BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit herpes tidak termasuk dalam penyakit yang harus dilaporkan secara rutin, sehingga data prevalensi virus herpes di dunia sangat terbatas. Penyakit herpes disebabkan oleh virus herpes yang disebut dengan human herpes virus (HHV). World Health Organization (WHO) melaporkan prevalensi herpes di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan di negara maju (Looker et al., 2008). Dari 8 macam HHV, HHV tipe 1 atau herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan HHV tipe 2 atau HSV tipe 2 yang paling sering diteliti. Kedua virus ini menimbulkan manifestasi klinis serta dampak epidemiologi yang berbeda. Kasus herpes yang paling mendapat perhatian adalah kasus herpes simpleks genital (HSV-2) yang mengancam kehidupan janin dan neonatus. Virus ini dapat ditularkan ibu kepada janin, baik melalui plasenta maupun pada saat proses persalinan. Tanpa pengobatan yang adekuat, 80% bayi yang lahir terinfeksi HSV-2 akan meninggal, dan bayi yang dapat bertahan hidup biasanya mengalami kerusakan otak (Brown et al., 1997). HSV-1 disebut juga herpes simpleks labialis, tertular melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung. Infeksi ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, jari tangan dan dapat juga ditemukan di daerah genital yang penularannya melalui oro-genital (Hartadi dan Sumaryo, 1998). Pada tahun 2003, estimasi prevalensi infeksi HSV-2 di dunia pada kelompok usia 15-49 tahun sebanyak 536 juta orang atau sekitar 16% dari penduduk dunia pada kelompok usia ini. Prevalensi akan meningkat sejalan dengan usia karena infeksi bersifat seumur hidup, berawal pada usia muda dan mencapai puncaknya pada usia 35-59 tahun. Prevalensi pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (Looker et al., 2008). Penelitian di Indonesia tahun 2005 menemukan sebanyak 86,9% pekerja seks komersal (PSK) menunjukkan seropositif HSV-2. Pada perempuan non-PSK, 1 2 prevalensinya sebesar 18,7%. Penelitian tersebut dilakukan di Makasar, Bali dan Kupang, terlaksana berkat kerja sama Australian International Development Agency (AusAID) dengan the Indonesian HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project (Davies et al., 2007). Herpes dicurigai ikut membantu penyebaran HIV dan AIDS. Herpes genital dikaitkan dengan peningkatan risiko terinfeksi HIV 2 hingga 3 kali. Penularan HIV melalui hubungan seksual meningkat hingga 5 kali. Hal ini mengakibatkan 40-60% infeksi HIV baru pada suatu populasi dengan prevalensi HSV-2 menjadi tinggi (Looker et al., 2008). Penelitian yang dilakukan Haksohusodo (1989) di Yogyakarta menemukan, dari 547 individu yang dites reaksinya terhadap antibodi virus herpes simpleks (tidak disebutkan HSV tipe berapa), sebanyak 48% individu pada usia 10-19 tahun positif terhadap antibodi, tetapi untuk kelompok usia di atas 20 tahun terdapat 87% individu yang positif terhadap antibodi, 50 dari 59 atau 89% perempuan hamil positif terhadap antibodi herpes simpleks. Individu-individu yang terlibat dalam penelitian tersebut berasal dari pasien herpes yang berobat di RS. Panti Rapih, ibu hamil yang berobat ke klinik obstetrik-ginekologi di RS. Dr. Sardjito, pasien di klinik kulit dan kelamin di RS. Dr. Sardjito, pekerja seks komersal yang sehat yang sudah dibina, tukang pijat yang sehat, pemandu wisata yang sehat dan pendonor darah yang sehat. Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah infeksi herpes simpleks. Imunisasi yang ada saat ini adalah imunisasi untuk virus Varicella-Zoster atau cacar air yang nantinya dapat mencegah herpes zoster. Tindakan prevensi tertular penyakit herpes dengan menghindari kontak kulit ke kulit dengan orang yang sedang mengalami infeksi primer herpes, dan tetap menjaga imunitas tubuh. Pengobatan dengan Acyclovir pada dasarnya bertujuan untuk memperpendek masa serangan terjadi dan mencegah kekambuhan. Pengobatan yang tepat dan sedini mungkin dipercaya akan menyebabkan penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih jarang (Arnold et al., 1990). Dengan demikian, pencegahan merupakan pilihan yang terbaik untuk membatasi penyebaran virus ini. Upaya pencegahan penularan penyakit herpes nampaknya belum banyak menarik perhatian dan masih menjadi tantangan dalam bidang prevensi dan 3 promosi kesehatan. Membicarakan herpes tidak seterbuka membicarakan HIV/AIDS. Stigma herpes masih bertahan karena masyarakat tidak membedakan antara herpes simpleks labialis yang bukan penyakit menular seksual dan herpes simpleks genitalis yang ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan stigma HIV/AIDS perlahan-lahan mulai menghilang. Saat ini semua orang bisa membicarakan topik HIV/AIDS dengan aktif berkat informasi yang terus menerus mereka terima, baik dari media massa cetak maupun elektronik. Namun, tidak demikian dengan penyakit herpes. Informasi tentang herpes sangat terbatas, mendiskusikan herpes tidaklah populer di kalangan masyarakat. Selain rasa sakit yang membatasi aktivitas, pengidap herpes juga merasakan ketidaknyamanan dalam berinteraksi sosial, apalagi ketika harus mengaku kepada orang lain tentang herpes yang diderita. Penderita tertutup dan enggan membicarakan herpes karena pengaruh negatif herpes terhadap pergaulan dan hubungan dengan pasangan, sehingga serangan penyakit ini mengarah kepada gangguan psikologis. Penyakit herpes simpleks genitalis atau herpes simpleks labialis dikaitkan dengan perilaku seksual seseorang karena penyakit ini diyakini menular melalui hubungan seksual. Mengacu pada uraian sebelumnya, permasalahan dalam pencegahan penularan penyakit herpes dipengaruhi oleh karakteristik spesifik penderita herpes, yang diperburuk dengan minimnya informasi tentang herpes dari sumbersumber informasi, termasuk informasi dari petugas kesehatan atau dari media, serta tekanan sosio-psikologis. Pemahaman masyarakat luas yang diduga belum baik menjadi alasan penting untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut. Pendekatan sosiologi kesehatan bisa digunakan untuk memahami perspektif masyarakat mengenai penyakit herpes. Adapun kajian tersebut dibutuhkan untuk memberikan gambaran yang mendasar dari aspek sosial mengingat individu dan lingkungan sosialnya memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Hasil kajian akan digunakan untuk memberikan informasi yang mendalam bagi pengembangan program-program pencegahan penyakit, khususnya program prevensi dan promosi kesehatan penyakit herpes. Pada September 2009, penulis berkesempatan mengunjungi Dusun Parangrejo. Dusun ini masuk dalam wilayah pelayanan Puskesmas Purwosari. 4 Dalam pertemuan dengan kader kesehatan, penulis menemukan ada beberapa kader menderita penyakit herpes. Saat penderita diwawancarai secara singkat diketahui bahwa mereka sudah beberapa kali terkena penyakit herpes tersebut. Penderita tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki pada semua kelompok usia. Beberapa di antara mereka mengaku sudah terbiasa dengan rasa sakit penyakit ini. Saat dikonfirmasi dengan petugas kesehatan di Puskesmas Purwosari, dokter puskesmas mengatakan bahwa pada tahun 2009 terjadi wabah herpes di Dusun Parangrejo. Salah satu gambaran adalah hasil pengamatan yang dilakukan di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Masyarakat setempat mengenal penyakit herpes dengan istilah dompo. Menurut Hartadi dan Sumaryo (1988), nama dompo digunakan untuk menyebut penyakit herpes zoster. Masyarakat di Kecamatan Purwosari menggunakan kata herpes atau dompo untuk menyebutkan penyakit herpes tanpa membedakan jenis penyakit herpes. Hasil penelusuran awal dengan pendekatan data sekunder oleh peneliti menemukan bahwa selama kurun waktu 2004-2011, penderita herpes simpleks di wilayah Puskesmas Purwosari (2011) Kabupaten Gunungkidul mengalami peningkatan setiap tahunnya dan setiap tahun ditemukan penderita baru. Sebagian besar penderita yang datang berobat ke Puskesmas Purwosari adalah pasien kambuhan dengan penderita terbanyak pada perempuan kelompok usia 20-44 tahun. Dari 4 desa yang ada di Kecamatan Purwosari, penderita herpes simpleks paling banyak dilaporkan berasal dari Desa Giripurwo. 5 Tabel 1. Kasus herpes simpleks di Kecamatan Purwosari tahun 2004-2011 Jumlah pasien yang Persentase penderita herpes berobat ke Puskesmas simpleks dari total Purwosari pasien/tahun 2004 11 10375 0,106% 2005 14 10327 0,136% 2006 16 7545 0,212% 2007 12 11835 0,101% 2008 31 12769 0,243% 2009 59 16359 0,361% 2010 99 18943 0,523% 2011 94 19159 0,491% TOTAL 336 107312 2,17% Sumber: Data Pasien Puskesmas Purwosari 2004-2011 Tahun Jumlah penderita herpes simpleks Menurut Kepala Puskesmas Purwosari, angka tersebut jauh dari angka sebenarnya, karena masih banyak penderita yang menganggap penyakit tersebut akan hilang begitu saja tanpa perlu diobati. Adanya anggapan penderita bahwa penyakit herpes merupakan penyakit yang umum dan biasa saja menjadi bukti awal adanya pemahaman tersendiri oleh penderita terhadap penyakit ini. Lebih lanjut disampaikan bahwa ada beberapa penderita yang karena alasan malu diketahui warga lain saat ingin berobat, mencari pengobatan di tempat lain seperti rumah sakit atau praktik swasta. Hal ini menunjukkan adanya stigmatisasi terhadap penyakit herpes. Terlihat ada permasalahan sosial berkaitan dengan penyakit herpes yang ditemukan di masyarakat. Masyarakat tradisional yang homogen potensial menghasilkan pemahaman-pemahaman yang sempit dalam merespon berbagai perbedaan yang dimiliki anggota masyarakatnya. Nilai-nilai konservatif dan norma-norma sosial dapat menyebabkan munculnya stigma. Penderita sudah terisolir secara sengaja dan terstruktur terhadap sumber-sumber dukungan psikologis, individu terisolir bahkan dari lingkungan sosialnya, sehingga memunculkan reaksi negatif seperti depresi, stres, atau menarik diri dari lingkungan sosial. Menurut Goffman (1963 dalam Yang, 2006), stigma muncul sebagai suatu perbedaan antara identitas sosial virtual dengan identitas sosial yang aktual. Dikaitkan dengan aspek kesehatan, stigma di masyarakat merupakan sebuah 6 respon langsung terhadap perilaku individu (penderita) saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan Link et al. (2004), yaitu keberadaan stigma berhubungan dengan empat hal. Pertama, orang membeda-bedakan dan memberi label terhadap perbedaan yang dimiliki seseorang. Kedua, kepercayaan berdasarkan budaya yang dominan memberi label kepada karakteristik yang tidak diinginkan, yang mengarah kepada stereotip negatif. Ketiga, orang yang terstigmatisasi tersebut berada dalam wilayah yang terpisah, dikelompokkan atau diisolasi dari lingkungan umum. Keempat, orang yang terstigmatisasi tersebut mulai merasakan kehilangan kepercayaan diri dan diskriminasi. Menurut Muzaham (1995), stigma muncul sebagai hasil persepsi masyarakat yang didasarkan atas pemahaman konsep sehat-sakit dan perilaku sakit. Konsep-konsep ini dipengaruhi oleh unsur pengalaman di masa lalu dan unsur sosial budaya di daerah tersebut. Penyakit-penyakit kronis dianggap mendatangkan aib bagi penderitanya. Penyakit yang mendatangkan aib dan berjangka panjang merupakan penyakit yang menimbulkan kerusakan fisik (yang terlihat secara kasat mata) tidak dapat diterima masyarakat. Adapun konsekuensi sosial sebagai akibat dari julukan yang diberikan oleh masyarakat umum (stigmatisasi) adalah perbedaan perilaku dan karakter pada penderitanya. Penderita kurang dapat mengontrol dampak negatif dari penyakit yang dideritanya. Menurut Corrigan dan Watson (2002), pada hakekatnya, perilaku yang terlihat oleh orang lain merupakan manifestasi penghargaan penderita terhadap dirinya sendiri. Apabila penderita menganggap dirinya lebih rendah dibandingkan dengan orang lain, maka ia memperkuat stigma yang ada, namun apabila individu tersebut menghargai dirinya sebagai seseorang yang walaupun memiliki hambatan fisik namun masih sanggup menjalankan fungsifungsi sosial yang diembannya, maka ia tidak memperkuat stigma yang ada. Tidak dapat dipungkiri stigma membatasi penderita berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan menghalangi mencapai kualitas hidup yang selayaknya diperoleh. Persepsi masyarakat yang keliru dengan menciptakan teori kecacatan seseorang lebih merupakan hambatan sosial daripada hambatan fisik. Menjauhi 7 penderita tanpa disadari sebenarnya lebih sebagai pernyataan secara langsung terhadap aib si penderita. Hal ini merupakan satu alasan seseorang tidak mencari pengobatan atas keadaan sakit yang dideritanya, karena keadaan sakitnya dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan sehari-hari dan mengganggu identitas sosial orang lain. Pemahaman masyarakat terhadap suatu penyakit berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Oleh sebab itu perlu diselidiki persepsi masyarakat di Kecamatan Purwosari tentang penyakit herpes simpleks, untuk memahami penyebab persepsi tersebut berkembang. Disadari atau tidak, sangatlah penting bagi petugas kesehatan menyelidiki persepsi masyarakat di wilayah pelayanannya tentang konsep sehat-sakit, penyebab individu berperilaku sakit tertentu untuk mendukung usaha-usaha preventif. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa karena keterbatasan yang dimiliki pusat-pusat pelayanan kesehatan, mereka tidak mencoba mengerti penyebab persepsi tertentu berkembang di masyarakat, padahal hal ini sebenarnya adalah langkah awal untuk mengubah persepsi-persepsi keliru yang ada di masyarakat tersebut ke konsep yang lebih objektif. Petugas kesehatan masih mempraktikkan paradigma sehat-sakit dan perilaku sakit dengan sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang dianggap lebih objektif berdasarkan gejala yang tampak pada penderita dengan menerapkan diagnosis terhadap kondisi fisik pasiennya. Perbedaan persepsi antara petugas kesehatan dan masyarakat inilah yang menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kembali ke konsep bahwa masyarakat mempunyai pendapat sendiri tentang suatu penyakit, adalah penting untuk melibatkan masyarakat dalam membentuk pemahaman yang benar tentang masalah-masalah kesehatan yang ditemukan di lingkungan sosialnya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa mengubah kepercayaan kelompok lebih sulit dibandingkan dengan kepercayaan individu, karena kepercayaan individu sifatnya lebih subjektif dan relatif dibandingkan dengan kepercayaan kelompok yang memiliki intensitas yang lebih kuat karena didukung oleh individu-individu yang lebih banyak, apalagi jika kepercayaan tersebut didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. 8 Dukungan sosial sebenarnya dimulai dari lingkungan terdekat si penderita yaitu keluarga, kemudian bergerak keluar melibatkan anggota masyarakat atau bahkan teman-teman sesama penderita. Dukungan sosial akan membantu individu mengelola dan membentengi diri dari efek negatif stigma. Lingkungan yang suportif menerima penderita dengan menciptakan lingkungan yang positif akan merangsang penderita membangun rasa percaya diri dan kesanggupan diri sementara pada saat yang bersamaan berusaha mengatasi masalah psikologis akibat penyakit yang dideritanya. Keberadaan dukungan sosial yang positif meminimalisir stres yang disebabkan HIV (Vyavaharkar et al., 2010). Penelitian lain menemukan, keyakinan anggota keluarga dan perilaku mereka yang negatif terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tertentu, akan berkontribusi terhadap pembentukan konsep tentang makna memiliki penyakit tersebut dan pembentukan persepsi pada penderita tentang stigma terkait dengan penyakit yang dideritanya. Orangtua yang percaya bahwa anak-anak mereka yang menderita epilepsi akan terstigmatisasi, percaya bahwa epilepsi akan membatasi penderitanya, menghasilkan lebih banyak masalah terkait dengan perilaku anak-anak mereka sehari-hari dibandingkan dengan orangtua yang tidak menyampaikan kepercayaan mereka tersebut kepada anak-anaknya (Morrell, 2002). Tenaga kesehatan juga perlu diedukasi terkait dengan persepsi-persepsi negatif akibat suatu penyakit. Petugas kesehatan atau orang-orang yang berhubungan dengan merawat penderita perlu memahami bahwa dukungan yang negatif terhadap stigma dan akibat dukungan sosial terhadap penderita akan mengurangi masalah-masalah sosial penderita, sehingga mereka perlu menjalin ikatan emosional dengan penderita, tidak hanya fokus pada upaya kuratif. Dukungan positif dapat dimulai dengan melakukan upaya-upaya yang bersifat promosi kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas Purwosari dalam upaya pemberantasan penyakit herpes masih dalam bentuk saran dari petugas kesehatan kepada penderita ketika berobat ke puskesmas. Tidak ada program promosi kesehatan terkait dengan herpes yang dilaksanakan di 9 kecamatan ini. Sebenarnya, kegiatan promosi kesehatan diperlukan untuk mendorong individu yang terkena atau belum terkena penyakit mengenali gejala dari herpes, segera mencari pengobatan apabila individu atau orang lain di sekitarnya terlihat menderita kelainan pada kulit serta menemukan saran untuk mencegah penularannya. Menurut petugas surveilans Puskesmas Purwosari, tidak adanya program khusus bagi penderita herpes disebabkan oleh kurangnya jumlah petugas di puskesmas tersebut. Hal ini dianggap sebagai salah satu faktor penyebab kegiatan pemberantasan penyakit menular di wilayah Puskesmas Purwosari tidak maksimal. Kendala lain adalah kurangnya keahlian petugas kesehatan dalam menentukan diagnosis penyakit. Menurut dokter umum di Puskesmas Purwosari, beberapa petugas kesehatan yang ada (bidan dan perawat) masih mengalami kesulitan dalam mendiagnosis penyakit herpes. Hal ini terlihat dari keputusan mengelompokkan herpes, herpes simpleks, dan herpes zoster ke dalam klasifikasi herpes simpleks. Keahlian dalam menentukan diagnosis dibutuhkan untuk mendukung ketepatan dalam pemberian obat yang sesuai bagi penderita. Keterbatasan keahlian dalam menentukan diagnosis oleh petugas medis perlu diketahui untuk dicarikan jalan keluar, agar petugas medis tidak merasa kurang maksimal dalam melaksanakan tugasnya dan memiliki kompetensi, setidaknya keahlian dasar yang diperlukan dalam menentukan diagnosis yang tepat dan perangkat yang mereka butuhkan dalam mendukung tugas mereka. Pemberdayaan keahlian petugas medis tidak hanya dari segi keilmuan penyakit, namun juga keterampilan dalam merancang dan melakukan kegiatan promosi kesehatan untuk menolong masyarakat mengenal penyakit herpes, termasuk cara penularan dan pencegahannya. Kenyataan bahwa penyakit infeksi sulit dieliminasi menjadi tantangan berat bagi ilmu kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan sebagai benteng utama untuk mencegah penularan penyakit herpes harus didukung oleh peningkatan ketahanan masyarakat terhadap permasalahan-permasalahan kesehatan yang ada di lingkungannya. Minimnya informasi tentang herpes, belum maksimalnya usaha pencegahan penularan, dan stigmatisasi terhadap penderita, menunjukkan adanya 10 isu kesehatan yang berhubungan dengan interaksi perilaku dengan lingkungan fisik dan sosial budaya di masyarakat yang perlu diintervensi oleh petugas kesehatan melalui upaya-upaya promosi kesehatan. Keterbatasan-keterbatasan sumber daya penyedia layanan kesehatan dalam melaksanakan program promosi kesehatan mengisyaratkan perlunya melibatkan masyarakat di wilayah layanannya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana persepsi, stigma dan dukungan sosial dikaitkan dengan perilaku pencegahan penularan penyakit herpes di Desa Giripurwo, Kecamatan Purwosari? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mendapatkan informasi tentang persepsi, stigma dan dukungan sosial menurut orang yang hidup dengan herpes (people living with herpes/PLWH), masyarakat dan petugas kesehatan berkaitan dengan penyakit herpes dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan tenaga kesehatan terhadap upaya-upaya promosi kesehatan untuk mencegah penularan penyakit herpes. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui persepsi PLWH, masyarakat di Desa Giripurwo dan petugas kesehatan tentang penyakit herpes serta dampak infeksi herpes terhadap kualitas hidup penderitanya. b. Mengetahui stigma dan dukungan sosial yang ada di masyarakat dan petugas terhadap penderita penyakit herpes. c. Mengetahui bentuk promosi kesehatan yang mengadopsi kearifan lokal dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan petugas kesehatan berkaitan dengan perilaku pencegahan penularan penyakit herpes. 11 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi puskesmas Sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, kegiatan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit herpes di Desa Giripurwo (khususnya) dan masyarakat Kecamatan Purwosari (umumnya), mengingat setiap tahun jumlah penderita penyakit ini meningkat namun tidak termasuk dalam penyakit yang harus dilaporkan secara rutin. 2. Bagi institusi pendidikan Menambah literatur tentang penyakit herpes di Indonesia demi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat di bidang ilmu perilaku dan promosi kesehatan. 3. Bagi penulis Sebagai upaya pembelajaran dalam rangka meningkatkan pengalaman penemuan kasus di lapangan dan mengkaji dari perspektif ilmu perilaku dan promosi kesehatan. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap herpes di Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunungkidul, sepengetahuan penulis, belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian tentang persepsi penyakit infeksi di antaranya penelitian yang dilakukan oleh: 1. Suryanda (2006) tentang persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta, suatu studi kasus di Kecamatan Cambai Pramubulih, bertujuan memperoleh gambaran tentang persepsi masyarakat dan petugas kesehatan dan penderita/mantan penderita kusta dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat terhadap pemberantasan kusta. Persamaan dengan penelitian ini pada jenis penelitian, yaitu kualitatif dengan rancangan studi kasus deskriptif. Perbedaannya pada jenis penyakit yang diteliti, lokasi 12 penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian dan landasan teori yaitu health belief model (HBM). 2. Duana (2011) tentang persepsi masyarakat Bali terhadap penyakit rabies. Penelitian tersebut dilakukan bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam mengenai persepsi masyarakat Bali terhadap penyakit rabies, upaya pencegahan dan penanggulangannya. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini pada jenis penelitian, yaitu kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan mempertimbangkan aspek budaya dalam pembentukan persepsi masyarakat terhadap topik yang diteliti. Perbedaannya terletak pada jenis penyakit yang diteliti, lokasi penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian dan landasan teori yang digunakan. 3. Gamelia (2008) yaitu persepsi masyarakat tentang malaria dalam hubungannya dengan perilaku pencegahan malaria di wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I Kabupaten Banyumas. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini pada jenis penyakit yang diteliti, lokasi penelitian, jenis penelitian yaitu observasional dengan pendekatan cross sectional, masalah penelitian dan tujuan penelitian. Persamaannya pada landasan teori yang digunakan, yaitu HBM.