dt = 0 . (3.59) t1 dengan δs12 adalah variasi dari s12 . Bentuk (3.59) merupakan integral aksi fungsi Lagrange F dan persamaan lintasan t. Dengan menggunakan persamaan Euler- Lagrange berikut d ∂ F dt ∂xɺ µ ∂ F − ∂x µ = 0 (3.60) maka d 1 ∂F dt 2 F ∂xɺ µ 1 ∂F 1 d ∂F = − µ 2 F dt ∂xɺ µ 2 F ∂x 1 ∂F dF ∂F = 0 (3.61) − µ − 2 F ∂xɺ µ dt ∂x Di sini t dapat diambil sama dengan jarak s12 sepanjang kurva lintasan. Untuk kasus ini karena s parameter sembarang maka dF dx µ dx µ dxν = 0, xɺ µ = , F = g µν ds ds ds ds (3.62) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 72 sehingga diperoleh ∂F = 2 g µν xɺν µ ∂xɺ (3.63) ∂gαβ ∂F = xɺα xɺ β . µ ∂x ∂x µ (3.64) dan Pers. (3.61) menjadi ∂g µν dxη dxν ∂gαβ dxα dx β d ∂F ∂F d 2 xν = 2 g µν +2 η − µ =0 − ds ∂xɺ µ ∂x µ ds 2 ∂x ds ds ∂x ds ds (3.65) Dengan menggunakan lambang Christoffel jenis pertama serta mengalikannya dengan g µη , persamaan di atas pada akirnya dapat dituliskan menjadi α β d 2 xη η dx dx + Γαβ =0. ds ds ds 2 (3.66) Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan geodesik. Persamaan ini digunakan untuk menelaah gerakan jatuh bebas partikel dalam ruang bermetrik tertentu. Lintasan partikel dalam ruang lengkung dari titik A ke B diilustrasikan pada Gambar 3.2. Gambar 3.2 Lintasan lengkung dalam ruang lengkung 3.8 Teori Relativitas Umum Sebelum teori Relativitas Umum (TRU) diperkenalkan oleh Einstein pada tahun 1915, orang mengenal sedikitnya tiga hukum gerak yaitu mekanika Newton, relativitas khusus dan gravitasi newton. Mekanika Newton sangat berhasil di dalam menerangkan sifat gerak benda berkelajuan rendah. Namun mekanikan ini gagal untuk benda yang kelanjuannya mendekati laju cahaya. Di samping itu, __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 73 transformasi Galilei gagal apabila diterapkan pada hukum-hukum seperti persamaan Maxwell yang sifatnya menjadi tidak kovarian di dalam kerangka inersial. Kekurangan ini ditutupi oleh Einstein dengan mengemukakan Teori Relativitas Khusus (TRK). Teori ini dibangun di atas dua asas, yaitu : 1. Semua hukum fisika memiliki bentuk yang tetap (kovarian) di dalam sebarang kerangka inersial. 2. Kelajuan cahaya di dalam ruang hampa bernilai tetap (invarian) dan tidak bergantung pada gerak sumber maupun pengamat. Asas kedua di atas merupakan tulang punggung TRK Einstein. Tanpa adanya pernyataan kedua tersebut, tidak ada TRK Einstein, yang ada hanyalah teori relativitas klasik (Newton-Galilei). Teori Relativitas Khusus Einstein berhasil menerangkan fenomena benda saat melaju mendekati laju cahaya. Di samping itu TRK berhasil merumuskan kekovarianan persamaan Maxwell di sebarang kerangka inersial dengan menggunakan transformasi Lorentz sebagai pengganti transformasi Galilei. Teori ini juga lebih lengkap daripada mekanika Newton, karena untuk gerak dengan kelajuan rendah, mekanika relativistik tereduksi menjadi mekanika Newton. Salah satu implikasi teori ini adalah ungkapan tidak ada benda atau sinyal yang dapat bergerak lebih cepat daripada cahaya. Hukum yang ketiga adalah gravitasi Newton. Hukum ini berlaku pada medan gravitasi lemah. Besarnya gaya gravitasi antara dua benda masing-masing bermassa m1 dan m2 yang dipisah oleh jarak sejauh r adalah F = −(Gm1m2 )(r / r 3 ) (3.67) dengan G adalah tetapan gravitasi universal. Tanda minus pada persamaan di atas menunjukkan bahwa gaya gravitasi bersifat tarik-menarik. Hukum gravitasi Newton berhasil menerangkan fenomena gerak bendabenda langit yang dipengaruhi oleh interaksi gravitasi antar benda-benda tersebut dengan ketelitian tinggi. Namun sayangnya, hukum ini tidak konsisten dengan TRK. Jika sebuah benda digerakkan maka gaya gravitasi benda tersebut terhadap benda lain akan berubah dalam sekejap, atau terjadi aksi spontan. Dengan kata __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 74 lain, efek gravitasi haruslah merambat dengan kelajuan takhingga, sesuatu yang bertentangan dengan TRK. Einstein berkali-kali mencoba merumuskan teori gravitasi yang konsisten / kompatibel dengan Teori Relativitas Khusus. Upayanya di tahun 1915 menghasilkan Teori Relativitas Umum (TRU). Ia mengemukakan saran yang cukup revolusioner bahwa gravitasi bukanlah seperti gaya-gaya yang lain, namun gravitasi merupakan efek dari kelengkungan ruang-waktu karena adanya penyebaran massa dan energi di dalam ruang-waktu tersebut. Teori Relativitas Umum ini dibangun di atas dua asas, yaitu pertama, asas kesetaraan (principle of equivalence) dan kedua, kovariansi umum (general covariance) (Krane, 1992 ; Weinberg, 1972). Untuk menjelaskan asas kesetaraan ini perlu diberikan penggambaran sebagai berikut (Krane, 1992). Misalnya seorang astronot berada di dalam roket yang masih berada pada landasannya di permukaan bumi. Sebuah benda yang dilepaskan teramati jatuh ke bawah dengan percepatan g = 9,8 m/s2 (Gambar 3.3a). Kemudian diandaikan roket tersebut berada di ruang angkasa dengan medan gravitasi amat kecil sehingga dapat diabaikan. Mesin peluncur kemudian dinyalakan sehingga memberikan percepatan yang dikendalikan tepat sebesar g = 9,8 m/s2. Sekali lagi benda tersebut dilepaskan. Maka benda tersebut akan meluncur ke bawah dengan percepatan a = 9,8 m/s2 (Gambar 3.3b). Kedua percobaan yang bersifat angan-angan tersebut memberikan hasil sama. Einstein menggunakan hasil percobaan angan-angan itu untuk mengemukakan asas kesetaraan yang berbunyi, “Tidak ada percobaan yang dapat dilakukan dalam daerah kecil (lokal) yang dapat membedakan medan gravitasi dengan sistem dipercepat yang setara”. Pernyataan daerah kecil ini perlu disebutkan karena alasan berikut. Seandainya kita melepaskan dua benda yang terpisah sejauh jarak kecil r, maka di dekat permukaan bumi setiap benda bergerak sepanjang lintasan jari-jari menuju pusat bumi sehingga kedua benda tersebut makin lama makin dekat. Namun jika lebar roket cukup kecil, perbedaannya tidak akan teramati. Hal ini persis seperti percobaan di dalam roket yang meluncur di ruang angkasa yang dilepaskan dengan percepatan tertentu (Krane, 1992). __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 75 Gambar 3.3. (a) Roket berada di permukaan bumi dengan percepatan gravitasi 9,8 m/s2 (b) Roket bergerak dipercepat ke atas sebesar 9,9 m/s2 di ruang angkasa dengan medan gravitasi yang dapat diabaikan Salah satu implikasi asas kesetaraan adalah kesamaan massa inersia dan massa gravitasi (Wospakrik, 1987). Sifat ini memungkinkan kita untuk menghilangkan efek gravitasi yang muncul dengan menggunakan kerangka acuan dipercepat yang sesuai. Sebenarnya hal ini sebagai konsekuensi dari medan gravitasi yaitu semua benda yang berada di dalamnya akan merasakan percepatan yang sama serta tidak bergantung dari ukuran maupun massanya. Misalnya sebuah benda yang bermassa m jatuh di dalam medan gravitasi dengan percepatan gravitasi sebesar g. Dengan memilih koordinat (y, t), menurut mekanika Newton, persamaan gerak benda tersebut adalah mI d2y = mG g . dt 2 (3.68) Melalui persamaan transformasi : y ' = y − 12 gt 2 dan t ' = t (3.69) pada koordinat ( y ' , t ' ) maka pers. (3.68) menjadi __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 76 mI d 2 y' + m I g = mG g dt ' 2 (3.70) Karena massa inersial m I sama dengan massa gravitasi mG maka d 2 y' m 2 =0 dt ' (3.71) Dengan demikian kita dapat memilih kerangka acuan inersial ( y ' , t ' ) untuk menghilangkan efek gravitasi pada kerangka (y, t). Atau dengan kata lain, kerangka (y, t) adalah kerangka dipercepat dengan percepatan sebesar g terhadap kerangka inersial ( y ' , t ' ) pada daerah tanpa medan gravitasi. Contoh penerapan persamaan di atas adalah bahwa sebuah sistem pengamatan jatuh bebas dalam medan gravitasi bumi seperti misalnya sebuah elevator yang kabel gantungnya putus adalah kerangka inersial lokal. Seorang pengamat dalam elevator tersebut dapat melepaskan sebuah benda dari keadaan rehat (dalam kerangka pengamat) dan akan mendapati bahwa benda tersebut tetap rehat. Kesimpulannya adalah hukum gerak pada kerangka inersial dalam daerah tanpa medan gravitasi sama dengan hukum gerak pada kerangka jatuh bebas di dalam medan gravitasi. Sebenarnya medan gravitasi nyata tidaklah sepenuhnya sama dengan medan gravitasi yang setara dengan kerangka dipercepat. Pada tempat yang jauh dari sumber, medan gravitasi nyata selalu lenyap, sementara medan gravitasi yang setara dengan suatu kerangka dipercepat selalu memiliki nilai tertentu. Sebaliknya medan gravitasi yang setara dengan kerangka dipercepat akan segera lenyap begitu percepatan kerangka dilenyapkan. Sedangkan medan gravitasi nyata tidak dapat dihilangkan oleh pemilihan kerangka acuan manapun. Berkait dengan elevator yang jatuh bebas tersebut sebenarnya terdaat takhingga banyakbya kerangka acuan inersial. Kemudian kita dapat menggunakan transformasi Lorentz untuk mengaitkan kerangka-kerangka inersial tersebut. Dengan kata lain, hukum alam yang berlaku pada kerangka inersial menurut asas kovariansi TRK, harus pula berlaku pada kerangka tak-inersial (seperti kerangka jatuh bebas dalam medan gravitasi). Inilah yang dimaksud dengan asas kovariansi umum yang berbunyi, “Hukum alam harus memiliki bentuk yang tetap terhadap sebarang pemilihan transformasi koordinat”. __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 77 Implikasi penerapan asas ini akan menuntun kita kepada beberapa ramalan yang mengbah cara pandang kita tentang ruang-waktu (Krane, 1992). Andaikata seberkas cahaya ditembakkan menembus roket dari sebuah sumber yang rehat dalam ruang dengan medan gravitasi yang dapat diabaikan (Gambar 3.4a). Jika roket dalam keadaan rehat terhadap sumber, lintasan berkas cahaya dalam roket menurut pengamat di dalam roket akan berbentuk garis lurus. Kemudian roket tersebut bergerak dengan laju tetap terhadap sumber dengan arah tegak lurus pada arah rambat cahaya (Gambar 3.4b). Pengamat di dalam roket tersebut akan melihat lintasan cahaya di dalam roket berupa garis lurus miring yang membentuk sudut v/c (v << c) terhadap arah horisontal. Jika roket tersebut mengalami percepatan, maka v akan selalu berubah sehingga v/c juga selalu berubah (Gambar 3.4c). Pengamat dalam roket tersebut akan melihat berkas cahaya melintasi suatu lintasan lengkung. Jika asas kesetaraan benar, perilaku berkas cahaya dalam roket yang dipercepat haruslah sama seperti dalam medan gravitasi. Berarti, berkas cahaya harus pula menempuh lintasan lengkung dalam medan gravitasi. Gambar 3.4 (a) Roket dalam keadaan rehat terhadap sumber cahaya (b) Roket bergerak dengan laju v konstan (c) Roket bergerak dipercepat dengan percepatan a konstan Berkas cahaya memiliki tempat khusus dalam pemahaman kita tentang ruang-waktu karena cahaya harus melintasi lintasan terpendek dan selangsung mungkin antara dua titik dalam ruang. Jika tidak demikian, ada kemungkinan __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 78 terdapat benda lain yang menempuh kedua titik tadi dalam selang waktu yang lebih singkat, yang dengan demikian lebih cepat dari cahaya, dan hal ini bertentangan dengan relativitas khusus. Jika berkas cahaya menempuh lintasan lengkung sebagai lintasan terpendek antara dua titik dalam ruang, maka ruang itu tentulah lengkung, serta penyebab kelengkungannya adalah medan gravitasi. Karena medan gravitasi ditimbulkan oleh materi, diperoleh kesimpulan bahwa kelengkungan ruang-waktu terjadi karena adanya penyebaran materi di dalam ruang-waktu tersebut. Jika materi tersebut dilenyapkan, ruang-waktu menjadi datar. Lintasan terpendek yang menghubungkan dua buah titik dalam geometri lengkung disebut geodesik. Dalam ruang datar, lintasan geodesiknya adalh garis lurus, sedangkan pada permukaan bola, lintasannya berupa busur lingkaran besar. Penegertian tersebut akan lebih mudah dipahami dengan contoh berikut. Sebuah batu di atas bumi akan jatuh karena adanya tarikan gravitasi. Menurut Newton, batu tersebut akan bergerak menuju pusat bumi. Tetapi, apakah benda tersebut mengetahui letak pusat bumi ? Ini merupakan masalah mendasar dari gerakan benda oleh pengaruh gravitasi. Apa yang diterangkan menurut teori Newton bersifat spekulatif, batu tersebut dianggap mengetahui kemana arah yang hendak dituju. Sementara menurut Einstein, batu tersebut sama sekali tidak mengetahui dimana pusat bumi, namun ia hanya mengikuti garis kelengkungan setempat dari ruang-waktu. Garis itu ada dimana-mana seperti halnya garis gaya medan listrik yang ditimbulkan oleh muatan listrik (Krane, 1992). Dengan konsep yang baru, teori relativitas umum benar-benar memberikan pandangan yang baru sama sekali mengenai ruang−waktu. Konsep bahwa ruangwaktu dapat melengkung jika di dalamnya terdapat materi massif memberikan beberapa implikasi baru. Diantaranya, jika cahaya bintang melewati sebuah benda langit massif seperti matahari, maka ramalan teori relativitas umum adalah cahaya bintang tersebut akan dibelokkan di sekitar matahari tersebut. Membeloknya cahaya bintang tersebut bukan disebabkan oleh tertariknya cahaya bintang karena pengaruh gaya gravitasi bumi, melainkan ruang-waktu di sekitar matahari tersebut __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 79 melengkung. Jika bukan konsep teori relativitas umum yang digunakan, tetapi konsep teori relativitas khusus dan gravitasi Newton, yang dalam hal ini cahaya bintang dianggap memiliki massa yang sebanding dengan energinya, memang penghitungan menunjukkan adanya pembelokan, namun sayangnya nilai ramalannya hanya setengah dari ramalan teori relativitas umum. Pengamatan astronomi menunjukkan bahwa ternyata ramalan teori relativitas umumlah yang lebih sesuai. Ramalan teori relativitas umum yang lain, bahwa orbit planet mengelilingi matahari mengalami presesi. Lagi-lagi ramalan tersebut dibuktikan oleh pengamatan. Selain itu teori relativitas umum juga menyajikan gagasan adanya gelombang gravitasi (gravitational waves) yang muncul akibat terjadinya pergerakan materi massif di dalam ruang-waktu. Cukup banyak orang yang mencoba mengamati adanya gelombang gravitasi di jagad raya ini. Salah satu implikasi yang cukup spektakuler adalah munculnya gagasan lubang hitam (black hole) yang dibatasi oleh event horizon dimana segala peristiwa yang terjadi di dalam event horizon tidak dapat diamati dari luar. Lubang hitam adalah sebuah konsep matematik yang muncul dari solusi persamaan gravitasi Einstein dengan memiliki sifat-sifat fisis tertentu. Karena itulah orang berupaya untuk mencari, adakah lubang hitam di jagad raya ini. Perkembangan lebih lanjut mengenai telaah lubang hitam diantaranya adalah kajian tentang lubang putih (white hole). White hole adalah solusi lain dari persamaan gravitasi Einstein, dimana sifat-sifatnya berlawanan dengan sifat-sifat lubang hitam. Kalau pada lubang hitam, mater-materi di sekitarnya akan ditarik masuk ke dalam, maka pada konsep lubang putih, materi-materi akan dilontarkan keluar. Orang kemudian menciptakan gagasan bahwa lubang hitam dan lubang putih disatukan melalui suatu kerongkongan (throat). Materi yang diserap oleh lubang hitam akan dikeluarkan melalui lubang putih. Gabungan lubang hitam dengan lubang putih tersebut dikenal dengan nama lubang ulat (worm hole). Implikasi selanjutnya menghasilkan gagasan tentang time machine dan time travel yang dilakukan dengan wahana lubang ulat. __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 80 Implikasi teori relativitas umum yang lain adalah mengenai jagad raya. Solusi persamaan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya memberikan hasil-hasil yang sama sekali tak terduga dari pandangan orang sebelumnya. Diantaranya ternyata jagad raya bersifat dinamik, ia mengalami pengembangan (dan mungkin saja mengalami pengerutan). Jika jagad raya mengalami pengembangan / ekspansi, tentunya pada masa lalu ia berukuran lebih kecil dari sebelumnya. Jikaterus ditarik ke belakang, ada saat dimana jagad raya berukuran sangat kecil, bersuhu amat tinggi dengan rapat energi amat tinggi. Analisis ini jika digabungkan dengan faktafakta dalam fisika partikel tentulah amat menantang. Menarik untuk dikaji, bagaimana jagad raya pada masa lalu sebagai media untuk melakukan penciptaan dan pemusnahan partikel yang biasanya dikaji dalam fisika partikel. Hal menarik lain adalah bagaimana masa depan jagad raya di masa depan. 3.9 Hukum Gravitasi Einstein Sebuah kenyataan yang mencolok : hukum Gravitasi Newton memiliki bentuk yang mirip dengan hukum Coulomb dalam listrik. Dalam hukum Coulomb, terdapat persamaan potensial listrik ∇ 2φ = −4πkρ (r ) (3.72) dengan φ adalah skalar potensial listrik, k adalah tetapan dan ρ (r ) adalah rapat muatan sumber. Analog dengan persamaan di atas, persamaan potensial medan gravitasi Newton berbentuk ∇ 2φ = 4πGρ (r ) (3.73) dengan G adalah tetapan gravitasi universal dan ρ (r ) adalah rapat massa sumber medan gravitasi. Kedua persamaan di atas termasuk jenis persamaan Poisson. Dengan digunakannya geometri Riemman, pers. (3.73) harus diubah dan diperluas. Potensial gravitasi diperluas menjadi kelengkungan ruang-waktu yang tertuang dalam tensor Einstein, yaitu Gµν = Rµν − 12 g µν R . (3.74) Jika tetapan kosmologi Λ ingin diikutsertakan, persamaan tensor Einstein menjadi Gµν = Rµν − 12 g µν R − Λg µν . (3.75) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 81 Adapun rapat massa yang menimbulkan potensial medan gravitasi diperluas menjadi tensor energi−momentum Tµν dengan rapat massa−energi termasuk salah satu komponen di dalamnya. Melihat bentuk pers. (3.73) yang menyatakan bahwa potensial medan gravitasi sebanding dengan rapat massa sumber medan, maka dapat dilakukan perluasan bahwa kelengkungan ruang−waktu sebanding pula dengan tensor energi−momentum yang dirumuskan sebagai Rµν − 12 g µν R = −κTµν . (3.76) Persamaan di atas menampilkan hukum gravitasi Einstein dengan κ berupa suatu tetapan positif yang ada hubungannya dengan G. Dua bentuk variasi persamaan tersebut adalah Rνµ − 12 δνµ R = −κTνµ (3.77) R µν − 12 g µν R = −κT µν . (3.78) dan Secara berturut-turut, kedua persamaan terakhir di atas disajikan dalam bentuk persamaan tensor campuran dan kontravarian. Jika dilakukan kontraksi terhadap pers. (3.77), diperoleh R = κT (3.79) sehingga hukum gravitasi Einstein dapat dibawa ke bentuk Rµν = κ ( 12 g µν T − Tµν ) . (3.80) Jika tetapan kosmologi diikutsertakan, bentuk persamaan gravitasi Einstein yang termodifikasi adalah Rµν − 12 g µν R − Λg µν = −κTµν . (3.81) Salah satu keunggulan teori relativitas umum adalah teori yang kovarian ini akan tereduksi menjadi hukum gravitasi Newton pada medan gravitasi lemah. Sifat ini dikenal sebagai asas korespondensi. Dalam ruang-waktu yang berisi medan gravitasi, geometri yang digunakan adalah geometri Riemann, sedangkan dalam ruang-waktu tanpa medan gravitasi, geometri yang digunakan adalah geometri __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 82 Euclid. Pada ruang Euclid, metrik ruang-waktu diberikan oleh metrik Minkowski yang dirumuskan sebagai ds 2 = η µν dx µ dxν = −dt 2 + dx 2 + dy 2 + dz 2 . (3.82) Karena itu dalam medan gravitasi lemah, metrik ruang-waktu yang digunakan tidak berbeda jauh dari metrik di atas. Tensor metrik g µν dalam medan gravitasi lemah dapat didekati dengan bentuk g µν = η µν + hµν (3.83) dengan η µν adalah tensor metrik Minkowski dan hµν kecil ( << 1). Ditinjau sebuah partikel yang bergerak dalam medan gravitasi lemah, dengan tensor metrik diberikan oleh persamaan di atas. Partikel tersebut dalam ruangwaktu menempuh lintasan yang dinamakan sebagai lintasan geodesik. Persamaan geodesik lintasan tersebut dirumuskan sebagai α β d 2 xµ µ dx dx + Γ = 0. αβ ds ds ds 2 (3.84) Melalui kaitan ds 2 = −dτ 2 (3.85) persamaan di atas menjadi α β d 2xµ µ dx dx + Γ =0 αβ dτ dτ dτ 2 (3.86) Dengan mengisikan α = β = 0 diperoleh d 2xµ µ dt + Γ00 = 0. 2 dτ dτ 2 (3.87) Karena medan tersebut bersifat stasioner, seluruh turunan g µν terhadap lenyap, sehingga µ Γ00 = − 12 g µν ∂ν h00 . (3.88) Dengan demikian persamaan (3.87) di atas dapat dipecahkan menjadi dua persamaan berikut : 2 d 2 x 1 dt = ∇h00 dτ 2 2 dτ (3.89) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 83 dan d 2t = 0. dτ 2 (3.90) Pers. (3.90) menyatakan bahwa dt / dτ bernilai konstan. Dengan membagi kedua ruas pers. (3.89) dengan ( dt / dτ ) 2 , diperoleh percepatan gerak benda d 2x 1 = ∇h00 . dt 2 2 (3.91) Di sisi lain, jika φ adalah potensial gravitasi Newton pada jarak r dari titik massa M yang besarnya φ =− GM r (3.92) maka percepatan benda itu sama dengan − ∇φ . Dihubungkan dengan pers. (3.91), diperoleh hasil h00 = − 2φ + tetapan. (3.93) Pada tempat yang jauh dari sumber medan gravitasi, sistem koordinatnya menjadi sistem koordinat Minkowski, sehingga h00 lenyap. Demikian pula dengan φ sebagaimana pers. (3.92) sehingga tetapan di atas bernilai nol. Akhirnya diperoleh g 00 = −(1 + 2φ ) (3.94) sedangkan pasangan kontravariannya adalah g 00 = −(1 + 2φ ) −1 . (3.95) Selanjutnya hukum gravitasi Einstein akan direduksi ke hukum gravitasi Newton pada kasus normal dimana intensitas medan gravitasi bernilai lemah dan distribusi materi bersifat statik. Pereduksian ini akan menghasilkan hubungan antara κ (gravitasi Einstein) dan G (gravitasi Newton). Ditinjau bentuk tensor Riemann-Christoffel dalam medan lemah. Tensor metrik diberikan oleh pers. (3.83). Nilai lambang Christoffel jenis kedua adalah ∂g βµ ∂gνβ ∂g µν α Γµν = 12 g αβ ν + µ − β ∂x ∂x ∂x 1 αβ ∂hβµ ∂hνβ ∂hµν = 2 η ν + µ − β ∂x ∂x ∂x . (3.96) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 84 Jika nilai perkalian hµν diabaikan, nilai tensor Ricci untuk µ = µ = 0 bernilai ν R00 = ∂ 0 Γ0νν − ∂ν Γ00 ∂hβ 0 ∂hνβ ∂h = ∂ 0 12 ηνβ ν + 0 − 0βν ∂x ∂x ∂x ∂h ∂h ∂h − ∂ν 12 ηνβ β00 + 00β − 00 ∂x ∂x β ∂x ( ) = 12 ηνβ ∂ 0 ∂ 0 hνβ + ∂ν ∂ β h00 − ∂ 0 ∂ β h0ν − ∂ 0 ∂ν h0 β . (3.97) Jika distribusi materi bersifat statis maka hµν bukan fungsi t atau ∂ 0 hµν = 0 (3.98) sehingga pers. (3.97) menjadi R00 = 12 ηνβ ∂ν ∂ β h00 = 1 2 (η ) ∂1∂1 + η 22∂ 2 ∂ 2 + η 33∂ 3∂ 3 h00 = 11 1 2 ∇ 2 h00 (3.99) dengan ∇2 = ∂2 ∂2 ∂2 + + . ∂x 2 ∂y 2 ∂z 2 (3.100) Dengan menggunakan pers. (3.73) dan (3.93), pers. (3.99) menjadi R00 = −∇ 2φ = −4πGρ . (3.101) Tensor energi-momentum fluida sempurna dirumuskan sebagai Tµν = ( ρ + p )VµVν + g µν p (3.102) Karena distribusi materi bersifat statik (dapat dianggap sebagai kumpulan debu / dust ) materi tersebut tidak memiliki tekanan internal p sehingga pers. (3.102) tereduksi ke bentuk Tµν = ρVµVν . (3.103) Selain itu vektor kecepatan−4 adalah Vµ = (−1,0) (3.104) sehingga seluruh komponen Tµν lenyap kecuali T00 = ρ . Skalar T dapat dihitung dengan perkalian dalam antara tensor metrik kontravarian dengan tensor energimomentum kovarian untuk dust sebagai T = g µν Tµν = g 00T00 = − ρ 1 + 2φ . (3.105) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 85 Dengan menggunakan pers. (3.80), nilai R00 adalah ρ R00 = κ (12 g 00T − T00 ) = κ 12 . − (1 + 2φ ). − 1 + 2φ − ρ = − 12 κρ (3.106) Dihubungkan dengan pers. (3.101), akhirnya diperoleh κ = 8πG (3.107) sehingga persamaan gravitasi Einstein (3.76) menjadi Rµν − 12 g µν R = −8πGTµν (3.108) Adapun persamaan gravitasi Einstein dengan hadirnya tetapan kosmologi dirumuskan sebagai Rµν − 12 g µν R − g µν Λ = −8πGTµν . (3.109) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 86 Soal-Soal Latihan BAB III 1. Uraikan perbandingan antara Teori Relativitas Khusus dan Umum Einstein. 2. Dalam kerangka K berdimensi dua dengan koordinat x1 = x dan x 2 = y , sebuah tensor T αβ memiliki komponen T 11 = −T 22 = 1 dan T 12 = T 21 = 0 . ~ Jika pada kerangka K yang berkoordinat ~ x1 = ~ x = x + y dan ~ x 2 = ~y = x − y , ~ tensor tersebut adalah T µν maka (a) ~ Tuliskan kaedah transformasi antara T αβ dan T µν . (b) ~ Carilah seluruh nilai komponen T µν . (c) Jika metrik di K adalah ds 2 = dx 2 − dy 2 , tuliskan tensor metrik di K, kemudian carilah seluruh komponen Tαβ . (d) 3. ~ carilah metrik dan tensor metrik di K , tuliskan kaedah transformasi ~ ~ antara Tαβ dengan Tµν , serta tentukan seluruh komponen Tµν . Metrik permukaan bola dua dimensi berjari-jari 1 dengan koordinat x µ = (θ , φ ) dirumuskan sebagai ds 2 = dθ 2 + sin 2 dφ 2 . Tunjukkan bahwa R12 = R21 = 0 . Gunakan persamaan geodesik untuk menentukan lintasan terpendek antara titik (θ 1 , φ1 ) dan (θ 2 , φ 2 ) . 4. Metrik ruang-waktu dalam suatu daerah ruang kosong tertentu diberikan oleh __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 87 ds 2 = eα (dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − e β dt 2 dengan α , β adalah hanya fungsi z . Tunjukkan bahwa persamaan gravitasi Einstein memberikan 2α ' '+α ' 2 +α ' β ' = 0 , 4α ' '+2 β ' '+ β ' 2 −α ' β ' = 0 , 2 β ' '+ β ' 2 +α ' β ' = 0 . Tanda ‘ menunjukkan turunan ke z. Tunjukkan bahwa eα = A(k − z ) 4 dan e β = B(k − z ) −2 dengan A, B dan k tetapan. 5. Tunjukkan bahwa persamaan Einstein dapat dituliskan dalam bentuk R µν + Λg µν = κ ( 12 Tg µν − T µν ) . 6. Di dalam suatu bola cairan homogen bergravitasi statik, rapat massa pribadi adalah ρ (tetapan) dan tekanan p. Komponen tensor energi−momentum lenyap kecuali untuk T11 = T22 = T33 = p , T44 = − ρ c 2 . Diasumsikan bahwa metrik medan gravitasi di dalam bola tersebut diberikan oleh persamaan ds 2 = a dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − b c 2 dt 2 dengan a = exp α dan b = exp β . Tunjukkan bahwa solusi persamaan Einstein memberikan d [r (1 − exp(−α ))] = κ c 2 ρ r 2 , dr __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 88 dβ exp α − 1 = + κrp exp α , dr r d 2β dr 2 + 2 1 dβ 1 dα dβ 2 dα − = κ ( p − c 2 ρ ) exp α . − 2 dr 2 dr dr r dr Asumsikan α = 0 untuk r = 0 dan p = 0 untuk r = a (permukaan bola), kemudian tunjukkan bahwa exp(−α ) = 1 − q r 2 dengan q = κ c2 ρ / 3 dan p=c ρ 2 7. 1 − qr 2 − 1 − qa 2 3 1 − qa 2 − 1 − qr 2 . Sebuah atom yang stasioner pada suatu jarak koordinat Schwarzschild r dari pusat ), memancarkan cahaya berfrekuensi ν yang diamati oleh seorang pengamat stasioner pada koordinat R (> r) dari pusat O. Tunjukkan bahwa frekuensi yang diamati adalah ν − δν dengan 1 r δν / ν = m − 1 R sampai dengan orde pertama dalam m. 8. Diketahui Aij adalah suatu tensor kovarian. Jika Bij = A ji , tunjukkan bahwa Bij juga suatu tensor kovarian. 9. Di kerangka K dengan koordinat x µ = ( s, t ) terdapat suatu vektor A µ dengan komponen A1 = 1 dan A 2 = 2. __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 89 Terdapat kerangka K’ dengan koordinat x' µ = (u , v) dimana hubungan antara koordinat-koordinat tersebut adalah u = s + t dan v = s − t . Jika di K’ terdapat vektor A' µ , carilah komponen vektor tersebut. 10. Jika Ai adalah sebuah vektor kovarian, tunjukkan bahwa Bij = ∂Ai / ∂x j − ∂A j / ∂x i tertansformasi seperti sebuah tensor kovarian. 11. Dengan mendiferensialkan persamaan g ij g jk = δ ki terhadap x i , tunjukkan bahwa berlaku hubungan ∂g im ∂x l = − g mk g ij ∂g jk ∂x l , serta tunjukkan pula berlakunya ∂g im m i + g ij + g mj = 0 . ∂x l j l j l 12. Jika θ dan φ adalah sudut azimut dan sudut polar pada permukaan lingkaran dengan jari-jari 1, diperoleh metrik ds 2 = dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 untuk permukaan tersebut. Tunjukkan bahwa lambang Christoffel yang tak lenyap adalah θ = − sin θ cos θ φ φ dan φ φ = = cot θ . θ φ φ θ __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 90 Tunjukkan bahwa komponen tensor Ricci diberikan oleh Rθφ = Rφθ = 0 , Rθθ = −1 , Rφφ = − sin 2 θ . Tunjukkan pula bahwa skalar kelengkungan diberikan oleh R = −2. 13. ( x, y ) adalah koordinat Kartesan dan (r , θ ) adalah koordinat polar pada sebuah bidang Euclidean. Aij adalah sebuah medan tensor simetrik yang didefinisikan di dalam bidang tersebut melalui komponen-komponennya yaitu Axx = A yy = 0 , Axy = A yx = x / y + y / x . Tunjukkan bahwa komponen kutub kontravarian dari medan tensor tersebut dinyatakan dalam variabel r dan θ adalah A rr = 2 , A rθ = Aθ r = (2 cot 2θ ) / r , Aθθ = −2 / r 2 . 14. x, y, z adalah koordinat Kartesan datar dalam ruang tiga dimensi. Persamaan parametrik untuk parabolida hiperbolik diberikan dalam bentuk x = u + v , y=u −v, z = uv . Sebuah medan tensor kovarian pada permukaan parabolida hiperbolik tersebut memiliki komponen Auu = u 2 , Auv = Avu = −uv , Avv = v 2 . Tunjukkan bahwa komponen kontravarian medan tensor tersebut bernilai seperempat dari komponen kovarian masing-masing. 15. x, y adalah koordinat Kartesan datar pada bidang Euclidean. u , v adalah koordinat kurvilinear yang didefinisikan oleh x = a cosh u cos v , y = a sinh u sin v . Sebuah vektor kovarian memiliki komponen Ax , A y pada titik ( x, y ) dan komponen kurvilinear Au , Av . Tunjukkan bahwa Ax = 2( Au sinh u cos v − Av cosh u sin v) . a(cosh 2u − cos 2v) __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 91 16. x, y adalah koordinat Kartesan datar pada bidang Euclidean. Koordinat kuvilinear u, v didefinisikan melalui persamaan transformasi u = 12 ( x 2 − y 2 ) , v = xy . Tunjukkan bahwa metrik dalam kerangka uv adalah ds 2 = du 2 + dv 2 2 u +v 2 . 2 Sebuah vektor kovarian memiliki komponen Kartesan ( Ax , A y ) dan komponen kurvilinear ( Au , Av ) . Tunjukkan bahwa Au = xAx − yA y x2 + y2 serta carilah perumusan untuk Av . 17. Pada permukaan bola beruji satu dengan θ dan φ adalah koordinat azimut dan kutub, tunjukkan bahwa geodesik permukaan bola memiliki bentuk tan θ = tan α sin(φ + β ) dengan α , β adalah tetapan sembarang. 18. Diberikan ruang-waktu yang memiliki metrik ds 2 = dx 2 + dy 2 + e 2θ dz 2 − e 2φ dt 2 dengan θ , φ adalah fungsi z saja. Tunjukkan bahwa tensor RiemannChristoffel lenyap, jika dan hanya jika d 2φ dz 2 − 2 dφ dθ dφ + = 0. dz dz dz Jika φ = −θ , tunjukkan bahwa ruang−waktu tersebut bersifat datar jika φ = 12 ln(a + bz ) , dengan a dan b tetapan. __________________________________________________________________ Analisis Tensor dan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 92 19. Jika ruang−waktu memiliki metrik ds 2 = e λ (dr 2 + dz 2 ) + r 2 e − ρ dφ 2 − e ρ dt 2 dengan λ , ρ adalah fungsi r dan z saja, tunjukkan bahwa persamaan medan gravitasi Einstein dalam ruang kosong Rij = 0 mempersyaratkan bahwa λ dan ρ memenuhi persamaan 2 2 ∂λ ∂ρ r ∂ρ ∂ρ + = − , ∂r ∂r 2 ∂r ∂z ∂ρ ∂ρ ∂λ ∂ρ + =r , ∂r ∂z ∂z ∂z ∂2ρ ∂r ∂ 2λ ∂r 2 20. + ∂ 2λ ∂z 2 + 2 ∂2ρ ∂r 2 + + ∂2ρ ∂z 2 ∂2ρ ∂z 2 + 1 ∂ρ = 0, r ∂r + 1 ∂ρ ∂ρ + 2 ∂r ∂z 2 2 = 0. Suatu ruang dua dimensi memiliki metrik ds 2 = g11 (dx1 ) 2 + g 22 (dx 2 ) 2 dengan g11 dan g 22 merupakan fungsi x1 dan x 2 . Carilah nilai R11 , R12 , R21 , R22 . Jika R = g ij Rij , tunjukkan bahwa Rij = 12 Rg ij . __________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 93 BAB IV PENERAPAN TEORI RELATIVITAS UMUM Telah diturunkan persamaan gravitasi Einstein dengan pengabaian tetapan kosmologi yang dirumuskan sebagai Rµν − 12 g µν R = −(8πG / c 4 ) Tµν (4.1) Selanjutnya persamaan tersebut akan diterapkan untuk menelaah beberapa gejala alam. Pertama kali akan diturunkan solusi persamaan gravitasi Einstein untuk objek statik bermassa M yang diletakkan pada pusat koordinat dengan pemilihan koordinat empat dimensi berupa 3 dimensi koordinat ruang polar (r ,θ ,φ ) dan satu dimensi koordinat waktu (t). yang nantinya dikenal solusi Schwarzschild. 4.1 Penyelesaian Schwarzschild Berikut ini akan diturunkan metrik yang mendeskripsikan medan gravitasi isotropik statik. Agar lebih mudah diperoleh, metrik ruang−waktu 4 dimensi (3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu) akan dirumuskan dalam wakilan koordinat bola. Dalam koordinat bola, 3 koordinatnya adalah x m = ( x1 , x 2 , x 3 ) = (r ,θ ,φ ) . (4.2) Metrik ruang−waktu datar dalam wakilan koordinat bola diberikan oleh ds 2 = −c 2 dt 2 + dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . (4.3) Mengikuti penulisan Weinberg (1972), nilai c sementara diisikan sama dengan 1 sehingga metrik di atas menjadi ds 2 = − dt 2 + dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) (4.4) Selanjutnya akan ditinjau metrik untuk medan gravitasi isotropik statik. Tensor metrik untuk medan tersebut, yang dalam hal ini untuk komponen g tt dan g rr hanya merupakan fungsi radial r. Bentuk metriknya menjadi ds 2 = − B (r ) dt 2 + A(r ) dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) (4.5) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 94 dimana metrik di atas akan kembali ke metrik Minkowski jika sumber medan gravitasi dilenyapkan. Dari metrik di atas, komponen tensor metrik kovarian yang tak lenyap adalah g tt = − B(r ) , g rr = A(r ), gθθ = r 2 , gφφ = r 2 sin 2 θ (4.6) dengan fungsi A(r ) dan B (r ) ingin dicari untuk dapat menyelesaikan persamaan medan gravitasi. Mengingat g µν bersifat diagonal, komponen tensor metrik kontravarian bernilai g tt = − 1 1 1 1 , g rr = , g θθ = 2 , g φφ = 2 2 . B(r ) A(r ) r r sin θ (4.7) Selanjutnya determinan matriks yang menyajikan komponen tensor metrik adalah g yang bernilai g = − A(r ) B (r )r 4 sin 2 θ (4.8) sehingga elemen volume invarian adalah dV = g dr dθ dφ = A(r ) B(r ) r 2 sin θ dr dθ dφ . (4.9) Hubungan affine (affine connection) atau lambang Christoffel dapat dihitung dengan menggunakan formula ∂g ρµ ∂gνρ ∂g µν λ Γµν = 12 g λρ ν + µ − ρ ∂x ∂x ∂x . (4.10) Dengan rumus di atas dan metrik yang diberikan oleh pers. (4.6) dan (4.7), komponen-komponen lambang Christoffel yang tak lenyap bernilai Γrrr = 1 dA(r ) , 2 A(r ) dr r Γθθ =− r , A(r ) r sin 2 θ Γφφ = − , A(r ) r Γttr = 1 dB (r ) , 2 A(r ) dr 1 Γrθθ = Γθθ r = Γφφ r = Γrφφ = , r (4.11) (4.12) (4.13) (4.14) (4.15) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 95 θ Γφφ = − sin θ cos θ , (4.16) φ φ Γφθ = Γθφ = cot θ , (4.17) dan Γtrt = Γrtt = 1 dB(r ) . 2 B(r ) dr (4.18) Lebih lanjut, dibutuhkan besaran tensor Ricci yang dirumuskan sebagai Rµκ = λ ∂Γµλ ∂xκ − λ ∂Γµκ ∂x λ η λ η η + Γµλ Γκη − Γµκ Γλη . (4.19) Dari lambang-lambang Christoffel di atas, komponen-komponen tensor Ricci diberikan sebagai Rrr = B' ' (r ) 1 B' (r ) A' (r ) B' (r ) 1 A' (r ) − − + , 2 B(r ) 4 B(r ) A(r ) B (r ) r A(r ) (4.20) 1 r A' (r ) B' (r ) 1 − + + , 2 A(r ) A(r ) B(r ) A(r ) (4.21) Rθθ = −1 + Rφφ = Rθθ sin 2 θ , Rtt = − B' ' (r ) 1 B' (r ) A' (r ) B' (r ) 1 B' (r ) − + + , 2 A(r ) 4 A(r ) A(r ) B(r ) r A(r ) (4.22) (4.23) dan Rµν = 0 untuk µ ≠ ν. (4.24) Pada persamaan –persamaan di atas, tanda aksen berarti turunan / derivatif ke r. Dari hasil di atas, komponen Rrθ , Rrφ , Rtθ , Rtφ dan Rθφ lenyap, serta Rφφ = Rθθ sin 2 θ yang menunjukkan konsekuensi dari invariansi terhadap transformasi rotasi pada metrik tersebut. Sementara itu Rrt lenyap akibat konsekuensi adanya invariansi bentuk metrik ketika dilakukan transformasi pembalikan waktu t → −t . Selanjutnya persamaan medan gravitasi Einstein akan diterapkan untuk metrik isotropik statik tersebut. Persamaan medan gravitasi Einstein untuk ruang kosong tersebut berbentuk _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 96 Rµν = 0 . (4.25) Dari pers. (4.20) dan (4.23), hubungan antara Rrr dan Rtt dapat ditulis menjadi Rrr Rtt 1 A' B ' + = − + . A B rA A B (4.26) Dengan menerapkan pers. (4.25), persamaan di atas menjadi A' B' =− A B (4.27) A(r ) B (r ) = konstan. (4.28) atau Selanjutnya syarat batas untuk A dan B adalah bahwa untuk r → ∞ , bentuk metrik isotropik statik tersebut harus kembali ke bentuk metrik Minkowski dalam koordinat bola, yang berarti lim A(r ) = lim B (r ) = 1. r→∞ r→∞ (4.29) Dengan syarat batas ini hubungan antara A(r ) dan B (r ) dapat dituliskan secara lebih eksplisit dalam bentuk A(r ) = 1 . B(r ) (4.30) Adapun komponen tensor Ricci yang lain pada pers. (4.20) − (4.21) dapat dituliskan menjadi Rθθ = −1 + B ' (r )r + B (r ) (4.31) dan Rrr = B ' ' B ' Rθθ ' + = 2 B rB 2rB (4.32) yang dengan mengingat bahwa Rθθ = 0 maka rB ' + B = d (rB ) = 1 . dr (4.33) Solusi persamaan diferensial di atas adalah rB (r ) = r + tetapan. (4.34) Untuk menentukan nilai tetapan integrasi di atas, kita ingat bahwa untuk jarak yang cukup jauh dari pusat massa M yang terletak di pusat koordinat O, _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 97 komponen g tt = − B harus bernilai mendekati − (1 + 2 U ) dengan U adalah potensial Newtonian benda bermassa M pada jarak r yang bernilai U = −GM / r. Jadi nilai tetapan integrasi di atas adalah −2GM, sehingga 2GM B ( r ) = 1 − r (4.35) dan −1 2GM A(r ) = 1 − . r (4.36) Akhirnya bentuk metrik isotropik statik untuk ruang−waktu 4 dimensi berkoordinat bola adalah −1 2GM 2 2GM 2 2 2 2 2 ds = −1 − dt + 1 − dr + r (dθ + sin θ dφ ) . r r 2 (4.37) Bentuk metrik ini pertama kali diturunkan oleh K. Schwarzschild pada tahun 1916. Karena itu, metrik ini sering disebut metrik Schwarzschild. Bentuk metrik tersebut masih mengisikan nilai c = 1. Apabila nilai c diisikan, bentuk metrik Schwarzschild menjadi −1 2GM 2GM ds = −1 − 2 c 2 dt 2 + 1 − 2 dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . (4.38) c r c r 2 Bentuk 2GM / c 2 sering disingkat menjadi m (bersatuan panjang), sehingga metrik di atas menjadi −1 2m 2 2 2 m 2 2 2 2 2 ds = −1 − c dt + 1 − dr + r (dθ + sin θ dφ ) r r 2 (4.39) Metrik Schwarzschild ini bersifat simetri bola dan merepresentasikan medan gravitasi di luar suatu partikel bersimetri bola dengan pusat partikel terletak pada pusat koordinat bola (r ,θ ,φ ) . Dari pers. (4.39) tampak bahwa metrik tersebut tidak valid untuk r = 2m = 2GM c2 (4.40) Jarak tersebut dinamakan radius Schwarzschild. Dalam satuan SI, c = 3 × 108 dan untuk bumi, GM = 3,991 × 1014, sehingga radius Schwarzschild untuk partikel _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 98 bumi adalah sekitar 9 mm, karena itu tidak ada persoalan jika metrik ini diterapkan untuk bumi. Namun ada keadaan tertentu jika radius Schwarzschild cukup besar, untuk mana hal ini terjadi jika M bernilai cukup besar, sementara ruji partikel tersebut cukup kecil, hal mana yang dapat terjadi pada lubang hitam (black holes) . Penggambaran radius Schwarzschild dalam lubang hitam dapat dilihat pada Gambar 4.1. Gambar 4.1 lubang hitam Schwarzschild bermassa M beradius rS Metrik Schwarzschild dapat dinyatakan dalam bentuk “isotropik”, yaitu dengan mengenalkan variabel koordinat radial baru : ( ρ = 12 r − m + r 2 − 2mr ) (4.41) atau transformasi baliknya adalah 2 m . r = ρ 1 + 2ρ (4.42) Substitusi bentuk di atas ke dalam metrik Schwarzschild akan memberikan 2 4 ( ) m 1 − m / 2r 2 2 2 2 2 2 2 ds 2 = − c dt + 1 + dρ + ρ (dθ + sin φ dθ ) . 1 + m / 2r 2r (4.43) Dapat pula dibentuk koordinat harmonik X 1 = R sin θ cos φ (4.44) X 2 = R sin θ sin φ (4.45) X 3 = R cos θ (4.46) t=t (4.47) dan _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 99 dengan R =r −m (4.48) yang menghasilkan metrik ( ) 2 2 1− m / R 2 2 m 2 1+ m / R m 2 ds 2 = − c dt + 1 + d X + 4 X ⋅ dX R 1− m / R R 1+ m / R (4.49) dengan R 2 = X2 . (4.50) Metrik Schwarzschild dapat juga dinyatakan dalam bentuk koordinat kuasiMinkowski dengan mendefinisikan x1 = r sin θ cos φ (4.51) x 2 = r sin θ sin φ (4.52) x 3 = r cos θ (4.53) t (4.54) dan =t sehingga diperoleh −1 (x ⋅ dx ) 2 2 2m 2m 2 2 + + − − . ds 2 = −1 − c dt d x 1 1 2 r r r (4.55) Adapun jika dilakukan transformasi u =v+ 2 3/ 2 r 3a (4.56) dan r +a v = t + 2a r − a 2 ln r −a (4.57) dihasilkan metrik µ2 4 ds = − dv + du 2 + µ 2 (u − v) 4 / 3 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) 2/3 9 (u − v) 2 2 (4.58) dengan a 2 = 2m (4.59) dan _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 100 µ3 = 4.2 9a 2 . 4 (4.60) Presesi Orbit Planet Ditinjau partikel-partikel berupa planet-planet yang bergerak mengelilingi matahari. Di sini dipilih koordinat bola dengan matahari diletakkan pada pusat koordinat. Materi matahari tersebut menyebabkan ruang-waktu di sekitarnya menjadi ruang-waktu bermetrik Schwarzschild. Tentu saja massa planet yang mengelilingi matahari memberikan sumbangan perubahan metrik, namun mengingat massa total planet jauh lebih kecil daripada massa matahari, sumbangan tersebut dapat diabaikan. Dengan demikian sistem yang ditinjau adalah partikel planet bergerak mengelilingi matahari dengan menempuh lintasan geodesik. Metrik Schwarzschild dapat diubah bentuknya menjadi 2 2m 2 1 dr 2 2 2 2 dτ 2 = 1 − dt − + r ( d θ + sin θ d φ ) r c 2 1 − 2m / r (4.61) dengan koordinat-4 tetap berbentuk x µ = ( x 0 , x m ) = (ct , r ,θ ,φ ) . (4.62) Dengan menggunakan persamaan geodesik berikut (Lawden, 1982) d dτ dx β ∂g µν dx µ dxν 2 gαβ − α ∂x dτ dτ = 0 , d τ (4.63) diperoleh set persamaan geodesik sebagai berikut d dτ m mc 2 dt r dr dr dθ 2 dφ θ − − r sin + r + =0 r 2 dτ r − 2m dτ (r − 2m) 2 dτ dτ dτ 2 2 2 2 (4.64) d 2 dθ 2 dφ r − r sin θ cosθ = 0 dτ dτ dτ (4.65) d 2 2 dφ r sin θ =0 dτ dτ (4.66) 2 dan _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 101 d r − 2m dt =0. dτ r dτ (4.67) Bentuk metrik Schwarzschild (4.61) dapat dituliskan menjadi 2 2 2 2 r dr c 2 (r − 2m) dt 2 dθ 2 dφ 2 + r + sin − θ = −c . r − 2 m dτ r dτ dτ dτ (4.68) Selanjutnya dipilih koordinat bola sedemikian sehingga planet tersebut bergerak pada bidang planar atau θ =π /2. (4.69) dθ =0 dτ (4.70) Maka dan dari integrasi pers. (4.66) dan (4.67) serta mengisikan θ = π / 2 , diperoleh dφ h = 2 dτ r (4.71) dt kr = dτ r − 2 m (4.72) dan dengan h dan k adalah tetapan integrasi. Substitusi dθ / dτ dan dt / dτ dari dua persamaan terakhir di atas, serta mengisikan θ = π / 2 ke pers. (4.68), selanjutnya dihasilkan 2 2 2mc 2 dr h 2 2 . + 3 (r − 2m) = c (k − 1) + r r dτ (4.73) Selanjutnya dengan mengeliminasi dτ dari persamaan di atas dan pers. (4.71) didapat persamaan orbit planet dalam bentuk 2 h dr h 2 2mc 2 2mh 2 2 + 2 = c 2 (k 2 − 1) + + 3 r r r r dφ (4.74) Dengan substitusi 1 u= , r (4.75) bentuk di atas berubah menjadi _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 102 2 du c2 2mc 2 + u 2 = 2 (k 2 − 1) + 2 u + 2mu 3 . h h dφ (4.76) Dengan menurunkan persamaan terakhir di atas ke φ , akhirnya dihasilkan persamaan orbit planet mengelilingi matahari bermassa M dalam bentuk d 2u mc 2 + u = 2 + 3mu 2 . 2 dφ h (4.77) Sementara itu dalam mekanika klasik, persamaan orbit planet menurut mekanika Newton adalah d 2u GM +u = 2 2 dφ h (4.78) dengan M adalah massa matahari dan h adalah momentum sudut konstan persatuan massa partikel planet yang dirumuskan sebagai r2 dφ = h. dt (4.79) Jika variabel waktu t dalam mekanika klasik bersesuaian dengan swawaktu (proper time) τ dalam teori relativitas, pers. (4.71) dan (4.79) menjadi identik dan pemilihan nilai h yang terdapat dalam pers. (4.71) dapat diterima. Selanjutnya juga diperoleh m= GM c2 (4.80) hal mana yang juga telah diperoleh sebelumnya dari pers. (40). Pers. (4.77) yang diperoleh secara relativistik ternyata bersesuaian dengan hasil dari mekanika klasik [pers. (4.78)] dengan adanya suku tambahan sebesar 3mu 2 . Perbandingan antara suku tambahan ini yang sebesar 3mu 2 dengan bentuk awal dalam mekanika klasik yang sebesar mc 2 / h 2 adalah 3h 2 c 2 3 = 2 r 2φɺ 2 . 2 c c (4.81) Faktor rφɺ adalah komponen transversal kecepatan planet, dan untuk planet-planet yang terdapat dalam tata surya, nilai terbesar dimiliki oleh planet Merkurius, yaitu sebesar 4,8 × 10 4 m/s. Mengingat c = 3 × 108 m/s, nilai perbandingan di atas _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 103 untuk planet Merkurius adalah 7,7 ×10 −8 . Nilai ini sangat kecil, namun efek ini bersifat akumulatif sehingga untuk rentang waktu yang cukup panjang, perubahan nilai dapat diamati secara signifikan. Penyelesaian untuk persamaan klasik (4.78) adalah u= µ h2 {1 + e cos(φ − ω )} (4.82) dengan e = eksentrisitas orbit dan ω = longitude perihelion. Dari solusi klasik tersebut, suku tambahan relativistik bernilai 3mu 2 = 3mµ 2 {1 + e cos(φ − ω )}2 . 4 h (4.83) Pers. (4.77) dapat dituliskan menjadi µ 3mµ 2 d 2u + u = 2 + 4 {1 + e cos(φ − ω )}2 . 2 dφ h h (4.84) Dengan adanya suku tambahan yang telah diisikan di atas, diperoleh penyelesaian yaitu penyelesaian mula-mula yang berbentuk pers. (4.83) ditambah dengan penyelesaian khusus yang berbentuk [ ] 3mµ 2 1 + 12 e 2 − 16 e 2 cos 2(φ − ω ) + eφ sin(φ − ω ) . h4 (4.85) Dengan menjumlahkan penyelesaian di atas ke dalam penyelesaian pers. (4.82) akan diperoleh u= = µ 3mµe φ ω φ sin(φ − ω ) 1 + e cos( − ) + 2 2 h h µ h2 (4.86) [1 + e cos(φ − ω − δω )] dengan δω = 3mµφ h2 (4.87) untuk mana suku berorde O(δω 2 ) telah diabaikan. Persamaan di atas mengindikasikan bahwa longitude perihelion seharusnya secara ajeg meningkat dengan besarnya pertambahan sebesar _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 104 δω = 3mµ 3µ 2 3µ φ = φ= 2 φ 2 2 2 h c h c l (4.88) dengan l= h2 µ (4.89) adalah semi latus rectum orbit. Dengan mengambil satuan SI : µ = 1,33 × 10 20 untuk matahari, c = 3 × 108 dan l = 5,79 × 1010 untuk Merkurius, maka nilai prediksi presesi orbit perihelion planet Merkurius selama seratus tahun (satu abad) adalah 43′′ = 43 derajat . 3600 Prediksi ini ternyata bersesuaian dengan hasil eksperimen yang telah dilakukan oleh Clemence pada tahun 1943 (Weinberg, 1972). Clemence menemukan bahwa presesi planet Merkurius dalam jangka waktu 1 abad sebesar (43,11 ± 0,45)' ' . Ilustrasi presesi orbit planet yang bersifat kumulatif ini disajikan pada Gambar 4.2. Gambar 4.2 Presesi Orbit Planet Sebenarnya nilai presesi orbit planet Merkurius yang diamati dalam eksperimen jauh lebih besar itu. Nilai menurut eksperimen adalah ∆φ eksp = (5600,73 ± 0,41) ' ' (4.90) Sedangkan teori Newton memberikan presesi Merkurius sebesar ∆φ Newton = (5557,62 ± 0,20)' ' (4.91) yang mana angka menurut prediksi teori newton tersebut meliputi 5025' ' yang berasal dari rotasi bumi berdasarkan sistem kerangka koordinat astronomik, dan _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 105 sekitar 532' ' karena gangguan gravitasi yang dihitung oleh teori gangguan Newtonian dari gerakan planet lain, seperti Venus, bumi dan Jupiter. Selisih antara hasil eksperimen dengan prediksi Newtonian itulah yang murni akibat digunakannya relativitas umum. Adapun data perbandingan presesi beberapa planet antara prediksi relativitas umum dengan hasil eksperimen diberikan pada tabel di bawah ini (Weinberg, 1972) Tabel 4.1 Perbandingan presesi beberapa planet antara relativitas umum dengan hasil eksperimen Sudut Presesi tiap Jumlah Prediksi TRU eksperimen revolusi (detik) revolusi / abad (detik/abad) (detik/abad) Merkurius 0,1038 415 43,03 43,11 ± 0,45 2 Venus 0,058 149 8,6 8,4 ± 4,8 3 Bumi 0,038 100 3,8 5,0 ± 1,2 4 Icarus 0,115 89 10,3 9,8 ± 0,8 No Planet 1 Dengan membandingkan antara prediksi teori relativitas umum dengan hasil eksperimen nampak adanya kecocokan yang cukup baik. Hasil ini mendukung kebenaran teori relativitas umum dalam menelaah gejala jagad raya akibat adanya interaksi gravitasi antar partikel massif. 4.3 Pembelokan cahaya bintang di sekitar massa massif Cahaya melintasi ruang-waktu melalui lintasan geodesik. Untuk cahaya, elemen garis yang ditempuh olehnya sama dengan nol atau ds = 0 . (4.92) Dari nolnya kuadrat elemen garis, swawaktunya juga nol. Karena itu persamaan metrik Schwarzschild dengan dituliskan dengan substitusi τ → λ yang merupakan parameter sembarang sebagai 2 2 2 2 2 r dr dt 2 dθ 2 dφ c + r + sin θ − (r − 2m) = 0 . (4.93) r − 2 m dλ dλ r dλ dλ _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 106 Tanpa kehilangan peninjauan secara umum, diisikan θ = π / 2 sehingga berkas cahaya ditinjau dalam bidang ekuator, dan dengan penurunan yang sama seperti halnya pada presesi gerak planet, diperoleh persamaan diferensial d 2u + u = 3mu 2 2 dφ (4.94) dengan 1 u= . r (4.95) Pada pendekatan pertama untuk solusi pers. (4.94), suku kanan diabaikan terlebih dahulu. Bentuk penyelesaiannya adalah u= 1 cos(φ + α ) R (4.96) dengan R adalah tetapan integrasi. Ini adalah persamaan polar untuk garis lurus, dimana jarak tegak lurus dari pusat atraksi adalah R. Tanpa kehilangan generalisasi, nilai α diisikan sama dengan nol. Dengan mengisikan u= cos φ R (4.97) pada ruas kanan pers. (4.94), bentuk persamaan tersebut menjadi d 2u 3m + u = 2 cos 2 φ . 2 dφ R (4.98) Penyelesaian dalam penghampiran kedua dalam bentuk persamaan polar sinar cahaya adalah u= 1 m cos φ + 2 (2 − cos 2 φ ) . R R (4.99) Pada akhir sinar, nilai u=0 (4.100) sehingga m 2m cos 2 φ − cos φ − = 0. R R (4.101) Dengan asumsi _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 107 m << 1 , R (4.102) persamaan kuadrat tersebut memiliki akar yang kecil dan akar yang besar. Untuk akar yang kecil, penghampiran nilainya adalah 2m R (4.103) π 2m + 2 R (4.104) cos φ = − sehingga φ = ± pada keadaan awal dan akhir lintasan cahaya. Maka nilai sudut pembelokan cahaya bintang yang melintasi massa massif yang diletakkan di pusat koordinat yang menimbulkan medan Schwarzschild adalah 4m . R (4.105) Untuk cahaya yang melintas dekat matahari : R = jari-jari matahari = 6,95 × 108 m dan m = 1,5 × 103 m, sehingga nilai prediksi pembelokan adalah 4m 1,77 derajat. = 8,62 × 10−6 radian = 1,77' ' = R 3600 (4.106) Ilustrasi pembelokan cahaya bintang di sekitar massa massif terdapat pada Gambar 4.3. θ matahari Gambar 4.3 Pembelokan cahaya bintang di sekitar matahari Prediksi ini juga secara umum bersesuaian dengan hasil eksperimen. Pengamatan pertama kali dilakukan pada tahun 1919, saat beberapa team ekspedisi berangkat ke Sobral, Brazil dan Principe, Teluk Guinea untuk _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 108 mengamati adanya pembelokan cahaya bintang saat terjadi gerhana matahari. Mengapa harus dilakukan pada saat terjadi gerhana matahari ? Cara cerdik ini diusulkan oleh Einstein ketika mengajukan hipotesis adanya pembelokan cahaya bintang saat cahaya tersebut melewati dekat matahari. Menurutnya, pada siang hari, cahaya bintang tertutup oleh sinar matahari. Namun saat gerhana, cahaya bintang tersebut dapat nampak. Dengan membandingkan antara posisi bintang tersebut saat matahari lewat dekat cahaya bintang tersebut, dengan saat matahari tidak berada di dekat cahaya bintang tersebut, dapat dibandingkan apakah terjadi pergeseran posisi bintang. Pada pengamatan di tahun 1919 tersebut setelah mempelajari sejumlah posisi bintang, akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa cahaya bintang yang lewat dekat matahari telah membelok dengan sudut sebesar 1,98 ± 0,16 detik dan 1,61 ± 0,40 detik. Nilai pengamatan pertama ini cukup dekat dengan ramalan teori relativitas umum sebesar 1,75 detik. Tabel 4.2 Pengamatan pembelokan cahaya bintang pada beberapa peristiwa gerhana No 1 2 Tanggal gerhana 29 Mei 1919 21 September 1922 3 9 Mei 1929 4 19 Juni 1936 Jumlah bintang Sudut pembelokan yang diamati (detik) Sobral, Brazil 7 1,98 ± 0,16 Principe, Teluk Guinea 5 1,61 ± 0,40 Australia 11 − 14 1,77 ± 0,40 Australia 18 1,42 s.d. 2,16 Australia 62 − 85 1,72 ± 0,15 Australia 145 1,82 ± 0,20 Sumatra 17 − 18 2,24 ± 0,10 Rusia 16 − 29 2,73 ± 0,31 Jepang 8 1,28 s.d. 2,13 Tempat pengamatan 5 20 Mei 1947 Brazil 51 2,01 ± 0,27 6 25 Februari 1952 Sudan 9 − 11 1,70 ± 0,10 Sejak tahun 1919 telah dilakukan pengamatan kira-kira terhadap 380 bintang sepanjang gerhana matahari yang terjadi pada tahun 1922, 1929, 1936, 1947 dan 1952. Data hasil eksperimen tersebut disajikan pada Tabel 4.2. Nilai _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 109 pengamatan tersebut bervariasi dari 1,3 hingga 2,7 detik, namun paling banyak di antara 1,7 hingga 2 detik. Eksperimen terbaru pada hasil tersebut adalah 1,70 ± 0,10 detik, yang cukup baik kesesuaiannya dengan prediksi teori relativitas umum. Hasil eksperimen ini semakin menguatkan kebenaran teori relativitas umum, setelah bukti pertama di atas, yaitu prediksi presisi sudut orbit planet yang berevolusi memutari matahari. 4.4 Gelombang gravitasi Untuk menelaah gelombang gravitasi, diasumsikan bahwa medan gravitasi bersifat lemah, sehingga koordinat x µ bersifat quasi−Minkowski. Karena tensor metrik diberikan sebagai g µν = δ µν + hµν (4.107) dengan hµν < < 1 dan suku derajat dua atau lebih tinggi dari hµν atau derivatifnya dapat diabaikan. Ditinjau kerangka koordinat tersebut bersifat harmonik sehingga tensor metrik memenuhi persamaan α g µν Γµν = 0. (4.108) Untuk orde pertama, pers. (4.108) tereduksi ke bentuk [µµ ,α ] = hµα , µ − 12 hµµ ,α = 0. (4.109) Dengan diturunkan, bentuk di atas menjadi hµα , µν − 12 hµµ ,να = 0 . (4.110) Dengan menukar indeks ν dan α , kemudian menambahkan persamaan baru tersebut ke pers. (4.110), diperoleh hµν , µα + hµα , µν − hµµ ,να = 0 . (4.111) Bentuk tensor Ricci untuk tensor metrik (4.107) adalah Rνα = 2 ∂ 2 hµν ∂ 2 hαµ ∂ 2 hνα 1 ∂ hµµ + − − 2 ∂xν ∂xα ∂x µ ∂x µ ∂x µ ∂xα ∂x µ ∂xν (4.112) Dengan menggunakan hasil (4.111), pers. (4.112) tereduksi ke bentuk _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 110 Rνα = 12 hνα , µµ (4.113) sehingga skalar kelengkungan R bernilai R = g να Rνα = 12 hνν , µµ . (4.114) Selanjutnya tensor Einstein diberikan oleh Rνα − 12 gνα R = 12 hνα , µµ − 14 δνα hββ , µµ = 12 h'να , µµ (4.115) dengan h'να = hνα − 12 δνα hββ . Akhirnya persamaan gravitasi Einstein dapat dinyatakan dalam bentuk h'να , µµ = −2κTνα . (4.116) (4.117) Dalam ruang hampa, tensor energi-momentum lenyap, sehingga pers. (4.117) tereduksi ke bentuk ∂2 ∂2 ∂2 ∂2 h'να , µµ = 2 + 2 + 2 − 2 2 h'να = 0 . ∂y ∂z c ∂t ∂x (4.118) Pers. (4.118) di atas merupakan persamaan gelombang yang menunjukkan bahwa gelombang gravitasi merambat dalam ruang hampa dengan laju sama dengan laju cahaya. Selanjutnya ditinjau solusi untuk pers. (4.118) di atas dalam bentuk persamaan gelombang−datar : * h' µν = eµν exp(ik λ x λ ) + eµν exp(−ikλ x λ ) . (4.119) bentuk di atas memenuhi pers. (4.118) jika kµ k µ = 0 (4.120) dimana hubungan antara vektor kontravarian k ν dan vektor kovarian k µ dihubungkan oleh tensor metrik g µν sebagai k µ = g µν k ν . (4.121) Bentuk matriks eµν bersifat simetri : eµν = eνµ (4.122) yang sering pula disebut tensor polarisasi (polarization tensor) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 111 4.5 Lubang hitam Schwarzschild dan Kruskal− −Szekeres Geometri ruang−waktu Schwarzschild yang diberikan oleh metrik dr 2 2m 2 2 ds 2 = −1 − c dt + + r 2 (dθ 2 + r 2 sin 2 dφ 2 ) r 1 − 2m / r (4.123) tampak memiliki sifat singularitas saat r = 2m , karena pada keadaan tersebut g tt menjadi lenyap dan g rr bernilai takhingga. Daerah tersebut sering disebut sebagai jari-jari Schwarzschild, permukaan Schwarzschild, horison Schwarzschild, bola Schwarzschild atau singularitas Schwarzschild. Pada daerah di sekitar r = 2m , ada sifat yang berbeda untuk koordinat r dan t. Pada daerah r > 2m, pada t direction atau ∂ / ∂t bersifat bak−waktu (timelike) karena g tt < 0 , sedangkan r direction atau ∂ / ∂r adalah bak−ruang (spacelike) karena g rr > 0 . Sebaliknya pada daerah r < 2m, ∂ / ∂t adalah bak−ruang (spacelike) karena g tt > 0 dan ∂ / ∂r adalah bak−waktu (timelike) karena g rr < 0 . Dengan sifat di sekitar r = 2m ini, Kruskal dan Szekeres melakukan transformasi koordinat yang menghubungkan antara koordinat r dan t dengan koordinat radial takberdimensi u dan koordinat waktu takberdimensi v yang dirumuskan sebagai u = r / 2m − 1 e r / 4 m cosh(t / 4m) v = r / 2m − 1 e r / 4m } untuk r > 2m (4.124) sinh(t / 4m) Dengan transformasi koordinat ini, metrik Schwarzschild berubah menjadi ds 2 = (32m 3 / r )e − r / 2 m (− dv 2 + du 2 ) + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) (4.125) Metrik di atas dikatakan sebagai geometri Schwarzschild dalam koordinat Kruskal-Szekeres. Di sini, besaran r dapat dinyatakan dalam fungsi u dan v sebagai (r / 2m − 1) e r / 2 m = u 2 − v 2 . (4.126) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 112 Motivasi untuk melakukan transformasi koordinat Kruskal-Szekeres diawali dengan mengenalkan sistem koordinat yang berbeda, pertama kali dilakukan oleh Eddington (4.1924) dan Finkelstein (4.1958) (Misner dkk, 1973). Mereka ~ ~ mengenalkan koordinat U dan V yang masing-masing melambangkan koordinat radial keluar (outgoing) dan masuk (ingoing) pada geodesik nol, yaitu untuk gerak foton jatuh bebas (freely falling photon). Untuk gerakan radial foton jatuh bebas ds 2 = 0 (4.127) dθ = dφ = 0 (4.128) dan sehingga metrik Schwarzschild menjadi (c = 1) dr 2 2m 2 . 0 = −1 − dt + r 1 − 2m / r (4.129) Untuk gerak foton keluar, dilakukan transformasi ~ U =t −r* (4.130) sedangkan untuk gerak foton masuk, persamaan transformasinya adalah ~ V =t +r* (4.131) Di sini r* diberikan sebagai r* = r + 2m ln r −1 . 2m (4.132) Untuk gerakan radial foton keluar (outgoing), metrik Schwarzschild pada pers. (4.123) menjadi ~ 2m ~ 2 0 = −1 − dV + 2dV dr . r Persamaan di atas memiliki dua akar, yaitu ~ dV =0 dr (4.133) (4.134) dan ~ dV 2 = . dr 1 − 2m / r (4.135) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 113 Sedangkan untuk gerak radial foton masuk (ingoing), bentuk metrik Schwarzschild menjadi ~ 2m ~ 2 0 = −1 − dU − 2dU dr . r (4.136) Persamaan di atas memiliki dua akar yaitu ~ dU =0 dr (4.137) dan ~ dU 2 =− . dr 1 − 2m / r Selanjutnya transisi dari koordinat (4.138) Eddington−Finkelstein ke Kruskal−Szekeres dilakukan, pertama dengan menuliskan dari pers. (4.130) dan (4.131) sebagai ~ ~ V − U = 2r * (4.139) ~ ~ V + U = 2t (4.140) dan sehingga metrik Schwarzschild berubah menjadi 2m ~ ~ 2 2 2 2 ds 2 = −1 − dU dV + r (dθ + sin θ dφ ) . r (4.141) Dalam metrik di atas masih terdapatbentuk 1 − 2m / r yang menunjukkan adanya singularitas di r = 2m . Kemudian disusun persamaan berikut ~ ~ V −U r* r r = exp exp − 1 exp = . 2m 2m 2m 2m Berikutnya dengan mendefinisikan ~ U r r t ~ = − u = − exp − − 1 exp exp − 2m 4m 4m 4m (4.142) (4.143) dan ~ V r r t = v~ = − exp − 1 exp exp , 4 m 2 m 4 m 4 m (4.144) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 114 substitusi ini akan menghilangkan bentuk 1 − 2m / r dalam koefisien koordinat. Dalam wakilan koordinat yang baru, metrik Schwarzschild berbentuk 32m3 r ~ ~ 2 2 2 2 exp − ds 2 = − du dv + r (dθ + sin θ dφ ) 2m r (4.145) Tampak bahwa bentuk 1 − 2m / r telah lenyap, sehingga metrik tersebut tetap valid untuk r = 2m . Terakhir dengan melakukan substitusi berikut, diperoleh metrik dalam koordinat Kruskal−Szekeres, yaitu : r r t − 1 exp cosh 2m 4m 4m u= 1 ~ ~ (v − u ) = 2 v= 1 ~ ~ r r t (v + u ) = − 1 exp sinh 2 2m 4m 4m (4.146) dan (4.147) sehingga diperoleh pula dv 2 − du 2 = dv~ du~ . (4.148) Akhirnya diperoleh metrik berkoordinat Kruskal−Szekeres yang berbentuk ( ) 32m3 r 2 2 2 2 2 2 exp − ds 2 = du − dv + r (dθ + sin θ dφ ) . r 2 m (4.149) Ilustrasi metrik berkoordinat Kruskal−Szekeres disajikan pada Gambar 4.4. Gambar 4.4 Ilustrasi ruang−waktu bermetrik Kruskal−Szekeres _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 115 4.6 Struktur Bintang Berikut ini akan ditelaah struktur bintang statik simetri bola beserta dinamika tekanan, rapat massa dan medan gravitasi. Dari metrik isotropik statik (nilai c diisikan sama dengan 1) yang berbentuk ds 2 = − B (r ) dt 2 + A(r ) dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) (4.150) komponen tensor metrik kovarian adalah g rr = A(r ) , gφφ = r 2 sin 2 θ , gθθ = r 2 , g tt = − B (r ) g µν = 0 untuk µ ≠ ν . dan (4.151) Diasumsikan tensor energi-momentum pada keadaan ini berbentuk tensor untuk fluida sempurna (perfect fluid) yang berbentuk Tµν = pg µν + ( p + ρ )U µUν (4.152) dengan : p = tekanan pribadi (proper pressure), ρ = rapat energi total pribadi (proper total energy density), dan Uµ = vektor kecepatan−4, yang memenuhi persamaan g µν U µUν = −1 . (4.153) Mengingat fluida dalam keadaan rehat, diambil nilai-nilai U r = Uθ = U φ = 0 (4.154) dan Ut = − 1 −g tt = − B(r ) . (4.155) Diasumsikan bahwa sistem yang ditinjau tak gayut waktu t serta bersifat simetri bola yang membawa konsekuensi bahwa tekanan p dan rapat energi ρ hanya fungsi koordinat radial r. Dengan menggunakan nilai-nilai komponen tensor metrik, tensor energimomentum fluida sempurna ke dalam tensor Ricci dan persamaan gravitasi Einstein, diperoleh persamaan-persamaan berikut : _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 116 Rrr = B ' ' B ' A' B ' A' − = −4πG ( ρ − p ) A + − 2 B 4 B A B rA (4.156) r A' B ' 1 2 − + + = −4πG ( ρ − p )r 2A A B A (4.157) B ' ' B ' A' B ' B ' + = −4πG ( ρ + 3 p ) B . + − 2 A 4 A A B rA (4.158) Rθθ = −1 + dan Rtt = − Tanda aksen yang terdapat pada persamaan di atas menunjukkan d / dr. Sebagai tambahan analisis, persamaan yang menyatakan keseimbangan hidrostatik (hydrostatic equilibrium) diberikan oleh (Weinberg, 1972) B' 2 p' =− . B p+ρ (4.159) Langkah pertama untuk menyelesaikan persamaan-persamaan di atas adalah mencari nilai A(r ) , yaitu dengan membentuk persamaan berikut Rrr Rθθ Rtt A' 1 1 + 2 + = − 2 − 2 + 2 = −8πGρ . 2A r 2B rA r Ar (4.160) Persamaan di atas dapat dituliskan menjadi d r 2 = 1 − 8πGρr . dr A (4.161) Penyelesaian persamaan diferensial di atas dengan syarat A(r = 0) berhingga diberikan dalam bentuk 2GΜ (r ) A(r ) = 1 − r −1 (4.162) dengan r Μ (r ) = ~ 2 ρ (~ r ) d~ r. ∫ 4πr ~ (4.163) r =0 Untuk mengeliminasi A(r ) dan B (r ) dari pers. (4.157), digunakan pers. (4.159) dan (4.162) yang kemudian menjadi rp ' GΜ 2GΜ + − 1 + 1 − − 4πGρr 2 = −4πG ( ρ − p )r 2 . 1 − r ρ + p r (4.164) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 117 Kita dapat menuliskan persamaan di atas dalam bentuk −1 p (r ) 4πr 3 p (r ) 2GΜ (r ) 1+ − r p ' (r ) = GΜ (r ) ρ (r )1 + 1 − . (4.165) ρ (r ) Μ (r ) r 2 Ketika kita menghitung ρ (r ), Μ (r ) dan p (r ) , dapat dengan segera diperoleh A(r ) dari pers. (4.162). Selanjutnya untuk memperoleh B (r ) , pers. (4.165) dapat digunakan untuk menuliskan pers. (4.159) dalam bentuk B ' 2G (Μ + 4πr 3 p ) = . B r 2 1 − 2GΜ / r (4.166) Solusi untuk syarat batas B (∞) = 1 adalah −1 ∞ 2G r ) ~ 2GΜ (~ 3 ~ ~ ~ B (r ) = exp− ∫ 2 Μ ( r ) + 4πr p (r ) 1 − dr ~ r r~ = r r ( ) (4.167) Di luar bintang, p (r ) dan ρ (r ) lenyap, dan Μ (r ) adalah tetapan yang bernilai Μ (R ) , sehingga pers. (4.162) dan (4.167) memberikan B(r ) = 1 2GΜ (r ) =1− A(r ) r untuk r ≥ R . (4.168) Sekarang ditinjau keadaan dimana bintang memiliki rapat energi konstan : ρ = konstan. (4.169) Dengan ρ konstan, pers. (4.164) dapat ditulis menjadi −1 8πGρr 2 − p' (r ) . = 4πGr 1 − 3 [ p (r ) + ρ ][ p (r ) + ρ / 3] (4.170) Di permukaan bintang dengan r = R, nilai tekanan pribadi (proper pressure) p haruslah lenyap atau p(r = R) = 0 (4.171) sehingga syarat batas ini memberikan bentuk p(r ) + ρ 1 − 8πGρR 2 / 3 = . 3 p(r ) + ρ 1 − 8πGρr 2 / 3 (4.172) Untuk mencari tekanan p, rapat energi ρ dinyatakan dalam massa bintang secara ρ= 3M untuk r < R 4πR 3 (4.173) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 118 sehingga diperoleh tekanan bintang 2 3 3M 1 − (2GM / R) − 1 − (2GMr / R . p(r ) = 4πR 3 1 − (2GMr 2 / R 3 − 3 1 − (2GM / R) (4.174) Komponen tensor metrik A(r ) dapat dihitung menggunakan pers. (4.162) : 2GMr 2 A(r ) = 1 − 3 R −1 (4.175) sedangkan komponen tensor metrik B (r ) dapat dihitung dengan menggunakan pers. (4.174) ke dalam integral (4.167) yang memberikan 2 1 2GM 2GMr 2 B(r ) = 3 1 − − 1− . 3 4 R R (4.176) _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 119 Soal-Soal Latihan BAB IV 1. Bagaimanakah konsep gravitasi Newton dan Einstein terhadap kasus : sebuah massa M simetri bola ditempatkan di pusat koordinat. 2. Apakah metrik Schwarzschild menyimpan singularitas di dalamnya? Ketika dilakukan transformasi koordinat ke koordinat Kruskal−Szekeres, apakah seluruh singularitas menjadi lenyap? Jelaskan. 3. Tunjukkan bahwa transformasi Kruskal−Szekeres u = r / 2m − 1 exp(r / 4m) cosh(ct / 4m) , v = r / 2m − 1 exp(r / 4m) sinh(ct / 4m) mengubah metrik Schwarzschild ke bentuk ds 2 = 32m 3 (du 2 − dv 2 ) + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) r exp(r / 2m) dengan r diberikan dalam bentuk u dan v oleh persamaan u 2 − v 2 = (r / 2m − 1) exp(r / 2m) . Tunjukkan bahwa persamaan lintasan foton yang bergerak radial adalah u ± v = tetapan. 4. Tunjukkan bahwa transformasi u = v + 2r 3 / 2 / 3a , v = t + 2a r − a 2 ln[( r + a) /( r − a ) ] dengan a 2 = 2m akan mengubah metrik Schwarzschild ke bentuk 2 ds = 4 µ 2 du 2 9(u − v) 2/3 + µ 2 (u − v) 4 / 3 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − dv 2 dengan µ 3 = 9a 2 / 4 . _______________________________________________________________________________ Penerapan Teori Relativitas Umum _________________________________________________________________________________________ 120 5. Tunjukkan bahwa dengan melakukan transformasi koordinat m r = r ' 1 + 2r ' 2 ke dalam metrik Schwarzschild diperoleh metrik dalam bentuk ‘isotropik” yaitu 2 2 m 1 − m / 2r ' 2 2 2 2 2 2 2 ds = 1 + (dr ' + r ' (dθ + sin θ dφ )) − c dt . 2r ' 1 + m / 2r ' 2 6. Pada metrik Schwarzschild : (a) Tentukan jari-jari dimana sebuah foton menempuh gerakan melingkar. (b) Tentukan periode orbit foton tersebut yang diukur oleh seorang pengamat tetap. 7. Buktikan persamaan (4.43). 8. Buktikan persamaan (4.49). 9. Buktikan persamaan (4.55). 10. Buktikan persamaan (4.58). 11. Buktikan bahwa jika peristiwa pembelokan cahaya bintang hanya dipandang sebagai tarikan foton relativistik oleh medan gravitasi Newton benda massif, maka sudut pembelokan cahaya bintang tersebut hanya bernilai setengah dari ramalan relativitas umum. 12. Carilah lintasan gerak foton pada metrik Kruskal−Szekeres. 13. Buktikan persamaan (4.156)−(4.158). _______________________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 121 BAB V KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA 5.1 Pendahuluan Sebagaimana ditulis oleh Krane (1992), setiap kemajuan baru di dalam pemahaman jagad raya ternyata semakin memperkecil peran kita di dalamnya. Walaupun demikian, setiap kemajuan ini selalu menimbulkan rasa kekaguman baru. Astronomi abad ke tujuh belas mengungkapkan fakta bahwa bumi bukanlah pusat tata surya melainkan salah satu dari beberapa planet yang mengitari matahari. Pada abad ke sembilan belas, para astronom mengarahkan teleskopnya ke bintang-bintang dan menggunakan peralatan spektroskopi yang dikembangkan untuk mengukur berbagai panjang gelombang cahaya bintang. Ditemukan fakta bahwa matahari kita ternyata hanya sebuah bintang biasa yang kedudukannya tidaklah istimewa dalam skala galaksi. Matahari kita ternyata adalah satu dari sekitar 1011 bintang dalam galaksi kita yang dikenal dengan nama galaksi Bima Sakti. Dari teleskop para astronom, terungkap pula beberapa objek aneh seperti gumpalan nebula redup yaitu sepotong cahaya lebar yang melebihi ukuran bintang. Beberapa nebula ini kemudian dapat disimpulkan sebagai kabut gas dalam galaksi, yang dapat menyatakan materi baru dari mana bintang dibentuk, atau sisa dari bintang yang mengakhiri hidupnya dengan ledakan dahsyat. Selain itu diperoleh pula nebula yang agak redup. Namun hal ini masih menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya hakikat nebula yang agak redup ini. Kepastian tentang pertanyaan ini hanya dapat terpecahkan bila cahaya semua objek redup dapat dipisahkan menjadi bintang-bintang tunggal. Hal ini adalah persoalan eksperimental yang amat sulit, karena memerlukan pencahayaan sebuah pelat foto sepanjang malam, pada saat mana para astronom bergulat dalam kedinginan malam di atas puncak gunung untuk menjaga fokus teleskopnya tetap mengarah ke nebula, sebagai akibat rotasi bumi dan perubahan suhu yang menyebabkan perubahan ukuran teleskop. Pada tahun 1920−an, Edwin Hubble __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 122 berhasil memisahkan cahaya berbagai bintang dalam galaksi tetangga kita, serta menyimpulkan ukuran, kecemerlangan dan jaraknya dari kita. Semakin banyak nebula dan galaksi yang ditemukan, semakin pula kedudukan kita di jagad raya. Matahari kita tidak saja hanya satu dari sekitar 1011 bintang dalam galaksi Bima Sakti, melainkan mungkin galaksi Bima Sakti sendiri merupakan satu di antara 1011 galaksi yang ada di jagad raya. Pengamatan Hubble juga menghasilkan pernyataan yang menarik : setiap galaksi bergerak menjauhi kita (dan menjauhi yang lainnya) dengan kelajuan yang amat tinggi. Semakin jauh sebuah galaksi dari kita, semakin tinggi lajunya. Kesimpulan mengesankan ini akan menuntun kita ke model standar jagad raya beserta asal usulnya. Jika semua galaksi bergerak saling menjauhi, maka mereka sebelumnya tentulah berdekatan. Jika kita kembali cukup jauh ke masa lampau, semua materi tentulah berasal dari sebuah titik singularitas berkerapatan takhingga yang mengalami ledakan dahsyat. Peristiwa itu dikenal sebagai Big Bang (Ledakan Besar). Informasi yang lebih menghebohkan datang menyusul. Pada tahun 1965, dua astronom yang bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan pijaran radiasi latar belakang gelombang mikro dari sisa-sisa ledakan besar yang mengisi seluruh jagad raya dan terus menghujami bumi, meskipun telah mengalami pendinginan selama kurang lebih 15 milyar tahun. Karya eksperimental yang telah dirintis oleh Hubble, Penzias dan Wilson merupakan landasan untuk berspekulasi mengenai asal mula, evolusi dan masa depan jagad raya. Semua teori ini termasuk dalam bidang kajian kosmologi yang berasaskan pada teori relativitas umum dengan paduan bidang astronomi, fisika partikel, fisika statistik, termodinamika dan elektrodinamika. (Krane, 1992) Di dalam jagad raya paling tidak terdapat empat jenis interaksi dasar (mungkin dapat ditambah satu lagi yaitu interaksi maha lemah atau superweak). Keempat interaksi tersebut masing-masing adalah interaksi kuat, lemah, elektromagnetik dan gravitasi. Interaksi elektromagnetik (EM) bermediator foton dan berjangkauan jauh terjalin antara zarah−zarah bermuatan listrik dan/atau bermomen magnet dan berlangsung secara makro dan mikro dalam atom inti dan __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 123 zarah elementer. Teori kuantum interaksi medan elektromagnetik dikenal dengan nama Elektrodinamika Kuantum (QED) dan merupakan teori interaksi yang paling akurat dan luas cakupannya. Interaksi kuat yang berjangkauan pendek serta bersama−sama dengan interaksi EM mempertahankan paritas, hanya muncul dalam daerah kuantum serta berperan dalam interaksi antar nukleon dalam inti atom dan antar penyusun nukleon dan meson yaitu tiga jenis kuark (u, d dan s) dengan mediator partikel gluon bermassa. Teori interaksi kuat yang melibatkan zarah−zarah hadron ini disebut Kromodinamika Kuantum (QCD). Interaksi lemah yang hanya muncul pada daerah mikro, melibatkan zarah neutrino dan bekerja pada peluruhan beta inti, pion, muon dan sebagainya dengan mediator partikel bermassa W ± (bermuatan) dan Z (netral) serta melanggar kekekalan paritas. Teori untuk interaksi ini disebut Flavordinamika Kuantum (QFD). Interaksi yang paling lemah dari keempat interaksi dasar adalah interaksi gravitasi yang berperan dalam interaksi jangkauan jauh antar massa dan antar massa dengan foton dengan mediator graviton tak bermassa. Teori kuantum yang menjelaskan interaksi gravitasi antar partikel bermassa dikenal dengan nama Geometrodinamika Kuantum (QGD). Pada materi massif seperti bintang dan galaksi, muatan mereka praktis netral sehingga interaksi elektromagnetik tak bekerja pada struktur skala besar jagad raya. Pada pada skala ini, hanya interaksi gravitasi saja yang bekerja. Oleh karena itu hukum gravitasi Einstein yang didasarkan pada teori relativitas umum akan sanggup memberikan gambaran jagad raya secara komprehensif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Teori Gravitasi Einstein sendiri mampu meramalkan beberapa fenomena di jagad raya dengan ketelitian tinggi. Teori ini adalah teori yang menyempurnakan teori gravitasi Newton. Beberapa fenomena di jagad raya yang terbuktikan ramalannya dengan ketelitian tinggi adalah : 1. pembelokan cahaya bintang 2. presesi orbit planet 3. pergeseran merah gravitasi gema tunda waktu radar (Weinberg, 1972; Krane 1992). 4. __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 124 Relativitas umum juga menyajikan beberapa ramalan menarik seperti adanya lubang hitam (black holes), gelombang gravitasi (gravitational waves), singularitas ruang-waktu dan sebagainya. Meskipun teori ini memiliki daya pikat, keindahan estetis dan sementara ini lulus dalam tes eksperimental, jumlah tes tersebut sebenarnya masih tergolong langka. Nampaknya agak berlebihan jika jagad raya dapat ditelaah hanya dengan menggunakan teori ini. Namun akan diperoleh bahwa paling tidak secara kuantitatif, ramalan teori relativitas umum sesuai dengan beberapa pengamatan, seperti fenomena ekspansi jagad raya, ramalan sisa-sisa radiasi Big Bang dan sebagainya. Tidak digunakannya gravitasi Newton untuk menelaah interaksi gravitasi dalam jagad raya disebabkan oleh keterbatasan teori itu sendiri. Memang gravitasi Newton itu sendiri memberikan pemerian secara kuantitatif yang serupa dengan solusi persamaan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya (Weinberg, 1972). Namun teori Newton menganggap bahwa ruang di jagad raya bersifat Euclid (datar). Newton tidak mengenal istilah ruang lengkung. Padahal menurut Einstein, keberadaan medan gravitasi dalam ruang menyebabkan ruang di jagad raya menjadi lengkung, dengan geometri ruang bersifat Riemannian. Kelengkungan ruang untuk skala galaksi memang masih dapat diabaikan, namun untuk skala besar jagad raya, efek ini dapat dijumlahkan sehingga tak dapat diabaikan lagi. Oleh karena itu penelaahan keadaan fisis jagad raya dilakukan dengan menyelesaikan persamaan medan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya. 5.2 Asas Kosmologi Dalam skala besar jagad raya, mulai dari jarak 107 parsec, seluruh materi dapat dianggap sebagai fluida yang kontinu, homogen dan isotrop. Pernyataan ini membawa kepada kesimpulan bahwa tidak ada pengamat galaksi yang dipandang istimewa di jagad raya ini. Dengan kata lain, seluruh pengamat bergerak bersama galaksi dan melihat proses skala besar yang sama dalam evolusi jagad raya. Inilah yang dinamakan dengan asas kosmologi (cosmological principle). Sedangkan teori keadaan ajeg (steady state theory) didasarkan pada asas kosmologi sempurna (perfect cosmological principle) yang menyatakan bahwa seluruh pengamat __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 125 galaksi melihat struktur skala besar jagad raya yang sama untuk seluruh waktu. Berdasarkan fakta-fakta, ditemui bahwa yang lebih tepat adalah asas pertama, bukan asas kedua. 5.3 Geometri Bolahiper (Hypersphere geometry) Dalam ruang Euclid empat dimensi x i = ( x1 , x 2 , x 3 , x 4 ) (5.1) kuadrat elemen garis dirumuskan sebagai dl 2 = ηij dx i dx j = (dx1 ) 2 + (dx 2 ) 2 + (dx 3 ) 2 + (dx 4 ) 2 (5.2) Bentuk persamaan bolahiper (hypersphere) tiga dimensi dalam ruang empat dimensi menyerupai bentuk persamaan permukaan bola dua dimensi dalam ruang tiga dimensi. Persamaan bolahiper tersebut adalah ( x1 ) 2 + ( x 2 ) 2 + ( x 3 ) 2 + ( x 4 ) 2 = S 2 (5.3) dengan S adalah ruji bolahiper. Jika persamaan di atas diturunkan maka bentuknya menjadi x1dx1 + x 2 dx 2 + x 3dx 3 + x 4 dx 4 = 0 (5.4) atau dx 4 = − x1dx1 + x 2 dx 2 + x 3dx 3 . x4 (5.5) Dengan memasukkan pers. (5.5) ke (5.2) diperoleh 3 1 dl = ∑ (dx ) + (2 x 4 ) 2 i =1 2 i 2 3 i 2 d ∑ ( x ) i =1 2 (5.6) yang menyatakan bentuk umum persamaan kuadrat elemen garis pada bolahiper. Jika ruang Euclid tersebut dinyatakan dalam koordinat polar (u , θ , φ ) (5.7) melalui persamaan transformasi x1 = u sin θ cos φ , x 2 = u sin θ sin φ , x 3 = u cos θ (5.8) maka ( u = ( x1 )1 + ( x 2 ) 2 + ( x 3 )3 ) 1/ 2 (5.9) __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 126 dan S = u 2 + (x 4 ) 2 (5.10) sehingga dl 2 = du 2 + u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) + = u 2 du 2 S 2 − u2 du 2 + u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . 2 1 − (u / S ) (5.11) (5.12) Dengan substitusi u = Sr (5.13) dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . dl 2 = S 2 2 1− r (5.14) diperoleh Jika pada pers. (5.3), S 2 diganti dengan − S 2 , pers. (5.14) menjadi dr 2 dl 2 = S 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . 2 1+ r (5.15) Kedua metrik di atas dapat dituliskan sekaligus dalam ungkapan dr 2 2 2 2 2 dl 2 = S 2 + r ( d θ + sin θ d φ ) 2 1 − kr (5.16) dengan k = 1 untuk pers. (5.14) dan k = −1 untuk pers. (5.15). Jika diisikan k = 0 , dihasilkan ruang Euclid tiga dimensi. 5.4 Metrik Robertson-Walker Metrik Robertson-Walker dibangun di atas dua asumsi berikut : 1. Adanya waktu kosmik x0 dalam koordinat Gauss, yaitu koordinat yang ikut bergerak bersama pengamat 2. Asas homogen dan isotrop jagad raya. Metrik jagad raya mengambil bentuk ds 2 = g µν dx µ dxν (5.17) Persamaan transformasi untuk g i 0 adalah __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 127 gi0 = ∂x j ∂x k ∂x j g = g j0 jk ∂x i ∂x 0 ∂x i yang menggambarkan bahwa g i 0 menentukan arah tertentu pada ruang tiga dimensi. Hal ini bertentangan dengan asumsi kedua di atas sehingga ditarik kesimpulan bahwa g i 0 = 0 untuk i = 1, 2, 3. Bentuk metrik jagad raya tereduksi ke bentuk ds 2 = g 00 (dx 0 ) 2 + g ij dx i dx j (5.18) Ditinjau dua kejadian yang masing-masing terjadi pada waktu x 0 dan x 0 + dx 0 . Diketahui dτ adalah swawaktu / waktu pribadi (proper time) antara dua kejadian tersebut. Karena koordinat spatial pengamat tidak pernah berubah, bentuk metrik (5.18) menjadi − dτ 2 = g 00 (dx 0 ) 2 (5.19) Berdasarkan asumsi pertama, swawaktu τ = ∫ dτ sama dengan waktu kosmik x 0 = t sehingga g 00 = −1 . Bentuk metrik (5.18) menjadi ds 2 = − dt 2 + g ij dx i dx j (5.20) Dengan mengambil t konstan, metrik di atas menjadi ds 2 = g ij dx i dx j = dl 2 (5.21) Berdasarkan asas kosmologi, setiap pengamat akan mendapati ruang spatial bersifat homogen dan isotrop. Oleh karena itu, bentuk dl 2 adalah bentuk umum elemen garis pers. (5.16) sehingga pers. (5.20) dituliskan sebagai dr 2 ds 2 = − dt 2 + S 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) 2 1 − kr (5.22) Metrik di atas dinamakan metrik Robertson-Walker. S adalah faktor skala kosmik yang merupakan fungsi t saja. Untuk k = +1, nilai S menyatakan ruji spatial bolahiper 3 dimensi dalam ruang empat dimensi spatial. 5.5 Pergeseran merah galaksi __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 128 Informasi penting yang diperoleh mengenai faktor skala kosmik S (t ) akan membawa pada pengamatan pergeseran frekuensi cahaya yang dipancarkan dari sumber tertentu. Untuk menghitung pergeseran frekuensi ini, kita akan menempatkan diri kita pada titik awal koordinat r = 0. Ditinjau cahaya yang merambat hanya pada arah r dengan θ dan φ konstan. Persamaan geodesik cahaya tersebut adalah 0 = dτ 2 = dt 2 − S 2 dr 2 1 − kr 2 (5.23) atau − dt dr = . S 1 − kr 2 (5.24) Jika cahaya meninggalkan galaksi dengan koordinat (r1 ,θ1 , φ1 ) pada saat t1 maka cahaya tersebut akan sampai pada kita pada saat t 0 yang diberikan oleh persamaan t0 dt ∫S = f (r1 ) (5.25) t1 dengan r1 f (r1 ) = ∫ 0 sin −1 r1 dr = r1 1 − kr 2 sinh −1 r 1 k = +1 k =0 (5.26) k = −1 Galaksi tersebut memiliki koordinat (r1 ,θ1 , φ1 ) konstan sehingga f (r1 ) tak gayut waktu. Selanjutnya jika cahaya berikutnya meninggalkan r1 pada waktu t1 + δt1 , cahaya tersebut akan sampai kepada kita pada waktu t0 + δt0 dengan hubungan sebagai t 0 + δt 0 ∫ t 1 + δt 1 dt = f (r1 ) S (5.27) yang berimplikasi pada hubungan δt 0 S (t 0 ) = δt1 S (t1 ) . (5.28) __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 129 Cahaya berfrekuensi ν 0 yang dipancarkan akan teramati berfrekuensi ν 1 melalui hubungan ν 0 δt1 S (t1 ) = = . ν 1 δt0 S (t0 ) (5.29) Didefinisikan pergeseran merah z sebagai fraksi pertambahan panjang gelombang z= λ0 − λ1 . λ1 (5.30) Karena λ0 ν 1 = λ1 ν 0 (5.31) maka z= S (t0 ) − 1. S (t1 ) (5.32) Jadi z akan bernilai positif jika S (t0 ) > S (t1 ) (5.33) yang menyatakan adanya ekspansi jagad raya. Jika galaksi yang diamati cukup dekat pada skala besar, t0 − t1 relatif kecil dan S (t1 ) dapat dinyatakan dalam deret Taylor sebagai S (t1 ) = S (t0 ) − (t 0 − t1 ) Sɺ (t 0 ) + 12 (t 0 − t1 ) 2 Sɺɺ(t 0 ) − ... ( ) = S (t0 ) 1 − H 0 (t0 − t1 ) − 12 q0 H 0 (t 0 − t1 ) 2 − ... (5.34) dengan H 0 dan q0 berturut-turut menyatakan tetapan Hubble dan parameter perlambatan untuk saat ini. Kedua besaran itu dikatakan konstanta, meski sebenarnya nilai gayut waktu. Namun untuk rentang waktu yang relatif kecil, jika dibandingkan dengan usia jagad raya, kedua nilai di atas praktis konstan. Secara umum keduanya didefinisikan sebagai H= Sɺ S (5.35) dan __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 130 q=− SSɺɺ Sɺ 2 (5.36) Dengan substitusi pers. (5.34) − (5.36) ke (5.32) diperoleh hasil z = H 0 (t0 − t1 ) + ( 12 q0 + 1) H 02 (t 0 − t1 ) 2 + ... (5.37) Dengan mengamati z untuk sejumlah galaksi serta menghitung (t 0 − t1 ) setiap galaksi, ekspansi z di atas menghasilkan nilai H 0 dan q0 saat ini yang besarnya masing-masing adalah (Weinberg, 1972) H 0 = 75 km/sMpc (5.38) q0 = 1,2 ± 0,4. (5.39) Selanjutnya kedua nilai tersebut dipakai untuk menelaah sifat fisis jagad raya. 5.6 Ekspansi Jagad Raya Bukti adanya ekspansi jagad raya berasal dari efek pergeseran Doppler cahaya yang dipancarkan oleh galaksi-galaksi jauh. Pergerakan bintang-bintang atau galaksi dekat relatif terhadap kita tidaklah cukup memberikan bukti adanya ekspansi jagad raya. Beberapa bintang di galaksi kita bergerak menuju kita dan panjang gelombang yang dipancarkannya teramati mengalami pergeseran ke panjang gelombang yang lebih pendek (pergeseran biru). Sementara itu beberapa bintang lainnya bergerak menjauhi kita sehingga cahayanya mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar atau dikenal sebagai pergeseran merah. Jika kita beralih ke cahaya yang berasal dari galaksi-galaksi di dekat kita, kembali akan diperoleh beberapa di antara mereka mengalami pergeseran biru, dan beberapa lainnya mengalami pergeseran merah. Hanya jika kita alihkan perhatian kepada galaksi-galaksi jauh, barulah nampak secara konvergen galaksi-galaksi tersebut bergerak menjauhi kita serta cahaya yang dipancarkannya mengalami pergeseran merah. Bagaimanakah kita dapat meyakini adanya pengembangan jagad raya yang menyebabkan terjadinya pergeseran merah tersebut ? Sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yaitu (Krane, 1992) : __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 131 1. Menurut pengamatan, jumlah galaksi yang mengalami pergeseran merah dan biru tidak seimbang. Semua galaksi jauh bergerak menjauhi kita. Oleh karena itu pergeseran merah ini tidak dapat dijelaskan sebagai pergeseran acak sejumlah galaksi yang mematuhi suatu distribusi tertentu. 2. Pergeseran merah itu nampaknya bukanlah pergeseran merah galaksi menurut relativitas umum. Hal ini disebabkan materi dalam galaksi tidaklah terlalu padat sehingga tidak dapat menghasilkan pergeseran yang besar. 3. Pergeseran yang diamati berbanding lurus dengan jarak galaksi dari kita. Agaknya kenyataan ini merupakan langkah paling penting untuk mendukung gagasan ekspansi jagad raya yang biasanya diungkapkan sebagai Hukum Hubble, yaitu v = Hd (5.40) dengan v adalah laju galaksi, H adalah tetapan Hubble dan d adalah jarak galaksi dari kita. Hukum Hubble tersebut dapat diturunkan dari metrik Robetrson-Walker. Jika tempat kita dipilih dengan koordinat r = 0, maka jarak radial galaksi ( r1 ,θ , φ ) terhadap kita pada waktu kosmik t adalah d =S r1 ∫ r =0 dr 1 − kr 2 = Sf ( r1 ) (5.41) dengan f ( r1 ) seperti pada pers. (5.26). Laju pergerakan galaksi tersebut terhadap kita diberikan sebagai dS Sɺ v = dɺ = f ( r1 ) = f ( r1 ) S = Hd dt S (5.42) yaitu hukum Hubble. Bagaimanakah hukum Hubble melukiskan ekspansi jagad raya ? Ditinjau kiasan jagad raya yang digambarkan oleh sistem koordinat tiga dimensi pada Gambar 5.1 yang mana setiap titik mewakili sebuah galaksi. Galaksi Bima Sakti dipilih pada titik O. Jarak mula-mula suatu galaksi terhadap Bima Sakti adalah d. Setelah jagad raya mengembang yang digambarkan oleh menjauhnya semua titik tersebut, jarak tersebut menjadi d’. Diasumsikan pengembangan tersebut terjadi __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 132 sedemikian sehingga seluruh jarak ukur bertambah dengan faktor pengali konstan k pada waktu t. Rumus yang berlaku adalah x ' = kx . Jadi d ' = kd . Dengan demikian jika dalam selang waktu t galaksi tersebut menempuh jarak d '− d menjauhi Bima Sakti, laju pergerakannya adalah v= d '−d d ( k − 1) = . t t (5.43) Jika kita bandingkan antara kelajuan galaksi 1 dan 2 diperoleh v1 d1 = v2 d 2 (5.44) yang identik dengan hukum Hubble. Pers. (5.44) di atas sekaligus menunjukkan bahwa makin jauh jarak galaksi dari kita, makin cepat pula ia meninggalkan kita. Gambar 5.1. Kiasan pengembangan jagad raya dengan kiasan kawat Perlu dicatat di sini bahwa ekspansi jagad raya berlangsung sedemikian sehingga tidak ada satu tempat/ruang di jagad yang menjadi pusat ekspansi. Semua titik/ruang mengalami ekspansi sehingga tidak ada titik yang memiliki kedudukan istimewa di jagad raya. Jika kita mengecat beberapa titik pada balon kemudian meniupnya, tampak bahwa setiap titik bergerak saling menjauhi. Semakin jauh jarak antara dua titik, semakin cepat pula keduanya menjauh. Peristiwa fisis ekspansi jagad raya ini melahirkan dua teori besar. Teori pertama, jika setiap galaksi bergerak saling menjauhi, berarti di masa lampau jarak mereka lebih dekat. Kalau kita menengok lebih jauh lagi, akan didapati seluruh galaksi dan materi lainnya mula-mula berada pada titik singularitas dengan __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 133 kerapatan dan temperatur takhingga besar. Teori ini dikenal sebagai hipotesis Big Bang (Ledakan Besar) yang dikemukakan oleh George Gamow dkk pada tahun 1948. Teori kedua, kerapatan jagad raya selalu konstan. Sewatu galaksi-galaksi bergerak saling menjauhi, dalam ruang antargalaksi terus diciptakan materi baru agar kerapatan jagad raya selalu konstan. Galaksi atau materi baru yang diciptakan akan menyebabkan jagad raya tampak sama sepanjang masa, baik pada masa lampau, sekarang maupun masa depan. Teori ini dikenal dengan hipotesis Steady State (Keadaan Ajeg) yang dikemukakan oleh Hoyle dkk pada tahun 1960. Teori kedua ini menggunakan asas kosmologi sempurna, sebagaimana tersebut pada pasal 2. Pengamatan dengan teleskop radio yang dilakukan oleh Penzias dan Wilson di tahun 1965 berhasil menyingkap adanya suatu radiasi latar belakang kosmik pada daerah gelombang mikro yang diyakini sebagai sisa-sisa radiasi Big Bang. Dengan demikian pengamatan tunggal ini mengunggulkan teori Big Bang dari semua model kosmologi lainnya. 5.7 Sejarah Suhu Jagad Raya menurut Big Bang Menurut teori Big Bang, jagad raya berasal dari suatu ledakan besar yang menghamburkan seluruh isi jagad raya ke segala arah ruang. Saat ledakan terjadi, jagad raya berukuran titik berkerapatan energi takhingga, bersuhu takhingga besar. Saat jagad raya terus mengembang dan usianya bertambah, suhunya semakin mengecil. Akhirnya suhu jagad raya sampai pada ambang penciptaan partikelantipartikel. Menurut Weinberg (1972), garis besar sejarah suhu (thermal history) jagad raya adalah sebagai berikut : 1. Pada suhu T > 1012 K, jagad raya berisi banyak sekali variasi partikel pada kesetimbangan suhu, seperti foton, lepton, meson dan nukleon beserta antipartikel masing-masing. Suhu ambang bagi penciptaan nukleon ini adalah sekitar 1013 K. Di atas suhu tersebut, energi jagad raya sedemikian tinggi sehingga mungkin mampu menciptakan kuark yang lebih berat dari nukleon seperti kuark jenis charmed, bottom dan top (Griffith, 1987). __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 134 2. Pada T ≈ 1012 K, jagad raya berisi foton, muon, antimuon, elektron, positron, neutrino dan antineutrino. Terdapat percampuran nukeon dalam jumlah amat kecil, dengan neutron dan proton berjumlah kurang lebih sama. Semua partikel masih berada dalam kesetimbangan suhu. 3. Ketika T < 10 12 K, muon dan antimuon mengalami proses pelenyapan (annihilation). Setelah seluruh muon lenyap, pada T ≈ 1,3 × 1011 K, neutrino dan antineutrino mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel lain. Partikel e ± , γ dan sebagian kecil nukleon berada pada kesetimbangan suhu dengan T ∝ S −1. 4. Ketika T < 10 11 K atau t ≈ 10−2 s, perbedaan massa proton dan neutron menyebabkan terjadinya perubahan percampuran nukleon sehingga proton lebih banyak daripada neutron. 5. Ketika T < 5 × 109 K atau t ≈ 4 s, pasangan elektron-positron mengalami pelenyapan sehingga melenyapkan seluruh positron dan menyisakan sedikit elektron. Jagad raya hanya didominasi oleh foton, neutrino dan antineutrino dengan suhu foton lebih tinggi 40,1 % daripada suhu neutrino-antineutrino. Perbandingan neutron terhadap proton kira-kira 1 : 5. 6. Pada T ≈ 109 K atau t ≈ 180 s, terjadi fusi antara proton dengan neutron yang membentuk inti yang lebih berat seperti deuterium dan helium. 7. Ekspansi bebas foton, neutrino dan antineutrino terus berlanjut dengan Tγ = 1,401 Tν ∝ S −1 . Pada 103 K < T < 105 K, nilai rapat energi foton, neutrinoantinuetrino menjadi di bawah rapat energi rehat hidrogen dan helium. Atom hidrogen terbentuk kira-kira pada T ∝ 4000 K setelah elektron bergabung dan inti atom membentuk atom hidrogen. Dimulailah masa dominasi radiasi. Pada tabel 5.1 di bawah ini disajikan beberapa partikel elementer penyusun jagad raya beserta energi rehat dan suhu ambang yang berkaitan suhu tersebut. Nilai suhu ambang tersebut diperoleh melalui kaitan persamaan T= E k (5.45) dengan k adalah tetapan Boltzmann. __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 135 Tabel 5.1. Partikel utama penyusun jagad raya beserta energi dan suhu ambang No Partikel Energi (MeV) Suhu ambang (× 109 K) 1 Foton 0 0 2 ν, ν ≈0 ≈0 3 e− , e+ 0,511 5,9 4 µ−, µ+ 106 1230 5 π −, π + 140 1620 6 p, p 938 10880 7 n, n 940 10910 Kali ini akan ditelaah sejarah suhu jagad raya secara lebih rinci, dimulai dari 1012 K > T > 1,3 × 1011 K ketika moun ( µ + ) dan antimuon ( µ − ) cukup jarang. Pengisi penting jagad raya, adalah elektron-positron ( e − , e + ), foton (γ), neutrinoantineutrino untuk elektron (ν e ,ν e ) serta neutrino-antineutrino untuk muon (ν µ ,ν µ ) yang seluruhnya masih berada pada kesetimbangan suhu (thermal equilibrium). Foton memenuhi distribusi Planck sedangkan elektron-positron dan neutrino-antineutrino memenuhi distribusi Fermi. Neutrino dan antineutrino tersebut dihasilkan, dilenyapkan dan dihamburkan melalui reaksi berikut : e − + µ + ←→ν e + ν µ (5.46) ν e + µ − ←→ν µ + e − (5.47) ν µ + µ + ←→ν e + e + (5.48) e + + µ − ←→ν e + ν µ (5.49) ν e + µ + ←→ν µ + e + (5.50) ν µ + µ − ←→ν e + e − . (5.51) Pada masa dominasi radiasi berlaku kaitan antara rapat energi (ρ) dengan suhu (T) jagad raya yang dirumuskan sebagai __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 136 ρ ∝T4. (5.52) Sedangkan juga pada masa dominasi radiasi, hubungan antara rapat energi dengan ruji atau faktor skala kosmik (S) jagad raya dirumuskan sebagai T ∝ S −1 . (5.53) Ketika T turun hingga 1,3 × 1011 K, ν µ dan ν µ (mungkin juga ν e dan ν e ) mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel dalam kesetimbangan suhu dan mulai melakukan ekspansi bebas (free expansion). Tetapi, ketidakgandengan ini tidak berdampak apa-apa pada distribusi partikel. Partikel yang berada di dalam kesetimbangan suhu tersebut masih berperilaku seperti partikel ultrarelativistik sehingga suhu mereka tetap sebanding dengan S −1 . Rapat jumlah neutrino dan antineutrino bebas sebanding dengan S −3 dan mengalami pergeseran merah oleh faktor S −1 seperti foton. Suhunya juga menurun mengikuti S −1 . Selanjutnya terjadi ketidakgandengan (decoupled) kedua neutrino (ν e ,ν e ) pada saat T = 1010 K, namun hal ini juga tidak membawa pengaruh pada fungsi distribusi neutrino dan antineutrino. Secara keseluruhan pada rentang suhu 1012 K > T > 5 × 109 K, nilai rapat energi neutrino dan antineutrino baik untuk elektron maupun untuk muon adalah sama yaitu sebesar 7 aT 4 16 (5.54) 8π 5 k 4 = 7,5 × 10−16 J m−3 K−4. 3 3 15c h (5.55) ρν e = ρν e = ρν µ = ρν µ = ρν = dengan tetapan Stefan-Boltzmann a= Pada saat me < kT , e ± bersifat relativistik sehingga ρ e − = ρ e + = 2 ρν = 7 aT 4 . 8 (5.56) Rapat energi untuk elektron dan positron bernilai dua kali rapat energi neutrino karena elektron dan positron memiliki dua keadaan spin. Rapat energi total jagad raya saat rentang suhunya 1012 K > T > 5 × 109 K adalah jumlah rapat energi neutrino, elektron, positron dan foton sebesar __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 137 ρ total = 9aT 4 . 2 (5.57) Berikutnya saat T di bawah suhu 1010 K, partikel yang berperan penting di dalam kesetimbangan suhu hanyalah e ± dan γ. Neutrino dan antineutrino tidak mengalami pemanasan ketika pelenyapan elektron-positron sehingga suhu keduanya turun sebanding dengan S −1 . Selanjutnya untuk T < 5 × 109 K, suhu neutrino dan antineutrino ( Tν ) harus dibedakan dengan suhu foton dan partikel bermuatan lainnya (T). Suhu foton lebih besar daripada suhu neutrino dengan faktor sebesar T Tν T =3 < 10 K 9 11 = 1,401 . 4 (5.58) Untuk T < 109 K, partikel yang tersisa di kesetimbangan suhu adalah sejumlah kecil nukleon dan elektron setelah seluruh pasangan e + e − mengalami proses pelenyapan. Kedua nilai Tν dan T turun mengikuti S −1 dengan perbandingan antara keduanya seperti yang disajikan pada persamaan di atas. Nantinya suhu foton Tγ juga akan berbeda dengan suhu materi T setelah T turun di bawah 4000 K, yaitu saat suhu yang memungkinkan terbentuknya atom hidrogen. Suhu foton ini akan terus menurun mengikuti S −1 . Radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro yang ditemukan orang memiliki suhu saat ini sebesar Tγ 0 = 2,7 K. (5.59) Karena itu seharusnya suhu radiasi benda hitam neutrino dan antineutrino sebesar Tν 0 = Tγ 0 3 11 / 4 = 1,9 K. (5.60) Dari saat T ≈ 109 K hingga saat ini, rapat energi foton, neutrino dan antineutrino yang membentuk rapat energi radiasi adalah ρ R = 1,45 aTγ4 . (5.61) __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 138 Selama masa dominasi radiasi, nilai rapat energi ρ ∝ S −4 . Solusi persamaan dinamika jagad raya untuk keadaan tersebut adalah t= 3 + tetapan. 32πGρ (5.62) Tabel 5.2 Deskripsi suhu, usia dan ruji jagad raya T (K) T / Tν S / S0 T (detik) 1 × 1012 1,000 1,9 × 10−12 0 6 × 1011 1,000 3,2 × 10−12 1,94 × 10−4 3 × 1011 1,000 6,4 × 10−12 1,13 × 10−3 2 × 1011 1,000 9,6 × 10−12 2,61 × 10−3 1 × 1011 1,000 1,9 × 10−11 1,08 × 10−2 6 × 1010 1,000 3,2 × 10−11 3,01 × 10−3 3 × 1010 1,001 6,4 × 10−11 0,121 2 × 10 −11 10 1,002 9,6 × 10 1 × 1010 1,008 1,9 × 10−10 1,103 6 × 109 1,022 3,1 × 10−10 3,14 3 × 109 1,081 5,9 × 10−10 13,83 2 × 109 1,159 8,3 × 10−10 35,2 1 × 109 1,346 2,6 × 10−9 1,82 × 102 3 × 108 1,401 9,0 × 10−9 2,08 × 103 1 × 108 1,401 2,7 × 10−8 1,92 × 104 1 × 107 1,401 2,7 × 10−7 1,92 × 106 1 × 106 1,401 2,7 × 10−6 1,92 × 108 1 × 105 1,401 2,7 × 10−5 1,92 × 1010 1 × 104 1,401 2,7 × 10−4 1,92 × 1012 4 × 103 1,401 6,3 × 10−4 1,20 × 1013 0,273 Semenjak 1012 K > T > 5 × 109 K, rapat energi dirumuskan oleh pers. (5.57) sehingga diperoleh (nilai c diisikan) __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 139 t= c2 + tetapan 48πGaT 4 2 1010 K detik + tetapan. = 1,09 × T (5.63) Jika t = 0 dimulai saat T = 1012 K (tentu saja yang benar tidak demikian), maka diperlukan waktu 0,0107 detik agar suhu turun ke 1011 K dan selanjutnya sebesar 1,07 detik untuk turun ke 1010 K. Adapun dari 109 K > T > Tγ 0 , waktu yang diperlukan adalah t= c2 + tetapan 15,5πGaTγ4 2 1010 K + tetapan. = 1,92 × T (5.64) Waktu yang diperlukan agar suhu turun dari 109 K menuju 108 K adalah sekitar 5,3 jam. Jika radiasi terus lebih dominan daripada materi sampai terbentuknya atom hidrogen pada T = 4000 K, usia jagad raya saat itu sekitar 400.000 tahun. Pada Tabel 5.2 disajikan deskripsi suhu usia, usia dan ruji jagad raya dengan sumber dari Weinberg (1972). 5.8. Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro Pengembangan jagad raya menyebabkan suhunya menurun, demikian pula dengan suhu radiasi foton. Hal ini membawa pula pada perubahan panjang gelombang foton yang bergeser ke arah yang lebih besar, yang dikenal sebagai pergeseran merah (red shift). Meskipun demikian, distribusi spektrum radiasi foton tetap seperti yang dimiliki oleh radiasi benda hitam. Pada tahun 1940-an, para ilmuwan kosmolog Big Bang seperti Gamow dan lainnya meramalkan bahwa suhu “bola api” sekarang menurun menjadi suhu yang berorde 5 sampai dengan 10 K. Foton-foton tersebut akan memiliki energi kT dalam orde 10−3 eV yang berkaitan dengan panjang gelombang berorde 1 mm, yaitu dalam daerah spektrum gelombang mikro (microwaves). __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 140 Spektrum panjang gelombang radiasi ini dilukiskan oleh distribusi Planck melalui perumusan u ( λ ) dλ = 8πhc λ 5 dλ exp(hc / λkT ) − 1 (5.65) dengan u (λ ) dλ adalah rapat energi radiasi yang dipancarkan pada rentang panjang gelombang λ dan λ + dλ . Distribusi panjang gelombang untuk suatu suhu tertentu memiliki nilai maksimum pada λmax yang dirumuskan dalam hukum pergeseran Wien sebagai λmaxT = 2,898 × 10−3 K m. (5.66) Rapat energi radiasi total untuk seluruh panjang gelombang diperoleh dari hukum Stefan-Boltzmann yaitu dengan mengintegralkan pers. (5.65) yang hasilnya ρ= ∞ ∫ u ( λ ) dλ = λ =0 8π 5 k 4 4 T . 15c 3h 3 (5.67) Ketika jagad raya mengembang, suhu T turun sehingga nilai λmax membesar. Panjang gelombang λmax membesar dengan faktor f, yang berpadanan dengan penurunan suhu T dengan faktor f sehingga ρ mengecil sebesar f 4 . Dengan substitusi λ= hc , E (5.68) pers. (5.65) dapat dituliskan sebagai u ( E ) dE = 8πE 3 dE . 3 3 h c exp( E / kT ) − 1 (5.69) Persamaan di atas menyatakan kerapatan energi foton. Jika nilai di atas dibagi E, hasilnya menyatakan jumlah foton berenergi E persatuan volume atau n(E) yang dirumuskan sebagai n( E ) dE = 8πE 2 dE . 3 3 h c exp( E / kT ) − 1 (5.70) Jumlah foton untuk seluruh rentang energi persatuan volume atau N dapat dicari dengan mengintegralkan persamaan di atas yang nilainya adalah __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 141 ∞ 8πk 3T 3 N = ∫ n( E ) dE = 3 3 hc E =0 ∞ x 2 dx ∫ exp( x) − 1 x =0 (5.71) untuk mana telah dilakukan substitusi x= E . kT (5.72) Nilai integral tersebut dapat dicari secara numerik, sehingga akhirnya diperoleh jumlah foton persatuan volume sebesar N = 2,03 × 107 T 3 foton m−3. (5.73) Sementara itu nilai rapat energi dari pers. (5.67) adalah ρ = 4,73 × 103 T 4 eV m−3, (5.74) sehingga energi rata-rata tiap foton adalah Erata −rata = ρ N = 2,33 × 10−4 T eV. (5.75) Selanjutnya beralih pada upaya eksperimental untuk mendeteksi radiasi gelombang mikro serta penentuan suhunya. Dari pers. (5.65) tampak bahwa suhu T dapat ditentukan dengan mengukur energi radiasi benda hitam pada sembarang panjang gelombang. Namun untuk menunjukkan bahwa radiasinya mematuhi aturan spektrum radiasi benda hitam, maka diperlukan pengukuran dalam suatu rentang panjang gelombang. Pada tahun 1965, Penzias dan Wilson menggunakan suatu teleskop radio yang dipasang untuk panjang gelombang 7,35 cm. Pada panjang gelombang tersebut terekam suatu “desis” yang mengganggu teleskop mereka yang sulit untuk dihilangkan. Setelah upaya untuk menghilangkan gangguan itu ternyata sia-sia, mereka berkesimpulan bahwa asal radiasi tersebut adalah suatu sumber tak dikenal yang menghujami teleskop mereka dari segala arah, baik siang maupun malam. Dari energi radiasi pada panjang gelombang 7,35 cm tersebut mereka menyimpulkan bahwa suhu radiasi benda hitam adalah 3,1 ± 1,0 K. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata disimpulkan bahwa radiasi tersebut adalah warisan dari “bola api” Big Bang. Pada Gambar 5.2 disajikan distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro (Krane, 1992). __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 142 Gambar 5.2 Distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro Sejak penemuan tersebut telah dilakukan pula pengamatan pada berbagai panjang gelombang dalam rentang 0,1 hingga 100 cm. Semua pengamatan memberikan kesimpulan suhu yang sama. Nilai baku suhu radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro adalah 2,7 ± 0,1 K. Semua hasil pengamatan menampakkan kecocokan yang tinggi. Kecocokan ini akan lebih meyakinkan jika dilakukan pula pengamatan pada panjang gelombang di bawah 0,1 cm. Hanya sayangnya, radiasi pada panjang gelombang tersebut mengalami penyerapan kuat oleh atmosfer bumi. Oleh karena itu teleskop radio di permukaan bumi tidak dapat bermanfaat. Namun demikain data yang dicatat oleh stasiun balon yang diterbangkan di atas atmosfer bumi membuktikan bahwa intensitas radiasi pada rentang panjang gelombang di bawah 0,1 cm memang mematuhi aturan radiasi benda hitam yang bersuhu 2,7 K (Krane, 1992). Selain itu terdapat metode eksperimen lain yang mendukung kebenaran nilai suhu yang disimpulkan dari pengukuran dengan teleskop radio. Salah satu molekul dwiatom dalam ruang antarbintang yang dicirikan dari spektrum serapnya adalah __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 143 Sianogen atau CN. Tingkat energi molekul adalah gabungan dari keadaan elektronik, vibrasi dan rotasi. Pada keadaan dasar, molekuk CN menyerap energi radiasi pada panjang gelombang λ = 387,46 nm pada ujung biru spektrum tampak. Keadaan rotasi pertama memiliki energi sebesar 4,70 × 10−4 eV di atas keadaan dasar. Pada keadaan ini, panjang gelombang garis serapnya adalah 387,40 nm. Jika kita mengukur spektrum serap, perbandingan intensitas kedua garis serap ini merupakan ukuran perbandingan jumlah molekul pada keadaan dasar dan dalam keadaan rotasi pertamanya. Jika CN berada pada T = 0, semua molekulnya harus berada dalam keadaan dasar. Pada suhu T, populasi keadaan eksitasi ditentukan oleh faktor Boltzmann exp(− E / kT ) . Bobot statistik tingkat tersebut dirumuskan sebagai N1 2 L1 + 1 = exp[− ( E1 − E2 ) / kT ] . N 2 2 L2 + 1 (5.76) Oleh karena itu penentuan jumlah relatif molekul pada kedua tingkat tersebut adalah suatu cara untuk menentukan suhu gas. Pengamatan terhadap intensitas kedua garis serap gas CN di atas menunjukkan bahwa sekitar 25 % molekulnya berada dalam keadaan tereksitasi. Persamaan di atas menjadi 25 % 2 × 1 + 1 = exp(−4,70 × 10 − 4 eV / kT ) 75 % 2 × 0 + 1 (5.77) yang berarti T = 2,5 K. (5.78) Hal ini berarti bahwa pada ruang antar bintang yang amat dingin, terdapat sesuatu yang memanasi molekul-molekul gas CN sehingga memiliki suhu tersebut (Krane, 1992). Pengamatan terhadap radiasi kosmik menunjukkan bahwa radiasi tersebut bersifat isotrop (merata) pada seluruh arah hingga ketelitian 10−3. Sifat ini sesuai dengan asas kosmologi. Suhu T = 2,7 K ini dapat dikatakan sebagai suhu jagad raya. Hal ini tentu saja berlaku untuk skala besar (large scale). Dengan menggunakan suhu ini, dapat dihitung bahwa dalam setiap volume satu meter kubik ruang di jagad raya, terdapat sekitar 4 × 108 buah foton. Sumbangannya bagi rapat energi jagad raya adalah __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 144 sekitar 2,5 × 105 eV m−3 atau kira-kira setengah dari energi rehat sebuah elektron. Jadi setiap foton memiliki energi rata-rata sebesar 6,3 × 10−4 eV. Mengingat fenomena di atas, pantaslah jika Big Bang merupakan salah satu teori yang cukup menerangkan gejala penciptaan jagad raya dan ekspansinya. Namun demikian terdapat teori baru yang mampu memberikan tambahan penjelasan yang belum mampu dijelaskan oleh teori Big Bang, diantaranya adalah teori jagad raya yang mengalami inflasi (inflationary universe). Hal-hal yang belum dapat dijelaskan oleh teori Big Bang adalah, mengapa jagad raya nampak begitu datar dan seragam, darimanakah munculnya ketidakteraturan rapat massa jagad raya pada skala kecil, dan sebagainya. Namun demikian telaah jagad raya yang mengalami inflasi tersebut tidak akan dibahas di sini. __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 145 Soal-Soal Latihan BAB V 1. Jelaskan alasan mengapa munculnya pergeseran merah galaksi-galaksi jauh merupakan isyarat terjadinya ekspansi jagad raya? 2. Apakah tetapan Hubble benar-benar sebuah tetapan? Apakah terhadap jarak yang jauh, ia mengalami perubahan? Bagaimanakah terhadap selang waktu yang lama, akankah ia juga mengalami perubahan? 3. Bagaimanakah kesimpulan anda, bahwa saat umur jagad raya sekitar 10 −4 detik, perbandingan antara jari-jari jagad raya saat itu dengan jari-jari jagad raya saat ini adalah sekitar 10 −12 (jari-jari jagad raya saat ini sekitar 10 26 m)? 4. Jelaskan perbedaan antara jagad raya terbuka, datar serta tertutup. 5. Buktikan persamaan (5.15). 5. Asumsikan suatu jagad raya bermetrik ds 2 = −c 2 dt 2 + R 2 (t ) dr 2 + sin 2 r (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) dengan R (t ) = R0t 2 / 3 . Seorang pengamat pada t = t1 mengamati suatu galaksi yang berjarak pribadi D tegaklurus dengan garis sight pada t = t0 . Tentukan pergeseran merah yang diamati dalam suku R0 , t0 , t1 . 6. Asumsikan jagad raya bersifat isotropik dan datar secara spasial. Metrik jagad raya tersebut dapat mengambil bentuk ds 2 = − dt 2 + a 2 (t )(dr 2 + r 2 dθ 2 + r 2 sin 2 θ dφ 2 ) __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 146 dengan r , θ , φ adalah koordinat yang ikut bergerak (comoving coordinate). Jagad raya ini diasumsikan didominasi matero dengan rapat materi ρ (t ) pada waktu t. Solusi persamaan Einstein adalah aɺ 2 = 8πG 4πG ρ a 2 dan aɺɺ = − ρ a. 3 3 Dari fakta bahwa cahaya merambat sepanjang geodesik null, tunjukkan bahwa pergeseran merah kosmologi dari garis spektrum yang dipancarkan pada waktu te dan diterima pada waktu t0 yang didefinisikan sebagai λ − λe Z= 0 , λe adalah a Z = 0 −1 ae dengan a0 = a(t0 ) dan ae = a (te ) . 7. Asumsikan bahwa geometri jagad raya dilukiskan oleh metrik RobertsonWalker (c = 1) dr 2 + r 2 dΩ 2 . ds 2 = −dt 2 + R 2 (t ) 1 − kr 2 Sebuah pesawat ruang angkasa bergerak relatif terhadap seorang pengamat kosmologis dengan kecepatan v. Beberapa waktu kemudian ketika jagad raya telah mengembang dengan faktor skala 1 + z , tentukan kecepatan v' relatif terhadap pengamat tersebut. 8. Gunakan hukum Hubble untuk memperkirakan panjang gelombang 590 nm spektrum garis Na yang diamati terpancarkan dari galaksi yang jaraknya dari bumi adalah (a) 1 juta tahun cahaya (b) 100 juta tahun cahaya (c) 1 milyar tahun cahaya __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 147 9. Carilah panjang gelombang dari puncak spektrum radiasi benda hitam yang bersuhu 2,7 K. 10. Keadaan rotasi pertama sianogen berada pada energi 4,70 × 10 −4 eV di atas keadaan dasar. Hitunglah populasi relatif keadaan dasar dan ketiga keadaan rotasi pertama pada suhu T = 2,7 K. 11. 12. Kapankah suhu jagad raya berada di bawah suhu ambang bagi (a) Penciptaan nukleon (b) Penciptaan meson π (c) Terbentuknya atom hidrogen Saat jagad raya memungkinkan foton menghasilkan meson K ( E0 = 500 MeV) 13. (a) Pada suhu berapakah peristiwa itu dapat terjadi? (b) Pada usia berapakah jagad raya saat memiliki suhu tersebut? Andaikata rapat jumlah neutrino saat terjadi Big Bang sama dengan rapat jumlah foton sekarang, hitunglah energi diam seluruh neutrino yang dapat memberikan kerapatan kritis yang diperlukan untuk menghasilkan jagad raya tertutup. 14. Karena kita belum memiliki teori kuantum gravitasi, kita tidak dapat menganalisis jagad raya sebelum waktu Planck, sekitar 10 −43 detik. Jika kita menganggap bahwa sifat jagad raya selama masa iu ditentukan oleh teori kuantum, relativitas dan grvitasi, waktu Planck haruslah ditentukan oleh tetapan dasar dari ketiga teori ini : h, c dan G. Jadi kita dapat menuliskan t P = hα c β G γ . (a) Lakukan analisis dimensi untuk menentukan α , β dan γ . (b) Hitunglah waktu Planck tersebut. __________________________________________________________________ Kosmologi : Sejarah Jagad Raya _________________________________________________________________________________________ 148 (c) Kita dapat pula melakukan hal yang sama untuk menentukan panjang Planck l P dan massa Planck mP . Tentukan pula panjang Planck dan massa Planck. 15. Mengapa suhu neutrino lebih rendah daripada suhu radiasi latarbelakang gelombang mikro? __________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 149 BAB VI KOSMOLOGI : DINAMIKA JAGAD RAYA Interaksi antar materi pada skala besar jagad raya saat ini hanya dipengaruhi oleh gravitasi. Karena itu, pemecahan persamaan medan gravitasi Einstein akan sanggup memberikan deskripsi jagad raya secara klasik, baik pada asperk kualitatif maupun kuantitatif. Ada beberapa model jagad raya yang dapat disajikan sebagai penyelesaian persamaan Einstein. 6.1 Dinamika Jagad Raya Persamaan medan gravitasi Einstein akan diselesaikan untuk objek fisis jagad raya. Terlebih dahulu akan dihitung tensor energi-momentum gas galaksi. Setiap partikel (galaksi) di jagad raya bergerak mengikuti garis dunia (world line). Kecepatan−4 partikel tersebut dapat dinyatakan oleh vektor kontravarian V µ Vµ = dx µ dτ (6.1) dengan x µ adalah vektor koordinat−4 dan τ adalah swawaktu (proper time) yang diukur oleh jam standar yang ikut bergerak bersamanya. Partikel-partikel di jagad raya dapat dianggap sebagai fluida sempurna (perfect fluid). Tensor energimomentum untuk fluida sempurna dirumuskan sebagai (Anugraha, 1997) T µν = ( ρ + p )V µV ν + pg µν (6.2) dengan ρ adalah rapat massa galaksi dan p adalah tekanan jagad raya. Sepanjang garis dunia partikel gas galaksi, koordinat (r , θ , φ ) bernilai konstan. Dari keadaan ini, metrik Robertson-Walker (Anugraha, 1997) memberikan ds 2 = −dt 2 (6.3) ds 2 = −dτ 2 (6.4) Padahal dari definisi, yang berarti τ =t. (6.5) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 150 Jadi kecepatan−4 partikel tersebut di kerangka Robertson-Walker adalah V µ = (1,0) (6.6) Komponen tensor metrik kovarian untuk metrik Robertson-Walker yang nilainya tak lenyap adalah g 00 = −1 , g11 = S2 , g 22 = S 2 r 2 dan g 33 = S 2 r 2 sin 2 θ 2 1 − kr (6.7) Adapun pasangan komponen kontravarian yang tak nol adalah g 00 = −1 , g 11 = 1 − kr 2 1 1 , g 22 = 2 2 dan g 33 = 2 2 2 2 S S r S r sin θ (6.8) Dari bentuk persamaan (6.1), tensor energi-momentum fluida sempurna memiliki komponen kovarian Tµν = ( ρ + p )VµVν + pg µν (6.9) Dari kecepatan−4 kontravarian di atas, nilai kecepatan−4 kovarian adalah Vµ = (−1,0) . (6.10) Dengan demikian komponen kovarian tensor energi-momentum yang tak lenyap adalah T00 = ρ , T11 = pS 2 , T22 = pS 2 r 2 dan T33 = pS 2 r 2 sin 2 θ 2 1 − kr (6.11) Lambang Christoffel jenis kedua dirumuskan sebagai (Lawden, 1992) ∂gνβ ∂g βµ ∂g µν α Γµν = 12 g αβ µ + ν − β ∂x ∂x ∂x (6.12) Dari pers. (6.7), (6.8) dan (6.12), nilai-nilai lambang Christoffel jenis kedua yang tak lenyap adalah 0 Γmn = 1 2 ∂g mn kr 1 dS a 1 2 1 , Γma 0 = Γ0am = δ m , Γ11 = , Γ22 = − r (1 − kr 2 ) , Γ33 = 2 ∂t S dt 1 − kr 1 2 3 Γ33 sin 2 θ , Γ122 = Γ21 = Γ133 = Γ31 = 1 2 3 3 , Γ33 = − 12 sin 2θ , Γ23 = Γ32 = cot θ r (6.13) Tensor Ricci dirumuskan sebagai (Lawden, 1982) Rµα = ν ∂Γµν ∂x α − ν ∂Γµα ν ∂x ν β ν β + Γβα Γµν − Γβν Γµα (6.14) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 151 Dengan nilai-nilai lambang Christoffel di atas, nilai komponen tensor Ricci yang tidak lenyap adalah ν ∂Γ0νν ∂Γ00 ν β R00 = 0 − ν + Γβν 0 Γ0βν − Γβν Γ00 ∂x ∂x = ∂ 1 ∂ 2 3 1 1 2 2 3 3 ν (Γ01 + Γ02 + Γ03 ) − ν (0) + Γ10 Γ01 + Γ20 Γ02 + Γ30 Γ03 − Γβν .0 ∂t ∂x 3 d 2S = S dt 2 R11 = (6.15) ν 1 ∂Γ110 ∂Γ11 ∂Γ1νν ∂Γ11 ∂ ν β ν β 1 2 3 + − + Γ Γ − Γ Γ = ( Γ + Γ + Γ ) − β 1 1ν βν 11 11 12 13 ∂x 0 ∂x1 ∂x1 ∂xν ∂x1 ( 1 0 1 1 1 2 2 3 3 Γ11 + Γ110 Γ10 + Γ11 Γ11 + Γ21 Γ12 + Γ31 Γ13 = Γ01 ( ) 1 0 2 0 3 0 1 1 1 1 − Γ01 Γ11 + Γ02 Γ11 + Γ03 Γ11 + Γ11 Γ11 + Γ122 Γ11 + Γ133 Γ11 1 =− 1 − kr 2 R22 = ) 2 S d 2S dS + 2 + 2 k dt dt 2 (6.16) ν ∂Γ2νν ∂Γ22 ν β − + Γβν 2 Γ2βν − Γβν Γ22 ν 2 ∂x ∂x ( 3 2 1 ∂Γ22 ∂Γ23 ∂Γ22 2 0 1 3 3 = − 0 + 1 + Γ02 Γ22 + Γ122 Γ22 + Γ32 Γ23 2 ∂x ∂x ∂x ( ) 0 1 0 2 0 3 1 1 1 2 1 3 − Γ22 Γ01 + Γ22 Γ02 + Γ22 Γ03 + Γ22 Γ11 + Γ22 Γ12 + Γ22 Γ13 ) 2 S d 2S dS = − r2 + 2 + 2k 2 dt dt R33 = (6.17) ν ∂Γ3νν ∂Γ33 ν β − + Γβν 3Γ3βν − Γβν Γ33 ν 3 ∂x ∂x 0 1 2 ∂Γ33 ∂Γ33 ∂Γ33 ∂ = 3 (0) − 0 + 1 + 2 ∂x ∂x ∂x ∂x ( − (Γ 3 0 1 3 2 0 3 1 3 2 3 + Γ03 Γ33 + Γ133 Γ33 + Γ23 Γ33 + Γ33 Γ30 + Γ33 Γ31 + Γ33 Γ32 1 0 01Γ33 ) 2 0 3 0 1 1 1 1 3 2 + Γ02 Γ33 + Γ03 Γ33 + Γ11 Γ33 + Γ122 Γ33 + Γ133 Γ33 + Γ23 Γ33 ) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 152 2 S d 2S dS = − r sin θ + 2 + 2 k dt dt 2 2 2 (6.18) Nilai skalar kelengkungan adalah R = g µν Rµν = g 00 R00 + g 11R11 + g 22 R22 + g 33 R33 =− 6 S2 S d 2 S dS 2 + +k 2 dt dt (6.19) Kini persamaan Einstein yang berbentuk Rµν − 12 g µν R − g µν Λ = −8πGTµν (6.20) akan diselesaikan dengan menggunakan hasil-hasil di atas. Untuk komponen−00 diperoleh R00 − 12 g 00 R − g 00 Λ = −8πGT00 3 d 2S − S dt 2 1 2 6 (−1) . − 2 S S d 2 S dS 2 − Λ.(−1) = − 8πGρ + + k dt dt 2 atau 2 dS 2 2 8 1 dt + k − 3 ΛS = 3 πGρS . (6.21) Untuk komponen−11 diperoleh R11 − 12 g11R − g11Λ = −8πGT11 − 1 1 − kr 2 2 2 2 S d 2S 6 S d 2 S dS dS −1 S − Λ.(−1) + 2 + 2 k . − + + k 2 2 dt dt dt 2 2 1 − kr 2 S dt =− 8πGpS 2 1 − kr 2 atau 2 2 S d 2 S dS + + k − ΛS 2 = −8πGpS 2 . dt 2 dt (6.22) Untuk komponen−22 dan −33 juga diperoleh hasil yang sama dengan seperti pada komponen−11. ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 153 Selanjutnya model jagad raya standar diperoleh jika Λ = 0. Bentuk pers. (6.21) dan (6.22) berturut-turut menjadi Sɺ 2 + k = 83 πGρS 2 (6.23) 2 SSɺɺ + Sɺ 2 + k = −8πGpS 2 (6.24) Pada bentuk di atas telah digunakan lambang dS Sɺ = dt (6.25) d 2S Sɺɺ = 2 dt (6.26) dan untuk menyingkat penulisan. Jika pers. (6.23) dan (6.24) digabungkan, diperoleh 4πG Sɺɺ = − ( ρ + 3 p) S 3 (6.27) atau 2 SɺSɺɺ = − 8πG ( ρ + 3 p ) SSɺ . 3 (6.28) Sementara itu kalau pers. (6.23) diturunkan ke t, didapat bentuk 2 SɺSɺɺ = 8πG d ( ρS 2 ) 3 dt (6.29) Dengan menyamakan ruas kanan (6.28) dan (6.29) diperoleh bentuk d ( ρS 2 ) + ( ρ + 3 p ) SSɺ = 0 . dt (6.30) Jika pada ruas kiri persamaan terakhir dikalikan dengan S, bentuk terakhir tersebut menjadi S d ( ρS 2 ) d ( ρS 3 ) d (S 3 ) + ρS 2 Sɺ + 3 pS 2 Sɺ = +p =0 dt dt dt (6.31) atau d ( ρS 2 ) d (S 3 ) = −p . dt dt (6.32) Alternatif bentuk lain untuk pers. (6.32) adalah ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 154 S3 dp d [ S 3 ( ρ + p )] . = dt dt (6.33) Pers. (6.33) dikenal sebagai persamaan kekekalan energi. Sementara itu pers. (6.32) dapat dibentuk menjadi d ( ρS 3 ) d (S 3 ) ɺ Sɺ = −p S dt dt (6.34) d ( ρS 3 ) = −3 pS 2 . dS (6.35) atau Dengan menyatakan persamaan keadaan p = p ( ρ ) , persamaan terakhir dapat digunakan untuk menyatakan ρ sebagai fungsi S. Sebagai contoh jika rapat energi jagad raya didominasi oleh materi non-relativistik dengan pengabaian nilai tekanan (p ≈ 0 ), pers. (6.35) memberikan ρS 3 = konstan. (6.36) Pada keadaan dimana rapat energi didominasi oleh partikel relativistik (radiasi) maka p = 13 ρ (Weinberg, 1972) sehingga dari (6.35) diperoleh ρS 4 = konstan. (6.37) Dengan mengetahui ρ sebagai fungsi S, dapat ditentukan S(t) untuk seluruh waktu t. Model jagad raya dengan metrik Robertson-Walker ini dikenal dengan model Friedmann. Dinamika jagad raya di masa lalu, sekarang dan masa depan dapat dianalisis melalui persamaan-persamaan yang telah disebutkan di atas. Pers. (6.27) menunjukkan bahwa “percepatan” Sɺɺ / S bernilai negatif karena besaran ρ + 3 p selalu positif. Karena menurut definisi S > 0 dan Sɺ / S juga > 0 (karena yang nampak pergeseran merah, bukan pergeseran biru), maka kurve S(t) dengan t haruslah berbentuk kurve cekung dan memiliki nilai S(t) = 0 pada suatu waktu tertentu di masa lalu. Didefinisikan pada saat itu sebagai awal waktu t = 0 sehingga S (t = 0) = 0 (6.38) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 155 Waktu saat ini (t 0 ) disebut usia jagad raya sejak t = 0. Jika Sɺɺ = 0 untuk 0 ≤ t ≤ t 0 maka Sɺ = K = konstan dan S = Kt. Nilai Sɺ (t 0 ) = H 0 = t 0−1 S (t 0 ) (6.39) t 0 = H 0−1 (6.40) atau Karena Sɺɺ selalu negatif untuk 0 ≤ t ≤ t 0 maka usia jagad raya haruslah lebih kecil dari waktu Hubble yang dirumuskan sebagai t 0 < H 0−1 (6.41) Untuk saat di masa depan, nilai tekanan p tidak pernah negatif. Dari pers. (6.32) nampak bahwa rapat ρ harus lebih kecil dari kenaikan S 3 . Untuk nilai k = −1, Sɺ (t ) definit positif, sehingga S (t ) monoton naik. Saat t → ∞ , S (t ) → ∞ . Untuk k = 0, S (t ) juga monoton naik, tetapi kenaikannya lebih lambat dari t. Adapun untuk k = +1, Sɺ (t ) = 0 ketika ρS 2 = 3 / 8πG . Karena Sɺɺ definit negatif maka S (t ) akan membesar lalu mencapai nilai maksimum (saat Sɺ (t ) = 0) lalu mengecil sampai S = 0 pada suatu waktu yang terhingga di masa depan. Jadi secara kualitatif, model dan nasib jagad raya di masa depan ditentukan oleh tanda kelengkungan ruang. Jika k = −1 atau 0, jagad raya akan berekspansi selamalamanya. Sedangkan jika k = +1, ekspansi terseut akan berhenti dan kemudian mengalami kontraksi balik menuju keadaan singular S = 0. 6.2 Rapat Energi dan Tekanan Jagad Raya Pada masa kini ( t = t 0 ) , rapat energi dan tekanan jagad raya diberikan oleh pers. (6.23) dan (6.24) sebagai ρ0 = 3(k / S 02 + H 02 ) 8πG (6.42) dan ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 156 p0 = − k / S 02 + (1 − 2q0 ) H 02 8πG (6.43) Disini, S 0 adalah faktor skala kosmik untuk saat sekarang (t = t0 ) , H 0 dan q0 berturut-turut adalah konstanta Hubble dan parameter perlambatan, dengan nilai masing-masing 75 km(s Mpc)−1 dan 1,2. Dari pers. (6.42), nilai kelengkungan ruang k / S 02 dapat bernilai positif, nol atau negatif, sehingga ρ 0 dapat bernilai lebih besar, sama atau lebih kecil dari rapat kritis (critical density) yang dirumuskan sebagai 3H 02 = 1,1 × 10−26 kg/m3 ρc = 8πG (6.44) untuk mana telah diisikan nilai k = 0. Akan terlihat nanti bahwa nilai p0 << ρ 0 (6.45) sehingga dapat diambil nilai p0 = 0. Hal ini menunjukkan bahwa rapat energi jagad raya saat ini didominasi oleh materi non-relativistik. Pers. (6.43) menjadi k = (2q0 − 1) H 02 2 S0 (6.46) dan (6.42) memberikan perbandingan rapat energi saat ini dengan rapat kritis (6.44) sebagai ρ0 = 2q0 ρc (6.47) atau ρ0 = 3q0 H 02 . 4πG (6.48) Pers. (6.48) di atas memberikan informasi bahwa q0 tidak pernah bernilai negatif. Maka untuk q0 > sedangkan untuk q0 < 1 2 1 2 , kelengkungan jagad raya bernilai positif (k = +1), , kelengkungan jagad raya bernilai negatif (k = −1). Jika rapat energi jagad raya saat ini sama dengan rapat kritis maka ruang-waktu bersifat datar yang berkorelasi dengan nilai q0 = 12 . ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 157 Berdasarkan pengamatan, rapat massa-energi jagad raya yang disumbang oleh materi yang tampak, yaitu galaksi adalah (Weinberg, 1972) ρ galaksi = 3,1 × 10 −28 kg / m3 . (6.49) Jika massa-energi hanya terkonsentrasi di galaksi, pers. (6.48) memberikan nilai parameter perlambatan q0 = 0,014 jika ρ 0 = ρ galaksi (6.50) yang berimplikasi pada model jagad raya terbuka dengan kelengkungan ruang bernilai negatif. Namun, nilai q0 ini tidak sesuai dengan hasil analisis q antara hubungan pergeseran dan luminositas yang memberikan nilai q0 = 1,2 (Weinberg, 1972). Di sini ada dua kemungkinan penyebab terjadinya ketidaksesuaian. Pertama, penghitungan nilai q melalui hubungan pergeseran merah dan luminositas menghasilkan nilai q0 yang tidak sesuai. Atau kedua, adanya massa yang hilang (missing mass) berupa materi gelap (dark matter) yang belum dapat dideteksi orang. Tampaknya, kemungkinan kedua inilah yang lebih masuk akal. Sebab paling tidak, ada beberapa kandiidat materi jagad raya yang dapat menyumbang massa-energi agar nilai rapat kritis dapat terlampaui, seperti lubang hitam (black holes), lubang hitam mini, radiasi latar belakang gelombang mikro, “lautan” neutrino, graviton serta materi antar galaksi. Faktor kesulitan teknologi yang menyebabkan orang belum dapat memastikan materi apa saja yang dapat menyumbang massa jagad agar dapat melebihi massa kritis jagad raya. 6.3 Masa Dominasi Materi Dinamika jagad raya dapat ditentukan melalui solusi persamaan Einstein (6.23) dan (6.24) dengan pengabaian tetapan kosmologi Λ 8πGρS Sɺ 2 + k = 3 dan 2 2 SSɺɺ + Sɺ 2 + k = −8πGpS 2 . (6.51) (6.52) Pada masa dominasi materi, p dapat diabaikan (p ≈ 0 ) sehingga pers. (6.52) menjadi ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 158 2SSɺɺ + Sɺ 2 + k = 0 . (6.53) Bentuk terakhir ini dapat dituliskan menjadi d ( SSɺ 2 ) = − kSɺ . dt (6.54) Jika persamaan tersebut diintegralkan, dihasilkan bentuk SSɺ 2 = C − kS (6.55) dengan C suatu tetapan integrasi. Dengan substitusi (6.55) ke (6.51) diperoleh ρS 3 = 3C = tetapan 8πG (6.56) yang menunjukkan bahwa C adalah suatu tetapan positif. Pers. (6.56) melukiskan bahwa selama masa dominasi materi, berlaku persamaan kekekalan massa-energi dengan bentuk yang serupa dengan pers. (6.12). Pada saat sekarang ini, jagad raya didominasi oleh materi. Pers. (6.52) dapat dituliskan menjadi 2 SSɺɺ Sɺ k = −2 2 − = (2q0 − 1)H 02 S 02 Sɺ 0 S 0 S 02 = atau k . (2q0 − 1)H 02 (6.57) (6.58) dengan indeks−0 menyatakan keadaan pada masa sekarang. Pers. (6.55) dapat dituliskan sebagai C = S 0 Sɺ02 + kS0 = S 03 H 02 + kS0 . (6.59) Dengan substitusi (6.59) ke (6.56), besaran C dapat dinyatakan dalam besaran q0 dan H 0 untuk tiga nilai k : • Untuk k = +1, q0 > 12 : C = • Untuk k = 0, q0 = • Untuk k = −1, q0 < 12 : C = 1 2 2q0 H 0 (2q0 − 1)3 / 2 : C = S 03 H 02 2q0 H 0 (1 − 2q0 )3 / 2 (6.60) (6.61) (6.62) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 159 Pers. (6.55) akan diselesaikan untuk menentukan nilai S dan t sebagai fungsi suatu parameter θ yang dikenal dengan sudut pengembangan jagad raya (development angel) 6.3.1 Untuk k = + 1 Pers. (6.55) menjadi SSɺ 2 = C − S . (6.63) Melalui persamaan transformasi S= C (1 − sin θ ) 2 (6.64) diperoleh Cθɺ sin θ Sɺ = 2 (6.65) C (1 − cos θ )θɺ = 1. 2 (6.66) sehingga pers. (6.63) menjadi Dengan mengintegralkan ke t diperoleh t= C (θ − sin θ ) +D 2 (6.67) dengan D suatu tetapan integrasi. Dari syarat awal S(t) = 0 dihasilkan D = 0. Dengan substitusi nilai C dari pers. (6.60) akhirnya diperoleh S= q0 (1 − cos θ ) H 0 (2q0 − 1) 3 / 2 (6.68) t= q0 (θ − sin θ ) . H 0 (2q0 − 1)3 / 2 (6.69) dan Pers. (6.68) dan (6.69) melukiskan kurva S sebagai fungsi t dengan parameter θ yang berbentuk sikloid. Kurva tersebut ditampilkan pada Gb. 1. Jagad raya yang dilukiskan oleh nilai k = +1 ini adalam jagad raya yang berhingga (finite universe). Jagad raya pada model ini berekspansi dari keadaan singular S = t =θ = 0, (6.70) lalu ketika θ = π mencapai ruji maksimum sebesar ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 160 S maks = 2q0 H 0 (2q0 − 1)3 / 2 (6.71) pada saat t= πq0 H 0 (2q0 − 1) 3 / 2 (6.72) kemudian kembali berkontraksi menuju singularitas ketika θ = 2π pada saat t= 2πq0 . H 0 (2q0 − 1) 3 / 2 (6.73) Jika pers. (6.68) dan (6.69) diturunkan ke θ akan diperoleh laju pertambahan ruji jagad raya sebesar dS dS dθ 1 + cos θ = = . dt dt sin θ dθ (6.74) Laju pertambahan ruji jagad raya pada saat awal ketika jagad raya mulai berekspansi yaitu saat t → 0 + atau θ → 0 + adalah lim t → 0+ dS →∞. dt (6.75) Keanehan nilai tersebut sudah dapat diduga, mengingat adanya asumsi pengabaian tekanan. Padahal pada masa awal, jagad raya didominasi oleh radiasi sehingga pengabaian tersebut tidak benar. Namun demikian asumsi tersebut dapat dibenarkan untuk masa sekarang ini. Dapat dihitung pula laju pengerutan ruji jagad raya ketika mengakhiri masa kontraksi menuju keadaan singularitas adalah sebesar lim θ → 2π dS → −∞ . dt − (6.76) Adapun laju pengembangan ruji jagad raya pada ruji maksimum tentu saja sama dengan nol, yang terjadi saat θ = π . Hasil dua persamaan di atas menunjukkan bahwa ada suatu masa tertentu dimana laju pengembangan / pengerutan ruji jagad raya melebihi laju cahaya di ruang hampa yang dirumuskan sebagai ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 161 dS 1 + cos θ = >1= c dt sin θ (6.77) 0 < θ < π / 2 atau 3π / 2 < θ < 2π . (6.78) sehingga diperoleh Hal ini berarti setengah dari sudut sudut pengembangan jagad raya ketika berekspansi atau setengah dari sudut pengerutan jagad raya ketika berkontraksi menyebabkan laju pertambahan / pengerutan ruji jagad raya lebih besar daripada laju cahaya di ruang hampa. Selanjutnya akan ditentukan ruji dan usia jagad raya saat ini. Pers. (6.64) dapat dituliskan sebagai cos θ 0 = 1 − 2S0 1 = −1 C q0 (6.79) 1 − 1 q0 (6.80) 2q0 − 1 . q0 (6.81) sehingga θ 0 = cos −1 dan sin θ 0 = Jika hasil ini diisikan ke dalam pers. (6.68) dan (6.69) dihasilkan nilai-nilai S0 = H0 1 2q0 − 1 (6.82) dan t0 = −1 −1 q0 1 cos (q0 − 1) − . 3/ 2 2q0 − 1 H 0 (2q0 − 1) (6.83) Dengan mengisikan nilai H 0 = 75 km (s.Mpc)−1 atau H 0−1 = 13 milyar tahun dan q0 = 1,2 maka diperoleh nilai Ruji jagad raya = S 0 = 11 milyar tahun cahaya (6.84) dan Usia jagad raya = t 0 = 7 milyar tahun (6.85) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 162 Hubungan antara rapat energi dan sudut pengembangan θ dapat diturunkan dari pers. (6.51). Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai 3( Sɺ 2 + 1) ρ= 8πGS 2 (6.86) Dengan menggunakan hasil (6.68) dan (6.74) diperoleh ρ= 3H 02 (2q0 − 1) 3 . 4πGq02 (1 − cos θ ) 3 (6.87) Ini berarti ketika t → 0 + atau θ → 0 + maka ρ → ∞ yang menunjukkan bahwa rapt energi jagad raya saat terjadi Big Bang bernilai takhingga. Nilai rapat energi jagad raya saat ini sebesar ρ 0 dapat dihitung dengan hasil ρ0 = 3H 02 (2q0 − 1) 3 3H 02 q0 = 4πG 4πGq02 (2 − q0−1 ) 3 (6.88) yang identik dengan hasil yang ditelaah sebelumnya. Dari pers. (6.80), secara umum q berubah terhadap waktu t atau sudut pengembangan θ yang dirumuskan sebagai q= 1 1 + cos θ (6.89) Karena θ mulai dari 0 − 2π sepanjang evolusi jagad raya, maka nilai q bernilai mulai dari 1 2 sampai ∞ ketika ruji jagad raya mencapai maksimum lalu mengecil kembali ke nilai 1 2 . 6.3.2 Untuk k = 0 Pers. (6.55) menjadi SSɺ 2 = C. (6.90) Dengan mengintegralkan pers. (6.90) terhadap t kemudian menggunakan pers. (6.61) akan dihasilkan S 3H 0 t = S0 2 2/3 (6.91) Grafik S versus t terdapat pada Gb. 1. Limit t → ∞ menghasilkan nilai S → ∞ . Jadi jagad raya dengan k = 0 adalah model jagad raya terbuka (open universe). Nilai S ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 163 tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ruji jagad raya karena jagad raya menurut model ini tidak bertepi. Oleh karena itu S(t) lebih tepat disebut sebagai suatu faktor skala kosmik yang menyatakan pengembangan jagad raya. Nilai maksimum S(t) tidak bermakna. Usia jagad raya saat ini ketika S = S 0 adalah t0 = 2 3H 0 (6.92) Dengan H 0−1 = 13 milyar tahun, diperoleh Usia jagad raya = t 0 = 8,7 milyar tahun. (6.93) Jika pers. (6.91) diturunkan ke pers. t dihasilkan 1/ 3 dS 2 H 02 S 03 = dt 3t (6.94) yang menunjukkan bahwa laju pengembangan mula-mula bernilai tak hingga, kemudian terus mengecil hingga mendekati nol saat t → ∞ . Rapat energi jagad raya dapat ditentukan yaitu ρ= 1 . 6πGt 2 (6.95) Rapat energi saat ini menjadi 2 2 ρ 0 = 6πG 3H 0 −1 = 3H 02 = ρc 8πG (6.96) sesuai dengan pers. (6.44). Jadi rapat energi saat ini sejak dari t = 0 hingga menuju takhingga menurut model k = 0 sama dengan rapat kritis. Secara umum untuk rentang waktu yang panjang, rapat energi jagad raya untuk model k = 0 selalu sama dengan rapat kritisnya. 6.3.3 Untuk k = −1 Pers. (6.55) menjadi SSɺ 2 = C + S . (6.97) Melalui persamaan transformasi ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 164 S= q0 C (cosh ψ − 1) = (cosh ψ − 1) 2 H 0 (1 − 2q0 ) 3 / 2 (6.98) t= q0 C (sinh ψ − ψ ) = (sinh ψ − ψ ) 2 H 0 (1 − 2q0 ) 3 / 2 (6.99) diperoleh Pada Gb. 1 ditunjukkan kurva S sebagai fungsi t. Seperti halnya pada model k = −1, jika t → ∞ atau ψ → ∞ maka S → ∞ . Jadi S di sini adalah faktor skala kosmik, bukan ruji jagad raya karena nilainya tak memiliki makna. Ini dapat juga dipahami dari nilai kelengkungan ruang yang negatif. Jika (6.98) dan (6.99) masing-masing diturunkan ke ψ akan diperoleh laju pengembangan jagad raya sebesar dS dS / dψ cosh ψ + 1 = = . dt dt / dψ sinh ψ (6.100) k = −1 S k=0 k = +1 O t Gambar. 6.1 Kurva S sebagai fungsi t untuk tiga nilai k Ketika jagad raya mulai mengembang ( t → 0 + atau ψ → 0 + ) menurut model ini didapat laju pengembangan faktor skala kosmik sebesar lim t → 0+ dS →∞. dt (6.101) Adapun untuk t → ∞ maka nilainya adalah ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 165 lim t→∞ dS =1= c . dt (6.102) Hal ini menunjukkan bahwa laju pengembangan jagad raya pada model k = −1 sepanjang waktu selalu lebih besar dari laju cahaya di ruang hampa. Dengan menggunakan hasil (6.97) dan (6.100), terdapat ungkapan cosh ψ 0 = 1 + 2S 1 = −1 C q0 (6.103) sehingga 1 − 1 q0 ψ 0 = cosh −1 (6.104) dan sinh ψ 0 = 1 . q0 (1 − 2q0 )3 / 2 (6.105) Jika hasil ini dimasukkan ke dalam pers. (6.99) akan dihasilkan bentuk t0 = 1 H0 1 q0 cosh −1 (q0−1 − 1) . − 1 − 2q (1 − 2q0 ) 0 (6.106) Dengan anggapan bahwa rapat massa-energi jagad raya hanya terkonsentrasi di galaksi, maka nilai q0 = 0,0014. Dengan H 0−1 = 13 milyar tahun, diperoleh Usia jagad raya = t 0 = 12,4 milyar tahun. (6.107) Hubungan antara rapat energi dan ψ dapat dituliskan sebagai ρ= 3( Sɺ 2 − 1) . 8πGS 2 (6.108) Dengan menggunakan pers. (6.98) dan (6.100), pers. (6.108) dapat dituliskan menjadi ρ= 3H 02 (1 − 2q0 ) 3 . 4πGq02 (cosh ψ − 1) 3 (6.109) Ini berarti bahwa untuk t → 0 + atau ψ → 0 + maka ρ → ∞ . Adapun untuk t → ∞ atau ψ → ∞ maka ρ → 0 . Nilai rapat energi saat ini sebesar ρ 0 dapat dihitung sebesar ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 166 ρ0 = 3H 02 (1 − 2q0 )3 3H 02 q0 = 4πG 4πGq02 (q0−1 − 2) 3 (6.110) yang serupa dengan pers. (6.44). Dari pers. (6.103), secara umum q menurut model k = −1 berubah terhadap waktu t atau ψ dengan perumusan q= 1 . 1 + cosh ψ Karena ψ mulai dari 0 − ∞, maka q mulai dari 6.4 1 2 (6.111) lalu mengecil sampai dengan nol. Horison Partikel dan Horison Peristiwa Ditinjau koordinat r untuk mana suatu objek memancarkan foton pada waktu t1 yang selanjutnya diamati pada waktu t 0 di koordinat r = 0. Karena t1 tidak dapat lebih kecil dari t = 0 saat ekspansi jagad raya dimulai, jarak objek terjauh dengan koordinat r yang dapat diamati saat ini disebut dengan horison partikel (particle horison) yang dirumuskan sebagai r d H = S0 ∫ 0 t0 dr 1 − kr 2 dt . S 0 = S0 ∫ (6.112) Untuk k = +1, pers. (6.68) dan (6.69) memberikan dt = dθ S (6.113) sehingga dengan menggunakan pers. (6.80) dan (6.82) diperoleh θ0 d H = S 0 ∫ dθ = S 0θ 0 = 0 cos −1 (q0−1 − 1) H 0 2 q0 − 1 (k = +1) (6.114) Untuk k = 0 dan −1, nilai d H berturut-turut adalah t0 d H = S0 ∫ 0 ψ0 dt 2 = 2/3 H0 S 0 (3H 0t / 2) d H = S 0 ∫ dψ = 0 cosh −1 (q0−1 − 1) H 0 1 − 2 q0 (k = 0) (6.115) (k = −1) (6.116) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 167 Dengan mengisikan nilai H 0−1 = 13 milyar tahun, q0 = 1,2 (k = +1) dan q0 = 0,0014 (k = −1), diperoleh horison partikel dengan nilai berturut-turut : • 19 milyar tahun cahaya (k = +1), • 26 milyar tahun cahaya (k = 0), dan • 65 milyar tahun cahaya (k = −1). Jika sebuah peristiwa di koordinat r terjadi pada waktu t 0 , kita akan mengamatinya pada waktu t1 yang dirumuskan oleh persamaan r ∫ 0 dr 1 − kr = 2 t1 dt ∫S . (6.117) t0 Jarak terjauh suatu peristiwa yang dapat kita amati adalah d E = S0 t max ∫ t0 dt S (6.118) dengan t max = 2πq0 untuk k = +1 H 0 (2q0 − 1)3 / 2 (6.119) untuk k = 0 atau −1. (6.120) dan t max = ∞ Besaran d E ini disebut sebagai horison peristiwa (event horison) Pada kasus k = +1, nilai d E adalah d E = S 0 (θ max − θ 0 ) = 2π − cos −1 (q0−1 − 1) H 0 2q0 − 1 (6.121) Dengan mengisikan nilai-nilainya diperoleh horison peristiwa untuk k = +1 sebesar 50 milyar tahun cahaya. Arti fisis horison peristiwa ini adalah cahaya yang dipancarkan dari suatu peristiwa terjauh tidak akan kita amati sebelum jagad raya jatuh menuju keadaan singularitas. Adapun untuk k = 0 atau −1, diperoleh d E takhingga sehingga peristiwa terjauh yang terjadi saat ini tidak akan dapat diamati. 6.5 Masa Dominasi Radiasi ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 168 Dibandingkan dengan masa kini, peran radiasi bak elektromagnetik pada masa awal ekspansi jagad raya menjadi dominan (Peebles, 1971). Meskipun saat itu radiasi dan materi berada dalam keadaan setimbang dengan yang satu menciptakan yang lain atau sebaliknya, materi memiliki energi amat tinggi sehingga berperilaku ultra relativistik. Dari teori relativitas khusus, energi materi ultra relativistik bernilai E = p 2 + m 2 ≈ p , seperti yang berlaku bagi radiasi. Karena materi berperilaku sama seperti radiasi, masa awal jagad raya ditelaah dengan asumsi seolah-olah jagad raya hanya berisi radiasi. Dengan demikian rapat energi jagad raya saat itu tidak lain adalah rapat energi radiasi bak radiasi elektromagnetik. Radiasi latar belakang gelombang mikro yang ditemukan pada tahun 1965 oleh Penzias dan Wilson didapati bersifat isotrop untuk setiap pengamat galaksi. Rapat energi radiasi adalah ρ yang bernilai sama untuk setiap pengamat. Untuk pengamat yang ikut bergerak dalam kerangka Robertson-Walker, nilai kecepatan−4 pengamat kontravarian adalah V µ = (1,0) (6.122) Diasumsikan bahwa variasi wakttu terhadap komponen medan E m dan B m radiasi tersebut bersifat acak. Kaitan antara komponen tersebut dirumuskan sebagai < E m E n > + < B m B n > = Aη mn dengan tanda < (6.123) > menunjukkan nilai rerata. Jika dilakukan penjumlahan pada persamaan di atas meliputi jangkauan m, n = 1, 2, 3 maka diperoleh 3 2 2 m n m n < E E > + < B B > = E + B = 2ρ = A ∑ m,n =1 3 ∑η mn = 3 A (6.124) m , n =1 atau A= 2ρ 3 (6.125) sehingga pers. (6.124) menjadi 2 ρη mn <E E >+<B B >= . 3 m n m n (6.126) Nilai komponen tensor energi−momentum medan elektromagnetik T µν dirumuskan sebagai ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 169 T dengan T mn (6.127) ) + B 2 adalah rapat energi medan elektromagnetik = T m 0 = S m = (E × B) m adalah komponen ke−m vektor Poynting = 12 η mn E 2 + B 2 − E m E n + B m B n adalah tensor tegangan Maxwell. T 00 = ρ = T 0m (E ρ S = mn S T µν 1 2 2 ( ) ( ) (6.128) (6.129) (6.130) Akan dihitung nilai rata-rata komponen T µν dari nilai di atas. Dari pers. (6.130) diperoleh ( ) ( < T mn > = 12 < η mn > E 2 + B 2 − < E m E n > + < B m B n > ) (6.131) Jika i ≠ j maka < T mn > = 0. (6.132) Sedangkan untuk i = j berlaku < T mn > =< T 11 > =< T 22 > =< T 33 > = − 2ρ 1 ρ + 2 .2 ρ = 3 3 (6.133) Selanjutnya mengingat radiasi bersifat ajeg (steady), laju aliran energi pada sembarang arah bernilai nol sehingga nilai rata-rata vektor Poynting lenyap yang dirumuskan sebagai < S m > = < T 0m > = < T m0 > = 0 (6.134) Sementara itu < T 00 > = ρ . (6.135) Dengan demikian hanya untuk µ = ν sajalah yang mengakibatkan nilai T µν tidak lenyap. Jadi T µν dari pers. (6.127) tereduksi ke bentuk T µν = 43 ρV µV ν + 13 η µν ρ dengan kecepatan−4 pengamat galaksi V µ = (1,0) . (6.136) (6.137) Persamaan di atas dapat dituliskan dalam bentuk kovarian sebagai Tµν = 43 ρVµVν + 13 η µν ρ (6.138) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 170 Dalam kerangka Robertson-Walker, bentuk η µν diperluas menjadi tensor metrik g µν . Sementara itu kecepatan−4 kovarian pengamat galaksi adalah Vµ = (1,0) . Dengan demikian komponen tensor medan elektromagnetik di dalam kerangka Robertson-Walker dapat dihitung sebagai T00 = ρ , T11 = ρS 2 3(1 − kr 2 ) , T22 = ρS 2 r 2 3 dan T33 = ρS 2 r 2 sin 2 θ 3 (6.139) Jika pers. (6.139) dihubungkan dengan pers. (6.11) untuk fluida sempurna, nampak bahwa radiasi elektromagnetik berlaku untuk seperti fluida sempurna dengan rapat energi ρ dan tekanan yang setara dengan nilai 1 3 ρ . Dengan demikian pada masa dominasi radiasi dapat dikatakan bahwa nilai tekanan jagad raya sama dengan sepertiga nilai rapat energinya. Dengan menggunakan nilai komponen tensor Ricci yang telah dihitung, persamaan Einstein untuk objek jagad raya pada masa dominasi radiasi dapat diselesaikan. Dengan mengabaikan tetapan kosmologi Λ, komponen−00 memberikan 8πGρS Sɺ 2 + k = 3 2 (6.140) sedangkan komponen−11, −22 dan −33 memberikan hasil yang sama berupa 8πGρS 2 SSɺɺ + Sɺ 2 + k = − 3 2 (6.141) Telah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa pada masa-masa awal ekspansi jagad raya, nilai dS Sɺ = >> 1 = k dt (6.142) untuk ketiga nilai k. Jadi nilai k pada dua penyelesaian persamaan Einstein di atas dapat diabaikan. Dengan mengeliminasi nilai ρ diperoleh SSɺɺ + Sɺ 2 = d ( SSɺ ) =0 dt (6.143) Melalui dua kali pengintegralan dihasilkan ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 171 A Sɺ = dan S 2 = 2 At S (6.144) dengan A tetapan positif. Substitusi hasil terakhir ini ke pers. (6.140) akan dihasilkan ρ= 3 1 32πG t 2 (6.145) Jika diasumsikan bahwa selama masa ini, radiasi berada dalam kesetimbangan suhu dengan materi, maka spektrum radiasi tersebut memenuhi aturan spektrum radiasi benda hitam. Kaitan antara suhu T dengan rapat energi ρ diberikan dalam hukum Stefan-Boltzmann (disini nilai c diisikan) dengan perumusan (Lawden, 1982) ρ = aT 4 (6.146) dengan a= 8π 5 k 4 = 7,5.10 −16 Jm − 3 K − 4 3 3 15c h (6.147) adalah tetapan Stefan-Boltzmann. Besaran k, h dan c berturut-turut adalah tetapan Boltzmann, tetapan Planck dan laju cahaya di ruang hampa. Akhirnya dengan menyamakan pers. (6.145) dan (6.146) dihasilkan kaitan antara usia t dan suhu jagad T pada masa dominasi radiasi yaitu 3c 2 1 T = 32πGa t = 1,52 × 1010 t −1 / 2 (6.148) Jika diamati, persamaan di atas berisi tiga tetapan dasar dalam teori kuantum gravitasi yaitu G, c dan h. Persamaan di atas juga menceritakan bahwa ketika jagad raya berusia satu detik, suhunya kira-kira 1,52 × 1010 K . Ketika waktu t bertambah, maka suhunya menurun. 6.6 Data Fisis Jagad Raya Kini data fisis jagad raya diungkap, dengan pembatasan hanya untuk model jagad raya tertutup (k = +1) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 172 Tabel 6.1 Data fisis jagad raya (k = +1) No Besaran jagad raya Lambang Nilai 1 Tetapan Hubble H0 75 km/secMpc 2 Waktu Hubble H 0−1 13 milyar tahun 3 Parameter perlambatan q0 1,2 4 Ruji saat ini S0 11 milyar tahun cahaya 5 Ruji saat ekspansi maksimum S max 19 milyar tahun cahaya 6 Usia saat ini t0 7,1 milyar tahun 7 Waktu Big Bang−ekspansi maks. 1 t 2 max 29,5 milyar tahun 8 Waktu Big Bang − Big Crunch t max 59 milyar tahun 9 Volume saat ini 2π 2 S 03 2,2 × 1079 m3 10 Rapat energi saat ini ρ0 2,5 × 10−26 kg/m3 11 Volume saat ekspansi maksimum 3 2π 2 S max 1,1 × 1080 m3 ρ min 5,0 × 1027 kg/m3 θ0 0,55 π 12 Rapat energi saat ekspansi maksimum 13 Sudut pengembangan 14 Laju pertambahan ruji saat ini (dS / dt )0 0,85 c 15 Laju pertambahan volume saat ini 6π 2 S 02 Sɺ0 1,6 × 1062 m3/s 16 Massa total materi ρ 0V0 5,6 × 1053 kg 17 Jumlah ekuivalen massa materi mtotal / msun 2,8 × 1028 18 Jumlah ekuivalen massa baryon mtotal / mproton 3,4 × 1080 19 Horison partikel dH 19 milyar tahun cahaya 20 Horison peristiwa dE 50 milyar tahun cahaya ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 173 6.7 Masa Depan Jagad Raya Bagaimanakah masa depan jagad raya ? Apakah akan terus mengembang selamanya ataukah pada akhirnya akan terhenti dan kembali menyusut ? Apakah akan terjadi suatu kebalikan Big Bang yaitu semacam Big Crunch (Penciutan Dahsyat), ketika seluruh materi di jagad raya tertarik menuju satu titik, serta radiasi 2,7 K memanas kembali ? Setelah Big Crunch, apakah akan terjadi lagi the New Big Bang yang memulai evolusi jagad raya yang baru ? (Krane, 1992). Dari telaah pada pasal 3, rapat energi jagad raya yang disumbang oleh galaksi tampak bernilai lebih kecil daripada rapat kritis yang memisahkan model jagad terbuka dengan model jagad tertutup. Sementara itu analisis pergeseran merah galaksi menunjukkan model jagad raya tertutup. Manakah yang lebih mendekati fakta ? Jika nilai H 0 dan q0 berturut-turut adalah 75 km/secMpc dan 1,2, agaknya masih sangat lama bagi jagad raya untuk mencapai ekspansi maksimum, terlebih lagi untuk mencapai kontraksi akhir. Waktu yang diperlukan untuk keduanya berturut-turut adalah 23 dan 52 milyar tahun. Dalam kaitannya dengan alam, pertanyaan yang cukup mendasar adalah tentang adanya peradaban lain di jagad ini. Apakah manusia hanyalah satu-satunya makhluk beradab di jagad yang amat luas dan hampir kosong ini yang menempati bumi yang tak istimewa ? Ataukah jagad raya penuh berisi bentuk-bentuk kehidupan lain di luar jangkauan pemikiran manusia ? Apapun jawaban untuk keduanya sama-sama menimbulkan rasa kagum, takut dan takjub. Demikian pula masa depan jagad raya ini telah memiliki dua kemungkinan yang sama-sama menimbulkan rasa takut dan kagum. (1) Jagad raya akan mengembang selamanya, semua bintang dan galaksi akan menggunakan seluruh energinya sampai habis hingga menjadi lubang hitam. Seluruh proton akan meluruh menjadi antilepton. Jagad raya akan menjadi dingin dan gelap, serta seluruh kehidupan berakhir. (2) Ekspansi jagad raya akan berhenti yang diikuti dengan penyusutan gravitasi, serta seluruh jagad raya luluh menjadi satu titik. Mungkin akan terbentuk jagad raya yang baru dengan hukum-hukum alam yang berbeda. Tidak ada yang ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 174 mengetahui kapan dan bagaimana peristiwa itu akan terjadi, kecuali Tuhan yang telah menciptakan jagad raya ini. ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 175 Soal-Soal Latihan BAB VI 1. Tunjukkan bahwa metrik Robertson−Walker dapat dinyatakan dalam bentuk 2 S [du 2 + u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )] − c 2 dt 2 ds = 2 1 + ku / 4 2 melalui persamaan transformasi r= 2. u 1 + ku 2 / 4 . Tunjukkan bahwa metrik de Sitter ds 2 = A 2 exp(2 HT )(dr 2 + r 2 dθ 2 + r 2 sin 2 θ dφ 2 ) − c 2 dt 2 dapat ditransformasi ke bentuk du 2 2 ds = 2 2 1− H u / c 2 + u 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − c 2 (1 − H 2 u 2 / c 2 ) dT 2 melalui persamaan transformasi r= 3. u exp(− HT ) A 1 − H 2u 2 / c 2 , t =T + ln(1 − H 2 u 2 / c 2 ) . 2H Tunjukkan bahwa untuk seluruh model Friedmann dengan Λ = p = 0 , jarak galaksi dengan pergeseran merah z diberikan oleh d= 4. c[q 0 z + (q 0 − 1)( 2q 0 z + 1 − 1)] H 0 q 02 . Tunjukkan bahwa jika Λ tidak lenyap dalam model Friedmann, maka S (t ) memenuhi SSɺ 2 = c 2 ( D − kS + ΛS 3 / 3) ___________________________________________________________________ Kosmologi : Dinamika Jagad Raya ___________________________________________________________________________________________ 176 dengan D adalah parameter rapat materi yang didefinisikan oleh persamaan κc 2 ρS 3 = 3D . Tunjukkan bahwa untuk kasus khusus k = 0 , D = 0 akan menghasilkan jagad raya de Sitter. 5. Suatu jagad raya yang berisi radiasi berapat energi U memiliki persamaan keadaan 2 SSɺɺ + Sɺ 2 + kc 2 − c 2 ΛS 2 = − 13 κc 2US 2 , 3( Sɺ 2 + kc 2 ) − c 2 ΛS 2 = κc 2US 2 . Tunjukkan bahwa S 2 Sɺ 2 = c 2 ( D − kS 2 + 13 ΛS 4 ) dengan D adalah parameter rapat energi yang didefinisikan oleh persamaan 3D = κUS 4 . 6. Untuk jagad raya yang berisi radiasi, jika k = 1, Λ = 3 / 4 D dan S = 0 pada t = 0, tunjukkan bahwa pada sembarang t berlaku S 2 = 2 D[1 − exp(−ct / D )] . Jika S = 2 D pada t = 0, tunjukkan bahwa jagad raya tersebut statik tetapi tidak stabil. ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 177 BAB VII DINAMIKA GERAK PARTIKEL DAN FOTON Selama beberapa abad sejak kemunculannya di abad ke−17, gravitasi Newton menjadi hukum yang melandasi dan mendeskripsikan gerak benda−benda yang terikat dalam interaksi gravitasi. Keakuratannya untuk menganalisis dinamika gerak benda langit misalnya, tak diragukan lagi. Namun, ada beberapa gejala yang tak mampu dijelaskan dengan gravitasi Newton, seperti presesi orbit planet di sekitar matahari (sebagai benda massif), pembelokan cahaya ketika melewati benda massif (misalnya cahaya bintang yang lewat di sekitar matahari) dan sebagainya (Bose, 1980) Teori relativitas umum yang dirumuskan oleh Einstein pada tahun 1915 dalam bentuk teori gravitasi Einstein ternyata mampu menerangkan fenomena tersebut. Teori ini menyempurnakan gravitasi Newton dengan memasukkan efek kelengkungan ruang−waktu akibat hadirnya materi di dalamnya. Gravitasi Newton merupakan bentuk khusus dari gravitasi Einstein untuk medan gravitasi lemah (Lawden, 1982). Persamaan gravitasi Einstein dirumuskan dalam bentuk persamaan tensor. Jika dinamika sistem ingin diselidiki melalui persamaan ini, mula−mula metrik ruang−waktu sistem tersebut dirumuskan sehingga diperoleh nilai tensor metrik. Selanjutnya nilai komponen simbol Christoffel, tensor Ricci dan skalar kelengkungan dapat ditentukan. Selain itu, tensor energi−momentum dalam sistem tersebut harus dirumuskan pula. Pada akhirnya semua nilai tersebut diisikan ke dalam persamaan gravitasi Einstein lalu diselesaikan. Kasus yang dapat diselesaikan secara analitik harus memiliki persyaratan simetri ruang−waktu misalnya penempatan materi statik bermassa M di pusat koordinat. Untuk sistem ini, Schwarszchild menemukan penyelesaian berupa metrik Schwarszchild (Misner dkk, 1973). Untuk objek bermassa M massif, terdapat besaran ruji Schwarszchild Rs = GM / c 2 . Dari metrik tersebut, dapat diturunkan ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 178 konsep lubang hitam yang dibatasi oleh horison peristiwa, dimana setiap partikel/foton yang berada di dalam horison peristiwa tidak dapat keluar darinya. Belakangan ditemukan salah satu sifat lubang hitam yang ternyata dapat melepaskan sebagian materi, jika konsep kuantum diisikan ke dalamnya (Hawking, 1974). Yang jelas, lubang hitam telah menjadi salah satu objek fisis dan matematis yang memancing rasa keingintahuan orang untuk mengetahui karakteristiknya lebih dalam. Pada bab ini dikaji berbagai perilaku gerak foton dan partikel (yang bermassa jauh lebih kecil dari massa lubang hitam Schwarszchild) di sekitar lubang hitam Schwarszchild. 7.1 PERSAMAAN GRAVITASI EINSTEIN Persamaan gravitasi Einstein (Weinberg, 1972) dirumuskan sebagai Rµν − (1 / 2) g µν R = − (8πG / c 4 )Tµν (7.1) dengan R µν = tensor Ricci kovarian rank−2, g µν = tensor metrik kovarian rank−2, R = skalar kelengkungan, G = tetapan gravitasi universal, c = laju cahaya di ruang hampa dan Tµν = tensor energi−momentum kovarian rank−2. Penyelesaian persamaan gravitasi Einstein untuk objek partikel statik bermassa M yang diletakkan di pusat koordinat (0,0,0) dalam koordinat ruang−waktu 4 dimensi x µ = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct , r ,θ , φ ) adalah metrik (elemen garis) Schwarszchild yang berbentuk (Lawden, 1982) ds 2 = −(1 − 2m / r )c 2 dt 2 + (1 − 2m / r )−1 dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . (7.2) dengan ds 2 = kuadrat elemen garis, dan m = GM/c2. Dari metrik (7.2) di atas diperoleh komponen tensor metrik kovarian rank-2 sebagai berikut : g 00 = −(1 − 2m / r ) , g11 = (1 − 2m / r ) −1 , g 22 = r 2 , g 33 = r 2 sin θ ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 179 dan g µν = 0 untuk µ ≠ ν . 7.2 (7.3) PERSAMAAN GEODESIK Dinamika partikel bermassa (dengan massa partikel = m p <<< M) yang bergerak jatuh bebas di dalam ruang lengkung mematuhi persamaan geodesik d 2xµ ds 2 µ + Γαβ dx α dx β =0 ds ds (7.4a) yang dapat diubah bentuknya menjadi d dxν ∂ gαβ dx α dx β 2 g µν − = 0. ds ds ∂ x µ ds ds Dinamika gerak untuk foton dapat diperoleh dengan mengisikan ds (7.4b) 2 = 0 pada metrik ruang-waktu. 7.3 DINAMIKA GERAK PARTIKEL DALAM MEDAN SCHWARZSCHILD Dengan menggunakan persamaan (7.4b) untuk tensor metrik kovarian rank−2 yang terdapat pada persamaan (7.3), diperoleh set persamaan geodesik partikel di ruang−waktu tersebut yaitu : d r dr m mc 2 dt dr dθ 2 dφ θ + − r − r sin + =0, ds r − 2m ds (r − 2m) 2 ds r 2 ds ds ds 2 2 2 2 (7.5a) d 2 dθ dφ 2 r − r sin θ cos θ = 0 , ds ds ds (7.5b) d 2 dφ 2 r sin θ =0, ds ds (7.5c) 2 dan d r − 2m dt = 0. ds r ds (7.5d) Persamaan metrik ds 2 = g µν dx µ dxν (7.6a) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 180 dapat dituliskan sebagai dx µ dxν =1, ds ds g µν (7.6b) sehingga persamaan (7.2) menjadi 2 2 2 2 c 2 (r − 2m) dt r dr 2 dθ 2 dφ θ + + sin r − = 1. r − 2m ds r ds ds ds Dalam rangka mengolah persamaan (7.5) lebih lanjut, (7.7) selanjutnya diintroduksikan kaitan antara s = elemen garis dengan τ = waktu pribadi yang dirumuskan sebagai (Lawden, 1982) ds 2 = −c 2 dτ 2 . (7.8) Dengan kaitan ini, persamaan (7.5a), (7.5b), (7.5c) dan (7.5d) dapat dilakukan substitusi sehingga diperoleh hasil : untuk persamaan tersebut, bentuknya tetap setelah melalui penggantian s → τ. Sedangkan persamaan (7.7) berubah sedikit menjadi : 2 2 2 2 c 2 (r − 2m) dt r dr 2 dθ 2 dφ 2 + r + sin θ − = −c . r − 2 m dτ r dτ dτ dτ (7.9) Ditinjau partikel yang jatuh bebas pada daerah r > 2m secara radial dengan θ dan φ konstan, yang berarti dθ = dφ = 0 . Persamaan (7.5d) di atas dapat dituliskan menjadi dt / dτ = kr /(r − 2m) , (7.10) dengan k merupakan suatu suatu tetapan. Jika kita mengambil keadaan awal saat t = 0, r = R > 2m dan dr / dt t =0 = u dengan 0 ≤ u < c , akhirnya diperoleh 2 (r − 2m) 2 (2mc 2 ( R − r )( R − 2m) 2 + u 2 R 3 (r − 2m)) dr . = r 3 ( R − 2 m) 3 dt (7.11) Selanjutnya pengintegralan persamaan (7.11) di atas menghasilkan ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 181 t r t =0 r=R ∫ dt = t = ∫ r 3 / 2 ( R − 2m) 3 / 2 dr (r − 2m){2mc 2 ( R − r )( R − 2m) 2 + u 2 R 3 (r − 2m)}1 / 2 . (7.12) Terlihat dari integral (7.12) di atas, jika batas atas integrasi r → 2m, maka t → ∞. Hal ini mengindikasikan bahwa rentang waktu t digelar menuju takhingga. Untuk kasus khusus dimana partikel dilepaskan dalam keadaan rehat (u = 0), persamaan (7.11) tereduksi menjadi (dr / dt ) 2 = 2mc 2 (1 − 2m / R ) −1 (1 − 2m / r ) 2 (r −1 − R −1 ) , (7.13) atau dr / dt = ± c 2m /(1 − 2m / R) (1 − 2m / r ) (1 / r − 1 / R) . (7.14) Dari persamaan (7.14), nilai dr / dt bergantung pada suku (1 − 2m / r ) dan (1 / r − 1 / R) , karena 2m /(1 − 2m / R ) > 0 untuk R > 2m . Untuk suku (1 − 2m / r ) , nilai r dapat bernilai sembarang, sehingga keadaan dr / dt ditentukan oleh suku (1 / r − 1 / R) . Pada suku terakhir ini, agar nilai di dalam akar tidak menjadi imaginer, haruslah dipenuhi syarat (1 / r − 1 / R ) > 0 atau r < R. Hal ini berarti jarak radial partikel tersebut berkurang dengan bertambahnya waktu t. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan partikel tersebut menuju ke arah lubang hitam. Jadi tanda yang diambil pada persamaan (7.14) adalah tanda minus, sehingga lebih tepat dituliskan sebagai dr / dt = −c 2m /(1 − 2m / R) (1 − 2m / r ) (1 / r − 1 / R) . (7.15) Penyelesaian persamaan (7.15) adalah R ct = ( R / 2m − 1)1 / 2 ∫ r r 3 / 2 dr . (r − 2m)( R − r )1 / 2 (7.16) Dari integral (7.16) di atas tampak bahwa nilai t → ∞ saat r → 2m. Ini berarti dalam koordinat Schwarzschild, partikel tersebut membutuhkan koordinat waktu (t) yang tak terhingga untuk mencapai horison peritiwa berupa bola beruji 2m. ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 182 Kini yang diukur adalah waktu pribadi (τ) partikel tersebut. Jika persamaan (7.10) diisikan ke dalam persamaan (7.9) untuk gerak radial, diperoleh 2 2 r dr c 2 ( r − 2m ) c 2 ( R − 2 m) 3 r 2 − = −c 2 2 2 2 r − 2 m dτ r R{c ( R − 2m) − u R } r − 2m atau 2 c 2 2mc 2 ( R − r )( R − 2m) 2 + u 2 R 3 (r − 2m) dr . = Rr c 2 ( R − 2 m) 2 − u 2 R 2 dτ (7.17) Dengan mengisikan syarat batas : r = R saat τ = 0 , persamaan (7.17) memberikan r cτ = ∫ R1 / 2 r 1 / 2 {c 2 ( R − 2m) 2 − u 2 R 2 }1 / 2 dr 2 2 2 3 1/ 2 R {2 mc ( R − r )( R − 2 m) + u R ( r − 2 m)} . (7.18) Untuk kasus khusus keadaan awal partikel adalah keadaan rehat (u = 0), persamaan (7.17) tereduksi menjadi (dr / dτ ) 2 = 2mc 2 (1 / r − 1 / R ) . (7.19) atau dr / dτ = ±c 2m (1 / r − 1 / R) . (7.20) Sama halnya pada telaah untuk nilai dr/dt di atas, agar nilai dr / dτ tidak imaginer harus dipenuhi syarat (1 / r − 1 / R ) > 0 atau r < R yang menunjukkan bahwa gerak partikel tersebut menuju ke arah lubang hitam. Karena itu juga dipilih tanda minus sehingga (7.20) menjadi dr / dτ = −c 2m (1 / r − 1 / R) . (7.21) Pengintegralan dengan syarat batas : τ = 0 saat r = R memberikan hasil cτ = ( R 3 / 2m) ( ρ−ρ 2 ) + 12 cos −1 (2 ρ − 1) , (7.22) dengan ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 183 ρ =r/R dan nilai invers cosinus dapat diambil untuk kuadran satu atau dua. τ adalah waktu yang dihitung oleh jam yang ikut bergerak bersama partikel. Berbeda dengan nilai t, ternyata nilai τ tetap berhingga, walaupun r → 2m. 7.4 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM BIDANG DATAR MEDAN SCHWARZSCHILD Selanjutnya ditinjau gerak foton khusus pada bidang datar dengan θ = π / 2 . Untuk gerakan demikian, metrik Schwarszchild (7.2) menjadi ds 2 = −(1 − 2m / r )c 2 dt 2 + (1 − 2m / r )−1 dr 2 + r 2 dφ 2 (7.23) Lambang Christoffel dirumuskan sebagai (Weinberg, 1972) ∂g αβ ∂g βν ∂g µ Γαβ = 12 g µν α + να − ν β ∂x ∂x ∂x (7.24) Untuk metrik pada persamaan (7.23) digunakan lambang x 0 = t , x1 = r dan x 2 = φ , maka nilai lambang Christoffel yang tak lenyap adalah 0 1 1 Γ01 = Γ100 = Γ11 = mr −2 (1 − 2m / r ) −1 , Γ00 = c 2 m(1 − 2m / r )r −1 , 1 2 Γ22 = − r (1 − 2m / r ) , Γ122 = Γ21 = r −1 . (7.25) Dengan menggunakan persamaan geodesik (7.4a), diperoleh set persamaan d 2t ds + 2Γ100 2 dt dr =0 ds ds (7.26a) 1 dt 1 dr 1 dφ + Γ + Γ + Γ =0 00 11 22 ds 2 ds ds ds 2 d 2r d 2φ ds 2 2 + 2Γ21 2 dφ dr =0 ds ds 2 (7.26b) (7.26c) Selanjutnya ditinjau kurva orbit foton di sekitar lubang hitam dengan r = r0 = konstan. Dalam rangka melihat dinamika gerak yang berhubungan dengan swawaktu, dilakukan substitusi s → τ, yang selanjutnya persamaan (7.26a), (7.26b) dan (7.26c) memberikan ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 184 d 2t dτ 2 =0 (7.27a) dt 1 dφ + Γ22 = 0 dτ dτ 2 2 1 Γ00 d 2φ dτ 2 (7.27b) =0 (7.27c) Penyelesaian persamaan (7.27a) dan (7.27c) adalah t = k1τ + k 2 (7.28a) φ = k 3τ + k 4 (7.28b) dan dengan tetapan k i adalah tetapan sembarang. Akhirnya untuk r0 > Rs , persamaan (7.27b) memberikan dφ = ± c m /(r0 ) 3 dt (7.29) Mengingat kaitan (7.8), bentuk metrik dapat dipakai untuk mendapatkan ∆τ = c −1 ∫ − g µν dx µ dxν = c −1 ∫ c 2 (1 − 2m / r0 )dt 2 − (r0 ) 2 dφ 2 (7.30) yang dengan menggunakan persamaan (7.29) diperoleh ∆τ = c −1 ∫ c 2 (1 − 2m / r0 ) − c 2 m / r0 dt = 1 − 3m / r0 ∆t . (7.31) Untuk foton, ∆τ = 0, mengingat swawaktu foton = 0, yang berarti lintasan gerak foton tersebut adalah lingkaran dengan ruji r0 = 3m . Persamaan (7.26c) dapat dituliskan menjadi d ( r 2 dφ / dτ ) / dτ = 0 yang berarti r 2 dφ / dτ = konstan = L (7.32) dengan tetapan L adalah momentum sudut partikel per satuan massa lubang hitam. Selain tetapan L tersebut terdapat tetapan lain yang dapat diperoleh dengan menuliskan persamaan (7.26a) sebagai d [(1 − 2m / r )(dt / dτ )] / dτ = 0 atau ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 185 [(1 − 2m / r )(dt / dτ )] = konstan = E (7.33) dengan tetapan Ec 2 dapat diartikan sebagai energi total partikel (mencakup energi potensial gravitasi) per satuan massa lubang hitam. Dengan menggunakan dua tetapan di atas, persamaan (7.23) untuk ds 2 = 0 dapat dinyatakan sebagai ( Ec) 2 = (dr / dτ ) 2 + ( L / r ) 2 (1 − 2m / r ) (7.34) Persamaan (7.34) di atas dapat dibaca sebagai persamaan gerak partikel dengan total energi sama dengan 1 2 ( Ec) 2 yang bergerak dalam potensial efektif satu dimensi sebesar V (r ) = 12 ( L / r ) 2 (1 − 2m / r ) . (7.35) Nilai ekstrem (maksimum) potensial tersebut didapat melalui dV L2 L2 m = − 3 (1 − 2m / r ) + 4 = 0 dr r r atau r = 3m (7.36) yang mana nilai r tersebut tak gayut terhadap L. 7.5 DINAMIKA GERAK FOTON SECARA RADIAL DALAM MEDAN SCHWARZSCHILD Selanjutnya untuk gerak foton ( dτ = 0 ) secara radial ( dθ = dφ = 0 ), dari persamaan (7.23) diperoleh 0 = −(1 − 2m / r )c 2 dt 2 + (1 − 2m / r )−1 dr 2 atau dr / dt = c(1 − 2m / r ) . (7.37) Nilai dr / dt dapat dikatakan sebagai laju foton pada daerah di sekitar lubang hitam. Tampak dari persamaan (7.37) di atas bahwa untuk daerah di luar lubang hitam (r > 2m) , nilai laju foton selalu kurang dari c. Bahkan saat foton tepat berada di horison peristiwa r = 2m , laju foton tepat sama dengan nol. Ini berarti ketika horison peristiwa berimpit dengan foton yang tepat gagal melepaskan diri dari lubang hitam (pada r = 2m ). Dari persamaan (7.37) disimpulkan bahwa nilai laju ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 186 foton hanya sama dengan c ketika foton berada di tempat jauh tak berhingga r → ∞ , (arti fisisnya : pengaruh lubang hitam tidak mengenai foton tersebut) atau jika lubang hitam tersebut dilenyapkan ( m = 0 ) dengan arti fisis : ruang−waktu menjadi datar (Minkowski) sehingga laju foton = c di sembarang tempat. 7.6 DINAMIKA GERAK PARTIKEL DAN FOTON DALAM JAGAD RAYA BERMETRIK ROBERTSON-WALKER Pada tinjauan klasik (non-kuantum), deskripsi jagad raya diperoleh melalui solusi persamaan gravitasi Einstein. Persamaan ini dirumuskan dalam bentuk persamaan tensor. Jika dinamika sistem ingin diselidiki melalui persamaan ini, mula−mula metrik ruang−waktu sistem tersebut dirumuskan sehingga diperoleh nilai tensor metrik. Selanjutnya nilai komponen simbol Christoffel, tensor Ricci dan skalar kelengkungan dapat ditentukan. Selain itu, tensor energi−momentum dalam sistem tersebut harus dirumuskan pula. Pada akhirnya semua nilai tersebut diisikan ke dalam persamaan gravitasi Einstein lalu diselesaikan. Karena tensor yang terlibat adalah tensor rank−2, maka untuk sistem ruang−waktu 4 dimensi terdapat 16 komponen penyelesaian. Namun tensor metrik sistem biasanya bersifat simetri sehingga 16 komponen penyelesaian tersebut tereduksi menjadi 10 komponen. Lebih khusus lagi, jika tensor metrik g µν bernilai tak lenyap hanya untuk µ = ν, penyelesaian persamaan itu hanya berisi 4 komponen saja. Akan tetapi di dalam 4 komponen penyelesaian tersebut biasanya berisi suku persamaan diferensial orde 2 yang tak linier sehingga banyak kasus sulit diselesaikan secara analitik. Kasus yang dapat diselesaikan secara analitik harus memiliki persyaratan simetri ruang−waktu. Akan dikaji gerak foton dan partikel bermassa di dalam jagad raya yang bermetrik Robertson−Walker. Dalam konteks teori relativitas umum, gerak foton dapat ditinjau dengan nolnya selang waktu pribadi yang dimilikinya. Sedangkan gerak partikel dapat ditelaah dengan menggunakan persamaan geodesik untuk gerak jatuh bebas. Persamaan geodesik yang digunakan untuk menelaah gerakan partikel berbentuk persamaan diferensial non linear orde 2 yang menggabungkan beberapa ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 187 observabel, seperti empat koordinat polar (r, t, θ, φ), parameter k yang menentukan jenis kelengkungan ruang, faktor jarak S dan elemen garis s. 7.7 SOLUSI PERSAMAAN EINSTEIN UNTUK JAGAD RAYA Persamaan gravitasi Einstein dirumuskan sebagai (Weinberg, 1972) R µν − (1 / 2) g µν R − Λg µν = −8πGTµν (7.38) Laju cahaya di ruang hampa telah dipasang pada nilai c = 1. Penyelesaian persamaan (7.38) untuk objek jagad raya bermetrik RobertsonWalker adalah dua buah persamaan diferensial (Anugraha, 1997) (dS / dt ) 2 + k − (Λ / 3) S 2 = (8 / 3)πGρS 2 (7.39) dan 2 S (d 2 S / dt 2 ) + (dS / dt ) 2 + k − ΛS 2 = −8πGpS 2 . (7.40) Metrik Robertson-Walker itu sendiri dirumuskan sebagai (Weinberg, 1972) dτ 2 = g µν dx µ dxν = dt 2 − S 2 dr 2 /(1 − kr 2 ) − r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) (7.41) dengan : dτ 2 = kuadrat swa-waktu, S = faktor skala jagad raya, dan k = tetapan kelengkungan ruang yang dapat bernilai −1, 0 atau 1. Untuk merumuskan tensor metrik di atas telah digunakan prinsip kosmologi (cosmological principle) yang menyatakan bahwa setiap pengamat (galaksi) memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada pengamat yang memiliki kedudukan yang istimewa di jagad raya. Dari metrik (7.41) di atas diperoleh nilai-nilai tensor metrik g 00 = 1 , g11 = S 2 /(kr 2 − 1) , g 22 = − r 2 , g 33 = − r 2 sin θ dan g µν = 0 untuk µ ≠ ν . (7.42) Untuk memperoleh hasil persamaan (7.39) dan (7.40) telah diasumsikan jagad raya bersifat homogen isotrop dengan gas galaksi seperti fluida sempurna (perfect fluid) dengan tensor energi-momentum kovarian rank-2 yang bersangkutan adalah Tµν = ( ρ + p )V µ Vν + g µν p (7.43) dan kecepatan-4 kovarian gas yang ikut bergerak bersama pengamat di dalam kerangka Robertson-Walker adalah ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 188 Vµ = (−1,0) . (7.44) Dinamika partikel bermassa yang bergerak jatuh bebas di dalam ruang lengkung mematuhi persamaan geodesik (Lawden, 1982) d dτ dxν ∂ g αβ dx α dx β 2 g µν − = 0. dτ ∂ x µ dτ dτ Adapun dinamika gerak foton dapat diperoleh dengan mengisikan ds (7.45) 2 = 0 pada metrik tersebut. 7.8 DINAMIKA GERAK PARTIKEL DALAM JAGAD RAYA Disajikan 3 model jagad raya untuk mana dinamika gerakan partikel dan foton akan ditelaah. Ketiga model jagad raya tersebut sebagai bagian dari penyelesaian persamaan (7.39) dan (7.40) yang mungkin adalah sebagai berikut (Anugraha, 1997). 1. Model debu (Λ = 0 dan p = 0) dengan k = 0 Pada model ini, sifat jagad raya adalah datar (flat) tak bertekanan, dimana perubahan faktor skala sebagai fungsi waktu adalah S = S 0 ((3 / 2) H 0 t ) 2 / 3 (7.46) dengan S = faktor skala jagad raya, t = usia jagad raya, dan H 0 = tetapan Hubble. 2. Model Einstein Pada model ini nilai faktor skala adalah S = konstan (7.47) dengan S = faktor skala jagad raya. 3. Model de Sitter Pada model ini nilai H sebagai salah satu papameter jagad raya selalu konstan setiap saat sehingga penyelesaian persamaan gravitasi Einstein untuk faktor skala kosmik sebagai fungsi waktu t adalah S = S 0 exp( Ht ) (7.48) dengan S = faktor skala jagad raya, t = umur jagad raya, dan H = tetapan Hubble. 1. Model debu (Λ = 0 dan p = 0) dengan k = 0 ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 189 Kini ditinjau gerakan partikel secara jatuh bebas di jagad raya bermodel debu datar. Pada model ini jagad raya bersifat datar (flat) dengan kelengkungan ruang sama dengan nol. Akan ditinjau dua jenis gerakan partikel pada jagad raya model ini yaitu gerakan radial (r sebagai fungsi t) dan sudut polar φ sebagai fungsi t. Dari persamaan (7.46) dengan menurunkan S ke t diperoleh S0 H 0 dS = . dt (3H 0 t / 2)1 / 3 (7.49) Dengan mengisikan µ = 0, 1, 2, 3, ke dalam persamaan (7.45), diperoleh set persamaan geodesik sebagai berikut. µ=0⇒ ∂ g 22 d dt ∂ g11 dr 2 g 00 − − dτ dτ ∂ t dτ ∂t 2 ∂ g 33 dφ dθ − =0 ∂ t dτ dτ 2 2 atau d 2t dτ 2 + S 0 H 0 (3H 0 t / 2) µ=1⇒ 1/ 3 2 2 dr 2 2 dθ 2 2 dφ + r + r sin θ = 0 dτ dτ dτ ∂ g 33 d dr ∂ g 22 d θ 2 g11 − − dτ dτ ∂ r dτ ∂r 2 (7.50) dφ =0 dτ 2 atau d dτ µ=2⇒ 2 dr 2 dθ 2 2 dφ S + S r + S r sin θ =0 dτ dτ dτ 2 d dτ 2 (7.51) dθ ∂ g 33 dφ 2 g 22 − =0 dτ ∂ θ dτ 2 atau d 2 2 dθ dφ 2 2 S r + S r sin θ cos θ = 0 dτ dτ dτ (7.52) d dφ d dφ 2 2 2 2 g 33 = − 2 S r sin θ =0 dτ dτ dτ dτ (7.53) 2 µ=3⇒ Ditinjau gerakan partikel secara radial sehingga dθ = dφ = 0 . Persamaan (7.50) dan (7.51) tereduksi ke bentuk ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 190 d 2t dτ 2 + S 0 H 0 (3H 0 t / 2) 1/ 3 2 dr =0 dτ (7.54) dan d 2 dr S = 0. dτ dτ (7.55) Dari persamaan (7.55) maka dr A A = 2 = 2 2 . dτ S S 0 H 0 (3H 0 t / 2) 4 / 3 (7.56) Jika bentuk di atas dibawa ke persamaan (7.54) diperoleh d 2t dτ 2 + B t 7/3 =0 (7.57) dengan B= A2 S 0 3 H 0 3 (3H 0 / 2) 7 / 3 . (7.58) Melalui substitusi p= dt dτ maka d 2t dτ 2 =p dp dt sehingga persamaan (7.57) dapat dituliskan menjadi pdp = − Bt −7 / 3 dt . Dengan melalukan pengintegralan diperoleh 2 3B − 4 / 3 dt t +C = 2 dτ (7.59) atau 3B − 4 / 3 dt = t +C dτ 2 (7.60) dengan C tetapan integrasi. ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 191 Persamaan (7.60) di atas dapat diatur sebagai τ =∫ dt 3B 2t 4 / 3 . (7.61) +C Persamaan (7.61) di atas menyatakan hubungan antara waktu pribadi partikel yang bergerak jatuh bebas dengan waktu koordinatnya. Sayangnya, integral pada persamaan di atas sulit diselesaikan secara analitik, sehingga diperlukan komputasi numerik. Kecuali jika pada integral (7.61) di atas diambil nilai C = 0 maka integral di atas dapat diselesaikan yaitu τ= 3(3 / 2) 2 / 3 S 0 3 / 2 H 0 8 / 3 5 / 3 2 2/3 t t dt = + konstanta 3B ∫ 5A (7.62) Jika hasil (7.60) diisikan ke persamaan (7.52) diperoleh 3B − 4 / 3 At −4 / 3 t +C = 2 2 2 S 0 H 0 (3H 0 / 2) 4 / 3 dr dt atau r= A S 0 2 H 0 2 (3H 0 / 2) 4 / 3 ∫ t −4 / 3 dt 3B − 4 / 3 t +C 2 (7.63) yang juga sulit diselesaikan secara analitik jika C ≠ 0. Jika dipilih C = 0 maka penyelesaian analitik persamaan di atas adalah r= 2A 2 2 3 B S 0 H 0 (3H 0 / 2) 128 2 = t 3S 3 H 4 0 0 4/3 ∫t −2 / 3 dt 1/ 6 + konstanta. (7.64) Persamaan (7.63) maupun (7.64) sama-sama menyatakan hubungan antara koordinat r dalam jagad raya dengan model di atas sebagai fungsi waktu koordinatnya (t). Selanjutnya ditinjau gerakan pada r konstan = r0 pada bidang planar θ = π / 2 . Persamaan (7.50), (7.51) dan (7.53) tereduksi ke bentuk ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 192 d 2t dτ 2 + S 0 H 0 r02 (3H 0 / 2) 1 / 3 1 / 3 dφ 2 =0 dτ t dφ S r0 =0 dτ (7.65) 2 2 (7.66) dφ A = 2. dτ S (7.67) Untuk penyelesaian dengan memperhitungkan persamaan (7.66) terlebih dahulu, diperoleh nilai φ = konstanta sehingga nilai tetapan A = 0, dan dari persamaan (7.65) : t = τ + konstanta. Namun jika hanya diperhitungkan set persamaan (7.65) dan (7.67) maka kalau hasil (7.67) diisikan ke (7.65) akan diperoleh d 2t dτ 2 + (2 / 3) 7 / 3 r02 A 2 1 S 03 H 04 / 3 t 7/3 = d 2t dτ 2 + D t 7/3 = 0. (7.68) Bentuk persamaan di atas mirip dengan persamaan (7.57) sehingga dengan model penyelesaian yang sama akan diperoleh 2 3D − 4 / 3 dt t +C = 2 dτ (7.69) dt 3D − 4 / 3 = t +C dτ 2 (7.70) atau dengan C tetapan integrasi. Persamaan di atas dapat diatur sebagai τ =∫ dt 3D 2t 4 / 3 . (7.71) +C Lagi-lagi integral pada persamaan (7.71) di atas sulit diselesaikan secara analitik, sehingga diperlukan komputasi numerik. Kecuali jika pada integral (7.34) di atas diambil nilai C = 0 maka integral di atas dapat diselesaikan yaitu τ= 3(3 / 2) 2 / 3 S 03 / 2 H 02 / 3 5 / 3 2 2/3 t dt = t + konstanta 3D ∫ 5 Ar0 (7.72) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 193 Selanjutnya dengan mengisikan (7.70) ke (7.67) diperoleh dφ dt dφ = dt dτ dt φ= 3D − 4 / 3 t +C 2 A S 02 (3H 0 / 2) 4 / 3 ∫ = A S 02 (3H 0 t / 2) 4 / 3 t −4 / 3 dt 3D − 4 / 3 t +C 2 atau + konstanta (7.73) yang juga sulit diselesaikan secara analitik, kecuali jika telah dipilih nilai tetapan integrasi C = 0. Untuk kasus pemilihan tetapan C = 0 maka 144t 2 φ = 3 4 6 S 0 H 0 r0 1/ 6 + konstanta (7.74) Persamaan (7.74) di atas menyatakan hubungan antara sudut polar φ sebagai fungsi waktu t untuk partikel yang bergerak pada r konstan di bidang planar. Dari dua model gerakan di atas masing-masing untuk r dan φ sebagai fungsi t, ternyata diperoleh penyelesaian yang serupa yaitu keduanya sebagai fungsi t 1 / 3 . 2. Model Einstein Dari persamaan geodesik (7.65) dan nilai tensor metrik pada persamaan (7.41), jika diisikan µ = 0 maka d dt 2 g 00 = 0 atau dτ dτ dt = A = konstanta dτ (7.75) Jika diisikan µ = 1 diperoleh − 1 d 2r 1 − kr 2 dτ 2 dr dθ 2 dφ − + 2r + 2r sin θ = 0 2 2 (1 − kr ) dτ dτ dτ 2kr 2 2 2 (7.76) Untuk µ = 2 diperoleh d 2θ dr dθ dφ −r − 2r + r 2 sin θ cosθ = 0 2 dτ dτ dτ dτ 2 2 (7.77) Sedangkan untuk µ = 3 diperoleh dφ B = 2 dτ r sin 2 θ (7.78) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 194 dengan B = konstanta. Sekarang ditinjau gerakan radial sehingga dθ = dφ = 0 . Persamaan (7.77) dan (7.78) berturut-turut menyatakan 0 = 0 dan B = 0. Persamaan (7.76) menjadi (1 − kr ) 2 d 2r dτ 2 2 dr + 2kr = 0 dτ (7.79) Dengan mengisikan (7.75) ke (7.79) diperoleh (1 − kr 2 ) d 2r dt 2 2 dr + 2kr = 0 dt (7.80) Dilakukan substitusi v = dr / dt , maka persamaan (7.80) dapat dituliskan menjadi dv v (1 − kr 2 ) + 2krv = 0 dr (7.81) dv 2kr = 2 dr v kr − 1 (7.82) dengan dua penyelesaian v = 0 dan Penyelesaian pertama memberikan nilai r = konstan (7.83) sedangkan dari penyelesaian kedua diperoleh untuk ketiga nilai k berturut-turut adalah 1 + D exp( Et ) 1 − D exp( Et ) k = 1 ⇒ v = dr / dt = C (r 2 − 1) ⇒ r = k = 0 ⇒ v = 0 ⇒ r = konstan (7.85) k = −1 ⇒ v = dr / dt = C (r 2 + 1) ⇒ r = tg ( Dt + E ) . (7.86) (7.84) dengan C, D dan E adalah tetapan integrasi. Jadi penyelesaian untuk jagad raya model Einstein untuk gerakan radial adalah persamaan trayektori persamaan (7.84) − (7.86) yang bergantung pada nilai k. 3. Model de Sitter Persamaan faktor skala jagad raya sebagai fungsi waktu untuk model de Sitter ini adalah S = S 0 exp( Ht ) (7.87) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 195 Persamaan geodesik yang bersangkutan adalah 2 d 2t dr µ=0⇒ + HS 02 exp(2 Ht ) = 0 dτ dτ d 2 dr 2 dθ 2 2 dφ µ =1⇒ − 2S + 2S r + 2S r sin θ = 0 dτ dτ dτ dτ (7.89) d dφ 2 2 dθ 2 2 µ =2⇒ − 2S r + 2S r sin θ cosθ = 0 dτ dτ dτ (7.90) µ =3⇒ (7.88) 2 2 2 dφ B = 2 2 dτ S r sin 2 θ (7.91) dengan B suatu konstanta. Kembali ditinjau gerakan radial, sehingga dθ = dφ = 0 . Untuk jenis gerakan ini, persamaan (7.89) menjadi dr A = 2 dτ S (7.92) dengan A suatu tetapan. Dengan mengisikan persamaan (7.92) ke persamaan (7.88) diperoleh d 2t + C exp(−2 Ht ) = 0 dτ (7.93) dengan C= AH S 04 . Dilakukan substitusi p= dt dτ sehingga d 2t dτ 2 = p dp . dt Persamaan (7.93) dapat dituliskan menjadi pdp = −C exp(−2 Ht )dt yang jika diintegralkan bernilai ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 196 2 dt = CH exp(−2 Ht ) + D dτ (7.94) atau dτ = dt CH exp(−2 Ht ) + D . (7.95) Untuk mengintegralkan persamaan (7.95) di atas dilakukan substitusi u = CH exp(−2 Ht ) + D sehingga t = −(1 / 2 H )(ln[u 2 − D ) − ln[CH ]) dan dt = − udu H (u 2 − D) . Persamaan (7.95) menjadi τ= = 1 2H 1 ∫ D u + D − du u− D 1 CH exp(−2 Ht ) + D + D + konstanta ln 2 H D CH exp(−2 Ht ) + D − D 1 (7.96) Hasil persamaan (7.94) selanjutnya diisikan ke persamaan (7.92) sehingga dihasilkan 2 4 dr A D + ( AH / S 0 ) exp(−2 Ht ) = dt S 02 exp(−2 Ht ) (7.97) ∫ exp(2Ht ) (7.98) atau r= A S 02 D + ( AH 2 / S 04 ) exp(−2 Ht ) dt yang sulit diselesaikan secara analitik jika D ≠ 0. Namun jika D = 0 maka r= A3 / 2 S 04 exp( Ht ) + konstanta. (7.99) Persamaan (7.99) di atas menyatakan hubungan antara r sebagai fungsi t untuk gerakan partikel jatuh bebas dalam jagad raya bermodel de Sitter. ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 197 7.9 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM JAGAD RAYA Kalau pada dinamika partikel, gerakan jatuh bebasnya ditelaah dengan persamaan geodesik, maka tidak demikian pada gerakan foton, mengingat nilai dτ foton = 0. Karena swa-waktu foton bernilai demikian maka gerakannya dikaji dengan mengisikan dτ 2 = 0 dari metrik Robertson-Walker pada persamaan (7.41) yang dapat dituliskan sebagai 1 S 1 − kr 2 dr 2 dθ 2 2 dφ +r + r sin θ dt dt dt 2 2 2 2 = 1. (7.100) Dari persamaan (7.100) di atas dapat ditelaah gerakan foton baik untuk koordinat r, θ maupun φ sebagai fungsi t untuk model-model jagad raya di atas, bergantung pada perumusan S sebagai fungsi t. 1. Model debu (Λ Λ = 0 dan p = 0) dengan k = 0 Pada model ini ditinjau gerakan radial saja, gerakan sudut polar saja dan gerakan sudut θ saja. Untuk gerakan radial semata, persamaan (7.100) tereduksi menjadi dr = t −2 / 3 dt S 0 (3H 0 / 2) 2 / 3 (7.101) yang jika diintegralkan akan menghasilkan r= 3 S 0 (3H 0 / 2) 2/3 t 1 / 3 + konstanta. (7.102) Dengan cara yang sama dapat diperoleh nilai φ sebagai fungsi t untuk gerakan pada r konstan = r0 di bidang planar θ = π / 2 yaitu φ= 3 S 0 r0 (3H 0 / 2) 2/3 t 1 / 3 + konstanta. (7.103) Sedangkan nilai θ sebagai fungsi t untuk gerakan pada r konstan = r0 dan φ = konstan ternyata serupa dengan persamaan (7.103) yaitu θ= 3 S 0 r0 (3H 0 / 2) 2/3 t 1 / 3 + konstanta. (7.104) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 198 2. Model Einstein Untuk model ini, bentuk persamaan gerakannya lebih sederhana lagi karena nilai S yang konstan. Untuk ketiga gerakan foton jatuh bebas seperti halnya pada model debu di atas, diperoleh penyelesaian berturut-turut sebagai berikut : 1. gerakan radial k = +1 ⇒ r = sin(t / S + C ) (7.105) k =0 ⇒ r =t/S +C (7.106) k = −1 ⇒ r = tg (t / S + C ) (7.107) 2. gerakan θ untuk ketiga nilai k ⇒ θ = t /( Sr0 ) + C (7.108) 3. gerakan φ untuk ketiga nilai k ⇒ φ = t /( Sr0 ) + C (7.109) Untuk semua persamaan pada model ini, C adalah tetapan integrasi. 7.10 DINAMIKA METRIK DE SITTER Untuk menelaah ruang de Sitter, pertama kali dirumuskan metrik ruang−waktu de Sitter sebagai (Lawden, 1982) ds 2 = g µν dx µ dxν = − (1 − r 2 / R 2 )c 2 dt 2 + dr 2 1− r / R 2 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) . (7.110) dengan R konstan. Lambang Christoffel dirumuskan sebagai (Lawden, 1982) ( ) α = 1 g αβ ∂g ν µ β Γµν βµ / ∂x + ∂gνβ / ∂x − ∂g µν / ∂x . 2 (7.111) Dari nilai-nilai lambang Christoffel, dapat dicari nilai tensor Ricci Rµα yang dirumuskan sebagai (Lawden, 1982) Rµα = ∂Γνµν ∂x α − ∂Γνµα ν ∂x β β + Γνβα Γµν − Γνβν Γνα . (7.112) Untuk menelaah gerakan partikel jatuh bebas, dirumuskan persamaan geodesik lintasan partikel dalam ruang bermetrik sebagai (Lawden, 1982) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 199 2 d dx β ∂g µν dx µ dxν gαβ − =0. ds ds ∂xα ds ds (7.113) Gerakan foton dapat diselidiki dengan mengisikan nilai ds 2 = 0 mengingat swawaktunya lenyap. Pada metrik (7.110) telah dipilih koordinat−4 yang berbentuk : x µ = ( x 0 , x1 , x 2 , x 3 ) = (ct , r , θ , φ ) . (7.114) Tampak bahwa koordinat−3 spatial dipilih dalam bentuk koordinat bola. Dari metrik persamaan (7.110), nilai komponen tensor metrik kovarian yang tak lenyap adalah : g 00 = (r 2 / R 2 ) − 1 , g11 = R 2 /( R 2 − r 2 ) , g 22 = r 2 , g 33 = r 2 sin 2 θ . (7.115) Adapun nilai g µν untuk µ ≠ ν bernilai lenyap. Nilai komponen tensor metrik dari persamaan (7.115) di atas bersifat simetri. Mengacu pada persamaan (7.115) di atas, untuk r → R, tensor metrik mengalami singularitas. Sementara itu relasi antara tensor metrik kovarian dan kontravarian adalah 1, α = µ gαβ g βµ = δ αµ = , 0, α ≠ µ (7.116) Hubungan di atas memungkinkan untuk mendapatkan komponen tensor metrik kontravarian yang tak lenyap dengan nilai-nilai sebagai berikut : g 00 = R 2 /(r 2 − R 2 ) , g11 = 1 − (r 2 / R 2 ) , g 22 = 1 / r 2 , g 33 = 1 /(r 2 sin 2 θ ) . (7.117) Sama halnya dengan tensor metrik kovarian, nilai tensor metrik kontravarian juga bersifat simetri. Demikian pula tensor metrik kontravarian mengalami simgularitas untuk r = 0 dan r = R. Langkah selanjutnya, dari nilai tensor metrik yang tertera pada persamaan (7.115) dan (7.117), dapat dihitung nilai-nilai lambang Christoffel yang tak lenyap dengan menggunakan rumus persamaan (7.111) sebagai berikut : 1 0 0 1 Γ00 = r (r 2 − R 2 ) / R 4 ; Γ10 = Γ01 = r /(r 2 − R 2 ) ; Γ11 = r /( R 2 − r 2 ) ; ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 200 1 2 2 1 Γ22 = r (r 2 − R 2 ) / R 2 ; Γ21 = Γ12 = 1 / r ; Γ33 = r sin 2 θ (r 2 − R 2 ) / R 2 ; 3 3 2 3 3 Γ13 = Γ31 = 1 / r ; Γ33 = −(1 / 2) sin 2θ ; Γ23 = Γ32 = cot θ . (7.118) Jika diamati, beberapa lambang Christoffel menuju tak hingga untuk r = 0, r = R serta θ = nπ dengan n = bilangan bulat. Nilai-nilai lambang Christoffel yang terdapat pada persamaan (7.118) di atas selanjutnya sapat digunakan untuk menghitung komponen simetri tensor Ricci memanfaatkan persamaan (7.112) sebagai berikut : R00 = 3( R 2 − r 2 ) R4 ; R11 = 3 ; R 33 = R 22 sin θ = − 2 r 2 − R2 3r 2 sin 2 θ R2 . (7.119) Untuk r → R, nilai R11 → ∞ , sementara R22 dan R33 lenyap untuk r = 0. Akhirnya, skalar kelengkungan R dapat ditentukan menggunakan tensor metrik kontravarian pada persamaan (7.117) dan tensor Ricci pada persamaan (7.119) dengan nilai R = g µν R µν = − 12 R2 . (7.120) Sesuai sifatnya, skalar kelengkungan di atas bernilai konstan, bukan merupakan fungsi variabel koordinat. 7.11 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM METRIK DE SITTER Ditinjau gerak foton untuk mana swa−waktunya lenyap, atau dσ 2 = −c −2 ds 2 = 0 , (7.121) sehingga metrik de Sitter pada persamaan (7.110) untuk gerak foton menjadi c 2 (r 2 − R 2 )dt 2 R 2 + R 2 dr 2 2 R −r 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) = 0 . (7.122) Akan diambil kasus khusus : pada t = 0, foton berada di r = r0 dan selanjutnya bergerak keluar sepanjang garis lurus secara radial dengan θ = konstan dan φ = konstan. Ini menyebabkan dθ = dφ = 0 sehingga persamaan (7.122) menjadi ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 201 2 c 2 (R 2 − r 2 )2 dr . = dt R4 (7.123) Jika diambil akar positif (mengingat untuk t positif, r bergerak keluar) diperoleh dr R2 − r 2 = c dt R2 . (7.124) Pengintegralan menghasilkan R+r ct 1 ln = +k, 2R R − r R 2 (7.125) dengan k tetapan integrasi. Dengan mengingat syarat batas : r (t = 0) = r0 , untuk mana 0 ≤ r0 < R memberikan k= R + r0 1 ln 2 R R − r0 , (7.126) sehingga persamaan (7.125) dapat dituliskan dalam bentuk t= R ( R + r )( R − r0 ) ln . 2c ( R − r )( R + r0 ) (7.127) Untuk bentuk khusus : r0 = 0 , persamaan di atas menjadi t= R R+r . ln 2c R − r (7.128) Persamaan di atas menunjukkan bahwa nilai t hanya valid untuk daerah 0 ≤ r < R . Untuk r → R maka t → ∞ . Persamaan (7.128) dapat dinyatakan dalam ungkapan r=R exp(2ct / R ) − 1 . exp(2ct / R ) + 1 (7.129) Selanjutnya diambil kasus khusus : foton bergerak dengan r = r0 = konstan dan φ konstan sehingga persamaan (7.122) dapat dituliskan 2 c 2 ( R 2 − r02 ) dθ = konstan. = dt r02 R 2 (7.130) Jika diambil akar positifnya, diperoleh dθ = c R 2 − r02 r0 R dt , (7.131) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 202 sehingga untuk syarat batas : θ (t = 0) = θ 0 dihasilkan θ (t ) = θ 0 + c R 2 − r02 r0 R t. (7.132) Gerakan foton pada kasus ini adalah berupa gerakan azimut melingkar pada r = r0 = konstan dengan kecepatan sudut azimut konstan sebesar ( c / r0 R )( R 2 − r02 )1 / 2 . Pada gerakan ini perlu diberikan pembatasan bahwa r0 ≠ 0 kecepatan sudutnya tidak tak hingga, juga r0 ≠ R agar kecepatan sudutnya tidak lenyap. Ini berarti, syarat gerakan melingkar stabil terletak pada daerah 0 < r = r0 < R . Demikian pula untuk gerakan foton polar dengan r = r0 = konstan dan θ = θ 0 = konstan yang menyebabkan persamaan (7.122) memiliki ungkapan 2 2 dφ c R − r0 = = konstan. dt r0 sin θ 0 R (7.133) Pengintegralan dengan syarat batas φ (t = 0) = φ 0 memberikan φ (t ) = φ 0 + c R 2 − r02 r0 sin θ 0 R t. (7.134) Mirip dengan gerakan foton secara azimut di atas, pada gerakan foton polar ini, syarat agar gerakan stabil adalah r0 ≠ 0 , r0 ≠ R , θ 0 ≠ 0 dan θ 0 ≠ π . Kecepatan sudut polar gerak foton ini bernilai konstan = ( c / r0 sin θ 0 R )( R 2 − r02 )1 / 2 . 7.12 DINAMIKA GERAK PARTIKEL DALAM METRIK DE SITTER Selanjutnya ditelaah persamaan geodesik lintasan partikel di dalam metrik de Sitter. Metrik (7.110) dapat ditulis dalam bentuk r 2 − R 2 c dt 2 R 2 dr 2 + r 2 dθ + R 2 ds R 2 − r 2 ds ds 2 2 dφ + sin θ ds 2 = 1. (7.135) Dengan menggunakan persamaan geodesik (7.113) maka diperoleh set persamaan diferensial berikut : ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 203 dt k R2 , = ds c (r 2 − R 2 ) (7.136) 2 2 d R 2 dr ∂ r 2 − R 2 c dt ∂ R 2 dr 2 − − 2 ds R 2 − r 2 ds ∂r R 2 ds ∂r R − r 2 ds ( ) ( 2 ) 2 ∂ 2 dθ ∂ 2 2 dφ − r r sin θ = 0, − ∂r ∂r ds ds 2 ( ) (7.137) 2 d 2 dθ ∂ 2 2 dφ r sin θ = 0 . r − ds ds ∂θ ds dφ l . = ds r 2 sin 2 θ (7.138) (7.139) dengan k dan l tetapan integrasi. Ditinjau gerakan partikel secara radial, sehingga dθ = dφ = 0 . Persamaan (7.135) tereduksi ke bentuk r 2 − R 2 c dt 2 R 2 dr 2 =1. + R 2 ds R 2 − r 2 ds (7.140) Dengan mengisikan nilai dt / ds dari persamaan (7.136) ke persamaan (7.140) di atas, diperoleh k 2R2 r 2 − R2 + R2 2 k 2R4 dr = 1, R 2 − r 2 c 2 (r 2 − R 2 ) 2 dt (7.141) yang jika disederhanakan menjadi 2 c 2 [(k 2 + 1) R 2 − r 2 ][ R 2 − r 2 ]2 dr = . dt k 2R6 (7.142) Dari persamaan di atas, diambil akar positif yang memberikan ungkapan dr 2 2 2 2 2 1/ 2 [−r + R ][− r + (k + 1) R ] = c dt kR 3 . (7.143) Ruas kiri persamaan di atas dapat diintegralkan dengan menggunakan rumus (Abramowitz dkk, 1965) untuk bc > ad ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 204 dx ∫ (ax2 + b)(cx2 + d )1/ 2 = 1 2[b(bc − ad )]1/ 2 ln [b(cx2 + d )]1/ 2 + x(bc − ad )1/ 2 [b(cx2 + d )]1/ 2 − x(bc − ad )1 / 2 (7.144) sehingga pengintegralan persamaan (7.143) memberikan 1 2kR 2 ln (k 2 + 1) R 2 − r 2 + kr (k 2 + 1) R 2 − r 2 − kr = ct kR 3 +K, (7.145) dengan K tetapan integrasi. Untuk syarat batas, misalnya r (t = 0) = 0 diperoleh K = 0 sehingga (k 2 + 1) R 2 − r 2 + kr R t= ln . 2c (k 2 + 1) R 2 − r 2 − kr (7.146) Dari persamaan di atas, terdapat syarat : 0 ≤ r ≤ R k 2 + 1 agar nilai di dalam akar tidak negatif serta r ≠ R agar penyebut ≠ 0. Dua syarat tersebut dapat digabung menjadi 0 ≤ r < R atau R < r < R k 2 + 1 . (7.147) 7.13 METRIK DAN JAGAD RAYA DE SITTER Dari metrik de Sitter yang terdapat pada persamaan (7.110), dilakukan transformasi dari koordinat−4 (ct , r , θ , φ ) ke (cT ,σ ,θ , φ ) melalui substitusi A 2σ 2 exp(2cT / R ) ct = cT − R ln1 − 2 R (7.148) r = Aσ exp(cT / R ) (7.149) dengan A tetapan positif. Melalui transformasi tersebut metrik de Sitter menjadi ds 2 = −c 2 dT 2 + A 2 exp(2cT / R )[dσ 2 + σ 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 )] . (7.150) Bentuk metrik ini sama dengan metrik jagad raya de Sitter yang berasal dari metrik Robertson−Walker yang dirumuskan sebagai dσ 2 ds 2 = −c 2 dT 2 + S 2 + σ 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) , 1 − kσ 2 (7.151) kemudian dengan mengisikan untuk jagad raya de Sitter beberapa nilai berikut : ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 205 • S = A exp(Ht ) yang berasal dari asumsi bahwa nilai tetapan Hubble H = S −1 (dS / dt ) selalu konstan sepanjang waktu T. Selanjutnya diperoleh hubungan H = c / R . • jagad raya bersifat datar (flat) karena tidak memiliki rapat massa ρ maupun tekanan p sehingga nilai tetapan kelengkungan k = 0. Dari kedua asumsi di atas, diperoleh metrik de Sitter. Invers transformasi persamaan (7.148) dan (7.149) adalah σ= r exp(−ct / R ) A 1− r / R 2 2 cT = ct + R ln 1 − r 2 / R 2 . (7.152) (7.153) 7.14 DINAMIKA GERAK FOTON DALAM JAGAD RAYA DE SITTER Ditinjau sebuah foton yang dilepaskan dari titik (σ ,θ , φ ) secara radial ke pusat O pada waktu T0 dalam jagad raya de Sitter dengan metrik diberikan pada persamaan (7.150). Mengingat untuk foton, swawaktunya lenyap serta gerakannya dipilih bersifat radial, persamaan (7.150) berbentuk c 2 dT 2 = A 2 exp(2cT / R )dσ 2 . (7.154) Karena gerakan foton menuju O, diambil akar negatif dari persamaan di atas sehingga dapat ditulis menjadi exp(−cT / R ) dT = −( A / c) dσ . (7.155) Jika diintegralkan T 0 T0 σ A ∫ exp(−cT / R) dT = − c ∫ dσ atau exp(−cT / R) = exp(−cT0 / R) − ( Aσ / R) . (7.156) Dengan menyederhanakan bentuk di atas, diperoleh T = T0 − R ln[1 − ( Aσ / R ) exp(cT0 / R )] . c (7.157) ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 206 Dari hasil terakhir di atas, selang waktu yang diperlukan menurut pengamat di ruang de Sitter bagi foton untuk menempuh gerakan tersebut adalah ∆T = T − T0 = − R ln[1 − ( Aσ / R ) exp(cT0 / R )] . c (7.158) Untuk nilai di atas, tentu saja harus dipenuhi 1 − ( Aσ / R) exp(cT0 / R) > 0 (7.159) σ < ( R / A) exp(−cT0 / R) . (7.160) atau ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 207 Soal-Soal Latihan BAB VII 1. Suatu daerah ruang-waktu memiliki metrik ds 2 = dx 2 + dy 2 + dz 2 − x 2 dt 2 . Sebuah partikel pada saat t = 0 berada pada posisi (1, 0, 0). Jika partikel tersebut dilepaskan dan bergerak jatuh bebas, tunjukkan bahwa ia bergerak sepanjang sumbu x dengan persamaan gerakan x = sech t . Sebuah foton dipancarkan dari titik (1, 0, 0) pada t = 0 pada arah sumbu y positif. Tunjukkan bahwa pada saat tersebut dx / dt = dz / dt = 0 , dy / dt = 0 serta lintasan foton tersebut adalah lingkaran dengan persamaan x 2 + y 2 = 1 . 2. Jagad raya de Sitter memiliki metrik ds 2 = A −1dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − Ac 2 dt 2 dengan A =1 − r 2 / R2 dan R tetapan. Saat t = 0, sebuah foton meninggalkan pusat r = 0 dan bergerak keluar sepanjang garis lurus dengan θ = tetapan dan φ = tetapan. Carilah koordinat r pada waktu t dan tunjukkan bahwa r = R / 2 saat t = ( R ln 3) / 2c serta r → R saat t → ∞ . 3. r ,θ , z adalah koordinat kuasi−silindris dalam suatu medan gravitasi yang memiliki metrik ds 2 = r 2 (dr 2 + dθ 2 ) + r (dz 2 − dt 2 ) . Sebuah partikel diletakkan pada titik r = 1 , θ = z = 0 pada medan tersebut dengan kecepatan dr / dt = dz / dt = 0 , dθ / dt = 3 / 2 . Tunjukkan bahwa jika ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 208 partikel tersebut jatuh bebas, ia bergerak pada bidang z = 0 antara lingkaran berjari-jari r = 1 dan r = 3 , pertama kali mengenai lingkaran terluar pada θ = 3π . Sebuah foton dipancarkan dari titik r = 1 , θ = z = 0 dan bergerak dengan kecepatan awal dr / dt = dz / dt = 0 . Tunjukkan bahwa lintasan foton tersebut berbentuk spiral dengan persamaan r = 1 + 14 θ 2 pada bidang z = 0. 4. Metrik de Sitter dapat dinyatakan dalam bentuk ds 2 = exp(2ct / R )(dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − c 2 dt 2 dengan R suatu tetapan, dan x, y, z dapat diperlakukan sebagai koordinat Kartesan tegaklurus. Tunjukkan bahwa trayektori partikel jatuh bebas dan foton adalah garis lurus. Sebuah partikel ditempatkan pada pusat saat t = 0 dengan kecepatan V sepanjang sumbu x positif. Tunjukkan bahwa koordinat x pada waktu t diberikan oleh x = ( R / V )[c − c 2 − V 2 (1 − exp(2ct / R ) ] . Sebuah benda pada titik x = X di sumbu x memancarkan foton yang bergerak menuju pusat saat t = 0. Tunjukkan bahwa foton tersebut akan tiba di O pada waktu t = −( R / c) ln(1 − X / R ) . 5. r ,θ , φ adalah koordinat kuasi−kutub bola pada sebuah medan gravitasi yang bersifat simetri bola terhadap pusat r = 0. Metrik ruang−waktu adalah ds 2 = r 2 dr 2 (r + 1) 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) − r dt 2 . r+2 Sebuah partikel diletakkan pada titik r = 1, θ = π / 2 , φ = 0 pada waktu t = 0 dengan kecepatan sedemikian sehingga dr / dt = dθ / dt = 0 , dφ / dt = 1 / 6 . Partikel tersebut kemudian bergerak jatuh bebas. Tunjukkan bahwa trayektori ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 209 lintasan partikel tersebut terletak pada bidang θ = π / 2 dan memiliki persamaan kutub r= 6. 5 − cos( 8 / 3 φ ) 3 + cos( 8 / 3 φ ) . Carilah persamaan gerakan foton yang bergerak secara radial di dalam bola Schwarzschild dan tunjukkan bahwa foton tersebut bergerak keluar dari pusat O mengambil koordinat waktu t yang tak hingga untuk mencapai bola tersebut. Buktikan pula bahwa foton yang bergerak menuju pusat O dari r = R < 2m membutuhkan waktu t = T yang diberikan oleh cT = − R − 2m ln(1 − R / 2m) untuk mencapai O. 7. Sebuah partikel bergerak sepanjang garis radial menuju O dalam daerah r > 2m. Untuk kondisi awal t = 0, r = R, dr / dt = 0 , buktikan bahwa 2 2m dr 2 = 2mc 1 − R dt −1 2 2m 1 1 1 − − . r r R Selanjutnya tunjukkan pula bahwa 1/ 2 R R ct = − 1 2m r 3 / 2 dr ∫ (r − 2m)( R − r )1/ 2 r 1/ 2 R = − 1 2m [ r(R − r) + (R + 4m) cos −1 ] 1 − γ r / R − 2m ln 1 + γ dengan γ= 2 m( R − r ) . r ( R − 2 m) Tunjukkan bahwa ct → ∞ untuk r → 2m . 8. Sebuah foton dipancarkan dari titik r = m , θ = π / 2, φ = 0 di dalam lubang hitam Shwarzschild dengan kecepatan sudut dθ / dt = 0 , dφ / dt = (3 3 )c / m . ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 210 Tunjukkan bahwa kecepatan awal diberikan oleh dr / dt = ±2 7 c . Pada kasus dimana nilai awal dr / dt adalah negatif, tunjukkan bahwa foton tersebut bergerak pada bidang θ = π / 2 dan jatuh ke O sepanjang trayektori 6m = r[3 coth 2 {(α − φ ) / 2} − 1] dengan α = ln 5 + 21 . 9. r ,θ , φ adalah koordinat Schwarzschild. Seorang pengamat tetap pada titik R,θ , φ mengirim sinyal secara radial menuju pusat O. Sinyal dipantulkan oleh sebuah benda kecil pada titik r ,θ , φ dan kembali ke pengamat. Tunjukkan bahwa waktu antara transmisi dan penangkapan sinyal kembali yang diukur oleh jam standar pengamat adalah 2 1 − 2m / R R − 2m R − r + 2m ln . c r − 2m 10. Sebuah foton dipancarkan dari titik (r , θ , φ ) sepanjang radius menuju pusat pada waktu t dalam jagad raya de Sitter. Tunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk mencapai pusat O adalah − 11. ln(1 − ( HAr / c) exp( Ht ) . H Dalam ruang dua dimensi dimana metriknya diberikan oleh ds 2 = dr 2 + r 2 dθ 2 r 2 − a2 − r 2 dr 2 (r 2 − a 2 ) 2 (r > a), tunjukkan bahwa persamaan diferensial lintasan geodesik dapat dituliskan dalam bentuk 2 dr 2 2 2 2 4 a +a r =k r dθ dengan k 2 adalah suatu tetapan, sedemikian sehingga k 2 = 1 jika dan hanya jika, geodesik tersebut null. ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 211 12. Didefinisikan koordinat (r , φ ) pada kerucut lingkaran yang memiliki sudut setengah vertikal α sehingga metrik permukaan kerucut tersebut diberikan oleh ds 2 = dr 2 + r 2 sin 2 α dφ 2 . Tunjukkan bahwa keluarga lintasan geodesik diberikan oleh r = a sec(φ sin α − β ) dengan α , β adalah tetapan sembarang. 13. Suatu ruang tiga dimensi memiliki metrik ds 2 = λ dr 2 + r 2 (dθ 2 + sin 2 θ dφ 2 ) dengan λ merupakan fungsi r saja. Tunjukkan bahwa sepanjang lintasan geodesik untuk θ = π / 2 serta dθ / ds = 0 saat s = 0, berlaku φ = ∫ λ dψ dengan r = b secψ . 14. Jika ruang−waktu memiliki metrik ds 2 = e 2kx (dx 2 + dy 2 + dz 2 − dt 2 ) dengan k tetapan, serta v 2 = (dx / dt ) 2 + (dy / dt ) 2 + (dz / dt ) 2 , tunjukkan bahwa benda yang bergerak jatuh bebas memenuhi persamaan 1 − v 2 = (1 − V 2 )e 2kx dengan v = V untuk x = 0. 15. Jika ruang−waktu memiliki metrik ds 2 = α 2 (dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − α c 2 dt 2 dengan α = (1 − kx) −1 dan k tetapan, serta ___________________________________________________________________ Dinamika Gerak Partikel dan Foton ___________________________________________________________________________________________ 212 v 2 = (dx / dt ) 2 + (dy / dt ) 2 + (dz / dt ) 2 , tunjukkan bahwa untuk benda yang bergerak jatuh bebas tersebut dipenuhi persamaan V 2 − v 2 = kc 2 x dengan v = V untuk x = 0. 16. Jika metrik ruang−waktu adalah ds 2 = α 2 (dx 2 + dy 2 + dz 2 ) − kα dt 2 dengan α adalah fungsi x saja dan k tetapan, carilah persamaan diferensial yang membangun lintasan garis dunia partiel yang bergerak jatuh bebas. Jika x, y dan z diinterpretasikan sebagai koordinat Kartesan tegaklurus oleh seorang pengamat dan t adalah variabel waktunya, tunjukkan bahwa terdapat suatu persamaan energi untuk partikel tersebut dalam bentuk 1 v 2 − k = tetapan. 2 2α ___________________________________________________________________ Daftar Pustaka 213 _______________________________________________________________________________ DAFTAR PUSTAKA Anugraha, R., 1997 : Teori Relativitas Umum Einstein dan Penerapannya pada Model Standar Alam Semesta pada keadaan awal, sekarang dan masa depan, Skripsi, Fakultas MIPA UGM, Yogyakarta. Bose, S.K., 1980 : An Introduction to General Relativity, cetakan ke 10, Wiley Eastern Limited. Farmer, G., 1966, Derivation of Compton Scattering Relation in Covariant Notation, American Journal of Physics, Vol. 34, p. 614. Hawking, S., 1974 : Black Hole Explosion ? Nature, vol. 248, p. 30 − 33. Krane, K., 1992 : Fisika Modern, UI Press, Jakarta. Lapidus, I.R., 1972, Motion of a Relativistic Particle Acted Upon by a Constant Force and a Uniform Gravitational Field, American Journal of Physics, Vol. 40, p. 984 − 988. Lawden, D.F., 1982 : An Introduction to Tensor Calculus, Relativity and Cosmology, John Wiley & Sons, New York. Misner, C.W., Thorne, K.S., Wheeler, J.A., 1973 : Gravitation, W.H. Freeman & Company, New York. Muller, R.A., 1972, The Twin Paradox in Special Relativity, American Journal of Physics, Vol. 40, p. 966 − 969. Muslim, 1985 : Teori Relativitas Khusus, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Muslim, 1986 : Analisis Vektor dan Tensor dalam Fisika Matematik, Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Muslim, 1997 : Teori Relativitas Khusus, Produk dan Eksponen Paradigma Simetri, Unifikasi dan Optimasi dalam Fisika Modern, Lab Atom−Inti FMIPA UGM, Yogyakarta. Peebles, P.J.E., 1971 : Physical Cosmology, Princeton University Press Siemon, R.E., Snider, D.R., Elastic Collisions as Lorentz Transformations with Application to Compton Scattering, American Journal of Physics, Vol. 34, p. 614 − 615. Weinberg, S., 1972 : Gravitation and Cosmology : Principles and Applications of the General Theory of Relativity, John Wiley & Sons, New York. Wospakrik, H.J., 1987 : Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum dan Biografi Albert Einstein, ITB, Bandung. Zahara, M., Muslim, 1992 : Relativitas Khusus dan Mekanika Kuantum Sebagai Sokoguru Fisika Masa Kini, Berkala Ilmiah MIPA, No. 2, Tahun IV, FMIPA UGM Yogyakarta. _______________________________________________________________________________