www.lekad.org LEKAD © 2011 Banyak Masalah Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga - Kok Bisa? Oleh Benjamin Abdurahman Isu ini sempat dilontarkan Drs Moh. Zain Afif, M.Si. (Kasubdit KSD- PUM, Kemendagri) disela-sela diskusi pada Forum Komunikasi Regional yang dilaksanakan atas kerjasama Bappenas, KPDT dan DSF Program (World Bank) di Hotel Millenium - Jakarta tanggal 31 Oktober 2011 lalu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari kita pikirkan bersama sambil membahas 'kerjasama' dari sisi yang selama ini jarang dikaji. Tahap awal, mari lihat SIAPA saja pelaku kerjasama itu? Secara sederhana, mereka dikelompokan menjadi tiga, yaitu pihak (1) PUBLIK (khususnya Pemerintah cq. Kementrian/Lembaga dan unsur Pemerintahan Daerah) kemudian (2) MASYARAKAT atau unsur Kemasyarakatan dan (3) SWASTA, yaitu unsur Bisnis, jasa, serta Produksi). Masing-masing kelompok - sesuai tujuannya - memiliki pola dan kultur pengelolaan sendiri, khususnya dalam mengaplikasikan Komunikasi, Koordinasi dan Kerjasama (3K). Ketiga kata kerja tersebut - disingkat 3K merupakan kunci sukses berlandaskan KOMITMEN (kata sifat) pelaksanaan, sehingga kegiatan kerjasama menjadi efektif. Gambar 1. dibawah ini menjelaskan posisi masing-masing kelompok terkait 3K yang dimaksud dengan pola dan kultur pengeloalannya yang khas: Gambar 1. Oleh Benjamin Abdurahman Gambar diatas memperlihatkan, bahwa 3K pada mekanisme STRUKTURAL berbeda letak/dimensi dengan mekanisme Non-STRUKTURAL maupun PASAR. Aspek Komunikasi menjadi faktor utama pada mekanisme Non-STRUKTURAL dan PASAR, sedangkan Koordinasi lebih mengemuka pada mekanisme STRUKTURAL. Pada pengelolaan yang hirarkis-birokratis segala bentuk koordinasi dilakukan secara direktif. Berbagai sifat lainnya, seperti prosedural (dalam melakukan hubungan, termasuk kerjasama), formal (dalam berkomunikasi) menjadi ciri khas lain yang melekat pada mekanisme STRUKTURAL. Disisi lain tidak demikian pada dimensi Non-STRUKTURAL/PASAR. Ciri khas dimensi Non-STRUKTURAL Kemasyarakatan adalah a.l. pemberdayaan dan partisipatif dan mekanisme PASAR bercirikan Team work profesional, jaring komunikasi berikut komponen management modern lainnya. Setiap dimensi pengelolaan memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri dan memang dirancang sesuai tujuan organisasi. Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah LEKAD © 2011 www.lekad.org LEKAD © 2011 Untuk memperjelasnya gambar sebelumnya, dapat diperoleh keterangan lanjutan pada tabel berikut: PERBEDAAN POLA PENGELOLAAN & BUDAYA 3K ANTARA SEKTOR PUBLIK, KEMASYARAKATAN & SWASTA No PELAKU DIMENSI PENGELOLAAN SEJAK AWAL POLA KELOLA & BUDAYA 3K dilihat dari perspektif PUBLIK 1 PUBLIK STRUKTURALADMINISTRATIF berorientasi pada PELAYANAN PUBLIK & PEMBANGUNAN MASYARAKAT NON-STRUKTURAL terhadap Pemerintah Berorientasi pada PEMBERDAYAAN HIRARKIS BIROKRATIS FORMAL PROSEDURAL PARTISIPATIF GOTONG ROYONG BERKEADILAN Azas dalam mengambil Keputusan: MUSYAWARAH/ KONSENSUS 3 SWASTA NON-STRUKTURAL terhadap Pemerintah berorientasi pada PASAR POLA BUDAYA 3K PERUBAHAN DALAM KERJASAMA Azas dalam mengambil keputusan: MAYORITAS POLITIK melalui DEMOKRASI 2 POLA KELOLA 3K DAYA SAING INNOVASI ORIENTASI PROFIT Team PROFESIONAL Azas dalam mengambil Keputusan: MAYORITAS KEPEMILIKAN (SAHAM) JEJARING MEJA BUNDAR NON PROFIT KOMITMEN BERSAMA Berlandaskan KONSENSUS Tetap pola JEJARING KOLABORATIF KOMUNIKATIF SINERGIS PEMBERDAYAAN Menciptakan SINKRONISASI HARMONISASI KOLABORATIF PEMBERDAYAAN PARTISIPATIF Pencapaian KOMITMEN berlandaskan VISI BERSAMA Peningkatan KAPASITAS Tetap pola UNIT USAHA/ KORPORASI KOLABORATIF SINERGIS EFISIENSI dengan mekanisme PROFIT ORIENTED Penguatan PASAR Peningkatan PROFIT © Benjamin Abdurahman Sesuai dengan salah satu prinsip dasar organisasi, maka bentuk suatu pengelolaan tergantung pada maksud dan tujuannya. Pada tabel diatas perlu disepakati, bahwa kerjasama yang dilakukan antar unsur terkait tergantung dari tujuan utamanya. Dalam hal ini: PUBLIK sebagai penyedia pelayanan masyarakat dan regulator dalam pembangunan; MASYARAKAT dapat terdiri dari individu/kelompok yang memberdayakan diri untuk mencapai visi bersama (sosial-politik-budaya dan lingkungan); SWASTA, yaitu dalam bentuk korporasi/ badan hukum yang bertujuan menciptakan profit untuk kemudian dinikmati oleh para pemilik dalam bentuk keuntungan material. Berdasarkan batasan tersebut, maka - misalnya - isu kerjasama antara SWASTA dengan MASYARAKAT dalam konteks Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk kepedulian sosial dan lingkungan tidak termasuk pembahasan ini. Batasan Kerja Sama Daerah (KSD) yang dapat berupa Kerja Sama Antar Daerah (KSAD) kewilayahan dan non-kewilayahan serta KSD dengan Pihak KETIGA juga perlu disepakati. Fokus bahasan disini adalah KSD dengan Pihak KETIGA. Pada No.1 dapat dilihat sebagai Kerjasama Antar Daerah (KSAD) dan atau KSD dengan Kementrian/ Lembaga, dimana pelaku kerjasama berasal dari dan antar sesama sektor PUBLIK, maka bentuk pengelolaannya adalah JEJARING (heterarkis). Hal ini dapat terjadi mengingat masing-masing pihak memiliki posisi yang sama (berkat kedudukannya) sebagai Daerah Otonom (entity otonom) yang memiliki kewenangan dan souverenitas yang diatur oleh Peraturan dan Perundangan yang berlaku (khususnya UU 32 Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah LEKAD © 2011 www.lekad.org LEKAD © 2011 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; PP 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota; PP 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah). Budaya komunikasi dalam kerjasama bersifat partisipatif dan tidak lagi bersifat direktif-koordinatif seperti layaknya yang terjadi pada pola murni struktural. Pola komunikasi dengan demikian berubah dari direktif-koordinatif menjadi pola ‘meja bundar’. Artinya, seluruh keputusan dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat. Bila ada pihak yang tidak berkenan, maka terjadi proses negosiasi yang mengedepankan (dan hanya) pencapaian konsensus. Seluruh komunikasi menghasilkan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, program dan kegiatan yang sinergis dalam mencapai tujuan bersama. Pada No. 2 yaitu bila kerjasama terjadi diantara unsur MASYARAKAT dengan pihak lain dan tetap mengacu pada orientasi non-profit, maka bentuk JEJARING dengan mekanisme ‘win-win’ (saling menguntungkan) menjadi pilihan pengelolaan. Aspek pemberdayaan-partisipatif lah yang tetap menjadi budaya komunikasi NON-STRUKTURAL ini. Faktor perekat yang memberi bobot kerjasama berdasarkan saling membutuhkan antara pelaku yang terkait menumbuhkan komitmen dan ownership dalam berkegiatan. Pada No.3 yaitu bila unsur SWASTA yang bekerjasama dengan pihak lain dengan tujuan PROFIT, maka akan selalu berorientasi pasar (pemenuhan supply-demand). Azas PASAR ini berlaku dan mendominasi seluruh proses pengambilan keputusan. Artinya, kerjasama yang dilakukan harus menghasilkan keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Pada dimensi. PASAR keputusan ditentukan oleh besarnya andil/saham yang dimiliki para pihak. Semakin besar saham, semakin besar pula penentuan keputusan terhadap arah kebijakan yang akan diambil. Kembali sejenak ke dimensi PUBLIK, dimana penentuan kebijakan dikendalikan oleh suara mayoritas (suara terbanyak) dalam PEMILU yang dilakukan secara periodik. Kebijakan yang diambil, khususnya regulasi mengacu pada perolehan keseimbangan (azas keadilan) antara kepentingan PUBLIK (yang juga mewakili Masyarakat) dan Swasta. Melihat peran dan fungsinya, maka sektor PUBLIK sesungguhnya menempatkan fungsi sebagai Pelaku Usaha (Bisnis) diurutan terakhir. Silahkan simak Gambar 2 sebagai berikut: Gambar 2. Sumber: Materi paparan LRED workshop GIZ ADRF, Kerjasama Ekonomi Antar Daerah di wilayah sekitar Kawasan Ekosistem Leuser; Juli- Okt 2011. Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah LEKAD © 2011 www.lekad.org LEKAD © 2011 Gambar 2 memperlihatkan urutan prioritas tentang peran yang dilakukan antara Pemerintah/PUBLIK (Sebelah kanan) dan SWASTA (sebelah kiri gambar). Sektor PUBLIK memiliki peran utama sebagai regulator dan pelayanan yang menjamin terciptanya Keamanan, Hukum dan Ketertiban, Kepastian hukum (hak milik, kebebasan indifidu dstnya), mengatur makro ekonomi, menjamin tersedianya pelayanan pendidikan, kesehatan, kemudian semakin mengecil perannya bila menyangkut intervensi pasar, khususnya bila sebagai pelaku bisnis. Sebaliknya - seperti yang dapat dilihat pada gambar, bahwa peran utama Pelaku Usaha adalah berbisnis yang diikuti dengan semakin berkurang perannya dalam kegiatan keamanan dan ketertiban. Rangkaian penjelasan diatas menunjukan, bahwa setiap kelompok telah memilki peran dan fungsi dan dengan demikian juga pola dan kultur pengelolaan sendiri. Apabila unsur dari kelompok yang satu melakukan kerjasama dengan pihak lain, akan ada konsekuensi yang harus dipahami dan dijalankan. Ada beberapa batasan yang perlu menjadi pertimbangan bagi masing-masing kelompok dalam memilih pola dan kultur pengelolaan kerjasamanya, yaitu a.l.: Batasan I: Bila terkait Kerjasama antar unsur dari kelompok PUBLIK (misalnya pada praktek Kerjasama Antar Daerah), maka sesuai acuan PP 50 Tahun 2007 adalah dalam bentuk Non-Struktural. Sesuai dinamika kebutuhan pelayanan dan pembangunan saat ini berkembang wacana untuk mengembangkan kerjasama Daerah juga dalam konteks Struktural (Kerja Sama Daerah yang bersifat wajib). Namun pembahasan tentang hal ini bukan menjadi tema diskusi kita kali ini. Batasan II: Bila terkait Kerjasama antara unsur KEMASYARAKATAN dan PUBLIK, maka berlaku mekanisme Non-Struktural. Keterbatasan kapasitas pemanfaatan mekanisme non-struktural inilah yang mengakibatkan Kerjasama Daerah sering berjalan ditempat. Seperti sudah dapat dimaklumi bersama, bahwa dari pola dan budaya komunikasi saja ada perbedaan yang mencolok antara pengelolaan struktural dan non-struktural. Batasan III: Bila terkait Kerjasama antara Publik dengan Pihak Ketiga (Swasta dan/Kemasyarakatan), maka berlaku mekanisme PASAR. Artinya sektor PUBLIK yang terlibat didalam kerjasama dengan Swasta harus secara konsekuen memisahkan diri dari ‘baju’ struktural, sekaligus mengesampingkan perannya sebagai regulator. Komponen PUBLIK yang akan bekerjasama dengan swasta hendaknya bertindak sebagai entity terpisah. Entity ini harus memiliki legitimasi untuk berperan, berfungsi dan bertindak sesuai dengan mekanisme PASAR. Kembali kepertanyaan awal yang menjadi judul diskusi kita ini, yaitu mengapa Kerjasama Daerah dengan Pihak KETIGA banyak yang bermasalah? Bila mengacu pada situasi dan kondisi yang ada saat ini, maka dapat dipertimbangkan jawaban seperti berikut: 1. Pihak PUBLIK hingga saat ini tidak memiliki dukungan regulasi yang cukup dan tegas untuk melaksanakan kerjasama dengan PIHAK KETIGA. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan regulasi mengakibatkan terjadinya distorsi kepentingan. Sektor Publik yang mengedepankan fungsinya untuk pelayanan umum dihadapkan dengan orientasi profit yang tidak memprioritaskan kesejahteraan umum, melainkan keuntungan bagi korporasi. Dimensi STRUKTURAL memiliki pola kelola dan budaya 3K yang berbeda dengan dimensi NON-STRUKTURAL. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. 2. Terbukanya peluang bagi sektor PUBLIK untuk bekerjasama dengan Pihak KETIGA merupakan keputusan politik yang diatur dan tertuang dalam PP 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Kerja Sama Daerah. Regulasi ini membuka kesempatan bagi Daerah untuk berperan sebagai pelaku Usaha di PASAR. Namun peranan sebagai pelaku ini harus sangat hati-hati dilakukan, mengingat peran dan fungsi utama sektor PUBLIK yang sesungguhnya adalah sebagai regulator dan bukan pelaku. Intervensi sektor PUBLIK sebagai pelaku di PASAR dapat berpotensi kontra produktif terhadap iklim usaha, baik pada skala daerah, regional maupun nasional. Pedoman dan acuan terhadap hal ini mutlak diperlukan agar kegiatan KSD dengan pihak Ketiga tidak justru menjadi bagian dari masalah baru di Daerah. 3. Kerjasama Daerah dengan Pihak KETIGA menjadi ‘seksi’ bagi para penentu kebijakan atau pihak yang memiliki kewenangan di Daerah untuk melakukannya, mengingat gambaran profit ‘jangka pendek’ yang biasanya menggiurkan. Akibatnya, berani menerabas atau bahkan melangkahi peraturan yang ada atau peraturan yang tidak memiliki ketegasan hukum sebagai resiko. Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah LEKAD © 2011 www.lekad.org LEKAD © 2011 Keterbatasan kapasitas para pengambil keputusan menjadi salah satu faktor kelemahannya. 4. Indikasi adanya kelemahan pemahaman dasar, paradigma, visi, misi, tools perencanaan dan instrumen kebijakan yang dibutuhkan sebagai acuan semakin nyata dan menjadi beban kegiatan KSD dengan Pihak KETIGA. Kejelasan dan ketegasan aturan yang dibutuhkan seyogyanya berawal dari pemahaman konsep yang komprehensif. Bila melihat bobot pengaturan saat ini justru terletak pada ‘aturan main’ untuk komponen yang berasal dari sektor PUBLIK, sedangkan pihak Swasta telah memiliki mekanisme PASAR sebagai pedoman dalam berkegiatannya. Paradox peraturan yang bertentangan (antar pasal disatu peraturan) perlu segera disempurnakan. Sebagai contoh, pada penyelesaian perselisihan yang (salah satu jalannya) bermuara pada keputusan Gubernur (bagi Kabupaten/Kota dalam Bab VI, Pasal 14 huruf 2) dan keputusan Menteri (bagi Provinsi dalam Bab VI, Pasal 15 huruf 2) sesungguhnya bertentangan dengan prinsip dasar kerja sama Daerah (Bab II, Bagian Kesatu – Prinsip Kerja Sama, Pasal 2 huruf (h) Persamaan Kedudukan). Bagaimana mungkin sebuah Badan yang bersifat Non-Struktural berpeluang untuk diintervensi secara Struktural? Terlebih apabila Badan yang dimaksud telah berkolaborasi dengan Masyarakat dan Swasta sedemikian rupa sehingga telah memiliki kultur koordinasi dan komunikasi organisasi yang berbeda. 5. Produk regulasi seharusnya memenuhi azas kepatutan dan kepatuhan implementasi yang realistis. Tidak ada gunanya memberikan aturan, apabila aturan tersebut tidak dapat dipatuhi dan dijalankan. Akibat fatalnya adalah pengabaian yang membebani kewibawaan pemerintah dalam menegakan kepatuhan hukum. Kenyataan ini dapat dilihat pada disparitas pengaturan KSD yang lebih memberi porsi perhatian kepada Kerja Sama Antar Daerah dibanding KSD dengan Pihak KETIGA. Selain itu, tidak semua langkah teknis KSD antar Daerah (baik kewilayahan dan non-kewilayahan) akan relefan untuk digunakan terhadap KSD dengan Pihak Ketiga. 6. Pemanfaatan pola reward and punishment belum dijalankan secara optimal oleh Pemerintah. Hal ini dirasakan –baik dalam konteks KSD yang bersifat antar Daerah maupun dengan Pihak KETIGA. Yang dimaksud dengan memberi reward (hadiah) disini adalah melakukan intervensi Pemerintah dan atau Provinsi kepada Kabupaten/Kota yang melakukan KSD secara efektif, berupa dukungan kebijakan, program dan terutama finansial. Punishment (hukuman) terhadap Kabupaten/Kota cukup dengan memperlihatkan hilangnya peluang perolehan intervensi Pemerintah dan Provinsi bila tidak melakukan KSD dibidang tertentu. Suatu bentuk hukuman juga bisa dipilih dengan cara: a.l. hanya menyertakan Daerah yang telah melakukan KSD untuk ikut program studi banding keluar negeri. 7. Regulasi KSD seharusnya diikuti dengan dukungan program yang jelas. Melalui berbagai pendekatan bisa disusun program dukungan KSD yang justru menjadi instrumen strategis percepatan pembangunan. Tentunya produk struktural tetap menjadi acuan utamanya, namun KSD, khususnya dengan Pihak KETIGA perlu diberdayakan menjadi pendukung strategis yang efektif. Paket program yang mengacu pada pengentasan kemiskinan, wilayah terisolir, disparitas pembangunan yang dikaikan dengan pola KSD dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Paket program perlu dikemas dengan cerdas dan memanfaatkan inisiasi KSD yang sudah terbangun maupun yang sedang dalam inisiasi. Kekeliruan masa lalu, seperti praktek pembentukan KSD hanya untuk memperoleh ‘proyek’ dari Pusat perlu dihindari agar tidak terulang kembali. 8. Lemahnya sosialisasi dan diseminasi yang tepat mengenai konsep KSD dengan Pihak KETIGA perlu segera diperbaiki. Sasarannya bukan hanya dari pihak Pemerintah Daerah, namun justru kepada Masyarakat dan Dunia Usaha. Potret peluang KSD dengan Pihak KETIGA berikut ‘good practices’ (pembelajaran yang baik) perlu didiseminasikan secara luas bersama media. 9. Kelemahan pengelolaan KSD, khususnya terkait monitoring dan evaluasi menjadi salah satu sebab terjadinya permasalahan KSD dengan Pihak KETIGA. Belum tersedianya/berfungsinya perangkat TKKSD di Daerah dan Sekretariat Bersama sesuai amanah Permendagri 22 & 23 Tahun 2009 mengakibatkan tersendatnya koordinasi pengawasan dan pembinaan yang dibutuhkan oleh Daerah. 10. Kelemahan kapasitas Daerah dalam mengaplikasikan KSD dengan Pihak Ketiga membutuhkan dukungan extra dari Pusat. Advokasi dan konsultasi periodik dengan instansi yang tepat dapat membantu Daerah dalam menghindari kesalahan pelaksanaan kerjasama. Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah LEKAD © 2011 www.lekad.org LEKAD © 2011 Kesimpulan singkatnya: KSD dengan Pihak KETIGA dipandang lebih kompleks dibandingkan KSD dalam konteks Antar Daerah, karena menggabungkan minimal 2 kelompok aktor yang berbeda kultur pengelolaan, yaitu PUBLIK dan SWASTA (dan atau berikut unsur Masyarakat). Sektor PUBLIK harus bersedia melepas ‘baju strukturalnya’ dan siap berperilaku sesuai dengan mekanisme PASAR. Untuk dapat secara leluasa melakukan hal itu, maka legitimasi yang jelas menjadi sebuah ‘condicio sine quanon’. Membentuk sebuah entity (BUMD, BLUD atau bentuk badan sah lainnya) agar dapat berperan sesuai dengan mekanisme PASAR merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh. Bila kerjasama dengan Pihak KETIGA menjadi salah satu pilihan, maka keputusan itu harus mengacu pada pertimbangan komprehensif berdasarkan urgensi kerjasamanya. Kelemahan regulasi dan perangkatnya dalam hal ini perlu segera dibenahi. Sosialisasi dan diseminasi bersama media perlu dilakukan agar KSD dengan Pihak KETIGA dapat memperoleh perhatian yang cukup dari masyarakat (khususnya juga anggota dewan). Program pengembangan kapasitas dan dukungan fasilitasi perlu menjadi perhatian kedepan, karena salah satu akar permasalahan terletak pada aspek ini. Semoga bermanfaat. Kritik dan saran sangat diharapkan. BA/Oct/2011 Lembaga Pengembangan & Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah LEKAD © 2011