PEMBAHARUAN DALAM ISLAM DI INDONESIA

advertisement
PEMBAHARUAN DALAM ISLAM DI INDONESIA
A.SEJARAH BERDIRINYA ORGANISASI MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar yang masih eksis hingga kini,
didirikan oleh KH. Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 (18 November 1912) di
Yogyakarta.
Secara etimologis, Muhammadiyah berasal dari kata “Muhammad” yaitu nama
Rasulullah saw yang diberi ya nisbah dan ta marbutah yang berarti pengikut Nabi
Muhammad saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, yang telah
disesuaikan dengan UU No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di
Surakarta pada tanggal 7-11 Desember 1985, Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa
Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang
berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Muhammadiyah menentang
berbagai praktik bid’ah dan khurafat. Sifat gerakan ini non politik, tetapi tidak melarang
anggota-anggotanya memasuki partai politik. Bahkan KH. Ahmad Dahlan selaku
pemimpinnya
juga
menjadi
anggota
Sarekat
Islam.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah mengembuskan jiwa pembaruan
Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat. Muhammadiyah
memberikan titik tekan tersendiri bagi dunia pendidikan. Langkah yang diambil
Muhammadiyah antara lain, (1) memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat
ibadah, serta mempertinggi akhlak; (2) mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu
agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya; (3) memajukan dan memperbarui
pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut
tuntunan Islam; (4) menggiatkan dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma’ruf
nahi munkar; (5) mendirikan, menggembirakan dan memelihara tempat ibadah dan
wakaf; (6) membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi; (7)
membimbing para pemuda agar menjadi orang Islam berarti; (8) membimbing ke arah
kehidupan dan penghidupan sesuai dengan ajaran Islam; (9) menggerakkan dan
menumbuhkan rasa tolong menolong dalam kebajikan takwa; (10) menanam kesadaran
agar
tuntunan
dan
peraturan
Islam
berlaku
dalam
masyarakat.
Pada tahun 1930-an, menjelang Perang Dunia II, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah,
di antaranya KH Mas Mansyur, Prof. Kahar Muzakir, dan Dr. Sukiman Wirjosandjoyo,
mensponsori berdirinya Partai Islam Indonesia. KH. Mas Mansyur juga aktif di GAPI,
bahkan diunggulkan sebagai ketua Majelis Rakyat Indonesia, yang merupakan badan
parlemen
dari
kaum
pergerakan
nasional.
Sejak masa berdirinya, banyak kader Muhammadiyah yang ikut berjuang, misalnya di
perang kemerdekaan. Sementara itu setelah Indonesia merdeka, mulai bergerak kembali
ke berbagai bidang, selain juga terjun dalam perjuangan fisik. Sementara itu, pada zaman
revolusi fisik dan demokrasi liberal, banyak anggota Muhammadiyah yang memasuki
partai politik Masyumi. Dalam dunia politik, banyak tokoh Muhammadiyah berdiri di
depan.
Persebaran Muhammadiyah dimulai sejak kelahirannya sampai saat ini. Sampai
sekurang-kurangnya tahun 1917, penyebaran Muhammadiyah bisa dibilang masih sangat
terbatas, yakni masih di daerah Kauman Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sendiri selain
aktif tabligh, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, dan memberikan bimbingan
kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan seperti pengajaran shalat dan juga
mengumpulkan
dana
dan
pakaian
untuk
dibagikan
kepada
fakir
miskin.
Dengan kesungguhan para kadernya, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun
1925 Muhammadiyah memiliki 29 cabang dengan 4.000 anggota. Sedangkan
kegiatannya di bidang pendidikan meliputi 8 Hollands Indlandse School, 1 Sekolah guru
di Yogyakarta, 32 sekolah dasar 5 tahun, 1 Schakelschool, 14 madrasah dengan 119 guru
dan 4000 murid. Di bidang sosial, Muhammadiyah mencatat 2 klinik di Jogya dan
Surabaya dengan 12.000 pasien, 1 buah rumah miskin, dan 2 rumah yatim piatu.
Selanjutnya, penyebaran Muhammadiyah semakin meluas lagi. Bidang pendidikan
menjadi begitu melekat dengan aikon Muhammadiyah. Data pada tahun 1985 saja
tercatat lembaga pendidikan Muhammadiyah berjumlah 12.400 lebih yang tersebar di
seluruh tanah air, yang terdiri dari pendidikan umum dan pendidikan agama. Dari jumlah
tersebut tercatat 15 universitas dan 23 perguruan tinggi. Sisanya adalah sekolah TK
sampai tingkat SLTA (agama dan non agama). Sampai dengan tahun 1990, jumlah
Perguruan
Tinggi
Muhammadiyah
berkembang
menjadi
78
buah.
Selain bidang pendidikan, Muhammadiyah juga mencurahkan perhatiannya untuk
mendirikan poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit, dan sekarang fakultas kedokteran.
Kalau pada tahun 1922 baru ada 1 rumah sakit atau poliklinik, di tahun 1990
Muhammadiyah telah memiliki 215 rumah sakit, poliklinik dan rumah bersalin. Kini
belum ada data pasti, tapi diyakini jumlahnya jauh lebih tinggi dari tahun-tahun
sebelumnya.
Muhammadiyah yang berkembang dengan pesat, tak elak dari kesungguhan hati para
pendiri dan kadernya. Menarik kita simak pesan KH. Ahmad Dahlan, “…Aku ingin
berpesan pula hendaknya kamu bekerja dengan bersungguh-sungguh, bijaksana dan tetap
berhati-hati, dan waspada dalam menggerakkan Muhammadiyah dan menggerakkan
tenaga umat. Hal ini jangan kau kira urusan kecil. Inilah pesanku, siapa saja yang
mengindahkan pesanku, tanda mereka tetap mencintai aku dan Muhammadiyah.” Selain
itu beliau melanjutkan, “Adapun untuk menjaga keselamatan Muhammadiyah, maka
perlulah kita berusaha dan menjalankan serta mengikuti garis khittahku; hendaklah kamu
sekali-kali tidak menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain,
jangan sentimen, jangan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan, jangan sombong,
jangan berbesar hati kalau menerima pujian, jangan jubirya (ujub, kibir, riya), ikhlas dan
murnikan hati kalau sedang berkorban harta benda, pikiran dan tenaga, dan harus
bersungguh hati dan tetap tegak pendirianmu!” pesannya.
B.NAHDLATUL ULAMA
Nahdlatul Ulama (NU) berarti kebangkitan ulama. Dibidangi oleh tokoh-tokoh ulama
seperti Hadhratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) dan KH.
Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971). NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di
Surabaya dan kini menjadi salah satu organisasi dan gerakan Islam terbesar di
Indonesia.
NU lahir dari Komite Hijaz yang bertujuan mengupayakan berlakunya ajaran Islam
yang berhaluan Ahlu Sunnah wal Jamaah dan penganut salah satu mazhab yang empat
(Hanafi, Syafi’i, Hanbali dan Maliki). Sebagian besar yang mendominasi gerakan ini
adalah mazhab Syafi’i.
Berbasiskan massa pesantren di seluruh Nusantara, NU mencorong menjadi sebuah
gerakan kultural yang sangat berkembang. Soliditas di kalangan NU juga sedikit
banyak dipengaruhi oleh kuatnya kekerabatan internal, baik yang disebabkan oleh
seperguruan dalam menimba ilmu agama (pesantren sebagai tempat belajar), sebab
nasab (keturunan), dan juga silaturahim yang dijalin. Dan tentu saja ukhuwah Islamiyah
dan kesatuan akidah.
Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri atas: Mustasyar (berfungsi sebagai Badan
Penasihat), Syuriah (berfungsi sebagai pimpinan tertinggi) dan Tanfidziyah (yang
berfungsi sebagai Pelaksana Harian). Kepengurusan NU juga dilengkapi dengan
berbagai lajnah, lembaga dan badan otonomi.
Dalam kehidupan politik, Nahdlatul Ulama ikut aktif semenjak zaman pergerakan
kemerdekaan di masa penjajahan. Semula, Nahdlatul Ulama aktif sebagai anggota
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), kemudian Majlis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi), baik yang dibentuk di zaman Jepang maupun yang didirikan oleh seluruh
organisasi Islam setelah merdeka sebagai satu-satunya partai politik umat Islam
Indonesia. Karena berbagai perbedaan, pada tahun 1952 Nahdlatul Ulama, menyusul
PSII, menyatakan menarik diri dari keanggotaan istimewa Masyumi dan berdiri sendiri
sebagai partai politik. Nahdlatul Ulama bersama dengan PSII dan Perti membentuk
Liga Muslimin Indonesia sebagai wadah kerja sama partai politik dan organisasi Islam.
Dalam pemilihan umum tahun 1955 Nahdlatul Ulama muncul sebagai partai politik
besar ketiga. Pada masa Orde Baru Nahdlatul Ulama bersama partai politik lainnya
(PSII, Parmusi. Perti) berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian
sejak tahun 1984 NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926, yaitu melepaskan diri
dari kegiatan politik dan menjadi organisasi sosial keagamaan.
Meski Khittah 1926 NU pada mulanya diilhami oleh suatu pemikiran bahwa
keterlibatan secara langsung dalam kancah politik praktis ternyata tidak memberikan
‘keuntungan’ yang signifikan bagi kelangsungan hidup organisasi. Perjalanan NU
kemudian tampak lebih didominasi oleh aktivitas politik. Inilah yang kemudian
memunculkan ide untuk kembali ke khittah 1926. Bukan berarti NU harus
meninggalkan dunia politik, namun netralitas politik tetap menjadi pilihan NU. Karena
itu, untuk menjaga sikap netral itu, dapat dimaklumi jika PBNU melarang adanya
rangkap jabatan bagi segenap pengurusnya dengan jabatan politik.
Dalam praktiknya, anggota NU masih ada yang di PPP, tak sedikit yang menyeberang
ke Golkar, dan tidak dilarang juga masuk PDI. Ini terjadi dalam kurun sekitar 19841998. Sampai kemudian pada tahun 1999 saat gelombang reformasi menyeruak, NU
bisa berkampanye untuk rumahnya sendiri’ yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Langkah ini dianggap sebagai langkah “non politik” dari “politik” NU, di mana NU
tidak mengubah bentuk menjadi organisasi politik secara “langsung” (karena berarti ini
mencederai khittah 1926) namun menampilkan representasi organisasinya yang
memiliki kekuatan sosial cukup signifikan di Indonesia dalam jaket PKB.
Meski bukan satu-satunya partai bentukan warga NU, di masa inilah PKB meraih
simpati massa—khususnya dari kalangan santri—Islam yang cukup besar, hingga
mampu menduduki peringkat lima besar partai pemenang pemilu 1999.
Sebagai cucu dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, sosok Abdurahman Wahid atau
Gus Dur tak terlepas dari perkembangan Nahdlatul Ulama. Menjabat selama tiga
periode berturut-turut dalam pucuk kepemimpinan di PBNU, pemikiran Gus Dur
banyak memberikan “corak” bagi perkembangan NU berikutnya. Ia disebut-sebut
sebagai seseorang yang memadukan pemikiran tradisional dan kontemporer. Greg
Barton, dosen mata kuliah agama dan kajian Asia di Universitas Deakin Australia
menulis dalam disertasinya yang berjudul “The Emergence of Neo Modernism”, salah
satunya mengupas pemikiran beberapa tokoh Indonesia, di antaranya Gus Dur. Gus Dur
adalah sosok yang penuh kontroversi dan dianggap telah memelopori bangkitnya
gerakan liberalisme Islam di kalangan anak muda NU.
Gus Dur kemudian terpilih sebagai ketua Partai Kebangkitan Bangsa yang dengan
demikian harus meletakkan jabatan sebagai ketua PBNU. Dalam perkembangannya,
saat pemilihan presiden dilaksanakan di Senayan, pada tahun 1999 terjadi tarikmenarik. Lobi-lobi tokoh-tokoh Islam di DPR/MPR menghasilkan konsesi politik yang
berujung pada pemenangan Abdurrahman Wahid sebagai orang nomor satu di republik
ini. Namun, selama kepemimpinannya, pemerintah menuai badai kritik dan dipenuhi
langkah-langkah yang juga penuh kontroversi. Gus Dur akhirnya lengser setelah
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR dalam Sidang Istimewa.
Besarnya organisasi Nahdatul Ulama yang oleh para penggagasnya—dengan segala
kejernihannya—dimaksudkan untuk menegakkan Izzul Islam wal muslimin. Nyatanya
cukup memberikan corak bagi khazanah sosial politik di Indonesia. Keberadaan
organisasi Islam terbesar di negeri Indonesia ini tak pelak mengundang harapan bagi
segenap kaum muslimin di Indonesia khususnya untuk memberikan kontribusi bagi
kemaslahatan umat, seluas-luasnya.
C. Sejarah hidup KH M Hasyim Asy'ari
Berikut adalah sebuah fakta bahwa Seorang Pendiri NU, berguru pada orang yang sama
dengan Pendiri Muhammadiyah
Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH
Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya
memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid
Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim
menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan katakata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang
murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap
menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya."
Tanpa merasa tersanjung, Mbah
Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah
tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akant turut belajar di sini,
menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya. Karena sudah
hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya
sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat
menuju
tempat
sandal,
bahkan
kadang saling mendahului, karena hendak
memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang
gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai
Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan
saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid
dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua
pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah
berguru
kepada
pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan
saja ia
pendiri
sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan
ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya.
Terutama, kakek Abdurrahman
Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai
Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan
suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk
mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai
Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim
kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KHAbdul
Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim
(anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah
menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling
penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren', mencatat
bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga
pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian
memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi
perhatian
serius
penjajah.
Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi
ditolaknya.
Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda
kelimpungan.
Pertama, ia
memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda
kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di
mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga
pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis
dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja,
Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi
bingung.
Karena
banyak
ummat
Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas
alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif
dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri
minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh atTarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal
Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu
kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah
Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim
Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang
giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana
diketahui, buah pikiran Abduh itu
ummat
sangat
mempengaruhi
proses
perjalanan
Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah
menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk
Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan
kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal
dari Islam. Kedua, reformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga,
mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan
kebutuhan-kebutuhan
kehidupan
modern;
dengan
dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali
tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri
dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar umat Islam
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa
hal. Beberapa santri Syekh Khatib
ketika
kembali ke
Indonesia
ada
yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Diantaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang
kemudian mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar umat Islam
melepaskan diri
dari
keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak
mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan
Hadist tanpa
mempelajari
pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung
dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari
dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan
saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal
tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu
itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang
diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang
tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok
modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al
Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka
mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam untuk dibawa ke Konggres
Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak
tertampung
(diantaranya:
tradisi
bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting,
mulai
makam
Rasulullah sampai
para
sahabat)
kelompok
ini
kemudian
membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah
ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab
Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma
jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937
ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam
Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai
Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah
putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung
keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun
keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren
Nggedang,
sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari,
memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang
inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim
memang sudah
nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam
usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar
ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya,
berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan
berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan
di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren
yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan
sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan
luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di
Pesantren Siwalan.
Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan
alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru
berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub.
Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna
menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah
istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah
selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik
kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.
Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang
yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai
Hasyim istirahat tidak
mengajar.
Saat
itulah
ia memeriksa
sawah-sawahnya.
Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya.
Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan
pesantrennya.
Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10
putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid,
Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat
25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai
Nasional.
Pahlawan
Daftar pustaka
http://www.google.com
Baso,Ahmad. (2006). NU studies :Pergolakan pemikiran antara fundamentalisme dan
neo-liberal. Jakarta:Erlangga
Abas,Zainul. (2000). NU, Kritisme, dan pergeseran makna aswaja. Yogyakarta: Tiara
Wacana
(1990). Muhammadiyah kini dan esok. Jakarta: Pustaka Panjimas
(2005). Ensiklopedi Muhammadiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada
-oo0oo-
Download