Untitled - ayohidupbenar.com

advertisement
Vol. 01. No. 02 (Juli-Desember) 2015
5
ISSN: 2460-8939-0
Redaktur Ahli (Mitra Bestari):
Utang Ranuwijaya (IAIN “SMH” Banten)
Ja’far Assagaf (IAIN Surakarta)
Muhajirin (UIN Raden Fatah Palembang)
Penanggungjawab:
Udi Mufradi Mawardi
Pemimpin Redaksi:
Andi Rosa
Editor:
Agus Ali Dzawafi
Ade Fakih Kurniawan
Redaktur Pelaksana:
Lalu Turjiman Ahmad
Administrasi dan Distribusi:
Sohib Barofik
Tb. Syukron
Alamat Redaksi:
Jl. Jend. Sudirman No. 30 Serang Banten
Tlp. 0254 200323
Desain Cover dan Lay out:
Ahmad Faturrohman
Holistic al-Hadis: ISSN: 2087-8605 diterbitkan enam bulan sekali oleh Jurusan Ilmu
Hadis Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin”
Banten, berdasarkan SK Dekan Nomor: In.10/F.III/2/HK.005/ 637/2015 tanggal: 21
April 2015
Holistic al-Hadis menerima tulisan ilmiah terkait Ilmu Hadis dan kajian hadis dengan
berbagai pendekatan keilmuan modern dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris.
Format tulisan sebanyak 20-25 halaman kertas kwarto berspasi satu 1.5 dengan font
Time New Roman, 12, termasuk abstrak 100-150 kata, kata kunci dan catatan akhir,
daftar pustaka, serta data diri penulis. Tulisan dikirim dalam bentuk soft-copy (microsoft
word) ke [email protected]
Vol. 01 No. 02 (Juli-Desember) 2015
8605
ISSN: 2460-89392087-
DAFTAR ISI
Sekapur Sirih ............................................................................................................ iii
Mohammad Andi Rosa ........................................................................................... 171-224
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual dalam Kajian
Teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw
Nikmatullah .............................................................................................................. 225-246
Review Buku dalam kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan
Konteks
Jajang A. Rohmana .................................................................................................. 247-288
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia:
Sebuah Kajian Awal
Ja’far Assagaf............................................................................................................ 289-316
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis:
Paradigma Living-Hadis
Masykur Wahid ........................................................................................................ 317-339
Hermeneutika Fenomenologis Dalam Studi Living Hadis
Pedoman Transliterasi Arab-Latin......................................................................... 340
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
SEKAPUR SIRIH
Edisi kedua ini, merupakan edisi istimewa, karena makalah yang
ditampilkan dalam jurnal ini merupakan hasil kegiatan “Pelatihan
Metodologi Living al-Hadis” yang disampaikan oleh berbagai pakar dari
berbagai kampus di Indonesia. Maka tema jurnal edisi kali ini adalah:
“Metodologi Living al-Hadis”. Mengapa hal ini dianggap penting dalam
kajian hadis Nabi saw?. Hal ini untuk menghubungkan kajian Hadis Nabi
saw, ke dalam budaya masyarakat Indonesia ~khususnya masyarakat
Banten~ dan kehidupan keseharian mereka. Dalam Studi Living Hadis
ini, akan memungkinkan adanya integrasi dan interaksi keilmuan umum,
seperti antropologi, sosiologi, hermeneutika, dengan hadis Nabi saw dan
berbagai keilmuan Hadis.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa elemen utama dari Visi
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI adalah
terwujudnya pengembangan kajian agama yang berdasarkan keislaman,
keindonesiaan, dan keilmuan. Oleh karena itu maka Jurusan Ilmu Hadis
di PTKIN, sebagai jurusan yang mengkhususkan kajian kepada
peradaban teks hadis Nabi saw, berusaha mengembangkan kajian agama
ini dalam kerangka menghubungkan antara realitas budaya yang ada di
masyarakat Indonesia dalam konteks masyarakat tertentu dan teks agama
dimaksud (hadis Nabi saw) dengan memanfaatkan pendekatan keilmuan
modern mutakhir. Juga terkait dengan orientasi pengembangan kajian
agama pada PTKIN (di era postmodernisme) yang meniscayakan adanya
integrasi keilmuan dan metodologis, maka diperlukan pendekatan ilmuilmu modern terhadap berbagai teks agama dan realitas budaya yang
menjadi ajaran agama.
Berbagai fenomena budaya yang ternyata pada awalnya
didasarkan kepada teks Hadis Nabi saw, banyak didapat pada masyarakat
Indonesia. Sebagai misal, realitas budaya perayaan “Panjang Maulud” di
Banten, budaya ziarah kubur dan walisongo pada bulan-bulan tertentu,
budaya tidak menebang hutan di hutan Larangan pada masyarakat
Baduy. Tentu saja masih banyak lagi realitas budaya lainnya, yang
terkait dengan ajaran agama, yang di satu sisi dapat memiliki ciri khas
yang unik atau original dibanding dengan ajaran serupa di daerah lainnya
iii
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
di Indonesia. Disamping menghubungkan realitas budaya dengan teks
agama dimaksud, bahkan kita bisa juga memperoleh nilai-nilai ajaran
agama lokal (indigeneous religion) di dalamnya atau kearifan lokal dari
berbagai fenomena interaksi ajaran agama dan budaya terkait.
Terhadap fenomena tersebut, dalam perspektif jurusan Ilmu
Hadis, kita dapat mengkajinya melalui metodologi Kajian Living Hadis.
Ada juga yang menamakannya dengan Kajian Living Sunnah, karena
yang dimaksud segala aktivitas budaya suatu masyarakat yang dapat
memiliki hubungan sumber yang berasal dari Nabi, baik yang memiliki
sanad (transmisi hadis) yang shahih atau bahkan masih diragukan (dla’if)
hanya bersifat sunnah Shahabat dan Tabi’in. Karena itu, menggali
hubungan Islam dengan budaya Muslim, tidak bisa lepas dari mengkaji
berbagai sumber Hadis Nabi saw (baik dalam perjalanan sanad dan
matannya dengan berbagai konsensus kajian keislaman yang
berkembang).
Dalam peradaban Islam, kajian teks menjadi ciri utama. Teks AlQur’an --sebagai sumber utama ajaran islam-- menjadi konteks bagi teks
Hadis Nabi saw. Maka ungkapan yang lebih tepat adalah kajian Living
Al-Qur’an dan Hadis (LQH), karena dalam ajaran mainstream Islam,
kedua teks ini (Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw), seperti dua sisi dalam
koin mata uang, yang tidak bisa dipisahkan. Kemudian jika dikaitkan
dengan definisi agama --menurut Durkheim— adalah sebuah sistem
keyakinan dan praktik yang berhubungan dengan yang suci dan menyatu
dalam suatu komunitas sosial. Maka sumber agama dapat bersifat
historis skripturalis --dalam konteks islam-- yakni Al-Qur’an dan Hadis
beserta tafsirnya, dan kedua yaitu sumber agama yang bersifat budaya
yakni fenomena keseharian yang menjadi keyakinan bersama dalam
suatu masyarakat. Maka kajian Living Hadis merupakan kajian isi hadis
nabi saw yang hidup dalam budaya suatu masyarakat. Karena itu dapat
juga diistilahkan sebagai bentuk kajian ihyâ al-hadîts, yakni
menghidupkan Peradaban Hadis Nabi saw dalam penerapannya di
masyarakat. Disini akan terlihat adanya fenomena islamisasi budaya atau
sebaliknya yakni budayanisasi islam atau lokalisasi budaya terhadap
Islam (sinkretisme).
iv
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939Proses tersebut tergantung kepada mana yang lebih dominan,
atau kelompok mana yang lebih bisa diterima oleh masyarakatnya.
Sebagai proses budaya, tentu saja, akan terjadi saling tarik-menarik
antara teks dimaksud (sebagai ajaran asal agama) dengan konteks
masyarakatnya (sebagai asal munculnya budaya). Interaksi agama dan
budaya, dalam ajaran misi Islam (al-da’wah) dapat diambil sumber
legitimasinya dari berbagai kedua teks dimaksud (Al-Qur’an dan Hadis
Nabi saw). Dalam kedua teks dimaksud, terdapat istilah al-khair dan alma’rûf, yang keduanya menjadi perintah dalam beragama. Sebagai
misal, dalam teks Al-Qur’an, lafadz al-khair dapat bermakna “kebaikan
yang bersifat normatif dan universal”, sedangkan al-ma’rûf merupakan
“kebaikan kultural”. Segala bentuk kebaikan dapat disebut al-khair, dan
kebaikan yang hanya berlaku pada suatu masyarakat tertentu hanya
berada dalam kategori al-ma’rûf. Maka dalam kedua istilah dimaksud
terdapat titik temu, pentingnya melakukan dialog antara kebaikan
kultural yang hidup di masyarakat, dengan kebaikan universal yang
menjadi ajaran semua agama atau ajaran normatif suatu agama yang
menjadi ajaran semua pihak yang didasarkan kepada potensi-potensi
kemanusiaan (humanity). Al-khair ini merupakan ajaran kebaikan yang
bersifat deduktif dan skripturalis, sedangkan al-ma’rûf merupakan ajaran
yang lebih dominan induktif dan antroposentris yang dimungkinkan
terjadi aneka ragam bentuk kebaikan dan kearifan lokal. Maka keduanya
dapat beriringan sesuai dengan perintah dari kedua teks tersebut untuk
tujuan memanusiakan manusia (humanity to human being), yang dapat
beraneka ragam bentuk budayanya sesuai dengan kondisi alam dan
potensi masyarakatnya. Memanusiakan manusia adalah satu tujuan
utama dari rangkaian hadis Nabi saw, yakni sebagai hudan lin nâs
(petunjuk teoritis dan praktis). Diantaranya Nabi pernah bersabda, yang
terdapat dalam sebuah kitab hadis shahih, yaitu: Yassirû walâ tu’assirû
bassirû walâ tunâfirû. (mudahkan ajaran agama dan jangan dipersulit,
kemudian gembirakan umat manusia dan jangan ditinggalkan..(HR.
Muslim). Memudahkan ajaran agama, dapat dimaknai bahwa agama
hendaknya mampu memberikan solusi kepada umat manusia, dan
memberi kabar gembira dapat menunjukan pentingnya memberikan
v
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
metodologi sehingga umat manusia sebagai Muslim (al-ummat) dapat
mengetahui bahwa ajaran agama bersifat luas dan luwes (al-murûnah).
Apatah lagi, dewasa ini, di era globalisasi yang ditandai dengan
maraknya penggunaan internet melalui Google, juga gandrungnya
masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dalam menggunakan
media sosial di pedesaan maupun di perkotaan, seperti Facebook,
Twitter, Whatsapp, Path, dan lainnya, menjadikan konteks hidup
masyarakat muslim Indonesia, tidak lagi memiliki batasan geografis.
Apa yang ingin disampaikan di masyarakat urban dapat dengan mudah
diketahui hingga ke desa-desa. Teks hadis, atau tafsir agama yang
disampaikan untuk suatu kelompok, dapat dengan mudah didengar atau
diketahui oleh kelompok lain yang bukan mad’u ‘alaih-nya. Bahkan apa
yang terjadi dan terdapat di Kalimantan, di Papua, di pelosok-pelosok
Banten, dengan adanya peralatan teknologi dan media sosial
komunikasi, dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat manapun
yang menginginkannya. Dengan demikian, dialog antar budaya, menjadi
sesuatu yang inheren, dalam keseharian masyarakat muslim Indonesia
manapun, termasuk dengan masyarakat Pesantren Tradisional di Banten
yang juga sudah tidak lagi taboo untuk menggunakan teknologi. Karena
itulah signifikansi diadakannya “Pelatihan Metodologi Living Hadis”
ini, sehingga dapat lebih memfungsikan keilmuan Islam, khususnya
keilmuan Hadis dalam kehidupan masyarakat global. Adapun tema
pelatihan dimaksud adalah:“Meneguhkan Islam Berkemajuan
(Progresive) dengan Karakter Islam Nusantara Melalui Pelatihan
Metodologi Living Hadis”. Selamat Membaca, dan berdiskusi.
Serang, Desember 2015
Pemimpin Redaksi,
AR
vi
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
PRINSIP DASAR DAN RAGAM PENAFSIRAN
KONTEKSTUAL DALAM KAJIAN TEKS
AL-QUR’AN DAN HADIS NABI SAW
Mohammad Andi Rosa
IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten
Email: [email protected]
Abstract
Exegesis (tafsîr) is a dialogue between text and context. There are six
kinds context in the exegesis of Qur’ânic verses and prophetic ḥadith:
first of all, Socio-cultural context; the second, external context (i.e.
revelation context; aspects relating to the emergence of a text), the
interlocution context (siyâq al-takhâṭub) which is expressed in the
language structure of the text; the third, internal structure of the verse
(the structure of the text); the forth, linguistic context of the text; the
fifth, the scientific context, i.e. context of modern sciences by paying
attention to the ontology, epistemology, and axiology of the related
topic; and sixth, the context of reading which aimed at deconstructing
codes. There are three classifications of analysis in contextual
exegesis: intrinsic analysis (mâ fî al-naṣṣ), extrinsic analysis (mâ ḥaula
al-naṣṣ), and analysis to the exegesis of previous interpreters or
relevant experts. In contextual exegesis, one has to do with some
normative principles of exegesis (in mainstream), as mentioned by
classical and contemporary interpreters.
Abstrak
Tafsir adalah dialog antar teks dan konteks. Terdapat Enam jenis
konteks dalam penafsiran ayat atau tema Al-Qur’an dan Hadis:
Pertama, Konteks Sosio-Kultural, Kedua, Konteks Eksternal (Konteks
Pewahyuan; aspek yang melingkupi munculnya teks), Yakni Konteks
Percakapan (siyâq al-takhâthub) yang diekspresikan dalam struktur
bahasa suatu teks. Ketiga adalah konteks internal Ayat (Struktur teks).
Keempat, konteks linguistik suatu teks. Kelima, Konteks Saintifik,
yakni konteks keilmuan modern dengan memperhatikan ontologi,
171
172 | Mohammad Andi Rosa
epistemologi dan aksiologi tema terkait; Keenam, konteks pembacaan
(siyâq al-qirâ’ah) yang berusaha mendekonstruksi kode. Terdapat tiga
klasifikasi analisis dalam tafsir kontekstual, yaitu: a. Analisis intrinsik
(mâ fî al-nash), b. Analisis Ekstrinsik (mâ hawla al- nash), c. Analisis
hasil ulama sebelumnya atau pakar terkait. Dalam melakukan análisis
penafsiran kontekstual, diperlukan berbagai prinsip penafsiran dan
pentakwilan yang telah baku (mainstream), sebagaimana yang
dikemukakan oleh para ulama tafsir klasik maupun kontemporer.
_________________
Kata Kunci: Dialog teks dan konteks; Jenis-jenis konteks; Klasifikasi
análisis ayat; Prinsip penafsiran teks agama.
A. Pendahuluan
Memahami hakikat tafsir, dalam perspektif filsafat ilmu,
misalnya dapat dikemukakan tentang tafsir dari aspek ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis, objek materil tafsir
adalah Al-Qur`ân, sedangkan objek forma-nya adalah pemberian makna
dan produksi makna untuk mengungkap maksud Al-Qur`ân sesuai
bekal keilmuan yang dimiliki sang penafsir dan konteks yang
melingkupinya. Sedangkan secara aksiologis, tujuan tafsir Al-Qur`ân
adalah untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur`ân (al-hudâ) dalam aspek
yang hendak diinginkan oleh sang mufasir. Sedangkan tiga fungsi
tafsir Al-Qur’an menurut M. Quraish Shihab, yaitu: a. Dapat menjadi
sumber segala ilmu agama; b. Dapat menjadi pegangan hidup bagi
kebahagiaan dunia dan akherat; c. Dapat menjawab berbagai macam
persoalan.
Adapun epistemologi tafsir sebagai proses pemberian makna
Al-Qur`ân, merupakan tatacara atau aturan dalam menafsirkan AlQur`ân, dan termasuk di dalamnya pembahasan tentang metodologi
tafsir. Sedangkan tafsir sebagai produk dapat menjadi pembahasan
ontologi tafsir. Tafsir sebagai produk ini, dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa kategori: [a] Tafsir Al-Qur`ân berdasarkan sisi internal
teks; [b] Tafsir Al-Qur`ân berdasarkan sisi eksternal teks; [c] Tafsir AlQur`ân berdasarkan sisi internal dan eksternal teks; [d] Tafsir Al-Qur`ân
yang tidak hanya berdasarkan sisi internal dan eksternal teks tetapi
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 173
juga berdasarkan ilmu-ilmu di luar teks, seperti ilmu yang berkembang
di era modern baik ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu sosial, sesuai
dengan bidang kajian dari kategori ayat yang hendak ditafsirkan. Maka
epistemologi tafsir Al-Qur`ân adalah proses pemberian makna AlQur`ân sesuai dengan dua aspek tersebut (ontologi dan aksiologi tafsir).
Dalam dunia tafsir, dikenal dengan dua paradigma penafsiran:
“tafsir tekstual” dan “tafsir kontekstual”. Karena makna tafsir itu,
dialog antara teks dengan konteks, maka secara ideal, keduanya dapat
saling melengkapi bagi terwujudnya suatu karya tafsir yang realible
sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakat, serta tetap
memelihara kesucian teks Al-Qur’an sebagai sumber utama teks
agama dalam islam. Penafsiran tekstual maupun kontekstual dalam
kajian teks Hadis Nabi saw, mengikuti arah dan orientasi yang didapat
dari penafsiran teks Al-Qur’an. Sebagaimana validitas penafsiran teks
Hadis nabi saw, juga didasarkan kepada kajian sanad (transmisi teks)
dan matan (teks) hadis terkait.
B. Tafsir Tekstual dalam kajian Ulumul Qur’an
Sesuai dengan namanya “tafsir tekstual” adalah tafsir yang
lebih menekankan kepada teks tidak kepada konteks kekinian atau
yang dikehendaki oleh sang mufassir. Tafsir jenis ini, tidak melakukan
proses kontekstualisasi teks saat Al-Qur`an ditafsirkan. Walaupun di
satu sisi, ia juga memanfaatkan asbâb nuzûl ayat sebagai perangkat
memahami teks, tetapi ia lebih mendahulukan paradigma
penafsiran:“al-`ibratu bi khushûshi al-sabab la bi ‘umûmi al-lafazh”.
Ungkapan tersebut hanya dipahami, -oleh para penganutnya- bahwa
dalam memahami teks harus didasarkan kepada kondisi latar belakang
ayat itu, ditujukan untuk kondisi apa dan tidak dipahami dengan
menggunakan proses qiyâs (analogi) misalnya, sebagaimana yang
digagas oleh para ulama ushûl al-fiqh diantaranya Imam Hanafi, Imam
al-Syâfi’î, dan al-Syathibi.
Padahal dalam perspektif yang lebih luas, diperlukan
pemahaman sejarah terkait kondisi teks Al-Qur`ân, sehingga apa yang
dikhawatirkan oleh Umar bin Khattab tidak terjadi. Ia pernah
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
174 | Mohammad Andi Rosa
menyatakan sebagai berikut: “yurwa ‘an ‘Umar ra, annahu qâla:
innama tanqudlu ‘ura al-islâm ‘urwatan ‘urwatan idza nasya`a fî alislâm man lâ ya’rifu al-jâhiliyyah”. (Diriwayatkan dari Umar bin
Khattab ra, bahwasanya ia berkata: “tali pengikat Islam akan terputus
sepotong-demi sepotong bila dalam Islam berkembang orang yang
tidak mengerti keadaan zaman Jahiliyyah”).1 Al-Qur’an diturunkan
untuk merubah kondisi Jahiliyah, dan spirit itulah yang melatar
belakangi perubahan yang diinginkan Al-Qur’an. Dengan demikian,
Umar bin Khattab, sebagai sahabat kebanggaan nabi Muhammad saw,
lebih memilih untuk memahami teks Al-Qur`ân dengan berdasarkan
kepada spirit dari teks, yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad
atau tafsir kontekstual.
Contoh ijtihad kontekstual dari para shahabat yang dipelopori
oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh Ali bin Abi Thalib serta
Utsman bin Affan, adalah ketika tentara Islam pada masa
kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab mampu membebaskan
negeri Syam, Irak, dan Parsi. Kemudian Umar bin Khattab membagi
harta ganimah (ghanîmat; harta dari hasil peperangan yang
ditinggalkan pemiliknya) yang bergerak sesuai dengan ketentuan ayat
Al-Qur`ân (Q.S. al-Anfâl: 41), tetapi ia tidak membagi-bagi harta
ghanîmah yang tidak bergerak untuk para tentara, tetapi malah
menjadikan tanah dimaksud sebagai tanah Negara yang dibiarkan
dikelola oleh pemilik lama dengan kewajiban menyerahkan pajak
(kharaj) kepada bayt al-mâl umat islam atau perbendaharaan negara.
Tentu saja ijtihad Umar bin Khattab ini, secara tersurat berbeda
dengan perintah dalam ayat Al-Qur`ân dimaksud (Q.S. al-Anfâl: 41)
agar membagi-bagi harta ghanîmah kepada para tentara atau siapapun
yang terlibat dalam perang. 2
M.Rasyid Ridla; Tafsîr al-Manâr, (Dâr al-Manâr; Mesir, 1373/1954), cet
ke.4, h. 24
2
Lihat: Nurcholish Madjid; Pertimbangan Kemaslahatan dalam menangkap
makna dan semangat ketentuan keagamaan: Kasus Ijtihad Umar bin Khattab, dalam
buku; Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pustaka Panjimas; Jakarta, 1988), cet. 1,
h. 12-20.
1
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 175
Penggunaan tafsir tekstual biasanya dikenal di kalangan dari
madzhab Dâwud zhâhirî yang digagas oleh al-Imam Abu Sulaiman
Dawud bin Ali (202-270 H). Ia mendirikan mazhab-nya dengan
menggunakan atau mengamalkan makna zhâhir dari Al-Qur`ân dan alSunnah, juga dengan al-ijmâ’ 3 tetapi menolak semua bentuk alQiyâs.4 Penganut terkenal mazhab ini adalah Ibnu Hazm al-Andalusi
Makna al-ijmâ’ menurut mazhab ini adalah adanya keyakinan pada suatu
masalah bawa semua shahabat Nabi saw mengetahuinya dan tidak ada seorang pun
shahabat yang berbeda pendapat. Syarat al-ijmâ’ bagi Ibnu Hazm adalah: Pertama;
tidak terjadi kecuali di zaman shahabat masa nabi saw. Kedua; mereka semua
mengetahui perkara dimaksud; Ketiga: tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
shahabat nabi saw. Keempat; adanya keyakinan terhadap adanya syarat-syarat
tersebut secara mutawatir. Dengan demikian Ibnu Hazm, nampaknya
memustahilkan adanya ijmâ` setelah zaman shahabat, dan ijmâ` diakui sebagai sumber
hukum jika sesuai dengan teks atau hadis shahih dari Nabi saw, demikian menurut
pentahkik kitab. Tetapi di sisi lain, bahwa pentingnya adanya keyakinan yang kuat
tersebut dalam ber-ijma’ menurut Ibnu Hazm didasari pada Q.S. al-Isrâ`: 36, juga
Hadis Nabi saw: “lan tazâlu thâifatun min ummatî zhâhiratun ‘ala al-haq lâ
yadlurruhum man khazalahum hatta ya`tiya amrullâh..”. Lihat: Abu Muhammad bin
Ali bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm al-Andalusî (384 H/994 M); al-muhalla bi alâtsâr, (Dâr al-fikr; Beirut, 1984/1405 H), juz.1, ditahkik oleh: Abdul Gaffar
Sulaiman al-Bandarî, h. 72, 75-77
4
Adapun argumentasi kebenaran pendapat kami tentang ijmâ` shahabat Nabi
saw atas batalnya qiyâs, adalah bahwa mustahil para shahabat Nabi saw yang
mengetahui dan mengimani Q.S. al-Mâidah:3 dan an-Nisâ: 59, kemudian mereka
menolak al- qiyâs dan al-ra’yu ketika terjadi pertentangan. Hal ini adalah sesuatu
yang sudah tidak diasumsikan lagi oleh orang yang berakal. Bagaimana penggunaan
keduanya bisa terjadi di kalangan shahabat Nabi saw, padahal telah nyata ( tsabata)
dari Abu Bakar Siddiq, bahwasanya ia berkata: “bumi mana yang bisa aku pijak dan
langit mana yang bisa menaungiku, jika aku menyatakan tentang suatu ayat dalam
Al-Qur`ân dengan berdasarkan rakyi-ku atau dengan sesuatu yang aku tidak ketahui.”
Juga sebuah riwayat shahih dari Umar bin Khattab (al-farûq), bahwasanya ia
berkata: “curigailah suatu pendapat (rakyu) tentang agama, karena sesungguhnya
rakyi diantara kita adalah asumsi (al-zhann) dan takalluf (persesuaian-persesuaian)
belaka. Juga riwayat dari Utsmân bin Affân ketika ia berfatwa ia menyatakan bahwa
“hal itu hanyalah pendapat menurutku, maka siapa saja yang mau mengambil
pendapat itu silahkan dan siapa yang mau meningggalkan pendapat itu silahkan.”
Juga dari Ali bin Abi Thalib, yang menyatakan: “seandainya agama ( al-dîn) itu
3
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
176 | Mohammad Andi Rosa
(384 H), yang menulis buku ushûl al-fiqh yaitu al-ihkâm fî ushûl alahkâm,5 juga kitab al-muhallâ bi al-âtsâr yang membahas berbagai
permasalahan agama -termasuk permasalahan al-ushûl- dengan
menggunakan pendekatan teks Al-Qur’an dan hadis Nabi saw, juga
pendapat para shahabat Nabi saw.
Mazhab Zhâhiri ini memfatwakan hukum sesuai dengan
fenomena yang terjadi pada masa turunnya wahyu atau fenomena yang
dilakukan oleh Nabi saw dan para shahabat-nya, tanpa memberikan
ruang dialog yang memadai antara fenomena realitas dengan konteks
pewahyuan dimaksud. Karena itu ijtihad atau tafsir tekstual ini dapat
dimasukan ke dalam klasifikasi tema konseptual, sedangkan tafsir
kontekstual merupakan tema yang bersifat kontekstual. Tema
konseptual merupakan tema yang masih bersifat konsep secara umum,
-baik dalam bentuk aplikatif atau teoritis- dengan hanya dikaitkan
pada konteks pewahyuan dan belum dikaitkan dengan konteks sosiokultural dan konteks realitas pembaca secara umum. Dilihat dari aspek
kedalaman makna tafsir, maka kita dapat mengklasifikasikan dua
karakter tema yaitu: tema konseptual dan tema kontekstual. Kedua
karakter tema tersebut seharusnya bersifat tidak dikotomis atau tidak
bertentangan, tetapi dua bentuk penafsiran yang hendaknya saling
melengkapi. Yang pertama hanya dalam tingkat konteks ayat,
sedangkan yang kedua telah memasuki pada konteks Al-Qur’an dan
realitas. Meskipun tafsir tekstual ini, juga memiliki ketentuan lainnya,
jika terjadi pertentangan antar lafal/teks Al-Qur’an.
Bagaimana jika terjadi adanya pertentangan dalam dua nash
yang zhâhir ? Secara umum menurut ulama ushûl al-fiqh, jika terjadi
adanya pertentangan dalam nash secara zhâhir maka diperlukan
mengkompromikan antar dalil dimaksud (al-jam’u wa al-tawfîq), jika
dengan berdasarkan rakyi atau akal, maka pasti membasuh khuf sepatu bagian bawah
lebih utama dari bagian atasnya.” Demikian Ibnu Hazm, berargumen. Lihat: Abu
Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm al-Andalusî (384 H/994 M); almuhalla bi al-âtsâr, juz.1, h. 81-82.
5
Kamil Musa; al-madkhal ilâ al-tasyrî’ al-islâmî, (Muassasah al-Risâlah;
Beirut, 1310/1989), cet.1, h. 164
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 177
tidak memungkinkan maka dicari dalil yang paling kuat (al-tarjîh),
kemudian jika tidak memungkinkan juga dan setelah dilakukan
penelitian historis ternyata salah-satu dalil lebih dahulu muncul maka
diberlakukan teori “nâsikh-mansûkh”, tetapi jika tidak diketahui
historisitas nash dimaksud maka (untuk sementara, pen) mujtahid
melakukan “al-tawaqquf” (berhenti) untuk tidak mengamalkan norma
hukum dari kedua dalil dimaksud.6 Demikian ketentuan umum dalam
kajian ilmu ushûl al-fiqh, namun dalam konsepsi tafsir Al-Qur`ân,
adanya pertentangan dalam tafsir merupakan sebuah penafsiran yang
perlu ditinjau ulang, dengan berbagai ketentuan. Berikut elaborasi
konsep dimaksud.
B.1. Konsep tafsir tentang ayat Al-Qur`ân yang terkesan bertentangan
Dalam teks Al-Qur`ân telah dinyatakan bahwa sebagai kitab
suci, ia terbebas dari kontradiktif (al-tanâqudl ), yaitu pada Q.S. anNisâ/4:82:
ْ ‫اَّللِ لَ َو َجدُوا فِي ِه‬
َّ ‫أَفَ ََل يَتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْر َءانَ َولَ ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر‬
.‫يرا‬
ً ِ‫اختِ ََلفًا َكث‬
Artinya: “Maka apakah mereka (orang munafik) tidak memperhatikan
Al-Qur’an? kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan berasal dari Allah,
tentulah mereka mendapati berbagai pertentangan di dalamnya”.
Walaupun demikian, secara tekstual (manthûq; lafzhî), kita dapat
membaca bahwa di dalam ayat-ayat Al-Qur`ân terdapat berbagai ayat
yang terkesan bertentangan.7
Abdul Wahhab Khallaf; `ilm ushûl al-fiqh, (al-majlis al-a’lâ al-indunisî li alda`wah al-islâmiyah; Jakarta, 1972), cet. 9, h. 229
7
Di dalam bahasa Arab, lafal yang digunakan untuk arti “bertentangan” disini
ada beberapa lafal, diantaranya “al-tanâqud, al-ta`ârudl, dan al-ikhtilâf”. Walaupun
pemaknaan “bertentangan” pada ketiga lafal tersebut, sangat bergantung kepada
konteks, karena bisa jadi ketiganya memiliki makna “berbeda”, sesuai dengan
penggunaannya atau sesuai dengan kehendak pengguna bahasa/pembicara
(mutakallim).
6
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
178 | Mohammad Andi Rosa
Misalnya, Q.S. Alu Imrân/3:858 memiliki kesan pertentangan
dengan Q.S. al-Baqârah/2:62.9 Ayat pertama mengemukakan bahwa:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) oleh Allah, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi”. Sementara di ayat kedua, dinyatakan: “Sesungguhnya orangorang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin (orang yang tidak mendapati ajaran Al-Qur`ân), siapa saja diantara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian, dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Pada ayat pertama secara khusus dinyatakan bahwa orang yang
tidak “Islam” akan tidak diterima keberagamaannya. Tetapi pada ayat
kedua dikemukakan bahwa siapapun yang beriman kepada Allah swt
dan hari akhir meskipun dia seorang Yahudi, Nasrani, atau agama lain,
maka mereka tetap akan diterima keberagamaannya di sisi Allah swt.
Mensikapi adanya dua teks tersebut yang termaktub dalam Al-Qur`ân,
para ulama tafsir Al-Qur`ân misalnya telah menetapkan konsep “qath`î
dilâlat wa zhannî al-dilâlat”. Maka Q.S. Alu Imrân/3:85 dijelaskan
oleh Q.S. al-Hujurât/49:14,10 menyatakan bahwa keislaman di ayat
pertama harus dibarengi dengan keimanan, dan yang dimaksud dengan
beriman kepada Allah swt adalah adalah mentaati Allah swt dan
Rasul-Nya (dalam ayat Q.S. al-Hujurât/49:14 digunakan dengan
bentuk tunggal/ mufrad) yakni nabi Muhammad saw. Ajaran nabi
Muhammad saw tentang “Islam” adalah menjalankan “rukun Islam
yang lima”.11 Maka Q.S. Alu Imrân/3:85 dapat menjadi ayat qath`î
8
َ ِ‫َو َم ْن َي ْبت َغ‬
َ‫اْلس ََْل ِم دِينًا فَلَ ْن يُ ْق َب َل مِ ْنهُ َوه َُو فِي ْاْلخِ َر ِة مِ نَ ْالخَاس ِِرين‬
ِ ْ ‫غي َْر‬
ْ
َّ
ْ
َّ
ْ
ُ
َّ
‫صا ِل ًحا فَلَ ُه ْم‬
‫ل‬
‫ع‬
‫و‬
‫ر‬
‫اْل‬
‫م‬
‫و‬
‫ي‬
‫ال‬
‫و‬
‫اَّلل‬
‫ب‬
‫م‬
‫ا‬
‫ء‬
‫ن‬
‫م‬
‫ئ‬
‫ب‬
‫ا‬
‫ص‬
‫ال‬
‫و‬
‫ى‬
‫ار‬
‫ص‬
‫ن‬
‫ال‬
‫و‬
‫ُوا‬
‫د‬
‫َا‬
‫ه‬
‫ذ‬
‫ال‬
‫و‬
‫وا‬
‫ن‬
‫م‬
َ‫ن‬
َ‫ِين‬
َ‫ِين‬
َ
ِ‫م‬
ِ‫خ‬
َّ
َ َ ِ
ِ َْ َ ِ ِ َ َ َ
َ
ِ
َ ‫ِإ َّن الَّذِينَ َءا‬
َ َ َ
َ
َ
9
‫ف‬
‫َو‬
‫خ‬
ََ ‫علَ ْي ِه ْم َو ََل ُه ْم َيحْ زَ نُون‬
َ ٌ ْ ‫أَجْ ُر ُه ْم ِع ْندَ َر ِب ِه ْم َو ََل‬
ِْ ‫ت ْاْلَع َْرابُ َءا َمنَّا قُ ْل لَ ْم تُؤْ مِ نُوا َولَ ِك ْن قُولُوا أ َ ْسلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل‬
َّ ‫اْلي َمانُ فِي قُلُو ِب ُك ْم َو ِإ ْن تُطِ يعُوا‬
ِ َ‫قَال‬
َ‫اَّلل‬
10
‫ور َرحِ ي ٌم‬
َ ‫اَّلل‬
ُ ‫َو َر‬
ٌ ُ ‫غف‬
َ َّ ‫سولَهُ ََل يَ ِلتْ ُك ْم مِ ْن أ َ ْع َما ِل ُك ْم َش ْيئًا إِ َّن‬
11
Sabda nabi Muhammad saw: Buniyya al-islâmu `alâ khamsin: syahâdatu an
lâ ilâhâillallâh wa anna muhammadan al-rasûlullâh, wa iqâmu al-shalât, wa îtâ’u alzakât, wa shaumu al-ramadlâna, wa al-hajj (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, dan Nasâ’î)
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 179
dilâlat dan ayat kedua, yakni Q.S. al-Baqârah/2:62 adalah ayat yang
bersifat zhanni dilâlat.
Pada aturan penafsiran ini terdapat ketentuan bahwa ayat-ayat
Al-Qur`ân yang bersifat zhannî al-dilâlat (interpretable) harus
mendasari kepada ayat-ayat yang bersifat qath`î dilâlat (bermakna pasti
dan lebih terukur dengan jelas). Karena pada ayat qath`î dilâlat terdapat
ketentuan sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat Al-Qur`ân yang
mempunyai pernyataan makna yang sama karena ada ayat lain yang
memperkuat maknanya itu. Seperti, ayat tentang perintah wajibnya
shalat fardlu oleh surah Al-Baqarah/2:277 mendapatkan penguatan di
ayat lain, yaitu Q.S. Al-Baqarah/2:176, al-Nisâ’/4:101, dan
sebagainya. Kedua, ketika makna ayat menunjukkan tidak mungkin
untuk beragamnya makna (musytarak al-ma’nâ) karena adanya qarînat
(alasan kebahasaan dan konteks ayat). Seperti, pada Q.S. alMâidah/5:6:
‫س ُحوا‬
َّ ‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإذَا قُ ْمت ُ ْم ِإلَى ال‬
َ ‫ق َوا ْم‬
ِ ِ‫ص ََلةِ فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِد َي ُك ْم ِإلَى ْال َم َراف‬
ْ
َ
َ
َ
َّ ‫ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا‬
َ
َ
َ
ُ
ُ
‫سفَ ٍر أ ْو بِ ُر ُءو ِسك ْم َوأ ْر ُجلك ْم إِلى ال َك ْعبَي ِْن َوإِ ْن‬
َ ‫ط َّه ُروا َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر‬
َ ‫ضى أ ْو َعلى‬
َ ‫ص ِعيدًا‬
‫س ُحوا‬
ْ َ‫ط ِيبًا ف‬
َ ‫ام‬
َ ِ‫َجا َء أ َ َحد ٌ ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم الن‬
َ ‫سا َء فَلَ ْم ت َِجد ُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
ُْ‫بِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َ ْيدِي ُك ْم ِمنه‬
Lafal ‫ فَا ْغ ِسلُوا‬pada ayat tersebut tidak mungkin bermakna lain, karena
setelah lafal tersebut terdapat lafal: ‫ق‬
ِ ِ‫ ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬yang
merupakan qarînat atau sebagai alasan yang jelas untuk memberikan
makna tertentu pada lafal ‫ فَا ْغ ِسلُوا‬di atas.
Disamping argumentasi dengan konsep “qath`î al-dilâlat wa
zhannî al-dilâlat” tersebut. Para ulama tafsir, dalam mensikapi adanya
ayat Al-Quran yang terkesan bertentangan, telah menyatakan bahwa:
”Dalam melakukan takwil12 yang perlu diperhatikan adalah ketika terjadi
pertentangan antar lafal, maka lafal yang tingkat kejelasan maknanya lebih
12
Takwil jika dikaitkan dengan istilah tafsir, maka takwil merupakan tafsir
bi al-ra`yî dan istilah tafsir sendiri merupakan tafsir bi al-riwâyat. Tafsir merupakan
kafabilitas keilmuan yang mesti dimiliki oleh sang mufassir, sedangkan takwil
adalah “mengalihkan ayat kepada makna yang dapat dikandungnya”. Secara lebih
khusus “tafsir” merupakan dimensi umum dan eksternal dari teks (ayat) seperti
pengetahuan asbâb al-nuzûl, kisah Al-Qur`ân, makkî-madanî, nâsikh-mansûkh. Ilmu-
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
180 | Mohammad Andi Rosa
tinggi senantiasa akan dimenangkan. Lafal nash (makna utuh dari suatu teks)
akan dimenangkan atas lafal zhâhir (makna yang râjih, kuat), lafal mufassar
(makna teks yang memiliki penjelasan) akan dimenangkan atas lafal nash, dan
lafal muhkam (makna universal) akan dimenangkan atas lafal mufassar”.
Sedangkan lafal nash minimal terdiri atas satu ayat, sedang lafal zhâhir
terdapat pada bahagian dari satu ayat atau ia berada dalam satu kalimat,
morfem, yang merupakan bahagian dari potongan/penggalan suatu ayat.
Sedang lafal mufassar adalah suatu ayat yang memiliki penjelasan di ayat
yang lain. 13
Adapun makna muhkam yang penulis tawarkan atau teliti adalah
“makna substantif Al-Qur`ân”, yaitu:
Terdapat Sepuluh makna substantif Al-Qur`ân dan makna ini merupakan
makna sentral Al-Qur`ân. Sepuluh makna substantif dimaksud adalah altawhîd (konsepsi tauhid atau keesaan Tuhan) sebagai pokok utama semua
makna substantif ini, al-îmân (ajaran tentang keimanan; komitmen) yang
berdasarkan tauhid, al-islâm (ajaran tentang loyalitas sebagai muslim) yang
berdasarkan keimanan, al-wa`du wa al-wa`îd (ajaran tentang konsekwensi
transendental atas perintah dan larangan dalam hukum) yang berdasarkan
konsepsi keislaman, al-`ilm (makna keilmuan dalam Islam) yang berdasarkan
al-wa`du wa al-wa`îd (punishment and reward), al-syûrâ (musyawarah) yang
berdasarkan konsepsi al-`ilm (ilmu dan teknologi), al-jihâd (kerja keras
individu dalam suatu komunitas sosial) yang berdasarkan hasil konsepsi alsyûrâ, al-khilâfat (nilai-nilai empirik dari konsep kepemimpinan)
ilmu Al-Qur`ân tersebut bukan merupakan kajian ijtihad, kecuali dapat dilakukan
tarjîh atau mengkompromikan (al-jam`u) antar berbagai riwayat. Oleh karena itu
“tafsir” merupakan bagian dari proses takwil. Hubungan antara keduanya adalah
hubungan khusus dan umum di satu segi, atau hubungan antara “penukilan sumber
tafsir” dengan “ijtihad”, atau hubungan dalam bahasa para ulama klasik dengan
hubungan “riwâyat” (penukilan) dengan “dirâyat” (proses analisis, ijtihad). Lihat:
Nashr Hamid Abu Zaid; Mafhûm al-nash:Dirâsat fî `ulûm Al-Qur’ân, (Kairo, al-haiat
al-Mishriyyat al-‘âmmiyat li al-kuttab, 1993), cet.4, h. 263-264.
13
Andi Rosadisastra; Metode Tafsir ayat sains dan sosial pada teks Al-Qur`ân,
(Tesis UIN Syarif Hidayatullah; Jakarta; 2005), h. 87-88. Lihat Pula: Abdullah bin
Muhammad al-Manshûr; Musykîl al-Qur’ân, (Dâr Ibn al-Jawziyyat: Saudi Arabia,
1426 H), cet.1, h. 47
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 181
berdasarkan al-jihâd, al-`adâlat (keadilan) berdasarkan al-khilâfat, dan alkhilâfat berdasarkan al-rahmat (kasih sayang Tuhan).14
Keempat makna pertama merupakan makna doktriner yang bersifat
ritual dan sosial, sedangkan enam makna terakhir merupakan makna
universal yang bersifat sosial dan global. Makna doktriner hanya dapat
diaplikasikan secara utuh oleh umat muslim, dan makna universal
dapat berlaku dan diaplikasikan oleh dan untuk semua umat manusia.
Kemudian apa relasi antara makna substantif tersebut dengan
tema-tema Al-Qur`ân? Peneliti -sebagaimana tersebut di atasmengklasifikasikan tema Al-Qur`ân kepada dua hal: a. Tema
konseptual (global), b. Tema Kontekstual. Jika terdapat tema dalam
tafsir Al-Qur`ân itu bersifat global atau konseptual, maka ia tidak boleh
bertentangan dengan “makna substantif” yang universal itu.
Kemudian jika tema itu berkaitan dengan akidah atau ibadah mahdlah
maka ia tidak boleh bertentangan dengan makna substantif yang
doktriner. Seluruh tema apapun dalam Al-Qur`ân tidak boleh
bertentangan dengan maqâshid al-syarî`at.15 Demikian juga maqâshid
al-syarî`at tidak boleh bertentangan dengan makna substantif AlQur’an tersebut, karena yang terakhir merupakan makna muhkam.
Intinya makna substantif Al-Qur’an memiliki dua kategori,
yaitu sebagai makna doktriner dan sebagai makna universal. “Makna
substantif Al-Qur’an” merupakan tujuan nash dan maqâshid al-syarî`at
merupakan maksud nash. Dalam kajian tafsir tematik, dikenal istilah
Maqâshid Al-Qur’ân.16 Sehingga dengan demikian, akan tercapai
sebuah jaringan makna Al-Qur`ân yang organis dan tidak saling
14
Lihat: Andi Rosadisastra; Mencari Teologi Makna Doktriner dan Universal
dalam Al-Qur`an: Perspektif Ulum al-Tafsir, (Jurnal al-Fath; IAIN Banten, 2011),
vol.05, no.01, h. 24
15
Kajian kontemporer menyebutkan bahwa terdapat enam hirarki dalam
maqâshid al-syarî`at,yaitu: memelihara agama (al-dîn), memelihara jiwa (al-nafs),
memelihara akal (al-‘aql), memelihara keturunan (al-nasl), memelihara lingkungan
(al-bîat), dan memelihara harta (al-mâl). Lihat: Andi Rosadisastra; Metode Tafsir
Ayat sains dan sosial, h. 75-76.
16
Lihat penjelasannya di halaman 155-156.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
182 | Mohammad Andi Rosa
bertentangan satu-sama lain, baik dalam bentuk tema atau dalam
bentuk analisis tafsir. Dalam perspektif “Tafsir Tekstual”, tawaran
makna muhkam tersebut, tidak termasuk dalam pembahasan kajian
tafsir tekstual, karena bagi penganut tafsir tekstual bahwa makna ayat
muhkam adalah ayat yang jelas (zhâhir) dan mengandung nilai hukum
(ahkâm), serta bukan ayat yang bersifat samar (mubham) atau bukan
ayat yang masih bersifat adanya berbagai kemirifan (mutasyâbihât)
dan multi-interpretasi.
B. 2. Konsep Nâsikh-Mansûkh dan fleksibilitas Al-Qur’an sebagai
sumber hukum
Definisi kata majemuk yang berasal dari dua kata ini, yakni
nâsikh-mansûkh, adalah yang pertama bahwa nâsikh merupakan ism
fâ’il atau kata benda pelaku aktif17 yang bermakna “subjek yang
memiliki kemampuan untuk menggantikan otoritas suatu hukum”,
sedang yang kedua adalah mansûkh yang merupakan ism al-maf’ûl
atau “objek yang digantikan sebagai konsekwensi munculnya pelaku
aktif ”.18 Sedangkan menurut istilah ulama peneliti teks Al-Qur’an,
Sebagai ilustrasi terhadap penamaan ism fâ’il sebagai kata benda pelaku
aktif bukan kata kerja pelaku aktif atau kata benda pelaku (tanpa ada kata aktif)
adalah argumen berikut: ism fi’il secara makna adalah kata kerja tetapi beratribut
sebagai kata benda, fâ’il secara makna adalah pelaku atau subjek (bisa aktif atau
pasif) dan merupakan kata benda saja. Maka lafdz nâsikh yang merupakan ism fâ’il
secara makna adalah “subjek yang menggantikan/ yang menghapus” Itu berarti: ism
fâ’il adalah kata benda pelaku atau subjek yang bermakna kata kerja. Karena setiap
ism fâ’il mengharuskan adanya objek atau maf’ul maka disebutlah sebagai pelaku
aktif.
18
Penulis memilih makna al-ibdâl (menggantikan) untuk makna naskh ini,
karena mendasarkannya pada surah al-nahl/16: 101 yakni:
17
َّ ‫َوإِذَا بَد َّْلنَا َءا َيةً َم َكانَ َءايَ ٍة َو‬
)101( َ‫اَّللُ أ َ ْعلَ ُم بِ َما يُن َِز ُل قَالُوا إِنَّ َما أ َ ْنتَ ُم ْفت ٍَر بَ ْل أ َ ْكث َ ُر ُه ْم ََل يَ ْعلَ ُمون‬
Pada ayat tersebut orang Yahudi telah menuduh Nabi Muhammad sebagai
orang yang mendapatkan pengajaran atau dikte Al-Qur’an dari orang lain, terbukti
adanya kontradiksi pada ayat-ayatnya, seperti mengarahkan kiblat pada bait almaqdis (Baitulahm) di Yerusalem, lalu ayat lain merubahnya dengan mengganti arah
kiblat pada Masjid Al-Harâm di Mekah. Nashr Hamid Abu Zaid; Mafhûm al-nash;
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 183
seperti menurut Imam Al-Zarkasih dalam kitabnya “al-Burhân fî
‘ulûm Al-Qur’ân”, menyatakan: al-naskh bermakna “penangguhan
hukum (ta’jîl al-hukmi ) karena adanya sebab (baru) ”,19 atau menurut
ulama lain “al-naskh” bermakna: “ penggantian teks atau ayat (AlQur’an) dengan teks /ayat lain dengan tetap mempertahankan kedua
Dirâsah fî ‘ulûm Al-Qur’ân, ( al-hai’ah al-mishriyah al-âmah li al-kuttab, Mesir),
1993, h. 132-133. Kata yang menggunakan huruf : ‫ خ‬- ‫ س‬-‫ ن‬secara leksikal bermakna:
menghapus (to delete),menolak ( to abolish), mencabut/menarik hukum (to repeal),
membatalkan (to cancel), menggantikan/sebagai cadangan (substitute for else),
salinan/turunan (copy). Hans Wehr; A dictionary of modern written Arabic , (Otto
Harrasdowitz;
Jerman),
cet.3,
1971,
h.
961.
atau
bermakna:
menghapus/menghilangkan untuk menetapkan yang baru (al-izâlah), menggantikan
(al-ibdâl), memindahkan/mengalihkan (al-tahwîl), menukil/mengambil tulisan dan
lafadz (al-naql). Namun, terhadap makna yang terakhir yakni al-naql, ulama
mengharamkannya kecuali: Syekh Nuhâs yang membolehkan penggunaan makna alnaql dengan syarat: 1.bahwasanya nâsikh (yang menasakhkan/ yang mengambil dan
menukil tulisannya) tidak mengunakan lafadz al-mansûkh (yang dinasakhkan/yang
diambil tulisan dan lafadznya) tetapi dengan lafadz lain. Argumen pendapat ini
adalah dengan memahami surah al-Jatsiyah/45:29:
)29( َ‫ق إِنَّا ُكنَّا َن ْست َ ْن ِس ُخ َما ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َملُون‬
َ ُ‫َهذَا ِكت َابُنَا يَ ْنطِ ق‬
ِ ‫علَ ْي ُك ْم بِ ْال َح‬
artinya: “(Allah berfirman) inilah kitab /catatan Kami yang menuturkan
terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang
telah kamu kerjakan”. Syekh An-Nuhâs menyatakan bahwa wahyu yang diturunkan
seperti yang sudah kita kumpulkan dalam sebuah mushaf ini berada di lauh almahfûdz (Q.S. Al-Wâqi’ah/56:79) Syarat ke-2. Naskh ini adalah termasuk
keistimewaan hukum yang diberikan Allah swt terhadap umat Islam yaitu untuk altaisir/mempermudah atau meringankan hukum yang dibebankan kepada umat Islam,
sebagaimana yang sudah disepakati oleh para ulama. Jalaluddin Abdurrahman alSuyûthî (911 H); Al-Itqân fî ‘ulûm Al-Qur’ân, ( Dâr al-fikr; Beirut), cet.3,
1951/1370 H, jilid 2, h. 20-21.
19
seperti: perintah bersabar bagi kaum muslimin zaman Nabi ketika mereka
masih lemah dan sedikit (Q.S. Al-Baqarah/2:106) selanjutnya Allah menurunkan
perintah memerangi orang-orang yang mengingkari dan menghalangi pelaksanaan
ajaran dan hukum Tuhan (Q.S. Al-Jatsiyah/45:14) Hukum pada ayat yang kedua
ditangguhkan karena belum ada alasan hukum atau sebab baru untuk
menguatkannya. Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyî; Al-Burhân fî
‘ulûm Al-Qur’an, (Dâr al-ihyâ’ al-kutub al-‘arabiyyah, tt), cet.1, 1957/1376 H, Jilid
2, h. 42
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
184 | Mohammad Andi Rosa
teks tersebut.20 Yakni mempertahankan pemberlakuan hukum yang
dikandung oleh masing-masing teks dengan memperhatikan kondisi
yang sesuai dengan konteks. Jadi definisi nâsikh-mansûkh atau
seringkali disebut al-naskh saja -yang merupakan mashdar (kata benda
derivatif), adalah: “Penggantian hukum dari teks atau ayat (AlQur’an) kepada hukum lain berdasarkan teks atau ayat lain karena
adanya perubahan situasi atau sebab baru”.21
Dari definisi al-naskh tersebut, terbaca bahwa nâsikh-mansûkh
berlaku untuk ayat-ayat hukum. Ayat-ayat hukum terkait dengan
ilmu-ilmu sosial, seperti bidang mu’âmalah (ekonomi Islam) tetapi
tidak banyak terkait dengan tafsir ayat-ayat kauniyyah. Meskipun, ada
kemungkinan bahwa sumber kajian ilmu pengetahuan sosial dapat
diperoleh dari isyarat-isyarat ayat selain ayat-ayat sosial. Hal ini,
sangat tergantung pada kemampuan mufassir dalam mempergunakan
data empiris, rasionalitas, dan kemampuannya memahami bahasa
simbol dari suatu ayat. Kemampuan ini, misalnya dapat menggunakan
semiotik dalam metode semantik.
Menurut para ahli peneliti di bidang Al-Qur’an bahwa fungsi
al-naskh adalah diakuinya proses pentahapan dalam menetapkan
hukum (al-tadarruj fî al-tasyri’ ) yang sesuai dengan realitas yang
muncul kemudian. Hal tersebut dalam sudut pandang penafsiran ayatayat ilmu pengetahuan (al-âyât al-‘ilmî) dapat dinyatakan bahwa
Allah swt menetapkan adanya proses penggantian hukum melalui
suatu ayat dengan ayat lain, menunjukkan bukti bahwa landasan teks
Al-Qur’an berangkat dari batas-batas konsep realitas melalui
diakuinya perubahan situasi atau sebab baru oleh teks atau ayat.
Nashr Hamid Abu Zaid; Op.cit., h. 134
Hubungan naskh-mansûkh ini dalam pandangan Mahmud Muhammad
Thaha yaitu: “ bahwa teks makiyyah lah yang menasakh teks madaniyyah.” Dengan
argumentasi berikut: Pada mulanya Al- Qur’an terdiri atas dua risalah: risalah
pertama didasarkan atas teks madaniyyah, risalah kedua didasarkan atas teks
makiyyah. Teks makiyyah itu universal dan pluralistik ketimbang teks madaniyyah.
Moch. Nur Ichwan; Meretas kesarjanaan kritis Al-Qur’an: teori hermeneutika Nashr
Abu Zayd, ( teraju; Jakarta, 2003), cet.1, h. 41.
20
21
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 185
Oleh karena itu, adanya perubahan realitas dalam pencarian
isyarat-isyarat sosial terhadap ayat-ayat Al-Qur’an menuju ayat-ayat
lain yang lebih relevan dengan realitas yang baru diketemukan adalah
hal yang wajar, sebagaimana diakuinya “sebab baru” yang merupakan
indikasi munculnya ayat-ayat al-naskh dalam menetapkan hukum.
Tentu saja -secara tidak langsung- pengakuan terhadap perubahan
realitas tersebut, akan relevan dengan sifat dasar ilmu pengetahuan
yang nisbi dan selalu berubah sesuai data, realitas, dan kebutuhan
masyarakatnya. Maka mengetahui keberubahan realitas suatu ayat
(living text), dapat menunjukan kepada adanya fleksibilitas hukum
Islam, sebagai sebuah tafsir kontekstual dari ayat terkait berdasarkan
nâsikh-mansûkh. Dengan demikian “tafsir tekstual”, sebagai
kebalikan dari “tafsir kontekstual” tidak meyakini naskh dengan
makna dan ketentuan tersebut.
C. Makna Tafsir Kontekstual
Tafsir kontekstual -secara sederhana- adalah kegiatan untuk
mengeksplanasi firman Allah swt dengan memperhatikan indikasiindikasi dari susunan bahasa dan keterkaitan kata demi kata yang
tersusun dalam kalimat, serta memperhatikan pula penggunaan
susunan bahasa itu oleh masyarakat, sesuai dengan dimensi ruang dan
waktu.22 Sehingga tafsir jenis ini memiliki aneka ragam konteks, baik
konteks bahasa, konteks waktu, konteks tempat, maupun konteks
sosial budaya.23 Dengan demikian, paling tidak, terdapat dua hal yang
perlu ditekankan dalam proses tafsir kontekstual, yaitu: aspek
kebahasaan, dan aspek ruang dan waktu; baik masa terciptanya teks
Abdur Rachim; Tafsir Kontekstual, (majalah al-Jami’ah; IAIN Sunan
Kalijaga, 1989), no. 39, h.41. Definisi tersebut didasarkan kepada makna “konteks”
dalam kamus oxford, yaitu: susunan kata yang dipahami secara khusus, karena
keterkaitan kata demi kata dalam susunan bahasa dan keterkaitannya pula dengan
situasi dan kondisi yang melingkupinya. Lihat: The new oxford Illustrated
Dictionary, (Oxford Univ. Press, USA, 1978), vol.1, h.359.
23
Lihat: Abdur Rachim; Tafsir Kontekstual, no. 39, h.56
22
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
186 | Mohammad Andi Rosa
pada suatu masyarakat atau lingkungan tertentu (milieu), maupun
masa sekarang yang menjadi ruang dan waktu dari penafsir suatu teks.
Al-Qur`ân sebagai sebuah teks, mengandung makna yang
memuat ayat-ayat muhkamât (ajaran doktrin dan universal yang
merupakan welstanschauung Al-Qur`ân) serta mutasyâbihât (ayat-ayat
ilustratif), di dalamnya terdapat perintah kepada Muhammad saw
sebagai Rasulullah (utusan Tuhan) untuk menjelaskan Al-Qur`ân ini
kepada umat manusia.24 Tugas tersebut oleh para pengikutnya, di era
klasik maupun modern dan selanjutnya tentu saja diemban oleh para
ulama -sebagai pewaris Nabi saw-, agar mereka melakukan ijtihad atau
upaya ilmiah berdasarkan aturan dalam perspektif “Ulumul Qur’an” 25
terhadap teks Al-Qur`ân.
24
Q.S. an-Nahl [16]:44 berikut,
            

Ulumul Qur’an secara gramatikal merupakan bentuk idlâfî (genetive
construction) yang bermakna: “ilmu-ilmu yang berasal dari dan ditujukan untuk
25
mengkaji Al-Qur`ân. Dalam pengertian ini, ulumul Qur’an dipahami sebagai suatu
antologi pengetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur`ân. Makna kedua, ulumul
Qur’an dipahami sebagai sebuah bangunan disiplin keilmuan yang berdiri sendiri.
Yaitu berbagai pembahasan tentang Al-Qur`ân dilihat dari berbagai tema kajian dan
sudut pandang pemikiran sebagai satu kesatuan perspektif dalam bingkai ke-Qur’anan. Meskipun perspektif yang digunakan beragam, karena tidak hanya terbatas pada
perspektif keagamaan dan kebahasaan saja, tetapi keseluruhannya tetap terikat
dalam satu paradigma keilmuan “ulumul Qur’an”. Ulumul Qur’an dalam pengertian
kedua ini menjangkau keseluruhan keilmuan yang tak terbatas. Jalaluddin al-Suyûthî
misalnya memperluas wilayah kajian Ulumul Qur’an ini hingga termasuk ilmu
astronomi, geometri, kedokteran, dan sebagainya. Jalâluddin al-Suyûthî; al-Itqân fî
‘ulûm al-Qur’ân, (Dâr al-fikr: Beirut, tt), jilid.2, h.128. ‘Ulûm al-Qur’ân terkadang
disebut sebagai ‘ulûm al-tafsîr atau ushûl al-tafsîr. Tetapi Abdurrahman al-‘Ak,
menyatakan bahwa ‘ulûmul Qur’ân mencakup ‘ulûm al-tafsîr, karena yang terakhir
lebih khusus dalam bidang kajiannya. Sedangkan ushûl al-tafsîr, dipandang sebagai
ilmu tentang berbagai metode dan kaidah yang harus ditempuh oleh mufassir
(penafsir Al-Qur`ân) dalam menafsirkan ayat Al-Qur`ân. Biasanya ilmu ini juga
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 187
Pemaknaan Al-Qur`ân, akibat adanya perkembangan zaman
kemodernan26 menuju postmodernisme,27 mengharuskan mengikuti
disebut dengan nama ilmu Qawâ’id al-tafsîr. Perbedaannya dengan ‘ulûm al-tafsîr
sebetulnya terletak pada metode dan kaidah yang digunakan dalam penafsiran.
Artinya, kalau ushûl al-tafsîr menjelaskan tentang metode atau kaidah yang
ditempuh dalam penafsiran, maka ‘ulûm al-tafsîr adalah penafsiran yang
menggunakan metode dan kaidah tafsir. Dengan demikian, ushûl al-tafsîr merupakan
bagian dari ‘ulûm al-tafsîr karena masih berada dalam ruang lingkup penjelasan
kandungan makna ayat Al-Qur`ân. Lihat: Abdurrahman al-‘Ak; Ushûl al-Tafsîr wa
Qawâ’idûhu, (Dâr al-Nafâis: Beirut, 1986), cet.2, h. 30-31. Lihat juga dalam: Izzah
Faizah Siti Rusydati Khaerani; Epistemologi Ilmu-ilmu Al-Qur`ân dengan
pendekatan kritik wacana, (Tesis UIN Bandung: 2004), h.50-51.
26
Menurut Sztompka, untuk memahami kehidupan modern, hendaknya
mengetahui ciri masyarakat urban, industrial, dan demokratis. Tetapi akibat dari
gaya hidup masyarakat modernisme, terjadi beberapa karakter berikut: a.
individualisme, misalnya setiap individu bebas menentukan keanggotaan sosial yang
diinginkannya; b. diferensiasi, misalnya penyempitan definisi pekerjaan dan profesi
sesuai dengan keragaman keterampilan, kecakapan, dan latihan; c. rasionalitas,
artinya manajemen efisien dan efektiv atau rasional; d. ekonomisme, artinya
masyarakat modern didominasi oleh aktivitas ekonomi dan uang sebagai ukuran
umum dan alat tukar; e. masyarakat modern cenderung mengglobal, termasuk
menjangkau bidang kehidupan privat atau pribadi. Akibat modernisme
menghasilkan beberapa fenomena berikut, misalnya: perluasan bidang pekerjaan dan
pemisahannya dari kehidupan keluarga; pertumbuhan kemandirian (privatization)
keluarga dan pemisahan nya dari control sosial komunitas atau masyarakat luas;
pemisahan antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk santai, dan waktu untuk
bersantai semakin banyak; peningkatan konsumerisme. Lebih detail, lihat: Piötr
Sztompka; Sosiologi Perubahan Sosial, h. 81-114. Kehidupan modern di Jepang,
telah menerima gagasan ekonomi dan teknologi Barat, tetapi demokrasinya berbeda
dengan di USA. Bukan hanya kerajaannya yang masih bertahan, tetapi juga struktur
hirarkie dalam masyarakat Jepang dan penghargaaan terhadap tradisinya yang masih
dipegang teguh. Termasuk di Iran atau beberapa Negara muslim yang mengadopsi
modernisme dalam wilayah ekonomi dan teknologi tanpa menerima lembaga politik
Barat modern. Lihat: Seyyed Hossein Nasr; Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan
untuk Kaum muda muslim, (Mizan: Bandung: 1994), cet.1, terj dari: A Young
muslim’s guide to the modern world (1993), cet.1, h. 204
27
Istilah postmodern di bidang filsafat menunjuk kepada segala bentuk
refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Oleh
karenanya postmodern dapat merupakan kelanjutan dari proses modern, sehingga ia
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
188 | Mohammad Andi Rosa
pola zamannya saat ini atau ke depan. Karena dalam modernisme
dapat melahirkan pemisahan dan pemandirian gejala sosio-kultural
dengan agama, maka didapati di zaman modern yang berparadigma
positivisme ini bahwa ekonomi lepas dari agama, politik lepas dari
agama, seni lepas dari agama, pendidikan lepas dari agama, ilmu lepas
dari agama, dan begitu efek negatifnya. 28 Kemudian dengan
datangnya era posmodernisme, melahirkan peradaban yang berbalik
arah dari paradigma modernisme kepada kritik efek modernisme
sehingga terjadi penyatuan kembali (integralism) yang sebelumnya
terpisah.29
Menurut
Kuntowijoyo,
disinilah
pentingnya
bisa juga disebut sebagai most-modern. Menurut Bambang Sugiharto, terdapat
beberapa kategori terhadap batasan postmodernisme, tetapi ada kategori yang
menurutnya luas sekaligus luwes, yaitu segala pemikiran yang berupaya membuat
kritik imanen atas pola berfikir modern. Yang dimaksud dengan kritik imanen adalah
kritik yang sambil tetap mempertahankan ideal-ideal modernisme tertentu mencoba
pula mengatasi segala konsekuensi buruk dari modernisme itu. Dalam dunia
hermeneutika atau penafsiran, paradigma postmodern dapat diwakili oleh teori
Dekonstruksi Derrida dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. mengidentifikasi
hirarkie oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematik; b. oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan
menunjukan adanya saling ketergantungan diantara yang berlawanan itu, atau
dengan mengusulkan privilese secara terbalik; c. memperkenalkan sebuah istilah
atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukan ke dalam kategori posisi lama.
Derrida ingin membuat tulisan yang tak memiliki ketertutupan filosofis dan
berusaha menghidupkan kekuatan tersembunyi yang membangun sebuah teks. Lihat:
I. Bambang Sugiharto; Postmodernisme: Tantangan bagi filsafat (1996), (Kanisius:
Jogjakarta: 2006), cet.9, h. 28, 32, 46-47.
28
Sejak munculnya modernisasi dalam kehidupan agama, yang ditandai
dominasi ilmu-ilmu empirik, muncullah dikotomi antara kebenaran ilmu
pengetahuan dengan kebenaran berdasarkan agama. Bahkan berlanjut kepada
dekadensi moral dan kekacauan kemanusiaan (dalam bahasa agama; fitnah). Adanya
nilai negative tersebut, kemudian datanglah paradigma post-modernisme yang
mengkritik nilai-nilai modern. Tentang kemodernan dan agama, Lihat: Dadang
Kahmad; Sosiologi Agama, ( Rosda Karya: Bandung, 2006), cet. 4, h.194.
29
Sehingga agama menjadi dependent variabel semata-mata. Dengan kata
lain, modernisme menghendaki secularization yaitu, proses melepasnya dominasi
agama atas masyarakat dan budaya. Terdapat dua macam sekulerisasi, yaitu
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 189
dediferentiation (rujuk kembali), deautonomization (keterkaitan
kembali), dan deseculerization (penyatuan kembali) menuju
paradigma keilmuan islam.30
Maka mensikapi perkembangan realitas tersebut, dalam bahasa
agama terkait Al-Qur`ân disebut dengan istilah al-tajdîd (reformulasi;
pembaharuan) pemahaman ayat-ayat Al-Qur`ân.31 Untuk melakukan
tajdîd ini, diperlukan kontekstualisasi terhadap konteks makna ayat
Al-Qur`ân dengan menjadikan perkembangan teori ilmu pengetahuan
mutakhir serta kondisi sosial masyarakat mutakhir, sebagai satu
bagian piranti analisis dalam proses menafsirkan makna konteks AlQur`ân.32 Inilah yang dimaksud dengan tafsir kontekstual, yang
menurut Abdullah Saeed, merupakan pendekatan yang diarahkan lebih
sekulerisasi objektif dan sekulerisasi subjektif. Sekulerisasi objektif tingkat sosiostruktural itu kemudian masuk ke dalam, yakni ke tingkat kesadaran berupa
sekulerisasi subjektif. Sekuleriasi subjektif pada gilirannya menimbulkan
sekulerisme dalam ideologi kemasyarakatan dan ateisme ilmiah dalam ilmu yang
secara agresif memprogandakan masyarakat sekuler. Lihat: Kuntowijoyo;
Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran
Islam, dalam buku: Integrasi sains-Islam; Mempertemukan epistemologi islam dan
sains, (Pilar Religia; Jogjakarta, 2004), cet.1, h. 77.
30
Kuntowijoyo; Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam
Perspektif Pemikiran Islam,… h.78
31
Terkait dengan geneologi istilah tajdîd dalam agama, terdapat hadis Nabi
saw yang cukup dikenal: inna Allâh yab’atsu li hâ dzihi al-ummah ‘alâ ra’si kulli
miah sanah man yujaddidu laha dînahâ. (sesungguhnya Allah swt pada setiap seratus
tahun akan membangkitkan orang yang mampu mereformulasi agamanya untuk
kepentingan umat ini). Lihat: Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistânî
(w.275 H) ; Sunan Abî Dâwud, tahqîq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid,
(al-Tijariyah Kubrâ; Kairo: 1953), cet.iv, h.109. Penjelasan makna tajdîd dalam hadis
tersebut, adalah “usaha untuk mendekatkan antara realitas masyarakat muslim pada
masing-masing zaman dengan zaman masyarakat hasil didikan Nabi saw.” Lihat:
Busthâmî Muhammad Sa’îd; Mafhûm tajdîd al-dîn, ( Dâr al-Da’wah: Kuwait: 1404
H), h.249
32
Hal ini dimungkinkan karena menurut para peneliti bahwa Al-Qur`ân
sebagai teks dapat bersifat shâlihun li kulli al-zamân wa al-makân (mampu
melakukan interaksi harmonis dengan konteks, dimensi ruang dan waktu dimana ia
berada).
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
190 | Mohammad Andi Rosa
fleksibel dalam menafsirkan suatu teks, dengan mempertimbangkan
konteks sosio-historis masa diturunkannya wahyu Al-Qur`ân dan
memperhatikan masa sekarang (contemporary) serta keinginan
muslim dewasa ini (today).33
D. Proses Kegiatan Tafsir Kontekstual
Dalam melakukan kegiatan tafsir kontekstual dimaksud,
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Proses Pertama;
memahami konteks Al-Qur`ân. Proses Kedua; melakukan
kontekstualisasi atas ayat Al-Qur`ân atau tema terkait. Dalam bahasa
Hasan Hanafi, yang pertama tersebut merupakan suatu teori
pemahaman teks, dan kedua merupakan ilmu yang menjelaskan wahyu
dari tingkat perkataan ke tingkat dunia, atau dari huruf ke kenyataan,
dan dari logos ke praksis yang dapat mengantarkan wahyu Al-Qur`ân
kepada tujuan akhirnya dalam kehidupan real manusia.34
D.1. Proses Pertama: Memahami konteks Ayat
Tafsir pada prinsipnya adalah mendialogkan antara teks
dengan konteks. Menurut Nur Ichwan, ketika ia mengutip Nasr Abu
Zaid, bahwa untuk mendekatkan teks dengan konteks ini ada lima
macam pendekatan, yaitu:
Pertama, konteks sosio-kultural, yakni aturan-aturan konvensional kolektif
yang bersandar pada kerangka kultural waktu teks lahir. Kedua, konteks
eksternal, yakni konteks percakapan (siyâq al-takhâthub) yang diekspresikan
dalam struktur bahasa suatu teks. Disebut juga “konteks pewahyuan”, yang
33
Abdullah Saeed; Interpreting the Qur’ân: Towards a contemporary
approach, (Routledge: USA and Canada), cet.1, h. 1
34
Terhadap yang pertama dapat dijelaskan dengan kesadaran historis ( alsyu’ûr al-târikhî) dan dengan kesadaran deduktif (al-syu’ûr al- ta’ammulî),
sedangkan terhadap yang kedua dapat dijelaskan dengan kesadaran induktif (alsyu’ûr al-‘amalî). Lihat: Hasan Hanafi; Dialog agama dan Revolusi, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), h.1-2. Lihat pula: Ahmad Hasan Ridwan; Fiqh al-Ta’wil:
Tafsir Hermeneutis Ayat-ayat Hukum, dalam buku: Mengerti Quran: Pencarian
Hingga Masa Senja 70 Tahun Prof H.A.Chozin Nasuha, (Pusat Penjaminan Mutu
dan Program Pascasarjana: UIN SGD Bandung, 2011), cet.1, h. 272.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 191
dalam ilmu Al-Qur’an, ini disebut “sebab-sebab pewahyuan” (asbâb alnuzûl). Level ketiga adalah konteks internal yang berkaitan dengan
“ketakintegralan” struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks
tidak integral, karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartîb al-mushafî)
dan urutan pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Lebih dari itu, teks bersifat plural
karena beragamnya wacana yang dihadapi oleh pembaca, seperti wacana
cerita ( siyâq al-qashshah), wacana perintah dan larangan (al-amr wa al-nahy),
hiburan dan ancaman (al-targhîb wa al-tarhîb), dsb. Keempat, konteks
linguistik yang berkaitan dengan suatu kalimat juga yang berkaitan dengan
yang implisit dalam struktur wacana. Kelima, konteks pembacaan (siyâq alqirâah) yang berusaha mendekonstruksi kode. Ada dua macam konteks
pembacaan: internal dan eksternal. Internal adalah Tuhan, sebagai pengirim
pesan atau pembicara sekaligus penerima pesan ketika pesan-Nya dibaca oleh
“pembaca eksternal”. Variasi level pembacaan disebabkan oleh: kondisi yang
berbeda dari setiap diri pembaca dan oleh perspektif pembacaan yang
berbeda, seperti linguistik, teologis, filosofis, dsb.35
Terhadap konteks yang kelima, yaitu konteks pembacaan
(siyâq al-qirâ`at), -menurut penulis buku tafsir ayat sains dan sosial-,
dapat dimanfaatkan ketika seseorang hendak mengkaji suatu karya
tafsir. Hal ini dapat diaplikasikan, ketika seseorang hendak
menggunakan metode hermeneutika, sebagai perangkat analisisnya,
karena tujuan hermeneutika pada dasarnya adalah ingin mengkritik
teks dan mendapatkan makna yang lebih baik sesuai dengan
pemahaman mufassir. Singkatnya, pada proses pertama dipahami
berbagai macam konteks terkait ayat yang hendak ditafsirkan,
meliputi: konteks sosio-kultural pada masa Al-Qur’an turun, konteks
asbâb al-nuzûl, konteks relasi antar ayat/surat dan stilistika Al-Qur`ân
(‘ilm al-uslûb), dan konteks linguistik. Sedangkan konteks pembacaan
dapat digunakan untuk proses kedua, sebagaimana yang akan
dijelaskan.
Proses memahami konteks tersebut dapat dilakukan melalui
penjelasan asbâb al-nuzûl dari ayat yang dikaji dan historisitas teks.36
Moch. Nur Ichwan; Meretas kesarjanaan kritis Al-Qur’an: Teori
Hermeneutika Nashr Abu Zayd, (Teraju; Jakarta, 2003), cet.1, h. 90-93
35
36
Menurut Nasr Abu Zaid, kemampuan mufassir untuk memahami makna
teks harus didahului dengan pengetahuan tentang realitas-realitas yang
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
192 | Mohammad Andi Rosa
Juga dipahami dalam konteks keterkaitan antar ayat dimaksud dengan
menggunakan teori munâsabat al-âyât,37 yang dielaborasi dengan
memproduksi teks. Mengetahui asbâb al-nuzûl bertujuan memahami teks dan
menghasilkan maknanya, karena pengetahuan mengenai sebab menghasilkan
pengetahuan mengenai akibat (musabab), juga pada ayat hukum akan memberikan
pemahaman tentang hikmah al-tasyri’. Pemahaman atas “sebab” atau “hikmah”
tentunya dapat membantu ahli fikih mentransformasikan hukum dari realitas
partikular ~atau sebab khusus~ dan menggeneralisasikannya ke peristiwa dan kondisi
yang menyerupainya melalui qiyâs (analogi). Akan tetapi, harus disadari bahwa
transformasi dari “sebab” ke “musabab”, atau dari realitas khusus ke realitas yang
menyerupainya, harus didasarkan pada “tanda-tanda” yang terdapat dalam struktur
teks itu sendiri. Tanda-tanda inilah yang akan membantu mentransformasikan
makna dari “yang khusus” dan partikular ke “yang umum” dan menyeluruh. Lihat:
Nasr Hamid Abu Zaid; Tekstualitas Al-Qur`ân: Kritik terhadap ulumul Qur’an , terj
dari “Mafhûm al-nash:Dirâsat fî `ulûm al-Qur’ân”, (LKiS: Jogjakarta, 2003), cet.3, h.
115-116. Menurut Al-Zarqânî, bahwa fungsi mengetahui asbabun nuzul, yaitu: a.
memahami hikmah Allah swt dalam penentuan hukum agama; b. membantu untuk
memahami ayat dan mendukung dalam pemahaman ayat-ayat yang ambigu
(musykil); c. menolak adanya dugaan pembatasan makna ayat, terhadap teks yang
pada lahiriahnya berbentuk lafal yang mengandung makna “pembatasan”; d.
mengkhususkan hukum agama (al-hukm) dengan adanya “sebab” d. memahami
terhadap psikologi seseorang yang terkait dalam penentuan maksud ayat, sehingga
tidak tertukar dengan individu lain; e. memudahkan penghapalan, pemahaman, dan
peneguhan wahyu Al-Qur`ân ke dalam sanubari atau jiwa yang mendengarnya.
Tentang contoh, lihat: Muhammad Abdul Azim al-Zarqânî; Manâhil al-‘irfân fî
‘ulûmi al-Qur’ân, (Dâr al-kutub al-‘ilmiyyah: Beirut, 1996/1416), juz.1, h.110-115
37
Adapun makna munâsabah secara leksikal adalah: keserasian, korelasi,
pertalian, hubungan, dan alasan, kemiripan, keterkaitan, atau adanya persamaan illat
(sebab, sifat). Lihat: Hans Wehr; Dictionary of Modern Written Arabic, (London,
ed. J. Milton Cowan, cet 3, 1971), h 960. Jalaluddin Al-Suyûthî (911 H); Al-Itqân,
(Dâr Al-Fikr; Beirut), 1979/1399, juz 1, h. 108. Terdapat dua belas contoh dari pola
munâsabah al-âyât, yaitu: a. Penggunaan huruf tertentu sebagai ciri khas dalam suatu
surat memiliki rahasia, makna, atau hikmah tertentu; b. Penggunaan diksi pada suatu
ayat memiliki makna tertentu dalam relasi rangkaian ayat dimaksud; c. hubungan
antar kata atau kalimat dalam suatu ayat; d. hubungan antar ayat; e. Hubungan antar
frase atau kelompok ayat dalam satu surat; f. Hubungan implisit antara pembuka dan
penutup suatu surat; g. Adanya kesatuan tema dalam suatu surat; h. hubungan antar
surah-surah Al-Qur`an, seperti dijelaskan dalam kitab “tanâsuq al-durar fî tanâsub alsuwar karya Imam al-Suyuthî, nazhmu al-durar fî tanâsub âyi wa al-suwar karya al-
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 193
pendekatan semantik melalui medan makna dari ayat dimaksud.
Bahkan tujuan ilmu munâsabat menurut Burhanuddin Abu Hasan AlBiqâ’î (809-885 H) adalah untuk mewujudkan kesesuaian makna
berdasarkan konteks-nya.38
Penggunaan asbâb al-nuzûl mengindikasikan adanya proses
resiprokasi atau timbal balik antara wahyu dengan realitas. Seakan
wahyu memandu dan memberikan solusi terhadap problem sosial yang
muncul saat itu.39 Disinilah pentingnya mengeksplorasi asbâb alnuzûl. Terkait dengan teori “asbâb al-nuzûl”, di kalangan para ahli
tafsir (mufassir) terdapat dua kaedah penafsiran yang terkenal: 1. “al`ibratu bi `umûm al-lafzhi, lâ bi khushûshi al-sabab” (yang dijadikan
pegangan ialah keumumuman lafal, bukan kekhususan sabab); 2. “al`ibratu bi khusûshi al-sabab lâ bi`umûmi al-lafzhi” (yang dijadikan
pegangan ialah kekhususan sabab bukan keumumuman lafal);
Penjelasan singkatnya, dari kaedah kedua ini adalah: pemahaman atas
illat atau sebab dapat membantu dalam mentransformasikan hukum
dari sebab khusus atau realitas-realitas partikular kemudian
menggeneralisasikannya ke peristiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi
yang menyerupainya melalui metode al-qiyâs (analogi). Tetapi
menurut, Nasr Hamid Abu Zaid, pengetahuan sebab akan
menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab). Transformasi
dari sebab ke akibat (musabab) didasarkan pada berbagai petunjuk
tanda yang terdapat dalam struktur teks. Tanda dalam teks itulah yang
membantu mentransformasikan makna dari yang partikular ke
Biqâ’î, al-asâs fî al-tafsîr karya Sa’id Hawwa, al-Tafsîr al-munîr karya al-Zuhailî; i.
Hubungan ayat bertema sama namun terletak di surat yang berbeda; j. Hubungan
antara surat yang memiliki dengan ungkapan pembuka yang sama; k. adanya
kesatuan tema dalam keseluruhan ayat Al-Qur`an; l. kesatuan ayat Al-Qur`an dengan
berbagai relasi ayat tersebut secara komperehensif. Lihat: Amir Faishol Fath; The
Unity of Al-Qur`an, (Pustaka al-Kautsar; Jakarta, 2010), cet.1, h. 75-113.
38
Burhanuddin Abu Hasan Al-Biqâ’î; Nazm Al-Durar fî tanâsub al-âyât wa
suwar, (Dar al-kutub al-‘ilmiyyah ;Beirut,1995 ), h. 3
39
Ali Sodiqin; Antropologi Al-Qur`ân: Model Dialektika wahyu dan budaya,
(Arruz Media: Jogjakarta, 2008), cet.1, h.12-13
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
194 | Mohammad Andi Rosa
universal.40 Kaedah kedua digunakan untuk ayat Al-Qur`ân yang
memiliki asbâb al-nuzûl.41
Selanjutnya dikenal kaedah ketiga, yaitu: “al-`ibratu bi
maqâshidihâ” (yang dijadikan pegangan adalah maksud utuh dari
suatu atau beberapa ayat). Kaedah ketiga inilah yang lebih
argumentatif dalam memahami makna utuh dari maksud Al-Qur`ân
secara keseluruhan (welstanschauung Al-Qur`ân). Oleh karenanya
diperlukan pengaplikasian teori munâsabatu al-âyât dan kemudian
berkembang menjadi teori al-wahdat al-maudlûiyyat.42 Dalam teori
ini, berlaku ketentuan tingkatan lafal ayat terhadap maknanya,
sebagaimana telah dikemukakan manakala menjelaskan tentang
makna pertentangan antar lafal ayat.
Menurut Manna Khalil Qatthan, apabila munâsabat-nya
memiliki makna yang dalam, adanya konteks yang harmonis, sesuai
dengan dasar-dasar bahasa arab, maka munâsabah-nya relatif dapat
diterima. Juga ada beberapa segi yang dapat dijadikan pedoman untuk
mencari bentuk munâsabat, antara lain: 1. segi makna; baik berbentuk
umum (‘âm), khusus (khâsh), aqlî (ada kesesuaian), hissî (dapat
Lihat: Nasr Hamid Abu Zaid; Mafhûm al-nash:Dirâsat fî `ulûm al-Qur’ân,
h.102-103
41
Terdapat dua kitab asbâb al-nuzûl yang ditulis masa pertengahan islam,
yakni: Lubâb al-nuqûl fî asbâb al-nuzûl disusun oleh Imam Al-Suyûthî (911 H),
Asbâb al-Nuzûl yang disusun oleh Al-Wâhidî (468 H). Al-Wâhidi hanya
mengungkap sekitar 472 ayat (7,5%) terkait dengan riwayat asbâb al-nuzûl, dan asSuyûthî hanya merekam riwayat asbâb al-nuzûl sekitar 888 ayat (14 %). Lihat:
Jalaluddin Al-Suyûthî; Lubâb al-nuqûl fî asbâb al-nuzûl, (Dâr Al-Fikr; Beirut), tth.
Juga kitab: Ahmad al-Wâhidî al-Nisâburî; Asbâb al-Nuzûl, (Dâr Al-Fikr; Beirut),
1994.
42
Lihat: Islahudin; Teori al-wahdah al-maudlûiyah lî al-Qur’ân al-karîm
40
dalam Penafsiran Sa’îd Hawwâ: Studi atas Penafsiran surat Al-Fatihah dan al-Sab’u
al-Thiwâl, (Tesis UIN Jakarta: 2008). Dalam kitab ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduha
fî al-Qur`ân, Abdullah Mahmûd Syahâtah menyatakan bahwa terdapat kesatuan tema
bagi setiap surat, dan bahwasanya adanya pemikiran suatu surat yang menjadi tema
surat mewajibkan menjadi dasar/asas dalam memahami ayat-ayatnya. Lihat:
Abdullah Mahmûd Syahâtah; Ahdâf kulli sûrat wa maqâsiduha fî al-Qur`ân al-karîm,
(al-Haiah al-mishriyyah al’-‘âmmah li al-kuttâb; Kairo, 1986), cet.3, h. 5
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 195
diterima oleh indera), khayalî (imajiner). 2. talazzum al-zikhnî (adanya
hubungan yang dapat dijelaskan oleh akal fikiran), seperti hubungan
sebab akibat (illah wa ma’lûl), adanya dua hal yang berlawanan, dan
sebagainya. 3. Talazzum kharîjî, yaitu dengan menelaah susunan katakata suatu ayat atau surat Al-Qur`ân.43 Maka penentuan adanya
munâsabat atau keterkaitan antar ayat, -secara sederhana-, terdapat
tiga cara yaitu: a. Munâsabat berdasarkan derivasi lafal; b. Munâsabat
berdasarkan keterkaitan makna; c. Munâsabat berdasarkan konteks
ayat (khithâb) yang sama.
Proses pencarian atau pemahaman konteks Al-Qur`ân tersebut,
merupakan sebuah bentuk dari tafsîr bi al-matsûr.44 Terkait dengan
tafsîr bi al-matsûr, maka peneliti dalam hal sumber tafsir akan
bersandar kepada: Al-Qur`ân, Sunnah nabi saw, Linguistik Arab yang
berdasarkan kepada makna leksikal dan tidak berkembang kepada
pemaknaan berdasarkan takwil (tentang takwil merupakan
pembahasan kontekstualisasi ayat), mengambil petunjuk dari tujuan
umum Al-Qur`ân dan prinsipnya yang universal (muhkam), serta
dengan memperhatikan rûh dan qarînat atas metode di kalangan
shahabat nabi saw yang senior dan para pemuka thâbi’în. Dengan
demikian tafsîr bi al-matsûr tidak bisa dipadankan sebagai tafsir
tekstual, dan tafsîr bi al-matsûr bukan antonim dari tafsir kontekstual.
Secara epistemologis, pola tafsir kontekstual tersebut, dapat
juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan bayânî (kajian
43
Manna Khalil Qatthan; Mabâhits fî ‘ulûm Al-Qur`ân, (Beirut; Mansyurât
al-‘ashr al-hadîts; 1973 M /1393 H), h. 97
44
Yaitu: menafsirkan Al-Qur`ân dengan rakyi yang didasari oleh dalil AlQur`ân, al-sunnah (sunnah nabi saw, pen), pendapat shahabat, kemudian pendapat
thabi’in. Lihat: Muhammad Ali al-Shâbûnî; al-Tibyân fî ‘ulûm al-Qur’ân,
(Muassasah Manâhil al-‘irfân, 1981), h.67. Untuk mendapatkan batas yang tegas
antara tafsîr bi al-matsûr tersebut dengan tafsîr bi al-rakyi al-mahmûd maka
ditetapkanlah rambu-rambu berikut: Pertama, istidlâl (pengambilan dalil ) tidak
boleh diawali prakonsepsi. Kedua, dalam ber-istidlâl mufassir tidak boleh terpaku
pada teks melainkan juga pada konteks. Dadang Darmawan; Sejarah Tafsîr bi almatsûr, (Jakarta; Tesis UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 130-131.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
196 | Mohammad Andi Rosa
sastrawi) ala Amin al-Khûlî dalam menafsirkan Al-Qur`ân, yang
menurut Bintus Syâthî’ -murid sekaligus istrinya-, adalah sebagai
berikut:45
1. Asal dalam metode, adalah pencarian tematik terhadap ayat yang hendak
dipahami dari “kitab Islam” (Al-Qur`ân). Dimulai dengan mengumpulkan
semua ayat dan surat di dalam Al-Qur`ân dalam tema yang hendak dipelajari.
2. Di dalam memahami tentang sesuatu di sekitar teks: ayat-ayat disusun
berdasarkan turunnya, untuk mengetahui situasi waktu dan tempat.
Termasuk di dalamnya asbâb al-nuzul, yang dapat menjadi argumen langsung
(qarâin lâbisât) bagi turunnya suatu ayat. Tanpa menghilangkan pemahaman
dari al-‘ibratu bi ‘umûm al-lafazh lâ bi khushûshi al-sabab. Bahwasanya
“sebab” disini adalah bukan makna hukum (hukmiyat; pasti) atau transenden
(‘uliyyat) yang tanpanya ayat tidak akan turun. Perbedaan dalam asbâb alnuzûl biasanya kembali kepada orang-orang yang sezaman dengan turunnya
ayat atau surat, mengikatnya dengan apa yang mereka pahami bahwa sebab
itulah merupakan sebab turunnya ayat.
3. Di dalam memahami makna lafal (dilâlatu al-alfâzh): kita mengapresiasi
bahwasanya bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur`ân. Maka kita mencari makna
asal kebahasaan, yang dapat memberikan kepada kita tentang rasa bahasa
Arab tentang tema dalam berbagai penggunaannya, baik rasa bahasa (hissî)
atau makna konotatif (majâzî). Kemudian kita menyimpulkan tentang inti
(mûkh) makna Al-Qur`ân dengan cara induktif (istiqrâ`) terhadap semua
bentuk (shigat) lafal Al-Qur`ân, kemudian menelaah konteks khusus dalam
ayat dan surah, dan konteks umum dalam Al-Qur`ân secara keseluruhan
(global).
Selanjutnya Bintus Syâthî’ juga menyatakan bahwa dalam memahami
rahasia ungkapan (asrâr al-ta’bîr) Al-Qur`ân, kita menentukan
pemahaman kepada konteks nash dalam koridor Al-Qur`ân yang
muhkam (makna doktrin dan peradaban; pen), dengan memperhatikan
kandungan makna yang dibawa oleh nash itu, secara tekstual dan
implisit (spirit teks: rûh al-nash, pen). Tentang makna tersebut, kita
dapat menyodorkan pendapat para ahli tafsir yang dapat diterima oleh
teks yang dibahas. Juga dapat menyingkirkan pendapat yang
berdasarkan riwayat israiliyat, takwil yang dibuat-buat, atau
Aisyah Abdurrahman bintus Syati’; al-tafsîr al-bayânî li al-Qur’ân alkarîm, juz 1, Dâr al-ma’ârif, cet.7, Kairo, 1397/1977, h.10-11
45
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 197
penafsiran yang mendahulukan fanatisme mazhab tertentu (syawâib
al-ahwâ al-madzhabiyyat).46
Karena itu, seorang pengkaji Al-Qur`ân, -menurut Bintus
Syathî’-, dituntut untuk memahami kosakata (mufradât) dan gaya
bahasa (uslûb) Al-Qur`ân dengan bertumpu pada kajian metodologisinduktif dan menelusuri rahasia ungkapan Al-Qur`ân.47 Tafsir model
Amin al-Khuli, pada dasarnya berkisar pada pencarian makna awal
berdasarkan gramatika bahasa saat Al-Qur`ân turun, dan lafal yang
digunakan dalam Al-Qur`ân itu.48 Dengan demikian, pendekatan bayânî
dari Aisyah Bintus Syathi` adalah pengembangan dari tafsir bi al-matsûr,
karena secara epistemologis ia juga menggunakan sumber-sumber bi almatsûr (termasuk eksplorasi makna kebahasaan) yang oleh Ibnu
Taymiyyah dinamakan juga sebagai tafsir dengan pendekatan terbaik
(min ahsan thurûq al-tafsîr).
Kajian linguistik mutakhir atau kebahasaan dalam teks AlQur’an, dilakukan juga dengan pendekatan semantik, yaitu menurut
Toshihiko Izutsu (1963), bahwa interpretasi kontekstual dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Mengumpulkan sebuah kata tertentu dalam berbagai
konteksnya.
2. Membanding-bandingkan semua penggunaannya.
3. Menghubungkan semua istilah yang menyerupainya.
4. Melawankannya (antonimnya).
5. Menghubungkan satu-sama lain.49
Demikian beberapa contoh proses dalam memahami berbagai
konteks Al-Qur’an yang meliputi empat aspek tersebut, yakni: konteks
sosio-kultural pada masa Al-Qur’an turun, konteks asbâb al-nuzûl,
46
Aisyah Abdurrahman bintus Syati’; al-tafsîr al-bayânî li al-Qur’ân al-
karîm, juz 1, h.11
47
Aisyah Abdurrahman bintus Syati’; al-tafsîr al-bayânî li al-Qur’ân al-
karîm, juz 1, h. 11 dan 15
Lihat: Amin al-Khuli; manâhij tajdîd fî al-nahwi wa al-balâghat wa al-tafsîr
wa al-adab, (Mesir: Haiat Mishriyyah:al-ammah li al-kitâb, h.233
49
Izutsu; The Structure…., h.31-32
48
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
198 | Mohammad Andi Rosa
konteks relasi antar ayat/surat dan stilistika Al-Qur`ân (‘ilm al-uslûb),
dan konteks linguistik.
D.2. Proses Kedua: Kontekstualisasi atas Ayat Al-Qur`ân atau tema
terkait
Kontekstualisasi dalam tafsir Al-Qur`ân dapat dikelompokan ke
dalam bentuk tafsir bi al-ra’yî, yang menekankan penguasaan sang
mufassir atas berbagai macam disiplin ilmu. Tafsir ini dipandang
sebagai kajian interdisipliner.50 Hal tersebut, dalam kajian metodologi
tafsir klasik dapat menggunakan metode takwil.51
Lihat: Dadang Darmawan; Ortodoksi Tafsir: Respon ulama terhadap tafsir
KH. Ahmad Sanusi, (Disertasi UIN Jakarta: 2009), h.115
51
Di dalam kamus bahasa, didapati makna takwil yaitu: raja`a, `âda (pulang
atau kembali). Ibnu Manzûr; lisân al-`ârab, bab awl. lihat juga dalam kamus mukhtar
al-shahâh,. Menurut al-Râghib al-Ashfahânî, takwil dapat bermakna: “ kembali ke
50
asal, mengembalikan sesuatu kepada tujuan yang diinginkan secara teori atau
praktek (`ilman kâna au fi`lan), penjelasan yang merupakan tujuan yang diinginkan,
strategi untuk menjaga tempat asalnya.” al-Râghib al-Ashfahânî; al-mufradât fî
gharîb al-Qur’ân. Sedangkan menurut terminologi ulama ahli ushul, seperti Imam
Ghazali (550 H) takwil adalah: “ungkapan dalil yang mengandung pertentangan dan
dapat menjadikan lebih kuatnya asumsi (zhan) dari maknanya yang zhâhir (jelas),
dan setiap takwil memiliki keserupaan dalam pengalihan lafal dari makna hakikat ke
majâzî (metafora).” Abu Hamid al-Ghazali (w.550 H); al-mustashfâ, juz 1, h.378.
Jelaslah dari definisi tersebut, bahwa takwil dan majâz dapat bertemu dalam satu
makna, yaitu: “Pengalihan” dari ungkapan zhâhir (yang jelas) berbagai lafal atau
frase (al-`ibârât). Tetapi takwil: “mengalihkan kalimat (kalâm) dari makna zhâhir
(yang jelas) ke aspek makna [lain] yang diembannya, sedangkan majâz (metafora)
adalah: setiap lafal yang melampaui dari tema-nya”. Takwil lebih umum dari majâz.
Lihat: Muhammad Sâlim Abû `Āshî; maqâlatâni fî al-ta’wîl: ma`âlim fî al-manhaj wa
rashdu li al-inhirâf, (Dâr al-bashâir; Kairo, 2003/1424), h.15. Adapun definisi dari
kitab Jam`u al-jawâmi`, yaitu: “membawa makna yang jelas (zhâhir) kepada
kandungan makna yang memungkinkan ( al-marjûh), karena jika dalilnya dapat
terbawa oleh makna tersebut maka hal itu adalah benar ( shâhîh) atau jika dalilnya
diasumsikan (zhan) saja maka hal itu adalah keliru (fâsid) atau tidak mengandung
takwil, maka permainan [makna] bukan takwil.” Lihat: syarh jam`u al-jawâmi`, juz 2,
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 199
Takwil adalah bahagian dari tafsir Al-Qur`ân. Makna “takwil”
menurut M. Bakar Ismail, merupakan tafsir batin dari lafal/lafadz (AlQur`ân), dan secara kebahasaan bermakna: kembali ke perkara yang
paling terdahulu atau yang menjadi sebab pertama. Takwîl merupakan
informasi tentang hakikat yang dimaksud, sedangkan tafsîr adalah
informasi tentang dalil yang dimaksud, karena lafal dapat menyingkap
sesuatu yang dimaksud, dan subjek yang menyingkap (al-kâsyif)
makna lafal itulah yang disebut dengan dalil (al-dalîl)”.52 Takwil juga
mencakup analisis (tahlîlî) dan argumentasi (ta’lîl), tidak hanya
menyingkapkan makna lafal saja tetapi juga memperhatikan susunan
(tarkîb) dan gaya bahasa sastrawi (uslûb bayâniyyat), termasuk
argumentasi agama (syarîat) dan rasionalitas, juga kebahasaan. Serta
argumentasi yang bisa membenarkan dan menguatkan, seperti lingkup
konteks dan kesatuan tema yang keduanya dapat mengikat makna.53
Proses pentakwilan tersebut, menurut para ulama ushûl dan
tafsir, memiliki ketentuan berikut:
a. Bahwasanya makna yang hendak ditakwilkan dari suatu lafal, adalah
termasuk makna yang dikandung/dimiliki (ihtimâl) oleh lafal dimaksud. Hal
ini dapat ditunjukan melalui metode manthûq-mafhûm, juga di saat yang
h. 52. Sedangkan menurut ulama fiqih kontemporer, takwil adalah: “mengeluarkan
lafal dari maknanya yang jelas (zhâhir) kepada makna lain yang diembannya dan
makna itu bukan makna yang jelas (zhâhir) dari lafal dimaksud.” Abu Zahrah; Ushûl
fiqh, h.126.
52
Muhammad Bakar Ismail; Ibnu Jarîr al-Thabarî wa manhajuhu fî al-tafsîr,
(dâr al-Manâr: kairo: 1991/1441), h.34. Lebih lanjut ia memberikan contoh berikut:
ayat “inna rabbaka la bil mirshâd”, tafsirnya adalah: bahwasanya lafal al-mirshâd
berasal dari akar kata al-rashad bermakna “mengawasi dan mengikuti”, maka almirshâd merupakan “alat atau instrumen” (mif’âlun minhu) dari pengawasan
dimaksud. Sedangkan takwil ayatnya adalah: “agar berhati-hati untuk tidak
melalaikan perintah Allah, dan mempersiapkan terhadap sesuatu yang disodorkan
atau yang mungkin akan datang.” Maka dalil yang menentukan maknanya itu
merupakan sesuatu yang membawanya kepada penjelasan yang diinginkan oleh lafal
dimaksud, yang bisa berbeda dengan objek lafal dari segi kebahasaan.
53
Muhammad Bakar Ismail; Ibnu Jarîr al-Thabarî wa manhajuhu fî al-tafsîr,
h.34-35.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
200 | Mohammad Andi Rosa
sama sesuai (muwâfaqan) dengan aturan-aturan kebahasaan, budaya baik
suatu masyarakat (`urf), dan ketentuan syariat (shâhibu al-syar`i).
b. Terpenuhinya dalil yang menjadikan makna yang diunggulkan/
dimungkinkan (al-marjûh) oleh lafal yang jelas (zhâhir) kepada makna yang
unggul (râjih) dan memberlakukan makna yang unggul (râjih) dari makna
yang marjûh karena lemahnya makna marjûh. Hal itu disebabkan karena asal
di dalam teks agama adalah bolak-balik (qawâlib) disebabkan ada dalil zhâhir,
dan wajib mengamalkan yang zhâhir tersebut kecuali jika dalilnya
mengharuskan pengalihan kepada makna lain.54
Maka teks agama, petunjuk bahasa, dan rasionalitas, telah
memberikan petunjuk bahwasanya tidak boleh suatu ungkapan atau
kalimat ditakwilkan dengan mengalihkan dari makna zhâhir kepada
makna lain kecuali jika disandarkan kepada pentakwilan di atas.
Adapun dalîl atau qarînat yang dapat mengalihkan makna zhâhir atau
makna hakikat (al-haqîqât) adalah hukum syariat berdasarkan dalil
firman Allah swt, sunah nabi saw, dan dalil kebahasaan atau petunjuk
`urf yang umum.
Menurut ulama ahli ushul terdapat beberapa kriteria lain yang
harus diperhatikan dalam melakukan takwil, yaitu: [c] Arti yang
dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran (al-haq min Allâh), yakni
takwilnya didasarkan kepada pandangan tentang tauhid atau kesucian
Tuhan, kemaslahatan, keseimbangan, keadilan, dan kemanusiaan. [d]
Arti yang dipilih sesuai dengan bahasa Arab klasik. [e] Makna yang
dipilih sebagai takwil merupakan satu kemungkinan makna yang
dimiliki oleh nash/teks. [f] Penetapan makna sebagai takwil atas
nash/teks didasarkan kepada dalil yang memiliki validitas yang kuat
(shahîh). 55
Lebih detail, lihat: Muhammad Sâlim Abû `Āshî; maqâlatâni fî al-ta’wîl:
ma`âlim fî al-manhaj wa rashdu li al-inhirâf, (Dâr al-bashâir; Kairo, 2003/1424), h.
54
25-30
Lihat: Abu Ishâq al-Syâthibî; al-muwâfaqât fî ushûl al-syarî`at, (Kairo; alTijariyah al-kubrâ, tth), jilid.2, h.100. Muhammad bin Ali al-Syaukanî; Irsyâd alfuhûl ilâ tahqîq al-haq min `ilmi al-ushûl, (Maktabah Tijariyyah; Makkah alMukarromah, 1993), h.300-301
55
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 201
Takwil menurut Hasan Hanafi, merupakan pencarian tujuan
umum dari teks dan memberikan makna kontemporer bagi teks
menjadi sistem dengan mengubah realitas menjadi realitas model
ideal. Sebagaimana pernyataannya berikut ini:56
“sesunguhnya teks hanyalah bentuk umum yang memerlukan isi. Isi ini adalah
sebuah cetakan kosong yang dapat diisi dengan berbagai kebutuhan dan
keperluan zaman sebagai bangunan hidup manusia, yang oleh wahyu disebut
“tujuan umum”. Karena itu takwil terhadap teks adalah sesuatu yang niscaya.
Semua teks dapat ditakwilkan dalam rangka mewujudkan realitas yang sesuai
dengannya. Takwil disini bukan berarti melencengkan teks dari makna hakiki
ke makna majâzî (metaforis) dengan suatu keterkaitan, tetapi memberikan
isi kontemporer terhadap teks, sebab teks adalah sebuah cetakan tanpa isi.
Takwil disini merupakan urgensi sosiologis untuk mengubah wahyu menjadi
sistem dengan mengubah realitas menjadi realitas model ideal.”
Selanjutnya Hasan Hanafi menyatakan, bahwa dalam proses
pentakwilan tersebut dapat digunakan qiyâs syarî’at (analogi dalam
bidang agama).57 Jadi hubungan yang ada bukan hanya antara akal dan
naql (teks agama; Al-Qur`ân dan hadis nabi saw), tetapi hubungan
segitiga dengan memasukan kenyataan atau realitas sebagai rujukan
kebenaran dan pembuktian jika terjadi kontradiksi antara akal dan
naql.58
Menurut Abed al-Jabiri, kontekstualisasi teks adalah untuk
menumbuhkan tingkat objektivitas teks, dan hal ini dapat digunakan
Lihat: Hassan Hanafi; Dari akidah ke revolusi: sikap kita terhadap tradisi
lama, (Paramadina, Jakarta, 2003), cet.1, h.185
56
57
Terkait dengan kajian bidang politik, ~sebagai bagian dari ilmu sosial yang
utama~ terdapat definisi tentang qiyâs atau analogi dari Muhammad Syahrur,
menurutnya “qiyâs” adalah analogi yang didasarkan atas bukti-bukti material dan
pembuktian ilmiah yang diajukan oleh ahli ilmu alam, sosiolog, ahli statistik, dan
ekonomi. Pemilik ilmu-ilmu tersebut merupakan penasehat otentik bagi otoritas
pembentukan undang-undang dan otoritas politik. Lihat: Muhammad Syahrur;
Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (eLSAQ Press; Jogjakarta: 2004), terj. oleh:
Sahiron Syamsuddin, dari: Nahwa ushûl jadîdat li al-fiqhi al-islâmî, h. 282
58
Hasan Hanafi; Dari Akidah ke Revolusi: Sikap kita terhadap tradisi lama,
(Paramadina: Jakarta: 2003), cet.1, h. 185-186
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
202 | Mohammad Andi Rosa
dengan tiga langkah pendekatan. Pertama; penggunaan metode
strukturalis.59 Kedua; Analisis historis, dengan cara: [a]. memahami
geneologi pemikiran yang sedang dikaji. [b]. Menguji validitas suatu
teks melalui tiga aspek: apa yang ingin dinyatakan oleh teks (said), apa
yang tidak ingin dinyatakan dalam pemahaman suatu teks (not said),
dan apa yang belum dinyatakan oleh teks (never said). Ketiga; Kritik
ideologi, yaitu mengungkap fungsi ideologis -termasuk sosial politikyang dikandung dalam teks.60 Memahami apa yang dinyatakan dalam
teks, merupakan pemahaman yang eksplisit dari ayat, sedangkan
memahami apa yang tidak dinyatakan dalam teks adalah pemahaman
implisit dari ayat, sedangkan memahami apa yang belum dinyatakan
dalam teks adalah salah-satu bentuk takwil, dengan memberikan nilai
signifikansi (al-maghza) terhadap teks tertafsir.
Sedangkan kontekstualisasi menurut Fazlur Rahman adalah
dengan merumuskan sebuah teori penafsiran Al-Qur`ân, yang
disebutnya dengan “The Double Movement”. Gerakan Pertama,
memahami arti atau makna umum dari suatu ayat dengan mengkaji
situasi atau problem historis masa turunnya wahyu. Gerakan pertama
ini, terdiri atas dua langkah, yaitu : Langkah pertama ; memahami
makna Al-Qur`ân sebagai sesuatu yang organis disamping dalam batas59
Strukturalisme berbeda dengan strukturalisme fungsional. Strukturalisme
terutama memusatkan perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran dari struktur
sosial ke struktur linguistik inilah yang secara dramatis mengubah sifat dasar ilmu
sosial. Karena, menurut penganutnya, kehidupan sosial dibentuk oleh struktur
bahasa, sedangkan realitas sosial bukan realitas yang sebenarnya tetapi logika yang
mendasari sistem dan melaluinya aturan yang tampak dapat terjelaskan. Perhatian
tentang struktural telah dikembangkan melampaui bahasa ke studi tentang seluruh
sistem tanda. Bahkan melahirkan juga strukturalisme antropologi, dan marxisme
struktural. Lihat: George Ritzer, dkk; Teori Sosiologi Modern, (Prenada Media
Goup: Jakarta, 2008), cet.5, edisi keenam, h. 603-605. Langkah pertama tersebut,
setingkat dengan epistemologi yang dikemukakan oleh Amin al-Hûlî, sebagaimana
tersebut dalam proses pertama: memahami konteks ayat.
60
Lihat: M.Abed Al-Jabiri; Tradisi dan Problem metodologi, dalam buku;
Post Tradisionalisme Islam, (Jogjakarta: LKiS, 2000), terj. oleh: Ahmad Baso (Ed),
h.18-23
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 203
batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasisituasi khusus saat ayat dimaksud turun kepada Muhammad saw.
Langkah kedua ; Melakukan generalisasi jawaban-jawaban atas ayatayat spesifik yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum. Jadi
pada Gerakan Pertama tersebut, terjadi dari hal-hal yang spesifik
dalam Al-Qur`ân ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip
umum, nilai-nilai, dan tujuan jangka panjang Al-Qur`ân.61 Inilah yang
kemudian melahirkan welstanchauung Al-Qur`ân, yang nampaknya
telah dicontohkan atau dimanipestasikan melalui bukunya yang lain
yaitu major themes of the Qur’an. Gerakan pertama inilah yang
menjadi tafsir kontekstual untuk memahami konteks Al-Qur’an, dan
selanjutnya pada gerakan kedua termasuk ke dalam kategori tafsir
kontekstual proses kedua, yakni untuk melakukan kontekstualisasi
ayat atau tema terkait. Bahkan gerakan kedua Fazlur Rahman, dapat
mengandung proses “tafsir sosial”. Sebagaimana pernyataan Fazlur
Rahman berikut :
…jika kedua "gerakan ganda" tersebut berhasil dilakukan, maka perintahperintah Al-Qur`ân akan menjadi hidup dan efektif kembali. Tugas pada
langkah pertama adalah kerja para ahli sejarah (membutuhkan ilmu sejarah,
pen), sedang tugas pada langkah kedua adalah memerlukan instrumen dari
para saintis atau sosiolog.62
Dalam perspektif fikih -yang merupakan kajian hasil ijtihad terhadap
ayat-ayat hukum normatif-, untuk melakukan kontekstualisasi,
menurut Sahal Mahfudh, diperlukan pengembangan mazhab qaulî
(kompendium yurisprudensi) dan manhajî (metodologis) dari para
ulama fikih klasik. Terhadap yang pertama, dapat dilakukan dengan
pengembangan contoh aplikasi kaidah ushul fikih dan qawâ’id
fiqhiyyah. Sedangkan pengembangan metodologis (manhajî)
dilakukan dengan cara pengembangan teori masâlik al-‘illat sesuai
Lihat: Fazlur Rahman; Islam and Modernity: Transformation of an
intellectual tradition, (Chicago Press: 1982), h.6 dan 7.
62
Lihat: Fazlur Rahman; Islam and Modernity: Transformation of an
intellectual tradition, (Chicago Press: 1982), h.7.
61
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
204 | Mohammad Andi Rosa
dengan maslahat al-‘âmmat atau dengan mengintegrasikan antara illat
hukum dengan hikmah hukum.63 Demikian beberapa pendapat para
pakar terkait dengan proses kontekstualisasi ayat Al-Qur`ân, ke dalam
konteks yang kehendaki oleh sang mufassir berdasarkan konteks ayat
yang melingkupinya.
E. Bentuk Analisis Penafsiran Kontekstual Berdasarkan Pendapat Para
Ulama Terkait
Buku berjudul “Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial
berdasarkan konsep-konsep kunci” -sebagaimana tersebut di mukamerupakan sebuah buku tafsir Al-Qur’an yang diklaim oleh penulisnya
menggunakan menggunakan tafsir tematik yaitu didalamnya
dimasukan beberapa entri dari teks/lafal Al-Qur’an yang kemudian
dijadikan tema tafsir. Entri yang dibahas dalam buku ini berjumlah 27
buah, yaitu: fithrah, hanîf, ibrâhîm, dîn, islâm, taqwâ, ‘abd, amânah,
rahmah, rûh, nafs, syaithân, nabî, madînah, khalîfah, ‘adl, zhâlim,
fâsiq, syûrâ, ûlû al-amr, ummah, jihâd, ‘ilm, ûlû al-albâb, rizq, ribâ, dan
amr ma‘rûf nahy munkar. Buku tersebut dalam praktek epistemologi
tafsirnya, lebih dominan menggunakan pendapat para ulama atau
pakar terkait sebagai alat analisis tema, dibanding melakukana analisis
ayat/tema sebagaimana yang tekankan dalam kajian tafsir tematik ala
Abdul Hayy al- Farmawi.
Berikut kajian epistemologi tafsir yang diambil dari bukunya
yang pertama sebagai perwakilan tema yang berkaitan dengan ilmu
ekonomi yakni tema “Ribâ”. Sistematika atau cara pembahasan tafsir
(al-tharîqat) yang dilakukan Dawam dalam mengeksplorasi tema tafsir
“Ribâ”, adalah sebagai berikut:
1. Mengemukakan di awal pembahasan tentang realitas sejarah
pelaksanaan tema tersebut di dunia non-muslim dan Indonesia:
Dawam mengemukakan tentang adanya undang-undang anti ribâ di
Barat, terutama di Eropa. Juga dikemukakan tentang sikap Bank
Lihat: M.A.Sahal Mahfudh; Nuansa Fiqih Sosial, ( LKiS; Jogjakarta,
2004), cet.4, h. li
63
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 205
Indonesia di awal era masa Soekarno, terhadap pelaksanaan ribâ,
yang dimotori oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama waktu
itu Syafruddin Prawiranegara, yang berpendapat bahwa bunga bank
tidak sama dengan ribâ.
2. Menyusun sub tema berdasarkan perkembangan tema dan
kebutuhan tema dimaksud: Di awal pembahasan, terdapat sub tema
“kontroversi ribâ” misalnya, di sini Dawam hendak menunjukan
bahwa masih terdapat pro-kontra di antara para praktisi dan ahli
agama terkait pelarangan ribâ. Bahkan ia mengutip juga pendapat
Muhammad Abduh, tokoh modernisme dalam dunia Islam, yang
menyatakan bahwa bunga yang tidak terlalu tinggi tingkatnya
diperbolehkan, tentu dengan tetap mengharamkan ribâ.64 Demikian
juga dalam sub tema “sejarah ribâ”, Dawam hendak menjelaskan
bahwa pelarangan ribâ dalam ayat Al-Qur’an juga telah ada di
dalam Perjanjian Lama atau Tradisi Gereja, bahkan berlanjut pada
abad pertengahan di Eropa. Demikian juga pada sub tema “riba,
bunga dan Bank”, yang mengelaborasi adanya perkembangan
perbankan yang dibutuhkan masyarakat, sebagai anti tesa dari
konsep ribâ abad pertengahan, tetapi belum memberikan solusi
secara kâffah, bagi pebisnis kecil.
3. Mengkaitkan suatu tema dengan tema lain, yang dipandang dapat
menjawab problem sosial dari tema pertama atau tema sebelumnya:
Dawam di akhir penjelasan tema ribâ, menyusun sebuah sub tema
“Dari Ribâ ke Amr ma’rûf nahi munkar”. Menurutnya, Bank Syariah
(Bank Syariat Islam) sebagai modus untuk menghindari praktek
perkreditan atau perbankan yang mengandung unsur ribâ yang
diharamkan itu, masih memerlukan waktu pengalaman dan evaluasi.
Karena itu, menurutnya konsep Amr ma’rûf nahi munkar sebagai
konsep hakikat sosial dalam islam yang berorientasi kepada kebajikan
atau al-khayr (virtue, goodness), perlu ditafsirkan secara seimbang,
baik secara praktik maupun teoritis.65 Maka, setelah tema Ribâ,
64
65
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.594-596
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 615-617
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
206 | Mohammad Andi Rosa
Dawam melanjutkan penafsirannya menuju tema Amr ma’rûf nahi
munkar.66
Adapun metode tafsir (al-manhaj) yang ditempuh oleh Dawam
Rahardjo dalam menganalisis ayat dengan tema tersebut, adalah
sebagai berikut:
1. Mengemukakan tentang berbagai pendapat dan aktivitas ekonomi
terkait tema: Dawam mengemukakan juga perkembangan makna
ribâ di Eropa dan termasuk di Indonesia yang kemudian
menghasilkan dua pembedaan makna, yaitu usury dengan interest.
Makna pertama untuk ribâ dan kedua untuk pembungaan uang.67
Dikemukakan juga tentang beberapa pendapat dan aktivitas yang
terkait dengan penggandaan atau perputaran manfaat uang oleh
pihak kedua dan konsep ribâ yang dilakukan dan dinyatakan oleh
kaum Yahudi, pendeta Kristen, di mulai abad pertengahan.
2. Menyusun ayat yang terkait tema berdasarkan kronologi turunnya
Al-Qur’an dengan mengomentari kaitan maknanya secara global:
Terhadap hal ini, misalnya Dawam menyatakan demikian,
“bahwa istilah ribâ dalam pengertian yang kita maksud di atas, disebut
dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Secara kronologis, ayat pertama
yang turun adalah yang tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Rûm/30:39.
Ayat ini memberikan suatu definisi tentang ribâ. Selanjutnya, soal ribâ
dibahas dalam serumpun ayat dalam Al-Qur’an, s. al-Baqârah/2:27, 276,
278, dan 280. Definisi lain mengenai ribâ disebut dalam Al-Qur’an s. Âl
Imrân/3:130. Ayat inilah yang membuka diskusi dan memberi peluang
terhadap penafsiran lain tentang ribâ. Dan ayat terakhir turun, tercantum
dalam Al-Qur’an s. an-Nisâ/4:161. Ayat yang terakhir turun mengenai ribâ
itu menari, sebab di situ soal ribâ dikaitkan dengan akivitas khas orangorang Yahudi pada masa Rasulllah saw. Untuk jelasnya, akan kita kutip
tiga ayat yang saling berkaitan, walaupun kata ribâ hanya disebut pada
ayat 161…” 68
3. Mengkaji definisi tema terlebih dahulu menurut para ulama fikih,
sebelum menganalisis tafsir ayat terkait tema: Dawam manakala
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 618-643.
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 595-596
68
Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 597.
66
67
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 207
menafsirkan Q.S. Al-Rûm/30:39 ia kemudian menulis tentang
definisi ribâ yang tidak ia sebutkan sebagai definisi dari para ahli
fikih, padahal definisi yang dikemukakannya adalah berasal dari
para ulama fikih (al-fuqahâ`-i), seperti penafsirannya berikut ini:
“kata ribâ, berasal dari akar kata r-b-w, artinya bertumbuh, menambah
atau berlebih. Dalam ayat tersebut, yang dimaksudkan dengan ribâ adalah
nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang
dipinjamkan kepada orang lain….”.69
4. Menjelaskan ayat berdasarkan “kata kunci” dan konteks ayat itu:
kata kunci yang Dawam jelaskan misalnya ketika menafsirkan Q.s.
al-Baqârah/2:277-278 adalah lafal al-zakât dan al-ribâ dengan
konteks hubungan konsumsi antara orang-orang yang sedang
mengalami kesulitan keuangan dengan mereka yang kelebihan uang
atau kekayaan. Berikut penafsiran Dawam dengan menyatakan
demikian:
“Sangat jelas konteks ribâ dan zakât yang dibahas dalam ayat-ayat di atas,
yakni hubungan sosial antara mereka yang kelebihan uang atau kekayaan,
dengan mereka yang membutuhkan, misalnya kerabat, fakir miskin, dan
musafir yang kesulitan uang. Mereka itu tentunya tergolong miskin, sebab
kalau tidak, maka mereka tidak berhak menerima zakât. Terhadap mereka,
pemberian sedekah atau zakat adalah cara untuk menolong dan bukan
dengan pinjaman yang mengandung ribâ. Masalahnya akan lain, jika
transaksi itu pada hakikatnya adalah jual beli. Jika ada transaksi keuangan
yang bersifat jual beli, dimana keuntungan diperbolehkan, maka transaksi
tersebut tentunya bukan ribâ. Konteks ayat di atas adalah hubungan
konsumsi yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang mengalami
kesulitan keuangan.” 70
5. Mengemukakan berbagai perspektif terkait kesimpulan penafsiran
yang telah ia buat sebelumnya terhadap suatu ayat: Manakala ia
menafsirkan Q.s. al-Baqârah/2:279-280, Dawam menyatakan
demikian,
“dalam ayat di atas, Al-Qur’an menyatakan adanya hak orang yang
memberi hutang, yaitu mendapatkan hutang pokoknya. Dan jika orang
yang menerima hutang sedang mengalami kesulitan membayar, maka
69
70
Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.603.
Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.606.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
208 | Mohammad Andi Rosa
hendaklah yang memberi hutang memberikan keringanan, dengan
memberi waktu tangguh. Tetapi jika yang berhutang memang benar-benar
mengalami kesulitan, maka jalan yang terbaik adalah menganggap hutang
itu sebagai sedekah. Di sini, hutang itu berskala sedekah. Karena
konteksnya memang hutang konsumtif…” 71
Dawam berkesimpulan bahwa hutang yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah “hutang konsumtif”, kemudian ia mengemukakan
berbagai perspektif terkait pendapatnya tersebut dengan mengutip
pendapat Muhammad Hatta (1958) yang intinya adalah bahwa ribâ
adalah tambahan atas hutang yang dipakai untuk konsumsi,
sedangkan rente atau bunga adalah balas jasa atas pinjaman yang
telah digunakan untuk kepentingan produksi. Kemudian Dawam
juga mengemukakan sejarah evolusi konsep usury (ribâ) menjadi
interest atau bunga.72 Termasuk mengemukakan pendapat
Gubernur Bank Indonesia yang pertama, Syafruddin Prawiranegara,
yang inti pendapatnya adalah bahwa ribâ sebagai transaksi yang
mengandung pemerasan dan penipuan. Berbagai transaksi,
misalnya praktek ijon, mungkin tidak bisa dijelaskan dan dilarang
dengan konsep ribâ.73
6. Menafsirkan ayat terkait tema berdasarkan kronologi turunnya,
didasarkan kepada penafsiran tokoh di Indonesia, yang dianggap
memiliki otoritas: Manakala Dawam menafsirkan definisi ribâ ia
menyadur pendapat Syafruddin Prawiranegara (ahli ekonomi masa
orde lama) dan A. Hassan (ahli agama masa orde lama), dimulai
dengan Q.s. al-Baqârah/2:188 yang dianggap sebagai ayat yang
menjelaskan definisi ribâ, Q.s. an-Nisâ/4:29 sebagai definisi dari
transaksi jual beli (al-bay’). Melalui dua tokoh tersebut, Dawam
mengutip persyaratan atau ketentuan dasar dalam kegiatan bisnis
yang mengandung ribâ.74
7. Mengkaitkan tema dengan problem realitas: Setelah menjelaskan
Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.607
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.608-609.
73
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.609.
74
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.609-610.
71
72
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 209
secara gamblang melalui berbagai pendapat tokoh dimaksud di atas
tentang makna ribâ, Dawam mengkaitkan tema dimaksud dengan
aktivitas perbankan modern, yang di satu sisi dapat menjadi solusi
bagi kegiatan pebisnis dengan modal besar, tetapi masih dirasa
menyulitkan bagi pebisnis dengan modal kecil, karena tingkat
return insvestment-nya yang kecil terhadap perkembangan Bank
Syariah (Bank Syariat Islam). Hal ini ia jelaskan dalam sub tema,
“Ribâ, Bunga dan Bank”.75
Adapun corak atau wawasan dan ciri khas (al-lawn)
penafsiran yang dapat diperoleh dari hasil penafsiran Dawam
Rahardjo terhadap tema “Ribâ” secara umum, disamping memiliki
terjemahan progresif terhadap Al-Qur’an, sebagaimana telah
diungkap pada tema tentang “manusia sentral Al-Qur’an”, juga ciri
khas lain yang bisa didapat dari penafsiran Dawam, yaitu:
Pertama, memiliki terjemahan dengan kalimat yang sederhana
tanpa bersayap dan tanpa keterangan tambahan, tetapi mengena
dalam pemaknaan sesuai dengan konteksnya:
Berikut contoh kelugasan terjemahannya terhadap Q.S. AlBaqârah/2:188,
“dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil dan
kamu membawa perkaranya kepada hakim supaya kamu dapat memakan
sebagian dari harta orang lain dengan cara yang curang, padahal kamu
mengetahuinya.”76
Bandingkan dengan terjemahan Quraish Shihab dan terjemah
Departemen Agama, yang lebih bercorak atau menggunakan
pendekatan hukum, sebagaimana berikut:
“dan janganlah kamu memakan harta (sebagian) kamu, diantara kamu
dengan jalan yang batil (melanggar ketentuan agama atau persyaratan
yang disepakati) dan (janganlah) kamu menyogok hakim (yang berwenang
memutuskan), supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda
orang (lain) dengan (jalan bertaubat) dosa, padahal kamu mengetahui. 77
Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.611-615.
Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.609.
77
Quraish Shihab; Al-Qur’an dan Maknanya, h. 29.
75
76
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
210 | Mohammad Andi Rosa
Adapun terjemahan Departemen Agama adalah sebagai berikut: “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui.”78
Ciri Kedua, menggunakan pendekatan sejarah ekonomi dalam
menjelaskan tema yang berkaitan dengan bidang ekonomi serta
mengkaitkannya dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi
terapan: Dawam dalam menjelaskan tema, sebagaimana dijelaskan
di muka, ia secara panjang lebar mengemukakan sejarah Ribâ dalam
perspektif ekonomi dan kemudian mengkaitkannya dengan
perkembangan perbankan modern dan kemunculan Bank Syariah di
Indonesia yang saat itu mulai akan baru berdiri, (dimulai dengan
adanya pendirian Bank Muamalat), juga dikaitkan dengan
maraknya koperasi simpan pinjam di Indonesia -yang dalam
perspektif tertentu- dapat menjadi modus pengganti dari konsep
Ribâ.
Ciri ketiga, melakukan kolaborasi intelektual dalam penafsiran
dengan mengutip pendapat dari ahli ekonomi sekaligus ahli
keislaman atau tafsir Al-Qur’an: Dawam di satu sisi melakukan
pengutipan kepada Maulana al-Maududi, Muhammad Abduh,
Muhammad Ali (penerjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris),
Muhammad Assad, A. Hassan (dari Indonesia) tetapi di sisi lain, ia
juga mengutip pakar ekonomi yang juga pemerhati filsafat
ekonomi, yaitu pendapat Syafruddin Prawiranegara dan
Muhammad Hatta, keduanya tokoh Indonesia yang telah banyak
menulis tentang konsep ribâ dalam alam pikiran Eropa dengan
perspektif ekonomi neo-klasik.
Adapun orientasi tafsir Dawam pada tema Ribâ ini, adalah
berorientasi kepada pencapaian solusi sosial: Masih
dipertanyakannya konsep bank Syari’ah oleh beberapa kalangan
78
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama; Al-Qur’an dan
Terjemahnya, (CV. Toha; Semarang, 1989), ed. Revisi, h. 46
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 211
pengkaji islam di Indonesia, kemudian Dawam menganjurkan
perlunya pemahaman lebih lanjut tentang konsep Amr ma’rûf nahi
munkar sebagai bentuk pendalaman solusi sosial terhadap tujuan
yang diinginkan dari pelarangan ribâ dalam Al-Qur’an. Amr ma’rûf
nahi munkar sebagai konsep penting dalam Al-Qur’an yang
berkaitan dengan hakikat sosial keberagamaan Islam, sekaligus
konsep zakat yang ia kemukakan sebagai antonim dari ribâ.
Tafsir Dawam Rahardjo dalam tema Ribâ, jika dilihat dari
aspek kriteria dan validitas penafsiran dapat dikategorikan sebagai
tafsir kontekstual yang dalam analisis penafsiran ayat, lebih banyak
menggunakan pendapat tokoh modernis atau neo klasik sebelumnya seperti Maulana al-Maududi, Muhammad Abduh, Muhammad Ali, dan
sebagainya. Kemudian tokoh dari Indonesia yang beraliran neo-klasik
dikutipnya seperti Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Hatta
dan Ahmad Hassan. Masing-masing sumber dimaksud, -jika dibaca
secara utuh hingga akhir penafsiran tema- dielaborasinya dengan
kepiawaiannya di bidang ekonomi sehingga ia dengan cukup jeli
mampu memberikan rekomendasi penafsiran yang up date terkait
solusi yang dibutuhkan saat itu bagi masyarakat Indonesia. Wal hasil,
-secara umum dari awal hingga akhir penafsiran-, dalam aspek
validitas/kesahihan penafsiran, bahwa penafsiran Dawam pada tema
yang terkait bidang ekonomi ini, lebih cenderung bersifat komparatif,
menggabungkan berbagai sumber yang memiliki otoritatif di
bidangnya dan hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan nilainilai universal Al-Qur’an, meskipun ada kekurangan teknis yang perlu
dikritisi.
Terdapat satu kesimpulan penafsiran yang cukup berani dari
Dawam dan perlu dikritisi, -terkait tema ini- manakala ia menafsirkan
Q.s al-Baqârah/2:280, yang menafsirkan bahwa konteks “hutang” pada
ayat tersebut sebagai “hutang konsumtif”, karena hutangnya berskala
sedekah lalu ia menguatkan pendapatnya kepada ayat tentang
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
212 | Mohammad Andi Rosa
“delapan golongan penerima sedekah” dalam Q.s, al-Tawbah/9: 60.79
Padahal dalam penjelasan selanjutnya, ia mengutip pendapat
Syafruddin Prawiranegara, yang menyatakan bahwa semua transaksi
ekonomi yang mengandung pemerasan dan penipuan adalah ribâ.
Sayangnya di point ini, tidak dielaborasi oleh Dawam dengan konsep
hutang konsumtif yang ia kemukakan sebelumnya sebagai tafsiran
ayat tersebut. Maka dalam konteks ayat tadi (Q.s. al-Baqârah/2: 279280),80 pertanyaan yang dapat muncul kemudian, bagaimana jika yang
berhutang tadi digunakan untuk produktif -bukan hutang konsumtiftetapi mengalami kerugian yang disebabkan faktor x, seperti bencana
alam atau sistem ekonomi global yang di luar prediksi si kreditur?
hemat peneliti, jika yang berhutang dengan kasus hutang produktif
pun dan berdasarkan profesionalitas dalam bisnis tetapi kemudian
mendapat musibah yang bersifat post major misalnya, maka kreditur
dengan kasus demikian, berhak mendapatkan dispensasi sebagaimana
disebutkan dalam ayat tersebut (Q.s. al-Baqârah/2:280), misalnya
dengan penangguhan hutang dan wajib mendapatkan zakat mâl dari
lembaga perbankan terkait. Juga si kreditur dimaksud hendaknya
mendapatkan bimbingan profesionalitas dari lembaga zakat terkait
dalam aktivitas bisnis selanjutnya.
F. Penafsiran Kontekstual Berdasarkan Analisis struktur internal ayat
Misal sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab
      

      
   
      
 
  
     
 
 
 
       
 
   
  
 
  
  
79
              
 

     
   
 
   
         
   
  
  
  
          
  
   
80
               
     
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 213
manakala melakukan tafsir tematik pada Tema: “Islam dan
Pembangunan”. Berikut tharîqah dan manhaj tafsir dimaksud.
Sistematika atau bentuk pembahasan tafsir (al-tharîqat) yang
dilakukan Quraish Shihab dalam mengeksplorasi tema tafsir di atas
adalah sebagai berikut:
a. Mengungkap pentingnya memahami suatu “sebab” atau jalan yang
dapat mengantarkan kepada realisasi substansi tema dimaksud sesuai
ajaran Al-Qur’an: Quraish Shihab mengemukakan -dalam pengantar
tulisannya- tentang pentingnya manusia memahami dirinya dan
kedudukannya dalam kehidupan di dunia ini. Ia mengemukakan secara
global tentang substansi Al-Qur’an yang salah-satunya adalah tentang
karakter atau sifat-sifat yang dimiliki manusia agar diorientasikan
kepada pemahaman diri, karena hal ini dapat mengantarkan manusia
untuk membangun dan menemukan jati dirinya dan dunia ini sesuai
dengan konsep yang dikehendaki penciptanya dan kemaslahatan
manusia sekaligus.81
b. Memilah ayat yang terkait sub tema, meskipun ayat itu hanya
terkait dengan aspek tertentu dari sub tema dimaksud: Manakala
Quraish Shihab membahas sub tema “Pembangunan dan Pengamalan
Pancasila”,82 ia memilah ayat-ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek
tertentu dari Pancasila seperti aspek kesejahteraan yang menjadi
pengamalan dari sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”,
dan aspek toleransi beragama sebagai bentuk pengamalan dari sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat-ayat dimaksud yaitu, seperti Q.s.
81
Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu…h.299
82
Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu…h.302
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
214 | Mohammad Andi Rosa
Saba/34:24-26,83 Alu Imrân/3:64,84 dan al-Baqârah/2:213.85
c. Mengemukakan ungkapan penutup dengan kesimpulan dan
implikasi: Quraish Shihab di sini mengungkap tentang kesimpulan
relasi islam dengan pembangunan, juga implikasi yang hendaknya
dilakukan oleh ulama islam. Berikut ungkapan penutup terkait
implikasi dimaksud:
“walaupun demikian (bahwa pembangunan nasional sejalan dengan nilainilai islam, pen) tentunya harus diakui bahwa persesuaian tersebut belum
menjamin persesuaiannya dalam praktek pelaksanaan, karena pelaksanapelaksananya adalah manusia yang memiliki potensi positif dan negative.
Karena itu, Islam menghendaki agar manusia membentuk lingkungannya,
bukan lingkungan yang membentuknya. Dengan demikian, kaum
agamawan, dalam era pembangunan, dituntut paling tidak dapat
mewujudkan: [a] Suatu kekuatan pendorong bagi setiap pribadi guna
meningkatkan usaha dan kreasi umat; [b] Suatu isolator antara pribadipribadi dan penyelewengan-penyelewengan; dan [c] Mewujudkan atau

 
 
    
 
          
  
   

 
   
  
  

 
      
 
83
                
         
  

  
  
  
  
    
   
            
  
  

        

  
   
 
    
 
84
                

  

   
 
   
   
  
   

 
   
     
  
     
 
     
   
 
85
                 
                
     
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 215
memelihara tingkat etik bagi setiap pribadi dalam melaksanakan tugastugas mereka.86
Adapun “tatacara menganalisis ayat” sebagai bentuk
“Manhaj al-tafsîr al-tajrîbî” (metode tafsir berdasarkan praktek) yang
dilakukan oleh Quraish Shihab dalam tema “Islam dan Pembangunan”,
adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis ayat yang didasarkan pada relasi antar ayat secara
rasionalitas (Talazzum fi al-‘aqli);
Manakala Quraish Shihab, membahas sub tema “manusia dan
kehidupan” ia mengeksplorasi penjelasannya dengan menghubungkan
Q.s. Shâd/38:71-7287 dengan ayat ke-khalifahan.88 Konteks ayat
pertama adalah menjelaskan tentang karakter manusia sebagai
makhluk fisik dan non-fisik (gumpalan tanah dan hembusan ruh
ciptaan Tuhan) yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana kandungan
air yang mengikat Hidrogen dan Oksigen. Kemudian pada konteks
ayat kedua (tentang ke-khalifah-an), dijelaskan bahwa fungsi
eksistensi manusia di dunia ini adalah melaksanakan tugas
“kekhalifahan”, yakni membangun dan mengolah dunia ini sesuai
dengan kehendak Tuhan. Kemudian secara rasionalitas, Quraish
Shihab menyatakan demikian: “kehendak Tuhan tersebut (dimaksud,
pen) tergambar dalam kitab-kitab suci yang diturunkan dan harus
digali nilai-nilainya oleh manusia agar mereka dapat menyesuaikan
perkembangan sosial budaya manusia dengan nilai-nilai tersebut
(dimaksud, pen)”.89 Karena itu, dalam aktivitasnya manusia mampu
86
M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu….h.306

     
 
 
       
     
 
   
  
  
    
    
   
   
    87
  
88
Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu….h.299.
89
Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu….h.299-300
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
216 | Mohammad Andi Rosa
melakukan penyesuaian-penyesuaian, tidak bisa dan tidak boleh
seperti hewan atau malaikat atau berbeda dengan cara keduanya.
Dengan potensi dasarnya itulah, manusia diyakini dapat menjalankan
tugas ke-khalifah-an berdasarkan kitab suci dan perkembangan sosial
budaya manusia masing-masing wilayah.
Quraish Shihab mengkaitkan konsep ke-khalifahan dalam AlQur’an dengan Q.s.al-Baqârah/2:31,90 Q.s.al-Wâqi’ah/56:26, dan
Thâhâ/20:118.91 Berikut penjelasan singkat terkait metodologi
penafsirannya dengan metode penafsiran, sebagaimana tersebut dalam
point A di atas, yakni “menghubungkan satu ayat dengan ayat
selanjutnya (al-munâsabat) dalam penjelasan sub tema berdasarkan
rasionalitas dengan tetap memperhatikan konteks ayat”.
Mengkaitkan konsep ke-khalifahan dengan ayat pertama,
telah jelas bahwa keduanya berkaitan dalam teks yang berurutan dan
konteks yang bersamaan. Karena konsep ke-khalifahan secara sharîh
terdapat dalam Q.s. al-Baqârah/2:30, sehingga kedua ayat tersebut
terletak secara berurutan dalam Mushaf Al-Qur’an, dan karena itu
berkaitan dalam rangkaian ayatnya. Maka oleh Quraish Shihab
dinyatakan demikian, “untuk melaksakan tugas-tugas ke-khalifah-an,
90
Walaupun dalam buku tertulis: Q.s. 20:31, hemat peneliti angka surat
tersebut merupakan kesalahan cetak. Karena Q.s. Thâhâ/20:31 merupakan ayat yang
berbicara tentang permintaan nabi Musa as kepada Tuhan agar ditemani dengan
seorang yang memiliki kemampuan negosisasi, yakni nabi Harun as. Juga Quraish
Shihab dalam mengutip angka surat tersebut, ia menulis demikian: “kemampuan
untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda (Q.s. 20:31)”.
Tentu saja, penjelasan Quraish Shihab tersebut, bersesuaian dengan kata kunci dari
Q.s. al-Baqârah/2:31 yakni al-asmâ, yang dimaknai dengan segala macam benda
(atau realitas), baik sifat, fungsi, maupun kegunaannya. Lihat: Lihat: M. Quraish
Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.300.
91
Dalam buku tertulis: Q.s. 20:117, nampaknya yang dimaksud adalah ayat
118. Karena disebutkan oleh Quraish Shihab demikian: “…serta kesejahteraan
jasmani berupa kebebasan dari kebutuhan-kebutuhan, khususnya kebutuhan
sandang, pangan, dan papan (Q.s. 20;117)”. Justru ayat yang berbicara tentang
kebutuhan jasmani, sebagaimana tersebut adalah ayat selanjutnya yakni
Thâhâ/20:118.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 217
Tuhan melengkapi makhluk manusia dengan berbagai keistimewaan
dan potensi yang antara lain tergambar dalam kisah perjalanannya
menuju tempat tugasnya, Pertama, kemampuan untuk mengetahui
sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda (Q.s. 2:31)..” 92
Adapun penafsiran rasionalitas terkait relasi ayat tersebut,
dapat tergambar dalam pernyataan tersebut dan selanjutnya: “melalui
potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam raya
serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya, kemudian
meramu berbagai aspek bentukan alam untuk dimanfaatkan dalam
kehidupan ini”.93 Tingkat rasionalitas yang dikemukakan Quraish
Shihab di atas, dalam kajian “logika” berada dalam tataran logika
alamiah atau common sense, tidak pada logika yang kompleks atau
ilmiah yang penjelasannya berdimensi multidisipliner atau
interdisipliner.
Quraish Shihab mengkaitkan konsep ke-khalifah-an dengan
Q.s. al-Wâqi’ah/56:26,94 dan Thâhâ/20:118.95 Dua ayat ini, membahas
tentang ilustrasi kehidupan surga, khususnya masa nabi Adam as
sebelum turun ke dunia. Ayat pertama tentang kondisi surga yang
penuh dengan nilai-nilai kedamaian dan ketentraman, dan
keharmonisan antar penghuninya, sedangkan ayat kedua tentang
terpenuhinya segala kebutuhan jasmani, sandang, pangan, dan papan
bagi para penghuni surga. Sekaligus dalam rangkaian kedua ayat itu,
terdapat kisah rayuan Syetan Iblis yang mampu menggelincirkan nabi
Adam as, sebagai bapak manusia, dari kehidupan surga, sehingga ia
terusir dari surga dan disuruh untuk mengelola bumi. Kisah tersebut
dan pengalaman manis dan pahit selama di surga, seakan menjadi
92
Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan
Peran Wahyu….h.300
93
M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu….h.300
 
  
 
  
 
  
  94
  
    
    
  
 
  
  
  95
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
218 | Mohammad Andi Rosa
bekal manusia dalam mengelola dan membangun bumi dengan
berorientasi kepada kehidupan surga yang pernah dialami oleh bapak
manusia itu. Maka mengkaitkan pengalaman bapak manusia di surga
sebelum ia terjun ke bumi dengan tugas manusia di bumi sebagai
khalifah, merupakan sebuah keterkaitan dalam konteks, melalui
talazzum fi al-‘aqli (kesesuaian rasionalitas).
Demikian selanjutnya, rasionalitas pemilahan keterkaitan
ayat terjadi, yang kata kuncinya adalah mengkaitkan konsep
kekhalifahan sebagai tugas manusia di bumi dengan berbagai
keistimewaan dan potensi manusia yang diberikan Tuhan agar dapat
mengelola atau membangun bumi ini dengan baik dan mudah, serta
tentunya sesuai ketentuan hukum Tuhan. Mengkaitkan ayat tentang
kekhalifahan dengan ayat tentang penaklukan alam raya oleh Tuhan
untuk manusia (Q.s. 14:32-33, dan Q.s. 43:13),96 dan dengan ayat
tentang adanya petunjuk Tuhan bagi manusia (al-Thâhâ/20: 123),97
selama hidup di bumi ini, baik yang terperinci maupun yang bersifat
umum sehingga dapat dirasionalisasikan sesuai dengan perkembangan
budaya manusia dalam mengelola atau membangun bumi.
Rasionalitas dalam pembahasan tema ini (Islam dan
pembangunan), juga dilakukan oleh Quraish Shihab, dalam aspek
  

   
    
  
        
  

 
    
  
   
  
  
  
 
   
  96
                
        
            
       
    

 
  
 
   
           
 
 
    
 
 
      
 
   
  
  
 
97
     
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 219
mengkaitkan nilai-nilai umum dalam islam sebagai prinsip atau ciri
pokok dari tema. Quraish Shihab menyatakan bahwa ciri pokok
pembangunan yang berdasarkan nilai islam adalah: tauhid (tawhîd),
rububiyah (rubûbiyyat), khilafah (khilâfat), dan tazkiyah (tazkiyyat).
Menurutnya, dengan tauhid, tidak ada pemisahan antara dunia dan
akhirat, jiwa dan raga, alamiah dan supra alamiah. Kemudian dengan
rububiyah, Tuhan memelihara manusia, antara lain dengan petunjukpetunjuk-Nya, rahmat, dan rezeki-Nya. Prinsip khilafah dalam
membangun, hendaknya merupakan sebuah tanggung jawab yang
harus dipikul, karena hal ini adalah amanah Tuhan yang harus diemban
(Q.s. 33:72).98 Prinsip tazkiyah, menandakan perlunya setiap tindakan
manusia, tidak menodai salah-satu dari kelima prinsip dalam Islam
(memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan manusia). 99
Tetapi pembahasan sub tema ini tentang ciri-ciri pembangunan dalam
islam, tanpa menganalisis ayat. Memang disebutkan hanya satu ayat,
yakni Q.s. al-Ahzâb/33:72 dalam pembahasan khilafah (sebagai ciri
pembangunan), tanpa ada analisis dimaksud. Dalam konteks tersebut,
Quraish Shihab menyatakan demikian:
“prinsip khilafah ini menetapkan kedudukan dan peranan manusia sebagai
makhluk yang telah menerima amanat setelah ditolak oleh makhluk-makhluk
lainnya (Q.s. 33:72). Atas dasar inilah ia bertanggung jawab baik menyangkut
dirinya maupun dunianya, bertanggung jawab untuk memelihara,
mengayomi, dan menggunakannya dengan baik”.100
Mengkaitkan tugas manusia, yakni konsep khilafah dengan
ciri-ciri pokok pembangunan tersebut, diantaranya ciri khilafah,
seakan menjadi rancu. Karena mengkaitkan konsep khilafah dengan
   
 
 
 
      
  
  

    
  
    
  
   
   
       
   
  
   98
       
99
M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu….h.301-302.
100
M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu….h.302.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
220 | Mohammad Andi Rosa
dirinya sendiri. Padahal kata kunci dari Q.s. al-Ahzâb/33:72 101 adalah
“al-amânat”, yang sejatinya, inilah yang dapat menjadi ciri manusia
yang melakukan pembangunan dalam islam, bukan khilafah itu
sendiri. Karena itu, di sinilah nampaknya lebih ideal jika dieksplorasi
tentang makna “al-amânat” sebagai ciri manusia yang melakukan
pembangunan.
b. Melakukan generalisasi terhadap konteks keilmuan modern yang
dikutipnya, untuk memudahkan pemilahan ayat: Atau dapat juga
diungkap dengan kalimat epistemologis berikut, “memilah dan
melakukan refleksi terhadap ayat berdasarkan generalisasi realitas
keilmuan modern”. Quraish Shihab manakala memilah ayat Al-Qur’an
yang terkait dengan ciri-ciri demokrasi ekonomi, sebagai bagian
pembahasan terhadap landasan ekonomi Islam, ia terlebih dahulu
mengemukakan tentang ciri-ciri demokrasi ekonomi, kemudian
memilah ayat-ayat berdasarkan ciri-ciri dimaksud, dan ayat-ayat
terpilih adalah yang didalamnya terdapat makna “harta” baik secara
teks maupun konteks.102 Secara teks, Quraish Shihab menentukan ayat
 

 
 
      
  
  

   
  
   
  
   
     
      
  
  
101
        
102
Adapun ciri demokrasi ekonomi yang dikutipnya adalah sebagai berikut:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, b.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara, c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, d.
Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat serta diawasi olehnya, e. Warga negara
memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai
hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak, f. Hak milik perorangan diakui dan
pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat, g.
Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya
dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, h. Fakir, miskin, dan
anak terlantar, dipelihara oleh negara. Lihat: M. Quraish Shihab (1992);
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu..h.303.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 221
yang terdapat kata “mâl” (harta) beserta derivasinya, lafal istakhlafa
(yang diberi wewenang mengelola bumi, penguasa), ungkapan dengan
menggunakan kata ganti (dlomîr; mâ) sebagai sesuatu (harta) yang
diberikan/dianugerahi oleh Tuhan untuk manusia103. Secara konteks,
misal diambil ayat tentang perintah mencari karunia Allah, seperti Q.s.
al-Munâfiqûn/63:10, ayat tentang perintah mencari sesuatu yang
memudahkan (al-Baqârah/2:185, al-Hajj/22: 78, atau ayat tentang
filantropi (al-Mâûn/107:1-2).
c. Melakukan al-talazzum al-zikhnî terhadap lafal Al-Qur’an yang
terkait dengan isi pembahasan dalam sub tema dimaksud: Quraish
Shihab ketika menentukan ayat yang terkait dengan “asas manfaat” ia
memilah Q.s. an-Nisâ/4:29.104 Misal, Quraish Shihab menafsirkan
bahwa kebatilan dimaksud telah dirinci, dimana salah-satu diantara
cakupan pengertiannya adalah bahwa ia harus membawa manfaat
minimal untuk diri pribadi seseorang. Karena itu, sekian banyak hal
yang terlarang diperjual belikan tiada lain sebabnya hanya karena ia
tidak membawa manfaat.105
Quraish Shihab terkait dengan sumber penafsiran, dalam
tema ini khususnya pada sub tema “Landasan Ekonomi Islam” ia
hanya menyebut bahwa ciri demokrasi ekonomi dikutip dari “Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN)”, dan sumber referensi lain yang
ia sebut, yaitu beberapa hadis Nabi saw yang tidak ia sebutkan sumber
riwayatnya. Ciri khasnya yang tergambar dalam mengeksplorasi tema
ini, adalah bahwa ia melakukan analisis ayat berdasarkan rasionalitas
dan intelektualnya, dalam melakukan proses mencari keterkaitan antar
ayat, baik secara tekstual maupun kontekstual, meskipun sedikit
103
Lihat: Q.s. al-An’am/6:165, al-Hadîd/57:7, al-Hâqqah/69:28, an-Nisâ/4:5,
Ibrâhîm/14:51.
   
 


   
  
 
     
    
        
   
     

  
    
104
             
105
M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu….h.305
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
222 | Mohammad Andi Rosa
dalam mengutip teori atau ilmu modern.
d. Melakukan analisis morfologis terhadap lafal dalam ayat yang
terkait pembahasan: Misal ungkapannya berikut: “Ketika berbicara
tentang harta, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata mâluka
(hartamu), tetapi mengkaitkannya dengan yang lain misalnya, mâl
Allâh (harta Allah), amwâl yatâmâ (harta anak yatim), atau
amwâluhum (harta mereka). Semuanya menunjukan bahwa harta
haruslah memiliki fungsi sosial”.106
Demikian sistematika dan metode penafsiran Quraish
Shihab pada tema “Islam dan Pembangunan”, dan berikut tabel
tentang analisis ayat yang digunakan Quraish Shihab dalam tema
dimaksud.
TABEL: 1.1
Analisis Ayat Pada Tema “Islam Dan Pembangunan”
Analisis
Analisis
Analisis
Jumlah
Intrinsik
Ekstrinsik
Hasil Para
(A)
(B)
Ulama
Sebelumnya
(C)
NO.
1.
 Menganalisis
ayat
secara
rasionalitas
(talazzum fi al‘aqli) didasarkan
pada bentuk al-
munâsabat
 Melakukan
generalisasi terhadap
konteks
keilmuan
modern
yang
dikutipnya,
untuk
memudahkan
pemilahan ayat.
A= 3
B=1
C=0
dengan
urutan
penulisan
ayat
dalam mushaf.
 Melakukan
talazzum
alzikhnî terhadap
106
M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu..h.303
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 223
NO.
Analisis
Intrinsik
(A)
Analisis
Ekstrinsik
(B)
Analisis
Hasil Para
Ulama
Sebelumnya
(C)
Jumlah
lafal Al-Qur’an
yang
terkait
dengan
isi
pembahasan
dalam sub tema
dimaksud.
 Melakukan
analisis
morfologis
terhadap
lafal
dalam ayat yang
terkait
pembahasan
G. Penutup
Penafsiran teks Agama dalam Islam -baik Al-Qur’an maupun
hadis nabi saw-, idealnya tidak bisa terlepas dari makna dan ketentuan
tafsir itu sendiri, termasuk tafsir kontekstual. Maka di sini seorang
penafsir/mufassir hendaknya memahami kerja tafsirnya dalam
berbagai level: ontologi tafsir, epistemologi tafsir, dan aksiologi tafsir.
Adanya pertentangan dalam penafsiran kontekstual, seringkali
diakibatkan karena mengabaikan ketiga level tersebut, termasuk level
aksiologi penafsirannya.
1.
Dalam perkembangan penafsiran teks agama, seringkali didapat adanya
karakter tafsir ortodoksi atau tafsir heterodoksi, tetapi manakala
keduanya memiliki komitmen dalam memperhatikan prinsip-prinsip
penafsiran kontekstual tersebut, maka produk tafsirnya (baik ortodok
atau heterodok) akan dapat maslahat dan produktif sesuai dengan
kondisi zaman dan geografisnya bagi masyarakat yang didialogkan
dalam teks tafsir dimaksud. Semakin banyak, konteks yang didialogkan
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
224 | Mohammad Andi Rosa
dalam suatu karya tafsir, maka produk tafsir akan semakin produktif dan
maslahat. Semoga. [].
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
REVIEW BUKU DALAM KAJIAN LIVING HADIS:
Dialektika Teks dan Konteks
Nikmatullah
IAIN Mataram
Email: [email protected]
Abstract:
This article aims at reviewing some literatures dealing with livinghadith study, as well as methods and approaches they use. As can be
seen from the literatures, methods and approaches employed do not
differ from what are used in the socio-religious studies. This makes it
possible for living-hadith study to conduct not only library research,
but also field research.
Literature review ini akan membahas tentang beberapa buku yang
membahas tentang living hadis berikut metode penelitiannya serta
pendekatan yang dilakukan. Metode dan pendekatan yang digunakan
dalam living hadis, sebagaimana yang tampak dari sejumlah literature
yang dibahas, tidak berbeda dengan penelitian social keagamaan
lainnya. Penelitian living hadis memungkinkan penelitian hadis tidak
hanya fokus pada penelitian pustaka akan tetapi juga penelitian
lapangan.
____________
Kata Kunci: Makna Living Hadis; Review buku tentang Living Hadis;
Bentuk-bentuk Living Hadis; Penelitian Living Hadis.
A. Pendahuluan
Hadis Nabi adalah ucapan, perilaku, sikap dan taqrir Nabi
sekitar 14 abad yang lalu. Ia menjadi tuntunan hidup bagi seluruh umat
muslim di seluruh dunia sejak Islam hadir sampai akhir masa.
Kehadiran hadis tersebut dilingkup oleh ruang dan waktu tertentu.
225
226 | Nikmatullah
Ruang yang dimaksud adalah lingkup konteks social budaya historis
masyarakat Arab pada waktu 1.400 tahun yang lalu dan secara spesifik
menyangkut asbab al-wurud hadis. Jika hadis nabi terbatas pada ruang
dan waktu artinya ada ajaran Islam (hadis Nabi) yang bersifat
universal, temporal dan local.
Bagaimana hadis tersebut dipahami dalam konteks
kontemporer saat ini? Beberapa ahli hadis sudah berusaha untuk
membuatkan criteria validitas/keshahihan hadis. Hal ini sangat
penting karena dalam konteks kesejarahan, hadis baru dibukukan
sekitar satu abad setelah Nabi meninggal dan dalam perjalanan waktu
saat itu banyak persoalan yang muncul. Pertikaian politik di kalangan
umat Muslim dan diiringi dengan kemunculan pemalsuan hadis
menjadi factor yang sangat dominan. Oleh karena itu, para ulama hadis
berusaha keras menjaga agar hadis tetap terpelihara dengan baik. Pada
awalnya, para ulama hanya fokus pada penelitian sanad, para perawi
hadis. Selanjutnya, mulai timbul kebutuhan untuk meneliti teks hadis
dan implemantasinya dalam kehidupan umat Muslim sehari-hari.
Penelitian living hadis focus pada pemahaman dan praktek
hadis dalam kehidupan masyarakat muslim sehari-hari. Pemahaman
seseorang terhadap teks hadis Nabi tidaklah sama. Hal ini sangat
tergantung kepada latar belakang pendidikan, minat, konteks social
politik dan budaya orang yang memahaminya. Demikian juga praktek
dalam masyarakat. Teks hadis yang sama bisa dipraktekkan secara
berbeda oleh komunitas muslim. Hal ini terjadi karena adanya
akulturasi Islam dengan budaya setempat.
Literature review ini akan membahas tentang beberapa buku
yang membahas tentang living hadis berikut metode penelitiannya
serta pendekatan yang dilakukan.
A. Pembahasan
1. Sahiron Syamsuddin (ed), Metodologi Penelitian Living Qur’an
dan Hadis
a.
Pengertian
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 227
Hadis (dan al-Quran) yang menyebar dikalangan umat Islam
mengalami akulturasi dengan tradisi setempat dimana umat muslim
berada. Penelitian Theodore Friend tentang Islam di lima negara yakni
Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, Iran dan Turki menunjukkan
bahwa praktek ajaran Islam beragam dan berbeda-beda. Ia
menggambarkan keragaman tersebut dari budaya serta peran dan
status laki-laki dan perempuan misalnya tentang tata cara berpakaian,
adat perkawinan, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan sehari-hari.1 Dalam konteks Indonesia, Islam masuk ke
Nusantara dengan sangat mudah diterima oleh masyarakat karena
Islam mengakomodir budaya dan tradisi masyarakat local. Akomodasi
budaya tersebut menyebabkan wajah keislaman Nusantara yang
variatif, unik, dan lokalistik. Sehingga model keislaman masyarakat
dikenal dengan nama-nama daerah atau suku seperti Islam Jawa, Islam
Melayu, atau Islam Sasak.
Hadis yang menyebar dikalangan umat Islam dan
diaktualisasikan dalam konteks tradisi dan budaya local inilah yang
disebut dengan living hadis.2 Istilah living hadis berbeda dengan
living sunnah. Living sunnah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman
dimaknai sebagai teladan Nabi Muhammad SAWyang telah
Theodore Friend, Woman, Man, and God in Modern Islam (UK: William B.
Eerdmans Publishing Company, 2012)
2
Istilah Living hadis terinspirasi oleh Fazlur Rahman dengan gagasan Living
Tradition (Living Sunnah). Tradisi ini dibedakan dengan tradisi verbal atau hadith.
Sunnah tidak hanya dalam bentuk perilaku Nabi akan tetapi juga mencakup perilaku
umat muslim setelah Nabi sebagai bentuk peneladanan terhadap perilaku Nabi. Akan
tetapi kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Living hadis mengacu
kepada praktek masyarakat yang terinspirasi oleh hadis Nabi sementara Living
sunnah adalah praktek hidup Nabi yang kemudian diteladani oleh umat Islam. Lihat
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (India: Adam Publisher and
Distributors, 1994), 14. Mohamed Shaed Mathee, A Critical Reading of Fazlur
Rahman’s Islamic Methodology in History: the Case of the Living Sunnah (South
Africa: Dissertation of University of Cape Town, 2004). Abdul Haris, Hermeneutika
1
Hadis (Studi Atas Teori Pemahaman Hadis Menurut Fazlur Rahman Dan
Muhammad Syahrur) (Yogyakarta: Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2011)
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
228 | Nikmatullah
diaktualisasikan oleh sahabat dan tabiin menjadi praktek keseharian
mereka. Praktek ini muncul dari penafsiran yang bersifat individual
terhadap teladan Nabi. Penafsiran ini berbeda-beda dikalangan para
sahabat, ada yang menganggap sebagai sunnah dan ada yang tidak.
Kemudian muncullah istilah sunnah Madinah, sunnah Kufah, dsb.3
Contoh living sunnah adalah tentang rampasan perang. Pada masa
Nabi, harta rampasan perang dibagi-bagikan kepada kaum muslim4
sementara pada masa Umar bin Khattab, ia mengambil kebijakan
dengan membiarkan tanah-tanah rampasan perang di daerah taklukan
Islam serta mewajibkan mereka untuk membayar pajak tertentu
sebagai cadangan bagi generasi muslim selanjutnya. Ia melakukan hal
tersebut dengan pertimbangan keadilan social ekonomi.5 Artinya, apa
yang dilakukan Umar adalah untuk menyesuaikan hadis dengan
perbedaan konteks yang ada.
Menurut Alfatih Suryadilaga, yang di maksud dengan living
hadis adalah didasarkan atas adanya tradisi yang hidup dalam
masyarakat kepada hadis. Penyandaraan kepada hadis tersebut bisa
saja dilakukan hanya terbatas di daerah tertentu saja atau lebih luas
cakupannya. Pada prinsipnya adanya lokalitas bentuk praktek dalam
masyarakat.6 Nurun Najwah menambahkan bahwa kajian tentang
fenomena social muslim yang termasuk dalam kajian living hadis
adalah aktivitas yang dikaitkan oleh si pelaku sebagai aplikasi dari
meneladani Nabi atau dari teks-teks hadis (sumber-sumber yang jelas)
3
Alfatih Suryadilaga, Model-model Living Hadis, dalam Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ( Yogyakarta:TH
Press dan Teras: 2007), 108
4
QS. Al-Anfal: 41
5
Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Sahiron Syamsuddin,
Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:TH Press dan Teras:
2007) 94
6
M. Alfatih Suryadilaga, Model-model Living Hadis, dalam Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ( Yogyakarta:TH
Press dan Teras: 2007), 113
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 229
atau yang diyakini ada.7 Aktivitas ini terkait dengan fenomena hadith
in everyday life yakni makna dan fungsi hadis yang riil dipahami dan
dialami masyarakat muslim.8
Fenomena tersebut dalam bentuk respon atau praktek perilaku
suatu masyarakat yang terinspirasi oleh kehadiran hadis.9 Respon
tersebut dalam bentuk penggunaan ayat al-Quran atau hadis dalam
kehidupan sehari-hari seperti penggunaan ayat al-Quran sebagai obat
atau jimat (jampi-jampi), ritual pembacaan ayat atau hadis tertentu
pada waktu tertentu yang berorientasi pada pengamalan misalnya alQuran dilombakan. Artinya living hadis adalah pengamalan hadis
dalam kehidupan umat sehari-hari.
Sementara Barbara D. Metcalf menyatakan bahwa living hadis
mempunyai makna ganda yang mencakup pemahaman terhadap hadis
dan internalisasi tertulis/teks yang didengar ke dalam kehidupan
nyata, living hadis.10 Menurutnya, living hadis mempunyai tiga pola
kerja. Semua terjemahan, khususnya terjemahan atau ringkasan dari
hadits, mengkonstruk sebuah framework untuk melakukan kritik
budaya yang otoritatif dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Kedua,
ketika ada kontestasi antara teks dengan konteks, maka
penyelesaiannya melalui teks lain baik tertulis maupun lisan. Ketiga,
7
Nurun Najwah, Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah, dalam Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ( Yogyakarta: TH
Press dan Teras: 2007), 134
8
M. Mansur, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Qur’an, dalam
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
TH Press dan Teras: 2007), 5
9
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Living Qur’an: Model Penelitian
Kualitatif, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis, (Yogyakarta: TH Press dan Teras: 2007), 68
10
Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi Jama`at, The Journal of
Asian Studies,Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993), pp. 584-608. Artikel ini membahas
tentang tulisan tentang Jamah Tabligh karya Maulana Muhammad Zakariyya
Kandhalawi (1898-1982) antara tahun 1928 and 1940.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
230 | Nikmatullah
semua teks memberikan kontribusi untuk masyarakat tentang apa
yang ingin diketahuinya.11
Menurut penulis, living hadis tidak hanya menyangkut dengan
fenomena yang muncul dalam masyarakat akan tetapi juga
menyangkut juga praktek social keagamaan sebagai bentuk
pengamalan hidup sehari-hari. Praktek tersebut didasarkan pada
pengamalan hadis sebagai sumber inspirasi. Living hadis juga tidak
hanya terpaku pada praktek belaka akan tetapi juga menyangkut
tentang pengetahuan, pandangan, perasaan, dan pengalaman
masyarakat setempat.12
Ada tiga model variasi living hadis yaitu tradisi tulis, tradisi
lisan, dan tradisi praktek.13 Tradisi tulis biasanya dalam bentuk tulisan
yang terpampang ditempat-tepat strategis dan diyakini bahwa isi
tulisan berasal dari Nabi. Misalnya tulisan ‫ النظافة من اَليمان‬Kebersihan
sebagian daripada iman yang dianggap hadis oleh masyarakat
ditujukan agar masyarakat menjaga kebersihan lingkungan. Tradisi
lisan sering muncul bersamaan dengan prakek yang dijalankan oleh
masyarakat. Misalnya tradisi di beberapa pesantren melaksanakan
shalat shubuh pada hari jumat lebih panjang daripada biasanya karena
ada tradisi membaca surat Hamim al-Sajdah dan al-Insan. Demikian
juga di pesantren di Jawa ada tradisi Bukharinan pada bulan puasa dan
diartikan dengan bahasa Jawa. hadis-hadis yang dijadikan sebagai dalil
dan hujjah dalam berbagai kesempatan kegiatan keagamaan yang
disampaikan oleh para da’i atau muballigh.14
11
Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi Jama`at , The Journal of
Asian Studies,Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993), pp. 584-608.
12
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Living Quran: Model Penelitian
Kualitatif dalam Sohiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan
Hadis (Yogyakarta: TH Press dan Teras, 2007), 73
13
M. Alfatih Suryadilaga, Model-model Living Hadis, 116-130
14
Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran,
dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis,
45
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 231
b. Pendekatan
Penelitian Living Hadis menggunakan berbagai pendekatan
sesuai dengan subyek penelitian. Berikut beberapa pendekatan dalam
penelitian living hadis:
1) Pendekatan sejarah
Metode sejarah digunakan untuk mengamati proses social
budaya berdasarkan alur waktu. Metode ini digunakan untk menguji
otentisitas /validitas sumber dokumen (teks-teks hadis) baik dari segi
sanad maupun matan hadis.15 Secara pendekatan historis, hadis
tersebut dapat diuji otentisitasnya, apakah memang benar-benar
berasal dari Nabi atau tidak. Dari sisi sanad, untuk menguji validitas
sumber dokumen semua orang yang terlibat dalam transmisi hadis
(perawi hadis). Sementara untuk kajian matan, untuk membuktikan
secara historis dapat dibuktikan sebagai hadis Nabi atau bersumber
dari Nabi. Kajian historis sanad hadis dapat merujuk kepada kitab rijal
al-hadith dan al-jarh wa ta’dil.
Pendekatan sejarah sangat penting dalam memahami al-Quran
maupun hadis. Aspek historis yang dimaksud dalam pendekatan ini
adalah terkait dengan asbab al-wurud atau sebab-sebab munculnya
hadis. Aspek tersebut terkait dengan otentisitas dan pemaknaan atau
pemahaman hadis. Otentisitas hadis terkait dengan apakah benarbenar bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah atau tidak.
Pendekatan historis ini sangat berpengaruh kepada subyektifitas
pemahaman hadis.16 Oleh karena itu, historisitas digunakan untuk
mengurangi subjektifitas penafsir al-Quran mapun hadis. Karena
pemahaman yang mengabaikan historisitas, akan cenderung mengarah
kepada otoritarianisme dan radicalism.
15
Nurun Najwah, Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah, dalam
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:
TH Press dan Teras: 2007), 140
16
Ahlam Irfani, Ahistorisitas Penafsiran dan Bias Ideologi (Kajian Terhadap
Konsep Kedaulatan Tuhan Menurut Sayyid Qut}b) , Journal of Qur’a>n and H}adi@th
Studies – Vol. 3, No. 2, (2014): 173-201
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
232 | Nikmatullah
2) Pendekatan sosiologi dan antropologi
Pendekatan sosiologi mengkaji praktek-praktek keagamaan
untuk membuktikan hubungannya dengan interaksi, struktur, idiologi,
kelas dan perbedaan kelompok yang dengan ini semua masyarakat bisa
terbentuk.17 Agama dikaitkan dengan komunitas masyarakat dalam
arti menjadi anggota suatu komunitas berarti melibatkan diri dalam
sistem peribadatan komunitas tersebut yang bersifat spesifik dalam
masyarakat setempat. Obyek penelitian agama dalam pendekatan
sosiologi
adalah
kelompok
dan
lembaga
keagamaan
(pembentukannya, kegiatan, pemeliharaan dan pembubarannya);
perilaku individu dalam kelompok tersebut yang mempengaruhi status
keagamaan dan perilaku ritual; konflik antar kelompok.18
Penelitian antropologi mengamati perilaku manusia. Dalam
kehidupan umat beragama, posisi dan peranan tertentu dari seseorang
dalam kehidupan bersama melalui hubungan fungsional dalam
masyarakat. Upara keagamaan mengandung empat aspek yakni
tempat upacara,waktu upacara, media dan alat upacara, dan orangorang yang melakukan dan memimpin upacara.19 Perilaku yang yang
dapat diteliti terkait dengan kehidupan keagamaan adalah sikap-sikap
keagamaan yang terwujud dalam tindakan seperti doa, upacara kurban,
mitos-mios, symbol, kepercayaan berkenaan dengan yang suci, mahluk
supranatural, dsb.
Michael S. Northcott, Sociological Approaches dalam Peter Connolly
(ed.), Approaches to the Study of Religion. Dalam versi terjemahan Bahasa
Indonesinya, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), Cet. III,
267-310. Lihat juga buku Kuare Sualastoga, Diferensiasi Sosial, (Jakarta: Bina
Aksara, 1989), Cet.1., 92. terj. Himadan, S.U. Baca juga buku Peter Worsley, et all,
Pengantar Sosiologi : Sebuah Perbandingan, terj. Hartono Hadikusumo,
(Yogyakarta:Tiara Wacana 1992) Cet.1 Jilid 2, 76. Lihat, Brayan S. Turner, Agama
dan Teori Sosial, (Yogyakarta : IRCi SoD, 2003), Cet.1. 31
18
Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran,
dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis,
54
19
Koentjaraningrat, Pengantar IlmuAntropologi (Jakarta: Aksara Baru,
1980), 393
17
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 233
3) Pendekatan fenomenologi
Agama sebagai fenomena kehidupan sebagai sistem social
budaya, artinya mengkaji agama secara filosofis dan teologis tetapi
agama sebagai fenomena empiris yang mendasari setiap fakta
religious.20 Dalam penelitian fenomenologi,21 mengandalkan metode
penelitian partisipatif, agar peneliti dapat memahami tindakan agama
dari dalam.
4) Pendekatan hermeneutic:
Pendekatan hermeneutika mengkaji tentang cara pembaca
memahami teks yang dimaksud oleh pengarang karena adanya
perbedaan waktu, tempat, dan konteks latar belakang social budaya
yang berbeda antara pengarang dan pembaca yang memunculkan
pluralitas pemahaman terhadap teks.22 Nurun Najwa menawarkan 5
tahapan pendekatan dalam analisis hermeneutik: a) Memahami aspek
bahasa
Terkait dengan aspek kebahasaan ini, ada 3 yang perlu dikaji: (1)
perbedaan redaksi masing-masing periwayat hadis; (2) makna
leksikal/harfiah terhadap lafad yang dianggap penting; (3) pemahaman
tekstual matan hadis dengan merujuk kepada kamus bahasa Arab atau
kitab syarh hadis. b) Memahami konteks historis. Konteks historis
dengan mengkaji asbab al-wurud hadis dengan merujuk kepada kitab
sejarah atau syarh. c) Mengkorelasikan secara tematik-komprehensif
dan integral. Korelasi ini dapat dilihat dari teks hadis berkualitas
shahih atau hasan, realitas empirik, logika dan ilmu pengetahuan. d)
Memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya.
Dhavamony Mariasusai, Phenomenology of Religion, terj. KelompokStudi
Agama Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 27
21
Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran,
dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis ,
42-46, 50
22
Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial
(Yogyakarta: Elsaq, 2005), 5
20
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
234 | Nikmatullah
Untuk memaknai teks, harus bisa dibedakan antara wilayah
tekstual dan kontekstual. Nurun Najwah23 mengemukakan bahwa
hadis yang harus dipahami secara tekstual adalah 1) menyangkut ide
moral/ide dasar/tujuan (makna di balik teks), yang bersifat universal,
lintas ruang dan waktu, dan intersubjektif. 2) bersifat absolute,
prinsipil, universal dan fundamental. 3) mempunyai misi keadilan,
kesetaraan, demokrasi. 4) menyangkut relasi langsung dan spesifik
manusia dengan Tuhan yang bersifat universal. Sementara hadis
kontekstual mencakup 1) menyangkut sarana/bentuk, 2) mengatur
hubungan manusia sebagai individu dan mahluk biologis, 3) mengatur
hubungan dengan sesama mahluk dan alam seisinya, 4) terkait dengan
persoalan social, politik, ekonomi, budaya, dan iptek. Artinya,
persoalan muamalah, konteks relasi antar umat manusia harus
dipahami secara kontekstual, dengan mempertimbangkan konteks
dimana hadis muncul dan konteks ketika ia ditafsirkan.
e) Menganalisis pemahaman teks hadis dengan teori ilmu
terkait. Hadis harus dipahami dengan konteks saat ini dengan
menggunakan analisis sosial, politik, ekonomi, dan budaya serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Musahadi
HAM, ada sebuah rumusan metodologis sistematis hermeneutika
hadis. Pertama, kritik historis. Kedua, kritik eidetis, dengan tiga
langkah yakni 1) analisis isi, yakni pemahaman terhadap makna hadis
melalui kajian linguistik, kajian tematis-komprehensif, dan konfirmasi
makna yang diperoleh dengan petunjuk al-Quran. 2) analisis realitas
historis, yaitu upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadis.
3) analisis generalisasi dengan cara menangkap makna universal yang
tercakup dalam hadis. Ketiga, kritik praksis yaitu suatu kajian yang
23
Nurun Najwah, Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah, dalam
Sohiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007), 147
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 235
cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai relitas yang
dihadapi.24
Secara umum, langkah-langkah analisis data sebagai berikut:
1) Analisis hadis dilakukan dengan menggunakan metode
hermeneutika. Melalui metode ini, hadis-hadis tentang pernikahan
tersebut ditelusuri asba>b al-wuru>dnya, konteks social cultural
pernikahan masyarakat Arab pada awal Islam, konteks kekinian
dimana hadis tersebut dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan
masyarakat muslim sehari-hari.
c. Metode penelitian
Living hadis yang focus pada everyday life merupakan
penelitian kualitatif dengan ciri-ciri: Berlatar belakang alami, Bersifat
diskriptif, Lebih memperhatikan proses dari sebuah fenomena social
daripada hasil fenomena tersebut, Menggunakan analisis induktif,
Adanya pergumulan makna dalam hidup.
Pengumpulan data
dilakukan dengan25
1) Observasi
Observasi adalah pengamatan, penglihatan. Secara khusus
adalah mengamati, dan mendengar dalam rangka memahami, mencari
jawab, mencari bukti, terhadap fenomena social keagamaan.
Observasi bertujuan untuk mengamati fenomena social keagamaan
sebagai peristiwa actual yang memungkinkan penelitian memandang
fenomena tersebut sebagai proses; untuk menyajikan kembali
gambaran dari fenomena sosial keagamaan dalam laporan penelitian
dan penyajian; untuk melakukan eksplorasi atas social setting dimana
fenomena terjadi.
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah Implikasinya pada Perkembangan
Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 153-159
24
25
Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran,
dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis ,
57-61
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
236 | Nikmatullah
Observasi terbagi dalam beberapa bentuk yakni observasi
partisipan dan non-partisipan. Untuk penelitian living hadis, observasi
partisipan sangat cocok untuk diterapkan. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah aktivitas social keagamaan yang terkait dengan
siapa yang terlibat, apa aktivitasnya, kapan mereka beraktivitas,
dimana aktivitas mereka, mengapa mereka melakukan aktivitas
tersebut serta bagaimana aktivitas dilakukan dan pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari. Observasi dilakukan dalam bentuk verbal, nonverbal atau aktivitas individu.
2) Wawancara
Wawancara (Interview) merupakan sebuah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan responden (orang yang
diwawancarai), dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara. Wawancara dapat dilakukan terhadap orang-orang yang
menajadi tokoh kunci dalam masyarakat misalnya tokoh agama, tokoh
budaya, tokoh masyarakat, pengurus suatu organisasi dan anggota
atau masyarakat yang dianggap cukup berkompeten dalam
memberikan data yang dibutuhkan.
3) Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dalam enelitian
untuk memperoleh data yang bentuknya catatan, transkip, buku,
surat
kabar, majalah, dokumen, peraturan, agenda, dan lain sebagainya.
2. Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, India: Adam
Publishers and Distributors, 1994
a. Pengertian
Dalam pandangan Rahman, hadis (yang secara harfiah/leksikal
berarti cerita, penuturan, atau laporan) adalah sebuah narasi dan bertujuan
memberikan informasi tidak hanya tentang apa yang dikatakan Nabi,
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 237
dilakukan, dan disetujui atau tidak disetujui beliau, juga informasi yang sama
mengenai para sahabat, dan lebih khusus lagi keempat khalifah yang
pertama. Setiap hadis mengandung dua bagian, teks (matn) hadis itu sendiri
dan mata rantai transmisi atau isnad-nya yang menyebutkan nama-nama
penuturnya (rawi) sebagai penopang bagi teks tersebut. Oleh karena itu,
hadis juga disebut dengan tradisi verbal, sebuah tradisi yang ditransmisikan.
Tradisi verbal ini merupakan lawan dari tradisi non-verbal atau praktis yang
disebut dengan istilah sunnah, sebuah tradisi yang “diam” atau “hidup”.
Konsep sunnah (Nabi) berarti memberikan sebuah teladan agar
diikuti oleh orang-orang lain, sehingga praktik orang-orang Arab sebelum
Islam tidak dapat dipandang memiliki makna normative. Sunnah tersebut
dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Dengan demikian, sunnah Nabi
lebih tepat dipahami sebagai penunjuk arah daripada sebagai serangkaian
aturan yang ditetapkan secara pasti. Pengertian “sunnah ideal” semacam
inilah yang menjadi basis aktivitas pemikiran kaum Muslim awal.
Setelah Nabi wafat, penyebaran hadis Nabi berubah dari
kondisi informal menuju penyebaran yang bersifat semi-formal. Pada
saat ini, fenomena hadis berubah menjadi suatu kesengajaan karena
mereka menanyakan perihal perilaku Nabi. Hadis adalah sebuah sarana
penyebaran sunnah Nabi yang mempunyai tujuan praktis, yakni
sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi
suatu praktik aktual masyarakat Muslim. Oleh karenanya, hadis secara
bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan situasikondisi yang mereka hadapi, dan akhirnya terciptalah apa yang disebut
sebagai "sunnah yang hidup".
Sunnah Nabi hanyalah sebuah konsep petunjuk memberikan
arah atau petunjuk bagi umat Islam dalam menghadapi problema
moral, sosial, politik, dan lain-lain. Ia tidak memiliki kandungan
spesifik yang bersifat mutlak–yakni dalam arti serangkaian aturan
pasti—sehingga selalu dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan
berdasarkan latar belakang situasionalnya. Karena itu, kandungan
sunnah Nabi pun melalui proses penafsiran berdasarkan kebutuhankebutuhan dan materi-materi yang baru, selain berisikan sunnah Nabi
sendiri, juga mencakup tradisi yang hidup dari generasi umat Muslim
paling awal, dan bahkan kesimpulan-kesimpulan yang dideduksikan
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
238 | Nikmatullah
dari keduanya. Singkatnya, kandungan sunnah yang dipraktikkan
masyarakat Muslim selama didasarkan pada sunnah Nabi inilah yang
disebut sebagai sunnah yang hidup (living sunnah).
Istilah living hadis sebenarnya berasal dari living sunnah yang
telah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman. Living sunnah adalah
praktek hidup perilaku Nabi yang diteladani oleh umat muslim.
Namun pada perkembangannya, living sunnah berkembang sesuai
dengan perkembangan masyarakat muslim yang kian kompleks.
Living sunnah bukan hanya tentang sunnah Nabi akan tetapi juga
berkembang menjadi tradisi yang hidup dalam setiap generasi
berikutnya. Konsep sunnah memuat tradisi yang hidup di tengahtengah masyarakat muslim (living tradition). Tradisi tersebut
bersumber dari Nabi yang diinterpretasikan oleh ra’yu dan ijtihad.
Sementara yang dimaksud dengan living hadis adalah tradisi yang
hidup di masyarakat yang bersumber dari hadis.
b. Pendekatan
1) Pendekatan historis
Menurut Rahman, yang diperlukan saat ini adalah sebuah penafsiran
historis terhadap hadis dalam rangka mengembalikan hadis ke dalam konteks
sunnah yang hidup (living sunnah). Berkaitan dengan penafsiran historis
tersebut, ia menyimpulkan adanya proses evolutif sunnah Nabi yang
merupakan sebuah konsep perilaku normatif dan menjadi teladan bagi umat
Muslim.
Menurut Fazlur Rahman, untuk memahami teks hadis yang
didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi pada abad ke 7 lalu,
perlu di revaluasi dan di interpretasi agar dapat dipahami sesuai dengan
kondisi kontemporer saat ini. Untuk itu, studi historis terhadap hadis sangat
penting untuk dilakukan, dengan cara mengubah definisi konvensional
terhadap hadis sebagai suatu yang statis menjadi dinamis atau yang lebih
dikenal dengan sunnah hidup. Sebagai sunnah hidup, hadis dibedakan
menjadi dua macam, yakni hadis hisoris dan biografis, dan hadis teknis.
Hadis historis adalah hadis-hadis yang di dukung oleh fakta sejarah
sementara hadis teknis adalah sebaliknya, tidak didukung oleh fakta sejarah.
Yang dimaksud dengan hadis-hadis yang bersifat historis dan
biografis, adalah hadis-hadis yang mencerminkan kandungan-
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 239
kandungan historis dari sunnah Nabi. Hadis-hadis mengenai shalat,
zakat, dan haji, termasuk tata cara pelaksanaannya secara mendetail
adalah terkait dengan Nabi. Adapun yang dimaksud dengan hadishadis teknis adalah hadis-hadis yang tidak bersumber dari Nabi, tetapi
tetap harus dipandang memiliki nilai normatif dalam pengertian dasar.
Ketidak-historisan hadis-hadis teknis di atas mengantarkan pada
kesimpulan bahwa hadis-hadis adalah bentuk persekongkolan besarbesaran (a gigantic conspiracy) yang dilakukan oleh ahli hadis. Dengan
kata lain, hadis teknis adalah hadis yang tidak bersumber dari Nabi
tetapi bersumber dari generasi awal abad pertama sampai abad ketiga.
Untuk membedakan antara hadis Nabi atau bukan, maka ada
beberapa criteria:26
a) Hadis Nabi tidak bersifat spesifik baik dalam lafal maupun dalam
kandungannya.
b) Matan hadis tidak bersifat prediksi secara langsung maupun
tidaklangsung.
c) Matan harus relevan dengan al-Quran
d) Matan hadis tidak megandung sifat politis dan hokum
e) Matan hadis bersifat situasional atau historis
f) Matan hadis
Fazlur Rahman membagi hadis dalam menolak hadis prediksi
dan teknis. Kedua hadis tersebut tidak bersumber dari Nabi.
a) Memahami teks matan hadis dengan memahami asbab alwurudnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat Arab
pada umumnya, keputusan Nabi
b) Memahami petunjuk al-Quran yang relevan
c) Prinsip “ide moral” yang diaplikasikan dan diadaptasikan dalam
konteks social cultural saat ini dengan mengkombinasikan
pendekatan historis dengan sosiologis.
26
Abdul Fatah Idris, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis: Studi Pemikiran
Fazlur Rahman, (Jakarta: Pustaka Rizki Ptra, 2012) 152
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
240 | Nikmatullah
3. M. Syhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal, dan Lokal.
Menurut syuhudi Ismail,27 ajaran Islam bersifat universal
berlaku bagi semua umat manusia dari berbagai jenis kelamain, agama,
ras, etnik. Akan tetapi dalam perkembangannya, manusia menyebar di
seluruh dunia dan pergantian generasi dengan berbagai persamaan dan
perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan ruang
dan waktu. Oleh karena itu ajaran Islam terbagi menjadi bersifat
universal, temporal dan lokal. Nabi Muhammad di utus oleh Allah bagi
seluruh alam. Artinya kehadiran Nabi membawa rahmat bagi seluruh
umat manusia melewati batas ruang dan waktu.
Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat
manusia28 dan rahmat bagi seluruh alam.29 Muhammad, selain
berperan sebagai Nabi dan rasul, beliau juga adalah kepala negara,
pemimpin massyarakat, panglima perang, hakim,30 dan pribadi
manusia biasa.31 Oleh karena itu, penerapan hadis Nabi juga
disesuaikan dengan peran Nabi tatakala hadis itu terjadi.
Nabi Muhammad hidup di tengah masyarakat dan
berkomunikasi dengan mereka baik Muslim maupun non-muslim.
Adakalanya para sahabat bertanya tentang sebuah persoalan atau ada
kejadian yang menimpa mereka. Atau Nabi sendiri melakukan
perbuatan tertentu tetapi kemudian ditegur oleh Allah.32 Karenanya,
hadis ada yang mempunyai asbab al-wurud dan ada yang tidak. Ada
27
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta:
Bulan Bintang, 2009
28
QS. Saba’: 28
29
QS al-Anbiya:107
30
Philip K Hitti, History of the Arabs (London: the Macmillan Press Ltd,
1974) 139
31
QS. Ali Imron: 144 dan al-Kahfi: 110.
32
Seperti asbab al-nuzul QS. Abasa.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 241
juga hadis Nbai yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.
Adakalanya juga hadis tampak bertentangan antara satu dengan lain.
Dengan demikian, hadis Nabi ada yang dipahami secara tekstual dan
ada yang dipahami secara kontekstual.
M. Syuhudi Ismail, memetakan pemahaman matan hadis
berdasarkan empat kategori:
Pertama, Bentuk matan hadis dan cakupan petunjuknya:
Jawami’ al-kalim (ungkapan singkat dan padat makna), bahasa tamsil
(perumpamaan), dan ungkapan simbolik. Hadis-hadis yang dipahami
dalam bentuk jawami’ al-kalim tentang perang itu siasat, minuman
khamar, dan mahram karena sesusuan. Hadis-hadis ini harus dipahami
secara tekstual dan menunjukkan ajaran Islam yang bersifat universal.
Bahasa tamsil pada hadis persaudaraan atas dasar iman,
kembali haji seperti bayi dan dunia sebagai penjara. Hadis pertama
bersifat universal sementara hadis kedua dipahami secara kontekstual.
Sementara ungkapan simbolik seperti terdapat dalam hadis dajjal,
Tuhan “turun” kelangit dunia, dan ususnya orang mukmin dan orang
kafir, warna kulit anak dan ayahnya, dan penyaluran hasrat seksual
yang bermakna sedekah. Hadis ini dipahami secara tekstual dan
berlaku universal.
Kedua, Kandungan hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi
Muhammad. Yang termasuk hadis-hadis dalam kategori ini adalah
lima keutamaan Nabi Muhammad, kepala Negara dari suku Quraisy,
pemimpin dari suku Habsyi, keharaman keledai kampung,
keterbatasan pengetahuan hakim, hakim berijtihad dan cara nabi
berbaring. Hadis-hadis di atas dapat dipahami dengan dua cara yakni
tekstual dan kontekstual. Misalnya kepala negara dari Quraisy bersifat
temporal dan harus dipahami secara kontekstual.
Ketiga, Petunjuk hadis Nabi dihubungkan dengan latar
belakang terjadinya dibagi menjadi dua yaitu hadis yang tidak
mempunyai sebab secara khusus dan hadis yang mempunyai sebab
secara khusus dan hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang
terjadi (berkembang). Hadis yang tidak mempunyai sebab khusus
antara lain keimanan pezina, pencuri dan peminum khamar; kewajiban
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
242 | Nikmatullah
menunaikan zakat fitrah, rukyat dan hisab, dan berpuasa karena bulan.
Sementara hadis yang mempunyai sebab khusus seperti urusan dunia,
mandi pada hari jumat, syair dan nanah, dan syair dan hikmah.
Sementara hadis dalam kategori yang terakhir adalah setan di
belenggu dalam bulan ramadhan, wanita menjadi pemimpin,
mematikan lampu tatkala hendak tidur, dan memelihara jenggot dan
kumis.
Keempat, Petunjuk hadis yang tampak saling bertentangan.
Contohnya larangan dan kebolehan buang hajat menghadap kiblat,
wajib dan tidak wajib mandi janabah, larangan dan kebolehan menulis
hadis, dan larangan dan kebolehan kawin kontrak (nikah mut’ah).
Tehadap hadis-hadis yang tampak bertentangan ini ada beberapa cara
untuk memahaminya: a) al-tarjih, meneliti dan menentukan petunjuk
hadis yang memiliki argument yang lebih kuat, b) al-jam’u atau altaufiq atau al-talfiq, keduanya harus dikompromikan atau diamalkan
sesuai dengan konteksnya, c) al-nasih wa mansukh, petunjuk dalam
hadis dinyatakan sebagai penghapus dan ada yang dihapus, d) altauqif, menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang
daapatmenyelesaikan pertentangan tersebut. Oleh karena itu, maka
jika terjadi hadis yang bertentangan, maka a) hadis tersebut tidak
hanya dilihat dari tekstualnya saja akan tetapi juga kontekstualnya,
mislanya kapan dan apa sebab hadis tersebut terjadi serta kepada siapa
ditujukan, b) harus dikaji dalil naqli dan aqlinya serta perlu ijtihad.
4. Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa
Ahl al-Hadith
Muhammad Al-Ghazali33 membahas tentang beberapa hadis
yang terkait dengan perempuan, nyanyian, etika, kerasukan setan,
dajjal, takdir dan fatalism. Untuk memahami hadis diatas, maka ia
memberikan beberapa criteria, yakni:
a. Sesuai dengan al-Quran
33
Muhammad al-Ghazali, al-sunnah al-nabawiyah baina ahl al-fiqh wa ahl al-
hadith
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 243
Contoh hadis yang sesuai dengan al-Quran adalah ketika
‘Aishah mengkritisi sebuah riwayat yang disampaikan oleh ‘Umar ibn
al-Khaththab tentang orang mati menderita karena ratapan
keluarganya. ‘Aisyah membantah hadis ‘Umar dengan mengutip QS.
Al-An’am (6): 164 bahwa seseorang itu tidak menanggung dosa orang
lain. Hadis tersebut juga bertentangan dengan beberapa ayat lain alNahl:25, Fushilat:30, dan Ali-Imron:170.
b. Sesuai dengan hadis lain yang membahas persoalan yang sama.
Hadis tentang batasan aurat bagi perempuan khususnya bagi
perempuan yang memakai cadar. Hadis lain menyatakan bahwa
diriwayatkan oleh Sahl ibn Saad bahwa seorang perempuan
menghadap Rasulullah dan berkata kepada beliau: “Aku datang untuk
menyerahkan diriku untukmu”. Rasulullah memandang kepadanya
dari atas sampai bawah kemudian menundukkan kepala tanpa
memberikan jawaban. Maka perempuan itu duduk kembali setelah
tidak memperoleh keputusan apapun dari beliau. Riwayat lain
menyatakan bahwa salah seorang di kalangan sahabat yang hadir saat
itu segera menunjukkan keinginannya untuk mengawini perempuan
tersebut. Akan tetapi sahabat tersebut tidak memiliki mas kawin yang
akan diberikan kepadanya. Rasulullah berkata: Carilah walau sebentuk
cincin dari besi. Dengan demikian, hadis tentang kewajiban
perempuan untuk memakai cadar bertentangan dengan hadis lain yakni
Nabi memandang perempuan yang datang menyerahkan diri
kepadanya.
c. Sesuai dengan sejarah
Contoh hadis yang bertentangan dengan sejarah adalah hadis
tentang niqab, cadar yang menutupi seluruh wajah kecuali mata.
Diriwayatkan bahwa seorang perempuan bernama Ummu Khallad
datang menemui Nabi dengan mengenakan niqab. Ia menanyakan
tentang putranya yang gugur di medan peperangan. Beberapa di antara
sahabat berkata kepadanya, “Anda datang menanyakan putra anda
sedangkan anda dalam keadaan berniqab?” Perempuan tersebut
menjawab: kalaupun aku mengalami musibah kematian putraku,
janganlah sampai aku mengalami musibah kehilangan rasa malu”
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
244 | Nikmatullah
Keheranan sahabat berkenaan dengan cadar yang menutupi wajahnya
menunjukkan bahwa cadar bukan termasuk ibadah. Bahkan cadar
merupakan tradisi Arab terdahulu, di mana kaum perempuan sedang
berkabung biasanya membiarkan wajahnya terbuka agar tampak
kesedihannya.
d. Sesuai dengan ilmu pengetahuan
Hadis tentang penciptaan manusia. Jenis kelamin janin laki-laki
atau perempuan tergantung pada mani laki-laki.
5. Salahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadith AlNabawi.
Salahuddin al-Adlabi,34 menawarkan beberapa metode untuk
memahami hadis yaitu
Pertama, Sesuai dengan al-Quran.
Misalnya hadis tentang kenabian, tafsir, balasan dan akhirat.
Jika hadis bertentangan dengan al-Quran maka ada dua alternative:
dari sudut wurud dan sudut dalalah. Di antara hadis yang termasuk
bagian ini adalah hadis-hadis tentang ketuhanan, kenabian, tafsir dan
ketentuan balasan dan akhirat. Misalnya hadis “dimana Allah”, “kursi
Allah”. Nabi terkena sihir, nabi menshalati jenazah orang munafik.
Balasan anak zina.
Kedua, Sesuai dengan hadis shahih dan sirah nabawiyah. Di
antara hadis tersebut adalah hadis tentang adab, kiamat dan akhirat,
hadis hukum. Jika ada hadis yang bertentangan, maka kemungkinan
dua: al-jam’u, mengkompromikan, dan berstatus mutawatir. Misalnya
pergi ke pasar pada waktu pagi menjadi pemegang panji iblis. Orang
bunuh diri kekal di neraka. Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah
binti Abu Sufyan.
Ketiga, Tidak bertentangan dengan akal, indera dan sejarah:
perempuan Bani Israil di hukum dengan haid karena melihat laki-laki.
Salah al-di>n al-Adlabi, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadi>th AlNabawi, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama,
34
2004)
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 245
Keempat, Menyerupai perkataan Nabi. Hadis yang termasuk dalam
kategori ini adalah hadis-hadis yang mengandung keserampangan,
mengandung makna yang rendah dan menyerupai perkataan ulama
khalaf.
B. Penutup
Penelitian Living hadis merupakan model penelitian baru
dalam studi hadis. Selama ini penelitian hadis hanya focus pada
penelitian teks baik dalam penelitian sanad maupun matan. Penelitian
living hadis memungkinkan penelitian hadis tidak hanya fokus pada
penelitian pustaka akan tetapi juga penelitian lapangan. Metode dan
pendekatan yang digunakan dalam living hadis tidak berbeda dengan
penelitian social keagamaan lainnya. Penelitian ini bisa menggunakan
metode pengambilan data berupa observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Sementara untuk pendekatan menggunakan berbagai
pendekatan ilmu social lain seperti pendekatan fenomenologi,
sosiologi, antropologi, dll.
DAFTAR PUSTAKA
al-Adlabi, Salahuddin, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadith AlNabawi, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004)
Connolly, Peter (ed.), Approaches to the Study of Religion, Terj. Aneka
Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011)
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial
(Yogyakarta: Elsaq, 2005)
Friend, Theodore, Woman, Man, and God in Modern Islam (UK: William B.
Eerdmans Publishing Company, 2012)
al-Ghazali, Muhammad, al-sunnah al-nabawiyah baina ahl al-fiqh wa ahl al-
hadith
Haris, Abdul, Hermeneutika Hadis (Studi Atas Teori Pemahaman Hadis
Menurut Fazlur Rahman Dan Muhammad Syahrur) (Yogyakarta:
Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2011)
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
246 | Nikmatullah
HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah Implikasinya pada Perkembangan
Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000)
Hitti, Philip K, History of the Arabs (London: the Macmillan Press Ltd,
1974)
Idris, Abdul Fatah, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis: Studi Pemikiran Fazlur
Rahman, (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2012)
Irfani, Ahlam, Ahistorisitas Penafsiran dan Bias Ideologi (Kajian Terhadap
Konsep Kedaulatan Tuhan Menurut Sayyid Qut}b), Journal of Qur’a>n
and H}adi@th Studies – Vol. 3, No. 2, (2014)
Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:
Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 2009
Mathee, Mohamed Shaed, A Critical Reading of Fazlur Rahman’s Islamic
Methodology in History: the Case of the Living Sunnah (South Africa:
Dissertation of University of Cape Town, 2004)
Mariasusai, Dhavamony, Phenomenology of Religion, terj. Kelompok
Studi Agama Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
Metcalf, Barbara D., Living Hadith in the Tablighi Jama`at, The
Journal of Asian Studies, Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993)
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History (India: Adam Publisher and
Distributors, 1994)
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007)
Sualastoga, Kuare, Diferensiasi Sosial, (Jakarta: Bina Aksara, 1989)
Turner, Brayan S., Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta : IRCi SoD, 2003)
Worsley, Peter, et all, Pengantar Sosiologi: Sebuah Perbandingan, terj.
Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1992).
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
PENDEKATAN ANTROPOLOGI
DALAM STUDI LIVING HADIS DI INDONESIA:
Sebuah Kajian Awal
Jajang A Rohmana
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: [email protected]
Abstract
Hadith studies in Indonesia continually try to be developed by
scholars. They try to develop the hadith studies which have been
considered “rarely studied” compared to other Islamic studies. One of
the issues uses a multidisciplinary approach involving the social
sciences and humanities. The phenomenon of living hadith is part of
the issues. It tried to shift the focus which is not only study the text of
hadith, but also shifted to the issues of hadith in practice, such as
socio-cultural phenomenon that live and thrive in the community. The
object study of living hadith is the community who receive, use and
practice the hadith in their daily lives. One of approaches that uses to
research the community is anthropology. It is a scientific disciplines
seen from the aspect of human culture. This paper is a preliminary
studies on the importance of using anthropological techniques in the
study of living hadith in Indonesia. It will focus on the issue of the
development of living hadith in Indonesia, the importance to shift the
hadith studies from the text to the public sphere, the development of
the study of living hadith from the great tradition to the little tradition,
the use of anthropology as an approach or perspective and the
methodological steps in the anthropological studies of living hadith.
This study is important not only in order to expand the area of hadith
studies towards a more dynamic knowledge, but is also expected to
strengthen the basis of arguments about the importance of living
hadith in the discourse of the anthropology of Islam.
247
248 | Jajang A. Rohmana
Abstrak
Studi hadis di Indonesia berusaha untuk terus dikembangkan oleh para
sarjana. Salah satunya menggunakan pendekatan multidisiplin dengan
melibatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fenomena studi living
hadis (hadis yang ‘hidup’) merupakan bagian dari upaya
pengembangan kajian hadis yang selama ini dianggap “sepi” dibanding
studi keislaman lainnya. Ia berusaha menggeser fokus kajian tidak saja
berkutat di sekeliling teks hadis, tetapi beralih pada praktik hadis
berupa gejala sosial-budaya yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Objeknya adalah masyarakat sebagai penerima, pengguna
dan pengamal hadis dalam kehidupan kesehariannya (hadith in daily
life). Salah satu pendekatan yang digunakannya adalah antropologi.
Sebuah disiplin keilmuan tentang manusia dilihat dari aspek
budayanya. Tulisan ini merupakan kajian awal tentang pentingnya
penggunaan pendekatan antropologi dalam studi living hadis di
Indonesia. Ia akan memfokuskan pada masalah perkembangan living
hadis di Indonesia, pentingnya menggeser studi hadis dari teks ke
masyarakat, pengembangan arah studi living hadis dari tradisi besar ke
tradisi kecil, penggunaan antropologi sebagai pendekatan sekaligus
perspektif dan langkah-langkah metodologis yang bisa ditempuh
dalam penelitian living hadis dengan pendekatan antropologi. Kajian
ini penting tidak saja dalam rangka memperluas wilayah kajian hadis
ke arah keilmuan yang lebih dinamis, tetapi juga diharapkan bisa
memperkuat basis argumen tentang pentingnya posisi studi living
hadis dalam diskursus antropologi Islam.
Kata kunci: living hadis, antropologi, masyarakat, metodologi
Pendahuluan
Bagi sebagian sarjana, studi hadis termasuk salah satu bidang
kajian keislaman (Islamic studies) yang “sepi” dibicarakan dibanding
kajian fikih atau tafsir. Bukan saja sifat kajiannya yang dianggap
“agak monoton” berkutat menelusuri rangkaian sanad dan biografi
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 249
periwayat di sekitar teks hadis, tetapi pandangan atas studi hadis
sendiri yang disebut Al-Khu>li> sebagai salah satu keilmuan yang
dianggap sudah terbakar dan matang (nad}aj wah}taraq).1
Kajian kritik hadis (naqd al-h}adi>th) melalui kritik sanad (kritik
eksternal, naqd kha>riji>) dan matn (kritik internal, naqd da>khili>) bagi
sebagian orang dianggap sudah hampir “selesai” (matang) dengan
beredarnya sejumlah kitab dan software hadis lengkap dengan hasil
tah}qi>q dan takhri>j dari ulama terkemuka. Para pengkaji hadis secara
mudah tinggal membaca hasil penilaiannya tanpa perlu repot-repot
menyisir satu-persatu jalur sanad dan biografi periwayatnya melalui
kitab rija>l al-h}adi>th yang tentu sangat rumit dan menyita waktu.
Kecuali bila peneliti secara serius ingin melakukan peninjauan kembali
atas metode penentuan otentisitas hadis hasil takhri>j dari ulama
sebelumnya, seperti dilakukan Amin atas Al-Alba>ni>.2
Karenanya, bisa dipahami bila tidak terlalu banyak sarjana
Indonesia yang secara serius menggeluti bidang tersebut. Para
pengkaji hadis abad ke-20 seperti T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (w.
1975), Abdul Qadir Hassan (w. 1980), Fatchur Rahman, M. Syuhudi
Ismail, dan lainnya cenderung menjadi “juru bicara” tradisi kajian
hadis dari para ulama sebelumnya dengan menggunakan bahasa
Indonesia.3 Sejumlah publikasi tentang hadis juga tampak “dangkal”
dengan hanya menerjemahkan potongan kumpulan hadis-hadis
Bukhari, Muslim dan lainnya.4
*Makalah ini disampaikan dalam acara Workshop dan Pelatihan Metodologi
Living Hadis yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Hadis
(ADIAH) di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 23-24 Februari 2016.
1
Amin al-Khuli, Mana>hij Tajdi>d, fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa
al-Adab, (tt.: Da>r al-Ma’rifah, 1962), hlm. 302; Da>’irah al-Ma’a>rif al-Isla>miyyah,
entri tafsi>r, jilid 5, hlm. 365.
2
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,
Bandung: Hikmah, 2009, hlm. 72-90.
3
Muhamad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits Dari
Klasik sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 135.
4
Howard M. Federspiel, “H}adit} Literature in Twentieth Century Indonesia,”
Oriente Moderno, Nuova serie, Anno 21 (82), Nr. 1, 2002, hlm. 115-116.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
250 | Jajang A. Rohmana
Ini berbeda dengan karya para ulama hadis Nusantara abad ke17 yang diakui secara internasional dan tersebar di dunia Islam dalam
bahasa Arab. Karya ulama hadis Nusantara pada saat itu ternyata tidak
sesepi yang diasumsikan selama ini. Meskipun dari segi jumlah masih
kalah jauh dibanding disiplin keilmuan lain terutama tasawuf dan
fikih. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa perkembangan studi
awal hadis di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peranan komunitas
ulama Jawi di Mekah dan Madinah (Haramayn).5 Bahkan terdapat
kecenderungan di pelbagai kawasan dunia Islam termasuk Nusantara
untuk mengembangkan disiplin keilmuan hadis yang distingtif.
Literatur hadis pokok seperti kutub al-sittah (kitab hadis yang enam)
menjadi titik pijak yang sama, tetapi pelbagai kawasan tersebut
mengembangkan otoritas standar mereka sendiri yang berasal dari
ulama berikutnya. Ini bisa dilihat dari penggunaan ijazah sanad hadis
sebagai bentuk otoritas kesarjanaan hadis yang diperoleh dari pelbagai
wilayah.6
Salah satu karangan ulama hadis Nusantara abad ke-17 adalah
Hida>yat al-H}abi>b fi> al-Targhi>b wa al-Tarhi>b karangan Nuruddin alRaniri. Karya lainnya juga menunjukkan kuatnya akar kajian hadis di
Nusantara, seperti Sharh} Lat}i>f ‘ala> Arba’i>n H}adi>than li al-Ima>m alNawawi> karangan Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili,
Tanbi>h al-Gha>fili>n karangan ‘Abdullah bin Lebai Abdul Mubin Pauh
Bok al-Fatani, Fara>’id Fawa>’id al-Fikr fi> al-Ima>m al-Mahdi dan Kashf
al-Ghummah karangan Dawud bin Abdullah al-Fatani, Tanqi>h al-Qawl
H}athi>th karya Nawawi al-Bantani, Asa>ni>d wa Ija>za>t wa Musalsala>t alFadani> yang ditulis oleh Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani di
penghujung abad ke-20. Karya lainnya adalah Manhaj Dhawi> al-Naz}ar
fi Sharh Manzumat ‘Ilm al-Athar yang ditulis oleh ulama kelahiran
5
Oman Fathurahman, “The Roots of the Writing Tradition of Hadith Works
in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din Al-Raniri,” Studia Islamika, Vol. 19
No. 1, 2012, hlm. 48.
6
John O. Voll, “Hadith Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the 18th
Century Haramayn and Their Impact in the Islamic World,” Journal of Asian and
African studies. 15: 1980, hlm. 264-265.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 251
Termas, Pacitan, Jawa Timur, Mah}fuz} Al-Tirmisi> (w. 1919).7 Ini
menunjukkan bahwa sejumlah ulama Nusantara memiliki sanad yang
kuat dan otoritatif sebagai ulama hadis di dunia Islam.
Kemajuan kajian hadis oleh ulama Nusantara sejak abad ke-17
tersebut cenderung menurun hingga saat ini. Selain tidak terlalu
banyak sarjana yang berminat mengambil spesialisasi di bidang hadis,
keterbatasan kajian dalam bidang hadis juga tampak dari terbatasnya
publikasi buku dan jurnal ataupun penelitian akademik di pelbagai
PTKI di Indonesia yang secara khusus berkaitan dengan kajian hadis.
Sesuatu yang kiranya berbeda bila dibandingkan dengan
perkembangan kajian dalam bidang Al-Qur’an dan tafsir di Indonesia.
Kajian terakhir cenderung meningkat paling tidak tampak dari
sejumlah survey bibliografis tafsir Indonesia yang sudah
dipublikasikan.8
Studi hadis di PTKI Indonesia sebenarnya cukup mendapatkan
angin segar dengan diterbitkannya KMA No. 36 tahun 2009 tentang
pembidangan ilmu. Studi keilmuan tafsir-hadis kini dijadikan dua
program studi menjadi ilmu Al-Qur’an dan tafsir (IAT) dan ilmu hadis.
7
Oman Fathurahman, “The Roots of the Writing Tradition of Hadith Works
in Nusantara,” hlm. 48; Latifah AM., “Earliest Hadith Sciences Texts Written in
Malay Archipelago,” Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 5 No.15, 2014,
hlm. 550-558; Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan
Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2004, hlm. 147; Abdurrahman Mas’ud, “Mahfuz alTirmisi (d. 1338/1919): An Intellectual Biography,” Studia Islamika, Vol. 5 No. 2,
1998, hlm. 27-48.
8
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an (Ithaca,
New York: Cornel Modern Indonesia Project, 1994); Yunan Yusuf, “Perkembangan
Metode Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Pesantren, Vol. VIII, No. 1, 1991; Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002); Nashruddin Baidan,
Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003); Peter G.
Riddell, Translating the Qurʾān into Indonesian Languages, Al-Bayan Journal of
Qur’an and Hadith Studies, 12 (2014): 1-27; M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir
Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi Hingga Kontekstualisasi, Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2014.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
252 | Jajang A. Rohmana
Ini kemudian berdampak pada pembukaan program studi ilmu hadis di
sejumlah PTKI di Indonesia.9
Anggapan bahwa studi hadis cenderung “monoton” boleh jadi
muncul sebagai reaksi terhadap kompleksitas studi hadis dibanding
kajian keislaman lainnya. Boleh jadi kerumitan jejaring sanad yang
bertebaran di pelbagai kitab hadis menjadi salah satu alasan
keengganan sebagian sarjana untuk ikut terjun langsung mengurai
belantara riwayat hanya untuk mengkaji satu buah hadis saja. Boleh
jadi pula ini terkait pula dengan kedudukan hadis yang tidak
seistimewa Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam disertasi problem
historisitas dan otentisitas yang menyertainya. Problem terakhir
berdampak pada munculnya semacam “jurang besar” perbedaan studi
hadis di dunia Islam dan Barat. Umumnya kajian hadis di Indonesia
cenderung didominasi pendekatan sanad dan matan yang diakui secara
internal saja dibanding menitikberatkan pada pendekatan kritik dating
kesejarahan sebagaimana tradisi studi hadis di Barat.10 Hal ini
misalnya dilakukan oleh I. Goldziher, J. Schacht, G.H.A. Juynboll, H.
Motzki, W. Graham, J. Brown dan lainnya.11
9
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia
dan Karakteristiknya: Studi atas Kurikulum IAIN Bukittinggi, IAIN Batusangkar,
UIN Yogyakarta, dan IAIN Jember,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4,
No. 2, 2015, hlm. 216.
10
Tentang kesarjanaan hadis di Barat, lihat Kamaruddin Amin, “The
Realiability of the Traditional Science of Hadith,” Al-Jami’ah, Vol. 43, No. 2, 2005,
hlm. 257-260.
11
Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien, 2 vols. Leiden, 1889-1890.
Trans. S. M. Stern as Muslim Studies, 2 vols. London, 1967; Joseph Schacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950; G. H. A. Juynboll, Muslim
Tradition. Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adi>th ,
Cambridge, 1983; Harald Motzki with Nicolet Boekhoff-van der Voort and Sean W.
Anthony, Analysing Muslim Traditions, Studies in Legal, Exegetical, and Magha>z>
Hadi>th, Leiden: Brill, 2010; W.A. Graham, Divine Word and Prophetic Word in
Early Islam: A Reconsideration of the Sources, with Special References to the
Divine Saying or Hadith Qudsi (Hague, 1977); Jonathan A.C. Brown, Hadith,
Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, Oxford: OneWorld, 2009.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 253
Kendati demikian, di tengah keterbatasan kajian hadis di atas,
awal abad ke-21 menandai perkembangan “baru” kajian hadis dengan
menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai
salah satu ciri pentingnya. Ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
wacana pemikiran Islam kritis tahun 1970-an dalam diskursus kajian
Islam. Karya-karya yang menitikberatkan penggunaan ilmu sosialhumaniora ini diinspirasikan oleh pelbagai cara berpikir yang berasal
dari tiga kecenderungan: ilmu-ilmu sosial kritis Anglo-Amerika,
Marxisme Barat, strukturalis Prancis dan pemikiran poststrukturalis.12 Pengaruhnya terhadap kajian Islam di Indonesia dirasa
sangat signifikan dan memicu beragam respon di pelbagai kalangan
Islam di tanah air. Diskursus tersebut salah satunya berdampak pada
semakin terbukanya metodologi kajian Islam dengan menggunakan
pendekatan multidisiplin terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora,
seperti sosiologi, antropologi, filsafat, bahasa, gender, lingkungan dan
lainnya.
Kajian living hadis kiranya tidak bisa dilepaskan dari diskursus
keilmuan modern tersebut. Kajian ini tidak lagi terlalu difokuskan
pada teks hadis dilihat dari aspek sanad dan matan saja, tetapi mulai
bersentuhan dengan aspek kontekstualisasi hadis di masyarakat. Ia
berusaha mengungkap makna dan fungsi hadis yang real dipahami dan
dialami masyarakat Muslim dalam kesehariannya.
Salah satu pendekatan yang sangat penting untuk terus
dikembangkan dalam kajian living hadis adalah antropologi. Sebuah
disiplin ilmu sosial yang mengkaji tentang manusia terutama dilihat
dari ragam unsur budaya salah satunya dinyatakan Kluckhohn, yakni
sistem pengetahuan, ekonomi, teknologi, sosial, religi, kesenian dan
bahasa.13 Pendekatan antropologi (agama) dalam studi hadis tidak
Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics: Nasr Hamid
Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic Scholarship, Thesis submitted to the
12
Faculties of Theology and Arts of Leiden University, The Netherlands, August 1999,
hlm. 31.
13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta,
1990, cet. Ke-8, hlm. 21.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
254 | Jajang A. Rohmana
dimaksudkan untuk memahami dan menganalisis aspek antropologis
dalam matan hadis (fiqh al-h}adi>th atau ma’a>ni> al-hadi>th) dengan latar
budaya Arab abad ke-7, tetapi terkait dengan apa yang disebut
Rahman sebagai perkembangan dan perluasan living sunnah di
pelbagai kawasan dunia Muslim—termasuk di Nusantara—sebagai
hasil proses interpretasi dalam pelbagai kepentingan praktik aktual
dan perbedaan praktik hukum yang semakin meluas.14
Tulisan ini merupakan kajian awal tentang penggunaan
pendekatan antropologi tersebut dalam studi living hadis di Indonesia.
Ia akan memfokuskan pada masalah perkembangan living hadis di
Indonesia, pentingnya menggeser studi hadis dari teks ke masyarakat,
arah studi living hadis dari tradisi besar ke tradisi kecil, penggunaan
ilmu-ilmu sosial seperti antropologi sebagai pendekatan sekaligus
perspektif dan langkah-langkah metodologis yang bisa ditempuh
dalam penelitian living hadis dengan pendekatan antropologi. Kajian
ini penting mengingat pengembangan studi hadis tidak cukup berhenti
pada teks hadis itu sendiri, tetapi pada masyarakat sebagai penerima,
pengguna dan pengamal hadis dalam kehidupan kesehariannya (hadith
in daily life). Kajian masyarakat sebagai pengguna hadis bukan saja
bisa memberi warna kajian yang cenderung dinamis, tetapi membuka
peluang kajian yang lebih inovatif dan luas.
Studi Living Hadis di Indonesia
Kajian living hadis di Indonesia bermula dari fenomena Qur’an
and hadith in daily life yang marak satu dekade belakangan. Istilah
living hadis awalnya memang tidak bisa dilepaskan dari kajian living
Qur’an, mengingat keduanya secara teologis tidak dapat dipisahkan.
Kedekatan kedua disiplin keilmuan Islam ini, tergambarkan dari
ucapan Aisyah yang menyebut akhlak Nabi adalah Al-Qur’an (ka>na
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic
Research Institute, 1995, 3rd Reprint, hlm. 32.
14
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 255
khuluquh al-Qur’a>n).15 Karenanya, sejatinya makna living Qur’an
secara historis awalnya merujuk pada pribadi Nabi Muhammad
sendiri, sebagai “gambaran Al-Qur’an yang hidup” baik dalam ucapan
maupun perbuatan (hadis, sunnah).16
Namun, istilah living hadis sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari
diskursus “living sunnah” yang sudah lama diperkenalkan sejumlah
sarjana. India dan Pakistan menjadi kawah candradimuka dalam
diskusi penting hadis dan sunnah pada tahun 1960-an, bahkan jauh
sebelumnya di akhir abad ke-19.17 Rahman termasuk salah satu
ilmuwan yang mencoba menawarkan gagasan living sunnah sekitar
tahun 1962.18 Ia dianggap sebagai salah satu penyumbang utama bagi
peninjauan ulang tradisi Islam tersebut. Ia berusaha mendefinisikan
ulang sunnah. Baginya, sunnah tidak hanya dipahami sebagai contoh
normatif Nabi, tetapi juga harus dipahami sebagai interpretasi kolektif
komunitas Muslim tentang teladan Nabi. Ia tidak statis, tetapi tumbuh
dan berkembang. Sunnah dalam pengertian ini mewakili interpretasi,
elaborasi, dan penerapan umat Islam akan sunnah Nabi dalam situasi
spesifik. Diilhami oleh contoh Nabi dan mengambil contoh itu, tetapi
formulasi spesifiknya merupakan karya kaum Muslim sendiri.19
Bagi Rahman, hadis terbentuk sesudah sunnah, bukan
sebelumnya. Hadis merupakan refleksi dan dokumentasi verbal
“sunnah yang hidup” (living sunnah) dalam masyarakat, sehingga
hadis tumbuh sejajar dengan sunnah. Di sini, Rahman berusaha
membedakan hadis dan sunnah secara tegas. Ia percaya pada tesis
، َ‫شة‬
َ ِ‫عائ‬
َّ ُ‫ع ْبد‬
َ ُ‫سأ َ ْلت‬
َ ، َ ‫ارة‬
َ ، َ ‫ع ْن قَت َادَة‬
َ ، ‫ع ْن َم ْع َم ٍر‬
َ ،‫ق‬
َ ‫ َحدَّثَنَا‬15
َ : ‫ قَا َل‬، ‫س ْع ِد ب ِْن ِهش ٍَام‬
َ ‫ع ْن‬
َ ‫ع ْن ُز َر‬
ِ ‫الر َّزا‬
َّ
ُ
َ
ْ ‫سلَّ َم ؟ فَقَا َل‬
ُ
َّ
.)‫ (مسند أحمد‬. َ‫ َكانَ ُخلُقُهُ ْالقُ ْرآن‬: ‫ت‬
‫و‬
‫ه‬
‫ي‬
ْ
‫ل‬
‫ع‬
‫اَّلل‬
‫ى‬
‫ل‬
‫ص‬
‫هللا‬
‫ل‬
‫و‬
‫س‬
‫ر‬
‫ق‬
‫ل‬
‫خ‬
‫ع ْن‬
ِ
َ ‫ أ َ ْخ ِب ِرينِي‬: ُ‫فَقُ ْلت‬
َ َ َ ُ
َ ِ ِ ُ َ ِ
16
Andrew Rippin, Muslims Their Their Religious Beliefs and Practices,
London and New York: Routledge, 2005, hlm. 89.
17
Alan M. Guenther, “The Hadith in Christian-Mulim Discourse in BritishIndia, 1857-1888,” Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1997.
18
Fazlur Rahman, “Concept Sunnah, Ijtihad and Ijma’ in the Early Period,”
Islamic Studies 1 (1), 1962.
19
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj.
Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 132.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
256 | Jajang A. Rohmana
Goldziher dan Schacht bahwa hadis sebenarnya tidak sepenuhnya
diucapkan oleh Nabi. Hadis berasal dari proses kreatif para ulama
dalam menyalurkan otoritas kenabian untuk membimbing umat. Ia
lalu diproyeksikan ke belakang, ke titik labuhnya yang paling alamiah,
yaitu Nabi Saw.20
Pengertian living sunnah yang diformulasikan Rahman sedikit
banyak menjadi pijakan dasar diskursus living hadis pada era
belakangan. Bila Rahman merujuk pada pembentukan sunnah (tradisi)
yang hidup di awal-awal pembentukan Islam di pelbagai kawasan
secara luas, maka living hadis didasarkan pada adanya tradisi yang
hidup di komunitas tertentu yang didasarkan pada teks hadis itu
sendiri. Meskipun dari sisi lain, boleh jadi terdapat titik temu antara
keduanya dilihat dari pelembagaan tradisi Islam yang terus hidup dan
dipraktikkan di seluruh wilayah dunia Islam. Hanya saja bedanya,
living hadis cenderung lebih spesifik dilakukan di daerah dan
komunitas tertentu saja pada masa belakangan yang disandarkan pada
teks hadis tertentu pula.
Studi awal yang cukup jelas dalam mendefinisikan makna living
hadis misalnya, dilakukan Metcalf dalam salah satu tulisannya tahun
1993. Ia melakukan pembacaan tradisi living hadis dalam organisasi
Jamaah Tabligh di India. Baginya, istilah living hadis bagi para
pengikut Jamaah Tabligh memiliki dua makna, yakni: “mencoba hidup
dengan hadis (live by hadith)” dan “menginternalisasi teks hadis
sampai pada titik bahwa mereka bercita-cita secara ideal dalam arti
menjadi hadis yang hidup (become living hadith)” (Followers attempt
to live by hadith but in such a way that they aspire to internalize the
written/heard texts to the point that they ideally become, in a sense,
“living hadith”). Metcalf mencontohkan bagaimana teks terjemah
ringkasan hadis berbahasa Urdu, Tabli>ghi> nisa>b dan Faz}a>'il-i a'ma>l
yang ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi (18981982), seorang ulama Jamaah Tabligh, tidak saja digunakan untuk
Jonathan A.C. Brown, Hadith, Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World, Oxford: OneWorld, 2009, hlm. 250.
20
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 257
mengkomunikasikan ajaran-ajaran gerakan Jamaah Tabligh tetapi juga
membentuk organisasi dan pengalaman gerakan tersebut.21
Living hadis karenanya tidak saja dimaknai sebagai gejala yang
tampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari
hadis Nabi, tetapi juga proses internalisasi hadis ke arah pencapaian
cita-cita ideal untuk menjadikan hadis sebagai “pedoman hidup yang
terus hidup.” Ia tidak sekedar berkaitan dengan pola-pola perilaku
sebagai bagian dari respon umat dalam interaksinya dengan hadishadis Nabi, tetapi pengaruh signifikan hadis terhadap kondisi dan
pencapaian cita-cita umat itu sendiri. Ini mengingatkan pada studi
Woodward terhadap terjemah hadis Riyad as-Salihin untuk
melegitimasi kerjasama ormas keagamaan seperti NU dengan
pemerintah dan sebagai kritik terhadap kaum modernis, aktifis radikal
dan penganut Islam kejawen yang cenderung mengabaikan syariat.
Terjemah hadis itu dilakukan sebagai bagian dari komentar dan respon
penerjemahnya atas situasi sosial yang dihadapinya.22
Umumnya kajian living hadis memfokuskan pada pelbagai
respon masyarakat terhadap hadis berupa resepsi mereka terhadap teks
hadis tertentu, hasil pemahaman dan praktik yang dilakukannya.23
Resepsi sosial terhadap hadis misalnya, dapat kita temui dalam
kehidupan sehari-hari, seperti hadis tentang shalawat yang kerap
dijadikan landasan dalam tradisi shalawat pada acara atau seremoni
sosial keagamaaan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Studi
tentang tarian spiritual yang dilakukan oleh komunitas Joged
Shalawat Mataram di Yogyakarta menjadi contoh real fenomena
living hadis. Tradisi tersebut didasarkan pada sejumlah teks hadis yang
21
Barbara Metcalf, “Living Hadith in the Tablighi Jamaat, Journal of Asian
Studies, 52, No. 3, (1993), hlm. 585.
22
Mark R. Woodward, “Textual Exegesis as Social Commentary: Religious,
Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts,”
The Journal of Asian Studies 52, 3 (Agustus 1993), hlm. 565.
23
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Model-model Living Hadis” dalam
Sahiron Syamsuddin ed., Metodologi Penelitian Living Qur'an dan Hadis,
Yogyakarta: TH Press, 2005, hlm. 107-114.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
258 | Jajang A. Rohmana
memerintahkan untuk bershalawat atas Nabi dan meneladaninya.24
Teks hadis yang hidup di masyarakat itulah yang disebut dengan the
living hadis.
Karena ia berkaitan dengan pola prilaku sebagai respon dan
interaksi masyarakat atas hadis, maka objek kajian living hadis sangat
luas. Suryadilaga membaginya ke dalam tiga wilayah kajian, yakni
tradisi tulis, lisan dan praktik.25 Tradisi tulis tidak hanya sebatas
sebagai bentuk tulisan yang sering terpampang dalam tempat-tempat
yang strategis, tetapi juga tradisi tulis yang kuat dalam khazanah khas
Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi. Sedangkan tradisi lisan
dalam living hadis muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh
umat Islam, seperti bacaan dalam salat shubuh di hari jum'at, tahlil,
bacaan qunut subuh, shalawat, talqi>n mayit, bacaan zikir dan do’a
ba’da salat dan lainnya.26 Adapun tradisi berupa praktik dalam living
hadis merujuk pada praktik yang dilakukan oleh umat Islam yang
disandarkan pada hadis, seperti khitan perempuan, ruqyah, joged
shalawat, salat wetu telu, gerakan salat dhuha, pembacaan kitab hadis
dan lainnya.27
24
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Mafhu>m al-S}alawa>t ‘inda Majmu>’at
Joged Shalawat Mataram: Dira>sah fi> al-H}adi>th al-H}ayy,” Studia Islamika, Vo. 21,
No. 3, 2014, hlm. 555-557.
25
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Model-model Living Hadis,” hlm. 110.
26
M. Khoiril Anwar, “Living Hadis,” Farabi, Vol. 12, No. 1, 2015, hlm. 7286.
27
Berikut beberapa judul penelitian living hadis yang sudah dilakukan di
beberapa PTKI dan sebagiannya dipublikasikan di beberapa jurnal: Kolil Mustafid,
“Mujahadah Bukhoren di Kec. Tempuran dan Salaman, Magelang Jawa Tengah,”
Skripsi UIN Yogyakarta, 2008; Yusuf, “Pengkajian Kitab Hadis Bulughul Maram di
Ponpes Tegal Al-Amien Prenduan Madura,” Skripsi UIN Yogyakarta, 2008; Ahmad
Arrofiqi, “Implementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia pada
Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2009;
Arif, “Studi Living Sunnah tentang Makna Hadis Anjuran Menikah di Kalangan
Aktifis HTI Malang,” Skripsi UIN Malang, 2011; Maulida Himatun Najih,
“Pemahaman dan Praktik Hadis Kepemimpinan Perempuan (Studi Living Hadis di
Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak Yogyakarta),” Skripsi UIN Yogyakarta,
2013; Halimatus Sa’diyah, “Majelis
Bukhoren di Kasultanan Ngayogyak
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 259
Meski sudah sejak satu dekade lalu studi living hadis dijadikan
bagian dari program pengembangan, tetapi para sarjana mengakui
bahwa pengembangan living hadis di lingkungan masyarakat
akademis masih belum banyak mendapatkan perhatian. Meski sudah
terdapat beberapa kajian living hadis yang dilakukan, tetapi umumnya
penelitian di bidang hadis di PTKI masih dominan di wilayah kajian
teks hadis, baik studi teori mustala>h} al-h}adi>th, kritik hadis (sanad dan
matan), studi kitab hadis, studi tokoh, hadis tematik, maupun produk
pemahaman atas hadis (fiqh al-hadith atau ma’a>ni> al-h}adi>th).
Hasil survey skripsi hadis di UIN Makassar dalam rentang waktu
1994-2013 misalnya, menunjukkan dari 97 skripsi tidak ada satupun
yang melakukan kajian living hadis.28 Begitu pun di UIN Yogyakarta
sebagai salah satu lembaga perintis pengembangan kajian living hadis,
jumlah skripsi prodi ilmu hadis yang menggunakan pendekatan living
hadis masih sedikit dibanding studi di sekitar teks hadis.29 Hingga saat
ini masih belum banyak PTKIN di Indonesia yang menjadikan living
hadis sebagai salah satu mata kuliah wajib di program studi ilmu
Hartahadiningrat (Studi living Hadis),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2013; Muhammad
Hanafi, “Tradisi Salat Kajat di Bulan Suro pada Masyarakat Dukuh Teluk Kragian
Gantiwarno Klaten (Studi Living Hadis),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2013;
Nasrulloh, “Konstruksi Sosial Hadis-hadis Misoginis di Kalangan Aktifis Ormas
(Studi Living Hadis di Kota Malang),” Disertasi UIN Surabaya, 2013; Abdurrahman
Abu Hanif, “Gerakan Salat Dhuha (Studi Living Hadis dalam Majelis Dhuha
Bantul,” Tesis UIN Yogyakarta, 2015; Adrika Fitrotul Aini, “Living Hadis dalam
Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa,” Ar-Raniry, Vol. 2,
No.1, Juni 2014: 221-235; Umi Sumbulah, “Islam dan Ahl Al-Kitab: Kajian Living
Sunnah di Kalangan Pimpinan NU , Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Malang,” AlTahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011: 151-171; Abu Azam Al-Hamdi, “Living Hadith
Wakaf Menurut Ulama Tradisional dan Modern di Gresik,” Islamica, Volume 9,
Nomor 1, September 2014: 223-243, dan lain-lain.
28
Arifuddin Ahmad dkk, “Kecenderungan Kajian Hadi@th di UIN Alauddin
Makassar (Tracer Studi terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013),” Journal of
Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, (2015): 249-266.
29
Lihat data skripsi prodi tafsir-hadis yang tercantum dalam web digital
library UIN Sunan Kalijaga: http://digilib.uin-suka.ac.id/view/divisions/jur=5Ftha/
(diakses Senin, 01/02/2016 pukul 15.51).
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
260 | Jajang A. Rohmana
hadis.30 Sesuatu yang boleh jadi tidak jauh berbeda dengan
pengembangan kajian living Qur’an.31
Kajian living hadis sebagaimana kajian ilmu-ilmu sosial tentu
saja memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan.
Muhamad Ali misalnya, mencontohkan bagaimana living hadis bisa
menyentuh wilayah tradisi lisan dan praktik keseharian yang luas,
misalnya melalui bacaan, hapalan, lagu, pemahaman, penerapan dan
praktik masyarakat atau lembaga tertentu. Menarik juga dikaji
masalah hadis tertentu yang lebih populer di masyarakat tertentu
ketimbang ayat Al-Qur’an dan soal bagaimana bagaimana ayat dan
hadis saling menguatkan kepentingan dan konteks tertentu.32
Secara umum, Rafiq dalam konteks penjelasannya tentang
signifikansi studi living Al-Qur’an yang dilakukannya, bisa dijadikan
dasar untuk mempertegas signifikansi studi living hadis dalam
pengembangan kajian keislaman di Indonesia, di antaranya: 1)
perluasan bidang studi hadis khususnya dan kajian keislaman pada
umumnya; 2) penguatan penggunaan pendekatan multidisiplin
terhadap studi hadis; dan 3) pengungkapan beragam fenomena
keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia.33
30
Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Ragam Studi Hadis di PTKIN
Indonesia,” hlm. 224.
31
Jajang A Rohmana, “Pengembangan Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir di
Indonesia: Kajian Pendahuluan Studi Kawasan Tafsir di Tatar Sunda,” Disampaikan
dalam acara Kuliah Umum “Model Pengembangan Kajian Al-Qur’an di Indonesia,”
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Rabu, 18 Nopember 2015, hlm.
14. Tentang wilayah kajian living Qur’an, lihat Islah Gusmian, “Al-Qur’an dalam
Pergumulan Muslim Indonesia,” Jawa Pos, 16 Januari 2005; Hamam Faizin, “AlQur’an sebagai Fenomena yang Hidup: Kajian atas Pemikiran para Sarjana AlQur’an,” Makalah pada International Seminar and Qur’anic Conference II 2012, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Februari 2012, hlm. 6-10.
32
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur’a>n dan Living
H}adi@th,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, (2015), hlm. 161.
33
Ahmad Rafiq, “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of
the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community,” Diseertation, The
Temple University, 2014, hlm. 9-10.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 261
Dalam studi hadis, kajian living hadis tujuan utamanya adalah
berusaha menghubungkan fenomena hadis dengan fenomena
masyarakat. Hadis dibatasi oleh sanad dan matan, tetapi studi living
hadis memperluasnya ke dalam masyarakat yang menerima dan
mempraktikkan kandungannya. Masyarakat memproduksi sistem
sosial, budaya dan agama berdasar pada penerimaannya atas hadis.
Dengan demikian, studi tentang hadis di sini bisa pula menjadi studi
tentang masyarakat itu sendiri. Karenanya studi hadis sangat penting
dalam menggunakan pendekatan multidisiplin yang bersifat empiris
melalui ilmu-ilmu sosial sebagai alat analisis.34 Ia tidak hanya
menggunakan analisis teks, tetapi juga analisis sosial, budaya dan
sejarah untuk menunjukkan posisi hadis dalam membentuk kehidupan
masyarakat Muslim. Ia mengungkap fungsi aktual hadis sebagai
sebuah susunan teks, tulisan, pembacaan atau praktik ritual, di
samping fungsi idealnya sebagai pedoman. Sebagai susunan teks,
hadis terdiri dari kata-kata dan bahasa dengan makna tekstual tertentu.
Sebagai tulisan, hadis bisa berupa aksara Arab yang merangkai
susunan hadis dalam satu atau sebagian kumpulan hadis. Sebagai
sebuah bacaan, hadis dibaca secara lisan. Sebagai praktik ritual, hadis
dijadikan landasan dalam kegiatan upacara atau ritual keagamaan di
masyarakat.
Signifikansi lainnya, studi living hadis mencoba mengungkap
ragam fenomena keagamaan dalam setiap masyarakat Muslim di
Indonesia. Dalam perspektif global, ini penting dalam memberikan
wacana penyeimbang dalam kajian masyarakat Muslim di dunia.
Kajian tentang masyarakat Muslim umumnya lebih banyak terkait
langsung dengan kehidupan Muslim di Timur Tengah yang dianggap
sebagai “pusat Islam,” tempat di mana mayoritas Muslim tidak berada
di sana, melainkan di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pandangan
bahwa Timur Tengah sebagai pusat Islam, boleh jadi cenderung
U. Maman Kh. dkk., Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 15.
34
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
262 | Jajang A. Rohmana
semakin bergeser dengan semakin berkembangnya Islam dan studi
Islam di Barat.35
Dalam konteks Indonesia, studi living hadis sangat penting
dalam memberikan informasi seputar tradisi Islam dan kaum Muslim
di pelbagai wilayah lokal di Indonesia, tidak hanya Melayu dan Jawa
tetapi juga Sunda, Bali, Bugis, Dayak, Ambon, Sasak, Papua dan
lainnya. Studi fenomena budaya Islam lokal juga penting dalam
merespon narasi besar tentang masyarakat Muslim yang terlalu
digeneralisasi dan dianggap homogen. Ia tidaklah tunggal, tetapi
sangat dinamis sehingga tidak bisa dibatasi pada narasi dan pola yang
sama. Bahkan kini keragaman budaya lokal dan nasional semakin
diperkaya dengan budaya kosmopolit yang dihasilkan oleh budaya
globalisasi jika tidak dikelola dengan bisa saja mengancam keragaman
budaya lokal di Indonesia.36
Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum terlalu banyak
sarjana yang mempublikasikan kajian living hadis. Meskipun beberapa
tahun belakangan ini muncul beberapa karya sarjana yang termasuk ke
dalam bidang kajian ini, di antaranya: Barbara Metcalf, “Living
Hadith in the Tablighi Jamaat, Journal of Asian Studies, 52, No. 3,
(1993): 584-608; Mark R. Woodward, “Textual Exegesis as Social
Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian
Translations of Arabic Hadith Texts,” The Journal of Asian Studies
52, 3 (Agustus 1993): 565-83; Muhammad Alfatih Suryadilaga,
“Living Hadis dalam Tradisi Sekar Makam,” Al-Risalah, Vol. 13 No.
1, 2013: 163-172; Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Mafhu>m alS}alawa>t ‘inda Majmu>’at Joged Shalawat Mataram: Dira>sah fi> alH}adi>th al-H}ayy,” Studia Islamika, Vo. 21, No. 3, 2014; Adrika
Ziauddin Sardar, “The Future of Islamic Studies,” Islamic Culture 57
(1983), hlm. 197.
36
Azyumardi Azra, “Cultural Pluralism in Indonesia: Continuous
Reinventing of Indonesian Islam in Local, National and Global,” Paper Annual
Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-10, Banjarmasin, 1 – 4 November 2010,
hlm. 5.
35
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 263
Fithrotul Aini, “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis
Shalawat Diba’ Bil-Mustofa,” Ar-Raniry: International Journal of
Islamic Studies, Vol. 2, No.1, Juni 2014, hlm. 221-235, dan lainnya.
Dari teks hadis ke praktik masyarakat
Antropologi dipahami sebagai ilmu yang mengkaji tentang
manusia (anthropos dan logos). Meski banyak ilmu yang mempelajari
tentang manusia, tetapi titik tekan antropologi lebih pada masalah
sejarah perkembangan manusia secara biologis, ras, bahasa, dan
budaya. Ia lalu dibedakan menjadi antropologi fisik dan budaya.
Antropologi budaya mengkaji tentang tujuh unsur budaya, yakni
sistem pengetahuan, ekonomi, teknologi, sosial, religi, kesenian dan
bahasa.37 Sistem religi dan kepercayaan menjadi bagian penting dari
kebudayaan.38 Ia kemudian menjadi salah satu bidang spesialisasi
dalam antropologi yang kemudian dikenal dengan “antropologi
agama.” Sebuah studi antropologis terhadap keyakinan, institusi dan
ideologi keagamaan.39
Para sarjana belakangan mulai mengembangkan apa yang
disebut antropologi Islam (the anthropology of Islam) terutama sejak
meningkatnya ketegangan antara representasi Islam dan pandangan
Barat di awal milenium. Perspektif antropologis dipertimbangkan
kembali dalam mendekati Islam setelah sekian lama antropolog
memfokuskan perhatiannya pada aspek eksotis Islam.40 Karenanya,
antropologi Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks global tersebut.
Mengkaji Islam di Indonesia kontemporer sangat penting dilakukan
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 202.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia, 1974, hlm. 137.
39
Brian Morris, Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer,
terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Ak Group, 2007, hlm. vi.
40
Lila Abu-Lughod, “Honor and the Sentiments of Loss in a Bedouin
Society,” American Etnologiest, 12.2 (1985): 245-261; Clifford Geertz, Islam
Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia, Chicago: The
University of Chicago Press, 1968.
37
38
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
264 | Jajang A. Rohmana
dengan mempertimbangkan beragam jejaring global Islam di negara
lain.41 Karena antropologi Islam menitikberatkan pada studi akademik
tentang fenomena Islam di seluruh dunia, maka istilah tersebut tidak
dimaksudkan dalam pengertian “Islamisasi ilmu” yang berkeinginan
“mengislamkan” antropologi ke dalam pandangan dunia Islam. Studi
ini berusaha menggunakan pendekatan antropologi yang berkembang
dalam tradisi ilmiah akademik secara objektif untuk mengkaji
fenomena Islam dan masyarakat Muslim di dunia.
Namun tak bisa dipungkiri terdapat hambatan yang berkembang
terkait diskursus antropologi Islam di kalangan sarjana. Sebagian
mengakui bahwa studi antropologis tentang Islam masih diganggu
dengan masalah pendefinisian dan netralitasnya. Apa sebetulnya yang
hendak dikaji? Apakah pelbagai praktik lokal, teks dan standar
perilaku universal atau keseluruhannya? Apakah pelbagai praktik
tradisi lokal Islam betul-betul mencerminkan Islam yang sebenarnya
atau hanya merupakan tradisi yang terislamkan? Sarjana lain juga
terus bersikukuh dengan pertanyaan bukankah sebagaimana Said
katakan, antropologi merupakan bagian dari produk pengetahuan
“orientalisme” Barat atas bangsa lainnya demi kepentingan
penundukkan dan kekuasaan?42 Selain itu, muncul pula kekhawatiran
antropologi akan mengganggu kesakralan ritual Islam yang kadang
tabu untuk dipelajari. Karena dalam keyakinan penganutnya, ritual itu
bukan merupakan ciptaan manusia melainkan perintah Tuhan yang
dianggap suci.
Menjawab keraguan di atas, Bowen berusaha memberikan
keyakinan bahwa pendekatan antropologi terhadap Islam dilakukan
dengan melihat Islam sebagai seperangkat sumber dan praktik
41
Gabriele Marranci, The Anthropology of Islam, New York: Berg, 2008,
hlm. 5.
42
Ronald Lukens-Bull, “Between Text and Practice: Considerations in the
Anthropological Study of Islam,” Marburg Journal of Religion, Vo. 4 No. 2, 1999,
hlm. 1; Talal Asad, “The Idea of An Anthropology of Islam,” Occasional Papers
Series, Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986, hlm.
1.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 265
interpretif. Dari sumber-sumber Islam berupa teks, ide dan metode
muncul pengertian bahwa semua Muslim terlibat dalam tradisi yang
mendunia. Dari praktik Islam berupa ibadah, hukum dan
pergumulannya muncul kemampuan untuk beradaptasi menghadapi
tantangan dan perbedaan. Analisis yang disebut Bowen sebagai
“antropologi Islam baru” tersebut menegaskan bahwa analisisnya
dimulai dari upaya individu-individu menangkap sumber-sumber itu
dan membentuk pelbagai praktik dengan cara yang penuh makna. Ini
berbeda dengan antropolog lainnya yang mempelajari Islam sekarang
dengan mata rantai penafsiran manusia secara sosial yang terhubung
dengan praktik sekarang kapanpun di semua masyarakat.43
Bagi Bowen, cara ini melihat Islam mulai dari gambaran
pemeluknya tentang tradisi teks sampai pada praktik sosialnya melalui
lensa antropologis. Ini memungkinkan kita menggunakan dua cara
analisis yang saling melengkapi: pertama, fokus ke dalam (focusing
inward), dengan pendalaman pemahaman tujuan, pemahaman, dan
emosi di sekitar praktik tertentu, biasanya menyangkut perhatian
terhadap kesaksian individu dan sejarah. Tetapi pada saat yang sama
mengikuti cara kedua, yakni dengan membuka ke luar (opening
outward), ke arah signifikansi sosial dari praktik dan kondisi
keagamaannya. Antropologi Islam baru ini melakukan penekanan pada
teks dan ide keagamaan, tetapi hanya sebagaimana mereka memahami
dan mewujudkannya ke dalam ruang dan waktu tertentu. Antropologi
berusaha memahami bagaimana Muslim tertentu memahami dan
menggunakan bagian-bagian tertentu dari teks dan ide tersebut.44
Apa yang diungkapkan Bowen di atas kiranya menjadi arah
pengembangan dalam studi living hadis. Fenomena living hadis
merupakan bagian kecil dari keseluruhan realitas “Islam yang hidup”
(the living Islam) itu sendiri. Islam yang dipraktikkan dalam seluruh
kehidupan keseharian kaum Muslim yang terkait dengan seluruh
John R. Bowen, A New Anthropology of Islam, Cambridge: Cambridge
University Press, 2012, hlm. 3.
44
John R. Bowen, A New Anthropology of Islam, hlm. 4.
43
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
266 | Jajang A. Rohmana
praktik ritual Islam di sekitar Al-Qur’an, hadis, fiqih, sufisme, dan
lainnya. Ia tidak lagi berfokus di sekitar teks suci, tetapi bergeser ke
arah masyarakat dan budayanya. Ia yang dalam bahasa Bowen
berusaha melihat gambaran pemeluknya tentang tradisi teks sampai
pada praktiknya melalui analisis “fokus ke dalam” (pemahaman
individu atas praktik living hadis) sekaligus “membuka ke luar”
(signifikansi sosial dari praktik tersebut).
Dalam pandangan antropologi, fenomena living hadis
sebagaimana juga umumnya fenomena agama di masyarakat
menunjukkan bahwa ia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya.45
Istilah budaya seringkali dipahami sebagai hasil cipta, karsa dan rasa
manusia melalui akal budinya (buddhi, buddhayah).46 Budaya
memberi pengaruh signifikan dalam membentuk keragaman ekspresi
penerimaan hadis di kalangan kaum Muslim. Sumber teks hadis boleh
jadi umumnya sama, tetapi ekspresi dan kreasi penerimaannya di
pelbagai wilayah dunia Muslim berbeda-beda. Karenanya, posisi
masyarakat sebagai penerima dan pengembang budaya living hadis
sangat signifikan. Terdapat sejumlah hadis yang hanya bisa dipahami
dengan baik secara kontekstual dengan menggunakan perspektif
masyarakatnya. Memahami hadis yang sudah dipraktikkan dan
menjadi tradisi di masyarakat menjadi tidak lengkap tanpa melibatkan
kajian terhadap masyarakat itu sendiri. Di sinilah arti penting
antropologi bagi studi living hadis.
Karenanya, relevansi pendekatan antropologi bagi studi living
hadis kiranya terkait dengan kepentingannya untuk membantu
mempelajari dinamika resepsi hadis secara empirik. Kajian living
hadis dalam hal ini harus diarahkan pada konteks sosial budaya yang
melingkupinya ketika hadis itu diresepsi dan dipraktikkan saat ini.
45
Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,” artikel
pilihan
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Kumpulan%20Makalah/K
AJIAN%20ISLAM%20DENGAN%20PENDEKATAN%20ANTROPOLOGI.htm
(diakses Senin, 07/02/2016 pukul 10.14).
46
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 181.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 267
Pentingnya memahami hadis secara empiris ini terkait dengan
masyarakat sebagai pengguna dan penerima hadis itu sendiri. Tanpa
memahami masyarakat, maka pemahaman hadis dalam konteks saat
ini menjadi kurang sempurna.
Masyarakat melalui olah pikirnya membentuk dan
mengkonstruksi ajaran hadis ke dalam bentuk ritual, upacara dan
tradisi yang melembaga dan diwariskan secara turun-temurun.
Masyarakat menerjemahkan ajaran hadis sesuai dengan kebutuhannya
di dalam lingkungan budayanya. Keragaman latar sosial budaya
melahirkan keragaman bentuk living hadis dalam setiap masyarakat.
Karenanya, kajian antropologi dalam living hadis pada akhirnya
akan memberikan gambaran tentang pengaruh keragaman budaya
terhadap resepsi hadis di masyarakat. Dalam konteks Islam di
Indonesia, resepsi tersebut melahirkan beragam tradisi Islam lokal di
pelbagai daerah, seperti Jawa, Sunda, Bugis, Sasak dan lainnya.
Pemahaman tentang realitas living hadis yang berbeda bisa
menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam
melaksanakan ajaran Islam. Pemahaman hadis di pelbagai masyarakat
yang tidak pernah bisa steril dari pengaruh ragam latar budaya
memunculkan kearifan dalam menerima perbedaan. Living hadis
mendorong upaya saling memahami di antara pelbagai keragaman
dalam praktik Islam dan agama lokal di Indonesia.47
Penerimaan akan keragaman tradisi Islam lokal dalam kajian
living hadis didasarkan pada landasan bahwa antropologi tidak
mempersoalkan benar-tidaknya, bidah-tidaknya, menyimpangtidaknya, ada tidaknya contoh Nabi, bahkan dhaif-tidaknya sumber
hadis dari suatu praktik living hadis di masyarakat. Ia tidak berhak
mengadili dan menilai. Antropologi berusaha memahami,
memaparkan dan menjelaskan praktik agama tanpa terlalu jauh
47
Tentang pandangan agama dunia dan agama lokal, lihat Samsul Ma’arif,
“Kajian Kritis Agama Lokal,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk, Studi Agama di
Indonesia, Refleksi Pengalaman, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas
Budaya/CRCS, UGM Yogyakarta, 2015, hlm. 30.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
268 | Jajang A. Rohmana
melakukan penilaian atas dasar keyakinan yang dianutnya.48 Bagi
antropolog, biarlah para ahli teologi yang melakukan pembuktian
kebenaran praktik tersebut.49 Karenanya, siapapun bisa melakukan
studi living hadis, Muslim atau Non Muslim.
Praktik living hadis karenanya diharapkan memiliki kontribusi
penting dalam memperkuat apa yang disebut distingsi Islam
Nusantara.50 Sebuah diskursus yang menegaskan pentingnya
penguatan identitas Islam lokal di Indonesia yang bagi sebagian
sarjana dianggap tidak betul-betul Islami, di mana living hadis juga
menjadi bagian penting dalam praktik keberagamaannya.51 Kajian
living hadis dengan menggunakan pendekatan antropologi dapat
diarahkan pada analisis konsep-konsep Islam lokal tentang bagaimana
penerimaan hadis dan budaya di masyarakat saling berinteraksi.
Diskursus Islam lokal menjadi agenda penting dalam konteks
pengembangan studi living hadis di Indonesia. Sebuah cerminan
pertautan antara penerimaan Islam dan budaya lokal. Ini menjadi
kekayaan penting artikulasi Islam di Nusantara yang sejak lama
dikenal toleran dan menerima perbedaan. Ia menjadi bagian dari
keragaman “tradisi kecil” yang boleh jadi tidak persis sama dengan
“tradisi besar” Islam sebagai sumber awalnya.
Dari tradisi besar ke tradisi kecil
Salah satu topik penting dalam perdebatan antropologi Islam
dan juga termasuk di dalamnya studi living hadis adalah kesulitan
48
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi,” Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012, hlm. 251.
49
Daniel Martin Varisco, Islam Obscured: The Rhetoric of Anthropological
Representation, New York: Palgrave Macmillan, 2005, hlm. 2.
50
Tentang Islam Nusantara, lihat misalnya, Akhmad Sahal dan Munawir Aziz
ed., Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih hingga Faham Kebangsaan , Bandung: Mizan,
2015; M. Ishom Yusqi, Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka
STAINU, 2015; Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama
Indonesia, Jakarta: Pustaka Afid, 2015.
51
Martin van Bruinessen, “Global and Local in Indonesian Islam,” Southeast
Asian Studies, 37, 1999, hlm. 159.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 269
kaum Muslim untuk menyesuaikan dengan model etnografi umumnya.
Teks dan ritual dalam Islam hampir selalu dianggap lebih penting dari
pelbagai unsur lokal. Keduanya membawa penganutnya keluar dari
kampung tempat mereka tinggal untuk masuk ke dalam sebuah
komunitas kaum beriman di seluruh dunia.52 Kapan dan di manapun,
mereka tidak bisa lepas dari “pengakuan” dirinya sebagai sesama
Muslim yang terikat dalam teks dan ritual yang sama dibanding
struktur sosial dan budaya lokalnya.
Untuk memposisikan pendekatan antropologi dalam studi living
hadis, penting untuk membaca analisis Redfield yang membagi tradisi
agama-agama ke dalam teori tradisi besar (great tradition) dan tradisi
kecil (little tradition). Baginya, tradisi besar atau bentuk ortodoks dari
pusat agama merupakan praktik kaum elit. Agama dengan sedikit
renungan dan banyak dipelajari di sekolah-sekolah dan tempat ibadah.
Tradisi besar juga disebut tradisi tekstual, ortodoksi, agama filosofis,
tradisi tinggi, dan tradisi universal. Sedangkan tradisi kecil adalah
bentuk heterodoks (lawan ortodoks) berada di wilayah pinggiran
agama. Tradisi kecil menggabungkan banyak elemen tradisi dan
praktik lokal. Ia merupakan agama sebagaimana dipraktikkan oleh
orang biasa dalam kesehariannya. Tradisi kecil dipraktikkan begitu
saja secara taken for granted tanpa perlu pemahaman cermat,
perbaikan atau pemurnian. Tradisi kecil seringkali juga disebut dengan
tradisi lokal, tradisi rendah atau agama rakyat.53
Dalam antropologi agama, beberapa agama dunia seperti
Yahudi, Kristen dan Islam juga terbagi ke dalam bentuk tradisi
“tinggi” dan “rendah” tergantung pada kesesuaian atau perbedaan dari
ajaran pokoknya. Pandangannya secara luas didasarkan pada doktrin
ajaran kaum elit agama dibanding manifestasi popular rakyat biasa. 54
52
Ronald Lukens-Bull, “Between Text and Practice,” hlm. 4.
Robert Redfield, Peasant Society and Culture, An Anthropological
Approach to Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1956, hlm. 70.
54
Fiona Bowie, The Anthropology of Religion, An Introduction , Oxford:
Blackwell Publishers, 2001, hlm. 25.
53
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
270 | Jajang A. Rohmana
Bila ditarik ke dalam tradisi Islam di Indonesia, dua jenis tradisi
keagamaan ini dengan mudah bisa ditemukan. Dalam pandangan
Geertz, istilah santri dan abangan paling tidak mewakili kedua jenis
tradisi tersebut, meskipun tidak sepi dari ragam kritik.55 Tradisi santri
merupakan tradisi besar Islam yang dipraktikkan kaum elit agama
(kyai) di pesantren. Tradisi abangan merepresentasikan “tradisi kecil”
yang menggabungkan banyak elemen tradisi lokal dengan Islam dalam
kesehariannya.56 Kyai sebagai elit agama kerapkali menjadi pialang
budaya yang menjembatani kaum santri dan masyarakat termasuk
kaum abangan.57
Dalam konteks studi living hadis, kiranya penting untuk
mempertimbangkan wilayah tradisi lokal sebagai bagian dari objek
studinya. Ini didasarkan pada tujuan utama antropologi yang
memfokuskan pada analisis terhadap budaya masyarakat dibanding
doktrin agama. Studi tradisi besar Islam sudah sangat umum dilakukan
dalam tradisi kajian Islam melalui analisis teologis. Bahkan seringkali
antropolog Muslim terlalu banyak memberi sikap terhadap subjek
penelitian secara teologis. Terkesan analisisnya menjadi kajian dengan
“misi dakwah” dibanding objektifitas ilmiah.58 Ini tentu sangat
berbeda dengan pendekatan antropologi yang menitikberatkan pada
kajian budaya masyarakat secara apa adanya. Karenanya, tradisi lokal
dalam studi living hadis menjadi sangat penting.
Berikut beberapa praktik yang dalam batas tertentu bisa
dipertimbangkan dalam penelitian living hadis, terutama dalam tradisi
besar dan tradisi kecil di kalangan orang Islam Sunda, baik dahulu
55
Respon terhadap Geertz didiskusikan secara singkat dalam A.G. Muhaimin,
The Islamic Traditions of Cirebon, Ibadah and Adat among Javanese Muslims,
Canberra: ANU E Press, 2006, hlm. 3-4.
56
Zaini Muchtarom, “Santri and Abangan in Java,” Thesis, McGill
University, Montreal Canada, 1975, hlm. 55-60
57
Clifford Geertz, ‘The Javanese Kyai: The Changing Role of Cultural
Broker’ Comparative Studies in Society and History, (2), 1959, hlm. 250-256.
58
Lihat misalnya, R. Abuy Sodikin dkk., Memahami Islam melalui
Pendekatan Antropologi, Bandung: Tarbiyah Press, 2003.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 271
maupun sekarang.59 Ini boleh jadi bisa dijadikan sebagai tema
penelitian living hadis dengan menggunakan pendekatan antropologi.
No
1.
Tradisi Besar
Doa dan Syukur
2.
Doa
3.
Memberi nama
yang baik
4.
Sunat
5.
Doa
6.
Dzikir, Doa
7.
Sedekah
Tradisi Kecil
Doa Nurbuwat saat
mengandung dan
melahirkan; Membaca
wawacan layang she, Rawi
Mulud, Nabi Yusuf dll.
(hamil, melahirkan,
salametan);
Membaca surat
Yusuf/Maryam saat hamil;
Sidekah selamatan saat
tingkeban, ekah, puput
puseur; Marhabaan;
Sumber Hadis
Hadis tentang
perintah berdoa,
akikah dan sedekah.
Barjanzi.
Mengadzankan bayi;
Merendam rumput Fatimah
pasca melahirkan;
Beragam tabu saat hamil dan
melahirkan.
Memberi nama Arab bagi
anak, dari Sulaiman ke
Eman, Khadijah ke Ijah
Sunat perempuan, dari
sundat ke sunat
Tradisi khataman
Dzikir dan shalawat akbar,
Muludan, Rajaban, Majelis
Rasulullah
Gelar sorban saat pangajian;
Nyair sumbangan
(memungut sumbangan
Hadis tentang
perintah adzan bagi
bayi dan doa anak
saleh.
Hadis keutamaan
nama-nama.
Hadis tentang sunat
perempuan
Hadis tentang fadilah
membaca Al-Qur’an
Hadis tentang dzikir
dan shalawat
Hadis tentang fadilah
sedekah untuk
masjid.
Haji Hasan Mustapa, Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda
Lian ti Eta, Ditjitakna di kantor tjitak Kangdjeng Goepernemen di nagara Batawi,
1913.
59
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
272 | Jajang A. Rohmana
No
Tradisi Besar
8.
Doa
9.
Sunnah janggut
10.
Poligami
11.
Ibadah bulan
Ramadhan
12.
Doa, sedekah
13.
14.
Talqin mayit,
sedekah
Bagi warisan
15.
Salat Dhuha
16.
Pengobatan
Nabi
17.
Tradisi Kecil
pembangunan masjid di
pinggir jalan)
Palakiah pertanian, dari
mantra ke doa
Memanjangkan janggut dan
fenomena obat penyubur
Nyandung, memadu di
kalangan aktifis dakwah
Tradisi ifthar berjamaah,
taraweh, itikaf berjamaah,
dan walilat malam takbiran
Salametan
membangun/pindah rumah
Tahlil malam ke-1 hingga
100 hari
Tradisi sumun dalam
warisan
Gerakan salat dhuha
berjamaah
Pengobatan alternatif
ruqyah, bekam,
habbatusaudah, dll.
Sumber Hadis
Hadis perintah
berdoa.
Hadis memanjangkan
janggut.
Hadis tentang
poligami.
Hadis fadilah ibadah
bulan Ramadhan
Hadis tentang rumah
Hadis tentang talqin,
pahala sedekah.
Hadis tentang bagian
waris.
Hadis tentang salat
dhuha
Hadis tentang t}ibb
al-nabawi
dll.
Pentingnya mempertimbangkan isu tradisi kecil dalam living
hadis karena ini terkait dengan kenyataan bahwa umumnya Muslim
dalam kesehariannya mengamalkan agamanya tidak terkait dengan
pertanyaan besar teologi dalam “teks utama” (high text), tetapi lebih
pada masalah ringan dan dekat. Muslim umumnya tinggal di tempat
tertentu dengan menyesuaikan tradisi Islam ke dalam nilai lokal,
meskipun penyesuaian ini menimbulkan perdebatan hangat di
kalangan Muslim seputar kesesuaiannya dengan Islam. Bowen
menyebut bahwa antropologi menempuh jalan di mana Muslim
mencoba melampaui batas-batas masyarakatnya sendiri, bagaimana
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 273
mereka mencoba mengatur kehidupannya dalam memahami “teks
utama” itu agar dimengerti dalam kehidupan lokal.60
Studi living hadis dan ragam perspektif antropologi
Mengkaji living hadis dengan pendekatan antropologi tidak bisa
dilepaskan dengan ragam perspektif di dalamnya. Para sarjana
menyebut dengan beragam istilah yang boleh jadi secara umum
mengarah pada maksud yang kurang lebih sama, misalnya kerangka
teori, aliran, mazhab, paradigma hingga perspektif. Intinya semua
merujuk pada cara pandang teoritis peneliti dalam memahami budaya
masyarakat yang bersumber dari teori-teori antropolog sebelumnya.
Peneliti akan dihadapkan pada ragam pilihan perspektif antropologi
termasuk dalam membaca tradisi living hadis. Bisa saja peneliti
menggunakan lebih dari satu perspektif antropologis untuk
penelitiannya. Pemahaman akan ragam perspektif antropologi ini
penting untuk memahami perkembangan teori-teori antropologi
sekaligus untuk mempertajam analisis terhadap objek pembahasan.
Melalui analisis ragam perspektif pula peneliti dituntut untuk
memperjelas posisinya dalam perdebatan teoritis antropologi yang
selama ini berkembang. Berikut beberapa perspektif antropologis yang
diolah dari pelbagai sumber untuk dijadikan pijakan tepat oleh para
pengkaji living hadis.
Pertama, perspektif akulturasi. Perspektif ini merupakan
perkembangan dari teori klasik difusi kebudayaan yang saah satunya
disebabkan adanya penyebaran manusia. Penyebaran Islam dari Timur
Tengah misalnya, melalui jalur budaya, ekonomi, sosial dan politik
kemudian menularkan budaya tertentu. Terjadi ragam perubahan
sebagai akibat adanya kontak budaya tersebut. Muncul konsep
akulturasi di mana suatu kebudayaan bertemu dengan budaya lain lalu
mengambil budaya baru tersebut dan mengubahnya menjadi seperti
60
John R. Bowen, A New Anthropology of Islam, hlm. 5-6.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
274 | Jajang A. Rohmana
budaya sendiri.61 Pertemuan Islam dan budaya Jawa mengundang
banyak analsis melalui perspektif ini. Geertz misalnya, cenderung
menganggap bahwa Islam di Jawa bercorak sinkretik, artinya terdapat
perpaduan di antara dua atau lebih budaya yang disebut agama Jawa.
Pandangan Geertz yang menggunakan konsep sinkretik selanjutnya
digunakan pula oleh Mulder, Koentjaraningrat dan Beatty.62
Sementara para pengkritik Geertz seperti tampak pada Woodward,
Pranowo, Muhaimin dan Nur Syam cenderung menolaknya dan
menganggap bahwa Islam dan budaya lokal Jawa sesuatu yang
akulturatif. Ia tidak antonim, tetapi kompatibel. Ada proses
mengambil dan menerima, sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai
agama yang bercorak khas, Islam Jawa.63
Peneliti bisa menggunakan perspektif akulturatif dalam
menganalisis gejala sosial-budaya dalam konteks living hadis. Tradisi
tahlilan di rumah keluarga yang meninggal misalnya, tidak dipandang
sinkretik atau tidak murni karena berbaur dengan elemen pra-Islam.
Melalui perspektif akulturatif, tradisi tersebut dipandang secara
positif bahwa Islam menyerap budaya lokal, mengkompromikan,
mengislamkan dan membentuknya menjadi identitas khas, Islam lokal.
Tidak ada bentuk sinkretisme atau sempalan di sini, yang ada adalah
proses akulturatif-kolaboratif yang positif dari tradisi lokal ke dalam
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 100.
62
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, terj. Alois A.
Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1983) dan Agama, Hidup Sehari-hari dan
Perubahan Budaya, terj. Satrio Widiatmoko (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1999); Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994); Andrew
Beatty, Varietes of Javanese Religion: An Anthropological Account (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999).
63
Mark R. Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
terj. Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. ke-4.; M. Bambang Pranowo,
Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet dan INSEF, 2009); A.G. Muhaimin, The
Islamic Traditions of Cirebon, Ibadat and Adat Among Javanese Muslims (Canberra:
ANU E Press, 2006); Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 287289.
61
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 275
tradisi Islam lokal dan menjadi bagian dari identitasnya yang tidak
terpisahkan.
Kedua, perspektif fungsional. Pengertian fungsi merujuk pada
manfaat budaya bagi kelangsungan masyarakat, baik laten (tidak
disadari) maupun manifes (tidak disadari atau dikehendaki). Fungsi
religi misalnya, secara sosial dapat mempersatukan masyarakat.
Kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat memiliki fungsi
memelihara struktur masyarakat sehingga bisa lestari. Analisis
fungsional atau fungsional struktural dalam antropologi cenderung
bersifat mikro dan memiliki lokus terbatas (desa, komunitas, etnis dan
lainnya).64 Karenanya penggunaan perspektif fungsional dalam living
hadis diarahkan pada fungsi sosial-budaya praktik keseharian hadis
dalam pandangan hidup, nilai, norma, aturan dan perilaku masyarakat.
Seluruh ritual Islam di masyarakat pada dasarnya tidak bisa dilepaskan
dari fungsi sosial-budaya. Salat, membaca Al-Qur’an, puasa, Jumatan,
muludan, haji, akikah dan lainnya, semua memiliki fungsi baik
psikologis, sosial, ekonomi maupun politik.
Salat berjamaah misalnya, memiliki fungsi sosial penting
sebagai perekat solidaritas sosial masyarakat. Begitu pun dzikir salah
satunya berfungsi menghindarkan diri dari kecemasan dan gangguan
psikologis lainnya. Penelitian antropologi Bowen menjelaskan bahwa
salat di Indonesia memiliki banyak makna dan fungsi sosial-politik. Ia
bisa menjadi simbol perlawanan bagi masyarakat Aceh, komunikasi di
antara masyarakat Gayo dan menjadi penentu batas-batas sosial di
kalangan pengikut Islam Jamaah di Jakarta.65 Peneliti living hadis bisa
menggunakan perspektif ini untuk mengungkap ragam fungsi hadis
dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat.
Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LkiS, 2007, hlm.
33; Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 100; David
Kaplan dan Robert Manners, Teori Budaya, terj. Landung Simatupang, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 79.
65
John R. Bowen, “Salat in Indonesia: The Social Meaning of an Islamic
Ritual,” Man, New Series, Vol. 24, No. 4 (Dec., 1989), hlm. 601-606.
64
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
276 | Jajang A. Rohmana
Ketiga, perspektif strukturalisme. Perspektif ini mendefinisikan
budaya layaknya struktur dalam bahasa. Ia memiliki pola atau model
berupa relasi, oposisi biner dan korelasi yang saling mempengaruhi di
antara manusia dan tradisinya. Meski etnis manusia di dunia berbedabeda, tetapi bukan berarti tidak terdapat pola atau model dari realitas
yang memiliki kesamaan sebagai pola umum yang berlaku mendasar.
Perspektif ini dirintis oleh Levi-Strauss. Ia umumnya dipakai untuk
membaca mitos dan dongeng yang hidup dalam struktur pengetahuan
masyarakat di masa lalu hingga sekarang.66
Peneliti bisa menggunakan perspektif ini untuk menganalisis
mitos atau dongeng di sekitar Nabi dan para sahabat yang berkembang
di masyarakat lokal. Bagi orang Sunda, cerita wawacan Amir Hamzah,
Nabi-Panghulu-Raja, Nabi Paras, barjanzi, wawacan Nabi Yusuf atau
cerita Keansantang yang bertemu Sayyidina Ali bisa menjadi objek
kajian melalui perspektif strukturalisme. Cerita tersebut boleh jadi
bersumber dari sejumlah hadis, athar sahabat atau kisah orang-orang
suci yang masih hidup di masyarakat. Analisis strukturalisme terhadap
cerita tersebut bisa menjelaskan pola atau model dari struktur
pengetahuan orang Sunda.
Keempat, perspektif fenomenologi. Perspektif ini menggali
secara mendalam pelbagai gejala sosial-budaya dilihat dari sudut
pandang, persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek
penelitian (masyarakat) tentang sesuatu di luar dirinya. Perspektif ini
memiliki hubungan dekat dengan perspektif kognisi yang mengkaji
pikiran, mood, perasaan, keyakinan dan nilai yang dianut
masyarakat.67 Ini terkait dengan kesadaran dan pandangan dunia
subjek (pelaku) tentang “dunia” tempat mereka berada, termasuk
tradisi, ritual, upacara atau praktik yang mereka lakukan. Karenanya
perspektif ini—juga perspektif antropologi lainnya—tidak berusaha
menilai kebenaran pandangan pelaku tersebut. Peneliti “diam” dan
Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, hlm. 70.
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake
Sarakan, 1991, hlm. 27; Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, hlm. 50.
66
67
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 277
bertugas menggali pandangan subjektif pelaku tentang tradisinya dan
masuk ke dalam dunia pelaku yang ditelitinya (emik).68
Studi living hadis penting menggunakan perspektif emik ini
mengingat sejumlah tradisi akan lebih tepat bila dipahami dengan
menggunakan sudut pandang pelaku sebagai pemilik tradisi itu.
Tradisi “sumun” di masyarakat Sunda misalnya, awalnya berasal dari
tradisi besar Islam dalam Al-Qur’an dan hadis yang dikenal dengan
konsep “tsumun” (seperdelapan). Ia berarti bagian seperdelapan harta
waris bagi istri mayit. Tetapi bagi orang Sunda di Sumedang, konsep
ini dipahami sebagai hibah (berapa pun besarnya) dari anak pada janda
mayit baik berkedudukan sebagai ibunya sendiri maupun ibu tiri. Ini
disebabkan pandangan orang Sunda bahwa penerima waris dalam
kenyataannya hanyalah anak kandung.69 Pandangan pelaku tradisi
sumun semacam ini tidak bisa dinilai oleh peneliti sebagai bentuk
penyimpangan dari ajaran tradisi besar Islam. Peneliti secara
fenomenologis hanya berkewajiban menggali cara pandang
masyarakat tentang tradisi tersebut.
Kelima, perspektif hermeneutik, simbolik, atau interpretif.
Inilah perspektif yang banyak diminati para antropolog belakangan
terkait budaya kaum Muslim. Perspektif ini mencoba memahami
gejala sosial budaya secara mendalam layaknya sebuah teks
(hermeneutik).70 Bila teks dipenuhi oleh simbol bahasa, maka gejala
sosial budaya juga pada dasarnya memiliki serangkaian simbol-simbol
berupa benda, perilaku, ritual, bacaan dan lainnya. Peneliti melalui
perspektif ini berusaha membaca, memahami dan menafsirkan jejaring
makna dalam simbol-simbol tersebut (interpretif, simbolik). Geertz
menyebut perspektif ini dengan thick description (deskripsi tebal). Ia
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 44.
Cik Hasan Bisri, “Pergumulan Hukum Islam dengan Kaidah Lokal dalam
Pembagian Harta,” dalam Cik Hasan Bisri ed., Hukum Islam dalam Tatanan
Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 180.
70
Mh. Nurul Huda, “Budaya sebagai Teks, Narasi dan Hermeneutik” dalam
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta:
Kanisius, 2005, hlm. 195.
68
69
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
278 | Jajang A. Rohmana
berusaha mendeskripsikan apa yang sedang dikerjakan dan dipikirkan
masyarakat untuk kemudian diinterpretasikan.71 Penelitiannya
tentang tradisi sabung ayam di Bali misalnya, dipahaminya sebagai
simbol dari “permainan mendalam” (deep play). Ia tidak sekedar
menunjukkan adu kekuatan ayam jago untuk berjudi, tetapi persaingan
pemiliknya untuk mendapatkan kekuatan. Ayam jago adalah simbol
kejantanan dan kebesaran status hirarki sosial pemiliknya.72
Perspektif ini sangat penting untuk memahami tradisi living
hadis di masyarakat. Tradisi sunat perempuan misalnya, meski tidak
ada manfaatnya secara medis, tetapi praktik ini tetap dilakukan.
Sebuah praktik yang bisa dimaknai sebagai upaya menempatkan anakanak dalam komunitas Muslim sebagai “pribadi bermoral.” 73
Umumnya praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan sebagai
sikap simbolik saja tanpa adanya pemotongan klitoris sebagaimana
dilakukan di negara-negara Afrika.74 Peneliti bisa terus menggali
makna dari pelbagai simbol tradisi tersebut melalui perspektif gender,
psikologi, relasi sosial hubungannya dengan hadis Nabi tertentu yang
biasanya dijadikan sebagai landasan praktik tersebut.
Metodologi dan langkah penelitian living hadis dengan pendekatan
antropologi
Fenomena living hadis merupakan fenomena empiris sosialbudaya, maka model metode penelitian yang dipakai merupakan
71
David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis,” dalam Peter Connoly ed.,
Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LkiS, 2001, hlm.
46; Daniel L. Pals, Seven theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta:
Qalam, 2001, hlm. 407.
72
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Selected Essays, New
York: Basic Books, 1973, hlm. 419.
73
Lynda Newland, “Female Circumcision: Muslim Identities and Zero
Toerance Policies in West Java,” Women's Studies International Forum 29 (2006):
394-404.
74
Andree Feillard and Lies Marcoes, “Female Circumcision in Indonesia: To
‘Islamize’ in Ceremony or Secrecy,” Archipel 56, Paris, 1998: 337-367.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 279
model penelitian sosial dan budaya secara kualitatif.75 Karenanya,
peneliti dalam menggunakan pendekatan antropologi harus berupaya
mengikuti prosedur penelitian kualitatif berbasis riset lapangan di
masyarakat (field research, field work) yang terkait dengan respon dan
penerimaan atas hadis dalam kesehariannya.
Umumnya terdapat beberapa metode yang digunakan dalam
melakukan riset budaya dalam antropologi: etnografi, folklor,
grounded theory, dan lainnya. Etnografi mendeskripsikan suatu
kebudayaan budaya sebagaimana adanya secara holistik melalui alur
penelitian maju bertahap. Holistik artinya gejala sosial-budaya yang
diteliti dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam
masyarakat. Agama misalnya, dilihat sebagai sistem yang tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh sosial, ekonomi, politik dan budaya.76 Dalam
penelitian etnografi, sedikitnya peneliti harus tinggal di lokasi
penelitian selama enam bulan untuk melakukan pengamatan terlibat
(participant observation) di mayarakat;77 Metode folklor digunakan
bagi studi tradisi lisan berupa mitos di balik ritual tertentu di
masyarakat; grounded theory merupakan model penelitian yang
berusaha mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik.
Teori dihasilkan secara induktif berdasarkan data real.78 Peneliti bisa
memanfaatkan ragam metode tersebut untuk mempermudah studi
living hadis di lapangan.
Adapun langkah-langkah metodis studi living hadis dengan
pendekatan antropologi minimal terdiri dari: 1) menentukan informan
dan lokasi; 2) menggunakan pendekatan dan perspektif subyek
75
Mudjahirin Thohir, Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi dan
Aplikasi, Semarang: Fasindo, 2007, hlm. 49.
76
David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis,” hlm. 34.
James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elisabeth,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007, hlm. 3; Esther Kuntjara, Penelitian Kebudayaan,
Sebuah Pengantar Praktis, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hlm. 7.
78
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 50-69;
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 173; Maryaeni, Metode
Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hlm. 32.
77
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
280 | Jajang A. Rohmana
penelitian (emik); 3) teknik pengumpulan data dilakukan dengan
teknik observasi dan wawancara mendalam (indepth interview)
terhadap informan; 4) membuat catatan lapangan (field notes) 5)
menentukan unit analisis data berupa individu, kelompok atau benda
atau suatu latar peristiwa sosial-budaya yang ditentukan dengan
teknik snowball; 6) pengolahan data dilakukan dengan teknik
triangulasi melalui analisis interaktif berupa induksi-interpretasikonseptualisasi atau bisa juga berupa display (penyajian data), reduksi
(pemilahan) dan interpretasi (analisis data menggunakan kerangka
teori yang ada).
Berikut salah satu contoh outline penelitian living hadis dengan
pendekatan antropologi yang diambil dari tesis Abdurrahman Abu
Hanif, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015 yang
berjudul “Gerakan Shalat Dhuha (Studi Living Hadis dalam Majelis
Dhuha Bantul)”: 79
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
D. Kerangka Teoritik
E. Metode Penelitian
F. Telaah Pustaka
F. Sistematika Pembahasan
BAB II FENOMENA SALAT DHUHA SEBAGAI LIVING HADIS
A. Makna Salat Dhuha bagi Masyarakat
B. Fenomena Salat Dhuha pada Awal-awal Islam
C. Fenomena Salat Dhuha pada Masa Sekarang
BAB III IMPLEMENTASI SALAT DHUHA DALAM MAJELIS
DHUHA
79
Abdurrahman Abu Hanif, “Gerakan Salat Dhuha (Studi Living Hadis dalam
Majelis Dhuha Bantul,” Tesis UIN Yogyakarta, 2015. http://digilib.uinsuka.ac.id/17598/ (diakses tanggal 07/02/2016 pukul 14.57).
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 281
BANTUL
A. Majelis Dhuha Bantul
B. Tim Pelaksana dan Peserta Majelis Dhuha Bantul
C. Tempat Pelaksanaan dan Sarana Prasarana Majelis Dhuha
Bantul
D. Pelaksanaan Kegiatan Majelis Dhuha Bantul
BAB IV ANALISIS RESEPSI LIVING HADIS DI MAJELIS
DHUHA
BANTUL
A. Resepsi Hermeneutis
B. Resepsi Estetis
C. Resepsi Kultural
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran dan Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Penutup
Kajian hadis di Indonesia mencoba untuk terus dikembangkan.
Salah satu upayanya dilakukan melalui pendekatan multidisiplin
dengan melibatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fenomena studi
living hadis merupakan salah satu upaya pengembangan kajian hadis
yang selama ini dianggap “sepi” dibanding studi keislaman lainnya.
Meski belum lama ditawarkan, tetapi studi ini diharapkan mampu
menggairahkan studi hadis di Indonesia. Ia sangat penting untuk
diapresiasi di tengah kebutuhan masyarakat akademik untuk terus
melakukan inovasi keilmuan secara integratif-interkonektif.
Studi living hadis—juga living Qur’an—dengan menggunakan
pendekatan antropologi relatif masih sangat baru. Dalam tradisi
antropologi, studi semacam ini belum banyak terpublikasi apalagi
mendapat respon akademik yang luas. Jangankan “antropologi hadis,”
untuk antropolog yang meriset tentang Islam saja, para sarjana—
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
282 | Jajang A. Rohmana
dengan pengecualian Geertz—dianggap belum berhasil menjangkau
audiens akademik yang luas di luar subdisiplin miliknya sendiri.80
Karenanya pendekatan antropologi dalam living hadis masih perlu
penguatan basis argumen, baik pada level teori dan metodologi.
Tulisan ini baru merupakan “provokasi” awal soal studi living hadis
dengan pendekatan antropologi. Ini penting untuk memposisikan studi
ini di tengah diskursus keilmuan sosial yang terus berkembang. Studi
ini mencoba mempertegas signifikansi studi living hadis di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Lughod, Lila. “Honor and the Sentiments of Loss in a Bedouin
Society,” American Etnologiest, 12.2 (1985): 245-261.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “The Living Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi,” Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012.
Ahmad, Arifuddin. dkk. “Kecenderungan Kajian Hadi@th di UIN
Alauddin Makassar (Tracer Studi terhadap Skripsi Mahasiswa
Tahun 1994-2013),” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol.
4, No. 2, (2015): 249-266.
Ali, Muhamad. “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur’a>n dan Living
H}adi@th,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2,
(2015).
Amin, Kamaruddin. “The Realiability of the Traditional Science of
Hadith,” Al-Jami’ah, Vol. 43, No. 2, 2005.
_______. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,
Bandung: Hikmah, 2009.
Anwar, M. Khoiril. “Living Hadis,” Farabi, Vol. 12, No. 1, 2015.
Asad, Talal. “The Idea of An Anthropology of Islam,” Occasional
Papers Series, Center for Contemporary Arab Studies,
Georgetown University, 1986.
80
Gabriele Marranci, The Anthropology of Islam, hlm. 4.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 283
Azra, Azyumardi. “Cultural Pluralism in Indonesia: Continuous
Reinventing of Indonesian Islam in Local, National and Global,”
Paper Annual Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-10,
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010.
Beatty, Andrew. Varietes of Javanese Religion: An Anthropological
Account (Cambridge: Cambridge University Press, 1999).
Bisri, Cik Hasan. “Pergumulan Hukum Islam dengan Kaidah Lokal
dalam Pembagian Harta,” dalam Cik Hasan Bisri ed., Hukum
Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos,
1998.
Bowen, John R. “Salat in Indonesia: The Social Meaning of an Islamic
Ritual,” Man, New Series, Vol. 24, No. 4 (Dec., 1989).
_______. A New Anthropology of Islam, Cambridge: Cambridge
University Press, 2012.
Bowie, Fiona. The Anthropology of Religion, An Introduction,
Oxford: Blackwell Publishers, 2001.
Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern,
terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan,
2000.
Brown, Jonathan A.C. Hadith, Muhammad’s Legacy in the Medieval
and Modern World, Oxford: OneWorld, 2009.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.
Fathurahman, Oman. “The Roots of the Writing Tradition of Hadith
Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din Al-Raniri,”
Studia Islamika, Vol. 19 No. 1, 2012.
Federspiel, Howard M. “H}adit} Literature in Twentieth Century
Indonesia,” Oriente Moderno, Nuova serie, Anno 21 (82), Nr. 1,
2002.
Feillard, Andree. and Marcoes, Lies. “Female Circumcision in
Indonesia: To ‘Islamize’ in Ceremony or Secrecy,” Archipel 56,
Paris, 1998: 337-367.
Geertz, Clifford. ‘The Javanese Kyai: The Changing Role of Cultural
Broker’ Comparative Studies in Society and History, (2), 1959.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
284 | Jajang A. Rohmana
_______. Islam Observed, Religious Development in Morocco and
Indonesia, Chicago: The University of Chicago Press, 1968.
_______. The Interpretation of Cultures, Selected Essays, New York:
Basic Books, 1973.
Gellner, David N. “Pendekatan Antropologis,” dalam Peter Connoly
ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri,
Yogyakarta: LkiS, 2001.
Goldziher, Ignaz. Muhammedanische Studien, 2 vols. Leiden, 18891890. Trans. S. M. Stern as Muslim Studies, 2 vols. London,
1967.
Graham, W.A. Divine Word and Prophetic Word in Early Islam: A
Reconsideration of the Sources, with Special References to the
Divine Saying or Hadith Qudsi, Hague, 1977.
Guenther, Alan M. “The Hadith in Christian-Mulim Discourse in
British-India, 1857-1888,” Thesis, McGill University, Montreal
Canada, 1997.
Huda, Mh. Nurul. “Budaya sebagai Teks, Narasi dan Hermeneutik”
dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Ichwan, Moch. Nur. A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics: Nasr
Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic
Scholarship, Thesis submitted to the Faculties of Theology and
Arts of Leiden University, The Netherlands, August 1999.
Juynboll, G. H. A. Muslim Tradition. Studies in Chronology,
Provenance and Authorship of Early H{adi>th, Cambridge, 1983.
Kaplan, David. dan Manners, Robert. Teori Budaya, terj. Landung
Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
al-Khuli, Amin. Mana>hij Tajdi>d, fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa alTafsi>r wa al-Adab, (tt.: Da>r al-Ma’rifah, 1962).
_______, Da>’irah al-Ma’a>rif al-Isla>miyyah, entri tafsi>r, jilid 5.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta:
Gramedia, 1974.
_______. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990,
cet. Ke-8.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 285
_______. Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
Kuntjara, Esther. Penelitian Kebudayaan, Sebuah Pengantar Praktis,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Latifah AM., “Earliest Hadith Sciences Texts Written in Malay
Archipelago,” Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 5
No.15, 2014: 550-558.
Lukens-Bull, Ronald. “Between Text and Practice: Considerations in
the Anthropological Study of Islam,” Marburg Journal of
Religion, Vo. 4 No. 2, 1999.
Maman Kh., U. dkk. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Marranci, Gabriele. The Anthropology of Islam, New York: Berg,
2008.
Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara,
2005.
Mas’ud, Abdurrahman. “Mahfuz al-Tirmisi (d. 1338/1919): An
Intellectual Biography,” Studia Islamika, Vol. 5 No. 2, 1998: 2748.
_______. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi,
Yogyakarta: LkiS, 2004.
Metcalf, Barbara. “Living Hadith in the Tablighi Jamaat, Journal of
Asian Studies, 52, No. 3, (1993).
Morris, Brian. Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama
Kontemporer, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Ak Group, 2007.
Motzki, Harald. with Nicolet Boekhoff-van der Voort and Sean W.
Anthony, Analysing Muslim Traditions, Studies in Legal,
Exegetical, and Magha>z> Hadi>th, Leiden: Brill, 2010.
Muchtarom, Zaini. “Santri and Abangan in Java,” Thesis, McGill
University, Montreal Canada, 1975.
Muhaimin, A.G. The Islamic Traditions of Cirebon, Ibadah and Adat
among Javanese Muslims, Canberra: ANU E Press, 2006.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake
Sarakan, 1991.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
286 | Jajang A. Rohmana
Mulder, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, terj.
Alois A. Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1983).
_______. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, terj.
Satrio Widiatmoko (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1999).
Mustapa, Haji Hasan. Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang
Soenda Lian ti Eta, Ditjitakna di kantor tjitak Kangdjeng
Goepernemen di nagara Batawi, 1913.
Newland, Lynda. “Female Circumcision: Muslim Identities and Zero
Toerance Policies in West Java,” Women's Studies International
Forum 29 (2006): 394-404.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman,
Yogyakarta: Qalam, 2001.
Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet dan
INSEF, 2009).
Rafiq, Ahmad. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case
Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking
Community,” Diseertation, The Temple University, 2014.
Rahman, Fazlur. “Concept Sunnah, Ijtihad and Ijma’ in the Early
Period,” Islamic Studies 1 (1), 1962.
_______. Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic
Research Institute, 1995, 3rd Reprint.
Redfield, Robert. Peasant Society and Culture, An Anthropological
Approach to Civilization, Chicago: The University of Chicago
Press, 1956.
Rippin, Andrew. Muslims Their Their Religious Beliefs and Practices,
London and New York: Routledge, 2005.
Rohmana, Jajang A. “Pengembangan Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir
di Indonesia: Kajian Pendahuluan Studi Kawasan Tafsir di Tatar
Sunda,” Disampaikan dalam acara Kuliah Umum “Model
Pengembangan Kajian Al-Qur’an di Indonesia,” Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Rabu, 18 Nopember
2015.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 287
Rudliyana, Muhamad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum AlHadits Dari Klasik sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia,
2004.
Samsul Ma’arif, “Kajian Kritis Agama Lokal,” dalam Zainal Abidin
Bagir dkk, Studi Agama di Indonesia, Refleksi Pengalaman,
Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya/CRCS,
UGM Yogyakarta, 2015.
Sardar, Ziauddin. “The Future of Islamic Studies,” Islamic Culture 57
(1983): 193-205.
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford,
1950.
Sodikin, R. Abuy. dkk. Memahami Islam melalui Pendekatan
Antropologi, Bandung: Tarbiyah Press, 2003.
Spradley, James P. Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elisabeth,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Suryadilaga, Muhammad Alfatih. “Model-model Living Hadis” dalam
Sahiron Syamsuddin ed., Metodologi Penelitian Living Qur'an
dan Hadis, Yogyakarta: TH Press, 2005.
_______. “Mafhu>m al-S}alawa>t ‘inda Majmu>’at Joged Shalawat
Mataram: Dira>sah fi> al-H}adi>th al-H}ayy,” Studia Islamika, Vo.
21, No. 3, 2014.
_______. “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan
Karakteristiknya: Studi atas Kurikulum IAIN Bukittinggi, IAIN
Batusangkar, UIN Yogyakarta, dan IAIN Jember,” Journal of
Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, 2015.
Syam, Nur. Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005).
_______. Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LkiS, 2007.
Thohir, Mudjahirin. Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi dan
Aplikasi, Semarang: Fasindo, 2007.
Van Bruinessen, Martin. “Global and Local in Indonesian Islam,”
Southeast Asian Studies, 37, 1999.
Varisco, Daniel Martin. Islam Obscured: The Rhetoric of
Anthropological Representation, New York: Palgrave
Macmillan, 2005.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
288 | Jajang A. Rohmana
Voll, John O. “Hadith Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the
18th Century Haramayn and Their Impact in the Islamic World,”
Journal of Asian and African studies. 15: 1980.
Woodward, Mark R. “Textual Exegesis as Social Commentary:
Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian
Translations of Arabic Hadith Texts,” The Journal of Asian
Studies 52, 3 (Agustus 1993): 565-83.
_______. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj.
Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. ke-4.
Internet
Abu Hanif, Abdurrahman. “Gerakan Salat Dhuha (Studi Living Hadis
dalam Majelis Dhuha Bantul,” Tesis UIN Yogyakarta, 2015.
http://digilib.uin-suka.ac.id/17598/ (diakses tanggal 07/02/2016
pukul 14.57).
http://digilib.uin-suka.ac.id/view/divisions/jur=5Ftha/ (diakses Senin,
01/02/2016 pukul 15.51).
Ma’ruf, Jamhari. “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,”
artikel
pilihan
http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Kumpu
lan%20Makalah/KAJIAN%20ISLAM%20DENGAN%20PEN
DEKATAN%20ANTROPOLOGI.htm
(diakses
Senin,
07/02/2016 pukul 10.14).
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
STUDI HADIS DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS:
Paradigma Living-Hadis
Ja’far Assagaf
IAIN Surakarta
Email: [email protected]
Abstract
As a paragon who is followed by Muslims, the Prophet
Muhammad’s hadiths serve as one of the main sources for Islamic tenets
as a universal religion for all mankind. Meanwhile, the prophet was also
a man who lived in a society with certain cultures, traditions, and
geographical elements which differ, to some extent, from those of
Muslims all over the world.
Sociological approaches to the life of the Prophet, thus, become
necessary in order to realize his guidance by contextual understanding
to the gist of hadiths. Sociological approaches can be done by
combining different perspectives of Sociology, such as Sociology of
religion, Sociology of Language, Sociology of Culture, and so on, with
Sociological theories which are widely well-known in either Islamic
world or the West. In order not to be detached from the spirit of Islam,
the analysis from the Sociological perspectives should be combined
with hadith’s sciences (‘ûlûm al-ḥadîth) covering the isnâd and the
matn.
The significance of such kind of approach can be seen in its
possibilities to reveal –to mention some of them- why the transmitters
and collectors of hadith have the similar names and why one hadith
seems to contradict the other. Some sub-disciplines of hadith sciences
which have been combined with sociological approaches (including
names, tittles, country of origins of the transmitters, as well as the
contradictive and strange hadith) can prove significance of Sociological
approaches to the study of hadith.
289
290 | Ja’far Assagaf
Abstrak
Berpijak dari Nabi Muhammad saw sebagai panutan yang
senantiasa diteladani oleh kaum Muslim maka hadis menjadi sumber
utama dalam Islam sebagai agama universal untuk semua umat manusia.
Sementara Nabi saw juga seorang manusia yang hidup di lingkungan
budaya, adat istiadat, sosial, geografis yang berbeda dengan kaum
Muslim di berbagai belahan dunia.
Studi sosilogis, karenanya, menjadi keniscayaan dewasa ini
dalam upaya membumikan hadis-hadis Nabi saw melalui pemahaman
kontekstual tanpa melepas ikatan teks dan inti kandungan hadis.
Pendekatan sosiologis dapat dilakukan dengan berbagai disiplin ilmu
sosiologi seperti sosiologi agama, sosiologi bahasa, sosiologi budaya
dan sebagainya dengan teori-teori sosilogi yang telah dikenal baik dari
kalangan Islam maupun dari Barat. Agar tidak lepas dari spirit Islam,
analisa sosiologi dipadukan dengan ilmu-ilmu hadis yang telah mapan.
Ilmu-ilmu tersebut mencakup sanad dan matan hadis.
Melalui pendekatan sosiologi, seorang pemerhati atau peneliti
hadis dapat menemukan kenapa perawi-perawi hadis tertentu memiliki
nama, gelar yang sama dengan lainnya, atau memperoleh penjelasan
kenapa suatu hadis nampak bertentangan dan sebagainya. Beberapa
bagian ilmu hadis yang telah ditelaah dengan pendekatan sosiologis
seperti ilmu tentang nama dan gelar perawi, negeri dan tempat-tempat
perawi maupun ilmu tentang pemahaman kosa kata, latar belakang
sebuah hadis maupun hadis-hadis yang nampak bertentangan,
membuktikan urgennya penggunaan sosiologi sebagai pendekatan
untuk memahami ilmu hadis, baik sanad maupun matan.
_____________
Kata Kunci: Pendekatan sosiologi, sanad dan matan, ilmu Ikhtila>f alH{adi>s|, ilmu Asba>b al-Wurud al-H{adi>s
|
A. Latar Belakang
Hampir semua umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan
sumber hukum bersama al-Qur’an, atau sumber kedua setelah kitab suci
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 291
yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.1 Fakta ini adalah sebuah
keniscayaan karena Nabi saw merupakan tokoh sentral dalam Islam
yang menjadi panutan (QS: al-Ah{za>b;21) dan bertugas sebagai penjelas
dari keseluruhan isi al-Qur’an (QS:al-Nah}al;44) bahkan ketaatan
padanya secara mandiri bernilai sama dengan menaati Allah swt (QS:alNu>r;56). Beragam perilaku, interpertasi bahkan apapun yang berasal
dari Nabi saw, oleh sementara ulama dinilai sebagai penjelasan paling
otoritatif dan orisinil terhadap al-Qur’an baik dari aspek teoritis
maupun praktis.2
Sementara itu, walau dalam aspek spiritual dan sifat insa>niyyah
Nabi Muhammad saw berbeda, namun Rasul terakhir tersebut juga
seorang manusia yang sama dengan manusia lainnya dari aspek
kebutuhan sandang, pangan dan papan (telusuri kata ‫ بشر‬misalnya dalam
QS:al-Kahfi; 110) bahkan Nabi saw juga bersosialisasi (misalnya QS:
al-Furqa>n; 7) dan merupakan bagian dari sebuah komunitas masyarakat
sosial yang hidup di kawasan jazirah Arab pertengahan abad VI sampai
VII Masehi (± 571 M- 632 M). Kondisi internal maupun eksternal
tersebut merupakan sebuah potret beragam situasi dan kondisi saat
agama Islam hadir.
Berpijak dari fakta dan fenomena tersebut, kajian dalam studi
hadis patut menyertakan beragam disiplin ilmu, baik terkait dengan
ilmu-ilmu alam maupun sosial. Pendekatan untuk menyelamai makna
yang terkandung dalam hadis Nabi saw, bagi seorang Muslim
sesungguhnya tak bermaksud untuk menciderai apalagi menimbulkan
ketidak percayaan dengan ajaran Islam, tetapi bertujuan agar ajaran
Islam dipahami sesuai dengan misi universalnya yaitu rahmatan li al‘a>lami>n (QS: al-Anbiya>’; 107) dengan menggunakan akhlaq al-Nabiyyi,
sehingga teks-teks agama; Qur’an maupun hadis tidak dipahami secara
literal, tekstual yang kaku, namun ajaran-ajaran itu benar-benar
Muhammad Muhammad Abu> Zahw, al-H{adi>s| wa al-Muh}addisu>n (Cairo: alMaktabah al-Taufi>qiyyah, t.th), h. 20-21.
2
Nu>ruddi>n al-‘Itr, Manhaj al-Naqad ‘inda al-Muh}addisi>n (Beirut: Da>r al-Fikr
al-Mu‘a>s}irah; 1997), h. 22, 24-25
1
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
292 | Ja’far Assagaf
membumi dan mampu dirasakan oleh siapapun yang bersentuhan
dengan Islam.
B. Kerangka Teori Sosiologi dalam Hadis
Berpijak dari latar belakang di atas, maka pemahaman terhadap
hadis-hadis Nabi Muhammad saw dimungkinkan melalui pendekatan
sosiologis. Kajian sosiologis merupakan sesuatu yang urgen dalam
memahamai hadis Nabi saw, karena selain banyaknya hadis yang terait
dengan masalah hubungan manusia dengan manusia (mua>‘malah) juga
terdapat tiga aspek yang tak bisa lepas dari hadis itu sendiri.
Pertama, Nabi saw bagi umat Islam adalah patron atau teladan
dan memiliki otoritas untuk menyampaikan wahyu Allah swt
sebagaimana dijelaskan, sehingga semua yang disampaikan bernilai
mutlak kebenarannya (QS:al-Najm; 3-4). Karena tak mungkin seorang
Nabi akan mengalami kekeliruan apalagi berbuat dosa, teristimewa saat
dia menyampaikan risa>lah.3 Keyakinan ini tentu tidak terlepas dari
kajian polemik ulama us{u>l tentang kemungkinan terjadi ijtihad dari
Nabi saw ketika tidak terdapat nash dalam al-Qur’an,4 walau menurut
al-A<midiy (w. 631 H) dan al-Sya>t{ibiy (w. 790 H) bahwa ijttihad Nabi
saw senantiasa benar karena tak mungkin ajaran yang Nabi saw
sampaikan kontradiktif dengan al-Qur’an.5 Kedua, secara faktual
ternyata terdapat hadis yang nampak bertentangan dengan hadis lain
misalnya larangan ziarah kubur dan kebolehannya, perintah memerangi
non Muslim sampai mereka beriman, serta hadis tentang kawin mut‘ah,
Muhammad al-‘Aru>siy ‘Abd Qa>dir, Af‘a>l al-Rasu>l saw. wa Dila>latuha> ‘ala>
Ah}ka>m, (Jeddah: Da>r al-Mujtama‘, cet. I, 1984), h. 24.
3
4
Keterangan saling melengkapi, lihat: Abu> H{asan ‘Ali bin Muhammad alA<midiy (w. 631 H), al-Ih}ka>m li al-A<midiy, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2003), jilid II, vol. IV,
h. 311-316; Muhammad bin ‘Ali al-Syauka>niy, Irsya>d al-Fuh}u>l, diedit oleh
Muhammad Sa‘i>d al-Badriy, (Beirut: Da>r al-Fikr, cet. I, 1992), h. 426-428;
Muhammad Khud}ariy Biek, Us}u>l al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Tija>rah al-Kubra>,
1962), h. 407-410.
5
Lihat: al-A<midiy, al-Ih}ka>m li al-A<midiy, jilid II, vol. IV, h. 317; Abu> Ish}a>q
Ibra>hi>m bin Mu>sa> al-Lakhmi>y al-Gharna>t}iy al-Sya>t{ibiy, al-Muwafaqa>t fi> Us}u>l alSyari>‘ah, (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, t.th), juz IV, h. 21.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 293
bahkan terdapat hadis yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an seperti
larangan memakan daging keledai jinak dengan QS:al-An‘a>m; 145.
Dalam studi hadis sudah ada ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| yang spesifik
mengkaji teks-teks hadis yang tampak bertentangan tersebut. Ketiga,
Nabi saw secara individu juga merupakan bagian dari sebuah
masyarakat sosial saat itu. Interaksi yang terjadi antara Nabi saw
dengan kaum Muslim lainnya maupun non-Muslim secara gamblang
mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat saat itu. Interaksi
tersebut meliputi di antaranya hubungan individual, sosial dan
multiplex yaitu interaksi yang terikat oleh berbagai tipe kepentingan6
untuk hidup bersama. Karena itu, interaksi dalam kajian ini memasuki
ranah obyek sosial yaitu manusia selaku perseorangan maupun salah
satu dari komunitas masyarakat.7 Dalam studi hadis terdapat ilmu asba>b
al-wuru>d al-h{adi>s| yang berisi tentang latar belakang peristiwa yang
mengiringi terjadinya suatu hadis.
Tiga alasan mengenai urgennya pendekatan sosiologis dalam
kajian hadis di atas dapat dilakukan dengan cara mensinerginakan atau
memadukan ilmu sosiologi dengan studi ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| maupun
ilmu Asba>b al-Wurud al-H{adi>s|. Pendekatan ilmu sosial dapat dilakukan
misalnya dengan mengkaji sosiologi Agama, sosiologi perkotaan atau
pedesaan bahkan sosiologi tentang masyarakat nomaden atau
masyarakat yang hidup di wilayah tertentu seperti padang pasir dan
gurun. Adapun ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s yang sejatinya merupakan kajian
para ahli hadis sekaligus ahli usu} >l a-Fiqh dengan menggunakan
pendekatan sosiologis dapat ditelusuri lebih jauh konteks sosial suatu
hadis berisi kebijakan yang berbeda disebabkan perbedaan situasi dan
kondisi.
Sementara ilmu Asba>b Wurud al-H{adi>s| pada bagian tertentu
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi: edisi baru, (Jakarta: Rajawali Press,
1993), h. 374-375.
7
Deobold DE. Vandalen, Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial; Beberapa
Perbedaan, dalam Jujun S. Suryasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1999), h. 135.
6
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
294 | Ja’far Assagaf
dapat membantu melihat latar belakang terjadinya suatu hadis dan
keterkaitannya dengan sejarah, namun masih banyak dalam konteks
individu terkait dengan hadis yang tengah dikaji sehingga
dimungkinkan untuk mengkaji dalam konteks sosial masyarakat yang
lebih luas. Tanpa memungkiri ada pula beberapa hadis melalui ilmu
Asba>b Wurud al-H{adi>s telah sampai menyentuh konteks sosial
dimaksud, namun karena minimnya kajian studi ini dan karena ilmu ini
adalah ilmu yang ‘baru’ dalam studi hadis yang berdiri sendiri8 maka
diperlukan pendekatan ilmu sosiologi untuk memperoleh konklusi atas
kandungan suatu hadis.
Pendekatan sosiologi dalam hadis mangacu pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat yang hidup ketika hadis Nabi saw disabdakan.
Kajian sosiologi terkait dengan masyarakat karena segala sesuatu
berasal dari masyarakat,9yaitu dengan mempelajari hubungan dan
pengaruh timbal balik antara beragam gejala sosial seperti ekonomi
dengan agama, politik dengan agama atau antara gejala sosial dengan
gejala non sosial misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya.
Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang kategoris membatasi diri pada apa
yang terjadi dan bukan apa yang seharusnya terjadi karena sosiologi
dapat menetapkan bahwa suatu masyarakat di suatu tempat dan waktu
memiliki nilai-nilai tertentu namun selanjutnya tak dapat ditentukan
bagaimana nilai-nilai itu semestinya.10
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami ajaran suatu agama, namun perlu dipahami bahwa hasil
8
Sepertinya kitab pertama yang sampai pada kita dalam studi ilmu Asba>b
Wurud al-H{adi>s adalah karya al-Suyut}iy (w. 911 H) berjudul al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud
al-H{adi>s lalu diikuti oleh Ibra>hi>m al-Dimasyqiy (w.1120 H/1708 M), dengan karyanya
al-Baya>n wa al-Ta‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s.| Lihat Muh}yiddin ‘At}iyyah et al, Dali>l
Muallifa>t al-H{adi>s| al-Syari>f al-Mat}bu>‘ah al-Qadi>mah wa al-H{adi>sa| h (Beirut: Da>r Ibn
H{azm, cet I, 1995), jilid I, h. 87-88.
9
Nyoman Kutha Ratna SU, Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial, Humaniora pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet I), h. 367.
10
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar Edisi
Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, cet 46), h. 17-18.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 295
penelitian sosiologi dalam hal ini sosiologi agama tidak mesti sama
hasilnya dengan doktrin yang terdapat dalam teks suci agama yang
diteliti, karena ilmu ini tidak mengkaji benar tidaknya suatu agama
melainkan bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh
pemeluknya.11 Dalam studi hadis sebagaimana dijelaskan bahwa
memahami kandungan hadis dapat melalui pendekatan beragam macam
dispilin ilmu sosiologi, semakin banyak ilmu terkait sosiologi yang
digunakan semakin mungkin penelitian hadis menemukan kandungan
hadis yang tidak dipahami secara parsial tetapi mendapati keterkaitan
hadis satu dengan lainnya dalam suatu masalah yang dapat dipahami
secara universal.
Dalam sejarah Islam, kajian sosiologis telah Ibn Khaldu>n (w. 808
H/1406 M) lakukan saat mengajukan beberapa prinsip pokok terkait
dengan fenomena dan peristiwa sosial dalam sejarah Islam.12 Dalam
Muqaddimahnya, Ibn Khaldu>n merinci kajian sosiologi sejarahnya
dalam enam bagian: (1) Peradaban yang manusia ciptakan; (2)
Peradaban Arab nomaden, masyarakat liar serta kabilah-kabilah; (3)
Pemerintahan secara umum dan tingkatan-tingkatan kekuasaan; (4)
Berbagai negeri dan kota serta peradabannya; (5) Beragam mata
pencaharian, usaha dan profesi dan (6) Beragam Ilmu sifat-sifatnya,
proses belajar-mengajar serta metode dengan berbagai aspeknya.13
Melalui karyanya tersebut, Ibn Khaldu>n sesungguhnya telah meletakkan
teori-teori sosiologi terkait dengan sejarah dan agama. Interpertasi
hadis kepemimpinan dari suku Quraisy yang awalnya merupakan
keharusan pemimpin dari suku Quraisy menurut ulama, namun bagi Ibn
Khaldu>n yang menukil pendapat al-Ba>gila>niy (w. 403 H) bahwa
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014), h. 402-403.
12
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 2728.
13
Abu> Zaid ‘Abd Rah}ma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad alH{ad}ramiy al-Isybi>liy; Ibn Khaldu>n, Muqaddimah; al-‘Ubr wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa
al-Khabar fi> Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas| al‘Arabiy, cet IV, t.th), h. 1-588.
11
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
296 | Ja’far Assagaf
kepemimpinan tersebut disebabkan adanya sifat-sifat orang Quraisy
saat itu dan jika ketiadaan sifat-sifat tersebut maka gugurlah
kepemimpinan tersebut.14
Interpertasi Ibn Khaldu>n sesungguhnya bukan hal yang baru
seperti terlihat di atas, namun Ibn Khaldu>n menginterpertaskan hadis
melalui pendekatan sosiologi dengan teori sosial yang dia formulasikan
di kitab muqaddimahnya tersebut, hal mana yang tak dilakukan oleh
ulama hadis dalam kitab mereka maupun kitab syarh} secara khusus
seperti syarh} Bukha>riy dan Muslim maupun lainnya.
Studi hadis masa kini dengan menggunakan teori-teori sosiologi
akan menarik disebabkan kajian-kajian agama masih banyak yang
dipahami secara normatif tanpa melihat aspek sosial. Padahal ajaran
Islam selain berisi hubungan dengan sang pencipta, juga mengatur dan
menekankan hubungan antar manusia. Pendekatan sosiologis menjadi
sebuah keniscayaan untuk mendekati pemahaman yang tepat terhadap
hadis Nabi saw sesuai dengan konteks hadis saat disabdakan dan
memperoleh inti ajaran yang dapat kita pahami dalam konteks kekinian.
C. Lingkup Kajian Hadis dengan Pendekatan Sosiologis
Berbicara tentang lingkup kajian hadis berarti mengkaji hadis
secara totalitas yang mencakup kajian sanad maupun matan hadis. Studi
sanad dinilai memiliki pijakan teori yang kokoh di antara ilmu-ilmu
murni Islam bersama kajian tafsir dan us}u>l fiqh,. Walau sebenarnya
ulama hadis tidak pernah meninggalkan kajian matan, tetapi dari
keseluruhan karya ahli hadis terutama masa klasik (abad 1-3 atau 4
Hijriah) dapat dibuktikan bahwa keseriusan mereka dalam mengkaji
sanad hadis lebih banyak dan mendalam ketimbang kajian mereka
terhadap matan hadis. Fenomena ini dapat dipahami karena beberapa
faktor yaitu: (1) Terjadi pemalsuan hadis; (2) Hadis belum ditulis secara
keseluruhan di zaman Nabi saw; (3) Beragam peristiwa terjadi sebelum
Penulisan hadis secara kolektif (100 H); (4); Periwayatan hadis secara
makna dan (5) sifat alami manusia yang pelupa. Sekalipun alasan-alasan
ini juga dapat menjadi penyebab ulama hadis meneliti matan, tetapi
14
Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, h. 194.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 297
penelitian sanad lebih kuat dengan beralasan kelima faktor tersebut.
1. Studi Sanad Hadis dengan Pendekatan Sosiologis
Studi sanad hadis mencakup dua kategori besar yaitu studi perawi
hadis disebut ilmu rijal hadis dengan cabang-cabganya dan studi kondisi
hadis yaitu ketersambngan dan keterputusan sanad suatu hadis.
Pendekatan sosiologis dapat diterapkan saat mengkaji ilmu rijal hadis.
Di antara ilmu rijal hadis yaitu: (a) ilmu tentang nama-nama dan gelar
perawi; (b) ilmu tentang guru-guru maupun teman-teman seangkatan
dari perawi; (c) ilmu tentang tempat dan negeri perawi.
a. Ilmu Tentang Nama-nama dan Gelar Perawi ( ‫ اْلسماء والكنى‬dan
‫)اْللقاب‬15
Pada bagian ini dapat dibagi menjadi ilmu tentang nama-nama
dan gelar perawi ( ‫ )اْلسماء والكنى‬maupun gelar berupa panggilan
(‫) اْللقاب‬, dan ilmu tentang nama-nama perawi yang sama namanya
maupun nama ayahnya dengan perawi lain (‫)المتفق والمفترق‬16 maupun
perawi yang tulisan namanya sama tetapi cara membacanya berbeda
(‫) المؤتلف والمختلف‬.17
Keempat ilmu di atas memiliki fokus kajian masing-masing,
namun memiliki tujuan yang sama yaitu tidak terjadi kesalahpahaman
pada orang yang mempelajari dan meriwayatkan hadis tentang perawi
tertentu yang kemungkinan memiliki nama, gelar (al-kuna> maupun alqa>b), person (al-muttafiq wa al-muftariq), maupun tulisan nama yang
sama dengan nama perawi yang lain (al-mu'talif wa al-mukhtalif).
Semua itu, agar hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dapat diketahui
kuat tidaknya. Ranah kajian ulama hadis memang semuanya mengarah
pada satu titik ini.
Pendekatan sosiologis dapat digunakan misalnya dengan
Abu> al-Khair; Muh}ammad bin ‘Abd Rah}ma>n al-Sakha>wiy (w. 902 H), Fath}
al-Mugi>s| bi Syarh} Alfiyah al-H{adi>s| (Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, cet I, 1426 H),
15
jilid IV, h. 198-211, 212-221.
16
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 285-312.
17
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 222-284
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
298 | Ja’far Assagaf
mencermati kenapa sebuah masyarakat memanggil seseorang dengan
gelarnya saja bahkan gelarnya menyatu dengan namanya seperti perawi
Abu> Bila>l al-As’ariy, Abu> Bakar bin ‘Ayya>s al-Muqri’ (w. 193 H).
Adapula perawi yang hanya dikenal dengan gelarnya tapi tidak memiliki
nama seperti Abu> Syaibah saudaranya Abu> Sa‘i>d al-Khudriy (w. 74
H).18 Atau mencari alasan kenapa masyarakat memberikan gelar buruk
pada orang yang sesungguhnya baik dan bahkan terpercaya seperti
Abdullah al-D{a‘i>f yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Yahya
dan Mu‘a>wiyah al-Dd{a>ll bernama Mu‘a>wiyah bin ‘Abd Kari>m.19
Demikian pula mencari konteks sosial mengenai penamaan
seorang perawi yang sama dengan lainnya tapi personnya berbeda
seperti Ma>lik bin Anas yang satu pendiri mazhab Maliki dari Madinah
(w. 179 H) dan yang satu berasal dari Kufah tetapi hadisnya sedikit,
sementara Ahmad al-Khali>l adalah nama untuk enam orang perawi di
mana kualitas mereka dalam periwayatan berbeda-beda,20 atau tulisan
dari nama seorang perawi sama namun cara membacanya berbeda
seperti ‫ حصين‬dibaca H{as}i>n pada Abu> H{as}i>n ‘Us|ma>n bin ‘A>s}im
sementara perawi lainnya dibaca H{us}ain.21
Ulama hadis memang telah menerangkan penyebab seorang
perawi diberi nama seperti itu atau gelar tersebut, namun mereka belum
cukup mengeksplor konteks sosial masyarakat bahwa apakah peristiwaperistiwa tersebut disebabkan oleh social class atau status group dalam
sosiologi. Karena menurut Joseph Schumper bahwa kelas-kelas dalam
masyarakat terbentuk untuk menyesuaikan mereka dengan beragam
kepentingan yang nyata.22 Teori ini dapat dianalisa juga melalui
keadaan sosial masyarakat di mana perawi tersebut diberi nama atau
gelar tertentu, termasuk polarisasi bahasa sehingga terjadi perbedaan
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 203-205, 207.
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 216-217.
20
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 287-292.
21
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 261.
22
Sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati,
Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 203.
18
19
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 299
penyebutan atau dialek dalam studi khusus ilmu mu'talif wa mukhtalif.
b. Ilmu tentang Para Guru ( ‫ ) مشائيخ الرواة‬maupun Teman
Seangkatan dari Perawi ( ‫) طبقات الرواة‬.23
Ilmu yang spesifik membicarakan guru seorang perawi hadis (
‫) مشائيخ الرواة‬. Siapapun gurunya dengan berbagai latar belakang dikaji
dalam studi ini. Selanjutnya ilmu yang membicarakan teman-teman
belajar dari seorang perawi ( ‫) طبقات الرواة‬, baik teman itu seumuran
maupun tidak bahkan teman dari berbagai wilayah.
Fungsi ilmu ini jelas untuk mencari dan menfilter riwayat yang
dianggap benar dari seorang guru dengan melihat kapasitas guru
tersebut dan melakukan komperatif riwayat dengan teman-teman
seangkatan dari perawi tertentu, sekaligus membedakan periwayat yang
nama dan gearnya sama dalam satu tingkatan.24 Teori sosiologi seperti
kelompok-kelompok sosial sebagaimana dikembangkan oleh George
Simmel tentang individu mempengaruhi kelompoknya maupun
interaksi antara kelompok tersebut25 dapat digunakan dalam studi ilmu
masyai>kh maupun t{abaqa>t perawi untuk melihat misalnya ada hadishadis yang beredar di murid-murid dari seorang guru tertentu sementara
hadis-hadis itu tidak memiliki jalur di komunitas perawi lainnya.
c. Ilmu Tentang Tempat dan Negeri Perawi ) ‫أوطان وبلدان‬
‫)الرواة‬.26
Spesifikasi ilmu ini yaitu mempelajari tempat dan daerah di
mana seorang perawi lahir, wafat, berguru, dan berdomisili maupun
tempat yang pernah perawi itu singgahi. Kajian ilmu ini sangat menarik
bukan saja untuk mencari hadis yang beredar dari seorang perawi
berasal dari wilayah mana, tetapi bisa mengetahui kondisi sosial
wilayah tersebut sebagaimana orang-orang Arab mengidentikkan diri
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 498-505.
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 498-499, 501.
25
Sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati,
Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 102.
26
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 515-528.
23
24
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
300 | Ja’far Assagaf
mereka kepada bangsa, kabilah dan keluarga mereka padahal orangorang ajam mengidentikkan dirinya kepada negeri-negerinya. 27
Mungkin beberapa teori sosiologi dapat dikembangakan dalam
studi ilmu ini ) ‫ ) أوطان وبلدان الرواة‬seperti teori tentang lembaga
kemasyarakatan, lapisan masyarakat, kekuasaan dan perubahan sosial di
tempat-tempat yang seorang perawi memperoleh hadis, sehingga dapat
kita telusuri kenapa hadis-hadis tertentu dari tokoh hadis ternama tidak
sampai kepada kita melalui mukharrij terkenal seperti riwayat Ja’far alS{a>diq (83-148 H) dan al-Syafi’iy (150-204 H) yang tak terdapat dalam
s{ah}i>h} al-Bukha>riy dan sebagainya.
2. Studi Matan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis
Bagian matan hadis menjadi obyek paling menarik untuk
diuji lantaran matan adalah teks hadis itu sendiri sehingga bila matan tu
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa maka setiap orang akan dapat
terlibat dalam studi ini. Pada bagian ini akan dianalisa pendekatan
sosiologis bisa memainkan peranan yang penting dalam mengkaji suatu
matan hadis melalui ilmu Gari>b al-H{adi>s, Asba>b Wuru>d al-H{adi>s|,
Ikhtila>lf al-H{adi>s|, | dan sebagainya.
a. Ilmu Gari>b al-H{adi>s ( ‫) علم غريب الحديث‬
Ilmu ini secara khusus mengkaji kosa kata yang sulit dalam hadis
lantaran jarang penggunaannya28. Kosa kata tersebut digunakan
masyarakat Arab bersamaan dengan datanganya Islam, sehingga studi
ini menjadi menarik dengan pendekatan sosiologi bahasa atau simbol
yang digunakan saat itu.
Hadis Nabi saw yang dapat dicontohkan dalam studi ilmu ini
seperti:
(1) Hadis tentang non Muslim masuk ke dalam Masjid
Imam al-Bukha>riy meriwayatkan:
ٍ ِ‫ال حدَّثَنا سعِيد بن أَِب سع‬
َِّ ‫حدَّثَنا عبد‬
‫ال‬
َ َ‫يد ََِس َع أَبَا ُهَريْ َرَة ق‬
َ َ‫ف ق‬
ُ َْ َ َ
ُ ‫ال َحدَّثَنَا اللَّْي‬
َ ‫وس‬
َ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ‫ث ق‬
ُ ُ‫اَّلل بْ ُن ي‬
27
28
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h.515-516.
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid III, h. 412.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 301
ٍ ِ
ِ َّ ‫ث النَِِّب صلَّى‬
‫ال لَهُ ُُثَ َامةُ بْ ُن‬
ُ ‫ت بَِر ُج ٍل ِم ْن بَِِن َحنِي َفةَ يُ َق‬
ْ َ‫اَّلل َعلَْيه َو َسلَّ َم َخْي اًل قبَ َل ََْند فَ َجاء‬
َ ُّ َ ‫بَ َع‬
ِِ
ِ
ٍِ
‫ال أَطْلِ ُقوا‬
َ ‫اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬
َّ ‫صلَّى‬
ُّ ِ‫أُثَ ٍال فَ َربَطُوهُ بِ َسا ِريَة م ْن َس َوا ِري الْ َم ْسجد فَ َخَر َج إِلَْيه الن‬
َ ‫َِّب‬
ٍ ‫ُُثَ َامةَ فَانْطَلَ َق إِ ََل ََنْ ٍل قَ ِر‬
ََِّ‫ال أَ ْش َه ُد أَ ْن ََ إِلَهَ إ‬
َ ‫يب ِم َن الْ َم ْس ِج ِد فَا ْغتَ َس َل ُُثَّ َد َخ َل الْ َم ْس ِج َد فَ َق‬
29ِ
َّ ‫اَّللُ َوأ‬
‫اَّلل‬
َّ ‫ول‬
ُ ‫َن ُُمَ َّم ادا َر ُس‬
َّ
Kata ‫ سارية‬berarti tiang, biasanya terbuat dari kayu. Atau dalam
shalat berjama‘ah misalnya tiang pemisah, karena tiang dimaksud
adalah bagian dari barisan atau shaf.30 Penggunaan kata ini spesifik pada
tiang yang berada dalam satu s{af atau barisan salat. Arti ini menjadi
berbeda dengan beberapa arti yang terkait dengan kata ‫ سارية‬itu sendiri.
Pendekatan sosiologi bahasa akan dapat menelusuri sejak kapan
kata ‫ سارية‬tersebut menjadi arti khusus bagi tiang yang berada dalam
s{af, atau kenapa kata tersebut bisa berarti demikian. Tentu perubahan
bahasa dan makna yang ada dalam satu kosa kata sangat dipengaruhi
oleh perubahan sosial, karena bahasa merupakan salah satu lembaga
kemasyarakatan sebagaimana lembaga yang lain seperti pergaulan,
pertentangan dan sebagainya.31
Sosio-linguistik membicarakan
hubungan bahasa dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Sebagian ahli membedakan menyatakan kajian sosio-linguistik bersifat
kualitatif sementara kajian sosiologi bahasa bersifat kauntitatif.
(2) Hadis Tentang Larangan Memakai Sutera
Imam al-Bukha>riy meriwayatkan:
ِ ِ
ِ ‫اعيل حدَّثَنَا أَبو عوانَةَ عن ْاْلَ ْشع‬
‫ث بْ ِن ُسلَْي ٍم َع ْن ُم َعا ِويَةَ بْ ِن ُس َويْ ِد بْ ِن‬
َ
ْ َ ََ ُ
َ َ َ‫وسى بْ ُن إ َْس‬
َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
َِّ ‫ول‬
ٍ ‫م َق ِرٍن َعن الْب ر ِاء بْ ِن َعا ِز‬
‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بِ َسْب ٍع َونَ َهانَا َع ْن َسْب ٍع‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ أ ََمَرنَا َر ُس‬:‫ال‬
َ َ‫ب ق‬
َ ‫اَّلل‬
ُ
ََ ْ
Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>riy (194-256 H), S{ah}i>h} al-Bukha>riy bi
H{a>syiah al-Sindiy (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), juz I, h. 112 (no. 462) }
30
Majd al-Ddi>n; Muba>rak bin Muh}ammad Ibn al-As|i>r (w. 606 H), al-Niha>yah
fi> Gari>b al-H{adi>s| wa al-As|ar (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.), jilid II, h. 365.
31
Abdul Chaer & Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Perkenalan Awal
29
(Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 2.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
302 | Ja’far Assagaf
ِ ِِ
ِ ‫س وإِجاب ِة الد‬
ِْ ‫يض واتِب ِاع‬
ِ
ِ ِ
‫ر ِر‬
َّ ‫َّاعي َوإِفْ َش ِاء‬
ْ َ‫الس ًَلِ َون‬
َ َ ِ ‫أ ََمَرنَا بعيَ َادة الْ َم ِر‬
َ َ َ ِ ‫اْلنَ َازةِ َوتَ ْشميت الْ َعاط‬
ِ‫ال ننِي ِة الْ ِفضَّة‬
ِ ِ
ِ
ِ ‫الذ َه‬
َّ ‫الْمظْلُوِ وإِبْرا ِر الْم ْق ِس ِم ونَ َهانَا َع ْن َخواتِي ِم‬
َ َ َ‫ب َو َع ْن الشُّْرب ِِف الْفضَّة أ َْو ق‬
َ
ُ َ َ
َ
َ
32 ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ ‫َو َع ْن الْ َميَاثر َوالْ َقس ِي َو َع ْن لُْب‬
‫اج َو ْاْل ْستَْب َرق‬
ِ َ‫اْلَرير َوالديب‬
ْ ‫س‬
Kata ‫ املياثر‬dalam konteks hadis ini berarti hiasan kendaraan milik
orang-orang selain Arab yang dibuat dari sutera seperti pelana, atau juga
bantal. Adapun pakaian yang terbuat dari katun bercampur dengan
sutera berasal dari negeri Mesir dan penghujung daerah Damaskus
‫القسي‬. Sementara kata ‫ اْلرير‬digunakan untuk
semua jenis sutera secara umum. ‫ اْلرير‬merupakan sebutan yang sudah
dikenal di masa Nabi saw untuk jenis sutera apapun. Kata ‫ الديباج‬adalah
(Syiria) disebut dengan
pakaian yang terbuat dari sutera. Kata ini berasal dari bahasa Persia
namun dijadikan sebagai bahasa Arab. Semua jenis sutera yang tebal
disebut dengan ‫اْلستربق‬, berasal dari bahasa selain bahasa Arab.33
Dalam hadis di atas nampak bahwa sutera disebut secara berbeda
dengan spesifikasi masing-masing disebabkan bahan sutera itu dan
penyebutan masyarakat setempat berbeda saat menyebut sutera. Dalam
hadis ini Nabi saw menjelaskan apapun nama sutera dan dari manapun
asalnya maka status hukumnya tetap sama. Pendekatan sosiologi bahasa
dan kawasan atau teori zone konsentris oleh Burgers34 mungkin dapat
digunakan dalam studi hadis ini karena masa Nabi saw Madinah
merupakan pusat Islam sebagai kota di antara kota-kota lain di Mesi,
al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, }juz III, h. 353 (no. 5635).
Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis) (Sukoharjo: Fataba Press, 2015, cet II ), h. 139-140
34
Teori ini sebenarnya menyangkut perkembangan atau pertumbuhan kota.
Pola tersebut merupakan suatu model hubungan antara kedudukan sosial dengan jarak
pemukiman dari pusat kota. Lihat Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi
Tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. 87-88.
32
33
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 303
Syiria dan Persia tempat asalnya sutera-sutera tersebut.
b. Ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s| ( ‫( علم أسباب ورود الحديث‬
Ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s merupakan ilmu yang mempelajari
sebab musabab terjadinya suatu hadis atau latar belakang terjadinya
suatu hadis.35 Urgensi pendekatan sosiologis terhadap ilmu ini sangat
nyata, karena ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s dengan sosiologi akan samasama membicarakan sebuah latar belakang individu maupun sosial
berupa kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Hadis yang dapat dicontohkan dalam studi ini melalui
pendekatan sosiologis di antaranya:
(1) Larangan Mendatangi Isteri di waktu Malam jika Suami
Berlayar dalam Waktu yang lama.
Imam al-Bukha>riy meriwayatkan:
َِّ ‫حدَّثَنا ُُم َّمد بن م َقاتِ ٍل أَخب رنَا عبد‬
ِ
‫َّعِ ِِب أَنَّهُ ََِس َع َجابَِر‬
ُ َْ َ َ ْ
ْ ‫اَّلل أ‬
ْ ‫َخبَ َرنَا َعاص ُم بْ ُن ُسلَْي َما َن َع ْن الش‬
ُ ُْ ُ َ َ َ
َِّ ‫ول‬
َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِذَا أَط‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ول ق‬
ُ ‫اَّللِ يَ ُق‬
َّ ‫بْ َن َعْب ِد‬
ُ‫َح ُد ُك ْم الْغَْيبَةَ فَ ًَل يَطُْر ْق أ َْهلَه‬
َ ‫اَّلل‬
َ ‫ال أ‬
36
‫لَْي اًل‬
Al-Suyu>t}iy menerangkan di antara sebabnya hadis tersbut yaitu
dua orang suami masing-masing mendapati isteri mereka bersama
dengan lelaki yang lain.37 Kondisi ini memungkinkan terjadi disebabkan
masa transisi dari jahiliyyah ke Islam belum benar-benar kuat sehingga
perselingkuhan terjadi, terlebih jika suami meninggalkan isterinya
terlalu lama. Pendekatan melalui metode sosiologis dapat dilakukan
karena metode ini bersifat obyektif yang memiliki gagasan bahwa fakta
sosial merupakan hal-hal yang harus ditangani bahkan sampai ke
praktek penanganan masalahnya.38
Perubahan yang dicanangkan oleh Islam mengarah ke arah
Nuruddi>n ‘Itr, Manhaj al-Naqad, h. 334.
al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz III, h. 284 (no. 5244)
37
‘Abd Rah{man bin Abu> Bakar al-Suyu>t}iy, al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud al-H{adi>s
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), h. 66-67.
38
Soerjono Soekanto, Emile Durkheim; Aturan-Aturan metode Sosiologis
(Jakarta: Rajawali, 1985), h. 139.
35
36
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
304 | Ja’far Assagaf
positif, sehingga apa yang terekam dalam hadis di atas termasuk faktor
penghambat terjadinya perubahan sosial kearah yang baik disebabkan
adanya kepentingan yang telah tertanam kuat, alasan ideologis maupun
adat39 di suatu masyarakat.
(2) Hadis Terkait Status Anak yang Terlahir dari Wanita Yang
Dianggap Curang
Imam al-Bukha>riy meriwayatkan:
ِ
َِّ ‫حدَّثَنا عبد‬
ٍ ‫ك َعن ابْ ِن ِشه‬
‫اَّللُ َعْن َها‬
َّ ‫اب َع ْن ُعْرَوَة َع ْن َعائِ َشةَ َر ِض َي‬
ُ َْ َ َ
ْ‫فأ‬
َ ‫وس‬
َ
ْ ٌ ‫َخبَ َرنَا َمال‬
ُ ُ‫اَّلل بْ ُن ي‬
ِ
ِ ‫قَالَت َكا َن عْتبةُ ع ِه َد إِ ََل أ‬
َّ ‫َخ ِيه َس ْع ٍد أ‬
ِ ‫ك فَلَ َّما َكا َن َعا َ الْ َفْت‬
ْ ِ‫يدةِ َزْم َعةَ ِم ِِن فَاقْب‬
َ ‫َن ابْ َن َول‬
َ ‫ضهُ إِلَْي‬
ْ
َ َُ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ال أَخي َوابْ ُن َولي َدة أَِب ُول َد َعلَى‬
َ ‫َل فيه فَ َقا َ َعْب ُد بْ ُن َزْم َعةَ فَ َق‬
َ ‫َخ َذهُ َس ْع ٌد فَ َق‬
ََّ ِ‫ال ابْ ُن أَخي َع ِه َد إ‬
َ‫أ‬
ِ ‫اَّللِ ابن أ‬
‫َخي قَ ْد َكا َن َع ِه َد‬
ِ ِ‫فَِر ِاش ِه فَتَ َس َاوقَا إِ ََل الن‬
َ ‫ال َس ْع ٌد يَا َر ُس‬
َ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َِّب‬
ُ ْ َّ ‫ول‬
ِ
ِ ‫ال عب ُد بن زمعةَ أ‬
ِ ِ ََّ ِ‫إ‬
‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫يدةِ أَِب ُولِ َد َعلَى فَِر ِاش ِه فَ َق‬
َ ‫َخي َوابْ ُن َول‬
ُّ ِ‫ال الن‬
َ ‫َِّب‬
َ ْ َ ُ ْ َْ َ ‫َل فيه فَ َق‬
ِ َ َ‫اْلجر ُُثَّ ق‬
ِ
ِ ِ ِ ِ ‫ك يَا َعْب ُد بْ َن َزْم َعةَ الْولَ ُد لِْل ِفر‬
‫احتَ ِجِِب ِمْنهُ لِ َما‬
َ َ‫ُه َو ل‬
ْ َ‫ال ل َس ْوَد َة بِْنت َزْم َعة‬
ُ َ َْ ‫اش َول ْل َعاهر‬
َ َ
40
ِ
ِ
َّ ‫نها َح ََّّت لَِق َي‬
َ ‫َرأَى م ْن َشبَ ِهه بِ ُعْتبَةَ فَ َما َر‬
َ‫اَّلل‬
Hadis ini memiliki konteks sosial yang mirip dengan contoh
hadis pertama, namun hadis ini lebih spesifik terkait dengan wanita
yang menjadi budak lalu disetubuhi oleh bukan pemiliknya. Pendekatan
sosiologis dalam kasus hadis ini bisa dengan teori social class atau
menurut Max Weber pembagian berdasarkan ekonomi.41
(3) Ukuran Kebaikan Sosial Bergantung Penilaian Orang Lain
Ibn ‘Asa>kir (499-571 H) meriwayatkan:
‫أخربنا أبو نرر غالب بن أمحد بن املسلم أنبأنا أبو عبد هللا بن إبراهيم بن ُممد بن أمين‬
39
Soerjono menyebutkan tiga hal tersebut di antara faktor yang menghalangi
perubahan sosial, lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 284-286.
40
al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz IV, h. 191 (no. 6749); al-Suyu>t}iy, al-Luma‘.., h. 60.
41
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 205; Max Weber, Essays
From Max Weber, diterjemahkan oleh Abd Qodir Shaleh dengan judul Teori dasar
Analisis Budayawan (Yogyakarta: IRCISoD, 2013), h. 207-209.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 305
‫الدينوري أنبأنا أبو اْلسن علي بن موسى بن اْلسني بن السمسار إجازة أخربين أبو اخلري‬
‫أمحد بن علي بن عبد هللا بن سعيد اْلمري اْلافظ حدثِن أبو بكر ُممد بن جعفر بن سعيد‬
‫الرتمخي حدثنا اْلسن بن علي مبعان سنة ستني ومائتني حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن‬
‫اْلعمش عن شقيق بن سلمة عن عبد هللا بن مسعود قال أتى رجل النِب صلى هللا عليه وسلم‬
‫فقال يا رسول هللا مَّت أكون ُمسنا قال إذا أثىن عليك جريانك أنك ُمسن فأنت ُمسن قال‬
42
‫فمَّت أكون مسيئا قال إذا أثىن عليك جريانك أنك مسئ فأنت مسئ‬
Peristiwa di hadis ini merujuk pada kebaikan seseorang
bergantung dengan penilaian sosial masyarakat padanya. Dengan latar
belakang masyarakat Arab saat hadis ini muncul, mungkin dapat
menerapkan teori tentang masyarakat bersahaja atau masyarakat yang
terdiri dari gerombolan-gerombolan. Mereka menurut Durkheim
disebut klen sebagai bagian terkecil yang tak dapat dibagi lagi, dan
menjadi benih dari semua jenis sosial yang berkembang.43
Masyarakat Arab saat Islam muncul juga terdiri dari klen-klen
atau dikenal dengan qabi>lah. Hadis di atas menarik untuk didekati
secara sosiologis dengan melihat penggunaan kata ‫ جريانك‬apakah
tetangga yang dimaksud adalah dari klen yang berbeda ataukah dari klen
yang sama?, karena masyarakat saat itu menyemayatkan kata tersebut
untuk klen lain yang melindungi mereka walau berbeda qabi>lah.
c. Ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| ( ‫) علم إختَلف الحديث‬
Ilmu yang secara spesifik ini membahas hadis-hadis yang
nampak bertentangan, dengan menggunakan metode penyelesainnya
melalui al-jam‘u, al-tarji>h}, al-na>sikh wa al-mansu>kh dan jalan
terakhirnya al-tawaqquf yaitu menunda memberi keputusan terhadap
Abu> Qa>sim Ali bin H{asan; Ibn ‘Asa>kir, Ta>ri>kh Dimasyq (Beirut: Da>r al-Fikr,
cet I, 1998), juz 53, h. 93-94; Ibra>hi>m bin Muhammad al-Dimasyqiy, al-Baya>n wa alTa‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s| (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, cet I, 2003), h. 53-54.
43
Soerjono Soekanto, Emile Durkheim…, h. 80.
42
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
306 | Ja’far Assagaf
suatu hadis sampai mendapatkan solusinya.44 Terlepas dari urutanurutan cara penyelesaian hadis yang kontradiktif, menarik dicermati
metode al-jam‘u dan al-tarji>h}, sebab kedua metode ini menjadikan hadis
manapun ‘bisa’ hidup dan diamalkan, sehingga al-Laknawiy ulama
bermazhab Hanafi (w. 1304 H) berusaha meminimalisir keberadaan alna>sikh wa al-mansu>kh karena metode penyelesaian ini menjadikan ada
hadis yang bakal tak terpakai dan atau ‘mati’.45
Di antara cara penyelesaian metode al-tarji>h} menurut al-A<midiy
dan al-Ira>qiy (w. 806 H), kedua ulama sya>fi‘iyyah memunculkan
langkah dengan menggunakan bantuan eksternal seperti kebiasan
masyarakat dan sebagainya.46 Titik tolak pendekatan sosiologis
semakin meyakinkan pemerhati hadis masa kini untuk
menggunakannya melalui pola al-jam‘u dan dan terutama al-tarji>h
terhadap hadis-hadis yang nampak kontradiktif secara lahir maupun
maknanya. Berikut dapat disebutkan beberapa contoh hadis yang
menggunakan kedua metode tersebut.
(1) Larangan Ziarah Kubur dan Izin Menziarahinya
Imam Muslim meriwayatkan
‫ظ ِْلَِب بَ ْك ٍر َوابْ ِن‬
َّ ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِب َشْيبَةَ َوُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْب ِد‬
ُ ‫اَّللِ بْ ِن ُُنٍَْري َوُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمثَ َّىن َواللَّ ْف‬
ٍ ِ
ِ ‫ان وُهو ِضرار بْن مَّرَة َعن ُُمَا ِر‬
‫ب بْ ِن ِدثَا ٍر َع ْن ابْ ِن‬
َ ُ‫ُُنٍَْري قَالُوا َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ف‬
ْ ُ ُ ُ َ َ َ َ‫ضْي ٍل َع ْن أَِب سن‬
47
ِ َّ ‫اَّللِ صلَّى‬
ِ ِ ِ
…‫وها‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬
َ َ‫بَُريْ َد َة َع ْن أَبِ ِيه ق‬
َ ‫ور‬
َ َّ ‫ول‬
ُ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم نَ َهْيتُ ُك ْم َع ْن زيَ َارة الْ ُقبُور فَ ُز‬
Agaknya ahli hadis seperti al-Nawawiy (632-676 H) dan Ibn
44
Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid III, h. 471-475; Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar
al-Asqala>niy (773-852 H), Nuzhah al-Naz}ar Syarh} Nukhbah al-Fikar, diberi notasi oleh
Ish}a>q ‘Azu>r (Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990), h. 35-36.
45
Abu> al-H{asana>t; Muhammad ‘Abd al-H{ayyi al-Laknawiy, al-Ajwibah alFa>d}ilah li al-As'ilah al-‘Asyrah al-Ka>milah (Ha{lab: Maktabah al-Nahd}ah, 1984), h.
183, 193-196.
46
al-A<midiy, al-Ih}ka>m li al-A<midiy, jilid II, vol. IV, h. 359-379; Zainuddi>n
‘Abd al-Rah}i>m al-‘Ira>qiy, al-Taqyi>d wa al-I>d}a>h} (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), h. 289.
47
Muslim bin H{ajja>j bin Muslim al-Naisa>bu>riy al-Qusyairiy (206-261 H), S{ah}i>h
Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), jilid I, h. 429-430 (no. 977).
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 307
H{ajar (773-852 H) menggiring hadis ini pada konsep al-na>sikh wa almansu>kh dalam pengertian yang ketat yaitu yang dihapus (al-mansu>kh)
tidak diamalkan lagi, sementara yang menghapus (al-na>sikh) diamalkan.
Mereka cenderung melihat bahwa akhir dari ziarah kubur sesungguhnya
adalah mengingat kematian, karena itu ziarah kubur diizinkan padahal
di masa awal hal tersebut dilarang.48
Belum ada penjelasan tentang kenapa ziarah kubur pada awalnya
diharamkan lalu pada akhirnya diizinkan? Kajian ini bisa melalui
pendekatan konteks sosial dengan melihat misalnya kemungkinan
larangan tersebut disebabkan masa awal Islam adalah masa transisi
keimanan sementara kebiasaan orang-orang Arab saat berziarah
melakukan aneka aktifitas yang menurut kacamata Islam hal-hal itu
tidak baik, maka lahirlah larangan tersebut. Setelah melawati transisi
tersebut, kekhawatiran itu tidak ada disebabkan fenomena sosial telah
berubah sehingga ziarah kubur diizinkan.
Konsep al-na>sikh wa al-mansu>kh bila bertujuan jika bertujuan di
antaranya memudahkan umat sebagaimana klaim al-Zarkasyi (w. 794
H), maka ziarah kubur dibolehkan karena bagian dari sarana mengingat
kematian, namun bila ziarah kubur menjadikan orang-orang tertentu
harus bersusah payah mencari uang sehingga kebutuhan pokok mereka
terabaikan maka konteks kebolehan ziarah kubur layak untuk ditinjau
kembali atau bahkan dilarang. Begitu pula sebaliknya, jika fenomena
tersebut tidak ada, maka ziarah kubur dibolehkan karena hukum asalnya
demikian.49 Interpertasi ini dengan sendirinya menyempitkan ruang
gerak konsep al-na>sikh wa al-mansu>kh.
Untuk hadis di atas pendekatan sosiologis dapat dilakukan
dengan studi tentang perubahan-perubahan sosial dan perubahanperubahan kebudayaan. Menurut Kingsley Davis bahwa perubahan
Yah}ya> bin Syarafuddi>n al-Nawawiy, S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al-Nawawiy,
(Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), jilid, vol, h. ; Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar al-Asqala>niy (773852 H), Fath} al-Ba>riy bi Syarh} S{ah}i>h al-Bukha>riy (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), juz h.
49
Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis), h. 64-65.
48
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
308 | Ja’far Assagaf
sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, dan perubahan
kebudayaan mencakup semua bagian.50 Teori ini memungkinkan
peneliti hadis melihat apakah ziarah kubur merupakan kebudayaan
masyarakat Arab secara umum ataukah suku-suku dan kabilah tertentu
saja dan bagaimana kondisinya sebelum Islam.
(2) Perintah Memerangi non Muslim sampai Mereka Beriman
Imam al-Bukha>riy meriwayatkan:
‫ال َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن‬
ْ ‫ال َحدَّثَنَا أَبُو َرْو ٍح‬
َ َ‫اْلََرِم ُّي بْ ُن ُع َم َارَة ق‬
َ َ‫ي ق‬
َّ ‫َحدَّثَنَا َعْب ُد‬
ُّ ‫اَّللِ بْ ُن ُُمَ َّم ٍد الْ ُم ْسنَ ِد‬
َِّ ‫ول‬
ِ
ِ َ َ‫واقِ ِد ب ِن ُُم َّم ٍد ق‬
َّ ‫ث َع ِن ابْ ِن ُع َمَر أ‬
‫ال‬
َ َ‫اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َن َر ُس‬
ُ ‫ت أَِب ُُيَد‬
َ ْ َ
ُ ‫ال ََس ْع‬
َ ‫اَّلل‬
ِ
ِ
ِ
ِ
َّ ‫اَّللُ َوأ‬
َّ ‫ول‬
ُ ‫َن ُُمَ َّم ادا َر ُس‬
َّ ََِّ‫َّاس َح ََّّت يَ ْش َه ُدوا أَ ْن ََ إِلَهَ إ‬
َّ ‫يموا‬
َ‫الر ًَلة‬
ُ ‫أُمْر‬
ُ ‫اَّلل َويُق‬
َ ‫ت أَ ْن أُقَات َل الن‬
ِ
ِْ ‫ر ُموا ِم ِِن ِد َماءَ ُه ْم َوأ َْموا ََلُ ْم إََِّ ِِبَ ِق‬
َّ ‫َويُ ْؤتُوا‬
‫اْل ْس ًَلِ َو ِح َسابُ ُه ْم َعلَى‬
َ ‫الزَكا َة فَِإ َذا فَ َعلُوا َذل‬
َ ‫ك َع‬
َ
51ِ
‫اَّلل‬
َّ
Hadis ini termasuk hadis yang paling dipolemikkan dewasa kini
terkait kebebasan non Muslim memeluk agama tertentu. Islam yang
mengklaim dirinya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (QS:alAnbiya>'; 107) dipertanyakan, begitu pula beberapa ayat maupun hadis
yang justeru berisi toleransi kepada non Muslim. Kondisi ini belum lagi
ditambah dengan fakta-fakta sejarah berisi banyaknya peperangan di
masa Nabi Muhammad saw. Ulama seperti Ibn H{ajar telah
menginterpertasikan maksud hadis tersebut di antaranya adalah perang
untuk memperoleh pengakuan eksistensi Islam, demikian pula dengan
Muhammad al-Gaza>liy (w. 1996 M) menyatakan bahwa perang
bukanlah tujuan tapi sarana yang terpakai di saat-saat penting.52
Armstrong melihat dalam konteks sejarah sekaligus perubahan
sosial bahwa perang di masa itu untuk mempertahankan diri mereka
sendiri dan sebuah perubahan sosial saat itu tak mungkin terjadi kecuali
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 205
al-Bukha>riy, S{ah}i>h} al-Bukha>riy …, juz I, h. 13 (no. 25)
52
Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis), h. 167, 171.
50
51
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 309
melalui peperangan.53 Apa yang dinyatakan Armstrong dapat ditelusuri
fakta-fakta sejarah tentang terjadinya perang antara Muslim dengan non
Muslim, yang secara komperhensip dapat dinyatakan perang terjadi
lantaran penghianatan yang diawali oleh non Muslim kepada kaum
Muslim.54
Selain pendekatan sejarah melalui fakta-faktanya, dapat
digunakan pendekatan sosiologi misalnya tentang teori konflik, baik
yang ditawarkan oleh Karl Max yang melihat masyarakat manusia dari
sudut konflik sepanjang sejarah, atau teori konflik lainnya.55 Teori-teori
tersebut diharapkan mampu membaca konteks sejarah dan sosial
masyarakat Islam di masa Nabi saw dengan kondisi dua imperium besar;
Romawi dan Persia yang senantiasa berusaha merongrong pihak lain
termasuk Islam, selain hubungan kaum Muslim dengan kafir Quraisy
dan Yahudi Madinah.
Kajian living hadis dengan pendekatan sosiolgis juga dapat
melihat bagaimana hadis ini bisa hidup dan bahkan gencar disuarakan
oleh komunitas Islam tertentu, sehingga living hadis tidak hanya
melihat fenomena atau kebiasaan masyarakat yang ternyata memiliki
sumber hadis yang popular, tetapi juga melihat bagaimana hadis-hadis
tertentu yang sudah dianggap s{ah}i>h} bisa hidup dan menjamur dengan
pemahaman yang terkesan tekstual dan radikal.
(3) Nikah mut‘ah
Polemik mengenai nikah mut‘ah dalam hadis dapat
ditelusuri kedua hadis berikut: pertama, hadis tentang Nabi saw telah
melarang mut‘ah bersamaan dengan larangan memakan daging keledai
jinak seperti riwayat al-Bukha>riy:
53
Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis), h. 170.
54
Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi
Hadis), h. 168-169.
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h.
278-279; Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Islamic Sosiology; An Introduction,
diterjemahkan oleh Hamid Basyaib (Bandung: Mizan, 1988), h. 22.
55
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
310 | Ja’far Assagaf
ِ ِ ُ ِ‫حدَّثَنَا مال‬
‫اْلَ َس ُن بْ ُن ُُمَ َّم ِد بْ ِن‬
ْ ‫َخبَ َرِين‬
ُ ‫ي يَ ُق‬
ُّ ‫يل َحدَّثَنَا ابْ ُن ُعيَ ْي نَةَ أَنَّهُ ََِس َع‬
َّ ‫الزْه ِر‬
ْ ‫ول أ‬
َ َ
َ ‫ك بْ ُن إ َْسَاع‬
ِ
ٍ
ِ
ِ
ِ
ِ
ٍ َّ‫ال َبْ ِن َعب‬
َّ ‫اَّلل بْ ُن ُُمَ َّمد َع ْن أَبِي ِه َما أ‬
‫َِّب‬
َ َ‫اَّللُ َعْنهُ ق‬
َّ ‫َن َعليضا َرض َي‬
َّ ‫َخوهُ َعْب ُد‬
َّ ِ‫اس إِ َّن الن‬
ُ ‫َعل ٍي َوأ‬
56‫ر اْلَهلِي ِة زمن خيب ر‬
ِ ْ ِ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّم نَ َهى َع ْن الْ ُمْت َع ِة َو َع ْن ُْلُو‬
َّ ‫صلَّى‬
َ
َ َْ َ َ ََ َّ ْ ْ ‫اْلُ ُم‬
َ
Kedua, hadis tentang nikah mut‘ah dibolehkan alias halal seperti
riwayat al-Bukha>riy:
َِّ ‫حدَّثَنا ُُم َّمد بن عب ِد‬
ِ
ٍ ‫يع َوابْ ُن بِ ْش ٍر َع ْن إِ َْسَعِيل َع ْن قَ ْي‬
‫س‬
َْ ُ ْ ُ َ َ َ
ٌ ‫اَّلل بْ ِن ُُنٍَْري ا َْلَْم َد ِاينُّ َحدَّثَنَا أَِب َوَوك‬
َ
َِّ ‫ول‬
ِ َ َ‫ق‬
ِ ‫ول ُكنَّا نَ ْغزو مع رس‬
َّ ِ َّ ‫صلَّى‬
‫س لَنَا نِ َساءٌ فَ ُق ْلنَا‬
ُ ‫اَّللِ يَ ُق‬
َّ ‫ت َعْب َد‬
ُ ‫ال ََس ْع‬
َ ‫اَّلل‬
َُ ََ ُ
َ ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسل َم لَْي‬
ِ
ِ
ِ ‫أَََ نَستَخ‬
ِ ِ ِ
….57‫َج ٍل‬
َ ‫ري فَنَ َهانَا َع ْن ذَل‬
ْ ْ
َ ‫ص لَنَا أَ ْن نَْنك َ الْ َمْرأَةَ بالث َّْوب إ ََل أ‬
َ ‫ك ُُثَّ َر َّخ‬
Kedua hadis kotradiktif tersebut diselesaikan dengan cara al-na>sikh wa
al-mansu>kh bahwa pada akhirnya nikah tersebut dilarang sebagaimana
pendapat mayoritas ulama kecuali Syi’ah.58
Untuk menelusuri hadis tersebut layak dilakukan pendekatan
sosiologis misalnya dengan mengajukan dua hipotesa: pertama,
mengkomparatifkan sebab terjadinya nikah mut‘ah saat itu karena
sahabat Nabi saw pergi berperang sementara mereka jauh dari isteriisteri mereka sebagaimana nampak di hadis pertama. Jika analisa ini di
terima, maka di masa kini melalui pendekatan sosiologis terkait dengan
kebutuhan sex maka masih dimungkinkan nikah mut‘ah dibolehkan bagi
mereka yang sedang melakukan studi di suatu tempat sementara isteriisteri mereka tidak menyertai mereka.
Kedua, melihat konteks sosial masyarakat saat itu yang
memiliki lembaga-lembaga keamsyarakatan seperti lembaga
perkawinan sebelum datangnya Islam, yaitu seorang suami mengizinkan
isterinya disetubuhi lelaki lain, dan lelaki itulah yang akan memberi
turunan pada suami dan isteri tersebut,59 dan atau lelaki saat itu
al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz III, h. 260 (no. 5115 )
Muslim, S{ah}i>h…, jilid I, h. 640 (no. 1404).
58
Al-Nawawiy, Syarh} Muslim…, jilid V, vol. IX, h. 151-153; Ibn H{ajar, Fath}
al-Ba>riy …, juz X, h. 209-213.
59
Salah satu dari empat model pernikahan di zaman Jahiliyyah. Adapun yang
56
57
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 311
memiliki banyak isteri (poligami), sehingga nikah mut‘ah adalah solusi
sementara agar kaum pria tidak semena-mena melakukan hubungan
dengan wanita yang bersuami sekaligus membatasi angka yang
diizinkan untuk berpoligami. Konsekunsi dari pemahaman ini adalah
nikah mut‘ah tetap menjadi haram sampai kapanpun.
(4) Hukuman Mati Bagi Pelaku Murtad
Pelaku murtad dalam fiqh Islam akan dieksekusi
beradasarkan teks beberapa hadis Nabi saw. Secara faktual di masa Nabi
saw eksekusi yang terjadi pada Yahudi di Yaman yang murtad terjadi
tanpa sepengetahuan Nabi saw, sementara eksekusi mati pada beberapa
orang dari suku ‘Ukl dan ‘Urainah disebabkan kedua suku tersebut
melakukakn kejahatan publik dengan membunuh Yasa>r al-Naubi
pengembala yang diperintahkan oleh Nabi saw untuk menemani kedua
suku di atas.60
Dua eksekusi terhadap pelaku murtad tersebut bertolak
belakang dengan amnesty yang Rasulullah saw berikan pada ‘Abdullah
bin Abi Sarh} (w. 57 H) lantaran adanya permohonan ‘Us|ma>n bin ‘Affa>n
(w. 35 H). sebagaimana hadis berikut:
ِ ‫َمحَ ُد بْ ُن الْ ُم َفض‬
‫ال َز َع َم‬
َ َ‫ر ٍر ق‬
َ َ‫َّل ق‬
َ َ‫َحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِب َشْيبَةَ ق‬
ْ ‫ال َحدَّثَنَا أ‬
ْ َ‫َسبَا ُط بْ ُن ن‬
ْ ‫ال َحدَّثَنَا أ‬
َِّ ‫ول‬
ِ ‫ر َع‬
‫اَّلل‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ال لَ َّما َكا َن يَ ْوُ فَْت ِ َم َّكةَ أ ََّم َن َر ُس‬
َ َ‫ب بْ ِن َس ْع ٍد َع ْن َس ْع ٍد ق‬
ُّ ‫الس ِد‬
ُّ
ْ ‫ي َع ْن ُم‬
َ ‫اَّلل‬
ِ ْ ‫ني و ََسَّاهم وابن أَِب سرٍح فَ َذ َكر‬
ِ ‫َعلَْي ِه وسلَّم الن‬
ِ
‫ال َوأ ََّما ابْ ُن أَِب‬
َ َ‫يث ق‬
َ ‫اْلَد‬
ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ ْ َ‫َّاس إََّ أ َْربَ َعةَ نَ َف ٍر َو ْامَرأَت‬
َ
َ َ ََ
ِ
َّ ِ َّ ‫صلَّى‬
‫َّاس إِ ََل‬
َّ ‫ول‬
ُ ‫اختَبَأَ ِعْن َد ُعثْ َما َن بْ ِن َعفَّا َن فَلَ َّما َد َعا َر ُس‬
ْ ُ‫َسْرٍح فَِإنَّه‬
َ ‫اَّلل‬
َ ‫اَّلل َعلَْيه َو َسل َم الن‬
ِ‫اَّلل‬
َِّ ‫ول‬
ِ ‫الْب ي ع ِة جاء بِِه ح ََّّت أَوقَ َفه َعلَى رس‬
َّ ‫اَّللِ بَايِ ْع َعْب َد‬
َّ ‫ِب‬
َ ‫اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق‬
َّ ‫صلَّى‬
َّ َِ‫ال يَا ن‬
ُ ْ َ َ َ َ َْ
َ ‫اَّلل‬
َُ
tiga yaitu: (1) pernikahan seperti sekarang ini yang kita kenal; (2) beberapa lelaki
(sekitar 10 orang) menyetubuhi wanita, saat wanita itu hamil ia menunjuk ayah dari
bayi yang dikandungnya pada salah satu lelaki yang telah menyetubuhinya; (4) dengan
pelacur. ihat: al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz III, h. 262-263 (no. 5127).
60
Ja‘far assagaf, Kontekstualisasi Hukum Murtad dalam Perspektif Sejarah
Sosial Hadis dalam Jurnal Ijtihad; Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan
(Salatiga: STAIN Salatiga, Juni 2014), vol. 14, no 1, h. 23-25, 33-35.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
312 | Ja’far Assagaf
ِ
ٍ
‫ال أ ََما َكا َن‬
َ ‫َص َِابِِه فَ َق‬
َ ‫فَ َرفَ َع َرأْ َسهُ فَنَظََر إِلَْي ِه ثًََلثاا ُك ُّل ذَل‬
ْ ‫ك يَأْ ََب فَبَايَ َعهُ بَ ْع َد ثًََلث ُُثَّ أَقْ بَ َل َعلَى أ‬
ِ
‫ت يَ ِدي َع ْن بَْي َعتِ ِه فَيَ ْقتُلُهُ فَ َقالُوا َما نَ ْد ِري يَا‬
ُ ‫في ُك ْم َر ُج ٌل َرِشي ٌد يَ ُقوُ إِ ََل َه َذا َحْي‬
ُ ‫ث َر ِنين َك َف ْف‬
َِّ ‫ول‬
ِ ُ ‫ال إِنَّهُ ََ يَْنبَغِي لِنَِ ٍِب أَ ْن تَ ُكو َن لَهُ َخائِنَةُ ْاْل َْع‬
‫ني‬
َ َ‫ك ق‬
َ ‫َر ُس‬
َ ِ‫ت إِلَْي نَا بِ َعْين‬
َ ‫اَّلل َما ِِف نَ ْف ِس‬
َ ْ‫ك أَََ أ َْوَمأ‬
61 ِ
َِّ ‫ال أَبو داود َكا َن عبد‬
ِ ‫َخا ُعثْ َما َن ِم َن‬
‫اعة‬
ُ َْ
َ ‫الر‬
َ َ َ‫ق‬
َ‫ض‬
َ ‫اَّلل أ‬
Pendekatan sosiologis tentang klen dan kelompok
gerombolan dari Durkheim seperti telah disebutkan, akan menjadi
menarik disebabkan masyarakat Arab saat itu memang menjadikan
kepala suku atau yang dianggap senior dari suatu kabilah sebagai tempat
mereka mencari perlindungan, terlebih Ibn Abi> Sarh} di ini adalah
saudara sesusuan dari ‘Us|ma>n bin ‘Affa>n ra.
(5) Tentang Bersyair
Dua hadis yang kontradiktif tentang bersyair diriwayatkan
oleh imam al-Bukha>riy sebagai berikut
ِ
َّ ‫الر ْمحَ ِن أ‬
‫َن‬
َ َ‫الزْه ِر ِي ق‬
ُّ ‫ب َع ْن‬
َّ ‫َخبَ َرِين أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن َعْب ِد‬
ْ ‫ال أ‬
ْ ‫) َحدَّثَنَا أَبُو الْيَ َمان أ‬1(
ٌ ‫َخبَ َرنَا ُش َعْي‬
ِ
َّ ‫َخبَ َرهُ أ‬
َّ ‫َخبَ َرهُ أ‬
‫ُب بْ َن‬
ْ ‫َمْرَوا َن بْ َن‬
َّ ‫َن َعْب َد‬
ََّ ‫َن أ‬
َ ُ‫َس َوِد بْ ِن َعْبد يَغ‬
ْ ‫وث أ‬
ْ ‫اْلَ َك ِم أ‬
ْ ‫الر ْمحَ ِن بْ َن ْاْل‬
ٍ ‫َك ْع‬
ْ‫بأ‬
ُ‫َخبَ َره‬
62
َِّ ‫ول‬
ِ ‫ال إِ َّن ِمن‬
َّ ‫أ‬
َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َن َر ُس‬
‫الش ْع ِر ِح ْك َمةا‬
َ ‫اَّلل‬
ْ
َِّ ‫)حدَّثَنا عب يد‬2(
ٍِ ‫َخبَ رنَا َحْنظَلَةُ َع ْن َس‬
‫اَّللُ َعْن ُه َما‬
َّ ‫اِل َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي‬
ُ ْ َُ َ َ
َ ‫اَّلل بْ ُن ُم‬
َ ْ ‫وسى أ‬
‫َح ِد ُك ْم قَْي اِا َخْي ٌر لَهُ ِم ْن أَ ْن‬
ِ ِ‫َع ْن الن‬
َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ال َْلَ ْن ميَْتَلِ َئ َج ْو‬
َ ‫َِّب‬
َ‫فأ‬
63 ِ ِ
‫ميَْتَل َئ ش ْعارا‬
Ulama telah menjelaskan bahwa maksud dari kedua hadis di atas adalah
larangan bersyair yang berisi hal-hal yang diharamkan oleh Islam dan
atau orang yang senantiasa suka bersyair dan karena aktifitasnya
Abu> Da>ud Sulaiyma>n bin Asy‘as|| al-Sijista>niy (w. 275 H), Sunan Abi> Da>ud
(Beirut: Da>r al-Fikr, 2003), juz II, h. 410 (no. 2683, lihat juga no. 2684).
62
al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz IV, h. 84 (no. 6145)
63
al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz IV, h. 86 (no. 6154)
61
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 313
tersebut dia menjadi lalai dari mengingat Allah swt. Namun jika syair
yang lantunkan tidak berisi hal-hal yang dilarang dan tidak melalaikan
pelantunnya maka hal tersebut tidak dilarang.64 Dalam kaitan ini,
Muhammad al-Gaza>liy menyatakan mungkin karena banyaknya
keburukan yang selama ini terjadi di seputar nyanyian maka ulama
banyak yang mengharamkan nyanyian sementara dalil tentang
pengharamannya tidak kami temukan.65
Studi tentang kedua hadis ini selama ini selain mempertanyakan
makna syair yang dilarang maupun yang dibolehkan juga mengenai
transformasi hadis yang tidak lengkap dari perawi tertentu.66 Kedua
hadis di atas dapat dianalisa misalnya melalui pendekatan sosiologis
mengenai budaya seni yang berkembang di suatu masyarakat dengan
gerak kebudayaan akibat adanya penemuan-penemuan baru dalam hal
ini ide atau gagasan yang diciptakan seorang individu,67 baik gagasan
itu terkait dengan agama maupun lainnya.
D. Konklusi
Studi hadis dengan pendekatan sosiologis merupakan suatu
keniscayaan, langkah ini menjadi kombinasi yang menarik dengan ilmuilmu hadis yang sudah ada agar hadis dapat dipahami secara kontekstual
sesuai dengan kondisi sebenarnya saat sebuah hadis muncul. Kondisikondisi masyarakat masa itu ditelaah dengan berbagai pendekatan
sosiologis, baik politik, teori konflik, bahasa dan sebagainya untuk
memperoleh ajaran Islam yang bersesuaian dengan misi universalnya
yaitu rah}matan li al-‘a>lami>n dan hadis menjadi bagian yang hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Al-Nawawiy, Syarh} Muslim…, jilid VIII, vol. XIV, h.11-12; Ibn H{ajar, Fath}
al-Ba>riy …, juz XII, h. 174-175, 184-186.
65
Muh}ammad al-Gaza>liy, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-H{adi>s|, (Cairo: Da>r al-Syuru>q, 1992), h. 90.
66
Musfir ‘Azmullah al-Ddimyaniy, Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-H{adi>s| (Riya>d}: t.p,
64
1984), h. 105-106.
67
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h.
274.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
314 | Ja’far Assagaf
KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an
‘Abd Qa>dir, Muhammad al-‘Aru>siy. Af‘a>l al-Rasu>l saw. wa Dila>latuha>
‘ala> Ah}ka>m. Jeddah: Da>r al-Mujtama‘, cet. I, 1984.
Abu> Zahw, Muhammad Muhammad. al-H{adi>s| wa al-Muh}addisu>n.
Cairo: al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, t.th.
al-A<midiy, Abu> H{asan ‘Ali bin Muhammad. al-Ih}ka>m li al-A<midiy. Jilid
II. Vol IV. Beirut: Da>r al-Fikr, 2003.
al-Asqala>niy, Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar. Fath} al-Ba>riy bi Syarh} S{ah}i>h
al-Bukha>riy. Juz X, XII. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000.
____________. Nuzhah al-Naz}ar Syarh} Nukhbah al-Fikar. Diberi notasi
oleh Ish}a>q ‘Azu>r. Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990.
Assagaf, Ja’far. Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw
(Kontekstualisasi Hadis). Cet II. Sukoharjo: Fataba Press,
2015.
_____________, Jurnal Ijtihad; Jurnal Wacana Hukum Islam dan
Kemanusiaan. Vol 14. No 1. Salatiga: STAIN Salatiga, Juni
2014.
‘At}iyyah, Muh}yiddin et al. Dali>l Muallifa>t al-H{adi>s| al-Syari>f alMat}bu>‘ah al-Qadi>mah wa al-H{adi>s|ah. Jilid I. Beirut: Da>r Ibn
H{azm, cet I, 1995.
Biek, Muhammad Khud}ariy Us}ul> al-Fiqh. Mesir: Maktabah al-Tija>rah
al-Kubra>, 1962.
al-Bukha>riy, Muh}ammad bin Isma>‘i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>riy bi H{a>syiah alSindiy. Juz I-IV. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995.
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. Sosiolinguistik Suatu Perkenalan
Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
al-Ddimyaniy, Musfir ‘Azmullah. Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-H{adi>s|.
Riya>d}: t.p, 1984.
al-Dimasyqiy, Ibra>hi>m bin Muhammad. al-Baya>n wa al-Ta‘ri>f fi> Asba>b
Wuru>d al-H{adi>s|. Cet I. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 2003.
al-Gaza>liy, Muh}ammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 315
wa Ahl al-H{adi>s|. Cairo: Da>r al-Syuru>q, 1992.
Ibn ‘Asa>kir, Abu> Qa>sim Ali bin H{asan. Ta>ri>kh Dimasyq. Juz 53. Beirut:
Da>r al-Fikr, cet I, 1998.
Ibn al-As|i>r, Majd al-Ddi>n; Muba>rak bin Muh}ammad. Al-Niha>yah fi>
Gari>b al-H{adi>s| wa al-As|ar . Jilid II. Beirut: Da>r al-Fikr,
1979.
Ibn Khaldu>n, Abu> Zaid ‘Abd Rah}ma>n bin Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad al-H{ad}ramiy al-Isybi>liy. Muqaddimah; al‘Ubr wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar fi> Ayya>m al‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas|
al-‘Arabiy, cet IV, t.th.
al-‘Ira>qiy, Zainuddi>n ‘Abd al-Rah}i>m. al-Taqyi>d wa al-I>da} >h}. Beirut: Da>r
al-Fikr, 1991.
al-‘Itr, Nu>ruddi>n. Manhaj al-Naqad ‘inda al-Muh}addisi>n. Beirut: Da>r alFikr al-Mu‘a>s}irah; 1997.
al-Laknawiy, Abu> al-H{asana>t; Muhammad ‘Abd al-H{ayyi. al-Ajwibah
al-Fa>d}ilah li al-As'ilah al-‘Asyrah al-Ka>milah. Ha{lab:
Maktabah al-Nahd}ah, 1984.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2014.
al-Nawawiy, Yah}ya> bin Syarafuddi>n. S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} alNawawiy. Jilid V. Vol IX, VIII. Vol. Beirut: Da>r al-Fikr,
2000.
al-Qusyairiy, Muslim bin H{ajja>j bin Muslim al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h
Muslim. Jilid I. Beirut: Da>r al-Fikr, 1993.
Ratna SU, Nyoman Kutha. Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan
Ilmu Sosial, Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
al-Sakha>wiy, Abu> al-Khair; Muh}ammad bin ‘Abd Rah}ma>n. Fath} alMugi>s| bi Syarh} Alfiyah al-H{adi>s|. Jilid IV. Riya>d}: Maktabah
Da>r al-Minha>j, cet I, 1426 H.
al-Sijista>niy, Abu> Da>ud Sulaiyma>n bin Asy‘as||. Sunan Abi> Da>ud. Juz II.
Beirut: Da>r al-Fikr, 2003.
Soekanto, Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
316 | Ja’far Assagaf
Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993.
Emile Durkheim; Aturan-Aturan Metode
Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1985.
_______________. Kamus Sosiologi: Edisi Baru. Jakarta: Rajawali
_______________.
Press, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi; Suatu Pengantar
Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet 46.
2014.
Suryasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1999.
al-Sya>t{ibiy, Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m bin Mu>sa> al-Lakhmi>y al-Gharna>t}iy. alMuwafaqa>t fi> Us}ul> al-Syari>‘ah. Juz IV. Beirut: Da>r alMa‘rifah, t.th.
al-Syauka>niy, Muhammad bin ‘Ali. Irsya>d al-Fuh}u>l. Diedit oleh
Muhammad Sa‘i>d al-Badriy. Beirut: Da>r al-Fikr, cet. I,
1992.
al-Suyu>t}iy, ‘Abd Rah{man bin Abu> Bakar, al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud alH{adi>s. Beirut: Da>r al-Fikr, 1996.
Weber, Max. Essays From Max Weber. Diterjemahkan oleh Abd Qodir
Shaleh dengan judul Teori dasar Analisis Budayawan.
Yogyakarta: IRCISoD, 2013..
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS
DALAM STUDI LIVING HADITS
Masykur Wahid
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Email: [email protected]
Abstract:
This paper discusses about Ricoeur’s phenomenological hermeneutics.
It is a method based on the text interpretation. Author interested in the
phenomenon of religiosity in the study of living hadith. It raises the
question, what is Ricoeur's phenomenological hermeneutics and how it
can be applied? Ricoeur's phenomenological hermeneutics is a synthesis
of hermeneutics and phenomenology. In its application, utilizing the
text paradigm, the interpretation should be developed through three
stages: semantics, reflective and existential. It concludes that the
phenomenological hermeneutics can analyze the phenomenon of
religiosity that produces eschatology.
Abstrak:
Tulisan ini menjelaskan hermeneutika fenomenologi ala Ricoeur.
Hermeneutika fenomenologis sebagai metode yang didasarkan pada
interpretasi teks. Dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada fenomena
religiusitas di dalam studi living hadits. Memunculkan pertayaan, apa
itu hermeneutika fenomenologis Ricoeur? dan bagaimana hermeneutika
fenomenologis dapat diterapkan? Hermeneutika fenomenologis Ricoeur
merupakan sintesis dari hermeneutika dan fenomenologi. Dalam
penerapannya, dengan paradigm teks, interpretasi harus melalui tiga
tahap, semantik, reflektif dan eksistensial. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa hermeneutika fenomenologi dapat menganalisis
fenomena religiuistas yang memproduksi eskatologi.
317
318 | Masykur Wahid
Kata-kata kunci: Hermenenutika fenomenologis, Ricoeur, fenomena
religiusitas
A. Pendahuluan
Fenomena pembacaan shalawat diba’ di Nusantara merupakan
fenomena unik dan menarik. Keunikannya, pembacaan shalawat diba’ diyakini
sebagai tradisi masyarakat Islam yang sakral dan dipraktikkan secara turuntemurun sejak para Walisongo hingga era globalisasi ini. Menariknya,
pembacaan shalawat diba’ memiliki jaringan global dari kutub Timur hingga
kutub Barat di dunia dengan ragam tradisi yang berbeda-beda. Fenomena
seperti ini dapat dijadikan sumber penelitian dalam studi living hadits.
Living hadits menandaskan hadits senantiasa berkembang dinamis
sesuai dinamika perkembangan manusia pada setiap zaman. Dinamika hadits
sesuai dengan penggunaan model interpretasi terhadap hadits. Model
interpretasi tergantung pada bentuk hermeneutikanya yang dari zaman ke
zaman mengalami pergeseran. Ada lima bentuk hermeneutika: Hermeneutika
romantis, hermeneutika ontologis-eksistensial, hermeneutika fenoemenologis,
hermeneutika kritis, dan hermeneutika materialistis. Hadits telah mengalami
fiksasi makna, yang tertulis dalam teks. Tepat, jika studi living hadits
mengaitkan dengan hermeneutika fenomenologis, karena hermeneutika
fenomenologis yang ditemukan oleh Paul Ricoeur, seorang filsuf Perancis,
didasarkan pada interpretasi teks.
Tulisan ini menjelaskan apa itu hermeneutika fenomenologis ala Paul
Ricoeur? Bagaimana hermeneutika fenomenologis dapat diterapkan?
Berdasarkan dua pertanyaan itu, ada tiga bahasan yang dipaparkan di sini, yaitu
sekilas studi living hadits, hermeneutika fenomenologis, dan tahapan
hermeneutika fenomenologi.
B. Sekilas Studi Living Hadits
Term “living hadits” diambil dari term “living al-Qur’an.” Living hadits
diartikan sebagai “fenomena yang tampak di dalam masyarakat berupa polapola perilaku yang bersumber dari dan/atau sebagai respons pemaknaan
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 319
terhadap hadist.” Dikatakan studi living hadits disebabkan adanya pergeseran
wilayah kajian, dari kajian tekstual menuju kajian sosial budaya.1 Studi ini
membuka cakrawala pengritik hadits untuk terlibat langsung di dalam
menafsirkan hadits, karena pengritik hadits juga bagian dari konstruksi sosial
budaya masyarakat. Dengan pendekatan partisipatif, pengritik hadits mampu
menemukan kondisi sosial budaya masyarakat secara kontekstual. Hadits
kontekstual menjelaskan apa dan kenapa hadits dipraktikkan. Hadits atau
sunnah, menurut pandangan ulama muta’akhirin, diartikan sama, yaitu “segala
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW”.2
Studi living hadits sudah banyak diterapkan di lingkungan PTKI.
Fenomena tradisi shalawatan diba’ sudah diteliti di Majlis Shalawat Diba’ bil
Musthafa, Krapyak, Yogyakarta. Dalam hasil penelitiannya, tradisi pembacaan
shalawat diba’ bukan hal yang baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin (NU).
Pembacaan shalawat banyak dilakukan dalam acara maulud Nabi Muhammad
SAW. Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi ini dilakukan dalam acara
tasyakuran, dan lain sebagainya. Di daerah Krapyak, terdapat majelis shalawat
diba’ bil Musthafa yang rutin melakukan tradisi shalawatan ini pada setiap
minggunya. Menurut Aini, pada dasarnya pembacaan shalawat tersebut sebagai
ritual bershalawat yang merupakan ekspresi umat terhadap hadist-hadist
Rasulullah.3 Hadist dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur
sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian
akan sampai padaku di mana saja kalian berada” (H.R. Abu Daud No.
2042 dan Ahmad 2: 367).
Selain itu, landasan yang dijadikan shalawatan yang diadakan setiap minggu,
hadist dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Hadis.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, h.193
2
Salih, Subhi. 1988. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm lilMalayin, h.3-5
3
Aini, Adrika Fithrotul. 2014. “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis
Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa” dalam Ar-Raniry: International Journal of
Islamic Studies. Vol. 2, No.1, Juni, h.222
1
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
320 | Masykur Wahid
yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah mengucapkan
sholawat kepadanya 10 kali” (H.R. Muslim no. 408).
C. Hermeneutika Fenomenologis
Term “hermeneutika” (hermeneutics), dalam Concise
Routledge: Encyclopedia of Philosophy,4 berasal dari bahasa Yunani
herméneuein yang merupakan derivasi dari kata kerja hermeneuô yang
berarti “mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, dan
menerjemahkan.” Kata sifatnya, hermeneuticos dan kata bendanya
herméneia, berarti “penafsiran” dan “interpretasi”.5 Term hermeneutika
(hermeneutics) dibedakan dari term hermeneutik (hermeneutic). Penulis
lebih memilih istilah hermeneutics daripada hermeneutic, karena istilah
hermeneutics menunjukkan wilayah kerja hermeneutika.6
Term hermeneutics juga menunjukkan pada bidang
hermeneutika secara umum. Sedangkan, term hermeneutic
menunjukkan teori tertentu, misalnya hermeneutik Bultmann. Selain
itu, term hermeneutics itu dapat dibedakan dari kata sifat hermeneutic
atau hermeneutical, karena kata sifat itu tetap tampak sebagai kata sifat
kecuali disertai dengan “the” atau beberapa modifikasi. Sedangkan,
term hermeneutic memberi kesan pada aturan dan teori. Argumentasi
itu tidak mempersoalkan alasan filosofis.
Alasan filosofis memperhatikan pada penggunaan huruf “s” pada
kata akhir hermeneutics, karena term hermeneutics disamakan dengan
istilah arithmetics atau pun rhetorics yang tetap menunjukkan bidang
umum. Sementara itu, term hermeneutic merupakan bentuk singular
perempuan dalam bahasa modern yang lain (Jerman, hermeneutik –
Prancis, herméneutique) yang berasal dari bahasa Latin hermeneutica.
Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy. 2000. London & New York:
Routledge, h.348
5
Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jilid I. Jakarta:
Gramedia, h.224. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1993, h.23
6
Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern
University Press, h. xiv
4
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 321
Richard E. Robinson menegaskan bahwa menghilangkan huruf “s”
dapat mendorong arah baru bagi teori hermeneutis, yang dapat disebut
Hermeneutik Baru.7 Dengan mengikuti pemikiran tersebut, term
hermeneutics dalam paper ini menunjukkan bidang umum yang dapat
disamakan dengan term physics, politics, economics, maupun ethics.
Dalam perspektif mitologi Yunani, term herméneuein berasal
dari nama dewa “Hermes,” tokoh mitos Yunani, yang bertugas menjadi
perantara antara dewa Zeus (dewa keteraturan) dan manusia. Pada
waktu itu, Hermes dihadapkan pada persoalan yang sulit, ketika harus
menyampaikan pesan Zeus kepada manusia. Hermes menjelaskan
bagaimana bahasa Zeus yang menggunakan “bahasa langit” supaya
dapat dimengerti oleh manusia yang menggunakan “bahasa bumi.”
Dengan cerdik dan bijaksana, Hermes menafsirkan atau
menginterpretasikan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia, sehingga
menjelma menjadi sebuah teks suci. Kata “teks” berasal dari bahasa
Latin, yang berarti “produk tenunan” atau “pintalan.” Dalam konteks
ini, yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dan kata-kata supaya
diproduksi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami oleh
manusia.8
Pada pemikiran yang lain, Hermes itu diinterpretasikan sebagai
seorang duta yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter
kepada manusia. Hermens diilustrasikan sebagai seorang yang
mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, Hermes lebih dikenal
dengan sebutan Mercurius. Tugas Hermes ini menginterpretasikan
pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh umat manusia. Tugas Hermes sangat penting, karena
apabila terjadi kesalahpahaman terhadap pesan-pesan dewa tersebut
dapat mengakibatkan bahaya bagi seluruh umat manusia. Dalam
Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern
7
University Press, h. xiv
8
Crapanzano, Vincent. 1992. Hermes’ Dilemma and Hamlet’s Desire: On the
Epistemology of Interpretation. Cambridge: Harvard University Press, h.16. Bauman,
Zygmun. 1978. Hermeneutics and Social Science. New York: Columbia, University
Press, h. 76.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
322 | Masykur Wahid
konteks itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan sebuah pesan ke
dalam bahasa yang dipergunakan oleh manusia. Sejak saat itu Hermes
menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi
tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara
bagaimana pesan itu diinterpretasikan.9
Kedua pemikiran tersebut sama-sama memperhatikan
interpretasi terhadap pesan dewa sebagai teks suci. Pada substansinya,
Hermes yang menyampaikan pesan dewa kepada manusia itu, dapat
dikatakan bahwa:
“Ia tidak hanya mengatakan kepada mereka, kata demi kata saja,
tetapi juga bertindak sebagai interpreter yang membuat katakata dewa dapat dimengerti dengan jelas (dan bermakna) yang
dapat memunculkan beberapa klarifikasi atau lainnya,
tambahan, komentar”.10
Dalam konteks Hermes itu, hermeneutika secara konsekuen
terikat dengan dua tugas. Pertama, memastikan isi makna kata, kalimat,
atau teks. Kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung di
dalam bentuk simbolis. Hermeneutika secara sporadis muncul dan
berkembang ketika interpretasi diperlukan untuk menerjemahkan
literatur otoritatif dalam kondisi-kondisi yang tidak mungkin diakses,
karena persoalan jarak ruang dan waktu atau perbedaan bahasa. Dengan
mengikuti maksud itu, makna asli teks dapat saja diperdebatkan atau
tetap tersembunyi, sehingga diperlukan penjelasan interpretatif supaya
transparan. Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar,
hermeneutika pada awalnya dipergunakan dalam tiga jenis kapasitas.
Pertama, untuk membantu pembahasan mengenai bahasa teks, yang
memunculkan filologi. Kedua, untuk memfasilitasi penafsiran literatur
Kitab Suci. Ketiga, untuk menuntun yurisdiksi.11
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1993, h.23-24
10
Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, h. 11
11
Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, h. 11.
9
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 323
Secara
sederhana
hermeneutika,
sebagaimana
yang
didefinisikan oleh Bruns, adalah “sebuah tradisi pemikiran atau refleksi
filosofis yang mencoba mengklarifikasi konsep verstehen, yaitu
pemahaman”.12 Berdasarkan pada isi interpretasi dan pemahaman,
disiplin ilmu yang pertama dan yang banyak menggunakan
hermeneutika adalah ilmu tafsir Kitab Suci. Semua Kitab Suci yang
mendapatkan inspirasi ilahi, seperti al-Qur’an, Injil: Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, Taurat, Talmud, Veda, dan Upanishad, supaya
dapat dipahami, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi yang
digunakan sangat tergantung pada bagaimana hermeneutika
dioperasionalkan.
Secara historis hermeneutika dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu hermeneutika kuno dan hermeneutika modern. Dalam
hermeneutika kuno, para filsuf memperhatikan masalah interpretasi dan
pemahaman terhadap “apa yang diucapkan”. Hermeneutika kuno ini
dapat ditelusuri sejarahnya pada pemikiran filosofis Plato, Aristoteles,
dan Philo. Dalam hermeneutika modern, para filsuf dan pemikir lainnya
lebih jauh memperhatikan masalah interpretasi dan pemahaman
terhadap “teks dari apa yang diucapkan”. Hermeneutika modern ini
dapat ditelusuri sejarahnya pada pemikiran filosofis Ast, Wolf,
Schleiermacher, Dilthey, Betti, Heidegger, Bultmann, dan Gadamer.
Hermeneutika fenomenologis (phenomenological hermeneutics)
atau fenomenologi hermeneutik (hermeneutical phenomenogy)
merupakan dua term yang sama. Term itu ditujukan kepada
hermeneutika dan fenomenologi dari Paul Ricoeur.13 Hermeneutika
fenomenologis merupakan sintesis dari hermeneutika dan
fenomenologi. Sambil mengkritik idealisme Edmund Husserl, Ricoeur
menunjukkan bahwa hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari
fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak
Bruns, Gerald L. 1992. Hermeneutics: Ancient and Modern (New Haven and
London: Yale University Press, h. 1
13
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen
Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.2005
12
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
324 | Masykur Wahid
tergantikan bagi hermeneutika. Sebaliknya, fenomenologi tidak dapat
menjalankan cara kerjanya untuk memahami berbagai fenomena secara
utuh dan menyeluruh, tanpa penafsiran terhadap pengalamanpengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu, dibutuhkan
hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan “kajian tentang
bagaimana manusia sebagai subyek ‘memaknai’ obyek-obyek di
sekitarnya.” Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan
yang dilakukan manusia, hermeneutika terlibat di sana. Oleh sebab itu,
pada dasarnya, fenomenologi dan hermeneutika saling melengkapi.
Dengan pemikiran itu, Ricoeur mengembangkan hermeneutika
fenomenologis.
Hermeneutika fenomenologis didasarkan pada interpretasi teks.
Hermeneutika didefinisikan oleh Ricoeur adalah “teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks”.14 Di
samping itu, Ricoeur mengartikan hermeneutika adalah “interpretasi
terhadap simbol-simbol”.15 Ricoeur memperluas definisi tersebut
dengan lebih memperhatikan kepada “teks.” Teks (text) adalah “suatu
diskursus yang difiksasi dengan tulisan”. Fiksasi dengan tulisan
merupakan ketentuan teks itu sendiri.16 Teks sebagai penghubung
antara tanda dan simbol yang dapat membatasi ruang lingkup
hermeneutika di mana budaya lisan dapat dipersempit. Dalam konteks
tersebut, hermeneutika hanya berhubungan dengan kata-kata yang
tertulis sebagai pengganti kata-kata yang diucapkan. Definisi yang
tidak terlalu luas itu justru memiliki intensitas.17
Interpretasi teks yang dimaksud adalah “sebuah pembacaan
makna yang tersembunyi di dalam teks yang mengandung makna yang
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen
Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h. 53
15
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen
Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h. 17
16
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen
Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.106
17
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen
Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.193
14
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 325
tampak.18 Pengoperasian pemahaman (ketika menginterpretasikan teks)
dilakukan di dalam “lingkaran hermeneutika”. Lingkaran hermeneutika
dipahami sebagai penempatan kembali penjelasan dan interpretasi
dengan konsep global yang menyatukan “penjelasan dan pemahaman”
dalam pembacaan teks untuk dapat menemukan makna dan sense-nya.
Lingkaran hermeneutika Ricoeur ini merupakan kombinasi
hermeneutika romantis dan hermeneutika ontologis-eksistensial.
Lingkaran hermeneutika romantis dipahami sebagai alat metodologis
dalam interpretasi yang mempertimbangkan semua aspek yang
berhubungan dengannya. Lingkaran hermeneutika ontologiseksistensial dipahami sebagai kondisi pemahaman ontologis; secara
umum hasil dari komunitas yang mengikat kita dengan tradisi, dan
secara khusus objek penjelasan kita; menghubungan antara
keberakhiran dan universalitas, dan antara teori dan praktik.19
Hermeneutika fenomenologis Ricoeur didasarkan pada
interpretasi teks. Interpretasi teks Ricoeur telah memberikan sebuah
metode hermeneutika baru untuk menginterpretasikan teks. Dengan
melakukan interpretasi terhadap teks berarti telah melakukan
pemahaman teks melalui struktur semantik. Inti interpretasi teks dalam
hermeneutika fenomenologis ada dalam paradigma teksnya, yang dapat
disimpulkan sebagai berikut: (a) Fiksasi makna (tekstualisasi
pengalaman), (b) makna teks terlepas dari maksud pengarang, (c) teks
melakukan dekontekstualisasi diri dari lingkup sosial dan sejarahnya,
dan (d) teks terbebas dari batas-batas referensi ostensif.
Empat paradigma teks tersebut menjadikan “teks sebagai
tindakan penuh makna dan otonom”, sehingga tindakan manusia
(pengalaman) tampak sebagai karya terbuka. Paradigma teks tersebut
dapat dijelaskan dalam lingkaran hermeneutika dengan bagan berikut
ini:
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen
Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.22
19
Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, h.267
18
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
326 | Masykur Wahid
[a]
Fiksasi makna
(tekstualisasi pengalaman)
[d]
Teks terbebas dari
referensi ostensif
TEKS
[b]
Makna teks terlepas dari
intensi pengarang
Dekontekstualisasi
teks dari lingkup
sosial dan sejarah
[c]
Bagan. Lingkaran Hermeneutika Fenomenologis
Interpretasi teks dalam hermeneutika Ricoeur sebagai karakteristiknya
ketika dia menginterpretasikan eksistensi dalam hermeneutika
fenomenologisnya. Interpretasi sendiri adalah masalah khusus mengenai
pemahaman. Interpretasi teks sebagai pemahaman yang diterapkan pada
ekspresi-ekspresi kehidupan yang tertulis.
Dengan demikian, Ricoeur mengatakan bahwa tugas
hermeneutika adalah menjaga perluasan maksud hermeneutika yang
berkembang, seperti hermeneutika tertentu yang digabungkan ke dalam
hermeneutika umum. Gerakan de-regionalisasi ini tidak dapat
ditekankan sampai akhir, kecuali kalau pada saat yang sama perhatian
hermeneutika epistemologis secara benar (untuk mencapai status
ilmiah)
ditangguhkan pada pra-anggapan ontologis di mana
pemahaman berhenti menampakan sebagai model pengetahuan yang
sederhana, karena menjadi cara mengada dan cara menjadi beings dan
to being. Gerakan de-regionalisasi digabungkan dengan gerakan
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 327
radikalisasi membuat hermeneutika tidak hanya menjadi umum tetapi
fundamental.20
Tugas hermeneutika tersebut merupakan sebuah garis
penghubung dari epistemologi interpretasi yang dijelaskan oleh
Schleiermacher dan Dilthey menuju ontologi pemahaman yang
dijelaskan oleh Heidegger dan Gadamer. Garis penghubung yang
dimaksud adalah:
“Untuk menunjukkan bahwa eksistensi dapat sampai pada
ekspresi, makna dan refleksi, hanya melalui penafsiran terusmenerus dari seluruh penandaan yang dijelaskan di dalam dunia
budaya”.21
Hermeneutika
fenomenologis
memosisikan
persoalan
hermeneutika menjadi persoalan filsafat analitika mengenai being,
seperti Dasein yang eksis melalui pemahaman.22 Ada dua cara untuk
memahami Dasein. Cara pertama (1) menjelaskan bahwa filsafat
analitik atas Dasein bukan alternatif yang memaksa kita harus memilih
antara epistemologi interpretasi yang diungkapkan hermeneutika
romantis dan ontologi pemahaman yang diungkapkan hermeneutika
ontologis-eksistensial. Oleh karena itu, diperlukan cara kedua (2), yaitu
refleksi menuju tahap ontologi, yang dapat dicapai setelah melalui
tahapan-tahapan tertentu dengan mengikuti secara berturut-turut
investigasi ke dalam semantik dan refleksi. Cara kedua memunculkan
berikut ini:
“Apakah yang terjadi pada epistemologi interpretasi
memunculkan refleksi tentang penafsiran, metode sejarah,
psikologi, fenomenologi religius, dan sebagainya ketika
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press,54
21
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.22
22
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.6
20
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
328 | Masykur Wahid
disentuh, digerakkan, seperti kita harus mengatakan, dan
diinspirasi oleh ontologi pemahaman?”.23
Syarat-syarat bagi ontologi pemahaman yang dimaksudkan
adalah untuk memahami sepenuhnya makna revolusi pemikiran yang
ditawarkan ontologi. Dalam satu lompatan dari Logical Investigations
Husserl menuju Being and Time Heidegger, diperlukan pada diri sendiri
mengenai apa yang di dalam fenomenologi Husserl tampak signifikan
dan kaitannya dengan revolusi pemikiran tersebut. Selanjutnya, apa
harus disadari dalam keradikalannya yang penuh adalah pembalikan dari
pertanyan itu sendiri, sebuah pembalikan yang, dalam epistemologi
interpretasi, menyiapkan sebuah ontologi pemahaman.
Hal itu merupakan pertanyaan yang menghindari setiap cara
untuk merumuskan persoalan erkenntnistheoretisch, yang akhirnya
membentuk ide bahwa “hermeneutika adalah metode” yang menjadi
sempurna di atas sebuah dasar yang setara dengan metode ilmu-ilmu
alam. Persetujuan terhadap sebuah metode pemahaman yang rigid
seperti itu, berarti bahwa orang masih terjebak di dalam pradugapraduga mengenai teori pengetahuan Kantian. Menurut Ricoeur, “orang
harus bergerak secara bebas ke luar dari lingkaran yang mempesona
mengenai persoalan subyek dan obyek, dan menanyakan being pada diri
sendiri”.
Untuk menanyakan pada diri sendiri tentang being secara umum,
pertama-tama perlu menanyakan lebih dahulu being dari semua being
yang ada “di sana,” tentang Dasein, yaitu tentang being yang eksis di
dalam model pemahaman mengenai being, model being yang eksis
melalui pemahaman. Gerak pembalikan terhadap hubungan antara
pemahaman dan being ini memenuhi harapan mendalam filsafat
Dilthey, karena baginya life was the prime concept. Di dalam seluruh
tulisan Dilthey, pemahaman historis tidak sungguh-sungguh menjadi
lawan teori alam, relasi antara hidup dan ekspresinya lebih menjadi akar
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.7
23
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 329
umum bagi relasi ganda manusia dengan alam dan sejarah. Jika kita
mengikuti pemikiran seperti ini, maka persoalannya, bagi Ricoeur
adalah:
“Bukan memperkuat pengetahuan historis dalam menghadapi
pengetahuan psikis, akan tetapi menggali berdasarkan
pengetahuan ilmiah dengan semua generalitasnya. Oleh karena
itu, mencari hubungan antara being historis dengan seluruh ada
yang lebih primordial daripada dengan hubungan subyek-obyek
dalam teori pengetahuan”. 24
D. Tahapan Hermeneutika Fenomenologis
Ada tiga tahapan interpretasi teks yang harus dilakukan di dalam
hermeneutika fenomenologi, yaitu semantik, reflektif, dan eksistensial.
Pertama (1), tahap semantik. Dalam tahap pertama, dijelaskan
bahwa dalam bahasa semua pemahaman ontologis berakhir pada
ekspresinya. Semantik sebagai sumber referensi yang diperlukan bagi
seluruh hermeneutika. Pemikiran itu tampak pada penafsiran yang telah
diperkenalkan sebelumnya, bahwa:
“Teks memiliki beberapa makna yang seringkali tumpangtindih, seperti makna spiritual yang ‘ditransfer’ menjadi makna
historis dan literal, karena kelebihan makna.25
Ekspresi-ekspresi multi-vokal ini terjadi secara “simbolis.” Pada
satu sisi, ia memberi makna yang lebih sempit kepada kata symbol
dibandingkan dengan para pengarang yang menyebut simbolis bagi
setiap pemahaman kenyataan melalui tanda-tanda, persepsi, mitos, seni,
dan ilmu pengetahuan, seperti Ernst Cassirer. Pada sisi lain, ia memberi
makna yang lebih luas daripada para pengarang yang mereduksi simbol
menjadi analogi, dengan berpijak pada retorika Latin atau tradisi neoRicoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h. 8
25
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.11
24
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
330 | Masykur Wahid
Platonik. Oleh sebab itu, Ricoeur mempertahankan makna awal
penafsiran sebagai interpretasi atas makna-makna yang tersembunyi.
Simbol dan interpretasi menjadi konsep-konsep yang saling berkaitan.
Interpretasi muncul ketika makna multi-vokal ada. Dalam interpretasi
ini, pluralitas makna dimanifestasikan.
Kedua (2), pada tahap reflektif. Pada tahap reflektif,
mengintegrasikan pemahaman semantik dengan pemahaman ontologis.
Untuk itu, jembatan menuju eksistensi adalah “refleksi” sebagai
penghubung antara pemahaman tanda-tanda dan pemahaman-diri.
Dengan penghubung ini, diri sendiri dapat memiliki kesempatan untuk
menemukan eksistensi.
Untuk menghubungkan bahasa simbolis dengan pemahaman-diri
itu, dijelaskan di dalam hermeneutika dengan pemikiran bahwa:
“Tujuan semua interpretasi untuk menaklukkan keterpisahan,
yaitu jarak antara epoché budaya masa lalu (di mana teks
melekat) dan interpreter. Dengan menaklukkan jarak ini, dengan
membuat dirinya sendiri sesuai dengan teks, interpreter dapat
menyesuaikan maknanya pada dirinya sendiri: meski asing,
interpreter membuat teks dikenal, yaitu miliknya sendiri”.26
Dengan pemikiran itu, setiap hermeneutika secara eksplisit atau implisit
merupakan tindakan memahami diri sendiri dengan cara memahami
orang lain.
Pada tahap kedua tersebut, hermeneutika dapat dimasukkan ke
dalam fenomenologi, bukan hanya pada tataran teori makna yang
diekspresikan di dalam Logical Investigations, melainkan juga pada
tataran problematika cogito yang terhampar dari Ideen I sampai
Cartesian Meditions. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa dengan
menggabungkan makna-makna yang multi-vokal dengan pengetahuan
diri yang mendalam berarti kita ikut mengubah problematika cogito.
Artinya, apakah dalam pemahaman-diri menunjukkan pada interpretasi
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.16
26
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 331
psikoanalitis atau penafsiran tekstual. Sesungguhnya kita pernah tidak
mengetahui sebelumnya, selain hanya setelah menganalisisnya, dan
sayangnya keinginan untuk mengerti diri sendiri hanya dituntun oleh
sebuah konsep.
Mengapa diri sendiri yang menuntun interpretasi dapat
menyadari bahwa dirinya adalah hasil dari interpretasi? Ricoeur
memberikan dua alasan. (a) pertama, Cogito Cartesian yang dipahami
dalam diri sendiri secara langsung dalam pengalaman keraguan bahwa
kebenaran sama sia-sianya dengan ketidakpastian. Cogito berkembang
menjadi being dan tindakan, eksistensi dan operasi pemikiran: I am, I
think; to exist is to think; I exist insofar as I think. Kebenaran ini hanya
sia-sia saja, karena langkah awalnya tidak akan mampu diikuti oleh
berikutnya selama ego dari ergo cogito tidak ditangkap di dalam cermin
obyek, karya, dan akhirnya tindakannnya. Untuk menjelaskan ini,
Ricoeur mengatakan:
“Refleksi merupakan intuisi buta jika tidak dijembatani oleh apa
yang Dilthey sebut ekspresi-ekspresi di mana kehidupan
mengobyektivasikan dirinya sendiri. Atau, menggunakan bahasa
Jean-Nabert, refleksi merupakan tidak lain dari apropriasi
tindakan mengada kita melalui kritik yang diterapkan pada
karya, sehingga tindakan merupakan tanda mengada.27
Selanjutnya, refleksi adalah sebuah kritik, bukan dalam
pengertian Kantian mengenai justifikasi ilmu dan tanggung jawabnya,
melainkan dalam pengertian bahwa cogito dapat ditemukan hanya
dengan mengambil jalan memutar terhadap penguraian dokumendokumen kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa refleksi adalah
“apropriasi usaha kita untuk mengada dan hasrat kita untuk menjadi
berarti melalui karya yang menyaksikan usaha dan hasrat”.
Ricoeur menambahkan bahwa cogito seperti ruang hampa yang
dari waktu ke waktu ditempati oleh cogito yang keliru (false cogito).
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.17
27
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
332 | Masykur Wahid
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dalam semua disiplin penafsiran
dan khususnya psikonalisis kesadaran yang pertama merupakan
“kesadaran yang keliru.” Dari situ, diperlukan pengabungan kritik atas
kesadaran yang keliru dengan berbagai macam penemuan atas subyek
cogito di dalam dokumen-dokumen kehidupannya. Maka, jelas bahwa
filsafat refleksi berbeda dengan filsafat kesadaran.
(b) Kedua, bukan hanya “I” yang mampu menangkap kembali
dirinya
di
dalam
ekspresi-ekspresi
kehidupan
yang
mengobyektivikasikannya, melainkan juga penafsiran tekstual terhadap
kesadaran yang bertentangan (misinterpretation) dari kesadaran yang
keliru. Schleiermarcher mengatakan bahwa “hermeneutics is found
wherever there was first misinterpretation.” Dengan begitu, secara tidak
langsung refleksi harus memunculkan sebuah kritik yang korelatif
terhadap kesalahpahaman menuju pemahaman.
Dengan penjelasan tahap refleksi ini, Ricoeur mengatakan
bahwa tahap semantik diletakkan sebagai fakta bagi eksistensi terhadap
bahasa yang tidak dapat direduksikan menjadi makna-makna yang
univokal. Ia memberikan contoh bahwa:
“Ternyata, pengakuan terhadap kesadaran kebersalahan
melampaui simbolisme noda, dosa, dan rasa bersalah. Keinginan
yang diresapi diekspresikan di dalam simbolisme yang
menunjukkan stabilitas tertentu melalui mimpi, pepatah kuno,
legenda dan mitos. Yang suci diekspresikan di dalam simbolisme
unsur-unsur: langit, bumi, air dan api”.28
Kegunaan filosofis pada bahasa itu masih terbuka bagi serangan
para ahli logika bahwa bahasa yang samar-samar menyediakan argumen
yang keliru. Oleh karena itu, justifikasi terhadap hermeneutika dapat
radikal jika hanya pada hakikat pemikiran reflektif yang terdalam orang
dapat menemukan prinsip logika yang bermakna ganda. Logika tersebut
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.18
28
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 333
bukan logika formal (verifikasi empiris), melainkan logika
transendental (probabilitas).
Ketiga (3), tahap eksistensial. Di dalam tahap eksistensial ini,
Ricoeur menunjukkan hubungan hermeneutika dengan problematika
eksistensi. Ontologi yang terpisah dari pemahaman hanya ada di dalam
interpretasi saja ketika memahami being yang diinterpretasikan.
Ontologi pemahaman diungkapkan dalam metodologi interpretasi
mengikuti hermeneutic circle yang dikatakan Heidegger. Selain itu,
hanya di dalam sebuah konflik hermeneutika yang berbeda-beda saja
dapat memahami being yang diinterpretasikan. Oleh karenanya, setiap
hermeneutika menemukan aspek eksistensi yang dijadikan sebagai
metode.
Dengan pemikiran itu, apa yang sesungguhnya dapat diharapkan
dengan ontologi fundamental ini? Menurut Ricoeur, ada dua yang dapat
diharapkan, yaitu: (a) pertama, dapat membubarkan persoalan klasik
mengenai subyek sebagai kesadaran. (b) Kedua, dapat memulihkan
persoalan eksistensi sebagai hasrat.
Melalui kritik kesadaran ini, psikoanalisis menunjukkan aspek
ontologisnya. Interpretasi terhadap mimpi, fantasi, mitos, dan simbol
selalu berbeda dengan beberapa pretensi kesadaran dalam diri sendiri
sebagai akar makna. Perlawanan melawan narsisme, ekuivalen dengan
false cogito Freudian, membawa kepada penemuan bahwa bahasa
berakar secara mendalam di dalam keinginan dan impuls-impuls
instingtual kehidupan. Dengan cara itu, psikoanalisis membawa
kembali kepada pertanyaan: bagaimana penandaan dapat tercakup di
dalam kehidupan? Kemunduran makna hasrat itu mengindikasikan
kemungkinan transendensi refleksi ke arah eksistensi. Selanjutnya,
cogito tidak lagi menjadi tindakan prestisius, karena pretensi sendiri
telah ada di dalam being.
Sebagai meditasi filosofis terhadap psikoanalisis, tahap refleksif
dapat mengatasi problematika eksistensi melalui interpretasi untuk
menyingkap tipuan-tipuan hasrat (tricks of desire) yang berakar pada
makna. Ricoeur sendiri tidak memunculkan hasrat di luar proses
interpretasi, karena hasrat selalu berwujud being yang diinterpretasikan.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
334 | Masykur Wahid
Dengan memahami hermeneutika, sesungguhnya eksistensi
yang ditemukan psikoanalisis adalah hasrat. Dengan kata lain,
eksistensi sebagai hasrat. Eksistensi seperti ini secara prinsipil tampak
di dalam arkeologi mengenai subyek. Sebaliknya, dalam filsafat roh,
hermeneutika digunakan untuk mengubah akar makna, sehingga
eksistensi tidak lagi berada di belakang subyek melainkan di depannya.
Sebagaimana, tampak dalam analisis Hegel dalam Phenomenology of
the Spirit, bahwa hermeneutika mengenai kedatangan Tuhan,
kedatangan Nabi Isa dan Iman Mahdi, pendekatan Kerajaannya, dapat
menghadirkan ramalan kesadaran.
Pada tahap ini, kita dapat menganalisis pemaknaan hadits yang
dijelaskan oleh Ibnu Mas`ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Bila tidak kekal dunia ini kecuali sehari saja, maka Allah akan
panjangkan hari itu hingga Dia mengutus seseorang dari aku
atau dari ahli bait-ku, namanya sesuai dengan namaku dan nama
ayahnya sesuai dengan nama ayahku. Dia akan memenuhi dunia
dengan keadilan dan qisth, sebagaimana dunia ini sebelumnya
dipenuhi dengan kezaliman dan al-Juur” (H.R. At-Tirmizy
dalam Kitab Fitan).
Kedatangan Imam al-Mahdi ini sebelum turunnya Nabi Isa as yang akan
memberi petunjuk kepada umat manusia dan menegakkan hujjah Allah
SWT. Di dalam hadits lain, dijelaskan bahwa dari Ali bin Abi Tholib ra
ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:“Al-Mahdi dari golongan
kami, ahlul bait, Allah memperbaikinya dalam satu malam” (Musnad
Ahmad 2/58 dan Sunan Ibnu Majah 2/1367.
Ricoeur memperbandingkan dengan Hegel, karena model
interpretasinya kontradiksi diametris dengan Freud. Psikoanalisis
menawarkan kepada kita sebuah kemunduran menuju yang kuno.
Sedangkan, fenomenologi roh menawarkan pada kita sebuah gerakan
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 335
yang di dalamnya masing-masing figur menemukan maknanya, bukan
di dalam apa yang telah berlalu, melainkan di dalam apa yang akan
terjadi kemudian. Bagi Ricoeur:
“Kesadaran menggambarkan di luar dirinya sendiri, di depan
dirinya sendiri, menuju makna yang bergerak dalam tahap
berikutnya. Dengan kata lain, teleologi subyek dipertentangan
dengan arkeologi subyek”.29
Apa yang penting, ternyata bahwa teleologi ini sama dengan
arkeologi Freudian. Roh direalisasikan hanya di dalam persilangan dari
satu figur ke figur lainnya. Oleh karenanya, hal tersebut menjelaskan
mengapa filsafat mempertahankan hermeneutika, yaitu pengungkapan
makna yang tersembunyi dalam teks yang mengandung makna yang
tampak. Demikian itu, tugas hermeneutika untuk menunjukkan bahwa
eksistensi memunculkan ekspresi, makna dan refleksi, hanya melalui
penafsiran berkelanjutan dari semua penandaan yang dijelaskan di
dalam dunia budaya.
Eksistensi bisa menjadi diri yang manusiawi dan dewasa hanya
dengan apropriasi makna-makna yang pertama, terletak “di luar” karyakarya, institusi-institusi dan monumen-monumen kultural, di dalam
kehidupan roh yang diobyektifkan.
Dalam fenomenologi religius Van der Leeuw dan Mircea Eliade,
deskripsi sederhana mengenai ritus, mitos dan kepercayaan, dianggap
sebagai bentuk tingkah laku, bahasa dan perasaan, karena manusia
sendiri yang mengarahkan kepada sesuatu “suci.” Menurut Ricoeur,
apabila fenomenologi tetap bertahan pada tingkat deskritif, maka
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.21
29
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
336 | Masykur Wahid
tindakan interpretasi yang reflektif dapat berjalan lebih jauh lagi.
Caranya:
“Dengan pemahaman-diri sendiri yang mendalam dan melalui
tanda yang suci, manusia menampakkan pelarian diri sendiri
secara sangat radikal yang mungkin bayangkan”.30
Ketidakmilikan itu melampaui yang telah dilakukan
psikoanalisis Freudian dan fenomenologi Hegelian, baik secara
individual maupun ketika efek-efeknya dikombinasikan. Sebuah
arkeologi dan sebuah teleologi masih tetap mengandung arché dan telos
yang dapat dikendalikan subyek ketika memahaminya. Yang suci
memanggil manusia. Dalam panggilannya, yang suci memanifestasikan
dirinya, seperti menguasai eksistensinya, karena yang suci menyimpan
eksistensi secara absolut sejalan dengan usaha dan hasrat yang mengalir
darinya.
Adanya hermeneutika yang berbeda-beda dengan caranya
masing-masing merupakan akar-akar ontologi pemahaman. Masingmasing dalam caranya sendiri menegaskan sebuah ketergantungan
kepada eksistensi. Ketergantungan psikoanalisis ditunjukkan di dalam
arkeologi subyek. Ketergantungan fenomenologi roh ditunjukkan di
dalam teleologi figur-figur. Ketergantungan fenomenologi religius di
dalam tanda-tanda suci.
Semua itu merupakan implikasi ontologis dari interpretasi.
Dengan kata lain, ontologi terpisah dari interpretasi. Ontologi
ditangkap di dalam lingkaran yang dibentuk oleh penghubung antara
tindakan interpretasi dan being yang diinterpretasikan. Hal itu
menandakan sama sekali bukan kemenangan ontologi dan bukan sebuah
ilmu, karena ontologi tidak mampu menghindari resiko interpretasi dan
bahkan ontologi tidak dapat lepas seluruhnya dari peperangan internal
di mana bermacam-macam hermeneutika yang lebur di antara mereka
sendiri.
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.22
30
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 337
Meskipun demikian, bagi Ricoeur hermeneutika yang
bertentangan bukan hanya sekadar “language games.” Dalam filsafat
bahasa, semua interpretasi sama-sama valid di dalam batas-batas teori,
sehingga aturan-aturan pembacaan dapat ditemukan. Interpretasi yang
sama-sama valid. Hal ini tetap mempertahankan permainan bahasa
masing-masing hingga ditunjukkan bahwa setiap interpretasi
didasarkan pada satu fungsi eksistensial tertentu. Dengan hal itu, dapat
dikatakan bahwa:
“Psikoanalisis memiliki dasarnya di dalam arkeologi subyek,
fenomenologi roh di dalam teleologi, dan fenomenologi religius
dalam eskatologi”.31.
E. Kesimpulan
Hermeneutika fenomenologis ala Ricoeur dianggap sebagai
mediator antara Schleiermacher dan Dilthey dalam tradisi hermeneutika
romantisnya dan Heidegger dan Gadamer dalam tradisi hermeneutika
ontologis-eksistensialnya.
Misalnya,
Ricoeur
menempatkan
hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang
difiksasi secara linguistik. Ia tidak hanya berhenti pada langkah
psikologisme untuk merekonstruksi pengalaman penulis, seperti
Schleiermacher, maupun usaha penemuan diri sendiri pada diri orang,
seperti Dilthey, melainkan juga menyingkap potensi Being atau
eksistensi, seperti Heidegger dan Gadamer.
Hermeneutika fenomenologis ala Ricoeur dipahami dengan
interpretasi teks. Teks sebagai tindakan yang penuh makna. Dengan
interpretasi itu, teks memediasi penjelasan yang objektif dan
pemahaman yang subjektif. Hermenentika fenomenologis sebagai
proses interpretasi dari fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman), teks
terlepas dari intensi pengarang (objektivasi pengalaman), dan
dekontekstualisasi dari lingkup sosial dan sejarah, dan teks terlepas
referensi ostensif.
Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics.
Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.23
31
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
338 | Masykur Wahid
Dalam penerapannya, fenomena pembacaan shalawat diba’ di
dalam masyarakat Krapyak, Yogyakarta harus melalui proses fiksasi
makna. Setelah teks tertulis, kita melakukan tiga tahap interpretasi teks.
Pertama, tahap semantik, pemahaman semantik. Kedua, tahap reflektif,
mengintegrasikan pemahaman semantik dengan pemahaman ontologis.
Kedua, tahap eksistensial, pemahaman eksistensial yang akan
memproduksi eskatologi sebagai analisis hermeneutika fenomenologi
religius. Itulah hermeneutika fenomenologis sebagai metode di dalam
studi living hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Adrika Fithrotul. 2014. “Living Hadis dalam Tradisi Malam
Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa” dalam Ar-Raniry:
International Journal of Islamic Studies. Vol. 2, No.1, Juni, hlm.
221-235.
Bauman, Zygmun. 1978. Hermeneutics and Social Science. New York:
Columbia, University Press.
Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jilid I.
Jakarta: Gramedia.
Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan
Paul.
Bruns, Gerald L. 1992. Hermeneutics: Ancient and Modern (New Haven
and London: Yale University Press.
Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy. 2000. London & New
York: Routledge.
Crapanzano, Vincent. 1992. Hermes’ Dilemma and Hamlet’s Desire: On
the Epistemology of Interpretation. Cambridge: Harvard
University Press.
Montefiore, Alan (ed.). 1983. Philosophy in France Today. Cambridge:
Cambridge University Press.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 339
Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in
Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston:
Northwestern University Press.
Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics.
Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston:
Northwestern University Press.
___________. 1981. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on
Language, Action and Interpretation. Ed. and Trans. John B.
Thompson. Cambrige: Cambridge University Press.
____________. 1976. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus
Meaning, Texas: The Texas Christian University Press.
____________. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in
Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University
Press.
Salih, Subhi. 1988. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm
lil-Malayin.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Hadis.
Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015
ISSN: 2460-8939
340
Download