Pendekatan Early Warning Signals untuk Krisis Mata Uang Indonesia

advertisement
PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS
UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA:
PERIODE 1996 -2009
Oleh :
YUSTINUS WAHYUDI
NIM : 222009020
KERTAS KERJA
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-persyaratan untuk mencapai Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS
: EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
2013
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perekonomian terbuka sebagai tatanan baru perekonomian dunia telah memberikan celah
bagi semua negara untuk berinteraksi dan berintegrasi satu sama lain. Batas-batas
wilayah suatu negara menjadi semakin tak kentara. Ini berarti bahwa area-area saling
terhubung dalam perkembangan teknologi dan liberalisasi yang memungkinkan mobilitas
yang lebih tinggi bagi arus barang dan arus uang. Lebih jauh, terbukanya suatu
perekonomian akan memberikan tantangan tersendiri bagi suatu negara khususnya bagi
negara yang sedang berkembang. Di satu sisi, integrasi yang lebih besar dalam sektor
keuangan akan memberikan banyak manfaat terutama dengan masuknya inovasi
keuangan dalam bentuk aliran modal asing sebagai pembiayaan investasi. Di sisi lain,
integrasi tersebut juga membuka kesempatan bagi terjadinya suatu bentuk krisis yang
dapat ditularkan melalui hubungan dagang dengan negara lain. Beberapa gelombang
krisis telah menerpa perekonomian dunia selama dekade 1990-an yaitu Exchange Rate
Mechanism (ERM) tahun 1992-1993 di Eropa, Tequila Effect di Meksiko tahun 19941995, Asia 1997-1998, Rusia 1998 sampai dengan krisis di Argentina tahun 2001.
Selanjutnya, krisis Asia tahun 1997 memberikan pelajaran berharga tentang kerentanan
dan kerapuhan terbukanya suatu perekonomian terhadap terjadinya krisis. Terjadinya
krisis di suatu wilayah negara atau perekonomian dapat menular dengan cepat ke wilayah
lainnya. Radelet dan Sachs (1998), serta Abiad (1999), menyatakan bahwa krisis di
Thailand
memiliki
karakteristik
generasi
pertama
yang
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan fundamental dalam kebijakan yang digunakan pemerintah dan sistem
nilai tukar yang dianut. Pembiayaan defisit fiskal dan sistem nilai tukar tetap yang
dianut, akan memaksa terjadinya pengurangan cadangan devisa yang dimiliki. Ketika
cadangan devisa telah berkurang, maka saat itulah merupakan saat yang rentan bagi
perekonomian karena serangan spekulatif akan mengganggu nilai tukar mata uang
domestik. Sementara itu, krisis di Indonesia dan Philipina pada awalnya merupakan
contagion effect akibat melemahnya nilai tukar Baht Thailand yang pada akhirnya
berkembang menjadi krisis ekonomi. Hal senada juga diungkapkan Gerlach dan Smets
(1995), krisis mata uang merupakan fenomena regional terkait dengan contagion effect,
sementara pengaruh efek ekonomi spesifik relatif lemah.
1
Rapuh dan rentannya suatu perekonomian akan terjadinya krisis juga dapat dipelajari dari
pengalaman krisis mata uang di Rusia pada tahun 1998. Mata uang Rusia, yaitu rubble,
mengalami kolaps yang diakibatkan tidak hanya oleh contagion effect dari krisis Asia,
namun terutama karena guncangan (shock) yang tercipta oleh kombinasi jatuhnya harga
minyak dunia dan lemahnya perekonomian Rusia kala itu. Harga minyak dunia sedikit
demi sedikit menyeret perekonomian Rusia tenggelam ke dalam pusaran krisis.
Kombinasi yang terjadi terlebih dikarenakan eratnya kebijakan fiskal dan kuatnya
ketergantungan anggaran dengan sektor energi (Kirsanova dan Vines, 2001).
Selain itu, belajar dari pengalaman krisis yang dialami Rusia pada tahun 1998, naiknya
harga minyak dunia secara terus menerus dan adanya ketergantungan anggaran
pemerintah yang begitu tinggi terhadap sektor energi menjadi suatu pelajaran berharga.
Peningkatan harga minyak dunia tidak terelakkan karena minyak bumi sebagai sumber
daya yang tidak dapat diperbaharui dalam waktu singkat, persediaannya mulai menipis.
Di lain pihak, permintaan minyak dunia tetap tinggi.
Fluktuasi yang terjadi pada harga minyak dunia akan memberikan kontribusi pengaruh
dan dampak yang signifikan bagi perkembangan ekonomi global. Pergerakan harga yang
terjadi secara drastis dan cepat akan melemahkan perekonomian di seluruh dunia,
termasuk menurunnya pertumbuhan ekomomi, meningkatnya tekanan inflasi hingga
mendorong ketidakpastian kondisi ekonomi. Hal ini dikarenakan minyak bumi sebagai
sumber energi utama dunia sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian global.
Minyak bumi memainkan peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Purwanti (2011) menjelaskan bahwa salah satu faktor penggerak
perekonomian dunia saat ini adalah minyak bumi. Kinerja harga minyak bumi dunia
menjadi tolak ukur bagi kinerja perekonomian dunia karena perannya dipandang penting
dalam fungsi produksi. Lebih spesifik, harga minyak dunia yang bergejolak fluktuatif
khususnya akan memberikan dampak yang besar kepada negara-negara pengimpor
minyak 1. Hal ini tercermin dalam tekanan depresiasi bagi mata uang negara-negara
pengimpor minyak ketika harga minyak dunia meningkat.
1
Jennifer C. Dawson, Akram (2004), Bergvall (2004), Amano and van Norden (1998), Chadhuri and Daniel
(1998) dalam “The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic
2
Demikian pula dengan Indonesia. Peningkatan harga minyak dunia kini tidak
menguntungkan bagi Indonesia. Dahulu Indonesia merupakan negara pengekspor minyak
yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sejak
1962 sampai dengan tahun 2009. Tingginya pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak
(BBM) dalam negeri dan kurangnya investasi dalam penyediaan sumber daya energi
alternatif kemudian memaksa Indonesia untuk menunda sementara keanggotaan
penuhnya dalam OPEC. Kemudian Indonesia mengubah orientasinya menjadi negara
pengimpor minyak karena berjuang demi mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dengan
berubahnya orientasi ekspor-impor, Indonesia tidak bisa lagi menikmati pendapatan yang
tinggi dari naiknya harga minyak dunia. Sebaliknya, naiknya harga minyak dunia akan
semakin menekan nilai tukar rupiah dan anggaran negara lewat subsidi BBM yang terus
membebani.
Grafik 1. Perkembangan harga minyak dunia, Kurs dan Inflasi di Indonesia tahun
2000 - 2009
300
20000
18000
16000
kurs
inflasi
harga minyak dunia
14000
250
200
12000
10000
150
8000
6000
4000
100
50
2000
0
0
Sumber: International Financial Statistics (IFS)
Peningkatan harga minyak dunia yang terus terjadi juga memberikan dampak terhadap
perekonomian Indonesia. Ketika harga minyak dunia menembus angka di atas 100 dollar
per barel di tahun 2008, inflasi pun merangkak naik dengan pertumbuhan sebesar 3,48%
dari kuartal sebelumnya. Sebaliknya, ketika harga minyak dunia terjun bebas di akhir
3
tahun 2008, inflasi pun sedikit melambat dengan pertumbuhan hanya sebesar 0,38% dari
kuartal sebelumnya. Pun demikian, kurs nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
mengalami fluktuasi yang cukup tajam. Berbeda dengan pergerakan inflasi, kurs nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika mengalami apresiasi ketika harga minyak dunia
meningkat. Namun, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan yang cukup
signifikan di akhir tahun 2008, kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika malah
mengalami depresiasi yang cukup tinggi dengan laju sebesar 13,41% dari kuartal
sebelumnya.
Belajar dari pengalaman kasus krisis mata uang Rusia, sangat relevan bila langkah awal
pembentukan sebuah kerangka model sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia
dapat melibatkan peranan harga minyak dunia di dalamnya. Keterkaitan dan
ketergantungan perekonomian Indonesia akan fluktuasi harga minyak dunia perlu dilihat
lebih dalam. Ketika perekonomian Indonesia menjadi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi
harga minyak dunia, maka di saat itu pula gejala krisis sudah mulai terpapar.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman peranan harga minyak
dunia terhadap perekonomian Indonesia. Pemahaman tersebut dapat disadari sebagai
langkah awal untuk menyadari ketergantungan perekonomian terhadap salah satu faktor
global yaitu harga minyak dunia. Ketergantungan yang teramat tinggi dapat memberikan
celah bagi terbukanya suatu kerawanan akan terjadinya krisis ekonomi khususnya krisis
mata uang. Dalam hal ini, peranan harga minyak dunia selanjutnya dapat digunakan
dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan
rumusan permasalahan penelitian, yaitu bagaimana peranan harga minyak dunia sebagai
indikator yang digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang
untuk Indonesia.
4
II.
KAJIAN TEORI
Krisis merupakan bentuk gangguan stabilitas dalam tatanan suatu perekonomian.
Stabilitas yang dimaksud adalah stabilitas sistem keuangan yang ditujukan untuk
menciptakan kestabilan lembaga dan pasar keuangan, dimana gangguan stabilitas sistem
keuangan yang utama adalah krisis perbankan dan krisis mata uang (Batunanggar, 2003
dan Agung et.al, 2002). Berkenaan dengan itu, kerangka pemikiran stabilitas sistem
keuangan harus disusun sebagai suatu rangkaian proses yang diawali dengan pemantauan
dan identifikasi kemungkinan terjadinya krisis (crisis prevention) hingga upaya
pemulihan dan penyelesaian apabila krisis telah terjadi (crisis resolution). Namun
demikian, upaya pencegahan terjadinya krisis harus lebih dikedepankan ketimbang
upaya-upaya pemulihan ketika krisis telah terjadi.
Penelitian ini memberi perhatian khususnya terhadap suatu bentuk volatilitas ekonomi
yaitu pergerakan harga minyak dunia dan peranannya dalam pembentukan krisis mata
uang. Lebih jauh, pemahaman yang lebih dalam tentang determinan dan kondisi
terjadinya krisis mata uang merupakan informasi yang sangat penting. Walaupun
pemahaman lebih dalam terhadap krisis tidak menjamin bahwa krisis dapat dihindari
secara keseluruhan, paling tidak dapat membantu meminimalisasi kerusakan dan dampak
terjadinya krisis (Krugman, 1999).
Tinjauan literatur berikut akan meliputi gambaran krisis keuangan yang terdiri dari krisis
perbankan dan krisis mata uang, fluktuasi harga minyak dunia beserta hubungan antara
peranan harga minyak dunia dan krisis mata uang serta penelitian terdahulu dan studi
yang telah dilakukan sebelumnya mengenai model-model sistem deteksi dini (Early
Warning System) krisis mata uang.
Krisis Keuangan (Krisis Finansial)
Krisis keuangan pada intinya dapat dibagi dua (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart,
2000), yaitu krisis mata uang (currency) dan krisis perbankan (banking). Krisis mata
uang sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata
uang domestik terhadap mata uang asing, berbarengan dengan menurunnya cadangan
devisa (foreign reserve) dan meningkatnya suku bunga jangka pendek secara tidak wajar.
Krisis perbankan lebih sulit untuk didefinisikan namun dapat dilihat dengan
menggunakan dua pendekatan yaitu “indicators-based” dan “events-based”. Beberapa
5
instrumen indicators based adalah non-performing loans ratio (NPLs ratio), biaya
operasi penyelamatan bank dan kerugian modal bank. Sementara events based melihat
krisis dari terjadinya penarikan simpanan besar-besaran oleh nasabah (rush), penutupan
bank, penggabungan beberapa bank (merger) dan pengambilalihan oleh pemerintah dan
intervensi pemerintah terhadap sektor keuangan.
Lebih jauh, krisis mata uang dan krisis perbankan dapat berlanjut menjadi krisis
keuangan yang begitu hebat apabila kedua krisis tersebut datang secara bersamaan. Salah
satu penyebab terjadinya krisis perbankan diawali oleh terjadinya krisis mata uang.
Sebaliknya, keterpurukan sektor perbankan justru menyebabkan terjadinya krisis mata
uang. Dan apabila kedua krisis tersebut datang secara bersamaan, maka terjadilah krisis
kembar atau twin crisis. Keterkaitan antara krisis mata uang dan krisis perbankan
dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain Eichengreen, Rose dan Wyplosz (1994),
Sachs dan Velasco (1996), Goldfajn dan Valdes (1997) serta Kaminsky, Lizondo dan
Reinhart (1998). Hubungan kausal dan hubungan dua arah yang dimiliki oleh krisis
perbankan dan krisis mata uang menyebabkan kedua tipe krisis tersebut terkadang sulit
untuk dipisahkan secara spesifik. Secara teori, tekanan dalam mata uang domestik akan
menyebabkan permasalahan dalam sektor perbankan jika sektor perbankan memiliki
liabilitas dalam mata uang asing yang cukup besar. Sebaliknya, banking distress dapat
menyebabkan serangan spekulasi terhadap mata uang domestik jika para spekulan
mengantisipasi trade-off yang terjadi antara devaluasi kurs nilai tukar dan kerugian
dalam sistem perbankan.
Istilah financial crisis atau krisis keuangan merupakan situasi dimana aset institusi
keuangan kehilangan nilainya secara tiba-tiba. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
krisis keuangan yang terjadi banyak dikaitkan dengan situasi panik pada sistem
perbankan (bankrush) dan resesi yang timbul beriringan dengan situasi panik yang
terjadi. Situasi lain dimana krisis keuangan terjadi yaitu mencakup krisis bursa saham,
gelembung harga aset, krisis mata uang dan kegagalan dalam sistem perbankan. Krisis
keuangan merupakan gejolak dalam pasar keuangan yang mengganggu kapasitas pasar
untuk mengalokasikan modal (capital), intermediasi keuangan dan investasi (Richard
Portes, 1998).
6
Krisis Perbankan
Menurut Hardy dan Pazarbasiglu (1998), definisi krisis perbankan adalah apabila sistem
perbankan mengalami salah satu dari kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Tingginya kredit macet (NPL) yang melebihi 10% dari seluruh aset atau 2% dari
Produk Domestik Bruto (PDB).
b. Biaya penyelamatan perbankan melebihi 2% dari PDB.
c. Nasionalisasi atau pengambil alihan perbankan oleh pemerintah.
d. Penarikan dana besar-besaran oleh nasabah.
e. Penutupan bank oleh pemerintah baik sementara atau selamanya.
Krisis perbankan dapat dipicu oleh berbagai risiko yang bersumber dari elemen-elemen
yang terkait dengan sistem keuangan. Elemen-elemen tersebut saling terkait satu sama
lain, yaitu: lingkungan makroekonomi yang stabil, lembaga finansial yang dikelola yang
baik, pasar keuangan yang efisien, kerangka pengawasan prudensial yang sehat dan
sistem pembayaran yang aman dan handal (McFarlane, 1999).
Menurut Berg dan Pattilo (1999) penyebab krisis perbankan dibedakan menjadi dua
bagian yaitu adanya gangguan terhadap fundamental ekonomi, yaitu inflasi,
pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran, kedua adalah adanya serangan spekulasi
yang mempercepat terjadinya krisis (self-fulfilling crisis). Sedangkan menurut McKinnon
dan Pill (1994) penyebab krisis perbankan adalah ketidakteraturan aliran modal dalam
perekonomian dan sektor perbankan serta asuransi deposito dan masalah moral hazard.
Sementara Caprio dan Klingebiel (1996) mengemukakan krisis perbankan di negara
maju umumnya karena faktor dari luar negeri seperti perbedaan tingkat bunga domestik
dengan di luar negeri, siklus bisnis dan hutang luar negeri. Demikian juga Kibritcioglu
(2004) menyebutkan bahwa penyebab utama krisis perbankan adalah meledaknya kredit,
resesi ekonomi dan overvaluation dari mata uang domestik.
Industri perbankan yang memiliki fungsi intermediasi untuk mengatur sistem
pembayaran menimbulkan pandangan bahwa permasalahan di sektor perbankan dapat
menyebabkan efek negatif terhadap perekonomian yang dampaknya jauh lebih besar
dibandingkan dengan jatuhnya bidang industri lain. Beberapa analisis menurut Hadad,
Santoso dan Arianto (2003), mengutarakan alasan yang mendukung pernyataan bahwa
industri perbankan merupakan industri yang memerlukan perhatian khusus, yaitu rasio
kas terhadap aset yang rendah, rasio modal terhadap aset yang rendah dan rasio dana
7
jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi. Dengan memperhatikan kondisi
tersebut, penarikan dana dalam jumlah besar akan mengakibatkan bank-bank kesulitan
untuk mengembalikan dana milik masyarakat. Sebagai solusinya, bank-bank tersebut
akan menjual aset yang ada dengan harga murah, kondisi ini akan menimbulkan tekanan
yang besar pada perbankan dan menurunnya rentabilitas perbankan akan memicu
timbulnya krisis.
Gambar 1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Krisis Keuangan Dan Perbankan
Krisis Mata Uang
Pembahasan mengenai sistem peringatan dini krisis mata uang akan diawali dengan
tinjauan beberapa definisi tentang konsep krisis mata uang. Terjadinya krisis mata uang
sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang
suatu negara terhadap mata uang asing biasanya Dollar Amerika, menurunnya cadangan
devisa (foreign reserve) dan meningkatnya suku bunga jangka pendek (short-term
interest rate) secara tidak wajar (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart, 2000).
8
Selanjutnya, krisis mata uang dapat dipahami secara lebih dalam. Penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya tentang krisis mata uang banyak mengupas tentang pentingnya
nilai tukar dan cadangan devisa yang dimiliki suatu negara. Vitalnya peran yang diemban
oleh nilai tukar mata uang dan cadangan devisa telah menjadi aktor sentral dalam
pembahasan berbagai literatur tentang krisis mata uang. Beberapa paper, seperti Vlaar
(1998) mengemukakan bahwa indikator utama krisis mata uang berdasarkan kurs nilai
tukar nominal dan turunnya cadangan devisa, terutama pada negara berkembang. Ito dan
Orii (2009) mendefinisikan krisis sebagai kombinasi depresiasi nilai tukar, meningkatnya
tingkat suku bunga dan penurunan cadangan devisa.
Lebih jauh, krisis mata uang secara umum dapat dilihat sebagai situasi ketika serangan
spekulasi terhadap mata uang mengakibatkan penurunan nilai tukar nominal secara
tajam. Beberapa peneliti, seperti Obstfeld (1994) dan Singh (1999) juga menyatakan
bahwa definisi situasi serangan spekulatif tidak hanya berakibat kepada devaluasi sebuah
mata uang namun juga mengurangi cadangan devisa mata uang asing. Dalam hal ini,
serangan spekulasi yang dilakukan terhadap mata uang dapat dilancarkan dengan
memanfaatkan guncangan eksternal seperti fluktuasi harga minyak dunia yang
berdampak terhadap kebijakan fiskal suatu negara.
Teori krisis yang telah berkembang mengelompokkan terjadinya krisis mata uang dalam
beberapa generasi. Zhuang (2005) mengelompokkan krisis mata uang ke dalam tiga
kelompok generasi. Pengelompokkan ini lebih didasarkan pada fokus sumber terjadinya
krisis. Fokus dari masing-masing generasi adalah sebagai berikut: generasi pertama,
fokus kepada terjadinya inkonsistensi antara kebijakan makro dan sistem peg atau
pematokan nilai tukar yang menyebabkan terjadinya krisis membuat sistem peg tersebut
tidak berkesinambungan. Sistem peg tersebut menyebabkan nilai tukar riil mata uang
berada dalam kondisi over valued. Kebijakan ini akan bertentangan dengan kebijakan
makro lainnya yaitu peningkatan ekspor non migas. Dengan nilai tukar yang terlalu kuat,
maka efeknya adalah biaya produksi menjadi lebih mahal dan ketika ekspor dilakukan
nilai Dollar yang diperoleh eksportir dalam rupiah menjadi lebih rendah. Situasi ini
membuat produsen enggan meningkatkan ekspor dan lebih suka menjual barangnya di
dalam negeri, yang mengakibatkan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor tidak
optimal.
9
Generasi kedua, fokus kepada trade-offs (pilihan) antara bermacam sasaran kebijakan
makro suatu negara dimana krisis dapat terjadi ketika suatu negara mengalami perubahan
kebijakan dari satu rezim ke rezim yang lain. Selanjutnya, generasi ketiga adalah fokus
kepada terjadinya penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush) akibat
kepanikan keuangan yang disebabkan oleh perubahan mendadak terhadap persepsi pasar.
Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor penyebab krisis mata uang, penelitian yang telah
dilakukan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Generasi pertama dirintis oleh
Krugman (1979) yang terpusat pada inkonsistensi sistem nilai tukar tetap dan
fundamental ekonomi dalam negeri seperti kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang
berlebihan. Dalam hal ini, krisis mata uang terjadi karena cadangan devisa berkurang.
Generasi kedua menjelaskan bahwa krisis mata uang dapat terjadi tanpa adanya
perubahan dalam fundamental ekonomi atau ketika tidak adanya inkonsistensi antara
kebijakan yang diambil dengan sistem nilai tukar yang dianut. Lebih jauh, krisis mata
uang merupakan pergeseran antara multiple monetary equilibria sebagai respon terhadap
self-fulfilling speculative attacks (Obstfeld, 1986, 1994). Selanjutnya, generasi ketiga
lebih terfokus pada contagion effect dan spillover effect atau alasan terjadinya krisis di
suatu negara akan berpengaruh terhadap krisis di negara lainnya, seperti dikemukakan
oleh Masson (1998).
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Singh (1999) menyebutkan bahwa secara
makro model krisis berdasarkan pada tiga generasi model terdahulu. Model generasi
pertama
menyatakan
bahwa
lemahnya
fundamental
ekonomi
menyebabkan
perekonomian menjadi semakin rapuh terhadap serangan spekulatif, sedangkan model
generasi kedua lebih kepada ekspektasi self-fulfilling sebagai penyebab utama krisis,
namun dengan tidak mengesampingkan peran lemahnya fundamental ekonomi. Kedua
model tersebut lazim dikenal sebagai model krisis mata uang. Di lain pihak, model
generasi ketiga menggabungkan lemahnya fundamental ekonomi dari model generasi
sebelumnya dengan lemahnya sektor perbankan untuk menjelaskan krisis keuangan.
Untuk alasan ini, model generasi ketiga juga dikenal dengan twin crises atau model krisis
mata uang dan krisis perbankan.
Fluktuasi Harga Minyak Dunia dan Dampaknya terhadap Perekonomian
Fluktuasi harga minyak dunia telah memiliki sejarah yang panjang. Di tahun 1970-an,
harga minyak dunia berada dalam kisaran USD 3.00 per barel sampai dengan USD 13.55
10
per barel. Sedangkan, 30 tahun berselang, harga minyak dunia telah menembus angka
diatas USD 100 per barel. Berbagai faktor dan peristiwa telah menghantar perjalanan
harga minyak dunia sampai sekarang ini, diantaranya adalah gejolak yang terjadi di
negara Timur Tengah seperti revolusi Iran dan Perang Teluk, terbentuknya OPEC, krisis
ekonomi di Asia, serangan teroris sampai kepada krisis utang luar negeri yang mendera
negara-negara Eropa.
Perilaku harga minyak dunia serupa dengan komoditas lainnya dalam hal pergerakan
keseimbangan permintaan dan penawaran. Namun, di saat harga komoditas lain relatif
stabil, harga minyak cenderung lebih volatile (Reigner, 2007). Beberapa pendekatan
dalam memahami perilaku pergerakan harga minyak dunia, antara lain: pertama,
pendekatan Hoteling (1931) yang menjelaskan bahwa volatilitas harga minyak terjadi
karena minyak merupakan sumber daya yang dapat habis. Kedua, harga minyak dunia
ditentukan oleh kondisi ekonomi global dan ketiga adalah faktor-faktor eksternal yang
turut mempengaruhi seperti aktivitas OPEC, spekulan dan kondisi pasar. Sementara itu,
Kaufman dan Ullmann (2009) menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia di
tahun 2008 dapat dijelaskan dengan kombinasi faktor-faktor fundamental ekonomi dan
perilaku spekulatif yang terjadi.
Lebih jauh, ketidakstabilan harga minyak dunia juga memiliki dampak yang sangat luas
terhadap aktivitas perekonomian dalam segala aspek. Hal ini telah diteliti dalam studistudi empirik yang dilakukan antara lain oleh Sadorsky (1999), yang melakukan
pengujian hubungan antara harga minyak dunia dan pasar bursa saham. Sari (2006)
memeriksa hubungan keterkaitan antara harga minyak, harga saham, tingkat bunga dan
output di negara berkembang seperti Turki. Sementara, Aliyu (2009) meneliti tentang
hubungan harga minyak dunia terhadap kurs nilai tukar dan tingkat bunga di Nigeria.
Secara umum, penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menemukan bahwa
volatilitas harga minyak dunia memberikan dampak negatif.
Selanjutnya, Roubini dan Setser (2004) menyatakan bahwa fluktuasi maupun
peningkatan harga minyak dunia akan memberikan dampak bagi perekonomian setiap
negara di dunia. Besarnya pengaruh yang diberikan tergantung dari beberapa hal, seperti
besarnya guncangan harga minyak, durasi atau lamanya guncangan tersebut berlangsung,
dependensi dari negara tersebut dalam penggunaan minyak dalam perekonomian serta
respon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di negara tersebut.
11
Adebiyi et all (2009) menjelaskan bahwa pergerakan dan guncangan harga minyak dapat
mempengaruhi aktivitas riil ekonomi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap
perekonomian suatu negara. Mekanisme transmisi dampak pergerakan harga minyak
terhadap aktivitas riil ekonomi dapat dilihat melalui sisi penawaran (supply) maupun dari
sisi permintaan (demand). Dari sisi supply, kenaikan harga minyak akan menimbulkan
guncangan negatif pada sisi penawaran (negative supply-side shock). Artinya, kenaikan
harga minyak akan menyebabkan naiknya ongkos energi bagi perusahaan (dunia usaha),
yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menambah atau
mengurangi jumlah produksi. Dari sisi demand, kenaikan harga minyak akan
mempengaruhi kemampuan daya beli konsumen.
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Bacon dan Kojima (2008). Tingkat
volatilitas harga minyak di Ghana, Chili, India, Filipina dan Thailand diteliti selama
periode Juli tahun 1999 sampai Maret tahun 2007 untuk melihat dampak yang
ditimbulkan terhadap kurs nilai tukar dan kondisi fiskal. Beberapa kebijakan digulirkan
terkait dengan fluktuasi harga minyak dunia yang terjadi, seperti hedging, skema harga
dan pengurangan konsumsi minyak demi tercapainya ketahanan energi dalam negeri.
Sementara untuk kasus Indonesia, harga minyak dunia dijadikan sebagai asumsi dasar
penetapan APBN setiap tahunnya. Kuncoro (2010) menemukan bahwa peningkatan
harga minyak dunia berpengaruh sekitar 0,02 persen terhadap kebijakan fiskal dan sangat
rawan dalam keberlanjutannya. Dalam hal ini, penetapan harga bahan bakar minyak
(BBM) yang lebih rendah dari harga pasar dalam jangka panjang akan sangat menguras
anggaran pemerintah lewat beban subsidi yang harus ditanggung.
Peranan Harga Minyak Dunia Dalam Krisis Mata Uang
Peranan harga minyak dunia dalam pengembangan model Early Warning System krisis
mata uang masih terbatas. Tidak banyak penelitian krisis mata uang yang melibatkan
peranan harga minyak dunia di dalamnya. Beberapa studi sebelumnya tentang peranan
harga minyak dunia dalam pengembangan model EWS krisis mata uang, diantaranya
adalah:
Kirsanova dan Vines (2001) menggambarkan bagaimana sebuah model krisis yang
tercipta dari guncangan (shock) yang berakibat pada runtuhnya sistem nilai tukar tetap
yang dianut Rusia. Kelemahan utama perekonomian Rusia saat itu adalah kebijakan
pemerintah yang sangat rapuh terhadap guncangan dari luar yaitu volatilitas harga
12
minyak dunia, karena kebijakan fiskal yang terkait erat dengan sektor energi. Dalam hal
ini, situasi yang terjadi adalah disiplin fiskal yang lemah dan kuatnya ketergantungan
anggaran terhadap penerimaan dari sektor energi, khususnya minyak bumi.
Edison (2003) mengembangkan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kaminsky,
Lizondo dan Reinhart dengan menambahkan jumlah negara observasi dan jumlah
variabel indikator di dalamnya. Harga minyak dunia merupakan salah satu variabel
tambahan yang dimasukkan dalam model sistem deteksi dini. Peningkatan harga minyak
dunia yang terjadi merupakan hal yang terkait dengan terjadinya resesi.
Early Warning System Model
Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, model EWS dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok utama, yaitu (1) leading indicator model dan (2) discrete dependent
variable model. Penjelasan dan beberapa analisis mengenai kedua kelompok utama
model EWS akan disajikan berikut beserta kelebihan dan kekurangannya.
1. Leading Indicator Model
Leading Indicator Model dapat digunakan untuk memberi prediksi terjadinya krisis nilai
tukar di masa depan. Model ini menggunakan variabel-variabel ekonomi sebagai
indikator terjadinya krisis mata uang baik secara individual maupun kelompok. Secara
garis besar, Leading Indicator Model dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
individual leading indicator model dan composit leading indicator model.
1.1 Individual Leading Indicator Model
Seperti istilahnya, Individual Leading Indicator Model merupakan model yang
menggunakan single leading indicator sebagai variabel penjelas di satu sisi dan variabel
dependen di sisi lainnya. Satu variabel sebagai variabel dependen, misalnya krisis nilai
tukar, dan variabel lain sebagai indikator utama. Ide yang mendasari model ini adalah
variabel krisis nilai tukar akan mengeluarkan sinyal terjadinya krisis jika tekanan nilai
tukar pasar atau Exchange Market Pressure (EMP) di atas ambang batas (threshold) dan
tidak mengeluarkan sinyal ketika EMP dibawah atau sama dengan ambang batas
(threshold). Ambang ditetapkan berdasarkan rata-rata EMP atau standar deviasi EMP.
Lebih jauh, hubungan antara variabel krisis nilai tukar dan leading indicator akan terlihat
dan dijelaskan melalui sebuah perangkat “Jendela”, dimana perangkat ini merupakan
13
rentang waktu yang digunakan untuk menguji adanya korelasi antara krisis nilai tukar
dengan indikator yang digunakan.
1.2 Composite Leading Indicator Model
Composite Leading Indicator Model adalah pengembangan dari model terdahulunya
yaitu, Individual Leading Indicator Model. Model ini dibuat dari beberapa indikator
individu. Dengan harapan dapat memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dalam
memprediksi krisis, lebih efisien (kesalahan sinyal rendah), probabilita dari krisis yang
mengikuti sinyal yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan model individual.
Kelemahan utama dari model ini sama dengan Individual Leading Indicator Model yaitu
kehilangan informasi yang disebabkan oleh tidak menggunakan variabel diskret.
Ada dua metode untuk membangun sebuah indikator komposit. Secara umum perbedaan
utama antara metode terletak pada prosedur dan ekstraksi sinyal dari indikator individu.
Metode pertama yang digunakan oleh Kaminsky (1998) adalah semua sinyal yang
dikeluarkan oleh individual leading indicator diubah menjadi sebuah indikator komposit.
Sebaliknya, metode kedua yang digunakan oleh Herrera dan Garcia (1999) adalah sinyal
dikeluarkan oleh indikator komposit itu sendiri, bukan dari individual leading indicator.
2. Discrete Dependent Variable Model
Discrete Dependent Variable Model dapat dibangun dengan dua metodologi. Metodologi
yang pertama ialah dengan menggunakan dua kategori, misalnya 0 dan 1, pada variabel
dependen dalam model linear seperti logit dan probit. Cara lainnya adalah dengan
menggunakan model multinomial jika menggunakan lebih dari dua kategori.
Dengan menggunakan pendekatan Discrete Dependent Variable Model, kemungkinan
kehilangan informasi akan lebih kecil jika dibandingkan dengan leading indicator model.
Hal ini disebabkan oleh karena variabel independen menggunakan nilai aslinya, terutama
untuk variabel yang kontinyu. Kelemahan utama model ini adalah tingkat determinan
diantara variabel-variabel independen ketika seluruh variabel digunakan secara bersamasama. Tingkat kepekaan antara satu variabel independen dengan variabel lainnya tidak
dapat ditentukan apabila salah satu variabel dikeluarkan dari dalam model.
14
Studi Sebelumnya tentang Model Early Warning System
Studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya mengenai Early Warning System untuk
krisis mata uang, diantaranya adalah:
1. Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998)
Kaminsky, Lizondo dan Reinhart mendefinisikan krisis mata uang sebagai kondisi
dimana Exchange Market Pressure (EMP) terletak diatas rata-rata EMP ditambah 3 kali
standar deviasi dari nilai EMP itu sendiri. EMP sendiri didefinisikan sebagai nilai
pembobotan dari variabel nilai tukar nominal dan cadangan devisa internasional yang
berfluktuasi setiap bulannya dengan bobot yang lebih besar diberikan kepada komponen
lainnya yang fluktuasinya lebih rendah.
Sebagai salah satu pionir yang mencoba membuat metode peramalan dan prediksi
terjadinya krisis, Kaminsky, Lizondo dan Reinhart menggunakan beberapa macam
variabel sebagai individual leading indicator dari krisis nilai tukar, diantaranya yaitu
output nasional (GDP), ekspor, Real Effective Exchange Rates (REER), stock index, rasio
dari broad money terhadap cadangan internasional.
Perilaku dari masing-masing indikator dapat disusun dalam sebuah jendela. Kotak A
adalah bulan yang menunjukkan indikator yang mengeluarkan sinyal baik. Sedangkan,
kotak B adalah bulan yang menunjukkan indikator yang mengeluarkan sinyal buruk
(noise). Sementara itu, kotak C adalah bulan yang menunjukkan indikator yang gagal
mengeluarkan sinyal padahal terjadi krisis. Kotak D adalah bulan yang menunjukkan
indikator yang tidak mengeluarkan sinyal dan tidak terjadi krisis. Untuk masing-masing
indikator, KRL membentuk ambang optimal threshold yang didefinisikan sebagai batas
yang dapat meminimumkan noise-to-signal ratio B/A. Batas ini dihitung dengan
menggunakan persentil dari masing-masing negara.
Tabel 1. Hubungan antara sinyal dan krisis
Ada krisis
Tidak ada krisis
Ada sinyal
A
B
Tidak ada sinyal
C
D
Sumber: Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998)
15
Metode Kaminsky, Lizondo dan Reinhart memang kompleks dan memerlukan
pengertian yang mendalam, namun tidak terlalu menghasilkan hasil yang sempurna.
Metode ini gagal untuk memprediksikan 91% terjadinya krisis dan 44% alarm yang
dihasilkan positif salah. Variabel yang signifikan dihasilkan dalam penelitian ini adalah
nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor, ratio M2 terhadap cadangan devisa dan
pertumbuhan harga saham.
2. Berg dan Pattillo (1999)
Berg dan Pattillo mengevaluasi model Kaminsky, Lizondo dan Reinhart serta
memberikan
alternatif
model
dalam
memprediksi
krisis.
Berg
dan
Pattillo
mengaplikasikan indikator-indikator dan batas threshold yang digunakan oleh Kaminsky,
Lizondo dan Reinhart ke dalam model probit dengan menggunakan metode regresi
dalam usaha menyempurnakan model EWS.
Regresi pertama yang dilakukan adalah regresi probit untuk setiap indikator dengan
menggunakan threshold Kaminsky, Lizondo dan Reinhart sebagai batasan dan
mengestimasi kemungkinan terjadinya krisis dalam waktu 24 bulan berikutnya. Regresi
selanjutnya dengan menggunakan dummy variabel untuk setiap indikator, 1 jika di
bawah threshold dan 0 untuk sebaliknya. Regresi ketiga menggunakan linear continuous
variable untuk melihat persentase perubahan dari setiap indikator yang kemudian
dinormalisasikan ke dalam persentil. Walaupun model yang dibuat dapat memberikan
hasil yang mendekati sempurna, namun model tersebut tidak dapat memberi penjelasan
secara spesifik. Model yang paling kuat yang dihasilkan memiliki adjusted-R2 sebesar
0,145. Variabel yang memiliki hasil signifikan dari model ini adalah nilai tukar riil,
pertumbuhan ekspor, ratio current account terhadap GDP, ratio M2 terhadap cadangan
devisa dan pertumbuhan cadangan devisa.
3. Edison (2003)
Edison menggunakan tehnik ekstraksi sinyal Kaminsky, Lizondo dan Reinhart dan
pendekatan probit Berg dan Pattillo, membuat beberapa tambahan dalam strategi
penelitiannya. Edison menambahkan lima negara ke dalam sample, memasukkan
indikator global seperti harga minyak dunia dan output negara G-7 sebagai gambaran
kondisi pasar global. Perubahan yang dilakukan menghasilkan sedikit kemajuan namun
menambah perkembangan model yang dibuat. Edison menekankan kepada pentingnya
16
fluktuasi nilai tukar riil, short term debt dan ratio M2 terhadap cadangan devisa dalam
memprediksikan krisis mata uang. Hasilnya variabel nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor
dan ratio M2 terhadap cadangan devisa terbukti signifikan dalam model yang diteliti.
Sementara, indikator global yang ditambahkan dalam penelitian, seperti harga minyak
dunia, ternyata tidak signifikan.
Aspek lain yang menarik dalam penelitian Edison adalah ia menguji kekuatan model
dengan menggunakan definisi krisis, yaitu indeks Frankel-Rose dengan indeks
Kaminsky-Reinhart. Indeks Frankel-Rose lebih inklusif sehingga dapat memberikan
Edison sample yang lebih luas dalam memilih data. Hasil yang didapat berguna untuk
menghilangkan kritik potensial bahwa hasil yang diberikan model EWS sangat
bergantung kepada definisi krisis yang digunakan.
4. Kumar, Moorthy dan Perraudin (2003)
Kumar, Moorthy dan Perraudin mengikuti struktur dasar model probabilitas yang
dilakukan Berg-Pattillo, namun berbeda dalam 3 aspek kunci. Pertama, Kumar, Moorthy
dan Perraudin lebih memilih untuk menggunakan logit ketimbang probit. Rasionalitas
yang dikedepankan adalah berdasarkan skewed distribution dari variabel dependen,
terdapat lebih banyak observasi non-krisis dibandingkan observasi krisis. Menurut
Kumar, Moorthy dan Perraudin, strategi dengan logit lebih baik digunakan untuk
mengolah karakteristik seperti ini. Kedua, Kumar, Moorthy dan Perraudin menggunakan
variabel dengan lag, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih menjelaskan
krisis sebagai pertemuan berbagai pergerakan secara bersama-sama diantara sistem yang
berbeda. Mereka menambahkan lag pada setiap variabel dengan harapan untuk
menguatkan hasil. Ketiga, Kumar, Moorthy dan Perraudin memilih definisi krisis yang
terkait erat dengan indeks Franklin-Rose. Dengan definisi ini, hasil yang didapat model
lebih kuat, yakni dapat memprediksi 34% krisis secara tepat dan 69% pada waktu
normal.
5. Ali Ari (2008)
Ali Ari mengembangkan model binomial dan multivariat logit dalam mengestimasi
kemampuan prediksi dari 16 indikator yang digunakan dalam sampel yang meliputi
periode Januari tahun 1990 hingga Desember tahun 2002. Sebagai tambahan, penelitian
yang dilakukan juga mencoba kinerja model pada periode yang berbeda atau periode di
17
luar sampel yaitu Januari 2003 hingga Desember 2008. Hasilnya adalah krisis mata uang
yang menghantam perekonomian Turki disebabkan oleh defisit anggaran yang
berlebihan, tingginya pertumbuhan jumlah uang beredar, peningkatan hutang luar negeri
secara tajam dalam jangka pendek, resiko dalam sistem perbankan serta external shocks.
Penelitian ini menggunakan Index of Speculative Presurre (ISP) sebagai kondisi
terkoreksinya nilai tukar, berkurangnya cadangan devisa dan naiknya tingkat bunga
domestik. Krisis mata uang terjadi apabila nilai ISP melebihi threshold yang ditetapkan,
yaitu 1,5; 2; 2,5; dan 3 kali standar deviasi ditambah nilai rata-rata ISP.
6. Eric Alexander Sugandi (2004)
Penelitian yang dilakukan Sugandi (2004) dengan menggunakan pendekatan Leading
Indicator dalam upaya membangun sistem deteksi dini krisis mata uang untuk Indonesia
menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu pendekatan composite leading indicator dapat
digunakan dalam proses membangun sistem deteksi dini krisis krisis mata uang di
Indonesia karena model yang digunakan lebih efisien dalam menghasilkan sinyal
peringatan dan memberi probabilitas yang tinggi akan kemungkinan terjadinya krisis.
Dua variabel yang dikedepankan dalam kinerja pembentukan model adalah
penyimpangan nilai tukar riil rupiah terhadap trend value-nya dan pertumbuhan tabungan
dalam valuta asing. Kombinasi kedua variabel tersebut merupakan indikator komposit
terbaik dalam menjelaskan kemungkinan terjadinya krisis mata uang di Indonesia.
7. Ulan Danih (2006)
Penelitian yang dilakukan Ulan Danih (2006) dalam membangun sistem deteksi dini
dengan Signal Approach Model (SAM) dapat mendeteksi terjadinya krisis di Indonesia
dengan periode krisis nilai tukar yaitu dari Agustus 1997 hingga Oktober 1998 dan
periode krisis perbankan yaitu Agustus 1997 hingga Mei 1999. Kinerja indikator terbaik
untuk krisis mata uang adalah Real Effective Exchange Rates (REER) dengan
kemungkinan memprediksi sebesar 67 persen, diikuti oleh kredit domestik dan jumlah
uang beredar (M2). Sedangkan untuk indikator krisis perbankan adalah nilai tukar dan
kredit domestik. Selanjutnya, kemungkinan sinyal salah yang berarti sinyal tersebut
ternyata tidak menjelaskan kondisi nilai tukar yang rentan selama 12 bulan ke depan
yaitu sebesar 4 persen. Dengan demikian, sistem deteksi dini ini mampu
mengidentifikasikan sinyal 10 bulan sebelum krisis mata uang terjadi dan 5 bulan
18
sebelum krisis perbankan terjadi, apabila krisis setaraf periode sebelumnya terjadi
kembali.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan teori yang telah diulas sebelumnya, maka dirumuskan
hipotesis sebagai berikut:
•
Diduga harga minyak dunia jenis WTI berpengaruh positif terhadap probabilitas
terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila harga minyak
naik, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 19962009 semakin besar.
•
Diduga nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika berpengaruh positif
terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009.
Bila nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika naik, maka probabilitas
terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin besar.
•
Diduga tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis
mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila tingkat inflasi tinggi, maka
probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin
besar.
•
Diduga ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa berpengaruh positif
terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009.
Semakin besar ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa, maka
probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin
besar.
•
Diduga ratio belanja pemerintah terhadap output nasional berpengaruh positif
terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009.
Semakin besar ratio belanja pemerintah terhadap output nasional, maka
probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin
besar.
19
Kerangka Pemikiran
Dari uraian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar
peranan variabel harga minyak dunia di dalam sistem deteksi dini krisis mata uang di
Indonesia. Secara garis besar, kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut:
Latar Belakang
•adanya krisis
mata uang
sebelumnya
•peningkatan
harga minyak
dunia
•ketergantungan
perekonomian
Indonesia
terhadap harga
minyak dunia
III.
Tujuan Penelitian
•mengetahui
peranan harga
minyak dunia
dalam sistem
deteksi dini
krisis mata uang
bagi Indonesia
Analisis
Ekonometri
•membuat model
logit untuk
melihat peranan
variabel-variabel
makro, terutama
harga minyak
dunia, dalam
model sistem
deteksi dini
krisis mata uang
METODOLOGI
Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder, yaitu data yang diambil dari
berbagai terbitan dan publikasi yang telah tersedia, diantaranya adalah data yang
bersumber dari publikasi International Financial Statistics (IFS) terbitan International
Monetary Fund (IMF) dan Energy Information Administration (EIA) untuk data harga
minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) atau yang lebih dikenal dengan
minyak light sweet. Data sekunder yang digunakan pada studi ini adalah data kuartalan
pada periode tahun 1996 hingga tahun 2009.
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan paket program
Microsoft Excel dan Eviews 6. Sebelum data siap diolah dan dianalisis, data harus
melalui proses pengolahan tersendiri, seperti membuat data riil untuk data Consumer
Price Index (CPI) karena data tersebut berbentuk nominal.
20
Tahapan Pembentukan Model Sistem Deteksi Dini
Model sistem deteksi dini terhadap krisis mata uang dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan discrete dependent variable dengan membentuk model logit. Mengacu
kepada penelitian yang dilakukan Ali Ari (2008), adapun tahapan pembentukan model
yang harus dilalui, yaitu:
1) Penyusunan indeks krisis
Indeks krisis dibangun sebagai variabel dependen dalam menjelaskan episode krisis.
Definisi krisis mata uang yang akan digunakan berperan penting dalam penyusunan
indeks krisis. Beberapa peneliti menggunakan definisi krisis yaitu depresiasi atau
devaluasi mata uang (Frankel dan Rose, 1996, serta Kumar, Moorthy dan Perraudin,
2003). Sementara, Eichengreen (1994,1995,1996) dan Kaminsky (1998) menyusun
indeks krisis berdasarkan definisi krisis mata uang ketika suatu mata uang tertentu
berada dalam tekanan spekulatif yang berat. Definisi ini dapat diartikan sebagai
kondisi dimana serangan spekulasi mengarah kepada devaluasi mata uang dan otoritas
berwenang mempertahankan nilai tukar mata uang dengan melakukan intervensi
lewat cadangan devisa dan menaikkan tingkat bunga domestik. Indeks krisis yang
kemudian disebut sebagai Index of Speculative Presurre (ISP), dimana s
melambangkan perubahan (riil atau nominal) kurs nilai tukar mata uang, r merupakan
perubahan cadangan devisa dan i yang melambangkan pergerakan tingkat bunga.
Sementara, σ melambangkan invers dari standar deviasi variabel tersebut.
ISPt =
1
𝜎𝜎𝜎𝜎
βˆ† st -
1
𝜎𝜎𝜎𝜎
βˆ† rt +
1
𝜎𝜎𝜎𝜎
βˆ†it
[1]
Lebih lanjut, invers dari standar deviasi dimaksudkan sebagai pembobotan komponen
penyusun indeks krisis yang dilakukan agar semua variabel memiliki equal variances
atau menyamakan volatilitasnya serta menghindari kemungkinan salah satu
komponen penyusun dalam mendominasi indeks tersebut (Aziz, Caramazza dan
Salgado, 2000).
Nilai ISP dalam penelitian ini merupakan komposisi dari perubahan nilai tukar riil
mata uang, perubahan cadangan devisa yang dimiliki dan pergerakan tingkat bunga.
Dalam hal ini, nilai ISP akan menggambarkan situasi krisis mata uang yang tercermin
dalam situasi serangan spekulatif terhadap nilai mata uang dan intervensi otoritas
21
keuangan dalam menjaga kurs dengan mengurangi cadangan devisa dan menaikkan
tingkat bunga.
ISPt =
1
𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎
οΏ½
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −1
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 𝑑𝑑−1
οΏ½-
1
𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎
οΏ½
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −1
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 −1
οΏ½+
1
𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎
(𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 − 1)
[2]
Dimana:
REER = (NER x P*) / P
REER = Real Effective Exchange Rate
NER
= Nominal Exchange Rate (Rp/USD)
P*
= Consumer Price Index Amerika Serikat
P
= Consumer Price Index Indonesia
RES
= International reserves minus Gold
NIR
= Nominal Interest Rate
σ REER, σ RES, σ NIR = standar deviasi dari masing-masing komponen
2) Menentukan ambang batas (arbitrary threshold)
Setelah menentukan indeks krisis beserta komponen penyusunnya dan melakukan
pembobotan, selanjutnya dilakukan penentuan ambang batas (arbitrary threshold).
Ketika indeks krisis melewati batas, maka observasi yang dilakukan akan
dikategorikan sebagai krisis. Dalam hal ini, indeks krisis diubah menjadi binary
variable yaitu bernilai 1 jika terjadi krisis dan bernilai 0 untuk sebaliknya.
1 𝑖𝑖𝑖𝑖 𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 > ∅ 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎 + πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡
Ct = οΏ½
0 𝑖𝑖𝑖𝑖 π‘œπ‘œπ‘œπ‘œβ„Žπ‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’π‘’
[3]
Secara umum, threshold level penilaian terjadi atau tidaknya krisis (Ct) ditetapkan
dengan beragam ambang batas (arbitrary threshold), yakni ∅, dikalikan dengan
standar deviasi dari indeks (𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎) dan ditambah dengan mean dari indeks (πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡).
Ambang batas (arbitrary threshold) merupakan standar deviasi dari indeks krisis
(ISP) ditambah mean dari indeks krisis (ISP) tersebut. Nilai dari ambang batas
(arbitrary threshold) yang biasa digunakan dalam studi-studi terdahulu mencakup 1.5
kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP (Eichengreen, Rose dan Wyplosz,
1994,1996) sampai 3 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP (Kaminsky, Reinhart
22
dan Lizondo, 1997). Penelitian ini mencoba melihat dengan menggunakan ambang
batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP.
1 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 > 1,5 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎 + πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡
C1t = οΏ½
0 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
[4]
Sebagai tambahan, penelitian ini juga mencoba melihat kemampuan ambang batas
(arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP untuk
menjelaskan terjadi atau tidaknya suatu krisis.
1 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 > 1 𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎𝜎 + πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡πœ‡
C2t = οΏ½
0 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠
[5]
3) Memilih metodologi yang digunakan
Untuk mengetahui pengaruh dan tingkat signifikansi masing-masing indikator
terhadap krisis mata uang yang terjadi di Indonesia maka digunakan model Logit.
Model Logit merupakan model ekonometrika yang digunakan untuk melihat pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen, dimana variabel dependen
merupakan variabel diskret (dummy variabel) yang bernilai 1 dan 0, sedangkan
variabel independennya bersifat non-diskrit.
Pendekatan discrete dependent variable dapat menganalisis probabilitas terjadinya
suatu event; dalam hal ini krisis mata uang, berdasarkan sekumpulan indikator yang
diteliti. Berbeda dengan pendekatan sinyal. Metode pendekatan sinyal bertujuan untuk
memonitor perilaku yang tidak biasa dari indikator sebelum terjadinya krisis dan
mengevaluasi setiap indikator dalam kemampuan forecasting-nya. Selain itu,
pendekatan ini tidak dapat memberikan test statistik dan estimasi probabilitas yang
diperlukan. Lebih jauh, beberapa informasi yang terkandung dalam setiap indikator
dapat hilang ketika indikator yang digunakan diubah atau ditransformasikan ke dalam
sinyal biner.
Pendekatan discrete dependent variable memiliki keunggulan untuk merangkum
informasi tentang probabilitas terjadinya krisis dalam bahasa yang mudah dimengerti,
misalnya nilai 1 untuk krisis yang terjadi dan nilai 0 untuk non krisis. Sebagai
23
tambahan, pendekatan ini mencakup seluruh indikator dalam sistem deteksi dini
secara simultan dalam satu kerangka pemikiran, melihat kontribusi yang diberikan
setiap indikator secara marjinal dan peneliti dapat membuang indikator yang tidak
berkontribusi signifikan dalam analisis. Lebih jauh, pendekatan ini memberikan test
statistik secara langsung untuk mengukur ketepatan hasil estimasi yang dilakukan.
Akan tetapi, interpretasi koefisien hasil estimasi dalam pendekatan discrete dependent
variable memang tidak mudah. Hal ini dikarenakan sifat non linier dari model dalam
pendekatan ini. Lebih lanjut, tidak seperti pendekatan sinyal, pendekatan ini tidak bisa
membuat peringkat terhadap indikator berdasarkan kemampuan dalam ketepatan
forecasting terjadinya krisis.
Determinan Krisis
Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah memilih variabel yang dapat digunakan
untuk penyusunan model dalam pendekatan discrete dependent variable. Beberapa
indikator dapat dikedepankan sebagai faktor kunci yang potensial dalam menyebabkan
terjadinya krisis, diantaranya adalah overvaluations dari mata uang domestik, ratio antara
M2 dan cadangan devisa, pertumbuhan kredit domestik, ratio hutang luar negeri dan
cadangan devisa serta terjadinya krisis di negara lain. Indikator-indikator tersebut
berguna dalam memberikan informasi dan signifikansi dalam memprediksi terjadinya
krisis.
Lebih jauh, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan satu
negara (one-country-approach) dengan batasan terjadinya krisis di Indonesia pada tahun
1996 hingga tahun 2009. Batasan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tahun 1996 kuartal 1 hingga tahun 2009 kuartal 4. Hal ini memiliki alasan utama yaitu
episode krisis yang baru-baru ini terjadi di Indonesia berada pada periode tersebut.
Model Logit
Dalam penelitian ini, variabel dependen adalah krisis di Indonesia periode 1996 – 2009,
sedangkan variabel independen adalah harga minyak dunia jenis WTI (OIL), nilai tukar
riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (REER), tingkat inflasi (INFLASI), ratio jumlah
uang beredar terhadap cadangan devisa (M2DEVISA) serta ratio belanja pemerintah
terhadap output nasional (GOVGDP).
24
Krisis merupakan variabel dummy dimana terjadi dua karakteristik probabilitas yang
ditunjukkan dengan angka satu (yang berarti krisis sedang terjadi) dan nol (yang berarti
tidak terjadi krisis).
Secara umum model logit dapat dinyatakan sebagai berikut:
Li = Log
Dimana
𝑃𝑃𝑃𝑃
1−𝑃𝑃𝑃𝑃
= b0 + ∑π‘˜π‘˜π‘—π‘—=1 𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋
[6]
Li : variabel dependen (=1 bila terjadi krisis dan =0 bila tidak terjadi krisis)
Pi : probabilitas
Xij : variabel independen
Dari model umum tersebut, diperoleh model logit untuk krisis di Indonesia, yaitu sebagai
berikut:
Li = Log
Dimana:
𝑃𝑃𝑃𝑃
1−𝑃𝑃𝑃𝑃
= b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5
[7]
X1 : Harga minyak dunia jenis WTI
X2 : Real Effective Exchange Rate (REER)
X3 : Tingkat Inflasi
X4 : Ratio M2 dan cadangan devisa
X5 : Ratio Belanja Pemerintah dan GDP
IV.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Periode Krisis
Berdasarkan ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi diatas
nilai tengah ISP, hanya mampu mengidentifikasi terjadinya krisis di periode 1996 hingga
1999 dan periode 2005 saja. Berbeda dengan hasil tersebut, nilai indeks dengan ambang
batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP, nilai
indeks mengidentifikasi beberapa periode terjadinya krisis mata uang, yaitu tahun 1996
hingga 1999, 2005 hingga 2006, serta periode tahun 2008.
25
Pemilihan besarnya ambang batas (arbitrary threshold) yang akan digunakan,
sepenuhnya diserahkan kepada peneliti. Nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang
sering digunakan adalah 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Walaupun
demikian, penulis mencoba menggunakan besaran nilai ambang batas (arbitrary
threshold) yang lain, yaitu sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Dalam
hal ini, semakin besar nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang digunakan, maka
jumlah krisis yang teridentifikasi akan semakin rendah.
Gambar 2. Identifikasi Periode Krisis
ISP> 1 SD
2
1
0
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2006
2008
ISP> 1,5 SD
2
1
0
1996
1998
2000
2002
2004
26
Hasil Estimasi Model Logit
Estimasi dengan model logit diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 2. Koefisien dan Probabilitas Variabel Bebas
1 SD
1,5 SD
KOEFISIEN PROBABILITY KOEFISIEN PROBABILITY
OIL
-0,045062
0,1450
-0,119950
0,0958
REER
-9,83E-05
0,3334
-0,000113
0,2507
INFLASI
45,25869
0,0336
24,79216
0,1035
M2DEVISA
1,021303
0,3351
0,791984
0,5286
GOVGDP
-0,064941
0,8728
0,359413
0,4937
Sumber: diolah
Dari regresi yang telah dilakukan, nampak bahwa hanya variabel harga minyak dunia
(OIL) yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan
menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi di
atas nilai tengah ISP. Signifikansi pengaruh variabel harga minyak dunia (OIL) terhadap
probabilitas terjadinya krisis berada pada α = 10%.
Selain itu, hasil tambahan yang didapatkan dalam estimasi dengan model logit adalah
variabel tingkat inflasi (INFLASI) signifikan berpengaruh terhadap probabilitas
terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1
kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Sementara signifikansi pengaruh variabel
tingkat inflasi (INFLASI) terhadap probabilitas terjadinya krisis berada pada α = 5%.
Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold)
sebesar 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP adalah 0,268244. Hal ini berarti
bahwa variabel bebas dalam model mampu menerangkan perubahan probabilitas
terjadinya krisis sebesar 26,82 persen atau 73,18 persen diterangkan oleh variabel lain di
luar model. Sementara itu, nilai McFadden R2 dari hasil estimasi dengan nilai ambang
batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP adalah
0,271512. Hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model mampu menerangkan
perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 27,15 persen atau 72,85 persen
diterangkan oleh variabel lain di luar model. Di samping itu, nilai McFadden R2 yang
27
didapat dari hasil estimasi dengan menggunakan kedua nilai threshold (0,271512 dan
0,268244) masih dapat diterima sebagai nilai yang bagus tapi tidak memuaskan. Nilai
McFadden R2 dalam model logit umumnya berkisar antara 20 persen hingga 40 persen
(Ali Ari, 2008). Walaupun demikian, dalam binary regressand models, pengukuran
goodness of fit bukanlah menjadi hal utama yang harus dilakukan. Yang menjadi
masalah utama dalam analisis dan pembahasan hasil estimasi dengan model logit adalah
tanda yang diharapkan (expected signs) dari koefisien variabel independen dan
signifikansi regresi (Gujarati, 2004).
Interpretasi Odds Ratio
Dari hasil estimasi model logit dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar
1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP, hubungan antara variabel bebas terhadap
variabel tak bebas memiliki interpretasi sebagai berikut: variabel harga minyak dunia
(OIL) dalam hasil estimasi memiliki koefisien -0,11995. Hal ini berarti penurunan harga
minyak dunia sebesar 1 dollar akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada
probabilitas terjadinya krisis mata uang sebesar 0,12 apabila variabel-variabel lain
dianggap konstan. Ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel harga minyak dunia
diketahui dari antilog koefisien harga minyak dunia sebesar 0,8869. Hal ini berarti
variabel harga minyak dunia (OIL) dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis
sebanyak 0,8869 kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis.
Tanda koefisien dari variabel harga minyak dunia (OIL) ternyata tidak sesuai dengan
dugaan awal. Koefisien variabel harga minyak dunia (OIL) memiliki tanda negatif atau
berkebalikan arah dengan probabilitas terjadinya krisis mata uang. Artinya, semakin
harga minyak dunia meningkat, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di
Indonesia akan berkurang. Kemungkinan krisis mata uang akan terjadi jika harga minyak
dunia mengalami penurunan.
Secara teori, fluktuasi yang terjadi dengan harga minyak dunia memiliki banyak
pengaruh kepada perekonomian, misalnya terhadap nilai tukar mata uang domestik
tingkat bunga maupun output. Apabila ditelisik lebih dalam, hampir semua pengaruh
harga minyak terjadi ketika harga mengalami peningkatan atau kenaikan.
28
Penelitian ini menghasilkan temuan yang berbeda dengan hipotesis awal dan penelitianpenelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Peningkatan harga minyak dunia diduga
memiliki pengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang. Terlebih
bagi Indonesia yang saat ini telah menjadi negara pengimpor minyak. Meningkatnya
harga minyak dunia akan memberikan tekanan nilai tukar kepada Indonesia karena
valuta asing, dalam hal ini Dollar Amerika, akan lebih banyak dibutuhkan untuk
membeli minyak. Hasil penelitian menemukan bahwa harga minyak dunia memiliki
pengaruh negatif terhadap probabilitas krisis mata uang. Lebih spesifik, kemungkinan
krisis mata uang akan terjadi jika harga minyak dunia turun bukan ketika harga minyak
dunia mengalami peningkatan. Lebih jauh, penelitian ini menemukan hal yang berbeda
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang telah dilakukan
Edison (2003). Hasil penelitian ini menemukan bahwa harga minyak dunia memiliki
pengaruh signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang, walaupun
pengaruhnya tidak terlalu besar.
Ketidaksesuaian hasil estimasi peranan harga minyak dunia dengan dugaan awal
didukung oleh fakta bahwa di kuartal ke-4 tahun 2008 harga minyak dunia mengalami
penurunan tajam dari 104,11 US dolar per barel ke 41,12 US dolar per barel sementara
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melonjak dari kisaran Rp. 9.000 per US dolar
ke Rp 11.023 per US dolar. Melonjaknya harga minyak dunia yang sempat menembus
angka 100 US dolar per barel pada kuartal pertama tahun 2008 menjadi tidak berarti
karena perekonomian dunia sedang lesu sebagai imbas dari krisis subprime mortgage di
Amerika Serikat dan krisis hutang yang melanda Eropa. Resesi global yang terjadi
kemudian menurunkan permintaan akan minyak mentah dunia sehingga harga minyak
dunia pun turun drastis.
Fenomena tersebut diduga karena harga minyak dunia berperan secara tidak langsung
kepada stabilitas sistem keuangan. Penurunan harga minyak dunia sebagai bagian dari
berkurangnya permintaan akan komoditas minyak merupakan gejala melemahnya
perekonomian global yang disusul kemudian dengan perilaku para pelaku pasar yang
mengamankan aset-asetnya, menarik modal yang sudah ditanamkan atau tidak jadi
menanamkan modalnya. Peristiwa keluarnya modal asing dari perekonomian domestik
inilah yang kemudian akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata
uang asing. Terkoreksinya nilai tukar ke posisi yang lemah akan membuat otoritas
29
moneter bergerak melakukan intervensi di pasar keuangan dengan mengurangi cadangan
devisa.
Harga minyak dunia lebih memiliki pengaruh langsung kepada sektor riil. Fluktuasi
harga minyak dunia akan berpengaruh terhadap produk turunan atau hasil olahan dari
minyak mentah yang dikonsumsi masyarakat, seperti BBM, dan mendorong terjadinya
cost push inflation. Lebih jauh, lonjakan harga minyak dunia akan direspon oleh otoritas
fiskal dengan penyesuaian kebijakan pengeluaran pemerintah terkait dengan kebijakan
subsidi bahan bakar yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Selanjutnya, dari hasil estimasi model logit dengan nilai ambang batas (arbitrary
threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP, hubungan antara
variabel bebas terhadap variabel tak bebas memiliki interpretasi sebagai berikut: variabel
inflasi (INFLASI) dalam hasil estimasi memiliki koefisien positif, yakni 45,25869. Hal
ini berarti kenaikan pertumbuhan inflasi sebesar 1 persen akan menyebabkan
peningkatan secara rata-rata pada probabilitas terjadinya krisis mata uang sebesar 45,26
apabila variabel-variabel lain dianggap konstan. Ukuran probabilitas (terms of odds) dari
variabel inflasi diketahui dari antilog koefisien inflasi sebesar 4,5248E+19. Hal ini
berarti variabel inflasi dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis sebanyak 4,52
kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis.
Dampak yang ditimbulkan oleh inflasi kepada probabilitas terjadinya krisis mata uang
memiliki arah yang sama. Dalam hal ini, jika inflasi meningkat maka probabilitas
terjadinya krisis juga demikian. Salah satu konsekuensi dari inflasi yang tinggi adalah
mata uang yang mengalami depresiasi karena berkurangnya daya beli mata uang
domestik terhadap mata uang asing. Hal ini terjadi karena perilaku para pelaku pasar
dalam menanggapi tingginya inflasi yang terjadi. Inflasi yang tinggi identik dengan
resiko yang semakin tinggi pula. Resiko inilah yang kemudian mendorong para pelaku
pasar untuk mengambil keputusan, seperti membawa modal ke luar negeri (capital
outflow) atau tidak jadi menanamkan modalnya ke negara ini. Apabila hal tersebut
terjadi, maka jumlah mata uang asing yang ditawarkan akan semakin berkurang dan
kelangkaan tersebut akan memicu naiknya harga mata uang asing, yang selanjutnya akan
membuat mata uang domestik terdepresiasi. Melemahnya nilai tukar mata uang domestik
akan mendorong otoritas moneter untuk melakukan intervensi di pasar uang dengan
30
menggunakan cadangan devisa yang dimiliki. Lebih jauh, kondisi inflasi yang tinggi
akan menyebabkan naiknya tingkat bunga. Dengan meningkatnya inflasi, tingkat bunga
juga akan meningkat sebagai bagian dari kebijakan moneter yang ditempuh untuk
mengerem tekanan inflationary. Dengan demikian, pengaruh inflasi terhadap probabilitas
terjadinya krisis mata uang sejalan dengan definisi krisis mata uang yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu perubahan nilai tukar, cadangan devisa yang berkurang dan
kenaikan tingkat bunga.
Pengaruh Negatif Harga Minyak Dunia Terhadap Probabilitas Krisis Dari Sisi
Importir Dan Eksportir
Probabilitas krisis mata uang akan semakin besar jika nilai ISP juga makin besar, dimana
nilai ISP merupakan definisi krisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu nilai tukar
yang terkoreksi, penurunan cadangan devisa dan tingkat suku bunga yang bertambah.
Volatilitas harga minyak dunia membawa konsekuensi berbeda kepada setiap negara.
Volatilitas harga minyak dunia dapat didefinisikan sebagai tingkat perubahan dalam
harga, baik harga yang meningkat maupun turun, pada periode waktu tertentu. Semakin
besar selisih perubahan atau semakin cepat perubahan tersebut terjadi, maka volatilitas
semakin tinggi. Negara produsen dan pengekspor minyak akan meraup keuntungan
ketika harga minyak dunia meningkat, sementara negara pengimpor minyak akan
mengalami dampak yang tidak diinginkan terhadap neraca perdagangan, terutama di
sektor eksternal.
Krisis mata uang sendiri dapat terjadi baik pada negara eksportir minyak maupun negara
importir minyak. Gejolak yang terjadi pada nilai tukar mata uang, baik apresiasi maupun
depresiasi, akan dikategorikan sebagai krisis apabila melewati threshold tertentu.
Bagi negara eksportir minyak, penurunan harga minyak akan mempengaruhi
perekonomian
melalui
berkurangnya
penerimaan
dan
kesejahteraan.
Transfer
kesejahteraan dari negara importir minyak ke negara eksportir minyak akan berkurang
seiring dengan harga minyak yang murah. Keuntungan yang didapat dari perdagangan
minyak tidak akan sebanyak dibandingkan ketika harga minyak sedang mahal.
Bagaimanapun, hal ini akan tergantung dari seberapa besar sektor perdagangan minyak
berkontribusi terhadap perekonomian negara pengekspor minyak. Jika negara
pengekspor minyak sangat menggantungkan penerimaannya dari sektor minyak, maka
31
aktifitas perekonomian negara tersebut akan mengalami penurunan dan akan berakibat
pada munculnya tekanan inflasi dan tekanan nilai tukar mata uang domestik.
Selanjutnya, turunnya harga minyak dapat berpengaruh terhadap perekonomian melalui
efek
perdagangan
internasional.
Turunnya
harga
minyak
akan
menyebabkan
meningkatnya permintaan minyak dari negara importir minyak kepada negara eksportir
minyak. Jika permintaan minyak terus bertambah maka dapat berakibat memicu naiknya
harga minyak kembali menemukan keseimbangan harga yang baru dan hal ini akan
mendorong kegiatan ekspor di negara eksportir minyak.
Bagi negara importir minyak, harga minyak yang mengalami penurunan merupakan
berkah tersendiri. Negara importir minyak akan membutuhkan valuta asing yang lebih
sedikit untuk membeli minyak dari negara eksportir minyak. Di samping itu, harga
energi yang lebih rendah kemudian akan mempengaruhi fungsi produksi agregat karena
perusahaan akan memilih untuk menambah jumlah output yang dihasilkan dari proses
produksi. Bertambahnya output dan pendapatan perusahaan kemudian akan membuat
aktifitas konsumsi dan investasi meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan
negara pengimpor minyak.
V.
SIMPULAN
Simpulan
Nilai indeks yang digunakan (ISP) mampu mengidentifikasi beberapa periode krisis mata
uang yang terjadi di Indonesia. Diantaranya adalah tahun 1996 hingga 1999 dan periode
2005 dengan menggunakan ambang batas 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP.
Namun, ketika menggunakan ambang batas 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP,
periode yang teridentifikasi adalah tahun 1996 hingga 1999, 2005 hingga 2006, serta
periode tahun 2008.
Dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model logit, terdapat dua
variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis mata
uang di Indonesia tahun 1996 - 2009, yaitu variabel harga minyak dunia dan variabel
tingkat inflasi. Variabel harga minyak dunia signifikan berpengaruh terhadap probabilitas
terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar
1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Sementara, hasil tambahan yang
didapatkan dalam estimasi dengan model logit adalah variabel tingkat inflasi signifikan
32
berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang
batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP.
Kedua variabel yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis mata
uang di Indonesia, yaitu tingkat inflasi dan harga minyak dunia, ternyata memiliki
perbedaan dalam cara memengaruhi terjadinya krisis mata uang. Probabilitas terjadinya
krisis akan meningkat seiring dengan tekanan inflasi yang besar, namun tidak demikian
dengan harga minyak dunia. Peranan variabel harga minyak dunia sebagai indikator yang
digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk
Indonesia tidak terlalu besar. Variabel harga minyak dunia dalam hasil estimasi memiliki
koefisien negatif, yaitu -0,11995 dan ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel
harga minyak dunia sebesar 0,8869. Hal ini berarti variabel harga minyak dunia dapat
menyebabkan
kemungkinan
terjadinya
krisis
sebanyak
0,8869
kali
daripada
kemungkinan tidak terjadi krisis. Dengan demikian, variabel harga minyak dunia tidak
cocok untuk dimasukkan ke dalam model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk
Indonesia.
Saran
Penyusunan sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia perlu melihat variabel
tingkat inflasi sebagai indikator utama penyebab krisis. Pemerintah agar melakukan
pemantauan pergerakan variabel, khususnya tingkat inflasi, yang mampu memprediksi
krisis mata uang untuk mengantisipasi krisis sedini mungkin.
Pengendalian inflasi dapat dilakukan dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter maupun kebijakan disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh
pemerintah terkait langsung dengan sisi produksi dan distribusi barang konsumen.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia dapat mengarahkan kebijakan moneter agar mencapai
target inflasi seperti yang ditetapkan dengan menggunakan instrumen kebijakan suku
bunga. Pengendalian inflasi dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga secara
bertahap dan pengetatan kredit yang bertujuan untuk memperkuat nilai tukar dan
mengembalikan kepercayaan pasar.
Selain itu, stabilitas harga dapat dicapai dengan memperhatikan ekspektasi inflasi yang
berkembang di masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk
mengendalikan inflasi, salah satu faktor terpenting dari segi efektifitas dan efisiensi
33
pelaksanaannya oleh BI adalah pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi
oleh para pelaku ekonomi. Bank sentral perlu meningkatkan transparansi pelaksanaan
tugasnya dengan secara eksplisit memberikan informasi yang lengkap mengenai
perkembangan terakhir laju inflasi dan hal-hal yang melatarbelakangi penetapan suatu
sasaran laju inflasi serta informasi variabel lain seperti pertumbuhan uang beredar,
perkembangan nilai tukar, yang konsisten dengan pencapaian sasaran laju inflasi. Di
samping itu, stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya
menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat.
34
Daftar Pustaka
Abiad, Abdul G, 1999. Early Warning System For Currency Crises: A Markov-Switching
Approach with Application to Southeast Asia,-------Adebiyi, M.A., Adenuga, A.O., Abeng, M.O. dan Omanukwue, P.N, 2009. Oil Price Shocks,
Exchange Rate and Stock Market Behaviour: Empirical Evidence from Nigeria,
Research Paper, pp 1 – 41, Central Bank of Nigeria.
Agung, J., E. Sukawati, R. Morena, D. Hermawan dan B. Mukti, 2002. Desain Sistem Deteksi
Dini dalam Rangka Monitoring Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta.
Akram, Farooq Q, 2004. ”Oil Prices and Exchange Rates: Norwegian Evidence”, dalam Jennifer
C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the
Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.
Aliyu, S.U.R, 2009. Impact of Oil Price Shock and Exchange Rate Volatility on Economic
Growth in Nigeria: An Empirical Investigation, Research Journal of International
Studies, 11, 4-15.
Amano, Robert A and Simon van Norden, 1998. ”Exchange Rates and Oil Prices”, dalam
Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of
the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.
Ari, Ali, 2008. An Early Warning Signals Approach for Currency Crises: The Turkish
Case, Universite du Sud, Toulon-Var, MPRA Paper No. 25858, October 2010.
Aziz J., Caramazza F. and Salgado R, 2000. Currency crises: In search of common elements,
IMF Working Paper, 00-67.
Bacon, R, and M. Kojima, 2008. Coping with Oil Price Volatility, Energy Sector Management
Assistance Program, Special Report 005/08, The World Bank, Washington.
Bank Indonesia, 2011. Laporan Perekonomian Indonesia 2011.
Batunagar, S, 2003. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan, Pengembangan Perbankan, Edisi
99 Maret-April, Jakarta.
Berg, Andrew dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers,
vol. 46 No. 2, June 1999.
Bergvall, Anders, 2004. ”What Determines Real Exchange Rates? The Nordic Countries”, dalam
Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of
the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.
Bussiere, Matthieu dan Marcel Fratzscher, 2006. Towards a New Early Warning System of
Financial Crises, Journal of International Money and Finance 25.
Caprio, Gerard and Daniela Klingebiel, 1996. Bank Insolvencies: Cross-Country Experience.
World Bank Policy Research Working Paper No. 1620, July 1996.
Chauduri, Kausik and Betty C. Daniel, 1998. ”Long-Run Equilibrium Real Exchange Rates and
Oil Prices”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A
Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.
Danih, Ulan, 2006. Sistem Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar dan Krisis Perbankan di
Indonesia periode 1995 – 2005, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Dawson, Jennifer C, 2004. The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the
Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV.
Edison H.J, 2003. Do indicators of financial crises work? An evaluation of an early warning
system, International Journal of Finance and Economics, 8, pp.11-53.
Eichengreen B., Rose A.K. and Wyplosz C, 1994. Speculative attacks on pegged exchange
rates: An empirical exploration with special reference to the European Monetary
System, NBER Working Paper, 4898.
Eichengreen B., Rose A.K. and Wyplosz C, 1995. Exchange Rate Mayhem: The Antecedents
and Aftermath of Speculative Attacks, Economic Policy, 21, pp. 249-312.
Eichengreen B., Rose A.K. et Wyplosz C, 1996. Contagious Currency Crises, NBER Working
Paper, 5681.
Eichengreen, Barry, Andrew K. Rose and Charles Wyplosz, 1996.”Contagious Currency Crisis:
First Tests”, dalam Takatoshi Ito and Keisuke Orii, Early Warning System of
Currency Crises, Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy
Review vol. 5 No. 1, October 2009.
Energy Information Administration. Cushing, OK WTI Spot Price FOB (Dollars per Barrel),
http://tonto.eia.gov/dnav/pet/hist/LeafHandler.ashx?n=PET&s=RWTC&f=M, (12 Juni
2013)
Farlane, Mc, I.J, 1999. The Stability of Financial Sistem, Reserve Bank of Australia Bulletin,
August 1999.
Frankel, Jeffrey and Andrew Rose, 1996. Currency Crashes in Emerging Markets: An
Empirical Treatement, Journal of International Economics, vol 41, pp. 351-66.
Gerlach, Stefans and Frank Smets, 1994.”Contagious Speculative Attacks”, dalam Graciela
Kaminsky, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency
Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998.
Goldfajn, L, Valdes, R., 1997. Capital Flows and the Twin Crises: The Role of Liquidity,
IMF Working Paper, No. 97-87.
Goldstein, M, Graciela Kaminsky and Carmen M. Reinhart, 2000. “Assessing Financial
Vulnerability: An Early Warning System for Emerging Markets”, dalam Thangjam
Rajeshwar Singh, Ordered Probit Model of Early Warning System for Predicting
Financial Crisis in India, Reserve Bank of India.
Gujarati D.N, 2004. Basic econometrics, New York, McGraw-Hill, 4th edition.
Hadad, M. D, W. Santoso dan B. Arianto, 2003. Indikator Awal Krisis Perbankan, Bank
Indonesia, Jakarta.
Hardy, C Daniel and Pazarbasioglu Ceyla, 1998. Leading Indicators of Banking Crises: Was
Asia Different?, IMF Working Paper, June 1998.
Herrera, S, Dan Garcia, 1999. User’s Guide to An Early Warning System for
Macroeconomic Vulnerability in Latin American Countries. World Bank Working
Paper 2233, September 1999.
Hotelling, H, 1931. The Economics of Exhaustible Resources, Journal of Political Economy
39, 137-75.
International Monetary Fund, __. International Financial Statistics, berbagai edisi.
Ito, Takatoshi and Keisuke Orii, 2009. Early Warning System of Currency Crises, Policy
Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review vol. 5 No. 1,
October 2009.
Kaminsky G, 1998. Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress,
International Finance Discussion Papers, No. 629, October 1998.
Kaminsky, Graciela L, 2000. Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress,
George Washington University, July 2000.
Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, 1998. Leading Indicators of
Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998.
Kaufmann, R.K, and B. Ullman, 2009. Oil Prices, Speculation, and Fundamentals:
Interpreting Causal Relationships among Spot and Future Prices, Energy
Economics, 31, 550-558.
Kibritcioglu, A, 2003. Monitoring Banking Sector Fragility, The Arab Bank Review, 5-2,
pp.51-66.
Kirsanova, Tatiana and David Vines, 2001. Collapse of Oil Prices and Currency Crisis in
Russia, __, June 2001.
Krugman, Paul, 1979.”A Model of Balance of Payments Crises”, dalam Graciela Kaminsky,
Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF
Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998.
Krugman, Paul, 1999. :What Happened to Asia?”, dalam Andrew Kindman, Currency Crisis
Early Warning Systems: Robust Adjustments to the Signal-Based Approach, Duke
University, April 2010.
Kumar, M., Moorthy, U. and W. Perraudin, 2003. Predicting emerging market currency
crashes, Journal of Empirical Finance, 10, pp. 427-454.
Kuncoro, H, 2010. State Budget Sustainability and Its Implication for Financial System
Stability, Paper Presented in the Discussion on Financial System Stability, Central Bank
of Indonesia, November, 29.
Masson, Paul, 1998.”Contagion: Monsoonal Effects, Spillovers adn Jumps between Multiple
Equilibria”, dalam Abiad, Abdul G, Early Warning System For Currency Crises: A
Markov-Switching Approach with Application to Southeast Asia, 1999.
McKinnon, R.I, and Pill H, 1996. “Credible liberalizations and international capital flows: The
“overborrowing syndrome” dalam Ito T. and Krueger A.O, Financial deregulation and
Integration in East Asia, Chicago, The University of Chicago Press.
Mishkin, F, 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Market, 6th Edition,
USA, Addison Wesley.
Obstfeld, Maurice, 1986. “Rational and Self-Fulfilling Balance of Payment Crises”, dalam Peter
JG Vlaar, Early Warning System for Currency Crises, De Economist.
Obstfeld, Maurice, 1994. The Logic of Currency Crises, Banque de France- cahiers
economiques et monetaires no. 43, 1994.
Oktavilia, Shanty, 2008. Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel
Makro dengan Model Logit, Universitas Negeri Semarang, Jejak, vol.1 no.1,
September 2008.
Portes, Richard, 1998. An Analysis of Financial Crisis: Lessons for the International
Financial System, IMF Conference Chicago, 8-10 October 1998.
Purwanti, Dewi, 2011. Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan
Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN+3, Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Radelet, Steven and Jeffrey Sachs, 1998. “The Onset of The East Asian Financial Crisis”, dalam
Andrew Berg dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff
Papers, vol. 46 No. 2, June 1999.
Reigner, E, 2007. Oil and Energy Price Volatility, Energy Economics 29, 405-27.
Roubini, N. and B. Setser, 2004. The Effects of the Recent Oil Price Shock on the U.S. and
Global Economy, ___
Sachs, Jeffrey, Aaron Tornell and Andres Velasco, 1996. “Financial Crises in Emerging
Markets: The Lessons from 1995”, dalam Andrew Berg dan Catherine Pattillo, Are
Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers, vol. 46 No. 2, June 1999.
Sadorsky, P, 1999. Oil Price Shocks and Stock Market Activity, Energy Economics, 21(5),
449-469.
Sari, R, 2006. The Relationship between Stock Returns, Crude Oil Prices, Interest Rates,
and Output: Evidence from a Developing Economy, Empirical Economics Letters,
5(4), 205-220.
Singh, Thangjam Rajeshwar, 1999. Ordered Probit Model of Early Warning System for
Predicting Financial Crisis in India, Reserve Bank of India.
Sugandi, Eric Alexander, 2004. Constructing Early Warning System of Currency Crises for
Indonesia: Leading Indicator Approach, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,
Juni 2004.
Vlaar, Peter JG, 1998. Early Warning System for Currency Crises, De Economist.
Zuang, J, 2005. Early Warning System for Financial Crises, Asian Development Bank.
Download