EARLY MARRIAGE AND ITS RELATIONSHIP WITH DOMESTIC VIOLENCE IN JAMBI 2013-2014 PERNIKAHAN DINI DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA JAMBI TAHUN 2013-2014 Dian Mustika UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Jl. Jambi – Ma. Bulian KM 16, Simpang Sungai Duren Muaro Jambi, Indonesia Email: [email protected] Abstrack: This article was based on research that aimed at uncovering the factors behind the violence in the domestic and the relationship between early marriage with domestic violence in Jambi during 20132014. This research used a qualitative approach that was descriptive analytical method where the data were collected through observation, interview, and documentation. The results showed that the factors behind the occurance of domestic violence in Jambi were economic problems, infidelity, and emotional factors as well as bad behavior. Furthermore, associated with the relationship between early marriage and domestic violence in Jambi, it was known that there was a relationship between them even though the number of victims who reported to the Women and Children Protection Unit of Jambi Police Station during 2013-2014 were only slightly, namely 1.5%. However, based on information from the Women and Children Protection Unit, this number could increase because many people were reluctant to report the domestic violence that happened to them to the authorities. Commonly, they would report it after experiencing a serious violence. Keywords: early marriage, domestic violence Abstrak: Artikel ini berbasis penelitian yang bertujuan untuk mengungkap faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga dan hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi dalam rentang tahun 2013-2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi adalah permasalahan ekonomi, perselingkuhan, dan faktor emosional serta perilaku yang buruk. Selanjutnya, terkait dengan adanya hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan 1 dalam rumah tangga di Kota Jambi diketahui bahwa ada hubungan antara keduanya, meskipun jumlah korban yang melaporkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Jambi dalam rentang tahun 2013-2014 hanya sedikit, yaitu sebesar 1.5%. Namun, berdasarkan informasi dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, angka ini bisa saja bertambah karena masih banyak masyarakat yang enggan untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya ke pihak yang berwajib, biasanya masyarakat baru akan melapor setelah mengalami kekerasan yang cukup berat. Kata Kunci: pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga A. Pendahuluan Pernikahan dini merupakan suatu fenomena yang sudah lama muncul dan menjadi pembicaraan hangat publik tanah air. Dalam praktiknya, fenomena ini sangat sedikit terekspos di ranah publik, tetapi kenyataannya begitu banyak terjadi di kalangan masyarakat luas. Hal ini dimungkinkan karena secara legal positif telah diatur tentang batas minimal usia perkawinan. Tujuannya agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari aspek fisik, psikis maupun mental. Menurut Council of Foreign Relations, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi pengantin anak, sedangkan di ASEAN, Indonesia menempati angka tertinggi kedua setelah Kamboja. Diperkirakan satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai 18 tahun. Di dunia setidaknya ada 142 juta anak perempuan akan menikah sebelum dewasa dalam satu dekade ini saja (CFR 2015).1 Lebih lanjut, di Indonesia anak perempuan merupakan korban paling rentan dari pernikahan anak, dengan prevalensi: 1. Anak perempuan dari daerah perdesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan. 2. Pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin. 3. Anak perempuan yang kurang berpendidikan dan drop-out dari sekolah umumnya lebih rentan menjadi pengantin-anak daripada yang bersekolah. 2 Akan tetapi saat ini UNICEF melaporkan bahwa prevalensi ini bergeser terutama di daerah perkotaan: pada tahun 2014, sebesar 25% perempuan berusia 20-24 tahun menikah di bawah usia 18 tahun. Ini adalah realitas mengejutkan bagi banyak feminis dan pendukung hak asasi manusia.2 Menurut WHO, batasan usia muda terbagi dalam 2 bagian yaitu usia muda awal 10-14 tahun dan usia muda akhir 15-20 tahun.3 Usia muda (remaja) adalah anak yang berada pada masa dewasa, di mana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik untuk badan, sikap, cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Masa ini dimulai kirakira umur 13 tahun dan berakhir kira-kira 21 tahun.4 Terkait dengan batas usia minimum untuk menikah, UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilas belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pada Pasal 2 disebutkan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Selanjutnya Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam KHI Pasal 15 juga dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Mengacu pada ketentuan formal batas usia minimum untuk menikah di Indonesia, maka pernikahan dini dapat diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan pada usia terlalu muda, sehingga tidak ada/kurang ada kesiapan biologis, psikologis maupun sosial. Pernikahan yang diselenggarakan pada rentang usia dibawah 16 tahun tersebut akan 3 memberikan dampak negatif pada gadis remaja (menghalangi seorang perempuan dari kebebasan, psikologi, maupun biologis) belum mencapai kematangan sebagaimana keberadaannya pada masa transisi. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh gadis remaja pada usia yang belum matang yakni di bawah 16 tahun. Dalam hukum Islam, mengenai batas usia perkawinan, secara tidak langsung, Al-Qur’an dan Hadits mengakui bahwa kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun. Dengan terpenuhinya kriteria baligh maka telah memungkinkan seseorang melangsungkan perkawinan.5 Sehingga kedewasaan seseorang dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh. Kematangan biologis dan psikologis dari calon mempelai merupakan salah satu prinsip yang dianut oleh Undang-undang Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda dikhawatirkan akan menghasilkan keturunan yang kurang baik. Hal ini bukan saja karena berasal dari bibit yang belum matang, tetapi juga karena kurangnya pengetahuan pasangan tersebut terhadap pola pengasuhan anak, sehingga anak akan tumbuh dengan pola pengasuhan dan pendidikan yang kurang maksimal. Oleh karena itu, perkawinan yang belum memenuhi syarat usia minimal bolehnya menikah harus diminimalisir untuk mencegah kekhawatiran tersebut.6 Masalah lain yang ditimbulkan dari pernikahan dini ialah kontribusi fenomena ini pada tingginya kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hasil riset Plan Indonesia menyebutkan anak perempuan yang menikah dini rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 4 Berdasarkan hasil riset pada tahun 2011, sebanyak 44 % anak menikah dini mengalami KDRT dengan tingkat frekuensi tinggi, sedangkan sisanya sebanyak 56 % anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah. Riset itu juga menyebutkan bahwa 33,5 % anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. Bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia, masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi karena persoalan gender dan usia.7 Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena; pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privasinya karena persoalan terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakuan istri sekehendaknya merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi pada lembaga yang legal yaitu perkawinan.8 Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka fokus penelitian ini adalah menganalisa hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi dalam rentang tahun 2013-2014. Kajian maupun penelitian mengenai pernikahan dini dan kekerasan dalam rumah tangga sudah cukup banyak dibahas, bahkan hingga saat ini masih menjadi isu yang cukup aktual. Beberapa kajian maupun penelitian yang telah dilakukan, diantaranya: Dwi Riflani mengemukakan tentang dampak pernikahan dini yang ditinjau dari berbagai aspek, baik hukum, biologis dan sosiologis serta dampak sosial dan perilaku seksual. Di akhir tulisannya, penulis juga mengulas pandangan hukum Islam terhadap pernikahan dini.9 Penelitian Antuni Wiyarsi, dkk, mengungkap persentase wanita karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari keempat jenis KDRT yang ada yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi serta persentase wanita 5 karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari usia perkawinan.10 Penelitian Steffanie Indri E. Mantiri, dkk yang berjudul Hubungan Antara Usia Waktu Menikah Dengan Kejadian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Manado Periode September 2012-Agustus 2013 berhasil mengungkap bahwa responden yang menikah pada usia dini mengalami kasus KDRT lebih banyak di bandingkan wanita yang menikah di usia dewasa, yaitu (68,52%) berbanding (31,48%). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi. (2) Untuk mengetahui hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif analitis dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan metode: a. Metode Induktif, yaitu metode berfikir dengan menerangkan data yang bersifat khusus kemudian digeneralisasi menjadi kesimpulan umum. Dalam hal ini, terkait hubungan antara pernikahan dini dengan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang umum tentang hubungan antara keduanya. b. Metode Deduktif, yaitu suatu metode menganalisis data yang bersifat umum untuk kemudian diambil kesimpulan yang khusus dengan menggunakan dalil-dalil baik dari nash maupun peraturan perundangundangan yang berlaku. Tujuan dalil-dalil atau kaidah-kaidah tersebut untuk menguatkan analisis terhadap hubungan pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Data mentah hasil observasi dan wawancara berupa rekaman ataupun catatan yang dibuat di lapangan kemudian dikumpulkan. Selanjutnya data tersebut ditranskrip secara sistematis. Pada tahap ini, 6 catatan yang diperoleh dirubah dalam bentuk tertulis apa adanya. Kemudian seluruh data yang ditranskrip dibaca ulang secara teliti. Dari proses ini akan dapat ditemukan hal-hal penting yang perlu dicatat untuk proses berikutnya. B. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Dalam konteks hukum Islam dapat dipahami, secara tidak langsung, al-Qur’an dan Hadis mengakui bahwa kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun. Dengan terpenuhinya kriteria baligh maka telah memungkinkan seseorang untuk melangsungkan perkawinan,11 sehingga kedewasaan seseorang dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh. Apabila terjadi kelainan atau keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis)nya, sehingga pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau mengeluarkan darah haid bagi wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan tandatanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia yang lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh. Mulainya usia baligh antara seorang dengan orang lain dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, geografis dan sebagainya. Ukuran kedewasaan yang diukur dengan kriteria baligh ini tidak bersifat kaku (relatif).12 Artinya, jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh: 7 Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan untuk perempuan 17 tahun. Sementara Abu Yusuf Muhammad bin Hasan bin As-Syafi’i berpendapat bahwa usia 15 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian berdasarkan keterangan di atas menurut istilah fiqh, pernikahan dini adalah perkawinan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka pernikahan dini/belia adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas ahli fiqh dan di bawah 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.13 Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa:14 و قال الشافعيت و الحنابلت أن البلوغ بالسه يتحقق بخمس عشرة سنت في الغالم و الحاريت Artinya: Anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun. Ulama Hanafiyyah menetapkan usia baligh sebagai berikut: و قال الحنفيت ثمان عشرة في الغالم و سبع عشرة في الجاريت Artinya: Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan. Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan: و قال اإلماميت خمس عشرة في الغالم و تسع في الجاريت Artinya: Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan. Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun, sehingga dianggap belum baligh. Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan 8 perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa. Secara umum, dapat dikatakan bahwa Imam Mazhab pada dasarnya membolehkan pernikahan dini. Secara tersirat Imam Malik mengakui perkawinan wanita yang belum dewasa. Imam Malik menyatakan bahwa perkawinan seorang janda belum dewasa yang belum dicampuri oleh bekas suaminya, baik berpisah karena ditalak atau ditinggal mati, mempunyai status sama dengan gadis, bahwa bapak mempunyai hak ijbar terhadapnya. Sebaliknya, apabila sudah dicampuri maka statusnya sama dengan janda, bahwa dia sendiri lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.15 Selanjutnya, Imam Syafi`i secara tegas membagi perkawinan menjadi tiga macam berdasarkan usia calon mempelai wanita, yaitu (1) perkawinan janda, (2) perkawinan gadis dewasa, dan (3) perkawinan anak-anak.16 Untuk gadis yang belum dewasa, usia belum mencapai 15 tahun atau belum keluar darah haidh, maka seorang bapak boleh menikahkan tanpa seizinnya lebih dahulu (hak ijbar), dengan syarat menguntungkan dan tidak merugikan si anak (ghaira nuqshan laha). Sebaliknya tidak boleh apabila akan berakibat merugikan atau menyusahkan anak. Dasar penetapan hak ijbar menurut Imam Syafi`i adalah tindakan Nabi SAW yang menikahi `Aisyah ketika masih berumur enam atau tujuh tahun dan berjima` setelah umur sembilan tahun.17 Menurut Ibnu Qudamah, dasar kebolehan menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah Q.S. Ath-Thalaq ayat 4. Pada dasarnya, ayat ini berbicara tentang masa iddah seorang wanita yang sudah putus haidh dan yang tidak haidh karena belum dewasa, yaitu 3 (tiga) bulan.18 Secara tersirat, ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang belum haidh (belum dewasa) boleh menikah. 9 Secara umum, pendapat dari para fuqaha dalam hukum Islam mengenai perkawinan di bawah umur dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu:19 1. Pandangan jumhur fuqaha yang membolehkan pernikahan usia dini, walaupun kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta membolehkan adanya hubungan badan. Apabila hubungan badan akan mengakibatkan adanya dlarar, maka hal itu terlarang, baik pernikahan dini maupun pernikahan dewasa. 2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham menyatakan bahwa pernikahan di bawah umur hukumya terlarang secara mutlak. 3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan yang masih kecil oleh Bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki yang masih kecil dilarang. Argumen yang dijadikan dasar adalah zhahir hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW. Mengingat, perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan ghalizhan) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Oleh karena itu, perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman. Dengan demikian, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya.20 Berdasarkan hasil ijtima` ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literatur fiqh, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan, baik batasan usia minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri` dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah serta 10 dalam rangka memperoleh keturunan (hifz al nasl). Hal ini bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah sempurna akal fikirannya serta siap melakukan proses reproduksi. Berdasarkan hal tersebut, Komisi Fatwa menetapkan beberapa ketentuan hukum: pertama, Islam pada dasarnya tidak menetapkan batasan usia minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan kecakapan menerima hak (ahliyatul ada` wa al wujub), sebagai ketentuan sinn al rusyd. Kedua, pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan. Ketiga, guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan kepada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.21 Selanjutnya, dalam perspektif Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan bab II Pasal 7 ayat (1) menegaskan tentang adanya batas usia pernikahan, yaitu pernikahan hanya diizinkan jika pihak laki-laki mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ketentuan usia kawin tersebut dapat dimintai dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batasan usia minimal pernikahan ini tentunya sudah melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari aspek fisik, psikis, dan mental. Bila melihat pada sejarah pembentukan Undang-Undang perkawinan, yang menjadi pertimbangan batasan usia kawin tersebut adalah kematangan biologis seseorang (bukan kedewasaan). 11 Pembatasan usia perkawinan pada saat itu dimaksudkan untuk mengantisipasi maraknya perkawinan pada anak-anak, yang isunya telah bergulir sejak tahun 1920-an.22 Apabila dalam kondisi tertentu, pernikahan dini terpaksa dilakukan, maka Undang-undang No. 1 Tahun 1974 masih memberikan kemungkinan pengecualian, sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat ( 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu adanya dispensasi dari pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur tersebut di atas. Terkait dengan hal ini, Kompilasi Hukum Islam menguatkan ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan. Pada Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa batas umur minimal calon mempelai yang akan menikah adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” (Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat (1) poin c disebutkan, keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas, undang-undang ini mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun. Pembatasan usia minimal melangsungkan pernikahan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Selain untuk menjaga kesehatan suami isteri, perkawinan usia dini mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Di samping faktor kesehatan dan kependudukan, pernikahan usia dini juga sangat rentan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian Atikah Pustikasari, sebesar 51.3% 12 ibu rumah tangga di Kabupaten Bekasi melakukan pernikahan di bawah usia 20 tahun. Selanjutnya, sebesar 73.9% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama menikah. Jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan psikis 77.1% dan terendah kekerasan fisik 23.6%. Wanita yang menikah di bawah usia 20 tahun berisiko 2 kali lebih tinggi mengalami KDRT. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian lain di Indonesia yang menghasilkan 44 % anak yang menikah usia dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (Plan indonesia, 2011). Penelitian ini pun lebih tinggi dengan temuan UNICEF (2005), yang menunjukkan bahwa 67 % wanita yang menikah usia muda mengalami kekerasan dalam rumah tangga.23 C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Menurut Mufidah, kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang kepada seseorang atau sejumlah orang, yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik maupun non-fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.24 Lebih lanjut, Mufidah mengemukakan bahwa kekerasan berbasis gender merupakan jenis kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap jenis kelamin yang berbeda seperti laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi korban daripada menjadi pelaku. Faktor penyebab perempuan lebih dominan menjadi korban antara lain disebabkan terjadinya diskriminasi gender.25 Berdasarkan Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 1993, bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk 13 ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, kemudian disahkanlah Undangundang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga (PDKRT). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 5 ditegaskan bentukbentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga mencakup: (a) kekerasan fisik, (b) kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah tangga. Selanjutnya, dalam Pasal 6 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dalam Pasal 7 dikemukakan bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, sedangkan kekerasan seksual meliputi: (1) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah 14 tangga tersebut; (2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8). Pada Pasal 9 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut, termasuk juga bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Terkait dengan hal ini, Mansour Faqih merinci beberapa bentuk kekerasan yang disebabkan oleh bias gender (gender-related violence), diantaranya:26 1) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun kultural. 2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). 3) Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. 4) Kekerasan merupakan dalam bentuk bentuk pelacuran kekerasan (prostitution). terhadap Pelacuran perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. 5) Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan 15 non fisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. 6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk. 7) Kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan atau dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat kerja atau di tempat umum. 8) Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual. Kekerasan dalam rumah tangga menimbulkan dampak yang beragam, di antaranya sebagai berikut:27 1. Dampak pada kesehatan reproduksi perempuan Perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga akan berdampak pada kesehatan reproduksinya, di antaranya mengalami kesulitan dalam melindungi diri sendiri dari kehamilan yang tidak diinginkan atau penyakit menular seksual. 2. Dampak pada masalah fisik Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan timbulnya masalah fisik, seperti trauma fisik, ketidakmampuan permanen sampai kematian. Perempuan yang mengalami kekerasan fisik juga melaporkan lebih banyak mengalami masalah kesehatan mulai dari gangguan berjalan, melakukan aktifitas sehari-hari, nyeri, kehilangan ingatan, pusing, dan vaginal discharge. 3. Dampak psikologi Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga 16 mengalami dampak psikologis berupa: a. Gangguan stress pasca trauma, yaitu gangguan emosional yang berkembang sebagai akibat perasaan ketakutan yang mengerikan, ancaman kehidupan atau pengalaman tidak aman yang lain. b. Depresi merupakan masalah kejiwaan yang paling sering ditemukan pada korban kekerasan dalam rumah tangga. Depresi, yaitu gangguan mental yang ditandai dengan gangguan perasaan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan tidak berguna, harga diri rendah, gangguan tidur dan nafsu makan, dan lain-lain. c. Gangguan kecemasan. Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami gangguan tersebut dalam jangka waktu yang lama dan akan mengganggu aktifitas korban sehari-hari. Menurut Emi Sutrisminah, dampak kekerasan rumah tangga terhadap istri adalah mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri, sedangkan dampak kekerasan terhadap pekerjaan istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. Selanjutnya, dampak kekerasan terhadap anak adalah kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anakanak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.28 17 D. Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Jambi Pada dasarnya, faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bersifat kompleks dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Menurut UNICEF, akar terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilatarbelakangi oleh sejarah personal laki-laki yang dianggap memiliki kuasa yang lebih daripada perempuan (patriarki) sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dan menganggap perempuan sebagai milik laki-laki. Atas dasar hal tersebut, kekerasan dianggap sebagai hal wajar yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan struktural yang bersifat sistemik, yang disebabkan oleh pola hubungan asimetris dan berbasis pada perbedaan jenis kelamin serta pembagian kerja seksual. Selain faktor sejarah personal di atas, menurut WHO, akar penyebab terjadinya KDRT meliputi berbagai bidang, yaitu ekonomi, budaya, sosial, politik dan hukum. Dalam bidang ekonomi, laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah dan secara kodrati dianggap memiliki kemampuan lebih dibandingkan perempuan, sehingga perempuan memiliki ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Perempuan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan dengan lakilaki, sehingga memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Selain itu, menurut WHO, tindakan isolasi terhadap perempuan di dalam keluarga dan masyarakat juga dapat berkontribusi menambah potensi terjadinya KDRT karena hal tersebut menyebabkan perempuan tidak mempunyai akses pada keluarga dan organisasi lokal. Terkait penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, menurut Shisca Agustina (Kanit PPA Polresta Jambi), bahwa korban pada umumnya datang melapor dan mengadu hanya 18 mengaku telah dianiaya tetapi tidak menyebutkan secara jelas apa penyebabnya. Meskipun, ada korban yang melaporkan faktor penyebabnya adalah permasalahan ekonomi yaitu terkait penghasilan suami. Korban biasanya tidak mau menceritakan hal sebenarnya mengapa ia dianiaya, sehingga polisi hanya memproses pengaduan tersebut tanpa melihat lebih jauh faktor penyebabnya. Selanjutnya, selain faktor ekonomi, menurut Shisca Agustina, penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lainnya adalah faktor perselingkuhan yang dapat berujung pada kekerasan fisik dan penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik dapat terjadi karena antara pelaku dan korban selalu cekcok atau bertengkar karena adanya perselingkuhan dari salah satu atau keduanya. Begitu pula penelantaran, dapat memicu adanya pertengkaran yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Di samping itu, faktor emosional dan perilaku buruk seperti seseorang yang mempunyai sifat tempramen tinggi, gampang marah, kasar berbicara, suka main judi, pemabuk dan mudah tersinggung, serta pencemburu juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Pada dasarnya, beberapa faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di atas merupakan sebagian kecil dari faktor-faktor pemicu yang terjadi di tengah masyarakat. Tak dapat dipungkiri, kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena; pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privasinya karena persoalan terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakuan istri sekehendaknya merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi pada lembaga yang legal yaitu perkawinan. Hal inilah yang membuat fenoma kekerasan dalam rumah tangga di tengah masyarakat tidak banyak 19 terungkap. E. Hubungan Pernikahan Dini Dengan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Jambi Pada dasarnya, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Salah satu faktor yang turut mempengaruhi diantaranya adalah pernikahan usia dini. Pernikahan usia dini sebagai bentuk perilaku yang sudah membudaya di tengah masyarakat. Dengan demikian, bahwa batasan individu dengan meninjau kesiapan dan kematangan usia individu bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk tetap melangsungkan pernikahan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh hasil bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi pada rentang usia 31-40 tahun yaitu berjumlah 61 kasus dengan persentase (45.2%), diikuti oleh rentang usia 21-30 tahun sebanyak 44 orang (32.6%). Usia 41-50 tahun sebanyak 28 orang (20.7%) dan yang paling sedikit adalah rentang usia 15-20 tahun yaitu sebanyak 2 orang (1.5%). Hal ini dapat terlihat pada grafik berikut ini: Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di 20 Kota Jambi, meskipun kasus yang dilaporkan tidak banyak. Namun, berdasarkan informasi dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, angka ini bisa saja bertambah karena masih banyak masyarakat yang tidak mau melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya ke pihak yang berwajib, biasanya masyarakat baru akan melapor setelah mengalami kekerasan yang cukup berat. Terkait dengan hal ini, kurang matangnya emosional dan kurang mapannya dalam hal ekonomi turut menjadi penyebab terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Stets, usia memiliki hubungan dengan agresi fisik pada keluarga, makin bertambahnya usia makin rendah tingkat kekerasan dan sebaliknya. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hurclok, Clarke, Stanley dan Markman yang menyatakan bahwa perkawinan pada usia dini (atau sekitar 18-19 tahun) akan mendorong terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dapat berdampak pada perceraian. Hal tersebut dikarenakan pernikahan dibawah umur membuat masing-masing individu belum siap pernik-pernik pertikaian yang dijumpai. Selain itu, perkawinan dan kedudukan sebagai orang tua muda sebelum menyelesaikan pendidikan dan secara ekonomis mandiri membuat pasangan muda tersebut tidak mempunyai pengalaman yang dipunyai oleh teman-teman yang belum menikah atau orang yang sudah mandiri sebelum menikah. Hal tersebut menyebabkan sikap iri hati dan menjadi halangan bagi penyesuaian perkawinan.29 Kematangan emosional juga ikut mempengaruhi kasus kekerasan dalam rumah tangga pada wanita yang menikah pada usia dini. Wanita yang menikah pada usia dini kurang bijaksana dalam mengontrol tingkat emosionalnya sehingga banyak kasus kekerasan dipicu karena suatu masalah yang tidak dapat lagi untuk diselesaikan dengan komunikasi. Kematangan emosi mempunyai pengaruh besar bagi kokohnya sebuah rumah tangga. Walgito menyatakan bahwa 21 kematangan emosi dan pikiran akan saling berkaitan. Bila seseorang telah matang emosinya, telah dapat mengendalikan emosinya maka individu akan dapat berpikiran secara matang dan berpikiran obyektif sehingga dapat memikirkan solusi atau jalan keluar yang harus ditempuh untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah tangga.30 Selain hal-hal yang telah diuraikan diatas, berdasarkan hasil penelitian ini, juga ditemukan perbedaan pekerjaan antara wanita yang menikah waktu usia dini dan usia dewasa. Banyak wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga de n ga n pekerjaan se b a ga i IRT (ibu rumah tangga). Hal ini dapat dikaitkan dengan masalah ekonomi, pekerjaan yang layak akan membantu perekonomian keluarga dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Apabila hal ini terganggu maka akan menimbulkan masalah dalam ruang lingkup keluarga yang dapat memicu pada terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan No Pekerjaan N % 1 Ibu Rumah Tangga 88 65.2 2 Swasta 33 24.4 3 Pegawai Honorer 2 1.5 4 PNS 12 8.9 135 100 Total Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa responden yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga paling banyak mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga, yaitu sebanyak 88 orang (65.2%). Selanjutnya, pekerja swasta sebanyak 33 orang (24.4%), PNS sebanyak 22 12 orang (8.9%). Sedangkan profesi yang paling sedikit mengalami KDRT adalah Pegawai Honorer sebanyak 2 orang (1.5%). Gambaran ini dapat terlihat pada grafik berikut: Sedangkan, terkait bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilihat pada tabel berikut: No Jenis KDRT N % 1 Fisik 126 93.3 2 Psikis 1 0.8 3 Penelantaran 8 5.9 135 100 Total Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jenis kekerasan fisik menempati urutan tertinggi dalam rentang tahun 2013-2014 yaitu sebanyak 126 kasus (93.3%). Disusul dengan jenis KDRT berupa penelantaran dalam rumah tangga sebanyak 8 kasus (5.9%) dan kekerasan psikis sebanyak 1 kasus (0.8%). 23 F. Penutup Pernikahan dini merupakan salah satu fenomena sosial yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam praktiknya, fenomena ini sangat sedikit terekspos di ranah publik, tetapi kenyataannya begitu banyak terjadi di kalangan masyarakat luas. Hal ini dimungkinkan karena secara legal positif telah diatur tentang batas minimal usia perkawinan. Tujuannya agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari aspek fisik, psikis maupun mental. Pernikahan dini sangat rentan dengan berbagai masalah, tidak hanya dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kesehatan reproduksi, gangguan secara psikologis, tetapi juga kontribusi fenomena ini pada tingginya kasus perceraian dini dan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Oleh karena itu, perlu dilakukannya upaya serius dari seluruh elemen masyarakat untuk meminimalisir terjadinya pernikahan dini dan tindak kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang pendewasaan usia perkawinan dan dampak menikah usia muda kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik, melakukan sosialisasi maupun penyuluhan hukum, serta yang tidak kalah pentingnya adalah memasukkan Pendidikan Seksual Komprehensif (Comprehensive Sexual Education) dalam kurikulum sekolah agar anak-anak dan remaja mengetahui hak kesehatan reproduksi 24 seksualnya, sehingga dapat menekan dan mengurangi angka pernikahan anak. Catatan: 1Dewi Candraningrum, dkk, Takut akan Zina, Pendidikan Rendah, dan Kemiskinan: Status Anak Perempuan dalam Pernikahan Anak di Sukabumi Jawa Barat, Jurnal Perempuan, Vol. 21, No. 1, Februari 2015, hlm. 150-151 2Ibid, 3Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989), Cet. ke-1, hlm. 910 4Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, t.t), Cet. ke-3, hlm. 106 5Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta : Prenada Media, 2008), Cet. III, hlm. 394 6Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 144 7http://sp.beritasatu.com/home/anak-perempuan-nikah-dini-rentan-kdrt/64644 diakses tanggal 10 Mei 2015 8Hasyiem Syafiq, Menakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm 189 9Dwi Riflani yang berjudul Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam, dimuat dalam Jurnal de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 3 Nomor 2, Desember 2011 10Antuni Wiyarsi, dkk, Survei Terhadap Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Wanita Karier di Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta: 2010 11Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta: Prenada Media, 2008), Cet. III, hlm. 394 12Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), Cet. VI, hlm. 78 13Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al 'Ilmi lil Malayain, tt.), hlm. 16 14Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, hlm.16 15Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia + Tazaffa, 2009), hlm. 371 16Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 372 17Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i, al Umm, (t.tp: t.np, t.t), V, hlm.15 18M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Vol. 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 140 19Heru Susetyo, Perkawinan di Bawah Umur, Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 22 20Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 334-336 21Supriyadi dan Yulkarnain Harahap, Perkawinan di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam dalam Mimbar Hukum Vol 21, Nomor 3, Oktober 2009, hlm. 59 22Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 53 23Atikah Pustikasari, Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Isteri, Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013 24Mufidah Ch, Paradigma Gender, (Malang: Banyumedia, 2008), hlm. 267 25Mufidah Ch, Paradigma Gender, hlm. 268 26Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 20 27Winarsih Nur Ambarwati, Efektifitas Paket Pasutri Terhadap Kondisi Psikologis Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Karisidenan Surakarta, Tesis, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, 2009, hlm. 17-18 25 28Emi Sutrisminah, Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap Kesehatan Reproduksi, Jurnal UNISSULA, Vol. 50, No. 127 (2012) 29Stefanie Indrie E. Mantiri, dkk, Hubungan antara Usia Waktu Menikah Dengan Kejadian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Manado Periode September 2012 – Agustus 2013, hlm. 6 30Agustin Hesti Saputri, Persepsi Istri Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Kecerdasan Emosional Dan Tingkat Pendidikan, S k r i p s i , Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Achmad Muthali’in, Bias Gender Dalam Pendidikan, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2003, Cet. VI Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Nikah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Prenada Media, 2008, Cet. III Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dan Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991 Fathul Djannah, et al, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta: LKIS, 2002 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Mufidah Ch, Paradigma Gender, Malang: Banyumedia, 2008 Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut: Dar al 'Ilmi lil Malayain, tt M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Vol. IX, Jakarta: Lentera Hati, 2005 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. ke-1, Bandung: Pustaka Setia, 2000 Rifka Annisa, Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender, Yogyakarta: Rifka Annisa, 2010 Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006 26 Rochmat Wahab, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif, t.th, t.t Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: Eresco, 1988 Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989, Cet. ke-1 Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 2, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2004 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1983 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, t.t, Cet. ke-3 B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kompilasi Hukum Islam 27