Pengertian Nasikh dan Mansukh

advertisement
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Panduan Hukum (Syariah) Islam : Pengertian Nasikh dan Mansukh
Pengertian nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan
hukum secara global, dan itu merupakan istilah para
ulama
muta 'akhirin
(belakangan); atau pembatalan
dalalah
(aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata [Kami tidk menemukan rangkaian kalimat yang
sederhana mengenai ini, Admin Rumah Islam]. Pembatalan ini dapat berupa
pengkhususan atau pemberian syarat
tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat,
menafsirkannya dan menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan
pengecualian
(
istitsna
), syarat dan sifat sebagai nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan yang zhahir dan
penjelasan terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan demikian, nasakh dalam pandangan
mereka adalah penjelasan tentang maksud suatu dalil dengan tidak mempergunakan lafazh
tersebut, akan tetapi dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang mengamati pendapat
mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak terbatas, dan hilanglah macam-macam
bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang
muncul kemudian.
Menurut
Hisyam bin Hasan
dari
Muhammad bin Sirin
bahwa
Hudzaifah
berkata, "Orang yang memberikan fatwa adalah salah satu dari 3 orang, yaitu:
1. orang yang mengetahui nasikh dan mansukh Al Qur'an,
2. penguasa yang tidak menemukan jalan lain, dan
3. orang bodoh yang mengada-ada. " [kami berpendapat bahwa golongan inilah yang
membuat hancur umat islam, Admin Rumah Islam]
Selanjutnya Ibnu Sirin berkata, "Aku bukan salah seorang dari kedua yang pertama, dan aku
tidak mengharapkan menjadi orang bodoh yang mengada-ada."
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan di dalam bukunya Jami ' Fadhl Al Ilm : Khalaf bin Qasim
menceritakan kepada kami,
Yahya bin Rabi'
menceritakan kepada kami,
Muhammad bin Hamad Al Mushishi
mengatakan kepada kami,
1/2
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Ibrahim bin Waqid
mengatakan kepada kami,
Al Muthalib bin Ziyad
mengatakan kepada kami, ia berkata, "
Ja' far bin Husain
(imam kami) menceritakan kepadaku, ia berkata, `Aku melihat
Abu Hanifah
dalam mimpi, dan aku berkata, 'Aim yang Allah lakukan terhadapmu, wahai
Abu Hanifah
?' Ia menjawab, 'Dia mengampuniku.' Aku bertanya lagi, Dengan ilmu?' Ia menjawab, `Alangkah
berbahayanya fatwa-fatwa itu bagi pemiliknya'. Aku bertanya, `Lalu dengan apa?' Ia menjawab,
Dengan perkataan manusia tentang aku yang tidak diketahui Allah bahwa itu adalah dariku."
Abu Umar mengatakan: Abu Utsman Al Haddad berkata, "Seorang hakim lebih mudah berbuat
dosa dan lebih dekat pada keselamatan daripada seorang ahli fikih (maksudnya mufti), karena
ahli fikih mengeluarkan apa-apa yang dimaksudkannya pada suatu saat dengan keterbatasan
perkataannya, sedangkan hakim harus menentukan suatu keputusan dengan ketetapan yang
pasti."
Ulama lain berpendapat bahwa seorang mufti lebih dekat pada keselamatan daripada seorang
hakim, karena seorang mufti tidak menetapkan fatwanya, tetapi ia menyampaikannya kepada
orang yang memerlukannya. Jika ia mau, ia dapat mempergunakannya dan dapat pula
meninggalkannya. Sedangkan hakim, ia menetapkan suatu keputusan sehingga keberadaan
hakim sama dengan mufti dalam hal menyampaikan suatu hukum. Tetapi, hakim berbeda
dengan mufti dalam hal ketetapan atas keputusannya. Dari pandangan ini, keputusan hakim
lebih besar bahayanya.
Ref :
I'lamul al Muwaqqi'in An Rabb al Alamin (Pedoman Hukum Islam) ,
Ibnu Qayim al Jauziyah
2/2
Download