early marriage and its relationship with domestic

advertisement
EARLY MARRIAGE AND ITS RELATIONSHIP WITH
DOMESTIC VIOLENCE IN JAMBI 2013-2014
PERNIKAHAN DINI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI
KOTA JAMBI TAHUN 2013-2014
Dian Mustika
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Jl. Jambi – Ma. Bulian KM 16, Simpang Sungai Duren Muaro Jambi, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrack: This article was based on research that aimed at uncovering
the factors behind the violence in the domestic and the relationship
between early marriage with domestic violence in Jambi during 20132014. This research used a qualitative approach that was descriptive
analytical method where the data were collected through observation,
interview, and documentation. The results showed that the factors
behind the occurance of domestic violence in Jambi were economic
problems, infidelity, and emotional factors as well as bad behavior.
Furthermore, associated with the relationship between early marriage
and domestic violence in Jambi, it was known that there was a
relationship between them even though the number of victims who
reported to the Women and Children Protection Unit of Jambi Police
Station during 2013-2014 were only slightly, namely 1.5%. However,
based on information from the Women and Children Protection Unit,
this number could increase because many people were reluctant to
report the domestic violence that happened to them to the authorities.
Commonly, they would report it after experiencing a serious violence.
Keywords: early marriage, domestic violence
Abstrak: Artikel ini berbasis penelitian yang bertujuan untuk
mengungkap faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga dan hubungan antara pernikahan dini
dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi dalam
rentang tahun 2013-2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan metode
pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di
Kota Jambi adalah permasalahan ekonomi, perselingkuhan, dan faktor
emosional serta perilaku yang buruk. Selanjutnya, terkait dengan
adanya hubungan antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan
1
dalam rumah tangga di Kota Jambi diketahui bahwa ada hubungan
antara keduanya, meskipun jumlah korban yang melaporkan ke Unit
Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Jambi dalam rentang
tahun 2013-2014 hanya sedikit, yaitu sebesar 1.5%. Namun,
berdasarkan informasi dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak,
angka ini bisa saja bertambah karena masih banyak masyarakat yang
enggan untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya ke pihak yang berwajib, biasanya masyarakat baru akan
melapor setelah mengalami kekerasan yang cukup berat.
Kata Kunci: pernikahan dini, kekerasan dalam rumah tangga
A. Pendahuluan
Pernikahan dini merupakan suatu fenomena yang sudah lama
muncul dan menjadi pembicaraan hangat publik tanah air. Dalam
praktiknya, fenomena ini sangat sedikit terekspos di ranah publik, tetapi
kenyataannya begitu banyak terjadi di kalangan masyarakat luas. Hal ini
dimungkinkan karena secara legal positif telah diatur tentang batas
minimal usia perkawinan. Tujuannya agar kedua belah pihak benar-benar
siap dan matang dari aspek fisik, psikis maupun mental.
Menurut Council of Foreign Relations, Indonesia merupakan salah
satu dari sepuluh negara di dunia dengan angka absolut tertinggi
pengantin anak, sedangkan di ASEAN, Indonesia menempati angka
tertinggi kedua setelah Kamboja. Diperkirakan satu dari lima anak
perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka mencapai 18 tahun. Di
dunia setidaknya ada 142 juta anak perempuan akan menikah sebelum
dewasa dalam satu dekade ini saja (CFR 2015).1
Lebih lanjut, di Indonesia anak perempuan merupakan korban
paling rentan dari pernikahan anak, dengan prevalensi: 1. Anak
perempuan dari daerah perdesaan mengalami kerentanan dua kali lipat
lebih banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan. 2.
Pengantin anak yang paling mungkin berasal dari keluarga miskin. 3. Anak
perempuan yang kurang berpendidikan dan drop-out dari sekolah
umumnya lebih rentan menjadi pengantin-anak daripada yang bersekolah.
2
Akan tetapi saat ini UNICEF melaporkan bahwa prevalensi ini bergeser
terutama di daerah perkotaan: pada tahun 2014, sebesar 25% perempuan
berusia 20-24 tahun menikah di bawah usia 18 tahun. Ini adalah realitas
mengejutkan bagi banyak feminis dan pendukung hak asasi manusia.2
Menurut WHO, batasan usia muda terbagi dalam 2 bagian yaitu
usia muda awal 10-14 tahun dan usia muda akhir 15-20 tahun.3 Usia muda
(remaja) adalah anak yang berada pada masa dewasa, di mana anak-anak
mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan
lagi anak-anak, baik untuk badan, sikap, cara berfikir atau bertindak,
tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Masa ini dimulai kirakira umur 13 tahun dan berakhir kira-kira 21 tahun.4
Terkait dengan batas usia minimum untuk menikah, UU No. 1
Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilas belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pada
Pasal 2 disebutkan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Selanjutnya Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
Dalam KHI Pasal 15 juga dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Mengacu pada ketentuan formal batas usia minimum untuk
menikah di Indonesia, maka pernikahan dini dapat diartikan sebagai
pernikahan yang dilakukan pada usia terlalu muda, sehingga tidak
ada/kurang ada kesiapan biologis, psikologis maupun sosial. Pernikahan
yang diselenggarakan pada rentang usia dibawah 16 tahun tersebut akan
3
memberikan dampak negatif pada gadis remaja (menghalangi seorang
perempuan dari kebebasan, psikologi, maupun biologis) belum mencapai
kematangan sebagaimana keberadaannya pada masa transisi. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan dini adalah
pernikahan yang dilakukan oleh gadis remaja pada usia yang belum
matang yakni di bawah 16 tahun.
Dalam hukum Islam, mengenai batas usia perkawinan, secara
tidak langsung, Al-Qur’an dan Hadits mengakui bahwa kedewasaan sangat
penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan
tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum
antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtilam
bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun.
Dengan
terpenuhinya
kriteria baligh
maka
telah
memungkinkan
seseorang melangsungkan perkawinan.5 Sehingga kedewasaan seseorang
dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh.
Kematangan biologis dan psikologis dari calon mempelai
merupakan salah satu prinsip yang dianut oleh Undang-undang
Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan pada usia yang terlalu muda
dikhawatirkan akan menghasilkan keturunan yang kurang baik. Hal ini
bukan saja karena berasal dari bibit yang belum matang, tetapi juga
karena kurangnya pengetahuan pasangan tersebut terhadap pola
pengasuhan anak, sehingga anak akan tumbuh dengan pola pengasuhan
dan pendidikan yang kurang maksimal. Oleh karena itu, perkawinan yang
belum memenuhi syarat usia minimal bolehnya menikah harus
diminimalisir untuk mencegah kekhawatiran tersebut.6 Masalah lain yang
ditimbulkan dari pernikahan dini ialah kontribusi fenomena ini pada
tingginya kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Hasil riset Plan Indonesia menyebutkan anak perempuan yang
menikah dini rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
4
Berdasarkan hasil riset pada tahun 2011, sebanyak 44 % anak menikah
dini mengalami KDRT dengan tingkat frekuensi tinggi, sedangkan sisanya
sebanyak 56 % anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi
rendah. Riset itu juga menyebutkan bahwa 33,5 % anak usia 13-18 tahun
pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun.
Bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia, masih banyak
perempuan yang mengalami diskriminasi karena persoalan gender dan
usia.7
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius
yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena; pertama, KDRT
memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat
privasinya karena persoalan terjadi di dalam keluarga. Kedua, KDRT
seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakuan istri
sekehendaknya merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala
rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi pada lembaga yang legal yaitu
perkawinan.8 Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan di
atas, maka fokus penelitian ini adalah menganalisa hubungan antara
pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota
Jambi dalam rentang tahun 2013-2014.
Kajian maupun penelitian mengenai pernikahan dini dan
kekerasan dalam rumah tangga sudah cukup banyak dibahas, bahkan
hingga saat ini masih menjadi isu yang cukup aktual. Beberapa kajian
maupun penelitian yang telah dilakukan, diantaranya: Dwi Riflani
mengemukakan tentang dampak pernikahan dini yang ditinjau dari
berbagai aspek, baik hukum, biologis dan sosiologis serta dampak sosial
dan perilaku seksual. Di akhir tulisannya, penulis juga mengulas
pandangan hukum Islam terhadap pernikahan dini.9 Penelitian Antuni
Wiyarsi, dkk, mengungkap persentase wanita karier di wilayah DIY yang
mengalami KDRT ditinjau dari keempat jenis KDRT yang ada yaitu
kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi serta persentase wanita
5
karier di wilayah DIY yang mengalami KDRT ditinjau dari usia
perkawinan.10 Penelitian Steffanie Indri E. Mantiri, dkk yang berjudul
Hubungan Antara Usia Waktu Menikah Dengan Kejadian Kekerasan Dalam
Rumah Tangga di Manado Periode September 2012-Agustus 2013 berhasil
mengungkap bahwa responden yang menikah pada usia dini mengalami
kasus KDRT lebih banyak di bandingkan wanita yang menikah di usia
dewasa, yaitu (68,52%) berbanding (31,48%).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Untuk mengetahui faktor yang
melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di
Kota Jambi. (2) Untuk mengetahui hubungan antara pernikahan dini
dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat
deskriptif analitis dengan metode pengumpulan data melalui observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Data-data yang telah terkumpul kemudian
dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan metode:
a. Metode Induktif, yaitu metode berfikir dengan menerangkan data yang
bersifat khusus kemudian digeneralisasi menjadi kesimpulan umum.
Dalam hal ini, terkait hubungan antara pernikahan dini dengan
terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga di Kota Jambi,
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang umum tentang hubungan
antara keduanya.
b. Metode Deduktif, yaitu suatu metode menganalisis data yang bersifat
umum untuk kemudian diambil kesimpulan yang khusus dengan
menggunakan dalil-dalil baik dari nash maupun peraturan perundangundangan yang berlaku. Tujuan dalil-dalil atau kaidah-kaidah tersebut
untuk menguatkan analisis terhadap hubungan pernikahan dini dengan
tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Data mentah hasil observasi dan wawancara berupa rekaman
ataupun catatan yang dibuat di lapangan kemudian dikumpulkan.
Selanjutnya data tersebut ditranskrip secara sistematis. Pada tahap ini,
6
catatan yang diperoleh dirubah dalam bentuk tertulis apa adanya.
Kemudian seluruh data yang ditranskrip dibaca ulang secara teliti. Dari
proses ini akan dapat ditemukan hal-hal penting yang perlu dicatat untuk
proses berikutnya.
B. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam dan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Dalam konteks hukum Islam dapat dipahami, secara tidak
langsung, al-Qur’an dan Hadis mengakui bahwa kedewasaan sangat
penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan
tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara
umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria,
ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan)
tahun. Dengan terpenuhinya kriteria baligh maka telah memungkinkan
seseorang untuk melangsungkan perkawinan,11 sehingga kedewasaan
seseorang dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh.
Apabila
terjadi
kelainan
atau
keterlambatan
pada
perkembangan jasmani (biologis)nya, sehingga pada usia yang biasanya
seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau mengeluarkan
darah haid bagi wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan tandatanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia
yang lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh. Mulainya usia
baligh antara seorang dengan orang lain dipengaruhi oleh perbedaan
lingkungan, geografis dan sebagainya. Ukuran kedewasaan yang diukur
dengan kriteria baligh ini tidak bersifat kaku (relatif).12 Artinya, jika
secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus
segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk
menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan
umur bagi orang yang dianggap baligh:
7
Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi laki-laki
adalah 18 tahun dan untuk perempuan 17 tahun. Sementara Abu Yusuf
Muhammad bin Hasan bin As-Syafi’i berpendapat bahwa usia 15 tahun
baik untuk laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian berdasarkan
keterangan di atas menurut istilah fiqh, pernikahan dini adalah
perkawinan laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Jika batasan
baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun, maka pernikahan
dini/belia adalah perkawinan di bawah usia 15 tahun menurut mayoritas
ahli fiqh dan di bawah 17 atau 18 tahun menurut Abu Hanifah.13
Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa:14
‫و قال الشافعيت و الحنابلت أن البلوغ بالسه يتحقق بخمس عشرة سنت في الغالم و الحاريت‬
Artinya: Anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila
telah menginjak usia 15 tahun.
Ulama Hanafiyyah menetapkan usia baligh sebagai berikut:
‫و قال الحنفيت ثمان عشرة في الغالم و سبع عشرة في الجاريت‬
Artinya: Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17
tahun bagi anak perempuan.
Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan:
‫و قال اإلماميت خمس عشرة في الغالم و تسع في الجاريت‬
Artinya: Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun
bagi anak perempuan.
Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka
terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Abu Hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun
hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun, sehingga dianggap
belum baligh. Kedua,
ia
dianggap
telah
baligh
karena
telah
memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan
8
perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana
dimiliki oleh wanita dewasa.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa Imam Mazhab pada
dasarnya membolehkan pernikahan dini. Secara tersirat Imam Malik
mengakui perkawinan wanita yang belum dewasa. Imam Malik
menyatakan bahwa perkawinan seorang janda belum dewasa yang
belum dicampuri oleh bekas suaminya, baik berpisah karena ditalak atau
ditinggal mati, mempunyai status sama dengan gadis, bahwa bapak
mempunyai hak ijbar terhadapnya. Sebaliknya, apabila sudah dicampuri
maka statusnya sama dengan janda, bahwa dia sendiri lebih berhak
terhadap dirinya daripada walinya.15
Selanjutnya, Imam Syafi`i secara tegas membagi perkawinan
menjadi tiga macam berdasarkan usia calon mempelai wanita, yaitu
(1) perkawinan janda, (2) perkawinan gadis dewasa, dan (3) perkawinan
anak-anak.16 Untuk gadis yang belum dewasa, usia belum mencapai 15
tahun atau belum keluar darah haidh, maka seorang bapak boleh
menikahkan tanpa seizinnya lebih dahulu (hak ijbar), dengan syarat
menguntungkan dan tidak merugikan si anak (ghaira nuqshan laha).
Sebaliknya tidak boleh apabila akan berakibat merugikan atau
menyusahkan anak. Dasar penetapan hak ijbar menurut Imam Syafi`i
adalah tindakan Nabi SAW yang menikahi `Aisyah ketika masih berumur
enam atau tujuh tahun dan berjima` setelah umur sembilan tahun.17
Menurut Ibnu Qudamah, dasar kebolehan menikahkan gadis
yang belum dewasa adalah firman Allah Q.S. Ath-Thalaq ayat 4. Pada
dasarnya, ayat ini berbicara tentang masa iddah seorang wanita yang
sudah putus haidh dan yang tidak haidh karena belum dewasa, yaitu 3
(tiga) bulan.18 Secara tersirat, ayat ini menunjukkan bahwa seorang
wanita yang belum haidh (belum dewasa) boleh menikah.
9
Secara umum, pendapat dari para fuqaha dalam hukum Islam
mengenai perkawinan di bawah umur dikategorikan dalam tiga
kelompok yaitu:19
1. Pandangan jumhur fuqaha yang membolehkan pernikahan usia dini,
walaupun kebolehan pernikahan dini ini tidak serta merta
membolehkan adanya hubungan badan. Apabila hubungan badan
akan mengakibatkan adanya dlarar, maka hal itu terlarang, baik
pernikahan dini maupun pernikahan dewasa.
2. Pandangan Ibnu Syubrumah dan Abu Bakr al-Asham menyatakan
bahwa pernikahan di bawah umur hukumya terlarang secara mutlak.
3. Pandangan Ibnu Hazm, beliau memilih antara pernikahan anak lelaki
kecil dengan anak perempuan kecil. Pernikahan anak perempuan
yang masih kecil oleh Bapaknya dibolehkan, sedangkan anak lelaki
yang masih kecil dilarang. Argumen yang dijadikan dasar adalah
zhahir hadits pernikahan Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW.
Mengingat, perkawinan merupakan akad/perjanjian yang
sangat kuat (mitsaqan ghalizhan) yang menuntut setiap orang yang
terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Oleh
karena itu, perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum
tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja.
Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz),
baligh (cukup umur) dan pemahaman. Dengan demikian, seseorang
baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami
secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya.20
Berdasarkan hasil ijtima` ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III
Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literatur fiqh, tidak terdapat
ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan, baik
batasan usia minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah
tasyri` dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah serta
10
dalam rangka memperoleh keturunan (hifz al nasl). Hal ini bisa tercapai
pada usia dimana calon mempelai telah sempurna akal fikirannya serta
siap melakukan proses reproduksi. Berdasarkan hal tersebut, Komisi
Fatwa menetapkan beberapa ketentuan hukum: pertama, Islam pada
dasarnya tidak menetapkan batasan usia minimal pernikahan secara
definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan
kecakapan menerima hak (ahliyatul ada` wa al wujub), sebagai ketentuan
sinn al rusyd. Kedua, pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan
mudharat. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi
tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah
tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
Ketiga, guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan
dikembalikan kepada standardisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai pedoman.21
Selanjutnya, dalam perspektif Peraturan Perundang-undangan
di Indonesia, Undang-Undang Perkawinan bab II Pasal 7 ayat (1)
menegaskan tentang adanya batas usia pernikahan, yaitu pernikahan
hanya diizinkan jika pihak laki-laki mencapai umur 19 tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan
terhadap ketentuan usia kawin tersebut dapat dimintai dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun pihak wanita. Kebijakan pemerintah dalam
menetapkan batasan usia minimal pernikahan ini tentunya sudah
melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar
kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari aspek fisik, psikis,
dan mental.
Bila melihat pada sejarah pembentukan Undang-Undang
perkawinan, yang menjadi pertimbangan batasan usia kawin tersebut
adalah
kematangan
biologis
seseorang
(bukan
kedewasaan).
11
Pembatasan usia perkawinan pada saat itu dimaksudkan untuk
mengantisipasi maraknya perkawinan pada anak-anak, yang isunya telah
bergulir sejak tahun 1920-an.22
Apabila dalam kondisi tertentu, pernikahan dini terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang No. 1 Tahun 1974 masih memberikan
kemungkinan pengecualian, sebagaimana yang diatur dalam pasal 7
ayat ( 2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu adanya dispensasi
dari pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur tersebut di atas.
Terkait dengan hal ini, Kompilasi Hukum Islam menguatkan
ketentuan dalam Undang-undang Perkawinan. Pada Pasal 15 Kompilasi
Hukum Islam dinyatakan bahwa batas umur minimal calon mempelai
yang akan menikah adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi
laki-laki.
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menyatakan secara tegas,”Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan” (Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat (1) poin c disebutkan,
keluarga dan orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya
perkawinan di usia anak-anak. Secara jelas, undang-undang ini
mengatakan, tidak seharusnya pernikahan dilakukan terhadap mereka
yang usianya masih di bawah 18 tahun.
Pembatasan usia minimal melangsungkan pernikahan ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.
Selain untuk menjaga kesehatan suami isteri, perkawinan usia dini
mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata
batas usia yang lebih rendah bagi seorang perempuan untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Di samping faktor kesehatan dan kependudukan, pernikahan
usia dini juga sangat rentan dengan tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Berdasarkan hasil penelitian Atikah Pustikasari, sebesar 51.3%
12
ibu rumah tangga di Kabupaten Bekasi melakukan pernikahan di bawah
usia 20 tahun. Selanjutnya, sebesar 73.9% mengalami kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) selama menikah. Jenis kekerasan tertinggi adalah
kekerasan psikis 77.1% dan terendah kekerasan fisik 23.6%. Wanita
yang menikah di bawah usia 20 tahun berisiko 2 kali lebih tinggi
mengalami KDRT. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil penelitian lain di Indonesia yang menghasilkan 44 % anak yang
menikah usia dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (Plan
indonesia, 2011). Penelitian ini pun lebih tinggi dengan temuan UNICEF
(2005), yang menunjukkan bahwa 67 % wanita yang menikah usia muda
mengalami kekerasan dalam rumah tangga.23
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Dampaknya
Menurut Mufidah, kekerasan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang kepada seseorang atau
sejumlah orang, yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik
maupun non-fisik dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan
penderitaan kepada obyek kekerasan.24
Lebih lanjut, Mufidah mengemukakan bahwa kekerasan berbasis
gender merupakan jenis kekerasan yang dilakukan oleh seseorang
terhadap jenis kelamin yang berbeda seperti laki-laki melakukan tindak
kekerasan terhadap perempuan atau sebaliknya, namun biasanya
perempuan lebih banyak menjadi korban daripada menjadi pelaku.
Faktor penyebab perempuan lebih dominan menjadi korban antara lain
disebabkan terjadinya diskriminasi gender.25
Berdasarkan Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan, 1993, bahwa kekerasan terhadap perempuan
adalah setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis
kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk
13
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.
Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan yang
menjadi korban kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1984, kemudian disahkanlah Undangundang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam
Rumah Tangga (PDKRT).
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa yang
dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 5 ditegaskan bentukbentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga mencakup: (a) kekerasan fisik,
(b) kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah
tangga.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit, atau luka berat. Dalam Pasal 7 dikemukakan bahwa
kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang,
sedangkan kekerasan seksual meliputi: (1) pemaksaan hubungan seksual
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
14
tangga tersebut; (2) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8). Pada Pasal 9 dikemukakan
bahwa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia
wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut, termasuk juga bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban
berada di bawah kendali orang tersebut.
Terkait dengan hal ini, Mansour Faqih merinci beberapa
bentuk kekerasan yang disebabkan oleh bias gender (gender-related
violence), diantaranya:26
1) Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan
di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan
paksaan
untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan
yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa
diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan,
dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun kultural.
2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah
tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam
bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
3) Bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital
mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan.
4) Kekerasan
merupakan
dalam
bentuk
bentuk
pelacuran
kekerasan
(prostitution).
terhadap
Pelacuran
perempuan
yang
diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan
kaum perempuan.
5) Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan
15
non fisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena
tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang.
6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga
berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak
tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap
perempuan
dalam
rangka
memenuhi
target
mengontrol
pertumbuhan penduduk.
7) Kekerasan
terselubung
(molestation) berupa
memegang
menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan
atau
dengan
berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan. Jenis kekerasan ini
sering terjadi di tempat kerja atau di tempat umum.
8) Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum
dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual.
Kekerasan dalam rumah tangga menimbulkan dampak yang
beragam, di antaranya sebagai berikut:27
1. Dampak pada kesehatan reproduksi perempuan
Perempuan yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga
akan berdampak pada kesehatan reproduksinya, di antaranya
mengalami kesulitan dalam melindungi diri sendiri dari kehamilan
yang tidak diinginkan atau penyakit menular seksual.
2. Dampak pada masalah fisik
Berdasarkan laporan WHO tahun 2005, kekerasan dalam rumah
tangga menyebabkan timbulnya masalah fisik, seperti trauma fisik,
ketidakmampuan permanen sampai kematian. Perempuan yang
mengalami
kekerasan
fisik
juga
melaporkan
lebih
banyak
mengalami masalah kesehatan mulai dari gangguan berjalan,
melakukan aktifitas sehari-hari, nyeri, kehilangan ingatan, pusing,
dan vaginal discharge.
3. Dampak psikologi
Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
16
mengalami dampak psikologis berupa:
a.
Gangguan stress pasca trauma, yaitu gangguan emosional yang
berkembang
sebagai
akibat
perasaan
ketakutan
yang
mengerikan, ancaman kehidupan atau pengalaman tidak aman
yang lain.
b.
Depresi merupakan masalah kejiwaan yang paling sering
ditemukan pada korban kekerasan dalam rumah tangga.
Depresi, yaitu gangguan mental yang ditandai dengan gangguan
perasaan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan tidak
berguna, harga diri rendah, gangguan tidur dan nafsu makan,
dan lain-lain.
c.
Gangguan kecemasan. Korban kekerasan dalam rumah tangga
akan mengalami gangguan tersebut dalam jangka waktu yang
lama dan akan mengganggu aktifitas korban sehari-hari.
Menurut Emi Sutrisminah, dampak kekerasan rumah tangga
terhadap
istri
adalah
mengalami
sakit
fisik,
tekanan
mental,
menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak
berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa
dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan
keinginan untuk bunuh diri, sedangkan dampak kekerasan terhadap
pekerjaan istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu
dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan
merasa takut kehilangan pekerjaan. Selanjutnya, dampak kekerasan
terhadap anak adalah kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing
dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anakanak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak
berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah
menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan
orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.28
17
D. Faktor Terjadinya Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota
Jambi
Pada dasarnya, faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga bersifat kompleks dan saling berhubungan antara satu
dengan yang lain. Menurut UNICEF, akar terjadinya Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dapat dilatarbelakangi oleh sejarah personal laki-laki
yang dianggap memiliki kuasa yang lebih daripada perempuan
(patriarki) sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang lebih
rendah dan menganggap perempuan sebagai milik laki-laki. Atas dasar
hal tersebut, kekerasan dianggap sebagai hal wajar yang dilakukan oleh
laki-laki
terhadap
perempuan.
Kekerasan
terhadap
perempuan
merupakan persoalan struktural yang bersifat sistemik, yang disebabkan
oleh pola hubungan asimetris dan berbasis pada perbedaan jenis kelamin
serta pembagian kerja seksual.
Selain faktor sejarah personal di atas, menurut WHO, akar
penyebab terjadinya KDRT meliputi berbagai bidang, yaitu ekonomi,
budaya, sosial, politik dan hukum. Dalam bidang ekonomi, laki-laki
dianggap sebagai pencari nafkah dan secara kodrati dianggap memiliki
kemampuan lebih dibandingkan perempuan, sehingga perempuan
memiliki ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Perempuan tidak
memiliki kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan dengan lakilaki, sehingga memiliki sedikit peluang untuk mendapatkan pekerjaan
dengan gaji yang layak. Selain itu, menurut WHO, tindakan isolasi
terhadap perempuan di dalam keluarga dan masyarakat juga dapat
berkontribusi menambah potensi terjadinya KDRT karena hal tersebut
menyebabkan perempuan tidak mempunyai akses pada keluarga dan
organisasi lokal.
Terkait penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah
tangga, menurut Shisca Agustina (Kanit PPA Polresta Jambi), bahwa
korban pada umumnya
datang
melapor
dan
mengadu
hanya
18
mengaku telah dianiaya tetapi tidak menyebutkan secara jelas apa
penyebabnya.
Meskipun,
ada
korban
yang melaporkan
faktor
penyebabnya adalah permasalahan ekonomi yaitu terkait penghasilan
suami. Korban biasanya tidak mau menceritakan hal sebenarnya
mengapa ia dianiaya, sehingga polisi hanya memproses pengaduan
tersebut tanpa melihat lebih jauh faktor penyebabnya.
Selanjutnya, selain faktor ekonomi, menurut Shisca Agustina,
penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lainnya adalah
faktor perselingkuhan yang dapat berujung pada kekerasan fisik dan
penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik dapat terjadi karena antara
pelaku dan korban selalu cekcok atau bertengkar karena adanya
perselingkuhan
dari
salah
satu
atau
keduanya.
Begitu
pula
penelantaran, dapat memicu adanya pertengkaran yang berujung pada
kekerasan dalam rumah tangga. Di samping itu, faktor emosional dan
perilaku buruk seperti seseorang yang mempunyai sifat tempramen
tinggi, gampang marah, kasar berbicara, suka main judi, pemabuk dan
mudah tersinggung, serta pencemburu juga menjadi salah satu faktor
penyebab terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Pada dasarnya, beberapa faktor penyebab terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga di atas merupakan sebagian kecil dari
faktor-faktor pemicu yang terjadi di tengah masyarakat. Tak dapat
dipungkiri, kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial
serius yang kurang mendapat tanggapan dari masyarakat karena;
pertama, KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi)
dan terjaga ketat privasinya karena persoalan terjadi di dalam keluarga.
Kedua, KDRT seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa
memperlakuan istri sekehendaknya merupakan hak suami sebagai
pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, KDRT terjadi pada lembaga
yang legal yaitu perkawinan. Hal inilah yang membuat fenoma
kekerasan dalam rumah tangga di tengah masyarakat tidak banyak
19
terungkap.
E. Hubungan Pernikahan Dini Dengan Tindak Kekerasan Dalam Rumah
Tangga di Kota Jambi
Pada dasarnya, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas. Salah satu faktor yang turut mempengaruhi
diantaranya adalah pernikahan usia dini. Pernikahan usia dini sebagai
bentuk perilaku yang sudah membudaya di tengah masyarakat. Dengan
demikian, bahwa batasan individu dengan meninjau kesiapan dan
kematangan usia individu bukan menjadi penghalang bagi seseorang
untuk tetap melangsungkan pernikahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka diperoleh hasil
bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi pada
rentang usia 31-40 tahun yaitu berjumlah 61 kasus dengan persentase
(45.2%), diikuti oleh rentang usia 21-30 tahun sebanyak 44 orang
(32.6%). Usia 41-50 tahun sebanyak 28 orang (20.7%) dan yang paling
sedikit adalah rentang usia 15-20 tahun yaitu sebanyak 2 orang (1.5%).
Hal ini dapat terlihat pada grafik berikut ini:
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara pernikahan dini dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga di
20
Kota Jambi, meskipun kasus yang dilaporkan tidak banyak. Namun,
berdasarkan informasi dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak,
angka ini bisa saja bertambah karena masih banyak masyarakat yang
tidak mau melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya ke pihak yang berwajib, biasanya masyarakat baru akan
melapor setelah mengalami kekerasan yang cukup berat.
Terkait dengan hal ini, kurang matangnya emosional dan
kurang mapannya dalam hal ekonomi turut menjadi penyebab terjadi
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Stets, usia memiliki
hubungan dengan agresi fisik pada keluarga, makin bertambahnya
usia makin rendah tingkat kekerasan dan sebaliknya. Hasil ini sesuai
dengan pendapat Hurclok, Clarke, Stanley dan Markman yang
menyatakan bahwa perkawinan pada usia dini (atau sekitar 18-19
tahun) akan mendorong terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang dapat berdampak pada perceraian. Hal tersebut dikarenakan
pernikahan dibawah umur membuat masing-masing individu belum siap
pernik-pernik pertikaian yang dijumpai. Selain itu, perkawinan dan
kedudukan sebagai orang tua muda sebelum menyelesaikan pendidikan
dan secara ekonomis mandiri membuat pasangan muda tersebut tidak
mempunyai pengalaman yang dipunyai oleh teman-teman yang belum
menikah atau orang yang sudah mandiri sebelum menikah. Hal tersebut
menyebabkan sikap iri hati dan menjadi halangan bagi penyesuaian
perkawinan.29
Kematangan
emosional
juga
ikut mempengaruhi kasus
kekerasan dalam rumah tangga pada wanita yang menikah pada usia
dini. Wanita yang menikah pada usia dini kurang bijaksana dalam
mengontrol tingkat emosionalnya sehingga banyak kasus kekerasan
dipicu karena suatu masalah yang tidak dapat lagi untuk diselesaikan
dengan komunikasi. Kematangan emosi mempunyai pengaruh besar
bagi kokohnya sebuah rumah tangga. Walgito menyatakan bahwa
21
kematangan emosi dan pikiran akan saling berkaitan. Bila seseorang
telah matang emosinya, telah dapat mengendalikan emosinya maka
individu akan dapat berpikiran secara matang dan berpikiran obyektif
sehingga dapat memikirkan solusi atau jalan keluar yang harus
ditempuh untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam rumah
tangga.30
Selain hal-hal yang telah diuraikan diatas, berdasarkan hasil
penelitian ini, juga ditemukan perbedaan pekerjaan antara wanita yang
menikah waktu usia dini dan usia dewasa. Banyak wanita yang
mengalami kekerasan
dalam rumah tangga
de n ga n
pekerjaan
se b a ga i IRT (ibu rumah tangga). Hal ini dapat dikaitkan dengan
masalah ekonomi, pekerjaan yang layak akan membantu perekonomian
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Apabila
hal ini terganggu maka akan menimbulkan masalah dalam ruang lingkup
keluarga yang dapat memicu pada terjadinya kasus kekerasan dalam
rumah tangga.
Tabel Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
No
Pekerjaan
N
%
1
Ibu Rumah Tangga
88
65.2
2
Swasta
33
24.4
3
Pegawai Honorer
2
1.5
4
PNS
12
8.9
135
100
Total
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa responden yang
berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga paling banyak mengalami kasus
kekerasan dalam rumah tangga, yaitu sebanyak 88 orang (65.2%).
Selanjutnya, pekerja swasta sebanyak 33 orang (24.4%), PNS sebanyak
22
12 orang (8.9%). Sedangkan profesi yang paling sedikit mengalami KDRT
adalah Pegawai Honorer sebanyak 2 orang (1.5%).
Gambaran ini dapat terlihat pada grafik berikut:
Sedangkan, terkait bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilihat
pada tabel berikut:
No
Jenis KDRT
N
%
1
Fisik
126
93.3
2
Psikis
1
0.8
3
Penelantaran
8
5.9
135
100
Total
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jenis kekerasan fisik
menempati urutan tertinggi dalam rentang tahun 2013-2014 yaitu
sebanyak 126 kasus (93.3%). Disusul dengan jenis KDRT berupa
penelantaran dalam rumah tangga sebanyak 8 kasus (5.9%) dan
kekerasan psikis sebanyak 1 kasus (0.8%).
23
F. Penutup
Pernikahan dini merupakan salah satu fenomena sosial yang
banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam
praktiknya, fenomena ini sangat sedikit terekspos di ranah publik, tetapi
kenyataannya begitu banyak terjadi di kalangan masyarakat luas. Hal ini
dimungkinkan karena secara legal positif telah diatur tentang batas
minimal usia perkawinan. Tujuannya agar kedua belah pihak benar-benar
siap dan matang dari aspek fisik, psikis maupun mental.
Pernikahan dini sangat rentan dengan berbagai masalah, tidak
hanya dampak negatif yang ditimbulkan terhadap kesehatan reproduksi,
gangguan secara psikologis, tetapi juga kontribusi fenomena ini pada
tingginya kasus perceraian dini dan tindak kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT). Oleh karena itu, perlu dilakukannya upaya serius dari seluruh
elemen masyarakat untuk meminimalisir terjadinya pernikahan dini dan
tindak kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam bentuk komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) tentang pendewasaan usia perkawinan dan
dampak menikah usia muda kepada masyarakat melalui media cetak
maupun elektronik, melakukan sosialisasi maupun penyuluhan hukum,
serta yang tidak kalah pentingnya adalah memasukkan Pendidikan
Seksual Komprehensif (Comprehensive Sexual Education) dalam kurikulum
sekolah agar anak-anak dan remaja mengetahui hak kesehatan reproduksi
24
seksualnya, sehingga dapat menekan dan mengurangi angka pernikahan
anak.
Catatan:
1Dewi
Candraningrum, dkk, Takut akan Zina, Pendidikan Rendah, dan Kemiskinan: Status
Anak Perempuan dalam Pernikahan Anak di Sukabumi Jawa Barat, Jurnal Perempuan, Vol.
21, No. 1, Februari 2015, hlm. 150-151
2Ibid,
3Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989), Cet. ke-1, hlm. 910
4Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, t.t), Cet. ke-3, hlm. 106
5Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta : Prenada Media, 2008), Cet. III, hlm. 394
6Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm.
144
7http://sp.beritasatu.com/home/anak-perempuan-nikah-dini-rentan-kdrt/64644
diakses
tanggal 10 Mei 2015
8Hasyiem Syafiq, Menakar Harga Perempuan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm 189
9Dwi Riflani yang berjudul Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum Islam, dimuat dalam
Jurnal de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 3 Nomor 2, Desember 2011
10Antuni Wiyarsi, dkk, Survei Terhadap Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Wanita Karier di Daerah Istimewa Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta: 2010
11Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Jakarta: Prenada Media, 2008), Cet. III, hlm. 394
12Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), Cet. VI, hlm. 78
13Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al 'Ilmi lil Malayain,
tt.), hlm. 16
14Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, hlm.16
15Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia + Tazaffa, 2009), hlm. 371
16Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata, hlm. 372
17Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i, al Umm, (t.tp: t.np, t.t), V, hlm.15
18M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Vol. 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 140
19Heru Susetyo, Perkawinan di Bawah Umur, Tantangan Legislasi dan Harmonisasi Hukum
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 22
20Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 334-336
21Supriyadi dan Yulkarnain Harahap, Perkawinan di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum
Pidana dan Hukum Islam dalam Mimbar Hukum Vol 21, Nomor 3, Oktober 2009, hlm. 59
22Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 53
23Atikah Pustikasari, Dampak Pernikahan Dini Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pada Isteri, Jurnal Ilmiah kesehatan, 5(3); September 2013
24Mufidah Ch, Paradigma Gender, (Malang: Banyumedia, 2008), hlm. 267
25Mufidah Ch, Paradigma Gender, hlm. 268
26Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 20
27Winarsih Nur Ambarwati, Efektifitas Paket Pasutri Terhadap Kondisi Psikologis Perempuan
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Karisidenan Surakarta, Tesis, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia, 2009, hlm. 17-18
25
28Emi
Sutrisminah, Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap
Kesehatan Reproduksi, Jurnal UNISSULA, Vol. 50, No. 127 (2012)
29Stefanie
Indrie E. Mantiri, dkk, Hubungan antara Usia Waktu Menikah Dengan Kejadian
Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Manado Periode September 2012 – Agustus 2013, hlm.
6
30Agustin Hesti Saputri, Persepsi Istri Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau
Dari Kecerdasan Emosional Dan Tingkat Pendidikan, S k r i p s i , Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Achmad
Muthali’in,
Bias
Gender
Dalam
Pendidikan,
Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2003,
Cet. VI
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Nikah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Prenada Media, 2008, Cet. III
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dan Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
1991
Fathul Djannah, et al, Kekerasan terhadap Istri, Yogyakarta: LKIS, 2002
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999
Mufidah Ch, Paradigma Gender, Malang: Banyumedia, 2008
Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut: Dar al
'Ilmi lil Malayain, tt
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Vol. IX, Jakarta: Lentera Hati, 2005
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. ke-1, Bandung: Pustaka
Setia, 2000
Rifka
Annisa,
Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender,
Yogyakarta: Rifka Annisa, 2010
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006
26
Rochmat Wahab, Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis
dan Edukatif, t.th, t.t
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung:
Eresco, 1988
Sarlito Wirawan, Psikologi Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989,
Cet. ke-1
Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 2, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1986
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2004
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN.
Balai Pustaka, 1983
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, t.t, Cet. ke-3
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Tindak
Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Kompilasi Hukum Islam
27
Download