Bab 5 Analisis Kapabilitas Produk 5.1 Pendahuluan Data yang digunakan dalam tugas akhir ini merupakan data nilai potensi pertussis vaksin DTP tahun 2004 PT. Biofarma. Pembahasan dalam tugas akhir ini merupakan lanjutan dari pembahasan kasus yang ditemukan pada saat workshop on process capability analysis using minitab yang merupakan kerja sama antara KK Statistik, Program Studi Matematika-FMIPA ITB dengan PT. Biofarma Bandung pada tanggal 18-21 Mei 2005 yang lalu. Kasus yang ditemukan adalah nilai indeks kapabilitas yang tidak memenuhi standar padahal data tersebut berdistribusi normal dan tidak diketemukannya data yang di luar kendali menurut batas spesifikasi produk dari WHO. Data yang diperoleh berupa lampiran analisis statistik produk PT. Biofarma tahun 2004, disertai nilai potensi pertussis vaksin DTP 2004. Karena keterbatasan akses untuk dapat melihat proses produksi dari vaksin yang bersangkutan, dalam tugas akhir ini, kasus hanya akan dibahas dengan pendekatan statistik. 29 BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 5.2 30 Info produk Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Tetanus adalah infeksi bakteri yang bisa menyebabkan kekakuan pada rahang serta kejang, dan Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pertusis berlangsung selama beberapa minggu dan dapat menyebabkan serangan batuk hebat sehingga anak tidak dapat bernafas, makan atau minum. Pertusis juga dapat menimbulkan komplikasi serius, seperti pneumonia, kejang dan kerusakan otak. Vaksin ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1930-an dan mulai digunakan secara luas pada pertengahan tahun 1940-an. Pada tahun 1991, vaksin DTP mendapat lisensi dari Amerika Serikat. Saat ini, penggunaan vaksin ini juga mendapat banyak rekomendasi dari lembaga-lembaga kesehatan seperti The Centers for Disease Control and Prevention (CDC ), the American Academy of Pediatrics (AAP ), dan the American Academy of Family Physicians (AAFP ) [10]. Gambar 5.1: bagan proses produksi vaksin DTP BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 31 Vaksin DTP dibuat dari toksoid formol difteri yang mengandung tidak kurang dari 1500 Limes Flocculationis (Lf) per mg nitrogen protein, toksoid formol tetanus yang mengandung tidak kurang dari 1000 Lf per mg nitrogen protein, dan suspensi Bordetella pertussis mati dan zat pembawa mineral aluminium hidroksida hidrat atau aluminium fosfat. Pembuatan vaksin harus menggunakan lot benih yang sudah ditetapkan. Untuk mendapatkan vaksin yang baik, vaksin tidak boleh dibuat dari sub kultur benih awal (Farmakope Indonesia, 1995), untuk itu digunakan bakteri Bordetella pertussis generasi kedua dari sub kultur benih awal. Suspensi Bordetella pertussis yang sesuai dibiakkan secara terpisah selama 24 jam sampai 72 jam menggunakan media biakan cair atau padat yang sesuai dan tidak mengandung darah. Bakteri dipanen dan disuspensikan dalam larutan natrium klorida P 0.9% atau larutan isotonik lain yang sesuai, kemudian opasitas suspensi diukur. Hasil penetapan opasitas digunakan sebagai dasar perhitungan untuk pembuatan vaksin pada semua tahap berikutnya. Bakteri diinaktifkan/ dimatikan dengan zat kimia yang sesuai dengan pemanasan pada suhu 56o . Suspensi disimpan pada suhu 2o sampai 8o hingga 3 bulan untuk mengurangi toksisitasnya. Satu tabung PFL (Pertussis Final Lot) umumnya dapat digunakan untuk 2 batch kecuali ada kondisi-kondisi lain seperti adanya permintaan lebih dari pasar, dengan tiap batchnya berisi sekitar 1 juta dosis. Untuk penetapan potensinya, digunakan tiga dosis sediaan baku dalam pelarut yang sesuai dan tiga dosis sediaan uji yang disuspensikan dengan larutan yang sesuai. Ketiga dosis diatur sedemikian sehingga dosis yang melindungi 50% mencit mendekati dosis tengah. Umumnya digunakan dosis 0.5 unit, 0.1 unit, dan 0.02 unit sediaan baku, masing-masing dosis tidak lebih dari 0.5 ml. Suntikkan setiap mencit satu dosis secara intraperitoneal. Setelah 14 hari hingga 17 hari mencit disuntik secara intraserebral satu dosis suspensi Bordetella pertussis. Amati mencit setiap hari selama 14 hari setelah penyuntikan. Potensi vaksin dihitung dengan menggunakan program dari WHO berdasarkan jumlah mencit yang hidup, tidak termasuk mencit yang mati dalam waktu 48 jam setelah penyuntikan dengan mengambil serum darah BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 32 mencit yang diencerkan untuk menguji kinerja antigennya. Batas spesifikasi potensi pertussis dalam vaksin tidak kurang dari 4 IU/shd (spesifikasi WHO, aturan Farmakope Indonesia). Jika nilai potensi berada di bawah nilai spesifikasi, maka sistem imunitas vaksin dalam tubuh tidak akan bekerja aktif. Sebaliknya, untuk nilai potensi yang terlalu tinggi, vaksin akan bersifat toxic (racun) (Farmakope Indonesia, 1995). 5.3 Analisis statistik proses A. Statistik deskriptif Gambar 5.2: statistik deskriptif produk Dari pengolahan statistik deskriptif minitab 14, diperoleh nilai rataan sampel=5.9 dan median=5.7 menunjukan bahwa data tidak cukup simetris. Nilai kemencengan =0.593, kemencengan yang bernilai positif menandakan data menjurai ke kanan / BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 33 menceng ke kiri, banyak data berkumpul di nilai yang lebih kecil dari rataan (kemencengan data simetri=0). Nilai kurtosis=-0.113 menunjukan distribusi data lebih landai dibandingkan dengan distribusi normal (kurtosis distribusi normal=0). Dari diagram boxplot tidak terlihat adanya pencilan. B. Uji kenormalan Salah satu syarat perlu untuk penggunaan bagan kendali Shewhart, cusum, dan EWMA adalah asumsi kenormalannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan proses analisis kapabilitasnya, perlu dilakukan pengujian apakah asumsi kenormalan dari data yang digunakan terpenuhi atau tidak. Uji kenormalan (atau uji asumsi distribusi lainnya) biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu: 1. Pemeriksaan dengan grafik. (a) plot peluang kenormalan (normal probability plot) (b) plot penaksir kepadatan (density estimator plot) 2. Uji goodness-of-fit (Shapiro-Wilks, Anderson-Darling, dan lainnya.) Pada pengolahan SPM pada umumnya dan analisis kapabilitas pada khususnya, yang menarik adalah perilaku ekor yang ekstrim dari distribusi data yang digunakan. Prosedur standar yang digunakan untuk uji kenormalan tidak membahas masalah ini, karena mereka lebih menekankan pada pusat distribusi dari pada ekornya. Oleh karena itu meski uji kenormalan tidak ditolak, tidak ada jaminan bahwa penaksiran parameter yang digunakan tepat. Di bawah ini akan dilakukan beberapa uji kenormalan pada data potensi pertussis yang digunakan. Plot peluang kenormalan (Normal QQ plot) adalah plot dari kuantil teoritis dari distribusi normal dengan penaksiran parameter terhadap kuantil sampelnya. Sumbu horizontal diperoleh dari plot k n+1 kuantil dari distribusi normal, dan sumbu vertikal diperoleh dari plot n statistik terurut dari data. Ketika plot menunjukan data berada di sekitar garis linier, maka data berasal dari distribusi normal. Normal BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 34 QQ plot berguna untuk mendeteksi pencilan dan deviasi pada perilaku ekor secara grafik (ekor yang terlalu tipis atau tebal). Plot dari data potensi pertussis yang digunakan dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Gambar 5.3: QQ Plot Dari grafik dapat terlihat bahwa sebagian besar plot data berada pada garis linier, hanya ada tiga titik di bagian bawah dan 1 titik di bagian atas yang tidak mengikuti garis, sehingga asumsi kenormalan tidak ditolak. Sayangnya bentuk dari distribusi sulit untuk diketahui dari plot ini. Uji goodness-of-fit formal sebaiknya dilakukan setelah uji secara grafik, karena uji secara grafik tidak memberikan hasil yang objektif. Agar tidak terlalu ketat dalam menolak hipotesis awal (H0 ) yaitu bahwa distribusi berasal dari distribusi normal, direkomendasikan untuk mengambil taraf signifikansi yang kecil seperti 0.01 dari pada standar 0.05. Tes kenormalan Anderson-Darling menguji apakah order data X(1) , . . . , X(n) me- BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 35 ngikuti suatu distribusi tertentu, dalam hal ini distribusi normal. Uji statistik Anderson-Darling didefinisikan sebagai A2 = −N − S dengan S= n X 2k − 1 k=1 n [lnF (Xk ) + ln(1 − F (Xn+1−k ))] Dari data, diperoleh A2 = 2.91 dimana pengolahan statistik deskriptif dengan Minitab 14 (gambar 5.2) memberikan nilai A-Squared =0.48. Berdasarkan online Engineering Statistics Handbook [9], 99% distribusi data dari statistik AndersonDarling adalah 1.092. Itu berarti nilai A2 yang diperoleh tidak memberikan alasan untuk menolak H0 . Selain itu uji ini juga memberikan p-value=0.219 dengan taraf signifikansi α diantara 1% < α < 10%, karena p − value > α, maka dapat disimpulkan hipotesis nol (H0 ) bahwa data berdistribusi normal tidak ditolak. Shapiro menjelaskan aturan penggunaan β1 dan β2 untuk mengukur skewness dan kurtosis berturut-turut untuk memilih distribusi yang cocok dengan data. Nilai β1 dan β2 dihitung melalui: q βˆ1 = M3 (M2 )3/2 dan M4 βˆ2 = 2 M2 dari data diperoleh: Pn M2 = i=1 (xi − x̄)2 = 1.28124 n Pn (xi − x̄)3 M3 = i=1 = 0.83179 n Pn (xi − x̄)4 = 4.54804 M4 = i=1 n nilai β1 dan β2 diperoleh: βˆ1 = 0.32895 βˆ1 = 2.77051 BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 36 Gambar 5.4: Daerah β1 , β2 untuk berbagai distribusi Dari grafik 5.4 dapat kita lihat bahwa koordinat (β1,β2 ) berada pada daerah distribusi normal. Uji Shapiro-Wilk menguji hipotesis nol (H0 ) bahwa sampel X1 , . . . , Xn berasal dari distribusi normal. Uji Shapiro-Wilk menguji asumsi kenormalan berdasarkan regresi tailor dari plot peluang kenormalan. Uji statistiknya diberikan oleh: P ( ni=1 ai xi )2 (5.3.1) W = Pn 2 i=1 (xi − x̄) Seperti uji Anderson-Darling, Uji Shapiro-Wilk juga memberikan p-value=0.1716, dengan taraf signifikansi α, dimana 1% < α < 10%. Karena p − value > α, maka dapat disimpulkan hipotesis nol (H0 ) bahwa data berdistribusi normal tidak ditolak. Dari beberapa uji kenormalan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada alasan untuk menolak hipotesis bahwa data berasal dari distribusi normal. BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 37 C. Proses monitoring Salah satu alat SPM yang digunakan untuk memonitoring data adalah bagan kendali. Bagan kendali ini dapat memperlihatkan apakah proses berada dalam kondisi stabil atau tidak, baik rataan maupun variabilitasnya. Selain itu, bagan kendali juga memberikan batas kendali untuk toleransi batas variabilitas proses yang diizinkan terjadi. Jika data berada dalam batas kendali (U CL dan LCL), maka proses dikatakan terkendali. Terdapat beberapa bagan kendali yang dapat digunakan untuk memonitor proses produksi, dalam hal ini untuk ukuran sampel n = 1 (bagan kendali individu), diantaranya bagan kendali I-MR (bagan kendali shewhart), cusum, dan EWMA, ketiganya menggunakan asumsi kenormalan. Bagan kendali cusum digunakan untuk mendeteksi pergeseran kecil yang terjadi, dan bagan kendali EWMA mengkoreksi penggunaan bagan cusum yang sangat sensitif terhadap pergeseran kecil pada parameter yang terlibat. Karena sifat kenormalan dari data tidak ditolak maka penggunaan bagan kendali ini dapat digunakan. Maka dengan menggunakan persamaan (2.3.1) dan (2.3.3) diperoleh grafik: Gambar 5.5: Bagan kendali I-MR BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 38 Dari grafik I − chart terlihat beberapa sinyal di luar kendali diantaranya: ada satu titik data yang berada di luar batas kendali (batch ke-45), dua dari tiga titik lebih besar dari 2σ dari CL (dari sisi yang sama) (batch ke-37, 38), dan enam titik berturut-turut naik turun pada sisi yang sama (batch ke-11). Sehingga dapat disimpulkan secara statistik, proses berada dalam kondisi yang tidak terkendali. Sedangkan dari M R − chart tidak terlihat adanya indikasi sinyal di luar kendali, tapi dapat terlihat adanya pola pergerakan yang sistematis dari data. Pada bab 2 telah dijelaskan bagaimana membangun bagan kendali cusum. Dengan menggunakan persamaan (2.3.4) dan (2.3.5) untuk membuat plot C + dan C − diperoleh grafik: Gambar 5.6: Bagan kendali cusum, dengan C + dan C − berturut-turut plot cusum atas dan bawah dari data Dari bagan kendali I-MR terlihat bahwa data tidak terkendali, karena itu dilakukan pengolahan data dengan bagan kendali cusum untuk mendeteksi pergeseran kecilnya. Dari bagan kendali cusum di atas dapat terlihat 4 nilai berada di atas batas spesifikasi atas U CL dan 2 nilai berada di bawah batas spesifikasi bawah. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran (shift) pada rataan proses. Adanya pergerakan data yang menjauhi garis tengah mengindikasikan data bukan berasal dari distribusi normal. BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 39 Dengan menambahkan standarisasi cusum untuk variansi (persamaan (2.3.6)) diperoleh grafik: Gambar 5.7: Bagan kendali standarisasi cusum, dengan C + dan C − berturut-turut plot standarisasi cusum untuk rataan atas dan bawah dari data dan S + dan S − berturut-turut plot standarisasi cusum untuk variansi atas dan bawah dari data Pada bagan kendali standarisasi cusum diperoleh sinyal di luar kendali yang lebih banyak lagi, terlihat ada 5 nilai berada di atas batas spesifikasi atas U CL dan 9 nilai berada di bawah batas spesifikasi bawah. Dari variansi S + ditunjukan juga adanya 4 sinyal di luar kendali yang melebihi batas spesifikasi atas. Dari dua bagan kendali cusum di atas, dapat disimpulkan proses berada dalam kondisi tidak terkendali. Gambar 5.8: Bagan kendali EWMA BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 40 Setara dengan hasil yang ditunjukan oleh bagan kendali cusum, pada bagan kendali EWMA untuk λ = 0.4 dan L = 3.054, dengan menggunakan persamaan (2.3.11) dan (2.3.12) sebagai batas kendalinya, terlihat adanya pergeseran rataan proses yang mengindikasikan proses berada dalam kondisi yang tidak terkendali. Dapat terlihat juga bahwa pergeseran data awal terkonsentrasi pada nilai potensi yang rendah, kemudian pada data ke-29, terjadi pergeseran sehingga data berada pada nilai potensi yang lebih besar. Ketika nilai potensi mencapai angka 8, terlihat adanya penurunan nilai potensi, sehingga membentuk pola tertentu dalam pergerakan data yang juga mengindikasikan proses berada di luar kendali. 5.4 Perbaikan bagan kendali pergerakan data (data driven) Tidak ditolaknya asumsi kenormalan bukan berarti data berasal dari distribusi normal. Nilai skewness6= 0 mengindikasikan adanya kemencengan dari distribusi normal yang seharusnya. Pada bab 3 telah diperkenalkan perbaikan bagan kendali pergerakan data (data driven), yang dijelaskan oleh Albers dan Kallenberg [1], beserta prosedur penyeleksiannya. Dalam hal pemilihan bagan kendali, pertama harus dilakukan uji seleksi apakah data berasal dari distribusi normal, parametrik, atau nonparametrik. Dari data kita peroleh standarisasi data minimum dan maksimum sebagai berikut: (X̄ − X(1) )/S = 1.600 (X(n) − X̄)/S = 2.638 menurut persamaan (3.3.1) data berdistribusi normal jika standarisasi data minimum dan maksimum berada dalam interval [d1N , d2N ], dengan d1N dan d2N diperoleh dari (lihat persamaan (3.3.2)): d1N = u(−0.7+0.5logn)/n = 1.9365 d2N = u5/(n√n) = 2.1437 BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK 41 dapat terlihat bahwa data tidak berada pada interval [d1N , d2N ], karenanya bagan kendali normal tidak akan digunakan. Untuk itu akan diuji apakah data berada pada interval distribusi parametrik atau tidak yaitu interval [d1P , d2P ], dengan [d1P , d2P ] diperoleh dari (lihat persamaan (3.3.3)): d1P (γ̂) = c(γ̂)u1+γ̂ (−0.2+0.5logn)/n √ d2P (γ̂) = c(γ̂)u1+γ̂ 3/(n n) dengan nilai γ̂ dihitung berbeda untuk batas atas dan bawahnya. Untuk batas bawah digunakan γ̂ = γˆL = −0.3005, diperoleh d1P (−0.3005) = 1.6339 dan d2P (−0.3005) = 1.9766. Untuk batas atas digunakan γ̂ = γˆU = 0.1741 diperoleh d1P (0.1741) = 1.8384 dan d2P (0.1741) = 2.5304. Terlihat bahwa standarisasi nilai maksimun dan minimum data tidak berada pada interval [d1P , d2P ], maka menurut [1] bagan kendali yang kita pilih adalah bagan kendali nonparametrik MIN. 5.5 Analisis kapabilitas proses Karena data nilai potensi pertussis tidak mempunyai batas spesifikasi atas, maka indeks kapabilitas Cp (persamaan (4.2.1)) yang telah dijelaskan pada bab IV sebelumnya tidak dapat digunakan. Untuk menentukan kemampuan prosesnya digunakan indeks kapabilitas Cpk . Nilai indeks kapabilitas Cpk dihitung sebagai berikut (lihat persamaan (4.2.2) dan (4.2.3)): Cpk = min( U SL − µ µ − LSL , ) 3σ 3σ dengan menggunakan µ = X̄ dan beberapa taksiran untuk σ diperoleh nilai Cpk sebagai berikut: dengan menggunakan σ̂ = S, dimana S =1.1444, diperoleh µ − LSL 5.9011 − 4.0 = = 0.55 3σ 3(1.1444) dengan menggunakan σ̂ = R̄ d2 = 0.818, diperoleh: 5.9011 − 4.0 µ − LSL = = 0.77 3σ 3(0.818) BAB 5. ANALISIS KAPABILITAS PRODUK dengan menggunakan σ̂ = S c4 42 = 1.4343, diperoleh: µ − LSL 5.9011 − 4.0 = = 0.44 3σ 3(1.4343) dengan menggunakan σ̂ = (1.047)med(M R) = 0.7433, diperoleh: µ − LSL 5.9011 − 4.0 = = 0.85 3σ 3(0.7433) nilai indeks kapabilitas yang berbeda untuk beberapa penaksiran σ dekat mengindikasikan proses tidak terkendali. Masalah utamanya adalah variabilitas yang perlu segera diperkecil. Semua nilai Cpk yang dihasilkan ≤ 1, hal ini tidak memenuhi standar pasar global dimana diharapkan indeks kapabilitas Cpk ≥ 1. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus berhati-hati dalam menggunakan indeks kapabilitas. Indeks kapabilitas proses hanya mempunyai arti jika proses berada dalam kondisi terkendali.