analisis perlakuan akuntansi dan pajak atas transaksi derivatif

advertisement
ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PAJAK ATAS TRANSAKSI
DERIVATIF TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG
(STUDI KASUS PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK)
ABSTRAK
Oleh :
SUSANTI
NPM : 0851031058
Tlpn : 08976161416
Email : [email protected]
Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA.
Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt.
Pergerakan arus globalisasi telah mendorong para pelaku bisnis untuk memperluas bisnis
mereka dalam melakukan perdagangan internasional untuk menghindari kerugian yang besar
karena pergerakan nilai tukar. Penelitian ini menguji perbedaan perlakuan akuntansi dan
perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak kena pajak dan PPh
terutang. Perlakuan akuntansi menggunakan prinsip metode accrual basis sedangkan pajak
menggunakan metode cash basis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan akuntansi dan
perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang. Penelitian
ini termasuk penelitian deskriptif yang menggunakan data sekunder yang berasal dari satu
perusahaan yang memiliki transaksi derivatif di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi dan studi pustaka. Sedangkan analisis dilakukan dengan menggunakan
analisis kuantitatif (menggunakan penjabaran variabel terkait) dan analisis kualitatif
(menggunakan PSAK NO 50/55 dan UU Pajak Penghasilan Nomor 38/2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan
pajak dari transaksi derivatif terletak pada kebijakan untuk amortisasi transaksi derivatif
berdasarkan periode kontrak. Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara
akuntansi dan pajak membuat perbedaan laba komersial dan laba fiskal. Kedua perbedaan ini
masuk kedalam akun pajak tangguhan berdasarkan PSAK 46 yang diterapkan di Indonesia.
Kata kunci: Pajak Penghasilan (PPh), Laba Kena Pajak, Transaksi Derivatif, Perlakuan
Perpajakan, Perlakuan Akuntansi
ANALYSIS OF ACCOUNTING TREATMENT AND TAX TREATMENT ON
DERIVATIVE TRANSACTIONS TO TAXABLE INCOME AND INCOME TAX
PAYABLE (PPH)
(CASE STUDY PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK)
ABSTRACT
By :
SUSANTI
NPM : 0851031058
Phone : 08976161416
Email : [email protected]
Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA.
Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt.
Globalization movement has been encourage the business people to expand their business and
beware in doing international trading to avoid large losses due to exchange rate fluctuations.
This study examined the differences of accounting treatment and tax treatment on derivative
transactions to taxable income and income tax payable (PPh). Accounting treatment use the
accrual basis principle while tax treatment use cash basis principle.
This study aims to find out the differences between accounting treatment and tax treatment on
derivative transactions which focused on contract forward to taxable income and income tax
payable (PPh). This study belongs to descriptive study which using secondary data from one
company that has derivative transactions inside it. Data were collected by doing observation
and literature study. This analysis using quantitative analysis (using number in analyze the
related variables) and qualitative analysis (refer to PSAK NO 50/55 and UU Pajak
Penghasilan No 38/2008).
The results showed that the differences between accounting treatment and tax treatment on
derivative transactions lies in the policy to amortize derivative transactions based on the
contract period. The differences in recognition of income and expense between accounting
and tax create the differences in commercial income and fiscal income. Those two differences
adapted in deferred tax account based on PSAK 46 which applied in Indonesia.
Keywords : Income Tax Payable (PPh), Taxable Income, Derivative Transactions, Tax
Treatment, Accounting Treatment
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perdagangan antar negara pada umumnya menimbulkan pilihan bagi pelaku binis mengenai
currency (mata uang) yang akan dipakai dalam kontrak dagang yang akan dilakukan.
Mengingat semakin besarnya peran transaksi derivatif dalam perdagangan internasional dan
meningkatnya transaksi/perdagangan uang secara global maka kebijakan fiskal yang tepat
untuk transaksi derivatif mempunyai potensi untuk meningkatkan penerimaan negara dari
pajak penghasilan atas penghasilan transaksi derivatif.
Derivatif merupakan instrumen keuangan yang nilainya berasal dari nilai aset lain, kelompok
aset, atau variabel ekonomis seperti harga saham, obligasi, harga komoditas, tingkat bunga
atau kurs pertukaran valuta (Sumbramanyam, 2010). Sedangkan Samsul (2010) membedakan
derivatif digolongkan menjadi dua golongan, yaitu bursa berjangka dan OTC (Over the
Counter). Bursa berjangka adalah transaksi kontrak beli dan kontrak jual dilakukan oleh
banyak pembeli dan banyak penjual dengan persyaratan standar yang ditetapkan oleh pihak
bursa dan penyelesaian kontrak dapat dilaksanakan setiap hari. Sedangkan OTC (Over the
Counter) adalah transaksi kontrak beli dan kontrak jual dilakukan oleh dua pihak tertentu dan
penyelesaian kontrak selalu pada tanggal jatuh tempo.
Lebih lanjut, Subramanyam (2010) menyatakan akuntansi untuk derivatif mempunyai dua
tujuan, yaitu untuk lindung nilai dan spekulasi. Lindung nilai (hegde) merupakan kontrak
yang bertujuan untuk melindungi perusahaan dari resiko transaksi pasar. Transaksi lindung
nilai ini mirip dengan kebijakan asuransi, dimana perusahaan melakukan kontrak yang
memastikan adanya imbal hasil pasti tanpa dipengeruhi kekuatan pasar. Berbagai macam
instrumen keuangan digunakan untuk kegiatan lindung nilai yaitu kontrak masa depan
(futures contract), kontrak swap (swap contract), kontrak opsi (option contract), dan kontrak
forward (forward contract). Keempat macam kontrak ini memiliki indikasi yang berbedabeda terhadap resiko-resiko yang dihadapi oleh perusahaan tergantung bagaimana kebijakan
manajemen yang berlaku diperusahaan.
Perlakuan akuntansi suatu transaksi bisnis dalam suatu perusahaan juga dipengaruhi oleh
kebijakan perpajakan. Adanya kebijakan-kebijakan dalam hal perpajakan menimbulkan
adanya perlakuan perpajakan tertentu. Keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh
pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga kebijakan perpajakan ini perlu
dipertimbangkan. Agar tidak terjadi gangguan yang serius terhadap jalannya perusahaan,
maka pemenuhan kewajiban perpajakan harus dikelola dengan baik.
1.2. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
1.2.1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang muncul dan
akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:
“ Bagaimana perlakuan akuntansi dan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak
dan pph terutang ? “
1.2.2. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini agar penulisan lebih terarah dan terfokus, yaitu:
1. Studi kasus (menggunakan data sekunder) dengan menganalisa laporan keuangan
perusahaan yang melakukan transaksi derivatif dilihat dari perlakuan akuntansi dan
perpajakan.
2. Transaksi derivatif yang akan diteliti kontrak forward (forward contract) untuk tujuan
lindung nilai (hedging).
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan atas transaksi derivatif
kontrak forward (forward contract).
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi perusahaan, yang akan melakukan transaksi derivatif kontrak forward (forward
contract) diharapkan bisa mendapatkan informasi dasar atas transaksi derivatif sesuai
dengan prinsip akuntansi dan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
2. Bagi pihak pajak, diharapkan bisa merevisi peraturan tentang transaksi derivatif kontrak
forward secara lebih detail.
3. Menyediakan bahan referensi bagi peneliti lain khususnya akademisi untuk dijadikan
bahan pertimbangan dalam mengkaji lebih lanjut masalah yang terkait dengan hasil
penelitian ini.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Instrumen Derivatif
Berdasarkan PP No.17 / 2009 tersebut yang dimaksud dengan instrumen derivatif dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 1 adalah:
“Transaksi yang didasari pada kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya
merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar,
komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan maupun tanpa pergerakan
dana atau instrumen.”
Sedangkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55 revisi 2006, menyatakan
bahwa instrumen derivatif adalah suatu instrumen keuangan atau kontrak lain yang termasuk
dalam ruang dengan tiga karakteristik berikut ini:
(a) nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan variabel yang telah ditentukan (sering
disebut dengan variabel yang mendasari), antara lain: suku bunga, harga instrumen
keuangan, harga komoditas, nilai tukar mata uang asing, indeks harga atau indeks suku
bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau variabel lainnya. Untuk variabel
nonkeuangan, variabel tersebut tidak berkaitan dengan pihak-pihak dalam kontrak.
(b) tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal neto dalam
jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang diperlukan untuk kontrak
serupa lainnya yang diharapkan akan menghasilkan dampak yang serupa sebagai akibat
perubahan faktor pasar.
(c) diselesaikan pada tanggal tertentu di masa depan.
Jenis Produk Derivatif
Stice Skoucen (2006) dalam bukunya Akuntansi Keuangan Menengah, menyebutkan jenis
produk derivatif yang secara umum dilakukan sebagai berikut:
1. Swap
Tukar menukar atau yang lebih dikenal sebagai swap dalam dunia keuangan merupakan suatu
instrumen derivatif, di mana terdapat dua pihak saling mempertukarkan suatu aliran arus kas
dengan aliran arus kas lainnya. Nilai swap ini dihitung berdasarkan suatu nilai absolut atau
notional amount yaitu suatu nilai nominal yang digunakan untuk menghitung pembayaran
terhadap suatu swap dan produk manejemen risiko lainnya dimana nilai ini bukan suatu nilai
yang sesungguhnya (absolute).
2. Futures (Kontrak Berjangka)
Futures adalah kontrak berjangka panjang yang bersifat mengikat atau memberi kewajiban
kepada kedua belah pihak untuk membeli atau menjual underlying asset tertentu (berupa
valuta asing, tingkat bunga, ekuitas, atau komoditas) berdasarkan tingkat harga yang
ditetapkan saat ini yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara cash settelement di masa
yang akan datang sesuai dengan expiration date yang ditetapkan di dalam kontrak tersebut.
3. Forward (Kontrak Serah)
Kontrak serah atau yang dalam bahasa asing disebut forward contract adalah suatu
persetujuan antara dua belah pihak untuk menjual atau membeli suatu aset (atau bentuk
apapun juga) di suatu waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, tanggal
penjualan dan tanggal penyerahan barang dilakukan berbeda. Kontrak serah ini digunakan
untuk mengendalikan dan meminimalkan risiko, sebagai contoh risiko perubahan nilai mata
uang (contoh: kontrak forward untuk transaksi mata uang) atau transaksi komoditi (contoh:
kontrak serah untuk minyak bumi). Transaksi forward adalah transaksi berjangka dengan
penyerahan valuta pada suatu tanggal tertentu dengan menggunakan kurs yang disepakati
pada tanggal transaksi.Satu pihak setuju untuk membeli, pihak lain menjual, untuk suatu
harga yang telah disetujui sebelumnya. Saat terjadi transaksi forward, belum terjadi
pertukaran atau pembayaran uang. Pembayaran dan pengiriman barang dilakukan sesuai
dengan jadwal dan aturan yang telah disepakati. Harga forward berbeda dengan harga spot
atau harga pada saat asset tersebut berpindah tangan.
4. Options (Opsi)
Opsi merupakan suatu jenis kontrak antara 2 (dua) pihak dimana satu pihak memberi hak
kepada pihak lain untuk membeli aset tertentu pada harga dan periode tertentu. Di sisi lain,
kontrak juga mengizinkan pihak lain untuk menjual aset pada harga dan periode tertentu.
Pihak yang membayar dan menerima hak disebut call option, sedangkan pihak yang menjual
disebut put option.
Penyesuaian Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Forward Contract
Keiso (1996), menyebutkan forward contract sebagai salah satu jenis instrumen derivatif
dicatat sebesar nilai wajarnya. Penyesuaian nilai Forward contract
karena resiko penurunan nilai mata uang juga berdasarkan nilai wajarnya, begitu pula dengan
pengukuran terhadap premium ataupun discount yang timbul merupakan selisih dari nilai
wajar antara Forward payable dan Forward receivable. Kieso (1996), merumuskan nilai
premium ataupun discount sebagai berikut:
-
Forward payable (hutang perusahaan pada bank) adalah jumlah dalam suatu mata uang
asing untuk menentukan besarnya nilai penyelesaian forward contract dikalikan dengan
spot rate (kurs tunai yang berlaku).
-
Forward receivable adalah jumlah dalam suatu mata uang asing untuk menentukan
besarnya nilai penyelesaian forward contract dikalikan dengan forward rate ( kurs yang
ditentukan bank sebagai pihak ketiga yang independen).
Sedangkan nilai premium ditentukan dari hasil pengurangan forward payable dengan forward
receivable dan nilai discount dapat ditentukan jika yang terjadi nilai forward receivable lebih
besar dari nilai forward payable. Premium berarti penghasilan bagi bank sedangkan discount
berarti penghasilan bagi perusahaan.
Nilai premium maupun discount yang timbul harus dimortisasi sepanjang masa forward
contract atau dengan kata lain beban amortisasi/penghasilan forward dicatat nilainya
berdasarkan hasil amortisasi sepanjang masa forward contract.
Definisi elemen dan pos laporan keuangan forward receivable termasuk elemen aktiva karna
perusahaan akan menerima pembayaran dari bank. Dan dicatat dibagian pos piutang lain-lain
karna tidak berhubungan dengan kegiatan operasi perusahaan. Untuk forward payable
termasuk elemen kewajiban karna perusahaan akan melakukan pembayaran ke bank. Dan
dicatat dibagian pos hutang lain-lain. Premium termasuk elemen aktiva karna premium
adalah beban yang dibayar dimuka dan dicatat dalam aktiva lain-lain sedangkan discount
termasuk elemen kewajiban karna discount adalah penghasilan yang diterima perusahaan dan
dicatat dalam kewajiban lain-lain. Laba (rugi) selisih kurs, beban amortisasi, penghasilan
forward masuk elemen pendapatan (beban) lain-lain dan dicatat pada pos laba (rugi) selisih
kurs, pos beban amortisasi dan pos penghasilan forward karna pos-pos tersebut tidak
terhubung dengan operasi perusahaan tersebut. Forward receivable ataupun forward payable
dan discount ataupun premium dilaporkan dalam neraca, apabila terjadi discount maka harus
disajikan menjadi satu dibagian kewajiban, dan kalau terjadi premium maka harus disajikan
satu dibagian aktiva.
Perlakuan Pajak untuk Forward untuk Contract
Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-12/PJ.313/1993 tanggal 18 Mei 1993 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi Forward Sales Valuta Asing, yang dimaksud
dengan transaksi forward sales adalah transaksi jual beli valuta asing yang penyerahan
valutanya dilakukan dikemudian hari dengan nilai kurs valuta asing yang telah disepakati
oleh penjual dan pembeli pada saat kontrak dibuat. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE12/PJ.313/1993 tanggal 18 Mei 1993 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi
Forward Sales Valuta Asing mengatur Pelakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa
forward sales valuta asing sebagai berikut:
a. Premi atas forward sales valuta asing yang tidak berkaitan dengan transaksi lain
merupakan obyek pajak penghasilan bagi pihak yang menerima atau memperolehnya.
Perhitungan dan pelunasan Pph atas penghasilan berupa premi tersebut dilakukan oleh
wajib pajak melalui sistem self assessment yaitu dengan menjumlahkan penghasilan
berupa premi tersebut dengan penghasilan lainnya dalam surat pemberitahuan tahunan
pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh) untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan
tarif sesuai ketentuan dalam pasal 17 UU PPh.
b. Premi atas forward sales valuta asing yang merupakan satu paket dengan penempatan
deposito berjangka oleh nasabah yang sama pada bank yang sama adalah obyek pajak
penghasilan dan termasuk dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan
Pajak Penghasilannya diperlakukan sama dengan pajak penghasilan dan termaksuk
dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan Pajak Penghasilannya
diperlukan sama dengan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka
sebagaimana di atur peraturan pemerintah No. 74 tahun1991.
Menurut peraturan terpajak secara umum, fiskal mengakui pembukuan yang di dasarkan pada
cash basis. Cash basis mencatat dan melaporkan penghasilan dan biaya pada saat uangnya
sudah di bayar dalam transaksi forward contract ini. Perusahaan menggunakan accural basis
berarti timbulnya hak dan kewajiban meskipun uangnya belum di bayar dalam transaksi
tanggal transaksi forward contract. Pada tanggal neraca pajak mengakui loos or gain on
foreign exchange berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1991, UU No.10 Tahun 1994, UU
No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang di terima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar
Indonesia. Yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Termasuk keuntungan karena
sesisih kurs mata uang asing dan pasal 6 ayat 1(a) yang menyatakan bahwa besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk kerugian selisih kurs mata uang asing.”
Premium atau discount yang diamortisasi (beban amortisasi) berdasarkan pasal 11A ayat 2
Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 tahun 1983 sebagian yang telah diubah dengan UU
No.7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun
2008 menyatakan bahwa untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan pada Tabel 2.3 Pengukuran pajak untuk beban amortisasi. Forward contrat yang
jatuh temponya kurang dari satu tahun diamortisasi dengan mengikuti perlakuan akuntansi
komersial yang telah dicatat dan dilaporkan perusahaan.
Pada tanggal jatuh tempo pajak mengakui loss/gain on foreign exchange. Laba (rugi) selisih
kurs diakui pajak sebagai penghasilan ataupun sebagai pengurang penghasilan. Sedangkan
beda nilai amortisasi antara laporan komersial diatas amortisasi dan fiskal akan dikoreksi
positif oleh pajak apabila amortisasi komersial diatas amortisasi fiskal.
3.METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena menggambarkan perlakuan akuntansi
dan perpajakan atas transaksi derivatif kontrak forward (forward contract) didalam laporan
keuangan perusahaan dan menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini, data sekunder
yang digunakan yaitu data dalam bentuk laporan keuangan PT Japfaa Comfeed Indonesia
Tbk tahun 2008 dan 2009 yang sudah dipublikasikan di homepage Bursa Efek Indonesia,
homepage dari perusahaan yang menjadi objek penelitian, ataupun literatur-literatur lain yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, penulis membutuhkan data yang berkaitan
dengan topik penelitian. Data yang relevan yang mencakup ruang lingkup menjadi acuan
penulis untuk dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang masalah yang diteliti.
Perhitungan Nilai Wajar Kontrak Derivatif
Trombrey (2003), menrumuskan nilai wajar kontrak forward valas pada tanggal laporan
keuangan adalah berdasarkan rumus :
Notional
amount
x
(Current forward rate – Contracted forward rate)
(1+r) t
Dimana :
Notional amount
: jumlah valas yang disepakati dalam kontrak forward.
Current forward rate
: kurs forward valas untuk tanggal penyerahan
Contracted forward rate : kurs forward valas yang ada dalam kontrak forward
r
: tingkat diskonto
t
: jumlah bulan dalam kontrak forward
Berdasarkan rumusan diatas, maka :
a. Tidak digunakannya kurs spot pada tanggal laporan keuangan, yang pada umumnya
menjadi patokan untuk penyesuaian saldo akun-akun dalam mata uang asing, yang
menimbulkan laba rugi selisih kurs.
b. Digunakan selisih antara kurs forward valas pada tanggal laporan keuangan untuk
penyerahan pada tanggal penyelesaian dibandingkan dengan forward yang ada dalam
kontrak forward valas, dan terdapat komponen tingkat diskonto dan jangka waktu periode
dari tanggal laporan keuangan sampai tanggal penyerahan kontrak valas.
Teknik Rekonsiliasi Fiskal atas Transaksi Derivatif Kontrak Forward
Ada beberapa perubahan penting yang sangat berpengaruh dalam perhitungan pajak
perusahaan antara lain:
a) Peredaran Usaha
Peredaran usaha yang disajikan adalah peredaran usaha komersial sesuai dengan prinsipprinsip akuntansi komersial atau standar akuntansi keuangan, yang merupakan
penerimaan/peredaran bruto dari kegiatan usaha, baik di Indonesia maupun di luar negeri
melalui bentuk usaha tetap atupun bukan bentuk usaha tetap. Di dalam kontrak forward
valas, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk memperlakukan laba atau rugi yang timbul
dari perubahan nilai wajar kontrak forward valas sebagai penambah atau pengurang
penghasilan bruto untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak, sepanjang :
-
Tidak terdapat indikasi kontrak forward valas digunakan terutama untuk tujuan
spekulatif atau mengambil untung dalam jangka pendek. Karena menyangkut
penentuan kurs dimasa depan yang selalu ada unsur spekulatif.
-
Arus kas dari realisasi kontrak forward valas digunakan terutama untuk menyelesaikan
transaksi-transaksi yang mendasarinya.
b) Penghasilan Netto dari Luar Usaha
Penghasilan lainnya yang bukan merupakan pengahasilan dari kegiatan usaha atau tidak
ada kaitannya dengan kegiatan usaha, misalnya bila terjadi penjualan aktiva tetap maka
harus disajikan dalam laporan keuangan.
c) Penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak.
Penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dikenakan PPh final dan yang tidak
termasuk objek pajak harus dikeluarkan.
d) Penyesuaian Fiskal Positif
Pengeluaran komersial yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, misalnya
biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, dana cadangan, imbalan natura dan
kenikmatan serta pajak penghasilan.
e) Penyesuaian Fiskal Negatif
Perhitungan komersial yang lebih rendah dari ketentuan fiskal, misalnya selisih
penyusutan komersial dibawah penyusutan fiskal dan penghasilan yang ditangguhkan
pengakuannya.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perusahaan menggunakan kontrak instrumen derivatif dalam bentuk forward contract untuk
melindungi nilai wajar kewajiban Perusahaan sebesar Rp3.998.759.000.000. Pada tanggal 24
Juli 2008, Perusahaan menandatangani transaksi forward contract ini dengan PT ANZ Panin
Bank dengan nilai wajar kontrak forward sebesar Rp134.185.000.000 yang jatuh tempo pada
31 Desember 2009. Nilai notional kontrak forward ini pada saat 31 Desember 2008 sebesar
Rp439.279.000.000 dan saat 31 Desember 2009 sebesar Rp499.831.000.000. Sedangkan
tingkat diskonto kontrak forward ini mendekati suku bunga inkremental Perusahaan yaitu
sebesar 12% di tahun 2008 dan sebesar 10,5% di tahun 2009. Instrumen keuangan derivatif
ini disajikan dalam aset tidak lancar. Keuntungan (kerugian) transaksi derivatif – bersih pada
laporan laba rugi konsolidasi.
Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Derivatif (Forward Contract)
Perlakuan akuntansi meliputi pengukuran nilai, pengakuan, dan pengungkapan atau penyajian
transaksi forward itu sendiri. Pengukuran atas transaksi Forward Contract dinyatakan dalam
PSAK 55 revisi 2006 yaitu :
“ Bukti terbaik dari nilai wajar adalah harga kuotasi di pasar yang aktif. Apabila pasar untuk
suatu instrumen keuangan tidak aktif, entitas menetapkan nilai wajar dengan menggunakan
teknik penilaian. Tujuan penggunaan teknik penilaian adalah untuk menetapkan berapa
sesungguhnya harga transaksi pada tanggal pengukuran dalam suatu pertukaran yang wajar
yang dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan bisnis yang normal. Nilai wajar adalah
nilai di mana suatu aset dapat dipertukarkan atau suatu liabilitas diselesaikan antara pihak
yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar. “
Perbandingan Keuntungan (Kerugian) Kontrak Forward
Keterangan
31 Desember 2008
31 Desember 2009
Nilai notional
Rp439.297.000.000
Rp499.831.000.000
Kurs forward
Rp1.310
Rp1.006
Nilai wajar kontrak forward
Rp104.713.000.000
Rp160.743.000.000
Perubahan nilai wajar
Rp29.472.000.000
Rp56.030.000.000
Biaya penyelesaian
Rp27.437.000
Rp30.060.000
Keuntungan (kerugian)
Rp56.909.000.000
Rp89.090.000.000
kontrak forward
Sumber: Data diolah
Penyesuaian perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward ini meliputi
penyesuaian saat tanggal awal kontrak, saat tanggal neraca, dan saat tanggal jatuh tempo.
Penyesuaian dilaporkan dalam tahun berjalan sesuai dengan PSAK yang berlaku di
Indonesia. Jurnal penyesuaian yang dilakukan perusahaan atas perlakuan akuntansi transaksi
derivatif kontrak forward sebagai berikut:
Saat awal dilakukannya kontrak forward
Nilai wajar pada saat awal transaksi kontrak derivatif tanggal 24 Juli 2008 sebesar
Rp134.185.000.000 dan berubah pada tanggal 31 Desember 2008 serta 31 Desember 2009.
Tanggal 24 Juli 2008 perusahaan tidak membuat penyesuaian atas transaksi kontrak forward
karena pada tanggal awal transaksi ini, kontrak forward mempunyai nilai wajar sebesar Rp 0.
Nilainya nol artinya pembayaran atas transaksi kontrak forward dilakukan berdasarkan
kontrak jika hanya nilai wajar dari kontrak ini pada saat tanggal jatuh tempo berbeda (lebih
rendah atau lebih tinggi dari Rp134.185.000.000). Jurnal yang diperlukan saat mencatat
transaksi derivatif dalam perlakuan akuntansi:
Persediaan-jagung
Instrumen derivatif
Kewajiban perusahaan
Rp806.780.000.000
57.443.000.000
Rp834.217.000.000
(untuk menyesuaikan pembelian bahan baku jagung dan timbulnya instrumen derivatif saat
awal kontrak)
Saat tanggal neraca 31 Desember 2008
Tanggal 31 Desember 2008, Perusahaan membuat laporan keuangan tahunan dimana semua
transaksi harus disesuaikan sesuai dengan kebijakan perusahaana dan peraturan yang berlaku.
Pada tanggal ini penyesuaian terhadap nilai wajar dari kontrak forward juga perlu dilakukan.
Nilai wajar dari kontrak forward ini mengalami perubahan meningkat menjadi
Rp104.713.000.000 dari nilai wajar awal kontrak sebesar Rp0. Selisih perubahan nilai wajar
(karena pada saat awal kontrak nilai dari kontrak forward sebesar Rp0) ini sebesar
Rp104.713.000.000. Perusahaan melakukan penyesuaian atas selisih perubahan nilai wajar
kontrak forward ini dengan jurnal:
Instrumen derivatif
Rp104.713.000.000
Keuntungan-perubahan nilai wajar instrumen derivatif
Kerugian-perubahan nilai variabel
Rp104.713.000.000
Rp104.713.000.000
Kewajiban perusahaan
Rp104.713.000.000
(untuk mencatat penyesuaian perubahan nilai wajar kontrak forward yang saling hapus
dengan nilai variabel kewajiban perusahaan)
Sedangkan untuk perlakuan akuntansi, perusahaan harus mencacat beban derivatif derivatif
jurnal:
Beban ditangguhkan
Rp27.437.000.000
Kewajiban perusahaan
Rp27.437.000.000
(untuk mencatat penyesuaian beban derivatif saat akhir tanggal neraca)
Saat tanggal jatuh tempo 31 Desember 2009
Tanggal 31 Desember 2009, Perusahaan kembali membuat laporan keuangan tahunan dan
membuat penyesuaian dimana jatuh tempo kontrak forward ini juga berakhir. Pada tanggal 31
Desember 2009 ini, terjadi perubahan meningkat atas nilai wajar kontrak forward sebesar
Rp160.743.000.000 dari nilai wajar saat tanggal neraca 31 Desember 2008 sebesar
Rp104.713.000.000. Selisih dari perubahan nilai wajar kontrak derivatif ini sebesar
Rp56.030.000.000. Perusahaan melakukan penyesuaian atas perubahan nilai wajar kontrak
forward ini dengan jurnal:
Instrumen derivatif
Rp56.030.000.000
Keuntungan-perubahan nilai wajar instrumen derivatif
Kerugian-perubahan nilai variabel
Kewajiban perusahaan
Rp56.030.000.000
Rp56.030.000.000
Rp56.030.000.000
(untuk mencatat penyesuaian perubahan nilai wajar kontrak forward yang saling hapus
dengan nilai wajar kewajiban perusahaan)
Penyesuaian beban derivatif untuk tanggal akhir neraca 31 Desember disesuaikan dengan
jurnal:
Beban ditangguhkan
Kewajiban perusahaan
Rp30.060.000.000
Rp30.060.000.000
Saat penyelesaian transaksi derivatif-kontrak forward:
Beban ditangguhkan
Rp57.443.000.000
Instrumen derivatif
Rp57.443.000.000
(untuk menyesuaikan pencatatan instrumen pada akhir kontrak derivatif)
Saat pembayaran akhir transaksi derivatif-kontrak forward:
Kewajiban perusahaan
Rp57.443.000.000
Kas
Rp57.443.000.000
Perubahan nilai wajar kontrak forward ini (meningkat/menurun) diindikasikan karena
pengaruh nilai kurs Rupiah yang berfluktuasi dari tahun ketahun. Keuntungan perubahan nilai
wajar atas kontrak forward di tahun 2008 membuat kewajiban perusahaan meningkat
sejumlah keuntungan atas transaksi kontrak forward tersebut. Di tahun 2009, keuntungan
juga terjadi karena perubahan nilai wajar atas transaksi kontrak forward menyebabkan
kewajiban perusahaan meningkat sebanding dengan keuntungan atas transaksi kontrak
forward. Keuntungan dari transaksi kontrak forward yang dilakukan perusahaan atas dasar
lindung nilai disajikan dalam laporan laba rugi tahun berjalan. Sedangkan perubahan nilai
wajar dari kontrak forward disajikan dalam neraca. Penyesuaian yang dilakukan perusahaan
atas transaksi derivatif kontrak forward menunjukkan bahwa efektivitas hubungan lindung
nilai atas perubahan nilai wajar kewajiban perusahaan menunjukkan adanya saling hapus
antara perubahan nilai wajar yang dapat diatribusikan dengan resiko yang dilindung nilai.
Perlakuan akuntansi ini secara akurat mencerminkan maksud dari lindung nilai kontrak
forward yang dilakukan perusahaan dimana lindung nilai ini menjadi sempurna karena
menutupi seluruh eksplosur resiko kewajiban perusahaan.
Perlakuan Pajak atas Transaksi Derivatif (Forward Contract)
Beban amortisasi tahun 2008
Terhitung bulan dari awal kontrak forward tanggal 24 Juli 2008 sampai dengan tanggal
neraca 31 Desember 2008 adalah 6 bulan.
Nilai wajar saat tanggal awal kontrak
= Rp134.185.000.000
Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2008
= Rp104.713.000.000
Selisih perubahan nilai wajar (keuntungan)
= Rp29.427.000.000
Beban amortisasi menurut aturan pajak = 6 ½ bulan x 25 % x Rp29.427.000.000
= Rp 47.818.875.000
Beban amortisasi tahun 2009
Terhitung bulan dari akhir tanggal neraca 31 Desember 2008 sampai dengan tanggal neraca
31 Desember 2009 adalah 12 bulan (satu tahun pajak).
Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2008
= Rp104.713.000.000
Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2009
= Rp160.743.000.000
Selisih perubahan nilai wajar (keuntungan)
= Rp56.030.000.000
Beban amortisasi menurut aturan pajak = 25% x Rp56.030.000.000
= Rp14.007.500.000
Untuk kepentingan perpajakan, Perusahaan harus melakukan rekonsiliasi fiskal untuk
menyesuaikan perbedaan pelaporan antara akuntansi komersil dan akuntansi pajak. Teknik
rekonsiliasi fiskal ini menyesuaikan Peredaran Usaha perusahaan, penghasilan neto dari luar
usaha, penghasilan yang dikenakan pajak final, penyesuain fiskal positif dan negatif. Menurut
Waluyo (2010), gambaran dari rekonsiliasi fiskal menunjukkan adanya perbedaan tetap dan
perbedaan waktu sehubungan dengan rekonsiliasi fiskal. Gambaran singkatnya dijelaskan
sebagai berikut :
1. Perbedaan waktu pengakuan (temporary difference)
Perbedaan temporer dimaksudkan sebagai perbedaan antara dasar pengenaan pajak (tax
base) dari suatu aset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada aset atau kewajiban yang
berakibat pada perubahan laba fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut
dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada
saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi/dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat
harus diakuinya aset dan/ kewajiban pajak tangguhan. Hal ini dapat terjadi pada kondisi:
-
Penghasilan atau beban yang harus diakui untuk menghitung laba fiskal atau laba
komersial dalam periode yang berbeda
-
Goodwill atau goodwill negatif yang terjadi saat konsolidasi
-
Perbedaan nilai tercatat dengan tax base dari suatu aset atau kewajiban pada saat
pengakuan awal
2. Perbedaan permanen/tetap (permanent difference)
Perbedaan tetap timbul sebagai akibat adanya perbedaan pengakuan pendapatan dan beban
antara pelaporan komersial dan pajak/fiskal. Akibat dari perbedaan ini berakibat juga pada
laba komersial dan laba fiskal sebagai dasar menghitung pajak terutang.
Beban amortisasi kontrak forward termasuk dalam perbedaan waktu karena perlakuan
akuntansi tidak mengamortisasi kontrak forward, sedangkan perlakuan pajak harus
mengamortisasi kontrak forward ini. Dari hasil rekonsiliasi fiskal (dalam lampiran) didapat
hasil perhitungan Laba Kena Pajak perusahaan dan PPh Teurang sebagai berikut:
Perbandingan Laba Kena Pajak Perusahaan
Keterangan
31 Desember 2008
31 Desember 2009
Laba sebelum pajak
Rp295.219.000.000
Rp1.249.918.000.000
Laba sebelum pajak anak
Rp173.312.000.000
Rp880.357.000.000
Rp468.531.000.000
Rp2.130.275.000.000
Rp387.440.000.000
Rp1.248.247.000.000
perusahaan
Laba sebelum pajak
perusahaan
Laba kena pajak
Sumber: Data diolah
Pajak Tangguhan
Waluyo dalam bukunya Akuntansi Pajak menyebutkan pajak tangguhan sebagai jumlah pajak
penghasilan yang terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer
yang boleh dikurangkan dari sisa kerugian yang dapat dikompensasikan. Pengakuan pajak
tangguhan berdampak terhadap laba atau rugi bersih sebagai akibat adanya kemungkinan
pengakuan beban pajak tangguhan atau manfaat pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan
akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan, dan sebaliknya pendapatan pajak tangguhan
akan menimbulkan aktiva pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan dapat terjadi apabila
perbedaan waktu menyebabkan koreksi negatif yang berakibat beban pajak menurut
akuntansi komersial lebih besar dibanding beban pajak menurut undang-undang pajak.
Kewajiban pajak tangguhan ini sebagai jumlah pajak terutang untuk periode mendatang
sebagai akibat perbedaan temporer kena pajak. Sedangkan aktiva pajak tangguhan dapat
terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakibat beban pajak
menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut undang-undang
pajak. Masalah pengakuan aktiva atau kewajiban pajak tangguhan ini dilakukan terhadap rugi
fiskal yang masih dapat dikompensasikan dan perbedaan waktu antara laporan keuangan
komersil dan fiskal yang dikenakan pajak, didasarkan atau dikalikan tarif pajak yang berlaku.
Penyesuaian terhadap pajak tangguhan ini harus dicatat Perusahaan sesuai dengan tarif pajak
yang berlaku. Apabila terjadi perubahan tarif pajak di tahun yang akan datang maka harus
disesuaikan dengan tarif pajak yang baru. Pajak tangguhan sebagai perlakuan akuntansi untuk
menyesuaikan beban pajak periode yang akan datang serta perlakuan perubahan tarif pajak
yang berlaku.
Efek Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Badan
Perubahan tarif dan ketentuan pajak penghasilan badan adalah hal mungkin terjadi. Pada
bulan September 2008, Undang-Undang No. 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan
direvisi melalui penerbitan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang revisi
tersebut mengatur perubahan tarif pajak penghasilan badan, dari sebelumnya tarif progresif
(10%, 15%, 30%) menjadi tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan sebesar
25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya. Perusahaan dan anak perusahaan telah
menghitung dampak perubahan tarif pajak tersebut dalam perhitungan aktiva dan kewajiban
pajak tangguhan dan membukukannya sebagai bagian dari beban pajak pada laporan laba
rugi. Efek perubahan tarif pajak ini disesuaikan dalam akun pajak tangguhan yang dilaporkan
dalam laba rugi tahun berjalan.
Efek perubahan tarif pajak sebesar 0,02% membuat Perusahaan harus menyesuaikan
perubahan ini. Penyesuaian dilakukan untuk melihat beban pajak atas pajak tangguhan di
tahun berjalan bisa menjadi manfaat pajak tangguhan di tahun yang akan datang. Manfaat
pajak tangguhan ini timbul karena efek dari perubahan tarif pajak itu bersifat menurun
sehingga Perusahaan mencatat penurunan tersebut sebagai aktiva pajak tangguhan.
Laba kena pajak Perusahaan dan beban pajak untuk tahun 2008 dan tahun 2009 adalah sesuai
dengan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(KPP).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai perlakuan akuntansi
dan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang, penulis
mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward yang dilakukan perusahaan
tidak memperlakukan amortisasi terhadap keuntungan atau kerugian dari kontrak forward
tersebut sehingga kontrak forward (instrumen derivatif) yang disajikan di dalam neraca
terlihat tidak wajar. Sedangkan perlakuan pajak atas transaksi derivatif kontrak forward ini
memperlakukan amortisasi terhadap keuntungan atau kerugian dari kontrak forward ini
sesuai dengan masa manfaatnya.
2. Perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward menganut prinsip accrual
basis dimana pencatatan dilakukan saat transaksi terjadi. Sedangkan perlakuan pajak atas
transaksi derivatif kontrak forward menganut prinsip cash basis dimana pencatatan
dilakukan saat kas diterima. Hal ini menimbulkan perbedaan pengakuan terhadap laba
komersil dan laba fiskal atas keuntungan atau kerugian transaksi derivatif kontrak forward.
3. Perbedaan laba komersil dengan laba fiskal menimbulkan mengakuan pajak tangguhan
dalam perlakuan akuntansi. Penerapan pajak tangguhan ini sesuai dengan PSAK Nomor
46 tentang Akuntansi.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu sebagai berikut:
1. Dalam penelitian ini, hanya memfokuskan transaksi derivatif kontrak forward untuk tujuan
lindung nilai (hedging). Pelaku didalam kontrak forward ini hanya pihak-pihak dari
perusahaan dan pihak bank, sehingga kontrak forward yang dilakukan perusahaan murni
untuk tujuan lindung nilai (hedging).
2. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan
perusahaan tahun 2008 dan 2009.
Saran
Mendasar pada keterbatasan di atas, maka penulis menyampaikan saran, yaitu:
1. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini lebih lanjut atau
meneliti tentang atas instrumen derivatif lain (kontrak opsi, kontrak future, dan kontrak
swap) yang umumnya dilakukan perusahaan dalam rangka lindung nilai (hedging) ataupun
spekulasi di dalam perlakuan akuntansi dan perlakuan pajaknya untuk melihat perbedaan
antara kedua perlakuan tersebut.
2. Bagi perusahaan, sebaiknya mengungkapkan dan menyajikan instrumen derivatif secara
lebih rinci di dalam laporan keuangan Perusahaan sesuai dengan tujuan dari dilakukannya
instrumen derivatif tersebut, untuk tujuan spekulasi atau untuk lindung nilai (hedging).
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1993. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No.SE-12/PJ.313/1993 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas
Transaksi Forward Sales Valuta Asing. Jakarta: Departemen Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jendral Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1997. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No. SE-03/PJ.31/1997 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap
Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No. SE-24/PJ.42/1998 Tentang Penghasilan Atas Keuntungan dari
Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No. SE-46/PJ.42/1998 Tentang Penegasan Lebih Lanjut Mengenai
Perlakuan Pph Terhadap Selisih Kurs Valuta Asing. Jakarta: Departemen Keuangan
Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No. S-78/PJ.31/1998 Tentang Rugi Selisih Kurs Tahun 1998. Jakarta:
Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No. S-180/PJ.312/1998 Tentang Perlakuan Selisih Kurs Bagi
Perusahaan Yang Penghasilannya Dikenakan Pph Final. Jakarta: Departemen
Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1999. Surat Edaran
Dirjen Pajak: No. S-280/PJ.423/1999 Tentang Penghasilan Atas Keuntungan dari
Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pajak.
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 2008. Undang-Undang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral
Pajak.
Fox, William. 2011. Australian Tax Office. Jakarta.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2010. Standar Akuntansi Keuangan (Edisi Revisi). Jakarta:
Salemba Empat.
Jogiyanto. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman.
Yogyakarta: FE UGM
Kharisma Consulting Group. 2003. Kapita Selekta Akuntansi Pajak. Jakarta: Kharisma.
Kieso, Weygandt, and Warfield. 2001. Intermediate Accounting 10th Edition. USA: Wiley
International Edition.
Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-49/PM 1998 Tanggal 7 September 1998.
BAPEPAM RI. Jakarta
Makarti, Akbar. 2003. The Differences in The Accounting of Fiscal Policy: Exchange Rate
Disparity, Forward Contract, Swap Contract and The Option Contract. Jurnal
Perpajakan Indonesia. Vol. 3 (1) 18-27.
Nopirin, Ph. D. 1993. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Jakarta: Liberty.
Robert F. Meighs and Walter B. Meigs. 1992. Financial Accounting Seventh Edition. New
York: McGraw-Hill, Inc.
Samsul, Mohamad. 2010. Pasar Berjangka Komoditas dan Derivatif. Jakarta: Salemba
Empat.
Sandyawati, Wiene. 2011. Valuta Asing: Jurus Ampuh dalam Memenuhi Kebutuhan Dana
Jangka Pendek Investor. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Stice, James D. and Skousen, K. Fred. Intermediate Accouting 16th Edition. Jakarta: Salemba
Empat.
Sumbramanyam, K.R. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.
Suwanto, Sukarnaen. 2012. Derivatif dan Lindung Nilai: Kontrak Valas antara Akuntansi dan
Pajak. Indonesian Tax Review.
Trombley, Mark A. 2003. Accounting for Derivatives and Hedging. New York: McGrawHill, Inc. 131.
Universitas Lampung.2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. UPT Percetakan Unila. Bandar
Lampung.
Waluyo. 2010. Akuntansi Pajak. Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.
Download