Kebijakan Revitalisasi Hutan Kota Malabar Malang Bermasalah

advertisement
Pembangunan Tanpa Legitimasi
“Kebijakan Revitalisasi Hutan Kota Malabar Malang Bermasalah”
Pengantar
Pasca tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, diskursus demokrasi yang mengarah
pada tatanan baru yang lebih demokratis dan sistem politik yang tidak lagi terpusat telah
dicoba dijawab dengan munculnya kebijakan otonomi daerah. Lahirnya UU No 22 Tahun
1999 menjadi satu dasar untuk memberikan keleluasaan dan kekuasaan yang lebih kepada
daerah-daerah untuk mengurus diri sendiri. Perjalanan panjang untuk sampai pada idealitas
otonomi daerah yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan daerah-daerah tidak hanya
berhenti dengan lahirnya undang-undang tersebut. Iktikad perbaikan kualitas otonomi daerahpun ditunjukkan dengan dirubahnya UU No 22 Tahun 1999 dengan UU No 25 Tahun 1999,
UU No 32 Tahun 2004, UU No 33 Tahun 2004, UU No 12 Tahun 2008 dan terakhir UU No
23 tahun 2014.
Apa yang acap kali kita sebut sebagai otonomi daerah yang ditandai dengan lahir dan
berubahnya undang-undang yang mengatur kewenangan daerah ini, pada dasarnya
merupakan instrument untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.
Bagaimanapun demokratisasi ditingkat lokal merupakan landasan utama bagi berkembangnya
demokrasi di tigkat nasional. Budaya politik lokal, perilaku aktor, dan kekuatan-kekuatan
politik lokal turut memberi corak pada proses demokrasi di tingkat nasional.
Rezim desentralisasi telah memberikan amanat kepada pemerintah lokal untuk secara
mandiri merumuskan pembangunan daerah macam apa yang mereka ingini. Kemandirian
dalam merumuskan dan menentukan model pembangunan daerah sekaligus juga diikuti
dengan semangat kemandirian fiskal. Dimana pembangunan daerah tidak lagi bergantung
oleh dana perimbangan yang digelontorkan oleh pusat. Bagaimanapun akan menjadi tidak
berarti apa-apa jika semangat otonomi daerah masih berada kendali bayang-bayang
pembangunan ditingkat pusat.
Dalam konteks saat ini, salah satu kreatifitas pembiayaan pembangunan daerah adalah
disandarkan pada tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, atau yang lebih akrab
kita sebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Pembangunan daerah yang
disokong oleh anggaran CSR merupakan pengejawantahan cita-cita sosial yang
menempatkan perusahaan tidak hanya sebagai aktor pengeruk laba. Namun, juga sebagai
dinamisator dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadialan sosial. Etika pembangunan mau
tidak mau haruslah mengendalikan perusahaan agar memiliki komitmen untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup yang ada di daerahnya.
Jawa Timur juga telah melahirkan Perda No 04 Tahun 2011 yang berisi tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Melalui peraturan ini, Provinsi Jawa Timur beriktikad
mencipta pembangunan daerah yang sinergis antara pemerintah daerah, pelaku dunia usaha,
dan masyarakat. Ironisnya, iktikad baik dari Pemprov Jawa Timur ini tidak segera diikuti
oleh beberapa Pemerintah Kota/Kabupaten. Sehingga, ketidak maksimalan tata kelola
pemerintahan yang tidak segera mendesain secara khusus pembangunan daerah melalui
program CSR, baik menyiapkan kerangka regulasi maupun pedoman teknis pelaksanaanya,
berpotensi menjadikan program pembangunan daerah yang bisa dibiayai oleh CSR ini
menjadi masalah baru.
Terkait hal ini, Kota Malang dapat kita jadikan salah satu contoh dimana
pembangunan daerah yang menggunakan dana CSR selalu diikuti dengan reaksi kritis dari
publik. Pengadaan Bus Kota, Renovasi Alun-Alun Kota Malang, Pembangunan Taman
Merbabu dan Trunojoyo, dan terakhir Revitalisasi Hutan Kota Malabar merupakan sederet
contoh yang mengindikasikan adanya ketidakseriusan birokrasi kita dalam mencipta
pembangunan daerah yang berkelanjutan, humanis, dan beretika melalui dana CSR.
Lazimnya sebuah kritik atas kebijakan yang tengah dilakukan oleh Pemerintah, maka
penulis mencoba menyandarkan kebijakan pembangunan Kota Malang yang menggunakan
dana CSR berdasarkan tiga bentuk legitimasi. Pertama, legitimasi yuridis, berkaitan
mengenai sejauh mana Pemkot Malang mentaati serta menyiapkan landasan dasar atas
sebuah kebijakan. Kedua, legitimasi politik, hal ini untuk melihat bagaimana sebuah
kebijakan lahir dari piranti-piranti politik yang ada. Prinsip yang menunjukkan penerimaan
keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat setelah melalui prosedur-prosedur politik dan
juga nilai-nilai politik yang berkembang di masyarakat umum. Ketiga, legitimasi sosial,
untuk mengukur sejauh mana publik ditempatkan dalam sebuah proses pembangunan.
Keempat, legitimasi anggaran, untuk menggambarkan rasionalitas sebuah kebijakan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan fiskal.
Analisis
Pilkada Kota Malang 2013 telah menempatkan pasangan H. Anton dan H. Sutiaji
untuk memimpin Kota ini sampai 2018. Terpilihnya figur baru sebagai Wali Kota dan Wakil
Wali Kota diiringi dengan harapan publik Malang yang merindui pemerintahan yang benarbenar berpihak. Berpihak pada kebutuhan rakyat Kota Malang yang membutuhkan keadilan
sosial, ekonomi, maupun ekologis. Namun, laku pemerintahan yang dinahkodai oleh Abah
Anton lambat laun menghempaskan harapan publik itu pada jurang kekecewaan.Satu demi
satu pilihan kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh Wali Kota Malang memperoleh
reaksi kritis dari warga. Terakhir merupakan revitalisasi “HutanMalabar” untuk diubah
menjadi “Taman Malabar” yang didanai oleh PT. Amerta Indah Otsuka.
Revitalisasi Hutan Kota Malabar yang akan diubah menjadi taman kota tersebut jelasjelas akan mengubah fungsi hutan menjadi hanya sebuah taman. Tentu hal ini secara
gamblang telah menistai amanat perundang-undangan yang mengatur mengenai hak ekologis
warga negara. Selain itu, mekanisme pendanaan yang bersumber dari CSR PT. Amerta Indah
Otsuka juga berpotensi menimbulkan masalah baru. Oleh karena itulah kami mencoba
menganalisis kebijakan “Revitalisasi Hutan Malabar” untuk menyampaikan kepada
Pemerintah Kota dan juga publik bahwa ada yang kurang benar mengenai kebijakan ini.
a. Legitimasi Hukum (Yuridis)
Hukum merupakan sarana untuk merealisasikan kebijakan pemerintah. Hukum
memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam rangka menata
masyarakat maupun mengarahkan masyarakat sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, maka
penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan mempunyai arti yang penting. Logikanya,
sebuah kebijakan yang tidak ditopang oleh landasan hukum yang rasional akan membuat
kebijakan tersebut juga berjalan tidak rasional. Landasan hukum yang rasional pada sebuah
kebijakan akan mengarahkan kebijakan tersebut berjalan sesuai mekanisme, rasional,
memiliki legitimasi, dan mempunyai ketegasan sanksi.
Dalam konteks “Revitalisasi Hutan Malabar” yang menggunakan dana CSR ini kami
menemukan beberapa temuan yang menunjukkan bahwa kebijakan ini cacat dari segi
legitimasi hukum. Baik itu karena melanggar UU yang ada ataupun masih belum adanya
kejelasan aturan yang mengaturnya. Sehingga dalam hal ini kami membagi menjadi dua hal,
yaitu mengenai fungsi ekologis yang dilanggarnya dan juga mekanisme pendanaan CSR yang
belum jelas aturan mainnya. Hal ini bisa kita lihat melalui tabel di bawah.
REVITALISASI HUTAN KOTA MALABAR Menjadi TAMAN MALABAR
No Uraian Yuridis
Dasar Hukum/Akademik
Catatan
1. Hutan Kota Malabar a. Perda No. 4/2011 tentang
adalah RTH Publik
RTRW Kota Malang
yang
merupakan
- Pasal 41 ayat (1) dan (2)
Jo.
Kawasan Lindung.
- Pasal 45 ayat (2) huruf d.
2.
b. Perda No. 3/2003 tentang
Pengelolaan Pertamanan Kota
dan Dekorasi Kota, Pasal 1
angka 8
Fungsi Utama Hutan a. Peraturan Pemerintah No. 63
Kota Malabar adalah
Tahun 2002 tentang Hutan
Kota, Pasal 3
Fungsi Ekologis.
b. Perda No. 4/2011 tentang
RTRW Kota Malang
- Pasal 14 ayat (2),
- Pasal 16 ayat (2), dan
- Pasal 32
c. Perda No. 3/2003 tentang
Pengelolaan
Pertamanan
Kota dan Dekorasi Kota,
Pasal 2 ayat (1) dan (2)
“Fungsi
Ekologis”adalah
dipertahankannya
sistem-sistem
penunjang
kehidupan
dan
terpeliharanya
keanekaragaman
hayati,
misalnya
dapat meningkatkan
kualitas air tanah,
mencegah
banjir,
mengurangi polusi
udara dan pengatur
iklim mikro
3.
4.
Keharusan
Hukum Perda No. 4/2011 tentang
terhadap Hutan Kota RTRW Kota Malang
Malabar adalah:
- Pasal 16,
a. melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan - Pasal 45 ayat (6) huruf v,
pengendalian
- Pasal 70 ayat (2) huruf b
pencemaran
dan
kerusakan lingkungan
hidup
b. revitalisasi
Hutan
Kota Malabar
c. melarang
kegiatan
yang
berpotensi
mengurangi
luas
kawasan hutan kota
dan tutupan vegetasi
Dapat dibebani Fungsi a. Perda No. 3/2003 tentang
Pengelolaan Pertamanan Kota
Sosial Ekonomi.
dan Dekorasi Kota, Pasal 5
Hutan Kota benar dapat
dibebani fungsi Sosial b. Laporan Akhir Kajian dan
Ekonomi dalam bentuk
Penyusunan Ranperda RTRW
rekreasi. Namun, bila
Kota Malang 2008-2028, Bab
mengacu pada point 3 di
IV halaman 80, Fungsi Sosial
atas maka rekreasi yang
Ekonomi yang pertama adalah
dimaksud
adalah
Pendidikan Lingkungan
rekreasi
yang
menopang
Fungsi
Ekologis
bukan
tempat/zona bermain
(play zone)
Pendidikan
Lingkungan
merupakan kegiatan
rekreasi yang paling
relevan di Hutan
Kota
Kegiatan rekreasi di
luar
Pendidikan
Lingkungan,
berdasar Pasal 45
ayat (4) huruf b.
Perda No. 4/2011
tentang RTRW Kota
Malang
Justru
harus
disediakan/diadakan
oleh
Pemkot
Malang
dalam
bentuk
RTH
Taman Rekreasi
seluas 10 Ha
Sumber ; Release Aliansi Save Hutan Malabar
Berdasasarkan landasan hukum diatas, maka revitalisasi Hutan Malabar menjadi
Taman Malabar haruslah ditolak. Karena revitalisasi tersebut akan mengubah fungsi ekologis
yang tentu saja bertentangan dengan amanat perundang-undangan yang ada.
Selain itu, kita coba telisik juga mekanisme CSR dalam revitalisasi ini apakah sudah
sesuai atukah belum. Hal ini bisa kita lihat melalui tabel dibawah.
Revitalisasi yang Menggunakan Dana CSR dari PT. Indah Amerta Indah Otsuka
No
Uraian Yuridis
Dasar Hukum
Keterangan
1.
Perusahaan wajib mengeluarkan UU Perseroan Terbatas Ingat,
CSR
dana CSR sebagai bentuk No.40
Tahun
2007. merupakan
bentuk
Tanggung
Jawab
Sosial Dimana dalam pasal 74 pertanggungjawaban
Lingkungan (TJSL)
diatur
bahwa
: perusahaan tentang
(1) Perseroan
yang pembangunan
menjalankan
kegiatan berkelanjutan. Baik
usahanya
di
bidang pembangunan
dan/atau
berkaitan lingkungan maupun
Sehingga,
dengan sumber daya sosial.
alam wajib melaksanakan tidak boleh CSR itu
Tanggung Jawab Sosial ditumpangi
kepentingan
dan
Lingkungan, (2)Tanggung marketing.
Jawab
Sosial
dan
Lingkungan sebagaimana
dimaksud
ayat
(1)
merupakan
kewajiban
Perseroan
yang
dianggarkan
dan
diperhitungkan sebagai
biaya Perseroan yang
pelaksanaannya
dilakukan
dengan
memperhatikan kepatutan
dan
kewajaran,
(3)
Perseroan yang tidak
melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan, (4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai
Tanggung
Jawab
Sosial
dan
Lingkungan
dengan
Pemerintah.
2.
3.
diatur
Peraturan
Wajib bagi penanam modal Undang-Undang Nomor Tanggung
jawab
asing wajib melaksanakan 25 Tahun 2007 tentang dalam
hal
ini
tanggung jawab perusahaan.
haruslah steril dari
Penanaman
Modal, daalam Pasal 15 kepentingan
(b)
dinyatakan marketing. Sehingga,
revitalisasi
bahwa "Setiap penanam dalam
modal
berkewajiban Hutan Kota Malabar
boleh
ada
melaksanakan tanggung tidak
jawab
sosial simbolisasi branding
di dalamnya.
perusahaan". Sanksisanksi terhadap badan
usaha atau perseorangan
yang
melanggar
peraturan, diatur dalam
Pasal 34, yaitu berupa
sanksi administratif dan
sanksi
lainnya,
meliputi: (a). Peringatan
tertulis; (b). pembatasan
kegiatan
usaha; (c).
pembekuan
kegiatan
usaha
dan/atau
fasilitas penanaman
modal;
atau (d).
pencabutan
kegiatan
usaha
dan/atau
fasilitas penanaman
modal
Keharusan sebuah perusahaan PP No 47 Tahun 2012, Sehingga, apa yang
mengeluarkan CSR-nya
tentang Tanggung Jawab dilakukan PT.Amerta
Sosial dan Lingkungan Indah
Otsuka
Perseroan
Terbatas, bukanlah
sebuah
dalam pasal 2 dinyatakan kedermawanan.
bahwa
:
“setiap Namun
adalah
perseroan sebagai subjek sebuah keniscayaan
sebuah
hukum
mempunyai bagi
asing
tanggung jawab sosial perusahaan
memiliki
dan
lingkungan.” yang
Peraturan pemerintah ini tanggung
jawab
sekaligus
memperkuat sosial
dan
menegaskan lingkungan.
keharusan
perusahaan
dalam
menunaikan
tanggung jawab sosial
sebagaimana
diamanatkan
oleh
peraturan
perundangundangan yang telah ada
sebelumnya.
4.
Untuk memberi kepastian dan
perlindungan hukum terkait
tanggung jawab sosial di
perusahaan. Selain itu untuk
memastikan
sinergitas
pembangunan daerah antara
pemerintah daerah, pelaku
dunia usaha, dan masyaraka
Perda Provinsi Jawa
Timur No 04 Tahun 2011
Tentang Tanggung Jawab
Sosial Peusahaan. Dan
Pergub Jawa Timur No
52 Tahun 2012
5.
Dana CSR dari perusahaan bisa PP No 58 Tahun 2005
masuk sebagai hibah ke yang menegaskan bahwa
Pemerintah Daerah
lain-lain pendapatan yang
sah bisa bersumber dari
hibah perusahaan.
6.
Pembangunan daerah dapat UU No 23 Tahun 2014
bersumber dari optimalisasi tentang
pemerintah
dan
Kota Malang belum
memiliki
Perda
ataupun Perwali yang
mengatur mengenai
CSR. Sehingga, akan
mudah sekali terjadi
ketimpanganketimpangan dalam
pengelolaan
dan
penyaluran
CSR.
Misal ; CSR bisa jadi
modus
gratifikasi,
pelaku dunia usaha
menjadi
korban
pungli, tidak ada
mekanisme kontrol
dan partisipasi dari
publik, dsb.
Kota Malang belum
memiliki kepastian
aturan apakah CSR
dikelola
sebagai
hibah dan masuk
dalam psotur APBD
ataukah ia dikelola
diluar APBD. Jika
tetap diluar APBD,
maka harus juga
disertai
landasan
aturaannya.
Tidak
adanya
kerangka
hukum
skema CSR.
daerah.
Dimana
di
dalamnya
termuat
mekanisme pembiayaan
pembangunan daerah
serta kejelasan skema
CSR di Kota Malang,
berpotensi
pembangunan daerah
yang dibiayai oleh
CSR tidak akan
optimal.
c. Legitimasi Politik
Revitalisasi Hutan Kota Malabar yang didanai oleh CSR PT. Amerta Indah Otsuka ini
kami lihat belumlah bisa dikatakan telah memperoleh legitimasi secara politik. Sesuai amanat
UU No 23 Tahun 2014, dalam mengoptimalkan pembangunan daerah Pemerintah
Kota/Kabupaten haruslah berkoordinasi, berdiskusi, dan menyepakati terlebih dahulu
renacana pembangunan yang akan dilakukan antara Pemerintah Kota dengan Pimpinan
DPRD. Berdasarkan penuturan Pimpinan Dewan serta Komisi C, revitalisasi Hutan Kota
Malabar yang didanai oleh CSR PT. Amerta Indah Otsuka ini belumlah dikoordinasikan
dengan mereka. Bahkan, DPRD Kota Malang mengaku baru mengetahui setelah ada
pemagaran seng disekitar Hutan Kota Malabar. Selain itu, proses revitalisasi ini juga tidak
menggunakan piranti-piranti politik yang bisa melibatkan publik malang. Misalkan Forum
LPMK, Forum Antar kelurahan, dsb.
d. Legitimasi Sosial
Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang menempatkan rakyat sebagai subjek kebijakan.
Pelibatan rakyat mulai dari proses penyusunan, implementasi, serta monitoring kebijakan
merupakan perwujudan dari tata kelola pemerintah yang demokratis-deliberatif. Tanpa
adanya peran publik maka demokrasi tak ubahnya totalitarianisme yang terselubung. Rakyat
punya kedaulatan untuk menolak maupun mengiyakan kebijakan yang sedang disusun oleh
utusan mereka, baik di eksekutif maupun legislatif.
Dalam konteks kebijakan pembangunan Taman Malabar yang akan mengubah fungsi Hutan
Kota Malabar, kita dapat melihat dengan gamblang bahwa rakyat telah ditelikung. Kita
bahkan tidak dikasih cukup ruang untuk bernegoisasi menyepakati rancangan yang
berperspektif keadilan sosial, ekonomi, serta ekologi. Secara sosial, kebijakan ini tidaklah
legitim. Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap kebijakan ini juga bisa menjadi
bukti bahwa Pemkot telah mengabaikan rakyat pada setiap pilihan kebijakannya.
e. Legitimasi Anggaran
Pemanfaatan dana CSR pada dasarnya dapat digunakan untuk membantu pembangunan
daerah. Sehingga melalui CSR, perusahaan bisa berpartisipasi dalam pembangunan sebagai
bentuk kepedulian sosial kepada masyarakat. Dalam konteks kerjasama daerah yang
menggunakan dana CSR tentunya pemerintah harus melakukan kalkulasi yang baik terkait
dengan rencana pembangunan tersebut. Karena model perjanjian yang digunakan adalah
bangun serah sehingga konsekuensi biaya perawatan dan pembangunan selanjutnya adalah
tanggungan dari pemerintah melalui APBD.
Kota Malang telah melakukan beberapa kegiatan kerjasama revitalisasi dan renovasi taman di
tahun 2014 dan 2015. Perlu diketahui nyatanya setelah diserahkan, pemerintah harus dibebani
dengan tambahan dana perawatan yang tidak sedikit. biaya tersebut muncul tidak lebih dari 6
bulan setelah diserahkan ke pemkot malang.
No. Kegiatan revitalisasi taman dengan dana CSR
1
Penyediaan fasilitas penunjang merbabu family
park
2
Penyediaan fasilitas penunjang taman cerdas
trunojoyo
3
Pengadaan fasilitas penunjang taman bandung dan
veteran
4
Penambahan daya alun-alun kota malang
5
Penataan jaringan, lampu dekorasi kota malang
dan audio alun-alun malang
6
Penyediaan fasilitas penunjang taman cerdas
trunojoyo
7
Pemasangan instalasi penyiraman di taman alunalun merdeka
Anggaran
55.000.000
Keterangan
Melalui PAK 2014
201.010.000
Melalui PAK 2014
150.000.000
Melalui PAK 2014
150.000.000
300.000.000
Melalui PAK 2015
Melalui PAK 2015
150.000.000
Melalui PAK 2015
100.000.000
Melalui PAK 2015
Bisa disimpulkan bahwa setelah CSR dilimpahkan pemerintah menanggung biaya yang
cukup banyak untuk pengadaan dan penyediaan fasilitas selanjutnya. Dimungkinkan
Pemerintah kota malang lemah dalam perencanaan kerjasama melalui dana CSR ini.
Sehingga di kemudian hari setelah diserahkan malah menimbulkan cost bagi APBD. Untuk
itu perlu diantisipasi utamanya revitalisasi hutan kota malabar agar tidak menimbulkan
inefisiensi anggaran pemerintah.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis singkat diatas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa ;
1. Kebijakan revitalisasi Hutan Kota Malabar menjadi Taman Kota Malabar adalah
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terutama aturan mengenai
lingkungan hidup.
2. Belum adanya Perda maupun Perwali yang mengatur CSR berpotensi tidak
optimalnya CSR dalam membantu pembangunan daerah. Malah akan menimbulkan
kerugian-kerugian yang tidak diinginkan.
3. Belum adanya aturan mengenai CSR di Kota Malang,pihak-pihak tertentu, baik dari
unsur pemerintahan maupun perusahaan berpotensi melakukan penyalahgunaan serta
penyelewengan dalam penyaluran CSR.
4. Berdasarkan 4 legitimasi kebijakan yang kami tulis diatas, bisa dikatakan kebijakan
ini cacat dan sesat.
Oleh karena itulah, kami merekomendasikan untuk ;
1. Penghentian sementara pembangunan “Revitalisasi Hutan Kota Malabar”, hingga
disepakati desain revitalisasi yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan, diterima oleh alam malabar dan masyarakat.
2. Menghentikan segala kegiatan di Hutan Kota Malabar sebelum adanya ADENDUM
kontrak kerjasama Pemkot dengan Otsuka, dan pembaharuan DED, serta keterlibatan
Aliansi dalam setiappembahasan revitalisasi Hutan Kota Malabar.
3. Segera bentuk Perda yang mengatur CSR
Demikian risalah analisis ini kami buat dengan mengedepankan kerendahan hati dan niat
baik untuk bersama-sama melakukan perubahan. Komitmen, sinergitas, dan keberlanjutan
dalam mengawal perubahan ini haruslah tetap kita iringi dengan do’a agar Tuhan senantiasa
memudahkan dan meluruskan apa yang kita harapkan. Terakhir, kami berharap sekecil
apapun itu, risalah ini mampu memberi manfaat bagi mimpi perubahan kearah yang lebih
baik seperti yang kita cita-citakan bersama. Amin
Wisma KaliMetro, 07 September 2015-09-08
Hayyik Ali M.M
Download