BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah lingkungan hidup, dewasa ini telah menjadi isu sentral dalam politik dan wacana global serta menciptakan jaringan politik yang kompleks di seluruh dunia. Di Indonesia, isu-isu lingkungan telah menjadi fenomena penting dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Dengan posisi tersebut, lingkungan melahirkan pola-pola interaksi dengan variasi yang kompleks dan melibatkan aktor yang paling majemuk. Konflik dan kerjasama antar negara, antar daerah atau antar pemerintahan, antara pemerintah dan masyarakat, antara masyarakat dan dunia usaha, dan masih banyak lagi sudah menjadi tema penting yang menghubungkan aktor-aktor yang bervariasi. Bahkan pengembangan gagasan-gagasan konseptual seperti network governance yang merupakan konsekuensi logis dari perubahan teknologi dan pergeseran pemaknaan mengenai politik dan demokrasi, juga menemukan lingkungan sebagai titik tumpu bagi perkembangannya.Tidak ada wilayah di dunia yang bebas 1 dari masalah lingkungan. Sebagian wilayah cenderung berfokus pada isu-isu lingkungan lokal tertentu yang berdampak langsung terhadap wilayah tersebut. Persoalan lingkungan hidup kini bukan lagi persoalan ringan karena sudah menyentuh level pengambilan keputusan baik di tingkat negara maupun sistem internasional. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika masuknya isu lingkungan hidup dalam ilmu Hubungan Internasional dapat memberikan kontribusi penting bagi penyelamatan dan upaya pelestarian lingkungan hidup tersebut. Dalam perspektif manusia, masalah lingkungan melibatkan kekhawatiran tentang ilmu pengetahuan, alam, kesehatan, pekerjaan, keuntungan, politik, etika, danekonomi. Kebanyakan keputusan sosial dan politik yang dibuat sehubungan dengan yurisdiksi politik tapi masalah lingkungan tidak selalu bertepatan dengan batas-batas politik buatan (Enger & Smith, 2013). Topik lingkungan hidup muncul semakin sering dalam agenda internasional lebih dari tiga dekade terakhir. Jumlah masyarakat yang semakin meningkat, paling tidak di negara-negara barat yakin bahwa aktivitas sosial dan ekonomi manusia sedang berlangsung dengan cara yang mengancam lingkungan hidup. Dalam lima decade terakhir semakin banyaknya manusia telah memperbesar jumlah 2 penduduk dunia dibanding dalam seluruh milenia keberadaan manusia sebelumnya. Populasi global yang sangat cepat meningkat mengejar standar kehidupan yang lebih tinggi merupakan ancaman potensial terhadap lingkungan hidup (Jackson & Sorensen, 2005). Diperlukan usaha bersama baik antar negara, lembaga, maupun sistem internasional dalam mengupayakan pelestarian dan penganggulangan kerusakan lingkungan yang berdampak bagi kehidupan manusia di bumi dalam bentuk kerjasama internasioanl. Terkait upaya pelestarian lingkungan hidup, melakukan kerjasama internasional merupakan salah satu alternatif solusi yang efektif. Hingga saat ini sudah terdapat beberapa bentuk kerjasama internasional terkait persoalan lingkungan hidup. Seperti pada tahun 1972, PBB membentuk United Nation Environment Programme (UNEP) dan Dana Lingkungan Internasional (Environment Fund) yang merupakan kerjasama internasional untuk penanganan masalah-masalah lingkungan yang konvensional (Yusran). Salah satu isu lingkungan yang sering dibahas yaitu pemanasan global (global warming). Global warming tersebut membawa efek domino terhadap kehidupan manusia. Global warming juga berdampak besar pada ekosistem laut dan pesisir 3 terutama di kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) oleh pemanasan, pengasaman dan naiknya permukaan air laut. Dua kejadian terdahsyat pemutihan karang yang mengakibatkan kerusakan signifikan pada terumbu di seluruh dunia juga terkait dengan perubahan iklim, pada tahun 1998, pemutihan karang menghancurkan lebih dari 16% dari terumbu karang dunia, termasuk di wilayah Segitiga Terumbu Karang. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, banyak bagian dari Segitiga Terumbu Karang akan hilang pada akhir abad ini. Terumbu karang adalah ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis-jenis molusca, crustasea, echinodermata, polichaeta dan porifera serta biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk plankton dan nekton. Dalam sebuah laporan, lebih dari 85 % dari terumbu karang di Kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle) secara langsung terancam oleh aktivitas manusia, jauh melebihi rata-rata global yaitu 60 persen. Temuan dalam laporan ini menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi terumbu karang di negara-negara kawasan Coral Triangle adalah penangkapan ikan yang berlebihan, polusi pada 4 daerah aliran sungai, dan pembangunan kawasan pesisir. Ketika ancaman ini digabungkan dengan pemutihan terumbu karang (coral bleaching) yang didorong oleh kenaikan suhu laut, terumbu karang yang tergolong “terancam” meningkat menjadi 90% (WRI, 2013). Kawasan Segitiga Terumbu Karang merupakan kawasan jantung terumbu karang dunia yang membentang sepanjang perairan laut Malaysia, Indonesia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Segitiga Terumbu karang membentang sepanjang wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) utuh keenam wilayah negara tersebut. Kawasan ini juga sering disebut dengan “Amazon Laut” yang mencakup 30% luas terumbu karang dunia(73.000 km2 ) dan 75% dari semua spesies karang yang dikenal, 86% dari spesies penyu laut. Kawasan ini merupakan tempat tinggal lebih dari 3000 spesies ikan (dua kali lipat dari jumlah yang ditemui di tempat lain). Terumbu karang dikawasan tersebut menghasilkan sumber daya alam yang menyangga kehidupan lebih dari 130 juta penduduk yang tinggal di kawasan tersebut (WRI, 2012). Segitiga terumbu karang dunia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan seringkali juga disebut sebagai “Pusat dari Keanekaragaman hayati dunia” 5 oleh berbagai peneliti di seluruh dunia. Tak hanya bagi mahluk air, terumbu karang pun menjadi sumber protein bagi manusia lewat ikan-ikan yang tumbuh besar di wilayah ini. Di Indonesia, sekitar 60% protein nabati diperoleh dari ikan. Artinya, sekitar 120 juta orang bergantung pada pasokan ikan di perairan sebagai sumber pangan mereka. Hal ini belum termasuk menjadi sumber pendapatan sebesar US$2.4 juta dari bisnis perikanan dan US$12 juta dari bisnis pariwisata di Asia Tenggara, termasuk Pulau Komodo dan Kepulauan Raja Ampat. Segitiga terumbu karang adalah sebuah tempat perkembangbiakan berbagai spesies perairan di wilayah ini, di Indonesiea saja ada 1650 spesies yang bergantung pada terumbu karang. Lokasi ini juga memiliki 75% dari seluruh spesies mangrove atau bakau di seluruh dunia, dan 45% spesies rumput laut (Wihardandi, Mongabay, 2012). Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia. Faktor fisik umumnya bersifat alami seperti perubahan suhu, dan adanya badai. Faktor biologis seperti adanya pemangsaan oleh biota yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti Bulu Seribu, sedangkan aktivitas manusia dapat berupa sedimentasi yang berasal dari penebangan hutan, penambangan karang, penangkapan berlebihan, pembangunan fasilitas kelautan, 6 limbah industri, buangan kota dan rumah tangga, dan buangan minyak (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008). Hal ini menyebabkan kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan dan perairan yang ada di sekitarnya. Apabila kualitas perairannya baik maka terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, begitupun sebaliknya jika lingkungan sekitarnya mengalami perubahan dan gangguan maka terumbu karang akan mengalami kerusakan (Triswiyana, 2014). Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan seharihari di sekitar kita ada tindakan yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut mencemari air laut yang berdampak pada kehidupan terumbu karang, seperti membuang sampah ke laut dan pantai, membawa pulang atau menyentuh terumbu karang saat menyelam, membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan merusak terumbu karang yang berada di bawahnya, reklamasi pantai, penangkapan ikan dengan cara yang salah seperti pemakaian bom ikan, potas atau racun. Faktor penambangan dan sedimentasi juga ikut menyumbang kerusakan terhadap karang laut. Penambangan migas lepas pantai yang dapat berdampak pada kerusakan secara fisik, sedimentasi, dan pencemaran bahan-bahan kimia,tumpahan 7 minyak, penambangan karang illegal, penambangan pasir, serta pembuangan limbah tambang ke laut merupakan faktor lain yang menyumbang terhadap pemutihan dan kerusakan terumbu karang serta kematian biota laut. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan arah dalam mengusung isu-isu ke dunia internasional. Jika pada pemerintahan presiden-presiden sebelumnya sering mengangkat isu-isu politik tradisional maka di era SBY, Indonesia tidak hanya mengangkat isu politik tradisional tetapi juga isu non tradisional seperti HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup (Suara Pembaharuan Berita Satu, 2015). Bagi Indonesia, politik luar negeri merupakan sarana untuk memperjuangkan dan menyampaikan kepentingan politik luar negeri Indonesia terhadap dunia luar. Menurut Bantarto Bandoro, bahwa politik luar negeri itu terkait erat dengan kepentingan nasional suatu negara (Bandoro, 2007). Karena politik luar negeri suatu negara harus terlihat dalam hubungan internasional, maka isu apa saja yang menjadi perhatian publik domestik harus menjadi perhatian dalam kebijakan luar negerinya. Politik luar negeri Indonesia harus adaptatif terhadap politik dunia internasional tanpa perlu mengorbankan nilai-nilai dan kepentingan nasional Indonesia yang berarti 8 bahwa antara kepentingan publik domestik dengan isu-isu eksternal akan tetap dapat berjalan tanpa meniadakan isu dari salah satu pihak tersebut. Perlunya melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi di dunia internasional tersebut, karena isuisu yang muncul tentunya akan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dunia. Karena itulah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berupaya untuk mengakomodir setiap isu-isu domestik yang menjadi isu utama dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri Indonesia di dunia internasional agar tetap mendapat perhatian di dunia luar. Sebagai negara yang dikarunia keindahan dan kekayaan alam lingkungan dan sumber daya alam yang luas dan melimpah, serta faktor lingkungan hidup yang sangat mendukung pembangunan nasional di berbagai ,Indonesia diakui sebagai salah satu pemilik keanekaragaman hayati besar di dunia (mega diverse countries). Kekayaan sumber daya alam baik di darat maupun laut juga mempengaruhi Indonesia dalam mengambil berbagai inisiatif pada tingkat regional maupun internasional baik dengan maksud melindungi, mengkonservasi maupun dalam penggunaannya yang berkelanjutan (sustainable use). Inisiatif seperti World Ocean Conference, promotor Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing 9 Countries (REDD), pemrakarsa “Forest-11” merupakan berbagai usaha yang telah dibangun diplomasi Indonesia yang membawa citra positif di tingkat internasional di era pemerintahan SBY (Kemenlu RI, 2009). Keharusan untuk menyelamatkan laut, melindungi laut dari kerusakan penyalahgunaan, eksploitasi berlebihan manusia, dari kerusakan oleh karena polusi dan pengaruh perubahan iklim mendorong negara-negara yang termasuk dalam kawasan Segitiga Terumbu Karang menjalin kerjasama untuk menanggulangi dan melestarikan laut dan terumbu karang di kawasan tersebut. Tanpa lautan sebagai sumber protein dan gizi lainnya, setengah penduduk dunia akan kelaparan. Namun, sumberdaya- sumberdaya yang sangat berharga bagi manusia itu kini menurun karena eksploitasi kawasan pesisir dan lautan yang tidak berkesinambungan melalui praktek praktek perikanan yang merusak dan overfishing. Dalam sebuah wawancara Andrew Baird , ahli dari Pusat Studi Terumbu Karang di Australia mengemukakan bahwa banyak penelitian telah dilakukan di Laut Andaman, dari Thailand sampai Singapura, hingga ke Malaysia. Kerusakan karang meluas di bagian barat Samudra Hindia, ke segitiga terumbu karang di dekat Filipina. Di Samudra Pasifik suhu juga meningkat. Tampaknya kerusakan di kawasan tersebut setidaknya sama besar seperti 10 di tahun 1998 ketika terjadi kerusakan global (Schmidt & Linardy, 2010). Menurutnya, kerusakan terumbu karang disebabkan air yang suhunya terlalu tinggi. Air bersuhu panas mengalir ke wilayah laut Indonesia. Hal ini mengganggu hidup terumbu karang. Di Samudra Hindia ada aliran, yang membawa air bersuhu lebih tinggi, seperti halnya El Nino. Tetapi menurut Andrew Baird aliran yang menjadi siklus alamiah itu tidak menyebabkan pemanasan yang merusak terumbu karang. Pemanasan global yang diakibatkan manusia menambah tinggi suhu air. Sepanjang wilayah segitiga terumbu karang, komunitas pesisir tergantung pada terumbu karang untuk ketersediaan pangan, kehidupan dan perlindungan pada saat badai melanda, namun ironisnya ancaman di wilayah-wilayah ini justru sangat tinggi. Lebih dari 130 juta orang hidup bergantung pada ekosistem pesisir untuk mendapatkan pangan, pekerjaan, dan keuntungan dari pariwisata laut (Wihardandi, Mongabay, 2012). Indonesia sadar akan ketergantungan yang tinggi pada sektor kelautan tersebut tetapi memiliki daya adaptasi rendah terhadap lingkungan. Overfishing dan pengrusakan karang serta pembangunan wilayah pesisir yang tidak berkelanjutan merupakan penyebab utama dari kerusakan di wilayah kelautan. Presentase terumbu 11 karang yang tinggi tidak membuat Indonesia memiliki pengelolaan konservasi alam yang baik serta mampu mengembalikan kelestarian sumber daya alam. Peraturan Perundangan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang telah disahkanpun juga tidak mampu mencegah degradasi ekosistem kelautan dan kawasan pesisir laut Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar berperan besar dalam menyuarakan dan memberikan solusi untuk memperkuat inisiatif regional dan global demi pengelolaan sumber daya laut yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Di Asia Tenggara, secara politis dan geografis Indonesia memiliki posisi tawar strategis untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya perikanan serta memimpin perubahan untuk membangun dan memberdayakan inisiatif regional dan global. Peran proaktif Indonesia dalam mempromosikan dan memperkuat solusi untuk mengatasi degradasi ekosistem kelautan, sejalan dengan semangat konstitusional Indonesia yang mengambil partisipasi aktif dalam menciptakan tatanan dunia. 12 B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah : Bagaimana upaya Indonesia dalam menanggulangi kerusakan lingkungan di kawasan Segitiga Terumbu Karang ? C. Kerangka Pemikiran Untuk membantu mendeskripsikan dan memahami mengenai upaya Indonesia dalam menangguangi kerusakan lingkungan di kawasan Segitiga Terumbu Karang melalui Coral Triangle Initiative digunakan suatu alat analisa berupa kerangka pemikiran sebagai landasan teori yang relevan dengan permasalahan yang diangkat yaitu Kerjasama Internasional, Rezim Internasional, dan Multitrack Diplomacy 1. Teori kerjasama internasional Sebagian besar transaksi dan interaksi di antara negara-negara dalam sistem internasional dewasa ini adalah bersifat rutin dan hampir bebas konflik sebagai akibat timbulnya berbagai permasalahan nasional,regional, atau global. Dalam kebanyakan kasus, sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang diusulkan, 13 merundingkan, atau membahas masalah , mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian atau lainnya dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian atau pengertian tertentu yang memuaskan kedua belah pihak. Proses ini disebut kolaborasi atau kerjasama. Meningkatnya hubungan antar negara pada masa ini, maka dalam penelitian ini menggunakan teori kerjasama internasional karena semua segara tidak dapat memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi sendiri dalam meningkatkan perkembangan dan memajukan negaranya. Diperlukan kerjasama internasional dengan negara lain karena adanya saling ketergantungan sesuai dengan kebutuhan negara masing-masing. Perkembangan situasi hubungan internasional ditandai dengan adanya berbagai kerjasama internasional dann berkembangnya aspek diantara isu krisis lingkungan di berbagi kawasan yang telah membawa pengaruh semakin besarnya persoalan lingkungan yang lebih menyita perhatian negara-negara di dunia melalui serangkaian hubungan kerjasama internasional. Demikian halnya Negara di dunia semakin memperkuat posisi saling ketergantungan secara global yang tampak semakin nyata dan titik beratnya adalah membentuk upaya bersama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama yang 14 dilandasi prinsip saling percaya,menghargai, dan menghormati. Dalam kerjasama internasional yang mencakup bidang ataupun aspek social,politik,ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan dapat dilakukan lebih dari dua Negara maupun lembaga yang terlibat. Menurut K.J Holsti, istilah kerjasama internasional berarti (Holsti, 1988) : “Pandangan bahwa dua atau lebih kepentingan, nilai, atau tujuan saling bertemu dan saling menghasilkan sesuatu , dipromosikan, atau dipenuhi oleh semua pihak sekaligus” Kerjasama internasional bukan saja dilakukan antar negara secara individual tetapi juga dilakukan antar negara yang bernaung dibawah organisasi atau lembaga internasional. Mengenai kerjasama internasional, Koesnadi Kartasasmita mengemukakan bahwa kerjasama internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat adanya hubungan interdependensi dan bertambahnya kompleksitas kehidupan manusia dan masyarakat internasional (Kartasasmita, 1977:19). Mencermati tujuan utama suatu Negara dalam melakukan kerjasama internasional adalah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya, yang tidak dimiliki di dalam negeri. Untuk itu, negara perlu memperjuangkan kepentingan nasionalnya di luar negeri. Dalam 15 kaitannya itu, diperlukan suatu kerjasama untuk mempertemukan kepentingan nasional antar Negara (Dam & Riswandi, 1955:15). Kerjasama internasional dilakukan sekurang-kurangnya harus memiliki dua syarat utama, yaitu pertama, adanya keharusan untuk menghargai kepentingan nasional masing-masing pihak yang terlibat. Tanpa adanya penghargaan, tidak mungkin dapat dicapai suatu kerjasama yang diharapkan. Kedua, adanya kepentingan bersama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul. Untuk mencapai keputusan bersama diperlukan komunikasi dan konsultasi secara berkesinambungan (Dam & Riswandi, 1955:16). Kerjasama dapat terjadi dalam konteks yang berbeda. Kebanyakan transaksi dan interaksi kerja sama terjadi secara langsung di antara dua negara yang menghadapi masalah atau hal tertentu yang mengandung kepentingan bersama. Usaha kerjasama lain juaga dijalankan dalam berbagai organisasi dan lembaga internasional. Beberapa organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, didasarkan ats kedaulatan setiap anggota ; mereka tidak dapat bertindak tanpa izin pihak-pihak yang terlibat dalam suatu isu dan perjanjian untuk bekerja sama biasanya hanya dibuat sesuai dengan keinginan anggota yang paling sedikit bekerja sama. Disamping kerjasama sederhana bilateralyang berifat incidental diantara dua negara dan 16 koordinasi multilateral kebiakan nasional atau pembentukan peraturan dalam lembaga-lembaga internasional aatau supranasional, ada kerja sama yang tidak dilembagakan yang disebut oleh Karl Deutch sebagai “masalah keamanan pluralistik”. Dalam masyarakat keamanan pluralistik, dua negara atau lebih mempunyai banyak transaksi dan interaksi yang hampir terus-menerus, tetapi tidak perlu organisasi resmi untuk kerjasama (Holsti, 1988:210-211) Seiring dengan berjalannya waktu, kerjasama di antara negara-negara intensitasnya semakin tiggi dan cakupannya semakin luas. Kerjasama multilateral tak terhindarkan lagi, sehingga ide pembentukan organisasi interasional (InterGovermental Organization/IGO) dirasakan perlu untuk dibentuk (Widjajanto, Monika, & Kusumastuti, 2007). Menurut Imber terdapat 5 tujuan ideal negara mendirikan institusi internasional , yaitu (Imber, 1992) : a) menyediakan informasi bagi anggota-anggotanya, b) menciptakan norma atau aturan yang mengatur tingkah laku anggotanya, c) menciptakan aturan yang mengekang anggotanya sebab kerap sekali tak dihiraukan, d) Organisasi internasional dapat meninjau aturan-aturan yang mereka buat, e) dan organisasi internasional memberikan program atau pelayanan bagi anggota atau bagi komunitas yang lebih luas. 17 Kerusakan lingkungan hidup menjadi perhatian di lingkungan global,dimana aktor-aktor non negara memainkan peranan penting dalammerespon permasalahan lingkungan hidup internasional. Respon terhadappermasalahan lingkungan globalberfokus pada perkembangan danimplementasi dari rezim lingkunganhidup internasional (Greene, 1996:202). Secara khusus makna lingkungan hidup itu sendiri yaitu seluruh kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan dan peranan organisme. Kerjasama internasional dalam menagani isu lingkungan hidup global diarahkan untuk mencari kesepakatan ukuran-ukuran, patokan-patokan dan normanorma internasional yang sah serta cara penerapannya. Berkaitan dengan masalah di kawasan Coral Triangle, Indonesia sebagai kawasan yang memiliki bentang terluas dalam kawasan tersebut berinisiatif dan mendorong negara-negara yang meliputi kawasan untuk bersama-sama menemukan solusi untuk memecahkan persoalan dalam kawasan tersebut. 2. Konsep rezim internasional Rezim berasal dari bahasa latinregimen (sebuah aturan) atau regere (untuk mengatur) (Aggarwal, 1985). Dalam sistem Internasional, Intergovernmental Organizations (IGOs) mempunyai konstribusi untuk mengatur kerja sama. Secara 18 umum fungsi Organisasi Internasional dalam dunia Internasional menurut Karent Mingst adalah mempunyai kontribusi untuk mengatur kerjasama membantu menyelesaikan perselisihan, memfasilitasi pembentukan jaringan antar pemerintah dan antar bangsa, sebagai arena perundingan Internasional, sebagai tempat penciptaan rezim internasional. Menurut Stephen D. Krasner yang dimaksud rezim adalah “principle,norms, rules, and decisión-making procedures around which actor„s expectation converge in a given issue areal” yang berarti suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan, yang bersifat eksplisit maupun implisit, dan saling berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam Hubungan Internasional (Mingst, 1998). Menurut definisi ini, rezim memuat peran dan pedoman tingkah laku sehingga rezim dapat meningkatkan keakuratan tindakan dan rasa aman antar aktor internasional, hal ini membuat rezim dapat dipandang sebagai institusi (Widjajanto, Monika, & Kusumastuti, 2007). Krasner meletakan perkembangan rezim sebagai sebuah variabel yang dependen sedangkan variabel awal yang mempengaruhi dan dapat menjelaskan perkembangan rezim dibagi kedalam 5 poin yang paling utama, yaitu: 19 a. Kepentingan sikap aktor menyatu pada hasrat bersama untuk memaksimalisasi fungsi kegunaannya masing-masing, dimana ini tidak termasuk fungsi kegunaannya bagi negara lain. Variable ini hanya prihatin pada prilaku negara anggota lain apabila prilaku tersebut mempengaruhi kepentingan mereka(Egoistic self-interest). b. Keputusan politik merupakan variabel kedua yang mempunyai dua macam orientasi terhadap penggunaan power, yaitu kekuasaan terhadap kepentingan umum (power in service of the common good) dan Kekuasaan terhadap kepentingan tertentu (power in the service of particular interest). c. Norma-norma dan prinsip merupakan dua komponen kritis yang dapat mencerminkan karakteristik dari suatu rezim. d. Pemanfaatan dan kebiasaan Pemanfaatan menyatu pada prilaku dasar berdasarkan kegiatan aktual sedangkan kebiasaan merupakan kegiatan yang telah berlangsung lama. e. Pengetahuan merupakan landasan untuk kerjasama dengan menjelaskan interkoneksi yang kompleks yang sebelumnya tidak dimengerti 20 Masalah lingkungan hidup bisa memberikan tekanan pada negara untuk terlibat dalam kerjasama internasional yang lebih besar. Pengaplikasian keefektivitasan rezim dapat dilihat melalui rezim lingkungan internasional. Hurrel dan Kingbury menjelaskan adanya kebutuhan rezim lingkungan internasional seiring dengan meningkatnya skala permasalahan lingkungan dari lokal dan regional menuju global. Untuk menangani hal tersebut, maka dibutuhkan seperangkat aturan yang mampu disediakan oleh rezim dan institusi. Aturan-aturan yang dimaksud adalah seperti penciptaan hukum rezim lingkungan untuk menurunkan tingkat ketidakpastian permasalahan yang akan berujung pada ketidakefektifan rezim (Rahmadhani, 2013). 3. Multitrack diplomacy Diplomasi merupakan agenda rutin sebuah negara untuk menjalin kerja sama dengan negara lain. Dewasa ini, aktivitas diplomasi menunjukkan peningkatan peran yang sangat signifikan seiring dengan semakin kompleksnya isu-isu dalam hubungan internasional. Hubungan internasional pun tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan antar negara namun juga meliputi hubungan antar masyarakat internasional. Dengan demikian, diplomasi tradisional atau yang dikenal dengan istilah first track diplomacy yang hanya melibatkan peran pemerintah dalam 21 menjalankan misi diplomasi, tentu saja tidak akan efektif dalam rangka menyampaikan pesan-pesan diplomasi terhadap suatu negara. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi publik yang melibatkan peran serta publik akan sangat dibutuhkan dalam rangka melengkapi aktivitas diplomasi tradisional. Globalisasi membuka ruang keterlibatan publik dalam diplomasi. Diplomasi bukan lagi melulu urusan Pemerintah. Hubungan internasional tidak lagi semata-mata dipandang sebagai hubungan antarnegara, tapi juga meliputi hubungan antarmasyarakat internasional. Multi-track diplomacy merupakan suatu perluasan dan pembedaan antara first track diplomacy dan second track diplomacy yang dibuat oleh Joseph Montville di tahun 1982. Menurut Louis Diamond,multi-track diplomacy dinyatakan sebagai hubungan diplomasi antar bangsa yang dapat dikategorikan dengan diplomasi masyarakat atau diplomasi publik yang merupakan sistem dari beberapa komponen proses dari suatu tindak diplomasi (Diamond & McDonald, 1991). Louise Diamond dan McDonald mengembangkan kedua jalur tersebut menjadi sembilan jalur yakni: Pemerintah, conflict resolution professionals, bisnis, warga negara, penelitian, pelatihan dan pendidikan, aktivisme, agama, pendana atau pemberi dana dan media. 22 Diagram Multitrack System Gambar 1.1 Track one diplomacy adalah diplomasi yang dilakukan oleh aktor negara yakni pemerintah (government-to-government) dan merupakan elemen penting dalam diplomasi. Track one diplomacy dilakukan dengan mempertimbangkan aspek formal dalam proses pemerintahan karena dilakukan oleh kepala negara ataupun diplomat professional serta wakil-wakil yang telah diberi instruksi oleh negara yang berdaulat. Track two diplomacy adalah bentuk diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara dalam situasi informal untuk dapat menangani konflik-konflik antar kelompok masyarakat yang tujuannya menurunkan ketegangan dengan cara meningkatkan komunikasi dan saling pengertian untuk menciptakan perdamaian 23 dunia. Menurut McDonald, diplomasi jalur kedua ini adalah sebagai pendukung diplomasi jalur pertama dalam membuka jalan bagi negosiasi-negosiasi dan kesepakatan yang dilakukan oleh Pemerintah. Track three diplomacy adalah diplomasi bisnis yang melibatkan peran para pelaku bisnis melalui peluang kegiatan kerjasama internasional di bidang ekonomi guna menjalin relasi dengan negara-negara lain melalui komunikasi ataupun jaringan bisnis untuk membantu menciptakan perdamaian dan memperkokoh interaksi kerjasama bisnis dan perekonomian antarnegara. Track four diplomacy menggambarkan keikutsertaan masyarakat dalam diplomasi yang disebut citizen diplomacy. Peran seluruh lapisan masyarakat akan lebih mudah dan jangkauannya luas dalam menjalin relasi untuk mewujudkan perdamaian dan kerjasama baik itu melalui kegiatan pertukaran, organisasi sukarela dan organisasi non-Pemerintah lainnya, special-interest groups hingga para selebritis dinyatakan sebagai aktor baru dalam dunia perpolitikan global. Keterlibatan masyarakat luas dalam diplomasi multi jalur merupakan sebuah kecenderungan baru di era globalisasi sebagai ungkapan kepedulian dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah yang terkait kebijakan luar negeri dan perdamaian dunia. 24 Track five diplomacy merupakan media yang dirancang untuk menghasilkan dan mentransfer informasi yang relevan dalam suatu konflik atau pilihan kebijakan yang direkomendasikan. Track six diplomacy melibatkan aktivis perdamaian,lingkungan, HAM dan isuisu sosial lainnya. Dalam track ini,aktivis mencoba mengubah sikap, kebijakan, atau lembaga atau dalam pihak oposisi. Track seven diplomacy merupakan upaya masyarakat agama untuk terlibat dalam upaya rekonsiliasi pihak yang berkonflik. Track eight diplomacy terdapat organisasi maupun pihak yang memberi dukungan finansial dalam kegiatan yang berlansung di track lainnya yang memiliki masalah yang terus-menerus. Track nine diplomacy yang memainkan peran media tentunya dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam menyampaikan informasi dan aspirasi rakyat hingga menciptakan opini publik guna menjaga perdamaian dan meningkatkan kerjasama. Track nine diplomacy adalah bentuk diplomasi bagaimana opini publik dibentuk dan diekspresikan oleh berbagai elemen media. Di era globalisasi kini, media semakin berperan penting karena dengan mudah menyebarkan informasi 25 maupun peristiwa teraktual dari seluruh belahan dunia melalui televisi ataupun jaringan internet, sehingga sangat membantu dalam proses penyelenggaran diplomasi suatu negara. Media bertindak sebagai messenger dan berada dalam lingkaran sentris untuk menghubungkan peran para aktor multi-track diplomacy yang berperan aktif dalam membangun saling pengertian dan toleransi antarnegara, antar budaya ataupun antar agama. Pelaksanaan multi-track diplomacy didasarkan pada kesadaran dan keinginan aktor non-negara secara umum dari berbagai kalangan yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda untuk melakukan usaha menciptakan peacemaking dan peacebuilding(Diamond & McDonald, 1991). Di dalam konsep multi-track diplomacy, sebuah negara memiliki beberapa pilihan track untuk menjalankan diplomasinya.Dirintis dari tahun 1960-anoleh Herbert Kelman, Edward Azar, John McDonald, John Burton, Johan Galtung, Joseph Montville, Harold Sanders dan lainnya, second track diplomacy semakin diakui sebagai komponen penting dalam proses multi-layered diplomatic yang bertujuan mengubah kekuatan dinamis kompleks, konflik berkepanjangan dalam proses keterlibatan yang konstruktif dan penggabungan pemecahan masalah (Davies & Kaufman, 2003). 26 Sebagai instrument soft power, perkembangan multitrack diplomacy tergolong pesat. Pesatnya perkembangan ini dipicu oleh kenyataan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam diplomasi jalur pertama dianggap telah gagal mengatasi konflik-konflik antarnegara. Kegagalan diplomasi jalur pertama telah mengembangkan pemikiran untuk meningkatkan diplomasi publik sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan konflik-konflik antarnegara (Diamond & McDonald, 1991). Penerapan multi-track diplomacy akan semakin mendorong jaringan kerjasama suatu negara dengan negara lain karena komponen para aktor dalam multi-track diplomacy menempati posisi berbeda tetapi terkait satu sama lain dan saling berinteraksi untuk membangun kerjasama yang strategis, terlebih lagi media semakin bisa membentuk opini publik secara efektif yang dapat mempengaruhi tindakan pemerintah mengambil kebijakan melalui apa yang ditampilkan dalam berita melalui media cetak, media elektronik dan tentunya media online (internet) Diplomasi sebagai proses kunci melaksanakan komunikasi dan negosiasi bangsa Indonesia dengan bangsa lain untuk memperoleh bantuan internasional memerlukan keterlibatan seluruh komponen bangsa dalam berdiplomasi yang tidak 27 hanya melibatkan pemerintah satu dengan pemerintah lainnya tetapi juga masyaarkat seperti organisasi non pemerintah (NGO) ikut ambil bagian dalam proses kerjasama antar bangsa tersebut (Saefudin, 2008). Menurut SBY, Indonesia tetap menjalankan politik bebas aktif namun kali ini dengan sistem diplomasi segala arah yang memungkinkan menjalin kemitraan dengan berbagai negara di dunia. Dalam pernyataannya yang dikutip dari ANTARA News, mengatakan bahwa Indonesia menjalin kemitraan dan bersahabat dengan berbagai negara sepanjang menguntungkan kepentingan bangsa dan negara (Yudhoyono, 2008). Diplomasi Soft Power dengan menggunakan Diplomasi Multijalur (Multitrack diplomacy) yang diterapkan oleh pemerintahan SBY dalam kebijakan PLNRI adalah merupakan reaksi dan adaptasi pemerintahan SBY atas globalisasi. Dampak dari globalisasi mensyaratkan pentingnya kerjasama antar negara-negara dalam tata hubungan internasional dengan penekanan pada aspek soft power, mengingat dewasa ini tata hubungan internasional telah meninggalkan iklim persaingan idiologi maupun militer. 28 D. Hipotesa Berdasarkan pada asumsi – asumsi yang sesusai dengan kerangka pemikiran, penulis menduga bahwa : Upaya Indonesia dalam menanggulangi kerusakan lingkungan di kawasan Coral Triangle dilakukan melalui 2 cara : - Pertama, pada level rezim internasional Indonesia mempelopori kerjasama internasional dengan membentuk Coral Triangle Initiative serta membuat berbagai kebijakan lingkungan kelautan untuk menanggulangi dan memberdayakan ekosistem kelautan demi kelangsungan hidup manusia. - Kedua, Indonesia mengajak peran serta dan dukunganberbagai stakeholder yang bukan hanya negara dalam kawasan melainkan juga negara luar kawasan, NGO lingkungan, IGO, media massa, aktivis, korporasi internasional maupun civil society ntuk berpartisipasi dalam melakukan upaya-upaya penyelamatan,pemberdayaan, dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan melalui implementasi kebijakan dalam regional plan of action. 29 E. 1. Metode Penelitian Tipe penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif, dimana metode deskriptif bertujuan untuk menjelaskan dan menggambarkan upaya kerjasama interasional dalam menangani kerusakan lingkungan di kawasan Segitiga Terumbu Karang serta penanggulangan dampak kerusakan yang ditimbulkan. 2. Teknik pengumpulan data Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode telaah pustaka (Library Search) yaitu dengan mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti. 3. Jenis data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah sekunder. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui berbagai literatur yang menyangkut dan sesuai dengan objek penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari 30 beberapa sumber sumber ,baik berupa buku, jurnal, surat kabar, dan dokumendokumen yang terkait objek yang diteliti 4. Analisa data Dalam mengkaji masalah ini penulis menggunakan analisa data kualitatif karena data yang diperoleh tidak bisa diukur secara statistik-matematis. Dalam penulisan ini, data sekunder yang dipakai mayoritas berupa pendapat orang dan data pendukung kualitatif lain yang mencerminkan sikap, perilaku, pandangan dan ideologi seseorang yang tercermin dalam berbagai bentuk publikasi, baik cetak maupun elektronik. 5. Jangkauan penulisan Untuk memudahkan penulis di dalam menganalisis bahan, maka penelitian ini memerlukan batasan. Penelitian ini memfokuskan kerjasama negara-negara kawasan Segitiga Terumbu Karang daam Coral Triangle Initiative mulai kurun waktu 2007 hingga 2015. Namun ada kemungkinan penulis akan sedikit menyinggung masalah di luar tersebut, jika dianggap perlu dan relevan dengan penelitian ini. 31 F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan hasil karya tulis yang teratur dan sistematis, maka secara keseluruhan penulis membagi karya tulis ini ke dalam 5 (lima) bab sebagai berikut : BAB I. Pendahuluan Pendahuluan merupakan bab yang memuat latar belakang masalah, rumusan permasalahan, kerangka dasar pemikiran, hipotesa, tujuan penelitian, metodologi dan pengumpulan data, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II. Isu Coral Triangle dan Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut dan Pesisir Bab ini akan menguraikan segala permasalahan yang ada di kawasan Coral Triangle dan isu kelautan di Coral Triangle sebagai isu global BAB III. Konservasi Coral Triangle dan Kolaborasi CTI-CFF Partnership Bab ini akan menguraikan proses pembentukan inisiasi kerjasama konservasi terhadap Coral Triangle, tugas kelompok kerja dalam CTI serta pihak-pihak pendukung dalam kerjasama BAB IV. Penerapan Diplomasi Indonesia dalam Coral Triangle Initiative 32 Bab ini menjabarkan perubahan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia dalam isu lingkungan dan penerapannya untuk menangani permasalahan kelautan di kawasan Coral Triangle. BAB V. Kesimpulan Bab ini merupakan bab akhir yang akan menutup karya tulis ini, berisikan kesimpulan yang lebih ringkas dan tegas daripada bab sebelumnya, dan juga saran untuk penulis secara pribadi bagaimana menyikapi kerjasama dalam menanggulangi masalah degradasi lingkungan di wilayah Coral Triangle. 33