Hak-Hak Persaudaraan - Ebooks Islam Fuwafuwa

advertisement
Hak-Hak Persaudaraan (bag. 1)
Oleh : Syaikh Shalih bin 'Abdil 'Aziz Ali Syaikh –hafizhahullahMenteri Agama Kerajaan Arab Saudi
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Pengantar Penerjemah
Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman dimana nilai-nilai ukhuwwah
(persaudaraan) yang dibangun karena Allah mulai pudar. Orang-orang tidak saling
berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan
membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan
wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka
senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal semacam ini bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh sangat
jauh dari model hidup seperti itu. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan
seseorang melainkan karena Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
! "#$%&('' ) *+,-' !#./10 2" .) '34' !#./10 2" .) *+,-' '5+/6' "7! !#.8 9. :" ')'3
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling
mencintai…”[1]
Kita sama-sama mengetahui bahwa defininsi ibadah adalah sebuah nama yang mencakup
semua perkara yang yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, yang zhahir maupun batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang dicintai dan
diridhai oleh Allah adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah. Hak seorang muslim atas
saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah sahabat karib. Bukan hanya sekedar
saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan berpisah karena Allah, sama-sama berjalan di
atas ketaatan kepada Allah, saling tolong-menolong dalam kebaikan, sehingga semakin
kuatlah hak-hak ukhuwwah yang ada diantara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap
diperhatikan oleh setiap muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.
Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan
menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
!!"# $%'& ($ *) +" ",$-"."/ 0!
& 1%23 "4 '& 65 7" $8 9) :"8;" :"<=" ($ >?$%*) @" !A-3B" C$ &D E& ?& F" G$ %& H& ($ )? $IJ" $K"."/"
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di
tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” [2] (Ali ‘Imran: 103)
Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hambaNya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini
menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya
dilandasi karena Allah semata.
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama kaum
mukminin yang dilandasi karena Allah merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah.
Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allah: &E&?F" G$ &%H& (karena nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, "Ini
adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih
diantara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allah semata, sebagaimana dijelaskan
dalam ayat yang lain:
!$()#"%$LH" "M12"N E" <23 41 &O"2@" ($ #& H& $B)<)P "4 $L"H Q $812"N !'" !AG $LF& R" S
& $0" T3$ U$ /& !'" "Q $,"8$-"N $B"2"
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus
saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka
ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allah semata, dengan nikmatNya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira
dengannya. Allah berfirman:
"V$B)GF" $W"X !F1 '& 7> $L "C B" )Y 3 $B)97" $8"L$<"/ "Z&2+" &J"/ E& ?& F" $97" H& @" E& <23 [& $\"8H& $[)P
“Katakanlah: 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya', hendaknya dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58)[3]
‘Abdah bin Abi Lubabah berkata: “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat
tanganku, seraya berkata: 'Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu
salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah
dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah melanjutkan: "Aku pun berkata: 'Ini adalah perkara yang mudah.' Mujahid lantas
menegurku, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman:
"! $# %&!'(% %)*+%, -% .+/ 0* 12%+3% "! $1 (1 !4#.#5 %0 !'%( 6 !7*+%, 89% 8:; !'<1 =% >
1 !?% @/! A! B1 89% %6 !C%7!D%, !4%+
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Akhirnya ‘Abdah berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia memiliki pemahaman yang
lebih dibandingkan aku”[4]
Landasan seorang muslim tatkala bermu’amalah dengan saudaranya
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
1-E1 !7%&1+ FGH#1 I 89% 1-!'J1 %@1 *GH#1 I K*LM% "! N# O# M% %, 0# 91 P#! I %Q
"Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala
(kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri”[5]
Keinginan agar saudara kita juga mendapatkan apa yang kita sukai bagi diri kita merupakan
suatu kewajiban setiap orang yang beriman. Hukumnya bukan hanya sekedar mustahab
(sunnah), sebagaimana persangkaan sebagian orang. Barangsiapa yang dalam hatinya tidak
terdapat perasaan demikian maka dia telah berdosa. Hal ini telah dijelaskan secara panjang
lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[6]
Tidaklah Allah dan Rasul-Nya menafikan sesuatu perkara yang diperintahkan, kecuali karena
ditinggalkannya sebagian kewajiban dalam perkara tersebut. Tentang shalat misalnya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang menahan dua hadats (buang air dan buang angin).”
Beliau juga bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”
Tatkala melihat orang yang rusak shalatnya karena tergesa-gesa, tidak thuma'-ninah (tenang),
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Kembalilah shalat karena sesungguhnya engkau belum shalat.”
Ini menunjukkan bahwa hukum tidak menahan buang air ketika shalat adalah wajib. Begitu
juga dengan hukum membaca al-Fatihah dan thuma'-nihah dalam shalat.
Kembali ke masalah keimanan, dengan menganalogikan contoh-contoh di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa jika meninggalkan suatu perbuatan menyebabkan iman ternafikan, maka
perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib.
Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah beriman orang yang tidak amanah”
Begitu juga sabda beliau :
”Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga akulah yang lebih dia cintai dari pada
orang tuanya, dari pada anaknya, dan dari seluruh manusia.”
Serta sabda beliau:
“Tidaklah beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjaga amanah, mendahulukan kecintaan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas manusia yang lain, dan tidak mengganggu tetangga
hukumnya adalah wajib.
Di dalam nash-nash syar'i, iman dan shalat tidak mungkin dinafikan jika yang ditinggalkan
adalah perkara yang sunnah. Maka tidaklah kita katakan pada orang yang shalat dengan tidak
membaca do'a iftitah, “Tidak ada shalat untukmu.” Sebab, do'a iftitah hukumnya adalah
sunnah. Sekiranya kita boleh menafikan iman dikarenakan ada perkara mustahab yang
ditinggalkan, maka tentulah kita boleh berkata, "Abu Bakr tidak beriman." Sebab, tidak ada
yang melakukan seluruh perkara mustahab secara sempurna kecuali Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Pasti ada sebagian perkara mustahab yang ditinggalkan oleh Abu Bakr.
Namun, tentunya tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah berkata, “Abu Bakr tidak beriman.”
Ini merupakan perkataan yang jelas-jelas batil.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang tidak menginginkan untuk saudaranya seiman
apa yang dia sukai bagi dirinya, maka dalam dirinya tidak ada keimanan yang diwajibkan
Allah kepadanya. Tatkala Allah menafikan keimanan dari seseorang, maka tidaklah ini terjadi
melainkan karena adanya kekurangan pada keimanan yang wajib, sehingga pelakunya
melainkan karena adanya kekurangan pada keimanan yang wajib, sehingga pelakunya
termasuk orang-orang yang terkena ancaman Allah dan bukan termasuk orang-orang yang
berhak memperoleh janji baik dari Allah.”[7]
Ibnu Rajab berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan balasan surga bagi
sifat ini (sifat menyukai bagi saudaranya apa yang ia sukai bagi dirinya).”[8]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
!"#$%&!' (%)*+# , -# %. /01+! , 23! 4&5 67
! 48&5 (%&'! !9#:%$#&;% <! =! %>5 ?#@
! %$#&5;% !"A&7!B C+ D! *+# , @% +E;% +"+F4$!8D% !"!)#:%F#A%G %H48I% #&5 J% %=#K+,;% L7
! 48&5 C%! M N% %O #P%O+, -# %. 40P% %. C# Q% %G
“Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga maka hendaklah
ketika ajal menemuinya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah dia
memberi orang lain apa yang dia suka untuk diberikan kepadanya.”[9]
Lafazh (7D) dalam kalimat hadits ini: (!"R! #S%8&! /01+! , 7D% ) adalah isim maushul. Dalam kaidah ilmu
ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan makna yang umum (universal).
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: “Hadits di atas mencakup ''aqidah, perkataan dan
perbuatan, yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun
perbuatan…. Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki 'aqidah
yang benar seperti 'aqidah yang ia yakini. Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaknya ia
juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika
saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang
darinya keimanan sempurna yang wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di
atas 'aqidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu 'aqidah bid’ah, maka telah
ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib. Demikian pula halnya dengan seluruh
peribadatan dan seluruh jenis-jenis sikap menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Jika ia
senang bila dirinya terbebas dari praktek suap, tetapi ia senang jika ada saudaranya yang
terjatuh dalam praktek suap, hingga dia merasa unggul –lebih shalih dari saudaranya
tersebut-, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya (dia telah
berdosa).”[10]
Ibnu Rajab berkata: “Hadits Anas yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib
bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira.
Hendaknya ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia juga
menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang bersih dari sifat
dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad menjadikan pemiliknya benci
jika ada orang lain yang mengunggulinya atau menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin
menjadi spesial dan istimewa di tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya. Tetapi konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh
kaum mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allah berikan kepadanya, tanpa
mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun.”[11]
Bahkan derajat yang lebih tinggi dari ini –meskipun tidak wajib-[12] yaitu seorang mukmin
ingin agar kaum mukminin yang lain melebihi dia dalam kebaikan.
Berkata al-Fudhail: “Jika engkau ingin manusia seperti engkau, maka engkau belum
menunaikan nasehat pada Rabbmu.…”
Karena itu seorang mukmin hendaknya selalu memandang dirinya penuh dengan
kekurangan, sehingga ia selalu berusaha untuk meraih keutamaan dan kebaikan untuk
memperbaiki dirinya. Hal ini akan menimbulkan dalam hatinya agar kaum mukminin lebih
baik dari dirinya. Ia tidak rela jika kaum mukminin seperti dirinya yang penuh kekurangan.
Muhammad bin Wasi’ pernah berkata kepada putranya:
!"#$ %&(' #) %*+' $' ,% +! %-. /0' !"$-. 1# 2&3# #4#0 #5 %6!7#8 9(2 #8
“Adapun ayahmu, maka semoga Allah tidak memperbanyak yang semisalnya di tengah kaum
muslimin.”[13]
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada yang mengatakan bahwa sifat ini
terkadang sangat sulit dipraktekkan, yaitu engkau menghendaki bagi saudaramu apa yang
kau inginkan bagi dirimu. Engkau menghendaki saudaramu menjadi seorang ‘alim, kaya,
memiliki harta dan anak-anak, serta menjadi orang yang istiqamah. Bukankah hal ini sulit
dipraktekkan? Maka jawabnya, hal ini tidaklah sulit jika engkau melatih dan membiasakan
diri. Latihlah dan biasakan dirimu, niscaya kelak akan ringan rasanya. Namun, jika engkau
menuruti hawa nafsumu maka hal ini benar-benar akan sangat sulit untuk dilakukan.”[14]
Faidah lain dari hadits ini adalah penjelasan tentang makna akhlak yang mulia. Syaikh
'Abdurrazzaq bin 'Abdil Muhsin al-'Abbad –hafizhahumallah- pernah berkata: “Banyak
pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi terbaik dari akhlak mulia
adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
"%*#-:' ;#<=!% > ?% #8 @AB!' > CD' 2-. E9
' 2F-. ;#-:' 'G%H#*%-I#
“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.”[15]
Praktek dari hadits ini, jika engkau ingin bermu’amalah dengan kedua orangtuamu maka
bayangkanlah bahwa engkau adalah orangtua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu, apa
yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermu'amalah kepadamu (maka seperti itulah yang
kau lakukan terhadap ibumu). Qiyaskanlah hal ini tatkala engkau ingin bermu’amalah
dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang bersalah kepadamu maka apa
sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau adalah sahabatmu yang bersalah itu,
maka apakah yang kau harapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika
maka apakah yang kau harapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika
demikian maka maafkanlah sahabatmu itu.”[16]
Demikianlah, sangat penting bagi kita untuk selalu mengingat faidah hadits ini, tatkala
bergaul dan bermu’amalah dengan siapa pun, terutama tatkala bermu’amalah dengan
saudara seiman.
Apakah makna ukhuwwah yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jika dua orang berjalan di sebuah jalan yang lebar dan aman, maka keduanya bisa berjalan
bersama dengan tentram. Masing-masing saling bergandengan tangan karena rasa cinta yang
ada diantara mereka. Namun lihatlah, ternyata jalan yang ditempuh semakin sempit dan
akhirnya tidak cukup kecuali untuk salah seorang saja diantara keduanya? Salah seorang dari
mereka bergumam, "Manakah yang aku dahulukan? Diriku ataukah saudaraku?"
Lalu lihatlah, ternyata jalannya semakin bertambah sempit, sehingga tidak mungkin dilalui
kecuali untuk satu orang saja. Ia pun bergumam kembali, "Ini adalah kesempatan emas.
Hanya sekali. Kalau bukan untuk diriku tentulah untuk saudaraku. Maka siapakah yang aku
dahulukan? Apakah aku ambil kesempatan ini dan membiarkan saudaraku mencari jalan lain,
ataukah aku berikan kesempatan ini kepadanya dan aku berusaha lagi?” Kondisi seperti
inilah yang menjadi ajang pembuktian persahabatan sejati.
Sungguh, persahabatan dalam kondisi aman dan tentram sama sekali tidak berat dan tidak
bertentangan dengan keinginan-keinginan hati. Bahkan ukhuwwah dalam kondisi ini
merupakan perkara yang diinginkan oleh hati, dimana setiap orang berusaha untuk
mewujudkannya dalam rangka meraih ketenangan jiwa. Namun pada saat kondisi genting
atau ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, maka saat itulah teruji ukhuwwah
yang sejati. Ujian inilah yang membedakan antara sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan
egoisme, yang kadang tersembunyi dalam diri pemiliknya ketika dalam kondisi aman dan
tentram, sampai-sampai ia menyangka bahwa ia adalah sahabat sejati yang merealisasikan
segala konsekuensi ukhuwwah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.[17]
Kisah Muhajirin dan Anshar
Allah telah memuji keimanan dan sikap itsar antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Allah
berfirman:
"! !#$! %&'(% )*+% ,% "! !#-! /. 0) %1 2%34% %&),.56! 7.) 8,% 9 )*.: ),1. '<; =! >?@'
. F) G! %&),D. H! 8% %I,% "! !# )J%+K! 5% @'%
% B L) =% %&)*MNO.! 8 "! !#!3 )N!P L) =! %&'<% )8Q9
% D; +9 9,R. *; N% %: %L )8ST+9,%
! ,% C9
% A% ") B! C! ),D. E
%&*.O!3 )/<. )+9 ". .B UV%+,.W%G !X-! )/%0 Y; Z. [
% )*.8 L) =% ,% \?E'
% ]%^
%
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (yaitu kaum Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (yaitu kaum Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka, dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(kaum Muhajirin) dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun
mereka membutuhkan (apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga dari kekikiran
mereka membutuhkan (apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga dari kekikiran
dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiir-nya: “Mereka (kaum Anshar) mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka", disebabkan kemurahan dan kemuliaan kaum Anshar, sehingga mereka
mencintai kaum Muhajirin dan menolong mereka dengan harta mereka. "…dan mereka tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(kaum Muhajirin)", yaitu mereka tidak menemukan dalam hati mereka rasa dengki terhadap
kaum Muhajirin yang telah dimuliakan oleh Allah dengan kedudukan dan kemuliaan, serta
didahulukannya mereka dalam penyebutan dan kedudukan”
Kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin bukanlah karena kaum Muhajirin telah
berjasa pada kaum Anshar atau telah menolong kaum Anshar sebelumnya. Sama sekali
bukan. Keimanan mereka kepada Allah-lah yang menyebabkan hal itu. Kecintaan karena
Allah-lah yang telah menyatukan antara kaum Muhajirin dan Anshar.[18]
Anas bin Malik bertutur: “'Abdurrahman bin ‘Auf datang (ke kota Madinah), maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat tali persaudaraan antara dia dan Sa’ad bin ar-Rabi’ alAnshori. Sa’ad menawarkan kepada 'Abdurrahman separuh hartanya berikut istrinya. Maka
'Aburrahman berkata: “Semoga Allah memberi berkah pada keluargamu dan hartamu.”[19]
Dari Ibrahim –yaitu Ibnu Sa’ad bin 'Abdurrahman bin ‘Auf-, dari ayahnya, dari kakeknya, ia
berkata: “Tatkala kaum Muhajirin datang ke Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengikat tali persaudaraan antara 'Abdurrahman dan Sa’ad bin ar-Rabi’. Sa’ad bin arRabi’ berkata kepada 'Abdurrahman: 'Saya adalah orang yang paling banyak hartanya di
kalangan kaum Anshar, maka ambillah separuh hartaku. Saya juga memiliki dua orang istri,
maka lihatlah diantara keduanya mana yang lebih kau senangi, lalu sebutlah namanya,
sehingga saya menceraikannya.[20] Jika telah selesai masa ‘iddah-nya, nikahilah dia.'
'Abdurrahman berkata: 'Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, juga kepada keluarga
dan hartamu. Dimanakah pasar kalian?'[21] Mereka pun menunjukinya pasarnya Bani
Qainuqa’. Tidaklah 'Abdurrahman kembali dari pasar, melainkan sambil membawa susu
yang dikeringkan dan lemak (mentega). Keesokan harinya, ia pun ke pasar lagi. Begitulah
yang terjadi setiap hari. Suatu ketika ia datang dan pada dirinya ada bekas (minyak wangi
yang) berwarna kuning . Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
'Bagaimana kabarmu? 'Abdurrahman menjawab: 'Saya sudah menikah.' Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya lagi: 'Berapa yang kau berikan padanya (sebagai mahar)?' Ia
menjawab: 'Lima dirham.' Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Buatlah walimah,
meskipun hanya dengan seekor kambing.'"[22]
Seorang pria pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi pun mengutus
seseorang kepada istri-istri beliau untuk bertanya tentang kondisi mereka. Kata istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali air.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada para Sahabat: “Siapakah yang
siap menjamu orang ini?”
siap menjamu orang ini?”
“Saya,” jawab salah seorang dari kaum Anshar.
Maka pergilah ia bersama laki-laki tersebut ke kediamannya. Sesampainya disana, ia berkata
kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.”
“Kita tidak memiliki apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak kita,” jawab istrinya.
“Persiapkanlah makananmu itu -yaitu yang disiapkan untuk anak-anak-, lalu nyalakanlah
lampu dan tidurkanlah anak-anak kita jika mereka hendak makan malam.”
Istrinya pun mempersiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya.
Setelah itu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampu, lalu ia matikan lampu
tersebut. Dalam keadaan gelap gulita, keduanya memberikan makanan kepada si tamu, lalu
suami istri tersebut juga pura-pura makan. Lalu keduanya tidur dalam keadaan lapar.
Keesokan harinya sahabat tadi pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka berkatalah Rasulullah: “Allah tertawa tadi malam –atau- Allah takjub karena sikap
kalian.” Lalu turunlah firman Allah:
“Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka
butuh (terhadap apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga dari
kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung” (al-Hasyr: 9)[23]
Kisah Syuhada’ perang Yarmuk
Ibnul 'Arabi berkata: “Seusai perang Yarmuk, didapati 'Ikrimah bin Abi Jahl, Suhail bin ‘Amr,
al-Harits bin Hisyam, dan sekelompok orang dari Bani al-Mughirah sedang dalam keadaan
sekarat. Dibawakan air bagi mereka namun mereka semua saling mengoper air tersebut
hingga semuannya wafat dalam keadaan tidak minum air tersebut. Ketika 'Ikrimah
dibawakan, ia melihat bahwa Suhail bin ‘Amr sedang memandangnya, maka ia berkata:
“Berilah air kepadanya terlebih dahulu.” Tetapi kemudian Suhail melihat al-Harits bin
Hisyam sedang memandangnya, maka ia berkata: “Berilah air kepadanya terlebih dahulu.”
Mereka semua akhirnya wafat sebelum meminum air tersebut.”[24]
Wahai saudaraku… benarlah perkataan Ibnul Jauzi jika kita bandingkan antara persahabatan
sejati di kalangan para sahabat dan Salafus Shalih dengan persahabatan yang ada diantara
kita.
Ibnul Jauzi berkata: “Di zaman ini nilai-nilai dan hikmah dari persaudaraan (ukhuwwah) telah
hilang. Yang tersisa hanyalah kisah-kisah dari Salafus Shalih. Karena itu, jika engkau
mendengar tentang persaudaraan yang sejati (dizaman ini) maka jangan kau benarkan.”[25]
Seorang penyair berkata:
"#$! %$&' )( !* ,+ -(.+
! 12! (3456' 7$89$
$ / 0(
4 6#?! #$@A( B! C$
+: ';$$ % $<=$ 0(
! /,! >
$ E$ (6' $F G! H#
"! D
! I$ B$ (6' !J (-=$ 7$89$
+: (=H+ .4 -$ K<#3$ G+ +J+LM$ (N$O=$
Kami dengar tentang sahabat sejati tapi kami tidak melihatnya
terwujudkan secara nyata di antara manusia.
Kusangka itu adalah suatu kemustahilan yang mereka sampaikan
sekedar hanya dalam bentuk kiasan
Ibnu ‘Aun berkata: Dari ‘Umair bin Ishaq, ia berkata:
PQ6&' R#@6' FG S*;/ #G T=O UO V,35% #@W
“Kami merasa bahwa yang pertama kali diangkat dari manusia adalah persahabatan.”[26]
bersambung...
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)
[2] Wahai saudaraku, coba kita renungkan kembali, siapa kita pada tahun-tahun yang silam.
Tatkala kita belum mengenal namanya “ngaji”. Saat itu kita masih berpesta di atas dosa,
tersesat dalam belantara maksiat dan terombang ambing di lautan bid’ah. Alhamdulillah,
Allah kemudian menyelamatkan kita, sehingga kita berkumpul dan bersaudara di atas tujuan
yang satu, yaitu beribadah kepada-Nya semata. Ini merupakan karunia yang tiada tara. Maka
apakah layak jika kemudian kita saling menggunjing, saling menjatuhkan, saling
memutuskan hubungan, saling hajr, hanya karena perkara ijtihadiyyah yang masih
diperselisihkan oleh para ulama Salafiyyun?! Apakah kita hendak membuang nikmat Allah
yang sangat agung itu hanya karena perkara dunia atau permasalahan-permasalahan yang
seharusnya kita bisa saling memahami?! Semoga Allah menjadikan kita termasuk hambahamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat persaudaraan, lalu bersyukur dan terus
menjaga nikmat tersebut.
Syaikh 'Abdul Malik ar-Ramadhani –penulis Madaarikun Nazhar fis Siyaasah, buku yang
dipuji dan diberi pengantar oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dan sudah diterjemahkan ke
bahasa Indonesia- pernah bercerita kepada kami, bahwa dia pernah ditelepon oleh salah
seorang ikhwah dari Perancis. Saudara kita dari Perancis ini menangis di telepon sekitar
setengah jam. Apakah yang dia tangisi? Dia menangis karena jengkel memikirkan saudarasaudaranya sesama salafi saling tahdzir dan saling hajr, meskipun jumlah mereka sedikit.
Padahal mereka sedang hidup di tengah lautan orang-orang kafir. Dahulu, mereka tidak
bermusuhan di atas kesesatan. Tetapi setelah mereka mengenal ajaran yang benar, lha kok
malah berantem. Bukankah ini mengherankan?! Wallaahul musta’an. Semoga Allah
menyelamatkan kita semua dari tipu daya syaitan yang menghendaki perpecahan di kalangan
pengikut ajaran yang benar, yaitu barisan Ahlus Sunnah.
[3] Lihat penjelasan dari Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ceramah (tulisan) beliau yang
berjudul Huquuq al-Ukhuwwah, sebagaimana yang akan disebutkan.
[4] Tafsir At-Thabari (X/36), Hilyatul Auliya’ (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah,
dari Mujahid, dari Ibnu 'Abbas, dari Rasulullah ÷ dengan sanad yang marfu’, dalam Taariikh
Waasith, pada biografi 'Abdullah bin Sufyan Al-Wasithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawaahid-nya. Lihat: as-Shahiihah (V/10) hadits
(2004).
[5] HR Al-Bukhari (13) dan Muslim (45)
[6] Lihat Majmu’ Fataawa (VII/14-19)
[7] Majmu' Fataawa (VII/41)
[8] Jaami' al-'Ulum wal Hikam (I/304).
[9] HR Muslim (1844).
[10] Dalam Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh
[11] Jaami' al-'Ulum wal Hikam (I/306)
[12] Karena yang wajib dalam syari'at adalah ia menginginkan agar orang-orang seperti
dirinya dalam kebaikan.
[13] Disarikan dari Jaami' al-'Ulum wal Hikam (I/309-310).
[14] Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hal. 164.
[15] HR Muslim (1844).
Hadits ini semakna dengan hadits Anas yang sedang kita bicarakan, sebagaimana dijelaskan
Hadits ini semakna dengan hadits Anas yang sedang kita bicarakan, sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu Rajab dalam Jaami’ al-'Ulum (I/304)
[16] Faidah yang kami dapatkan guru kami, Syaikh 'Abdurrazzaq –hafizhahullah-, tatkala
menjelaskan hadits ke-18 dari al-Arba'iin an-Nawawiyyah.
[17] Lihat muqoddimah tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman terhadap risalah Adabul ‘Isyrah
wa Dzikrus Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 5-6.
[18] Lihat Mawaaqif Iimaaniyyah, hal 469.
[19] HR Al-Bukhari (VII/317), kitab Manaaqib al-Anshar.
[20] Allahu Akbar! Beginilah keimanan para sahabat. Betapa besar kasih sayang di antara
mereka. Kalau kita bandingkan dengan kita dizaman sekarang ini, sepertinya ini hanyalah
mimpi yang tidak mungkin bisa terwujudkan. Saya pernah bertemu dengan beberapa orang
ikhwah dari luar negeri yang sangat kenceng membantah para ahli bid’ah. Bahkan saking
kenceng-nya, mereka menyatakan bahwa seorang ulama besar yang ada di Saudi sebagai ahli
bid'ah. Padahal beliau yang dituduh itu sampai saat ini masih duduk di al-Lajnah ad-Daaimah lil Buhuuts wal Iftaa' (Komite Tetap untuk Urusan Riset dan Fatwa). Meskipun
demikian, ternyata tingkah laku mereka sehari-hari dalam mu'amalah masih jauh dari manhaj
Salaf. Sampai-sampai untuk masalah makanan saja mereka tidak segan-segan mengambil
jatah saudaranya, sebagaimana yang pernah penulis saksikan sendiri sewaktu acara makan
bersama di tempat kediaman Syaikh 'Abdul 'Aziz Alu Syaikh. Apakah manhaj Salaf hanya
terkait dengan membantah ahli bid'ah, tetapi untuk mu’amalah sehari-hari dengan
saudaranya manhajnya ditinggalkan?! Jangankan mengorbankan istri yang paling dicintai,
jatah makan saudaranya saja ia ambil.Wallaahul musta’aan.
[21] Beginilah jiwa para sahabat dari kaum Muhajirin. Kebaikan kaum Anshar tidaklah
menjadikan mereka bergantung pada kaum Anshar. 'Abdurrahman bin ‘Auf tetap berusaha
sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
[22] HR Al-Bukhari (3780). lihat Al-Fath (7/142), kitab manaqib Al-Anshar
[23] HR Al-Bukhari (3798).
Lihat al-Fath (VII/151) dan 'Umdatul Qori’ (XIII/341), kitab Maanaqib al-Anshar.
[24] Al-Muntzhom 4/123
[25] Sebagaimana dinukil oleh Ahmad Farid dalam kitabnya Mawaaqif Iimaaniyyah (hal. 443),
dari kitab Ibnul Jauzi yang berjudul al-Hubb fillaah wa Huquuqul Ukhuwwah.
[26] Tafsiir Ibnu Katsir, surat al-Anfal: 63.
firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-a
khlaq/52-hak-hak-persaudaraan-bag-1
http://goo.gl/Cf3Te
Hak-Hak Persaudaraan (bag. 2), Mencintainya Karena Allah
Syaikh Sholeh Alu Syaikh –hafzohullah- Berkata [1]:
!"#$%& '(#$%& )*%& !+,
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
berhak untuk disembah kecuali Allah saja dan tidak ada
syarikat bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah hamba Allah dan rasulNya,
pilihanNya, dan kekasihNya, semoga Allah senantiasa
mencurahkan salawat dan salam yang banyak
kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatya hingga
hari akhir.
Topik pembahasan pada pelajaran kali ini adalah hak-hak persaudaraan (perkara-perkara
yang hendaknya ditunaikan oleh orang-orang yang saling bersaudara-pen), dan yang kami
maksudkan dengan hak-hak persaudaraan adalah yang mencakup hak yang mustahab dan
hak yang diwajibkan, bukanlah maksudnya untuk memperinci mana diantara hak-hak
tersebut yang wajib dan manakah yang mustahab?, akan tetapi maksudnya adalah
menyebutkan hak-hak tersebut secara global yang diantara hak-hak tersebut ada yang wajib
dan ada yang mustahab. Dan ada hak-hak yang lain yang tidak dibahas di sini karena waktu
yang sempit[2].
Kedudukan hal ini -yaitu hak-hak persaudaraan, hak-hak persahabatan, hak seseorang atas
saudaranya- termasuk kedudukan yang agung yang ditekankan dalam dalil-dalil, sangat
ditekankan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka perhatian terhadap hal ini merupakan
perhatian terhadap suatu ibadah dan melalaikannya adalah bentuk melalaikan salah satu
jenis ibadah, karena hakikat dari ibadah adalah sebuah nama yang mencakup seluruh perkara
yang dicintai oleh Allah dan diridhoi-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik
yang nampak maupun yang batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang diridhoi oleh Allah
adalah perkara yang telah diperintahkan oleh Allah berupa penunaian hak seseorang
terhadap saudaranya, terlebih lagi jika telah terjalin antara dia dengan saudaranya tersebut
kasih sayang yang sepesial, rasa cinta yang khusus. Persahabatan yang khusus melebihi
hanya sekedar hubungan biasa antar kaum muslimin yang lain. Di sana ada hak seorang
muslim -yang harus ditunaikan- bagi muslim yang lain yang hak ini dimiliki oleh saudaranya
tersebut karena ia adalah seorang muslim, dan hak tersebut lebih ditekankan lagi dan lebih
kuat jika terjalin persahabatan yang khusus antara seseorang dengan saudaranya sesama
muslim, terjalin antara mereka berdua kecintaan khusus, mereka berdua saling bersahabat,
saling mencintai, saling berpartisipasi dalam mewujudkan rasa cinta karena Allah, dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah, saling menunjukkan kepada kebaikan, saling
mengantarkan kepada petunjuk kebenaran, saling mengajak untuk mendekatkan diri kepada
Allah, maka ada hak-hak (yang lebih khusus) antara mereka berdua. Dan seorang muslim
hendaknya memperhatikan hak-hak ini, baik yang telah tua maupun yang belum, demikian
juga hendaknya diperhatikan oleh seorang muslimah. Maka jika kami mengatakan hak-hak
seorang muslim atas seorang muslim yang lain dan hak-hak persaudaraan maka mencakup
hak-hak antara kaum muslimin baik antar kaum tua, antar kawula muda, antar kaum lelaki,
dan juga antar para wanita.
Allah dalam Al-Qur’an yang agung telah menganugerahkan kenikmatan bagi hambahambaNya dengan menjadikan mereka -dengan anugerahNya, dengan Islam- menjadi saling
bersaudara. Allah berfirman
!#" $%'& ($ *) +" ",$-"."/ &0!1%23 "4 '& 567" $8 9) :"8;" :"<=" ($ >?$%*) @" !A-3B" C$ D& &E&?F" G$ &%H& ($ )? $I"J $K"."/
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di
tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS Ali ‘Imron 103)
Dan Allah telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan
menyatukan hati-hati mereka, dengan anugerah-Nya Allah menjadikan mereka saling
bersaudara, yang hal ini menunjukan kepada kita bahwa kecintaan karena Allah dan
bahwasanya persaudaraan karena Allah adalah merupakan kenikmatan yang sangat agung
yang telah Allah tanamkan di antara hati-hati orang-orang yang beriman, satu dengan yang
lainnya dan hendaknya memperhatikan kenikmatan yang agung ini, menjaganya, dan
mengakui bahwa ia adalah anugerah dari Allah, oleh karena anugerah dari Allah hendaknya
dijaga dan kesengsaraan hendaknya dijauhi dan diwaspadai. Oleh karena itu Allah berfirman
!A-3B" C$ &D &E&?F" G$ &%&H ($ )? $I"J $K"."/ ((Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara)),
berkata sebagian Ulama menafsirkan firman Allah &E&?F" G$ &%H& (karena nikmat-Nya), ini adalah
peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya tali cinta kasih diantara
kaum mu’minin hanyalah karena karunia Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
($ )#"%$L"H "M12"N "E<23 41 O& "2@" ($ &#&H $B)<)P "4 $L"H Q $812"N !'" !AG $LF& R" S
& $0" T3$ U$ &/ !'" "Q $,"8$-"N $B"2
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS AlAnfal:63)
Maka yang menjadikan seseorang mencintai yang lainnya dan menjadikan hati-hati manusia
menjadi bersatu padahal mereka berasal dari penjuru dunia yang beraneka ragam, dari ras
dan bangsa yang bermacam-macam, dari martabat yang bertingkat-tingkat, yang menjadikan
mereka saling mencintai, menjadikan mereka sama dalam perkara yang satu yaitu beribadah
kepada Allah –yaitu mereka menjadi saling bersaudara karena Allah- adalah Allah dengan
karunia nikmat-Nya. Allah berfirman:
?!"#$%&'! #(!) *'+ -, /. #0 !1 $! %2 3 #$%4/! #5!0#6!7 !8,9:! ;, !7 ,<,='! #4/! ,>?! ,<693 @, #A!5,> #@%B?
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)
Dan merupakan kenikmatan yang paling agung dan rahmat yang paling agung yang
digembirakan adalah Al-Qur’an yang agung ini dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan tatkala menafsirkan ayat ini
?!"#$%&'! #(!) *'+ -, /. #0 !1 $! %2 3 #$%4/! #5!0#6!7 !8,9:! ;, !7 ,<,='! #4/! ,>?! ,<693 @, #A!5,> #@%B?
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira.
Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)
Ia (Ibnu Abi Hatim) meriwayatkan bahwanya tatkala barang-barang zakat datang ke
Madinah[3] maka Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ‘anhu dan budaknya keluar menuju
tempat dikumpulkannya zakat atau di tempat dikumpulkannya unta-unta zakat maka tatkala
budaknya melihat unta yang jumlahnya begitu banyak dan juga zakat-zakat yang lainnya
yang banyak yang akan dibagikan kepada kaum muslimin maka iapun berkata kepada Umar,
“Ini adalah karunia dari Allah dan rahmatNya wahai Amrul mukminin”. Maka Umarpun
berkata, “Engkau berdusta, tapi (yang benar bahwasanya) karunia Allah dan rahmatNya
adalah Al-Qur’an .[4] ((Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya
dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka
kumpulkan)) . Maka perkara yang paling agung untuk digembirakan adalah seorang hamba
adalah melaksanakan perkara-perkara yang datang dalam Al-Qur’an, yaitu melaksanakan
perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah yang terdapat dalam AlQur’an karena Al-Qur’an adalah sesuatu yang terbaik bagi kita baik di kehidupan dunia
maupun di akhirat kelak.
Hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bersahabat dan disahabati sangat
banyak sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan hal ini dan menjelaskan
keutamaan persaudaraan karena Allah, keutamaan saling mencintai karena Allah, dan
menjelaskan keutamaan seorang mukmin yang bergaul (bersahabat) dan (bisa) disahabati dan
hendaknya seorang mukmin dekat dengan saudara-saudaranya dalam banyak hadits.
Diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
!"#$%5!9C%# )? !"#$%5!9#D)! E):93 *7*FGH !"#$%I+J$! '% 93 K*BL1H MN%FO*4H P-*0Q93 R$) *S6(- TF- MN>! /BH "U
((Sesungguhnya yang terdekat denganku tempat duduknya pada hari kiamat yaitu mereka yang terbaik
akhlaknya diantara kalian yang pundak-pundak mereka terbentang[5] yang bersahabat dan disahabati))[6]
Dan dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya yang
diriwayatkan dari beberapa jalan dan ia adalah hadits yang shahih bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
!"#$% !"&$ '(#)"*
((Seorang mukmin itu bersahabat dan disahabati))[7]
Dalam lafal yang lain +,"&(- '(#)"* ((Seorang mukmin itu adalah tempat untuk persahabatan))[8],
orang yang melihatnya merasa srek (merasa tenang) bersahabat dengannya karena tidaklah
yang ia menampakkan pada saudara-saudaranya dan pada masyarakat kecuali kebaikan.
Allah telah memerintahkan hal itu kepada seluruh manusia dalam firmanNya ?./021 43 6.
5 708"5 *93"93:%?
((serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia)), (QS. 2:83).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
!"#$ ;% !"&$ ; ')<= ><? ;% !"#$% !"&$ '(#)"*
((Orang mukmin adalah bersahabat dan disahabati dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak
bersahabat dan tidak disahabati))[9]
Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam shahih Musilm
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
@8A ;B CA ; D9$ @8A @= EF8AG D9<"* @"HIJ K9J.LM)"* '$G +(.<N"* D9$ O9N$ P"HQ CQ P8"* KB
Bahwasaya Allah berfirman pada hari kiamat “Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan
keagunganKu, maka pada hari ini aku menaungi mereka di bawah naunganku pada hari tidak ada
naungan kecuali naunganKu” [10]
Firman Allah ((Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu)) yaitu
orang-orang yang saling bersaudara yang didasari oleh kecintaan karena Allah, karena
mengharapkan pahala Allah, bukanlah yang mendekatkan mereka adalah harta benda,
bukanlah juga keturunan, namun yang satu mencintai yang lainnya karena saling mencintai
karena Allah bukan karena kepentingan duniawi tetapi karena Allah. Inilah yang ditunjukan
oleh hadits lain yang disepakati -oleh para ulama- akan keshahihannya yang terkenal EF8R$ +STU
P8A ;B CA ; D9$ P8A @= P8"* ((Tujuh golongan yang akan Allah naungi di bawah naungan-Nya pada
hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya))[11] dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan diantara mereka adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah
yang mereka berdua saling berkumpul karena kecintaan karena Allah dan demikian pula
yang mereka berdua saling berkumpul karena kecintaan karena Allah dan demikian pula
saling berpisah karena Allah. Dalil-dalil ini menunjukan akan agungnya perkara saling
mencintai karena Allah dan menunjukan pula akan agungnya tegaknya persaudaraan karena
Allah yang dibangun di atas landasan kecintaan (karena Allah) yang tersebut dalam dalil-dalil
yang banyak dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan jika demikian perkaranya, yaitu jika saling mencintai karena Allah memiliki keutamaan
yang agung maka di sana ada hak-hak (kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan) diantara
orang-orang yang saling mencintai karena Allah, di sana ada hak-hak persaudaraan antara
seorang muslim yang mencintai muslim yang lainnya, hak bagi seorang muslim yang telah
terjalin antara dia dan sudaranya tali persaudaraan, ikatan persaudaraan atas landasan
keimanan. Allah berfirman
, 6. )" A7)
?71:!"#$%&]?'(*) +-, .%& /). 0 )1.#)2 .+)34) 54,
' (6. -) .%7'" )14,(8, .9)3 ;.
: 6)" <, 7)='% .4)> ?. ,2 @
, +8' B. -, .%&4) )1#,+8' B. -, .%&4]
)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar. (QS.
9:71)
, 6. ") } ((Sebagian mereka dari sebagian
Para ulama mengatakan bahwa firman Allah { ;.
: 6)" <, 7=) %' .4)> ?. ,2 @
yang lain)) yaitu sebagian mereka menolong sebaian yang lain, sebagian mereka mengasihi
sebagian yang lain, sebagian mereka mencintai sebagian yang lain dan seterusnya demikan
pula pada hak-hak persaudaraan yang lainnya.
Maka saling berwala (sikap loyalitas diantara kaum mukminin) merupakan ikatan yang
terjalin antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain, antara seorang muslim dengan
muslim yang lain, dan hal ini (loyalitas tersebut) memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan
tingkat hubungan diantara mereka, berdasarkan tingkat kasih sayang antara seseorang dengan
saudaranya, dan hak-hak (persaudaraan) ini banyak macamnya dan kami hanya menyebutkan
sebagian saja.
Hak pertama: Hendaknya seorang mukmin tidak mencintai saudaranya kecuali karena
Allah, bukan karena kepentingan dunia. Ini adalah bentuk keikhlasan dalam ibadah
tersebut (yaitu persahabatan dengan saudaranya).
Hendaknya antara dia dan saudarnya sesama muslim, antara dia dan sahabatnya, terjalin tali
cinta karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Jika persaudaraan dan persahabatan
dilandasi karena Allah maka persahabatan tersebut akan langgeng. Adapun jika persahabatan
karena kepentingan dunia maka kecintaan dan persahabatan tersebut akan pudar dan sirna.
Bentuk keihklasan dalam tali cinta, bentuk keikhlasan dalam hubungan persaudaraan, adalah
hendaknya seorang hamba mencitai dan bersahabat karena Allah, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
”Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seorang maka ia akan merasakan manisnya iman:
(1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai
seseorang yang mana tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia benci untuk
kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut,
sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam Neraka”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika tiga perkara ini terkumpul
pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Diantara tiga perkara tersebut
adalah tidaklah ia mencintai seseorang melainkan karena Allah.
Karena itu, perkara yang penting bukanlah sekedar engkau mencintai saudaramu, tetapi yang
penting -dalam ibadah, melaksanakan perintah Allah ini- hendaknya kecintaanmu kepada
sahabat karibmu, kepada saudaramu, adalah karena Allah bukan karena faktor dunia. Jika
engkau mencintai saudaramu maka hendaknya karena apa yang terdapat dalam hati
saudaramu, berupa tauhid, pengagungan terhadap Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta amalannya yang sesuai dengan sunnah. Inilah hakekat dari kecintaan
karena Allah, yang merupakan hak ukhuwwah yang pertama.
Maknanya, jika seseorang hendak bergaul dengan orang lain, atau menjalin hubungan dengan
saudaranya, maka tidaklah ia melakukan hal itu kecuali semata-mata karena Allah. Jika ia
bersahabat dengan saudaranya seiman, lalu ia menampakkan kepada saudaranya bahwa
persahabatannya karena Allah, tetapi ternyata dalam hatinya menyimpan sebagian
kepentingan dunia, maka ia pada hakikatnya telah menipu dan berbuat curang kepada
saudaranya tadi. Sebab, saudaranya tersebut tidak mengetahui isi hatinya dan ia menyangka
bahwa persahabatan mereka karena Allah, padahal tidaklah demikian.
Kecintaan seorang terhadap saudaranya karena Allah akan membuahkan buah yang manis.
Diantaranya ia akan menunaikan hak-hak ukhuwah (yang akan dijelaskan rinciannya). Karena
tidaklah ia bermu'amalah dengan saudaranya –apa saja bentuk mu'amalah tersebut- kecuali ia
dalam keadaan takut pada Allah. Sebab, tidaklah dia bersahabat kecuali semata-mata karena
Allah. Barang siapa yang tertanam dalam hatinya hakikat ini, kemudian dia menerapkannya yaitu ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah- maka akan tampak buah yang manis
pada tindakan-tindakannya sesuai dengan kadar keikhlasannya. Buah yang manis itu juga
akan tampak pada hak-hak ukhuwwah lainnya -yang akan dijelaskan-.
Diantara buah yang manis dari hasil persahabatan karena Allah adalah persahabatan itu akan
langgeng. Adapun persahabatan dan persaudaraan yang tidak didasari karena Allah, maka
akan pudar dan sirna. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihat
relasi diantara manusia, hubungan mereka dengan saudara mereka yang seiman, hubungan
mereka dengan ulama, dengan penuntut ilmu, dengan sebagian saudara mereka yang
memiliki harta, memiliki perniagaan, atau memiliki kedudukan, atau terpandang, jika
seseorang bersahabat dan bersaudara dengan mereka bukan karena Allah, namun karena
memperoleh kepentingan dunia maka ketika ia sudah memperoleh kepentingannya akan
terputuslah tali persaudaraannya tersebut. Bahkan dia tidak berterima kasih terhadap
saudaranya, tidak menghubunginya lagi, bahkan lebih dari itu -semoga Allah melindungi kita
dari sifat seperti ini-, ia malah mencela saudaranya tadi dan membeberkan aib-aib saudaranya
yang dulu pernah ia lihat tatkala bersahabat.
Tidak diragukan lagi bahwa hak ini adalah hak ukhuwwah yang pertama, hendaknya
seseorang mengkondisikan dirinya untuk tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah,
sehingga membuahkan faidah yang sangat besar dalam relasinya dengan saudaranya, dalam
bermu’amalah, dalam menjaga hak-hak saudaranya, dan dalam ibadah -yang merupakan
perkara paling agung-.
bersambung...
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Ditrjemahkan dari tulisan yang ditranskrip dari muhadhoroh (ceramah) Syaikh Sholeh Alu
Syaikh yang berjudul “huququl ukhuwah”
[2] Karena ini beliau sampaikan dalam ceramah beliau yang waktu ceramah sangatlah
terbatas.
[3] Yang datang dari negeri Iraq sebagaimana disebutkan dalam riwayat tersebut
[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1960 no 10435
[5] !"#$%&'($! )% *+ yaitu dengan sighoh isim maf’ul diambil dari kalimat ,&($-*+ yang maknanya
membentangkan (merendahkan). Disebut ./(0 1+23 tempat tidur yang terbentang jika tidak
mengganggu lambung yang tidur di atasnya. Dan yang dimaksud dengan 45678+ adalah sisisisi tubuh seseorang dan maskud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang
sisi-sisi mereka terbentang yang memungkinkan dijadikan sahabat dengan tidak merasa
terganggu, dan ini merupakan balagoh yang sangat baik (Faidul Qodir 3/464-465)
[6] Mushonnaf Abdurrozaq As-Shon’ani 11/144 no 0153, At-Tobroni dalam Al-Mu’jam AsShogir 2/89 no 835, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/270 no 8118, Syaikh Al-Albani
menyatakan bahwa hadits ini (dengan lafal seperti ini) adalah hasan ligoirihi (Shahih AtTarghib wat tarhib no 2658).
[7] HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 6/58 no 5787. Berkata Al-Haitsami 9):; <+0=
>?@A*+ B5C= 9):; B5C=0 =+DE*+0 “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar dan para
!"#$%& '()* +,-. '()*/ *&01%&/ “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar dan para
perowi Ahmad adalah para perowi as-shahih” (Majma’Az-Zawaid 8/87)
[8] HR Ahmad 5/335 no 22891, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/271 no 8120, At-Thobroni
dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 6/131 no 5744 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam AsShahihah 1/784 no 425
[9] Lihat As-Shahihah 1/784 no 425
[10] HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah, kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah
[11] HR Al-Bukhari 1/234 no 629, Muslim 2/715 no 1031
[12] HR al-Bukhari (16 dan 21), serta Muslim (43).
firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-a
khlaq/53-hak-hak-persaudaraan-bag-2-mencintainya-k
arena-allah
http://goo.gl/ddUVc
Hak-Hak Persaudaraan (bag. 3), Jagalah Kehormatan Saudara Kita
Ini merupakan hak yang sangat agung. Bahkan tidaklah
bisa dipahami makna dan nilai persaudaraan secara
khusus
kecuali
dengan
menjaga
kehormatan
saudaranya.Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
telah memerintahkan kaum muslimin, yang pada diri
mereka terjalin tali persaudaraan yang umum (tidak
khusus, yaitu persaudaraan seorang muslim dengan
muslim yang lainnya), untuk menjaga kehormatankehormatan kaum muslimin. Pada hadits Abu Bakrah
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya, bahwa ketika khuthbah hari
‘Arafah pada saat haji wada’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"! #%$ &$ (' *) '+$,-$ (' *) .
$ %$ -' $/0$ (' *) $1#2$ 3' $/0$ (' 4) 5$ 63$ 87 :9 ;7 ....
“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan dan harga diri kalian haram atas
kalian….”[1]
Karena itu, kehormatan dan harga diri seorang muslim secara umum adalah haram untuk
dinodai oleh muslim yang lain. Bagaimana lagi jika di antara muslim yang satu dengan yang
lainnya terjalin ikatan persaudaraan dan persahabatan yang khusus? Bagaimana mungkin ia
tidak menjaga kehormatan saudaranya itu? Padahal telah terjalin antara mereka tali
persaudaraan khusus yang tidak terjalin untuk selain mereka. Jika seorang muslim
diperintahkan untuk menjaga kehormatan saudaranya yang jauh darinya, padahal diantara
mereka tidak ada ikatan atau kecintaan yang khusus, maka bagaimana lagi dengan sesama
saudaranya yang diantara mereka terdapat hubungan dan rasa cinta, ada saling-menolong
dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, usaha untuk taat kepada Allah dan beribadah
kepada-Nya, memperoleh kebajikan, serta menjauh dari dosa?!
Bentuk-bentuk menjaga kehormatan dan harga diri saudara seiman (baik yang memiliki tali
ukhuwwah yang khusus maupun yang umum):
1. Hendaknya engkau menahan diri untuk tidak menyebutkan kejelekan-kejelekannya.
Karena persahabatan atau ukhuwwah yang khusus mengharuskan engkau mengetahui
perkara-perkara pribadi yang timbul dari sahabatmu. Misalnya dia mengucapkan suatu
perkataan atau melakukan suatu perbuatan (yang kurang baik atau bersifat rahasia tatkala
sedang bersamamu). Makna dari ukhuwwah yang khusus adalah engkau amanah terhadap
apa-apa yang kau lihat dan kau dengar dari sahabatmu. Jika tidak demikian, maka setiap
orang akan menghindar dari orang yang mau berhubungan dengannya. Tidak ada yang
namanya sahabat karib, sahabat yang menjaga kehormatan saudaranya, baik dihadapannya
maupun dibelakangnya. Ada seseorang yang tatkala melihat bahwa pada zamannya tidak
didapatkan seorang sahabat sejati dan kekasih yang menjaga kehormatan saudaranya serta
menepati janji-janjinya, mendorongnya untuk menulis sebuah kitab yang dia beri judul:
!"#$%&'() *
$ !+$( -, /. 0! 2,
1 %'! 3$ 4$56$ !"$7!8 ,() :9 ,%;
! ,<$=
Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian.[2]
Penulis buku tersebut mendapati bahwa seekor anjing, jika pemiliknya berbuat baik
kepadanya maka ia akan menunaikan tugasnya. Bahkan si anjing rela mengorbankan
nyawanya demi membela pemiliknya yang telah berbuat baik kepadanya. Akhirnya penulis
tadi berkata, ”Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian,”
disebabkan banyaknya orang yang berkhianat. Dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali
persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-rahasia pribadi saudaranya, namun tidak
lama kemudian dia menyebarkan, membeberkan, dan menyebutkan aib-aib saudaranya yang
terlihat olehnya. Seandainya saudaranya itu mengetahui bahwa ia akan membeberkan
rahasia-rahasia pribadinya, maka ia akan menjadikannya sebagai musuh, tidak akan
menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan menunaikan janji. Oleh karena
itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam, tidak menyebutkan aib saudaramu
kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih lagi di belakangnya. Sesungguhnya hak
seorang muslim atas saudaranya adalah harga dirinya dijaga, terlebih lagi jika terjalin tali
hubungan yang khusus.
2. Engkau tidak bertanya secara detail kepada saudaramu, tidak mencari tahu, dan turut
campur pada permasalahan-permasalahan yang tidak dia tampakkan kepadamu. Contohnya
engkau melihatnya berada di suatu tempat tertentu, lantas engkau bertanya, “Apa yang
menyebabkan engkau datang ke tempat itu? Apa yang kau bawa? Mengapa engkau pergi ke
Fulan? Ada apa antara engkau dengan Fulan?," dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
merupakan bentuk turut campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu
ingin agar engkau turut campur dalam masalahnya tentu ia akan mengabarkannya
kepadamu. Jika dia menyembunyikan hal itu, maka tentu karena ada maslahatnya.
Disamping itu, merupakan kebaikan nilai keislaman seseorang jika ia meninggalkan apa yang
bukan merupakan kepentingannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Termasuk kebaikan keislaman seseorang jika ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat
baginya.”[3].
Jika engkau melihat saudaramu pada suatu keadaan, jika engkau melihatnya pergi ke suatu
tempat, maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya, janganlah engkau
bertanya tempat yang ia tuju, karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu
memberitahumu tentang segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahasia-rahasia
pribadi sekaligus privasi.
3. Engkau menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu, baik tentang
pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara
pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara
tentang seseorang, maka dia pun mengabarkan kepadamu tentang pendapatnya mengenai
orang tersebut. Kalian berbicara tentang suatu permasalahan, ia memiliki pendapat tentang
permasalahan tersebut, maka ia kabarkan kepadamu karena engkau adalah orang khusus,
karena engkau adalah sahabatnya. Terkadang pendapatnya benar dan terkadang juga keliru.
Jika engkau adalah sahabat sejatinya, maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepadamu
melainkan untuk dijaga, bukan disebarkan (meskipun dia tidak memintamu untuk
merahasiakannya). Karena konsekuensi dari tali persaudaraan yang khusus adalah adanya
rahasia diantara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Sunan-nya:
!"#$%&# #' (# )*#+ ,-./0# #1#2#3.45 76 ,8 :
9 .;<) =# >) ?# @, A6 45 B
# <6 C# 5D# )E ?, @, A6 45
“Jika seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari orang yang
dikabari tersebut[4] maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari)”[5].
Hal ini merupakan amanah, dan Allah memerintahkan kita untuk menjaga amanah serta
menjaga kehormatan. Sebab, jika engkau menceritakan pendapatnya, maka orang-orang akan
merendahkannya. Engkau melihat pendapatnya yang aneh, lalu engkau ceritakan kepada
orang-orang, “Fulan talah berpendapat seperti ini; Fulan telah berkata tentang si Fulan begini
dan begitu." Kalau begitu, apa artinya persaudaraan?! Apa makna persaudaraan jika engkau
menyebarkan darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?!
Dan yang lebih parah dari ini, seseorang datang kepada saudaranya, yang diantara mereka
terjalin tali persaudaraan yang khusus, lalu dia meminta saudaranya untuk merahasiakan apa
yang akan dia ceritakan. Dia berkata, “Pembicaraan kita ini khusus, hanya engkau yang tahu
jangan kau beritahu siapapun juga!” Namun kemudian saudaranya mengabarkannya kepada
orang ketiga, sambil berkata: “Pembicaraan ini khusus antara kita, jangan kau beritahukan
kepada siapapun.” Akhirnya kabar tersebut pun tersebar di masyarakat dan orang yang
pertama tidak mengetahui hal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh penyair,
9 .2#/>) ,-6$)O#+ F.) G#/.8P5
) #QM%
F., GH) #I ): .;<) =# .45 A.) GJ) K. #LM# N
# @# RAS) T?U, M#
Setiap rahasia yang diketahui lebih dari dua orang maka lebih baik disimpan di hati dan tidak usah
diceritakan[6]
Ini merupakan realita. Jika seseorang memilih orang lain untuk menjadi sahabat atau
saudaranya, lalu ia menceritakan rahasianya kepadanya, maka harus disembunyikan (tidak
diceritakan kepada orang ketiga). Terlebih lagi jika dia memang meminta hal itu. Jika dia
tidak memintanya, maka keadaannya adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam:
!"#$%" "& '" ()"* +,-./" "0"1"2-34 65 +7 89 -:;( <" =( >" ?+ @5 34 A
" ;5 B" 4C" D( >+ ?+ @5 34
“Seseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari
tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).”
Bagaimana lagi jika dia meminta sahabatnya untuk merahasiakannya dan tidak
mengizinkannya untuk menceritakannya kepada orang lain?![7].
Diantara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang muslim hendaknya menahan diri dari
menyebutkan aib yang dilihatnya pada saudaranya, keluarga saudaranya, karib kerabatnya,
atau pada aib yang dia dengar dari saudaranya itu. Misalnya seseorang menelepon
saudaranya –dan saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian- lalu ia
mendengar dari rumah saudaranya itu sesuatu yang tidak diridhai, kemudian dia berkata
kepada orang-orang, “Saya mendengar ini dan itu dirumah si fulan.” Atau ia melihatnya
dalam keadaan yang tidak baik, kemudian ia kabarkan aib-aib tersebut. Ini bukanlah
termasuk menjaga kehormatan saudara sesama muslim. Bahkan ini termasuk menodai
kehormatan saudara.
Wajib bagimu untuk menjaga kehormatan saudaramu jika engkau mendengar sesuatu yang
jelek tentang dirinya atau engkau melihatnya dalam keadaan yang tidak terpuji, atau ia
mengucapkan perkataan yang tidak baik, atau yang semisalnya. Menjaga kehormatannya
hukumnya wajib. Bukan justru engkau korbankan kehormatannya dan menyebarkannya.
Sebaliknya, engkau diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. "Seorang
muslim atas muslim yang lain diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya".
Mengenai pembahasan nasehat antar saudara seiman maka akan ada penjelasannya tersendiri.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
$E#4F" G( D( (,H34 I" $"J/( 4 -F+# -FK+ L" 4L+@=" 4";"M "NL" 4F+O"P$"Q"M "NL" 4F+RR5 S"" M "NL" 4F+RR5 <"" M N
“Janganlah kalian ber-tahassus, jangan ber-tajassus, jangan saling memutuskan hubungan, dan jangan
saling bertolak belakang. Jadilah kalian saling bersaudara wahai hamba-hamba Allah.”[8]
Hadits ini mengandung dua kalimat. Yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pada hadits yang disepakati keshahihannya ini:
4F+RR5 S"" M "NL" 4F+RR5 <"" M N
“Janganlah kalian saling ber-tahassus dan jangan saling ber-tajassus.”
Perbedaan antara tahassus dan tajassus, menurut sebagian ulama –ada khilaf dalam masalah
Perbedaan antara tahassus dan tajassus, menurut sebagian ulama –ada khilaf dalam masalah
ini[9]-, tajassus (adalah mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan indra
penglihatan, sedangkan tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya adalah firman
Allah:
"! #$% &
! '(*) +' ,! %-./)0'1)2)3() "! '14! )5 () )6.7 '-.8 +' ,! %-.//9 :)) ;)< %-.=)>?%' A
@ BC D8
“Wahai anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah
kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)
Firman Allah:
"! '14! )5 () )6.7 '-.8 +' ,! %-.//9 :)) ;)<
"carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya", diambil dari kalimat tahassus, yaitu mencari
berita.
Adapun tajassus, maka Allah melarangnya dalam firman-Nya:
. G' C) 'J);K' )8 )3() %-.//@ L)) 2 )3()
DEF'G)C H' I. F
“Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing
sebahagian yang lain” (Yusuf: 87)
Tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menggunakan mata. Dimulai
dengan melihat saudaramu, lalu engkau mengamati gerak-geriknya. Engkau melihatnya
berjalan di suatu jalan, kemudian engkau mengikutinya hingga engkau tahu aibnya.
Janganlah kau lakukan hal ini. Pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu
kecuali kebaikan-kebaikannya.
Begitu juga dengan tahassus. Janganlah engkau bertanya-tanya tentang aib saudaramu,
padahal ia termasuk saudara-saudaramu seiman dan para sahabatmu yang sejati. Terjalin
antara engkau dengan mereka tali kasih sayang. Terjalin antara engkau dengan mereka tali
persahabatan. Janganlah engkau ber-tahassus dan janganlah engkau ber-tajassus terhadapnya.
Seorang muslim dilarang melakukan hal itu terhadap saudara-saudaranya sesama kaum
muslimin secara umum, bagaimana lagi dengan orang-orang yang terjalin antara engkau
dengan mereka tali ukhuwwah yang khusus.
“Janganlah bertahassus,” yaitu janganlah mencari-cari berita saudaramu (untuk mencari-cari
kesalahannya), dan “janganlah bertajassus,” yaitu janganlah engkau mengamati apa yang
dilakukannya, karena sesungguhnya hal ini terlarang dan termasuk perkara yang diharamkan
oleh Allah.
bersambung ....
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan kaki:
[1] HR al-Bukhari (1742) dan (6043).
[2] Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin Khalaf bin al-Marzaban. Beliau
meninggal tahun 309 H. Lihat al-Bidayah wan Nihaayah (XI/314) dan al-Waafi bil Wafayaat
(III/37).
Risalah ini sudah dicetak dengan tahqiq Ibrahim Yusuf, diterbitkan oleh Daarul Kutub alMishriyah, terdiri dari 39 halaman. Penulis berkata di awal risalahnya:
"Aku menyebutkan (kepadamu) –semoga Allah memuliakanmu- tentang zaman kita dan
rusaknya hubungan kasih sayang antara orang-orang di zaman ini. Akhlak mereka rusak dan
tabiat mereka tercela. Orang yang paling jauh perjalanannya adalah orang yang mencari
sahabat yang baik. Barangsiapa berusaha mencari seorang sahabat yang bisa dipercaya untuk
tidak menceritakan aibnya dan persahabatan yang langgeng, maka ia seperti seorang yang
sedang tersesat di sebuah jalan yang membingungkan, semakin ia ikuti jalan tersebut, maka ia
semakin jauh dari tujuan. Kenyataannya sebagaimana yang aku paparkan. Diriwayatkan dari
Abu Dzarr al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata, “Dahulu manusia seperti
dedaunan yang tidak ada durinya, tetapi kemudian mereka menjadi duri-duri yang tidak ada
daunnya.” Sebagian mereka berkata, “Dahulu kami khawatir para sahabat kami ditimpa
kebanyakan janji dan terlalu sering minta maaf (karena menyelisihi janji). Kami khawatir
mereka mencampurkan janji-janji mereka dengan kedustaan dan mencampurkan permintaan
maaf mereka dengan sedikit kedustaan. Namun, sekarang orang yang beralasan dengan
kebaikan telah pergi dan orang yang minta maaf karena berbuat dosa telah meninggal…
(maksudnya, jika orang-orang sekarang menyelisihi janji atau berbuat salah mereka cuek dan
tidak minta maaf)." Fadhlul Kilab, hal 5-6.
Beliau juga berkata, "Ketahuilah –semoga Allah memuliakanmu- bahwa anjing lebih sayang
kepada pemiliknya dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan seorang
sahabat kepada sahabatnya yang lain. Hal ini karena anjing menjaga tuannya sekaligus apaapa yang dimiliki oleh tuannya, baik tuannya ada maupun tidak ada, tidur maupun terjaga. Si
anjing tetap menjalankan tugas dengan baik, meskipun tuannya bersikap kasar kepadanya. Ia
tidak akan merendahkan tuannya meskipun tuannya merendahkannya. Diriwayatkan kepada
kami bahwa ada seseorang berkata kepada salah seorang yang bijak, “Berilah wasiat
kepadaku!” Orang bijak itu berkata, “Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau
kepadaku!” Orang bijak itu berkata, “Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau
berdebat dengan penduduk dunia. Berbuat baiklah karena Allah, sebagaimana anjing yang
berbuat baik kepada tuannya. Pemilik anjing membuat anjing itu lapar dan memukulnya,
namun ia tetap menjalankan tugasnya.” 'Umar pernah melihat seorang arab badui yang
membawa seekor anjing. Maka 'Umar pun berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?”
Orang arab badui menjawab, “Wahai Amirul mukminin, sebaik-baik sahabat adalah yang jika
engkau memberinya maka ia berterimakasih, dan jika engkau tidak memberinya maka ia
bersabar.” Maka 'Umar berkata, “Itulah sahabat yang terbaik, maka jagalah sahabatmu.” Ibnu
'Umar pernah melihat seorang arab badui dengan seekor anjing, maka ia berkata kepadanya,
“Apa yang bersamamu?” Orang arab badui itu menjawab, “Ini adalah yang berterimakasih
kepadaku dan menyembunyikan rahasiaku.” Fadhlul Kilab, hal 12.
[3] HR At-Tirmidzi (2317) dan Ibnu Majah (3976). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh alAlbani.
[4] Ada dua pendapat ulama tentang makna berpaling dalam hadits ini. Pertama, makna
berpaling yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke
kanan dan ke kiri karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan
ke kiri menunjukkan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar
pembicaraannya, dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan
kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada orang yang diajak bicara,
"Rahasiakanlah kabar ini!" Pandapat yang kedua, makna berpaling adalah, setelah
menyampaikan kabar dia berpaling dari yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya).
Pendapat pertama dikuatkan oleh Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi. Dari penjelasan Syaikh
Shalih Alu Syaikh, sepertinya beliau lebih condong kepada pendapat yang kedua.
Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/81) dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/178)
[5] HR At-Tirmidzi (1959) dan Abu Dawud (4868). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani
dalam as-Shahiihah (1090).
[6] Maksudnya, jika rahasia sudah diketahui oleh lebih dari dua orang, maka itu bukan
rahasia lagi. Sebab, jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga,
biasanya rahasia tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga
pun akan membeberkannya kepada orang keempat, dan seterusnya, sehingga lama-lama
menjadi rahasia umum.
[7] Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah, padahal dia merupakan amanah. Syaitan
akan datang menggelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudaranya tersebut. Hanya
orang mulia yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bijak:
"#
! %&$ '$(# ") &*)+), "#
! %$ &-$(# ).&*/0/,
“Hati-hati orang yang mulia merupakan kuburan bagi rahasia-rahasia.”
Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Seusai
selesai mengabarkannya, dia bertanya, “Sudah engkau hafalkan?”
Sahabatnya menjawab, “Tidak, bahkan saya telah melupakannya.”
Tatkala orang ini lupa, berarti rahasia tersebut terkubur dan tidak bakal keluar dari dalam
hatinya.
Yang lebih menyedihkan, tatkala timbul perselisihan antara dua orang yang dulunya
bersahabat, maka masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang buruk demi
menjatuhkannya. Dikatakan dalam syair,
!#" $%&" '()*+, .- /$ 0!1 234) 67
5 89:;!< 5=> 0? 234) @A*B4) CD4
!/" *<
" 0?E FG!< 0? *H JI 4) KLMAE 8NOP/ FQ:N 234) @A*B4) 0?
Bukanlah orang yang mulia yang jika bersalah sahabatnya,
diapun menyebarkan rahasia sahabatnya yang dulu dia ketahui.
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,
tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 33.
[8] HR Al-Bukhari no 6064, 6066
[9] Lihat Fat-hul Baari (X/592) dan Tafsir Ibn Katsir, Surat al-Hujuraat: 12.
firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-a
khlaq/58-hak-hak-persaudaraan-bag-3-jagalah-kehorm
atan-saudara-kita
http://goo.gl/qoU6c
Hak-Hak Persaudaraan (bag. 4), Jauhillah Berprasangka Buruk Pada
Saudara Kita
Hak keempat: Engkau menjauhi sifat su-uzh zhan
(buruk sangka) terhadap saudaramu. Sebab, buruk
sangka
terhadapnya
berseberangan
dengan
konsekuensi dari ukhuwwah.
Konsekuensi dari ukhuwwah adalah adanya kejujuran, kebaikan, dan ketaatan di antara dua
orang yang bersaudara. Hal ini merupakan hukum asal dari seorang muslim. Hukum asal
seorang muslim adalah seorang yang taat kepada Allah.
Jika muslim tersebut termasuk sahabat karibmu, maka ia memiliki dua hak; hak umum dan
hak khusus, yaitu engkau jauhi sifat su-uzh zhan terhadapnya dan engkau menjaga dirimu
dari buruk sangka, karena Allah melarang buruk sangka. Allah berfirman:
"! #$%& '()*+, .#
- /-0 1) &% '()*+, -( 2% , 34#56% 7- , #89:;% -< #=,%
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah
dosa” (al-Hujuraat: 12)
Para ulama berkata dalam menafsirkan firman Allah ini, bahwa prasangka ada yang tercela
dan ada prasangka yang terpuji. Manakah prasangka yang terpuji? Yaitu prasangka yang
termasuk bagian dari tanda-tanda dan indikasi-indikasi yang ada pada para hakim, para
pendamai, dan pemilik kebaikan yang hendak menasihati atau hendak menegakkan tandatanda dan indikasi-indikasi tersebut di depan hakim. Seorang hakim menegakkan hujjah dan
menuntut adanya bayyinah (bukti). Banyak hujjah dan bukti yang dibangun di atas prasangka
(dugaan), namun pada kondisi seperti ini wajib diambil dan digunakan sebagai hujjah.
Adapun menjauhi kebanyakan prasangka, yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu
sesama muslim. Engkau berprasangka jelek terhadap saudaramu. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"! !#$%'& )( +* ,!-./
"Hati-hatilah kalian terhadap prasangka."
Prasangka dalam hadits ini sifatnya umum, mencakup perkataan maupun perbuatan
saudaramu. Lebih lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.0 (-1. 2& ($% *354 +( &6 "! !#$% 7! .8&9
"Karena sesungguhnya prasangka adalah berita yang paling dusta"[1]
Ini adalah teks sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa prasangka adalah berita
yang paling dusta yang terdapat dalam hatimu. Jika jiwamu yang ada dalam dirimu memberi
kabar kepadamu dengan persangkaan-persangkaan, ketahuilah bahwa hal itu merupakan
berita yang paling dusta. Jika demikian, maka hak saudaramu atas dirimu adalah engkau
tidak berprasangka kepadanya kecuali prasangka yang baik dan engkau jauhi prasangka
yang buruk terhadapnya. Allah memerintahkan hal ini kepadamu dengan firman-Nya.:
): (;./ <"!#$% =(
& >&? 7! /. <"!#$% &" @. % AB(CD. +& % (E*FG. &H (I%.
“Jauhilah kalian dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”
Hujuraat: 12)
(al-
Karena itu, prasangka buruk merupakan dosa bagi pelakunya. Dia berdosa karena telah
menyelisihi hukum asal seorang muslim.[2] Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam azZuhd, dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa 'Umar pernah memberikan nasihat:
AJK& (2@& B(
. C &L ($% M9. ,N& &$ 1* O&. P &Q (R&6'& SA (E*T &U(CV. &6 "( @. Q
( I& B&V
& WXK& .YZ& ?. "! !G*#&P &[
“Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang
keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang
baik.”
Perhatikanlah, 'Umar melarang prasangka buruk terhadap perkataan, selama masih bisa
dibawakan pada makna yang benar, masih mengandung makna yang baik. Maka janganlah
engkau berprasangka buruk terhadap saudaramu, karena pada asalnya ia tidaklah berkata
kecuali (menginginkan) kebaikan, dan ia tidak (ingin) mengucapkan kebatilan. Jika
perkataannya masih mengandung makna yang baik maka bawalah perkataan tersebut pada
makna yang baik, sehingga selamatlah saudaramu dari kritikan, selamatlah ia dari prasangka
buruk, selamatlah engkau dari dosa, dan selamatlah ia selamat dari diikuti serta dicontoh
buruk, selamatlah engkau dari dosa, dan selamatlah ia selamat dari diikuti serta dicontoh
kesalahannya.[3] Oleh karena itu berkata Ibnul Mubarak, saorang imam dan mujahid yang
masyhur:
"#! $&% '(! )! #*+ ,-,. #/$! 0, 1% 2# ), #*+
“Seorang mukmin adalah orang yang mencari udzur-udzur (bagi saudaranya).[4]”
Maksudnya, ia mencari udzur (bagi saudaranya). Sebab, kemungkinan-kemungkinan yang
ada itu banyak jumlahnya. Maka syaitan datang kepada seorang muslim dan menentukan
salah satu kemungkinan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Syaitan datang lalu
menentukan makna perkataan –yang diucapkan oleh saudaranya- dengan satu makna (yang
buruk), sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian. Allah berfirman:
, !$B! "% F#% G)! #*+B! "% )# !H #*+ I%< J! 'K
! L# !M#*+B! !=B+!
!!3#4,5!6#71, 8# ,6#9!: #;!5!< %= >?@*+ 0!% AB! %C.*+ "% D# &% 0!# A 8# D, E? @
, !/ #GSR *+ E, #$",% $ ')! ?9T% "
! E(! #*+ 8, N, !7#G!O P! %Q #4,$ 3# !: 3'
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian
lantaran (meminum) khamar (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan
shalat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maidah: 91)
Syaitan menentukan bagimu bahwa tafsir dari kondisi ini hanyalah begini, bahwa tafsir dari
perkataan ini hanyalah begitu (tidak ada tafsiran atau kemungkinan lain yang baik), sehingga
engkau berprasangka buruk, maka engkau pun berdosa. Akibatnya, muncul antara engkau
dan saudaramu jurang pemisah serta tidak adanya kecocokan.
Ada sebuah kaidah dalam memahami kalam (perkataan), bahwa setiap ucapan ada dalalahnya (penunjukannya). Dalalah perkataan menurut ahli ushul fiqh ada bermacam-macam. Ada
yang disebut dengan dalalah hamliyyah. Maksudnya, konteks dari perkataan menunjukkan
makna perkataan tersebut. Sebagian ucapan, jika dipahami secara langsung -tanpa
memperhatikan konteksnya- akan menunjukkan suatu makna tertentu. Namun, jika
diperhatikan siyaq-nya (konteksnya), yaitu dengan memperhatikan kalimat yang sebelum dan
sesudahnya, maka akan menjelaskan maksud sesungguhnya dari perkataan tadi (yang
berbeda jika dipahami secara langsung).
Jika perkataan bersumber dari seorang mukmin, dari seseorang yang terjalin tali
persaudaraan antara engkau dan dia, lalu engkau mendengarnya mengucapkan suatu
perkataan, maka jangan sampai syaitan datang kepadamu lalu membawa perkataan tersebut
kepada makna yang jelek. Bawalah perkataan saudaramu itu kepada makna yang baik,
niscaya akan tegak dalam hatimu kasih sayang terhadap saudara-saudaramu dan akhirnya
syaitan tidak masuk di antara kalian.
Karena itu, memperhatikan dilalah hamliyyah untuk menunjukkan maksud dari suatu
perkataan adalah sangat penting. Inilah yang menjadi sandaran bagi para ahli ilmu dalam
perkataan adalah sangat penting. Inilah yang menjadi sandaran bagi para ahli ilmu dalam
memahami satu perkataan, sekaligus menjadi sandaran bagi orang-orang shalih dalam
memahami perkataan manusia. Sebab, maksud dari suatu perkataan hanyalah dipahami
dengan memperhatikan seluruh perkataan tersebut, bukan dengan hanya mengambil
sebagian lafazhnya. Sungguh, sejumlah lafazh terkadang mengkhianati pengucapnya.[5]
Namun, jika telah diketahui maksud (baiknya), dengan memperhatikan seluruh
perkataannya, maka ia diberi udzur. Telah kita jelaskan –pada pelajaran yang lalu- bahwa di
antara perkataan-perkataan manusia –dan inilah yang lebih utama- ada yang mutasaybih
(samar dan rancu) bagi orang yang mendengarnya.[6] Jika dia mendapati perkataan –yang
mutasyabih- tersebut sambil mencari udzur bagi pengucapnya, sambil berusaha membawa
makna perkataan tersebut kepada makna yang paling baik, maka ia akan tenteram dan juga
membuat orang lain tenteram. Hak saudaranya tersebut akan langgeng, dan dia telah
menunaikan hak saudaranya tadi.
Karena itu, barangsiapa yang menafsirkan perkataan saudaranya dengan penafsiran yang
salah, yaitu dengan menambahinya atau dengan membawanya kepada makna yang paling
jelek, berarti dia tidak menunaikan hak saudaranya.
Begitu juga dengan perbuatan. Misalnya saudaramu berbuat sesuatu di hadapanmu atau
mengucapkan suatu perkataan, tiba-tiba ada orang lain –di antara yang hadir- yang menoleh
kepada orang yang di sampingnya, lalu memandangnya dengan pandangan tertentu, maka
datanglah syaitan kepada pembicara tadi, lalu berkata “Sesungguhnya si Fulan itu tidaklah
memandang kepada teman di sampingnya, kecuali karena dia mengkritik perkataanmu, atau
karena mencela perkataanmu,” dan yang semisalnya.
Demikianlah syaitan, ia juga turut andil dalam menafsirkan perbuatan, karena perbuatan juga
memiliki kemungkinan penafsiran yang banyak. Ditambah lagi, hanya sedikit orang yang
akan bertanya kepada saudaranya, "Kenapa engkau berbuat seperti ini? Karena ada ganjalan
di hatiku karena melihat perbuatanmu.” Hanya sedikit orang yang melakukan hal ini
(tabayyun, meminta kejelasan). Maka syaitan pun datang dan berkata, “Perbuatannya tersebut
karena itu dan itu... dia berbuat demikian karena anu... maksud perbuatannya adalah itu...
tindak-tanduknya itu hanyalah untuk mendapatkan sesuatu… dia berbuat demikian karena
ingin ini dan itu….”[7]
Perbuatan dan tindakan itu banyak sekali kemungkinannya. Jika engkau membawa perbuatan
tersebut pada kemungkinan tertentu, berarti engkau telah berbuat pelanggaran terhadap
dirimu sendiri dan tidak menghargai akal dan pikiranmu, karena engkau telah menjadikan
kemungkinan yang banyak hanya menjadi satu kemungkinan. Selanjutnya, engkau telah
berbuat pelanggaran kepada saudaramu, karena engkau membawa perbuatannya tadi pada
kemungkinan yang paling jelek, bukan pada kemungkinan terbaik. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
!" #$%! '& #() *+-, .# &/ 10 02() 30 4! &5 10 02()6& 7# .* 80$!9
“Berhati-hatilah kalian dari prasangka karena prasangka adalah berita yang paling dusta”[8]
bersambung ...
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan kaki:
[1] HR Al-Bukhari (6066) dan Muslim (2563).
[2] Maksudnya, hukum asal seorang muslim adalah taat kepada Allah, sebagaimana yang
baru saja dijelaskan oleh Syaikh Shalih. Maka tatkala ia berprasangka buruk terhadap
saudaranya muslim, berarti dia telah menuduh bahwa saudaranya tersebut tidak taat,
sehingga ia telah mengeluarkan saudaranya tadi dari hukum asal seorang muslim.
Oleh karena itu, prasangka buruk adalah pekerjaan sia-sia yang pelakunya tidak
mendapatkan apa-apa darinya, bahkan malah bisa mengantarkannya ke lembah dosa. Berkata
Bakr bin Abdillah Al-Muzani (sebagaimana disebutkan dalam Siyar (IV/535) dan biografi
beliau dalam Tahdzib At-Tahdzib):
! !8 =# >% FG! H% !IJ! #-. !* G% !KF+L>%
!"#$&% ! '(% )*+,-. 0/ #1/2 1! /34! !5 6# 7% !8 %9#$%: !;#'!<&# !8 =# >% 4! #?@! A# /B C# - %9#$%: % !5#DE
“Waspadalah engkau dari perkataan yang jika perkataanmu itu benar maka engkau tidak
mendapat pahala, tetapi jika perkataanmu itu tidak benar maka engkau berdosa, yaitu
prasangka buruk kepada saudaramu.”
[3] Maksudnya, jika engkau mendengar perkataan saudaramu yang memiliki pengaruh di
masyarakat, kemudian engkau bawa perkataannya tadi kepada makna yang jelek, padahal
perkataannya itu masih bisa dibawa ke makna yang benar, maka masyarakat akan menyangka
bahwa dia mengucapkan perkataan yang sesuai dengan tafsiranmu, yaitu makna yang buruk,
sehingga mereka pun mengikuti dan mencontohi perkataannya karena ia memiliki pengaruh.
[4] Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Mazin:
%;.?! !MN! #-. /O/P #<!L Q
/ %:F!R6/ #-.4! %9%S.1! &# %> ?#! LT% FN! G! # /O/P #<!L */ G% A# 6/ #-.
“Seorang mukmin mencari udzur bagi saudara-saudaranya, sedangkan orang munafik
mencari-cari kesalahan saudara-saudaranya”.
Abu Qilabah 'Abdullah bin Zaid al-Jarmi berkata -sebagaimana dinukil oleh Abu Nu’aim
dalam al-Hilyah (II/285)-:
"! #! $% '& $( $) * +,-& '! .& 0/ $1 32 4$ $5 :$67/ &8$9 .& :/ &3!;$: * +,-& '! "! $5 <& =$/ > ?& $5 @& /A$: B $C$< &DE ,$ -!& 4 &5* "! $5 &F#/ $G&5H$: "! !IJ$ K& $> ML .& N$ $6&O0/ $( P$& ' $6Q$ $%R$ *TS /U
“Jika sampai kepadamu kabar tentang saudaramu yang kau tidak sukai, maka berusahalah
mencari udzur bagi saudaramu itu semampumu, jika engkau tidak mampu mendapatkan
udzur bagi saudaramu, maka katakanlah dalam dirimu, 'Mungkin saudaraku punya udzur
yang tidak kuketahui'.”
Hamdun Al-Qashshar berkata:
!V&O4/ #$ &5* $W &9$X$: $6/5TS &3$Y&;$Z ?& $5 @& A/ $: B* +,-& '! $P &O4/ 7& /> &V!% &[H$: $6/9*\$ 0& /( P& ]/ ^
L $( _2 $` *T$ U/
“Jika salah seorang dari saudaramu bersalah, maka carilah sembilan puluh udzur untuknya,
dan jika saudaramu itu tidak bisa menerima satu udzur pun (jika engkau tidak menemukan
udzur baginya) maka engkaulah yang tercela”
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 19.
Abu Hatim bin Hibban berkata -dalam Raudhatul Uqalaa’, hal. 131, sebagaimana dinukil oleh
Syaikh al-'Abbad dalam Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal 26-: "Wajib bagi seorang
yang cerdik untuk melazimi keselamatan (hati dan lisannya), dengan meninggalkan tajasuss
(mencari-cari) aib orang lain dan menyibukkan dirinya untuk memperbaiki aibnya sendiri.
Sesungguhnya barangsiapa yang sibuk mengurusi aibnya sendiri sehingga terlalaikan dari
mengurusi aib orang lain maka ia telah menyantaikan tubuhnya dan tidak meletihkan
hatinya. Semakin dia mengungkap dan mengenal aib-aib dirinya maka akan terasa semakin
ringan baginya aib semisal aibnya yang tampak pada saudaranya. Adapun barangsiapa yang
sibuk mengurusi aib-aib orang lain sehingga terlalaikan dari mengurusi aibnya sendiri maka
hatinya menjadi buta dan letih badannya serta tidak mampu meninggalkan aib dirinya
sendiri.”
Sungguh indah perkataan seorang penyair:
&3$%4/ &5* $P[/ &\]$ .'*
/ 2e5* /a &\!O4! /R f,$ \$ &5* gJN$
/ J!$ Z /aH$R-! 5* 3! &b]/ &3Q$/ Gc& ]! dH
Seburuk-buruk manusia adalah yang sibuk mengurusi aib orang lain
ibarat seekor lalat yang hanya mencari-cari tempat yang kotor
Syaikh 'Abdurrazzaq berkata: “Pada umumnya manusia tidak melihat aib diri mereka.
Engkau melihat salah seorang dari mereka berperilaku kasar, namun ia merasa bahwa dirinya
sangat lembut. Meski begitu keadaannya, ia masih sibuk mengkritik kesalahan orang lain.
Barangsiapa yang mampu mengenal aib dirinya sendiri maka hal itu merupakan tanda
kebaikan, keshalihan, dan merupakan awal timbulnya banyak kebajikan.” (Faidah ini kami
kebaikan, keshalihan, dan merupakan awal timbulnya banyak kebajikan.” (Faidah ini kami
dapatkan dari Syaikh ketika menjelaskan hadits (18) dari al-Arba'iin an-Nawawiyyah)
[5] Maksudnya, seseorang terkadang ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi ternyata lafazhlafazh yang ia pakai untuk mengungkapkan keinginannya tadi membuat salah paham orang
yang mendengarnya, justru bertentangan dengan maksud si pembicara. Ini sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.
[6] Maksudnya, firman Allah ada yang muhkam (jelas) dan ada juga yang mutasyabih (samar),
jika ditinjau dari orang yang mengamatinya. Begitu juga dengan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain, dalil itu ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih.
Demikian pula dengan perkataan ulama, ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih,
sehingga para ahli bid'ah sering berdalil dengan perkataan ulama Ahlus Sunnah yang
mutasyabih untuk mendukung bid’ah mereka. Syaikh Shalih Alu Syaikh sering mengingatkan
hal ini dalam ceramah-ceramah beliau. Selanjutnya, sebagaimana tatkala memahami dalil
yang mutsyabih harus dikembalikan pada dalil yang muhkam, maka tatkala memahami
perkataan ulama yang mutasyabih juga harus dikembalikan pada perkataannya yang
muhkam, apalagi perkataan orang awam.
[7] Inilah yang sering terjadi di zaman yang penuh fitnah ini. Orang-orang mulai menilai isi
hati manusia. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak tahu isi hati
manusia. Bahkan beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk memeriksa
isi hati manusia.” HR. Al-Bukhari (4351).
[8] Mencari udzur untuk sesama saudara termasuk jalannya as-Salafus shalih. Ditanyakan
kepada Junaid, “Kenapa para sahabatmu makannya banyak?” Dia menjawab, “Karena mereka
tidak minum khamr, sehingga mereka lebih lapar.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa syahwat
mereka besar?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak berzina dan tidak melakukan hal yang
dilarang.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa mereka tidak bergoyang (bergerak-gerak karena
semangat) tatkala mendengarkan al-Qur-an?” Dia menjawab, “Karena al-Qur-an adalah firman
Allah, tidak ada sesuatu pun dalam al-Qur-an yang menyebabkan untuk bergoyang. Al-Quran turun dengan perintah dan larangan, dengan janji (kabar gembira) dan ancaman, maka AlQur-an adalah menyedihkan.” Begitulah seterusnya, Junaid terus mencari udzur terhadap
para sahabatnya.
Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 36.
firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-a
khlaq/61-hak-hak-persaudaraan-bag-4-jauhillah-berp
rasangka-buruk-pada-saudara-kita
http://goo.gl/ALFcJ
Hak-Hak Persaudaraan (bag. 5), Jauhi Perdebatan Serta Ucapkan
Perkataan Yang Paling Baik
Hak kelima
Di antara hak-hak ukhuwwah adalah engkau jauhi
perdebatan dengan saudaramu, karena perdebatan
memudarkan rasa cinta dan menyebabkan sirnanya
persahabatan, merusak persahabatan yang telah lama
terjalin, dan menimbulkan kebencian, permusuhan serta
terputusnya hubungan diantara manusia.
Apakah perdebatan itu? Bentuknya adalah terjadinya dialog, lalu pembahasan antara dua
orang pria, antara dua orang wanita, antara orang tua dan anak muda, dan seterusnya. Jika
mulai terjadi pembahasan dan dialog, maka masing-masing memegang teguh pendapatnya,
sehingga timbullah perdebatan yang selanjutnya akan bertambah sengit. Inilah hakikat dari
sebuah perdebatan, yaitu masing-masing dari kedua belah pihak saling berjuang untuk
memenangkan pendapatnya. Masing-masing mendatangkan dalil sambil mengangkat suara,
setelah itu terjadilah apa yang terjadi.
Pernah terjadi sedikit perdebatan di kalangan para sahabat. Abu Bakr pernah berkata kepada
'Umar:
!#" $%&" '(") $*+,-$ $. /0$
“Apa yang kau inginkan hanyalah menyelisihiku.”[1]
Padahal mereka adalah para Sahabat. Semoga Allah meridhai mereka.
Maka wajib bagi seorang muslim bersama saudara dan sahabatnya untuk menjauhi
perdebatan, karena sisi pandang terhadap suatu permasalahan berbeda-beda. Semakin luas
pandangan seorang, semakin luas akal dan pengetahuannya, maka ia akan mengetahui bahwa
sisi pandang terhadap sebagian permasalahan ternyata luas, tidak terbatas pada satu sisi saja.
Engkau berdiskusi dengan saudaramu mengenai satu permasalahan, lalu engkau
memandang permasalahan tersebut dari satu sisi, sementara saudaramu memandang dari sisi
yang lain, maka terjadilah perselisihan antara engkau dan dia. Jika kalian berdua berselisih,
maka masing-masing dari kalian memiliki sisi pandang yang berbeda. Lalu jika engkau
mendebatnya dengan membawa dalil untuk menguatkan pendapatmu, engkau bersikeras
mempertahankan pendapatmu, engkau mengangkat suaramu, begitu juga yang dilakukan
oleh saudaramu yang engkau debat, maka timbullah permusuhan, sehingga yang terjadi
adalah mudharat bukan maslahat.
Orang yang cerdik melihat bahwa perkara-perkara yang biasanya diperdebatkan oleh
manusia pada urusan-urusan mereka memiliki sisi pandang yang berbeda-beda. Perkara
manusia pada urusan-urusan mereka memiliki sisi pandang yang berbeda-beda. Perkara
tersebut bisa dipandang dari banyak sisi, dan sebab perbedaan pandangan juga banyak.
Terkadang datang orang ketiga dan keempat sambil membawa pendapat yang baru. Bisa jadi
setiap yang datang memiliki pendapat yang baru dan sisi pandang baru pula dalam
permasalahan yang diperselisihkan. Jika demikian, maka diskusi tidak berarti perdebatan.
Jika tampak bahwa diskusi mulai berubah menjadi perdebatan, maka hendaknya engkau
menarik diri dari perdebatan tersebut, baik kebenaran itu ada padamu maupun engkau
memandang bahwa kebenaran ada pada saudaramu, bukan pada dirimu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
!"#$&% '() *%+ ,' %- .!/ 012'3%4 56%( 56+() *%$%4 8
7 9! :5 ;% 5<=% >% )?% @! '() %A?%% B C' :% !"#$&% '() D
! 4% E% .!/ 012'3%4 56%( 56+() *%$%4 GF H'! I:5 ;% 5<=% >% )?% @! '() %A?%% B C' :%
“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan
bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan
padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas
surga.”[2]
Karena itu, meninggalkan perdebatan adalah perkara yang terpuji sekaligus merupakan hak
seorang muslim atas saudaranya. Dia tidak mengantarkan saudaranya untuk berdebat
dengannya, serta tidak mengulurnya dalam bantah-bantahan dan membiarkannya
mengeraskan suaranya, sehingga terputuslah tali persaudaraan dan timbullah perang mulut
antara mereka. Meskipun tidak timbul perang mulut, maka akan timbul benih permusuhan
dalam hatinya, dia akan menuduh bahwa saudaranya itu menghendaki sesuatu sehingga
menyelisihinya, berpendapat ini dan itu, atau tidak menghargainya, dan seterusnya.
Perdebatan memiliki sebab-sebab yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang, maka
hendaknya dia berusaha untuk mengobatinya:
·
Diantaranya adalah ia menampakkan bahwa ia tidak mau menerima pendapat
saudaranya, dengan alasan perbedaan cara pandang (meskipun ia tahu bahwa pendapatnya
keliru, pen). Dia melontarkan pendapat yang salah, lalu saudaranya datang dan berkata,
“Engkau keliru, yang benar adalah demikian.” Tetapi ia merasa berat untuk mengaku salah.
Padahal, kalaupun ia keliru maka -alhamdulillah- ulama pun pernah keliru, bahkan dalam
permasalahan yang menyangkut jiwa manusia, tetapi mereka lalu ruju’ (meralat) kesalahan
mereka. Sebagian mereka keliru dalam masalah yang berkaitan dengan kemaluan, tetapi
mereka lalu ruju’ dari pendapat tersebut. Para ulama terkadang keliru dalam permasalahan
ijtihadiyyah. Mengakui kesalahan merupakan perkara yang terpuji dan bukan suatu aib.
Setiap orang yang mengakui kesalahannya dan kembali kepada kebenaran maka seolah-olah
ia telah memasang mahkota di atas kepalanya. Ini menunjukkan bahwa ia telah melatih
dirinya untuk tunduk kepada Allah dan menjadikan ibadahnya mengalahkan hawa nafsunya,
yang merupakan salah satu sebab timbulnya perdebatan.
·
Berikutnya adalah nafsu untuk memenangkan pendapat. Dia ingin bahwa akalnyalah
yang paling cemerlang, sehingga tampak bahwa ia paling unggul dalam memahami (suatu
permasalahan) dibandingkan orang lain, sehingga ia pun menampakkan berbagai sudut
pandang yang beraneka ragam. Saudaranya juga demikian, ia pun ingin mengungulinya,
pandang yang beraneka ragam. Saudaranya juga demikian, ia pun ingin mengungulinya,
maka ia membantahnya dan berkata: “Apa yang engkau sebutkan itu keliru, point ini salah,
yang benar adalah demikian,” sehingga ia masuk dalam perdebatan dengan tata cara yang
menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam hati.
·
Selanjutnya adalah lalai dari memperhatikan bahaya lisan. Padahal ucapan lisan dan
gerakannya akan dihisab oleh Allah. Tidak ada satu perkataan pun yang diucapkannya,
melainkan di dekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir. Allah berfirman:
"#
! $%&' () *+(, .
- (/ *01! *2(3 4
- *2567* 8( 2! (3 -9(:;( <
( !, 6( 8( (3 )* 8( $=1! >! 5?'@( *A(B )* 8! 6*- +C! D( E* !F 6*( + (G (=
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”
(an-Nisaa': 114)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
'H( ? (I*+J(K L
$ D5
“Tahanlah ini wahai Mu’adz,” sambil mengisyaratkan kepada lisan beliau. Maka Mu’adz
bertanya: “Apakah kita akan dihisab atas apa yang kita ucapkan?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: "Ibumu akan kehilanganmu wahai Mu’adz. Bukankah yang
menelungkupkan manusia di neraka di atas wajah-wajah mereka hanyalah hasil ucapan lisanlisan mereka?”[3]
Diantara sebab-sebab timbulnya pedebatan adalah tidak adanya perhatian untuk membenahi
lisan (ucapan), serta memandang enteng lisan, padahal lisan adalah sebagaimana dikatakan,
“Kecil dzatnya namun besar bahayanya.” Maksudnya, bahaya yang timbul akibat kesalahan
lisan sangatlah besar. Dengannya bisa terpecah tali cinta kasih, timbul permusuhan, dan
pertentangan. Dengan memanfaatkan kesalahan lisan seseorang bisa menimbulkan kebencian
diantara engkau dan sahabat-sahabatmu yang engkau cintai. Banyak sekali bahaya yang
timbul melalui kesalahan lisan. Maka barangsiapa yang tidak menjaga lisannya dari bahaya
perdebatan seputar masalah-masalah khilafiyyah yang sering menjadi bahan pembicaraan,
maka pasti akan timbul hal yang tidak terpuji antara engkau dengan saudara-saudaramu.
Terakhir mengenai pembahasan masalah perdebatan, sesungguhnya perdebatan itu
bertentangan dengan akhlak yang mulia. Sungguh, jika orang memperhatikan akhlak mulia
yang diwajibkan atasnya maka dia tidak akan berdebat, karena pada perdebatan terdapat
sikap memenangkan pendapat pribadi dan ada keinginan untuk mengungguli saudaranya,
padahal ini bertentangan dengan akhlak yang mulia. Karena itu, hendaknya engkau
memaparkan pendapatmu dengan tenang dan penuh kelembutan. Jika saudaramu menerima
pendapatmu maka alhamdulillah, dan jika ia tidak terima maka yang penting engkau telah
menjelaskan sisi pandangmu.
Tatkala duduk di majelis perdebatan sebagian orang mengulang-ngulang satu poin sampai
sepuluh kali atau dua puluh kali. Padahal intinya adalah itu-itu juga. Hanya saja ia
mengulanginya dalam bentuk yang lain. Apa yang menyebabkan dia berbuat demikian?
mengulanginya dalam bentuk yang lain. Apa yang menyebabkan dia berbuat demikian?
Tidak lain karena sikap tidak mau kalah, atau ada sebab-sebab lain yang Allah lebih tahu,
atau karena lalai terhadap apa yang diwajibkan atas dirinya.
Karena itu, jika engkau memaparkan pendapatmu satu kali, kemudian telah dipahami (oleh
saudaramu, tetapi dia tidak menerima, pen) maka janganlah kau debat dia (jangan kau mutermuter pada pembicaraanmu itu, pen). Sebab, hakikat perdebatan bertentangan dengan akhlak
yang mulia, dimana seorang muslim diperintahkan untuk membaguskan akhlaknya,
sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dalam banyak sabda
beliau.[4]
Hak keenam
Engkau berbuat baik dengan lisanmu kepada saudaramu. Lisan, sebagaimana engkau
menahan ucapannya demi menjaga kehormatan saudaramu, maka engkau juga berbuat baik
dengan perkataan demi saudaramu. Persahabatan dan persaudaraan bisa terjalin, apakah
hanya dengan memandang bentuk tubuh saja (sekedar bertemu), ataukah karena saling
berbicara? Jawabnya, persaudaraan terjalin dan dibangun di atas pembicaraan. Gerakan lisan
seseorang dan gerakan lisan selainnya menjalin kedekatan di antara dua hati. Karena itu,
engkau harus berbuat baik dengan perkataan untuk saudaramu. Bentuk-bentuknya antara
lain:
·
Engkau ucapkan perkataan untuk menunjukkan kasih sayang kepada dirinya. Janganlah
engkau pelit untuk mengungkapkan kecintaanmu kepada saudaramu. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
"! #$%! &# '! ()#**( #+(, -.! /01 2"301 (4/*+( (, 52 (671 8! 29($#3(% 2":( (3 ;# (, 1<( !=(% 2":# !3 ># 2$#3(% ?2 @(6(, A# B2 C2 +( (, /D+( (, 1<( !E
“Jika salah seorang dari kalian mencintai saudaranya hendaknya dia mengabarkan pada saudaranya[5]
tersebut. Jika dia telah mengabarkannya maka hendaknya saudaranya itu mengucapkan “Semoga Allah yang engkau mencintaiku karena-Nya- juga mencintaimu.”
Ini merupakan bentuk kebajikan dengan perkataan, sekaligus menimbulkan kecintaan dan
kasih sayang. Di antara manusia ada orang yang mengucapkan kalimat ini, namun tidak jujur
takala mengucapkannya, atau tidak mengerti hakikat makna kalimat ini.
Jika engkau berkata kepada saudaramu, “Aku mencintaimu karena Allah,” artinya di dalam
hatimu ada kecintaan terhadapnya, yaitu kecintaan khusus karena Allah dan demi Allah, yang
hal ini mengharuskan engkau menjaga hak-haknya. Adapun jika engkau mengatakan kalimat
tadi tetapi engkau tidak menjaga hak-haknya, maka mana hakikat dari ucapan cinta tersebut?!
Oleh karena itu, maka yang pertama engkau menunjukkan rasa cintamu kepada saudaramu
seiman. Misalnya dengan mengucapkan kalimat tadi dan berbicara dengannya dengan sebaikbaik perkataan. Allah berfirman:
F @'$*! G2 F1I2H C;( J@
! K( #LM
! # 0! (J@B( (J@(N #$O/ 01 J/ E! A# 2P('#$(Q R2 (S#'T( (J@(N #$O/ 01 J/ E! U2 K( #+(, &( V! &!)/01 1W20W29(T -X! @(*>! !0 #82YI(
“Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik.”
Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya syaitan adalah
musuh yang nyata bagi manusia” (al-Israa’: 53)
Firman Allah: “Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan
perkatan yang paling baik”, ini termasuk berbuat kebajikan dengan perkataan yang baik
kepada saudara, yaitu tatkala engkau bermu’amalah dengan saudara-saudaramu sesama
muslim, atau dengan sahabat karibmu, atau dengan kaum muslimin pada umumnya.
Hendaknya engkau memilih lafazh yang baik, itu sudah cukup? Belum cukup. Bahkan
hendaknya engkau memilih lafazh atau perkataan yang terbaik, karena Allah memerintahkan
hal itu.
! "#$&% (' !)+'* ,.- /"
% 0- 123
% 1 %4 -/"5- -/"-6 1$87 4) /7 %9 :1 ';-#1$<- =' ->1#-? -/"-6 1$87 4) /7 %9 @' 0- 1A-B C- %D C%E74) )F'4F'G-? HI% "-&J% %4 1K'L+“Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”.
Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya syaitan adalah
musuh yang nyata bagi manusia.”
Jika engkau berkasih sayang dengan saudaramu dengan mengucapkan perkataan terbaik
yang kau temukan maka hal ini akan menimbulkan jalinan cinta di hati, sekaligus
menimbulkan kebaikan-kebaikan yang banyak sekali di masyarakat dan hati-hati kaum
mukminin, antara yang satu dengan yang lain. Kebaikan tersebut tidak cukup untuk
dipaparkan di sini.
Di antara bentuk berbuat baik dengan lisan kepada saudara adalah engkau memujinya
tetapi tidak di hadapannya. Jika engkau bergaul dengan seseorang dan engkau tahu
bahwa saudaramu ini memiliki sifat-sifat yang terpuji, maka pujilah dia, namun tidak
dihadapannya. Sebab, jika engkau memujinya di hadapannya, maka hal ini terlarang,
karena menumbuhkan sifat 'ujub (kagum pada diri sendiri). Pujilah dia tatkala ia tidak
ada di hadapanmu. Pujianmu itu nantinya juga sampai kepadanya, lalu akan tumbuh
kecintaan sejati dihatinya. Ini faidah pertama. Faidah kedua, pujianmu terhadap
saudaramu di hadapan kawan-kawanmu yang lain akan menjadikan mereka
bersungguh-sungguh meneladani kebaikan-kebaikannya, karena mereka akhirnya tahu
bahwa kebaikan tersebut direalisasikan oleh banyak orang. Jika kebaikan itu disebutkan
kepada seseorang maka ia akan termotivasi untuk melaksanakannya. Begitu juga
dengan kejelekan. Karena itu, menyebutkan kebaikan-kebaikan di setiap majelis itulah
yang semestinya dilakukan. Adapun menyebutkan kejelekan, kecacatan, dan aib, itulah
yang wajib untuk dijauhi, karena hal ini memudahkan orang untuk mencontoh para
pelaku kejelekan tersebut. Di dalam penyebutan kebaikan dan pujian terdapat motivasi
bagi orang lain untuk mencontoh mereka. Dengan demikian, maka termasuk hak
saudaramu atas dirimu jika engkau lihat suatu kebaikan pada dirinya maka jangan kau
sembunyikan. Sebaliknya, jika kau lihat kejelekan pada dirinya maka sembunyikanlah.
Dalam hal ini terdapat maslahat yang telah diketahui bersama. Faidah lainnya, jika ia
dipuji, maka masukkanlah kegembiraan dalam hatinya, jika dengan menyampaikan
kabar bahwa ia dipuji. Engkau katakan kepadanya: “Sebagian ikhwah tadi memujimu di
kabar bahwa ia dipuji. Engkau katakan kepadanya: “Sebagian ikhwah tadi memujimu di
majelis,” atau “Fulan telah memujimu.” Awalnya ia tidak tahu bahwa ada yang
memujinya, dan ketika ia tahu bahwa Fulan telah memujinya, timbullah rasa cinta
terhadap Fulan tersebut dalam hatinya. Begitulah, manusia itu cinta kepada orang yang
memuji mereka.
! %$ &')*
( =>2* ?$2(@ A& %&'
"#
( ,$ -$ .& $/0& * #1$ $2#$3$4 5! !6$7 &8!9!: ,! (-.& $/%& $; <#
( $@
( $"#%$ &+)*
Berbuat baiklah kepada manusia maka engkau akan tundukan hati mereka
betapa kuat perbuatan baik menundukan manusia
Berbuat baik itu bisa dengan perkataan, seperti halnya dengan perbuatan. Jika engkau dengar
ada orang yang memuji saudaramu, lalu engkau kabarkan kepadanya, engkau katakan:
“Alhamdulillah, demi Allah, Fulan memujimu,” atau “Fulan menyebutkan kebaikan
tentangmu, kami mohon kepada Allah agar meneguhkanmu…,” dan yang semisal perkatan
ini, maka hal ini memotivasi dia (untuk semakin berbuat kebaikan). Perkara yang lain,
hendaknya yang dipuji ini sadar tatkala dia dipuji bahwa karunia yang Allah berikan
padanya sangat besar, hendaknya dia bersyukur dengan terus mempertahankan kebaikan
yang ia mendapat pujian karenanya dan jangan tertipu dengan dirinya sendiri.
Diantara bentuk sumbangan lisan kepada saudara adalah berterima kasih atas
kebaikannya dan mu’amalahnya yang baik, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
<#
$ >= 2* B! C! D& $E $F A& G( H$ 92* B! C! D& $E$F
“Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.”[6]
Begitu juga sabda beliau:
I! &8!J4( #C$ $4 #K4 &L!B.& G$ 5& C! &M$2N( O$ $>P
$ A& G$
“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan setimpal.”[7]
Jika engkau tidak mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk membalasnya, maka balaslah
dengan kebaikan, yaitu engkau mendo'akannya dan berterimakasih kepadanya. Ini
merupakan hak seorang saudara atas saudaranya yang lain. Diantara manusia ada yang hanya
tahu mengambil, menerima, dan menerima, tanpa membalas kebaikan tersebut, tidak juga
memuji, bahkan tidak pula mengingat kebaikan yang telah ia terima dari saudaranya. Jika
memang engkau tidak mampu untuk berterima kasih kepada saudaramu dengan perkataan
maka tulislah ucapan terima kasihmu di surat, dengan kertas, dengan secuil kertas, karena hal
ini akan memberikan pengaruh dan motivasi untuk mendatangi pintu-pintu kebaikan.
Diriwayatkan dari 'Ali bahwa ia berkata:
Diriwayatkan dari 'Ali bahwa ia berkata:
( *+ ,%! - /. 0#12# .3 4% 5# %6#7 8% #* !"(&9'*+ ,%! - /. 0#12# .3 :#;#< 4% 5# %67# 8% #* ,% =#
!"$# %&!')
“Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niat baiknya maka ia tidak akan memuji perbuatan baik
saudaranya itu.”[8]
Ini merupakan martabat yang tinggi. Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya
yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik. Sebab,
tatkala saudaramu berbuat baik kepadamu maka sejak awal ia telah membaguskan niatnya
kepadamu dan bermu’amalah denganmu karena menghendaki kebaikan. Terkadang ia sudah
berbuat baik kepadamu, atau ingin berbuat baik kepadamu namun ia tidak sempat, maka
hendaknya engkau berterimakasih kepadanya meskipun hanya karena niat baik yang ada
pada hatinya. Hal ini akan menjalin tali persaudaraan dan memotivasinya untuk berbuat
kebajikan. Masing-masing akan berbuat baik kepada selainnya. Barangsiapa yang tidak
memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas
perbuatannya yang baik. Artinya, sekiranya saudaranya tadi berbuat baik padanya maka
mungkin saja dia tidak akan memuji saudaranya tersebut.
Bersambung...
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan kaki:
[1] HR Al-Bukhari (4845). Lihat sebab turunnya ayat ke-2 dari surat al-Hujuraat.
[2] Lafazh yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh terdapat dalam at-Thargib wat
Tarhib (I/77), karya al-Mundziri. Al-Mundziri berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan at-Tirmidzi. Lafazh hadits ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.”
Syaikh al-Albani menghasankan lafazh ini. Lihat Shahih at-Targib wat Tarhib, jilid 1, no. 138.
Namun, penerjemah tidak menemukan hadits dengan lafazh: ?> @%! A=. B# .CD# E# +F# 5! %*+ #GF## H ,% =#
Lafazh yang penerjemah dapati:
:#CI2% #< J% K! .L#* J# !'.M .L#N.1 ;. #,-( /# ,% =# D# :#O@! P# D# J!K .L#* J# !'.M R
Q 6! =. B# .CD# E# +F# 5! %*+ #GF## H ,% =# D# "! ('S# %*+ T
! #MU# J!K F> %)#V J# !'.M .L#* ?> W:
# Y! Z# %*+ #GF## H ,% =#
! #M B# .CD# X
“Barangsiapa yang meninggalkan dusta (dalam debat) sementara dia berada diatas kebatilan,
maka akan dibangunkan baginya istana di pinggiran Surga. Barangsiapa yang meninggalkan
perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka akan dibangunkan baginya istana di
tengah Surga. Dan barangsiapa yang membaguskan akhlaknya maka akan dibangunkan
tengah Surga. Dan barangsiapa yang membaguskan akhlaknya maka akan dibangunkan
baginya istana di atas Surga.”
Lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (51), serta at-Tirmidzi (1993), dan beliau berkata,
"Hadits hasan."
Yang dimaksud dengan (!"$# %! &'() dalam hadits ini adalah dusta ketika perdebatan, sebagaimana
ditunjukan oleh lafazh selanjutnya. Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/118). Atau yang dimaksud
adalah berdebat di atas kebatilan, sebagaimana penjelasan as-Sindi dalam Syarh Sunan Ibn
Majah (I/39).
Kesimpulannya, kedua lafazh hadits tersebut menunjukkan makna yang satu, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh. Wallaahu a’lam.
[3] HR At-Tirmidzi (2619), beliau berkata, "Hadits hasan shahih”, dan Ibnu Majah (3973).
[4] Abul Barakat berkata: “Diantara adab-adab pergaulan adalah sedikit perselisihan dengan
para sahabat dan berusaha untuk sependapat dan sepakat dengan mereka, selama tidak
melanggar agama dan sunnah Nabi r. Berkata Juairiyyah: “Saya berdo'a kepada Allah selama
empat puluh tahun agar Allah menjagaku dari menyelisihi para sahabatku.” Lihat Adabul
‘Isyrah, hal 36.
[5] Hingga di sini lafazh hadits di sunan At-Tirmidzi (no 2392) demikian juga di Al-Adabul
Mufrod no 542. Lihat takhrij selengkapnya dalam as-Shahiihah (417), dari hadits sahabat alMiqdam bin Ma’di Karib. Hadits ini mempunyai sejumlah penguat. Diantaranya
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod: Mujahid berkata: Seorang
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku, lalu dia memegang pundakku
dari belakang dan berkata:
)*
# +,# -. /01#2 34! !.
"Ketahuilah bahwa saya mencintaimu (karena Allah).”
Aku pun menjawab:
-5!' /& #6!7&+!+ &,!. 8$# 9'( !)9+,! !.
“Semoga Allah -yang engkau mencintaiku karena-Nya- juga mencintaimu.”
Sanadnya dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (418).
Syahid lain yaitu dari hadits Anas bin Malik, beliau berkata, "Ketika saya duduk di sisi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lewatlah seorang laki-laki. Lalu berkatalah salah
seorang (diantara yang sedang duduk bersama Rasulullah), "Wahai Rasulullah, saya
mencintai laki-laki (yang lewat) ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
"Apakah engkau telah mengabarkannya bahwa engkau mencintainya?" Orang itu menjawab,
"Tidak." Maka Rasulullah berkata, "Berdirilah dan kabarkanlah kepadanya." Anas
menlanjutkan: Maka orang itu pun berdiri dan berkata kepada laki-laki yang lewat tadi,
"Wahai Fulan, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah." Laki-laki itu pun
menjawab, "Semoga Allah -yang engkau mencintaiku karena-Nya juga mencintaimu."
HR Ahmad (III/140-141). Sanadnya dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah
(418).
[6] Lihat takhrijnya dalam As-Shahiihah (416).
[7] Lihat takhrijnya dalam As-Shahiihah (254).
[8] Abul Barakat menukil atsar ini dalam risalahnya Adabul ‘Isyrah wa Dzikrush Shuhbah wal
Ukhuwwah, hal 21.
firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-a
khlaq/63-hak-hak-persaudaraan-bag-5-jauhi-perdebat
an-serta-ucapkan-perkataan-yang-paling-baik
http://goo.gl/rQ30t
Hak-Hak Persaudaraan (bag. 6), Maafkanlah Saudara Kita Yang
Bersalah, Bergembirallah Dengan Karunia Allah Padanya
Hak yang ketujuh
Termasuk hak-hak persaudaraan adalah memaafkan saudara yang bersalah. Pembahasan ini
sangatlah luas. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang agung, karena tidaklah ada dua
orang sahabat, atau dua orang saudara, atau lebih, kecuali pasti ada di antara mereka yang
berbuat kesalahan. Pasti salah satu melihat kesalahan yang lain, ketergelinciran yang lain, dan
darinya pasti akan timbul luka, karena mereka adalah manusia, sedangkan manusia pasti
bersalah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
!"#$%&' $( ()*' !+ #,-./(021 #*' 3% #, !45! 76 /(0 !4 8# 9% :;<%
“Masing-masing kalian pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”[1]
Karena itu, termasuk hak-hak persaudaraan adalah engkau maafkan kesalahan saudaramu.
Kesalahan itu ada dua macam: kesalahan dalam masalah agama dan kesalahan yang
menyangkut hakmu. Atau dengan kata lain, kesalahan yang berkaitan dengan hak Allah dan
kesalahan yang berkaitan dengan hakmu.
Jika kesalahan menyangkut masalah agama, apabila saudaramu meninggalkan suatu
kewajiban dan bermaksiat maka bentuk maafnya adalah engkau tidak menyiarkan dan
membeberkannya. Engkau berusaha untuk meluruskannya karena kecintaanmu kepadanya
hanya karena Allah. Dan jika semata-mata karena Allah, maka hendaknya engkau
menegakkan saudaramu di atas syari’at dan peribadahan kepada Allah. Ini merupakan
konsekuensi cinta karena Allah.
Menjadi kewajibanmu untuk berusaha meluruskannya. Jika nasihat bisa meluruskannya
maka nasihatilah. Jika yang meluruskannya adalah hajr (memutuskan hubungan) maka hajrlah dia. Hajr ada dua macam: hajr ta’dib (untuk mendidik) dan hajr 'uqubah (sebagai
hukuman). Ada hajr untuk kemaslahatanmu dan ada hajr untuk kemaslahatan orang banyak.
hukuman). Ada hajr untuk kemaslahatanmu dan ada hajr untuk kemaslahatan orang banyak.
[2]
Jika saudaramu melakukan kemaksiatan, apabila hajr bermanfaat baginya, maka hajr-lah dia.
Seandainya terjalin persaudaraan dan persahabatan sejati di antara dua orang, salah satu tidak
bisa lepas dan membutuhkan yang lain, kemudian salah satunya melihat yang lain berbuat
kesalahan sangat besar yang menyangkut hak Allah, sementara ia tahu bahwa jika dia
meninggalkan saudaranya yang bersalah maka akan membuat saudaranya bersedih, di mana
jika ia bertemu dengannya dengan raut wajah yang tidak biasanya maka akan timbul
perasaan di hati saudaranya bahwa ia telah bermaksiat, ia merasa bahwa maksiat tersebut
besar, hal ini disebabkan saudaranya tersebut masih membutuhkannya, maka yang seperti ini
diterapkan hajr kepadanya. Karena hajr dalam kondisi seperti ini memperbaiki keadaan.
Adapun jika hajr tersebut tidak bermanfaat maka janganlah dihajr. Sebab, hajr adalah sejenis
pengajaran untuk memperbaiki. Karena itu sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bervariasi
terhadap orang-orang yang bersalah dan bermaksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghajr sebagian dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghajr sebagian yang lain.
Ulama berkata: “Hajr diterapkan kepada orang yang mendapat manfaat kalau ia dihajr, yaitu
jika hajr tersebut meluruskannya. Jika tidak, maka tidak diterapkan hajr.”
Selanjutnya, jika kesalahan tersebut menyangkut hakmu, maka hak ukhuwwah yang pertama
adalah jangan engkau besar-besarkan kesalahan tersebut. Lalu datanglah syaitan. Ia
hembuskan di hati, ia ulang-ulangi perkataan (saudaranya yang salah), ia ulang-ulangi
tindakan (saudaranya yang keliru), sehingga ia pun merasa bahwa kesalahan tersebut sangat
besar, kemudian terputuslah tali cinta dan tali persaudaraan yang sebelumnya terjalin.
Hubungan itu akhirnya terputus hanya karena dunia, bukan karena Allah.
Cara mengobati hal ini adalah engkau ingat dan lihat kebaikan-kebaikannya. Engkau katakan
kepada dirimu: "Kesalahannya itu merupakan musibah bagiku. Ia salah kepadaku kali ini. Ia
telah menghinaku dengan perkataannya -baik di hadapanmu atau dibelakangmu-, namun
lihatlah kebaikan-kebaikannya." Ingatlah bagaimana ia telah bergaul denganmu secara baik.
Ingatlah persahabatannya yang sejati selama bertahun-tahun silam denganmu atau pada
kondisi-kondisi yang lampau. Engkau membesar-besarkan kebaikannya dan meremehkan
kesalahannya, sehingga tetap terjalin tali persaudaraan di antara kalian, dan cinta kasih yang
telah lama terjalin tidak terputus.
Hak kedelapan
Termasuk hak-hak persaudaraan adalah gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada
saudaranya.
Allah telah membagi-bagi akhlak-akhlak manusia sebagaimana Dia membagi rizki mereka.
Allah memuliakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Karena itu, hak seseorang
terhadap saudaranya, jika Allah memberikan pada salah seorang dari saudara-saudaramu
karunia dan kenikmatan, adalah engkau turut gembira dengan hal itu. Seolah-olah Allah juga
karunia dan kenikmatan, adalah engkau turut gembira dengan hal itu. Seolah-olah Allah juga
memberikan karunia itu kepadamu. Ini merupakan konsekuensi ukhuwwah dan hal ini
mejauhkan rasa hasad (dengki).
Barangsiapa yang tidak gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada saudaranya,
maka mungkin ia hanya sekedar tidak turut gembira, atau bisa jadi hal itu diiringi dengan
hasad.[3] Ini merupakan perusak persaudaraan. Sesungguhnya engkau terkadang bisa
melihat bahwa seseorang jika melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan atau ia melihat
saudaranya mendapatkan kebaikan, karunia, dan kenikmatan khusus dari Allah, yang
dengannya dia menjadi istimewa di kalangan orang-orang yang ada di sekitarnya atau
menjadi istimewa di antara para sahabatnya maka orang ini pun mengakui kenikmatan yang
ada pada saudaranya, (namun dia berkata), “Kenapa ia diberikan kenikmatan yang khusus
ini?” Atau dia memandang bahwa saudaranya tersebut tidak berhak mendapatkan semua itu,
atau yang semisalnya. Ini merupakan perusak tali persaudaraan. Wajib atasmu untuk
terbebaskan dari kedengkian (hasad) dan gembira demi saudaramu. Engkau menginginkan
kebaikan baginya sebagaimana engkau menginginkannya untuk dirimu. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
!"#! $%&'!( )*+,! - ./& !"$01! &2! 3*+,! - 4356& 7$ 8, 9, 6& &: ;, /! <,$ - &=
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa
yang dia sukai bagi dirinya sendiri.”
Para ulama berkata, (,; /! <,$ - &=) "Tidaklah beriman", yaitu iman yang sempurna, ()*+,! - ./& !"$01! &2! 3*+,! - 4356&
"! #! $%&'(! ) "hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya
sendiri." Engkau suka apabila dirimu kaya, berilmu, dan mendapat pujian maka engkau juga
suka bila saudaramu kaya, berilmu, dan mendapat pujian. Demikianlah seterusnya, untuk
semua perkara yang beraneka ragam.
Untuk menghilangkan hasad, engkau turut gembira terhadap karunia yang Allah berikan
kepada saudaramu seolah-olah Allah mengkhususkan karunia itu kepadamu.
Seorang mukmin selayaknya, disunnahkan, bahkan wajib baginya untuk menginginkan bagi
saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
!"#! $%&'!( )*+,! - ./& !"$01! &2! 3*+,! - 4356& 7$ 8, 9, 6& &: ;, /! <,$ - &=
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa
yang dia sukai bagi dirinya sendiri”
Maksudnya adalah apa saja yang berbentuk kebaikan, sebagaimana dijelaskan pada riwayat
yang lain; yaitu perkara-perkara kebaikan secara umum. Karena itu, inginkanlah kebaikan
bagi saudaramu sebagiamana kau menginginkannya untuk dirimu. Janganlah engkau hasad
kepada seorang pun dalam perkara apa saja dari karunia yang Allah berikan kepadanya.
kepada seorang pun dalam perkara apa saja dari karunia yang Allah berikan kepadanya.
Berkaitan dengan harta, misalnya. Jika Allah memberi harta kepada saudaramu, sementara
engkau tidak berharta, atau hartamu sedikit, saudaramu terpandang dan memiliki banyak
harta, sehingga engkau terperangah melihat tindak-tanduknya, takjub dengan benda-benda
yang dibelinya, terheran-heran dengan kondisi dan kedermawanannya, dan seterusnya, maka
pujilah Allah yang telah menjadikan saudaramu berada pada martabat seperti ini, seolah-olah
engkau juga berada pada martabat tersebut. Kondisikanlah dirimu untuk merasakan apa
yang Allah karuniakan kepada saudaramu seolah-olah Allah juga mengaruniakannya
kepadamu.
Contoh lain berkaitan dengan ilmu. Sebagian manusia tidak gembira dengan ilmu yang Allah
anugerahkan kepada saudaranya. Ia mendengar saudaranya membahas sebuah masalah
dengan baik, menjadi pembicara yang baik di tempat tertentu, berkhutbah dengan bagus,
memberi pengaruh kepada masyarakat dengan ilmunya, menyampaikan ilmu dengan baik,
dan yang semisalnya, maka semua kelebihan ini terbayang dalam batinnya, sehingga ia tidak
suka saudaranya berada pada martabat tersebut, dalam kondisi seperti itu. Hal ini tidak
dibolehkan. Termasuk hak persaudaraan adalah engkau gembira jika saudaramu berilmu.
Apabila engkau tidak seperti dia dalam keilmuan, ilmumu berada di bawahnya, ia lebih
tajam pemahamannya, lebih kuat hafalannya, atau yang semisalnya, maka pujilah Allah yang
telah menjadikan dan menyiapkan dari umat Islam seseorang yang menunaikan kewajiban ini
(yaitu menuntut ilmu dan menyebarkannya, pen), sementara ia sangat cemerlang dalam ilmu.
Janganlah engkau dengki kepada saudara-saudaramu pada ilmu mereka.
Hasad (dengki) adalah penyakit yang membinasakan sekaligus menghilangkan kebaikan.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
! $! %&' ()
"
! #
! *+&' -, ., %/!0 )1! .! 23)!+4! $! %&' -, ., %/5! ,6*782 !9 :! ;, )$! *<&'=! >% ., )*5?2
“Hati-hatilah kalian terhadap saling hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan
kayu bakar.”[4]
Hasad itu terkadang pada ilmu, harta, atau kedudukan. Banyak perkara yang bisa
menimbulkan hasad.
Dua orang yang bersaudara dan bersahabat. Yang satu memandang bahwa saudaranya lebih
diutamakan darinya, lebih didengar dalam majelis, lebih terpandang, dan lebih dimuliakan,
padahal pada hakekatnya tidak demikian (itu hanyalah perasaannya saja, pen), maka
perasaannya ini menjadikan hatinya tidak sreg terhadap saudaranya. Hal ini tidak boleh dan
termasuk hasad. Sementara wajib baginya adalah untuk membebaskan diri dari hasad, karena
hasad hukumnya haram. Semestinya ia menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan
bagi dirinya berupa kebaikan-kebaikan, dan bersikap seolah-olah kenikmatan yang Allah
anugerahkan kepada saudaranya itu Allah anugerahkan kepadanya.
Begitu juga dalam agama dan keshalihan. Sebagian manusia mendapat anugerah dari Allah
dengan dibukakan salah satu pintu ibadah, sehingga ia menjadi orang yang banyak puasa
dengan dibukakan salah satu pintu ibadah, sehingga ia menjadi orang yang banyak puasa
atau shalat.
Imam Malik pernah ditanya, “Engkau adalah seorang Imam. Kedudukanmu mulia di
hadapan manusia. Namun sepertinya kami tidak melihatmu banyak beribadah, banyak shalat,
banyak puasa, dan tidak berjihad di jalan Allah.” Maka berkatalah Imam Malik kepada orang
tadi, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang Allah bukakan baginya pintu shalat, ada
yang Allah bukakan baginya pintu puasa, ada yang Allah bukakan baginya pintu sedekah,
ada yang Allah bukakan baginya pintu jihad di jalan Allah, dan ada yang Allah bukakan
baginya pintu ilmu. Telah dibukakan bagiku pintu ilmu, dan saya ridha dengan apa yang
Allah bukakan bagiku.”
Manusia itu beraneka ragam.
Jika seseorang melihat saudaranya banyak beribadah sehingga orang-orang pun memujinya,
sedangkan ia tidak gembira terhadap hal itu, maka bisa saja ia kemudian menyebarkan aib
saudaranya, atau perkataan saudaranya yang keliru. Pokoknya ia menyebarkan sesuatu yang
bisa mengurangi martabat saudaranya. Hal ini tidaklah semestinya ia lakukan. Semestinya ia
mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya. Ia berusaha agar saudaranya dipuji
orang, meskipun saudaranya tidak tahu usaha baiknya tersebut. Sebab, perkaranya bukanlah
di hadapan manusia, namun di hadapan Allah. Bahkan perkaranya adalah mengikhlaskan
hati dan membersihkan jiwa, sehingga tidak ada tujuan jiwa kecuali Allah. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
"! $# %&')( *! (+ ,( "! $# -% !.#/#0 1(&2% 3# #4 !56( 7! %$(&,( "! $# 8% '9( !:(+ 1(&2% (;,( "! <# =% .#( > 1(&2% 3# #4 !56( (; (?/&@ BA %+
“Sesungguhnya Allah tidaklah memandang kepada rupa-rupa kalian, juga tidak pada jasad-jasad kalian
tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amal perbuatan kalian.”[5]
Allah melihat hati dan melihat amal perbuatan. Terkadang ada orang yang tidak dikenal dan
tersembunyi, tiada seorang pun yang mengetahuinya, namun ternyata di sisi Allah ia berada
pada tempat yang agung. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
( ( ?% /&@ 1(/*( "( 9( !0(+ !.(& 7! 8( ?% /&@ E% 'F( *% 7! 8% BA %2
C# 3A -( D
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang kalau dia bersumpah atas nama
Allah, maka Allah akan menunaikan (mengabulkan) sumpahnya.”[6]
Masih ada hak-hak persaudaraan lain yang akan saya sebutkan dua di antaranya, yaitu hak
kesembilan dan kesepuluh. Kalian perhatikan kedua hak tersebut, lalu kalian jabarkan sendiri
sebagaimana penjelasan kami.
Hak kesembilan
Hendaknya antara engkau dan saudaramu terjalin kerjasama dalam kebaikan dan
kebajikan. Allah telah memerintahkan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan
janganlah kalian saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran” (alMaa-idah: 2)
Hak kesepuluh
Terakhir, hendaknya di antara sesama saudara terjadi musyawarah dan kesatuan. Janganlah
salah seorang dari mereka memutuskan perkaranya sendiri, namun hendaknya
dimusyawarahkan. Allah telah memuji orang-orang beriman yang bermusyawarah dalam
firman-Nya:
!"#$%&'(#)%* +# %,-!)#. !/0! -21 3' 4! +# %5!)#6!7 80! #$9% +# %, :% 3# !;4!
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (asy-Syuura: 38)
Dua hak ini, yaitu hak kesembilan dan kesepuluh, butuh penjelasan panjang lebar, namun
sayangnya waktu terbatas.[7]
Saya mohon kepada Allah agar menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang saling
mencintai karena Allah, yang Allah nantinya berkata kepada mereka:
<=>?' 1@A' B1 ?' !@ C! #$*! <=>D' <# 'E +# %5F>?' %; C! #$6! #GH ,<'GI! J! 7' !"#$F7-K!! L2% #GH !M #*!;
“Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku, maka pada hari ini Aku naungi mereka
dibawah naungan-Ku, di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”[8]
Aku mohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang saling
tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, termasuk orang-orang yang saling
nasihat-menasihati dalam hal ini, orang-orang yang berkorban demi kebaikan, membuka
pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu kejelekan, menjadikan kita termasuk orangorang yang mencari wajah Allah dengan amalan mereka, dan mengaruniakan semua itu
kepada kita. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan idzin-Nya. Kita mohon
kepada Allah agar mengampuni kita, kedua orang tua kita, dan saudara-saudara kita yang
telah mendahului kita dengan keimanan, juga mengampuni saudara-saudara kita kaum
muslimin secara umum. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita menuju apa yang
diridhai-Nya. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga tercurahkan kepada Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] HR At-Tirmidzi (2499), dan beliau berkata, "Hadits hasan gharib,” serta Ibnu Majah (4251).
[2] Lihat pembahasannya lebih lanjut pada risalah kami yang berjudul Kaidah-Kaidah Hajr
Menurut Ibnu Taimiyyah.
[3] Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: “Para ulama berselisih tentang definisi hasad. Sebagian
ulama mendefinisikan hasad adalah keinginan agar kenikmatan yang ada pada orang lain
(saudaranya) hilang (baik kenikmatan tersebut berupa harta, kedudukan, atau ilmu). Ulama
yang lainnya mendefinisikan bahwa hasad adalah benci terhadap kenikmatan yang Allah
karuniakan kepada orang lain (saudaranya). Definisi kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata, 'Jika seorang hamba benci terhadap kenikmatan yang
Allah anugerahkan kepada selainnya, maka dia telah hasad terhadapnya, walaupun dia tidak
berkeinginan agar kenikmatan tersebut hilang darinya'. Beliau juga berkata, 'Merupakan hal
yang maklum bahwa konsekuensi dari membenci yaitu keinginan agar kenikmatan tersebut
hilang (dari saudaranya)'. Definisi Ibnu Taimiyyah ini lebih detail. Hanya sekedar engkau
benci bahwa Allah telah memberi suatu kenikmatan terhadap saudaramu berarti engkau telah
hasad kepadanya” Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah.
[4] HR. Abu Dawud (4903).
Hadits ini dha'if. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul.
Lihat penjelasaan al-Arna-uth dalam komentarnya terhadap Jaami’ al-'Ulum (II/261).
[5] HR Muslim (2564).
[6] HR Al-Bukhari (6894). Lihat al-Fath (XII/279).
[7] Karena risalah ini pada asalnya adalah ceramah beliau dalam satu majelis.
[8] HR Muslim (2566), dari hadits Abu Hurairah, kitab al-Adab, bab Fadhlul Hubb fillah.
[9] Sampai di sini akhir nasehat dari Syaikh Shalih Alu Syaikh –hafizhahulllah-.
firanda.com
http://firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-a
khlaq/66-hak-hak-persaudaraan-bag-6-maafkanlah-sau
khlaq/66-hak-hak-persaudaraan-bag-6-maafkanlah-sau
dara-kita-yang-bersalah-bergembirallah-dengan-karu
nia-allah-padanyahttp://goo.gl/DXQ6U
Download