1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker payudara merupakan salah satu masalah utama kesehatan wanita di
dunia. Di Amerika Serikat, pada tahun 2009 diperkirakan sekitar 192.370 kasus
baru kanker payudara infasif yang didiagnosis pada wanita, dan 62.280 kasus
kanker payudara in situ (ACS, 2009). Di Indonesia, kanker payudara telah
menjadi tumor ganas tertinggi diikuti tumor ganas le her rahim. Insiden kanker
payudara sebesar 100 per 100.000 perempuan (Anonim, 2014).
Terapi kanker payudara dapat digolongkan menjadi pembedahan,
radioterapi, kemoterapi dan terapi hormonal (Jong, 2004) Kemoterapi adalah
proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk
menghancurkan atau memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker. Efek samping
kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi tidak hanya menghancurkan selsel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-sel yang membelah
dengan cepat (Noorwati, 2007).
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Love et al. (1989) didapatkan
persentase pasien yang mengalami efek samping dari kemoterapi yang dijalaninya
yaitu kerontokan rambut sebanyak 89%, mual 87%, lelah 86%, muntah 54%,
gangguan tidur 46%, peningkatan berat badan 45%, sariawan 44%, kesemutan
42%, gangguan pada mata 38%, diare 37%, konstipasi 19 %, kemerahan pada
kulit
18%
dan
penurunan
1
berat
badan
13%.
2
Efek samping kemoterapi bervariasi tergantung regimen kemoterapi yang
diberikan. Berdasarkan National Cancer Institute (2007), efek samping yang
dapat terjadi akibat kemoterapi berbasis antrasiklin (adriamisin/doksorubisin)
dikelompokkan menjadi mual, muntah, diare, stomatitis, alopesia, rentan
terinfeksi, trombositopenia, neuropati, dan myalgia (Partridge, 2001). Salah satu
efek samping yang sering ditemukan akibat kemoterapi adalah alopesia.
Didapatkan lebih dari 80% wanita yang menjalani kemoterapi mengatakan bahwa
alopesia merupakan aspek paling traumatik dari kemoterapi yang dijalaninya dan
8% pasien bahkan berhenti dari kemoterapi karena ketakutannya akan mengalami
alopesia (Botchkarev, 2003).
Efek samping mulai muncul pada waktu yang berbeda-beda dan dapat
menimbulkan keluhan subyektif yang dirasakan pasien. Namun, efek samping
yang dialami pada periode waktu tertentu akan mengalami proses pemulihan.
Waktu yang diperlukan untuk terjadinya pemulihan berbeda pada masing- masing
efek samping (NCI, 2001).
Berdasarkan literatur di atas, tampak bahwa cukup banyak efek sa mping
yang dapat ditimbulkan oleh kemoterapi dan belum adanya penelitian tentang
gambaran efek samping obat kemoterapi kanker payudara sehingga peneliti
tertarik untuk meneliti tentang gambaran efek samping kemoterapi pada pasien
kanker payudara yang mendapat kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
3
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pola terapi penggunaan obat kemoterapi pada pasien kanker
payudara?
2. Seberapa besar prevalensi kejadian efek samping pada pengobatan kanker
payudara?
3. Efek samping apa saja yang muncul setelah pemberian obat kemoterapi pada
pasien kanker payudara selama perawatan rawat inap?
4. Bagaimana karakteristik efek samping tiap regimen kemoterapi kanker
payudara?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pola terapi penggunaan obat kemotrapi pada pasien kanker
payudara yang melakukan kemoterapi.
2.
Mengetahui prevalensi kejadian efek samping pada pengobatan kanker
payudara.
3.
Mengetahui gambaran efek samping pada pasien kanker payudara yang
dilakukan kemoterapi.
4.
Mengetahui karakteristik efek samping yang terjadi tiap regimen kemoterapi
kanker payudara.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta : penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai efek samping yang terjadi pada pasien
kanker payudara dan dapat menjadi pertimbangan dalam penanganan efek
samping kemoterapi, sehingga dalam penatalaksanaan terapi menjadi lebih
4
tepat dan dicapai outcome terapi yang lebih baik.
2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan
wawasan mengenai gambaran efek samping obat kemoterapi di instalasi
rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
5
E. Tinjauan pustaka
1. Kanker Payudara
a. Definisi
Kanker Payudara adalah tumor ganas yang berada di sel-sel payudara,
tumor ganas dapat tumbuh dan berkembang di sekitar jaringan dan dapat
bermetastasis. Penyakit kanker payudara sering terjadi pada wanita, namun
tidak jarang juga bisa ditemukan pada pria. Payudara wanita terdiri dari
lobulus (kelenjar penghasil susu), ducts (tabung kecil yang membawa susu
dari lobulus ke puting), dan stroma (jaringan lemak dan jaringan ikat yang
mengelilingi ducts dan lobulus, pembuluh darah dan pembuluh limfatik).
Kebanyakan kejadian kanker payudara mulai muncul pada sel-sel yang
melapisi ducts (ductal cancers), beberapa pada sel-sel yang melapisi lobulus
(lobular cancers), dan sejumlah kecil pada jaringan lainnya (Abeloff et al.,
2008).
b. Etiologi dan faktor resiko
Dua hal yang terkait erat dengan faktor resiko kejadian kanker
payudara adalah gender, demografi dan usia (Dipiro, et al.,2008).
1) Usia
Kejadian
kanker
payudara
meningkat
seiring
dengan
bertambahnya usia, meningkat 2 kali lipat setiap 10 tahun sampai
menopause. Peningkatannya berjalan lambat secara dramatis. Menurut
Dipiro et al. (2008), wanita di bawah usia 40 mempunyai resiko
peningkatan kanker payudara sebesar 1 di dalam 257. Terlihat jelas,
6
dengan probabilitas kumulatif dari perkembangan kanker payudara
yang meningkat dan bertambahnya usia, lebih dari setengah resiko
terjadi setelah usia 60 tahun.
Tabel I. resiko peningkatan kanker payudara di lingkungan seer, wanita, semua ras 20012003 (Dipiro et al., 2008)
Interval usia
30-40
40-50
50-60
60-70
Dari lahir sampai mati
Probabilitas (% ) peningkatan kanker payudara
invasif
0,43
1,44
2,63
3,65
12,67
2) Faktor demografi
Amerika serikat adalah Negara ketiga belas dari 48 negara dengan
frekuensi kematian yang tinggi akibat kanker payudara (Inggris adalah
yang tertinggi). Angka tertinggi untuk kanker payudara adalah daerah
urban di Amerika bagian barat tengah dan timur laut: angka terendah
adalah di bagian selatan dan daerah gunung.
Wanita yang penduduk asli Hawai mempunyai resiko kanker
payudara yang tinggi terkait dengan usia, diikuti oleh wanita kulit putih
Afrika-amerika, Hispanic, Asia, dan penduduk asli Amerika. Kanker
payudara lebih sering terjadi pada wanita dengan sosioekonomi dan
kelas sosial yang tinggi (Perry et al., 1999).
3) Faktor endokrin
Usia pubertas yang dini, menopause yang lambat, dan kehamilan
pertama yang muncul pada usia yang lanjut berkaitan dengan
peningkatan insidensi kanker payudara (Isselbacher et al., 2000).
7
Wanita yang mulai menstruasi pada usia yang terlalu awal atau wanita
yang terlambat menopause mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk
terkena kanker payudara. Wanita yang mengalami menopause alami
setelah usia 55 tahun mempunyai resiko kanker payudara dua kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita yang mengalami menopause
sebelum usia 45 tahun. Yang lebih ekstrim, wanita yang mengalami
oophorectomy bilateral sebelum usia 35 tahun hanya mempunyai resiko
terjadinya kanker payudara sebesar 40% dibandingkan dengan wanita
yang mengalami menopause secara alami (McPherson et al., 2000).
Wanita yang tidak pernah melahirkan anak atau yang melahirkan
anak pertamanya terlambat, keduanya meningkatkan resiko terjadinya
kanker payudara (McPherson et l., 2000). Pada usia kehamilan cukup
bulan merupakan determinan resiko yang lebih penting daripada jumlah
kehamilan.
Dibandingkan
dengan
perempuan
yang
kehamilan
pertamanya sebelum usia 18 tahun, resiko relatif kanker payudara
berlipat dua kali bila kehamilan pertama tertunda sampai usia setelah 24
tahun dan sekitar berlipat empat setelah usia 30 tahun. Risiko kanker
payudara sebenarnya lebih tinggi pada perempuan yang kehamilan
pertamanya setelah usia 30 tahun daripada perempuan nulipara (wanita
yang melahirkan tetapi anaknya tidak pernah hidup ketika lahir), yang
mengisyaratkan bahwa kehamilan dini bersifat protektif sedangkan
kehamilan pada usia lanjut mendorong timbulnya penyakit. Pengamatan
ini konsisten dengan hipotesis bahwa peristiwa antara menarke dan
8
kehamilan pertama penting dalam penentuan probalitas seumur hidup
menderita kanker payudara (Isselbacher et al., 2000).
Dengan adanya keterkaitan dengan faktor endokrin endogen dan
kanker payudara, dapat diantisipasi bahwa pemberian misalnya terapi
penggantian estrogen (estrogen replacement therapy, ERT) dan
progesteron untuk gejala menopause atau kontrasepsi oral (KO) untuk
mengatur kelahiran, akan menginduksi atau meningkatkan pertumbuhan
kanker payudara (Isselbacher et al., 2000).
4) Faktor genetik dan riwayat keluarga
Walaupun semua saudara dari penderita kanker payudara
memiliki peningkatan resiko mengalami kanker payudara, saudara
tingkat pertama (saudara kandung, orang tua, anak) memiliki
peningkatan resiko dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan
populasi umum. Dengan demikian, probalitas kumulatif bahwa seorang
perempuan berusia 30 tahun, yang saudara kandung perempuan atau
ibunya pernah menderita kanker payudara, menderita kanker payudara
pada usia 70 tahun adalah antara 8% sampai 18%. Beberapa peneliti
bahkan mengamati adanya resiko lebih tinggi bila dua atau lebih
anggota keluarga yang terkena, bila pasien yang terkena berusia
premenopause, atau pasien memiliki kanker payudara bilateral, tetapi
pengalaman ini tidak konstiten pada studi epidemiologi (Isselbacher et
al., 2000).
9
5) Riwayat tumor payudara jinak (tidak berbahaya)
Wanita dengan hyperplasia epitel atipikal yang parah mempunyai
resiko kanker payudara empat sampai lima kali lipat lebih tinggi dari
wanita yang tidak mempunyai perubahan profileratif pada payudara.
Wanita yang mengalami perubahan ini serta mempunyai riwayat kanker
payudara memiliki resiko sembilan kali lipat untuk menderita terkena
kanker payudara. Wanita dengan kista palpable, fibroadenoma
complex, papilloma duct, sclerosis adenosis, dan hyperplasia epithelial
moderat atau florid mempunyai resiko kanker payudara sedikit lebih
tinggi (1,5-3 kali) tetapi peningkatan ini tidak begitu bermakna secara
klinis (McPherson et al., 2000).
6) Radiasi
Peningkatan resiko kanker payudara telah diteliti pada remaja
yang terekspose radiasi selama perang dunia II. Radiasi ionisasi juga
meningkatkan resiko dalam kehidupan mendatang, terutama jika
paparan terjadi selama pembentukan payudara yang cepat. Screening
mamografi terkait dengan penurunan mortalitas akibat kanker payudara
pada wanita berusia lebih dari 50 tahun (McPherson et al., 2000).
Penilaian yang kritis terhadap manfaat dibanding resiko dari screening
mammografi, baru-baru ini menunjukkan bahwa pada wanita yang
memulai screening mammografi tahunan pada usia 50 tahun dan
berlanjut sampai usia 75 tahun, manfaatnya melebihi resiko radiasi.
Bahkan pada wanita yang memulai screening mammografi tahunan
10
pada usia 35 tahun dan berlanjut sampai dengan usia 75 tahun, manfaat
pengurangan resiko kematian melebihi resiko radiasi (McPherson et al.,
2000).
7) Gaya hidup
a) Berat badan
Baik berat badan maupun tinggi badan, keduanya terkait
dengan kanker payudara. Indeks obesitas terkait dengan resiko
kanker payudara, yang membedakan antara usia dan status
menopause.kebanyakan penelitian terhadap wanita premenopausal
menunjukkan tidak adanya kaitan dengan berat badan atau resiko
kanker payudara sedikit berkurang dengan peningkatan berat badan.
Mekanisme biologi yang maksud akal untuk menjelaskan fenomena
ini adalah berkurangnya aktivitas ovarium pada wanita yang
obesitas.
Pada
kebanyakan
penelitian
terhadap
wanita
postmenopause menunjukkan peningkatan risiko kanker payudara.
Dengan meningkatnya berat badan. Selain itu pada obesitas,
distribusi lemak tubuh juga mempunyai peran sendiri pada kanker
payudara. Jaringan lemak bagian atas (sentral atau abdominal)
meningkatkan resiko kanker payudara. Hubungan ini terkait dengan
kadar sirkulasi estrogen bebas yang berlebih akibat konversi
androstenedin
menjadi estradiol di jaringan adipose perifer
bersamaan dengan penekanan kadar hormon seks yag terikat protein
pada wanita adiposity sentral (Dipiro et al., 2008).
11
b) Konsumsi alkohol
Laporan lebih dari 50 penilitian epidemiologi tentang antara
alkohol dan kanker payudara telah terlihat di banyak literatur. Data
menunjukkan bahwa resiko kanker payudara meningkat dengan
konsumsi alkohol secara umum,
minumannya.
Beberapa
faktor
tanpa memperhatikan tipe
meliputi umur,
berat badan,
penggunaan estrogen telah tampak merubah keterkaitan ini.
Mekanisme dari hipotesis alkohol kanker payudara meliputi
peningkatan kadar estradiol dan hormon reproduktif steroid lainnya,
mekanisme karsinogen di hati yang berubah, produksi protein
sitotoksik, berkurangnya imunitas, perbaikan DNA yang terganggu,
atau mungkin pengaruh alkohol pada integritas membran sel dan
atau metabolism konjuger (Dipiro et al., 2008).
c) Merokok
Merokok dan tambahan mammoplasty tidak menunjukan
peningkatan risiko kanker payudara. Pemeriksaan tekanan darah,
reserpine dan obat lain yang meningkatkan kadar prolaktin tidak
terlihat menyebabkan peningkatan resiko kanker payudara. Kafein
juga tidak berpengaruh pada kanker payudara, tapi berperan dalam
eksaserbasi penyakit payudara jinak (Dipiro et al., 2008).
d) Diet
Terdapat korelasi baik antara variasi diet internasional dalam
asupan lemak makanan dan insidensi kanker payudara, dan tikus
yang diberi makan dengan makanan tinggi lemak memiliki
12
kecenderungan lebih besar menderita tumor mamaria. Namun,
kajian epidemiologik sampai sejauh ini tidak dapat secara tetap
memperlihatkan asosiasi antara lemak makanan dan timbulnya
kanker payudara (Isselbacher et al., 2000).
Penelitian lanjutan tentang faktor diet meliputi mikronutrien
dan makanan turunan amina heterosiklik. Banyak penilitian yang
telah menyelidiki kaitan antara kanker payudara dan asupan serat, βkaroten dan vitamin C, E, dan A. kaitan antara vitamin A dan kanker
payudara belum jelas. Sebaliknya kebanyakan penilitan mendukung
manfaat β-karoten, vitamin C dan atau fiber. Penelitian dan bukti
epidemiologi mendukung keterkaitan antar kanker payudara dan diet
orang-orang barat, yang tipenya meliputi daging dan lemak dalam
jumlah banyak, sebagaimana asupan kalori yang besar. Kelompok
bahan yang berperan penting dalam kanker payudara manusia adalah
pirolisis yang biasa ditemukan pada daging, ikan dan ayam yang
dimasak. Paling tidak ada 19 amina heterosiklik dengan aktivitas
mutagenic yang telah ditemukan pada ayam dan ikan yang
dipanggang ataupun digoreng. Di antara amina heterosiklik ini, 19
diantaranya telah diuji sifat untuk bersifat karsinogenik jangka
panjang dan semuanya terbukti positif (Dipiro et al., 2008).
Terdapat penurunan mortalitas dari tahun ke tahun, hal ini
menunjukkan peran deteksi dini yang meningkat di kalangan wanita,
peningkatan kewaspadaan masyarakat, pemeriksaan mamografi dan
13
perbaikan terapi paling bertanggung jawab unutuk peningkatan
dalam kelangsungan hidup penderita kanker payudara (Sabiston et
al., 1995).
Menurut Tjindarbumi et al., (1999) kanker di Indonesia
bervariasi antara 10%-11,5% pada wanita. Kanker payudara
merupakan penyakit ke dua setelah kanker leher rahim. Indonesia
dalam 15 tahun terakhir telah mengalami transisi dari negara agraris
menjadi Negara industri, hal ini menimbulkan banyak perubahan
antara gaya hidup, status nutrisi, semua faktor ini dapat berefek pada
gambaran
epidemiologi penyakit,
termasuk
degeneratif
dan
keganasan.
c. Tanda dan gejala
Fase awal kanker payudara asimtomatik (tanpa ada tanda dan gejala).
Tanda dan gejala yang paling umum adalah benjolan atau penebalan pada
payudara. kebanyakan kira-kira 90% ditemukan oleh wanita itu sendiri.
Akan tetapi kebanyakan ditemukan secara kebetulan, tidak dengan
pemeriksaan payudara sendiri (sarari),
karena
itu
yayasn kanker
menekankan pentingnya deteksi dini dengan sadari.mayoritas benjolan yang
ditemukan bukan merupakan kanker payudara. Hanya 25% dari semua
benjolan itu ditemukan ganas (Gale et al., 2000).
Tanda dan gejala lanjut dari kanker payudara meliputi kulit cekung
(lesung), retraksi atau deviasi putting susu, dan nyeri, nyeri tekan, atau raba
khusunya berdarah dari puting. Kulit Peau d’orange, kulit tebal dengan
14
pori-pori menonjol sama dengan kulit jeruk, dan atau ulserasi pada
payudara, keduanya merupakan tanda lanjut dari penyakit. Jika ada
ketelibatan nodul, mungkin menjadi keras. Pembesaran nodus limfa
aksilaris membesar dan atau nodus supraklavikula teraba pada daerah leher.
Tanda dan gejala dari metastase yang luas meliputi nyeri pada bahu,
pinggang, punggung bagian bawah, atau pelvis; batuk menetap; anoreksia
atau berat badan menurun; gangguna pencernaan; pusing; penglihatan
kabur; dan sakit kepala (Gale et al., 2000).
d. Klasifikasi dan stadium pada kanker payudara
Ada beberapa sistim untuk penentuan stadium kanker payudara,
diantara yang sering dipakai adalah sistem Manchester, Columbia clinical
classification dan sistem TNM. Penentuan stadium ini penting untuk
rencana terapi dan meramalkan prognosis (Harris et al., 2000).
Sistem yang biasa digunakan untuk menggambarkan stadium adalah
sistem TNM dari American Joint Committee On Cancer (AJCC). Klasifikasi
stadium kanker berdasarkan stadium T, N, dan M. Huruf T berarti tumor
ukuran dan seberapa jauh penyebarannya pada nodul limfa (sekumpulan sel
sistem imun yang membantu melawan infeksi dan kanker). Huruf M berarti
metastatis (menyebar ke organ yang jauh) (anonim, 2013b). Pengelompokan
sistem TNM digambarkan menggunakan angka romawi dari 0 sampai IV
(anonim, 2006a).
15
Tabel II. Klasifikasi kanker payudara berdasarkan TNM (Anonim, 2013 d)
Tumor primer
Tis
T1
T1 mic
T1a
T1b
T1c
Insitu
Diameter ≤ 2 cm
Diameter ≤ 0,1 cm
Diameter ≤ 0,1 – 0,5 cm
Diameter ≤ 0,5 – 1 cm
Diameter ≤ 1 – 2 cm
Diameter tumor terbesar anatara 2-5 cm
Diameter tumor terbesar >5cm
Tumor dengan perluasan langsung ke dinding dada atau kulit
Dinding dada
Udem/ulserasi kulit atau nodul satelit kulit
Keduanya 4a dan 4b
Karcinoma inflamatori
T2
T3
T4
T4a
T4b
T4c
T4d
Status Limfonidi
N1
LN.axila mobil
P1N1m1
P1N1a
P1N1b
P1N1c
N2a
N2b
PN2a
PN2b
N3a
LN.Axila fix
LN.M amaria interna
klinis +
Inf. Klavikula
N3b
M amaria int. dan axila
PN3b
N3c
M etastase jauh
Mx
M0
M1
Supraklavikula
PN3c
PN3a
M ikroskopis
metastase 0,2 < N ≤ 2
1-3 LN.aAxila
LN.mamaria interna
dengan mikroskopis
metastase dengan
sentinel nodebiopsi
tapi klinis tak tampak
1-3LN.axila dan
LN.mamaria interna
dengan mikroskopik
metastase dengan
sentinel node biopsi
tapi klinis tak tampak.
4-9 LN axila
LN M amaria interna
+, klinis +, LN Axila ≥ 10 LN Axila atau
LN inf. Klafikula
LN M amaria interna
+, klinis +, dengan LN
axila atau > 3LN axila
dan LN mamaria
interna dengan
mikroskopik
metastase dengan
sentinel node biopsi
tapi klinis (-)
Supraklavikular
Kebutuhan minimum untuk menulai metastase tidak ditemui
Tidak ada bukti metastase jauh
Ada bukti metastase jauh
16
Untuk membuat rencana terapi yang tepat, diperlukan penetapan
stadium klinis. Berdasarkan klasifikasi TNM, stadium kanker payudara
adalah seperti pada Tabel III.
Tabel III. Pengelompokan stadium kanker payudara (Dipiro et al., 2008)
Stage
T
N
M
0
IA
IB
Tis
T1
T0
T1
T0
T1
T2
T2
T3
T0
T1
T2
T3
T3
T4
T4
T4
Any T
Any T
N0
N0
N1mi
N1mi
N1
N1
N0
N1
N0
N2
N2
N2
N1
N2
N0
N1
N2
N3
Any N
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M0
M1
IIA
IIB
IIIA
IIIB
IIIC
IV
Stadium klinis kanker payudara ini dapat ditemukan setelah dilakukan
pemeriksaan fisik untuk melihat ukuran tumor dan status limfonodi regional
dan pemeriksaan radiologi untuk melihat kemungkinan matastase jauh.
Kepentingan penentuan stadium klinis ini adalah untuk merencanakan terapi
dan meramalkan prognosis (Dipiro et al., 2008).
Stadium patologi ditentukan berdasarkan temuan selama operasi.
Besar tumor dan keterlibatan limfonodi regional yang dilihat secara klinis
mungkin akan bisa berbeda dengan sebenarnya setelah dilakukan penilaian
kembali selama operasi.
17
Menurut Jardines et al (2001), angka ketahanan hidup 8 tahun
penderita kanker payudara berdasrkan stadium klinis adalah seperti dapat
dilihat pada tabel IV.
Tabel IV. Angka ketahanan hidup berdasarkan stadium klinis (Dipiro et al., 2008)
Stadium
I
II
III
IV
Angka ketahanan hidup 8 tahun(% )
90
70
40
10
e. Faktor prognosis kanker payudara
Faktor prognosis adalah berbagai penilaian yang dilakukan pada saat
diagnosis dibuat atau pada saat dilakukan pembedahan dam hubungannya
dengan disease free survival atau overall survival. Faktor prognosis ini
dapat dipakai untuk memprediksi perjalanan alamiah penyakit.
Faktor prognosis yang potensial meliputi karakteristik demografi
(misalnya usia, status menopause dan etnis). Karakteristik tumor (misalnya
ukuran tumor, status limfonodi dan tipe histopatologi) serta penilaian
biomarker atau proses biologis yang berhubungan dengan progesifitas tumor
(misalnya perubahan oncogene, tumor-supresor genes, growth factors,
angka profilerasi).
Faktor prognosis standar yang sering dipakai saat ini untuk kanker
payudara adalah ukuran tumor, status limfonidi regional, gambaran
histopatologi,
derajat
deferensiasi,
progesterone reseptor (Clark, 2000).
status
hormonal
estrogen
dan
18
f. Diagnosis
Dalam penentuan kebijakan untuk penanganan kanker payudara,
diagnosis pasti merupakan hal yang penting, sehingga sekarang berkembang
untuk penegakan diagnosis menggunakan condordans/ keselarasan triple
test/
diagnosis,
yaitu
klinis
(anamnesis
dan
pemeriksaan
fisik),
mammorgrafi, dan aspirasi jarum halus (AJH). Kecuali bila sudah terjadi
ulserasi invasi ke kulit dapat dilakukan biopsy insisi untuk dilakukan
pemeriksan histopatologi sebagai gols standar diagnosis (Velde et al., 1996
; Aryandono et al., 1996).
Menurut Velde et al (1996) dan Aryandono et al (1996), kira-kira
tumor payudara ditemukan oleh penderita sendiri (SADARI). Pada
pemeriksaan fisik penderita dalam posisi duduk diminta menunjukkan
tempat kelainannya, jika ia sendiri telah menemukannya. Pada pemeriksaan
fisik meliputi massa tumor (ukuran, lokasi, bentuk, konsistensi terfiksasi
atau tidak ke kulit atau pectoral atau dinding dada), perubahaan kulit
(kemerahan, edema, peau d’orange, dimpling, nodul satelit,dan ulserasi),
perubahan
putting
(tertarik,
kemerahan,
erosi,
krusta,
warna,
cairan/discharge hemorogi),selanjutnya pemeriksaan kelenjar regional
(axilla dan supraklavikular), status kelenjar (jumlah, lokasi, ukuran,
terfiksasi satu dengan yang lain atau dengan struktur sekitarnya), kemudian
pemeriksaan kelainan-kelainan berhubungan dengan mestastase (sakit tekan
dan sakit ketuk tulang-tulang, kelainan paru, kelainan yang berhubungan
dengan sistim saraf sentral).
19
Pemeriksaan yang penting adalah mammografi dan aspirasi jarum
halus (AJH), Ultrasonografi. Indikasi terpenting untuk ultrasonografi ada lah
untuk membedakan tumor solid dan suatu kiste, untuk pemandu fungsi
tumor yang palpable atau non palpabale. Pada pemeriksaan mammografi
adalah proyeksi sefalocaudal dan mediolateral, materi akan ditembus sinar
mammografi sebesar 0,46 rad/2,5 mGy tiap payudara. Senyawa yang paling
radiopenetrasi adalah lemak. Sedangkan timbunan yang paling radiodense
(radioopak) adalah garam kalsium (kalsifikasi) yang ada dalam sekitar 35%45%
lesi
ganas
dan
praganas,
timbunan
ini
menempati posisi
periductal/perilobur. Screening mammografi menurunkan mortalitas sebesar
26% pada wanita 50-74 tahun, membantu diagnose awal dan terapinya dapat
mencegah metastasis. American Cancers Sociaty (ACS) merekomendasikan
untuk screening pertama mammografi pada usia 40 tahun, mammografi
setiap 1-2 tahun pada usia 40-49 tahun ( Sabiston et al., 1995 ; Velde et al.,
1999).
g. Klasifikasi Histopatologi Kanker Payudara
Gambaran atau tipe histopatologi adalah salah satu faktor prognostik
yang penting pada kanker payudara. Karsinoma duktal infiltratif dan lobular
inflitratif adalah tipe histopatologi yang paling sering dijumpai pada kanker
payudara. Pasien kanker payudara dengan tipe duktal infiltratif mempunyai
kemungkinan lebih tinggi untuk didapatkan limfonodi aksila positif dan
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan kanker
payudara inflitratif tipe yang lain (Clark, 2000).
20
Copeland et al. (1996) dan Harris et al. (2000) membuat klasifikasi
kanker payudara sebagai berikut:
a) Berdasarkan sifat makroskopis
= skirus, koloid, meduler
b) Berdasarkan histogenesitas
= duktus, lobules, asinus
c) Berdasarkan histopatologi
= adenocarcinoma, sarcoma, dll.
d) Berdasarkan kriteria
= invasif, non invasif.
Klasifikasi histopatologi sering dipakai adalah klasifikasi menurut
WHO seperti pada tabel V.
Tabel V. Klasifikasi Histopatologi berdasarkan Kriteria WHO (WHO, 2012)
1
Noninvasive Carsinoma:
a. Ductal Carcinoma In Situ (DCIS)
b. Lobular Carcinoma In Situ (LCIS)
Invasive carcinoma
a. Invasive Ductal Carcinoma (IDS)
b. Special type : Mucous Carcinoma (MC)
Medullary Carcinoma
Invasive Lobular Carcinoma
Paget’s Disease
Adenoid Cystic Carcinoma (ACC)
2
3
h. Terapi
Terapi pada kanker payudara didasarkan atas stadium. Secara umum
UICC membagi kanker payudara dalam apparently localized kanker dan
advanced disease (Aryandono, 1999).
Termasuk golongan apparently localized cancer adalah stadium I, II,
dan IIIA. Pada stadium ini terbukti bahwa terapi bedah, terapi radiasi dan
kemoterapi hormonal terapi adjuvant memperpanjang angka keta hanan
hidup penderita (Aryandono, 1999).
21
Masuk dalam golongan advance disease adalah sebagai kanker
payudara stadium III, IIIB, dan IV, yang pada prisnipnya adah paliasi
onkologik dan non onkologik. Paliasi onkologik bisa berupa kemoterapi,
terapi hormonal, radioterapi maupun bedah. Sedangkan paliasi non
onkologik bisa berupa pengobatan simptomatik, penanggulangan nyeri,
fisioterapi, support psikososial mapun religious. Tujuannya adalah paliasi,
mengurangi penderitaan dan menjaga kualitas hidup sebaik-baiknya
(Aryandono, 1999).
Menurut Dipiro (2008) membagi dalam stadium lanjut local (locali
advanced breast cancer) dan stadium metastatik (metastatic breast cancer).
Tahap kanker payudara ini menunjukan kontrol yang lemah jika hanya
dengan pembedahan saja dan mempunyai prognosis yang jelek. Neoadjuvant atau kemoterapi primer maupun neoadjuvan yang diikuti oleh
pembedahan dengan radiasi atau keduanya, dan terapi adjuvant sistemik
telah menjadi terapi pilihan untuk localy advanced breast cancer, yang
meliputi radang kanker payudara. Hampir semua tumor berespon dengan
penurunan ukuran tumor lebih dari 50%; dan hamper 70% pasien
mengalami penurunan stadium dengan penggunaan kemoterapi neoadjuvan
(dipiro et al., 2008).
Tujuan terapi untuk kanker payudara metastatik adalah memperbaiki
symptom dan kualitas hidup (Dipiro etal., 2008). Pada kanker payudara
metastatik, terapi hormon dan kombinasi kemoterapi merupakan terapi
utama (Aryandono, 1999). Terapi pada kanker payudara baik dengan agen
22
sitotoksik maupun endokrin biasanya menghasilkan kemunduran penyakit
dan peningkatan kualitas hidup. Pada pasien yang berespon terhadap terapi,
durasi survivalnya juga meningkat (Dipiro et al., 2008).
1) Terapi lokal
Kanker payudara biasanya dianggap dapat dioperasi apabila
secara teknis semua jaringan kanker dapat diangkat, apabila tumor tidak
mengenai atau terfiksasi ke kulit atau struktur yang lebih dalam pada
payudara, dan apabila tumor belum bermetastase melewati kelenjar
limfe berjalaris atau mamaria interna (Isselbacher et al., 2000).
Pilihan
bedah
meliputi
mastektomi,
mastektomi
dengan
rekonstruksi, dan pembedahan konservatif (lumpektomi) dengan
mastektomi radikal. Pada operasi ini payudara diangkat bersama dengan
oto pektolaris mayor dan minor dan sebagian kulit atasnya (paling
sedikit 4 cm dari kedua sisi tempat biopsi tumor), dan terdapat suatu
reseksi en block terhadap semua sisi ketiak, termasuk kelenjar limfe
dibalik venas sublavia. Mastetokmi sederhana atau lokal adalah
pengangkatan payudara dan sebagian kecil kulit. Mastektomi sederhana
dengan pengangkatan kelenjar kurang lebih sama dengan modifikasi
mastektomi radikal (Isselbacher et al., 2000).
2) Terapi Adjuvan
Terapi adjuvan sistemik didefinisikan sebagai pemberian terapi
yang mengikuti terapi definitif (pembedahan, radiasi, atau kombinasi
23
dari keduanya) jika tidak ada keterangan penyakit metastatik, terapi
dengan kemungkinan kekambuhan tinggi (Dipiro et al, 2008).
Kemoterapi
Cytotosic
umumnya
terdiri
dari
CMF
(cyclophosphamide, methotrexate, dan 5-Fluorouracil) yang diberikan
pada 6 sampai 12 bulan. Kemoterapi ini untuk mengurangi kekambuhan
dan peningkatan kehidupan pada wanita premenopausal dan post
menopausal dalam penyakit stage I dan II. Pada 30% resiko
kekambuhan dan 20% resiko kematian ditinjau selama 10 tahun dengan
kemoterapi.
Peran dari ablation ovarian wanita premenopausal dievaluasi dan
kemoterapi itu ditemukan mempunyai manfaat yang sama pada wanita
premenopausal. Suatu manfaat aditif dari ablation ovarian dan
kemoterapi yang dapat mengurangi resiko munculnya penyakit dari
suatu peningkatan 9% dan resiko kematian 11% terhadap kemoterapi
tersebut (Perry et al., 1999).
3) Terapi Antibodi monoklonal
Herceptin, monoklonal antibodi pertama untuk perawatan kanker
payudara metastatik, sekarang ini telah disetujui FDA. Herceptin
mempunyai target HER-2/neu gen, yaitu suatu faktor pertumbuhan
yang “over-expressed” pada 25%-30% terhadap wanita kanker
payudara. Dalam tahap pertama pada studi III, 222 wanita kanker
payudara metastatik menerima Herceptin dalam pembuluh darah pada
dosis 4 mg.kg, kemudian 2 mg/kg tiap minggu seterusnya. Efek
24
samping terkecil pada pasien paling sedikit 40%, teruta ma pada dosis
yang pertama. Suatu pengulangan didalam fungsi jantung dilihat pada 9
pasien, yang dari 6 pasien mepunyai gejala. Semua pasien ini
mempunyai keutamaan pada suatu terapi yang berhubungan dengan
adanya sejarah penyakit jantung. Respon secara keseluruhan adalah
21% (4% CR dan 17% PR). Respon rata-rata lamanya 8,4 bulan. Tahap
kedua pada studi III ini, membandingkan kemoterapi dengan atau tanpa
Herceptin pada 469 pasien. Secara keseluruhan, pada tingkat respon
standar meningkat dari 36,2% dengan kemoterapi sendiri 62% antara
kemoterapi dan
terapi Herceptin.dilihat dari pasien yang dibuat
stratifikasiuntuk menerima Doxorubicin dan Cyclosphospamide, serta
yang menerima paclitaxel. Pasien yang menerima Doxorubicin dan
Cyclophospamide mempunyai pengaruh 18% dari timbulnya kelainan
fungi tubuh myocardonal dari 3% terhdapa kemoterapi sendiri (Perry et
al., 1999).
4) Terapi Hormonal
Obat antiestrogen yang paling sering digunakan adalah tamoxifen.
Tamoxifen diminum setiap hari dalam bentuk pil. Dengan tamoxifen
setelah pembedahan, biasanya 5 tahun, mengurangi resiko terjadinya
kekambuhan sekitar 50% pada wanita yang menderita kanker stadium
awal, jika kanker mengandung reseptor estrogen atau progesterone.
Tamoxifen juga digunakan untuk terapi kanker payudara metastatik dan
25
untuk mencegah perkembangan kanker payudara pada wanita yang
beresiko tinggi (Anonim, 2006b).
Dosis untuk tamoxifen adalah 20 mg/hari dan mencapai
konsentrasi steady state setelah kira-kira empat bulan terapi. Waktu
paro tamoxifen selama pemberian dosis kronis adalah 7 hari.
Konsentrasi jarum tamoxifen dapat dideteksi 6 minggu setelah terapi
yang diskontinyu. Demikian, manfaat maksimum dari tamoxifen dan
terlihat paling tidak 2 bulan dari terapi inisiasi lanjutan dan symptom
penyakit metastatik tidak akan muncul kembali jika pasien tidak minum
beberapa dosis (Dipiro et al., 2008).
Efek samping tamoxifen meliputi sakit kepala, hot flashes,
penurunan kadar antitrombin 3 dengan penurunan resiko tromboemboli,
dan katarak (Perry et al., 1999).
2. Kemoterapi
a. Definisi kemoterapi
Kata kemoterapi mengandung arti yaitu penggunaan obat untuk
menangani suatu penyakit, tetapi kebanyakan orang sekarang menyebut
bahwa kemoterapi merupakan penggunaan suatu obat untuk menangani
kanker. Dan ada 2 terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan
kemoterapi pada penyakit kanker, yaitu terapi antineoplastik (yang berarti
suatu senyawa anti kanker) dan terapi sitotoksik (yang berarti memiliki
sifat untuk membunuh sel) (Anonim, 2013 c).
26
Kemoterapi pada kanker sendiri merupakan penggunaan obat antikanker, baik itu dengan obat tunggal maupun dengan kombinasi beberapa
obat, secara intra vena atau lewat mulut, untuk menangani kanker dengan
tujuan
untuk
menghambat
pertumbuhan
tumor
maupun
untuk
menghancurkan sel kanker melalui berbagai macam mekanisme aksi.
b. Penggunaan kemoterapi
Meskipun memiliki berbagai efek samping, kemoterapi yang
digunakan untuk terapi definitif maupun sebagai terapi adjuvan pada
kanker banyak direkomendasikan terutama untuk penyakit kanker stadium
lanjut. Pada banyak pasien kanker, penggunaan obat sitotoksik untuk
kemoterapi bertujuan untuk mengurangi gejala kanker, serta meningkatkan
kualitas hidup dengan tingkat survival yang lebih panjang, meskipun
dengan outcome klinik yang tidak signifikan (Morgan et al., 2004).
Terdapat 3 tujuan yang mungkin dari pengobatan kanker dengan
kemoterapi, yaitu :
1. Cure
Apabila
memungkinkan,
kemoterapi
digunakan
untuk
menyembuhkan kanker, yang berarti bahwa kanker menghilang dan
tidak timbul lagi meskipun tanpa pengobatan. Pengobatan kemoterapi
dengan tujuan ini biasanya jarang tercapai dikarenakan butuh waktu
lama bagi pasien untuk benar-benar sembuh dari penyakit kankernya.
27
2. Control
Apabila tidak memungkinkan, tujuan dari kemoterapi yang
dilakukan adalah untuk mengontrol penyakit, yang berarti bahwa
pengobatan kemoterapi adalah untuk memperkecil ukuran dari sel
tumor
dan/atau
hanya
untuk
menghentikan pertumbuhan dan
penyebaran sel kanker saja. Dalam berbagai kasus, sel kanker tidak
dapat sepenuhnya hilang, sehingga perlu untuk dikontrol sebagaimana
penyakit kronik, seperti diabetes atau gangguan jantung. Dan di
beberapa kasus lainnya, sel kanker dapat menghilang untuk beberapa
waktu, tetapi dapat timbul lagi.
3. Palliation
Apabila sel kanker sudah mencapai stadium lanjut, kemoterapi
dapat digunakan untuk mengurangi gejala yang diakibatkan oleh
kanker. Terapi dengan tujuan ini digunakan bukan untuk mengobati
penyakit kanker itu sendiri, tetapi untuk meningkatkan kualitas hidup
dari pasien.
Selain itu, kemoterapi juga seringkali digunakan bersamaan dengan
terapi lainnya. Hal ini juga membuat kemoterapi dapat digunakan sebagai
terapi adjuvant atau neoadjuvant.
1. Adjuvant chemotherapy
Terapi kemoterapi ini digunakan biasanya setelah proses operasi
untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi yang digunakan untuk
menghilangkan sel kanker yang mungkin masih tersisa dan tidak
28
terlihat setelah proses pengambilan sel kanker dengan operasi. Selain
itu juga kemoterapi juga dilakukan setelah terapi radiasi pada penyakit
kanker. Sebagai contoh adalah adjuvant hormone therapy yang
dilakukan setelah terapi radiasi untuk kanker prostat.
2. Neoadjuvant Chemoterapy
Kemoterapi dilakukan sebelum dilakukan terapi operasi atau
radiasi untuk menghilangkan sel kanker. Kemoterapi dilakukan untuk
memperkecil ukuran dari sel tumor, sehingga lebih mudah dihilangkan
dan dibuang dengan dengan operasi. Selain itu, memperkecil ukuran
dari sel tumor dengan terapi neoadjuvan ini juga dapat mempermudah
proses terapi dengan radiasi.
Neoadjuvant chemoterapy
dapat
membunuh sebagian kecil dari sel kanker yang tidak dapat dilihat pada
hasil scan atau x-rays (Anonim, 2013d).
c. Kemoterapi pada kanker payudara
Kemoterapi
menggunakan suatu obat untuk membunuh sel
kanker. Pada kasus kanker payudara, kemoterapi seringka li digunakan
sebagai adjuvan maupun neoadjuvan, yang pada banyak kasus
memberikan efek yang paling baik bila digunakan secara kombinasi
dengan terapi lain seperti terapi hormon dan operasi (Tabel VI),
terutama pada kasus kanker payudara stadium dini, tergantung pada
stadium dan karakteristik kanker payudara yang diderita oleh pasien.
Kemoterapi juga digunakan untuk menangani kanker payudara yang
29
sudah mengalami metastase ke daerah lain, seperti lymph node, serta
kanker payudara kambuhan (Anonim, 2006 a).
Tabel VI. Agen Kemoterapi yang sering digunakan pada kasus kanker payudara berdasarkan
guideline American Cancer S ociety (ACS ) dan National Cancer Comprehensive Network (NCCN) 2006
Adjuvan Kemoterapi
Adjuvan kemoterapi untuk HER-2 Tumor Negatif
FAC/CAF
Flourouracil, doxorubicin, cyclophosphamide
FEC.CEF
Flourouracil epirubicin, cyclophosphamide
AC
Doxorubicin, cyclophosphamide dengan atau dengan paclitaxel
EC
Epirubicin, cyclophosphamide
TAC
Docetaxel,doxorubicin, cyclophosphamide dengan bantuan
filgastrim
A → CM F
Doxorubicin diikuti cyclophosphamide, methotrexatel, flourouracil
E → CM F
Epirubicin diikuti cyclophosphamide, methotrexatel, flourouracil
CM F
cyclophosphamide, methotrexatel, flourouracil
AC x 4
Doxorubicin, cyclophosphamide diikuti paclitaxel x 4, setiap 2
minggu dengan bantuan filgastrim
A→T→C
Doxorubicin diikuti dengan paclitaxel diikuti dengan
cyclophosphamide setiap 2 minggu dengan bantuan filgastrim
FEC → T
Flouroucil, epirubicin, cyclophospamide diikuti dengan docetaxel
Adjuvan kemoterapi untuk HER-2 Tumor Positif
Adjuvan :
Doxorubicin, cyclophosphamide diikuti paclitaxel dengan
AC → t + Trastuzumab trastizumab
Neoadjuvan :
Paclitaxel + tastuzumab diikuti cyclophospamide, flourouracil +
T + trastuzumab →
trastuzumab
CEF + trastuzumab
Regimen Kemoterapi untuk penyelamatan metastase kanker payudara
Agen Tunggal
Doxorubicin
Capecitabine
Epirubicin
Vinorelbine
Pegylated liposomal doxorubicin
Gemcitabine
Paclitaxel
Albumin-bound paclitaxel
Docetaxel
Kombinasi
CAF(cyclophosphamide, doxorubicn,
CM F (cyclophosphamide, methotrexate/
flourouracil)
flourouracil)
FEC(flourouracil, epirubicin, cyclophophamide)
Docetaxel/capecitabine
AC (doxorubicin,cyclophosphamide)
GT (gemcitabine/paclitaxel)
EC (epirubicin, cyclophosphamide)
AT (doxorubicin, paclitaxel)
Agen dengan Bevacuzumab
Paclitaxel
Agen aktif lainnya
Cisplatin
Vinblastine
Carblopatin
Flourouracil infus
Etoposide
30
3.
Efek samping
a. Definisi
Terapi dengan menggunakan obat terutama ditujukan untuk
meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini
biasanya dilakukan dengan cara mengobati pasien, mengurangi atau
meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses
penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya. Tetapi ada hal-hal yang
tidak dapat diprediksikan dalam pemberian obat, yaitu kemungkinan
terjadinya masalah terkait dengan obat yang tidak diharapkan, salah
satunya adalah efek samping dari pemberian suatu obat.
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek
samping obat (ESO), karena seperti halnya efek farmakologi, efek
samping obat juga merupakan hasil interaksi antara
molekul
obat
dengan sistem biologik tubuh. Resiko efek samping obat tidak dapat
dihilangkan, tetapi dapat ditekan dan dikurangi seminimal mungkin
dengan mengetahui kondisi yang mendorong terjadinya efek samping,
mengetahui sifat obat, serta mengetahui cara pemakaian yang tepat.
Faktor resiko yang mendorong terjadinya efek samping dapat
bersal dari individu pasien, misalnya fisologik (umur, konstitusi tubuh,
jenis kelamin, faktor patologi, faktor alergik, faktor genetik). Faktor resiko
juga dapat berasal dari obat, misalnya obat, formulasi, kemurniaan, dosis,
dan frekuensi pemberian. Di samping itu faktor resiko juga dapat berasal
dari cara pemakaian obat, misalnya pemakaian obat kombinasi. Banyak
31
diketahui bahwa semakin banyak pemakaian obat, semakin sering
frekuensi timbulnya efek samping obat (Suryawati, 1995).
Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dikesampingkan
begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi,
misalnya:
1) Kegagalan pengobatan.
2) Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (druginduceddisease), yang semula tidak diderita oleh pasien.
3) Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan
terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru
(dampak ekonomi).
4) Efek
psikologi terhadap
penderita
yang akan
mempengaruhi
keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan
berobat (Anonim, 2013e).
Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah
dalam tahap awal, kecualai kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang
berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis.
b. Pembagian efek samping obat meliputi :
1) Efek samping tipe A
Efek samping merupakan efek farmakologi. Kemungkinan
kejadiannya dapat diramalkan berdasarkan efek farmakologi yang
lazim dari masing- masing obat. Efek samping tipe A bersifat
tergantung dosis atau tergantung pada jumlah obat dalam tubuh atau
kadar obat dalam darah. Kejadian ini dapat terjadi karena perubahanperubahan dalam tingkat farmakokinetika obat seperti absorbsi,
32
distribusi, metabolisme, ataupun sekresi obat. Disamping itu, dapat
terjadi karena perubahan sensifitas dari organ atau jaringan target, atau
disebut juga dalam tingkat farmakodinamika. Contoh efek samping
obat tipe A adalah hipoglikemi, hipokalemia, dan hipotensi.
Tindakan pencegahan atau upaya menghindari efek samping
yang tergantung pada dosis adalah menyesuaikan dosis dengan
kemampuan masing- masing pasien (dosis individu). Sehingga kadar
obat yang tercapai akan tetap dalam lingkup terapetik yang aman
untuk obat tersebut (Suryawati, 1995).
2) Efek samping tipe B
Efek samping yang terjadi tidak berkaitan dengan efek
farmakologi maupun mekanisme farmakologi yang lazim dari obat.
Kejadiannya
tidak
dapat
diramalkan
berdasarkan
mekanisme
farmakologi obat. Efek samping tipe B tidak bergantung pada dosis
dan kejadiannya realitif jarang, kecuali untuk efek samping tertentu
seperti reaksi alergi. Derajat reaksi efek samping umumnya berat dan
hanya mengenai individu tertentu yang mempunyai kepekaan
abnormal terhadap obat. Efek samping ini dapat menyebabkan
kecacatan yang serius hingga kematian.
Tindakan pencegahan atau upaya menghindari efek samping
yang tidak tergantung pada dosis adalah menghindari pemakaian suatu
obat pada individu yang mempunyai kepekaan abnormal terhadap obat
33
tersebut dan diganti dengan obat alternatif yang lebih aman
(Suryawati, 1995).
Untuk mengidentifikasi adanya efek samping obat, dapat
dilakukan dengan menggunakan algoritma Naranjo yang merupakan
kuesioner yang dirancang untuk menentukan kemungkina n apakah
efek samping yang sebenarnya terjadi karena obat atau faktor- faktor
lain (Anonim, 2011).
Tabel VII. Algoritma Naranjo (Anonim, 2011)
Uraian
Apakah sebelumnya terdapat laporan
mengenai reaksi tersebut?
Apakah efek samping yang dicurigai
terlihat setelah pemberian obat?
+1
0
Tidak
Tahu
0
+2
-1
0
Apakah efek samping berkurang ketika
obat di hentikan ?
4. Apakah efek samping muncul lagi ketika
obat di berikan kembali ?
5. Apakah ada penyebab lain yang dapat
menimbulkan efek samping tersebut ?
6. Apakah efek samping berkurang setelah
pemeberian plasebo?
7. Ketika obat terdeteksi dalam darah,
apakah konsentrasi obat dalam ambang
toksik?
8. Apakah efek samping bertambah parah
ketika dosis dinaikan atau berkurang
ketika dosis diturunkan?
9. Apakah pasien mengalami efek samping
yang sama atau obat yang sama pada
pengobatan sebelumnya?
10. Apakah efek samping yang terjadi
mempunyai petunjuk yang kuat?
+1
0
0
+2
-1
0
+1
+2
0
+1
+1
0
+1
0
0
+1
0
0
+1
0
0
+1
0
0
1.
2.
3.
Ya
Tidak
Total Skor =
Lebih dari 9
5-8
1-4
0 atau kurang
: pasti terjadi (definite)
: kemungkinan terjadi efek samping (probable)
: mungkin merupakan efek smaping (possible)
: efek samping diragukan (doubtful)
Skor
34
c. Bahaya dan efek samping obat kemoterapi
Kebanyakan obat kemoterapi berbahaya bagi orang sehat. Hal ini
membuat penggunaan obat kemoterapi perlu untuk diperhatikan dan
diperketat, baik itu dalam hal penggunaannya maupun penyimpanannya
dikarenakan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan akibat
kontak seseorang dengan senyawa sitotoksik tersebut, termasuk juga bagi
para praktisi kesehatan. Obat kemoterapi sendiri berbahaya karena dapat
menyebabkan berbagai hal, antara lain dapat mengakiba tkan perbuahan
DNA secara abnormal (efek mutagenik), mengakibat gangguan pada janin
dan embrio
yang
menyebabkan kelahiran yang abnormal (efek
teratogenik), mengakibatkan terjadinya suatu kanker (efek karsinogenik),
serta mengakibatkan terjadinya iritasi dan gangguan pada kulit. Dan
penggunaan kemoterapi untuk pengobatan pada pasien sendiri baru dapat
ditegakkan apabila sudah ada kepastian bahwa seseorang positif menderita
kanker melalui suatu proses diagnosis yang mendalam (Anonim, 2013 d).
Beberapa efek samping yang terjadi, yang efeknya tergantung dari
tipe obat yang digunakan, dosis obat, serta lama terapi yang dilakukan,
antara lain :
1) Efek pada sel darah
Kemoterapi mengakibatkan gangguan pembentukan sel darah di
sumsum tulang belakang, yang mengakibatkan terjadinya penurunan
jumlah sel darah yang dibutuhkan oleh tubuh.
Hal ini dapat
mengakibatkan berbagai gangguan, seperti resiko terjadinya infeksi
(akibat gangguan pembentukan sel darah putih), anemia (akibat
gangguan pembentukan sel darah merah), serta kerentanan terjadinya
35
luka dan pendarahan (akibat gangguan pembentukan platelet)
(Anonim, 2012).
2) Efek pada Pertumbuhan Rambut
Kemoterapi dapat mengakibatkan kerontokan rambut (alopecia).
Tidak semua obat dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut,
dan lainnya dapat mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut
hingga terjadi kebotakan. Efek kerontokan rambut ini seringkali
terjadi pada 2-3 minggu setelah terapi dimulai, meskipun dalam
beberapa kasus hal ini dapat terjadi hanya dalam beberapa hari setelah
terapi dimulai. Rambut tersebut dapat kembali tumbuh setelah terapi
selesai, namun seringkali tumbuh dengan tekstur dan warna rambut
yang berbeda dari sebelumnya (Anonim, 2012).
3) Efek Pada Sistem Pencernaan
Beberapa
agen kemoterapi dapat
mempengaruhi sistem
pencernaan dan mengakibatkan beberapa gangguan seperti mulut
kering dan terasa pahit, perubahan pada nafsu makan, mual muntah,
serta diare dan konstipasi. Efek samping mual dan muntah merupakan
salah satu efek samping yang sering terjadi pada penggunaan
kemoterapi. Mual dan muntah termasuk ke dalam early side-effects,
dimana efek samping ini seringkali terjadi dalam rentang waktu 1 -24
jam setelah pemberian agen kemoterapi, meskipun juga kadang terjadi
pada waktu lebih dari 24 jam setelah pemberian agen ke moterapi.
Agen sitotoksik ini mengakibatkan terjadinya efek mual dan muntah
36
karena mengakibatkan terjadinya stimulasi pada reseptor mual- muntah
yaitu chemoreceptor trigger zone (CTZ). Tingkat resiko terjadinya
efek samping mual muntah pada pasien dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti emetic risk dari agen kemoterapi dan regimen yang
digunakan, faktor spesifik dari pasien, serta pola emesis setelah
pemberian agen kemoterapi yang spesifik dan regimennya (Dipiro et
al, 2008).
4) Efek pada Kulit dan Jari
Pada penggunaan beberapa agen kemoterapi juga dapat
mengakibatkan terjadinya efek pada kulit seperti kulit kemerahan,
gatal, mengelupas, kering, dan timbulnya jerawat. Selain itu pada
beberapa agen kemoterapi juga dapat mengakibatkan kulit menjadi
lebih sensitif, terutama terhadadap sinar matahari.
Dan beberapa obat kemoterapi, seperti capecitabine dan
doxorubicin, dapat mengakibatkan iritasi pada telapak tangan dan
kaki, yang disebut dengan hand-foot syndrome. Sindrom ini ditandai
dengan beberapa gejala seperti mati rasa, geli, dan kemrahan. Dan
semakin parah, gejala yang dapat timbul antara lain tangan dan kaki
menjadi bengkak dan terasa nyeri (Dipiro et al, 2008).
5) Efek pada siklus menstruasi dan fertilitas
Pada beberapa wanita, terutama pada wanita yang masih muda,
perubahan waktu menstruasi merupakan salah satu efek samping dari
kemoterapi yang sering kali terjadi. Menopause yang prematur serta
37
infertilitas dapat terjadi bahkan bersifat permanen. Sedangkan pada
wanita yang berusia lanjut dapat mengakibatkan terjadinya menopause
yang lebih dini, serta meningkatkan resiko terjadinya kerapuhan
tulang dan osteoporosis.
Sedangkan
pada
pria,
agen
kemoterapi
juga
dapat
mengakibatkan gangguan pada testis yang juga dapat mengakibatkan
terjadinya infertilitas. Hal ini dikarenakan agen kemoterapi tersebut
dapat menurunkan jumlah reproduksi sperma yang dihasilkan, serta
morfologi sperma tersebut (Dipiro et al, 2008).
6) Neuropathy
Beberapa obat kemoterapi, seperti paclitaxel yang digunakan
untuk mengobati kanker payudara, dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pada sistem saraf. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
gejala seperti rasa nyeri, rasa terbakar dan geli, dan sensitif terhadap
dingin atau panas (Dipiro et al, 2008).
7) Gangguan pada Jantung
Obat-obat seperti doxorubicin dapat mengakibatkan gangguan
pada jantung. Hal ini terutama apabila penggunaan agen kemoterapi
tersebut dengan dosis tinggi dan durasi yang panjang (Dipiro et al,
2008).
8) Efek Samping Lain
Efek samping lain yang mungkin terjadi antara lain peningkatan
terjadinya resiko leukemia, gangguan memori dan konstentrasi, reaksi
38
alergi, gangguan penglihatan dan pendengaran, kerusakan jaringan
(ekstravasasi), serta gangguan ginjal dan liver (Dipiro et al, 2008).
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini memberikan gambarkan persentase kejadian dan jenis efek
samping obat kemoterapi pada pasien penyakit kanker payudara di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta tahun 2012.
Download