BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker payudara merupakan salah satu masalah utama kesehatan wanita di dunia. Di Amerika Serikat, pada tahun 2009 diperkirakan sekitar 192.370 kasus baru kanker payudara infasif yang didiagnosis pada wanita, dan 62.280 kasus kanker payudara in situ (ACS, 2009). Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi tumor ganas tertinggi diikuti tumor ganas le her rahim. Insiden kanker payudara sebesar 100 per 100.000 perempuan (Anonim, 2014). Terapi kanker payudara dapat digolongkan menjadi pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan terapi hormonal (Jong, 2004) Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk menghancurkan atau memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker. Efek samping kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi tidak hanya menghancurkan selsel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah dengan cepat (Noorwati, 2007). Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Love et al. (1989) didapatkan persentase pasien yang mengalami efek samping dari kemoterapi yang dijalaninya yaitu kerontokan rambut sebanyak 89%, mual 87%, lelah 86%, muntah 54%, gangguan tidur 46%, peningkatan berat badan 45%, sariawan 44%, kesemutan 42%, gangguan pada mata 38%, diare 37%, konstipasi 19 %, kemerahan pada kulit 18% dan penurunan 1 berat badan 13%. 2 Efek samping kemoterapi bervariasi tergantung regimen kemoterapi yang diberikan. Berdasarkan National Cancer Institute (2007), efek samping yang dapat terjadi akibat kemoterapi berbasis antrasiklin (adriamisin/doksorubisin) dikelompokkan menjadi mual, muntah, diare, stomatitis, alopesia, rentan terinfeksi, trombositopenia, neuropati, dan myalgia (Partridge, 2001). Salah satu efek samping yang sering ditemukan akibat kemoterapi adalah alopesia. Didapatkan lebih dari 80% wanita yang menjalani kemoterapi mengatakan bahwa alopesia merupakan aspek paling traumatik dari kemoterapi yang dijalaninya dan 8% pasien bahkan berhenti dari kemoterapi karena ketakutannya akan mengalami alopesia (Botchkarev, 2003). Efek samping mulai muncul pada waktu yang berbeda-beda dan dapat menimbulkan keluhan subyektif yang dirasakan pasien. Namun, efek samping yang dialami pada periode waktu tertentu akan mengalami proses pemulihan. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya pemulihan berbeda pada masing- masing efek samping (NCI, 2001). Berdasarkan literatur di atas, tampak bahwa cukup banyak efek sa mping yang dapat ditimbulkan oleh kemoterapi dan belum adanya penelitian tentang gambaran efek samping obat kemoterapi kanker payudara sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran efek samping kemoterapi pada pasien kanker payudara yang mendapat kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 3 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pola terapi penggunaan obat kemoterapi pada pasien kanker payudara? 2. Seberapa besar prevalensi kejadian efek samping pada pengobatan kanker payudara? 3. Efek samping apa saja yang muncul setelah pemberian obat kemoterapi pada pasien kanker payudara selama perawatan rawat inap? 4. Bagaimana karakteristik efek samping tiap regimen kemoterapi kanker payudara? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola terapi penggunaan obat kemotrapi pada pasien kanker payudara yang melakukan kemoterapi. 2. Mengetahui prevalensi kejadian efek samping pada pengobatan kanker payudara. 3. Mengetahui gambaran efek samping pada pasien kanker payudara yang dilakukan kemoterapi. 4. Mengetahui karakteristik efek samping yang terjadi tiap regimen kemoterapi kanker payudara. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta : penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efek samping yang terjadi pada pasien kanker payudara dan dapat menjadi pertimbangan dalam penanganan efek samping kemoterapi, sehingga dalam penatalaksanaan terapi menjadi lebih 4 tepat dan dicapai outcome terapi yang lebih baik. 2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran efek samping obat kemoterapi di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 5 E. Tinjauan pustaka 1. Kanker Payudara a. Definisi Kanker Payudara adalah tumor ganas yang berada di sel-sel payudara, tumor ganas dapat tumbuh dan berkembang di sekitar jaringan dan dapat bermetastasis. Penyakit kanker payudara sering terjadi pada wanita, namun tidak jarang juga bisa ditemukan pada pria. Payudara wanita terdiri dari lobulus (kelenjar penghasil susu), ducts (tabung kecil yang membawa susu dari lobulus ke puting), dan stroma (jaringan lemak dan jaringan ikat yang mengelilingi ducts dan lobulus, pembuluh darah dan pembuluh limfatik). Kebanyakan kejadian kanker payudara mulai muncul pada sel-sel yang melapisi ducts (ductal cancers), beberapa pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), dan sejumlah kecil pada jaringan lainnya (Abeloff et al., 2008). b. Etiologi dan faktor resiko Dua hal yang terkait erat dengan faktor resiko kejadian kanker payudara adalah gender, demografi dan usia (Dipiro, et al.,2008). 1) Usia Kejadian kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya usia, meningkat 2 kali lipat setiap 10 tahun sampai menopause. Peningkatannya berjalan lambat secara dramatis. Menurut Dipiro et al. (2008), wanita di bawah usia 40 mempunyai resiko peningkatan kanker payudara sebesar 1 di dalam 257. Terlihat jelas, 6 dengan probabilitas kumulatif dari perkembangan kanker payudara yang meningkat dan bertambahnya usia, lebih dari setengah resiko terjadi setelah usia 60 tahun. Tabel I. resiko peningkatan kanker payudara di lingkungan seer, wanita, semua ras 20012003 (Dipiro et al., 2008) Interval usia 30-40 40-50 50-60 60-70 Dari lahir sampai mati Probabilitas (% ) peningkatan kanker payudara invasif 0,43 1,44 2,63 3,65 12,67 2) Faktor demografi Amerika serikat adalah Negara ketiga belas dari 48 negara dengan frekuensi kematian yang tinggi akibat kanker payudara (Inggris adalah yang tertinggi). Angka tertinggi untuk kanker payudara adalah daerah urban di Amerika bagian barat tengah dan timur laut: angka terendah adalah di bagian selatan dan daerah gunung. Wanita yang penduduk asli Hawai mempunyai resiko kanker payudara yang tinggi terkait dengan usia, diikuti oleh wanita kulit putih Afrika-amerika, Hispanic, Asia, dan penduduk asli Amerika. Kanker payudara lebih sering terjadi pada wanita dengan sosioekonomi dan kelas sosial yang tinggi (Perry et al., 1999). 3) Faktor endokrin Usia pubertas yang dini, menopause yang lambat, dan kehamilan pertama yang muncul pada usia yang lanjut berkaitan dengan peningkatan insidensi kanker payudara (Isselbacher et al., 2000). 7 Wanita yang mulai menstruasi pada usia yang terlalu awal atau wanita yang terlambat menopause mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker payudara. Wanita yang mengalami menopause alami setelah usia 55 tahun mempunyai resiko kanker payudara dua kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang mengalami menopause sebelum usia 45 tahun. Yang lebih ekstrim, wanita yang mengalami oophorectomy bilateral sebelum usia 35 tahun hanya mempunyai resiko terjadinya kanker payudara sebesar 40% dibandingkan dengan wanita yang mengalami menopause secara alami (McPherson et al., 2000). Wanita yang tidak pernah melahirkan anak atau yang melahirkan anak pertamanya terlambat, keduanya meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara (McPherson et l., 2000). Pada usia kehamilan cukup bulan merupakan determinan resiko yang lebih penting daripada jumlah kehamilan. Dibandingkan dengan perempuan yang kehamilan pertamanya sebelum usia 18 tahun, resiko relatif kanker payudara berlipat dua kali bila kehamilan pertama tertunda sampai usia setelah 24 tahun dan sekitar berlipat empat setelah usia 30 tahun. Risiko kanker payudara sebenarnya lebih tinggi pada perempuan yang kehamilan pertamanya setelah usia 30 tahun daripada perempuan nulipara (wanita yang melahirkan tetapi anaknya tidak pernah hidup ketika lahir), yang mengisyaratkan bahwa kehamilan dini bersifat protektif sedangkan kehamilan pada usia lanjut mendorong timbulnya penyakit. Pengamatan ini konsisten dengan hipotesis bahwa peristiwa antara menarke dan 8 kehamilan pertama penting dalam penentuan probalitas seumur hidup menderita kanker payudara (Isselbacher et al., 2000). Dengan adanya keterkaitan dengan faktor endokrin endogen dan kanker payudara, dapat diantisipasi bahwa pemberian misalnya terapi penggantian estrogen (estrogen replacement therapy, ERT) dan progesteron untuk gejala menopause atau kontrasepsi oral (KO) untuk mengatur kelahiran, akan menginduksi atau meningkatkan pertumbuhan kanker payudara (Isselbacher et al., 2000). 4) Faktor genetik dan riwayat keluarga Walaupun semua saudara dari penderita kanker payudara memiliki peningkatan resiko mengalami kanker payudara, saudara tingkat pertama (saudara kandung, orang tua, anak) memiliki peningkatan resiko dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan populasi umum. Dengan demikian, probalitas kumulatif bahwa seorang perempuan berusia 30 tahun, yang saudara kandung perempuan atau ibunya pernah menderita kanker payudara, menderita kanker payudara pada usia 70 tahun adalah antara 8% sampai 18%. Beberapa peneliti bahkan mengamati adanya resiko lebih tinggi bila dua atau lebih anggota keluarga yang terkena, bila pasien yang terkena berusia premenopause, atau pasien memiliki kanker payudara bilateral, tetapi pengalaman ini tidak konstiten pada studi epidemiologi (Isselbacher et al., 2000). 9 5) Riwayat tumor payudara jinak (tidak berbahaya) Wanita dengan hyperplasia epitel atipikal yang parah mempunyai resiko kanker payudara empat sampai lima kali lipat lebih tinggi dari wanita yang tidak mempunyai perubahan profileratif pada payudara. Wanita yang mengalami perubahan ini serta mempunyai riwayat kanker payudara memiliki resiko sembilan kali lipat untuk menderita terkena kanker payudara. Wanita dengan kista palpable, fibroadenoma complex, papilloma duct, sclerosis adenosis, dan hyperplasia epithelial moderat atau florid mempunyai resiko kanker payudara sedikit lebih tinggi (1,5-3 kali) tetapi peningkatan ini tidak begitu bermakna secara klinis (McPherson et al., 2000). 6) Radiasi Peningkatan resiko kanker payudara telah diteliti pada remaja yang terekspose radiasi selama perang dunia II. Radiasi ionisasi juga meningkatkan resiko dalam kehidupan mendatang, terutama jika paparan terjadi selama pembentukan payudara yang cepat. Screening mamografi terkait dengan penurunan mortalitas akibat kanker payudara pada wanita berusia lebih dari 50 tahun (McPherson et al., 2000). Penilaian yang kritis terhadap manfaat dibanding resiko dari screening mammografi, baru-baru ini menunjukkan bahwa pada wanita yang memulai screening mammografi tahunan pada usia 50 tahun dan berlanjut sampai usia 75 tahun, manfaatnya melebihi resiko radiasi. Bahkan pada wanita yang memulai screening mammografi tahunan 10 pada usia 35 tahun dan berlanjut sampai dengan usia 75 tahun, manfaat pengurangan resiko kematian melebihi resiko radiasi (McPherson et al., 2000). 7) Gaya hidup a) Berat badan Baik berat badan maupun tinggi badan, keduanya terkait dengan kanker payudara. Indeks obesitas terkait dengan resiko kanker payudara, yang membedakan antara usia dan status menopause.kebanyakan penelitian terhadap wanita premenopausal menunjukkan tidak adanya kaitan dengan berat badan atau resiko kanker payudara sedikit berkurang dengan peningkatan berat badan. Mekanisme biologi yang maksud akal untuk menjelaskan fenomena ini adalah berkurangnya aktivitas ovarium pada wanita yang obesitas. Pada kebanyakan penelitian terhadap wanita postmenopause menunjukkan peningkatan risiko kanker payudara. Dengan meningkatnya berat badan. Selain itu pada obesitas, distribusi lemak tubuh juga mempunyai peran sendiri pada kanker payudara. Jaringan lemak bagian atas (sentral atau abdominal) meningkatkan resiko kanker payudara. Hubungan ini terkait dengan kadar sirkulasi estrogen bebas yang berlebih akibat konversi androstenedin menjadi estradiol di jaringan adipose perifer bersamaan dengan penekanan kadar hormon seks yag terikat protein pada wanita adiposity sentral (Dipiro et al., 2008). 11 b) Konsumsi alkohol Laporan lebih dari 50 penilitian epidemiologi tentang antara alkohol dan kanker payudara telah terlihat di banyak literatur. Data menunjukkan bahwa resiko kanker payudara meningkat dengan konsumsi alkohol secara umum, minumannya. Beberapa faktor tanpa memperhatikan tipe meliputi umur, berat badan, penggunaan estrogen telah tampak merubah keterkaitan ini. Mekanisme dari hipotesis alkohol kanker payudara meliputi peningkatan kadar estradiol dan hormon reproduktif steroid lainnya, mekanisme karsinogen di hati yang berubah, produksi protein sitotoksik, berkurangnya imunitas, perbaikan DNA yang terganggu, atau mungkin pengaruh alkohol pada integritas membran sel dan atau metabolism konjuger (Dipiro et al., 2008). c) Merokok Merokok dan tambahan mammoplasty tidak menunjukan peningkatan risiko kanker payudara. Pemeriksaan tekanan darah, reserpine dan obat lain yang meningkatkan kadar prolaktin tidak terlihat menyebabkan peningkatan resiko kanker payudara. Kafein juga tidak berpengaruh pada kanker payudara, tapi berperan dalam eksaserbasi penyakit payudara jinak (Dipiro et al., 2008). d) Diet Terdapat korelasi baik antara variasi diet internasional dalam asupan lemak makanan dan insidensi kanker payudara, dan tikus yang diberi makan dengan makanan tinggi lemak memiliki 12 kecenderungan lebih besar menderita tumor mamaria. Namun, kajian epidemiologik sampai sejauh ini tidak dapat secara tetap memperlihatkan asosiasi antara lemak makanan dan timbulnya kanker payudara (Isselbacher et al., 2000). Penelitian lanjutan tentang faktor diet meliputi mikronutrien dan makanan turunan amina heterosiklik. Banyak penilitian yang telah menyelidiki kaitan antara kanker payudara dan asupan serat, βkaroten dan vitamin C, E, dan A. kaitan antara vitamin A dan kanker payudara belum jelas. Sebaliknya kebanyakan penilitan mendukung manfaat β-karoten, vitamin C dan atau fiber. Penelitian dan bukti epidemiologi mendukung keterkaitan antar kanker payudara dan diet orang-orang barat, yang tipenya meliputi daging dan lemak dalam jumlah banyak, sebagaimana asupan kalori yang besar. Kelompok bahan yang berperan penting dalam kanker payudara manusia adalah pirolisis yang biasa ditemukan pada daging, ikan dan ayam yang dimasak. Paling tidak ada 19 amina heterosiklik dengan aktivitas mutagenic yang telah ditemukan pada ayam dan ikan yang dipanggang ataupun digoreng. Di antara amina heterosiklik ini, 19 diantaranya telah diuji sifat untuk bersifat karsinogenik jangka panjang dan semuanya terbukti positif (Dipiro et al., 2008). Terdapat penurunan mortalitas dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan peran deteksi dini yang meningkat di kalangan wanita, peningkatan kewaspadaan masyarakat, pemeriksaan mamografi dan 13 perbaikan terapi paling bertanggung jawab unutuk peningkatan dalam kelangsungan hidup penderita kanker payudara (Sabiston et al., 1995). Menurut Tjindarbumi et al., (1999) kanker di Indonesia bervariasi antara 10%-11,5% pada wanita. Kanker payudara merupakan penyakit ke dua setelah kanker leher rahim. Indonesia dalam 15 tahun terakhir telah mengalami transisi dari negara agraris menjadi Negara industri, hal ini menimbulkan banyak perubahan antara gaya hidup, status nutrisi, semua faktor ini dapat berefek pada gambaran epidemiologi penyakit, termasuk degeneratif dan keganasan. c. Tanda dan gejala Fase awal kanker payudara asimtomatik (tanpa ada tanda dan gejala). Tanda dan gejala yang paling umum adalah benjolan atau penebalan pada payudara. kebanyakan kira-kira 90% ditemukan oleh wanita itu sendiri. Akan tetapi kebanyakan ditemukan secara kebetulan, tidak dengan pemeriksaan payudara sendiri (sarari), karena itu yayasn kanker menekankan pentingnya deteksi dini dengan sadari.mayoritas benjolan yang ditemukan bukan merupakan kanker payudara. Hanya 25% dari semua benjolan itu ditemukan ganas (Gale et al., 2000). Tanda dan gejala lanjut dari kanker payudara meliputi kulit cekung (lesung), retraksi atau deviasi putting susu, dan nyeri, nyeri tekan, atau raba khusunya berdarah dari puting. Kulit Peau d’orange, kulit tebal dengan 14 pori-pori menonjol sama dengan kulit jeruk, dan atau ulserasi pada payudara, keduanya merupakan tanda lanjut dari penyakit. Jika ada ketelibatan nodul, mungkin menjadi keras. Pembesaran nodus limfa aksilaris membesar dan atau nodus supraklavikula teraba pada daerah leher. Tanda dan gejala dari metastase yang luas meliputi nyeri pada bahu, pinggang, punggung bagian bawah, atau pelvis; batuk menetap; anoreksia atau berat badan menurun; gangguna pencernaan; pusing; penglihatan kabur; dan sakit kepala (Gale et al., 2000). d. Klasifikasi dan stadium pada kanker payudara Ada beberapa sistim untuk penentuan stadium kanker payudara, diantara yang sering dipakai adalah sistem Manchester, Columbia clinical classification dan sistem TNM. Penentuan stadium ini penting untuk rencana terapi dan meramalkan prognosis (Harris et al., 2000). Sistem yang biasa digunakan untuk menggambarkan stadium adalah sistem TNM dari American Joint Committee On Cancer (AJCC). Klasifikasi stadium kanker berdasarkan stadium T, N, dan M. Huruf T berarti tumor ukuran dan seberapa jauh penyebarannya pada nodul limfa (sekumpulan sel sistem imun yang membantu melawan infeksi dan kanker). Huruf M berarti metastatis (menyebar ke organ yang jauh) (anonim, 2013b). Pengelompokan sistem TNM digambarkan menggunakan angka romawi dari 0 sampai IV (anonim, 2006a). 15 Tabel II. Klasifikasi kanker payudara berdasarkan TNM (Anonim, 2013 d) Tumor primer Tis T1 T1 mic T1a T1b T1c Insitu Diameter ≤ 2 cm Diameter ≤ 0,1 cm Diameter ≤ 0,1 – 0,5 cm Diameter ≤ 0,5 – 1 cm Diameter ≤ 1 – 2 cm Diameter tumor terbesar anatara 2-5 cm Diameter tumor terbesar >5cm Tumor dengan perluasan langsung ke dinding dada atau kulit Dinding dada Udem/ulserasi kulit atau nodul satelit kulit Keduanya 4a dan 4b Karcinoma inflamatori T2 T3 T4 T4a T4b T4c T4d Status Limfonidi N1 LN.axila mobil P1N1m1 P1N1a P1N1b P1N1c N2a N2b PN2a PN2b N3a LN.Axila fix LN.M amaria interna klinis + Inf. Klavikula N3b M amaria int. dan axila PN3b N3c M etastase jauh Mx M0 M1 Supraklavikula PN3c PN3a M ikroskopis metastase 0,2 < N ≤ 2 1-3 LN.aAxila LN.mamaria interna dengan mikroskopis metastase dengan sentinel nodebiopsi tapi klinis tak tampak 1-3LN.axila dan LN.mamaria interna dengan mikroskopik metastase dengan sentinel node biopsi tapi klinis tak tampak. 4-9 LN axila LN M amaria interna +, klinis +, LN Axila ≥ 10 LN Axila atau LN inf. Klafikula LN M amaria interna +, klinis +, dengan LN axila atau > 3LN axila dan LN mamaria interna dengan mikroskopik metastase dengan sentinel node biopsi tapi klinis (-) Supraklavikular Kebutuhan minimum untuk menulai metastase tidak ditemui Tidak ada bukti metastase jauh Ada bukti metastase jauh 16 Untuk membuat rencana terapi yang tepat, diperlukan penetapan stadium klinis. Berdasarkan klasifikasi TNM, stadium kanker payudara adalah seperti pada Tabel III. Tabel III. Pengelompokan stadium kanker payudara (Dipiro et al., 2008) Stage T N M 0 IA IB Tis T1 T0 T1 T0 T1 T2 T2 T3 T0 T1 T2 T3 T3 T4 T4 T4 Any T Any T N0 N0 N1mi N1mi N1 N1 N0 N1 N0 N2 N2 N2 N1 N2 N0 N1 N2 N3 Any N M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1 IIA IIB IIIA IIIB IIIC IV Stadium klinis kanker payudara ini dapat ditemukan setelah dilakukan pemeriksaan fisik untuk melihat ukuran tumor dan status limfonodi regional dan pemeriksaan radiologi untuk melihat kemungkinan matastase jauh. Kepentingan penentuan stadium klinis ini adalah untuk merencanakan terapi dan meramalkan prognosis (Dipiro et al., 2008). Stadium patologi ditentukan berdasarkan temuan selama operasi. Besar tumor dan keterlibatan limfonodi regional yang dilihat secara klinis mungkin akan bisa berbeda dengan sebenarnya setelah dilakukan penilaian kembali selama operasi. 17 Menurut Jardines et al (2001), angka ketahanan hidup 8 tahun penderita kanker payudara berdasrkan stadium klinis adalah seperti dapat dilihat pada tabel IV. Tabel IV. Angka ketahanan hidup berdasarkan stadium klinis (Dipiro et al., 2008) Stadium I II III IV Angka ketahanan hidup 8 tahun(% ) 90 70 40 10 e. Faktor prognosis kanker payudara Faktor prognosis adalah berbagai penilaian yang dilakukan pada saat diagnosis dibuat atau pada saat dilakukan pembedahan dam hubungannya dengan disease free survival atau overall survival. Faktor prognosis ini dapat dipakai untuk memprediksi perjalanan alamiah penyakit. Faktor prognosis yang potensial meliputi karakteristik demografi (misalnya usia, status menopause dan etnis). Karakteristik tumor (misalnya ukuran tumor, status limfonodi dan tipe histopatologi) serta penilaian biomarker atau proses biologis yang berhubungan dengan progesifitas tumor (misalnya perubahan oncogene, tumor-supresor genes, growth factors, angka profilerasi). Faktor prognosis standar yang sering dipakai saat ini untuk kanker payudara adalah ukuran tumor, status limfonidi regional, gambaran histopatologi, derajat deferensiasi, progesterone reseptor (Clark, 2000). status hormonal estrogen dan 18 f. Diagnosis Dalam penentuan kebijakan untuk penanganan kanker payudara, diagnosis pasti merupakan hal yang penting, sehingga sekarang berkembang untuk penegakan diagnosis menggunakan condordans/ keselarasan triple test/ diagnosis, yaitu klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik), mammorgrafi, dan aspirasi jarum halus (AJH). Kecuali bila sudah terjadi ulserasi invasi ke kulit dapat dilakukan biopsy insisi untuk dilakukan pemeriksan histopatologi sebagai gols standar diagnosis (Velde et al., 1996 ; Aryandono et al., 1996). Menurut Velde et al (1996) dan Aryandono et al (1996), kira-kira tumor payudara ditemukan oleh penderita sendiri (SADARI). Pada pemeriksaan fisik penderita dalam posisi duduk diminta menunjukkan tempat kelainannya, jika ia sendiri telah menemukannya. Pada pemeriksaan fisik meliputi massa tumor (ukuran, lokasi, bentuk, konsistensi terfiksasi atau tidak ke kulit atau pectoral atau dinding dada), perubahaan kulit (kemerahan, edema, peau d’orange, dimpling, nodul satelit,dan ulserasi), perubahan putting (tertarik, kemerahan, erosi, krusta, warna, cairan/discharge hemorogi),selanjutnya pemeriksaan kelenjar regional (axilla dan supraklavikular), status kelenjar (jumlah, lokasi, ukuran, terfiksasi satu dengan yang lain atau dengan struktur sekitarnya), kemudian pemeriksaan kelainan-kelainan berhubungan dengan mestastase (sakit tekan dan sakit ketuk tulang-tulang, kelainan paru, kelainan yang berhubungan dengan sistim saraf sentral). 19 Pemeriksaan yang penting adalah mammografi dan aspirasi jarum halus (AJH), Ultrasonografi. Indikasi terpenting untuk ultrasonografi ada lah untuk membedakan tumor solid dan suatu kiste, untuk pemandu fungsi tumor yang palpable atau non palpabale. Pada pemeriksaan mammografi adalah proyeksi sefalocaudal dan mediolateral, materi akan ditembus sinar mammografi sebesar 0,46 rad/2,5 mGy tiap payudara. Senyawa yang paling radiopenetrasi adalah lemak. Sedangkan timbunan yang paling radiodense (radioopak) adalah garam kalsium (kalsifikasi) yang ada dalam sekitar 35%45% lesi ganas dan praganas, timbunan ini menempati posisi periductal/perilobur. Screening mammografi menurunkan mortalitas sebesar 26% pada wanita 50-74 tahun, membantu diagnose awal dan terapinya dapat mencegah metastasis. American Cancers Sociaty (ACS) merekomendasikan untuk screening pertama mammografi pada usia 40 tahun, mammografi setiap 1-2 tahun pada usia 40-49 tahun ( Sabiston et al., 1995 ; Velde et al., 1999). g. Klasifikasi Histopatologi Kanker Payudara Gambaran atau tipe histopatologi adalah salah satu faktor prognostik yang penting pada kanker payudara. Karsinoma duktal infiltratif dan lobular inflitratif adalah tipe histopatologi yang paling sering dijumpai pada kanker payudara. Pasien kanker payudara dengan tipe duktal infiltratif mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk didapatkan limfonodi aksila positif dan mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan kanker payudara inflitratif tipe yang lain (Clark, 2000). 20 Copeland et al. (1996) dan Harris et al. (2000) membuat klasifikasi kanker payudara sebagai berikut: a) Berdasarkan sifat makroskopis = skirus, koloid, meduler b) Berdasarkan histogenesitas = duktus, lobules, asinus c) Berdasarkan histopatologi = adenocarcinoma, sarcoma, dll. d) Berdasarkan kriteria = invasif, non invasif. Klasifikasi histopatologi sering dipakai adalah klasifikasi menurut WHO seperti pada tabel V. Tabel V. Klasifikasi Histopatologi berdasarkan Kriteria WHO (WHO, 2012) 1 Noninvasive Carsinoma: a. Ductal Carcinoma In Situ (DCIS) b. Lobular Carcinoma In Situ (LCIS) Invasive carcinoma a. Invasive Ductal Carcinoma (IDS) b. Special type : Mucous Carcinoma (MC) Medullary Carcinoma Invasive Lobular Carcinoma Paget’s Disease Adenoid Cystic Carcinoma (ACC) 2 3 h. Terapi Terapi pada kanker payudara didasarkan atas stadium. Secara umum UICC membagi kanker payudara dalam apparently localized kanker dan advanced disease (Aryandono, 1999). Termasuk golongan apparently localized cancer adalah stadium I, II, dan IIIA. Pada stadium ini terbukti bahwa terapi bedah, terapi radiasi dan kemoterapi hormonal terapi adjuvant memperpanjang angka keta hanan hidup penderita (Aryandono, 1999). 21 Masuk dalam golongan advance disease adalah sebagai kanker payudara stadium III, IIIB, dan IV, yang pada prisnipnya adah paliasi onkologik dan non onkologik. Paliasi onkologik bisa berupa kemoterapi, terapi hormonal, radioterapi maupun bedah. Sedangkan paliasi non onkologik bisa berupa pengobatan simptomatik, penanggulangan nyeri, fisioterapi, support psikososial mapun religious. Tujuannya adalah paliasi, mengurangi penderitaan dan menjaga kualitas hidup sebaik-baiknya (Aryandono, 1999). Menurut Dipiro (2008) membagi dalam stadium lanjut local (locali advanced breast cancer) dan stadium metastatik (metastatic breast cancer). Tahap kanker payudara ini menunjukan kontrol yang lemah jika hanya dengan pembedahan saja dan mempunyai prognosis yang jelek. Neoadjuvant atau kemoterapi primer maupun neoadjuvan yang diikuti oleh pembedahan dengan radiasi atau keduanya, dan terapi adjuvant sistemik telah menjadi terapi pilihan untuk localy advanced breast cancer, yang meliputi radang kanker payudara. Hampir semua tumor berespon dengan penurunan ukuran tumor lebih dari 50%; dan hamper 70% pasien mengalami penurunan stadium dengan penggunaan kemoterapi neoadjuvan (dipiro et al., 2008). Tujuan terapi untuk kanker payudara metastatik adalah memperbaiki symptom dan kualitas hidup (Dipiro etal., 2008). Pada kanker payudara metastatik, terapi hormon dan kombinasi kemoterapi merupakan terapi utama (Aryandono, 1999). Terapi pada kanker payudara baik dengan agen 22 sitotoksik maupun endokrin biasanya menghasilkan kemunduran penyakit dan peningkatan kualitas hidup. Pada pasien yang berespon terhadap terapi, durasi survivalnya juga meningkat (Dipiro et al., 2008). 1) Terapi lokal Kanker payudara biasanya dianggap dapat dioperasi apabila secara teknis semua jaringan kanker dapat diangkat, apabila tumor tidak mengenai atau terfiksasi ke kulit atau struktur yang lebih dalam pada payudara, dan apabila tumor belum bermetastase melewati kelenjar limfe berjalaris atau mamaria interna (Isselbacher et al., 2000). Pilihan bedah meliputi mastektomi, mastektomi dengan rekonstruksi, dan pembedahan konservatif (lumpektomi) dengan mastektomi radikal. Pada operasi ini payudara diangkat bersama dengan oto pektolaris mayor dan minor dan sebagian kulit atasnya (paling sedikit 4 cm dari kedua sisi tempat biopsi tumor), dan terdapat suatu reseksi en block terhadap semua sisi ketiak, termasuk kelenjar limfe dibalik venas sublavia. Mastetokmi sederhana atau lokal adalah pengangkatan payudara dan sebagian kecil kulit. Mastektomi sederhana dengan pengangkatan kelenjar kurang lebih sama dengan modifikasi mastektomi radikal (Isselbacher et al., 2000). 2) Terapi Adjuvan Terapi adjuvan sistemik didefinisikan sebagai pemberian terapi yang mengikuti terapi definitif (pembedahan, radiasi, atau kombinasi 23 dari keduanya) jika tidak ada keterangan penyakit metastatik, terapi dengan kemungkinan kekambuhan tinggi (Dipiro et al, 2008). Kemoterapi Cytotosic umumnya terdiri dari CMF (cyclophosphamide, methotrexate, dan 5-Fluorouracil) yang diberikan pada 6 sampai 12 bulan. Kemoterapi ini untuk mengurangi kekambuhan dan peningkatan kehidupan pada wanita premenopausal dan post menopausal dalam penyakit stage I dan II. Pada 30% resiko kekambuhan dan 20% resiko kematian ditinjau selama 10 tahun dengan kemoterapi. Peran dari ablation ovarian wanita premenopausal dievaluasi dan kemoterapi itu ditemukan mempunyai manfaat yang sama pada wanita premenopausal. Suatu manfaat aditif dari ablation ovarian dan kemoterapi yang dapat mengurangi resiko munculnya penyakit dari suatu peningkatan 9% dan resiko kematian 11% terhadap kemoterapi tersebut (Perry et al., 1999). 3) Terapi Antibodi monoklonal Herceptin, monoklonal antibodi pertama untuk perawatan kanker payudara metastatik, sekarang ini telah disetujui FDA. Herceptin mempunyai target HER-2/neu gen, yaitu suatu faktor pertumbuhan yang “over-expressed” pada 25%-30% terhadap wanita kanker payudara. Dalam tahap pertama pada studi III, 222 wanita kanker payudara metastatik menerima Herceptin dalam pembuluh darah pada dosis 4 mg.kg, kemudian 2 mg/kg tiap minggu seterusnya. Efek 24 samping terkecil pada pasien paling sedikit 40%, teruta ma pada dosis yang pertama. Suatu pengulangan didalam fungsi jantung dilihat pada 9 pasien, yang dari 6 pasien mepunyai gejala. Semua pasien ini mempunyai keutamaan pada suatu terapi yang berhubungan dengan adanya sejarah penyakit jantung. Respon secara keseluruhan adalah 21% (4% CR dan 17% PR). Respon rata-rata lamanya 8,4 bulan. Tahap kedua pada studi III ini, membandingkan kemoterapi dengan atau tanpa Herceptin pada 469 pasien. Secara keseluruhan, pada tingkat respon standar meningkat dari 36,2% dengan kemoterapi sendiri 62% antara kemoterapi dan terapi Herceptin.dilihat dari pasien yang dibuat stratifikasiuntuk menerima Doxorubicin dan Cyclosphospamide, serta yang menerima paclitaxel. Pasien yang menerima Doxorubicin dan Cyclophospamide mempunyai pengaruh 18% dari timbulnya kelainan fungi tubuh myocardonal dari 3% terhdapa kemoterapi sendiri (Perry et al., 1999). 4) Terapi Hormonal Obat antiestrogen yang paling sering digunakan adalah tamoxifen. Tamoxifen diminum setiap hari dalam bentuk pil. Dengan tamoxifen setelah pembedahan, biasanya 5 tahun, mengurangi resiko terjadinya kekambuhan sekitar 50% pada wanita yang menderita kanker stadium awal, jika kanker mengandung reseptor estrogen atau progesterone. Tamoxifen juga digunakan untuk terapi kanker payudara metastatik dan 25 untuk mencegah perkembangan kanker payudara pada wanita yang beresiko tinggi (Anonim, 2006b). Dosis untuk tamoxifen adalah 20 mg/hari dan mencapai konsentrasi steady state setelah kira-kira empat bulan terapi. Waktu paro tamoxifen selama pemberian dosis kronis adalah 7 hari. Konsentrasi jarum tamoxifen dapat dideteksi 6 minggu setelah terapi yang diskontinyu. Demikian, manfaat maksimum dari tamoxifen dan terlihat paling tidak 2 bulan dari terapi inisiasi lanjutan dan symptom penyakit metastatik tidak akan muncul kembali jika pasien tidak minum beberapa dosis (Dipiro et al., 2008). Efek samping tamoxifen meliputi sakit kepala, hot flashes, penurunan kadar antitrombin 3 dengan penurunan resiko tromboemboli, dan katarak (Perry et al., 1999). 2. Kemoterapi a. Definisi kemoterapi Kata kemoterapi mengandung arti yaitu penggunaan obat untuk menangani suatu penyakit, tetapi kebanyakan orang sekarang menyebut bahwa kemoterapi merupakan penggunaan suatu obat untuk menangani kanker. Dan ada 2 terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kemoterapi pada penyakit kanker, yaitu terapi antineoplastik (yang berarti suatu senyawa anti kanker) dan terapi sitotoksik (yang berarti memiliki sifat untuk membunuh sel) (Anonim, 2013 c). 26 Kemoterapi pada kanker sendiri merupakan penggunaan obat antikanker, baik itu dengan obat tunggal maupun dengan kombinasi beberapa obat, secara intra vena atau lewat mulut, untuk menangani kanker dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor maupun untuk menghancurkan sel kanker melalui berbagai macam mekanisme aksi. b. Penggunaan kemoterapi Meskipun memiliki berbagai efek samping, kemoterapi yang digunakan untuk terapi definitif maupun sebagai terapi adjuvan pada kanker banyak direkomendasikan terutama untuk penyakit kanker stadium lanjut. Pada banyak pasien kanker, penggunaan obat sitotoksik untuk kemoterapi bertujuan untuk mengurangi gejala kanker, serta meningkatkan kualitas hidup dengan tingkat survival yang lebih panjang, meskipun dengan outcome klinik yang tidak signifikan (Morgan et al., 2004). Terdapat 3 tujuan yang mungkin dari pengobatan kanker dengan kemoterapi, yaitu : 1. Cure Apabila memungkinkan, kemoterapi digunakan untuk menyembuhkan kanker, yang berarti bahwa kanker menghilang dan tidak timbul lagi meskipun tanpa pengobatan. Pengobatan kemoterapi dengan tujuan ini biasanya jarang tercapai dikarenakan butuh waktu lama bagi pasien untuk benar-benar sembuh dari penyakit kankernya. 27 2. Control Apabila tidak memungkinkan, tujuan dari kemoterapi yang dilakukan adalah untuk mengontrol penyakit, yang berarti bahwa pengobatan kemoterapi adalah untuk memperkecil ukuran dari sel tumor dan/atau hanya untuk menghentikan pertumbuhan dan penyebaran sel kanker saja. Dalam berbagai kasus, sel kanker tidak dapat sepenuhnya hilang, sehingga perlu untuk dikontrol sebagaimana penyakit kronik, seperti diabetes atau gangguan jantung. Dan di beberapa kasus lainnya, sel kanker dapat menghilang untuk beberapa waktu, tetapi dapat timbul lagi. 3. Palliation Apabila sel kanker sudah mencapai stadium lanjut, kemoterapi dapat digunakan untuk mengurangi gejala yang diakibatkan oleh kanker. Terapi dengan tujuan ini digunakan bukan untuk mengobati penyakit kanker itu sendiri, tetapi untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Selain itu, kemoterapi juga seringkali digunakan bersamaan dengan terapi lainnya. Hal ini juga membuat kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant atau neoadjuvant. 1. Adjuvant chemotherapy Terapi kemoterapi ini digunakan biasanya setelah proses operasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi yang digunakan untuk menghilangkan sel kanker yang mungkin masih tersisa dan tidak 28 terlihat setelah proses pengambilan sel kanker dengan operasi. Selain itu juga kemoterapi juga dilakukan setelah terapi radiasi pada penyakit kanker. Sebagai contoh adalah adjuvant hormone therapy yang dilakukan setelah terapi radiasi untuk kanker prostat. 2. Neoadjuvant Chemoterapy Kemoterapi dilakukan sebelum dilakukan terapi operasi atau radiasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi dilakukan untuk memperkecil ukuran dari sel tumor, sehingga lebih mudah dihilangkan dan dibuang dengan dengan operasi. Selain itu, memperkecil ukuran dari sel tumor dengan terapi neoadjuvan ini juga dapat mempermudah proses terapi dengan radiasi. Neoadjuvant chemoterapy dapat membunuh sebagian kecil dari sel kanker yang tidak dapat dilihat pada hasil scan atau x-rays (Anonim, 2013d). c. Kemoterapi pada kanker payudara Kemoterapi menggunakan suatu obat untuk membunuh sel kanker. Pada kasus kanker payudara, kemoterapi seringka li digunakan sebagai adjuvan maupun neoadjuvan, yang pada banyak kasus memberikan efek yang paling baik bila digunakan secara kombinasi dengan terapi lain seperti terapi hormon dan operasi (Tabel VI), terutama pada kasus kanker payudara stadium dini, tergantung pada stadium dan karakteristik kanker payudara yang diderita oleh pasien. Kemoterapi juga digunakan untuk menangani kanker payudara yang 29 sudah mengalami metastase ke daerah lain, seperti lymph node, serta kanker payudara kambuhan (Anonim, 2006 a). Tabel VI. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara berdasarkan guideline American Cancer S ociety (ACS ) dan National Cancer Comprehensive Network (NCCN) 2006 Adjuvan Kemoterapi Adjuvan kemoterapi untuk HER-2 Tumor Negatif FAC/CAF Flourouracil, doxorubicin, cyclophosphamide FEC.CEF Flourouracil epirubicin, cyclophosphamide AC Doxorubicin, cyclophosphamide dengan atau dengan paclitaxel EC Epirubicin, cyclophosphamide TAC Docetaxel,doxorubicin, cyclophosphamide dengan bantuan filgastrim A → CM F Doxorubicin diikuti cyclophosphamide, methotrexatel, flourouracil E → CM F Epirubicin diikuti cyclophosphamide, methotrexatel, flourouracil CM F cyclophosphamide, methotrexatel, flourouracil AC x 4 Doxorubicin, cyclophosphamide diikuti paclitaxel x 4, setiap 2 minggu dengan bantuan filgastrim A→T→C Doxorubicin diikuti dengan paclitaxel diikuti dengan cyclophosphamide setiap 2 minggu dengan bantuan filgastrim FEC → T Flouroucil, epirubicin, cyclophospamide diikuti dengan docetaxel Adjuvan kemoterapi untuk HER-2 Tumor Positif Adjuvan : Doxorubicin, cyclophosphamide diikuti paclitaxel dengan AC → t + Trastuzumab trastizumab Neoadjuvan : Paclitaxel + tastuzumab diikuti cyclophospamide, flourouracil + T + trastuzumab → trastuzumab CEF + trastuzumab Regimen Kemoterapi untuk penyelamatan metastase kanker payudara Agen Tunggal Doxorubicin Capecitabine Epirubicin Vinorelbine Pegylated liposomal doxorubicin Gemcitabine Paclitaxel Albumin-bound paclitaxel Docetaxel Kombinasi CAF(cyclophosphamide, doxorubicn, CM F (cyclophosphamide, methotrexate/ flourouracil) flourouracil) FEC(flourouracil, epirubicin, cyclophophamide) Docetaxel/capecitabine AC (doxorubicin,cyclophosphamide) GT (gemcitabine/paclitaxel) EC (epirubicin, cyclophosphamide) AT (doxorubicin, paclitaxel) Agen dengan Bevacuzumab Paclitaxel Agen aktif lainnya Cisplatin Vinblastine Carblopatin Flourouracil infus Etoposide 30 3. Efek samping a. Definisi Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Tetapi ada hal-hal yang tidak dapat diprediksikan dalam pemberian obat, yaitu kemungkinan terjadinya masalah terkait dengan obat yang tidak diharapkan, salah satunya adalah efek samping dari pemberian suatu obat. Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping obat (ESO), karena seperti halnya efek farmakologi, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi antara molekul obat dengan sistem biologik tubuh. Resiko efek samping obat tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat ditekan dan dikurangi seminimal mungkin dengan mengetahui kondisi yang mendorong terjadinya efek samping, mengetahui sifat obat, serta mengetahui cara pemakaian yang tepat. Faktor resiko yang mendorong terjadinya efek samping dapat bersal dari individu pasien, misalnya fisologik (umur, konstitusi tubuh, jenis kelamin, faktor patologi, faktor alergik, faktor genetik). Faktor resiko juga dapat berasal dari obat, misalnya obat, formulasi, kemurniaan, dosis, dan frekuensi pemberian. Di samping itu faktor resiko juga dapat berasal dari cara pemakaian obat, misalnya pemakaian obat kombinasi. Banyak 31 diketahui bahwa semakin banyak pemakaian obat, semakin sering frekuensi timbulnya efek samping obat (Suryawati, 1995). Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya: 1) Kegagalan pengobatan. 2) Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (druginduceddisease), yang semula tidak diderita oleh pasien. 3) Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru (dampak ekonomi). 4) Efek psikologi terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat (Anonim, 2013e). Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecualai kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis. b. Pembagian efek samping obat meliputi : 1) Efek samping tipe A Efek samping merupakan efek farmakologi. Kemungkinan kejadiannya dapat diramalkan berdasarkan efek farmakologi yang lazim dari masing- masing obat. Efek samping tipe A bersifat tergantung dosis atau tergantung pada jumlah obat dalam tubuh atau kadar obat dalam darah. Kejadian ini dapat terjadi karena perubahanperubahan dalam tingkat farmakokinetika obat seperti absorbsi, 32 distribusi, metabolisme, ataupun sekresi obat. Disamping itu, dapat terjadi karena perubahan sensifitas dari organ atau jaringan target, atau disebut juga dalam tingkat farmakodinamika. Contoh efek samping obat tipe A adalah hipoglikemi, hipokalemia, dan hipotensi. Tindakan pencegahan atau upaya menghindari efek samping yang tergantung pada dosis adalah menyesuaikan dosis dengan kemampuan masing- masing pasien (dosis individu). Sehingga kadar obat yang tercapai akan tetap dalam lingkup terapetik yang aman untuk obat tersebut (Suryawati, 1995). 2) Efek samping tipe B Efek samping yang terjadi tidak berkaitan dengan efek farmakologi maupun mekanisme farmakologi yang lazim dari obat. Kejadiannya tidak dapat diramalkan berdasarkan mekanisme farmakologi obat. Efek samping tipe B tidak bergantung pada dosis dan kejadiannya realitif jarang, kecuali untuk efek samping tertentu seperti reaksi alergi. Derajat reaksi efek samping umumnya berat dan hanya mengenai individu tertentu yang mempunyai kepekaan abnormal terhadap obat. Efek samping ini dapat menyebabkan kecacatan yang serius hingga kematian. Tindakan pencegahan atau upaya menghindari efek samping yang tidak tergantung pada dosis adalah menghindari pemakaian suatu obat pada individu yang mempunyai kepekaan abnormal terhadap obat 33 tersebut dan diganti dengan obat alternatif yang lebih aman (Suryawati, 1995). Untuk mengidentifikasi adanya efek samping obat, dapat dilakukan dengan menggunakan algoritma Naranjo yang merupakan kuesioner yang dirancang untuk menentukan kemungkina n apakah efek samping yang sebenarnya terjadi karena obat atau faktor- faktor lain (Anonim, 2011). Tabel VII. Algoritma Naranjo (Anonim, 2011) Uraian Apakah sebelumnya terdapat laporan mengenai reaksi tersebut? Apakah efek samping yang dicurigai terlihat setelah pemberian obat? +1 0 Tidak Tahu 0 +2 -1 0 Apakah efek samping berkurang ketika obat di hentikan ? 4. Apakah efek samping muncul lagi ketika obat di berikan kembali ? 5. Apakah ada penyebab lain yang dapat menimbulkan efek samping tersebut ? 6. Apakah efek samping berkurang setelah pemeberian plasebo? 7. Ketika obat terdeteksi dalam darah, apakah konsentrasi obat dalam ambang toksik? 8. Apakah efek samping bertambah parah ketika dosis dinaikan atau berkurang ketika dosis diturunkan? 9. Apakah pasien mengalami efek samping yang sama atau obat yang sama pada pengobatan sebelumnya? 10. Apakah efek samping yang terjadi mempunyai petunjuk yang kuat? +1 0 0 +2 -1 0 +1 +2 0 +1 +1 0 +1 0 0 +1 0 0 +1 0 0 +1 0 0 1. 2. 3. Ya Tidak Total Skor = Lebih dari 9 5-8 1-4 0 atau kurang : pasti terjadi (definite) : kemungkinan terjadi efek samping (probable) : mungkin merupakan efek smaping (possible) : efek samping diragukan (doubtful) Skor 34 c. Bahaya dan efek samping obat kemoterapi Kebanyakan obat kemoterapi berbahaya bagi orang sehat. Hal ini membuat penggunaan obat kemoterapi perlu untuk diperhatikan dan diperketat, baik itu dalam hal penggunaannya maupun penyimpanannya dikarenakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan akibat kontak seseorang dengan senyawa sitotoksik tersebut, termasuk juga bagi para praktisi kesehatan. Obat kemoterapi sendiri berbahaya karena dapat menyebabkan berbagai hal, antara lain dapat mengakiba tkan perbuahan DNA secara abnormal (efek mutagenik), mengakibat gangguan pada janin dan embrio yang menyebabkan kelahiran yang abnormal (efek teratogenik), mengakibatkan terjadinya suatu kanker (efek karsinogenik), serta mengakibatkan terjadinya iritasi dan gangguan pada kulit. Dan penggunaan kemoterapi untuk pengobatan pada pasien sendiri baru dapat ditegakkan apabila sudah ada kepastian bahwa seseorang positif menderita kanker melalui suatu proses diagnosis yang mendalam (Anonim, 2013 d). Beberapa efek samping yang terjadi, yang efeknya tergantung dari tipe obat yang digunakan, dosis obat, serta lama terapi yang dilakukan, antara lain : 1) Efek pada sel darah Kemoterapi mengakibatkan gangguan pembentukan sel darah di sumsum tulang belakang, yang mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah sel darah yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai gangguan, seperti resiko terjadinya infeksi (akibat gangguan pembentukan sel darah putih), anemia (akibat gangguan pembentukan sel darah merah), serta kerentanan terjadinya 35 luka dan pendarahan (akibat gangguan pembentukan platelet) (Anonim, 2012). 2) Efek pada Pertumbuhan Rambut Kemoterapi dapat mengakibatkan kerontokan rambut (alopecia). Tidak semua obat dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut, dan lainnya dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut hingga terjadi kebotakan. Efek kerontokan rambut ini seringkali terjadi pada 2-3 minggu setelah terapi dimulai, meskipun dalam beberapa kasus hal ini dapat terjadi hanya dalam beberapa hari setelah terapi dimulai. Rambut tersebut dapat kembali tumbuh setelah terapi selesai, namun seringkali tumbuh dengan tekstur dan warna rambut yang berbeda dari sebelumnya (Anonim, 2012). 3) Efek Pada Sistem Pencernaan Beberapa agen kemoterapi dapat mempengaruhi sistem pencernaan dan mengakibatkan beberapa gangguan seperti mulut kering dan terasa pahit, perubahan pada nafsu makan, mual muntah, serta diare dan konstipasi. Efek samping mual dan muntah merupakan salah satu efek samping yang sering terjadi pada penggunaan kemoterapi. Mual dan muntah termasuk ke dalam early side-effects, dimana efek samping ini seringkali terjadi dalam rentang waktu 1 -24 jam setelah pemberian agen kemoterapi, meskipun juga kadang terjadi pada waktu lebih dari 24 jam setelah pemberian agen ke moterapi. Agen sitotoksik ini mengakibatkan terjadinya efek mual dan muntah 36 karena mengakibatkan terjadinya stimulasi pada reseptor mual- muntah yaitu chemoreceptor trigger zone (CTZ). Tingkat resiko terjadinya efek samping mual muntah pada pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti emetic risk dari agen kemoterapi dan regimen yang digunakan, faktor spesifik dari pasien, serta pola emesis setelah pemberian agen kemoterapi yang spesifik dan regimennya (Dipiro et al, 2008). 4) Efek pada Kulit dan Jari Pada penggunaan beberapa agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan terjadinya efek pada kulit seperti kulit kemerahan, gatal, mengelupas, kering, dan timbulnya jerawat. Selain itu pada beberapa agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan kulit menjadi lebih sensitif, terutama terhadadap sinar matahari. Dan beberapa obat kemoterapi, seperti capecitabine dan doxorubicin, dapat mengakibatkan iritasi pada telapak tangan dan kaki, yang disebut dengan hand-foot syndrome. Sindrom ini ditandai dengan beberapa gejala seperti mati rasa, geli, dan kemrahan. Dan semakin parah, gejala yang dapat timbul antara lain tangan dan kaki menjadi bengkak dan terasa nyeri (Dipiro et al, 2008). 5) Efek pada siklus menstruasi dan fertilitas Pada beberapa wanita, terutama pada wanita yang masih muda, perubahan waktu menstruasi merupakan salah satu efek samping dari kemoterapi yang sering kali terjadi. Menopause yang prematur serta 37 infertilitas dapat terjadi bahkan bersifat permanen. Sedangkan pada wanita yang berusia lanjut dapat mengakibatkan terjadinya menopause yang lebih dini, serta meningkatkan resiko terjadinya kerapuhan tulang dan osteoporosis. Sedangkan pada pria, agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan gangguan pada testis yang juga dapat mengakibatkan terjadinya infertilitas. Hal ini dikarenakan agen kemoterapi tersebut dapat menurunkan jumlah reproduksi sperma yang dihasilkan, serta morfologi sperma tersebut (Dipiro et al, 2008). 6) Neuropathy Beberapa obat kemoterapi, seperti paclitaxel yang digunakan untuk mengobati kanker payudara, dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem saraf. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gejala seperti rasa nyeri, rasa terbakar dan geli, dan sensitif terhadap dingin atau panas (Dipiro et al, 2008). 7) Gangguan pada Jantung Obat-obat seperti doxorubicin dapat mengakibatkan gangguan pada jantung. Hal ini terutama apabila penggunaan agen kemoterapi tersebut dengan dosis tinggi dan durasi yang panjang (Dipiro et al, 2008). 8) Efek Samping Lain Efek samping lain yang mungkin terjadi antara lain peningkatan terjadinya resiko leukemia, gangguan memori dan konstentrasi, reaksi 38 alergi, gangguan penglihatan dan pendengaran, kerusakan jaringan (ekstravasasi), serta gangguan ginjal dan liver (Dipiro et al, 2008). F. Keterangan Empirik Penelitian ini memberikan gambarkan persentase kejadian dan jenis efek samping obat kemoterapi pada pasien penyakit kanker payudara di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2012.