1 Emerging Infectious Diseases Pengertian Emerging Infectious Diseases Emerging infectious diseases adalah penyakit dengan insidensi yang meningkat atau yang diperkirakan akan meningkat dalam suatu periode waktu atau lokasi. Menurut WHO, Emerging infectious diseases (EID) adalah penyakit yang pertama kali muncul dalam suatu populasi, atau penyakit yang telah ada sebelumnya tetapi mengalami peningkatan insidendsi atau area geografis dengan cepat. Emerging infectious diseases merupakan penyakit penyakit infeksi yang kejadiannya pada manusia meningkat dalam dua dasawarsa/ dekade terakhir atau cendedrung akan meningkat di masa mendatang. Seara umum EID dapat dibagi dalam tiga kelompok penyakit, yaitu: a. Penyakit menular baru (New Emerging Infectious Diseases) b. Penyakit menular lama yang cenderung meningkat (Emerging Infectious Diseases) c. Penyakit menular lama yang menimbulakan masalah baru (Re-Emerging Infectious Diseases) Emerging infectious diseases dapat terjadi karena: a. Mikroorganisme dapat terus berubah/ mutasi atau timbul yang baru b. Kepadatan penduduk. c. Faktor sosial ekonomi d. Faktor lingkungan. Emerging inectious diseases sebagian besar (tidak semua) berhubungan dengan zoonosis (penyakit yang berhubungan dengan hewan) dan mempunyai dampak internasional karena dapat terjadi PHBEIC (Public Health Emergency Of International Concern), suatu keadaan gangguan kesehatan (bisa penyakit, atau dampak kimia/ radiasi, dll) yang menjadi perhatian internasional yang dapat menyebar antar negara. Epidemiologi Emerging Infectious Diseases Penyakit-penyait infeksi terus menjadi tantangan utama di daerah Asia Tenggara. Diperkirakan bahawa penyakit bertanggung jawab atas sekitar 40% dari 14 juta kematian 2 setiap tahun di region Asia Tenggara dan sekitar 28% merupakan penyakit infeksi yang menjadi permasalahan global. Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases kembali mengancam derajat kesehatan masyarakat. Penyakit menular tergolong reemerging diseases yang menjadi perhatian saat ini adalah Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes, Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya, Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria dan lain-lain. Sedangkan kemunculan penyakit new emerging disease diantaranya ditandai dengan merebaknya Avian Flu mulai bulan Juni 2005 yang lalu, hingga tanggal 18 Maret 2007 telah mendekati ribuan Kasus dan sebanyak 86 orang diantaranya Positif Avian flu serta meninggal 65 orang. Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian kasus Avian flu pada manusia di Indonesia kini adalah 75,6 persen. Penyakit infeksi yang baru muncul (New Emerging Diseases) dan mengancam saat ini sebagian besar adalah penyakit bersumber binatang, misalnya SARS, Avian flu, Hanta-virus Pulmonary Syndrome, Hanta-virus infection with renal involvement, Japanese Encephalitis, Nipah diseases, West Nile Fever, dan E. Coli.4 Berikut adalah penjelasan dari beberapa Emerging Infectious Diseases yang pernah terjadi didunia: a. Infeksi virus hanta adalah penyakit infeksi paru yang jarang tapi serius, sering fatal, disebabkan oleh virus hanta tipe Sin Nombre, sedangkan tipe lain menyerang ginjal. Virus hanta ditemukan pada rodent, terutama di amerika utara. Tertular bila menghisap debu terkontaminasi liur, kencing, cairan tubuh virus yang terinfeksi. Dilaporkan beberapa jenis tikus tertentu di beberapa pelabuhan laut menunjukkan tes serologi positif terhadap virus hanta. b. Infeksi virus ebolam pertama kali ditemukan di sudan dan aire 1976. Kejadian Luar Biasa (KLB) berikutnya 1995, 2000-2001. Sampai deseber 2003 masih terjadi KLB di beberapa negara Afrika. Angka kematian 50-90%. Cara terinfeksi kontak langsung dengan darah, sekret, organ, dan cairan tubuh penderita/binatang terinfeksi. Reservoir alami adalah 3 primata dan kalelawaar. Dilaporkan bahwa tes serologi pada kera di Jawa Barat (tanggerang) dan lampung menunjukkan positif terhadap virus Ebola. c. Avian influenza disebabkan oleh virus influenza H5N1, terjadi KLB pada tahun 1997 dan 2003. Penyakit disebabkan oleh virus influenza yang menyerang unggas, burung, ayam. Menular dari unggas ke unggas, ke hewan lain dan ke manusia. Penularan dari manusia ke manusia kemungkinannya kecil tetapi potensial terjadi terutama bila terjadi mutasi. Secara kumulatif kasus avian influenza pada tahun 2007 mencapai 118 orang dan 95 diantaranya meninggal. Februari 2008 jumlah kasus 126 orang dan 103 meninggal dunia. Angka kematian mencapai 80,5%. d. SARS merupakan penyakit infeksi pada jaringan paru manusia, pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2003 yang disebabkan oleh Corona Virus Pnemunia yang bermutasi hingga terjadi pandemi. SARS memiliki angka penularan yang tinggi dan pada tahun 2003 WHO menetapkan SARS merupakan ancaman kesehatan global. Penularan infeksi melalui inhalasi pernapasan dari pasien yang menderita pada saat batuk atau bersin, atau kontaminasi tangan penderita. e. Influenza A baru disebabkan oleh virus influeza tipe H1N1. WHO mengumumkan pandemi global pada tahun 2009. Meskipun influenza yang ditimbulkan termasuk ringan, tetapi penyebarannya sangat mudah dari manusia ke manusia menyebabkan tingginya tingkat kesakitan karena virus influenza ini. Hingga sekarang karakteristik virus H1N1 masih tetap sama dengan karakteristik virus pertama yang terjadi di Meksiko, tetapi ada kekhawatiran perubahan atau mutasi genetik dari virus influenza A baru (H1N1) menjadi lebih berat daripada saat ini. f. HIV/AIDS merupakan penyakit yang mengancam penduduk dunia saat ini. Ditemukan pertama kali di amerika 20 tahun yang lalu. Penyakit ini adalah sekumpulan gejala yang terjadi akibat menurunyya daya tahan tubuh seseorang. Disebabkan oleh virus HIV yang ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang berulang kali dan bergantian, dll. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dari satu tingkat epidemi rendah yaitu prevalensi <1% tingkat epidemi terkonsentrasi dimana pada kelompok resiko tinggi tertentu telah melebihi 5% seperti di Sorong, Merauke, Riau untuk kelompok wanita pekerja seksual (WPS) dan Jakarta, Bali untuk kelompok Intravena Drugs Users (IDUs). Laporan HIV/AIDS di indonesia secara kumulatif tahun 2001 tercatat 671, HIV 1904 namun diperkirakan di indonesia teradapat 80.000-120.000 4 ODHA artinya dalam 10 taun mendatang kemungkinan akan ditemukan 100.000 orang yang sakit dan meninggal karena AIDS. g. Tuberkulosis (TB), membunuh manusia secara global daripada agen infeksi tunggal lainnya. Diperkirakan sepertiga populasi dunia (1,86 miliar jiwa) terinfeksi mikrobakterium tuberkulosis dan 16,2 miliar telah mengalami penyakit TB. Walaupun TB penyakit yang dapat diobati, karena kurangnya obat di beberapa negara, dan durasi pengobatan yang lama sehingga menimbulkan resistensi, akibatnya TB menjadi sulit untuk diterapi. h. Dengue Hemorragic Fever, merupakan infeksi Arbovirus yang membutuhkan perhatian di Asia Tenggara dengan 1,3 miliar jiwa manusia berisiko. Penyakit ini ditularkan oelh vektor nyamuk Aedes Aegepty. Peningkatan demam Dengue di area tropis dan subtropis disebabkan oleh faktor pertumbuhan populasi penduduk yang cepat, peningkatan urbanisasi, suplai air yang tidak adekuat dan pembuangan limbah yang tidak adekuat. i. Malaria, merupaka penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium. Menurut WHO hingga tahun 2005 malaria menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara. Penyakit ini menyerang 350-500 juta orang setiap tahunnya. Resistensi plasmodium terhadap obat malaria, resistensi vektor terhadap insektisida serta perpindahan penduduk dari dan ke daerah endemis merupakan faktor yang memperngaruhi meningkatnya masalah malaria. j. Pes adalah penyakit zoonotik yang disebabkan Yersinia Pestis, ditularkan melalui pinjal tikus (gigitan atau kontak dengan jaringan binatang terinfeksi). Tingkat kematian 50-60% bila tidak diobati. Daerah endemis adalah Asia, Afrika dan Amerika. Walaupun kasus pes terakhir ditemukan pada tahun 1970 tetapi Yersinia Pestis masih berhasil diisolasi sampai tahun 1972 di jawa tengah. Klasifikasi Emerging Infectious Disease 5 6 Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Emerging Infectious Diseases Penyakit yang berhubungan erat dengan negara berkembang, yang mana negara berkembang merupakan tempat ideal untuk munculnya dan penularan penyakit infeksi. Kemiskinan,populasi yang padat, deforestation, urbanisasi pemanasan global, struktur kesehatan yang lemah dan terabaikan merupakan karakteristik negara berkembang dan merupakan situasi ideal untuk munculnya penyakit infeksi. Sebagai hasilnya, menjadi beban kesehatan masyarakat. 1. Faktor demografi dan pertumbuhan ekonomi serta perubahan gaya hidup. Sekitar 77 juta jiwa bertambah setiap tahunnya di dunia, tahun 2015 diperkirakan akan ada 23 megacities dengan populasi melebihi 10 juta dimana tujuh diantaranya akan ada di asia tenggara. Kepadatan populasi yang tinggi menigkatkan potensi penyebaran penyakit dari orang ker orang, kecenderungan pemanasan global yang lebih hebat, jumlah pelancong yang besar, peningkatan kelaparan dan malnutrisi dan arus urbanisasi yang ekstensif. Di negara-negara Asia, 105 populasi diperkirakan berusia >65 tahun pada 2030. Proses penuaan ditandai dengan penurunan daya tahan dan peningkatan kerentanan terhadap emerging infectious. Perkembangan ekonomi di suatu negara selain memacu industrialisasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga dapat berakibat meningkatkan urbanisasi dan kepadatan di daerah perkotaan. Urbanisasi dan kepadatan penduduk di daerah perkotaan dapat menyebabkan masalah akibat keterbatasan berbagai sarana air bersih dan perumahan. Keadaan ini berdampak pada peningkatan terjadinya penyakit menular. Pertumbuhan ekonomi juga dapat berakibat perubahan gaya hidup seperti perilaku seksual dan penggunaan obat narkotika dan psikotropika. 7 Kemiskinan menyebabkan gangguan kesehatan dan sebaliknya gangguan kesehatan menyebabkan kemiskinan. Sekarang ini, kemiskinan merupakan tantangan diseluruh dunia. Perilaku masyarakat penggunaan obat-obatan terlarang dengan menggunakan jarum suntik yang sama, jarum tato yang tidak steril dan praktik tindik kulit menyebarkan penyakit yang ditularkan melalui darah seperti Hepatits C. Secara global, penggunaan injeksi yang berlebihan dan injeksi yang tidak aman diperkirakan menyebabkan 22,5 juta infeksi virus Hepatitis B, 2,7 juta infeksi Hepatitis C dan 98.000 infeksi HIV. 2. Kemajuan transportasi dan perjalanan internasional. Kemajuan di bidang transportasi mengakibatkan arus perjalanan antar daerah dan antar negara. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya kecepatan, kemampuan jelajah dan kapasitas angkut pesawat terbang. Kemudian transportasi ini berdampak pada meningkatnya interaksi antar penduduk antar daerah maupun antar negara sehingga meningkatkan risiko penularan berbagai penyakit menular. Perjalanan dan perdagangan internasional juga memfasilitasi perpindahan infeksi. Telah dilaporkan SARS merupakan salah satu penyakit yang perpindahan mikroorganismenya paling cepat. Avian influenza tersebar diseluruh dunia dalam waktu kurang dari 12 bulan. SARS dibawa melalui perjalanan udara internasional oleh orang terinfeksi ke 31 negara yang dilaporkan kemungkinan kasus SARS. 3. Faktor lingkungan. Air dan higiene yang baik adalah prasyarat kesehatan individual dan masyarakat. Secara global, diperkirakan 1 miliar penduduk tidak memiliki akses terhadap suplai air dan 2,5 miliar kurang memiliki sanitasi yang baik. Di asia tenggara, walaupun 86% populasi dinyatakan mendapat akses suplai air bersih, tetapi kualitas dan keamanan air dipertanyakan. Penyakit yang ditularkan melalui air terus menjadi masalah utama. Fasilitas sanitasi dasar yang lemah menyebabkan lebih dari 88 juta populasi di Asia Tenggara kurang mendapat fasilitas yang baik untuk pembuangan limbah. Perubahan lingkungan yang terjadi secara mendadak pada lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya emerging infections. Utamanya yang berkaitan dengan pembabatan hutan (deforestation) maupun penghutanan kembali (forestation). Keduanya dapat mengakibatkan perubahan ekologi. 8 Deforestation mengubah flora dan fauna, ekosistem diseluruh dunia telah rusak. Perubahan ini menyebabkan meningkatnya pemaparan serangga atau binatang lainnnya pada manusia. Jika binatang-binatang ini merupakan reservoir, vektor atau hospes perantara dari mikroorganisme atau parasit maka akan meningkatkan penularan vector borne diseases, zoonoses atau penyakit menular lainnya. Manusia hidup sangat dekat dengan binatang sejak waktu yang lama. Kedekatan ini, kontak yang terus menerus menyebabkan pertukaran mikroorganisme antara hewan dan manusia dan memberikan kesempatan untuk terjadi perubahan genetik organisme untuk menyesuaikan terhadap tubuh manusia dan memulai siklus baru untuk transmisi orang ke orang, misalnya SARS sesuai dengan fenomena ini. Infeksi zoonotik meningkat sesuai proporsi jumlah dan intensitas hewan yang kontak dengan manusia. Sebagai tambahan, peningkatan produksi daging juga meningkatkan infeksi zoonotik secara eksponensial. Emerging infectious dapat meningkat dari heawan dan burung dan merupakan bibit pandemi melalui perpindahan ke negara lain melalui migrasi atau perdagangan. Pemanasan global selama tiga tahun terakhir, terlihat bumi akan lebih panas 1-4°C dari abad 21. Hal ini akan mengubah distribusi vektor. Pada suhu yang lebih panas, parasit berkembang lebih cepat. Konsekuensinya akan ada peningkatan insidensi malaria dan dengue fever. 4. Sarana dan pelayanan kesehatan. Memiliki infrastruktur pelayanan kesehatan masyarakat yang baik dapat mencegah banyak infeksi. Keterbatasan atau kelemahan dalam sarana dan pelayanan kesehatan termasuk pengamatan penyakit (surveilans) dan keterbatasan kemampuan diagnostik laboratorium dalam mengidentifikasi kejadian penyakit memberikan kontribusi meningkatnya masalah emerging infectious diseases. Pelayanan kesehatan yang efisien tidak hanya cepat mendeteksi dan tanggap terhadap epidemik selama fase awal tetapi juga sensitif untuk menentukan titik infeksi baru atau infeksi patogen yang tidak dikenal. 5. Pengolahan makanan dan bahan makanan. Pengolahan, pengemasan dan pengiriman/distribusi makanan dan bahan makanan juga merupakan faktor berkembangnya emerging infectious diseases. Peningkatan produksi bahan makanan yang berasal dari tumbuh tumbuhan dan hewan melalui rekayasa 9 genetik, penggunaan bahan pengawet, penggunaan antibiotik dan pemakaian insektisida merupakan faktor yang dapat memberikan kontribusi. 6. Mutasi dan evolusi organisme. Organisme dapat mengalami mutasi atau evolusi. Mutasi ini akan menimbulkan strain baru mikroba. Strain baru organisme tersebut dapat menjadi resisten terhadap pengobatan. Mutasi juga dapat menyebabkan perubahan mikroba non-patogen menjadi patogen. Masalah Resistensi Terhadap Antimikroba. Resistensi antimikroba adalah resistensi mikroorganisme pada suatu obat antimikroba dimana sebelumnya mikroorganisme tersebut sensitif terhadap obat itu. Organisme yang resisten meliputi bakteri, virus dan beberapa parasit adalah organisme yang mampu bertahan terhadap obat antimikroba, seperti antibiotik, antiviral, antimalaria, sehingga pengobatan standar menjadi tidak efektif dan infeksi menetap dan dapat meluas ke yang lain. Resisten antimikroba adalah konsekuensi dari penggunaan atau penyalahgunaan obat natimikroba dan berkembang ketika suatu mikroorganisme bermutasi atau mendapat gen resisten. Resisten entimikroba menjadi perhatian dunia karena: a. Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah resisten, respon terhadap pengobatan standar sering gagal sehingga memperpanjang masa sakit dan memperbesar risiko kematian. b. Resistensi antimikroba mengurangi efektifitas pengobatan karena pasien masi dalam masa infeksius yang lebih lama, oleh karena itu potensial untuk menularkan mikroorganisme yang resisten pada orang lain. c. Banyak penyakit penyakit infeksi berisiko untuk menjadi tidak terkontrol dan akan menghambat kemajuan pencapaian target United Nation Millenium Development Goals (UN MDGs) 2015. d. Ketika infeksi menjadi resisten pada obat lini pertama, terapi pilihan yang harus diberikan menjadi lebih mahal. Semakin lama masa sakit dan pengobatan, meningkatkan biaya pelayanan kesehatan dan ancaman finansial terhadap keluarga masyarakat. 10 e. Pengobatan modern yang telah dicapai seperti transplantasi organ, kemoterapi dan operasi pembedahan menjadi sangat berisiko oleh karena adanya resistensi mikroba karena tanpa antimikroba yang efektif keberhasilan metode pengobatan tersebut menjadi menurun. f. Peningkatan perdagangan dan perjalanan global menyebabkan mikroorganisme yang resisten dapat menyebar antar negara dan benua. Fakta-fakta Resistensi Antimikroba: • Sekitar 440.000 kasus baru multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) timbul setiap tahun, menyebabkan 150.000 kematian. Extensively drug-resistant tuberculosis (XDRTB) dilaporkan telah ada di 64 negara saat ini. • Resitensi terhadap antimalaria generasi awal seperti klorokuin dan sulfadoksinpirimetamin tersebar luas di sebagian besar negara-negara endemis malaria. Parasit malaria falciparum resisten terhadap artemisin sedang timbul di Asia tenggara, Klirens infeksi setelah dimulai terapi menjadi tertunda (mengindikasikan adanya resistensi). • Tingginya persentase infeksi nosokomial adalah disebabkan bakteri sangat resisten seperti methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan vancomycin-resistant enterococci. • Resistensi menjadi perhatian untuk pengobatan infeksi HIV, karena semakin cepatnya akses untuk mendapatkan antiretroviral meluas akhir-akhir ini. Survei nasional sedang berlangsung untuk mendeteksi dan mengawasi resitensi. • Ciprofloxacin merupakan antibiotik yang direkmendasikan WHO untuk manajemen diare berdarah seperti shigella, saat ini masalah resistensi berkembang pada antibiotik lain yang sebelumnya masih efektif. Tetapi peningkatan prevalensi terhadap ciprofloxacin secara cepat mengurangi pilihan terapi shigellosis yang aman dan efektif, khususnya untuk anakanak. • Resistensi antimikroba menjadi masalah serius untuk pengobaan gonorea, meliputi generasi cephalosporin oral, dan peningkatan prevalensinya menyebar luas. Infeksi gonococcal yang tidak diterapi akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian, oleh karena itu mengganggu control infeksi menular seksual. International Health Regulation 2005 11 Penanggulangan dan pencegahan emerging infectious diseases menurut IHR 2005 dapat dibagi dalam beberapa pasal, yaitu: Pasal 18 Rekomendasi yang berkaitan dengan orang, bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos 1. Berbagai rekomendasi yang mungkin dikeluarkan oleh WHO menyangkut orang adalah : – Periksa riwayat perjalanan di wilayah yang terjangkit; – Periksa dokumen kesehatan termasuk hasil pemeriksaan laboratorium; – Diperlukan pemeriksaan kesehatan; – Periksa bukti vaksinasi atau profilaksis lain; – Diperlukan vaksinasi atau profilaksis lain; – Observasi orang yang kemungkinan menderita penyakit; – Karantina atau tindakan lain bagi orang yang kemungkinan menderita penyakit; – Isolasi dan bila diperlukan pengobatan bagi mereka yang sakit; – Pelacakan kontak dari tersangka penderita atau penderita – Tolak masuknya tersangka penderita atau terjangkit; – Tolak masuknya mereka yang sehat ke daerah terjangkit dan – Laksanakan penjaringan bagi mereka yang akan pergi ke luar negeri (exit-screening) dan/atau – Lakukan pembatasan masuknya orang dari daerah terjangkit; 2. Rekomendasi yang ditetapkan WHO yang berhubungan dengan bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos – Periksa daftar muatan dan rutenya; – Laksanakan pemeriksaan; – Periksa bukti tindakan yang dilakukan pada saat keberangkatan atau transit untuk menghilangkan infeksi atau kontaminasi; – Lakukan tindakan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos atau jenazah manusia untuk menghilangkan infeksi atau kontaminasi termasuk vektor dan reservoir; – Lakukan tindakan khusus untuk memastikan keamanan penanganan dan transportasi jenazah manusia; – Laksanakan isolasi atau karantina; – Sita dan hancurkan barang yang terinfeksi atau terkontaminasi atau bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang dan paket pos yang dicurigai, di bawah pengawasan, sebagai upaya terakhir dan 12 – Tolak keluar atau masuknya alat angkut. Pasal 20 Bandara dan Pelabuhan 1. Negara Anggota harus menentukan bandar udara dan bandar laut yang harus dikembangkan kemampuannya seperti yang ditentukan pada Lampiran-1. 2. Negara Anggota harus menjamin bahwa Sertifikat Bebas Pengawasan Sanitasi Kapal (SSCEC) dan Seritifikat Pengawasan Sanitasi Kapal (SSCC) diterbitkan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 dan contoh seperti pada Lampiran-3. 3. Setiap Negara Anggota harus mengirimkan ke WHO daftar pelabuhan yang berwenang untuk mengeluarkan: a) SSCC dan pemberian layanan seperti tercantum pada Lampiran-1 dan 3, atau b) SSCEC saja, dan c) Perpanjangan SSCEC dalam waktu satu bulan, sampai alat angkut tiba di pelabuhan di mana SSCEC bisa diperbaharui. Setiap Negara Anggota harus memberitahu WHO setiap perubahan yang terjadi pada daftar bandara/pelabuhan yang telah disampaikan sebelumnya. WHO harus memasukkan perubahan yang diterima sesuai dengan paragraf ini pada publikasi selanjutnya. 4. WHO, atas permintaan Negara Anggota, dapat mengeluarkan sertifikat, setelah melalui penilaian tertentu yang menyatakan bahwa suatu bandara/pelabuhan di wilayahnya telah memenuhi syarat yang ditentukan pada paragraf 1 dan 3 Pasal ini. Sertifikat yang telah dikeluarkan akan ditinjau secara periodik oleh WHO, dengan sepengetahuan Negara Anggota ybs. 5. WHO, bekerja sama dengan instansi antar pemerintah yang berwenang dan lembaga internasional, harus membuat pedoman sertifikasi bagi bandar udara dan bandar laut sesuai dengan Pasal ini. WHO harus menerbitkan daftar bandar udara dan bandar laut yang sudah memperoleh sertifikat. Pasal 23 Tindakan pada saat kedatangan dan keberangkatan 1. Mengacu pada penerapan perjanjian internasional yang telah disepakati dan Pasal yang relevan dari IHR, Negara Anggota, untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, pada saat kedatangan atau keberangkatan dapat mensyaratkan: (a) Yang menyangkut penumpang: – Informasi tentang tujuan penumpang, sehingga yang bersangkutan dapat dihubungi; 13 – Riwayat perjalanan penumpang, guna meyakinkan apakah ybs melakukan perjalanan ke atau dekat daerah terjangkit penyakit atau daerah terkontaminasi sebelum kedatangan, dan meneliti dokumen kesehatan penumpang bila disyaratkan dalam IHR; dan/atau – Pemeriksaan kesehatan non-invasif yang tidak begitu mengganggu namun mencapai tujuan yang diinginkan; (b) Pemeriksaan terhadap bagasi, kargo, petikemas, alat angkut, barang, paket pos dan jenazah manusia. 2. Berdasarkan bukti adanya risiko yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang diperoleh melalui tindakan yang dimuat dalam paragraf 1 Pasal ini, atau melalui cara lain, Negara Anggota dapat menerapkan tindakan tambahan sesuai dengan IHR, khususnya, dalam kaitan dengan seorang penumpang tersangka atau terjangkit penyakit, kasus demi kasus, dilakukannya pemeriksaan kesehatan dengan tingkat invasif dan gangguan minimal, guna mencegah penyebaran penyakit secara internasional. 3. Tanpa persetujuan penumpang atau orang tua atau walinya, tidak boleh dilakukan pemeriksaan kesehatan, vaksinasi, profilaksis atau tindakan penyehatan sesuai dengan IHR, kecuali disyaratkan pada paragraf 2 Pasal 31, dan sejalan dengan undang-undang dan kewajiban internasional dari Negara Anggota tersebut. 4. Para penumpang, orang tua atau walinya yang akan divaksinasi atau ditawari profilaksis sesuai dengan IHR, harus diberitahu lebih dahulu tentang risiko apabila divaksinasi atau tidak divaksinasi, risiko profilaksis atau tidak diprofilaksis, sejalan dengan undangundang dan kewajiban internasional dari Negara bersangkutan. Negara Anggota harus memberitahu para dokter yang praktek mengenai persyaratan ini sesuai dengan undangundang Negara tersebut. 5. Setiap pemeriksaan medik, prosedur medis, vaksinasi atau profilaksis lain yang mungkin menularkan penyakit hanya boleh dilakukan atau diberikan kepada penumpang sesuai dengan petunjuk atau standard nasional atau internasional, guna meminimalkan hal yang tidak diinginkan tersebut. Pasal 27 Alat angkut yang terpapar faktor risiko 1. Bila dijumpai tanda atau gejala klinis dan ada informasi tentang adanya suatu faktor risiko,sumber infeksi dan kontaminasi yang ditemukan pada suatu alat angkut, maka otorita yang berkompeten harus menganggap alat angkut tersebut terpapar suatu faktor risiko dapat melakukan tindakan sbb: 14 (a) Disinfeksi, dekontaminasi, hapus serangga, atau hapus tikus, atau meminta tindakan tersebut dilaksanakan pihak lain namun di bawah pengawasannya; dan (b) Menentukan bagi setiap tindakan tersebut metode yang menjamin tercapainya hasil seperti yang dikehendaki oleh IHR. Bila ada metode, bahan atau perlengkapan yang disarankan oleh WHO untuk melakukan tindakan ini maka hal tersebut hendaknya diterapkan kecuali kalau otorita yang berkompeten menetapkan metode lain yang tingkat keamanan dan keandalannya sama dengan yang disarankan WHO. Otorita yang berkompeten dapat melakukan tindakan tambahan bila dianggap perlu, termasuk mengisolasi alat angkut, untuk mencegah penyebaran penyakit. Tindakan tambahan ini harus dilaporkan kepada focal-point ihr nasional. Pasal 28 Kapal laut dan Pesawat udara pada saat berada di Pintu Masuk 1. Sesuai dengan pasal 43 atau mengacu pada perjanjian internasional yang ada, suatu kapal laut atau pesawat udara, tidak boleh dilarang untuk berlabuh di suatu pintu masuk dengan alasan dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, bila pintu masuk ini tidak dilengkapi peralatan untuk melaksanakan tindakan yang dibutuhkan sesuai dengan IHR , maka kapal laut atau pesawat udara tersebut dapat diperintahkan untuk menuju pintu masuk dengan risiko sendiri, kecuali kalau kapal laut atau pesawat udara tersebut mengalami masalah tehnis, sehingga membuatnya tidak aman untuk melanjutkan perjalanan. 2. Sesuai dengan Pasal 43 atau mengacu pada perjanjian internasional yang ada, maka kapal laut atau pesawat udara, harus diberi free pratique. Selanjutnya tidak boleh dicegah untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, bongkar muat kargo, mengambil bahan bakar, air, makanan dan pasokan lainnya. Negara Anggota dapat mempertimbangkan untuk tidak memberikan free paratique, apabila ternyata setelah melakukan pemeriksaan ditemukan sumber infeksi atau kontaminasi di atas kapal, dilakukan hapus hama, dekontaminasi, hapus serangga atau hapus tikus, atau perlu dilakukannya tindakan lain guna mencegah penyebaran infeksi atau kontaminasi. 3. Bila memungkinkan dan tidak bertentangan dengan paragraf sebelumnya, suatu Negara Anggota harus memberikan fre pratique melalui radio atau melalui alat komunikasi lainnya kepada suatu kapal laut atau pesawat udara, bila, berdasarkan informasi yang diterima sebelum kedatangannya, Negara Anggota berpendapat bahwa kedatangan kapal laut atau pesawat udara tersebut tidak akan menyebarkan penyakit. 15 4. Nahkoda kapal laut atau pilot pesawat terbang atau agennya harus memberitahu pengawas pelabuhan atau bandara tujuan sedini mungkin sebelum kedatangan, tentang kemungkinan adanya penyakit yang mungkin menular atau adanya faktor risiko di atas kapal segera setelah mereka ketahui. Informasi ini harus segera disampaikan kepada otorita yang berkompeten di pelabuhan atau bandara tersebut. Dalam keadaan mendesak, informasi tersebut harus disampaikan langsung kepada otorita pelabuhan atau bandara yang relevan. 5. Hal berikut harus dilakukan bila suatu pesawat udara atau kapal laut yang tersangka atau terpapar suatu penyakit, yang karena sesuatu hal di luar kendali pilot atau nahkoda, terpaksa mendarat atau berlabuh di tempat lain: (a) Pilot atau nahkoda atau orang lain yang bertugas harus segera berupaya untuk memberitahu otorita berwenang yang terdekat; (b) Segera setelah otorita yang berkompeten diberitahu tentang pendaratan, ia dapat melakukan tindakan yang direkomendasikan WHO atau tindakan lain yang sesuai dengan IHR (c) apabila diperlukan untuk keperluan darurat atau untuk berkomunikasi dengan otorita yang berkompeten, para penumpang tidak diperbolehkan meninggalkan tempat pendaratan/berlabuh. Demikian pula halnya dengan kargo, kecuali diizinkan oleh otorita yang berkompeten; dan (d) Bila semua tindakan yang disyaratkan oleh otorita yang berkompeten telah selesai, pesawat udara atau kapal laut dapat melanjutkan perjalanan ke tempat tujuannya. Apabila karena alasan teknis ia tidak dapat melakukannya, ia melanjutkan ke bandara atau pelabuhan yang dapat dicapai dengan mudah. 6. Meski berbagai ketentuan telah ditetapkan pada Pasal ini, nahkoda atau pilot dapat mengambil tindakan darurat yang diperlukan bagi keamanan dan kesehatan para penumpang. Ia harus memberitahu otorita yang berkompeten secepat mungkin, setiap tindakan yang telah diambil sesuai dengan paragraf ini. Pasal 30 Penumpang yang sedang diobservasi Sesuai dengan Pasal 43 atau yang diperkenankan oleh perjanjian internasional terkait, seorang penumpang yang dicurigai menderita penyakit yang sewaktu datang sedang dalam status observasi, dapat melanjutkan perjalanannya ke negara lain, bila ia diyakini tidak akan menyebarkan penyakit dan Negara Anggota memeberitahu otorita yang berkompeten di pintu 16 masuk negara tujuan, bila diketahui, tanggal kedatangan penumpang tersebut. Begitu tiba, penumpang tersebut harus melapor kepada otorita tersebut. Pasal 31 Tindakan yang berhubungan dengan masuknya penumpang 1. Pemeriksaan medik yang invasif, vaksinasi atau profilaksis lainnya, tidak boleh dijadikan syarat masuk bagi setiap penumpang ke wilayah suatu Negara Anggota, kecuali, sesuai dengan Pasal 32, 42 dan 45, IHR, tidak menghalangi Negara Anggota guna melakukan pemeriksaan medik, vaksinasi atau profilaksis lainnya atau menunjukkan bukti vaksinasi atau profilaksis lainnya: (a) Bila diperlukan untuk menentukan ada tidaknya faktor risiko. (b) Sebagai suatu persyaratan masuk bagi setiap penumpang yang akan tinggal sementara atau tetap; (c) Sebagai suatu persyaratan masuk bagi setiap penumpang sesuai dengan pasal 43 atau Lampiran-6 dan 7; atau (d) Dilaksanakan sesuai dengan Pasal 23. 2. Bila suatu Negara mensyaratkan pemeriksaan medik, vaksinasi atau profilaksis lain sesuai dengan paragraf-1 Pasal ini kepada seorang penumpang yang tidak menyetujui suatu tindakan atau menolak memberikan informasi atau dokumen sebagaimana dimaksud pada paragraf 1 (a) Pasal 23, maka Negara tersebut , sesuai dengan Pasal 32, 42 dan 45 dapat menolak masuknya penumpang tersebut. Bila ada bukti akan adanya faktor risiko yang dapat mengancam kesehatan masyarakat, Negara tersebut dapat, sesuai dengan undangundang Negara-nya dan ketentuan yang diperlukan untuk mengendalikan risiko tersebut, memaksa penumpang tersebut menjalani atau menyarankan penumpang tersebut, sesuai dengan paragraf-3 Pasal-23, untuk menjalani: – Pemeriksaan Medik yang paling tidak invasif dan mengganggu, yang dapat mencapai tujuan yang dikehendaki; atau – Vaksinasi atau profilaksis lain, atau – Tindakan tambahan tertentu,yang dapat mencegah atau mengendalikan penyebaran penyakit, termasuk isolasi, karantina, atau dalam status observasi. Pasal 32 Perlakuan terhadap penumpang 17 Dalam pelaksanaan tindakan yang sesuai dengan IHR, Negara Anggota harus menghormati martabat, hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan meminimalkan setiap tindakan yang tidak nyaman atau menyusahkan, yang terkait dengan tindakan tersebut, termasuk: (a) memperlakukan semua penumpang dengan sopan dan rasa hormat; (b) mempertimbangkan aspek jender, sosial budaya, etnis atau agama penumpang; dan (c) menyediakan atau membantu menyediakan makanan dan air yang mencukupi, akomodasi dan pakaian yang memadai, perlindungan terhadap bagasi dan barang lain miliknya, pengobatan medis yang tepat, alat komunikasi yang diperlukan, bila mungkin dalam bahasa mereka, dan bantuan lain yang dibutuhkan bagi penumpang yang dikarantina, diisolasi atau yang harus menjalani pemeriksaan kesehatan atau prosedur lain untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Pasal 33 Barang dalam Transit Sesuai dengan Pasal 43 atau bila diperbolehkan oleh perjanjian internasional yang berlaku, barang, selain hewan hidup, sewaktu transit tanpa pergantian kapal, tidak boleh dilakukan tindakan yang diatur dalam IHR, atau ditahan untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Pasal 34 Petikemas dan wilayah untuk memuat petikemas 1. Negara Anggota harus menjamin, sejauh mungkin, agar para pengirim petikemas menggunakan peti kemas yang bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir, khususnya selama proses pengemasan. 2. Negara Anggota harus menjamin, sejauh mungkin, agar wilayah untuk memuat petikemas dijaga bebas dari sumber infeksi atau kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir. 3. Bila, menurut pendapat Negara Anggota, volume petikemas dalam lalu-lintas internasional cukup besar, maka otorita yang berkompeten harus mengambil seluruh tindakan sesuai dengan IHR ini, termasuk melakukan pemeriksaan, menilai kondisi sanitasi dari wilayah tempat memuat petikemas dan petikemasnya, guna memastikan bahwa kewajiban yang termuat dalam IHR dilaksanakan. 4. Fasilitas bagi pemeriksaan dan isolasi petikemas harus, sejauh mungkin, tersedia di wilayah tempat memuat petikemas. 5. Penerima dan pengirim petikemas harus melakukan segala upaya untuk mencegah kontaminasi silang akibat digunakannya alat muat petikemas yang multiguna. 18 Tugas dan Peran KKP dalam Pelaksanaan IHR 2005 adalah sebagai berikut: a. Melaksanakan pemantauan alat angkut, kontainer, dan isinya yang datang dan pergi b. Dari daerah terjangkit, serta menjamin bahwa barang-barang diperlakukan dengan baik dan tidak terkontaminasi dari sumber infeksi, vektor, dan reservoar. c. Melaksanakan dekontaminasi serta pengendalian vektor dan reservoar terhadap alat angkut yang digunakan oleh orang yang bepergian. d. Melakukan pengawasan deratisasi, disinfeksi disinseksi dan dekontaminasi. e. Menyampaikan saran/rekomendasi kepada operator alat angkut guna melakukan pemeriksaan lengkap terhadap alat angkut atau kendaraannya. f. Melakukan pengawasan pembuangan sisa-sisa bahan yang terkontaminasi (seperti air, makanan, dan sisa pembuangan manusia) g. Melakukan pemeriksaan dan pemantauan terhadap pembuangan sisa-sisa bahan ala angkut yang dapat menimbulkan pencemaran dan penyakit. h. Melakukan pengawasan terhadap agen pelaksana perjalanan dan angkutan di wilayah kedatangan. i. Melakukan pemeriksaan yang dibutuhkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, sesuai dengan kebutuhan (emergency case). j. Melakukan komunikasi dengan National IHR Focal Point. k. Melaksanakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh WHO untuk setiap kedatangan dari daerah tertular apabila terindikasi bahwa pemeriksaan keberangkatan dari daerah terinfeksi dianggap tidak benar/tidak sah. l. Melaksanakan prosedur disinseksi, deratisasi, desinfeksi, dekontaminasi, serta pemeriksaan sanitasi lainnya dengan tidak menyebabkan atau seminimalnya kecelakaan, ketidak nyamana dan kerusakan Fungsi KKP adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan Kekarantinaan b. Pelaksanaan Upaya Kesehatan c. Pelaksanaan Pengendalian Risiko Lingkungan d. Pelaksanaan Investigasi KLB dan Kasus-kasus Tertentu Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Emerging Infectious Diseases Pencegahan dan Penangggulangan Penyakit Menular 19 Yang dimaksud dengan penanggulangan penyakit menular (kontrol) adalah upaya untuk menekan peristiwa penyakit menular dalam masyarakat serendah mungkin sehingga tidak merupakan gangguan kesehatan bagi masyarakat tersebut. EID adalah penyakit menular. Oleh karena itu, kebijakan pencegahan dan penanggulangannya mengikuit prinsip dan pola pemberantasan penyakit menular umumnya, yaitu pemutusan rantai penularan antara host, agent, environment dengan upaya-upaya sebagai berikut: 1. Penemuan dan pengobatan/ tatalaksana penderita Upaya ini mencakup penemuan penderita melalui pemeriksaan dan penentuan diagnosis yang ditindaklanjuti dengan pengobatan yang teat dan segera. Dalam proses diagnosis dapat mencakup pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Upaya ini dilaksanakan pada penanggulangan semua penyakit menular. 2. Pencegahan dan penanggulangan risiko Upaya ini dilaksanakan pada penanggulangan penyakit menular yang teknologi pencegahan dan penanggulangan faktor risikonya telah dietahui, misalnya dengan imunisasi, peningkatan status gizi, dan peningkatan hyegine perorangan, peningkatan pelaksanaan surveilans epidemiologi faktor resiko. 3. Penanggulangan vektor Upaya ini dilaksanakan pada penanggulangan penyakit menular yang ditularkan vektor seperti vektor malaria (nyamuk anopheles) dengan penyemprotan; vektor DBD, dan yellow fever (nyamuk Ades aegypti) dengan fogging, abatisasi,dan pembasmian sarang nyamuk (PSN). Demikian juga halnya denga pemberantasan tikus di kapal sebagai vektor penyakit pes dengan cara fumigasi. 4. Pengamatan penyakit/surveilans Surveilans epidemiologi adalah pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit terntentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam satu kelompok penduduk untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. Surveilans penyakit menular adalah suatu keguatan pengumpulan data teratu, peringkasan dan analisis data kasus baru dari semua jenis penyakit infeksi dengan tujuan untuk identifikasi kelompok resiko tinggi dalam masyarakat, memahami cara penularan penyakit, serta berusaha memutuskan rantaiu penularan. Dalam hal ini setiap kasus harus 20 dilaporkan secara lengkap dan tepat. Keterangan mengenai tiap kasus meliputi diagnosis penyakit, tanggal mulainya timbul gejala, keterangan tentang orang yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan nomor telepon (bila ada), serta sumber rujukan bila penderita hasil rujukan (dokter, klinik, Puskesmas, dll). Seperti diketahui bahwa peran surveilans dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah sebagai berikut: a. Memantau perkembangan penyakit menular dari waktu ke waktu sehingga dapat diketahui peningkatan atau penurunan kejadian penyakit tertentu. b. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya peningkatan kasus kejadian luar biasa (KLB)/wabah sehingga langkah pencegahan dan penanggulangannya dapat segera dilaksanakan. c. Menyelidiki/menginvestigasi penyakit untuk mengetahui sumber penyakit, penyebab penyakit, faktor yang mempengaruhinya, pola penularan dan penyebarannya, serta penanggulangannya. d. Menangkal masuknya penyakit menular dari luar negeri. e. Surveilans merupakan kegiatan yang terpenting dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanggulangan Emerging infection karena adanya kecenderungan peningkatan penyakit tertentu dapat diidentifikasi melalui kegiatan ini. 5. Perbaikan lingkungan pemukiman dan penyediaan sarana air bersih Upaya ini dilaksanakan untuk menanggulangi penyakit menular yang peyebarannya berkaitan erat dengan lingkungan dan air seperti kolera. 6. Penyuluahn Kesehatan masyarakat dan peningkatan peran serta masyarakat Upaya penanggulangan semua penyakit menular memerlukan dukungan penyuluhan kesehatan masyarakat. Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular juga memerlukan dukungan peran serta masyarakat dan dukungan lintas program dan lintas sektor terkait. Program Pemberantasan Emerging Infectious Diseases 21 Program pemberantasan EID tergantung pada penyakit infeksinya. EID yang telah ada program pemberantasannya adalah antara lain: penyakit arbovirus termasuk DHF, Penyakit malaria, dan penyakit zoonosis (pes, Taeniasis, Japanese Enchepalitis), penyakit TB paru, Penyakit infeksi saluran nafas atas, dan HIV/AIDS. HIV/AIDS Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia terdiri atas upaya pencegahan, termasuk peningkatan kualitas dan akses pelayanan kesehatan reproduksi; pengobatan, dukungan dan perawatan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS; dan surveilans. Upaya pencegahan juga ditujukan kepada populasi beresiko tinggi seperti pekerja seks komersial dan pelanggannya, orang yang telah terinfeksi dan pasangannya, para pengguna napza suntik serta pekerja kesehatan yang mudah terinfeksi oleh HIV/AIDS. Aksesibilitas penderita terhadap pelayangan kesehatan ditingkatkan dengan memperluas rumah sakit rujukan pada tahun 2005 menjadi 50 rumah sakit dan 10 rumah sakit ditunjuk sebagai pusat rehabiltasi pecandu napza. Pada wilayah kabupaten /kota dengan prevalensi HIV/AIDS 5% atau lebih, secara konsisten dilakukan upaya kolaborasi dengan pemberantasan penyakit tuberkulosis. Pemerintah juga memberikan subsidi penuh obat anti retroviral (ARV), obat tuberkulosis, reagen tes HIV, serta diagnosa/pengobatan melalui rumah sakit rujukan. Malaria Pencegahan malaria diintensifkan melalui pendekatan Roll back Malaria (RBM) yang dioperasionalkan dalam Gerakan Berantas Kembali (Gebrak) Malaria sejak tahun 2000, dengan strategi deteksi dini dan pengobatan yang tepat; peran serta aktif masyarakat dalam pencegahan malaria; dan perbaikan kapasitas personil kesehatan yang terlibat. Yang juga penting adalah kegiatan terintegrasi dari pembasmian malaria dengan kegiatan lain, seperti Manajemen Terpadu Balta Sakit dan promosi kesehatan. Upaya pemberantasan malaria di Indonesia saat ini terdiri dari delapan kegiatan yaitu: 1. Diagnosis awal dan pengobatan yang tepat 2. Pemakaian kelambu dengan insektisida 3. Penyemprotan dengan racun serangga 4. Surveilans deteksi aktif dan pasif 22 5. Survei demam dan surveilans migran 6. Deteksi dan kontrol epidemik 7. Pemberantasan larva dengan larvasida 8. Capacity building Untuk menanggulangi strain yang resisten terhadap klorokuin, pemerintah pusat dan daerah menggunakan kombinasi baru obat–obatan malaria untuk memperbaiki kesuksesan pengobatan. Tuberkulosis (TB) Pemerintah Indonesia menetapkan pengendalian tuberkulosis sebagai prioritas kesehatan nasional. Pada tahun 1999, telah dicanangkan Gerakan Nasional Terpadu Pemberantsan Tuberkulosis atau Gerdunas untuk mempromosikan percepatan pemberantasan tuberkulosis dengan pendekatan integratif, mencakup rumah sakit dan sektor swastadan semua pengambil kebijakan lain, termasuk penderita dan masyakata. Pada tahun 2001, semua propinsi dan kabupaten telah mencanangkan Gerdunas, meskipun tidak semua operasional secara penuh. Untuk membangun pondasi pemberantasan tuberkulosis yang berkelanjutan, telah ditetapkan Rencana Strategis Program Penangulangan Tubekulosis 2002-2006. Pemerintah Indonesia juga menyediakan sejumlah besar dana untuk pengendalian tuberkulosis. Mulai tahun 2005, upaya ini didukung oleh pemberian pelayanan kesehatan termasuk pemeriksaan, obat-obatan dan tindakan medis secra gratis bagi seluruh penduduk miskin. Avian Influenza Outbreak highly pathogenic avian influenza pada Desember 2003 dilaporkan di peternakan di Asia Tenggara. Pada bulan Juli 2004 dilaporkan merebak lagi dan telah mengenai peternakan di Vietnam, Thailand, China, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Turki, Rusia, Romania, dan Kazakhstan. Selanjutnya dilaporkan dari Kroasia dan Mongolia ditemukan AI pada burung liar yang bermigrasi antar negara. Kasus ini sangat penting karena diperkirakan bertanggung jawab atas penyebaran AI (Avian Influenza) antar negara. Sampai 23 dengan 12 Januari 2006, total kasus AI yang telah teridentifikasi pada manusia mencapai 160 kasus, kira-kira separuhnya adalah kasus fatal. Dalam penanggulangan kejadian Avian Influenza yang telah meresahkan dunia, WHO telah memprakarsai dokumen Global Stategy for The Progressive Control of Highly Pathogenic Avian Influenza sebagai visi global bagi rnecana aksi terkoordinasi menghadapi penyakit yang mewabah. Pada tahun 2002 disepakati Global Agenda on Influenza Surveilance and Control, 2003 resolusi WHA di Genawa, serta Mei 2004 diadakan training dan Workshop Influenza Surveilance di tokyo dengan kesepakatan workshop bahwa surveilans influenza dilaksanakan terintegarasi dengan sistem surveilans nasional. Surveilans influenza yang dimaksud meliputi virologi, kesiagaan wabah, kebijakan tentang vaksinasi. Penangkalan Masuknya EID dari luar negeri Menurut Keputusan Menteri 612/Menkes/SK/V/2010 tentang Kesehatan Republik Indonesia nomor Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan pada Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia, upaya peningkatan pelaksanaan tindakan kekarantinaan di pintu masuk/ di luar pintu masuk negara dipandang perlu dalam rangka melaksanakan amanah International Health Regulation (IHR) 2005 guna mencegah penularan dan penyebaran penyakit potensial wabah yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia. Kebijakan untuk menangkal masuknya penyakitmenular ke Indonesia mengacu pada International Health Regulation (IHR) yang berprinsip maximum protection with minimum restriction, Khususnya dalam kaitannya dengan lalu lintas internsional. Selain itu, juga dilakukan himbauan agar kontak penderita segera menghubungi sarana kesehatan terdekat jika muncul gejala penyakit serupa. Untuk mencegah masuknya penyakit menular dari luar negeri ke Indonesia harus diperhatikan cara penularannya dan kecepatan penularannya. Dalam penangkalan penyakit menular dari luar negeri, unit terdepan adalah kantor kesehatan pelabuhan (KKP). Oleh karena itu, KKP perlu berperan dalam surveilans. Langkah kegiatan surveilans di bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas darat (PLBD) yang dilakukan KKP: 1. Melakukan skiring terhadap seluruh penumpang dengan alat pemindai demam (Thermo Scanner) yang terletak sebelum pintu sekuriti. Penumpang yang terdeteksi demam segera dibwa ke ruang karantina untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sesuai petunjuk pelaksana tindakan kekarantianan di bandara, pelabuhan, dan PLBD. 24 2. Menyeleksi Helath Alert Card (HAC) yang telah diisi penumpang dan mengecek kartu identitas diri untuk mengetahui apakah berasal dari wilayah penanggulangan. 3. Penumpang yang berasal dari wilayah penanggulangan dibawa ke ruang karantina untuk dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai petunjuk pelaksanaan tindakan kekarantinaan di bandara, pelabuhan, dan PLBD. 4. Petugas surveilans KKP merekapitulasi hasil seleksi HAC, skrining, dan dilaporkan ke posko KLB kabupaten/kota. Selain melakukan pengamatan terhadap gejala yang mucul pada orang yang masuk melalui bandara/ pelabuhan/PLBD, KKP juga memberikan penyuluhan terhadap orang sehat yang mempunyai faktor resiko tertular, yaitu agar segera melapor pada sarana kesehatan terdekat jika muncul gejala penyakit. Langkah–Langkah Strategis untuk Pencegahan dan Penangulangan Emerging Infectious Diseases Memantapkan Surveilans Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyabaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Surveilans merupakan unsur yang penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan EID. Langkah ini mecakup: 1. Peningkatan kemampuan surveilans dalam mendeteksi adanya EID, melaksanakan penyelidikan/investigasi secara dini, memantau atau memonitor munculnya patogrn baru dan penyakit yang diakibatkannya serta faktor yang mempengaruhi penularannya. 2. Peningkatan upaya penangkalan penyakit menular dari luar negeri termasuk peningkatan peranan KKP. 3. Pelaksanaan Kegiatan surveilans resistensi antimikroba. 4. Peningkatan kerjasama internasional termsuk pengembangan jaringan pertukaran informasi antar negara 5. Peningkatan pelaksanaan sistem kewaspadaan dini Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah. Memantapkan Sarana Kesehatan 25 Langkah-langkah ini mencakup: 1. Peningkatan kemampuan saran kesehatan diberbagai tingakt adiministrasi agar mampu melaksanakan pemeriksaan, diagnosis, dan pengobatan serta dapat mendukung pelaksanaan surveilans dan pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan EID. 2. Peningkatan sarana laboratorium kesehatan melalui penyediaan bahan dan sarana yang diperlukan termsuk pelatihan tenaga agar kemapuan laboratorium dalam diagnosis penyakit menular meningkat. Melaksanakan Penelitian Terapan Penelitian memiliki peranan yang penting selama wabah, dalam mengindentifikasi agen penyebab, mengembangkan alat diagnostik, modul pelaksanaan kasus, dan strategi pencegahan. Pengetahuan perlu diumumkan melalui penelitian dan diinterpretasikan, dievaluasi dan ditransfer unutk meningkatkan praktik pencegahan dan pengontrolan EID. Kebanyakan penelitian merupakan tambahan, membangun pengetahuan yang ada sebelumnya untuk menemukan kegunaan yang lebih baik. Keseluruhan EID dan faktor yang mempengaruhinya harus dimengerti dalam perpektif di Asia melalui pemahaman: 1. Faktor lingkungan, yang memfasilitasi muculnya, adanya dan transmisi dari penyakit ini, khususnya vector- borne dan infeksi zoonotik. Faktor ini umumnya meliputi deforestasi, pengembangan proyek, pemanasan global, urban ekologi, penentuan populasi yangb beresiko, dinamika penularan anara hewan liar dan domestik. 2. Evolusi dari agen infeksi yang patogenik, menghasilkan perubahan pada kemampuan menginfeksi, virulensi, transmisi, dan adaptasi berdasarkan identifikasi dari perbuahan molekul khususnya komposisi genetik dari mikroorganisme tersebut. 3. Faktor host, yang memfasilitasi timbulnya infeksi dan penyebarannya meliputi penggunaan anti miroba dan imunosupresan dan faktor proteksi dari host. 4. Pengembangan alat diagnostik terbaru, yang dapat mendukung diagnosis secara cepat dan akurat di lapangan; aplikasi biomedis dari teknologi abru seperti penginderaan jauh dan GIS untuk meningkatkan kemampuan prediksi ke depan wabah penyakit menular; contoh secara matematis yang dapat memfasilitasi dinamika penyebaran dan vaksin serta alat intervensi lainnya. 26 5. Kesenjangan sosial dan faktor–faktor perilaku, yang mempengaruhi distibusi dari munculnya penyakit, ketentuan mereka dan populasi yang paling mempengaruhi, dan 6. Dampak perubahan lingkuangan dan variasi iklim dalam kemunculan mikroba. Penelitian ilmiah juga diperlukan untuk memandu kebijakan publik; mengembangkan kebijakan berbasis bukti utuk penggunaan rasional anti mikroba pada manusia, hewan, dan lingkungan dan perumusan insektisida dan pestisida yang aman dan ramah lingkungan. Demikian pula pada penelitian pada dampak perubahan lingkungan dan variasi iklim dalam kemunculan mikroba dapat menjadi informasi pada diskusi kebijakan penggunaan tanah, pembuangan limbah (sampah), pengaturan sumber air, dan kebijakan agrikultural. Langkah dalam penelitian terapan ini mencakup; 1. Penelitian yang hasilnya dpat meningkatkan kemampuan dalam menegakkan diagnosis secara tepat dan kemampuan dalam menentuakan antimikroba yang tepat untuk patogen suatu penyakit menular. 2. Peningkatan kerjasama antar pakar ilmu laboratorium dan pakar ilmu epidemiologi untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan masyarakat Memantapkan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Langkah-langkah ini mencakup: 1. Pemamfaatan hasil dari kegiatan surveilans, pemantapan sarana kesehatan, dan penelitian terapan; agar kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakti menular dapat makin meningkat. 2. Peningkatan komunikasi dantara pengelola dan pelaksan program–program kesehatan dalam penyebaran informasi tentang EID dan mempercepat dimulainya pelaksanaan strategi pencegahan EID. 3. Pelaksanaan penyuluhan kepada masyarakat tentang EID dengan melibatkan media massa agar media massa tidak memberitakan berita yang sensasional. Koordinasi Lintas-Sektor dan Lintas-Program Koordinasi, komunikasi dan kerjasama lintas–program dan lintas-sektor dalam pencegahan dan penanggulangan EID adalah kegiatan yang sangat penting dilakukan agar pelaksanaan pencegahan dan penangulangan EID di pintu masuk negara dapat berjalan 27 dengan optimal. Seperti diketahui bahwa semua program kesehatan banyak melibatkan stake holder. Hal ini sesuai dengan latar belakang dan faktor–faktor yang mempengaruhi munculnya EID yang sangat kompleks. Sebagai contoh: Penanggulangan Influenza A baru (H1N1), avian Influenza, SARS, dan lainnya dapat dikatakan mencakup sektor sektor dalam lingkup kesejahteraan rakyat (Kesra) dan di luar lingkup kesra seperti pariwisata, perhubungan, hubungan luar negeri, bea cukai, imigrasi, dll. Dengan demikian keterlibatan program/sektor tertentu juga ditentukan oleh epidemiologi penyakit termsuk cara penularannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua sektor dan semua program terkait, termasuk masyarakat, harus turut bertanggung jawab dalam pencegahan dan penanggulangan emerging infectious ini.