BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami gejolak untuk berusaha menemukan jati dirinya. Pada masa ini lingkungan sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian seorang remaja. Lingkungan yang sangat erat di kehidupan remaja adalah lingkungan masyarakat dan sekolah. Lingkungan sekolah terutama memiliki porsi yang cukup besar pengaruhnya karena sebagian besar waktu remaja dihabiskan di lingkungan sekolah untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan merupakan aspek yang penting dalam setiap tahap perkembangan individu. Khususnya di Indonesia, perkembangan individu sejak usia anak-anak hingga usia remaja sangat lekat kaitannya dengan masalah pendidikan. Sekolah memiliki peranan penting dalam membentuk pola pikir dan mengarahkan rasa ingin tahu yang tinggi pada individu khususnya usia remaja agar tetap berada dalam lingkup pengetahuan yang positif. Selain itu dalam bermasyarakat pendidikan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk menghadapi persaingan di berbagai sektor kehidupan. Sekolah tidak hanya meliputi pelatihan intelektual namun juga meliputi pelatihan pekerjaan dan kemasyarakatan (Santrock, 2011) Di negara Indonesia pendidikan dilakukan dalam berbagai jalur pendidikan yang mencakup jalur pendidikan formal, jalur pendidikan nonformal, jalur pendidikan informal, dan jalur pendidikan anak usa dini (Jamaris, 2013). Sekolah termasuk ke dalam jalur pendidikan formal. Jalur pendidikan formal merupakan rentangan dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pada pendidikan tinggi (Jamaris, 2013). Untuk usia remaja pendidikan formal mereka berada pada rentang pendidikan menengah, baik Sekolah 1 2 Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Fenomena yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia belakangan ini adalah digalakannya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk menghasilkan SDM yang siap kerja agar mampu menekan angka pengangguran. Terbukti terjadi penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 0,12 persen, yakni dari TPT Februari 2013 yang mencapai 5,82 persen kemudian menjadi 5,70 persen pada TPT Februari 2014 (Berita Resmi Statistik BPS No.38/05/Th. XVII, 5 Mei 2014) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah dengan pendidikan yang berorientasi kompetensi siap kerja namun tetap mengikuti sistem kurikulum pendidikan yang ada dan tidak mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja (Maulida& Dhania, 2012). SMK diharapkan mampu menghasilkan generasi penerus bangsa yang tidak hanya siap kerja namun juga berkualitas dan berkompeten. Dengan kata lain pendidikan siswa di SMK tak bisa lagi hanya menyiapkan tenaga kerja siap pakai di dunia usaha dan industri namun juga harus membekali siswa dengan kemampuan berwirausaha agar mandiri (Maulida 2012). Kemampuan berwirausaha ini diharapkan mampu dimiliki siswa salah satunya dengan cara memahami semua materi dari proses belajar yang diikutinya selama berada di sekolah. Untuk mampu memahami materi secara efektif diperlukan motivasi belajar yang tinggi agar pengetahuan yang didapat mampu dipahami secara maksimal. Motivasi belajar memberikan pengaruh terhadap aktifitas siswa untuk menjalankan kegiatan dalam hal pendidikan. Motivasi mendorong manusia untuk berbuat dengan kata lain sebagai motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan (Sardiman dalam Maulida, 2012). Setiap siswa diharapkan memiliki motivasi belajar yang tinggi agar mampu mencapai prestasi belajar yang ditargetkan. Keberhasilan suatu pendidikan salah satunya dapat dilihat dari prestasi belajar siswa. Sehingga dapat dikatakan salah satu hal yang sangat berpengaruh besar terhadap prestasi belajar adalah motivasi belajar. 3 Pemerintah yang menjadi naungan pendidikan formal Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, salah satunya dengan cara memberikan bantuan pendidikan kepada siswa dengan kriteria-kriteria tertentu. Program bantuan pendidikan bermacam-macam di berbagai daerah sesuai dengan ketetapan tiap daerah. Salah satu bantuan pendidikan yang cukup menonjol di kota Surakarta adalah BPMKS. BPMKS (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta) merupakan instruksi dari Bapak Walikota Surakarta yang termuat dalam Peraturan Walikota Surakarta No 11 A Tahun 2012 tentang BPMKS (bpmks.dikpora-solo.net). BPMKS memberikan bantuan pendidikan kepada siswa warga kota Surakarta yang terbagi dalam tiga jenis kartu bantuan yakni kartu BPMKS Silver, kartu BPMKS Gold, dan kartu BPMKS Platinum dimana ketiga kartu tersebut peruntukannya dan besaran jumlahnya berbeda untuk tiap-tiap sekolah negeri dan swasta serta tiap-tiap jenjang pendidikan setara SD hingga SMA/SMK. Bantuan pendidikan ini diharapkan mampu mengurangi beban finansial sehingga pemikiran anak lebih mampu terfokus untuk berkonsentrasi belajar tanpa harus memikirkan bagaimana mencari uang untuk membayar uang sekolah. Fenomena yang ada di tengah masyarakat saat ini masih banyak ditemukan kasus rendahnya motivasi belajar pada siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang mendapat bantuan pendidikan tidak mampu. Siswa yang mendapat bantuan pendidikan tidak mampu secara finansial sudah tidak perlu menanggung beban biaya sekolah sehingga seharusnya pemikiran mereka lebih terfokus pada pembelajaran saja. Akan tetapi pada kenyataannya, siswa yang mendapat bantuan tersebut justru memiliki motivasi belajar yang rendah. Hal ini bisa dilihat di beberapa SMK ternama di kota Surakarta dimana masih ditemukan banyaknya siswa yang kurang disiplin bahkan membolos di tengah jam pelajaran. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 11 Desember 2014 dengan salah satu guru di SMK X mengatakan bahwa beberapa siswa yang mendapat bantuan BPMKS justru 4 seenaknya sendiri dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain itu siswa-siswa tersebut banyak yang membolos, tidak mengikuti pelajaran tanpa ijin, dan sering dijumpai nongkrong di luar kelas saat jam pelajaran berlangsung. Hal serupa juga terlihat dari kasus 20 orang pelajar yang diamankan petugas Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) karena terjaring saat keluyuran dan nongkrong di beberapa lokasi saat jam sekolah (Tanti, 2014). Pada surat kabar lain juga mengatakan bahwa penertiban siswa yang digelar dua hari pada tanggal 2-3 September 2014 berhasil menjaring 21 siswa dari berbagai sekolah termasuk SMK favorit di kota tersebut (Suwarto, 2014). Hasil wawancara berikutnya pada tanggal 29 Januari 2015 dengan salah satu guru BK di SMK Y mengatakan bahwa meskipun sudah tidak banyak tapi masih ada beberapa siswa BPMKS yang motivasi belajarnya masih rendah padahal siswa dengan beasiswa selalu dituntut pihak sekolah untuk meningkatkan hasil belajarnya. Meskipun tidak sampai keluar sekolah namun masih ada beberapa siswa yang berada di UKS atau kantin pada saat jam pelajaran dengan berbagai alasan. Hal serupa juga ditemui dari hasil wawancara pada tanggal 3 Februari 2015 dengan dalah satu guru BK di SMK Z, beliau mengatakan bahwa motivasi belajar siswa di sekolah tersebut masih ada yang rendah, hal ini dilihat dari kasus yang baru saja terjadi yakni satu kelas jurusan akuntansi meminta guru BK untuk mengisi jam pelajaran Matematika karena para siswa malas mengikuti pelajaran matematika dan memilih jam BK lantaran lebih santai. Padahal diketahui bahwa sebagian besar hampir 50% siswa dikelas tersebut adalah siswa yang mendapat bantuan pendidikan. Rendahnya motivasi belajar ini dikhawatirkan akan berdampak pada menurunnya kualitas siswa SMK. Apabila permasalahan ini tidak ditangani secara serius, ke depannya akan memperburuk kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Padahal diharapkan lulusan dari sekolah menengah kejuruan (SMK) mampu menghasilkan SDM yang siap kerja, berkualitas, dan berkompeten. 5 Perlu diketahui bahwa pemberian bantuan tidak mampu ini semata-mata hanya sebagai pembangkit motivasi belajar yang sifatnya ekstrinsik. Padahal perilaku-perilaku manusia baik untuk belajar maupun aktifitas lain dipengaruhi tidak hanya oleh faktor yang sifatnya dari lingkungan luar diri orang tersebut (ekstrinsik) saja, namun juga dipengaruhi faktor intrinsik yakni faktor dari dalam diri orang tersebut (Pujadi, 2007). Faktor intrisik yang dapat mempengaruhi motivasi belajar individu salah satunya adalah rasa percaya terhadap dirinya sendiri. Kepercayaan yang tinggi sangat berperan dalam memberikan sumbangan yang bermakna dalam proses kehidupan seseorang, karena apabila individu percaya dirinya mampu untuk melakukan sesuatu, maka akan timbul motivasi pada diri individu untuk melakukan hal-hal dalam hidupnya (Hamdan, 2009). Rasa percaya diri akan mempengaruhi gagasan, karsa, inisiatif, kreativitas,keberanian, ketekunan, semangat kerja keras, dan kegairahan berkarya pada seorang individu (Maulida, 2012). Oleh karena itu perlu diketahui tingkat rasa percaya diri pada siswa yang mendapat bantuan pendidikan tidak mampu untuk melihat bagimana kaitannya dengan motivasi belajar siswa. Berdasarkan uraian mengenai motivasi belajar dan kepercayaan diri usia remaja yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai hubungan antara kepercayaan diri dengan motivasi belajar pada siswa yang mendapat bantuan pendidikan tidak mampu di SMK X. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dengan motivasi belajar pada siswa yang mendapat bantuan pendidikan tidak mampu di SMK X. 6 C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis, yakni sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu dalam bidang Psikologi, khususnya pada ranah psikologi pendidikan yang mempelajari tentang motivasi belajar. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian lain yang menunjukan hubungan antara kepercayaan diri dengan motivasi belajar pada siswa yang mendapat bantuan pendidikan tidak mampu. 2. Manfaat praktis Motivasi belajar merupakan hal yang harus dimiliki setiap siswa. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk siswa, guru, maupun orang tua, sehingga nantinya mampu menghindari faktor-faktor yang dapat menurunkan motivasi belajar siswa. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan mafaat sebagai bahan pertimbangan lembaga pendidikan dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pembangunan pendidikan di Indonesia.