ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PAJAK ATAS TRANSAKSI DERIVATIF TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG (STUDI KASUS PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK) ABSTRAK Oleh : SUSANTI NPM : 0851031058 Tlpn : 08976161416 Email : [email protected] Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA. Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt. Pergerakan arus globalisasi telah mendorong para pelaku bisnis untuk memperluas bisnis mereka dalam melakukan perdagangan internasional untuk menghindari kerugian yang besar karena pergerakan nilai tukar. Penelitian ini menguji perbedaan perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak kena pajak dan PPh terutang. Perlakuan akuntansi menggunakan prinsip metode accrual basis sedangkan pajak menggunakan metode cash basis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang menggunakan data sekunder yang berasal dari satu perusahaan yang memiliki transaksi derivatif di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan studi pustaka. Sedangkan analisis dilakukan dengan menggunakan analisis kuantitatif (menggunakan penjabaran variabel terkait) dan analisis kualitatif (menggunakan PSAK NO 50/55 dan UU Pajak Penghasilan Nomor 38/2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak dari transaksi derivatif terletak pada kebijakan untuk amortisasi transaksi derivatif berdasarkan periode kontrak. Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara akuntansi dan pajak membuat perbedaan laba komersial dan laba fiskal. Kedua perbedaan ini masuk kedalam akun pajak tangguhan berdasarkan PSAK 46 yang diterapkan di Indonesia. Kata kunci: Pajak Penghasilan (PPh), Laba Kena Pajak, Transaksi Derivatif, Perlakuan Perpajakan, Perlakuan Akuntansi ANALYSIS OF ACCOUNTING TREATMENT AND TAX TREATMENT ON DERIVATIVE TRANSACTIONS TO TAXABLE INCOME AND INCOME TAX PAYABLE (PPH) (CASE STUDY PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK) ABSTRACT By : SUSANTI NPM : 0851031058 Phone : 08976161416 Email : [email protected] Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA. Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt. Globalization movement has been encourage the business people to expand their business and beware in doing international trading to avoid large losses due to exchange rate fluctuations. This study examined the differences of accounting treatment and tax treatment on derivative transactions to taxable income and income tax payable (PPh). Accounting treatment use the accrual basis principle while tax treatment use cash basis principle. This study aims to find out the differences between accounting treatment and tax treatment on derivative transactions which focused on contract forward to taxable income and income tax payable (PPh). This study belongs to descriptive study which using secondary data from one company that has derivative transactions inside it. Data were collected by doing observation and literature study. This analysis using quantitative analysis (using number in analyze the related variables) and qualitative analysis (refer to PSAK NO 50/55 and UU Pajak Penghasilan No 38/2008). The results showed that the differences between accounting treatment and tax treatment on derivative transactions lies in the policy to amortize derivative transactions based on the contract period. The differences in recognition of income and expense between accounting and tax create the differences in commercial income and fiscal income. Those two differences adapted in deferred tax account based on PSAK 46 which applied in Indonesia. Keywords : Income Tax Payable (PPh), Taxable Income, Derivative Transactions, Tax Treatment, Accounting Treatment 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan antar negara pada umumnya menimbulkan pilihan bagi pelaku binis mengenai currency (mata uang) yang akan dipakai dalam kontrak dagang yang akan dilakukan. Mengingat semakin besarnya peran transaksi derivatif dalam perdagangan internasional dan meningkatnya transaksi/perdagangan uang secara global maka kebijakan fiskal yang tepat untuk transaksi derivatif mempunyai potensi untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak penghasilan atas penghasilan transaksi derivatif. Derivatif merupakan instrumen keuangan yang nilainya berasal dari nilai aset lain, kelompok aset, atau variabel ekonomis seperti harga saham, obligasi, harga komoditas, tingkat bunga atau kurs pertukaran valuta (Sumbramanyam, 2010). Sedangkan Samsul (2010) membedakan derivatif digolongkan menjadi dua golongan, yaitu bursa berjangka dan OTC (Over the Counter). Bursa berjangka adalah transaksi kontrak beli dan kontrak jual dilakukan oleh banyak pembeli dan banyak penjual dengan persyaratan standar yang ditetapkan oleh pihak bursa dan penyelesaian kontrak dapat dilaksanakan setiap hari. Sedangkan OTC (Over the Counter) adalah transaksi kontrak beli dan kontrak jual dilakukan oleh dua pihak tertentu dan penyelesaian kontrak selalu pada tanggal jatuh tempo. Lebih lanjut, Subramanyam (2010) menyatakan akuntansi untuk derivatif mempunyai dua tujuan, yaitu untuk lindung nilai dan spekulasi. Lindung nilai (hegde) merupakan kontrak yang bertujuan untuk melindungi perusahaan dari resiko transaksi pasar. Transaksi lindung nilai ini mirip dengan kebijakan asuransi, dimana perusahaan melakukan kontrak yang memastikan adanya imbal hasil pasti tanpa dipengeruhi kekuatan pasar. Berbagai macam instrumen keuangan digunakan untuk kegiatan lindung nilai yaitu kontrak masa depan (futures contract), kontrak swap (swap contract), kontrak opsi (option contract), dan kontrak forward (forward contract). Keempat macam kontrak ini memiliki indikasi yang berbedabeda terhadap resiko-resiko yang dihadapi oleh perusahaan tergantung bagaimana kebijakan manajemen yang berlaku diperusahaan. Perlakuan akuntansi suatu transaksi bisnis dalam suatu perusahaan juga dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan. Adanya kebijakan-kebijakan dalam hal perpajakan menimbulkan adanya perlakuan perpajakan tertentu. Keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga kebijakan perpajakan ini perlu dipertimbangkan. Agar tidak terjadi gangguan yang serius terhadap jalannya perusahaan, maka pemenuhan kewajiban perpajakan harus dikelola dengan baik. 1.2. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah 1.2.1. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang muncul dan akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: “ Bagaimana perlakuan akuntansi dan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan pph terutang ? “ 1.2.2. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini agar penulisan lebih terarah dan terfokus, yaitu: 1. Studi kasus (menggunakan data sekunder) dengan menganalisa laporan keuangan perusahaan yang melakukan transaksi derivatif dilihat dari perlakuan akuntansi dan perpajakan. 2. Transaksi derivatif yang akan diteliti kontrak forward (forward contract) untuk tujuan lindung nilai (hedging). 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan atas transaksi derivatif kontrak forward (forward contract). 1.3.2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi perusahaan, yang akan melakukan transaksi derivatif kontrak forward (forward contract) diharapkan bisa mendapatkan informasi dasar atas transaksi derivatif sesuai dengan prinsip akuntansi dan perpajakan yang berlaku di Indonesia. 2. Bagi pihak pajak, diharapkan bisa merevisi peraturan tentang transaksi derivatif kontrak forward secara lebih detail. 3. Menyediakan bahan referensi bagi peneliti lain khususnya akademisi untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam mengkaji lebih lanjut masalah yang terkait dengan hasil penelitian ini. 2. TINJAUAN PUSTAKA Instrumen Derivatif Berdasarkan PP No.17 / 2009 tersebut yang dimaksud dengan instrumen derivatif dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 adalah: “Transaksi yang didasari pada kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan maupun tanpa pergerakan dana atau instrumen.” Sedangkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55 revisi 2006, menyatakan bahwa instrumen derivatif adalah suatu instrumen keuangan atau kontrak lain yang termasuk dalam ruang dengan tiga karakteristik berikut ini: (a) nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan variabel yang telah ditentukan (sering disebut dengan variabel yang mendasari), antara lain: suku bunga, harga instrumen keuangan, harga komoditas, nilai tukar mata uang asing, indeks harga atau indeks suku bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau variabel lainnya. Untuk variabel nonkeuangan, variabel tersebut tidak berkaitan dengan pihak-pihak dalam kontrak. (b) tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal neto dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang diperlukan untuk kontrak serupa lainnya yang diharapkan akan menghasilkan dampak yang serupa sebagai akibat perubahan faktor pasar. (c) diselesaikan pada tanggal tertentu di masa depan. Jenis Produk Derivatif Stice Skoucen (2006) dalam bukunya Akuntansi Keuangan Menengah, menyebutkan jenis produk derivatif yang secara umum dilakukan sebagai berikut: 1. Swap Tukar menukar atau yang lebih dikenal sebagai swap dalam dunia keuangan merupakan suatu instrumen derivatif, di mana terdapat dua pihak saling mempertukarkan suatu aliran arus kas dengan aliran arus kas lainnya. Nilai swap ini dihitung berdasarkan suatu nilai absolut atau notional amount yaitu suatu nilai nominal yang digunakan untuk menghitung pembayaran terhadap suatu swap dan produk manejemen risiko lainnya dimana nilai ini bukan suatu nilai yang sesungguhnya (absolute). 2. Futures (Kontrak Berjangka) Futures adalah kontrak berjangka panjang yang bersifat mengikat atau memberi kewajiban kepada kedua belah pihak untuk membeli atau menjual underlying asset tertentu (berupa valuta asing, tingkat bunga, ekuitas, atau komoditas) berdasarkan tingkat harga yang ditetapkan saat ini yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara cash settelement di masa yang akan datang sesuai dengan expiration date yang ditetapkan di dalam kontrak tersebut. 3. Forward (Kontrak Serah) Kontrak serah atau yang dalam bahasa asing disebut forward contract adalah suatu persetujuan antara dua belah pihak untuk menjual atau membeli suatu aset (atau bentuk apapun juga) di suatu waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, tanggal penjualan dan tanggal penyerahan barang dilakukan berbeda. Kontrak serah ini digunakan untuk mengendalikan dan meminimalkan risiko, sebagai contoh risiko perubahan nilai mata uang (contoh: kontrak forward untuk transaksi mata uang) atau transaksi komoditi (contoh: kontrak serah untuk minyak bumi). Transaksi forward adalah transaksi berjangka dengan penyerahan valuta pada suatu tanggal tertentu dengan menggunakan kurs yang disepakati pada tanggal transaksi.Satu pihak setuju untuk membeli, pihak lain menjual, untuk suatu harga yang telah disetujui sebelumnya. Saat terjadi transaksi forward, belum terjadi pertukaran atau pembayaran uang. Pembayaran dan pengiriman barang dilakukan sesuai dengan jadwal dan aturan yang telah disepakati. Harga forward berbeda dengan harga spot atau harga pada saat asset tersebut berpindah tangan. 4. Options (Opsi) Opsi merupakan suatu jenis kontrak antara 2 (dua) pihak dimana satu pihak memberi hak kepada pihak lain untuk membeli aset tertentu pada harga dan periode tertentu. Di sisi lain, kontrak juga mengizinkan pihak lain untuk menjual aset pada harga dan periode tertentu. Pihak yang membayar dan menerima hak disebut call option, sedangkan pihak yang menjual disebut put option. Penyesuaian Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Forward Contract Keiso (1996), menyebutkan forward contract sebagai salah satu jenis instrumen derivatif dicatat sebesar nilai wajarnya. Penyesuaian nilai Forward contract karena resiko penurunan nilai mata uang juga berdasarkan nilai wajarnya, begitu pula dengan pengukuran terhadap premium ataupun discount yang timbul merupakan selisih dari nilai wajar antara Forward payable dan Forward receivable. Kieso (1996), merumuskan nilai premium ataupun discount sebagai berikut: - Forward payable (hutang perusahaan pada bank) adalah jumlah dalam suatu mata uang asing untuk menentukan besarnya nilai penyelesaian forward contract dikalikan dengan spot rate (kurs tunai yang berlaku). - Forward receivable adalah jumlah dalam suatu mata uang asing untuk menentukan besarnya nilai penyelesaian forward contract dikalikan dengan forward rate ( kurs yang ditentukan bank sebagai pihak ketiga yang independen). Sedangkan nilai premium ditentukan dari hasil pengurangan forward payable dengan forward receivable dan nilai discount dapat ditentukan jika yang terjadi nilai forward receivable lebih besar dari nilai forward payable. Premium berarti penghasilan bagi bank sedangkan discount berarti penghasilan bagi perusahaan. Nilai premium maupun discount yang timbul harus dimortisasi sepanjang masa forward contract atau dengan kata lain beban amortisasi/penghasilan forward dicatat nilainya berdasarkan hasil amortisasi sepanjang masa forward contract. Definisi elemen dan pos laporan keuangan forward receivable termasuk elemen aktiva karna perusahaan akan menerima pembayaran dari bank. Dan dicatat dibagian pos piutang lain-lain karna tidak berhubungan dengan kegiatan operasi perusahaan. Untuk forward payable termasuk elemen kewajiban karna perusahaan akan melakukan pembayaran ke bank. Dan dicatat dibagian pos hutang lain-lain. Premium termasuk elemen aktiva karna premium adalah beban yang dibayar dimuka dan dicatat dalam aktiva lain-lain sedangkan discount termasuk elemen kewajiban karna discount adalah penghasilan yang diterima perusahaan dan dicatat dalam kewajiban lain-lain. Laba (rugi) selisih kurs, beban amortisasi, penghasilan forward masuk elemen pendapatan (beban) lain-lain dan dicatat pada pos laba (rugi) selisih kurs, pos beban amortisasi dan pos penghasilan forward karna pos-pos tersebut tidak terhubung dengan operasi perusahaan tersebut. Forward receivable ataupun forward payable dan discount ataupun premium dilaporkan dalam neraca, apabila terjadi discount maka harus disajikan menjadi satu dibagian kewajiban, dan kalau terjadi premium maka harus disajikan satu dibagian aktiva. Perlakuan Pajak untuk Forward untuk Contract Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-12/PJ.313/1993 tanggal 18 Mei 1993 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi Forward Sales Valuta Asing, yang dimaksud dengan transaksi forward sales adalah transaksi jual beli valuta asing yang penyerahan valutanya dilakukan dikemudian hari dengan nilai kurs valuta asing yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli pada saat kontrak dibuat. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE12/PJ.313/1993 tanggal 18 Mei 1993 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi Forward Sales Valuta Asing mengatur Pelakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa forward sales valuta asing sebagai berikut: a. Premi atas forward sales valuta asing yang tidak berkaitan dengan transaksi lain merupakan obyek pajak penghasilan bagi pihak yang menerima atau memperolehnya. Perhitungan dan pelunasan Pph atas penghasilan berupa premi tersebut dilakukan oleh wajib pajak melalui sistem self assessment yaitu dengan menjumlahkan penghasilan berupa premi tersebut dengan penghasilan lainnya dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh) untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan tarif sesuai ketentuan dalam pasal 17 UU PPh. b. Premi atas forward sales valuta asing yang merupakan satu paket dengan penempatan deposito berjangka oleh nasabah yang sama pada bank yang sama adalah obyek pajak penghasilan dan termasuk dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan Pajak Penghasilannya diperlakukan sama dengan pajak penghasilan dan termaksuk dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan Pajak Penghasilannya diperlukan sama dengan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka sebagaimana di atur peraturan pemerintah No. 74 tahun1991. Menurut peraturan terpajak secara umum, fiskal mengakui pembukuan yang di dasarkan pada cash basis. Cash basis mencatat dan melaporkan penghasilan dan biaya pada saat uangnya sudah di bayar dalam transaksi forward contract ini. Perusahaan menggunakan accural basis berarti timbulnya hak dan kewajiban meskipun uangnya belum di bayar dalam transaksi tanggal transaksi forward contract. Pada tanggal neraca pajak mengakui loos or gain on foreign exchange berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1991, UU No.10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa: “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang di terima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Termasuk keuntungan karena sesisih kurs mata uang asing dan pasal 6 ayat 1(a) yang menyatakan bahwa besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk kerugian selisih kurs mata uang asing.” Premium atau discount yang diamortisasi (beban amortisasi) berdasarkan pasal 11A ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 tahun 1983 sebagian yang telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan pada Tabel 2.3 Pengukuran pajak untuk beban amortisasi. Forward contrat yang jatuh temponya kurang dari satu tahun diamortisasi dengan mengikuti perlakuan akuntansi komersial yang telah dicatat dan dilaporkan perusahaan. Pada tanggal jatuh tempo pajak mengakui loss/gain on foreign exchange. Laba (rugi) selisih kurs diakui pajak sebagai penghasilan ataupun sebagai pengurang penghasilan. Sedangkan beda nilai amortisasi antara laporan komersial diatas amortisasi dan fiskal akan dikoreksi positif oleh pajak apabila amortisasi komersial diatas amortisasi fiskal. 3.METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena menggambarkan perlakuan akuntansi dan perpajakan atas transaksi derivatif kontrak forward (forward contract) didalam laporan keuangan perusahaan dan menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini, data sekunder yang digunakan yaitu data dalam bentuk laporan keuangan PT Japfaa Comfeed Indonesia Tbk tahun 2008 dan 2009 yang sudah dipublikasikan di homepage Bursa Efek Indonesia, homepage dari perusahaan yang menjadi objek penelitian, ataupun literatur-literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik Pengumpulan Data Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, penulis membutuhkan data yang berkaitan dengan topik penelitian. Data yang relevan yang mencakup ruang lingkup menjadi acuan penulis untuk dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang masalah yang diteliti. Perhitungan Nilai Wajar Kontrak Derivatif Trombrey (2003), menrumuskan nilai wajar kontrak forward valas pada tanggal laporan keuangan adalah berdasarkan rumus : Notional amount x (Current forward rate – Contracted forward rate) (1+r) t Dimana : Notional amount : jumlah valas yang disepakati dalam kontrak forward. Current forward rate : kurs forward valas untuk tanggal penyerahan Contracted forward rate : kurs forward valas yang ada dalam kontrak forward r : tingkat diskonto t : jumlah bulan dalam kontrak forward Berdasarkan rumusan diatas, maka : a. Tidak digunakannya kurs spot pada tanggal laporan keuangan, yang pada umumnya menjadi patokan untuk penyesuaian saldo akun-akun dalam mata uang asing, yang menimbulkan laba rugi selisih kurs. b. Digunakan selisih antara kurs forward valas pada tanggal laporan keuangan untuk penyerahan pada tanggal penyelesaian dibandingkan dengan forward yang ada dalam kontrak forward valas, dan terdapat komponen tingkat diskonto dan jangka waktu periode dari tanggal laporan keuangan sampai tanggal penyerahan kontrak valas. Teknik Rekonsiliasi Fiskal atas Transaksi Derivatif Kontrak Forward Ada beberapa perubahan penting yang sangat berpengaruh dalam perhitungan pajak perusahaan antara lain: a) Peredaran Usaha Peredaran usaha yang disajikan adalah peredaran usaha komersial sesuai dengan prinsipprinsip akuntansi komersial atau standar akuntansi keuangan, yang merupakan penerimaan/peredaran bruto dari kegiatan usaha, baik di Indonesia maupun di luar negeri melalui bentuk usaha tetap atupun bukan bentuk usaha tetap. Di dalam kontrak forward valas, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk memperlakukan laba atau rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar kontrak forward valas sebagai penambah atau pengurang penghasilan bruto untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak, sepanjang : - Tidak terdapat indikasi kontrak forward valas digunakan terutama untuk tujuan spekulatif atau mengambil untung dalam jangka pendek. Karena menyangkut penentuan kurs dimasa depan yang selalu ada unsur spekulatif. - Arus kas dari realisasi kontrak forward valas digunakan terutama untuk menyelesaikan transaksi-transaksi yang mendasarinya. b) Penghasilan Netto dari Luar Usaha Penghasilan lainnya yang bukan merupakan pengahasilan dari kegiatan usaha atau tidak ada kaitannya dengan kegiatan usaha, misalnya bila terjadi penjualan aktiva tetap maka harus disajikan dalam laporan keuangan. c) Penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak. Penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak harus dikeluarkan. d) Penyesuaian Fiskal Positif Pengeluaran komersial yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, misalnya biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, dana cadangan, imbalan natura dan kenikmatan serta pajak penghasilan. e) Penyesuaian Fiskal Negatif Perhitungan komersial yang lebih rendah dari ketentuan fiskal, misalnya selisih penyusutan komersial dibawah penyusutan fiskal dan penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Perusahaan menggunakan kontrak instrumen derivatif dalam bentuk forward contract untuk melindungi nilai wajar kewajiban Perusahaan sebesar Rp3.998.759.000.000. Pada tanggal 24 Juli 2008, Perusahaan menandatangani transaksi forward contract ini dengan PT ANZ Panin Bank dengan nilai wajar kontrak forward sebesar Rp134.185.000.000 yang jatuh tempo pada 31 Desember 2009. Nilai notional kontrak forward ini pada saat 31 Desember 2008 sebesar Rp439.279.000.000 dan saat 31 Desember 2009 sebesar Rp499.831.000.000. Sedangkan tingkat diskonto kontrak forward ini mendekati suku bunga inkremental Perusahaan yaitu sebesar 12% di tahun 2008 dan sebesar 10,5% di tahun 2009. Instrumen keuangan derivatif ini disajikan dalam aset tidak lancar. Keuntungan (kerugian) transaksi derivatif – bersih pada laporan laba rugi konsolidasi. Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Derivatif (Forward Contract) Perlakuan akuntansi meliputi pengukuran nilai, pengakuan, dan pengungkapan atau penyajian transaksi forward itu sendiri. Pengukuran atas transaksi Forward Contract dinyatakan dalam PSAK 55 revisi 2006 yaitu : “ Bukti terbaik dari nilai wajar adalah harga kuotasi di pasar yang aktif. Apabila pasar untuk suatu instrumen keuangan tidak aktif, entitas menetapkan nilai wajar dengan menggunakan teknik penilaian. Tujuan penggunaan teknik penilaian adalah untuk menetapkan berapa sesungguhnya harga transaksi pada tanggal pengukuran dalam suatu pertukaran yang wajar yang dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan bisnis yang normal. Nilai wajar adalah nilai di mana suatu aset dapat dipertukarkan atau suatu liabilitas diselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar. “ Perbandingan Keuntungan (Kerugian) Kontrak Forward Keterangan 31 Desember 2008 31 Desember 2009 Nilai notional Rp439.297.000.000 Rp499.831.000.000 Kurs forward Rp1.310 Rp1.006 Nilai wajar kontrak forward Rp104.713.000.000 Rp160.743.000.000 Perubahan nilai wajar Rp29.472.000.000 Rp56.030.000.000 Biaya penyelesaian Rp27.437.000 Rp30.060.000 Keuntungan (kerugian) Rp56.909.000.000 Rp89.090.000.000 kontrak forward Sumber: Data diolah Penyesuaian perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward ini meliputi penyesuaian saat tanggal awal kontrak, saat tanggal neraca, dan saat tanggal jatuh tempo. Penyesuaian dilaporkan dalam tahun berjalan sesuai dengan PSAK yang berlaku di Indonesia. Jurnal penyesuaian yang dilakukan perusahaan atas perlakuan akuntansi transaksi derivatif kontrak forward sebagai berikut: Saat awal dilakukannya kontrak forward Nilai wajar pada saat awal transaksi kontrak derivatif tanggal 24 Juli 2008 sebesar Rp134.185.000.000 dan berubah pada tanggal 31 Desember 2008 serta 31 Desember 2009. Tanggal 24 Juli 2008 perusahaan tidak membuat penyesuaian atas transaksi kontrak forward karena pada tanggal awal transaksi ini, kontrak forward mempunyai nilai wajar sebesar Rp 0. Nilainya nol artinya pembayaran atas transaksi kontrak forward dilakukan berdasarkan kontrak jika hanya nilai wajar dari kontrak ini pada saat tanggal jatuh tempo berbeda (lebih rendah atau lebih tinggi dari Rp134.185.000.000). Jurnal yang diperlukan saat mencatat transaksi derivatif dalam perlakuan akuntansi: Persediaan-jagung Instrumen derivatif Kewajiban perusahaan Rp806.780.000.000 57.443.000.000 Rp834.217.000.000 (untuk menyesuaikan pembelian bahan baku jagung dan timbulnya instrumen derivatif saat awal kontrak) Saat tanggal neraca 31 Desember 2008 Tanggal 31 Desember 2008, Perusahaan membuat laporan keuangan tahunan dimana semua transaksi harus disesuaikan sesuai dengan kebijakan perusahaana dan peraturan yang berlaku. Pada tanggal ini penyesuaian terhadap nilai wajar dari kontrak forward juga perlu dilakukan. Nilai wajar dari kontrak forward ini mengalami perubahan meningkat menjadi Rp104.713.000.000 dari nilai wajar awal kontrak sebesar Rp0. Selisih perubahan nilai wajar (karena pada saat awal kontrak nilai dari kontrak forward sebesar Rp0) ini sebesar Rp104.713.000.000. Perusahaan melakukan penyesuaian atas selisih perubahan nilai wajar kontrak forward ini dengan jurnal: Instrumen derivatif Rp104.713.000.000 Keuntungan-perubahan nilai wajar instrumen derivatif Kerugian-perubahan nilai variabel Rp104.713.000.000 Rp104.713.000.000 Kewajiban perusahaan Rp104.713.000.000 (untuk mencatat penyesuaian perubahan nilai wajar kontrak forward yang saling hapus dengan nilai variabel kewajiban perusahaan) Sedangkan untuk perlakuan akuntansi, perusahaan harus mencacat beban derivatif derivatif jurnal: Beban ditangguhkan Rp27.437.000.000 Kewajiban perusahaan Rp27.437.000.000 (untuk mencatat penyesuaian beban derivatif saat akhir tanggal neraca) Saat tanggal jatuh tempo 31 Desember 2009 Tanggal 31 Desember 2009, Perusahaan kembali membuat laporan keuangan tahunan dan membuat penyesuaian dimana jatuh tempo kontrak forward ini juga berakhir. Pada tanggal 31 Desember 2009 ini, terjadi perubahan meningkat atas nilai wajar kontrak forward sebesar Rp160.743.000.000 dari nilai wajar saat tanggal neraca 31 Desember 2008 sebesar Rp104.713.000.000. Selisih dari perubahan nilai wajar kontrak derivatif ini sebesar Rp56.030.000.000. Perusahaan melakukan penyesuaian atas perubahan nilai wajar kontrak forward ini dengan jurnal: Instrumen derivatif Rp56.030.000.000 Keuntungan-perubahan nilai wajar instrumen derivatif Kerugian-perubahan nilai variabel Kewajiban perusahaan Rp56.030.000.000 Rp56.030.000.000 Rp56.030.000.000 (untuk mencatat penyesuaian perubahan nilai wajar kontrak forward yang saling hapus dengan nilai wajar kewajiban perusahaan) Penyesuaian beban derivatif untuk tanggal akhir neraca 31 Desember disesuaikan dengan jurnal: Beban ditangguhkan Kewajiban perusahaan Rp30.060.000.000 Rp30.060.000.000 Saat penyelesaian transaksi derivatif-kontrak forward: Beban ditangguhkan Rp57.443.000.000 Instrumen derivatif Rp57.443.000.000 (untuk menyesuaikan pencatatan instrumen pada akhir kontrak derivatif) Saat pembayaran akhir transaksi derivatif-kontrak forward: Kewajiban perusahaan Rp57.443.000.000 Kas Rp57.443.000.000 Perubahan nilai wajar kontrak forward ini (meningkat/menurun) diindikasikan karena pengaruh nilai kurs Rupiah yang berfluktuasi dari tahun ketahun. Keuntungan perubahan nilai wajar atas kontrak forward di tahun 2008 membuat kewajiban perusahaan meningkat sejumlah keuntungan atas transaksi kontrak forward tersebut. Di tahun 2009, keuntungan juga terjadi karena perubahan nilai wajar atas transaksi kontrak forward menyebabkan kewajiban perusahaan meningkat sebanding dengan keuntungan atas transaksi kontrak forward. Keuntungan dari transaksi kontrak forward yang dilakukan perusahaan atas dasar lindung nilai disajikan dalam laporan laba rugi tahun berjalan. Sedangkan perubahan nilai wajar dari kontrak forward disajikan dalam neraca. Penyesuaian yang dilakukan perusahaan atas transaksi derivatif kontrak forward menunjukkan bahwa efektivitas hubungan lindung nilai atas perubahan nilai wajar kewajiban perusahaan menunjukkan adanya saling hapus antara perubahan nilai wajar yang dapat diatribusikan dengan resiko yang dilindung nilai. Perlakuan akuntansi ini secara akurat mencerminkan maksud dari lindung nilai kontrak forward yang dilakukan perusahaan dimana lindung nilai ini menjadi sempurna karena menutupi seluruh eksplosur resiko kewajiban perusahaan. Perlakuan Pajak atas Transaksi Derivatif (Forward Contract) Beban amortisasi tahun 2008 Terhitung bulan dari awal kontrak forward tanggal 24 Juli 2008 sampai dengan tanggal neraca 31 Desember 2008 adalah 6 bulan. Nilai wajar saat tanggal awal kontrak = Rp134.185.000.000 Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2008 = Rp104.713.000.000 Selisih perubahan nilai wajar (keuntungan) = Rp29.427.000.000 Beban amortisasi menurut aturan pajak = 6 ½ bulan x 25 % x Rp29.427.000.000 = Rp 47.818.875.000 Beban amortisasi tahun 2009 Terhitung bulan dari akhir tanggal neraca 31 Desember 2008 sampai dengan tanggal neraca 31 Desember 2009 adalah 12 bulan (satu tahun pajak). Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2008 = Rp104.713.000.000 Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2009 = Rp160.743.000.000 Selisih perubahan nilai wajar (keuntungan) = Rp56.030.000.000 Beban amortisasi menurut aturan pajak = 25% x Rp56.030.000.000 = Rp14.007.500.000 Untuk kepentingan perpajakan, Perusahaan harus melakukan rekonsiliasi fiskal untuk menyesuaikan perbedaan pelaporan antara akuntansi komersil dan akuntansi pajak. Teknik rekonsiliasi fiskal ini menyesuaikan Peredaran Usaha perusahaan, penghasilan neto dari luar usaha, penghasilan yang dikenakan pajak final, penyesuain fiskal positif dan negatif. Menurut Waluyo (2010), gambaran dari rekonsiliasi fiskal menunjukkan adanya perbedaan tetap dan perbedaan waktu sehubungan dengan rekonsiliasi fiskal. Gambaran singkatnya dijelaskan sebagai berikut : 1. Perbedaan waktu pengakuan (temporary difference) Perbedaan temporer dimaksudkan sebagai perbedaan antara dasar pengenaan pajak (tax base) dari suatu aset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada aset atau kewajiban yang berakibat pada perubahan laba fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi/dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat harus diakuinya aset dan/ kewajiban pajak tangguhan. Hal ini dapat terjadi pada kondisi: - Penghasilan atau beban yang harus diakui untuk menghitung laba fiskal atau laba komersial dalam periode yang berbeda - Goodwill atau goodwill negatif yang terjadi saat konsolidasi - Perbedaan nilai tercatat dengan tax base dari suatu aset atau kewajiban pada saat pengakuan awal 2. Perbedaan permanen/tetap (permanent difference) Perbedaan tetap timbul sebagai akibat adanya perbedaan pengakuan pendapatan dan beban antara pelaporan komersial dan pajak/fiskal. Akibat dari perbedaan ini berakibat juga pada laba komersial dan laba fiskal sebagai dasar menghitung pajak terutang. Beban amortisasi kontrak forward termasuk dalam perbedaan waktu karena perlakuan akuntansi tidak mengamortisasi kontrak forward, sedangkan perlakuan pajak harus mengamortisasi kontrak forward ini. Dari hasil rekonsiliasi fiskal (dalam lampiran) didapat hasil perhitungan Laba Kena Pajak perusahaan dan PPh Teurang sebagai berikut: Perbandingan Laba Kena Pajak Perusahaan Keterangan 31 Desember 2008 31 Desember 2009 Laba sebelum pajak Rp295.219.000.000 Rp1.249.918.000.000 Laba sebelum pajak anak Rp173.312.000.000 Rp880.357.000.000 Rp468.531.000.000 Rp2.130.275.000.000 Rp387.440.000.000 Rp1.248.247.000.000 perusahaan Laba sebelum pajak perusahaan Laba kena pajak Sumber: Data diolah Pajak Tangguhan Waluyo dalam bukunya Akuntansi Pajak menyebutkan pajak tangguhan sebagai jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dari sisa kerugian yang dapat dikompensasikan. Pengakuan pajak tangguhan berdampak terhadap laba atau rugi bersih sebagai akibat adanya kemungkinan pengakuan beban pajak tangguhan atau manfaat pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan, dan sebaliknya pendapatan pajak tangguhan akan menimbulkan aktiva pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan dapat terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi negatif yang berakibat beban pajak menurut akuntansi komersial lebih besar dibanding beban pajak menurut undang-undang pajak. Kewajiban pajak tangguhan ini sebagai jumlah pajak terutang untuk periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer kena pajak. Sedangkan aktiva pajak tangguhan dapat terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakibat beban pajak menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut undang-undang pajak. Masalah pengakuan aktiva atau kewajiban pajak tangguhan ini dilakukan terhadap rugi fiskal yang masih dapat dikompensasikan dan perbedaan waktu antara laporan keuangan komersil dan fiskal yang dikenakan pajak, didasarkan atau dikalikan tarif pajak yang berlaku. Penyesuaian terhadap pajak tangguhan ini harus dicatat Perusahaan sesuai dengan tarif pajak yang berlaku. Apabila terjadi perubahan tarif pajak di tahun yang akan datang maka harus disesuaikan dengan tarif pajak yang baru. Pajak tangguhan sebagai perlakuan akuntansi untuk menyesuaikan beban pajak periode yang akan datang serta perlakuan perubahan tarif pajak yang berlaku. Efek Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Badan Perubahan tarif dan ketentuan pajak penghasilan badan adalah hal mungkin terjadi. Pada bulan September 2008, Undang-Undang No. 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan direvisi melalui penerbitan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang revisi tersebut mengatur perubahan tarif pajak penghasilan badan, dari sebelumnya tarif progresif (10%, 15%, 30%) menjadi tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan sebesar 25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya. Perusahaan dan anak perusahaan telah menghitung dampak perubahan tarif pajak tersebut dalam perhitungan aktiva dan kewajiban pajak tangguhan dan membukukannya sebagai bagian dari beban pajak pada laporan laba rugi. Efek perubahan tarif pajak ini disesuaikan dalam akun pajak tangguhan yang dilaporkan dalam laba rugi tahun berjalan. Efek perubahan tarif pajak sebesar 0,02% membuat Perusahaan harus menyesuaikan perubahan ini. Penyesuaian dilakukan untuk melihat beban pajak atas pajak tangguhan di tahun berjalan bisa menjadi manfaat pajak tangguhan di tahun yang akan datang. Manfaat pajak tangguhan ini timbul karena efek dari perubahan tarif pajak itu bersifat menurun sehingga Perusahaan mencatat penurunan tersebut sebagai aktiva pajak tangguhan. Laba kena pajak Perusahaan dan beban pajak untuk tahun 2008 dan tahun 2009 adalah sesuai dengan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). 5. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai perlakuan akuntansi dan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang, penulis mendapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward yang dilakukan perusahaan tidak memperlakukan amortisasi terhadap keuntungan atau kerugian dari kontrak forward tersebut sehingga kontrak forward (instrumen derivatif) yang disajikan di dalam neraca terlihat tidak wajar. Sedangkan perlakuan pajak atas transaksi derivatif kontrak forward ini memperlakukan amortisasi terhadap keuntungan atau kerugian dari kontrak forward ini sesuai dengan masa manfaatnya. 2. Perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward menganut prinsip accrual basis dimana pencatatan dilakukan saat transaksi terjadi. Sedangkan perlakuan pajak atas transaksi derivatif kontrak forward menganut prinsip cash basis dimana pencatatan dilakukan saat kas diterima. Hal ini menimbulkan perbedaan pengakuan terhadap laba komersil dan laba fiskal atas keuntungan atau kerugian transaksi derivatif kontrak forward. 3. Perbedaan laba komersil dengan laba fiskal menimbulkan mengakuan pajak tangguhan dalam perlakuan akuntansi. Penerapan pajak tangguhan ini sesuai dengan PSAK Nomor 46 tentang Akuntansi. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu sebagai berikut: 1. Dalam penelitian ini, hanya memfokuskan transaksi derivatif kontrak forward untuk tujuan lindung nilai (hedging). Pelaku didalam kontrak forward ini hanya pihak-pihak dari perusahaan dan pihak bank, sehingga kontrak forward yang dilakukan perusahaan murni untuk tujuan lindung nilai (hedging). 2. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan perusahaan tahun 2008 dan 2009. Saran Mendasar pada keterbatasan di atas, maka penulis menyampaikan saran, yaitu: 1. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini lebih lanjut atau meneliti tentang atas instrumen derivatif lain (kontrak opsi, kontrak future, dan kontrak swap) yang umumnya dilakukan perusahaan dalam rangka lindung nilai (hedging) ataupun spekulasi di dalam perlakuan akuntansi dan perlakuan pajaknya untuk melihat perbedaan antara kedua perlakuan tersebut. 2. Bagi perusahaan, sebaiknya mengungkapkan dan menyajikan instrumen derivatif secara lebih rinci di dalam laporan keuangan Perusahaan sesuai dengan tujuan dari dilakukannya instrumen derivatif tersebut, untuk tujuan spekulasi atau untuk lindung nilai (hedging). DAFTAR PUSTAKA Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1993. Surat Edaran Dirjen Pajak: No.SE-12/PJ.313/1993 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi Forward Sales Valuta Asing. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1997. Surat Edaran Dirjen Pajak: No. SE-03/PJ.31/1997 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran Dirjen Pajak: No. SE-24/PJ.42/1998 Tentang Penghasilan Atas Keuntungan dari Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran Dirjen Pajak: No. SE-46/PJ.42/1998 Tentang Penegasan Lebih Lanjut Mengenai Perlakuan Pph Terhadap Selisih Kurs Valuta Asing. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran Dirjen Pajak: No. S-78/PJ.31/1998 Tentang Rugi Selisih Kurs Tahun 1998. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran Dirjen Pajak: No. S-180/PJ.312/1998 Tentang Perlakuan Selisih Kurs Bagi Perusahaan Yang Penghasilannya Dikenakan Pph Final. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1999. Surat Edaran Dirjen Pajak: No. S-280/PJ.423/1999 Tentang Penghasilan Atas Keuntungan dari Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 2008. Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak. Fox, William. 2011. Australian Tax Office. Jakarta. Ikatan Akuntansi Indonesia. 2010. Standar Akuntansi Keuangan (Edisi Revisi). Jakarta: Salemba Empat. Jogiyanto. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Yogyakarta: FE UGM Kharisma Consulting Group. 2003. Kapita Selekta Akuntansi Pajak. Jakarta: Kharisma. Kieso, Weygandt, and Warfield. 2001. Intermediate Accounting 10th Edition. USA: Wiley International Edition. Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-49/PM 1998 Tanggal 7 September 1998. BAPEPAM RI. Jakarta Makarti, Akbar. 2003. The Differences in The Accounting of Fiscal Policy: Exchange Rate Disparity, Forward Contract, Swap Contract and The Option Contract. Jurnal Perpajakan Indonesia. Vol. 3 (1) 18-27. Nopirin, Ph. D. 1993. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Jakarta: Liberty. Robert F. Meighs and Walter B. Meigs. 1992. Financial Accounting Seventh Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Samsul, Mohamad. 2010. Pasar Berjangka Komoditas dan Derivatif. Jakarta: Salemba Empat. Sandyawati, Wiene. 2011. Valuta Asing: Jurus Ampuh dalam Memenuhi Kebutuhan Dana Jangka Pendek Investor. Yogyakarta: Graha Ilmu. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 5. Jakarta: Erlangga. Stice, James D. and Skousen, K. Fred. Intermediate Accouting 16th Edition. Jakarta: Salemba Empat. Sumbramanyam, K.R. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat. Suwanto, Sukarnaen. 2012. Derivatif dan Lindung Nilai: Kontrak Valas antara Akuntansi dan Pajak. Indonesian Tax Review. Trombley, Mark A. 2003. Accounting for Derivatives and Hedging. New York: McGrawHill, Inc. 131. Universitas Lampung.2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. UPT Percetakan Unila. Bandar Lampung. Waluyo. 2010. Akuntansi Pajak. Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.