Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTREM HUJAN ES DI KOTA MEDAN (STUDI KASUS TANGGAL 26 JULI 2015 DAN 12 SEPTEMBER 2016) RIZKA ERWIN LESTARI*, EJHA LARASATI SIADARI, AMBINARI RACHMI PUTRI Prodi Meteorologi Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Jl. Perhubungan I No. 5 Pondok Betung Tangerang Selatan Banten Abstrak. Dalam periode 2015-2016, media massa mencatat telah terjadi dua fenomena hujan es di Kota Medan, yaitu pada tanggal 26 Juli 2015 di dan 12 September 2016. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, kejadian tersebut merupakan fenomena cuaca ekstrem yang jarang terjadi di Indonesia sehingga analisis terkait keadaan atmosfer saat kejadian sangat diperlukan. Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah analisis udara permukaan, analisis udara atas, analisis satelit Himawari-8, dan analisis data NOAA/NESDIS SST serta anomalinya. Adapun parameter yang digunakan pada analisis udara permukaan adalah suhu, tekanan, kelembaban udara relatif permukaan, dan present weather; indeks stabilitas yang digunakan dalam analisis udara atas adalah LI (Lifting Index), K-Index, CAPE (Convective Available Potential Energy), dan TT (Total-Total Index); produk Satelit Himawari-8 yang digunakan adalah Convective Cloud Coverage; serta analisis NOAA/NESDIS SST yang menggunakan Sea Surface Temperature (SST) dan anomalinya. Dari analisis yang telah dilakukan didapat hasil bahwa kondisi udara permukaan pada kedua tanggal menunjukkan adanya aktivitas konvektif di permukaan yang mendukung terjadinya fenomena cuaca ekstrem, kondisi udara atas menunjukkan nilai-nilai indeks yang menggambarkan ketidakstabilan atmosfer, analisis satelit menunjukkan adanya tutupan awan konvektif di area kejadian hujan es, serta analisis SST dan anomalinya menunjukkan adanya anomali hangat di Perairan sekitar Medan dan Samudera Hindia. Kata Kunci : Hujan es, udara permukaan, udara atas, satelit, SST Abstract. During the years 2015-2016, the masses media have reported two phenomenon of hail in Medan city on July 26, 2015 and September 12, 2016. Although it did not cause victims, that phenomena is categorized as a rare extreme weather in Indonesia so that the analysis of the atmosphere’s condition at that time is important. The analytical method used in this paper are the analysis of surface air, analysis of upper air, analysis of satellite Himawari-8, analysis of NOAA / NESDIS SST data and its anomaly. The parameters used in the analysis of surface air are temperature, surface pressure, relative humidity, and present weather; the stability indeces used in the analysis of upper air are LI (Lifting Index), K-Index, CAPE (Convective Available Potential Energy), and TT (Total-Total Index); Himawari-8 Satellite products that used in this research is Convective Cloud Coverage; analysis of NOAA / NESDIS SST using * email : [email protected] Kode Artikel: FINS-09 ISSN: 2477-0477 Analisis Kejadian Cuaca Ektrem Hujan Es di Kota Medan..... the Sea Surface Temperature (SST) and its anomaly. Based on the analysis of surface air showed that the surface air condition on both dates indicate convective activity on the surface that supports the occurrence of the extreme weather phenomena, analysis of upper air condition showed that the stability indeces value describe atmospheric instability condition, analysis of satellite showed that there was convective cloud cover area around Medan, analysis of SST and its anomaly showed a warmer anomaly in the sea around Medan and the Indian Ocean. Keywords : Hail, surface air, upper air, satellite, SST 1. Pendahuluan Indonesia merupakah wilayah yang cenderung memiliki suhu yang tinggi karena pemanasan matahari lebih banyak pada wilayah katulistiwa. Oleh karena itu, wilayah freezing level di wilayah katulistiwa (tropis) lebih tinggi daripada wilayah pada lintang lebih tinggi. Sehingga kejadian hujan es di Indonesia cukup jarang terjadi. Tetapi selama 2 tahun berturut – turut yaitu 2015 – 2016 telah terjadi fenomena hujan es di Kota Medan. Berdasarkan Harian Kompas dan detik.com, menyebutkan bahwa pada tanggal 26 Juli 2015 tepatnya pukul 13.30 WIB telah terjadi hujan es di Jalan Brigjen Zein Hamid, Kecamatan Medan Maimun Gang Keluarga Kota Medan. Selain itu, pada Harian Analisa Medan juga menyebutkan telah terjadi fenomena hujan es tanggal 12 September 2016 di Jalan Setiabudi, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan pada pukul 20.10 WIB. Meskipun fenomena ini tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan material, tetapi kejadian cuaca ekstrem ini perlu dilakukan analisis tentang kondisi atmosfer dan lautan saat dan sebelum kejadian berlangsung. Sehingga, apabila pada waktu mendatang terjadi hujan es pada skala yang lebih besar, maka dapat diketahui kondisi atmosfer sebelum kejadian, untuk mencegah adanya korban jiwa dan kerusakan material. Hujan es adalah kejadian cuaca ekstrem yang disebabkan anomali cuaca (keadaan menyimpang) berupa jatuhnya butiran es/kristal yang berdiameter kecil ke permukaan bumi. Tidak seperti hujan air, hujan es ini berbahaya dalam skala besar, dapat mengakibatkan kerusakan bagi atap rumah, pertanian bahkan penerbangan. Hujan es ini biasanya terjadi pada wilayah ektratropis tapi dapat juga terjadi pada wilayah tropis seperti Indonesia (Hidayati, 2015). Hujan es terjadi karena tumbuhnya jenis awan bersel tunggal berlapis-lapis (Cumulonimbus) yang dekat dengan permukaan tanah atau dapat juga berasal dari multi sel awan dengan luasan area horizontal sekitar 3-5 km yang tumbuh vertikal ke atas dengan ketinggian mencapai 30.000 feet atau lebih (Fadholi, 2012). Awan Cumulonimbus mengalami tahapan – tahapan pertumbuhan sebelum menjadi matang. Pada awal pembentukan, awan ini hanya berupa awan cumulus kecil atau biasanya disebut dengan cumulus humilis. Tetapi karena adanya updraft serta keadaan atmosfer yang labil, maka awan Cumulonimbus tumbuh secara vertikal sampai mencapai Tropopause. Dibagian puncak awan ini, suhu sangat rendah mencapai -60 °C dan telah terbentuk krital – kristal es. Pada wilayah diatas Tropopause, awan Cumulonimbus tidak dapat tumbuh lagi karena terdapat inversi suhu pada wilayah tersebut. Sehingga akibat pengaruh gaya grafitasi bumi, awan Cumulonimbus yang telah matang mengalami penurunan kebawah (downdraft). Ketika mencapai permukaan bumi, sebagian kristal – kristal es mengalami 141 Rizka Erwin Lestari, dkk pencairan sehingga menjadi hujan. Tetapi pada beberapa kejadian kristal es juga dapat menjadi butiran es (hail). Hal ini tergantung pada jarak serta suhu pada permukaan bumi. Fenomena hujan es kebanyakan bersifat lokal sehingga sulit untuk dilakukan prediksi. Karena hujan es identik dengan awan Cumulonimbus, maka alat – alat pendeteksi awan ini sangat penting, seperti Satelit dan Radiosonde. Menurut NOAA, Radiosonde merupakan seperangkat peralatan (dengan berat 250 – 500 gram) yang digantungkan dibawah balon besar yang berisi hydrogen atau helium. Ketika radiosonde naik pada ketinggian 300 meter/menit sensor akan mengirimkan data tekanan, suhu Relative Humudity dan posisi GPS setiap detik. Data – data tersebut pada setiap lapisan atmosfer dapat digunakan untuk mengetahui kelabilan atmosfer. Semakin labil lapisan atmosfer, maka potensi terjadinya cuaca ekstrem akan semakin besar. 2. Metode Penelitian Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah udara permukaan, data udara atas (Radiosonde), data satelit Himawari-8, dan data NOAA/NESDIS SST serta anomalinya. Untuk parameter yang digunakan pada analisis udara permukaan adalah suhu, tekanan, kelembaban udara relatif permukaan, dan present weather; indeks stabilitas yang digunakan dalam analisis udara atas adalah LI (Lifting Index), K-Index, CAPE (Convective Available Potential Energy), dan TT (Total-Total Index); produk Satelit Himawari-8 yang digunakan adalah Convective Cloud Coverage dan Cloud Type; serta analisis NOAA/NESDIS SST yang menggunakan Sea Surface Temperature (SST) dan anomalinya. Metode yang digunakan dalam deskripsi analisis terhadap parameter – parameter tersebut sebelum dan saat kejadian hujan es pada kedua tanggal. Untuk analisis data udara atas digunakan olahan dari data Radiosonde Stasiun Meteorologi Kualanamu Medan yang telah terbentuk dalam diagram skew-T. Sehingga nilai dari indeks – indeks kestabilan dapat diketahui dari diagram tersebut. Selanjutnya analisis udara permukaan diperoleh dari pengamatan synop Stasiun Meteorologi Kualanamu Medan pada jam – jam penting. Sedangkan analisis SST dan anomalinya serta Convective Cloud Coverage juga tidak menggunakan software khusus. 3. Hasil dan Pembahasan Pada proses terbentuknya awan Cumulonimbus diperlukan adanya penguapan yang cukup besar sehingga menghasilkan energi yang kuat untuk terjadinya gerakan vertikal keatas (updraft). Naiknya suhu permukaan laut mengindikasikan kenaikan energi di lautan yang memberikan kemungkinan naiknya penguapan di atmosfer (Aldrian, 2008). Semakin hangat nilai SST dan anomalinya maka energi panas laten untuk pembentukan awan convective akan semakin besar. Berdasarkan data SST dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) menunjukkan bahwa pada tanggal 25 – 26 Juli 2015 mencapi nilai 30.4 - 31.6 °C di perairan sekitar Medan dan Samudera Hindia serta untuk anomali 3 harian sebelum dan saat kejadian yaitu 2,00 °C. Selanjutnya pada kejadian hujan es tahun 2016 menunjukkan nilai SST yaitu 30.4 – 31.0 °C pada tanggal 11 – 12 142 Analisis Kejadian Cuaca Ektrem Hujan Es di Kota Medan..... September 2016 dan anomali 3 harian mencapai 2,5 °C. Nilai tersebut cukup signifikan untuk membentuk awan konvektif yang kuat. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Suhu Permukaan Laut (a) 11 September 2016 (b) 12 September 2016 (c) 25 Juli 2015 (d) 26 Juli 2015 143 Rizka Erwin Lestari, dkk (a) (b) (c) Gambar 2. Rata – Rata Anomali Suhu Permukaan Laut (a) 23, 24, 25, 26 Juli 2015 (b) 9, 10, 11 September 2016 (c) 12, 13, 14 September 2016 144 Analisis Kejadian Cuaca Ektrem Hujan Es di Kota Medan..... (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 3. Cloud Type (a) 12 September 2016 12.00 (b) 12 September 2016 13.00 UTC (c) 26 Juli 2015 05.00 UTC (d) 26 Juli 2015 06.00 UTC (e) 26 Juli 2015 07.00 UTC 145 Rizka Erwin Lestari, dkk (a) (b) (c) (d) Gambar 4. Convective Cloud Coverage (a) 26 Juli 2015 05.00 UTC (b) 26 Juli 2015 06.00 UTC (c) 12 September 2016 12.00 UTC (d) 12 September 2016 13.00 UTC Selain analisis pada kondisi permukaan laut, kejadian hujan es juga memerlukan analisis atmosfer saat dan sebelum kejadian berlangsung. Berdasarkan data dari Satelit Himawari-8 untuk parameter Convective Cloud Coverage dan Cloud Type pada tanggal kedua kejadian yaitu 26 Juli 2015 dan 12 September 2016 menunjukkan adanya awan konvektif Cumulonimbus yang menutupi wilayah kejadian hujan es pada jam sebelum dan saat kejadian. Awan Cumulonimbus merupakan pemicu adanya hujan es disuatu wilayah. Tabel 1. Indeks Stabilitas saat kejadian hujan es di Medan Maimun (26 Juli 2015 NO 1 2 Tanggal 25 Juli 2015 26 Juli 2015 LI -4.56 -2.99 KI 32.10 37.90 Indeks CAPE 2222.3 834,1 SWEAT 199.0 212.6 TT 45.20 47.30 Tabel 2. Indeks Stabilitas saat kejadian di Medan Selayang (12 September 2016 NO 1 2 Tanggal 11 September 2016 12 September 2016 LI -3.73 -6.21 KI 37.90 37.40 Indeks CAPE SWEAT 952.0 166.9 2370 224.0 TT 44.20 48.40 Tabel 1 menunjukkan nilai-nilai indeks stabilitas saat kejadian hujan es di Medan Maimun. Hasil analisis labilitas udara dari beberapa indeks stabilitas pada hari kejadian menunjukkan adanya peningkatan nilai indeks seperti LI, KI, SWEAT, 146 Analisis Kejadian Cuaca Ektrem Hujan Es di Kota Medan..... dan TT. Nilai LI sehari sebelum kejadian adalah -4.65 sedangkan pada saat kejadian adalah -2.99, kedua nilai ini mengindikasikan adanya potensi badai guntur. Nilai KI sehari sebelum kejadian adalah 32.10, hal ini mengindikasikan 60% hingga 80% berpotensi terjadi badai guntur sedangkan nilai saat hari kejadian adalah mengalami kenaikan menjadi 37.90, yang artinya 80% hingga 90 % berpotensi terjadi badai guntur. Nilai SWEAT sehari sebelum kejadian adalah 199.0 sedangkan pada saat kejadian adalah 212.6. Nilai TT sehari sebelum kejadian adalah 45.20 sedangkan pada saat kejadian adalah 47.30, dua nilai ini mengindikasikan konvektif kuat petir lokal. Di antara kenaikan nilai-nilai indeks tersebut, penurunan nilai indeks terjadi pada indeks CAPE dimana indeks sehari sebelum kejadian adalah 2222,3 sedangkan pada saat kejadian, nilai indeks CAPE menjadi 834,1. Meskipun terjadi penurunan pada nilai indeks CAPE, dua nilai tersebut masih bermakna sama yaitu konveksi lemah. Tabel 2 menunjukkan nilai-nilai indeks stabilitas saat kejadian hujan es di Medan Selayang. Hasil analisis indeks LI (Lifting Index) pada hari kejadian menunjukkan penurunan nilai menjadi -6.21. Nilai LI yang semakin negatif ini mengindikasikan adanya kemungkinan potensi badai dengan intensitas kuat. Begitu juga untuk nilai KI (K Index) yang mengalami penurunan menjadi 37.40 mengindikasikan potensi terjadinya badai dengan kemungkinan sebesar 80-90 %. Hasil analisis pada indeks SWEAT (SEVERE WEATHER THREAT INDEX) sehari sebelum kejadian hujan es menunjukkan nilai SWEAT sebesar 166.9, sementara pada tanggal kejadian nilai indeks SWEAT mengalami kenaikan menjadi 224.0. Nilai indeks CAPE (Convective Available Potential Energy) juga mengalami peningkatan menjadi 2370 J/Kg. Menurut Djuric (1994), nilai indeks CAPE dalam rentang 1000-2500 J/Kg mengindikasikan adanya potensi energi yang cukup besar dalam potensi konvektif. Hal ini mendukung pertumbuhan awan-awan konvektif di wilayah Medan Sebayang. Untuk nilai indeks TT (Total-Total) juga menunjukkan adanya peningkatan nilai pada hari kejadian sebesar 48.40. Nilai ini menunjukkan adanya potensi konvektif yang kuat dengan kemungkinan terjadinya badai guntur dengan skala lokal. 147 SUHUPERMUKAAN(°C) Rizka Erwin Lestari, dkk 40 SUHUPERMUKAAN12SEPTEMBER2016 30 20 10 0 10.0011.0012.0013.0014.0015.0016.0017.0018.0019.0020.0021.0022.00 JAM(WIB) SUHUPERMUKAAN(°C) SUHUPERMUKAAN26JULI2015 40 30 20 10 0 JAM(WIB) Gambar 5. Grafik Suhu Udara Permukaan 12 September 2016 dan 26 Juli 2015 Pada grafik suhu udara tanggal 12 September 2016 terdapat penurunan suhu udara permukaan mulai jam 15.00 WIB sampai 21.00 WIB. Hal ini akibat adanya pertumbuhan / pembesaran es (hail) pada awan Cumulonimbus yang menyebabkan daerah disekitarnya mengalami suhu rendah. Ketika jam – jam disekitar fenomena hujan es, suhu juga semakin rendah karena diikuti dengan terjadinya hujan lebat dan angin kencang. Untuk grafik suhu udara tanggal 26 Juli 2015 terdapat penurunan yang cukup curam pada jam 12.00 – 14.00 WIB. Hal ini mengindikasikan adanya fenomena cuaca ekstrem hujan es yang menyebabkan penurunan suhu ini. 148 Analisis Kejadian Cuaca Ektrem Hujan Es di Kota Medan..... TEKANANUDARA(mb) TEKANANUDARA12SEPTEMBER2016 1012 1010 1008 1006 1004 1002 JAM(WIB) TEKANANUDARA(mb) TEKANANUDARA26JULI2015 1013 1012 1011 1010 1009 1008 1007 JAM(WIB) Gambar 6. Grafik Tekanan Udara Permukaan 12 September 2016 dan 26 Juli 2015 Pada analisis grafik tekanan udara permukaan tanggal 12 September 2016 terjadi kenaikan mulai jam 15.00 – 22.00, selisih yang terjadi sangat signifikan. Sedangkan pada analisis grafik tekanan udara permukaan tanggal 26 Juli 2015 terjadi penurunan mulai jam 12.00 – 14.00, namun penurunan yang terjadi tidak signifikan. Penurunan ini terjadi akibat perubahan cuaca ekstrem yang terjadi sehingga tekanan menjadi tidak stabil. Hal yang terjadi pada kedua studi kasus ini mendukung aktivitas konvektif yang terjadi. 149 Rizka Erwin Lestari, dkk RELATIVEHUMIDITY(%) RELATIVEHUMIDITY12SEPTEMBER2016 100 80 60 40 20 0 JAM(WIB) RH(%) RELATIVEHUMIDITY26JULI2015 120 100 80 60 40 20 0 JAM(WIB) Gambar 7. Grafik Relative Humidity (RH) 12 September 2016 dan 26 Juli 2015 Pada analisis Relative Humidity (RH) tanggal 12 September 2016 terdapat kenaikan RH mulai jam 15.00 – 22.00 WIB. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat massa udara yang mengandung banyak uap air di atmosfer sehingga menyebabkan atmosfer tidak stabil dan terjadinya proses konvektif serta mengakibatkan fenomena hujan es. Pada kasus hujan es tanggal 26 Juli 2015 juga terjadi kenaikan RH mulai jam 12.00 – 14.00 WIB. Kenaikan ini merupakan indikasi adanya fenomena hujan es di wilayah tersebut. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data SST dan anomalinya, data satelit tutupan awan, data indeks – indeks labilitas dan data udara permukaan mengindikan adanya proses konvektif yang kuat dari awan Cumulonimbus yang menyebabkan terjadinya hujan es di wilayah Kota Medan selama 2015 – 2016. Hal ini ditunjukkan dengan menghangatnya suhu permukaan laut, adanya tutupan awan Cumulonimbus serta kondisi atmosfer yang labil sebelum dan saat kejadian berlangsung pada kedua studi kasus. 150 Analisis Kejadian Cuaca Ektrem Hujan Es di Kota Medan..... Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. Aldrian, Edvin. (2008). Meteorologi Laut Indonesia. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Fadholi, A. (2012). Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail). Simetri, Jurnal Ilmu Fisika Indonesia, 1 (2(D)), September 2012. Hidayati, Rahman. (2015). Analisis Kejadian Hujan Es di Wilayah Bandung Berdasarkan Kondisi Atmosfer dan Citra Satelit. Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 1, April 2015. Djuric, D. (1994). Weather Analysis. Prentice-Hall Inc, 304 pp. Nation Weather Service. (2009), Upper-air Observations Program. Diakses November 2016 dari http://www.ua.nws.noaa.gov/. 151