HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Fitokimia Ekstrak Sampel Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda positif mengandung flavonoid, fenolik hidrokuinon, triterpenoid, steroid, tanin dan alkaloid. Namun keberadaan saponin tiap ekstrak tersebut berbeda. Kandungan saponin yang terbanyak terdapat pada ekstrak daun salam sedangkan pada ekstrak daun jati belanda tidak terdapat saponin (Tabel 1), dengan tidak terbentuknya busa pada saat pengocokan. Hasil penelitian ini juga sedikit berbeda dengan laporan Ekawati (2007) karena ekstrak daun salam dalam penelitiannya tidak mengandung senyawa steroid. Demikian pula Indariani (2006) melaporkan bahwa ekstrak daun jambu biji tidak mengandung alkaloid dan triterpenoid. Perbedaan kandungan senyawa dalam tanaman ini dipengaruhi antara lain oleh jenis tanah, curah hujan, ketinggian dan lingkungan sekitarnya dan umur tanaman, sehingga kandungan senyawa dan komposisinya dapat berbeda-beda (Indariani, 2006). Seperti contohnya tanaman daun salam dari kota Cianjur yang curah hujannya 107-2260 mmm/tahun, kandungan kuersetinnya sebesar 0,725 % sedangkan kota sukabumi yang memiliki curah hujan lebih tinggi yaitu 1378-3597 mm/tahun, kandungan kuersetinnya lebih rendah yaitu hanya sebesar 0,3 % (PSB 2006 dalam Ekawati 2007). Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda Uji Fitokomia Daun salam Ekstrak Daun jambu biji Daun jati belanda Saponin +++ ++ Flavonoid +++ +++ ++++ Fenolik hidrokuinon ++++ ++++ ++ Triterpenoid + + + Steroid ++ ++++ ++ Tannin ++++ ++++ ++ Alkaloid Wagner ++++ +++ ++++ Meyer ++++ +++ +++ Dragendorf ++++ +++ +++ Ket : (+) : Rendah , (++) : Sedang, (+++) : Tinggi, (++++) : Sangat tinggi Penelitian Rachmawaty (2005) menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia terutama kandungan triterpenoid terbanyak terdapat pada tanaman pegagan yang tumbuh pada naungan 25% (intensitas cahaya matahari yang tinggi). Warna daun dari tanaman itu sendiri juga membedakan kandungan senyawa kimia dari ekstrak tanaman tersebut. Penelitian yang dilakukan Ridwan dan Ayunita (2007) menyatakan bahwa pada daun miana dengan warna gelap kandungan senyawa golongan flavonoidnya lebih tinggi dibandingkan dengan miana dengan warna daun yang terang. Selain itu daun Miana dengan warna gelap memiliki kandungan saponin dalam jumlah besar. Perbedaan kandungan metabolit sekunder pada beberapa penelitian ini dikarenakan uji fitokimia yang dilakukan hanyalah uji kualitatif sehingga hasil yang diperoleh kurang sensitif selain itu ekstrak yang digunakan juga hanya ekstrak kasar dan belum dimurnikan. Selain itu tempat asal tanaman tersebut juga berbeda sehingga mempengaruhi kandungan fitokimia dari tanaman tersebut. Keberadaan saponin dari ketiga ekstrak yang digunakan pada penelitian ini berbeda satu sama lain. Seperti yang telah diketahui bahwa keberadaan senyawa saponin dalam tumbuhan berkhasiat sebagai antioksidan. Menurut Hernani dan Rahardjo (2005) senyawa saponin terutama golongan glikosida mampu menurunkan kolesterol dan menghambat kanker. Selain itu saponin yang terkandung pada akar kuning dan temulawak mampu menghambat peningkatan konsentrasi lipid peroksida (Adji 2004). Dengan tidak adanya keberadaan saponin pada ekstrak daun jati belanda ini maka dapat diduga bahwa potensi antioksidasi dari daun jati belanda lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak daun salam. Ini sesuai dengan hasil uji potensi antioksidasi yang dilakukan dengan metode TBA potensi antioksidasi ekstrak daun salam lebih tinggi daripada potensi antioksidasi ekstrak daun jati belanda (Lampiran 4). Oksidasi Asam Linoleat Metode TBA dan Pengaruh Vitamin E Pengukuran konsentrasi MDA dilakukan setelah hari ke-4 yaitu hari ke-6, karena menurut Kikuzaki dan Nakatani (1993) pengukuran potensi antioksidan dengan metode TBA lebih baik dilakukan setelah satu atau beberapa hari dari puncak absorbansi asam linoleat, ketika hidroperoksida telah mengalami dekomposisi membentuk MDA. Pengukuran dilakukan umumnya setelah terjadi tingkat oksidasi asam linoleat maksimum karena pada saat itu juga terbentuk MDA maksimum yang dihasilkan dari reaksi oksidasi lipid (Kikuzaki dan Nakatani 1993). Berdasarkan oksidasi asam linoleat yang dilakukan pada penelitian ini selama 8 hari diperoleh hasil bahwa pada hari ke-4 pembentukan hidroperoksida telah mencapai maksimum (Gambar 8). Penelitian ini menggunakan vitamin E 200 ppm sebagai standar karena vitamin E pada konsentrasi ini memiliki persen inhibisi hampir 100 %. Hasil penelitian Satria (2005) daya hambat vitamin E 200 ppm sebesar 93,0 % sedangkan Indariani (2005) melaporkan bahwa potensi antioksidasi vitamin E 200 ppm sebesar 92,11 %. Pada penelitian ini penambahan vitamin E sebesar 200 ppm mampu menghambat proses oksidasi asam linoleat sebesar 94,02 %. Potensi antioksidan dari semua jenis tanaman dapat diketahui melalui perbandingan nilai absorbansi yang menggambarkan konsentrasi MDA. Nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi MDA dan berbanding terbalik dengan potensi antioksidan. Nilai absorbansi yang rendah menunjukkan bahwa suatu tanaman memiliki potensi antioksidan yang tinggi. Secara statistik, konsentrasi MDA pada asam linoleat dengan penambahan vitamin E jauh lebih kecil daripada konsentrasi asam linoleat tanpa antioksidan. Ini berarti bahwa vitamin E memiliki potensi sebagai antioksidan sangat tinggi (Gambar 9). Vitamin E merupakan antioksidan yang berperan mencegah terjadinya proses oksidasi dalam tubuh, di mana kolesterol LDL yang menembus dinding arteri dapat menyumbat pembuluh darah setelah mengalami oksidasi (Jishage et al. 2005). Penentuan Waktu Inkubasi As Linoleat Absorbansi 0,934 0,943 0,999 0,975 0,926 0,854 0,838 0,522 0,096 0 2 4 6 8 10 Hari Ke Gambar 8 Nilai absorbansi hidroperoksida maksimum terhadap waktu 5 4,50 ± 0,64 4 [MDA] 3 (µM) 2 1 0,27 ± 0,31 Jenis Perlakuan Gambar 9 Konsentrasi MDA asam linoleat dan vitamin E Pengaruh Ekstrak Daun Salam, Ekstrak Daun Jambu Biji dan Ekstrak Daun Jati Belanda terhadap Oksidasi Asam Linoleat Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda masing-masingnya terdiri atas dua konsentrasi yaitu 100 ppm dan 200 ppm. Hasil analisis statistik yang menggunakan rancangan faktorial RAL, menunjukkan bahwa dosis yang digunakan yaitu 100 ppm dan 200 ppm tidak berpengaruh nyata (p>0,05). Dari ketiga ekstrak yang digunakan, potensi antioksidasi terbesar terdapat pada ekstrak daun salam 100 ppm yaitu 68,17 % dan potensi antioksidasi yang terkecil terdapat pada ekstrak daun jati belanda 200 ppm yaitu 46,10 % (Gambar 10). Dari hasil analisis statistik, ketiga ekstrak yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 6). Oleh karena itu perlu dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan untuk melihat perbedaan potensi antioksidan ketiga ekstrak. Berdasarkan uji Duncan diketahui potensi antioksidasi ekstrak daun salam tidak berbeda nyata dengan ekstrak daun jambu biji, namun berbeda nyata dengan ekstrak daun jati belanda. Potensi antioksidasi ekstrak daun jambu biji tidak berbeda nyata dengan ekstrak daun jati belanda dan ekstrak daun salam (p=0,05). Hal ini dimungkinkan karena kandungan fitokimia ekstrak daun salam dan daun jambu biji hampir sama jenis senyawa kimianya. Daya Hambat Oksidasi (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 94,02 Asam Linoleat 1 Vitamin E 200 ppm-1 68,1766,46 59,27 53,66 51,22 46,10 Ekstrak Daun Salam 100 ppm1 Ekstrak Daun Salam 200 ppm1 Gambar 10 Potensi antioksidasi ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda Aktivitas antioksidan dari ketiga ekstrak ini mungkin diperoleh dari senyawa aktif yang dikandungnya seperti tannin, flavonoid, dan alkaloid. Pada uji fitokimia terhadap ketiga ekstrak yang digunakan, kandungan alkaloid, flavonoid dan tanin menunjukkan hasil yang positif. Ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda telah banyak dipublikasikan sebagai obat tradisional yang berpotensi sebagai antioksidan. Senyawa bahan alam yang diduga berperan sebagai antioksidan adalah senyawa flavonoid (Gambar 11). Flavonoid dapat membantu memberikan perlindungan terhadap penyakit kanker, penuaan, aterosklerosis, peradangan (inflamasi) dan penyakit neurodegeneratif (Parkinson dan Alzheimer) bersama dengan vitamin antioksidan dan enzim. Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa asupan flavonoid berbanding terbalik dengan kematian akibat penyakit jantung koroner dan kejadian serangan jantung (Buhler dan Miranda C. 2000). Menurut Giovannini et al. (2007), senyawa polifenol memiliki aktivitas antioksidan dan dapat mengatur proses apoptosis dengan cara-cara yang berbeda tergantung pada konsentrasi, sistem sel, jenis atau tahap proses patologis. Senyawa flavonoid memiliki aktivitas antioksidan karena dapat bertindak sebagai pemutus rantai dan penangkap radikal. Aktivitas ini tergantung struktur kimia mereka yang mempengaruhi kekuatan antioksidan mereka (Saija et al. 1995, Giovannini et al. 2007). B A C Gambar 11 Struktur (a) flavon (2-fenil-1,4-benzopiron), (b) isoflavon dan (c) neoflavonoid Menurut Saija et al. 1995, aktivitas antioksidan dari flavonoid tidak hanya ditentukan oleh struktur kimianya tetapi juga lokasi flavonoid tersebut di dalam membran Senyawa flavonoid mempengaruhi lipid plasma dan lipoprotein mengurangi kolesterol plasma dan trigleserida. Senyawa flavonoid juga memberikan efek perlindungan fungsi platelet dan penghambatan hemostasis agregasi platelet. Senyawa flavonoid dapat menghambat pertumbuhan plak aterosklerosis dengan mengurangi ekspresi molekul adesi, memberikan aksi anti inflamasi, dan menghalangi oksidasi LDL (Saija et al. 1995, Giovannini et al. 2007, Pietta 2000). Kemampuan Ekstrak Daun Salam, Daun Jambu Biji dan Daun Jati Belanda dalam Memodulasi Apoptosis Sel Khamir (Saccharomyces cerevisiae). Telah dilaporkan bahwa koloni khamir yang mengalami apoptosis dapat dibedakan dari koloni normal. Salah satu petanda koloni yang mengalami apoptosis yaitu berubah menjadi koloni petit disebabkan karena kehilangan kemampuan respirasi pada mitokondria (disfungsi mitokondria) akibat proses apoptosis sehingga laju pertumbuhan sel-sel khamir yang mengalami apoptosis jauh lebih lambat dari sel-sel khamir normal (Madigan et al. 2000). Akibatnya bentuk koloni dan ukuran sel khamir yang berubah menjadi koloni petit menjadi lebih kecil (Gambar 12). Media petit yang digunakan untuk uji apoptosis ini memiliki komposisi yang sedikit berbeda dengan media standar (YEPD). Konsentrasi glukosa pada media petit dibuat seminimal mungkin untuk hanya menumbuhkan sel khamir yang petit. A B Gambar 12 Foto koloni sel khamir (Saccharomyces cerevisiae) ekstrak daun salam 100 ppm pada (a) Sel normal dan (b) Sel Petit Sel khamir yang mengalami apoptosis akibat kerusakan pada mitokondria tidak dapat memanfatkan etanol sebagai sumber karbon. Dengan konsentrasi glukosa yang minimum, sel khamir yang telah mengalami apoptosis dapat tetap tumbuh namun dengan ukuran yang kecil (Gambar 12A). Sedangkan sel yang tidak mengalami apoptosis dapat memanfaatkan etanol sebagai sumber karbon karena mitokondrianya tidak mengalami kerusakan sehingga sel khamir tetap tumbuh dengan baik (Gambar 12B). Untuk penghitungan frekuensi petit pada penelitian ini dilakukan dengan uji petit. Uji petit yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan kontrol glukosa sebagai kontrol positif karena menurut Granot dan Snyder (1991), glukosa 2 % dapat menginduksi apoptosis pada sel khamir (Saccharomyces cerevisiae). Uji apoptosis frekuensi petit dengan induksi oleh glukosa ini menunjukkan hasil yang positif, glukosa memberikan pengaruh untuk membuat sel khamir menjadi petit. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa sel yang sedang mengalami apoptosis akan menunjukkan karakteristik morfologis antara lain pengerutan sel atau petit (Ligr et al. 1998). Dari hasil penelitian terlihat bahwa jumlah petit pada kontrol glukosa 4 % cukup tinggi yaitu mencapai lebih dari 60%. Pada kontrol aquades terlihat jumlah petitnya hanya 35,05 % (Gambar 13). Glukosa dapat menyebabkan kematian sel khamir dalam beberapa jam tanpa penambahan nutrisi lain untuk mendukung pertumbuhannya. Glukosa dapat memicu kematian sel yang ditandai dengan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang cepat, degradasi RNA dan DNA, kerusakan membran, fragmentasi dan penyusutan inti sel (Granot et al. 2003). Gambar 13 Foto koloni pada (a) kontrol glukosa 4 % dan (b) kontrol aquades Mitokondria merupakan organela yang berperan penting dalam metabolisme respirasi untuk menghasilkan ATP. Kerusakan pada fungsi DNA mitokondria menyebabkan mutan tidak dapat melakukan respirasi dan akibatnya tidak lagi dipengaruhi oleh Efek Pasteur, misalnya supresi oksigen selama glikolisis. Peristiwa ini diduga menyebabkan laju fermentasi etanol menjadi lebih tinggi. Mutasi pada DNA mitokondria akan menghasilkan mutan yang disebut mutan petit (Hutter et al. 1998). Frekuensi petit ekstrak daun salam konsentrasi 100 ppm paling kecil diantara ekstrak daun jambu biji dan ekstrak daun jati belanda yaitu 21,22% (Gambar 14) yang berarti terjadi penghambatan apoptosis. Frekuensi petit ekstrak daun salam 100 ppm lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak daun jambu biji 100 ppm dan ekstrak daun jati belanda 100 ppm. Ekstrak daun jambu biji 100 ppm lebih tinggi frekuensi petitnya dibandingkan dengan ekstrak daun jati belanda 100 ppm. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun salam 100 ppm yang paling tinggi kemampuannya dalam menghambat apoptosis (p<0,05). Pada kosentrasi ekstrak 200 ppm, frekuensi petit yang paling besar dihasilkan oleh ekstrak daun jambu biji 200 ppm yaitu 63,99% (Gambar 15). Hasil analisis statistik, frekuensi petit ekstrak daun salam 200 ppm tidak berbeda nyata dengan ekstrak daun jati belanda 200 ppm dan ekstrak daun jambu biji 200 ppm (p<0,05). Kemampuan ketiga ekstrak ini tehadap kemampuanya menghambat apoptosis sel khamir (Saccharomyces cerevisiae) hampir sama. Hal ini dikarenakan kandungan senyawa kimia ketiga ekstrak ini hampir sama karena semua ekstrak positif mengandung flavonoid. Konsentrasi 100 ppm % Petit 70,00 63,62 60,00 A 50,00 40,00 Kontrol Glukosa 47,80 48,68 AB AB Kontrol Aquades 29,63 30,00 21,22 CD 20,00 Ekstrak Daun Salam 100 ppm-1 Ekstrak Daun Jambu Biji 100 ppm-1 D Ekstrak Daun Jati Belanda 100 ppm-1 10,00 0,00 Gambar 14 Frekunsi Petit ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda pada konsentrasi 100 ppm Konsentrasi 200 ppm % Petit 70,00 64,36 60,00 A 63,99 52,21 50,00 40,00 30,00 AB 35,05 BC AB Kontrol Glukosa 51,83 Kontrol Aquades AB Ekstrak Daun Salam 200 ppm-1 20,00 Ekstrak Daun Jambu Biji 200 ppm-1 10,00 Ekstrak Daun Jati Belanda 200 ppm-1 0,00 Gambar 15 Frekuensi Petit ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda pada konsentrasi 200 ppm Senyawa flavonoid dapat mempengaruhi apoptosis dengan modulasi tingkat ekspresi protein antiapoptosis (Bcl-2, Bcl-xl) atau proapoptosis (Bax, Bid, Bak) (Nam et al. 2001). Beberapa senyawa bahan alam lainnya yang masih golongan senyawa polifenol seperti Kaemferol (senyawa fenol pada anggur merah) menghambat induksi apoptosis dalam VSMCs oleh 7ß-hidroksikolesterol (komponen oksidasi LDL) ( Ruiz et al. 2006). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa flavonoid menghambat apoptosis dalam jaringan miokardial dan melindungi sel normal (Nandave et al. 2005). Meskipun telah dipahami bahwa flavonoid menghambat apoptosis, namun mekanisme di balik ini masih belum jelas. Mekanisme efek anti apoptosis flavonoid mencakup antara lain, penghambatan aktivasi jalur caspase dan pemulihan fungsi mitokondria, penghapusan substrat caspase 3, penghambatan H2O2 yang dimediasi oleh gangguan transisi permeabilitas mitokondria sebagai ekspresi berlebih dari protein apoptogenik Bcl-2, Bcl-2 dan Bcl-x, dan meningkatkan bahan bakar pernafasan menjadi energi mitokondria dengan meningkatkan produksi ATP (Nandave et al. 2005). Penelitian-penelitian mengenai peran senyawa flavonoid sebagai antioksidan yang dapat menghambat atau memicu apoptosis telah memberikan gambaran bahwa senyawa bahan alam yang terkandung dalam ekstrak-ekstrak yang digunakan pada penelitian ini juga berperan dalam memodulasi apoptosis baik sebagai penghambat apoptosis atau sebagai pemicu apoptosis. Namun senyawa yang sangat berperan penting dalam memodulasi ini belum bisa dipastikan secara jelas karena masih perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam lagi. Daya Tahan Hidup Sel Khamir (Saccharomyces cerevisiae) setelah Penambahan Ekstrak Daun Salam, Daun Jambu Biji Dan Daun Jati Belanda. Daya tahan hidup sel khamir yang telah diberi perlakuan diuji dengan menumbuhkan kembali sel-sel tersebut pada media standar yaitu media YEPD dan diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam. Jumlah sel yang hidup merupakan indikasi ketahanan hidup sel atas beberapa perlakuan yang dilakukan, yang juga merupakan cerminan adanya peristiwa apoptosis. Menurut Trancikova et al. (2004), sel yang terakumulasi ROS akan kehilangan daya tahan hidup lebih tinggi dari pada sel normal. Kondisi sel khamir banyak juga yang mengalami kontaminasi hal ini dikarenakan terlalu lamanya waktu inkubasi. Untuk kontrol glukosa 100 ppm misalnya dari 167 koloni setelah 24 jam menjadi 22 koloni setelah 48 jam (Gambar 16). Hasil penelitian secara umum terlihat bahwa daya tahan hidup koloni semakin berkurang dan ada sebagian sel khamir yang tidak ada sama sekali karena telah mengalami kematian (Gambar 16 dan Gambar 17). Hasil analisis statistik yang dilakukan menunjukkan tidak adanya pengaruh antara lamanya inkubasi dengan jumlah koloni yang timbul (p>0,05). Hal ini dimungkinkan karena datanya tidak terlalu banyak. Analisis statistik juga menunjukkan bahwa dosis yang digunakan pada penelitian ini juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah koloni yang timbul (p>0,05) karena konsentrasi dosis yang digunakan tidak terlalu jauh perbedaannya. Hasil analisis statistik yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya korelasi antara potensi antioksidasi ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda terhadap frekuensi petit masing-masing ekstrak menunjukkan hasil yang negatif yaitu -0,457 (Lampiran 15). Inkubasi 24 Jam Inkubasi 48 Jam Jumlah Koloni Jumlah Koloni 332 350 350 285 300 Kontrol Glukosa 100 ppm-1 227 250 200 Kontrol Aquades 100 ppm-1 300 Kontrol Glukosa 100 ppm-1 Kontrol Aquades 100 ppm-1 250 Ekstrak Daun Salam 100 ppm-1 200 167 Ekstrak Daun Jambu Biji 100 ppm-1 Ekstrak Daun Salam 100 ppm-1 141 150 150 111 100 50 Ekstrak Daun Jambu Biji 100 ppm-1 100 Ekstrak Daun Jati Belanda 100 ppm-1 50 Ekstrak Daun Jati Belanda 100 ppm-1 78 28 22 23 0 0 1 1 A B Gambar 16 Jumlah koloni ekstrak daun salam, jambu biji danjati belanda pada konsentrasi 100 ppm setelah (A) 24 jam dan (B) 48 jam Inkubasi 48 Jam Inkubasi 24 Jam Jumlah Koloni Jumlah Koloni 350 350 276 300 250 200 150 100 185 139 Kontrol Glukosa 200 ppm-1 300 Kontrol Aquades 200 ppm-1 250 Ekstrak Daun Salam 200 ppm-1 137 Kontrol Glukosa 200 ppm-1 Kontrol Aquades 200 ppm-1 200 Ekstrak Daun Salam 200 ppm-1 Ekstrak Daun Jambu Biji 200 ppm-1 71 Ekstrak Daun Jati Belanda 200 ppm1 50 0 150 111 98 100 76 55 61 Ekstrak Daun Jambu Biji 200 ppm-1 Ekstrak Daun Jati Belanda 200 ppm-1 50 0 1 1 A B Gambar 17 Jumlah koloni ekstrak daun salam, jambu biji dan jati belanda pada konsentrasi 200 ppm setelah (A) 24 jam dan (B) 48 jam Ini berarti bahwa semakin besar potensi antioksidasi suatu ekstrak maka frekuensi petitnya akan semakin kecil. Ini sesuai dengan hipotesis dari penelitian ini yaitu ekstrak yang digunakan pada penelitian ini yaitu ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda dapat menghambat terbentuknya petit sehingga dapat dikatakan ekstrak-ekstrak ini dapat menghambat terjadinya apoptosis. Namun bila diasumsikan p=0.05 maka bisa disimpulkan bahwa antara potensi antioksidasi ekstrak daun salam, daun jambu biji dan daun jati belanda dengan frekunsi petit tidak memiliki hubungan linear karena P-value>alpha.