BAB II KAJIAN TEORITIS A. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi
terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan
dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity)
atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich. K & Shatte. A, 2002 ).
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert A.l (2005) memaparkan
bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi
dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah
kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan,
merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi
yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Connor & Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan
kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.
Sedangkan menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk
menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya.
Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya ditemui
pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak
diketahui.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan
dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi
yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang
menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi (Desmita, 2013).
2. Fungsi resiliensi
Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan
resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich & Shatte, 2002):
a. Overcoming
Setiap manusia pasti akan menemui kesengsaraan, cobaan hidup, dan
masalah-masalah yang dapat menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari
didalam kehidupannya. Oleh karena itu manusia membutuhkan resiliensi untuk
menghindari kerugian-kerugian yang akan timbul dari berbagai permasalahan
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara
pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol
kehidupan. Sehingga, individu dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat,
dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
b. Steering through
Orang yang resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri
untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan
bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu
serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan
hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through dalam
stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri
bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai
masalah yang muncul.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
c. Bouncing back
berbagai masalah dan cobaan hidup terkadang merupakan hal yang bersifat
traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan
resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi dan mengendalikan diri sendiri.
Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional,
dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri.
Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk
menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana
mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut,
mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari
kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih
cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai
cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.
d. Reaching out
Resiliensi berfungsi untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya
dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman
baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik,
yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi, mengetahui dengan baik diri
mereka sendiri, dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.
3. Aspek-aspek resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :
a. Pengendalian emosi (Emotion Regulation)
Pengendalian emosi atau bisa disebut sebagai regulasi emosi adalah
kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki
kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan
menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai
macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau
menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta
gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh
terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan
semakin menjadi seorang yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).
Pengendalian emosi merupakan suatu kemampuan untuk tetap tenang
meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang mempunyai resiliensi yang
baik, menggunakan kemampuan positif untuk membantu mengontrol emosi,
memusatkan perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan tepat adalah
bagian dari resiliensi. Individu yang tidak resilien cenderung lebih mengalami
kecemasan, kesedihan, dan kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain,
dan mengalami saat yang berat untuk mendapatkan kembali kontrol diri ketika
mengalami kekecewaan. Individu lebih memungkinkan untuk terjebak dalam
kemarahan, kesedihan atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menyelesaikan
masalah.
b. Kemampuan mengontrol impuls (Impulse Control)
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri
(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian
impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya
mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah
marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman
sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan
kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor
Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki
skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte,
2002). Perasaan yang menantang dapat meningkatkan kemampuan untuk
mengontrol impuls dan menjadikan pemikiran lebih akurat, yang mengarahkan
kepada pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan perilaku yang lebih
resilien.
c. Optimis (Optimism)
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah
ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002).
Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya
bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai
harapan akan masa depan dan dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis
membuat fisik menjadi lebih sehat dan tidak mudah mengalami depresi. Optimis
menunjukkan bahwa individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi
kesulitan yang tidak dapat dihindari di kemudian hari. Hal ini berhubungan
dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan untuk memecahkan
masalah dan menguasai dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam
resiliensi. Penelitian menunjukkan bahwa optimis dan self efficacy saling
berhubungan satu sama lain. Optimis memacu individu untuk mencari solusi dan
bekerja keras untuk memperbaiki situasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
Optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic
optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih
baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan
unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak
dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Perpaduan antara
optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan
(Reivich & Shatte, 2002).
d. Kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah (Causal Analysis)
kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah/Causal analysis
merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat
penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat,
akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif.
Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang
resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat
demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah
dan tidak menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang berharga untuk
merenungkan peristiwa atau keadaan di luar kontrol dirinya.
Individu
mengarahkan dirinya pada sumber-sumber problem solving ke dalam faktor-faktor
yang dapat dikontrol, dan mengarah pada perubahan.. Mereka tidak terlalu terfokus
pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka
memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan
mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka,
bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
e. Kemampuan untuk berempati (Empathy)
Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain,
seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa
yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Walaupun individu tidak mampu
menempatkan
dirinya
dalam
posisi
orang
lain,
namun
mampu
untuk
memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa yang mungkin
dilakukan oleh orang lain. Dalam hubungan interpersonal, kemampuan untuk
membaca tanda-tanda non verbal menguntungkan, dimana orang membutuhkan
untuk merasakan dan dimengerti orang lain. Oleh karena itu, menurut reivich &
shatter, 2002) seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki
hubungan sosial yang positif.
Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap
tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada
posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan
maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda
nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja
maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk
dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang
pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan
semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
f. Self-efficacy
Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Selfefficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal
yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
Self efficacy adalah keyakinan bahwa individu dapat menyelesaikan
masalah, mungkin melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk
berhasil dalam kehidupan. Self efficacy membuat individu lebih efektif dalam
kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacynya bagaikan kehilangan jati
dirinya, dan secara tidak sengaja memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan
self efficacy yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa
dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol
lingkungannya.
g. kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan (Reaching out)
Resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki
kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun
lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif
dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).
Resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-aspek positif
dalam kehidupan. Resiliensi adalah sumber dari kemampuan untuk meraih.
Beberapa orang takut untuk meraih sesuatu, karena berdasarkan pengalaman
sebelumnya, bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu dihindari.
Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi oleh ketakutan dalam
memperkirakan batasan yang sesungguhnya dari kemampuannya. Mereka adalah
individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan
harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup
dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk
berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa
ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.
4. Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai
berikut:
a. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan
ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang
menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I
Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan
seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman
yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.
Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak
dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima
konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan
tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk
memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan
hukuman.
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan dapat
mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri. Dukungan
yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan sangat
membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang. Orangtua akan
mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan “berkuasa” atas dirinya
sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus bergantung pada orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini akan
membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.
b. I Am ( kemampuan individu )
I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang
menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk
selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan
orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.
Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli
mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha
membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka
sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka
mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan
membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri dan
cukup bertanggung jawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan
kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggung jawab atas pekerjaan yang
telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.
Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka percaya
bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki kepercayaan
dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga
dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam
perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada
hal-hal yang tidak baik.
Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.
Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam
situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk
meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara
untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.
B. Transformasi Diri
1. Definisi Transformasi Diri
a. Definisi Transformasi
Transformasi berasal dari dua kata dasar, trans dan form. Trans berarti
melintasi (across) atau melampaui (beyond). Kata form berarti bentuk. Karena itu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
transformasi mengandung makna perpindahan, dari bentuk yang satu ke bentuk
yang lain yang melampaui perubahan rupa fisik luarnya.
Kurt lewin dalam Nurhidiyah (2003) berpendapat bahwa Perubahan adalah
suatu proses penyadaran tentang perlunya atau adanya kebutuhan untuk berubah.
Dan kebutuhan untuk berubah ini harus dilaksanakan dengan tindakan nyata.
Menurut Brooten dalam Nurhidiyah (2008), perubahan merupakan proses yang
menyebabkan perubahan pola individu atau institusi. Sedangkan definisi perubahan
menurut Atkinson (1993) merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu
atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya.
Pendapat Getu (2002) mengatakan bahwa transformasi merupakan
pengembangan diri manusia secara menyeluruh, merubah keadaan individu dalam
lima aspek yaitu ekonomi, social/emosional, political, spiritual, dan behavioral
menjadi lebih baik. Perubahan dapat mencakup upaya mencari pengetahuan baru
atau menyesuaikan sesuatu yang saat ini diketahui dengan mempertimbangkan
informasi baru. Perubahan juga dapat mencakup penguasaan, serta keterampilan
baru.
b. pengertian transformasi diri
Menurut frager (2014) Salah satu istilah yang paling umum dalam
psikologi sufi adalah nafs atau diri. Istilah ini kadang diterjemahkan sebagai ‘ego’
atau ‘jiwa’. Makna lain dari nafs adalah ‘intisari dan ‘napas’. Dalam bahasa arab,
nafs lebih umum digunakan sebagai ‘diri’. Kebanyakan penulis sufi menggunakan
istilah nafs merujuk pada sifat-sifat dan kecenderungan buruk diri. Karena nafs
berakar didalam jasad dan ruh, ia mencakup kecenderungan material dan spiritual.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
Pada mulanya aspek material mendominasi, nafs tertarik pada kesenangan dan
keuntungan duniawi. Apa yang bersifat materi secara alamiah cenderung tertarik
kepada dunia materi. Ketika nafs (diri) bertransformasi ia menjadi lebih tertarik
kepada tuhan dan kurang tertarik pada dunia.
Transformasi diri menurut Maxmore (1993) adalah sebuah proses yang
meningkatkan extropy pribadi. Extropy adalah ukuran kecerdasan sistem,
informasi, energi yang tersedia, umur panjang, vitalitas, keragaman, kompleksitas,
dan kapasitas untuk pertumbuhan. Kemampuan ini akan membuat orang yang
mengalami transformasi diri akan lebih cerdas dan bijaksana, fisik sehat dan lebih
kuat, semakin sehat secara psikologis serta efektif, lebih kreatif, rasional, dan
produktif, dan lebih efektif dalam pengumpulan dan penyaringan informasi.
Leary, dkk dalam rahman (2013), Menurut mereka self adalah
“kelengkapan psikologis yang memungkinkan refleksi diri berpengaruh terhadap
pengalaman kesadaran, yang mendasari semua jenis persepsi, kepercayaan dan
perasaan tentang diri sendiri, serta yang memungkinkan seseorang untuk
meregulasi perilakunya sendiri”.
Dalam tradisi tasawuf dikenal beberapa konsep seperti hati (al qalb), roh
(arruh), jiwa (an-nafs), dan akal (al-aqlu). Dari beberapa penjelasan mengenai
keempat konsep tersebut, yang paling mendekati konsep self adalah konsep hati
atau al-qalbu (rahman, 2013). Pandangan lain menyebutkan bahwa yang mirip
dengan konsep self adalah an-nafs (jiwa). Menurut abu ishaq (dalam baharudin,
2007), annafs mempunyai dua arti, pertama an-nafs diartikan sebagai nyawa, dan
yang kedua annafs diartikan sebagai diri atau hakikat diri. Baharuddin, (2007),
misalnya, mengatakan bahwa an-nafs mempunyai element dasar psikis manusia
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
yang mengandung arti sebagai satu dimensi jiwa yang mempunyai fungsi dasar
dalam susunan organisasi jiwa manusia. Annafs karena kebesarannya mempunyai
kemampuan untuk mewadahi dimensi-dimensi jiwa lainnya, seperti al-qalb, arruh,
alaqlu, dan alfitrah. Annafs bisa mewadahi potensi-potensi dari masing-masing
dimensi psikis, baik yang positif maupun negative. An-nafs dipandang sebagai
dimensi jiwa yang berada diantara arruh yang membawa cahaya dan jism yang
membawa kegelapan (rahman, 2013).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa diri meliputi empat
aspek jiwa yang lain yaitu al-aql (akal), al-qalb (hati), al-ruh (jiwa), dan al-fitrah.
Yang mengartikan bahwa transformasi diri bukan hanya perubahan fisik saja, ia
merupakan karakteristik yang mencerminkan dan memberdayakan dorongan
seseorang untuk keunggulan fisik, akal, intelektual, moral, dan psikologis. Sebuah
komitmen untuk melakukan transformasi diri berarti penolakan untuk menyetujui
hal yang biasa-biasa saja, sebuah pertanyaan dari batas potensi seseorang, dan
dorongan untuk terus-menerus mengatasi kendala psikologis, sosial, fisiologis,
genetik, dan neurologis. Transformasi diri atau perubahan diri merupakan satu
aturan dalam hidup dan merupakan komponen paling penting apabila kita ingin
mencapai sesuatu kemajuan. Dengan melaksanakan transformasi diri manusia
secara tidak langsung dapat meningkatkan standard diri ke tahap yang lebih tinggi.
2. Tingkatan nafs (diri)
Robert frager (2014) dalam bukunya yang berjudul psikologi sufi untuk
transformasi hati, jiwa dan ruh, ia mengungkapkan bahwa tasawuf merupakan
pendekatan holostistik yang mengintegrasikan fisik, psikis, dan spirit serta
membimbing jiwa untuk tidak terjebak kedalam bahaya model yang linear dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
hieraskis yang cenderung mengenyampingkan dan membenarkan penindasan
terhadap kaum perempuan dan minoritas. Robert frager (2014) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa tingkatan nafs (diri) pada individu yang melakukan transformasi
diri, diantaranya:
a. nafs ammarah (diri tirani)
Pada tingkat ini nafs (diri) berada pada tingkat terendah seseorang, tingkat
ini disebut sebagai nafs ammarah yang disebut juga sebagai nafs yang memerintah,
nafs yang mendominasi, atau nafs yang menyuruh pada kejahatan. Nafs tirani
berusaha mendominasi dan mengendalikan pikiran serta tindakan. Saat tuhan
memerintahkan untuk berbuat baik maka ada sesuatu didalam diri yang mendorong
kita untuk berbuat sebaliknya. Sebagian orang yang didominasi oleh nafs tirani ini
mungkin saja melakukan amalan-amalan keagamaan, namun hanya berupa
pameran belaka yang dirancang untuk mendapatkan penghargaan orang lain.
Pada tingkat terendah ini, diri diperintah oleh kecerdasan. Kecerdasan yang
tanpa disertai keimanan terhadap sesuatu diluar diri. Ia berbakti kepada
penumpukan harta kekayaan, kekuatan dan kepuasan ego, tak peduli apa yang
dipertaruhkan. Tidak ada cinta terhadap tuhan, tidak ada pengendalian batiniah
atau bahkan perasaan berdosa. Mungkin kecanduan terparah pada tingkat ini
adalah kecanduan akan pujian, suatu kecanduan yang lebih sulit dan lebih
berbahayadaripada obat terlarang dan alcohol, dan kerap lebih jauh berakar dalam
jiwa.
Didalam diri individu terdapat dorongan-dorongan tirani yang terkadang
mendorong perbuatan diri untuk melakukan sesuatu yang buruk. seperti
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
mencemooh orang lain, menyakiti orang yang kita cintai. Nafs tirani secara umum
bekerja diluar kesadaran. Ia sepertinya berbicara dengan suara diri sendiri dan
mengungkapkan hasrat diri yang terdalam, sehingga diri jarang melawannya.
b. nafs lawwamah (diri penuh penyesalan)
Pada tingkatan nafs ini, walaupun ia bersifat lemah pada mulanya, namun
begitu cahaya iman dan pemahaman batiniyah tumbuh diri mulai melihat dirinya
secara jernih, mungkin untuk pertama kalinya.
Nafs yang penuh penyesalan atau didalam bahasa arab disebut nafs
lawwamah, makna kata lawwamah adalah menolak amalan buruk dan memohon
ampunan Allah setelah diri menyadari berbuatan buruk tersebut. Pada tingkat ini,
diri mulai memahami dampak negative pendekatan egois diri terhadap dunia.
Amalan buruk saat ini mulai terasa menjijikkan bagi diri.
c. nafs mulhamah (diri yang terilhami)
pada tingkat ketiga dari nafs ini, diri mulai merasakan kesenangan sejati
didalam berdoa, meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Diri mulai memahami
sendiri kebenaran spiritual. Diri mulai merasakan cinta hakiki kepada tuhan dan
kepada ciptaannya. Sifat-sifat tingkat ini mencangkup kedermawanan, qona’ah
(menerima apa yang ada), tawakkal (berpasrah) dan taubat (menjadi peka terhadap
perbuatan salah dan bersumpah untuk tidak melakukannya lagi). Kata ilham dalam
hal ini seseorang mulai mendengar suara nurani mereka. Seperti yang dituliskan
oleh seorang syekh (dalam fager, 2014) ketika matahari hidayah ilahi telah terbit
diufuk langit petunjuk kebenaran, maka nafs menjadi terilhami dan diterangi oleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
cahaya matahari itu, sehingga diri mampu membedakan antara yang benar dan
yang salah.
d. nafs muthma’innah (diri yang tentram)
pada tingkatan diri ini, sifat-sifat nafs yang tentram ini mencakup
keyakinan terhadap tuhan, perilaku baik, kenikmatan spiritual, pemujaan, rasa
syukur, dan kepuasan hati. Ketentraman jauh berbeda dari keadaan yang biasa
dialami. Ia adalah pencapaian spiritual sejati yang merasa puas dengan msa
sekarang, dengan segala yang ada, dengan segala yang tuhan berikan. Ketentraman
dan kepuasan ini berakar pada cinta kepada tuhan.
Diri yang tentram diterangi oleh cahaya hati sedemikian rupa sehingga ia
mengusir seluruh sifat-sifat buruk dan menjadi disifati oleh sifat-sifat mulia, dan
sepenuhnya memusatkan perhatiannya pada hati, dan menemaninya dalam
perjalanan menuju wilayah kesucian, sementara dibersihkan dari dosa-dosa dan
tekun dalam pengabdiannya.
e. nafs radhiyah (diri yang ridha)
ridha adalah puncak kecintaan yang diperoleh seseorang selepas menjalani
proses penghambaan yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugrah
kebaikan yang diberikan tuhan atas hambanya dari usahanya yang maksimal dalam
pengabdian dan munajat. Rida juga merupakan manifestasi amal saleh sehingga
memperoleh pahala dari kebaikannya tersebut. (jaenudin, 2012). Menurut
Alghazali (1996) ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang
bergantung pada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya. Jika
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
seseorang merasa ridha ia tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah
SWT.
Pada tingkat ini, diri tidak hanya puas terhadap takdir, diri juga merasa
puas tehadap segala kesulitan dan ujian kehidupan, yang juga berasal dari tuhan.
Kondisi nafs yang ridha ini sangatlah berbeda dengan cara yang biasa kita lakukan
didalam menjalani kehidupan. Diri menyadari bahwa diri secara kontinu dikelilngi
oleh rahmat dan belas kasih tuhan.
Ketika rasa syukur dan cinta kepada tuhan demikian besarnya, bahkan yang
pahit pun terasa manis, maka diri telah mencapai stasiun nafs yang ridha. Cirri-ciri
lain dari tingkatan ini adalah keajaiban, kebebasan, ketulusan, perenungan, dan
ingat kepada tuhan. Kebebasan muncul karena diri tidak lagi tergoda oleh sesuatu
apapun didunia ini. Perhatian kita ditujukan pada batiniah kita kepada tuhan.
f. Nafs Mardhiyyah (diri yang diridhai tuhan)
Ibn Arabi (dalam Frager, 2014) menunjukkan bahwa ini adalah tingkat
pernikahan batiniah antara diri dan ruh. Dalam tingkatan ini diri tidak lagi terpisah
antara hasrat materi kita dan hasrat kita akan tuhan. Diri memperoleh kesatuan
batiniah yang sejati dan utuh, merasakan dunia sebagai satu kesatuan yang utuh.
Diri menjadi manusia yang sejati.
Pada tingkat ini, diri menyadari bahwa seluruh kekuatan untuk bertindak
datang dari tuhan, diri tidak melakukan sesuatu apapun dengan sendirinya. Diri
tidak lagi merasa takut terhadap segala sesuatu atau meminta sesuatu apapun.
Hiasan luar diri telah dibinasakan, namun hiasan dalam diri telah menjadi istana.
g. Nafs mahdhah (diri yang suci)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
Segelintir orang yang mencapai tingkat ini telah melampaui diri secara
utuh. Tidak ada lagi ego ataupun diri, yang tertinggal hanyalah kesatuan dengan
tuhan. Inilah kondisi yang dinamakan mati sebelum mati. Ia meyakini bahwa
dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh karena itu ia menjaga dan memelihara
dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan, dan beramal saleh. Mereka
yang mencapai tingkat ini berada didalam doa yang konstan. Karenanya mereka
tidak lagi memiliki kehendak. Diri seolah-olah diantarkan kehadirat penguasa yang
maha arif dan maha kuat. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang penguasa dan
mengabdikan diri sepenuhnya kepada penguasa tersebut.
Tahap ini digambarkan oleh syekh naqhsabandiyah (dalam frager, 2014)
sebagai penempuh jalan kebenaran, sebuah contoh yang jelas tentang seseorang
yang mentransformasikan dirinya.
1. Tahapan perubahan
Menurut Kurt Lewin dalam (Nurhidiyah, 2003) Kebutuhan untuk berubah
harus dilakukan dalam tindakan nyata. Dalam teori Kurt Lewin ini sebuah
perubahan ada 3 tahap yang harus dilalui yaitu:
a. Tahap pencarian.
Motivasi yang kuat untuk beranjak dari keadaan semula dan
berubahnya keseimbangan yang ada, merasa perlu untuk berubah dan berusaha
untuk berubah. Menyiapkan diri dan siap untuk berubah atau melakukan
perubahan.
b. Tahap bergerak
Bergerak maju ke keadaan yang baru atau tahap perkembangan baru
karena memiliki cukup informasi serta sikap dan kemampuan untuk berubah,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
memahami masalah yang dihadapi dan mengetahui langkah langkah yang harus
dilakukan, kemudian melakukan langkah nyata untuk berubah dalam mencapai
tingkat atau tahap baru.
c. Tahap pembekuan.
Motivasi telah mencapai tingkat atau tahap baru atau mencapai
keseimbangan baru, tingkat baru yang telah dicapai harus tetap dijaga agar
tidak mengalami kemunduran atau bergerak mundur pada tingkat atau tahap
perkembangan semula. Oleh karena itu harus selalu ada upaya untuk
mendapatkan yang baik.
B. Pengalaman Spiritual
1.Definisi Pengalaman Spiritual
Spiritual, spiritualitas , dan spiritualisme mengacu kepada kosakata latin
spirit atau spiritus yang berarti nafas, adapun kerja spirare yang berarti untuk
bernapas. Berangkat dari pengertian epitimologis ini, maka untuk hidup adalah
untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit (aliah B. purwakania
hasan, 2006). Spirit dapat juga diartikan kehidupan, nyawa, jiwa dan napas
(Shadily, 1984). Spiritualitas berhubungan dengan fungsi psikologis, keyakinan
tentang akhirat, meningkatkan kesadaran akan keterhubungan dengan Tuhan dan
menurunkan tingkat stress pada penderita kanker (Jacobson et al., 2004). Individu
yang dengan tingkat spiritualitas tinggi memiliki sikap yang lebih baik, merasa
puas dalam hidup, lebih sedikit mengalami pengalaman traumatik dan lebih sedikit
mengalami kesepian (Papalia, et al., 2009).
Adapun spiritualtas adalah kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya
dalam cara berpikir , merasa, berdoa, dan berkarya (shadily, 1984). Spiritualitas
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
dapat ditingkatkan melalui pengalaman spiritual dan aktifitas spiritual yang
dilakukakan individu sehari-hari. Underwood dan Teresi (2002), menyatakan
pengalaman spiritual sebagai persepsi tentang adanya suatu yang bersifat
transenden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi tentang keterlibatan dengan
peristiwa-peristiwa transenden dalam kehidupan sehari. Mengeskplorasi pengalaman spiritual pada individu dapat meningkatkan spiritualitas, keyakinan pada
keterhubungan dengan Tuhan, hubungan dengan orang lain, memberikan
kebahagiaan pada masa kronis (Stephenson, Pamela, Claire, Martsolf, & Donna,
2003). Dengan mengekplorasi pengalaman spiritual individu lebih menyadari
kesalahan dan menyadari akan keterhubungan dengan Tuhan serta memiliki
keyakinan bahwa pengampunan dan pertolongan dari Tuhan. Pengalaman spiritual
merupakan aspek yang penting dalam mengukur spiritualitas.
Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam spiritualitas
tidak hanya terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan mencakup
kawasan yang lebih luas, meliputi hubungan antar makhluk (jalaludin, 2012).
Pengalaman spiritualitas sehari-hari meliputi rasa kagum, rasa syukur, kasih
sayang, menyadari kasih sayang, keinginan untuk lebih dekat dengan Tuhan
(Underwood, 2006), Selain itu pengalaman spiritual dalam hal kasih sayang,
keyakinan pada kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), dan pandangan yang positif,
kesehatan menjadi lebih baik, menciptakan perasaan damai dan sejahtera
(Campbell, Yoon, Johnstone, 2010).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Spiritualitas merupakan bagian dari manusia yang penuh makna. Dewitweaver (dalam Aziz, 2011) mendefinisikan spiritualitas sebagai bagian inti dari
individu (core of individuals) yang tidak terlihat (unseen, invisible) yang
berkontribusi terhadap keunikan dan menyatau dengan nilai-nilai transcendental
(suatu kekuatan yang maha tinggi/ high power dan Tuhan/ god) yang memberikan
makna, tujuan, dan keterhubungan. Spiritualitas juga didefinisikan sebagai
kecenderungan untuk membuat dan mencari makna melalui rasa keterhubungan
pada dimensi yang melebihi diri sendiri (Reed dalam Aziz, 2011).
Beberapa definisi diatas menunjukkan bahwa spiritualitas bukanlah hal
pasif, akan tetapi merupakan sesuatu yang aktif. Proses aktif tersebut tampak dari
deskripsi pencarian makna dan tujuan hidup. Hal ini diperkuat oleh friedman et al
(2002) yang mendefinisikan spiritualitas sebagai proses aktif dan positif yang
melibatkan pencarian aktivitas-aktivitas yang mengembalikan seseorang kepada
rasa keterpaduan (coherence), kualitas keutuhan internal dan kedamaian dalam diri.
Demikian pula Murray dan zentner (1998) menyatakan spiritualitas adalah suatu
kualitas yang melebihi afiliasi agama, yang dapat memberikan inspirasi, referensi,
kesadaran, arti dan tujuan hidup.
Dari definisi dan deskripsi spiritual diatas, dapat disimpulkan bahwa
spiritualitas merupakan bagian inti dan esensial dari individu, lebih dari sekedar
keyakinan dan praktik beragama, yang berkontribusi terhadap keunikan individu
dan menghubungkan jalinan pikiran, tubuh, emosi, hubungan dengan orang lain
dan dengan sesuatu diluar diri; serta merupakan proses aktif dan positif berkaitan
dengan pencarian makna, tujuan, harapan, dan prinsip hidup untuk mengembalikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
seseorang kepada rasa keterpaduan, kualitas keutuhan internal dan kedamaian
dalam diri.
Selanjutnya, istilah spiritual berfungsi sebagai sifat dari suatu bentuk
kecerdasan selain intelektual dan emosional. Karena itu dikenal istilah kecerdasan
spiritual yang diartikan sebagai kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan
memahami diri sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari
alam semesta. Menurut zohar dan marshal (2000) kecerdasan spiritual diartikan
sebagai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, sehingga kecerdasan ini berfungsi untuk menempatkan prilaku dalam konteks
makna dan lebih luas dan kaya, dengan kata lain kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan yang membedakan kebermaknaan tindakan atau jalan hidup seseorang
dari yang lain.
Tischler & McKeage (dalam Aziz 2011) yang menyatakan bahwa
kecerdasan spiritual dicirikan dengan adanya lima kemampuan inti yaitu 1)
kemampuan transendental yang ditandai dengan tercukupinya kebutuhan batin,
kedamaian hati, dan ketentraman jiwa dengan merasa bahwa tuhan selalu mnyertai
dan membimbing hidup individu 2) kemampuan untuk memasuki kondisi spiritual
yang dicirikan pada komitmen individu untuk menjalin hubungan yang dalam
dengan tuhan, kekuatan iman serta kepasrahan individu. 3) kemampuan
menanamkan nilai-nilai religious yang ditampakkan dalam aktivitas-aktivitas
individu selalu merasa dalam koridor agama. 4) kemampuan untuk memanfaatkan
nilai-nilai spiritual dalam kehidupan. 5) kapasitas untuk berprilaku sholeh yang
ditunjukkan dengan sikap yang mudah memberikan maaf, mensyukuri nikmat,
kesederhanaan, serta mengasihi sesama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Hampir sama dengan istilah kecerdasan spiritual yaitu istilah pengalaman
spiritual. Perbedaannya terletak pada indikatornya, jika kecerdasan spiritual
diartikan sebagai suatu kemampuan maka istilah pengalaman spiritual diartikan
sebagai suatu persepsi tentang spiritualitas. Underwood & Teressi (2002)
pengalaman spiritual sebagai persepsi tentang adanya suatu yang bersifat
transenden dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi tentang keterlibatan dengan
peristiwa-peristiwa transenden dalam kehidupan sehari-hari.
2. Aspek- Aspek Pengalaman Spiritual
Menurut Underwood & Teressi (2002) ada beberapa aspek pengalaman
spiritual diantaranya yaitu :
1. Persepsi tentang adanya sesuatu yang bersifat transenden
a. keterhubungan (connection)
Cara untuk melihat interaksi dengan tuhan, rasa keterhubungan dengan
yang tak terbatas, individu yang memilki pengalaman ini akan merasakan bahwa
ada sesuatu yang kuat yang selalu menemani hidupnya.
b. joy, transcendent sense of self
Yaitu perasaan seseorang keluar dari kekhawatiran sehari-hari, mendeteksi
saat-saat transenden diri, situasi ini seperti dalam keadaan berdoa, berjalan-jalan
menikmati alam sang pencipta, menyanyi di gereja, atau ditengah-tengah peristiwa
sehari-hari.kualitas yang muncul dalam pengalaman ibadah sebagai contoh
individu merasakan bahwa doa bersama memiliki kekuatan lebih dibanding doa
sendirian karena individu merasa dibawa oleh masyarakat dalam ibadah bersama,
dan membuat ikatan dengan orang lain yang lebih kuat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
c. Bantuan ilahiyah (Divine help)
Yaitu dukungan sosial dari Allah, meminta bantuan Allah ditengah-tengah
kegiatan sehari-hari. Bersama-sama dengan Allah adalah hal yang paling produktif
dari kesejahteraan psikologis (pargament, dalam underwood, 2002), bahkan atheis
mungkin menemukan diri mereka berdoa ketika pesawat yang mereka tumpangi
mulai mengalami kesulitan,hal ini menunjukkan bagaimana perbedaan antara
system kepercayaan dan pengalaman sehari-hari.
d. Bimbingan ilahiyah (Devine guidance)
e. Persepsi cinta ilahi (Perception of devine love)
f. Kesyukuran dan penghargaan (Thankfulness, appreciation)
g. Rasa kesatuan dan kedekatan
2. Persepsi tentang peristiwa transenden
a. kekuatan dan kenyamanan (strength and comfort)
Kenyamanan terkait dengan perasaan aman dalam bahaya atau dalam
situasi rentan, kekuatan memungkinkan individu untuk berani, melangkah keluar
dalam situasi sulit dan melakukan sesuatu yang biasanya kurang percaya diri untuk
mereka lakukan
b. Kedamaian (peace)
Perasaan damai bahkan ketika individu merasa sangat tertekan, yaitu
kedamaian batin.
c. Kekaguman (awe)
d. Cinta kasih (compassionate love)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
Yaitu merawat atau memperlakukan orang lain tanpa imbalan apapun.
Penerimaan terhadap perlakuan orang lain, merasa belas kasih, mengampuni orang
lain dari segala perilakunya, tidak menghakimi orang lain atas perbuatannya.
D. Cadar
1. Definisi cadar
Dalam Merriam (2015) cadar/ burqa merupakan pakaian panjang yang
digunakan untuk menutup wajah dan tubuh yang dipakai pada wanita muslim di
tempat-tempat umum.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia cadar adalah kain penutup muka atau
sebagian wajah wanita, dimana hanya matanya saja yang nampak, bahasa arabnya
khidir atau tsiqab, sinonim dengan burqu : marguk. Atau bisa juga disebut jilbab
tebal dan longgar, yang menutupi seluruh aurat termasuk wajah dan telapak tangan.
Cadar biasa dikenakan oleh istri rosulullah SAW dan istri para sahabat.
Dalam kamus bahasa inggris, istilah veil biasa dipakai untuk merujuk pada
penutup traditional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh
perempuan. Makna leksikal yang terkandung dalam kata ini adalah ‘penutup’,
dalam arti menutupi atau menyembunyikan, atau menyamarkan.
E.Remaja Dan Dewasa Awal
1. Definisi Remaja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Masa remaja (adolescence) adalah peralihan masa perkembangan antara masa
kanak-kanan menuju masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik,
kognitif dan psikososial (papalia et al., 2009). Selaras dengan dengan dariyo
(2004), remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanakkanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik,
psikis dan psikososial.
Dariyo (2004) menggolongkan remaja menjadi 3 tahap yaitu remaja awal (usia
12-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (usia 18-21
tahun).
Dari pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa remaja adalah masa
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi perubahan
terhadap fisik, psikis, kognitif dan psikososial yang rentang usia 13-21 tahun.
2. Karakteristik Masa Remaja
Menurut Gunawan (2011), sebagai periode yang paling penting, masa remaja
ini memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan periode-periode
perkembangan lainnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
a. Masa Remaja adalah Periode yang Penting
Periode ini memiliki dampak penting terhadap perkembangan fisik dan
psikologis yang cepat dan penting. Kondisi inilah menuntut individu untuk bisa
menyesuaikan diri secara mental dan melihat pentingnya menetapkan suatu sikap,
nilai-nilai dan minat yang baru.
b. Masa Remaja adalah Masa Peralihan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
Periode ini menurut seorang anak untuk meninggalkan sifat kekananakkanakannnya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk
menggantikan dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan
dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas mengenai
peran yang dituntut oleh lingkungan.
c. Masa Remaja adalah Periode Perubahan
Perubahan yang terjadi pada periode ini berlangsung secara cepat,
perubahan fisik yang cepat membawa konsekuensi terjadinya perubahan sikap dan
perilaku yang juga cepat.
d. Masa Remaja adalah Usia Bermasalah
Pada periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi
anak pria maupun wanita.
e. Masa Remaja adalah Masa Pencarian Identitas Diri
Pada periode ini, mereka mencoba mencari identitas diri dengan
berpakaian, berbicara dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya.
f. Masa Remaja adalah Usia yang Ditakutkan
Masa remaja ini seringkali ditakuti oleh invidu itu sendiri dan lingkungan.
Gambaran-gambaran negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku
remaja memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja.
g. Masa Remaja adalah Ambang dari Masa Dewasa
Pada saat remaja mendekati masa dimana mereka dianggap dewasa secara
hukum, mereka merasa cemas dengan stereotype remaja dan menciptakan impresi
bahwa mereka mendekati dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan
berperilaku seperti orang dewasa seringkali tidak cukup, sehingga mereka mulai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
untuk memperhatikan perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang
dewasa seperti merokok, minum, menggunakan obat-obatan bahkan melakukan
hubungan seksual.
3. Definisi dewasa awal
Menurut Hurlock (1999) dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun, saat-saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif. Menurut Papalia, Olds, Feldman, (1998)
usia dewasa awal adalah 20-40 tahun.
Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong
dewasa dini (young adulthood) adalah mereka yang berusia 20-40 tahun. Vaillant
(dalam papalia dkk, 1998) membagi tiga masa dewasa dini yaitu masa
pembentukan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai
pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri
dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan
persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi
karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa transisi sekitar 40 tahun
merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi
terhadap hal yang telah diperoleh. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa dewasa awal merupakan individu yang berusia antara 18-40 atau 20-40
tahun yang telah siap menerima peran baru dalam masyarakat.
4. Ciri-ciri perkembangan dewasa awal
Hurlock (1999), menguraikan secara ringkas ciri-ciri dewasa yang
menonjol dalam masa-masa dewasa awal sebagi berikut :
a. Masa dewasa awal sebagai masa pengaturan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
Masa dewasa awal merupakan masa pengaturan. Pada masa ini individu
menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Yang berarti seorang pria mulai
membentuk bidang pekerjaan yang akan ditangani sebagai kariernya, dan wanita
diharapkan mulai menerima tanggungjawab sebagai ibu dan pengurus rumah
tangga.
b. Masa dewasa awal sebagai usia repoduktif
Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup
orang dewasa. Orang yang kawin berperan sebagai orang tua pada waktu saat ia
berusia duapuluhan atau pada awal tigapuluhan.
c. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah
Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus
dihadapi seseorang. Masalah-masalah baru ini dari segi utamanya berbeda dengan
dari masalah-masalah yang sudah dialami sebelumnya.
d. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional
Pada usia ini kebanyakan individu sudah mampu memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi secara baik sehingga menjadi stabil dan lebih tenang.
e. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan social
Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat
kuat untuk maju dalam karir, sehingga keramahtamahan masa remaja diganti
dengan persaingan dalam masyarakat dewasa.
f. Masa dewasa awal sebagai masa komitmen
Setelah menjadi orang dewasa, individu akan mengalami perubahan,
dimana mereka akan memiliki tanggung jawab sendiri dan memiliki komitmenkomitmen sendiri.
g. Masa dewasa awal sering merupakan masa ketergantungan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
Meskipun telah mencapai status dewasa, banyak individu yang masih
tergantung pada orang-orang tertentu dalam jangka waktu yang berbeda-beda.
Ketergantungan ini mungkin pada orang tua yang membiayai pendidikan.
h. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai
Perubahan karena adanya pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas
dan nilai-nilai itu dapat dilihat dri kacamata orang dewasa. Perubahan nilai ini
disebabka karena beberapa alasan yaitu individu ingin diterima olh anggota
kelompok orang dewasa, individu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial
berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku.
i.
Masa dewasa awal masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru.
Masa ini individu banyak mengalami perubahan dimana gaya hidup baru
paling menonjol dibidang perkawinan dan peran orangtua.
j.
Masa dewasa awal sebagai masa kreatif
Orang yang dewasa tidak terikat lagi oleh ketentuan dan aturan orangtua
maupun guru-gurunya sehingga terlebas dari belenggu ini dan bebas untuk berbuat
apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatifitas ini tergantung dengan minat dan
kemampuan individu.
F.Kerangka Berpikir
Remaja merupakan fase pencarian identitas. Dimana pada fase ini ia lebih
terpusat pada penampilan fisik yang dimilikinya. Pada masa remaja kebanyakan
dari mereka akan mengikuti gaya anak muda yang sedang menjadi tren agar tidak
dikucilkan oleh teman-temannya. sehingga remaja yang memutuskan untuk
menggunakan cadar akan dihadapi konflik yang beraneka ragam. Begitupun pada
masa dewasa awal, pada fase ini adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
maju dalam karir, sedangkan tidak banyak pekerjaan yang membolehkan
karyawannya untuk menggunakan cadar.selain itu masa ini adalah masa
reproduktif untuk menikah dimana wanita harus berinteraksi dengan lawan
jenisnya. Dari berbagai kondisi sulit yang dihadapi wanita bercadar bagaimana
mereka memiliki daya pegas (resiliensi) dalam kehidupannya dapat dipengaruhi
dari kemauan untuk melakukan transformasi diri kearah yang lenih baik serta
pengalaman spiritual yang ia alami dalam hidupnya.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian
Transformasi diri
Resiliensi
Pengalaman spiritual
G.Hipotesis
Berdasarkan rumusan penelitian masalah penelitian ini maka dirumuskan
dua hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :

Terdapat pengaruh antara transformasi diri dan pengalaman spiritual
terhadap resiliensi pada wanita muslimah bercadar.

Terdapat pengaruh antara transformasi diri dan resiliensi pada wanita
muslimah bercadar di Jakarta.

Terdapat pengaruh antara pengalaman spiritual terhadap resiliensi pada
wanita muslimah bercadar di Jakarta.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download