PENDEKATAN EARLY WARNING SIGNALS UNTUK KRISIS MATA UANG INDONESIA: PERIODE 1996 -2009 Oleh : YUSTINUS WAHYUDI NIM : 222009020 KERTAS KERJA Diajukan Kepada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan-persyaratan untuk mencapai Gelar Sarjana Ekonomi FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS 2013 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian terbuka sebagai tatanan baru perekonomian dunia telah memberikan celah bagi semua negara untuk berinteraksi dan berintegrasi satu sama lain. Batas-batas wilayah suatu negara menjadi semakin tak kentara. Ini berarti bahwa area-area saling terhubung dalam perkembangan teknologi dan liberalisasi yang memungkinkan mobilitas yang lebih tinggi bagi arus barang dan arus uang. Lebih jauh, terbukanya suatu perekonomian akan memberikan tantangan tersendiri bagi suatu negara khususnya bagi negara yang sedang berkembang. Di satu sisi, integrasi yang lebih besar dalam sektor keuangan akan memberikan banyak manfaat terutama dengan masuknya inovasi keuangan dalam bentuk aliran modal asing sebagai pembiayaan investasi. Di sisi lain, integrasi tersebut juga membuka kesempatan bagi terjadinya suatu bentuk krisis yang dapat ditularkan melalui hubungan dagang dengan negara lain. Beberapa gelombang krisis telah menerpa perekonomian dunia selama dekade 1990-an yaitu Exchange Rate Mechanism (ERM) tahun 1992-1993 di Eropa, Tequila Effect di Meksiko tahun 19941995, Asia 1997-1998, Rusia 1998 sampai dengan krisis di Argentina tahun 2001. Selanjutnya, krisis Asia tahun 1997 memberikan pelajaran berharga tentang kerentanan dan kerapuhan terbukanya suatu perekonomian terhadap terjadinya krisis. Terjadinya krisis di suatu wilayah negara atau perekonomian dapat menular dengan cepat ke wilayah lainnya. Radelet dan Sachs (1998), serta Abiad (1999), menyatakan bahwa krisis di Thailand memiliki karakteristik generasi pertama yang disebabkan oleh ketidakseimbangan fundamental dalam kebijakan yang digunakan pemerintah dan sistem nilai tukar yang dianut. Pembiayaan defisit fiskal dan sistem nilai tukar tetap yang dianut, akan memaksa terjadinya pengurangan cadangan devisa yang dimiliki. Ketika cadangan devisa telah berkurang, maka saat itulah merupakan saat yang rentan bagi perekonomian karena serangan spekulatif akan mengganggu nilai tukar mata uang domestik. Sementara itu, krisis di Indonesia dan Philipina pada awalnya merupakan contagion effect akibat melemahnya nilai tukar Baht Thailand yang pada akhirnya berkembang menjadi krisis ekonomi. Hal senada juga diungkapkan Gerlach dan Smets (1995), krisis mata uang merupakan fenomena regional terkait dengan contagion effect, sementara pengaruh efek ekonomi spesifik relatif lemah. 1 Rapuh dan rentannya suatu perekonomian akan terjadinya krisis juga dapat dipelajari dari pengalaman krisis mata uang di Rusia pada tahun 1998. Mata uang Rusia, yaitu rubble, mengalami kolaps yang diakibatkan tidak hanya oleh contagion effect dari krisis Asia, namun terutama karena guncangan (shock) yang tercipta oleh kombinasi jatuhnya harga minyak dunia dan lemahnya perekonomian Rusia kala itu. Harga minyak dunia sedikit demi sedikit menyeret perekonomian Rusia tenggelam ke dalam pusaran krisis. Kombinasi yang terjadi terlebih dikarenakan eratnya kebijakan fiskal dan kuatnya ketergantungan anggaran dengan sektor energi (Kirsanova dan Vines, 2001). Selain itu, belajar dari pengalaman krisis yang dialami Rusia pada tahun 1998, naiknya harga minyak dunia secara terus menerus dan adanya ketergantungan anggaran pemerintah yang begitu tinggi terhadap sektor energi menjadi suatu pelajaran berharga. Peningkatan harga minyak dunia tidak terelakkan karena minyak bumi sebagai sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dalam waktu singkat, persediaannya mulai menipis. Di lain pihak, permintaan minyak dunia tetap tinggi. Fluktuasi yang terjadi pada harga minyak dunia akan memberikan kontribusi pengaruh dan dampak yang signifikan bagi perkembangan ekonomi global. Pergerakan harga yang terjadi secara drastis dan cepat akan melemahkan perekonomian di seluruh dunia, termasuk menurunnya pertumbuhan ekomomi, meningkatnya tekanan inflasi hingga mendorong ketidakpastian kondisi ekonomi. Hal ini dikarenakan minyak bumi sebagai sumber energi utama dunia sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian global. Minyak bumi memainkan peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Purwanti (2011) menjelaskan bahwa salah satu faktor penggerak perekonomian dunia saat ini adalah minyak bumi. Kinerja harga minyak bumi dunia menjadi tolak ukur bagi kinerja perekonomian dunia karena perannya dipandang penting dalam fungsi produksi. Lebih spesifik, harga minyak dunia yang bergejolak fluktuatif khususnya akan memberikan dampak yang besar kepada negara-negara pengimpor minyak 1. Hal ini tercermin dalam tekanan depresiasi bagi mata uang negara-negara pengimpor minyak ketika harga minyak dunia meningkat. 1 Jennifer C. Dawson, Akram (2004), Bergvall (2004), Amano and van Norden (1998), Chadhuri and Daniel (1998) dalam “The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic 2 Demikian pula dengan Indonesia. Peningkatan harga minyak dunia kini tidak menguntungkan bagi Indonesia. Dahulu Indonesia merupakan negara pengekspor minyak yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) sejak 1962 sampai dengan tahun 2009. Tingginya pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri dan kurangnya investasi dalam penyediaan sumber daya energi alternatif kemudian memaksa Indonesia untuk menunda sementara keanggotaan penuhnya dalam OPEC. Kemudian Indonesia mengubah orientasinya menjadi negara pengimpor minyak karena berjuang demi mencukupi kebutuhan dalam negeri. Dengan berubahnya orientasi ekspor-impor, Indonesia tidak bisa lagi menikmati pendapatan yang tinggi dari naiknya harga minyak dunia. Sebaliknya, naiknya harga minyak dunia akan semakin menekan nilai tukar rupiah dan anggaran negara lewat subsidi BBM yang terus membebani. Grafik 1. Perkembangan harga minyak dunia, Kurs dan Inflasi di Indonesia tahun 2000 - 2009 300 20000 18000 16000 kurs inflasi harga minyak dunia 14000 250 200 12000 10000 150 8000 6000 4000 100 50 2000 0 0 Sumber: International Financial Statistics (IFS) Peningkatan harga minyak dunia yang terus terjadi juga memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia. Ketika harga minyak dunia menembus angka di atas 100 dollar per barel di tahun 2008, inflasi pun merangkak naik dengan pertumbuhan sebesar 3,48% dari kuartal sebelumnya. Sebaliknya, ketika harga minyak dunia terjun bebas di akhir 3 tahun 2008, inflasi pun sedikit melambat dengan pertumbuhan hanya sebesar 0,38% dari kuartal sebelumnya. Pun demikian, kurs nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika mengalami fluktuasi yang cukup tajam. Berbeda dengan pergerakan inflasi, kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mengalami apresiasi ketika harga minyak dunia meningkat. Namun, ketika harga minyak dunia mengalami penurunan yang cukup signifikan di akhir tahun 2008, kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika malah mengalami depresiasi yang cukup tinggi dengan laju sebesar 13,41% dari kuartal sebelumnya. Belajar dari pengalaman kasus krisis mata uang Rusia, sangat relevan bila langkah awal pembentukan sebuah kerangka model sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia dapat melibatkan peranan harga minyak dunia di dalamnya. Keterkaitan dan ketergantungan perekonomian Indonesia akan fluktuasi harga minyak dunia perlu dilihat lebih dalam. Ketika perekonomian Indonesia menjadi sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia, maka di saat itu pula gejala krisis sudah mulai terpapar. Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk memberikan pemahaman peranan harga minyak dunia terhadap perekonomian Indonesia. Pemahaman tersebut dapat disadari sebagai langkah awal untuk menyadari ketergantungan perekonomian terhadap salah satu faktor global yaitu harga minyak dunia. Ketergantungan yang teramat tinggi dapat memberikan celah bagi terbukanya suatu kerawanan akan terjadinya krisis ekonomi khususnya krisis mata uang. Dalam hal ini, peranan harga minyak dunia selanjutnya dapat digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dikemukakan rumusan permasalahan penelitian, yaitu bagaimana peranan harga minyak dunia sebagai indikator yang digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk Indonesia. 4 II. KAJIAN TEORI Krisis merupakan bentuk gangguan stabilitas dalam tatanan suatu perekonomian. Stabilitas yang dimaksud adalah stabilitas sistem keuangan yang ditujukan untuk menciptakan kestabilan lembaga dan pasar keuangan, dimana gangguan stabilitas sistem keuangan yang utama adalah krisis perbankan dan krisis mata uang (Batunanggar, 2003 dan Agung et.al, 2002). Berkenaan dengan itu, kerangka pemikiran stabilitas sistem keuangan harus disusun sebagai suatu rangkaian proses yang diawali dengan pemantauan dan identifikasi kemungkinan terjadinya krisis (crisis prevention) hingga upaya pemulihan dan penyelesaian apabila krisis telah terjadi (crisis resolution). Namun demikian, upaya pencegahan terjadinya krisis harus lebih dikedepankan ketimbang upaya-upaya pemulihan ketika krisis telah terjadi. Penelitian ini memberi perhatian khususnya terhadap suatu bentuk volatilitas ekonomi yaitu pergerakan harga minyak dunia dan peranannya dalam pembentukan krisis mata uang. Lebih jauh, pemahaman yang lebih dalam tentang determinan dan kondisi terjadinya krisis mata uang merupakan informasi yang sangat penting. Walaupun pemahaman lebih dalam terhadap krisis tidak menjamin bahwa krisis dapat dihindari secara keseluruhan, paling tidak dapat membantu meminimalisasi kerusakan dan dampak terjadinya krisis (Krugman, 1999). Tinjauan literatur berikut akan meliputi gambaran krisis keuangan yang terdiri dari krisis perbankan dan krisis mata uang, fluktuasi harga minyak dunia beserta hubungan antara peranan harga minyak dunia dan krisis mata uang serta penelitian terdahulu dan studi yang telah dilakukan sebelumnya mengenai model-model sistem deteksi dini (Early Warning System) krisis mata uang. Krisis Keuangan (Krisis Finansial) Krisis keuangan pada intinya dapat dibagi dua (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart, 2000), yaitu krisis mata uang (currency) dan krisis perbankan (banking). Krisis mata uang sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing, berbarengan dengan menurunnya cadangan devisa (foreign reserve) dan meningkatnya suku bunga jangka pendek secara tidak wajar. Krisis perbankan lebih sulit untuk didefinisikan namun dapat dilihat dengan menggunakan dua pendekatan yaitu “indicators-based” dan “events-based”. Beberapa 5 instrumen indicators based adalah non-performing loans ratio (NPLs ratio), biaya operasi penyelamatan bank dan kerugian modal bank. Sementara events based melihat krisis dari terjadinya penarikan simpanan besar-besaran oleh nasabah (rush), penutupan bank, penggabungan beberapa bank (merger) dan pengambilalihan oleh pemerintah dan intervensi pemerintah terhadap sektor keuangan. Lebih jauh, krisis mata uang dan krisis perbankan dapat berlanjut menjadi krisis keuangan yang begitu hebat apabila kedua krisis tersebut datang secara bersamaan. Salah satu penyebab terjadinya krisis perbankan diawali oleh terjadinya krisis mata uang. Sebaliknya, keterpurukan sektor perbankan justru menyebabkan terjadinya krisis mata uang. Dan apabila kedua krisis tersebut datang secara bersamaan, maka terjadilah krisis kembar atau twin crisis. Keterkaitan antara krisis mata uang dan krisis perbankan dikemukakan oleh beberapa ahli, antara lain Eichengreen, Rose dan Wyplosz (1994), Sachs dan Velasco (1996), Goldfajn dan Valdes (1997) serta Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998). Hubungan kausal dan hubungan dua arah yang dimiliki oleh krisis perbankan dan krisis mata uang menyebabkan kedua tipe krisis tersebut terkadang sulit untuk dipisahkan secara spesifik. Secara teori, tekanan dalam mata uang domestik akan menyebabkan permasalahan dalam sektor perbankan jika sektor perbankan memiliki liabilitas dalam mata uang asing yang cukup besar. Sebaliknya, banking distress dapat menyebabkan serangan spekulasi terhadap mata uang domestik jika para spekulan mengantisipasi trade-off yang terjadi antara devaluasi kurs nilai tukar dan kerugian dalam sistem perbankan. Istilah financial crisis atau krisis keuangan merupakan situasi dimana aset institusi keuangan kehilangan nilainya secara tiba-tiba. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, krisis keuangan yang terjadi banyak dikaitkan dengan situasi panik pada sistem perbankan (bankrush) dan resesi yang timbul beriringan dengan situasi panik yang terjadi. Situasi lain dimana krisis keuangan terjadi yaitu mencakup krisis bursa saham, gelembung harga aset, krisis mata uang dan kegagalan dalam sistem perbankan. Krisis keuangan merupakan gejolak dalam pasar keuangan yang mengganggu kapasitas pasar untuk mengalokasikan modal (capital), intermediasi keuangan dan investasi (Richard Portes, 1998). 6 Krisis Perbankan Menurut Hardy dan Pazarbasiglu (1998), definisi krisis perbankan adalah apabila sistem perbankan mengalami salah satu dari kondisi-kondisi sebagai berikut: a. Tingginya kredit macet (NPL) yang melebihi 10% dari seluruh aset atau 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). b. Biaya penyelamatan perbankan melebihi 2% dari PDB. c. Nasionalisasi atau pengambil alihan perbankan oleh pemerintah. d. Penarikan dana besar-besaran oleh nasabah. e. Penutupan bank oleh pemerintah baik sementara atau selamanya. Krisis perbankan dapat dipicu oleh berbagai risiko yang bersumber dari elemen-elemen yang terkait dengan sistem keuangan. Elemen-elemen tersebut saling terkait satu sama lain, yaitu: lingkungan makroekonomi yang stabil, lembaga finansial yang dikelola yang baik, pasar keuangan yang efisien, kerangka pengawasan prudensial yang sehat dan sistem pembayaran yang aman dan handal (McFarlane, 1999). Menurut Berg dan Pattilo (1999) penyebab krisis perbankan dibedakan menjadi dua bagian yaitu adanya gangguan terhadap fundamental ekonomi, yaitu inflasi, pertumbuhan ekonomi dan neraca pembayaran, kedua adalah adanya serangan spekulasi yang mempercepat terjadinya krisis (self-fulfilling crisis). Sedangkan menurut McKinnon dan Pill (1994) penyebab krisis perbankan adalah ketidakteraturan aliran modal dalam perekonomian dan sektor perbankan serta asuransi deposito dan masalah moral hazard. Sementara Caprio dan Klingebiel (1996) mengemukakan krisis perbankan di negara maju umumnya karena faktor dari luar negeri seperti perbedaan tingkat bunga domestik dengan di luar negeri, siklus bisnis dan hutang luar negeri. Demikian juga Kibritcioglu (2004) menyebutkan bahwa penyebab utama krisis perbankan adalah meledaknya kredit, resesi ekonomi dan overvaluation dari mata uang domestik. Industri perbankan yang memiliki fungsi intermediasi untuk mengatur sistem pembayaran menimbulkan pandangan bahwa permasalahan di sektor perbankan dapat menyebabkan efek negatif terhadap perekonomian yang dampaknya jauh lebih besar dibandingkan dengan jatuhnya bidang industri lain. Beberapa analisis menurut Hadad, Santoso dan Arianto (2003), mengutarakan alasan yang mendukung pernyataan bahwa industri perbankan merupakan industri yang memerlukan perhatian khusus, yaitu rasio kas terhadap aset yang rendah, rasio modal terhadap aset yang rendah dan rasio dana 7 jangka pendek terhadap total deposit yang tinggi. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, penarikan dana dalam jumlah besar akan mengakibatkan bank-bank kesulitan untuk mengembalikan dana milik masyarakat. Sebagai solusinya, bank-bank tersebut akan menjual aset yang ada dengan harga murah, kondisi ini akan menimbulkan tekanan yang besar pada perbankan dan menurunnya rentabilitas perbankan akan memicu timbulnya krisis. Gambar 1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Krisis Keuangan Dan Perbankan Krisis Mata Uang Pembahasan mengenai sistem peringatan dini krisis mata uang akan diawali dengan tinjauan beberapa definisi tentang konsep krisis mata uang. Terjadinya krisis mata uang sering didefinisikan sebagai suatu peristiwa terjadinya depresiasi nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang asing biasanya Dollar Amerika, menurunnya cadangan devisa (foreign reserve) dan meningkatnya suku bunga jangka pendek (short-term interest rate) secara tidak wajar (Goldstein, Kaminsky dan Reinhart, 2000). 8 Selanjutnya, krisis mata uang dapat dipahami secara lebih dalam. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang krisis mata uang banyak mengupas tentang pentingnya nilai tukar dan cadangan devisa yang dimiliki suatu negara. Vitalnya peran yang diemban oleh nilai tukar mata uang dan cadangan devisa telah menjadi aktor sentral dalam pembahasan berbagai literatur tentang krisis mata uang. Beberapa paper, seperti Vlaar (1998) mengemukakan bahwa indikator utama krisis mata uang berdasarkan kurs nilai tukar nominal dan turunnya cadangan devisa, terutama pada negara berkembang. Ito dan Orii (2009) mendefinisikan krisis sebagai kombinasi depresiasi nilai tukar, meningkatnya tingkat suku bunga dan penurunan cadangan devisa. Lebih jauh, krisis mata uang secara umum dapat dilihat sebagai situasi ketika serangan spekulasi terhadap mata uang mengakibatkan penurunan nilai tukar nominal secara tajam. Beberapa peneliti, seperti Obstfeld (1994) dan Singh (1999) juga menyatakan bahwa definisi situasi serangan spekulatif tidak hanya berakibat kepada devaluasi sebuah mata uang namun juga mengurangi cadangan devisa mata uang asing. Dalam hal ini, serangan spekulasi yang dilakukan terhadap mata uang dapat dilancarkan dengan memanfaatkan guncangan eksternal seperti fluktuasi harga minyak dunia yang berdampak terhadap kebijakan fiskal suatu negara. Teori krisis yang telah berkembang mengelompokkan terjadinya krisis mata uang dalam beberapa generasi. Zhuang (2005) mengelompokkan krisis mata uang ke dalam tiga kelompok generasi. Pengelompokkan ini lebih didasarkan pada fokus sumber terjadinya krisis. Fokus dari masing-masing generasi adalah sebagai berikut: generasi pertama, fokus kepada terjadinya inkonsistensi antara kebijakan makro dan sistem peg atau pematokan nilai tukar yang menyebabkan terjadinya krisis membuat sistem peg tersebut tidak berkesinambungan. Sistem peg tersebut menyebabkan nilai tukar riil mata uang berada dalam kondisi over valued. Kebijakan ini akan bertentangan dengan kebijakan makro lainnya yaitu peningkatan ekspor non migas. Dengan nilai tukar yang terlalu kuat, maka efeknya adalah biaya produksi menjadi lebih mahal dan ketika ekspor dilakukan nilai Dollar yang diperoleh eksportir dalam rupiah menjadi lebih rendah. Situasi ini membuat produsen enggan meningkatkan ekspor dan lebih suka menjual barangnya di dalam negeri, yang mengakibatkan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor tidak optimal. 9 Generasi kedua, fokus kepada trade-offs (pilihan) antara bermacam sasaran kebijakan makro suatu negara dimana krisis dapat terjadi ketika suatu negara mengalami perubahan kebijakan dari satu rezim ke rezim yang lain. Selanjutnya, generasi ketiga adalah fokus kepada terjadinya penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush) akibat kepanikan keuangan yang disebabkan oleh perubahan mendadak terhadap persepsi pasar. Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor penyebab krisis mata uang, penelitian yang telah dilakukan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori. Generasi pertama dirintis oleh Krugman (1979) yang terpusat pada inkonsistensi sistem nilai tukar tetap dan fundamental ekonomi dalam negeri seperti kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang berlebihan. Dalam hal ini, krisis mata uang terjadi karena cadangan devisa berkurang. Generasi kedua menjelaskan bahwa krisis mata uang dapat terjadi tanpa adanya perubahan dalam fundamental ekonomi atau ketika tidak adanya inkonsistensi antara kebijakan yang diambil dengan sistem nilai tukar yang dianut. Lebih jauh, krisis mata uang merupakan pergeseran antara multiple monetary equilibria sebagai respon terhadap self-fulfilling speculative attacks (Obstfeld, 1986, 1994). Selanjutnya, generasi ketiga lebih terfokus pada contagion effect dan spillover effect atau alasan terjadinya krisis di suatu negara akan berpengaruh terhadap krisis di negara lainnya, seperti dikemukakan oleh Masson (1998). Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Singh (1999) menyebutkan bahwa secara makro model krisis berdasarkan pada tiga generasi model terdahulu. Model generasi pertama menyatakan bahwa lemahnya fundamental ekonomi menyebabkan perekonomian menjadi semakin rapuh terhadap serangan spekulatif, sedangkan model generasi kedua lebih kepada ekspektasi self-fulfilling sebagai penyebab utama krisis, namun dengan tidak mengesampingkan peran lemahnya fundamental ekonomi. Kedua model tersebut lazim dikenal sebagai model krisis mata uang. Di lain pihak, model generasi ketiga menggabungkan lemahnya fundamental ekonomi dari model generasi sebelumnya dengan lemahnya sektor perbankan untuk menjelaskan krisis keuangan. Untuk alasan ini, model generasi ketiga juga dikenal dengan twin crises atau model krisis mata uang dan krisis perbankan. Fluktuasi Harga Minyak Dunia dan Dampaknya terhadap Perekonomian Fluktuasi harga minyak dunia telah memiliki sejarah yang panjang. Di tahun 1970-an, harga minyak dunia berada dalam kisaran USD 3.00 per barel sampai dengan USD 13.55 10 per barel. Sedangkan, 30 tahun berselang, harga minyak dunia telah menembus angka diatas USD 100 per barel. Berbagai faktor dan peristiwa telah menghantar perjalanan harga minyak dunia sampai sekarang ini, diantaranya adalah gejolak yang terjadi di negara Timur Tengah seperti revolusi Iran dan Perang Teluk, terbentuknya OPEC, krisis ekonomi di Asia, serangan teroris sampai kepada krisis utang luar negeri yang mendera negara-negara Eropa. Perilaku harga minyak dunia serupa dengan komoditas lainnya dalam hal pergerakan keseimbangan permintaan dan penawaran. Namun, di saat harga komoditas lain relatif stabil, harga minyak cenderung lebih volatile (Reigner, 2007). Beberapa pendekatan dalam memahami perilaku pergerakan harga minyak dunia, antara lain: pertama, pendekatan Hoteling (1931) yang menjelaskan bahwa volatilitas harga minyak terjadi karena minyak merupakan sumber daya yang dapat habis. Kedua, harga minyak dunia ditentukan oleh kondisi ekonomi global dan ketiga adalah faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi seperti aktivitas OPEC, spekulan dan kondisi pasar. Sementara itu, Kaufman dan Ullmann (2009) menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia di tahun 2008 dapat dijelaskan dengan kombinasi faktor-faktor fundamental ekonomi dan perilaku spekulatif yang terjadi. Lebih jauh, ketidakstabilan harga minyak dunia juga memiliki dampak yang sangat luas terhadap aktivitas perekonomian dalam segala aspek. Hal ini telah diteliti dalam studistudi empirik yang dilakukan antara lain oleh Sadorsky (1999), yang melakukan pengujian hubungan antara harga minyak dunia dan pasar bursa saham. Sari (2006) memeriksa hubungan keterkaitan antara harga minyak, harga saham, tingkat bunga dan output di negara berkembang seperti Turki. Sementara, Aliyu (2009) meneliti tentang hubungan harga minyak dunia terhadap kurs nilai tukar dan tingkat bunga di Nigeria. Secara umum, penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menemukan bahwa volatilitas harga minyak dunia memberikan dampak negatif. Selanjutnya, Roubini dan Setser (2004) menyatakan bahwa fluktuasi maupun peningkatan harga minyak dunia akan memberikan dampak bagi perekonomian setiap negara di dunia. Besarnya pengaruh yang diberikan tergantung dari beberapa hal, seperti besarnya guncangan harga minyak, durasi atau lamanya guncangan tersebut berlangsung, dependensi dari negara tersebut dalam penggunaan minyak dalam perekonomian serta respon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di negara tersebut. 11 Adebiyi et all (2009) menjelaskan bahwa pergerakan dan guncangan harga minyak dapat mempengaruhi aktivitas riil ekonomi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. Mekanisme transmisi dampak pergerakan harga minyak terhadap aktivitas riil ekonomi dapat dilihat melalui sisi penawaran (supply) maupun dari sisi permintaan (demand). Dari sisi supply, kenaikan harga minyak akan menimbulkan guncangan negatif pada sisi penawaran (negative supply-side shock). Artinya, kenaikan harga minyak akan menyebabkan naiknya ongkos energi bagi perusahaan (dunia usaha), yang pada gilirannya akan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menambah atau mengurangi jumlah produksi. Dari sisi demand, kenaikan harga minyak akan mempengaruhi kemampuan daya beli konsumen. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Bacon dan Kojima (2008). Tingkat volatilitas harga minyak di Ghana, Chili, India, Filipina dan Thailand diteliti selama periode Juli tahun 1999 sampai Maret tahun 2007 untuk melihat dampak yang ditimbulkan terhadap kurs nilai tukar dan kondisi fiskal. Beberapa kebijakan digulirkan terkait dengan fluktuasi harga minyak dunia yang terjadi, seperti hedging, skema harga dan pengurangan konsumsi minyak demi tercapainya ketahanan energi dalam negeri. Sementara untuk kasus Indonesia, harga minyak dunia dijadikan sebagai asumsi dasar penetapan APBN setiap tahunnya. Kuncoro (2010) menemukan bahwa peningkatan harga minyak dunia berpengaruh sekitar 0,02 persen terhadap kebijakan fiskal dan sangat rawan dalam keberlanjutannya. Dalam hal ini, penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) yang lebih rendah dari harga pasar dalam jangka panjang akan sangat menguras anggaran pemerintah lewat beban subsidi yang harus ditanggung. Peranan Harga Minyak Dunia Dalam Krisis Mata Uang Peranan harga minyak dunia dalam pengembangan model Early Warning System krisis mata uang masih terbatas. Tidak banyak penelitian krisis mata uang yang melibatkan peranan harga minyak dunia di dalamnya. Beberapa studi sebelumnya tentang peranan harga minyak dunia dalam pengembangan model EWS krisis mata uang, diantaranya adalah: Kirsanova dan Vines (2001) menggambarkan bagaimana sebuah model krisis yang tercipta dari guncangan (shock) yang berakibat pada runtuhnya sistem nilai tukar tetap yang dianut Rusia. Kelemahan utama perekonomian Rusia saat itu adalah kebijakan pemerintah yang sangat rapuh terhadap guncangan dari luar yaitu volatilitas harga 12 minyak dunia, karena kebijakan fiskal yang terkait erat dengan sektor energi. Dalam hal ini, situasi yang terjadi adalah disiplin fiskal yang lemah dan kuatnya ketergantungan anggaran terhadap penerimaan dari sektor energi, khususnya minyak bumi. Edison (2003) mengembangkan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Kaminsky, Lizondo dan Reinhart dengan menambahkan jumlah negara observasi dan jumlah variabel indikator di dalamnya. Harga minyak dunia merupakan salah satu variabel tambahan yang dimasukkan dalam model sistem deteksi dini. Peningkatan harga minyak dunia yang terjadi merupakan hal yang terkait dengan terjadinya resesi. Early Warning System Model Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, model EWS dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama, yaitu (1) leading indicator model dan (2) discrete dependent variable model. Penjelasan dan beberapa analisis mengenai kedua kelompok utama model EWS akan disajikan berikut beserta kelebihan dan kekurangannya. 1. Leading Indicator Model Leading Indicator Model dapat digunakan untuk memberi prediksi terjadinya krisis nilai tukar di masa depan. Model ini menggunakan variabel-variabel ekonomi sebagai indikator terjadinya krisis mata uang baik secara individual maupun kelompok. Secara garis besar, Leading Indicator Model dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu individual leading indicator model dan composit leading indicator model. 1.1 Individual Leading Indicator Model Seperti istilahnya, Individual Leading Indicator Model merupakan model yang menggunakan single leading indicator sebagai variabel penjelas di satu sisi dan variabel dependen di sisi lainnya. Satu variabel sebagai variabel dependen, misalnya krisis nilai tukar, dan variabel lain sebagai indikator utama. Ide yang mendasari model ini adalah variabel krisis nilai tukar akan mengeluarkan sinyal terjadinya krisis jika tekanan nilai tukar pasar atau Exchange Market Pressure (EMP) di atas ambang batas (threshold) dan tidak mengeluarkan sinyal ketika EMP dibawah atau sama dengan ambang batas (threshold). Ambang ditetapkan berdasarkan rata-rata EMP atau standar deviasi EMP. Lebih jauh, hubungan antara variabel krisis nilai tukar dan leading indicator akan terlihat dan dijelaskan melalui sebuah perangkat “Jendela”, dimana perangkat ini merupakan 13 rentang waktu yang digunakan untuk menguji adanya korelasi antara krisis nilai tukar dengan indikator yang digunakan. 1.2 Composite Leading Indicator Model Composite Leading Indicator Model adalah pengembangan dari model terdahulunya yaitu, Individual Leading Indicator Model. Model ini dibuat dari beberapa indikator individu. Dengan harapan dapat memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dalam memprediksi krisis, lebih efisien (kesalahan sinyal rendah), probabilita dari krisis yang mengikuti sinyal yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan model individual. Kelemahan utama dari model ini sama dengan Individual Leading Indicator Model yaitu kehilangan informasi yang disebabkan oleh tidak menggunakan variabel diskret. Ada dua metode untuk membangun sebuah indikator komposit. Secara umum perbedaan utama antara metode terletak pada prosedur dan ekstraksi sinyal dari indikator individu. Metode pertama yang digunakan oleh Kaminsky (1998) adalah semua sinyal yang dikeluarkan oleh individual leading indicator diubah menjadi sebuah indikator komposit. Sebaliknya, metode kedua yang digunakan oleh Herrera dan Garcia (1999) adalah sinyal dikeluarkan oleh indikator komposit itu sendiri, bukan dari individual leading indicator. 2. Discrete Dependent Variable Model Discrete Dependent Variable Model dapat dibangun dengan dua metodologi. Metodologi yang pertama ialah dengan menggunakan dua kategori, misalnya 0 dan 1, pada variabel dependen dalam model linear seperti logit dan probit. Cara lainnya adalah dengan menggunakan model multinomial jika menggunakan lebih dari dua kategori. Dengan menggunakan pendekatan Discrete Dependent Variable Model, kemungkinan kehilangan informasi akan lebih kecil jika dibandingkan dengan leading indicator model. Hal ini disebabkan oleh karena variabel independen menggunakan nilai aslinya, terutama untuk variabel yang kontinyu. Kelemahan utama model ini adalah tingkat determinan diantara variabel-variabel independen ketika seluruh variabel digunakan secara bersamasama. Tingkat kepekaan antara satu variabel independen dengan variabel lainnya tidak dapat ditentukan apabila salah satu variabel dikeluarkan dari dalam model. 14 Studi Sebelumnya tentang Model Early Warning System Studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya mengenai Early Warning System untuk krisis mata uang, diantaranya adalah: 1. Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998) Kaminsky, Lizondo dan Reinhart mendefinisikan krisis mata uang sebagai kondisi dimana Exchange Market Pressure (EMP) terletak diatas rata-rata EMP ditambah 3 kali standar deviasi dari nilai EMP itu sendiri. EMP sendiri didefinisikan sebagai nilai pembobotan dari variabel nilai tukar nominal dan cadangan devisa internasional yang berfluktuasi setiap bulannya dengan bobot yang lebih besar diberikan kepada komponen lainnya yang fluktuasinya lebih rendah. Sebagai salah satu pionir yang mencoba membuat metode peramalan dan prediksi terjadinya krisis, Kaminsky, Lizondo dan Reinhart menggunakan beberapa macam variabel sebagai individual leading indicator dari krisis nilai tukar, diantaranya yaitu output nasional (GDP), ekspor, Real Effective Exchange Rates (REER), stock index, rasio dari broad money terhadap cadangan internasional. Perilaku dari masing-masing indikator dapat disusun dalam sebuah jendela. Kotak A adalah bulan yang menunjukkan indikator yang mengeluarkan sinyal baik. Sedangkan, kotak B adalah bulan yang menunjukkan indikator yang mengeluarkan sinyal buruk (noise). Sementara itu, kotak C adalah bulan yang menunjukkan indikator yang gagal mengeluarkan sinyal padahal terjadi krisis. Kotak D adalah bulan yang menunjukkan indikator yang tidak mengeluarkan sinyal dan tidak terjadi krisis. Untuk masing-masing indikator, KRL membentuk ambang optimal threshold yang didefinisikan sebagai batas yang dapat meminimumkan noise-to-signal ratio B/A. Batas ini dihitung dengan menggunakan persentil dari masing-masing negara. Tabel 1. Hubungan antara sinyal dan krisis Ada krisis Tidak ada krisis Ada sinyal A B Tidak ada sinyal C D Sumber: Kaminsky, Lizondo dan Reinhart (1998) 15 Metode Kaminsky, Lizondo dan Reinhart memang kompleks dan memerlukan pengertian yang mendalam, namun tidak terlalu menghasilkan hasil yang sempurna. Metode ini gagal untuk memprediksikan 91% terjadinya krisis dan 44% alarm yang dihasilkan positif salah. Variabel yang signifikan dihasilkan dalam penelitian ini adalah nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor, ratio M2 terhadap cadangan devisa dan pertumbuhan harga saham. 2. Berg dan Pattillo (1999) Berg dan Pattillo mengevaluasi model Kaminsky, Lizondo dan Reinhart serta memberikan alternatif model dalam memprediksi krisis. Berg dan Pattillo mengaplikasikan indikator-indikator dan batas threshold yang digunakan oleh Kaminsky, Lizondo dan Reinhart ke dalam model probit dengan menggunakan metode regresi dalam usaha menyempurnakan model EWS. Regresi pertama yang dilakukan adalah regresi probit untuk setiap indikator dengan menggunakan threshold Kaminsky, Lizondo dan Reinhart sebagai batasan dan mengestimasi kemungkinan terjadinya krisis dalam waktu 24 bulan berikutnya. Regresi selanjutnya dengan menggunakan dummy variabel untuk setiap indikator, 1 jika di bawah threshold dan 0 untuk sebaliknya. Regresi ketiga menggunakan linear continuous variable untuk melihat persentase perubahan dari setiap indikator yang kemudian dinormalisasikan ke dalam persentil. Walaupun model yang dibuat dapat memberikan hasil yang mendekati sempurna, namun model tersebut tidak dapat memberi penjelasan secara spesifik. Model yang paling kuat yang dihasilkan memiliki adjusted-R2 sebesar 0,145. Variabel yang memiliki hasil signifikan dari model ini adalah nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor, ratio current account terhadap GDP, ratio M2 terhadap cadangan devisa dan pertumbuhan cadangan devisa. 3. Edison (2003) Edison menggunakan tehnik ekstraksi sinyal Kaminsky, Lizondo dan Reinhart dan pendekatan probit Berg dan Pattillo, membuat beberapa tambahan dalam strategi penelitiannya. Edison menambahkan lima negara ke dalam sample, memasukkan indikator global seperti harga minyak dunia dan output negara G-7 sebagai gambaran kondisi pasar global. Perubahan yang dilakukan menghasilkan sedikit kemajuan namun menambah perkembangan model yang dibuat. Edison menekankan kepada pentingnya 16 fluktuasi nilai tukar riil, short term debt dan ratio M2 terhadap cadangan devisa dalam memprediksikan krisis mata uang. Hasilnya variabel nilai tukar riil, pertumbuhan ekspor dan ratio M2 terhadap cadangan devisa terbukti signifikan dalam model yang diteliti. Sementara, indikator global yang ditambahkan dalam penelitian, seperti harga minyak dunia, ternyata tidak signifikan. Aspek lain yang menarik dalam penelitian Edison adalah ia menguji kekuatan model dengan menggunakan definisi krisis, yaitu indeks Frankel-Rose dengan indeks Kaminsky-Reinhart. Indeks Frankel-Rose lebih inklusif sehingga dapat memberikan Edison sample yang lebih luas dalam memilih data. Hasil yang didapat berguna untuk menghilangkan kritik potensial bahwa hasil yang diberikan model EWS sangat bergantung kepada definisi krisis yang digunakan. 4. Kumar, Moorthy dan Perraudin (2003) Kumar, Moorthy dan Perraudin mengikuti struktur dasar model probabilitas yang dilakukan Berg-Pattillo, namun berbeda dalam 3 aspek kunci. Pertama, Kumar, Moorthy dan Perraudin lebih memilih untuk menggunakan logit ketimbang probit. Rasionalitas yang dikedepankan adalah berdasarkan skewed distribution dari variabel dependen, terdapat lebih banyak observasi non-krisis dibandingkan observasi krisis. Menurut Kumar, Moorthy dan Perraudin, strategi dengan logit lebih baik digunakan untuk mengolah karakteristik seperti ini. Kedua, Kumar, Moorthy dan Perraudin menggunakan variabel dengan lag, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih menjelaskan krisis sebagai pertemuan berbagai pergerakan secara bersama-sama diantara sistem yang berbeda. Mereka menambahkan lag pada setiap variabel dengan harapan untuk menguatkan hasil. Ketiga, Kumar, Moorthy dan Perraudin memilih definisi krisis yang terkait erat dengan indeks Franklin-Rose. Dengan definisi ini, hasil yang didapat model lebih kuat, yakni dapat memprediksi 34% krisis secara tepat dan 69% pada waktu normal. 5. Ali Ari (2008) Ali Ari mengembangkan model binomial dan multivariat logit dalam mengestimasi kemampuan prediksi dari 16 indikator yang digunakan dalam sampel yang meliputi periode Januari tahun 1990 hingga Desember tahun 2002. Sebagai tambahan, penelitian yang dilakukan juga mencoba kinerja model pada periode yang berbeda atau periode di 17 luar sampel yaitu Januari 2003 hingga Desember 2008. Hasilnya adalah krisis mata uang yang menghantam perekonomian Turki disebabkan oleh defisit anggaran yang berlebihan, tingginya pertumbuhan jumlah uang beredar, peningkatan hutang luar negeri secara tajam dalam jangka pendek, resiko dalam sistem perbankan serta external shocks. Penelitian ini menggunakan Index of Speculative Presurre (ISP) sebagai kondisi terkoreksinya nilai tukar, berkurangnya cadangan devisa dan naiknya tingkat bunga domestik. Krisis mata uang terjadi apabila nilai ISP melebihi threshold yang ditetapkan, yaitu 1,5; 2; 2,5; dan 3 kali standar deviasi ditambah nilai rata-rata ISP. 6. Eric Alexander Sugandi (2004) Penelitian yang dilakukan Sugandi (2004) dengan menggunakan pendekatan Leading Indicator dalam upaya membangun sistem deteksi dini krisis mata uang untuk Indonesia menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu pendekatan composite leading indicator dapat digunakan dalam proses membangun sistem deteksi dini krisis krisis mata uang di Indonesia karena model yang digunakan lebih efisien dalam menghasilkan sinyal peringatan dan memberi probabilitas yang tinggi akan kemungkinan terjadinya krisis. Dua variabel yang dikedepankan dalam kinerja pembentukan model adalah penyimpangan nilai tukar riil rupiah terhadap trend value-nya dan pertumbuhan tabungan dalam valuta asing. Kombinasi kedua variabel tersebut merupakan indikator komposit terbaik dalam menjelaskan kemungkinan terjadinya krisis mata uang di Indonesia. 7. Ulan Danih (2006) Penelitian yang dilakukan Ulan Danih (2006) dalam membangun sistem deteksi dini dengan Signal Approach Model (SAM) dapat mendeteksi terjadinya krisis di Indonesia dengan periode krisis nilai tukar yaitu dari Agustus 1997 hingga Oktober 1998 dan periode krisis perbankan yaitu Agustus 1997 hingga Mei 1999. Kinerja indikator terbaik untuk krisis mata uang adalah Real Effective Exchange Rates (REER) dengan kemungkinan memprediksi sebesar 67 persen, diikuti oleh kredit domestik dan jumlah uang beredar (M2). Sedangkan untuk indikator krisis perbankan adalah nilai tukar dan kredit domestik. Selanjutnya, kemungkinan sinyal salah yang berarti sinyal tersebut ternyata tidak menjelaskan kondisi nilai tukar yang rentan selama 12 bulan ke depan yaitu sebesar 4 persen. Dengan demikian, sistem deteksi dini ini mampu mengidentifikasikan sinyal 10 bulan sebelum krisis mata uang terjadi dan 5 bulan 18 sebelum krisis perbankan terjadi, apabila krisis setaraf periode sebelumnya terjadi kembali. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan teori yang telah diulas sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: • Diduga harga minyak dunia jenis WTI berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila harga minyak naik, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 19962009 semakin besar. • Diduga nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika naik, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin besar. • Diduga tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Bila tingkat inflasi tinggi, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin besar. • Diduga ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Semakin besar ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin besar. • Diduga ratio belanja pemerintah terhadap output nasional berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009. Semakin besar ratio belanja pemerintah terhadap output nasional, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia periode 1996-2009 semakin besar. 19 Kerangka Pemikiran Dari uraian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar peranan variabel harga minyak dunia di dalam sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia. Secara garis besar, kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut: Latar Belakang •adanya krisis mata uang sebelumnya •peningkatan harga minyak dunia •ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap harga minyak dunia III. Tujuan Penelitian •mengetahui peranan harga minyak dunia dalam sistem deteksi dini krisis mata uang bagi Indonesia Analisis Ekonometri •membuat model logit untuk melihat peranan variabel-variabel makro, terutama harga minyak dunia, dalam model sistem deteksi dini krisis mata uang METODOLOGI Jenis dan sumber data Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder, yaitu data yang diambil dari berbagai terbitan dan publikasi yang telah tersedia, diantaranya adalah data yang bersumber dari publikasi International Financial Statistics (IFS) terbitan International Monetary Fund (IMF) dan Energy Information Administration (EIA) untuk data harga minyak dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) atau yang lebih dikenal dengan minyak light sweet. Data sekunder yang digunakan pada studi ini adalah data kuartalan pada periode tahun 1996 hingga tahun 2009. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan paket program Microsoft Excel dan Eviews 6. Sebelum data siap diolah dan dianalisis, data harus melalui proses pengolahan tersendiri, seperti membuat data riil untuk data Consumer Price Index (CPI) karena data tersebut berbentuk nominal. 20 Tahapan Pembentukan Model Sistem Deteksi Dini Model sistem deteksi dini terhadap krisis mata uang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan discrete dependent variable dengan membentuk model logit. Mengacu kepada penelitian yang dilakukan Ali Ari (2008), adapun tahapan pembentukan model yang harus dilalui, yaitu: 1) Penyusunan indeks krisis Indeks krisis dibangun sebagai variabel dependen dalam menjelaskan episode krisis. Definisi krisis mata uang yang akan digunakan berperan penting dalam penyusunan indeks krisis. Beberapa peneliti menggunakan definisi krisis yaitu depresiasi atau devaluasi mata uang (Frankel dan Rose, 1996, serta Kumar, Moorthy dan Perraudin, 2003). Sementara, Eichengreen (1994,1995,1996) dan Kaminsky (1998) menyusun indeks krisis berdasarkan definisi krisis mata uang ketika suatu mata uang tertentu berada dalam tekanan spekulatif yang berat. Definisi ini dapat diartikan sebagai kondisi dimana serangan spekulasi mengarah kepada devaluasi mata uang dan otoritas berwenang mempertahankan nilai tukar mata uang dengan melakukan intervensi lewat cadangan devisa dan menaikkan tingkat bunga domestik. Indeks krisis yang kemudian disebut sebagai Index of Speculative Presurre (ISP), dimana s melambangkan perubahan (riil atau nominal) kurs nilai tukar mata uang, r merupakan perubahan cadangan devisa dan i yang melambangkan pergerakan tingkat bunga. Sementara, σ melambangkan invers dari standar deviasi variabel tersebut. ISPt = 1 ππππ β st - 1 ππππ β rt + 1 ππππ βit [1] Lebih lanjut, invers dari standar deviasi dimaksudkan sebagai pembobotan komponen penyusun indeks krisis yang dilakukan agar semua variabel memiliki equal variances atau menyamakan volatilitasnya serta menghindari kemungkinan salah satu komponen penyusun dalam mendominasi indeks tersebut (Aziz, Caramazza dan Salgado, 2000). Nilai ISP dalam penelitian ini merupakan komposisi dari perubahan nilai tukar riil mata uang, perubahan cadangan devisa yang dimiliki dan pergerakan tingkat bunga. Dalam hal ini, nilai ISP akan menggambarkan situasi krisis mata uang yang tercermin dalam situasi serangan spekulatif terhadap nilai mata uang dan intervensi otoritas 21 keuangan dalam menjaga kurs dengan mengurangi cadangan devisa dan menaikkan tingkat bunga. ISPt = 1 ππππππππππ οΏ½ π π π π π π π π π π −π π π π π π π π π π −1 π π π π π π π π π‘π‘−1 οΏ½- 1 ππππππππ οΏ½ π π π π π π π π −π π π π π π π π −1 π π π π π π π π −1 οΏ½+ 1 ππππππππ (ππππππππ − ππππππππ − 1) [2] Dimana: REER = (NER x P*) / P REER = Real Effective Exchange Rate NER = Nominal Exchange Rate (Rp/USD) P* = Consumer Price Index Amerika Serikat P = Consumer Price Index Indonesia RES = International reserves minus Gold NIR = Nominal Interest Rate σ REER, σ RES, σ NIR = standar deviasi dari masing-masing komponen 2) Menentukan ambang batas (arbitrary threshold) Setelah menentukan indeks krisis beserta komponen penyusunnya dan melakukan pembobotan, selanjutnya dilakukan penentuan ambang batas (arbitrary threshold). Ketika indeks krisis melewati batas, maka observasi yang dilakukan akan dikategorikan sebagai krisis. Dalam hal ini, indeks krisis diubah menjadi binary variable yaitu bernilai 1 jika terjadi krisis dan bernilai 0 untuk sebaliknya. 1 ππππ πΌπΌπΌπΌπΌπΌπΌπΌ > ∅ ππππππππ + ππππππππ Ct = οΏ½ 0 ππππ ππππβππππππππππππ [3] Secara umum, threshold level penilaian terjadi atau tidaknya krisis (Ct) ditetapkan dengan beragam ambang batas (arbitrary threshold), yakni ∅, dikalikan dengan standar deviasi dari indeks (ππππππππ) dan ditambah dengan mean dari indeks (ππππππππ). Ambang batas (arbitrary threshold) merupakan standar deviasi dari indeks krisis (ISP) ditambah mean dari indeks krisis (ISP) tersebut. Nilai dari ambang batas (arbitrary threshold) yang biasa digunakan dalam studi-studi terdahulu mencakup 1.5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP (Eichengreen, Rose dan Wyplosz, 1994,1996) sampai 3 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP (Kaminsky, Reinhart 22 dan Lizondo, 1997). Penelitian ini mencoba melihat dengan menggunakan ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP. 1 ππππππππ πΌπΌπΌπΌπΌπΌπΌπΌ > 1,5 ππππππππππ + ππππππππππ C1t = οΏ½ 0 ππππππππ π π π π π π π π π π π π π π π π π π π π [4] Sebagai tambahan, penelitian ini juga mencoba melihat kemampuan ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP untuk menjelaskan terjadi atau tidaknya suatu krisis. 1 ππππππππ πΌπΌπΌπΌπΌπΌπΌπΌ > 1 ππππππππππ + ππππππππππ C2t = οΏ½ 0 ππππππππ π π π π π π π π π π π π π π π π π π π π [5] 3) Memilih metodologi yang digunakan Untuk mengetahui pengaruh dan tingkat signifikansi masing-masing indikator terhadap krisis mata uang yang terjadi di Indonesia maka digunakan model Logit. Model Logit merupakan model ekonometrika yang digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, dimana variabel dependen merupakan variabel diskret (dummy variabel) yang bernilai 1 dan 0, sedangkan variabel independennya bersifat non-diskrit. Pendekatan discrete dependent variable dapat menganalisis probabilitas terjadinya suatu event; dalam hal ini krisis mata uang, berdasarkan sekumpulan indikator yang diteliti. Berbeda dengan pendekatan sinyal. Metode pendekatan sinyal bertujuan untuk memonitor perilaku yang tidak biasa dari indikator sebelum terjadinya krisis dan mengevaluasi setiap indikator dalam kemampuan forecasting-nya. Selain itu, pendekatan ini tidak dapat memberikan test statistik dan estimasi probabilitas yang diperlukan. Lebih jauh, beberapa informasi yang terkandung dalam setiap indikator dapat hilang ketika indikator yang digunakan diubah atau ditransformasikan ke dalam sinyal biner. Pendekatan discrete dependent variable memiliki keunggulan untuk merangkum informasi tentang probabilitas terjadinya krisis dalam bahasa yang mudah dimengerti, misalnya nilai 1 untuk krisis yang terjadi dan nilai 0 untuk non krisis. Sebagai 23 tambahan, pendekatan ini mencakup seluruh indikator dalam sistem deteksi dini secara simultan dalam satu kerangka pemikiran, melihat kontribusi yang diberikan setiap indikator secara marjinal dan peneliti dapat membuang indikator yang tidak berkontribusi signifikan dalam analisis. Lebih jauh, pendekatan ini memberikan test statistik secara langsung untuk mengukur ketepatan hasil estimasi yang dilakukan. Akan tetapi, interpretasi koefisien hasil estimasi dalam pendekatan discrete dependent variable memang tidak mudah. Hal ini dikarenakan sifat non linier dari model dalam pendekatan ini. Lebih lanjut, tidak seperti pendekatan sinyal, pendekatan ini tidak bisa membuat peringkat terhadap indikator berdasarkan kemampuan dalam ketepatan forecasting terjadinya krisis. Determinan Krisis Langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah memilih variabel yang dapat digunakan untuk penyusunan model dalam pendekatan discrete dependent variable. Beberapa indikator dapat dikedepankan sebagai faktor kunci yang potensial dalam menyebabkan terjadinya krisis, diantaranya adalah overvaluations dari mata uang domestik, ratio antara M2 dan cadangan devisa, pertumbuhan kredit domestik, ratio hutang luar negeri dan cadangan devisa serta terjadinya krisis di negara lain. Indikator-indikator tersebut berguna dalam memberikan informasi dan signifikansi dalam memprediksi terjadinya krisis. Lebih jauh, pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan satu negara (one-country-approach) dengan batasan terjadinya krisis di Indonesia pada tahun 1996 hingga tahun 2009. Batasan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 1996 kuartal 1 hingga tahun 2009 kuartal 4. Hal ini memiliki alasan utama yaitu episode krisis yang baru-baru ini terjadi di Indonesia berada pada periode tersebut. Model Logit Dalam penelitian ini, variabel dependen adalah krisis di Indonesia periode 1996 – 2009, sedangkan variabel independen adalah harga minyak dunia jenis WTI (OIL), nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (REER), tingkat inflasi (INFLASI), ratio jumlah uang beredar terhadap cadangan devisa (M2DEVISA) serta ratio belanja pemerintah terhadap output nasional (GOVGDP). 24 Krisis merupakan variabel dummy dimana terjadi dua karakteristik probabilitas yang ditunjukkan dengan angka satu (yang berarti krisis sedang terjadi) dan nol (yang berarti tidak terjadi krisis). Secara umum model logit dapat dinyatakan sebagai berikut: Li = Log Dimana ππππ 1−ππππ = b0 + ∑ππππ=1 ππππ ππππππ [6] Li : variabel dependen (=1 bila terjadi krisis dan =0 bila tidak terjadi krisis) Pi : probabilitas Xij : variabel independen Dari model umum tersebut, diperoleh model logit untuk krisis di Indonesia, yaitu sebagai berikut: Li = Log Dimana: ππππ 1−ππππ = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5 [7] X1 : Harga minyak dunia jenis WTI X2 : Real Effective Exchange Rate (REER) X3 : Tingkat Inflasi X4 : Ratio M2 dan cadangan devisa X5 : Ratio Belanja Pemerintah dan GDP IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Identifikasi Periode Krisis Berdasarkan ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP, hanya mampu mengidentifikasi terjadinya krisis di periode 1996 hingga 1999 dan periode 2005 saja. Berbeda dengan hasil tersebut, nilai indeks dengan ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP, nilai indeks mengidentifikasi beberapa periode terjadinya krisis mata uang, yaitu tahun 1996 hingga 1999, 2005 hingga 2006, serta periode tahun 2008. 25 Pemilihan besarnya ambang batas (arbitrary threshold) yang akan digunakan, sepenuhnya diserahkan kepada peneliti. Nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang sering digunakan adalah 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Walaupun demikian, penulis mencoba menggunakan besaran nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang lain, yaitu sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Dalam hal ini, semakin besar nilai ambang batas (arbitrary threshold) yang digunakan, maka jumlah krisis yang teridentifikasi akan semakin rendah. Gambar 2. Identifikasi Periode Krisis ISP> 1 SD 2 1 0 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2006 2008 ISP> 1,5 SD 2 1 0 1996 1998 2000 2002 2004 26 Hasil Estimasi Model Logit Estimasi dengan model logit diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 2. Koefisien dan Probabilitas Variabel Bebas 1 SD 1,5 SD KOEFISIEN PROBABILITY KOEFISIEN PROBABILITY OIL -0,045062 0,1450 -0,119950 0,0958 REER -9,83E-05 0,3334 -0,000113 0,2507 INFLASI 45,25869 0,0336 24,79216 0,1035 M2DEVISA 1,021303 0,3351 0,791984 0,5286 GOVGDP -0,064941 0,8728 0,359413 0,4937 Sumber: diolah Dari regresi yang telah dilakukan, nampak bahwa hanya variabel harga minyak dunia (OIL) yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Signifikansi pengaruh variabel harga minyak dunia (OIL) terhadap probabilitas terjadinya krisis berada pada α = 10%. Selain itu, hasil tambahan yang didapatkan dalam estimasi dengan model logit adalah variabel tingkat inflasi (INFLASI) signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Sementara signifikansi pengaruh variabel tingkat inflasi (INFLASI) terhadap probabilitas terjadinya krisis berada pada α = 5%. Nilai McFadden R2 dari hasil estimasi dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP adalah 0,268244. Hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model mampu menerangkan perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 26,82 persen atau 73,18 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. Sementara itu, nilai McFadden R2 dari hasil estimasi dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP adalah 0,271512. Hal ini berarti bahwa variabel bebas dalam model mampu menerangkan perubahan probabilitas terjadinya krisis sebesar 27,15 persen atau 72,85 persen diterangkan oleh variabel lain di luar model. Di samping itu, nilai McFadden R2 yang 27 didapat dari hasil estimasi dengan menggunakan kedua nilai threshold (0,271512 dan 0,268244) masih dapat diterima sebagai nilai yang bagus tapi tidak memuaskan. Nilai McFadden R2 dalam model logit umumnya berkisar antara 20 persen hingga 40 persen (Ali Ari, 2008). Walaupun demikian, dalam binary regressand models, pengukuran goodness of fit bukanlah menjadi hal utama yang harus dilakukan. Yang menjadi masalah utama dalam analisis dan pembahasan hasil estimasi dengan model logit adalah tanda yang diharapkan (expected signs) dari koefisien variabel independen dan signifikansi regresi (Gujarati, 2004). Interpretasi Odds Ratio Dari hasil estimasi model logit dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP, hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas memiliki interpretasi sebagai berikut: variabel harga minyak dunia (OIL) dalam hasil estimasi memiliki koefisien -0,11995. Hal ini berarti penurunan harga minyak dunia sebesar 1 dollar akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada probabilitas terjadinya krisis mata uang sebesar 0,12 apabila variabel-variabel lain dianggap konstan. Ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel harga minyak dunia diketahui dari antilog koefisien harga minyak dunia sebesar 0,8869. Hal ini berarti variabel harga minyak dunia (OIL) dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis sebanyak 0,8869 kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis. Tanda koefisien dari variabel harga minyak dunia (OIL) ternyata tidak sesuai dengan dugaan awal. Koefisien variabel harga minyak dunia (OIL) memiliki tanda negatif atau berkebalikan arah dengan probabilitas terjadinya krisis mata uang. Artinya, semakin harga minyak dunia meningkat, maka probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia akan berkurang. Kemungkinan krisis mata uang akan terjadi jika harga minyak dunia mengalami penurunan. Secara teori, fluktuasi yang terjadi dengan harga minyak dunia memiliki banyak pengaruh kepada perekonomian, misalnya terhadap nilai tukar mata uang domestik tingkat bunga maupun output. Apabila ditelisik lebih dalam, hampir semua pengaruh harga minyak terjadi ketika harga mengalami peningkatan atau kenaikan. 28 Penelitian ini menghasilkan temuan yang berbeda dengan hipotesis awal dan penelitianpenelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Peningkatan harga minyak dunia diduga memiliki pengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang. Terlebih bagi Indonesia yang saat ini telah menjadi negara pengimpor minyak. Meningkatnya harga minyak dunia akan memberikan tekanan nilai tukar kepada Indonesia karena valuta asing, dalam hal ini Dollar Amerika, akan lebih banyak dibutuhkan untuk membeli minyak. Hasil penelitian menemukan bahwa harga minyak dunia memiliki pengaruh negatif terhadap probabilitas krisis mata uang. Lebih spesifik, kemungkinan krisis mata uang akan terjadi jika harga minyak dunia turun bukan ketika harga minyak dunia mengalami peningkatan. Lebih jauh, penelitian ini menemukan hal yang berbeda dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang telah dilakukan Edison (2003). Hasil penelitian ini menemukan bahwa harga minyak dunia memiliki pengaruh signifikan terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang, walaupun pengaruhnya tidak terlalu besar. Ketidaksesuaian hasil estimasi peranan harga minyak dunia dengan dugaan awal didukung oleh fakta bahwa di kuartal ke-4 tahun 2008 harga minyak dunia mengalami penurunan tajam dari 104,11 US dolar per barel ke 41,12 US dolar per barel sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melonjak dari kisaran Rp. 9.000 per US dolar ke Rp 11.023 per US dolar. Melonjaknya harga minyak dunia yang sempat menembus angka 100 US dolar per barel pada kuartal pertama tahun 2008 menjadi tidak berarti karena perekonomian dunia sedang lesu sebagai imbas dari krisis subprime mortgage di Amerika Serikat dan krisis hutang yang melanda Eropa. Resesi global yang terjadi kemudian menurunkan permintaan akan minyak mentah dunia sehingga harga minyak dunia pun turun drastis. Fenomena tersebut diduga karena harga minyak dunia berperan secara tidak langsung kepada stabilitas sistem keuangan. Penurunan harga minyak dunia sebagai bagian dari berkurangnya permintaan akan komoditas minyak merupakan gejala melemahnya perekonomian global yang disusul kemudian dengan perilaku para pelaku pasar yang mengamankan aset-asetnya, menarik modal yang sudah ditanamkan atau tidak jadi menanamkan modalnya. Peristiwa keluarnya modal asing dari perekonomian domestik inilah yang kemudian akan melemahkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing. Terkoreksinya nilai tukar ke posisi yang lemah akan membuat otoritas 29 moneter bergerak melakukan intervensi di pasar keuangan dengan mengurangi cadangan devisa. Harga minyak dunia lebih memiliki pengaruh langsung kepada sektor riil. Fluktuasi harga minyak dunia akan berpengaruh terhadap produk turunan atau hasil olahan dari minyak mentah yang dikonsumsi masyarakat, seperti BBM, dan mendorong terjadinya cost push inflation. Lebih jauh, lonjakan harga minyak dunia akan direspon oleh otoritas fiskal dengan penyesuaian kebijakan pengeluaran pemerintah terkait dengan kebijakan subsidi bahan bakar yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat. Selanjutnya, dari hasil estimasi model logit dengan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP, hubungan antara variabel bebas terhadap variabel tak bebas memiliki interpretasi sebagai berikut: variabel inflasi (INFLASI) dalam hasil estimasi memiliki koefisien positif, yakni 45,25869. Hal ini berarti kenaikan pertumbuhan inflasi sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan secara rata-rata pada probabilitas terjadinya krisis mata uang sebesar 45,26 apabila variabel-variabel lain dianggap konstan. Ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel inflasi diketahui dari antilog koefisien inflasi sebesar 4,5248E+19. Hal ini berarti variabel inflasi dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis sebanyak 4,52 kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis. Dampak yang ditimbulkan oleh inflasi kepada probabilitas terjadinya krisis mata uang memiliki arah yang sama. Dalam hal ini, jika inflasi meningkat maka probabilitas terjadinya krisis juga demikian. Salah satu konsekuensi dari inflasi yang tinggi adalah mata uang yang mengalami depresiasi karena berkurangnya daya beli mata uang domestik terhadap mata uang asing. Hal ini terjadi karena perilaku para pelaku pasar dalam menanggapi tingginya inflasi yang terjadi. Inflasi yang tinggi identik dengan resiko yang semakin tinggi pula. Resiko inilah yang kemudian mendorong para pelaku pasar untuk mengambil keputusan, seperti membawa modal ke luar negeri (capital outflow) atau tidak jadi menanamkan modalnya ke negara ini. Apabila hal tersebut terjadi, maka jumlah mata uang asing yang ditawarkan akan semakin berkurang dan kelangkaan tersebut akan memicu naiknya harga mata uang asing, yang selanjutnya akan membuat mata uang domestik terdepresiasi. Melemahnya nilai tukar mata uang domestik akan mendorong otoritas moneter untuk melakukan intervensi di pasar uang dengan 30 menggunakan cadangan devisa yang dimiliki. Lebih jauh, kondisi inflasi yang tinggi akan menyebabkan naiknya tingkat bunga. Dengan meningkatnya inflasi, tingkat bunga juga akan meningkat sebagai bagian dari kebijakan moneter yang ditempuh untuk mengerem tekanan inflationary. Dengan demikian, pengaruh inflasi terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang sejalan dengan definisi krisis mata uang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu perubahan nilai tukar, cadangan devisa yang berkurang dan kenaikan tingkat bunga. Pengaruh Negatif Harga Minyak Dunia Terhadap Probabilitas Krisis Dari Sisi Importir Dan Eksportir Probabilitas krisis mata uang akan semakin besar jika nilai ISP juga makin besar, dimana nilai ISP merupakan definisi krisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu nilai tukar yang terkoreksi, penurunan cadangan devisa dan tingkat suku bunga yang bertambah. Volatilitas harga minyak dunia membawa konsekuensi berbeda kepada setiap negara. Volatilitas harga minyak dunia dapat didefinisikan sebagai tingkat perubahan dalam harga, baik harga yang meningkat maupun turun, pada periode waktu tertentu. Semakin besar selisih perubahan atau semakin cepat perubahan tersebut terjadi, maka volatilitas semakin tinggi. Negara produsen dan pengekspor minyak akan meraup keuntungan ketika harga minyak dunia meningkat, sementara negara pengimpor minyak akan mengalami dampak yang tidak diinginkan terhadap neraca perdagangan, terutama di sektor eksternal. Krisis mata uang sendiri dapat terjadi baik pada negara eksportir minyak maupun negara importir minyak. Gejolak yang terjadi pada nilai tukar mata uang, baik apresiasi maupun depresiasi, akan dikategorikan sebagai krisis apabila melewati threshold tertentu. Bagi negara eksportir minyak, penurunan harga minyak akan mempengaruhi perekonomian melalui berkurangnya penerimaan dan kesejahteraan. Transfer kesejahteraan dari negara importir minyak ke negara eksportir minyak akan berkurang seiring dengan harga minyak yang murah. Keuntungan yang didapat dari perdagangan minyak tidak akan sebanyak dibandingkan ketika harga minyak sedang mahal. Bagaimanapun, hal ini akan tergantung dari seberapa besar sektor perdagangan minyak berkontribusi terhadap perekonomian negara pengekspor minyak. Jika negara pengekspor minyak sangat menggantungkan penerimaannya dari sektor minyak, maka 31 aktifitas perekonomian negara tersebut akan mengalami penurunan dan akan berakibat pada munculnya tekanan inflasi dan tekanan nilai tukar mata uang domestik. Selanjutnya, turunnya harga minyak dapat berpengaruh terhadap perekonomian melalui efek perdagangan internasional. Turunnya harga minyak akan menyebabkan meningkatnya permintaan minyak dari negara importir minyak kepada negara eksportir minyak. Jika permintaan minyak terus bertambah maka dapat berakibat memicu naiknya harga minyak kembali menemukan keseimbangan harga yang baru dan hal ini akan mendorong kegiatan ekspor di negara eksportir minyak. Bagi negara importir minyak, harga minyak yang mengalami penurunan merupakan berkah tersendiri. Negara importir minyak akan membutuhkan valuta asing yang lebih sedikit untuk membeli minyak dari negara eksportir minyak. Di samping itu, harga energi yang lebih rendah kemudian akan mempengaruhi fungsi produksi agregat karena perusahaan akan memilih untuk menambah jumlah output yang dihasilkan dari proses produksi. Bertambahnya output dan pendapatan perusahaan kemudian akan membuat aktifitas konsumsi dan investasi meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan negara pengimpor minyak. V. SIMPULAN Simpulan Nilai indeks yang digunakan (ISP) mampu mengidentifikasi beberapa periode krisis mata uang yang terjadi di Indonesia. Diantaranya adalah tahun 1996 hingga 1999 dan periode 2005 dengan menggunakan ambang batas 1,5 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP. Namun, ketika menggunakan ambang batas 1 kali standar deviasi diatas nilai tengah ISP, periode yang teridentifikasi adalah tahun 1996 hingga 1999, 2005 hingga 2006, serta periode tahun 2008. Dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model logit, terdapat dua variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia tahun 1996 - 2009, yaitu variabel harga minyak dunia dan variabel tingkat inflasi. Variabel harga minyak dunia signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1,5 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Sementara, hasil tambahan yang didapatkan dalam estimasi dengan model logit adalah variabel tingkat inflasi signifikan 32 berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis dengan menggunakan nilai ambang batas (arbitrary threshold) sebesar 1 kali standar deviasi di atas nilai tengah ISP. Kedua variabel yang signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya krisis mata uang di Indonesia, yaitu tingkat inflasi dan harga minyak dunia, ternyata memiliki perbedaan dalam cara memengaruhi terjadinya krisis mata uang. Probabilitas terjadinya krisis akan meningkat seiring dengan tekanan inflasi yang besar, namun tidak demikian dengan harga minyak dunia. Peranan variabel harga minyak dunia sebagai indikator yang digunakan dalam pembentukan model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk Indonesia tidak terlalu besar. Variabel harga minyak dunia dalam hasil estimasi memiliki koefisien negatif, yaitu -0,11995 dan ukuran probabilitas (terms of odds) dari variabel harga minyak dunia sebesar 0,8869. Hal ini berarti variabel harga minyak dunia dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya krisis sebanyak 0,8869 kali daripada kemungkinan tidak terjadi krisis. Dengan demikian, variabel harga minyak dunia tidak cocok untuk dimasukkan ke dalam model sistem deteksi dini krisis mata uang untuk Indonesia. Saran Penyusunan sistem deteksi dini krisis mata uang di Indonesia perlu melihat variabel tingkat inflasi sebagai indikator utama penyebab krisis. Pemerintah agar melakukan pemantauan pergerakan variabel, khususnya tingkat inflasi, yang mampu memprediksi krisis mata uang untuk mengantisipasi krisis sedini mungkin. Pengendalian inflasi dapat dilakukan dari sisi moneter oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter maupun kebijakan disinflasi dari sisi penawaran agregat oleh pemerintah terkait langsung dengan sisi produksi dan distribusi barang konsumen. Dari sisi moneter, Bank Indonesia dapat mengarahkan kebijakan moneter agar mencapai target inflasi seperti yang ditetapkan dengan menggunakan instrumen kebijakan suku bunga. Pengendalian inflasi dapat dilakukan dengan menaikkan suku bunga secara bertahap dan pengetatan kredit yang bertujuan untuk memperkuat nilai tukar dan mengembalikan kepercayaan pasar. Selain itu, stabilitas harga dapat dicapai dengan memperhatikan ekspektasi inflasi yang berkembang di masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi, salah satu faktor terpenting dari segi efektifitas dan efisiensi 33 pelaksanaannya oleh BI adalah pemahaman mengenai terbentuknya ekspektasi inflasi oleh para pelaku ekonomi. Bank sentral perlu meningkatkan transparansi pelaksanaan tugasnya dengan secara eksplisit memberikan informasi yang lengkap mengenai perkembangan terakhir laju inflasi dan hal-hal yang melatarbelakangi penetapan suatu sasaran laju inflasi serta informasi variabel lain seperti pertumbuhan uang beredar, perkembangan nilai tukar, yang konsisten dengan pencapaian sasaran laju inflasi. Di samping itu, stabilitas nilai tukar juga harus tetap mendapat perhatian dalam upaya menunjang penurunan ekspektasi inflasi masyarakat. 34 Daftar Pustaka Abiad, Abdul G, 1999. Early Warning System For Currency Crises: A Markov-Switching Approach with Application to Southeast Asia,-------Adebiyi, M.A., Adenuga, A.O., Abeng, M.O. dan Omanukwue, P.N, 2009. Oil Price Shocks, Exchange Rate and Stock Market Behaviour: Empirical Evidence from Nigeria, Research Paper, pp 1 – 41, Central Bank of Nigeria. Agung, J., E. Sukawati, R. Morena, D. Hermawan dan B. Mukti, 2002. Desain Sistem Deteksi Dini dalam Rangka Monitoring Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta. Akram, Farooq Q, 2004. ”Oil Prices and Exchange Rates: Norwegian Evidence”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV. Aliyu, S.U.R, 2009. Impact of Oil Price Shock and Exchange Rate Volatility on Economic Growth in Nigeria: An Empirical Investigation, Research Journal of International Studies, 11, 4-15. Amano, Robert A and Simon van Norden, 1998. ”Exchange Rates and Oil Prices”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV. Ari, Ali, 2008. An Early Warning Signals Approach for Currency Crises: The Turkish Case, Universite du Sud, Toulon-Var, MPRA Paper No. 25858, October 2010. Aziz J., Caramazza F. and Salgado R, 2000. Currency crises: In search of common elements, IMF Working Paper, 00-67. Bacon, R, and M. Kojima, 2008. Coping with Oil Price Volatility, Energy Sector Management Assistance Program, Special Report 005/08, The World Bank, Washington. Bank Indonesia, 2011. Laporan Perekonomian Indonesia 2011. Batunagar, S, 2003. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan, Pengembangan Perbankan, Edisi 99 Maret-April, Jakarta. Berg, Andrew dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers, vol. 46 No. 2, June 1999. Bergvall, Anders, 2004. ”What Determines Real Exchange Rates? The Nordic Countries”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV. Bussiere, Matthieu dan Marcel Fratzscher, 2006. Towards a New Early Warning System of Financial Crises, Journal of International Money and Finance 25. Caprio, Gerard and Daniela Klingebiel, 1996. Bank Insolvencies: Cross-Country Experience. World Bank Policy Research Working Paper No. 1620, July 1996. Chauduri, Kausik and Betty C. Daniel, 1998. ”Long-Run Equilibrium Real Exchange Rates and Oil Prices”, dalam Jennifer C. Dawson, The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV. Danih, Ulan, 2006. Sistem Deteksi Dini Krisis Nilai Tukar dan Krisis Perbankan di Indonesia periode 1995 – 2005, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dawson, Jennifer C, 2004. The Effect of Oil Prices on Exchange Rates: A Case Study of the Dominican Republic, The Park Place Economist, vol. XIV. Edison H.J, 2003. Do indicators of financial crises work? An evaluation of an early warning system, International Journal of Finance and Economics, 8, pp.11-53. Eichengreen B., Rose A.K. and Wyplosz C, 1994. Speculative attacks on pegged exchange rates: An empirical exploration with special reference to the European Monetary System, NBER Working Paper, 4898. Eichengreen B., Rose A.K. and Wyplosz C, 1995. Exchange Rate Mayhem: The Antecedents and Aftermath of Speculative Attacks, Economic Policy, 21, pp. 249-312. Eichengreen B., Rose A.K. et Wyplosz C, 1996. Contagious Currency Crises, NBER Working Paper, 5681. Eichengreen, Barry, Andrew K. Rose and Charles Wyplosz, 1996.”Contagious Currency Crisis: First Tests”, dalam Takatoshi Ito and Keisuke Orii, Early Warning System of Currency Crises, Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review vol. 5 No. 1, October 2009. Energy Information Administration. Cushing, OK WTI Spot Price FOB (Dollars per Barrel), http://tonto.eia.gov/dnav/pet/hist/LeafHandler.ashx?n=PET&s=RWTC&f=M, (12 Juni 2013) Farlane, Mc, I.J, 1999. The Stability of Financial Sistem, Reserve Bank of Australia Bulletin, August 1999. Frankel, Jeffrey and Andrew Rose, 1996. Currency Crashes in Emerging Markets: An Empirical Treatement, Journal of International Economics, vol 41, pp. 351-66. Gerlach, Stefans and Frank Smets, 1994.”Contagious Speculative Attacks”, dalam Graciela Kaminsky, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998. Goldfajn, L, Valdes, R., 1997. Capital Flows and the Twin Crises: The Role of Liquidity, IMF Working Paper, No. 97-87. Goldstein, M, Graciela Kaminsky and Carmen M. Reinhart, 2000. “Assessing Financial Vulnerability: An Early Warning System for Emerging Markets”, dalam Thangjam Rajeshwar Singh, Ordered Probit Model of Early Warning System for Predicting Financial Crisis in India, Reserve Bank of India. Gujarati D.N, 2004. Basic econometrics, New York, McGraw-Hill, 4th edition. Hadad, M. D, W. Santoso dan B. Arianto, 2003. Indikator Awal Krisis Perbankan, Bank Indonesia, Jakarta. Hardy, C Daniel and Pazarbasioglu Ceyla, 1998. Leading Indicators of Banking Crises: Was Asia Different?, IMF Working Paper, June 1998. Herrera, S, Dan Garcia, 1999. User’s Guide to An Early Warning System for Macroeconomic Vulnerability in Latin American Countries. World Bank Working Paper 2233, September 1999. Hotelling, H, 1931. The Economics of Exhaustible Resources, Journal of Political Economy 39, 137-75. International Monetary Fund, __. International Financial Statistics, berbagai edisi. Ito, Takatoshi and Keisuke Orii, 2009. Early Warning System of Currency Crises, Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review vol. 5 No. 1, October 2009. Kaminsky G, 1998. Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress, International Finance Discussion Papers, No. 629, October 1998. Kaminsky, Graciela L, 2000. Currency and Banking Crises: The Early Warnings of Distress, George Washington University, July 2000. Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, 1998. Leading Indicators of Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998. Kaufmann, R.K, and B. Ullman, 2009. Oil Prices, Speculation, and Fundamentals: Interpreting Causal Relationships among Spot and Future Prices, Energy Economics, 31, 550-558. Kibritcioglu, A, 2003. Monitoring Banking Sector Fragility, The Arab Bank Review, 5-2, pp.51-66. Kirsanova, Tatiana and David Vines, 2001. Collapse of Oil Prices and Currency Crisis in Russia, __, June 2001. Krugman, Paul, 1979.”A Model of Balance of Payments Crises”, dalam Graciela Kaminsky, Saul Lizondo and Carmen M. Reinhart, Leading Indicators of Currency Crises, IMF Staff Papers, vol. 45 No. 1, March 1998. Krugman, Paul, 1999. :What Happened to Asia?”, dalam Andrew Kindman, Currency Crisis Early Warning Systems: Robust Adjustments to the Signal-Based Approach, Duke University, April 2010. Kumar, M., Moorthy, U. and W. Perraudin, 2003. Predicting emerging market currency crashes, Journal of Empirical Finance, 10, pp. 427-454. Kuncoro, H, 2010. State Budget Sustainability and Its Implication for Financial System Stability, Paper Presented in the Discussion on Financial System Stability, Central Bank of Indonesia, November, 29. Masson, Paul, 1998.”Contagion: Monsoonal Effects, Spillovers adn Jumps between Multiple Equilibria”, dalam Abiad, Abdul G, Early Warning System For Currency Crises: A Markov-Switching Approach with Application to Southeast Asia, 1999. McKinnon, R.I, and Pill H, 1996. “Credible liberalizations and international capital flows: The “overborrowing syndrome” dalam Ito T. and Krueger A.O, Financial deregulation and Integration in East Asia, Chicago, The University of Chicago Press. Mishkin, F, 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Market, 6th Edition, USA, Addison Wesley. Obstfeld, Maurice, 1986. “Rational and Self-Fulfilling Balance of Payment Crises”, dalam Peter JG Vlaar, Early Warning System for Currency Crises, De Economist. Obstfeld, Maurice, 1994. The Logic of Currency Crises, Banque de France- cahiers economiques et monetaires no. 43, 1994. Oktavilia, Shanty, 2008. Deteksi Dini Krisis Perbankan Indonesia: Identifikasi Variabel Makro dengan Model Logit, Universitas Negeri Semarang, Jejak, vol.1 no.1, September 2008. Portes, Richard, 1998. An Analysis of Financial Crisis: Lessons for the International Financial System, IMF Conference Chicago, 8-10 October 1998. Purwanti, Dewi, 2011. Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia Terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN+3, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Radelet, Steven and Jeffrey Sachs, 1998. “The Onset of The East Asian Financial Crisis”, dalam Andrew Berg dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers, vol. 46 No. 2, June 1999. Reigner, E, 2007. Oil and Energy Price Volatility, Energy Economics 29, 405-27. Roubini, N. and B. Setser, 2004. The Effects of the Recent Oil Price Shock on the U.S. and Global Economy, ___ Sachs, Jeffrey, Aaron Tornell and Andres Velasco, 1996. “Financial Crises in Emerging Markets: The Lessons from 1995”, dalam Andrew Berg dan Catherine Pattillo, Are Currency Crises Predictable?, IMF Staff Papers, vol. 46 No. 2, June 1999. Sadorsky, P, 1999. Oil Price Shocks and Stock Market Activity, Energy Economics, 21(5), 449-469. Sari, R, 2006. The Relationship between Stock Returns, Crude Oil Prices, Interest Rates, and Output: Evidence from a Developing Economy, Empirical Economics Letters, 5(4), 205-220. Singh, Thangjam Rajeshwar, 1999. Ordered Probit Model of Early Warning System for Predicting Financial Crisis in India, Reserve Bank of India. Sugandi, Eric Alexander, 2004. Constructing Early Warning System of Currency Crises for Indonesia: Leading Indicator Approach, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2004. Vlaar, Peter JG, 1998. Early Warning System for Currency Crises, De Economist. Zuang, J, 2005. Early Warning System for Financial Crises, Asian Development Bank.