KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA SKRIPSI OLEH : SYAHRIATUR RAHMAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2016 KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra OLEH : SYAHRIATUR RAHMAH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2016 KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA NAMA : SYAHRIATUR RAHMAH NPM : 12120041 JURUSAN : ILMU HUKUM FAKULTAS : HUKUM DI SETUJUI dan DITERIMA OLEH : DOSEN PEMBIMBING ANDY USMINA WIJAYA, S.H., M.H Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelas Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya putra Surabaya. Surabaya, Agustus 2016 Tim Penguji Skripsi : Ketua : Andy Usmina Wijaya, S.H, M.H (………………………) (Dekan) Sekretaris : Andy Usmina Wijaya, S.H, M.H (………………………) (Pembimbing) Anggota : 1. Dr. H. Taufiqurrahman, S.H, M.Hum (………………………) (Dosen Penguji I) 2. Musa, S.H, M.H (Dosen Penguji II) (………………………) ORANG-ORANG HEBAT DI BIDANG APAPUN BUKAN BARU BEKERJA KARENA MEREKA TERINSPIRASI, NAMUN MEREKA MENJADI TERINSPIRASI KARENA LEBIH SUKA BEKERJA. MEREKA TIDAK MENYIANYIAKAN WAKTU UNTUK MENUNGGU INSPIRASI. (ERNEST NEWMAN) MOTTO JIKA KESEMPATAN TIDAK PERNAH DATANG, BUATLAH! KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah s.w.t karena berkat limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA” sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir Sarjana Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Penulisan skripsi ini tidak dapat saya selesaikan tanpa adanya pihakpihak terkait yang memberikan motivasi baik itu riil maupun spiritual. Oleh karena itu saya banyak mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua saya yang selalu memberikan semangat dan do’a tulus di dalam ibadahnya. 2. Mirza Viandri, SE selaku suami saya yang juga selalu sabar menemani saya mengerjakan skripsi sampai malam dan memberikan semangat serta do’a kepada saya. 3. Bapak Budi Endarto, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 4. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, S.H., M.Hum, selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 5. Bapak Andy Usmina Wijaya, S.H., M.Hum, selaku Dekan dan Kepala Program Studi Universitas Wijaya Putra Surabaya sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi saya. i 6. Bapak / Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya. 7. Ibu Adisti selaku HRD saya di IBIS Budget Surabaya HR Muhammad yang sudah sangat baik dan sabar memberikan saya waktu untuk cuti maupun sering pulang awal demi kelancaran skripsi saya. 8. Santi Meilina, selaku teman seangkatan saya di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra yang sudah sangat baik juga bersedia meminjamkan laptop kepada saya ketika laptop saya rusak. 9. Dewi Ristiyaningrum selaku teman seangkatan saya di Universitas Wijaya Putra yang tidak membantu apa-apa namun sangat dekat dengan saya. 10. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga amal ibadah dan amal perbuatan yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapatkan pahala dan berkah dari Allah s.w.t. Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis megharapkan saran, kritik, masukan yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan skripsi. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai lebih dan manfaat yang besar bagi semua pihak untuk menambah wawasan dan pengetahuan di dunia pendidikan di Indonesia yang akan datang. Surabaya, Agustus 2016 Terimakasih Penulis ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Rumusan masalah ................................................................................. 5 1.3 Penjelasan Judul..................................................................................... 5 1.4 Alasan Pemilihan Judul ........................................................................... 6 1.5 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................. 8 1.7 Metode Penelitian ................................................................................... 8 1.8 Sistematika Pertanggungjawaban ........................................................... 11 BAB II PENGATURAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK MENURUT KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA ........................................................ 13 2.1 Pengertian Perjanjian ............................................................................. 13 2.2 Pengertian TandaTangan ....................................................................... 21 2.3 Latar Belakang Munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi danTransaksi Elektronik ................................................................ 23 2.4 Pengertian Kontrak Elektronik ................................................................. 25 2.5 Jenis dan Bentuk Kontrak Bisnis secara Elektronik ................................. 26 2.6 Pengertian Tanda Tangan Elektronik ..................................................... 28 2.7 Tujuan Tanda Tangan Elektronik ........................................................... 35 2.8 Klasifikasi Tanda Tangan Elektronik ...................................................... 36 2.9 Sumber Hukum dan Pengaturan Tanda Tangan Elektronik ................... 37 iii 2.10 Kelemahan dan Keunggulan Tanda Tangan Elektronik ....................... 38 2.11 Atribut Tanda Tangan Elektronik .......................................................... 39 2.12 Cara Kerja Tanda Tangan Elektronik ................................................... 40 BAB III KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA .......................................................................... 44 3.1 Keabsahan Tanda Tangan Elektronik .................................................... 44 3.2 Aspek Perlindungan Konsumen dalam penggunaan Tanda Tangan Elektronik ..................................................................................................................... 48 3.3 Perbedaan Pendapat dalam menanggapi Keabsahan Informasi, Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik sebagai alat bukti .......................................... 54 BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 59 4.1 Kesimpulan ............................................................................................ 59 4.2 Saran ..................................................................................................... 60 Daftar Bacaan .............................................................................................. 61 iv 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman saat ini sangatlah pesat bila dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Saat ini perkembangan ilmu pengetahuan yang ada sudah cukup berkembang apalagi dengan hadirnya era internet. Kebutuhan akan dunia yang serba praktis ini mendukung semakin berkembanganya dunia maya. Semua orang saat ini butuh sesuatu yang serba cepat. Untuk mencari sesuatu didalam jaringan Internet semua orang bisa mengakses dan mendapatkan informasi dengan mudah. Informasi sangat mudah didapat pada saat era internet seperti saat ini. Mulai dari anak kecil sampai orang tua sering menggunakan layanan jaringan internet. Setiap infomasi yang mereka butuhkan sangat cepat dan mudah didapat. Hanya menggunakan tombol klik saja maka informasi yang mereka inginkan bisa didapat di dalam jaringan internet. Dunia maya memastikan untuk kita berhubungan dengan banyak orang. Informasi yang kita peroleh pun juga bertambah banyak. Cara kita memperoleh informasi inilah sekarang dilindungi melalui suatu peraturan perundang-undangan yang ada di UU No. 11 Tahun 2008. Begitu banyak cara kita memperoleh informasi di dalam dunia maya. Informasi mengenai apa saja dapat dicari di jaringan internet dunia maya. Banyak orang yang sering menyalahgunakan penggunaan informasi secara elektonik ini oleh karena itu dibutuhkan sesuatu aturan perundang – undangan untuk melindunginya. Selain untuk mencari informasi maka kita dapat juga melakukan trasaksi melalui jaringan Internet. Transaksi elektronik 2 saat ini sudah sering dilakukan karena orang begitu ingin praktisnya. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya internet seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya. Ironisnya, dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri dan masyarakat informasi, seolah masih tampak prematur untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut. Pola dinamika masyarakat Indonesia seakan masih bergerak tak beraturan ditengah keinginan untuk mereformasi semua bidang kehidupannya ketimbang suatu pemikiran yang handal untuk merumuskan suatu kebijakan ataupun pengaturan yang tepat untuk itu. Meskipun masyarakat telah banyak menggunakan produk-produk teknologi informasi dan jasa telekomunikasi dalam kehidupannya, namun bangsa Indonesia secara garis besar masih meraba-raba dalam mencari suatu kebijakan publik dalam membangun suatu infrastruktur yang handal (National Information Infrastructure) dalam menghadapi infrastruktur informasi global (Global Information Infrastructure).1 Indonesia yang berada dalam era globalisasi ditandai dengan era teknologi informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace, virtual world) melalui jaringan internet, komunikasi dengan media elektronik tanpa kertas. Melalui media elektronik ini maka seseorang akan mememasuki dunia 1 Maria Farida Indrati Soepapto, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998, hal. 25. 3 maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan tempat dan waktu.2 Masyarakat Indonesia yakin bahwa peran informasi berperan untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu kemajuan teknologi informasi juga mempengaruhi kondisi sosial pada masa yang akan datang, seperti sistem pelayanan medis, sistem pelayanan pendidikan, sistem pelayanan administrasi pemerintahan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.3 Setiap orang dapat memberikan informasi tentang segala hal, termasuk juga pemberian informasi terhadap penjualan suatu barang atau jasa dengan menggunakan teknologi informasi ini, dari informasi tersebut, apabila seseorang tertarik untuk memiliki suatu produk barang atau jasa yang ditawarkan tersebut, maka akan terjadi suatu transaksi elektronik. Kedudukan sederajat antara perlindungan hukum, kehandalan dan keamanan teknologi informasi akan menciptakan suatu “kepercayaan” kepada para penggunanya, tanpa kepercayaan ini perdagangan elektronik dan pemerintahan elektronik yang saat ini digalakkan oleh pemerintah Indonesia tidak akan berkembang. Kepercayaan ini dapat diperoleh dengan memberikan pengakuan hukum terhadap tulisan elektronik. Hingga hari ini hukum positif Indonesia menentukan bahwa hanya satu cara untuk memberikan kekuatan hukum dan akibat hukum terhadap suatu akta, yaitu dengan tanda tangan manuskrip. Namun, dalam praktek perdagangan khususnya, tanda tangan manuskrip sudah kian tergeser dengan penggunaan tanda tangan elektronik yang melekat pada akta 2 Mariam Darus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber ( Cyber Law ) di Indonesia, Pidato Purna Bhakti, Medan, 13 Nopember 2001, hal. 3 3 Ibid, hal. 6 4 terdematerialisasi atau dengan kata lain “akta elektronik”, sehingga timbul perdebatan tentang pengakuan, kekuatan hukum dan akibat hukum dari sebuah tanda tangan elektronik. Transaksi elektronik bersifat non face (tanpa bertatap muka), non sign (tidak memakai tanda tangan asli) dan tanpa batas wilayah (seseorang dapat melakukan transaksi elektronik dengan pihak lain walaupun mereka berada di Negara yang berbeda) dengan menggunakan teknologi informasi.4 Dalam perkembangannya, aspek keamanan dalam informasi sudah mulai diperhatikan. Ketika informasi ini menjadi rusak maka akan terdapat resikoresiko yang harus ditanggung oleh orang-orang baik yang mengirim, membutuhkan, ataupun sekedar melihatnya, dikarenakan penggunaan informasi elektronik ini, menggunakan jaringan publik, dimana setiap orang dapat mengetahui informasi elektronik tersebut, atau apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi dari transaksi elektronik yang telah disepakati dengan pihak yang lain, hal ini merugikan pihak yang berkepentingan yang menggunakan teknologi informasi untuk penjualan suatu barang atau jasa. Dengan pengertian informasi elektronik yang mencakup spektrum luas menjadi hal yang essensial dalam kegiatan virtual terutama kegiatan Ecommerce. Bagaimana dengan tanda tangan asli serta informasi yang ditandatangani di kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, apakah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah? Tentu tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, karena tanda tangan itu tidak dibuat berdasarkan informasi yang disepakati atau dengan kata lain informasi yang disepakati tidak menjadi data pembuatan tangan tangan, 4 Penjelasan Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 5 sehingga perubahan tanda tangan elektronik dan/atau informasi elektronik setelah waktu penandatanganan tidak dapat diketahui. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis ingin meneliti dan menyusun skripsi yang berjudul : “KEABSAHAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK DALAM PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan, yakni : a. Bagaimana pengaturan tanda tangan elektronik menurut perundangundangan di Indonesia? b. Bagaimana keabsahan tanda tangan elektronik dalam suatu perjanjian perdata? 1.3 Penjelasan Judul Skripsi dengan judul “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian Perdata di Indonesia” adalah merupakan suatu penelitian dan analisis tentang sah atau tidaknya suatu transaksi dan/atau perjanjian yang menggunakan tanda tangan elektronik sebagai tanda kesepakatan para pihak. Dalam skripsi ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai bagaimana proses dan pengaturan tata hukumnya dalam perundang-undangan di Indonesia. Namun untuk menghindari multitafsir dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya suatu penjelasan istilah skripsi ini sebagai berikut : 6 “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian Perdata di Indonesia” Keabsahan adalah sebuah Nomina (kata benda) sifat yang sah,5 yang melekat pada suatu benda. Seperti pada kalimat berikut, puluhan tahun kemudian, orang meragukan keabsahan surat itu. Tanda Tangan Elektronik berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Perjanjian Perdata berdasarkan pada ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 1.4 Alasan Pemilihan Judul Alasan pemilihan judul “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada Perjanjian Perdata di Indonesia” adalah dikarenakan saat ini sering ditemukan transaksi-transaksi dan kontrak bisnis yang dilakukan melalui media internet yang menggunakan tanda tangan elektronik. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. 5 http://www.kamuskbbi.id/ 7 Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Padahal hingga saat ini hukum positif Indonesia masih menentukan bahwa hanya satu cara untuk memberikan kekuatan hukum dan akibat hukum terhadap suatu akta, yaitu dengan tanda tangan manuskrip. Namun, dalam praktek perdagangan khususnya, tanda tangan manuskrip sudah kian tergeser dengan penggunaan tanda tangan elektronik yang melekat pada akta terdematerialisasi atau dengan kata lain “akta elektronik”, sehingga timbul perdebatan tentang pengakuan, kekuatan hukum dan akibat hukum dari sebuah tanda tangan elektronik. Atas dasar tersebut, saya tertarik untuk membuat skripsi tentang keabsahan tanda tangan elektronik pada setiap transaksi dan kontrak elektronik khususnya bagaimana pengaturan hukumnya dalam tata hukum perundang-undangan di Indonesia. 1.5 Tujuan Penelitian Dalam setiap penelitian tentu dan pasti mempunyai tujuan yang diharapkan dari penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut : a) Untuk mengetahui bagaimana pengaturan tanda tangan elektronik menurut tata hukum yang berlaku di Indonesia b) Untuk mengetahui keabsahan tanda tangan elektronik dalam suatu perjanjian perdata 8 1.6 Manfaat Penelitian Saya berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi saya dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang didapat dari penulisan hukum ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis. a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya. b) Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a) Memberikan masukan bagi pemerintah untuk menjamin kepastian hukum mengenai pengakuan tanda tangan pada suatu dokumen elektronik di Indonesia; b) Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang pengakuan tanda tangan pada suatu dokumen elektronik di Indonesia 1.7 Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian Jenis penelitian skripsi ini adalah menggunakan yuridis yang mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. 9 2) Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang mengacu pada perundang-undangan (statue approach) yang mengacu pada pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu pendekatan yang melihat norma-norma hukum tentang tanda tangan elektronik mengenai pengaturan keabsahan tanda tangan elektronik. 3) Langkah Penelitian a. Obyek Penelitian Pengaturan Kebsahan Tanda Tangan Elektronik pada perjanjian perdata di Indonesia berdasarkan KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. b. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah berupa bahan hukum, yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan meliputu : a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat secara yuridis seperti undang-undang dan yurisprudensi. b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti rancangan perundang-undangan, teks-teks tentang hukum, hasil penelitian, majalah, buku-buku, jurnal dan literatur. 10 c) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan maupun memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi. c. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Penyusunan penelitian ini menggunakan cara untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang diperlukan sesuai dengan pokok pembahasan. Bahan hukum yang dikumpulkan sebagai sumber penelitian adalah : ¸ KUH Perdata dan UU Nomor 11 Tahun 2008 Adalah sebagai bahan hukum primer yaitu sebagai dasar landasan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan dasar KUH Perdata dan UU Nomor 11 Tahun 2008 inilah sebagai dasar acuan dalam pembuatan penelitian hukum. ¸ Buku dan artikel yang berkaitan langsung dengan keabsahan tanda tangan elektronik adalah sebagai sumber hukum sekunder yaitu menjelaskan dan memaparkan secara rinci mengenai bahan hukum primer yang diperoleh melalui risalah rapat, sumber buku, yang ada kaitannya dengan penulisan penelitian hukum ini. ¸ Kamus Adalah sebagai bahan hukum tersier yaitu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 11 Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan-bahan yang harus dikumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan selanjutnya dengan wilayah-wilayah yang menjadi pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap artikel, majalah-majalah, surat kabar, risalah-risalah, buku-buku, serta peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini. d. Metode Analisis Menganalisis keabsahan tanda tangan elektronik dalam perjanjian perdata di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode analisis tersebut menggunakan cara deduktif, dimana pembahasan diuraikan lebih lanjut dengan menggambarkan wilayah-wilayah yang bersifat umum menjadi wilayah-wilayah yang bersifat khusus. 1.8 Sistematika pertanggungjawaban Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis kemudian disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I adalah Pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika pertanggungjawaban. 12 BAB II yang meliputi tinjauan tentang pengaturan tanda tangan elektronik berdasarkan KUH Perdata dan UU Nomor 11 Tahun 2008. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai kerangka pemikiran, sehingga sangat membantu dalam menjawab permasalahan yang menjadi obyek dalam penelitian hukum ini. BAB III adalah menjelaskan dan membahas tentang bagiamana keabsahan tanda tangan elektronik menurut norma, kaidah aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta bagaimana kekuatan hukumnya sebagai alat bukti yang sah. BAB IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 13 BAB II PENGATURAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK MENURUT KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA 2.1 Pengertian Perjanjian Sudikno Mertokusumo menyatakan, perjanjian adalah perbuatan hukum dan hubungan hukum antara dua (2) pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.6 Perjanjian berisi kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat untuk ditaati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Sedangkan R. Soebekti menyatakan, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.7 Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.8 Perjanjian berdasarkan pada ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa suatu perjanjian adalah9: 1. suatu perbuatan; 6 Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), PT. Liberty, Yogyakarta, Hlm. 103 7 R.Soebekti, 1992, Aneka Perjanjian, Citra Aditya, Bandung, Hlm. 1 8 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, Hlm. 8 9 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, PT.Raja Grafindo, Jakarta, Hlm. 7 14 2. antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang); 3. perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal kertentuan Pasal 1313 KUH Perdata hendak menjelaskan pada kita semua, bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil dan perjanjian riil. Hukum perjanjian dalam KUH Perdata menganut sistem terbuka, yang merupakan kebalikan dari sistem tertutup yang dianut oleh hukum benda, pasal-pasal dalam hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap, yang berarti bahwa pasal-pasal itu dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, para pihak boleh mengatur sendiri kepentingannya dalam perjanjian yang diadakan. Apabila mereka tidak mengatur sendiri, itu berarti akan tunduk pada undang-undang.10 Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hakhak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku 10 R.Subekti, 1974, Hukum Perjanjian PT.Internusa, Jakarta, Hlm. 127 15 bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Berikut di bawah ini asas-asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata : 1) Asas Pacta Sunt Servande Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, ialah semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir karena undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berbeda.11 2) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320 ayat 4 KUH Perdata yang berbunyi “suatu sebab yang tidak terlarang”. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib 11 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 59 16 dilakukan tersebut bukanlah sesuatu sebab yang terlarang, ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum”. Pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar Undang-Undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.12 Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.13 3) Asas Konsensualitas Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata kesepakatan. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia, memantapkan adanya kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa, adalah contradictio interminis. Adanya paksaan, menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu 12 Ibid., Hlm. 46 Rosa Agustina T. Pangaribuan, 2003, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Batas-Batasnya, www.google.com Hlm. 1 13 17 untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it). 4) Asas Pelengkap Asas dalam Buku ke-III KUH Perdata, bahwa ketentuan undangundang boleh tidak diikuti, dikesampingkan, menyimpang dari ketentuan undang-undang oleh para pihak yang berjanji. 5) Asas Kepribadian Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, pada umumnya tiada seorangpun dapat mengikatkan diri atas norma sendiri/minta ditetapkan suatu janji melainkan untuk diri sendiri. 6) Asas Obligatoir Perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baru taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik, hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan. Syarat sahnya perjanjian untuk suatu perjanjian yang sah, harus memenuhi empat syarat sahnya perjanjian berdasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan dirinya dan kemauan itu harus dinyatakan, pernyataan ini dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jikalau perjanjian 18 itu telah terjadi karna paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog), berdasarkan pada Pasal 1321 KUH Perdata.14 b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum, merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal, berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum.15 Kewenangan bertindak orang perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat dibedakan ke dalam : 1. kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, yang berkaitan dengan kecakapannya untuk bertindak dalam hukum; 2. kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain; 3. kewenangan untuk bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain; 4. kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan. Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah : a) anak yang belum dewasa; b) orang yang ditaruh di bawah pengampuan; c) perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara laki-laki 14 R.Subekti, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermesa, Jakarta, Hlm. 112 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., Hlm. 143 15 19 dan perempuan, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata tidak berlaku lagi. Setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1963, ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, yang intinya bahwa Pasal 108 dan 110 KUH Perdata, tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya sudah tidak berlaku lagi.16 c) Suatu hal tertentu KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya”, tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak 16 Kudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2008, Dinamika Pemikiran Hukum, www.google.com, Hlm. 3 20 menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. Perjanjian yang diperjanjikan harus suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban dari si berhutang jika ada perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berhutang diharuskan oleh pada waktu perjanjian dibuat, tidak undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.17 d) Suatu sebab yang halal Selanjutnya Undang-Undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian adanya suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu causa atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Menurut apa yang diterangkan di atas teranglah, bahwa praktis hampir tidak ada perjanjian yang tidak mempunyai causa. Suatu causa yang palsu 17 Rosa Agustina T. Pangaribuan, Op.Cit., Hlm.1 21 terdapat jika suatu perjanjian dibuat dengan pura-pura saja, untuk menyembunyikan causa yang sebenarnya yang tidak diperbolehkan. Adapun suatu causa yang tidak diperbolehkan, ialah yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum berdasarkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam Pasal 1332 KUH Perdata yang menyebutkan, bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian. Apabila syarat hal tertentu dan kausa halal merupakan unsur objektif (kepentingan didalam perjanjian), bila syarat tersebut tidak dipenuhi salah satunya dalam perjanjian, maka akibat hukum terhadap perjanjian yang dibuat itu batal demi hukum (Nietigbaar). Dalam arti, perjanjian yang dibuat itu menurut hukum dianggap tidak pernah ada dan orang-orang yang membuat perjanjian itu tidak dapat saling menuntut ganti rugi. 2.2 Pengertian Tanda Tangan Penggunaan tanda tangan adalah suatu kebiasaan formil yang digunakan untuk menyatakan persetujuan seseorang sekaligus memastikan identitas (authentification) orang tersebut yang bertanda tangan untuk sesuatu baik yang berimplikasi hukum maupun yang tidak. 22 Menurut Tan Thong Kie, tanda tangan adalah suatu pernyataan kemauan pembuat denganmembubuhkan tanda tanda tangan (penandatanganan), tangannya di bawah bahwa suatu ia tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.18 Pengertian tanda tangan dalam arti umum adalah tanda tangan yang dapat didefinisikan sebagai suatu susunan (huruf) tanda berupa tulisan dari yang menandatangani, dengan mana orang yang membuat pernyataan atau keterangan tersebut dapat di individualisasikan.19 Definisi tersebut mencakup suatu anggapan, bahwa pada pernyataan yang dibuat secara tertulis harus dibubuhkan tanda tangan dari yang bersangkutan. Menurut American Bar Association (ABA), pengertian tanda tangan dapat berupa tanda apapun yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan persetujuan dan otentifikasi terhadap suatu dokumen tersebut.20 Pengertian dari tanda tangan sekarang ini merujuk kepada tanda tangan tertulis seseorang di atas kertas atau yang dapat disamakan dengan itu. Inti dari tanda tangan difokuskan pada pengertian dasar 18 Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Hlm. 473 19 erlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 220 20 Information Security Committee, Section of Science & Technology – American Bar Association, Tanda tangan elektronik Guideliness (United States, American Bar Association: 1996), hlm. 4. Pengertian dari otentifikasi menurut ABA adalah “authentication is generally the process used to confirm the identity of a person or to prove the integrity of xpecific information. More specifically, in the case of a message, authentication involves determining its source and providing assurance that the message has not been modified or replaced in transit. The historical legal concept of tanda tangan is broader. It recognizes any mark made with the intention of authenticating the marked document”. 23 tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian tanda tangan itu sendiri adalah tanda sebagai lambang nama yang dituliskan dengan tangan oleh orang itu sendiri sebagai penanda pribadi (telah menerima). Jika dilihat dari pengertian tersebut, pengertian tanda tangan belum tentu merujuk kepada suatu tanda tangan secara “tertulis” tetapi justru terhadap suatu penandaan, dimana tanda tersebut dapat merujuk kepada bertanda tangan itu. Penggunaan tanda tangan adalah suatu kebiasaan formil yang digunakan untuk menyatakan persetujuan seseorang sekaligus memastikan identitas (authentification) orang tersebut yang bertanda tangan untuk sesuatu yang baik yang berimplikasi hukum maupun yang tidak. 2.3 Latar Belakang Munculnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pada bulan Juni 2000, Kongres mencoba untuk memecahkan masalah ini dengan Tanda Tangan Elektronik di Global dan Perdagangan Nasional Undang-Undang (E-Sign). Pada tanggal 30 Juni 2000, Presiden Clinton menandatangani menjadi undang-undang Tanda Tangan Elektronik di Global dan Perdagangan Nasional Undang-Undang (ESign). Kongres diundangkan undang-undang ini jauh diantisipasi dengan tujuan perampingan bisnis dengan memungkinkan lebih nyaman, dan lebih murah transaksi tanpa kertas, lebih cepat. Meskipun 40 negara telah berlaku hukum untuk menyediakan penggunaan tanda tangan elektronik, hukum-hukum ini sangat bervariasi. E-Kongres disesuaikan daftar untuk memberikan status hukum dan seragam dengan tanda tangan elektronik. 24 Sebagai e-Commerce telah meledak dalam dekade terakhir, pengadilan telah bergumul dengan tantangan untuk menerapkan hukum kontrak tradisional, sebagian dipandu oleh undang-undang penipuan, untuk transaksi elektronik. Patung penipuan memerlukan transaksi tertentu yang harus secara tertulis dan ditandatangani oleh pihak yang terlibat. Pengadilan dihadapkan dengan pertanyaan apakah transaksi elektronik memenuhi ini "persyaratan menulis," menjawab "ya”. Kebingungan ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting mengenai apakah pengadilan, dalam kasus-kasus masa depan, secara konsisten akan menegakkan kontrak elektronik. Ketidakpastian ini menimbulkan masalah serius yang pasti akan menghambat e-Commerce. Di antara kebingungan ini terletak kemungkinan hilangnya keamanan dan akuntabilitas yang diberikan oleh undang-undang penipuan Seperti Perwakilan Davis dicatat dalam diskusi US House of E-Sign. Semua hal lain dianggap sama, ketika pihak tahu bahwa jaminan akuntabilitas tanda tangan, bahwa mereka mendapatkan manfaat, dan pada saat yang sama melaksanakan kewajiban tertentu sebagai imbalan, perilaku mereka selalu dibentuk oleh kepastian yang hasilnya saat pihak terikat secara kontraktual. Oleh karena itu, dalam rangka untuk mendapatkan perlindungan dari undangundang penipuan, tanda tangan elektronik harus memiliki beberapa ukuran keamanan dan akuntabilitas. Ini adalah masalah di mana Kongres, negara, dan yang paling penting, pasar sendiri, harus terus menetapkan pedoman baru yang baik meningkatkan dan meningkatkan keamanan dan akuntabilitas transaksi online. 25 2.4 Pengertian Kontrak Elektronik Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pasal 1 Ketentuan Umum, angka 17 dinyatakan bahwa kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Menurut Johannes Gunawan, “kontrak elektronik adalah kontrak baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara elektronik melalui situs internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak (dalam hal ini pelaku usaha), untuk ditutup secara elektronik pula oleh penutup kontrak (dalam hal ini konsumen). Di dalam kontrak elektronik selain terkandung ciri – ciri kontrak baku juga terkandung ciri – ciri kontrak elektronik sebagai berikut : ∑ Kontrak elektronik dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan melampaui batas – batas negara melalui internet. ∑ Para pihak dalam kontrak elektronik pada umumnya tidak pernah bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu. Edmon Makarim menggunakan istilah kontrak online (online contract) bagi kontrak elektronik kontrak online sebagai perikatan (e-contract) dan mendefinisikan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya 26 difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet (network of network). Kontrak elektronik menggunakan data elektronik sebagai pengganti kertas. Penggunaan data elektronik akan memberikan efisiensi yang sangat besar terutama bagi perusahaan yang menjalankan bisnis online melalui jaringan internet. Di dalam kontrak elektronik, para pihak tidak perlu bertatap muka secara langsung bahkan tidak akan pernah bertemu sama sekali. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak elektronik (e-contract) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan menggunakan media komputer, gadget atau alat komunikasi lainnya melalui jaringan internet. 2.5 Jenis dan Bentuk Kontrak Bisnis Secara Elektronik (e-contract) Jenis kontrak elektronik (e-contract) dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa barang/jasa yang bersifat fisik atau bersifat nyata, contoh barang berupa buku, atau jasa les privat. Kontrak jenis ini, para pihak (penjual dan pembeli) melakukan komunikasi pembuatan kontrak melalui jaringan internet. Jika telah terjadi kesepakatan, pihak penjual akan mengirimkan barang/jasa yang dijadikan objek kontrak secara langsung ke alamat pembeli (physical delivery). Jasa les privat dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk kunjungan guru les privat kerumah konsumen, jadi 27 bukan les privat berbentuk elektronik atau yang berbentuk interaksi online. 2. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa informasi/jasa non fisik. Pada kontrak jenis ini, para pihak pada awalnya berkomunikasi melalui jaringan internet untuk kemudian membuat kontrak secara elektronik. Jika kontrak telah disepakati, pihak penjual akan mengirimkan informasi/jasa yang dijadikan objek kontrak melalui jaringan internet (cyber delivery). Contohnya, kontrak pembelian buku elektronik (e-book), surat kabar elektronik (e-newspaper), majalah elektronik (e-magazine), atau kontrak untuk mengikuti les privat bahasa Inggris melalui jaringan internet (e-school). Beberapa bentuk kontrak elektronik yang umum dilakukan dalam transaksi perdagangan secara online yaitu: 1 Kontrak melalui elektronik mail (e-mail) adalah suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui komunikasi email. Penawaran dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui email atau dikombinasi dengan komunikasi elektronika lainnya, dokumen tertulis atau fax. 2 Suatu kontrak jasa online lainnya, dapat yaitu juga dibentuk melalui websites dan suatu website menawarkan penjualan barang dan jasa, kemudian konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi suatu formulir yang terpampang pada layar monitor dan mentransmisikannya. 3 Kontrak yang mencakup direct online transfer dari informasi dan jasa. Website digunakan sebagai medium of communication dan sekaligus sebagai medium of exchange. 28 4 Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu pertukaran informasi bisnis melalui secara elektronik melalui komputer milik para mitra dagang (trading partners). 5 Kontrak melalui internet yang disertai dengan lisensi click wrap dan shrink wrap. Software yang di download melalui internet lazimnya dijual dengan suatu lisensi click wrap. Lisensi tersebut mucul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan dipasang (Install) dan calon pembeli ditanya tentang kesediannya menerima persyaratan lisensi tersebut. Pengguna diberikan alternatif “ I accept” atau “I don’t accept”. Sedangkan shrink wrap lazimnya merupakan lisensi software yang dikirim dalam suatu bungkusan (package) misalnya disket atau compact disc. Sementara itu menurut Cita Yustisia Serfiani bentuk kontrak elektronik, mencakup: a. Kontrak melalui komunikasi e-mail. Penawaran dan penerimaan dilakukan melalui e-mail atau dikombinasikan dengan komunikasi elektronik lainnya misalnya melalui faksimili; b. Kontrak melalui web yang menawarkan penjualan barang dan jasa dimana konsumen dapat menerima tawaran dengan cara mengisi forulir yang terpampang dihalaman website; c. Kontrak melalui chatting dan video conference. 2.6 Pengertian Tanda Tangan Elektronik Pengertian tandatangan elektronik adalah sebagai alat bukti identifikasi para pihak, sebagai syarat formalitas, sebagai tanda 29 persetujuan, mengefisienkan maksud dari para pihak dalam sebuah perikatan yang terjadi melalui transaksi elektronik. Kekuatan beban pembuktian yang melekat dalam tandatangan elektronik ditinjau dari pembuktian hukum acara perdata memiliki kekuatan beban bukti setingkat dengan akta bawah tangan (ABT), oleh karena itu kekuatan beban bukti yang melekat dalam tanda tangan pada surat elektronik hanya kekuatan pembuktian formil dan pembuktian materil.21 Pengaturan penandatanganan non elektronik ditegaskan dalam Pasal 1 Ordonansi tahun 1867 No. 29. Dalam Ordonansi itu ditegaskan bahwa ketentuan tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka. Sejalan dengan itu Yahya Harahap juga menguraikan arti penting tanda tangan berfungsi sebab itu maka tangan. Menurut kepustakaan tersebut, tanda sebagai syarat yang mutlak sahnya suatu akta. Oleh tulisan yang hendak dijadikan surat harus ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya.22 Dengan perkataan lain, suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani, ditinjau dari segi hukum pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan. Dalam hubungan dengan itu, tanda tangan sebagai identitas diri juga menjadi simbol sekaligus semiotik hukum bahwa diantara 21 Keny Witso, Internet Isu, Bandung, Pustaka, Citra Aditama, 2002, hal., 11. Ibrahim Ibdam, Perbandingan Hukum Terhadap Peranti Keras Komputer, Bandung, Alumni, hal., 23. 22 30 para pihak itu telah melahirkan konsensus untuk tunduk pada normanoma imperatif yang dibangunnya. Oleh karena itu jika diringkaskan maka dalam hukum, hakikat tada tangan dalam kaitannya dengan tujuan hukum adalah sarana membangun kepastian untuk menjadi pedoman dalam melahirkan peristiwa-peristiwa hukum (seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan perjanjian utang piutang lainnya).23 Dari uraian di atas dapat disimpulkan hakikat dari pada tanda tangan elektronik sebagai berikut : Pertama, sebagai alat bukti identifikasi para pihak. Dari mekanisme atau tata kerja lahirnya tanda tangan elektronik melalui proses enkripsi dengan teknik kriptografi, lahirlah kunci privat dari salah satu pihak sehingga dapat membuka kunci publik milik pelanggan dari salah satu pihak yang hendak melakukan perjanjian tersebut. Kedua, memenuhi syarat formalitas. Dilibatkannya lembaga certification authority sebagai lembaga yang dipercaya untuk menjamin kerahasiaan elektronik tanda tangan. Negara masih mengusahakan agar memilki lembaga yang berada di bawah naungan Pemerintah untuk menerbitkan sertifikat elektronik. Ketiga, tanda persetujuan. Sifat yang ada dalam tanda tangan elektronik sebagai kunci untuk membuka kontrak yang telah dienkripsi pula maka pada saat pihak yang memiliki kunci privat mencocokan kunci publik milik pelaku usaha misalnya, maka pada saat pihak yang memiliki kunci publik itu mengetahui penawaran pelanggannya, maka 23 Mery Magdalena, Cyber Law Tidak Perlu Takut, Yogyakarta, Andi, 2007, hal., 73. 31 saat itu juga merupakan tanda persetujuan atas peristiwa hukum yang akan terjadi dari kedua pihak. Keempat, efisiensi. Setelah pelanggan menyatakan persetujuannya dengan membuka atau melakukan dekripsi atas kontrak yang telah dienkripsi, dan membaca segala ketentuan yang harus diikuti terhadap pelaku usaha, maka kedua pihak secara tegas menyepakati tunduk pada ketentuan yang ada dalam kontrak yang telah dienkripsi itu. Dalam kaitan dengan uraian di atas, sertifikat elektronik yang kemudian melahirkan dokumen/surat elektronik hanyalah dapat digolongkan dalam akta bawah tangan (ABT). Sertifikat elektronik dengan prinsip kerjanya menjamin rahasia dari surat tersebut oleh para pihak yang melakukan transaksi elektronik. Tapi satu sifat yang dimiliki oleh akta otentik tidak berlaku dalam sertifikat elektronik. Sifat yang melekat dalam akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.24 Sifat persyaratan tanda tangan elektronik, yaitu :25 1. Autentik. 2. Aman. 3. Interoperabilitas dari perangkat lunak maupun jaringan dari penyedia jasa. 4. Konfidensialitas. 5. Hanya sah untuk dokumen itu saja atau kopinya yang sama persis. 6. Dapat diperiksa dengan mudah. 24 Ibid, hal., 94. Loc.cit, Hlm. 91-92 25 32 7. Divisibilitas, berkaitan dengan spesifikasi praktis transaksi baik untuk volume besar atau skala kecil. Sedangkan Manfaat Tanda Tangan Elektronik (Tanda tangan elektronik) adalah suatu tanda tangan elektronik (tanda tangan elektronik) akan menyebabkan data elektronik yang dikirimkan melalui open network tersebut menjadi terjamin, sehingga mempunyai manfaat dari tanda tangan elektronik adalah sebagai berikut:26 a. Authenticity Dengan memberikan tanda tangan elektronik pada data elektronik yang dikirimkan, maka akan dapat atau bisa ditunjukkan darimana datadata elektronik tersebut sesungguhnya berasal. Terjaminnya integritas pesan tersebut bisa terjadi, karena keberadaan dari elektronik certificate. Elektronik Certificate diperoleh, atas dasar aplikasi kepada Certification Authority oleh user atau subscriber. Electronic Certificate berisi informasi mengenai pengguna antara lain: a. Identitas b. Kewenangan c. Kedudukan hukum d. Status dari user atau pengguna Electronic certificate ini memiliki berbagai tingkatan atau level, tingkatan dari electronic certificate ini menentukan berapa besar kewenangan yang dimiliki oleh pengguna. Contoh dari kewenangan atau kualifikasi ini adalah apabila suatu perusahan hendak melakukan perbuatan hukum, maka pihak yang berwenang mewakili perusahaan 26 Arrianto Mukti Wibowo, dkk, Op.Cit., Hlm. 5 33 tersebut adalah direksi. Jadi apabila suatu perusahaan hendak melakukan suatu perbuatan hukum maka electronic certificate yang dipergunakan adalah electronic certificate yang dipunyai oleh direksi perusahaan tersebut. Dengan keberadaan dari electronic certificate ini maka pihak ketiga yang berhubungan dengan pemegang electronic certificate tersebut dapat merasa yakin bahwa suatu pesan adalah benar berasal dari pengguna tersebut. b. Integrity Penggunaan tanda tangan elektronik yang diaplikasikan pada pesan atau data elektronik yang dikirimkan, dapat menjamin bahwa pesan atau data elektronik tersebut tidak mengalami suatu perubahan atau modifikasi oleh pihak yang tidak berwenang. Integritas atau integrityberhubungan dengan masalah keutuhan dari suatu data yang dikirimkan. Seorang penerima pesan atau data dapat merasa yakin apakah pesan yang diterimanya sama dengan pesan yang dikirimkan. Ia dapat merasa yakin bahwa data tersebut pernah dimodifikasi atau diubah selama proses pengiriman atau penyimpanan. Jaminan authenticityini dapat dilihat dari adanya hash function dalam sistem tanda tangan elektronik, dimana penerima data (recipient) dapat melakukan pembandingan hash value. Apabila hash value-nya sama dan sesuai, maka data tersebut benar-benar otentik, tidak pernah terjadi suatu 34 tindakan yang sifatnya merubah (modify) dari data tersebut pada saat proses pengiriman, sehingga terjamin authenticity-nya. Sebaliknya apabila hash value-nya berbeda, maka patut dicurigai dan langsung dapat disimpulkan bahwa recipient menerima data yang telah dimodifikasi. c. Non-Repudiation (Tidak Dapat Disangkal Keberadaannya) Non-Repudiation (Tidak Dapat Disangkal Keberadaannya), timbul dari keberadaan tanda tangan elektronik yang menggunakan enkripsi asimetris (asymmetric encryption). Enskripsi asimetris ini melibatkan keberadaan dari kunci privat dan kunci publik. Suatu pesan yang telah dienkripsi dengan menggunakan kunci privat, makaia hanya dapat dibuka/dienkripsi dengan menggunakan kunci publik dari pengirim. Jadi apabila terdapat suatu pesan yang telah dienkripsi oleh pengirim dengan menggunakan kunci privatnya, maka ia tidak dapat menyangkal keberadaan pesan tersebut, karena terbukti bahwa pesan tersebut didekripsi dengan kunci publik pengirim. Keutuhan dari pesan tersebut dapat dilihat dari keberadaan hash function dari pesan tersebut, dengan catatan bahwa data yang telah di-sign akan dimasukkan ke dalam elektronik envelope. Non-repudiation (Tidak dapat disangkalnya keberadaan) suatu pesan berhubungan dengan orang yang mengirimkan pesan tersebut. Pengirim pesan tidak dapat menyangkal bahwa ia telah mengirimkan suatu pesan apabila ia sudah mengirimkan suatu pesan. Ia juga tidak dapat menyangkal isi dari suatu pesan berbeda dengan apa yang ia kirimkan apabila ia telah mengirim pesan tersebut. Non repudiation adalah hal yang sangat penting bagi e-commerce apabila suatu transaksi 35 dilakukan melalui suatu jaringan internet, kontrak elektronik (electronic contracts), ataupun transaksi pembayaran. d. Confidentiality Pesan dalam bentuk data elektronik yang dikirimkan tersebut bersifat rahasia atau confidental, sehingga tidak semua orang dapat mengetahui isi data elektronik yang telah disign dan dimasukkan dalam elektronik envolve. Keberadaan elektronik envolve yang termasuk bagian yang integral dari elektronik tanda tangan, menyebabkan suatu pesan yang telah dienkripsi hanya dapat dibuka oleh orang yang berhak. Tingkat kerahasiaan dari suatu pesan yang telah dienkripsi ini, tergantung dari panjang kunci atau key yang dipakai untuk melakukan enkripsi. Pengamanan data dalam e-commerce dengan metode kriptografi melalui skema tanda tangan elektronik tersebut secara teknis sudah dapat diterima dan diterapkan, namun apabila kita bahas dari sudut pandang ilmu hukum ternyata masih kurang mendapatkan perhatian. Kurangnya perhatian dari ilmu hukum dapat dimengerti karena, khususnya di Indonesia, penggunaan komputer sebagai alat komunikasi melalui jaringan internet baru dikenal semenjak tahun 1994. Dengan demikian pengamanan jaringan internet dengan metode tanda tangan elektronik di Indonesia tentu masih merupakan hal yang baru bagi kalangan pengguna komputer. 2.7 Tujuan Tanda Tangan Elektronik Tujuan dari suatu tanda tangan dalam suatu dokumen elektronik adalah sebagai berikut : 36 a. untuk memastikan otensitas dari dokumen tersebut; b. untuk menerima/menyetujui secara menyakinkan isi dari sebuah tulisan dalam sebuah dokumen elektronik. 2.8 Klasifikasi Tanda Tangan Elektronik a. Tanda Tangan Elektronik (Biasa) Tanda tangan elektronik biasa, sesuai dengan pengertian mengenai tanda tangan elektronik diatas adalah tanda tangan yang ditujukan merujuk kepada si penanda tangan, yang dilakukan dengan media elektronik. Contoh paling mudah adalah suatu tanda tangan konvensional (tertulis) yang kemudian di-scan. Kemudian hasil scantersebut akan menjadi suatu informasi elektronik, biasanya berupa suatu file gambar, ditempelkan (paste) pada suatu dokumen elektronik. Hal tersebut sudah termasuk dalam ruang lingkup tanda tangan elektronik(biasa). b. Tanda Tangan Elektronik yang Aman (Secure atau Reliable) Tanda tangan elektronik yang aman atau Electronic Tanda tangan, merupakan suatu tanda tangan elektronik yang harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga dapat dalam konteks kesamaanya, dapat dipersamakan dengan tanda tangan konvensional. Tanda tangan elektronik yang aman ini diperuntukkan untuk menampung semua jenis kemajuan tekNologi yang mungkin berkembang dalam bidang keamanan terhadap informasi elektronik yang aman ditujukan untuk tidak hanya dapat merujuk kepada si 37 penandatangan, tetapi juga untuk menjaga keutuhan dan keamanan daripada suatu informasi elektronik yang dilekatkan. Tanda tangan elektronik termasuk di dalam kategori tanda tangan elektronik yang aman. 2.9 Sumber Hukum dan Pengaturan Tanda Tangan Elektronik Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE adalah hal yang berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik. Pengaturan informasi, dokumen, dan tanda tangan dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 umum dikatakan bahwa informasi elektronik elektronik, UUITE. Secara dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan tanda tangan elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi persyaratan- persyaratan seperti yang telah ditentukan. Pasal (5) Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UU ITE, secara tegas menyebutkan: informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Namun, dalam Ayat (4) ada pengecualian yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak 38 berlaku untuk: (a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta Notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal 11 menyebutkan, tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan; (b) data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan; (c)segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan terhadap dapat informasi elektronik diketahui; yang terkait (d) segala dengan perubahan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; (e) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan (f) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait. 2.10 Kelemahan dan Keunggulan Tanda Tangan Elektronik Sebagaimana telah dikemukakan berkembangnya penggunaan sarana elektronik dalam berbagai transaksi, di samping memberikan manfaat yang positif yakni adanya kemudahan bertransaksi, juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi penyimpanan dokumen sebagai hasil kegiatan usaha yang dilakukan. Namun, memang diakui 39 bahwa disamping keuntungan tersebut dalam penggunaan elektronik terdapat pula kekurangan atau sarana kelemahannya apabila dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan. Dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866, alat bukti terdiri atas bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.Selanjutnya dalam Pasal 1867 ditentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan. Pegertian “tulisan” dalam pasal tersebut dipastikan dalam bentuk tertulis di atas kertas.Pengertian semacam ini tentu sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman tekNologi saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuan dalam UU ITEyang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasionalsebagai suatu kontrak. 2.11 Atribut Tanda Tangan Elektronik Untuk mencapai tujuan dari penandatanganan suatu dokumen, sebuah tanda tangan harus mempunyai atribut-atribut berikut: pertama, otentikasipenanda tangan. Sebuah tanda tangan seharusnya dapat mengindentifikasikan siapa yang menandatangani dokumen tersebut dan susah untuk ditiru orang lain. Kedua, otentikasi dokumen. Sebuah tanda tangan seharusnyamengidentifikasikan apa yang ditanda tangani, membuatnya tidak mungkin dipalsukan ataupun diubah (baik dokumen yang ditandatangani maupun tandatangannya) tanpa diketahui. Otentikasi penandatangan dan dokumen adalah alatuntuk menghindari pemalsuan dan merupakan suatu penerapan 40 konsep“Nonrepudiation” dalam bidang keamanan informasi. Nonrepudiation adalahjaminan dari keaslian ataupun penyampaian dokumen asal untuk menghindaripenyangkalan dari penandatangan.27 Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU ITE sesuatu itu memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti yang sah, bila informasi elektronik ini dibuat dengan menggunakan sistem elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perkembangan tekNologi informasi. Bahkan secara tegas, Pasal 6 UUITE menentukan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli selain yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (4), persyaratan tersebut telah terpenuhi berdasarkan undang-undang jika informasi elektronik tersebut dapat terjamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. telah menjadi hukum positif,akta elektronik dianggap sama dengan akta konvensional, begitu pula dengantanda tangan elektronik dianggap sama dengan tanda tangan manuskrip.28 2.12 Cara Kerja Tanda Tangan Elektronik Seperti telah Penulis singgung di atas tanda tangan elektronik dibuat denganmenggunakan teknik kriptografi, suatu cabang dari matematika terapan yangmenangani tentang pengubahan suatu 27 Rick Wiebe, Yuridiksi, Seminar E-Commerce and the Law, Bandung , Citra Aditya, 2002, hal., 61 28 Ibid, hal., 62 41 informasi menjadi bentuk lain yang tidakdapat dimengerti dan dikembalikan seperti semula.29 Tanda tangan elektronik menggunakan public key cryptography (kriptografikunci publik), dimana algoritmanya menggunakan dua buah kunci. Kunci yang pertama adalah kunci untuk membentuk tanda tangan elektronik atau mengubah datakebentuk lain yang tidak dapat dimengerti. Sedangkan kunci yang keduadigunakan untuk verifikasi tanda tangan elektronik ataupun mengembalikan pesan ke bentuk semula. Konsep ini juga dikenal sebagai “assymmetric cryptosystem”(sistem kriptografi Non simetris). Sistem kriptografi itu menggunakan kunci privat, yang hanya diketahui oleh penandatangan dan digunakan untuk membentuk tanda tangan elektronik. Sistim kriptografi itu juga mempunyai kunci publik, yang digunakan untuk verifikasi tanda tangan elektronik. Jika beberapaorang ingin memverifikasi suatu tanda tangan elektronik yang dikeluarkan oleh seseorang, maka kunci publik tersebut harus disebarkan ke orangorang tersebut. Kunci privat dan kunci publik ini sesungguhnya secara matematis “berhubungan‟ (memenuhi persamaan-persamaan dan kaidah-kaidah tertentu). Walaupun demikian, kunci privat tidak dapat ditemukan menggunakan informasi yang didapat dari kunci publik.30 Proses lain yang tak kalah penting adalah “fungsi hash”, digunakan untuk membentuk sekaligus memverifikasi tanda tangan elektronik. Fungsi hash 29 Ibid, hal., 63-64 Ibid, hal., 43 30 adalah sebuah algoritma yang membentuk representasi 42 elektronik atau semacam “sidik jari” dalam bentuk “nilai hash” (hash value) dan biasanya jauh lebih kecil dari dokumen aslinya dan unik hanya berlaku untuk dokumen tersebut. Perubahan sekecil apapun pada suatu dokumen akan mengakibatkan perubahan pada “nilai hash” yang berkorelasi dengan dokumen tersebut. Fungsi hash yang demikiandisebut juga “fungsi hash satu arah”, karena suatu nilai hash tidak dapatdigunakan untuk membentuk kembali dokumen aslinya. Fungsi hash dapatdigunakan untuk membentuk tanda tangan elektronik. Fungsi hash ini akanmenghasilkan “sidik jari” dari suatu dokumen (sehingga unik hanya berlaku untuk dokumen tersebut). Ukuran hash jauh lebih kecil daripada dokumen aslinya serta dapat mendeteksi apabila dokumen tersebut telah diubah daribentuk aslinya. Penggunaan tanda tangan elektronik memerlukan dua proses, yaitu dari pihak penandatangan serta dari pihak penerima. Secara rinci kedua proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, pembentukan tanda tanganelektronik menggunakan nilai hash yang dihasilkan dari dokumen serta kunci privatyang telah didefinisikan sebelumnya. Untuk menjamin keamanan nilai hash maka seharusnya terdapat kemungkinan yang sangat kecil bahwa tanda tanganelektronik yang sama dapat dihasilkan dari dua dokumen serta kunci privat yang berbeda. Kedua, verifikasi tanda tangan elektronik adalah proses pengecekan tandatangan elektronik dengan mereferensikan ke dokumen asli dan kunci publik yangtelah diberikan, dengan cara demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan elektronik dibuat 43 untuk dokumen yang sama menggunakan kunci privat yang berkorespondensi dengan kunci publik.31 Untuk lebih jelasnya, gambar di bawah ini adalah alur cara kerja tanda tangan elektronik. 31 Widyo Pramono, Cybercrimes dan Pencegahannya, Kencana, Jakarta, 2007, hal., 37 44 BAB III KEABSAHAN TANDATANGAN ELEKTRONIK PADA PERJANJIAN PERDATA DI INDONESIA 3.1 Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Konsep “tanda tangan elektronik” yang dikenal pada dunia keamanan komputer adalah hasil dari penerapan teknik-teknik komputer pada suatu informasi. Sedangkan di dunia umum, tanda tangan mempunyai arti yang lebih luas, yaitu sembarang tanda yang dibuat dengan maksud untuk melegalisasi dokumen yang ditandatangani. Dalam dunia nyata, untuk menjamin keaslian serta legalitas suatu dokumen digunakan tanda tangan. Tanda tangan ini merupakan suatu tanda yang bersifat unik milik seseorang dan digunakan untuk memberi pengesahan bahwa orang tersebut setuju dan mengakui isi dari dokumen yang ditandatangani. Untuk dokumendokumen elektronik pun dibutuhkan hal semacam ini. Oleh karena itu, diciptakan suatu sistem otentikasi yang disebut tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik merupakan suatu cara untuk menjamin keaslian suatu dokumen elektronik dan menjaga supaya pengirim dokumen dalam suatu waktu tidak dapat menyangkal bahwa dirinya telah mengirimkan dokumen tersebut. Tanda tangan elektronik menggunakan algoritmaalgoritma serta teknik-teknik komputer khusus dalam penerapannya. Berbicara mengenai keabsahan tanda tangan elektronik, suatu tanda tangan elektronik pasti diperoleh dengan adanya suatu transaksi, orang selalu akan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yakni: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 45 b. Cakap untuk membuat suatu perikatan; c. Hal tertentu; d. Sebab yang halal. Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai media yang digunakan dalam transaksi, atau dengan kata lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu, dapat saja dilakukan secara langsung maupun secara elektronik. Namun suatu perjanjian dapat dikatakan sah bila telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 tersebut. Demikian pula asas kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata, dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan dengan itikat baik (Pasal 1338). Jadi apapun bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para pihak karena perikatan tersebut merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Permasalahan akan timbul dari suatu transaksi bila salah satu pihak ingkar janji. Penyelesaian permasalahan yang terjadi tersebut, selalu berkaitan dengan apa yang menjadi bukti dalam transaksi, lebih-lebih bila transaksi menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum secara khusus diatur dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam Hukum Acara Pidana. Mengenai hukum materiilnya pada dasarnya sudah secara tegas diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang 46 menyatakan bahwa “dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah”. Selanjutnya apabila kita perhatikan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 mengenai pengertian dokumen dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 jo. Pasal 1320 KUHPerdata, transaksi melalui media elektronik adalah sah menurut hukum. KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya”, tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. Perjanjian yang diperjanjikan harus suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban dari si berhutang jika ada perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. 47 Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undangundang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki asas diantaranya netral teknologi atau kebebasan memilih teknologi. Hal ini termasuk memilih jenis tanda tangan elektronik yang dipergunakan untuk menandatangani suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Asas netral teknologi dalam UU ITE perlu dipahami secara berhati-hati, dan para pihak yang melakukan transaksi elektronik sepatutnya menggunakan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah seperti diatur dalam pasal 11 ayat 1 UUITE. Keabsahan tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu : 1. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan. 2. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penanda tangan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan. 48 3. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui. 4. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui. 3.2 Aspek Perlindungan Konsumen dalam Penggunaan Digital Signature Secara Nasional, pranata untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun UU perlindungan Konsumen ini secara khusus belum mengantisipasi perkembangan teknologi informasi di dalam pengaturannya. Dalam penggunaan Digital Signature kita mengenal adanya dua pihak, yaitu : 1. Certificate Authority (CA) 2. Subscriber Hubungan ini menunjukkan kaitan antara CA sebagai penyelenggara jasa dan subscriber sebagai konsumen. Sebagai penyelenggara jasa, CA harus menjamin hak-hak subscriber antara lain : 1. Privacy Termaktub dalam pasal 4 butir 1 UU No 8 tahun 1999. Contoh ketika subscriber meng"apply" kepada CA, subs akan dimintai keterangan mengenai identitasnya, besar kecilnya keakuratan dari identitas tersebut tergantung dari jenis tingkatan sertifikat tersebut. Semakin tinggi tingkat sertifikat maka semakin akurat pula identitas sebenarnya dari subscriber. Namun dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah CA sebagai penyimpan data berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas subs dari 49 pihak yang tidak berkepentingan. CA hanya boleh mengkonfirm bahwa sertifikat yang dimiliki oleh subs adalah benar dan diakui oleh CA. Di beberapa negara maju data pribadi mendapat perlindungan dalam undang-undang (data protection act). Di dalam Undang-Undang yang bersangkutan tercantum prinsip perlindungan data (Data Protection Principles) yang harus ditaati oleh orang-orang yang menyimpan atau memproses menyangkut informasi dengan kehidupan mempergunakan orang-orang. Biro-biro komputer yang komputer yang menyediakan jasa pelayanan bagi mereka yang hendak memproses informasi juga sama dikontrol dan harus melakukan pendaftaran menurut undang-undang tersebut. Individu-individu, yang informasi dirinya disimpan pada komputer, diberi hak-hak untuk akses dan hak untuk memperoleh catatan-catatan pembetulan dan penghapusan informasi yang tidak benar. Mereka itu pun dapat mengajukan pengaduan kepada Data Protection Registrar (yang diangkat berdasarkan undang-undang) apabila mereka tidak merasa puas terhadap cara orang atau organisasi yang mengumpulkan informasi dan, menurut keadaan-keadaan tertentu, individu-individu memiliki hak atas ganti kerugian. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perlindungan data dapat menyebabkan tanggung jawab pidana, adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain : 1. Informasi yang dimuat dalam data pribadi harus diperoleh, dan data pribadi itu harus diproses, secara jujur dan sah. 2. Data pribadi harus dipegang hanya untuk satu tujuan atau lebih yang spesifik dan sah. 50 3. Data pribadi yang dikuasai untuk satu tujuan dan tujuan-tujuan tidak boleh digunakan atau disebarluaskan dengan melalui suatu cara yang tidak sesuai dengan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut. 4. Data pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuantujuan harus layak, relevan dan tidak terlalu luas dalam kaitannya dengan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut. 5. Data pribadi harus akurat dan, jika diperlukan, selalu up-to date. 6. Data pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuantujuan tidak boleh dikuasai terlalu lama dari waktu yang diperlukan untuk kepentingan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut. 7. Tindakan-tindakan pengamanan yang memadai harus diambil untuk menghadapi akses secara tidak sah, atau pengubahan, penyebarluasan atau pengrusakan data pribadi serta menghadapi kerugian tidak terduga atau data pribadi. 8. Seorang individu akan diberikan hak untuk : ¸ Dalam jangka waktu yang wajar dan tanpa kelambatan serta tanpa biaya, yaitu dengan diberi penjelasan oleh pihak pengguna data tentang apakah pihaknya menguasai data pribadi di mana individu yang bersangkutan menjadi subyek data. Dan untuk akses pada suatu data demikian yang dikuasai oleh pihak pengguna data. ¸ Jika dipandang perlu, melakukan perbaikan atau penghapusan data. Prinsip yang terakhir berkaitan dengan pengamanan dan ancaman terhadap hal ini ada dua jenis : 51 1. Pengamanan dari akses tidak sah, dan 2. Berkaitan dengan copy-copy back up. pusat-pusat data yang berisi data pribadi. Masih berkaitan dengan masalah jaminan privacy dalam kaitannya dengan kunci privat, adalah harus adanya jaminan bahwa CA tidak berusaha mencari pasangan kunci publik dari susbscriber. CA mempunyai peluang yang besar untuk bisa menemukan kunci pasangan dari subscriber karena CA mempunyai komputer yang lebih canggih untuk menemukannya. Selain itu harus ada jaminan bahwa pencipta kartu yang berisikan kunci privat juga tidak akan menyebarluaskan atau pun menggandakannya. Hal ini sangat logis sekali karena pembuat kartu selain mengetahui kunci publik juga mengetahui kunci privatnya karena ia adalah penciptanya. Untuk menjamin hal ini perlu adanya suatu Notary system yang menjamin hal tersebut. 2. Accuracy Termaktub dalam pasal 4 butir 2,3, dan 8 UU No 8 tahun 1999. Dalam prinsip ini terkandung pengertian "ketepatan" antara apa yang diminta dengan apa yang didapatkan. Bahwa apa yang didapat oleh subs sesuai dengan apa yang ia minta berdasarkan informasi yang diterimanya. Ketepatan informasi (informasi yang benar tanpa tipuan) juga merupakan prinsip accuracy. Sebagai contoh : subs yang meminta level tertentu dari sertifikat sebaiknya tidak diberikan level yang lebih rendah atau lebih tinggi. 52 CA juga berkewajiban memberitahukan segala keterangan yang berkaitan dengan penawaran maupun permintaan yang diajukan. Secara tidak langsung subs berhak untuk mendapatkan CA yang berlisensi artinya ketika subs mengakses ke CA, terdapat praduga bahwa CA adalah CA yang sah dan berlisensi dan subs harus dilindungi dari penyimpangan CA yang gadungan. 3. Property Termaktub dalam pasal 4 buutir 8 UU No 8 tahun 1999. Subs harus dilindungi hak miliknya dari segala penyimpangan yang mungkin terjadi akibat masuknya subs ke dalam sistem ini. Artinya subs berhak dilindungi dari segala bentuk penyadapan, penggandaan, dan pencurian. Jika hal ini terjadi maka CA berkewajiban mengganti kerugian yang diderita. 4. Accessibility Termaktub dalam pasal 4 butir4, 5, 6,dan 7 UU No 8 tahun 1999. Bahwa setiap pribadi berhak medapat perlakuan yang sama dalam hal untuk mengakses dan informasi. Artinya tiap subs bisa masuk ke dalam sistem ini jika memenuhi persyaratan, dan ia bisa mempergunakan sistem ini tanpa adanya hambatan. Dan subs juga berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Hak-hak konsumen untuk tercapainya perlindungan konsumen sudah tercantum atau dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU No 8 tahun 1999. Maka artinya hak-hak tersebut sudah diakui keberadaannya dan memiliki kepastian hukumnya yang diatur dalam Undang-Undang 53 positif. Upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen yang merasa dirugikan bisa menggunakan pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 ini. Dalam kaitannya dengan penggunaan digital signature, CA dalam kedudukan yang lebih kuat harus bisa menjamin hak-hak konsumen. Terutama dalam perjanjian adhesi antara CA dan subscriber. Perjanjian diajukan sebaiknya tidak hanya berat sebelah, sehingga subscriber tidak mempunyai posisi penawaran (bargaining power). Untuk menutup resiko atas produk-produk yang cacat CA dapat mengasuransikan resiko tersebut. Hal ini untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh CA apabila suatu saat ada konsumen (subscriber) yang menuntut CA karena merasa dirugikan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur pula hak dan kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan yang bertujuan untuk memberi perlindungan terhadap konsumen dan telah pula mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen. Namun khusus untuk perlindungan hak konsumen dalam transaksi ecommerce masih rentan, karena walaupun Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan dalam transaksi ecommerce. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa ternyata belum diikuti dengan kemajuan perangkat hukum yang ada. 54 3.3 Perbedaan Pendapat dalam menanggapi Keabsahan Informasi, Dokumen & Tanda Tangan Elektronik sebagai Alat Bukti Dalam penggunaan alat bukti elektronik pada praktek persidangan terdapat anggapan yang berbeda. Ada yang mengganggap dengan diberlakukannya UU ITE maka alat bukti elektronik tersebut merupakan alat bukti yang berdiri sendiri. Namun, ada juga anggapan yang menyatakan bahwa alat bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang telah diakui sebelumnya dalam hukum acara, anggapan ini didasarkan pada isi Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE. Pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah dalam dunia peradilan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, tapi juga tidak bisa disebut barang lama. Penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia telah akomodir. Dalam beberapa tindak pidana misalnya, e-mail dapat digunakan sebagai alat bukti. Contohnya dalam tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme, e-mail dijadikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Dalam KUHAP penggunaan alat bukti elektronik seperti e-mail belum tercantum secara jelas, tetapi e-mail tetap dapat digunakan dalam pembuktian sebagai alat bukti surat, yang tentu saja setelah melalui proses formil dari alat bukti surat. Untuk penggunaan e-mail dalam perkara perdata menurut Ahmad Zakaria yang berprofesi sebagai seorang Notaris, justru akan lebih sulit mengingat pembuktian dalam perkara perdata adalah upaya mencari kebenaran formil. Untuk memenuhi kebenaran formil akan suatu e-mail cukuplah rumit, karena 55 menurutnya e-mail yang memenuhi kriteria tersebut bukanlah e-mail yang diperoleh dari end-user melainkan e-mail yang tersimpan dalam sebuah mail server yang kredibel. Menurut Ahmad Zakaria, dalam prakteknya masih banyak aparat hukum yang menganggap bahwa bukti elektronik hanyalah merupakan bukti pelengkap dan belum dapat dijadikan bukti otentik yang kuat. Namun, beliau kurang setuju dengan hal ini, menurutnya bagaimana bisa dikatakan bukti elektronik hanya merupakan bukti pelengkap atau belum dapat dijadikan bukti otentik padahal penggunaan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah telah jelas diatur dalam UU ITE. Di masyarakat sendiri masih banyak yang berorientasi pada dokumen cetak yang dikuatkan dengan tanda tangan biasa. Hal ini memang tidak salah, tetapi lebih baik bila memang arah dan tujuan dari dokumen dan tanda tangan konvensional tersebut adalah untuk otentifikasi dan otorisasi dilakukan dengan menggunakan dokumen dan tanda tangan elektronik. Ahmad Zakaria juga berpendapat masih kurangnya kemauan hakim-hakim di pengadilan Indonesia untuk menginterpretasikan informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti. Untuk itu diperlukan keinginan yang kuat bagi aparat hukum untuk selalu meng-up date pengetahuan. Hakim sebagai salah satu unsur penegak hukum yang paling berpotensi untuk mendukung penggunaan bukti elektronik melalui putusannya sudah saatnya lebih membuka mata terhadap perkembangan teknologi. Terlepas dari hakim memiliki hak untuk menentukan pandangannya sendiri.32 Edmon Makarim, pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia, berpendapat informasi elektronik dapat diekuivalenkan dengan kertas 32 www. google. com, Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 20 Desember 2008. 56 dimana untuk bernilai hukum seharusnya sebuah informasi elektronik berbentuk tertulis, bertanda tangan dan original, dalam kondisi tertentu. Menurut Edmon Makarim fokus utama dari UU ITE ini adalah menghadirkan informasi elektronik menjadi bernilai secara hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian. Oleh karena itu, dengan berlakunya UU ITE ini, maka hakim tidak boleh menolak penggunaan alat bukti elektronik dalam persidangan dan juga harus melakukan verifikasi dengan patokan UU ITE. Edmon juga menambahkan informasi elektronik memerlukan suatu kualifikasi tertentu agar memiliki nilai hukum, dimana informasi elektronik tersebut harus berasal dari sistem yang layak dipercaya dan selain itu, para pihak yang bertransaksi perlu menggunakan tanda tangan elektronik, maksudnya agar para pihak tidak memungkiri substansi dari suatu transaksi. Suatu informasi elektronik berkedudukan baik sebagai barang bukti maupun alat bukti. Dalam hukum acara pidana ketika berkedudukan sebagai barang bukti maka harus dirangkaikan dengan alat bukti lain sehingga dapat diidentifikasi sebagai petunjuk sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP. Ditambahkan beliau juga, dengan adanya UU ITE maka informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang berdiri sendiri. Di bidang hukum acara perdata, transaksi elektronik sebagai kegiatan yang terekam dari proses input, menyimpan, hingga sampai pada print out maka out put dibaca per karakter.33 Telah dikatakan pada bab sebelumnya bahwa mengenai alat bukti ada diatur dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menentukan secara limitatif mengenai alat bukti yang sah yaitu, 33 www. hukumonline.com., Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat, 20 Desember 2008. 57 keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, sedangkan dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR menyebutkan alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sehubungan dengan hal ini Arief Indra Kusuma Adhi, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, mengatakan ada dua pilihan yang sering dipakai dimana bukti elektronik dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat atau sebagai alat bukti petunjuk. Dijelaskan Arief, informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik tersebut diubah dalam bentuk cetak, dan menjadi alat bukti petunjuk bila informasi elektronik tersebut memiliki keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Dengan kata lain kekuatan bukti elektronik sebagai petunjuk sangat tergantung pada keyakinan hakim sebagai pemutus perkara.34 UU ITE seperti halnya cara pandang pengadilan menyebutkan bahwa informasi dan dokumen elektronik adalah perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara, daripada mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai sebuah alat bukti tersendiri, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE. Namun, pengakuan yang diberikan oleh UU ITE memiliki arti penting tersendiri terutama bagi Indonesia sebagai Negara yang tidak menganut prinsip Stare Decisis yaitu prinsip dimana dasar vonis mengikuti vonis yang pernah dilakukan dalam perkara yang sama.35 Sehingga keputusan pengadilan bukan merupakan sumber hukum yang mengikat bagi hakim lainnya. Dengan adanya UU ITE, maka sepanjang 34 www. google. com, UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out sebagai Alat Bukti, 20 Desember 2008. 35 I.P.M. Ranuhandoko B.A., op cit, hlm. 504 58 sesuai dengan UU ITE, tidak dapat lagi dikemukakan keberatan atas penggunaan informasi dan dokumen elektronik maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang sah. 59 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Kekuatan beban pembuktian yang melekat dalam tanda tangan ditinjau dari pembuktian hukum elektronik acara perdata memiliki kekuatan beban bukti setingkat dengan akta bawah tangan melekat (ABT), oleh dalam karena tanda tangan itu kekuatan pada surat beban bukti yang elektronik hanya kekuatan pembuktian formil dan pembuktian materil. 2. Tanggapan yang timbul mengenai keabsahan tanda tangan elektronik adalah berbeda-beda dari penafsiran hukum masalah yang dialami. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, keabsahan tanda tangan elektronik diakui secara sah. Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE hanya disebutkan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, tetapi apabila saya melihat perbandingan antara UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka keabsahan tanda tangan elektronik tidaklah sah, dikarenakan dalam UUJN bukti yang sah itu adalah akta otentik dan akta bawah tangan. Dan Notaris itu sendiri harus datang, melihat 60 dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditandatangan oleh Notaris itu sendiri dan para penghadap masing-masing langsung di tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris. Dan haruslah tanda tangan asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah tandatangan elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut karena kekuatan pembuktian dalam hukum di Indonesia tidaklah sah. 4.2 Saran 1. Hendaknya Pemerintah dengan segera memberikan Lisensi kepada badan hukum pemerintah sebagai maupun lembaga swasta, Certification sehingga Authority, pelaksanaan baik transaksi elektronik, dengan dokumen elektronik sebagai perjanjian para pihak yang telah ditanda tangani secara elektronik, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan akta otentik didalam persidangan pada suatu pengadilan. 2. Pemerintah dalam mengeluarkan suatu Undang-Undang hendaknya melihat Undang-Undang yang lain yang saling berkaitan, sehingga antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain tidak saling bertentangan satu dengan yang lain. 61 DAFTAR BACAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KUH Perdata Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris BUKU Badrulzaman Mariam Darus, Mendambakan Kelahiran Hukum Saiber (Cyber Law) di Indonesia, Pidato Purna Bhakti, Medan, 2001. Budiono Berlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. Kie Tan Thong, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2007. Magdalena Mery, Cyber Law Tidak Perlu Takut, Andi, Yogyakarta, 2007. Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), PT. Liberty, Yogyakarta, 1996. Muljadi Kartini dan Widjaja Gunawan, Perikatan Pada Umumnya, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2003. Pramono Widyo, Cybercrimes dan Pencegahannya, Kencana, Jakarta, 2007 Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 1981. Persetujuan-Persetujuan R.Soebekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya, Bandung, 1992. R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Internusa, Jakarta, 1974. R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermesa, Jakarta, 1979. Soepapto Maria Farida Indrati, Ilmu perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Jakarta, 1998. Wiebe Rick, Yuridiksi, Seminar E-Commerce and the Law, Citra Aditya, Bandung, 2002 Witso Keny, Internet Isu, Bandung, Pustaka, Citra Aditama, 2002. 62 INTERNET www. google. com, Esensi Keberadaan Lembaga Notariat dengan Berlakunya UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, diakses tanggal 5 Juli 2016, jam 16.30 WIB www. hukumonline.com., Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat, diakses tanggal 5 Juli 2016, jam 19.00 WIB www. google. com, UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out sebagai Alat Bukti, diakses tanggal 20 Juli 2016, jam 20.00 WIB http://www.kamuskbbi.id/ diakses tanggal 8 Agustus 2016, jam 21.00 WIB www.google.com, Rosa Agustina T. Pangaribuan, 2003, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Batas-Batasnya, diakses 8 Agustus 2016, jam 22.00 WIB www.google.com, Kudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2008, Dinamika Pemikiran Hukum, diakses tanggal 8 Agustus 2016, jam 22.30 WIB