hasil dan pembahasan

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Fitokimia Ekstrak Sampel
Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun salam, daun
jambu biji dan daun jati belanda positif mengandung flavonoid, fenolik
hidrokuinon, triterpenoid, steroid, tanin dan alkaloid. Namun keberadaan saponin
tiap ekstrak tersebut berbeda. Kandungan saponin yang terbanyak terdapat pada
ekstrak daun salam sedangkan pada ekstrak daun jati belanda tidak terdapat
saponin (Tabel 1), dengan tidak terbentuknya busa pada saat pengocokan. Hasil
penelitian ini juga sedikit berbeda dengan laporan Ekawati (2007) karena ekstrak
daun salam dalam penelitiannya tidak mengandung senyawa steroid. Demikian
pula Indariani (2006) melaporkan bahwa ekstrak daun jambu biji tidak
mengandung alkaloid dan triterpenoid.
Perbedaan kandungan senyawa dalam tanaman ini dipengaruhi antara lain
oleh jenis tanah, curah hujan, ketinggian dan lingkungan sekitarnya dan umur
tanaman, sehingga kandungan senyawa dan komposisinya dapat berbeda-beda
(Indariani, 2006). Seperti contohnya tanaman daun salam dari kota Cianjur yang
curah hujannya 107-2260 mmm/tahun, kandungan kuersetinnya sebesar 0,725 %
sedangkan kota sukabumi yang memiliki curah hujan lebih tinggi yaitu 1378-3597
mm/tahun, kandungan kuersetinnya lebih rendah yaitu hanya sebesar 0,3 % (PSB
2006 dalam Ekawati 2007).
Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati
belanda
Uji Fitokomia
Daun salam
Ekstrak
Daun jambu biji
Daun jati
belanda
Saponin
+++
++
Flavonoid
+++
+++
++++
Fenolik hidrokuinon
++++
++++
++
Triterpenoid
+
+
+
Steroid
++
++++
++
Tannin
++++
++++
++
Alkaloid
Wagner
++++
+++
++++
Meyer
++++
+++
+++
Dragendorf
++++
+++
+++
Ket : (+) : Rendah , (++) : Sedang, (+++) : Tinggi, (++++) : Sangat tinggi
Penelitian Rachmawaty (2005) menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia
terutama kandungan triterpenoid terbanyak terdapat pada tanaman pegagan yang
tumbuh pada naungan 25% (intensitas cahaya matahari yang tinggi). Warna daun dari
tanaman itu sendiri juga membedakan kandungan senyawa kimia dari ekstrak
tanaman tersebut. Penelitian yang dilakukan Ridwan dan Ayunita (2007)
menyatakan bahwa pada daun miana dengan warna gelap kandungan senyawa
golongan flavonoidnya lebih tinggi dibandingkan dengan miana dengan warna
daun yang terang. Selain itu daun Miana dengan warna gelap memiliki kandungan
saponin dalam jumlah besar.
Perbedaan kandungan metabolit sekunder pada beberapa penelitian ini
dikarenakan uji fitokimia yang dilakukan hanyalah uji kualitatif sehingga hasil yang
diperoleh kurang sensitif selain itu ekstrak yang digunakan juga hanya ekstrak kasar
dan belum dimurnikan. Selain itu tempat asal tanaman tersebut juga berbeda sehingga
mempengaruhi kandungan fitokimia dari tanaman tersebut.
Keberadaan saponin dari ketiga ekstrak yang digunakan pada penelitian ini
berbeda satu sama lain. Seperti yang telah diketahui bahwa keberadaan senyawa
saponin dalam tumbuhan berkhasiat sebagai antioksidan. Menurut Hernani dan
Rahardjo (2005) senyawa saponin terutama golongan glikosida mampu
menurunkan kolesterol dan menghambat kanker. Selain itu saponin yang
terkandung pada akar kuning dan temulawak mampu menghambat peningkatan
konsentrasi lipid peroksida (Adji 2004). Dengan tidak adanya keberadaan saponin
pada ekstrak daun jati belanda ini maka dapat diduga bahwa potensi antioksidasi
dari daun jati belanda lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak daun salam. Ini
sesuai dengan hasil uji potensi antioksidasi yang dilakukan dengan metode TBA
potensi antioksidasi ekstrak daun salam lebih tinggi daripada potensi antioksidasi
ekstrak daun jati belanda (Lampiran 4).
Oksidasi Asam Linoleat Metode TBA dan Pengaruh Vitamin E
Pengukuran konsentrasi MDA dilakukan setelah hari ke-4 yaitu hari ke-6,
karena menurut Kikuzaki dan Nakatani (1993) pengukuran potensi antioksidan
dengan metode TBA lebih baik dilakukan setelah satu atau beberapa hari dari
puncak absorbansi asam linoleat, ketika hidroperoksida telah mengalami
dekomposisi membentuk MDA. Pengukuran dilakukan umumnya setelah terjadi
tingkat oksidasi asam linoleat maksimum karena pada saat itu juga terbentuk
MDA maksimum yang dihasilkan dari reaksi oksidasi lipid (Kikuzaki dan
Nakatani 1993). Berdasarkan oksidasi asam linoleat yang dilakukan pada
penelitian ini selama 8 hari diperoleh hasil bahwa pada hari ke-4 pembentukan
hidroperoksida telah mencapai maksimum (Gambar 8).
Penelitian ini menggunakan vitamin E 200 ppm sebagai standar karena
vitamin E pada konsentrasi ini memiliki persen inhibisi hampir 100 %. Hasil
penelitian Satria (2005) daya hambat vitamin E 200 ppm sebesar 93,0 %
sedangkan Indariani (2005) melaporkan bahwa potensi antioksidasi vitamin E 200
ppm sebesar 92,11 %. Pada penelitian ini penambahan vitamin E sebesar 200 ppm
mampu menghambat proses oksidasi asam linoleat sebesar 94,02 %.
Potensi antioksidan dari semua jenis tanaman dapat diketahui melalui
perbandingan nilai absorbansi yang menggambarkan konsentrasi MDA. Nilai
absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi MDA dan berbanding terbalik
dengan potensi antioksidan. Nilai absorbansi yang rendah menunjukkan bahwa
suatu tanaman memiliki potensi antioksidan yang tinggi. Secara statistik,
konsentrasi MDA pada asam linoleat dengan penambahan vitamin E jauh lebih
kecil daripada konsentrasi asam linoleat tanpa antioksidan. Ini berarti bahwa
vitamin E memiliki potensi sebagai antioksidan sangat tinggi (Gambar 9). Vitamin
E merupakan antioksidan yang berperan mencegah terjadinya proses oksidasi
dalam tubuh, di mana kolesterol LDL yang menembus dinding arteri dapat
menyumbat pembuluh darah setelah mengalami oksidasi (Jishage et al. 2005).
Penentuan Waktu Inkubasi As Linoleat
Absorbansi
0,934 0,943
0,999 0,975
0,926
0,854 0,838
0,522
0,096
0
2
4
6
8
10
Hari Ke
Gambar 8 Nilai absorbansi hidroperoksida maksimum terhadap waktu
5
4,50 ± 0,64
4
[MDA] 3
(µM)
2
1
0,27 ± 0,31
Jenis Perlakuan
Gambar 9 Konsentrasi MDA asam linoleat dan vitamin E
Pengaruh Ekstrak Daun Salam, Ekstrak Daun Jambu Biji dan Ekstrak
Daun Jati Belanda terhadap Oksidasi Asam Linoleat
Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun salam, daun jambu biji dan
daun jati belanda masing-masingnya terdiri atas dua konsentrasi yaitu 100 ppm
dan 200 ppm. Hasil analisis statistik yang menggunakan rancangan faktorial RAL,
menunjukkan bahwa dosis yang digunakan yaitu 100 ppm dan 200 ppm tidak
berpengaruh nyata (p>0,05). Dari ketiga ekstrak yang digunakan, potensi
antioksidasi terbesar terdapat pada ekstrak daun salam 100 ppm yaitu 68,17 % dan
potensi antioksidasi yang terkecil terdapat pada ekstrak daun jati belanda 200 ppm
yaitu 46,10 % (Gambar 10).
Dari hasil analisis statistik, ketiga ekstrak yang digunakan pada penelitian
ini menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 6). Oleh karena itu
perlu dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan untuk melihat
perbedaan potensi antioksidan ketiga ekstrak.
Berdasarkan uji Duncan diketahui potensi antioksidasi ekstrak daun salam
tidak berbeda nyata dengan ekstrak daun jambu biji, namun berbeda nyata dengan
ekstrak daun jati belanda. Potensi antioksidasi ekstrak daun jambu biji tidak
berbeda nyata dengan ekstrak daun jati belanda dan ekstrak daun salam (p=0,05).
Hal ini dimungkinkan karena kandungan fitokimia ekstrak daun salam dan daun
jambu biji hampir sama jenis senyawa kimianya.
Daya Hambat Oksidasi (%)
100,00
90,00
80,00
70,00
60,00
50,00
94,02
Asam Linoleat 1
Vitamin E 200 ppm-1
68,1766,46
59,27
53,66
51,22
46,10
Ekstrak Daun Salam 100 ppm1
Ekstrak Daun Salam 200 ppm1
Gambar 10 Potensi antioksidasi ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati
belanda
Aktivitas antioksidan dari ketiga ekstrak ini mungkin diperoleh dari
senyawa aktif yang dikandungnya seperti tannin, flavonoid, dan alkaloid. Pada uji
fitokimia terhadap ketiga ekstrak yang digunakan, kandungan alkaloid, flavonoid
dan tanin menunjukkan hasil yang positif.
Ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda telah banyak
dipublikasikan sebagai obat tradisional yang berpotensi sebagai antioksidan.
Senyawa bahan alam yang diduga berperan sebagai antioksidan adalah senyawa
flavonoid (Gambar 11). Flavonoid dapat membantu memberikan perlindungan
terhadap penyakit kanker, penuaan, aterosklerosis, peradangan (inflamasi) dan
penyakit neurodegeneratif (Parkinson dan Alzheimer) bersama dengan vitamin
antioksidan dan enzim.
Studi epidemiologi
telah
menunjukkan
bahwa
asupan
flavonoid
berbanding terbalik dengan kematian akibat penyakit jantung koroner dan
kejadian serangan jantung (Buhler dan Miranda C. 2000). Menurut Giovannini et
al. (2007), senyawa polifenol memiliki aktivitas antioksidan dan dapat mengatur
proses apoptosis dengan cara-cara yang berbeda tergantung pada konsentrasi,
sistem sel, jenis atau tahap proses patologis. Senyawa flavonoid memiliki aktivitas
antioksidan karena dapat bertindak sebagai pemutus rantai dan penangkap radikal.
Aktivitas ini tergantung struktur kimia mereka yang mempengaruhi kekuatan
antioksidan mereka (Saija et al. 1995, Giovannini et al. 2007).
B
A
C
Gambar 11 Struktur (a) flavon (2-fenil-1,4-benzopiron), (b) isoflavon
dan (c) neoflavonoid
Menurut Saija et al. 1995, aktivitas antioksidan dari flavonoid tidak hanya
ditentukan oleh struktur kimianya tetapi juga lokasi flavonoid tersebut di dalam
membran
Senyawa flavonoid mempengaruhi lipid plasma dan lipoprotein
mengurangi kolesterol plasma dan trigleserida. Senyawa flavonoid juga
memberikan efek perlindungan fungsi platelet dan penghambatan hemostasis
agregasi platelet. Senyawa flavonoid dapat menghambat pertumbuhan plak
aterosklerosis dengan mengurangi ekspresi molekul adesi, memberikan aksi anti
inflamasi, dan menghalangi oksidasi LDL (Saija et al. 1995, Giovannini et al.
2007, Pietta 2000).
Kemampuan Ekstrak Daun Salam, Daun Jambu Biji dan Daun Jati Belanda
dalam Memodulasi Apoptosis Sel Khamir (Saccharomyces cerevisiae).
Telah dilaporkan bahwa koloni khamir yang mengalami apoptosis dapat
dibedakan dari koloni normal. Salah satu petanda koloni yang mengalami
apoptosis yaitu berubah menjadi koloni petit disebabkan karena kehilangan
kemampuan respirasi pada mitokondria (disfungsi mitokondria) akibat proses
apoptosis sehingga laju pertumbuhan sel-sel khamir yang mengalami apoptosis
jauh lebih lambat dari sel-sel khamir normal (Madigan et al. 2000). Akibatnya
bentuk koloni dan ukuran sel khamir yang berubah menjadi koloni petit menjadi
lebih kecil (Gambar 12).
Media petit yang digunakan untuk uji apoptosis ini memiliki komposisi
yang sedikit berbeda dengan media standar (YEPD). Konsentrasi glukosa pada
media petit dibuat seminimal mungkin untuk hanya menumbuhkan sel khamir
yang petit.
A
B
Gambar 12 Foto koloni sel khamir (Saccharomyces cerevisiae) ekstrak daun
salam 100 ppm pada (a) Sel normal dan (b) Sel Petit
Sel khamir yang mengalami apoptosis akibat kerusakan pada mitokondria
tidak dapat memanfatkan etanol sebagai sumber karbon. Dengan konsentrasi
glukosa yang minimum, sel khamir yang telah mengalami apoptosis dapat tetap
tumbuh namun dengan ukuran yang kecil (Gambar 12A). Sedangkan sel yang
tidak mengalami apoptosis dapat memanfaatkan etanol sebagai sumber karbon
karena mitokondrianya tidak mengalami kerusakan sehingga sel khamir tetap
tumbuh dengan baik (Gambar 12B).
Untuk penghitungan frekuensi petit pada penelitian ini dilakukan dengan
uji petit. Uji petit yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan kontrol
glukosa sebagai kontrol positif
karena menurut Granot dan Snyder (1991),
glukosa 2 % dapat menginduksi apoptosis pada sel khamir (Saccharomyces
cerevisiae). Uji apoptosis frekuensi petit dengan induksi oleh glukosa ini
menunjukkan hasil yang positif, glukosa memberikan pengaruh untuk membuat
sel khamir menjadi petit. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa sel
yang sedang mengalami apoptosis akan menunjukkan karakteristik morfologis
antara lain pengerutan sel atau petit (Ligr et al. 1998).
Dari hasil penelitian terlihat bahwa jumlah petit pada kontrol glukosa 4 %
cukup tinggi yaitu mencapai lebih dari 60%. Pada kontrol aquades terlihat jumlah
petitnya hanya 35,05 % (Gambar 13). Glukosa dapat menyebabkan kematian sel
khamir dalam beberapa jam tanpa penambahan nutrisi lain untuk mendukung
pertumbuhannya. Glukosa dapat memicu kematian sel yang ditandai dengan
produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang cepat, degradasi RNA dan DNA,
kerusakan membran, fragmentasi dan penyusutan inti sel (Granot et al. 2003).
Gambar 13 Foto koloni pada (a) kontrol glukosa 4 % dan (b) kontrol aquades
Mitokondria
merupakan
organela
yang
berperan
penting
dalam
metabolisme respirasi untuk menghasilkan ATP. Kerusakan pada fungsi DNA
mitokondria menyebabkan mutan tidak dapat melakukan respirasi dan akibatnya
tidak lagi dipengaruhi oleh Efek Pasteur, misalnya supresi oksigen selama
glikolisis. Peristiwa ini diduga menyebabkan laju fermentasi etanol menjadi lebih
tinggi. Mutasi pada DNA mitokondria akan menghasilkan mutan yang disebut
mutan petit (Hutter et al. 1998).
Frekuensi petit ekstrak daun salam konsentrasi 100 ppm paling kecil
diantara ekstrak daun jambu biji dan ekstrak daun jati belanda yaitu 21,22%
(Gambar 14) yang berarti terjadi penghambatan apoptosis. Frekuensi petit ekstrak
daun salam 100 ppm lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak daun jambu biji
100 ppm dan ekstrak daun jati belanda 100 ppm. Ekstrak daun jambu biji 100
ppm lebih tinggi frekuensi petitnya dibandingkan dengan ekstrak daun jati
belanda 100 ppm. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun salam 100
ppm yang paling tinggi kemampuannya dalam menghambat apoptosis (p<0,05).
Pada kosentrasi ekstrak 200 ppm, frekuensi petit yang paling besar
dihasilkan oleh ekstrak daun jambu biji 200 ppm yaitu 63,99% (Gambar 15).
Hasil analisis statistik, frekuensi petit ekstrak daun salam 200 ppm tidak berbeda
nyata dengan ekstrak daun jati belanda 200 ppm dan ekstrak daun jambu biji 200
ppm (p<0,05).
Kemampuan
ketiga
ekstrak
ini
tehadap
kemampuanya
menghambat apoptosis sel khamir (Saccharomyces cerevisiae) hampir sama. Hal
ini dikarenakan kandungan senyawa kimia ketiga ekstrak ini hampir sama karena
semua ekstrak positif mengandung flavonoid.
Konsentrasi 100 ppm
% Petit
70,00
63,62
60,00
A
50,00
40,00
Kontrol Glukosa
47,80
48,68
AB
AB
Kontrol Aquades
29,63
30,00
21,22
CD
20,00
Ekstrak Daun Salam 100
ppm-1
Ekstrak Daun Jambu Biji
100 ppm-1
D
Ekstrak Daun Jati Belanda
100 ppm-1
10,00
0,00
Gambar 14 Frekunsi Petit ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati
belanda pada konsentrasi 100 ppm
Konsentrasi 200 ppm
% Petit
70,00
64,36
60,00
A
63,99
52,21
50,00
40,00
30,00
AB
35,05
BC
AB
Kontrol Glukosa
51,83
Kontrol Aquades
AB
Ekstrak Daun Salam 200
ppm-1
20,00
Ekstrak Daun Jambu Biji
200 ppm-1
10,00
Ekstrak Daun Jati Belanda
200 ppm-1
0,00
Gambar 15 Frekuensi Petit ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati
belanda pada konsentrasi 200 ppm
Senyawa flavonoid dapat mempengaruhi apoptosis dengan modulasi
tingkat ekspresi protein antiapoptosis (Bcl-2, Bcl-xl) atau proapoptosis (Bax, Bid,
Bak) (Nam et al. 2001). Beberapa senyawa bahan alam lainnya yang masih
golongan senyawa polifenol seperti Kaemferol (senyawa fenol pada anggur
merah) menghambat induksi apoptosis dalam VSMCs oleh 7ß-hidroksikolesterol
(komponen oksidasi LDL) ( Ruiz et al. 2006). Penelitian terbaru menunjukkan
bahwa flavonoid menghambat apoptosis dalam jaringan miokardial dan
melindungi sel normal (Nandave et al. 2005).
Meskipun telah dipahami bahwa flavonoid menghambat apoptosis, namun
mekanisme di balik ini masih belum jelas. Mekanisme efek anti apoptosis
flavonoid mencakup antara lain, penghambatan aktivasi jalur caspase dan
pemulihan fungsi mitokondria, penghapusan substrat caspase 3, penghambatan
H2O2 yang dimediasi oleh gangguan transisi permeabilitas mitokondria sebagai
ekspresi berlebih dari protein apoptogenik Bcl-2, Bcl-2 dan Bcl-x, dan
meningkatkan bahan bakar pernafasan menjadi energi mitokondria dengan
meningkatkan produksi ATP (Nandave et al. 2005).
Penelitian-penelitian
mengenai
peran
senyawa
flavonoid
sebagai
antioksidan yang dapat menghambat atau memicu apoptosis telah memberikan
gambaran bahwa senyawa bahan alam yang terkandung dalam ekstrak-ekstrak
yang digunakan pada penelitian ini juga berperan dalam memodulasi apoptosis
baik sebagai penghambat apoptosis atau sebagai pemicu apoptosis. Namun
senyawa yang sangat berperan penting dalam memodulasi ini belum bisa
dipastikan secara jelas karena masih perlu dilakukan penelitian yang lebih
mendalam lagi.
Daya Tahan Hidup Sel Khamir (Saccharomyces cerevisiae) setelah
Penambahan Ekstrak Daun Salam, Daun Jambu Biji Dan Daun Jati
Belanda.
Daya tahan hidup sel khamir yang telah diberi perlakuan diuji dengan
menumbuhkan kembali sel-sel tersebut pada media standar yaitu media YEPD
dan diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam. Jumlah sel yang hidup merupakan
indikasi ketahanan hidup sel atas beberapa perlakuan yang dilakukan, yang juga
merupakan cerminan adanya peristiwa apoptosis. Menurut Trancikova et al.
(2004), sel yang terakumulasi ROS akan kehilangan daya tahan hidup lebih tinggi
dari pada sel normal.
Kondisi sel khamir banyak juga yang mengalami kontaminasi hal ini
dikarenakan terlalu lamanya waktu inkubasi. Untuk kontrol glukosa 100 ppm
misalnya dari 167 koloni setelah 24 jam menjadi 22 koloni setelah 48 jam
(Gambar 16). Hasil penelitian secara umum terlihat bahwa daya tahan hidup
koloni semakin berkurang dan ada sebagian sel khamir yang tidak ada sama sekali
karena telah mengalami kematian (Gambar 16 dan Gambar 17). Hasil analisis
statistik yang dilakukan menunjukkan tidak adanya pengaruh antara lamanya
inkubasi dengan jumlah koloni yang timbul (p>0,05). Hal ini dimungkinkan
karena datanya tidak terlalu banyak. Analisis statistik juga menunjukkan bahwa
dosis yang digunakan pada penelitian ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah koloni yang timbul (p>0,05) karena konsentrasi dosis yang digunakan
tidak terlalu jauh perbedaannya. Hasil analisis statistik yang dilakukan untuk
melihat ada tidaknya korelasi antara potensi antioksidasi ekstrak daun salam, daun
jambu biji dan daun jati belanda terhadap frekuensi petit masing-masing ekstrak
menunjukkan hasil yang negatif yaitu -0,457 (Lampiran 15).
Inkubasi 24 Jam
Inkubasi 48 Jam
Jumlah Koloni
Jumlah Koloni
332
350
350
285
300
Kontrol Glukosa 100 ppm-1
227
250
200
Kontrol Aquades 100 ppm-1
300
Kontrol Glukosa 100 ppm-1
Kontrol Aquades 100 ppm-1
250
Ekstrak Daun Salam 100 ppm-1
200
167
Ekstrak Daun Jambu Biji 100 ppm-1
Ekstrak Daun Salam 100 ppm-1
141
150
150
111
100
50
Ekstrak Daun Jambu Biji 100
ppm-1
100
Ekstrak Daun Jati Belanda 100
ppm-1
50
Ekstrak Daun Jati Belanda 100 ppm-1
78
28
22
23
0
0
1
1
A
B
Gambar 16 Jumlah koloni ekstrak daun salam, jambu biji danjati belanda pada
konsentrasi 100 ppm setelah (A) 24 jam dan (B) 48 jam
Inkubasi 48 Jam
Inkubasi 24 Jam
Jumlah Koloni
Jumlah Koloni
350
350
276
300
250
200
150
100
185
139
Kontrol Glukosa 200 ppm-1
300
Kontrol Aquades 200 ppm-1
250
Ekstrak Daun Salam 200 ppm-1
137
Kontrol Glukosa 200 ppm-1
Kontrol Aquades 200 ppm-1
200
Ekstrak Daun Salam 200 ppm-1
Ekstrak Daun Jambu Biji 200 ppm-1
71
Ekstrak Daun Jati Belanda 200 ppm1
50
0
150
111
98
100
76
55
61
Ekstrak Daun Jambu Biji 200
ppm-1
Ekstrak Daun Jati Belanda 200
ppm-1
50
0
1
1
A
B
Gambar 17 Jumlah koloni ekstrak daun salam, jambu biji dan jati belanda pada
konsentrasi 200 ppm setelah (A) 24 jam dan (B) 48 jam
Ini berarti bahwa semakin besar potensi antioksidasi suatu ekstrak maka
frekuensi petitnya akan semakin kecil. Ini sesuai dengan hipotesis dari penelitian
ini yaitu ekstrak yang digunakan pada penelitian ini yaitu ekstrak daun salam,
daun jambu biji dan daun jati belanda dapat menghambat terbentuknya petit
sehingga dapat dikatakan ekstrak-ekstrak ini dapat menghambat terjadinya
apoptosis. Namun bila diasumsikan p=0.05 maka bisa disimpulkan bahwa antara
potensi antioksidasi ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda
dengan frekunsi petit tidak memiliki hubungan linear karena P-value>alpha.
Download