Mendorong Pertumbuhan Investasi di Bidang Infrastruktur dan Energi

advertisement
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Mendorong Pertumbuhan Investasi di Bidang Infrastruktur dan Energi
Rabu, 28 Maret 2007
Chairil Abdini
Kepala Biro Prasarana Dasar dan Energi Setwapres
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 sebesar 5,6% dan pada tahun 2006 diperkirakan sekitar 5,5%. Para
ekonom berpendapat bahwa sedikitnya diperlukan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% untuk dapat menampung jumlah
angkatan kerja sehingga pengangguran dapat ditekan dan kemiskinan dapat dikurangi.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% dibutuhkan investasi dalam jumlah besar, antara lain investasi
di bidang infrastruktur termasuk investasi dalam penyediaan energi. Dengan asumsi Incremental Capital Output Ratio
(ICOR) sebesar 4, maka untuk mencapai pertumbuhan 7% pada tahun 2007 diperlukan dana investasi sekitar Rp 927 T.
Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan investasi pada dasarnya tidaklah terletak pada ketersediaan dana karena
dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan sebesar Rp 1263 T lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi
sebesar Rp 927 T. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan
tersebut dialokasikan. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi pengalokasian dana perbankan: (1) Faktor-faktor
mendasar seperti tingkat pengembalian investasi, tingkat risiko, kepastian perpajakan dan tingkat likuiditas yang
menentukan pilihan didalam melakukan investasi; (2) Terdapatnya kesenjangan deregulasi dan liberalisasi antara sektor
finansial dengan sektor riil. Deregulasi dan liberalisasi sektor finansial berjalan lebih cepat dibandingkan sektor riil
sehingga aliran dana investasi lebih deras masuk ke sektor finansial; (3) Terdapatnya mismatch antara jangka waktu
kredit perbankan dengan jangka waktu investasi di sektor riil khususnya di bidang infrastruktur. Konsekuensinya, sejak
krisis tahun 1998 pilihan investasi jatuh pada sektor finansial, sehingga investasi di sektor riil menjadi terkendala dan
kurang menarik.
Tulisan ini mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penempatan dana investasi perbankan tersebut dan
menawarkan solusi yang mungkin ditempuh sehingga secara bertahap investasi di sektor riil khususnya di bidang
infrastruktur dan energi dapat pulih dan meningkat kembali ke tingkat sebelum krisis tahun 1998.
Posisi Kredit Perbankan dan Obligasi Pemerintah
Berdasarkan statistik Bank Indonesia, pada bulan November 2006 jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
sektor perbankan adalah sebesar Rp 1263,13 T yang terdiri dari dana tabungan sebesar Rp 309.03 T dan dana
simpanan berjangka sebesar Rp 627,30 T serta dana giro sebesar Rp 326,80 T.
Dari dana pihak ketiga tersebut, kredit yang dikucurkan perbankan adalah sebesar Rp 761,2 T atau 60,23% dari total
dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan. Kucuran kredit tersebut antara lain Rp 142,5 T berupa kredit investasi dan
Rp 396,2 T berupa kredit modal kerja serta Rp 222,8 T berupa kredit konsumsi.
Sisanya, dana perbankan diinvestasikan dalam bentuk surat berharga seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat
Utang Negara (SUN) serta surat berharga lainnya. Pada bulan November 2006 total nilai SBI yang berada ditangan
perbankan senilai Rp 202 T dan total nilai SUN atau obligasi Pemerintah senilai Rp 273,7 T, sehingga secara
keseluruhan nilai surat berharga SBI dan SUN yang berada di tangan perbankan adalah sebesar Rp 475,7 T.
Seperti dikemukakan diatas, sedikitnya terdapat 4 faktor utama yang menyebabkan perbankan lebih memilih investasi
pada SBI dan SUN, yaitu:
Tingkat pengembalian yang tinggi. Dengan tingkat sukubunga yang relatif tinggi diatas 10% selama periode 2006, maka
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 October, 2017, 22:39
Sekretariat Negara Republik Indonesia
SBI dan SUN menawarkan tingkat pengembalian yang cukup menarik. Dengan tingkat sukubunga 10% saja, maka
dalam 1 tahun perbankan akan memperoleh pendapatan dari bunga SBI dan SUN sebesar Rp 47,5 T.
Tingkat risiko yang rendah. Tingkat risiko membeli SBI dan SUN cukup rendah dibandingkan investasi surat berharga
lainnya maupun investasi saham melalui pasar modal atau investasi di sektor riil karena SBI dan SUN diterbitkan oleh
otoritas moneter yaitu Bank Indonesia dan SUN diterbitkan oleh Pemerintah yang memiliki kendali di bidang fiskal
sehingga kemungkinan untuk default sangat kecil.
Tingkat kepastian perpajakan. Pajak yang harus dibayarkan di dalam transaksi SBI dan SUN bersifat pasti dan final.
Sedangkan di sektor riil ketidakpastian pelayanan perpajakan akibat moral hazard merupakan salah satu faktor kendala
dalam melakukan investasi.
Tingkat likuiditas. SBI dan SUN sangat likuid, sehingga dapat diperjualbelikan setiap saat, sedangkan investasi di sektor
riil dengan berbagai peraturan yang ada menjadi tidak likuid. Sebagai contoh misalnya saham kepemilikan jalan tol tidak
bisa diperjualbelikan sebelum jalan tol dioperasikan. ÂÂ
Kondisi kredit investasi yang rendah juga terjadi pada obligasi Pemerintah. Dari Rp 415,4 T posisi outstanding obligasi
Pemerintah pada bulan November 2006, hanya Rp 144,4 T atau 34,7% yang merupakan obligasi investasi, sedangkan
sisanya merupakan obligasi atau surat berharga yang diperdagangkan.
Fakta dari keempat faktor tersebut di atas dan fakta tentang posisi obligasi Pemerintah secara sinergis menjelaskan
bahwa telah terjadi crowding out effect dalam memperebutkan dana investasi terhadap sektor riil. Selama sektor
finansial memiliki keunggulan pada keempat faktor tersebut di atas, selama itu pula aliran dana investasi sebagian besar
akan berputar di sektor finansial.
Kesenjangan Liberalisasi Sektor Finansial dan Bidang Infrastruktur
Jika dibandingkan dengan sektor riil terutama bidang infrastruktur (jalan, pelabuhan, bandara, jalan rel, telekomunikasi)
dan bidang penyediaan energi (BBM dan listrik) sektor finansial jauh lebih terbuka. Lembaga perbankan yang dulunya
merupakan BUMN murni sekarang sudah berubah menjadi perusahaan terbuka (Tbk) dan sudah listing di pasar modal.
Sekarang pihak asing bisa menjadi pemilik mayoritas lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non-bank.
Sebaliknya sektor infrastruktur dan energi umumnya masih dikelola oleh BUMN yang sepenuhnya masih dimiliki
Pemerintah dan jasa yang disediakan bersifat monopolistik. Kesenjangan liberalisasi yang ditandai oleh lebih terbukanya
sektor finansial dibandingkan sektor riil khususnya bidang infrastruktur telah mengakibatkan aliran dana investasi lebih
deras mengalir ke sektor finansial.
Upaya meliberalisasi bidang infrastruktur sebetulnya sudah ditempuh Pemerintah sejak masa sebelum krisis, namun
kemajuannya tersendat-sendat dan bahkan kini upaya tersebut mengalami set back seperti yang dialami bidang
ketenagalistrikan dan bidang minyak dan gas bumi dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membatalkan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan dan dihapuskannya beberapa ketentuan di dalam UndangUndang tentang Minyak dan Gas Bumi.
Salah satu contoh liberalisasi di bidang infrastruktur yang berjalan cukup baik adalah liberalisasi di bidang
telekomunikasi yang ditandai oleh munculnya banyak perusahaan jasa telekomunikasi khususnya jasa telekomunikasi
telepon seluler. Di satu sisi liberalisasi di bidang telekomunikasi ini memberikan pilihan yang beragam bagi konsumen
dengan tarif yang sangat kompetetitif, di sisi lain beban Pemerintah untuk membangun infrastruktur telekomunikasi
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 October, 2017, 22:39
Sekretariat Negara Republik Indonesia
menjadi lebih ringan.
Liberalisasi di bidang ketenagalistrikan dan jalan tol misalnya dapat dilakukan mengikuti keberhasilan liberalisasi di
bidang telekomunikasi yang tentunya dikembangkan di dalam kerangka tumbuhnya persaingan usaha yang sehat.
Pilihan untuk melakukannya pada dasarnya terletak pada pilihan kita dalam menyediakan dana investasi dan modal
kerja. Jika ketenagalistrikan dan jalan tol tidak diliberalisasi maka dana investasi dan sebagian modal kerja akan
diperoleh dari uang pembayar pajak dalam jumlah besar yang ketersediaannya sangat terbatas atau paling tidak
memerlukan adanya jaminan Pemerintah yang dibebankan didalam APBN. Jika ketenagalistrikan dan jalan tol ini dibuka
maka terbuka pulalah peluang untuk memobilisasi dana masyarakat dan dana investor dalam/luar negeri. Jika
liberalisasi sebagai pilihan yang akan ditempuh, maka privatisasi BUMN infrastruktur seperti PT.PLN, PT.Pertamina dan
PT.Jasa Marga melalui IPO merupakan langkah awal yang perlu dilakukan sehingga BUMN tersebut dapat menghimpun
dana masyarakat melalui pasar modal.
Filipina merupakan salah satu contoh liberalisasi yang cukup berhasil di bidang ketenagalistrikan di kawasan ASEAN.
Dengan kebijakan undbundling maka industri ketenagalistrikan dipisahkan menjadi bidang pembangkitan, transmisi,
distribusi dan pemasokan. Mekanisme harga atau tarif ditentukan oleh Wholesale Electricity Spot Market (WESM) yang
mewadahi transaksi tenaga listrik antara pembangkit dan broker yang merupakan titik awal dalam pengembangan the
Phillipines Electricity Market Corporation. Kebijakan unbundling ini ternyata mampu memobilisasi dana yang besar untuk
pembangunan ketenagalistrikan dan meningkatkan pelayanan penyediaan listrik kepada konsumen.   ÂÂ
Mismatch Jangka Waktu Kredit Perbankan dengan Jangka Waktu Investasi
Dana pihak ketiga yang diinvestasikan diperbankan pada dasarnya merupakan investasi jangka pendek.
Konsekuensinya kredit perbankan juga bersifat jangka pendek. Oleh karena itu akan sangat sulit mengharapkan sektor
perbankan mengucurkan kredit investasi di bidang infrastruktur yang bersifat jangka panjang.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa sektor perbankan lebih cenderung menanamkan uangnya dalam bentuk surat
berharga karena sifatnya jangka pendek dan sangat likuid. Atas dasar kondisi tersebut maka penerbitan obligasi oleh
Pemerintah maupun oleh korporasi untuk membiayai pembangunan infrastruktur/pembangkit listrik merupakan solusi
yang tepat untuk menjembatani mismatch tersebut. Dengan cara ini maka dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan
secara tidak langsung dapat dikerahkan untuk pembangunan proyek infrastruktur dan pada saat bersamaan likuiditas
perbankan tidak terganggu.
Potensi korporasi untuk menghimpun dana bagi pembangunan infrastruktur melalui penerbitan obligasi sebetulnya
cukup besar. Sebagai contoh misalnya untuk membiayai pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW, pada tahun 2006
PT.PLN berhasil menghimpun dana melalui penerbitan obligasi sebesar USD 1 miliar, padahal permintaan pasar cukup
besar sekitar USD 6 miliar.
Kesimpulan
Untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan investasi di bidang infrastruktur terdapat tiga jalur yang bisaÂÂ
ditempuh secara bersamaan, yaitu: (1) Melanjutkan proses deregulasi dan liberalisasi di bidang infrastruktur sehingga
berlangsung sejalan dan seimbang dengan liberalisasi sektor finansial antara lain dengan melanjutkan proses deregulasi
dan liberalisasi bidang ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi, perkeretaapian, dsb; (2) Melanjutkan proses privatisasi
melalui IPO BUMN terutama yang bergerak di bidang infrastruktur dan energi seperti PT.PLN, PT.Pertamina, PT. Jasa
Marga sehingga dapat menghimpun dana untuk investasi; (3) Menerbitkan obligasi Pemerintah maupun korporasi untuk
pembangunan infrastruktur sehingga dapat menjembatani mismatch antara alokasi dana pihak ketiga di perbankan yang
bersifat jangka pendek dengan investasi infrastruktur yang bersifat jangka panjang.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 23 October, 2017, 22:39
Download