Untitled - Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan

advertisement
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PENDAMPINGAN BAGI PELAKU USAHA JAMU RACIKAN
& USAHA JAMU GENDONG
Pada tanggal 4 s.d 6 Oktober 2013
dilaksanakan Kegiatan Pendampingan
Bagi Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR)
dan Usaha Jamu Gendong (UJG) di
Hotel Grand Aston Yogyakarta.
Pertemuan ini dihadiri oleh 100
peserta daerah yang terdiri dari 20
orang pelaku UJR UJG dari Kota
Yogyakarta, 20 orang pelaku UJR UJG
dari Kabupaten Sleman, 20 orang
pelaku UJR UJG dari Kabupaten
Bantul, 20 orang pelaku UJR UJG dari
Kabupaten Gunung Kidul, 20 orang
pelaku UJR UJG dari Kabupaten Kulon
Progo, serta dari Dinas Kesehatan
Provinsi dan DInas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Juga dihadiri oleh
peserta dari Direktorat Bina Produksi
dan Distribusi Kefarmasian. Turut
hadir pula narasumber dari Balai
Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat
Tradisional Tawangmangu, serta GP
Jamu.
Maksud dan tujuan Acara
Pendampingan Bagi Pelaku Usaha
Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu
Gendong (UJG) ini adalah untuk
meningkatkan kemampuan bagi
pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan
Usaha Jamu Gendong (UJG) dalam
penyediaan Jamu yang aman,
bermutu dan bermanfaat sehingga
penggunaan jamu dapat
meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dan meningkatkan
ekonomi rakyat.
Acara diawali dengan Laporan Ketua
Panitia yang kemudian dilanjutkan
dengan sambutan dari Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta dr.
RR. Arida Oetami, M.Kes.
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Dra. Maura Linda
Sitang gang , Apt, Ph.D dalam
sambutannya menyampaikan hal-hal
sebagai berikut:
Jamu merupakan warisan budaya
bangsa Indonesia yang telah
diwariskan secara turun temurun dan
dikembangkan dari generasi ke
generasi, sehingga menjadi produk
yang bernilai ekonomi tinggi,
memberikan berbagai manfaat dan
menjadi kebanggaan sebagai bagian
dari identitas bangsa.
Indonesia sebagai megasenter
keragaman hayati nomor dua terbesar
di dunia setelah Brazilia memiliki
potensi sumber daya hayati yang
sangat besar. Potensi pemanfaatan
sangat besar karena saat ini diketahui
terdapat sekitar 30.000 jenis tanaman
yang berpotensi berkhasiat yang di
antaranya telah digunakan oleh
industri jamu. Di era modern saat ini,
jamu memiliki dimensi yang luas.
Dengan meningkatnya
kecenderungan masyarakat global
untuk back to nature menuntut
tersedianya produk bahan alam yang
berkualitas, praktis dan sesuai dengan
pola hidup modern. Dari data
Riskedas 2010 menunjukkan bahwa
lebih dari separuh (55,3%) penduduk
Indonesia menggunakan Jamu dan 95
% nya menyatakan bahwa jamu
bermanfaat.
Usaha jamu racikan (UJR) dan usaha
jamu gendong (UJG) telah menjadi
sumber mata pencaharian bagi
banyak orang, termasuk saudarasaudari yang hadir di ruangan ini saat
ini. Yang perlu diperhatikan oleh para
pelaku UJR dan UJG adalah bagaimana
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 03
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
cara membuat jamu agar memenuhi
persyaratan kesehatan, yang aman
dikonsumsi, terutama dalam aspek
kebersihan (higene dan sanitasi)
dalam pembuatan jamu.
Melalui kegiatan ini, pelaku UJR dan
UJG diharapkan dapat menerapkan
pengolahan yang memperhatikan
kebersihan dan kesehatan serta dapat
mengetahui bahaya dari penambahan
bahan kimia obat (BKO) pada jamu.
Saat ini Pemerintah Khususnya
Kementerian Kesehatan melakukan
pembinaan terhadap usaha di bidang
obat tradisional seperti: UKOT, UMOT,
U J R d a n U J G . D a n ke g i a t a n
Pendampingan bagi pelaku UJR dan
UJG merupakan kelanjutan pilot
project dari program pembinaan yang
dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan.
Saat ini dalam rangka meningkatkan
pemanfaatan jamu di Indonesia
Pemerintah telah merumuskan
kebijakan dalam rangka pembinaan
industri dan usaha di bidang obat
tradisional. Dalam kaitan ini,
pembinaan terhadap UJR dan UJG
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan diharapkan GP
Hal.04 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
Jamu juga dapat mendukung
pengembangkan UJR dan UJG ini
untuk mendorong ekonomi
masyarakat.
Materi yang dibahas.oleh para
n a ra s u m b e r d a l a m a c a ra i n i
diantaranya adalah:
Pengenalan Simplisia Sebagai Bahan
Baku Jamu/Obat Tradisional, yang
dipaparkan oleh Ir. Yuli Widiyastuti,
MS dari Balai Besar Litbang Tanaman
Obat dan Obat Tradisional
Bahaya Bahan Kimia Obat (BKO)
Dalam Obat Tradisional (Jamu), yang
dipaparkan oleh dr. Danang Ardiyanto
dari Balai Besar Litbang Tanaman
Obat dan Obat Tradisional.
Pembuatan Jamu Yang Baik, yang
dipaparkan oleh Kasubdit Produksi
dan Distribusi Obat dan Obat
Tradisional Dra. Nadirah Rahim, Apt,
M.Kes.
Aspek Pengembangan Usaha Jamu
Gendong dan Usaha Jamu Racikan,
yang dipaparkan oleh Ketua GP Jamu
DR. Charles Saerang.
Rangkuman Kegiatan Pendampingan
Bagi Pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR)
dan Usaha Jamu Gendong (UJG)
sebagai berikut:
a . Pe m e r i n t a h ( K e m e n t e r i a n
Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) dan
GP Jamu diharapkan dapat bekerja
sama dalam melakukan pembinaan
UJR dan UJG.
b. Kegiatan Pendampingan Bagi Pelaku
Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha
Jamu Gendong (UJG) ini sangat
bermanfaat dalam upaya
meningkatkan keamanan, mutu dan
kemanfaatan jamu dengan
menerapkan pengolahan yang
memperhatikan kebersihan dan
kesehatan serta tidak menambahkan
bahan yang dilarang.
c. Sebagai upaya tindak lanjut dari
kegiatan ini, GP Jamu melalui ketuanya
DR. Charles Saerang memfasilitasi
para pelaku usaha jamu gendong dan
usaha jamu racikan untuk datang ke
pusat pengolahan tanaman obat dan
jamu di Ungaran, Jawa Tengah. Disana
para pelaku usaha jamu gendong dan
usaha jamu racikan akan mempelajari
proses pengolahan jamu yang baik
dan higienis, proses pengemasan
jamu yang rapi dan menarik, serta
pengelolaan tanaman obat tradisional
yang baik.
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PAMERAN INDUSTRI KOSMETIKA DAN OBAT TRADISIONAL
Perkembangan produk kosmetik dan
obat tradisional di Indonesia hingga
saat ini terus memberikan kontribusi
yang cukup signifikan baik dari sisi
kapasitas produksi, omzet penjualan,
variasi produk, perolehan devisa
maupun penyerapan tenaga kerja,
s e h i n g ga ko s m e t i k d a n o b a t
tradisional dapat dijadikan sebagai
industri andalan yang mampu
menggerakkan roda perekonomian
nasional. Hal tersebut disampaikan
M e nte r i Pe r i n d u st r i a n d a l a m
sambutannya yang dibacakan oleh
Dirjen Basis Industri Manufaktur
(BIM) Ir. Benny Wachjudi, MBA pada
pembukaan Pameran Industri
Kosmetik dan Obat Tradisional di
Plasa Pameran Industri, Kementerian
Perindustrian, Selasa 3 September
2013.
Pameran yang diselenggarakan
selama empat hari mulai tanggal 3 - 6
September 2013 dan diikuti sebanyak
47 perusahaan, terdiri dari 35
perusahaan kosmetik dan 12
perusahaan obat tradisional. Selain
itu, 5 instansi pemerintah yang juga
ikut berpartisipasi, antara lain
Kementerian Kesehatan, Badan POM,
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Balai
Besar Industri Agro, dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Sumatra Utara.
Para peserta pameran merupakan
pelaku industri kosmetik dan obat
tradisional yang telah mendapatkan
Sertifikasi dan menerapkan Good
Manufacturing Practice atau Cara
Pembuatan Kosmetik yang Baik
(CPKB) dan Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang baik (CPOTB) dari
Badan POM, bahkan beberapa
diantaranya mampu mengekspor
produknya keluar negeri.
Selain menampilkan berbagai produk
kosmetik dan obat tradisonal,
pameran juga diisi dengan berbagai
kegiatan seperti konsultasi kesehatan,
demo tata rias, perawatan tubuh, dan
kursus kecantikan pribadi (beauty
class) secara gratis oleh PT. Martina
Berto, Tbk., PT. Mustika Ratu, dan PT.
Paragon Technology and Innovation
(Wardah Cosmetic).
Pameran tersebut diharapkan dapat
mempromosikan industri kosmetik
dan obat tradisional dalam negeri
yang telah mampu memproduksi
dengan kualitas baik sesuai standar
Good Manufacturing Practice. Selain
itu, dapat mendorong penggunaan
atau pemakaian produk dalam negeri
sehingga produk kosmetik dan obat
tradisional menjadi tuan rumah di
negeri sendiri.
Dapat disampaikan, pada tahun 2012,
industri kosmetik mencatatkan
prestasi yang menggembirakan baik
dari segi omzet, nilai ekspor maupun
penyerapan tenaga kerja. Nilai ekspor
tahun 2012 mencapai Rp. 9 triliun
dibandingkan pada tahun 2011
sekitar Rp. 3 triliun. Sementara itu,
dari segi omzet juga mengalami
peningkatan, pada tahun 2013
diperkirakan mencapai Rp. 11,2
triliun atau tumbuh 15% dari tahun
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 05
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
2012 yang mencapai Rp. 9,7 triliun.
Sedangkan dari segi tenaga kerja,
Indonesia memiliki 760 industri
kosmetika yang tersebar di berbagai
wilayah dengan menyerap tenaga
kerja sebanyak 75.000 orang secara
langsung dan 600.000 orang di bidang
pemasaran.
Sama halnya dengan industri
kosmetika nasional, industri obat
tradisional juga mencatatkan prestasi
yang cukup menggembirakan. Hal
tersebut terlihat dari omzet yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2006, omzet obat tradisional
sekitar Rp. 5 triliun dan meningkat
pada tahun 2011 yang mencapai Rp.
11 Trilyun. Hingga akhir tahun 2012,
omzet obat tradisional sebesar Rp. 13
triliun dan pada tahun 2015
diperkirakan mencapai Rp. 20 triliun
dengan nilai ekspor mencapai Rp. 16
triliun. Saat ini, terdapat 79 Industri
Obat Tradisional (IOT) serta 1380
Usaha Menengah Obat Tradisional
(UMOT) dan Usaha Kecil Obat
Tradisional (UKOT) yang tersebar di
berbagai wilayah di Indonesia
terutama di Pulau Jawa dengan
menyerap ratusan ribu tenaga kerja.
Hal.06 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
Dirjen BIM mengatakan, selain untuk
memenuhi kebutuhan nasional,
produk kosmetik dan obat tradisional
juga telah diekspor dan mampu
menembus pasar internasional
seperti kawasan ASEAN, Jepang,
jazirah Arab, Uni Eropa, Amerika
Serikat, dan beberapa negara di
Afrika. Namun, industri kosmetik
dalam negeri cukup mendapat
tantangan dengan membanjirnya
produk kosmetik impor di pasar
domestik. Naiknya nilai impor
disebabkan oleh perdagangan bebas
antara negara-negara ASEAN sebagai
dampak harmonisasi tarif, importir
kosmetik yang melihat Indonesia
sebagai pasar potensial, dan
importasi kosmetik yang tidak
diproduksi di Indonesia dari PMA
(Multi National Company/MNC).
Dirjen BIM juga mengharapkan,
industri kosmetik dan obat tradisional
terus memanfaatkan secara optimal
potensi bahan baku herbal yang
melimpah di dalam negeri, karena
akan menjadi peluang usaha untuk
meningkatkan daya saing produk
nasional. ”Industri kosmetik dan obat
tradisional harus mampu bersaing
dengan produk impor yang memasuki
pasar domestik,” tegas Benny. Dengan
berbagai tantangan yang dihadapi
tersebut, Kemenperin akan terus
berupaya menciptakan iklim usaha
yang kondusif agar dunia usaha tetap
bergairah melakukan investasinya di
Indonesia, serta memiliki daya saing
yang tinggi sehingga industri kosmetik
dan obat tradisional menjadi tuan
rumah di negeri sendiri.
Kegiatan ini juga di hadiri oleh Ketua
PPA Kosmetik Indonesia Putri K.
Wardani, yang menilai pasar kosmetik
dalam negeri masih cukup baik
meskipun kinerja industri kosmetik
pada awal tahun 2013 sedang
mengalami stagnasi karena pasar
kosmetik dalam negeri saat ini masih
di banjiri sekitar 20% produk illegal
yang mengandung bahan berbahaya,
baik yang dijual melalui outlet-outlet
konvensional maupun
internet/online.
Turut hadir pula dalam acara ini Puteri
Indonesia Lingkungan 2013 Marisa
Sartika Maladewi dan Runner-up I
Miss Indonesia 2013 Jovita Dwijayanti
yang mempromosikan produk terbaik
kosmetika dan obat tradisional khas
Indonesia.
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
HARI HEPATITIS SE-DUNIA 2013
Pada tanggal 8 September 2013
Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah
Mboi, Sp.A., MPH, hadir dalam acara
puncak peringatan Hari Hepatitis
Sedunia yang ke-4, dengan tema
“Saatnya Peduli Hepatitis : ketahui,
cegah dan obati”, di Monas Jakarta.
Tema yang di usung pada Hari
Hepatitis Sedunia ini, mengandung
makna bahwa Hepatitis virus perlu
mendapat perhatian lebih. Sudah
saatnya semua pihak peduli dan
memberi dukungan yang nyata dalam
penanggulangan Hepatitis.
Keberhasilan Pengendalian virus
Hepatitis sangat ditentukan oleh
dukungan semua pihak, termasuk
dukungan jajaran lintas sektor
Pemerintah Pusat dan Daerah,
organisasi profesi, organisasi
kemasyarakatan, serta dukungan
seluruh lapisan masyarakat.
Tujuan acara puncak peringatan Hari
Hepatitis Sedunia 2013 yaitu untuk
meningkatkan kepedulian dan
perhatian kita, mengenai pentingnya
pengendalian Hepatitis virus dalam
rangka peningkatan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia.
Penyakit Hepatitis merupakan
masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang termasuk di
Indonesia. Saat ini hepatitis yang kita
kenal adalah hepatitis A, B, C, D dan E.
Yang paling banyak dan berpengaruh
terhadap morbiditas, mortalitas serta
ekonomi yaitu virus hepatitis A,B dan
C.
Terdapat 2 cara penularan virus
hepatitis. Pertama, virus yang
ditularkan secara fekaloral yaitu virus
hepatitis A, E, yang sering muncul
sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB),
namun penderita yang terserang
dapat sembuh. Kedua, virus yang
ditularkan secara parenteral yaitu B,
C dan D. Dimana hepatitis B dan C,
dapat menjadi kronis dan
menyebabkan kanker hati, sedangkan
hepatitis D akan mengenai mereka
yang menderita hepatitis B.
“Menurut WHO, dalam A Strategy for
Global Action, tahun 2012, virus
hepatitis B telah menginfeksi 2 milyar
orang di dunia, lebih dari 350 juta
orang diantaranya merupakan
pengidap virus hepatitis B kronis, 150
juta penderita hepatitis C kronis, 350
ribu diantaranya meninggal karena
hepatitis C setiap tahunnya, antara
850.000-1,05 juta penduduk didunia
meninggal dunia setiap tahun yang
disebabkan oleh infeksi hepatitis B
dan C”, jelas Menkes.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2007,
Indonesia tergolong negara dengan
e n d e m i s i ta s t i n g g i , s e h i n g ga
Indonesia merupakan negara dengan
pengidap hepatitis terbesar nomor 2
diantara negaranegara SEARO.
Diperkirakan 9 diantara 100 orang
Indonesia terinfeksi Hepatitis B.
Estimasi penderita Hepatitis B dan C
diperkirakan 25 juta, 50 persennya
(12.500.000) diperkirakan akan
menjadi chronic liver disease, dan 10
persennya menjadi liver fibrosis dan
kemudian akan menjadi liver cancer
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 07
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
(1,25 juta).
Menyadari bahwa hepatitis virus
adalah penyakit yang mempunyai
d a m p a k t e r h a d a p ke s e h a t a n
masyarakat secara serius, dan diderita
oleh banyak orang maka Indonesia
bersama dengan Colombia dan Brazil
pada sidang WHA tahun 2010
berinisiatif dan mengusulkan agar
dilakukan pembahasan tentang
hepatitis virus, sehingga keluarlah
resolusi WHA 63,18 tentang hepatitis
virus tersebut, yang menyerukan
kepada masyarakat anggota WHO
bahwa hepatitis virus adalah
merupakan salah satu masalah
kesehatan prioritas, sehingga para
anggota WHO agar melaksanakan
pencegahan dan penanggulangan
hepatitis virus secara komprehensif,
dan menetapkan Hari Hepatitis
Sedunia pada tanggal 28 Juli, untuk
diperingati dan dimanfaatkan sebagai
upaya untuk peningkatan kepedulian
Hal.08 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
dan dukungan terhadap hepatitis.
Hepatitis merupakan masalah
kesehatan dunia, termasuk
Indonesia. Untuk itu saya himbau
pada kesempatan yang baik ini, agar
kita secara bersamasama bahu
membahu berupaya dalam
pengendalian hepatitis secara serius
melalui “Gerakan Pemerintah
Bersama Masyarakat”.
Upaya pemerintah terhadap
pengendalian hepatitis sudah
dilakukan melalui imunisasi hepatitis
pada bayi, skrining darah donor.
Kementerian Kesehatan terus
berupaya untuk melakukan
pengembangan program
pengendalian hepatitis agar
permasalahan dapat diatasi.
Menkes berpesan kepada jajaran
kesehatan untuk terus melakukan
kampanye guna meningkatkan
p e n geta h u a n d a n ke p e d u l i a n
masyarakat tentang hepatitis serta
terus melakukan kolaborasi dan
integrasi program dengan penyakit
lainnya. Kemudian melakukan
upayaupaya pencegahan secara
komprehensif, antara lain Program
Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat(PHBS).
Selanjutnya melakukan skrining pada
ibu hamil terintegrasi dengan
program pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak. Setiap orang yang
melakukan konseling dan tes HIV
yaitu perlu juga melakukan
pemeriksaan hepatitis. Lebih lanjut
Menkes berpesan agar jajaran
kesehatan terus melakukan Skrining
Hepatitis pada petugas kesehatan,
lindungi petugas kesehatan dari
penularan hepatitis ini. Perlu juga
melakukan surveilans penyakit
sehingga kita mempunyai data yang
baik, dan tahu situasi penyebaran
penyakit dan besaran masalah
hepatitis.
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
MoU PENELITIAN & PENGEMBANGAN BAHAN BAKU OBAT
DAN BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL
Pada tanggal 9 September 2013 di
Hotel Puri Denpasar, Jakarta, telah
disepakati Memorandum of
Understanding (MoU) dan Perjanjian
Kerja Sama (PKS) antara Kementerian
Kesehatan dengan Perguruan Tinggi
BPPT LIPI tentang Penelitian dan
Pengembangan Bahan Baku Obat dan
Bahan Baku Obat Tradisional.
MoU ini disusun sebagai salah satu
upaya pengembangan bahan baku
obat dalam negeri melalui penelitian
di bidang bahan baku obat yang
berorientasi pada kebutuhan;
peningkatan kemampuan Iptek; serta
peningkatan produksi bahan kimia
sederhana dan bioteknologi.
Adapun tahapan yang telah dilakukan
pada penyusunan MoU dan PKS ini
adalah dimulai dari pembentukan tim
reviewer, edaran proposal kegiatan ke
perguruan tinggi negeri, dan lembaga
riset/penelitian, inventarisasi dan
penilaian proposal penelitian yang
masuk oleh tim reviewer, penyusunan
dan pembahasan draft MoU,
konsultasi dengan LKPP dan Biro
Keuangan dalam memutuskan proses
pelaksanaan swakelola, kemudian
circulating draft MoU dan PKS.
Dari hasil penilaian yang dilakukan
oleh Tim Reviewer maka diputuskan
13 proposal yang layak untuk
difasilitasi yang berasal dari beberapa
perguruan tinggi dan institusi yaitu
Universitas Hasanuddin, Universitas
Airlangga, Universitas Sumatera
Utara, Universitas Gajah Mada,
U n i ve rs i ta s A n d a l a s , I n st i t u t
Teknologi Bandung, BPPT, dan LIPI
D a la m s a m b u ta n nya D i re kt u r
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Ke s e h ata n D ra . M a u ra L i n d a
Sitanggang, Apt, Ph.D menyampaikan
bahwa Kementerian Kesehatan saat
ini sangat mendorong
pengembangan industri bahan baku
obat di dalam negeri, sebagai upaya
kemandirian di bidang bahan baku
obat, antara lain melalui
pemanfaatan keanekaragaman
hayati. Sebagaimana kita ketahui
bahwa Industri Bahan Baku Obat
yang ada di Indonesia saat ini masih
sangat terbatas baik dalam jumlah,
jenis maupun kemampuan
produksinya.
Untuk itu perlu
dilakukan berbagai upaya untuk
mengembangkan BBO di Indonesia.
Guna mendorong tercapainya
kemandirian bahan baku obat, saat
ini telah dikembangkan 5 strategi,
yaitu:
1) Mengembangkan kebijakan yang
berpihak pada pengembangan bahan
baku obat;
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 09
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
2 ) M e n i n g kat ka n s i n e rg i s i ta s
Akademisi Pemerintah Dunia Usaha;
3) Memperkuat riset bahan baku obat
yang berorientasi pada kebutuhan;
4) Meningkatkan kemampuan IPTEK;
dan
5) Meningkatkan produksi bahan
kimia sederhana, pemanfaatan
sumber daya alam, dan bioteknologi.
Pelaksanaan kelima strategi ini secara
bersama oleh para pemangku
kepentingan di bidang kefarmasian
diyakini akan mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap
bahan baku obat impor.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan yang mempunyai
tugas untuk melaksanakan
pengembangan kemandirian di
bidang obat dan bahan baku obat,
tidak bisa sendiri dalam mencapai
strategi tersebut, namun diperlukan
kerjasama berbagai pihak diantaranya
Hal.10 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
perguruan tinggi maupun lembaga
riset/penelitian.
Perguruan Tinggi sebagai salah satu
institusi yang bergerak di bidang
pendidikan berbasis ilmu
pengetahuan kiranya dapat
melakukan berbagai upaya terkait
pengembangan BBO baik sintetis
maupun BBOT. Lembaga penelitian
baik B P PT m a u p u n L I P I j u ga
memberikan kontribusi yang amat
penting terkait penelitian bidang BBO
dan BBOT agar di kemudian hari
Indonesia siap bahkan dapat mandiri
di bidang BBO dan BBOT.
Diharapkan MoU dan PKS ini menjadi
langkah awal dalam mengembangkan
kemandirian obat dan bahan baku
obat di Indonesia. Melalui upaya
fasilitasi proses dan pengembangan
kemandirian bahan baku obat pada
tahun 2013 ini akan dihasilkan 24 BBO
dan BBOT yang siap diproduksi di
Indonesia, dan dapat dimanfaatkan
oleh produsen obat di Indonesia
bahkan diekspor ke manca negara.
Dengan kemampuan Indonesia untuk
memproduksi BBO dan BBOT di masa
mendatang, maka ketersediaan obat
akan lebih terjamin sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan. Selain itu juga merupakan
jaminan terhadap ketahanan obat
dan tidak tergantung pada negara
lain.
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PEMBINAAN DAN ADVOKASI PUSAT PENGOLAHAN PASCA PANEN
TANAMAN OBAT DI KOTA PEKALONGAN
Pada tanggal 19 s.d 21 September
2 0 1 3 d i l a ks a n a ka n ke g i ata n
Pembinaan dan Advokasi Pusat
Pengolahan Pasca Panen Tanaman
Obat (P4TO) Kota Pekalongan, Jawa
Tengah. Pertemuan pada hari
pertama dilaksanakan di fasilitas
P4TO Kota Pekalongan di Kebun Bibit
Kertaharjo Jalan Raya Simbang
Wetan, Pekalongan Selatan. Acara
dibuka dengan sambutan dari Kepala
Dinas Kesehatan Kota Pekalongan dan
Kasubdit Kemandirian Obat dan
Bahan Baku Obat, Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alkes.
Pada kegiatan hari pertama ini
peserta pertemuan yang merupakan
pengelola fasilitas P4TO Kota
Pekalongan (terdiri atas 4 Apoteker, 3
tenaga teknis kefarmasian, 2 tenaga
teknik mesin, dan 2 orang laboran)
dibekali pengetahuan teknis
mengenai alur proses pengolahan
tanaman obat di fasilitas P4TO Kota
Pekalongan oleh narasumber yaitu
Direktur Pusat Teknologi Farmasi dan
Medika BPPT. Pembekalan yang
diberikan kepada peserta meliputi
alur proses pengolahan dimulai dari
tahap penimbangan, sortasi kering,
pencucian, pengeringan
(menggunakan sistem tray),
pengirisan dan pencacahan,
pengeringan menggunakan
multipurpose dryer, pengeringan
menggunakan oven, penimbangan
akhir, pengemasan dan labelisasi.
Peserta pengelola juga diberikan
pelatihan singkat mengenai
penggunaan peralatan laboratorium
mulai dari lemari asam, peralatan
quality control, pengukur pH,
peralatan gelas laboratorium, dan
lainnya.
Peserta diberikan pemahaman
mengenai faktor kritis (critical point)
dari setiap langkah proses dan
perlakuan apa saja yang harus
dilaksanakan dalam rangka menjaga
kualitas dari produk simplisia yang
dihasilkan berdasarkan setiap tahap
proses.
Peserta pengelola juga diberikan
pemahaman terkait penggunaan
peralatan dan mesin yang akan
digunakan dalam setiap tahapan
pengolahan tanaman obat di fasilitas
P4TO.
Selain pelatihan dan pembekalan
tersebut diatas, peserta pengelola
juga diberikan gambaran singkat
mengenai pengelolaan fasilitas Pusat
Ekstrak Daerah (PED) yang
direncanakan akan difasilitasi oleh
Kementerian Kesehatan pada tahun
2013.
Pertemuan pembinaan dan pelatihan
hari kedua dilaksanakan di ruang
pertemuan. Pertemuan dibuka
melalui sambutan Direktur Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian,
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes
serta sambutan selamat datang dari
Kepala Dinas Kesehatan Kota
Pekalongan.
Direktur Bina Produksi dan Distribusi
Kefarmasian dalam sambutannya
menyampaikan tentang harapan
terkait pertemuan pembinaan dan
advokasi P4TO Kota Pekalongan
diharapkan dapat menjadi suatu
momentum awal dalam rangka
mengembangan bahan baku obat
tradisional di Kota Pekalongan.
Fasilitas produksi yang baik ialah
fasilitas yang dapat memenuhi
persyaratan dan standar termasuk
cara pembuatan obat tradisional yang
baik.
Kepala Dinas Kesehatan Kota
Pekalongan dalam sambutannya
menyampaikan harapan terkait ilmu
dan pengetahuan baik teoritis
maupun praktik dalam rangka
operasionalisasi P4TO dan PED ke
depannya. Untuk P4TO peralatan
sudah terinstal dengan baik pada
fasilitas P4TO yang telah didirikan
tahun 2013 awal, dan fasilitas gedung
PED direncanakan akan selesai pada
bulan November 2013. Fasilitas P4TO
Kota Pekalongan direncanakan akan
di-launching pada 2 Oktober 2013.
Para SDM P4TO untuk sementara
terdiri atas 10 orang 4 Apoteker dan 6
tenaga teknis. Para SDM tersebut
telah mengikuti kegiatan magang di
B 2 P 2 T O O T Ta w a n g m a n g u .
Diharapkan pembinaan terkaik
dengan P4TO dan PED seperti ini
dapat dilaksanakan dengan kontinyu
dan sinergis antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah di provinsi dan
pemerintah daerah di tingkat Kota
Pekalongan.
Kasubdit Kemandirian Obat dan
Bahan Baku Obat menyampaikan
mengenai Kebijakan dan Program
Pengembangan P4TO dan PED Untuk
Mendukung Kemandirian Bahan Baku
Obat.
Dalam paparannya
diantaranya disampaikan bahwa
pasar obat tradisional di Indonesia
tah u n ke tah u n men galami
pertumbuhan dan diperkirakan
mencapai angka 20 trilyun rupiah di
tahun 2015. Dilihat dari potensi pasar
ini, terlihat bahwa jamu dan obat
tradisional sangat penting untuk
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 11
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
dikembangkan.
Urgensi untuk pengembangan BBOT
ini mutlak dilaksanakan karena
memang kebutuhan obat tradisional
dalam negeri sangat besar. Konsumsi
obat tradisional di Indonesia sangat
tinggi sayangnya serbuan obat herbal
asing juga tinggi.
Kedepannya diharapkan P4TO ini
dapat terus berkembang menjadi PED
sehingga nilai tambah dari obat
tradisional di Indonesia dapat terus
meningkat. Lainnya ialah bahwa
kemandirian bahan baku obat
tradisional di Indonesia dapat
tercapai dengan baik.
Nara sumber berikutnya Prof. L. Broto
S. Kardono, PhD. (LIPI) menyampaikan
mengenai Pemilihan Tumbuhan
Untuk Pengembangan Jamu dan
Fitofarmaka. Dalam paparannya
diantaranya disampaikan bahwa
pengembangan produk sangat
penting. Mulai dari jamu kecantikan,
pelangsing, energy drink, sport drink,
dan sebagainya. Oleh karena itu
Hal.12 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
seyogyanya produksi P4TO dan PED
harus berorientasi pada
pengembangan produk sehingga nilai
tambah produk juga meningkat.
Pengembangan bahan baku obat
tradisional harus didasari oleh
keilmuan yang baik. Basis keilmuan ini
sangat penting karena proses
pengembangan dan produksi produk
itu harus berbasis penggunaan oleh
konsumen secara skala ekonomis.
Pemilihan tumbuhan untuk
dikembangkan juga sangat penting
karena selain terkait keamanan,
kemanfaatan, dan mutu juga terkait
d e n ga n n i l a i e ko n o m i s d a n
farmakologisnya.
Standarisasi bahan baku dan sediaan
jadi sangat penting karena akan
menentukan efek farmakologis dari
produk. Nilai tambah produk juga
akan sangat terpengaruh atas
standarisasi ini.
Sedangkan Sri Pujiraharti (LIPI) dalam
paparan Pengolahan Pasca Panen
Tanaman Obat. Dalam paparannya
diantaranya disampaikan bahwa
peningkatan kualitas bahan simplisia
sangat penting dalam pengolahan
pasca panen tanaman obat.
Penjagaan kualitas simplisia termasuk
bagaimana penyimpanan serta
peningkatan nilai jual simplisia sangat
penting.
Tahapan dalam pengolahan pasca
p a n e n ya n g d i l a ku ka n h a r u s
disesuaikan dengan monografi
tanaman obat yang akan diolah. Oleh
karena itu, pustaka terkait bahan
yang akan diolah sangat penting
untuk dimiliki oleh fasilitas P4TO.
Nara sumber berikutnya Tjandrawati
Mozef (LIPI) menyampaikan
mengenai Quality Control Produk
Obat Tradisional. Dalam paparannya
diantaranya disampaikan bahwa
kontrol mutu mutlak diperlukan
karena terdapat variasi kualitas dan
mutu yang dapat mempengaruhi
mutu dan kualitas produk akhir.
Hal penting dari kontrol kualitas ialah
standarisasi proses mulai dari
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
pemrosesan manual sampai
p e n g g u n a a n p e ra l ata n / m e s i n .
Parameter-parameter uji kontrol
kualitas harus ditetapkan sesuai
dengan tumbuhan.
Mutu dan kualitas produk akan sangat
dipengaruhi atas proses pengolahan
sehingga perlu ditetapkan prosedur
tetap (protap/SOP) yang tervalidasi
sehingga setiap tahapan termasuk
parameter uji dapat terkontrol
dengan baik. Seluruh parameter baik
parameter spesifik maupun nonspesifik harus dapat dideterminasi
dengan baik.
Keseluruhan proses pada intinya akan
sangat berpengaruh terhadap nilai
tambah produk. Simplisia yang
kualitasnya dapat ditetapkan dengan
baik akan sangat mempengaruhi
kualitas ekstrak, dan kualitas ekstrak
yang dapat diterapkan dengan baik
akan mempengaruhi produk herbal
yang dihasilkan. Keseluruhnya
merupakan siklus yang dijalankan
dengan simultan.
Sementara itu, Kepala Balai Besar
POM di Semarang Dra. Haryati, Apt.
menyampaikan mengenai
Pemenuhan CPOTB Bagi Usaha di
Bidang Obat Tradisional. Dalam
paparannya diantaranya disampaikan
bahwa CPOTB pada dasarnya
ditujukan agar produk yang dihasilkan
oleh industri obat tradisional dapat
m e m i l i k i m u t u , k h a s i at , d a n
kemanfaatkan yang dapat dibuktikan
secara baik.
Beberapa aspek-aspek CPOTB antara
lain sanitasi dan higiene seringkali
menjadi permasalahan pada
pemrosesan simplisia maupun
e kst ra k d i U KOT d a n U M OT.
Persyaratan dan standar tersebut
harus dapat ditangani dengan baik
melalui protap/SOP dan sistem.
CPOTB sendiri memiliki 11 aspek yang
seyogyanya harus diupayakan untuk
dipenuhi di fasilitas produksi obat
tradisional. Pembinaan dan pelatihan
berkelanjutan merupakan salah satu
cara agar fasilitas produksi dapat
menerapkan CPOTB dengan baik.
Beberapa kendala dalam penerapan
CPOTB ialah bagaimana fasilitas
produksi masih minim tenaga teknis
kefarmasian yaitu Apoteker dan
tenaga teknis kefarmasian. Selain itu,
bangu n an d an fasilitas serta
dokumentasi masih menjadi
permasalahan penerapan CPOTB.
Beberapa hal ini menyebabkan proses
produksi tidak dapat dikontrol dengan
baik dan berakibat produk yang
dihasilkan belum dapat memiliki mutu
dan kualitas yang terstandar secara
kontinyu.
Nara sumber Ir. Bambang Srijanto
(BPPT) menyampaikan mengenai
Teknologi Ekstraksi Tanaman Obat.
Dalam paparannya diantaranya
disampaikan bahwa evaluasi obat
tradisional dan obat herbal harus
dilaksanakan untuk dapat
membuktikan suatu khasiat dari
produk ketika dipakai oleh konsumen.
Peningkatan kebutuhan obat herbal
mutlak didukung oleh standarisasi
bahan awal dan produk herbal.
B e b e ra p a p ro d u k ya n g te l a h
dikembangkan seperti obat herbal
terstandar akan memiliki nilai tambah
yang lebih tinggi. Teknologi ekstraksi
pada dasarnya diterapkan
berdasarkan monografi dan sifat
fitologi dari tanaman dan bahan itu
sendiri serta hasil atau produk yang
ditargetkan untuk disari dari tanaman.
Sistem dan metode ekstraksi tanaman
obat akan sangat beragam dan harus
tervalidasi di setiap metodenya.
Kegiatan ini selanjutnya ditutup oleh
Kasubdit Kemandirian Obat dan
Bahan Baku Obat, Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alkes.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 13
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PELANTIKAN ESELON II KEMENTERIAN KESEHATAN
Pada tanggal 30 September 2013
Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah
Mboi, Sp.A, MPH melantik 40 pejabat
eselon II di Ruang Leimena
Kementerian Kesehatan yaitu;
Pejabat eselon II yang dilantik di
lingkungan Sekretariat Jenderal
Kemenkes RI adalah Wiwik Widarti,
SKM, MM sebagai Kepala Biro
Keuangan dan Barang Milik Negara;
dr. Trisna Wahjuni Putri, M.Kes
sebagai Kepala Pusat Intelegensia
Kesehatan.
Pejabat yang dilantik dari lingkungan
Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan (Ditjen BUK) yaitu; dr. Eka
Viora, Sp.KJ sebagai Direktur Bina
K e s e h a t a n J i w a , d r. D e d d y
Tedjasukmana Basuni, Sp.RM sebagai
Direktur Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan; drg. Rini
Sunaring Putri, M.Kes sebagai
Direktur SDM dan Pendidikan RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta; Dr. dr. H.M.
Alsen Arlan, Sp.B.KBD sebagai
Hal.14 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
Direktur Medik dan Keperawatan
R S U P D r. M o h a m a d H o e s i n
Palembang; Drs. Amrizal, Apt., MM,
M.Kes sebagai Direktur Umum, SDM
dan Pendidikan RSUP Dr. Mohamad
Hoesin Palembang; dr. Irayanti, Sp.M
sebagai Direktur Utama RSUP Dr. M.
Djamil Padang; drg. Rahmadsyah
Mansur, M.Kes sebagai Direktur
Umum SDM dan Pendidikan RSUP Dr.
M. Djamil Padang; Dr. dr. Nucki
Nurjamsi Hidayat, Sp.OT(K), M.Kes
sebagai Direktur SDM dan Pendiidkan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dr.
dr. Agus Hadian Rahim, Sp.OT(K),
M.Epid, MH.Kes sebagai Direktur
Utama Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr.
Soeharso Surakarta; dr. Sri Catur
Murniningsih sebagai Direktur
Keuangan Rumah Sakit Ortopedi Prof.
Dr. Soeharso Surakarta; Yulis Quarti,
SE, Akt, M.Si sebagai Direktur
Ke u a n ga n R S U P D r. S o e ra d j i
Tirtonegoro Klaten;
Selanjutnya, dr. Anak Ayu Sri
Saraswati, M.Kes sebagai Direktur
Utama RSUP Sanglah Denpasar; Ni
Ketut Rupini, SH, MARS sebagai
Direktur Keuangan RSUP Sanglah
Denpasar; dr. Maxi Rein Rondonuwu,
DHSM, MARS sebagai Direktur Utama
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado;
Dr. dr. Hj. Fatmawati, MPH sebagai
Direktur Pengkajian Penyakit Infeksi
dan Penyakit Menular RS Penyakit
Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso
Jakarta; Erwin Susanto, SE sebagai
Direktur Keuangan dan Administrasi
Umum RS Penyakit Infeksi Prof.
Dr.Sulianti Saroso Jakarta; Suripto, SE,
MARS sebagai Direktur Keuangan
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar; dr. Susy Himawaty, MARS
s e b a ga i D i re k t u r U m u m d a n
Operasional RS Kanker Dharmais
Jakarta; dr. Bambang Dwipoyono,
Sp.OG, MS sebagai Direktur Medik
d a n Ke p e ra w a t a n RS Ka n ke r
Dharmais Jakarta; dr. Darwito, SH.,
Sp.B(K).Onk sebagai Direktur Umum
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
dan Operasional RSUP Dr. Kariadi
Semarang; dr. Mardianto, Sp.PD
sebagai Direktur Medik dan
Keperawatan RSUP H. Adam Malik
Medan; dr. Elzarita Arbain, M.Kes
sebagai Direktur Utama RS Paru Dr. H.
A. Rotinsulu Bandung; dr. I Gusti
Lanang Suartana Putra, MM sebagai
Direktur Umum dan Operasional
RSUP Sanglah Denpasar; dr. Ali
Muchtar, Sp.PK, MARS sebagai Kepala
Balai Besar Laboratorium Kesehatan
Jakarta; dr. Endriana Soeryat, Sp.PK
sebagai Kepala Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Surabaya; dr.
Hj. Nelly Windarti Rachman, MARS
sebagai Kepala Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Palembang;
dr. H. Abidin, MPH sebagai Kepala
Balai Besar Laboratorium Kesehatan
Makassar.
Di lingkungan Ditjen Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak yaitu Ir.
Doddy Izwardy, MA sebagai Direktur
Bina Gizi; dr. Muchtaruddin Mansyur,
MS, SpOk, Ph.D sebagai Direktur Bina
Kesehatan Kerja dan Olahraga.
Di lingkungan Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan yaitu Dra. Engko
Sosialine Magdalene, Apt, M.Bio Med
sebagai Direktur Bina Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan; Drs. Bayu Teja
Muliawan, M.Pharm, MM, Apt
sebagai Direktur Bina Pelayanan
Kefarmasian; Dra. R. Dettie Yuliati,
Apt, M.Si sebagai Direktur Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Di lingkungan Ditjen Pengendalian
dan Penyehatan Lingkungan yaitu
Raden Broeri Alexander Widjonarko,
SKM, M.Kes sebagai Kepala KKP Kelas I
Tanjung Priok; dr. Oenedo Gumarang,
MPHM sebagai Kepala KKP Kelas I
Soekarno Hatta; dr. Charto Susanto,
MSA, Sp.KP sebagai Kepala KKP Kelas I
Surabaya.
Di lingkungan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Dr. Dra.
Vivi Lisdawati, M.Si, Apt. Sebagai
Kepala Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir
Penyakit Salatiga.
D i l i n g ku n ga n B a d a n P P S D M
Kesehatan Menkes melantik dr.
Asjikin Iman Hidayat Daclan, MHA
sebagai Sekretaris Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan
SDM Kesehatan; dan Suhardjono, SE,
MM sebagai Kepala Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Aparatur.
“Ucapan selamat saya sampaikan
kepada para pejabat eselon II yang
baru dilantik. Jabatan yang
dipercayakan kepada Saudarasaudara adalahamanah, karena itu
berikanlah yang terbaik kepada
bangsa dan negaraini”, kata Menkes.
Menkes menambahkan, jabatan
eselon II adalah jabatan yang sangat
menentukan keberhasilan dalam
pencapaian visi, pelaksanaan misi,
pencapaian sasaran-sasaran
Pembangunan Kesehatan, dan
pencapaian kinerja Kementerian
Kesehatan. Oleh karena itu, Menkes
minta agar pejabat yang baru dilantik
untuk segera mempelajari tugas
pokok dan fungsi unit kerja masingm a s i n g te r m a s u k t u j u a n d a n
sasarannya, target-target indikator
yang harus dicapai, serta masalah dan
kendala yang dihadapi agar pejabat
baru mampu mengkomunikasikannya
dengan atasan, staf, teman sekerja,
lintas program dan lintas sektor
terkait dengan baik.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 15
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
RAPAT KERJA KESEHATAN DAERAH (RAKERKESDA)
PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2013
Pada tanggal 9 s.d 11 Oktober 2013
dilaksanakan Rapat Kerja Kesehatan
D a e rah (Rakerkesda) Provinsi
Sulawesi Tenggara Tahun 2013 dalam
ra n g ka ko n s o l i d a s i ke b i j a ka n
pembangunan kesehatan Provinsi
Sulawesi Tenggara, di Swiss-Bell Hotel
Kendari.
R a kerkes d a Provin s i Su lawes i
Tenggara ini mengusung tema
“Dengan Semangat Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), kita mantapkan
kesiapan daerah menyongsong
pelaksanaan SJSN 1 Januari 2014 dan
Percepat Pencapaian MDGs Provinsi
Sulawesi Tenggara”.
Rakerkesda ini dipimpin langsung oleh
Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Nur
Alam, SE, M.Si. dan diikuti 160 peserta
yang berasal dari 13 Kabupaten/Kota
dan dari Provinsi. Peserta
Kabupaten/Kota terdiri dari Komisi C
DPRD Kabupaten/Kota, Kepala
BAPPEDA Kabupaten/Kota, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Direktur RSU Kabupaten/Kota, dan
Eselon III dan lingkup
Hal.16 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
Kabupaten/Kota. Sedangkan peserta
provinsi terdiri dari unsur BAPPEDA,
unsur BPKAD, RSU Bahteramas, RS
Jiwa, KKP, POLTEKES, PT ASKES, DPRD
Provinsi Sulawesi Tenggara, dan lintas
sektor terkait lainnya. Konsolidasi
lintas sektor dalam menyongsong
pelaksanaan SJSN dan percepatan
capaian MDGs disadari hanya dapat
dicapai bersama secara bersinergi dan
pembagian peran yang jelas.
Dalam Rakerkesda ini dibahas
berbagai isu terkini di bidang
kesehatan, diantaranya
perkembangan pelaksanaan program
kesehatan, pengembangan model
pelayanan rujukan, persiapan
pelaksanaan SJSN-bidang kesehatan,
dukungan pelayanan kefarmasian dan
perbekalan kesehatan.
Capaian Pembangunan Kesehatan
Penyediaan fasilitas pelayanan
ke s e h a t a n t e l a h m e n u n j u ka n
peningkatan yang cukup signifikan
diantaranya puskesmas perawatan
dari 63 unit pada tahun 2007 menjadi
77 unit pada tahun 2013, puskesmas
non perawatan dari 144 unit pada
tahun 2007 menjadi 187 unit pada
tahun 2013 dan jumlah rumah sakit
dari 17 unit dengan 989 tempat tidur
tahun pada 2007 menjadi 25 unit
dengan 1642 tempat tidur pada tahun
2013 dan rumah sakit swasta dari 6
unit pada tahun 2007 menjadi 8 unit
pada tahun 2013 dengan 305 tempat
tidur. demikian juga dalam upaya
kesehatan bersumberdaya
masyarakat (UKBM) meningkat dari
536 unit pada tahun 2007 menjadi 896
unit pada tahun 2013, posyandu aktif
juga bertambah dari 2241 unit pada
tahun 2007 menjadi 3008 unit tahun
2013.
Peningkatan Anggaran Bidang
Kesehatan
Perkembangan anggaran
pembangunan kesehatan bersumber
APBN secara keseluruhan meningkat
dari Rp 60,72 M pada tahun 2007
menjadi Rp 76,74 M pada tahun
2013. Alokasi dana APBN ini dalam
bentuk Dana Dekonsentrasi dan Dana
Tugas Pembantuan. Secara khusus,
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
pada tahun 2013 alokasi Dana Tugas
Pembantuan di Kabupaten/Kota
sebesar Rp 49,53 M yang terdiri dari
Bantuan Operasional Kesehatan Rp.
28,38 M; peningkatan penggunaan
ASI (PP-ASI) Rp. 1,6 M; peningkatan
pelayanan kesehatan dasar Rp. 13 M
dan pelayanan kesehatan rujukan Rp.
5 M serta peningkatan kesehatan
lingkungan Rp 1,5 M,
A l o ka s i a n g ga ra n ke s e h ata n
bersumber APBD Provinsi Sulawesi
Tenggara pada kurun waktu 20082012 meningkat, dan ratarata sekitar
5,7% di luar gaji. Dari total APBD,
alokasi anggaran yang sangat signifan
adalah untuk membiayai Program
Pembebasan Biaya Pengobatan yang
sampai dengan tahun 2012 telah
mencakup 93.943 jiwa dan
berkembang menjadi 159.518 jiwa
pada tahun 2013. Jumlah anggaran
yang diserap sampai tahun 2013 ini
sebesar Rp 23.230.666.698.
Kemudian untuk anggaran
pembangunan RSU Bahteramas, dan
Anggaran Bantuan Tugas Belajar
untuk 14 dokter spesialis.
alokasi APBD Kabupaten/Kota untuk
pembangunan kesehatan meningkat
43,8% dari Rp. 107.9 M tahun 2008
menjadi Rp. 155.3 M. Rata-rata APBD
untuk pembangunan kesehatan
kabupaten/kota baru mencapai 6,4%.
Kabupaten/kota yang mengalokasikan
APBD untuk pembangunan kesehatan
diatas 10% yakni Kota Kendari 17,41%,
Kabupaten Konawe Utara 12,24%,
Kabupaten Kolaka 11,25%, Kabupaten
Muna 10,50%. hanya saja, alokasi
anggaran ini masih termasuk dana
yang dialokasikan pemerintah pusat,
seperti dana alokasi khusus. Alokasi
anggaran kesehatan dari APBD lebih
banyak bersumber dari dana alokasi
umum (DAU) dan pendapatan asli
daerah kabupaten/kota.
Pemerataan SDM
Jumlah tenaga kesehatan di Provinsi
Sulawesi Tenggara menunjukkan
peningkatan mulai dari tenaga medis
sampai tenaga para medis. Dokter
Umum dari 202 orang pada tahun
2007 menjadi 470 orang pada tahun
2012, Dokter Spesialis dari 47 orang
pada tahun 2007 menjadi 89 orang
pada tahun 2012. bidan dari 662
orang pada tahun 2007 menjadi 2574
orang pada tahun 2012;
Walaupun terjadi peningkatan jumlah
tenaga kesehatan seperti tersebut
diatas, namun Provinsi Sulawesi
Tenggara masih kekurangan tenaga
misalnya dari 264 puskesmas hanya
73,4% yang memiliki dokter, 32,9%
memiliki dokter gigi, 33,72% memiliki
tenaga farmasis (Apoteker dan S1
Farmasi) dan 34 % memiliki tenaga
Asisten Apoteker. Di beberapa
kabupaten belum tersedia Dokter
Spesialis meliputi RSUD Kabupaten
Konawe Utara, RSUD Kabupaten
Buton Utara, dan RSUD Kabupaten
Wakatobi. Secara khusus di RS
Bahteramas, ketersediaan Dokter Sub
Spesialis masih sangat terbatas,
seperti Ahli Bedah Digestif, Bedah
Plastik, Bedah Syaraf, Urologi, Ginjal
dan Hipertensi. Bahkan untuk Dokter
Spesialis yang wajib dipenuhi, belum
tersedianya Dokter Ahli Rehabilitasi
Medis, Dokter Ahli Forensik, dan
Dokter Gigi Bedah Mulut. Apabila RS
Bahteramas sebagai rumah sakit
rujukan tertinggi, maka sudah
waktunya penyediaan dokter spesialis
dan sub spesialis menjadi prioritas
utama.
Penguatan program kesehatan di
Kabupaten/Kota harus selaras dengan
distribusi dan mutu tenaga
kesehatan. Seharusnya setiap fasilitas
kesehatan harus mempunyai jumlah
tenaga kesehatan yang ideal, seperti
pos kesehatan desa (poskesdes)
seharusnya memiliki seorang bidan
atau perawat. Beberapa Kabupaten
menempatkan tenaga perawat desa
sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan di desa. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai tenaga
kesehatan harus
senantiasa
menerapkan nilai-nilai yang pro
rakyat, inklusif, responsif, efektif dan
bersih. saya perlu mengingatkan
bahwa ditengah iklim demokratisasi,
otonomi, dan sebagainya, tenaga
kesehatan jangan tergoda untuk
berpikir pragmatis, memainkan peran
yang berbeda yang malah akan
menciderai sumpah dan janjinya
sebagai profesi kesehatan yang mulia.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 17
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
oleh karena itu, para bupati/walikota
agar memberikan kenyamanan
bekerja kepada seluruh tenaga
kesehatan di wilayahnya. Pemerintah
harus menempatkan mereka sesuai
profesi dan kompetensi yang dimiliki,
dan sebaiknya pemerintah tidak
melakukan mutasi dengan alasan
yang tidak jelas, yang tidak berkaitan
dengan tugas pelayanan kesehatan.
Cakupan Pelayanan Kesehatan
Cakupan pelayanan kesehatan
menunjukkan peningkatan dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir,
walaupun disadari masih belum dapat
mencapai target Millenium
Development Goal's (MDG's).
Beberapa pencapaian kegiatan dapat
kami sampaikan sebagai berikut:
1.Cakupan pemantauan
pertumbuhan balita di posyandu dari
51,6% pada tahun 2007 menjadi
67,4% pada tahun 2012 (target
nasional 85%);
2. Cakupan pelayanan ibu hamil (K4)
dari 70,75% pada tahun 2007 menjadi
80,21% pada tahun 2012 (target
nasional 90%);
3. Cakupan pertolongan persalinan
tenaga kesehatan dari 71,45% pada
tahun 2007 menjadi 77,45% pada
tahun 2012 (target nasional 90%);
4. Cakupan kunjungan neonatal
lengkap dari 74,89% pada tahun 2007
menjadi 85,34% pada tahun 2012
(target nasional 90%);
5. Cakupan desa/kelurahan uci dari
Hal.18 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
56,02% pada tahun 2007 menjadi
72,6% pada tahun 2012 (target
nasional 100%);
6. Presentase penduduk yang
memiliki akses terhadap air minum
berkualitas dari 44,7% pada tahun
2007 menjadi 54,2% pada tahun 2012
(target nasional 65%);
7. Cakupan pelayanan kefarmasian
dari 91% pada tahun 2007 menjadi
92% pada tahun 2012 (target nasional
100%);
8. Cakupan rumah tangga ber-PHBS
dari 21,9 % pada tahun 2007 menjadi
38,72% pada tahun 2012 (target
nasional 65%);
9. Pelayanan kesehatan rujukan bagi
masyarakat miskin dari 5% pada
tahun 2007 menjadi 53,38% pada
tahun 2012 (target nasional 100%).
Sistem Rujukan
Pelayanan kesehatan merupakan
pelayanan terpadu mulai dari
pelayanan primer di puskesmas dan
jaringannya, pelayanan sekunder di
tingkat Kabupaten/Kota, hingga
pelayanan tersier di tingkat provinsi.
Dalam kerangka ini, untuk efektivitas
p e l aya n a n ke s e h ata n s u d a h
sepatutnya dirancang regionalisasi
rujukan yang bagi dalam 5 pusat
rujukan regional dengan RSU
Bahteramas sebagai rujukan tertinggi
di Sulawesi Tenggara.
1. Regional RSUD Baubau mengampu
RSUD Pasarwajo, RSUD Wakatobi;
2. Regional RSUD Raha mengampu
RSUD Kabupaten Buton Utara;
3 . Re g i o n a l RS U D A b u n a w a s
mengampu RSUD Abunawas, RSUD
Konawe Selatan, RSUD Konawe Utara,
RSUD Bombana dan RS pemerintah
dan swasta lainnya di Kota Kendari;
4 . Re g i o n a l B LU RS U Ko l a ka
mengampun RSU Kolaka Utara;
5. Regional BLU RSU Unaaha
mencakup RSU Kolaka Timur.
Kesiapan implementasi SJSN 2014
Sebagaimana diamanatkan UndangUndang nomor 24 tahun 2011, Sistem
Jaminan Kesehatan merupakan
bentuk konkrit dari reformasi
p e m b i a y a a n ke s e h a t a n y a n g
diharapkan dapat mengatasi kendala
akses biaya pelayanan kesehatan yang
cenderung meningkat setiap tahun.
Untuk kondisi Sulawesi Tenggara,
diperkirakan sekitar 64,3% penduduk
Sulawesi Tenggara yang tercakup
dalam Jaminan Kesehatan yang
terdiri dari peserta sebagaimana
diamanatkan Perpres 12 tahun 2012,
ditambah dengan peserta program
pembebasan biaya pengobatanbahteramas (Jamkesda Provinsi) dan
peserta Jamkesda di 5 kabupaten
yaitu: Kabupaten Konawe, Kolaka,
Konawe Selatan, Bombana, Dan
Wakatobi. Jumlah tersebut masih
ku ra n g s e b a nya k 5 , 7 % u nt u k
mencapai target 70%, atau masih
diperlukan penambahan sasaran
sebanyak 154.207 jiwa lagi.
Berkaitan dengan penyediaan
anggaran, maka untuk tahun 2014
sebagaimana diamanatkan
Permendagri nomor 27 tahun 2013
tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2014,
d i nyata ka n “d a l a m ra n g ka
peningkatan bidang kesehatan,
pemerintah daerah secara konsisten
d an b erkesin amb u n gan h aru s
mengalokasikan anggaran urusan
kesehatan minimal 10% (sepuluh
persen) dari total belanja APBD di luar
gaji”.
Sesuai amanat pasal 171 ayat (2)
undang-undang 36 tahun 2009
tentang kesehatan. penjelasan pasal
171 ayat (2) undang-undang 36 tahun
2009 menegaskan bahwa bagi daerah
yang telah menetapkan lebih dari 10%
(sepuluh persen) agar tidak
menurunkan jumlah alokasinya dan
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
bagi daerah yang belum mempunyai
kemampuan agar dilaksanakan secara
bertahap.
Pada butir ke 37 Permendagri No.27
Tahun 2013 ditegaskan yang tidak
menjadi cakupan pelayanan
pemerintah melalui BPJS yang
bersumber dari APBN, pemerintah
daerah dapat menganggarkannya
dalam bentuk program dan kegiatan
pada SKPD yang menangani urusan
kesehatan pemberi pelayanan
kesehatan atau pemberian iuran
kepada BPJS, yang dianggarkan pada
ppkd, jenis belanja bantuan sosial.
Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara bersama Kabupaten/Kota
sudah saatnya mengalokasikan
anggaran untuk membiayai jaminan
kesehatan tahun 2014 nanti. Dengan
berpatokan pada premi PBI yang
dibayarkan pemerintah pusat sebesar
Rp 19.225 per orang per bulan, maka
untuk membiayai peserta yang tidak
termasuk PBI di Sulawesi Tenggara
diperkirakan membutuhkan anggaran
lebih dari 100 milyar rupiah. Angka ini
memang cukup besar, namun jumlah
tersebut dipikul bersama provinsi dan
seluruh kabupaten kota, akan menjadi
ringan. Hal ini akan menjadi cermin
dari semangat gotong royong untuk
kebersamaan penduduk Sulawesi
Tenggara.
Sebagai implementasi SJSN dan
efektivitas pelayanan kesehatan maka
pelayanan kesehatan rujukan di
S u l a w e s i Te n g g a r a d i a t u r
sebagaimana dalam Permenkes
nomor 1 tahun 2012. Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara dalam
waktu dekat akan menetapkan
Peraturan Gubernur tentang Sistem
Rujukan Kesehatan yang membagi
wilayah pelayanan kesehatan dalam 5
regional.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
bersama dengan jajaran kesehatan
lainnya sedang mempersiapkan
peraturan yang berkaitan dengan
sistem rujukan tersebut, sehingga
dapat diimplementasikan dalam
membangun jejaring pelayanan
kesehatan. Dengan adanya penataan
sistem rujukan tersebut, maka alokasi
dan investasi sarana prasarana fisik
rumah sakit, peralatan medis dan non
medis, dan tenaga kesehatan
termasuk dokter ahli dapat
dikendalikan, sehingga dengan
demikian rumah sakit akan tertata
dengan baik, pelayanan akan lebih
efektif dan pada gilirannya akan dapat
mengurangi anggaran kesehatan di
masa yang akan datang.
Langkah Tindak Lanjut
Hasil yang diharapkan pada rapat
kerja ini adalah adanya kesepakatan
tentang penataan sistem rujukan
regional, model proporsi pembiayaan
kesehatan dalam pelaksanaan SJSNBK, dan kesepakatan langkah strategis
dalam percepatan pencapaian target
indikator MDGs.
Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara telah menjadikan kesehatan
sebagai salah satu agenda utama
Pembangunan dengan pendekatan
akses dan mutu pelayanan kesehatan
bagi seluruh masyarakat Sulawesi
Tenggara. Pada periode 5 tahun ke
d e p a n , s e b a ga i m a n a a m a n a t
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi
Sulawesi Tenggara, telah ditetapkan
program prioritas untuk selalu
dimonitor dalam tindaklanjut :
1. Peningkatan Pelayanan Kesehatan
Dan Gizi Pada Periode 1000 Hari
Pertama Kehidupan
2. Peningkatan
Kesehatan
Reproduksi Dan Keluarga Berencana
Serta Penguatan RS PONEK Dan
Puskesmas PONED dan Jejaringnya.
3. Peningkatan Pencegahan Dan
Pengendalian Penyakit Menular Dan
Tidak Menular
4. Peningkatan Upaya Promotif,
Preventif, Dan Pemberdayaan
Masyarakat
5. Peningkatan Pelayanan Kesehatan
Rujukan
6. Peningkatan Pembinaan Pelayanan
Kefarmasian
7. Peningkatan Akses Pelayanan
Melalui Pembebasan Biaya
Pengobata-Bahteramas.
8. Peningkatan Sumberdaya Manusia
Kesehatan
9. Peningkatan Manajemen
Pembangunan Kesehatan.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 20
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
SOSIALISASI E-CATALOG OBAT GENERIK 2014
Pada tanggal 18 Oktober 2013 di Aula
Siwabessy Gedung Kementerian
Kesehatan telah dilaksanakan
Pertemuan Sosialisasi E-Catalogue
Tahun 2014 dengan Industri Farmasi.
Kegiatan ini dihadiri oleh para pejabat
dari Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang & Jasa Pemerintah (LKPP),
Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), GP Farmasi dan Kementerian
Kesehatan.
Acara ini dibuka dengan sambutan
dari Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Ke s e h a ta n D ra . M a u ra L i n d a
Sitanggang, Apt, Ph.D. Dalam
sambutannya Ibu Dirjen
menyampaikan bahwa selama
pelaksanaan e-catalogue 2013, kita
akan lanjutkan sistem yang sudah
terbangun ini di tahun 2014,
berdasarkan dari daftar yang
tercantum di Fornas terdiri dari 514
item obat dan 913 sediaan.
“Dengan berbagai keterbatasan telah
kita jalani pengadaan obat melalui eHal.20 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
purchasing berdasarkan e-catalogue
sejak 1 Juni 2013 yang diikuti oleh
kurang lebih 29 Industri Farmasi”
papar Ibu Dirjen.
Berbagai persiapan telah dilakukan,
termasuk bidang Kefarmasian dimana
e-catalogue ini merupakan salah satu
sistem penting untuk mendukung
keberhasilan penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional.
Pada pelaksanaan e-catalogue 2013,
terdapat 196 item zat aktif dalam 327
sediaan dan telah terlaksana 55,63 %
pengadaan. Untuk pelaksanaan ecatalogue 2014 maka penetapan
harga obat melalui lelang harga
satuan tahun 2014 yang dilakukan di
pusat antara LKPP dengan
Kementerian Kesehatan. Daftar obat
yang akan tercantum dalam ecatalogue obat adalah nama generik
berdasarkan Formularium Nasional
(FORNAS). Harga jual obat dalam ecatalogue adalah harga satuan
terkecil sudah termasuk pajak dan
biaya distribusi (franco kabupaten/
kota).
Rencana Kebutuhan Obat Nasional
dilakukan dengan pendekatan
bottom-up planning oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Provinsi dan rumah sakit
pemerintah. E-Catalogue merupakan
kelanjutan dari daftar Formularium
Nasional yang menjadi acuan bagi
fasilitas pelayanan kesehatan dalam
memberikan resep bagi pasien. Posisi
E-Katalog, yaitu daftar obat yang
dijamin dalam sistem Jaminan
Kesehatan Nasional yang memuat
harga satuan obat.
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
SOSIALISASI BIDANG PELAYANAN INFORMASI PUBLIK
DAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Pada tanggal 21 Oktober 2013
dilaksanakan kegiatan Sosialisasi
Bidang Pelayanan Informasi Publik
dan Keterbukaan Informasi Publik di
Hotel Manhattan, Jakarta. Pertemuan
ini dihadiri oleh 100 peserta yang
terdiri dari pejabat eselon III & IV serta
Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi di lingkungan Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Turut hadir pula narasumber dari
Pusat Komunikasi Publik Setjen
K e m e n ke s R I , B a d a n P P S D M
Kesehatan, serta Komisi Informasi
Pusat.
M a ks u d d a n t u j u a n Ke g i ata n
S o s i a l i s a s i B i d a n g Pe l aya n a n
Informasi Publik dan Keterbukaan
Informasi Publik ini adalah untuk
meningkatkan koordinasi setiap
unit/satuan kerja di lingkungan Ditjen
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
dalam melaksanakan pelayanan
informasi publik; meningkatkan
pemberdayaan PPID di lingkungan
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan dalam merespon
kebutuhan dan keinginan publik
dalam mengakses informasi yang
terkait pembangunan kesehatan;
meningkatkan pemahaman dan
penginternalisasikan tanggung jawab
serta wewenang PPID di lingkungan
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan; meningkatkan akses
masyarakat dalam mendapatkan
layanan informasi publik yang efisien
dan efektif.
Acara diawali dengan sambutan dari
Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Drs. H. Purwadi,
Apt, MM, ME yang menyampaikan
bahwa Kementerian Kesehatan saat
ini sedang berupaya keras
mewujudkan transparansi dan
akuntablitas pelayanan publik. Upaya
keras tersebut tentunya memerlukan
dukungan semua pihak termasuk
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan sebagai salah satu
bagian dari unsur dalam sistem
pemerintahan yang ada.
Ke m e nte r i a n Ke s e h ata n ya n g
memiliki kewenangan dan tanggung
jawab untuk meningkatkan dan
memelihara status kesehatan
masyarakat, dewasa ini dituntut
untuk memberikan pelayanan publik
yang lebih baik. Sektor kesehatan
dianggap memiliki posisi yang
strategis karena bersentuhan
langsung dengan publik serta
memiliki anggaran yang cukup besar,
selain sektor pendidikan, sehingga
membuat Kemenkes banyak disorot
masyarakat. Tuntutan tersebut
menyadarkan institusi ini untuk dapat
membangun tata kelola
pemerintahan yang baik (good
governance) dengan menjalankan
transparansi dan akuntablitas
pelayanan publik.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 21
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
Kondisi penyelenggaraan pelayanan
publik saat ini memang sudah mulai
terjadi transformasi, sejalan dengan
semangat reformasi birokrasi dan juga
sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2008 tentang Pelayanan Publik.
Namun demikian perlu disikapi secara
bijak melalui langkah kegiatan konkrit
yang berkesinambungan dalam
berbagai aspek pembangunan,
khususnya pembangunan kesehatan
guna membangun kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja aparat
pemerintahan.
Pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik yang
berdampak konsekuensi logis akan
kewajiban untuk membuka informasi
seluas-luasnya kepada masyarakat,
tentunya dengan kriteria dan
ketentuan sebagaimana tercantum
pada UU tersebut dan juknis/juklak
terkait. Untuk menindaklanjuti
tantangan tersebut, disusunlah
Hal.22 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
Peraturan Komisi Informasi No.1
tahun 2010 ttg Standar Layanan
Informasi Publik.
Kementerian Kesehatan pun telah
merespons hal tersebut dengan
menyusun Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 2166/Menkes/PER
/X/2011 tentang Standar Layanan
Informasi Publik di Kementerian
Kesehatan dan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 182/Menkes/SK/V
/2012 tentang Daftar Informasi yang
Dikecualikan di lingkungan
Kementerian Kesehatan.
Dalam rangka mengatur arus lalu
lintas dan layanan informasi publik,
maka ditetapkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1625/Menkes/
SK/VIII/2011 tentang Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID) di Lingkungan Kementerian
Kesehatan. PPID bertugas dan
bertan g g u n gj awa b m ela ku ka n
pelayanan informasi yang meliputi
proses penyimpanan,
pendokumentasian, penyediaan dan
pelayanan informasi.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan telah
mengakomodasi perkembangan ini
dan telah menetapkan Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi
di lingkungan Ditjen Binfar dan Alkes.
Materi yang dibahas.oleh para
narasumber dalam acara ini adalah :
Pengaduan Masyarakat Melalui
LAPOR! UKP4 dan Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) Di
Kemenkes, yang dipaparkan oleh
Liputan
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
Dyah Yuniar Setiawati, SKP dari Pusat
Komunikasi Publik.
Penanganan Kasus Terkait Informasi
Publik UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik, yang
dipaparkan oleh Setyadi Nugroho, SH,
MH dari Badan PPSDM Kesehatan.
Perkembangan Implementasi UU KIP
di Badan Publik, yang dipaparkan oleh
Dra. Henny S. Widyaningsih, M.Si dari
Komisi Informasi Pusat.
Kegiatan Sosialisasi Bidang Pelayanan
Informasi Publik dan Keterbukaan
Informasi Publik ini dilaksanakan
melalui sidang pleno dengan metode
penyajian materi dan praktek simulasi
pengklasifikasian informasi publik.
Rangkuman Kegiatan Sosialisasi
Bidang Pelayanan Informasi Publik
dan Keterbukaan Informasi Publik
sebagai berikut:
a. Bahwa dokumen yang tadinya tidak
terpikirkan untuk diinformasikan
kepada publik ternyata merupakan
i n fo r m a s i p u b l i k y a n g w a j i b
diumumkan secara berkala kepada
masyarakat.
b. Waktu pelayanan permintaan
informasi publik harus sangat
diperhatikan. Karena berdasarkan UU
KIP No.14 Tahun 2008 paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan, Badan
Publik yang bersangkutan wajib
menyampaikan pemberitahuan
tertulis dan dapat diperpanjang
waktunya untuk mengirimkan
pemberitahuan paling lambat 7
(tujuh) hari kerja berikutnya dengan
memberikan alasan secara tertulis.
c. Pelaksanaan KIP di Kemenkes
belum optimal, karena:
1.Masih sulitnya mengumpulkan
data,
2.Komitmen pimpinan kurang,
3.Belum menjadi prioritas,
4.Belum tersedianya SOP,
5.Belum menjadi bagian penilaian
kinerja
d. Terdapat pemeringkatan dari
Komisi Informasi atas keterbukaan
informasi publik di Kementerian/
Lembaga, dimana saat ini Kemenkes
berada dalam peringkat 9, sehingga
harapannya adalah jika seluruh eselon
I memberikan kontribusinya maka
semoga peringkat penilaian akan
menjadi lebih baik.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 23
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
AMINOGLIKOSIDA
Aminoglikosid merupakan senyawa yang
terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino
yang terikat lewat ikatan glikosidik pada
inti heksosa. Dengan adanya gugusanamino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan
garam sulfanya yang digunakan dalam
terapi mudah larut dalam air
Aminoglikosid dari sejarahnya digunakan
untuk bakteri gram negatif. Aminoglikosid
pertama yang ditemukan adalah
Streptomisin.
Aktivitas bakteri Aminoglikosid dari
Gentamisin, Tobramisin, Kanamisin,
Netilmisin dan Amikasin terutama tertuju
pada basil gram negatif yang aerobik (yang
hidup dengan oksigen)Aminoglikosid
merupakan produk streptomises atau
fungus lainnya. Seperti Streptomyces
griseus untuk Streptomisin, Streptomyses
fradiae untuk Neomisin, Streptomyces
ka n a myc et i c u s u nt u k Ka n a m i s i n ,
S t re p t o myc e s te n e b ra r i u s u n t u k
Tobramisin, Micromomospora purpureus
untuk Gentamisin dan Asilasi kanamisin A
untuk Amikasin.
Penggolongan
Aminoglikosida dapat dibagi atas dasar
rumus kimianya sebagai berikut :
1. Streptomisin yang mengandung satu
molekul gula-amino dalam molekulnya
2. Kanamisin dengan turunan amikasin,
dibekasin, gentamisin, dan turunannya
Hal. 24 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
netilmisin dan tobramisin, yang
semuanya memiliki dua molekul gula yang
dihubungkan oleh sikloheksan
3. Neomisin, framisetin dan paramomisin
dengan tiga gula-amino.
Mekanisme Kerja
Aktivitasnya adalah bakterisid,
berdasarkan dayanya untuk menembus
dinding bakteri dan mengikat diri pada
ribosom (Partikel-partikel kecil dalam
protoplasma sel yang kaya akan RNA,
tempat terjadinya sintesa protein) di
dalam sel. Proses translasi (RNA dan
DNA) diganggu sehingga biosintesa
proteinnya dikacaukan.
Penggunaan
Streptomisin (dan kanamisin) hanya
digunakan parenteral pada tuberkulosa,
dikombinasikan dengan rifampicin, INH
dan pirazinamid.
Gentamisin dan tobramisin sering
digunakan bersamaan suatu penisilin
atau sefalosporin pada infeksi dengan
pseudomonas. Amikasin terutama
dicadangkan untuk kasus pada mana
terdapat resistensi bagi aminoglikosida
lainnya.
Efek samping
Semua aminoglikosida terutama pada
penggunaan parenteral dapat
mengakibatkan kerusakan pada organ
p e n d e n ga ra n d a n ke s e i m b a n ga n
(ototoksik) terutama pada lansia, akibat
kerusakan pada saraf otak kedelapan.
Gejalanya berupa vertigo, telinga
berdenging (tinnitus), bahkan ketulian
yang tidak reversibel.
Pada penggunaan oral dapat terjadi
nausea, muntah dan diare, khususnya
pada dosis tinggi.
Resistensi
Resistensi dapat terjadi agak pesat akibat
terbentuknya enzim yang merombak
struktur antibiotikum. Informasi genetis
bagi enzim-enzim itu dapat ”ditulari”
melalui plasmid, hingga resistensi dapat
menjalar ke kuman lain.
Streptomisin dan kanamisin paling sering
mengalami resistensi, amikasin paling
jarang. Masalah resistensi merupakan
kesulitan utama dalam penggunaan
Streptomisin secara kronik; misalnya pada
terapi Tuberkulosis atau endokarditis
bakterial subakut. Resistensi terhadap
Streptomisin dapat cepat terjadi,
sedangkan resistensi terhadap
Aminoglikosid lainnya terjadi lebih
berangsur-angsur.
Sediaan dari Aminoglikosid
Sediaan dari Aminoglikosid dapat dibagi
dalam dua kelompok :
1. Sediaan Aminoglikosid sistemik untuk
pemberian IM atau IV yaitu Amikasin,
Gentamisin, Kanamisin dan Streptomisin
2. Sediaan Aminoglikosid topikal terdiri
dari Aminosidin, Kanamisin, Neomisin,
Gentamisin dan Streptomisin. Dalam
kelompok topikal termasuk juga semua
Aminoglikosid yang diberikan per oral
untuk mendapatkan efek lokal dalam
lumen saluran cerna.
Sediaan Aminoglikosid pada umumnya
tersedia sebagai garam sulfat.
Kehamilan dan Laktasi
Aminoglikosida dapat melewati plasenta
dan merusak ginjal serta menimbulkan
ketulian pada bayi. Maka tidak dianjurkan
selama kehamilan. Obat-obat ini
mencapai air susu ibu dalam jumlah kecil
dan pada hakekatnya dapat diberikan
selama laktasi.
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
SWAMEDIKASI
Menurut World Health Organization
(WHO) swamedikasi adalah pemilihan
dan penggunaan obat baik obat modern
maupun obat tradisional oleh seseorang
untuk melindungi diri dari penyakit dan
gejalanya.
Sedangkan menurut The International
Pharmaceutical Federation (FIP) yang
dimaksud dari swamedikasi atau self
medication adalah penggunaan obat non
resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri.
Penggunaan Obat yang Rasional dalam
Swamedikasi
Swamedikasi memberikan kontribusi
yang sangat besar bagi pemerintah dalam
pemeliharaan kesehatan secara rasional.
Namun bila tidak dilakukan secara benar
justru menimbulkan bencana yaitu tidak
sembuhnya penyakit atau munculnya
penyakit baru karena obat dengan segala
konsekuensinya. Untuk melakukan
swamedikasi secara aman, efektif dan
terjangkau, masyarakat perlu melakukan
bekal pengetahuan dan ketrampilan.
M a sya ra kat m u t l a k m e m e r l u ka n
informasi yang jelas dan terpecaya agar
penentuan kebutuhan jenis atau jumlah
obat dapat diambil berdasarkan alasan
yang rasional.
Untuk mengetahui kebenaran
swamedikasi (menggunakan obat secara
rasional) dapat digunakan indikator
sebagi berikut:
Tepat Obat, pelaku swamedikasi dalam
melakukan pemilihan obat hendaknya
sesuai dengan keluhan yang dirasakannya
dan mengetahui kegunaan obat yang
diminum.
Tepat golongan, pelaku swamedikasi
hendaknya menggunakan obat yang
termasuk golongan obat bebas dan bebas
terbatas.
Tepat dosis, pelaku swamedikasi dapat
menggunakan obat secara benar meliputi
cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah
obat yang digunakan.
Tepat waktu (Lama pengobatan terbatas),
pelaku swamedikasi mengetahui kapan
harus menggunakan obat dan batas
waktu menghentikannya untuk segera
meminta pertolongan tenaga medis jika
keluhannya tidak berkurang.
Wa s p a d a e fe k s a m p i n g , p e l a k u
swamedikasi mengetahui efek samping
yang timbul pada penggunaan obat
sehingga dapat mengambil tindakan
pencegahan serta mewaspadainya.
Tanggung jawab dalam swamedikasi
menurut World Health Organization
(WHO) terdiri dari dua yaitu:
1. Pengobatan yang digunakan harus
terjamin keamanan, kualitas dan
keefektifannya.
2. Pengobatan yang digunakan
diindikasikan untuk kondisi yang dapat
dikenali sendiri dan untuk beberapa
macam kondisi kronis dan tahap
penyembuhan (setelah diagnosis medis
awal). Pada seluruh kasus, obat harus
didesain spesifik untuk tujuan
pengobatan tertentu dan memerlukan
bentuk sediaan dan dosis yang benar.
Masalah-masalah yang umum dihadapi
pada swamedikasi antara lain sakit kepala,
batuk, sakit mata, konstipasi, diare, sakit
perut, sakit gigi, penyakit pada kulit
seperti panu, sakit pada kaki dan lain
sebagainya.
Peran Farmasis dalam Swamedikasi
Pelayanan kefarmasian saat ini telah
bergeser orientasinya dari drug oriented
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 25
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
menjadi klien oriented yang berdasarkan
pada konsep “Pharmaceutical Care”. Yang
dimaksud dengan Pharmaceutical Care
adalah tanggung jawab farmakoterapi
dari seorang farmasis untuk mencapai
dampak tertentu dalam meningkatkan
kualitas hidup klien. Peran farmasis
diharapkan tidak hanya menjual obat
t e t a p i l e b i h ke p a d a m e n j a m i n
tersedianya obat yang berkualitas,
mempunyai efikasi, jumlah yang cukup,
aman, nyaman bagi pemakaiannya dan
harga yang wajar serta pada saat
pemberiannya disertai informasi yang
cukup memadai, diikuti pemantauan
pada saat penggunaan obat dan akhirnya
di evaluasi. Pekerjaan kefarmasian
dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah,
keadilan, kemanusiaan, keseimbangan,
dan perlindungan serta keselamatan
klien atau masyarakat yang berkaitan
dengan sediaan farmasi yang memenuhi
standart dan persyaratan keamanan,
mutu, dan kemanfaatan.
Menurut World Health organization
(WHO), peran farmasis dalam
swamedikasi yaitu:
Komunikator (Communicator)
Farmasis harus mempunyai inisiatif untuk
berdialog dengan klien (dan dokter, jika
dibutuhkan) untuk menggali tentang
r i wayat ke s e h ata n k l i e n . U nt u k
mendapatkan informasi yang
benartentang kondisi klien, farmasis
mengajukan beberapa pertanyaan
Hal. 26 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
kepada klien misalnya mengenai keluhan
atau pengobatan yang pernah dilakukan
klien. Dalam hal ini farmasis harus mampu
mengenali gejala penyakit tanpa
melangkahi wewenang dokter.
Farmasis harus memberikan informasi
yang objektifyang diperlukan klien
misalnya mengenai cara penggunaan obat
atau cara penyimpanan obat. Untuk itu
farmasis harus dapat memenuhi
kebutuhan klien sebagai sumber
informasi tentang obat, mendampingi dan
membantu klien untuk melakukan
swamedikasi yang bertanggung jawab
atau bila perlu memberikan referensi
kepada klien untuk melakukan rujukan
kepada dokter.
Penyedia obat yang berkualitas (Quality
Drug Supplier)
Seseorang Farmasis harus menjamin
bahwa obat yang disediakan dalam
swamedikasi berasal dari sumber yang
dapat dipertanggung jawabkan dan
berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga
harus menjamin bahwa obat-obat
tersebut disimpan dengan baik.
Pengawas dan pelatih (Trainer and
Supervisor)
Untuk menjamin bahwa pelayanan yang
diberikan berkualitas, maka farmasis
harus selalu membekali diri dengan ilmuilmu terbaru untuk meningkatkan
ke m a m p u a n p ro fe s i o n a l s e p e r t i
mengikuti pendidikan berkelanjutan.
Farmasis harus menjamin bahwa
pelayanan yang dilakukan oleh staf-staf
yang bukan farmasis memiliki kualitas
yang sama. Karena itu farmasis harus
membuat protokol sebagai referensi bagi
farmasis dan juga protokol bagi pekerja
kesehatan masyarakat yang terlibat
dengan penyimpanan dan distribusi obat.
Farmasis juga harus menyediakan
pelatihan dan menjadi pengawas bagi
staf-staf yang bukan farmasis.
Kolaborator (Collaborator)
Farmasis harus membangun hubungan
profesional yang baik dengan profesional
kesehatan yang lain, asosiasi profesi
nasional, industri farmasi, pemerintah
(Lokal/Nasional), klien dan masyarakat
umum.
Pada akhirnya hubungan yang baik ini
dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas dalam swamedikasi.
Promotor Kesehatan (Health Promotor)
Sebagai bagian dari kesehatan, farmasis
harus berpartisipasi dalam
mengidentifikasi masalah kesehatan dan
resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi
d a l a m p ro m o s i ke s e h ata n d a n
pencegahan penyakit dan memberikan
saran secara individual untuk membantu
dalam menentukan pilihan informasi
tentang kesehatan.
FIP juga merumuskan empat tanggung
jawab farmasis dalam swamedikasi yang
dituangkan dalam kesempatan bersama
asosiasi industri obat (WSMI).
Empat tanggungjawab tersebut yaitu:
1. Tanggungjawab profesional farmasis
untuk memberi informasi dan saran yang
objektif tentang swmedikasi dan obatobatan yang tersedia untuk swmedikasi.
2. Tanggungjawab profesional farmasis
untuk melapor kepada pemerintah dan
industri farmasi apabila ditemukan
adanya efek samping yang muncul pada
individu yang melakukan swamedikasi
dengan menggunakan obat produk dari
industri farmasi tersebut.
3. Tanggungjawab profesional farmasis
untuk merekomendasikan rujukan
kepada dokter apabila swamedikasi yang
dilakukan tidak tepat.
4. Tanggungjawab profesional farmasis
untuk memberi penjelasan kepada
masyarakat bahwa obat adalah produk
khusus dan harus disimpan serta diberi
perhatian khusus. Farmasis juga tidak
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
diperbolehkan melakukan hal yang dapat
memicu masyarakat membeli obat dalam
jumlah banyak sekaligus.
Terdapat beberapa hal yang harus di
kuasai oleh seorang farmasis pada
pelayanan swamedikasi, yaitu:
Membedakan antara gejala minor dan
gejala yang lebih serius
“Triaging” adalah istilah yang diberikan
untuk membedakan tingkat keseriusan
gejala penyakit yang timbul dan tindakan
yang harus di ambil. Farmasis telah
memiliki prosedur untuk mengumpulkan
informasi dari klien, sehingga dapat
memberikan saran untuk melakukan
pengobatan atau menyarankan rujukan
ke dokter.
Kemampuan mendengarkan (Listening
skills)
Farmasis membutuhkan informasi dari
k l i e n u nt u k m e m b at u m e m b u at
keputusan dan merekomendasikan suatu
terapi. Proses ini dimulai dengan suatu
pertanyaan pembuka dan penjelasan
kepada klien kemungkinan diajukannya
pertanyaan yang bersifat lebih pribadi.
Hal ini diperlukan agar farmasis dapat
mengenali gejala lebih jauh, sehingga
dapat merekomendasikan terapi yg benar.
Kemampuan bertanya (Questioning
skills)
Farmasis harus memiliki kemampuan
untuk mengajukan pertanyaan dalam
usaha untuk mengumpulkan informasi
tentang gejala klien. Farmasi harus
mengembangkan suatu metode untuk
mengumpulkan informasi yang terdiri
dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang
harus diajukan. Ada dua metode umum
yang digunakan. Yang pertama disingkat
sebagai WHAM
W: Who is the patient and what are the
symptoms (siapakah klien dan apa
gejalanya)
H: How long have the symptoms (berapa
lama timbulnya gejala)
A: Action taken (tindakan yang sudah
dilakukan)
M: Medication being taken (obat yang
sudah digunakan)
Yang kedua dikembangkan oleh Derek
Balon, seorang farmasis di london yaitu
ASMETHOD
A : Age / appearance (usia klien)
S: Self or someone else (dirinya sendiri
atau orang lain yang sakit)
M: Medication (regularly taken on
preskription or OTC) (pengobatan yang
sudah digunakan baik dengan resep
maupun dengan non resep)
E: Extra medicine (usaha lain untuk
mengatasi gejala sakit)
T: Time persisting (lama gejala)
H: History (riwayat klien)
O: Other symptoms (gejala lain)
D: Danger symptom (gejala yang
berbahaya).
Pemilihan terapi berdasarkan bukti
keefektifan
Farmasis memiliki dasar pengetahuan
farmakologi, terapeutik dan farmasetika
yang dapat digunakan untuk memberikan
terapi yang rasional, didasarkan pada
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 27
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
kebutuhan klien. Selain melihat kefektifan
bahan aktif suatu obat, farmasis juga
harus memperhatikan interaksi potensial,
kontraindikasi, peringatan, dan profil efek
samping dari bahan bahan tambahan
yang terkandung.
Farmasis dapat menyarankan rujukan
kepada dokter jika gejala timbul dalam
waktu yang lama, masalah berulang dan
semakin parah, timbul nyeri yang hebat,
penggobatan gagal, timbul efek samping,
dan gejala yang berbahaya.
Informasi Obat dalam Swamedikasi
Salah satu faktor penentu yang berperan
dalam tindakan pengobatan sendiri atau
self medication yaitu tersedianya sumber
informasi tentang obat dan pengobatan.
Ketersedianya sumber informasi tentang
obat dapat menentukan keputusan dalam
pemilihan obat. Informasi obat disini
merupakan tanggungjawab farmasis dan
m e r u p a k a n b a g i a n d a r i ko n s e p
Pharmaceutical Care.
Seorang farmasis harus memberikan
informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis,
bijaksana dan terkini. Informasi yang
Hal. 28 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
dapat diberikan oleh seorang farmasis
dalam pelayanan swamedikasi yaitu:
Nama obat dan kekuatannya. Farmasis
harus menjelaskan kesamaan
penggunaan obat paten dan obat generik,
apabila suatu saat terjadi penggantian
obat.
Indikasi dan aturan pakai. Hal ini
merupakan faktor penting yang harus di
ketahui klien saat menerima obat.
Sehingga klien benar-benar mengerti
tentang waktu penggunaan obat dan
instruksi khusus yang harus di perhatikan
oleh klien, misalnya “kocok dahulu” atau
“harus diminum saat lambung kosong”.
Mekanisme kerja. Farmasis harus
menjelaskan kerja obat sesuai dengan
gejala yang diderita klien. Sebab beberapa
obat memiliki mekanisme kerja yang
berbeda, sesuai dengan indikasi
terapinya.
Efek pada gaya hidup. Beberapa terapi
dapat menimbulkan perubahan pada
gaya hidup klien misalnya mengurangi
mengkonsumsi alkohol, merokok,
mengurangi olah raga berlebihan.
Penyimpanan obat, informasi tentang
cara penyimpanan obat sangat penting
terutama untuk obat-obat yang memiliki
aturan penyimpanan tertentu, misalnya
harus di simpan di lemari es, harus
disimpan terlindung dari cahaya atau di
jauhkan dari jangkauan anak-anak.
Efek samping potensial, klien harus
diinformasikan tentang efek samping yang
mungkin timbul dalam penggunaan obat.
Efek samping tersebut dapat berupa efek
samping ringan yang dapat di prediksi,
contoh perubahan warna urin, sedasi, bibir
kering dan efek samping yang perlu
perhatian medis, misalnya reaksi alergi,
nausea, vomiting dan impotensi.
Interaksi antar obat dan makan, farmasis
harus memberikan informasi tentang
kemungkinan adanya interaksi antar obat
yang digunakan ataupun dengan makan
yang di konsumsi oleh klien, sehingga klien
dapat mengetahui aturan pakai yang benar
dari masing-masing obat, contohnya
pemberian antikoagulan berinteraksi
dengan pemberian aspirin.
Informasi tambahan lainnya yaitu
pembuangan obat yang telah kadaluarsa
dan kapan saatnya berkonsultasi ke dokter.
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
OBAT UNTUK ANAK YANG PERLU DISEDIAKAN DI RUMAH
Obat-obat yang sebaiknya disediakan
di rumah, harus disesuaikan dengan
seringnya anak sakit. Sebagai oarang
tua harus mengetahui penyakit apa
yang sering diderita anak. Penyakit
yang umum seperti demam, untuk
pertolongan pertama dapat diberikan
obat bebas.
Demam
Demam merupakan gejala dari suatu
penyakit yang umum. Misalnya saja
cacar, campak, flu, bahkan anak
tumbuh gigi umumnya didahului
dengan demam. Penting bagi orang
tua untuk mengetahui penyebab
demam pada anak karena tidak
semua gejala penyakit memerlukan
obat. Pilihan untuk persediaan obat
demam di rumah yang paling aman
untuk anak adalah parasetamol.
Berikan parasetamol pada anak
sesuai dengan aturan pakai yang
tercantum pada kemasan obat.
Selain diberikan parasetamol,
lakukan juga kompres pada anak.
Lakukan kompres dengan
menggunakan air hangat. Hal ini
dimaksudkan agar anak tidak
menggigil. Tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator)
di hipotalamus. Jika suhu tubuh
meningkat, maka pusat pengaturan
suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya. Jika anak
dikompres dengan air hangat maka
hipotalamus menerima sinyal bahwa
suhu di sekitarnya sedang hangat dan
suhu tubuh harus segera diturunkan.
Bila anak memiliki riwayat kejang
pada saat demam tinggi, di rumah
perlu menyediakan anti kejang, yaitu
diazepam dalam bentuk suppositoria
yang bisa diperoleh dengan resep
dokter.
Bila telah diberikan penurun panas
dan kompres air hangat namun suhu
tubuh tidak kunjung tidak turun
setelah 3 hari, maka periksakan anak
ke dokter. Obat-obatan di rumah
hanya sebagai pertolongan pertama.
Gangguan Saluran Nafas
Bila buah hati mengalami gangguan
saluran nafas seperti flu maupun
batuk sebaiknya pilih pengobatan
yang rasional.
Batuk
Jangan gunakan faktor kebiasaan
dalam mengobati anak karena
beberapa obat batuk pilek tidak
diindikasikan untuk anak di bawah
usia 2 tahun. Dalam mengobati anak,
diperlukan ilmu pengetahuan.
Bacalah leaflet dan informasi obat di
kemasan serta tanyakan pada
apoteker mengenai obat yang aman
bagi anak.
Untuk obat pengencer dahak, boleh
saja diberikan pada anak di bawah usia
5 tahun, dengan syarat anak tersebut
sudah bisa mengeluarkan lendir.
Jangan sampai lendir yang seharusnya
dikeluarkan malah menumpuk di
saluran nafas sehingga menyebabkan
penyakit baru, yaitu pneumonia. Yang
direkomendasikan untuk mengatasi
batuk si kecil adalah minum banyak air
putih.
Pilek
Jika hidung anak pilek atau mampet,
cukup dengan pemberian NaCl 0,9%
yang diteteskan atau disemprot.
Sediaan NaCl 0,9% bentuk tetes atau
semprot bisa didapatkan di apotek
maupun toko obat.
Penyakit batuk pilek pada anak
umumnya disebabkan oleh virus,
sehingga tidak diperlukan
penggunaan antibiotik. Namun, bila
penyakit tidak kunjung sembuh
selama 3 hari, kemungkinan ada
peradangan dan infeksi sehingga
membutuhkan antibiotik. Pemilihan
antibiotikpun harus dengan
pertimbangan medis.
Sesak
Bila si kecil mengalami sesak, berikan
obat gosok khusus untuk bayi yang
dapat melegakan pernafasan anak.
Diare
Menangani diare pada si kecil, orang
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 29
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
tua perlu mengetahui penyebab
diare, mengingat penyebab diare
bermacam-macam. Diare dapat
disebabkan karena makanan, susu,
kebersihan, infeksi, dan lain-lain.
Namun, apapun penyebab diare,
penanganan pertama yang harus
dilakukan adalah mencegah
terjadinya dehidrasi supaya anak tidak
kekurangan cairan dan elektrolit.
Racun-racun penyebab diare harus
d i ke l u a r ka n , o l e h ka re n a i t u
penggunaan obat diare yang bersifat
menyerap tidak dianjurkan untuk
anak. Perhatikan juga kebersihan diri
dan makanan yang masuk. Berikanlah
anak cairan elektrolit, bisa
menggunakan oralit maupun produkproduk sejenis. Anda juga dapat
membuat larutan gula-garam sendiri
dengan mencampurkan 1 sendok teh
gula pasir, seperempat sendok teh
garam dapur dan 1 gelas (200 ml) air
matang. Bila anak masih diberikan
ASI, tetap lanjutkan pemberian ASI.
Mual-Muntah
Tidak ada zat yang dapat mengobati
mual-muntah pada anak. Yang harus
diketahui adalah penyebab mualmuntah. Yang perlu orang tua
perhatikan adalah menjaga agar anak
tidak dehidrasi maupun kekurangan
nutrisi. Setiap anak muntah berikan
minuman hangat.
Perlu orang tua perhatikan dalam
Hal. 30 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
pemberian obat pada anak, perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
Kemungkinan Terjadinya Interaksi
Beberapa sediaan obat anak memiliki
rasa yang tidak nyaman (pahit). Untuk
menutupi rasa yang tidak enak ini
terkadang orang tua memberikannya
bersamaan dengan susu atau
makanan lain. Tanyakan pada
apoteker mengenai kemungkinan
interaksi obatnya. Sebagai contoh
tetrasilkin (antibiotik) yang diberikan
bersamaan dengan susu maupun
makanan yang mengandung kalsium
(seperti keju) dapat mengurangi
penyerapan tetrasiklin, sehingga
tetrasiklin harus dimakan 1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah
makan.
Alat Pengukur
Gunakanlah alat pengukur obat sesuai
dengan takarannya. Jangan
m e n g g u n a ka n s e n d o k m a ka n
maupun sendok teh yang ada di
rumah karena ukurannya tidak tepat.
Ukuran yang tidak tepat akan
berpengaruh pada dosis obat.
Sebaiknya gunakan sendok obat. Bila
obat sirup tidak dilengkapi dengan
sendok obat, anda bisa menggunakan
syringe yang jarumnya telah dilepas,
obat yang masuk takarannya akan
lebih tepat.
Waktu Pemberian Obat
Perhatikan juga waktu pemberian
obat pada anak. Sebelum, setelah,
atau bersamaan dengan waktu
makan. Ada obat yang seharusnya
diminum setelah makan, namun
karena ketidaktahuan dan kurangnya
informasi, obat tersebut dikonsumsi
sebelum makan yang mengakibatkan
mual pada anak. Sebaiknya tunggu
setelah 15 menit setelah makan
kemudian bisa diberikan obat pada
anak. Sekali lagi, bacalah informasi
obat dan tanyakan pada apoteker.
Penyimpanan Obat Di Rumah
Simpanlah obat pada suhu ruangan,
tidak terlalu panas dan tidak terlalu
dingin. Jangan menyimpan obat
dalam mobil
Periksalah kondisi obat sebelum
diberikan pada anak (apakah ada
perubahan fisik seperti gumpalan,
perubahan warna, atau berbau)
Jauhkan dari jangkauan anak
Saran Bagi Para Orang Tua
Merupakan hal yang wajar bila anak
sakit kemudian orang tua merasa
cemas. Berikut beberapa saran untuk
para orang tua yaitu:
* Orang tua jangan panik bila buah
hati sakit
* Orang tua perlu mengetahui bahwa
tidak semua penyakit anak
membutuhkan pemberian obat. Cari
tahu penyebabnya agar tindakan
tepat dapat dilakukan
* Lakukan penanganan pertama bila
anak sakit sebelum dibawa ke dokter
* Bila anak demam, namun kondisi
anak masih aktif dan ceria, cukup
lakukan istirahat
* Berikan makanan yang bergizi dan
sehat bagi anak
* Dalam menghadapi anak yang susah
makan, bisa saja karena anak merasa
bosan dengan menu makanan dan
tampilan makanan. Yang dianjurkan
adalah pemberian makanan sehat
dan segar. Pemberian vitamin pada
anak diperbolehkan apabila memang
diperlukan
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PARACETAMOL PASCA IMUNISASI
Imunisasi merupakan hak anak paling
dasar, terutama di Indonesia dimana
terdapat berbagai macam bakteri
dan virus yang siap menyerang buah
hati kita. Imunisasi merangsang
sistem imunologi tubuh untuk
membentuk antibodi spesifik
sehingga dapat melindungi tubuh
dari serangan mikroorganisme
tersebut. Karena itu, imunisasi pun
menjadi santapan rutin anak
Indonesia. Demikian juga konsumsi
obat penurun panas untuk mencegah
atau mengatasi demam yang muncul
sebagai kejadian ikutan pasca
imunisasi (KIPI).
Pemberian parasetamol sebagai
pencegah demam memang sering
dilakukan oleh orangtua maupun
dokter untuk mengurangi
kekhawatiran orangtua terhadap
timbulnya demam setelah imunisasi
tersebut. Center for Disease Control
and Prevention (CDC) pun
m e ny e b u t ka n b a h w a h a l i n i
bermanfaat terutama untuk anak
yang memiliki risiko tinggi timbul
kejang yang dicetuskan oleh demam
tinggi.
Sebuah penelitian yang dilakukan
pada 459 bayi di Republik Ceko dan
dimuat dalam jurnal kedokteran
Lancet edisi 17 Oktober 2009,
menunjukkan bahwa pemberian
parasetamol pada 24 jam pertama
setelah imunisasi memang efektif
mencegah demam tinggi pada anak.
Hanya 42% anak dalam grup yang
diberikan parasetamol yang
mengalami demam > 38°C setelah
imunisasi, dibandingkan dengan 66%
pada grup yang tidak mendapatkan
obat.
Namun, dari penelitian tersebut juga
ditemukan hubungan antara
pemberian parasetamol dengan
kadar antibodi spesifik dalam darah
beberapa vaksin, seperti HiB, DPT,
Hepatitis B, polio, dan pneumokokus.
Anak yang diberikan obat tersebut
memiliki kadar antibodi pelindung
yang lebih rendah dibandingkan
dengan pada grup yang tidak
mendapatkan obat. Kadar tersebut
tetap rendah secara signifikan pada
grup ini walaupun telah diberikan
vaksinasi booster sewaktu anak
berusia 12 15 bulan.
Berdasarkan 10 penelitian lain
m e n g e n a i p e m b e r i a n va k s i n ,
ditemukan juga bukti-bukti
pendukung bahwa penggunaan
parasetamol untuk mencegah
demam sebagai KIPI dapat menekan
respon sistem imun. Namun, hal ini
tidak berlaku untuk pemberian obat
tersebut untuk mengatasi demam
yang memang sudah timbul.
Memang perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai relevansi klinis
penemuan ini, ujar Profesor Roman
Prymula, ketua penelitian ini. Namun,
ia menambahkan bahwa berdasarkan
hasil penelitian ini, “pemberian
parasetamol sebagai pengobatan
profilaksis (pencegahan) setelah
imunisasi sebaiknya tidak
d i re ko m e n d a s i ka n l a g i ta n p a
menimbang dengan seksama antara
keuntungan serta risikonya.”
Dengan adanya penelitian ini,
orangtua maupun dokter di Indonesia
berpikir lebih seksama dalam
memberikan parasetamol untuk
mencegah demam sebagai KIPI pada
anak. Sebaiknya obat tersebut hanya
diberikan jika memang sudah muncul
gejala demam. Orangtua pun tidak
perlu khawatir karena demam
merupakan tanda bahwa sistem
kekebalan tubuh bekerja dengan baik
dan secara tidak langsung
menunjukkan bahwa imunisasi yang
dilakukan juga efektif sehingga
merupakan reaksi yang wajar.
kalbe.co.id
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 31
Artikel
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PENYIMPANAN OBAT
Masa penyimpanan semua jenis
obat mempunyai batas waktu, karena
lambat laun obat akan terurai secara
kimiawi akibat pengaruh cahaya,
udara dan suhu. Akhirnya khasiat
obat akan berkurang. Tanda-tanda
kerusakan obat kadangkala tampak
dengan jelas, misalnya bila larutan
bening menjadi keruh dan bila warna
suatu krim berubah tidak seperti
awalnya ataupun berjamur. Akan
tetapi dalam proses rusaknya obat
tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang. Bentuk dan baunya obat
tidak berubah, namun kadar zat
aktifnya sudah banyak berkurang,
atau terurai dengan membentuk zatzat beracun. berkurangnya zat aktif
hanya dapat ditetapkan dengan
analisa di laboratorium. Menurut
aturan nternasional, kadar obat aktif
dalam suatu sediaan diperbolehkan
menurun sampai maksimal 10%,
lebih dari 10% dianggap terlalu
banyak dan obat harus dibuang.
Aturan Penyimpanan
Guna memperlambat penguraian,
Hal. 32 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
maka semua obat sebaiknya disimpan
di tempat yang sejuk dalam wadah asli
dan terlindung dari lembab dan
cahaya. Dan hendaknya di suatu
tempat yang tidak bisa dicapai oleh
anak2, agar jangan dikira sebagai
permen berhubung bentuk dan
warnanya kerapkali sangat menarik.
Obat-obat tertentu harus disimpan di
lemari es dan persyaratan ini selalu
dicantumkan pada bungkusnya,
contoh insulin.
Lama Penyimpanan Obat
Masa penyimpanan obat tergantung
dari kandungan dan cara
menyimpannya. Obat yang
mengandung cairan paling cepat
terurainya, karena bakteri dan jamur
dapat tumbuh baik di lingkungan
lembab. Maka itu terutama obat tetes
mata, kuping dan hidung, larutan,
sirup dan salep yang mengandung
air/krim sangat terbatas jangka waktu
kadaluwarsanya. Pada obat-obat
b i a s a nya a d a ka n d u n ga n za t
pengawet, yang dapat merintangi
pertumbuhan kuman dan jamur. Akan
tetapi bila wadah sudah dibuka, maka
zat pengawetpun tidak dapat
menghindarkan rusaknya obat secara
keseluruhan. Apalagi bila wadah
sering dibuka-tutup. mis. dengan
tetes mata, atau mungkin
bersentuhan dengan bagian tubuh
yang sakit, mis. pipet tetes mata,
hidung atau telinga. Oleh karena itu
obat hendaknya diperlakukan dengan
hati-hati, yaitu setelah digunakan,
wadah obat perlu ditutup kembali
dengan baik, juga membersihkan
pipet/sendok ukur dan
mengeringkannya. Di negara-negara
maju pada setiap kemasan obat harus
tercantum bagaimana cara
menyimpan obat dan tang gal
kadaluwarsanya, diharapkan bahwa di
kemudian hari persyaratan ini juga
akan dijalankan di Indonesia secara
menyeluruh. Akan tetapi, bila
kemasan aslinya sudah dibuka, maka
tanggal kadaluwarsa tersebut tidak
berlaku lagi.
Kolom Hikmah
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
PELAYAN KEABADIAN
“Apa jadinya mereka kalau tidak ada
aku?”, “Ah, paling nanti juga tidak
akan ada banyak yang berubah dan
bisa dilakukan!”, “Pasti juga hanya
membual dan omong kosong, tak
lebih hanya keseringan diam di
tempat saja”. Tersadari dalam ucapan
secara lisan dan dalam hati, maupun
tanpa sadar muncul dalam umpatan
kalimat itu muncul ke permukaan.
Merasa diposisi yang cukup berarti
dalam satu keadaan, sehingga
wacana dalam jiwa merasa bangga
akan dapat dengan mudah
dikembangbiakkan. Merasa diri
paling berarti. Dengan semena-mena
dalam berkarya, dengan asal-asalan
dalam menjalankan amanah dan
banyak penyimpangan tindakan yang
lainnya, kembali lagi karena merasa
diri paling berarti. Terlebih dalam
kebersamaan dengan lingkup
jamaah.
Di aspek yang satunya juga tidak
jarang untuk kita rasakan, “saya tidak
ada apa-apanya di antara mereka”,
“mereka bisa bergerak meski tanpa
adanya saya”, “saya tidak bisa apa-apa
dan saya tidak banyak bisa diharapkan
dalam kelompok ini”, “saya pilih
berhenti saja”. Kalau yang di paragraf
atas menunjukkan dengan garis
kepercayaan dirinya atau dramatisnya
disebut dengan garis kecongkakannya;
sedang di sini adalah yang kurang
memiliki kepercayaan diri, tidak
memiliki motivasi dan rendahnya
pengakuan pada diri sendiri, tidak
memandang segala kekuatan yang
telah dikaruniakan padanya.
Menyadur kalimat yang diucapkan
oleh Marie Chauvel dalam novel The
Da Vinci Code tulisan Dan Brown
“Selalu ada yang menunggu untuk
menggantikan dan membangun
kembali” inilah titik temu dan katakata simpel yang bisa mencambuk
kesewenangan kita. Setidaknya
mengajarkan kita akan arti kesadaran.
Dalam aspek keberjamaahan dalam
dakwah di sini juga bisa ditegaskan,
selaku pengemban amanah kita
hanyalah orang yang melaksanakan
tugas. Dimana mengemban memiliki
arti sebagai seorang pelayan, yang
melayani tanpa harus meninggikan
d i r i . M e n g h a m b a ka n s e ge n a p
kepemilikan hanya pada-Nya. Karena
setiap ada keengganan atas amanah
yang dititipkan hakikatnya amanah itu
tidak akan terlantar, pasti akan ada
hamba pilihanNya yang lain
menjalankannya, menuntaskan dan
memparipurnakan. Karena kita hanya
pengemban amanah perjuangan
dalam dakwah ini, dan sangat mudah
bagi Allah selaku majikan kita untuk
mencari pengganti pelayanannya. Dan
memang selalu ada yang menunggu
untuk menggantikan dan membangun
kembali. Kesadaran tinggi dituntut
dalam ranah ini. Jadilah yang terbaik!
Bukan berarti Allah merendahkan kita
dengan martabat sebagai pelayan,
namun Dia berkehendak
ketawadhuan muncul di setiap
hambaNya, Dia juga berkehendak
setiap dari hamba yang diciptakanNya
memiliki perjuangan keras dalam
perlombaan kebikan sehingga bisa
menggenggam satu predikat yang
sudah diberikan sebagai hamba
terbaikNya. Mencobalah untuk
menjadi pelayan di setiap keadaan,
dalam ranah peribadatan, dalam
ranah kehidupan sosial bernegara,
b e ro r ga n i s a s i m a u p u n d a l a m
pertemanan dan segala kesempatan
dan keadaan yang ada. Jangan rendah
diri namun janganlah bertinggi hati.
Lalu sampai kapankah kita akan
berhenti menganiaya saudara kita
sendiri dengan amanah yang sengaja
kita tinggalkan?
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 33
Back To Nature
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
KANDUNGAN DAN MANFAAT JAMBU BIJI
Mayoritas masyarakat Indonesia
pasti sudah tahu dengan buah yang
satu ini: Jambu biji. Bentuknya yang
bulat, warna daging buahnya yang
merah, dan rasanya yang manis
merupakan kelebihan yang dimiliki
oleh Jambu biji.
Tak mengherankan kalau kemudian
banyak orang yang gemar
mengonsumsi Jambu biji secara
konsisten karena mudah untuk
mendapatkannya dan harganya juga
murah.
Selain bisa dimakan langsung, Jambu
biji juga bisa dibuat menjadi jus yang
menyegarkan dan menyehatkan.
Buah yang berasal dari Amerika
Tengah ini biasanya tumbuh baik di
dataran rendah atau dataran tinggi.
Besar buahnya sangat bervariasi
mulai dari yang berdiameter 2,5
meter sampai dengan 10 cm. Untuk
pohonnya sendiri memiliki ciri
bercabang banyak dengan
Hal. 34 l Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013
ketinggiannya mencapai 15 meter.
Sedangkan buahnya berdaging lunak
dan tebal, memiliki biji yang masih
sedikit, dan rasanya manis.
Jambu biji memiliki banyak banyak
kandungan gizi yang sangat
bermanfaat untuk kesehatan.
Kandungan Vitamin C, A, B kompleks,
serat dan banyak mineral lainnya yang
dibutuhkan oleh tubuh.
Kandungan vitamin C dalam Jambu
biji lebih tinggi dibandingkan dengan
jeruk yang mengandung 49 mg/100
gram. Dan vitamin C yang terkandung
dalam Jambu biji ini lebih
terkonsentrasi pada kulit dan daging
buah bagian luarnya yang tebal.
Biasanya kandungan vitamin C di
dalam buah ini akan mencapai jumlah
yang maksimal menjelang matang.
Selain vitamin C, Jambu biji juga
banyak mengandung serat terutama
pectin yang merupakan serat yang
mudah larut dalam air, yang biasanya
digunakan untuk bahan pembuatan
gel atau jeli. Perlu Anda ketahui bahwa
manfaat serat jenis ini bagi tubuh ialah
untuk menurunkan kadar kolesterol
dengan cara mengikatnya bersamaan
dengan asam empedu di dalam tubuh
dan kemudian mengeluarkannya.
Jambu biji rendah akan kalori dan
lemak namun mengandung vitamin
penting diantaranya, mineral, dan
senyawa antioksidan poli-fenolik dan
flavonoid yang berperan penting
dalam pencegahan kanker, antipenuaan, serta meningkatkan daya
tahan tubuh.
Buah ini sangat kaya sumber serat
larut (5,4 g per 100 g buah, sekitar 14%
dari DRA), yang baik untuk
memperlancar pencernaan. Serat
membantu melindungi membran
mukosa usus dengan mengurangi efek
buruk racun serta mengikat bahan
kimia penyebab kanker di usus besar.
Jambu biji adalah sumber antioksidan
Back To Nature
Informasi kefarmasian dan alat kesehatan
dan vitamin C, menyediakan lebih
dari tiga kali dari kebutuhan asupan
harian. Kulit Luar jambu biji
mengandung tinggi vitamin C
daripada bagian tengahnnya.
Jambu biji kaya akan astringent yang
bersifat alkali dan memiliki manfaat
sebagai desinfektan dan anti bakteri,
sehingga membantu penyembuhan
diare atau disentri yang disebabkan
oleh pertumbuhan mikroba. Lebih
lanjut, nutrisi lain dalam jambu biji,
seperti vitamin C, karotenoid dan
kalium memperkuat dan
meremajakan sistem pencernaan.
Vitamin B pada jambu biji
memainkan peran penting dalam
kesehatan fungsi otak. Jambu biji
kaya akan vitamin B3 dan B6. Vitamin
B3,dikenal juga sebagai niasin yang
berfungsi merangsang fungsi otak
dan meningkatkan aliran darah, dan
vitamin B6, juga dikenal sebagai
pyridoxine, adalah nutrisi penting
untuk otak dan fungsi saraf.
Studi ilmiah menunjukkan bahwa
konsumsi buah-buahan yang kaya
vitamin C secara rutin membantu
tubuh menjadi lebih kuat melawan
infeksi, penyebab kanker serta radikal
bebas yang berbahaya untuk tubuh.
Buah jambu biji merupakan sumber
Vitamin-A dan flavonoid seperti betaka ro te n , l i ko p e n , l u te i n d a n
cr yptoxanthin. Senyawa yang
diketahui memiliki sifat antioksidan
dan sangat penting untuk kesehatan.
vitamin A juga dibutuhkan untuk
menjaga selaput lendir tetap sehat
dan untuk kulit. Konsumsi buahbuahan alami kaya akan karoten
dikenal untuk melindungi paru-paru
dan kanker rongga mulut.
Studi menunjukkan bahwa likopen
dalam jambu biji muda dapat
mencegah kerusakan kulit dari efek
sinar UV dan memberikan
perlindungan dari kanker prostat.
Jambu biji segar sangat kaya akan
kalium, bahkan lebih banyak
dibandingkan dengan pisang per 100
g berat buah. Kalium merupakan
komponen penting dari sel dan cairan
tubuh yang membantu mengontrol
detak jantung dan tekanan darah.
Jambu biji juga merupakan sumber
vitamin B kompleks seperti asam
pantotenat, niasin, vitamin B6
(pyridoxine), vitamin E dan K, dan
mineral seperti magnesium, tembaga,
dan mangan. Mangan digunakan oleh
tubuh sebagai faktor rekan untuk
enzim antioksidan, superoksida
dismutase. Tembaga dibutuhkan
dalam produksi sel darah merah.
Walaupun belum ada penelitian yang
pasti mengenai manfaat jambu merah
biji untuk mengobati demam
berdarah ( DBD ), namun banyak yang
mempercayai jambu biji merah dapat
meningkatkan trombosit darah pada
p e n d e r i ta n d e m a m b e rd a ra h .
Kandungan vitamin dan mineral yang
tinggi pada jambu biji merah dapat
membantu mempercepat proses
penyembuhan pada orang yang sakit
tanpa menyebabkan efek samping.
Sangat banyak manfaat buah jambu
b i j i m e ra h u n t u k ke s e h a t a n ,
disamping mudah didapatkan dimana
saja dan tentu saja harganya yang
murah. Buah jambu biji merah dapat
dikonsumsi secara langsung, atau
yang paling banyak dijadikan jus.
Buletin INFARKES Edisi V - Oktober 2013 l Hal. 35
Download