PENGUJIAN KOMPATIBILITAS ANTARA MIKROBA PELARUT FOSFAT ASAL TANAH PAKU HAJI TANGERANG DENGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) VARIETAS WILIS NOVI PRASTYOWATI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H PENGUJIAN KOMPATIBILITAS ANTARA MIKROBA PELARUT FOSFAT ASAL TANAH PAKU HAJI TANGERANG DENGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) VARIETAS WILIS SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta NOVI PRASTYOWATI 104095003065 PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M/1429 H PENGUJIAN KOMPATIBILITAS ANTARA MIKROBA PELARUT FOSFAT ASAL TANAH PAKU HAJI TANGERANG DENGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) VARIETAS WILIS SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta NOVI PRASTYOWATI 104095003065 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Megga Ratnasari Pikoli, M.Si NIP : 150 321 587 Dasumiati, M.Si NIP : 150 293 237 Mengetahui: Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud NIP : 150 357 182 PENGESAHAN UJIAN Skripsi berjudul “Pengujian Kompatibilitas Antara Mikroba Pelarut Fosfat Asal Tanah Paku Haji Tangerang Dengan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Varietas Wilis” yang ditulis oleh Novi Prastyowati, NIM 104095003065 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) Program Studi Biologi. Menyetujui, Penguji I Dra. Nani Radiastuti, M. Si NIP. 150 318 610 Penguji II DR. Lily Surayya E.P, M.Env. Stud NIP. 150 375 182 Pembimbing I Pembimbing II Megga Ratnasari Pikoli, M.Si NIP. 150 321 587 Dasumiati, M.Si NIP. 150 293 237 Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis NIP. 150 317 956 Ketua Prodi Biologi DR. Lily Surayya E.P, M.Env. Stud NIP. 150 375 182 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Ciputat, Desember 2008 Novi Prastyowati 104095003065 ABSTRAK Novi Prastyowati. Pengujian Kompatibilitas Antara Mikroba Pelarut Fosfat Asal Tanah Paku Haji Tangerang Dengan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Varietas Wilis. Skripsi : Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2008. Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui kompatibilitas isolat mikroba pelarut fosfat dengan tanaman kedelai varietas Wilis. Pada penelitian ini digunakan isolat bakteri pelarut fosfat (PH3-1B, PH4-3B, dan PH5-2B) dan isolat fungi pelarut fosfat (PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) yang diisolasi dari sampel tanah Paku Haji. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari perlakuan inokulasi mikroba pelarut fosfat tersebut pada akar dan biji tanaman kedelai varietas Wilis. Pengamatan pertumbuhan dilakukan sejak perkecambahan sampai terbentuknya bunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi PH4-3B pada benih berpeluang meningkatkan tinggi, jumlah daun dan berat kering tanaman kedelai, sedangkan inokulasi PH5-2B berpeluang meningkatkan lebar daun. Inokulasi fungi pelarut fosfat tidak efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Isolat mikroba pelarut fosfat asal Paku Haji yang kompatibel terhadap tanaman kedelai varietas Wilis adalah PH43B, PH5-2B, PH1-3F dan PH5-5F. Aplikasi terbaik untuk menginokulasi mikroba pelarut fosfat pada tanaman kedelai adalah melalui benih. Kata kunci : Mikroba pelarut fosfat, Paku Haji, kompatibilitas dan kedelai varietas Wilis. ABSTRACT Novi Prastyowati. Assesment of Compatibility Between Phosphate Solubilizing Microbe From Paku Haji Tangerang With Wilis Variety of Soy (Glycine max (L.) Merr) Plant. Thesis. Biology Departement. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2008. Compatibility assessment between phosphate solubilizing microbe with Wilis variety of soy plant had been conducted. In this research the isolates assessed were phosphate solubilizing bacteria (PH3-1B, PH4-3B and PH5-2B) and phosphate solubilizing fungi (PH1-3F, PH1-4F and PH5-5F) from Paku Haji Soil Tangerang. The experiment was arranged in randomized completed design (RAL) consisted of phosphate solubilizing microbe inoculation into root and seed Wilis variety of soy plant. Plant growth was observed in the time of germination until flowering. The Results showed that isolate PH4-3B inoculated into seed had chance to increase height, quantity and dry weight of soy, whereas inoculation PH5-2B had chance to increase leaf width. Inoculation of phosphate solubilizing fungi was not as effective as bacteria in increasing the growth of soy plant. Therefore Phosphate solubilizing microbes from Paku Haji soil whose compatibilities with Wilis variety of soy plant were PH4-3B and PH5-2B. The best application of solubilizing microbe to inoculation into soy plant was through the seed. Keyword : Phosphte solubilizing microbe, Paku Haji, compatibility and Wilis variety of soy. KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengujian Kompatibilitas Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr) Varietas Wilis Dengan Isolat Mikroba Pelarut Fosfat Asal Tanah Paku Haji Tangerang” . Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dasumiati, M.Si selaku Pembimbing II yang telah begitu banyak memberikan nasihat dan masukan materi selama melaksanakan penelitian hingga selesainya skripsi ini. 2. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. DR. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud, selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. 4. Ibu Dra Nani Radiastuti, M.Si selaku penguji I dan Ibu Priyanti, M.Si selaku penguji II yang telah memberikan saran dan kritik. 5. Laboran Laboratorium Biologi (Mba Dian, Mba Ida, Mba Puji dan Ka Bahri) yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis. 6. Pak Junaidi dan Bang Iping atas bantuan dan sarannya selama penelitian di kebun agri. 7. Kedua orang tua, adik dan seluruh keluarga yang telah memberi kasih sayang, semangat dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Eko Prasetyo dan Keluarga atas bantuan, pengertian dan kesabarannya selama menemani penulis. Walaupun jarak yang jauh tapi doa dan semangatmu selalu mengiringi sehingga penulis dapat menepati janji untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Mikrobiologi (Sarah, Ayu, Neni, Eva, Tya, Vana dan Din) yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian. 10. Jun, Sofiah, Alfian, Ofi dan Ridho atas bantuannya sehingga skripsi ini dapat selesai. 11. Seluruh teman-teman biologi angkatan 2004, terima kasih atas pengalaman hidup selama menjadi bagian dari keluarga besar ini. 12. Mutiara dan keluarga atas bantuan dan semangatnya yang selalu menemani penulis selama penyusunan skripsi ini. 13. Teman-teman Pondok Tiara (Barkah, Imas, Yana, Tari, Ida, Ami dan Apsah) atas semangatnya kepada penulis. 14. Seluruh pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga bagi pembaca. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan yang masih ada. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk masa yang akan datang. Ciputat, 5 Desember 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i ABSTRAK ..................................................................................................... iii ABSTRACT ................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix DAFTAR TABEL ......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ......................................................................... 1 1. 2. Perumusan Masalah ................................................................. 4 1. 3. Hipotesis ................................................................................... 4 1. 4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 5 1. 5. Manfaat Penelitian ................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pupuk Hayati.............................................................................. 6 2.2. Mikroba Tanah .......................................................................... 7 2.2.1. Bakteri Tanah ................................................................. 8 2.2.2. Fungi Tanah .................................................................... 8 2.3. Kurva Pertumbuhan Bakteri ...................................................... 9 2.4. Mikroba Pelarut Fosfat .............................................................. 10 2.5. Fosfat dan Mekanisme Penyerapan Fosfat ................................ 11 2.6. Interaksi Mikroba Tanah Dengan Akar Tanaman ..................... 14 2.7. Tanaman Kedelai ...................................................................... 16 2.7.1. Sistematika dan Morfologi Kedelai ................................ 16 2.7.2. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai ................................... 17 2.7.3. Kedelai Varietas Wilis .................................................... 19 2.7.4. Nilai Gizi dan Peran Kedelai ........................................... 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat .................................................................... 21 3.2. Bahan dan Alat .......................................................................... 21 3.3. Cara Kerja ................................................................................. 22 3.3.1. Pembuatan Inokulum Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) ........ 22 3.3.2. Inokulasi Benih dan Akar................................................. 26 3.3.3. Penanaman Kedelai ......................................................... 27 3.4. Analisis Data ............................................................................. 29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Morfologi BPF dengan Pewarnaan Gram ................................. 31 4.2. Kurva Pertumbuhan BPF .......................................................... 33 4.4. Inokulum Isolat Fungi ............................................................... 36 4.3. Pertumbuhan Kedelai Dengan Inokulasi BPF Pada Benih ....... 37 4.4. Pertumbuhan Kedelai Dengan Inokulasi FPF Pada Benih ........ 43 4.5. Pertumbuhan Kedelai Dengan Inokulasi BPF Pada Akar ......... 49 4.6. Pertumbuhan Kedelai Dengan Inokulasi FPF Pada Akar ......... 53 4.7. Perbandingan Pertumbuhan Kedelai Inokulasi MPF Pada Akar dan Benih .......................................................................... 54 4.8. Penentuan Mikroba Pelarut Fosfat Terbaik .............................. 55 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan .............................................................................. 56 5. 2. Saran ......................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 57 LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 61 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Waktu dan Kecepatan Pertumbuhan Isolat PH3-1B ................... 33 Tabel 2. Waktu dan Kecepatan Pertumbuhan Isolat PH4-3B ................... 34 Tabel 3. Waktu dan Kecepatan Pertumbuhan Isolat PH5-2B ................... 35 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Isolat Bakteri PH3-1B ................................................................ 32 Gambar 2. Isolat Bakteri PH5-2B ................................................................ 32 Gambar 3. Isolat Bakteri PH4-3B ................................................................ 32 Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri PH3-1B ............................... 33 Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri PH5-2B ............................... 34 Gambar 6. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri PH4-3B ............................... 35 Gambar 7. Rata-rata Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi BPF Pada Benih ......................................................... 38 Gambar 8. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi BPF Pada Benih ............................................ 39 Gambar 9. Rata-rata Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi BPF Pada Benih ............................................ 40 Gambar 10. Berat Kering Tanaman Kedelai Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat ................................................. 41 Gambar 11. Rata-rata Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi FPF Pada Benih .......................................................... 44 Gambar 12. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi FPF Pada Benih ............................................ 45 Gambar 13. Rata-rata Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi FPF Pada Benih .......................................................... 46 Gambar 14. Berat Kering Tanaman Kedelai Varietas Wilis dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat ................................................... 48 Gambar 15. Tinggi Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi BPF Pada Akar ................................................................................... 50 Gambar 16. Jumlah Daun Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi BPF Pada Akar ........................................................... Gambar 17. Lebar Daun Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi BPF Pada Akar .......................................................................... Gambar 18. Berat Kering Tanaman Kedelai Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat ................................................ 51 52 53 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian ............................................... 61 Lampiran 2. Denah Sampel Penelitian ......................................... 62 Lampiran 3. Isolat Mikroba Pelarut Fosfat .................................. 63 Lampiran 4. Nilai Jumlah Sel dan Absorbansi Isolat Mikroba Pelarut Fosfat ........................................... 64 Lampiran 5. Kurva Standar BPF ................................................. 65 Lampiran 6. Perkecambahan Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat Pada Benih...... Lampiran 7. 66 Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi Pada Akar ................................. 67 Lampiran 8. Pengamatan Parameter Fisik di Rumah Kaca ....... 68 Lampiran 9. Pertumbuhan Tanaman Kedelai ............................. 69 Lampiran 10. Analisis Data Dengan SPSS .................................. 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kedelai telah lama dibudidayakan di Indonesia. Beberapa varietas lokal yang banyak ditanam oleh petani adalah varietas Wilis, Anjasmoro, Burangrang dan Kaba (Ikawati, 2008). Keunggulan varietas Wilis adalah lebih toleran terhadap lingkungan yang berdrainase kurang dan lebih tahan terhadap penyakit, seperti karat dan layu. Varietas ini juga dapat hidup pada lahan kering dan tanah masam (Sofia, 2007). Kedelai merupakan salah satu sumber gizi protein utama. Hasil olahan kedelai dapat menghasilkan berbagai macam produk yang disukai oleh masyarakat, seperti tempe, tahu, tepung dan minyak. Kebutuhan kedelai meningkat tiap tahun sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Kebutuhan nasional akan kedelai diperkirakan sebanyak 2,25 juta ton per tahun dan baru tercukupi sebanyak 650 ribu ton per tahun. Kondisi seperti ini, pemerintah harus mengimpor kedelai dari Amerika Serikat dan negara-negara Amerika Latin, jumlahnya sekitar 60% untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri (Kasno, 2008). Namun produksi kedelai dunia yang terus menurun menyebabkan harga kedelai di pasar internasional naik. Keadaan ini mengakibatkan harga kedelai nasional mahal (Nasution, 2008). Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanaman kedelai perlu dilakukan agar kebutuhan kedelai nasional dapat terpenuhi. Kendala utama dalam peningkatan produktivitas tanaman kedelai adalah semakin sempitnya lahan subur akibat pengubahan lahan pertanian menjadi non pertanian dan sebagian tanah di Jawa adalah tanah marginal. Kendala yang dihadapi tanah marginal adalah kemasaman tanah yang dapat mengakibatkan pengikatan fosfat (Sofia, 2007). Unsur fosfor (P) adalah unsur esensial kedua setelah nitrogen (N) yang berperan penting dalam fotosintesis dan perkembangan akar. Pada tanah masam fosfat akan berikatan dengan alumunium membentuk Al-P, sedangkan pada tanah alkali fosfat akan berikatan dengan kalsium membentuk Ca-P yang sukar larut. Adanya pengikatan fosfat tersebut menyebabkan pemberian pupuk menjadi tidak efisien (Hardjowigeno, 1992). Sebagian besar petani di Indonesia menggunakan pupuk kimia. Keadaan ini dapat membahayakan lingkungan karena pupuk kimia sulit diuraikan air. Pupuk kimia juga mengandung radikal bebas yang berbahaya bagi manusia karena mengendap di dalam buah yang dihasilkan (Saputra, 2003). Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan juga dapat menyebabkan penurunan kadar unsur organik pada lahan. Akibatnya keberadaan berbagai mikroba tanah semakin terdesak, sementara keberadaan mikroba sangat diperlukan karena berperan dalam melepas unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Suprapta, 2005). Salah satu alternatif pengganti pupuk kimia adalah dengan penggunaan pupuk hayati. Pupuk hayati adalah bahan yang mengandung mikoorganisme hidup yang mengkolonisasi rhizosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer atau menstimulus pertumbuhan tanaman target bila dipakai pada benih, permukaan tanaman atau tanah (FNCA Biofertilizer Project Group, 2006 dalam Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006). Beberapa mikroba, seperti bakteri dan fungi, memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat sehingga dapat diserap oleh tanaman, contoh bakteri pelarut fosfat adalah Bacillus megaterium dan Pseudomonas striata, dan contoh fungi pelarut fosfat adalah Aspergillus awamori dan Penicillium digitatum (Motsara, 1995). Mikroba ini mengeluarkan asam organik sehingga fosfat yang terikat dapat larut dan menjadi tersedia bagi tanaman (Ginting dkk., 2006). Pengggunaan pupuk hayati (termasuk mikroba pelarut fosfat) mampu meningkatkan ketersediaan hara dan hasil panen berbagai tanaman antara 20100% serta dapat menekan penggunaan pupuk buatan dan meningkatkan efisiensi pemupukan (Simarmata, 1995 dalam Latupapua dan Widawati, 2001). Namun, aspek keamanan agen hayati terhadap tanaman itu sendiri, manusia, hewan dan lingkungan belum banyak diperhatikan (Supriadi, 2006), sehingga mikroba pelarut fosfat dapat saja tidak kompatibel terhadap pertumbuhan tanaman. Kompatibel menurut kamus biologi berarti kecocokan (Yatim, 2003). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui efek pemberian mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman kedelai yang diinokulasikan melalui akar maupun benih. 1.2. Perumusan Masalah Kurang diperhatikannya aspek keamanan terhadap penggunaan agen hayati menyebabkan penggunaan mikroba pelarut fosfat dapat saja tidak kompatibel terhadap pertumbuhan tanaman. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah pemberian isolat mikroba pelarut fosfat asal Paku Haji pada akar dan benih memiliki kompatibilitas terhadap pertumbuhan tanaman kedelai varietas Wilis? 2. Apakah isolat mikroba pelarut fosfat dapat diaplikasikan pada akar dan benih tanaman kedelai varietas Wilis? 1.3. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Isolat mikroba pelarut fosfat asal Paku Haji memiliki kompatibilitas terhadap pertumbuhan tanaman kedelai varietas Wilis. 2. Isolat mikroba pelarut fosfat dapat diaplikasikan pada akar dan benih tanaman kedelai varietas Wilis. 1.4. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui isolat mikroba pelarut fosfat asal Paku Haji yang kompatibel terhadap tanaman kedelai varietas Wilis. 2. Untuk mengetahui cara aplikasi mikroba pelarut fosfat pada tanaman kedelai varietas Wilis. 1.5. Manfaat Hasil pengujian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi untuk mengembangkan penggunaan isolat mikroba pelarut fosfat dalam meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman kedelai varietas Willis pada tanah masam. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pupuk Hayati Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk mengubah sifat fisik, kimia atau biologi tanah sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Pemupukan adalah penambahan bahan tersebut ke dalam tanah agar tanah menjadi subur. Usaha pertanian yang dilakukan oleh manusia menyebabkan proses penghanyutan dan pencucian zat hara dari tanah semakin besar sehingga tanah menjadi kurang subur (Hardjowigeno, 1992). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemupukan adalah tanaman yang akan dipupuk, jenis tanah yang akan dipupuk, jenis pupuk yang digunakan, dosis pupuk yang diberikan, waktu pemupukan dan cara pemupukan (Lakitan, 1999). Salah satu jenis pupuk yang aman bagi lingkungan adalah pupuk hayati. Pupuk hayati adalah bahan yang mengandung mikoorganisme hidup yang mengkolonisasi rhizosfer atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer atau menstimulus pertumbuhan tanaman target bila dipakai pada benih, permukaan tanaman atau tanah (FNCA Biofertilizer Project Group, 2006 dalam Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006). Menurut Motsara (1995), pupuk hayati adalah mikroba yang dapat memfiksasi nitrogen dari atmosfer atau meningkatkan kelarutan nutrien penting dalam tanah. Mikroba yang digunakan biasanya mampu hidup bersama (simbiosis) dengan tanaman inangnya. Kedua pihak mendapatkan keuntungan, tanaman inang mendapatkan tambahan unsur hara yang dibutuhkan, sedangkan mikroba mendapatkan bahan organik untuk pertumbuhannya. Mikroba yang digunakan sebagai pupuk hayati dapat diberikan langsung ke dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan ditanam (Isroi, 2007). Kelebihan penggunaan pupuk hayati adalah untuk meningkatkan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Pupuk hayati juga memiliki fungsi kimia yang penting, yaitu sebagai penyedia unsur hara makro dan mikro, meningkatkan kapasitas tukar kation, dan dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman (Simanungkalit dan Suriadikarta, 2006). 2.2. Mikroba Tanah Tanah sangat kaya akan keanekaragaman miroorganisme, seperti bakteri, aktinomisetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling unsur hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen dan membantu penyerapan unsur hara (Isroi, 2007). 2.2.1. Bakteri Tanah Bakteri di dalam tanah bervariasi, tergantung pada kondisi yang mendukung pertumbuhannya. Umumnya, populasi yang besar terdapat pada horizon permukaan dengan kondisi suhu, kelembaban, aerasi dan ketersediaan makanan yang baik. Jumlah bakteri di dalam tanah sangat banyak, mungkin dapat mencapai 3-4 miliar per gram tanah. Beberapa bakteri tanah seperti dari genus Alcaligenes, Acinetobacter, Arthrobacter, Azospirillum, Bacillus, Burkholdenia, Enterobacter, Erwinia, Flavobacterium, Paenibacillus, Pseudomonas, Rhizobium, dan Serratia dapat digunakan sebagai pupuk hayati atau agen kontrol untuk meningkatkan pertanian (FNCA Biofertilizer, 2006). Bakteri membutuhkan mineral dan bahan organik untuk pertumbuhannya. Sebagian besar bakteri tanah bersifat heterotrof sehingga sumber energi dan karbon berasal dari bahan organik tanah (Brady and Weil, 2002). 2.2.2. Fungi Tanah Fungi terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu yeast, mold (kapang) dan mushroom. Namun, hanya mold dan mushroom yang berperan dalam tanah. Fungi berperan dalam transformasi unsur pokok di dalam tanah dan pembentukan humus. Fungi tidak mengandung klorofil, sumber energi dan karbon bergantung dari bahan organik tanah. Jumlah fungi dalam tanah bervariasi, sekitar 1.000.000 individu per gram tanah, tergantung pada kondisi tanah. Faktor penting yang berhubungan dengan aktivitas fungi adalah ketersediaan makanan. Penambahan pupuk pada tanah dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan (Brady and Weil, 2002). Mold merupakan fungi yang mikroskopik atau semi mikroskopik. Dalam tanah, peranan mold lebih besar dibandingkan mushroom. Mold berperan dalam aerasi tanah dan mengurangi pergerakan udara. Mold dapat menurunkan pH tanah sehingga banyak tedapat pada tanah masam, dimana tidak terlalu banyak kompetisi dengan bakteri. Mold banyak terdapat pada semua horizon tanah, yang memiliki bahan organik banyak dan aerasi cukup. Ada empat genera yang umum ditemukan di dalam tanah, yaitu Penicillium sp., Mucor sp., Trichoderma sp., dan Aspergillus sp. (Brady and Weil, 2002). 2.3. Kurva Pertumbuhan Bakteri Fase dalam pertumbuhan bakteri ada empat, yaitu fase adaptasi (log phase), fase eksponensial (exponential phase), fase statis (stationer phase), dan kematian (death phase) (Purwoko, 2007). Fase adaptasi terjadi pada awal pertumbuhan populasi. Pada fase ini tidak terjadi penambahan jumlah sel, tetapi terjadi penambahan volume sel (Sugiri, 1992). Pada fase eksponensial, peningkatan jumlah sel dalam biakan sesuai dengan waktu. Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa keadaannya stabil, dengan nutrien sel yang diperlukan selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, dan limbah sel yang dikeluarkan ke lingkungan sel tidak mengganggu pertumbuhan maupun pembelahan sel (Sugiri, 1992). Beberapa alasan bakteri tidak melakukan pembelahan pada fase stationer adalah nutrien habis, akumulasi metabolit toksik, penurunan kadar oksigen dan ketersediaan air. Setelah itu, kultur tersebut memasuki fase kematian yang berarti jumlah sel yang mati lebih besar dibandingkan penambahan sel. Penyebab utama kematian adalah autolisis sel dan penurunan energi seluler (Purwoko, 2007). 2.4. Mikroba Pelarut Fosfat Mikroba pelarut fosfat dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat. Mikroba pelarut fosfat, yaitu mikroba yang dapat melarutkan fosfat yang tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Mikroba ini juga diketahui memproduksi asam amino, vitamin dan substansi pemacu pertumbuhan seperti Indole Acetic Acid (IAA) serta giberelin yang dapat membantu pertumbuhan tanaman (Ponmurugan and Gopi, 2006). Mikroba pelarut fosfat dapat diisolasi dari tanah yang kandungan fosfatnya rendah terutama di sekitar perakaran tanaman, karena mikroba ini menggunakan fosfat dalam jumlah sedikit untuk keperluan metabolismenya. Kemampuan bakteri dan fungi pelarut fosfat berbeda-beda tergantung jenis strain (Ginting dkk., 2006). Bakteri yang dapat melarutkan fosfat adalah Bacillus megaterium, B. subtilis, Pseudomonas striata dan P. liquifaciens. Fungi yang dapat melarutkan fosfat dalah Aspergillus awmori dan Penicillium digitatum (Motsara, 1995). Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat sangat dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Pada tanah masam, aktivitas mikroba didominasi oleh kelompok fungi sebab pertumbuhan optimum fungi pada pH 5 - 5,5. Sebaliknya, pertumbuhan kelompok bakteri optimum pada pH netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH tanah, yaitu berkisar antara 4 - 10,6 (Ginting dkk., 2006). 2.5. Fosfat dan Mekanisme Penyerapannya Fosfat adalah unsur hara kedua yang dibutuhkan setelah nitrogen (Schachtman et al., 1998 dalam Handbook Of Microbial Fertilizer, 2006). Fosfat merupakan 0,2% dari berat kering tanaman. Fosfat berperan dalam pembelahan sel, pembentukan lemak dan albumin, pementukan bunga, buah dan benih, pematangan hasil panen dan menghilangkan efek kelebihan aplikasi nitrogen, perkembangan akar terutama akar lateral dan serabut, meningkatkan hasil panen dan meningkatkan resisten terhadap penyakit dan dalam metabolisme melalui suplai energi yang diperlukan untuk proses metabolik (Brady and Weil, 2002). Fosfat diserap tanaman dalam bentuk ion fosfat. Ada dua jenis fosfat di dalam tanah, yaitu fosfat organik dan fosfat anorganik (Hardjowigeno, 1992). Umumnya konsentrasi fosfat anorganik di dalam tanah lebih tinggi dibandingkan fosfat organik. Fosfat anorganik berasal dari fosfat yang berikatan dengan kalsium, besi dan alumunium serta mineral apatite, dimana mineral tersebut berada pada batuan, seperti fluorapatite, chloroapatite dan hidroksiapatite yang biasanya sukar larut. Konsentrasi ion di dalam tanah tergantung pada pH tanah. Pada tanah masam, H2PO4 akan lebih dominan dibandingkan dengan HPO42-, sedangkan pada pH netral 6-7, kedua ion tersebut tersedia didalam tanah. Pada pH basa, HPO42- lebih dominan dbandingkan dengan H2PO4 (Tan, 1994). Keberadaan fosfat anorganik dipengaruhi oleh keberadaan besi, alumunium dan kalsium, jumlah dan dekomposisi bahan organik serta aktivitas mikroba (Brady and Weil, 2002). Fosfat organik terdiri atas phytin dan asam nukleat. Phytin dapat diserap langsung oleh tanaman, sedangkan asam nukleat harus dipecah dengan menggunakan enzim dipermukaan akar. Pada tanah masam, phytin menjadi tidak larut dan tidak tersedia untuk tanaman karena diikat oleh besi dan alumunium. Keberadaan asam nukleat rendah pada tanah masam yang banyak mengadung montmorilonit, karena dapat diikat oleh montmorilonit (Brady and Weil, 2002). Jumlah fosfat dalam tanah sangat tinggi sekitar 0,1-1 ppm, tetapi sebagian besar berada dalam bentuk yang tidak dapat digunakan oleh tanaman karena terjadi pengikatan (fiksasi) oleh aluminium pada tanah masam atau oleh kalsium pada tanah alkalis (Hardjowigeno, 1992). Adanya pengikatan-pengikatan fosfat tersebut menyebabkan pupuk fosfat yang diberikan tidak efisien, sehingga perlu diberikan dalam takaran yang tinggi. Pemberian pupuk fosfat ke dalam tanah, hanya 15-20% yang dapat diserap oleh tanaman. Hal ini menyebabkan defisiensi fosfat bagi pertumbuhan tanaman (Ginting dkk., 2006). Pelarutan senyawa fosfat berlangsung secara kimia dan biologi. Pada mekanisme pelarutan fosfat secara kimia, mikroba mengeksresikan sejumlah asam organik dengan berat molekul rendah seperti oksalat, suksinat, tartat, laktat, sitrat, asetat, propionat dan formiat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Selanjutnya, asam-asam organik ini akan bereaksi dengan pengikat fosfat seperti alumunium dan kalsium membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan fosfat yang terikat dan dapat diserap oleh tanaman (Ginting dkk., 2006). Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah asam sitrat > asam oksalat = asam tartrat = asam malat > asam laktat = asam format = asam asetat (Isroi, 2007). Sedangkan dalam FNCA Biofertilizer Project (2005), dijelaskan bahwa asam glikonik yang dihasilkan oleh Pseudomonas sp., Erwinia herbicola, P. cepacia dan Burkholderia cepacia merupakan agen utama pelarutan fosfat. Asam organik lainnya adalah asam 2 ketoglukonik yang dihasilkan oleh Rhizobium leguminosarum, R. meliloti dan Bacillus firmus. Bakteri dari strain Bacillus, Pseudomonas dan Rhizobium merupakan strain yang paling unggul dalam melarutkan fosfat. Asam organik yang membentuk kompleks yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Ca dan Al mineral tanah sehingga akan melepas fosfat yang lebih besar. Sedangkan kemudahan fosfat terlepas mengikuti urutan Ca3(PO4)2 > AlPO4. Kecepatan pelarutan fosfat dari mineral fosfat oleh asam organik ditentukan oleh kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, tingkat dissosiasi asam organik, tipe dan letak gugus fungsi asam organik, afinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan kadar asam organik dalam larutan tanah (Ginting dkk., 2006). Pelarutan fosfat secara biologi terjadi karena mikroba tersebut menghasilkan enzim fosfatase. Fosfatase adalah enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia (Ginting dkk., 2006). Penggunaan mikroba pelarut fosfat dapat berupa kultur murni (terdiri dari satu jenis mikroba) maupun kultur campuran (terdiri dari beberapa mikroba yang bekerja sama). Sebagai contoh kultur campuran adalah penggunaan Rhizobium, Bacillus megatherium dan fungi biokontrol Trichoderma spp. Kombinasi tersebut dapat meningkatkan perkecambahan, pengambilan nutrisi, berat tanaman, jumlah cabang, nodul, hasil polong dan biomassa total jika dibandingkan inokulasi dengan menggunakan salah satu dari mikroba tersebut atau tanpa inokulasi (FNCA Biofertilizer Project, 2005). 2.6. Interaksi Mikroba Tanah dengan Akar Tanaman Interaksi mikroba dengan akar tanaman dapat bersifat menguntungkan atau merugikan. Bersifat menguntungkan apabila antara tanaman dan mikroba tanah saling bekerjasama seperti mikroba membantu tanaman untuk mendapatkan unsur hara. Sedangkan merugikan, apabila mikroba hanya mengambil bahan organik dari tanaman dan menyebabkan penyakit (Waksman, 1963). Proses di dalam tanah dibantu oleh mikroba dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Mikroba tanah mendekomposisi tanaman dan sisa hewan sehingga dapat menambah bahan organik dan humus pada tanah. Mikroba tersebut dapat membebaskan nitrogen, CO2 dan mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman (Waksman, 1963). Mikroba dapat berasosiasi dengan tanaman, seperti pada nodul tanaman Leguminoceae yang bersimbiosis dengan bakteri. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa mikroba memiliki peranan penting dalam ketersediaan fosfat untuk tanaman. Faktor yang mempengaruhinya adalah kehadiran mikroba pelarut fosfat dalam tanah, komposisi kimia fosfat, pH dan temperatur tanah (Waksman, 1963). Hubungan mikroba tanah dengan tanaman adalah: Mikroba menyebabkan pertumbuhan tanaman dengan mempengaruhi ketersediaan berbagai elemen nutrisi yang essensial untuk pertumbuhan tanaman; Mikroba menyebabkan pertumbuhan tanaman melalui produksi zat pengatur pertumbuhan, seperti auksin dan fitohormon; Mikroba dapat bersimbiosis dengan tanaman; Beberapa mikroba dapat berkompetisi dengan tanaman untuk mendapatkan nutrisi; Beberapa mikroba dapat menimbulkan pengaruh berbahaya untuk tanaman, seperti menyebabkan parasit atau toksik (Waksman, 1963). 2.7. Tanaman Kedelai 2.7.1. Sistematika dan Morfologi Tanaman Kedelai Kedelai termasuk famili Leguminosae, subfamili Papilionoideae, genus Glycine dan nama spesiesnya adalah Glycine max (L.) Merr (Liu, 1997). Kedelai merupakan tanaman semak berumur satu tahun, memiliki tinggi 0,2-0,6 meter (Steenis et al., 1992). Benih kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit benih. Embrio terletak diantara keping benih. Warna kulit benih bermacam-macam, yaitu kuning, hitam, hijau dan coklat. Bentuk benih kedelai umumnya bulat lonjong, bundar atau agak pipih. Besar benih bervariasi, tergantung varietas. Di Indonesia besar benih bervariasi dari 6-30 gram (Suprapto, 2001). Sistem perakaran kedelai terdiri dari dua macam, yaitu akar tunggang dan akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang. Selain itu, kedelai juga seringkali membentuk akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Pada umumnya, akar adventif terjadi karena cekaman tertentu, misalnya kadar air tanah yang terlalu tinggi (Adisarwanto, 2005 dalam Sofia, 2007). Batang kedelai biasanya berwarna hijau atau ungu. Pada saat tanaman kedelai masih sangat muda (setelah fase perkecambahan), batang dibedakan menjadi dua, yaitu bagian batang di bawah keping benih yang belum lepas disebut hipokotil sedangkan di bagian atas keping benih disebut epikotil. Daun kedelai merupakan daun majemuk yang terdiri dari tiga helai anak daun dan umumnya berwarna hijau muda atau hijau kekuningan. Bentuk daun oval atau segitiga (Andrianto dan Indarto, 2004). Bunga kedelai disebut bunga kupu-kupu, mempunyai dua mahkota dan dua kelopak bunga. Bunga kedelai berwarna putih atau ungu. Bunga tumbuh pada ketiak daun, biasanya terdapat 3-15 kuntum bunga, tetapi hanya beberapa yang dapat membentuk polong. Penyerbukan kedelai termasuk penyerbukan sendiri karena pembuahan terjadi sebelum bunga mekar. Semua varietas kedelai mempunya bulu yang berwarna coklat atau putih kehijauan pada batang, cabang, daun dan polong (Andrianto dan Indarto, 2004). 2.7.2. Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai Tanaman kedelai umumnya dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah dan menyukai tanah bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998 dalam Sofia, 2007). Kedelai tumbuh baik pada tanah yang bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air dan memiliki pH 6-6,8. kedelai dapat tumbuh di tanah yang agak masam akan tetapi dapat menimbulkan keracunan Aluminium (Sofia, 2007). Benih kedelai biasanya ditanam pada kedalaman antara 2-5 cm tergantung pada jenis dan kelembaban tanah. Kelembaban tanah yang baik selama perkecambahan harus mengandung kelembaban 50% sebelum perkecambahan. Tetapi, kelembaban yang berlebihan tidak baik untuk perkecambahan karena membatasi ketersediaan oksigen (Liu, 1997). Sebagian besar tanaman terdiri dari dua fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif dan generatif atau reproduktif. Pada tanaman kedelai, waktu sampai muncul dan terlihatnya bunga pertama disebut fase vegetatif dan biasanya selama 6-8 minggu. Lama fase vegetatif tergantung dari genotip, waktu tanam, lokasi geografik dan kondisi lingkungan. Setelah fase vegetatif, tanaman kedelai memasuki fase generatif ketika kuncup berkembang menjadi bunga sampai 2-35 bunga. Kemudian diikuti dengan perkecambahan polong, benih dan pematangan. Fase generatif mulai terjadi pada minggu ke 7 sampai ke 12. Tanaman kedelai menghasilkan 2-3 benih per polong. Polong biasanya lurus, panjangnya antara 2-7 cm dan warna polong yang matang adalah kuning, abu-abu atau hitam (Liu, 1997). Kendala utama dalam usaha meningkatkan produksi kedelai adalah adanya serangan pengganggu yaitu hama, penyakit dan gulma. Hama utama tanaman kedelai adalah perusak bibit yang disebabkan oleh Agromyza phaseoli, perusak daun yang disebabkan oleh Phaedononia inclusa, perusak polong yang disebabkan oleh Etiella zhinchenella dan hama lain yang dapat menularkan penyakit pada tanaman kedelai. Penyakit yang sering menyerang tanaman kedelai adalah yang disebabkan oleh virus, seperti soybean mosaic virus, penyakit yang disebabkan oleh fungi penyebab karat (Phatospora pachyrhizi) dan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringae penyebab hawar daun. Jenis gulma penting pada tanaman kedelai adalah rumput-rumputan (Digitaria ciliaris), teki (Cyprus kyllinges) dan bayam berdaun lebar (Amaranthus sp.) (LIPTAN, 2008). 2.7.3. Kedelai Varietas Wilis Kualitas kedelai lokal seperti varietas Bromo, Argomulyo, Burangrang, Mahameru, Anjasmoro, Merubetiri, Baluran, Panderman, Gumitir, Argomulyo, Wilis dan Lokon lebih baik dibandingkan dengan kedelai impor. Kedelai lokal memiliki ukuran yang lebih besar, kadar protein yang lebih tinggi sekitar 37-42% dan rasa yang enak karena lebih segar jika dibandingkan kedelai impor yang sudah ditimbun beberapa tahun (Suryo, 1996). Varietas Wilis memiliki ciri-ciri seperti warna daun hijau, warna bunga ungu, warna benih kuning, warna kulit polong masak coklat kehitaman, tinggi tanaman 40-50 cm, bentuk benih oval, berbunga pada umur 39 hari dan polong masak pada umur 88 hari (Surat Keputusan Menteri Pertanian no.318/Kpts/Tp.240/41985). Varietas Wilis memiliki keunggulan, yaitu lebih toleran terhadap lingkungan yang berdrainase kurang baik dan terhadap penyakit seperti penyakit karat dan layu. Varietas ini juga dapat tumbuh pada lahan kering dan tanah asam (Sofia, 2007). 2.7.4. Nilai Gizi dan Peran Kedelai Kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien. Untuk setiap 100 gram kedelai mengandung 330 kalori, 35% protein, 18% lemak, 35% CHO dan 8% air. Bahkan pada varietas unggul, kandungan protein kedelai dapat mencapai 40-43% (Suprapto, 2001). Kedelai juga mengandung kalsium, besi, potassium, phosphorus dan kaya akan vitamin B kompleks (Sumarli, 2007). Kedelai dalam kehidupan sehari-hari berperan dalam meningkatkan metabolisme tubuh; menguatkan sistem imun tubuh; menstabilkan kadar gula arah; melindungi jantung; menambah daya ingat; membentuk tulang yang kuat; menurunkan resiko penyakit jantung, kanker payudara dan kanker prostat; menurunkan tekanan darah dan kolesterol; mencegah menopouse pada wanita; menghasilkan tenaga dan meningkatkan kesehatan (Sumarli, 2007). BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2008 di Laboratorium Mikrobiologi Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk pembuatan inokulum bakteri dan fungi dan penanaman dilakukan di rumah kaca Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.2. Bahan dan Alat Bahan dan Alat Pembuatan Inokulum Bakteri dan Fungi Bahan-bahan yang digunakan adalah isolat bakteri PH3-1B (Paku Haji pada titik sampel ke 3, bakteri pertama), PH5-2B, PH4-3B dan isolat fungi PH14F, PH1-3F, PH5-5F yang diisolasi dari sampel tanah Paku Haji, media NB (Nutrient Broth), media NA (Nutrient Agar), umbi kentang, dextrose, Bacto agar, kain kassa, akuades steril, spirtus dan alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan adalah gelas kimia, timbangan Schout Pro Ohaus 2000 gram, penangas air, stirrer, spatula, labu Erlenmeyer, stopwatch, gelas ukur, shaker, hemasitometer, mikroskop cahaya, counter, spektrofotometer, sentrifuge, vortex, dan autoklaf. Bahan dan Alat Inokulasi dan Penanaman Kedelai Bahan-bahan yang digunakan adalah inokulum bakteri PH3-1B, PH5-2B, PH4-3B dan inokulum fungi PH1-4F, PH1-3F, PH5-5F, larutan sagu 2%, spirtus, alkohol 70%, akuades steril, benih kedelai varietas Wilis, tanaman kedelai berumur 2 minggu, pasir dan tanah Paku Haji steril, pupuk N, pupuk P dan pupuk K dengan perbandingan 1:2:1. Alat-alat yang digunakan untuk penanaman kedelai adalah pot plastik dengan diameter 17 cm, bunsen, spatula, pinset, benang dan meteran. Alat-alat yang digunakan untuk pengukuran parameter fisik adalah lux meter, soil tester dan termometer. 3.3. Cara Kerja 3.3.1. Pembuatan Inokulum Isolat Bakteri dan Fungi Pembuatan Media NB dan NA Sebanyak 4 gram media NB ditimbang dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian dilarutkan dalam 500 ml akuades steril. Media tersebut dipanaskan dengan menggunakan penangas air sampai homogen. Setelah itu, media disterilisasi dengan mengunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Hal yang sama dilakukan untuk pembuatan NA dengan penambahan agar sebanyak 7,5 gram. Pembuatan Media PDB dan PDA Kentang dikupas bersih, dipotong kecil-kecil dan ditimbang sebanyak 150 gram. Setelah itu, kentang dimasukkan ke dalam gelas kimia dan ditambahkan 300 ml akuades steril kemudian dipanaskan dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain kassa steril 4 lapis dan ditambahkan akuades steril sampai volumenya mencapai 500 ml, kemudian ditambahkan dextrose sebanyak 7,5 gram. Media tersebut dipanaskan kembali sampai homogen kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Hal yang sama dilakukan untuk pembuatan PDA dengan penambahan agar sebanyak 7,5 gram. Peremajaan Stok Bakteri dan Fungi Pelarut Fosfat Isolat bakteri dari kultur stok PH3-1B diambil sebanyak 1 ose kemudian diinokulasikan ke dalam media NA miring. Hal yang sama dilakukan pada isolat bakteri PH5-2B dan PH4-3B kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 24-48 jam. Isolat fungi dari kultur stok PH1-4F diambil sebanyak 1 ose kemudian diinokulasikan ke dalam media PDA miring. Hal yang sama dilakukan pada isolat fungi PH1-3F dan PH5-5F kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Pengamatan Morfologi dan Pengukuran Panjang Sel Bakteri Isolat bakteri yang digunakan, yaitu PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B, dijadikan preparat kering dan dilakukan pewarnaan Gram. Dengan menggunakan pewarnaan Gram tersebut dapat dilihat kemurnian isolat bakteri. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara berikut ini, satu tetes NaCl fisiologis diteteskan di atas kaca objek, ditambahkan satu ose kultur PH3-1B, dicampur sampai homogen, dikeringkan dan difiksasi di atas bunsen. Preparat kering ditambahkan larutan kristal violet dan didiamkan selama satu menit, kemudian dibilas dengan menggunakan air mengalir dan dikeringkan. Setelah itu, preparat ditambahkan larutan iodin, didiamkan selama satu menit, kemudian dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat diteteskan alkohol 95% selama beberapa detik kemudian dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat kemudian ditambahkan safranin, didiamkan selama 45 detik, lalu dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Preparat tersebut diamati dengan mikroskop perbesaran 1000x kemudian difoto. Berrdasarkan hasil foto, diambil 5 sel secara acak dari masing-masing isolat kemudian diukur dengan menggunakan penggaris. Setelah itu, rata-rata pengukuran panjang tersebut dikonversi berdasarkan ukuran bakteri yang tertulis pada gambar. Pembuatan Kurva Standar Isolat Bakteri Kultur stok isolat bakteri PH3-1B yang telah diremajakan dibuat menjadi suspensi bakteri yang diencerkan beberapa kali. Setiap suspensi dengan pengenceran yang berbeda diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer (λ 600 nm). Setelah itu, suspensi dengan absorbansi yang berbeda tersebut diukur jumlah selnya melalui metode Total Plate Count (TPC) pada media NA. Nilai-nilai absorbansi dan TPC yang diperoleh dibuat menjadi kurva standar dengan menggunakan Software Excel sehingga dapat diketahui jumlah sel pada suatu nilai absorbansi. Hal yang sama dilakukan untuk isolat bakteri PH4-3B dan PH5-2B. Pembuatan Kurva Tumbuh Bakteri Kultur isolat bakteri yang telah diremajakan diinokulasi seujung ose ke dalam 100 ml NB dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kultur tersebut kemudian dikocok dengan menggunakan shaker 125 rpm sampai tercapai puncak pertumbuhan. Pada setiap interval 2 jam, sampel kultur diambil untuk diukur absorbansi, yang kemudian dikonversi menjadi jumlah sel/ml. Hasil pengukuran tersebut dibuat menjadi kurva tumbuh sehingga dapat diketahui kapan terjadinya kecepatan pertumbuhan tertinggi. Pembuatan Inokulum Bakteri Kultur isolat bakteri yang telah diremajakan diinokulasi seujung ose ke dalam 100 ml NB dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kultur tersebut kemudian dikocok dengan menggunakan shaker 125 rpm sampai tercapai fase aktif pertumbuhan. Setelah itu, kultur disentrifuge selama 10 menit 3000 rpm. Supernatan hasil sentrifuge dibuang kemudian pelet diencerkan dengan penambahan NaCl fisiologis sampai absorbansi tertentu (λ 700 nm) untuk mencapai jumlah sel 10 9 cfu/ml. Pembuatan Inokulum Isolat Fungi Spora yang terbentuk dari hasil peremajaan yang berumur 7 hari ditambahkan 20 ml akuades steril, kemudian spora diluruhkan dengan menggunakan ose sehingga diperoleh suspensi spora. Kemudian dihitung jumlah sporanya dengan menggunakan kamar hitung Neubaeur pada mikroskop cahaya perbesaran 400 X. Suspensi spora yang diinginkan adalah dengan konsentrasi 5x109 spora/ml PDB. Rumus jumlah spora/ml : Rata-rata jumlah spora X faktor pengenceran 0,1 X 0,0025 mm2 Rata-rata jumlah spora : Dimana : 0,1 mm R1 + R2 + R3 3 : Kedalaman kamar hitung 0,0025 mm2 : Luas kamar hitung R1 : Spora ruang 1 R2 : Spora ruang 2 R3 : Spora ruang 3 3.3.2. Inokulasi Benih dan Akar Inokulasi Benih Benih yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakter yang sama yaitu berukuran besar, tidak cacat dan berwarna seragam. Benih kedelai yang akan ditanam dilukai dengan menggunakan jarum steril dan dimasukkan ke dalam alkohol 70% selama 1 menit kemudian direndam di dalam larutan sagu 2% selama 2 menit. Setelah itu, benih direndam ke dalam suspensi isolat bakteri pelarut fosfat dengan kepadatan 5x109 cfu/ml selama 5 menit. Perlakuan yang diuji terdiri atas 6 macam, yaitu perendaman benih dalam suspensi bakteri PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B) dan fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F. Kontrol yang digunakan adalah akuades steril (kontrol 1) dan larutan sagu 2% (kontrol 2). Benih kedelai tersebut siap untuk ditanam. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali (Fitriatin dan Simarmata, 2005). Inokulasi Akar Akar tanaman kedelai yang telah memiliki 2-3 daun utama diambil kemudian dibersihkan dari media tanam (campuran pasir dan tanah Paku Haji) dengan menggunakan air mengalir dan dilakukan perendaman dengan menggunakan alkohol 70% selama 1 menit. Setelah itu, akar tersebut dilukai dengan menggunakan jarum steril kemudian dimasukkan ke dalam larutan sagu 2% selama 30 detik dan direndam dalam suspensi isolat mikroba (bakteri dan fungi pelarut fosfat) dengan kepadatan 5x109 cfu/ml selama 60 detik. Kontrol yang digunakan adalah akuades steril (kontrol 1) dan larutan sagu 2% (kontrol 2). Akar tanaman kedelai tersebut siap untuk ditanam kembali. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali (Montealegre et al, 2003). 3.3.3. Penanaman Kedelai Persiapan Media Tanam Pasir diayak dengan menggunakan ayakan berdiameter 3 mm. Hal yang sama dilakukan untuk tanah. Setelah itu, pasir dan tanah dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dengan perbandingan 3:1 sebanyak 1 kg, kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf. Campuran pasir dan tanah tersebut dimasukkan ke dalam pot plastik yang berdiameter 17 cm kemudian diberikan campuran pupuk NPK dengan perbandingan 1:2:1 sebanyak 1 gram. Penanaman, Pemupukan dan Pemeliharaan Tiga benih kedelai ditanam dalam media tanam dengan kedalaman 2 cm pada pot plastik dan ditempatkan di dalam rumah kaca. Pemeliharaan tanaman kedelai dilakukan dengan penyiraman setiap hari. Pembersihan gulma di sekitar tanaman dilakukan dengan cara pencabutan sedangkan pemeliharaan dari hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan penyemprotan fungisida Dithane M-45 dengan dosis 1,5 gram per liter. Pengamatan Parameter Tanaman dan Lingkungan Parameter yang diamati adalah: A. Perkecambahan, dilakukan dengan mengamati waktu benih berkecambah dan muncul ke permukaan media tanam. Hanya satu tanaman dari setiap pot yang terus diamati sampai akhir pengamatan. B. Tinggi tanaman, dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai ujung tanaman tertinggi dengan menggunakan benang. Selanjutnya, benang tersebut diukur dengan menggunakan meteran. C. Jumlah daun, dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang tumbuh. D. Lebar daun, dilakukan dengan menggunakan benang pada permukaan daun. Selanjutnya, benang tersebut diukur dengan menggunakan meteran. E. Berat kering tanaman, dilakukan dengan mencabut akar kemudian dibersihkan dari media tanam dengan menggunakan air mengalir kemudian tanaman kedelai ditimbang (berat basah). Setelah itu, tanaman kedelai tersebut dikeringkan dengan menggunakan oven kemudian ditimbang kembali (berat kering). Selanjutnya dihitung selisih berat kering dan berat basah. Pengamatan parameter tinggi tanaman, jumlah dan lebar daun dilakukan setiap 2 hari sedangkan untuk berat kering tanaman dilakukan di akhir pengamatan. Pengamatan parameter lingkungan yang dilakukan adalah pengukuran suhu rumah kaca dengan menggunakan termometer, kelembaban dan pH media tanam dengan menggunakan soil tester, dan intensitas cahaya dengan menggunakan lux meter. 3.3. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini yang merupakan pengamatan ketiga parameter (tinggi tanaman, jumlah dan lebar daun) diolah secara statistik dengan metode analisis variansi satu arah (one way Anova) dengan rancang acak lengkap pada taraf uji 0,05%. Hipotesis 0 : parameter pada kontrol dan perlakuan tidak berbeda nyata Hipotesis 1 : parameter pada kontrol dan perlakuan berbeda nyata Jika signifikansi < 0,05% maka H0 ditolak sedangkan jika signifikansi > 0,05 maka H0 diterima. Apabila H0 ditolak maka dilanjutkan uji Duncan. Baik pada inokulasi akar maupun benih, faktor yang diuji adalah pengaruh pemberian isolat mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman kedelai varietas Wilis. Perbandingan pertumbuhan tanaman kedelai yang diinokulasi mikroba pelarut fosfat pada akar dilakukan secara deskriptif. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Morfologi Isolat Bakteri Pelarut Fosfat dengan Pewarnaan Gram Pengamatan morfologi isolat bakteri pelarut fosfat yang telah diberi pewarnaan Gram bertujuan untuk memastikan tidak terjadinya kontaminasi pada kultur yang digunakan. Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa semua isolat bakteri pelarut fosfat yang diamati (PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B) merupakan bakteri Gram positif (Gambar 1, 2 dan 3). Secara mikroskopis, semua isolat bakteri pelarut fosfat yang diuji menunjukkan berbentuk batang dan pada setiap preparat sel-selnya tampak seragam. Menurut Pelczar dan Chan (1986), salah satu bakteri yang menunjukkan ciri berbentuk batang dan Gram positif adalah Bacillus sp. Beberapa jenis Bacillus sp. memiliki kemampuan melarutkan fosfat seperti Bacillus megaterium dan Bacillus subtilis (Motsara et al, 1995). Meskipun semua berbentuk batang, ketiga isolat bakteri memiliki panjang yang berbeda. Rata-rata ukuran panjang PH3-1B (1,68 µm) terlihat lebih besar dibandingkan kedua isolat lainnya, yaitu PH5-2B (1,08 µm) dan PH4-3B (0,36 µm). Dengan karakter bakteri yang menunjukkan Gram positif, maka bakteri tersebut tahan terhadap pengaruh faktor lingkungan yang ada di tanah masam. Menurut Pelczar dan Chan (1986), bakteri Gram positif lebih resisten terhadap gangguan fisik dan perlakuan mekanis. Dinding sel bakteri Gram positif memiliki peptidoglikan yang lebih tebal (Pelczar dan Chan, 1986), sehingga dapat bertahan hidup pada tanah di daerah Paku Haji yang bersifat masam Gambar 1. Isolat Bakteri PH3-1B Perbesaran 1000 x Gambar 2. Isolat Bakteri PH5-2B Perbesaran 1000 x Gambar 3. Isolat Bakteri PH4-3B Perbesaran 1000 x 4.2. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri Pelarut Fosfat Pertumbuhan bakteri dapat diamati melalui peningkatan jumlah sel terhadap waktu. Menurut Pelczar dan Chan (1986), kurva pertumbuhan terdiri dari fase adaptasi, logaritmik, stationer dan kematian mikroorganisme. Pada kurva pertumbuhan ketiga isolat bakteri pelarut fosfat yang diamati, semua fase dapat diamati dengan jelas (Gambar 4, 5 dan 6). log jumlah sel/ml 30 20 10 0 0 10 20 30 40 50 Waktu (Jam) Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri PH3-1B Tabel 1. Waktu dan Kecepatan Pertumbuhan Isolat PH3-1B Waktu (jam) µ (perjam) 4-5 1,614 5-5,5 3,857 5,5-6,5 9,558 6,5-9,5 1,663 Pada Gambar 4, PH3-1B mulai menunjukkan peningkatan jumlah sel sejak jam ke-5. Fase logaritmik tercepat terjadi pada jam ke-5,5-6,5 (Tabel 1) dengan nilai µ=9,558 perjam. Penurunan jumlah sel yang signifikan mulai terjadi setelah 36 jam. Pertumbuhan isolat bakteri ini terlihat lebih cepat dibandingkan isolat lain yang digunakan, sehingga lebih cepat mencapai fase logaritmik. Log jumlah sel/ml 30 20 10 0 0 10 20 30 40 50 Waktu (Jam) Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri PH5-2B Tabel 2. Waktu dan Kecepatan Pertumbuhan Isolat PH5-2B Waktu (jam) µ (perjam) 6,5-7,5 1,836 7,5-8,5 4,206 8,5-9,5 1,372 Berdasarkan Gambar 5, PH5-2B mulai mengalami peningkatan jumlah sel sejak jam ke-7,5 dan mencapai puncak fase logaritmik pada jam ke-8,5 jam dengan nilai µ= 4,206 perjam (Tabel 2). Penurunan jumlah sel yang signifikan mulai terjadi setelah 19,5 jam. Hal ini dapat saja disebabkan oleh nutrisi yang semakin berkurang atau terakumulasinya limbah metabolisme (Sugiri, 1992). Log jumlah sel/ml 30 20 10 0 0 10 20 30 40 Waktu (Jam) Gambar 6. Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri PH4-3B Tabel 3. Waktu dan Kecepatan Pertumbuhan Isolat PH4-3B Waktu (jam) µ (perjam) 6-6,5 1,696 6,5-8,15 1,166 8,15-18,25 0,835 18,25-21,25 2,388 21,25-23,25 4,43 23,25-24,55 6,04 24,55-25,55 11,703 25,55-26,25 0,498 Berdasarkan Gambar 6, PH4-3B menunjukkan pertumbuhan yang lambat. Isolat bakteri ini menunjukkan peningkatan pertumbuhan sejak jam ke-10 dan mencapai fase logaritmik tercepat pada jam ke-24,55-25,55 dengan nilai µ= 11,703 perjam (Tabel 3). Penurunan jumlah sel terjadi setelah jam ke-28. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ketiga isolat bakteri pelarut fosfat yang digunakan membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk mencapai fase logaritmik. Untuk kepentingan pengujian digunakan isolat bakteri pada fase logaritmik. Hal ini disebabkan pada fase ini pertumbuhan bakteri berlangsung paling cepat. Pada fase logaritmik kebutuhan nutrien cukup dan limbah sel yang dikeluarkan ke lingkungan tidak mengganggu pembelahan sel, sehingga pertumbuhan jumlah selnya paling cepat (Sugiri, 1992). Karena kondisi setiap isolat bakteri dibuat sama, maka perbedaan waktu untuk mencapai fase logaritmik dipengaruhi oleh sifat masing-masing isolat yang digunakan. Perbedaan waktu untuk mencapai jumlah sel tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sumber energi, sumber karbon, pH, suhu, lingkungan, O2 dan masa inkubasi atau sifat mikroorganisme tersebut (Pelczar dan Chan,1986). 4.3. Inokulum Isolat Fungi Pelarut Fosfat Inokulum fungi dapat diberikan ke tanaman dalam bentuk spora atau miselia (Isroi, 2007). Dalam penelitian ini, inokulum fungi yang digunakan untuk diinokulasikan ke tanaman kedelai varietas Wilis adalah dalam bentuk spora sebanyak 5x109 spora/ml. Berdasarkan pengamatan dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 x, spora fungi yang digunakan berbentuk bulat dan berwarna hijau. Keuntungan penggunaan inokulum spora adalah tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia karena ketebalan dindingnya (Widiastuti, 2005). Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Sekardini (2005), pemberian inokulan 5% spora Aspergillus niger dan pupuk kimia super fosfat 0,5 konsentrasi, optimum untuk meningkatkan jumlah fosfat pada tanaman albasia. 4.4. Pertumbuhan Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat pada Benih Perkecambahan Pertumbuhan tanaman kedelai varietas Wilis yang telah diinokulasi bakteri pelarut fosfat pada benih diamati mulai dari munculnya kecambah ke permukaan media tanam sampai muncul bunga atau tanaman berumur 5 minggu. Beberapa benih kedelai varietas Wilis dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat mulai berkecambah pada hari ke-3. Namun sebagian besar yang lain mulai berkecambah pada hari ke-5. Bakteri yang diinokulasikan berpengaruh terhadap perkecambahan benih, di mana benih yang diinokulasi dengan bakteri PH3-1B tidak ada yang berkecambah karena terjadi pembusukan benih, sedangkan benih yang diinokulasi PH4-3B dan PH5-2B semuanya berkecambah dan tumbuh dengan baik. Demikian juga dengan kontrol 1 dan 2 yang tidak diinokulasi bakteri dapat berkecambah dan tumbuh. Tidak berkecambahnya benih yang diinokulasi bakteri PH3-1B disebabkan bakteri tersebut menghambat perkecambahan atau bahkan dapat dikatakan patogen pada tanaman kedelai. Seperti yang diungkapkan oleh Supriadi (2006), selain dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, bakteri pelarut fosfat ada yang berpotensi menyebabkan patogen pada tanaman seperti Bacillus polymyxa. Tinggi Tanaman Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.1b), tinggi tanaman pada minggu ke-5 memiliki nilai probabilitas (signifikansi) 0,95. Nilai ini menunjukkan ratarata tinggi tanaman kedelai varietas Wilis pada kontrol dan perlakuan (inokulasi bakteri PH4-3B dan PH5-2B) tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa tidak ada potensi penghambatan pertumbuhan tanaman Tinggi Tanaman (Cm) kedelai varietas Wilis oleh isolat bakteri PH4-3B dan PH5-2B. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B 0 1 2 3 4 5 6 Um ur (Minggu) Gambar 7. Rata-rata Tinggi Tanaman Kedelai (cm) Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat terhadap rata-rata tinggi tanaman kedelai varietas Wilis tidak menunjukkan perbedaan (Gambar 7). Pada minggu pertama tinggi tanaman berkisar antara 7,2 cm-11,1 cm, minggu ke-2 antara 15,7 cm-19,27 cm, sedangkan pada minggu ke-3 antara 26 cm-31 cm. Pada minggu ke4 tinggi tanaman antara 30 cm-35,23 cm dan minggu ke-5 antara 40,37 cm-43,67 cm. Pada akhir pengamatan, tinggi tanaman dengan inokulasi PH4-3B terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol 1 dan 2. Jumlah dan Lebar Daun Jumlah daun tanaman kedelai varietas Wilis yang dihitung dalam penelitian ini adalah daun yang masih tumbuh. Rata-rata jumlah daun pada setiap perlakuan meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 (Gambar 8). Hal ini disebabkan tanaman kedelai varietas Wilis pada minggu ke-2 dan ke-3 masih dalam fase vegetatif, sehingga jumlah daun akan selalu bertambah. Lama fase vegetatif dipengaruhi oleh genotip, waktu tanam, lokasi geografik dan kondisi lingkungan (Liu, 1997). Rata-rata jumlah daun pada minggu pertama berkisar antara 1,33-2 helai, minggu kedua antara 2,67-3 helai, minggu ketiga 4,33-4,67 helai, minggu keempat 3,33-5 helai dan pada minggu kelima 3,67-4,67 helai. Pada awal minggu ke-5 mulai terbentuk bunga, sehingga jumlah daun pada umumnya berkurang karena berguguran. Hal ini disebabkan oleh perubahan fase vegetatif menjadi generatif (Hanafiah, 2005). Jumlah Daun (Helai) 6 5 4 Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B 3 2 1 0 0 1 2 3 4 Umur (Minggu) 5 6 Gambar 8. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Kedelai (Helai) Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Pengamatan rata-rata jumlah daun pada semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan. Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.2b), parameter rata-rata jumlah daun pada akhir pengamatan (minggu ke-5) memiliki nilai signifikansi 0,133. Nilai ini menunjukkan rata-rata jumlah daun tanaman kedelai varietas Wilis pada kontrol dan perlakuan (inokulasi bakteri PH4-3B dan PH5-2B) tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti isolat bakteri PH4-3B dan PH5-2B yang diinokulasikan pada benih tidak menghambat pertumbuhan jumlah daun tanaman kedelai varietas Wilis. Lebar Daun (Cm) 4 3 Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B 2 1 0 0 1 2 3 4 Umur (Minggu) 5 6 Gambar 9. Rata-rata Lebar Daun Tanaman Kedelai (cm) Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Sama halnya dengan jumlah daun, berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.3b), rata-rata lebar daun pada minggu ke-5 memiliki nilai signifikansi 0,674. Hal ini memperlihatkan bahwa rata-rata lebar daun tanaman kedelai varietas Wilis pada kontrol dan perlakuan (inokulasi bakteri PH4-3B dan PH5-2B) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini berarti inokulasi bakteri PH4-3B dan PH5-2B pada benih tidak menghambat lebar daun tanaman kedelai varietas Wilis. Rata-rata lebar daun pada minggu pertama berkisar antara 1,1-1,8 cm, minggu kedua 1,1-1,8 cm, minggu ketiga 3,13-3,47 cm, minggu keempat 3,23-3,6 cm, dan pada akhir pengamatan antara 3,43-3,77 cm. Berat Kering Berat kering yang dihasilkan oleh tanaman kedelai pada akhir pengamatan bervariasi pada setiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.4b), berat kering tanaman menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikansi 0,034. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.4c) menunjukkan berat kering tanaman kedelai varietas Wilis dengan inokulasi PH4-3B tidak berbeda dengan kontrol 2 tetapi berbeda sangat nyata dengan kontrol 1. Berat kering tanaman yang diinokulasi PH5-2B sedikit berbeda dengan kontrol 1 dan kontrol 2. Berat kering tertinggi adalah perlakuan PH4-3B, yaitu 2,85 gram dan terendah adalah kontrol 1, yaitu 0,98 gram (Gambar 10). Berat Kering (Gram) 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kontrol 1 Kontrol 2 PH4-3B Pe rlakuan PH5-2B Gambar 10. Berat Kering Tanaman Kedelai Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Tanaman yang diinokulasi bakteri PH4-3B dapat meningkatkan berat kering tanaman kedelai varietas Wilis. Hal ini didukung dengan tingginya nilai parameter tinggi dan jumlah daun tanaman. Setelah pencabutan, tanaman yang diinokulasi dengan bakteri PH4-3B memiliki perakaran yang lebih bagus dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini disebabkan fungsi fosfat yang berperan untuk perkembangan akar (Brady and Weil, 2002). Pelarutan fosfat yang tinggi menyebabkan proses metabolisme dan fotosintesis berjalan dengan baik dan hasil dari proses tersebut dapat digunakan untuk pertumbuhannya (Mujib dkk., 2000). Sesuai dengan hasil uji Anova pada setiap karakter yang diamati (tinggi, jumlah dan lebar daun), tanaman kedelai varietas Wilis yang diinokulasi PH4-3B dan PH5-2B tidak berbeda nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Tetapi secara deskripsi, perlakuan inokulasi PH4-3B hampir pada semua parameter memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan inokulasi PH5-2B memiliki nilai tertinggi pada parameter lebar daun. Bakteri PH4-3B dan PH5-2B dapat dikatakan kompatibel atau berhasil melakukan pelarutan fosfat bagi tanaman kedelai varietas Wilis karena dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Bakteri PH3-1B tidak kompatibel dengan tanaman kedelai varietas Wilis sehingga menyebabkan tidak terjadinya perkecambahan pada benih yang diinokulasi bakteri tersebut. Kebutuhan fosfat yang cukup pada tanaman berperan dalam pembelahan sel, pembentukan bunga, buah dan benih, perkembangan akar dan peningkatan hasil panen (Brady and Weil, 2002). Pada penelitian terdahulu oleh Yousry et al (1977), pemberian Bacillus megatherium dapat meningkatkan berat kering kapri sebesar 10,9%. Pemberian Bacillus sp. pada tanaman pinus dapat meningkatkan serapan fosfat 1,5 kali pada tanah yang tidak dipupuk fosfat dan 8 kali lipat pada tanah yang dipupuk dengan trikalsium fosfat (Robert dan Barthelin, 1986 dalam Goenadi 2006). 4.5. Pertumbuhan Tanaman Kedelai dengan Inokulasi Fungi Pelarut fosfat Pada Benih Perkecambahan Beberapa benih kedelai dengan inokulasi fungi pelarut fosfat mulai berkecambah pada hari ke-3. Namun sebagian besar yang lain mulai berkecambah pada hari ke-5. Hal ini menyerupai yang terjadi pada bakteri (Halaman 33), yang berarti tidak terdapat perbedaan pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat atau fungi pelarut fosfat terhadap kecepatan pertumbuhan. Tinggi Tanaman Pengaruh inokulasi fungi pelarut fosfat pada benih terhadap rata-rata tinggi tanaman berbeda dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11. Rata-rata tinggi tanaman kedelai varietas Wilis dengan inokulasi fungi pelarut fosfat lebih rendah dibandingkan kontrol 1 dan kontrol 2. Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.5b), rata-rata tinggi tanaman pada minggu ke-5 memiliki nilai signifikansi 0,004. Nilai ini memperlihatkan bahwa rata-rata tinggi tanaman kedelai pada kontrol dan perlakuan (inokulasi fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) memiliki perbedaan yang nyata. Tinggi Tanaman (Cm) 50 40 Kontrol 2 PH1-4F Kontrol 1 PH1-3F PH5-5F 30 20 10 0 1 2 3 4 Umur (Minggu) 5 Gambar 11. Rata-rata Tinggi Tanaman Kedelai (cm) Varietas Wilis dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.5c) menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman dengan inokulasi PH1-3F dan PH5-5F tidak berbeda dengan kontrol 2 tetapi sedikit berbeda dengan kontrol 1. Perlakuan inokulasi PH1-4F memiliki tinggi tanaman yang sedikit berbeda dengan kontrol 2 tetapi berbeda sangat nyata dengan kontrol 1. Nilai tinggi tanaman oleh semua perlakuan tersebut selalu lebih kecil dibandingkan kontrol 1 dan kontrol 2. Hal ini menunjukkan bahwa inokulasi fungi pelarut fosfat menghambat pertumbuhan tinggi tanaman atau tidak kompatibel terhadap kedelai varietas Wilis. Jumlah dan Lebar Daun Rata-rata jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat mulai meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 (Gambar 12). Pada akhir pengamatan (minggu ke-5), jumlah daun mulai mengalami penurunan pada setiap perlakuan. Hal ini dapat saja disebabkan perubahan fase vegetatif menjadi fase generatif. Menurut Hanafiah (2005), pada saat pertumbuhan dan perkembangan organ generatif, maka pertumbuhan dan perkembangan organ vegetatif akan berkurang. Rata-rata jumlah daun pada minggu pertama minggu pertama berkisar 0-1,33 helai, minggu kedua 2-3 helai, minggu ketiga 4-4,67 helai, minggu keempat 2,67-5 helai, dan pada minggu kelima antara 2-5,67 helai. Jumlah Daun (Helai) 6 5 PH5-5F Kontrol 1 Kontrol 2 PH1-3F PH1-4F 4 3 2 1 0 1 2 3 4 Umur (Minggu) 5 Gambar 12. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Kedelai (Helai) Varietas Wilis dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Pengamatan rata-rata jumlah daun menunjukkan hasil yang bervariasi pada setiap perlakuan. Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.6b), rata-rata jumlah daun pada minggu ke-5 memiliki nilai signifikansi 0,002. Nilai ini menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman kedelai varietas Wilis pada kontrol dan perlakuan (inokulasi fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) memiliki perbedaan yang nyata. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.6c) menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi PH1-3F tidak berbeda dengan kontrol 1 tetapi berbeda sangat nyata dengan kontrol 2. Perlakuan PH5-5F memiliki jumlah daun yang sedikit berbeda dengan kontrol 1 dan berbeda sangat nyata dengan kontrol 2. Inokulasi PH1-4F memperlihatkan jumlah daun yang berbeda sangat nyata dibandingkan kontrol 1 dan kontrol 2. Jumlah daun paling banyak adalah kontrol 2, yaitu 5,67 helai sedangkan yang paling rendah PH1-4F, yaitu 2 helai. Hal ini menunjukkan bahwa inokulasi fungi PH1-4F dapat Lebar Daun (Cm) menghambat pertumbuhan jumlah daun tanaman kedelai varietas Wilis. 4 3.5 3 Kontrol 1 Kontrol 2 PH1-3F PH1-4F PH5-5F 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 1 2 3 4 Umur (Minggu) 5 6 Gambar 13. Rata-rata Lebar Daun Tanaman Kedelai (cm) Varietas Wilis dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Sama halnya dengan jumlah daun, berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.7b), rata-rata lebar daun pada minggu ke-5 memiliki nilai signifikansi 0,012. Nilai ini menunjukkan bahwa lebar daun tanaman kedelai pada kontrol dan perlakuan (inokulasi fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) memperlihatkan perbedaan yang nyata. Rata-rata lebar daun pada minggu pertama berkisar antara 0-1,33 cm, minggu kedua 2-3,33 cm, minggu ketiga 2,43-3,47 cm, minggu keempat 3-3,5 cm, dan pada akhir pengamatan berkisar antara 3-3,73 cm. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.7c) memperlihatkan bahwa lebar daun pada tanaman dengan inokulasi PH1-3F tidak berbeda dengan kontrol 2 tetapi berbeda sangat nyata dengan kontrol 1. Perlakuan PH5-5F memiliki lebar daun sedikit berbeda dengan kontrol 1 dan kontrol 2. Inokulasi PH1-4F memperlihatkan lebar daun yang sedikit berbeda dengan kontrol 2 tetapi berbeda sangat nyata dengat kontrol 1. Lebar daun yang paling tinggi adalah kontrol 1, yaitu 3,73 cm, sedangkan nilai yang paling rendah adalah PH1-4F, yaitu 3 cm. Hal ini menunjukkan bahwa inokulasi fungi pelarut fosfat menghambat pertumbuhan lebar daun tanaman kedelai varietas Wilis. Tanaman yang telah memasuki fase generatif mulai membentuk bunga. Perlakuan fungi PH5-3F, kontrol 1 dan 2 berbunga lebih awal, yaitu setelah 31 hari, sedangkan perlakuan lain sebagian besar berbunga pada hari ke-33. Bunga kedelai berwarna ungu dan berbentuk kupu-kupu. Hal ini sesuai dengan surat Keputusan Menteri Pertanian No.318/Kpts/Tp.240/4 tahun 1985 tentang Karakteristik Kedelai Varietas Wilis. Setelah berbunga, tanaman kedelai mulai membentuk polong pada hari ke-39 kemudian dilakukan pemanenan. Inokulasi fungi pelarut fosfat yang diuji tidak menunjukkan hasil yang efektif pada setiap parameter. Hal ini dapat saja disebabkan umur pengamatan yang singkat (5 minggu) sehingga fungi yang diaplikasikan ke tanaman kedelai varietas Wilis belum memberi respon untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Santoso dan Haryantini (2000), pemberian inokulum spora pada tanaman cabai dapat meningkatkan tinggi tanaman, luas daun dan berat kering tajuk. Namun membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan respon inokulasi. Hal ini disebabkan spora memerlukan waktu untuk perkecambahan dan pada beberapa spesies memiliki sifat dorman. Berat Kering Berdasarkan hasil uji Anova (Lampiran 7.8b), berat kering tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat pada benih memiliki nilai signifikansi 0,016 sehingga menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 7.8c) menunjukkan bahwa berat kering tanaman dengan inokulasi PH1-3F tidak berbeda dengan kontrol 2 tetapi sedikit berbeda dengan kontrol 1. Perlakuan PH14F dan PH5-5F memiliki berat kering yang sedikit berbeda kontrol 1 tetapi berbeda sangat nyata dengan kontrol 2. Berat kering tanaman tertinggi adalah kontrol 2, yaitu 2,27 gram. Berat Kering (Gram) 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kontrol 1 Kontrol 2 PH1-3F PH1-4F PH5-5F Perlakuan Gambar 14. Berat Kering Tanaman Kedelai Varietas Wilis Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Inokulasi fungi pelarut fosfat memperlihatkan nilai yang rendah dibandingkan kontrol pada setiap parameter. Dengan berkurangnya tinggi tanaman, daun yang terbentuk menjadi lebih sedikit, sehingga pembentukan karbohidrat hasil asimilasi tanaman juga menurun, yang akan menyebabkan penurunan berat kering tanaman. Menurut Gardner (1991) dalam Krishnawati (2003). Berat kering tanaman merupakan penimbunan hasil asimilasi CO2 sepanjang masa pertumbuhan. 4.6. Pertumbuhan Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Akar Tanaman kedelai varietas Wilis yang digunakan untuk inokulasi mikroba pelarut fosfat pada akar adalah tanaman yang telah memiliki 2 daun utama, sehingga daerah perakarannya sudah cukup kuat untuk dilukai. Tinggi tanaman kedelai varietas Wilis yang diinokulasi bakteri pelarut fosfat berkisar antara 20-30 cm. Tanaman kedelai yang telah diinokulasi bakteri PH4-3B dan PH5-2B mampu bertahan hidup sampai akhir pengamatan walaupun hanya satu tanaman pada setiap perlakuan. Oleh karena itu tidak dilakukan pengujian secara statistik melainkan secara deskriptif. Tanaman kedelai yang diinokulasi bakteri PH3-1B mengalami kematian beberapa jam setelah inokulasi. Bakteri PH3-1B dapat saja merupakan patogen pada tanaman. Hal ini terlihat dari semua perlakuan yang diuji, baik inokulasi pada akar maupun benih tidak menunjukkan adanya pertumbuhan. Tinggi Tanaman Pengaruh inokulasi bakteri pelarut fosfat pada akar memperlihatkan perbedaan dibandingkan inokulasi pada benih. Pertumbuhan tinggi tanaman kedelai varietas Wilis yang diinokulasi pada akar cenderung lambat. Hal ini dapat saja disebabkan tanaman membutuhkan waktu untuk beradaptasi kembali dengan lingkungan setelah pencabutan akar pada saat akan diinokulasi. Tinggi Tanaman (Cm) 60 50 40 Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B 30 20 10 0 0 2 4 Umur (Minggu) 6 Gambar 15. Tinggi Tanaman Kedelai (cm) Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Akar Tinggi tanaman kedelai varietas Wilis setelah akar diinokulasi oleh bakteri pelarut fosfat pada minggu pertama sampai akhir pengamatan tidak menunjukkan adanya perbedaan (Gambar 15). Pada minggu pertama semua perlakuan tingginya sekitar 23 cm kecuali PH5-2B, yaitu 28,8 cm. Pada minggu kedua, perlakuan PH5-2B dan PH4-3B terlihat lebih tinggi dibandingkan kontrol 1 dan kontrol 2. Tetapi pada minggu ke-3 sampai akhir pengamatan, kontrol 1 memiliki tinggi tanaman tertinggi, yaitu 54,9 cm kemudian PH5-2B, PH4-3B dan kontrol 2. Jumlah dan Lebar Daun Inokulasi bakteri pelarut fosfat pada akar menyebabkan daun layu beberapa saat setelah inokulasi. Perlakuan tersebut juga menyebabkan jumlah daun berkurang karena berguguran. Hal ini dapat saja disebabkan tanaman mengalami cekaman lingkungan berupa pencabutan sehingga tanaman membutuhkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan media tanam. Cekaman lingkungan pada tanaman dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik (Maharijaya, 2008). Jumlah Daun (Helai) 6 5 4 Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B 3 2 1 0 0 2 4 Umur (Minggu) 6 Gambar 16. Jumlah Daun Tanaman Kedelai (Helai) Varietas Wilis dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Akar Pengamatan minggu pertama jumlah daun pada tanaman kedelai varietas Wilis setelah inokulasi bakteri pelarut fosfat pada perlakuan lebih banyak dibandingkan kontrol (Gambar 16). Pada minggu ke-2, jumlah daun setiap perlakuan mengalami kenaikan kecuali kontrol 2. Pada akhir pengamatan (minggu ke-5), jumlah daun pada setiap perlakuan mengalami karena peralihan fase vegetatif menjadi generatif (Hanafiah, 2005). Rata-rata jumlah daun pada minggu pertama berkisar antara 1-3 helai, minggu kedua 1-5 helai, minggu ketiga sampai akhir pengamatan berkisar antara 2-5 helai. Lebar Daun (Cm) 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B 0 2 4 Umur (Minggu) 6 Gambar 17. Lebar Daun Tanaman Kedelai (cm) dengan Varietas Wilis Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Akar Lebar daun tanaman kedelai varietas Wilis setelah inokulasi bakteri pelarut fosfat sampai minggu ke-2 belum mengalami kenaikan (Gambar 17). Lebar daun mulai mengalami kenaikan setelah minggu ke-2 sampai minggu ke-4. Pada akhir pengamatan, lebar daun tanaman yang diinokulasi PH5-2B dan kontrol 1 memiliki nilai tertinggi, yaitu 3,5 cm. Rata-rata lebar daun pada minggu pertama berkisar antara 1,83-3,3 cm, minggu kedua 1,85-3,3 cm, minggu ketiga 2,25-3,4 cm, minggu keempat 2,7-3,5 cm, dan pada minggu kelima 2,7-3,5 cm. Berat Kering Berat kering tanaman setelah inokulasi bakteri pelarut fosfat PH5-2B menunjukkan nilai tertinggi, yaitu 1,991 gram (Gambar 18). Hal ini didukung oleh tinggi, jumlah dan lebar daun yang dimiliki tanaman tersebut. Nilai terendah adalah perlakuan bakteri PH4-3B, yaitu hanya 0,743 gram. Berat Kering (Gram) 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kontrol 1 Kontrol 2 PH4-3B PH5-2B Perlakuan Gambar 18. Berat Kering Tanaman Kedelai Varietas Wilis Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat 4.4. Pertumbuhan Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Akar Tanaman kedelai varietas Wilis setelah inokulasi fungi pelarut fosfat PH1- 3F, PH1-4F dan PH5-5F mengalami kematian. Hal ini dapat saja disebabkan karena pengaruh cekaman biologis pada tanaman yang ditunjukkan dengan layu yang tidak dapat kembali segar walaupun telah disiram. Interaksi antara tanaman budidaya dengan fungi dapat menimbulkan interaksi yang negatif berupa patogenisitas. Interaksi negatif tersebut menyebabkan tanaman mengalami tekanan atau cekaman dan berakibat menurunya laju pertumbuhan bahkan dapat mematikan tanaman (Maharijaya, 2008). Cekaman biologis adalah segala perubahan kondisi lingkungan yang mungkin akan menurunkan atau merugikan pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan (fungsi normalnya) (Salisbury, 1992). 4.7. Perbandingan Pertumbuhan Tanaman Kedelai dengan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat Pada Benih dan Akar Khusus isolat PH3-1B memiliki keuntungan dalam pembuatan inokulum karena dalam waktu yang singkat dapat dihasilkan jumlah sel yang banyak. Tetapi kemampuan tersebut berbanding terbalik dengan efektivitasnya dalam memacu pertumbuhan tanaman kedelai varietas Wilis. Isolat PH3-1B dapat menyebabkan patogen pada tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya tanaman yang berkecambah setelah diinokulasikan bakteri tersebut pada benih. Bahkan tanaman kedelai varietas Wilis yang diinokulasikan bakteri PH3-1B pada akar tidak dapat tumbuh atau mati. Mikroba yang digunakan sebagai pupuk hayati dapat diberikan langsung ke dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik atau disalutkan pada benih yang akan ditanam (Isroi, 2007). Alternatif lain adalah dengan mengintroduksikan mikroba terseleksi ke rhizosfer. Dengan cara ini populasi mikroba yang diinginkan akan meningkat dan aktivitasnya dalam proses penyediaan hara ke larutan tanah berlangsung lebih intensif (Goenadi, 2006). Pertumbuhan tanaman kedelai dengan inokulasi isolat mikroba pelarut fosfat pada benih kedelai varietas Wilis lebih baik jika dibandingkan inokulasi pada akar. Hal ini terlihat dari setiap parameter yang diamati. Perlakuan inokulasi pada akar memiliki kemampuan hidup yang rendah. Hal ini disebabkan cekaman lingkungan akibat pencabutan akar, sehingga tanaman sulit beradaptasi kembali seperti keadaan awal. 4.8. Penentuan Isolat Mikroba Pelarut Fosfat Terbaik Isolat PH3-1B menguntungkan dalam pembuatan inokulum karena membutuhkan waktu tercepat untuk mencapai fase logaritmik. Isolat PH4-3B membutuhkan waktu paling lama untuk mencapai fase logaritmik dibandingkan kedua isolat lainnya. Isolat PH4-3B mengalami fase logaritmik pada jam ke 24,55-25,55. Inokulasi PH3-1B pada benih tanaman kedelai varietas Wilis menghambat pertumbuhan. Inokulasi PH4-3B secara deskripsi mampu meningkatkan tinggi, jumlah daun dan berat kering tanaman kedelai varietas Wilis. Hal ini dibuktikan dengan lebih tingginya nilai perlakuan inokulasi PH4-3B pada parameter tersebut dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan inokulasi PH5-2B pada tanaman kedelai varietas Wilis berpeluang meningkatkan lebar daun. Berdasarkan pengamatan dari seluruh parameter, isolat PH4-3B merupakan isolat terbaik. PH4-3B membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai fase logaritmik dibandingkan isolat lainnya yang diuji. Namun setelah diaplikasikan ke tanaman, isolat tersebut berpeluang meningkatkan tinggi, jumlah daun dan berat kering kedelai varietas Wilis. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Isolat mikroba pelarut fosfat asal Paku Haji yang kompatibel terhadap tanaman kedelai varietas Wilis adalah PH4-3B dan PH5-2B. Sedangkan isolat mikroba pelarut fosfat asal Paku Haji yang tidak kompatibel terhadap tanaman kedelai varietas Wilis adalah PH3-1B, PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F. 2. Cara aplikasi mikroba pelarut fosfat pada tanaman kedelai varietas Wilis adalah melalui benih. 5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana viabilitas isolat mikroba pelarut fosfat yang digunakan untuk diaplikasikan pada tanaman kedelai varietas Wilis di tanah masam. Sebaiknya cara aplikasi yang dilakukan untuk menginokulasi mikroba pelarut fosfat pada tanaman kedelai varietas Wilis adalah melalui benih. DAFTAR PUSTAKA Adyana. 1997. Budidaya Kedelai. Http://www.bi.go.id. 8 Maret 2008 pukul 12.15 WIB. Andrianto, T.T. dan N. Indarto. 2004. Kedelai, Kacang Hijau dan Kacang Panjang. Absolut, Yogyakarta. Brady, C.N. and Weil, R.R. 2005. The Nature and Properties of Soil. Practice Hall, New Jersey. Dwidjoseputro, D. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta. Fitriatin, B. dan T. Simarmata. 2005. Efek Metode Perlakuan Benih Dengan Kinetin dan Suspensi Bakteri Pelarut Fosfat Penghasil Fitohormon Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi Gogo. Agrikultura Vol. 16 No. 2 FNCA Biofertilizer Project. 2005. Industrial Forum JAIF), Japan. Biofertilizer Manual. Japan Atomic Gentili, P and A. Jumpponen. 2006. Potential and Possible Uses of Bacterial and Fungal Biofertilizer In: Rai, M. K. Handbook of Microbial Biofertilizers. Ginting, R.C.B., R. Saraswati dan E. Husen. 2006. Mikroba Pelarut Fosfat dalam R.D.M. Simanungkalit., D.A. Suriadikarta., R. Saraswati., D. Setyorini, dan W. Hartatik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Goenadi, D.H. 2006. Pupuk dan Teknologi Pemupukan Berbasis Hayati Dari Cawan Petri ke Lahan Petani. Yayasan John Hi-Tech Idetama, Jakarta. Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo, Jakarta. Hardjowigeno. 1992. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Hutami, S., I. Mariska., M. Kosmiatin., S. Rahayu dan W.H. Adil. 2001. Regenerasi Massa Sel Embrionik Tanaman Kedelai Setelah Diseleksi dengan Al dan pH Rendah. http://biogen.litbang.deptan.go.id. 28 Januari 2008 pukul 17.20 WIB. Ikawati, Y. 2008. Keunggulan Varietas Kedelai Lokal. Http:// www.ristek.go.id. 28 Januari 2008 pukul 17.10 WIB. Isroi, 2007. Bioteknologi Mikroba Untuk Pertanian Organik. Http://www.mbojo. Wordpress.com. 20 November 2007 pukul 14.20 WIB. Kasno, S. 2008. Lahan Tanaman Kedelai Indonesia Menyusut 40%. Http:// www.antara.co.id. 28 Januari 2008 pukul 17.25 WIB. Krumphanzl, V. 1988. Soil Microbial Associations Control of Structures and Functions. Academia Press, Chekoslovakia. Krishnawati, D. 2003. Pengaruh Pemberian Pupuk Kascing Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kentang. KAPPA (2003) Vol. 4, No.1, 9-12 Lakitan, 1999. Dasar-Dasar Hortikultura. Rajawali Press, Jakarta. Latupapua, H.J.D dan S. Widawati. Pupuk Organik dan Hayati Sebagai Agen Pertumbuhan Anakan Kaliandra (Calliandra sp.) Pada Tanah Masam. Jurnal Biologi Indonesia 3(1): 50-61. Lembaga Informasi Pertanian, 2008. Pengendalian Jasad Pengganggu Pada Tanaman Kedelai. Http:// www.pustaka-deptan.go.id. 28 Januari 2008 pukul 17.30 WIB. Liu, K. 1997. Soybeans Chemistry, Technology and Utilization. Chapman and Hall, New York. Maharijaya, A. 2008. Hidup di Negara Yang Bercekaman Tinggi. http://awangmaharijaya.wordpress.com. 4 November 2008 pukul 19.30 WIB Mujib, M., D. Setyati dan S. Arimurti. 2000. Efektivitas Bakteri Pelarut Fosfat dan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) Pada Tanah Masam. Montealegre, J.R., et al. 2003. Selection Of Bioantagonistic Bacteria To Be Used In Biological Control Of Rhizoctonia solani In Tomato. Electronic Journal Of Biotechnology ISSN: 0717-3458 Vol 6 No 2. Motsara, M.R., P. Bhattacharyya and B. Srivastava. 1995. Biofertilizer Technology, Marketing and Usage a Sourcebook-cum-Glossary. Fertilizer Development and Consultation Organization. Nasution, 2008. Kenaikan Harga Kedelai Pukulan Telak Bagi Pengusaha Kecil. Http://www.waspada.co.id. 28 januari 2008 pukul 17.52 WIB. Paul, E.A. and F.E. Clark. 1989. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, California. Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Jilid 1. Ponmurugan, P. and C. Gopi. 2006. In Vitro Production of Growth Regulators and Phospatase Activity by Phosphate Solubilizing Bacteria. African Journal of Biotechnology 5 (4): 348. Purwoko, T. 2007. Fisiologi Mikroba. Bumi Aksra, Jakarta. Santoso, M. dan B.A. Haryantini. 2000. Pertumbuhan dan Hasil Cabai Merah (Capsicum annum) Pada Andisol Yang Diberi Mikoriza, Pupuk Fosfor dan 19 Zat Pengatur Tumbuh. http://images.soemarno.multiply.com. November 2008 pukul 17.30 WIB. Saputra, Y.E. 2003. Pupuk Kompos, Keniscayaan Bagi Tanaman. www.chem-is-try.org. 28 Januari 2008 pukul 17.40 WIB. Http:// Sekardini, A. 2005. Pengaruh Inokulasi Mikoriza Vesikuler Arbuskular (MVA) dan Aspergillus niger van Tieghem Terhadap Fosfor Tersedia, Serapan Fosfor dan Derajat Infeksi Pada Akar Albasia (Paraserianthes falcataria (L.) di Tanah Ultisol Jatinagor. Skripsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH)-ITB, Bandung Shamsuddin, Z. 2005. Smart Partnership: Plant-rhizobacteria Associations. Serdang, Malaysia. Simanungkalit, R.D.M dan D.A. Suriadikarta. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Sofia, D. 2007. Respon Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merril) Pada Tanah Masam. Karya Tulis. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Steenish, C.G.G.J., D.D. Hoed., S. Bloembergen dan P.J. Eyma. 1992. Flora. Pradnya Paramita, Jakarta. Sugiri, N. 1992. Biologi Sel. Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB, Bogor. Sumarli. 2007. Manfaat Kacang Kedelai. Desember 2007 pukul 15.45 WIB. Http://susukedelai.com. 1 Suprapta, D.N. 2005. Perlu Gerakan Nasional Penggunaan Pupuk Organik. Http:// www.kompas.com. 28 januari 2008 pukul 17.47 WIB. Suprapto. 2001. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta. Supriadi. 2006. Analisis Risiko Agens Hayati Untuk Pengendalian Patogen Pada Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 25 (3): 75-80. Suryo, B. 1996. Paket Teknologi Tanaman Kedelai Varietas Lokon dan Wilis. Http://www.209.85.175.104/search?q=cache:e83xs32t_80J:124.81.86.181 /agritek/ppua0119.pdf+penyakit+tanaman+kedelai&hl=id&ct=clnk&cd= 10&gl=id&client=firefox-a. 28 Januari 2008 pukul 17.52 WIB. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:318/Kpts/Tp.240/4/1985. Deskripsi Padi dan Palawija. Departemen Pertanian. Tan, K.H. 1994. Environmental Soil Science. Marcel Dekker Inc., New York. Waksman, S.A. 1963. Soil Microbiology. John Willey and sons Inc., New York. Widiastuti, H., Dkk. 2005. Penggunaan Spora Cendawan Mikoriza Arbuskula Sebagai Inokulum Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Serapan Hara Bibit Kelapa Sawit. Menara Perkebunan 73 (1) 26-34. Wijayani, A. dan D. Indradewa. 2004. Deteksi Kahat Hara N, P, K, Mg dan Ca pada Tanaman Bunga Matahari dengan Sistem Hidroponik. Jurnal Agrosains 6 (1): 1-4. Yatim, W. 2003. Kamus Biologi. Yayasan Obor, Jakarta. Yousrey. M, et al. Effect Of Manganese Application On The Activity Of Dissolving Bacteria In A Calcareous Soil Cultivated With Pea Plants. Plants and Soil 47, 335-339. Lampiran 1. Bagan Alir Penelitian Persiapan : Sterilisasi alat dan bahan Pembuatan media Peremajaan stok bakteri dan fungi pelarut fosfat Pembuatan kurva standar dan kurva tumbuh Penanaman benih kedelai sampai tumbuh 2-3 daun utama Pembuatan kultur inokulum Perlukaan pada benih Pembuatan kultur inokulum Inokulasi pada akar Pengambilan akar kedelai dan dilukai Perendaman dalam suspensi mikroba dan kontrol Perendaman dalam suspensi mikroba dan kontrol Penanaman benih kedelai dalam pasir steril Penanaman kembali akar kedelai dalam pasir steril Pengukuran parameter : Tinggi tanaman Lebar daun Jumlah daun Berat kering tanaman Inokulasi pada benih Lampiran 2. Denah Sampel Penelitian PH1-3F PH4-3B PH3-1B (2) (3) (1) PH5-2B PH1-3F PH5-2B (3) (3) (2) PH3-1B PH5-5F3 PH4-3B (3) (2) (2) Kontrol 2 PH1-4F PH4-3B (2) (3) (1) Keterangan: (1) : Ulangan pertama (2) : Ulangan kedua (3) : Ulangan ketiga Kontrol 1 (1) PH1-4F (1) PH5-2B (1) Kontrol 2 (1) PH1-4F (2) Kontrol 1 (2) Kontrol 1 (3) PH5-5F (3) Kontrol 2 (3) PH3-1B (2) PH5-5F (1) PH1-3F (1) Lampiran 3. Isolat Mikroba Pelarut Fosfat Bakteri PH4-3B Bakteri PH3-1B Bakteri PH5-2B Fungi PH5-5F Fungi PH1-4F Fungi PH1-3F Lampiran 9. Pertumbuhan Tanaman Kedelai Fase Perkecambahan Tanaman Umur 3 Minggu Tanaman Umur 1 Minggu Bunga Kedelai Lampiran 4. Nilai Jumlah Sel dan Absorbansi Isolat Mikroba Pelarut Fosfat Bakteri PH3-1B Jam ke0 4 6,5 19,5 Absorbansi 0,003 0,028 0,653 1,377 Jumlah Sel 1,98x1010 cfu/ml 1,55x1014 cfu/ml 7,35x1020 cfu/ml 7x1023 cfu/ml Bakteri PH4-3B Jam ke0 6,5 10,5 26 Absorbansi 0,002 0,04 0,456 1,062 Jumlah Sel 2,65x1011 cfu/ml 1,88x1012 cfu/ml 1,36x1016 cfu/ml 3,4x1021 cfu/ml Bakteri PH5-2B Jam ke0 7,5 9,5 13,5 Absorbansi 0,002 0,053 0,392 0,457 Jumlah Sel 2,06x1013 cfu/ml 2,04x1015 cfu/ml 5,41x1019 cfu/ml 3,66x1022 cfu/ml Lampiran 5. Kurva Standar BPF 2 Absorbansi (nm) 1.5 1 ABSORBANSI 0.5 42 36 30 24 19.5 13.5 9.5 12.5 6.5 5.5 5 4 3 2 0.75 0 0.5 0 y = 0.1177x - 0.3921 R2 = 0.8796 -0.5 Waktu (jam) Kurva Standar Bakteri PH3-1B 1.4 1.2 Absorbansi (nm) 1 0.8 0.6 ABSORBANSI 0.4 0.2 y = 0.0634x - 0.2003 0 -0.2 0 5 10 15 20 25 R2 = 0.8932 -0.4 Waktu (Jam) Kurva Standar Bakteri PH5-2B Chart Title 1.6 Absorbansi (nm) 1.4 1.2 1 Absorbansi 0.8 0.6 0.4 y = 0.0413x - 0.1349 2 R = 0.8986 0.2 0 -0.2 0 5 10 15 20 25 30 -0.4 Waktu (Jam) Kurva Standar Bakteri PH4-3B 35 Lampiran 6. Perkecambahan Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat Pada Benih Perlakuan Kontrol 1.1 Kontrol 1.2 Kontrol 1.3 Kontrol 2.1 Kontrol 2.2 Kontrol 2.3 PH3-1B.1 Hari ke-3 X Perkecambahan Hari ke-4 Hari ke-5 Keterangan X X X X X Tidak berkecambah Tidak berkecambah Tidak berkecambah PH3-1B.2 PH3-1B.3 PH4-3B.1 X PH4-3B.2 PH4-3B.3 PH5-2B.1 PH5-2B.2 PH5-2B.3 PH1-3F.1 PH1-3F.2 PH1-3F.3 PH1-4F.1 PH1-4F.2 PH1-4F.3 PH5-5F.1 PH5-5F.2 Keterangan: Kontrol 1.1 : Kontrol 1 ulangan 1 X : Mulai berkecambah X X X X X X X X X X X X X Lampiran 7. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman Kedelai Setelah Inokulasi Pada Akar Perlakuan Kontrol 1 Kontrol 2 PH3-1B PH4-3B PH5-2B PH1-3F PH1-4F PH5-5F Jumlah Hidup 1 1 1 1 - Jumlah Mati 2 2 3 2 2 3 3 3 Lampiran 8. Pengamatan Parameter Fisik di Rumah Kaca Pengamatan Parameter Fisik Dengan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat Pada Benih Perlakuan Pagi Siang Sore per pot IC pH Kelembaban IC pH Kelembaban IC pH Kelembaban (K (K (K Lux) Lux) Lux) Kontrol 1 1,8 5,4 7 19,7 5,4 6 3,3 5,4 6 Kontrol 2 7 19,3 5,2 6 3,3 5,2 5 2 5,2 PH3-1B PH4-3B 7 19,1 4,2 6 3,2 4,2 5 1,7 4,2 PH5-2B 1,9 4,3 6 18,9 4,3 5 3,2 4,3 4 PH1-3F 1,7 3 7 19 3 4 3,2 3 4 PH1-4F 1,8 3,3 7 19,8 3,3 6 3,3 3,3 6 PH5-5F 2 3,3 6 20,3 3,3 5 3,3 3,3 4 Keterangan: (-) : mati IC : intensitas cahaya Pengamatan Parameter Fisik Dengan Inokulasi Mikroba Pelarut Fosfat Pada Akar Perlakuan Pagi Siang Sore per pot IC pH Kelembaban IC pH Kelembaban IC pH Kelembaban (K (K (K Lux) Lux) Lux) Kontrol 1 1,7 4,2 6 17 4,2 5 2,7 4,2 5 Kontrol 2 1,9 4,3 7 16,3 4,3 5 2,6 4,3 5 PH3-1B PH4-3B 2 4 8 18 4 6 2,9 4 5 PH5-2B 2,1 4,2 8 16,2 4,2 6 3 4,2 6 Keterangan: (-) : mati IC : intensitas cahaya Lampiran 10. Analisa Data Dengan SPSS 7.1a. Hasil Deskriptif Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih kontrol 1 kontrol 2 PH4-3B PH5-2B Total N Ratarata Standar deviasi Standar eror 3 3 3 3 12 42,000 40,833 43,667 40,367 41,717 8,78920 4,25715 6,73226 1,04083 5,24852 5,07445 2,45787 3,88687 0,60093 1,51512 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 20,166 30,258 26,942 37,781 38,381 63,833 51,408 60,390 42,952 45,051 Minimum Maximum 35,50 37,80 36,30 39,20 35,50 7.1b. Hasil Uji Anova Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Jumlah daun 19,457 3 6,486 0,183 0,905 Galat 283,560 8 35,445 Total 303,017 11 H0 : tinggi tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : tinggi tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter tinggi tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat pada benih yaitu 0,905 > 0,05, maka H0 diterima atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi bakteri PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. 52,00 45,70 49,50 41,20 52,00 7.2a. Hasil Deskriptif Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Kontrol 1 Kontrol 2 PH4-3B PH5-2B Total N Ratarata Standar deviasi 3 3 3 3 12 3,6667 5,6667 4,6667 4,3333 4,5833 1,1547 0,5773 1,1547 0,5773 1,0836 Standar eror 0,6666 0,3333 0,6666 0,3333 0,3128 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 0,798 4,232 1,798 2,899 3,894 6,535 7,100 7,535 5,767 5,271 Minimum Maximum 3,00 5,00 4,00 4,00 3,00 5,00 6,00 6,00 5,00 6,00 7.2b. Hasil Uji Anova Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Jumlah daun 6,250 3 2,083 2,500 0,133 Galat 6,667 8 0,833 Total 12,917 11 H0 : jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat pada benih yaitu 0,133 > 0,05, maka H0 diterima atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi bakteri PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. 7.3a. Hasil Deskriptif Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih N Kontrol 1 3 Ratarata Standar deviasi Standar eror 3,433 0,4932 0,2848 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 2,207 4,6587 Minimum 3,10 Maximum 4,00 Kontrol 2 PH4-3B PH5-2B Total 3 3 3 12 3,466 3,466 3,766 3,533 0,4618 0,3055 0,0577 0,3472 0,2666 0,1763 0,0333 0,1002 2,319 2,707 3,623 3,312 4,6140 4,2256 3,9101 3,7540 3,20 3,20 3,70 3,10 4,00 3,80 3,80 4,00 7.3b. Hasil Uji Anova Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Lebar daun 0,220 3 0,073 0,530 0,674 Galat 1,107 8 0,138 Total 1,327 11 H0 : lebar daun pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : lebar daun pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter lebar daun pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat pada benih yaitu 0,674 > 0,05, maka H0 diterima atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi bakteri PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. 7.4a. Hasil Deskriptif Berat Kering Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih kontrol 1 kontrol 2 PH4-3B PH5-2B Total N Ratarata Standar deviasi Standar eror 3 3 3 3 12 0,9763 2,2746 2,8540 2,0072 2,0280 0,5649 0,4273 0,9946 0,2343 0,8862 0,3261 0,2467 0,5742 0,1352 0,2558 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 0,427 1,213 0,383 1,425 1,464 2,379 3,336 5,324 2,589 2,591 Minimum Maximum 0,32 1,99 1,71 1,82 0,32 7.4b. Hasil Uji Anova Berat Kering Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih 1,32 2,77 3,46 2,27 3,46 Jumlah kuadrat 5,549 3,092 8,640 Lebar daun Galat Total Derajat bebas 3 8 11 Kuadrat tengah 1,850 0,386 F Signifikansi 4,786 0,034 H0 : berat kering pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : berat kering pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter berat kering pada tanaman dengan inokulasi bakteri pelarut fosfat pada benih yaitu 0,034 < 0,05, maka H0 ditolak atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi bakteri PH3-1B, PH4-3B dan PH5-2B) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol (uji selanjutnya). 7.4c. Hasil Uji Duncan Berat Kering Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Bakteri Pelarut Fosfat Pada Benih α 0,05 Perlakuan kontrol 1 N 1 0,9763b 3 ab 2 ab PH5-2B 3 kontrol 2 3 2,2746 PH4-3B 3 2,8540a 2,0072 a Sig. 0,077 a, b, dan c Keterangan : huruf kecil yang sama ( (α=5%) 2,0072 0,148 ) menunjukkan tidak berbeda nyata 7.5a. Hasil Deskriptif Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih N kontrol 1 kontrol 2 PH1-3F PH1-4F 3 3 3 3 Ratarata Standar deviasi 42,000 40,833 39,866 24,100 8,7892 4,2575 2,9704 0,0000 Standar eror 5,07445 2,45787 1,71497 0,00000 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas Minimum bawah atas 20,166 63,833 35,50 30,250 51,408 37,80 32,487 47,245 37,50 24,100 24,100 24,10 Maximum 52,00 45,70 43,20 24,10 PH5-5F Total 3 15 32,166 35,793 3,0022 8,0959 1,73333 2,09037 24,708 31,309 39,624 40,276 28,70 24,10 7.5b. Hasil Uji Anova Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Tinggi Tanaman 691,209 4 172,802 7,632 0,004 Galat 226,420 10 22,642 Total 917,629 14 H0 : tinggi tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : tinggi tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter tinggi tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat pada benih yaitu 0,004 < 0,05, maka H0 ditolak atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi fungi PH13F, PH1-4F dan PH5-5F) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol (uji selanjutnya). 7.5c. Hasil Uji Duncan Tinggi Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Perlakuan N α.0,05 1 2 3 bc PH1-4F 3 24,1000 PH5-5F 3 32,1667bc 32,1667ab PH1-3F 3 39,8667ab 39,8667ab kontrol 2 3 40,8333ab 40,8333ab kontrol 1 3 42,0000a Sig. 0,065 0,059 0,612 a, b, dan c Keterangan : huruf kecil yang sama ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α=5%) 33,90 52,00 7.6a. Hasil Deskriptif Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih kontrol 1 kontrol 2 PH1-3F PH1-4F PH5-5F Total N Ratarata 3 3 3 3 3 15 3,6667 5,6667 4,0000 2,0000 2,6667 3,6000 Standar deviasi 1,1547 0,5773 1,0000 0,0000 0,5773 1,4540 Standar eror 0,6666 0,3333 0,5773 0,0000 0,3333 0,3754 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 0,798 4,232 1,515 2,000 1,232 2,794 6,535 7,100 6,484 2,000 4,100 4,405 Minimum Maximum 3,00 5,00 3,00 2,00 2,00 2,00 5,00 6,00 5,00 2,00 3,00 6,00 7.6b. Hasil Uji Anova Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Jumlah Daun 23,600 4 5,900 9,833 0,002 Galat 6,000 10 0,600 Total 29,600 14 H0 : jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter jumlah daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat pada benih yaitu 0,002 < 0,05, maka H0 ditolak atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol (uji selanjutnya). 7.6c. Hasil Uji Duncan Jumlah Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih perlakuan N α 0,05 1 2 3 c PH1-4F 3 2,0000 PH5-5F 3 2,6667bc 2,6667bc kontrol 1 3 3,6667b PH1-3F 3 4,0000b kontrol 2 3 5,6667a Sig. 0,317 0,071 1,000 a, b dan c Keterangan : huruf kecil yang sama ( )menunjukkan tidak berbeda nyata (α=5%) 7.7a. Hasil Deskriptif Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih N kontrol 1 kontrol 2 PH1-3F PH1-4F PH5-5F Total 3 3 3 3 3 15 Ratarata 3,733 3,166 3,200 3,000 3,500 3,320 Standar deviasi 0,4618 0,0577 0,1000 0,0000 0,0000 0,325 Standar eror 0,2666 0,0333 0,0577 0,0000 0,0000 0,0840 Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 2,586 3,023 2,951 3,000 3,500 3,139 4,880 3,310 3,448 3,000 3,500 3,500 Minimum Maximum 3,20 3,10 3,10 3,00 3,50 3,00 4,00 3,20 3,30 3,00 3,50 4,00 7.7b. Hasil Uji Anova Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Lebar daun 1,031 4 0,258 5,684 0,012 Galat 0,453 10 0,045 Total 1,484 14 H0 : lebar daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : lebar daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter lebar daun pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat pada benih yaitu 0,012 < 0,05, maka H0 ditolak atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol (uji selanjutnya). 7.7c. Hasil Uji Duncan Lebar Daun Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih perlakuan N α 0,05 1 2 3 c PH1-4F 3 3,0000 kontrol 2 3 3,1667bc 3,1667bc PH1-3F 3 3,2000bc 3,2000bc PH5-5F 3 3,5000ab 3,5000ab kontrol 1 3 3,7333a Sig. 0,298 0,097 0,209 a, b, dan c Keterangan : huruf kecil yang sama ( ) menunjukkan tidak berbeda nyata (α=5%) 7.8a. Hasil Deskriptif Berat Kering Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih N kontrol 1 3 kontrol 2 3 PH1-3F 3 PH1-4F 3 PH5-5F 3 Total 15 Ratarata Standar deviasi Standar eror Rata-rata pada taraf kepercayaan 95% Batas Batas bawah atas 1,2331 2,2746 2,1025 0,1961 0,7970 1,3207 0,12159 0,42730 1,19726 0,33971 0,69125 0,98746 0,07020 0,24670 0,69124 0,19613 0,39909 0,25496 0,9311 1,2131 0,8717 0,6478 0,9202 0,7738 1,5351 3,3360 5,0767 1,0400 2,5142 1,8675 Minimum Maximum 1,09 1,99 1,26 0,00 0,00 0,00 1,32 2,77 3,47 0,59 1,23 3,47 7.8b. Hasil Uji Anova Berat Kering Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih Jumlah Derajat Kuadrat F Signifikansi kuadrat bebas tengah Lebar daun 9,203 4 2,301 5,172 0,016 Galat 4,448 10 0,445 Total 13,651 14 H0 : berat kering pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. H1 : berat kering pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol. Pada tabel tampak nilai probabilitas (signifikansi) pada parameter berat kering pada tanaman dengan inokulasi fungi pelarut fosfat pada benih yaitu 0,016 < 0,05, maka H0 ditolak atau tinggi tanaman pada ketiga perlakuan (inokulasi fungi PH1-3F, PH1-4F dan PH5-5F) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan tanaman kontrol (uji selanjutnya). 7.8c. Hasil Uji Duncan Berat Kering Tanaman Kedelai Dengan Inokulasi Fungi Pelarut Fosfat Pada Benih α 0,05 perlakuan PH1-4F N PH5-5F 3 1 0,1961b 3 0,7970 2 b ab ab kontrol 1 3 PH1-3F 3 2,1025a kontrol 2 3 2,2746 Sig. 1,2331 a 0,099 a, b, dan c Keterangan : huruf kecil yang sama ( nyata (α=5%) 1,2331 0,097 )menunjukkan tidak berbeda