AUTO IMUNITAS Sistem imun tubuh telah berkembang

advertisement
AUTO IMUNITAS
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur antigen
diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap kemampuan
pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap antigen diri yang
dianggap asing. Respons imun yang disebut autoimunitas tersebut dapat
berupa respons imun humoral dengan pembentukan autoantibodi, atau
respons imun selular.



Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana
pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.
Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi.
Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak selalu
menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi penting karena
respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau pada penyakit yang
disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).
Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan untuk
keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan autoantibodi atau
respons imun selular yang terbentuk setelah timbulnya penyakit.
SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang bersifat organ
spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik. Pada penyakit autoimun
organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal dan respons autoimun
ditujukan langsung pada antigen di dalam organ tersebut. Sebagian besar kelainan
spesifik organ melibatkan satu atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen
dapat berupa molekul yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama
reseptor hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler).
Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel
dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar
di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan dalam transkripsi
dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel lainnya) .
Spektrum penyakit autoimun
Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait
Antigen diri
Reseptor hormonReseptor
TSHReseptor insulin
Reseptor
neurotransmiterReseptor
asetilkolin
Molekul sel adesiMolekul sel
adesi epidermal
Protein plasmaFaktor VIIIβ2
glikoprotein I dan protein
Penyakit
Hiper atau hipotiroidismeHiper
atau hipoglikemia
Miastenia gravis
Penyakit kulit yang melepuh
Hemofili didapatSindrom
antifosfolipid
antikoagulan lain
Antigen permukaan selSel
darah merah (antigen
multipel)Platelet
Enzim intraselulerPeroksidase
tiroidSteroid 21-hidroksilase
(korteks adrenal)
Anemia hemolitikPurpura
trombositopenia
Tiroiditis, kemungkinan
hipotiroidismeKegagalan
adrenokortikal (penyakit
Addison)
Glutamat dekarboksilase (sel β Diabetes autoimun Vaskulitis
di pulau pankreas)Enzim
sistemik
lisosom (sel fagositik)Enzim
mitokondria (terutama piruvat Sirosis biliar primer
dehidrogenase)
Molekul intraseluler yang
SLE
melibatkan transkripsi dan
SLE
translasiRantai dua
DNAHiston
Skleroderma difus
Topoisomerase I
Polimiositis
Amino-acyl t-RNA sintase
Skleroderma lokal
Protein sentromer
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B yang
bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-regulation. Sel T
(terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam mengatur hampir semua respons
imun, sehingga proses toleransi sel T lebih penting dalam penghindaran
autoimunitas dibandingkan toleransi sel B. Selain itu, sebagian sel B yang
autoreaktif juga tidak dapat memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima
rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi sel T
yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan proses positive selection,
sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul MHC. Ikatan ini akan
menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor sel T yang gagal berikatan
dengan molekul MHC di timus akan mati melalui apoptosis. Sel T yang bertahan
dari proses ini akan berikatan dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri
yang ada di timus dengan afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai
afinitas yang rendah akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan
peptida asing dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif
nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus
dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri
di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas tinggi
tersebut dieliminasi melalui proses negative selection (Gambar 15-1).
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus
adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang cukup
di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar peptida yang
berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein intraseluler atau terikat
membran yang ada dimana-mana, ataupun protein yang ada di cairan ekstraseluler,
sehingga toleransi timus tidak diinduksi terhadap protein spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan kontrol
lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing di
organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut secara efektif
tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut lolos dari organ
tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang. Proses ini terjadi karena sel
T CD4+ hanya mengenali angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II.
Dengan distribusi yang terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar
molekul spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk
menginduksi aktivasi sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah.
Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-presenting cells, debris
dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan secara cepat dan dihancurkan,
melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris lainnya, termasuk sistem
komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan
perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui
apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive
memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons imun. Sinyal
pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor antigen di sel T. Sinyal
kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal oleh CD28 (pada
sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator.
Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T terhadap molekul peptida
spesifik jaringan atau kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan
molekul ko-stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada
anergi atau kematian sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul kostimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas pada antigenpresenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan
pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di jaringan
limfoid sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat
diinduksi melalui beberapa cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel.
Namun, dengan adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang
telah teraktivasi sebelumnya yang mempunyai akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang
mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun mempunyai efek
negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang mempunyai struktur serupa
dengan CD28 dan mengikat ligand yang sama. Ikatan antara CD80 atau CD86
dengan CTLA4 menginduksi anergi atau kematian melalui apoptosis (Gambar 152). Adanya defek genetik pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada
berkembangnya autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif melalui
penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang sama (sel T
supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif dibatasi
terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri. Sel B baru akan
terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang dan banyak
diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses hipermutasi somatik gen
imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal nodus limfe juga dapat
menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi sel B berikatan
dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan
mengalami apoptosis atau anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit
autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang
bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan
penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu
melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen tunggal.
Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan
anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya.
Hubungan antara gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari
MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain
hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai
puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan
eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang
mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen dapat menstimulasi
beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca
pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini
tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan
memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel
wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi,
memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih tinggi
daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting
terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita
tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola
metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian
komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan
dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi
imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada mekanisme
molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain. Infeksi pada target
organ mempunyai peran penting dalam up-regulation molekul ko-stimulan yang
bersifat lokal dan juga induksi perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi,
sehingga terjadi autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun,
sebaliknya, autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi
yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara
horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan,
antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah
destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan akibat insersi antigen virus pada
membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta
gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan
sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis,
CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat
mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk
membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari
bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun
asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas biasanya reversibel setelah
penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat berkembang progresif dan
memerlukan pengobatan imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang
serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer. Beberapa
obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida yang
mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut terutama
ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan,
adanya defek pada metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara
obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja lambat
lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek
imunomodulator yang mengganggu mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)
merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan
sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat menyebabkan flare dalam
respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi
ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat
menyebabkan modifikasi struktur pada antigen diri sehingga mengubah
imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam
kulit melalui ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan
dengan fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La
kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan.
Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan
peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan
penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis autoimunitas
tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan
fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas
sel Th, pintas sel T
Defek timus
Klon abnormal, defek induksi toleransi
Sel B refrakter terhadap sinyal supresor
Defek makrofag
Defek sel stem
Defek jaringan idotip-antiidiotip
Gen abnormal: gen respons imun, gen
imunoglobulin
Faktor virus
Faktor hormon
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul dugaan
adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak pernah berkontak
dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat terbebas akan dianggap asing
dan menimbulkan pembentukan autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi
terhadap sperma setelah vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung
setelah infark miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan
pembentukan autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh mekanisme
pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan respons imun.
Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun fungsi sel Ts, akan
meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan
terhadap autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan telah
diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T toleran
tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang mirip dengan
antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan membentuk autoantibodi.
Timus dan sel mikronya sangat penting untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi
gangguan maka akan terjadi defek sistem imun yang akan mempercepat proses
autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas
selular, baik peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan
aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik, misalnya
terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap berbagai stimuli, atau
kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen endogen atau eksogen yang
disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat bereaksi dengan autoantigen melalui
berbagai reseptornya yang mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara
sel T tetap toleran. Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri,
virus, atau komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3).
Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear,
antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau
virus. Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi
limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA,
antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan mempresentasikan
antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai sitokin untuk aktivasi limfosit.
Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit untuk mengeliminasi berbagai
substansi imunologik yang tidak diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada
penderita penyakit autoimun diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak
berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens)
pada makrofag berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada
penyakit autoimun masih belum konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang telah
dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B, atau
keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu saja. Sampai
sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif dari penelitian
tentang peran defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro atau
virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan jaringan atau
ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai predisposisi genetik autoimun
ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara ini maka terlihat bahwa defek sel
stem, terutama prekursor sel B, lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas
daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari sel T.
Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B aktif dan yang
memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini disebabkan oleh defek
sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor proliferasi, diferensiasi, dan
maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons sel B yang tidak normal terhadap
faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, alih imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan
akhirnya penyakit autoimun sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian, awitan,
dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang bertanggung jawab
terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus tunggal, dan dihubungkan
dengan gen yang menentukan respons imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan
gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen
HLA dengan penyakit tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip atau
anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi antiidiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada umumnya
autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap idiotip. Seperti
halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk respons imun terhadap
antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip) yang menyerupai antigen.
Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek
regulasi sistem imun yang menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi
antibodi anti-idiopatik (lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan
produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun
tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel
B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal yang
memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut berperan pada
patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan
infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat terjadi
oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang bertambah
berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan. Pembalikan supresi oleh sel
T baru dapat dilihat pada hewan yang kehilangan sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator
yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem imun.
Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh
infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen
diri ke nodus limfe (dan juga ke antigen-presenting cells) dan juga menginduksi
ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim
proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein
intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi
tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic
epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion,
dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme juga
dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi rendah dan tanpa
akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial
yang memiliki struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang
responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti
kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke
jaringan tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Antigen mikrobial
Antigen diri
Penyakit yang diduga
akibat molecular
Protein grup A
streptokokus M
Bacterial heat shock
proteins
Antigen di otot jantung
mimicry
Demam reumatik
Self heat shock proteins
Terkait dengan penyakit
autoimun berat namun
belum terbukti
Protein inti Coxsackie B4 Glutamat dekarboksilase Diabetes melitus
sel pulau pankreas
dependen insulin
Glikoprotein
Gangliosida dan
Sindrom Guillain-Barre
Campylobacter jejuni
glikolipid terkait mielin
Heat shock protein dari Subtipe rantai HLA-DR β Artritis reumatoid
Eschericia coli
mengandung “epitop
bersama” artritis
reumatoid
Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut pada
presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan menghasilkan
percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan
ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun. Namun, sel
T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk proliferasi dan
produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih luas, dicetuskan
oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel
autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas
di jaringan yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi)
namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang
mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan sekali
barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah bertahan dan
menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi
(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau sel T
sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih
antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme
hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat
pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon, reseptor
neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau
menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan
abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan
yang diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi mengenali
antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis penyakit
autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai pemeriksaan penyaring
pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga penderita penyakit autoimun, atau
mencari penyakit autoimun lain yang sering menyertai suatu penyakit autoimun
tertentu seperti kemungkinan tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.
Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit
Tiroditis Hashimoto
Miksedema primer
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa
Atrofi adrenal idiopatik
Miastenia gravis
Pemvigus vulgaris dan
pemfigoid
Anemia hemolitik autoimun
Sindrom Sjogren
Antibodi
Tiroid
Tiroid
Tiroid
Lambung
Adrenal
Otot, reseptor asetilkolin
Kulit
Eritrosit (uji Coombs)
Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer
Hepatitis kronik aktif
Artritis reumatoid
LES
Skleroderma
Penyakit jaringan ikat lain
Mitokondria
Anti Sm, mitokondria
Antiglobulin
Antinuklear, DNA, sel LE
Nukleolus
Nukleolus
PENGOBATAN
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun atau
mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan metode
pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi pada gagal organ
yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon
yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi pengganti, maka dapat timbul
masalah metabolik. Supresi autoimun sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi
pilihan yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus
autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi
imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian.
Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-inflamasi,
imunosupresan, dan kontrol imunologis.
Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan
manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol metabolik
biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk miksedema primer,
insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid
untuk penyakit Grave, dan lain-lain.
Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam jangka
panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan bahwa kelenjar
tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk antigen.
Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid, menunjukkan
manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti miastenia gravis, LES,
dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti salisilat, indometasin, fenoprofen
atau ibuprofen dipakai pula untuk artritis rheumatoid.
Imunosupresan
Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi dan
antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil, LES, dan
artritis reumatoid walaupun masih belum dapat diambil kesimpulan akhir tentang
manfaatnya.
Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang bersifat
nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat yang biasanya
diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah sering dilakukan
dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis kronik aktif, dan anemia
hemolitik autoimun.
Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat terbatas
pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan. Tindakan yang cukup
sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk mengurangi kompleks imun,
yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom
Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati
hasilnya. Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap
defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem atau timus,
atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan akan
dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B yang
terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian beberapa
antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4 memperlihatkan perbaikan
klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan percobaan.
Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk
dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat bertahan
terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan membentuk antiidiotipik terhadap antibodi maternal tersebut. Diharapkan aplikasi pemahaman
terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi berbagai kesulitan pada
pengobatan penyakit autoimun.
Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor atau
ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah berbagai
matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun bahan radioaktif.
Anemia Pernisiosa
{0 Comments}
Posted by admin on January 3, 2011
in Kesehatan
Anemia Pernisiosa adalah kelainan yang ditandai dengan perubahan megaloblastik
pada sumsum tulang dan anemia, sering disertai dengan gangguan neurologis.
Kelainan ini disebabkan karena kegagalan sekresi factor intrinsic gaster dan
mempunyai dasar autoimun. Wanita lebih sering daripada pria, biasanya timbul
pada usia 45-65 tahun.. Insiden lebih tingg pada masyarakat dengan golongan
darah A. Dapat timbul aklorhidria dan gastritis atrofi. Morfologi sumsum tulang
menggambarkan kegagalan sintesis DNA dengan berhentinya maturasi SDM,
granulosit
dan
prekursor
pembekuan.
Terjadi
hemolisis.
Gambaran klinis Gejala awal yang tersembuanyi dan derajatberatnya anemia dapat
timbul pada saat menentukan diagnosis. Biasa terjadi diare dan berat badan yang
berkurang, pireksia ringan, ikterus karena hemolisis dan warna pucat membuat
kulit berwarna kuning lemon. Lidah halus, atrofi dan dapat nyeri tekan.
Spelenomegali merupakan hal yang lazim. Perubahan degeneratif pada saluran
medulan spinalis posterior dan lateral dapat menyebabkan degenerasi kombinasi
subakut dengan kerusakan sensasi permukaan seperti “ sarunng tangan dan kaus
kaki “ dengan hilangnya rasa vibrasi dan proprioseptif. Refleks tendo cepat tetapi
sentakan pergelangan kaki sering berkurang. Refleks plantar berupa ekstensor.
Ataksia
dan
keadaan
konfusional
toksik dapat timbul. Jika tidak diberikan terapi, demensia akan timbul.
Diagnosis banding Semua penyebab anemia megaloblastik (? Tabel 10.3). tidak
termasukdi dalamnya penyakit autoimun lain yang menyertai seperti vitiligo, DM,
hipotiroidisme, kegagalan ovarium, miastenia gravis.
ANEMIA PERNISIOSA
A. DEFINISI
Anemia pernisiosa adalah salah satu penyakit kronis berupa berkurangnya
produksi sel darah merah akibat defisiensi vitamin B12 dan asam folat, Salah satu
fungsi vitamin B12 adalah untuk pembentukan sel darah merah di dalam sum-sum
tulang menjadi aktif. (Brunner&Suddart, 2001)
Anemia pernisiosa adalah penurunan sel darah merah yang terjadi ketika
tubuh tidak dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran pencernaan.
Vitamin B12 diperlukan untuk pengembangan yang tepat dari sel darah merah.
(Price &Sylvia, 1995).
Anemia pernisiosa (atau anemia pernisiosa - juga dikenal sebagai anemia
Biermer,'s anemia Addison, atau-Biermer anemia Addison) adalah salah satu dari
banyak jenis keluarga besar anemia megaloblastik . Hal ini disebabkan oleh
hilangnya sel parietal lambung, dan ketidakmampuan berikutnya untuk menyerap
vitamin B 12. (Nursing blogspot.com)
B. EPIDEMIOLOGI
Dalam kelompok ini, 10-20 kasus per 100.000 orang terjadi per tahun.
Anemia pernisiosa dilaporkan kurang umum pada orang-orang dari latar belakang
ras lain, selain Inggris, Irlandia, Skotlandia, dan Skandinavia. Meskipun penyakit
ini pernah diyakini langka pada orang Amerika asli dan jarang pada orang kulit
hitam, pengamatan terakhir menunjukkan bahwa kejadian itu diremehkan.
C. ETIOLOGI
a.
Pengikatan vitamin B 12 terganggu oleh faktor intrinsik autoimun gastritis atrofi,
di mana autoantibodies diarahkan terhadap sel parietalis, serta terhadap faktor
intrinsik sendiri.
b.
Bentuk kekurangan vitamin B 12 selain anemia pernisiosa harus dipertimbangkan
dalam diagnosis diferensial dari anemia megaloblastik .
c.
Infeksi dengan cacing pita latum Diphyllobothrium , mungkin karena parasit
kompetisi untuk vitamin B 12.
d.
Gangguan serupa yang melibatkan gangguan penyerapan B12 juga bisa terjadi
setelah pengangkatan lambung ( gastrektomi ). Dalam prosedur ini, sel-sel mukosa
tidak lagi tersedia, begitu pula yang diperlukan faktor intrinsik . Hal ini
mengakibatkan penyerapan GI memadai B
12,
dan dapat mengakibatkan sindrom
dibedakan dari anemia pernisiosa. Pada gastrektomi pasien harus mengkonsumsi B
12
seperti dalam pengobatan anemia pernisiosa: dosis tinggi baik oral atau B
12
dengan injeksi.
e.
Malnutrisi (alkoholik, vegetarian), anemia pernisiosa (penyakit autoimun
terhadap sel parietal.
f.
Resiko meningkat disertai dengan insufisiensi endokrin poliglandular dan
karsinoma lambung, penyebab lainnya adalah faktor-faktor absorpsi (keadaan
setelah gastrektomi.
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi meliputi:
a.
Riwayat keluarga penyakit
b.
Sejarah gangguan endokrin autoimun, termasuk:
1)
Penyakit Addison
2)
Tiroiditis kronis
3)
Penyakit Graves
4)
Hipoparatiroidisme
5)
Hypopituitarism
6)
Myasthenia gravis
7)
Amenore sekunder
8)
Diabetes tipe 1
9)
Disfungsi testis
10) Vitiligo
c.
Skandinavia atau Eropa Utara keturunan
E. PATOFISIOLOGI
Anemia terjadi akibat gangguan maturasi inti sel akibat gangguan sintesis
DNA sel-sel eritroblas. Defisienasi asam folat akan mengganggu sintesis DNA
hingga terjadi gangguan maturasi inti sel dengan akibat timbulnya sel-sel
megaloblas. Defesiensi vitamin B12 yang berguna dalam reaksi metilasi
homosisten menjadi metionin dan reaksi ini berperan dalam mengubah metil THF
menjadi DHF yang berperan dalam sintesis DNA dan akan mengganggu maturasi
inti sel dengan akibat terjadinya megaloblas.
Anemia pernisiosa disebabkan oleh kegagalan sel parietal lambung untuk
menghasilkan cukup vitamin B12. Gangguan lain yang mengganggu penyerapan
dan metabolisme vitamin B-12 dapat menghasilkan cobalamin (CBL) defisiensi,
dengan pengembangan makrositik anemia dan komplikasi neurologis.
Struktur dasar yang dikenal sebagai vitamin B-12 adalah semata-mata
disintesis oleh mikroorganisme, tetapi kebanyakan hewan mampu mengkonversi
vitamin
B-12
ke
dalam
2
bentuk
koenzim,
adenosylcobalamin
dan
methylcobalamin. Yang pertama diperlukan untuk konversi-methylmalonic asam L
untuk suksinil koenzim A (CoA), dan tindakan terakhir sebagai methyltransferase
untuk konversi homocysteine untuk metionin. Ketika kekurangan folat, fungsi
sintasa timidin terganggu. Hal ini menyebabkan perubahan megaloblastik pada
semua sel dengan cepat membagi karena sintesis DNA berkurang. Dalam
prekursor erythroid, macrocytosis dan eritropoiesis efektif terjadi.
Diet CBL diperoleh sebagian besar dari daging dan susu dan diserap dalam
serangkaian langkah, yang memerlukan pelepasan proteolitik dari makanan dan
mengikat protein lambung. Selanjutnya, pengakuan dari kompleks IF-CBL oleh
reseptor ileum khusus harus terjadi karena transportasi ke dalam sirkulasi portal
untuk terikat oleh transcobalamin II (TC II), yang berfungsi sebagai transporter
plasma.
Transcobalamin (TC) adalah terdegradasi dalam sebuah lisozim, dan CBL
dilepaskan ke sitoplasma. Pengurangan enzim-dimediasi kobalt terjadi dengan baik
untuk membentuk methylcobalamin atau adenosylation mitokondria untuk
membentuk adenosylcobalamin. Cacat dari langkah-langkah menghasilkan
manifestasi dari disfungsi CBL. Sebagian besar cacat menjadi nyata pada masa
bayi dan anak usia dini dan mengakibatkan gangguan perkembangan,
keterbelakangan mental, dan anemia makrositik.
Anemia
pernisiosa
mungkin
adalah
gangguan
autoimun
dengan
kecenderungan genetik. Anemia pernisiosa lebih umum daripada yang diharapkan
dalam keluarga pasien dengan anemia pernisiosa, dan penyakit yang berhubungan
dengan antigen leukosit manusia (HLA) tipe A2, A3, dan B7 dan tipe A golongan
darah.
Antibodi sel Antiparietal terjadi pada 90% pasien dengan anemia pernisiosa, tetapi
hanya 5% dari orang dewasa yang sehat. Demikian pula, mengikat dan
menghalangi antibody jika ditemukan pada kebanyakan pasien dengan anemia
pernisiosa. Sebuah asosiasi yang lebih besar daripada yang diantisipasi ada antara
anemia pernisiosa dan penyakit autoimun lainnya, yang meliputi gangguan tiroid,
diabetes mellitus tipe I, ulcerative colitis, penyakit Addison, infertilitas, dan
agammaglobulinemia diperoleh.
Hubungan antara anemia pernisiosa dan
Helicobacter pylori infeksi telah didalilkan namun tidak jelas terbukti.
Kekurangan CBL bisa dihasilkan dari kekurangan makanan vitamin B-12;
gangguan pada perut, usus kecil, dan pankreas, infeksi tertentu, dan kelainan
transportasi, metabolisme, dan pemanfaatan. Kekurangan dapat diamati pada
vegetarian ketat. Bayi ASI dari ibu vegetarian juga terpengaruh. Terkena dampak
parah bayi dari ibu vegetarian yang tidak memiliki kekurangan terbuka CBL telah
dilaporkan. Daging dan susu merupakan sumber utama CBL diet. Karena tubuh
menyimpan CBL yang biasanya melebihi 1000 mcg dan kebutuhan sehari-hari
adalah sekitar 1 mcg, kepatuhan yang ketat untuk diet vegetarian selama lebih dari
5 tahun biasanya dibutuhkan untuk menghasilkan temuan kekurangan CBL.
Cobalamin (CBL) dibebaskan dari daging di lingkungan asam lambung di mana ia
mengikat faktor R dalam persaingan dengan faktor intrinsik (IF). CBL dibebaskan
dari faktor R dalam duodenum oleh pencernaan proteolitik faktor R oleh enzim
pankreas. CBL kompleks transit IF-ke ileum mana ia terikat pada reseptor ileum.
Jika CBL memasuki sel serap ileum, dan CBL dilepaskan dan memasuki plasma.
Dalam plasma, CBL terikat untuk transcobalamin II (TC II), yang memberikan
kompleks untuk sel nonintestinal.
Pada orang dewasa, anemia pernisiosa dikaitkan dengan atrofi lambung
parah dan achlorhydria, yang ireversibel. Kekurangan zat besi yg hidup bersama
adalah umum karena achlorhydria mencegah solubilisasi besi makanan dari bahan
pangan. Fenomena autoimmune dan penyakit tiroid sering diamati. Pasien dengan
anemia pernisiosa memiliki 2 - untuk insiden meningkat 3 kali lipat dari karsinoma
lambung.
Penyebab kekurangan CBL:
a.
b.
Asupan makanan yang tidak memadai (yaitu, diet vegetarian)
Atrofi atau hilangnya mukosa lambung (misalnya, anemia pernisiosa,
gastrektomi,
konsumsi bahan kaustik, hypochlorhydria, histamin [H2] 2
blocker)
c.
d.
Proteolitik yang tidak memadai dari CBL diet.
Pankreas tidak mencukupi protease (misalnya, pankreatitis kronis, sindrom
Zollinger-Ellison)
e.
f.
Bakteri berlebih pada usus (misalnya loop, buta, diverticula)
Gangguan mukosa ileum (misalnya, reseksi, ileitis, sariawan, limfoma,
amyloidosis, reseptor IF-Kabel absen, Imerslünd-Grasbeck sindrom, sindrom
Zollinger-Ellison, TCII kekurangan, penggunaan obat-obatan tertentu)
g.
Gangguan transportasi plasma cobalamin (misalnya, defisiensi TCII, R
kekurangan bahan pengikat)
h.
Disfungsional penyerapan dan penggunaan cobalamin oleh sel (misalnya,
cacat
pada deoxyadenosylcobalamin selular [AdoCbl] dan methylcobalamin
[MeCbl]
sintesis).
Anemia pernisiosa adalah salah satu penyakit kronis berupa berkurangnya
produksi sel darah merah akibat defisiensi vitamin B12 dan asam folat, Salah satu
fungsi vitamin B12 adalah untuk pembentukan sel darah merah di dalam sum-sum
tulang menjadi aktif. Akibat defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan
terganggunya sintesa DNA dan RNA. Terganggunya sintesa DNA akan
menyebabkan anemia di sum-sum tulang dalam bentuk anemia makrositik dan di
dalam darah dalam bentuk anemia megaloblastik. Sedangkan terganggunya sintesa
RNA akan menyebabkan gangguan sistem saraf. Defisiensi absorbsi vitamin B12
dalam tubuh terjadi oleh karena defisiensi absorbsi vitamin B12 di ileum sehingga
menyebabkan gangguan penyimpanan vitamin B12 di dalam hati dan sum-sum
tulang. Defisiensi absorbsi vitamin B12 di ileum dapat disebabkan oleh karena
kekurangan faktor intrinsik akibat defisiensi faktor intrinsik kongenital,gastrektomi
total, gastrektomi parsial, lesi di usus halus dan reseksilleum. Faktor lain yang
mempengaruhi defisiensi absorbsi vitamin B12 adalah defisiensi diet vitamin B12.
defesiensi asam folat, adanya cacing pita diphytobatrium tatum) di usus halus dan
pemakaian obat-obat antagonis terhadap purin dan pirimidin. Gambaran klinis
secara umum pasien pucat, mudah lelah, kehilangan berat badan, gangguan sensasi
gerak dan pati rasa dari alat gerak, sedangkan gambaran klinis di rongga mulut
berupa glositis yang ditandai lidah berwarna merah terang dan permukaan lidah
licin.
Jadi, defisiensi B12, dapat terjadi pada berbagai bentuk, gangguan ini jarang
erjadi apabila asupan tidak adekuat, namun badap terjadi pada vegetarian yang
tidak makan sama sekali. Gangguan traktus gastrointestinal lebih sering terjadi.
Abnormalitas yang tterjadi pada mukosa gaster; dinding lambung mengalami atrofi
dan tidak mampu mensekresi faktr intrinsik. Za tersebut biasanya mengikat vitamin
B12 dari diet dan biasanya mengalir bersama ke ileum, dimana vitamin tersebut
diabsorpsi.
F. TANDA DAN GEJALA
Permulaan anemia pernisiosa biasanya adalah berbahaya dan samar-samar.
Tiga serangkai klasik kelemahan, lidah sakit, dan parestesia mungkin ditimbulkan
tetapi biasanya tidak kompleks gejala kepala. Biasanya, perhatian medis dicari
karena gejala sugestif gangguan jantung, ginjal, genitourinary, gastrointestinal,
infeksi, mental, atau neurologis dan pasien ditemukan anemia dengan indeks
selular makrositik.
a.
Temuan umum: Berat badan antara 10-15 pon terjadi pada sekitar 50% dari
pasien dan mungkin disebabkan anoreksia, yang diamati pada kebanyakan pasien.
Low-grade fever occurs in one third of newly diagnosed patients and promptly
disappears with treatment. demam kelas rendah terjadi pada sepertiga pasien yang
baru didiagnosa dan segera menghilang dengan pengobatan.
b.
Anemia: Anemia sering ditoleransi pada anemia pernisiosa, dan banyak
pasien yang berjalan dengan tingkat hematokrit pada pertengahan remaja. Namun,
output jantung biasanya meningkat dengan hematocrits kurang dari 20%, dan
mempercepat denyut jantung. Gagal jantung kongestif dan insufisiensi koroner
dapat terjadi, sebagian besar terutama pada pasien dengan penyakit jantung yang
telah ada sebelumnya.
c.
Temuan Gastrointestinal: Sekitar 50% dari pasien memiliki lidah yang halus
dengan hilangnya papila. Hal ini biasanya ditandai sepanjang tepi lidah. Lidah
dapat menjadi merah menyakitkan dan berdaging. Kadang-kadang, bercak merah
yang diamati di tepi dorsum lidah. Pasien dapat melaporkan terbakar atau rasa
sakit, sebagian besar terutama pada salah satu anterior sepertiga dari lidah. Gejala
ini mungkin terkait dengan perubahan rasa dan kehilangan nafsu makan.
1)
Pasien dapat melaporkan sembelit salah satu atau beberapa memiliki
semipadat buang air besar setiap hari. Ini telah dikaitkan dengan perubahan
megaloblastik dari sel-sel mukosa usus.
2)
Gejala gastrointestinal nonspesifik tidak biasa dan termasuk anoreksia,
mual, muntah, mulas, pyrosis, perut kembung, dan rasa kepenuhan. Jarang, pasien
datang dengan nyeri perut yang parah terkait dengan kekakuan abdomen, hal ini
telah dikaitkan dengan patologi sumsum tulang belakang.
d.
Sistem saraf: gejala neurologis dapat diperoleh pada kebanyakan pasien
dengan anemia pernisiosa, dan gejala yang paling umum adalah parestesia,
kelemahan, kecanggungan, dan kiprah goyah. Gejala-gejala neurologis adalah
karena myelin degenerasi dan hilangnya serabut saraf dalam kolom dorsal dan
lateral dari sumsum tulang belakang dan korteks serebral.
e.
Sistem Perkemihan: retensi urin dan gangguan berkemih dapat terjadi karena
kerusakan sumsum tulang belakang. Hal ini dapat mempengaruhi pasien untuk
infeksi saluran kemih.
f.
Muskuloskeletal: parestesia pada ekstremitas, kesulitan untuk menjaga
keseimbangan karena kerusakan sumsum tulang.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PENUNJANG
a. Tes Serologi
1)
2)
Jumlah darah lengkap (JDL): Hemoglobin dan hematokrit menurun.
Jumlah eritrosit: menurun (AP), menurun berat (aplastik): MCV (volume
korpuskular rerata) dan MCH (hemoglobin korpuskular rerata) menurun dan
mikrositik dengan eritrosit hipokromik (DB), peningkatan (AP). Pansitopenia
(aplastik).
3)
Jumlah retikulosit: bervariasi. Mis. Menurun (AP), meningkat (respon sumsum
tulang terhadap kehilangan darah/ hemolisis).
4)
Pewarnaan
SDM:
mendeteksi
perubahan
warna
dan
bentuk
(dapat
mengindikasikan tipe khusus anemia).
5)
LED: peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi, mis. Peningkatan
kerusakan SDM atau penyakit malignasi.
6)
Masa hidup SDM: berguna dalam membedakan diagnose anemia, mis. Pada tipe
anemia tertentu, ADM mempunyai waktu hidup lebih pendek.
7)
8)
Tes kerapuhan eritrosit; menurun (BD).
SDP: jumlah sel total sama dengan SDM (diferensial) mungkin meningkat
(hemolitik) atau menurun (aplastik).
9)
Jumlah trombosit: menurun (aplastik); meningkat (DB): normal atau tinggi
(hemolitik).
10)
Hemoglobin elektroforesis: mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
11)
Bilirubin serum (tak terkonjugasi): meningkat (AP, hemolitik).
12) Folat serum dan vitamin B12: membantu mendiagnosa anemia sehubungan
dengan defisiensi masukkan/ absorpsi.
13) Besi serum: tak ada (BD).
14) Feritin serum: menurun (DB).
15) Masa perdarahan; memenjang (aplastik).
16) LDH serum: mungkin meningkat (AP).
b.
1)
Lain-Lain
Analisa gaster: penurunan sekresi dengan peningkatan pH dan tak adanya asam
hidroklorik bebas (AP).
2)
Aspirasi sumsum tulang/ pemeriksaan biopsy: sel mungkintampak berubah
dalam jumlah, ukuran, dan bentuk, membentuk membedakan tipe anemia, mis.
Peningkatan megaloblas (AP), lemak sumsum dengan penurunan sel darah
(aplatik).
3)
Pemeriksaan endoskopik dan radiografik: memeriksa sisi perdarahan: perdarahan
GI
H. PROGNOSIS
Kondisi sering fatal di masa lalu, sebelum perawatan vitamin B12 yang
tersedia.Sekarang, anemia pernisiosa biasanya mudah untuk diobati dengan pil atau
suntikan vitamin B12. Dengan perawatan berkelanjutan dan perawatan yang tepat,
kebanyakan orang yang mengalami anemia pernisiosa dapat pulih, merasa baik,
dan hidup normal.
Tanpa pengobatan, anemia pernisiosa dapat menyebabkan masalah serius
dengan hati, saraf, dan bagian tubuh lainnya. Efek dari beberapa kondisi dapat
permanen. Hasilnya adalah biasanya sangat baik dengan pengobatan. Setiap
kerusakan pada saraf mungkin permanen, terutama jika pengobatan tidak dimulai
dalam waktu 6 bulan dari saat gejala dimulai.
I. PENATALAKSANAAN
Suntikan vitamin B12 bulanan diresepkan untuk memperbaiki kekurangan
vitamin B12. Terapi ini memperlakukan anemia dan dapat memperbaiki
komplikasi neurologis jika diambil cukup dini. Pada orang dengan kekurangan
parah, suntikan diberikan lebih sering pada awalnya.
Beberapa dokter menyarankan bahwa pasien tua dengan atrofi lambung
mengkonsumsi suplemen vitamin B12 melalui mulut di samping suntikan bulanan.
Ada juga sediaan vitamin B12 yang dapat diberikan melalui hidung. Bagi
sebagian orang, mengkonsumsi tablet vitamin B12 melalui mulut dalam dosis
sangat tinggi dapat menjadi pengobatan yang efektif.
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
PENDAHULUAN
Anemia hemolitik autoimun (AHA) atau
autoimmune hemolytic anemia
ialah suatu anemia hemolitik yang timbul karena terbentuknya
aotuantiboditerhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis)
eritrosit(Bakta, 2006).Dan sebagian referensi ada yang menyebutkan anemia
hemolitik autoimun ini merupkan suatu kelainandimana terdapat antibody terhadp selseleritrosit sehingga umur eritrosit memendek (Sudoyo.et all.,2006)Tapi sebenarnya kedua
defenisi dari beberapa referensi diatas sama yaknikarena terbentuknya
autoantibody oleh eritrosit sendiri dan akhirnyamenimbulkan hemolisis. Hemolisis
yakni pemecahan eritrosit dalam pembuluhdarah sebelum waktunya.Anemia
hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik). Kadang-kadang tubuh mengalamigangguan fungsi dan
menghancurkan selnya sendiri karena keliru mengenalinyasebagai bahan asing
(reaksi autoimun), jika suatu reaksi autoimun ditujukankepada sel darah merah,
akan terjadi anemia hemolitik autoimun
PEMBAHASAN
Etiologi dan klasifikasi
Etiologi pasti dari penyakit hemolitik autoimun memang belum jelaskemungkinan
terjadi kerena gangguan
central tolerance
dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.Terkadang
system kekebalantubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan selnya
sendiri karenakeliru mengenalinya sebagain bahan asing (reaksi autoimun).Adapun
klasifikasi anemia hemolitik autoimun berdasarkan sifat reaksiantibodi, AHA
dibagi 2 golongan sebagai berikut: Anemia Hemolitik AutoimunHangat atau
warm AHA (yang sering terjadi) dan Anemia Hemolitik Dingin atau
cold AHA.Anemia Hemolitik Autoimun Hangat (warm AHA) yakni suatu
keadaandimana tubuh membentuk autoantibody yang bereaksi terhadap sel darah
merah pada suhu tubuh.Autoantibody melapisi sel darah merah, yang
kemudiandikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpaatau
kadang dalam hati dan sumsum tulang.Dan suhu badan pasien pada
anemiahemolitik aotuimun hangat ini >37.Anemia Hemolitik Autoimun Dingin
(cold AHA) yakni suatu keadaandimana tubuh membentuk aotoantibodi yang
beraksi terhadap sel darah merahdalm suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Dan
suhu tubuh pasien pdaanemia hemolitik aotuimun dingin ini <37
Patogenesis
Anemia hemolitik autoimun ini terjadi akibat desrtuksi eritrosit yangmelalui proses
hemolisis ekstravaskuler dan intravakuler. Pada AHATipe hangatmelibatkan
proses hemolisis ekstravaskuler, dan pada AHA tipe dinginmelibatkan proses
hemolisis intravaskuler.Pada AHA tipe hangat eritrosit yang diselimuti IgG atau
komplemendifagositif oleh makrofak dalam lien dan hati sehingga terjadi
hemolisisekstravaskuler.Adapun hemolisis ekstravaskuler terjadi pada sel
makrofag darisystem retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan
sumsum tulangkarena sel ini mengandung enzim heme oxygenase.Lisis ini terjadi
karenakerusakan membran (akibat reaksi antigen antibody). Eritrosit yang pecah
akanmenghasilkan globulin yang akan di kembalikan ke protein pool, serta besi yangdi
kembalikan ke makrofag (cadangan besi) selanjutnya akan di pakai
kembali,sedangkan protoporfirin akan menghasilkan gas
CO
dan bilirubin. Bilirubin dalamdarah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin
indirek, mengalami konjugasidalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang
melaluai empedu sehinggameningkatkan sterkobilinogen dalam fesesdan
urobilinogen dalam urin.Sebagian hemoglobin akan lepas ke plasma dan diikat
oleh haptoglobinsehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah pada
hemoloisisintravaskuler.Pada AHA tipe dingin autoantibody IgM mengikat antigen
membraneritrosit dan membawa
C1q
ketika melewati bagian yang dingin, kemudianterbentuk kompleks penyerang membran,
yaitu suatu kompleks komplemen yangteriri dari atas
C5
6789. Kompleks penyerang ini menimbulkan kerusakanmembran eritrosit, apabila terjadi
kerusakan membran yang hebat akan terjadihemolisis intravaskuler jika kerusakan
minimal terjadi pagositosis oleh makrofagdalam RES sehingga terjadi hemolisis
ekstravaskuler. Adapun hemolisisintravaskuler yakni pemecahan eritrisit
intravaskuler yang menyebabkan lepasnyahemoglobin bebas kedalam plasma.
Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin (suatu globin alfa) sehingga
kadar haptoglobin plasma akan menurun.Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan
dibersihkan oleh hati dan RES dalam beberapa menit. Apabila kapasitas
haptoglobin dilampaui maka akan terjadilahhemoglobin bebas dalam plasma yang
disebut sebagai hemoglobinemia.Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi
menjadi methemoglobin sehinggaterjadi methemoglobinnemia. Heme juga diikat
oleh hemopeksin (suatuglikoprotein beta1
) kemudian ditangkap oleh sel hepatosit. Hemoglobin bebasakan keluar melalui
urin sehingga terjadi hemoglobinuria. Sebagian hemoglobindalam tubulus ginjal
akan diserap oleh sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin,
jika epitel mengalami deskuamasi maka hemosiderindibuang melalui urine
(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisisintravaskuler kronik.
G
ejala atau manifestasi klinik
y
Anemia hemolitik aotuimun tipe hangat:Biasanya gejala anemia ini terjadi
perlahan-lahan, ikterik, demam, dan adayang disertai nyeri abdomen, limpa
biasanya membesar, sehingga bagian perutatas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau
tidak nyaman dan juga bisa dijumpaisplenomegali pada anemia hemolitik
autoimun tipe hangat. Urin berwarna gelapkarena terjadi hemoglobinuri.Pada AHA
paling tebanyak terjadi yakni idiopatik splenomegali tarjadi pada
5
0-60%, iketrik terjadi pada 40%, hepatomegali 30% pasien sanlimfadenopati pada
2
5
% pasien. Hanya 2
5
% pasien tidak disertai pembesaranorgan dan limfonodi.
y
Anemia hemolitik aotoimun tipe dingin:Pada tipe dingin ini sering terjadi
aglutinasi pada suhu dingin.Hemolisis berjalan kronik. Anemia ini biasanya ringan
dengan Hb: 91
2 g/dl. Sering jugaterjadi akrosinosis dan splenomegali. Pada cuaca dingin akan
menimbulkan
8
y
Diagnosis banding :a.
Penyakit imunologik seperti Systemic Lupus Erythematosus(SLE): tes sel LE, tes
ANA (Antinuclear Antibody). b.
Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita sustu penyakittertentu (misalnya
limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat,terutama lupus eritematosus
sistemik) atau telah mendapatkan obattertentu, teritama metildopa.
Terapi
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat:Setelah diagnosis di tegakkan ada
beberapa cara untuk mengobati penyakitini, jika penyebab penyakit di ketahui
yang pertama harus dilakukan adalahmenyingkirkan penyebab yang mendasari
contohnya SLE.Pemakaian obat sepertimethyldopa dan fludarabin harus
dihentikan. Apabila penyebabnya belumdiketahui, maka pengobatan pilihan
selanjutnya adalah dengan pemberiankortikosteroid terutama prednisolon awalnya
secara intravena selanjutnya secaraoral dengan dosis 601
00 mg/hr. Dosis ini sebagai dosis awal untuk orang dewasadan selanjutnya harus
dikurangi sedikit demi sedikit. Jika dijumpai ada kelainanHb maka dosis obat
diteruskan selama 2 mingggu sampai Hb stabil.Steroid inimempunyai fungsi
memblok magrofag dan menurunkan sitesis antibody.Selain prednisolon dapat juga
diberikan metilprednisolon pemberian dosis disesuaikan.Pasien yang tidak
berespon setelah pemberian prednisone atau gagalmempertahankan kadar Hb dalam
waktu 2-3 minggu, maka pengangkatan limfa(splenoktomi) dapat di pertimbangkan.
Splenoktomi ini bertujuan agar limfa berhenti menghancurkan sel darah merah
yang terbungkus olehautoantibody.Pengangkatan limfa diketahui berhasil
mengendalikan pada sekitar
5
0% penderita.Jika pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan system
10
KESIMPULANAnemia hemolitik autoimun ialah penyakit yang tibul karena
terbentuknyaanutoantibodi terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan
destruksi(hemolisis) eritrosit.Tetapi sebagian besar juga ada yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik).Dan terkadang system kekebalan tubuh
mengalamigangguan fungsi dan menghancurkan selnya sendiri karena keliru
mengenalinyasebagai bahan asing (reaksi autoimun).Anemia hemolitik autoimun
mempunyai dua tipe/klasifikasi yakni AHAtipe dingin dan AHA tipe hangat. Yang mana
hangat suhu tubuh diatas/ >37
C
. begitu juga dengan HA tipe ingin suhu <37
C
. Pada AHA tipe hangatmenunjukan IgG atau kombinasi IgG dan komlemen dan
juga melibatkanhemolisis ekstravaskuler. Dan pada tipe dingin menunjukan IgM
dan jugamelibatkan hemolisis intravaskuler.Penanganan atau penataklasanaan
tergantung pada penegakan diagnosis,tergantung dari tipe Anemia Hemolitik
Autoimun tersebut dan juga seberapa berat penyakit tersebut begitu juga dengan
pemberian obat/terapi.Dan prognosis penyakit ini tergantung kecepatan pasien
membawa dirinya untuk berobat keRumah Sakit dan kondisi saat pasien dibawa ke
Rumah Sakit.
C
epat, tepat, dan benar seorang dokter dalam menangani pasien, terutama pasien
yang sudah berat,ini juga menjadi prioritas penting dalam menentukan prognsis
pada penyakitanemia hemolitik autoimun ini.
Download