BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifat Optik Perairan
Penetrasi cahaya yang sampai ke dalam air dipengaruhi oleh intensitas
cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,
dan tersuspensi di dalam air. Sifat optik merupakan sifat yang menggambarkan
interaksi cahaya dengan medium yang di laluinya, sehingga cahaya memiliki sifat
optik yang berbeda-beda berdasarkan sifatnya dalam suatu medium yang
dilaluinya. Spektrum cahaya gelombang panjang (merah) terserap lebih cepat dan
tidak mampu melakukan penetrasi yang lebih dalam pada perairan dibandingkan
dengan cahaya pada gelombang pendek dan pertengahan yaitu biru dan hijau
(Mobley 1994).
Sifat optik dari perairan sangatlah tergantung pada intensitas cahaya
matahari yang diterimanya serta kandungan partikel dan bahan terlarut di
dalamnya. Cahaya yang tiba di permukaan perairan sebagian akan dipantulkan,
sebagian akan dihamburkan, sebagian diserap, dan sebagian lagi diteruskan
menembus kolom perairan. Sifat ini juga terjadi pada perairan laut, yaitu cahaya
sebagian dipantulkan, dihamburkan, dan sebagian diserap. Kemampuan penetrasi
cahaya untuk masuk menembus kolom perairan sangat dipengaruhi oleh intensitas
dan sudut datang cahaya, kondisi permukaan air dan bahan-bahan yang terlarut
dan tersuspensi di dalam air (Wouthuyzen 2001). Pada wilayah yang memiliki
empat musim, intensitas cahaya maksimum terjadi pada musim panas dan
intensitas cahaya minimum pada musim dingin. Pada wilayah dua musim atau
tropis, intensitas cahaya optimum terjadi pada musim kemarau dan intensitas
4
5
minimum terjadi pada musim hujan, dengan demikian intensitas cahaya matahari
juga bervariasi menurut musim, variasi terbesar berada pada daerah yang memiliki
empat musim. Pada pembahasan sifat optik laut juga dikenal istilah kedalaman
optik (optical depth) dan kedalaman atenuasi. Produktifitas primer di laut dapat
terjadi hingga kedalaman kompensasi. Mobley (1994) melaporkan dalam skala
yang besar, sifat optik dari suatu perairan dibagi menjadi dua yaitu Inherent
Optical Properties (IOP) dan Apperent Optical Properties (AOP).
2.1.1
Inherent Optical Properties (IOP)
IOP merupakan sifat optik dari suatu perairan yang hanya tergantung oleh
media air dan materi yang terkandung di dalamnya serta tidak dipengaruhi oleh
struktur cahaya yang masuk ke dalam medium (Kirk 1994; Mobley 1994). Tiga
komponen utama dalam IOP adalah koefisien absorpsi, koefisien hambur balik
(scattering), dan koefisien attenuasi. Komponen utama dari IOP yang biasa
digunakan dalam sifat optik perairan adalah nilai spectral absorption dan
koefisien hambur balik (scattering coefficients) yang menyatakan nilai dari
spektral absorbansi dan hambur balik per satuan jarak dalam medium air.
Koefisien absorpsi merupakan fraksi perbandingan cahaya yang diserap dengan
ketebalan lapisan permukaan perairan. Koefisien hambur balik merupakan fraksi
cahaya yang dipencarkan saat cahaya mengenai lapisan permukaan.
2.1.2
Apparent Optical Properties (AOP)
AOPmerupakan sifat optik dari suatu perairan yang tergantung tidak hanya
pada media air dan materi yang terkandung di dalamnya tetapi juga strukur cahaya
yang datang ke media air tersebut, sehingga dapat menampilkan gambar yang
6
cukup stabil untuk mendeskripsikan sifat optik pada kolom perairan (Mobley
1994). Komponen yang biasa digunakan dalam AOP adalah radiansi, irradiansi,
dan reflektansi. Hal yang membedakan antara AOP dan IOP yakni dalam
penentuan AOP tidak dapat digunakan menggunakan sampel air. Ini dikarenakan
dalam penentuan AOP digunakan nilai irradiance reflectance yang dapat berubah
secara signifikan jika terjadi perubahan intensitas cahaya yang melalui medium
dan menembus kolom perairan. Sehingga nilai AOP bergantung pada distribusi
cahaya yang terdeteksi didalam kolom perairan. Idealnya suatu perairan hanya
mengalami perubahan nilai AOP yang kecil. Adanya perubahan nilai AOP ini
dapat digunakan untuk membandingkan karakteristik perairan di suatu tempat
dengan tempat lainnya (Eurico& Miller 2002).
2.2
Remote Sensing Reflektansi (Rrs)
Remote sensing reflektansi sering juga disebut sebagai reflektansi. Data
reflektansi yang dideteksi oleh satelit umumnya disebut remote sensing reflektansi
sedangkan pengukuran di lapangan umumnya disebut reflektansi. Sehingga
pengertian kedua istilah ini pada umumnya memiliki makna yang sama yaitu
jumlah radiansi yang dipantulkan oleh permukaan dibagi dengan jumlah irradiansi
yang diterima oleh permukaan tersebut. Menurut Liew et al.(2000) reflektansi
spektral merupakan rasio dari radiansi yang dideteksi dari permukaan target
terhadap total irradiansi yang datang. Santaella (2008) melaporkanreflectance
dalam hal ini adalah remote sensing reflectances merupakan pengukuran
perbandingan banyaknya irradiansi yang dipantulkan objek (upwelling radiance)
dengan radiasi yang mengenai objek (downwelling iiradiance). Nilai reflectance
ini berbeda-beda untuk setiap benda dengan bahan atau materi yang berbeda.
7
Nilai spectral irradiance reflectance (R) ini sering dihitung di dalam perairan
tepat di bawah permukaan perairan atau dianggap juga pada kedalaman 0 meter.
Nilai reflektansi dihitung tepat berada di bawah permukaan perairan, maka
nilai spectral upwelling plane irradiance ini sering disebut juga sebagai waterleaving radiance (L). Pada bidang penginderaan jauh (remote sensing), nilai ini
dikenal dengan nama Remote Sensing Reflectances (Rrs), yaitu digunakan untuk
mengukur seberapa banyak cahaya yang masuk kedalam kolom perairan dan
kembali lagi (terpantul) ke permukaan sehingga dapat dideteksi melalui sensor
radiometer berdasarkan arah yang berlawanan. Kedua nilai dari R dan Rrs ini
sangatlah penting dalam menentukan sifat optik dalam suatu perairan.
Panjang gelombang yang digunakan pada grafik visualisasi Rrsmemiliki
rentang cahaya gelombang tampak yakni 400 – 750 nm yang terdiri dari spektrum
gelombang biru dengan kisaran 400 – 500 nm, spektrum gelombang hijau dengan
kisaran 500 – 600 nm, dan spektrum gelombang merah dengan kisaran 600-750
nm (Lillesand & Kiefer 1987; Swain & Davis 1978). Kemampuan merambat di
dalam kolom air dari ketiga spektrum gelombang tampak tersebut sangatlah
beragam. Spektrum gelombang biru mempunyai kemampuan merambat yang
tinggi, gelombang ini dapat menembus lapisan air sampai kedalaman 100 m
(Nybakken 1988). Spektrum gelombang hijau memiliki kemampuan merambat
yang lebih pendek sedangkan spektrum gelombang merah merupakan gelombang
dengan daya rambat terpendek.
2.3
Karakteristik Spektral Klorofil dan Fitoplankton
Pada dasarnya fitoplankton terdiri dari alga yang berukuran mikroskopik
yang berisikan pigmen fotosintetik berwarna hijau dan biasa disebut dengan
8
klorofil. Klorofil-a adalah salah satu pigmen yang paling penting pada
fitoplankton yang digunakan untuk proses fotosintesis. Klorofil-a memegang
posisi kunci dalam reaksi fotosintesis dalam produktivitas perairan (Nontji 2008).
Klorofil-a berpotensi sebagai indikator untuk estimasi biomassa dari fitoplankton
mengingat sekitar 80-90% dari total kandungan pigmen yang terdapat dalam
fitoplankton terdiri dari klorofil-a.
Sifat klorofil yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya
tertentu dimanfaatkan untuk mendeteksi sebaran fitoplankton di permukaan laut
dari satelit. Adapun kaitannya dengan penginderaan jarak jauh, klorofil
merupakan objek yang dapat dianalisis untuk memprediksi potensi perikanan di
suatu wilayah perairan laut, karena unsur ini akan menyerap gelombang tampak
biru dan memantulkan spektrum gelombang hijau secara kuat. Ketika terdapat
kandungan klorofil yang kuat, maka terjadi peningkatan energi yang dipantulkan
oleh spektrum gelombang hijau (Nontji 2008; Swain dan Davis 1978) (Gambar 1).
Gambar 1. Spektral reflektansi dari air laut dengan konsentrasi
klorofil yang berbeda (Swain dan Davis 1978)
9
Khusus untuk perairan Timur Laut Teluk Meksiko, konsentrasi klorofil secara
umum relatif tinggi di daerah muara sungai pada musim panas, semi, dan gugur.
Sedangkan untuk daerah offshore konsentrasi yang relatif tinggi juga ditemui pada
musim panas 1999 dan 2000 (Nababan 2005).
2.4
Kandungan dan Tipe Perairan
Secara umum materi yang terkandung dalam air terdiri dari materi yang
terlarut dan partikel bersamanya baik organik maupun anorganik dan makhluk
hidup maupun tak hidup (Mobley 1994). Materi tersebut terbentuk dari sisa-sisa
tumbuhan dan humik yang secara umum berwarna biru, namun dalam konsentrasi
tertentu menyebabkan perairan berwarna kuning kecoklatan (Kirk 1994).
Komponen tersebut sering dikenal dengan istilah yellow substance atau Colored
Disolved Organic Matter(CDOM) atau gelbstoff atau gilvin (Hu 2002; Kirk 1994;
Mobley 1994). CDOM ini memiliki konsentrasi yang tinggi di danau, sungai, dan
pesisir akibat pengaruh masukan dari sungai. CDOM ini juga dapat digunakan
sebagai penanda dari peningkatan fitoplankton terutama penanda perairan setelah
terjadinya blooming.
CDOM merupakan bagian dari Dissolved Organic Matter (DOM) di laut
yang sangat kompleks dan umumnya mudah terurai. Kelompok organik terlarut
ini sangat penting secara biokimia terutama sebagai energi bagi mikroorganisme.
CDOM berasal dari sel fitoplankton dan partikel-partikelorganik lainnya dari
sumber yang jauh. Sebagai contoh sungai yang mengalir sepanjang daerah yang
kaya akan unsur organik akan mengakumulasi banyak sekali CDOM sepanjang
lintasan sungai tersebut (Nurjannah 2006). CDOM berperan penting di ekosistem
10
akuatik dan berpengaruh terhadap warna dan kualitas perairan tersebut. CDOM
dapat mengurangi sifat optik perairan pada panjang gelombang tampak (400-700
nm ) dan ultraviolet (280-400 nm). CDOM bersaing dengan fitoplankton dan
tanaman akuatik lainnya dalam menangkap energi cahaya (Barbaran 2008).
Distribusi absorpsi CDOM (443 nm) pada perairan Timur Laut Teluk Meksiko
berkisar antara 0 – 0.32 m-1. Kisaran absorpsi tertinggi berada pada daerah muara
Sungai Mississippi pada musim panas 2000 dan musim semi 2000, sedangkan di
wilayah laut lepas (offshore), nilai absorpsi tertinggi terjadi pada musim panas
(Nababan 2005).
Tipe perairan dibagi menjadi dua kelompok (case) (Gambar 2)berdasarkan
materi pembentuk warna perairan. Perairan case-1 merupakan perairan dengan
sifat optik utama dipengaruhi oleh fitoplankton. Perairan case-1 ini umumnya
terdapat pada perairan lepas pantai (offshore). Perairan case-2 merupakan perairan
dengan sifat optik yang tidak hanya dipengaruhi oleh fitoplankton, tetapi juga
dipengaruhi oleh partikel terlarut dan tersuspensi seperti anorganik dan yellow
substance.Perairan pada case-2 materi tersuspensi dan yellow substance
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap sifat optik perairan. Sifat optik
perairan (absorpsi atau reflektansi) pada beberapa panjang gelombang, waktu dan
lokasi tertentu dipengaruhi oleh fitoplankton, padatan tersuspensi dan yellow
substances.
2.5
Kondisi Umum Perairan Timur Laut Teluk Meksiko
Teluk Meksiko merupakan sebuah bagian dari Laut Karibia yang berbatasan
dengan negara Meksiko disebelah barat dan selatan serta negara Amerika Serikat
di sebelah utara dan timur. Luas teluk ini berkisar antara 1.6 juta km2 dengan
11
Gambar 2. Diagram tipe perairan case-1 dan case-2
(Madela 2011)
panjang pantai mencapai 5.700kilometer dari CapeSable, Florida hingga ke
ujungsemenanjungYucatan (Gulfbase 2012). Secara geografis, Teluk Meksiko
merupakan perairan semi tertutup dengan sistem sirkulasi fisik yang kompleks,
memiliki produktifitas biologi yang tinggi di bagian continental shelf akibat
bermuaranya beberapa sungai di daerah ini dan merupakan lokasi upwelling, serta
memiliki produktivitas yang relatif rendah di bagian offshore (Ohlmann dan Niiler
2005; Vastano et al. 1995; Walker 1996). Negara bagian Amerika Serikat yang
berbatasan langsung dengan teluk ini diantaranya adalah Florida, Alabama,
Mississippi, Lousiana, dan Texas serta beberapa negara bagian di Meksiko.
Khusus untuk daerah bagian perairan timur laut, merupakan muara dari
beberapa sungai utama, seperti Sungai Mississippi, Escambia, Choctawhatchee,
Apalachicola, dan Suwannee. Sungai Mississippi merupakan sungai yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap kondisi biologi, kimia, dan fisik di
perairan Teluk Meksiko melalui masukan air tawar dan aliran sedimen ke Teluk
12
Meksiko yang berbeda pada setiap musim sehingga memberikan pengaruh
terhadap sebaran spasial dan temporal dari flux karbon dan produksi primer di
perairan tersebut (Eurico et al. 2002; Lohrenz et al. 1990; Walker 1996).
Perairan Teluk Meksiko bagian timur laut ini memiliki variabilitas musiman
yang tinggi akibat adanya sirkulasi off shelf yaitu siklon, antisiklon, dan
perputaran arus (loop current) yang bervariasi (Nowlin 2001). Adanya muara
sungai-sungai besar juga turut membuat aktivitas fisik, biologi, dan kimia perairan
sekitarnya cepat mengalami perubahan. Sungai yang memiliki debit dominan di
perairan ini adalah Sungai Mississppi yang masuk ke arah timur sepanjang batas
kontinen. Masukan aliran yang besar ini turut membawa pengaruh terhadap
distribusi sifat optik air, selain faktor–faktor lainnya yaitu salinitas, oksigen
terlarut,nutrisi, dan transmisi cahaya.
Download