MAKNA TENUN IKAT BAGI PEREMPUAN

advertisement
MAKNA TENUN IKAT BAGI PEREMPUAN
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara- Timor Tengah Selatan)
Asni Salviany La’a dan Sri Suwartiningsih
Abstract
Weaving is a woman activity passed by ancestors to young girls from
generation to generation. This kind of occupation is a contribution
made by women to parents, husband and family to assist the need of
family and to show the inner beauty of girls. This research has a
purpose to explain the meaning of weaving for women in North Mollo,
East Nusa Tenggara. This is an ethnographic research. The research
revealed that social change has shifted the role of women in villages.
They tend to buy blanket from the market instead of do the weaving
themselves. Now, they lose skills in traditional weaving. Weaving in
North Mollo is now facing a transition and the impact is that the
symbols in weaving disappear gradually. Only certain people still
maintain the weaving custom because of the influence of people from
outside on the traditional design for an economic reason. From that
activity, the researchers draws a conclusion that weaving is now facing
a problem of spiritual and cultural values degradation.
From the research, the writers hope that the government pays
attention on the preservation of classic weaving design. The
government should control the pricingso that the buyer and seller get
profit equally and the activity itself should be included as part of the
school curriculum. Whereas the sources about traditional weaving can
be in a form of publication of books about it.
Kata kunci : tenun, desain tradisional, tenun di Mollo Utara, nilai
spiritual dan budaya.
1.
Pendahuluan
Tenun adalah hasil kerajinan benang dengan cara memasukkan
benang yang arahnya horizontal (benang pakan) ke dalam benang yang
terentang atau arah vertikal (benang lungsi) pada alat tenun bukan mesin.
Dalam kain tenun yang dihasilkan dengan peralatan tradisional tersimpan
21
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
makna-makna yang bernilai dan agung. Sesungguhnya dengan memegang
dan memakai kain tenun tradisional kita seakan-akan sedang mengarungi
suatu lembaran dokumen sejarah dari masyarakat yang membuatnya. Kain
tenun sendiri merupakan benda mati, tetapi benda itu justru merupakan
saksi hidup dari suatu budaya, yang dapat mengungkapkan salah satu sisi
kebudayaan (Erni, 2003:17)
Kerajinan tenun Indonesia banyak jenisnya, ditinjau dari teknik
pembuatan ragam hiasnya, seperti Tenun Songket, Tenun Ikat, Tenun
Dobel Ikat, dan Tenun Jumputan. Asalmula kerajinan ini berasal dari
daerah di mana tumbuh dan berkembangnya kerajinan ini. Hal ini dapat
dilihat dari ragam hias yang terdapat pada masing-masing tenunan, yang
merupakan pengembangan dari kehidupan alam dan masyarakat yang
membuatnya, Arby (1995 : 15)
Arby, (1995:8) menambahkan lagi bahwa menurut sejarah sebutan
‘Tenun Ikat’ diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli EtnografiIndonesia dari Belanda, G.P Rouffaen sekitar tahun 1900. Rouffaen
meneliti cara pembuatan ragam hias dan sekaligus proses pewarnaannya
dan menyimpulkan, kain ini dibuat dengan teknik mengikat lembaran
benang supaya dalam proses pencelupan atau pewarnaan membentuk pola
ragam hias sesuai dengan ikatan yang ada. Untuk nama teknik ini Rouffaen
meminjam istilah bahasa Melayu yakni “Ikat” sehingga disebut “Tenun
Ikat”.
Keberadaan Tenun ikat dalam kehidupan masyarakat, memiliki peran
dan bernilai sangat baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Nilai-nilai ini
dapat dilihat dari perilaku atau kebiasaan masyarakat daerah Nusa
Tenggara Timur. Pembuatan kerajinan Tenun Ikat ini biasanya oleh
perempuan. Kemampuan dalam menenun akan digunakan untuk
menentukan derajat perempuan. Setiap perempuan yang pandai menenun
dianggap lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan yang tidak pandai
menenun. Pada saat peminangan, pihak laki-laki bersedia memberikan mas
kawin atau belis sebanyak yang diminta apabila perempuan pandai
menenun.
Tenun Ikat juga dipercaya dapat memberikan sugesti kekuatan
terhadap suatu tindakan. Hal ini nampak pada pemberian kain oleh seorang
ibu kepada anaknya yang akan pergi merantau.
22
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
Kain tenun juga dapat dijadikan kebanggaan bagi seseorang atau suatu
keluarga. Hal tersebut terlihat ketika seseorang atau keluarga didatangi
tamu dan akan bermalam. Kewajiban tuan rumah adalah menyediakan
selimut atau hasil kerajinan tenunnya sebagai penutup badan pada saat
akan tidur atau merasa dingin. Kebiasaan ini merupakan kebanggaan bagi
tuan rumah (Arby, 1995:22).
Menenun adalah pekerjaan atau kerajinan tangan kaum perempuan
yang diturunkan kepada anak gadisnya dari generasi ke generasi. Pekerjaan
ini merupakan sumbangan kaum perempuan bagi orang tua, suami, anakanak dan keluarga serta untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga
yang sekaligus memperlihatkan pancaran seni yang terpatri dalam diri sang
istri atau anak gadis. Orang yang melihat akan berpikir pekerjaan menenun
pekerjaan ringan karena dilakukan pada waktu senggang, namun
sebenarnya pekerjaan menenun merupakan pekerjaan yang sulit dan
menyita waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Konon ada
tenunan yang dikerjakan sampai kurang lebih 10 (sepuluh) tahun dan
hanya akan dipakai pada saat upacara-upacara khusus.
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam artikel ini
adalah “apa makna tenun ikat bagi perempuan di kecamatan Mollo UtaraTimor Tengah Selatan”. Dengan tujuan menjelaskan makna Tenun Ikat
bagi perempuan di Kecamatan Mollo Utara - Timor Tengah Selatan.
Penelitian ini adalah penelitian etnografi menggunakan pendekatan
kualitatif. Etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya.
2. Kebudayaan dan Tenun
2.1 Pengertian dan Unsur Kebudayaan
Kebudayaan dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Harris (dalam
Spradley 2006:8) mengatakan bahwa, konsep kebudayaan ditampakkan
dalam berbagai pola tingkah laku yang diartikan oleh kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat.
Konsep kebudayaan sebagai sistem simbol yang bermakna banyak memiliki
persamaan dengan pandangan interaksionalisme simbolik (suatu teori yang
23
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan
makna).
Pengertian kebudayaan oleh Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi (dalam Koentjaraningrat 1990:180) adalah semua hasil karya, rasa
dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau nya “kebudayaan jasmania” (material culture)
yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar
kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Sementara itu menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
2.2 Tenun hasil Kebudayaan
Dalam masyarakat tradisional tenunan merupakan harta milik
keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat.
Proses pembuatannya atau penuangan motif tenunan hanya berdasarkan
imajinasi penenun sehingga menjadi mahal. Tenunan sangat bernilai dari
nilai simbolis yang terkandung, termasuk arti dari ragam hias yang ada
karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai
spiritual dan mistik menurut adat.
Penelitian ini dilaksanakan di salah satu wilayah NTT yaitu di Mollo
Utara. Sebagai penelitian etnografi, penelitian ini mencari nara sumber
pertama dan mencari data yang senyatanya. Penelusuran sejarah dan aktor
menjadi data primer tanpa memberikan opini. Jadi data-data ditelusuri
sampai pada nara sumber utama seperti yang diuraikan di bawah ini.
Menurut sejarah pada masa pemerintahan Raja Sobe Sonba’i III
(kerajaan Oenam) terjadi perang Bipolo, dan sang raja ditangkap Belanda di
Bes’ana akibat pengkhianatan marga Oematan di Bes’ana dan kemudian
diasingkan ke Waingapu Sumba Timur. Pada tahun 1922, Sobe Sonba’i III
meninggal dan dimakamkan di Fatufeto Kupang. Setelah sang raja
meninggal, Belanda membagi-bagi wilayah kerajaan Oenam atas beberapa
kerajaan kecil yaitu: kerajaan Miomafo, kerajaan Mollo, dan kerajaan
Fatule’u.
Tentang orang pertama di Mollo sendiri (suku Molus atau Melus dan
Keunjmana atau Kenurawan) diduga kuat adalah bagian dari ras Papua-
24
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
Melanesia. Mereka digambarkan sebagai kelompok nomaden, bertubuh
pendek, bermuka cekung, berhidung pesek, berkulit hitam dan berambut
keriting. Khusus pada suku Keunjaman terdapat ciri lainnya yakni berbulu
dada dan berkaki jangkung. Dalam perkembangannya suku Molus dan
Keunjaman terdesak oleh suku bangsa lain yang datang (orang-orang dari
Malaka atau Belu Selatan). Suku Molus yang terdesak kemudian
menyebrangi laut menuju kepulauan Alor disebut sebagai met-meni
kiuftasi (Yosep Taum, 2009)
Asal usul nama Mollo:
a. Menurut juru bicara (mafefa) dari desa Bes’ana, nama Mollo berasal
dari kata ‘na molok’ artinya ‘berbicara’, pembicara antara seorang
pemburu dan seekor musang (anseko). Informasi yang mirip juga
dikemukan oleh para mafefa dari desa Oelbubuk, Binaus dan
Kuale’u, yang mengartikan ‘molok’ sebagai berbicara, bersepakat,
berjanji, atau bermusyawarah. Namun yang dimaksud adalah
pembicaraan dan perjanjian antara marga Lassa yang meminta
bantuan marga Oematan untuk memerangi Jabi-Uf.
b. Informasi dari mafefa desa Laob, nama Mollo berasal dari kata
‘’noni (noin) mollo’’ yang artinya uang kuningan yang ditemukan
oleh seorang wanita bernama Bi Tae-Neno di puncak sebuah
gunung yang sekarang disebut gunung Mollo.
c. Informasi dari mafefa desa Netpala, nama Mollo berasal dari kata
‘molfa-mate’ yang artinya sangat kuning. Asal usul mollo dari
pemahaman ini mengacu pada nama dua marga yaitu Lassa dan
Toto yang konon disebut sebagai penghuni pertama gunung Mollo,
yang sebelumnya bernama ‘Matahas’ artinya menyinari, karena
kedua marga ini sudah cukup lama bermukim di gunung Mollo
maka kedua marga ini mendapat julukan sebagai ‘molo-oki atau oik
molo’.
d. Informasi dari mafefa Fatumnutu, nama Mollo sendiri disesuaikan
dengan kondisi alam, yaitu sinar matahari yang condong ke ufuk
barat dan tampaknya seperti mengarah ke bawah kaki langit.
Warna cahayanya berubah menjadi kekuningan menyinari seluruh
gunung Mollo sehingga tampak menguning seluruhnya.
25
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
Kesimpulannya meskipun ada berbagai perbedaan persepsi dan versi
cerita dari para Mafefa, namun masih ada satu sisi kesamaan di dalamnya
yaitu kata Mollo yang berarti ‘kuning’.
Struktur pemerintahan kerajaan Mollo:
1. Afinit artinya pendahulu atau leluhur.
2. Pah Tuaf artinya penguasa atau pemilik wilayah.
3. Mafefa artinya juru bicara raja atau juru bicara adat. Penghubung
Pah Tuaf dengan amaf, meob, dan ana’a tobe. Hubungan antara Pah
Tuaf dan amaf, meob dan ana’a tobe merupakan sebuah hubungan
tidak langsung.
4. Amaf-amaf artinya marga-marga pendukung utama Pah Tuaf atau
Raja. Dalam satu kelompok, amaf terdiri dari delapan marga
pendukung. Dari delapan marga pendukung terdapat empat marga
pendukung yang bertanggungjawab atas kesejahteraan dan
kehidupan
raja.
Empat
marga
pendukung
lainnya
bertanggungjawab untuk melayani kebutuhan raja.
5. Meob artinya pahlawan yang bertanggungjawab atas keamanan dan
ketentraman wilayah kerajaan.
6. Ana’ A tobe artinya yang berwenang dan bertanggungjawab atas
kelestarian alam atau wilayah.
7. Mnais Kuan artinya tua kampung atau pemangku adat yang
keberadaanya telah disepakati oleh para amaf.
8. Tob (To Ana) artinya rakyat biasa atau rakyat pada umumnya yang
mendiami wilayah kerajaan Mollo.
Nama raja-raja yang memerintah Kerajaan Mollo: To Oematan,
Tabelak Oematan, Kono Oematan, Raja Tua Sonba’i, Raja Semuel Soleman
Henderik Oematan, merupakan anak kedua dari Tabelak Oematan, Raja
Edison Richard Ferdinand Oematan.
26
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
3. Tenun dan Maknanya
3.1 Tenun Ikat
Dalam wawancara dengan Alfret Makh1, beliau menceritakan bahwa
untuk menghasilkan tenun ikat, prosesnya adalah sebagai berikut: benang
dalam bentuk streng (gulungan panjang) terlebih dahulu harus dimasak
dengan sabun untuk menghilangkan kotoran dan minyak. Setelah dimasak
kurang lebih satu jam, benang diangkat kemudian dibersihkan dan
dijemur sampai kering. Penggulungan atau pengelosan benang dilakukan
sambil duduk. Benang dibentangkan diantara lutut, sementara ujung
benang digulung pada batu kecil sambil terus digulung sampai habis.
Benang yang akan dipergunakan untuk pakaian tetap dibiarkan dalam
bentuk streng. Setelah benang digulung atau dikelos selanjutnya di hani
pada pemidang hani. Proses penghanian ini biasanya dilakukan oleh dua
orang. Cara menghaninya adalah ujung benang diikat pada satu sisi
pemidang kemudian benang ditarik dan dibentangkan di pemidang.
Pekerjaan ini dilakukan hingga mencapai jumlah benang yang dibutuhkan.
Proses penghanian dilanjutkan dengan proses pengikatan motif.
Benang hasil hanian dibentangkan pada pemidang ikat. Untuk menghemat
waktu, benang dirangkap sesuai dengan corak motif yang akan diikat.
Sesudah itu benang diikat dengan tali rafiah atau tali daun kelapa. Benang
yang telah diikat selanjutnya dilepaskan dari pemidang ikat dan tali rafiah
lainnya kemudian dicelup ke air pewarna sesuai yang diinginkan.
Setelah proses pencelupan benang selesai maka benang dicuci bersih
kemudian dimasak dengan sabun kurang lebih seperempat jam agar sisasisa zat warna yang masih melekat pada permukaan benang dapat larut.
Setelah benang dimasak dengan sabun, dicuci bersih, diangin-anginkan di
tempat yang teduh. Apabila benang telah benar-benar kering maka
dilanjutkan dengan proses pembukaan tali pada benang. Proses pembukaan
dilakukan dengan hati-hati agar benang tidak putus (proses pembukaan
dilakukan dengan memakai pisau kecil). Benang yang telah dibuka
ikatannya selanjutnya dibentangkan kembali pada pemidang dengan tujuan
mengatur kembali corak motif atau untuk menambah lajur-lajur benang.
. Alfred Maak. Beliau memiliki galeri yang menjual hasil-hasil kerajinan masyarakat Timor
Tengah Selatan. Wawancara pada tanggal tanggal 15-12-2011 di rumah beliau, kota Soe
1
27
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan Gun. Selanjutnya benang yang
telah dilepaskan dari pemidang dipasang pada alat tenun untuk selanjutnya
ditenun.
Proses menenunnya sama dengan proses menenun tenun ikat lainnya.
Bedanya pada tenun ikat, motif telah dibentuk pada benang lungsi
sedangkan untuk tenun buna motif baru terbentuk pada proses menenun.
Pada proses menenun buna, motif dibentuk dengan cara pakan tambahan
dilingkarkan pada lajur benang lugsi mulai dari arah kiri atau kanan
penenun mengikuti lajur benang pakan kemudian dilanjutkan dengan
pengetekan benang pakan. Proses ini dilakukan berulang-ulang sesuai
dengan motif yang diinginkan dan dilakukan dengan kesabaran,
ketelatenan serta memerlukan waktu yang sangat lama.
3.2 Tenun Lotis/Sotis atau Songket
Pada bagian ini Alfret menambahkan bahwa, proses tenun lotis mirip
dengan proses tenun buna. Pada tenun lotis motif terbentuk karena
persilangan benang lungsi diantara benang pakan sehingga terjadi efek
lungsi diatas benang pakan sehingga terjadi efek lungsi, efek lungsi inilah
yang disebut motif. Untuk membuat motif pada tenunan lotis,
dipergunakan lidi sebagai alat bantu untuk mengungkit benang lungsi
tertentu sesuai dengan pola motif, setelah itu baru dimasukkan benang
pakan dan di rapatkan dengan menggunakan batu. Pada tenun lotis, selain
dipergunakan gun yang fungsinya untuk membuka mulut lungsi, juga
dipergunakan lidi sebagai alat bantu untuk membuka mulut lungsi pada
benang-benang lungsi tertentu sehingga membentuk motif.
28
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
4.Makna Tenunan Mollo
4.1 Tenunan Pauf
Gambar 14
Tenunan Pauf
Sumber: Data Primer, 2012
Ket: Memiliki simbol lulat kollo dan lulat pohok. Hasil tenunan ini hanya
dapat dikenakan oleh raja atau penguasa.
Gambar 15
Tenunan Pauf
Sumber: Data Primer, 2012
Ket: Hanya memiliki simbol lulat pohok. Hasil tenunan ini dipakai oleh atoin
amaf dan keluarga kerajaan.
Orang-orang di Mollo Utara menyebut motif tenunan pada gambar di
atasdengan sebutan Pauf. Pauf dapat ditenun berbentuk selimut dan juga
sarung. Namun demikian, lebih sering dibuat dalam bentuk selimut dan
dipakai oleh kaum laki-laki. Pauf ini dapat dibuat dari benang yang dipintal
secara tradisional atau dari benang sulam dengan teknik sotis atau lotis.
Teknik ini berbeda dengan teknik ikat atau futus. Proses pembuatan ragam
hias dengan menggunakan teknik sotis atau lotis ini dibuat dengan cara
mengungkit benang lungsinya dan menambahkan benang pakan saat proses
29
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
penenunan. Warna dasar dari kain tenun ini adalah merah dan putih
ditambahdengan warna kuning, biru, ungu dan hijau. Warna merah dan
putih melambangkan bendera kebangsaan dan secara khusus warna putih
juga menggambarkan wilayah Mollo Utara, warna kuning menggambarkan
orang Mollo, biru menggambarkan kedamaian, ungu melambangkan
kebaikan dan warna hijau melambangkan kesuburan.
Teknik pembuatan dari kain atau tenunan ini memiliki keunikan
tersendiri. Proses pembuatan tenun ini terdiri dari tiga kali pembuatan.
Dengan kata lain selimut ini terdiri dari tiga helai tenunan yang kemudian
dijadikan satu kain selimut. Lembaran pertama dan kedua yaitu bagian kiri
dan kanan selimut yang proses pembuatan ragam hiasnya menggunakan
teknik ikat. Sementara proses pembuatan ragam hias pada lembaran ketiga
atau bagian tengah kain menggunakan teknik sulam atau sui. Setelah ketiga
helai kain ini ditenun maka disambung dengan jahitan. 2 .
Di Mollo utara terdapat delapan (8) atoin amaf dan kedelapan amaf ini
digambarkan dalam simbol belah ketupat (bentuk geometris). Kedelapan
atoin amaf tersebut adalah Toto-Tanesip, Nani-Lasa dan Seko-Baun, ToisSumbanu, di dalam penyebutannya haruslah terdiri atas empat nama marga
yang tentu saja memiliki ikatan kekeluargaan yang erat. Marga-marga
tersebut tidak dapat disebut satu persatu atau secara terpisah. Simbol belah
ketupat tersebut memiliki dua arti lulat pohok dan lulat kollo. Lulat pohok
(lulat yang berarti raja dan pohok yang berarti membungkus) dapat dipakai
oleh keluarga bangsawan atau kerajaan sedangkan lulat kollo
(menggambarkan burung Garuda) hanya boleh dipakai oleh raja atau
penguasa.
Arti dari ragam hias tersebut adalah manifestasi atau pencerminan dari
hubungan sosial antara rakyat dengan penguasa atau raja. Selain itu juga
memberikan arti sikap raja terhadap rakyat dalam hal dukungan atau
perlindungan. Selain itu juga mencerminkan sikap bijaksana dari seorang
raja terhadap rakyatnya.
. Ibu Sara Ni Reni Oematan. (isrti dari bapak Edison Oematan yang adalah Raja Mollo
sekarang) Wawancara tanggal Wawancara pada tanggal 28-12-2011 di sonaf (istana), Desa
Ajobaki.
2
30
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
4.2 Tenunan Lotis
Gambar 16
Tenunan Lotis
Sumber: Data Primer, 2012
Ket: Dipakai oleh rakyat
Tenunan lotis memiliki makna religi. Pada tenunan lotis terdapat
motif belah ketupat yang secara khusus memiliki makna religi. Tenunan
lotis ini lebih sering dipakai oleh kaum perempuan di Mollo Utara dalam
bentuk sarung dan selendangdengan warna-warna cerah. Ragam hias yang
terdapat pada kain ini didominasi oleh ragam hias belah ketupat yang
memenuhi sarung atau selendang. Simbol belah ketupat menggambarkan
harapan dan kepercayaan masyarakat akan Tuhan, ikatan kekeluargaan
dimana dalam kehidupannya harus saling menghormati dan membantu dan
menunjukkan arah mata angin3.
5.
Pergeseran Makna
Berbicara mengenai tenun ikat maka akan membahas pula mengenai
salah satu kebudayaan yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan komunal
manusia menyepakati berbagai aturan, norma, bahasa, akhirnya
menyepakati tanda dan lambang sebagai identitas bersama. Tenun ikat bagi
masyarakat Mollo Utara memiliki makna yang sangat mendalam dan
simbol-simbol yang ada dalam tenun ikat sebagai simbol status sosial
sesesorang yang sangat berpengaruh dan merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan karena tenun ikat merupakan salah satu unsur
yang terpenting di dalam kehidupan orang Mollo Utara. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pergeseran makna tenun ikat.
3
. Yublina Kabnani. Wawancara pada tanggal 28-12-2011 di rumah mereka, Desa Ajobaki.
31
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
5.1 Status Sosial
Menurut Linton dalam Kuntowijoyo (2006:45) status sosial merupakan
sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang dalam masyarakat.
Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih
tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status
sosialnya rendah. Dalam kehidupan masyarakat di Mollo Utara pada zaman
dahulu simbol-simbol yang ada pada tenun ikat mempunyai makna yang
sangat kuat. Simbol lulat kollo misalnya hanya boleh dipakai oleh raja dan
keturunan raja atau bangsawan sedangkan masyarakat biasa tidak
diperbolehkan memakai simbol tersebut. Status sosial merupakan
kedudukan, peran dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakatnya.
5.2 Budaya orang Mollo Utara
Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi (Stewart
dan Sylvia 2005:337). Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan
dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya
bersifat kompleks, abstrak dan luas. Unsur-unsur sosial budaya ini besar
dan meliputi banyak kegiatan sosial masyarakat.
Wujud kebudayaan menurut Hoed dalam Hoed (2010:27) dibedakan
menjadi tiga yaitu gagasan, aktivitas dan artefak. Gagasan wujud (ideal)
kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebaginya yang bersifat
abstrak, tidak dapat disentuh. Pada masyarakat di Mollo Utara simbolsimbol yang ada pada tenun ikat memiliki makna yang sangat mendalam.
Di dalam pemakaian simbol-simbol pada tenun ikat bukanlah dipakai
secara sembarangan karena simbol-simbol tersebut memiliki nilai-nilai dan
makna tersendiri di dalam simbol tersebut. Misalnya simbol yang dimiliki
oleh orang Mollo Utara adalah simbol lulat kollo.
Wujud kebudayaan ini terletak dalam alam pemikiran masyarakat.
Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk
tulisan maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut atau orang
dari daerah tersebut.
32
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
1. Aktivitas atau tindakan adalah wujud kebudayaan sebagai tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini sering pula
disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitasaktivitas manusia yang sering berinteraksi, mengadakan kontak,
serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan. Dalam kehidupan masyarakat
di Mollo Utara simbol atau makna yang terdapat didalam tenun
ikat sangat mempengaruhi kepercayaan dan kehidupan mereka
sehari-hari.
2. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil
aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat
berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkrit diantara ketiga wujud
kebudayan. Tenun ikat merupakan karya seni yang tidak ternilai
harganya bagi masyarakat dan para leluhur orang Mollo. Tenun
juga memiliki makna yang sangat mendalam walau seiringnya
waktu mengalami pergeseran makna. Namun demikian tenun ikat
tetaplah sebuah karya seni yang memiliki makna dan keindahan
sendiri.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat antara wujud kebudayaan
yang satu tidak dapat dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai
contoh wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia (Koenjoroningrat
2009:150-151)
5.3 Pendidikan
Menurut Donald dan Langeveld (dalam (Koentjaraningrat, 2009:153154), pendidikan adalah proses atau kegiatan yang diarahkan untuk
mengubah kebiasaan (behavior) manusia. Behavior adalah tanggapan atau
perbuatan seseorang dan sesuatu yang dilakukan seseorang. Faktor yang
mempengaruhi pergeseran makna tenun ikat di Mollo Utara salah satunya
adalah pendidikan. Dengan banyaknya orang Mollo Utara berpendidikan
formal menjadi alasan untuk tidak memiliki waktu atau kesempatan belajar
serta membuat tenun ikat lagi. Mereka juga cenderung beranggapan bahwa
proses belajar dan menenun hanya dilakukan oleh ibu-ibu atau anak
perempuan yang tinggal di kampung atau desa dan sekarang ini tenun ikat
33
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
serta simbol-simbol yang terdapat di dalamnya hanya dianggap sebagai
simbol keindahan atau karya seni untuk memperindah penampilan semata.
5.4 Ekonomi
Pergeseran makna tenun ikat di Mollo Utara juga dipengaruhi oleh
segi ekonomi. Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari
aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan
pertukaran. Apabila kita sekarang melihat tenun ikat mengalami banyak
perubahan yaitu adanya pengambilan simbol atau motif tenunan dari
daerah lain kemudian digabungkan dengan tenunan dari Mollo Utara.
Dengan adanya pencampuran motif dari daerah lain tersebut juga turut
mempengaruhi warna benang yang digunakan dalam pembuatan tenun
ikat. Tanpa melihat lagi unsur makna dari simbol yang diambil atau yang
dipergunakan maka hal tersebut mengakibatkan makna simbol yang telah
dipertahankan oleh nenek moyang dulu telah mulai memudar. Hal tersebut
dilakukan dengan alasan untuk memenuhi permintaan dari konsumen
semata sehingga untuk sekarang ini apabila kita ingin mendapatkan
langsung motif atau simbol tenunan Mollo Utara maka kita harus
memesannya terlebih dahulu untuk dibuatkan.
5.5 Budaya Luar (moderen)
Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan
sebuah kecenderungan yang mengarah pada memudarnya nilai-nilai
pelestarian budaya. Perkembangan 3T (transportasi, telekomunikasi dan
teknologi) mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan
budaya daerah sendiri. Salah satu faktor yang mempengaruhi pergeseran
makna tenun ikat di Mollo Utara yang sangat berpengaruh adalah budaya
dari luar. Karena proses interaksi dengan orang dari daerah lain maka tanpa
disadari mempengaruhi mereka secara langsung. Contohnya simbol Lulat
Pohok yang seharusnya hanya di pakai oleh raja, kini telah dijumpai pada
hasil tenunan yang dipakai oleh mereka yang bukan turunan raja ataupun
raja.
34
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
6. Perempuan Dalam Kehidupannya
Menurut pandangan budaya orang Mollo kedudukan perempuan dan
laki-laki adalah saling melengkapi. Pandangan ini tercermin dalam struktur
desain rumah tradisionalnya.
Rumah menempati posisi sentral dalam tata dunia dan tata sosial orang
Timor. Menurut Cunningham (dalam Nuban Timo 2006:56) rumah adalah
pusat pelaksanaan ritus doa, korban persembahan dan pesta. Ritus yang
berhubungan dengan siklus kehidupan biasanya dilaksanakan di rumah
mereka yang terlibat langsung dan berhala keluarga disimpan di situ.
Rumah dengan benda-benda keramatnya harus dilindungi. Para pewaris
harus menjaga benda-benda pusaka dan mendiami rumah tersebut. Doadoa dapat dinaikkan kepada Uis Neno (Allah), roh-roh, dan leluhur dari
rumah.
Bagi daerah-daerah di NTT, termasuk Mollo Utara rumah bukan
semata-mata tempat tinggal melainkan simbol tata dunia dan tata sosial.
Penataan rumah tidak ditentukan oleh pertimbangan seni atau fungsi akan
tetapi oleh makna yang hendak diungkapkan. Jumlah rumah orang Timor,
yang berarti juga orang Mollo ada dua. Rumah yang pertama merupakan
rumah tempat tinggal (ume kbubu) dan kedua adalah rumah tamu (lopo).
7. Perempuan dan Adat
Budaya di NTT, khususnya suku Meto (termasuk Mollo Utara)
terdapat budaya “lasi nak atoni”. Secara harafiah ungkapan ini berarti lakilaki adalah kepala semua urusan. Ungkapan ini semakin memperkuat
budaya patriarkal di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam budaya
masyarakat Mollo ada dua benda yang dapat menjelaskan tentang peran
dari perempuan dan laki-laki. Dua benda itu adalah ike-suti dan suni-auli.
Benda-benda ini sekaligus banyak bercerita tentang gagasan, pandangan
dan keyakinan iman serta relasi perempuan dan laki-laki di dalam
masyarakat.
Ike-suti adalah benda kembar yang berguna bagi setiap perempuan
dewasa dalam proses pembuatan tenun. Dua perkakas ini masing-masing
adalah alat pemintal benang. Ike berupa tongkat kecil bulat, berukuran
kira-kira 15 cm. Pada bagian ujung atas berdiameter kurang lebih 0,5 cm
35
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
dan ada kaitan seperti yang ada pada gasing. Sementara ujung bawah
diameternya lebih besar, kurang lebih 4 cm dibuat runcing ujungnya agar
dapat berputar. Suti berupa sebuah tempurung atau kulit kerang yang
berfungsi sebagai mangkuk dimana ike diputar untuk membuat atau
memintal benang.
Suni-auli merupakan dua buah benda yang berguna bagi setiap lakilaki dewasa untuk mempermudah tugas-tugasnya seperti berburu,
berkebun, membangun rumah dan berperang melawan musuh. Sini adalah
kata untuk pedang, sedangkan auni adalah tombak. Kedua benda ini sering
juga disebut bersama-sama dengan benas (parang) dan pali (linggis).
Ike-suti dan suni-auli bagi perempuan dan laki-laki orang Mollo
merupakan atribut yang sangat membanggakan. Pemilik dari benda-benda
tersebut akan diakui masyarakat sebagai manusia dewasa dan karena itu
mereka boleh mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
Perempuan dan laki-laki yang dahulunya hidup dari bakti orang tua,
sekarang telah boleh berbakti kepada orang tua dengan mempersembahkan
kepada mereka kain tenun dan hasil kebun yang diperoleh dari
pekerjaannya menggunakan ike-suti dan suni-auli. Semakin sering seorang
perempuan dan laki-laki menunjukkan baktinya kepada kedua orang
tuanya, akan terus dibicarakan kebaikannya itu di dalam keluarga dan
masyarakat.
Setiap perempuan dan laki-laki Mollo akan merasa bangga dan
terhormat bila keluarga dan masyarakat menyebut dia sebagai pemilik ikesuti yang bercahaya atau suni-auli yang tajam (ike-suti na aik, suni-auli na
aik). Karena perempuan dan laki-laki telah dapat mempergunakan ike-suti
dan suni-auli dengan benar dan bermanfaat maka mereka telah dapat
menikah dan membentuk rumah tangganya sendiri.
8.
Perempuan dan Tenun
Sekitar tahun 50-an silam masyarakat Mollo Utara tidak saja
menjadikan tenun sebagai pakaian adat, tetapi lebih dari itu sebagai sumber
kehidupan. Sejumlah perempuan berkumpul saling bantu merajut kapas
menjadi benang, memintal benang, dan kemudian menenunnya menjadi
kain tenunan yang indah. Tenun adalah sebuah ikatan cinta, kasih dan
36
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
kekeluargaan. Di Mollo Utara, sebelumnya perempuan yang akan menikah
ditentukan kepandaiannya dalam menenun. Semakin halus tenunannya,
semakin perempuan itu dianggap baik. Hasil tenunan yang dihasilkan
mencerminkan ketelitian, kesabaran, dan rasa keindahan pembuatnya
sehingga betapa pentingnya makna tenun bagi masyarakat.
Keberadaan perempuan memegang peranan yang sangat penting.
Perempuanlah yang mengatur dan menyediakan makanan dan kebutuhan
akan pakaian bagi suami dan anak-anaknya. Keberadaan dan peran
perempuan sudah tergambar jelas di dalam keberadaan ume kbubu di
dalam kehidupan bermasyarakat. Keberadaan perempuan semakin lengkap
lagi dengan adanya ike suti sebagai alat yang diberikan untuk
menghasilkan sebuah karya seni yang indah. Karya seni yang tertuang
dalam lembaran-lembaran tenunan akan dipersembahkan untuk suami,
anak-anak dan keluarga sebagai lambang penghormatan dan cinta
kasihnya. Hasil tenunan yang telah dibuat juga akan dijadikan sebagai
sarana memperkenalkan dan mengingat tali persaudaraan. Di dalam acaraacara adat dan acara-acara khusus, tenun ikat memengang peranan yang
sangat penting.
9.
Kesimpulan
Daya tarik tenun tradisional Mollo Utara terletak pada makna religius
dan kepercayaan yang terkandung didalamnya yang dipadukan dengan seni
merancang motif dalam penempatannya yang akan diakui sebagai
miliknya. Kekuatan spiritual dari tenunan dapat dilihat dari bagaimana
perpaduan yang serasi antara seni mengikat benang, mewarnai dan
menenun yang dijiwai oleh kepercayaan dan pandangan hidup dari
sukunya sehingga hasil tenunannya akan dihargai, dicintai dan akan selalu
dibanggakan.
Kerajinan tenun Mollo Utara sekarang ini memasuki masa transisi.
Pesan religius di dalam motif-motifnya yang telah terpelihara secara turun
temurun mulai memudar. Makna dari motif-motif yang dimilikinya dari
warisan lelehur kini tidak lagi diketahui oleh mereka. Hanya sebagian kecil
perempuan yang masih mengetahui makna dari motif-motif tersebut.
Berdasarkan alasan ekonomi maka motif-motif spiritual yang berdasarkan
adat yang khas sudah ditambahkan dengan motif-motif dari luar, dengan
37
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
terjadinya hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tenunan sekarang ini
berada dalam keadaan dimana terdapat tarik menarik antara nilai-nilai
spiritual dan adat budaya turun temurun.
Perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi telah
menggeser fungsi peranan perempuan dalam proses penenunan. Kini
perempuan-perempuan desa tidak lagi menanam kapas, maka hilanglah
ketrampilan dalam mengelola kapas dan hilang pula peralatan pemintal
benang tradisional. Kebutuhan akan benang tenunan diperoleh dari
benang-benang hasil pabrik, demikian juga dengan pewarna benang yang
berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan. Hal serupa juga terjadi pada proses
pembuatan tenunan. Perempuan yang dulunya dapat menenun sekarang
ini ada yang tidak lagi menenun. Mereka lebih cenderung membeli hasil
tenunan orang lain dan hasil tekstil untuk dipakai. Anak-anak perempuan
sekarang ini hanyalah sebagian kecil yang masih memiliki keinginan untuk
belajar dan menenun. Dengan berbagai alasan mereka mengungkapkan
mengapa sampai terjadi hal demikian. Alasan membantu suami di kebun,
mengurus anak, bersekolah dan sudah bertempat tinggal di kota
menyebabkan mereka tidak dapat lagi menenun.
Perubahan-perubahan juga terjadi dimana peran sosial perempuan
dalam masyarakat disaat ini mulai berkurang. Hal ini dibuktikan dengan
berkurangnya fungsi sosial dari hasil tenunan karya perempuan itu sendiri.
Sebagai contoh fungsinya dalam membayar maskawin, ucapan terimakasih,
denda adat yang mengharuskan pemberian tenunan yang memiliki arti
atau makna tertentu telah diganti dengan uang atau barang berharga
lainnya. Dengan terjadinya pergeseran kedudukan tenunan di dalam
masyarakat maka berdampak juga bagi keberadaan perempuan di dalam
masyarakat.
Referensi
Arby, Aurora; Alexander, Bell, & Soleman, Bessie. 1995. Album seni budaya Nusa
Tenggara Timur. Depertemen Pendididkan dan Kebudayaan. Kupang.
Berger, Asa Arthur. 2010. Pengantar SEMIOTIKA Tanda-tanda
Kebudayaan Kontenporer. Tiara Wacana Press: Yogyakarta
38
Dalam
Makna Tenun Ikat Bagi Perempuan
(Studi Etnografi di Kecamatan Mollo Utara-Timor Tengah Selatan)
Boru, Melkianus. 1989. Motif Selimut Adat Kabupaten DATI II TTS. Pemerintah
Daerah Tingkat II TTS. Soe.
Bungin, Burhan. 2001, Metodologi Penelitian Sosial. Airlangga University Press.
Surabaya.
____________. 2003. Metode Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo. Jakarta.
Foeh, M. 1976. Monographi Daerah Nusa Tenggara Timur (Timor, Rote dan Sabu).
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kupang.
Hidajad, Z. M. 1976. Masyarakat dan Kebudayaan: Suku-suku Bangsa di Nusa
Tenggara Timur. Tarsito. Bandung.
Hoed H. Benny. 2010. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.
Jakarta
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Reneka Cipta. Jakarta.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Panji Pustaka. Jogyakarta
Lahade, John R. 2011. Perempuan, Kuda dan Tenun. Kedudukan Perempuan
dalam Keluarga di Masyarakat Wewena, Sumba. Widya Sari Press.
Salatiga
Laksono. 1999. Teori Budaya. Pustaka Pelajar
Maga, Djawa & Maria, H. Kalau. 1998. Pengetahuan Lingkungan dan Sosial Budaya
Daerah Nusa Tenggara Timur. PT Pabelan. Kupang.
Mansour Fakih. 2007. Analisis gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar.
Jogyakarta
Nuban Timo, Eben. 2006. Pemberitaan Firman Pencinta Budaya. BPK Gunung
Mulia. Jakarta
____________. 2007. Sidik Jari ALLAH Dalam Budaya. Ledalero. Maumere NTT.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alvabeta. Bandung.
Suhardini. 2000. Tenun Ikat Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Suhardono, Edy. 1994. Teori Peranan. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Suparlan, Parsudi. 1971. Kebudayaan Timor: Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Djambatan. Jakarta.
39
KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1, 2013: 20-40
Spradley P. James. 2006. Metode Etnogravi. PT Tiara Wacana. Jogyakarta.
Suwondo, Kutut & Titi Susilowati. 2010. Hand out Metodologi Penelitian
Kualitatif. PPS-MSP UKSW, tidak dipublikasikan.
Patton, Michael Quinn. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif. Pustaka Pelajar.
Jogyakarta.
Tallo, Erni. 2003. Pesona Tenun Flobamora. Tim Penggerak PKK dan Dekranasda
Provinsi NTT. Kupang.
Tallo, Piet Alexander. 1990. Dalam Fakta, Masalah, Harapan. Mustika Adhi Jaya
Usahatama. Jakarta.
_________________. 1991. Bingkai Budaya Timor Tengah Selatan. Surindo Utama.
Kupang
Therik, Yes & John, V. Inkiriwang. 1997. Mosaik Parawisata Nusa Tenggara
Timur. PT Pabelan. Kupang.
Therik, Yes. 1989. Tenun Ikat dari Timur. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Usman, Husaini & Akbar Purnomo Setiady. 1996. Metodologi Penelitian Sosial.
Bumi Aksara. Jakarta.
Widiarto, Tri. 2005. Pengantar Antropologi Budaya. Widya Sari Press. Salatiga.
40
Download