Dokumentasi dan Informasi Hukum Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Tentang Kelautan dan Pengelolaan Pertambangan DAFTAR ISI UU Nomor 21 Tahun 2009 .................................................................... 1 Penjelasan UU Nomor 21 Tahun 2009 ....................................................... 5 PP Nomor 21 Tahun 2010 .................................................................. 105 Penjelasan PP Nomor 21 Tahun 2010 .................................................... 127 PP Nomor 20 Tahun 2010 ................................................................... 139 Penjelasan PP Nomor 20 Tahun 2010 ..................................................... 233 PP Nomor 30 Tahun 2010 .................................................................. 267 Keputusan Menteri Nomor 68 Tahun 2009 ............................................... 281 Keputusan Menteri Nomor 64 Tahun 2009 .............................................. 289 UU Nomor 4 Tahun 2009 .................................................................... 297 Penjelasan UU Nomor 4 Tahun 2009 ...................................................... 351 UU Nomor 30 Tahun 2007 .................................................................. 381 PP Nomor 70 Tahun 2010 ................................................................... 399 Penjelasan PP Nomor 70 Tahun 2010 ..................................................... 403 PP Nomor 55 Tahun 2010 ................................................................... 405 Penjelasan PP Nomor 55 Tahun 2010 ..................................................... 421 PP Nomor 23 Tahun 2010 ................................................................... 429 Penjelasan PP Nomor 23 Tahun 2010 ..................................................... 481 PP Nomor 22 Tahun 2010 .................................................................. 499 Penjelasan PP Nomor 22 Tahun 2010 ..................................................... 519 PP Nomor 70 Tahun 2009 ................................................................... 527 Penjelasan PP Nomor 70 Tahun 2009 ..................................................... 543 PP Nomor 55 Tahun 2009 ................................................................... 549 iii iv Penjelasan PP Nomor 55 Tahun 2009 ..................................................... 555 PP Nomor 30 Tahun 2009 ................................................................... 559 Penjelasan PP Nomor 30 Tahun 2009 ..................................................... 563 PP Nomor 59 Tahun 2007 ................................................................... 565 Penjelasan PP Nomor 59 Tahun 2007 ..................................................... 603 Peraturan Menteri Nomor 06 Tahun 2010 ................................................ 621 Peraturan Menteri Nomor 03 tahun 2010 ................................................ 633 Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2009 ................................................ 639 Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2009 ................................................ 655 Peraturan Menteri Nomor 08 Tahun 2007 ................................................ 683 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS (PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan nasional Negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan Undang-­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; b. bahwa untuk melindungi keanekaragaman hayati dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Laut Lepas perlu dilakukan konservasi dan pengelolaan 1 2 sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; c. bahwa dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 24 Juli sampai dengan 4 Agustus 1995, telah diterima Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pe/ aksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh); d. bahwa Indonesia telah mengesahkan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) dengan Undang­Undang Nomor 17 Tahun 1985 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud da/ am huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu mengesahkan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh) dengan Undang-Undang; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran 3 Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); 3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS (PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH). Pasal 1 Mengesahkan : Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan 4 Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh) yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 95 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Hukum dan Administrasi Peraturan Perundang-undangan, Bigman T. Simanjuntak PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS (PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH) I. UMUM Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa 5 6 samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish), serta jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish). Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement /UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia. 1. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I hingga Konferensi Hukum Laut III. Namun, hingga disahkan Konvensi Hukum Laut 1982, Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3 sampai dengan 7 14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda (Agenda 21) yang mengharuskan negaranegara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, untuk menjamin bahwa perikanan di Laut Lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982. Amanat Agenda 21 tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 47/192 tanggal 22 Desember 1992, yang menghendaki dilaksanakannya Konferensi tentang Jenis Ikan yang Beruaya Terbatas dan Jenis Ikan yang Beruaya Jauh. Dalam Resolusi tersebut ditekankan agar Konferensi dapat mengidentifikasi persoalan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, mempertimbangkan pentingnya peningkatan kerja sama antarnegara, serta menyusun rekomendasi yang tepat. Setelah melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995, bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ditandatangani draft final persetujuan dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/ UNIA 1995). Tujuan Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982. 2. MANFAAT PENGESAHAN UNIA 1995 Dengan mengesahkan UNIA 1995, Indonesia mengadopsi Persetujuan tersebut sebagai hukum nasional untuk lebih lanjut dijabarkan da/am peraturan perundangundangan nasional. Adapun manfaat pengesahan UNIA 1995 bagi Indonesia adalah: a. memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas pe­ nangkapan ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi kapal Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas; b. mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan tepat waktu melalui mekanisme pertukaran data dan informasi di antara negara pihak; 8 c. mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya ter­batas dan jenis ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional; d. mendapatkan hak akses dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan di Laut Lepas; e. memperoleh perlakuan khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, bantuan pengawasan, dan bantuan penegakan hukum; f. memperoleh bantuan dana untuk penerapan Persetujuan ini, termasuk bantuan dana untuk penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antara negara yang bersangkutan dan negara pihak lain; g. memperkuat posisi internasional; Indonesia dalam forum organisasi perikanan h. mempertegas hak berdaulat Indonesia berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia; i. memperkuat penerapan persetujuan regional di bidang pengelolaan sumber daya ikan. 3. MATERI POKOK UNIA 1995 UNIA 1995 disusun berdasarkan prinsip menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut serta menerapkan pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya ikan. UNIA 1995 terdiri atas 50 pasal dan 2 lampiran: Lampiran I : Persyaratan Standar untuk Pengumpulan dan Pertukaran Data; Lampiran II : Pedoman bagi Pelaksanaan Titik-Titik Rujuk Pencegahan dalam Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish Stocks) dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks). Materi pokok dimuat UNIA 1995 antara lain sebagai berikut: a. uraian prinsip umum mengenai konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan sediaan ikan yang beruayajauh (highly migratory fish stocks); b. penerapan pendekatan kehati-hatian dalam konservasi dan pengelolaan 9 sediaan ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan sediaan ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks); c. uraian mengenai kewajiban negara anggota berkaitan dengan kapal perikanan yang mengibarkan benderanya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas; d. memperkenalkan ketentuan penaatan dan penegakan hukum di Laut Lepas; e. memperkenalkan ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan bagi negaranegara berkembang; f. pengumpulan dan penyediaan informasi dan kerja sama penelitian ilmiah; g. sistem pemantauan, pengawasan, dan pengendalian; h. persyaratan standar pengumpulan dan pertukaran data. 4. PRINSIP-PRINSIP UMUM UNIA 1995 adalah sebagai berikut: a. mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut; b. menjamin bahwa tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari; c. menerapkan pendekatan kehati-hatian; d. mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut; e. mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau menyatu/berhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut; f. meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan, tangkapan yang tidak berguna, alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies non target, baik ikan maupun bukan spesies ikan, dan dampak terhadap spesies, melalui tindakan pengembangan dan penggunaan alat tangkap yang selektif serta teknik yang ramah lingkungan dan murah; g. melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut; 10 h. mengambil tindakan untuk mencegah dan/atau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan ikan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan; i. memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi; j. mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan ikan, serta informasi dari program riset nasional dan internasional; k. memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; dan l. melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan, dan pengendalian. 5. KEWAJIBAN NEGARA YANG TELAH MELAKUKAN PENGESAHAN UNIA 1995, adalah sebagai berikut : a. melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan yang kompatibel; Negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh (distant water fishing nations) wajib bekerjasama untuk mencapai tindakan yang sebanding antara yang dilaksanakan di perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasionalnya (perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial) dengan di Laut Lepas. b. menerapkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach); Negara wajib menerapkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) ketika menetapkan tindakan konservasi dan penge/o/aan sediaan ikan. c. mengelola perikanan dengan pendekatan ekosistem; Negara wajib mengurangi hasil tangkapan samping (by catch) bagi jenis sumber daya hayati lain, seperti ikan, mamalia laut, penyu laut, dan burung laut di luar spesies yang akan ditangkap (non target species), melalui skema konservasi dan pengelolaannya secara terpadu, yang nontarget species dijadikan subjek konservasi dan pengelolaan; Persetujuan implementasi ini juga mewajibkan negara untuk mengumpulkan dan menginformasikan data penangkapan spesies target dan spesies 11 nontarget, berdasarkan Lampiran I Persetujuan ini, yang memuat ketentuan rinci tentang syarat­-syarat pengumpulan dan penginformasian data tersebut. d. menetapkan larangan pembenderaan semu; Negara juga wajib mengatur secara ketat larangan pembenderaan semu (reflagging), antara lain dengan menetapkan kewajiban bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya untuk memiliki izin penangkapan ikan di Laut Lepas, dan menjamin bahwa kapal-kapal yang sama juga tidak melakukan kegiatan perikanan tanpa izin di Zona Ekonomi Eksklusif negara lain; e. memperkuat peranan dari organisasi pengelolaan perikanan regional; Negara yang melakukan kegiatan perikanan di Laut Lepas dan negara pantai terkait wajib menjadi anggota organisasi regional yang ada atau mendirikan organisasi regional; Negara wajib meningkatkan penerapan kewajiban untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan oleh organisasi regional yang ada. Sebagai insentif, negara tersebut akan diberi hak akses dalam bentuk alokasi kuota terhadap sumber-sumber perikanan tersebut. f. menetapkan mekanisme penaatan dan penegakan hukum; Persetujuan implementasi ini menetapkan bahwa penegakan hukum dapat diterapkan oleh negara anggota organisasi perikanan tersebut. Negara dapat menaiki dan memeriksa kapal ikan negara anggota lain yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan konservasi dan pengelolaan yang dikeluarkan oleh organisasi regional tersebut; Negara berkewajiban untuk memperkuat skema pemeriksaan dengan menetapkan kewajiban untuk melapor. Baik organisasi antarnegara maupun bukan organisasi antarnegara diperkenankan untuk berpartisipasi sebagai peninjau (observer) dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh organisasi regional dimaksud. Untuk itu, negara wajib untuk memperkuat sistem pengawasan (MCS) dan program pengamat. g. mengintegrasikan kebijakan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh di ZEE dengan prinsip pengelolaan sumber-sumber perikanan di Laut Lepas berdasarkan pengaturan dalam UNIA 1995, ke dalam hukum nasional; 12 h. negara wajib menjamin penaatan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan subregional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; i. menerapkan pendekatan kehati-hatian secara luas untuk konservasi, pengelolaan, dan eksploitasi sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam rangka melindungi sumber daya kelautan dan konservasi lingkungan laut; j. menerapkan standar umum minimum internasional yang direkomendasikan untuk tata laksana perikanan yang bertanggung jawab untuk operasi penangkapan ikan; k. kapal perikanan Indonesia, termasuk para awaknya, harus memenuhi standar internasional untuk beroperasi di Laut Lepas. 6. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN UNIA 1995 a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan bangsa-bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319); c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); d. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); f. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 13 g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); h. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 7. KONVENSI INTERNASIONAL YANG BERKAITAN DENGAN UNIA 1995 a. Convention on Migratory Species (Konvensi tentang Spesies Migrasi) 1979; b. United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) 1982; c. United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati) 1992; d. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (Persetujuan untuk Memajukan Penaatan terhadap Tindakan Pengelolaan dan Konservasi Secara Internasional oleh Kapal Penangkap Ikan di Laut Lepas) 1993; e. Code of Conduct for Responsible Fisheries (Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab) 1995. 8. Persetujuan ini telah ditindaklanjuti dengan dibentuknya beberapa organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization/ RFMO), antara lain Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) berdasarkan Convention on the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean, Honolulu 4 September 2000 yang merupakan implementasi masalah teknis perikanan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka digunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris. Pasal 2 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5024 AGREEMENT FOR THE IMPLEMENTATION OF THE PROVISIONS OF THE UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA OF 10 DECEMBER 1982 RELATING TO THE CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS The States Parties to this Agreement, Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982, Determined to ensure the long-term conservation and sustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, Resolved to improve cooperation between States to that end, Calling for more effective enforcement by flag States, port States and coastal States of the conservation and management measures adopted for such stocks, Seeking to address in particular the problems identified in chapter 17, programme area C, of Agenda 21 adopted by the United Nations Conference on Environment and Development, namely, that the management of high seas fisheries is inadequate in many areas and that some resources are overutilized; noting that there are prob/ems of unregulated fishing, over-capita/ization, excessive fleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear, unreliable databases and lack of sufficient cooperation between States, Committing themselves to responsible fisheries, Conscious of the need to avoid adverse impacts on the marine environment, preserve biodiversity, maintain the integrity of marine ecosystems and minimize the risk of long-term or irreversible effects of fishing operations, Recognizing the need for specific assistance, including financial, scientific and technological assistance, in order that developing States can participate effectively in the conservation, management and sustainabe use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, 15 16 Convinced that an agreement for the implementation of the relevant provisions of the Convention would best serve these purposes and contribute to the maintenance of international peace and security, Affirming that matters not regulated by the Convention or by this Agreement continue to be governed by the rules and principles of general international law, Have agreed as follows: PART I GENERAL PROVISIONS Article 1 Use of terms and scope 1. For the purposes of this Agreement: (a) “Convention” means the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982; (b) “conservation and management measures” means measures to conserve and manage one or more species of living marine resources that are adopted and applied consistent with the relevant rules of international law as reflected in the Convention and this Agreement; (c) “fish” includes molluscs and crustaceans except those belonging to sedentary species as defined in article 77 of the Convention; and (d) “arrangement” means a cooperative mechanism established in accordance with the Convention and this Agreement by two or more States for the purpose, inter alia, of establishing conservation and management measures in a subregion or region for one or more straddling fish stocks or highly migratory fish stocks. 2. (a) “States Parties” means States which have consented to be bound by this Agreement and for which the Agreement is in force. (b) This Agreement applies mutatis mutandis: (i) to any entity referred to in article 305, paragraph 1 (c), (d) and (e), of the Convention and (ii) subject to article 47, to any entity referred to as an “international organization” in Annex IX, article 1, of the Convention which becomes a Party to this Agreement, and to that extent “States Parties” refers to those entities. 17 3. This Agreement applies mutatis mutandis to other fishing entities whose vessels fish on the high seas. Article 2 Objective The objective of this Agreement is to ensure the long-term conservation and sustainable use of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks through effective implementation of the relevant provisions of the Convention. Article 3 Application 1. Unless otherwise provided, this Agreement applies to the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks beyond areas under national jurisdiction, except that articles 6 and 7 apply also to the conservation and management of such stocks within areas under national jurisdiction, subject to the different legal regimes that apply within areas under national jurisdiction and in areas beyond national jurisdiction as provided for in the Convention. 2. In the exercise of its sovereign rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing straddling fish stocks and highly migratory fish stocks within areas under national jurisdiction, the coastal State shall apply mutatis mutandis the general principles enumerated in article 5. 3. States shall give due consideration to the respective capacities of developing States to apply articles 5, 6 and 7 within areas under national jurisdiction and their need for assistance as provided for in this Agreement. To this end, Part VII aplies mutatis mutandis in respect of areas under national jurisdiction. Article 4 Relationship between this Agreement and the Convention Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction and duties of States under the Convention. This Agreement shall be interpreted and applied in the context of and in a manner consistent with the Convention. 18 PART II CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS Article 5 General principles In order to conserve and manage straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, coastal States and States fishing on the high seas shall, in giving effect to their duty to cooperate in accordance with the Convention: (a) adopt measures to ensure long-term sustainability of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and promote the objective of their optimum utilization; (b) ensure that such measures are based on the best scientific evidence available and are designed to maintain or restore stocks at levels capable of producing maximum sustainable yield, as qualified by relevant environmental and economic factors, including the special requirements of developing States, and taking into account fishing patterns, the interdependence of stocks and any generally recommended international minimum standards, whether sub­regional, regional or global; (c) apply the precautionary approach in accordance with article 6; (d) assess the impacts of fishing, other human activities and environmental factors on target stocks and species belonging to the same ecosystem or associated with or dependent upon the target stocks; (e) adopt, where necessary, conservation and management measures for species belonging to the same ecosystem or associated with or dependent upon the target stocks, with a view to maintaining or restoring populations of such species above levels at which their reproduction may become seriously threatened; (f) minimize pollution, waste, discards, catch by lost or abandoned gear, catch of non-target species, both fish and non-fish species, (hereinafter referred to as non-target species) and impacts on associated or dependent species, in particular endangered species, through measures inc/uding, to the extent practicable, the development and use of selective, environmentally safe and cost-effective fishing gear and techniques; (g) protect biodiversity in the marine environment; (h) take measures to prevent or eliminate overfishing and excess fishing capacity and to ensure that levels of fishing effort do not exceed those commensurate with the sustainable use of fishery resources; 19 (i) take into account the interests of artisanal and subsistence fishers; (j) collect and share, in a timely manner, complete and accurate data concerning fishing activities on, inter alia, vessel position, catch of target and non-target species and fishing effort, as set out in Annex I, as well as information from national and international research programmes; (k) promote and conduct scientific research and develop appropriate technologies in support of fishery conservation and management; and (l) implement and enforce conservation and management measures through effective monitoring, control and management measures through effective monitoring, control and surveillance Article 6 Application of the precautionary approach 1. States shall apply the precautionary approach widely to conservation, management and exploitation of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks in order to protect the living marine resources and preserve the marine environment. 2. States shall be more cautious when information is uncertain, unreliable or inadequate. The absence of adequate scientific information shall not be used as a reason for postponing or failing to take conservation and management measures. 3. In implementing the precautionary approach, States shall: (a) improve decision-making for fishery resource conservation and management by obtaining and sharing the best scientific information available and implementing improved techniques for dealing with risk and uncertainty; (b) app/y the guidelines set out in Annex II and determine, on the basis of the best scientific information available, stock-specific reference points and the action to be taken if they are exceeded; (c) take into account, inter alia, uncertainties relating to the size and productivity of the stocks, reference points, stock condition in relation to such reference points, levels and distribution of fishing mortality and the impact of fishing activities on non-target and associated or dependent species, as wel as existing and predicted oceanic, environmental and socio­ economic conditions; and 20 (d) develop data collection and research programmes to assess the impact of fishing on non-target and associated or dependent species and their environment, and adopt plans which are necessary to ensure the conservation of such species and to protect habitats of special concern. 4. States shall take measures to ensure that, when reference points are approached, they will not be exceeded. In the event that they are exceeded, States shall, without delay, take the action determined under paragraph 3 (b) to restore the stocks. 5. Where the status of target stocks or non-target or associated or dependent species is of concern, States shall subject such stocks and species to enhanced monitoring in order to review their status and the efficacy of conservation and management measures. They shall revise those measures regularly in the light of new information. 6. For new or exploratory fisheries, States shall adopt as soon as possible cautious conservation and management measures, including, inter a/ia, catch limits and effort limits. Such measures shall remain in force until there are sufficient data to allow assessment of the impact of the fisheries on the long-term sustainability of the stocks, whereupon conservation and management measures based on that assessment shall be implemented. The latter measures shall, if appropriate, allow for the gradual development of the fisheries. 7. If a natural phenomenon has a significant adverse impact on the status of straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States shall adopt conservation and management measures on an emergency basis to ensure that fishing activity does not exacerbate such adverse impact. States shall also adopt such measures on an emergency basis where fishing activity presents a serious threat to the sustainability of such stocks. Measures taken on an emergency basis shall be temporary and shall be based on the best scientific evidence available. Article 7 Compatibility of conservation and management measures 1. Without prejudice to the sovereign rights of coastal States for the purpose of exploring and exploiting, conserving and managing the living marine resources within areas under national jurisdiction as provided for in the Convention, and the right of all States for their nationals to engage in fishing on the high seas in accordance with the Convention: 21 (a) with respect to straddling fish stocks, the relevant coastal States and the States whose nationals fish for such stocks in the adjacent high seas area shall seek, either directly or through the appropriate mechanisms for cooperation provided for in Part III, to agree upon the measures necessary for the conservation of these stocks in the adjacent high seas area; (b) with respect to highly migratory fish stocks, the re/evant coastal States and other States whose nationals fish for such stocks in the region shall cooperate, either directly or through the appropriate mechanisms for cooperation provided for in Part III, with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such stocks throughout the region, both within and beyond the areas under national jurisdiction. 2. Conservation and management measures established for the high seas and those adopted for areas under national jurisdiction shall be compatible in order to ensure conservation and management of the straddling fish stocks and high/y migratory fish stocks in their entirety. To this end, coastal States and States fishing on the high seas have a duty to cooperate for the purpose of achieving compatible measures in respect of such stocks. In determining compatible conservation and management measures, States shall: (a) take into account the conservation and management measures adopted and applied in accordance with article 61 of the Convention in respect of the same stocks by coastal States within areas under national jurisdiction and ensure that measures established in respect of such stocks for the high seas do not undermine the effectiveness of such measures; (b) take into account previously agreed measures established and applied for the high seas in accordance with the Convention in respect of the same stocks by relevant coastal States and States fishing on the high seas; (c) take into account previously agreed measures established and applied in accordance with the Convention in respect of the same stocks by a sub­ regional or regional fisheries management organization or arrangement; (d) take into account the biological unity and other biological characteristics of the stocks and the relationships between the distribution of the stocks, the fisheries and the geographical particularities of the region concerned, including the extent to which the stocks occur and are fished in areas under national jurisdiction; (e) take into account the respective dependence of the coastal States and the States fishing on the high seas on the stocks concerned; and 22 (f) ensure that such measures do not resu/t in harmful impact on the living marine resources as a whole. 3. In giving effect to their duty to cooperate, States shall make every effort to agree on compatible conservation and management measures within a reasonable period of time. 4. If no agreement can be reached within a reasonable period of time, any of the States concerned may invoke the procedures for the settlement of disputes provided for in Part VIII. 5. Pending agreement on compatible conservation and management measures, the States concerned, in a spirit of understanding and cooperation, shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature. In the event that they are unable to agree on such arrangements, any of the States concerned may, for the purpose of obtaining provisional measures, submit the dispute to a court or tribunal in accordance with the procedures for the settlement of disputes provided for in Part VIII. 6. Provisional arrangements or measures entered into or prescribed pursuant to paragraph 5 shall take into account the provisions of this Part, shall have due regard to the rights and obligations of all States concerned, shall not jeopardize or hamper the reaching of final agreement on compatible conservation and management measures and shall be without prejudice to the final outcome of any dispute settlement procedure. 7. Coastal States shall regularly inform States fishing on the high seas in the subregion or region, either directly or through appropriate sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, or through other appropriate means, of the measures they have adopted for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks within areas under their national jurisdiction. 8. States fishing on the high seas shall regularly inform other interested States, either directly or through appropriate sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, or through other appropriate means, of the measures they have adopted for regulating the activities of vessels flying their flag which fish for such stocks on the high seas. 23 PART III MECHANISMS FOR INTERNATIONAL COOPERATION CONCERNING STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS Article 8 Cooperation for conservation and management 1. Coastal States and States fishing on the high seas shall, in accordance with the Convention, pursue cooperation in relation to straddling fish stocks and highly migratory fish stocks either directly or through appropriate sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, taking into account the specific characteristics of the sub-region or region, to ensure effective conservation and management of such stocks. 2. States shall enter into consultations in good faith and without delay, particularly where there is evidence that the straddling fish stocks and highly migratory fish stocks concerned may be under threat of over-exploitation or where a new fishery is being developed for such stocks. To this end, consultations may be initiated at the request of any interested State with a view to establishing appropriate arrangements to ensure conservation and management of the stocks. Pending agreement on such arrangements, States shall observe the provisions of this Agreement and shall act in good faith and with due regard to the rights, interests and duties of other States. 3. Where a sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement has the competence to establish conservation and management measures for particular straddling fish stocks or highly migratory fish stocks, States fishing for the stocks on the high seas and relevant coastal States shall give effect to their duty to cooperate by becoming members of such organization or participants in such arrangement, or by agreeing to apply the conservation and management measures established by such organization or arrangement. States having a real interest in the fisheries concerned may become members of such organization or participants in such arrangement. The terms of participation in such organization or arrangement shall not preclude such States from membership or participation; nor shall they be applied in a manner which discriminates against any State or group of States having a real interest in the fisheries concerned. 24 4. Only those States which are members of such an organization or participants in such an arrangement, or which agree to apply the conservation and management measures established by such organization or arrangement, shall have access to the fishery resources to which those measures apply. 5. Where there is no sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement to establish conservation and management measures for a particular straddling fish stock or highly migratory fish stock, relevant coastal States and States fishing on the high seas for such stock in the subregion or region shall cooperate to establish such an organization or enter into other appropriate arrangements to ensure conservation and management of such stock and shall participate in the work of the organization or arrangement. 6. Any State intending to propose that action be taken by an intergovernmental organization having competence with respect to living resources should, where such action would have a significant effect on conservation and management measures already established by a competent sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement, consult through that organization or arrangement with its members or participants. To the extent practicable, such consultation should take place prior to the submission of the proposal to the intergovernmental organization. Article 9 Sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements 1. In establishing sub-regional or regional fisheries management organizations or in entering into sub-regional or regional fisheries management arrangements for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, States shall agree, inter alia, on: (a) the stocks to which conservation and management measures apply, taking into account the biological characteristics of the stocks concerned and the nature of the fisheries involved; (b) the area of application, taking into account article 7, paragraph 1, and the characteristics of the sub-region or region, including socio-economic, geographical and environmental factors; (c) the relationship between the work of the new organization or arrangement and the ro/e, objectives and operations of any relevant existing fisheries management organizations or arrangements; and 25 (d) the mechanisms by which the organization or arrangement will obtain scientific advice and review the status of the stocks, inc/uding, where appropriate, the establishment of a scientific advisory body. 2. States cooperating in the formation of a sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement shall inform other States which they are aware have a real interest in the work of the proposed organization or arrangement of such cooperation. Article 10 Functions of sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements In fulfilling their obligation to cooperate through sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, States shall: (a) agree on and comply with conservation and management measures to ensure the long-term sustainability of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks; (b) agree, as appropriate, on participatory rights such as allocations of allowable catch or levels of fishing effort; (c) adopt and apply any generally recommended international minimum standards for the responsible conduct of fishing operations; (d) obtain and evaluate scientific advice, review the status of the stocks and assess the impact of fishing on non-target and associated or dependent species; (e) agree on standards for collection, reporting, verification and exchange of data on fisheries for the stocks; (f) compile and disseminate accurate and complete statistical data, as described in Annex I, to ensure that the best scientific evidence is available, while maintaining confidentiality where appropriate; (g) promote and conduct scientific assessments of the stocks and relevant research and disseminate the results thereof; (h) establish appropriate cooperative mechanisms for effective monitoring, control, surveillance and enforcement; (i) agree on means by which the fishing interests of new members of the organization or new participants in the arrangement will be accommodated; (j) agree on decision-making procedures which facilitate the adoption of conservation and management measures in a timely and effective manner; 26 (k) promote the peaceful settlement of disputes in accordance with Part VIII; (l) ensure the full cooperation of their relevant national agencies and industries in implementing the recommendations and decisions of the organization or arrangement; and (m) give due publicity to the conservation and management measures established by the organization or arrangement. Article 11 New members or participants In determining the nature and extent of participatory rights for new members of a sub-regional or regional fisheries management organization, or for new participants in a sub-regional or regional fisheries management arrangement, States shall take into account, inter alia: (a) the status of the straddling fish stocks and high/y migratory fish stocks and the existing level of fishing effort in the fishery; (b) the respective interests, fishing patterns and fishing practices of new and existing members or participants; (c) the respective contributions of new and existing members or participants to conservation and management of the stocks, to the collection and provision of accurate data and to the conduct of scientific research on the stocks; (d) the needs of coastal fishing communities which are dependent mainly o fishing for the stocks; (e) the needs of coastal States whose economies are overwhelmingly dependent o the exp/oitation of living marine resources; and (f) the interests of developing States from the sub-region or region in whose areas of national jurisdiction the stocks also occur. Article 12 Transparency in activities of sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements 1. States shall provide for transparency in the decision- making process and other activities of sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements. 2. Representatives from other intergovernmental organizations and representatives from non-governmental organizations concerned with straddling fish stocks and 27 highly migratory fish stocks shall be afforded the opportunity to take part in meetings of sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements as observers or otherwise, as appropriate, in accordance with the procedures of the organization or arrangement concerned. Such procedures shall not be unduly restrictive in this respect. Such intergovernmental organizations and non-governmental organizations shall have timely access to the records and reports of such organizations and arrangements, subject to the procedural rules on access to them. Article 13 Strengthening of existing organizations and arrangements States shallcooperate to strengthen existing sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements in order to improve their effectiveness in establishing and implementing conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. Article 14 Collection and provision of information and cooperation in scientific research 1. States shall ensure that fishing vessels flying their flag provide such information as may be necessary in order to fulfill their obligations under this Agreement. To this end, States shall in accordance with Annex I: (a) collect and exchange scientific, technical and statistical data with respect to fisheries for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks; (b) ensure that data are collected in sufficient detail to facilitate effective stock assessment and are provided in a timely manner to fulfill the requirements of sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements; and (c) take appropriate measures to verify the accuracy of such data. 2. States shall cooperate, either directly or through sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements: (a) to agree on the specification of data and the format in which they are to be provided to such organizations or arrangements, taking into account the nature of the stocks and the fisheries for those stocks; and 28 (b) to develop and share analytical techniques and stock assessment methodologies to improve measures for the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. 3. Consistent with Part XIII of the Convention, States shall cooperate, either directly or through competent international organizations, to strengthen scientific research capacity in the field of fisheries and promote scientific research related to the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks for the benefit of all. To this end, a State or the competent international organization conducting such research beyond areas under national jurisdiction shall actively promote the publication and dissemination to any interested States of the results of that research and information relating to its objectives and methods and, to the extent practicable, shall facilitate the participation of scientists from those States in such research. Article 15 Enclosed and semi-enclosed seas In implementing this Agreement in an enclosed or semi-enclosed sea, States shall take into account the natural characteristics of that sea and shall also act in a manner consistent with Part IX of the Convention and other relevant provisions thereof. Article 16 Areas of high seas surrounded entirely by an area under the national jurisdiction of a single State 1. States fishing for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks in an area of the high seas surrounded entirely by an area under the national jurisdiction of a single State and the/atter State shall cooperate to establish conservation and management measures in respect of those stocks in the high seas area. Having regard to the natural characteristics of the area, States shall pay special attention to the establishment of compatible conservation and management measures for such stocks pursuant to article 7. Measures taken in respect of the high seas shall take into account the rights, duties and interests of the coastal State under the Convention, shall be based on the best scientific evidence available and shall also take into account any conservation and management measures adopted and applied in respect of the same stocks in accordance with article 61 of the Convention by the coastal State in the area under national 29 jurisdiction. States shall also agree on measures for monitoring, control, surveillance and enforcement to ensure compliance with the conservation and management measures in respect of the high seas. 2. Pursuant to article 8, States shall act in good faith and make every effort to agree without delay on conservation and management measures to be applied in the carrying out of fishing operations in the area referred to in paragraph 1. If, within a reasonable period of time, the fishing States concerned and the coastal State are unab/e to agree on such measures, they shall, having regard to paragraph 1, apply article 7, paragraphs 4, 5 and 6, relating to provisional arrangements or measures. Pending the establishment of such provisional arrangements or measures, the States concerned shall take measures in respect of vessels flying their flag in order that they not engage in fisheries which could undermine the stocks concerned. PART IV NON-MEMBERS AND NON-PARTICIPANTS Article 17 Non-members of organizations and non-participants in arrangements 1. A State which is not a member of a sub-regional or regional fisheries management organization or is not a participant in a sub-regional or regional fisheries management arrangement, and which does not otherwise agree to apply the conservation and management measures established by such organization or arrangement, is not discharged from the obligation to cooperate, in accordance with the Convention and this Agreement, in the conservation and management of the relevant stradd/ing fish stocks and highly migratory fish stocks. 2. Such State shall not authorize vessels flying its flag to engage in fishing operations for the straddling fish stocks or highly migratory fish stocks which are subject to the conservation and management measures established by such organization or arrangement. 3. States which are members of a sub-regional or regional fisheries management organization or participants in a sub-regional or regional fisheries management arrangement shall, individually or jointly, request the fishing entities referred to in article 1, paragraph 3, which have fishing vessels in the relevant area to cooperate fully with such organization or arrangement in implementing 30 the conservation and management measures it has established, with a view to having such measures applied de facto as extensively as possible to fishing activities in the relevant area. Such fishing entities shall enjoy benefits from participation in the fishery commensurate with their commitment to comply with conservation and management measures in respect of the stocks. 4. States which are members of such organization or participants in such arrangement shall exchange information with respect to the activities of fishing vessels flying the flags of States which are neither members of the organization nor participants in the arrangement and which are engaged in fishing operations for the relevant stocks. They shall take measures consistent with this Agreement and international law to deter activities of such vessels which undermine the effectiveness of sub-regional or regional conservation and management measures. PART V DUTIES OF THE FLAG STATE Article 18 Duties of the flag State 1. A State whose vessels fish on the high seas shall take such measures as may be necessary to ensure that vessels flying its flag comply with sub-regional and regional conservation and management measures and that such vessels do not engage in any activity which undermines the effectiveness of such measures. 2. A State shall authorize the use of vessels flying its flag for fishing on the high seas only where it is able to exercise effectively its responsibilities in respect of such vessels under the Convention and this Agreement. 3. Measures to be taken by a State in respect of vessels flying its flag shall include: (a) control of such vessels on the high seas by means of fishing licenses, authorizations or permits, in accordance with any applicable procedures agreed at the sub-regional, regional or global level; (b) establishment of regulations: (ii) to apply terms and conditions to the license, authorization or permit sufficient to fulfill any sub-regional, regional or global obligations of the flag State; 31 (iii)to prohibit fishing on the high seas by vessels which are not duly licensed or authorized to fish, or fishing on the high seas by vessels otherwise than in accordance with the terms and conditions of a license, authorization or permit; (iv) to require vessels fishing on the high seas to carry the license, authorization or permit on board at all times and to produce it on demand for inspection by a duly authorized person; and (v) to ensure that vessels flying its flag do not conduct unauthorized fishing within areas under the national jurisdiction of other States; (c) establishment of a national record of fishing vessels authorized to fish on the high seas and provision of access to the information contained in that record on request by directly interested States, taking into account any national laws of the flag State regarding the release of such information; (d) requirements for marking of fishing vessels and fishing gear for identification in accordance with uniform and internationally recognizable vessel and gear marking systems, such as the Food and Agriculture Organization of the United Nations Standard Specifications for the Marking and Identification of Fishing Vessels; (e) requirements for recording and timely reporting of vessel position, catch of target and non-target species, fishing effort and other relevant fisheries data in accordance with sub-regional, regional and global standards for collection of such data; (f) requirements for verifying the catch of target and non-target species through such means as observer programmes, inspection schemes, unloading reports, supervision of transshipment and monitoring of landed catches and market statistics; (g) monitoring, control and surveillance of such vessels, their fishing operations and related activities by, inter alia: (i) the implementation of national inspection schemes and sub-regional and regional schemes for cooperation in enforcement pursuant to articles 21 and 22, including requirements for such vessels to permit access by duly authorized inspectors from other States; (ii) the implementation of national observer programmes and subregional and regional observer programmes in which the flag State is a participant, including requirements for such vessels to permit access 32 by observers from other States to carry out the functions agreed under the programmes; and (iii) the development and implementation of vessel monitoring systems, including, as appropriate, satellite transmitter systems, in accordance with any national programmes and those which have been sub­regionally, regionally or globally agreed among the States concerned; (h)regulation of transshipment on the high seas to ensure that the effectiveness of conservation and management measures is not undermined; and (i) regulation of fishing activities to ensure compliance with sub-regional, regional or global measures, including those aimed at minimizing catches of non-target species. 4. Where there is a sub-regionally, regionally or globally agreed system of monitoring, control and surveillance in effect, States shall ensure that the measures they impose on vessels flying their flag are compatible with that system. PART VI COMPLIANCE AND ENFORCEMENT Article 19 Compliance and enforcement by the flag State 1. A State shall ensure compliance by vessels flying its flag with sub-regional and regional conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. To this end, that State shall: (a) enforce such measures irrespective of where violations occur; (b) investigate immediately and fully any alleged violation of sub-regional or regional conservation and management measures, which may include the physical inspection of the vessels concerned, and report promptly to the State alleging the violation and the relevant sub-regional or regional organization or arrangement on the progress and outcome of the investigation; (c) require any vessel flying its flag to give information to the investigating authority regarding vessel position, catches, fishing gear, fishing operations and related activities in the area of an alleged violation; (d) if satisfied that sufficient evidence is available in respect of an alleged violation, refer the case to its authorities with a view to instituting 33 proceedings without delay in accordance with its laws and, where appropriate, detain the vessel concerned; and (e) ensure that, where it has been established, in accordance with its laws, a vessel has been involved in the commission of a serious violation of such measures, the vessel does not engage in fishing operations on the high seas until such time as all outstanding sanctions imposed by the flag State in respect of the vio/ation have been complied with. 2. All investigations and judicial proceedings shall be carried out expeditiously. Sanctions applicable in respect of violations shall be adequate in severity to be effective in securing compliance and to discourage violations wherever they occur and shall deprive offenders of the benefits accruing from their illegal activities. Measures applicable in respect of masters and other officers of fishing vessels shall include provisions which may permit, inter alia, refusal, withdrawal or suspension of authorizations to serve as masters or officers on such vessels. Article 20 International cooperation in enforcement 1. States shall cooperate, either directly or through sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, to ensure compliance with and enforcement of sub-regional and regiona/ conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. 1. A flag State conducting an investigation of an alleged violation of conservation and management measures for straddling fish stocks or highly migratory fish stocks may request the assistance of any other State whose cooperation may be useful in the conduct of that investigation. All States shall endeavor to meet reasonable requests made by a flag State in connection with such investigations. 3. A flag State may undertake such investigations directly, in cooperation with other interested States or through the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement. Information on the progress and outcome of the investigations shall be provided to all States having an interest in, or affected by, the alleged violation. 4. States shall assist each other in identifying vessels reported to have engaged in activities undermining the effectiveness of sub-regional, regional or global conservation and management measures. 34 5. States shall, to the extent permitted by national laws and regulations, establish arrangements for making available to prosecuting authorities in other States evidence relating to alleged violations of such measures. 6. Where there are reasonable grounds for believing that a vessel on the high seas has been engaged in unauthorized fishing within an area under the jurisdiction of a coastal State, the flag State of that vessel, at the request of the coastal State concerned, shall immediately and fully investigate the matter. The flag State shall cooperate with the coastal State in taking appropriate enforcement action in such cases and may authorize the relevant authorities of the coastal State to board and inspect the vessel on the high seas. This paragraph is without prejudice to article 111 of the Convention. 7. States Parties which are members of a sub-regional or regional fisheries management organization or participants in a sub-regional or regional fisheries management arrangement may take action in accordance with international law, including through recourse to sub-regional or regional procedures established for this purpose, to deter vessels which have engaged in activities which undermine the effectiveness of or otherwise violate the conservation and management measures established by that organization or arrangement from fishing on the high seas in the sub-region or region until such time as appropriate action is taken by the flag State. Article 21 Sub-regional and regional cooperation in enforcement 1. In any high seas area covered by a sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement, a State Party which is a member of such organization or a participant in such arrangement may, through its duly authorized inspectors, board and inspect, in accordance with paragraph 2, fishing vessels flying the flag of another State Party to this Agreement, whether or not such State Party is also a member of the organization or a participant in the arrangement, for the purpose of ensuring compliance with conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks established by that organization or arrangement. 2. States shall establish, through sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, procedures for boarding and inspection pursuant to paragraph 1, as well as procedures to implement other provisions of this article. Such procedures shall be consistent with this article and the basic 35 procedures set out in article 22 and shall not discriminate against non­members of the organization or non-participants in the arrangement. Boarding and inspection as well as any subsequent enforcement action shall be conducted in accordance with such procedures. States shall give due publicity to procedures established pursuant to this paragraph. 3. If, within two years of the adoption of this Agreement, any organization or arrangement has not established such procedures, boarding and inspection pursuant to paragraph 1, as well as any subsequent enforcement action, shall, pending the establishment of such procedures, be conducted in accordance with this article and the basic procedures set out in article 22. 4. Prior to taking action under this article, inspecting States shall, either directly or through the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement, inform all States whose vessels fish on the high seas in the subregion or region of the form of identification issued to their duly authorized inspectors. The vessels used for boarding and inspection shall be clearly marked and identifiable as being on government service. At the time of becoming a Party to this Agreement, a State shall designate an appropriate authority to receive notifications pursuant to this article and shall give due publicity of such designation through the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement. 5. Where, following a boarding and inspection, there are clear grounds for believing that a vessel has engaged in any activity contrary to the conservation and management measures referred to in paragraph 1, the inspecting State shall, where appropriate, secure evidence and shall promptly notify the flag State of the alleged violation. 6. The flag State shall respond to the notification referred to in paragraph 5 within three working days of its receipt, or such other period as may be prescribed in procedures estab/ished in accordance with paragraph 2, and shall either: (a) fulfill, without delay, its obligations under article 19 to investigate and, if evidence so warrants, take enforcement action with respect to the vessel, in which case it shall promptly inform the inspecting State of the results of the investigation and of any enforcement action taken; or (b) authorize the inspecting State to investigate. 7. Where the flag State authorizes the inspecting State to investigate an alleged violation, the inspecting State shall, without delay, communicate the results of that investigation to the flag State. The flag State shall, if evidence so 36 warrants, fulfill its obligations to take enforcement action with respect to the vessel. Alternatively, the flag State may authorize the inspecting State to take such enforcement action as the flag State may specify with respect to the vessel, consistent with the rights and obligations of the flag State under this Agreement. 8. Where, following boarding and inspection, there are clear grounds for believing that a vessel has committed a serious violation, and the flag State has either failed to respond or failed to take action as required under paragraphs 6 or 7, the inspectors may remain on board and secure evidence and may require the master to assist in further investigation inc/uding, where appropriate, by bringing the vessel without delay to the nearest appropriate port, or to such other port as may be specified in procedures established in accordance with paragraph 2. The inspecting State shall immediately inform the flag State of the name of the port to which the vessel is to proceed. The inspecting State and the flag State and, as appropriate, the port State shall take all necessary steps to ensure the well-being of the crew regardless of their nationality. 9. The inspecting State shall inform the flag State and the relevant organization or the participants in the relevant arrangement of the results of any further investigation. 10. The inspecting State shall require its inspectors to observe generally accepted international regulations, procedures and practices relating to the safety of the vessel and the crew, minimize interference with fishing operations and, to the extent practicable, avoid action which wou/d adversely affect the quality of the catch on board. The inspecting State shall ensure that boarding and inspection is not conducted in a manner that would constitute harassment of any fishing vessel. 11. For the purposes of this article, a serious violation means: (a) fishing without a valid license, authorization or permit issued by the flag State in accordance with article 18, paragraph 3 (a); (b) failing to maintain accurate records of catch and catch-related data, as required by the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement, or serious misreporting of catch, contrary to the catch reporting requirements of such organization or arrangement; (c) fishing in a closed area, fishing during a closed season or fishing without, or after attainment of, a quota established by the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement; 37 (d) directed fishing for a stock which is subject to a moratorium or for which fishing is prohibited; (e) using prohibited fishing gear; (f) falsifying or concealing the markings, identity or registration of a fishing vessel; (g) concealing, tampering with or disposing of evidence relating to an investigation; (h) multiple violations which together constitute a serious disregard of conservation and management measures; or (i) such other violations as may be specified in procedures established by the re/evant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement. 12. Notwithstanding the other provisions of this article, the flag State may, at any time, take action to fulfill its obligations under article 19 with respect to an alleged violation. Where the vessel is under the direction of the inspecting State, the inspecting State shall, at the request of the flag State, release the vessel to the flag State along with full information on the progress and outcome of its investigation. 13. This article is without prejudice to the right of the flag State to take any measures, including proceedings to impose penalties, according to its laws. 13. This article applies mutatis mutandis to boarding and inspection by a State Party which is a member of a sub-regional or regional fisheries management organization or a participant in a sub-regional or regional fisheries management arrangement and which has clear grounds for believing that a fishing vessel flying the flag of another State Party has engaged in any activity contrary to relevant conservation and management measures referred to in paragraph 1 in the high seas area covered by such organization or arrangement, and such vessel has subsequently, during the same fishing trip, entered into an area under the national jurisdiction of the inspecting State. 15. Where a sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement has established an alternative mechanism which effectively discharges the obligation under this Agreement of its members or participants to ensure compliance with the conservation and management measures established by the organization or arrangement, members of such organization or participants in such arrangement may agree to limit the application of paragraph 1 as 38 between themselves in respect of the conservation and management measures which have been established in the relevant high seas area. 16. Action taken by States other than the flag State in respect of vessels having engaged in activities contrary to sub-regional or regional conservation and management measures shall be proportionate to the seriousness of the violation. 16. Where there are reasonable grounds for suspecting that a fishing vessel on the high seas is without nationa/ity, a State may board and inspect the vessel. Where evidence so warrants, the State may take such action as may be appropriate in accordance with international law. 18. States shall be liable for damage or loss attributable to them arising from action taken pursuant to this article when such action is unlawful or exceeds that reasonably required in the light of available information to implement the provisions of this article. Article 22 Basic procedures for boarding and inspection pursuant to article 21 1. The inspecting State shall ensure that its duly authorized inspectors: (a) present credentials to the master of the vessel and produce a copy of the text of the relevant conservation and management measures or rules and regulations in force in the high seas area in question pursuant to those measures; (b) initiate notice to the flag State at the time of the boarding and inspection; (c) do not interfere with the master’s ability to communicate with the authorities of the flag State during the boarding and inspection; (d) provide a copy of a report on the boarding and inspection to the master and to the authorities of the flag State, noting therein any objection or statement which the master wishes to have inc/uded in the report; (e) promptly leave the vessel following comp/etion of the inspection if they find no evidence of a serious vio/ation; and (f) avoid the use of force except when and to the degree necessary to ensure the safety of the inspectors and where the inspectors are obstructed in the execution of their duties. The degree of force used shall not exceed that reasonably required in the circumstances. 39 2. The duly authorized inspectors of an inspecting State shall have the authority to inspect the vessel, its license, gear, equipment, records, facilities, fish and fish products and any relevant documents necessary to verify compliance with the relevant conservation and management measures. 3. The flag State shall ensure that vessel masters: (a) accept and facilitate prompt and safe boarding by the inspectors; (b) cooperate with and assist in the inspection of the vessel conducted pursuant to these procedures; (c) do not obstruct, intimidate or interfere with the inspectors in the performance of their duties; (d) allow the inspectors to communicate with the authorities of the flag State and the inspecting State during the boarding and inspection; (e) provide reasonable facilities, including, where appropriate, food and accommodation, to the inspectors; and (f) facilitate safe disembarkation by the inspectors. 4. In the event that the master of a vessel refuses to accept boarding and inspection in accordance with this article and article 21, the flag State shall, except in circumstances where, in accordance with generaly accepted international regulations, procedures and practices relating to safety at sea, it is necessary to delay the boarding and inspection, direct the master of the vessel to submit immediately to boarding and inspection and, if the master does not comply with such direction, shall suspend the vessel’s authorization to fish and order the vessel to return immediately to port. The flag State shall advise the inspecting State of the action it has taken when the circumstances referred to in this paragraph arise. Article 23 Measures taken by a port State 1. A port State has the right and the duty to take measures, in accordance with international law, to promote the effectiveness of sub-regional, regional and global conservation and management measures. When taking such measures a port State shall not discriminate in form or in fact against the vessels of any State. 2. A port State may, inter alia, inspect documents, fishing gear and catch on board fishing vessels, when such vessels are voluntarily in its ports or at its offshore terminals. 40 3. States may adopt regulations empowering the relevant national authorities to prohibit landings and transshipments where it has been established that the catch has been taken in a manner which undermines the effectiveness of sub­ regional, regional or global conservation and management measures on the high seas. 4. Nothing in this article affects the exercise by States of their sovereignty over ports in their territory in accordance with international law. PART VII REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES Article 24 Recognition of the special requirements of developing States 1. States shall give full recognition to the special requirements of developing States in relation to conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and development of fisheries for such stocks. To this end, States shall, either directly or through the United Nations Development Programme, the Food and Agriculture Organization of the United Nations and other specialized agencies, the Global Environment Facility, the Commission on Sustainable Development and other appropriate international and regional organizations and bodies, provide assistance to developing States. 2. In giving effect to the duty to cooperate in the establishment of conservation and management measures for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks, States shall take into account the special requirements of developing States, in particular: (a) the vulnerability of developing States which are dependent on the exploitation of living marine resources, including for meeting the nutritional requirements of their populations or parts thereof; (b) the need to avoid adverse impacts on, and ensure access to fisheries by, subsistence, small-scale and artisanal fishers and women fish-workers, as well as indigenous people in deve/oping States, particularly small island developing States; and (c) the need to ensure that such measures do not result in transferring, directly or indirectly, a disproportionate burden of conservation action onto developing States. 41 Article 25 Forms of cooperation with developing States 1. States shall cooperate, either directly or through sub-regional, regional or global organizations: (a) to enhance the ability of developing States, in particular the least­developed among them and smal island developing States, to conserve and manage straddling fish stocks and highly migratory fish stocks and to develop their own fisheries for such stocks; (b) to assist developing States, in particular the least-developed among them and small island developing States, to enable them to participate in high seas fisheries for such stocks, including facilitating access to such fisheries subject to articles 5 and 11; and (c) to facilitate the participation of developing States in sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements. 2. Cooperation with developing States for the purposes set out in this article shall include the provision of financial assistance, assistance relating to human resources development, technical assistance, transfer of technology, including through joint venture arrangements, and advisory and consultative services. 3. Such assistance shal, inter alia, be directed specifically towards: (a) improved conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks through collection, reporting, verification, exchange and analysis of fisheries data and related information; (b) stock assessment and scientific research; and (c) monitoring, control, surveillance, compliance and enforcement, including training and capacity-building at the local level, development and funding of national and regional observer programmes and access to technology and equipment. Article 26 Special assistance in the implementation of this Agreement 1. States shall cooperate to establish special funds to assist developing States in the implementation of this Agreement, including assisting developing States to meet the costs involved in any proceedings for the settlement of disputes to which they may be parties. 42 2. States and international organizations should assist developing States in establishing new sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, or in strengthening existing organizations or arrangements, for the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. PART VIII PEACEFUL SETTLEMENT OF DISPUTES Article 27 Obligation to settle disputes by peaceful means States have the obligation to settle their disputes by negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice. Article 28 Prevention of disputes States shall cooperate in order to prevent disputes. To this end, States shall agree on efficient and expeditious decision-making procedures within sub-regional and regional fisheries management organizations and arrangements and shall strengthen existing decision-making procedures as necessary. Article 29 Disputes of a technical nature Where a dispute concerns a matter of a technical nature, the States concerned may refer the dispute to an ad hoc expert panel established by them. The panel shall confer with the States concerned and shall endeavor to resolve the dispute expeditious/y without recourse to binding procedures for the settlement of disputes. Article 30 Procedures for the settlement of disputes 1. The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV of the Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties to this Agreement concerning the interpretation or application of this Agreement, whether or not they are also Parties to the Convention. 43 1. The provisions relating to the settlement of disputes set out in Part XV of the Convention apply mutatis mutandis to any dispute between States Parties to this Agreement concerning the interpretation or app/ication of a sub-regional, regional or global fisheries agreement relating to straddling fish stocks or highly migratory fish stocks to which they are parties, including any dispute concerning the conservation and management of such stocks, whether or not they are also Parties to the Convention. 2. Any procedure accepted by a State Party to this Agreement and the Convention pursuant to article 287 of the Convention shall apply to the settlement of disputes under this Part, unless that State Party, when signing, ratifying or acceding to this Agreement, or at any time thereafter, has accepted another procedure pursuant to article 287 for the settlement of disputes under this Part. 3. A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention, when signing, ratifying or acceding to this Agreement, or at any time thereafter, shall be free to choose, by means of a written declaration, one or more of the means set out in article 287, paragraph 1, of the Convention for the settlement of disputes under this Part. Article 287 shall apply to such a declaration, as well as to any dispute to which such State is a party which is not covered by a declaration in force. For the purposes of conciliation and arbitration in accordance with Annexes V, VII and VIII to the Convention, such State shall be entitled to nominate conciliators, arbitrators and experts to be included in the lists referred to in Annex V, article 2, Annex VII, article 2, and Annex VIII, article 2, for the settlement of disputes under this Part. 5. Anylcourt or tribunal to which a dispute has been submitted under this Part shall apply the relevant provisions of the Convention, of this Agreement and of any relevant sub-regional, regional or global fisheries agreement, as well as generally accepted standards for the conservation and management of living marine resources and other rules of international law not incompatible with the Convention, with a view to ensuring the conservation of the straddling fish stocks and highly migratory fish stocks concerned. Article 31 Provisional measures 1. Pending the settlement of a dispute in accordance with this Part, the parties to the dispute shall make every effort to enter into provisional arrangements of a practical nature. 44 2. Without prejudice to article 290 of the Convention, the court or tribunal to which the dispute has been submitted under this Part may prescribe any provisional measures which it considers appropriate under the circumstances to preserve the respective rights of the parties to the dispute or to prevent damage to the stocks in question, as well as in the circumstances referred to in artic/e 7, paragraph 5, and article 16, paragraph 2. 3. A State Party to this Agreement which is not a Party to the Convention may declare that, notwithstanding article 290, paragraph 5, of the Convention, the International Tribunal for the Law of the Sea shall not be entitled to prescribe, modify or revoke provisional measures without the agreement of such State. Article 32 Limitations on applicability of procedures for the settlement of disputes Article 297, paragraph 3, of the Convention applies also to this Agreement. PART IX NON-PARTIES TO THIS AGREEMENT Article 33 Non-parties to this Agreement 1. States Parties shall encourage non-parties to this Agreement to become parties thereto and to adopt laws and regulations consistent with its provisions. 2. States Parties shall take measures consistent with this Agreement and international law to deter the activities of vessels flying the flag of non-parties which undermine the effective implementation of this Agreement. PART X GOOD FAITH AND ABUSE OF RIGHTS Article 34 Good faith and abuse of rights States Parties shall fulfill in good faith the obligations assumed under this Agreement and shall exercise the rights recognized in this Agreement in a manner which would not constitute an abuse of right. 45 Part XI RESPONSIBILITY AND LIABILITY Article 35 Responsibility and liability States Parties are liable in accordance with international law for damage or loss attributable to them in regard to this Agreement. PART XII REVIEW CONFERENCE Article 36 Review conference 1. Four years after the date of entry into force of this Agreement, the SecretaryGeneral of the United Nations shall convene a conference with a view to assessing the effectiveness of this Agreement in securing the conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks. The Secretary-General shall invite to the conference all States Parties and those States and entities which are entitled to become parties to this Agreement as well as those intergovernmental and non-governmental organizations entit/ed to participate as observers. 2. The conference shall review and assess the adequacy of the provisions of this Agreement and, if necessary, propose means of strengthening the substance and methods of implementation of those provisions in order better to address any continuing problems in the conservation and management of stradd/ing fish stocks and highly migratory fish stocks. PART XIII FINAL PROVISIONS Article 37 Signature This Agreement shall be open for signature by all States and the other entities referred to in article 1, paragraph 2(b), and shall remain open for signature at United Nations Headquarters for twelve months from the fourth of December 1995. 46 Article 38 Ratification This Agreement is subject to ratification by States and the other entities referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 39 Accession This Agreement shall remain open for accession by States and the other entities referred to in article 1, paragraph 2(b). The instruments of accession shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. Article 40 Entry into force 1. This Agreement shall enter into force 30 days after the date of deposit of the thirtieth instrument of ratification or accession. 2. For each State or entity which ratifies the Agreement or accedes thereto after the deposit of the thirtieth instrument of ratification or accession, this Agreement shall enter into force on the thirtieth day following the deposit of its instrument of ratification or accession. Article 41 Provisional application 1. This Agreement shall be applied provisionally by a State or entity which consents to its provisional application by so notifying the depositary in writing. Such provisional app/ication shall become effective from the date of receipt of the notification. 1. Provisional application by a State or entity shall terminate upon the entry into force of this Agreement for that State or entity or upon notification by that State or entity to the depositary in writing of its intention to terminate provisional application. Article 42 Reservations and exceptions No reservations or exceptions may be made to this Agreement. 47 Article 43 Declarations and statements Article 42 does not preclude a State or entity, when signing, ratifying or acceding to this Agreement, from making declarations or statements, however phrased or named, with a view, inter alia, to the harmonization of its laws and regulations with the provisions of this Agreement, provided that such declarations or statements do not purport to exclude or to modify the legal effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or entity. Article 44 Relation to other agreements 1. This Agreement shall not alter the rights and obligations of States Parties which arise from other agreements compatible with this Agreement and which do not affect the enjoyment by other States Parties of their rights or the performance of their ob/igations under this Agreement. 2. Two or more States Parties may conclude agreements modifying or suspending the operation of provisions of this Agreement, applicable solely to the relations between them, provided that such agreements do not relate to a provision derogation from which is incompatible with the effective execution of the object and purpose of this Agreement, and provided further that such agreements shall not affect the application of the basic principles embodied herein, and that the provisions of such agreements do not affect the enjoyment by other States Parties of their rights or the performance of their obligations under this Agreement. 3. States Parties intending to conc/ude an agreement referred to in paragraph 2 shall notify the other States Parties through the depositary of this Agreement of their intention to conclude the agreement and of the modification or suspension for which it provides. Article 45 Amendment 1. A State Party may, by written communication addressed to the SecretaryGeneral of the United Nations, propose amendments to this Agreement and request the convening of a conference to consider such proposed amendments. The Secretary-General shall circulate such communication to all States Parties. 48 If, within six months from the date of the circulation of the communication, not less than one half of the States Parties reply favorably to the request, the Secretary-General shall convene the conference. 2. The decision-making procedure applicable at the amendment conference convened pursuant to paragraph 1 shall be the same as that applicable at the United Nations Conference on Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, unless otherwise decided by the conference. The conference should make every effort to reach agreement on any amendments by way of consensus and there should be no voting on them until all efforts at consensus have been exhausted. 3. Once adopted, amendments to this Agreement shall be open for signature at United Nations Headquarters by States Parties for twelve months from the date of adoption, un/ess otherwise provided in the amendment itself. 4. Articles 38, 39, 47 and 50 apply to all amendments to this Agreement. 5. Amendments to this Agreement shall enter into force for the States Parties ratifying or acceding to them on the thirtieth day following the deposit of instruments of ratification or accession by two thirds of the States Parties. Thereafter, for each State Party ratifying or acceding to an amendment after the deposit of the required number of such instruments, the amendment shall enter into force on the thirtieth day following the deposit of its instrument of ratification or accession. 6. An amendment may provide that a smaller or a larger number of ratifications or accessions shall be required for its entry into force than are required by this article. 7. A state which becomes a Party to this Agreement after the entry into force of amendments in accordance with paragraph 5 shall, failing an expression of a different intention by that State: (a) be considered as a Party to this Agreement as so amended; and (b) be considered as a Party to the unamended Agreement in relation to any State Party not bound by the amendment. Article 46 Denunciation 1. A State Party may, by written notification addressed to the Secretary-General of the United Nations, denounce this Agreement and may indicate its reasons. 49 Fai/ure to indicate reasons shall not affect the validity of the denunciation. The denunciation shall take effect one year after the date of receipt of the notification, unless the notification specifies a later date. 2. The denunciation shall not in any way affect the duty of any State Party to fulfill any obligation embodied in this Agreement to which it would be subject under international law independently of this Agreement. Article 47 Participation by international organizations 1. In cases where an international organization referred to in Annex IX, article 1, of the Convention does not have competence over all the matters governed by this Agreement, Annex IX to the Convention shall apply mutatis mutandis to participation by such international organization in this Agreement, except that the following provisions of that Annex shall not apply: (a) article 2, first sentence; and (b) article 3, paragraph 1. 2. In cases where an international organization referred to in Annex IX, article 1, of the Convention has competence over all the matters governed by this Agreement, the following provisions shall apply to participation by such international organization in this Agreement: (a) at the time of signature or accession, such international organization shall make a declaration stating: (i) that it has competence over all the matters governed by this Agreement; (ii) that, for this reason, its member States shall not become States Parties, except in respect of their territories for which the international organization has no responsibllity; and (iii) that it accepts the rights and obligations of States under this Agreement; (b) participation of such an international organization shall in no case confer any rights under this Agreement on member States of the international organization; (c) in the event of a conflict between the obligations of an international organization under this Agreement and its obligations under the agreement estab/ishing the international organization or any acts relating to it, the obligations under this Agreement shall prevail. 50 Article 48 Annexes 1. The Annexes form an integral part of this Agreement and, unless expressly provided otherwise, a reference to this Agreement or to one of its Parts includes a reference to the Annexes relating thereto. 1. The Annexes may be revised from time to time by States Parties. Such revisions shall be based on scientific and technical considerations. Notwithstanding the provisions of article 45, if a revision to an Annex is adopted by consensus at a meeting of States Parties, it shall be incorporated in this Agreement and shall take effect from the date of its adoption or from such other date as may be specified in the revision. If a revision to an Annex is not adopted by consensus at such a meeting, the amendment procedures set out in article 45 shall apply. Article 49 Depositary The Secretary-General of the United Nations shall be the depositary of this Agreement and any amendments or revisions thereto. Article 50 Authentic texts The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this Agreement are equally authentic. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized thereto, have signed this Agreement. OPENED FOR SIGNATURE at New York, this fourth day of December, one thousand nine hundred and ninety-five, in a single original, in the Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish languages. ANNEX I STANDARD REQUIREMENTS FOR THE COLLECTION AND SHARING OF DATA Article 1 General principles 1. The timely collection, compilation and analysis of data are fundamental to the effective conservation and management of straddling fish stocks and highly 51 migratory fish stocks. To this end, data from fisheries for these stocks on the high seas and those in areas under national jurisdiction are required and should be collected and compiled in such a way as to enable statistically meaningful analysis for the purposes of fishery resource conservation and management. These data include catch and fishing effort statistics and other fishery-related information, such as vessel-related and other data for standardizing fishing effort. Data collected should also include information on non-target and associated or dependent species. All data should be verified to ensure accuracy. Confidentiality of non-aggregated data shall be maintained. The dissemination of such data shall be subject to the terms on which they have been provided. 2. Assistance, including training as well as financial and technical assistance, shall be provided to developing States in order to build capacity in the field of conservation and management of living marine resources. Assistance should focus on enhancing capacity to implement data collection and verification, observer programmes, data analysis and research projects supporting stock assessments. The fullest possible involvement of deve/oping State scientists and managers in conservation and management of straddling fish stocks and highly migratory fish stocks should be promoted. Article 2 Principles of data collection, compilation and exchange The following general principles should be considered in defining the parameters for collection, compilation and exchange of data from fishing operations for straddling fish stocks and highly migratory fish stocks: (a) States should ensure that data are collected from vessels flying their flag on fishing activities according to the operational characteristics of each fishing method (e.g., each individual tow for trawl, each set for long-line and purseseine, each school fished for pole-and-line and each day fished for troll) and in sufficient detail to facilitate effective stock assessment; (b) States should ensure that fishery data are verified through an appropriate system; (c) States should compile fishery-related and other supporting scientific data and provide them in an agreed format and in a timely manner to the relevant sub­ regional or regional fisheries management organization or arrangement where one exists. Otherwise, States shou/d cooperate to exchange data either directly or through such other cooperative mechanisms as may be agreed among them; 52 (d) States should agree, within the framework of sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements, or otherwise, on the specification of data and the format in which they are to be provided, in accordance with this Annex and taking into account the nature of the stocks and the fisheries for those stocks in the region. Such organizations or arrangements should request non-members or non-participants to provide data concerning relevant fishing activities by vessels flying their flag; (e) such organizations or arrangements shall compile data and make them available in a timely manner and in an agreed format to all interested States under the terms and conditions established by the organization or arrangement; and (f) scientists of the flag State and from the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement should analyse the data separately or jointly, as appropriate. Article 3 Basic fishery data 1. States shall collect and make available to the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement the following types of data in sufficient detail to facilitate effective stock assessment in accordance with agreed procedures: (a) time series of catch and effort statistics by fishery and fleet; (b) total catch in number, nominal weight, or both, by species (both target and non-target) as is appropriate to each fishery. [Nominal weight is defined by the Food and Agriculture Organization of the United Nations as the liveweight equivalent of the landings]; (c) discard statistics, including estimates where necessary, reported as number or nominal weight by species, as is appropriate to each fishery; (d) effort statistics appropriate to each fishing method; and (e) fishing location, date and time fished and other statistics on fishing operations as appropriate. 2. States shall also collect where appropriate and provide to the relevant sub­ regional or regional fisheries management organization or arrangement information to support stock assessment, including: (a) composition of the catch according to length, weight and sex; 53 (b) other biological information supporting stock assessments, such as information on age, growth, recruitment, distribution and stock identity; and (c) other relevant research, including surveys of abundance, biomass surveys, hydro-acoustic surveys, research on environmental factors affecting stock abundance, and oceanographic and ecological studies. Article 4 Vessel data and information 1. States should collect the following types of vessel-related data for standardizing fleet composition and vessel fishing power and for converting between different measures of effort in the analysis of catch and effort data: (a) vessel identification, flag and port of registry; (b) vessel type; (c) vessel specifications (e.g., material of construction, date built, registered length, gross registered tonnage, power of main engines, hold capacity and catch storage methods); and (d) fishing gear description (e.g., types, gear specifications and quantity). 2. The flag State will collect the following information: (a) navigation and position fixing aids; (b) communication equipment and international radio call sign; and (c) crew size. Article 5 Reporting A State shall ensure that vessels flying its flag send to its national fisheries administration and, where agreed, to the relevant sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement, logbook data on catch and effort, including data on fishing operations on the high seas, at sufficiently frequent intervals to meet national requirements and regional and international ob/igations. Such data shall be transmitted, where necessary, by radio, telex, facsimile or satellite transmission or by other means. 54 Article 6 Data verification States or, as appropriate, sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements should establish mechanisms for verifying fishery data, such as: (a) position verification through vessel monitoring systems; (b) scientific observer programmes to monitor catch, effort, catch compositio (target and non-target) and other details of fishing operations; (c) vessel trip, landing and transshipment reports; and (d) port sampling. Article 7 Data exchange 1. Data collected by flag States must be shared with other flag States and relevant coastal States through appropriate sub-regional or regional fisheries management organizations or arrangements. Such organizations or arrangements shall compile data and make them available in a timely manner and in an agreed format to all interested States under the terms and conditions established by the organization or arrangement, while maintaining confidentiality of nonaggregated data, and should, to the extent feasible, develop database systems which provide efficient access to data. 2. At the global level, collection and dissemination of data should be effected through the Food and Agriculture Organization of the United Nations. Where a sub-regional or regional fisheries management organization or arrangement does not exist, that organization may also do the same at the sub-regional or regional level by arrangement with the States concerned. ANNEX II GUIDELINES FOR THE APPLICATION OF PRECAUTIONARY REFERENCE POINTS IN CONSERVATION AND MANAGEMENT OF STRADDLING FISH STOCKS AND HIGHLY MIGRATORY FISH STOCKS 1. A precautionary reference point is an estimated value derived through an agreed scientific procedure, which corresponds to the state of the resource and of the fishery, and which can be used as a guide for fisheries management. 55 2. Two types of precautionary reference points should be used: conservation, or limit, reference points and management, or target, reference points. Limit reference points set boundaries which are intended to constrain harvesting within safe biological limits within which the stocks can produce maximum sustainable yield. Target reference points are intended to meet management objectives. 2. Precautionary reference points should be stock-specific to account, inter alia, for the reproductive capacity, the resilience of each stock and the characteristics of fisheries exploiting the stock, as well as other sources of mortality and major sources of uncertainty. 3. Management strategies shall seek to maintain or restore populations of harvested stocks, and where necessary associated or dependent species, at levels consistent with previously agreed precautionary reference points. Such reference points shall be used to trigger pre-agreed conservation and management action. Management strategies shall include measures which can be implemented when precautionary reference points are approached. 4. Fishery management strategies shall ensure that the risk of exceeding limit reference points is very low. If a stock falls below a limit reference point or is at risk of falling below such a reference point, conservation and management action should be initiated to facilitate stock recovery. Fishery management strategies shall ensure that target reference points are not exceeded on average. 5. When information for determining reference points for a fishery is poor or absent, provisional reference points shall be set. Provisional reference points may be established by analogy to similar and better-known stocks. In such situations, the fishery shall be subject to enhanced monitoring so as to enable revision of provisional reference points as improved information becomes available. 6. The fishing mortality rate which generates maximum sustainable yield should be regarded as a minimum standard for limit reference points. For stocks which are not overfished, fishery management strategies shall ensure that fishing mortality does not exceed that which corresponds to maximum sustainable yield, and that the biomass does not fall below a predefined threshold. For overfished stocks, the biomass which would produce maximum sustainable yield can serve as a rebuilding target. PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH Negara-negara Pihak pada Persetujuan ini, Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa­Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, Menetapkan untuk menjamin konservasi jangka panjang dan penggunaan berkelanjutan dari sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, Memutuskan untuk meningkatkan kerja sama di antara Negara-negara untuk tujuan tersebut, Mengajak untuk penegakan hukum yang lebih efektif oleh Negara Bendera, Negara Pelabuhan dan Negara Pantai untuk tindakan konservasi dan pengelolaan yang disetujui untuk sediaan tersebut, Mengupayakan untuk menangani secara khusus permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi dalam Bab 17, bagian program C, dari Agenda 21 yang diterima oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan, yaitu, bahwa pengelolaan perikanan di Laut Lepas tidak memadai pada beberapa wilayah dan bahwa beberapa sumber daya digunakan secara berlebihan; memperhatikan bahwa terdapat beberapa masalah mengenai penangkapan ikan yang tidak diatur, kapitalisasi berlebihan, ukuran armada yang terlalu besar, pembenderaan semu kapal untuk menghindari pengawasan, pemilihan alat tangkap yang tidak sesuai, database yang tidak dapat dipercaya dan tiadanya kerja sama yang memadai diantara Negaranegara, Menyetujui diantara mereka perikanan yang bertanggungjawab, Menyadari kebutuhan untuk menghindari dampak yang merugikan lingkungan laut, melindungi keanekaragaman hayati, memelihara keutuhan ekosistem laut, 57 58 dan mengurangi risiko jangka panjang atau dampak tidak terpulihkan dari kegiatan penangkapan ikan. Mengakui perlunya bantuan khusus, termasuk keuangan, bantuan ilmiah dan teknologi, sehingga Negara-negara berkembang dapat berpartisipasi secara efektif dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, Meyakini bahwa suatu Persetujuan bagi pelaksanaan ketentuan-ketentuan dari Konvensi akan sangat membantu tujuan-tujuan tersebut dan mendukung bagi pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia, Menegaskan bahwa berbagai hal yang tidak diatur oleh Konvensi atau oleh Persetujuan i ni tetap diatur dengan ketentuan dan prinsip-prinsip umum hukum internasional, Menyetujui hal-ha/l sebagai berikut: BAGIAN I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Penggunaan terminologi dan ruang lingkup 1. Untuk tujuan Persetujuan ini: (a)“Konvensi” berarti Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982; (a)“Tindakan konservasi dan pengelolaan” berarti tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa spesies sumber daya hayati yang disetujui dan diterapkan konsisten dengan ketentuan yang terkait dari hukum internasional sebagaimana tercantum di dalam Konvensi dan Persetujuan ini; (b)“Ikan” termasuk Moluska dan Crustacea kecuali yang termasuk da/am jenis Sedenter sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 77 Konvensi; dan (c)“Pengaturan” berarti mekanisme kerja sama yang ditetapkan oleh dua negara atau lebih berdasarkan Konvensi dan Persetujuan ini untuk tujuan, antara lain, menetapkan tindakan konservasi dan pengelolaan pada suatu sub regional atau wilayah untuk satu atau beberapa sediaan ikan beruaya terbatas atau sediaan ikan beruaya jauh. 59 2. (a) “Negara Pihak” berarti negara yang telah menyetujui untuk tunduk pada Persetujuan ini dan untuk mana Persetujuan ini berlaku. (b) Persetujuan ini berlaku, mutatis mutandis: (i) untuk setiap lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (1) poin (c), poin (d), dan poin (e) dari Konvensi; dan (ii) tunduk pada pasal 47, untuk setiap lembaga yang dinamakan “organisasi internasional” pada Lampiran IX, pasal 1 dari Konvensi, yang menjadi Pihak dari Persetujuan ini, dan lebih lanjut “Negara Pihak” menunjuk kepada lembaga-lembaga tersebut. 3. Persetujuan ini berlaku mutatis mutandis bagi lembaga-lembaga perikanan lainnya yang kapal-kapalnya melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas. Pasal 2 Tujuan Tujuan dari Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan penggunaan berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-­ketentuan yang terkait dari Konvensi. Pasal 3 Penerapan 1. Kecuali ditentukan lain, Persetujuan ini berlaku untuk konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh di luar wilayah yurisdiksi nasional, kecuali Pasal 6 dan 7 berlaku juga untuk konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional, tunduk pada rejim hukum yang berbeda yang berlaku di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan di wilayah di luar yurisdiksi nasional sebagaimana ditentukan di dalam Konvensi. 2. Dalam pelaksanaan hak berdaulatnya untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional, Negara pantai harus menerapkan mutatis mutandis prinsip-prinsip umum yang disebutkan dalam Pasal 5. 60 3. Negara-negara harus mempertimbangkan kapasitas masing-masing negara berkembang untuk menerapkan Pasal 5, 6 dan 7 di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan kebutuhan mereka untuk bantuan sebagaimana ditentukan di dalam Persetujuan ini. Untuk tujuan ini, Bagian VII berlaku mutatis mutandis terhadap willayah di bawah yurisdiksi nasional. Pasal 4 Hubungan antara Persetujuan ini dan Konvensi Hal-hal yang diatur dalam Persetujuan ini tidak mempengaruhi hak, yurisdiksi atau kewajiban-kewajiban Negara da/am Konvensi. Persetujuan ini harus diartikan dan diterapkan dalam konteks dan cara yang konsisten dengan Konvensi. BAGIAN II KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH Pasal 5 Prinsip-prinsip umum Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas harus, dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama sesuai dengan Konvensi: (a) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimum mereka; (b) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang terkait termasuk kebutuhan khusus negara berkembang dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan sediaan jenis ikan dan standar minimum internasionll yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub regional, regional, maupun global; (c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6; (d) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktorfaktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk dalam 61 ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut; (e) Mengambil, apabila diperlukan, tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies tersebut di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam; (f) Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies yang bukan target, baik ikan maupun bukan spesies ikan, (selanjutnya disebut sebagai spesies non target) dan dampak terhadap spesies berhubungan atau tergantung, khususnya spesies yang terancam, melalui tindakan termasuk, yang lazim, pengembangan dan penggunaan yang selektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan murah; (g) Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut; (h) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan; (i) Memperhatikan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten; (j) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat, data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan non target dan usaha penangkapan ikan, sebagaimana tercantum di dalam Lampiran I, juga informasi dari program riset nasional dan internasional; (k) Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; dan (l) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan. Pasal 6 Penerapan pendekatan kehati-hatian 1. Negara-negara harus menerapkan pendekatan kehati-hatian secara luas untuk konservasi, pengelolaan, dan eksploitasi sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam rangka melindungi sumber daya kelautan dan konservasi lingkungan laut. 62 2. Negara-negara harus lebih berhati-hati pada saat informasi tidak menentu, tidak dapat dipercaya atau tidak mencukupi. Tidak tersedianya informasi ilmiah yang memadai tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk menunda atau menggagalkan tindakan konservasi dan pengelolaan. 3. Dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, Negara-negara harus: (a)Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi d pengelolaan sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagik informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjut untuk menangani risiko dan ketidakpastian; (b)Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui; (c)Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies non target dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan (d)Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus. 4. Negara-negara harus mengambil tindakan untuk menjamin bahwa, pada saat mendekati titik-titik referensi, mereka tidak akan terlampaui. Dalam hal mereka terlampaui, Negara-negara harus, tanpa menunda, mengambil tindakan sebagaimana ditentukan di bawah ayat (3) poin (b) untuk memulihkan sediaan tersebut. 5. Dalam hal status spesies sediaan target atau non target atau berhubungan atau tergantung diperlukan, Negara-negara harus membicarakan sediaan dan spesies tersebut untuk meningkatkan pemantauan dalam rangka mengubah status mereka dan efektivitas tindakan konservasi dan pengelolaan. Mereka harus menyempurnakan tindakan-tindakan tersebut secara teratur berdasarkan informasi baru. 63 6. Untuk penangkapan ikan baru atau eksploratori, Negara-negara harus mengambil dengan sangat berhati-hati tindakan konservasi pengelolaan termasuk, antara lain, batas penangkapan dan batas-batas upaya. Tindakan­tindakan tersebut harus tetap berlaku sampai tersedianya data yang memadai untuk memungkinkan penilaian terhadap dampak dari penangkapan ikan untuk kelestarian jangka panjang sediaan tersebut, dimana tindakan konservasi dan pengelolaan yang didasarkan pada penilaian tersebut harus dilaksanakan. Tindakan terakhir tersebut harus, apabila memungkinkan, mengizinkan untuk pengembangan secara bertahap dari penangkapan ikan. 7. Apabila suatu fenomena alamiah memiliki dampak merugikan yang besar terhadap status dari sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh, Negara-negara harus mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan pada suatu keadaan darurat untuk menjamin bahwa kegiatan perikanan tidak memperburuk dampak merugikan tersebut. Negara-negara juga harus mengambil tindakan-tindakan dengan basis darurat apabila kegiatan perikanan mengakibatkan ancaman yang serius bagi kelestarian sediaan tersebut. Tindakan-tindakan yang diambil pada basis keadaan darurat harus bersifat sementara dan harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia. Pasal 7 Kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan 1. Tanpa mengabaikan hak berdaulat Negara-negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati kelautan di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional, sebagaimana ditentukan di dalam Konvensi, dan hak semua Negara bagi warga negaranya untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas sesuai dengan Konvensi: (a) berkaitan dengan sediaan ikan yang beruaya terbatas, Negara-negara pantai tersebut dan Negara-negara yang warga negaranya melakukan penangkapan sediaan tersebut pada wilayah yang berdampingan dengan Laut Lepas harus meminta, apakah secara langsung atau melalui mekanisme yang sesuai untuk kerja sama sebagaimana ditentukan di dalam Bagian III, untuk menyetujui terhadap tindakan-tindakan yang diperlukan untuk konservasi sediaansediaan tersebut pada wilayah yang berdampingan dengan Laut Lepas; (b) berkaitan dengan sediaan ikan yang beruaya jauh, Negara-negara pantai yang terkait dan Negara-negara lain yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan pada suatu regional tertentu harus bekerjasama, baik 64 langsung atau melalui mekanisme yang sesuai untuk kerja sama sebagaimana ditentukan di dalam Bagian III, dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan penggunaan optimum dari sediaan tersebut pada seluruh regional tersebut, baik di da/am maupun di luar wilayah di bawah yurisdiksi nasional. 2. Tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan untuk Laut Lepas dan yang disetujui untuk wilayah-wilayah di bawah yurisdiksi nasional haruslah berkesesuaian da/am rangka untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh bagi keseluruhan mereka. Untuk tujuan tersebut, Negara-negara pantai dan Negaranegara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas mempunyai suatu tugas untuk bekerjasama untuk tujuan mencapai tindakan-tindakan yang berkesesuaian berkaitan dengan sediaan tersebut. Dalam menentukan kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan, Negara-negara harus: (a) memperhatikan tindakan konservasi dan pengelolaan yang diambil dan diterapkan sesuai dengan Pasal 61 dari Konvensi yang berkaitan dengan sediaan yang sama oleh Negara-negara pantai di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut dirumuskan berkaitan dengan sediaan tersebut untuk Laut Lepas tidak merusak efektivitas tindakan-tindakan tersebut; (b) memperhatikan tindakan yang telah disetujui sebelumnya dirumuskan dan dilakukan untuk Laut Lepas sesuai dengan Konvensi yang berkaita dengan sediaan yang sama oleh Negara-negara pantai yang terkait da Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas; (c) memperhatikan tindakan yang telah disetujui sebelumnya dirumuskan dan diterapkan sesuai dengan Konvensi yang berkaitan dengan sediaan yang sama oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional; (d) memperhatikan kesatuan biologis dan karakteristik biologis lainnya dari sediaan dan hubungan diantara distribusi sediaan, perikanan dan kekhususan geografi dari regional dimaksud, termasuk perluasan sediaan yang terjadi dan ditangkap di wilayah-wilayah di bawah yurisdiksi nasional; (e) memperhatikan ketergantungan masing-masing Negara-negara pantai dan Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas terhadap sediaan dimaksud; dan (f) menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut tidak mengakibatkan 65 dampak yang membahayakan terhadap sumber daya hayati laut secara keseluruhan. 3. Dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama, Negara-negara harus membuat setiap usaha untuk menyetujui kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan di dalam suatu jangka waktu yang layak; 4. Jika tidak ada persetujuan dapat dicapai dalam suatu periode waktu yang layak, setiap Negara-negara tersebut dapat memohon prosedur untuk penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Bagian VIII; 5. Sementara menunggu persetujuan untuk persesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan, Negara-negara yang bersangkutan, dalam suatu semangat saling pengertian dan kerja sama, harus membuat setiap usaha untuk membuat pengaturan-pengaturan tambahan yang bersifat praktis. Dalam hal mereka tidak dapat menyetujui pengaturan tersebut, setiap Negara-negara yang terkait dapat, untuk tujuan mendapatkan tindakan-tindakan tambahan, mengajukan sengketa kepada suatu pengadilan atau tribunal sesuai dengan prosedur untuk penyelesaian sengketa yang ditetapkan dalam Bagian VIII; 6. Pengaturan atau tindakan tambahan yang dibuat atau ditentukan berdasarkan ayat (5) harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam Bagian ini, harus mempertimbangkan kepada hak dan kewajiban bagi seluruh Negaranegara terkait, tidak akan mengancam atau merintangi pencapaian persetujuan akhir untuk kesesuaian tindakan konservasi dan pengelolaan dan harus tidak mengganggu hasil akhir atas setiap prosedur penyelesaian sengketa. 7. Negara-negara pantai harus secara teratur menginformasikan Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas dalam sub regional atau regional, baik langsung atau melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang sesuai, atau melalui sarana lain yang sesuai, terhadap tindakan-tindakan yang telah mereka setujui untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional mereka. 8. Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas harus secara teratur menginformasikan Negara-negara lain yang berkepentingan, baik langsung atau melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang sesuai, atau melalui sarana lain yang sesuai, terhadap tindakan-tindakan yang telah mereka setujui untuk pengaturan kegiatan-kegiatan kapal yang mengibarkan bendera mereka yang melakukan penangkapan ikan untuk sediaan tersebut di Laut Lepas. 66 BAGIAN III MEKANISME UNTUK KERJA SAMA INTERNASIONAL MENGENAI SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH Pasal 8 Kerja sama untuk konservasi dan pengelolaan 1. Negara-negara pantai dan Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas harus, sesuai dengan Konvensi, mengikuti kerja sama yang berkaitan dengan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh atau melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang sesuai, dengan memperhatikan karakteristik khusus dari sub regional dan regional, untuk menjamin konservasi dan pengelolaan yang efektif terhadap sediaan tersebut. 2. Negara-negara harus melakukan konsultasi dengan iktikad baik dan tanpa penundaan, khususnya ketika terdapat bukti bahwa sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh terkait mungkin dalam ancaman eksploitasi yang berlebihan atau ketika penangkapan ikan baru sedang dikembangkan untuk sediaan tersebut. Untuk tujuan tersebut, konsultasi dapat dimulai atas permintaan dari setiap negara yang berkepentingan dengan tujuan untuk merumuskan pengaturan yang memadai untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut. Sementara menunggu persetujuan terhadap pengaturan tersebut, Negara­negara harus meninjau ketentuan dari Persetujuan ini dan dengan iktikad baik dan memperhatikan kepada hak, kepentingan dan kewajiban dari Negara-negara lain. 2. Apabila suatu organisasi atau pengaturan sub regional atau regional mempunyai kewenangan untuk merumuskan tindakan konservasi dan pengelolaan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh tertentu, Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan tersebut pada Laut Lepas dan Negara-negara pantai terkait harus melaksanakan kewajiban mereka untuk bekerjasama dengan menjadi anggota pada organisasi tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan tersebut. Negara-negara yang secara nyata memiliki kepentingan pada penangkapan dimaksud dapat menjadi anggota dari organisasi tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut. Persyaratan keikutsertaan di 67 dalam organisasi atau pengaturan tersebut harus tidak menghalangi Negaranegara tersebut dari keanggotaan atau keikutsertaan; dan tidak diterapkan kepada mereka suatu cara yang membedakan terhadap setiap negara atau kelompok Negara-negara yang mempunyai kepentingan nyata dalam perikanan terkait. 3. Hanya Negara-negara yang menjadi anggota dari suatu organisasi tersebut atau peserta pada pengaturan tersebut, atau yang menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut, harus mempunyai akses kepada sumber daya ikan terhadap mana tindakan-tindakan tersebut diterapkan. 4. Apabila tidak ada organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional untuk merumuskan tindakan konservasi dan pengelolaan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh tertentu, Negara-negara pantai yang terkait dan Negara­negara yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas untuk sediaan tersebut di dalam sub regional atau regional harus bekerjasama untuk membentuk organisasi tersebut atau membuat pengaturan lain yang sesuai guna menjamin konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut dan harus berpartisipasi di dalam bekerjanya organisasi atau pengaturan tersebut. 6. Setiap Negara yang bermaksud untuk mengusulkan tindakan tersebut dilaksanakan oleh suatu organisasi antarpemerintah yang memiliki kewenangan berhubungan dengan sumber daya hayati harus, apabila tindakan tersebut akan mempunyai efek yang besar pada tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan sub regional atau regional yang berkompeten, berkonsultasi melalui organisasi atau pengaturan tersebut dengan anggota atau pesertanya. Untuk tujuan praktis, konsultasi tersebut harus dilaksanakan sebelum pengajuan proposal kepada organisasi antarpemerintah. Pasal 9 Organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional dan pengaturan 1. Dalam pembentukan organisasi perikanan sub regional atau regional atau dalam membuat pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, Negaranegara harus menyetujui, antara lain: 68 (a) sediaan terhadap mana tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan diterapkan, dengan memperhatikan karakteristik biologis dari sediaa dimaksud dan sifat dari perikanan yang terkait; (a) wilayah penerapan, dengan memperhatikan Pasal 7 ayat (1), dan karakteristik dari sub regional atau regional termasuk faktor-faktor sosial ekonomi, geografis dan lingkungan; (b) hubungan antara bekerjanya organisasi atau pengaturan baru tersebut dan peranan, tujuan dan operasi dari setiap organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan terkait yang telah ada; dan (c) mekanisme dengan mana organisasi atau pengaturan akan mendapatkan pengarahan ilmiah dan perubahan status dari sediaan tersebut, termasuk, apabila dimungkinkan, pendirian suatu badan penasehat ilmiah. 2. Negara-negara yang bekerjasama dalam pembentukan organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional harus memberikan informasi Negara-negara lain yang mereka ketahui memiliki kepentingan nyata da/lam bekerjanya organisasi atau pengaturan yang diusulkan untuk kerja sama tersebut. Pasal 10 Fungsi-fungsi organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional dan pengaturan Dalam memenuhi kewajiban mereka untuk kerja sama melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, Negara-negara harus: (a) menyetujui dan mengikuti tindakan konservasi dan pengelolaan untuk menjamin kelestarian jangka panjang dari sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; (b) menyetujui, jika sesuai, pada hak keikutsertaan antara lain alokasi tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat usaha penangkapan perikanan; (c) menyetujui dan menerapkan setiap standar umum minimum internasional yang direkomendasikan untuk tata laksana yang bertanggung jawab untuk operasi penangkapan ikan; (d) menghasilkan dan mengevaluasi saran ilmiah, perubahan status sediaa tersebut dan menilai dampak penangkapan ikan pada spesies non target d berhubungan atau bergantung; (e) menyetujui standar untuk pengumpulan, pelaporan, verifikasi dan pertukar data perikanan untuk sediaan tersebut; 69 (f) mengumpulkan dan menyebarluaskan data statistik yang akurat dan lengkap, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, untuk menjamin bahwa bukti ilmiah terbaik tersedia, serta memellihara keterbatasan apabi/a diper/ukan; (g) memajukan dan melaksanakan penilaian ilmiah dari sediaan tersebut d riset yang relavan dan penyebarluasan hasil-hasilnya; (h) merumuskan mekanisme kerja sama yang memadai untuk pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum yang efektif; (i) menyetujui sarana dengan mana kepentingan-kepentingan penangkapan dari anggota-anggota baru dari organisasi atau peserta baru dalam pengaturan akan diakomodasikan; (j) menyetujui prosedur pengambilan keputusan yang memfasilitasi persetuju tindakan konservasi dan pengelolaan secara cepat dan efektif; (k) memajukan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Bagian VIII; (l) menjamin kerja sama penuh dari badan-badan dan industri nasional yang terkait dalam pelaksanaan rekomendasi dan keputusan dari organisasi atau pengaturan; dan (m) melakukan publikasi tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan. Pasal 11 Anggota baru atau peserta Dalam menentukan sifat dan tingkat hak keikutsertaan untuk anggota-anggota dari suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional, atau untuk peserta-peserta baru dalam suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, Negara-negara, harus memperhatikan, antara lain: (a) status dari sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan tingkat usaha penangkapan saat ini dalam perikanan; (b) kepentingan masing-masing, pola penangkapan ikan dan praktek penangkapan ikan bagi anggota atau peserta baru atau yang telah ada saat ini; (c) kontribusi masing-masing anggota atau peserta baru atau yang telah ada saat ini untuk konservasi dan pengelolaan dari sediaan tersebut, untuk pengumpulan dan pengadaan data yang akurat dan untuk melaksanakan riset ilmiah mengenai sediaan tersebut; (d) kebutuhan dari masyarakat perikanan pantai yang sangat tergantung utamanya pada penangkapan sediaan tersebut; 70 (e) kebutuhan Negara-negara pantai yang perekonomiannya sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya hayati laut; dan (f) kepentingan Negara-negara berkembang dari sub regional atau regional yang pada wilayah yurisdiksi nasionalnyajuga terdapat sediaan tersebut. Pasal 12 Transparansi kegiatan organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional dan pengaturan 1. Negara-negara harus mempersiapkan untuk transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan lain dari organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional. 2. Perwakilan-perwakilan dari organisasi antarpemerintah lain dan perwakilan­perwakilan dari organisasi non pemerintah terkait dengan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh harus diperbolehkan berpartisipasi dalam pertemuan organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional sebagai peninjau atau yang lain, yang memungkinkan, sesuai dengan prosedur organisasi atau pengaturan terkait. Prosedur tersebut harus tidak boleh membatasi kegiatan tersebut. Organisasi antarpemerintah dan organisasi non pemerintah harus memiliki akses yang tepat terhadap catatan-catatan dan laporan-laporan dari organisasi dan pengaturan tersebut, tunduk pada ketentuan prosedur da/am mengakses mereka. Pasal 13 Memperkuat organisasi dan pengaturan yang ada Negara-negara harus bekerjasama untuk memperkuat organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional yang telah ada dalam rangka meningkatkan efektivitas mereka dalam merumuskan dan melaksanakan tindakan konservasi dan pengelolaan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Pasal 14 Pengumpulan dan penyediaan informasi dan kerja sama penelitian ilmiah 1. Negara-negara harus menjamin bahwa kapal-kapal penangkap ikan yang mengibarkan bendera mereka menyediakan informasi yang mungkin diperlukan 71 dalam rangka memenuhi kewajiban mereka di bawah Persetujuan i ni. Untuk tujuan tersebut, Negara-negara harus sesuai dengan Lampiran I: (a) mengumpulkan dan tukar menukar data ilmiah, teknis dan statistik berkaitan dengan perikanan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh; (b) menjamin bahwa data dikumpulkan secara rinci cukup untuk penilaian sediaan yang efektif dan disediakan dengan cara yang tepat untuk memenuhi persyaratan organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional; dan (c) mengambil tindakan-tindakan yang memadai untuk menguji keakurat data tersebut. 2. Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional: (a) menyetujui spesifikasi data dan format yang disediakan untuk organisasi atau pengaturan tersebut, dengan memperhatikan sifat sediaan dan perikanan untuk sediaan tersebut; dan (b) mengembangkan dan mempertukarkan teknik analisis dan metodologi penilaian sediaan untuk meningkatkan tindakan bagi konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. 3. Konsisten dengan Bagian XIII dari Konvensi, Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui organisasi internasional yang berkompeten, untuk memperkuat kapasitas penelitian ilmiah dalam bidang perikanan dan memajukan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh untuk kepentingan semua. Untuk tujuan tersebut, suatu Negara atau suatu organisasi internasional yang berkompeten, yang melakukan penelitian tersebut di luar wilayah di bawah yurisdiksi nasional harus secara aktif memajukan publikasi dan penyebarluasan kepada seluruh negara yang berkepentingan terhadap hasil penelitian tersebut dan informasi yang berkaitan dengan tujuan dan metodenya dan, sesuai praktek yang ada, harus memfasilitasi keikutsertaan ilmuwan dari Negara-negara tersebut dalam penelitian tersebut. 72 Pasal 15 Laut tertutup dan setengah tertutup Dalam pelaksanaan Persetujuan ini pada laut tertutup dan setengah tertutup, Negara-negara harus memperhatikan karakteristik aamiah dari laut tersebut dan harus juga bertindak dengan cara yang konsisten dengan Bagian IX dari Konvensi dan ketentuan-ketentuan terkait lainnya dari Konvensi tersebut. Pasal 16 Wilayah Laut Lepas yang seluruhnya dikelilingi oleh wilayah yurisdiksi nasional satu Negara 1. Negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dalam satu wilayah Laut Lepas yang seluruhnya dikelilingi oleh suatu wilayah dibawah yurisdiksi nasional dari satu Negara dan Negara tersebut harus bekerjasama untuk merumuskan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang berkaitan dengan sediaan tersebut di wilayah Laut Lepas. Dengan memperhatikan karakteristik alamiah dari wilayah tersebut, Negara-negara harus memperhatikan secara khusus untuk menetapkan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang cocok untuk sediaan tersebut berdasarkan Pasal 7. Langkah-langkah yang diambil dalam hal Laut Lepas harus mempertimbangkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan-kepentingan dari Negara pantai sesuai dengan Konvensi, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan juga harus memperhatikan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang diambil dan dilaksanakan da/am kaitannya dengan sediaan yang sama sesuai dengan Pasal 61 dari Konvensi oleh Negara pantai di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional. Negara-negara harus juga menyetujui tindakan-tindakan pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum untuk menjamin kesesuaian dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan dalam kaitannya dengan Laut Lepas. 2. Berdasarkan Pasal 8, Negara-negara harus bertindak dengan iktikad baik dan membuat setiap usaha menyetujui tanpa penundaan tindakan konservasi dan pengelolaan untuk diterapkan dalam operasi penangkapan ikan dalam wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Apabila, dalam jangka waktu yang layak, Negara-negara penangkap ikan terkait dan Negara pantai tidak dapat menyetujui tindakan tersebut, mereka harus, dengan memperhatikan ayat (1), menerapkan Pasal 7 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), berkaitan dengan pengaturan- 73 pengaturan atau tindakan-tindakan sementara. Sementara menunggu penetapan pengaturan-pengaturan atau tindakan-tindakan sementara, Negara-negara terkait harus mengambil tindakan-tindakan berkaitan dengan kapal-kapal yang mengibarkan bendera mereka sehingga mereka tidak melakukan penangkapan ikan yang dapat merusak sediaan terkait. BAGIAN IV BUKAN ANGGOTA DAN BUKAN PESERTA Pasal 17 Bukan anggota pada organisasi dan bukan peserta pada pengaturan 1. Suatu negara yang bukan merupakan anggota pada suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional atau tidak menjadi peserta pada suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional, dan yang tidak menyetujui untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut, tidak dibebaskan dari kewajiban untuk bekerjasama, sesuai dengan Konvensi dan Persetujuan ini, dalam konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh yang terkait. 2. Negara tersebut tidak harus memberikan izin kepada kapal-kapal yang mengibarkan benderanya untuk melakukan operasi penangkapan ikan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh yang tunduk pada tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut. 3. Negara-negara yang menjadi anggota pada suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional atau peserta pada suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional harus, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, meminta lembaga perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), yang memiliki kapal-kapal perikanan pada wilayah terkait untuk bekerjasama secara penuh dengan organisasi atau pengaturan tersebut yang telah ditetapkan dalam melaksanakan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah ditentukan, dengan maksud untuk menerapkan tindakantindakan tersebut secara faktual seluas mungkin untuk kegiatan penangkapan pada wilayah terkait. Lembaga-lembaga penangkapan tersebut harus menikmati manfaat dari keikutsertaan da/am perikanan sepadan dengan komitmen mereka 74 untuk menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan berkaitan dengan sediaan tersebut. 4. Negara-negara yang menjadi anggota pada suatu organisasi atau peserta pada pengaturan tersebut harus melakukan tukar menukar informasi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera dari Negara-negara yang tidak menjadi anggota pada organisasi tersebut atau tidak juga menjadi peserta pada pengaturan tersebut dan yang melakukan operasi penangkapan ikan untuk sediaan terkait. Mereka harus mengambil tindakantindakan yang konsisten dengan Persetujuan ini dan hukum internasional untuk mengha/angi kegiatan kapal-kapal tersebut yang mengurangi efektivitas tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional. BAGIAN V KEWAJIBAN-KEWAJIBAN NEGARA BENDERA Pasal 18 Kewajiban-kewajiban Negara Bendera 1. Suatu Negara yang kapal-kapalnya meakukan penangkapan iklan di Laut Lepas harus mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk menjamin bahwa kapal-kapal yang mengibarkan benderanya menerapkan tindakantindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional dan kapalkapal tersebut tidak melakukan kegiatan apapun yang mengurangi efektivitas tindakan-tindakan tersebut. 2. Suatu Negara harus mengizinkan penggunaan kapal-kapal yang mengibarkan benderanya untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas hanya apabila dapat melakukan pengawasan secara efektif tanggung jawabnya berkaitan dengan kapal-kapal tersebut di bawah Konvensi dan Persetujuan ini. 3. Tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu Negara berkaitan dengan kapalkapal yang mengibarkan benderanya harus termasuk: (a) pengawasan kapal-kapal tersebut di Laut Lepas melalui lisensi penangkapan ikan, otorisasi atau izin, sesuai dengan prosedur yang berlaku yang disetujui pada tingkat sub regional, regional atau global; (b) menetapkan peraturan-peraturan: (i) untuk menerapkan persyaratan-persyaratan dan kondisi-kondisi bagi lisensi, otorisasi atau izin yang memadai untuk memenuhi setiap kewajiban sub regional, regional atau global dari Negara Bendera; 75 (ii) melarang penangkapan ikan di Laut Lepas oleh kapal-kapal yang tidak sepatutnya diberi lisensi atau otorisasi untuk melakukan penangkapan ikan, atau melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas dengan menggunakan kapal-kapal kecuali yang sesuai dengan persyaratanpersyaratan dan kondisi-kondisi suatu lisensi, otorisasi atau izin; (iii)mengharuskan kapal-kapal yang melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas untuk membawa di atas kapal lisensi, otorisasi atau izin setiap saat dan menunjukkannya atas permintaan untuk pemeriksaan oleh petugas yang berwenang; dan (iv)menjamin bahwa kapal-kapal yang mengibarkan benderanya tidak melakukan penangkapan ikan yang tidak sah da/am wilayah di bawah yurisdiksi nasional Negara-negara lain; (c) pembentukan suatu pencatatan nasional terhadap kapal-kapal perikanan yang diberikan otorisasi untuk melakukan penangkapan ikan di Laut Lepas dan pemberian akses kepada informasi yang terdapat di dalam pencatatan atas permintaan secara langsung dari Negara-negara yang berkepentingan, dengan memperhatikan setiap hukum nasional dari negara bendera mengenai pemberian informasi tersebut; (d) persyaratan-persyaratan untuk penandaan kapal ikan dan alat penangkap ikan untuk identifikasi sesuai dengan keseragaman dan sistem pendanaan kapal dan alat tangkap yang diterima secara internasional, seperti Standar Penandaan Food and Agriculture Organization of the United Nations untuk Penandaan dan Pengenalan Kapal-kapal penangkap ikan; (e) persyaratan untuk pencatatan dan pelaporan yang tepat dari posisi kapal, penangkapan spesies target dan non target, usaha penangkapan ikan dan data perikanan terkait lainnya sesuai dengan standar sub regional, regional dan global untuk pengumpulan data tersebut; (f) persyaratan-persyaratan pengujian penangkapan untuk spesies target dan non target melalui sarana seperti program peninjauan, skema pemeriksaan, laporan pemuatan, supervisi pengalihan muatan dan pengawasan pendaratan tangkapan dan statistik pasar; (g) pemantauan, pengawasan, dan pengamatan dari kapal-kapal tersebut, operasi penangkapan mereka dan kegiatan terkait dengan, antara lain: (i) pelaksanaan skema pemeriksaan nasional dan skema sub regional dan regional untuk kerja sama dalam penegakan hukum berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22, termasuk persyaratan­persyaratan bagi kapal-kapal 76 tersebut untuk izin akses oleh inspektur yang berwenang dari Negaranegara lain; (ii) pelaksanaan program pengamat nasional dan program pengamat sub regional dan regional dimana Negara Bendera menjadi peserta termasuk persyaratan-persyaratan untuk kapal tersebut untuk mengijinkan pemberian akses oleh pengamat-pengamat dari Negara‑ negara lain untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang disetujui di bawah programprogram tersebut; dan (iii) pengembangan dan pelaksanaan sistem pengawasan kapal, termasuk, jika dimungkinkan, sistem transmisi satelit, sesuai dengan programprogram nasional dan mereka yang telah disetujui secara sub regional, regional atau global diantara Negara-negara terkait; (h) pengaturan pengalihan muatan di Laut Lepas untuk menjamin bahwa efektivitas dari konservasi dan pengelolaan tidak dirusak; dan (i) pengaturan kegiatan penangkapan ikan untuk menjamin kesesuaian dengan tindakan-tindakan sub regional, regional atau global, termasuk yang ditujukan untuk mengurangi penangkapan terhadap spesies non-target; 4. Apabila terdapat suatu sistem pemantauan, pengawasan, dan pengamatan yang secara sub regional, regional, atau global disetujui berlaku, Negara­negara harus menjamin bahwa tindakan-tindakan yang diberlakukan kepada kapal-kapal yang mengibarkan bendera mereka sesuai dengan sistem tersebut. BAGIAN VI PENAATAN DAN PENEGAKAN HUKUM Pasal 19 Penaatan dan penegakan hukum oleh Negara Bendera 1. Suatu negara harus menjamin penaatan oleh kapal-kapal yang mengibarkan benderanya dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Untuk tujuan i ni, negara tersebut harus: (a) memberlakukan tindakan-tindakan tersebut tanpa memperhatikan dimana pelanggaran-pelanggaran terjadi; (b) menyelidiki secara cepat dan menyeluruh setiap pelanggaran yang diduga terhadap tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional atau 77 regional, yang juga dapat mencakup pemeriksaan fisik terhadap kapalkapal tersebut, dan melaporkan dengan cepat kepada negara yang diduga melakukan pelanggaran dan organisasi atau pengaturan sub regional atau regional yang terkait atas pelaksanaan dan hasil penyelidikan tersebut; (c) mengharuskan setiap kapal yang mengibarkan benderanya untuk memberikan informasi kepada otoritas penyelidik mengenai posisi kapal, tangkapan, alat tangkap, operasi penangkapan ikan dan kegiatan-­kegiatan terkait di wilayah dimana pelanggaran terjadi; (d) apabila memenuhi bahwa bukti yang cukup telah tersedia berkaitan dengan pelanggaran tersebut, meneruskan kasus tersebut kepada otoritasnya dengan tujuan untuk melakukan penuntutan tanpa penundaan seusai dengan hukumnya dan, apabila memungkinkan, menahan kapal tersebut; dan (e) menjamin bahwa, apabila telah ditetapkan, berdasarkan hukumnya, suatu kapal telah terlibat di dalam perbuatan pelanggaran serius mengenai tindakan-tindakan tersebut, kapal tersebut tidak melakukan operasi penangkapan ikan di Laut Lepas hingga suatu waktu dimana seluruh sanksi telah dijatuhkan oleh Negara Bendera terhadap pelanggaran yang telah dilakukan. 2. Seluruh penyelidikan dan penuntutan hukum harus dilaksanakan secara cepat. Sanksi-sanksi yang diterapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran harus cukup keras sehingga efektif dalam menjamin penaatan dan untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran dimanapun terjadi dan harus menghilangkan keuntungan pelanggar-pelanggar dari manfaat yang bertambah dari kegiatan tidak sah mereka. Tindakan-tindakan yang diterapkan terhadap nakhodanakhoda dan perwira-perwira lainnya dari kapal penangkap ikan harus meliputi ketentuan-ketentuan yang dapat mengizinkan, antara lain, penolakan, pengunduran atau penangguhan otorisasi untuk bertindak sebagai nakhodanakhoda atau perwira-perwira pada kapal tersebut. Pasal 20 Kerja sama internasional dalam penegakan hukum 1. Negara-negara harus bekerjasama, baik secara langsung atau melalui organisasiorganisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, untuk menjamin penaatan dan penegakan hukum bagi tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. 78 2. Suatu Negara Bendera yang melaksanakan penyelidikan atas pelanggaran yang diduga dilakukan terhadap tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dapat meminta bantuan kepada setiap negara lain yang kerjasamanya berguna di dalam melakukan penyelidikan. Semua negara harus berusaha memenuhi permintaan yang diajukan oleh Negara Bendera berkaitan dengan penyelidikanpenyelidikan tersebut. 3. Suatu Negara Bendera dapat melakukan penyelidikan tersebut secara langsung, bekerjasama dengan Negara-negara lain yang berkepentingan atau melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait. Informasi mengenai pelaksanaan dan hasil penyelidikan harus disediakan untuk semua negara yang mempunyai kepentingan, atau terpengaruh oleh, pelanggaran yang diduga. 4. Negara-negara harus saling membantu satu dengan yang lainnya dalam mengenali kapal-kapal yang dilaporkan telah melakukan kegiatan yang merusak efektivitas tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional, regional atau global. 5. Negara-negara harus, dalam hal diperbolehkan oleh peraturan perundang­ undangan nasional, menetapkan pengaturan-pengaturan untuk menyediakan bagi otoritas penuntutan di negara lain bukti yang berkaitan dengan pelanggaran yang diduga atas tindakan-tindakan tersebut. 6. Apabila terdapat alasan yang layak untuk mempercayai bahwa suatu kapal di Laut Lepas telah melakukan penangkapan ikan tanpa izin di dalam suatu wilayah di bawah yurisdiksi suatu Negara Pantai, negara bendera dari kapal tersebut, atas permintaan dari Negara Pantai terkait, harus secepatnya dan sepenuhnya menyelidiki hal tersebut. Negara Bendera harus bekerjasama dengan Negara Pantai dalam mengambil tindakan penegakan hukum yang memadai dalam kasus tersebut dan dapat memberikan wewenang kepada otoritas yang terkait dari Negara Pantai untuk naik ke atas kapal dan memeriksa kapal di Laut Lepas. Ayat ini tidak mengurangi ketentuan Pasal 111 dari Konvensi. 6. Negara-negara Pihak yang menjadi anggota dari suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional atau menjadi peserta di dalam suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional dapat melakukan tindakan sesuai dengan hukum internasional, termasuk melalui jalan lain kepada prosedur sub regional atau regional yang ditetapkan untuk tujuan ini, untuk menghalangi kapal-kapal yang telah melakukan kegiatan­kegiatan yang 79 mengurangi efektivitas atau pelanggaran lain dari tindakan­tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut dari perikanan di Laut Lepas pada sub regional atau regional sampai suatu waktu yang memungkinkan tindakan dilakukan oleh Negara Bendera. Pasal 21 Kerja sama sub regional dan regional dalam penegakan hukum 1. Pada setiap wilayah Laut Lepas yang dilindungi dengan suatu organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, suatu Negara Pihak yang menjadi anggota dari organisasi tersebut atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut dapat, melalui inspektur yang berwenang, naik ke atas kapal dan memeriksa, sesuai dengan ayat (2), kapal-kapal perikanan yang mengibarkan bendera dari Negara Pihak yang lain pada Persetujuan i ni, apakah Negara Pihak tersebut juga menjadi anggota dari organisasi atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut, untuk tujuan menjamin penaatan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan tersebut. 2. Negara-negara harus menetapkan, melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, prosedur-prosedur untuk naik ke atas kapal dan pemeriksaan sesuai ayat (1), demikian juga prosedur untuk melaksanakan ketentuan lain dari Pasal ini. Prosedur tersebut harus konsisten dengan Pasal ini dan prosedur-prosedur dasar sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 22 dan tidak membedakan bukan anggota dari organisasi atau bukan peserta dari pengaturan tersebut. Tindakan menaiki kapal dan pemeriksaan serta tindakan penegakan hukum selanjutnya harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur-prosedur tersebut. Negara-negara harus mengumumkan prosedurprosedur yang disusun berdasarkan ayat ini. 3. Apabila, dalam dua tahun sejak Persetujuan ini disetujui, setiap organisasi atau pengaturan belum menetapkan prosedur tersebut, menaiki kapal dan pemeriksaan sesuai ayat (1), dan juga setiap tindakan penegakan hukum, harus, sementara menunggu penetapan prosedur-prosedur tersebut, dilaksanakan sesuai dengan Pasal ini dan prosedur-prosedur dasar yang ditetapkan dalam Pasal 22. 4. Sebelum mengambil tindakan berdasarkan Pasal ini, Negara-negara yang melakukan pemeriksaan harus, baik langsung atau melalui organisasi atau 80 pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional, menginformasikan semua negara yang kapal-kapalnya me/akukan penangkapan ikan di Laut Lepas pada sub regional atau regional dalam bentuk identifikasi masalah kepada inspektur yang berwenang mereka. Kapal yang digunakan untuk menaiki dan memeriksa harus secara jelas diberi tanda dan dapat diidentifikasi sebagai kapal pemerintah. Pada saat menjadi Pihak dari Persetujuan ini, suatu negara harus menetapkan otoritas yang memadai untuk menerima pemberitahuanpemberitahuan sesuai dengan Pasal ini dan harus melakukan publikasi atas penetapan tersebut melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait. 5. Apabila, setelah menaiki kapal dan pemeriksaan, terdapat alasan yang jelas untuk mempercayai bahwa suatu kapal telah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Negara yang melakukan pemeriksaan harus, apabila memungkinkan, melindungi bukti dan secepatnya memberitahukan negara bendera terhadap pelanggaran yang diduga tersebut. 6. Negara Bendera harus menanggapi pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dalam tiga hari kerja setelah diterimanya pemberitahuan, atau jangka waktu yang lain yang mungkin diuraikan di dalam prosedur-prosedur yang telah ditetapkan sesuai ayat (2), dan harus: (a) memenuhi, tanpa penundaan, kewajiban-kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 untuk melakukan penyelidikan dan, apabila buktibukti meyakinkan, mengambil tindakan penegakan hukum berkaitan dengan kapal tersebut, dalam hal ini dia harus secara cepat memberitahukan negara yang melakukan pemeriksaan hasil-hasil penyelidikan dan tindakan penegakan hukum yang dilakukan; atau (b) memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaa untuk melakukan penyelidikan. 7. Apabila Negara Bendera memberikan wewenang kepada negara yang melakukan pemeriksaan untuk melakukan penyelidikan suatu pelanggaran yang diduga, negara yang me/akukan pemeriksaan harus, tanpa penundaan, memberitahukan hasil-hasil penye/idikan tersebut kepada Negara Bendera. Negara Bendera harus, jika bukti meyakinkan, memenuhi kewajiban-­kewajibannya untuk mengambil tindakan penegakan hukum berkaitan dengan kapal tersebut. Sebagai alternatif, Negara Bendera dapat memberikan wewenang kepada negara pemeriksa untuk mengambil tindakan penegakan hukum tersebut yang ditentukan oleh Negara 81 Bendera terhadap kapal tersebut, konsisten dengan hak dan kewajiban Negara Bendera menurut Persetujuan ini. 8. Apabila, setelah menaiki kapal dan pemeriksaan, terdapat alasan yang jelas untuk mempercayai bahwa suatu kapal telah melakukan pelanggaran yang serius, dan Negara Bendera baik telah gagal untuk menanggapi atau gagal untuk mengambil tindakan sebagaimana dipersyaratkan dalam ayat (6) atau ayat (7), inspektur dapat tetap berada di atas kapal dan mengamankan bukti dan dapat meminta Nahkoda kapal untuk membantu penyelidikan lanjutan termasuk, apabila memungkinkan, dengan membawa kapal tersebut tanpa penundaan ke pelabuhan yang terdekat yang memungkinkan, atau ke pelabuhan yang lain yang mungkin ditetapkan di dalam prosedur yang ditentukan sesuai ayat (2). Negara Pemeriksa harus secepatnya menginformasikan kepada Negara Bendera nama pe/abuhan dimana kapal dibawa. Negara Pemeriksa dan Negara Bendera, dan apabila mungkin, Negara Pelabuhan harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin kesejahteraan anak buah kapal tanpa memandang kewarganegaraan mereka. 9. Negara Pemeriksa harus menginformasikan Negara Bendera dan organisasi yang terkait atau peserta pada pengaturan yang terkait hasil-hasil penyelidikan lebih lanjut. 10. Negara Pemeriksa harus meminta inspektur mereka untuk mengamati peraturanperaturan internasional yang diterima umum, prosedur dan praktek yang berkaitan dengan keselamatan kapal dan anak buah kapal, mengurangi campur tangan dengan operasi penangkapan dan, apabi/a dimungkinkan, menghindari tindakan yang akan merugikan kualitas tangkapan di atas kapal. Negara Pemeriksa harus menjamin bahwa menaiki kapal dan pemeriksaan tidak di/ aksanakan apabila menyebabkan gangguan terhadap setiap kapal perikanan. 11. Untuk tujuan Pasal ini, pelanggaran yang serius berarti: (a) melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi, otorisasi atau izin yang masih berlaku yang dikeluarkan oleh Negara Bendera sesuai dengan Pasal 18 ayat (3) poin (a); (b) gagal untuk memelihara catatan-catatan yang akurat mengenai tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana diminta atau dipersyaratkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait, atau salah pelaporan yang serius terhadap tangkapan, bertentangan dengan persyaratan­persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut; 82 (c) melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, melakukan penangkapan ikan selama musim yang tertutup atau melakukan penangkapan ikan tanpa, atau setelah pencapaian dari, suatu kuota yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait; (d) mengarahkan penangkapan ikan untuk suatu sediaan yang tunduk pada moratorium atau untuk mana kegiatan penangkapan ikan dilarang; (e) menggunakan alat tangkap yang dilarang; (f) memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas, atau pendaftaran dari kapal perikanan; (g) menyembunyikan, merusak atau membuang bukti-bukti yang berkait dengan suatu penyelidikan; (h) melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan konservasi dan pengelolaan; atau (i) pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional yang terkait. 12. Tanpa mengecualikan ketentuan-ketentuan lain dalam Pasal ini, Negara Bendera dapat, setiap saat, mengambil tindakan untuk memenuhi kewajiban­ kewajibannya berdasarkan Pasal 19 berkenaan dengan suatu pelanggaran yang diduga. Apabila kapal tersebut sedang dalam pengarahan oleh Negara Pemeriksa, Negara Pemeriksa harus, atas permintaan dari Negara Bendera, menyerahkan kapal tersebut kepada Negara Bendera bersama-sama dengan seluruh informasi yang sedang berjalan dan hasil penyelidikannya. 12. Pasal ini tidak mengurangi hak dari Negara Bendera untuk melakukan setiap tindakan, termasuk cara bekerja untuk memberikan hukuman, berdasarkan hukumnya. 13. Pasal ini berlaku mutatis mutandis bagi kegiatan naik ke atas kapal dan pemeriksaan oleh suatu Negara Pihak yang merupakan anggota dari suatu organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional atau peserta dari suatu pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional dan yang memiliki alasan yang jelas untuk mempercayai bahwa suatu kapal penangkap ikan yang mengibarkan bendera dari suatu Negara Pihak yang lain telah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di wilayah 83 Laut Lepas yang dinaungi oleh organisasi atau pengaturan tersebut, dan kapal tersebut setelah itu, selama perjalanan penangkapan yang sama, masuk ke da/ am suatu wilayah di bawah yurisdiksi nasional dari Negara Pemeriksa. 13. Apabila suatu organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional telah menetapkan suatu mekanisme alternatif yang secara efektif membebaskan kewajiban menurut Persetujuan ini bagi anggota-­anggotanya atau peserta untuk menjamin penaatan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan, anggota-anggota dari organisasi atau peserta dari pengaturan tersebut dapat menyetujui untuk membatasi penerapan ayat (1) untuk diantara mereka sendiri berkaitan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah ditetapkan di wilayah Laut Lepas yang terkait. 16. Tindakan yang diambil oleh Negara-negara selain Negara Bendera berkaitan dengan kapal-kapal yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan sub regional atau regional harus sebanding dengan keseriusan pelanggaran tersebut. 17. Apabila terdapat a/asan yang memungkinkan untuk mencurigai bahwa suatu kapal ikan di Laut Lepas tanpa kebangsaan, suatu negara dapat menaiki kapal dan memeriksa kapal tersebut. Apabila bukti-bukti meyakinkan, negara tersebut dapat mengambil tindakan yang mungkin diperlukan sesuai dengan hukum internasional. 18. Negara-negara harus bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kerugian yang diderita oleh mereka yang disebabkan oleh tindakan yang diambil berdasarkan pada Pasal ini apabila tindakan tersebut melawan hukum atau melampaui yang diminta mengingat informasi yang tersedia dalam melaksanakan ketentuanketentuan Pasal ini. Pasal 22 Prosedur dasar untuk menaiki kapal dan pemeriksaan berdasarkan Pasal 21 1. Negara Pemeriksa harus menjamin inspektur-inspektur berwenang mereka: (a) menunjukkan surat kuasa kepada nakhoda kapal dan memberikan sali nan dari naskah tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang terkait atau ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku di Laut Lepas pada wilayah tersebut berdasarkan tindakan-tindakan tersebut; 84 (b) memberikan pemberitahuan kepada Negara Bendera pada waktu menaiki kapal dan pemeriksaan; (c) tidak melakukan campur tangan terhadap kecakapan nakhoda untuk berkomunikasi dengan otoritas-otoritas dari Negara Bendera selama menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan; (d) menyediakan sali nan dari laporan mengenai kegiatan menaiki kapal dan pemeriksan kepada nakhoda dan kepada otoritas-otoritas dari Negara Bendera, mencatat setiap penolakan atau pernyataan yang diinginkan oleh nakhoda kapal untuk dimasukkan ke dalam laporan tersebut; (a) secepatnya meninggalkan kapal tersebut setelah selesai melakukan pemeriksaan apabila mereka tidak menemukan bukti-bukti adanya pelanggaran yang serius; dan (e) menghindarkan penggunaan kekerasan kecuali apabila dan pada tingkatan yang diperlukan untuk menjamin keselamatan inspektur dan apabila inspektur-inspektur dihalangi dalam melaksanakan tugas mereka. Tingkat penggunaan kekerasan tidak melebihi yang disyaratkan pada situasi-situasi tersebut. 2. Inspektur-inspektur yang berwenang dari suatu Negara Pemeriksa harus memiliki kewenangan untuk memeriksa kapal, lisensi mereka, alat tangkap, perlengkapan, catatan-catatan, fasilitas-fasilitas, ikan dan produk ikan dan dokumen-dokumen lain yang terkait yang diperlukan untuk menguji kesesuaian dengan tindakan konservasi dan pengelo/lan yang terkait. 3. Negara Bendera harus menjamin bahwa nakhoda-nakhoda kapal: (a) menerima dan memfasilitasi kegiatan menaiki kapal secara cepat d aman oleh inspektur-inspektur; (b) bekerjasama dengan dan memberikan bantuan dalam pemeriksaan kapal yang dilakukan sesuai dengan prosedur-prosedur tersebut; (c) tidak menghalangi, mengancam atau campur tangan dengan inspektur­inspektur dalam melaksanakan kewajiban mereka; (d) mengijinkan inspektur-inspektur untuk berkomunikasi dengan otoritas­ otoritas dari Negara Bendera dan Negara Pemeriksa selama berada di atas kapal dan pemeriksaan kapal; (e) menyediakan fasilitas yang layak, termasuk, apabila memungkinkan, makan, dan akomodasi, bagi inspektur-inspektur; dan (f) memfasilitasi kegiatan ke luar kapal oleh inspektur. 85 4. Dalam hal nakhoda kapal menolak untuk menerima tindakan naik ke atas kapal dan pemeriksaan sesuai dengan Pasal i ni dan Pasal 21, Negara Bendera harus, kecuali dalam hal-hal, sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional yang diterima umum, prosedur-prosedur dan praktek-praktek berkaitan dengan keselamatan di laut, hal ini diperlukan untuk menunda tindakan naik ke atas kapal dan melakukan pemeriksaan, mengarahkan nahkoda kapal untuk menyampaikan secepatnya untuk naik ke atas kapal dan melakukan pemeriksaan dan, apabila nakhoda kapal tidak mengikuti petunjuk tersebut, harus menunda otorisasi kapal untuk melakukan penangkapan dan memerintahkan kapal tersebut untuk kembali secepatnya ke pelabuhan. Negara Bendera harus memberikan petunjuk kepada Negara Pemeriksa terhadap tindakan yang telah diambilnya apabila situasi sebagaimana dimaksud da/am ayat ini timbul. Pasal 23 Tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu Negara Pelabuhan 1. Suatu Negara Pelabuhan memiliki hak dan kewajiban untuk mengambil tindakantindakan, sesuai dengan hukum internasional, untuk memajukan efektivitas tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional, regional dan global. Pada saat mengambil tindakan-tindakan tersebut suatu Negara Pelabuhan tidak diperbolehkan melakukan diskriminasi dalam bentuk atau dalam fakta terhadap kapal-kapal dari setiap negara. 2. Negara Pelabuhan dapat, antara lain, memeriksa dokumen-dokumen, alat tangkap dan tangkapan diatas kapal ikan, apabila kapal-kapal tersebut secara sukarela berada di pelabuhannya atau pada terminal-terminal lepas pantainya. 3. Negara-negara dapat membuat peraturan-peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas nasional yang terkait untuk melarang pendaratan dan transhipment apabila telah ditentukan bahwa tangkapan telah diambil dengan cara yang mengurangi efektivitas tindakan-tindak konservasi dan pengelolaan sub regional, regional atau global di Laut Lepas. 4. Ketentuan Pasal ini tidak mempengaruhi pelaksanaan kedaulatan Negara-­negara terhadap pelabuhan-pelabuhan di dalam wilayah mereka sesuai dengan hukum internasional. 86 BAGIAN VII PERSYARATAN NEGARA-NEGARA BERKEMBANG Pasal 24 Pengakuan persyaratan-persyaratan khusus untuk Negara-negara berkembang 1. Negara-negara harus sepenuhnya mengakui persyaratan-persyaratan khusus dari Negara-negara berkembang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan beruaya jauh dan pengembangan perikanan untuk sediaan tersebut. Untuk tujuan ini, Negara­ negara harus, baik secara langsung atau melalui United Nations Development Programme, United Nations Food and Agriculture Organization dan lembaga­lembaga khusus lainnya, Global Environment Facility, Komisi Pembangunan Berkelanjutan dan organisasi dan badan-badan internasional dan regiona/ lpenting lainnya, menyediakan bantuan bagi Negara-negara berkembang. 2. Dalam melaksanakan kewajiban untuk bekerjasama dalam penetapan tindakantindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan beruaya jauh, Negara-negara harus memperhatikan persyaratanpersyaratan khusus dari Negara-negara berkembang, secara khusus: (a) kelemahan Negara-negara berkembang yang tergantung pada ekploitasi sumber daya hayati laut, termasuk untuk memenuhi persyaratan­persyaratan gizi bagi penduduk mereka atau bagian-bagiannya; (b) kebutuhan untuk menghindarkan dampak yang merugikan pada, dan menjamin akses pada perikanan oleh, nelayan subsisten, skala kecil dan artisanal dan pekerja perikanan wanita, dan juga penduduk asli di Negaranegara berkembang, khususnya Negara-negara pulau kecil yang berkembang; dan (c) kebutuhan untuk menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut tidak berakibat dalam pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, bukti yang tidak sebanding dari tindakan konservasi terhadap Negara-negara berkembang. Pasal 25 Bentuk-bentuk kerja sama dengan Negara-negara berkembang 1. Negara-negara harus bekerjasama, baik langsung atau melalui organisasi sub regional, regional atau global: 87 (a) meningkatkan kemampuan Negara-negara berkembang, khususnya yang kurang berkembang diantara mereka dan Negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang, untuk melindungi dan mengelola sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan untuk mengembangkan perikanan mereka sendiri untuk sediaan tersebut; (b) membantu Negara-negara berkembang, khususnya yang kurang berkembang diantara mereka dan Negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang, untuk memungkinkan mereka berpartisipasi dalam perikanan di Laut Lepas untuk sediaan tersebut, termasuk memfasilitasi akses kepada perikanan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 5 dan Pasal 11; dan (c) untuk memfasilitasi keikutsertaan Negara-negara berkembang pada organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional. 2. Kerja sama dengan Negara-negara berkembang untuk tujuan-tujuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini harus termasuk pengadaan bantuan keuangan, bantuan yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia, bantuan teknis, transfer teknologi, termasuk melalui pengaturan join venture, dan pemberian nasehat dan jasa-jasa konsultansi. 3. Bantuan tersebut harus, antara lain, diarahkan secara khusus kepada: (a) peningkatan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pengumpulan, pelaporan, pengujian, tukar menukar dan analisa data perikanan dan informasi terkait; (b) penilaian sediaan dan penelitian ilmiah; d (c) pemantauan, pengawasan, pengamatan, penaatan dan penegakan hukum, termasuk pelatihan dan pengembangan kelembagaan pada tingkat daerah, pembangunan dan pembiayaan program pengamat nasional dan regional dan akses kepada teknologi dan perlengkapan. Pasal 26 Bantuan khusus dalam pelaksanaan Persetujuan ini. 1. Negara-negara harus bekerjasama untuk membentuk dana khusus untuk membantu Negara-negara berkembang dalam pelaksanaan Persetujuan ini, termasuk membantu Negara-negara berkembang untuk menyediakan anggaran yang diperlukan dalam setiap proses hukum untuk penyelesaian sengketa dimana mereka menjadi para pihak. 88 2. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional harus membantu Negaranegara berkembang dalam mendirikan organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional baru, atau dalam memperkuat organisasiorganisasi atau pengaturan-pengaturan yang telah ada, untuk konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. BAGIAN VIII PENYEIESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI Pasal 27 Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa melalui cara-cara damai Negara-negara memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui negosiasi, inquiry, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, melalui lembaga-lembaga atau pengaturan-pengaturan regional, atau cara-cara damai lainnya menurut pilihan mereka sendiri. Pasal 28 Pencegahan sengketa Negara-negara harus bekerjasama dalam rangka untuk mencegah terjadinya sengketa. Untuk tujuan ini, Negara-negara harus menyetujui prosedur-prosedur pengambilan keputusan yang efisien dan cepat dalam organisasi-organisasi dan pengaturan-pengaturan pengelolaan perikanan sub regional dan regional dan harus memperkuat prosedur-prosedur pengambilan keputusan yang ada apabila diperlukan. Pasal 29 Sengketa yang bersifat teknis Apabila suatu sengketa berkaitan dengan masalah yang bersifat teknis, Negara­ negara terkait dapat menyelesaikan sengketa tersebut pada panel tenaga ahli ad hoc yang ditetapkan oleh mereka. Panel tersebut harus berunding dengan Negara­negara terkait dan harus berusaha untuk menyelesaikan sengketa secara cepat tanpa jalan lain pada prosedur-prosedur yang mengikat untuk penyelesaian sengketa. 89 Pasal 30 Prosedur-prosedur untuk penyelesaian sengketa 1. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang ditetapkan da/am Bagian XV dari Konvensi berlaku mutatis mutandis bagi setiap sengketa diantara Negara-negara Pihak Persetujuan ini mengenai interpretasi atau penerapan Persetujuan ini, apakah mereka menjadi Pihak­-pihak atau tidak dalam Konvensi. 2. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang ditetapkan dalam Bagian XV dari Konvensi berlaku mutatis mutandis bagi setiap sengketa diantara Negara-negara pihak Persetujuan ini mengenai interpretasi atau penerapan Persetujuan, dari Persetujuan perikanan sub regional, regional atau global berkaitan dengan sediaan ikan yang beruaya terbatas atau sediaan ikan yang beruaya jauh dimana mereka menjadi pihak­pihak, termasuk setiap sengketa mengenai konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut baik mereka menjadi pihak-pihak atau tidak dari Konvensi. 3. Setiap prosedur yang diterima oleh suatu negara pihak untuk Persetujuan ini dan Konvensi berdasarkan Pasal 287 dari Konvensi harus menerapkan pada penyelesaian sengketa di bawah Bagian ini, kecuali Negara Pihak, pada saat menandatangani, meratifikasi atau aksesi pada Persetujuan ini, atau waktu selanjutnya, telah menerima prosedur lain berdasarkan Pasal 287 untuk penyelesaian sengketa di bawah Bagian ini. 4. Suatu Negara Pihak pada Persetujuan ini yang tidak menjadi pihak dari Konvensi, pada saat menandatangani, meratifikasi atau aksesi terhadap Persetujuan ini, atau waktu lain sesudahnya, harus bebas untuk memilih, melalui suatu pernyataan tertulis, satu atau beberapa cara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 287 ayat (1), dari Konvensi untuk penyelesaian sengketa di bawah Bagian ini. Pasal 287 harus diterapkan pada pernyataan tersebut, demikian juga untuk setiap sengketa dimana negara tersebut menjadi pihak yang tidak dilindungi oleh pernyataan yang berlaku. Untuk tujuan konsiliasi dan arbitrasi sesuai Lampiran V, VII dan VIII, dari Konvensi, negara tersebut harus berhak untuk mengusulkan konsiliator, arbiter dan tenaga ahli untuk dimasukkan keda/lam daftar sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V, Pasal 2, Lampiran VII, Pasal 2, dan Lampiran VIII, Pasal 2, untuk penyelesaian sengketa di bawah Bagian i i. 5. Setiap pengadilan atau tribunal dimana sengketa telah diajukan dibawah Bagian ini harus menerapkan ketentuan-ketentuan yang terkait dari Konvensi, 90 Persetujuan ini dan persetujuan perikanan sub regional, regional atau global yang terkait, dan juga standar-standar yang diterima umum untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati laut dan ketentuan internasional lainnya yang tidak sesuai dengan Konvensi, dengan maksud untuk menjamin konservasi terhadap sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh terkait. Pasal 31 Tindakan-tindakan tambahan 1. Sementara menunggu penyelesaian sengketa sesuai dengan Bagian ini, pihak­pihak dalam sengketa tersebut harus membuat setiap usaha untuk menuju pada pengaturan-pengaturan tambahan yang sifatnya praktis. 2. Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 287 Konvensi, pengadilan atau tribunal dimana sengketa telah diajukan dibawah Bagian ini dapat menentukan tindakan-tindakan tambahan yang dipertimbangkan dibawah situasi untuk melindungi masing-masing hak dari para pihak yang bersengketa atau untuk mencegah rusaknya sediaan yang menjadi sengketa, dan juga situasi sebagaimana dimaksud da/am Pasal 7 ayat (5), dan Pasal 16 ayat (2). 3. Suatu Negara Pihak pada Persetujuan i ni yang tidak menjadi Pihak pada Konvensi dapat menyatakan bahwa, walaupun ada Pasal 290 ayat (5) dari Konvensi, tribunal internasional untuk hukum laut tidak berhak untuk menentukan, merubah atau menarik kembali tindakan-tindakan tambahan tanpa persetujuan dari negara tersebut. Pasal 32 Batas penerapan prosedur bagi penyelesaian sengketa Pasal 297 ayat (3), dari Konvensi berlaku juga untuk Persetujuan ini. BAGIAN IX BUKAN PIHAK PADA PERSETUJUAN INI Pasal 33 Bukan pihak pada Persetujuan mnl 1. Negara-negara pihak harus mendorong bukan pihak pada Persetujuan ini untuk menjadi pihak dan menyetujui hukum dan peraturan perundang­undangan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. 91 2. Negara-negara pihak harus mengambil tindakan sesuai dengan Persetujuan ini dan hukum internasional untuk mencegah kegiatan-kegiatan kapal-kapal yang mengibarkan bendera dari bukan pihak yang mengurangi pelaksanaan yang efektif dari Persetujuan ini. BAGIAN X IKTIKAD BAIK DAN PENYALAHGUNAAN HAK Pasal 34 Iktikad balk dan penyalahgunaan hak Negara-negara Pihak harus memenuhi dengan iktikad baik kewajiban-kewajiban yang dibebankan di bawah Persetujuan ini dan harus melaksanakan hak-hak yang diakui dalam Persetujuan ini dengan cara yang tidak akan menyebabkan terjadinya penyalahgunaan hak. BAGIAN XI KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB Pasal 35 Kewajlban dan tanggung jawab Negara-negara Pihak bertanggung jawab sesuai dengan hukum internasional terhadap kerusakan atau kerugian yang dibebankan pada mereka berdasarkan Persetujuan ini. BAGIAN XII KONFERENSI PENINJAUAN Pasal 36 Konferensl penlnjauan 1. Empat tahun setelah tanggal berlakunya Persetujuan ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengadakan suatu Konferensi dengan maksud untuk menilai efektifitas dari Persetujuan ini dalam menjamin konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Sekretaris Jenderal harus mengundang pada Konferensi tersebut seluruh negara pihak dan Negara-negara dan lembaga­-lembaga yang berhak menjadi 92 pihak pada Persetujuan ini dan juga organisasi antarpemerintah dan organisasiorganisasi non pemerintah yang berhak untuk berpartisipasi sebagai peninjau. 2. Konferensi harus memperbaiki dan menilai ketercukupan dari ketentuan­ ketentuan Persetujuan ini dan, jika perlu, mengusulkan cara-cara memperkuat substansi dan metode pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut dengan maksud baik untuk membicarakan setiap permasalahan yang berlanjut dalam konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. BAGIAN XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Penandatanganan Persetujuan ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua negara dan lembaga­-lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) poin (b), dan akan tetap terbuka untuk penandatanganan pada Markas Besar Perserikatan Bangsa­ Bangsa selama 12 (dua belas) bulan dari tanggal 14 Desember 1995. Pasal 38 Ratifikasi Persetujuan ini memerlukan ratifikasi oleh Negara-negara dan lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) poin (b). Piagam ratifikasi harus didepositkan pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 39 Aksesi Persetujuan ini tetap terbuka untuk aksesi oleh Negara-negara dan lembaga­lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) poin (b). Piagam aksesi harus didepositkan pada Sekretariat Jenderal Bangsa-Bangsa. Pasal 40 Saat mulai berlaku 1. Perjanjian ini berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pendeposit piagam ratifikasi atau aksesi yang ke 30. 93 2. Bagi setiap negara atau lembaga yang meratifikasi atau aksesi pada Persetujuan ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, Persetujuan ini mulai berlaku pada hari ke 30 (tiga puluh) setelah saat pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya. Pasal 41 Penerapan tambahan 1. Persetujuan ini harus diterapkan dengan tambahan oleh suatu negara atau lembaga yang menyetujui penerapan tambahannya melalui pemberitahuan pendepositan tertulis. Penerapan tambahan tersebut berlaku pada hari diterimanya pemberitahuan tersebut. 2. Penerapan tambahan oleh suatu negara atau lembaga mengakhiri berlakunya Persetujuan ini untuk negara atau lembaga tersebut atau melalui pemberitahuan oleh negara atau lembaga tersebut kepada depositari secara tertulis atas maksudnya untuk mengakhiri penerapan tambahan. Pasal 42 Pensyaratan dan pengecualian Tidak ada pensyaratan atau pengecualian yang diajukan terhadap Persetujuan ini. Pasal 43 Deklarasi dan Pernyataan Pasal 42 tidak menghalangi suatu negara atau lembaga, ketika menandatangani, meratifikasi atau aksesi pada Persetujuan ini, membuat deklarasi-deklarasi atau pernyataan-pernyataan, bagaimanapun dirumuskan atau dinamakan dengan maksud, antara lain untuk menyelaraskan hukum dan perundang-undangannya dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini, asalkan deklarasi atau pernyataan demikian tidak dimaksudkan untuk mengenyampingkan atau mengubah akibat hukum daripada ketentuan-ketentuan Persetujuan ini dalam penerapannya terhadap negara atau lembaga tersebut. Pasal 44 Hubungan dengan persetujuan-persetujuan lain 1. Persetujuan ini tidak mengubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara­ negara pihak yang timbul dari persetujuan-persetujuan lain yang sejalan dengan 94 Persetujuan ini dan tidak mempengaruhi dinikmatinya hak-hak atau pelaksanaan kewajiban-kewajiban oleh Negara-negara pihak lain berdasarkan Persetujuan ini. 2. Dua atau lebih Negara Pihak dapat membuat persetujuan-persetujuan yang merubah atau menunda berlakunya ketentuan-ketentuan Persetujuan ini, yang dapat diterapkan hanya terhadap hubungan antara mereka, asalkan persetujuan demikian tidak berkenaan dengan suatu ketentuan yang penyimpangan daripadanya tidak sejalan dengan pelaksanaan yang efektif dan maksud serta tujuan Persetujuan ini, dan asalkan selanjutnya persetujuan-persetujuan demikian tidak mempengaruhi penerapan prinsip­prinsip dasar yang terkandung di dalam Persetujuan ini, dan bahwa ketentuan-ketentuan persetujuan demikian tidak mempengaruhi dinikmatinya hak-hak atau pelaksanaan atau kewajibankewajiban berdasarkan Persetujuan ini oleh Negara Pihak lain. 3. Negara-negara pihak yang bermaksud membuat suatu persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus memberitahu Negara-negara pihak lain melalui depositori Persetujuan ini mengenai maksud mereka untuk membuat persetujuan tersebut dan mengenai perubahan atau penundaan yang dimuat didalamnya. Pasal 45 Amandemen 1. Suatu Negara Pihak dapat, mengusulkan secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, usulan amandemen-amandemen tertentu terhadap Persetujuan ini dan meminta untuk diselenggarakannya suatu konferensi untuk membahas amandemen-amandemen yang diusulkan itu. Sekretaris Jenderal harus mengedarkan usul tersebut kepada semua Negara Pihak. Jika, dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diedarkannya usul tersebut, tidak kurang dari setengah Negara-Negara Pihak memberi jawaban yang mendukung permintaan itu, Sekretaris Jenderal harus menyelenggarakan konferensi tersebut. 2. Prosedur pengambilan keputusan yang diterapkan kepada konferensi yang membahas amandemen sesuai dengan ayat (1) harus sama dengan yang diterapkan pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, kecuali jika diputuskan lain oleh konferensi. Konferensi harus berusaha mencapai kesepakatan terhadap amandemen dengan cara konsensus dan tidak boleh ada pemungutan suara terhadap amandemen-amandemen tersebut sampai segala 95 usaha untuk mencapai konsensus telah habis ditempuh. 3. Sekali diterima, amandemen-amandemen terhadap Persetujuan ini harus terbuka bagi penandatanganan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Negara-negara Pihak selama 12 (dua belas) bulan sejak diterima, kecuali ditentukan lain dalam amandemen itu sendiri. 4. Pasal 38, Pasal 39, Pasal 47, dan Pasal 50 berlaku untuk semua amandemen terhadap Persetujuan ini. 5. Amandemen-amandemen terhadap Persetujuan ini harus mulai berlaku bagi Negara-negara Pihak yang meratifikasi atau mengaksesinya pada hari ke 30 (tiga puluh) setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi oleh dua pertiga Negara-negara pihak. Selanjutnya, bagi setiap negara pihak yang meratifikasi atau mengaksesi suatu amandemen setelah pendepositan sejumlah piagam yang dipersyaratkan, amandemen tersebut mulai berlaku pada hari ke 30 setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya. 6. Suatu amandemen dapat menentukan bahwa untuk berlakunya amandemen itu diperlukan jumlah ratifikasi atau aksesi yang lebih kecil atau aksesi yang lebih besar daripada yang disyaratkan oleh Pasal ini. 7. Suatu negara yang menjadi pihak pada Persetujuan ini setelah mulai berlakunya suatu amandemen sesuai dengan ayat 5 harus, jika tidak ada suatu pernyataan niat yang berbeda oleh negara tersebut: (a) Dianggap sebagai pihak pada Persetujuan ini sebagaimana telah diamandemen; dan (b) Dianggap sebagai pihak pada Persetujuan yang belum diamandemenkan dalam hubungan dengan suatu Negara Pihak yang tidak terikat pada amandemen itu. Pasal 46 Penyangkalan 1. Suatu Negara Pihak dapat, dengan pemberitahuan secara tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyangkal Persetujuan ini dan dapat mengemukakan alasannya. Tidak adanya alasan yang dikemukakan tidak mempengaruhi keabsahan penyangkalan itu. Penyangkalan tersebut mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan itu, kecuali jika pemberitahuan itu menyebutkan tanggal yang kemudian. 96 2. Penyangkalan itu dengan cara apapun tidak mempengaruhi tugas Negara Pihak manapun untuk memenuhi kewajiban apapun yang terkandung dalam Persetujuan ini untuk mana negara tersebut tunduk pada hukum internasional terlepas dari Persetujuan ini. Pasal 47 Partisipasi organisasi internasional 1. Dalam hal suatu organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1, dari Konvensi tidak mempunyai kewenangan terhadap seluruh hal yang diatur oleh Persetujuan ini, Lampiran IX dari Konvensi berlaku mutatis mutandis bagi keikutsertaan oleh organisasi internasional tersebut dalam Persetujuan ini, kecuali ketentuan-ketentuan di bawah ini dalam Lampiran tersebut tidak berlaku: (a) Pasal 2, kalimat pertama; dan (b) Pasal 3 ayat (1). 2. Dalam hal suatu organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1, dari Konvensi mempunyai kewenangan terhadap seluruh hal yang diatur oleh Persetujuan ini, ketentuan-ketentuan berikut berlaku untuk keikutsertaan oleh organisasi internasional tersebut dalam Persetujuan ini: (a) pada saat penandatanganan atau aksesi, organisasi internasional tersebut harus membuat suatu pernyataan yang berisi: (i) bahwa dia memiliki kewenangan terhadap seluruh masalah yang diatur dalam Persetujuan ini; (ii) bahwa, untuk alasan ini, negara anggotanya tidak menjadi negara pihak, kecuali yang berkaitan dengan wilayah mereka dimana organisasi internasional tidak mempunyai tanggungjawab; dan (iii) bahwa dia menerima hak dan kewajiban dari Negara-negara dibawah Persetujuan ini; (b) Keikutsertaan dari organisasi internasional tersebut tidak membuat setiap hak dibawah Persetujuan ini bagi negara anggota dari organisasi internasional tersebut; (c) Dalam hal terdapat pertentangan diantara kewajiban-kewajiban dari suatu organisasi internasional di bawah Persetujuan ini, dan kewajiban­kewajibannya di bawah Persetujuan pendirian organisasi internasional atau setiap tindakan yang berkaitan dengannya, kewajiban di bawah Persetujuan ini harus diberlakukan. 97 Pasal 48 Lampiran-lampiran 1. Lampiran-lampiran merupakan bagian integral dari Persetujuan ini dan, kecuali dengan tegas ditentukan lain, suatu penunjukan kepada Persetujuan ini atau kepada salah satu Bagiannya termasuk penunjukan kepada Lampiran-lampiran yang bertalian dengannya. 2. Lampiran-lampiran tersebut dapat diubah dari waktu ke waktu oleh Negara­negara Pihak. Perubahan tersebut harus didasarkan pada pertimbangan­pertimbangan ilmiah dan teknis. Walaupun ada ketentuan Pasal 45, jika suatu perubahan terhadap suatu Lampiran disetujui melalui konsensus pada suatu pertemuan Negara-negara Pihak, perubahan tersebut harus disatukan dengan Persetujuan ini dan berlaku sejak tanggal persetujuannya atau pada tanggal lain yang ditetapkan dalam perubahan tersebut. Apabila suatu perubahan terhadap suatu lampiran tidak dapat disetujui melalui konsensus pada pertemuan tersebut, prosedur-prosedur amandemen sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 45 harus diberlakukan. Pasal 49 Depositari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah depositori Persetujuan ini dan amandemen-amandemen serta perubahan-perubahan terhadapnya. Pasal 50 Naskah Autentik Teks Bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol dari Persetujuan ini adalah sama-sama otentik. SEBAGAI TANDA BUKTI, yang Berkuasa Penuh yang bertanda tangan di bawah ini, yang dikuasakan sebagaimana mestinya untuk itu, telah menandatangani Persetujuan ini. TERBUKA UNTUK PENANDATANGANAN di New York, pada tanggal Empat Desember tahun Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh Lima, dalam satu naskah asli, dalam Bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. 98 LAMPIRAN I PERSYARATAN STANDAR UNTUK PENGUMPUIAN DAN PERTUKARAN DATA Pasal 1 Prinsip-prinsip umum 1. Pengumpulan, penghimpunan dan analisa data merupakan hal yang mendasar bagi konservasi dan pengelolaan yang efektif atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh. Untuk tujuan ini, data dari perikanan untuk sediaan tersebut di Laut Lepas dan yang terdapat di bawah yurisdiksi nasional dipersyaratkan dan harus dikumpulkan dan dihimpun sedemikian rupa sehingga memungkinkan ana/isa statistik yang berarti untuk tujuan konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan. Data-data tersebut termasuk statistik hasil tangkapan dan usaha perikanan dan informasi perikanan terkait lainnya, seperti data kapal dan data lain untuk standardisasi usaha perikanan. Data yang dikumpulkan juga harus termasuk informasi mengenai spesies non target dan berhubungan atau tergantung. Seluruh data harus diuji untuk menjamin keakuratan. Kerahasiaan dari data yang tidak dikumpulkan harus dijaga. Penyebarluasan data tersebut mengikuti persyaratan yang telah ditetapkan. 2. Bantuan, termasuk bantuan pelatihan dan keuangan serta teknis, harus disiapkan bagi Negara-negara berkembang dalam rangka untuk pengembangan kapasitas dalam bidang konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati laut. Bantuan harus difokuskan pada peningkatan kapasitas untuk pengumpu/an dan penguj ian data, program pengamat analisis data dan proyek penelitian yang mendukung penilaian sediaan. Kemungkinan keterlibatan ilmuwan dari negara berkembang dan manajer-manajer konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh harus dikembangkan. Pasal 2 Prinsip-prinsip pengumpulan data, kompilasi dan pertukaran Prinsip-prinsip umum berikut ini harus dipertimbangkan dalam menetapkan parameter-parameter pengumpulan, kompilasi dan pertukaran data tentang operasi penangkapan ikan terhadap sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh: 99 (a) Negara-negara harus memastikan bahwa data telah dikumpulkan dari kapalkapal memegang benderanya pada kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan sifat operasional yang khas setiap metoda penangkapan (misalnya, setiap individu mengendalikan pukat harimau (trawl), masing-masing memasang rawai (long line) dan pukat kantong (purse seine), masing-masing kelompok ne/ ayan dengan pole and line dan setiap kali menangkap ikan dengan pancing tali (trawl), dan dengan rincian yang mencakupi untuk memungkinkan pendugaan sediaan secara efektif. (b) Negara-negara hendaknya memastikan bahwa data perikanan dinilai melalui sistem yang memadai; (c) Negara-negara hendaknya mengompilasi data ilmiah yang terkait dengan perikanan atau data lainnya yang mendukung dan menyediakan data-data termaksud dalam format yang telah disepakati dan menurut waktu masa, bagi organisasi atau pengaturan konservasi dan pengelolaan perikanan regional dan sub-regional yang terkait yang ada; (d) Negara-negara hendaknya setuju, di dalam kerangka organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau regional, atau menurut spesifikasi data dan format dimana mereka itu disediakan, sesuai Lampiran ini dan mempertimbangkan sifat alami daripada sediaan dan perikanan bagi sediaan tersebut di wilayah itu. Organisasi atau pengaturan termaksud hendaknya meminta Negara-negara yang bukan anggota dan yang bukan Pihak agar menyediakan data tentang kegiatan penangkapan ikan yang terkait oleh kapalkapal penangkap ikan pemegang bendera mereka; (e) Organisasi atau pengaturan dimaksud harus mengompilasi data dan membuatnya tersedia dalam rujuk waktu dan dalam format yang te/ah disetujui bagi semua negara yang berminat menurut terminologi dan kondisi yang dibentuk oleh organisasi-organisasi atau pengaturan-pengaturan; dan (f) Para ilmuwan dari negara bendera dan dari organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan yang terkait regional atau sub-regional, hendaknya menganalisis data-data secara terpisah atau bersama-sama, sebagaimana layaknya. Pasal 3 Data dasar perikanan 1. Negara-negara harus mengumpulkan dan menyediakan bagi organisasi­organisasi atau pengaturan-pengaturan pengelolaan perikanan yang terkait regional atau 100 sub-regional;, tipe-tipe data di bawah ini dalam rincian yang memadai untuk memungkinkan pendugaan sediaan yang efektif sesuai dengan prosedur yang telah disepakati; (a) Statistik menurut urutan waktu dari hasil dan upaya penangkapan, d menurut perikanan dan armada; (b) Hasil penangkapan dalam angka, berat nominal atau kedua-duanya menurut spesies (target maupun non-target) sebagaimana layaknya bagi perikanan. (Berat nominal ditentukan oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations sebagai bobot hidup menurut spesies ekuiva/en ketika didaratkan); (c) Statistik hasil yang terbuang, tercakup perkiraan dimana perlu, dilaporkan sebagai jumlah atau nominal berat menurut spesies, sebagaimana layaknya da/am setiap perikanan; (d) Statistik upaya yang memadai bagi setiap metoda penangkapan; (e) Lokasi penangkapan ikan, tanggal dan waktu penangkapan dan lain-lain statistik tentang operasi penangkapan sebagaimana layaknya. 2. Negara-negara harus juga mengumpulkan informasi untuk mendukung pendugaan sediaan, apabila memadai untuk keperluan organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan yang terkait regional atau sub-regional, mencakup: (a) komposisi hasil tangkap menurut panjang, berat dan jenis kelamin; (b) informasi biologis lainnya yang mendukung pendugaan sediaan, seperti informasi tentang umur, pertumbuhan, rekrut, penyebaran dan kepadatan sediaan; dan (c) penelitian lain yang terkait, termasuk survei tentang kepadatan, survei biomassa, survei hidro-akustik, penelitian tentang faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan sediaan, dan studi tentang oseanografi dan ekologi. Pasal 4 Data tentang kapal dan informasi 1. Negara-negara hendaknya mengumpulkan data yang berkaitan dengan tipe kapal untuk standardisasi komposisi armada dan kekuatan/daya kapal penangkap ikan dan untuk mengubah berbagai ukuran upaya yang berbeda dalam analisis data hasil tangkapan dan upayanya: (a) identifikasi kapal, bendera dan pelabuhan tempat registrasi; 101 (b) tipe kapal; (a) spesifikasi kapal (misalnya, bahan konstruksi, tanggal pembuatan, panjang, yang tercatat, gros tonase yang tercatat, daya mesin utama, kapasitas muat dan metoda penyimpanan hasil tangkapan); dan (b) deskripsi alat tangkap (misalnya, tipe, spesifikasi alat tangkap d kuantitasnya). 2. Negara bendera akan mengumpulkan informasi berikut: (a) navigasi dan posisi tambahan yang tetap; (b) alat-alat komunikasi dan tanda panggilan radio internasional; d (c) ukuran banyaknya anak buah kapal (crew size). Pasal 5 Pelaporan Negara harus memastikan bahwa kapal-kapal yang berbendera negara mereka, mengirimkan kepada kantor perikanan nasionalnya, dan bila disetujui, (juga) kepada organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan yang terkait regional atau subregional, logbook data tentang penangkapan dan upaya penangkapan termasuk data tentang operasi-operasi penangkapan di lautan bebas, pada jarak waktu yang cukup sering, untuk memenuhi persyaratan nasional dan regional, dan sebagai kewajiban internasional. Data termasuk harus dikirimkan, dimana perlu, melalui radio, teleks, faksimile atau satelit atau dengan cara-cara lain. Pasal 6 Data verifikasi Negara-negara atau sebagaimana layaknya, organisasi-organisasi atau pengaturan-pengaturan pengelolaan perikanan regional atau sub-regional harus membentuk mekanisme untuk verifikasi data perikanan, seperti misalnya: (a) verifikasi posisi melalui sistem pemantauan kapal; (b) program-program pengamatan ilmiah untuk memantau penangkapan, upaya, komposisi penangkapan ikan (target dan non target) dan detail lain dari operasi penangkapan; (c) laporan-laporan tentang trip kapal, berlabuh dan pindah muatan; dan (a) sampling pelabuhan. 102 Pasal 7 Pertukaran data 1. Data yang dikumpulkan oleh Negara-negara Bendera harus dibagikan kepada Negara-negara Bendera lainnya dan Negara Pantai yang terkait melalui pengaturan-pengaturan atau organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional atau sub regional yang layak. Organisasi-organisasi atau pengaturan­ pengaturan tersebut harus mengompilasi data dan membuat data tersebut tersedia menurut urutan waktu dan dalam format yang telah disepakati kepada semua Negara-negara yang berminat di bawah terminologi dan kondisi yang dibentuk oleh pengaturan-pengaturan atau organisasi-organisasi, sementara itu juga memelihara kerahasiaan dari data non-agregat, dan hendaknya, sepanjang cukup layak (feasible), membuat sistem database yang memungkinkan akses yang efisien terhadap data itu. 2. Pada tataran global, pengumpulan dan penyiaran data hendaknya diefektifkan melalui Food and Agriculture Organization of the United Nations. Dimana organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau regional tidak ada, organisasi itu dapat juga melakukan hal yang sama pada tataran regional atau sub-regional oleh pengaturan dengan Negara-negara yang berkepentingan. 103 LAMPIRAN II PEDOMAN BAGI PELAKSANAAN TITIK-TITIK RUJUK PENCEGAHAN DALAM KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS DAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA JAUH 1. Titik-titik rujuk pencegahan (precautionary reference points) adalah nilai yang diperkirakan diperoleh dengan cara prosedur ilmiah yang disepakati, yang sesuai dengan negara sumber dan perikanannya, dan yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk bagi pengelolaan perikanan. 2. Dua tipe titik-titik rujuk pencegahan yang hendaknya dipergunakan: konservasi, atau batas, titik rujukan dan pengelolaan, atau target, titik-titik rujukan. Titik rujuk batas membentuk perbatasan yang dimaksudkan untuk memaksakan agar pemanenan da/lam batas biologis yang aman, dalam mana sediaan itu dapat menghasilkan hasil maksimum yang lestari. Titik rujuk target adalah dimaksudkan untuk mencapai pengelolaan yang obyektif. 3. Titik rujuk pencegahan hendaknya memikirkan kepada kekhususan sediaan, antara lain, bagi kapasitas reproduksinya, kekenyalan masing-masing sediaan dan karakteristik dari perikanan yang mengeksploitasi sediaan itu, bahkan juga lain-lain sumber mortalitas dan sumber-sumber utama dari ketidakpastiannya. 4. Strategi pengelolaan harus mencari cara untuk melestarikan atau mengembalikan populasi dari pada sediaan yang dipanen tersebut, dan dimana perlu spesies yang berdiri sendiri maupun yang berhubungan, pada tingkat yang konsisten dengan titik rujuk pencegahan yang telah disetujui sebelumnya. Titik rujukan termaksud harus dipergunakan untuk merangsang aksi pengelolaan dan konservasi yang sebelumnya telah disepakati. Strategi pengelolaan harus mencakup tindakantindakan yangdapat diimplementasikan bila pendekatan dengan titik rujukan pencegahan dilakukan. 5. Strategi pengelolaan perikanan harus memastikan bahwa risiko batas titik rujuk yang dilampaui amat rendah. Apabila suatu sediaan jatuh di bawah batas titik rujuk atau berada pada resiko jatuh di bawah titik rujuk termaksud, tindakan pengelolaan dan konservasi hendaknya dimulai untuk memungkinkan pemulihan sediaan itu. Strategi pengelolaan perikanan harus memastikan bahwa titik rujuk target secara rata-rata tidak di/ampaui. 104 6. Apabila informasi untuk menentukan titik-titik rujukan untuk suatu perikanan amat sedikit atau tidak ada, titik-titik rujuk pengaturan harus dibentuk. Titik rujuk pengaturan dapat dibentuk secara ana/og terhadap sediaan yang sama atau sediaan yang sudah lebih diketahui. 7. Derajat mortalitas perikanan yang membentuk hasil maksimum yang lestari hendaknya dianggap sebagai standar minimum untuk limit titik-titik rujuk. Bagi sediaan yang tidak ditangkap berlebih, strategi pengelolaan perikanan harus memastikan bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui hal yang setara dengan hasil maksimum lestari, dan bahwa biomassa tidak jatuh di bawah ambang yang telah ditetapkan. Terhadap sediaan yang ditangkap berlebih, biomassa yang menghasilkan hasil maksimum yang lestari dapat menjadi pembentuk kembali target. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 232, Pasal 238, Pasal 240, dan Pasal 243 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Lingkungan Maritim; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 105 106 1. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan pelayaran. 2. Pencegahan Pencemaran dari Kapal adalah upaya yang harus dilakukan Nakhoda dan/atau awak kapal sedini mungkin untuk menghindari atau mengurangi pencemaran tumpahan minyak, bahan cair beracun, muatan berbahaya dalam kemasan, limbah kotoran (sewage), sampah (garbage), dan gas buang dari kapal ke perairan dan udara. 3. Penanggulangan Pencemaran dari Pengoperasian Kapal adalah segala tindakan yang dilakukan secara cepat, tepat, dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan, mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari kapal ke perairan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. 4. Penanggulangan Pencemaran dari Kegiatan Kepelabuhanan adalah segala tindakan yang dilakukan secara cepat, tepat, dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan, mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari pelabuhan ke perairan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. 5. Minyak adalah minyak bumi dalam bentuk apapun termasuk minyak mentah, minyak bahan bakar, minyak kotor, kotoran minyak, dan hasil olahan pemurnian seperti berbagai jenis aspal, bahan bakar diesel, minyak pelumas, minyak tanah, bensin, minyak suling, naptha, dan sejenisnya. 6. Pengendalian Anti Teritip (Anti-Fouling Systems) adalah sejenis lapisan pelindung, cat, lapisan perawatan permukaan, atau peralatan yang digunakan di atas kapal untuk mengendalikan atau mencegah menempelnya organisme yang tidak diinginkan. 7. Pembuangan Limbah di Perairan adalah setiap pembuangan limbah atau benda lain ke perairan, baik berasal dari kapal maupun berupa kerangka kapal itu sendiri, kecuali pembuangan yang berasal dari operasi normal kapal. 8. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. 9. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah 107 permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindahpindah. 10. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil. 11. Nakhoda adalah salah seorang dari awak kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 12. Pemilik Kapal adalah orang perseorangan atau perusahaan yang terdaftar sebagai pemilik kapal atau yang bertanggung jawab atas nama pemilik kapal termasuk operator. 13. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. 14. Tangki Kapal adalah ruangan tertutup yang merupakan bagian dari konstruksi tetap kapal yang dipergunakan untuk menempatkan atau mengangkut cairan dalam bentuk curah temasuk tangki samping (wing tank), tangki bahan bakar (fuel tank), tangki tengah (centre tank), tangki air balas (water ballast tank) atau tangki dasar ganda (double bottom tank), tangki endap (slop tank), tangki minyak kotor (sludge tank), tangki dalam (deep tank), tangki bilga (bilge tank), dan tangki yang dipergunakan untuk memuat bahan cair beracun secara curah. 15. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 16. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda, serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. 17. Unit Kegiatan Lain adalah pengelola unit pengeboran minyak dan fasilitas penampungan minyak di perairan. 18. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan 108 pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran. Pasal 2 (1) Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim dilakukan oleh Menteri. (2) Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; dan b. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan ke­ pelabuhanan. (3) Selain pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan terhadap: a. pembuangan limbah di perairan; dan b. penutuhan kapal. BAB II PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENCEMARAN DARI PENGOPERASIAN KAPAL Bagian Kesatu Umum Pasal 3 (1) Setiap awak kapal wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapalnya. (2) Pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. minyak; b. bahan cair beracun; c. muatan bahan berbahaya dalam bentuk kemasan; d. kotoran; e. sampah; f. udara; 109 g. air balas; dan/atau h. barang dan bahan berbahaya bagi lingkungan yang ada di kapal. Pasal 4 (1) Dalam melakukan pencegahan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), awak kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil pada kapal dengan jenis dan ukuran tertentu harus memastikan: a. tersedianya buku catatan minyak untuk ruang mesin dan buku catatan minyak untuk ruang muat bagi kapal tangki minyak; b. tersedianya tangki penampung minyak kotor dengan baik; c. tersedianya manajemen pembuangan sampah dan bak penampung sampah; d. jenis bahan bakar yang digunakan tidak merusak lapisan ozon; e. terpasangnya peralatan pencegahan pencemaran yang berfungsi dengan baik untuk kapal dengan ukuran tertentu; f. tersedianya tangki penampungan atau alat penghancur kotoran untuk kapal dengan pelayar 15 (lima belas) orang atau lebih; g. tersedianya sistem pengemasan, penandaan (pelabelan), pendokumentasian yang baik, dan penempatan muatan sesuai dengan tata cara dan prosedur untuk kapal pengangkut bahan berbahaya dalam bentuk kemasan; h. tersedianya prosedur tetap penanggulangan pencemaran; dan i. tersedianya bahan kimia pengurai dan alat pelokalisir minyak. (2) Dalam melakukan penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), awak kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil wajib: a. melokalisir minyak dengan menggunakan alat pelokalisir minyak; b. menghisap minyak dengan alat penghisap minyak; c. menyerap minyak dengan bahan penyerap; d. menguraikan minyak dengan menyiramkan bahan kimia pengurai yang ramah lingkungan; dan e. melaporkan kepada Syahbandar terdekat dan/atau unsur pemerintah lainnya yang terdekat. Pasal 5 (1) Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah dan bahan lain dari pengoperasian kapal ke perairan. 110 (2) Limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. sisa minyak kotor; b. sampah; dan c. kotoran manusia. (3) Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. air balas; b. bahan kimia berbahaya dan beracun; dan c. bahan yang mengandung zat perusak ozon. (4) Limbah dan bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditampung di kapal dan dipindahkan ke fasilitas penampungan yang ada di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 6 (1) Limbah dan bahan lain yang ada di kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) hanya dapat dibuang ke perairan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. jarak pembuangan; b. volume pembuangan; dan c. kualitas buangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuangan limbah dan bahan lain yang ada di kapal diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Bagian Kedua Peralatan Pencegahan dan Bahan Penanggulangan Pencemaran di Kapal Pasal 7 (1) Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu wajib dilengkapi peralatan pencegahan dan bahan penanggulangan pencemaran di kapal. (2) Peralatan pencegahan pencemaran untuk kapal dengan jenis dan ukuran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. untuk kapal dengan ukuran GT 100 (seratus Gross Tonnage) atau lebih dan/ atau ukuran mesin penggerak utama 200 HP (dua ratus horse power) atau 111 lebih paling sedikit harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran oleh minyak yang meliputi: 1. peralatan pemisah air dan minyak (oily water separator); 2. tangki penampungan minyak kotor (sludge tank); dan 3. standar sambungan pembuangan (standard discharge connection); b. untuk kapal yang memuat bahan cair beracun paling sedikit harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran oleh bahan cair beracun yang meliputi: 1. pompa stripping; dan 2. tangki endap (slop tank); c. untuk kapal dengan pelayar 15 (lima belas) orang atau lebih harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran oleh kotoran yang meliputi: 1. alat pengolah kotoran; 2. alat penghancur kotoran; dan/atau 3. tangki penampung kotoran dan sambungan pembuangan standar; d. untuk setiap kapal paling sedikit harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran oleh sampah yang meliputi: 1. bak penampungan sampah; dan 2. penandaan; e. untuk kapal dengan ukuran GT 400 (empat ratus Gross Tonnage) atau lebih paling sedikit harus memiliki peralatan pencegahan pencemaran udara yang meliputi: 1. penyaring gas buang; dan 2. peralatan sistem pendingin dan pemadam kebakaran yang tidak menggunakan bahan perusak lapisan ozon. (3) Peralatan pencegahan dan bahan penanggulangan pencemaran untuk kapal dengan jenis dan ukuran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. c. d. alat pelokalisir minyak; alat penghisap minyak; bahan penyerap minyak; dan bahan pengurai minyak. (4) Peralatan pencegahan dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar teknis peralatan pencegahan dan bahan penanggulangan pencemaran yang ditetapkan oleh Menteri. 112 Bagian Ketiga Pengesahan Peralatan dan Bahan Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Pasal 8 (1) Untuk mengetahui kelengkapan dan terpenuhinya standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan pemeriksaan dan pengujian oleh Menteri. (2) Pemilik atau operator kapal harus mengajukan permohonan pemeriksaan dan pengujian kepada Menteri dengan disertai dokumen: a. fotokopi surat ukur dan sertifikat keselamatan; dan b. gambar instalasi peralatan di kapal. (3) Dalam hal hasil pemeriksaan dan pengujian memenuhi kelengkapan dan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri memberikan pengesahan dalam bentuk sertifikat. (4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (5) Dalam hal hasil pemeriksaan dan pengujian tidak memenuhi kelengkapan dan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon harus melengkapi dan memenuhi standar teknis. (6) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun dan sewaktu-waktu. Pasal 9 Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. Pasal 10 (1) Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 9 dilakukan pada pelabuhan atau terminal khusus yang terdapat petugas pemeriksa keselamatan kapal. (2) Dalam hal kapal berada pada pelabuhan atau terminal khusus yang tidak terdapat petugas pemeriksa keselamatan kapal, pemilik kapal dapat mendatangkan petugas pemeriksa keselamatan kapal atas persetujuan Menteri. 113 Pasal 11 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan, pengujian, dan pemberian sertifikat peralatan dan bahan pencegahan dan penanggulangan pencemaran diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pola Penanggulangan Keadaan Darurat Pencemaran di Kapal Pasal 12 (1) Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang dioperasikan wajib dilengkapi pola penanggulangan pencemaran minyak dari kapal. (2) Pola penanggulangan pencemaran minyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pemilik atau operator kapal. (3) Pola penanggulangan pencemaran minyak dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a. pola penanggulangan keadaan darurat pencemaran oleh minyak (Shipboard Oil Pollution Prevention Emergency Plan/SOPEP); atau b. pola penanggulangan keadaan darurat untuk muatan berbahaya selain minyak (Shipboard Marine Pollution Prevention Emergency Plan/SMPEP). (4) Pola penanggulangan keadaan darurat pencemaran di kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari pemilik atau operator kapal. BAB III PENCEGAHAN PENCEMARAN LINGKUNGAN YANG BERSUMBER DARI BARANG DAN BAHAN BERBAHAYA YANG ADA DI KAPAL Bagian Kesatu Pengendalian Anti Teritip Pasal 13 (1) Setiap kapal yang dioperasikan dengan ukuran GT 400 (empat ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal dengan ukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih wajib memenuhi standar sistem anti teritip yang ditetapkan oleh Menteri. 114 (2) Standar sistem anti teritip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tata cara pengecatan anti teritip dan bahan cat yang digunakan. (3) Kapal yang telah memenuhi standar sistem anti teritip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat pemenuhan standar sistem anti teritip diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Manajemen Air Balas di Kapal Pasal 14 (1) Setiap kapal yang dioperasikan dengan ukuran GT 400 (empat ratus Gross Tonnage) atau lebih wajib memenuhi standar manajemen air balas yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Standar manajemen air balas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tata cara pembuangan air balas dan peralatan pengolahan air balas. (3) Kapal yang telah memenuhi standar manajemen air balas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sertifikat pemenuhan standar manajemen air balas diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Standar Daya Tahan Pelindung Anti Karat Pasal 15 (1) Setiap kapal yang dioperasikan dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih wajib memenuhi standar daya tahan pelindung anti karat pada tangki air balas yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Standar daya tahan pelindung anti karat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tata cara pengecatan. (3) Kapal yang telah memenuhi standar daya tahan pelindung anti karat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan penerbitan sertifikat standar daya tahan pelindung anti karat diatur dengan Peraturan Menteri. 115 Bagian Keempat Pencucian Tangki Kapal Pasal 16 (1) Pencucian tangki kapal dapat dilakukan oleh: a. awak kapal; atau b. badan usaha yang bergerak di bidang pencucian tangki kapal. (2) Pencucian tangki kapal oleh awak kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal kapal dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan pencucian kapal. (3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib memiliki: a. izin usaha; dan b. izin kerja. (4) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi: 1. akte pendirian perusahaan; 2. nomor pokok wajib pajak; dan 3. surat keterangan domisili; b. teknis: 1. memiliki tenaga pencuci tangki kapal yang berpengalaman paling sedikit 2 (dua) orang; 2. memiliki atau menguasai peralatan dan perlengkapan pencucian tangki kapal yang terdiri atas: a) pompa cairan; b) blower; c) kompresor udara; d) e) f) g) h) i) j) k) l) detektor gas; pakaian tahan api dan perlengkapannya; masker gas; lampu pengaman; sepatu karet; peralatan pemadam kebakaran jinjing; alat pelokalisir minyak; bahan penyerap; cairan pengurai minyak; 116 m) kapal kerja; dan n) sarana penampung limbah. (5) Izin kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikeluarkan oleh Syahbandar setelah memiliki izin pengoperasian alat pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (6) Kapal yang tangkinya telah dicuci diberikan surat keterangan oleh Syahbandar. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha dan izin kerja pencucian tangki kapal (tank cleaning) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV PENCEGAHAN PENCEMARAN DARI KEGIATAN DI PELABUHAN Pasal 17 (1) Setiap pelabuhan yang dioperasikan wajib memenuhi persyaratan untuk mencegah timbulnya pencemaran yang bersumber dari kegiatan di pelabuhan termasuk di terminal khusus. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas: a. penampungan limbah; dan b. penampungan sampah. (3) Kegiatan di pelabuhan termasuk di terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan kepelabuhanan, pembangunan, perawatan, dan perbaikan kapal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis fasilitas pencegahan pencemaran di pelabuhan termasuk di terminal khusus diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PENANGGULANGAN PENCEMARAN DI PERAIRAN DAN PELABUHAN Bagian Kesatu Umum 117 Pasal 18 (1) Setiap kapal, unit kegiatan lain, dan kegiatan kepelabuhanan wajib memenuhi persyaratan penanggulangan pencemaran. (2) Persyaratan penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. prosedur; b. personil; c. peralatan dan bahan; dan d. latihan. Pasal 19 (1) Prosedur penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a terdiri atas: -frnrmyb. prosedur penanggulangan pencemaran tier 1; -frnrmya. prosedur penanggulangan pencemaran tier 2; dan -frnrmxz. prosedur penanggulangan pencemaran tier 3. (2) Setiap prosedur penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: -frnrmyb. struktur, tanggung jawab, tugas, fungsi, dan tata kerja organisasi operasional; -frnrmya. sistem pelaporan dan komunikasi; dan -frnrmxz. pedoman teknis operasi. Pasal 20 (1) Personil penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b diatur berdasarkan tingkat kompetensi yang terdiri atas: a. operator atau pelaksana; b. penyelia (supervisor) atau komando lapangan (on scene commander); dan c. manajer atau administrator. (2) Kompetensi personil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui pelatihan: a. tingkat 1, untuk personil operator; b. tingkat 2, untuk penyelia (supervisor) atau komando lapangan (on scene commander); dan c. tingkat 3, untuk manajer atau administrator. 118 Pasal 21 Peralatan dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c paling sedikit terdiri atas: a. alat pelokalisir (oil boom); b. alat penghisap (skimmer); c. alat penampung sementara (temporary storage); d. bahan penyerap (sorbent); dan e. bahan pengurai (dispersant). Pasal 22 (1) Latihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf d dilakukan untuk memastikan kesiapan dan kesiagaan personil, peralatan dan bahan penanggulangan pencemaran, serta uji coba prosedur yang telah ditetapkan. (2) Latihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. latihan komunikasi dan pelaporan; b. latihan kering (table top exercise); c. latihan penggelaran peralatan (deployment equipment exercise); dan d. latihan gabungan dan terpadu. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur, personil, peralatan dan bahan, serta latihan penanggulangan pencemaran diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Penanggulangan Pencemaran yang Bersumber dari Kapal, Unit Kegiatan Lain di Perairan, dan Kegiatan di Pelabuhan Pasal 24 (1) Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan bertanggung jawab menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kapal dan/atau kegiatannya. (2) Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan Pengelola Terminal Khusus wajib menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kegiatannya. 119 Pasal 25 Penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dengan cara: a. melaporkan terjadinya pencemaran kepada Syahbandar terdekat dan/atau unsur pemerintah lain yang terdekat; dan b. melakukan penanggulangan dengan menggunakan peralatan dan bahan yang dimiliki oleh kapal, unit kegiatan lain di perairan, pelabuhan termasuk terminal khusus, atau unsur lainnya sesuai dengan prosedur penanggulangan pencemaran yang disahkan oleh Menteri. Pasal 26 (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf a dilakukan dengan menggunakan alat komunikasi yang memuat informasi paling sedikit terdiri atas: a. tanggal dan waktu kejadian; b. jenis pencemaran; c. sumber dan penyebab pencemaran; d. posisi pencemaran; dan e. kondisi cuaca. (2) Prosedur penanggulangan pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b terdiri atas: b. pola penanggulangan pencemaran yang bersumber dari pengoperasian kapal; dan c. prosedur tanggap darurat penanggulangan pencemaran yang bersumber dari unit kegiatan lain dan kegiatan di pelabuhan termasuk di terminal khusus. Pasal 27 (1) Dalam hal terjadi pencemaran yang bersumber dari kapal atau unit kegiatan lain di perairan, Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan wajib melakukan penanggulangan pencemaran dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang berada di atas kapal atau unit kegiatan lain di perairan serta dilakukan sesuai dengan prosedur penanggulangan pencemaran yang bersumber dari pengoperasian kapal atau kegiatan lain di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). (2) Dalam hal personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran di atas kapal atau unit kegiatan lain di perairan, tidak mampu menanggulangi 120 pencemaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan segera melaporkan kepada Syahbandar untuk mengkoordinir penanggulangan berdasarkan tingkatan tier 1 dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia di pelabuhan. (3) Dalam hal personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia di pelabuhan tidak mampu menanggulangi pencemaran, Syahbandar melaporkan kepada Syahbandar yang ditunjuk sebagai koordinator wilayah untuk mengkoordinir penanggulangan berdasarkan tingkatan tier 2 dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia pada wilayahnya. Dalam hal personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran berdasarkan tingkatan tier 2 tidak mampu menanggulangi pencemaran atau pencemaran menyebar melintasi batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Syahbandar koordinator melaporkan kepada Menteri untuk mengkoordinir penanggulangan berdasarkan tingkatan tier 3 dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia pada tingkat nasional. Pasal 28 (1) Dalam hal terjadi pencemaran yang bersumber dari kegiatan di pelabuhan termasuk terminal khusus, Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, atau Pengelola Terminal Khusus wajib melakukan penanggulangan pencemaran dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang berada di pelabuhan termasuk terminal khusus yang dikoordinir oleh Syahbandar sesuai dengan prosedur penanggulangan pencemaran berdasarkan tingkatan tier 1. (2) Dalam hal personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia di pelabuhan tidak mampu menanggulangi pencemaran, Syahbandar melaporkan kepada Syahbandar yang ditunjuk sebagai koordinator wilayah untuk mengkoordinir penanggulangan berdasarkan tingkatan tier 2 dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia pada wilayahnya. (3) Dalam hal personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran berdasarkan tingkatan tier 2 tidak mampu menanggulangi pencemaran atau pencemaran menyebar melintasi batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Syahbandar koordinator melaporkan kepada Menteri 121 untuk mengkoordinir penanggulangan berdasarkan tingkatan tier 3 dengan menggunakan personil, peralatan, dan bahan penanggulangan pencemaran yang tersedia pada tingkat nasional. BAB VI TANGGUNG JAWAB PEMILIK ATAU OPERATOR KAPAL Pasal 29 (1) Pemilik, operator kapal, atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan bertanggung jawab atas biaya yang diperlukan dalam penanganan penanggulangan dan kerugian yang ditimbulkan akibat pencemaran yang bersumber dari kapal dan/atau kegiatan lainnya. (2) Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik, operator kapal, atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Pasal 30 (1) Pemilik atau operator kapal yang mengangkut muatan minyak wajib bertanggung jawab untuk mengganti kerugian pihak ketiga yang disebabkan oleh pencemaran minyak yang berasal dari kapalnya. (2) Pemilik atau operator kapal yang mengangkut muatan minyak secara curah lebih atau sama dengan 2.000 (dua ribu) ton wajib mengasuransikan tanggung jawabnya atas kerugian pihak ketiga yang disebabkan oleh pencemaran minyak yang berasal dari kapalnya. (3) Pemilik atau operator kapal dengan ukuran lebih atau sama dengan GT 1.000 (seribu Gross Tonnage) wajib mengasuransikan tanggung jawabnya untuk mengganti kerugian pihak ketiga yang disebabkan oleh pencemaran minyak yang berasal dari kegiatan pengisian bahan bakar (bunker) kapalnya. (4) Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dibuktikan dengan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran yang diterbitkan oleh Menteri. Pasal 31 Pemilik atau operator kapal yang mengangkut bahan pencemar selain minyak wajib bertanggung jawab untuk mengganti kerugian dan pemulihan lingkungan yang disebabkan karena pencemaran di perairan yang berasal dari kapalnya. 122 Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII LOKASI PEMBUANGAN LIMBAH DI PERAIRAN Pasal 33 (1) Pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan di: a. alur-pelayaran; b. kawasan lindung; c. kawasan suaka alam; d. taman nasional; e. taman wisata alam; f. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; g. sempadan pantai; h. kawasan terumbu karang; i. kawasan mangrove; j. kawasan perikanan dan budidaya; k. kawasan pemukiman; dan l. daerah lain yang sensitif terhadap pencemaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pembuangan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada institusi yang tugas dan fungsinya di bidang penjagaan laut dan pantai. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan lokasi pembuangan limbah di perairan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII SISTEM INFORMASI PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM Pasal 34 (1) Menteri menyelenggarakan sistem informasi perlindungan lingkungan maritim. (2) Sistem informasi perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai: 123 a. keberadaan bangunan di bawah air (kabel laut dan pipa laut); b. lokasi pembuangan limbah; dan c. lokasi penutuhan kapal. (3) Penyusunan sistem informasi perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan: a. pengumpulan; b. pengolahan; c. penyajian; d. penyebaran; dan e. penyimpanan data dan infomasi. Pasal 35 (1) Informasi keberadaan bangunan di bawah air (kabel laut dan pipa laut) meliputi: a. jalur kabel laut dan pipa laut; b. penempatan kabel laut dan pipa laut; c. diameter kabel laut dan pipa laut; d. jangka waktu pemanfaatan; dan e. peruntukkan kabel laut dan pipa laut. (2) Informasi lokasi pembuangan limbah meliputi: a. lokasi pembuangan limbah di pelabuhan; dan b. lokasi pembuangan limbah di perairan. (3) Informasi lokasi penutuhan kapal meliputi: a. lokasi penutuhan kapal di pelabuhan; dan b. lokasi penutuhan kapal di perairan. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan sistem informasi perlindungan lingkungan maritim diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 37 Pemilik atau operator kapal yang tidak melengkapi kapalnya dengan pola penanggulangan pencemaran minyak dari kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 12 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, untuk jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari; b. apabila sampai pada peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada huruf a berakhir tidak melaksanakan kewajibannya, dikenai sanksi berupa pembekuan izin usaha angkutan laut atau izin operasi angkutan laut khusus; dan c. apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b belum memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi berupa pencabutan izin usaha angkutan laut atau izin operasi angkutan laut khusus. Pasal 38 Setiap Badan Usaha Pelabuhan, badan usaha yang melakukan kegiatan di pelabuhan, pengelola terminal khusus, atau pengelola terminal untuk kepentingan sendiri yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) atau Pasal 18 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, untuk jangka waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari; b. apabila sampai pada peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada huruf a berakhir tidak melaksanakan kewajibannya, dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan usaha Badan Usaha Pelabuhan, badan usaha yang melakukan kegiatan di pelabuhan, kegiatan pengoperasian terminal khusus, atau pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri; dan c. apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b belum memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi berupa pencabutan izin usaha Badan Usaha Pelabuhan, izin badan usaha yang melakukan kegiatan di pelabuhan, izin operasi terminal khusus, atau persetujuan pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri. Pasal 39 (1) Setiap Nakhoda yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sertifikat keahlian pelaut selama 1 (satu) tahun. (2) Penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan yang tidak melaksanakan 125 kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a yang mengakibatkan pencemaran lingkungan di perairan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dikenai sanksi denda administratif sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundangundangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan maritim dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 41 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 27 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM I. UMUM Angkutan laut sebagai salah satu moda transportasi, selain memiliki peran sebagai sarana pengangkutan yang secara nasional dapat menjangkau seluruh wilayah melalui perairan sehingga dapat menunjang, mendorong, dan menggerakan pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar dalam upaya meningkatkan dan memeratakan pembangunan dan hasilnya, namun juga memiliki potensi terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di laut, baik yang diakibatkana oleh pengoperasian kapal maupun dari kegiatan kepelabuhanan. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan angkutan laut, baik nasional maupun internasional, maka pemanfaatan laut untuk lalu lintas pelayaran semakin meningkat, khususnya dalam kegiatan pengangkutan barang-barang yang berpotensi mencemari dan/atau merusak lingkungan hidup di laut, yang disebabkan oleh minyak, bahan cair berbahaya dan beracun dalam bentuk curah, maupun bentuk kemasan dengan jumlah yang besar, dan potensi pencemaran dari pengoperasian kapal-kapal motor yang tidak dapat dihindari, seperti minyak kotor dan gas buang dari permesinan kapal serta limbah kotoran dan sampah serta kecelakaan kapal, seperti tubrukan, kandas, dan kebocoran. Untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup akibat pengoperasian kapal maupun kegiatan kepelabuhanan dan sebagai wujud dari penyelenggaraan transportasi yang berwawasan lingkungan, maka dipandang perlu untuk mengatur mengenai perlindungan lingkungan maritim 127 128 sebagai bagian dari kegiatan pelayaran yang merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan di perairan. Perlindungan lingkungan maritim meliputi kegiatan: a. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; b. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan serta industri pembangunan dan/atau pengerjaan kapal; c. pembuangan limbah di perairan; dan d. sanksi administratif. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “bahan cair beracun” adalah bahan cair yang mengandung racun sebagaimana yang diatur dalam ketentuan konvensi internasional MARPOL 73/78 tentang pencegahan pencemaran dari kapal yang terbagi dalam kategori X,Y,Z, dan OS (Other Substances/substansi lain). Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 129 Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan “udara” antara lain gas buang, zat-zat yang mengandung hallon, dan chloro fluoro carbon. Huruf g Yang dimaksud dengan “air balas” adalah air yang dibawa di atas kapal yang digunakan sebagai pengendali trim, kemiringan, keseimbangan, sarat, stabilitas, atau tekanan-tekanan yang diperlukan oleh kapal yang kemungkinan mengandung organisme air yang membahayakan dan bibit penyakit. Huruf h Barang dan bahan berbahaya bagi lingkungan yang ada di kapal antara lain barang atau bahan berbahaya dalam bentuk curah. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “buku sijil” adalah buku yang berisi daftar awak kapal yang bekerja di atas kapal sesuai dengan jabatannya setelah memenuhi persyaratan tertentu. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “bahan bakar yang digunakan tidak merusak lapisan ozon” adalah bahan bakar yang mengandung sulfur tidak lebih dari 4,5 % (empat koma lima per seratus) sesuai yang tercatat pada tanda terima bunker. Huruf e Cukup jelas. 130 Huruf f Yang dimaksud dengan “pelayar” adalah semua orang yang berada di atas kapal. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “menyerap minyak dengan bahan penyerap” adalah tindakan penanggulangan terhadap tumpahan minyak di atas kapal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. 131 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan ”sewaktu-waktu” adalah pemeriksaan yang dilakukan karena adanya sesuatu hal yang dianggap perlu seperti adanya pergantian konstruksi dan peralatan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengecatan anti teritip menggunakan cat anti teritip yang tidak mengandung tributyl tin compounds sesuai ketentuan pengendalian anti teritip (anti fouling system). Ayat (3) Cukup jelas. 132 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “manajemen air balas” adalah sistem manajemen proses mekanis, fisis, kimiawi, dan biologis yang dilakukan secara terpisah atau bersamaan untuk menghilangkan, mengurangi tingkat bahaya, atau menghindari pengambilan atau pembuangan organisme air yang membahayakan dan bibit penyakit yang berasal dari air balas dan endapannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “standar daya tahan pelindung anti karat” adalah Performance Standard for Protective Coating yang memuat ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan perlindungan tangki kapal dari karat atau korosi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. 133 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “fasilitas penampungan limbah” adalah fasilitas di pelabuhan yang berfungsi sebagai penampungan limbah dari pengoperasian kapal (minyak, bahan cair beracun, kotoran, sampah, dan air balas), kegiatan kepelabuhanan, industri pembangunan, dan/atau pengerjaan kapal. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Kegiatan kepelabuhanan, pembangunan, perawatan, dan perbaikan kapal termasuk kegiatan penutuhan kapal (ship recycling). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Huruf b Yang dimaksud dengan “tier 1” adalah kategorisasi penanggulangan pencemaran yang terjadi di perairan dan/atau pelabuhan yang bersumber dari kapal, unit kegiatan lain, dan kegiatan kepelabuhanan yang mampu ditangani oleh personil, peralatan, dan bahan yang tersedia pada unit kegiatan lain dan pelabuhan. Yang dimaksud dengan “tier 2” adalah kategorisasi penanggulangan pencemaran yang terjadi di perairan dan/atau pelabuhan yang bersumber dari kapal, unit kegiatan lain, dan kegiatan kepelabuhanan yang tidak mampu ditangani oleh personil, peralatan, dan bahan yang tersedia pada unit kegiatan lain dan pelabuhan berdasarkan tingkatan tier 1. Huruf c Yang dimaksud dengan “tier 3” adalah kategorisasi penanggulangan pencemaran yang terjadi di perairan dan/atau pelabuhan yang bersumber 134 dari kapal, unit kegiatan lain, dan kegiatan kepelabuhanan yang tidak mampu ditangani oleh personil, peralatan, dan bahan yang tersedia di suatu wilayah berdasarkan tingkatan tier 2 atau menyebar melintasi batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “latihan kering (table top exercise)” adalah latihan yang dilakukan di darat. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. 135 Pasal 25 Huruf a Yang dimaksud dengan “unsur pemerintah lain” meliputi: 1. Kementerian Lingkungan Hidup; 2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 3. Kementerian Dalam Negeri; 4. Kementerian Kelautan dan Perikanan; 5. Kementerian Kesehatan; 6. Kementerian Kehutanan; 7. Kementerian Keuangan; 8. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Tentara Nasional Indonesia; 10. Kepolisian Negara Republik Indonesia; 11. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; 12. Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian BBM dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa; dan 13. gubernur atau bupati/walikota terkait. Huruf b Yang dimaksud dengan “unsur lainnya” adalah instansi pemerintah atau badan usaha yang memiliki peralatan dan bahan penanggulangan pencemaran. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “alat komunikasi” adalah sarana komunikasi digunakan dalam setiap kegiatan yang terkait dengan penanggulangan pencemaran, antara lain radio, telepon, faximile, dan email. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. 136 Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mengganti kerugian” adalah penggantian kerugian terhadap pihak ketiga (Pemerintah dan masyarakat) yang menderita kerugian akibat pencemaran tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. 137 Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5109 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 39, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 58, Pasal 59 ayat (3), Pasal 268, dan Pasal 273 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 139 140 1. Angkutan di Perairan, Angkutan Laut Khusus, Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat, Pelayaran-Perintis, Kapal, Kapal Asing, Trayek, Agen Umum, Usaha Jasa Terkait, Pelabuhan, Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, Pelabuhan Pengumpan, Terminal Khusus, Badan Usaha, dan Setiap Orang adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849). 2. Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut. 3. Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional. 4. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut. 5. Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan/atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau. 6. Angkutan Sungai dan Danau Untuk Kepentingan Sendiri adalah kegiatan angkutan sungai dan danau yang dilakukan untuk melayani kepentingan sendiri dalam menunjang usaha pokoknya. 7. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. 8. Kapal Berbendera Indonesia adalah kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia. 9. Jaringan Trayek adalah kumpulan dari trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. 10. Trayek Tetap dan Teratur (liner) adalah pelayanan angkutan yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah. 141 11. Trayek Tidak Tetap dan Tidak Teratur (tramper) adalah pelayanan angkutan yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur. 12. Sub Agen adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal di pelabuhan atau terminal khusus tertentu yang ditunjuk oleh agen umum. 13. Perwakilan Perusahaan Angkutan Laut Asing (owner’s representative) adalah badan usaha atau perorangan warga negara Indonesia atau perorangan warga Negara asing yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing di luar negeri untuk mewakili kepentingan administrasinya di Indonesia. 14. Usaha Bongkar Muat Barang adalah kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan yang meliputi kegiatan stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery. 15. Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/ tongkang/truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat. 16. Cargodoring adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala-jala (ex tackle) di dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gudang/lapangan penumpukan barang atau sebaliknya. 17. Receiving/delivery adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/ tempat penumpukan di gudang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya. 18. Usaha Jasa Pengurusan Transportasi (freight forwarding) adalah kegiatan usaha yang ditujukan untuk semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui angkutan darat, kereta api, laut, dan/atau udara. 19. Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan adalah kegiatan usaha untuk memindahkan penumpang dan/atau barang dari dermaga ke kapal atau sebaliknya, dan dari kapal ke kapal di perairan pelabuhan. 20. Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Peralatan Jasa Terkait dengan Angkutan Laut adalah kegiatan usaha untuk menyediakan dan menyewakan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut dan/ atau alat apung untuk pelayanan kapal. 142 21. Usaha Tally Mandiri adalah kegiatan usaha jasa menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan mengenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan/atau pengangkut. 22. Usaha Depo Peti Kemas adalah kegiatan usaha yang meliputi penyimpanan, penumpukan, pembersihan, dan perbaikan peti kemas. 23. Usaha Pengelolaan Kapal (ship management) adalah kegiatan jasa pengelolaan kapal di bidang teknis kapal meliputi perawatan, persiapan docking, penyediaan suku cadang, perbekalan, pengawakan, asuransi, dan sertifikasi kelaiklautan kapal. 24. Usaha Perantara Jual Beli dan/atau Sewa Kapal (ship broker) adalah kegiatan usaha perantara jual beli kapal (sale and purchase) dan/atau sewa menyewa kapal (chartering). 25. Usaha Keagenan Awak Kapal (ship manning agency)adalah usaha jasa keagenan awak kapal yang meliputi rekruitmen dan penempatan di kapal sesuai kualifikasi. 26. Usaha Keagenan Kapal adalah kegiatan usaha jasa untuk mengurus kepentingan kapal perusahaan angkutan laut asing dan/atau kapal perusahaan angkutan laut nasional selama berada di Indonesia. 27. Usaha Perawatan dan Perbaikan Kapal (ship repairing and maintenance) adalah usaha jasa perawatan dan perbaikan kapal yang dilaksanakan di kapal dalam kondisi mengapung. 28. Barang adalah semua jenis komoditas termasuk ternak yang dibongkar/dimuat dari dan ke kapal. 29. Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri. 30. Perusahaan Angkutan Laut Asing adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum asing yang kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dari dan ke pelabuhan luar negeri. 31. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 143 32. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 33. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran. Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, angkutan penyeberangan, angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil, kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan, perizinan, penarifan, kewajiban dan tanggung jawab pengangkut, pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya, pemberdayaan industry angkutan di perairan, sistem informasi angkutan di perairan, dan sanksi administratif. BAB II ANGKUTAN LAUT Bagian Kesatu Umum Pasal 3 Angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas: a. angkutan laut dalam negeri; b. angkutan laut luar negeri; c. angkutan laut khusus; dan d. angkutan laut pelayaran-rakyat. Bagian Kedua Angkutan Laut Dalam Negeri Paragraf 1 Umum Pasal 4 Angkutan laut dalam negeri meliputi kegiatan: a. trayek angkutan laut dalam negeri; b. pengoperasian kapal pada jaringan trayek; dan 144 c. keagenan kapal angkutan laut dalam negeri. Pasal 5 (1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang antarpelabuhan laut serta kegiatan lainnya yang menggunakan kapal di wilayah perairan Indonesia. (3) Kegiatan lainnya yang menggunakan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dilakukan oleh kapal asing. (4) Kapal asing yang melakukan kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Paragraf 2 Kegiatan Trayek Angkutan Laut Dalam Negeri Pasal 6 (1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur. (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jaringan trayek. (3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. menyinggahi beberapa pelabuhan secara tetap dan teratur dengan berjadwal; dan b. kapal yang dioperasikan merupakan kapal penumpang, kapal petikemas, kapal barang umum, atau kapal Ro-Ro dengan pola trayek untuk masingmasing jenis kapal. (4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan: a. pengembangan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata; b. pengembangan wilayah dan/atau daerah; 145 c. rencana umum tata ruang; d. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi; dan e. perwujudan Wawasan Nusantara. Pasal 7 (1) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa angkutan laut. (2) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri. (3) Jaringan trayek tetap dan teratur disusun berdasarkan rencana trayek tetap dan teratur yang disampaikan oleh perusahaan angkutan laut nasional kepada Menteri dan usulan trayek dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional. (4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. (5) Jaringan trayek yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digambarkan dalam peta jaringan trayek dan diumumkan oleh Menteri pada forum koordinasi Informasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK) atau media cetak dan/atau elektronik. Pasal 8 (1) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dapat dilakukan perubahan berdasarkan usulan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan menambah 1 (satu) atau lebih trayek baru. (2) Penambahan trayek tetap dan teratur baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. adanya potensi kebutuhan jasa angkutan laut dengan perkiraan faktor muatan yang layak dan berkesinambungan; dan b. tersedianya fasilitas pelabuhan yang memadai atau lokasi lain yang ditunjuk untuk kegiatan bongkar muat barang dan naik/turun penumpang yang dapat menjamin keselamatan pelayaran. 146 Pasal 9 (1) Perusahaan angkutan laut nasional yang akan mengoperasikan kapal pada trayek yang belum ditetapkan dalam jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) harus memberitahukan rencana trayek tetap dan teratur kepada Menteri. (2) Rencana trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum ditetapkan dalam jaringan trayek dihimpun oleh Menteri sebagai bahan penyusunan jaringan trayek. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Kegiatan Pengoperasian Kapal Pada Jaringan Trayek Pasal 11 (1) Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan: a. kelaiklautan kapal; b. menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia; c. keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan; d. kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan e. tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan. (2) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. melaporkan pengoperasian kapalnya pada trayek tetap dan teratur kepada Menteri; b. mengumumkan jadwal kedatangan serta keberangkatan kapalnya kepada masyarakat; dan c. mengumumkan tarif, untuk kapal penumpang. (3) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melayani kegiatan angkutan laut pada trayek dimaksud untuk waktu paling sedikit 6 (enam) bulan. 147 Pasal 12 (1) Dalam keadaan tertentu, perusahaan angkutan laut nasional yang telah mengoperasikan kapalnya pada trayek tetap dan teratur dapat melakukan penyimpangan trayek berupa: a. omisi; dan b. deviasi. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: a. omisi dilakukan apabila: 1. kapal telah bermuatan penuh dari pelabuhan sebelumnya dalam suatu trayek yang bersangkutan; 2. tidak tersedia muatan di pelabuhan berikutnya; atau 3. kondisi cuaca buruk pada pelabuhan tujuan berikutnya; b. deviasi dilakukan apabila kapal yang dioperasikan pada trayek yang telah ditetapkan digunakan untuk mengangkut kepentingan yang ditugaskan oleh negara. Pasal 13 (1) Selain melakukan penyimpangan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) perusahaan angkutan laut nasional yang telah mengoperasikan kapalnya pada trayek tetap dan teratur dapat melakukan penggantian kapal atau substitusi. (2) Penggantian kapal atau substitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila: a. kapal mengalami kerusakan permanen; b. kapal sedang dalam perbaikan atau docking; atau c. kapal tidak sesuai dengan kondisi muatan. Pasal 14 Penyimpangan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan penggantian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib dilaporkan kepada Menteri. Pasal 15 Terhadap perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapalnya pada trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) diberikan insentif. 148 Pasal 16 (1) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. (2) Perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada Menteri. (3) Laporan pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan setiap 3 (tiga) bulan. Pasal 17 (1) Perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapalnya pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) hanya dapat mengangkut muatan: a. barang curah kering dan curah cair; b. barang yang sejenis; atau c. barang yang tidak sejenis untuk menunjang kegiatan tertentu. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk perusahaan pelayaran-rakyat yang mengoperasikan kapalnya pada trayek tidak tetap dan tidak teratur. Pasal 18 Pengangkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian pengangkutan. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengoperasian kapal pada trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur angkutan laut dalam negeri diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Kegiatan Keagenan Kapal Angkutan Laut Dalam Negeri Pasal 20 (1) Kapal angkutan laut dalam negeri yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya dapat diageni oleh perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional keagenan kapal. 149 (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional keagenan kapal di suatu pelabuhan, perusahaan angkutan laut nasional dapat menunjuk perusahaan pelayaran-rakyat sebagai agen. Pasal 21 Apabila di suatu pelabuhan atau terminal khusus tidak terdapat badan usaha yang dapat ditunjuk sebagai agen, Nakhoda kapal dapat langsung menghubungi instansi yang terkait untuk menyelesaikan segala urusan dan kepentingan kapalnya selama berada di pelabuhan atau terminal khusus. Bagian Ketiga Angkutan Laut Luar Negeri Paragraf 1 Umum Pasal 22 Angkutan laut luar negeri meliputi kegiatan: a. trayek angkutan laut luar negeri; b. angkutan laut lintas batas; c. keagenan umum kapal angkutan laut asing; dan d. perwakilan perusahaan angkutan laut asing. Pasal 23 (1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing. (2) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari: a. pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri; atau b. pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (3) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. 150 (4) Perusahaan angkutan laut asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum. (5) Perusahaan angkutan laut asing dilarang melakukan kegiatan angkutan laut antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia. (6) Perusahaan angkutan laut asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 24 (1) Kapal yang melakukan kegiatan angkutan laut luar negeri dapat melakukan kegiatan di pelabuhan atau terminal khusus dalam negeri yang belum ditetapkan sebagai pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dengan ketentuan wajib: a. menyinggahi pelabuhan atau terminal khusus terdekat yang terbuka bagi perdagangan luar negeri untuk melapor (check point) kepada petugas bea dan cukai, imigrasi, dan karantina; atau b. mendatangkan petugas bea dan cukai, imigrasi, dan karantina dari pelabuhan atau terminal khusus terdekat yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (2) Kapal yang melakukan angkutan laut luar negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 25 (1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pengangkutan barang impor milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. (3) Dalam hal jumlah dan kapasitas ruang kapal berbendera Indonesia untuk melayani kegiatan angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, perusahaan angkutan laut nasional dapat menggunakan kapal asing. 151 Paragraf 2 Kegiatan Trayek Angkutan Laut Luar Negeri Pasal 26 (1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dapat dilakukan dengan trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur. (2) Penentuan trayek angkutan laut dari dan ke luar negeri secara tetap dan teratur serta tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing. (3) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang mengoperasikan kapalnya dari dan ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara tetap dan teratur, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai rencana pengoperasian kapal dan realisasi kapal yang telah dioperasikan secara tetap dan teratur kepada Menteri dengan melampirkan: a. nama kapal yang melayani trayek tetap dan teratur; b. nama pelabuhan yang akan disinggahi dengan jadwal tetap dan teratur dalam jangka waktu paling sedikit 6 (enam) bulan sesuai jadwal pelayaran; dan c. realisasi pengoperasian kapal paling sedikit 6 (enam) bulan sesuai jadwal pelayaran. (4) Pemberitahuan tertulis oleh perusahaan angkutan laut asing yang mengoperasikan kapalnya dari dan ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan melalui agen umum di Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing. (5) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kapal yang dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. (6) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang mengoperasikan kapalnya untuk kegiatan angkutan laut luar negeri dalam trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila tidak dilayari pada trayek 152 dimaksud akan diperlakukan sebagai kapal dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur. Pasal 27 (1) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis setiap rencana kegiatan kapal yang akan dioperasikan dan realisasi kegiatan kapal yang telah dioperasikan untuk kegiatan angkutan laut luar negeri secara tidak tetap dan tidak teratur kepada Menteri. (2) Perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal yang dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 28 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan kapal pada trayek angkutan laut luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Kegiatan Angkutan Laut Lintas Batas Pasal 29 (1) Untuk memperlancar operasional kapal dan kepentingan perdagangan dengan negara tetangga dapat ditetapkan trayek angkutan laut lintas batas. (2) Trayek angkutan laut lintas batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri berdasarkan: a. usulan kelompok kerja sama sub-regional; dan b. jarak tempuh pelayaran tidak melebihi 150 (seratus lima puluh) mil laut. (3) Penempatan kapal pada trayek angkutan laut lintas batas dilakukan oleh: a. perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berukuran paling besar GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); dan b. perusahaan pelayaran-rakyat. 153 Paragraf 4 Kegiatan Keagenan Umum Kapal Angkutan Laut Asing Pasal 30 (1) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum. (2) Agen umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh: a. perusahaan nasional keagenan kapal; atau b. perusahaan angkutan laut nasional. (3) Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk sebagai agen umum yang tidak memiliki kantor cabang di pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, dapat menunjuk perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang berada di pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri sebagai sub agen. (4) Sub agen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengurus kepentingan kapal asing yang diageni oleh perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional selama berada di pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri. (5) Perusahaan angkutan laut asing yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal yang dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 31 Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk sebagai agen umum dilarang menggunakan ruang kapal asing yang diageninya, baik sebagian maupun keseluruhan, untuk mengangkut muatan dalam negeri. Pasal 32 (1) Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk sebagai agen umum, wajib melaporkan secara tertulis mengenai rencana kedatangan kapal asing yang diageninya kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: 154 a. nama kapal; b. nama pelabuhan yang akan disinggahi; c. surat penunjukan keagenan umum; d. waktu kedatangan dan keberangkatan kapal; e. rencana dan volume bongkar muat; dan f. daftar awak kapal (crew list). (3) Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk sebagai agen umum yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal yang diageninya dikenai sanksi tidak mendapatkan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 33 Kapal asing milik negara sahabat, kapal pesiar asing milik pribadi, atau badan internasional lain dapat menunjuk atau meminta bantuan kedutaan besar negara yang bersangkutan atau perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di perairan Indonesia. Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan rencana kedatangan kapal asing yang diageni oleh perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Perwakilan Perusahaan Angkutan Laut Asing Pasal 35 (1) Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia. (2) Perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk: a. badan hukum Indonesia; b. perorangan warga negara Indonesia; atau c. perorangan warga negara asing. 155 (3) Penunjukan perwakilan perusahaan angkutan laut asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. memiliki surat penunjukan sebagai perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang diketahui Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Konsulat Republik Indonesia di negara bersangkutan bagi warga negara asing; b. memiliki kartu izin tinggal sementara dari instansi terkait bagi warga negara asing; c. memiliki izin kerja dari instansi terkait bagi warga negara asing; d. melampirkan pas photo terbaru bagi perorangan; e. melampirkan daftar riwayat hidup dari perorangan yang ditunjuk sebagai perwakilan; dan f. memiliki surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang. (4) Perwakilan perusahaan angkutan laut asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan: a. pemantauan atas kapal perusahaannya selama beroperasi atau melakukan kegiatan di perairan dan/atau di pelabuhan Indonesia; b. pengawasan terhadap pelaksanaan tugas yang diberikan oleh perusahaan angkutan laut asing terhadap agen umumnya dalam melayani kapalnya di perairan dan/atau di pelabuhan atau terminal khusus; dan c. memberikan saran kepada agen umumnya. Pasal 36 (1) Perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang telah memenuhi semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) wajib didaftarkan oleh perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk sebagai agen umum perusahaan angkutan laut asing kepada Menteri. (2) Terhadap perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang telah memenuhi semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Menteri menerbitkan Certificate of Owner’s Representative. (3) Certificate of Owner’s Representative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Perwakilan perusahaan angkutan laut asing di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melakukan kegiatan keagenan kapal, booking muatan, dan kegiatan pencarian muatan. 156 Pasal 37 (1) Perusahaan angkutan laut nasional wajib menyampaikan pemberitahuan setiap kegiatan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan di luar negeri pada periode tertentu kepada Menteri. (2) Pengoperasian kapal berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari potensi armada nasional. Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan perwakilan perusahaan angkutan laut asing diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Angkutan Laut Khusus Pasal 39 (1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan usaha pokok di bidang: a. industri; b. kehutanan; c. pariwisata; d. pertambangan; e. pertanian; f. perikanan; g. salvage dan pekerjaan bawah air; h. pengerukan; i. jasa konstruksi; dan j. kegiatan penelitian, pendidikan, pelatihan, dan penyelenggaraan kegiatan sosial lainnya. 157 Pasal 40 (1) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilakukan sesuai dengan jenis kegiatan usaha pokoknya. (2) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan pengoperasian kapalnya kepada Menteri. (3) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus yang tidak menyampaikan laporan pengoperasian kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 41 (1) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/ atau mengangkut muatan atau barang umum, kecuali dalam keadaan tertentu berdasarkan izin dari Menteri. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. tidak tersedianya kapal; dan b. belum adanya perusahaan angkutan laut nasional yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan laut yang ada. (3) Izin penggunaan kapal angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara sampai dengan: a. tersedianya kapal; dan b. adanya perusahaan angkutan laut nasional yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan laut yang ada. Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pengoperasian kapal oleh pelaksana kegiatan angkutan laut khusus dan tata cara penerbitan izin penggunaan angkutan laut khusus mengangkut muatan atau barang umum diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 43 (1) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagai agen umum. 158 (2) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus hanya dapat menjadi agen umum bagi kapal yang melakukan kegiatan yang sejenis dengan usaha pokoknya. (3) Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kapal yang mengangkut bahan baku, peralatan produksi, dan/atau hasil produksi untuk kepentingan sendiri dalam menunjang usaha pokoknya. (4) Dalam hal pelaksana kegiatan angkutan laut asing tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kapal yang dioperasikan dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan atau terminal khusus. Pasal 44 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan keagenan angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat Pasal 45 (1) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Penggunaan kapal angkutan laut pelayaran-rakyat berbendera Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. kapal layar (KL) tradisional yang digerakkan sepenuhnya oleh tenaga angin; b. kapal layar motor (KLM) berukuran tertentu dengan tenaga mesin dan luas layar sesuai ketentuan; atau c. kapal motor (KM) dengan ukuran tertentu. Pasal 46 Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) termasuk di dalamnya kegiatan bongkar muat serta kegiatan ekspedisi muatan kapal laut, yang dapat dilakukan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. 159 Pasal 47 (1) Menteri melakukan pembinaan angkutan laut pelayaranrakyat agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional. (2) Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk: a. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau; b. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan c. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut nasional. (3) Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui: a. peningkatan keterampilan sumber daya manusia bagi pengusaha dan awak kapal di bidang nautis, teknis, radio, serta pengetahuan kepelautan melalui pendidikan/ pelatihan kepelautan yang diselenggarakan termasuk di pelabuhan sentra pelayaran-rakyat; b. peningkatan keterampilan manajemen bagi perusahaan berupa pendidikan di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga tingkat dasar di pelabuhan sentra pelayaran-rakyat; c. penetapan standarisasi bentuk, ukuran, konstruksi, dan tipe kapal disesuaikan dengan daerah dan/atau rute pelayaran yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi ekonomi maupun dari segi kelaiklautan kapalnya; dan d. kemudahan dalam hal pendirian usaha, operasional, dan penyiapan fasilitas pelabuhan serta keringanan tarif jasa kepelabuhanan. Pasal 48 (1) Armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan pada jaringan trayek angkutan dalam negeri dan trayek lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur. (2) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat yang menggunakan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur. 160 (3) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat yang menggunakan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c dilakukan dengan trayek tetap dan teratur. Pasal 49 Perusahaan pelayaran-rakyat dalam melakukan kegiatan angkutan laut secara tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dapat mengangkut muatan: a. barang umum; b. barang curah kering dan/atau curah cair; dan/atau c. barang yang sejenis, dalam jumlah tertentu, sesuai dengan kondisi kapal pelayaran-rakyat. Pasal 50 (1) Keagenan kapal perusahaan pelayaran-rakyat hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pelayaran-rakyat. (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan pelayaran-rakyat di suatu pelabuhan, perusahaan pelayaran-rakyat dapat menunjuk perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional. Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU Bagian Kesatu Umum Pasal 52 (1) Angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi kegiatan: a. angkutan sungai dan danau di dalam negeri; 161 b. angkutan sungai dan danau antara negara Republik Indonesia dengan negara tetangga; dan c. angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri. (2) Kegiatan angkutan sungai dan danau dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (3) Kegiatan angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dilakukan di laut, kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal. Bagian Kedua Kegiatan Angkutan Sungai dan Danau di Dalam Negeri Pasal 53 (1) Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a diselenggarakan dengan menggunakan: a. trayek tetap dan teratur; dan b. trayek tidak tetap dan tidak teratur. (2) Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam jaringan trayek. (3) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a. Menteri, untuk trayek antarprovinsi; b. gubernur, untuk trayek antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan c. bupati/walikota, untuk trayek dalam kabupaten/kota. (4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam menetapkan jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempertimbangkan: a. pengembangan wilayah potensi angkutan; dan b. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi. (5) Penetapan jaringan trayek angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah memenuhi persyaratan: 162 a. sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional; b. adanya kebutuhan angkutan; c. rencana dan/atau ketersediaan pelabuhan sungai dan danau; d. ketersediaan kapal sungai dan danau dengan spesifikasi teknis kapal sesuai fasilitas pelabuhan pada trayek yang akan dilayani; dan e. potensi perekonomian daerah. (6) Jaringan trayek angkutan sungai dan danau di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, digambarkan dalam peta jaringan dan diumumkan oleh Menteri. Pasal 54 (1) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) berfungsi untuk menghubungkan simpul: a. antarpelabuhan sungai; b. antarpelabuhan sungai dengan pelabuhan laut yang berada dalam satu alurpelayaran; atau c. antarpelabuhan danau. (2) Jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. trayek utama; dan b. trayek cabang. (3) Trayek utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menghubungkan antarpelabuhan sungai dan antarpelabuhan danau yang berfungsi sebagai pusat penyebaran. (4) Trayek cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menghubungkan antarpelabuhan sungai dan antarpelabuhan danau yang berfungsi sebagai pusat penyebaran dengan yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran atau antarpelabuhan sungai dan antarpelabuhan danau yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran. Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan trayek angkutan sungai dan danau di dalam negeri diatur dengan Peraturan Menteri. 163 Bagian Ketiga Kegiatan Angkutan Sungai dan Danau Antara Negara Republik Indonesia dan Negara Tetangga Pasal 56 (1) Kegiatan angkutan sungai dan danau antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang bersangkutan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: a. adanya kebutuhan angkutan sungai dan danau dari negara Republik Indonesia ke negara tetangga atau sebaliknya; dan b. tersedianya fasilitas pelabuhan sungai dan danau yang terletak berdekatan dengan batas wilayah negara Republik Indonesia dengan negara tetangga. (3) Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara 2 (dua) negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan. Bagian Keempat Kegiatan Angkutan Sungai dan Danau Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 57 Kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha untuk menunjang usaha pokoknya. Pasal 58 (1) Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib melaporkan pengoperasian kapalnya kepada bupati/walikota sesuai dengan lokasi usaha pokoknya. (2) Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri yang tidak menyampaikan laporan pengoperasian kapalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi tidak diberikan pelayanan di pelabuhan sungai dan danau. 164 Pasal 59 (1) Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau barang umum, kecuali dalam keadaan tertentu berdasarkan izin dari bupati/walikota. (2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. tidak tersedianya kapal; dan b. belum adanya perusahaan angkutan sungai dan danau yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan sungai dan danau yang ada. (3) Izin penggunaan kapal angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara sampai dengan: a. tersedianya kapal; dan b. adanya perusahaan angkutan sungai dan danau yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan sungai dan danau yang ada. Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV ANGKUTAN PENYEBERANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 61 (1) Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. (2) Kegiatan angkutan penyeberangan dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. 165 (3) Setiap kapal yang melayani angkutan penyeberangan wajib: a. memenuhi persyaratan teknis kelaiklautan dan persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan; b. memiliki spesifikasi teknis sesuai dengan fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan pada lintas yang dilayani; c. memiliki dan/atau mempekerjakan awak kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi yang diperlukan untuk kapal penyeberangan; d. memiliki fasilitas bagi kebutuhan awak kapal maupun penumpang dan kendaraan beserta muatannya; e. mencantumkan identitas perusahaan dan nama kapal yang ditempatkan pada bagian samping kiri dan kanan kapal; dan f. mencantumkan informasi atau petunjuk yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. diperlukan dengan (4) Angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. angkutan penyeberangan di dalam negeri; dan b. angkutan penyeberangan antara negara Republik Indonesia dan negara tetangga. Bagian Kedua Kegiatan Angkutan Penyeberangan di Dalam Negeri Pasal 62 (1) Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4) huruf a dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur dalam lintas penyeberangan. (2) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a. Menteri, untuk lintas penyeberangan antarprovinsi; b. gubernur, untuk lintas penyeberangan antarkabupaten/kota; dan c. bupati/walikota, untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota. (3) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam menetapkan lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempertimbangkan: a. pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan; 166 b. fungsi sebagai jembatan; c. hubungan antara dua pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan, antara pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan terminal penyeberangan, dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu; d. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya; e. rencana tata ruang wilayah; dan f. jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan intradan antarmoda. (4) Penetapan lintas penyeberangan selain mempertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan: a. sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional; b. adanya kebutuhan angkutan; c. rencana dan/atau ketersediaan terminal penyeberangan atau pelabuhan; d. ketersediaan kapal penyeberangan dengan spesifikasi teknis kapal sesuai fasilitas pelabuhan pada lintas yang akan dilayani; dan e. potensi perekonomian daerah. (5) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, digambarkan dalam peta lintas penyeberangan dan diumumkan oleh Menteri. Pasal 63 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan lintas penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Kegiatan Angkutan Penyeberangan Antara Negara Republik Indonesia dan Negara Tetangga Pasal 64 (1) Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang bersangkutan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: 167 a. adanya kebutuhan angkutan penyeberangan dari negara Republik Indonesia ke negara tetangga atau sebaliknya; dan b. tersedianya fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan yang terletak berdekatan dengan batas wilayah Negara Republik Indonesia dengan negara tetangga. (3) Angkutan penyeberangan yang dilakukan antara 2 (dua) negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara tetangga yang bersangkutan. Bagian Keempat Penempatan Kapal Pasal 65 Penempatan kapal yang akan dioperasikan pada lintas penyeberangan dilakukan dengan mempertimbangkan: a. adanya kebutuhan angkutan penyeberangan; dan b. tersedianya fasilitas pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan/ terminal penyeberangan. Pasal 66 (1) Penempatan kapal yang akan dioperasikan pada setiap lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. spesifikasi teknis lintas; b. spesifikasi teknis kapal; c. persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan; d. fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan; dan e. keseimbangan antara kebutuhan penyedia dan pengguna jasa angkutan. (2) Spesifikasi teknis lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. kondisi lintasan; b. perkiraan kapasitas lintas; c. kemampuan pelayanan alur; dan d. spesifikasi teknis terminal penyeberangan atau pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan. 168 (3) Spesifikasi teknis kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. ukuran kapal; b. pintu rampa; c. kecepatan kapal; dan d. mesin bantu sandar. (4) Persyaratan pelayanan minimal angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. persyaratan usaha; dan b. persyaratan pelayanan. (5) Fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit meliputi: a. jumlah dan jenis fasilitas sandar kapal; b. kolam pelabuhan; dan c. fasilitas naik turun penumpang dan kendaraan. (6) Keseimbangan antara kebutuhan penyedia dan pengguna jasa angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan keseimbangan antara permintaan jasa angkutan dengan sarana angkutan yang tersedia. Pasal 67 (1) Untuk penambahan kapasitas angkut pada setiap lintas penyeberangan, penempatan kapal dilakukan dengan mempertimbangkan: a. faktor muat rata-rata kapal pada lintas penyeberangan mencapai paling sedikit 65% (enam puluh lima per seratus) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun; b. kapal yang ditempatkan tidak dapat memenuhi jumlah muatan yang ada; c. jumlah kapal yang beroperasi kurang dari jumlah kapal yang diizinkan melayani lintas yang bersangkutan; d. kapasitas prasarana dan fasilitas pelabuhan laut yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan atau terminal penyeberangan yang tersedia; dan/atau e. tingkat kemampuan pelayanan alur. (2) Penambahan kapasitas angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di setiap lintas penyeberangan dilakukan dengan meningkatkan jumlah frekuensi pelayanan kapal. (3) Dalam hal frekuensi pelayanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah optimal, dapat dilakukan: 169 a. penambahan jumlah kapal; atau b. penggantian kapal dengan ukuran yang lebih besar. (4) Penambahan kapasitas angkut kapal pada setiap lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memperhatikan faktor muat rata-rata paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) per tahun dengan tidak menambah waktu sandar dan waktu layar dari masingmasing kapal. Pasal 68 (1) Setiap lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dilakukan evaluasi secara berkala. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui media cetak dan/atau elektronik. Pasal 69 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan penempatan kapal pada lintas penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V ANGKUTAN DI PERAIRAN UNTUK DAERAH MASIH TERTINGGAL DAN/ATAU WILAYAH TERPENCIL Bagian Kesatu Umum Pasal 70 (1) Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota. (2) Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran-perintis dan penugasan. (3) Kegiatan pelayaran-perintis dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan yang bergerak di bidang: a. angkutan laut; b. angkutan sungai dan danau; atau c. angkutan penyeberangan. 170 Bagian Kedua Pelayaran-Perintis Pasal 71 (1) Kegiatan pelayaran-perintis dilakukan untuk: a. menghubungkan daerah yang masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil yang belum berkembang dengan daerah yang sudah berkembang atau maju; b. menghubungkan daerah yang moda transportasi lainnya belum memadai; dan c. menghubungkan daerah yang secara komersial belum menguntungkan untuk dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan. (2) Kegiatan pelayaran-perintis yang dilakukan di daerah yang masih tertinggal dan/ atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan kriteria: a. belum dilayani oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau atau angkutan penyeberangan yang beroperasi secara tetap dan teratur; b. secara komersial belum menguntungkan; atau c. tingkat pendapatan perkapita penduduknya masih rendah. Pasal 72 (1) Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan dengan biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah. (2) Biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan subsidi sebesar selisih biaya pengoperasian kapal pelayaran-perintis yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan angkutan sungai dan danau, atau perusahaan angkutan penyeberangan dengan pendapatan dan/atau penghasilan uang tambang barang dan penumpang pada suatu trayek tertentu. (3) Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara kontrak jangka panjang dengan perusahaan angkutan di perairan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan 171 kelaiklautan kapal yang diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 73 Penyelenggaraan pelayaran-perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kegiatan pelayaranperintis diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penugasan Pasal 75 (1) Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dilakukan untuk: a. menjamin kesinambungan pelayanan angkutan di perairan; b. membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan angkutan di perairan; dan c. memperlancar arus mobilisasi penumpang dan barang. (2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik. (3) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a. Menteri, untuk tarif penumpang kelas ekonomi: 1. angkutan laut; 2. angkutan sungai dan danau antarprovinsi dan antarnegara; dan 3. angkutan penyeberangan antarprovinsi dan antarnegara; b. gubernur, untuk tarif penumpang kelas ekonomi: 1. angkutan sungai dan danau antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; dan 2. angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; c. bupati/walikota, untuk tarif penumpang kelas ekonomi: 1. angkutan sungai dan danau dalam kabupaten/kota; dan 172 2. angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota. (4) Dalam hal penugasan untuk angkutan sungai dan danau serta angkutan penyeberangan, pelaksanaannya diberikan kepada perusahaan angkutan di perairan yang memiliki izin usaha di bidang angkutan sungai dan danau serta angkutan penyeberangan. Pasal 76 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kegiatan penugasan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Trayek Angkutan di Perairan Untuk Daerah Masih Tertinggal dan/atau Wilayah Terpencil Pasal 77 (1) Kegiatan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dengan pelayaranperintis dan penugasan dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur. (2) Trayek angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan dilakukan evaluasi setiap tahun. (3) Menteri dalam menetapkan trayek angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempertimbangkan: a. keterpaduan intramoda transportasi laut dan antarmoda transportasi darat, laut, dan udara; b. usul dan saran pemerintah daerah setempat; c. kesiapan fasilitas pelabuhan atau tempat lain yang ditunjuk; d. kesiapan fasilitas keselamatan pelayaran; e. keterpaduan dengan program sektor lain; dan f. keterpaduan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Penempatan kapal untuk mengisi trayek angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan tipe dan ukuran kapal. 173 (5) Perusahaan angkutan laut nasional yang menyelenggarakan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dengan trayek tetap dan teratur hanya dimungkinkan melakukan penyimpangan trayek berupa omisi, deviasi, dan penggantian kapal atau substitusi karena alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2) berdasarkan izin dari Menteri. Pasal 78 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan trayek angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI KEGIATAN JASA TERKAIT DENGAN ANGKUTAN DI PERAIRAN Bagian Kesatu Umum Pasal 79 (1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan, dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. (2) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. bongkar muat barang; b. jasa pengurusan transportasi; c. angkutan perairan pelabuhan; d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut; e. tally mandiri; f. depo peti kemas; g. pengelolaan kapal; h. i. j. k. perantara jual beli dan/atau sewa kapal; keagenan awak kapal; keagenan kapal; dan perawatan dan perbaikan kapal. 174 Bagian Kedua Kegiatan Usaha Bongkar Muat Barang Pasal 80 (1) Kegiatan usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf a merupakan kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar dan muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan yang meliputi kegiatan stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery. (2) Kegiatan usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk bongkar muat barang di pelabuhan. (3) Selain badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan bongkar muat barang tertentu dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikannya. (4) Kegiatan bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut, izin usahanya melekat pada izin usaha pokoknya. (5) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi barang: a. milik penumpang; b. curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipa; c. curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conveyor atau sejenisnya; dan d. yang diangkut di atas kendaraan melalui kapal Ro-Ro. (6) Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan bongkar muat semua jenis barang apabila di pelabuhan tersebut tidak terdapat perusahaan bongkar muat barang. (7) Perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus memiliki kapal yang dilengkapi dengan peralatan bongkar muat barang dan tenaga ahli. Pasal 81 (1) Pelaksanaan kegiatan usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dilaksanakan dengan menggunakan peralatan bongkar muat oleh tenaga kerja bongkar muat. (2) Peralatan bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan laik operasi dan menjamin keselamatan kerja. 175 (3) Tenaga kerja bongkar muat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kompetensi di bidang bongkar muat. (4) Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan, Pemerintah, pemerintah daerah, atau badan hukum Indonesia dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang bongkar muat barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Kegiatan Usaha Jasa Pengurusan Transportasi Pasal 82 (1) Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. penerimaan; penyimpanan; sortasi; pengepakan; penandaan; pengukuran; penimbangan; penerbitan dokumen angkutan; i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. pengurusan penyelesaian dokumen; pemesanan ruangan pengangkut; pengiriman; pengelolaan pendistribusian; perhitungan biaya angkutan dan logistik; klaim; asuransi atas pengiriman barang; penyelesaian tagihan dan biaya lainnya yang diperlukan; penyediaan sistem informasi dan komunikasi; dan layanan logistik. (2) Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa pengurusan transportasi. 176 Bagian Keempat Kegiatan Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan Pasal 83 (1) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c merupakan kegiatan usaha untuk memindahkan penumpang dan/atau barang dari dermaga ke kapal atau sebaliknya, dan dari kapal ke kapal di perairan pelabuhan. (2) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha angkutan perairan pelabuhan. (3) Selain badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. (4) Kegiatan usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut, izin usahanya melekat pada izin usaha pokoknya. Bagian Kelima Kegiatan Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Peralatan Jasa Terkait Dengan Angkutan Laut Pasal 84 (1) Kegiatan usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d merupakan kegiatan usaha untuk menyediakan dan menyewakan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut dan/atau alat apung untuk pelayanan kapal. (2) Kegiatan usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut. Bagian Keenam Kegiatan Usaha Tally Mandiri 177 Pasal 85 (1) Kegiatan usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf e merupakan kegiatan jasa menghitung, mengukur, menimbang, dan membuat catatan mengenai muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan/ atau pengangkut. (2) Kegiatan usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha tally mandiri. (3) Kegiatan usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kapal pada kegiatan stevedoring terhadap setiap kapal nasional maupun kapal asing yang melakukan kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal di wilayah kerja pelabuhan. (4) Selain badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kegiatan tally dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat atau perusahaan jasa pengurusan transportasi, terbatas hanya untuk kegiatan cargodoring, receiving/delivery, stuffing, dan stripping peti kemas bagi kepentingannya sendiri. (5) Kegiatan tally sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa pengurusan transportasi, izin usahanya melekat pada izin usaha pokoknya. Bagian Ketujuh Kegiatan Usaha Depo Peti Kemas Pasal 86 (1) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf f meliputi: a. penyimpanan dan/atau penumpukan peti kemas; b. pembersihan atau pencucian, perawatan, dan perbaikan peti kemas; c. pemuatan dan pembongkaran less than container load cargo; dan d. kegiatan lain yang antara lain terdiri atas: 1. pemindahan; 2. pengaturan atau angsur; 3. penataan; 4. lift on lift off secara mekanik; 5. pelaksanaan survei; 178 6. pengemasan; 7. pelabelan; 8. pengikatan/pelepasan; 9. pemeriksaan fisik barang; 10. penerimaan; 11. penyampaian; dan 12. tempat penimbunan yang peruntukkannya untuk kegiatan depo peti kemas dalam pengawasan kepabeanan. (2) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha depo peti kemas. (3) Kegiatan usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah lingkungan kerja pelabuhan. Bagian Kedelapan Kegiatan Usaha Pengelolaan Kapal Pasal 87 (1) Kegiatan usaha pengelolaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf g merupakan kegiatan pengelolaan kapal di bidang teknis kapal meliputi perawatan, persiapan docking, penyediaan suku cadang, perbekalan, pengawakan, asuransi, dan sertifikasi kelaiklautan kapal. (2) Kegiatan usaha pengelolaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha pengelolaan kapal. Bagian Kesembilan Kegiatan Usaha Perantara Jual Beli dan/atau Sewa Kapal Pasal 88 (1) Kegiatan usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf h merupakan kegiatan usaha perantara jual beli kapal dan/atau sewa menyewa kapal. (2) Kegiatan usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal. 179 Bagian Kesepuluh Kegiatan Usaha Keagenan Awak Kapal Pasal 89 (1) Kegiatan usaha keagenan awak kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf i merupakan kegiatan rekruitmen awak kapal dan penempatannya di kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Kegiatan usaha keagenan awak kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha keagenan awak kapal. Bagian Kesebelas Kegiatan Usaha Keagenan Kapal Pasal 90 (1) Kegiatan usaha keagenan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf j merupakan kegiatan mengurus kepentingan kapal perusahaan angkutan laut asing dan/atau kapal perusahaan angkutan laut nasional selama berada di Indonesia. (2) Kegiatan usaha keagenan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh: a. perusahaan nasional keagenan kapal; atau b. perusahaan angkutan laut nasional. (3) Kegiatan keagenan kapal yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, izin usahanya melekat pada izin usaha pokoknya. Bagian Keduabelas Kegiatan Usaha Perawatan dan Perbaikan Kapal Pasal 91 (1) Kegiatan usaha perawatan dan perbaikan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf k merupakan kegiatan perawatan dan perbaikan kapal yang dilaksanakan di kapal dalam kondisi mengapung. 180 (2) Kegiatan usaha perawatan dan perbaikan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha perawatan dan perbaikan kapal. BAB VII PERIZINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 92 Badan usaha atau orang perseorangan warga Negara Indonesia yang akan melakukan kegiatan usaha angkutan di perairan wajib memiliki: a. izin usaha angkutan di perairan; b. izin usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan; dan/atau c. izin operasi angkutan di perairan. Bagian Kedua Izin Usaha Angkutan di Perairan Paragraf 1 Umum Pasal 93 Izin usaha angkutan di perairan terdiri atas: a. izin usaha angkutan laut; b. izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat; c. izin usaha angkutan sungai dan danau; dan d. izin usaha angkutan penyeberangan. Paragraf 2 Izin Usaha Angkutan Laut Pasal 94 (1) Izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf a diberikan oleh: 181 a. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/ kota dalam wilayah provinsi; atau c. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. memiliki akta pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki penanggung jawab; d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang; dan e. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis, dan/atau teknis pelayaran niaga. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. memiliki kapal motor berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); b. memiliki kapal tunda berbendera Indonesia yang laik laut dengan daya motor penggerak paling kecil 150 (seratus lima puluh) tenaga kuda (TK) dengan tongkang berukuran paling kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); c. memiliki kapal tunda berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); atau d. memiliki tongkang bermesin berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage). (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan laut masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 182 Pasal 95 (1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan laut, badan usaha mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan laut dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) telah terpenuhi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan izin usaha angkutan laut. Pasal 96 (1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing, badan hukum asing, atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia paling sedikit 1 (satu) unit dengan ukuran paling kecil GT 5.000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan angkutan laut patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya. Pasal 97 (1) Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam izin usaha angkutan laut; 183 b. melakukan kegiatan operasional secara nyata dan terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan sejak izin usaha diterbitkan; c. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran serta ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menyediakan fasilitas untuk angkutan pos; e. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin apabila terjadi perubahan nama direktur utama atau nama penanggungjawab dan/atau nama pemilik, nomor pokok wajib pajak perusahaan, domisili perusahaan, dan status kepemilikan kapal paling lama 14 (empat belas) hari setelah terjadinya perubahan tersebut; f. memberikan prioritas akomodasi untuk taruna atau calon perwira yang melakukan praktek kerja laut; g. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin semua data kapal milik dan/atau kapal charter serta kapal yang dioperasikan; dan h. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin setiap pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut. (2) Pemegang izin perusahaan angkutan laut dalam melakukan kegiatan usahanya, wajib menyampaikan laporan: a. perkembangan komposisi kepemilikan modal perusahaan paling lama 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kepada pejabat pemberi izin; b. kinerja keuangan perusahaan paling lama 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kepada pejabat pemberi izin; c. kedatangan dan keberangkatan kapal (LK3), daftar muatan di atas kapal (cargo manifest) kepada Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat; d. bulanan kegiatan kunjungan kapal kepada Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat, paling lama dalam 14 (empat belas) hari pada bulan berikutnya yang merupakan rekapitulasi dari laporan kedatangan dan keberangkatan kapal; dan e. tahunan kegiatan perusahaan kepada pejabat pemberi izin, paling lama tanggal 1 Februari pada tahun berjalan yang merupakan rekapitulasi dari realisasi perjalanan kapal. Pasal 98 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha angkutan laut diatur dengan Peraturan Menteri. 184 Paragraf 3 Izin Usaha Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat Pasal 99 (1) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b diberikan oleh: a. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional; atau b. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. eknis. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. memiliki akta pendirian perusahaan bagi pemohon berbentuk badan usaha atau kartu tanda penduduk bagi orang perseorangan warga negara Indonesia yang mengajukan permohonan izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat; b. memiliki nomor pokok wajib pajak; c. memiliki penanggung jawab; d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang; dan e. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis tingkat dasar, atau teknis pelayaran niaga tingkat dasar. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. kapal layar (KL) berbendera Indonesia yang laik laut dan digerakkan sepenuhnya dengan tenaga angin; b. kapal layar motor (KLM) tradisional berbendera Indonesia yang laik laut berukuran sampai dengan GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) dan digerakkan oleh tenaga angin sebagai penggerak utama dan motor sebagai tenaga penggerak bantu; atau 185 c. kapal motor (KM) berbendera Indonesia yang laik laut berukuran paling kecil GT 7 (tujuh Gross Tonnage) serta paling besar GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) yang dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal yang masih berlaku. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan laut pelayaran-rakyat masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 100 (1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan laut pelayaranrakyat, orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) telah terpenuhi, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan izin usaha angkutan laut pelayaranrakyat. (7) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilaporkan oleh gubernur atau bupati/walikota secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. 186 Pasal 101 (1) Pemegang izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 6 (enam) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pelayaran serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin apabila terjadi perubahan nama direktur atau penanggung jawab atau pemilik dan domisili perusahaan, nomor pokok wajib pajak perusahaan serta status kepemilikan kapalnya paling lama 14 (empat belas) hari setelah terjadi perubahan; e. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin semua data kapal milik atau kapal yang dioperasikan; dan f. melaporkan secara tertulis kepada pejabat pemberi izin setiap pembukaan kantor cabang. (2) Pemegang izin perusahaan angkutan laut pelayaranrakyat dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menyampaikan: a. rencana kedatangan kapal paling lama 24 (dua puluh empat) jam sebelum kapal tiba di pelabuhan dan keberangkatan kapal setelah pemuatan/ pembongkaran selesai dilakukan dan menyelesaikan kewajiban lainnya di pelabuhan kepada Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat; b. laporan bulanan kegiatan kunjungan kapal kepada Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lama 14 (empat belas) hari pada bulan berikutnya yang merupakan rekapitulasi dari laporan kedatangan dan keberangkatan kapal; c. realisasi perjalanan kapal kepada pejabat pemberi izin bagi kapal dengan trayek tetap dan teratur paling lama 14 (empat belas) hari sejak kapal menyelesaikan 1 (satu) perjalanan (round voyage), sedangkan bagi kapal dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur pada setiap 1 (satu) bulan; dan d. laporan tahunan kegiatan perusahaan kepada pejabat pemberi izin dengan tembusan kepada Menteri paling lama tanggal 1 Februari pada tahun berjalan yang merupakan rekapitulasi dari laporan realisasi perjalanan kapal. 187 Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Izin Usaha Angkutan Sungai dan Danau Pasal 103 (1) Izin usaha angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf c diberikan oleh: a. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. bupati/walikota, sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akta pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk badan hukum Indonesia atau kartu tanda penduduk bagi warga negara Indonesia perorangan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak; c. memiliki penanggungjawab; d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang; dan e. pernyataan tertulis sanggup memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan sungai dan danau masih menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 104 (1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan sungai dan danau, setiap orang atau badan usaha mengajukan permohonan kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2). 188 (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan sungai dan danau dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) belum terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) telah terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan izin usaha angkutan sungai dan danau. Pasal 105 (1) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (5), kapal yang akan dioperasikan wajib memiliki izin trayek. (2) Izin trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh: a. Menteri, untuk kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara; b. gubernur, untuk kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi yang bersangkutan; atau c. bupati/walikota, untuk kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. (3) Izin trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memiliki kapal yang laik laut yang dibuktikan dengan grosse akta dan dilengkapi dengan rencana pola trayek. (4) Izin trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. 189 Pasal 106 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha dan izin trayek kapal angkutan sungai dan danau diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Izin Usaha Angkutan Penyeberangan Pasal 107 (1) Izin usaha angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf d diberikan oleh: a. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akta pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki penanggung jawab; d. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa berdasarkan surat keterangan domisili dari instansi yang berwenang; e. pernyataan tertulis sanggup memiliki kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal; dan f. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis, dan/atau teknis pelayaran niaga. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan penyeberangan masih menjalankan kegiatan usahanya. Pasal 108 (1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan penyeberangan, badan usaha mengajukan permohonan kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan 190 kewenangannya melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan penyeberangan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) belum terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah terpenuhi, Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan izin usaha angkutan penyeberangan. Pasal 109 (1) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (5), kapal yang akan dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal. (2) Persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh: a. Menteri, untuk kapal yang melayani penyeberangan antarprovinsi dan/atau antarnegara; b. gubernur, untuk kapal yang melayani penyeberangan antarkabupaten/kota dalam provinsi; atau c. bupati/walikota, untuk kapal yang melayani penyeberangan dalam kabupaten/kota provinsi. (3) Persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah memiliki kapal yang laik laut yang dibuktikan dengan grosse akta. (4) Persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 110 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha dan persetujuan pengoperasian kapal angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Menteri. 191 Bagian Ketiga Izin Usaha Jasa Terkait Dengan Angkutan di Perairan Paragraf 1 Umum Pasal 111 Izin usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan terdiri atas: a. izin usaha bongkar muat barang; b. izin usaha jasa pengurusan transportasi; c. izin usaha angkutan perairan pelabuhan; d. izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut; e. izin usaha tally mandiri; f. izin usaha depo peti kemas; g. izin usaha pengelolaan kapal; h. izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal; i. izin usaha keagenan awak kapal; j. izin usaha keagenan kapal; dan k. izin usaha perawatan dan perbaikan kapal. Paragraf 2 Izin Usaha Bongkar Muat Barang Pasal 112 (1) Izin usaha bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf a diberikan oleh gubernur pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. memiliki akta pendirian perusahaan; 192 b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. menempati tempat usaha, baik berupa milik sendiri maupun sewa, berdasarkan surat keterangan domisili perusahaan dari instansi yang berwenang; f. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ahli nautika atau ahli ketatalaksanaan pelayaran niaga; dan g. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat terhadap keseimbangan penyediaan dan permintaan kegiatan usaha bongkar muat. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memiliki peralatan bongkar muat berupa: a. forklift; b. pallet; c. ship side-net; d. rope sling; e. rope net; dan f. wire net. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama perusahaan bongkar muat masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur. (6) Izin usaha bongkar muat barang yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. Pasal 113 (1) Untuk memperoleh izin usaha bongkar muat barang, badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha bongkar muat barang dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. 193 (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha bongkar muat barang. Pasal 114 Perusahaan bongkar muat yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan rencana pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang kepada Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lama 1 (satu) hari sebelum kapal tiba di pelabuhan; e. menyampaikan laporan bulanan kegiatan bongkar muat barang kepada pemberi izin dan Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lama 14 (empat belas) hari pada bulan berikutnya; f. melaporkan secara tertulis kegiatan usahanya setiap tahun kepada pemberi izin dengan tembusan kepada Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat paling lambat tanggal 1 Februari pada tahun berikutnya; g. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan data pada izin usaha perusahaan kepada pemberi izin untuk dilakukan penyesuaian; dan h. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 115 (1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan bongkar muat asing, badan hukum asing, atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan bongkar muat nasional. 194 (2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan bongkar muat patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya. (3) Perusahaan pemegang izin usaha yang berbentuk usaha patungan dapat melakukan kegiatan bongkar muat barang hanya pada pelabuhan utama di satu wilayah provinsi. Pasal 116 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha bongkar muat barang diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Izin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi Pasal 117 (1) Izin usaha jasa pengurusan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf b diberikan oleh gubernur tempat perusahaan berdomisili. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi; f. memiliki tenaga ahli yang sesuai; dan g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan jasa pengurusan transportasi masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur. (4) Izin usaha jasa pengurusan transportasi yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. 195 Pasal 118 (1) Untuk memperoleh izin usaha jasa pengurusan transportasi, badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha jasa pengurusan transportasi dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha jasa pengurusan transportasi. Pasal 119 Perusahaan jasa pengurusan transportasi yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggungjawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 120 (1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan jasa pengurusan transportasi asing, badan 196 hukum asing, atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan jasa pengurusan transportasi nasional. (2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan jasa pengurusan transportasi patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya. Pasal 121 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha jasa pengurusan transportasi diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Izin Usaha Angkutan Perairan Pelabuhan Pasal 122 (1) Izin usaha angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf c diberikan oleh gubernur pada lokasi pelabuhan tempat kegiatan. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki tenaga ahli yang sesuai; f. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan g. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus memiliki kapal yang memenuhi persyaratan kelaiklautan. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan angkutan perairan pelabuhan masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur. 197 (6) Izin usaha angkutan perairan pelabuhan yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. Pasal 123 (1) Untuk memperoleh izin usaha angkutan perairan pelabuhan, badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha angkutan perairan pelabuhan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha angkutan perairan pelabuhan. Pasal 124 Perusahaan usaha angkutan perairan pelabuhan yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. 198 Pasal 125 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha angkutan perairan pelabuhan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 5 Izin Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Peralatan Jasa Terkait Dengan Angkutan Laut Pasal 126 (1) Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf d diberikan oleh gubernur pada tempat perusahaan berdomisili. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan teknologi; f. memiliki tenaga ahli yang sesuai; g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan h. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan setempat. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur. (4) Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. Pasal 127 (1) Untuk memperoleh izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut, badan usaha mengajukan permohonan kepada 199 gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut. Pasal 128 Perusahaan penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan kepada pemberi izin; e. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 129 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut diatur dengan Peraturan Menteri. 200 Paragraf 6 Izin Usaha Tally Mandiri Pasal 130 (1) Izin usaha tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf e diberikan oleh gubernur pada tempat perusahaan berdomisili. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki peralatan yang sesuai dengan perkembangan teknologi; f. memiliki tenaga ahli yang sesuai; g. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan h. memiliki surat rekomendasi/pendapat tertulis dari otoritas pelabuhan atau unit penyelenggaran pelabuhan setempat. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan tally mandiri masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur. (4) Izin usaha tally mandiri yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. Pasal 131 (1) Untuk memperoleh izin usaha tally mandiri, badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha tally mandiri dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. 201 (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) telah terpenuhi, gubernur menerbitkan izin usaha tally mandiri. Pasal 132 Perusahaan tally mandiri yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha tally mandiri diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 7 Izin Usaha Depo Peti Kemas Pasal 134 (1) Izin usaha depo peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf f diberikan oleh gubernur pada tempat perusahaan berdomisili. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. 202 (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; f. memiliki persetujuan studi lingkungan dari instansi pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dan provinsi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, termasuk di dalamnya kajian lalu lintas; g. memiliki rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dari bupati/walikota setempat; dan h. memiliki izin gangguan dan perlindungan masyarakat yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. menguasai lahan yang dibuktikan: 1. hak penguasaan atau kepemilikan untuk usaha depo peti kemas yang berada di luar daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan; dan 2. kerja sama dengan penyelenggara pelabuhan untuk usaha depo peti kemas yang berada di dalam daerah lingkungan kerja daratan pelabuhan. b. memiliki peralatan paling sedikit meliputi: 1. reach stacker; 2. top loader; 3. side loader; dan 4. forklift. c. memiliki tenaga ahli dengan kualifikasi ahli nautika, ahli ketatalaksanaan pelayaran niaga, atau ahli manajemen transportasi laut. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan depo peti kemas masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh gubernur. (6) Izin usaha depo peti kemas yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilaporkan oleh gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri untuk dijadikan bahan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan. 203 Pasal 135 (1) Untuk memperoleh izin usaha depo peti kemas, badan usaha mengajukan permohonan kepada gubernur disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha depo peti kemas dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, gubernur mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada gubernur setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi gubernur menerbitkan izin usaha depo peti kemas. Pasal 136 Perusahaan depo peti kemas yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 137 (1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan depo peti kemas asing, badan hukum asing, 204 atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan depo peti kemas nasional. (2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan depo peti kemas patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya. Pasal 138 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha depo peti kemas diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 8 Izin Usaha Pengelolaan Kapal Pasal 139 (1) Izin usaha pengelolaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf g diberikan oleh Menteri. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan f. memiliki tenaga ahli yang menguasai bidang pengelolaan kapal yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan pengelolaan kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri. Pasal 140 (1) Untuk memperoleh izin usaha pengelolaan kapal, badan usaha mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2). 205 (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha pengelolaan kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin usaha pengelolaan kapal. Pasal 141 Badan usaha pengelolaan kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 142 (1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan pengelolaan kapal asing, badan hukum asing, atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan pengelolaan kapal nasional. (2) Batasan kepemilikan modal asing dalam badan usaha pengelolaan kapal patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya. 206 Pasal 143 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha pengelolaan kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 9 Izin Usaha Perantara Jual Beli dan/atau Sewa Kapal Pasal 144 (1) Izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf h diberikan oleh Menteri. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan f. memiliki tenaga ahli di bidang perantara jual beli dan/atau sewa kapal yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan perantara jual beli dan/atau sewa kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri. Pasal 145 (1) Untuk memperoleh izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal, badan usaha mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. 207 (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal. Pasal 146 Perusahaan perantara jual beli dan/atau sewa kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 147 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha perantara jual beli dan/atau sewa kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 10 Izin Usaha Keagenan Awak kapal Pasal 148 (1) Izin usaha keagenan awak kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf i diberikan oleh Menteri. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; 208 d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan f. memiliki tenaga ahli di bidang kepelautan, ahli nautika, dan/atau ahli teknika. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan keagenan awak kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri. Pasal 149 (1) Untuk memperoleh izin usaha keagenan awak kapal, badan usaha mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha keagenan awak kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin usaha keagenan awak kapal. Pasal 150 Perusahaan keagenan awak kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ 209 atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 151 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha keagenan awak kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 11 Izin Usaha Keagenan Kapal Pasal 152 (1) Izin usaha keagenan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf j dalam melakukan kegiatan usahanya wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh Menteri. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan f. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan, nautis, dan/atau teknis pelayaran niaga. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan keagenan kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri. Pasal 153 (1) Untuk memperoleh izin usaha keagenan kapal, badan usaha mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha keagenan kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. 210 (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) telah terpenuhi Menteri menerbitkan izin usaha keagenan kapal. Pasal 154 Perusahaan keagenan kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 155 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha keagenan kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 12 Izin Usaha Perawatan dan Perbaikan Kapal Pasal 156 (1) Izin usaha perawatan dan perbaikan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 huruf k diberikan oleh bupati/walikota tempat perusahaan berdomisili. (2) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: 211 a. memiliki akte pendirian perusahaan; b. memiliki nomor pokok wajib pajak perusahaan; c. memiliki modal usaha; d. memiliki penanggung jawab; e. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan f. memiliki tenaga ahli di bidang perawatan dan perbaikan kapal. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama perusahaan perawatan dan perbaikan kapal masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh bupati/walikota. Pasal 157 (1) Untuk memperoleh izin usaha perawatan dan perbaikan kapal, badan usaha mengajukan permohonan kepada bupati/walikota disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin usaha perawatan dan perbaikan kapal dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) belum terpenuhi, bupati/walikota mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada bupati/walikota setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) telah terpenuhi bupati/walikota menerbitkan izin usaha perawatan dan perbaikan kapal. Pasal 158 Perusahaan perawatan dan perbaikan kapal yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; 212 d. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggung jawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan f. melaporkan secara tertulis setiap pembukaan kantor cabang. Pasal 159 (1) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan perawatan dan perbaikan kapal asing, badan hokum asing, atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan dengan membentuk perusahaan perawatan dan perbaikan kapal nasional. (2) Batasan kepemilikan modal asing dalam perusahaan perawatan dan perbaikan kapal patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan wajib dipenuhi selama perusahaan tersebut masih menjalankan usahanya. Pasal 160 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin usaha perawatan dan perbaikan kapal diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Izin Operasi Angkutan di Perairan Paragraf 1 Umum Pasal 161 Izin operasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf c terdiri atas: a. izin operasi angkutan laut khusus; dan b. izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri. Paragraf 2 Izin Operasi Angkutan Laut Khusus 213 Pasal 162 (1) Untuk dapat melakukan kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 huruf a, pelaksana kegiatan angkutan laut khusus wajib memiliki izin operasi yang diberikan oleh Menteri. (2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. (3) Persyaratan meliputi: a. memiliki b. memiliki c. memiliki administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a akte pendirian perusahaan; nomor pokok wajib pajak perusahaan; penanggung jawab; d. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan e. memiliki izin usaha dari instansi pembina usaha pokoknya. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran dan tipe kapal disesuaikan dengan jenis usaha pokoknya yang dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal; dan b. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga, nautika, dan/atau teknika. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama pelaksana kegiatan angkutan laut khusus masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Menteri. Pasal 163 (1) Untuk memperoleh izin operasi angkutan laut khusus, pelaksana kegiatan angkutan laut khusus mengajukan permohonan kepada Menteri disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin operasi angkutan laut khusus dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. 214 (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi, Menteri menerbitkan izin operasi angkutan laut khusus. Pasal 164 Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus yang telah mendapatkan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usahanya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 3 (tiga) bulan setelah izin usaha diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. memberikan prioritas akomodasi untuk taruna atau siswa yang melaksanakan praktek kerja laut; e. menyampaikan laporan bulanan secara tertulis kepada pemberi izin; f. melaporkan secara tertulis pengoperasian kapal milik dan atau kapal charter setiap 3 (tiga) bulan kepada pejabat pemberi izin; g. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan penanggungjawab dan/ atau pemilik perusahaan dan/atau domisili perusahaan kepada pemberi izin; dan h. melaporkan secara tertulis realisasi perjalanan kapal (voyage report) kepada pejabat pemberi izin. Pasal 165 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin operasi angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Menteri. 215 Paragraf 3 Izin Operasi Angkutan Sungai dan Danau Untuk Kepentingan Sendiri Pasal 166 (1) Untuk dapat melakukan kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri wajib memiliki izin operasi yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan domisili kegiatan usaha pokoknya. (2) Izin operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan: a. administrasi; dan b. teknis. (3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. memiliki akte pendirian perusahaan bagi yang berbentuk badan usaha; b. memiliki kartu tanda penduduk bagi orang perseorangan warga negara Indonesia; c. memiliki nomor pokok wajib pajak; d. memiliki surat keterangan domisili bagi yang berbentuk badan usaha; dan e. memiliki izin usaha dari instansi pembina usaha pokoknya. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran dan tipe kapal disesuaikan dengan jenis usaha pokoknya yang dibuktikan dengan salinan grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal; dan b. memiliki tenaga ahli di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga, nautika, dan/atau teknika. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri masih menjalankan kegiatan usahanya dan dievaluasi setiap 2 (dua) tahun sekali oleh bupati/ walikota. 216 Pasal 167 (1) Untuk memperoleh izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri, pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau mengajukan permohonan kepada bupati/walikota disertai dengan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (3) dan ayat (4). (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bupati/walikota melakukan penelitian atas persyaratan permohonan izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterima permohonan secara lengkap. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (3) dan ayat (4) belum terpenuhi, bupati/walikota mengembalikan permohonan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan. (4) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan kembali kepada bupati/walikota setelah permohonan dilengkapi. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (3) dan ayat (4) telah terpenuhi bupati/walikota menerbitkan izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri. Pasal 168 Pelaksana kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri yang telah mendapat izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (5) wajib: a. melaksanakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin operasinya; b. melakukan kegiatan operasional secara terus menerus paling lama 6 (enam) bulan setelah izin operasi diterbitkan; c. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelayaran dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; d. melaporkan secara tertulis kegiatan operasinya setiap tahun kepada pemberi izin; dan e. melaporkan secara tertulis apabila terjadi perubahan nama penganggung jawab, pemilik perusahaan, atau domisili perusahaan. Pasal 169 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan izin operasi angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Menteri. 217 BAB VIII PENARIFAN Bagian Kesatu Tarif Angkutan Penumpang dan Tarif Angkutan Barang Pasal 170 Tarif angkutan di perairan terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang. Pasal 171 (1) Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 terdiri atas jenis tarif untuk: a. kelas ekonomi; dan b. kelas non-ekonomi. (2) Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri. (3) Tarif angkutan penumpang non-ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan. Pasal 172 (1) Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas jenis tarif untuk: a. barang yang sesuai bentuk dan sifatnya memerlukan penanganan secara umum; b. barang khusus yang karena sifat dan ukurannya memerlukan penanganan khusus antara lain kayu gelondongan, barang curah, rel, dan ternak; c. barang berbahaya yang karena sifat, ciri khas, dan keadaannya dapat membahayakan jiwa manusia dan lingkungan yang dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, dan bahan gas; dan 218 d. kendaraan beserta muatannya yang diangkut kapal Ro-Ro. (3) Struktur tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kerangka tarif yang dikaitkan dengan: a. kekhususan jenis barang; b. bentuk kemasan; c. volume atau berat barang; dan d. jarak atau waktu tempuh. Pasal 173 Golongan tarif angkutan barang di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan: a. jenis barang yang diangkut; b. jenis pelayanan; c. klasifikasi; dan d. fasilitas angkutan. Pasal 174 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan barang di perairan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Tarif Usaha Jasa Terkait Dengan Angkutan di Perairan Pasal 175 (1) Tarif usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa terkait sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Jenis tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. tarif bongkar muat barang; b. tarif jasa pengurusan transportasi; c. tarif angkutan perairan pelabuhan; d. tarif penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut; 219 e. tarif tally mandiri; f. tarif depo peti kemas; g. tarif pengelolaan kapal; h. tarif perantara jual beli dan/atau sewa kapal; i. tarif keagenan awak kapal; j. tarif keagenan kapal; dan k. tarif perawatan dan perbaikan kapal. (3) Struktur tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan komponen dasar untuk pedoman perhitungan besaran tarif. (4) Golongan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan jasa, klasifikasi, dan fasilitas yang disediakan oleh penyedia jasa terkait. Pasal 176 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT Bagian Kesatu Wajib Angkut Pasal 177 (1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan. (2) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang atau dokumen muatan. (3) Sebelum melaksanakan pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan angkutan di perairan harus memastikan: a. sarana angkutan kapal telah memenuhi persyaratan kelaiklautan; b. sarana angkutan kapal telah diisi bahan bakar dan air tawar yang cukup serta dilengkapi dengan pasokan logistik; c. ruang penumpang, ruang muatan, ruang pendingin, dan tempat penyimpanan 220 lain di kapal cukup memadai dan aman untuk ditempati penumpang dan/ atau dimuati barang; dan d. cara pemuatan, penanganan, penyimpanan, penumpukan, dan pembongkaran barang dan/atau naik atau turun penumpang dilakukan secara cermat dan berhati-hati. Pasal 178 (1) Pada saat menyerahkan barang untuk diangkut, pemilik atau pengirim barang harus: a. memberitahu pengangkut mengenai ciri-ciri umum barang yang akan diangkut dan cara penanganannya apabila pengangkut menghendaki demikian; dan b. memberi tanda atau label secara memadai terhadap barang khusus serta barang berbahaya dan beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemilik atau pengirim barang bertanggung jawab sepenuhnya mengenai kebenaran pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan perusahaan angkutan di perairan berhak menolak untuk mengangkut barang apabila pemilik barang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 179 (1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional. (2) Pelaksanaan mobilisasi armada niaga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Tanggung Jawab Pengangkut Pasal 180 (1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. (2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/ atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati. 221 Pasal 181 (1) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut; c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau d. kerugian pihak ketiga. (3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Batas tanggung jawab untuk pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Batas tanggung jawab keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Batas tanggung jawab atas kerugian pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. (7) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya. Pasal 182 (1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia. (2) Fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyediaan: a. sarana khusus bagi penyandang cacat untuk naik ke atau turun dari kapal; 222 b. sarana khusus bagi penyandang cacat selama di kapal; c. sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur; dan d. fasilitas khusus bagi penumpang yang mengidap penyakit menular. (3) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian prioritas: a. untuk mendapatkan tiket angkutan; dan b. pelayanan untuk naik ke dan turun dari kapal. (4) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan. Pasal 183 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar fasilitas dan kemudahan bagi penumpang penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia diatur dengan Peraturan Menteri. BAB X PENGANGKUTAN BARANG KHUSUS DAN BARANG BERBAHAYA Pasal 184 (1) Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan kapal yang dirancang khusus dan memenuhi persyaratan: a. penanganan bongkar muat, penumpukan, dan penyimpanan selama berada di kapal serta pengemasan, penumpukan, dan penyimpanan di pelabuhan; b. keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik nasional maupun internasional, bagi kapal khusus pengangkut barang berbahaya; dan c. pemberian tanda tertentu sesuai dengan barang berbahaya yang diangkut. Pasal 185 (1) Barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) dapat berupa: a. kayu gelondongan; b. barang curah; 223 c. rel; dan d. ternak. (2) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) berbentuk: a. bahan cair; b. bahan padat; dan c. bahan gas. Pasal 186 Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (2) diklasifikasikan sebagai berikut: a. bahan atau barang peledak (explosive); b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified, or dissolved under pressure); c. cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids); d. bahan atau barang padat mudah menyala atau terbakar (flammable solids); e. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances); f. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances); g. bahan atau barang radioaktif (radioactive material); h. bahan atau barang perusak (corrosive substances); dan i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances). Pasal 187 Penanganan pengangkutan, penumpukan, penyimpanan, dan bongkar muat barang khusus dan barang berbahaya dari dan ke kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2) huruf a, dilakukan oleh tenaga kerja yang memiliki kompetensi dan dilengkapi dengan fasilitas keselamatan. Pasal 188 Pemilik, operator, dan/atau agen perusahaan angkutan laut yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar sebelum kapal pengangkut barang khusus dan/atau barang berbahaya tiba di pelabuhan. 224 Pasal 189 Badan Usaha Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan harus menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan barang khusus dan barang berbahaya untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan barang berbahaya di pelabuhan. Pasal 190 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan dan penanganan di pelabuhan terhadap barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XI PEMBERDAYAAN INDUSTRI ANGKUTAN PERAIRAN NASIONAL Pasal 191 (1) Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait. (2) Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar tersedia armada nasional yang memadai sebagai infrastruktur dalam rangka pelaksanaan asas cabotage untuk angkutan di perairan dalam negeri dan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar untuk angkutan di perairan luar negeri. Pasal 192 (1) Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan: a. memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan; b. memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal; dan c. memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan. (2) Pemberian fasilitas pembiayaan dan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 225 a. mengembangkan lembaga keuangan non-bank khusus untuk pembiayaan pengadaan armada niaga nasional; b. memfasilitasi tersedianya pembiayaan bagi pengembangan armada niaga nasional, baik yang berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan nonbank, dengan kondisi pinjaman yang menarik; dan c. memberikan insentif fiskal bagi pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional. (3) Fasilitas Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah dengan: a. mewajibkan pengangkutan barang atau muatan impor milik Pemerintah yang pengadaannya dilakukan oleh importir menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan perairan nasional; dan b. memfasilitasi agar syarat perdagangan muatan ekspor untuk jenis muatan atau barang tertentu sehingga pengangkutannya dilakukan oleh perusahaan angkutan perairan nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia. (4) Pemberian jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyediakan bahan bakar minyak sesuai dengan trayek dan jumlah hari layar kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang mengoperasikan kapal berbendera Indonesia dan melakukan kegiatan angkutan laut dalam negeri. Pasal 193 Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah dengan: a. menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu; b. mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan industri kapal nasional; c. mengembangkan standarisasi dan komponen kapal dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan local dan melakukan alih teknologi; d. mengembangkan industri bahan baku dan komponen kapal; e. memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal dari luar negeri; 226 f. membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah; g. sebanyak-banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan alih teknologi; dan h. memelihara dan mereparasi kapal pada industry perkapalan nasional yang biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Pasal 194 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pengadaan armada niaga nasional, fasilitas Pemerintah dalam pemberdayaan industri pelayaran nasional dan perkuatan industri perkapalan nasional diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XII SISTEM INFORMASI ANGKUTAN DI PERAIRAN Pasal 195 (1) Sistem informasi angkutan di perairan mencakup pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi angkutan di perairan. (2) Sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk: a. mendukung operasional angkutan di perairan; b. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan c. mendukung perumusan kebijakan di bidang angkutan di perairan. (3) Sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh: a. Menteri, untuk sistem informasi angkutan di perairan pada tingkat nasional; b. gubernur, untuk sistem informasi angkutan di perairan pada tingkat provinsi; atau c. bupati/walikota, untuk sistem informasi angkutan di perairan pada tingkat kabupaten/kota. (4) Penyelenggaraan sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. 227 Pasal 196 Penyelenggaraan sistem informasi angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pasal 197 (1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengevaluasi laporan bulanan yang disampaikan oleh perusahaan angkutan di perairan dan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan untuk dijadikan sebagai bahan penyusunan system informasi angkutan di perairan. (2) Hasil evaluasi yang dilakukan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri. Pasal 198 Menteri berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197, mengolah data dan informasi untuk dijadikan sebagai bahan informasi angkutan di perairan kepada masyarakat. Pasal 199 (1) Sistem informasi angkutan di perairan paling sedikit memuat: a. perusahaan angkutan di perairan; b. kegiatan operasional angkutan di perairan; c. armada dan kapasitas ruang kapal nasional; d. jaringan trayek angkutan di perairan; e. volume muatan berdasarkan jenis muatan dan pangsa muatan kapal nasional; f. pergerakan operasional kapal berdasarkan jenis muatan; g. usaha dan kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan; h. tarif angkutan di perairan; i. sumber daya manusia di bidang angkutan di perairan; j. peraturan perundang-undangan di bidang angkutan di perairan; dan k. pelayanan publik di bidang angkutan di perairan. (2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam sistem informasi manajemen angkutan di perairan termasuk Informasi Muatan dan Ruang Kapal. 228 Pasal 200 (1) Data dan informasi angkutan di perairan didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat di akses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. (2) Pengelolaan sistem informasi angkutan di perairan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain. Pasal 201 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan data dan penyusunan sistem informasi angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 202 (1) Setiap pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 14, Pasal 16 ayat (2), Pasal 26 ayat (4), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (3), Pasal 97 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 101 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 105 ayat (1), Pasal 109 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115, Pasal 119, Pasal 120 ayat (2), Pasal 124, Pasal 128, Pasal 132, Pasal 136, Pasal 137 ayat (2), Pasal 142, Pasal 146, Pasal 150, Pasal 154, Pasal 158, Pasal 159 ayat (2), Pasal 164, Pasal 168, Pasal 177 ayat (1), Pasal 182 ayat (1), atau Pasal 188 dapat dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi adminitratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pembekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 203 (1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (2) dikenai sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut untuk jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender. 229 (2) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin. (3) Pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender. (4) Izin dicabut apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah jangka waktu pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir. Pasal 204 (1) Pemegang izin yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) atau Pasal 109 ayat (1), selain dikenai sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (2) huruf c, dikenai sanksi denda administratif paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 205 Perwakilan perusahaan angkutan laut asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Certificate of Owner’s Representative. Pasal 206 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 207 Bagi perusahaan angkutan di perairan dan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan yang telah memiliki izin sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, wajib menyesuaikan perizinannya berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. 230 BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 208 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai angkutan di perairan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 209 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3907), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 210 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 26 231 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, ttd Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN I. UMUM Angkutan di perairan, sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, memiliki peranan yang sangat penting dalam memperlancar roda perekonomian, memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa. Angkutan di perairan memiliki fungsi yang strategis, yaitu menunjang kegiatan perdagangan dan perekonomian (ship follows the trade) serta merangsang pertumbuhan perekonomian dan wilayah (ship promotes the trade), sehingga angkutan di perairan berfungsi sebagai infrastruktur yang srategis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Penyelenggaraan fungsi strategis tersebut dapat mendukung perwujudan wawasan nusantara, meningkatkan ekspor dan impor sehingga dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, dan membuka kesempatan kerja, sehingga angkutan di perairan dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penyelenggaraan angkutan di perairan dilaksanakan dengan cara: a. memberlakukan azas cabotage secara konsekuen dan konsisten agar perusahaan angkutan perairan nasional dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri; b. mengembangkan angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dengan pelayaran-perintis dan penugasan; 233 234 c. menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pemberdayaan dan kemandirian industri angkutan perairan nasional; d. mengembangkan industri jasa terkait untuk menunjang kelancaran kegiatan angkutan di perairan; dan e. mengembangkan sistem informasi angkutan di perairan secara terpadu yang mengikutsertakan semua pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk menyusun Peraturan Pemerintah tentang Angkutan di Perairan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mengatur mengenai kegiatan angkutan laut, angkutan sungai dan danau, angkutan penyeberangan, angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil, kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan, perizinan, penarifan, kewajiban dan tanggung jawab pengangkut, pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya, pemberdayaan industri angkutan perairan, system informasi angkutan di perairan, dan sanksi administratif. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dan diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia untuk angkutan laut dalam negeri dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan azas cabotage guna 235 melindungi kedaulatan negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan nusantara serta memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa muatan. Ayat (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri termasuk kegiatan angkutan laut lepas pantai dan kegiatan angkutan dari pelabuhan laut ke lokasi di perairan yang berfungsi sebagai pelabuhan di wilayah perairan Indonesia atau sebaliknya. Yang dimaksud dengan “kegiatan lainnya yang menggunakan kapal” antara lain kegiatan penundaan kapal, pengerukan, untuk kegiatan salvage dan/atau pekerjaan bawah air, dan pengangkutan penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur (liner) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha serta pelayanan kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 236 Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Terhadap perusahaan angkutan laut nasional yang mengoperasikan kapal atau menempatkan kapalnya pada jaringan trayek tetap dan teratur untuk melayani trayek yang belum ditetapkan (yang bersifat keperintisan), diberikan proteksi berupa hak eksklusif sementara (temporary exclusive right) dimana hanya kapal-kapal yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional tersebut yang dapat melayani trayek baru dimaksud untuk periode paling lama 3 (tiga) tahun atau telah tercapai faktor muatan (load factor) sebesar rata-rata 65% (enam puluh lima per seratus) selama 6 (enam) bulan terakhir. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Huruf b Yang dimaksud dengan “keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan” adalah terwujudnya pelayanan pada suatu trayek yang dapat diukur dengan tingkat faktor muat (load factor) tertentu. Huruf d Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 237 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “omisi” adalah meninggalkan atau tidak menyinggahi pelabuhan wajib singgah yang ditetapkan dalam jaringan trayek. Huruf b Yang dimaksud dengan “deviasi” adalah penyimpangan trayek atau tidak menyinggahi pelabuhan wajib singgah yang ditetapkan dalam jaringan trayek. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “substitusi” adalah penggantian kapal pada trayek tetap dan teratur yang telah ditetapkan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Pemberian insentif antara lain berupa pemberian prioritas sandar, penyediaan bunker sesuai dengan trayek dan jumlah hari layar, dan keringanan tarif jasa kepelabuhanan. Keringanan tarif jasa kepelabuhanan meliputi tarif jasa labuh, tariff jasa tambat, dan tarif jasa pemanduan yang besarannya akan ditentukan oleh Badan Usaha Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan. 238 Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “untuk menunjang kegiatan tertentu” antara lain kegiatan angkutan lepas pantai atau untuk menunjang suatu proyek tertentu lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. 239 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Angkutan laut antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia merupakan kegiatan angkutan laut dalam negeri yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “trayek angkutan laut lintas batas” antara lain: 1. Pelabuhan Batam-Pelabuhan Singapura; 2. Pelabuhan Nunukan-Pelabuhan Tawau, Malaysia; 3. Pelabuhan Belawan-Pelabuhan Penang, Malaysia; 240 4. Pelabuhan Sambas-Pelabuhan Kuching, Malaysia; 5. Pelabuhan Sungai Nyamuk-Pelabuhan Tawau, Malaysia; 6. Pelabuhan Dumai-Pelabuhan Malaka, Malaysia; 7. Pelabuhan Tahuna-Pelabuhan General Santos, Filipina; 8. Pelabuhan Jayapura-Pelabuhan Vanimo, Papua Nugini; dan 9. Pelabuhan Oecussi-Pelabuhan Dilli, Timor Leste. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “kerja sama sub-regional” adalah forum kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah negara di dalam subregional negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Kapal yang datang secara mendadak (emergency call) di suatu pelabuhan atau terminal khusus terdekat, Nakhoda kapal dapat menunjuk agen umum dengan membuat surat penunjukan (letter of appointment) kepada salah satu perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional keagenan kapal yang terdapat di pelabuhan atau terminal khusus disertai uang muka untuk pembayaran biayabiaya kapal selama berada di pelabuhan (advanced disbursement). Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “perusahaan nasional keagenan kapal” adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk kegiatan keagenan kapal. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 241 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara berkesinambungan” adalah bahwa kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut asing secara terus menerus dan tidak terputus. Penunjukan perwakilan dimaksudkan untuk mewakili kepentingan administrasi perusahaan angkutan laut asing di Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. 242 Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kewajiban melaporkan kepada Menteri mencakup rencana dan realisasi kegiatan dan penggunaan kapal angkutan laut khusus. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “tidak tersedianya kapal” adalah tidak tersedianya kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing merupakan perusahaan angkutan laut asing yang mengangkut muatan impor bahan baku dan/atau peralatan produksi 243 untuk menunjang usaha pokok tertentu dari pelaksana kegiatan angkutan laut khusus. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. 244 Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 a. b. c. d. e. f. Usaha pokok meliputi bidang: pertanian dan perkebunan; kehutanan; peternakan dan perikanan; perindustrian; pertambangan dan energi; atau pariwisata. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. 245 Ayat (2) Huruf a Huruf b Yang dimaksud dengan “lintas penyeberangan antarprovinsi” yaitu yang menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api antarprovinsi. Yang dimaksud dengan “lintas penyeberangan antarkabupaten/kota” yaitu yang menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api antarkabupaten atau kota dalam provinsi. Huruf c Yang dimaksud dengan “lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota” yaitu yang menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api dalam kabupaten atau kota. Ayat (3) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “dengan jarak tertentu” adalah bahwa tidak semua daratan yang dipisahkan oleh perairan dihubungkan oleh angkutan penyeberangan, tetapi daratan yang dihubungkan merupakan pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan, dengan tetap memenuhi karakteristik angkutan penyeberangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “fungsi sebagai jembatan” adalah pergerakan lalu lintas dan pemindahan penumpang dan kendaraan beserta muatannya dengan kapal penyeberangan. Huruf c Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 246 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Persyaratan usaha angkutan penyeberangan antara lain memiliki kantor dan tenaga manajemen angkutan penyeberangan. Huruf b Persyaratan pelayanan angkutan penyeberangan yang ditetapkan dalam standar pelayanan minimal angkutan penyeberangan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. 247 Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pelaksana kegiatan” adalah badan usaha yang memiliki izin usaha di bidang angkutan laut, angkutan sungai dan danau, atau angkutan penyeberangan. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kontrak jangka panjang” adalah paling sedikit untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar perusahaan angkutan laut yang menyelenggarakan pelayaran-perintis dapat melakukan peremajaan kapal. Pasal 73 Yang dimaksud dengan “secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah” adalah bahwa penyusunan usulan trayek pelayaran-perintis dikoordinasikan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait 248 serta memperhatikan keterpaduan dengan program sektor lain seperti antara lain perdagangan, perkebunan, transmigrasi, perikanan, pariwisata, pendidikan, dan pertanian dalam rangka pengembangan potensi daerah. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. 249 Huruf b Huruf c Kegiatan bongkar muat barang curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipa yang dilakukan dengan menggunakan pipa milik atau dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Kegiatan bongkar muat barang curah kering yang di bongkar atau di muat melalui conveyor atau sejenisnya yang dilakukan dengan menggunakan conveyor milik atau dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Huruf d Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. 250 Huruf h Huruf i Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “dokumen angkutan” antara lain bill of lading, airway bill, dokumen kepabeanan, kekarantinaan, surat jalan, dan dokumen angkutan barang. Cukup jelas. Huruf r Layanan logistik berupa kegiatan perencanaan, penanganan, dan pengendalian terhadap pengiriman dan penyimpanan barang, termasuk informasi, jasa pengurusan, dan administrasi terkait yang dilaksanakan oleh penyelenggara kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi untuk pengiriman dan penerimaan barang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. 251 Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “stuffing peti kemas” adalah pekerjaan memuat barang dari tempat yang ditentukan ke dalam peti kemas. Yang dimaksud dengan “stripping peti kemas” adalah pekerjaan membongkar barang dari dalam peti kemas sampai dengan menyusun di tempat yang ditentukan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. 252 Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Huruf c Memiliki kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan ukuran paling kecil GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage), dapat dipenuhi dengan 1 (satu) unit kapal atau lebih. Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. 253 Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. 254 Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. 255 Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. 256 Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. 257 Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. 258 Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. 259 Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Ayat (1) Huruf a Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan tarif angkutan yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan (ability to pay) masyarakat luas. Huruf b Tarif pelayanan kelas non-ekonomi adalah tarif pelayanan angkutan yang berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usaha angkutan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan serta perluasan jaringan pelayanan angkutan laut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. 260 Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi perjanjian pengangkutan yang disepakati. Perjanjian pengangkutan harus dilengkapi dengan dokumen pengangkutan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 179 Ayat (1) Yang dimaksud “dalam keadaan tertentu” adalah seperti penanggulangan bencana alam, kecelakaan di laut, kerusuhan sosial yang berdampak nasional, dan negara dalam keadaan bahaya setelah dinyatakan resmi oleh Pemerintah serta masa puncak angkutan lebaran, natal, dan tahun baru. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku” antara lain Undang-Undang tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Ayat (1) Cukup jelas. 261 Ayat (2) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tanggung jawab perusahaan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah tanggung jawab terhadap kematian atau lukanya penumpang yang diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal, dan/ atau kecelakaan pada saat naik/turun kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pernyataan sebab keterlambatan penyerahan barang oleh pengangkut dapat dikukuhkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang di pelabuhan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. 262 Pasal 185 Cukup jelas. Pasal 186 Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup jelas. Pasal 190 Cukup jelas. Pasal 191 Ayat (1) Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait termasuk sektor perdagangan, keuangan, perindustrian, energy dan sumber daya mineral, serta pendidikan dan pelatihan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pangsa muatan yang wajar” adalah bahwa wajar tidak selalu dalam arti memperoleh bagian yang sama (equal share), tetapi memperoleh pangsa sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan, misalnya dalam perjanjian bilateral, konvensi internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan peraturan lainnya. Khusus untuk barang milik Pemerintah perlu diupayakan agar pengangkutannya dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing untuk menetapkan perjanjian perolehan pangsa muatan (fair share agreement). 263 Pasal 192 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “dilakukan oleh importir” adalah instansi Pemerintah/ lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta yang melakukan kegiatan importasi barang muatan impor milik pemerintah. Huruf b Yang dimaksud dengan “syarat perdagangan muatan ekspor untuk jenis muatan atau barang tertentu sehingga pengangkutannya dilakukan oleh perusahaan angkutan nasional” adalah syarat perdagangan (terms of trade) secara C&F (Cost and Freight) atau CIF (Cost, Insurance, and Freight) untuk komoditas ekspor yang bersifat seller’s market dimana pihak penjual/ eksportir yang menentukan kapal pengangkutnya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 193 Huruf a Yang dimaksud dengan “kawasan industri perkapalan terpadu” adalah pusat industri yang meliputi antara lain fasilitas pembangunan, perawatan, perbaikan, dan pemeliharaan yang terintegrasi dengan industri penunjangnya, seperti material kapal, permesinan, dan perlengkapan kapal. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “bahan baku dan komponen kapal” antara lain material kapal, suku cadang, dan perlengkapan kapal. 264 Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Cukup jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Cukup jelas. Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 199 Cukup jelas. Pasal 200 Cukup jelas. Pasal 201 Cukup jelas. Pasal 202 Cukup jelas. 265 Pasal 203 Cukup jelas. Pasal 204 Cukup jelas. Pasal 205 Cukup jelas. Pasal 206 Cukup jelas. Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 Cukup jelas. Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5108 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Laut; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298); 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4738); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 267 268 4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENGELOLA­ AN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan sumber daya laut adalah segala upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya laut. 2. Sumber daya laut adalah unsur hayati, non hayati yang terdapat di wilayah laut dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. 3. Wilayah laut adalah ruang laut yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi paling jauh 12 (duabelas) mil laut dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 269 4. Eksplorasi adalah kegiatan atau penyelidikan potensi kekayaan sumber daya laut yang pelaksanaannya didasarkan pada kondisi lingkungannya. 5. Eksploitasi adalah kegiatan atau usaha pemanfaatan sumber daya laut yang pelaksanaannya harus didasarkan pada daya dukung lingkungannya. 6. Kawasan konservasi adalah bagian tertentu wilayah laut yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk mewujudkan pengelolaan secara berkelanjutan. 7. Penataan ruang laut adalah proses penetapan ruang/kawasan yang didasarkan pada sumber daya yang ada di wilayah laut. 8. Nelayan tradisional adalah masyarakat yang mata pencaharian sehari-hari mengeksploitasi sumber daya laut yang dilakukan secara turun temurun dengan menggunakan bahan dan peralatan tradisional. 9. Masyarakat pesisir adalah masyarakat desa/kelurahan yang tinggal di sepanjang daerah wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh kompleksitas, aktifitas dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. 10. Organisasi kemasyarakatan bidang kelautan, yang selanjutnya disebut ormas kelautan, adalah organisasi non pemerintah bervisi kebangsaaan yang dibentuk oleh warga negara Indonesia secara sukarela yang terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai yang kegiatannya memajukan kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan, melestarikan potensi sumber daya laut dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan masyarakat nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut. 11. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkan kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa/kelurahan pesisir sehingga mampu menemukenali potensi yang ada dan mendayagunakannya secara optimum, partisipatif untuk kemakmuran serta kesejahteraan bersama yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. 12. Pemangku kepentingan adalah para pengguna yang mempunyai kepentingan langsung dalam pemanfaatan sumber daya laut seperti nelayan tradisional, masyarakat pesisir, organisasi kemasyarakatan bidang kelautan, nelayan modern, pembudidaya, pengusaha pariwisata, dan pengusaha perikanan. 13. Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim. 270 14. Mitigasi adalah berbagai tindakan aktif untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. BAB II KEWENANGAN PENGELOLAAN Pasal 2 (1) Daerah berwenang kewenangannya. mengelola sumber daya di wilayah laut sesuai (2) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pasal 3 Pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. eksplorasi; b. eksploitasi; c. konservasi; d. adaptasi dan perubahan iklim; e. pengaturan administratif; f. pengaturan tata ruang; g. pengelolaan kekayaan laut; h. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan i. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan kedaulatan negara. BAB III PERENCANAAN Pasal 4 (1) Pemerintahan daerah menyusun perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sesuai kewenangannya yang terdiri atas: 271 a. rencana strategis; b. rencana zonasi; c. rencana pengelolaan; dan d. rencana aksi. (2) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut oleh provinsi memperhatikan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut kabupaten/kota yang berada dalam wilayahnya. (3) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut oleh provinsi dan kabupaten/kota memperhatikan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota yang berbatasan. (4) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah untuk kepentingan nasional, mengikutsertakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (5) Penyusunan perencaaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pasal 5 (1) Rencana strategis dan rencana zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. (2) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah di bidang pengelolaan sumber daya di wilayah laut. (3) Rencana zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat kawasan: a. pemanfaatan umum; b. konservasi; c. strategis nasional tertentu; dan d. alur laut. (4) Penyusunan rencana zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memperhatikan: a. potensi yang ada di wilayah laut; dan b. kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah. 272 Pasal 6 Rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Pasal 7 Rencana aksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dituangkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah. Pasal 8 Penyusunan perencanaan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pasal 9 (1) Penyusunan perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas data dan informasi. (2) Gubernur dan bupati/walikota melakukan inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. potensi sumber daya yang ada; b. potensi sumber daya yang telah dimanfaatkan dan daya dukungnya; c. potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan dan daya dukungnya; dan d. badan hukum yang diberi izin atau rekomendasi pemanfaatan sumber daya. Pasal 10 (1) Gubernur dan Bupati/Walikota menyusun rencana penataan ruang laut di wilayahnya dengan berpedoman pada rencana zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). (2) Rencana penataan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah. Pasal 11 (1) Penyusunan rencana penataan ruang laut di wilayah laut oleh provinsi memperhatikan rencana penataan ruang laut kabupaten/kota yang berada dalam wilayahnya. 273 (2) Penyusunan rencana penataan ruang laut oleh provinsi dan kabupaten/kota memperhatikan rencana penataan ruang laut provinsi dan kabupaten/kota yang berbatasan. (3) Penyusunan rencana penataan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikoordinasikan dengan kementerian/LPNK terkait. BAB IV PENGELOLAAN Bagian Kesatu Eksplorasi Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan eksplorasi terhadap sumber daya di wilayah laut sesuai dengan kewenangannya. (2) Setiap orang dan badan hukum dapat melakukan eksplorasi setelah memperoleh izin dari kepala daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Pasal 13 (1) Setiap orang dan badan hukum yang akan melakukan eskplorasi sumber daya di wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah, yang berada di wilayah laut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memperoleh izin dari pemerintah. (2) Setiap orang dan badan hukum yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melapor kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. (3) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 274 Bagian Kedua Eksploitasi Pasal 14 (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan eksploitasi terhadap sumber daya di wilayah laut sesuai dengan kewenangannya. (2) Setiap orang dan badan hukum dapat melakukan eksploitasi setelah memperoleh izin dari kepala daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Pasal 15 (1) Setiap orang dan badan hukum yang akan melakukan eksploitasi sumber daya di wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah, yang berada di wilayah laut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memperoleh izin dari pemerintah. (2) Setiap orang dan badan hukum yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melapor kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. (3) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketiga Konservasi Pasal 16 (1) Gubernur dan Bupati/Walikota dapat menetapkan bagian tertentu wilayah lautnya sebagai kawasan konservasi. (2) Penetapan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pasal 17 Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta pemangku kepentingan berkewajiban untuk mengawasi dan melindungi kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah dan berada di wilayah laut sesuai dengan kewenangannya. 275 Bagian Keempat Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim Pasal 18 Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan sumber daya di wilayah laut, wajib memasukkan materi yang memuat upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Pasal 19 Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dilakukan dengan melibatkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Pasal 20 Penyelenggaraan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek: a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat; b. kelestarian lingungan hidup; c. kemanfaatan dan efektivitas; serta d. lingkup luas wilayah. Bagian Kelima Pengelolaan Kekayaan Laut Pasal 21 (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan pengelolaan kekayaan laut sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan kekayaan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di kawasan: a. pemanfaatan umum; b. konservasi; dan c. alur laut. (3) Pengelolaan kekayaan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, dilakukan secara terbatas sesuai peraturan perundang-undangan. 276 Pasal 22 (1) Setiap orang dan badan hukum dapat melakukan pengelolaan kekayaan laut setelah memperoleh izin dari kepala daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Pasal 23 (1) Setiap orang dan badan hukum yang akan melakukan pengelolaan kekayaan laut yang menjadi kewenangan pemerintah, yang berada di wilayah laut kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memperoleh izin dari pemerintah. (2) Setiap orang dan badan hukum yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melapor kepada Gubernur atau Bupati/Walikota. (3) Gubernur dan bupati/walikota melakukan pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 24 Nelayan tradisional dikecualikan dari izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pasal 25 Setiap orang dan badan hukum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah laut provinsi dan kabupaten/kota dengan menggunakan kapal penangkap ikan, ukuran kapal yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Bagian Keenam Penegakan Hukum Pasal 26 (1) Pemerintah daerah melakukan penegakan hukum terhadap peraturan yang diterbitkan oleh daerah dan/atau peraturan yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. (2) Setiap orang yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan/atau perbuatan pidana terhadap kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah yang berada 277 di wilayah laut berkewajiban melaporkan kepada aparat yang berwenang atau pemerintah daerah. Bagian Ketujuh Pemeliharaan Keamanan dan Pertahanan Kedaulatan Negara Pasal 27 (1) Gubernur dan Bupati/Walikota serta setiap warga negara ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara di wilayah laut sesuai kewenangannya. (2) Pelaksanaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pasal 28 (1) Gubernur dan Bupati/Walikota dalam melakukan pengelolaan sumber daya di wilayah laut harus melakukan pemberdayaan terhadap: a. nelayan tradisional dan masyarakat pesisir; b. organisasi masyarakat bidang kelautan; dan c. lembaga kemasyarakatan. (2) Pemberdayaan terhadap nelayan tradisional dan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui kegiatan: a. sosialisasi kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengenai kebijakan pengelolaan sumber daya di wilayah laut; b. bimbingan, pelatihan dalam penggunaan teknologi tepat guna, penangkapan dan pengawetan hasil tangkapan ikan serta pendampingan terhadap kegiatan budi daya; c. memfasilitasi pembentukan koperasi nelayan yang bergerak dalam penyediaan sarana penangkapan ikan/budi daya, pemasaran, dan simpan pinjam; dan 278 d. memfasilitasi dengan pihak perbankan, koperasi, dan pengusaha ikan dalam penyediaan permodalan atau pemberian kredit, pengadaan sarana penangkapan ikan dan budi daya serta pemasaran hasil penangkapan ikan dan budi daya. (3) Pemberdayaan terhadap organisasi masyarakat bidang kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan melalui kegiatan: a. sosialisasi kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota mengenai pengelolaan sumber daya di wilayah laut. b. bimbingan dan pelatihan dalam penggunaan teknologi tepat guna, pengawetan ikan, dan budi daya serta tata cara pembentukan koperasi; dan c. sosialisasi kebijakan dan tata cara pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara di wilayah laut. BAB VI PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 29 (1) Pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam setiap kegiatan perencanaan dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut. (2) Pemerintah daerah, badan hukum, dan individu yang melakukan pengelolaan sumber daya di wilayah laut memperhatikan hukum adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. BAB VII PENDANAAN Pasal 30 Biaya penyusunan dokumen rencana dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut dapat bersumber dari: a. APBN; b. APBD Provinsi; c. APBD Kabupaten/Kota; dan d. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat. 279 BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 31 (1) Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan atas pengelolaan sumber daya di wilayah laut yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. percepatan penyusunan perencanaan dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut; b. pemberdayaan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir; dan c. pemberdayaan organisasi kemasyarakatan bidang kelautan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelaksanaan: a. percepatan penyusunan perencanaan dan pengelolaan sumber daya di wilayah laut; b. pemberdayaan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir; dan c. pemberdayaan organisasi kemasyarakatan bidang kelautan BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 April 2010 MENTERI DALAM NEGERI, ttd GAMAWAN FAUZI BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 193 KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.68/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kelestarian sumber daya ikan dan ekosistemnya, melindungi dan mengelola ekosistem perairan di kawasan perairan Kepulauan Padaido beserta laut di sekitarnya di Provinsi Papua yang memiliki keanekaragaman terumbu karang berupa acropora sp, sarcophyton sp, sinularia sp, serta biota laut lainnya seperti chaetodon linealatus, parupeneus bifasciatus, dan scaus sp, perlu menetapkan Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua sebagai kawasan konservasi perairan nasional; b. bahwa dalam rangka penetapan kawasan konservasi perairan nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, maka diperlukan adanya penetapan mengenai kawasan konservasi perairan nasional yang ditetapkan oleh Menteri; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 281 282 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4779); 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008; 7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2008; 8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58/M Tahun 2008; 9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/ MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/2009; 283 10.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/ MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/ MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan; Memperhatikan: 1. Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA. 01/Menhut­IV/2009 – BA. 108/MEN.KP/III/2009, tanggal 4 Maret 2009; 2. Laporan Hasil Evaluasi Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua, tanggal 6 April 2009; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA. PERTAMA : Menetapkan Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua. KEDUA : Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua. KETIGA : Penetapan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA seluas lebih kurang 183.000 (seratus delapan puluh tiga ribu) Hektar. KEEMPAT : Peta dan batas koordinat penetapan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud dalam diktum KETIGA sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri ini. 284 KELIMA : Penetapan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA, ditindaklanjuti dengan: 1. mengumumkan dan mensosialisasikan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua kepada masyarakat; dan 2. menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua yang terdiri atas unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. KEENAM : Menunjuk Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil untuk melakukan pengelolaan Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua. KETUJUH : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya mengatur mengenai Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan peraturan pelaksanaannya. KEDELAPAN : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 September 2009 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. FREDDY NUMBERI DAFTAR LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.68/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA NOMOR LAMPIRAN ISI LAMPIRAN I Batas Koordinat Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua II Peta Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 September 2009 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. FREDDY NUMBERI 285 286 Lampiran I : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua BATAS KOORDINAT PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA ID x Y Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) Derajat (°) Menit (‘) Keterangan Luas (Ha) Detik (“) Derajat (°) Menit (‘) Detik (“) 1 136 15 01 1 14 32 2 136 29 27 1 05 10 3 136 44 32 1 05 16 4 136 44 34 1 25 21 5 136 15 03 1 25 21 183.000 Lampiran II : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua PETA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA No Legenda Keterangan 1. Skala - 1 : 250.000 2. Proyeksi - WGS 1984 - Peta Potensi Kabupaten/Kota Pesisir, Pusat Data dan Informasi Geografis, Ditjen KP3K, 2008; 3. Sumber - Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K–DKP; - Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K–DKP. 287 Lampiran III : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua PETA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA No Legenda Keterangan 1. Skala - 1 : 250.000 2. Proyeksi - WGS 1984 - Peta Potensi Kabupaten/Kota Pesisir, Pusat Data dan Informasi Geografis, Ditjen KP3K, 2008; 3. Sumber - Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K–DKP; - Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K–DKP. Lampiran IV : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua PETA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN PADAIDO DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA No Legenda Keterangan 1. Skala - 1 : 250.000 2. Proyeksi - WGS 1984 - Peta Potensi Kabupaten/Kota Pesisir, Pusat Data dan Informasi Geografis, Ditjen KP3K, 2008; 3. Sumber - Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K–DKP; - Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K–DKP. KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.64/MEN/2009 TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN RAJA AMPAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan kelestarian sumber daya ikan dan ekosistemnya, melindungi dan mengelola ekosistem perairan di kawasan perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat yang memiliki potensi dan jenis biota laut yang cukup tinggi dan dilindungi seperti nautil usperongga (noutilus pompilus), triton terom pet (chelonia tritonis), dan keong kepala kambing (cassis conmuta), perlu menetapkan perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat sebagai kawasan konservasi perairan nasional; b. bahwa dalam rangka penetapan kawasan konservasi perairan nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, maka diperlukan adanya penetapan mengenai kawasan konservasi perairan nasional yang ditetapkan oleh Menteri; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 289 290 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 1125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4779); 6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008; 7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2008; 8. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 58/M Tahun 2008; 9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/ MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.04/MEN/2009; 291 10.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/ MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 11.Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 02/M EN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan; Memperhatikan : 1. Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA. 01/Menhut­ IV/2009 – BA. 108/MEN.KP/III/2009, tanggal 4 Maret 2009; 2. Laporan Hasil Evaluasi Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat, tanggal 4 Mei 2009; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN RAJA AMPAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT. PERTAMA : Menetapkan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat. KEDUA : Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA ditetapkan sebagai Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat. KETIGA : Penetapan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA seluas lebih kurang 60.000 (enam puluh ribu) Hektar. KEEMPAT : Peta dan batas koordinat penetapan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat sebagaimana dimaksud dalam diktum KETIGA sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri ini. 292 KELIMA : Penetapan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA, ditindaklanjuti dengan: 1. mengumumkan dan mensosialisasikan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat kepada masyarakat; dan 2. menunjuk panitia penataan batas Kawasan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat yang terdiri atas unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. KEENAM : Menunjuk Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil untuk melakukan pengelolaan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat. KETUJUH : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya mengatur mengenai Penetapan Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut di sekitarnya di Provinsi Papua Barat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan dan peraturan pelaksanaannya. KEDELAPAN : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 September 2009 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Ttd FREDDY NUMBERI DAFTAR LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.64/MEN/2009 TENTANG PEN TAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN RAJA AMPAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR LAMPIRAN ISI LAMPIRAN I Batas Koordinat Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat. II Peta Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 September 2009 MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. FREDDY NUMBERI 293 294 Lampiran I : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat BATAS KOORDINAT PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN RAJA AMPAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT ID x Y Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) Keterangan Luas (Ha) Derajat (°) Menit (‘) Detik (“) Derajat (°) Menit (‘) Detik (“) 130 18 32 0 14 18 130 32 10 0 18 3 130 22 13 0 28 12 130 10 29 0 24 29 60.000 Lampiran II : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat PETA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN RAJA AMPAT DAN LAUT DI SEKITARNYA DI PROVINSI PAPUA BARAT No Legenda Keterangan 1. Skala - 1 : 250.000 2. Proyeksi - WGS 1984 - Peta Potensi Kabupaten/Kota Pesisir, Pusat Data dan Informasi Geografis, Ditjen KP3K, 2008; 3. Sumber - Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K–DKP; - Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K–DKP. 295 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan; c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundangundangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan 297 298 berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG BATUBARA. TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. 2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. 299 3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan. 4. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. 5. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. 6. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. 7. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. 9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. 10. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. 11. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 14. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. 15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. 300 16. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. 17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. 18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. 19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya. 20. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan. 21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. 22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan pertambangan mineral atau batubara. untuk menjual hasil 23. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan. 25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 27. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 301 28. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 29. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. 30. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. 31. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. 32. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. 33. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. 34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. 35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK. 36. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. 38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; 302 c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pasal 3 Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; usaha b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. BAB III PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 4 (1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (2) Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Pasal 5 (1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. (2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor. 303 (3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiaptiap komoditas per tahun setiap provinsi. (4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB IV KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 6 (1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. penetapan kebijakan nasional; b. pembuatan peraturan perundang-undangan; c. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; d. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; e. penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; f. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; g. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; h. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; i. pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi; 304 j. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik; k. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi; l. penetapan kebijakan masyarakat; kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan m. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara; n. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah; o. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan; p. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP dan WPN; q. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional; r. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; s. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional; t. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan u. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; c. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas 305 d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/ kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya; pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi; penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi; pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi; pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannya; penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota; penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota; pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan peningkatan kemampuan aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha per­ tambangan. (2) Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 (1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; 306 c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara; e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota; f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota; g. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan l. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V WILAYAH PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. (2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 307 Pasal 10 Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah. Pasal 11 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan WP. Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai batas, luas, dan mekanisme penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 13 WP terdiri atas: a. WUP; b. WPR; dan c. WPN. Bagian Kedua Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 14 (1) Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah. 308 Pasal 15 Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya dalam penetapan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada pemerintah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Pasal 17 Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 18 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP adalah sebagai berikut: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lindungan lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Ketiga Wilayah Pertambangan Rakyat Pasal 20 Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR. 309 Pasal 21 WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Pasal 22 Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut: a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun. Pasal 23 Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 24 Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR. Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. 310 Bagian Keempat Wilayah Pencadangan Negara Pasal 27 (1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. (2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (4) Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK. Pasal 28 Perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau f. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar. Pasal 29 (1) WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) yang akan diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk IUPK. 311 Pasal 30 Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota. Pasal 31 Luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah. Pasal 32 Kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam 1 (satu) WUPK adalah sebagai berikut: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lindungan lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan luas dan batas WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VI USAHA PERTAMBANGAN Pasal 34 (1) Usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. (2) Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas: a. pertambangan mineral radioaktif; 312 b. pertambangan mineral logam; c. pertambangan mineral bukan logam; dan d. pertambangan batuan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 35 Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilaksanakan dalam bentuk: a. IUP; b. IPR; dan c. IUPK. BAB VII IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 36 (1) IUP terdiri atas dua tahap: a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. (2) Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 37 IUP diberikan oleh: a. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 313 c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan. Pasal 39 (1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memuat ketentuan sekurangkurangnya: a. nama perusahaan; b. lokasi dan luas wilayah; c. rencana umum tata ruang; d. jaminan kesungguhan; e. modal investasi; f. perpanjangan waktu tahap kegiatan; g. hak dan kewajiban pemegang IUP; h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; i. jenis usaha yang diberikan; j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; k. perpajakan; l. penyelesaian perselisihan; m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan n. amdal. (2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya: a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; 314 d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu berlakunya IUP; h. jangka waktu tahap kegiatan; i. penyelesaian masalah pertanahan; j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang; k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang; l. perpanjangan IUP; m. hak dan kewajiban pemegang IUP; n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; o. perpajakan; p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi; q. penyelesaian perselisihan; r. keselamatan dan kesehatan kerja; s. konservasi mineral atau batubara; t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri; u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; v. pengembangan tenaga kerja Indonesia; w. pengelolaan data mineral atau batubara; dan x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara. Pasal 40 (1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara. (2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 315 (4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. (5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (6) IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 41 IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP. Bagian Kedua IUP Eksplorasi Pasal 42 (1) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. (2) IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. (3) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (4) IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 43 (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP. (2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. 316 Pasal 44 Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 45 Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dikenai iuran produksi. Bagian Ketiga IUP Operasi Produksi Pasal 46 (1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. (2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. Pasal 47 (1) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (2) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. (3) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (4) IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 5 (lima) tahun. (5) IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. 317 Pasal 48 IUP Operasi Produksi diberikan oleh: a. bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b. gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 49 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Keempat Pertambangan Mineral Paragraf 1 Pertambangan Mineral Radioaktif Pasal 50 WUP mineral radioaktif ditetapkan oleh Pemerintah dan pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Pertambangan Mineral Logam Pasal 51 WIUP mineral logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. 318 Pasal 52 (1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Pasal 53 Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. Paragraf 3 Pertambangan Mineral Bukan Logam Pasal 54 WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. Pasal 55 (1) Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Pasal 56 Pemegang IUP Operasi Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. 319 Paragraf 4 Pertambangan Batuan Pasal 57 WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara permohonan wilayah kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. Pasal 58 (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Pasal 59 Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare. Bagian Kelima Pertambangan Batubara Pasal 60 WIUP batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang. Pasal 61 (1) Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. 320 Pasal 62 Pemegang IUP Operasi Produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. Pasal 63 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB VIII PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 64 Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 serta memberikan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 65 (1) Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB IX IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT Pasal 66 Kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikelompokkan sebagai berikut: a. pertambangan mineral logam; b. pertambangan mineral bukan logam; 321 c. pertambangan batuan; dan/atau d. pertambangan batubara. Pasal 67 (1) Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. (2) Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota. Pasal 68 (1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada: a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektare; b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektare; dan/atau c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektare. (2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 69 Pemegang IPR berhak: a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah; dan b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 70 Pemegang IPR wajib: a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku; 322 c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah; d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR. Pasal 71 (1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 72 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Pasal 73 (1) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat. (2) Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi: a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. pengelolaan lingkungan hidup; dan c. pascatambang. (3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah kabupaten/kota wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemerintah kabupaten/kota wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri dan gubernur setempat. BAB X IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS 323 Pasal 74 (1) IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. (2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK. (3) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (4) Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri. (5) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. (6) Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (7) IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri. Pasal 75 (1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. (2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta. (3) Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. (4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. Pasal 76 (1) IUPK terdiri atas dua tahap: a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan; b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. 324 (2) Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 77 (1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. (2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. Pasal 78 IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a sekurangkurangnya wajib memuat: a. nama perusahaan; b. luas dan lokasi wilayah; c. rencana umum tata ruang; d. jaminan kesungguhan; e. modal investasi; f. perpanjangan waktu tahap kegiatan; g. hak dan kewajiban pemegang IUPK; h. jangka waktu tahap kegiatan; i. jenis usaha yang diberikan; j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; k. perpajakan; l. penyelesaian perselisihan masalah pertanahan; m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan n. amdal. Pasal 79 IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b sekurang-kurangnya wajib memuat: 325 a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu tahap kegiatan; h. penyelesaian masalah pertanahan; i. lingkungan hidup, termasuk reklamasi dan pascatambang; j. dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang; k. jangka waktu berlakunya IUPK; l. perpanjangan IUPK; m. hak dan kewajiban; n. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah per­ tambangan; o. perpajakan; p. iuran tetap dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/daerah, yang terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi; q. penyelesaian perselisihan; r. keselamatan dan kesehatan kerja; s. konservasi mineral atau batubara; t. pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; v. pengembangan tenaga kerja Indonesia; w. pengelolaan data mineral atau batubara; x. penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara; dan y. divestasi saham. Pasal 80 IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK. 326 Pasal 81 (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri. (2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. (3) Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri. Pasal 82 Mineral atau batubara yang tergali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai iuran produksi. Pasal 83 Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu sesuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi: a. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. b. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. c. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare. d. luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. e. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 8 (delapan) tahun. f. jangka waktu IUPK Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun. g. jangka waktu IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 84 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 75 ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. 327 BAB XI PERSYARATAN PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 85 Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 86 (1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XII DATA PERTAMBANGAN Pasal 87 Untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan, Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat menugasi lembaga riset negara dan/atau daerah untuk melakukan penyelidikan dan penelitian tentang pertambangan. Pasal 88 (1) Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan tingkat nasional. (3) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. 328 Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XIII HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak Pasal 90 Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Pasal 91 Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 92 Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif. Pasal 93 (1) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. (2) Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu. (3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. harus memberitahu kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 329 Pasal 94 Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 95 Pemegang IUP dan IUPK wajib: a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik; b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. Pasal 96 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan: a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. Pasal 97 Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah. Pasal 98 Pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 330 Pasal 99 (1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. (3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Pasal 100 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Pasal 101 Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 serta dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 102 Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Pasal 103 (1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. 331 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 104 (1) Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK. (2) IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 105 (1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan. (2) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi. (4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 106 Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 332 Pasal 107 Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 108 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pem­ berdayaan masyarakat. (2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 110 Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 111 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 112 (1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. 333 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XIV PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 113 (1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi: a. keadaan kahar; b. keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/ atau batubara yang dilakukan di wilayahnya. (2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK. (3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut. Pasal 114 (1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. 334 (2) Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 115 (1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tidak berlaku. (2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. (3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. Pasal 116 Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113, Pasal 114, dan Pasal 115 diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XV BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 117 IUP dan IUPK berakhir karena: a. dikembalikan; b. dicabut; atau c. habis masa berlakunya. 335 Pasal 118 (1) Pemegang IUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP atau IUPK-nya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas. (2) Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya. Pasal 119 IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a. pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan; b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. Pasal 120 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IUPK telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan, IUP dan IUPK tersebut berakhir. Pasal 121 (1) Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 122 (1) IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 336 (2) WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 123 Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan opersi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. BAB XVI USAHA JASA PERTAMBANGAN Pasal 124 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional. (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia. (3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi: a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang: 1) penyelidikan umum; 2) eksplorasi; 3) studi kelayakan; 4) konstruksi pertambangan; 5) pengangkutan; 6) lingkungan pertambangan; 7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau 8) keselamatan dan kesehatan kerja. b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang: 1) penambangan; atau 2) pengolahan dan pemurnian. Pasal 125 (1) Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK. 337 (2) Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri. (3) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal. Pasal 126 (1) Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri. (2) Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila: a. tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sejenis di wilayah tersebut; atau b. tidak ada perusahaan jasa pertambangan yang berminat/mampu. Pasal 127 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124, Pasal 125, dan Pasal 126 diatur dengan peraturan menteri. BAB XVII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH Pasal 128 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. (2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. (3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan b. bea masuk dan cukai. (4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. iuran tetap; 338 b. iuran eksplorasi; c. iuran produksi; dan d. kompensasi data informasi. (5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; dan c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 129 (1) Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. (2) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. pemerintah provinsi mendapat bagian sebesar 1% (satu persen); b. pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan c. pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian sebesar 2,5% (dua koma lima persen). Pasal 130 (1) Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. (2) Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. Pasal 131 Besarnya pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang dipungut dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. 339 Pasal 132 (1) Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang. (2) Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 133 (1) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor ke kas negara. BAB XVIII PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 134 (1) Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 135 Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Pasal 136 (1) Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 340 (2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK. Pasal 137 Pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 dan Pasal 136 yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 138 Hak atas IUP, IPR, atau IUPK bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. BAB XIX PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Pembinaan dan Pengawasan Pasal 139 (1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemberian pedoman pertambangan; dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; dan d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara. (3) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. 341 (4) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 140 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. (3) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 141 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain, berupa: a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data mineral dan batubara; e. konservasi sumber daya mineral dan batubara; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan; m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; n. pengelolaan IUP atau IUPK; dan o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. 342 (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/ kota belum mempunyai inspektur tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk melaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 142 (1) Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri. (2) Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 143 (1) Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. Pasal 144 Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan prosedur pembinaan serta pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 diatur dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Perlindungan Masyarakat Pasal 145 (1) Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak: a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 343 b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XX PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Bagian Kesatu Penelitian dan Pengembangan Pasal 146 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan mineral dan batubara. Bagian Kedua Pendidikan dan Pelatihan Pasal 147 Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di bidang pengusahaan mineral dan batubara. Pasal 148 Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. BAB XXI PENYIDIKAN Pasal 149 (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 344 (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan; d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. Pasal 150 (1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana. (4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 345 BAB XXII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 151 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 152 Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 153 Dalam hal pemerintah daerah berkeberatan terhadap penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP dan IPR oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 154 Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 346 Pasal 155 Segala akibat hukum yang timbul karena penghentian sementara dan/atau pencabutan IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b dan huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 156 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 157 Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara. BAB XXIII KETENTUAN PIDANA Pasal 158 Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 159 Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 160 (1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan 347 paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 161 Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 163 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. Pasal 164 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa: 348 a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Pasal 165 Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). BAB XXIV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 166 Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang berkaitan dengan dampak lingkungan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 167 WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK. Pasal 168 Untuk meningkatkan investasi di bidang pertambangan, Pemerintah dapat memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau IUPK. BAB XXV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 169 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. 349 b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara. Pasal 170 Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 171 (1) Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Pasal 172 Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang- Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini. BAB XXVI KETENTUAN PENUTUP 350 Pasal 173 (1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 174 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 175 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 4 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat. 351 352 Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. 2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. 3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. 4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesarbesar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. 5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Cukup jelas. 353 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Huruf e Standar nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan. Huruf d Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 354 Huruf g Huruf h Yang dimaksud dengan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional adalah neraca yang menggambarkan jumlah sumber daya, cadangan, dan produksi mineral dan batubara secara nasional. Huruf t Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. 355 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Kewenangan yang dilimpahkan adalah kewenangan dalam menetapkan WUP untuk mineral bukan logam dan batuan dalam satu kabupaten/kota atau lintas kabupaten/kota. Pasal 16 Cukup jelas. 356 Pasal 17 Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas minimum. Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh semua pihak. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Penetapan WPR didasarkan pada perencanaan dengan melakukan sinkronisasi data dan informasi melalui sistem informasi WP. Pasal 22 Huruf a Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu meander sungai. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 23 Pengumuman rencana WPR dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/ instansi terkait; dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, 357 dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Penetapan WPN untuk kepentingan nasional dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global. Yang dimaksud dengan komoditas tertentu antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, dan bauksit serta batubara. Konservasi yang dimaksud juga mencakup upaya pengelolaan mineral dan/atau batubara yang keberadaannya terbatas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan sebagian luas wilayahnya adalah untuk menentukan persentase besaran luas wilayah yang akan diusahakan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan batasan waktu adalah WPN yang ditetapkan untuk konservasi dapat diusahakan setelah melewati jangka waktu tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. 358 Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan koordinasi adalah mengakomodasi semua kepentingan daerah yang terkait dengan WUPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Yang dimaksud dengan luas adalah luas maksimum dan luas minimum. Penentuan batas dilakukan berdasarkan keahlian yang diterima oleh semua pihak. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan pertambangan mineral radioaktif adalah pertambangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran. Huruf b Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya. 359 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Huruf a Badan usaha dalam ketentuan ini meliputi juga badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Huruf b Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 360 Huruf d Huruf e Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf f Jaminan kesungguhan dalam ketentuan ini termasuk biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi. Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) 361 Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Ayat (2) Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun. Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia. Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Ayat (3) Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun. Ayat (4) Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah daerah. 362 Pasal 47 Ayat (1) Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Ayat (2) Cukup Jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah antara lain batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia. Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Pertambangan mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral ikutannya. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. 363 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. 364 Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini disertai dengan 365 meterai cukup dan dilampiri rekomendasi dari kepala desa/lurah/kepala adat mengenai kebenaran riwayat pemohon untuk memperoleh prioritas dalam mendapatkan IPR. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kegiatan pengelolaan lingkungan hidup meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup, termasuk reklamasi lahan bekas tambang. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Laporan disampaikan setiap 4 (empat) bulan. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) 366 Yang dimaksud dengan memperhatikan kepentingan daerah adalah dalam rangka pemberdayaan daerah. Ayat (2) Pertambangan ikutannya. mineral logam dalam ketentuan ini termasuk mineral Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 78 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 367 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Jaminan kesungguhan termasuk di dalamnya biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Pasal 79 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 368 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. 369 Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Huruf y Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 370 Huruf e Jangka waktu 8 (delapan) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Huruf f Jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 2 (dua) tahun. Huruf g Jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. 371 Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud eksplorasi tahapan tertentu dalam ketentuan ini yaitu telah ditemukan 2 (dua) wilayah prospek dalam kegiatan eksplorasi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan sisa tambang meliputi antara lain tailing dan limbah batubara. 372 Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Ketentuan ini dimaksudkan mengingat usaha pertambangan pada sumber air dapat mengakibatkan perubahan morfologi sumber air, baik pada kawasan hulu maupun hilir. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Ketentuan mengenai dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang berisi, antara lain, besaran, tata cara penyetoran dan pencairan, serta pelaporan penggunaan dana jaminan. Pasal 102 Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. Pasal 103 Ayat (1) Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 373 Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Ayat (1) Yang dimaksud dengan terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan dalam ketentuan ini adalah pengurusan izin pengangkutan dan penjualan atas mineral dan/atau batubara yang tergali. Ayat (2) Izin diberikan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi atas mineral dan/atau batubara yang tergali oleh instansi teknis terkait. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 106 Pemanfaatan tenaga kerja setempat tetap mempertimbangkan kompetensi tenaga kerja dan keahlian tenaga kerja yang tersedia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan masyarakat adalah masyarakat yang berdomisili di sekitar operasi pertambangan. Pasal 109 Cukup jelas. 374 Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud keadaan kahar (force majeur) dalam ayat ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia. Huruf b Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat ini, antara lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Permohonan menjelaskan kondisi keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Ayat (4) Permohonan masyarakat memuat penjelasan keadaan kondisi daya dukung lingkungan wilayah yang dikaitkan dengan aktivitas kegiatan penambangan. Ayat (5) Cukup jelas. 375 Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Ayat (1) Yang dimaksud dengan alasan yang jelas dalam ketentuan ini antara lain tidak ditemukannya prospek secara teknis, ekonomis, atau lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Yang dimaksud dengan peningkatan adalah peningkatan dari tahap ekplorasi ke tahap operasi produksi. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. 376 Pasal 124 Ayat (1) Perusahaan nasional dapat mendirikan perusahaan cabang di daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. 377 Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Persetujuan dari pemegang hak atas tanah dimaksudkan untuk menyelesaikan lahan-lahan yang terganggu oleh kegiatan eksplorasi seperti pengeboran, parit uji, dan pengambilan contoh. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. 378 Pasal 145 Ayat (1) Yang dimaksud dengan masyarakat adalah mereka yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. 379 Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pejabat yang menerbitkan IUP, IPR, atau IUPK. Pasal 166 Cukup jelas. 380 Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Semua pasal yang terkandung dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan dengan UndangUndang. Huruf c Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4959 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; b. bahwa peranan energi sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu; c. bahwa cadangan sumber daya energi tak terbarukan terbatas, maka perlu adanya kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Energi; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 381 382 Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ENERGI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika. 2. Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi. 3. Sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun sebagai energi. 4. Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). 5. Energi baru adalah energi yang berasal dari sumber energi baru. 6. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. 7. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi terbarukan. 8. Sumber energi tak terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber 383 daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus, antara lain, minyak bumi, gas bumi, batu bara, gambut, dan serpih bitumen. 9. Energi tak terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber energi tak terbarukan. 10. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 11. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 12. Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 13. Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. 14. Cadangan penyangga energi adalah jumlah ketersediaan sumber energi dan energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada kurun waktu tertentu. 15. Penyediaan energi adalah kegiatan atau proses menyediakan energi, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 16. Pemanfaatan energi adalah kegiatan menggunakan energi, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber energi. 17. Pengelolaan energi adalah penyelenggaraan kegiatan penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan energi serta penyediaan cadangan strategis dan konservasi sumber daya energi. 18. Pengusahaan energi adalah kegiatan menyelenggarakan usaha penyediaan dan/ atau pemanfaatan energi. 19. Pengusahaan jasa energi adalah kegiatan menyelenggarakan usaha jasa yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan penyediaan dan/atau pemanfaatan energi. 20. Cadangan energi adalah sumber daya energi yang sudah diketahui lokasi, jumlah, dan mutunya. 384 21. Diversifikasi energi adalah penganekaragaman pemanfaatan sumber energi. 22. Cadangan strategis adalah cadangan energi untuk masa depan. 23. Konservasi energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. 24. Konservasi sumber daya energi adalah pengelolaan sumber daya energi yang menjamin pemanfaatannya dan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. 25. Kebijakan energi nasional adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian dan ketahanan energi nasional. 26. Dewan Energi Nasional adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap yang bertanggung jawab atas perumusan kebijakan energi nasional. 27. Rencana umum energi adalah rencana pengelolaan energi untuk memenuhi kebutuhan energi di suatu wilayah, antarwilayah, atau nasional. 28. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 29. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 30. Menteri adalah menteri yang bidang tugasnya bertanggung jawab di bidang energi. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, efisiensi berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 3 Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi adalah: 385 a. tercapainya kemandirian pengelolaan energi; b. terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri; c. tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri sebagaimana dimaksud pada huruf b untuk: 1. pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri; 2. pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri; dan 3. peningkatan devisa negara; d. terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan; e. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; f. tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata dengan cara: 1. menyediakan bantuan untuk meningkatkan ketersediaan energi kepada masyarakat tidak mampu; 2. membangun infrastruktur energi untuk daerah belum berkembang sehingga dapat mengurangi disparitas antar daerah; g. tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia; h. terciptanya lapangan kerja; dan i. terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup. BAB III PENGATURAN ENERGI Bagian Kesatu Sumber Daya Energi Pasal 4 (1) Sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Sumber daya energi baru dan sumber daya energi terbarukan diatur oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 386 (3) Penguasaan dan pengaturan sumber daya energi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Cadangan Penyangga Energi Pasal 5 (1) Untuk menjamin ketahanan energi nasional, Pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi. (2) Ketentuan mengenai jenis, jumlah, waktu, dan lokasi cadangan penyangga energi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Pemerintah dan lebih lanjut ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional. Bagian Ketiga Keadaan Krisis dan Darurat Energi Pasal 6 (1) Krisis energi merupakan kondisi kekurangan energi. (2) Darurat energi merupakan kondisi terganggunya pasokan energi akibat terputusnya sarana dan prasarana energi. (3) Dalam hal krisis energi dan darurat energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat, dan/atau kegiatan perekonomian, Pemerintah wajib melaksanakan tindakan penanggulangan yang diperlukan. Bagian Keempat Harga Energi Pasal 7 (1) Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga energi dan dana subsidi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 387 Bagian Kelima Lingkungan dan Keselamatan Pasal 8 (1) Setiap kegiatan pengelolaan energi wajib mengutamakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. (2) Setiap kegiatan pengelolaan energi wajib memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan yang meliputi standardisasi, pengamanan dan keselamatan instalasi, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Bagian Keenam Tingkat Kandungan Dalam Negeri Pasal 9 (1) Tingkat kandungan dalam negeri, baik barang maupun jasa, wajib dimaksimalkan dalam pengusahaan energi. (2) Pemerintah wajib mendorong kemampuan penyediaan barang dan jasa dalam negeri guna menunjang industri energi yang mandiri, efisien, dan kompetitif. Bagian Ketujuh Kerja Sama Internasional Pasal 10 (1) Kerja sama internasional di bidang energi hanya dapat dilakukan untuk: a. menjamin ketahanan energi nasional; b. menjamin ketersediaan energi dalam negeri; dan c. meningkatkan perekonomian nasional. (2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal Pemerintah membuat perjanjian internasional dalam bidang energi yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 388 BAB IV KEBIJAKAN ENERGI DAN DEWAN ENERGI NASIONAL Bagian Kesatu Kebijakan Energi Nasional Pasal 11 (1) Kebijakan energi nasional meliputi, antara lain: a. ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional; b. prioritas pengembangan energi; c. pemanfaatan sumber daya energi nasional; dan d. cadangan penyangga energi nasional. (2) Kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR. Bagian Kedua Dewan Energi Nasional Pasal 12 (1) Presiden membentuk Dewan Energi Nasional. (2) Dewan Energi Nasional bertugas: a. merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional untuk ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. menetapkan rencana umum energi nasional; c. menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi; serta d. mengawasi pelaksanaan kebijakan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral. (3) Dewan Energi Nasional terdiri atas pimpinan dan anggota. (4) Pimpinan Dewan Energi Nasional terdiri atas: a. Ketua: Presiden; b. Wakil Ketua: Wakil Presiden; c. Ketua Harian: Menteri yang membidangi energi. 389 (5) Anggota Dewan Energi Nasional terdiri atas: a. tujuh orang, baik Menteri maupun pejabat pemerintah lainnya yang secara langsung bertanggung jawab atas penyediaan, transportasi, penyaluran, dan pemanfaatan energi; dan b. delapan orang dari pemangku kepentingan. Pasal 13 (1) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf a diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (2) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf b dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf b, terdiri atas: a. 2 (dua) orang dari kalangan akademisi; b. 2 (dua) orang dari kalangan industri; c. 1 (satu) orang dari kalangan teknologi; d. 1 (satu) orang dari kalangan lingkungan hidup; dan e. 2 (dua) orang dari kalangan konsumen. (4) Pemerintah mengusulkan calon anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak dua kali dari jumlah setiap kalangan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Penentuan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui proses penyaringan yang transparan dan akuntabel. (6) Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (5) huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaringan calon anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 14 (1) Masa jabatan Anggota Dewan Energi Nasional yang berasal dari Menteri dan pejabat Pemerintah lainnya berakhir setelah tidak menjabat lagi dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf a. 390 (2) Masa jabatan Anggota Dewan Energi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) huruf b adalah selama 5 (lima) tahun. Pasal 15 Anggaran biaya Dewan Energi Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 16 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Energi Nasional dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal. (2) Sekretaris jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Dewan Energi Nasional. Bagian Ketiga Rencana Umum Energi Nasional Pasal 17 (1) Pemerintah menyusun rancangan rencana umum energi nasional berdasarkan kebijakan energi nasional. (2) Dalam menyusun rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengikutsertakan pemerintah daerah serta memperhatikan pendapat dan masukan dari masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana umum energi nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Rencana Umum Energi Daerah Pasal 18 (1) Pemerintah daerah menyusun rencana umum energi daerah dengan mengacu pada rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) Rencana umum energi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 391 Bagian Kelima Hak dan Peran Masyarakat Pasal 19 (1) Setiap orang berhak memperoleh energi. (2) Masyarakat, baik secara perseorangan maupun kelompok, dapat berperan dalam: a. penyusunan rencana umum energi nasional dan rencana umum energi daerah; dan b. pengembangan energi untuk kepentingan umum. BAB V PENGELOLAAN ENERGI Bagian Kesatu Penyediaan dan Pemanfaatan Pasal 20 (1) Penyediaan energi dilakukan melalui: a. inventarisasi sumber daya energi; b. peningkatan cadangan energi; c. penyusunan neraca energi; d. diversifikasi, konservasi, dan intensifikasi sumber energi dan energi; dan e. penjaminan kelancaran penyaluran, transmisi, dan penyimpanan sumber energi dan energi. (2) Penyediaan energi oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah diutamakan di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan daerah perdesaan dengan menggunakan sumber energi setempat, khususnya sumber energi terbarukan. (3) Daerah penghasil sumber energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat. (4) Penyediaan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (5) Penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau 392 pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya. Pasal 21 (1) Pemanfaatan energi dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan: a. mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi; b. mempertimbangkan aspek teknologi, sosial, ekonomi, konservasi, dan lingkungan; dan c. memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi. (2) Pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemanfaatan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya. Pasal 22 (1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kemudahan dan/atau insentif oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) dan Pasal 21 ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan energi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah. Bagian Kedua Pengusahaan Pasal 23 (1) Pengusahaan energi meliputi pengusahaan sumber daya energi, sumber energi, dan energi. 393 (2) Pengusahaan energi dapat dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan. (3) Pengusahaan jasa energi hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan. (4) Pengusahaan jasa energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan klasifikasi jasa energi. (5) Klasifikasi jasa energi ditetapkan antara lain untuk melindungi dan memberikan kesempatan pertama dalam penggunaan jasa energi dalam negeri. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi jasa energi diatur dengan Peraturan Pemerintah. (7) Pengusahaan energi dan jasa energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 24 (1) Badan usaha yang melakukan kegiatan usaha energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 berkewajiban, antara lain: a. memberdayakan masyarakat setempat; b. menjaga dan memelihara fungsi kelestarian lingkungan c. memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan energi; dan d. memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bidang energi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pengusahaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Konservasi Energi Pasal 25 (1) Konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat. (2) Konservasi energi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh tahap pengelolaan energi. (3) Pengguna energi dan produsen peralatan hemat energi yang melaksanakan konservasi energi diberi kemudahan dan/atau insentif oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. 394 (4) Pengguna sumber energi dan pengguna energi yang tidak melaksanakan konservasi energi diberi disinsentif oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan konservasi energi serta pemberian kemudahan, insentif, dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah. BAB VI KEWENANGAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 26 (1) Kewenangan Pemerintah di bidang energi, antara lain: a. pembuatan peraturan perundang-undangan; b. penetapan kebijakan nasional; c. penetapan dan pemberlakuan standar; dan d. penetapan prosedur. (2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang energi, antara lain: a. pembuatan peraturan daerah provinsi; b. pembinaan dan pengawasan pengusahaan di lintas kabupaten/kota; dan c. penetapan kebijakan pengelolaan di lintas kabupaten/kota. (3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang energi, antara lain: a. pembuatan peraturan daerah kabupaten/kota; b. pembinaan dan pengawasan pengusahaan di kabupaten/kota; dan c. penetapan kebijakan pengelolaan di kabupaten/kota. (4) Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan 395 Pasal 27 Pembinaan kegiatan pengelolaan sumber daya energi, sumber energi, dan energi dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 28 Pengawasan kegiatan pengelolaan sumber daya energi, sumber energi dan energi dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. BAB VIII PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Pasal 29 (1) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penyediaan dan pemanfaatan energi wajib difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Penelitian dan pengembangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diarahkan terutama untuk pengembangan energi baru dan energi terbarukan untuk menunjang pengembangan industri energi nasional yang mandiri. Pasal 30 (1) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dana dari swasta. (3) Pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. (4) Ketentuan mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 396 BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 (1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan perundangundangan di bidang energi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Badan Koordinasi Energi Nasional tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuk Dewan Energi Nasional. (3) Sebelum terbentuk Dewan Energi Nasional, kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional disesuaikan dengan Undang-Undang ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 32 Dewan Energi Nasional harus dibentuk dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 33 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 34 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 397 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Agustus 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kebutuhan penyediaan tenaga listrik cenderung meningkat sehingga perlu meningkatkan ketersediaan tenaga listrik; b.bahwa energi panas bumi adalah salah satu sumber energi yang dapat digunakan untuk penyediaan tenaga listrik sehingga perlu memberikan kesempatan yang lebih luas bagi badan usaha yang melakukan kegiatan usaha panas bumi untuk penyediaan tenaga listrik; c. bahwa ketentuan mengenai jangka waktu pengembalian wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi belum memberikan waktu yang cukup bagi badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha panas bumi untuk melakukan kegiatan eksploitasi schingga jangka waktunya perlu diperpanjang; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pcmerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; 399 400 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI. Pasal I Ketentuan Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777), diubah sebagai berikut: “Pasal 86 Dalam hal pemegang kuasa, izin, dan/atau kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 belum melakukan kegiatan eksploitasi dalam wilayah kerjanya sampai dengan tanggal 31 Desember 2014, pemegang kuasa, izin, dan/atau kontrak wajib rnengembalikan wilayah kerja tersebut kepada Pemerintah.” Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 401 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 121 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI I. UMUM Berdasarkan ketentuan Pasal 85 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi bahwa keberadaan kuasa, izin, dan kontrak di bidang usaha panas bumi sebelum adanya Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa kuasa, izin, dan kontrak tersebut berakhir. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 jika dalam batas waktu paling lambat sampai dengan tanggal 21 Oktober 2010 badan usaha yang bersangkutan belum melakukan kegiatan eksploitasi, wilayah kerjanya wajib dikembalikan kepada Pemerintah. Dalam kenyataanya, belum dilaksanakan kegiatan eksploitasi oleh badan usaha disebabkan oleh permasalahan birokrasi dalam penerbitan rekomendasi dan perizinan di bidang pengusahaan panas bumi sehingga badan usaha tidak dapat melaksanakan kegiatan eksploitasi sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007. Hal ini dapat menganggu upaya Pemerintah menjamin ketersediaan dan terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat. Untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin ketersediaan dan terpenuhinya kebutuhan listrik masyarakat bagi badan usaha dipandang perlu untuk 403 404 memperpanjang jangka waktu penyerahan wilayah kerja, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 86. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. BAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5163 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. 405 406 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan, Mineral, Batubara, Usaha Pertambangan, Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP, Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WIUPK, Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUP Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi, Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut IPR, Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut IUPK, Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUPK Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUPK Operasi Produksi, Penyelidikan Umum, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Operasi Produksi, Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, Pengangkutan dan Penjualan, Reklamasi, Kegiatan Pascatambang yang selanjutnya disebut Pascatambang, dan Pemberdayaan Masyarakat adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. BAB II PEMBINAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha 407 pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Bagian Kedua Pembinaan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Pasal 3 Pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha per­ tambangan; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; dan d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara. Pasal 4 Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pasal 5 (1) Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: a. pedoman tata laksana; dan b. pedoman pelaksanaan. (2) Pedoman tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi pedoman struktur dan tata kerja penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (3) Pedoman pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: 408 a. pedoman teknis pertambangan; b. pedoman penyusunan laporan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan; c. pedoman penyusunan rencana kerja dan anggaran biaya; d. pedoman impor barang modal, peralatan, bahan baku, dan/atau bahan pendukung pertambangan; e. pedoman penyusunan rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan; f. pedoman pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar tambang; g. pedoman pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan; h. pedoman penyusunan laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, reklamasi, dan pascatambang; i. pedoman evaluasi terhadap laporan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan; j. pedoman penyusunan laporan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan k. pedoman evaluasi laporan penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pasal 6 (1) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan terhadap penyelenggara pengelolaan usaha pertambangan. (2) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Pasal 7 Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c paling sedikit meliputi kegiatan pendidikan dan pelatihan teknis manajerial, teknis pertambangan, dan pengawasan di bidang mineral dan batubara. 409 Pasal 8 (1) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan pada Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. (2) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan/atau perguruan tinggi serta lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 9 Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah provinsi, perguruan tinggi, serta lembaga lainnya setelah mendapat akreditasi dari komite akreditasi yang dibentuk oleh Menteri. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta pemberian akreditasi diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 11 (1) Pembinaan terhadap perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dilakukan oleh Menteri melalui pemberian bimbingan teknis penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian bimbingan teknis penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pembinaan Atas Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Pasal 12 (1) Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan paling sedikit terhadap: 410 a. pengadministrasian pertambangan; b. teknis operasional pertambangan; dan c. penerapan standar kompetensi tenaga kerja pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III PENGAWASAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. Bagian Kedua Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Pasal 14 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) meliputi pengawasan terhadap: a. penetapan WPR; b. penetapan dan pemberian WIUP mineral bukan logam dan batuan; c. pemberian WIUP mineral logam dan batubara; d. penerbitan IPR; e. penerbitan IUP; dan f. penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh pemegang IPR dan IUP. 411 (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. Pasal 15 (1) Hasil pengawasan yang dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disampaikan kepada gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan tembusannya disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. (2) Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menindaklanjuti hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri melakukan pemantauan atas pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pengawasan Atas Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Pasal 16 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan terhadap: a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengelolaan data mineral dan batubara; e. konservasi sumber daya mineral dan batubara; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa serta rancang bangun dalam negeri; j. pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; 412 k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan; m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK; dan o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. Pasal 17 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan melalui: a. evaluasi terhadap laporan rencana dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IPR, dan IUPK; dan/atau b. inspeksi ke lokasi IUP, IPR, dan IUPK. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. Pasal 18 (1) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang dilakukan oleh bupati/walikota disampaikan kepada gubernur dan Menteri. (2) Gubernur melakukan evaluasi atas hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan hasil evaluasinya kepada Menteri. Pasal 19 Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang dilakukan oleh gubernur disampaikan kepada Menteri. Pasal 20 (1) Menteri melakukan evaluasi atas hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada gubernur atau bupati/walikota dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri. Pasal 21 (1) Pengawasan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a untuk: 413 a. IUP atau IUPK Eksplorasi dilakukan paling sedikit terhadap: 1. pelaksanaan teknik eksplorasi; dan 2. tata cara penghitungan sumber daya dan cadangan. b. IUP atau IUPK Operasi Produksi paling sedikit terhadap: 1. perencanaan dan pelaksanaan konstruksi termasuk pengujian alat pertambangan (commisioning); 2. perencanaan dan pelaksanaan penambangan; 3. perencanaan dan pelaksanaan pengolahan dan pemurnian; dan 4. perencanaan dan pelaksanaan pengangkutan dan penjualan. (2) Pengawasan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang. Pasal 22 (1) Pengawasan pemasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b paling sedikit meliputi: a. realisasi produksi dan realisasi penjualan termasuk kualitas dan kuantitas serta harga mineral dan batubara; b. kewajiban pemenuhan kebutuhan mineral atau batubara untuk kepentingan dalam negeri; c. rencana dan realisasi kontrak penjualan mineral atau batubara; d. biaya penjualan yang dikeluarkan; e. perencanaan dan realisasi penerimaan negara bukan pajak; dan f. biaya pengolahan dan pemurnian mineral dan/atau batubara. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 23 (1) Pengawasan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c paling sedikit meliputi: a. perencanaan anggaran; b. realisasi anggaran; c. realisasi investasi; dan d. pemenuhan kewajiban pembayaran. 414 (2) Pemenuhan kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit meliputi: a. iuran tetap untuk WIUP mineral logam, WIUP batubara WPR, atau WIUPK; b. iuran produksi mineral logam, batubara, dan mineral bukan logam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. pembayaran sebesar 10% (sepuluh persen) dari keuntungan bersih bagi pemegang IUPK Operasi Produksi mineral logam atau batubara. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 24 (1) Pengawasan pengelolaan data mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, paling sedikit meliputi pengawasan terhadap kegiatan perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan data dan/atau informasi. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 25 (1) Pengawasan konservasi sumber daya mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e paling sedikit meliputi: a. recovery penambangan dan pengolahan; b. pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marginal; c. pengelolaan dan/atau pemanfaatan batubara kualitas rendah dan mineral kadar rendah; d. pengelolaan dan/atau pemanfaatan mineral ikutan; e. pendataan sumber daya serta cadangan mineral dan batubara yang tidak tertambang; dan f. pendataan dan pengelolaan sisa hasil pengolahan dan pemurnian. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang. 415 Pasal 26 (1) Pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf f terdiri atas: a. keselamatan kerja; b. kesehatan kerja; c. lingkungan kerja; dan d. sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya dilakukan oleh Inspektur Tambang berkoordinasi dengan pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 (1) Pengawasan keselamatan operasi pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf g paling sedikit meliputi: a. sistem dan pelaksanaan pemeliharaan/perawatan sarana, prasarana, instalasi, dan peralatan pertambangan; b. pengamanan instalasi; c. kelayakan sarana, prasarana instalasi, dan peralatan pertambangan; d. kompetensi tenaga teknik; dan e. evaluasi laporan hasil kajian teknis pertambangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang dan dapat berkoordinasi dengan pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 28 (1) Pengawasan pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf h paling sedikit meliputi: a. pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai dengan dokumen pengelolaan lingkungan atau izin lingkungan yang dimiliki dan telah disetujui; b. penataan, pemulihan, dan perbaikan lahan sesuai dengan peruntukannya; c. penetapan dan pencairan jaminan reklamasi; d. pengelolaan pascatambang; e. penetapan dan pencairan jaminan pascatambang; dan 416 f. pemenuhan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang dan berkoordinasi dengan pejabat pengawas di bidang lingkungan hidup dan di bidang reklamasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan Pasal 29 (1) Pengawasan pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf i dilakukan terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun. (2) Penggunaan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dilaksanakan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi pelaksana usaha jasa pertambangan mineral dan batubara serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Inspektur Tambang. Pasal 30 (1) Pengawasan pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf j paling sedikit meliputi: a. pelaksanaan program pengembangan; b. pelaksanaan uji kompetensi; dan c. rencana biaya pengembangan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31 (1) Pengawasan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf k paling sedikit meliputi: a. program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; b. pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan c. biaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. 417 (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32 (1) Pengawasan kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf m paling sedikit meliputi: a. fasilitas umum yang dibangun oleh pemegang IUP atau pemegang IUPK untuk masyarakat sekitar tambang; dan b. pembiayaan untuk pembangunan atau sebagaimana dimaksud pada huruf a. penyediaan fasilitas umum (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 33 (1) Pengawasan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf n paling sedikit meliputi: a. luas wilayah; b. lokasi penambangan; c. lokasi pengolahan dan pemurnian; d. jangka waktu tahap kegiatan; e. penyelesaian masalah pertanahan; f. penyelesaian perselisihan; dan g. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 34 (1) Pengawasan jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf o paling sedikit meliputi: a. jenis komoditas tambang; 418 b. kuantitas dan kualitas produksi untuk setiap lokasi penambangan; c. kuantitas dan kualitas pencucian dan/atau pengolahan dan pemurnian; dan d. tempat penimbunan sementara (run of mine), tempat penimbunan (stock pile), dan titik serah penjualan (at sale point). (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 35 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara serta pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pelaksanaan Pengawasan Pasal 36 (1) Pengawasan oleh Inspektur Tambang dilakukan melalui: a. evaluasi terhadap laporan berkala dan/atau sewaktuwaktu; b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu; dan c. penilaian atas keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan. (2) Dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektur Tambang melakukan kegiatan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian. (3) Dalam melakukan inspeksi, penyelidikan, dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Inspektur Tambang berwenang: a. memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat; b. menghentikan sementara waktu sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan mineral dan batubara apabila kegiatan pertambangan dinilai dapat membahayakan keselamatan pekerja/buruh tambang, keselamatan umum, atau menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan; dan c. mengusulkan penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf b menjadi penghentian secara tetap kegiatan pertambangan mineral dan batubara kepada Kepala Inspektur Tambang. 419 Pasal 37 (1) Pengawasan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya dilakukan melalui: a. pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu; dan/atau b. verifikasi dan evaluasi terhadap laporan dari pemegang IUP, IPR, atau IUPK. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pejabat yang ditunjuk berwenang memasuki tempat kegiatan usaha pertambangan setiap saat. Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan pejabat dan pengangkatan Inspektur Tambang diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 420 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 85 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, Ttd, Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Pemanfaatan kekayaan alam berupa mineral dan batubara harus dikelola secara profesional dan transparan agar memiliki nilai tambah bagi peningkatan pendapatan nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan mineral dan batubara yang memenuhi prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah tetapi juga dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Oleh karena itu, penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan harus dilakukan berdasarkan pedoman dan standar yang baku agar diperoleh kejelasan dan kepastian bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang mineral dan batubara. Pembinaan dan pengawasan dilakukan selain terhadap kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, pertambangan rakyat juga dilakukan terhadap pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar kegiatan usaha pertambangan. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan 421 422 batubara, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Bimbingan, supervisi, dan konsultasi dalam ketentuan ini dapat berupa sosialisasi, penyuluhan, lokakarya, inspeksi bersama, seminar, dan pertemuan teknis di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Ayat (2) Sesuai dengan kebutuhan dalam ketentuan ini dilakukan berdasarkan penilaian Menteri atau atas permintaan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/ kota. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. 423 Pasal 9 Lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya dalam ketentuan ini termasuk lembaga pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh swasta atau masyarakat. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. 424 Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Huruf a Keselamatan kerja dalam ketentuan ini meliputi, antara lain: a. manajemen risiko; b. program keselamatan kerja yang meliputi, antara lain, pencegahan kecelakan, peledakan, kebakaran, dan kejadian lain yang berbahaya; c. pelatihan dan pendidikan keselamatan kerja; d. administrasi keselamatan kerja; e. manajemen keadaan darurat; f. inspeksi keselamatan kerja; g. pencegahan dan penyelidikan kecelakaan. Huruf b Kesehatan kerja dalam ketentuan ini meliputi, antara lain: a. program kesehatan pekerja/buruh yang meliputi, antara lain, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, pertolongan pertama pada kecelakaan, serta pelatihan dan pendidikan kesehatan kerja; b. higienis dan sanitasi; 425 c. ergonomis; d. pengelolaan makanan, minuman, dan gizi pekerja/buruh; dan/atau e. dianogsis dan pemeriksaan penyakit akibat kerja. Huruf c Lingkungan kerja dalam ketentuan ini meliputi, antara lain: a. pengendalian debu; b. pengendalian kebisingan; c. pengendalian getaran; d. pencahayaan; e. kualitas udara kerja; f. pengendalian radiasi; g. pengendalian faktor kimia; h. pengendalian faktor biologi; dan i. kebersihan lingkungan kerja. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan” adalah peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. 426 Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Fasilitas umum dalam ketentuan ini misalnya jalan umum, sekolah, dan klinik. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Kepala Inspektur Tambang” adalah pejabat yang secara ex officio menduduki jabatan: 1. direktur yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang keteknikan pertambangan mineral dan batubara di Pemerintah; 427 2. kepala dinas teknis provinsi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara di pemerintah provinsi; 3. kepala dinas teknis kabupaten/kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang pertambangan mineral dan batubara di pemerintah kabupaten/kota. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 49, Pasal 63, Pasal 65 ayat (2), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76 ayat (3), Pasal 84, Pasal 86 ayat (2), Pasal 103 ayat (3), Pasal 109, Pasal 111 ayat (2), Pasal 112, Pasal 116, dan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. 429 430 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan, Mineral, Batubara, Pertambangan Mineral, Pertambangan Batubara, Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, Badan Usaha, Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP, Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUP Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUP Operasi Produksi, Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut IUPK, Izin Usaha Pertambangan Khusus Eksplorasi yang selanjutnya disebut IUPK Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi yang selanjutnya disebut IUPK Operasi Produksi, Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut IPR, Eksplorasi, dan Operasi Produksi adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Afiliasi adalah badan usaha yang mempunyai kepemilikan saham langsung dengan pemegang IUP atau IUPK. 3. Badan Usaha Swasta Nasional adalah badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang kepemilikan sahamnya 100% (seratus persen) dalam negeri. 4. Badan usaha milik negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah BUMN yang bergerak di bidang pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 5. Badan usaha milik daerah yang selanjutnya disebut BUMD, adalah BUMD yang bergerak di bidang pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 6. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orangseorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. 7. Masyarakat adalah pertambangan. masyarakat yang berdomisili disekitar operasi 431 8. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. 9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Pasal 2 (1) Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara ditujukan untuk melaksanakan kebijakan dalam mengutamakan penggunaan mineral dan/ atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. (2) Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang: a. mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya; b. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin; c. mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen; d. batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit, basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur mineral logam atau unsure 432 mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan e. batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut. (3) Perubahan atas penggolongan komoditas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Pasal 3 (1) Usaha pertambangan dilakukan berdasarkan IUP, IPR, atau IUPK. (2) IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam WIUP untuk IUP, WPR untuk IPR, atau WIUPK untuk IUPK. (3) WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada dalam WUP yang ditetapkan oleh Menteri. (4) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh bupati/walikota. (5) WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada dalam WUPK yang ditetapkan oleh Menteri. (6) WUP, WPR, atau WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berada dalam WP. (7) Ketentuan mengenai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 4 Untuk memperoleh IUP, IPR, dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), pemohon harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial. Pasal 5 Lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi pemberian IUP, IPR, dan IUPK, kewajiban pemegang IUP, IPR, dan IUPK, serta pengutamaan penggunaan mineral logam dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. BAB II IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum 433 Pasal 6 (1) IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan. (2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa badan usaha swasta, BUMN, atau BUMD. (3) Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer. (4) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan WIUP. (5) Dalam 1 (satu) WIUP dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IUP. Pasal 7 IUP diberikan melalui tahapan: a. pemberian WIUP; dan b. pemberian IUP. Bagian Kedua Pemberian WIUP Paragraf 1 Umum Pasal 8 (1) Pemberian WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a terdiri atas: a. WIUP radioaktif; b. WIUP mineral logam; c. WIUP batubara; d. WIUP mineral bukan logam; dan/atau e. WIUP batuan. (2) WIUP radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 434 (3) WIUP mineral logam dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diperoleh dengan cara lelang. (4) WIUP mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah. Pasal 9 (1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP. (2) Setiap pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) WIUP. (3) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan badan usaha yang telah terbuka (go public), dapat diberikan lebih dari 1 (satu) WIUP. Paragraf 2 Tata Cara Pemberian WIUP Mineral Logam dan Batubara Pasal 10 (1) Sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengumumkan secara terbuka WIUP yang akan dilelang kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan lelang. (2) Sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Menteri harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari gubernur dan bupati/walikota; b. gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari bupati/ walikota. (3) Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi. Pasal 11 (1) Dalam pelaksanaan pelelangan WIUP mineral logam dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk panitia lelang oleh: 435 a. Menteri, untuk panitia pelelangan WIUP yang berada di lintas provinsi dan/ atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; b. gubernur, untuk panitia pelelangan WIUP yang berada di lintas kabupaten/ kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai; dan c. bupati/walikota, untuk panitia pelelangan WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. (2) Panitia lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditetapkan oleh: a. Menteri, beranggotakan gasal dan paling sedikit 7 (tujuh) orang yang memiliki kompetensi di bidang pertambangan mineral dan/atau batubara; b. gubernur, beranggotakan gasal dan paling sedikit 5 (lima) orang yang memiliki kompetensi di bidang pertambangan mineral dan/atau batubara; dan c. bupati/walikota, beranggotakan gasal dan paling sedikit 5 (lima) orang yang memiliki kompetensi di bidang pertambangan mineral dan/atau batubara. (3) Dalam panitia lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengikutsertakan unsur dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/ kota. Pasal 12 Tugas dan wewenang panitia lelang WIUP mineral logam dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 meliputi: a. menyiapkan lelang WIUP; b. menyiapkan dokumen lelang WIUP; c. menyusun jadwal lelang WIUP; d. mengumumkan waktu pelaksanaan lelang WIUP; e. melaksanakan pengumuman ulang paling banyak 2 (dua) kali, apabila peserta lelang WIUP hanya 1 (satu); f. menilai kualifikasi peserta lelang WIUP; g. melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; h. melaksanakan lelang WIUP; dan i. membuat berita acara hasil pelaksanaan lelang dan mengusulkan pemenang lelang WIUP. 436 Pasal 13 (1) Untuk mengikuti lelang, peserta lelang WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. administratif; b. teknis; dan c. finansial. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk: a. badan usaha, paling sedikit meliputi: 1. mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. profil badan usaha; 3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; dan 4. nomor pokok wajib pajak. b. koperasi, paling sedikit meliputi: 1. mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. profil koperasi; 3. akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; dan 4. nomor pokok wajib pajak. c. orang perseorangan paling sedikit meliputi: 1. mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. kartu tanda penduduk; dan 3. nomor pokok wajib pajak. d. perusahaan firma dan perusahaan komanditer paling sedikit meliputi: 1. mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; 2. profil perusahaan; 3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di bidang usaha pertambangan; dan 4. nomor pokok wajib pajak. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: a. pengalaman badan usaha, koperasi, atau perseorangan di bidang pertambangan mineral atau batubara paling sedikit 3 (tiga) tahun, atau bagi perusahaan baru harus mendapat dukungan dari perusahaan induk, mitra kerja, atau afiliasinya yang bergerak di bidang pertambangan; 437 b. mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang tenaga ahli dalam bidang pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun; dan c. rencana kerja dan anggaran biaya untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi. (4) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. laporan keuangan tahun terakhir yang sudah diaudit akuntan publik; b. menempatkan jaminan kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai di bank pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi atau dari total biaya pengganti investasi untuk lelang WIUP yang telah berakhir; dan c. pernyataan bersedia membayar nilai lelang WIUP dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja, setelah pengumuman pemenang lelang. Pasal 14 (1) Prosedur lelang meliputi tahap: a. pengumuman prakualifikasi; b. pengambilan dokumen prakualifikasi; c. pemasukan dokumen prakualifikasi; d. evaluasi prakualifikasi; e. klarifikasi dan konfirmasi terhadap dokumen prakualifikasi; f. penetapan hasil prakualifikasi; g. pengumuman hasil prakualifikasi; h. undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi; i. pengambilan dokumen lelang; j. penjelasan lelang; k. pemasukan penawaran harga; l. pembukaan sampul; m. penetapan peringkat; n. penetapan/pengumuman pemenang lelang yang dilakukan berdasarkan penawaran harga dan pertimbangan teknis; dan o. memberi kesempatan adanya sanggahan atas keputusan lelang. (2) Penjelasan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j wajib dilakukan oleh panitia lelang WIUP kepada peserta pelelangan WIUP yang lulus prakualifikasi untuk menjelaskan data teknis berupa: a. lokasi; b. koordinat; 438 c. d. e. f. jenis mineral, termasuk mineral ikutannya, dan batubara; ringkasan hasil penelitian dan penyelidikan; ringkasan hasil eksplorasi pendahuluan apabila ada; dan status lahan. Pasal 15 (1) Panitia lelang sesuai dengan kewenangannya yang diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat memberikan kesempatan kepada peserta pelelangan WIUP yang lulus prakualifikasi untuk melakukan kunjungan lapangan dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan jarak lokasi yang akan dilelang setelah mendapatkan penjelasan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j. (2) Dalam hal peserta pelelangan WIUP yang akan melakukan kunjungan lapangan mengikutsertakan warga negara asing wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Biaya yang diperlukan untuk melakukan kunjungan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada peserta pelelangan WIUP. Pasal 16 (1) Jangka waktu prosedur pelelangan ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) hari kerja sejak pemasukan penawaran harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k. (2) Hasil pelaksanaan lelang WIUP dilaporkan oleh panitia lelang kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk ditetapkan pemenang lelang WIUP. Pasal 17 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan usulan panitia lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menetapkan pemenang lelang WIUP mineral logam dan/atau batubara. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberitahukan secara tertulis penetapan pemenang lelang WIUP mineral logam dan/atau batubara kepada pemenang lelang. 439 Pasal 18 (1) Apabila peserta lelang yang memasukan penawaran harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k hanya terdapat 1 (satu) peserta lelang, dilakukan pelelangan ulang. (2) Dalam hal peserta lelang ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap hanya 1 (satu) peserta, ditetapkan sebagai pemenang dengan ketentuan harga penawaran harus sama atau lebih tinggi dari harga dasar lelang yang telah ditetapkan. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara lelang WIUP diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Tata Cara Pemberian WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan Pasal 20 (1) Untuk mendapatkan WIUP mineral bukan logam atau batuan, badan usaha, koperasi, atau perseorangan mengajukan permohonan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) kepada: a. Menteri, untuk permohonan WIUP yang berada lintas wilayah provinsi dan/ atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; b. gubernur, untuk permohonan WIUP yang berada lintas wilayah kabupaten/ kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil; dan c. bupati/walikota, untuk permohonan WIUP yang berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil. (2) Sebelum memberikan WIUP mineral bukan logam atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Menteri harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari gubernur dan bupati/walikota; b. gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari bupati/ walikota. 440 (3) Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permintaan rekomendasi. Pasal 21 (1) Permohonan WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang terlebih dahulu telah memenuhi persyaratan koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan system informasi geografi yang berlaku secara nasional dan membayar biaya pencadangan wilayah dan pencetakan peta, memperoleh prioritas pertama untuk mendapatkan WIUP. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterima permohonan wajib memberikan keputusan menerima atau menolak atas permohonan WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Keputusan menerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pemohon WIUP disertai dengan penyerahan peta WIUP berikut batas dan koordinat WIUP. (4) Keputusan menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2 harus disampaikan secara tertulis kepada pemohon WIUP disertai dengan alasan penolakan. Bagian Ketiga Pemberian IUP Paragraf 1 Umum Pasal 22 (1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b terdiri atas: a. IUP Eksplorasi; dan b. IUP Operasi Produksi. (2) IUP Eksplorasi terdiri atas: a. mineral logam; b. batubara; c. mineral bukan logam; dan/atau d. batuan. 441 (3) IUP Operasi Produksi terdiri atas: a. mineral logam; b. batubara; c. mineral bukan logam; dan/atau d. batuan. Paragraf 2 Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi Pasal 23 Persyaratan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi meliputi persyaratan: a. administratif; b. teknis; c. lingkungan; dan d. finansial. Pasal 24 (1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a untuk badan usaha meliputi: a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara: 1. surat permohonan; 2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 3. surat keterangan domisili. b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan: 1. surat permohonan; 2. profil badan usaha; 3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. nomor pokok wajib pajak; 5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 6. surat keterangan domisili. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a untuk koperasi meliputi: 442 a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara: 1. surat permohonan; 2. susunan pengurus; dan 3. surat keterangan domisili. b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan: 1. surat permohonan; 2. profil koperasi; 3. akte pendirian koperasi yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. nomor pokok wajib pajak; 5. susunan pengurus; dan 6. surat keterangan domisili. (3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a untuk orang perseorangan meliputi: a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara: 1. surat permohonan; dan 2. surat keterangan domisili. b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan: 1. surat permohonan; 2. kartu tanda penduduk; 3. nomor pokok wajib pajak; dan 4. surat keterangan domisili. (4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a untuk perusahaan firma dan perusahaan komanditer meliputi: a. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral logam dan batubara: 1. surat permohonan; 2. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 3. surat keterangan domisili. b. Untuk IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi mineral bukan logam dan batuan: 1. surat permohonan; 443 2. profil perusahaan; 3. akte pendirian perusahaan yang bergerak di pertambangan; 4. nomor pokok wajib pajak; 5. susunan pengurus dan daftar pemegang saham; dan 6. surat keterangan domisili. bidang usaha Pasal 25 Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b untuk: a. IUP Eksplorasi, meliputi: 1. daftar riwayat hidup dan surat pernyataan tenaga ahli pertambangan dan/ atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun; 2. peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional. b. IUP Operasi Produksi, meliputi: 1. peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan system informasi geografi yang berlaku secara nasional; 2. laporan lengkap eksplorasi; 3. laporan studi kelayakan; 4. rencana reklamasi dan pascatambang; 5. rencana kerja dan anggaran biaya; 6. rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; dan 7. tersedianya tenaga ahli pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun. Pasal 26 Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c meliputi: a. untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi: 1. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan 444 2. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 (1) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d untuk: a. IUP Eksplorasi, meliputi: 1. bukti penempatan eksplorasi; dan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan 2. bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi hasil lelang WIUP mineral logam atau batubara sesuai dengan nilai penawaran lelang atau bukti pembayaran biaya pencadangan wilayah dan pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah. b. IUP Operasi Produksi, meliputi: 1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; 2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir; dan 3. bukti pembayaran pengganti investasi sesuai dengan nilai penawaran lelang bagi pemenang lelang WIUP yang telah berakhir. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan kesungguhan diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 IUP Eksplorasi Pasal 28 IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a diberikan oleh: a. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; b. gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai; dan c. bupati/walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. 445 Pasal 29 (1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diberikan berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang telah mendapatkan WIUP dan memenuhi persyaratan. (2) IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Pasal 30 (1) Pemenang lelang WIUP mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUP. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. (3) Apabila pemenang lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang jaminan kesungguhan lelang menjadi milik Pemerintah atau milik pemerintah daerah. (4) Dalam hal pemenang lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap mengundurkan diri, WIUP ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang dengan syarat nilai harga kompensasi data informasi sama dengan harga yang ditawarkan oleh pemenang pertama. (5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan lelang ulang WIUP apabila peserta lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak ada yang berminat. Pasal 31 (1) Menteri menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/ atau batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) kepada gubernur dan bupati/ walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan/atau batuan. (2) Gubernur menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perseorangan kepada 446 bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan/atau batuan. (3) Gubernur atau bupati/walikota memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya tanda bukti penyampaian peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan. Pasal 32 (1) Badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan harus menyampaikan permohonan IUP Eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. (3) Apabila badan usaha, koperasi, atau perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUP, dianggap mengundurkan diri dan uang pencadangan wilayah menjadi milik Pemerintah atau milik pemerintah daerah. (4) Dalam hal badan usaha, koperasi, atau perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap mengundurkan diri maka WIUP menjadi wilayah terbuka. Pasal 33 Pemegang IUP Eksplorasi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya. Paragraf 4 IUP Operasi Produksi Pasal 34 (1) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. 447 (2) Pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi. (3) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. (4) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. Pasal 35 (1) IUP Operasi Produksi diberikan oleh: a. bupati/walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/ kota atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai; b. gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda dalam 1 (satu) provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari bupati/walikota; atau c. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam hal lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian serta pelabuhan berada di dalam wilayah yang berbeda serta kepemilikannya juga berbeda maka IUP Operasi Produksi masing-masing diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 36 Dalam hal pemegang IUP Operasi Produksi tidak melakukan kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian, kegiatan pengangkutan dan penjualan dan/atau pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh pihak lain yang memiliki: a. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan; b. IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian; dan/atau 448 c. IUP Operasi Produksi. Pasal 37 (1) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a diberikan oleh: a. Menteri apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan lintas provinsi dan negara; b. gubernur apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dilakukan lintas kabupaten/kota; atau c. bupati/walikota apabila kegiatan pengangkutan dan penjualan dalam 1 (satu) kabupaten/kota. (2) IUP Operasi Produksi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b diberikan oleh: a. Menteri, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari provinsi lain dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada lintas provinsi; b. gubernur, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari beberapa kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada lintas kabupaten/kota; atau c. bupati/walikota, apabila komoditas tambang yang akan diolah berasal dari 1 (satu) kabupaten/kota dan/atau lokasi kegiatan pengolahan dan pemurnian berada pada 1 (satu) kabupaten/kota. (3) Dalam hal komoditas tambang yang akan diolah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari impor, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian diberikan oleh Menteri. Pasal 38 Dalam hal berdasarkan hasil dokumen lingkungan hidup yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang berdampak lingkungan pada: a. 1 (satu) kabupaten/kota, IUP Operasi Produksi diberikan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi dari Menteri dan gubernur; b. lintas kabupaten/kota, IUP Operasi Produksi diberikan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dari bupati/walikota; atau c. lintas provinsi, IUP Operasi Produksi diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi dari bupati/walikota dan gubernur. 449 Pasal 39 Badan usaha yang melakukan kegiatan jual beli mineral logam atau batubara di Indonesia, harus memiliki IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 40 Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya. Pasal 41 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP Operasi Produksi khusus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pemasangan Tanda Batas Pasal 42 (1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUP Operasi Produksi, pemegang IUP Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUP. (2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi. (3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUP Operasi Produksi, harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUP. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUP diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Komoditas Tambang Lain Dalam WIUP 450 Pasal 44 (1) Dalam hal pada lokasi WIUP ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUP, pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi memperoleh keutamaan dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya yang ditemukan. (2) Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membentuk badan usaha baru. (3) Apabila pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi tidak berminat atas komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kesempatan pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara lelang atau permohonan wilayah. (4) Pihak lain yang mendapatkan IUP berdasarkan lelang atau permohonan wilayah harus berkoordinasi dengan pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi pertama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUP baru sesuai komoditas tambang lain diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Perpanjangan IUP Operasi Produksi Pasal 45 (1) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi diajukan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya paling cepat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUP. (2) Permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilengkapi: a. peta dan batas koordinat wilayah; b. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir; c. laporan akhir kegiatan operasi produksi; d. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan; e. rencana kerja dan anggaran biaya; dan f. neraca sumber daya dan cadangan. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menolak permohonan perpanjangan IUP Operasi Produksi apabila pemegang IUP 451 Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUP Operasi Produksi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik. (4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IUP Operasi Produksi paling lambat sebelum berakhirnya IUP Operasi Produksi. (5) Pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan sebanyak 2 (dua) kali. (6) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali, harus mengembalikan WIUP Operasi Produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 46 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (6), dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUP berakhir, harus menyampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenai keberadaan potensi dan cadangan mineral atau batubara pada WIUP-nya. (2) WIUP yang IUP-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang masih berpotensi untuk diusahakan, WIUPnya dapat ditawarkan kembali melalui mekanisme lelang atau permohonan wilayah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Dalam pelaksanaan lelang WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUP sebelumnya mendapat hak menyamai. BAB III IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT Bagian Kesatu Umum Pasal 47 (1) IPR diberikan oleh bupati/walikota berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penduduk setempat, baik orang perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. 452 (2) IPR diberikan setelah ditetapkan WPR oleh bupati/walikota. (3) Dalam 1 (satu) WPR dapat diberikan 1 (satu) atau beberapa IPR. Bagian Kedua Pemberian IPR Pasal 48 (1) Setiap usaha pertambangan rakyat pada WPR dapat dilaksanakan apabila telah mendapatkan IPR. (2) Untuk mendapatkan IPR, pemohon harus memenuhi: a. persyaratan administratif; b. persyaratan teknis; dan c. persyaratan finansial. (3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk: a. orang perseorangan, paling sedikit meliputi: 1. surat permohonan; 2. kartu tanda penduduk; 3. komoditas tambang yang dimohon; dan 4. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat. b. kelompok masyarakat, paling sedikit meliputi: 1. surat permohonan; 2. komoditas tambang yang dimohon; dan 3. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat. c. koperasi setempat, paling sedikit meliputi: 1. surat permohonan; 2. nomor pokok wajib pajak; 3. akte pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. komoditas tambang yang dimohon; dan 5. surat keterangan dari kelurahan/desa setempat. (4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa surat pernyataan yang memuat paling sedikit mengenai: a. sumuran pada IPR paling dalam 25 (dua puluh lima) meter; b. menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power untuk 1 (satu) IPR; dan 453 c. tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak. (5) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat. BAB IV IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Bagian Kesatu Umum Pasal 49 (1) IUPK diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan yang diajukan oleh BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta. (2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah diperoleh WIUPK yang telah ditetapkan oleh Menteri. (3) Dalam 1 (satu) WIUPK dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa IUPK. (4) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) WIUPK, kecuali pemohon merupakan badan usaha yang telah terbuka dapat diberikan lebih dari 1 (satu) WIUPK. (5) Ketentuan mengenai penetapan WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 50 IUPK diberikan melalui tahapan: a. pemberian WIUPK; dan b. pemberian IUPK. Bagian Kedua Pemberian WIUPK Paragraf 1 Umum 454 Pasal 51 (1) Pemberian WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a terdiri atas WIUPK mineral logam dan/atau batubara. (2) WIUPK diberikan kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta oleh Menteri. (3) Menteri dalam memberikan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu menawarkan kepada BUMN atau BUMD dengan cara prioritas. (4) Dalam hal peminat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya ada 1 (satu) BUMN atau BUMD, WIUPK diberikan kepada BUMN atau BUMD dengan membayar biaya kompensasi data informasi. (5) Dalam hal peminat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih dari 1 (satu) BUMN atau BUMD, WIUPK diberikan dengan cara lelang. (6) Pemenang lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai kewajiban membayar biaya kompensasi data informasi sesuai dengan nilai lelang. Pasal 52 (1) Dalam hal tidak ada BUMN atau BUMD yang berminat, WIUPK ditawarkan kepada badan usaha swasta yang bergerak dalam bidang pertambangan mineral atau batubara dengan cara lelang. (2) Pemenang lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai kewajiban membayar biaya kompensasi data informasi sesuai dengan nilai lelang. Paragraf 2 Tata Cara Pemberian Prioritas WIUPK Mineral Logam dan Batubara Pasal 53 (1) BUMN dan BUMD yang telah mendapatkan WIUPK wajib mengajukan permohonan IUPK mineral logam atau batubara kepada Menteri. (2) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan IUPK kepada BUMN atau BUMD setelah memenuhi persyaratan. Paragraf 3 Tata Cara Lelang WIUPK Mineral Logam dan Batubara 455 Pasal 54 (1) Sebelum dilakukan pelelangan WIUPK mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan Pasal 52, Menteri mengumumkan secara terbuka WIUPK yang akan dilelang dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pelaksanaan lelang. (2) Dalam pelaksanaan pelelangan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk panitia lelang WIUPK mineral logam atau batubara. (3) Anggota panitia lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah gasal yang memiliki kompetensi di bidang pertambangan mineral atau batubara. Pasal 55 Tugas dan wewenang panitia lelang WIUPK mineral logam dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 meliputi: a. penyiapan lelang WIUPK; b. penyiapan dokumen lelang WIUPK; c. penyusunan jadwal lelang WIUPK; d. pengumuman waktu pelaksanaan lelang WIUPK; e. pelaksanaan pengumuman ulang paling banyak 2 (dua) kali, apabila peserta lelang WIUPK hanya 1 (satu); f. penilaian kualifikasi peserta lelang WIUPK; g. melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; h. pelaksanaan lelang WIUPK; dan i. pembuatan berita acara hasil pelaksanaan lelang dan mengusulkan pemenang lelang WIUPK. Pasal 56 (1) Untuk mengikuti lelang, peserta lelang WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (5) dan Pasal 52 ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. administratif; b. teknis; dan c. finansial. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. mengisi formulir yang sudah disiapkan panitia lelang; b. profil badan usaha; 456 c. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; dan d. nomor pokok wajib pajak. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. pengalaman badan usaha di bidang pertambangan mineral atau batubara paling sedikit 3 (tiga) tahun, atau bagi perusahaan baru harus mendapat dukungan dari perusahaan induk, mitra kerja, atau afiliasinya yang bergerak di bidang pertambangan; b. mempunyai paling sedikit 1 (satu) tenaga ahli dalam bidang pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun; c. rencana kerja dan anggaran biaya untuk kegiatan 1 (satu) tahun. (4) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. laporan keuangan tahun terakhir yang sudah diaudit akuntan publik; b. menempatkan jaminan kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai di bank pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi atau total biaya pengganti investasi untuk lelang WIUPK yang telah berakhir; dan c. pernyataan bersedia membayar nilai sesuai surat penawaran lelang dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman pemenang lelang. Pasal 57 (1) Prosedur lelang meliputi tahap: a. pengumuman prakualifikasi; b. pengambilan dokumen prakualifikasi; c. pemasukan dokumen prakualifikasi; d. evaluasi prakualifikasi; e. klarifikasi dan konfirmasi terhadap dokumen prakualifikasi; f. penetapan hasil prakualifikasi; g. pengumuman hasil prakualifikasi; h. undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi; i. pengambilan dokumen lelang; j. penjelasan lelang; k. pemasukan penawaran harga; l. pembukaan sampul; m. penetapan peringkat; 457 n. penetapan/pengumuman pemenang lelang yang dilakukan berdasarkan penawaran harga dan pertimbangan teknis; dan o. memberi kesempatan adanya sanggahan atas keputusan lelang. (2) Penjelasan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j wajib dilakukan oleh panitia lelang WIUPK kepada peserta pelelangan WIUPK yang lulus prakualifikasi untuk menjelaskan data teknis berupa: a. lokasi; b. koordinat; c. jenis mineral, termasuk mineral ikutannya, dan batubara; d. ringkasan hasil penelitian dan penyelidikan; e. ringkasan hasil eksplorasi pendahuluan apabila ada; dan f. status lahan. Pasal 58 (1) Panitia lelang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Menteri dapat memberikan kesempatan kepada peserta pelelangan WIUPK yang lulus prakualifikasi untuk melakukan kunjungan lapangan dalam jangka waktu yang disesuaikan dengan jarak lokasi yang akan dilelang setelah mendapatkan penjelasan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf j. (2) Dalam hal peserta pelelangan WIUPK yang akan melakukan kunjungan lapangan mengikutsertakan warga negara asing wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Biaya yang diperlukan untuk melakukan kunjungan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibebankan kepada peserta pelelangan WIUPK. Pasal 59 (1) Jangka waktu prosedur pelelangan ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) hari kerja sejak pemasukan penawaran harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf k. (2) Hasil pelaksanaan lelang WIUPK dilaporkan oleh panitia lelang kepada Menteri untuk ditetapkan pemenang lelang WIUPK. 458 Pasal 60 (1) Menteri berdasarkan usulan panitia lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) menetapkan pemenang lelang WIUPK mineral logam dan/atau batubara. (2) Menteri memberitahukan secara tertulis penetapan pemenang lelang WIUPK mineral logam dan/atau batubara kepada pemenang lelang. Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara lelang WIUPK diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pemberian IUPK Paragraf 1 Umum Pasal 62 (1) IUPK diberikan oleh Menteri kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta setelah mendapatkan WIUPK. (2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. IUPK Eksplorasi terdiri atas mineral logam atau batubara; dan b. IUPK Operasi Produksi terdiri atas mineral logam atau batubara. Paragraf 2 Persyaratan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi Pasal 63 Persyaratan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 harus memenuhi: a. persyaratan administratif; b. persyaratan teknis; c. persyaratan lingkungan; dan d. persyaratan finansial. 459 Pasal 64 (1) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf a meliputi: a. untuk IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi mineral logam dan batubara yang diajukan BUMN atau BUMD yang diberikan berdasarkan prioritas: 1. surat permohonan; 2. profil badan usaha; 3. akte pendirian badan usaha yang bergerak di bidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; 4. nomor pokok wajib pajak; 5. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 6. surat keterangan domisili. b. untuk IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi mineral logam dan batubara yang diajukan oleh pemenang lelang WIUPK: 1. surat permohonan; 2. susunan direksi dan daftar pemegang saham; dan 3. surat keterangan domisili. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b meliputi: a. pengalaman BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta di bidang pertambangan mineral atau batubara paling sedikit 3 (tiga) tahun; b. mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang tenaga ahli dalam bidang pertambangan dan/atau geologi yang berpengalaman paling sedikit 3 (tiga) tahun; dan c. rencana kerja dan anggaran biaya untuk kegiatan 1 (satu) tahun. (3) Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf c meliputi: a. untuk IUP Eksplorasi meliputi pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. untuk IUP Operasi Produksi meliputi: 1. pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan 2. persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 460 (4) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf d meliputi: a. IUPK Eksplorasi, meliputi: 1. bukti penempatan eksplorasi; dan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan 2. bukti pembayaran harga nilai kompensasi data informasi atau sesuai dengan surat penawaran. b. IUPK Operasi Produksi, meliputi: 1. laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; dan 2. bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir. Paragraf 3 Tata Cara Penerbitan IUPK Eksplorasi Mineral Logam dan Batubara Pasal 65 (1) BUMN atau BUMD yang diberikan WIUPK berdasarkan prioritas atau pemenang lelang WIUPK mineral logam atau batubara, harus menyampaikan permohonan IUPK Eksplorasi kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman pemenang lelang WIUPK. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. (3) Apabila BUMN atau BUMD yang diberikan WIUPK berdasarkan prioritas atau pemenang lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja tidak menyampaikan permohonan IUPK, dianggap mengundurkan diri. (4) Dalam hal pemenang lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dianggap mengundurkan diri, WIUPK ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang dengan syarat nilai harga kompensasi data informasi sama dengan harga yang ditawarkan oleh pemenang pertama. (5) Menteri melakukan lelang ulang WIUPK apabila peserta lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak ada yang berminat. Pasal 66 Pemegang IUPK Eksplorasi atau pemegang IUPK Operasi Produksi, dapat 461 mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK kepada Menteri untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya. Paragraf 4 Tata Cara Penerbitan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam dan Batubara Pasal 67 (1) IUPK Operasi Produksi diberikan kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta sebagai peningkatan dari kegiatan eksplorasi. (2) Pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai peningkatan dengan mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan peningkatan operasi produksi. (3) IUPK Operasi Produksi diberikan oleh Menteri. (4) IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. (5) IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta sebagai peningkatan dari IUPK Eksplorasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. (6) WIUPK yang telah mempunyai data lengkap meliputi data eksplorasi, studi kelayakan dan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang dapat diberikan IUPK Operasi Produksi kepada BUMN atau BUMD dengan cara prioritas atau pemenang lelang. Pasal 68 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUPK Operasi Produksi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pemasangan Tanda Batas Pasal 69 (1) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diperolehnya IUPK Operasi Produksi, pemegang IUPK Operasi Produksi wajib memberikan tanda batas wilayah dengan memasang patok pada WIUPK. 462 (2) Pembuatan tanda batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus selesai sebelum dimulai kegiatan operasi produksi. (3) Dalam hal terjadi perubahan batas wilayah pada WIUPK Operasi Produksi, harus dilakukan perubahan tanda batas wilayah dengan pemasangan patok baru pada WIUPK. Pasal 70 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan tanda batas WIUPK diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Komoditas Tambang Lain Dalam WIUPK Pasal 71 (1) Dalam hal pada lokasi WIUPK ditemukan komoditas tambang lainnya yang bukan asosiasi mineral yang diberikan dalam IUPK, pemegang IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi memperoleh keutamaan dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya yang ditemukan. (2) Dalam mengusahakan komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membentuk badan usaha baru. (3) Apabila pemegang IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi tidak berminat atas komoditas tambang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kesempatan pengusahaannya dapat diberikan kepada pihak lain dan diselenggarakan dengan cara prioritas atau lelang. (4) Pihak lain yang mendapatkan IUPK berdasarkan prioritas atau lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berkoordinasi dengan pemegang IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi pertama. Bagian Keenam Perpanjangan IUPK Operasi Produksi Pasal 72 (1) Permohonan perpanjangan IUPK Operasi Produksi diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu IUPK. 463 (2) Permohonan perpanjangan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilengkapi: a. peta dan batas koordinat wilayah; b. bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir; c. laporan akhir kegiatan operasi produksi; d. laporan pelaksanaan pengelolaan lingkungan; e. rencana kerja dan anggaran biaya; dan f. neraca sumber daya dan cadangan. (3) Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan IUPK Operasi Produksi apabila pemegang IUPK Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi, pemegang IUPK Operasi Produksi tidak menunjukkan kinerja operasi produksi yang baik. (4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disampaikan kepada pemegang IUPK Operasi Produksi paling lambat sebelum berakhirnya IUPK Operasi Produksi. (5) Pemegang IUPK Operasi Produksi hanya dapat diberikan perpanjangan sebanyak 2 (dua) kali. (6) Pemegang IUPK Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUPK Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali, wajib mengembalikan WIUPK Operasi Produksi kepada Menteri berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 73 (1) Pemegang IUPK Operasi Produksi yang telah memperoleh perpanjangan IUP Operasi Produksi sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (6), dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum jangka waktu masa berlakunya IUPK berakhir, wajib menyampaikan kepada Menteri mengenai keberadaan potensi dan cadangan mineral logam atau batubara pada WIUPKnya. (2) WIUPK yang IUPK-nya akan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang masih berpotensi untuk diusahakan, Menteri dapat menetapkan kembali WIUPK-nya untuk ditawarkan kembali dengan cara prioritas atau lelang. (3) Dalam pelaksanaan lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang IUPK sebelumnya mendapat hak menyamai. 464 BAB V PENCIUTAN WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 74 (1) Pemegang IUP sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh WIUP. (2) Pemegang IUPK sewaktu-waktu dapat mengajukan permohonan kepada Menteri untuk menciutkan sebagian atau mengembalikan seluruh WIUPK. (3) Pemegang IUP atau IUPK dalam melaksanakan penciutan atau pengembalian WIUP atau WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menyerahkan: a. laporan, data dan informasi penciutan atau pengembalian yang berisikan semua penemuan teknis dan geologis yang diperoleh pada wilayah yang akan diciutkan dan alas an penciutan atau pengembalian serta data lapangan hasil kegiatan; b. peta wilayah penciutan atau pengembalian beserta koordinatnya; c. bukti pembayaran kewajiban keuangan; d. laporan kegiatan sesuai status tahapan terakhir; dan e. laporan pelaksanaan reklamasi pada wilayah yang diciutkan atau dilepaskan. Pasal 75 (1) Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi mempunyai kewajiban untuk melepaskan WIUP atau WIUPK dengan ketentuan: a. untuk IUP mineral logam atau IUPK mineral logam: 1. pada tahun keempat wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare; dan 2. pada tahun kedelapan atau pada akhir IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. b. untuk IUP batubara atau IUPK batubara: 465 1. pada tahun keempat wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare; dan 2. pada tahun ketujuh atau pada akhir IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare. c. untuk IUP mineral bukan logam: 1. pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 12.500 (dua belas ribu lima ratus) hektare; dan 2. pada tahun ketiga atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. d. untuk IUP mineral bukan logam jenis tertentu: 1. pada tahun ketiga wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 12.500 (dua belas ribu lima ratus) hektare; dan 2. pada tahun ketujuh atau pada akhir IUP Eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. e. untuk IUP batuan: 1. pada tahun kedua wilayah eksplorasi yang dapat dipertahankan paling banyak 2.500 (dua ribu lima ratus) hektare; dan 2. pada tahun ketiga atau pada akhir tahap eksplorasi saat peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi wilayah yang dipertahankan paling banyak 1.000 (seribu) hektare. (2) Apabila luas wilayah maksimum yang dipertahankan sudah dicapai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi tidak diwajibkan lagi menciutkan wilayah. BAB VI PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 76 (1) Kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan penghentian sementara apabila terjadi: a. keadaan kahar; 466 b. keadaan yang menghalangi; dan/atau c. kondisi daya dukung lingkungan. (2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP dan IUPK. (3) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, penghentian sementara dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan dari pemegang IUP atau IUPK. (4) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, penghentian sementara dilakukan oleh: a. inspektur tambang; b. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan dari masyarakat. Pasal 77 (1) Penghentian sementara karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a harus diajukan oleh pemegang IUP atau IUPK dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak terjadinya keadaan kahar kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya untuk memperoleh persetujuan. (2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. (3) Penghentian sementara karena keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b diberikan 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun pada setiap tahapan kegiatan dengan persetujuan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Apabila jangka waktu penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, dapat diberikan perpanjangan jangka waktu penghentian sementara dalam hal terkait perizinan dari instansi lain. Pasal 78 Permohonan perpanjangan penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum berakhirnya izin penghentian sementara. 467 Pasal 79 (1) Pemegang IUP dan IUPK yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara dikarenakan keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a, tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi kewajiban keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pemegang IUP dan IUPK yang telah diberikan persetujuan penghentian sementara dikarenakan keadaan yang menghalangi dan/atau kondisi daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b, dan huruf c wajib: a. menyampaikan laporan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; b. memenuhi kewajiban keuangan; dan c. tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan. Pasal 80 Persetujuan penghentian sementara berakhir karena: a. habis masa berlakunya; atau b. permohonan pencabutan dari pemegang IUP atau IUPK. Pasal 81 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam pemberian persetujuan penghentian sementara telah habis dan tidak diajukan permohonan perpanjangan atau permohonan perpanjangan tidak disetujui, penghentian sementara tersebut berakhir. Pasal 82 (1) Apabila kurun waktu penghentian sementara belum berakhir dan pemegang IUP atau IUPK sudah siap untuk melakukan kegiatan operasinya kembali, dapat mengajukan permohonan pencabutan penghentian sementara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menyatakan pengakhiran penghentian sementara. 468 Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII PENGUTAMAAN KEPENTINGAN DALAM NEGERI, PENGENDALIAN PRODUKSI, DAN PENGENDALIAN PENJUALAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 84 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. (2) Menteri menetapkan kebutuhan mineral dan batubara di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebutuhan untuk industri pengolahan dan pemakaian langsung di dalam negeri. (3) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat melakukan ekspor mineral atau batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengutamaan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 85 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi mineral dan batubara yang mengekspor mineral dan/atau batubara yang diproduksi wajib berpedoman pada harga patokan. (2) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a. Menteri untuk mineral logam dan batubara; b. gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mineral bukan logam dan batuan. (3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan mekanisme pasar dan/atau sesuai dengan harga yang berlaku umum di pasar internasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan harga patokan mineral logam dan batubara diatur dengan Peraturan Menteri. 469 Pasal 86 (1) Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan penggunaan tenaga kerja setempat. (2) Dalam hal pemegang IUP dan IUPK menggunakan tenaga kerja asing, terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri. (3) Menteri setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan evaluasi teknis dan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Pasal 87 (1) Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan barang, peralatan, bahan baku, dan/atau bahan pendukung dalam negeri serta produk impor yang dijual di Indonesia dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara dengan ketentuan: a. memenuhi standar kualitas dan layanan purna jual; b. dapat menjamin kontinuitas pasokan dan ketepatan waktu pengiriman. (2) Rencana pembelian barang modal, peralatan, bahan baku, dan bahan pendukung lainnya serta produk impor yang dijual di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan barang yang akan di impor sendiri harus disampaikan kepada Menteri. (3) Dalam hal pemegang IUP dan IUPK melakukan impor barang, peralatan, bahan baku dan bahan pendukung wajib memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perdagangan. Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tenaga kerja, tata cara pembelian barang modal, peralatan, bahan baku dan bahan pendukung lain diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 89 (1) Menteri melakukan pengendalian produksi mineral dan batubara yang dilakukan oleh pemegang IUP Operasi Produksi mineral atau batubara dan IUPK Operasi Produksi mineral atau batubara. (2) Pengendalian produksi mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk: a. memenuhi ketentuan aspek lingkungan; 470 b. melakukan konservasi sumber daya mineral dan batubara; c. mengendalikan harga mineral dan batubara. Pasal 90 (1) Menteri melakukan penetapan besaran produksi mineral dan batubara nasional pada tingkat provinsi. (2) Menteri dapat melimpahkan kewenangan kepada gubernur untuk menetapkan besaran produksi mineral dan batubara kepada masing-masing kabupaten/ kota. Pasal 91 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian produksi mineral dan batubara diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 92 (1) Menteri melakukan pengendalian penjualan mineral dan batubara yang dilakukan oleh pemegang IUP Operasi Produksi mineral atau batubara serta IUPK Operasi Produksi mineral atau batubara. (2) Pengendalian penjualan mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk: a. memenuhi pasokan kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri; dan b. stabilitas harga mineral dan batubara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian penjualan mineral dan batubara diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VIII PENINGKATAN NILAI TAMBAH, PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DAN BATUBARA Bagian Kesatu Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah, Pengolahan dan Pemurnian Pasal 93 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah 471 mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mendapatkan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian. (3) IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 94 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi batubara wajib melakukan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah batubara yang diproduksi baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya. (2) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mendapatkan IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan. (3) IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Bagian Kedua Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara Pasal 95 (1) Komoditas tambang yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya terdiri atas pertambangan: a. b. c. d. mineral logam; mineral bukan logam; batuan; atau batubara. (2) Peningkatan nilai tambah mineral logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui kegiatan: a. pengolahan logam; atau b. pemurnian logam. (3) Peningkatan nilai tambah mineral bukan logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan mineral bukan logam. 472 (4) Peningkatan nilai tambah batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan batuan. (5) Peningkatan nilai tambah batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan batubara. Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peningkatan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX DIVESTASI SAHAM PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN DAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS YANG SAHAMNYA DIMILIKI OLEH ASING Pasal 97 (1) Modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. (2) Divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung kepada peserta Indonesia yang terdiri atas Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. (3) Dalam hal Pemerintah tidak bersedia membeli saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditawarkan kepada pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota. (4) Apabila pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada BUMN dan BUMD dilaksanakan dengan cara lelang. (5) Apabila BUMN dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dilaksanakan dengan cara lelang. (6) Penawaran saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 90 (Sembilan puluh) hari kalender sejak 5 (lima) tahun dikeluarkannya izin Operasi Produksi tahap penambangan. 473 (7) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, dan BUMD harus menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran. (8) Dalam hal Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, dan BUMD tidak berminat untuk membeli divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (7), saham ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender. (9) Badan usaha swasta nasional harus menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran. (10) Pembayaran dan penyerahan saham yang dibeli oleh peserta Indonesia dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal pernyataan minat atau penetapan pemenang lelang. (11) Apabila divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penawaran saham akan dilakukan pada tahun berikutnya berdasarkan mekanisme ketentuan pada ayat (2) sampai dengan ayat (9). Pasal 98 Dalam hal terjadi peningkatan jumlah modal perseroan, peserta Indonesia sahamnya tidak boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari 20% (dua puluh persen). Pasal 99 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara divestasi saham dan mekanisme penetapan harga saham diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. BAB X PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN OPERASI PRODUKSI Pasal 100 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang akan melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan sebagian atau seluruh hak atas tanah dalam WIUP atau WIUPK dengan pemegang hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 474 (2) Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama dengan pemegang hak atas tanah. BAB XI TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 101 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota wajib menyampaikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan anggaran biaya pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara kepada bupati/ walikota dengan tembusan kepada Menteri dan gubernur. (3) Pemegang IUP yang diterbitkan oleh gubernur wajib menyampaikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan anggaran biaya pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri. (4) Pemegang IUP dan IUPK yang diterbitkan oleh Menteri wajib menyampaikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan anggaran biaya pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara kepada Menteri. Pasal 102 (1) Bupati/walikota harus menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan kewenangannya kepada gubernur secara berkala setiap 6 (enam) bulan. (2) Gubernur atau bupati/walikota harus menyampaikan laporan tertulis mengenai pengelolaan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan kewenangannya kepada Menteri secara berkala setiap 6 (enam) bulan. Pasal 103 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 memuat laporan kemajuan kerja dalam suatu kurun waktu dan dalam suatu tahapan kegiatan tertentu yang disampaikan oleh pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi serta pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. 475 (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 disampaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah berakhirnya tiap triwulan atau tahun takwim kecuali laporan dwi mingguan dan bulanan tahapan kegiatan operasi produksi. (3) Rencana kerja dan anggaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kalender sebelum berakhirnya tiap tahun takwim. (4) Laporan dwi mingguan dan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kalender setelah berakhirnya tiap dwi mingguan atau bulan takwim. Pasal 104 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan tanggapan terhadap laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (3) dan ayat (4). (2) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditindaklanjuti oleh pemegang IUP atau IUPK dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalnder sejak diterimanya tanggapan dari Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 105 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XII PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR WIUP DAN WIUPK Pasal 106 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK. (2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat setempat. 476 (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan usulan program kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kepada bupati/walikota setempat untuk diteruskan kepada pemegang IUP atau IUPK. (4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP dan WIUPK yang terkena dampak langsung akibat aktifitas pertambangan. (5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan masyarakat yang berada dekat kegiatan operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi wilayah kecamatan/kabupaten. (6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan biaya pemegang IUP atau IUPK setiap tahun. (7) Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP atau IUPK. Pasal 107 Pemegang IUP dan IUPK setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran biaya tahunan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mendapat persetujuan. Pasal 108 Setiap pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XIII SANKSI ADMINISTRATIF 477 Pasal 110 (1) Pemegang IUP atau IUPK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Pasal 69 ayat (1), Pasal 73 ayat (1), Pasal 79 ayat (2), Pasal 85 ayat (1), Pasal 93 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 100 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 101 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Pasal 106 ayat (1), Pasal 107, atau Pasal 108 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi mineral atau batubara; dan/atau c. pencabutan IUP atau IUPK. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 111 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 112 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: 1. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang ditandatangani sebelum diundangkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir. 2. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang belum memperoleh perpanjangan pertama dan/atau kedua dapat diperpanjang menjadi IUP perpanjangan tanpa melalui lelang dan kegiatan usahanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini kecuali mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan. 3. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang telah melakukan tahap kegiatan 478 operasi produksi wajib melaksanakan pengutamaan kepentingan dalam negeri sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. 4. Kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat, yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhir serta wajib: a. disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan khusus BUMN dan BUMD, untuk IUP Operasi Produksi merupakan IUP Operasi Produksi pertama; b. menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kuasa pertambangan sampai dengan jangka waktu berakhirnya kuasa pertambangan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; c. melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 5. Permohonan Kuasa Pertambangan yang telah diterima Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan telah mendapatkan Pencadangan Wilayah dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat diproses perizinannya dalam bentuk IUP tanpa melalui lelang paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini. 6. Kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang memiliki unit pengolahan tetap dapat menerima komoditas tambang dari Kuasa pertambangan, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, pemegang IUP, dan IPR. 7. Pemegang kuasa pertambangan yang memiliki lebih dari 1 (satu) kuasa pertambangan dan/atau lebih dari 1 (satu) komoditas tambang sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap berlaku sampai jangka waktu berakhir dan dapat diperpanjang menjadi IUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. 8. Pemegang kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara pada tahap operasi produksi yang memiliki perjanjian jangka panjang untuk ekspor yang masih berlaku dapat menambah jumlah produksinya guna memenuhi ketentuan pasokan dalam negeri 479 setelah mendapat persetujuan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sepanjang memenuhi ketentuan aspek lingkungan dan konservasi sumber daya batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 113 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundangundangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2916) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4154) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 114 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2916) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4154); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3174); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah 480 Tingkat I (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3340), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 115 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 29 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri ttd, Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu melakukan penataan kembali pengaturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, yang meliputi: 1. Pengusahaan pertambangan diberikan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat. 2. Pengutamaan pemasokan kebutuhan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri guna menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri. 3. Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing. 481 482 4. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. 5. Penerbitan perizinan yang transparan dalam kegiatan usaha pertambangan mineral sehingga iklim usaha diharapkan dapat lebih sehat dan kompetitif. 6. Peningkatan nilai tambah dengan melakukan pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara di dalam negeri. Pengaturan-pengaturan tersebut di atas perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan mineral radioaktif dalam ketentuan ini termasuk bahan galian nuklir. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. 483 Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Perseorangan dalam ketentuan ini adalah Warga Negara Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) 484 Mengumumkan WIUP secara terbuka dalam ketentuan ini dilakukan: a. paling sedikit di 1 (satu) media cetak lokal dan/atau 1 (satu) media cetak nasional; b. di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara; c. di kantor pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota. Ayat (2) Rekomendasi dalam ketentuan ini adalah rekomendasi dalam bentuk pemberian pertimbangan yang berisi informasi mengenai pemanfaatan lahan di WIUP dan karakteristik budaya masyarakat berdasarkan kearifan lokal dalam rangka pelelangan WIUP. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan unsur dari Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan wakil dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Pengumuman prakualifikasi dilakukan: 485 1. paling sedikit dimuat di 1 (satu) media cetak local dan/atau 1 (satu) media cetak nasional; 2. di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara; dan 3. di kantor pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o 486 Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Status lahan misalnya berada pada kawasan hutan dan kawasan perkebunan. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Peraturan Menteri paling sedikit memuat mengenai tata cara penetapan dan pengumuman pemenang lelang. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. 487 Ayat (2) Rekomendasi dalam ketentuan ini adalah rekomendasi dalam bentuk pemberian pertimbangan yang berisi informasi mengenai pemanfaatan lahan di WIUP dan karakteristik budaya masyarakat berdasarkan kearifan lokal dalam rangka pelelangan WIUP. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. 488 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Yang dimaksud dengan wilayah di luar WIUP dalam ketentuan ini adalah project area yang dilarang untuk melakukan kegiatan tahap penambangan. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Pelabuhan dalam ketentuan ini adalah pelabuhan khusus atau terminal khusus yang dibangun oleh pemegang IUP Operasi Produksi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. 489 Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Yang dimaksud dengan wilayah di luar WIUP dalam ketentuan ini adalah project area yang dilarang untuk melakukan kegiatan penambangan. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “komoditas tambang lainnya” dalam ketentuan ini adalah antara lain apabila dalam WIUP komoditas tertentu terdapat mineral lain atau batubara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pihak lain dalam ketentuan ini adalah badan usaha, koperasi, atau perseorangan selain pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi yang tidak berminat atas komoditas tambang tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. 490 Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Mengumumkan secara terbuka dalam ketentuan ini yaitu dilakukan: a. paling sedikit dimuat di 1 (satu) media cetak lokal dan/atau 1 (satu) media cetak nasional; dan b. di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang mineral dan batubara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 491 Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Yang dimaksud dengan wilayah di luar WIUPK dalam ketentuan ini adalah project area yang dilarang untuk melakukan kegiatan penambangan. 492 Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan bukti pembayaran kewajiban keuangan dalam ketentuan ini adalah iuran tetap, iuran produksi, dan pajak. 493 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Huruf a Huruf b Keadaan kahar dalam ketentuan ini antara lain meliputi perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan lainlain bencana alam di luar kemampuan manusia. Keadaan yang menghalangi dalam ketentuan ini antara lain meliputi blokade, pemogokan, perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP atau IUPK dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh menteri yang menghambat kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara yang sedang berjalan. Huruf c Kondisi daya dukung lingkungan dalam ketentuan ini adalah apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi mineral dan/atau batubara yang dilakukan diwilayahnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. 494 Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Peraturan Menteri paling sedikit memuat biaya penyesuaian yang dibebankan sebagai biaya penjualan. Pasal 86 Cukup jelas. 495 Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Yang dimaksud pengolahan dalam ketentuan ini antara lain meliputi: a. penggerusan batubara (coal crushing); b. pencucian batubara (coal washing); c. pencampuran batubara (coal blending); d. peningkatan mutu batubara (coal upgrading); e. pembuatan briket batubara (coal briquetting); f. pencairan batubara (coal liquefaction); dan g. gasifikasi batubara (coal gasification). h. coal water mixer. Ayat (2) Cukup jelas. 496 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peningkatan nilai tambah dalam ketentuan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “modal asing” adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 497 Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kompensasi dalam ketentuan ini dapat berupa sewa menyewa, jual beli, atau pinjam pakai. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. 498 Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 33, dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka 499 500 penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. 2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. 3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. 4. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah. 5. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. 6. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. 7. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. 8. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional. 9. Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. 10. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan. 11. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. 12. Wilayah Pencadangan Negara yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. 13. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. 501 14. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus. 15. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Pasal 2 (1) WP merupakan kawasan yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara, baik di permukaan tanah maupun di bawah tanah, yang berada dalam wilayah daratan atau wilayah laut untuk kegiatan pertambangan. (2) Wilayah yang dapat ditetapkan sebagai WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria adanya: a. indikasi formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara; dan/atau b. potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat dan/atau cair. (3) Penyiapan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan: a. perencanaan WP; dan b. penetapan WP. BAB II PERENCANAAN WILAYAH PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 3 Perencanaan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a disusun melalui tahapan: a. inventarisasi potensi pertambangan; dan b. penyusunan rencana WP. 502 Bagian Kedua Inventarisasi Potensi Pertambangan Pasal 4 (1) Inventarisasi potensi pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a ditujukan untuk mengumpulkan data dan informasi potensi pertambangan yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana penetapan WP. (2) Potensi pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. (3) Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang: a. mineral radioaktif; b. mineral logam; c. mineral bukan logam; d. batuan; dan e. batubara. (4) Pengaturan mengenai komoditas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Pasal 5 (1) Inventarisasi potensi pertambangan dilakukan melalui kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan. (2) Penyelidikan dan penelitian pertambangan dilakukan untuk memperoleh data dan informasi. (3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat: a. formasi batuan pembawa mineral logam dan/atau batubara; b. data geologi hasil evaluasi dari kegiatan pertambangan yang sedang berlangsung, telah berakhir, dan/atau telah dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; c. data perizinan hasil inventarisasi terhadap perizinan yang masih berlaku, yang sudah berakhir, dan/atau yang sudah dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya; dan/atau 503 d. interpretasi penginderaan jauh baik berupa pola struktur maupun sebaran litologi. Pasal 6 (1) Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan oleh: a. Menteri, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah: 1. lintas wilayah provinsi; 2. laut dengan jarak lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai; dan/ atau 3. berbatasan langsung dengan negara lain; b. gubernur, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah: 1. lintas wilayah kabupaten/kota; dan/atau 2. laut dengan jarak 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai; c. bupati/walikota, untuk penyelidikan dan penelitian pada wilayah: 1. kabupaten/kota; dan/atau 2. laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai. (2) Dalam hal wilayah laut berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah penyelidikan dan penelitian masing-masing provinsi dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah. (3) Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur. Pasal 7 Penyelidikan dan penelitian pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilaksanakan secara terkoordinasi oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 8 (1) Dalam melakukan kegiatan penyelidikan dan penelitian pertambangan, Menteri atau gubernur dapat memberikan penugasan kepada lembaga riset negara dan/ atau lembaga riset daerah. 504 (2) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menunjang penyiapan WP dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertambangan. (3) Dalam hal tertentu, lembaga riset negara dapat melakukan kerja sama dengan lembaga riset asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9 (1) Lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) wajib: a. menyimpan, mengamankan, dan merahasiakan data dan informasi potensi pertambangan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan b. menyerahkan seluruh data dan informasi potensi pertambangan yang diperolehnya kepada Menteri atau gubernur yang memberi penugasan. (2) Lembaga riset asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) wajib: a. menyimpan, mengamankan, dan merahasiakan data dan informasi potensi pertambangan hasil penyelidikan dan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; dan b. menyerahkan seluruh data dan informasi potensi pertambangan yang diperolehnya kepada lembaga riset negara yang bekerja sama dengannya paling lambat pada tanggal berakhirnya kerja sama. Pasal 10 (1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menetapkan wilayah penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan yang akan dilaksanakan oleh lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah dan dituangkan dalam peta. (2) Menteri dalam menetapkan wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (3) Gubernur dalam menetapkan wilayah penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/walikota setempat. (4) Bupati/walikota dapat mengusulkan suatu wilayah penugasan untuk dilakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada Menteri atau gubernur. 505 Pasal 11 Peta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) sebagai dasar dalam memberikan penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan kepada lembaga riset negara dan/atau lembaga riset daerah. Pasal 12 (1) Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara. (2) Data dan informasi hasil penyelidikan dan penelitian pertambangan yang dilakukan oleh lembaga riset berdasarkan penugasan dari Menteri atau gubernur wajib diolah menjadi peta potensi mineral dan/atau batubara. (3) Peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai formasi batuan pembawa mineral dan/atau pembawa batubara. (4) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri. (5) Berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri melakukan evaluasi. (6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan oleh Menteri sebagai bahan penyusunan rencana WP. Pasal 13 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan penyelidikan dan penelitian pertambangan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Penyusunan Rencana Wilayah Pertambangan Pasal 14 (1) Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) dituangkan dalam lembar peta dan dalam bentuk digital. (2) Peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan WP dalam bentuk zona yang di-delineasi dalam garis putus-putus. 506 (3) Rencana WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar penetapan WP. BAB III PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 15 (1) Rencana WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) ditetapkan oleh Menteri menjadi WP setelah berkoordinasi dengan gubernur, bupati/walikota dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) WP dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (3) Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengusulkan perubahan WP kepada Menteri berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian. Pasal 16 (1) WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dapat terdiri atas: a. WUP; b. WPR; dan/atau c. WPN. (2) WUP dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c ditetapkan oleh Menteri. (3) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh bupati/ walikota. (4) Menteri dapat melimpahkan kewenangan penetapan WUP untuk pertambangan mineral bukan logam dan WUP untuk pertambangan batuan yang berada pada lintas kabupaten/kota dan dalam 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi kepada gubernur. (5) Untuk menetapkan WUP, WPR, dan WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan eksplorasi. (6) Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan untuk memperoleh data dan informasi berupa: 507 a. peta, yang terdiri atas: 1. peta geologi dan peta formasi batuan pembawa; dan/atau 2. peta geokimia dan peta geofisika; b. perkiraan sumber daya dan cadangan. (7) Menteri dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (8) Gubernur dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/ walikota setempat. (9) Bupati/walikota dalam melakukan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib berkoordinasi dengan Menteri dan gubernur. Pasal 17 (1) Data dan informasi hasil eksplorasi yang dilakukan oleh gubernur dan bupati/ walikota wajib diolah menjadi peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. (2) Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat sebaran potensi/cadangan mineral dan/atau batubara. (3) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta laporan hasil eksplorasi kepada Menteri. (4) Peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam bentuk lembar peta dan digital. Bagian Kedua Wilayah Usaha Pertambangan Paragraf 1 Umum Pasal 18 a. b. c. WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a terdiri atas: WUP mineral radioaktif; WUP mineral logam; WUP batubara; 508 d. WUP mineral bukan logam; dan/atau e. WUP batuan. Pasal 19 (1) WUP ditetapkan oleh Menteri. (2) Untuk WUP mineral radioaktif, penetapannya dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran. Paragraf 2 Penyusunan Rencana Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 20 (1) Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WUP berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa batubara, formasi batuan pembawa mineral logam, dan/atau formasi batuan pembawa mineral radioaktif, termasuk wilayah lepas pantai berdasarkan peta geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, mineral logam, batubara, mineral bukan logam, dan/atau batuan; c. memiliki potensi sumber daya mineral atau batubara; d. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis mineral termasuk mineral ikutannya dan/ atau batubara; e. tidak tumpang tindih dengan WPR dan/atau WPN; f. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara bekelanjutan; dan g. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. 509 Paragraf 3 Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 21 (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WUP oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (2) WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas: a. WIUP radioaktif; b. WIUP mineral logam; c. WIUP batubara; d. WIUP mineral bukan logam; dan/atau e. WIUP batuan. (3) Penetapan WUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Menteri kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan WUP diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Pasal 22 (1) Untuk menetapkan WIUP dalam suatu WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus memenuhi kriteria: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. (2) Dalam hal WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan berada pada: a. lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai, ditetapkan oleh Menteri pada WUP; b. lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil ditetapkan oleh gubernur pada WUP; dan/atau 510 c. kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan oleh bupati/walikota pada WUP. (3) Pada wilayah laut yang berada di antara 2 (dua) provinsi yang berbatasan dengan jarak kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, wilayah kewenangan masing-masing provinsi dibagi sama jaraknya sesuai prinsip garis tengah. (4) Kewenangan bupati/walikota pada wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sejauh 1/3 (sepertiga) dari garis pantai masing-masing wilayah kewenangan gubernur. (5) Penetapan WUP mineral bukan logam dan/atau batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat dilimpahkan oleh Menteri kepada gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan dalam suatu WUP berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Menteri dalam menetapkan luas dan batas WIUP mineral logam dan/atau batubara dalam suatu WUP berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 23 (1) WIUP mineral logam dan/atau batubara ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan gubernur dan bupati/walikota setempat. (2) WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan dari badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Dalam hal di WIUP mineral logam dan/atau batubara terdapat komoditas tambang lainnya yang berbeda, untuk mengusahakan komoditas tambang lainnya wajib ditetapkan WIUP terlebih dahulu. Pasal 25 Ketentuan mengenai pemberian WIUP diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. 511 Bagian Ketiga Wilayah Pertambangan Rakyat Pasal 26 (1) Bupati/walikota menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; c. merupakan endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; d. luas maksimal WPR sebesar 25 (dua puluh lima) hektare; e. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau f. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun; g. tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN; dan h. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 27 (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPR oleh bupati/walikota setempat setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. (2) Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh bupati/walikota kepada Menteri dan gubernur. (3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan pertimbangan berkaitan dengan data dan informasi yang dimiliki pemerintah provinsi yang bersangkutan. (4) Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memperoleh pertimbangan. 512 Bagian Keempat Wilayah Pencadangan Negara Paragraf 1 Umum Pasal 28 Untuk kepentingan strategis nasional, Menteri menetapkan WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Paragraf 2 Penyusunan Rencana Penetapan Wilayah Pencadangan Negara Pasal 29 (1) Menteri menyusun rencana penetapan suatu wilayah di dalam WP menjadi WPN berdasarkan peta potensi mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) serta peta potensi/cadangan mineral dan/atau batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a. memiliki formasi batuan pembawa mineral radioaktif, mineral logam, dan/ atau batubara berdasarkan peta/data geologi; b. memiliki singkapan geologi untuk mineral radioaktif, logam, dan/atau batubara berdasarkan peta/data geologi; c. memiliki potensi/cadangan mineral dan/atau batubara; dan d. untuk keperluan konservasi komoditas tambang; e. berada pada wilayah dan/atau pulau yang berbatasan dengan negara lain; f. merupakan wilayah yang dilindungi; dan/atau g. berada pada pulau kecil dengan luas maksimal 2.000 (dua ribu) kilometer persegi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 3 Penetapan Wilayah Pencadangan Negara dan Wilayah Usaha Pertambangan Khusus 513 Pasal 30 (1) Wilayah di dalam WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) yang memenuhi kriteria ditetapkan menjadi WPN oleh Menteri setelah memperhatikan aspirasi daerah dan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) WPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WUPK. Pasal 31 (1) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya setelah berubah statusnya menjadi WUPK dengan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2) Perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau f. penggunaan teknologi tinggi dan modal inventasi yang besar. Paragraf 4 Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Pasal 32 (1) Untuk menetapkan WIUPK dalam suatu WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) harus memenuhi kriteria: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk; (2) WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. WIUPK mineral logam; dan/atau 514 b. WIUPK batubara. (3) Menteri dalam menetapkan luas dan batas WIUPK mineral logam dan/atau batubara dalam suatu WUPK berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 33 Dalam hal di WIUPK mineral logam dan/atau batubara terdapat komoditas tambang lainnya yang berbeda, untuk mengusahakan komoditas tambang lainnya wajib ditetapkan WIUPK terlebih dahulu. Pasal 34 Ketentuan mengenai pemberian WIUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Bagian Kelima Delineasi Zonasi Untuk WIUP atau WIUPK Operasi Produksi Dalam Kawasan Lindung Pasal 35 (1) Peta zonasi untuk WIUP Eksplorasi dan WIUPK Eksplorasi pada kawasan lindung dapat di-delineasi menjadi peta zonasi WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi. (2) Delineasi zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil kajian kelayakan dan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta antara resiko dan manfaat dalam konversi kawasan lindung. (3) Keseimbangan antara biaya dan manfaat dan antara resiko dan manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan paling sedikit mengenai reklamasi, pascatambang, teknologi, program pengembangan masyarakat yang berkelanjutan, dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara melakukan delineasi diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV DATA DAN INFORMASI 515 Bagian Kesatu Pengelolaan Data dan Informasi Pasal 36 (1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib mengelola data dan/atau informasi kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan data dan/atau informasi meliputi kegiatan perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pemusnahan data dan/atau informasi. (3) Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan data dan/atau informasi usaha pertambangan kepada Pemerintah. (4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan milik negara dan dikelola oleh Menteri. (5) Hasil pengelolaan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk: a. penetapan klasifikasi potensi dan WP; b. penentuan neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional; atau c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mineral dan batubara. Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan data dan/atau informasi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Sistem Informasi Geografis Pasal 38 (1) WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK. (2) Sistem koordinat pemetaan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional. 516 (3) Sistem informasi WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat diakses oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi WP diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: 1. Instansi Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang belum menggunakan sistem koordinat peta berdasarkan Datum Geodesi Nasional yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang survei dan pemetaan nasional wajib menyesuaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. 2. Wilayah surat izin pertambangan daerah dan wilayah kuasa pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang Surat Izin Pertambangan Daerah atau Kuasa Pertambangan yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harus ditetapkan menjadi WIUP dalam WUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. 3. Wilayah kontrak karya dan wilayah perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini, dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, harus ditetapkan dalam WUP sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai wilayah pertambangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. 517 Pasal 41 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR.H.SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 28 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN I. UMUM Kegiatan pertambangan di Indonesia secara nyata telah membuka dan mengembangkan wilayah terpencil. Dengan berkembangnya pusat pertumbuhan baru di beberapa wilayah, telah memberikan manfaat dalam pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan penerimaan negara, dan penyediaan lapangan kerja. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diharapkan menjadi penggerak pembangunan, terutama di kawasan Timur Indonesia. Pengembangan sektor pertambangan mineral dan batubara harus berdasarkan praktek pertambangan yang baik dan benar dengan memperhatikan elemen dasar praktek pembangunan berkelanjutan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup. Kegiatan pertambangan mineral dan batubara memiliki potensi strategis untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Mineral dan batubara yang terkandung dalam Wilayah Pertambangan Mineral dan Batubara Indonesia, keterdapatannya memiliki sifat yang tidak terbarukan, tersebar tidak merata, terbentuk jutaan tahun yang lalu, keberadaannya tidak kasat mata, keterdapatannya alamiah dan tidak bias dipindahkan. Selain mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, pertambangan mineral dan batubara juga dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan, memiliki resiko dan biaya tinggi dalam eksplorasi dan operasi produksinya, nilai keekonomiannya dapat berubah dengan berubahnya waktu dan teknologi, karena itu dalam menetapkan Wilayah Pertambangan harus mempertimbangkan keterpaduan, pemanfaatan ruang 519 520 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berkesinambungan berdasarkan daya dukung lingkungan. Pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara memiliki kedudukan yang sama dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan dalam tata ruang, sehingga harus dikelola secara bijaksana untuk memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berada pada sekitar wilayah pertambangan mineral dan batubara, baik orang perseorangan, kelompok masyarakat, maupun koperasi untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, ditetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan yang mengatur penyelidikan dan penelitian pertambangan, perencanaan dan penetapan WP, WUP, WIUP, WPN, WUPK, WIUPK, WPR, data dan informasi, serta system informasi geografis. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. 521 Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” antara lain berupa kerja sama teknik antara Pemerintah dan pemerintah asing, baik dalam bentuk bilateral, regional, maupun multilateral. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Data dan informasi diolah dan dituangkan menjadi peta potensi mineral menggunakan standar nasional pengolahan data geologi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 522 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Berkoordinasi dimaksudkan untuk menetapkan batas dan luas WIUP mineral logam dan/atau batubara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 523 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “tepi dan tepi sungai” adalah daerah akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu meander sungai. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. 524 Huruf h Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Komoditas tertentu antara lain tembaga, timah, emas, besi, nikel, bauksit, dan batubara. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. 525 Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5110 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 ayat (5) UndangUndang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Energi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KONSERVASI ENERGI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Konservasi energi adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energy dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya. 527 528 2. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika, kimia, dan elektromagnetika. 3. Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi. 4. Sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energy maupun sebagai energi. 5. Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Bentuk usaha tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundangundangan yang berlaku di Republik Indonesia. 7. Pengusaha adalah perseorangan, badan usaha, bentuk usaha tetap yang melakukan pengusahaan energy termasuk produsen peralatan pemanfaat energi. 8. Pemanfaatan energi adalah kegiatan menggunakan energi, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber energi. 9. Produsen peralatan hemat energi adalah perseorangan natau badan usaha yang mempunyai kegiatan usaha yang memproduksi dan/atau melakukan pengadaan peralatan yang hemat energi. 10. Pengguna energi adalah perseorangan, badan usaha, bentuk usaha tetap, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah, yang memanfaatkan energi untuk menghasilkan produk dan/atau jasa. 11. Pengguna sumber energi adalah perseorangan, badan usaha, bentuk usaha tetap, lembaga pemerintah, dan lembaga non pemerintah, yang menggunakan sumber energi. 12. Peralatan hemat energi adalah piranti atau perangkat atau fasilitas yang dalam pengoperasiannya memanfaatkan energi secara hemat sesuai dengan benchmark hemat energi yang ditetapkan. 13. Peralatan pemanfaat energi adalah piranti atau perangkat atau fasilitas yang dalam pengoperasiannya memanfaatkan sumber energi atau energi. 14. Audit energi adalah proses evaluasi pemanfaatan energy dan identifikasi peluang penghematan energi serta rekomendasi peningkatan efisiensi pada pengguna energi dan pengguna sumber energi dalam rangka konservasi energi. 529 15. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah. 17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan energi. BAB II TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH, PENGUSAHA DAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Umum Pasal 2 (1) Konservasi energi nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, pengusaha dan masyarakat. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rencana induk konservasi energi nasional. Pasal 3 (1) Rencana induk konservasi energi nasional disusun dan ditetapkan oleh Menteri. (2) Rencana induk konservasi energi nasional paling sedikit memuat sasaran, pokokpokok kebijakan, program, dan langkah-langkah konservasi energi. (3) Penyusunan rencana induk konservasi energi nasional dilakukan dengan: a. mengacu pada rencana umum energi nasional; dan b. memperhatikan masukan dari instansi terkait, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat. (4) Rencana induk konservasi energi nasional dibuat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau setiap tahun sesuai keperluan. Bagian Kedua Tanggung Jawab Pemerintah 530 Pasal 4 Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab secara nasional untuk: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program konservasi energi; b. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang konservasi energi; c. melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif untuk penggunaan teknologi yang menerapkan konservasi energi; d. mengkaji, menyusun, dan menetapkan kebijakan, serta mengalokasikan dana dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi; e. memberikan kemudahan dan/atau insentif dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi; f. melakukan bimbingan teknis konservasi energi kepada pengusaha, pengguna sumber energi, dan pengguna energi; g. melaksanakan program dan kegiatan konservasi energy yang telah ditetapkan; dan h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program konservasi energi. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Pemerintah Daerah Pasal 5 Pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya di wilayah provinsi yang bersangkutan untuk: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program konservasi energi; b. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang konservasi energi; c. melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif untuk penggunaan teknologi yang menerapkan konservasi energi; d. mengalokasikan dana dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi; e. memberikan kemudahan dan/atau insentif dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi; 531 f. melakukan bimbingan teknis konservasi energi kepada pengusaha, pengguna sumber energi, dan pengguna energi; g. melaksanakan program dan kegiatan konservasi energi; dan h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program konservasi energi. Pasal 6 Pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab sesuai dengan kewenangannya di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan untuk: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan, strategi dan program konservasi energi; b. mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang konservasi energi; c. melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan komprehensif untuk penggunaan teknologi yang menerapkan konservasi energi; d. mengalokasikan dana dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi; e. memberikan kemudahan dan/atau insentif dalam rangka pelaksanaan program konservasi energi; f. melakukan bimbingan teknis konservasi energi kepada pengusaha, pengguna sumber energi, dan pengguna energi; g. melaksanakan program dan kegiatan konservasi energi; dan h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program konservasi energi. Bagian Keempat Tanggung Jawab Pengusaha Pasal 7 (1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab: a. melaksanakan konservasi energi dalam setiap tahap pelaksanaan usaha; dan b. menggunakan teknologi yang efisien energi; dan/atau c. menghasilkan produk dan/atau jasa yang hemat energi. 532 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknologi yang efisien energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Tanggung Jawab Masyarakat Pasal 8 Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertanggung jawab mendukung dan melaksanakan program konservasi energi. BAB III PELAKSANAAN KONSERVASI ENERGI Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) Pelaksanaan konservasi energi mencakup seluruh tahap pengelolaan energi. (2) Pengelolaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan: a. penyediaan energi; b. pengusahaan energi; c. pemanfaatan energi; dan d. konservasi sumber daya energi. Bagian Kedua Konservasi Dalam Penyediaan Energi Pasal 10 (1) Perseorangan, badan usaha, dan bentuk usaha tetap dalam kegiatan penyediaan energi wajib melaksanakan konservasi energi. (2) Pelaksanaan konservasi energi dalam kegiatan penyediaan energi meliputi: a. perencanaan yang berorientasi pada penggunaan teknologi yang efisien energi; b. pemilihan prasarana, sarana, peralatan, bahan, dan proses yang secara langsung ataupun tidak langsung menggunakan energi yang efisien; dan c. pengoperasian sistem yang efisien energi. 533 Bagian Ketiga Konservasi Dalam Pengusahaan Energi Pasal 11 (1) Perseorangan, badan usaha, dan bentuk usaha tetap dalam melakukan pengusahaan energi wajib melakukan konservasi energi. (2) Pengusahaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan sumber daya energi, sumber energi, dan energi. (3) Pelaksanaan konservasi energi dalam pengusahaan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerapan teknologi yang efisien energi yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Konservasi Dalam Pemanfaatan Energi Pasal 12 (1) Pemanfaatan energi oleh pengguna sumber energi dan pengguna energi wajib dilakukan secara hemat dan efisien. (2) Pengguna sumber energi dan pengguna energi yang menggunakan sumber energi dan/atau energi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun wajib melakukan konservasi energy melalui manajemen energi. (3) Manajemen energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan: a. menunjuk manajer energi; b. menyusun program konservasi energi; c. melaksanakan audit energi secara berkala; d. melaksanakan rekomendasi hasil audit energi; dan e. melaporkan pelaksanaan konservasi energi setiap tahun kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya masingmasing. Pasal 13 (1) Audit energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c dilakukan oleh auditor energi internal dan/atau lembaga yang telah terakreditasi. 534 (2) Manajer energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf a dan auditor energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Program konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf b disusun oleh pengguna sumber energi dan pengguna energi, paling sedikit memuat informasi mengenai: a. rencana yang akan dilakukan; b. jenis dan konsumsi energi; c. penggunaan peralatan hemat energi; d. langkah-langkah konservasi energi; dan e. jumlah produk yang dihasilkan atau jasa yang diberikan. (4) Laporan pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf e disusun berdasarkan program konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan program dan pelaporan hasil pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Konservasi Sumber Daya Energi Pasal 14 (1) Menteri menetapkan kebijakan konservasi sumber daya energi. (2) Kebijakan konservasi sumber daya energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tetapi tidak terbatas pada: a. sumber daya energi yang diprioritaskan untuk diusahakan dan/atau disediakan; b. jumlah sumber daya energi yang dapat diproduksi; dan c. pembatasan sumber daya energi yang dalam batas waktu tertentu tidak dapat diusahakan. BAB IV STANDAR DAN LABEL 535 Pasal 15 (1) Penerapan teknologi yang efisien energi dilakukan melalui penetapan dan pemberlakuan standar kinerja energi pada peralatan pemanfaat energi. (2) Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Penerapan standar kinerja energi pada peralatan pemanfaat energi sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dilakukan dengan pencantuman label tingkat efisiensi energi. (2) Pencantuman label tingkat efisiensi energi dilakukan oleh produsen dan importir peralatan pemanfaat energy pada peralatan pemanfaat energi secara bertahap sesuai tata cara labelisasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pentahapan, tata cara labelisasi, dan jenisjenis peralatan pemanfaat energy sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V KEMUDAHAN, INSENTIF, DAN DISINSENTIF Bagian Kesatu Kemudahan dan Insentif Pasal 17 Pemerintah dan/atau pemerintah daerah member kemudahan kepada pengguna energi dan produsen peralatan hemat energi di dalam negeri yang melaksanakan konservasi energi untuk memperoleh: a. akses informasi mengenai teknologi hemat energi dan spesifikasinya, dan cara/ langkah penghematan energi; dan b. layanan konsultansi mengenai cara/langkah penghematan energi. Pasal 18 Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi insentif kepada: a. pengguna energi yang menggunakan energi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan 536 b. produsen peralatan hemat energi di dalam negeri, yang berhasil melaksanakan konservasi energi pada periode tertentu. Pasal 19 (1) Kriteria keberhasilan pelaksanaan konservasi energy bagi pengguna energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a apabila dalam periode tertentu terjadi penurunan: a. konsumsi energi spesifik; dan/atau b. elastisitas konsumsi energi. (2) Kriteria keberhasilan pelaksanaan konservasi energy bagi produsen peralatan hemat energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b apabila dalam periode tertentu dapat: a. memproduksi peralatan hemat energi yang efisiensi energinya lebih tinggi dari benchmark yang ditentukan; dan b. mencantumkan label tingkat efisiensi energi sesuai dengan standar yang berlaku. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keberhasilan pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 20 (1) Insentif yang diberikan kepada pengguna energy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a dapat berupa: a. fasilitas perpajakan untuk peralatan hemat energi; b. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah untuk peralatan hemat energi; c. fasilitas bea masuk untuk peralatan hemat energi; d. dana suku bunga rendah untuk investasi konservasi energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau e. audit energi dalam pola kemitraan yang dibiayai oleh Pemerintah. (2) Insentif yang diberikan kepada produsen peralatan hemat energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b dapat berupa: a. fasilitas perpajakan untuk komponen/suku cadang dan bahan baku yang digunakan untuk memproduksi peralatan hemat energi; 537 b. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah untuk komponen/suku cadang dan bahan baku yang digunakan untuk memproduksi peralatan hemat energi; c. fasilitas bea masuk untuk komponen/suku cadang dan bahan baku yang akan digunakan untuk memproduksi peralatan hemat energi; dan/atau d. dana suku bunga rendah untuk investasi dalam rangka memproduksi peralatan hemat energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Permohonan insentif dapat diajukan oleh pengguna energi dalam hal hasil evaluasi atas laporan pelaksanaan konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) huruf e sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), menunjukkan keberhasilan pelaksanaan konservasi energi. (4) Permohonan insentif dapat diajukan oleh produsen peralatan hemat energi di dalam negeri dalam hal verifikasi terhadap kriteria keberhasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) menunjukkan keberhasilan pelaksanaan konservasi energi. (5) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. (6) Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah. (7) Fasilitas bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c, diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pasal 21 (1) Insentif berupa audit energi dalam pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e selain diberikan kepada pengguna energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, dapat juga diberikan kepada pengguna energi yang menggunakan energy kurang dari 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun yang berhasil melaksanakan konservasi energi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kriteria pengguna energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. 538 Bagian Kedua Disinsentif Pasal 22 (1) Pengguna sumber energi dan pengguna energy sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) yang tidak melaksanakan konservasi energi melalui manajemen energi dikenakan disinsentif oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. pengumuman di media massa; c. denda; dan/atau d. pengurangan pasokan energi. Pasal 23 Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam tenggat waktu masing-masing 1 (satu) bulan. Pasal 24 Dalam hal pengguna sumber energi dan pengguna energy yang telah diberi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tidak melaksanakan konservasi energi, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengumumkan nama pengguna sumber energi dan pengguna energi yang bersangkutan di media massa. Pasal 25 (1) Dalam hal 1 (satu) bulan setelah nama pengguna sumber energi dan pengguna energi diumumkan di media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 tetap tidak melaksanakan konservasi energi, yang bersangkutan dikenai denda. (2) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sebanyak 2 (dua) kali dari nilai pemborosan energi yang ditimbulkan. (3) Hasil denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetorkan ke kas negara/kas daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 539 Pasal 26 (1) Dalam hal 1 (satu) bulan setelah pengenaan denda pengguna sumber energi dan pengguna energi tidak membayar denda, Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pengurangan pasokan energi kepada yang bersangkutan. (2) Gubernur atau bupati/walikota dalam menetapkan pengurangan pasokan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Menteri. (3) Pengurangan pasokan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban pembayaran denda oleh pengguna sumber energi dan pengguna energi. Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 28 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan konservasi energi sesuai dengan kewenangannya. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui: a. pendidikan dan pelatihan; b. bimbingan teknis; c. penyuluhan; d. penyebarluasan informasi baik melalui media cetak, media elektronik, forum, atau pameran-pameran; dan e. dorongan dan/atau fasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi konservasi energi. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan terhadap: a. penunjukan manajer energi; b. penyusunan program konservasi energi; c. pelaksanaan audit energi secara berkala; dan d. pelaksanaan rekomendasi hasil audit energi. 540 (4) Pendanaan yang diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (5) Pendanaan yang diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Dalam hal rencana umum energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a belum ditetapkan, rencana induk konservasi energi nasional dapat disusun dengan memperhatikan masukan dari instansi terkait, pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1991 tentang Konservasi Energi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 31 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 541 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 171 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perkonomian dan Industri ttd Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG KONSERVASI ENERGI I. UMUM Energi mempunyai peranan yang sangat penting dan menjadi kebutuhan dasar dalam pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, energi harus digunakan secara hemat, rasional, dan bijaksana agar kebutuhan energi pada masa sekarang dan masa yang akan dating dapat terpenuhi. Mengingat pentingnya penggunaan energi secara hemat, rasional, dan bijaksana, Pemerintah perlu menyusun Peraturan Pemerintah dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumber daya energi, sumber energy dan energi, melalui penerapan teknologi yang efisien energi, pemanfaatan energi secara efisien dan rasional, dan penerapan budaya hemat energy guna menjamin ketersediaan energi nasional yang berwawasan lingkungan. Peraturan Pemerintah ini mengatur: 1. tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat; 2. pelaksanaan konservasi energi yang mencakup seluruh tahap pengelolaan energi yang meliputi kegiatan penyediaan energi, pengusahaan energi, pemanfaatan energi, dan konservasi sumber daya energi; 3. standar dan label; 4. kemudahan, insentif dan disinsentif; dan 5. pembinaan dan pengawasan. 543 544 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peraturan Menteri dalam ketentuan ini antara lain mengatur penggunaan teknologi yang efisien energi, mulai dari hulu sampai hilir, yaitu mulai dari proses penyediaan, transmisi, distribusi sampai dengan pemanfaatan. Pasal 8 Tanggung jawab masyarakat dalam ketentuan ini dimaksudkan agar tercipta budaya hemat energi. Pasal 9 Cukup jelas. 545 Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”hemat” dalam ketentuan ini berkaitan dengan perilaku penggunaan energi secara efektif dan efisien. Yang dimaksud dengan ”efisien” dalam ketentuan ini adalah nilai maksimal yang dihasilkan dari perbandingan antara keluaran dan masukan energi pada peralatan pemanfaat energi. Ayat (2) Penetapan batasan angka 6.000 (enam ribu) dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pengguna energi dengan konsumsi lebih besar atau sama dengan 6.000 (enam ribu) setara ton minyak per tahun tidak terlalu banyak, tetapi total konsumsi energinya mencapai sekitar 60% (enam puluh persen) dari penggunaan energi nasional. Dengan kata lain, apabila langkah-langkah konservasi energi berhasil dilakukan pada kelompok tersebut, maka dampak penghematan secara nasional akan signifikan. Setara 1 (satu) ton minyak sama dengan: · 41,9 giga joule (GJ); · 1,15 kilo liter minyak bumi (kl minyak bumi); · 39,68 million British Thermal Unit (MMBTU); atau · 11,63 mega watt hour (MWh). Ayat (3) Yang dimaksud dengan “manajemen energi” adalah kegiatan terpadu untuk mengendalikan konsumsi energi agar tercapai pemanfaatan energi yang efektif dan efisien untuk menghasilkan keluaran yang maksimal melalui tindakan teknis secara terstruktur dan ekonomis untuk meminimalisasi pemanfaatan energi termasuk energi untuk proses produksi dan meminimalisasi konsumsi bahan baku dan bahan pendukung. 546 Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “auditor energi internal” adalah auditor yang bekerja pada pengguna sumber energi dan pengguna energi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pembatasan sumber daya energi dalam ketentuan ini dilakukan terhadap sumber daya energi yang tidak terbarukan. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Label tingkat efisiensi energi berisi informasi mengenai tingkat penggunaan energi suatu peralatan pemanfaat energi. Dengan adanya label tersebut, masyarakat mendapat informasi mengenai tingkat penggunaan energi dari suatu peralatan pemanfaat energi tersebut. 547 Ayat (2) Peralatan pemanfaat energi yang dimaksud terutama yang menggunakan energi listrik seperti kulkas, lampu, setrika, air conditioner, rice cooker, motor listrik dan lain lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “konsumsi energi spesifik” adalah jumlah energi yang digunakan untuk menghasilkan 1 (satu) satuan produk atau keluaran. Penurunan konsumsi energi spesifik ini harus dibandingkan dalam tingkat keluaran yang sama, seperti kWh/ton, kWh/m2, liter/kWh. Huruf b Yang dimaksud dengan “elastisitas konsumsi energi” adalah perbandingan pertumbuhan konsumsi energy terhadap pertumbuhan produk atau keluaran (Δ konsumsi energi terhadap Δ produk atau keluaran). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengaturan keberhasilan pelaksanaan konservasi energi meliputi antara lain: a. kriteria keberhasilan (benchmark hemat energi, persentase penurunan intensitas, elastisitas, periode, dan kecenderungan penurunan); dan b. prosedur penilaian keberhasilan. Pasal 20 Cukup jelas. 548 Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Pengumuman di media massa dalam ketentuan ini dilakukan paling sedikit dalam 1 (satu) media cetak atau elektronik. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5083 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor perkara 002/PUU-I/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, perlu melakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dalam rangka penataan kembali kewajiban Kontraktor untuk memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi dalam negeri, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 549 550 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4530); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4530), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 6 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Minyak Bumi, Gas Bumi, Minyak dan Gas Bumi, Kuasa Pertambangan, Survey Umum, Kegiatan Usaha Hulu, Eksplorasi, Eksploitasi, Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia, Wilayah Kerja, Badan Usaha, Bentuk Usaha Tetap, Kontrak Kerja Sama, Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Pelaksana, Menteri adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2. Gas Metana Batubara (Coalbed Methane) adalah gas bumi (hidrokarbon) dimana gas metana merupakan komponen utamanya yang terjadi secara alamiah dalam proses pembentukan batubara (coalification) dalam kondisi 551 terperangkap dan terserap (terabsorbsi) di dalam batubara dan/atau lapisan batubara. 3. Wilayah Terbuka adalah bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia yang belum ditetapkan sebagai Wilayah Kerja. 4. Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. 5. Kontrak Jasa adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama untuk pelaksanaan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan. 6. Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana. 7. Data adalah semua fakta, petunjuk, indikasi, dan informasi baik dalam bentuk tulisan (karakter), angka (digital), gambar (analog), media magnetik, dokumen, perconto batuan, fluida, dan bentuk lain yang didapat dari hasil Survey Umum, Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi. 8. Departemen adalah departemen yang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 9. Pertamina adalah perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara juncto UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 10. PT Pertamina (Persero) adalah Perusahaan perseroan (Persero) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). 2. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagai Kontraktor untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja tertentu. (2) Dalam pelaksanaan penetapan Badan Usaha atauBentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana. 552 (3) Untuk setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya diberikan satu Wilayah Kerja. 3. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3) diubah serta ayat (2) dan ayat (4) dihapus, sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 (1) Kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dalam negeri. (2) Dihapus. (3) Kewajiban Kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian Kontraktor. (4) Dihapus. 4. Ketentuan Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) diubah serta ditambahkan 2 (dua) ayat baru yaitu ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Terhadap cadangan Gas Bumi yang baru ditemukan, Kontraktor wajib menyampaikan laporan terlebih dahulu kepada Menteri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. (2) Dalam hal cadangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diproduksikan, Menteri terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada konsumen di dalam negeri untuk menyampaikan kebutuhan Gas Buminya secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak cadangan Gas Bumi yang baru ditemukan. (3) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak berakhirnya batas waktu 1 (satu) tahun pemberian kesempatan kepada konsumen di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri harus menyampaikan pemberitahuan kepada Kontraktor mengenai kondisi kebutuhan di dalam negeri. (4) Dalam hal Menteri menyampaikan adanya kebutuhan Gas Bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kontraktor wajib mulai melakukan negosiasi dengan konsumen dalam negeri dengan memperhatikan keekonomian pengembangan lapangan Gas Bumi. 553 (5) Dalam hal Menteri menyampaikan tidak adanya kebutuhan Gas Bumi dalam negeri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau antara Kontraktor dan konsumen dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka Kontraktor dapat menjual Gas Bumi kepada pasar internasional setelah mendapat persetujuan Menteri. Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 September 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 September 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 128 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, ttd. Setio Sapto Nugroho PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI I. UMUM Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor perkara 002/PUUI /2003 tanggal 21 Desember 2004 atas permohonan pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, mengakibatkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 khususnya frasa “diberi wewenang” dalam Pasal 12 ayat (3) dan frasa “paling banyak” dalam Pasal 22 ayat (1) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan dalam rangka penataan kembali kewajiban Kontraktor untuk memenuhi kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dalam negeri, harus dilakukan perubahan atas ketentuan Pasal 1, Pasal 6, Pasal 46, dan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005. Berdasarkan hal tersebut, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I 555 556 Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Penetapan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagai Kontraktor oleh Menteri didasarkan hasil evaluasi tim yang dibentuk oleh Menteri atas pelaksanaan lelang wilayah kerja atau penawaran langsung wilayah kerja. Ayat (2) Badan Pelaksana dapat memberikan masukan kepada Menteri mengenai kinerja Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan berdasarkan catatan operasi yang pernah dilakukan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kebutuhan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dalam negeri” adalah keseluruhan kebutuhan nasional atas Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi. Ketentuan mengenai kewajiban penyerahan Gas Bumi ini berlaku untuk Kontrak Kerja Sama yang mempunyai tanggal berlaku (effectivedate) setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dihapus. Pasal 48 Cukup jelas. 557 Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5047 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang­Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/PUU- 1/2003 tentang Permohonan Uji Formil Materiil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152); 559 560 3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4436); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI. Pasal I Ketentuan Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hiir Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4436) diubah sehingga Pasal 72 berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal II Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Maret 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 561 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 24 Maret 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 59 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI I. UMUM Sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor perkara 002/PUU­I/2003 tanggal 21 Desember 2004 atas permohonan pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, mengakibatkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, khususnya Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga harus dilakukan perubahan atas ketentuan Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas bumi. Berdasarkan hal tersebut, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 72 Cukup Jelas Pasal II Cukup Jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4996 563 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3), Pasal 13 ayat (3), dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik 565 566 semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. 2. Kegiatan Usaha Panas Bumi adalah suatu kegiatan untuk menemukan sumber daya Panas Bumi sampai dengan pemanfaatannya baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia untuk memperkirakan letak dan adanya sumber daya Panas Bumi serta wilayah kerja. 3. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi Panas Bumi. 4. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan Panas Bumi, termasuk pemboran sumur deliniasi atau studi jumlah cadangan yang dapat dieksploitasi. 3. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya Panas Bumi. 4. Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan usaha pemafaatan energi dan/atau fluida Panas Bumi untuk keperluan nonlistrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 8. Pemanfaatan Tidak Langsung untuk tenaga listrik adalah kegiatan usaha pemanfaatan energi Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik, baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri. 9. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha tetap dan terus­menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi. 10. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP. 567 11. Wilayah Hukum Pertambangan Panas Bumi Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia. 12. Dokumen Lelang adalah dokumen yang disiapkan oleh panitia pelelangan Wilayah Kerja sebagai pedoman dalam proses pembuatan dan penyampaian penawaran Wilayah Kerja oleh Badan Usaha serta sebagai pedoman evaluasi penawaran oleh panitia pelelangan Wilayah Kerja. 10. Pelelangan Wilayah Kerja adalah penawaran Wilayah Kerja tertentu kepada Badan Usaha sebagai rangkaian kegiatan untuk mendapatkan IUP. 13. Pihak Lain adalah Badan Usaha yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk melaksanakan penugasan Survei Pendahuluan pada suatu wilayah tertentu. 11. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Meriteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Panas Bumi. BAB II TAHAPAN KEGIATAN USAHA PANAS BUMI Pasal 2 Tahapan kegiatan usaha Panas Bumi meliputi: a. Survei Pendahuluan; b. Penetapan Wilayah Kerja dan Pelelangan Wilayah Kerja; c. Eksplorasi; d. Studi Kelayakan; e. Eksploitasi; dan f. Pemanfaatan. Bagian Kesatu Survei Pendahuluan Pasal 3 (1) Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan Survei Pendahuluan. 568 (2) Pelaksanaan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenanganya. Pasal 4 (1) Pengumpulan data hasil Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dicatat dan disusun untuk setiap wilayah yang dilengkapi dengan batas, koordinat, dan luas wilayah melalui pengaturan sebagai berikut: a. gubernur menyusun data hasil Survei Pendahuluan untuk wilayah provinsi yang bersangkutan melalui koordinasi dengan Pemerintah dan dinas serta instansi lain yang terkait di pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang bersangkutan. b. bupati/walikota menyusun data hasil Survei Pendahuluan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan melalui koordinasi dengan dinas dan instansi lain yang terkait di pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. (2) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan data hasil Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada Menteri. Pasal 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, dan syarat-syarat pelaksanaan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 6 (1) Menteri dapat menugaskan kepada Pihak Lain untuk melakukan Survei Pendahuluan. (2) Gubernur, bupati/walikota atau Pihak Lain dapat mengusulkan kepada Menteri suatu wilayah untuk dilakukan penugasan Survei Pendahuluan. (3) Penugasan Survei Pendahuluan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penugasan Survei Pendahuluan yang diusulkan oleh gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui penawaran. (4) Pelaksanaan penawaran penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan oleh Menteri dengan cara; 569 a. pengumuman melalui media cetak, media elektronik, dan media lainnya; dan/atau b. promosi melalui berbagai forum, baik nasional maupun internasional. (5) Penugasan Survei Pendahuluan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan atas biaya Pihak Lain. (6) Dalam rangka penugasan Survei Pendahuluan, Menteri dapat menetapkan harga patokan uap atau harga patokan tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga Panas Bumi. Pasal 7 (1) Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota setempat dengan melampirkan peta wilayah yang dimohon. (2) Penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara penerapan sistem permohonan pertama yang telah memenuhi persyaratan, mendapat prioritas pertama untuk mendapatkan Penugasan Survei Pendahuluan (First come first served). Pasal 8 Pihak Lain yang melakukan penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 wajib : a. menyimpan dan mengamankan data hasil Survei Pendahuluan sampai dengan berakhirnya penugasan; dan a. merahasiakan data yang diperoleh dan menyerahkan seluruh data kepada Menteri setelah berakhirnya penugasan. Pasal 9 Pihak Lain yang melakukan penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 tidak secara langsung mendapatkan Wilayah Kerja. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Menteri. 570 Bagian Kedua Penetapan Wilayah Kerja Pasal 11 (1) Kegiatan pengusahaan sumber daya Panas Bumi dilaksanakan pada suatu Wilayah Kerja. (2) Menteri merencanakan, menyiapkan dan menetapkan Wilayah Kerja berdasarkan pengkajian dan pengolahan data Survei Pendahuluan dan/atau Eksplorasi. (3) Perencanaan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggungjawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat serta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya, dan berwawasan lingkungan; dan c. memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. (4) Dalam penyiapan dan penetapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri berkonsultasi dengan instansi terkait, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 12 (1) Pemerintah menetapkan harga dasar data pada Wilayah Kerja hasil Survei Pendahuluan dan/atau Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) yang dilakukan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota (2) Menteri menetapkan besaran kompensasi data hasil pelaksanaan penugasan Survei Pendahuluan (awarded compensation) berdasarkan laporan pelaksanaan dan laporan keuangan dari Pihak Lain. (3) Harga data Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan besaran kompensasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai acuan bagi panitia Pelelangan Wilayah Kerja. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan kompensasi data hasil pelaksanaan penugasan Survei Pendahuluan (awarded compensation) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. 571 Bagian Ketiga Eksplorasi Pasal 13 (1) Menteri dapat melakukan Eksplorasi dalam wilayah hukum pertambangan Panas Bumi Indonesia. (2) Pelaksanaan Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan gubernur atau bupati/walikota yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 14 (1) Badan Usaha melakukan eksplorasi dalam suatu Wilayah Kerja setelah mendapatkan IUP. (2) Badan Usaha wajib melakukan Eksplorasi sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik dan benar serta standar Eksplorasi Panas Bumi, sampai diketahui potensi cadangan terbukti Panas Bumi sebagai dasar dikeluarkannya komitmen pengembangan. Bagian Keempat Studi Kelayakan Pasal 15 (1) Pemegang IUP dapat melakukan Studi Kelayakan setelah menyelesaikan Eksplorasi dan menyampaikan laporan Eksplorasi rinci kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam hal Eksplorasi dilakukan oleh Menteri, Badan Usaha dapat langsung melakukan studi kelayakan setelah mendapatkan IUP. (3) Badan Usaha wajib melakukan Studi Kelayakan sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik dan benar serta standar Studi Kelayakan Panas Bumi. (4) Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi studi: c. penentuan cadangan layak tambang di seluruh Wilayah Kerja; d. penerapan teknologi yang tepat untuk Eksploitasi dan penangkapan uap dari sumur produksi; e. lokasi sumur produksi; 572 f. rancangan sumur produksi dan injeksi; g. rancangan pemipaan sumur produksi; h. perencanaan kapasitas produksi jangka pendek dan jangka panjang; i. sistim pembangkit tenaga listrik dan/atau sistim pemanfaatan langsung; j. upaya konservasi dan kesinambungan sumber daya Panas Bumi; 23593216. rencana keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan dan teknis pertambangan Panas Bumi; dan 23593217. rencana pasca tambang sementara. Bagian Kelima Eksploitasi Pasal 16 (1) Pemegang IUP dapat melakukan Eksploitasi setelah menyelesaikan Studi Kelayakan serta telah mendapat keputusan kelayakan lingkungan berdasarkan hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau persetujuan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. (2) Badan Usaha wajib melakukan Eksploitasi sesuai dengan kaidah teknik pertambangan yang baik dan benar serta standar Eksploitasi Panas Bumi dan memperhatikan aspek lingkungan serta konservasi sumber daya Panas Bumi. Bagian Keenam Pemanfaatan Pasal 17 Pemegang IUP dapat melakukan kegiatan: a. pemanfaatan tidak langsung untuk tenaga listrik setelah mendapat izin usaha ketenagalistrikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan; dan/atau b. pemanfaatan langsung yang pelaksanaannya diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal 18 Pedoman penetapan harga uap Panas Bumi untuk pembangkit tenaga listrik diatur dalam Peraturan Menteri. 573 Pasal 19 Untuk menjamin ketersediaan listrik bagi kepentingan umum, Pemerintah dapat menugaskan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk membeli uap atau listrik yang berasal dari Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB III LELANG WILAYAH KERJA Bagian Kesatu Umum Pasal 20 (1) Dalam rangka penawaran Wilayah Kerja, Menteri dapat menetapkan harga patokan uap dan/atau tenaga listrik dari pembangkit listrik tenaga Panas Bumi Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengumumkan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara terbuka untuk ditawarkan kepada Badan Usaha. (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan Usaha dengan cara lelang. (3) Dalam melaksanakan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mempunyai tugas: a. membentuk panitia Pelelangan Wilayah Kerja yang keanggotaannya berjumlah gasal dan paling sedikit 5 (lima) orang, yang memahami tata cara Pelelangan Wilayah Kerja, substansi pengusahaan Panas Bumi termasuk pemanfaatannya, hukum dan bidang lain yang diperlukan baik dari unsurunsur di dalam maupun di luar instansi yang bersangkutan; dan a. menetapkan dan mengesahkan hasil Pelelangan Wilayah Kerja. (4) Tugas, wewenang dan tanggung jawab panitia Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi : a. menyusun jadwal dan menetapkan lokasi Pelelangan Wilayah Kerja; b. menyiapkan Dokumen Lelang; c. mengumumkan Pelelangan Wilayah Kerja; 574 d. menilai kualifikasi Badan Usaha melalui prakualifikasi; e. melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; d. mengusulkan calon pemenang; dan e. membuat berita acara Pelelangan Wilayah Kerja. (5) Panitia Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a masing-masing terdiri dari: a. panitia Pelelangan Wilayah Kerja lintas provinsi dibentuk oleh Menteri yang beranggotakan wakil dari instansi yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral, instansi terkait, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota setempat; b. panitia Pelelangan Wilayah Kerja lintas kabupaten/kota dibentuk oleh gubernur yang bersangkutan yang beranggotakan wakil dari instansi yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral, instansi terkait, pemerintah provinsi, dan instansi pemerintah daerah terkait; dan c. panitia Pelelangan Wilayah Kerja yang berada pada wilayah kewenangan pemerintah kabupaten/kota dibentuk oleh bupati/walikota yang bersangkutan yang beranggotakan wakil dari instansi yang bertanggung jawab di bidang energi dan sumber daya mineral, instansi terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan instansi pemerintah daerah terkait. Bagian Kedua Persyaratan dan Tata Cara Pelelangan Pasal 21 Panitia Pelelangan Wilayah Kerja menyiapkan Dokumen Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf b meliputi: a. syarat administratif, teknis, dan keuangan; b. metode penyampaian dokumen penawaran; c. metode evaluasi penawaran; dan d. prosedur penentuan pemenang lelang. Pasal 22 (1) Badan Usaha yang dapat mengikuti Pelelangan Wilayah Kerja harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a. 575 (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. surat permohonan IUP kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; b. identitas pemohon/akta pendirian perusahaan; c. profil perusahaan; d. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan e. surat pernyataan kesanggupan membayar kompensasi data kecuali untuk Pihak Lain yang mendapat penugasan Survei Pendahuluan. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. rencana teknis Eksplorasi atau Studi Kelayakan; dan b. rencana jadwal Eksplorasi atau Studi Kelayakan. (4) Persyaratan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. kemampuan pendanaan; dan b. bukti penempatan jaminan lelang minimal 2,5 % dari rencana biaya Eksplorasi tahun pertama dari bank setempat atas nama panitia Pelelangan Wilayah Kerja. (5) Jaminan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b akan dikembalikan kepada Badan Usaha yang kalah lelang. Pasal 23 (1) Metode penyampaian dokumen penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b dilakukan dengan metode dua tahap, yaitu : a. tahap kesatu, meliputi: 1. Badan Usaha menyampaikan persyaratan administratif, teknis dan keuangan dalam satu sampul; 2. pada sampul dicantumkan alamat Panitia Pelelangan Wilayah Kerja yang mengadakan Pelelangan Wilayah Kerja dengan frasa “Dokumen Penawaran Wilayah Kerja Tahap Kesatu”; dan 3. pada sampul luar dokumen penawaran yang diterima oleh Panitia Pelelangan Wilayah Kerja diberi catatan tanggal dan jam penerimaan. Dokumen penawaran yang disampaikan setelah batas akhir pemasukan, tidak diterima. 576 b. tahap kedua, meliputi: 1. Badan Usaha peserta Pelelangan Wilayah Kerja, yang telah dinyatakan lulus oleh Panitia Pelelangan Wilayah Kerja pada evaluasi tahap kesatu, hams memasukan harga uap atau tenaga listrik dalam sampul; 2. nilai penawaran harga uap atau tenaga listrik dicantumkan dengan jelas dalam angka dan huruf; 3. dokumen penawaran bersifat rahasia dan hanya ditujukan kepada alamat yang telah ditetapkan; dan 4. dokumen penawaran yang diterima, pada sampul luarnya diberi catatan tanggal dan jam penerimaan oleh Panitia Pelelangan Wilayah Kerja. (2) Metode evaluasi penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c dilakukan berdasarkan evaluasi kualitas teknis, keuangan dan harga uap atau tenaga listrik yang paling rendah diantara penawaran harga. (3) Prosedur penentuan pemenang Pelelangan Wilayah Kerja dengan metode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi: a. tahap kesatu 1. pengumuman prakualifikasi; 2. pengambilan dokumen prakualifikasi; 3. pemasukan dokumen prakualifikasi; 4. evaluasi prakualifikasi; 5. klarifikasi dan konfirmasi terhadap dokumen prakualifikasi; 6. penetapan hasil prakualifikasi; 7. pengumuman hasil prakualifikasi; 8. masa sanggah prakualifikasi. b. tahap kedua 1. undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi; 2. pengambilan Dokumen Lelang; 3. penjelasan; 4. penyusunan berita acara penjelasan Dokumen Lelang perubahannya; 5. tahap pemasukan penawaran harga uap atau tenaga listrik; 6. pembukaan sampul penawaran; 7. penetapan peringkat; 8. pemberitahuan/pengumuman pemenang; 9. masa sanggah; dan 577 10. penjelasan sanggahan; dan 11. penunjukan pemenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan evaluasi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pelelangan Wilayah Kerja Hasil Penugasan Survei Pendahuluan Pasal 24 (1) Menteri berdasarkan data penugasan Survei Pendahuluan yang dilakukan oleh Pihak lain menetapkan Wilayah Kerja. (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengumumkan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara terbuka untuk ditawarkan kepada Badan Usaha. (3) Persyaratan dan tatacara pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) huruf a kecuali bagi Pihak Lain yang mendapat penugasan Survei Pendahuluan langsung dinyatakan lulus tahap kesatu. Pasal 25 Prosedur penentuan pemenang Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) untuk Wilayah Kerja hasil penugasan Survei Pendahuluan dilakukan sebagai berikut: a. Panitia Pelelangan Wilayah Kerja pada tahap kedua memberikan kesempatan kepada Badan Usaha peserta lelang yang lulus prakualifikasi dan Pihak Lain yang mendapat penugasan Survei Pendahuluan untuk menyampaikan penawaran harga uap atau tenaga listrik. b. Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pemenang lelang Wilayah Kerja berdasarkan penawaran harga uap atau tenaga listrik terendah dengan cara: 1. penetapan peringkat peserta lelang dilakukan berdasarkan evaluasi kualitas teknis, keuangan dan harga uap atau tenaga listrik yang paling rendah diantara penawaran harga. 578 2. dalam hal penawaran harga uap atau tenaga listrik yang diajukan oleh Pihak Lain lebih tinggi dari peserta lelang lainnya, maka kepada Pihak Lain diberikan hak untuk melakukan perubahan penawaran sekurang-kurangnya menyamai penawaran terendah harga uap atau tenaga listrik yang diajukan oleh peserta lelang yang lain. 3. dalam hal Pihak Lain bersedia untuk melakukan perubahan Penawaran sebagaimana dimaksud pada angka 2, maka Pihak Lain yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang lelang Wilayah Kerja oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 4. dalam hal Pihak Lain tidak bersedia untuk melakukan perubahan penawaran sebagaimana dimaksud pada angka 2, maka Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan Badan Usaha yang memberi penawaran harga uap atau tenaga listrik terendah sebagai pemenang lelang Wilayah Kerja; 5. Badan Usaha pemenang lelang Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada angka 4 wajib membayar kompensasi data (awarded compensation) kepada Pihak Lain. Bagian keempat Sanggahan Pasal 26 (1) Peserta Pelelangan Wilayah Kerja yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat mengajukan sanggahan apabila ditemukan: a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Lelang; b. rekayasa tertentu sehingga terjadinya persaingan yang tidak sehat; dan/ atau c. penyalahgunaan wewenang oleh Panitia Pelelangan Wilayah Kerja dan/atau pejabat yang berwenang lainnya. (2) Sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pemberitahuan/ pengumuman pemenang Pelelangan Wilayah Kerja. 579 (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan jawaban paling lama 5 (lima) hari kerja sejak surat sanggahan diterima. (4) Apabila sanggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ternyata benar, maka proses Pelelangan Wilayah Kerja harus diulang. Bagian Kelima Pelelangan Ulang Pasal 27 (1) Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23, diulang apabila jumlah Badan Usaha yang memasukan penawaran kurang dari 2 (dua) peserta. (2) Apabila telah dilakukan Pelelangan Wilayah Kerja ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata hanya diikuti kurang dari 2 (dua) peserta maka peserta Pelelangan Wilayah Kerja yang memenuhi persyaratan administratif, teknis dan keuangan dapat ditunjuk langsung. (3) Pelelangan Wilayah hasil penugasan Survei Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan 25, apabila tidak ada Badan Usaha lain yang memasukan penawaran, maka Pihak Lain yang mendapat penugasan Survei Pendahuluan sepanjang memenuhi persyaratan administratif, teknis dan keuangan dapat ditunjuk langsung. BAB IV IUP Bagian Kesatu Pemberian IUP Pasal 28 (1) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi meliputi: a. Eksplorasi; b. Studi Kelayakan; dan c. Eksploitasi. (2) Pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan oleh Baden. Usaha eetelah mendapat IUP. 580 (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan IUP kepada Badan Usaha pemenang Pelelangan Wilayah Kerja. (4) Setiap Badan Usaha hanya dapat mengusahakan diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja. (5) Dalam hal Badan Usaha akan mengusahakan lebih dari 1 (satu) beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum terpisah untuk setiap Wilayah Kerja. (6) Dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah IUP ditetapkan, Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memulai kegiatannya. Pasal 29 (1) Jangka waktu untuk melakukan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak IUP diterbitkan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing selama 1 (satu) tahun. (2) Permohonan perpanjangan diajukan secara tertulis kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Eksplorasi. (3) Perpanjangan Eksplorasi sebagaimana di maksud pada ayat (1) dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan teknis dan keuangan. Pasal 30 (1) Apabila telah selesai melaksanakan Eksplorasi, pemegang IUP wajib mengajukan rencana Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Jangka waktu untuk melakukan Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b berlaku paling lama 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir. Pasal 31 (1) Pemegang IUP wajib memberikan laporan hasil Studi Kelayakan secara tertulis kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sebelum melakukan Eksploitasi dengan dilampirkan: a. rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang Eksploitasi yang mencakup rencana kerja dan rencana anggaran; dan 581 b. keputusan kelayakan lingkungan berdasarkan hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau persetujuan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. (2) Rencana jangka panjang Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. lokasi titik bor pengembangan; b. kegiatan pengembangan sumur produksi; c. pembiayaan; d. penyiapan saluran pemipaan produksi; dan e. rencana pemanfaatan Panas Bumi. Pasal 32 (1) Jangka waktu untuk melakukan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c berlaku paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir. (2) Jangka waktu untuk melakukan Ekspoitasi dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk setiap kali perpanjangan. (3) Dalam memberikan persetujuan perpanjangan untuk melakukan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mempertimbangkan faktor-faktor potensi cadangan Panas Bumi dari Wilayah Kerja yang bersangkutan, potensi, atau kepastian pasar/kebutuhan, kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan. Pasal 33 Pemegang IUP yang telah melakukan Eksploitasi dapat melakukan kegiatan pemanfaatan Panas Bumi secara langsung maupun tidak langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 34 Pemegang IUP berhak untuk mendapatkan penangguhan berlakunya jangka waktu Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya sampai dengan mendapatkan izin pemanfaatan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 582 Bagian Kedua Penghentian Sementara Pasal 35 (1) Penghentian sementara pengusahaan sumber daya Panas Bumi dapat diberikan kepada pemegang IUP apabila terjadi keadaan kahar (force majeure) dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi. (2) Pemberian penghentian sementara pengusahaan sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP. (3) Permohonan penghentian sementara pengusahaan sumber daya Panas Bumi disampaikan. kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya paling lama 14 (empat belas) hari sejak terjadinya keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan penghentian sebagian atau seluruh pengusahaan sumber daya Panas Bumi. (4) Mentefi, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut. (5) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi diberikan paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian sementara pengusahaan sumber daya Panas Bumi karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Pengembalian Wilayah Kerja Pasal 36 Luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a yang dapat diberikan kepada Badan Usaha yang telah mendapat IUP tidak boleh melebihi 200.000 (dua ratus ribu) hektar. 583 Pasal 37 (1) Luas Wilayah Kerja untuk Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c yang dapat diberikan kepada pemegang IUP tidak boleh melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektar. (2) Untuk mendapat Wilayah Kerja Eksploitasi yang luasnya melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dengan dilampiri laporan kapasitas terpasang pengembangan lapangan Panas Bumi. Pasal 38 (1) Pemegang IUP dapat mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sebelum jangka waktu, IUP berakhir. (2) Dalam hal Pemegang IUP mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu wajib menyampaikan data dan kewajiban lain yang tercantum dalam IUP. Pasal 39 (1) Apabila dalam jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 tidak ditemukan cadangan energi Panas Bumi yang dapat diproduksikan secara komersial, maka pemegang IUP wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerja kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya setelah jangka waktu IUP berakhir. Pasal 40 (1) Pada saat atau sebelum berakhirnya jangka waktu Studi Kelayakan, pemegang IUP wajib mengembalikan secara bertahap sebagian Wilayah Kerja yang tidak dimanfaatkan lagi kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah pemegang IUP menyelesaikan kegiatan Studi Kelayakan wajib mengembalikan Wilayah Kerja 584 Eksplorasi sehingga Wilayah Kerja yang dipertahankan untuk Eksploitasi tidak boleh melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektar. (3) Dalam hal luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi semula kurang dari 200.000 (dua ratus ribu) hektar, pemegang IUP tetap dapat mempertahankan Wilayah Kerja untuk Eksploitasi seluas 10.000 (sepuluh ribu) hektar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). Pasal 41 (1) Pemegang IUP sebelum mengembalikan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 wajib melakukan kegiatan reklamasi dan pelestarian fungsi lingkungan. (2) Pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 dinyatakan sah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengembalian sebagian atau seluruhnya dari Wilayah Kerja Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keempat Berakhirnya IUP Pasal 42 IUP berakhir karena: a. habis masa berlakunya; b. dikembalikan; c. dibatalkan; atau d. dicabut. Pasal 43 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP telah berakhir dan permohonan perpanjangan IUP tidak diajukan atau permohonan perpanjangan IUP tidak memenuhi persyaratan, IUP tersebut berakhir. Pasal 44 (1) Pemegang IUP dapat menyerahkan kembali IUP dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya 585 apabila hasil Eksplorasi tidak memberikan nilai keekonomian yang diharapkan. (2) Pengembalian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 45 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut IUP apabila pemegang IUP: a. tidak menyelesaikan hak-hak atas bidang-bidang tanah, tanam tumbuh, dan/ atau bangunan yang rusak akibat pengusahaan sumber daya Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak melakukan Eksplorasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak pemberian IUP; c. tidak melakukan Studi Kelayakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak pemberian IUP dalam hal Eksplorasi dilakukan oleh Menteri; d. tidak melakukan Eksploitasi dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak jangka waktu Eksplorasi berakhir; e. dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pemegang IUP telah mendapatkan izin usaha pemanfaatan Panas Bumi tidak melakukan kegiatan pemanfaatan; f. tidak membayar penerimaan negara berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; g. tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan; atau tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, dan teknis pertambangan Panas Bumi. Pasal 46 Dalam hal IUP berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 45 maka segala hak pemegang IUP berakhir. Pasal 47 (1) Dalam hal IUP berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45, pemegang IUP wajib: a. melunasi seluruh kewajiban finansial serta memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 586 b. melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan berkaitan dengan berakhirnya IUP; c. melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum; c. dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak IUP berakhir mengangkat benda-benda, bangunan dan peralatan yang menjadi miliknya yang masih terdapat dalam bekas Wilayah Kerjanya, kecuali bangunan yang dapat digunakan untuk kepentingan umum; dan e. mengembalikan seluruh Wilayah Kerja dan wajib menyerahkan semua data, baik dalam bentuk analog maupun digital yang ada hubungannya dengan pelaksanaan pengusahaan sumber daya Panas Bumi kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam hal benda-benda, bangunan, dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak dapat diangkat keluar dari bekas Wilayah Kerja yang bersangkutan, maka oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dapat diberikan izin untuk memindahkannya kepada pihak ketiga. (3) Pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dinyatakan sah setelah pemegang IUP memenuhi seluruh kewajibannya dan mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan dan pemindahan hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d diatur dalam Peraturan Menteri. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IUP Bagian Kesatu Hak Pemegang IUP Pasal 48 (1) Pemegang IUP berhak: a. melakukan Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi berupa Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; 587 b. menggunakan data dan informasi selama jangka waktu berlakunya IUP di Wilayah Kerjanya; c. dapat memperoleh fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam melakukan Kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi berupa Eksplorasi, Studi Kelayakan, dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Pemegang IUP berhak : a. memasuki dan melakukan kegiatan di Wilayah Kerja yang bersangkutan; b. menggunakan sarana dan prasarana umum; c. memanfaatkan sumber daya Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung; d. menjual uap Panas Bumi yang dihasilkan; dan/atau e. mendapatkan perpanjangan jangka waktu IUP. Pasal 49 Pemegang IUP berhak melakukan seluruh kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 secara berkesinambungan setelah memenuhi persyaratan : a. keselamatan dan kesehatan kerja; a. perlindungan lingkungan; dan b. teknis pertambangan Panas Bumi. Pasal 50 Pada tahap Eksplorasi, pemegang IUP berhak melakukan Eksplorasi dengan mempergunakan metode dan peralatan yang baik dan benar, mencakup: a. penyelidikan geologi; b. penyelidikan geofisika; c. penyelidikan geokimia; d. pengeboran landaian suhu; dan e. pengeboran sumur Eksplorasi dan uji produksi. Pasal 51 Pada tahap Studi Kelayakan, pemegang IUP berhak melakukan evaluasi cadangan dan kelayakan teknis, ekonomi, dan lingkungan berdasarkan standar yang lazim. 588 Pasal 52 Pada tahap Eksploitasi, pemegang IUP berhak melakukan segala kegiatan sesuai dengan hasil Studi Kelayakan, termasuk: a. pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi; b. pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya Panas Bumi; c. pembangunan sumur produksi; d. pembangunan infrastruktur untuk mendukung Eksploitasi Panas Bumi dan penangkapan uap Panas Bumi. Bagian Kedua Kewajiban Pemegang IUP Pasal 53 (1) Pemegang IUP wajib : a. memahami dan mematuhi peraturan perundang­undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan, serta memenuhi standar yang berlaku yang mencakup: 1. menjalankan usaha sesuai dengan izin yang dimiliki; 2. mengembangkan lapangan dan memanfaatkan hasil Eksploitasi dari setiap potensi yang telah ditemukan; 3. memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan dan teknis pertambangan Panas Bumi; 4. menyampaikan rencana jangka panjang Eksplorasi dan/atau studi kelayakan yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran; 5. menyampaikan rencana jangka pendek dan jangka panjang Eksploitasi yang mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran, dan 6. menyusun dokumen rencana pascatambang. b. mengelola lingkungan hidup mencakup kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan hidup dan melakukan reklamasi; c. membayar penerimaan negara berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 589 d. mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing; e. memberikan dukungan terhadap kegiatan-kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi; dan f. memberikan dukungan terhadap kegiatan penciptaan, pengembangan kompetensi, dan pembinaan sumber daya manusia di bidang Panas Bumi; g. melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; h. memberikan laporan tertulis .secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Panas Bumi kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Laporan tertulis secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dilaksanakan sesuai ketentuan sebagai berikut: a. untuk kegiatan Eksplorasi dan Studi Kelayakan laporan yang disampaikan berupa laporan triwulan, laporan tahunan, dan rencana kerja tahunan; atau b. untuk kegiatan Eksploitasi laporan yang disampaikan berupa laporan bulanan, laporan triwulan, laporan tahunan, dan rencana kerja tahunan. Paragraf 1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 54 Pemegang IUP wajib memenuhi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 (1) huruf a angka 3 meliputi: a. tersedianya organisasi dan personil keselamatan dan kesehatan kerja (K3) termasuk kepala teknik tambang; b. terselenggaranya administrasi pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3); c. terpenuhinya jaminan keselamatan peralatan, lingkungan kerja, metode dan proses kerja; dan d. tersedianya prosedur penanganan dan analisa kecelakaan dan kesehatan kerja. 590 Paragraf 2 Perlindungan Lingkungan Pasal 55 Pemegang I1JF wajib memenuhi kinerja perlindungan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a angka 3, dinilai dari beberapa aspek: a. keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau persetujuan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; a. pemenuhan terhadap semua baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan; b. laporan hasil pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; dan c. pemanfaatan teknologi ramah lingkungan. Paragraf 3 Teknis Pertambangan Panas Bumi Pasal 56 Pemegang IUP wajib memenuhi kinerja teknis pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a angka 3 meliputi: a. pelaksanaan kaidah teknik pertambangan yang baik dan benar serta standar Eksplorasi atau Eksploitasi Panas Bumi; b. kemampuan melaksanakan Eksplorasi atas seluruh Wilayah Kerja; c. besarnya dana/investasi untuk keperluan Eksplorasi dan Eksploitasi Panas Bumi; d. tata cara menghitung sumber daya dan cadangan; e. perencanaan dan konstruksi pengembangan Panas Bumi; dan f. efisiensi dalam memproduksi sumber Panas Bumi. Pasal 57 Ketentuan lebih lanjut mengenai kinerja keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan lingkungan, dan teknis pertarnbangan, diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 591 Paragraf 4 Rencana Jangka Panjang Eksplorasi dan Eksploitasi Pasal 58 (1) Pemegang IUP sebelum dimulainya tahun takwim, wajib menyampaikan rencana jangka panjang kegiatan Eksplorasi dan/atau Studi Kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a angka 4, kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tahap Eksplorasi atau Studi Kelayakan dimulai. (2) Rencana jangka panjang Eksplorasi sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran. Pasal 59 (1) Pemegang IUP sebelum dimulainya tahun takwim, wajib menyampaikan rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a angka 5, kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya paling lambat 1 (satu) tahun sejak kegiatan Studi Kelayakan berakhir. (2) Rencana jangka panjang Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran termasuk besarnya cadangan. Pasal 60 (1) Penyesuaian terhadap rencana jangka panjang Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 59 dapat dilakukan setiap tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi melalui rencana kerja dan anggaran belanja tahunan. (2) Rencana kerja dan anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan anggaran belanja tahunan berjalan. Paragraf 5 Rencana Pascatambang 592 Pasal 61 (1) Pemegang IUP dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sebelum Kegiatan Usaha Panas Bumi berakhir wajib menyusun dan menyampaikan dokumen rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a angka 6 kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya untuk mendapat persetujuan. (2) Dokumen rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a. pembongkaran instalasi dan rencana reklamasi; b. penanganan lingkungan hidup meliputi rencana reklamasi lahan pasca­ tambang disesuaikan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pada saat analisis mengenai dampak lingkungan disetujui; dan b. penanganan program sosial masyarakat pada masa transisi dan program pembangunan berkelanjutan. Pasal 62 (1) Pemegang IUP wajib mengalokasikan dana jaminan untuk kegiatan pascatambang pengusahaan sumber daya Panas Bumi pada bank. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sejak dimulainya masa Eksploitasi dan dilaksanakan melalui rencana kerja dan anggaran. (3) Penempatan alokasi dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disepakati Pemegang IUP, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota yang berfungsi sebagai cadangan khusus kegiatan reklamasi dan pascatambang di Wilayah Kerja yang bersangkutan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran, besaran dan pencairan dana jaminan pascatambang diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf 6 Penerimaan Negara Pasal 63 (1) Pemegang IUP wajib membayar penerimaan negara berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan. (2) Penerimaan negara berupa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 593 a. pajak; b. bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan impor; dan c. pajak daerah dan retribusi daerah. (3) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pungutan negara berupa Iuran Tetap dan Iuran Produksi serta pungutan negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan b. bonus. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran dan tarif penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri. Paragraf 7 Pemanfaatan Barang, Jasa, Teknologi serta Kemampuan Rekayasa dan Rancang Bangun Dalam Negeri Pasal 64 (1) Pemegang IUP wajib mengutamakan pemanfaatan barang, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf d berdasarkan standar yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (1) Dalam hal pemegang IUP menggunakan perusahaan jasa baik peru.sahaan jasa asing maupun perusahaan jasa dalam negeri wajib memenuhi ketentuan klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa pertambangan Panas Bumi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha jasa pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam F’eraturan Menteri. Pasal 65 (1) Dalam hal barang dan peralatan, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) belum diproduksi di dalam negeri, pemegang IUP dapat memperoleh fasilitas untuk mengimpor barang dan jasa. 594 (2) Barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan standar/mutu, efisiensi biaya operasi, jaminan waktu penyerahan dan dapat memberikan jaminan pelayanan puma jual. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Paragraf 8 Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pasal 66 (1) Pemegang IUP pada tahap Eksploitasi wajib melaksanakan program pengem­ bangan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf g. (2) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi keikutsertaan dalam mengembangkan dan memanfaatkan potensi kemampuan masyarakat dengan cara: a. Menggunakan tenaga kerja, jasa dan produk lokal sesuai dengan kompetensi/ spesifikasi yang dibutuhkan; b. membantu pelayanan sosial masyarakat; c. membantu peningkatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan masyarakat; dan/atau d. membantu pengembangan sarana dan prasarana. Pasal 67 Dalam melakukan kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pemegang IUP berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota setempat. BAB V DATA PANAS BUMI Pasal 68 (1) Semua data dan informasi yang diperoleh sesuai dengan ketentuan dalam IUP merupakan data milik negara dan pengaturan pemanfaatannya dilakukan oleh Menteri. 595 (2) Menteri menetapkan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan data dan informasi yang diperoleh dari : a. Survei Pendahuluan yang dilakukan oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/ walikota serta Pihak Lain; b. Eksplorasi yang dilakukan oleh Menteri dan Pemegang IUP; dan c. Eskploitasi yang dilakukan Pemegang IUP. Pasal 69 (1) Pengelolaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) meliputi perolehan, pengadministrasian, pengolahan, penataan, penyimpanan, pe­ meliharaan, dan pemusnahan data. (2) Pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) digunakan untuk: a. penetapan klasifikasi potensi dan Wilayah Kerja; b. penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik; c. perencanaan pemanfaatan Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung; d. penentuan potensi sumber daya dan cadangan Panas Bumi nasional; dan e. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Panas Bumi. Pasal 70 (1) Pengiriman, penyerahan, dan/atau pemindahtanganan data yang diperoleh dari Survei Pendahuluan, Eksplorasi, dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) wajib mendapatkan izin Menteri. (2) Menteri menetapkan jenis data yang wajib mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 71 (1) Pemegang IUP dapat mengelola data hasil kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) selama jangka waktu berlakunya IUP, kecuali pemusnahan data. (2) Pemegang IUP wajib menyimpan data yang dipergunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia. 596 Pasal 72 (1) Apabila IUP berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 45, Pemegang IUP wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil Eksplorasi dan Eksploitasi kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP wajib menyerahkan kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya seluruh data yang diperoleh dari hasil Eksplorasi dan Eksploitasi di Wilayah Kerjanya apabila Wilayah Kerja tersebut dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 , Pasal 39, dan Pasal 40. (3) Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan data yang diperoleh dari pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Menteri. Pasal 73 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 74 Data diklasifikasikan sebagai berikut : a. data umum, yaitu merupakan data mengenai identifikasi dan letak geografis potensi, cadangan Panas Bumi, serta Eksploitasi Panas Bumi; a. data dasar, yaitu merupakan deskripsi atau besaran dari hasil rekaman atau pencatatan dari penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, landaian suhu, kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi; b. data olahan, yaitu merupakan data yang diperoleh dari hasil analisis dan evaluasi data dasar; dan c. data interpretasi, yaitu merupakan data yang diperoleh dari hasil interpretasi data dasar dan/atau data olahan. Pasal 75 (1) Data dasar, data olahan, dan data interpretasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 bersifat rahasia untuk jangka waktu tertentu. (2) Masa kerahasiaan data seba.gaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing adalah sebagai berikut: 597 (1) data dasar, ditetapkan 4 (empat) tahun; (2) data olahan, ditetapkan 6 (enam) tahun; dan c. data interpretasi, ditetapkan 8 (delapan) tahun. (3) Apabila suatu Wilayah Kerja dikembalikan kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40, makes seluruh data dari Wilayah Kerja yang bersangkutan tidak lagi diklasifikasikan sebagai data yang bersifat rahasia. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 76 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan Panas Bumi yang dilakukan oleh gubernur, bupati dan walikota. (2) Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan pelaksanaan kebijakan, pedoman, bimbingan, fasilitasi, arahan, supervisi, pemantauan dan pelatihan dalam hal: a. pelaksanaan Survei Pendahuluan; b. penawaran Wilayah Kerja; c. perizinan; d. pembinaan dan pengawasan terhadap Pemegang IUP; dan e. pengelolaan data dan informasi Panas Bumi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 77 Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi yang dilakukan oleh pemegang IUP. Pasal 78 Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 meliputi: a. Eksplorasi yang terdiri atas: 1. kaidah teknik; 598 2. 3. 4. 5. 6. 7. standar; perencanaan; anggaran biaya; pelaksanaan kegiatan (ketepatan waktu); pelaporan; dan perkiraan surnberdaya dan cadangan. b. Eksploitasi yang terdiri atas: 1. kaidah teknik; 2. standar; 3. perencanaan; 4. cadangan; 5. produksi; 6. laporan pelaksanaan; dan 7. optimalisasi pemanfaatan energi Panas Bumi; c. Keuangan yang terdiri atas: 1. perencanaan. anggaran; 2. realisasi pengeluaran; 3. investasi; dan 4. pemenuhan kewajiban pembayaran. d. Pengolahan data Panas Bumi yang terdiri atas: 1. sumberdaya dan cadangan; 2. daerah resapan dan keluaran; 3. sumur injeksi; 4. sumur produksi/pengembangan; 5. karakteristik reservoir, dan 6. produksi. e. Konservasi bahan galian yang terdiri atas: 1. optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya Panas Bumi; dan 2. pemanfaatan mineral ikutan. f. Keselamatan dan kesehatan kerja yang terdiri atas: 1. organisasi dan personil keselamatan dan kesehatan kerja (K3) termasuk kepala teknik tambang; 2. administrasi pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3); 3. keselamatan peralatan, lingkungan kerja, metode dan proses kerja; dan 4. penanganan dan analisa kecelakaan kerja. 599 g. Pengelolaan lingkungan hidup dan reldamasi yang terdiri atas: 1. penyusunan dan pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; dan 2. pelaksanaan reklamasi. h. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri. i. Pengembangan tenaga kerja Indonesia yang terdiri atas: 1. kemampuan kerja dan alih teknologi; dan 2. pemberdayaan dan penggunaan tenaga kerja setempat. j. Pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat yang terdiri atas: 1. integrasi program pengembangan masyarakat; 2. kemitraan antara Pemegang IUP dengan masyarakat; dan 3. realisasi penggunaan dana pengembangan masyarakat. k. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan Panas Bumi yang terdiri atas: 1. teknologi Eksplorasi dan Eksploitasi; 2. penerapan kaidah teknik dan standar; 3. penghitungan cadangan dan kapasitas sumber Panas Bumi; dan 4. teknologi mengatasi kendala Eksploitasi. l. Kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum yang terdiri atas: 1. pelaksanaan ketentuan tentang jarak lokasi bor produksi terhadap fasilitas umum; 2. penyelesaian ganti rugi atas kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan Panas Bumi; dan 3. pengamanan fasilitas umum dan tempat suci serta cagar budaya. m. Pengelolaan Panas Bumi; dan n. Penerapan kaidah keekonomian dan kaidah teknik yang terdiri atas: 1. prosedur analisa kelayakan; 2. pemanfaatan teknologi baru; 3. efisiensi, kewajaran kegiatan, dan biaya operasi; 4. analisa sensitivitas/kepekaan perubahan; dan 5. studi kelayakan meliputi perencanaan; analisis mengenai dampak ling­kungan atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan; keekonomian; evaluasi cadangan; dan pelaksanaan. 600 Pasal 79 Pengawasan terhadap pelaksanaan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan dan teknis pertambangan Panas Bumi dilaksanakan oleh Inspektur Tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan. Pasal 80 Gubernur, bupati, dan walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib melaporkan hasil pelaksanaan penyelenggaran usaha pertambangan Panas Bumi di wilayahnya masing-masing setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Menteri. BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 81 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif kepada pemegang IUP atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39 ayat (1), ayat (2), Pasal 40 ayat (1), ayat (2), Pasal 41 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 64 ayat (1), ayat (2), Pasal 66 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 71 ayat (1), ayat (2) , Pasal 72 ayat (1) atau ayat (2). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara seluruh kegiatan Eksplorasi atau Eksploitasi; atau c. pencabutan izin. Pasal 82 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) huruf a dikenakan kepada pemegang IUP apabila melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1). (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu peringatan masing-masing 1 (satu) bulan. 601 Pasal 83 (1) Dalam hal pemegang IUP yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) belum melaksanakan kewajibannya, Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi atau eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) huruf b. (2) Sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu-waktu dapat dicabut apabila pemegang IUP dalam masa pengenaan sanksi memenuhi kewajibannya. Pasal 84 Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) huruf c dikenakan kepada pemegang IUP yang terkena sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 85 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Kuasa, Izin Pengusahaan Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga Listrik atau Kontrak Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi dan/atau Kontrak Beli Uap atau tenaga Listrik dalam Wilayah Kerja yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya Kuasa, Izin atau Kontrak dimaksud dan dapat diperpanjang dengan mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 86 Apabila dalam Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 belum dilakukan kegiatan Eskploitasi paling lambat sampai dengan tanggal 21 Oktober 2010 maka Pemegang Kuasa dan Izin serta kontrak dimaksud wajib mengembalikan Wilayah 602 Kerjanya kepada Pemerintah dengan mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 87 Penyelenggaraan kewenangan pengelolaan pertambangan Panas Bumi baik dalam bentuk Kuasa, Izin atau Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilaksanakan oleh Menteri. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 88 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 November 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 132 Salinan sesuai dengan aslinya DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG PERUUNDANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2007 TENTANG KEGIATAN USAHA PANAS BUMI I. UMUM Sumber daya Panas Bumi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mernberikan manfaat untuk menunjang pembangunan yang berkelanjutan, memberikan nilai tambah secara keseluruhan, meningkatkan pendapatan negara, dan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Negara Indonesia bertepatan dengan jalur vulkanik terpanjang di dunia. Sebagai negara yang dilalui oleh jalur vulkanik, potensi sumber daya Panas Bumi menyebar mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Nusa Tenggara, Pulau Maluku sampai ke Pulau Sulawesi. Mengingat potensi sumber daya Panas Bumi Indonesia yang besar, peranan pemanfaatan Panas Bumi dapat lebih ditingkatkan, sejalan dengan kebijakan energi nasional, khususnya dalam aspek konservasi dan diversifikasi energi serta dapat dimanfaatkan secara langsung untuk pengeringan hasil pertanian, pemanasan rumah/rumah sakit di daerah dingin, sebagai daerah rekreasi dan pengobatan, sehingga sangat beralasan kiranya pengusahaan Panas Bumi dijadikan sebagai salah satu alert pemacu peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengusahaan Panas Bumi di sisi hulu sifatnya padat modal dan padat teknologi dengan berisiko tinggi. Oleh karena itu, untuk menanggulangi risiko kegagalan dalam pemboran Eksplorasi Panas Bumi maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu melakukan Survei Pendahuluan dan/atau meningkatkan kegiatan Eksplorasi untuk 603 604 mendata potensi Panas Bumi sebagai bahan pertimbangan dalam penyiapan dan penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi. Bahwa tahapan Kegiatan Usaha Panas Bumi meliputi kegiatan Survei Pendahuluan, Penetapan Wilayah Kerja dan Pelelangan Wilayah Kerja, Eksplorasi, Studi Kelayakan, Eksploitasi, dan Pemanfaatan. Kegiatan­kegiatan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan/atau secara terpadu. Namun, semua kegiatan ini harus dapat memberikan kepastian dalam pengembangan Panas Bumi yang selama ini pemanfaatan paling utama dari Panas Bumi adalah untuk keperluan tenaga listrik, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa Panas Bumi masih dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain secara langsung. Karena keunikannya yang berbeda dengan minyak dan gas bumi dan bahan tambang lainnya, yang pengembangannya sangat fleksibel, Panas Bumi baru memiliki nilai ekonomis apabila hasil Eksploitasi sisi hulu dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, pengaturan kegiatan sisi hulu pengusahaan Panas Bumi harus sejalan dengan kegiatan pada sisi hilir yang berkaitan dengan pemanfaatannya diatur tersendiri atau mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan Pemerintah ini mengatur kegiatan usaha hulu Panas Bumi, yang antara lain meliputi pengaturan mengenai penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pertambangan Panas Bumi yaitu kegiatan Survei Pendahuluan, Eksplorasi dan Eksploitasi uap, termasuk pembinaan dan pengawasan, mekanisme penyiapan Wilayah Kerja, Pelelangan Wilayah Kerja Panas Bumi, Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi (IUP), hak dan kewajiban pemegang IUP, serta data dan informasi. Untuk menjamin pelaksanaan pengusahaan Panas Bumi guna mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pembinaan dan pengawasan. Guna memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan kegiatan pengusahaan Panas Bumi yang menganut as,a.s manfaat, efisiensi, keadilan, kebersamaan, optimasi ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya, keterjangkauan, berkelanjutan, percaya dan mengandalkan pada kemampuan sendiri, keamanan dan keselamatan, kelestarian fungsi lingkungan hidup, serta kepastian hukum maka perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 605 Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud “dinas” adalah dinas yang menangani masalah pertambangan Panas bumi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. 606 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah departemen dan/atau lembaga Pemerintah non departemen. Konsultasi dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang batas, koordinat, dan rencana luas Wilayah Kerja tertentu yang dianggap potensial mengandung sumber daya Panas Bumi menjadi Wilayah Kerja. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Harga dasar data pada Wilayah Kerja diklasifikasikan berdasarkan kondisi potensi wilayah, intisari data Survei Pendahuluan dan/atau Eksplorasi. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Pasal 13 Cukup Jelas. Pasal 14 Ayat (1) Dalam rangka pengembangan daerah tertinggal, maka eksplorasi di wilayah tersebut dapat dilakukan sampai diperoleh data cadangan terbukti. Ayat (2) Cukup jelas. 607 Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan Kuasa Usaha Ketenagalistrikan adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha milik negara yang diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan diberi tugas untuk melakukan pekerjaan usaha penurtjang tenaga listrik, Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah peraturan perundangan dibidang ketenagalistrikan. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan “instansi terkait” adalah departemen dan/ atau lembaga Pemerintah non departemen. 608 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Kemampuan pendanaan antara lain berupa penyampaian laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit. Huruf b Penempatan jaminan lelang merupakan syarat Badan Usaha sebagai bukti kesungguhan Badan Usaha yang bersangkutan untuk mengikuti Pelela.ngan Wilayah Kerja. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. 609 Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Mengingat pengusahaan Panas Bumi mempunyai karakteristik khusus yaitu padat modal, teknologi tinggi dan keberadaan sumber Panas Bumi di daerah terpencil, maka Pemegang IUP diberikan jaminan untuk mendapatkan perpanjangan waktu Eksploitasi apabila telah memenuhi persyaratan teknis, ekonomis dan lingkungan. Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. 610 Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keadaan kahar” (force majeure) antara lain perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan lain-lain bencana alam di luar kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan “keadaan yang menghalangi” antara lain, blokade, pemogokan-pemogokan, perselisihan perburuhan di luar kesalahan peme gang IUP dan/ atau peraturan perundang­undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak mengurangi masa berlaku IUP adalah bahwa pemberian penghentian sementara tidak dihitung sebagai masa berlaku IUP. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memungkinkan Menteri, gubernur, dan bupati/ walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing menunjuk Badan Usaha lain dengan cara Pelelangan Wilayah Kerja untuk mengusahakan bagian Wilayah Kerja yang diserahkan pemegang IUP sehingga pemanfaatan sumber daya Panas Bumi dapat dilaksanakan secara. optimal. 611 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Yang dimaksud dengan produksi komersial dalam ketentuan ini adalah produksi yang secara komersial menguntungkan baik bagi negara maupun Badan Usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar lapangan-lapangan Panas Bumi yang bagi pemegang IUP dinilai tidak ekonomis (marjinal) dapat dimanfaatkan secara optimal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 612 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam Peraturan Pemerintah ini adalah peraturan perundang-undangan mengenai Panas Bumi. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bangunan yang dapat digunakan untuk kepentingan umum, antara lain lapangan terbang, rumah sakit, dan j alan. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 613 Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Perpanjangan waktu IUP diberikan untuk menjamin kepastian berusaha dan optimalisasi pemanfaatan cumber daya Panas Bumi setelah Badan Usaha memenuhi kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan. Pasal 49 Yang dimaksud dengan berkesinambungan adalah kegiatan tersebut dilaksanakan secara berurutan dimulai dari tahap Eksplorasi, Studi Kelayakan dan Eksploitasi. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Yang dimaksud “standar yang lazim” adalah Standar Nasional Indonesia. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 614 Angka 1 Angka 2 Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 4 Pengembangan lapangan Panas Bumi dilakukan apabila telah dilakukan Studi Kelayakan serta memenuhi keekonomian dan tersedianya pasar. Angka 3 Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. 615 Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Penyampaian rencana jangka panjang kegiatan Eksplorasi bersifat memberikan informasi, dimaksudkan untuk menyelaraskannya dengan pogram pembangunan jangka panjang Pemerintah atau Pemerintah Daerah, termasuk menginventarisasi jumlah investasi. Penyampaian rencana kegiatan bukan untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 616 Ayat (3) Penempatan alokasi dana disimpan dalam bank pemerintah atas nama pemberi IUP cq pemegang IUP. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pungutan lain atas cukai”, misalnya bea materai. Yang dimaksud dengan “pungutan lain atas impor”, misalnya pajak pertambahan nilai barang mewah. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “Iuran Tetap” adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja. Yang dimaksud dengan “Iuran Produksi” adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi. Yang dimaksud dengan “pungutan negara lainnya”, misalnya jasa pendidikan dan latihan, dan jasa penelitian dan pengembangan. Huruf b Yang dimaksud dengan bonus dalam ketentuan ini adalah harga data Wilayah Kerja. Ayat (4) Cukup jelas. 617 Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Dalam mengutamakan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri tetap harus mempertimbangkan persyaratan teknis, kualitas, ketepatan pengiriman dan harga yang bersaing serta jaminan pelayanan puma jual. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dilaksanakan oleh pemegang IUP untuk membantu program Pemerintah dalam meningkatkan produktifitas masyarakat dan kemampuan sosial ekonomi kerakyatan dengan mendayagunakan potensi daerah secara berkesinambungan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengelolaan dan Pemanfaatan data bertujuan untuk menunjang penetapan Wilayah Kerja, perumusan kebijakan teknis, penyelenggaraan urusan pemerintah dan pengawasan di bidang Eksplorasi dan Eksploitasi, pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi, dan pemasyarakatan data bagi para pengguna serta pertukaran data. 618 Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kebijakan adalah pernyataan prinsip sebagai landasan pengaturan dalam pencapaian sasaran penyelenggaraan usaha pertambangan Panas Bumi. Pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan Daerah setempat terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan Panas Bumi. Bimbingan dilakukan terhadap penyusunan prosedur dan tata kerja pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan Panas Bumi. Arahan dilakukan terhadap penyusunan rencana, program dan kegiatan/proyek yang bersifat nasional dan regional sesuai dengan periodisasinya. 619 Supervisi dilakukan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan Panas Bumi. Pelatihan dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Yang dimaksud dengan Kuasa dan Izin Pengusahaan Panas Bumi untuk Pembangkitan Tenaga Listrik serta Kontrak Pengusahaan Panas Bumi dan/atau Kontrak Beli Uap atau Tenaga Listrik dalam Wilayah Kerja adalah Kuasa, Izin, Pengusahaan 620 dan/atau Kontrak Beli Uap atau tenaga listrik di semua Wilayah Kerja yang diberikan oleh Pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) atau PT Pertamina (Persero) bekerja sama dengan Kontraktor Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract), atau Kuasa yang diberikan oleh Pemerintah kepada PT PLN (Persero) atau kepada Badan Usaha Swasta untuk pengembangan energi/listrik atau Izin Pengembangan Panas Bumi Skala Kecil kepada Koperasi, serta Kontrak Reli Uap atau tenaga Listrik (Energi Sales Contract) antara Pengembang Pengusahaan Panas Bumi dengan PT PLN (Persero). Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4777 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 06 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa Minyak dan Gas Bumi mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan negara dan pemenuhan energi serta bahan baku industri dalam negeri, dan pada saat ini produksi Minyak dan Gas Bumi mengalami penurunan; b. bahwa potensi Minyak dan Gas Bumi masih dapat dioptimalkan untuk diproduksikan sehingga dalam rangka mengupayakan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi perlu ditetapkan pedoman kebijakan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi dalam suatu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 621 622 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5047); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4216); 4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tanggal 21 Oktober 2009; 5. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi. 2. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar­besar kemakmuran rakyat. 3. Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana. 4. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan. 5. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas 623 pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. 6. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 7. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi. 8. Direktorat Jenderal adalah direktorat jenderal yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 2 Setiap usaha Eksplorasi dan Eksploitasi wajib bertujuan mendukung pencapaian sasaran program Pemerintah yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan kebijakan Pemerintah Iainnya yang mendukung peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi. BAB II PELAKSANAAN KEBIJAKAN UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI Bagian Kesatu Kewajiban Kontraktor Pasal 3 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kontraktor wajib melakukan : a. penyelesaian kegiatan Eksplorasi di struktur penemuan dan mempercepat pengajuan usulan rencana pengembangan lapangan baru dari cadangan yang sudah ditemukan; b. percepatan pelaksanaan kegiatan pengembangan lapangan pertama; c. percepatan pelaksanaan kegiatan pengembangan lapangan berikutnya; d. pengupayaan pengembangan atau pemroduksian kembali lapangan yang masih berpotensi balk yang pernah diproduksikan maupun yang belum pernah diproduksikan; 624 e. pengupayaan pemroduksian kembali sumur-sumur yang masih berpotensi baik yang pernah diproduksikan maupun yang belum pernah diproduksikan. Pasal 4 (1) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, huruf b dan huruf c, Kontraktor wajib: a. melaporkan cadangan Minyak dan Gas Bumi baru kepada Menteri melalui Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat betas) hari kalender setelah ditetapkan oleh Badan Pelaksana; b. mengajukan usulan rencana pengembangan lapangan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah ditetapkan cadangan Minyak dan Gas Bumi baru sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. memulai kegiatan pengembangan lapangan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender setelah mendapatkan persetujuan rencana pengembangan lapangan; d. memulai produksi Minyak dan/atau Gas Bumi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan. (2) Pelaksanaan pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib dilakukan oleh Kontraktor sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran, dan ketentuan peraturan perundang­undangan. (3) Dalam hal dikarenakan pertimbangan teknis dan/atau ekonomis ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan oleh Kontraktor, Menteri c.q. Direktur Jenderal dapat menetapkan kebijakan lain dalam rangka percepatan produksi. Pasal 5 (1) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, Kontraktor wajib : a. melakukan inventarisasi lapangan yang tidak berproduksi namun masih berpotensi dan melaporkan hasil inventarisasi tersebut kepada Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. melaporkan kepada Menteri melalui Badan Pelaksana disertai pengajuan rencana pemroduksian kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga 625 puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Dalam hal rencana pemroduksian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan dengan bekerjasama pihak lain, wajib terlebih dahulu meminta persetujuan Menteri melalui Badan Pelaksana. Pasal 6 Dalam hal Kontraktor tidak mengajukan rencana pengusahaan terhadap lapangan yang tidak berproduksi namun masih berpotensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Kontraktor wajib mengembalikannya kepada Menteri untuk ditetapkan kebijakan pengusahaannya. Pasal 7 (1) Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, Kontraktor wajib : a. melakukan inventarisasi sumur-sumur yang tidak berproduksi namun masih berpotensi dalam suatu lapangan yang berproduksi dan melaporkan hasil inventarisasi tersebut kepada Badan Pelaksana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. melaporkan kepada Menteri melalui Badan Pelaksana disertai pengajuan rencana pemroduksian kembali dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Dalam hal rencana pemroduksian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan dengan bekerjasama pihak lain, wajib terlebih dahulu meminta persetujuan Menteri melalui Badan Pelaksana. Pasal 8 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 dengan mempertimbangkan Kontrak Kerja Sama dan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kewajiban Badan Pelaksana 626 Pasal 9 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pelaksana wajib : a. mendukung proses percepatan penyusunan dan penerbitan peraturan perundangundangan yang diperlukan; b. mempercepat proses pemberian perizinan dan persetujuan terkait dengan peningkatan produksi; c. meningkatkan upaya pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; d. meningkatkan upaya ditaatinya Kontrak Kerja Sama oleh Kontraktor dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya; e. melakukan peningkatan koordinasi internal dalam rangka penyelesaian masalahmasalah terkait kegiatan operasi perminyakan. Pasal 10 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, Badan Pelaksana wajib : a. melakukan inventarisasi dan evaluasi atas pelaksanaan peraturan perundangundangan yang terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi dan melaporkan hasilnya kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. menyampaikan masukan substansi materi dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. melakukan evaluasi atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dan memberikan masukan untuk penyusunan alternatif bentuk Kontrak Kerja Sama dan/atau ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini; d. melakukan penyesuaian dan penataan kembali terhadap ketentuan dan pedoman tata kerja dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini. 627 Pasal 11 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, Badan Pelaksana wajib: a. menyampaikan rekomendasi disertai pertimbangan rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I) kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap; a.memberikan persetujuan pengembangan lapangan (POD) berikutnya, dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan Kontraktor secara lengkap; b.memberikan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget) dan/atau Otorisasi Pembelanjaan Finansial (Authorization Financial Expenditure) dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender sejak diterimanya usulan Kontraktor secara lengkap; b. memberikan rekomendasi persetujuan pengalihan hak dan kewajiban (farm in and farm out) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan Kontraktor secara lengkap; c. memberikan persetujuan penggunaan fasilitas secara bersama (sharing facilities) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kaiender setelah diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap; d. memberikan rekomendasi persetujuan kepada Menteri dalam hal terdapat unitisasi dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap; e. memberikan rekomendasi atas impor barang, peralatan operasi perminyakan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah diterimanya usulan dari Kontraktor secara lengkap. Pasal 12 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, Badan Pelaksana wajib: a. melaksanakan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan POD pertama dan berikutnya sesuai dengan persetujuan POD yang telah disetujui; b. melaksanakan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget) dan/atau Otorisasi Pembelanjaan Finansial (Authorization Financial Expenditure) yang telah disetujui oleh Badan Pelaksana; 628 c. melakukan peningkatan pengawasan pelaksanaan atas perawatan sumur-sumur dan fasilitas-fasilitas produksi Minyak dan Gas Bumi. Pasal 13 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d, Badan Pelaksana wajib: a. meningkatkan intensitas monitoring dan pengawasan atas kegiatan Kontraktor; b. memberikan teguran/peringatan kepada Kontraktor yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai Kontrak Kerja Sama; c. memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk pemberian sanksi pemutusan Kontrak Kerja Sama apabila terdapat pelanggaran Kontrak Kerja Sama dan/atau peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e, Badan Pelaksana wajib: a. memfasilitasi dan melakukan koordinasi internal untuk percepatan penyelesaian permasalahan; b. melaporkan kepada Menteri atas permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan untuk dapat diambil kebijakannya. Pasal 15 Selain kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Badan Pelaksana wajib: a. menetapkan besaran cadangan Minyak dan Gas Bumi yang baru ditemukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah penemuan baru tersebut; b. menetapkan alokasi sasaran produksi untuk setiap Kontraktor yang disesuaikan dengan sasaran produksi Minyak dan Gas Bumi nasional yang ditetapkan Pemerintah; c. melakukan pengawasan atas ditaatinya tata waktu pengajuan rencana pengembangan lapangan terhadap cadangan Minyak dan Gas Bumi yang ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan melaporkan perkembangannya secara periodik setiap bulan sekali kepada Direktur Jenderal. 629 Bagian Ketiga Kewajiban Direktorat Jenderal Pasal 16 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Direktorat Jenderal wajib: a. mempercepat proses penyusunan dan penerbitan peraturan perundang­undangan yang diperlukan; b. mempercepat proses pemberian perizinan dan persetujuan terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi; c. meningkatkan upaya pembinaan, pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan Kontraktor; d. meningkatkan upaya ditaatinya peraturan perundang-undangan oleh Kontraktor dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya; e. meningkatkan koordinasi internal dan lintas sektoral dalam penyelesaian masalah-masalah dalam kegiatan operasi perminyakan. rangka Pasal 17 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a, Direktur Jenderal wajib: a. menyampaikan inventarisasi dan evaluasi peraturan perundang­undangan yang terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini; b. menyiapkan dan menyusun rancangan peraturan perundang­undangan yang diperlukan untuk peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diselesaikannya inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. melakukan evaluasi terhadap bentuk dan ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama dan mengusulkan altenatif bentuk Kontrak Kerja Sama dan/atau ketentuan-ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini. 630 Pasal 18 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, Direktur Jenderal wajib: a. menyampaikan pertimbangan kepada Menteri dalam rangka pemberian persetujuan rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah diterimanya usulan rencana pengembangan lapangan yang pertama (POD I); b. memberikan izin/rekomendasi dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Pasal 19 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c, Direktur Jenderal wajib : a. mengevaluasi dan menganalisa pelaksanaan kegiatan Kontraktor terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi; b. memberikan informasi dini mengenai hal-hal khusus dan usulan antisipasi kepada Menteri mengenai hal-hal yang terkait dengan peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi; c. mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut hasil evaluasi atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Pasal 20 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d, Direktur Jenderal wajib : a. memberikan teguran/peringatan kepada Kontraktor yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan Peraturan Menteri ini; b. memberikan sanksi kepada Kontraktor yang melakukan pengulangan pelanggaran setelah diberikannya teguran/peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pasal 21 Dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e, Direktur Jenderal wajib: a. memfasilitasi dan melakukan koordinasi dengan instansi internal sektor energi dan sumber daya mineral untuk percepatan penyelesaian permasalahan dalam kegiatan operasi perminyakan; 631 b. memfasilitasi dan melakukan koordinasi lintas sektoral untuk percepatan penyelesaian permasalahan dalam kegiatan operasi perminyakan; c. melaporkan kepada Menteri atas permasalahan-permasalahan yang belum dapat diselesaikan untuk dapat diambil kebijakannya. BAB III KETENTUAN LAIN Pasal 22 Dalam pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kontraktor wajib memprioritaskan pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan rekayasa serta rancang bangun dalam negeri. Pasal 23 Hasil produksi dari Eksplorasi dan Eksploitasi wajib diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pasal 24 Kebijakan, pengaturan, pembinaan dan pengawasan wajib dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23. Pasal 25 Dalam rangka membantu pelaksanaan program peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi, Menteri dapat membentuk Tim Pengawas Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, segala ketentuan dalam Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaannya yang bertentangan dengan Peraturan Menteri ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 632 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2010 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. DARWIN ZAHEDY SALEH Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 58 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : a. bahwa gas bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan sehingga perlu diatur pemanfaatannya secara berkesinambungan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan berorientasi pada asas kemanfaatan yang implementasi kebijakannya ditujukan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai ketentuan Pasal 47, Pasal 48, Pasal 50, Pasal 86 dan Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 633 634 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4776); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5047); 4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tanggal 21 Oktober 2009; 5. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1088 K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan, Pembinaan, Pengawasan, Pengaturan, dan Pengendalian Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi; 6. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG KEBIJAKAN PENETAPAN ALOKASI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN DALAM NEGERI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. 635 2. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi. 3. Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan oleh Menteri untuk melaksanakan Eksplorasi dan eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana. 4. Pemanfaatan Gas Bumi adalah volume Gas Bumi yang mampu dipasok untuk memenuhi kebutuhan energi dan bahan baku pada kegiatan tertentu. 5. Neraca Gas Bumi Indonesia adalah perkiraan kebutuhan dan pasokan Gas Bumi dalam negeri untuk jangka waktu tertentu. 6. Keekonomian Lapangan adalah manfaat keekonomian dari kegiatan pengembangan lapangan pada suatu Wilayah Kerja, yang akan memberikan penerimaan negara yang optimal dan akan memberikan pendapatan yang memadai bagi Kontraktor. 7. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 8. Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi. BAB II PENETAPAN KEBIJAKAN ALOKASI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI Pasal 2 (1) Penetapan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi bertujuan untuk menjamin efisiensi dan efektifitas tersedianya Gas Bumi sebagal sumber energi maupun bahan baku untuk keperluan dalam negeri yang berorientasi pada kemanfaatan Gas Bumi. (2) Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mengupayakan agar kebutuhan dalam negeri dapat dipenuhi secara optimal. (3) Kebijakan sebagaimana mempertimbangkan: dimaksud a. kepentingan umum; b. kepentingan negara; d. kebijakan energi nasional; pada ayat (2) ditetapkan dengan 636 d. cadangan dan peluang pasar Gas Bumi; e. infrastruktur yang tersedia maupun yang dalam perencanaaan; f. Keekonomian Lapangan dari cadangan Minyak dan Gas Bumi yang akan dialokasikan. (4) Dalam menetapkan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri mempertimbangkan usulan Badan Pelaksana. Pasal 3 (1) Menteri menentukan prioritas Pemanfaatan Gas Bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang akan digunakan sebagai sumber energi, bahan baku, maupun keperluan lainnya dengan memperhatikan keekonomian harga Gas Bumi yang bersangkutan. (2) Dalam menentukan prioritas Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebijakan mengenai Neraca Gas Bumi Indonesia. Kebijakan mengenai Neraca Gas Bumi Indonesia sebagaimana dinnaksud pada ayat (2) diperbaharui dan ditetapkan setiap tahun. Pasal 4 (1) Dalam rangka mendukung pemenuhan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri, Kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan Gas Bumi dalam negeri. Kewajiban Kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari hasil produksi Gas Bumi bagian Kontraktor. (2) Dalam hal kebutuhan Gas Bumi dalam negeri belum dapat terpenuhi, Menteri menetapkan kebijakan alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dari cadangan Gas Bumi yang dapat diproduksikan dari setiap lapangan Gas Bumi pada suatu Wilayah Kerja. (3) Pemenuhan kebutuhan Gas Bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap memperhatikan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan Keekonomian Lapangan. Pasal 5 Dalam rangka mendukung pemenuhan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri dapat menetapkan kebijakan Pasokan Gas Bumi yang berasal dari impor. 637 Pasal 6 (1) Menteri menetapkan Kebijakan Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri berdasarkan Neraca Gas Bumi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). (2) Dalam rangka penetapan Kebijakan Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana mengusulkan kepada Menteri mengenai rencana Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi didasarkan atas Keekonomian Lapangan dari cadangan Gas Bumi yang dapat diproduksikan pada suatu Wilayah Kerja. (3) Penetapan Kebijakan Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prioritas Pemanfaatan Gas Bumi untuk : a. peningkatan produksi Minyak dan Gas Bumi Nasional; b. industri pupuk; c. penyediaan tenaga listrik; d. industri lainnya. (4) Prioritas Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan Gas Bumi di wilayah setempat. (5) Dalam hal Menteri telah menetapkan Kebijakan Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana wajib menyusun rencana pengembangan lapangan cadangan Gas Bumi dari lapangan Minyak dan Gas Bumi yang akan diproduksikan pada suatu Wilayah Kerja. Pasal 7 Dalam hal kajian yang dilakukan berdasarkan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan Keekonomian Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan dari hasil kajian rencana pengembangan lapangan cadangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) tidak dapat dipenuhi, Menteri dapat menetapkan kebijakan lainnya. Pasal 8 Dalam hal kebutuhan Gas Bumi dalam negeri telah dapat dipenuhi, Menteri dapat menetapkan kebijakan lain atas alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi. 638 BAB III KETENTUAN PERALIHAN Pasal 9 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pengalokasian dan Pemanfaatan Gas Bumi yang telah dilaksanakan dan memiliki kontrak jual bell Gas Bumi, Head of Agreement (HoA), Memorandum of Understanding (MoU) atau telah memasuki tahap negosiasi tetap dapat dilaksanakan. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2010 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. DARWIN ZAHEDY SALEH Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 42 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL Kepala Biro H dan Humas, MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 19 TAHUN 2009 TENTANG KEGIATAN USAHA GAS BUMI MELALUI PIPA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan pembangunan infrastruktur gas bumi melalui pipa yang padat modal dan berisiko tinggi serta guna menciptakan iklim investasi yang sehat serta jaminan pengembalian investasi bagi Badan Usaha dalam pengusahaan gas bumi melalui pipa, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 639 640 4. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4253); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4436) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4996); 6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tanggal 20 Oktober 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77/P Tahun 2007 tanggal 28 Agustus 2007; 7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0007 Tahun 2005 tanggal 21 April 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha Dalam Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi; 8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; 9. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0048 Tahun 2005 tanggal 30 Desember 2005 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) serta Pengawasan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain, LPG, LNG dan Hasil Olahan Yang Dipasarkan di Dalam Negeri; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG KEGIATAN USAHA GAS BUMI MELALUI PIPA. 641 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. 2. Niaga Gas Bumi Melalui Pipa adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, dan/atau impor Gas Bumi melalui pipa. 3. Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa adalah kegiatan menyalurkan Gas Bumi melalui pipa meliputi kegiatan transmisi, dan/atau transmisi dan distribusi melalui pipa penyalur dan peralatan yang dioperasikan dan/atau diusahakan sebagai suatu kesatuan sistem yang terintegrasi. 4. Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Niaga Gas Bumi melalui Pipa pada Wilayah Niaga Tertentu dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. 5. Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. 6. Hak Khusus adalah hak yang diberikan Badan Pengatur kepada Badan Usaha untuk mengoperasikan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi dan/atau pada Wilayah Jaringan Distribusi berdasarkan Ielang. 7. Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional adalah dokumen mengenai rencana pengembangan dan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi Gas Bumi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat disesuaikan setiap tahun 8. Ruas Transmisi adalah ruas tertentu dari Jaringan Transmisi Gas Bumi yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. 9. Wilayah Jaringan Distribusi adalah wilayah tertentu dari jaringan distribusi Gas Bumi yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. 10. Pipa Transmisi adalah pipa untuk mengangkut Gas Bumi dari sumber pasokan Gas Bumi atau lapangan Gas Bumi ke satu atau Iebih pusat distribusi dan/atau ke 642 satu atau lebih konsumen Gas Bumi atau yang menghubungkan sumber-sumber pasokan Gas Bumi. 10. Pipa Distribusi adalah pipa untuk mengangkut Gas Bumi dari suatu Pipa Transmisi atau dari Pipa Distribusi ke konsumen Gas Bumi atau ke Pipa Distribusi Iainnya yang berbentuk jaringan. 11. Wilayah Niaga Tertentu adalah wilayah tertentu untuk melaksanakan kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, dan/atau impor Gas Bumi melalui pipa. 12. Pipa Dedicated Hilir adalah pipa Gas Bumi yang dibangun dan dimanfaatkan oleh Badan Usaha untuk mengangkut Gas Bumi milik sendiri. 13. Konsumen Gas Bumi adalah konsumen atau pengguna Gas Bumi melalui pipa yang memiliki perikatan dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. 14. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15. Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 16. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. 17. Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi serta Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Kegiatan Usaha Hilir. Pasal 2 Pengaturan Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa dalam Peraturan Menteri ini meliputi Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui pipa dan/atau Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa yang dilaksanakan secara terpadu, transparan, akuntabel, kompetitif dan adil. Pasal 3 Pengaturan Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa bertujuan : a. meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri; b. meningkatkan investasi pembangunan infrastruktur Gas Bumi; c. menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan penyediaan Gas Bumi baik 643 sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku untuk kebutuhan dalam negeri; b. meningkatkan partisipasi Badan Usaha dalam penyediaan Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan Gas Bumi dalam negeri; c. memberikan kesempatan yang sama bagi semua Badan Usaha untuk melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga dan/atau Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa; d. memberikan kepastian hokum dalam berusaha bagi para pelaku usaha; dan e. menjamin dipenuhinya hak-hak Konsumen Gas Bumi. BAB II RENCANA INDUK JARINGAN TRANSMISI DAN DISTRIBUSI GAS BUMI NASIONAL Pasal 4 ( 1 ) Dalam rangka pelaksanaan Kegiatan Usaha Gas Bumi Pipa, Direktur Jenderal menyiapkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. ( 2 ) Penyiapan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Ruas Transmisi dan Wilayah Jaringan Distribusi yang dilakukan berdasarkan kajian teknis dan ekonomis yang meliputi ketersediaan sumber Gas Bumi, potensi kebutuhan Gas Bumi, dan jaringan Pipa Transmisi dan/atau Pipa Distribusi yang tersedia. ( 3 ) Wilayah Jaringan Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan batas-batasnya berdasarkan titik-titik koordinat geografis. ( 4 ) Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari Badan Pengatur dan Badan Usaha serta memperhatikan pengembangan pasar domestik. ( 5 ) Berdasarkan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengatur menetapkan Ruas Transmisi tertentu dan Wilayah Jaringan Distribusi tertentu untuk dilelang. Pasal 5 ( 1 ) Badan Pengatur dapat mengusulkan kepada Menteri mengenai perubahan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. 644 ( 2 ) Badan Usaha dapat mengusulkan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Badan Pengatur mengenai perubahan Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. ( 3 ) Direktur Jenderal melakukan kajian teknis dan ekonomis yang meliputi ketersediaan sumber Gas Bumi, potensi kebutuhan Gas Bumi, dan jaringan Pipa Transmisi dan/atau Pipa Distribusi yang tersedia terhadap usulan Badan Pengatur dan Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). BAB III KEGIATAN USAHA GAS BUMI MELALUI PIPA Bagian Kesatu Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Pasal 6 Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapatkan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa. Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada Wilayah Niaga Tertentu. Pasal 7 ( 1 ) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada lebih dari satu Wilayah Niaga Tertentu ( 2 ) Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi melalui Pipa pada lebih dari satu Wilayah Niaga Tertentu sebagaimana dimaksud pada satu Wilayah Niaga Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat penyesuaian Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui Pipa. Pasal 8 Pada Wilayah Niaga Tertentu dapat dilaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa oleh lebih dari 1 (satu) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa. Pasal 9 Dalam melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa, Badan Usaha 645 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib menggunakan Pipa Transmisi dan/atau Pipa Distribusi yang tersedia untuk dapat dimanfaatkan bersama (open access) pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi tertentu. Pasal 10 ( 1 ) Dalam hal dari aspek teknis dan ekonomis Pipa Transmisi dan/atau Pipa Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak dapat dimanfaatkan bersama atau belum tersedia, maka Badan Usaha dapat membangun Pipa Dedicated Hilir. ( 2 ) Dalam membangun Pipa Dedicated Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha wajib terlebih dahulu mendapatkan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir. Pasal 11 ( 1 ) Untuk mendapatkan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir, Badan Usaha mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Badan Pengatur dengan melampirkan : a. kesepakatan awal dengan produsen/pemasok Gas Bumi yang ditunjukkan dengan adanya Head of Agreement (HoA) atau Memorandum of Understanding (Moll); b. kesepakatan awal dengan calon Konsumen Gas Bumi yang ditunjukkan dengan adanya Head of Agreement (HoA) atau Memorandum of Understanding (Moll); c. hasil kajian teknis dan ekonomis yang meliputi antara lain jalur, panjang, kapasitas dan rencana pembangunan pipa serta jumlah Konsumen Gas Bumi dan volume penjualan Gas Bumi; d. pernyataan tertulis di atas materai bahwa Pipa Dedicated Hilir yang dibangun hanya digunakan untuk menyalurkan Gas Bumi milik sendiri; e. persyaratan administrasi dan teknis sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Dalam hal permohonan telah lengkap dan benar, Direktur Jenderal melakukan evaluasi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Berdasarkan evaluasi atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan Badan Usaha. 646 (4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir. (5) Badan Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir wajib mendapatkan Hak Khusus dari Badan Pengatur. (6) Terhadap Pipa Dedicated Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selanjutnya ditetapkan dalam Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Pasal 12 Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir dan Hak Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilarang melakukan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Pipa Dedicated Hilirnya. Pasal 13 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dalam rangka efisiensi dan mengoptimalkan pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan Gas Bumi dalam negeri, Direktur Jenderal dapat mewajibkan Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir untuk pemanfaatan bersama fasilitas yang dimilikinya oleh pihak lain. (2) Pemanfaatan bersama oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pengatur. (3) Dalam hal Badan Usaha melaksanakan pemanfaatan bersama fasilitas Pipa Dedicated Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Badan Usaha wajib memiliki Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa. Pasal 14 Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui Pipa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 11 wajib : a. memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa/Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir; b. memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati di dalam perjanjian jualbeli gas; c. menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan dan keakuratan sistem alat ukur yang digunakan; 647 d. menjamin penerapan kaidah keteknikan yang baik, standar dan mutu Gas Bumi yang diniagakan; e. menjamin keselamatan Minyak dan Gas Bumi yang terdiri dari keselamatan pekerja, keselamatan umum, keselamatan Iingkungan dan keselamatan instalasi; f. memenuhi dan mematuhi ketentuan peraturan perundang­undangan. Bagian Kedua Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa Pasal 15 (1) Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dilaksanakan oleh Badan Usaha pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi setelah mendapatkan Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Hak Khusus. (2) Untuk mendapatkan Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Hak Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan. Pasal 16 (1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa pada lebih dari satu Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi. (2) Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada lebih dari satu Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat penyesuaian Izin Usaha Pengangkutan Gas Burni Melalui Pipa. Pasal 17 (1) Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi tertentu hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa yang telah mendapatkan Hak Khusus Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi Tertentu. (2) Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Wilayah Jaringan Distribusi tertentu hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa yang telah mendapatkan Hak 648 Khusus Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Wilayah Jaringan Distribusi Tertentu. Pasal 18 Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas pengangkutan Gas Bumi melalui pipa pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi. Pasal 19 (1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilarang melakukan Kegiatan Usaha Maga Gas Burni Melalui Pipa pada fasilitas pengangkutan Gas Bumi yang dimiliki dan/atau dikuasainya. (2) Dalam hal Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melakukan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada fasilitas pengangkutan Gas Bumi yang dimiliki dan/atau dikuasainya, wajib membentuk Badan Usaha terpisah dan mempunyai Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa. Pasal 20 Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib: a. memenuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Izin Usahanya; b. memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati di dalam perjanjian pengangkutan Gas Bumi; c. menerapkan tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa yang ditetapkan oleh Badan Pengatur; d. memberikan kesempatan yang sama bagi Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa atau pihak lain untuk pemanfaatan bersama fasilitas pengangkutan Gas Bumi yang dimiliki dan/atau dikuasainya; e. menyediakan fasilitas Pipa Distribusi pada Wilayah Jaringan Distribusinya; f. menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan dan keakuratan sistem alat ukur yang digunakan; 649 g. menjamin penerapan kaidah keteknikan yang balk dalam pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa; h. menjamin keselamatan Minyak dan Gas Bumi yang terdiri dari keselamatan pekerja, keselamatan umum, keselamatan lingkungan dan keselamatan instalasi; i. memenuhi dan mematuhi ketentuan peraturan perundang­undangan. BAB IV HARGA JUAL GAS BUM1 DAN TARIF PENGANGKUTAN GAS BUMI MELALUI PIPA Pasal 21 (1) Harga jual Gas Bumi melalui pipa terdiri atas : a. harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna rumah tangga dan pelanggan kecil; b. harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna tertentu; dan c. harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna umum. (2) Harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna rumah tangga dan pelanggan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dan ditetapkan oleh Badan Pengatur. (3) Harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Menteri. (4) Harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Badan Usaha dengan berpedoman pada : a. kemampuan daya bell Konsumen Gas Bumi dalam negeri; b. kesinambungan penyediaan dan pendistribusian Gas Bumi; c. tingkat keekonomian dengan margin yang wajar bagi Badan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa. (4) Penetapan harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk pengguna umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan kepada Menteri. Pasal 22 (1) Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa diatur dan ditetapkan oleh Badan Pengatur. 650 (2) Penetapan tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kepentingan pemilik Gas Bumi, Badan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Konsumen Gas Bumi. BAB V PENGATURAN, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 23 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan atas Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. (2) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi a. pemberian lzin Usaha; b. prioritas (alokasi) pemanfaatan Gas Bumi dalam negeri; c. kelangsungan penyediaan dan pendistribusian Gas Bumi melalui pipa; d. harga jual Gas Bumi melalui pipa, kecuali untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; e. standar dan mutu (spesifikasi) Gas Bumi yang diniagakan; f. kaidah keteknikan yang balk; g. keselamatan Minyak dan Gas Bumi yang terdiri dari keselamatan pekerja, keselamatan umum, keselamatan lingkungan dan keselamatan instalasi; h. pemanfaatan barang, peralatan, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; dan i. pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat. Pasal 24 Badan Pengatur melakukan pengaturan, penetapan, dan pengawasan atas: a. tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa; b. harga jual Gas Bumi melalui pipa untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; c. Hak Khusus; d. pemanfaatan bersama fasilitas Pengangkutan Gas Bumi Badan Usaha; e. volume Gas Bumi yang diangkut dan diniagakan melalui pipa. 651 Pasal 25 (1) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa wajib menyampaikan laporan mengenai Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada Wilayah Niaga Tertentu kepada Menteri melalui Direktur Jenderal setiap 3 (tiga) bulan dan sewaktu-waktu apabila diperlukan dengan tembusan kepada Badan Pengatur. (2) Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa wajib menyampaikan laporan mengenai Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi tertentu kepada Menteri melalui Direktur Jenderal setiap 1 (satu) bulan dan sewaktuwaktu apabila diperlukan dengan tembusan kepada Badan Pengatur. Pasal 26 (1) Terhadap Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa dan Pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa yang tidak melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa teguran tertulis, penangguhan, pembekuan kegiatan, dan/atau pencabutan Izin Usaha dan Hak Khusus. Pasal 27 Segala kerugian yang timbul sebagai akibat diberikannya sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 menjadi beban Badan Usaha yang bersangkutan. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 28 (1) Dalam hal diperlukan penyediaan Gas Bumi untuk pengguna rumah tangga, pelanggan kecil dan/atau pengguna tertentu yang memerlukan pengembangan infrastruktur Gas Bumi, Pemerintah atau berdasarkan kerja sama antara Pemerintah dengan Badan Usaha dapat menyediakan infrastruktur Gas Bumi. (2) Penyediaan infrastruktur Gas Bumi sebagaimana dmaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pendanaan dan pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan. 652 (3) Penyediaan infrastruktur Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap memenuhi ketentuan keselamatan Minyak dan Gas Burni yang meliputi keselamatan umum, keselamatan pekerja, keselamatan lingkungan dan keselamatan instalasi. Pasal 29 (1) lnfrastruktur Gas Bumi yang disediakan oleh Pemerintah atau berdasarkan kerja sama antara Pemerintah dengan Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat dioperasikan Badan Usaha yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Terhadap Badan Usaha yang mengoperasikan infrastruktur Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib bertanggung jawab atas pengoperasian infrastruktur Gas Bumi. Pasal 30 (1) Dalam hal tertentu dengan mempertimbangkan sumber pasokan Gas Bumi, Direktur Jenderal atas name Menteri dapat memberikan persetujuan kepada Konsumen Gas Bumi untuk membangun dan mengoperasikan pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri. (2) Untuk mendapat Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Konsumen Gas Bumi wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal mengenai rencana pembangunan dan pengoperasian pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri. (3) Direktur Jenderal melakukan evaluasi dan penelitian terhadap permohonan yang disampaikan Konsumen Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal dapat menyetujui atau menolak pemiohonan Konsumen Gas Bumi mengenai rencana pembangunan dan pengoperasian pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri. (5) Dalam melaksanakan pembangunan dan pengoperasian Pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri, Konsumen Gas Bumi wajib memenuhi ketentuan keselamatan Minyak dan Gas Bumi yang meliputi keselamatan umum, keselamatan pekerja, keselamatan lingkungan dan keselamatan instalasi. 653 (6) Terhadap pengangkutan dan pengoperasian pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan Hak Khusus. (7) Pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya ditetapkan dalam Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku : a. Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa yang telah melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada Wilayah Niaga Tertentu tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya dan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. b. dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalul Pipa yang memiliki fasilitas dan telah melaksanakan kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa untuk mengangkut Gas Bumi miliknya sendiri (Dedicated Hilir), wajib menyesuaikan Izin Usahanya menjadi Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalul Pipa Dedicated Hilir. c. dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Badan Usaha yang telah melaksanakan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi, wajib membentuk Badan Usaha terpisah dan menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini. a. dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, Konsumen Gas Bumi yang telah membangun pipa Gas Bumi untuk kepentingan sendiri wajib memiliki Persetujuan dari Direktur Jenderal atas nama Menteri. e. dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalul Pipa dan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa yang memiliki fasilitas serta telah memiliki Hak Khusus pada Ruas Transmisi dan/atau Wilayah Jaringan Distribusi wajib menyesuaikan Hak Khususnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini. 654 Pasal 32 Terhadap Badan Usaha yang telah mengajukan permohonan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa yang memiliki fasilitas jaringan distribusi yang telah memenuhi persyaratan dan telah diproses sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini diberikan Izin Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa Dedicated Hilir. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. PURNOMO YUSGIANTORO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 274 Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4), Pasal 35 ayat (6), Pasal 41 ayat (3), Pasal 47 ayat (4), dan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bum’, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3317); 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3394) sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4628); 655 656 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4777); 7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; 8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 001 Tahun 2006 tanggal 2 Januari 2006 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik dan/atau Sewa Menyewa Jaringan Dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 004 Tahun 2007 tanggal 11 Mei 2007; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN USAHA PANAS BUMI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan Panas Bumi. 657 2. Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi panas bumi. 3. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan panas bumi untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan usaha pertambangan panas bumi, termasuk penyelidikan atau studi jumlah cadangan yang dapat dieksploitasi. 4. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan pada suatu wilayah kerja tertentu yang meliputi pengeboran sumur pengembangan dan sumur reinjeksi, pembangunan fasilitas lapangan dan operasi produksi sumber daya panas bumi. 5. Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi, selanjutnya disebut Wilayah Kerja, adalah wilayah yang ditetapkan dalam IUP. 6. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha tetap dan terus-menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 7. Panitia Pelelangan Wilayah Kerja adalah panitia yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam rangka melaksanakan proses lelang Wilayah Kerja. 8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang panas bumi. 9. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 10. Bupati/walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang panas bumi. 12. Direktorat Jenderal adalah Direktorat yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha panas bumi. 13. Dinas Teknis adalah dinas teknis provinsi atau dinas teknis kabupaten/kota yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha panas bumi. 658 BAB II WILAYAH KERJA Bagian Kesatu Penawaran Wilayah Kerja Pasal 2 (1) Kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi dilaksanakan pada suatu Wilayah Kerja yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Badan Usaha dengan cara lelang melalui media cetak, media elektronik dan media lainnya. (3) Dalam melaksanakan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib membentuk Panitia Pelelangan Wilayah Kerja. Bagian Kedua Keanggotaan Panitia Pasal 3 (1) Panitia Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) berjumlah gasal dan paling sedikit 5 (lima) orang terdiri atas wakil dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Instansi terkait, Pemerintah Daerah, dan wakil dari Instansi Daerah terkait. (2) Panitia Pelelangan Wilayah Kerja wakil dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wakil dari : a. Direktorat Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi; b. Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi; c. Badan Geologi; dan/atau d. Sekretariat Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pasal 4 (1) Dalam hal diperlukan, Panitia Pelelangan Wilayah Kerja dapat menunjuk tenaga ahli sebagai narasumber. 659 (2) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari kalangan akademisi, asosiasi profesi panas bumi atau praktisi. Bagian Ketiga Evaluasi Penawaran Pasal 5 (1) Panitia Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melakukan evaluasi terhadap penawaran yang masuk melalui mekanisme evaluasi tahap kesatu dan evaluasi tahap kedua. (2) Evaluasi tahap kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada evaluasi administrasi, teknis dan keuangan. (3) Evaluasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi evaluasi terhadap kelengkapan : a. surat permohonan IUP kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; b. identitas pemohon/akta pendirian perusahaan; c. profil perusahaan; d. Nomor Pokok Wajib Pajak; e. surat pernyataan kesanggupan membayar harga dasar data Wilayah Kerja atau bonus; dan f. surat pernyataan kesanggupan membayar kompensasi data kecuali untuk Pihak Lain yang mendapat penugasan Survei Pendahuluan. (4) Evaluasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi evaluasi terhadap pengalaman perusahaan, kualifikasi tenaga ahli, struktur organisasi proyek dan program kerja. (5) Evaluasi program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit meliputi evaluasi terhadap : a. pola pengusahaan total projek; b. jadwal eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi dan development serta eksploitasi dan pemanfaatan; c. rencana teknis eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi dan development serta eksploitasi dan pemanfaatan; d. perhitungan harga listrik; 660 e. waktu penentuan komitmen pengembangan atau notice of intend development; f. rencana pengembangan lapangan uap yang meliputi perhitungan sumur produksi, sumur injeksi dan sumur yang akan dikembangkan dan rencana biaya; g. kapasitas yang akan dikembangkan; h. tahapan pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi; dan i. faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang akan dikembangkan. (6) Evaluasi kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi evaluasi terhadap : a. kesehatan keuangan perusahaan; b. sumber pendanaan untuk pengembangan proyek; dan c. bukti penempatan jaminan lelang minimal 2,5% (dua koma lima persen) dari rencana biaya eksplorasi tahun pertama dari bank setempat atas nama Panitia Pelelangan Wilayah Kerja; dan d. bukti penempatan dana jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi sebesar US$ 10.000.000 (sepuluh juta dollar Amerika Serikat) pada Bank Pemerintah untuk kegiatan pemboran minimal 2 (dua) sumur standar eksplorasi atau eksploitasi dapat dalam bentuk : 1. rekening bersama antara badan usaha dengan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya (escrow account) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan; 2. pinjaman slap pakai (standby loan); atau 3. sertifikat fasilitas kredit berjaminan dari lembaga keuangan (underwritten credit facility). (7) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (6) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini. (8) Evaluasi tahap kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada evaluasi harga uap atau harga tenaga listrik yang paling rendah yang dikaitkan dengan evaluasi teknis khususnya program kerja dan keuangan tahap kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6). 661 (9) Untuk menentukan peringkat pemenang lelang Wilayah Kerja dilakukan berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8). Pasal 6 Panitia Pelelangan Wilayah Kerja dalam melakukan evaluasi penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dihadiri oleh sekurang-kurangnya separuh ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Panitia Pelelangan Wilayah Kerja. BAB III IZIN USAHA PERTAMBANGAN PANAS BUMI Bagian Kesatu Penetapan Pemenang Wilayah Kerja Pasal 7 (1) Panitia Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib mengusulkan peringkat calon pemenang pelelangan Wilayah Kerja termasuk berita acara pelelangan Wilayah Kerja kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal proses lelang selesai, dan disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini. (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan Badan Usaha pemenang pelelangan Wilayah Kerja dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak usulan peringkat calon pemenang pelelangan Wilayah Kerja diterima dari Panitia Pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Tata Cara Pemberian IUP Pasal 8 (1) Sebelum diberikan 1UP oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, Badan Usaha pemenang pelelangan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkannya sebagai pemenang 662 pelelangan Wilayah Kerja wajib menyelesaikan semua kewajiban yang meliputi: a. membayar harga dasar data Wilayah Kerja atau bonus sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); dan/atau b. membayar kompensasi data (awarded compensation) kepada Badan Usaha yang melakukan penugasan survei pendahuluan dan tidak menjadi pemenang pelelangan Wilayah Kerja. (2) Badan Usaha pemenang lelang Wilayah Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan gugur dan Badan Usaha peringkat berikutnya langsung ditetapkan menjadi pemenang pelelangan Wilayah Kerja oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Dalam hal Badan Usaha dinyatakan gugur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka : a. jaminan lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) huruf c menjadi milik negara dan disetorkan ke kas negara oleh Panitia Pelelangan Wilayah Kerja; b. dana jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) huruf d angka 1 dapat dicairkan atau ditutup oleh Badan Usaha yang bersangkutan berikut bunganya. (4) Badan Usaha pemenang pelelangan Wilayah Kerja peringkat berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Ketentuan mengenai tata cara penempatan dan pencairan kembali dana jaminan lelang dan jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) huruf d diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri. Pasal 9 (1) IUP diberikan untuk dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun untuk kegiatan yang meliputi a. Eksplorasi, berlaku dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing selama 1 (satu) tahun; b. Studi kelayakan, berlaku dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun; dan 663 c. Eksploitasi, berlaku dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak eskplorasi berakhir. (2) Dalam hal eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperpanjang, IUP diberikan untuk dalam jangka waktu paling lama 33 (tiga puluh tiga) tahun untuk kegiatan yang meliputi a. Eksplorasi, berlaku dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; b. Studi kelayakan, berlaku dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Eksploitasi, berlaku dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak eskplorasi berakhir. (3) Jangka waktu eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya memberikan IUP kepada Badan Usaha dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipenuhi. (5) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memuat ketentuan sekurangkurangnya : a. nama Badan Usaha; b. jenis usaha yang diberikan; c. jangka waktu berlakunya IUP; d. hak dan kewajiban pemegang IUP; e. Wilayah Kerja; dan f. tahap pengembalian Wilayah Kerja. (6) Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e merupakan Wilayah Kerja yang telah ditetapkan oleh Merited. (7) IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri ini. BAB IV PELAKSANAAN KEGIATAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN PANAS BUMI 664 Bagian Kesatu Eksplorasi Pasal 10 (1) Pemegang IUP sebelum dimulainya tahun takwim, wajib menyampaikan rencana jangka panjang eksplorasi kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal IUP diberikan. (2) Rencana jangka panjang eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rencana kegiatan dan rencana anggaran. (3) Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana kerja dan anggaran belanja tahunan eksplorasi kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan anggaran belanja tahunan berjalan. (4) Dalam hal terdapat penyesuaian terhadap rencana kegiatan dan rencana anggaran jangka panjang eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan setiap tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi melalui rencana kerja dan anggaran belanja tahunan. (5) Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan anggaran belanja tahunan berjalan. (6) Rencana kegiatan dan rencana anggaran eksplorasi jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV A Peraturan Menteri ini. (7) Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV B Peraturan Menteri ini. (8) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis melakukan evaluasi rencana eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5). (9) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dapat menyampaikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada pemegang IUP. 665 Pasal 11 (1) Dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah IUP ditetapkan, sesuai dengan rencana kegiatan dan rencana anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 pemegang IUP wajib memulai kegiatannya. (2) Pemegang IUP yang tidak melaksanakan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyetorkan sebesar 5% (lima persen) dari jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) huruf d ke kas negara. (3) Pemegang IUP wajib menyampaikan bukti setor dari jaminan pelaksanaan eksplorasi atau eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 12 (1) Permohonan perpanjangan jangka waktu eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) diajukan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu eksplorasi kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dokumen sebagai berikut : a. tanda bukti setor iuran tetap eksplorasi selama 3 (tiga) tahun; b. dokumen hasil kegiatan eksplorasi lengkap selama 3 (tiga) tahun; dan c. rencana kerja dan rencana anggaran belanja selama 1 (satu) tahun perpanjangan. (3) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis sesuai dengan kewenangannya wajib menerbitkan Tanda Bukti Penerimaan Permohonan Perpanjangan Eksplorasi setelah diterimanya dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis sesuai dengan kewenangannya setelah menerima dokumen persyaratan yang lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib melakukan evaluasi dalam rangka perpanjangan eksplorasi. (5) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mempertimbangkan hasil evaluasi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk laporan triwulan dan tahunan eksplorasi sebelumnya. (6) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan 666 secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyampaikan hasil evaluasi sebagai rekomendasi atas diterima atau ditolaknya perpanjangan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. (7) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya evaluasi sebagaimana dirnaksud pada ayat (6) wajib menetapkan pemberian persetujuan atau penolakan perpanjangan eksplorasi. Bagian Kedua Studi Kelayakan Pasal 13 (1) Pemegang IUP sebelum dimulainya tahun takwim, wajib menyampaikan rencana kegiatan dan rencana anggaran studi kelayakan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/VValikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal berakhirnya kegiatan eksplorasi, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut : a. tanda bukti setor iuran tetap eksplorasi yang terakhir; b. hasil kegiatan eksplorasi rind terakhir; dan c. rencana pengembalian atau perubahan wilayah kerja. (2) Rencana kegiatan studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya meliputi : a. jadwal studi kelayakan; b. rencana kegiatan dan rencana anggaran studi kelayakan; dan c. rencana studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). (3) Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan studi kelayakan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/VValikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan anggaran belanja tahunan berjalan. (4) Penyesuaian terhadap rencana kegiatan dan rencana anggaran studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat dilakukan setiap tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi melalui rencana kerja dan anggaran belanja tahunan. 667 (5) Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan berjalan. (6) Rencana kegiatan dan rencana anggaran studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V A Peraturan Menteri ini. (7) Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V B Peraturan Menteri ini. (8) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis mengevaluasi semua rencana studi kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5). (9) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dapat menyampaikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada pemegang IUP. Bagian Ketiga Eksploitasi Pasal 14 Sebelum melakukan kegiatan eksploitasi, pemegang IUP wajib memberikan laporan hasil studi kelayakan secara tertulis dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah berakhirnya studi kelayakan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan hasil studi kelayakan sekurang-kurangnya meliputi : a. rencana pengembangan lapangan panas bumi untuk pembangkitan tenaga listrik yang meliput : 1. penentuan cadangan Iayak tambang di seluruh Wilayah Kerja; 2. penerapan teknologi yang tepat untuk eksploitasi dan penangkapan uap dari sumur produksi; 3. lokasi sumur produksi; 4. rancangan sumur produksi dan injeksi; 5. rancangan pemipaan sumur produksi; 6. perencanaan kapasitas produksi jangka pendek dan jangka panjang; dan 668 7. sistem pembangkit tenaga listrik. b. perhitungan keekonomian harga uap atau listrik; c. rencana jangka pendek (tahunan) dan rencana jangka panjang eksploitasi; d. rencana pemberdayaan dan pengembangan masyarakat; e. rencana keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan lingkungan dan teknis pertambangan panas bumi; f. upaya konservasi dan kesinambungan sumber daya panas bumi; g. rencana pemanfaatan barang dan jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri, termasuk daftar barang (masterlist) induk; h. rencana perubahan Wilayah Kerja; i. keputusan kelayakan lingkungan berdasarkan hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau persetujuan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); j. izin usaha penyediaan ketenagalistrikan untuk kepentingan umum dan/atau izin usaha penyediaan ketenagalistrikan untuk kepentingan sendiri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan; dan k. rencana rekiamasi dan rencana pascatambang. Pasal 15 (1) Rencana jangka panjang eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c sekurang-kurangnya meliputi rencana kegiatan dan rencana anggaran. (2) Rencana kegiatan dan rencana anggaran jangka panjang eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sekurang­kurangnya : a. lokasi titik bor pengembangan; b. kegiatan pengembangan sumur produksi; c. pembiayaan; d. penyiapan saluran pemipaan produksi; dan e. rencana pemanfaatan panas bumi. (3) Pemegang IUP wajib menyampaikan rencana kerja dan rencana anggaran belanja jangka pendek (tahunan) eksploitasi kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan berjalan. 669 (4) Dalam hal terdapat penyesuaian terhadap rencana kegiatan dan rencana anggaran eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat dilakukan setiap tahun sesuai dengan kondisi yang dihadapi melalui rencana jangka pendek (tahunan). (5) Rencana jangka pendek (tahunan) eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyesuaian terhadap rencana kegiatan dan rencana anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya meliputi rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan. (6) Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan sebelum rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan berjalan. (7) Rencana kegiatan dan rencana anggaran jangka panjang eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI A Peraturan Menteri ini. (8) Rencana kerja dan rencana anggaran belanja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI B Peraturan. Menteri ini. (9) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis melakukan evaluasi rencana eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8). (10) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dapat menyampaikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada pemegang IUP. Pasal 16 (1) Dalam hal pemegang IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menemukan Iebih dari satu sistem panas bumi dalam suatu Wilayah Kerja, pemegang IUP wajib melaporkan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP yang bermaksud mengembangkan sistem panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Dalam hal pemegang IUP tidak berminat untuk mengembangkan sistem panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka sebagian wilayah kerja yang 670 didalamnya terdapat sistem panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dikembalikan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Wilayah Kerja yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri menjadi Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan. BAB V LUAS WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Luas Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi Pasal 17 Luas Wilayah Kerja untuk eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a yang dapat diberikan kepada Badan Usaha yang telah mendapat IUP tidak boleh melebihi 200.000 (dua ratus ribu) hektare. Pasal 18 (1) Luas Wilayah Kerja untuk Eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c yang dapat diberikan kepada pemegang IUP tidak boleh melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare. (2) Untuk mendapat Wilayah Kerja Eksploitasi yang Iuasnya melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan laporan kapasitas terpasang pengembangan lapangan panas bumi. Pasal 19 (1) Untuk mendapatkan Wilayah Kerja Eksploitasi yang Iuasnya melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare, pemegang IUP harus mengajukan permohonan secara tertulis mengenai rencana luas Wilayah Kerja kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Peraturan Menteri ini. 671 (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan dokumen sebagai berikut : a. tanda bukti setor iuran tetap yang terakhir; b. hasil kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, atau eksploitasi; c. rencana perubahan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan; d. laporan rencana luas wilayah kerja; dan e. laporan kapasitas terpasang pengembangan lapangan panas bumi. (3) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis wajib menerbitkan Tanda Bukti Penerimaan Permohonan luas Wilayah Kerja Eksploitasi yang melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare setelah diterimanya dokumen Iengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis setelah menerima dokumen­dokumen persyaratan yang Iengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan evaluasi dalam rangka pemberian persetujuan atau penolakan Wilayah Kerja Eksploitasi yang Iuasnya melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare. (5) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima permohonan pemegang IUP secara Iengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan hasil evaluasi sebagai rekomendasi atas diterima atau ditolaknya permohonan luas Wilayah Kerja Eksploitasi yang melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (6) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat betas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi dari DirektoratJenderal atau Dinas Teknis wajib menetapkan persetujuan atau penolakan permohonan dari Wilayah Kerja Eksploitasi yang melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare. Bagian Kedua Pengembalian Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi Pasal 20 (1) Pemegang IUP dapat mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya sebelum jangka waktu IUP berakhir. 672 (2) Dalam hal Pemegang IUP mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terlebih dahulu wajib menyampaikan data dan kewajiban lain yang tercantum dalam IUP. Pasal 21 (1) Apabila dalam jangka waktu eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a tidak ditemukan cadangan energi panas bumi yang dapat diproduksikan secara komersial, maka pemegang IUP wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerja kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau BupatilWalikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya setelah jangka waktu IUP berakhir. Pasal 22 (1) Pada saat atau sebelum berakhirnya jangka waktu Studi Kelayakan, pemegang IUP wajib mengembalikan secara bertahap sebagian Wilayah Kerja yang tidak dimanfaatkan lagi kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah Pemegang IUP menyelesaikan kegiatan Studi Kelayakan, wajib mengembalikan Wilayah Kerja Eksplorasi sehingga Wilayah Kerja yang dipertahankan untuk Eksploitasi tidak boleh melebihi 10.000 (sepuluh ribu) hektare. (3) Dalam hal luas Wilayah Kerja untuk Eksplorasi semula kurang dari 200.000 (dua ratus ribu) hektare, pemegang IUP tetap dapat mempertahankan Wilayah Kerja untuk Eksploitasi seluas 10.000 (sepuluh ribu) hektare sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 23 (1) Pemegang IUP sebelum mengembalikan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 22 wajib melakukan kegiatan reklamasi dan pelestarian fungsi lingkungan. 673 (2) Pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 24 (1) Pemegang IUP wajib mengajukan permohonan secara tertulis rencana pengembalian sebagian atau seluruh Wilayah Kerja kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan dokumen sebagai berikut : a. bukti setor melunasi seluruh kewajiban keuangan serta memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. penyerahan semua data, baik dalam bentuk analog maupun digital yang ada hubungannya dengan pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi; c. bukti pelaksanaan reklamasi dan pelestarian fungsi lingkungan; dan d. bukti pelaksanaan yang berkaitan dengan pengembalian Wilayah Kerja. (3) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis wajib menerbitkan Tanda Bukti Penerimaan Permohonan Pengembalian Wilayah Kerja setelah menerima dokumen Iengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis setelah menerima dokumen­dokumen persyaratan yang lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan evaluasi dalam rangka pengembalian Wilayah Kerja. (5) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal menerima dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyampaikan hasil evaluasi sebagai rekomendasi atas diterima atau ditolaknya pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri, gubernur atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. (6) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi dari Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis wajib menetapkan pengesahan atau penolakan pengesahan pengembalian Wilayah Kerja. 674 Pasal 25 Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menyerahkan semua data yang dikembalikan oleh pemegang IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 kepada Menteri. BAB VI PENGHENTIAN SEMENTARA PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI Pasal 26 (1) Penghentian sementara pengusahaan sumber daya panas bumi dapat diberikan kepada pemegang IUP apabila terjadi keadaan kahar (force majeure) dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan panas bumi. (2) Pemberian penghentian sementara pengusahaan sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP. (3) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi gempa bumi, banjir, longsor, angin puting beliung, tsunami, kebakaran yang mengakibatkan terhentinya sebagian atau seluruh kegiatan panas bumi. (4) Keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain meliputi kebijakan pusat dan daerah, pemogokan, kerusuhan, keamanan, penolakan oleh masyarakat setempat, yang mengakibatkan terhentinya sebagian atau seluruh kegiatan panas bumi. Pasal 27 (1) Permohonan penghentian sementara pengusahaan sumber daya panas bumi disampaikan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal terjadinya keadaan kahar (force majeure) dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan penghentian sebagian atau seluruh pengusahaan sumber daya panas bumi. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud padaayat (1) harus melampirkan dokumendokumen sebagai berikut : a. alasan penghentian sementara; 675 b. bukti-bukti terjadinya kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan panas bumi; c. surat keterangan tentang terjadinya kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan panas bumi dari Instansi yang berwenang. (3) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis wajib menerbitkan Tanda Bukti Penerimaan Permohonan Penghentian Sementara setelah menerima dokumen lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis setelah menerima dokumen­dokumen persyaratan yang lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan evaluasi dalam rangka penghentian sementara. (5) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal menerima dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyampaikan hasil evaluasi sebagai rekomendasi atas diterima atau ditolaknya permohonan penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (6) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolaknya atas permohonan penghentian sementara pengusahaan sumber daya panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal menerima permohonan tersebut. Pasal 28 Permohonan perpanjangan jangka waktu penghentian sementara, diajukan oleh pemegang IUP dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum berakhirnya penghentian sementara dengan melampirkan laporan monitoring keadaan kahar (force majeure) dan/atau keadaan yang menghalangi kegiatan. BAB VII PENGAMANAN DAN PEMINDAHAN HAK MILIK Pasal 29 (1) Dalam hal IUP berakhir, pemegang IUP wajib : 676 a. melunasi seluruh kewajiban keuangan serta memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan berkaitan dengan berakhirnya IUP; c. melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum; d. dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal IUP berakhir mengangkat benda-benda, bangunan dan peralatan yang menjadi miliknya yang masih terdapat dalam bekas Wilayah Kerjanya, kecuali bangunan yang dapat digunakan untuk kepentingan umum; dan e. mengembalikan seluruh Wilayah Kerja dan wajib menyerahkan semua data, balk dalam bentuk analog maupun digital yang ada hubungannya dengan pelaksanaan pengusahaan sumber daya panas bumi kepada Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Dalam hal benda-benda, bangunan, dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak dapat diangkat keluar dari bekas Wilayah Kerja yang bersangkutan, maka oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat diberikan izin untuk memindahkannya kepada pihak ketiga. (3) Pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dinyatakan sah setelah pemegang IUP memenuhi seluruh kewajibannya dan mendapat persetujuan tertulis dari Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 30 (1) Pemegang IUP dalam melakukan usaha-usaha pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya IUP. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai data dan informasi tentang kegiatan pemegang IUP serta rencana kerja usaha-usaha pengamanan. 677 (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mempertimbangkan kelayakan rencana kerja usaha-usaha pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan kondisi di sekitar wilayah kerjanya (4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib menetapkan persetujuan atau penolakan rencana kerja usaha-usaha pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 31 (1) Pemegang IUP dalam melakukan pemindahan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf d, wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya IUP. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai data dan informasi benda-benda, bangunan dan peralatan yang menjadi miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf d serta fasilitas yang dapat digunakan untuk kepentingan umum. (3) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menginventarisasi data dan informasi benda-benda, bangunan dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksudkan untuk mengetahui kepastian dan keberadaan benda-benda, bangunan dan peralatan yang menjadi milik pemegang IUP serta fasilitas yang dapat digunakan untuk kepentingan umum. Pasal 32 (1) Dalam hal benda-benda, bangunan, dan peralatan tidak dapat diangkat ke luar dari bekas Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) maka pemegang IUP wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi atau Bupati/ Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak IUP berakhir. 678 (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan izin untuk memindahkan kepada pihak ketiga yang telah berkoordinasi dengan pemegang IUP. BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 33 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan panas bumi yang dilakukan oleh gubernur, bupati dan walikota. (2) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan pengawasan yang berkaitan dengan kegiatan: a. proses pelaksanaan penerbitan IUP; b. pelaksanaan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan dan eksploitasi; c. peningkatan tahap kegiatan eksplorasi, studi kelayakan dan eksploitasi; dan d. pelaporan yang berkaitan dengan pelaksanaan IUP. (3) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal. Pasal 34 (1) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf d wajib disampaikan oleh pemegang IUP secara tertulis kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, Gubernur c.q. Dinas Teknis Provinsi, atau Bupati/Walikota c.q. Dinas Teknis Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk kegiatan eksplorasi dan studi kelayakan laporan yang disampaikan berupa laporan bulanan, laporan triwulan, laporan tahunan, dan rencana kegiatan dan rencana anggaran jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran belanja tahunan; b. untuk kegiatan eksploitasi laporan yang disampaikan berupa laporan bulanan, laporan triwulan, laporan tahunan, dan rencana kegiatan dan rencana anggaran jangka panjang serta rencana kerja dan anggaran belanja tahunan. 679 (2) Penyampaian laporan bulanan, triwulan, dan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut : a. laporan bulanan disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) minggu setelah berakhirnya bulan kalender; laporan triwulan disampaikan dalam jangka waktu paling lambat minggu pertama bulan April, Juli, Oktober, dan Januari; b. laporan tahunan disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) minggu setelah berakhirnya tahun takwin. (3) Direktorat Jenderal atau Dinas Teknis wajib melakukan evaluasi terhadap seluruh laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menyampaikan laporan beserta evaluasinya kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setiap 6 (enam) bulan. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 35 (1) Menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif kepada pemegang IUP yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), ayat (3), atau ayat (5), Pasal 11 ayat (1) ayat (2) atau ayat (3), Pasal 13 ayat (1), ayat (3), atau ayat (5), Pasal 14, Pasal 15 ayat (3) atau ayat (6), Pasal 16 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 29 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), atau Pasal 32 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi, studi kelayakan atau eksploitasi; atau c. pencabutan IUP. 680 Pasal 36 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a dikenakan kepada pemegang IUP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1). (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali, masing-masing peringatan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Pasal 37 (1) Dalam hal pemegang IUP yang mendapat sanksi peringatan tertulis setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) belum melaksanakan kewajibannya, M e n t e r i , gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi, studi kelayakan atau eksploitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf b. (2) Sanksi administratif berupa penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi, studi kelayakan atau eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sewaktu­waktu dapat dicabut apabila pemegang IUP dalam masa pengenaan sanksi telah memenuhi kewajibannya. Pasal 38 Sanksi administratif berupa pencabutan IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf c dikenakan kepada pemegang IUP yang terkena sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengenaan sanksi penghentian sementara seluruh kegiatan eksplorasi, studi kelayakan atau eksploitasi. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 681 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009 MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL, ttd. PURNOMO YUSGIANTORO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG PROVINSI JAWA TIMUR SEBAGAI DAERAH PENGHASIL SUMBER DAYA ALAM SEKTOR MINYAK BUMI DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Provinsi Jawa Timur sebagai Daerah Penghasil Sumber Daya Alam sektor Minyak Bumi dan Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur sebagaimana telah diubah dengan Undang­ Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan Atas Undang­ Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4286); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang­Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan 683 684 Daerah Menjadi Undang-Undang (lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4548); 4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4438); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun tentang Dana Perimbangan (lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4575); 6. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tatakerja di Lingkungan Departemen Dalam Negeri; 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PROVINSI JAWA TIMUR SEBAGAI DAERAH PENGHASIL SUMBER DAYA ALAM SEKTOR MINYAK BUMI DAN GAS BUMI. Pasal 1 Provinsi Jawa Timur sebagai Daerah penghasil sumber daya alam sektor minyak bumi dan gas bumi berdasarkan sumur minyak bumi dan gas bumi yang berlokasi di wilayah Provinsi Jawa Timur. Pasal 2 Lokasi sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 meliputi: a. Wilayah Kerja Sampang PSC (Santos); b. Wilayah Kerja Madura Offshore PSC (Santos); c. Wilayah Kerja Poleng TAC (Kodeco Energy); d. Wilayah Kerja Bawean Blok PSC (Camar Resources Canada); dan e. Wilayah Kerja Kangean PSC (EMP Kangean). 685 Pasal 3 (1) Wilayah Kerja Sampang PSC (Santos) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi: a. Sumur Oyong 1 pada koordinat 7°17’26,35” LS dan 113°21’44,77” BT; b. Sumur Oyong 2 pada koordinat 7°17’22,65” LS dan 113°21’44,40” BT; c. Sumur Oyong 3 pada koordinat 7°17’21,22” LS dan 113°22’41,22” BT; d. Sumur Oyong 4 pada koordinat 7°17’30,51” LS dan 113°21’48,35” BT; e. Sumur Oyong 5 pada koordinat 7°17’30,57” LS dan 113°21’48,35” BT; f. Sumur Oyong 6 pada koordinat 7°17’30,70” LS dan 113°21’48,24” BT; g. Sumur Oyong 7 pada koordinat 7°17’30,70” LS dan 113°21’48,46” BT; h. Sumur Oyong 8 pada koordinat 7°17’30,66” LS dan 113°21’48,39” BT; i. Sumur Oyong 9 pada koordinat 7°17’30,64” LS dan 113°21’48,31” BT; j. Sumur Oyong 10 pada koordinat 7°17’30,66” LS dan 113°21’48,35” BT; k. Sumur Anggur-1 pada koordinat 7°18’16,09” LS dan 113°03’4,48” BT; l. Sumur Anggur Utara 1 pada koordinat 7°17’33,93” LS dan 113°03’11,98” BT; m. Sumur Anggur-2 pada koordinat 7°18’15,61” LS dan 113°03’0,22” BT; n. Sumur Anggur-3 pada koordinat 70 18’22,34” LS dan 113°03’37,30” BT; o. Sumur Mangga-1 pada koordinat 7°18’45,72” LS dan 113°01’37,82” BT; p. Sumur Jeruk-1 pada koordinat 7°21’25,53” LS dan 113°04’13,38” BT; q. Sumur Jeruk-2-123 pada koordinat 7°21’11,69” LS dan 113°05’0,42” BT; r. Sumur Jeruk-2-45 pada koordinat 7°21’11,69” LS dan 113°05’0,42” BT; s. Sumur Jeruk 3 pada koordinat 7°21’14,45” LS dan 113°03’41,01” BT; t. Sumur Herbras 1 pada koordinat 7018’21,27” LS dan 113°41’41,87” BT; dan u. Sumur Dukuh 1 pada koordinat 7°24’17,40” LS dan 113°05’04,10” BT. (2) Wilayah Kerja Madura Offshore PSC (Santos) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, meliputi: a. Sumur Maleo1 pada koordinat 7°18’48,73” LS dan 114°02’51,92” BT; b. Sumur Maleo2 pada koordinat 7°17’44,13” LS dan 114°01’31,45” BT; c. Sumur Maleo3DW1 pada koordinat 7°18’41,49” LS dan 114°02’35,89” BT; d. Sumur Maleo4DW1 pada koordinat 7°18’41,56” LS dan 114°02’35,65” BT; e. Sumur Maleo5DW1 pada koordinat 7°18’41,59” LS dan 114°02’35,52” BT; f. Sumur Maleo6DW1 pada koordinat 7°18’41,69” LS dan 114°02’35,69” BT; g. Sumur Nyari1 pada koordinat 7°24’05,08” LS dan 113°49’31,04” BT; dan h. Sumur Madi1 pada koordinat 7°21’19,31” LS dan 114°37’30,29” BT. 686 (3) Wilayah Kerja Poleng TAC (Kodeco Energy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, meliputi: a. Sumur BW pada koordinat 6°41’09,00” LS dan 112°54’36,30” BT; b. Sumur CW pada koordinat 6°41’50,70” LS dan 112°53’07,00” BT; dan c. Sumur DW pada koordinat 6°42’20,30” LS dan 112°53’44,10” BT. (4) Wilayah Kerja Bawean Blok PSC (Camar Resources Canada) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, meliputi: a. Sumur JS28-1 pada koordinat 6°46’45,905” LS dan 112°12’10,95” BT; dan b. Sumur TUBAN1 pada koordinat 6°42’24,991” LS dan 112°00’28,99” BT. (5) Wilayah Kerja Kangean PSC (EMP Kangean) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e, meliputi: a. Sumur PGE-1 pada koordinat 7°03’59,04” LS dan 116°05’36,96” BT; dan b. Sumur PGE-2 pada koordinat 7001’28,92”LS dan 116°03’44,64” BT. Pasal 4 Posisi koordinat sumur-sumur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tercantum dalam peta yang merupakan lampiran dan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Pebruari 2007 MENTERI DALAM NEGERI, ttd H. MOH. MA’RUF, SE Catatan : peta tidak dicantumkan