BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan bersalin adalah perawatan untuk kesejahteraan ibu dan bayi baru lahir selama kehamilan, persalinan dan minggu-minggu pertama atau bulan setelah bayi lahir. Perawatan bersalin meliputi pencegahan, persiapan, pendidikan dan dukungan, dan jika perlu, intervensi. Ada kesepakatan umum bahwa untuk setiap hasil yang diberikan dari kehamilan, seperti kondisi ibu dan bayi baru lahir, hasil ini harus dicapai dengan meminimalkan gangguan proses alami dan otonomi ibu (Enkin et al, 1995). Oleh karena itu bidan dan dokter umum / dokter keluarga (selanjutnya disebut dokter) sebagai penyedia layanan kesehatan primer, dengan fokus pada fisiologi kehamilan dan persalinan. Dokter adalah pilihan pertama untuk memberikan perawatan bersalin bagi ibu berisiko rendah. Dokter SpOG, dengan fokus pada patologi kehamilan dan persalinan, mengkhususkan diri dalam perawatan untuk ibu dengan risiko komplikasi obstetri (Adisasmita et al, 2008). Tapi hampir disemua di negara maju, tempat bersalin telah bergeser dari rumah ke rumah sakit dengan dokter SpOG, kecuali di daerah pedesaan terpencil, dimana dokter SpOG mengambil alih tanggung jawab, tidak hanya untuk persalinan komplikasi tetapi juga untuk persalinan normal (Achadi et al, 2007). Peranan bidan pun telah direduksi menjadi perawat kandungan di rumah sakit Eropa dan dilarang sama sekali di Amerika Utara (DeVries R, 2001). Selain itu, dengan semakin luasnya pengetahuan dalam kedokteran reproduksi dan perkembangan pesat teknologi medis, penekanan dalam perawatan untuk wanita hamil telah bergeser dari aspek fisiologis, persiapan psiko-sosial dan pemeriksaan patologis, ke aspek medis penilaian risiko kandungan, seperti pengujian prenatal, pengobatan kondisi patologis, dan intervensi saat persalinan. Proses ini dikenal sebagai 1 2 'medikalisasi' kehamilan. Dokter telah memberikan kontribusi dengan meninggalkan perawatan maternal kepada sejawat mereka — dokter SpOG (Wiegers, 2003). Proses medikalisasi ini telah menyebabkan kenaikan tingkat sectio caesar serta tingkat intervensi keseluruhan kepada angka yang tidak dapat diterima. Karena ditemukan tidak adanya hubungan langsung dengan morbiditas perinatal dengan angka kematian ibu (Wagner M, 2001). Menurut WHO rasio Sectio Caesaria sebaiknya berkisar antara 5% - 15% (Chalmers et al, 2001), tetapi di banyak negara maju rata-rata jauh lebih tinggi yaitu Jerman 18,9%, Kanada 20,5%, Amerika Serikat 22% (DeClerq & Viisainen, 2001). Satu-satunya cara untuk menghentikan proses medikalisasi ini berlangsung adalah menyadari bahwa kehamilan dan persalinan pada dasarnya merupakan peristiwa fisiologis, yang tidak perlu intervensi medis kecuali dalam keadaan tertentu dan dokter dapat bertindak sesuai prosedur (Wiegers, 2003). Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa ada 12 persen ibu melahirkan dengan sectio caesar. Ibu berusia 35-49 (15%), ibu yang melahirkan anak pertama (14%), ibu di perkotaan (17%), ibu dengan pendidikan menengah dan tinggi (19 dan 25%), dan wealth quintile tertinggi SC adalah 23 persen. Tingkat sectio caesar secara substansial lebih tinggi dari SDKI 2007 (7 persen) (BPS, SDKI 2012). Berdasarkan data SDKI 2012 juga, Sectio Caesar dilakukan karena Prolonged labor (34,5 persen), Excessive Vaginal Bleeding (7,8 persen), Fever/Foul smelling vaginal discharge (8,1 persen), kejang (2,7 persen), pecah ketuban lebih dari 6 jam (22,6 persen), lain-lain (12,6 persen), dan SC tanpa komplikasi/indikasi (44,6 persen) dengan jumlah total kelahiran SC sebanyak 1.878 pada tahun 2012. Pada tahun 2012 angka SC di Propinsi DI Yogyakarta adalah 15,5 persen (BPS, SDKI 2012) Pertanyaannya adalah apakah proses 'medikalisasi' ini dapat diminimalkan, misalnya dokter harus mencoba untuk mendapatkan kembali posisi mereka dalam merawat persalinan normal dan akan membantu untuk mengurangi medikalisasi selanjutnya. Atau memang sebaiknya harus dikembangkan sistem yang berbeda. Misalnya, bidan mengambil tanggung jawab dokter untuk persalinan normal, sehingga 3 dokter tidak dibebani dengan standar kompetensi dan standar pendidikan profesi (Wiegers, 2003). Disisi lain, untuk mencetak dokter yang benar-benar bermutu dan siap terjun bekerja di masyarakat secara mandiri, diperlukan pentahapan atau penjejangan dalam pendidikannya. Untuk itu pendidikan kedokteran dibagi dalam dua tahap yaitu: 1. Tahap pendidikan kedokteran dasar yang berujung dengan gelar dokter. 2. Tahap ”internship” atau latihan kerja dalam rangka pemahiran kompetensi yang telah dicapai sebagai dokter baru untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dan melakukan praktik mandiri (KKI, 2006). Gambar 1.1 Persentase Maternal Provider di Propinsi DIY Sumber: BPS, SDKI 2012 60.1 70 54.9 55.4 60 Percentage 50 37.5 42 38.1 40 30 1.3 20 10 0 1.5 1.1 2.9 0 0 TBA GP/FP ANC Obstetrician INC Nurse/midwife PNC Tahap pendidikan kedokteran dasar sebagai pendidikan universitas lebih diarahkan untuk melatih kemampuan berpikir, daya analisis, dan berpikir kritis dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi. Hasil yang diharapkan adalah dokter layanan primer yang mampu menerapkan pendekatan kedokteran keluarga dengan ilmu kedokteran dan keterampilan dasar yang handal (KKI, 2006). Secara umum, Puskesmas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat 4 terbagi menjadi tiga klinik. Yaitu Klinik Pengobatan Umum, Klinik Gigi dan Mulut, serta Klinik KIA. Ada beberapa Puskesmas yang juga memberikan layanan untuk Klinik Gizi, dan Klinik Sanitasi pada hari-hari tertentu. Dan yang menjadi perhatian adalah, mengapa dokter jarang melakukan pemeriksaan maternal di Klinik KIA. Padahal secara kompetensi, dokter lebih well-educated dan well-trained dibandingkan bidan (Baldwin et al, 1992) di Klinik KIA. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka di rumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah peran dokter dalam pelayanan kesehatan maternal di Puskesmas di Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk meningkatkan kualitas pelayanan Maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui peran dokter dalam memberikan pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. b. Untuk mengetahui opini dan persepsi dokter, dokter SpOG, dan bidan tentang peran dokter dalam memberikan pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini diharapan dapat menjadi salah satu masukan bagi Instansi yang terkait dalam menentukan kebijakan kesehatan lokal terhadap upaya peningkatan mutu pelayanan Maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. 5 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan kreativitas Puskesmas dalam rangka peningkatan mutu pelayanan Maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. 3. Sebagai bahan evaluasi untuk Kurikulum Pendidikan Dokter di Indonesia 4. Sebagai bahan masukan untuk merumuskan kembali kebijakan kesehatan maternal nasional. E. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang lingkup waktu Penelitian dilakukan mulai dari riset pustaka, pembuatan proposal, penelitian lapangan, sampai ujian tesis mulai bulan Juli 2013 sampai dengan Februari 2014 2. Ruang lingkup tempat Tempat penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta, dengan sampel dokter Puskesmas sebanyak 36 orang di 18 Puskesmas. 3. Ruang lingkup materi Pengambilan bahan dan materi penelitian adalah dokter dalam cakupan pelayanan maternal di Puskesmas Kota Yogyakarta. F. Keaslian Penelitian Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Namun penelitian lain yang berhubungan dengan peran dokter dalam pelayanan maternal pada Pelayanan Kesehatan Primer, serta perbedaannya dengan penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut: 1. Judul Penelitian: Role of general practitioners in primary maternity care in South Australia and Victoria (Australian and New Zealand Journal of Obstetrics and Gynaecology 2009; 49: 637–641). Peneliti: Georgina Sutherland, Penny Marlowe, Jane Yelland, and Stephanie Brown, Jan Wiebe, Jennifer Kelly. 6 Metode Penelitian: Semua rumah sakit umum dan swasta dengan fasilitas bersalin di South Australia dan Victoria dikirimkan survei untuk meminta informasi tentang organisasi dan penyediaan perawatan bersalin. Jenis Penelitian: non-Eksperimental. Hasil Penelitian: Meskipun munculnya model perawatan kebidanan primer berbasis masyarakat, khusus untuk dokter tetap sebagai penyedia utama perawatan obstetri. Jelas bahwa kebijakan pelayanan maternal perlu fokus pada mendukung dokter untuk mempertahankan peran mereka dalam penyediaan perawatan bersalin, termasuk dukungan untuk tim multidisiplin dan pengaturan perawatan bersama. Perbedaan: Penelitian ini hanya untuk melihat apakah dokter di Puskesmas bersedia untuk melakukan pelayanan Maternal. 2. Judul Penelitian: Family physicians in maternity care: Still in the game? Report from the CFPC’s Janus Project (Canadian Family Physician, VOL 46: March 2000) Peneliti: Reid, A.J., Grava-Gubins, J.C. Carroll Metode Penelitian: Sampel acak dari dokter keluarga dan dokter umum, baik anggota maupun non-anggota College dengan kohort studi pasien. Hasil Penelitian: Lebih dari 50% dari semua dokter keluarga di Kanada terlibat dalam beberapa aspek perawatan bersalin, 19% melakukan perawatan intrapartum, dan 33% terlibat dalam prenatal (shared) perawatan. Proporsi yang sama dokter laki-laki dan perempuan masih melakukan perawatan intrapartum, tetapi untuk perawatan kehamilan, dokter wanita lebih banyak. Dokter keluarga didaerah rural lebih banyak melakukan perawatan intrapartum dibandingkan dengan dokter di daerah perkotaan, meskipun di perkotaan cenderung lebih banyak partus. Sebuah penurunan bertahap dalam persentase pengasuh intrapartum oleh peningkatan kelompok usia antara 55-64 tahun. Hampir seperempat dari dokter wanita dibawah 35 tahun melakukan perawatan intrapartum. Kebanyakan dokter hanya melakukan perawatan prenatal (shared). 7 Perbedaan: Studi cross-sectional dengan kuesioner dan terbatas hanya pada dokter di Puskesmas Kota Yogyakarta (PNS). 3. Judul Penelitian: General practitioners’ views on the implementation of community-led maternity care in South Camden, London (British Journal of General Practice, January 1997). Peneliti: Anne Fleissig, Debra Kroll, Mark McCarthy. Metode Penelitian: Kuesioner kepada dokter yang memberikan perawatan antenatal untuk menjelaskan peran mereka dan hubungan dengan para profesional lain. Jenis Penelitian: non-Eksperimental. Hasil Penelitian: Sebagian besar merasa puas dengan pengaturan saat ini, hanya minoritas merasa bahwa beban kerja, praktek klinis, atau komunikasi dengan tim obstetri telah diubah. Perbedaan: Survey kepada dokter Puskesmas di Kota Yogyakarta untuk perawatan Maternal, termasuk wawancara pada dokter SpOG dan bidan. 4. Judul Penelitian: Opinions of general practitioners in Nottinghamshire about provision of intrapartum care (British Medical Journal v.39, September 1994). Peneliti: David J Brown. Metode Penelitian: Postal Kuesioner survey tentang keterlibatan dokter dalam perawatan bersalin, dan keyakinan diri dokter pada perawatan intrapartum. Jenis Penelitian: non-Eksperimental. Hasil Penelitian: Keterlibatan dokter dalam perawatan intrapartum di Nottinghamshire rendah, dan dokter tidak mau meningkatkan peran mereka. Perbedaan: Survey dibatasi hanya kepada dokter Puskesmas di Kota Yogyakarta dan tidak dilakukan pada dokter praktek swasta.