BAB I PENDAHULUAN Trauma maksilofasial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus dirawat di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Penyebab yang paling sering pada orang dewasa adalah kecelakaan lalu lintas (40-45%), sedang yang lainnya adalah penganiayaan atau berkelahi (10-15%), olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (5-10%). Pada anak-anak penyebab paling sering adalah olahraga seperti naik sepeda (50-65%), sedang yang lainnya adalah kecelakaan lalu lintas (10-15%), penganiayaan atau berkelahi (5-10%) dan jatuh ( 510 %). Fraktur muka dibagi menjadi beberapa, yaitu fraktur tulang hidung, fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma, fraktur tulang maksila, fraktur tulang orbita dan 1 fraktur tulang mandibula. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak ketimbang tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%. Trauma muka dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antaranya adalah obstruksi saluran napas, perdarahan, gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak. Penanganan khusus pada trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau pada waktu berikutnya (delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringan yang terkena trauma. Pada periode akut setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakan khusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisi dan fiksasi definitif bukan tindakan life-saving. 2 BAB II ANATOMI WAJAH Kerangka wajah berfungsi untuk melindungi otak, melindungi organ penghidu, penglihatan, dan rasa, dan menyediakan kerangka di mana jaringan lunak wajah dapat bertindak untuk memfasilitasi makan, ekspresi wajah, bernapas, dan berbicara. Tulang-tulang wajah utama adalah rahang, rahang bawah, tulang frontal, tulang hidung, dan zigoma. Gambar 2.1 tulang wajah 3 Tulang Mandibula Mandibula adalah tulang berbentuk U. Ini adalah satu-satunya tulang yang mobile dan dikarenakan tempat gigi bawah, gerakannya sangat penting untuk pengunyahan. Hal ini dibentuk oleh osifikasi intramembranous. Di permukaan lateral, daerah garis tengah anterior inferior dari tubuh hemimandibula adalah segitiga penebalan tulang disebut protuberansia mental. Tepi inferior menebal dari tonjolan mental memanjang lateral dari garis tengah dan bentuk 2 tonjolan bulat disebut tuberkel mental. Terletak lateral garis tengah pada permukaan eksternal foramina mental yang mengirimkan mental dan pembuluh saraf. Mereka biasanya terletak di bawah puncak gigi seri kedua 6-10 mm dan variasi dalam dimensi anteroposterior. Tepi tulang lateral posterior meluas tuberkulum mental dan naik miring sebagai garis miring untuk bergabung dengan tepi anterior dari proses koronoideus. Tepi inferior tubuh posterior dan lateral di mana melekat otot masseter. Gambar 2. 2 tulang mandibula 4 Tulang maksila Rahang atas memiliki beberapa peran. Tulang ini tempat gigi atas, membentuk atap rongga mulut, membentuk lantai dan memberikan kontribusi ke dinding lateral dan atap rongga hidung, membentuk sinus maksilaris, dan memberikan kontribusi ke dinding inferior dan dasar dari orbital. Dua tulang maksilaris yang bergabung di garis tengah membentuk sepertiga tengah wajah. Gambar 2.3 tulang maksila Tulang Zigoma Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang maksila. Bagian-bagian tulang yang membentuk zigoma ini membentuk tonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke 5 arah lateral. Tulang zigoma membentuk bagian lateral dinding inferior orbital, serta dinding lateral orbital. Gambar 2.4 tulang zigoma (dari anterior) Gambar 2.5 tulang zigoma (dari lateral) Tulang Frontal Tulang frontal membentuk bagian anterior tempurung kepala, membentuk sinus frontal, dan membentuk atap sinus etmoid, hidung, dan orbital. Selain itu, ia juga membentuk lengkungan zigomatic anterior, dimana otot masseter dipegang. 6 Otot masseter bertindak untuk menutup rahang bawah untuk pengunyahan dan berbicara. Di permukaan lateral, tulang zigomatic memiliki 3 prosesus. Di bagian inferior kearah medial untuk berartikulasi dengan prosesus zygomatic maksila, membentuk bagian lateral tepi infraorbital. Bagian ini mencekung kearah superior untuk membentuk prosesus frontalis yang berartikulasi dengan tulang frontal. Di bagian posterior, prosesus temporalis berartikulasi dengan prosesus zigoma tulang temporal untuk membentuk arkus zigomatik. Pada permukaan medial zigoma adalah plat orbital halus yang membentuk dinding lateral orbit. Gambar 2.6 tulang frontal dari bagian posterior 7 Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus. Sesudah lahir sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya dibagi secara sagital oleh septum eksentrik. Tulang Hidung Tulang-tulang hidung yang berpasangan membentuk tulang atap anterosuperior dari rongga hidung. Tulang ini berartikulasi dengan prosesus nasal superior tulang frontal, prosesus depan tulang maksilaris lateral, dan dengan satu sama lain di bagian medial. Permukaan eksternal cembung kecuali bagian paling superior, di mana bentuk cekung berubah untuk berartikulasi dengan tulang frontal. Pada permukaan internal merupakan alur vertikal untuk arteri nasal eksterna. 8 BAB III TRAUMA MUKA 3.1 Definisi Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah yang terdiri dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus. 3.2 Etiologi Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas.7 9 3.3 Epidemiologi Penyebab Persentase (%) Dewasa Kecelakaan lalu lintas 40-45 Penganiayaan / berkelahi 10-15 Olahraga 5-10 Jatuh 5 Lain-lain 5-10 Anak – anak Kecelakaan lalu lintas 10-15 Penganiayaan / berkelahi 5-10 Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-65 Jatuh 5-10 Tabel 3.1 Etiologi trauma maksilofasial 3.4 Klasifikasi Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.3,10,11 3.4.1 Trauma jaringan lunak wajah Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar.11,10 Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis luka dan penyebab seperti ekskoriasi, luka sayat, luka robek,luka 10 bacok,luka bakar dan luka tembak .3,10,11 Ia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan serta dikaitkan juga dengan estetik. 3.4.2 Trauma jaringan keras wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya yaitu tipe fraktur, perluasan tulang yang terlibat, konfigurasi (garis fraktur) dan hubungan antara fragmen. Berdasarkan tipe fraktur, ia kemudian dibagi kepada empat yaitu fraktur sederhana, fraktur compound, fraktur comminuted dan fraktur patologis. Fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur ini juga tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Greenstick termasuk dalam fraktur ini yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi. Fraktur compound adalah fraktur yang lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak dan lingkungan. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang menyokong gigi, dan hampir selalu tipe fraktur compound meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit. Fraktur comminuted adalah fraktur akibat benturan langsung yang sangat keras seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi berkeping yang kecil atau remuk. Fraktur ini bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur compound dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak. 11 Fraktur patologis disebabkan oleh keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit- penyakit tulang, seperti osteomielitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan. Jika berdasarkan perluasan tulang yang terlibat, fraktur ini dibagi menjadi lengkap dan tidak lengkap. Fraktur ini disebut lengkap apabila fraktur mencakup seluruh tulang. Fraktur ini juga dibagi menjadi tidak lengkap, seperti pada greenstick. Jika diklasifikasi berdasarkan konfigurasi garis fraktur dibagi menjadi tranversal, bisa horizontal atau vertikal, oblique (miring), spiral (berputar) dan comminuted (remuk). Jika berdasarkan hubungan antar fragmen dibagi menjadi perpindahan tempat dan tidak ada perpindahan tempat, bisa terjadi berupa angulasi / bersudut ,distraksi, kontraksi, rotasi atau berputar dan impaksi atau mendesak. Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah dento alveolar, prosesus kondiloideus, prosesus koronoideus, angulus mandibula, ramus mandibula, korpus mandibula, garis tengah mental dan lateral ke garis tengah dalam regio incisivus. Fraktur khusus pada maksila dapat dibedakan menjadi fraktur blowout (fraktur tulang dasar orbita) , fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III dan fraktur segmental mandibula. 3.5 Manifestasi klinis Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi), emfisema subkutis, 12 rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima, gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula. 3.5.1 Fraktur tulang hidung Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi septum. Jika hanya fraktur tulang hidung sederhana dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesia lokal. Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi. 3.5.2 Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma 13 Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Gejala fraktur zigoma antara lain adalah pipi menjadi lebih rata, diplopia, edema periorbita, perdarahan subkonjungtiva, hipestesia atau anestesia, emfisema subkutis dan epistaksis karena terjadi pada antrum. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejala ini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesus koronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapat dengan mudah dikenal dengan palpasi. 3.5.3 Fraktur tulang maksila Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis 14 eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi. Fraktur maksila Le Fort I Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum, apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian. 15 Gambar 3.1 fraktur maksila Le Fort I Fraktur maksila Le Fort II Pada fraktur maksila Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Gambar 3.2 fraktur maksila Le Fort II Fraktur maksila Le Fort III Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat 16 kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis. Gambar 3.3 fraktur maksila Le Fort III 3.5.4 Fraktur tulang orbita Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Fraktur ini memberikan gejala-gejala seperti enoftalmus, exoftalmus, diplopia, asimetri pada muka dan gangguan saraf sensoris. 3.5.5 Fraktur tulang mandibula Fraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur wajah. Penderita mengeluh maloklusi dan nyeri pada pergerakkan rahang. Selain itu terdapat juga gejala pembengkakan atau pun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula, anestesia dapat terjadi pada satu sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus 17 alveolaris inferior menjadi rusak serta gangguan jalan napas disebabkan kerusakan hebat pada mandibula seperti terjadinya perubahan posisi, trismus, hematoma dan edema jaringan lunak. 3.6 Diagnosis Sebuah riwayat trauma yang lengkap dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab trauma, bagaimana mekanisme kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan jumlah perdarahan. Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh terhadap jenis dan waktu perawatan terjadi serta hasil akhirnya. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dan terfokus pada area trauma, dengan tetap mewaspadai luka-luka atau trauma lain yang berhubungan. Jika perlu dikonsultasikan ke spesialis lain seperti THT, mata dan bedah saraf. Nilai lokasi, panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar, terbakar berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal tersebut, lakukan pemeriksaan teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu diasumsikan terdapat fraktur di bawah luka robekan atau memar sampai pemeriksaan klinis dan hasil radiologis membuktikannya. Pemeriksaan fisik yang akurat dimulai dengan inspeksi bagian wajah simetris atau tidak. Perbandingan kedua sisi muka amat penting dan dapat digunakan referensi dari foto pasien. Setelah semua dilakukan inspeksi, dilanjutkan dengan palpasi 18 dengan jari-jari di atas kelopak mata, hidung, arcus zigomatikus, dan batas-batas mandibula. Pada pemeriksaan intraoral lakukan palpasi regio maksila dan mandibula, kemudian waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi. Rahang dinilai dari gerakannya ke lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal mengindikasikan adanya fraktur. Sensasi di daerah wajah dinilai. Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan, hematoma dan area obstruksi dari dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari hidung menunjukan rhinorrhea dari cairan cerebrospinal dan penting untuk kemungkinan fraktur di fossa anterior cranium dan dapat juga mengenai daerah cribiformis. Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.4 CT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.6 Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, 19 maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.4 3.7 Penatalaksanaan Secara umum penderita dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok perlukaan maksilofasial pada trauma kecil, misalnya dipukul atau ditendang, dapat diterapi pada intermediate biasa pada ruang gawat darurat. Kelompok kedua adalah kelompok perlukaan maksilofasial berat diakibatkan trauma tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan khusus. Trauma maksilofasial berat harus dirawat pada tempat khusus diikuti dengan teknik ATLS. Pasien harus diperhatikan jalan napasnya dan bila terjadi cedera servikal harus dilakukan imobilisasi tulang leher. Pasien bisa dalam keadaan setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal. Jika perlu dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Pasien diberikan oksigenasi. Monitor tanda vital harus dilakukan setiap 5 – 10 menit, juga dipasang ECG serta pulse oksimetri. Pemberian anti tetanus serum diperlukan untuk mencegah tetanus dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi. Penanggulangan fraktur muka dilakukan dengan reduksi tertutup atau terbuka. Biasanya reduksi terbuka dilakukan apabila reduksi tertutup gagal. Pada fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan rahang bawah dapat menutup. 20 Dilakukan fiksasi intermaksilar menggunakan kawat baja atau mini-plate sesuai garis fraktur sehingga oklusi gigi menjadi sempurna. Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Pada fraktur zigoma, keputusan untuk penanganan tidak perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah.5 Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.4,6 Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukan kelainan. Trauma dari depan langsung merusak pipi (tulang zigoma) menyebabkan perubahan tempat dari tulang zigoma tersebut ke arah posterior, ke arah medial, atau ke arah lateral. Fiksasi fraktur zigoma ini dengan kawat baja atau mini plate. Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite) melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat 21 sayat kecil pada mukosa bukal di belakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukan di belakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang zigoma yang fraktur dikembalikan kepada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang baik. Sedang untuk reduksi terbuka dari tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner harus ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate. Laserasi yang timbul di atas zigoma dapat dipakai sebagai tanda untuk melakukan insisi permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi di bawah palpebra inferior untuk mencapai fraktur di sekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dikerjakan hati-hati karena dapat merusak bola mata. Pada fraktur arkus zigoma yang ditandai dengan perubahan tempat dari arkus dapat ditanggulangi dengan melakukan elevasi arkus zigoma tersebut. Pada tindakan reduksi ini kadang-kadang diperlukan reduksi terbuka, selanjutnya dipasang kawat baja atau mini plate pada arkus zigoma yang patah tersebut. Insisi pada reduksi terbuka dilakukan di atas arkus zigoma, diteruskan ke bawah sampai ke bagian zigoma di preaurikuler. Tindakan reduksi di daerah ini dapat merusak cabang frontal dari nervus fasialis, sehingga harus dilakukan tindakan proteksi. 22 Pada fraktur mandibula penanggulangan tergantung pada lokasi fraktur, luasnya fraktur, dan keluhan yang diderita. Di negara maju untuk fraktur mandibula digunakan mini atau mikroplate yang dipasang dengan menggunakan skrup, keuntungannya lebih stabil, tidak memberikan reaksi jaringan, dapat dipakai untuk waktu yang lama, mudah dikerjakan. Kekurangannya sulit didapat dan mahal. Pada fraktur hidung sederhana dapat dilakukan reposisi dengan analgesia lokal. Akan tetapi anak-anak atau orang dewasa yang tidak kooperatif memerlukan anestesi umum. Analgesia lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidocain 1-2% yang dicampur dengan epineprin 1:1000%. Tampon kapas yang berisi obat analgesia lokal ini dipasang masing-masing 3 buah, pada setiap lubang hidung. Tampon pertama diletakan pada meatus superior tepat di bawah tulang hidung, tampon kedua diletakan antara konka media dan septum dan bagian distal dari tampon tersebut terletak dekat foramen sfenopalatina, tampon ketiga diletakan antara konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10 menit. Kadangkadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethaxolin spray beberapa kali melalui rinoskopi anterior untuk mempermudah efek anestesi dan efek vasokonstriksi. Penggunaan anestesi lokal yang baik dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung. Tindakan reduksi ini dapat dikerjakan 12 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang terjadi sangat sedikit. Namun reduksi secara lokal masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. 23 Sesudah waktu tersebut tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terjadi kalsifikasi sehingga harus dilakukan tindakan rinoplasti estetomi. Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah elevator tumpul yang lurus (Boies nasal fracture elevator), cunam Asch, cunam Walsham, spekulum hidung pendek dan panjang (Killian), pinset bayonet. Deformitas hidung minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan sederhana. Reposisi dapat dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi lain di luar hidung di atas kulit yang diproteksi dengan selang karet. Tindakan manipulasi dikontrol dengan palpasi jari. Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi tulang hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukan masing-masing sisi (blade) ke dalam kedua rongga sambil menekan septum dengan kedua sisi forsep. Sesudah fraktur hidung dikembalikan pada keadaan semula dilakukan pemasangan tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan antibiotika. Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti sesudah pemasangan tampon pada kedua hidung. Fiksasi luar dengan menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk seperti huruf T dan dipertahankan hingga 10-14 hari. 3.8 Komplikasi Komplikasi jaringan ikat umumnya pada proses penyembuah luka, seperti jaringan parut. Penutupan kulit harus dilakukan dengan penanganan nontraumatic 24 dari tepi luka dan harus menghasilkan tepi luka yang sedikit membalik keluar serta mengikuti garis kulit. Cedera saraf mungkin telah terjadi sebelum operasi akibat dari trauma awal. Oleh karena itu, status sensorik dan saraf motorik dari wajah dan dahi harus didokumentasikan sebelum operasi. Perawatan harus diambil untuk mengidentifikasi dan mempertahankan neurovaskular supraorbital dan infraorbital. Cedera ke akar gigi dari lubang sekrup salah dapat mengakibatkan gigi nonviable. Infeksi pasca operasi lebih cenderung terjadi dalam cedera jaringan lunak yang ekstensif, luka yang terkontaminasi, fraktur terbuka, fraktur berhubungan dengan ruang intranasal atau intraoral, atau tidak terevakuasi darah di sinus. Jika terapi antibiotik empiris tidak dapat menghapus infeksi, debridemen dan drainase mungkin diperlukan. Sinusitis dapat terjadi jika garis fraktur mengganggu drainase sinus. Malunion dan maloklusi serta deformitas bisa terjadi jika fiksasi tidak tepat atau longgar selama periode pascaoperasi. Pada fraktur tulang hidung dapat terjadi komplikasi neurologik seperti robeknya duramater, laserasi otak, sedang komplikasi pada mata dapat terjadi hematoma pada mata, ptosis, epifora, untuk komplikasi pada hidung dapat terjadi perubahan bentuk hidung, epistaksis posterior yang hebat dan gangguan penciuman. BAB IV KESIMPULAN 25 Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Jika terjadi fraktur pada tulang wajah maka dapat mengenai tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.7 Penyebab trauma maksilofasial bervariasi dan terbanyak dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Penanganan awal yang harus didahulukan adalah airway, breathing, circulation. Setelah keadaan pasien stabil dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk mendiagnosis fraktur tulang wajah seperti foto roentgen atau CT scan. Jika terjadi laserasi pada wajah dapat dilakukan pembersihan luka dan penutupan. Jika ternyata didapatkan fraktur tulang wajah segera identifikasi tulang wajah yang mengalami fraktur agar dapat dilakukan reduksi dan fiksasi. Komplikasi yang terjadi diakibatkan kerusakan anatomi, tergantung letak fraktur tulang wajah yang terjadi. DAFTAR PUSTAKA 26 1. Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial lesion in mild and moderate at: head injury patients. Available http://bedahugm.com/Correlation-between-midfacial-fractures-and- intracranial-lesion-in-mild-and-moderate-head-injury-patients.php. Accesed on August 28, 2010. 2. Dwidarto D. Affandi M. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur panfascial (Management of the Dentofacial Defomity Post Panfacial Fracture : Case Report). http://www.pdgionline.com/web/index. php &task=category&sectionid=4&id=10&Itemid=26. Available at: ?option=co ntent Accesed on August 28,2010. 3. Tucker MR, Ochs MW. Management lj et al. contemporary oral and of facial fractures. Dalam : Peterson maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003 4.Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun IX hal 41-50. 5. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s Surgery 2nd. Hamilton, London principles of Oral and Maxillofacial : BC Decker Inc. 2004 27 6. Beaty NB, Le TT. Mandibular thickness measurements in young dentate adults. Arch Otolaryngol Head Neck Surg . Sep 2009;135(9):920-3. 7. Berkovitz BK, Moxham BJ. A Textbook of Head & Neck Anatomy. 1st ed . Mosby-Year Book;1988. 8.Bron AJ, Tripathi RC, Tripathi BJ. Wolff's Anatomy of the Eye and Orbit. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;1997. 9.Dutton JJ. Atlas of Clinical and Surgical Orbital Anatomy. Philadelphia: WB Saunders Co;1994. 10. Haribhakti VV. The dentate adult human mandible: an anatomic basis for surgical decision making. Plast Reconstr Surg . Mar 1996;97(3):536-41; discussion 542-3 11. Lang J. Clinical Anatomy of the Nose, Nasal Cavity, and Paranasal Sinuses. NY: Thieme Medical Publishers;1989. 12. Miller PJ, Smith S, Shah A. The subzygomatic fossa: a practical landmark in identifying the zygomaticus major muscle. Archives of Facial Plastic Surgery . Jul-Aug 2007;9(4):271-4. 13. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. NY: Novartis Medical Education; 1989. 14. Prabhu LV, Ranade AV, Rai R, Pai MM, Kumar A, Sinha P. The nasal septum: an osteometric study of 16 cadaver specimens. Ear Nose Throat J . Aug 2009;88(8):1052-6. 28 15. Rohen JW, Yokochi C. Color Atlas of Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;1988. 16. Webster RC, Gaunt JM, Hamdan US, et al. Supraorbital and supratrochlear notches and foramina: anatomical variations and surgical relevance. Laryngoscope . Mar 1986;96(3):311-5. 17. Zide BM, Swift R. How to block and tackle the face. Plast Reconstr Surg. Mar 1998;101(3):840-51. 29