BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perlakuan Pendahuluan Biji Koro Benguk Perlakuan pendahuluan yang dilakukan pada penelitian biji koro benguk sebelum perendaman diantaranya adalah perebusan menggunakan abu sekam, pembersihan kulit ari, dan penjemuran di bawah sinar matahari menggunakan abu sekam. Perebusan biji koro benguk kering menggunakan air campuran abu sekam selama 30 menit dilakukan dengan tujuan untuk melunakkan dibersihkan/dikupas. Selain kulit itu, ari proses supaya perebusan mudah diduga untuk dapat menurunkan kandungan HCN dalam koro benguk. Seperti yang dijelaskan Mulyani (1999), bahwa asam sianida akan berkurang melalui tahap pengolahan seperti perebusan dan perendaman. Sianida akan menguap pada proses perebusan dan penjemuran dibawah sinar matahari dengan suhu diatas 25oC. Pemanasan akan menguapkan HCN dan menonaktifkan enzim glukosidase sehingga HCN tidak terbentuk. Diduga semakin tinggi suhu, sianida yang akan menguap juga akan semakin banyak (Koswara, 1992). Dalam proses perebusan, enzim β-glukosidase menjadi non aktif sehingga tidak bisa mengkatalis pemecahan glikosida sianogenik menjadi glukosa dan aglikon (Djaafar, dkk., 2009). Keberadaan abu sekam pada perebusan dan penjemuran juga bertujuan untuk membantu dalam penyerapan racun HCN dalam biji koro benguk karena di dalam abu sekam terkandung unsur Ca yang akan berikatan dengan HCN dalam bentuk Ca(OH)2 menjadi Ca(CN)2 yang mudah larut dalam air yang dapat dilihat dari persamaan berikut: CaO + H2O → Ca(OH)2 2 HCN + Ca(OH)2 → Ca(CN)2 + 2 H2O Kurniawan, dkk (2012) juga menyebutkan bahwa abu sekam mampu menghambat laju oksidasi racun dan menetralkan asam yang bersifat karsinogenik. 18 Pembersihan atau pengupasan kulit ari biji koro benguk diasumsikan dapat mengurangi kandungan sianida yang terkandung didalam biji koro benguk. Pengupasan merupakan salah satu jenis perusakan mekanis yang mengakibatkan jaringan sel rusak, sehingga senyawa alkaloid akan saling kontak dengan enzim glukosidase membentuk glukosa dan senyawa aglikon. Senyawa aglikon yang terbentuk selanjutnya terpecah menjadi asam sianida dan senyawa aldehid atau keton (Nok dan Ikediobi, 1990 dalam Alma’arif, 2012). Dengan hilangnya kulit ari, lapisan penghalang antara biji koro benguk dengan air akan berkurang sehingga HCN yang terbentuk akan semakin mudah kontak dengan air dan lebih banyak yang terlarut oleh air rendaman. Reaksi yang terbentuk dalam menghasilkan senyawa HCN dari glikosida sianogenik adalah sebagai berikut: CH3 β-glukosidase O6H12C6 O C CN CH3 Glukosidasianogenik sianogenik Glikosida CH3 C6H12O6 + HO β-glukosidase C CN CH3 HCN + C = O CH3 Glukosa Aseton Aseton sianhidrin sianhirin CH3 Asam Asam Aseton Aseton sianida sianida Kandungan asam sianida pada biji koro benguk kering yang didapat dari perlakuan pendahuluan menunjukkan penurunan sebesar 8,16% (dari biji koro benguk kering awal sebesar 626,67 mg/kg menjadi 575,50 mg/kg pada biji koro benguk setelah perlakuan pendahuluan). Karena pada perlakuan pendahuluan belum didapat penurunan yang mampu menurunkan kandungan HCN sesuai batas aman yang diperbolehkan oleh SNI terhadap biji koro benguk, maka diasumsikan diperlukan perlakuan tambahan untuk melarutkan senyawa HCN yang terdapat pada biji koro benguk yaitu dengan cara perendaman. 4.2. Pengaruh Variasi Waktu Perendaman terhadap Kandungan Asam Sianida (HCN) Biji Koro Benguk Kandungan HCN biji koro benguk dengan berbagai variasi lama waktu perendaman diukur menggunakan metode AOAC. Purata 19 kandungan HCN biji koro benguk menunjukkan penurunan selama perendaman ketika dibandingkan dengan kontrol (tanpa perendaman) yang tersaji pada Tabel 4.1. mengenai purata kandungan HCN biji koro benguk pada perlakuan variasi waktu perendaman. Tabel 4.1. Purata kandungan HCN biji koro benguk pada perlakuan variasi waktu perendaman Perlakuan waktu perendaman Kandungan HCN biji koro benguk (mg/kg) Tanpa perendaman 575,50 b 1 hari 384,00 ab 2 hari 459,50 ab 3 hari 384,50 ab 4 hari 347,25 a 5 hari 270,50 a Keterangan: Data telah diuji dengan BNJ dengan taraf kepercayaan 95%. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan perendaman biji koro benguk dalam air mampu menurunkan kandungan HCN dibandingkan kontrol, tetapi penurunan HCN secara nyata baru terlihat pada perendaman minimal 4 hari dengan residu yang terbentuk sebesar 347,25 mg/kg dan 270,50 mg/kg untuk lama perendaman 5 hari. Penurunan kandungan HCN dalam biji koro benguk baru nyata terlihat setelah perendaman minimal 4 hari, diduga karena sebelum mencapai perendaman 4 hari, senyawa glikosida sianogenik yang terkandung dalam biji koro benguk sebagian belum terhidrolisis menjadi HCN dan masih dalam bentuk glukosa dan aglikon sehingga belum banyak yang terlarut dalam air rendaman. Semakin lama waktu perendaman, senyawa aglikon akan mengalami hidrolisis menjadi HCN dan keton/aldehid. HCN yang terbentuk selanjutnya dilarutkan oleh air hingga ikatan HCN berubah bentuk menjadi ion H+ dan CN- yang akan terbuang bersama dengan air rendaman. Pelarutan HCN oleh air dapat dilihat pada reaksi berikut: HCN + H2O H+ + CNSebelum dilakukan proses perendaman, biji koro benguk direbus, dikupas/dibersihan kulit arinya, serta dijemur dibawah sinar matahari. Proses tersebut menyebabkan kerusakan pada membran sel sehingga 20 menjadi permeabel dan cairan sel mudah terdifusi. Perendaman akan mengendorkan jaringan dan pori-pori sehingga terjadi transfer bahan yang mampu melewati membran permeabel (Sutarmi, 1987 dalam Djaafar, dkk., 2009). Berdasarkan penelitian selintas (lampiran 3), kadar air biji koro benguk mengalami peningkatan seiring waktu perendaman. Hal ini berbanding terbalik dengan kandungan HCN yang terdapat pada biji koro benguk. Semakin lama waktu perendaman, kadar air biji koro benguk semakin tinggi, sedangkan untuk kandungan HCN menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman kandungan HCN akan semakin menurun. Hal ini diduga dikarenakan kandungan air yang terserap dalam biji koro benguk bersifat mengencerkan HCN, sehingga semakin besar kadar air, maka kandungan HCNnya akan semakin rendah. Secara umum, purata kandungan HCN biji koro benguk setelah perendaman mengalami penurunan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Winarno (2004), bahwa perendaman mampu menguraikan glikosida sianogenik menjadi HCN sehingga dapat larut dalam air. Selama perendaman, biji koro benguk mengalami proses difusi dimana senyawa HCN yang terkandung dalam biji koro benguk yang memiliki kepekatan tinggi berpindah ke air yang memiliki kepekatan rendah. Hal ini dapat diketahui pada saat biji koro benguk direndam terjadi perubahan warna pada air rendaman menjadi pekat yang dapat dilihat pada Gambar 4.1. Seperti yang telah dijelaskan oleh Kurniawan, dkk (2012), perubahan warna yang terjadi pada air rendaman menandakan HCN yang terkandung dalam biji koro benguk telah keluar atau larut. Penggantian air rendaman setelah 6 jam perendaman mengakibatkan HCN yang terlarut akan ikut terbuang bersama air rendaman sehingga kandungan sianida dalam biji koro benguk akan berkurang. Perendaman yang semakin lama juga mengakibatkan lunaknya struktur biji koro benguk sehingga air lebih mudah masuk dalam struktur sel yang mengakibatkan kadar air semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kadar air biji koro benguk yang mengalami peningkatan dari masing-masing variasi waktu perendaman (lampiran 3). Hasil yang diperoleh dari penelitian ini didukung oleh 21 penelitian Diniyah dan Windarti (2015), bahwa kandungan HCN pada berbagai koro yang dilakukan perendaman selama 2 hari lebih banyak mengalami penurunan dibandingkan dengan perendaman selama 1 hari. Hal ini didukung dengan teori mengenai sifat HCN yang memiliki kelarutan yang tinggi dalam air, sehingga semakin lama proses perendaman maka semakin banyak pula HCN yang terlarut (Pambayun, 2007). Akan tetapi pada percobaan yang telah dilakukan, hasil analisis perendaman 1 hari menunjukkan residu HCN yang terkandung dalam biji koro benguk memiliki nilai yang lebih rendah dari pada perlakuan perendaman 2 hari, namun secara statistik antara kedua perlakuan tersebut tidak menunujukkan pengaruh yang nyata sehingga tidak dapat dikatakan mengalami kenaikan ataupun penurunan. Gambar 4.1. Air rendaman biji koro benguk Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa pada perendaman 5 hari, kandungan HCN mengalami penurunan sebesar 305,00 mg/kg dari kontrol. Sehingga dapat diprediksi kandungan HCN hingga mencapai batas aman SNI 01-7152-2006 sebesar 50 mg/kg adalah setelah dilakukan perendaman selama 9 hari dalam air. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, apabila dilakukan perendaman selama 9 hari dikhawatirkan kandungan N-total yang terdapat dalam biji koro benguk juga akan semakin banyak berkurang dan tekstur yang dihasilkan pada biji koro benguk menjadi sangat lembek, bahkan cenderung hancur. 22 HCN yang terdapat pada biji koro benguk belum bisa mengalami penurunan hingga batas aman yang ditentukan oleh SNI 01-7152-2006 yaitu sebesar 50 mg/kg, diduga senyawa alkaloid pada biji koro benguk tidak dapat terhidrolisis secara sempurna. Hal ini diduga karena perlakuan dilakukan pada biji koro benguk utuh sehingga senyawa aglikon yang seharusnya pecah menjadi HCN tidak dapat terbentuk. Dengan tidak adanya kerusakan jaringan yang dilakukan pada biji koro benguk, senyawa aglikon yang terkandung dalam biji koro benguk masih terperangkap di dalam vakuola yang menyebabkan senyawa tersebut tidak dapat kontak dengan enzim β-glukosidase di dalam sitoplasma (Nok dan Ikediobi, 1990 dalam Alma’arif, 2012). Berdasarkan teori tersebut, disumsikan bahwa kandungan HCN dapat dikurangi apabila biji koro benguk dihancurkan atau dilakukan proses penepungan sehingga biji koro benguk yang awalnya utuh, akan hencur sehingga senyawa aglikon yang terperangkap dalam vakuola dapat lebih banyak kontak dengan enzim β-glukosidase dan membentuk HCN. Selain hal tersebut, proses penepungan akan membuat luas permukaan biji koro benguk semakin luas sehingga akan semakin banyak pula permukaan yang kontak dengan air dan HCN yang terbentuk akan semakin banyak yang terhidrolisis oleh air. 4.3. Pengaruh Variasi Waktu Perendaman terhadap Kandungan N-total Biji Koro Benguk Kandungan N-total pada biji koro benguk diukur menggunakan metode Kjeldahl dengan prinsip penghitungan jumlah N yang terkandung dalam suatu bahan. Hasil penelitian pendahuluan mengenai kadar N-total awal biji koro benguk kering adalah sebesar 3,79% dengan kadar air sebesar 12,53%. Adapun kandungan N-total biji koro benguk hasil perlakuan variasi waktu perendaman dapat dilihat pada Tabel 4.2. sebagai berikut: 23 Tabel 4.2. Purata kandungan N-total biji koro benguk pada perlakuan variasi waktu perendaman Perlakuan lama perendaman Kandungan N-total biji koro benguk (%)* Tanpa perendaman 1,69 a 1 hari 3,60 b 2 hari 3,30 b 3 hari 3,19 b 4 hari 3,06 b 5 hari 3,00 b Keterangan: Data telah diuji dengan BNJ dengan taraf kepercayaan 95%. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan *) Data yang ditampilkan adalah data hasil transformasi arcsin Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman menggunakan air terhadap biji koro benguk mempengaruhi kandungan Ntotal yang menunjukkan terdapat didalamnya. peningkatan secara Perbandingan nyata pada dengan semua kontrol perlakuan perendaman. Akan tetapi ketika dibandingkan antar perlakuan, masingmasing perlakuan perendaman tidak secara nyata terlihat penurunannya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan N-total biji koro benguk mengalami peningkatan setelah proses perendaman 1 hari. Sedangkan pada perendaman 2 hari mengalami penurunan hingga perendaman 5 hari. Diduga, kenaikan kandungan N-total yang terjadi pada biji koro benguk setelah proses perendaman yaitu dikarenakan unsur N hasil dari degradasi glikosida sianogenik berupa HCN ikut terbaca pada analisis N-total. Seperti yang telah dijelaskan oleh Sediaoetama (1991), bahwa metode Kjeldahl yang digunakan adalah berdasarkan jumlah N yang terkandung pada sampel termasuk unsur N yang berasal dari ikatan organik lain yang bukan dari jenis protein. Hal ini yang diduga menyebabkan kandungan N-total meningkat setelah dilakukan perendaman, dan selanjutnya mengalami penurunan pada masing-masing perlakuan perendaman. Kandungan N-total biji koro benguk setelah diberi perlakuan perendaman mengalami penurunan dikarenakan, analisis N menggunakan metode Kjeldahl akan berhasil baik, dengan asumsi nitrogen dalam bentuk N-N dan N-O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar (Winarno, 1991). Dalam hal ini, diduga selama perendaman ikatan N-N 24 dan N-O banyak yang terbentuk seiring dengan semakin lamanya waktu perendaman, sehingga jumlah N yang terkandung dalam biji koro benguk pada hasil analisis mengalami penurunan. Berdasarkan penjelasan diatas, N-total merupakan unsur istimewa yang terkandung dalam protein, akan tetapi tidak semua N berasal dari protein. Dengan kata lain, semua protein adalah bagian dari N. Penurunan yang terjadi pada kandungan N-total pada biji koro benguk dikarenakan kandungan protein biji koro benguk mengalami perubahan dari ikatan kompleks menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana pada proses perendaman. Menurut Anglemier dan Montgomery (1976) dalam Suhaidi (2003), perendaman mengakibatkan ikatan struktur protein terlepas sehingga komponen protein terlarut dalam air. Penurunan kandungan Ntotal yang diiringi peningkatan kadar air pada biji koro benguk (lampiran 3) dikarenakan protein terhidrolisis selama perendaman sehingga bentuk protein yang terikat pada bilayer lipid berubah (Reed, 1997 dalam Tatipata, 2008). Sun dan Leopond (1997) dalam Tatipata (2008) juga menyebutkan bahwa kerusakan protein ditunjukkan dengan penurunan kandungan protein dan perubahan strukturnya dapat terjadi karena meningkatnya kadar air benih dan kelembaban. Pada dasarnya, protein akan terdenaturasi ketika protein dipanaskan pada suhu yang tinggi. Yang disebut denaturasi yaitu berubahnya susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein yang disebabkan oleh panas, pH, bahan kimia, dan mekanik. Hal ini diduga terjadi ketika biji koro benguk direbus dan dijemur dibawah sinar matahari. Selain pada proses pemanasan, biji koro benguk yang direndam pada jangka waktu tertentu akan membuat jumlah protein yang terkandung dalam biji koro benguk berkurang. Kerusakan protein akibat denaturasi akan menyebabkan terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofibik, ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul sehingga akan membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida (Winarno, 1991). Gambaran mengenai skema proses denaturasi protein karena panas dapat dilihat pada Gambar 4.1. 25 Gambar 4.2. Skema proses denaturasi protein (Brandts, 1967 dalam Winarno, 1991) 26