1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit merupakan organ

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit merupakan organ penting tubuh manusia, yang salah satu fungsinya
adalah memberikan keindahan (estetika) pada manusia. Permasalahan estetika
pada kulit yang sering dikeluhkan masyarakat Indonesia, terutama perempuan
adalah hiperpigmentasi.
Hiperpigmentasi merupakan suatu kondisi yang
disebabkan adanya kelebihan produksi melanin yang ditandai bercak hitam
(melasma) pada kulit. Salah satu penyebab terjadinya hiperpigmentasi adalah
paparan sinar UV (Fithria, 2015; Robert, 2009).
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang banyak mendapatkan
paparan sinar ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet akan memicu kulit untuk
memproduksi Reactive Oxygen Species (ROS). Jika ROS terus diproduksi maka
akan mengaktifkan faktor nuklear transkripsi DNA sehingga memicu kerja enzim
tirosinase untuk mengubah tirosin yang dikonversikan dalam beberapa tahapan
menjadi melanin. Produksi melanin secara berlebihan dapat mengarah pada
terjadinya hiperpigmentasi di lapisan epidermal dan menyebabkan kulit menjadi
lebih gelap (Fitrie, 2004).
Pembentukan melanin dapat dicegah dengan senyawa-senyawa sintetik
yang biasanya terkandung dalam bahan kosmetik, antara lain asam kojik dan
hidrokuinon. Asam kojik lebih stabil daripada hidrokuinon. Namun, kedua
senyawa ini menimbulkan beberapa efek samping. Menurut Miyazawa (2007),
1
2
asam kojik bersifat karsinogenik dan penggunaannya dalam konsentrasi tinggi
dapat merusak kulit. Sementara itu, penggunaan hidrokuinon dalam jangka
panjang dapat menimbulkan beberapa efek samping, diantaranya dermatitis
kontak, iritasi, hiperpigmentasi postinflamasi, dan okronosis (Baumann dan
Alleman, 2009; Fithria, 2015).
Efek buruk bahan sintetik sebagai antihiperpigmentasi mendorong untuk
mencari penghambat produksi melanin yang aman bagi kesehatan, misalnya dari
bahan alam yang memiliki efek samping jauh lebih rendah daripada senyawa
sintetik. Senyawa antioksidan dari bahan alam telah terbukti mampu menghambat
melanogenesis atau pembentukan melanin (Momtaz, dkk., 2008). Beberapa
senyawa antioksidan yang terdapat dalam bahan alam adalah kurkumin dan
flavonoid. Salah satu tanaman yang mengandung kurkumin yaitu kunyit, dan
tanaman yang mengandung flavonoid adalah daun pare (Sima, 2015; Sugiharto,
dkk., 2012).
Penelitian ekstrak tunggal terhadap hiperpigmentasi sudah banyak
dilakukan sebelumnya, contohnya penelitian aktivitas antioksidan ekstrak etanol
kulit batang nangka (Arthocarpus heterophilus) dalam mencegah peningkatan
melanin pada kulit Cavia porsellus (Hastiningsih, 2015). Penelitian lain pada
ekstrak
sirih
merah
(Piper
crocatum)
menunjukkan
adanya
aktivitas
penghambatan terhadap pembentukan malondialdehida (MDA) dan enzim
tirosinase (Weni, 2014).
Penelitian antihiperpigmentasi juga pernah dilakukan pada kurkumin
maupun daun pare yang menunjukkan aktivitas antihiperpigmentasi secara in
3
vitro. Penelitian Sugiharto, dkk (2012) menunjukkan kurkumin pada konsentrasi
25 μg/mL mampu menurunkan melanin sebesar 45,67%-53,87%, sedangkan
ekstrak daun pare pada konsentrasi 200 μg/mL mampu menurunkan melanin pada
kultur sel B16-F10.
Penelitian secara in vitro berdasarkan pada pemberian perlakuan di luar
organisme hidup, tanpa menggambarkan hasil penelitian pada organisme hidup.
Sementara itu, penelitian terkait aktivitas antihiperpigmentasi kombinasi rimpang
kunyit dan daun pare secara in vivo pada marmut belanda belum pernah
dilaporkan. Hasil penelitian secara in vivo dapat menggambarkan aktivitas bahan
uji yang dilakukan pada manusia berdasarkan kemiripan biologis. Penelitian
antihiperpigmentasi secara in vivo diperlukan untuk mengetahui aktivitas bahan
uji yang dilakukan pada hewan percobaan berdasarkan pengamatan biologis
melanin dalam lapisan epidermis. Berdasarkan uraian tersebut, menarik untuk
dilakukan penelitian tentang aktivitas antihiperpigmentasi kombinasi ekstrak
etanol
rimpang
kunyit
(Curcuma
domestica
L.)
dan
daun
pare
(Momordica charantia L.) yang juga telah diketahui mengandung senyawa
antioksidan sebagai antihiperpigmentasi pada kulit marmut belanda (Cavia
porcellus) jantan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat disusun rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah kombinasi ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) dan
ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas
4
antihiperpigmentasi secara in vivo pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus)
yang dipapar sinar UV-B?
2. Apakah aktivitas antihiperpigmentasi kombinasi ekstrak etanol rimpang kunyit
(Curcuma domestica L.) dan ekstrak etanol daun pare (Momordica charantia
L.) lebih tinggi daripada sediaan krim farma (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%,
dan fluosinolon asetonid 0,01%)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan :
1. Membuktikan aktivitas antihiperpigmentasi kombinasi ekstrak etanol rimpang
kunyit (Curcuma domestica L.) dan ekstrak etanol daun pare (Momordica
charantia L.) secara in vivo pada kulit marmut belanda (Cavia porcellus) yang
dipapar sinar UV-B.
2. Membandingkan aktivitas antihiperpigmentasi kombinasi ekstrak etanol
rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) dan ekstrak etanol daun pare
(Momordica charantia L.) dengan sediaan krim farma (hidrokuinon 4%,
tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01%).
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
1. Memberikan bukti ilmiah bahwa kombinasi ekstrak etanol rimpang kunyit
(Curcuma domestica L.) dan daun pare (Momordica charantia L.) memiliki
khasiat antihiperpigmentasi secara in vivo sehingga dapat digunakan untuk
peneliti selanjutnya dalam rangka penemuan antihiperpigmentasi baru dari
bahan alam.
5
2. Memberikan informasi kepada industri farmasi bahwa kombinasi ekstrak
etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) dan daun pare (Momordica
charantia L.) dapat dikembangkan sebagai produk herbal sediaan krim
antihiperpigmentasi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Rimpang Kunyit (Curcuma domestica L.)
a. Deskripsi
Kunyit adalah tanaman rimpang yang biasa digunakan untuk
pengobatan tradisional. Tanaman ini tumbuh pada daerah yang bersuhu sekitar
20-300C di kawasan Asia. Kunyit termasuk salah satu tanaman rempah dan
obat asli dari wilayah Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami
persebaran ke daerah Indo-Malaysia, Indonesia, Australia, bahkan Afrika
(Bhowmik, dkk., 2009).
b. Morfologi
Tanaman kunyit (Gambar 1a) tumbuh bercabang dengan tinggi
40-100 cm. Batang kunyit merupakan batang semu, tegak, bulat, dan tersusun
dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur (lanset)
memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip
dengan warna hijau pucat. Berbunga majemuk yang berambut dan bersisik dari
pucuk batang semu, panjang 10-15 cm dengan mahkota sekitar 3 cm dan lebar
1,5 cm, berwarna putih/kekuningan. Ujung dan pangkal daun runcing, tepi
daun yang rata. Kulit luar rimpang berwarna jingga kecoklatan, daging buah
merah jingga kekuning-kuningan. Kunyit berkembangbiak melalui rhizome.
6
Rimpang kunyit (Gambar 1b) berwarna kuning dan memiliki aroma yang khas
karena kandungan kurkumin dan memiliki rasa pahit (Erlich, 2007).
(1a)
(1 b)
Gambar 1. Tanaman kunyit (1a); ri mpang kunyit (1 b)
c. Klasifikasi
Kedudukan rimpang kunyit dalam sistematika tanaman (taksonomi)
sebagai berikut (Rukmana, 1994) :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma domestica L.
d. Kandungan kimia
Senyawa-senyawa yang terkandung dalam rimpang kunyit antara lain
zat warna kurkuminoid yang merupakan suatu senyawa diarilheptanoid 3-4%
7
yang terdiri dari kurkumin, dihidrokurkumin, desmetoksikurkumin, dan
bisdesmetoksikurkumin. Kurkumin termasuk golongan senyawa polifenol.
Ekstrak rimpang kunyit mengandung 70-76% kurkumin, 16% desmetoksi
kurkumin, dan 8% bisdesmetoksi kurkumin (Antony, dkk., 2008).
Senyawa lain yang terkandung dalam rimpang kunyit yaitu minyak
atsiri 2-5% yang terdiri dari seskuiterpen dan turunan fenilpropana turmeron,
kurlon kurkumol, atlanton, bisabolen, seskuifelandren,
zingiberin, aril
kurkumin, humulin. Selain itu, rimpang kunyit juga mengandung protein,
fosfor, kalium, dan zat besi (Rukmana, 1994). Berdasarkan penelitian Dutta
(2015), ekstrak etanol rimpang kunyit mengandung senyawa kurkumin,
flavonoid, saponin, alkaloid, terpenoid, fenol dan tannin.
e. Khasiat tanaman
Kandungan rimpang kunyit yang didominasi senyawa kurkumin
menunjukkan spektrum efek terapi yang luas. Kurkumin dapat berperan
sebagai antiinflamasi, antibakteri, antivirus, antijamur, antitumor, serta
antispasmodik (Kohli, dkk., 2004). Penelitian Sugiharto, dkk (2012)
membuktikan bahwa kurkumin yang terkandung dalam rimpang kunyit
mempunyai aktivitas antihiperpigmentasi.
2. Daun Pare (Momordica charantia L.)
a. Deskripsi
Pare banyak terdapat di daerah tropika, tumbuh baik di dataran rendah
dan dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar, tegalan, serta
dibudidayakan atau ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar, untuk
8
diambil buahnya. Tanaman ini tidak memerlukan banyak sinar matahari,
sehingga dapat tumbuh subur di tempat-tempat yang agak terlindung. Tanaman
setahun, merambat atau memanjat dengan alat pembelit atau sulur dengan
karakteristik umum berbentuk spiral, banyak bercabang, dan berbau tidak enak
(Heyne, 1987).
b. Morfologi
Tanaman pare (Gambar 2a) terdiri atas akar, batang, daun, bunga,
buah, dan biji. Akar pada tanaman pare merupakan jenis akar tunggang, sisi
berserabut yang berkembang luas di kawasan sekeliling. Tumbuh atau
memanjat dengan alat pembelit atau sulur berbentuk spiral dan banyak
bercabang. Batang tanaman pare berusuk lima, panjang 2-5 m, yang muda
berambut rapat. Bertangkai yang panjangnya 1,5-5,3 cm, letak berseling,
bentuknya bulat panjang dengan panjang 3,5-8,5 cm, lebar 4 cm, berbagi
menjari 5-7, pangkal berbentuk jantung, warnanya hijau tua, serta yang muda
berambut cukup rapat (Sosef, dkk., 1998).
Daun pare (Gambar 2b) merupakan daun tunggal dengan panjang
3,5-8,5 cm; lebar 4 cm; berbagi menjari 5-7; pangkal berbentuk jantung; garis
tengah 4-17 cm berbintik-bintik tembus cahaya; taju bergigi kasar hingga
berlekuk menyirip; serta warnanya hijau tua. Daun pare yang tumbuh liar
disebut daun tudung yang lebih berkhasiat sebagai obat. Bagian buah pare
berbentuk bulat memanjang berbentuk seperti silindris, permukaan buahnya
berbintil-bintil tidak beraturan dengan panjang 8-30 cm, warna buah hijau, dan
jika sudah masak jika dipecah akan berwarna orange dengan 3 katup serta
9
jumlah biji banyak, berwarna coklat pucat kekuningan (Direktorat Jend eral
POM, 1995).
(2a)
(2 b)
Gambar 2. Tanaman pare (2a); daun pare (2 b)
c. Klasifikasi
Kedudukan daun pare dalam sistematika tanaman (taksonomi) adalah
sebagai berikut (Syamsuhidayat, 1991) :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Subkelas
: Dialypetalae
Ordo
: Cucurbitales
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia L.
d. Kandungan kimia
Daun pare mengandung momordisin, momordin, karantin, resin, asam
resinat, saponin, vitamin A dan C, serta minyak lemak yang terdiri dari asam
10
oleat, asam linoleat, asam stearat, dan oleostearat (Arisandi dan Andriani,
2008). Ekstrak daun pare juga mengandung senyawa steroid, triterpenoid, asam
amino, flavonoid, tannin, fenol, polifenol, saponin, alkaloid (Mutiara dan
Wildan, 2014), vitamin C (Zhang, dkk., 2009; Lim, 2012), asam gallat, dan
katekin (Kubola dan Siriamornpun, 2008).
e. Khasiat tanaman
Daun pare berkhasiat sebagai antiinflamasi dan antelmintik, selain itu
juga dapat sebagai obat untuk batuk, radang tenggorokan, sakit mata merah,
demam, malaria, menambah nafsu makan, kencing manis, rematik, sariawan,
bisul, sakit lever, sembelit, cacingan, pelancar ASI, sementara akarnya banyak
digunakan dalam pengobatan disentri akibat amoeba (Sosef, dkk., 1998).
Penelitian Tsai, dkk (2014) telah membuktikan bahwa ekstrak daun pare
mempunyai aktivitas antioksidan yang mampu menghambat enzim tirosinase
pada kultur sel melanoma B16-F10.
3. Senyawa Alam sebagai Antioksidan dan Antihipe rpigmentasi
Beberapa senyawa polifenol diketahui potensial dalam aktivitas
antioksidan
serta
beberapa
diantaranya
berperan
untuk
menghambat
melanogenesis (Barnes, dkk., 2004; Han, dkk., 2007). Senyawa metabolit
sekunder yang terkandung dalam rimpang kunyit maupun daun pare sebagian
besar memiliki aktivitas sebagai antihiperpigmentasi. Senyawa rimpang kunyit
yang tersari dalam etanol antara lain kurkumin, flavonoid, saponin, alkaloid,
terpenoid, fenol dan tannin (Dutta, 2015). Sementara itu, senyawa yang
terkandung dalam ekstrak etanol daun pare antara lain fenol, polifenol, tannin,
11
saponin, alkaloid (Mutiara dan Wildan, 2014), vitamin C (Zhang, dkk., 2009;
Lim, 2012), asam gallat, dan katekin (Kubola dan Siriamornpun, 2008).
Kurkumin termasuk senyawa golongan polifenol. Priyadarsini, dkk
(2003) menyatakan bahwa atom H dari senyawa polifenol sangat potensial
sebagai aktivitas antioksidan. Struktur kimia kurkumin tersaji pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia kurkumin (Jayaprakasha, dkk., 2005)
Kurkumin mempunyai aktivitas antioksidan sebagai radical scavenger.
Kurkumin mendonasikan sebuah atom hidrogen (H) dari gugus hidroksil (OH)
saat bereaksi dengan radikal bebas (R*) menghasilkan radikal fenoksil kurkumin
yang kurang reaktif karena dapat mengalami perubahan struktur resonansi dengan
mendistribusikan elektron yang tidak berpasangan dalam struktur ikatan rangkap.
Elektron pada radikal bebas akan berikatan pada gugus keton (=O) sehingga
radikal bebas tersebut terlindungi oleh kedua sisi struktur kurkumin yang bersifat
bulky (Jayaprakasha, dkk., 2005).
Sementara itu, senyawa flavonoid (Gambar 4) terbukti memiliki aktivitas
antihiperpigmentasi melalui pengikatan logam Cu2+ pada sintesis melanin. Logam
Cu2+ berperan dalam mengoksidasi tirosin menjadi L-DOPA bersama dengan
enzim tirosinase Apabila Cu2+ dihambat maka proses melanogenesis akan
dihentikan (Saewan, dkk., 2011). Flavonoid juga berperan sebagai ROS scavenger
sehingga ROS tidak dapat memicu melanogenesis (Solano, dkk., 2006).
12
Gambar 4. Struktur kimia flavonoi d (Markham, 1988)
Senyawa
lain
seperti
alkaloid,
terpenoid,
saponin
sebagai
antihiperpigmentasi secara internal. Alkaloid terbukti sebagai antimelanogenesis
dengan cara menurunkan ekspresi protein tirosinase dan tyrosinase related
protein-1 (TRP-1) yang dapat menghambat kerja dari tirosinase sehingga terjadi
penurunan melanogenesis (Huang, dkk., 2012). Sementara itu, kandungan
terpenoid dalam ekstrak etanol rimpang kunyit juga bekerja hampir sama dengan
alkaloid. Terpenoid juga menurunkan ekspresi microphthalmia-associated
transcription factor (MITF) serta TRP-2 yang merupakan bagian dari faktor
biosintesis melanin (Slominski, dkk., 2004).
Senyawa
saponin
juga
telah
terbukti
memiliki
aktivitas
antihiperpigmentasi melalui jalur degradasi MITF. Saponin mempengaruhi
regulasi melanogenesis dengan aktivasi Extracellular Signal-regullated Kinase
(ERK) dan Phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K/AKT) serta meningkatkan
perlawanan terhadap agen proteksi kulit terhadap sinar akibat paparan karena
adanya abnormalitas pigmentasi (Wu, dkk., 2000; Jeong, dkk., 2009; Lee, dkk.,
2015). Saponin juga menghambat proses oksidasi L-DOPA yang dikatalisis oleh
enzim tirosinase sehingga L-DOPA tidak dapat dioksidasi menjadi DOPAquinon
(Therdphapiyanak, dkk., 2013).
13
Senyawa lain yang bekerja sinergis sebagai antihiperpigmentasi antara
lain tannin dan fenol. Kedua senyawa ini sebagai radical scavenger yang
mengikat radikal bebas sehingga ROS tidak mampu memicu produksi enzim
tirosinase. Apabila enzim tirosinase dihambat, maka tidak terjadi perubahan
senyawa tirosin menjadi L-DOPA dalam proses melanogenesis (Kim, dkk., 2015).
Penghambatan pada enzim tirosinase juga dilakukan oleh senyawa
katekin dan asam gallat (Park, dkk., 2015). Kandungan vitamin C juga bekerja
sinergis dengan senyawa lain dalam ekstrak etanol daun pare. Vitamin C mampu
berinteraksi dengan ion Cu (tembaga) pada tempat kerja tirosinase dan
mengurangi konversi menjadi DOPAquinon (Marta, dkk., 2009). Mekanisme aksi
senyawa
aktif dalam ekstrak
yang
bekerja
pada
biosintesis
melanin
memungkinkan terjadinya penurunan produksi melanin (Tsai, dkk., 2014).
4. Dampak Sinar Ultraviolet terhadap Melanogenesis pada Kulit Manusia
Kulit adalah suatu pelindung tubuh yang fleksibel, mudah melentur dan
melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit mengandung sistem sirkulasi
dan sistem evaporasi untuk menstabilkan temperatur dan tekanan tubuh. Kulit
tersusun oleh banyak macam jaringan termasuk pembuluh darah, kelenjar lemak,
kelenjar keringat, organ pembuluh perasa dan urat syaraf, jaringan pengikat, serta
otot polos dan lemak (Anief, 1997).
Lapisan epidermis mengandung melanosit yang terdapat pada sel
dendritik di bagian stratum basal (germinativum) yang berfungsi mensintesis
melanin, kemudian didistribusikan pada stratum korneum. Lapisan yang berada di
bawah lapisan epidermis yaitu lapisan dermis yang terdiri dari struktur kolagen,
14
folikel rambut, kelenjar sebasea, kelenjar apokrin, pembuluh kapiler, pembuluh
limfatik dan pembuluh saraf. Sel utama pada lapisan dermis adalah sel fibroblast,
yang akan menghasilkan kolagen (70-80%) untuk kekenyalan, elastin (1-3%)
untuk elastisitas dan proteoglikan untuk kelembaban. Lapisan paling bawah yaitu
lapisan subkutan sebagai cadangan lemak dan panas tubuh karena terdiri dari selsel lemak. Lapisan ini terdiri dari pembuluh darah, pembuluh saraf, dan pembuluh
limfe (Scott dan Bennion, 2011; Fithria, 2015).
Produksi melanin pada stratum basal dipengaruhi oleh sinar UV. Radiasi
sinar UV merupakan salah satu faktor eksogen yang dapat menyebabkan
pigmentasi pada kulit. Sinar UV terdiri dari 3 jenis yaitu (Costin dan Hearing,
2007) :
a. Radiasi UV A (320-400 nm)
Panjang gelombang terpanjang dari spektrum UV ini mempunyai efek
biologis kurang dari UV B, tetapi gelombang UV A dapat memacu menyebarkan
sebagian eritema akibat matahari. Radiasi UV A dapat menembus kulit lebih
dalam dibandingkan UV B, karena intensitasnya sepanjang hari. Nama lain UV A
ialah radiasi UV gelombang panjang, karena radiasi UV dekat dengan sinar hitam
(black light) yang tidak terlihat.
b. Radiasi UV B (290-320 nm)
Radiasi UV B memiliki keaktifan biologis tertinggi pada sinar matahari
dan penyebab reaksi eritema setelah paparan dengan matahari. Intensitas radiasi
UV B tertinggi antara pukul 10.00-14.00. UV B disebut juga UV gelombang
tengah atau sumber radiasi UV, karena terletak diantara UV A dan UV C.
15
c. Radiasi UV C (200-290 nm)
Radiasi ini tidak ditemukan dalam spektrum sinar matahari pada
permukaan bumi karena disaring oleh ozon dan air. Radiasi ini disebut juga
radiasi germisidal karena dapat membunuh mikroorganisme. UV C adalah UV
gelombang pendek, karena merupakan panjang gelombang terpendek pada
spektrum UV. Radiasi UVC sering diartikan dengan panjang gelombang 259 nm
karena sesuai dengan panjang gelombang yang diemisi oleh lampu merkuri
bertekanan rendah (lampu germisid) sebagai sumber radiasi UVC (Park, dkk.,
2008).
Paparan sinar UVC tidak akan sampai ke permukaan bumi karena
terlindungi oleh lapisan ozon, tetapi UVA dan UVB dapat mencapai permukaan
bumi dan merupakan pengaruh lingkungan terbesar terhadap penuaan kulit.
Meskipun rasio UVA:UVB adalah 20:1, sinar UVB memberikan efek samping
yang lebih banyak daripada UVA (Epstein dan Wang, 2015).
UV A dapat menimbulkan hiperpigmentasi yang bersifat sementara
dibandingkan dengan UV B. Paparan UV A sebesar 19-50% masuk ke lapisan
kulit yang lebih dalam yaitu lapisan dermis, sedangkan paparan UV B hanya
sebesar 9-14% yang mencapai lapisan dermis. Hal tersebut dapat disebabkan
karena waktu paparan UV A lebih lama dibandingkan UV B (Costin dan Hearing,
2007).
Radiasi UV B yang terus menerus akan memicu melanogenesis yang
berlebihan. Melanogenesis merupakan proses pembentukan melanin yang
dipengaruhi oleh stimulus radiasi sinar UV; dan oleh genetik yang mengatur
16
enzim- enzim atau hormon pengkatalisir pembentukan melanin antara lain
Melanocyte Stimulating Hormon (MSH), estrogen dan progesteron. Selain itu,
melanogenesis juga dipengaruhi adanya radikal bebas seperti asap rokok, asap
kendaraan, debu, dan sebagainya (Bleehen dan Anstey, 2004).
Melanogenesis dimulai dari sintesis tyrosinase dalam retikulum
endoplasma kasar yang kemudian diakumulasi dalam vesikel badan golgi. Sintesis
enzim tyrosinase dapat dipicu adanya radikal bebas, UV, dan faktor genetik.
Tyrosinase tersebut kemudian membutuhkan oksigen dan tembaga (Cu) untuk
mengoksidasi asam amino tyrosin menjadi 3,4 dihidroxyphenylalanin (L-DOPA)
melalui jalur Raper Mason, L-DOPA tersebut berfungsi sebagai kofaktor dalam
proses oksidasi berikutnya dan juga merupakan substrat enzim tyrosinase.
L-DOPA kemudian dioksidasi menjadi DOPAquinon, kemudian DOPAquinon
ada yang dikonversi menjadi DOPAchrome dan ada yang berikatan dengan
glutahione atau cysteine (Fithria, 2015).
DOPAchrome dikonversi oleh enzim tyrosinase menjadi DHI dan
DHICA. DHI (5,6-dihydroxyindole) atau dikatalisis oleh DOPAchrome taumerase
menjadi DHICA (5,6
dihydroxy-in-dole-2-carboxylic-acid).
DHI tersebut
kemudian dikonversi menjadi melanin DHI (berwarna hitam, tidak larut dan
mempunyai berat molekul tinggi), sedangkan DHICA dikonversi menjadi melanin
DHICA (berwarna cokelat, kurang larut dan mempunyai berat molekul sedang)
(Fithria, 2015).
DOPAquinon yang berikatan dengan glutahione atau cystein kemudian
membentuk cysteinyl DOPA (berwarna kuning kemerahan, larut dan mempunyai
17
berat molekul ringan) atau disebut juga feomelanin. Hal tersebut yang membuat
warna kulit bervariasi di seluruh tubuh, tidak hanya hitam saja, atau putih saja,
atau cokelat saja tetapi pada beberapa area ada yang kekuningan, ada yang
kemerahan, cokelat atau hitam (Fithria, 2015). Proses melanogenesis dapat dilihat
pada gambar 5.
Gambar 5. Mel anogenesis (Chang, 2009)
Melanin yang dihasilkan tersebut merupakan pigmen yang berfungsi
sebagai penyerap sinar UV, penahan radikal bebas sehingga dapat melindungi
kulit dari kerusakan akibat sinar UV. Secara normal, melanin pada manusia
berkisar 1-3% dari total epidermis (Mitsui, 1997).
Melanin akan bermigrasi ke dalam sitoplasma melanosit yang menjulur
ke atas mendekati permukaan kulit, lalu ditransfer ke keratinosit pada stratum
spinosum dan germinativum. Melanin akan terakumulasi pada sel-sel keratinosit
yang jumlahnya lebih banyak dibanding pada melanosit sendiri yang merupakan
penghasil melanin. Melanin terakumulasi di sitoplasma pada daerah atas inti
keratinosit yang bertujuan untuk melindungi nukleus dari efek radiasi sinar
18
ultraviolet. Jika tidak ada melanin, maka DNA di dalam nukleus bisa mengalami
mutasi. Keratinosit tersebut kemudian akan membelah secara periodik dan
digantikan oleh sel-sel baru (Fithria, 2015).
Apabila
produksi
melanin
tersebut
berlebihan
disebut
dengan
hiperpigmentasi. Manifestasi dari hiperpigmentasi dapat berupa freckles atau
melasma. Freckles yaitu bercak berwarna cokelat muda atau cokelat tua yang
berukuran kecil dan bentuknya tidak beraturan pada bagian tubuh yang sering
terpapar sinar UV serta tidak ada batas yang jelas antara area yang terkena
freckles dan tidak, sedangkan melasma adalah bercak berwarna cokelat muda
sampai hitam yang banyak ditemukan pada wajah, dapat meluas, berukuran besar,
dan bentuknya simetris (Fithria, 2015).
5. Hidrokuinon sebagai Produk Antihiperpigme ntasi
Hidrokuinon adalah bahan pemutih yang sangat sering digunakan pada
saat ini, terutama untuk melasma dan kelainan hiperpigmentasi wajah lainnya.
Aplikasi topikal hidrokuinon 2%-4% merupakan pengobatan yang disetujui dan
hidrokuionon 4% merupakan baku emas untuk pengobatan melasma (Fithria,
2015).
Hidrokuinon dapat menginhibisi perubahan DOPA menjadi melanin
melalui penghambatan aktivitas enzim tirosinase. Mekanisme lainnya adalah
penghambatan sintesis DNA dan RNA, degradasi melanosom, dan penghancuran
melanosit. Kemiripan struktur kimia hidrokuinon dengan prekursor melanin
menjelaskan kemampuannya untuk dapat dimetabolisme di dalam melanosit.
Hidrokuinon juga bekerja selektif pada proses melanogenesis (Fithria, 2015).
19
Efek samping akut pemakaian HQ diantaranya dermatitis kontak iritan
dan alergik, hiperpigmentasi postinflamasi, dan perubahan warna kuku. Okronosis
eksogen, reticulated ripple-like sooty pigmentation yang permanen pada wajah,
biasanya mengenai pipi, dahi, daerah periorbital adalah efek samping kronis yang
utama. Resolusi biasanya terjadi perlahan setelah penghentian obat. Hidrokuinon
dapat menimbulkan depigmentasi permanen apabila lesi diobati dengan
konsentrasi yang tinggi dan dalam jangka waktu lama (Fithria, 2015).
Hidrokuinon biasanya dikombinasikan dengan komponen lain dalam
sediaan krim. Krim farma yang digunakan terdiri atas tiga kombinasi obat atau
yang dikenal dengan triple combination therapy (Grimes, dkk., 2006). Menurut
Taylor, dkk (2005) triple combination therapy lebih cocok untuk kulit orang Asia
yang terdiri atas hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA), dan fluosinolon
asetonid 0,01% (FA). Triple combination therapy tersebut terbukti lebih aman dan
efektif dalam pengobatan melasma selama 8 minggu.
Tretinoin pada sediaan tersebut untuk meningkatkan pergantian sel
epidermis, menurunkan waktu kontak antara keratinosit dan melanosit serta
mempromosikan penghilangan pigmen melalui epidermopoesis. Efek samping
yang dapat disebebkan tretinoin antara lain eritema dan pengelupasan kulit
(deskuamasi) (Kligman dan Willis, 1975).
Sementara itu, sediaan tersebut juga mengandung kortikosteroid kelas IV
berupa fluosinolon asetonid. Kortikosteroid ini dapat membantu mengurangi
iritasi atau eritema yang disebabkan oleh tretinoin dan hidrokuinon melalui efek
modifikasi fungsi sel epidermis dan dermis. Kortikosteroid topikal tidak
20
dianjurkan untuk digunakan dalam jangka waktu lama karena dapat menimbulkan
efek samping yang tidak diinginkan, yaitu rebound fenomena yang ditandai
dengan kulit menjadi merah, gatal, dan terasa seperti terbakar. Rebound fenomena
digambarkan pada kulit yang mengalami hiperpigmentasi dengan bercak hitam
yang semakin parah apabila penggunaan krim farma dihentikan (Fithria, 2015).
6. Dimetil Sulfoksida (DMSO) sebagai Penetrant Enhancer
DMSO merupakan senyawa yang bersifat polar dan inert. Menurut Anief
(1997), DMSO dapat menambah kecepatan penetrasi. DMSO sangat higroskopis
dan adanya DMSO dalam stratum korneum dapat menaikkan hidrasi kulit
sehingga menghantarkan obat untuk masuk ke dalam kulit secara maksimal.
Penggunaan DMSO dengan kadar yang tinggi dapat menghasilkan peningkatan
permeabilitas kulit yang nyata (Shembale, dkk., 2010).
DMSO dapat merubah konformasi keratin stratum corneum dari α-helical
conformation menjadi β–sheet conformation. Bentuk konformasi β tersebut lebih
stabil dibandingkan bentuk konformasi α (Trommer dan Neubert, 2006).
DMSO dapat meningkatkan fluks obat melalui interaksinya dengan lipid
pada stratum corneum dan merubah struktur protein kulit yang mengakibatkan
pembengkakan. Pembengkakan ini akan membuka saluran dalam stratum
korneum. Oleh karena itu, akan menurunkan efektivitas sebagai sawar terhadap
suatu obat. Perubahan struktur protein juga menyebabkan terjadinya perubahan
nilai koefisien partisinya yang akan berpengaruh pada kemampuan melewati
lapisan kulit. Perubahan yang terjadi menjadi dasar DMSO dapat berperan sebagai
penetrasi enhancer membran kulit melalui proses difusi (Shembale, dkk., 2010).
21
Hasil percobaan Jacob dan Herschler (1983) membandingkan absorpsi
transdermal antara tikus dan manusia dengan menggunakan larutan DMSO.
Percobaan tersebut menunjukkan bahwa DMSO yang dicobakan pada kulit
manusia, 5 menit setelah pemberian sudah muncul di darah, sedangkan pada tikus
perlu waktu 10 menit.
7.
Marmut Belanda sebagai He wan Pe rcobaan untuk Uji Aktivitas
Antihipe rpigmentasi
Marmut belanda sudah banyak digunakan sebagai hewan percobaan pada
uji antihiperpigmentasi. Penelitian Hastiningsih (2015) menggunakan marmut
belanda (Cavia porcellus) sebagai hewan uji yang diambil jaringan kulitnya untuk
dilakukan preparasi jaringan, kemudian dilakukan pengamatan mengenai melanin
dalam lapisan kulit. Penelitian lain menunjukkan asam ellagat dapat menghambat
melanogenesis yang menggunakan kulit marmut belanda (Shimogaki, dkk., 2000).
Senyawa turunan genistein juga menunjukkan adanya aktivitas antimelanogenesis
yang diujikan pada marmut belanda (Zhou, dkk., 2017).
Marmut belanda (Gambar 6) merupakan salah satu hewan yang memiliki
banyak persamaan secara biologis terhadap manusia. Warna kulit marmut belanda
beragam karena hewan ini memiliki melanin baik dari jenis eumelanin,
feomelanin, dan albino. Marmut belanda memiliki pigmentasi yang mirip dengan
manusia yang akan meningkat setelah paparan UV B (Wagner, 1976).
Marmut belanda jarang menggigit. Marmut belanda memiliki proporsi
berat badan dan kaki yang tidak sebanding, sehingga umumnya tidak dapat
melompat atau memanjat. Oleh karena itu, pemeliharaannya secara berkelompok
lebih mudah karena ketidakmampuannya untuk melarikan diri. Berat lahir marmut
22
belanda adalah 75-100 gram, berat dewasa betina 450 gram, sedangkan dewasa
jantan 500 gram (Suryanto, 2012).
Gambar 6. Marmut belanda (Cavia porcellus) (Suryanto, 2012)
Klasifikasi marmut belanda adalah sebagai berikut (Wagner, 1976) :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Suborder
: Hystricomorpha
Family
: Caviidae
Subfamily
: Caviidae
Genus
: Cavia
Species
: Cavia porcellus
Percobaan yang menggunakan hewan uji harus memperhatikan beber apa
prinsip dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang baik diharapkan mendapatkan
hasil yang sesuai dengan etika penelitian yang berkaitan dengan penggunaan
hewan uji (ethical clearance). Pemeliharaan hewan marmut belanda harus
23
memperhatikan faktor lingkungan, kenyamanan, nutrisi, dan kesehatan hewan
tersebut. Suhu ruangan yang optimum untuk pemeliharaan marmut belanda
berkisar 24-300 C. Hewan diberikan ruang yang cukup untuk bergerak dengan
bebas di dalam kandang. Tempat pemeliharaan marmut belanda tidak boleh terlalu
lembab dan tertutup rapat, diperlukan ventilasi untuk pertukaran udara. Kandang
tersebut dibersihkan minimal seminggu sekali untuk menghindari tumbuhnya
jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi kesehatan marmut (Evinger, dkk.,
1984).
Marmut belanda harus diberikan makanan dan minuman dengan kualitas
yang optimum berupa pelet yang mengandung mineral dan beberapa vitamin,
terutama vitamin C, serta air minum yang bersih dan bebas dari kontaminasi.
Makanan marmut belanda dapat dicampur dengan beberapa sayur maupun buah
yang mengandung vitamin C misalnya lotus, parsley, dan wortel. Kebutuhan
makanan marmut belanda tidak cukup jika diberikan pelet saja, karena marmut
belanda tidak dapat membuat dan menyimpan vitamin C di dalam tubuhnya. Pelet
tidak dapat membantu memenuhi serat untuk proses mencerna makanan. Oleh
karena itu, makanan yang diberikan pada marmut belanda terdiri dari beberapa
jenis makanan (Evinger, dkk., 1984).
Marmut belanda
termasuk
hewan
yang suka
menyembunyikan
tanda-tanda saat sakit, sehingga diperlukan perhatian khusus apabila terdapat
perilakunya yang tidak lazim misalnya nafsu makan atau minum menurun, bersin
terus menerus, bulu rontok, sering menggaruk-garuk kepala atau bagian tubuh
lain, diare berkepanjangan, urin berdarah, dan kehilangan keseimbangan. Tanda
24
lain yang terlihat ketika hewan tersebut ada masalah kesehatan yaitu berat badan
yang menurun secara drastis dalam waktu yang singkat (Ottawa Humane Society,
2011).
F. Landasan Teori
Ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) dan ekstrak
etanol daun pare (Momordica charantia L.) memiliki aktivitas antioksidan.
Aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun pare sudah dibuktikan dengan nilai IC50
sebesar 77,10 μg/mL sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas antioksidan daun
pare cukup kuat (Fidrianny, dkk, 2014). Penelitian Tsai, dkk (2014) juga
menyatakan bahwa ekstrak daun pare memiliki efek perlindungan selular terhadap
oksidan dengan nilai EC50 sebesar 49,35 μg/mL dan pada konsentrasi 200 μg/mL
mampu menurunkan jumlah melanin secara in vitro. Penelitian Sima (2015) juga
telah membuktikan adanya kandungan senyawa flavonoid pada daun pare dalam
ekstrak etanol 96%, 70%, dan 30%. Senyawa flavonoid dapat menghambat
produksi spesies oksigen reaktif (ROS) (Robak dan Gryglewski, 1988)
Sugiharto, dkk (2012) membuktikan bahwa kurkumin mempunyai nilai
IC50 sebesar 16,05 μg/mL. Hasil tersebut menunjukkan aktivitas antioksidan
kurkumin lebih kuat dibandingkan hidrokuinon dengan IC50 sebesar 72 μg/mL
(Curto, dkk., 1999). Penelitian aktivitas antihiperpigmentasi kurkumin secara
in vitro pada konsentrasi 25 μg/mL mampu mengurangi kandungan melanin
sebesar 45,67%-53,87%. Selain itu, penelitian Sugiharto, dkk (2010) lainnya telah
membuktikan bahwa konsentrasi ekstrak etanol rimpang kunyit pada konsentrasi
25 μg/mL mampu menghambat enzim tirosinase sebesar 36,17 %.
25
Penelitian mengenai kombinasi ekstrak dari tanaman yang berbeda telah
banyak membuktikan aktivitas antihiperpigmentasi yang lebih tinggi dibanding
ekstrak tunggal. Penelitian Rizza, dkk (2012) menunjukkan bahwa pada
konsentrasi 50 µg/mL kombinasi ekstrak Capparis spinosa, Citrus sinensis,
Oryza sativa, dan Olea europaea mempunyai aktivitas menghambat enzim
tirosinase lebih tinggi dibandingkan ekstrak tunggal, asam kojik, dan hidrokuinon
secara in vitro. Senyawa yang berperan sebagai antioksidan pada ekstrak
Capparis
spinosa
yaitu
flavonoid
berupa
kuersetin
dan
kaempferol,
Citrus sinensis berupa hesperidin dan naringenin, Oryza sativa berupa asam
ferulat dan asam kafeat, serta Olea europaea berupa oleuropein dan luteolin.
Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kombinasi ekstrak Capparis spinosa,
Citrus sinensis, Oryza sativa, dan Olea europaea yang dibuat dalam sediaan krim
(M/A) mampu menghambat pigmentasi kulit sebesar 75,9%. Hasil tersebut
membuktikan bahwa krim kombinasi ekstrak lebih efektif dalam menghambat
pigmentasi kulit dibandingkan formulasi krim asam kojik (52,3%) dan krim
hidrokuinon (69,0%) secara in vivo.
G. Hipotesis
1. Kombinasi ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) dan ekstrak
etanol daun
pare
antihiperpigmentasi
(Momordica
secara
in
charantia
vivo
pada
L.)
mempunyai
kulit
Marmut
aktivitas
belanda
(Cavia porcellus) jantan.
2. Kombinasi ekstrak etanol rimpang kunyit (Curcuma domestica L.) dan ekstrak
etanol daun
pare
(Momordica
charantia
L.)
mempunyai
aktivitas
26
antihiperpigmentasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sediaan krim farma
(hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01%).
Download