BAB II KAJIAN TEORITIS A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich. K & Shatte. A, 2002 ). Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert A.l (2005) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Connor & Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Sedangkan menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau 9 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi (Desmita, 2013). 2. Fungsi resiliensi Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich & Shatte, 2002): a. Overcoming Setiap manusia pasti akan menemui kesengsaraan, cobaan hidup, dan masalah-masalah yang dapat menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari didalam kehidupannya. Oleh karena itu manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindari kerugian-kerugian yang akan timbul dari berbagai permasalahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan. Sehingga, individu dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan. b. Steering through Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah yang muncul. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 c. Bouncing back berbagai masalah dan cobaan hidup terkadang merupakan hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan. d. Reaching out Resiliensi berfungsi untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka sendiri, dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka. 3. Aspek-aspek resiliensi Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut : a. Pengendalian emosi (Emotion Regulation) Pengendalian emosi atau bisa disebut sebagai regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002). Pengendalian emosi merupakan suatu kemampuan untuk tetap tenang meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang mempunyai resiliensi yang baik, menggunakan kemampuan positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan tepat adalah bagian dari resiliensi. Individu yang tidak resilien cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan mengalami saat yang berat untuk mendapatkan kembali kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menyelesaikan masalah. b. Kemampuan mengontrol impuls (Impulse Control) Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain. Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002). Perasaan yang menantang dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol impuls dan menjadikan pemikiran lebih akurat, yang mengarahkan kepada pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan perilaku yang lebih resilien. c. Optimis (Optimism) Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan akan masa depan dan dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan tidak mudah mengalami depresi. Optimis menunjukkan bahwa individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan yang tidak dapat dihindari di kemudian hari. Hal ini berhubungan dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan untuk memecahkan masalah dan menguasai dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam resiliensi. Penelitian menunjukkan bahwa optimis dan self efficacy saling berhubungan satu sama lain. Optimis memacu individu untuk mencari solusi dan bekerja keras untuk memperbaiki situasi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 Optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). d. Kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah (Causal Analysis) kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah/Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah dan tidak menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang berharga untuk merenungkan peristiwa atau keadaan di luar kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-sumber problem solving ke dalam faktor-faktor yang dapat dikontrol, dan mengarah pada perubahan.. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 e. Kemampuan untuk berempati (Empathy) Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Walaupun individu tidak mampu menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, namun mampu untuk memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Dalam hubungan interpersonal, kemampuan untuk membaca tanda-tanda non verbal menguntungkan, dimana orang membutuhkan untuk merasakan dan dimengerti orang lain. Oleh karena itu, menurut reivich & shatter, 2002) seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002). f. Self-efficacy Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Selfefficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Self efficacy adalah keyakinan bahwa individu dapat menyelesaikan masalah, mungkin melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam kehidupan. Self efficacy membuat individu lebih efektif dalam kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol lingkungannya. g. kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan (Reaching out) Resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi adalah sumber dari kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk meraih sesuatu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang sesungguhnya dari kemampuannya. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. 4. Sumber-sumber Resiliensi Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut: a. I Have ( sumber dukungan eksternal ) I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut. Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan hukuman. Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak. b. I Am ( kemampuan individu ) I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri dan cukup bertanggung jawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggung jawab atas pekerjaan yang telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya. Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal ) I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik. Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain. Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal. B. Transformasi Diri 1. Definisi Transformasi Diri a. Definisi Transformasi Transformasi berasal dari dua kata dasar, trans dan form. Trans berarti melintasi (across) atau melampaui (beyond). Kata form berarti bentuk. Karena itu http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 transformasi mengandung makna perpindahan, dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain yang melampaui perubahan rupa fisik luarnya. Kurt lewin dalam Nurhidiyah (2003) berpendapat bahwa Perubahan adalah suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah. Dan kebutuhan untuk berubah ini harus dilaksanakan dengan tindakan nyata. Menurut Brooten dalam Nurhidiyah (2008), perubahan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola individu atau institusi. Sedangkan definisi perubahan menurut Atkinson (1993) merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Pendapat Getu (2002) mengatakan bahwa transformasi merupakan pengembangan diri manusia secara menyeluruh, merubah keadaan individu dalam lima aspek yaitu ekonomi, social/emosional, political, spiritual, dan behavioral menjadi lebih baik. Perubahan dapat mencakup upaya mencari pengetahuan baru atau menyesuaikan sesuatu yang saat ini diketahui dengan mempertimbangkan informasi baru. Perubahan juga dapat mencakup penguasaan, serta keterampilan baru. b. pengertian transformasi diri Menurut frager (2014) Salah satu istilah yang paling umum dalam psikologi sufi adalah nafs atau diri. Istilah ini kadang diterjemahkan sebagai ‘ego’ atau ‘jiwa’. Makna lain dari nafs adalah ‘intisari dan ‘napas’. Dalam bahasa arab, nafs lebih umum digunakan sebagai ‘diri’. Kebanyakan penulis sufi menggunakan istilah nafs merujuk pada sifat-sifat dan kecenderungan buruk diri. Karena nafs berakar didalam jasad dan ruh, ia mencakup kecenderungan material dan spiritual. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 Pada mulanya aspek material mendominasi, nafs tertarik pada kesenangan dan keuntungan duniawi. Apa yang bersifat materi secara alamiah cenderung tertarik kepada dunia materi. Ketika nafs (diri) bertransformasi ia menjadi lebih tertarik kepada tuhan dan kurang tertarik pada dunia. Transformasi diri menurut Maxmore (1993) adalah sebuah proses yang meningkatkan extropy pribadi. Extropy adalah ukuran kecerdasan sistem, informasi, energi yang tersedia, umur panjang, vitalitas, keragaman, kompleksitas, dan kapasitas untuk pertumbuhan. Kemampuan ini akan membuat orang yang mengalami transformasi diri akan lebih cerdas dan bijaksana, fisik sehat dan lebih kuat, semakin sehat secara psikologis serta efektif, lebih kreatif, rasional, dan produktif, dan lebih efektif dalam pengumpulan dan penyaringan informasi. Leary, dkk dalam rahman (2013), Menurut mereka self adalah “kelengkapan psikologis yang memungkinkan refleksi diri berpengaruh terhadap pengalaman kesadaran, yang mendasari semua jenis persepsi, kepercayaan dan perasaan tentang diri sendiri, serta yang memungkinkan seseorang untuk meregulasi perilakunya sendiri”. Dalam tradisi tasawuf dikenal beberapa konsep seperti hati (al qalb), roh (arruh), jiwa (an-nafs), dan akal (al-aqlu). Dari beberapa penjelasan mengenai keempat konsep tersebut, yang paling mendekati konsep self adalah konsep hati atau al-qalbu (rahman, 2013). Pandangan lain menyebutkan bahwa yang mirip dengan konsep self adalah an-nafs (jiwa). Menurut abu ishaq (dalam baharudin, 2007), annafs mempunyai dua arti, pertama an-nafs diartikan sebagai nyawa, dan yang kedua annafs diartikan sebagai diri atau hakikat diri. Baharuddin, (2007), misalnya, mengatakan bahwa an-nafs mempunyai element dasar psikis manusia http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 yang mengandung arti sebagai satu dimensi jiwa yang mempunyai fungsi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia. Annafs karena kebesarannya mempunyai kemampuan untuk mewadahi dimensi-dimensi jiwa lainnya, seperti al-qalb, arruh, alaqlu, dan alfitrah. Annafs bisa mewadahi potensi-potensi dari masing-masing dimensi psikis, baik yang positif maupun negative. An-nafs dipandang sebagai dimensi jiwa yang berada diantara arruh yang membawa cahaya dan jism yang membawa kegelapan (rahman, 2013). Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diri meliputi empat aspek jiwa yang lain yaitu al-aql (akal), al-qalb (hati), al-ruh (jiwa), dan al-fitrah. Yang mengartikan bahwa transformasi diri bukan hanya perubahan fisik saja, ia merupakan karakteristik yang mencerminkan dan memberdayakan dorongan seseorang untuk keunggulan fisik, akal, intelektual, moral, dan psikologis. Sebuah komitmen untuk melakukan transformasi diri berarti penolakan untuk menyetujui hal yang biasa-biasa saja, sebuah pertanyaan dari batas potensi seseorang, dan dorongan untuk terus-menerus mengatasi kendala psikologis, sosial, fisiologis, genetik, dan neurologis. Transformasi diri atau perubahan diri merupakan satu aturan dalam hidup dan merupakan komponen paling penting apabila kita ingin mencapai sesuatu kemajuan. Dengan melaksanakan transformasi diri manusia secara tidak langsung dapat meningkatkan standard diri ke tahap yang lebih tinggi. 2. Tingkatan nafs (diri) Robert frager (2014) dalam bukunya yang berjudul psikologi sufi untuk transformasi hati, jiwa dan ruh, ia mengungkapkan bahwa tasawuf merupakan pendekatan holostistik yang mengintegrasikan fisik, psikis, dan spirit serta membimbing jiwa untuk tidak terjebak kedalam bahaya model yang linear dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 hieraskis yang cenderung mengenyampingkan dan membenarkan penindasan terhadap kaum perempuan dan minoritas. Robert frager (2014) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tingkatan nafs (diri) pada individu yang melakukan transformasi diri, diantaranya: a. nafs ammarah (diri tirani) Pada tingkat ini nafs (diri) berada pada tingkat terendah seseorang, tingkat ini disebut sebagai nafs ammarah yang disebut juga sebagai nafs yang memerintah, nafs yang mendominasi, atau nafs yang menyuruh pada kejahatan. Nafs tirani berusaha mendominasi dan mengendalikan pikiran serta tindakan. Saat tuhan memerintahkan untuk berbuat baik maka ada sesuatu didalam diri yang mendorong kita untuk berbuat sebaliknya. Sebagian orang yang didominasi oleh nafs tirani ini mungkin saja melakukan amalan-amalan keagamaan, namun hanya berupa pameran belaka yang dirancang untuk mendapatkan penghargaan orang lain. Pada tingkat terendah ini, diri diperintah oleh kecerdasan. Kecerdasan yang tanpa disertai keimanan terhadap sesuatu diluar diri. Ia berbakti kepada penumpukan harta kekayaan, kekuatan dan kepuasan ego, tak peduli apa yang dipertaruhkan. Tidak ada cinta terhadap tuhan, tidak ada pengendalian batiniah atau bahkan perasaan berdosa. Mungkin kecanduan terparah pada tingkat ini adalah kecanduan akan pujian, suatu kecanduan yang lebih sulit dan lebih berbahayadaripada obat terlarang dan alcohol, dan kerap lebih jauh berakar dalam jiwa. Didalam diri individu terdapat dorongan-dorongan tirani yang terkadang mendorong perbuatan diri untuk melakukan sesuatu yang buruk. seperti http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 mencemooh orang lain, menyakiti orang yang kita cintai. Nafs tirani secara umum bekerja diluar kesadaran. Ia sepertinya berbicara dengan suara diri sendiri dan mengungkapkan hasrat diri yang terdalam, sehingga diri jarang melawannya. b. nafs lawwamah (diri penuh penyesalan) Pada tingkatan nafs ini, walaupun ia bersifat lemah pada mulanya, namun begitu cahaya iman dan pemahaman batiniyah tumbuh diri mulai melihat dirinya secara jernih, mungkin untuk pertama kalinya. Nafs yang penuh penyesalan atau didalam bahasa arab disebut nafs lawwamah, makna kata lawwamah adalah menolak amalan buruk dan memohon ampunan Allah setelah diri menyadari berbuatan buruk tersebut. Pada tingkat ini, diri mulai memahami dampak negative pendekatan egois diri terhadap dunia. Amalan buruk saat ini mulai terasa menjijikkan bagi diri. c. nafs mulhamah (diri yang terilhami) pada tingkat ketiga dari nafs ini, diri mulai merasakan kesenangan sejati didalam berdoa, meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Diri mulai memahami sendiri kebenaran spiritual. Diri mulai merasakan cinta hakiki kepada tuhan dan kepada ciptaannya. Sifat-sifat tingkat ini mencangkup kedermawanan, qona’ah (menerima apa yang ada), tawakkal (berpasrah) dan taubat (menjadi peka terhadap perbuatan salah dan bersumpah untuk tidak melakukannya lagi). Kata ilham dalam hal ini seseorang mulai mendengar suara nurani mereka. Seperti yang dituliskan oleh seorang syekh (dalam fager, 2014) ketika matahari hidayah ilahi telah terbit diufuk langit petunjuk kebenaran, maka nafs menjadi terilhami dan diterangi oleh http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 cahaya matahari itu, sehingga diri mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. d. nafs muthma’innah (diri yang tentram) pada tingkatan diri ini, sifat-sifat nafs yang tentram ini mencakup keyakinan terhadap tuhan, perilaku baik, kenikmatan spiritual, pemujaan, rasa syukur, dan kepuasan hati. Ketentraman jauh berbeda dari keadaan yang biasa dialami. Ia adalah pencapaian spiritual sejati yang merasa puas dengan msa sekarang, dengan segala yang ada, dengan segala yang tuhan berikan. Ketentraman dan kepuasan ini berakar pada cinta kepada tuhan. Diri yang tentram diterangi oleh cahaya hati sedemikian rupa sehingga ia mengusir seluruh sifat-sifat buruk dan menjadi disifati oleh sifat-sifat mulia, dan sepenuhnya memusatkan perhatiannya pada hati, dan menemaninya dalam perjalanan menuju wilayah kesucian, sementara dibersihkan dari dosa-dosa dan tekun dalam pengabdiannya. e. nafs radhiyah (diri yang ridha) ridha adalah puncak kecintaan yang diperoleh seseorang selepas menjalani proses penghambaan yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugrah kebaikan yang diberikan tuhan atas hambanya dari usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal saleh sehingga memperoleh pahala dari kebaikannya tersebut. (jaenudin, 2012). Menurut Alghazali (1996) ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung pada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Jika http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 seseorang merasa ridha ia tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah SWT. Pada tingkat ini, diri tidak hanya puas terhadap takdir, diri juga merasa puas tehadap segala kesulitan dan ujian kehidupan, yang juga berasal dari tuhan. Kondisi nafs yang ridha ini sangatlah berbeda dengan cara yang biasa kita lakukan didalam menjalani kehidupan. Diri menyadari bahwa diri secara kontinu dikelilngi oleh rahmat dan belas kasih tuhan. Ketika rasa syukur dan cinta kepada tuhan demikian besarnya, bahkan yang pahit pun terasa manis, maka diri telah mencapai stasiun nafs yang ridha. Cirri-ciri lain dari tingkatan ini adalah keajaiban, kebebasan, ketulusan, perenungan, dan ingat kepada tuhan. Kebebasan muncul karena diri tidak lagi tergoda oleh sesuatu apapun didunia ini. Perhatian kita ditujukan pada batiniah kita kepada tuhan. f. Nafs Mardhiyyah (diri yang diridhai tuhan) Ibn Arabi (dalam Frager, 2014) menunjukkan bahwa ini adalah tingkat pernikahan batiniah antara diri dan ruh. Dalam tingkatan ini diri tidak lagi terpisah antara hasrat materi kita dan hasrat kita akan tuhan. Diri memperoleh kesatuan batiniah yang sejati dan utuh, merasakan dunia sebagai satu kesatuan yang utuh. Diri menjadi manusia yang sejati. Pada tingkat ini, diri menyadari bahwa seluruh kekuatan untuk bertindak datang dari tuhan, diri tidak melakukan sesuatu apapun dengan sendirinya. Diri tidak lagi merasa takut terhadap segala sesuatu atau meminta sesuatu apapun. Hiasan luar diri telah dibinasakan, namun hiasan dalam diri telah menjadi istana. g. Nafs mahdhah (diri yang suci) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 Segelintir orang yang mencapai tingkat ini telah melampaui diri secara utuh. Tidak ada lagi ego ataupun diri, yang tertinggal hanyalah kesatuan dengan tuhan. Inilah kondisi yang dinamakan mati sebelum mati. Ia meyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh karena itu ia menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan, dan beramal saleh. Mereka yang mencapai tingkat ini berada didalam doa yang konstan. Karenanya mereka tidak lagi memiliki kehendak. Diri seolah-olah diantarkan kehadirat penguasa yang maha arif dan maha kuat. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang penguasa dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada penguasa tersebut. Tahap ini digambarkan oleh syekh naqhsabandiyah (dalam frager, 2014) sebagai penempuh jalan kebenaran, sebuah contoh yang jelas tentang seseorang yang mentransformasikan dirinya. 1. Tahapan perubahan Menurut Kurt Lewin dalam (Nurhidiyah, 2003) Kebutuhan untuk berubah harus dilakukan dalam tindakan nyata. Dalam teori Kurt Lewin ini sebuah perubahan ada 3 tahap yang harus dilalui yaitu: a. Tahap pencarian. Motivasi yang kuat untuk beranjak dari keadaan semula dan berubahnya keseimbangan yang ada, merasa perlu untuk berubah dan berusaha untuk berubah. Menyiapkan diri dan siap untuk berubah atau melakukan perubahan. b. Tahap bergerak Bergerak maju ke keadaan yang baru atau tahap perkembangan baru karena memiliki cukup informasi serta sikap dan kemampuan untuk berubah, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 memahami masalah yang dihadapi dan mengetahui langkah langkah yang harus dilakukan, kemudian melakukan langkah nyata untuk berubah dalam mencapai tingkat atau tahap baru. c. Tahap pembekuan. Motivasi telah mencapai tingkat atau tahap baru atau mencapai keseimbangan baru, tingkat baru yang telah dicapai harus tetap dijaga agar tidak mengalami kemunduran atau bergerak mundur pada tingkat atau tahap perkembangan semula. Oleh karena itu harus selalu ada upaya untuk mendapatkan yang baik. B. Pengalaman Spiritual 1.Definisi Pengalaman Spiritual Spiritual, spiritualitas , dan spiritualisme mengacu kepada kosakata latin spirit atau spiritus yang berarti nafas, adapun kerja spirare yang berarti untuk bernapas. Berangkat dari pengertian epitimologis ini, maka untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit (aliah B. purwakania hasan, 2006). Spirit dapat juga diartikan kehidupan, nyawa, jiwa dan napas (Shadily, 1984). Spiritualitas berhubungan dengan fungsi psikologis, keyakinan tentang akhirat, meningkatkan kesadaran akan keterhubungan dengan Tuhan dan menurunkan tingkat stress pada penderita kanker (Jacobson et al., 2004). Individu yang dengan tingkat spiritualitas tinggi memiliki sikap yang lebih baik, merasa puas dalam hidup, lebih sedikit mengalami pengalaman traumatik dan lebih sedikit mengalami kesepian (Papalia, et al., 2009). Adapun spiritualtas adalah kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berpikir , merasa, berdoa, dan berkarya (shadily, 1984). Spiritualitas http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 dapat ditingkatkan melalui pengalaman spiritual dan aktifitas spiritual yang dilakukakan individu sehari-hari. Underwood dan Teresi (2002), menyatakan pengalaman spiritual sebagai persepsi tentang adanya suatu yang bersifat transenden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi tentang keterlibatan dengan peristiwa-peristiwa transenden dalam kehidupan sehari. Mengeskplorasi pengalaman spiritual pada individu dapat meningkatkan spiritualitas, keyakinan pada keterhubungan dengan Tuhan, hubungan dengan orang lain, memberikan kebahagiaan pada masa kronis (Stephenson, Pamela, Claire, Martsolf, & Donna, 2003). Dengan mengekplorasi pengalaman spiritual individu lebih menyadari kesalahan dan menyadari akan keterhubungan dengan Tuhan serta memiliki keyakinan bahwa pengampunan dan pertolongan dari Tuhan. Pengalaman spiritual merupakan aspek yang penting dalam mengukur spiritualitas. Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam spiritualitas tidak hanya terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan mencakup kawasan yang lebih luas, meliputi hubungan antar makhluk (jalaludin, 2012). Pengalaman spiritualitas sehari-hari meliputi rasa kagum, rasa syukur, kasih sayang, menyadari kasih sayang, keinginan untuk lebih dekat dengan Tuhan (Underwood, 2006), Selain itu pengalaman spiritual dalam hal kasih sayang, keyakinan pada kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), dan pandangan yang positif, kesehatan menjadi lebih baik, menciptakan perasaan damai dan sejahtera (Campbell, Yoon, Johnstone, 2010). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 Spiritualitas merupakan bagian dari manusia yang penuh makna. Dewitweaver (dalam Aziz, 2011) mendefinisikan spiritualitas sebagai bagian inti dari individu (core of individuals) yang tidak terlihat (unseen, invisible) yang berkontribusi terhadap keunikan dan menyatau dengan nilai-nilai transcendental (suatu kekuatan yang maha tinggi/ high power dan Tuhan/ god) yang memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan. Spiritualitas juga didefinisikan sebagai kecenderungan untuk membuat dan mencari makna melalui rasa keterhubungan pada dimensi yang melebihi diri sendiri (Reed dalam Aziz, 2011). Beberapa definisi diatas menunjukkan bahwa spiritualitas bukanlah hal pasif, akan tetapi merupakan sesuatu yang aktif. Proses aktif tersebut tampak dari deskripsi pencarian makna dan tujuan hidup. Hal ini diperkuat oleh friedman et al (2002) yang mendefinisikan spiritualitas sebagai proses aktif dan positif yang melibatkan pencarian aktivitas-aktivitas yang mengembalikan seseorang kepada rasa keterpaduan (coherence), kualitas keutuhan internal dan kedamaian dalam diri. Demikian pula Murray dan zentner (1998) menyatakan spiritualitas adalah suatu kualitas yang melebihi afiliasi agama, yang dapat memberikan inspirasi, referensi, kesadaran, arti dan tujuan hidup. Dari definisi dan deskripsi spiritual diatas, dapat disimpulkan bahwa spiritualitas merupakan bagian inti dan esensial dari individu, lebih dari sekedar keyakinan dan praktik beragama, yang berkontribusi terhadap keunikan individu dan menghubungkan jalinan pikiran, tubuh, emosi, hubungan dengan orang lain dan dengan sesuatu diluar diri; serta merupakan proses aktif dan positif berkaitan dengan pencarian makna, tujuan, harapan, dan prinsip hidup untuk mengembalikan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 31 seseorang kepada rasa keterpaduan, kualitas keutuhan internal dan kedamaian dalam diri. Selanjutnya, istilah spiritual berfungsi sebagai sifat dari suatu bentuk kecerdasan selain intelektual dan emosional. Karena itu dikenal istilah kecerdasan spiritual yang diartikan sebagai kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Menurut zohar dan marshal (2000) kecerdasan spiritual diartikan sebagai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, sehingga kecerdasan ini berfungsi untuk menempatkan prilaku dalam konteks makna dan lebih luas dan kaya, dengan kata lain kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membedakan kebermaknaan tindakan atau jalan hidup seseorang dari yang lain. Tischler & McKeage (dalam Aziz 2011) yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual dicirikan dengan adanya lima kemampuan inti yaitu 1) kemampuan transendental yang ditandai dengan tercukupinya kebutuhan batin, kedamaian hati, dan ketentraman jiwa dengan merasa bahwa tuhan selalu mnyertai dan membimbing hidup individu 2) kemampuan untuk memasuki kondisi spiritual yang dicirikan pada komitmen individu untuk menjalin hubungan yang dalam dengan tuhan, kekuatan iman serta kepasrahan individu. 3) kemampuan menanamkan nilai-nilai religious yang ditampakkan dalam aktivitas-aktivitas individu selalu merasa dalam koridor agama. 4) kemampuan untuk memanfaatkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan. 5) kapasitas untuk berprilaku sholeh yang ditunjukkan dengan sikap yang mudah memberikan maaf, mensyukuri nikmat, kesederhanaan, serta mengasihi sesama. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 32 Hampir sama dengan istilah kecerdasan spiritual yaitu istilah pengalaman spiritual. Perbedaannya terletak pada indikatornya, jika kecerdasan spiritual diartikan sebagai suatu kemampuan maka istilah pengalaman spiritual diartikan sebagai suatu persepsi tentang spiritualitas. Underwood & Teressi (2002) pengalaman spiritual sebagai persepsi tentang adanya suatu yang bersifat transenden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi tentang keterlibatan dengan peristiwa-peristiwa transenden dalam kehidupan sehari-hari. 2. Aspek- Aspek Pengalaman Spiritual Menurut Underwood & Teressi (2002) ada beberapa aspek pengalaman spiritual diantaranya yaitu : 1. Persepsi tentang adanya sesuatu yang bersifat transenden a. keterhubungan (connection) Cara untuk melihat interaksi dengan tuhan, rasa keterhubungan dengan yang tak terbatas, individu yang memilki pengalaman ini akan merasakan bahwa ada sesuatu yang kuat yang selalu menemani hidupnya. b. joy, transcendent sense of self Yaitu perasaan seseorang keluar dari kekhawatiran sehari-hari, mendeteksi saat-saat transenden diri, situasi ini seperti dalam keadaan berdoa, berjalan-jalan menikmati alam sang pencipta, menyanyi di gereja, atau ditengah-tengah peristiwa sehari-hari.kualitas yang muncul dalam pengalaman ibadah sebagai contoh individu merasakan bahwa doa bersama memiliki kekuatan lebih dibanding doa sendirian karena individu merasa dibawa oleh masyarakat dalam ibadah bersama, dan membuat ikatan dengan orang lain yang lebih kuat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 33 c. Bantuan ilahiyah (Divine help) Yaitu dukungan sosial dari Allah, meminta bantuan Allah ditengah-tengah kegiatan sehari-hari. Bersama-sama dengan Allah adalah hal yang paling produktif dari kesejahteraan psikologis (pargament, dalam underwood, 2002), bahkan atheis mungkin menemukan diri mereka berdoa ketika pesawat yang mereka tumpangi mulai mengalami kesulitan,hal ini menunjukkan bagaimana perbedaan antara system kepercayaan dan pengalaman sehari-hari. d. Bimbingan ilahiyah (Devine guidance) e. Persepsi cinta ilahi (Perception of devine love) f. Kesyukuran dan penghargaan (Thankfulness, appreciation) g. Rasa kesatuan dan kedekatan 2. Persepsi tentang peristiwa transenden a. kekuatan dan kenyamanan (strength and comfort) Kenyamanan terkait dengan perasaan aman dalam bahaya atau dalam situasi rentan, kekuatan memungkinkan individu untuk berani, melangkah keluar dalam situasi sulit dan melakukan sesuatu yang biasanya kurang percaya diri untuk mereka lakukan b. Kedamaian (peace) Perasaan damai bahkan ketika individu merasa sangat tertekan, yaitu kedamaian batin. c. Kekaguman (awe) d. Cinta kasih (compassionate love) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 34 Yaitu merawat atau memperlakukan orang lain tanpa imbalan apapun. Penerimaan terhadap perlakuan orang lain, merasa belas kasih, mengampuni orang lain dari segala perilakunya, tidak menghakimi orang lain atas perbuatannya. D. Cadar 1. Definisi cadar Dalam Merriam (2015) cadar/ burqa merupakan pakaian panjang yang digunakan untuk menutup wajah dan tubuh yang dipakai pada wanita muslim di tempat-tempat umum. Dalam kamus besar bahasa Indonesia cadar adalah kain penutup muka atau sebagian wajah wanita, dimana hanya matanya saja yang nampak, bahasa arabnya khidir atau tsiqab, sinonim dengan burqu : marguk. Atau bisa juga disebut jilbab tebal dan longgar, yang menutupi seluruh aurat termasuk wajah dan telapak tangan. Cadar biasa dikenakan oleh istri rosulullah SAW dan istri para sahabat. Dalam kamus bahasa inggris, istilah veil biasa dipakai untuk merujuk pada penutup traditional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh perempuan. Makna leksikal yang terkandung dalam kata ini adalah ‘penutup’, dalam arti menutupi atau menyembunyikan, atau menyamarkan. E.Remaja Dan Dewasa Awal 1. Definisi Remaja http://digilib.mercubuana.ac.id/ 35 Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanan menuju masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial (papalia et al., 2009). Selaras dengan dengan dariyo (2004), remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanakkanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Dariyo (2004) menggolongkan remaja menjadi 3 tahap yaitu remaja awal (usia 12-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (usia 18-21 tahun). Dari pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi perubahan terhadap fisik, psikis, kognitif dan psikososial yang rentang usia 13-21 tahun. 2. Karakteristik Masa Remaja Menurut Gunawan (2011), sebagai periode yang paling penting, masa remaja ini memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan periode-periode perkembangan lainnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a. Masa Remaja adalah Periode yang Penting Periode ini memiliki dampak penting terhadap perkembangan fisik dan psikologis yang cepat dan penting. Kondisi inilah menuntut individu untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan melihat pentingnya menetapkan suatu sikap, nilai-nilai dan minat yang baru. b. Masa Remaja adalah Masa Peralihan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 36 Periode ini menurut seorang anak untuk meninggalkan sifat kekananakkanakannnya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas mengenai peran yang dituntut oleh lingkungan. c. Masa Remaja adalah Periode Perubahan Perubahan yang terjadi pada periode ini berlangsung secara cepat, perubahan fisik yang cepat membawa konsekuensi terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang juga cepat. d. Masa Remaja adalah Usia Bermasalah Pada periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi anak pria maupun wanita. e. Masa Remaja adalah Masa Pencarian Identitas Diri Pada periode ini, mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. f. Masa Remaja adalah Usia yang Ditakutkan Masa remaja ini seringkali ditakuti oleh invidu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran-gambaran negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku remaja memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja. g. Masa Remaja adalah Ambang dari Masa Dewasa Pada saat remaja mendekati masa dimana mereka dianggap dewasa secara hukum, mereka merasa cemas dengan stereotype remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka mendekati dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa seringkali tidak cukup, sehingga mereka mulai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 37 untuk memperhatikan perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang dewasa seperti merokok, minum, menggunakan obat-obatan bahkan melakukan hubungan seksual. 3. Definisi dewasa awal Menurut Hurlock (1999) dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat-saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Menurut Papalia, Olds, Feldman, (1998) usia dewasa awal adalah 20-40 tahun. Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa dini (young adulthood) adalah mereka yang berusia 20-40 tahun. Vaillant (dalam papalia dkk, 1998) membagi tiga masa dewasa dini yaitu masa pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar 40 tahun merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal merupakan individu yang berusia antara 18-40 atau 20-40 tahun yang telah siap menerima peran baru dalam masyarakat. 4. Ciri-ciri perkembangan dewasa awal Hurlock (1999), menguraikan secara ringkas ciri-ciri dewasa yang menonjol dalam masa-masa dewasa awal sebagi berikut : a. Masa dewasa awal sebagai masa pengaturan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 38 Masa dewasa awal merupakan masa pengaturan. Pada masa ini individu menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Yang berarti seorang pria mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditangani sebagai kariernya, dan wanita diharapkan mulai menerima tanggungjawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. b. Masa dewasa awal sebagai usia repoduktif Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang kawin berperan sebagai orang tua pada waktu saat ia berusia duapuluhan atau pada awal tigapuluhan. c. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi seseorang. Masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dengan dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya. d. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional Pada usia ini kebanyakan individu sudah mampu memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi secara baik sehingga menjadi stabil dan lebih tenang. e. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan social Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir, sehingga keramahtamahan masa remaja diganti dengan persaingan dalam masyarakat dewasa. f. Masa dewasa awal sebagai masa komitmen Setelah menjadi orang dewasa, individu akan mengalami perubahan, dimana mereka akan memiliki tanggung jawab sendiri dan memiliki komitmenkomitmen sendiri. g. Masa dewasa awal sering merupakan masa ketergantungan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 39 Meskipun telah mencapai status dewasa, banyak individu yang masih tergantung pada orang-orang tertentu dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua yang membiayai pendidikan. h. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai Perubahan karena adanya pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dan nilai-nilai itu dapat dilihat dri kacamata orang dewasa. Perubahan nilai ini disebabka karena beberapa alasan yaitu individu ingin diterima olh anggota kelompok orang dewasa, individu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku. i. Masa dewasa awal masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru. Masa ini individu banyak mengalami perubahan dimana gaya hidup baru paling menonjol dibidang perkawinan dan peran orangtua. j. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif Orang yang dewasa tidak terikat lagi oleh ketentuan dan aturan orangtua maupun guru-gurunya sehingga terlebas dari belenggu ini dan bebas untuk berbuat apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatifitas ini tergantung dengan minat dan kemampuan individu. F.Kerangka Berpikir Remaja merupakan fase pencarian identitas. Dimana pada fase ini ia lebih terpusat pada penampilan fisik yang dimilikinya. Pada masa remaja kebanyakan dari mereka akan mengikuti gaya anak muda yang sedang menjadi tren agar tidak dikucilkan oleh teman-temannya. sehingga remaja yang memutuskan untuk menggunakan cadar akan dihadapi konflik yang beraneka ragam. Begitupun pada masa dewasa awal, pada fase ini adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 40 maju dalam karir, sedangkan tidak banyak pekerjaan yang membolehkan karyawannya untuk menggunakan cadar.selain itu masa ini adalah masa reproduktif untuk menikah dimana wanita harus berinteraksi dengan lawan jenisnya. Dari berbagai kondisi sulit yang dihadapi wanita bercadar bagaimana mereka memiliki daya pegas (resiliensi) dalam kehidupannya dapat dipengaruhi dari kemauan untuk melakukan transformasi diri kearah yang lenih baik serta pengalaman spiritual yang ia alami dalam hidupnya. Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian Transformasi diri Resiliensi Pengalaman spiritual G.Hipotesis Berdasarkan rumusan penelitian masalah penelitian ini maka dirumuskan dua hipotesis dalam penelitian ini, yaitu : Terdapat pengaruh antara transformasi diri dan pengalaman spiritual terhadap resiliensi pada wanita muslimah bercadar. Terdapat pengaruh antara transformasi diri dan resiliensi pada wanita muslimah bercadar di Jakarta. Terdapat pengaruh antara pengalaman spiritual terhadap resiliensi pada wanita muslimah bercadar di Jakarta. http://digilib.mercubuana.ac.id/