II LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Tenaga Listrik Tegangan Menengah Sistem Distribusi Tenaga Listrik adalah kelistrikan tenaga listrik mulai dari Gardu Induk / pusat listrik yang memasok ke beban menggunakan tegangan 20 kV dan 400 V. Jaringan distribusi tegangan menengah 20 kV adalah jaringan distribusi primer yang dipasok dari Gardu Induk menggunakan Saluran Kabel Tegangan Menengah (SKTM) atau Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM). Jaringan distribusi sekunder adalah jaringan yang dipasok dari Gardu Distribusi ke beban dengan tegangan 380400 V (fasa-fasa) dan 220-231 (fasa-netral). 2.2. Pengertian Gangguan dan Klasifikasi Gangguan Gangguan adalah suatu ketidaknormalan dalam sistem tenaga listrik yang mengakibatkan aliran arus yang tidak seimbang dalam sistem tiga fasa1. Gangguan dapat juga didefinisikan sebagai semua kecacatan yang mengganggu aliran normal arus ke beban. Tujuan dilakukan analisis gangguan adalah: 1 Wahyudin Sarimun Nindiyobudoyo, Proteksi Sistem Distribusi Tenaga Listrik, Garamond, Depok, 2012, hlm. 66 7 8 1. Penyelidikan terhadap kehandalan kerja sistem proteksi. 2. Untuk mengetahui kapasitas rating maksimum dari pemutus tenaga. 3. Untuk mengetahui distribusi dan besarnya arus gangguan hubung singkat pada saat terjadi gangguan. Gangguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Berdasarkan kesimetrisannya a. Gangguan asimetris, yaitu gangguan yang mengakibatkan tegangan dan arus yang mengalir pada setiap fasa menjadi tidak seimbang. Gangguan asimetris terdiri dari: Gangguan hubung singkat satu fasa ke tanah. Gangguan hubung singkat dua fasa. Gangguan hubung singkat dua fasa ke tanah. b. Gangguan simetris, yaitu gangguan yang terjadi pada semua fasa, sehingga tegangan dan arus yang mengalir tetap seimbang pada saat terjadi gangguan. Gangguan simetris terdiri dari: Gangguan hubung singkat tiga fasa. Gangguan hubung singkat tiga fasa ke tanah. 2. Berdasarkan durasinya a. Gangguan Transient (temporer), merupakan gangguan yang akan hilang dengan sendirinya setelah pemutus tenaga terbuka dari sistem untuk waktu yang singkat, kemudian dihubungkan kembali. 9 Contohnya adalah gangguan sesaat akibat ranting pohon yang menyentuh penghantar udara. b. Gangguan permanen, merupakan gangguan yang tidak hilang setelah pemutus tenaga terbuka dari sistem untuk waktu yang singkat, kemudian dihubungkan kembali. Selain klasifikasi tersebut, terbukanya pemutus tenaga juga dapat diakibatkan karena terjadinya kerusakan pada relay proteksi, kabel kontrol, dan pengaruh luar lainnya, seperti induksi atau interferensi. 2.3. Metode Komponen Simetris Untuk Perhitungan Arus Gangguan Hubung Singkat Gangguan yang terjadi pada sistem tenaga listrik umumnya adalah gangguan asimetris, dimana gangguan tersebut membuat tegangan dan arus yang mengalir pada setiap fasa menjadi tidak seimbang2. Pada tahun 1918, C.L. Fortesque menemukan suatu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis sistem tiga fasa yang tidak seimbang. Fortesque membuktikan bahwa suatu sistem yang tidak seimbang yang terdiri dari tegangan atau arus yang tidak seimbang antar fasanya dapat dipecah menjadi tiga komponen simetris dari sistem tiga fasa yang seimbang3. Tiga komponen simetris tersebut adalah: 2 1. Komponen Urutan Positif (Positive Sequence Components) 2. Komponen Urutan Negatif (Negative Sequence Components) 3. Komponen Urutan Nol (Zero Sequence Components) Ibid., hlm 83 Charles L. Fortescue, Method of Symmetrical Co-Ordinates Applied to the Solution of Polyphase Networks, dipublikasikan dalam: AIEE Transactions, vol. 37, bagian II, 1914, hlm 1027-1140. 3 10 2.3.1. Komponen Urutan Positif (Positive Sequence Components) Merupakan komponen yang terdiri dari tiga fasor yang sama besarnya, terpisah satu dengan yang lain dalam fasa sebesar 120o, dan mempunyai urutan fasa yang sama dengan fasor aslinya (ditandai dengan subscript 1). Saat sistem berada dalam kondisi normal, hanya terdapat arus dan tegangan urutan positif saja, sehingga impedansi sistem pada kondisi normal adalah impedansi urutan positif. Ketika terjadi gangguan, cabang yang terganggu pada sistem dapat digantikan dengan perubahan tegangan ΔV = V – V1 dan semua sumber tegangan yang ada pada sistem dihubung singkat, sehingga akan diperoleh arus gangguan ΔI yang mengalir ke dalam sistem, yaitu: ΔI = − ( ) .................................................... (2.1) dan ΔI = I – I1 ........................................................... (2.2) Karena arus awal sistem sebelum terjadi gangguan adalah nol, maka arus yang mengalir di cabang yang mengalami gangguan sebesar I1 = -ΔI, sehingga didapatkan V1 = V – I1Z1 Persamaan di atas merupakan persamaan komponen urutan positif arus dan tegangan pada cabang yang mengalami gangguan. 2.3.2. Komponen Urutan Negatif (Negative Sequence Components) Merupakan komponen yang terdiri dari tiga fasor yang sama besarnya, terpisah satu dengan yang lain dengan fasa sebesar 120o, 11 dan mempunyai urutan fasa yang berlawanan dengan fasor aslinya (ditandai dengan subscript 2). Jika pada kondisi normal hanya terdapat komponen urutan positif, maka komponen urutan negatif hanya ada pada saat terjadinya gangguan. Karena tidak ada komponen urutan negatif sebelum terjadi gangguan, maka apabila terjadi gangguan akan timbul perubahan tegangan sebesar –V2, dan arus I2 yang mengalir dari sistem ke gangguan berikut: I =− ........................................................... (2.3) V2 = - I2Z2 ......................................................... (2.4) Z2 merupakan impedansi urutan negatif dan pada umumnya sama dengan impedansi urutan positif. 2.3.3. Komponen Urutan Nol (Zero Sequence Components) Merupakan komponen yang terdiri dari tiga fasor yang sama besarnya dan tidak ada pergeseran fasa antara fasor yang satu dengan yang lain (ditandai dengan subscript 0). Persamaan untuk komponen urutan nol saat terjadi gangguan yaitu: I =− ........................................................... (2.5) V0 = - I0Z0 ......................................................... (2.6) Arus dan tegangan pada komponen urutan nol adalah sefasa, oleh karena itu agar arus urutan nol dapat mengalir dalam sistem, diperlukan adanya jalan balik (return connection) melalui pentanahan netral sistem. Impedansi urutan nol umumnya tidak sama 12 dengan impedansi urutan positif dan tergantung dari bebarapa faktor, seperti jenis peralatan sistem, cara menghubungkan belitan (Δ atau Y), dan cara pentanahan titik netral. Gambar ketiga himpunan komponen simetris adalah sebagai berikut: Gambar 2.1. Komponen Simetris 2.4. Gangguan Hubung Singkat Dalam proteksi sistem tenaga listrik, sangat penting untuk mengetahui distribusi arus dan tegangan di berbagai tempat sebagai akibat timbulnya gangguan. Karakteristik kerja relay proteksi dipengaruhi oleh besaran energi yang dimonitor oleh relay seperti arus atau tegangan. Dengan mengetahui distribusi arus dan tegangan diberbagai tempat maka seorang insinyur proteksi dapat menentukan setelan (setting) untuk relay proteksi dan rating dari pemutus tenaga / circuit breaker (CB) yang akan digunakan. Gangguan hubung singkat yang mungkin terjadi di dalam sistem kelistrikan ada tiga, yaitu: 1. Gangguan hubung singkat tiga fasa, 2. Gangguan hubung singkat dua fasa, dan 13 3. Gangguan hubung singkat satu fasa ke tanah. Pada ketiga gangguan hubung singkat di atas, arus gangguannya dihitung menggunakan hokum Ohm, yaitu: I = dimana; ................................................................................. (2.7) I : Arus yang mengalir pada hambatan Z (Ampere) V : Tegangan sumber (Volt) Z : Impedansi jaringan, nilai ekivalen dari seluruh impedansi dalam jaringan dari sumber tegangan sampai titik gangguan. Dengan mengetahui besarnya tegangan sumber dan besarnya nilai impedansi tiap komponen jaringan, serta bentuk konfigurasi jaringan di dalam sistem, maka besarnya arus hubung singkat dapat dihitung menggunakan rumus di atas. Perbedaan antara gangguan hubung singkat 3 fasa, 2 fasa, dan 1 fasa ke tanah adalah impedansi yang terbentuk sesuai dengan jenis gangguan dan tegangan yang menyuplai arus ke titik gangguan. Impedansi yang terbentuk dapat ditunjukkan sebagai berikut: Z untuk gangguan 3 fasa Z = Z1 Z untuk gangguan 2 fasa Z = Z1 + Z2 Z untuk gangguan 3 fasa Z = Z1 + Z2 + Z0 Dimana, Z1 : Imedansi urutan positif Z2 : Impedansi urutan negatif Z0 : Impedansi urutan nol 14 2.5. Perhitungan Arus Gangguan Hubung Singkat Perhitungan arus hubung singkat pada sistem 20 kV yang disuplai dari Gardu Induk dilakukan dengan menghitung impedansi sumber (dalam hal ini diambil dari data hubung singkat pada rel 150 kV), menghitung reaktansi trafo tenaga, dan menghitung impedansi penyulang. Gambar 2.2.Single Line Diagram Gardu Induk 2.5.1. Menghitung Impedansi Sumber Untuk menghitung impedansi sumber, diperlukan data hubung singkat pada rel primer trafo. X = ................................................................. (2.8) Impedansi sumber ini adalah nilai impedansi pada sisi primer. Untuk menghitung arus gangguan hubung singkat pada sisi sekunder, maka impedansi sumber tersebut harus dikonversikan dahulu ke sisi sekunder. Besarnya impedansi yang terletak pada sisi sekunder adalah sebagai berikut: X = ........................................ (2.9) 2.5.2. Menghitung Reaktansi Trafo X (pada100%) = ( ) ................................ (2.10) 15 Nilai reaktansi trafo tenaga: Reaktansi urutan positif dan negative (Xt1 = Xt2) Xt = Xt % x Xt (pada 100%) ................................... (2.11) Reaktansi urutan nol didapat dengan memperhitungkan kapasitas belitan delta yang ada dalam trafo itu. 1. Untuk trafo tenaga dengan hubungan belitan ∆/Y, dimana kapasitas belitan delta sama besar dengan kapasitas belitan Y, maka Xt0 = Xt1. 2. Untuk trafo tenaga dengan belitan Yyd, dimana kapasitas belitan delta biasanya sepertiga dari kapasitas belitan Y, maka nilai Xt0 = 3Xt1. 3. Untuk trafo tenaga dengan hubungan YY dan tidak mempunyai belitan delta di dalamnya, maka besarnya Xt 0 berkisar antara 9 sampai dengan 14 Xt1. 2.5.3. Menghitung Impedansi Penyulang Nilai impedansi penyulang tergantung dari besarnya total impedansi per meter penyulang yang bersangkutan, dimana ditentukan dari konfigurasi jaringan dan jenis penghantar yang digunakan. Besarnya impedansi penyulang adalah sebesar: Z = (R + jX) Ω/km .................................................. (2.12) Dengan demikian, nilai impedansi penyulang untuk lokasi gangguan disimulasikan pada lokasi dengan jarak 0% sampai dengan 100% panjang penyulang. Jarak 0% adalah titik gangguan tepat di 16 depan sistem proteksi, sedangkan jarak 100% adalah titik gangguan di pangkal penyulang. 2.5.4. Menghitung Impedansi Ekivalen Jaringan Perhitungan impedansi ekivalen jaringan adalah perhitungan besarnya nilai impedansi positif (Z1 eq), negatif (Z2 eq), dan nol (Z0 eq) dari titik gangguan sampai ke sumber. Impedansi yang terbentuk dari sumber ke titik gangguan adalah tersambung seri, maka perhitungan Z1 eq dan Z2 eq dapat langsung menjumlahkan impedansi-impedansi tersebut. Sedangkan untuk perhitungan Z0 eq dimulai dari titik gangguan sampai ke titik netral trafo tenaga yang ditanahkan. Perhitungan Z1 eq dan Z2 eq : Z1 eq = Z2 eq = Zs1 + Zt1 + Z1 penyulang ......................... (2.13) dimana; Zs1 : Impedansi sumber (Ω) Zt1 : Impedansi trafo (Ω) Z1 : Impedansi penyulang (Ω) Perhitungan Z0 eq (untuk trafo Yyd dengan belitan delta): Z0 eq = Zt0 + 3RN + Z0 penyulang .................................. (2.14) Setelah impedansi urutan positif, negatif, dan nol didapatkan, impedansi ekivalen total dihitung sesuai gangguan hubung singkat yang terjadi (hubung singkat 3 fasa, 2 fasa, atau 1 fasa). 17 2.5.5. Gangguan Hubung Singkat 3 Fasa pada Sistem 20 kV Gambar 2.3. Gangguan Hubung Singkat 3 Fasa Gangguan hubung singkat 3 fasa dihitung menggunakan rumus hukum ohm, yaitu: I = ....................................................... (2.15) dimana; Ihs 3 fasa : Arus hubung singkat 3 fasa (A) Vph : Tegangan fasa – netral (V) Z1 eq : Impedansi ekivalen urutan positif (Ω) 2.5.6. Gangguan Hubung Singkat 2 Fasa pada Sistem 20 kV Gambar 2.4. Gangguan Hubung Singkat 2 Fasa Gangguan hubung singkat 2 fasa dihitung menggunakan rumus hukum ohm, yaitu: I = .............................................. (2.16) dimana; Ihs 2 fasa : Arus hubung singkat 2 fasa (A) Vph-ph : Tegangan fasa – fasa (V) 18 Z1 eq : Impedansi ekivalen urutan positif (Ω) Z2 eq : Impedansi ekivalen urutan negatif (Ω) 2.5.7. Gangguan Hubung Singkat 1 Fasa ke Tanah pada Sistem 20 kV Gambar 2.5. Gangguan Hubung Singkat 1 Fasa Besarnya arus gangguan hubung singkat 1 fasa dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: I = 3xI = ........................ (2.17) dimana; Ihs 1 fasa : Arus hubung singkat 1 fasa (A) Vph : Tegangan fasa – netral (V) Z1 eq : Impedansi urutan positif (Ω) Z2 eq : Impedansi urutan negatif (Ω) Z0 eq : Impedansi urutan nol (Ω) 2.6. Dasar Proteksi Sistem Tenaga Listrik Suatu sistem tenaga listrik tidak selamanya berjalan ideal, karena dalam kenyataannya dapat terjadi suatu kondisi abnormal (seperti adanya gangguan atau terjadinya short circuit). Kondisi abnormal tersebut dapat membahayakan sistem secara keseluruhan, sehingga diperlukan adanya 19 sistem proteksi yang dapat meminimalkan efek dari kondisi abnormal tersebut. Fungsi dari sistem proteksi adalah untuk mengidentifikasi gangguan dan memisahkan bagian jaringan yang terganggu dari bagian lain yang masih normal (tidak terganggu) serta sekaligus mengamankan bagian yang masih normal tersebut dari kerusakan atau kerugian yang lebih besar. Gangguan pada sistem tenaga listrik dapat terjadi di pembangkit, jaringan transmisi maupun jaringan distribusi. Dimanapun gangguan itu terjadi, sistem proteksi harus dapat mengidentifikasi dan memisahkan bagian yang terganggu secepat mungkin. Relay proteksi sebagai komponen utama sistem proteksi tenaga listrik dalam melaksanakan tugasnya yaitu untuk mengidentifikasi gangguan, harus memenuhi beberapa persyaratan keandalan, yaitu: 1. Sensitivitas Merupakan kemampuan sistem proteksi untuk mengidentifikasi adanya ketidaknormalan atau gangguan yang berada di dalam daerah yang diproteksinya. 2. Selektivitas Koordinasi dari sistem proteksi, dimana jika terjadi gangguan, relay hanya membuka pemutus tenaga yang diperlukan saja (tidak menyebabkan pemutusan/pemadaman jaringan yang lebih luas). 3. Keamanan Kemampuan sistem proteksi untuk menjamin peralatan proteksi akan bekerja jika terjadi suatu gangguan dan tidak akan bekerja jika tidak terjadi gangguan. 20 4. Kecepatan Ketika terjadi gangguan, komponen proteksi harus dapat memberikan respon waktu yang tepat, sesuai dengan koordinasi yang diinginkan. Dua syarat dasar yang harus dipenuhi agar sistem proteksi dapat bekerja mengisolasi bagian sistem yang terganggu, yaitu: 1. Sistem tenaga listrik harus memiliki jumlah pemutus tenaga yang cukup untuk dapat melakukan isolasi pada bagian yang terganggu. 2. Setiap pemutus tenaga harus dilengkapi dengan suatu alat kontrol yang dapat mendeteksi kondisi abnormal, dan membuka pemutus tenaga yang diperlukan untuk mengisolasi kondisi abnormal tersebut. Untuk dapat menerapkan prinsip selektivitas, suatu sistem tenaga listrik yang terdiri dari banyak pemutus tenaga harus diatur dan dikoordinasikan sedemikan rupa sehingga pada saat terjadinya kondisi abnormal, relay dapat membuka hanya pemutus tenaga yang diperlukan saja, hal inilah yang disebut dengan selective fault clearance. Relay proteksi harus diberi informasi yang memungkinkan relay untuk membedakan antara kondisi abnormal yang berada di dalam zona proteksinya (dimana harus terjadi tripping), dan gangguan eksternal atau arus beban normal (dimana tidak boleh terjadi tripping). Informasi ini diperoleh dari sistem tenaga 21 listrik, seperti arus, tegangan dan sudut fasa antara keduanya yang diukur pada saat terjadi gangguan. 2.7. Komponen Proteksi Sistem Tenaga Listrik Sistem proteksi tenaga listrik pada umumnya terdiri dari beberapa komponen yang dirancang untuk mengidentifikasi kondisi sistem tenaga listrik dan bekerja berdasarkan informasi yang diperoleh dari sistem tersebut, seperti arus, tegangan, atau sudut fasa antara keduanya. Informasi yang diperoleh dari sistem tenaga listrik akan digunakan untuk membandingkan besarannya dengan besaran ambang-batas (threshold setting) pada peralatan proteksi. Apabila besaran yang diperoleh dari sistem melebihi setting ambang-batas peralatan proteksi, maka sistem proteksi akan bekerja untuk mengamankan kondisi tersebut. Peralatan proteksi pada umumnya terdiri dari beberapa elemen yang dirancang untuk mengamati kondisi sistem dan melakukan suatu tindakan berdasarkan kondisi sistem yang diamatinya. Threshold Quantitiy Metered Quantitiy Comparison Element Decision Element Action Element Gambar 2.6. Elemen Proteksi Sistem Tenaga Listrik 22 Waktu pemutusan gangguan merupakan waktu total yang dibutuhkan peralatan proteksi untuk membuka pemutus tenaga, atau disebut juga fault clearing time. Tc = Tp + Td + Ta .............................................................. (2.18) dimana; Tc : clearing time Tp : comparison time Td : decision time Ta : action time Waktu pemutusan gangguan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan suatu skema proteksi. Hal ini dikarenakan suatu peralatan proteksi harus dikoordinasikan waktunya dengan peralatan proteksi yang lain, agar saat terjadi gangguan hanya peralatan proteksi yang paling dekat yang bekerja (prinsip selektivitas). 2.7.1. Trafo Tegangan (Voltage Transformer) Dalam sistem tenaga listrik dikenal berbagai macam tipe dan konstruksi trafo sesuai dengan aplikasinya. Untuk aplikasi peralatan proteksi sistem tenaga listrik, khususnya relay, trafo digunakan untuk mengukur besaran kuantitas sistem (arus atau tegangan) dan mentransformasikannya ke level yang lebih rendah sebagai input pengukuran untuk relay. Trafo ini dikenal dengan sebutan instrument transformer yang terdiri dari trafo tegangan (voltage transformer) dan trafo arus (current transformer). 23 Trafo tegangan yang digunakan untuk peralatan proteksi mempunyai prindsip yang sama dengan trafo daya pada sistem tenaga listrik. Perbedaannya adalah trafo tegangan memiliki rating daya yang kecil, dengan tegangan tinggi di sisi primer dan tegangan rendah di sisi sekunder (berkisar antara 100 – 120 Volt rms). Trafo tegangan digunakan untuk memberikan sample atau input pengukuran tegangan sistem ke peralatan proteksi. Karena berfungsi sebagai sampling, trafo tegangan yang digunakan harus memiliki keakuratan yang tinggi agar hasil pengukurannya tidak terlalu menyimpang dari tegangan sistem yang sebenarnya. Gambar 2.7. Trafo Tegangan 20.000 / 100 Volt Fungsi utama trafo tegangan adalah; Menurunkan besaran tegangan sistem tenaga listrik menjadi besaran tegangan untuk sistem pengukuran atau proteksi. Mengisolasi rangkaian sekunder terhadap rangkaian primer. 24 Gambar 2.8. Rangkaian Trafo Tegangan ke Sistem Tenaga Listrik 2.7.2. Trafo Arus (Current Transformer) Trafo arus merupakan peralatan yang digunakan untuk mengambil sample atau masukan arus sistem dan mentransformasikannya ke besaran yang lebih rendah untuk peralatan proteksi dan pengukuran. Gambar 2.9. Trafo Arus 20 kV Fungsi utama trafo arus adalah: Menurunkan besaran arus listrik pada sistem tenaga listrik menjadi besaran arus untuk sistem pengukuran atau proteksi. Mengisolasi rangkaian sekunder terhadap rangkaian primer. 25 1 2 3 U s1 s2 s3 Gambar 2.10. Rangkaian Trafo Arus ke Sistem Tenaga Listrik Rating dari trafo arus ditentukan berdasarkan rasio arus primer dengan arus sekunder, seperti 300/5 A, 200/5 A, 100/5 A, 50/5 A, dan lain-lain. Rating arus sekunder 5 Ampere dan 1 Ampere banyak digunakan sebagai standard pada trafo arus. Relay proteksi yang menggunakan arus sekunder trafo arus sebagai masukan antara lain relay jarak, relay arus lebih, dan relay diferensial. 2.7.3. Relay Proteksi Relay adalah komponen yang akan memberikan indikasi kondisi abnormal apabila diberi energi oleh besaran sistem yang tepat. Relay berfungsi sebagai decision element pada sistem proteksi. Apabila kontak relay menutup, maka rangkaian-rangkaian trip pemutus tenaga yang terubung akan mendapat energi, sehingga kontak breaker terbuka dan mengisolir bagian yang terganggu dari sistem. 26 Beberapa relay berdasarkan fungsinya antara lain: 1. Overcurrent relay Relay yang bekerja apabila arus yang terdeteksi oleh relay melebihi setelan nilai ambang batas arusnya. 2. Differential relay Relay yang dirancang untuk mendeteksi perbedaan antara arus yang masuk ke dalam zona proteksinya dengan arus yang keluar. Relay diferensial akan bekerja apabila arus yang masuk zona proteksinya tidak sama dengan arus yang keluar. 3. Directional relay Relay yang dirancang untuk mengidentifikasi perbedaan fasa antara arus yang satu dengan yang lain atau perbedaan fasa antar tegangan. Relay ini dapat membedakan apakah gangguan terjadi di belakang relay (reverse fault) atau di depan relay (forward fault). 4. Distance relay Relay ini biasa digunakan untuk proteksi pada saluran transmisi, karena relay jarak dapat mengukur impedansi untuk mencapai titik tertentu. Relay jarak dapat bekerja untuk mendeteksi gangguan hubung singkat yang terjadi antara lokasi relay dan batas jangkauan yang telah ditentukan. 27 5. Ground fault relay Relay ini bekerja untuk mendeteksi gangguan hubung singkat ke tanah dengan mengukur besarnya arus residu yang mengalir ke tanah. 2.7.4. Pemutus Tenaga (Circuit Breaker) Pemutus tenaga (PMT) atau circuit breaker (CB) merupakan peralatan yang digunakan untuk menghubungkan atau memutuskan arus listrik sesuai dengan kapasitas ratingnya. PMT dirancang untuk mampu memutuskan arus beban dan arus gangguan hubung singkat dalam waktu singkat. Energi mekanik yang diperlukan untuk membuka kontak utama diperoleh dari gaya pegas, tekanan hidrolik, tekanan pneumatic, atau kombinasinya. Pada saat PMT memutuskan atau menghubungkan arus listrik, akan timbul busur api. Untuk meredam busur api tersebut, digunakan beberapa bahan peredam busur api, yaitu minyak, udara, atau gas. Gambar 2.11. Rangkaian Sederhana Relay dan PMT (halaman ini sengaja dikosongkan)