BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Keagenan dalam Mencapai Nilai Perusahaan Konsep agency theory menurut Anthony dan Govindarajan (1995:569) Ma’ruf (2006:15) adalah hubungan atau kontak antara principal dan agent. dalam Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal kepada agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agent mereka. Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami hubungan antara manajer dan pemegang saham. Jensen dan Meckling (1976) dalam Sam’ani (2008) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemegang saham (principal). Hubugan keagenan tersebut terkadang menimbulkan masalah antara manajer dan pemegang saham. Konflik yang terjadi karena manusia adalah makhluk ekonomi yang mempunyai sifat dasar mementingkan kepentingan diri sendiri. Pemegang saham dan manajer memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi. Akibat yang terjadi adalah munculnya konflik kepentingan. Pemegang saham menginginkan pengembalian yang lebih besar dan secepat-cepatnya atas investasi yang mereka tanamkan sedangkan manajer menginginkan kepentingannya diakomodasi dengan pemberian kompensasi atau insentif yang sebesar-besarnya atas kinerjanya dalam menjalankan perusahaan. Jensen dan Mackling (1976) dalam Mai (2006), menyatakan bahwa agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan 20 kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk kepentingan dirinya dan tidak berdasar pada pemaksimuman nilai perusahaan dalam pengambilan keputusan pendanaan. Manajemen tidak menanggung risiko atas kesalahan pengambilan keputusan, risiko tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham. pemilik perusahaan tidak terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan dan manajer merupakan orang yang dibayar untuk mengoperasikan perusahaan, maka manajer secara operasional bekerja independen terlepas dari campur tangan pemilik, kecuali dalam penentuan kebijakan umum. Berdasarkan asumsi tersebut ada kemungkinan bahwa, manajer menggunakan dana yang tersedia untuk investasi yang berlebihan, karena hal ini akan meningkatkan kesejahteraannya dari pada mendistribusikannya kepada pemegang saham. Manajer sebagai agen pemegang saham akan mengambil tindakan yang hanya memaksimumkan kepentingannya sendiri bila saja tidak ada insentif lain atau tidak dimonitor. Bila hal ini terjadi tentunya tidak akan konsisten dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. Eisenhardt (1989), dalam Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: 1. Manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest) 2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality) 3. Manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Dari asumsi sifat dasar manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang sering terjadi antara manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar tersebut. Manajer dalam mengelola perusahaan cenderung mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Dengan perilaku opportunities dari manajer, manajer bertindak untuk mencapai kepentingan mereka sendiri, padahal sebagai manajer seharusnya memihak kepada kepentingan pemegang saham karena mereka adalah pihak yang memberi kuasa manajer untuk menjalankan perusahaan. Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan diatas maka teori keagenan itu menjelaskan suatu konflik antara pemegang saham dengan manajer karena adanya perbedaan tujuan antara pemegang saham dengan manajer yaitu pemegang 21 saham menginginkan pengembalian investasi yang besar dan cepat sedangkan manajer menginginkan kepentingannya diakomodasi dengan pemberian kompensasi atau insentif yang sebesar-besarnya atas kinerjanya dalam menjalankan perusahaan. 2.2 Saham 2.2.1 Pengertian Saham Menurut beberapa ahli, dikemukakan bahwa pengertian saham antara satu sama lain tidak jauh berbeda, hanya dari kajian teori yang berbeda. Definisi saham menurut Saleh Basir dan H.M. Fakhrudin (2005:11-18) adalah: Saham (Stock) merupakan surat berharga yang menunjukkan kepemilikan seseorang investor di dalam suatu perusahaan. Artinya jika seseorang membeli saham suatu perusahaan, berarti dia telah menyertakan modal ke dalam perusahaan tersebut sebanyak jumlah saham yang dibeli. Saham merupakan surat berharga yang dikeluarkan sebuah perusahaan dalam rangka menambah modal disetor perusahaan tersebut. Sedangkan definisi saham menurut Riyanto (1997:240): Saham adalah tanda bukti pengambilan bagian atau peserta dalam suatu Perseroan Terbatas. Bagi perusahaan yang bersangkutan, yang diterima dari hasil penjualan sahamnya akan tetap tertanam di dalam perusahaan tersebut selama hidupnya, meskipun bagi pemegang saham sendiri itu bukanlah penanaman yang permanen, karena setiap waktu pemegang saham dapat menjual sahamnya. Saham merupakan surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan yang go public dalam rangka menambah kebutuhan modalnya secara murah melalui mekanisme yang disebut pasar modal untuk menambah modal disetor perusahaan tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk membayar bunga. Sebagai imbalannya manajemen perusahaan akan berusaha sekuat tenaga menjaga agar harga saham yang diperdagangkan 22 melalui pasar bursa tetap tinggi agar investor mendapatkan gain ataupun dividen. Menurut Darmadji (2001:6) saham terbagi atas: 1. Saham biasa (Common Stock) adalah surat berharga sebagai bukti penyertaan atau kepemilikan individu maupun institusi atas suatu perusahaan. 2. Saham Preferen (Preferen Stocks) adalah adalah bentuk antara obligasi dan saham milik karena saham tipe ini mempunyai pembayaran deviden tetap menyerupai bunga pada obligasi, tetapi juga tidak mempunyai hari jatuh tempo seperti saham milik. Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan diatas maka teori yang sesuai adalah teori yang dikemukakan oleh Riyanto (1997) karena mencerminkan suatu kepemilikan bagian atas perseroan terbatas yang suatu waktu bukti kepemilikan tersebut dapat dijual kembali. 2.3 Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset. Menurut Husnan (1995:4) Nilai Perusahaan adalah harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris. Menurut Mardiyanto (2009:182), nilai perusahaan adalah nilai sekarang dari serangkaian arus kas masuk yang akan dihasilkan perusahaan pada masa mendatang. 23 Gambar 2.1 Proses Terjadinya Nilai Perusahaan Faktor Pasar: - Kondisi Ekonomi - Peraturan Pemerintah - Persaingan (Domestik dan Asing) Faktor Peruasahaan: - Operasi (Pendapatan & Beban) - Keputusan Pendanaan - Keputusan Investasi - Kebijakan Dividen Arus Kas Bersih Faktor Investor: - Pendapatan/Tabungan - Usia/Gaya Hidup - Tingkat Bunga - Preferensi Risiko Nilai Perusahaan Tingkat Imbal Hasil Sumber: Mardiyanto (2009:182) Pada gambar diatas mengungkapkan bahwa ramai atau lesunya pasar sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, peraturan pemerintah, dan iklim persaingan (baik domestik maupun asing). Kondisi pasar tentu akan mempengaruhi kinerja perusahaan secara internal dan juga tanggapan para investor (pemilik dana). Kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja operasi, pendanaan, investasi, dan kebijakan dividen yang menentukan besarnya arus kas yang dihasilkan. Di sisi lain, keputusan investor untuk menanamkan dananya di sektor riil atau finansial ditentukan oleh dana yang dimiliki (pendapatan/tabungan), usia, tingkat bunga, dan preferensi terhadap risiko yang menentukan besarnya imbal hasil yang diminta oleh investor. Interaksi dari kondisi pasar, kinerja internal perusahaan, dan perilaku investor pada akhirnya menentukan nilai suatu perusahaan, yang akan tercermin dari harga saham perusahaan bersangkutan di pasar modal. Sartono (2001:7) menjelaskan bahwa tujuan pokok yang ingin dicapai oleh perusahaan adalah memaksimumkan profit, pandangan ini semakin lama telah bergeser akibat kelemahan-kelemahan yang ditemui dalam tujuan ini. Kelemahan dari tujuan memaksimumkan profit antara lain: 24 1. Standar ekonomi mikro dengan memaksimalkan profit adalah bersifat statis karena tidak memperlihatkan dimensi waktu, sehingga tidak ada perbedaan antara profit dalam jangka pendek dan profit dalam jangka panjangnya. 2. Pengertian profit itu sendiri, apakah memaksimumkan jumlah profit secara nominal, atau hanya sebatas tingkat profitnya. 3. Menyangkut resiko yang berkaitan dengan alternatif keputusan, memaksimumkan profit tanpa mempertimbangkan resiko yang akan terjadi adalah suatu kesalahan fatal. 4. Memaksimumkan profit bisa saja dilakukan dengan menanamkan dana hasil penjualan melalui deposito, namun pemegang saham akan meminta tingkat keuntungan yang lebih besar dari tingkat deposito atas resiko yang lebih besar, sehingga harga pasar menurun akibatnya nilai perusahaan akan menurun pula. Agus Sartono (2001:8) mengemukakan bahwa berdasarkan kelemahan tersebut maka nilai perusahaan akan bergeser menjadi bentuk memaksimumkan tujuan perusahaan melalui peningkatan kemakmuran para pemegang saham (maximization wealth of stockholders), kemakmuran pemegang saham meningkat apabila harga saham yang dimiliknya meningkat. Nilai perusahaan pada perusahaan publik ditentukan oleh pasar saham, sedangkan nilai perusahaan yang sahamnya tidak diperdagangkan kepada publik juga sangat dipengaruhi oleh pasar yang sama. Menurut J. Keown, Scott, dan Martin (2004:849) dalam Pujiati (2009), terdapat variabel-variabel kuantitatif yang dapat digunakan untuk memperkirakan nilai suatu perusahaan, antara lain: a. Nilai buku Nilai buku merupakan jumlah aktiva dari neraca dikurangi kewajiban yang ada atau modal pemilik. Nilai buku tidak menghitung nilai pasar dari suatu perusahaan secara keseluruhan karena perhitungan nilai buku berdasarkan pada data historis dari aktiva perusahaan. 25 b. Nilai pasar perusahaan c. Nilai apprasial Nilai pasar saham adalah suatu pendekatan untuk memperkirakan nilai bersih dari suatu bisnis. Apabila saham didaftarkan dalam bursa sekuritas dan secara luas diperdagangkan, maka pendekatan nilai dapat dibangun berdasarkan nilai pasar. Pendekatan nilai merupakan suatu pendekatan yang paling sering digunakan dalam menilai perusahaan besar, dan nilai ini dapat berubah dengan cepat. Perusahaan yang berdasarkan appraiser independent akan mengijinkan pengurangan terhadap goodwill apabila harga aktiva perusahaan meningkat. Goodwill dihasilkan sewaktu nilai pembelian perusahaan melebihi nilai buku aktivanya. d. Nilai arus kas yang diharapkan Nilai ini dipakai dalam penilaian merger atau akuisisi. Nilai sekarang dari arus kas yang telah ditentukan akan menjadi maksimum dan harus dibayar oleh perusahaan yang ditargetkan (target firm), pembayaran awal kemudian dapat dikurangi untuk menghitung nilai bersih sekarang dari merger. Nilai sekarang (present value) adalah arus kas bebas dimasa yang akan datang. Harga pasar saham mencitrakan nilai perusahaan. Peningkatan harga pasar saham menunjukkan kondisi nilai perusahaan yang semakin baik. Harianto dan Sudomo (1998:228) menyatakan apabila earning terus meningkat maka harga saham perusahaan diprediksikan akan mengalami kenaikan. Earning yang meningkat akan menyebabkan harga saham meningkat dan otomatis akan menaikan return saham. Pengukuran nilai perusahaan selain dengan q ratio Philp L. Cooley (1988:178) dalam Mai (2006), dapat juga dengan menggunakan indikator lain sebagaimana yang diperkenalkan oleh Scott W. Banhart (1994:9), yaitu dengan menggunakan price to book value (PBV). Pengukuran nilai perusahaan yang lain dapat juga digunakan price to sale ratio (PSR), yang mengukur firm value dengan membagi nilai pasar saham (jumlah lembar saham yang beredar kali harga pasar saham perlembar) dengan sales, Charles. P Jones (1996:462) dalam Ruhadi (2009). 26 Pengukuran nilai perusahaan dalam penelitian ini akan menggunakan indikator sebagaimana yang diperkenalkan oleh Banhart (1994:9), yaitu dengan menggunakan price to book value (PBV). Dengan demikian, nilai perusahaan digunakan adalah, nilai perusahaan untuk para pemegang saham. PBV ini yang diperoleh dengan cara membagi harga per lembar saham dengan nilai buku per lembar saham. Harga saham akan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di bursa, sedangkan nilai buku per lembar saham diperoleh dengan membagi total equity dengan jumlah saham yang beredar. Brigham (1999:92), rumus untuk menentukan Price to Book Value (PBV), adalah sebagai berikut: PBV = Harga per Lembar Saham Nilai Buku per Lembar Saham Dimana: Nilai buku per lembar saham = Total Equity Jumlah Saham yang Beredar Untuk mengerti “nilai” yang sesungguhnya, seorang penilai harus mempunyai pandangan jangka panjang, mengerti arus kas perusahaan baik dari segi neraca maupun laporan laba rugi, dan mengerti bagaimana membandingkan arus kas untuk masing-masing periode waktu dengan menyesuaikan pada tingkat resiko pada masing-masing periode. Berdasarkan beberapa teori-teori yang telah dijelaskan diatas, maka teori yang lebih sesuai dalam mengukur nilai perusahaan adalah teori yang dikemukakan oleh Banhart (1994) yaitu dengan menggunakan PBV. Karena, PBV dapat mengukur secara mudah dan tepat dibandingkan dengan menggunakan Tobin’s q, total nilai pasar perusahaan (numerator) dan nilai pengganti dari aset (denominator) tidak dapat mengukur secara tepat. 27 2.4 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan suatu gambaran besar atau kecilnya ukuran perusahaan yang dilihat dari total aktiva pada suatu perusahaan. Menurut Brigham (2001:117-119), ukuran perusahaan adalah rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil daripada biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian. Menurut Riyanto (1995:299-300), suatu perusahaan besar adalah perusahaan yang sahamnya tersebar sangat luas, kemungkinan hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak yang dominan terhadap perusahaan bersangkutan atau tergesernya pengendalian dari pihak yang dominan terhadap perusahaan bersangkutan. Sedangkan pada perusahaan yang kecil, dimana sahamnya tersebar hanya di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Merujuk pada Banhart (1994:9) dalam Mai (2006) bahwa ukuran perusahaan dilihat dari besar atau kecilnya suatu perusahaan yang dilihat dari Total Asset suatu perusahaan. Besarnya Total Asset suatu perusahaan maka mencerminkan besarnya ukuran perusahaan tersebut. Menurut (Ronald Clapham, 1996), ukuran perusahaan yang biasa dipakai untuk menentukan tingkatan perusahaan adalah: 1. Tenaga kerja, merupakan jumlah pegawai tetap dan honorer yang terdaftar atau bekerja diperusahaan pada suatu saat tertentu. 2. Tingkat penjualan, merupakan volume penjualan suatu perusahaan pada suatu periode tertentu misalnya satu tahun. 3. Total hutang ditambah dengan nilai pasar saham biasa perusahaan yang merupakan jumlah hutang dan nilai pasar saham biasa perusahaan pada saat atau suatu tanggal tertentu 4. Total aktiva (assets), yang merupakan keseluruhan aktiva yang dimilikiperusahaan pada saat tertentu. 28 Merujuk penelitian Lusiana (2006) dalam Rendro Kristianto (2010), menunjukkan bahwa perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses lebih besar untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai sumber, yang sehingga untuk memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan persaingan atau bertahan dalam industri. Dengan demikian berdasar pada agency theory perusahaan yang mendapatkan akses pendanaan yang besar akan diawasi (monitoring) oleh para kreditur sehingga manajer dipaksa untuk bekerja lebih efisien dalam meningkatkan profitabilitas perusahaan. Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan diatas maka teori yang sesuai dalam mengukur Ukuran Perusahaan adalah teori yang dikemukakan oleh Banhart (1994) bahwa ukuran perusahaan ditentukan dengan menggunakan total asset. Karena, total asset lebih menggambarkan besar atau kecilnya suatu perusahaan. Apabila total asset besar maka modal yang ditanam pada perusahaan tersebut besar, sehingga menarik banyak investor untuk menanamkan sahamnya. Dengan demikian harga saham akan tinggi yang mencerminkan nilai perusahaan tersebut tinggi. 2.5 Struktur Modal Struktur modal merupakan perimbangan antara utang dengan modal yang dimiliki perusahaan. Salah satu isi penting yang sering dihadapi oleh manajer suatu perusahaan adalah menentukan perimbangan yang tepat antara utang dengan modal. Manajer mempunyai kecenderungan untuk menggunakan arus kas bebas (free cash flow) yang tersedia untuk digunakan pada aktivitas yang tidak dalam kepentingan terbaik dari para pemegang saham. Dengan demikian dalam penggunaan free cash flow akan menjadikan struktur modal perusahaan didominasi oleh ekuitas. 29 Menurut Riyanto (1999:22): Struktur modal adalah pembelanjaan yang mencerminkan perimbangan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Struktur modal tercermin pada hutang jangka panjang dan unsur-unsur modal sendiri, kedua golongan tersebut merupakan dana jangka panjang. Menurut Ahmad Rodoni dan Indo Yama Nasaruddin (2007): Struktur modal / capital structure: Berkaitan dengan struktur pembelanjaan permanen perusahaan yang terdiri dari hutang jangka panjang dan modal sendiri. Dengan demikian struktur modal hanya merupakan sebagian saja dari bagian struktur keuangan. Struktur keuangan mencerminkan perimbangan baik dalam artian absolut maupun relatif antara keseluruhan modal asing (baik jangka pendek maupun jangka panjang) dengan jumlah modal sendiri. Arifin (2005:77) menyatakan struktur modal merupakan kombinasi hutang dan ekuitas dalam struktur keuangan jangka panjang perusahaan. Tidak seperti rasio hutang yang hanya menggambarkan target komposisi hutang dan ekuitas dalam jangka panjang pada suatu perusahaan. Menurut Brigham (2001:39): Ada beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal, yaitu: 1. Stabilitas penjualan Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya tidak stabil. 2. Struktur aktiva Perusahaan yang aktivanya sesuai untuk dijadikan jaminan kredit cenderung lebih banyak menggunakan utang. 3. Leverage operasi Jika hal-hal lain tetap sama, perusahaan dengan leverage operasi yang lebih kecil cenderung lebih mampu untuk memperbesar leverage keuangan karena ia akan mempunyai resiko bisnis yang lebih kecil. 30 4. Tingkat pertumbuhan Jika hal-hal lain tetap sama, perusahaan yang tumbuh dengan pesat harus lebih banyak mengandalkan modal eksternal. Namun, pada saat yang sama perusahaan yang memiliki pertumbuhan yang pesat sering menghadapi ketidakpastian yang lebih besar, yang cenderung mengurangi keinginannya untuk menggunakan hutang. 5. Profitabilitas Pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi hanya menggunakan hutang yang relatif kecil. Meskipun tidak ada pembenaran teoritis mengenai hal ini, namun penjelasan praktis atas kenyataan ini adalah bahwa perusahaan yang sangat menguntungkan memang tidak memerlukan banyak pembiayaan dengan hutang. Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan mereka untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan mereka dengan dana yang dihasilkan secara internal. 6. Pajak Bunga merupakan beban yang dapat dikurangkan untuk tujuan perpajakan, dan pengurangan tersebut sangat bernilai bagi perusahaan yang terkena tarif pajak yang tinggi. 7. Pengendalian Pengaruh hutang lawan saham terhadap posisi pengendalian manajemen dapat mempengaruhi struktur modal. Apabila manajemen saat ini mempunyai hak suara untuk mengendalikan perusahaan (mempunyai saham lebih dari 50%) tetapi sama sekali tidak diperkenankan untuk membeli saham tambahan, mereka mungkin akan memilih hutang untuk pembiayaan baru. Di lain pihak, manajemen mungkin memutuskan untuk menggunakan ekuitas jika kondisi keuangan perusahaan sangat lemah sehingga penggunaan hutang dapat membawa perusahaan pada resiko kebangkrutan, karena jika perusahaan bangkrut maka para manajer akan mengambil resiko pengambilalihan. Jadi, pertimbangan pengendalian tidak selalu menghendaki penggunaan hutang atau ekuitas karena jenis modal yang memberi perlindungan terbaik bagi manajemen. 8. Sikap manajemen Karena tidak seorang pun dapat membuktikan bahwa struktur modal yang satu akan membuat harga saham tinggi daripada struktur modal yang lainnya, manajemen dapat melakukan pertimbangan sendiri terhadap struktur modal yang tetap. 9. Sikap pemberi pinjaman dan lembaga penilai peringkat Tanpa memperhatikan analisis para manajer atas faktor-faktor penggunaan hutang yang tepat bagi perusahaan, sikap pemberi pinjaman dan perusahaan penilai peringkat seringkali mempengaruhi keputusan struktur 31 keuangan. Dalam sebagian besar kasus, perusahaan membicarakan struktur modalnya dengan memberi pinjaman dan lembaga penilai peringkat serta sangat memperhatikan masukan yang diterima. 10. Kondisi pasar Kondisi di pasar saham dan pasar obligasi mengalami perubahan jangka panjang dan pendek yang sangat berpengaruh struktur modal perusahaan yang optimal. 11. Kondisi internal perusahaan Kondisi internal perusahaan juga berpengaruh terhadap struktur modal yang ditargetkan. 12. Fleksibilitas keuangan Mempertahankan fleksibilitas keuangan, jika dilihat dari sudut pandang operasional berarti mempertahankan kapasitas cadangan yang memadai. Menurut Riyanto (2001:238), struktur modal suatu perusahaan secara umum terdiri atas beberapa komponen, yaitu: 1. Modal Sendiri (Shareholder Equity) Modal sendiri adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan dan yang tertanam dalam perusahaan untuk waktu yang tidak tertentu lamanya. Modal sendiri berasal dari sumber intern maupun ekstern. Sumber intern berasal dari keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan, sedangkan sumber ekstern berasal dari modal yang berasal dari pemilik perusahaan. Terdiri dari modal saham dan laba ditahan. a. Modal Saham adalah tanda bukti pengambilan bagian atau peserta dalam suatu Perseroan Terbatas (PT.), dimana modal saham terdiri dari: 1) Saham Biasa (Common Stock) Saham biasa adalah bentuk komponen modal jangka panjang yang ditanamkan oleh investor, dimana pemilik saham ini, dengan memiliki saham tersebut berarti pemilik saham membeli prospek dan siap menanggung segala risiko sebesar dana yang ditanamkan. 32 2) Saham Preferen (Preferred Stock) Saham preferen bentuk komponen modal jangka panjang yang merupakan kombinasi antara modal sendiri dengan hutang jangka panjang. b. Laba Ditahan Laba ditahan adalah sisa laba dari keuntungan yang dibayarkan sebagai deviden. Komponen modal sendiri ini merupakan modal dalam perusahaan yang dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha maupun risiko kerugian-kerugian lainnya. Modal sendiri ini tidak memerlukan adanya jaminan atau keharusan untuk pembayaran kembali dalam setiap keadaan maupun tidak adanya kepastian tentang jangka waktu pembayaran kembali modal yang disetor. Oleh karena itu, tiap-tiap perusahaan harus mempunyai sejumlah minimum modal yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Modal sendiri yang bersifat permanen akan tetap tertanam dalam perusahaan dan dapat diperhitungkan pada setiap saat untuk memelihara kelangsungan hidup serta melindungi perusahaan dari resiko kebangkrutan. Modal sendiri merupakan sumber dana perusahaan yang paling tepat untuk diinvestasikan pada aktiva tetap yang bersifat permanen dan pada investasi-investasi yang menghadapi resiko kerugian/kegagalan yang relatif besar. Karena suatu kerugian/kegagalan dari investasi tersebut dengan alasan apapun merupakan tindakan membahayakan bagi kontinuitas atau kelangsungan hidup perusahaan. 2. Modal Asing/Hutang Jangka Panjang (Long Term Debt) Modal asing atau hutang jangka panjang adalah hutang yang jangka waktunya lebih dari sepuluh tahun. Hutang jangka panjang ini pada umumnya digunakan untuk membelanjai perluasan perusahaan 33 (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan, karena kebutuhan modal untuk keperluan tersebut meliputi jumlah yang besar. Adapun jenis dari a) Pinjaman Obligasi adalah pinjaman uang untuk jangka waktu yang panjang, dimana debitur mengeluarkan surat pengakuan utang yang mempunyai nominal tertentu. Pelunasan atau pembayaran kembali pinjaman obligasi dapat diambil dari penyusutan aktiva tetap yang hutang jangka panjang adalah pinjaman obligasi dan pinjaman hipotik. dibelanjai dengan pinjaman obligasi tersebut dan dari keuntungan. b) Pinjaman Hipotik adalah pinjaman jangka panjang di mana pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik terhadap suatu barang tidak bergerak, agar supaya bila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya, barang itu dapat dijual dan hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk menutup tagihannya. Modal asing/hutang jangka panjang di lain pihak, merupakan sumber dana bagi perusahaan yang harus dibayar kembali dalam jangka waktu tertentu. Semakin lama jangka waktu dan semakin ringannya syaratsyarat pembayaran kembali hutang tersebut akan mempermudah dan memperluas bagi perusahaan untuk memberdayagunakan sumber dana yang berasal dari modal asing/hutang jangka panjang tersebut. Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan diatas teori yang sesui dengan struktur modal adalah teori yang dikemukakan oleh Riyanto (1994), karena Struktur modal tercermin pada hutang jangka panjang dan unsur-unsur modal sendiri, kedua golongan tersebut merupakan dana jangka panjang. 2.5.1 Leverage Salah satu faktor penting dalam unsur pendanaan adalah hutang (leverage). Solvabilitas (leverage) digambarkan untuk melihat sejauh mana asset perusahaan dibiayai oleh hutang 34 dibandingkan dengan modal sendiri (Weston dan Copeland, 1992) dalam Yangs Analisa (2011). Sedangkan Kusumawati dan Sudento (2005) menggambarkan leverage sebagai kemampuan perusahaan untuk membayar hutangnya dengan menggunakan ekuitas yang dimilikinya. Leverage dapat dipahami sebagai penaksir dari resiko yang melekat pada suatu perusahaan. Artinya, leverage yang semakin besar menunjukkan risiko investasi yang semakin besar pula. Perusahan dengan rasio leverage yang rendah memiliki risiko leverage yang lebih kecil. Dengan tingginya rasio leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingakan dengan total asetnya (Horne, 1997) dalam Yangs Analisa (2011). Karena leverage merupakan rasio yang menghitung seberapa jauh dana yang disediakan oleh kreditur, juga sebagai rasio yang membandingkan total hutang terhadap keseluruhan aktiva suatu perusahaan, maka apabila investor melihat sebuah perusahaan dengan asset yang tinggi namun resiko leverage-nya juga tinggi, maka akan berpikir dua kali untuk berinvestasi pada perusahaan tersebut. Karena dikhawatirkan aset tinggi tersebut di dapat dari hutang yang akan meningkatkan risiko investasi apabila perusahaan tidak dapat melunasi kewajibanya tepat waktu. Keputusan manajemen untuk berusaha menjaga agar rasio leverage tidak bertambah tinggi mengacu pada teori pecking order teory menyatakan bahwa perusahaan menyukai internal financing dan apabila pendanaan dari luar (eksternal financing) diperlukan. Maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu obligasi kemudian diikuti sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila belum mencukupi, perusahaan akan menerbitkan saham. 35 Pada intinya apabila perusahaan masih bisa mengusahakan sumber pendanaan internal maka sumber pendanaan eksternal tidak akan diusahakan. Maka dapat disimpulkan rasio leverage yang tinggi menyebabkan turunnya nilai perusahaan (Weston dan Copeland, 1992) dalam Yangs Analisa (2011). 2.5.2 Teori Statis (Balance Theory/Trade Off) Brigham (2001:31) Pada tahun 1958 Modligiani dan Miller (MM) menunjukkan bukti bahwa nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modal, bukti tersebut dengan berdasarkan serangkaian asumsi antara lain, tidak ada biaya broker (pialang), tidak ada pajak, tidak ada biaya kebangkrutan, para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perseroan, semua investor mempunyai informasi yang sama, Earning Before Interest and Tax (EBIT) tidak dipengaruhi oleh biaya hutang. Dengan hasil tersebut menunjukkan kondisi-kondisi di mana struktur modal tidak relevan, MM juga memberikan petunjuk agar struktur modal menjadi relevan sehingga akan mempengaruhi nilai perusahaan. Menurut Brigham dan Houston (2001:34) Teori trade-off dari leverage adalah teori yang menjelaskan bahwa struktur modal yang optimal ditemukan dengan menyeimbangkan manfaat dari pendanaan dengan hutang (perlakuan pajak perseroan yang menguntungkan) dengan suku bunga dan biaya kebangkrutan yang lebih tinggi. Menurut Brigham (2001:5) ”kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan (trade-off) antara resiko dengan tingkat pengembalian”. Adapun yang harus diperhatikan dalam hal ini, antara lain: 36 a. Menggunakan banyak hutang sebagai sumber pendanaan berarti memperbesar resiko yang ditanggung pemegang saham. b. Menggunakan lebih besar hutang juga akan memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. lebih Dengan adanya resiko yang semakin tinggi cenderung akan menurunkan harga saham, akan tetapi dengan meningkatnya tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) akan menaikkan harga saham tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa struktur modal yang optimal harus berada pada keseimbangan antara resiko dengan yang memaksimumkan harga saham. Sejumlah pendapat terdahulu mengarah pada perkembangan yang disebut dengan Teori trade-off dari hutang. Perusahaan menyeimbangkan manfaat dari pendanaan dan utang dengan suku bunga dan biaya kebangkrutan yang lebih tinggi. Menurut Sriwardany (2006:16) ada beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal: 1. Peningkatan kemungkinan kebangkrutan yang disebabkan oleh kewajiban hutang yang tergantung pada tingkat risiko bisnis dan risiko keuangan. 2. Biaya agen dan pengendalian tindakan perusahaan. 3. Biaya yang berkaitan dengan manajer yang mempunyai informasi lebih banyak tentang prospek perusahaan daripada investor. Sartono (2001:246) menyatakan bahwa pendekatan Modigliani dan Miller dalam kondisi ada pajak penghasilan perusahaan, maka nilai perusahaan akan meningkat terus karena 37 penggunaan hutang yang semakin besar. Tetapi perlu diingat bahwa nilai sekarang dari kesulitan keuangan dan nilai sekarang biaya keagenan dapat mengakibatkan menurunnya nilai perusahaan yang memiliki hutang. Trade-off theory dalam Sartono (2001:242) menjelaskan bahwa (dengan asumsi titik target struktur modal belum optimum) peningkatan rasio hutang pada struktur modal akan meningkatkan nilai perusahaan sebesar tarif pajak dikali dengan jumlah hutang. Solihah dan Taswan (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan hutang berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Modigliani and Miller pada tahun 1963 dalam (Sartono, 2001) bahwa dengan memasukan pajak penghasilan perusahaan, maka penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Penggunaan hutang diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan karena hutang efektif digunakan dalam mengatasi free cash flow problem, dan penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan modal saham sehingga mengurangi biaya keagenan ekuitas (Jensen dan Mekling, 1976). Selain itu, penggunaan hutang dalam struktur modal menjadikan perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik. Kondisi ini menyebabkan manajer bekerja keras untuk meningkatkan laba sehingga dapat memenuhi kewajiban dari penggunaan hutang (Jensen, 1986) dalam Mai (2006). Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan diatas maka teori trade-off yang sesuai dengan struktur modal adalah teori yang dikemukakan oleh Sartono (2001). Trade-off theory menjelaskan 38 bahwa jika posisi struktur modal berada di bawah titik optimal maka setiap penambahan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Sebaliknya, setiap jika posisi struktur modal berada di atas titik optimal maka setiap penambahan hutang akan menurunkan nilai perusahaan. Oleh karena itu, dengan asumsi titik target struktur modal optimal belum tercapai, maka berdasarkan trade-off theory memprediksi adanya hubungan yang positif terhadap nilai perusahaan. 2.5.3 Pecking Order Theory Myers and Majluf (1984) dan Myers (1984) dalam Husnan (2006:275) merumuskan teori struktur modal yang disebut pecking order theory. Disebut sebagai pecking order theory karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai. Teori ini mendasarkan diri atas informasi asimetrik, suatu istilah yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak (tentang prospek, risiko dan nilai perusahaan) daripada pemodal publik. Manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak dari pemodal karena merekalah yang mengambil keputusan-keputusan keuangan, yang menyusun berbagai rencana perusahaan, dan sebagainya. Kondisi ini dapat dilihat dari reaksi harga saham pada waktu manajemen mengumumkan peningkatan pembayaran dividen. Menurut Husnan (2006:276) Informasi asimetrik ini mempengaruhi pilihan antara sumber dana internal (yaitu dana dari hasil operasi perusahaan) ataukah dana eksternal, dan antara penerbitan hutang baru ataukah ekuitas baru. Karena itu teori ini disebut sebagai pecking order theory. Disebut sebagai pecking order karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai. Sesuai 39 dengan teori ini maka investasi akan dibiayai dengan dana internal terlebih dahulu (yaitu laba yang ditahan), kemudian diikuti oleh penerbitan hutang baru, dan akhirnya dengan penerbitan ekuitas baru. Menurut Husnan (2006:278) dengan adanya asimetrik informasi akan mengakibatkan perusahaan suka menggunakan pendanaan internal daripada eksternal. Penggunaan dana internal tidak mengharuskan perusahaan mengungkapkan informasi baru kepada pemodal sehingga dapat menurunkan harga saham. Brealey and Myers (1996) dalam Husnan (2006:278) secara ringkas teori pecking order menyatakan sebagai berikut: 1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal. 2. Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian dividen dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar. 3. Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadangkadang berlebih ataupun kurang untuk investasi. 4. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, dan akhirnya menerbitkan saham baru. Sesuai dengan teori ini, tidak ada rasio hutang, karena ada dua jenis modal sendiri yang preferensinya berbeda. Yaitu laba ditahan (dipilih terlebih dahulu) dan penerbitan saham baru (dipilih paling akhir). Rasio hutang setiap perusahaan akan dipengaruhi oleh kebutuhan dana untuk investasi. 40 Perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yaitu dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada pecking order theory adalah: internal fund (dana internal), debt (hutang), dan equity (modal sendiri) (Saidi:2004). Dana internal lebih disukai karena memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu ”membuka diri” dari sorotan pemodal luar. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh ”sorotan dan publisitas publik” sebagai akibat penerbitan saham baru. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri karena dua alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi obligasi lebih murah dari biaya emisi saham baru, hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh pemodal, dan membuat harga saham akan turun. Berdasarkan teori-teori yang dijelaskan diatas teori pecking order yang sesuai dengan struktur modal adalah teori yang dikemukakan oleh Husnan (2006) karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai. Sesuai dengan teori ini maka investasi akan dibiayai dengan dana internal terlebih dahulu (yaitu laba yang ditahan), kemudian diikuti oleh penerbitan hutang baru, dan akhirnya dengan penerbitan ekuitas baru. 2.6 Profitabilitas Terdapat beberapa rasio dalam rasio keuangan untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan diantaranya rasio profitabilitas, yaitu rasio yang menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Rasio solvabilitas, yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban- 41 kewajiban jangka panjangnya, perusahaan yang tidak solvable adalah perusahaan yang total hutangnya lebih besar dari total asetnya. Dipilihnya rasio profitabilitas karena setiap perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan kinerja perusahaannya dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas perusahaan. Tetapi, selain itu perusahaan juga harus dapat mengadakan efektivitas dan efisiensi dalam melakukan operasional usaha perusahaan. Peningkatan produktivitas dan dilakukannya program efektivitas dan efisiensi merupakan langkah yang diambil perusahaan dalam rangka untuk memperoleh keuntungan (Profit) yang keuntungannya lebih kepada pemegang saham. 2.6.1. Pengertian Profitabilitas Menurut Kasmir (2008:196), “Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan”. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Pada dasarnya penggunaan rasio ini yakni menunjukkan tingkat efesiensi suatu perusahaan. Menurut Sartono (2001:120), “Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannnya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri”. Para investor tetap tertarik terhadap profitabilitas perusahaan karena profitabilitas mungkin merupakan satusatunya indikator yang paling baik mengenai kesehatan keuangan perusahaan. Menurut Sartono (2001:7) menjelaskan bahwa tujuan pokok yang ingin dicapai oleh perusahaan adalah memaksimumkan profit Tingginya rasio profitabilitas yang ditunjukkan oleh ROE yang dimiliki perusahaan akan menarik investor dalam menanamkan modal pada perusahaan tersebut. 42 Harianto dan Sudomo (1998:228) menyatakan apabila earning terus meningkat maka harga saham perusahaan diprediksikan akan mengalami kenaikan. Earning yang meningkat akan menyebabkan harga saham meningkat dan otomatis akan menaikan return saham. 2.6.2. Analisis Rasio Profitabilitas Banyak penulis yang memberikan beberapa uraian mengenai jenis rasio didalamnya dapat digunakan untuk memahami kondisi perusahaan. Umumnya rasio yang dikenal dan popular adalah rasio likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas. Soemarso (1999:446) yang dimaksud dengan analisa rasio profitabilitas adalah: “Analisa rasio profitabilitas yaitu hasil akhir dari berbagai keputusan dan kebijakan yang dijalankan perusahaan. Analisa rasio profitabilitas memberikan jawaban akhir tentang efisien tidaknya perusahaan dalam menghasilkan laba“. Sedangkan menurut Harahap (2001:304) analisa rasio profitabilitas adalah: “Analisa rasio profitabilitas yaitu menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber dana yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan dan jumlah cabang“. Dari pengertian-pengertian diatas kesimpulannya adalah bahwa analisa rasio profitabilitas adalah gambaran akhir dari kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba atau jawaban akhir tentang efisien tidaknya perusahaan menghasilkan laba. 2.6.3. Pengukuran Rasio Profitabilitas. Untuk mengukur profitabilitas suatu perusahaan digunakan rasiorasio profitabilitas, Riyanto (2001:331) mengemukakan bahwa rasio-rasio profitabilitas adalah: “Rasio-rasio profitabilitas merupakan rasio-rasio yang menunjukkan hasil akhir dari sejumlah kebijaksanaan dan keputusankeputusan (Profit Margin On Sales, Return on total asset, Return on net 43 Worth dan lain sebagainya)“. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan (profitabilitas) pada tingkat penjualan, asset dan modal tertentu. Ada tiga rasio yang dibicarakan yaitu: Profit Margin, Return On Total Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE). Investor yang potensial akan menganalisis dengan cermat kelancaran sebuah perusahaan dan kemampuannya untuk mendapatkan keuntungan (profit) karena mereka mengharapkan dividen dan harga pasar dari sahamnya. Menurut Riyanto (2001:335). Jenis rasio profitabilitas untuk mengukur tingkat profitabilitas adalah: a. b. c. d. e. Gross Profit Margin Operating Income Ratio (Operating Profit Margin) Operating Ratio Net Profit Margin Earning Power of Total Investment (Rate of Return on Total Asset) f. Net Earning Power Ratio (Rate of Retun on Investment/ROI) g. Rate or Return for the Owners (Rate of Return on Net Worth) Merujuk Brigham (1998:305) dalam penelitian ini rasio profitabilitas yang digunakan adalah rasio laba bersih setelah pajak terhadap ekuitas saham biasa, yang mengukur tingkat pengembalian atas ekuitas (return on equity), atau tingkat pengembalian atas investasi pemegang saham biasa. Rasio profitabilitas ini digunakan karena dapat memberikan gambaran yang lebih baik mengenai tingkat pengembalian dari ekuitas atau modal sendiri yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan. Menurut Sartono (1996:131) Rumus untuk menentukan return on equity disingkat ROE adalah sebagai berikut: Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan maka teori yang sesuai dengan profitabilitas dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Brigham (1998) yaitu dengan menggunakan rasio 44 return on equity (ROE) dalam mengukur tingkat profitabilitas, karena dapat memberikan gambaran yang lebih baik mengenai tingkat pengembalian dari ekuitas atau modal sendiri yang diinvestasikan oleh pemilik perusahaan. 2.7 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Peneliti Variabel Hasil Penelitian 1. Eva Malina Simatupang (2011) “Analisis Pengaruh Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas sebagai Variable Intervening pada Perusahaan Manufaktur di BEI”. Struktur Modal, Nilai Perusahaan, dan Profitabilitas. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa struktur modal berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Struktur modal berpengaruh terhadap nilai perusahaan melalui profitabilitas sebagai variable intervening penuh. 2. Yangs Analisa (2011) “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Leverage, Profitabilitas, dan Kebijakan Dividen terhadap Nilai Perusahaan” Nilai Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Leverage, Profitabilitas, dan Kebijakan Dividen. 3. Eli Safrida (2008) “Pengaruh Struktur Modal dan Pertumbuhan Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan pada Perusahaan Manufaktur di BEI” Struktur Modal, Pertumbuhan Perusahaan, dan Nilai Perusahaan 4. Linda Fitriani (2010) “Pengaruh Leverage, Ukuran Perusahaan, dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Farmasi yang Go Public di BEI” Leverage, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas,dan Nilai Perusahaan (1) Ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan (2) Leverage mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai Perusahaan (3) Profitabilitas mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan (4) Kebijakan dividen mempunyai pengaruh negatif tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Secara parsial struktur modal berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, pertumbuhan perusahaan berpengaruh secara negatif namun tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Secara simultan struktur modal dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Variabel Leverage secara parsial berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap Nilai Persahaan, Ukuran Persahaan secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap Nilai Perusahaan, dan Profitabilitas secara parsial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. 5. Indah Yunita (2011) “Analisis Pengaruh Profitabilitas, Kebijakan Utang, Kebijakan Dividen, Size, dan Mekanisme Good Profitabilitas, Kebijakan Utang, Kebijakan Dividen, Size, Mekanisme Good Profitabilitas memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Terdapat pengaruh positif signifikan antara ukuran perusahaan (size) dan nilai perusahaan. Sedangkan kebijakan utang, 45 Corporate Goverance terhadap Nilai Perusahaan” Corporate Goverance, dan Nilai Perusahaan Wahyu Wiyani (2003) “Pengaruh aspek struktur finansial terhadap return on equity studi pada perusahaan food and beverage yang go public di Bursa Efek Surabaya.” Total aktiva, leverage, ROE kebijakan dividen, komisaris independen dan kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. variabel rasio cash flow, total aktiva, tingkat financial leverage, rasio utang lancar dengan total aktiva, rasio utang jangka panjang dengan total aktiva, serta struktur modal yang berpengaruh negatif signifikan terhadap ROE perusahaann. Yulia Fitri (2006) “pengaruh pangsa pasar rasio leverage rasio intensitas modal terhadap profitabilitas pada perusahaan real estate pada perusahaan property yang terdaftar di BEJ” Condro Rinto (2010) “Pengaruh Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan Perusahaan Dan Profitability Terhadap Nilai Perusahaan.” Market share, leverage, capital turn over, ROA, ROE Market share, leverage, capital turn over ratio berpengaruh signifikan terhadap ROA dan ROE. Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Pertumbuhan Perusahaan Dan Profitability, Nilai Perusahaan.” ROE, Leverage, Firm Size. Hasil pengujian menunjukkan bahwa corporate governance, pertumbuhan perusahaan, dan profitability berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Sedangkan variabel kontrol ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. 6 7 8 9 Muchammad Charis (2011) “Perbandingan Kinerja BUMN Sebelum dan Setelah Privatisasi Melalui Go Public.” Firm size berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap ROE dan leverage berpengaruh positif tidak signifikan terhadap ROE. hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan pemerintah dan asing merupakan penyebab utama dari perubahan ROE. 2.8 Kerangka Pemikiran 2.8.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Profitabilitas Ukuran perusahaan merupakan cerminan besar kecilnya perusahaan yang nampak pada nilai total aktiva perusahaan. Dimana perusahaan yang besar dalam arti memiliki total assets maka semakin besar modal yang ditanam. Merujuk penelitian Lusiana (2006) dalam Rendro Kristianto (2010), menunjukkan bahwa perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses yang lebih besar untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai sumber, dengan demikian berdasar pada agency 46 theory perusahaan yang mendapatkan akses pendanaan yang besar akan diawasi (monitoring) oleh para kreditur sehingga manajer dipaksa untuk bekerja lebih efisien dalam meningkatkan profitabilitas perusahaan. Maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: H1a: Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap Profitabilitas 2.8.2 Pengaruh Struktur Modal terhadap Profitabilitas Struktur modal merupakan salah satu faktor pertimbangan investasi yang cukup penting karena berkaitan dengan resiko dan pendapatan yang akan diterima investor. Dengan semakin tingginya rasio leverage menunjukkan semakin besarnya dana yang disediakan oleh kreditur. Hal ini membuat investor berhati-hati dalam berinvestasi di perusahaan yang memiliki tingkat rasio leverage yang tinggi. Karena tingginya tingkat rasio leverage semakin tinggi resiko investasinya (Weston dan Copeland, 1992) dalam Yangs Analisa (2011). Karena, investor pada umumnya lebih suka berinvestasi pada perusahaan yang stabil dan aman. Jika investor berinvestasi pada perusahaan yang memiliki tingkat rasio leverage yang tinggi yang mencerminkan risiko yang tinggi pula, yaitu terutama kewajibannya dalam membayar kembali hutang perusahaan akan meningkat maka keuntungan yang didapat oleh investor kecil dan risiko kebangkrutan akan tidak mampunya perusahaan untuk membayar kembali hutangnya (insovable). Dengan ini maka akan berdampak negatif bagi investor yang menanamkan modalnya di perusahaan yang memiliki tingkat rasio leverage yang tinggi. Sebuah perusahaan dikatakan solvable jika total hutang yang dimiliki perusahaan lebih besar dari total aktiva perusahaan. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi dapat menyebabkan perusahaan menjadi kurang profitable, sehingga biaya tetap yang harus ditanggung 47 perusahaan lebih besar dari operating income yang dihasilkan dari hutang tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiyani (2003), yang menemukan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap ROE. H1b: Struktur Modal berpengaruh negatif terhadap Profitabilitas 2.8.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap Nilai perusahaan ROE mencerminkan tingkat hasil pengembalian investasi bagi pemegang saham. ROE yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan yang tinggi bagi pemegang saham. Harga pasar saham mencitrakan nilai perusahaan. Peningkatan harga pasar saham menunjukkan kondisi nilai perusahaan yang semakin baik. Harianto dan Sudomo (1998:228) menyatakan apabila earning terus meningkat maka harga saham perusahaan diprediksikan akan mengalami kenaikan. Earning yang meningkat akan menyebabkan harga saham meningkat dan otomatis akan menaikan return saham. Sartono (2001:7) menjelaskan bahwa tujuan pokok yang ingin dicapai oleh perusahaan adalah memaksimumkan profit. Tingginya rasio profitabilitas yang ditunjukkan oleh ROE yang dimiliki perusahaan akan menarik investor dalam menanamkan modal pada perusahaan tersebut. Dengan banyaknya investor yang berinvestasi maka akan menaikkan harga saham yang akan meningkatkan nilai perusahaan yang ditunjukkan oleh PBV pada perusahaan tersebut meningkat. maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: H2a: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan 48 2.8.4 Pengaruh Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan Eisenhardt dalam Ujiyanto dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa agency theory menggunakan tiga asumsi sifat manusia. Salah satu diantaranya yaitu manusia selalu menghindari resiko (risk averse), begitu pula dengan para manajer. Manajer menghindari risiko yang tinggi dan menyukai investasi menggunakan laba ditahan (1989), (pendanaan internal) yang berdasar pada pecking order theory, yaitu manajer lebih menyukai pendanaan internal terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh hutang baru (pendanaan eksternal). Dengan adanya hutang dalam struktur modal menjadikan perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar bunga secara periodik. Kondisi tersebut akan membebani manajer dan memaksa manajer untuk bekerja lebih efisien, dengan menghindari investasi yang sia-sia yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai perusahaan yang tercermin dari harga sahamnya. maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: H2b: Struktur Modal berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan 2.8.5 Pengaruh Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan yang Dimediasi oleh Profitabilitas Profitabilitas yang ditunjukkan dengan ROE mencerminkan tingkat hasil pengembalian investasi bagi pemegang saham. ROE yang tinggi mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan yang tinggi bagi pemegang saham. Harianto dan Sudomo (1998:228) menyatakan apabila earning terus meningkat maka harga saham perusahaan diprediksikan akan mengalami kenaikan yang akan diikuti dengan naiknya nilai peruasahaan. Kondisi tersebut membuat para investor lebih melihat tingkat profitabilitas perusahaan dibandingkan dengan struktur modal yang dilihat dari tingkat leverage perusahaan. Karena dengan kemampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan keuntungan yang tinggi bagi pemegang saham akan menarik investor 49 dalam menanamkan Semakin banyak investor yang berinvestasi maka akan menaikan harga saham yang akan diikuti dengan naiknya nilai perusahaan. H3: Profitabilitas memediasi pengaruh Struktur Modal terhadap Nilai Perusahaan modalnya. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi nilai perusahaan adalah ukuran perusahaan yang ditunjukkan oleh nilai Total Aktiva pada perusahaan, struktur perusahaan yang ditunjukkan dengan tingkat rasio leverage pada perusahaan dan Profitabilitas yang ditunjukkan dengan tingkat rasio ROE pada perusahaan yang mempengaruhi besar kecilnya nilai perusahaan. Besar kecilnya ketiga faktor tersebut, akan menentukan besar kecilnya nilai perusahaan yang dimiliki pada perusahaan tersebut. Dari uraian diatas dapat digambarkan melalui kerangka pemikiran berikut ini: Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Ukuran Perusahaan (Total Aset) Profitabilitas (ROE) Nilai Perusahaan (PBV) Struktur Modal ( Leverage/DAR) 50 2.9 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan dugaan awal yang masih bersifat sementara yang akan dibuktikan setelah data empiris diperoleh. Berikut hipotesis dari penelitian ini: H1a: Ukuran perusahaan diduga berpengaruh positif terhadap profitabilitas H1b: Struktur modal diduga berpengaruh negatif terhadap profitabilitas H2a: Profitabilitas diduga berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan H2b: Struktur modal diduga berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan H3: Profitabilitas diduga memediasi pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan 51