Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PENDAMPINGAN BAGI PELAKU USAHA JAMU RACIKAN & USAHA JAMU GENDONG Pada tanggal 4 s.d 6 Oktober 2013 dilaksanakan Kegiatan Pendampingan Bagi Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) di Hotel Grand Aston Yogyakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh 100 peserta daerah yang terdiri dari 20 orang pelaku UJR UJG dari Kota Yogyakarta, 20 orang pelaku UJR UJG dari Kabupaten Sleman, 20 orang pelaku UJR UJG dari Kabupaten Bantul, 20 orang pelaku UJR UJG dari Kabupaten Gunung Kidul, 20 orang pelaku UJR UJG dari Kabupaten Kulon Progo, serta dari Dinas Kesehatan Provinsi dan DInas Kesehatan Kabupaten/Kota. Juga dihadiri oleh peserta dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Turut hadir pula narasumber dari Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, serta GP Jamu. Maksud dan tujuan Acara Pendampingan Bagi Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) ini adalah untuk meningkatkan kemampuan bagi pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) dalam penyediaan Jamu yang aman, bermutu dan bermanfaat sehingga penggunaan jamu dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan meningkatkan ekonomi rakyat. Acara diawali dengan Laporan Ketua Panitia yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta dr. RR. Arida Oetami, M.Kes. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda Sitang gang , Apt, Ph.D dalam sambutannya menyampaikan hal-hal sebagai berikut: Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun dan dikembangkan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi, memberikan berbagai manfaat dan menjadi kebanggaan sebagai bagian dari identitas bangsa. Indonesia sebagai megasenter keragaman hayati nomor dua terbesar di dunia setelah Brazilia memiliki potensi sumber daya hayati yang sangat besar. Potensi pemanfaatan sangat besar karena saat ini diketahui terdapat sekitar 30.000 jenis tanaman yang berpotensi berkhasiat yang di antaranya telah digunakan oleh industri jamu. Di era modern saat ini, jamu memiliki dimensi yang luas. Dengan meningkatnya kecenderungan masyarakat global untuk back to nature menuntut tersedianya produk bahan alam yang berkualitas, praktis dan sesuai dengan pola hidup modern. Dari data Riskedas 2010 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55,3%) penduduk Indonesia menggunakan Jamu dan 95 % nya menyatakan bahwa jamu bermanfaat. Usaha jamu racikan (UJR) dan usaha jamu gendong (UJG) telah menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak orang, termasuk saudarasaudari yang hadir di ruangan ini saat ini. Yang perlu diperhatikan oleh para pelaku UJR dan UJG adalah bagaimana Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 03 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan cara membuat jamu agar memenuhi persyaratan kesehatan, yang aman dikonsumsi, terutama dalam aspek kebersihan (higene dan sanitasi) dalam pembuatan jamu. Melalui kegiatan ini, pelaku UJR dan UJG diharapkan dapat menerapkan pengolahan yang memperhatikan kebersihan dan kesehatan serta dapat mengetahui bahaya dari penambahan bahan kimia obat (BKO) pada jamu. Saat ini Pemerintah Khususnya Kementerian Kesehatan melakukan pembinaan terhadap usaha di bidang obat tradisional seperti: UKOT, UMOT, U J R d a n U J G . D a n ke g i a t a n Pendampingan bagi pelaku UJR dan UJG merupakan kelanjutan pilot project dari program pembinaan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Saat ini dalam rangka meningkatkan pemanfaatan jamu di Indonesia Pemerintah telah merumuskan kebijakan dalam rangka pembinaan industri dan usaha di bidang obat tradisional. Dalam kaitan ini, pembinaan terhadap UJR dan UJG dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan diharapkan GP Hal.04 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 Jamu juga dapat mendukung pengembangkan UJR dan UJG ini untuk mendorong ekonomi masyarakat. Materi yang dibahas.oleh para n a ra s u m b e r d a l a m a c a ra i n i diantaranya adalah: Pengenalan Simplisia Sebagai Bahan Baku Jamu/Obat Tradisional, yang dipaparkan oleh Ir. Yuli Widiyastuti, MS dari Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Bahaya Bahan Kimia Obat (BKO) Dalam Obat Tradisional (Jamu), yang dipaparkan oleh dr. Danang Ardiyanto dari Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Pembuatan Jamu Yang Baik, yang dipaparkan oleh Kasubdit Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Dra. Nadirah Rahim, Apt, M.Kes. Aspek Pengembangan Usaha Jamu Gendong dan Usaha Jamu Racikan, yang dipaparkan oleh Ketua GP Jamu DR. Charles Saerang. Rangkuman Kegiatan Pendampingan Bagi Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) sebagai berikut: a . Pe m e r i n t a h ( K e m e n t e r i a n Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) dan GP Jamu diharapkan dapat bekerja sama dalam melakukan pembinaan UJR dan UJG. b. Kegiatan Pendampingan Bagi Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) ini sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan keamanan, mutu dan kemanfaatan jamu dengan menerapkan pengolahan yang memperhatikan kebersihan dan kesehatan serta tidak menambahkan bahan yang dilarang. c. Sebagai upaya tindak lanjut dari kegiatan ini, GP Jamu melalui ketuanya DR. Charles Saerang memfasilitasi para pelaku usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan untuk datang ke pusat pengolahan tanaman obat dan jamu di Ungaran, Jawa Tengah. Disana para pelaku usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan akan mempelajari proses pengolahan jamu yang baik dan higienis, proses pengemasan jamu yang rapi dan menarik, serta pengelolaan tanaman obat tradisional yang baik. Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PAMERAN INDUSTRI KOSMETIKA DAN OBAT TRADISIONAL Perkembangan produk kosmetik dan obat tradisional di Indonesia hingga saat ini terus memberikan kontribusi yang cukup signifikan baik dari sisi kapasitas produksi, omzet penjualan, variasi produk, perolehan devisa maupun penyerapan tenaga kerja, s e h i n g ga ko s m e t i k d a n o b a t tradisional dapat dijadikan sebagai industri andalan yang mampu menggerakkan roda perekonomian nasional. Hal tersebut disampaikan M e nte r i Pe r i n d u st r i a n d a l a m sambutannya yang dibacakan oleh Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Ir. Benny Wachjudi, MBA pada pembukaan Pameran Industri Kosmetik dan Obat Tradisional di Plasa Pameran Industri, Kementerian Perindustrian, Selasa 3 September 2013. Pameran yang diselenggarakan selama empat hari mulai tanggal 3 - 6 September 2013 dan diikuti sebanyak 47 perusahaan, terdiri dari 35 perusahaan kosmetik dan 12 perusahaan obat tradisional. Selain itu, 5 instansi pemerintah yang juga ikut berpartisipasi, antara lain Kementerian Kesehatan, Badan POM, Balai Besar Kimia dan Kemasan, Balai Besar Industri Agro, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatra Utara. Para peserta pameran merupakan pelaku industri kosmetik dan obat tradisional yang telah mendapatkan Sertifikasi dan menerapkan Good Manufacturing Practice atau Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) dan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang baik (CPOTB) dari Badan POM, bahkan beberapa diantaranya mampu mengekspor produknya keluar negeri. Selain menampilkan berbagai produk kosmetik dan obat tradisonal, pameran juga diisi dengan berbagai kegiatan seperti konsultasi kesehatan, demo tata rias, perawatan tubuh, dan kursus kecantikan pribadi (beauty class) secara gratis oleh PT. Martina Berto, Tbk., PT. Mustika Ratu, dan PT. Paragon Technology and Innovation (Wardah Cosmetic). Pameran tersebut diharapkan dapat mempromosikan industri kosmetik dan obat tradisional dalam negeri yang telah mampu memproduksi dengan kualitas baik sesuai standar Good Manufacturing Practice. Selain itu, dapat mendorong penggunaan atau pemakaian produk dalam negeri sehingga produk kosmetik dan obat tradisional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dapat disampaikan, pada tahun 2012, industri kosmetik mencatatkan prestasi yang menggembirakan baik dari segi omzet, nilai ekspor maupun penyerapan tenaga kerja. Nilai ekspor tahun 2012 mencapai Rp. 9 triliun dibandingkan pada tahun 2011 sekitar Rp. 3 triliun. Sementara itu, dari segi omzet juga mengalami peningkatan, pada tahun 2013 diperkirakan mencapai Rp. 11,2 triliun atau tumbuh 15% dari tahun Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 05 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan 2012 yang mencapai Rp. 9,7 triliun. Sedangkan dari segi tenaga kerja, Indonesia memiliki 760 industri kosmetika yang tersebar di berbagai wilayah dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 75.000 orang secara langsung dan 600.000 orang di bidang pemasaran. Sama halnya dengan industri kosmetika nasional, industri obat tradisional juga mencatatkan prestasi yang cukup menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari omzet yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, omzet obat tradisional sekitar Rp. 5 triliun dan meningkat pada tahun 2011 yang mencapai Rp. 11 Trilyun. Hingga akhir tahun 2012, omzet obat tradisional sebesar Rp. 13 triliun dan pada tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp. 20 triliun dengan nilai ekspor mencapai Rp. 16 triliun. Saat ini, terdapat 79 Industri Obat Tradisional (IOT) serta 1380 Usaha Menengah Obat Tradisional (UMOT) dan Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa dengan menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Hal.06 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 Dirjen BIM mengatakan, selain untuk memenuhi kebutuhan nasional, produk kosmetik dan obat tradisional juga telah diekspor dan mampu menembus pasar internasional seperti kawasan ASEAN, Jepang, jazirah Arab, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Afrika. Namun, industri kosmetik dalam negeri cukup mendapat tantangan dengan membanjirnya produk kosmetik impor di pasar domestik. Naiknya nilai impor disebabkan oleh perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN sebagai dampak harmonisasi tarif, importir kosmetik yang melihat Indonesia sebagai pasar potensial, dan importasi kosmetik yang tidak diproduksi di Indonesia dari PMA (Multi National Company/MNC). Dirjen BIM juga mengharapkan, industri kosmetik dan obat tradisional terus memanfaatkan secara optimal potensi bahan baku herbal yang melimpah di dalam negeri, karena akan menjadi peluang usaha untuk meningkatkan daya saing produk nasional. ”Industri kosmetik dan obat tradisional harus mampu bersaing dengan produk impor yang memasuki pasar domestik,” tegas Benny. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi tersebut, Kemenperin akan terus berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif agar dunia usaha tetap bergairah melakukan investasinya di Indonesia, serta memiliki daya saing yang tinggi sehingga industri kosmetik dan obat tradisional menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kegiatan ini juga di hadiri oleh Ketua PPA Kosmetik Indonesia Putri K. Wardani, yang menilai pasar kosmetik dalam negeri masih cukup baik meskipun kinerja industri kosmetik pada awal tahun 2013 sedang mengalami stagnasi karena pasar kosmetik dalam negeri saat ini masih di banjiri sekitar 20% produk illegal yang mengandung bahan berbahaya, baik yang dijual melalui outlet-outlet konvensional maupun internet/online. Turut hadir pula dalam acara ini Puteri Indonesia Lingkungan 2013 Marisa Sartika Maladewi dan Runner-up I Miss Indonesia 2013 Jovita Dwijayanti yang mempromosikan produk terbaik kosmetika dan obat tradisional khas Indonesia. Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan HARI HEPATITIS SE-DUNIA 2013 Pada tanggal 8 September 2013 Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., MPH, hadir dalam acara puncak peringatan Hari Hepatitis Sedunia yang ke-4, dengan tema “Saatnya Peduli Hepatitis : ketahui, cegah dan obati”, di Monas Jakarta. Tema yang di usung pada Hari Hepatitis Sedunia ini, mengandung makna bahwa Hepatitis virus perlu mendapat perhatian lebih. Sudah saatnya semua pihak peduli dan memberi dukungan yang nyata dalam penanggulangan Hepatitis. Keberhasilan Pengendalian virus Hepatitis sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak, termasuk dukungan jajaran lintas sektor Pemerintah Pusat dan Daerah, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, serta dukungan seluruh lapisan masyarakat. Tujuan acara puncak peringatan Hari Hepatitis Sedunia 2013 yaitu untuk meningkatkan kepedulian dan perhatian kita, mengenai pentingnya pengendalian Hepatitis virus dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia. Saat ini hepatitis yang kita kenal adalah hepatitis A, B, C, D dan E. Yang paling banyak dan berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas serta ekonomi yaitu virus hepatitis A,B dan C. Terdapat 2 cara penularan virus hepatitis. Pertama, virus yang ditularkan secara fekaloral yaitu virus hepatitis A, E, yang sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), namun penderita yang terserang dapat sembuh. Kedua, virus yang ditularkan secara parenteral yaitu B, C dan D. Dimana hepatitis B dan C, dapat menjadi kronis dan menyebabkan kanker hati, sedangkan hepatitis D akan mengenai mereka yang menderita hepatitis B. “Menurut WHO, dalam A Strategy for Global Action, tahun 2012, virus hepatitis B telah menginfeksi 2 milyar orang di dunia, lebih dari 350 juta orang diantaranya merupakan pengidap virus hepatitis B kronis, 150 juta penderita hepatitis C kronis, 350 ribu diantaranya meninggal karena hepatitis C setiap tahunnya, antara 850.000-1,05 juta penduduk didunia meninggal dunia setiap tahun yang disebabkan oleh infeksi hepatitis B dan C”, jelas Menkes. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007, Indonesia tergolong negara dengan e n d e m i s i ta s t i n g g i , s e h i n g ga Indonesia merupakan negara dengan pengidap hepatitis terbesar nomor 2 diantara negaranegara SEARO. Diperkirakan 9 diantara 100 orang Indonesia terinfeksi Hepatitis B. Estimasi penderita Hepatitis B dan C diperkirakan 25 juta, 50 persennya (12.500.000) diperkirakan akan menjadi chronic liver disease, dan 10 persennya menjadi liver fibrosis dan kemudian akan menjadi liver cancer Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 07 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan (1,25 juta). Menyadari bahwa hepatitis virus adalah penyakit yang mempunyai d a m p a k t e r h a d a p ke s e h a t a n masyarakat secara serius, dan diderita oleh banyak orang maka Indonesia bersama dengan Colombia dan Brazil pada sidang WHA tahun 2010 berinisiatif dan mengusulkan agar dilakukan pembahasan tentang hepatitis virus, sehingga keluarlah resolusi WHA 63,18 tentang hepatitis virus tersebut, yang menyerukan kepada masyarakat anggota WHO bahwa hepatitis virus adalah merupakan salah satu masalah kesehatan prioritas, sehingga para anggota WHO agar melaksanakan pencegahan dan penanggulangan hepatitis virus secara komprehensif, dan menetapkan Hari Hepatitis Sedunia pada tanggal 28 Juli, untuk diperingati dan dimanfaatkan sebagai upaya untuk peningkatan kepedulian Hal.08 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 dan dukungan terhadap hepatitis. Hepatitis merupakan masalah kesehatan dunia, termasuk Indonesia. Untuk itu saya himbau pada kesempatan yang baik ini, agar kita secara bersamasama bahu membahu berupaya dalam pengendalian hepatitis secara serius melalui “Gerakan Pemerintah Bersama Masyarakat”. Upaya pemerintah terhadap pengendalian hepatitis sudah dilakukan melalui imunisasi hepatitis pada bayi, skrining darah donor. Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk melakukan pengembangan program pengendalian hepatitis agar permasalahan dapat diatasi. Menkes berpesan kepada jajaran kesehatan untuk terus melakukan kampanye guna meningkatkan p e n geta h u a n d a n ke p e d u l i a n masyarakat tentang hepatitis serta terus melakukan kolaborasi dan integrasi program dengan penyakit lainnya. Kemudian melakukan upayaupaya pencegahan secara komprehensif, antara lain Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat(PHBS). Selanjutnya melakukan skrining pada ibu hamil terintegrasi dengan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Setiap orang yang melakukan konseling dan tes HIV yaitu perlu juga melakukan pemeriksaan hepatitis. Lebih lanjut Menkes berpesan agar jajaran kesehatan terus melakukan Skrining Hepatitis pada petugas kesehatan, lindungi petugas kesehatan dari penularan hepatitis ini. Perlu juga melakukan surveilans penyakit sehingga kita mempunyai data yang baik, dan tahu situasi penyebaran penyakit dan besaran masalah hepatitis. Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan MoU PENELITIAN & PENGEMBANGAN BAHAN BAKU OBAT DAN BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL Pada tanggal 9 September 2013 di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, telah disepakati Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kementerian Kesehatan dengan Perguruan Tinggi BPPT LIPI tentang Penelitian dan Pengembangan Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional. MoU ini disusun sebagai salah satu upaya pengembangan bahan baku obat dalam negeri melalui penelitian di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; peningkatan kemampuan Iptek; serta peningkatan produksi bahan kimia sederhana dan bioteknologi. Adapun tahapan yang telah dilakukan pada penyusunan MoU dan PKS ini adalah dimulai dari pembentukan tim reviewer, edaran proposal kegiatan ke perguruan tinggi negeri, dan lembaga riset/penelitian, inventarisasi dan penilaian proposal penelitian yang masuk oleh tim reviewer, penyusunan dan pembahasan draft MoU, konsultasi dengan LKPP dan Biro Keuangan dalam memutuskan proses pelaksanaan swakelola, kemudian circulating draft MoU dan PKS. Dari hasil penilaian yang dilakukan oleh Tim Reviewer maka diputuskan 13 proposal yang layak untuk difasilitasi yang berasal dari beberapa perguruan tinggi dan institusi yaitu Universitas Hasanuddin, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, Universitas Gajah Mada, U n i ve rs i ta s A n d a l a s , I n st i t u t Teknologi Bandung, BPPT, dan LIPI D a la m s a m b u ta n nya D i re kt u r Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Ke s e h ata n D ra . M a u ra L i n d a Sitanggang, Apt, Ph.D menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan saat ini sangat mendorong pengembangan industri bahan baku obat di dalam negeri, sebagai upaya kemandirian di bidang bahan baku obat, antara lain melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati. Sebagaimana kita ketahui bahwa Industri Bahan Baku Obat yang ada di Indonesia saat ini masih sangat terbatas baik dalam jumlah, jenis maupun kemampuan produksinya. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengembangkan BBO di Indonesia. Guna mendorong tercapainya kemandirian bahan baku obat, saat ini telah dikembangkan 5 strategi, yaitu: 1) Mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 09 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan 2 ) M e n i n g kat ka n s i n e rg i s i ta s Akademisi Pemerintah Dunia Usaha; 3) Memperkuat riset bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; 4) Meningkatkan kemampuan IPTEK; dan 5) Meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Pelaksanaan kelima strategi ini secara bersama oleh para pemangku kepentingan di bidang kefarmasian diyakini akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat impor. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang mempunyai tugas untuk melaksanakan pengembangan kemandirian di bidang obat dan bahan baku obat, tidak bisa sendiri dalam mencapai strategi tersebut, namun diperlukan kerjasama berbagai pihak diantaranya Hal.10 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 perguruan tinggi maupun lembaga riset/penelitian. Perguruan Tinggi sebagai salah satu institusi yang bergerak di bidang pendidikan berbasis ilmu pengetahuan kiranya dapat melakukan berbagai upaya terkait pengembangan BBO baik sintetis maupun BBOT. Lembaga penelitian baik B P PT m a u p u n L I P I j u ga memberikan kontribusi yang amat penting terkait penelitian bidang BBO dan BBOT agar di kemudian hari Indonesia siap bahkan dapat mandiri di bidang BBO dan BBOT. Diharapkan MoU dan PKS ini menjadi langkah awal dalam mengembangkan kemandirian obat dan bahan baku obat di Indonesia. Melalui upaya fasilitasi proses dan pengembangan kemandirian bahan baku obat pada tahun 2013 ini akan dihasilkan 24 BBO dan BBOT yang siap diproduksi di Indonesia, dan dapat dimanfaatkan oleh produsen obat di Indonesia bahkan diekspor ke manca negara. Dengan kemampuan Indonesia untuk memproduksi BBO dan BBOT di masa mendatang, maka ketersediaan obat akan lebih terjamin sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Selain itu juga merupakan jaminan terhadap ketahanan obat dan tidak tergantung pada negara lain. Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PEMBINAAN DAN ADVOKASI PUSAT PENGOLAHAN PASCA PANEN TANAMAN OBAT DI KOTA PEKALONGAN Pada tanggal 19 s.d 21 September 2 0 1 3 d i l a ks a n a ka n ke g i ata n Pembinaan dan Advokasi Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Pertemuan pada hari pertama dilaksanakan di fasilitas P4TO Kota Pekalongan di Kebun Bibit Kertaharjo Jalan Raya Simbang Wetan, Pekalongan Selatan. Acara dibuka dengan sambutan dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan dan Kasubdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes. Pada kegiatan hari pertama ini peserta pertemuan yang merupakan pengelola fasilitas P4TO Kota Pekalongan (terdiri atas 4 Apoteker, 3 tenaga teknis kefarmasian, 2 tenaga teknik mesin, dan 2 orang laboran) dibekali pengetahuan teknis mengenai alur proses pengolahan tanaman obat di fasilitas P4TO Kota Pekalongan oleh narasumber yaitu Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT. Pembekalan yang diberikan kepada peserta meliputi alur proses pengolahan dimulai dari tahap penimbangan, sortasi kering, pencucian, pengeringan (menggunakan sistem tray), pengirisan dan pencacahan, pengeringan menggunakan multipurpose dryer, pengeringan menggunakan oven, penimbangan akhir, pengemasan dan labelisasi. Peserta pengelola juga diberikan pelatihan singkat mengenai penggunaan peralatan laboratorium mulai dari lemari asam, peralatan quality control, pengukur pH, peralatan gelas laboratorium, dan lainnya. Peserta diberikan pemahaman mengenai faktor kritis (critical point) dari setiap langkah proses dan perlakuan apa saja yang harus dilaksanakan dalam rangka menjaga kualitas dari produk simplisia yang dihasilkan berdasarkan setiap tahap proses. Peserta pengelola juga diberikan pemahaman terkait penggunaan peralatan dan mesin yang akan digunakan dalam setiap tahapan pengolahan tanaman obat di fasilitas P4TO. Selain pelatihan dan pembekalan tersebut diatas, peserta pengelola juga diberikan gambaran singkat mengenai pengelolaan fasilitas Pusat Ekstrak Daerah (PED) yang direncanakan akan difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2013. Pertemuan pembinaan dan pelatihan hari kedua dilaksanakan di ruang pertemuan. Pertemuan dibuka melalui sambutan Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes serta sambutan selamat datang dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan. Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian dalam sambutannya menyampaikan tentang harapan terkait pertemuan pembinaan dan advokasi P4TO Kota Pekalongan diharapkan dapat menjadi suatu momentum awal dalam rangka mengembangan bahan baku obat tradisional di Kota Pekalongan. Fasilitas produksi yang baik ialah fasilitas yang dapat memenuhi persyaratan dan standar termasuk cara pembuatan obat tradisional yang baik. Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan dalam sambutannya menyampaikan harapan terkait ilmu dan pengetahuan baik teoritis maupun praktik dalam rangka operasionalisasi P4TO dan PED ke depannya. Untuk P4TO peralatan sudah terinstal dengan baik pada fasilitas P4TO yang telah didirikan tahun 2013 awal, dan fasilitas gedung PED direncanakan akan selesai pada bulan November 2013. Fasilitas P4TO Kota Pekalongan direncanakan akan di-launching pada 2 Oktober 2013. Para SDM P4TO untuk sementara terdiri atas 10 orang 4 Apoteker dan 6 tenaga teknis. Para SDM tersebut telah mengikuti kegiatan magang di B 2 P 2 T O O T Ta w a n g m a n g u . Diharapkan pembinaan terkaik dengan P4TO dan PED seperti ini dapat dilaksanakan dengan kontinyu dan sinergis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah di provinsi dan pemerintah daerah di tingkat Kota Pekalongan. Kasubdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyampaikan mengenai Kebijakan dan Program Pengembangan P4TO dan PED Untuk Mendukung Kemandirian Bahan Baku Obat. Dalam paparannya diantaranya disampaikan bahwa pasar obat tradisional di Indonesia tah u n ke tah u n men galami pertumbuhan dan diperkirakan mencapai angka 20 trilyun rupiah di tahun 2015. Dilihat dari potensi pasar ini, terlihat bahwa jamu dan obat tradisional sangat penting untuk Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 11 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan dikembangkan. Urgensi untuk pengembangan BBOT ini mutlak dilaksanakan karena memang kebutuhan obat tradisional dalam negeri sangat besar. Konsumsi obat tradisional di Indonesia sangat tinggi sayangnya serbuan obat herbal asing juga tinggi. Kedepannya diharapkan P4TO ini dapat terus berkembang menjadi PED sehingga nilai tambah dari obat tradisional di Indonesia dapat terus meningkat. Lainnya ialah bahwa kemandirian bahan baku obat tradisional di Indonesia dapat tercapai dengan baik. Nara sumber berikutnya Prof. L. Broto S. Kardono, PhD. (LIPI) menyampaikan mengenai Pemilihan Tumbuhan Untuk Pengembangan Jamu dan Fitofarmaka. Dalam paparannya diantaranya disampaikan bahwa pengembangan produk sangat penting. Mulai dari jamu kecantikan, pelangsing, energy drink, sport drink, dan sebagainya. Oleh karena itu Hal.12 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 seyogyanya produksi P4TO dan PED harus berorientasi pada pengembangan produk sehingga nilai tambah produk juga meningkat. Pengembangan bahan baku obat tradisional harus didasari oleh keilmuan yang baik. Basis keilmuan ini sangat penting karena proses pengembangan dan produksi produk itu harus berbasis penggunaan oleh konsumen secara skala ekonomis. Pemilihan tumbuhan untuk dikembangkan juga sangat penting karena selain terkait keamanan, kemanfaatan, dan mutu juga terkait d e n ga n n i l a i e ko n o m i s d a n farmakologisnya. Standarisasi bahan baku dan sediaan jadi sangat penting karena akan menentukan efek farmakologis dari produk. Nilai tambah produk juga akan sangat terpengaruh atas standarisasi ini. Sedangkan Sri Pujiraharti (LIPI) dalam paparan Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat. Dalam paparannya diantaranya disampaikan bahwa peningkatan kualitas bahan simplisia sangat penting dalam pengolahan pasca panen tanaman obat. Penjagaan kualitas simplisia termasuk bagaimana penyimpanan serta peningkatan nilai jual simplisia sangat penting. Tahapan dalam pengolahan pasca p a n e n ya n g d i l a ku ka n h a r u s disesuaikan dengan monografi tanaman obat yang akan diolah. Oleh karena itu, pustaka terkait bahan yang akan diolah sangat penting untuk dimiliki oleh fasilitas P4TO. Nara sumber berikutnya Tjandrawati Mozef (LIPI) menyampaikan mengenai Quality Control Produk Obat Tradisional. Dalam paparannya diantaranya disampaikan bahwa kontrol mutu mutlak diperlukan karena terdapat variasi kualitas dan mutu yang dapat mempengaruhi mutu dan kualitas produk akhir. Hal penting dari kontrol kualitas ialah standarisasi proses mulai dari Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan pemrosesan manual sampai p e n g g u n a a n p e ra l ata n / m e s i n . Parameter-parameter uji kontrol kualitas harus ditetapkan sesuai dengan tumbuhan. Mutu dan kualitas produk akan sangat dipengaruhi atas proses pengolahan sehingga perlu ditetapkan prosedur tetap (protap/SOP) yang tervalidasi sehingga setiap tahapan termasuk parameter uji dapat terkontrol dengan baik. Seluruh parameter baik parameter spesifik maupun nonspesifik harus dapat dideterminasi dengan baik. Keseluruhan proses pada intinya akan sangat berpengaruh terhadap nilai tambah produk. Simplisia yang kualitasnya dapat ditetapkan dengan baik akan sangat mempengaruhi kualitas ekstrak, dan kualitas ekstrak yang dapat diterapkan dengan baik akan mempengaruhi produk herbal yang dihasilkan. Keseluruhnya merupakan siklus yang dijalankan dengan simultan. Sementara itu, Kepala Balai Besar POM di Semarang Dra. Haryati, Apt. menyampaikan mengenai Pemenuhan CPOTB Bagi Usaha di Bidang Obat Tradisional. Dalam paparannya diantaranya disampaikan bahwa CPOTB pada dasarnya ditujukan agar produk yang dihasilkan oleh industri obat tradisional dapat m e m i l i k i m u t u , k h a s i at , d a n kemanfaatkan yang dapat dibuktikan secara baik. Beberapa aspek-aspek CPOTB antara lain sanitasi dan higiene seringkali menjadi permasalahan pada pemrosesan simplisia maupun e kst ra k d i U KOT d a n U M OT. Persyaratan dan standar tersebut harus dapat ditangani dengan baik melalui protap/SOP dan sistem. CPOTB sendiri memiliki 11 aspek yang seyogyanya harus diupayakan untuk dipenuhi di fasilitas produksi obat tradisional. Pembinaan dan pelatihan berkelanjutan merupakan salah satu cara agar fasilitas produksi dapat menerapkan CPOTB dengan baik. Beberapa kendala dalam penerapan CPOTB ialah bagaimana fasilitas produksi masih minim tenaga teknis kefarmasian yaitu Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Selain itu, bangu n an d an fasilitas serta dokumentasi masih menjadi permasalahan penerapan CPOTB. Beberapa hal ini menyebabkan proses produksi tidak dapat dikontrol dengan baik dan berakibat produk yang dihasilkan belum dapat memiliki mutu dan kualitas yang terstandar secara kontinyu. Nara sumber Ir. Bambang Srijanto (BPPT) menyampaikan mengenai Teknologi Ekstraksi Tanaman Obat. Dalam paparannya diantaranya disampaikan bahwa evaluasi obat tradisional dan obat herbal harus dilaksanakan untuk dapat membuktikan suatu khasiat dari produk ketika dipakai oleh konsumen. Peningkatan kebutuhan obat herbal mutlak didukung oleh standarisasi bahan awal dan produk herbal. B e b e ra p a p ro d u k ya n g te l a h dikembangkan seperti obat herbal terstandar akan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Teknologi ekstraksi pada dasarnya diterapkan berdasarkan monografi dan sifat fitologi dari tanaman dan bahan itu sendiri serta hasil atau produk yang ditargetkan untuk disari dari tanaman. Sistem dan metode ekstraksi tanaman obat akan sangat beragam dan harus tervalidasi di setiap metodenya. Kegiatan ini selanjutnya ditutup oleh Kasubdit Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 13 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PELANTIKAN ESELON II KEMENTERIAN KESEHATAN Pada tanggal 30 September 2013 Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH melantik 40 pejabat eselon II di Ruang Leimena Kementerian Kesehatan yaitu; Pejabat eselon II yang dilantik di lingkungan Sekretariat Jenderal Kemenkes RI adalah Wiwik Widarti, SKM, MM sebagai Kepala Biro Keuangan dan Barang Milik Negara; dr. Trisna Wahjuni Putri, M.Kes sebagai Kepala Pusat Intelegensia Kesehatan. Pejabat yang dilantik dari lingkungan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Ditjen BUK) yaitu; dr. Eka Viora, Sp.KJ sebagai Direktur Bina K e s e h a t a n J i w a , d r. D e d d y Tedjasukmana Basuni, Sp.RM sebagai Direktur Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan; drg. Rini Sunaring Putri, M.Kes sebagai Direktur SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta; Dr. dr. H.M. Alsen Arlan, Sp.B.KBD sebagai Hal.14 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 Direktur Medik dan Keperawatan R S U P D r. M o h a m a d H o e s i n Palembang; Drs. Amrizal, Apt., MM, M.Kes sebagai Direktur Umum, SDM dan Pendidikan RSUP Dr. Mohamad Hoesin Palembang; dr. Irayanti, Sp.M sebagai Direktur Utama RSUP Dr. M. Djamil Padang; drg. Rahmadsyah Mansur, M.Kes sebagai Direktur Umum SDM dan Pendidikan RSUP Dr. M. Djamil Padang; Dr. dr. Nucki Nurjamsi Hidayat, Sp.OT(K), M.Kes sebagai Direktur SDM dan Pendiidkan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dr. dr. Agus Hadian Rahim, Sp.OT(K), M.Epid, MH.Kes sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta; dr. Sri Catur Murniningsih sebagai Direktur Keuangan Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta; Yulis Quarti, SE, Akt, M.Si sebagai Direktur Ke u a n ga n R S U P D r. S o e ra d j i Tirtonegoro Klaten; Selanjutnya, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes sebagai Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar; Ni Ketut Rupini, SH, MARS sebagai Direktur Keuangan RSUP Sanglah Denpasar; dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS sebagai Direktur Utama RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado; Dr. dr. Hj. Fatmawati, MPH sebagai Direktur Pengkajian Penyakit Infeksi dan Penyakit Menular RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta; Erwin Susanto, SE sebagai Direktur Keuangan dan Administrasi Umum RS Penyakit Infeksi Prof. Dr.Sulianti Saroso Jakarta; Suripto, SE, MARS sebagai Direktur Keuangan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar; dr. Susy Himawaty, MARS s e b a ga i D i re k t u r U m u m d a n Operasional RS Kanker Dharmais Jakarta; dr. Bambang Dwipoyono, Sp.OG, MS sebagai Direktur Medik d a n Ke p e ra w a t a n RS Ka n ke r Dharmais Jakarta; dr. Darwito, SH., Sp.B(K).Onk sebagai Direktur Umum Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan dan Operasional RSUP Dr. Kariadi Semarang; dr. Mardianto, Sp.PD sebagai Direktur Medik dan Keperawatan RSUP H. Adam Malik Medan; dr. Elzarita Arbain, M.Kes sebagai Direktur Utama RS Paru Dr. H. A. Rotinsulu Bandung; dr. I Gusti Lanang Suartana Putra, MM sebagai Direktur Umum dan Operasional RSUP Sanglah Denpasar; dr. Ali Muchtar, Sp.PK, MARS sebagai Kepala Balai Besar Laboratorium Kesehatan Jakarta; dr. Endriana Soeryat, Sp.PK sebagai Kepala Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya; dr. Hj. Nelly Windarti Rachman, MARS sebagai Kepala Balai Besar Laboratorium Kesehatan Palembang; dr. H. Abidin, MPH sebagai Kepala Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar. Di lingkungan Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak yaitu Ir. Doddy Izwardy, MA sebagai Direktur Bina Gizi; dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, Ph.D sebagai Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga. Di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yaitu Dra. Engko Sosialine Magdalene, Apt, M.Bio Med sebagai Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan; Drs. Bayu Teja Muliawan, M.Pharm, MM, Apt sebagai Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian; Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si sebagai Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Di lingkungan Ditjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan yaitu Raden Broeri Alexander Widjonarko, SKM, M.Kes sebagai Kepala KKP Kelas I Tanjung Priok; dr. Oenedo Gumarang, MPHM sebagai Kepala KKP Kelas I Soekarno Hatta; dr. Charto Susanto, MSA, Sp.KP sebagai Kepala KKP Kelas I Surabaya. Di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dr. Dra. Vivi Lisdawati, M.Si, Apt. Sebagai Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga. D i l i n g ku n ga n B a d a n P P S D M Kesehatan Menkes melantik dr. Asjikin Iman Hidayat Daclan, MHA sebagai Sekretaris Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan; dan Suhardjono, SE, MM sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Aparatur. “Ucapan selamat saya sampaikan kepada para pejabat eselon II yang baru dilantik. Jabatan yang dipercayakan kepada Saudarasaudara adalahamanah, karena itu berikanlah yang terbaik kepada bangsa dan negaraini”, kata Menkes. Menkes menambahkan, jabatan eselon II adalah jabatan yang sangat menentukan keberhasilan dalam pencapaian visi, pelaksanaan misi, pencapaian sasaran-sasaran Pembangunan Kesehatan, dan pencapaian kinerja Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu, Menkes minta agar pejabat yang baru dilantik untuk segera mempelajari tugas pokok dan fungsi unit kerja masingm a s i n g te r m a s u k t u j u a n d a n sasarannya, target-target indikator yang harus dicapai, serta masalah dan kendala yang dihadapi agar pejabat baru mampu mengkomunikasikannya dengan atasan, staf, teman sekerja, lintas program dan lintas sektor terkait dengan baik. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 15 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan RAPAT KERJA KESEHATAN DAERAH (RAKERKESDA) PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2013 Pada tanggal 9 s.d 11 Oktober 2013 dilaksanakan Rapat Kerja Kesehatan D a e rah (Rakerkesda) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2013 dalam ra n g ka ko n s o l i d a s i ke b i j a ka n pembangunan kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, di Swiss-Bell Hotel Kendari. R a kerkes d a Provin s i Su lawes i Tenggara ini mengusung tema “Dengan Semangat Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kita mantapkan kesiapan daerah menyongsong pelaksanaan SJSN 1 Januari 2014 dan Percepat Pencapaian MDGs Provinsi Sulawesi Tenggara”. Rakerkesda ini dipimpin langsung oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Nur Alam, SE, M.Si. dan diikuti 160 peserta yang berasal dari 13 Kabupaten/Kota dan dari Provinsi. Peserta Kabupaten/Kota terdiri dari Komisi C DPRD Kabupaten/Kota, Kepala BAPPEDA Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Direktur RSU Kabupaten/Kota, dan Eselon III dan lingkup Hal.16 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 Kabupaten/Kota. Sedangkan peserta provinsi terdiri dari unsur BAPPEDA, unsur BPKAD, RSU Bahteramas, RS Jiwa, KKP, POLTEKES, PT ASKES, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, dan lintas sektor terkait lainnya. Konsolidasi lintas sektor dalam menyongsong pelaksanaan SJSN dan percepatan capaian MDGs disadari hanya dapat dicapai bersama secara bersinergi dan pembagian peran yang jelas. Dalam Rakerkesda ini dibahas berbagai isu terkini di bidang kesehatan, diantaranya perkembangan pelaksanaan program kesehatan, pengembangan model pelayanan rujukan, persiapan pelaksanaan SJSN-bidang kesehatan, dukungan pelayanan kefarmasian dan perbekalan kesehatan. Capaian Pembangunan Kesehatan Penyediaan fasilitas pelayanan ke s e h a t a n t e l a h m e n u n j u ka n peningkatan yang cukup signifikan diantaranya puskesmas perawatan dari 63 unit pada tahun 2007 menjadi 77 unit pada tahun 2013, puskesmas non perawatan dari 144 unit pada tahun 2007 menjadi 187 unit pada tahun 2013 dan jumlah rumah sakit dari 17 unit dengan 989 tempat tidur tahun pada 2007 menjadi 25 unit dengan 1642 tempat tidur pada tahun 2013 dan rumah sakit swasta dari 6 unit pada tahun 2007 menjadi 8 unit pada tahun 2013 dengan 305 tempat tidur. demikian juga dalam upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) meningkat dari 536 unit pada tahun 2007 menjadi 896 unit pada tahun 2013, posyandu aktif juga bertambah dari 2241 unit pada tahun 2007 menjadi 3008 unit tahun 2013. Peningkatan Anggaran Bidang Kesehatan Perkembangan anggaran pembangunan kesehatan bersumber APBN secara keseluruhan meningkat dari Rp 60,72 M pada tahun 2007 menjadi Rp 76,74 M pada tahun 2013. Alokasi dana APBN ini dalam bentuk Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan. Secara khusus, Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun 2013 alokasi Dana Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota sebesar Rp 49,53 M yang terdiri dari Bantuan Operasional Kesehatan Rp. 28,38 M; peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) Rp. 1,6 M; peningkatan pelayanan kesehatan dasar Rp. 13 M dan pelayanan kesehatan rujukan Rp. 5 M serta peningkatan kesehatan lingkungan Rp 1,5 M, A l o ka s i a n g ga ra n ke s e h ata n bersumber APBD Provinsi Sulawesi Tenggara pada kurun waktu 20082012 meningkat, dan ratarata sekitar 5,7% di luar gaji. Dari total APBD, alokasi anggaran yang sangat signifan adalah untuk membiayai Program Pembebasan Biaya Pengobatan yang sampai dengan tahun 2012 telah mencakup 93.943 jiwa dan berkembang menjadi 159.518 jiwa pada tahun 2013. Jumlah anggaran yang diserap sampai tahun 2013 ini sebesar Rp 23.230.666.698. Kemudian untuk anggaran pembangunan RSU Bahteramas, dan Anggaran Bantuan Tugas Belajar untuk 14 dokter spesialis. alokasi APBD Kabupaten/Kota untuk pembangunan kesehatan meningkat 43,8% dari Rp. 107.9 M tahun 2008 menjadi Rp. 155.3 M. Rata-rata APBD untuk pembangunan kesehatan kabupaten/kota baru mencapai 6,4%. Kabupaten/kota yang mengalokasikan APBD untuk pembangunan kesehatan diatas 10% yakni Kota Kendari 17,41%, Kabupaten Konawe Utara 12,24%, Kabupaten Kolaka 11,25%, Kabupaten Muna 10,50%. hanya saja, alokasi anggaran ini masih termasuk dana yang dialokasikan pemerintah pusat, seperti dana alokasi khusus. Alokasi anggaran kesehatan dari APBD lebih banyak bersumber dari dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah kabupaten/kota. Pemerataan SDM Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan peningkatan mulai dari tenaga medis sampai tenaga para medis. Dokter Umum dari 202 orang pada tahun 2007 menjadi 470 orang pada tahun 2012, Dokter Spesialis dari 47 orang pada tahun 2007 menjadi 89 orang pada tahun 2012. bidan dari 662 orang pada tahun 2007 menjadi 2574 orang pada tahun 2012; Walaupun terjadi peningkatan jumlah tenaga kesehatan seperti tersebut diatas, namun Provinsi Sulawesi Tenggara masih kekurangan tenaga misalnya dari 264 puskesmas hanya 73,4% yang memiliki dokter, 32,9% memiliki dokter gigi, 33,72% memiliki tenaga farmasis (Apoteker dan S1 Farmasi) dan 34 % memiliki tenaga Asisten Apoteker. Di beberapa kabupaten belum tersedia Dokter Spesialis meliputi RSUD Kabupaten Konawe Utara, RSUD Kabupaten Buton Utara, dan RSUD Kabupaten Wakatobi. Secara khusus di RS Bahteramas, ketersediaan Dokter Sub Spesialis masih sangat terbatas, seperti Ahli Bedah Digestif, Bedah Plastik, Bedah Syaraf, Urologi, Ginjal dan Hipertensi. Bahkan untuk Dokter Spesialis yang wajib dipenuhi, belum tersedianya Dokter Ahli Rehabilitasi Medis, Dokter Ahli Forensik, dan Dokter Gigi Bedah Mulut. Apabila RS Bahteramas sebagai rumah sakit rujukan tertinggi, maka sudah waktunya penyediaan dokter spesialis dan sub spesialis menjadi prioritas utama. Penguatan program kesehatan di Kabupaten/Kota harus selaras dengan distribusi dan mutu tenaga kesehatan. Seharusnya setiap fasilitas kesehatan harus mempunyai jumlah tenaga kesehatan yang ideal, seperti pos kesehatan desa (poskesdes) seharusnya memiliki seorang bidan atau perawat. Beberapa Kabupaten menempatkan tenaga perawat desa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di desa. Dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan harus senantiasa menerapkan nilai-nilai yang pro rakyat, inklusif, responsif, efektif dan bersih. saya perlu mengingatkan bahwa ditengah iklim demokratisasi, otonomi, dan sebagainya, tenaga kesehatan jangan tergoda untuk berpikir pragmatis, memainkan peran yang berbeda yang malah akan menciderai sumpah dan janjinya sebagai profesi kesehatan yang mulia. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 17 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan oleh karena itu, para bupati/walikota agar memberikan kenyamanan bekerja kepada seluruh tenaga kesehatan di wilayahnya. Pemerintah harus menempatkan mereka sesuai profesi dan kompetensi yang dimiliki, dan sebaiknya pemerintah tidak melakukan mutasi dengan alasan yang tidak jelas, yang tidak berkaitan dengan tugas pelayanan kesehatan. Cakupan Pelayanan Kesehatan Cakupan pelayanan kesehatan menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, walaupun disadari masih belum dapat mencapai target Millenium Development Goal's (MDG's). Beberapa pencapaian kegiatan dapat kami sampaikan sebagai berikut: 1.Cakupan pemantauan pertumbuhan balita di posyandu dari 51,6% pada tahun 2007 menjadi 67,4% pada tahun 2012 (target nasional 85%); 2. Cakupan pelayanan ibu hamil (K4) dari 70,75% pada tahun 2007 menjadi 80,21% pada tahun 2012 (target nasional 90%); 3. Cakupan pertolongan persalinan tenaga kesehatan dari 71,45% pada tahun 2007 menjadi 77,45% pada tahun 2012 (target nasional 90%); 4. Cakupan kunjungan neonatal lengkap dari 74,89% pada tahun 2007 menjadi 85,34% pada tahun 2012 (target nasional 90%); 5. Cakupan desa/kelurahan uci dari Hal.18 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 56,02% pada tahun 2007 menjadi 72,6% pada tahun 2012 (target nasional 100%); 6. Presentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum berkualitas dari 44,7% pada tahun 2007 menjadi 54,2% pada tahun 2012 (target nasional 65%); 7. Cakupan pelayanan kefarmasian dari 91% pada tahun 2007 menjadi 92% pada tahun 2012 (target nasional 100%); 8. Cakupan rumah tangga ber-PHBS dari 21,9 % pada tahun 2007 menjadi 38,72% pada tahun 2012 (target nasional 65%); 9. Pelayanan kesehatan rujukan bagi masyarakat miskin dari 5% pada tahun 2007 menjadi 53,38% pada tahun 2012 (target nasional 100%). Sistem Rujukan Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan terpadu mulai dari pelayanan primer di puskesmas dan jaringannya, pelayanan sekunder di tingkat Kabupaten/Kota, hingga pelayanan tersier di tingkat provinsi. Dalam kerangka ini, untuk efektivitas p e l aya n a n ke s e h ata n s u d a h sepatutnya dirancang regionalisasi rujukan yang bagi dalam 5 pusat rujukan regional dengan RSU Bahteramas sebagai rujukan tertinggi di Sulawesi Tenggara. 1. Regional RSUD Baubau mengampu RSUD Pasarwajo, RSUD Wakatobi; 2. Regional RSUD Raha mengampu RSUD Kabupaten Buton Utara; 3 . Re g i o n a l RS U D A b u n a w a s mengampu RSUD Abunawas, RSUD Konawe Selatan, RSUD Konawe Utara, RSUD Bombana dan RS pemerintah dan swasta lainnya di Kota Kendari; 4 . Re g i o n a l B LU RS U Ko l a ka mengampun RSU Kolaka Utara; 5. Regional BLU RSU Unaaha mencakup RSU Kolaka Timur. Kesiapan implementasi SJSN 2014 Sebagaimana diamanatkan UndangUndang nomor 24 tahun 2011, Sistem Jaminan Kesehatan merupakan bentuk konkrit dari reformasi p e m b i a y a a n ke s e h a t a n y a n g diharapkan dapat mengatasi kendala akses biaya pelayanan kesehatan yang cenderung meningkat setiap tahun. Untuk kondisi Sulawesi Tenggara, diperkirakan sekitar 64,3% penduduk Sulawesi Tenggara yang tercakup dalam Jaminan Kesehatan yang terdiri dari peserta sebagaimana diamanatkan Perpres 12 tahun 2012, ditambah dengan peserta program pembebasan biaya pengobatanbahteramas (Jamkesda Provinsi) dan peserta Jamkesda di 5 kabupaten yaitu: Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Bombana, Dan Wakatobi. Jumlah tersebut masih ku ra n g s e b a nya k 5 , 7 % u nt u k mencapai target 70%, atau masih diperlukan penambahan sasaran sebanyak 154.207 jiwa lagi. Berkaitan dengan penyediaan anggaran, maka untuk tahun 2014 sebagaimana diamanatkan Permendagri nomor 27 tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2014, d i nyata ka n “d a l a m ra n g ka peningkatan bidang kesehatan, pemerintah daerah secara konsisten d an b erkesin amb u n gan h aru s mengalokasikan anggaran urusan kesehatan minimal 10% (sepuluh persen) dari total belanja APBD di luar gaji”. Sesuai amanat pasal 171 ayat (2) undang-undang 36 tahun 2009 tentang kesehatan. penjelasan pasal 171 ayat (2) undang-undang 36 tahun 2009 menegaskan bahwa bagi daerah yang telah menetapkan lebih dari 10% (sepuluh persen) agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan bagi daerah yang belum mempunyai kemampuan agar dilaksanakan secara bertahap. Pada butir ke 37 Permendagri No.27 Tahun 2013 ditegaskan yang tidak menjadi cakupan pelayanan pemerintah melalui BPJS yang bersumber dari APBN, pemerintah daerah dapat menganggarkannya dalam bentuk program dan kegiatan pada SKPD yang menangani urusan kesehatan pemberi pelayanan kesehatan atau pemberian iuran kepada BPJS, yang dianggarkan pada ppkd, jenis belanja bantuan sosial. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara bersama Kabupaten/Kota sudah saatnya mengalokasikan anggaran untuk membiayai jaminan kesehatan tahun 2014 nanti. Dengan berpatokan pada premi PBI yang dibayarkan pemerintah pusat sebesar Rp 19.225 per orang per bulan, maka untuk membiayai peserta yang tidak termasuk PBI di Sulawesi Tenggara diperkirakan membutuhkan anggaran lebih dari 100 milyar rupiah. Angka ini memang cukup besar, namun jumlah tersebut dipikul bersama provinsi dan seluruh kabupaten kota, akan menjadi ringan. Hal ini akan menjadi cermin dari semangat gotong royong untuk kebersamaan penduduk Sulawesi Tenggara. Sebagai implementasi SJSN dan efektivitas pelayanan kesehatan maka pelayanan kesehatan rujukan di S u l a w e s i Te n g g a r a d i a t u r sebagaimana dalam Permenkes nomor 1 tahun 2012. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam waktu dekat akan menetapkan Peraturan Gubernur tentang Sistem Rujukan Kesehatan yang membagi wilayah pelayanan kesehatan dalam 5 regional. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi bersama dengan jajaran kesehatan lainnya sedang mempersiapkan peraturan yang berkaitan dengan sistem rujukan tersebut, sehingga dapat diimplementasikan dalam membangun jejaring pelayanan kesehatan. Dengan adanya penataan sistem rujukan tersebut, maka alokasi dan investasi sarana prasarana fisik rumah sakit, peralatan medis dan non medis, dan tenaga kesehatan termasuk dokter ahli dapat dikendalikan, sehingga dengan demikian rumah sakit akan tertata dengan baik, pelayanan akan lebih efektif dan pada gilirannya akan dapat mengurangi anggaran kesehatan di masa yang akan datang. Langkah Tindak Lanjut Hasil yang diharapkan pada rapat kerja ini adalah adanya kesepakatan tentang penataan sistem rujukan regional, model proporsi pembiayaan kesehatan dalam pelaksanaan SJSNBK, dan kesepakatan langkah strategis dalam percepatan pencapaian target indikator MDGs. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah menjadikan kesehatan sebagai salah satu agenda utama Pembangunan dengan pendekatan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Sulawesi Tenggara. Pada periode 5 tahun ke d e p a n , s e b a ga i m a n a a m a n a t Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Tenggara, telah ditetapkan program prioritas untuk selalu dimonitor dalam tindaklanjut : 1. Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dan Gizi Pada Periode 1000 Hari Pertama Kehidupan 2. Peningkatan Kesehatan Reproduksi Dan Keluarga Berencana Serta Penguatan RS PONEK Dan Puskesmas PONED dan Jejaringnya. 3. Peningkatan Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Menular Dan Tidak Menular 4. Peningkatan Upaya Promotif, Preventif, Dan Pemberdayaan Masyarakat 5. Peningkatan Pelayanan Kesehatan Rujukan 6. Peningkatan Pembinaan Pelayanan Kefarmasian 7. Peningkatan Akses Pelayanan Melalui Pembebasan Biaya Pengobata-Bahteramas. 8. Peningkatan Sumberdaya Manusia Kesehatan 9. Peningkatan Manajemen Pembangunan Kesehatan. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 20 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan SOSIALISASI E-CATALOG OBAT GENERIK 2014 Pada tanggal 18 Oktober 2013 di Aula Siwabessy Gedung Kementerian Kesehatan telah dilaksanakan Pertemuan Sosialisasi E-Catalogue Tahun 2014 dengan Industri Farmasi. Kegiatan ini dihadiri oleh para pejabat dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang & Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), GP Farmasi dan Kementerian Kesehatan. Acara ini dibuka dengan sambutan dari Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Ke s e h a ta n D ra . M a u ra L i n d a Sitanggang, Apt, Ph.D. Dalam sambutannya Ibu Dirjen menyampaikan bahwa selama pelaksanaan e-catalogue 2013, kita akan lanjutkan sistem yang sudah terbangun ini di tahun 2014, berdasarkan dari daftar yang tercantum di Fornas terdiri dari 514 item obat dan 913 sediaan. “Dengan berbagai keterbatasan telah kita jalani pengadaan obat melalui eHal.20 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 purchasing berdasarkan e-catalogue sejak 1 Juni 2013 yang diikuti oleh kurang lebih 29 Industri Farmasi” papar Ibu Dirjen. Berbagai persiapan telah dilakukan, termasuk bidang Kefarmasian dimana e-catalogue ini merupakan salah satu sistem penting untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional. Pada pelaksanaan e-catalogue 2013, terdapat 196 item zat aktif dalam 327 sediaan dan telah terlaksana 55,63 % pengadaan. Untuk pelaksanaan ecatalogue 2014 maka penetapan harga obat melalui lelang harga satuan tahun 2014 yang dilakukan di pusat antara LKPP dengan Kementerian Kesehatan. Daftar obat yang akan tercantum dalam ecatalogue obat adalah nama generik berdasarkan Formularium Nasional (FORNAS). Harga jual obat dalam ecatalogue adalah harga satuan terkecil sudah termasuk pajak dan biaya distribusi (franco kabupaten/ kota). Rencana Kebutuhan Obat Nasional dilakukan dengan pendekatan bottom-up planning oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan rumah sakit pemerintah. E-Catalogue merupakan kelanjutan dari daftar Formularium Nasional yang menjadi acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan resep bagi pasien. Posisi E-Katalog, yaitu daftar obat yang dijamin dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang memuat harga satuan obat. Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan SOSIALISASI BIDANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Pada tanggal 21 Oktober 2013 dilaksanakan kegiatan Sosialisasi Bidang Pelayanan Informasi Publik dan Keterbukaan Informasi Publik di Hotel Manhattan, Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh 100 peserta yang terdiri dari pejabat eselon III & IV serta Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Turut hadir pula narasumber dari Pusat Komunikasi Publik Setjen K e m e n ke s R I , B a d a n P P S D M Kesehatan, serta Komisi Informasi Pusat. M a ks u d d a n t u j u a n Ke g i ata n S o s i a l i s a s i B i d a n g Pe l aya n a n Informasi Publik dan Keterbukaan Informasi Publik ini adalah untuk meningkatkan koordinasi setiap unit/satuan kerja di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam melaksanakan pelayanan informasi publik; meningkatkan pemberdayaan PPID di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam merespon kebutuhan dan keinginan publik dalam mengakses informasi yang terkait pembangunan kesehatan; meningkatkan pemahaman dan penginternalisasikan tanggung jawab serta wewenang PPID di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan layanan informasi publik yang efisien dan efektif. Acara diawali dengan sambutan dari Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Drs. H. Purwadi, Apt, MM, ME yang menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan saat ini sedang berupaya keras mewujudkan transparansi dan akuntablitas pelayanan publik. Upaya keras tersebut tentunya memerlukan dukungan semua pihak termasuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sebagai salah satu bagian dari unsur dalam sistem pemerintahan yang ada. Ke m e nte r i a n Ke s e h ata n ya n g memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk meningkatkan dan memelihara status kesehatan masyarakat, dewasa ini dituntut untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Sektor kesehatan dianggap memiliki posisi yang strategis karena bersentuhan langsung dengan publik serta memiliki anggaran yang cukup besar, selain sektor pendidikan, sehingga membuat Kemenkes banyak disorot masyarakat. Tuntutan tersebut menyadarkan institusi ini untuk dapat membangun tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan menjalankan transparansi dan akuntablitas pelayanan publik. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 21 Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini memang sudah mulai terjadi transformasi, sejalan dengan semangat reformasi birokrasi dan juga sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik. Namun demikian perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan konkrit yang berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan guna membangun kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintahan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang berdampak konsekuensi logis akan kewajiban untuk membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat, tentunya dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana tercantum pada UU tersebut dan juknis/juklak terkait. Untuk menindaklanjuti tantangan tersebut, disusunlah Hal.22 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 Peraturan Komisi Informasi No.1 tahun 2010 ttg Standar Layanan Informasi Publik. Kementerian Kesehatan pun telah merespons hal tersebut dengan menyusun Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/PER /X/2011 tentang Standar Layanan Informasi Publik di Kementerian Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 182/Menkes/SK/V /2012 tentang Daftar Informasi yang Dikecualikan di lingkungan Kementerian Kesehatan. Dalam rangka mengatur arus lalu lintas dan layanan informasi publik, maka ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1625/Menkes/ SK/VIII/2011 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Lingkungan Kementerian Kesehatan. PPID bertugas dan bertan g g u n gj awa b m ela ku ka n pelayanan informasi yang meliputi proses penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan dan pelayanan informasi. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah mengakomodasi perkembangan ini dan telah menetapkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di lingkungan Ditjen Binfar dan Alkes. Materi yang dibahas.oleh para narasumber dalam acara ini adalah : Pengaduan Masyarakat Melalui LAPOR! UKP4 dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Di Kemenkes, yang dipaparkan oleh Liputan Informasi kefarmasian dan alat kesehatan Dyah Yuniar Setiawati, SKP dari Pusat Komunikasi Publik. Penanganan Kasus Terkait Informasi Publik UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang dipaparkan oleh Setyadi Nugroho, SH, MH dari Badan PPSDM Kesehatan. Perkembangan Implementasi UU KIP di Badan Publik, yang dipaparkan oleh Dra. Henny S. Widyaningsih, M.Si dari Komisi Informasi Pusat. Kegiatan Sosialisasi Bidang Pelayanan Informasi Publik dan Keterbukaan Informasi Publik ini dilaksanakan melalui sidang pleno dengan metode penyajian materi dan praktek simulasi pengklasifikasian informasi publik. Rangkuman Kegiatan Sosialisasi Bidang Pelayanan Informasi Publik dan Keterbukaan Informasi Publik sebagai berikut: a. Bahwa dokumen yang tadinya tidak terpikirkan untuk diinformasikan kepada publik ternyata merupakan i n fo r m a s i p u b l i k y a n g w a j i b diumumkan secara berkala kepada masyarakat. b. Waktu pelayanan permintaan informasi publik harus sangat diperhatikan. Karena berdasarkan UU KIP No.14 Tahun 2008 paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis dan dapat diperpanjang waktunya untuk mengirimkan pemberitahuan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis. c. Pelaksanaan KIP di Kemenkes belum optimal, karena: 1.Masih sulitnya mengumpulkan data, 2.Komitmen pimpinan kurang, 3.Belum menjadi prioritas, 4.Belum tersedianya SOP, 5.Belum menjadi bagian penilaian kinerja d. Terdapat pemeringkatan dari Komisi Informasi atas keterbukaan informasi publik di Kementerian/ Lembaga, dimana saat ini Kemenkes berada dalam peringkat 9, sehingga harapannya adalah jika seluruh eselon I memberikan kontribusinya maka semoga peringkat penilaian akan menjadi lebih baik. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 23 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan AMINOGLIKOSIDA Aminoglikosid merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada inti heksosa. Dengan adanya gugusanamino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfanya yang digunakan dalam terapi mudah larut dalam air Aminoglikosid dari sejarahnya digunakan untuk bakteri gram negatif. Aminoglikosid pertama yang ditemukan adalah Streptomisin. Aktivitas bakteri Aminoglikosid dari Gentamisin, Tobramisin, Kanamisin, Netilmisin dan Amikasin terutama tertuju pada basil gram negatif yang aerobik (yang hidup dengan oksigen)Aminoglikosid merupakan produk streptomises atau fungus lainnya. Seperti Streptomyces griseus untuk Streptomisin, Streptomyses fradiae untuk Neomisin, Streptomyces ka n a myc et i c u s u nt u k Ka n a m i s i n , S t re p t o myc e s te n e b ra r i u s u n t u k Tobramisin, Micromomospora purpureus untuk Gentamisin dan Asilasi kanamisin A untuk Amikasin. Penggolongan Aminoglikosida dapat dibagi atas dasar rumus kimianya sebagai berikut : 1. Streptomisin yang mengandung satu molekul gula-amino dalam molekulnya 2. Kanamisin dengan turunan amikasin, dibekasin, gentamisin, dan turunannya Hal. 24 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 netilmisin dan tobramisin, yang semuanya memiliki dua molekul gula yang dihubungkan oleh sikloheksan 3. Neomisin, framisetin dan paramomisin dengan tiga gula-amino. Mekanisme Kerja Aktivitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom (Partikel-partikel kecil dalam protoplasma sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya sintesa protein) di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesa proteinnya dikacaukan. Penggunaan Streptomisin (dan kanamisin) hanya digunakan parenteral pada tuberkulosa, dikombinasikan dengan rifampicin, INH dan pirazinamid. Gentamisin dan tobramisin sering digunakan bersamaan suatu penisilin atau sefalosporin pada infeksi dengan pseudomonas. Amikasin terutama dicadangkan untuk kasus pada mana terdapat resistensi bagi aminoglikosida lainnya. Efek samping Semua aminoglikosida terutama pada penggunaan parenteral dapat mengakibatkan kerusakan pada organ p e n d e n ga ra n d a n ke s e i m b a n ga n (ototoksik) terutama pada lansia, akibat kerusakan pada saraf otak kedelapan. Gejalanya berupa vertigo, telinga berdenging (tinnitus), bahkan ketulian yang tidak reversibel. Pada penggunaan oral dapat terjadi nausea, muntah dan diare, khususnya pada dosis tinggi. Resistensi Resistensi dapat terjadi agak pesat akibat terbentuknya enzim yang merombak struktur antibiotikum. Informasi genetis bagi enzim-enzim itu dapat ”ditulari” melalui plasmid, hingga resistensi dapat menjalar ke kuman lain. Streptomisin dan kanamisin paling sering mengalami resistensi, amikasin paling jarang. Masalah resistensi merupakan kesulitan utama dalam penggunaan Streptomisin secara kronik; misalnya pada terapi Tuberkulosis atau endokarditis bakterial subakut. Resistensi terhadap Streptomisin dapat cepat terjadi, sedangkan resistensi terhadap Aminoglikosid lainnya terjadi lebih berangsur-angsur. Sediaan dari Aminoglikosid Sediaan dari Aminoglikosid dapat dibagi dalam dua kelompok : 1. Sediaan Aminoglikosid sistemik untuk pemberian IM atau IV yaitu Amikasin, Gentamisin, Kanamisin dan Streptomisin 2. Sediaan Aminoglikosid topikal terdiri dari Aminosidin, Kanamisin, Neomisin, Gentamisin dan Streptomisin. Dalam kelompok topikal termasuk juga semua Aminoglikosid yang diberikan per oral untuk mendapatkan efek lokal dalam lumen saluran cerna. Sediaan Aminoglikosid pada umumnya tersedia sebagai garam sulfat. Kehamilan dan Laktasi Aminoglikosida dapat melewati plasenta dan merusak ginjal serta menimbulkan ketulian pada bayi. Maka tidak dianjurkan selama kehamilan. Obat-obat ini mencapai air susu ibu dalam jumlah kecil dan pada hakekatnya dapat diberikan selama laktasi. Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan SWAMEDIKASI Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya. Sedangkan menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP) yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat non resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri. Penggunaan Obat yang Rasional dalam Swamedikasi Swamedikasi memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan secara rasional. Namun bila tidak dilakukan secara benar justru menimbulkan bencana yaitu tidak sembuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru karena obat dengan segala konsekuensinya. Untuk melakukan swamedikasi secara aman, efektif dan terjangkau, masyarakat perlu melakukan bekal pengetahuan dan ketrampilan. M a sya ra kat m u t l a k m e m e r l u ka n informasi yang jelas dan terpecaya agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil berdasarkan alasan yang rasional. Untuk mengetahui kebenaran swamedikasi (menggunakan obat secara rasional) dapat digunakan indikator sebagi berikut: Tepat Obat, pelaku swamedikasi dalam melakukan pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang dirasakannya dan mengetahui kegunaan obat yang diminum. Tepat golongan, pelaku swamedikasi hendaknya menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan bebas terbatas. Tepat dosis, pelaku swamedikasi dapat menggunakan obat secara benar meliputi cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat yang digunakan. Tepat waktu (Lama pengobatan terbatas), pelaku swamedikasi mengetahui kapan harus menggunakan obat dan batas waktu menghentikannya untuk segera meminta pertolongan tenaga medis jika keluhannya tidak berkurang. Wa s p a d a e fe k s a m p i n g , p e l a k u swamedikasi mengetahui efek samping yang timbul pada penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta mewaspadainya. Tanggung jawab dalam swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) terdiri dari dua yaitu: 1. Pengobatan yang digunakan harus terjamin keamanan, kualitas dan keefektifannya. 2. Pengobatan yang digunakan diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (setelah diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus didesain spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk sediaan dan dosis yang benar. Masalah-masalah yang umum dihadapi pada swamedikasi antara lain sakit kepala, batuk, sakit mata, konstipasi, diare, sakit perut, sakit gigi, penyakit pada kulit seperti panu, sakit pada kaki dan lain sebagainya. Peran Farmasis dalam Swamedikasi Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 25 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan menjadi klien oriented yang berdasarkan pada konsep “Pharmaceutical Care”. Yang dimaksud dengan Pharmaceutical Care adalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup klien. Peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat t e t a p i l e b i h ke p a d a m e n j a m i n tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakaiannya dan harga yang wajar serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standart dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Menurut World Health organization (WHO), peran farmasis dalam swamedikasi yaitu: Komunikator (Communicator) Farmasis harus mempunyai inisiatif untuk berdialog dengan klien (dan dokter, jika dibutuhkan) untuk menggali tentang r i wayat ke s e h ata n k l i e n . U nt u k mendapatkan informasi yang benartentang kondisi klien, farmasis mengajukan beberapa pertanyaan Hal. 26 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 kepada klien misalnya mengenai keluhan atau pengobatan yang pernah dilakukan klien. Dalam hal ini farmasis harus mampu mengenali gejala penyakit tanpa melangkahi wewenang dokter. Farmasis harus memberikan informasi yang objektifyang diperlukan klien misalnya mengenai cara penggunaan obat atau cara penyimpanan obat. Untuk itu farmasis harus dapat memenuhi kebutuhan klien sebagai sumber informasi tentang obat, mendampingi dan membantu klien untuk melakukan swamedikasi yang bertanggung jawab atau bila perlu memberikan referensi kepada klien untuk melakukan rujukan kepada dokter. Penyedia obat yang berkualitas (Quality Drug Supplier) Seseorang Farmasis harus menjamin bahwa obat yang disediakan dalam swamedikasi berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat-obat tersebut disimpan dengan baik. Pengawas dan pelatih (Trainer and Supervisor) Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmuilmu terbaru untuk meningkatkan ke m a m p u a n p ro fe s i o n a l s e p e r t i mengikuti pendidikan berkelanjutan. Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh staf-staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Karena itu farmasis harus membuat protokol sebagai referensi bagi farmasis dan juga protokol bagi pekerja kesehatan masyarakat yang terlibat dengan penyimpanan dan distribusi obat. Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf-staf yang bukan farmasis. Kolaborator (Collaborator) Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi, pemerintah (Lokal/Nasional), klien dan masyarakat umum. Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam swamedikasi. Promotor Kesehatan (Health Promotor) Sebagai bagian dari kesehatan, farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi d a l a m p ro m o s i ke s e h ata n d a n pencegahan penyakit dan memberikan saran secara individual untuk membantu dalam menentukan pilihan informasi tentang kesehatan. FIP juga merumuskan empat tanggung jawab farmasis dalam swamedikasi yang dituangkan dalam kesempatan bersama asosiasi industri obat (WSMI). Empat tanggungjawab tersebut yaitu: 1. Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi informasi dan saran yang objektif tentang swmedikasi dan obatobatan yang tersedia untuk swmedikasi. 2. Tanggungjawab profesional farmasis untuk melapor kepada pemerintah dan industri farmasi apabila ditemukan adanya efek samping yang muncul pada individu yang melakukan swamedikasi dengan menggunakan obat produk dari industri farmasi tersebut. 3. Tanggungjawab profesional farmasis untuk merekomendasikan rujukan kepada dokter apabila swamedikasi yang dilakukan tidak tepat. 4. Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa obat adalah produk khusus dan harus disimpan serta diberi perhatian khusus. Farmasis juga tidak Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan diperbolehkan melakukan hal yang dapat memicu masyarakat membeli obat dalam jumlah banyak sekaligus. Terdapat beberapa hal yang harus di kuasai oleh seorang farmasis pada pelayanan swamedikasi, yaitu: Membedakan antara gejala minor dan gejala yang lebih serius “Triaging” adalah istilah yang diberikan untuk membedakan tingkat keseriusan gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus di ambil. Farmasis telah memiliki prosedur untuk mengumpulkan informasi dari klien, sehingga dapat memberikan saran untuk melakukan pengobatan atau menyarankan rujukan ke dokter. Kemampuan mendengarkan (Listening skills) Farmasis membutuhkan informasi dari k l i e n u nt u k m e m b at u m e m b u at keputusan dan merekomendasikan suatu terapi. Proses ini dimulai dengan suatu pertanyaan pembuka dan penjelasan kepada klien kemungkinan diajukannya pertanyaan yang bersifat lebih pribadi. Hal ini diperlukan agar farmasis dapat mengenali gejala lebih jauh, sehingga dapat merekomendasikan terapi yg benar. Kemampuan bertanya (Questioning skills) Farmasis harus memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dalam usaha untuk mengumpulkan informasi tentang gejala klien. Farmasi harus mengembangkan suatu metode untuk mengumpulkan informasi yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan. Ada dua metode umum yang digunakan. Yang pertama disingkat sebagai WHAM W: Who is the patient and what are the symptoms (siapakah klien dan apa gejalanya) H: How long have the symptoms (berapa lama timbulnya gejala) A: Action taken (tindakan yang sudah dilakukan) M: Medication being taken (obat yang sudah digunakan) Yang kedua dikembangkan oleh Derek Balon, seorang farmasis di london yaitu ASMETHOD A : Age / appearance (usia klien) S: Self or someone else (dirinya sendiri atau orang lain yang sakit) M: Medication (regularly taken on preskription or OTC) (pengobatan yang sudah digunakan baik dengan resep maupun dengan non resep) E: Extra medicine (usaha lain untuk mengatasi gejala sakit) T: Time persisting (lama gejala) H: History (riwayat klien) O: Other symptoms (gejala lain) D: Danger symptom (gejala yang berbahaya). Pemilihan terapi berdasarkan bukti keefektifan Farmasis memiliki dasar pengetahuan farmakologi, terapeutik dan farmasetika yang dapat digunakan untuk memberikan terapi yang rasional, didasarkan pada Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 27 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan kebutuhan klien. Selain melihat kefektifan bahan aktif suatu obat, farmasis juga harus memperhatikan interaksi potensial, kontraindikasi, peringatan, dan profil efek samping dari bahan bahan tambahan yang terkandung. Farmasis dapat menyarankan rujukan kepada dokter jika gejala timbul dalam waktu yang lama, masalah berulang dan semakin parah, timbul nyeri yang hebat, penggobatan gagal, timbul efek samping, dan gejala yang berbahaya. Informasi Obat dalam Swamedikasi Salah satu faktor penentu yang berperan dalam tindakan pengobatan sendiri atau self medication yaitu tersedianya sumber informasi tentang obat dan pengobatan. Ketersedianya sumber informasi tentang obat dapat menentukan keputusan dalam pemilihan obat. Informasi obat disini merupakan tanggungjawab farmasis dan m e r u p a k a n b a g i a n d a r i ko n s e p Pharmaceutical Care. Seorang farmasis harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi yang Hal. 28 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 dapat diberikan oleh seorang farmasis dalam pelayanan swamedikasi yaitu: Nama obat dan kekuatannya. Farmasis harus menjelaskan kesamaan penggunaan obat paten dan obat generik, apabila suatu saat terjadi penggantian obat. Indikasi dan aturan pakai. Hal ini merupakan faktor penting yang harus di ketahui klien saat menerima obat. Sehingga klien benar-benar mengerti tentang waktu penggunaan obat dan instruksi khusus yang harus di perhatikan oleh klien, misalnya “kocok dahulu” atau “harus diminum saat lambung kosong”. Mekanisme kerja. Farmasis harus menjelaskan kerja obat sesuai dengan gejala yang diderita klien. Sebab beberapa obat memiliki mekanisme kerja yang berbeda, sesuai dengan indikasi terapinya. Efek pada gaya hidup. Beberapa terapi dapat menimbulkan perubahan pada gaya hidup klien misalnya mengurangi mengkonsumsi alkohol, merokok, mengurangi olah raga berlebihan. Penyimpanan obat, informasi tentang cara penyimpanan obat sangat penting terutama untuk obat-obat yang memiliki aturan penyimpanan tertentu, misalnya harus di simpan di lemari es, harus disimpan terlindung dari cahaya atau di jauhkan dari jangkauan anak-anak. Efek samping potensial, klien harus diinformasikan tentang efek samping yang mungkin timbul dalam penggunaan obat. Efek samping tersebut dapat berupa efek samping ringan yang dapat di prediksi, contoh perubahan warna urin, sedasi, bibir kering dan efek samping yang perlu perhatian medis, misalnya reaksi alergi, nausea, vomiting dan impotensi. Interaksi antar obat dan makan, farmasis harus memberikan informasi tentang kemungkinan adanya interaksi antar obat yang digunakan ataupun dengan makan yang di konsumsi oleh klien, sehingga klien dapat mengetahui aturan pakai yang benar dari masing-masing obat, contohnya pemberian antikoagulan berinteraksi dengan pemberian aspirin. Informasi tambahan lainnya yaitu pembuangan obat yang telah kadaluarsa dan kapan saatnya berkonsultasi ke dokter. Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan OBAT UNTUK ANAK YANG PERLU DISEDIAKAN DI RUMAH Obat-obat yang sebaiknya disediakan di rumah, harus disesuaikan dengan seringnya anak sakit. Sebagai oarang tua harus mengetahui penyakit apa yang sering diderita anak. Penyakit yang umum seperti demam, untuk pertolongan pertama dapat diberikan obat bebas. Demam Demam merupakan gejala dari suatu penyakit yang umum. Misalnya saja cacar, campak, flu, bahkan anak tumbuh gigi umumnya didahului dengan demam. Penting bagi orang tua untuk mengetahui penyebab demam pada anak karena tidak semua gejala penyakit memerlukan obat. Pilihan untuk persediaan obat demam di rumah yang paling aman untuk anak adalah parasetamol. Berikan parasetamol pada anak sesuai dengan aturan pakai yang tercantum pada kemasan obat. Selain diberikan parasetamol, lakukan juga kompres pada anak. Lakukan kompres dengan menggunakan air hangat. Hal ini dimaksudkan agar anak tidak menggigil. Tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya. Jika anak dikompres dengan air hangat maka hipotalamus menerima sinyal bahwa suhu di sekitarnya sedang hangat dan suhu tubuh harus segera diturunkan. Bila anak memiliki riwayat kejang pada saat demam tinggi, di rumah perlu menyediakan anti kejang, yaitu diazepam dalam bentuk suppositoria yang bisa diperoleh dengan resep dokter. Bila telah diberikan penurun panas dan kompres air hangat namun suhu tubuh tidak kunjung tidak turun setelah 3 hari, maka periksakan anak ke dokter. Obat-obatan di rumah hanya sebagai pertolongan pertama. Gangguan Saluran Nafas Bila buah hati mengalami gangguan saluran nafas seperti flu maupun batuk sebaiknya pilih pengobatan yang rasional. Batuk Jangan gunakan faktor kebiasaan dalam mengobati anak karena beberapa obat batuk pilek tidak diindikasikan untuk anak di bawah usia 2 tahun. Dalam mengobati anak, diperlukan ilmu pengetahuan. Bacalah leaflet dan informasi obat di kemasan serta tanyakan pada apoteker mengenai obat yang aman bagi anak. Untuk obat pengencer dahak, boleh saja diberikan pada anak di bawah usia 5 tahun, dengan syarat anak tersebut sudah bisa mengeluarkan lendir. Jangan sampai lendir yang seharusnya dikeluarkan malah menumpuk di saluran nafas sehingga menyebabkan penyakit baru, yaitu pneumonia. Yang direkomendasikan untuk mengatasi batuk si kecil adalah minum banyak air putih. Pilek Jika hidung anak pilek atau mampet, cukup dengan pemberian NaCl 0,9% yang diteteskan atau disemprot. Sediaan NaCl 0,9% bentuk tetes atau semprot bisa didapatkan di apotek maupun toko obat. Penyakit batuk pilek pada anak umumnya disebabkan oleh virus, sehingga tidak diperlukan penggunaan antibiotik. Namun, bila penyakit tidak kunjung sembuh selama 3 hari, kemungkinan ada peradangan dan infeksi sehingga membutuhkan antibiotik. Pemilihan antibiotikpun harus dengan pertimbangan medis. Sesak Bila si kecil mengalami sesak, berikan obat gosok khusus untuk bayi yang dapat melegakan pernafasan anak. Diare Menangani diare pada si kecil, orang Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 29 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan tua perlu mengetahui penyebab diare, mengingat penyebab diare bermacam-macam. Diare dapat disebabkan karena makanan, susu, kebersihan, infeksi, dan lain-lain. Namun, apapun penyebab diare, penanganan pertama yang harus dilakukan adalah mencegah terjadinya dehidrasi supaya anak tidak kekurangan cairan dan elektrolit. Racun-racun penyebab diare harus d i ke l u a r ka n , o l e h ka re n a i t u penggunaan obat diare yang bersifat menyerap tidak dianjurkan untuk anak. Perhatikan juga kebersihan diri dan makanan yang masuk. Berikanlah anak cairan elektrolit, bisa menggunakan oralit maupun produkproduk sejenis. Anda juga dapat membuat larutan gula-garam sendiri dengan mencampurkan 1 sendok teh gula pasir, seperempat sendok teh garam dapur dan 1 gelas (200 ml) air matang. Bila anak masih diberikan ASI, tetap lanjutkan pemberian ASI. Mual-Muntah Tidak ada zat yang dapat mengobati mual-muntah pada anak. Yang harus diketahui adalah penyebab mualmuntah. Yang perlu orang tua perhatikan adalah menjaga agar anak tidak dehidrasi maupun kekurangan nutrisi. Setiap anak muntah berikan minuman hangat. Perlu orang tua perhatikan dalam Hal. 30 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 pemberian obat pada anak, perlu diperhatikan hal-hal berikut: Kemungkinan Terjadinya Interaksi Beberapa sediaan obat anak memiliki rasa yang tidak nyaman (pahit). Untuk menutupi rasa yang tidak enak ini terkadang orang tua memberikannya bersamaan dengan susu atau makanan lain. Tanyakan pada apoteker mengenai kemungkinan interaksi obatnya. Sebagai contoh tetrasilkin (antibiotik) yang diberikan bersamaan dengan susu maupun makanan yang mengandung kalsium (seperti keju) dapat mengurangi penyerapan tetrasiklin, sehingga tetrasiklin harus dimakan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Alat Pengukur Gunakanlah alat pengukur obat sesuai dengan takarannya. Jangan m e n g g u n a ka n s e n d o k m a ka n maupun sendok teh yang ada di rumah karena ukurannya tidak tepat. Ukuran yang tidak tepat akan berpengaruh pada dosis obat. Sebaiknya gunakan sendok obat. Bila obat sirup tidak dilengkapi dengan sendok obat, anda bisa menggunakan syringe yang jarumnya telah dilepas, obat yang masuk takarannya akan lebih tepat. Waktu Pemberian Obat Perhatikan juga waktu pemberian obat pada anak. Sebelum, setelah, atau bersamaan dengan waktu makan. Ada obat yang seharusnya diminum setelah makan, namun karena ketidaktahuan dan kurangnya informasi, obat tersebut dikonsumsi sebelum makan yang mengakibatkan mual pada anak. Sebaiknya tunggu setelah 15 menit setelah makan kemudian bisa diberikan obat pada anak. Sekali lagi, bacalah informasi obat dan tanyakan pada apoteker. Penyimpanan Obat Di Rumah Simpanlah obat pada suhu ruangan, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Jangan menyimpan obat dalam mobil Periksalah kondisi obat sebelum diberikan pada anak (apakah ada perubahan fisik seperti gumpalan, perubahan warna, atau berbau) Jauhkan dari jangkauan anak Saran Bagi Para Orang Tua Merupakan hal yang wajar bila anak sakit kemudian orang tua merasa cemas. Berikut beberapa saran untuk para orang tua yaitu: * Orang tua jangan panik bila buah hati sakit * Orang tua perlu mengetahui bahwa tidak semua penyakit anak membutuhkan pemberian obat. Cari tahu penyebabnya agar tindakan tepat dapat dilakukan * Lakukan penanganan pertama bila anak sakit sebelum dibawa ke dokter * Bila anak demam, namun kondisi anak masih aktif dan ceria, cukup lakukan istirahat * Berikan makanan yang bergizi dan sehat bagi anak * Dalam menghadapi anak yang susah makan, bisa saja karena anak merasa bosan dengan menu makanan dan tampilan makanan. Yang dianjurkan adalah pemberian makanan sehat dan segar. Pemberian vitamin pada anak diperbolehkan apabila memang diperlukan Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PARACETAMOL PASCA IMUNISASI Imunisasi merupakan hak anak paling dasar, terutama di Indonesia dimana terdapat berbagai macam bakteri dan virus yang siap menyerang buah hati kita. Imunisasi merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme tersebut. Karena itu, imunisasi pun menjadi santapan rutin anak Indonesia. Demikian juga konsumsi obat penurun panas untuk mencegah atau mengatasi demam yang muncul sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Pemberian parasetamol sebagai pencegah demam memang sering dilakukan oleh orangtua maupun dokter untuk mengurangi kekhawatiran orangtua terhadap timbulnya demam setelah imunisasi tersebut. Center for Disease Control and Prevention (CDC) pun m e ny e b u t ka n b a h w a h a l i n i bermanfaat terutama untuk anak yang memiliki risiko tinggi timbul kejang yang dicetuskan oleh demam tinggi. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 459 bayi di Republik Ceko dan dimuat dalam jurnal kedokteran Lancet edisi 17 Oktober 2009, menunjukkan bahwa pemberian parasetamol pada 24 jam pertama setelah imunisasi memang efektif mencegah demam tinggi pada anak. Hanya 42% anak dalam grup yang diberikan parasetamol yang mengalami demam > 38°C setelah imunisasi, dibandingkan dengan 66% pada grup yang tidak mendapatkan obat. Namun, dari penelitian tersebut juga ditemukan hubungan antara pemberian parasetamol dengan kadar antibodi spesifik dalam darah beberapa vaksin, seperti HiB, DPT, Hepatitis B, polio, dan pneumokokus. Anak yang diberikan obat tersebut memiliki kadar antibodi pelindung yang lebih rendah dibandingkan dengan pada grup yang tidak mendapatkan obat. Kadar tersebut tetap rendah secara signifikan pada grup ini walaupun telah diberikan vaksinasi booster sewaktu anak berusia 12 15 bulan. Berdasarkan 10 penelitian lain m e n g e n a i p e m b e r i a n va k s i n , ditemukan juga bukti-bukti pendukung bahwa penggunaan parasetamol untuk mencegah demam sebagai KIPI dapat menekan respon sistem imun. Namun, hal ini tidak berlaku untuk pemberian obat tersebut untuk mengatasi demam yang memang sudah timbul. Memang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai relevansi klinis penemuan ini, ujar Profesor Roman Prymula, ketua penelitian ini. Namun, ia menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian ini, “pemberian parasetamol sebagai pengobatan profilaksis (pencegahan) setelah imunisasi sebaiknya tidak d i re ko m e n d a s i ka n l a g i ta n p a menimbang dengan seksama antara keuntungan serta risikonya.” Dengan adanya penelitian ini, orangtua maupun dokter di Indonesia berpikir lebih seksama dalam memberikan parasetamol untuk mencegah demam sebagai KIPI pada anak. Sebaiknya obat tersebut hanya diberikan jika memang sudah muncul gejala demam. Orangtua pun tidak perlu khawatir karena demam merupakan tanda bahwa sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa imunisasi yang dilakukan juga efektif sehingga merupakan reaksi yang wajar. kalbe.co.id Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 31 Artikel Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PENYIMPANAN OBAT Masa penyimpanan semua jenis obat mempunyai batas waktu, karena lambat laun obat akan terurai secara kimiawi akibat pengaruh cahaya, udara dan suhu. Akhirnya khasiat obat akan berkurang. Tanda-tanda kerusakan obat kadangkala tampak dengan jelas, misalnya bila larutan bening menjadi keruh dan bila warna suatu krim berubah tidak seperti awalnya ataupun berjamur. Akan tetapi dalam proses rusaknya obat tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Bentuk dan baunya obat tidak berubah, namun kadar zat aktifnya sudah banyak berkurang, atau terurai dengan membentuk zatzat beracun. berkurangnya zat aktif hanya dapat ditetapkan dengan analisa di laboratorium. Menurut aturan nternasional, kadar obat aktif dalam suatu sediaan diperbolehkan menurun sampai maksimal 10%, lebih dari 10% dianggap terlalu banyak dan obat harus dibuang. Aturan Penyimpanan Guna memperlambat penguraian, Hal. 32 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 maka semua obat sebaiknya disimpan di tempat yang sejuk dalam wadah asli dan terlindung dari lembab dan cahaya. Dan hendaknya di suatu tempat yang tidak bisa dicapai oleh anak2, agar jangan dikira sebagai permen berhubung bentuk dan warnanya kerapkali sangat menarik. Obat-obat tertentu harus disimpan di lemari es dan persyaratan ini selalu dicantumkan pada bungkusnya, contoh insulin. Lama Penyimpanan Obat Masa penyimpanan obat tergantung dari kandungan dan cara menyimpannya. Obat yang mengandung cairan paling cepat terurainya, karena bakteri dan jamur dapat tumbuh baik di lingkungan lembab. Maka itu terutama obat tetes mata, kuping dan hidung, larutan, sirup dan salep yang mengandung air/krim sangat terbatas jangka waktu kadaluwarsanya. Pada obat-obat b i a s a nya a d a ka n d u n ga n za t pengawet, yang dapat merintangi pertumbuhan kuman dan jamur. Akan tetapi bila wadah sudah dibuka, maka zat pengawetpun tidak dapat menghindarkan rusaknya obat secara keseluruhan. Apalagi bila wadah sering dibuka-tutup. mis. dengan tetes mata, atau mungkin bersentuhan dengan bagian tubuh yang sakit, mis. pipet tetes mata, hidung atau telinga. Oleh karena itu obat hendaknya diperlakukan dengan hati-hati, yaitu setelah digunakan, wadah obat perlu ditutup kembali dengan baik, juga membersihkan pipet/sendok ukur dan mengeringkannya. Di negara-negara maju pada setiap kemasan obat harus tercantum bagaimana cara menyimpan obat dan tang gal kadaluwarsanya, diharapkan bahwa di kemudian hari persyaratan ini juga akan dijalankan di Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi, bila kemasan aslinya sudah dibuka, maka tanggal kadaluwarsa tersebut tidak berlaku lagi. Kolom Hikmah Informasi kefarmasian dan alat kesehatan PELAYAN KEABADIAN “Apa jadinya mereka kalau tidak ada aku?”, “Ah, paling nanti juga tidak akan ada banyak yang berubah dan bisa dilakukan!”, “Pasti juga hanya membual dan omong kosong, tak lebih hanya keseringan diam di tempat saja”. Tersadari dalam ucapan secara lisan dan dalam hati, maupun tanpa sadar muncul dalam umpatan kalimat itu muncul ke permukaan. Merasa diposisi yang cukup berarti dalam satu keadaan, sehingga wacana dalam jiwa merasa bangga akan dapat dengan mudah dikembangbiakkan. Merasa diri paling berarti. Dengan semena-mena dalam berkarya, dengan asal-asalan dalam menjalankan amanah dan banyak penyimpangan tindakan yang lainnya, kembali lagi karena merasa diri paling berarti. Terlebih dalam kebersamaan dengan lingkup jamaah. Di aspek yang satunya juga tidak jarang untuk kita rasakan, “saya tidak ada apa-apanya di antara mereka”, “mereka bisa bergerak meski tanpa adanya saya”, “saya tidak bisa apa-apa dan saya tidak banyak bisa diharapkan dalam kelompok ini”, “saya pilih berhenti saja”. Kalau yang di paragraf atas menunjukkan dengan garis kepercayaan dirinya atau dramatisnya disebut dengan garis kecongkakannya; sedang di sini adalah yang kurang memiliki kepercayaan diri, tidak memiliki motivasi dan rendahnya pengakuan pada diri sendiri, tidak memandang segala kekuatan yang telah dikaruniakan padanya. Menyadur kalimat yang diucapkan oleh Marie Chauvel dalam novel The Da Vinci Code tulisan Dan Brown “Selalu ada yang menunggu untuk menggantikan dan membangun kembali” inilah titik temu dan katakata simpel yang bisa mencambuk kesewenangan kita. Setidaknya mengajarkan kita akan arti kesadaran. Dalam aspek keberjamaahan dalam dakwah di sini juga bisa ditegaskan, selaku pengemban amanah kita hanyalah orang yang melaksanakan tugas. Dimana mengemban memiliki arti sebagai seorang pelayan, yang melayani tanpa harus meninggikan d i r i . M e n g h a m b a ka n s e ge n a p kepemilikan hanya pada-Nya. Karena setiap ada keengganan atas amanah yang dititipkan hakikatnya amanah itu tidak akan terlantar, pasti akan ada hamba pilihanNya yang lain menjalankannya, menuntaskan dan memparipurnakan. Karena kita hanya pengemban amanah perjuangan dalam dakwah ini, dan sangat mudah bagi Allah selaku majikan kita untuk mencari pengganti pelayanannya. Dan memang selalu ada yang menunggu untuk menggantikan dan membangun kembali. Kesadaran tinggi dituntut dalam ranah ini. Jadilah yang terbaik! Bukan berarti Allah merendahkan kita dengan martabat sebagai pelayan, namun Dia berkehendak ketawadhuan muncul di setiap hambaNya, Dia juga berkehendak setiap dari hamba yang diciptakanNya memiliki perjuangan keras dalam perlombaan kebikan sehingga bisa menggenggam satu predikat yang sudah diberikan sebagai hamba terbaikNya. Mencobalah untuk menjadi pelayan di setiap keadaan, dalam ranah peribadatan, dalam ranah kehidupan sosial bernegara, b e ro r ga n i s a s i m a u p u n d a l a m pertemanan dan segala kesempatan dan keadaan yang ada. Jangan rendah diri namun janganlah bertinggi hati. Lalu sampai kapankah kita akan berhenti menganiaya saudara kita sendiri dengan amanah yang sengaja kita tinggalkan? Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 33 Back To Nature Informasi kefarmasian dan alat kesehatan KANDUNGAN DAN MANFAAT JAMBU BIJI Mayoritas masyarakat Indonesia pasti sudah tahu dengan buah yang satu ini: Jambu biji. Bentuknya yang bulat, warna daging buahnya yang merah, dan rasanya yang manis merupakan kelebihan yang dimiliki oleh Jambu biji. Tak mengherankan kalau kemudian banyak orang yang gemar mengonsumsi Jambu biji secara konsisten karena mudah untuk mendapatkannya dan harganya juga murah. Selain bisa dimakan langsung, Jambu biji juga bisa dibuat menjadi jus yang menyegarkan dan menyehatkan. Buah yang berasal dari Amerika Tengah ini biasanya tumbuh baik di dataran rendah atau dataran tinggi. Besar buahnya sangat bervariasi mulai dari yang berdiameter 2,5 meter sampai dengan 10 cm. Untuk pohonnya sendiri memiliki ciri bercabang banyak dengan Hal. 34 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 ketinggiannya mencapai 15 meter. Sedangkan buahnya berdaging lunak dan tebal, memiliki biji yang masih sedikit, dan rasanya manis. Jambu biji memiliki banyak banyak kandungan gizi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. Kandungan Vitamin C, A, B kompleks, serat dan banyak mineral lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan vitamin C dalam Jambu biji lebih tinggi dibandingkan dengan jeruk yang mengandung 49 mg/100 gram. Dan vitamin C yang terkandung dalam Jambu biji ini lebih terkonsentrasi pada kulit dan daging buah bagian luarnya yang tebal. Biasanya kandungan vitamin C di dalam buah ini akan mencapai jumlah yang maksimal menjelang matang. Selain vitamin C, Jambu biji juga banyak mengandung serat terutama pectin yang merupakan serat yang mudah larut dalam air, yang biasanya digunakan untuk bahan pembuatan gel atau jeli. Perlu Anda ketahui bahwa manfaat serat jenis ini bagi tubuh ialah untuk menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikatnya bersamaan dengan asam empedu di dalam tubuh dan kemudian mengeluarkannya. Jambu biji rendah akan kalori dan lemak namun mengandung vitamin penting diantaranya, mineral, dan senyawa antioksidan poli-fenolik dan flavonoid yang berperan penting dalam pencegahan kanker, antipenuaan, serta meningkatkan daya tahan tubuh. Buah ini sangat kaya sumber serat larut (5,4 g per 100 g buah, sekitar 14% dari DRA), yang baik untuk memperlancar pencernaan. Serat membantu melindungi membran mukosa usus dengan mengurangi efek buruk racun serta mengikat bahan kimia penyebab kanker di usus besar. Jambu biji adalah sumber antioksidan Back To Nature Informasi kefarmasian dan alat kesehatan dan vitamin C, menyediakan lebih dari tiga kali dari kebutuhan asupan harian. Kulit Luar jambu biji mengandung tinggi vitamin C daripada bagian tengahnnya. Jambu biji kaya akan astringent yang bersifat alkali dan memiliki manfaat sebagai desinfektan dan anti bakteri, sehingga membantu penyembuhan diare atau disentri yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Lebih lanjut, nutrisi lain dalam jambu biji, seperti vitamin C, karotenoid dan kalium memperkuat dan meremajakan sistem pencernaan. Vitamin B pada jambu biji memainkan peran penting dalam kesehatan fungsi otak. Jambu biji kaya akan vitamin B3 dan B6. Vitamin B3,dikenal juga sebagai niasin yang berfungsi merangsang fungsi otak dan meningkatkan aliran darah, dan vitamin B6, juga dikenal sebagai pyridoxine, adalah nutrisi penting untuk otak dan fungsi saraf. Studi ilmiah menunjukkan bahwa konsumsi buah-buahan yang kaya vitamin C secara rutin membantu tubuh menjadi lebih kuat melawan infeksi, penyebab kanker serta radikal bebas yang berbahaya untuk tubuh. Buah jambu biji merupakan sumber Vitamin-A dan flavonoid seperti betaka ro te n , l i ko p e n , l u te i n d a n cr yptoxanthin. Senyawa yang diketahui memiliki sifat antioksidan dan sangat penting untuk kesehatan. vitamin A juga dibutuhkan untuk menjaga selaput lendir tetap sehat dan untuk kulit. Konsumsi buahbuahan alami kaya akan karoten dikenal untuk melindungi paru-paru dan kanker rongga mulut. Studi menunjukkan bahwa likopen dalam jambu biji muda dapat mencegah kerusakan kulit dari efek sinar UV dan memberikan perlindungan dari kanker prostat. Jambu biji segar sangat kaya akan kalium, bahkan lebih banyak dibandingkan dengan pisang per 100 g berat buah. Kalium merupakan komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengontrol detak jantung dan tekanan darah. Jambu biji juga merupakan sumber vitamin B kompleks seperti asam pantotenat, niasin, vitamin B6 (pyridoxine), vitamin E dan K, dan mineral seperti magnesium, tembaga, dan mangan. Mangan digunakan oleh tubuh sebagai faktor rekan untuk enzim antioksidan, superoksida dismutase. Tembaga dibutuhkan dalam produksi sel darah merah. Walaupun belum ada penelitian yang pasti mengenai manfaat jambu merah biji untuk mengobati demam berdarah ( DBD ), namun banyak yang mempercayai jambu biji merah dapat meningkatkan trombosit darah pada p e n d e r i ta n d e m a m b e rd a ra h . Kandungan vitamin dan mineral yang tinggi pada jambu biji merah dapat membantu mempercepat proses penyembuhan pada orang yang sakit tanpa menyebabkan efek samping. Sangat banyak manfaat buah jambu b i j i m e ra h u n t u k ke s e h a t a n , disamping mudah didapatkan dimana saja dan tentu saja harganya yang murah. Buah jambu biji merah dapat dikonsumsi secara langsung, atau yang paling banyak dijadikan jus. Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 35