Menurunkan Rasa Rendah Diri Siswa Melalui Konseling Kelompok

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Rasa Rendah Diri
2.1.1 Pengertian Rasa Rendah Diri
Adler (dalam Suryabrata, 1983) menjelaskan bahwa sejak menjadi dokter
Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi-fungsi jasmani yang kurang
sempurna, hal ini dirumuskan dalam Organ minderwertigheit und ihre psychische
kompensastionen (1912). Mula-mula Adler menyelidiki tentang kenapakah
apabila orang sakit itu menderita didaerah-daerah tertentu pada tubuhnya,
misalnya ada orang sakit jantung, ada yang sakit paru-paru, dan ada lagi yang
sakit punggung dan sebagainya. Adler berpendapat bahwa daerah tersebut
kekurangan kesempurnaan atau minderwertgkeit (inferiority), baik karena dasar
maupun karena kelainan dalam perkembangan. Selanjutnya Adler menemukan
bahwa orang yang mempunyai organ yang kurang baik itu berusaha
mengkompensasikannya dengan jalan memperkuat organ tersebut melalui latihanlatihan yang intensif. Contoh yang terkenal mengenai kompensasi terhadap organ
yang kurang sempurna adalah Demonthenes yang pada masa kanak-kanaknya
menggagap, tetapi karena latihan-latihan akhinya menjadi orator yang paling
sempurna. Adler menerbitkan monograf tentang monderwertigkeit von organen.
Adler memperluas pendapatnya tentang rasa rendah diri mencakup segala kurang
berharga timbul karena ketidakmampuan psikologis, sosial yang dirasa secara
subyektif, ataupun fisik (karena keadaan jasmani yang kurang sempurna). Pada
10
mulanya Adler menyatakan inferioritas itu “kebetinaan” dan kompensasinya
disebut “protes kejantanan”, akan tetapi kemudian ia memasukkan hal itu kedalam
pengertian yang lebih luas yaitu rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang timbul
karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam bidang penghidupan
apa saja. Misalnya saja anak merasa kurang jika membandingkan diri dengan
orang dewasa, dan karenanya didorong untuk mencapai taraf perkembangan yang
lebih tinggi, dan apabila dia telah mencapai taraf perkembangan timbul lagi rasa
diri kurangnya dan didorong untuk maju lagi, demikian selanjutnya. Adler
berpendapat, bahwa rendah diri itu bukanlah suatu pertanda ketidak-normalan,
melainkan justru melainkan pendorong bagi segala perbaikan dalam kehidupan
manusia. Rasa rendah diri berlebihan sehingga manifestasinya juga tidak normal,
misalnya timbul komplek rendah diri atau komplek untuk superior.
Dalam
keadaan normal rasa rendah diri itu merupakan pendorong ke arah kemajuan atau
kesempurnaan (superior). Adler bukanlah seorang hedonist; walaupun rasa rendah
diri adalah penderitaan, namun hilangnya rasa rendah diri tidak mesti berarti
datangnya kenikmatan. Bagi Adler tujuan manusia bukanlah mendapatkan
kenikmatan, akan tetapi mencapai kekuasaan.
Adler (dalam Alwisol, 2005) menyatakan rasa rendah diri adalah perasaan
seseorang lebih rendah dibanding orang lain dalam satu atau lain hal (orang yang
merasa rendah diri cenderung bersikap egosentris, memposisikan diri sebagai
korban, merasa tidak puas terhadap dirinya, mengasihani diri sendiri dan mudah
menyerah). Perasaan lebih rendah dapat muncul sebagai akibat sesuatu yang
nyata atau hasil imajinasi saja. Rasa rendah diri sering terjadi tanpa disadari dan
11
bisa membuat orang yang merasakannya melakukan kompensasi yang berlebihan
untuk mengimbanginya, berupa prestasi yang spektakuler, atau perilaku antisosial
yang ekstrem, atau keduanya. Tidak seperti rasa rendah diri yang normal
(keinginan dihormati, dihargai, keinginan dipuji) yang dapat mendorong
pencapaian prestasi, sedangkan rendah diri yang abnormal (rasa tinggi hati yang
berlebihan, menganggap dirinya sangat tinggi, egois, dan punya kecenderungan
untuk menolak orang lain) yang akan merusak dirinya sendiri. kompleks rasa
rendah diri adalah berupa keadaan putus asa parah, yang mengakibatkan orang
yang mengalaminya melarikan diri saat mengalami kesulitan. Penelitian awal
dalam bidang ini dipelopori oleh Alfred Adler, yang menggunakan contoh
kompleks yang dialami Napoleon untuk mengilustrasikan teorinya. Seperti yang
diketahui, Napoleon Bonaparte dikenal juga dengan teori sindrom orang pendek
yang konvensional yang terkenal dengan sindrom Napoleon atau sindrom orang
kecil. Seperti dilansir dari Buzzle (dalam Wahyuningsih (2010), sindrom orang
pendek adalah teori yang berhubungan dengan orang-orang bertubuh mungil alias
pendek. Teori ini menunjukkan bahwa beberapa orang pendek memiliki rasa
rendah diri karena bertubuh pendek dan cenderung mengimbanginya dengan
aspek lain di kehidupannya. Orang-orang yang berpostur pendek ditemukan
sangat agresif dan pencemburu berat. Ini hanya diduga sebagai kondisi psikologis,
dan terjadi pada beberapa orang pendek yang berkelamin laki-laki. Sindrom ini
bukanlah gangguan mental tetapi dianggap sebagai stereotip sosial yang
merendahkan. Adler berpendapat bahwa kompleks rendah diri juga dapat
dirasakan pada tingkatan yang lebih luas, yaitu pada suatu budaya dari bangsa
12
tertentu. Selanjutnya menurut teori ini, Kaisar Napoleon Bonaparte selalu
mengimbagi perawakannya yang pendek dengan menjadi sangat agresif. Teori ini
juga terkait dengan penguasa agresif lainnya, seperti Hitler dan Mussolini. Pada
aspek sosialnya anak bertubuh jauh lebih pendek dari yang lain akan diintimidasi
oleh teman-temannya. Perasaan kompleks muncul seperti rendah diri pada anakanak, yang akan membuatnya selalu berusaha keras untuk mendapat perhatian
yang lebih besar, juga menuntut kekuasaan dan kontrol atas orang lain. Ini akan
membuatnya menjadi orang yang agresif ketika dewasa kelak.
Adler (dalam Boerre, 2006) menyatakan setiap individu ditarik ke arah
pemenuhan, penyempurnaan dan aktualisasi diri. Namun sebagian orang yang
sakit jiwa pada akhirnya gagal memenuhi keinginan individu itu sendiri,
mengalami ketidaksempurnaan dan tidak mampu mengaktualisaikan dirinya, itu
semua terjadi karena individu tidak memiliki kesadaran sosial, atau dalam bahasa
yang positif, karena individu terlalu mementingkan diri-sendiri. Pertanyaannya
sekarang adalah apa yang menyebabkan begitu banyak dari individu yang
mementingkan diri-sendiri. Adler mengatakan itu semua terjadi karena individu
terlalu dikuasai oleh inferioritas individu sendiri. Kalau individu merasa mampu
dan percaya diri melakukan segalanya sendirian, individu akan memiliki perhatian
pada orang lain. Tapi kalau keadaanya tidak demikian, kalau kehidupan sepertinya
tidak berpihak pada individu, maka segenap perhatian individu pun akan tertuju
hanya pada diri individu itu sendiri. Tentu saja setiap orang menderita dengan
keinferioran yang mereka alami dalam berbagai bentuk. Misalnya, Adler
mengawali analisis teoretisnya dengan membahas inferioritas organ, yaitu
13
kenyataan bahwa setiap individu memiliki kelemahan, sekaligus kelebihan
tertentu, baik secara anatomi atau fisiologi. Ada diantara individu yang lahir
dengan kondisi jantung lemah, atau mengidap kelainan jantung dini, ada lagi yang
memiliki paru-paru lemah, asma atau polio, ada yang mengalami masalah
penglihatan, pendengaran atau otot sejak kecil, diantara individu ada yang sudah
punya kecenderungan gemuk sejak kecil, dan tidak ada pula jarang pula ada yang
sejak kecil sudah kerempeng (kurus), sementara ada yang sejak kecil sudah tidak
bisa diharapkan pertumbuhannya, serta masih banyak lagi contoh yang lain. Adler
menyatakan bahwa tidak jarang orang dalam menghadapi inferioritas organik
semacam ini dengan cara kompensasi. Individu berusaha menutupi kelemahankelemahannya dengan berbagai cara. Kelemahan secara fisik bisa diatasi dengan
cara melatihnya bahkan bisa menjadi lebih kuat dibanding yang lain, atau ada lagi
orang yang mengkompensasi kelemahan fisiknya secara psikologis karena
masalah-masalah fisik bisa mendorong perkembangan bakat atau gaya
kepribadian tertentu. Individu tentu pernah mengagumi kelebihan orang yang
memiliki kelemahan fisik. Sayangnya, tidak sedikit pula orang yang gagal
mengatasi kesulitan-kesulitan seperti ini, sehingga individu menjalani hidupnya
dengan perasaan tertekan dan menderita. Adler berpendapat masyarakat yang
sangat optimistik sekarang ini tidak terlalu memperhatikan jumlah orang-orang
yang seperti ini. Namun Adler kemudian melihat bahwa ini bukanlah akhir dari
keseluruhan cerita.
Menurut Adler (dalam Boerre, 2006) orang-orang lebih banyak mengidap
inferioritas psikologis. Di antara individu yang dicap sebagi orang bodoh, nakal,
14
lemah dan sebagainya. Di antara individu ada yang mulai meyakini tidak mampu
berbuat hal-hal positif. Di sekolah individu mengikuti ujian berkali-kali dan
memperoleh nilai yang menunjukkan individu berada jauh dibawah teman lain
atau individu dilecehkan karena tampang yang jelek sehingga tidak punya teman
atau tidak punya pacar atau ketika individu terpaksa ikut main bola basket,
individu siap dicaci maki oleh anggota tim yang lain. Dalam contoh ini, yang jadi
persoalan bukan lagi keinferioran jasmaniah karena secara fisik kita tidak kurang
apa-apa, tetapi individu perlahan-lahan mulai membenci diri sendiri. Kemudian
individu akan mencari kompensasi
dengan cara mencari sisi-sisi baik dari
kekurangan-kekurangan tadi. Kompensasi itu didapat dengan cara berusaha untuk
lebih dibidang yang lain, akan tetapi pada waktu yang sama tetap memelihara
perasaan inferior tadi. Bahkan ada sebagian orang yang tidak mampu
mengembangkan sisi baik apapun dalam keadaan seperti ini. Kompleks
inferioritas bukan persoalan kecil, atau bisa dikatakan penyakit yang neurosis,
artinya masalah inferioritas sama besarnya dengan masalah kehidupan itu sendiri.
Individu akan menjadi pemalu dan penakut, merasa tidak aman, ragu-ragu,
pengecut, tertindas dan sebagainya. Individu mulai mempercayakan diri pada
orang untuk mengatur hidup individu itu sendiri, dan individu mulai
memanfaatkan orang lain, tidak ada orang yang betah dengan individu tersebut
yang disebut dengan inferioritas sosial. Selain dengan kompensasi dan kompleks
inferioritas, masih ada lagi cara lain yang dilakukan orang untuk merespon sifat
inferioritas yang ada dalam dirinya, yaitu kompleks superioritas. Kompleks
superioritas berarti menutupi kelemahan dan keinferioritas individu dengan cara
15
berpura-pura punya kelebihan dan superior. Jika individu merasa tubuh
bertumbuh besar adalah menganggap orang lain bertubuh kecil. Diktator dan
orang yang senang mengintimidasi adalah contoh hal ini, sedangkan contoh yang
paling jelas adalah orang yang sok pahlawan, orang yang memandang rendah
orang lain berdasar ras, etnik, asal, agama, orientasi seksual, atau postur tubuh
mereka. Bahkan ada lagi individu menyembunyikan kelemahannya dengan cara
yang lebih halus, yaitu dengan terlibat dengan alkohol dan narkoba.
Adler (dalam Chiril, 2010) menyatakan Man is pushed by the need to
overcome his inferiority and pulled by the desire to be superior. Bahwa manusia
dilahirkan dengan kekurangan tertentu yang membawa rasa rendah diri. Rasa
rendah diri ini akan mendorong individu untuk berusaha mengatasinya agar
individu mencapai rasa superior dan mencapai kesempurnaan. Ada dua tipe
rendah diri yang biasanya dialami oleh semua individu yaitu rasa rendah diri
terhadap aspek fisik diri dan aspek kejiwaan atau psikologis. Rasa rendah diri
terhadap aspek fisik diri yang disebut juga rendah diri organ. Ada di dalam diri
individu efek dari tanggapan subjektifnya atas bentuk fisik miliknya yang mana
dikatakan kurang sempurna. Perasaan inferiority organ dialami oleh individu yang
dilahirkan cacat anggota badannya. Ada juga individu normal dapat mengalami
perasaan inferiority organ karena diri individu berpikiran negatif dan pesimis
terhadap diri sendiri. Tidak heran, jika ada individu yang mengambil jalan pintas
dengan menjalani operasi wajah demi mendapatkan kepuasan dan menghilangkan
perasaan rendah diri di dalam dirinya. Kemudian, inferior kejiwaan yang terjadi
subjektif efek dari ketidaksesuaian individu menghadapi dunia sosialnya.
16
Perasaan inferior ini turut muncul dalam diri individu dalam pengaruh layanan
orang tua yang diterima saat di awal 5 tahun pertama. Baik individu ini
dimanjakan atau diabaikan oleh ibu dan ayah menjadi faktor yang menyumbang
kepada pembentukan kepribadian individu ketika dewasa. Pengasuhan orang tua
yang tidak toleran dengan anak dipercaya mampu memberi langkah kepada anak
bersikap memberontak dan bersikap anti-sosial. Proses memampas inferioriti ini
akan terjadi terus menerus (cycle through lifetime) dan terjadi di sepanjang hayat.
Karena itu, inferior ini perlu dilihat dari perspektif yang positif. Dalam perasaan
inferior, manusia sebenarnya mengalami proses perkembangan yang sehat dan
individu merupakan satu kritik yang konstruktif buat diri sendiri dan dalam pada
saat yang sama individu menjadi lebih peka terhadap kelemahan dan kelebihan
diri sendiri.
2.1.2 Ciri-ciri Rasa Rendah diri
Dari tahun ke tahun teori rasa rendah diri Adler sudah dikembangkan
menjadi teori yang lebih spesifik, kuat, mudah untuk dipelajari dan dipahami.
Empat pengertian tentang rendah diri dari teori Adler yang dari tahun-ke tahun
seperti yang
dikemukakan oleh Suryabrata (1983), Alwisol (2005), Boeree
(2006), Chiril (2010), dan ciri-ciri rasa rendah diri menurut Adler dalam
Kumbarini (2010). Dari setiap pendapat yang dikembangkan oleh tokoh
ditemukan pendapat yang berbeda yang mengupas rasa rendah diri tetapi apabila
dipahami akan sama-sama menjelaskan rasa rendah diri. Penulis dapat
17
menyimpulkan ciri-ciri dari rendah diri yang dikelompokkan menurut aspek fisik,
psikologis, dan sosial dalam teori Adler seperti dibawah ini:
1. Adler (dalam Suryabrata, 1983), ciri-ciri rendah diri mencakup:
a. Fisik
: Jasmani kurang sempurna dan orgam inferiority rendah
karena daerah tersebut kekurangan kesempurnaan baik
karena dasar maupun karena kelainan dalam perkembangan
b. Psikologis
: Perasaan kurang berharga
c. Sosial
: perasaan kurang mampu dalam kehidupan sosial.
2. Adler (dalam Alwisol, 2005) ciri-ciri rendah diri mencakup:
a. Fisik
: Tubuh pendek
b. Psikologis : Memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas
terhadap
dirinya,
mengasihani
diri
sendiri,
mudah
menyerah, agresif, egosentris.
c. Sosial
: kecenderungan menolak orang, diintimidasi oleh temanteman.
3. Adler (dalam Boeree, 2006). Ciri-ciri rendah diri mencakup:
a. Fisik
: Inferioritas organ (lahir dengan kondisi jantung lemah,
mengidap kelainan jantung dini, memiliki paru-paru lemah, asma /
polio, mengalami masalah penglihatan, pendengaran atau otot
sejak kecil, sudah ada kecenderugan gemuk sejak kecil, sejak kecil
sudah tidak bisa diharapkan perkembangannya.
b. Psikologis
: Selalu dicap sebagai orang yang bodoh, nakal,
lemah, dilecehkan.
18
c. Sosial : Malu, penakut, merasa tidak aman, ragu-ragu, pengecut,
tertindas.
4. Adler (dalam Chiril, 2010). Ciri-ciri rendah diri mencakup:
a.Fisik
: Cacat angggota tubuh, rendah diri organ (penyakit),
individu normal dapat mengalami perasaan inferiority
organ karena diri individu berpikiran negatif dan pesimis
terhadap diri sendiri (disfungsi).
b.Psikologis
: berfikiran negatif, pesimis.
c.Sosial
: dimanja, diabaikan, pengasuhan yang tidak toleran.
Adler (dalam Kumbarani, 2011) mengemukakan ciri-ciri rendah diri ini
akan terus menerus mengingat keterbatasan individu, sebagai hasil dari tindakan
orang tua yang terlalu otoriter atau tekanan dari teman sebaya. Keterbatasan ini
mungkin dalam penampilan fisik, perbedaan budaya, respons emosional, dan
keterampilan dasar tertentu. Dengan terus-menerus mengingat keterbatasan ini,
maka seseorang akan mulai menunjukkan ciri-ciri dari rasa rendah diri. Individu
juga mengembangkan mekanisme pertahanan diri yang akan digunakan setiap kali
mereka merasa rendah diri. Mekanisme pertahanan diri yang kemudian menjadi
ciri-ciri dari rasa rendah diri.
Ciri-ciri orang yang rendah diri dikemukakan Adler (dalam Kumbarani, 2011)
sebagai berikut:
19
1. Menarik diri dari kehidupan sosial. Individu yang merasa rendah diri akan
menarik diri dari lingkungan sosialnya. Menganggap dirinya tidak
berharga dibanding orang lain yang mereka anggap lebih baik dalam setiap
hal.
2. Kelainan fisik. Seperti kepincangan, lemah, kerdil, cacat, bagian wajah
yang
tidak
proposional,
ketidakmampuan
dalam
bicara
maupun
penglihatan, akan mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan
dengan pengalaman yang tidak menyenangkan pada kejadian sebelumnya
3. Menyalahkan
Dunia.
Individu
yang
merasa
rendah
diri
selalu
menyalahkan faktor ekternal, misalnya nasib sial, perusahaannya, atau
lingkungannya secara umum, setiap kali dia mengalami kegagalan yang
disebabkan oleh dirinya sendiri. Individu tidak mampu untuk menerima
bahwa kegagalannya mungkin terjadi karena kesalahannya sendiri. Karena
itulah, individu menuntut bahwa seluruh dunia harus bertanggung jawab
atas penderitaan dan kegagalannya.
4. Mencela. Salah satu ciri paling umum dari orang yang menderita rasa
rendah diri adalah sikap yang suka mencela. Sebagai contoh, individu
mungkin tidak mampu untuk melakukan suatu pekerjaan dengan benar,
dan jika temannya bisa melakukannya dengan baik, maka dia mengaitkan
kesuksesan temannya itu dengan faktor luar, misalnya bantuan dari orang
lain, atau keberuntungan. Dia tidak pernah mengaitkan kesuksesan
temannya itu dengan kemampuan yang dimiliki oleh temannya. Cara ini
20
digunakannya sebagai jalan untuk menolak kebenaran atau fakta bahwa
sebenarnya temannya tersebut memang lebih ahli dibanding dirinya.
5. Tidak Sportif. Orang yang rendah diri menolak untuk berpartisipasi dalam
semua jenis kompetisi, dimana kemampuan individu akan diuji melawan
orang lain. Meski individu melakukannya, sikapnya yang suka mencela
akan muncul. Meski begitu, dia sangat menikmati kemenangan, walau itu
mungkin bukan atas usahanya sendiri.
6. Sangat Sensitif. Orang yang punya rasa rendah diri sangat sensitif terhadap
pujian dan kritikan. Jika dipuji, individu akan mempertanyakan ketulusan
dari orang yang memuji, dan jika dikritik, individu akan segera
mempertahankan diri. Individu tidak bisa merespon humor ringan dengan
baik. Bila dilontarkan komentar secara tidak sengaja individu mungkin
akan menanggapinya dengan serius.
7. Memancing Pujian. Orang yang rendah diri sangat suka memancing pujian
dari orang lain. Akan tetapi, terkadang, meski ingin sekali dipuji, individu
mungkin tidak mau menerimanya dan percaya bahwa orang yang memuji
tersebut hanyalah karena dipancing.
8. Takut Membuat Kesalahan. Orang yang rendah diri juga takut untuk
mencoba sesuatu yang baru, karena jauh di dalam hatinya dia sangat takut
membuat kesalahan sehingga akan terus menerus teringat dengan
kesalahannya tersebut.
9. Bersikap Kasar. Orang rendah diri, sering berbicara lantang, bahkan
sampai bersikap kasar. Ini berasal dari keinginan untuk membuktikan pada
21
dirinya dan orang lain bahwa dia juga mampu untuk melakukan hal-hal
yang dilakukan oleh orang lain.
Dari ciri-ciri rendah diri menurut teori Adler yang dapat dikategorikan oleh
penulis dalam 3 aspek, dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri tersebut mempunyai
hasil yang tumpang tindih dan hampir sama. Yang membedakan hanyalah bentuk
penjelasannya dari setiap teori rendah diri dari Adler yang dikembangkan oleh
Suryabrata (1983), Alwisol (2005), Boeree (2006), Chiril (2010) dan Kumbarini
(2011). Berikut ini penulis menjabarkan dan menjelaskan aspek rendah diri Adler
dengan menggolongkan ciri-ciri rendah diri untuk dimasukkan ke setiap aspek
rendah diri untuk diterapakan dengan instrumen yang dipakai:
1. Dari aspek fisik, Alwisol, Boeree, Chiril dan Kumbarini menjelaskan lebih
spesifik ke dalam bagian fisik dan organ inferiority seperti: bertumbuh
pendek/kerdil, kepincangan, cacat, bagian wajah yang tidak proposional,
ketidakmampuan dalam bicara maupun penglihatan, aspek fisik lebih
kedalam organ inferiority bentuk fisik kurang sempurna, cacat anggota
tubuh dan tubuh yang normal mengalami inferiority organ karena diri
individu berfikiran negatif dan pesimis terhadap dirinya (disfungsi),
kondisi jantung lemah, mengidap kelainan jantung dini, memiliki paruparu lemah, asma atau polio, mengalami
masalah penglihatan,
pendengaran atau otot sejak kecil, sejak kecil sudak kerempeng, ada yang
sejak kecil sudah tidak bisa diharapkan pertumbuhannya. sedangkan
22
Suryabrata menjelaskan lebih luas yaitu jasmani kurang sempurna dan
juga menjelaskan mengenai organ inferiority karena daerah tersebut
kekurangan kesempuran baik karena dasar maupun karena kelainan dalam
perkembangan. Jadi kesimpulannya dari perbedaaan mengenai ciri-ciri
rendah diri tersebut akan menjadi lebih kuat, jelas dan mudah dipahami
setelah dimasukkan ke aspek fisik.
2. Dari aspek psikologis, Suryabrata, Alwisol, Boeree, Chiril dan Kumbarini
menjelaskan masing-masing lebih spesifik contohnya: Perasaan kurang
berharga, Memposisikan diri sebagai korban, merasa tidak puas terhadap
dirinya, mengasihani diri sendiri, mudah menyerah,agresif, egosentris,
Selalu dicap sebagai orang yang bodoh, nakal, lemah, dilecehkan,
berfikiran negatif, pesimis, takut membuat kesalahan, menyalahkan dunia,
berfikir negatif. walaupun dalam penjelasannya saling tumpah tindih/tidak
sama tetapi apabila dipahami akan sama-sama menjelaskan bahwa ciri-ciri
rendah diri tersebut masuk ke aspek psikologis. Jadi kesimpulannya dari
perbedaaan ciri-ciri rendah diri tersebut akan menjadi lebih kuat, jelas dan
mudah dipahami setelah dimasukkan ke aspek psikologis.
3.
Dari aspek sosial, Suryabrata, Alwisol, Boeree, Chiril, dan Kumbarini
menjelaskan masing-masing lebih spesifik contohnya: perasaan kurang
mampu dalam penghidupan, kecenderungan menolak orang, diintimidasi
oleh teman-teman, Malu, penakut, merasa tidak aman, ragu-ragu,
pengecut, tertindas, dimanja, diabaikan, pengasuhan yang tidak toleran,
menarik diri dari kehidupan sosial, mencela, tidak sportif, sangat sensitif,
23
memancing pujian, bersikap kasar. walaupun dalam penjelasannya saling
tumpang tindih/tidak sama tetapi apabila dipahami akan sama-sama
menjelaskan bahwa ciri-ciri rendah diri tersebut masuk ke aspek sosial.
Jadi kesimpulannya dari perbedaaan ciri-ciri rendah diri tersebut akan
menjadi lebih kuat, jelas dan mudah dipahami setelah dimasukkan ke
aspek sosial.
Jadi dapat dinyatakan dari setiap aspek yang dikembangkan menjadi sebuah
kesimpulan bagian yang utuh dalam rasa rendah diri dilihat dari aspek fisik,
psikologi dan sosial. Dengan ciri-ciri yang utuh dan aspek rendah diri dari teori
Adler penulis lebih mudah untuk memasukkan ciri-ciri rendah diri ke dalam setiap
aspek untuk menjadi sebuah instrumen/kisi-kisi rendah diri yang lebih mudah
untuk dipahami. Penulis membuat check list yang terdiri dari instrumen rendah
diri dari teori Adler yang dikembangkan oleh Suryabrata, Alwisol, Boeree, Chiril
dan Kumbarini. Check list yang sudah jadi akan dipergunakan untuk membuat
pernyataan/item sebagai alat untuk mengetahui siswa yang mempunyai rasa
rendah diri.
2.1.3 Jenis Rasa Rendah Diri
Adler (dalam Alwisol, 2005) mengemukakan dimana aliran Adler
menunjukkan perbedaan antara rasa rendah diri primer dan sekunder Rasa rendah
diri primer berakar dari pengalaman sebenarnya dari masa anak saat individu
lemah, tak berdaya, dan tergantung pada orang dewasa. Perasaan demikian bisa
24
lebih meningkat saat dibandingkan dengan sesamanya atau dengan orang dewasa.
Rasa rendah diri sekunder berhubungan dengan pengalaman orang dewasa saat
individu gagal mencapai tujuan akhir yang tidak disadari dan fiktif berupa
keamanan subjektif dan berhasil mengkompensasi perasaan rendah dirinya.
Jauhnya pencapaian tujuan akan membawa pada perasaan kurang yang akan
mengembalikan perasaan rendah dirinya, gabungan perasaan rendah diri demikian
akan sangat terasa. Tujuan yang ditentukan untuk menghilangkan rasa rendah diri
pertama yang bersifat primer justru menjadi penyebab rasa rendah diri kedua yang
bersifat sekunder.
Catatan Adler yang berjudul “Classical Adlerian Theory and Practice”
Stein (1999 dalam Susanto. Y, 2011), menyebutkan dengan istilah primary dan
secondary inferiority. Keminderan primer adalah keminderan yang adanya
terletak di wilayah kepribadian kita yang paling dalam (core personality).
Biasanya ini terkait dengan nilai-nilai yang kita anut atau motif. Keminderan
primer sama seperti keminderan general. Sedangkan keminderan sekunder adalah
bentuk keminderan yang letaknya berada di wilayah kepribadian yang di
permukaan. Biasanya ini terkait dengan pengetahuan, keterampilan informasi,
atau sikap. Misalnya individu minder berdampingan dengan orang yang lebih
alim, lebih pakar, lebih hebat, atau lebih banyak menguasai informasi.
Keminderan sekunder ini biasanya lebih mudah diubah ketimbang keminderan
primer. Umumnya, keminderan primer itu adanya di alam bawah sadar individu.
Sedangkan keminderan sekunder itu adanya di alam Sadar individu. Hal lain lagi
yang perlu kita ketahui juga terkait dengan keminderan ini adalah ada bentuk
25
keminderan tertentu yang berasal dari opini tentang diri individu itu sendiri.
Keminderan perseptual itu misalnya individu punya penilaian yang kurang atau
penilaian yang negatif tentang diri sendiri. Banyak orang yang menilai dirinya
tidak mampu padahal sebetulnya kemampuan itu dimiliki. Ada juga keminderan
faktual, misalnya terkait dengan kecacatan fisik, kelas ekonomi, status sosial, dan
seterusnya.
2.1.4 Penyebab Rasa Rendah diri
Minder umumnya berawal dari penilaian diri yang buruk. Menurut Adler
(dalam Kumbarani, 2011) kebanyakan orang merasa minder karena mengalami
inferioritas yang ditandai adanya perasaan tidak kompeten atau kekurang
mampuan diri. Perasaan ini dapat muncul karena orang tersebut merasa (atau
betul-betul) memiliki kekurangan secara fisik, sosial maupun psikis. Seseorang
yang selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, dan merasa dirinya lebih
rendah, akan memunculkan rasa minder. Orang perfeksionis, yaitu orang yang
sangat takut penampilannya tidak memuaskan (penampilan fisik maupun hasil
karyanya), juga menandakan bahwa yang bersangkutan mengalami inferioritas.
Karena merasa inferior, pada umumnya individu cenderung menarik diri dari
lingkungan sosial. Perasaan inferior tumbuh sejak masa kanak-kanak. Minder
umumnya muncul dari pengalaman masa lalu. Pada masa perkembangan, anakanak dikondisikan untuk merasa bahwa dirinya memiliki hal yang memalukan.
Akibatnya merasa tidak sebaik orang lain. Perasaan inferior seringkali tumbuh
karena sikap atau perilaku orang tua, guru atau orang dewasa, yang kurang tepat
terhadap anak-anak. Orang dewasa seringkali melakukan penolakan dan koreksi
26
negatif terhadap anak-anak. Julukan yang sifatnya olok-olok dan merendahkan
yang setiap dialami dapat menjadi penyebab seseorang menjadi inferior. Orang
tua yang perfeksionis memiliki harapan terlalu tinggi dan tidak realistik terhadap
anak turut mendorong lahirnya sifat inferior. Ketika anak tidak dapat memenuhi
harapan orang tuanya, anak akan merasa tak mampu dan merasa tidak berguna
sehingga munculah minder.
Penyebab rasa rendah diri menurut Adler (dalam Hasanah, 2011) :
1. Saat lahir - setiap orang lahir dengan perasaan rendah diri karena pada
waktu itu individu tergantung kepada orang lain yang berada di sekitarnya.
2. Sikap orangtua - memberikan pendapat dan evaluasi negatif terhadap
perilaku dan kelemahan anak di bawah enam tahun akan menentukan
sikap anak tersebut.
3. Kekurangan fisik - seperti kepincangan, bagian wajah yang tidak
proporsional,
ketidakmampuan
dalam
bicara
atau
penglihatan
mengakibatkan reaksi emosional dan berhubungan dengan pengalaman
tidak menyenangkan sebelumnya.
4. Keterbatasan mental - membawa rasa rendah diri saat dilakukan
perbandingan dengan prestasi orang lain, dan saat diharapkannya
penampilan yang sempurna membawa anda yng mempunyai keterbatasan
mental dapat menjadi rendah diri.
27
5. Kekurangan secara sosial - keluarga, ras, jenis kelamin, atau status sosial.
Yang dianggap lebih rendah / kurang dibanding keluarga, rasa, status
sosial, kelompok bangsa lain.
Kemudian ditambah dengan penyebab rendah diri yang dikemukakan
Adler (dalam Mukherjee , 2011) yang dijelaskan sebagai berikut: bahwa rendah
diri disebabkan rasa ketidakmampuan sebagian besar muncul ketika ada konflik
emosional antara keinginan pengakuan dan takut dipermalukan. Orang-orang
yang telah menghadapi diskriminasi sosial karena status ekonomi mereka, warna
kulit, agama, dll berada pada risiko lebih tinggi menderita masalah ini. Pendidikan
adalah faktor lain bertanggung jawab untuk masalah ini. Mereka yang dirawat
tidak merata oleh orang tua pada tahun-tahun formatif mereka cenderung
menderita dari itu. Sayangnya, dalam masyarakat kita, mereka yang memiliki fisik
cacat atau cacat mental diperlakukan sangat buruk. Mereka harus berjuang banyak
untuk
mendapatkan
pengakuan
dan
rasa
penerimaan
dari
masyarakat.
Kekecewaan berulang dan penolakan memberi mereka sebuah kompleks rendah
diri
2.1.5 Gejala-gejala Rasa rendah diri
Menurut Adler (dalam Kuntjojo, 2010) kompleks inferioritas adalah
perasaan yang berlebihan bahwa dirinya merupakan orang yang tidak mampu.
Adler menyatakan bahwa gejala tersebut paling sedikit disebabkan oleh tiga hal,
yaitu : a. Memiliki cacat jasmani, b. dimanjakan, dan c. dididik dengan kekerasan
Masrun (dalam Kuntjojo, 2010).
28
Tanda-tanda bahwa seorang anak mengalami kompleks inferioritas adalah
gagap dan buang air kecil waktu tidur (ngompol). Kompleks inferioritas bukan
persoalan kecil, melainkan sudah tergolong neurosis atau gangguan jiwa, artinya
masalah tersebut sama besarnya dengan masalah kehidupan itu sendiri. Orang
yang menunjukkan dirinya penakut, pemalu, merasa tidak aman, ragu-ragu.
adalah orang yang mengidap komplek inferioritas Adler (dalam Alwisol, 2005).
Memperhatikan gejala-gejala yang telah diuraikan (gagap, ngompol, penakut,
pemalu, tidak aman, ragu-ragu) banyak faktor inferioritas disebabkan oleh
pengaruh lingkungan yang tidak mendukung. Kebanyakan dari mereka benarbenar dihadapkan pada situasi dimana mereka merasa tidak berguna, tidak bisa
apa-apa, dan juga tidak diterima oleh lingkungannya. Membangkitkan
kepercayaan diri orang yang inferior merupakan pekerjaan yang tidak mudah,
karena cenderung munculnya perasaan tersebut sulit dihindari.
Adler (dalam Kumbarani, 2011) menyebutkan ada 5 gejala inferioritas yang
paling umum, diantaranya :
1. Perilaku mencari perhatian. Dengan berbagai cara, subjek inferior secara
terus menerus berusaha mendapatkan perhatian.
2. Dominasi, yaitu jika seseorang berbuah seolah-olah berkuasa atas sesuatu
yang sebenarnya justru menyebabkan dirinya merasa minder.
3. Eksklusif, yaitu perilaku tidak terlibat dalam aktifitas sosial dan lebih suka
menyendiri akibat banyak kekurangan.
29
4. Kompensasi, jika seseorang menyembunyikan perasaan inferiornya
dengan mengembangkan diri, sehingga akhirnya mendatangkan respek dan
perhatian dari orang lain.
5. Kritis, yaitu jika seseorang memiliki kebiasaan mengkritik orang lain
dalam upaya menciptakan dan memelihara citra bahwa dirinya lebih
mampu dari orang lain.
Adler (dalam Mukherjee , 2011) membahas gejala rendah diri dilihat dari
fisik, psikologis dan sosial yang dimana pada beberapa orang, rasa tidak mampu
hanya imajiner dan diciptakan oleh pikiran mereka. Di lain, masalah itu bisa
benar-benar ada. Apapun terjadi, mengakui masalah ini sangat penting. Beberapa
yang umum diidentifikasi gejala rendah diri yang kompleks adalah sebagai
berikut.
1.
Individu merindukan untuk mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang
lain sepanjang waktu. Jika Individu tidak mendapatkan pujian yang bagus,
mereka merasa sedih.
2.
Individu selalu sibuk dalam menunjukkan kesalahan orang lain. Hal ini
terjadi hanya karena individu tidak menyukai diri-sendiri sebagai pribadi
dan tidak yakin tentang diri individu sendiri, individu merasa sulit untuk
memiliki perasaan positif tentang orang lain.
3.
Individu takut kritik. Individu sepenuhnya menyadari kekurangan mereka
tapi jika orang lain mengatakan hal itu maka individu merasa
dipermalukan.
30
4.
Beberapa orang dapat berubah agresif dan mencoba untuk mendominasi
orang lain. Individu mungkin terlibat dalam beberapa kompetisi yang tidak
sehat. Ini adalah sebuah usaha di bagian individu untuk mendapatkan lebih
dari tekanan psikologis individu sendiri.
5.
Beberapa orang, di sisi lain, dapat menjadi sangat pemalu dan penakut.
Mereka menghindari pertemuan sosial dan mengisolasi diri dari
masyarakat
2.1.6 Cara mengatasi rasa rendah diri
Adler membahas tentang striving for superiority, yaitu dorongan untuk
mengatasi inferiority dengan mencapai keunggulan. Dorongan ini sifatnya bawaan
dan merupakan daya penggerak yang kuat bagi individu sepanjang hidupnya.
Adanya striving for superiority menyebabkan manusia selalu berkembang ke arah
kesempurnaan. Teorinya ini yang membuat Adler memiliki pandangan lebih
optimis dan positif terhadap manusia serta lebih berorientasi ke masa depan
dibandingkan Freud yang lebih berorientasi ke masa lalu (Charles, 2010).
Individu memulai hidupnya dengan kelemahan fisik yang menimbulkan
perasaan inferior. Perasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong agar dirinya
sukses dan tidak menyerah pada inferioritasnya. Adler berpendapat bahwa
manusia memulai hidup dengan dasar kekuatan perjuangan yang diaktifkan oleh
kelemahan fisik neonatal (Alwisol, 2005).
Kelemahan fisik menimbulkan
perasaan inferior. Individu yang jiwanya tidak sehat mengembangkan perasaan
inferioritasnya secara berlebihan dan berusaha mengkompensasikannya dengan
31
membuat tujuan menjadi superioritas personal. Sebaliknya, orang yang sehat
jiwanya dimotivasi oleh perasaan normal ketidak lengkapan diri dan minat sosial
yang tinggi. Individu berjuang menjadi sukses, mengacu kekesempurnaan dan
kebahagiaan siapa saja. Alwisol (2005) meringkas konsep Adler tentang
perjuangan mencapai tujuan final sebagai kompensasi pribadi dan sebagai minat
sosial dalam diagram alur berikut ini ( dalam Kuntjojo, 2010).
TUJUAN FINAL DIPERSEPSI KABUR
DI
TUJUAN FINAL DIPERSEPSI JELAS
SUPERIORITAS PRIBADI
DI
SUKSES
KEUNTUNGAN PRIBADI
MINAT SOSIAL
PERASAAN TAK LENGKAP YANG BERLEBIHAN
PERASAAN TAK LENGKAP YANG NORMAL
PERASAAN INFERIOR
PERJUANGAN
MENJADI
SUPERIOR
KELEMAHAN FISIK
KEKUATAN PERJUANGAN YANG
DIBAWA SEJAK LAHIR
Bagan 1: PERJUANGAN MENCAPAI TUJUAN FINAL
(sumber :Adler (dalam Alwisol, 2005))
32
PERJUANGAN
MENJADI
SUKSES
2.2 Konseling Kelompok Adlerian
2.2.1 Teori Konseling Kelompok Adlerian
Karena asumsi dasar Adler dari semua yang penting didalam kepribadian
sosial makhluk hidup, dia tertarik bekerja dengan konseli dalam konteks
konseling kelompok. Dinkmeyer (1975 dalam Corey, 1984) menyediakan
ringkasan yang bagus dari dorongan mayor model kelompok Adlerian yang berisi
pendekatan Adlerian menekankan pada keberhasilan kerjasama pasien dan
membantunya mengantisipasi kesuksesan. Investigasi psikologis yang terjadi
dalam kelompok memerlukan eksplorasi dari konstelasi keluarga dan pandangan
subjektif dari pendekatan pada tugas kehidupan kepedulian diberikan kepada
keluhan, masalah, dan perasaan individu: penafsiran dibuat terutama motif,
maksud, dan tujuannya. Orientasi kembali terjadi sangat efektif seperti konseli
dihadapkan dengan teknik bayangan seperti konseli melihat tujuan dan tekniknya
dan menjadi sadar akan kekuatannya untuk membuat keputusan.
Allen (1971 dalam Corey, 1984) menuliskan bahwa sistem Adler menarik
perhatian besar dan jumlah pengguna yang sedang bekerja sesuai dengan
sistemnya berkembang secara cepat. Dari hanya sedikit penganut dinegara ini
beberapa dekade yang lalu. Jumlah dari pengikut berkembang menjadi ribuan
dengan beberapa peneliti menyatakan sebanyak 20.000 orang awam dan
profesional menganut teknik Adler.
Jumlah dari ketertarikan dalam kerja Adler dilihat dari meningkatnya
jumlah institusi nasional dan internasional yang menawarkan pelatihan teknik
33
Adler, termasuk konseling kelompok Adlerian sesuai Manaster dan Corsini (1980
dalam Corey,1984), ada 1977 organisasi Adlerian di Austria, Denmark, Prancis,
Jerman, Britania, Yunani, Israel, Italia, Belada, Switzerland, dan Amerika. Di
Amerika Utara ada kelompok psikologi Adlerian bagian Amerika Utara, sekitar
selusin bagian atau asosiasi daerah. Dinkmeyer, Pew, dan Dinkmeyer (1979
dalam Corey,1984) memberi alamat dari 65 institusi pelatihan perhimpunan dan
organisasi pendidikan keluarga, semua di Amerika.
2.2.2 Aplikasi Prinsip Adlerian pada konseling kelompok
2.2.2.1 Rasional Konseling kelompok
Kelompok menyediakan konteks sosial dimana anggotanya dapat
mengembangkan rasa kepemilikan dan komunitas Dinkmayer (1975 dalam Corey,
1984) menulis bahwa anggota kelompok datang dan melihat bahwa banyak
masalah mereka adalah kepribadian interpersonal, sikap mereka mempunyai
pengertian sosial dan bahwa tujuan mereka dapat dimengerti secara baik dalam
kerangka tujuan sosial beberapa faktor konseling spesifik yang didiskripsikan
Dinkmayer dalam kelompok Adlerian:
1. Kelompok menyediakan sebuah cermin dari sikap seseorang.
2. Anggota mendapatkan keuntungan dari feedback dari anggota yang
lain dan ketua kelompok
3. Anggota memperoleh bantuan dari yang lain dan memberikan bantuan.
4. Kelompok menyediakan kesempatan untuk mengetes kenyataan dan
mencoba sikap yang baru
34
5. Kontek kelompok mendorong anggota untuk membuat komitmen
untuk mengambil bagian untuk mengubah hidupnya.
6. Transaksi dalam kelompok membantu anggota mengerti bagaimana
fungsi mereka dalam pekerjaan dan rumah dan juga memperlihatkan
bagaimana anggota mencari tempat mereka dalam komunitas.
7. Kelompok disusun sebagaimana mestinya bahwa anggota dapat
bertemu kebutuhan mereka.
2.2.3 Tujuan Konseling Kelompok Adlerian
Menurut Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984), konseling kelompok
Adlerian mempunyai 4 tujuan pokok yang berhubungan dengan 4 siklus proses
konseling konseling kelompok. Tujuan ini digunakan untuk konseling indivdu dan
konseling kelompok:
1. Membangun dan mempertahankan hubungan empati antara konseli dan
konselor yang berdasarkan pada kepercayaan bersama dan rasa hormat dan
dimana konseli merasa dimengerti dan diterima konselor
2. Menyediakan suasana konseling dimana konseli dapat datang untuk
mengerti kepercayaan dasar mereka dan perasaan tentang dirinya dan
menemukan mengapa kepercayaan mereka bisa salah.
3. Membantu konseli mengembangkan pandangan ketujuan mereka yang
salah dan kebiasaan kalah diri melalui proses konfrontasi dan interpretasi
4. Membimbing konseli dalam menemukan alternatif dan mendorong mereka
untuk membuat keputusan yang memberi pandangan pada tindakan.
35
2.2.4 Teknik Konseling kelompok Adlerian
Konseling Adlerian menggunakan berbagai teknik untuk membantu siswa
untuk mengeksplorasi perilaku. beberapa teknik ini tepat untuk konseling secara
umum dan lainnya lebih sesuai untuk pengaturan individu atau kelompok.
beberapa penjelasan teknik umum mengikuti:
1. Pelacakan. Siswa berpindah dalam ruangan, konselor sekolah yang
profesioanal mengatakan kepada siswa apa yang sedang dia lakukan.
contonya, "kamu memilih sebuah truk dan bawa itu kesini”. Ini dapat
digunakan untuk mengembangkan hubungan dengan siswa dan untuk
mengatakan bahwa apa yang dia lakukan itu ssangat penting. Teknik ini
sangat bekerja dengan baik dalam konseling (Kottman & Johnson, 1993)
2. Pemberitahuan kembali. Mengulang pernyataan dari apa yang mau siswa
katakan. Jika siswa mengatakan, “ boneka itu ingin memelukmu.” Konselor
dapat merespon dengan “ boneka itu ingin memelukku”. Teknik Menyatakan
kembali akan menjadi yang lebih sesuai di dalam konseling dan sebagai cara
untuk menyajikan, mengembangkan hubungan dan membantu siswa untuk
mengembangkan diri. Kottman & Johnson (1993 dalam Erford , 2004)
3. Refleksi. Mencerminkan emosi siswa untuk membantunya menjadi lebih
sadar dan memahami perasaan sendiri. konselor harus berusaha untuk
mencerminkan level permukaan dari emosi baik menekankan perasan. Sebuah
contoh siswa melempar mainan rusak, menendang dan berkata, "Yang selalu
terjadi padaku" Konselor mungkin mengatakan "Kadang-kadang Anda merasa
36
marah karena hal-hal tidak bekerja dan Anda merasa seperti yang sering
terjadi pada Anda” Kottman & Johnson (1993 dalam Erford, 2004)
4. Ingatan awal. Teknik ini mengharuskan siswa untuk mengingat beberapa
peristiwa kehidupan awal (yang biasanya berasal dari waktu siswa itu 4-6
tahun). Ingatan ini membantu konselor untuk mengidentifikasi apa yang siswa
percaya tentang dunia, dirinya, dan orang lain. ingatan ini dapat
mencerminkan tema sebaik emosi yang spesifik adalah penting untuk
memahami siswa. Konselor dapat mengidentifikasi jika siswa menyampaikan
perasaan aman, dirawat, dan dapat mengontrol hal-hal. Kottman & Johnson
(1993 dalam Erford, 2004)
5. Metafora konseling. Siswa akan sering menggunakan metafora dari simbol
dan konselor sekolah yang profesional dapat menggunakan metafora siswa
untuk mengerti dan membantu anak mengerti diri mereka. Ini dapat digunakan
dalam konseling, dimana siswa akan menggunakan metafora secara spontan,
seperti “ Ini boneka ayah. Dia datang ke rumah dan berubah menjadi dokter
dan memakan memakan seluruh keluarga, Kottman & Johnson (1993 dalam
Erford, 2004). Secara jelas contoh ini menyediakan konselor sekolah yang
profesional dengan yang sangat bagu tentang bagaiman perasaan siswa dan
melihat dunia.
6. Bercerita bersama. Metafora siswa dapat juga digunakan untuk membantu
siswa memahami kepercayaan dan pandangan hidupnya. Konselor sekolah
yang profesional dapat memiliki anak yang menceritakan sebuah cerita dari
permulaan tengah dan akhir. Cerita siswa mungkin berisi beberapa
37
kepercayaan dan persepsi yang salah dan konselor sekolah yang profesional
dapat mengambil keuntungan untuk mengulang cerita dengan pandangan yang
lebih positif dan adaptif untuk membantu siswa mengembangkan perspektif
baru Kottman & Johnson (1993 dalam Erford, 2004)). Game bercerita
bersama (Erford, 2000) progam CD-ROM yang berbasis progam window
membantu memfasilitasi siswa bercerita bersama dengan menyediakan latar
belakang dan karakter yang berbeda.
7. Permainan konseling. Siswa yang lebih tua tidak berharap untuk
mendatangi konseling atau tidak ingin untuk mendiskusikan emosinya atau
untuk mengubah perilaku mereka. Game, antara yang dibeli ditoko dan game
spesial yang didesain untuk konseling, seperti beberapa seri yang
dikembangkan oleh Erford (2004) ( progam CD-ROM berbasis Window 2000
a-b, 2001 a-c, 2002 a-c), dapat digunakan untuk memancing siswa yang
enggan. Bermain game dapat menyediakan konselor sebuah kesempatan untuk
mengamati perilaku siswa dan untuk mengidentifikasi beberapa dari sikap
siswa dirinya dan orang lain. Game yang dimainkan dalam kelompok, secara
umum dapat menyediakan imformasi tentang kemampuan sosial, keinginan
untuk menunggu, mengambil bagian menangani ketidakjanjian. Konselor
sekolah yang profesional dapat menggunakan kemampuan ini untuk
membantu siswa menemukan pikirannya. Berperasaan dan perilaku,
mengembangkan rasa kompetensi, dan membangun harga diri. Kadang siswa
mengatakan ketiak bermain game dan memberi informasi yang lebih dari sesi
tatap muka, Kottman (1990 dalam Erford).
38
8. Simulasi dan bermain peran. Menggunakan drama yang kreatif dapat
memotivasi
siswa yang lebih tua dalam pengaturan kelompok. anggota
kelompok dapat menggunakan bermain peran untuk menemukan perilaku
yang berbeda dan untuk mengamati bagaimana perilaku ini berakibat pada
yang lain. Simulasi dan bermain peran dapat dengan membantu anggota
kelompok mengembangkan sikap empati untuk orang lain, mengembangkan
kemampuan
sosial,
menemukan
dunia
terdalam
dengan
lainnya,
mengembangkan kemampuan mendengarkan dan kehadiran, bekerjasama
dengan
yang
lain,
belajar
kemampuan
mengambil
keputusan,
dan
mengembangkan kemampuan untuk mengamati dan mengevaluasi diri yang
lain, Kottman (1990 dalam Erford, 2004)
9. Pertanyaan “dapatkah ini”. Pertanyaan “ dapatkah ini” membuat konselor
menjadi sadar tentang perasaan salah perilaku siswa dan membantu siswa
mengidentifikasi salah perilakunya. Jadi, jika konselor merasa terganggu oleh
kesadaran siswa mencoba untuk membuat konselor melihatnya, konselor dapat
berkata “ dapatkah ini Kamu membuatku sibuk karena Kamu ingin aku
memberi perhatian kepadamu?”. Ini akan membantu siswa menjadi lebih sadar
denngan tujuan dari salah perilakunya, Poppen dan Thompson (1974 dalam
Erford, 2004).
10. Tujuan paradoxical. Sebuah eksperimen, konselor dapat memiliki siswa
melakukan kebalikan dari apa yang siswa harapkan untuk menemukan gejala
atau salah perilaku. Ini dapat membantu siswa mengembangkan kesadaran
yang besar dari akibat salah perilakunya jika dia tidak menahan diri
39
melakukan ini, tapi dengan sengaja melakukan ini. Contohnya, jika konselor
mengatakan kepada siswa, sama seperti eksperimen, untuk dengan sengaja
tidak membuat tugas rumah. Ini mungkin membantu siswa menjadi sadar
dengan fakta bahwa dengan memilih perilakunya. Dengan tidak membuat
tugas rumah tidak atraktif ketika ini diijinkan, dan mem bangtu siswa melihat
bagaimana bodoh dan lucu siswa salah perilaku mereka, Dinkmayer (1979
dalam Erford, 2004). Teknik ini harus digunakan secar hati-hati untuk waktu
yang terbatas, dengan siswa yangs sesuai (dan dengan persetujuan dan
dukungan dengan guru siswa) untuk bekerja secara efektif.
11. Berpura-pura pada subklien. Teknik ini menyambut kepada sebuah
kegiatan sekolah asrama dimana siswa akan berpura-pura untuk membuat
siswa menyerah. Disini, konselor mengidentifikasi tujuan dan mengulangi
beberapa salah perilaku dan merusak kelucuan. Dari siswa dengan
menurunkan kesenangan klien mungkin dapat dari salah perilaku. Contohnya,
konselor mungkin dengan merefleksi kepada siswa yang lebih tua bahwa
masalah minum-minumannya mungkin adalah cara untuk siswa tetap
berhubungan kepada ayah yang dia nyatakan benci, karena ayah adalah
alkoholic dan itu adalah sesuatu yang klien dapat bagikan, Carlson & Sperry
(2001 dalam Erford, 2004).
12. Berakting “seperti jika”. Konselor sekolah yang profesional dapat
memiliki siswa, sebuah tugas atau latihan, berakting dengan cara dia ingi
berakting. Siswa mungkin menahan diri pada awalnya, mengatakan bahwa ini
hanya berpura-pura dan tidak nyata. Bagaimanapun juga, konselor dapat
40
menghubungkan untuk mencoba pikiran baru untuk mengganti pakaian. Siswa
mungkin mencoba untuk memakai dan melihatnya bekerja. Jika siswa tidak
mencoba dan merasa lebih baik, klien mungkin memutuskan untuk
berperilaku berbeda. Ini dapat dilakukan untuk beberapa waktu, kemudian
siswa dapat kembali kepada konselor untuk mendiskusikan hasilnya,
Dinkmayer (1979 dalam Erford, 2004). Sebuah contoh seperti bahwa siswa
yang malu dapat berakting seperti dengan berkata ramah dan mengatakan “
hallo” untuk tiap orang yang ditemui.
13. Menangkap seseorang. Seperti siswa menjadi lebih sadar, konselor sekolah
yang profesional dapat menyarankan bahwa siswa menangkap dirinya
melakukan sesuatu yang siswa mungkin ingin ubah. Pertama, siswa akan
mencoba untuk menangkap dirinya terlalu lambat melakukan sesuatu. Seperti
praktek siswa belajar untuk mengantisipasi dan mencegah situasi tertentu /
mengubah perilakunya. Ini dapat dilakukan dengan rasa humor, dan bekerja
baik jika siswa dapat tertawa tentang dirinya, Dinkmayer (1979 dalam Erford,
2004).
14. Membuat perpindahan. Kadang, siswa harus dimotivasi untuk berubah.
Taktik ini harus digunakan secara hati-hati dan dalam rasa percaya dan
hubungan konselor sekolah yang profesional berkembang dengan siswa.
Untuk membuat perpindahan, konselor dapat menggunakan kejutan untuk
menghantam siswa keluar dari kemalasan. Contohnya, jika siswa memutuskan
ingin menyerah, konselor mungkin setuju dengannya, Dinkmayer (1979 dalam
41
Erford, 2004). Jika digunakan secara benar, tida mengatakan hal yang
diinginkan dapat berakibat dalam waktu dari kesadaran diri yang dalam.
15. Mencegah pemberontakan kekuatan. Sering, siswa akan mencoba sejalan
dengan konselor dalam peran dasar pada keinginan siswa dan keyakinan
tentang dunia. Dengan demikian, siswa mungkin mencoba untuk memancing
konselor ke dalam mengukur yang siswa tidak suka. Konselor harus tetap
sadar tentang perasaan anak mencoba untuk memperoleh dan mencegah
memberinya untuk rasa tersakiti atau ketidakberanian. Secara umum, konselor
mencegah kekuatan pemberontakan dengan anak, Dinkmayer (1979 dalam
Erford, 2004).
16. Pengaturan tugas dan komitmen. Disini, konselor membantu siswa untuk
mengidentifikasi apa yang dia dapat lakukan dengan masalah dan berjanji
untuk melakukan ini untuk periode waktu yang spesifik. Jika siswa sukses,
siswa mungkin merasa didorong dan berlanjut untuk berubah. Jika tidak,
perilaku baru dapat ditemukan dan siswa dapat mencoba lagi, Dinkmayer
(1979 dalam Erfort, 2004)
17. Teknik tekan tombol. Siswa mengerti bahwa siswa bertanggung jawab
untuk perasaan baik baik dan buruk yang siswa alami. Manusia mengatur
mood siswa. Teknik ini, siswa dapat di tuntun secara mental mengalami
sendiri sesuatu yang memberi perasaan yang sangat baik. Kemudian, siswa
dapat menvisualisasi sebuah pengalaman yang membuatnya merasa sangat
buruk. Sama seperti anak melakukan ini, konselor sekolah yang profesional
dapat membantu siswa belajar untuk menghubungkan bagaimana pikiran
42
seseorang tentang pengalaman yang menuntun perasaan seseorang tentang
pengalaman, Carlson & Sperry (2001 dalam Erford, 2004).
2.2.5 Fase-fase / Tahap-tahap Konseling Kelompok Adlerian
Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984) menggarisbawahi dari 4 fase
konseling kelompok yang berhubungan dengan 4 tujuan konseling:
1. Membangun dan mempertahankan hubungan konseling secara menyeluruh
2. Menemukan kerja dinamis pada individu (analisa)
3. Mengkomunikasikan pada individu sebuah pengertian dari pandangan diri
4. Melihat allterntif baru dan membuat pilihan baru (orientasi kembali)
Fase 1: Membangun dan mempertahankan hubungan konseling secara
menyeluruh
Pada fase awal penekanan pada membangun hubungan terapi yang baik
berdasar kepada kerjasama dan saling menghormati. Anggota kelompok didorong
untuk aktif dalam proses, anggota bertanggung jawab atas partisipasi ke dalam
kelompok. Tidak selalu mudah untuk membuat situasi aktif karena meskipun
konseli yang sangat berani untuk membuat perubahan mungkin tidak ingin untuk
melakukan pekerjaan yang diperlukan untuk partisipasi kelompok efektif dan
mungkin diputuskan untuk membuktikan bahwa konseli tak berdaya, Dreikurs
(1969 dalam Corey, 1984). Dreikurs melihat sebuah kelompok kondusif untuk
hubungan baik antara konseli dan konselor. Pada situasi kelompok ada terdapat
kesempatan cukup saat bekerja dalam issu kepercayaan dan untuk memperkuat
43
hubungan antara anggota dan ketua. Juga menyaksikan perubahan dalam
kelompok, anggota dapat mengamati nilai yang terjadi pada kelompok kerja.
Hubungan konselor dan konseli dalam konseling Adlerian adalah
hubungan seimbang. Konselor dan konseli bekerja bersama menuju tujuan
bersama. Kontrak mungkin menjadi bagian dari usaha konseling. Dalam
kelompok kontrak mengindikasi apa yang konseli inginkan dan harapkan dari
kelompok menunjukan tanggung jawab dari ketua dan anggota. Adlerian percaya
bahwa konseling, individu atau dalam kelompok, berjalan hanya ketika proses
konseling difokuskan pada apa yang konseli lihat secara personal signifikan dan
pada area yang mereka ingin temukan dan ubah. Ini apa yang, Dreikers (1967
dalam Corey, 1984) dikatakan bahwa kepribadian bekerja bersama dari hubungan
terapi Adlerian dan dari kebutuhan untuk pelurusan dari tujuan konseli dan
konselor: Kerjasama konseling memerlukan sebuah pelurusan tujuan. Ketika
tujuan dan ketertarikan dari pasien dan konselor berkonflik tidak ada hubungan
yang memuaskan yang dapat di bangun. Memenangkan kerjasama pasien untuk
tugas biasa adalah syarat untuk setiap konseling: mempertahankan ini
memerlukan kesiagaan yang terus menerus. Apa yang muncul sebaga
”perlawanan merupakan perselisihan antara tujuan konselor dan pasien”
Fase 2: Menemukan kerja dinamis pada individu (analisis)
Tujuan dari fase ke dua adalah mengerti gaya hidup seseorang dan melihat
bagaimana gaya hidup berakibat pada fungsi seseorang dalam semua tugas hidup,
Musak (1979 dalam Corey, 1984). Ketua memulai dari menemukan bagaimana
fungsi anggota kelompok sekarang pada pekerjaan dan situasi sosial dan
44
bagaimana merasakan diri dan identitas peran jenis kelamin. Dinkmayer (1979
dalam Corey, 1984) menulis bahwa perkiraan awal ini dapat disempurnakan
dengan menunjukkan prioritas konseli, mungkin dengan bertanya pertayaan
seperti ” apa tujuan utama dalam hidupmu? Kesuksesan? kekuatan? Keamanan?
Menyenangkan orang lain dengan memberikan keinginan mereka” tujuannya
untuk membimbing orang-orang pergi dari kemustahilan dari posisi “ hanya jika.
Contohnya, “ hanya jika aku berhasil menyenangkan orang lain disetiap waktu
aku menghindari perasaan gagal”.
Sesuai Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984), tujuan individu dan gaya
hidup sekarang menjadi lebih jelas dalam interaksi yang lain didalam kelompok.
Juga, individu mungkin merespon secara berbeda ketika dilawan oleh anggota
yang lain daripada ketika mereka dilawan oleh konselor itu sendiri.
Analisa dan perkiraan tergantung dengan berat pada penemuan dari
konstelasi keluarga konseli, dimana termasuk mengevaluasi kondisi yang menang
dalam keluarga ketika seseorang sebagai anak kecil dalam proses membentuk
keyakinan gaya hidup dan asumsi dasar. Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984)
mendiskripsikan kuesioner konstilasi keluarga yang menyediakan pada persepsi
diri konseli, hubungan kandung, dorongan signifikan dalam diri mereka dan
keputusan yang dibuat konseli
Prosedur perkiraan yang lain dengan menyuruh konseli untuk melaporkan
rekoleksi awal, peristiwa spesifik yang diingat dari awal usia balita, dengan
perasaan dan pikiran yang menyertai kejadian mereka. Rekoleksi awal ini lebih
dari laporan: konseli memperlihatkan keyakinan, “kesalahan dasar“, persepsi
45
kesalahan diri, hukum unik dari gerakan psikologi Dinkmayer (1979 dalam Corey,
1984). Adlerian berpendapat bahwa orang-orang mengingat peristiwa masa lalu
yang konsisten dengan pandangan konseli sekarang tentang dirinya, Adler (1958
dalam Corey, 1984). Dreikers (1969 dalam Corey, 1984) menambahkan bahwa
kerika orang-orang mengembangkan pandangan itu, mereka menyadari hanya
bahwa sesuai dengan pandangannya. Persepsi diri ini memperkuat “ logika pribadi
“ seseorang, yang membantu individu mempertahankan keyakinan dasar individu
itu sendiri. Rekoleksi awal menyediakan pengertian dasar dari bagaimana kita
melihat dan rasakan tentang diri individu, bagaimana individu melihat dunia, apa
tujuan hidup individu, apa yang memotivasi individu, apa yang individu percaya,
dan apa yang individu nilai.
Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984) mendiskripsikan beragam teknik
yang konselor dapat gunakan untuk mengira-ngira dan menganalisis masalah.
Beberapa dari teknik antara lain:
1. Paraprase. Ketua meninjau anggota kelompok untuk meyakinkan bahwa
mereka benar-benar mengerti apa yang mereka katakan, kemudian ketua
mendorong anggota untuk mengklarifikasi pandangan mereka, keyakinan,
sikap dan perilaku dengan interaksi kelompok.
2. Konfrontasi. Dilakukan dengan kepedulian, rasa perseptif, konfrontasi
adalah proses dimana ketua membantu konseli menjadi lebih sadar akan
perselisihan. Contohnya: perselisihan pada pandangan konseli dan perilaku
konseli atau antara perilaku konseli dan maksud konseli. Ini adalah
tantangan dan atau pertanyaan yang dibuat untuk membantu anggota
46
berpikir tentang tujuan dari perilaku mereka dan berpikir pada penemuan
diri yang lebih dalam.
3. Pertanyaan. Ini adalah teknik yang Adler gunakan sebagai cara
menemukan sebuah masalah yang antara akibat fungsional atau organik.
Konselor bertanya, ” Apa yang akan berbeda jika....?”
4.
Hipotesa sementara. Untuk meminimalisasi resistensi dan untuk
membuka komunikasi, saran ketua tentang tujuan dari perilaku anggota
dalam situasi kelompok di presentasikan secara sementara sebagai
hipotesa.
Fase ketiga: Pandangan diri
Padahal posisi analisis klasik adalah kepribadiannya yang tidak bisa
diubah jika tidak ada pandangan, pandangan Adlerian adalah pandangan yang
hanya satu langkah kepada perubahan dan bukan prasyarat untuk ini, Dreikurs
(1969 dalam Corey, 1984). Orang-orang dapat membuat perubahan mendadak dan
signifikan tanpa terlalu banyak pandangan. Mosak (1979 dalam Corey, 1984)
mendefinisikan
sebagai
”pengertian
yang
diterjemahkan
kedalam
aksi
konstruktif” Adler menentang bahwa gagasan freudian bahwa pandangan harus
mendahului perubahan perilaku secara bertahap dalam perlakuan yang
diperpanjang dan mendorong klien untuk menunda mengambil tindakan untuk
berubah. Pandangan intelektual dapat membimbing kepada “ya, tapi” permainan
yang tidak pernah berakhir dari “ aku tahu aku harus berhenti, tapi....” dalam
konteks kelompok fase pandangan lebih fokus dalam membantu anggota untuk
mengerti mengapa klien berfungsi seperti apa yang klien lakukan. Anggota belajar
47
tentang diri klien dengan menemukan tujuan mereka. Mitologi pribadi dan gaya
hidup. Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984) menyangkal bahwa selama fase ini dan
selanjutnya konseli menerima keuntungan yang besar dari kelompok. Kelompok
memfasilitasi proses dari memperoleh pandangan karena sebagai anggota
mengalami resistensi dalam dirinya sendiri, klien juga dapat mengamati resistensi
dari anggota kelompok yang lain. Terdapat persamaan yang cukup dalam sikap
kesalahan dasar dan motivasi yang salah antara semua anggota untuk mengajak
anggota mengamati diri mereka dan membantu satu sama lain, Dreikurs (1969
dalam Corey, 1984).
Fase 4: Orientasi Kembali
Fase reorientase kembali membahas tentang sikap alternatif, kepercayaan,
tujuan dan perilaku. Satu dari tujuan adalah untuk mengajarkan anggota
bagaimana untuk menjadi lebih efektif dalam berurusan dengan tugas hidup.
Tujuan lain adalah untuk menantang dan mendorong konseli untuk mengambil
resiko dan membuat perubahan. Kata-kata dorongan adalah aspek dasar dari fase
ini. Melalui kata-kata dorongan, konseli mulai untuk mengalami sumber daya
tersembunyi konseli dan kekuatan untuk memilih diri konseli dan untuk
membimbing hidup konseli.
Dreikurs (1969 dalam Corey, 1984) percaya bahwa kelompok biasanya
berguna selama fase reorientasi karena konseli merangsang tindakan dan orientasi
baru. Dalam kelompok orang-orang dapat mengenal diri mereka perilaku yang
salah dari anggota lain dan menjadi sadar atas keyakinan kekalahan diri konseli
dan perilaku. Dalam kelompok konseli dapat juga lebih mudah mengenal
48
lingkungan dasar konseli yang tidak benar dan tidak adil. Kata-kata dorongan
sangat berguna pada fase ini ditemukan dalam dorongan dari kelompok dan dalam
kepribadian equalitarian yang mengembalikan celah sosial dan mengurangi resiko
dari pengungkapan diri. Dalam kata-kata Dreikurs, “ situasi sosial ini dari
persamaan yang mengkarakterisasi kelompok konseling dan dimana memaksakan
diri seseorang adalah konseling yang lebih efektif mempengaruhi satu sama lain.
Reorientasi adalah fase aksi dari kelompok, ketika keputusan baru dibuat
dan tujuan diperbaiki. Untuk menantang asumsi diri yang terbalas anggota
didorong untuk berperan seperti konseli jika adalah seseorang yang konseli
inginkan. Anggota diajak untuk “ menangkap diri konseli” dalam proses
mengulang pola lama yang membimbing kepada perilaku yang tidak efektif.
Komitmen adalah bahan yang penting dari fase reorientasi ; jika konseli berharap
untuk berubah, konseli harus mau untuk mengatur tugas untuk diri konseli dan
melakukan sesuatu yang spesifik tentang masalah konseli. Komitmen juga
dibutuhkan untuk menerjemahkan pandangan baru kepada aksi nyata.
Proses konseling kelompok Adlerian yang digunakan Sonstegard ada 4
langkah, yaitu meliputi: pembentukan, peralihan, kegiatan dan pengakhiran.
1. Pembentukan
1.1 Salam
1.2 Menerima secara terbuka dan mengungkapkan terimakasih
1.3 Berdoa
1.4 Mejelaskan pengertian dan tujuan konseling kelompok Adlerian
49
1.5 Menjelaskan cara pelaksanaan konseling kelompok Adlerian
1.6 Menjelaskan asas-asas konseling kelompok
1.7 Perkenalan dilanjutkan dengan permainan
2. Peralihan
2.1 Menjelaskan kembali kegiatan konseling kelompok Adlerian
2.2 Tanya jawab tentang kesiapan anggota untuk kegiatan lebih lanjut
2.3 Mengenali suasana kesiapan anggota secara keseluruhan untuk
memasuki kegiatan berikutnya
2.4 Memberi contoh masalah pribadi yang dapat dikemukakan dan dibahas
dalam konseling kelompok Adlerian
3. Kegiatan
3.1 Menjelaskan masalah rasa rendah diri yang hendak dikemukakan dan
dibahas dalam konseling kelompok Adlerian
3.2 Membahas masalah satu persatu dari yang tertinggi dan memberikan
kompensasi kepada konseli yang mempunyai masalah rasa rendah diri
untuk melihat pandangan kedepan dirinya
3.3 Anggota kelompok saling membantu dan memberikan saran
menyelesaikan masalah yang dialami konseli.
3.4 Setelah konseling kelompok selesai konseli/anggota kelompok
diharapkan bisa mendapatkan superioritas. Superioritas, bukan lebih
baik dibanding orang lain atau mengalahkan orang lain, tetapi berjuang
menuju superioritas berarti terus menerus berusaha menjadi lebih baik,
50
menjadi semakin dekat dan semakin dekat dengan tujuan ideal
individu yaitu menurunkan rasa rendah diri
3.5 Kesimpulan
4. Pengakhiran
4.1 Menjelaskan bahwa konseling kelompok akan diakhiri
4.2 Kesan-kesan anggota kelompok
4.3 Pembahasan kegiatan lanjutan
4.4 Ucapan terima kasih
4.5 Evaluasi tertulis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan proses pelaksanaan konseling
kelompok Adlerian yang dipakai Sonstegard. karena proses pelaksanaan
konseling sangat jelas dan terperinci antara langkah pertama sampai dengan
langkah berikutnya/pengakhiran.
2.2.6 Peran dan fungsi konselor Adlerian
Konsep dari konselor adalah bagian dari pandangan Adlerian. Konselor
akan meningkatkan jarak dari konseli dan pengganggu dengan equalitarian,
hubungan dasar antar individu kepada pendekatan Adlerian. Mosak (1979 dalam
Corey, 1984) menuliskan konselor Adlerian mempunyai perasaan dan pendapat
dan bebas untuk mengekspresikannya
Penulis Adlerian yang lain menekankan peran aktif dari konselor sebagai
anggota dalam usaha konseling kerjasama. “ konselor membawa dimensi aktif ini
keproses konseling dengan berfokus pada perilaku tujuan dan hukum unik
51
gerakan psikologi pada setiap individu, Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984).
Fakta lain dari konseling Adlerian adalah komitmen prosedur aktif seperti
konfrontasi pengungkapan diri intrepertasi dan analisis dari pola. Konselor
menantang keyakinan dan tujuan konseli dan membantu konseli meneterjemahkan
apa yang konseli pelajari dalam proses kelompok ke perilaku dan keyakinan baru.
Dinkmayer (1979 dalam Corey, 1984) mengatakan bahwa konselor berperan
sebagai model untuk konseli yang sering belajar lebih dari apa yang konselor
lakukan dalam kelompok sama seperti hidup konseli, dari apa yang konselor
katakan. Ini mengakibatkan bahwa konselor harus mempunyai perasaan yang jelas
dari identitas kepercayaan dan keyakinan konselor. Konselor juga harus sadar
kondisi dasar yang penting untuk perkembangan konseli.
2.3 Penelitian yang relevan
Penelitian Brough, Marjorie F (1994). Penelitian ini menunjukkkan bahwa
terdapat pengurangan rasa rendah diri yang dimana diikuti 179 orang dewasa
yang menyelesaikan kuisioner dan diikuti 26 konseli dalam 10 sesi konseling
kelompok Adlerian dengan hasil akhir dapat mengurangi perasaan rendah diri.
Penelitian yang telah dilakukan Michael dan David (2000). Penelitian ini
bertujuan untuk mengurangi perasaan rendah diri yang dialami remaja Burundi,
Afrika tengah. Dengan mengisi Skala Perasaan Rendah Diri (Scale Feelings
Inferiority), wawancara dan dokumentasi secara acak dari 30 remaja pria dan
wanita dari keluarga miskin di Burundi. Proses terapi kelompok Adlerian
dilakukan waktu sekitar satu setengah bulan untuk bisa mengurangi perasaan
rendah diri remaja Burundi. Setelah proses terapi kelompok Adlerian diberikan
52
hasil
menunjukkan perasaan rendah diri
remaja Burundi
tidak dapat
berkurang/menurun. Setelah dievaluasi ditemukan penyebab utamanya adalah
sejak kecil 30 remaja pria dan wanita Burundi sudah hidup dalam kemiskinan
yang luar biasa yang mengakibatkan mereka banyak melihat orang yang
kelaparan, kekurangan gizi dan kematian yang memunculkan perasaan rendah
diri sejak kecil.
2.4 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sebenarnya atas pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya, Arikunto, S (1993). Menurut
Hadi ,S (1993) hipotesis adalah dugaan sementara yang mungkin benar atau
mungkin salah, hipotesis akan ditolak jika salah dan diterima jika fakta-fakta
membenarkan.
Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
Ho (Hipotesis Nol)
: Konseling kelompok Adlerian tidak dapat menurunkan
secara signifikan rasa rendah diri siswa
Hi (Hipotesis Kerja) : Konseling kelompok Adlerian dapat menurunkan secara
signifikan rasa rendah diri siswa
Berdasarkan kajian yang relevan yang telah diungkapkan sebelumnya,
diajukan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
“ Konseling kelompok Adlerian dapat menurunkan secara signifikan rasa rendah
diri siswa SMP Negeri 8 Salatiga”.
53
Download