Vol. 01. No. 02 (Juli-Desember) 2015 5 ISSN: 2460-8939-0 Redaktur Ahli (Mitra Bestari): Utang Ranuwijaya (IAIN “SMH” Banten) Ja’far Assagaf (IAIN Surakarta) Muhajirin (UIN Raden Fatah Palembang) Penanggungjawab: Udi Mufradi Mawardi Pemimpin Redaksi: Andi Rosa Editor: Agus Ali Dzawafi Ade Fakih Kurniawan Redaktur Pelaksana: Lalu Turjiman Ahmad Administrasi dan Distribusi: Sohib Barofik Tb. Syukron Alamat Redaksi: Jl. Jend. Sudirman No. 30 Serang Banten Tlp. 0254 200323 Desain Cover dan Lay out: Ahmad Faturrohman Holistic al-Hadis: ISSN: 2087-8605 diterbitkan enam bulan sekali oleh Jurusan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, berdasarkan SK Dekan Nomor: In.10/F.III/2/HK.005/ 637/2015 tanggal: 21 April 2015 Holistic al-Hadis menerima tulisan ilmiah terkait Ilmu Hadis dan kajian hadis dengan berbagai pendekatan keilmuan modern dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris. Format tulisan sebanyak 20-25 halaman kertas kwarto berspasi satu 1.5 dengan font Time New Roman, 12, termasuk abstrak 100-150 kata, kata kunci dan catatan akhir, daftar pustaka, serta data diri penulis. Tulisan dikirim dalam bentuk soft-copy (microsoft word) ke [email protected] Vol. 01 No. 02 (Juli-Desember) 2015 8605 ISSN: 2460-89392087- DAFTAR ISI Sekapur Sirih ............................................................................................................ iii Mohammad Andi Rosa ........................................................................................... 171-224 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual dalam Kajian Teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw Nikmatullah .............................................................................................................. 225-246 Review Buku dalam kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks Jajang A. Rohmana .................................................................................................. 247-288 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia: Sebuah Kajian Awal Ja’far Assagaf............................................................................................................ 289-316 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living-Hadis Masykur Wahid ........................................................................................................ 317-339 Hermeneutika Fenomenologis Dalam Studi Living Hadis Pedoman Transliterasi Arab-Latin......................................................................... 340 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 SEKAPUR SIRIH Edisi kedua ini, merupakan edisi istimewa, karena makalah yang ditampilkan dalam jurnal ini merupakan hasil kegiatan “Pelatihan Metodologi Living al-Hadis” yang disampaikan oleh berbagai pakar dari berbagai kampus di Indonesia. Maka tema jurnal edisi kali ini adalah: “Metodologi Living al-Hadis”. Mengapa hal ini dianggap penting dalam kajian hadis Nabi saw?. Hal ini untuk menghubungkan kajian Hadis Nabi saw, ke dalam budaya masyarakat Indonesia ~khususnya masyarakat Banten~ dan kehidupan keseharian mereka. Dalam Studi Living Hadis ini, akan memungkinkan adanya integrasi dan interaksi keilmuan umum, seperti antropologi, sosiologi, hermeneutika, dengan hadis Nabi saw dan berbagai keilmuan Hadis. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa elemen utama dari Visi Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI adalah terwujudnya pengembangan kajian agama yang berdasarkan keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan. Oleh karena itu maka Jurusan Ilmu Hadis di PTKIN, sebagai jurusan yang mengkhususkan kajian kepada peradaban teks hadis Nabi saw, berusaha mengembangkan kajian agama ini dalam kerangka menghubungkan antara realitas budaya yang ada di masyarakat Indonesia dalam konteks masyarakat tertentu dan teks agama dimaksud (hadis Nabi saw) dengan memanfaatkan pendekatan keilmuan modern mutakhir. Juga terkait dengan orientasi pengembangan kajian agama pada PTKIN (di era postmodernisme) yang meniscayakan adanya integrasi keilmuan dan metodologis, maka diperlukan pendekatan ilmuilmu modern terhadap berbagai teks agama dan realitas budaya yang menjadi ajaran agama. Berbagai fenomena budaya yang ternyata pada awalnya didasarkan kepada teks Hadis Nabi saw, banyak didapat pada masyarakat Indonesia. Sebagai misal, realitas budaya perayaan “Panjang Maulud” di Banten, budaya ziarah kubur dan walisongo pada bulan-bulan tertentu, budaya tidak menebang hutan di hutan Larangan pada masyarakat Baduy. Tentu saja masih banyak lagi realitas budaya lainnya, yang terkait dengan ajaran agama, yang di satu sisi dapat memiliki ciri khas yang unik atau original dibanding dengan ajaran serupa di daerah lainnya iii Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 di Indonesia. Disamping menghubungkan realitas budaya dengan teks agama dimaksud, bahkan kita bisa juga memperoleh nilai-nilai ajaran agama lokal (indigeneous religion) di dalamnya atau kearifan lokal dari berbagai fenomena interaksi ajaran agama dan budaya terkait. Terhadap fenomena tersebut, dalam perspektif jurusan Ilmu Hadis, kita dapat mengkajinya melalui metodologi Kajian Living Hadis. Ada juga yang menamakannya dengan Kajian Living Sunnah, karena yang dimaksud segala aktivitas budaya suatu masyarakat yang dapat memiliki hubungan sumber yang berasal dari Nabi, baik yang memiliki sanad (transmisi hadis) yang shahih atau bahkan masih diragukan (dla’if) hanya bersifat sunnah Shahabat dan Tabi’in. Karena itu, menggali hubungan Islam dengan budaya Muslim, tidak bisa lepas dari mengkaji berbagai sumber Hadis Nabi saw (baik dalam perjalanan sanad dan matannya dengan berbagai konsensus kajian keislaman yang berkembang). Dalam peradaban Islam, kajian teks menjadi ciri utama. Teks AlQur’an --sebagai sumber utama ajaran islam-- menjadi konteks bagi teks Hadis Nabi saw. Maka ungkapan yang lebih tepat adalah kajian Living Al-Qur’an dan Hadis (LQH), karena dalam ajaran mainstream Islam, kedua teks ini (Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw), seperti dua sisi dalam koin mata uang, yang tidak bisa dipisahkan. Kemudian jika dikaitkan dengan definisi agama --menurut Durkheim— adalah sebuah sistem keyakinan dan praktik yang berhubungan dengan yang suci dan menyatu dalam suatu komunitas sosial. Maka sumber agama dapat bersifat historis skripturalis --dalam konteks islam-- yakni Al-Qur’an dan Hadis beserta tafsirnya, dan kedua yaitu sumber agama yang bersifat budaya yakni fenomena keseharian yang menjadi keyakinan bersama dalam suatu masyarakat. Maka kajian Living Hadis merupakan kajian isi hadis nabi saw yang hidup dalam budaya suatu masyarakat. Karena itu dapat juga diistilahkan sebagai bentuk kajian ihyâ al-hadîts, yakni menghidupkan Peradaban Hadis Nabi saw dalam penerapannya di masyarakat. Disini akan terlihat adanya fenomena islamisasi budaya atau sebaliknya yakni budayanisasi islam atau lokalisasi budaya terhadap Islam (sinkretisme). iv Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939Proses tersebut tergantung kepada mana yang lebih dominan, atau kelompok mana yang lebih bisa diterima oleh masyarakatnya. Sebagai proses budaya, tentu saja, akan terjadi saling tarik-menarik antara teks dimaksud (sebagai ajaran asal agama) dengan konteks masyarakatnya (sebagai asal munculnya budaya). Interaksi agama dan budaya, dalam ajaran misi Islam (al-da’wah) dapat diambil sumber legitimasinya dari berbagai kedua teks dimaksud (Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw). Dalam kedua teks dimaksud, terdapat istilah al-khair dan alma’rûf, yang keduanya menjadi perintah dalam beragama. Sebagai misal, dalam teks Al-Qur’an, lafadz al-khair dapat bermakna “kebaikan yang bersifat normatif dan universal”, sedangkan al-ma’rûf merupakan “kebaikan kultural”. Segala bentuk kebaikan dapat disebut al-khair, dan kebaikan yang hanya berlaku pada suatu masyarakat tertentu hanya berada dalam kategori al-ma’rûf. Maka dalam kedua istilah dimaksud terdapat titik temu, pentingnya melakukan dialog antara kebaikan kultural yang hidup di masyarakat, dengan kebaikan universal yang menjadi ajaran semua agama atau ajaran normatif suatu agama yang menjadi ajaran semua pihak yang didasarkan kepada potensi-potensi kemanusiaan (humanity). Al-khair ini merupakan ajaran kebaikan yang bersifat deduktif dan skripturalis, sedangkan al-ma’rûf merupakan ajaran yang lebih dominan induktif dan antroposentris yang dimungkinkan terjadi aneka ragam bentuk kebaikan dan kearifan lokal. Maka keduanya dapat beriringan sesuai dengan perintah dari kedua teks tersebut untuk tujuan memanusiakan manusia (humanity to human being), yang dapat beraneka ragam bentuk budayanya sesuai dengan kondisi alam dan potensi masyarakatnya. Memanusiakan manusia adalah satu tujuan utama dari rangkaian hadis Nabi saw, yakni sebagai hudan lin nâs (petunjuk teoritis dan praktis). Diantaranya Nabi pernah bersabda, yang terdapat dalam sebuah kitab hadis shahih, yaitu: Yassirû walâ tu’assirû bassirû walâ tunâfirû. (mudahkan ajaran agama dan jangan dipersulit, kemudian gembirakan umat manusia dan jangan ditinggalkan..(HR. Muslim). Memudahkan ajaran agama, dapat dimaknai bahwa agama hendaknya mampu memberikan solusi kepada umat manusia, dan memberi kabar gembira dapat menunjukan pentingnya memberikan v Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 metodologi sehingga umat manusia sebagai Muslim (al-ummat) dapat mengetahui bahwa ajaran agama bersifat luas dan luwes (al-murûnah). Apatah lagi, dewasa ini, di era globalisasi yang ditandai dengan maraknya penggunaan internet melalui Google, juga gandrungnya masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dalam menggunakan media sosial di pedesaan maupun di perkotaan, seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Path, dan lainnya, menjadikan konteks hidup masyarakat muslim Indonesia, tidak lagi memiliki batasan geografis. Apa yang ingin disampaikan di masyarakat urban dapat dengan mudah diketahui hingga ke desa-desa. Teks hadis, atau tafsir agama yang disampaikan untuk suatu kelompok, dapat dengan mudah didengar atau diketahui oleh kelompok lain yang bukan mad’u ‘alaih-nya. Bahkan apa yang terjadi dan terdapat di Kalimantan, di Papua, di pelosok-pelosok Banten, dengan adanya peralatan teknologi dan media sosial komunikasi, dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat manapun yang menginginkannya. Dengan demikian, dialog antar budaya, menjadi sesuatu yang inheren, dalam keseharian masyarakat muslim Indonesia manapun, termasuk dengan masyarakat Pesantren Tradisional di Banten yang juga sudah tidak lagi taboo untuk menggunakan teknologi. Karena itulah signifikansi diadakannya “Pelatihan Metodologi Living Hadis” ini, sehingga dapat lebih memfungsikan keilmuan Islam, khususnya keilmuan Hadis dalam kehidupan masyarakat global. Adapun tema pelatihan dimaksud adalah:“Meneguhkan Islam Berkemajuan (Progresive) dengan Karakter Islam Nusantara Melalui Pelatihan Metodologi Living Hadis”. Selamat Membaca, dan berdiskusi. Serang, Desember 2015 Pemimpin Redaksi, AR vi Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 PRINSIP DASAR DAN RAGAM PENAFSIRAN KONTEKSTUAL DALAM KAJIAN TEKS AL-QUR’AN DAN HADIS NABI SAW Mohammad Andi Rosa IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten Email: [email protected] Abstract Exegesis (tafsîr) is a dialogue between text and context. There are six kinds context in the exegesis of Qur’ânic verses and prophetic ḥadith: first of all, Socio-cultural context; the second, external context (i.e. revelation context; aspects relating to the emergence of a text), the interlocution context (siyâq al-takhâṭub) which is expressed in the language structure of the text; the third, internal structure of the verse (the structure of the text); the forth, linguistic context of the text; the fifth, the scientific context, i.e. context of modern sciences by paying attention to the ontology, epistemology, and axiology of the related topic; and sixth, the context of reading which aimed at deconstructing codes. There are three classifications of analysis in contextual exegesis: intrinsic analysis (mâ fî al-naṣṣ), extrinsic analysis (mâ ḥaula al-naṣṣ), and analysis to the exegesis of previous interpreters or relevant experts. In contextual exegesis, one has to do with some normative principles of exegesis (in mainstream), as mentioned by classical and contemporary interpreters. Abstrak Tafsir adalah dialog antar teks dan konteks. Terdapat Enam jenis konteks dalam penafsiran ayat atau tema Al-Qur’an dan Hadis: Pertama, Konteks Sosio-Kultural, Kedua, Konteks Eksternal (Konteks Pewahyuan; aspek yang melingkupi munculnya teks), Yakni Konteks Percakapan (siyâq al-takhâthub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa suatu teks. Ketiga adalah konteks internal Ayat (Struktur teks). Keempat, konteks linguistik suatu teks. Kelima, Konteks Saintifik, yakni konteks keilmuan modern dengan memperhatikan ontologi, 171 172 | Mohammad Andi Rosa epistemologi dan aksiologi tema terkait; Keenam, konteks pembacaan (siyâq al-qirâ’ah) yang berusaha mendekonstruksi kode. Terdapat tiga klasifikasi analisis dalam tafsir kontekstual, yaitu: a. Analisis intrinsik (mâ fî al-nash), b. Analisis Ekstrinsik (mâ hawla al- nash), c. Analisis hasil ulama sebelumnya atau pakar terkait. Dalam melakukan análisis penafsiran kontekstual, diperlukan berbagai prinsip penafsiran dan pentakwilan yang telah baku (mainstream), sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama tafsir klasik maupun kontemporer. _________________ Kata Kunci: Dialog teks dan konteks; Jenis-jenis konteks; Klasifikasi análisis ayat; Prinsip penafsiran teks agama. A. Pendahuluan Memahami hakikat tafsir, dalam perspektif filsafat ilmu, misalnya dapat dikemukakan tentang tafsir dari aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara ontologis, objek materil tafsir adalah Al-Qur`ân, sedangkan objek forma-nya adalah pemberian makna dan produksi makna untuk mengungkap maksud Al-Qur`ân sesuai bekal keilmuan yang dimiliki sang penafsir dan konteks yang melingkupinya. Sedangkan secara aksiologis, tujuan tafsir Al-Qur`ân adalah untuk mendapatkan petunjuk Al-Qur`ân (al-hudâ) dalam aspek yang hendak diinginkan oleh sang mufasir. Sedangkan tiga fungsi tafsir Al-Qur’an menurut M. Quraish Shihab, yaitu: a. Dapat menjadi sumber segala ilmu agama; b. Dapat menjadi pegangan hidup bagi kebahagiaan dunia dan akherat; c. Dapat menjawab berbagai macam persoalan. Adapun epistemologi tafsir sebagai proses pemberian makna Al-Qur`ân, merupakan tatacara atau aturan dalam menafsirkan AlQur`ân, dan termasuk di dalamnya pembahasan tentang metodologi tafsir. Sedangkan tafsir sebagai produk dapat menjadi pembahasan ontologi tafsir. Tafsir sebagai produk ini, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori: [a] Tafsir Al-Qur`ân berdasarkan sisi internal teks; [b] Tafsir Al-Qur`ân berdasarkan sisi eksternal teks; [c] Tafsir AlQur`ân berdasarkan sisi internal dan eksternal teks; [d] Tafsir Al-Qur`ân yang tidak hanya berdasarkan sisi internal dan eksternal teks tetapi Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 173 juga berdasarkan ilmu-ilmu di luar teks, seperti ilmu yang berkembang di era modern baik ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu sosial, sesuai dengan bidang kajian dari kategori ayat yang hendak ditafsirkan. Maka epistemologi tafsir Al-Qur`ân adalah proses pemberian makna AlQur`ân sesuai dengan dua aspek tersebut (ontologi dan aksiologi tafsir). Dalam dunia tafsir, dikenal dengan dua paradigma penafsiran: “tafsir tekstual” dan “tafsir kontekstual”. Karena makna tafsir itu, dialog antara teks dengan konteks, maka secara ideal, keduanya dapat saling melengkapi bagi terwujudnya suatu karya tafsir yang realible sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakat, serta tetap memelihara kesucian teks Al-Qur’an sebagai sumber utama teks agama dalam islam. Penafsiran tekstual maupun kontekstual dalam kajian teks Hadis Nabi saw, mengikuti arah dan orientasi yang didapat dari penafsiran teks Al-Qur’an. Sebagaimana validitas penafsiran teks Hadis nabi saw, juga didasarkan kepada kajian sanad (transmisi teks) dan matan (teks) hadis terkait. B. Tafsir Tekstual dalam kajian Ulumul Qur’an Sesuai dengan namanya “tafsir tekstual” adalah tafsir yang lebih menekankan kepada teks tidak kepada konteks kekinian atau yang dikehendaki oleh sang mufassir. Tafsir jenis ini, tidak melakukan proses kontekstualisasi teks saat Al-Qur`an ditafsirkan. Walaupun di satu sisi, ia juga memanfaatkan asbâb nuzûl ayat sebagai perangkat memahami teks, tetapi ia lebih mendahulukan paradigma penafsiran:“al-`ibratu bi khushûshi al-sabab la bi ‘umûmi al-lafazh”. Ungkapan tersebut hanya dipahami, -oleh para penganutnya- bahwa dalam memahami teks harus didasarkan kepada kondisi latar belakang ayat itu, ditujukan untuk kondisi apa dan tidak dipahami dengan menggunakan proses qiyâs (analogi) misalnya, sebagaimana yang digagas oleh para ulama ushûl al-fiqh diantaranya Imam Hanafi, Imam al-Syâfi’î, dan al-Syathibi. Padahal dalam perspektif yang lebih luas, diperlukan pemahaman sejarah terkait kondisi teks Al-Qur`ân, sehingga apa yang dikhawatirkan oleh Umar bin Khattab tidak terjadi. Ia pernah Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 174 | Mohammad Andi Rosa menyatakan sebagai berikut: “yurwa ‘an ‘Umar ra, annahu qâla: innama tanqudlu ‘ura al-islâm ‘urwatan ‘urwatan idza nasya`a fî alislâm man lâ ya’rifu al-jâhiliyyah”. (Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, bahwasanya ia berkata: “tali pengikat Islam akan terputus sepotong-demi sepotong bila dalam Islam berkembang orang yang tidak mengerti keadaan zaman Jahiliyyah”).1 Al-Qur’an diturunkan untuk merubah kondisi Jahiliyah, dan spirit itulah yang melatar belakangi perubahan yang diinginkan Al-Qur’an. Dengan demikian, Umar bin Khattab, sebagai sahabat kebanggaan nabi Muhammad saw, lebih memilih untuk memahami teks Al-Qur`ân dengan berdasarkan kepada spirit dari teks, yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad atau tafsir kontekstual. Contoh ijtihad kontekstual dari para shahabat yang dipelopori oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh Ali bin Abi Thalib serta Utsman bin Affan, adalah ketika tentara Islam pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab mampu membebaskan negeri Syam, Irak, dan Parsi. Kemudian Umar bin Khattab membagi harta ganimah (ghanîmat; harta dari hasil peperangan yang ditinggalkan pemiliknya) yang bergerak sesuai dengan ketentuan ayat Al-Qur`ân (Q.S. al-Anfâl: 41), tetapi ia tidak membagi-bagi harta ghanîmah yang tidak bergerak untuk para tentara, tetapi malah menjadikan tanah dimaksud sebagai tanah Negara yang dibiarkan dikelola oleh pemilik lama dengan kewajiban menyerahkan pajak (kharaj) kepada bayt al-mâl umat islam atau perbendaharaan negara. Tentu saja ijtihad Umar bin Khattab ini, secara tersurat berbeda dengan perintah dalam ayat Al-Qur`ân dimaksud (Q.S. al-Anfâl: 41) agar membagi-bagi harta ghanîmah kepada para tentara atau siapapun yang terlibat dalam perang. 2 M.Rasyid Ridla; Tafsîr al-Manâr, (Dâr al-Manâr; Mesir, 1373/1954), cet ke.4, h. 24 2 Lihat: Nurcholish Madjid; Pertimbangan Kemaslahatan dalam menangkap makna dan semangat ketentuan keagamaan: Kasus Ijtihad Umar bin Khattab, dalam buku; Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Pustaka Panjimas; Jakarta, 1988), cet. 1, h. 12-20. 1 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 175 Penggunaan tafsir tekstual biasanya dikenal di kalangan dari madzhab Dâwud zhâhirî yang digagas oleh al-Imam Abu Sulaiman Dawud bin Ali (202-270 H). Ia mendirikan mazhab-nya dengan menggunakan atau mengamalkan makna zhâhir dari Al-Qur`ân dan alSunnah, juga dengan al-ijmâ’ 3 tetapi menolak semua bentuk alQiyâs.4 Penganut terkenal mazhab ini adalah Ibnu Hazm al-Andalusi Makna al-ijmâ’ menurut mazhab ini adalah adanya keyakinan pada suatu masalah bawa semua shahabat Nabi saw mengetahuinya dan tidak ada seorang pun shahabat yang berbeda pendapat. Syarat al-ijmâ’ bagi Ibnu Hazm adalah: Pertama; tidak terjadi kecuali di zaman shahabat masa nabi saw. Kedua; mereka semua mengetahui perkara dimaksud; Ketiga: tidak ada perbedaan pendapat di kalangan shahabat nabi saw. Keempat; adanya keyakinan terhadap adanya syarat-syarat tersebut secara mutawatir. Dengan demikian Ibnu Hazm, nampaknya memustahilkan adanya ijmâ` setelah zaman shahabat, dan ijmâ` diakui sebagai sumber hukum jika sesuai dengan teks atau hadis shahih dari Nabi saw, demikian menurut pentahkik kitab. Tetapi di sisi lain, bahwa pentingnya adanya keyakinan yang kuat tersebut dalam ber-ijma’ menurut Ibnu Hazm didasari pada Q.S. al-Isrâ`: 36, juga Hadis Nabi saw: “lan tazâlu thâifatun min ummatî zhâhiratun ‘ala al-haq lâ yadlurruhum man khazalahum hatta ya`tiya amrullâh..”. Lihat: Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm al-Andalusî (384 H/994 M); al-muhalla bi alâtsâr, (Dâr al-fikr; Beirut, 1984/1405 H), juz.1, ditahkik oleh: Abdul Gaffar Sulaiman al-Bandarî, h. 72, 75-77 4 Adapun argumentasi kebenaran pendapat kami tentang ijmâ` shahabat Nabi saw atas batalnya qiyâs, adalah bahwa mustahil para shahabat Nabi saw yang mengetahui dan mengimani Q.S. al-Mâidah:3 dan an-Nisâ: 59, kemudian mereka menolak al- qiyâs dan al-ra’yu ketika terjadi pertentangan. Hal ini adalah sesuatu yang sudah tidak diasumsikan lagi oleh orang yang berakal. Bagaimana penggunaan keduanya bisa terjadi di kalangan shahabat Nabi saw, padahal telah nyata ( tsabata) dari Abu Bakar Siddiq, bahwasanya ia berkata: “bumi mana yang bisa aku pijak dan langit mana yang bisa menaungiku, jika aku menyatakan tentang suatu ayat dalam Al-Qur`ân dengan berdasarkan rakyi-ku atau dengan sesuatu yang aku tidak ketahui.” Juga sebuah riwayat shahih dari Umar bin Khattab (al-farûq), bahwasanya ia berkata: “curigailah suatu pendapat (rakyu) tentang agama, karena sesungguhnya rakyi diantara kita adalah asumsi (al-zhann) dan takalluf (persesuaian-persesuaian) belaka. Juga riwayat dari Utsmân bin Affân ketika ia berfatwa ia menyatakan bahwa “hal itu hanyalah pendapat menurutku, maka siapa saja yang mau mengambil pendapat itu silahkan dan siapa yang mau meningggalkan pendapat itu silahkan.” Juga dari Ali bin Abi Thalib, yang menyatakan: “seandainya agama ( al-dîn) itu 3 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 176 | Mohammad Andi Rosa (384 H), yang menulis buku ushûl al-fiqh yaitu al-ihkâm fî ushûl alahkâm,5 juga kitab al-muhallâ bi al-âtsâr yang membahas berbagai permasalahan agama -termasuk permasalahan al-ushûl- dengan menggunakan pendekatan teks Al-Qur’an dan hadis Nabi saw, juga pendapat para shahabat Nabi saw. Mazhab Zhâhiri ini memfatwakan hukum sesuai dengan fenomena yang terjadi pada masa turunnya wahyu atau fenomena yang dilakukan oleh Nabi saw dan para shahabat-nya, tanpa memberikan ruang dialog yang memadai antara fenomena realitas dengan konteks pewahyuan dimaksud. Karena itu ijtihad atau tafsir tekstual ini dapat dimasukan ke dalam klasifikasi tema konseptual, sedangkan tafsir kontekstual merupakan tema yang bersifat kontekstual. Tema konseptual merupakan tema yang masih bersifat konsep secara umum, -baik dalam bentuk aplikatif atau teoritis- dengan hanya dikaitkan pada konteks pewahyuan dan belum dikaitkan dengan konteks sosiokultural dan konteks realitas pembaca secara umum. Dilihat dari aspek kedalaman makna tafsir, maka kita dapat mengklasifikasikan dua karakter tema yaitu: tema konseptual dan tema kontekstual. Kedua karakter tema tersebut seharusnya bersifat tidak dikotomis atau tidak bertentangan, tetapi dua bentuk penafsiran yang hendaknya saling melengkapi. Yang pertama hanya dalam tingkat konteks ayat, sedangkan yang kedua telah memasuki pada konteks Al-Qur’an dan realitas. Meskipun tafsir tekstual ini, juga memiliki ketentuan lainnya, jika terjadi pertentangan antar lafal/teks Al-Qur’an. Bagaimana jika terjadi adanya pertentangan dalam dua nash yang zhâhir ? Secara umum menurut ulama ushûl al-fiqh, jika terjadi adanya pertentangan dalam nash secara zhâhir maka diperlukan mengkompromikan antar dalil dimaksud (al-jam’u wa al-tawfîq), jika dengan berdasarkan rakyi atau akal, maka pasti membasuh khuf sepatu bagian bawah lebih utama dari bagian atasnya.” Demikian Ibnu Hazm, berargumen. Lihat: Abu Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Sa’îd bin Hazm al-Andalusî (384 H/994 M); almuhalla bi al-âtsâr, juz.1, h. 81-82. 5 Kamil Musa; al-madkhal ilâ al-tasyrî’ al-islâmî, (Muassasah al-Risâlah; Beirut, 1310/1989), cet.1, h. 164 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 177 tidak memungkinkan maka dicari dalil yang paling kuat (al-tarjîh), kemudian jika tidak memungkinkan juga dan setelah dilakukan penelitian historis ternyata salah-satu dalil lebih dahulu muncul maka diberlakukan teori “nâsikh-mansûkh”, tetapi jika tidak diketahui historisitas nash dimaksud maka (untuk sementara, pen) mujtahid melakukan “al-tawaqquf” (berhenti) untuk tidak mengamalkan norma hukum dari kedua dalil dimaksud.6 Demikian ketentuan umum dalam kajian ilmu ushûl al-fiqh, namun dalam konsepsi tafsir Al-Qur`ân, adanya pertentangan dalam tafsir merupakan sebuah penafsiran yang perlu ditinjau ulang, dengan berbagai ketentuan. Berikut elaborasi konsep dimaksud. B.1. Konsep tafsir tentang ayat Al-Qur`ân yang terkesan bertentangan Dalam teks Al-Qur`ân telah dinyatakan bahwa sebagai kitab suci, ia terbebas dari kontradiktif (al-tanâqudl ), yaitu pada Q.S. anNisâ/4:82: ْ اَّللِ لَ َو َجدُوا فِي ِه َّ أَفَ ََل يَتَدَب َُّرونَ ْالقُ ْر َءانَ َولَ ْو َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر .يرا ً ِاختِ ََلفًا َكث Artinya: “Maka apakah mereka (orang munafik) tidak memperhatikan Al-Qur’an? kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan berasal dari Allah, tentulah mereka mendapati berbagai pertentangan di dalamnya”. Walaupun demikian, secara tekstual (manthûq; lafzhî), kita dapat membaca bahwa di dalam ayat-ayat Al-Qur`ân terdapat berbagai ayat yang terkesan bertentangan.7 Abdul Wahhab Khallaf; `ilm ushûl al-fiqh, (al-majlis al-a’lâ al-indunisî li alda`wah al-islâmiyah; Jakarta, 1972), cet. 9, h. 229 7 Di dalam bahasa Arab, lafal yang digunakan untuk arti “bertentangan” disini ada beberapa lafal, diantaranya “al-tanâqud, al-ta`ârudl, dan al-ikhtilâf”. Walaupun pemaknaan “bertentangan” pada ketiga lafal tersebut, sangat bergantung kepada konteks, karena bisa jadi ketiganya memiliki makna “berbeda”, sesuai dengan penggunaannya atau sesuai dengan kehendak pengguna bahasa/pembicara (mutakallim). 6 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 178 | Mohammad Andi Rosa Misalnya, Q.S. Alu Imrân/3:858 memiliki kesan pertentangan dengan Q.S. al-Baqârah/2:62.9 Ayat pertama mengemukakan bahwa: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) oleh Allah, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Sementara di ayat kedua, dinyatakan: “Sesungguhnya orangorang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin (orang yang tidak mendapati ajaran Al-Qur`ân), siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Pada ayat pertama secara khusus dinyatakan bahwa orang yang tidak “Islam” akan tidak diterima keberagamaannya. Tetapi pada ayat kedua dikemukakan bahwa siapapun yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir meskipun dia seorang Yahudi, Nasrani, atau agama lain, maka mereka tetap akan diterima keberagamaannya di sisi Allah swt. Mensikapi adanya dua teks tersebut yang termaktub dalam Al-Qur`ân, para ulama tafsir Al-Qur`ân misalnya telah menetapkan konsep “qath`î dilâlat wa zhannî al-dilâlat”. Maka Q.S. Alu Imrân/3:85 dijelaskan oleh Q.S. al-Hujurât/49:14,10 menyatakan bahwa keislaman di ayat pertama harus dibarengi dengan keimanan, dan yang dimaksud dengan beriman kepada Allah swt adalah adalah mentaati Allah swt dan Rasul-Nya (dalam ayat Q.S. al-Hujurât/49:14 digunakan dengan bentuk tunggal/ mufrad) yakni nabi Muhammad saw. Ajaran nabi Muhammad saw tentang “Islam” adalah menjalankan “rukun Islam yang lima”.11 Maka Q.S. Alu Imrân/3:85 dapat menjadi ayat qath`î 8 َ َِو َم ْن َي ْبت َغ َاْلس ََْل ِم دِينًا فَلَ ْن يُ ْق َب َل مِ ْنهُ َوه َُو فِي ْاْلخِ َر ِة مِ نَ ْالخَاس ِِرين ِ ْ غي َْر ْ َّ ْ َّ ْ ُ َّ صا ِل ًحا فَلَ ُه ْم ل ع و ر اْل م و ي ال و اَّلل ب م ا ء ن م ئ ب ا ص ال و ى ار ص ن ال و ُوا د َا ه ذ ال و وا ن م َن َِين َِين َ ِم ِخ َّ َ َ ِ ِ َْ َ ِ ِ َ َ َ َ ِ َ ِإ َّن الَّذِينَ َءا َ َ َ َ َ 9 ف َو خ ََ علَ ْي ِه ْم َو ََل ُه ْم َيحْ زَ نُون َ ٌ ْ أَجْ ُر ُه ْم ِع ْندَ َر ِب ِه ْم َو ََل ِْ ت ْاْلَع َْرابُ َءا َمنَّا قُ ْل لَ ْم تُؤْ مِ نُوا َولَ ِك ْن قُولُوا أ َ ْسلَ ْمنَا َولَ َّما يَ ْد ُخ ِل َّ اْلي َمانُ فِي قُلُو ِب ُك ْم َو ِإ ْن تُطِ يعُوا ِ َقَال َاَّلل 10 ور َرحِ ي ٌم َ اَّلل ُ َو َر ٌ ُ غف َ َّ سولَهُ ََل يَ ِلتْ ُك ْم مِ ْن أ َ ْع َما ِل ُك ْم َش ْيئًا إِ َّن 11 Sabda nabi Muhammad saw: Buniyya al-islâmu `alâ khamsin: syahâdatu an lâ ilâhâillallâh wa anna muhammadan al-rasûlullâh, wa iqâmu al-shalât, wa îtâ’u alzakât, wa shaumu al-ramadlâna, wa al-hajj (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasâ’î) Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 179 dilâlat dan ayat kedua, yakni Q.S. al-Baqârah/2:62 adalah ayat yang bersifat zhanni dilâlat. Pada aturan penafsiran ini terdapat ketentuan bahwa ayat-ayat Al-Qur`ân yang bersifat zhannî al-dilâlat (interpretable) harus mendasari kepada ayat-ayat yang bersifat qath`î dilâlat (bermakna pasti dan lebih terukur dengan jelas). Karena pada ayat qath`î dilâlat terdapat ketentuan sebagai berikut: Pertama, ayat-ayat Al-Qur`ân yang mempunyai pernyataan makna yang sama karena ada ayat lain yang memperkuat maknanya itu. Seperti, ayat tentang perintah wajibnya shalat fardlu oleh surah Al-Baqarah/2:277 mendapatkan penguatan di ayat lain, yaitu Q.S. Al-Baqarah/2:176, al-Nisâ’/4:101, dan sebagainya. Kedua, ketika makna ayat menunjukkan tidak mungkin untuk beragamnya makna (musytarak al-ma’nâ) karena adanya qarînat (alasan kebahasaan dan konteks ayat). Seperti, pada Q.S. alMâidah/5:6: س ُحوا َّ َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإذَا قُ ْمت ُ ْم ِإلَى ال َ ق َوا ْم ِ ِص ََلةِ فَا ْغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِد َي ُك ْم ِإلَى ْال َم َراف ْ َ َ َ َّ ُك ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا َ َ َ ُ ُ سفَ ٍر أ ْو بِ ُر ُءو ِسك ْم َوأ ْر ُجلك ْم إِلى ال َك ْعبَي ِْن َوإِ ْن َ ط َّه ُروا َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َم ْر َ ضى أ ْو َعلى َ ص ِعيدًا س ُحوا ْ َط ِيبًا ف َ ام َ َِجا َء أ َ َحد ٌ ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم الن َ سا َء فَلَ ْم ت َِجد ُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا ُْبِ ُو ُجو ِه ُك ْم َوأ َ ْيدِي ُك ْم ِمنه Lafal فَا ْغ ِسلُواpada ayat tersebut tidak mungkin bermakna lain, karena setelah lafal tersebut terdapat lafal: ق ِ ِ ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِديَ ُك ْم إِلَى ْال َم َرافyang merupakan qarînat atau sebagai alasan yang jelas untuk memberikan makna tertentu pada lafal فَا ْغ ِسلُواdi atas. Disamping argumentasi dengan konsep “qath`î al-dilâlat wa zhannî al-dilâlat” tersebut. Para ulama tafsir, dalam mensikapi adanya ayat Al-Quran yang terkesan bertentangan, telah menyatakan bahwa: ”Dalam melakukan takwil12 yang perlu diperhatikan adalah ketika terjadi pertentangan antar lafal, maka lafal yang tingkat kejelasan maknanya lebih 12 Takwil jika dikaitkan dengan istilah tafsir, maka takwil merupakan tafsir bi al-ra`yî dan istilah tafsir sendiri merupakan tafsir bi al-riwâyat. Tafsir merupakan kafabilitas keilmuan yang mesti dimiliki oleh sang mufassir, sedangkan takwil adalah “mengalihkan ayat kepada makna yang dapat dikandungnya”. Secara lebih khusus “tafsir” merupakan dimensi umum dan eksternal dari teks (ayat) seperti pengetahuan asbâb al-nuzûl, kisah Al-Qur`ân, makkî-madanî, nâsikh-mansûkh. Ilmu- Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 180 | Mohammad Andi Rosa tinggi senantiasa akan dimenangkan. Lafal nash (makna utuh dari suatu teks) akan dimenangkan atas lafal zhâhir (makna yang râjih, kuat), lafal mufassar (makna teks yang memiliki penjelasan) akan dimenangkan atas lafal nash, dan lafal muhkam (makna universal) akan dimenangkan atas lafal mufassar”. Sedangkan lafal nash minimal terdiri atas satu ayat, sedang lafal zhâhir terdapat pada bahagian dari satu ayat atau ia berada dalam satu kalimat, morfem, yang merupakan bahagian dari potongan/penggalan suatu ayat. Sedang lafal mufassar adalah suatu ayat yang memiliki penjelasan di ayat yang lain. 13 Adapun makna muhkam yang penulis tawarkan atau teliti adalah “makna substantif Al-Qur`ân”, yaitu: Terdapat Sepuluh makna substantif Al-Qur`ân dan makna ini merupakan makna sentral Al-Qur`ân. Sepuluh makna substantif dimaksud adalah altawhîd (konsepsi tauhid atau keesaan Tuhan) sebagai pokok utama semua makna substantif ini, al-îmân (ajaran tentang keimanan; komitmen) yang berdasarkan tauhid, al-islâm (ajaran tentang loyalitas sebagai muslim) yang berdasarkan keimanan, al-wa`du wa al-wa`îd (ajaran tentang konsekwensi transendental atas perintah dan larangan dalam hukum) yang berdasarkan konsepsi keislaman, al-`ilm (makna keilmuan dalam Islam) yang berdasarkan al-wa`du wa al-wa`îd (punishment and reward), al-syûrâ (musyawarah) yang berdasarkan konsepsi al-`ilm (ilmu dan teknologi), al-jihâd (kerja keras individu dalam suatu komunitas sosial) yang berdasarkan hasil konsepsi alsyûrâ, al-khilâfat (nilai-nilai empirik dari konsep kepemimpinan) ilmu Al-Qur`ân tersebut bukan merupakan kajian ijtihad, kecuali dapat dilakukan tarjîh atau mengkompromikan (al-jam`u) antar berbagai riwayat. Oleh karena itu “tafsir” merupakan bagian dari proses takwil. Hubungan antara keduanya adalah hubungan khusus dan umum di satu segi, atau hubungan antara “penukilan sumber tafsir” dengan “ijtihad”, atau hubungan dalam bahasa para ulama klasik dengan hubungan “riwâyat” (penukilan) dengan “dirâyat” (proses analisis, ijtihad). Lihat: Nashr Hamid Abu Zaid; Mafhûm al-nash:Dirâsat fî `ulûm Al-Qur’ân, (Kairo, al-haiat al-Mishriyyat al-‘âmmiyat li al-kuttab, 1993), cet.4, h. 263-264. 13 Andi Rosadisastra; Metode Tafsir ayat sains dan sosial pada teks Al-Qur`ân, (Tesis UIN Syarif Hidayatullah; Jakarta; 2005), h. 87-88. Lihat Pula: Abdullah bin Muhammad al-Manshûr; Musykîl al-Qur’ân, (Dâr Ibn al-Jawziyyat: Saudi Arabia, 1426 H), cet.1, h. 47 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 181 berdasarkan al-jihâd, al-`adâlat (keadilan) berdasarkan al-khilâfat, dan alkhilâfat berdasarkan al-rahmat (kasih sayang Tuhan).14 Keempat makna pertama merupakan makna doktriner yang bersifat ritual dan sosial, sedangkan enam makna terakhir merupakan makna universal yang bersifat sosial dan global. Makna doktriner hanya dapat diaplikasikan secara utuh oleh umat muslim, dan makna universal dapat berlaku dan diaplikasikan oleh dan untuk semua umat manusia. Kemudian apa relasi antara makna substantif tersebut dengan tema-tema Al-Qur`ân? Peneliti -sebagaimana tersebut di atasmengklasifikasikan tema Al-Qur`ân kepada dua hal: a. Tema konseptual (global), b. Tema Kontekstual. Jika terdapat tema dalam tafsir Al-Qur`ân itu bersifat global atau konseptual, maka ia tidak boleh bertentangan dengan “makna substantif” yang universal itu. Kemudian jika tema itu berkaitan dengan akidah atau ibadah mahdlah maka ia tidak boleh bertentangan dengan makna substantif yang doktriner. Seluruh tema apapun dalam Al-Qur`ân tidak boleh bertentangan dengan maqâshid al-syarî`at.15 Demikian juga maqâshid al-syarî`at tidak boleh bertentangan dengan makna substantif AlQur’an tersebut, karena yang terakhir merupakan makna muhkam. Intinya makna substantif Al-Qur’an memiliki dua kategori, yaitu sebagai makna doktriner dan sebagai makna universal. “Makna substantif Al-Qur’an” merupakan tujuan nash dan maqâshid al-syarî`at merupakan maksud nash. Dalam kajian tafsir tematik, dikenal istilah Maqâshid Al-Qur’ân.16 Sehingga dengan demikian, akan tercapai sebuah jaringan makna Al-Qur`ân yang organis dan tidak saling 14 Lihat: Andi Rosadisastra; Mencari Teologi Makna Doktriner dan Universal dalam Al-Qur`an: Perspektif Ulum al-Tafsir, (Jurnal al-Fath; IAIN Banten, 2011), vol.05, no.01, h. 24 15 Kajian kontemporer menyebutkan bahwa terdapat enam hirarki dalam maqâshid al-syarî`at,yaitu: memelihara agama (al-dîn), memelihara jiwa (al-nafs), memelihara akal (al-‘aql), memelihara keturunan (al-nasl), memelihara lingkungan (al-bîat), dan memelihara harta (al-mâl). Lihat: Andi Rosadisastra; Metode Tafsir Ayat sains dan sosial, h. 75-76. 16 Lihat penjelasannya di halaman 155-156. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 182 | Mohammad Andi Rosa bertentangan satu-sama lain, baik dalam bentuk tema atau dalam bentuk analisis tafsir. Dalam perspektif “Tafsir Tekstual”, tawaran makna muhkam tersebut, tidak termasuk dalam pembahasan kajian tafsir tekstual, karena bagi penganut tafsir tekstual bahwa makna ayat muhkam adalah ayat yang jelas (zhâhir) dan mengandung nilai hukum (ahkâm), serta bukan ayat yang bersifat samar (mubham) atau bukan ayat yang masih bersifat adanya berbagai kemirifan (mutasyâbihât) dan multi-interpretasi. B. 2. Konsep Nâsikh-Mansûkh dan fleksibilitas Al-Qur’an sebagai sumber hukum Definisi kata majemuk yang berasal dari dua kata ini, yakni nâsikh-mansûkh, adalah yang pertama bahwa nâsikh merupakan ism fâ’il atau kata benda pelaku aktif17 yang bermakna “subjek yang memiliki kemampuan untuk menggantikan otoritas suatu hukum”, sedang yang kedua adalah mansûkh yang merupakan ism al-maf’ûl atau “objek yang digantikan sebagai konsekwensi munculnya pelaku aktif ”.18 Sedangkan menurut istilah ulama peneliti teks Al-Qur’an, Sebagai ilustrasi terhadap penamaan ism fâ’il sebagai kata benda pelaku aktif bukan kata kerja pelaku aktif atau kata benda pelaku (tanpa ada kata aktif) adalah argumen berikut: ism fi’il secara makna adalah kata kerja tetapi beratribut sebagai kata benda, fâ’il secara makna adalah pelaku atau subjek (bisa aktif atau pasif) dan merupakan kata benda saja. Maka lafdz nâsikh yang merupakan ism fâ’il secara makna adalah “subjek yang menggantikan/ yang menghapus” Itu berarti: ism fâ’il adalah kata benda pelaku atau subjek yang bermakna kata kerja. Karena setiap ism fâ’il mengharuskan adanya objek atau maf’ul maka disebutlah sebagai pelaku aktif. 18 Penulis memilih makna al-ibdâl (menggantikan) untuk makna naskh ini, karena mendasarkannya pada surah al-nahl/16: 101 yakni: 17 َّ َوإِذَا بَد َّْلنَا َءا َيةً َم َكانَ َءايَ ٍة َو )101( َاَّللُ أ َ ْعلَ ُم بِ َما يُن َِز ُل قَالُوا إِنَّ َما أ َ ْنتَ ُم ْفت ٍَر بَ ْل أ َ ْكث َ ُر ُه ْم ََل يَ ْعلَ ُمون Pada ayat tersebut orang Yahudi telah menuduh Nabi Muhammad sebagai orang yang mendapatkan pengajaran atau dikte Al-Qur’an dari orang lain, terbukti adanya kontradiksi pada ayat-ayatnya, seperti mengarahkan kiblat pada bait almaqdis (Baitulahm) di Yerusalem, lalu ayat lain merubahnya dengan mengganti arah kiblat pada Masjid Al-Harâm di Mekah. Nashr Hamid Abu Zaid; Mafhûm al-nash; Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 183 seperti menurut Imam Al-Zarkasih dalam kitabnya “al-Burhân fî ‘ulûm Al-Qur’ân”, menyatakan: al-naskh bermakna “penangguhan hukum (ta’jîl al-hukmi ) karena adanya sebab (baru) ”,19 atau menurut ulama lain “al-naskh” bermakna: “ penggantian teks atau ayat (AlQur’an) dengan teks /ayat lain dengan tetap mempertahankan kedua Dirâsah fî ‘ulûm Al-Qur’ân, ( al-hai’ah al-mishriyah al-âmah li al-kuttab, Mesir), 1993, h. 132-133. Kata yang menggunakan huruf : خ- س- نsecara leksikal bermakna: menghapus (to delete),menolak ( to abolish), mencabut/menarik hukum (to repeal), membatalkan (to cancel), menggantikan/sebagai cadangan (substitute for else), salinan/turunan (copy). Hans Wehr; A dictionary of modern written Arabic , (Otto Harrasdowitz; Jerman), cet.3, 1971, h. 961. atau bermakna: menghapus/menghilangkan untuk menetapkan yang baru (al-izâlah), menggantikan (al-ibdâl), memindahkan/mengalihkan (al-tahwîl), menukil/mengambil tulisan dan lafadz (al-naql). Namun, terhadap makna yang terakhir yakni al-naql, ulama mengharamkannya kecuali: Syekh Nuhâs yang membolehkan penggunaan makna alnaql dengan syarat: 1.bahwasanya nâsikh (yang menasakhkan/ yang mengambil dan menukil tulisannya) tidak mengunakan lafadz al-mansûkh (yang dinasakhkan/yang diambil tulisan dan lafadznya) tetapi dengan lafadz lain. Argumen pendapat ini adalah dengan memahami surah al-Jatsiyah/45:29: )29( َق إِنَّا ُكنَّا َن ْست َ ْن ِس ُخ َما ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َملُون َ َُهذَا ِكت َابُنَا يَ ْنطِ ق ِ علَ ْي ُك ْم بِ ْال َح artinya: “(Allah berfirman) inilah kitab /catatan Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”. Syekh An-Nuhâs menyatakan bahwa wahyu yang diturunkan seperti yang sudah kita kumpulkan dalam sebuah mushaf ini berada di lauh almahfûdz (Q.S. Al-Wâqi’ah/56:79) Syarat ke-2. Naskh ini adalah termasuk keistimewaan hukum yang diberikan Allah swt terhadap umat Islam yaitu untuk altaisir/mempermudah atau meringankan hukum yang dibebankan kepada umat Islam, sebagaimana yang sudah disepakati oleh para ulama. Jalaluddin Abdurrahman alSuyûthî (911 H); Al-Itqân fî ‘ulûm Al-Qur’ân, ( Dâr al-fikr; Beirut), cet.3, 1951/1370 H, jilid 2, h. 20-21. 19 seperti: perintah bersabar bagi kaum muslimin zaman Nabi ketika mereka masih lemah dan sedikit (Q.S. Al-Baqarah/2:106) selanjutnya Allah menurunkan perintah memerangi orang-orang yang mengingkari dan menghalangi pelaksanaan ajaran dan hukum Tuhan (Q.S. Al-Jatsiyah/45:14) Hukum pada ayat yang kedua ditangguhkan karena belum ada alasan hukum atau sebab baru untuk menguatkannya. Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkasyî; Al-Burhân fî ‘ulûm Al-Qur’an, (Dâr al-ihyâ’ al-kutub al-‘arabiyyah, tt), cet.1, 1957/1376 H, Jilid 2, h. 42 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 184 | Mohammad Andi Rosa teks tersebut.20 Yakni mempertahankan pemberlakuan hukum yang dikandung oleh masing-masing teks dengan memperhatikan kondisi yang sesuai dengan konteks. Jadi definisi nâsikh-mansûkh atau seringkali disebut al-naskh saja -yang merupakan mashdar (kata benda derivatif), adalah: “Penggantian hukum dari teks atau ayat (AlQur’an) kepada hukum lain berdasarkan teks atau ayat lain karena adanya perubahan situasi atau sebab baru”.21 Dari definisi al-naskh tersebut, terbaca bahwa nâsikh-mansûkh berlaku untuk ayat-ayat hukum. Ayat-ayat hukum terkait dengan ilmu-ilmu sosial, seperti bidang mu’âmalah (ekonomi Islam) tetapi tidak banyak terkait dengan tafsir ayat-ayat kauniyyah. Meskipun, ada kemungkinan bahwa sumber kajian ilmu pengetahuan sosial dapat diperoleh dari isyarat-isyarat ayat selain ayat-ayat sosial. Hal ini, sangat tergantung pada kemampuan mufassir dalam mempergunakan data empiris, rasionalitas, dan kemampuannya memahami bahasa simbol dari suatu ayat. Kemampuan ini, misalnya dapat menggunakan semiotik dalam metode semantik. Menurut para ahli peneliti di bidang Al-Qur’an bahwa fungsi al-naskh adalah diakuinya proses pentahapan dalam menetapkan hukum (al-tadarruj fî al-tasyri’ ) yang sesuai dengan realitas yang muncul kemudian. Hal tersebut dalam sudut pandang penafsiran ayatayat ilmu pengetahuan (al-âyât al-‘ilmî) dapat dinyatakan bahwa Allah swt menetapkan adanya proses penggantian hukum melalui suatu ayat dengan ayat lain, menunjukkan bukti bahwa landasan teks Al-Qur’an berangkat dari batas-batas konsep realitas melalui diakuinya perubahan situasi atau sebab baru oleh teks atau ayat. Nashr Hamid Abu Zaid; Op.cit., h. 134 Hubungan naskh-mansûkh ini dalam pandangan Mahmud Muhammad Thaha yaitu: “ bahwa teks makiyyah lah yang menasakh teks madaniyyah.” Dengan argumentasi berikut: Pada mulanya Al- Qur’an terdiri atas dua risalah: risalah pertama didasarkan atas teks madaniyyah, risalah kedua didasarkan atas teks makiyyah. Teks makiyyah itu universal dan pluralistik ketimbang teks madaniyyah. Moch. Nur Ichwan; Meretas kesarjanaan kritis Al-Qur’an: teori hermeneutika Nashr Abu Zayd, ( teraju; Jakarta, 2003), cet.1, h. 41. 20 21 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 185 Oleh karena itu, adanya perubahan realitas dalam pencarian isyarat-isyarat sosial terhadap ayat-ayat Al-Qur’an menuju ayat-ayat lain yang lebih relevan dengan realitas yang baru diketemukan adalah hal yang wajar, sebagaimana diakuinya “sebab baru” yang merupakan indikasi munculnya ayat-ayat al-naskh dalam menetapkan hukum. Tentu saja -secara tidak langsung- pengakuan terhadap perubahan realitas tersebut, akan relevan dengan sifat dasar ilmu pengetahuan yang nisbi dan selalu berubah sesuai data, realitas, dan kebutuhan masyarakatnya. Maka mengetahui keberubahan realitas suatu ayat (living text), dapat menunjukan kepada adanya fleksibilitas hukum Islam, sebagai sebuah tafsir kontekstual dari ayat terkait berdasarkan nâsikh-mansûkh. Dengan demikian “tafsir tekstual”, sebagai kebalikan dari “tafsir kontekstual” tidak meyakini naskh dengan makna dan ketentuan tersebut. C. Makna Tafsir Kontekstual Tafsir kontekstual -secara sederhana- adalah kegiatan untuk mengeksplanasi firman Allah swt dengan memperhatikan indikasiindikasi dari susunan bahasa dan keterkaitan kata demi kata yang tersusun dalam kalimat, serta memperhatikan pula penggunaan susunan bahasa itu oleh masyarakat, sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.22 Sehingga tafsir jenis ini memiliki aneka ragam konteks, baik konteks bahasa, konteks waktu, konteks tempat, maupun konteks sosial budaya.23 Dengan demikian, paling tidak, terdapat dua hal yang perlu ditekankan dalam proses tafsir kontekstual, yaitu: aspek kebahasaan, dan aspek ruang dan waktu; baik masa terciptanya teks Abdur Rachim; Tafsir Kontekstual, (majalah al-Jami’ah; IAIN Sunan Kalijaga, 1989), no. 39, h.41. Definisi tersebut didasarkan kepada makna “konteks” dalam kamus oxford, yaitu: susunan kata yang dipahami secara khusus, karena keterkaitan kata demi kata dalam susunan bahasa dan keterkaitannya pula dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Lihat: The new oxford Illustrated Dictionary, (Oxford Univ. Press, USA, 1978), vol.1, h.359. 23 Lihat: Abdur Rachim; Tafsir Kontekstual, no. 39, h.56 22 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 186 | Mohammad Andi Rosa pada suatu masyarakat atau lingkungan tertentu (milieu), maupun masa sekarang yang menjadi ruang dan waktu dari penafsir suatu teks. Al-Qur`ân sebagai sebuah teks, mengandung makna yang memuat ayat-ayat muhkamât (ajaran doktrin dan universal yang merupakan welstanschauung Al-Qur`ân) serta mutasyâbihât (ayat-ayat ilustratif), di dalamnya terdapat perintah kepada Muhammad saw sebagai Rasulullah (utusan Tuhan) untuk menjelaskan Al-Qur`ân ini kepada umat manusia.24 Tugas tersebut oleh para pengikutnya, di era klasik maupun modern dan selanjutnya tentu saja diemban oleh para ulama -sebagai pewaris Nabi saw-, agar mereka melakukan ijtihad atau upaya ilmiah berdasarkan aturan dalam perspektif “Ulumul Qur’an” 25 terhadap teks Al-Qur`ân. 24 Q.S. an-Nahl [16]:44 berikut, Ulumul Qur’an secara gramatikal merupakan bentuk idlâfî (genetive construction) yang bermakna: “ilmu-ilmu yang berasal dari dan ditujukan untuk 25 mengkaji Al-Qur`ân. Dalam pengertian ini, ulumul Qur’an dipahami sebagai suatu antologi pengetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur`ân. Makna kedua, ulumul Qur’an dipahami sebagai sebuah bangunan disiplin keilmuan yang berdiri sendiri. Yaitu berbagai pembahasan tentang Al-Qur`ân dilihat dari berbagai tema kajian dan sudut pandang pemikiran sebagai satu kesatuan perspektif dalam bingkai ke-Qur’anan. Meskipun perspektif yang digunakan beragam, karena tidak hanya terbatas pada perspektif keagamaan dan kebahasaan saja, tetapi keseluruhannya tetap terikat dalam satu paradigma keilmuan “ulumul Qur’an”. Ulumul Qur’an dalam pengertian kedua ini menjangkau keseluruhan keilmuan yang tak terbatas. Jalaluddin al-Suyûthî misalnya memperluas wilayah kajian Ulumul Qur’an ini hingga termasuk ilmu astronomi, geometri, kedokteran, dan sebagainya. Jalâluddin al-Suyûthî; al-Itqân fî ‘ulûm al-Qur’ân, (Dâr al-fikr: Beirut, tt), jilid.2, h.128. ‘Ulûm al-Qur’ân terkadang disebut sebagai ‘ulûm al-tafsîr atau ushûl al-tafsîr. Tetapi Abdurrahman al-‘Ak, menyatakan bahwa ‘ulûmul Qur’ân mencakup ‘ulûm al-tafsîr, karena yang terakhir lebih khusus dalam bidang kajiannya. Sedangkan ushûl al-tafsîr, dipandang sebagai ilmu tentang berbagai metode dan kaidah yang harus ditempuh oleh mufassir (penafsir Al-Qur`ân) dalam menafsirkan ayat Al-Qur`ân. Biasanya ilmu ini juga Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 187 Pemaknaan Al-Qur`ân, akibat adanya perkembangan zaman kemodernan26 menuju postmodernisme,27 mengharuskan mengikuti disebut dengan nama ilmu Qawâ’id al-tafsîr. Perbedaannya dengan ‘ulûm al-tafsîr sebetulnya terletak pada metode dan kaidah yang digunakan dalam penafsiran. Artinya, kalau ushûl al-tafsîr menjelaskan tentang metode atau kaidah yang ditempuh dalam penafsiran, maka ‘ulûm al-tafsîr adalah penafsiran yang menggunakan metode dan kaidah tafsir. Dengan demikian, ushûl al-tafsîr merupakan bagian dari ‘ulûm al-tafsîr karena masih berada dalam ruang lingkup penjelasan kandungan makna ayat Al-Qur`ân. Lihat: Abdurrahman al-‘Ak; Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ’idûhu, (Dâr al-Nafâis: Beirut, 1986), cet.2, h. 30-31. Lihat juga dalam: Izzah Faizah Siti Rusydati Khaerani; Epistemologi Ilmu-ilmu Al-Qur`ân dengan pendekatan kritik wacana, (Tesis UIN Bandung: 2004), h.50-51. 26 Menurut Sztompka, untuk memahami kehidupan modern, hendaknya mengetahui ciri masyarakat urban, industrial, dan demokratis. Tetapi akibat dari gaya hidup masyarakat modernisme, terjadi beberapa karakter berikut: a. individualisme, misalnya setiap individu bebas menentukan keanggotaan sosial yang diinginkannya; b. diferensiasi, misalnya penyempitan definisi pekerjaan dan profesi sesuai dengan keragaman keterampilan, kecakapan, dan latihan; c. rasionalitas, artinya manajemen efisien dan efektiv atau rasional; d. ekonomisme, artinya masyarakat modern didominasi oleh aktivitas ekonomi dan uang sebagai ukuran umum dan alat tukar; e. masyarakat modern cenderung mengglobal, termasuk menjangkau bidang kehidupan privat atau pribadi. Akibat modernisme menghasilkan beberapa fenomena berikut, misalnya: perluasan bidang pekerjaan dan pemisahannya dari kehidupan keluarga; pertumbuhan kemandirian (privatization) keluarga dan pemisahan nya dari control sosial komunitas atau masyarakat luas; pemisahan antara waktu untuk bekerja dan waktu untuk santai, dan waktu untuk bersantai semakin banyak; peningkatan konsumerisme. Lebih detail, lihat: Piötr Sztompka; Sosiologi Perubahan Sosial, h. 81-114. Kehidupan modern di Jepang, telah menerima gagasan ekonomi dan teknologi Barat, tetapi demokrasinya berbeda dengan di USA. Bukan hanya kerajaannya yang masih bertahan, tetapi juga struktur hirarkie dalam masyarakat Jepang dan penghargaaan terhadap tradisinya yang masih dipegang teguh. Termasuk di Iran atau beberapa Negara muslim yang mengadopsi modernisme dalam wilayah ekonomi dan teknologi tanpa menerima lembaga politik Barat modern. Lihat: Seyyed Hossein Nasr; Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum muda muslim, (Mizan: Bandung: 1994), cet.1, terj dari: A Young muslim’s guide to the modern world (1993), cet.1, h. 204 27 Istilah postmodern di bidang filsafat menunjuk kepada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Oleh karenanya postmodern dapat merupakan kelanjutan dari proses modern, sehingga ia Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 188 | Mohammad Andi Rosa pola zamannya saat ini atau ke depan. Karena dalam modernisme dapat melahirkan pemisahan dan pemandirian gejala sosio-kultural dengan agama, maka didapati di zaman modern yang berparadigma positivisme ini bahwa ekonomi lepas dari agama, politik lepas dari agama, seni lepas dari agama, pendidikan lepas dari agama, ilmu lepas dari agama, dan begitu efek negatifnya. 28 Kemudian dengan datangnya era posmodernisme, melahirkan peradaban yang berbalik arah dari paradigma modernisme kepada kritik efek modernisme sehingga terjadi penyatuan kembali (integralism) yang sebelumnya terpisah.29 Menurut Kuntowijoyo, disinilah pentingnya bisa juga disebut sebagai most-modern. Menurut Bambang Sugiharto, terdapat beberapa kategori terhadap batasan postmodernisme, tetapi ada kategori yang menurutnya luas sekaligus luwes, yaitu segala pemikiran yang berupaya membuat kritik imanen atas pola berfikir modern. Yang dimaksud dengan kritik imanen adalah kritik yang sambil tetap mempertahankan ideal-ideal modernisme tertentu mencoba pula mengatasi segala konsekuensi buruk dari modernisme itu. Dalam dunia hermeneutika atau penafsiran, paradigma postmodern dapat diwakili oleh teori Dekonstruksi Derrida dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. mengidentifikasi hirarkie oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik; b. oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukan adanya saling ketergantungan diantara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan privilese secara terbalik; c. memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukan ke dalam kategori posisi lama. Derrida ingin membuat tulisan yang tak memiliki ketertutupan filosofis dan berusaha menghidupkan kekuatan tersembunyi yang membangun sebuah teks. Lihat: I. Bambang Sugiharto; Postmodernisme: Tantangan bagi filsafat (1996), (Kanisius: Jogjakarta: 2006), cet.9, h. 28, 32, 46-47. 28 Sejak munculnya modernisasi dalam kehidupan agama, yang ditandai dominasi ilmu-ilmu empirik, muncullah dikotomi antara kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran berdasarkan agama. Bahkan berlanjut kepada dekadensi moral dan kekacauan kemanusiaan (dalam bahasa agama; fitnah). Adanya nilai negative tersebut, kemudian datanglah paradigma post-modernisme yang mengkritik nilai-nilai modern. Tentang kemodernan dan agama, Lihat: Dadang Kahmad; Sosiologi Agama, ( Rosda Karya: Bandung, 2006), cet. 4, h.194. 29 Sehingga agama menjadi dependent variabel semata-mata. Dengan kata lain, modernisme menghendaki secularization yaitu, proses melepasnya dominasi agama atas masyarakat dan budaya. Terdapat dua macam sekulerisasi, yaitu Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 189 dediferentiation (rujuk kembali), deautonomization (keterkaitan kembali), dan deseculerization (penyatuan kembali) menuju paradigma keilmuan islam.30 Maka mensikapi perkembangan realitas tersebut, dalam bahasa agama terkait Al-Qur`ân disebut dengan istilah al-tajdîd (reformulasi; pembaharuan) pemahaman ayat-ayat Al-Qur`ân.31 Untuk melakukan tajdîd ini, diperlukan kontekstualisasi terhadap konteks makna ayat Al-Qur`ân dengan menjadikan perkembangan teori ilmu pengetahuan mutakhir serta kondisi sosial masyarakat mutakhir, sebagai satu bagian piranti analisis dalam proses menafsirkan makna konteks AlQur`ân.32 Inilah yang dimaksud dengan tafsir kontekstual, yang menurut Abdullah Saeed, merupakan pendekatan yang diarahkan lebih sekulerisasi objektif dan sekulerisasi subjektif. Sekulerisasi objektif tingkat sosiostruktural itu kemudian masuk ke dalam, yakni ke tingkat kesadaran berupa sekulerisasi subjektif. Sekuleriasi subjektif pada gilirannya menimbulkan sekulerisme dalam ideologi kemasyarakatan dan ateisme ilmiah dalam ilmu yang secara agresif memprogandakan masyarakat sekuler. Lihat: Kuntowijoyo; Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran Islam, dalam buku: Integrasi sains-Islam; Mempertemukan epistemologi islam dan sains, (Pilar Religia; Jogjakarta, 2004), cet.1, h. 77. 30 Kuntowijoyo; Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran Islam,… h.78 31 Terkait dengan geneologi istilah tajdîd dalam agama, terdapat hadis Nabi saw yang cukup dikenal: inna Allâh yab’atsu li hâ dzihi al-ummah ‘alâ ra’si kulli miah sanah man yujaddidu laha dînahâ. (sesungguhnya Allah swt pada setiap seratus tahun akan membangkitkan orang yang mampu mereformulasi agamanya untuk kepentingan umat ini). Lihat: Abi Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistânî (w.275 H) ; Sunan Abî Dâwud, tahqîq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, (al-Tijariyah Kubrâ; Kairo: 1953), cet.iv, h.109. Penjelasan makna tajdîd dalam hadis tersebut, adalah “usaha untuk mendekatkan antara realitas masyarakat muslim pada masing-masing zaman dengan zaman masyarakat hasil didikan Nabi saw.” Lihat: Busthâmî Muhammad Sa’îd; Mafhûm tajdîd al-dîn, ( Dâr al-Da’wah: Kuwait: 1404 H), h.249 32 Hal ini dimungkinkan karena menurut para peneliti bahwa Al-Qur`ân sebagai teks dapat bersifat shâlihun li kulli al-zamân wa al-makân (mampu melakukan interaksi harmonis dengan konteks, dimensi ruang dan waktu dimana ia berada). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 190 | Mohammad Andi Rosa fleksibel dalam menafsirkan suatu teks, dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis masa diturunkannya wahyu Al-Qur`ân dan memperhatikan masa sekarang (contemporary) serta keinginan muslim dewasa ini (today).33 D. Proses Kegiatan Tafsir Kontekstual Dalam melakukan kegiatan tafsir kontekstual dimaksud, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Proses Pertama; memahami konteks Al-Qur`ân. Proses Kedua; melakukan kontekstualisasi atas ayat Al-Qur`ân atau tema terkait. Dalam bahasa Hasan Hanafi, yang pertama tersebut merupakan suatu teori pemahaman teks, dan kedua merupakan ilmu yang menjelaskan wahyu dari tingkat perkataan ke tingkat dunia, atau dari huruf ke kenyataan, dan dari logos ke praksis yang dapat mengantarkan wahyu Al-Qur`ân kepada tujuan akhirnya dalam kehidupan real manusia.34 D.1. Proses Pertama: Memahami konteks Ayat Tafsir pada prinsipnya adalah mendialogkan antara teks dengan konteks. Menurut Nur Ichwan, ketika ia mengutip Nasr Abu Zaid, bahwa untuk mendekatkan teks dengan konteks ini ada lima macam pendekatan, yaitu: Pertama, konteks sosio-kultural, yakni aturan-aturan konvensional kolektif yang bersandar pada kerangka kultural waktu teks lahir. Kedua, konteks eksternal, yakni konteks percakapan (siyâq al-takhâthub) yang diekspresikan dalam struktur bahasa suatu teks. Disebut juga “konteks pewahyuan”, yang 33 Abdullah Saeed; Interpreting the Qur’ân: Towards a contemporary approach, (Routledge: USA and Canada), cet.1, h. 1 34 Terhadap yang pertama dapat dijelaskan dengan kesadaran historis ( alsyu’ûr al-târikhî) dan dengan kesadaran deduktif (al-syu’ûr al- ta’ammulî), sedangkan terhadap yang kedua dapat dijelaskan dengan kesadaran induktif (alsyu’ûr al-‘amalî). Lihat: Hasan Hanafi; Dialog agama dan Revolusi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h.1-2. Lihat pula: Ahmad Hasan Ridwan; Fiqh al-Ta’wil: Tafsir Hermeneutis Ayat-ayat Hukum, dalam buku: Mengerti Quran: Pencarian Hingga Masa Senja 70 Tahun Prof H.A.Chozin Nasuha, (Pusat Penjaminan Mutu dan Program Pascasarjana: UIN SGD Bandung, 2011), cet.1, h. 272. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 191 dalam ilmu Al-Qur’an, ini disebut “sebab-sebab pewahyuan” (asbâb alnuzûl). Level ketiga adalah konteks internal yang berkaitan dengan “ketakintegralan” struktur teks dan pluralitas level wacananya. Struktur teks tidak integral, karena adanya perbedaan antara urutan teks (tartîb al-mushafî) dan urutan pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Lebih dari itu, teks bersifat plural karena beragamnya wacana yang dihadapi oleh pembaca, seperti wacana cerita ( siyâq al-qashshah), wacana perintah dan larangan (al-amr wa al-nahy), hiburan dan ancaman (al-targhîb wa al-tarhîb), dsb. Keempat, konteks linguistik yang berkaitan dengan suatu kalimat juga yang berkaitan dengan yang implisit dalam struktur wacana. Kelima, konteks pembacaan (siyâq alqirâah) yang berusaha mendekonstruksi kode. Ada dua macam konteks pembacaan: internal dan eksternal. Internal adalah Tuhan, sebagai pengirim pesan atau pembicara sekaligus penerima pesan ketika pesan-Nya dibaca oleh “pembaca eksternal”. Variasi level pembacaan disebabkan oleh: kondisi yang berbeda dari setiap diri pembaca dan oleh perspektif pembacaan yang berbeda, seperti linguistik, teologis, filosofis, dsb.35 Terhadap konteks yang kelima, yaitu konteks pembacaan (siyâq al-qirâ`at), -menurut penulis buku tafsir ayat sains dan sosial-, dapat dimanfaatkan ketika seseorang hendak mengkaji suatu karya tafsir. Hal ini dapat diaplikasikan, ketika seseorang hendak menggunakan metode hermeneutika, sebagai perangkat analisisnya, karena tujuan hermeneutika pada dasarnya adalah ingin mengkritik teks dan mendapatkan makna yang lebih baik sesuai dengan pemahaman mufassir. Singkatnya, pada proses pertama dipahami berbagai macam konteks terkait ayat yang hendak ditafsirkan, meliputi: konteks sosio-kultural pada masa Al-Qur’an turun, konteks asbâb al-nuzûl, konteks relasi antar ayat/surat dan stilistika Al-Qur`ân (‘ilm al-uslûb), dan konteks linguistik. Sedangkan konteks pembacaan dapat digunakan untuk proses kedua, sebagaimana yang akan dijelaskan. Proses memahami konteks tersebut dapat dilakukan melalui penjelasan asbâb al-nuzûl dari ayat yang dikaji dan historisitas teks.36 Moch. Nur Ichwan; Meretas kesarjanaan kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nashr Abu Zayd, (Teraju; Jakarta, 2003), cet.1, h. 90-93 35 36 Menurut Nasr Abu Zaid, kemampuan mufassir untuk memahami makna teks harus didahului dengan pengetahuan tentang realitas-realitas yang Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 192 | Mohammad Andi Rosa Juga dipahami dalam konteks keterkaitan antar ayat dimaksud dengan menggunakan teori munâsabat al-âyât,37 yang dielaborasi dengan memproduksi teks. Mengetahui asbâb al-nuzûl bertujuan memahami teks dan menghasilkan maknanya, karena pengetahuan mengenai sebab menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab), juga pada ayat hukum akan memberikan pemahaman tentang hikmah al-tasyri’. Pemahaman atas “sebab” atau “hikmah” tentunya dapat membantu ahli fikih mentransformasikan hukum dari realitas partikular ~atau sebab khusus~ dan menggeneralisasikannya ke peristiwa dan kondisi yang menyerupainya melalui qiyâs (analogi). Akan tetapi, harus disadari bahwa transformasi dari “sebab” ke “musabab”, atau dari realitas khusus ke realitas yang menyerupainya, harus didasarkan pada “tanda-tanda” yang terdapat dalam struktur teks itu sendiri. Tanda-tanda inilah yang akan membantu mentransformasikan makna dari “yang khusus” dan partikular ke “yang umum” dan menyeluruh. Lihat: Nasr Hamid Abu Zaid; Tekstualitas Al-Qur`ân: Kritik terhadap ulumul Qur’an , terj dari “Mafhûm al-nash:Dirâsat fî `ulûm al-Qur’ân”, (LKiS: Jogjakarta, 2003), cet.3, h. 115-116. Menurut Al-Zarqânî, bahwa fungsi mengetahui asbabun nuzul, yaitu: a. memahami hikmah Allah swt dalam penentuan hukum agama; b. membantu untuk memahami ayat dan mendukung dalam pemahaman ayat-ayat yang ambigu (musykil); c. menolak adanya dugaan pembatasan makna ayat, terhadap teks yang pada lahiriahnya berbentuk lafal yang mengandung makna “pembatasan”; d. mengkhususkan hukum agama (al-hukm) dengan adanya “sebab” d. memahami terhadap psikologi seseorang yang terkait dalam penentuan maksud ayat, sehingga tidak tertukar dengan individu lain; e. memudahkan penghapalan, pemahaman, dan peneguhan wahyu Al-Qur`ân ke dalam sanubari atau jiwa yang mendengarnya. Tentang contoh, lihat: Muhammad Abdul Azim al-Zarqânî; Manâhil al-‘irfân fî ‘ulûmi al-Qur’ân, (Dâr al-kutub al-‘ilmiyyah: Beirut, 1996/1416), juz.1, h.110-115 37 Adapun makna munâsabah secara leksikal adalah: keserasian, korelasi, pertalian, hubungan, dan alasan, kemiripan, keterkaitan, atau adanya persamaan illat (sebab, sifat). Lihat: Hans Wehr; Dictionary of Modern Written Arabic, (London, ed. J. Milton Cowan, cet 3, 1971), h 960. Jalaluddin Al-Suyûthî (911 H); Al-Itqân, (Dâr Al-Fikr; Beirut), 1979/1399, juz 1, h. 108. Terdapat dua belas contoh dari pola munâsabah al-âyât, yaitu: a. Penggunaan huruf tertentu sebagai ciri khas dalam suatu surat memiliki rahasia, makna, atau hikmah tertentu; b. Penggunaan diksi pada suatu ayat memiliki makna tertentu dalam relasi rangkaian ayat dimaksud; c. hubungan antar kata atau kalimat dalam suatu ayat; d. hubungan antar ayat; e. Hubungan antar frase atau kelompok ayat dalam satu surat; f. Hubungan implisit antara pembuka dan penutup suatu surat; g. Adanya kesatuan tema dalam suatu surat; h. hubungan antar surah-surah Al-Qur`an, seperti dijelaskan dalam kitab “tanâsuq al-durar fî tanâsub alsuwar karya Imam al-Suyuthî, nazhmu al-durar fî tanâsub âyi wa al-suwar karya al- Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 193 pendekatan semantik melalui medan makna dari ayat dimaksud. Bahkan tujuan ilmu munâsabat menurut Burhanuddin Abu Hasan AlBiqâ’î (809-885 H) adalah untuk mewujudkan kesesuaian makna berdasarkan konteks-nya.38 Penggunaan asbâb al-nuzûl mengindikasikan adanya proses resiprokasi atau timbal balik antara wahyu dengan realitas. Seakan wahyu memandu dan memberikan solusi terhadap problem sosial yang muncul saat itu.39 Disinilah pentingnya mengeksplorasi asbâb alnuzûl. Terkait dengan teori “asbâb al-nuzûl”, di kalangan para ahli tafsir (mufassir) terdapat dua kaedah penafsiran yang terkenal: 1. “al`ibratu bi `umûm al-lafzhi, lâ bi khushûshi al-sabab” (yang dijadikan pegangan ialah keumumuman lafal, bukan kekhususan sabab); 2. “al`ibratu bi khusûshi al-sabab lâ bi`umûmi al-lafzhi” (yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sabab bukan keumumuman lafal); Penjelasan singkatnya, dari kaedah kedua ini adalah: pemahaman atas illat atau sebab dapat membantu dalam mentransformasikan hukum dari sebab khusus atau realitas-realitas partikular kemudian menggeneralisasikannya ke peristiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi yang menyerupainya melalui metode al-qiyâs (analogi). Tetapi menurut, Nasr Hamid Abu Zaid, pengetahuan sebab akan menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab). Transformasi dari sebab ke akibat (musabab) didasarkan pada berbagai petunjuk tanda yang terdapat dalam struktur teks. Tanda dalam teks itulah yang membantu mentransformasikan makna dari yang partikular ke Biqâ’î, al-asâs fî al-tafsîr karya Sa’id Hawwa, al-Tafsîr al-munîr karya al-Zuhailî; i. Hubungan ayat bertema sama namun terletak di surat yang berbeda; j. Hubungan antara surat yang memiliki dengan ungkapan pembuka yang sama; k. adanya kesatuan tema dalam keseluruhan ayat Al-Qur`an; l. kesatuan ayat Al-Qur`an dengan berbagai relasi ayat tersebut secara komperehensif. Lihat: Amir Faishol Fath; The Unity of Al-Qur`an, (Pustaka al-Kautsar; Jakarta, 2010), cet.1, h. 75-113. 38 Burhanuddin Abu Hasan Al-Biqâ’î; Nazm Al-Durar fî tanâsub al-âyât wa suwar, (Dar al-kutub al-‘ilmiyyah ;Beirut,1995 ), h. 3 39 Ali Sodiqin; Antropologi Al-Qur`ân: Model Dialektika wahyu dan budaya, (Arruz Media: Jogjakarta, 2008), cet.1, h.12-13 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 194 | Mohammad Andi Rosa universal.40 Kaedah kedua digunakan untuk ayat Al-Qur`ân yang memiliki asbâb al-nuzûl.41 Selanjutnya dikenal kaedah ketiga, yaitu: “al-`ibratu bi maqâshidihâ” (yang dijadikan pegangan adalah maksud utuh dari suatu atau beberapa ayat). Kaedah ketiga inilah yang lebih argumentatif dalam memahami makna utuh dari maksud Al-Qur`ân secara keseluruhan (welstanschauung Al-Qur`ân). Oleh karenanya diperlukan pengaplikasian teori munâsabatu al-âyât dan kemudian berkembang menjadi teori al-wahdat al-maudlûiyyat.42 Dalam teori ini, berlaku ketentuan tingkatan lafal ayat terhadap maknanya, sebagaimana telah dikemukakan manakala menjelaskan tentang makna pertentangan antar lafal ayat. Menurut Manna Khalil Qatthan, apabila munâsabat-nya memiliki makna yang dalam, adanya konteks yang harmonis, sesuai dengan dasar-dasar bahasa arab, maka munâsabah-nya relatif dapat diterima. Juga ada beberapa segi yang dapat dijadikan pedoman untuk mencari bentuk munâsabat, antara lain: 1. segi makna; baik berbentuk umum (‘âm), khusus (khâsh), aqlî (ada kesesuaian), hissî (dapat Lihat: Nasr Hamid Abu Zaid; Mafhûm al-nash:Dirâsat fî `ulûm al-Qur’ân, h.102-103 41 Terdapat dua kitab asbâb al-nuzûl yang ditulis masa pertengahan islam, yakni: Lubâb al-nuqûl fî asbâb al-nuzûl disusun oleh Imam Al-Suyûthî (911 H), Asbâb al-Nuzûl yang disusun oleh Al-Wâhidî (468 H). Al-Wâhidi hanya mengungkap sekitar 472 ayat (7,5%) terkait dengan riwayat asbâb al-nuzûl, dan asSuyûthî hanya merekam riwayat asbâb al-nuzûl sekitar 888 ayat (14 %). Lihat: Jalaluddin Al-Suyûthî; Lubâb al-nuqûl fî asbâb al-nuzûl, (Dâr Al-Fikr; Beirut), tth. Juga kitab: Ahmad al-Wâhidî al-Nisâburî; Asbâb al-Nuzûl, (Dâr Al-Fikr; Beirut), 1994. 42 Lihat: Islahudin; Teori al-wahdah al-maudlûiyah lî al-Qur’ân al-karîm 40 dalam Penafsiran Sa’îd Hawwâ: Studi atas Penafsiran surat Al-Fatihah dan al-Sab’u al-Thiwâl, (Tesis UIN Jakarta: 2008). Dalam kitab ahdâf kulli sûrah wa maqâsiduha fî al-Qur`ân, Abdullah Mahmûd Syahâtah menyatakan bahwa terdapat kesatuan tema bagi setiap surat, dan bahwasanya adanya pemikiran suatu surat yang menjadi tema surat mewajibkan menjadi dasar/asas dalam memahami ayat-ayatnya. Lihat: Abdullah Mahmûd Syahâtah; Ahdâf kulli sûrat wa maqâsiduha fî al-Qur`ân al-karîm, (al-Haiah al-mishriyyah al’-‘âmmah li al-kuttâb; Kairo, 1986), cet.3, h. 5 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 195 diterima oleh indera), khayalî (imajiner). 2. talazzum al-zikhnî (adanya hubungan yang dapat dijelaskan oleh akal fikiran), seperti hubungan sebab akibat (illah wa ma’lûl), adanya dua hal yang berlawanan, dan sebagainya. 3. Talazzum kharîjî, yaitu dengan menelaah susunan katakata suatu ayat atau surat Al-Qur`ân.43 Maka penentuan adanya munâsabat atau keterkaitan antar ayat, -secara sederhana-, terdapat tiga cara yaitu: a. Munâsabat berdasarkan derivasi lafal; b. Munâsabat berdasarkan keterkaitan makna; c. Munâsabat berdasarkan konteks ayat (khithâb) yang sama. Proses pencarian atau pemahaman konteks Al-Qur`ân tersebut, merupakan sebuah bentuk dari tafsîr bi al-matsûr.44 Terkait dengan tafsîr bi al-matsûr, maka peneliti dalam hal sumber tafsir akan bersandar kepada: Al-Qur`ân, Sunnah nabi saw, Linguistik Arab yang berdasarkan kepada makna leksikal dan tidak berkembang kepada pemaknaan berdasarkan takwil (tentang takwil merupakan pembahasan kontekstualisasi ayat), mengambil petunjuk dari tujuan umum Al-Qur`ân dan prinsipnya yang universal (muhkam), serta dengan memperhatikan rûh dan qarînat atas metode di kalangan shahabat nabi saw yang senior dan para pemuka thâbi’în. Dengan demikian tafsîr bi al-matsûr tidak bisa dipadankan sebagai tafsir tekstual, dan tafsîr bi al-matsûr bukan antonim dari tafsir kontekstual. Secara epistemologis, pola tafsir kontekstual tersebut, dapat juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan bayânî (kajian 43 Manna Khalil Qatthan; Mabâhits fî ‘ulûm Al-Qur`ân, (Beirut; Mansyurât al-‘ashr al-hadîts; 1973 M /1393 H), h. 97 44 Yaitu: menafsirkan Al-Qur`ân dengan rakyi yang didasari oleh dalil AlQur`ân, al-sunnah (sunnah nabi saw, pen), pendapat shahabat, kemudian pendapat thabi’in. Lihat: Muhammad Ali al-Shâbûnî; al-Tibyân fî ‘ulûm al-Qur’ân, (Muassasah Manâhil al-‘irfân, 1981), h.67. Untuk mendapatkan batas yang tegas antara tafsîr bi al-matsûr tersebut dengan tafsîr bi al-rakyi al-mahmûd maka ditetapkanlah rambu-rambu berikut: Pertama, istidlâl (pengambilan dalil ) tidak boleh diawali prakonsepsi. Kedua, dalam ber-istidlâl mufassir tidak boleh terpaku pada teks melainkan juga pada konteks. Dadang Darmawan; Sejarah Tafsîr bi almatsûr, (Jakarta; Tesis UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 130-131. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 196 | Mohammad Andi Rosa sastrawi) ala Amin al-Khûlî dalam menafsirkan Al-Qur`ân, yang menurut Bintus Syâthî’ -murid sekaligus istrinya-, adalah sebagai berikut:45 1. Asal dalam metode, adalah pencarian tematik terhadap ayat yang hendak dipahami dari “kitab Islam” (Al-Qur`ân). Dimulai dengan mengumpulkan semua ayat dan surat di dalam Al-Qur`ân dalam tema yang hendak dipelajari. 2. Di dalam memahami tentang sesuatu di sekitar teks: ayat-ayat disusun berdasarkan turunnya, untuk mengetahui situasi waktu dan tempat. Termasuk di dalamnya asbâb al-nuzul, yang dapat menjadi argumen langsung (qarâin lâbisât) bagi turunnya suatu ayat. Tanpa menghilangkan pemahaman dari al-‘ibratu bi ‘umûm al-lafazh lâ bi khushûshi al-sabab. Bahwasanya “sebab” disini adalah bukan makna hukum (hukmiyat; pasti) atau transenden (‘uliyyat) yang tanpanya ayat tidak akan turun. Perbedaan dalam asbâb alnuzûl biasanya kembali kepada orang-orang yang sezaman dengan turunnya ayat atau surat, mengikatnya dengan apa yang mereka pahami bahwa sebab itulah merupakan sebab turunnya ayat. 3. Di dalam memahami makna lafal (dilâlatu al-alfâzh): kita mengapresiasi bahwasanya bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur`ân. Maka kita mencari makna asal kebahasaan, yang dapat memberikan kepada kita tentang rasa bahasa Arab tentang tema dalam berbagai penggunaannya, baik rasa bahasa (hissî) atau makna konotatif (majâzî). Kemudian kita menyimpulkan tentang inti (mûkh) makna Al-Qur`ân dengan cara induktif (istiqrâ`) terhadap semua bentuk (shigat) lafal Al-Qur`ân, kemudian menelaah konteks khusus dalam ayat dan surah, dan konteks umum dalam Al-Qur`ân secara keseluruhan (global). Selanjutnya Bintus Syâthî’ juga menyatakan bahwa dalam memahami rahasia ungkapan (asrâr al-ta’bîr) Al-Qur`ân, kita menentukan pemahaman kepada konteks nash dalam koridor Al-Qur`ân yang muhkam (makna doktrin dan peradaban; pen), dengan memperhatikan kandungan makna yang dibawa oleh nash itu, secara tekstual dan implisit (spirit teks: rûh al-nash, pen). Tentang makna tersebut, kita dapat menyodorkan pendapat para ahli tafsir yang dapat diterima oleh teks yang dibahas. Juga dapat menyingkirkan pendapat yang berdasarkan riwayat israiliyat, takwil yang dibuat-buat, atau Aisyah Abdurrahman bintus Syati’; al-tafsîr al-bayânî li al-Qur’ân alkarîm, juz 1, Dâr al-ma’ârif, cet.7, Kairo, 1397/1977, h.10-11 45 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 197 penafsiran yang mendahulukan fanatisme mazhab tertentu (syawâib al-ahwâ al-madzhabiyyat).46 Karena itu, seorang pengkaji Al-Qur`ân, -menurut Bintus Syathî’-, dituntut untuk memahami kosakata (mufradât) dan gaya bahasa (uslûb) Al-Qur`ân dengan bertumpu pada kajian metodologisinduktif dan menelusuri rahasia ungkapan Al-Qur`ân.47 Tafsir model Amin al-Khuli, pada dasarnya berkisar pada pencarian makna awal berdasarkan gramatika bahasa saat Al-Qur`ân turun, dan lafal yang digunakan dalam Al-Qur`ân itu.48 Dengan demikian, pendekatan bayânî dari Aisyah Bintus Syathi` adalah pengembangan dari tafsir bi al-matsûr, karena secara epistemologis ia juga menggunakan sumber-sumber bi almatsûr (termasuk eksplorasi makna kebahasaan) yang oleh Ibnu Taymiyyah dinamakan juga sebagai tafsir dengan pendekatan terbaik (min ahsan thurûq al-tafsîr). Kajian linguistik mutakhir atau kebahasaan dalam teks AlQur’an, dilakukan juga dengan pendekatan semantik, yaitu menurut Toshihiko Izutsu (1963), bahwa interpretasi kontekstual dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Mengumpulkan sebuah kata tertentu dalam berbagai konteksnya. 2. Membanding-bandingkan semua penggunaannya. 3. Menghubungkan semua istilah yang menyerupainya. 4. Melawankannya (antonimnya). 5. Menghubungkan satu-sama lain.49 Demikian beberapa contoh proses dalam memahami berbagai konteks Al-Qur’an yang meliputi empat aspek tersebut, yakni: konteks sosio-kultural pada masa Al-Qur’an turun, konteks asbâb al-nuzûl, 46 Aisyah Abdurrahman bintus Syati’; al-tafsîr al-bayânî li al-Qur’ân al- karîm, juz 1, h.11 47 Aisyah Abdurrahman bintus Syati’; al-tafsîr al-bayânî li al-Qur’ân al- karîm, juz 1, h. 11 dan 15 Lihat: Amin al-Khuli; manâhij tajdîd fî al-nahwi wa al-balâghat wa al-tafsîr wa al-adab, (Mesir: Haiat Mishriyyah:al-ammah li al-kitâb, h.233 49 Izutsu; The Structure…., h.31-32 48 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 198 | Mohammad Andi Rosa konteks relasi antar ayat/surat dan stilistika Al-Qur`ân (‘ilm al-uslûb), dan konteks linguistik. D.2. Proses Kedua: Kontekstualisasi atas Ayat Al-Qur`ân atau tema terkait Kontekstualisasi dalam tafsir Al-Qur`ân dapat dikelompokan ke dalam bentuk tafsir bi al-ra’yî, yang menekankan penguasaan sang mufassir atas berbagai macam disiplin ilmu. Tafsir ini dipandang sebagai kajian interdisipliner.50 Hal tersebut, dalam kajian metodologi tafsir klasik dapat menggunakan metode takwil.51 Lihat: Dadang Darmawan; Ortodoksi Tafsir: Respon ulama terhadap tafsir KH. Ahmad Sanusi, (Disertasi UIN Jakarta: 2009), h.115 51 Di dalam kamus bahasa, didapati makna takwil yaitu: raja`a, `âda (pulang atau kembali). Ibnu Manzûr; lisân al-`ârab, bab awl. lihat juga dalam kamus mukhtar al-shahâh,. Menurut al-Râghib al-Ashfahânî, takwil dapat bermakna: “ kembali ke 50 asal, mengembalikan sesuatu kepada tujuan yang diinginkan secara teori atau praktek (`ilman kâna au fi`lan), penjelasan yang merupakan tujuan yang diinginkan, strategi untuk menjaga tempat asalnya.” al-Râghib al-Ashfahânî; al-mufradât fî gharîb al-Qur’ân. Sedangkan menurut terminologi ulama ahli ushul, seperti Imam Ghazali (550 H) takwil adalah: “ungkapan dalil yang mengandung pertentangan dan dapat menjadikan lebih kuatnya asumsi (zhan) dari maknanya yang zhâhir (jelas), dan setiap takwil memiliki keserupaan dalam pengalihan lafal dari makna hakikat ke majâzî (metafora).” Abu Hamid al-Ghazali (w.550 H); al-mustashfâ, juz 1, h.378. Jelaslah dari definisi tersebut, bahwa takwil dan majâz dapat bertemu dalam satu makna, yaitu: “Pengalihan” dari ungkapan zhâhir (yang jelas) berbagai lafal atau frase (al-`ibârât). Tetapi takwil: “mengalihkan kalimat (kalâm) dari makna zhâhir (yang jelas) ke aspek makna [lain] yang diembannya, sedangkan majâz (metafora) adalah: setiap lafal yang melampaui dari tema-nya”. Takwil lebih umum dari majâz. Lihat: Muhammad Sâlim Abû `Āshî; maqâlatâni fî al-ta’wîl: ma`âlim fî al-manhaj wa rashdu li al-inhirâf, (Dâr al-bashâir; Kairo, 2003/1424), h.15. Adapun definisi dari kitab Jam`u al-jawâmi`, yaitu: “membawa makna yang jelas (zhâhir) kepada kandungan makna yang memungkinkan ( al-marjûh), karena jika dalilnya dapat terbawa oleh makna tersebut maka hal itu adalah benar ( shâhîh) atau jika dalilnya diasumsikan (zhan) saja maka hal itu adalah keliru (fâsid) atau tidak mengandung takwil, maka permainan [makna] bukan takwil.” Lihat: syarh jam`u al-jawâmi`, juz 2, Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 199 Takwil adalah bahagian dari tafsir Al-Qur`ân. Makna “takwil” menurut M. Bakar Ismail, merupakan tafsir batin dari lafal/lafadz (AlQur`ân), dan secara kebahasaan bermakna: kembali ke perkara yang paling terdahulu atau yang menjadi sebab pertama. Takwîl merupakan informasi tentang hakikat yang dimaksud, sedangkan tafsîr adalah informasi tentang dalil yang dimaksud, karena lafal dapat menyingkap sesuatu yang dimaksud, dan subjek yang menyingkap (al-kâsyif) makna lafal itulah yang disebut dengan dalil (al-dalîl)”.52 Takwil juga mencakup analisis (tahlîlî) dan argumentasi (ta’lîl), tidak hanya menyingkapkan makna lafal saja tetapi juga memperhatikan susunan (tarkîb) dan gaya bahasa sastrawi (uslûb bayâniyyat), termasuk argumentasi agama (syarîat) dan rasionalitas, juga kebahasaan. Serta argumentasi yang bisa membenarkan dan menguatkan, seperti lingkup konteks dan kesatuan tema yang keduanya dapat mengikat makna.53 Proses pentakwilan tersebut, menurut para ulama ushûl dan tafsir, memiliki ketentuan berikut: a. Bahwasanya makna yang hendak ditakwilkan dari suatu lafal, adalah termasuk makna yang dikandung/dimiliki (ihtimâl) oleh lafal dimaksud. Hal ini dapat ditunjukan melalui metode manthûq-mafhûm, juga di saat yang h. 52. Sedangkan menurut ulama fiqih kontemporer, takwil adalah: “mengeluarkan lafal dari maknanya yang jelas (zhâhir) kepada makna lain yang diembannya dan makna itu bukan makna yang jelas (zhâhir) dari lafal dimaksud.” Abu Zahrah; Ushûl fiqh, h.126. 52 Muhammad Bakar Ismail; Ibnu Jarîr al-Thabarî wa manhajuhu fî al-tafsîr, (dâr al-Manâr: kairo: 1991/1441), h.34. Lebih lanjut ia memberikan contoh berikut: ayat “inna rabbaka la bil mirshâd”, tafsirnya adalah: bahwasanya lafal al-mirshâd berasal dari akar kata al-rashad bermakna “mengawasi dan mengikuti”, maka almirshâd merupakan “alat atau instrumen” (mif’âlun minhu) dari pengawasan dimaksud. Sedangkan takwil ayatnya adalah: “agar berhati-hati untuk tidak melalaikan perintah Allah, dan mempersiapkan terhadap sesuatu yang disodorkan atau yang mungkin akan datang.” Maka dalil yang menentukan maknanya itu merupakan sesuatu yang membawanya kepada penjelasan yang diinginkan oleh lafal dimaksud, yang bisa berbeda dengan objek lafal dari segi kebahasaan. 53 Muhammad Bakar Ismail; Ibnu Jarîr al-Thabarî wa manhajuhu fî al-tafsîr, h.34-35. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 200 | Mohammad Andi Rosa sama sesuai (muwâfaqan) dengan aturan-aturan kebahasaan, budaya baik suatu masyarakat (`urf), dan ketentuan syariat (shâhibu al-syar`i). b. Terpenuhinya dalil yang menjadikan makna yang diunggulkan/ dimungkinkan (al-marjûh) oleh lafal yang jelas (zhâhir) kepada makna yang unggul (râjih) dan memberlakukan makna yang unggul (râjih) dari makna yang marjûh karena lemahnya makna marjûh. Hal itu disebabkan karena asal di dalam teks agama adalah bolak-balik (qawâlib) disebabkan ada dalil zhâhir, dan wajib mengamalkan yang zhâhir tersebut kecuali jika dalilnya mengharuskan pengalihan kepada makna lain.54 Maka teks agama, petunjuk bahasa, dan rasionalitas, telah memberikan petunjuk bahwasanya tidak boleh suatu ungkapan atau kalimat ditakwilkan dengan mengalihkan dari makna zhâhir kepada makna lain kecuali jika disandarkan kepada pentakwilan di atas. Adapun dalîl atau qarînat yang dapat mengalihkan makna zhâhir atau makna hakikat (al-haqîqât) adalah hukum syariat berdasarkan dalil firman Allah swt, sunah nabi saw, dan dalil kebahasaan atau petunjuk `urf yang umum. Menurut ulama ahli ushul terdapat beberapa kriteria lain yang harus diperhatikan dalam melakukan takwil, yaitu: [c] Arti yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran (al-haq min Allâh), yakni takwilnya didasarkan kepada pandangan tentang tauhid atau kesucian Tuhan, kemaslahatan, keseimbangan, keadilan, dan kemanusiaan. [d] Arti yang dipilih sesuai dengan bahasa Arab klasik. [e] Makna yang dipilih sebagai takwil merupakan satu kemungkinan makna yang dimiliki oleh nash/teks. [f] Penetapan makna sebagai takwil atas nash/teks didasarkan kepada dalil yang memiliki validitas yang kuat (shahîh). 55 Lebih detail, lihat: Muhammad Sâlim Abû `Āshî; maqâlatâni fî al-ta’wîl: ma`âlim fî al-manhaj wa rashdu li al-inhirâf, (Dâr al-bashâir; Kairo, 2003/1424), h. 54 25-30 Lihat: Abu Ishâq al-Syâthibî; al-muwâfaqât fî ushûl al-syarî`at, (Kairo; alTijariyah al-kubrâ, tth), jilid.2, h.100. Muhammad bin Ali al-Syaukanî; Irsyâd alfuhûl ilâ tahqîq al-haq min `ilmi al-ushûl, (Maktabah Tijariyyah; Makkah alMukarromah, 1993), h.300-301 55 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 201 Takwil menurut Hasan Hanafi, merupakan pencarian tujuan umum dari teks dan memberikan makna kontemporer bagi teks menjadi sistem dengan mengubah realitas menjadi realitas model ideal. Sebagaimana pernyataannya berikut ini:56 “sesunguhnya teks hanyalah bentuk umum yang memerlukan isi. Isi ini adalah sebuah cetakan kosong yang dapat diisi dengan berbagai kebutuhan dan keperluan zaman sebagai bangunan hidup manusia, yang oleh wahyu disebut “tujuan umum”. Karena itu takwil terhadap teks adalah sesuatu yang niscaya. Semua teks dapat ditakwilkan dalam rangka mewujudkan realitas yang sesuai dengannya. Takwil disini bukan berarti melencengkan teks dari makna hakiki ke makna majâzî (metaforis) dengan suatu keterkaitan, tetapi memberikan isi kontemporer terhadap teks, sebab teks adalah sebuah cetakan tanpa isi. Takwil disini merupakan urgensi sosiologis untuk mengubah wahyu menjadi sistem dengan mengubah realitas menjadi realitas model ideal.” Selanjutnya Hasan Hanafi menyatakan, bahwa dalam proses pentakwilan tersebut dapat digunakan qiyâs syarî’at (analogi dalam bidang agama).57 Jadi hubungan yang ada bukan hanya antara akal dan naql (teks agama; Al-Qur`ân dan hadis nabi saw), tetapi hubungan segitiga dengan memasukan kenyataan atau realitas sebagai rujukan kebenaran dan pembuktian jika terjadi kontradiksi antara akal dan naql.58 Menurut Abed al-Jabiri, kontekstualisasi teks adalah untuk menumbuhkan tingkat objektivitas teks, dan hal ini dapat digunakan Lihat: Hassan Hanafi; Dari akidah ke revolusi: sikap kita terhadap tradisi lama, (Paramadina, Jakarta, 2003), cet.1, h.185 56 57 Terkait dengan kajian bidang politik, ~sebagai bagian dari ilmu sosial yang utama~ terdapat definisi tentang qiyâs atau analogi dari Muhammad Syahrur, menurutnya “qiyâs” adalah analogi yang didasarkan atas bukti-bukti material dan pembuktian ilmiah yang diajukan oleh ahli ilmu alam, sosiolog, ahli statistik, dan ekonomi. Pemilik ilmu-ilmu tersebut merupakan penasehat otentik bagi otoritas pembentukan undang-undang dan otoritas politik. Lihat: Muhammad Syahrur; Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (eLSAQ Press; Jogjakarta: 2004), terj. oleh: Sahiron Syamsuddin, dari: Nahwa ushûl jadîdat li al-fiqhi al-islâmî, h. 282 58 Hasan Hanafi; Dari Akidah ke Revolusi: Sikap kita terhadap tradisi lama, (Paramadina: Jakarta: 2003), cet.1, h. 185-186 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 202 | Mohammad Andi Rosa dengan tiga langkah pendekatan. Pertama; penggunaan metode strukturalis.59 Kedua; Analisis historis, dengan cara: [a]. memahami geneologi pemikiran yang sedang dikaji. [b]. Menguji validitas suatu teks melalui tiga aspek: apa yang ingin dinyatakan oleh teks (said), apa yang tidak ingin dinyatakan dalam pemahaman suatu teks (not said), dan apa yang belum dinyatakan oleh teks (never said). Ketiga; Kritik ideologi, yaitu mengungkap fungsi ideologis -termasuk sosial politikyang dikandung dalam teks.60 Memahami apa yang dinyatakan dalam teks, merupakan pemahaman yang eksplisit dari ayat, sedangkan memahami apa yang tidak dinyatakan dalam teks adalah pemahaman implisit dari ayat, sedangkan memahami apa yang belum dinyatakan dalam teks adalah salah-satu bentuk takwil, dengan memberikan nilai signifikansi (al-maghza) terhadap teks tertafsir. Sedangkan kontekstualisasi menurut Fazlur Rahman adalah dengan merumuskan sebuah teori penafsiran Al-Qur`ân, yang disebutnya dengan “The Double Movement”. Gerakan Pertama, memahami arti atau makna umum dari suatu ayat dengan mengkaji situasi atau problem historis masa turunnya wahyu. Gerakan pertama ini, terdiri atas dua langkah, yaitu : Langkah pertama ; memahami makna Al-Qur`ân sebagai sesuatu yang organis disamping dalam batas59 Strukturalisme berbeda dengan strukturalisme fungsional. Strukturalisme terutama memusatkan perhatian pada struktur linguistik. Pergeseran dari struktur sosial ke struktur linguistik inilah yang secara dramatis mengubah sifat dasar ilmu sosial. Karena, menurut penganutnya, kehidupan sosial dibentuk oleh struktur bahasa, sedangkan realitas sosial bukan realitas yang sebenarnya tetapi logika yang mendasari sistem dan melaluinya aturan yang tampak dapat terjelaskan. Perhatian tentang struktural telah dikembangkan melampaui bahasa ke studi tentang seluruh sistem tanda. Bahkan melahirkan juga strukturalisme antropologi, dan marxisme struktural. Lihat: George Ritzer, dkk; Teori Sosiologi Modern, (Prenada Media Goup: Jakarta, 2008), cet.5, edisi keenam, h. 603-605. Langkah pertama tersebut, setingkat dengan epistemologi yang dikemukakan oleh Amin al-Hûlî, sebagaimana tersebut dalam proses pertama: memahami konteks ayat. 60 Lihat: M.Abed Al-Jabiri; Tradisi dan Problem metodologi, dalam buku; Post Tradisionalisme Islam, (Jogjakarta: LKiS, 2000), terj. oleh: Ahmad Baso (Ed), h.18-23 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 203 batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasisituasi khusus saat ayat dimaksud turun kepada Muhammad saw. Langkah kedua ; Melakukan generalisasi jawaban-jawaban atas ayatayat spesifik yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum. Jadi pada Gerakan Pertama tersebut, terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam Al-Qur`ân ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan jangka panjang Al-Qur`ân.61 Inilah yang kemudian melahirkan welstanchauung Al-Qur`ân, yang nampaknya telah dicontohkan atau dimanipestasikan melalui bukunya yang lain yaitu major themes of the Qur’an. Gerakan pertama inilah yang menjadi tafsir kontekstual untuk memahami konteks Al-Qur’an, dan selanjutnya pada gerakan kedua termasuk ke dalam kategori tafsir kontekstual proses kedua, yakni untuk melakukan kontekstualisasi ayat atau tema terkait. Bahkan gerakan kedua Fazlur Rahman, dapat mengandung proses “tafsir sosial”. Sebagaimana pernyataan Fazlur Rahman berikut : …jika kedua "gerakan ganda" tersebut berhasil dilakukan, maka perintahperintah Al-Qur`ân akan menjadi hidup dan efektif kembali. Tugas pada langkah pertama adalah kerja para ahli sejarah (membutuhkan ilmu sejarah, pen), sedang tugas pada langkah kedua adalah memerlukan instrumen dari para saintis atau sosiolog.62 Dalam perspektif fikih -yang merupakan kajian hasil ijtihad terhadap ayat-ayat hukum normatif-, untuk melakukan kontekstualisasi, menurut Sahal Mahfudh, diperlukan pengembangan mazhab qaulî (kompendium yurisprudensi) dan manhajî (metodologis) dari para ulama fikih klasik. Terhadap yang pertama, dapat dilakukan dengan pengembangan contoh aplikasi kaidah ushul fikih dan qawâ’id fiqhiyyah. Sedangkan pengembangan metodologis (manhajî) dilakukan dengan cara pengembangan teori masâlik al-‘illat sesuai Lihat: Fazlur Rahman; Islam and Modernity: Transformation of an intellectual tradition, (Chicago Press: 1982), h.6 dan 7. 62 Lihat: Fazlur Rahman; Islam and Modernity: Transformation of an intellectual tradition, (Chicago Press: 1982), h.7. 61 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 204 | Mohammad Andi Rosa dengan maslahat al-‘âmmat atau dengan mengintegrasikan antara illat hukum dengan hikmah hukum.63 Demikian beberapa pendapat para pakar terkait dengan proses kontekstualisasi ayat Al-Qur`ân, ke dalam konteks yang kehendaki oleh sang mufassir berdasarkan konteks ayat yang melingkupinya. E. Bentuk Analisis Penafsiran Kontekstual Berdasarkan Pendapat Para Ulama Terkait Buku berjudul “Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial berdasarkan konsep-konsep kunci” -sebagaimana tersebut di mukamerupakan sebuah buku tafsir Al-Qur’an yang diklaim oleh penulisnya menggunakan menggunakan tafsir tematik yaitu didalamnya dimasukan beberapa entri dari teks/lafal Al-Qur’an yang kemudian dijadikan tema tafsir. Entri yang dibahas dalam buku ini berjumlah 27 buah, yaitu: fithrah, hanîf, ibrâhîm, dîn, islâm, taqwâ, ‘abd, amânah, rahmah, rûh, nafs, syaithân, nabî, madînah, khalîfah, ‘adl, zhâlim, fâsiq, syûrâ, ûlû al-amr, ummah, jihâd, ‘ilm, ûlû al-albâb, rizq, ribâ, dan amr ma‘rûf nahy munkar. Buku tersebut dalam praktek epistemologi tafsirnya, lebih dominan menggunakan pendapat para ulama atau pakar terkait sebagai alat analisis tema, dibanding melakukana analisis ayat/tema sebagaimana yang tekankan dalam kajian tafsir tematik ala Abdul Hayy al- Farmawi. Berikut kajian epistemologi tafsir yang diambil dari bukunya yang pertama sebagai perwakilan tema yang berkaitan dengan ilmu ekonomi yakni tema “Ribâ”. Sistematika atau cara pembahasan tafsir (al-tharîqat) yang dilakukan Dawam dalam mengeksplorasi tema tafsir “Ribâ”, adalah sebagai berikut: 1. Mengemukakan di awal pembahasan tentang realitas sejarah pelaksanaan tema tersebut di dunia non-muslim dan Indonesia: Dawam mengemukakan tentang adanya undang-undang anti ribâ di Barat, terutama di Eropa. Juga dikemukakan tentang sikap Bank Lihat: M.A.Sahal Mahfudh; Nuansa Fiqih Sosial, ( LKiS; Jogjakarta, 2004), cet.4, h. li 63 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 205 Indonesia di awal era masa Soekarno, terhadap pelaksanaan ribâ, yang dimotori oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama waktu itu Syafruddin Prawiranegara, yang berpendapat bahwa bunga bank tidak sama dengan ribâ. 2. Menyusun sub tema berdasarkan perkembangan tema dan kebutuhan tema dimaksud: Di awal pembahasan, terdapat sub tema “kontroversi ribâ” misalnya, di sini Dawam hendak menunjukan bahwa masih terdapat pro-kontra di antara para praktisi dan ahli agama terkait pelarangan ribâ. Bahkan ia mengutip juga pendapat Muhammad Abduh, tokoh modernisme dalam dunia Islam, yang menyatakan bahwa bunga yang tidak terlalu tinggi tingkatnya diperbolehkan, tentu dengan tetap mengharamkan ribâ.64 Demikian juga dalam sub tema “sejarah ribâ”, Dawam hendak menjelaskan bahwa pelarangan ribâ dalam ayat Al-Qur’an juga telah ada di dalam Perjanjian Lama atau Tradisi Gereja, bahkan berlanjut pada abad pertengahan di Eropa. Demikian juga pada sub tema “riba, bunga dan Bank”, yang mengelaborasi adanya perkembangan perbankan yang dibutuhkan masyarakat, sebagai anti tesa dari konsep ribâ abad pertengahan, tetapi belum memberikan solusi secara kâffah, bagi pebisnis kecil. 3. Mengkaitkan suatu tema dengan tema lain, yang dipandang dapat menjawab problem sosial dari tema pertama atau tema sebelumnya: Dawam di akhir penjelasan tema ribâ, menyusun sebuah sub tema “Dari Ribâ ke Amr ma’rûf nahi munkar”. Menurutnya, Bank Syariah (Bank Syariat Islam) sebagai modus untuk menghindari praktek perkreditan atau perbankan yang mengandung unsur ribâ yang diharamkan itu, masih memerlukan waktu pengalaman dan evaluasi. Karena itu, menurutnya konsep Amr ma’rûf nahi munkar sebagai konsep hakikat sosial dalam islam yang berorientasi kepada kebajikan atau al-khayr (virtue, goodness), perlu ditafsirkan secara seimbang, baik secara praktik maupun teoritis.65 Maka, setelah tema Ribâ, 64 65 Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.594-596 Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 615-617 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 206 | Mohammad Andi Rosa Dawam melanjutkan penafsirannya menuju tema Amr ma’rûf nahi munkar.66 Adapun metode tafsir (al-manhaj) yang ditempuh oleh Dawam Rahardjo dalam menganalisis ayat dengan tema tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Mengemukakan tentang berbagai pendapat dan aktivitas ekonomi terkait tema: Dawam mengemukakan juga perkembangan makna ribâ di Eropa dan termasuk di Indonesia yang kemudian menghasilkan dua pembedaan makna, yaitu usury dengan interest. Makna pertama untuk ribâ dan kedua untuk pembungaan uang.67 Dikemukakan juga tentang beberapa pendapat dan aktivitas yang terkait dengan penggandaan atau perputaran manfaat uang oleh pihak kedua dan konsep ribâ yang dilakukan dan dinyatakan oleh kaum Yahudi, pendeta Kristen, di mulai abad pertengahan. 2. Menyusun ayat yang terkait tema berdasarkan kronologi turunnya Al-Qur’an dengan mengomentari kaitan maknanya secara global: Terhadap hal ini, misalnya Dawam menyatakan demikian, “bahwa istilah ribâ dalam pengertian yang kita maksud di atas, disebut dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Secara kronologis, ayat pertama yang turun adalah yang tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Rûm/30:39. Ayat ini memberikan suatu definisi tentang ribâ. Selanjutnya, soal ribâ dibahas dalam serumpun ayat dalam Al-Qur’an, s. al-Baqârah/2:27, 276, 278, dan 280. Definisi lain mengenai ribâ disebut dalam Al-Qur’an s. Âl Imrân/3:130. Ayat inilah yang membuka diskusi dan memberi peluang terhadap penafsiran lain tentang ribâ. Dan ayat terakhir turun, tercantum dalam Al-Qur’an s. an-Nisâ/4:161. Ayat yang terakhir turun mengenai ribâ itu menari, sebab di situ soal ribâ dikaitkan dengan akivitas khas orangorang Yahudi pada masa Rasulllah saw. Untuk jelasnya, akan kita kutip tiga ayat yang saling berkaitan, walaupun kata ribâ hanya disebut pada ayat 161…” 68 3. Mengkaji definisi tema terlebih dahulu menurut para ulama fikih, sebelum menganalisis tafsir ayat terkait tema: Dawam manakala Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 618-643. Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 595-596 68 Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h. 597. 66 67 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 207 menafsirkan Q.S. Al-Rûm/30:39 ia kemudian menulis tentang definisi ribâ yang tidak ia sebutkan sebagai definisi dari para ahli fikih, padahal definisi yang dikemukakannya adalah berasal dari para ulama fikih (al-fuqahâ`-i), seperti penafsirannya berikut ini: “kata ribâ, berasal dari akar kata r-b-w, artinya bertumbuh, menambah atau berlebih. Dalam ayat tersebut, yang dimaksudkan dengan ribâ adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain….”.69 4. Menjelaskan ayat berdasarkan “kata kunci” dan konteks ayat itu: kata kunci yang Dawam jelaskan misalnya ketika menafsirkan Q.s. al-Baqârah/2:277-278 adalah lafal al-zakât dan al-ribâ dengan konteks hubungan konsumsi antara orang-orang yang sedang mengalami kesulitan keuangan dengan mereka yang kelebihan uang atau kekayaan. Berikut penafsiran Dawam dengan menyatakan demikian: “Sangat jelas konteks ribâ dan zakât yang dibahas dalam ayat-ayat di atas, yakni hubungan sosial antara mereka yang kelebihan uang atau kekayaan, dengan mereka yang membutuhkan, misalnya kerabat, fakir miskin, dan musafir yang kesulitan uang. Mereka itu tentunya tergolong miskin, sebab kalau tidak, maka mereka tidak berhak menerima zakât. Terhadap mereka, pemberian sedekah atau zakat adalah cara untuk menolong dan bukan dengan pinjaman yang mengandung ribâ. Masalahnya akan lain, jika transaksi itu pada hakikatnya adalah jual beli. Jika ada transaksi keuangan yang bersifat jual beli, dimana keuntungan diperbolehkan, maka transaksi tersebut tentunya bukan ribâ. Konteks ayat di atas adalah hubungan konsumsi yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang mengalami kesulitan keuangan.” 70 5. Mengemukakan berbagai perspektif terkait kesimpulan penafsiran yang telah ia buat sebelumnya terhadap suatu ayat: Manakala ia menafsirkan Q.s. al-Baqârah/2:279-280, Dawam menyatakan demikian, “dalam ayat di atas, Al-Qur’an menyatakan adanya hak orang yang memberi hutang, yaitu mendapatkan hutang pokoknya. Dan jika orang yang menerima hutang sedang mengalami kesulitan membayar, maka 69 70 Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.603. Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.606. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 208 | Mohammad Andi Rosa hendaklah yang memberi hutang memberikan keringanan, dengan memberi waktu tangguh. Tetapi jika yang berhutang memang benar-benar mengalami kesulitan, maka jalan yang terbaik adalah menganggap hutang itu sebagai sedekah. Di sini, hutang itu berskala sedekah. Karena konteksnya memang hutang konsumtif…” 71 Dawam berkesimpulan bahwa hutang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah “hutang konsumtif”, kemudian ia mengemukakan berbagai perspektif terkait pendapatnya tersebut dengan mengutip pendapat Muhammad Hatta (1958) yang intinya adalah bahwa ribâ adalah tambahan atas hutang yang dipakai untuk konsumsi, sedangkan rente atau bunga adalah balas jasa atas pinjaman yang telah digunakan untuk kepentingan produksi. Kemudian Dawam juga mengemukakan sejarah evolusi konsep usury (ribâ) menjadi interest atau bunga.72 Termasuk mengemukakan pendapat Gubernur Bank Indonesia yang pertama, Syafruddin Prawiranegara, yang inti pendapatnya adalah bahwa ribâ sebagai transaksi yang mengandung pemerasan dan penipuan. Berbagai transaksi, misalnya praktek ijon, mungkin tidak bisa dijelaskan dan dilarang dengan konsep ribâ.73 6. Menafsirkan ayat terkait tema berdasarkan kronologi turunnya, didasarkan kepada penafsiran tokoh di Indonesia, yang dianggap memiliki otoritas: Manakala Dawam menafsirkan definisi ribâ ia menyadur pendapat Syafruddin Prawiranegara (ahli ekonomi masa orde lama) dan A. Hassan (ahli agama masa orde lama), dimulai dengan Q.s. al-Baqârah/2:188 yang dianggap sebagai ayat yang menjelaskan definisi ribâ, Q.s. an-Nisâ/4:29 sebagai definisi dari transaksi jual beli (al-bay’). Melalui dua tokoh tersebut, Dawam mengutip persyaratan atau ketentuan dasar dalam kegiatan bisnis yang mengandung ribâ.74 7. Mengkaitkan tema dengan problem realitas: Setelah menjelaskan Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.607 Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.608-609. 73 Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.609. 74 Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.609-610. 71 72 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 209 secara gamblang melalui berbagai pendapat tokoh dimaksud di atas tentang makna ribâ, Dawam mengkaitkan tema dimaksud dengan aktivitas perbankan modern, yang di satu sisi dapat menjadi solusi bagi kegiatan pebisnis dengan modal besar, tetapi masih dirasa menyulitkan bagi pebisnis dengan modal kecil, karena tingkat return insvestment-nya yang kecil terhadap perkembangan Bank Syariah (Bank Syariat Islam). Hal ini ia jelaskan dalam sub tema, “Ribâ, Bunga dan Bank”.75 Adapun corak atau wawasan dan ciri khas (al-lawn) penafsiran yang dapat diperoleh dari hasil penafsiran Dawam Rahardjo terhadap tema “Ribâ” secara umum, disamping memiliki terjemahan progresif terhadap Al-Qur’an, sebagaimana telah diungkap pada tema tentang “manusia sentral Al-Qur’an”, juga ciri khas lain yang bisa didapat dari penafsiran Dawam, yaitu: Pertama, memiliki terjemahan dengan kalimat yang sederhana tanpa bersayap dan tanpa keterangan tambahan, tetapi mengena dalam pemaknaan sesuai dengan konteksnya: Berikut contoh kelugasan terjemahannya terhadap Q.S. AlBaqârah/2:188, “dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil dan kamu membawa perkaranya kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain dengan cara yang curang, padahal kamu mengetahuinya.”76 Bandingkan dengan terjemahan Quraish Shihab dan terjemah Departemen Agama, yang lebih bercorak atau menggunakan pendekatan hukum, sebagaimana berikut: “dan janganlah kamu memakan harta (sebagian) kamu, diantara kamu dengan jalan yang batil (melanggar ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati) dan (janganlah) kamu menyogok hakim (yang berwenang memutuskan), supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang (lain) dengan (jalan bertaubat) dosa, padahal kamu mengetahui. 77 Lihat: Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.611-615. Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an….., h.609. 77 Quraish Shihab; Al-Qur’an dan Maknanya, h. 29. 75 76 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 210 | Mohammad Andi Rosa Adapun terjemahan Departemen Agama adalah sebagai berikut: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”78 Ciri Kedua, menggunakan pendekatan sejarah ekonomi dalam menjelaskan tema yang berkaitan dengan bidang ekonomi serta mengkaitkannya dengan perkembangan mutakhir dari ekonomi terapan: Dawam dalam menjelaskan tema, sebagaimana dijelaskan di muka, ia secara panjang lebar mengemukakan sejarah Ribâ dalam perspektif ekonomi dan kemudian mengkaitkannya dengan perkembangan perbankan modern dan kemunculan Bank Syariah di Indonesia yang saat itu mulai akan baru berdiri, (dimulai dengan adanya pendirian Bank Muamalat), juga dikaitkan dengan maraknya koperasi simpan pinjam di Indonesia -yang dalam perspektif tertentu- dapat menjadi modus pengganti dari konsep Ribâ. Ciri ketiga, melakukan kolaborasi intelektual dalam penafsiran dengan mengutip pendapat dari ahli ekonomi sekaligus ahli keislaman atau tafsir Al-Qur’an: Dawam di satu sisi melakukan pengutipan kepada Maulana al-Maududi, Muhammad Abduh, Muhammad Ali (penerjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris), Muhammad Assad, A. Hassan (dari Indonesia) tetapi di sisi lain, ia juga mengutip pakar ekonomi yang juga pemerhati filsafat ekonomi, yaitu pendapat Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Hatta, keduanya tokoh Indonesia yang telah banyak menulis tentang konsep ribâ dalam alam pikiran Eropa dengan perspektif ekonomi neo-klasik. Adapun orientasi tafsir Dawam pada tema Ribâ ini, adalah berorientasi kepada pencapaian solusi sosial: Masih dipertanyakannya konsep bank Syari’ah oleh beberapa kalangan 78 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama; Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV. Toha; Semarang, 1989), ed. Revisi, h. 46 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 211 pengkaji islam di Indonesia, kemudian Dawam menganjurkan perlunya pemahaman lebih lanjut tentang konsep Amr ma’rûf nahi munkar sebagai bentuk pendalaman solusi sosial terhadap tujuan yang diinginkan dari pelarangan ribâ dalam Al-Qur’an. Amr ma’rûf nahi munkar sebagai konsep penting dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan hakikat sosial keberagamaan Islam, sekaligus konsep zakat yang ia kemukakan sebagai antonim dari ribâ. Tafsir Dawam Rahardjo dalam tema Ribâ, jika dilihat dari aspek kriteria dan validitas penafsiran dapat dikategorikan sebagai tafsir kontekstual yang dalam analisis penafsiran ayat, lebih banyak menggunakan pendapat tokoh modernis atau neo klasik sebelumnya seperti Maulana al-Maududi, Muhammad Abduh, Muhammad Ali, dan sebagainya. Kemudian tokoh dari Indonesia yang beraliran neo-klasik dikutipnya seperti Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Hatta dan Ahmad Hassan. Masing-masing sumber dimaksud, -jika dibaca secara utuh hingga akhir penafsiran tema- dielaborasinya dengan kepiawaiannya di bidang ekonomi sehingga ia dengan cukup jeli mampu memberikan rekomendasi penafsiran yang up date terkait solusi yang dibutuhkan saat itu bagi masyarakat Indonesia. Wal hasil, -secara umum dari awal hingga akhir penafsiran-, dalam aspek validitas/kesahihan penafsiran, bahwa penafsiran Dawam pada tema yang terkait bidang ekonomi ini, lebih cenderung bersifat komparatif, menggabungkan berbagai sumber yang memiliki otoritatif di bidangnya dan hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan nilainilai universal Al-Qur’an, meskipun ada kekurangan teknis yang perlu dikritisi. Terdapat satu kesimpulan penafsiran yang cukup berani dari Dawam dan perlu dikritisi, -terkait tema ini- manakala ia menafsirkan Q.s al-Baqârah/2:280, yang menafsirkan bahwa konteks “hutang” pada ayat tersebut sebagai “hutang konsumtif”, karena hutangnya berskala sedekah lalu ia menguatkan pendapatnya kepada ayat tentang Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 212 | Mohammad Andi Rosa “delapan golongan penerima sedekah” dalam Q.s, al-Tawbah/9: 60.79 Padahal dalam penjelasan selanjutnya, ia mengutip pendapat Syafruddin Prawiranegara, yang menyatakan bahwa semua transaksi ekonomi yang mengandung pemerasan dan penipuan adalah ribâ. Sayangnya di point ini, tidak dielaborasi oleh Dawam dengan konsep hutang konsumtif yang ia kemukakan sebelumnya sebagai tafsiran ayat tersebut. Maka dalam konteks ayat tadi (Q.s. al-Baqârah/2: 279280),80 pertanyaan yang dapat muncul kemudian, bagaimana jika yang berhutang tadi digunakan untuk produktif -bukan hutang konsumtiftetapi mengalami kerugian yang disebabkan faktor x, seperti bencana alam atau sistem ekonomi global yang di luar prediksi si kreditur? hemat peneliti, jika yang berhutang dengan kasus hutang produktif pun dan berdasarkan profesionalitas dalam bisnis tetapi kemudian mendapat musibah yang bersifat post major misalnya, maka kreditur dengan kasus demikian, berhak mendapatkan dispensasi sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut (Q.s. al-Baqârah/2:280), misalnya dengan penangguhan hutang dan wajib mendapatkan zakat mâl dari lembaga perbankan terkait. Juga si kreditur dimaksud hendaknya mendapatkan bimbingan profesionalitas dari lembaga zakat terkait dalam aktivitas bisnis selanjutnya. F. Penafsiran Kontekstual Berdasarkan Analisis struktur internal ayat Misal sebagaimana yang dilakukan oleh Quraish Shihab 79 80 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 213 manakala melakukan tafsir tematik pada Tema: “Islam dan Pembangunan”. Berikut tharîqah dan manhaj tafsir dimaksud. Sistematika atau bentuk pembahasan tafsir (al-tharîqat) yang dilakukan Quraish Shihab dalam mengeksplorasi tema tafsir di atas adalah sebagai berikut: a. Mengungkap pentingnya memahami suatu “sebab” atau jalan yang dapat mengantarkan kepada realisasi substansi tema dimaksud sesuai ajaran Al-Qur’an: Quraish Shihab mengemukakan -dalam pengantar tulisannya- tentang pentingnya manusia memahami dirinya dan kedudukannya dalam kehidupan di dunia ini. Ia mengemukakan secara global tentang substansi Al-Qur’an yang salah-satunya adalah tentang karakter atau sifat-sifat yang dimiliki manusia agar diorientasikan kepada pemahaman diri, karena hal ini dapat mengantarkan manusia untuk membangun dan menemukan jati dirinya dan dunia ini sesuai dengan konsep yang dikehendaki penciptanya dan kemaslahatan manusia sekaligus.81 b. Memilah ayat yang terkait sub tema, meskipun ayat itu hanya terkait dengan aspek tertentu dari sub tema dimaksud: Manakala Quraish Shihab membahas sub tema “Pembangunan dan Pengamalan Pancasila”,82 ia memilah ayat-ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari Pancasila seperti aspek kesejahteraan yang menjadi pengamalan dari sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dan aspek toleransi beragama sebagai bentuk pengamalan dari sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat-ayat dimaksud yaitu, seperti Q.s. 81 Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu…h.299 82 Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu…h.302 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 214 | Mohammad Andi Rosa Saba/34:24-26,83 Alu Imrân/3:64,84 dan al-Baqârah/2:213.85 c. Mengemukakan ungkapan penutup dengan kesimpulan dan implikasi: Quraish Shihab di sini mengungkap tentang kesimpulan relasi islam dengan pembangunan, juga implikasi yang hendaknya dilakukan oleh ulama islam. Berikut ungkapan penutup terkait implikasi dimaksud: “walaupun demikian (bahwa pembangunan nasional sejalan dengan nilainilai islam, pen) tentunya harus diakui bahwa persesuaian tersebut belum menjamin persesuaiannya dalam praktek pelaksanaan, karena pelaksanapelaksananya adalah manusia yang memiliki potensi positif dan negative. Karena itu, Islam menghendaki agar manusia membentuk lingkungannya, bukan lingkungan yang membentuknya. Dengan demikian, kaum agamawan, dalam era pembangunan, dituntut paling tidak dapat mewujudkan: [a] Suatu kekuatan pendorong bagi setiap pribadi guna meningkatkan usaha dan kreasi umat; [b] Suatu isolator antara pribadipribadi dan penyelewengan-penyelewengan; dan [c] Mewujudkan atau 83 84 85 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 215 memelihara tingkat etik bagi setiap pribadi dalam melaksanakan tugastugas mereka.86 Adapun “tatacara menganalisis ayat” sebagai bentuk “Manhaj al-tafsîr al-tajrîbî” (metode tafsir berdasarkan praktek) yang dilakukan oleh Quraish Shihab dalam tema “Islam dan Pembangunan”, adalah sebagai berikut: a. Menganalisis ayat yang didasarkan pada relasi antar ayat secara rasionalitas (Talazzum fi al-‘aqli); Manakala Quraish Shihab, membahas sub tema “manusia dan kehidupan” ia mengeksplorasi penjelasannya dengan menghubungkan Q.s. Shâd/38:71-7287 dengan ayat ke-khalifahan.88 Konteks ayat pertama adalah menjelaskan tentang karakter manusia sebagai makhluk fisik dan non-fisik (gumpalan tanah dan hembusan ruh ciptaan Tuhan) yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana kandungan air yang mengikat Hidrogen dan Oksigen. Kemudian pada konteks ayat kedua (tentang ke-khalifah-an), dijelaskan bahwa fungsi eksistensi manusia di dunia ini adalah melaksanakan tugas “kekhalifahan”, yakni membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Tuhan. Kemudian secara rasionalitas, Quraish Shihab menyatakan demikian: “kehendak Tuhan tersebut (dimaksud, pen) tergambar dalam kitab-kitab suci yang diturunkan dan harus digali nilai-nilainya oleh manusia agar mereka dapat menyesuaikan perkembangan sosial budaya manusia dengan nilai-nilai tersebut (dimaksud, pen)”.89 Karena itu, dalam aktivitasnya manusia mampu 86 M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.306 87 88 Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.299. 89 Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.299-300 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 216 | Mohammad Andi Rosa melakukan penyesuaian-penyesuaian, tidak bisa dan tidak boleh seperti hewan atau malaikat atau berbeda dengan cara keduanya. Dengan potensi dasarnya itulah, manusia diyakini dapat menjalankan tugas ke-khalifah-an berdasarkan kitab suci dan perkembangan sosial budaya manusia masing-masing wilayah. Quraish Shihab mengkaitkan konsep ke-khalifahan dalam AlQur’an dengan Q.s.al-Baqârah/2:31,90 Q.s.al-Wâqi’ah/56:26, dan Thâhâ/20:118.91 Berikut penjelasan singkat terkait metodologi penafsirannya dengan metode penafsiran, sebagaimana tersebut dalam point A di atas, yakni “menghubungkan satu ayat dengan ayat selanjutnya (al-munâsabat) dalam penjelasan sub tema berdasarkan rasionalitas dengan tetap memperhatikan konteks ayat”. Mengkaitkan konsep ke-khalifahan dengan ayat pertama, telah jelas bahwa keduanya berkaitan dalam teks yang berurutan dan konteks yang bersamaan. Karena konsep ke-khalifahan secara sharîh terdapat dalam Q.s. al-Baqârah/2:30, sehingga kedua ayat tersebut terletak secara berurutan dalam Mushaf Al-Qur’an, dan karena itu berkaitan dalam rangkaian ayatnya. Maka oleh Quraish Shihab dinyatakan demikian, “untuk melaksakan tugas-tugas ke-khalifah-an, 90 Walaupun dalam buku tertulis: Q.s. 20:31, hemat peneliti angka surat tersebut merupakan kesalahan cetak. Karena Q.s. Thâhâ/20:31 merupakan ayat yang berbicara tentang permintaan nabi Musa as kepada Tuhan agar ditemani dengan seorang yang memiliki kemampuan negosisasi, yakni nabi Harun as. Juga Quraish Shihab dalam mengutip angka surat tersebut, ia menulis demikian: “kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda (Q.s. 20:31)”. Tentu saja, penjelasan Quraish Shihab tersebut, bersesuaian dengan kata kunci dari Q.s. al-Baqârah/2:31 yakni al-asmâ, yang dimaknai dengan segala macam benda (atau realitas), baik sifat, fungsi, maupun kegunaannya. Lihat: Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.300. 91 Dalam buku tertulis: Q.s. 20:117, nampaknya yang dimaksud adalah ayat 118. Karena disebutkan oleh Quraish Shihab demikian: “…serta kesejahteraan jasmani berupa kebebasan dari kebutuhan-kebutuhan, khususnya kebutuhan sandang, pangan, dan papan (Q.s. 20;117)”. Justru ayat yang berbicara tentang kebutuhan jasmani, sebagaimana tersebut adalah ayat selanjutnya yakni Thâhâ/20:118. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 217 Tuhan melengkapi makhluk manusia dengan berbagai keistimewaan dan potensi yang antara lain tergambar dalam kisah perjalanannya menuju tempat tugasnya, Pertama, kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda (Q.s. 2:31)..” 92 Adapun penafsiran rasionalitas terkait relasi ayat tersebut, dapat tergambar dalam pernyataan tersebut dan selanjutnya: “melalui potensi ini manusia dapat menemukan hukum-hukum dasar alam raya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya, kemudian meramu berbagai aspek bentukan alam untuk dimanfaatkan dalam kehidupan ini”.93 Tingkat rasionalitas yang dikemukakan Quraish Shihab di atas, dalam kajian “logika” berada dalam tataran logika alamiah atau common sense, tidak pada logika yang kompleks atau ilmiah yang penjelasannya berdimensi multidisipliner atau interdisipliner. Quraish Shihab mengkaitkan konsep ke-khalifah-an dengan Q.s. al-Wâqi’ah/56:26,94 dan Thâhâ/20:118.95 Dua ayat ini, membahas tentang ilustrasi kehidupan surga, khususnya masa nabi Adam as sebelum turun ke dunia. Ayat pertama tentang kondisi surga yang penuh dengan nilai-nilai kedamaian dan ketentraman, dan keharmonisan antar penghuninya, sedangkan ayat kedua tentang terpenuhinya segala kebutuhan jasmani, sandang, pangan, dan papan bagi para penghuni surga. Sekaligus dalam rangkaian kedua ayat itu, terdapat kisah rayuan Syetan Iblis yang mampu menggelincirkan nabi Adam as, sebagai bapak manusia, dari kehidupan surga, sehingga ia terusir dari surga dan disuruh untuk mengelola bumi. Kisah tersebut dan pengalaman manis dan pahit selama di surga, seakan menjadi 92 Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.300 93 M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.300 94 95 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 218 | Mohammad Andi Rosa bekal manusia dalam mengelola dan membangun bumi dengan berorientasi kepada kehidupan surga yang pernah dialami oleh bapak manusia itu. Maka mengkaitkan pengalaman bapak manusia di surga sebelum ia terjun ke bumi dengan tugas manusia di bumi sebagai khalifah, merupakan sebuah keterkaitan dalam konteks, melalui talazzum fi al-‘aqli (kesesuaian rasionalitas). Demikian selanjutnya, rasionalitas pemilahan keterkaitan ayat terjadi, yang kata kuncinya adalah mengkaitkan konsep kekhalifahan sebagai tugas manusia di bumi dengan berbagai keistimewaan dan potensi manusia yang diberikan Tuhan agar dapat mengelola atau membangun bumi ini dengan baik dan mudah, serta tentunya sesuai ketentuan hukum Tuhan. Mengkaitkan ayat tentang kekhalifahan dengan ayat tentang penaklukan alam raya oleh Tuhan untuk manusia (Q.s. 14:32-33, dan Q.s. 43:13),96 dan dengan ayat tentang adanya petunjuk Tuhan bagi manusia (al-Thâhâ/20: 123),97 selama hidup di bumi ini, baik yang terperinci maupun yang bersifat umum sehingga dapat dirasionalisasikan sesuai dengan perkembangan budaya manusia dalam mengelola atau membangun bumi. Rasionalitas dalam pembahasan tema ini (Islam dan pembangunan), juga dilakukan oleh Quraish Shihab, dalam aspek 96 97 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 219 mengkaitkan nilai-nilai umum dalam islam sebagai prinsip atau ciri pokok dari tema. Quraish Shihab menyatakan bahwa ciri pokok pembangunan yang berdasarkan nilai islam adalah: tauhid (tawhîd), rububiyah (rubûbiyyat), khilafah (khilâfat), dan tazkiyah (tazkiyyat). Menurutnya, dengan tauhid, tidak ada pemisahan antara dunia dan akhirat, jiwa dan raga, alamiah dan supra alamiah. Kemudian dengan rububiyah, Tuhan memelihara manusia, antara lain dengan petunjukpetunjuk-Nya, rahmat, dan rezeki-Nya. Prinsip khilafah dalam membangun, hendaknya merupakan sebuah tanggung jawab yang harus dipikul, karena hal ini adalah amanah Tuhan yang harus diemban (Q.s. 33:72).98 Prinsip tazkiyah, menandakan perlunya setiap tindakan manusia, tidak menodai salah-satu dari kelima prinsip dalam Islam (memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan manusia). 99 Tetapi pembahasan sub tema ini tentang ciri-ciri pembangunan dalam islam, tanpa menganalisis ayat. Memang disebutkan hanya satu ayat, yakni Q.s. al-Ahzâb/33:72 dalam pembahasan khilafah (sebagai ciri pembangunan), tanpa ada analisis dimaksud. Dalam konteks tersebut, Quraish Shihab menyatakan demikian: “prinsip khilafah ini menetapkan kedudukan dan peranan manusia sebagai makhluk yang telah menerima amanat setelah ditolak oleh makhluk-makhluk lainnya (Q.s. 33:72). Atas dasar inilah ia bertanggung jawab baik menyangkut dirinya maupun dunianya, bertanggung jawab untuk memelihara, mengayomi, dan menggunakannya dengan baik”.100 Mengkaitkan tugas manusia, yakni konsep khilafah dengan ciri-ciri pokok pembangunan tersebut, diantaranya ciri khilafah, seakan menjadi rancu. Karena mengkaitkan konsep khilafah dengan 98 99 M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.301-302. 100 M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.302. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 220 | Mohammad Andi Rosa dirinya sendiri. Padahal kata kunci dari Q.s. al-Ahzâb/33:72 101 adalah “al-amânat”, yang sejatinya, inilah yang dapat menjadi ciri manusia yang melakukan pembangunan dalam islam, bukan khilafah itu sendiri. Karena itu, di sinilah nampaknya lebih ideal jika dieksplorasi tentang makna “al-amânat” sebagai ciri manusia yang melakukan pembangunan. b. Melakukan generalisasi terhadap konteks keilmuan modern yang dikutipnya, untuk memudahkan pemilahan ayat: Atau dapat juga diungkap dengan kalimat epistemologis berikut, “memilah dan melakukan refleksi terhadap ayat berdasarkan generalisasi realitas keilmuan modern”. Quraish Shihab manakala memilah ayat Al-Qur’an yang terkait dengan ciri-ciri demokrasi ekonomi, sebagai bagian pembahasan terhadap landasan ekonomi Islam, ia terlebih dahulu mengemukakan tentang ciri-ciri demokrasi ekonomi, kemudian memilah ayat-ayat berdasarkan ciri-ciri dimaksud, dan ayat-ayat terpilih adalah yang didalamnya terdapat makna “harta” baik secara teks maupun konteks.102 Secara teks, Quraish Shihab menentukan ayat 101 102 Adapun ciri demokrasi ekonomi yang dikutipnya adalah sebagai berikut: a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, d. Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat serta diawasi olehnya, e. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak, f. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat, g. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, h. Fakir, miskin, dan anak terlantar, dipelihara oleh negara. Lihat: M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu..h.303. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 221 yang terdapat kata “mâl” (harta) beserta derivasinya, lafal istakhlafa (yang diberi wewenang mengelola bumi, penguasa), ungkapan dengan menggunakan kata ganti (dlomîr; mâ) sebagai sesuatu (harta) yang diberikan/dianugerahi oleh Tuhan untuk manusia103. Secara konteks, misal diambil ayat tentang perintah mencari karunia Allah, seperti Q.s. al-Munâfiqûn/63:10, ayat tentang perintah mencari sesuatu yang memudahkan (al-Baqârah/2:185, al-Hajj/22: 78, atau ayat tentang filantropi (al-Mâûn/107:1-2). c. Melakukan al-talazzum al-zikhnî terhadap lafal Al-Qur’an yang terkait dengan isi pembahasan dalam sub tema dimaksud: Quraish Shihab ketika menentukan ayat yang terkait dengan “asas manfaat” ia memilah Q.s. an-Nisâ/4:29.104 Misal, Quraish Shihab menafsirkan bahwa kebatilan dimaksud telah dirinci, dimana salah-satu diantara cakupan pengertiannya adalah bahwa ia harus membawa manfaat minimal untuk diri pribadi seseorang. Karena itu, sekian banyak hal yang terlarang diperjual belikan tiada lain sebabnya hanya karena ia tidak membawa manfaat.105 Quraish Shihab terkait dengan sumber penafsiran, dalam tema ini khususnya pada sub tema “Landasan Ekonomi Islam” ia hanya menyebut bahwa ciri demokrasi ekonomi dikutip dari “Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN)”, dan sumber referensi lain yang ia sebut, yaitu beberapa hadis Nabi saw yang tidak ia sebutkan sumber riwayatnya. Ciri khasnya yang tergambar dalam mengeksplorasi tema ini, adalah bahwa ia melakukan analisis ayat berdasarkan rasionalitas dan intelektualnya, dalam melakukan proses mencari keterkaitan antar ayat, baik secara tekstual maupun kontekstual, meskipun sedikit 103 Lihat: Q.s. al-An’am/6:165, al-Hadîd/57:7, al-Hâqqah/69:28, an-Nisâ/4:5, Ibrâhîm/14:51. 104 105 M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu….h.305 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 222 | Mohammad Andi Rosa dalam mengutip teori atau ilmu modern. d. Melakukan analisis morfologis terhadap lafal dalam ayat yang terkait pembahasan: Misal ungkapannya berikut: “Ketika berbicara tentang harta, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata mâluka (hartamu), tetapi mengkaitkannya dengan yang lain misalnya, mâl Allâh (harta Allah), amwâl yatâmâ (harta anak yatim), atau amwâluhum (harta mereka). Semuanya menunjukan bahwa harta haruslah memiliki fungsi sosial”.106 Demikian sistematika dan metode penafsiran Quraish Shihab pada tema “Islam dan Pembangunan”, dan berikut tabel tentang analisis ayat yang digunakan Quraish Shihab dalam tema dimaksud. TABEL: 1.1 Analisis Ayat Pada Tema “Islam Dan Pembangunan” Analisis Analisis Analisis Jumlah Intrinsik Ekstrinsik Hasil Para (A) (B) Ulama Sebelumnya (C) NO. 1. Menganalisis ayat secara rasionalitas (talazzum fi al‘aqli) didasarkan pada bentuk al- munâsabat Melakukan generalisasi terhadap konteks keilmuan modern yang dikutipnya, untuk memudahkan pemilahan ayat. A= 3 B=1 C=0 dengan urutan penulisan ayat dalam mushaf. Melakukan talazzum alzikhnî terhadap 106 M. Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu..h.303 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual | 223 NO. Analisis Intrinsik (A) Analisis Ekstrinsik (B) Analisis Hasil Para Ulama Sebelumnya (C) Jumlah lafal Al-Qur’an yang terkait dengan isi pembahasan dalam sub tema dimaksud. Melakukan analisis morfologis terhadap lafal dalam ayat yang terkait pembahasan G. Penutup Penafsiran teks Agama dalam Islam -baik Al-Qur’an maupun hadis nabi saw-, idealnya tidak bisa terlepas dari makna dan ketentuan tafsir itu sendiri, termasuk tafsir kontekstual. Maka di sini seorang penafsir/mufassir hendaknya memahami kerja tafsirnya dalam berbagai level: ontologi tafsir, epistemologi tafsir, dan aksiologi tafsir. Adanya pertentangan dalam penafsiran kontekstual, seringkali diakibatkan karena mengabaikan ketiga level tersebut, termasuk level aksiologi penafsirannya. 1. Dalam perkembangan penafsiran teks agama, seringkali didapat adanya karakter tafsir ortodoksi atau tafsir heterodoksi, tetapi manakala keduanya memiliki komitmen dalam memperhatikan prinsip-prinsip penafsiran kontekstual tersebut, maka produk tafsirnya (baik ortodok atau heterodok) akan dapat maslahat dan produktif sesuai dengan kondisi zaman dan geografisnya bagi masyarakat yang didialogkan dalam teks tafsir dimaksud. Semakin banyak, konteks yang didialogkan Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 224 | Mohammad Andi Rosa dalam suatu karya tafsir, maka produk tafsir akan semakin produktif dan maslahat. Semoga. []. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 REVIEW BUKU DALAM KAJIAN LIVING HADIS: Dialektika Teks dan Konteks Nikmatullah IAIN Mataram Email: [email protected] Abstract: This article aims at reviewing some literatures dealing with livinghadith study, as well as methods and approaches they use. As can be seen from the literatures, methods and approaches employed do not differ from what are used in the socio-religious studies. This makes it possible for living-hadith study to conduct not only library research, but also field research. Literature review ini akan membahas tentang beberapa buku yang membahas tentang living hadis berikut metode penelitiannya serta pendekatan yang dilakukan. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam living hadis, sebagaimana yang tampak dari sejumlah literature yang dibahas, tidak berbeda dengan penelitian social keagamaan lainnya. Penelitian living hadis memungkinkan penelitian hadis tidak hanya fokus pada penelitian pustaka akan tetapi juga penelitian lapangan. ____________ Kata Kunci: Makna Living Hadis; Review buku tentang Living Hadis; Bentuk-bentuk Living Hadis; Penelitian Living Hadis. A. Pendahuluan Hadis Nabi adalah ucapan, perilaku, sikap dan taqrir Nabi sekitar 14 abad yang lalu. Ia menjadi tuntunan hidup bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia sejak Islam hadir sampai akhir masa. Kehadiran hadis tersebut dilingkup oleh ruang dan waktu tertentu. 225 226 | Nikmatullah Ruang yang dimaksud adalah lingkup konteks social budaya historis masyarakat Arab pada waktu 1.400 tahun yang lalu dan secara spesifik menyangkut asbab al-wurud hadis. Jika hadis nabi terbatas pada ruang dan waktu artinya ada ajaran Islam (hadis Nabi) yang bersifat universal, temporal dan local. Bagaimana hadis tersebut dipahami dalam konteks kontemporer saat ini? Beberapa ahli hadis sudah berusaha untuk membuatkan criteria validitas/keshahihan hadis. Hal ini sangat penting karena dalam konteks kesejarahan, hadis baru dibukukan sekitar satu abad setelah Nabi meninggal dan dalam perjalanan waktu saat itu banyak persoalan yang muncul. Pertikaian politik di kalangan umat Muslim dan diiringi dengan kemunculan pemalsuan hadis menjadi factor yang sangat dominan. Oleh karena itu, para ulama hadis berusaha keras menjaga agar hadis tetap terpelihara dengan baik. Pada awalnya, para ulama hanya fokus pada penelitian sanad, para perawi hadis. Selanjutnya, mulai timbul kebutuhan untuk meneliti teks hadis dan implemantasinya dalam kehidupan umat Muslim sehari-hari. Penelitian living hadis focus pada pemahaman dan praktek hadis dalam kehidupan masyarakat muslim sehari-hari. Pemahaman seseorang terhadap teks hadis Nabi tidaklah sama. Hal ini sangat tergantung kepada latar belakang pendidikan, minat, konteks social politik dan budaya orang yang memahaminya. Demikian juga praktek dalam masyarakat. Teks hadis yang sama bisa dipraktekkan secara berbeda oleh komunitas muslim. Hal ini terjadi karena adanya akulturasi Islam dengan budaya setempat. Literature review ini akan membahas tentang beberapa buku yang membahas tentang living hadis berikut metode penelitiannya serta pendekatan yang dilakukan. A. Pembahasan 1. Sahiron Syamsuddin (ed), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis a. Pengertian Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 227 Hadis (dan al-Quran) yang menyebar dikalangan umat Islam mengalami akulturasi dengan tradisi setempat dimana umat muslim berada. Penelitian Theodore Friend tentang Islam di lima negara yakni Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, Iran dan Turki menunjukkan bahwa praktek ajaran Islam beragam dan berbeda-beda. Ia menggambarkan keragaman tersebut dari budaya serta peran dan status laki-laki dan perempuan misalnya tentang tata cara berpakaian, adat perkawinan, relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.1 Dalam konteks Indonesia, Islam masuk ke Nusantara dengan sangat mudah diterima oleh masyarakat karena Islam mengakomodir budaya dan tradisi masyarakat local. Akomodasi budaya tersebut menyebabkan wajah keislaman Nusantara yang variatif, unik, dan lokalistik. Sehingga model keislaman masyarakat dikenal dengan nama-nama daerah atau suku seperti Islam Jawa, Islam Melayu, atau Islam Sasak. Hadis yang menyebar dikalangan umat Islam dan diaktualisasikan dalam konteks tradisi dan budaya local inilah yang disebut dengan living hadis.2 Istilah living hadis berbeda dengan living sunnah. Living sunnah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman dimaknai sebagai teladan Nabi Muhammad SAWyang telah Theodore Friend, Woman, Man, and God in Modern Islam (UK: William B. Eerdmans Publishing Company, 2012) 2 Istilah Living hadis terinspirasi oleh Fazlur Rahman dengan gagasan Living Tradition (Living Sunnah). Tradisi ini dibedakan dengan tradisi verbal atau hadith. Sunnah tidak hanya dalam bentuk perilaku Nabi akan tetapi juga mencakup perilaku umat muslim setelah Nabi sebagai bentuk peneladanan terhadap perilaku Nabi. Akan tetapi kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Living hadis mengacu kepada praktek masyarakat yang terinspirasi oleh hadis Nabi sementara Living sunnah adalah praktek hidup Nabi yang kemudian diteladani oleh umat Islam. Lihat Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (India: Adam Publisher and Distributors, 1994), 14. Mohamed Shaed Mathee, A Critical Reading of Fazlur Rahman’s Islamic Methodology in History: the Case of the Living Sunnah (South Africa: Dissertation of University of Cape Town, 2004). Abdul Haris, Hermeneutika 1 Hadis (Studi Atas Teori Pemahaman Hadis Menurut Fazlur Rahman Dan Muhammad Syahrur) (Yogyakarta: Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2011) Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 228 | Nikmatullah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabiin menjadi praktek keseharian mereka. Praktek ini muncul dari penafsiran yang bersifat individual terhadap teladan Nabi. Penafsiran ini berbeda-beda dikalangan para sahabat, ada yang menganggap sebagai sunnah dan ada yang tidak. Kemudian muncullah istilah sunnah Madinah, sunnah Kufah, dsb.3 Contoh living sunnah adalah tentang rampasan perang. Pada masa Nabi, harta rampasan perang dibagi-bagikan kepada kaum muslim4 sementara pada masa Umar bin Khattab, ia mengambil kebijakan dengan membiarkan tanah-tanah rampasan perang di daerah taklukan Islam serta mewajibkan mereka untuk membayar pajak tertentu sebagai cadangan bagi generasi muslim selanjutnya. Ia melakukan hal tersebut dengan pertimbangan keadilan social ekonomi.5 Artinya, apa yang dilakukan Umar adalah untuk menyesuaikan hadis dengan perbedaan konteks yang ada. Menurut Alfatih Suryadilaga, yang di maksud dengan living hadis adalah didasarkan atas adanya tradisi yang hidup dalam masyarakat kepada hadis. Penyandaraan kepada hadis tersebut bisa saja dilakukan hanya terbatas di daerah tertentu saja atau lebih luas cakupannya. Pada prinsipnya adanya lokalitas bentuk praktek dalam masyarakat.6 Nurun Najwah menambahkan bahwa kajian tentang fenomena social muslim yang termasuk dalam kajian living hadis adalah aktivitas yang dikaitkan oleh si pelaku sebagai aplikasi dari meneladani Nabi atau dari teks-teks hadis (sumber-sumber yang jelas) 3 Alfatih Suryadilaga, Model-model Living Hadis, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ( Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007), 108 4 QS. Al-Anfal: 41 5 Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007) 94 6 M. Alfatih Suryadilaga, Model-model Living Hadis, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ( Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007), 113 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 229 atau yang diyakini ada.7 Aktivitas ini terkait dengan fenomena hadith in everyday life yakni makna dan fungsi hadis yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim.8 Fenomena tersebut dalam bentuk respon atau praktek perilaku suatu masyarakat yang terinspirasi oleh kehadiran hadis.9 Respon tersebut dalam bentuk penggunaan ayat al-Quran atau hadis dalam kehidupan sehari-hari seperti penggunaan ayat al-Quran sebagai obat atau jimat (jampi-jampi), ritual pembacaan ayat atau hadis tertentu pada waktu tertentu yang berorientasi pada pengamalan misalnya alQuran dilombakan. Artinya living hadis adalah pengamalan hadis dalam kehidupan umat sehari-hari. Sementara Barbara D. Metcalf menyatakan bahwa living hadis mempunyai makna ganda yang mencakup pemahaman terhadap hadis dan internalisasi tertulis/teks yang didengar ke dalam kehidupan nyata, living hadis.10 Menurutnya, living hadis mempunyai tiga pola kerja. Semua terjemahan, khususnya terjemahan atau ringkasan dari hadits, mengkonstruk sebuah framework untuk melakukan kritik budaya yang otoritatif dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Kedua, ketika ada kontestasi antara teks dengan konteks, maka penyelesaiannya melalui teks lain baik tertulis maupun lisan. Ketiga, 7 Nurun Najwah, Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, ( Yogyakarta: TH Press dan Teras: 2007), 134 8 M. Mansur, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Qur’an, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH Press dan Teras: 2007), 5 9 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Living Qur’an: Model Penelitian Kualitatif, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH Press dan Teras: 2007), 68 10 Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi Jama`at, The Journal of Asian Studies,Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993), pp. 584-608. Artikel ini membahas tentang tulisan tentang Jamah Tabligh karya Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi (1898-1982) antara tahun 1928 and 1940. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 230 | Nikmatullah semua teks memberikan kontribusi untuk masyarakat tentang apa yang ingin diketahuinya.11 Menurut penulis, living hadis tidak hanya menyangkut dengan fenomena yang muncul dalam masyarakat akan tetapi juga menyangkut juga praktek social keagamaan sebagai bentuk pengamalan hidup sehari-hari. Praktek tersebut didasarkan pada pengamalan hadis sebagai sumber inspirasi. Living hadis juga tidak hanya terpaku pada praktek belaka akan tetapi juga menyangkut tentang pengetahuan, pandangan, perasaan, dan pengalaman masyarakat setempat.12 Ada tiga model variasi living hadis yaitu tradisi tulis, tradisi lisan, dan tradisi praktek.13 Tradisi tulis biasanya dalam bentuk tulisan yang terpampang ditempat-tepat strategis dan diyakini bahwa isi tulisan berasal dari Nabi. Misalnya tulisan النظافة من اَليمانKebersihan sebagian daripada iman yang dianggap hadis oleh masyarakat ditujukan agar masyarakat menjaga kebersihan lingkungan. Tradisi lisan sering muncul bersamaan dengan prakek yang dijalankan oleh masyarakat. Misalnya tradisi di beberapa pesantren melaksanakan shalat shubuh pada hari jumat lebih panjang daripada biasanya karena ada tradisi membaca surat Hamim al-Sajdah dan al-Insan. Demikian juga di pesantren di Jawa ada tradisi Bukharinan pada bulan puasa dan diartikan dengan bahasa Jawa. hadis-hadis yang dijadikan sebagai dalil dan hujjah dalam berbagai kesempatan kegiatan keagamaan yang disampaikan oleh para da’i atau muballigh.14 11 Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi Jama`at , The Journal of Asian Studies,Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993), pp. 584-608. 12 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Living Quran: Model Penelitian Kualitatif dalam Sohiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TH Press dan Teras, 2007), 73 13 M. Alfatih Suryadilaga, Model-model Living Hadis, 116-130 14 Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis, 45 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 231 b. Pendekatan Penelitian Living Hadis menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan subyek penelitian. Berikut beberapa pendekatan dalam penelitian living hadis: 1) Pendekatan sejarah Metode sejarah digunakan untuk mengamati proses social budaya berdasarkan alur waktu. Metode ini digunakan untk menguji otentisitas /validitas sumber dokumen (teks-teks hadis) baik dari segi sanad maupun matan hadis.15 Secara pendekatan historis, hadis tersebut dapat diuji otentisitasnya, apakah memang benar-benar berasal dari Nabi atau tidak. Dari sisi sanad, untuk menguji validitas sumber dokumen semua orang yang terlibat dalam transmisi hadis (perawi hadis). Sementara untuk kajian matan, untuk membuktikan secara historis dapat dibuktikan sebagai hadis Nabi atau bersumber dari Nabi. Kajian historis sanad hadis dapat merujuk kepada kitab rijal al-hadith dan al-jarh wa ta’dil. Pendekatan sejarah sangat penting dalam memahami al-Quran maupun hadis. Aspek historis yang dimaksud dalam pendekatan ini adalah terkait dengan asbab al-wurud atau sebab-sebab munculnya hadis. Aspek tersebut terkait dengan otentisitas dan pemaknaan atau pemahaman hadis. Otentisitas hadis terkait dengan apakah benarbenar bahwa hadis tersebut berasal dari Rasulullah atau tidak. Pendekatan historis ini sangat berpengaruh kepada subyektifitas pemahaman hadis.16 Oleh karena itu, historisitas digunakan untuk mengurangi subjektifitas penafsir al-Quran mapun hadis. Karena pemahaman yang mengabaikan historisitas, akan cenderung mengarah kepada otoritarianisme dan radicalism. 15 Nurun Najwah, Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: TH Press dan Teras: 2007), 140 16 Ahlam Irfani, Ahistorisitas Penafsiran dan Bias Ideologi (Kajian Terhadap Konsep Kedaulatan Tuhan Menurut Sayyid Qut}b) , Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies – Vol. 3, No. 2, (2014): 173-201 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 232 | Nikmatullah 2) Pendekatan sosiologi dan antropologi Pendekatan sosiologi mengkaji praktek-praktek keagamaan untuk membuktikan hubungannya dengan interaksi, struktur, idiologi, kelas dan perbedaan kelompok yang dengan ini semua masyarakat bisa terbentuk.17 Agama dikaitkan dengan komunitas masyarakat dalam arti menjadi anggota suatu komunitas berarti melibatkan diri dalam sistem peribadatan komunitas tersebut yang bersifat spesifik dalam masyarakat setempat. Obyek penelitian agama dalam pendekatan sosiologi adalah kelompok dan lembaga keagamaan (pembentukannya, kegiatan, pemeliharaan dan pembubarannya); perilaku individu dalam kelompok tersebut yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual; konflik antar kelompok.18 Penelitian antropologi mengamati perilaku manusia. Dalam kehidupan umat beragama, posisi dan peranan tertentu dari seseorang dalam kehidupan bersama melalui hubungan fungsional dalam masyarakat. Upara keagamaan mengandung empat aspek yakni tempat upacara,waktu upacara, media dan alat upacara, dan orangorang yang melakukan dan memimpin upacara.19 Perilaku yang yang dapat diteliti terkait dengan kehidupan keagamaan adalah sikap-sikap keagamaan yang terwujud dalam tindakan seperti doa, upacara kurban, mitos-mios, symbol, kepercayaan berkenaan dengan yang suci, mahluk supranatural, dsb. Michael S. Northcott, Sociological Approaches dalam Peter Connolly (ed.), Approaches to the Study of Religion. Dalam versi terjemahan Bahasa Indonesinya, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011), Cet. III, 267-310. Lihat juga buku Kuare Sualastoga, Diferensiasi Sosial, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), Cet.1., 92. terj. Himadan, S.U. Baca juga buku Peter Worsley, et all, Pengantar Sosiologi : Sebuah Perbandingan, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta:Tiara Wacana 1992) Cet.1 Jilid 2, 76. Lihat, Brayan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta : IRCi SoD, 2003), Cet.1. 31 18 Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis, 54 19 Koentjaraningrat, Pengantar IlmuAntropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1980), 393 17 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 233 3) Pendekatan fenomenologi Agama sebagai fenomena kehidupan sebagai sistem social budaya, artinya mengkaji agama secara filosofis dan teologis tetapi agama sebagai fenomena empiris yang mendasari setiap fakta religious.20 Dalam penelitian fenomenologi,21 mengandalkan metode penelitian partisipatif, agar peneliti dapat memahami tindakan agama dari dalam. 4) Pendekatan hermeneutic: Pendekatan hermeneutika mengkaji tentang cara pembaca memahami teks yang dimaksud oleh pengarang karena adanya perbedaan waktu, tempat, dan konteks latar belakang social budaya yang berbeda antara pengarang dan pembaca yang memunculkan pluralitas pemahaman terhadap teks.22 Nurun Najwa menawarkan 5 tahapan pendekatan dalam analisis hermeneutik: a) Memahami aspek bahasa Terkait dengan aspek kebahasaan ini, ada 3 yang perlu dikaji: (1) perbedaan redaksi masing-masing periwayat hadis; (2) makna leksikal/harfiah terhadap lafad yang dianggap penting; (3) pemahaman tekstual matan hadis dengan merujuk kepada kamus bahasa Arab atau kitab syarh hadis. b) Memahami konteks historis. Konteks historis dengan mengkaji asbab al-wurud hadis dengan merujuk kepada kitab sejarah atau syarh. c) Mengkorelasikan secara tematik-komprehensif dan integral. Korelasi ini dapat dilihat dari teks hadis berkualitas shahih atau hasan, realitas empirik, logika dan ilmu pengetahuan. d) Memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya. Dhavamony Mariasusai, Phenomenology of Religion, terj. KelompokStudi Agama Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 27 21 Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis , 42-46, 50 22 Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: Elsaq, 2005), 5 20 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 234 | Nikmatullah Untuk memaknai teks, harus bisa dibedakan antara wilayah tekstual dan kontekstual. Nurun Najwah23 mengemukakan bahwa hadis yang harus dipahami secara tekstual adalah 1) menyangkut ide moral/ide dasar/tujuan (makna di balik teks), yang bersifat universal, lintas ruang dan waktu, dan intersubjektif. 2) bersifat absolute, prinsipil, universal dan fundamental. 3) mempunyai misi keadilan, kesetaraan, demokrasi. 4) menyangkut relasi langsung dan spesifik manusia dengan Tuhan yang bersifat universal. Sementara hadis kontekstual mencakup 1) menyangkut sarana/bentuk, 2) mengatur hubungan manusia sebagai individu dan mahluk biologis, 3) mengatur hubungan dengan sesama mahluk dan alam seisinya, 4) terkait dengan persoalan social, politik, ekonomi, budaya, dan iptek. Artinya, persoalan muamalah, konteks relasi antar umat manusia harus dipahami secara kontekstual, dengan mempertimbangkan konteks dimana hadis muncul dan konteks ketika ia ditafsirkan. e) Menganalisis pemahaman teks hadis dengan teori ilmu terkait. Hadis harus dipahami dengan konteks saat ini dengan menggunakan analisis sosial, politik, ekonomi, dan budaya serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Musahadi HAM, ada sebuah rumusan metodologis sistematis hermeneutika hadis. Pertama, kritik historis. Kedua, kritik eidetis, dengan tiga langkah yakni 1) analisis isi, yakni pemahaman terhadap makna hadis melalui kajian linguistik, kajian tematis-komprehensif, dan konfirmasi makna yang diperoleh dengan petunjuk al-Quran. 2) analisis realitas historis, yaitu upaya untuk menemukan konteks sosio-historis hadis. 3) analisis generalisasi dengan cara menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis. Ketiga, kritik praksis yaitu suatu kajian yang 23 Nurun Najwah, Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah, dalam Sohiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007), 147 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 235 cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai relitas yang dihadapi.24 Secara umum, langkah-langkah analisis data sebagai berikut: 1) Analisis hadis dilakukan dengan menggunakan metode hermeneutika. Melalui metode ini, hadis-hadis tentang pernikahan tersebut ditelusuri asba>b al-wuru>dnya, konteks social cultural pernikahan masyarakat Arab pada awal Islam, konteks kekinian dimana hadis tersebut dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat muslim sehari-hari. c. Metode penelitian Living hadis yang focus pada everyday life merupakan penelitian kualitatif dengan ciri-ciri: Berlatar belakang alami, Bersifat diskriptif, Lebih memperhatikan proses dari sebuah fenomena social daripada hasil fenomena tersebut, Menggunakan analisis induktif, Adanya pergumulan makna dalam hidup. Pengumpulan data dilakukan dengan25 1) Observasi Observasi adalah pengamatan, penglihatan. Secara khusus adalah mengamati, dan mendengar dalam rangka memahami, mencari jawab, mencari bukti, terhadap fenomena social keagamaan. Observasi bertujuan untuk mengamati fenomena social keagamaan sebagai peristiwa actual yang memungkinkan penelitian memandang fenomena tersebut sebagai proses; untuk menyajikan kembali gambaran dari fenomena sosial keagamaan dalam laporan penelitian dan penyajian; untuk melakukan eksplorasi atas social setting dimana fenomena terjadi. Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 153-159 24 25 Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Quran, dalam Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Quran dan Living Hadis , 57-61 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 236 | Nikmatullah Observasi terbagi dalam beberapa bentuk yakni observasi partisipan dan non-partisipan. Untuk penelitian living hadis, observasi partisipan sangat cocok untuk diterapkan. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah aktivitas social keagamaan yang terkait dengan siapa yang terlibat, apa aktivitasnya, kapan mereka beraktivitas, dimana aktivitas mereka, mengapa mereka melakukan aktivitas tersebut serta bagaimana aktivitas dilakukan dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Observasi dilakukan dalam bentuk verbal, nonverbal atau aktivitas individu. 2) Wawancara Wawancara (Interview) merupakan sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden (orang yang diwawancarai), dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Wawancara dapat dilakukan terhadap orang-orang yang menajadi tokoh kunci dalam masyarakat misalnya tokoh agama, tokoh budaya, tokoh masyarakat, pengurus suatu organisasi dan anggota atau masyarakat yang dianggap cukup berkompeten dalam memberikan data yang dibutuhkan. 3) Dokumentasi Dokumentasi yaitu metode pengumpulan data dalam enelitian untuk memperoleh data yang bentuknya catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dokumen, peraturan, agenda, dan lain sebagainya. 2. Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, India: Adam Publishers and Distributors, 1994 a. Pengertian Dalam pandangan Rahman, hadis (yang secara harfiah/leksikal berarti cerita, penuturan, atau laporan) adalah sebuah narasi dan bertujuan memberikan informasi tidak hanya tentang apa yang dikatakan Nabi, Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 237 dilakukan, dan disetujui atau tidak disetujui beliau, juga informasi yang sama mengenai para sahabat, dan lebih khusus lagi keempat khalifah yang pertama. Setiap hadis mengandung dua bagian, teks (matn) hadis itu sendiri dan mata rantai transmisi atau isnad-nya yang menyebutkan nama-nama penuturnya (rawi) sebagai penopang bagi teks tersebut. Oleh karena itu, hadis juga disebut dengan tradisi verbal, sebuah tradisi yang ditransmisikan. Tradisi verbal ini merupakan lawan dari tradisi non-verbal atau praktis yang disebut dengan istilah sunnah, sebuah tradisi yang “diam” atau “hidup”. Konsep sunnah (Nabi) berarti memberikan sebuah teladan agar diikuti oleh orang-orang lain, sehingga praktik orang-orang Arab sebelum Islam tidak dapat dipandang memiliki makna normative. Sunnah tersebut dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Dengan demikian, sunnah Nabi lebih tepat dipahami sebagai penunjuk arah daripada sebagai serangkaian aturan yang ditetapkan secara pasti. Pengertian “sunnah ideal” semacam inilah yang menjadi basis aktivitas pemikiran kaum Muslim awal. Setelah Nabi wafat, penyebaran hadis Nabi berubah dari kondisi informal menuju penyebaran yang bersifat semi-formal. Pada saat ini, fenomena hadis berubah menjadi suatu kesengajaan karena mereka menanyakan perihal perilaku Nabi. Hadis adalah sebuah sarana penyebaran sunnah Nabi yang mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi suatu praktik aktual masyarakat Muslim. Oleh karenanya, hadis secara bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan situasikondisi yang mereka hadapi, dan akhirnya terciptalah apa yang disebut sebagai "sunnah yang hidup". Sunnah Nabi hanyalah sebuah konsep petunjuk memberikan arah atau petunjuk bagi umat Islam dalam menghadapi problema moral, sosial, politik, dan lain-lain. Ia tidak memiliki kandungan spesifik yang bersifat mutlak–yakni dalam arti serangkaian aturan pasti—sehingga selalu dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan berdasarkan latar belakang situasionalnya. Karena itu, kandungan sunnah Nabi pun melalui proses penafsiran berdasarkan kebutuhankebutuhan dan materi-materi yang baru, selain berisikan sunnah Nabi sendiri, juga mencakup tradisi yang hidup dari generasi umat Muslim paling awal, dan bahkan kesimpulan-kesimpulan yang dideduksikan Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 238 | Nikmatullah dari keduanya. Singkatnya, kandungan sunnah yang dipraktikkan masyarakat Muslim selama didasarkan pada sunnah Nabi inilah yang disebut sebagai sunnah yang hidup (living sunnah). Istilah living hadis sebenarnya berasal dari living sunnah yang telah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman. Living sunnah adalah praktek hidup perilaku Nabi yang diteladani oleh umat muslim. Namun pada perkembangannya, living sunnah berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat muslim yang kian kompleks. Living sunnah bukan hanya tentang sunnah Nabi akan tetapi juga berkembang menjadi tradisi yang hidup dalam setiap generasi berikutnya. Konsep sunnah memuat tradisi yang hidup di tengahtengah masyarakat muslim (living tradition). Tradisi tersebut bersumber dari Nabi yang diinterpretasikan oleh ra’yu dan ijtihad. Sementara yang dimaksud dengan living hadis adalah tradisi yang hidup di masyarakat yang bersumber dari hadis. b. Pendekatan 1) Pendekatan historis Menurut Rahman, yang diperlukan saat ini adalah sebuah penafsiran historis terhadap hadis dalam rangka mengembalikan hadis ke dalam konteks sunnah yang hidup (living sunnah). Berkaitan dengan penafsiran historis tersebut, ia menyimpulkan adanya proses evolutif sunnah Nabi yang merupakan sebuah konsep perilaku normatif dan menjadi teladan bagi umat Muslim. Menurut Fazlur Rahman, untuk memahami teks hadis yang didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi pada abad ke 7 lalu, perlu di revaluasi dan di interpretasi agar dapat dipahami sesuai dengan kondisi kontemporer saat ini. Untuk itu, studi historis terhadap hadis sangat penting untuk dilakukan, dengan cara mengubah definisi konvensional terhadap hadis sebagai suatu yang statis menjadi dinamis atau yang lebih dikenal dengan sunnah hidup. Sebagai sunnah hidup, hadis dibedakan menjadi dua macam, yakni hadis hisoris dan biografis, dan hadis teknis. Hadis historis adalah hadis-hadis yang di dukung oleh fakta sejarah sementara hadis teknis adalah sebaliknya, tidak didukung oleh fakta sejarah. Yang dimaksud dengan hadis-hadis yang bersifat historis dan biografis, adalah hadis-hadis yang mencerminkan kandungan- Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 239 kandungan historis dari sunnah Nabi. Hadis-hadis mengenai shalat, zakat, dan haji, termasuk tata cara pelaksanaannya secara mendetail adalah terkait dengan Nabi. Adapun yang dimaksud dengan hadishadis teknis adalah hadis-hadis yang tidak bersumber dari Nabi, tetapi tetap harus dipandang memiliki nilai normatif dalam pengertian dasar. Ketidak-historisan hadis-hadis teknis di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa hadis-hadis adalah bentuk persekongkolan besarbesaran (a gigantic conspiracy) yang dilakukan oleh ahli hadis. Dengan kata lain, hadis teknis adalah hadis yang tidak bersumber dari Nabi tetapi bersumber dari generasi awal abad pertama sampai abad ketiga. Untuk membedakan antara hadis Nabi atau bukan, maka ada beberapa criteria:26 a) Hadis Nabi tidak bersifat spesifik baik dalam lafal maupun dalam kandungannya. b) Matan hadis tidak bersifat prediksi secara langsung maupun tidaklangsung. c) Matan harus relevan dengan al-Quran d) Matan hadis tidak megandung sifat politis dan hokum e) Matan hadis bersifat situasional atau historis f) Matan hadis Fazlur Rahman membagi hadis dalam menolak hadis prediksi dan teknis. Kedua hadis tersebut tidak bersumber dari Nabi. a) Memahami teks matan hadis dengan memahami asbab alwurudnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat Arab pada umumnya, keputusan Nabi b) Memahami petunjuk al-Quran yang relevan c) Prinsip “ide moral” yang diaplikasikan dan diadaptasikan dalam konteks social cultural saat ini dengan mengkombinasikan pendekatan historis dengan sosiologis. 26 Abdul Fatah Idris, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis: Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Jakarta: Pustaka Rizki Ptra, 2012) 152 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 240 | Nikmatullah 3. M. Syhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Menurut syuhudi Ismail,27 ajaran Islam bersifat universal berlaku bagi semua umat manusia dari berbagai jenis kelamain, agama, ras, etnik. Akan tetapi dalam perkembangannya, manusia menyebar di seluruh dunia dan pergantian generasi dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan ruang dan waktu. Oleh karena itu ajaran Islam terbagi menjadi bersifat universal, temporal dan lokal. Nabi Muhammad di utus oleh Allah bagi seluruh alam. Artinya kehadiran Nabi membawa rahmat bagi seluruh umat manusia melewati batas ruang dan waktu. Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia28 dan rahmat bagi seluruh alam.29 Muhammad, selain berperan sebagai Nabi dan rasul, beliau juga adalah kepala negara, pemimpin massyarakat, panglima perang, hakim,30 dan pribadi manusia biasa.31 Oleh karena itu, penerapan hadis Nabi juga disesuaikan dengan peran Nabi tatakala hadis itu terjadi. Nabi Muhammad hidup di tengah masyarakat dan berkomunikasi dengan mereka baik Muslim maupun non-muslim. Adakalanya para sahabat bertanya tentang sebuah persoalan atau ada kejadian yang menimpa mereka. Atau Nabi sendiri melakukan perbuatan tertentu tetapi kemudian ditegur oleh Allah.32 Karenanya, hadis ada yang mempunyai asbab al-wurud dan ada yang tidak. Ada 27 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 2009 28 QS. Saba’: 28 29 QS al-Anbiya:107 30 Philip K Hitti, History of the Arabs (London: the Macmillan Press Ltd, 1974) 139 31 QS. Ali Imron: 144 dan al-Kahfi: 110. 32 Seperti asbab al-nuzul QS. Abasa. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 241 juga hadis Nbai yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Adakalanya juga hadis tampak bertentangan antara satu dengan lain. Dengan demikian, hadis Nabi ada yang dipahami secara tekstual dan ada yang dipahami secara kontekstual. M. Syuhudi Ismail, memetakan pemahaman matan hadis berdasarkan empat kategori: Pertama, Bentuk matan hadis dan cakupan petunjuknya: Jawami’ al-kalim (ungkapan singkat dan padat makna), bahasa tamsil (perumpamaan), dan ungkapan simbolik. Hadis-hadis yang dipahami dalam bentuk jawami’ al-kalim tentang perang itu siasat, minuman khamar, dan mahram karena sesusuan. Hadis-hadis ini harus dipahami secara tekstual dan menunjukkan ajaran Islam yang bersifat universal. Bahasa tamsil pada hadis persaudaraan atas dasar iman, kembali haji seperti bayi dan dunia sebagai penjara. Hadis pertama bersifat universal sementara hadis kedua dipahami secara kontekstual. Sementara ungkapan simbolik seperti terdapat dalam hadis dajjal, Tuhan “turun” kelangit dunia, dan ususnya orang mukmin dan orang kafir, warna kulit anak dan ayahnya, dan penyaluran hasrat seksual yang bermakna sedekah. Hadis ini dipahami secara tekstual dan berlaku universal. Kedua, Kandungan hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad. Yang termasuk hadis-hadis dalam kategori ini adalah lima keutamaan Nabi Muhammad, kepala Negara dari suku Quraisy, pemimpin dari suku Habsyi, keharaman keledai kampung, keterbatasan pengetahuan hakim, hakim berijtihad dan cara nabi berbaring. Hadis-hadis di atas dapat dipahami dengan dua cara yakni tekstual dan kontekstual. Misalnya kepala negara dari Quraisy bersifat temporal dan harus dipahami secara kontekstual. Ketiga, Petunjuk hadis Nabi dihubungkan dengan latar belakang terjadinya dibagi menjadi dua yaitu hadis yang tidak mempunyai sebab secara khusus dan hadis yang mempunyai sebab secara khusus dan hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi (berkembang). Hadis yang tidak mempunyai sebab khusus antara lain keimanan pezina, pencuri dan peminum khamar; kewajiban Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 242 | Nikmatullah menunaikan zakat fitrah, rukyat dan hisab, dan berpuasa karena bulan. Sementara hadis yang mempunyai sebab khusus seperti urusan dunia, mandi pada hari jumat, syair dan nanah, dan syair dan hikmah. Sementara hadis dalam kategori yang terakhir adalah setan di belenggu dalam bulan ramadhan, wanita menjadi pemimpin, mematikan lampu tatkala hendak tidur, dan memelihara jenggot dan kumis. Keempat, Petunjuk hadis yang tampak saling bertentangan. Contohnya larangan dan kebolehan buang hajat menghadap kiblat, wajib dan tidak wajib mandi janabah, larangan dan kebolehan menulis hadis, dan larangan dan kebolehan kawin kontrak (nikah mut’ah). Tehadap hadis-hadis yang tampak bertentangan ini ada beberapa cara untuk memahaminya: a) al-tarjih, meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argument yang lebih kuat, b) al-jam’u atau altaufiq atau al-talfiq, keduanya harus dikompromikan atau diamalkan sesuai dengan konteksnya, c) al-nasih wa mansukh, petunjuk dalam hadis dinyatakan sebagai penghapus dan ada yang dihapus, d) altauqif, menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang daapatmenyelesaikan pertentangan tersebut. Oleh karena itu, maka jika terjadi hadis yang bertentangan, maka a) hadis tersebut tidak hanya dilihat dari tekstualnya saja akan tetapi juga kontekstualnya, mislanya kapan dan apa sebab hadis tersebut terjadi serta kepada siapa ditujukan, b) harus dikaji dalil naqli dan aqlinya serta perlu ijtihad. 4. Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith Muhammad Al-Ghazali33 membahas tentang beberapa hadis yang terkait dengan perempuan, nyanyian, etika, kerasukan setan, dajjal, takdir dan fatalism. Untuk memahami hadis diatas, maka ia memberikan beberapa criteria, yakni: a. Sesuai dengan al-Quran 33 Muhammad al-Ghazali, al-sunnah al-nabawiyah baina ahl al-fiqh wa ahl al- hadith Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 243 Contoh hadis yang sesuai dengan al-Quran adalah ketika ‘Aishah mengkritisi sebuah riwayat yang disampaikan oleh ‘Umar ibn al-Khaththab tentang orang mati menderita karena ratapan keluarganya. ‘Aisyah membantah hadis ‘Umar dengan mengutip QS. Al-An’am (6): 164 bahwa seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain. Hadis tersebut juga bertentangan dengan beberapa ayat lain alNahl:25, Fushilat:30, dan Ali-Imron:170. b. Sesuai dengan hadis lain yang membahas persoalan yang sama. Hadis tentang batasan aurat bagi perempuan khususnya bagi perempuan yang memakai cadar. Hadis lain menyatakan bahwa diriwayatkan oleh Sahl ibn Saad bahwa seorang perempuan menghadap Rasulullah dan berkata kepada beliau: “Aku datang untuk menyerahkan diriku untukmu”. Rasulullah memandang kepadanya dari atas sampai bawah kemudian menundukkan kepala tanpa memberikan jawaban. Maka perempuan itu duduk kembali setelah tidak memperoleh keputusan apapun dari beliau. Riwayat lain menyatakan bahwa salah seorang di kalangan sahabat yang hadir saat itu segera menunjukkan keinginannya untuk mengawini perempuan tersebut. Akan tetapi sahabat tersebut tidak memiliki mas kawin yang akan diberikan kepadanya. Rasulullah berkata: Carilah walau sebentuk cincin dari besi. Dengan demikian, hadis tentang kewajiban perempuan untuk memakai cadar bertentangan dengan hadis lain yakni Nabi memandang perempuan yang datang menyerahkan diri kepadanya. c. Sesuai dengan sejarah Contoh hadis yang bertentangan dengan sejarah adalah hadis tentang niqab, cadar yang menutupi seluruh wajah kecuali mata. Diriwayatkan bahwa seorang perempuan bernama Ummu Khallad datang menemui Nabi dengan mengenakan niqab. Ia menanyakan tentang putranya yang gugur di medan peperangan. Beberapa di antara sahabat berkata kepadanya, “Anda datang menanyakan putra anda sedangkan anda dalam keadaan berniqab?” Perempuan tersebut menjawab: kalaupun aku mengalami musibah kematian putraku, janganlah sampai aku mengalami musibah kehilangan rasa malu” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 244 | Nikmatullah Keheranan sahabat berkenaan dengan cadar yang menutupi wajahnya menunjukkan bahwa cadar bukan termasuk ibadah. Bahkan cadar merupakan tradisi Arab terdahulu, di mana kaum perempuan sedang berkabung biasanya membiarkan wajahnya terbuka agar tampak kesedihannya. d. Sesuai dengan ilmu pengetahuan Hadis tentang penciptaan manusia. Jenis kelamin janin laki-laki atau perempuan tergantung pada mani laki-laki. 5. Salahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadith AlNabawi. Salahuddin al-Adlabi,34 menawarkan beberapa metode untuk memahami hadis yaitu Pertama, Sesuai dengan al-Quran. Misalnya hadis tentang kenabian, tafsir, balasan dan akhirat. Jika hadis bertentangan dengan al-Quran maka ada dua alternative: dari sudut wurud dan sudut dalalah. Di antara hadis yang termasuk bagian ini adalah hadis-hadis tentang ketuhanan, kenabian, tafsir dan ketentuan balasan dan akhirat. Misalnya hadis “dimana Allah”, “kursi Allah”. Nabi terkena sihir, nabi menshalati jenazah orang munafik. Balasan anak zina. Kedua, Sesuai dengan hadis shahih dan sirah nabawiyah. Di antara hadis tersebut adalah hadis tentang adab, kiamat dan akhirat, hadis hukum. Jika ada hadis yang bertentangan, maka kemungkinan dua: al-jam’u, mengkompromikan, dan berstatus mutawatir. Misalnya pergi ke pasar pada waktu pagi menjadi pemegang panji iblis. Orang bunuh diri kekal di neraka. Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ketiga, Tidak bertentangan dengan akal, indera dan sejarah: perempuan Bani Israil di hukum dengan haid karena melihat laki-laki. Salah al-di>n al-Adlabi, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadi>th AlNabawi, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 34 2004) Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Riview Buku dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks | 245 Keempat, Menyerupai perkataan Nabi. Hadis yang termasuk dalam kategori ini adalah hadis-hadis yang mengandung keserampangan, mengandung makna yang rendah dan menyerupai perkataan ulama khalaf. B. Penutup Penelitian Living hadis merupakan model penelitian baru dalam studi hadis. Selama ini penelitian hadis hanya focus pada penelitian teks baik dalam penelitian sanad maupun matan. Penelitian living hadis memungkinkan penelitian hadis tidak hanya fokus pada penelitian pustaka akan tetapi juga penelitian lapangan. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam living hadis tidak berbeda dengan penelitian social keagamaan lainnya. Penelitian ini bisa menggunakan metode pengambilan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sementara untuk pendekatan menggunakan berbagai pendekatan ilmu social lain seperti pendekatan fenomenologi, sosiologi, antropologi, dll. DAFTAR PUSTAKA al-Adlabi, Salahuddin, Manhaj Naqd Al-Matan Ind Ulama Al-Hadith AlNabawi, Terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) Connolly, Peter (ed.), Approaches to the Study of Religion, Terj. Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2011) Faiz, Fahruddin, Hermeneutika al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: Elsaq, 2005) Friend, Theodore, Woman, Man, and God in Modern Islam (UK: William B. Eerdmans Publishing Company, 2012) al-Ghazali, Muhammad, al-sunnah al-nabawiyah baina ahl al-fiqh wa ahl al- hadith Haris, Abdul, Hermeneutika Hadis (Studi Atas Teori Pemahaman Hadis Menurut Fazlur Rahman Dan Muhammad Syahrur) (Yogyakarta: Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2011) Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 246 | Nikmatullah HAM, Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000) Hitti, Philip K, History of the Arabs (London: the Macmillan Press Ltd, 1974) Idris, Abdul Fatah, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis: Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2012) Irfani, Ahlam, Ahistorisitas Penafsiran dan Bias Ideologi (Kajian Terhadap Konsep Kedaulatan Tuhan Menurut Sayyid Qut}b), Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies – Vol. 3, No. 2, (2014) Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 2009 Mathee, Mohamed Shaed, A Critical Reading of Fazlur Rahman’s Islamic Methodology in History: the Case of the Living Sunnah (South Africa: Dissertation of University of Cape Town, 2004) Mariasusai, Dhavamony, Phenomenology of Religion, terj. Kelompok Studi Agama Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 1995) Metcalf, Barbara D., Living Hadith in the Tablighi Jama`at, The Journal of Asian Studies, Vol. 52, No. 3 (Aug., 1993) Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History (India: Adam Publisher and Distributors, 1994) Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta:TH Press dan Teras: 2007) Sualastoga, Kuare, Diferensiasi Sosial, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) Turner, Brayan S., Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta : IRCi SoD, 2003) Worsley, Peter, et all, Pengantar Sosiologi: Sebuah Perbandingan, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1992). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI LIVING HADIS DI INDONESIA: Sebuah Kajian Awal Jajang A Rohmana UIN Sunan Gunung Djati Bandung Email: [email protected] Abstract Hadith studies in Indonesia continually try to be developed by scholars. They try to develop the hadith studies which have been considered “rarely studied” compared to other Islamic studies. One of the issues uses a multidisciplinary approach involving the social sciences and humanities. The phenomenon of living hadith is part of the issues. It tried to shift the focus which is not only study the text of hadith, but also shifted to the issues of hadith in practice, such as socio-cultural phenomenon that live and thrive in the community. The object study of living hadith is the community who receive, use and practice the hadith in their daily lives. One of approaches that uses to research the community is anthropology. It is a scientific disciplines seen from the aspect of human culture. This paper is a preliminary studies on the importance of using anthropological techniques in the study of living hadith in Indonesia. It will focus on the issue of the development of living hadith in Indonesia, the importance to shift the hadith studies from the text to the public sphere, the development of the study of living hadith from the great tradition to the little tradition, the use of anthropology as an approach or perspective and the methodological steps in the anthropological studies of living hadith. This study is important not only in order to expand the area of hadith studies towards a more dynamic knowledge, but is also expected to strengthen the basis of arguments about the importance of living hadith in the discourse of the anthropology of Islam. 247 248 | Jajang A. Rohmana Abstrak Studi hadis di Indonesia berusaha untuk terus dikembangkan oleh para sarjana. Salah satunya menggunakan pendekatan multidisiplin dengan melibatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fenomena studi living hadis (hadis yang ‘hidup’) merupakan bagian dari upaya pengembangan kajian hadis yang selama ini dianggap “sepi” dibanding studi keislaman lainnya. Ia berusaha menggeser fokus kajian tidak saja berkutat di sekeliling teks hadis, tetapi beralih pada praktik hadis berupa gejala sosial-budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat. Objeknya adalah masyarakat sebagai penerima, pengguna dan pengamal hadis dalam kehidupan kesehariannya (hadith in daily life). Salah satu pendekatan yang digunakannya adalah antropologi. Sebuah disiplin keilmuan tentang manusia dilihat dari aspek budayanya. Tulisan ini merupakan kajian awal tentang pentingnya penggunaan pendekatan antropologi dalam studi living hadis di Indonesia. Ia akan memfokuskan pada masalah perkembangan living hadis di Indonesia, pentingnya menggeser studi hadis dari teks ke masyarakat, pengembangan arah studi living hadis dari tradisi besar ke tradisi kecil, penggunaan antropologi sebagai pendekatan sekaligus perspektif dan langkah-langkah metodologis yang bisa ditempuh dalam penelitian living hadis dengan pendekatan antropologi. Kajian ini penting tidak saja dalam rangka memperluas wilayah kajian hadis ke arah keilmuan yang lebih dinamis, tetapi juga diharapkan bisa memperkuat basis argumen tentang pentingnya posisi studi living hadis dalam diskursus antropologi Islam. Kata kunci: living hadis, antropologi, masyarakat, metodologi Pendahuluan Bagi sebagian sarjana, studi hadis termasuk salah satu bidang kajian keislaman (Islamic studies) yang “sepi” dibicarakan dibanding kajian fikih atau tafsir. Bukan saja sifat kajiannya yang dianggap “agak monoton” berkutat menelusuri rangkaian sanad dan biografi Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 249 periwayat di sekitar teks hadis, tetapi pandangan atas studi hadis sendiri yang disebut Al-Khu>li> sebagai salah satu keilmuan yang dianggap sudah terbakar dan matang (nad}aj wah}taraq).1 Kajian kritik hadis (naqd al-h}adi>th) melalui kritik sanad (kritik eksternal, naqd kha>riji>) dan matn (kritik internal, naqd da>khili>) bagi sebagian orang dianggap sudah hampir “selesai” (matang) dengan beredarnya sejumlah kitab dan software hadis lengkap dengan hasil tah}qi>q dan takhri>j dari ulama terkemuka. Para pengkaji hadis secara mudah tinggal membaca hasil penilaiannya tanpa perlu repot-repot menyisir satu-persatu jalur sanad dan biografi periwayatnya melalui kitab rija>l al-h}adi>th yang tentu sangat rumit dan menyita waktu. Kecuali bila peneliti secara serius ingin melakukan peninjauan kembali atas metode penentuan otentisitas hadis hasil takhri>j dari ulama sebelumnya, seperti dilakukan Amin atas Al-Alba>ni>.2 Karenanya, bisa dipahami bila tidak terlalu banyak sarjana Indonesia yang secara serius menggeluti bidang tersebut. Para pengkaji hadis abad ke-20 seperti T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (w. 1975), Abdul Qadir Hassan (w. 1980), Fatchur Rahman, M. Syuhudi Ismail, dan lainnya cenderung menjadi “juru bicara” tradisi kajian hadis dari para ulama sebelumnya dengan menggunakan bahasa Indonesia.3 Sejumlah publikasi tentang hadis juga tampak “dangkal” dengan hanya menerjemahkan potongan kumpulan hadis-hadis Bukhari, Muslim dan lainnya.4 *Makalah ini disampaikan dalam acara Workshop dan Pelatihan Metodologi Living Hadis yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Hadis (ADIAH) di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 23-24 Februari 2016. 1 Amin al-Khuli, Mana>hij Tajdi>d, fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab, (tt.: Da>r al-Ma’rifah, 1962), hlm. 302; Da>’irah al-Ma’a>rif al-Isla>miyyah, entri tafsi>r, jilid 5, hlm. 365. 2 Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Bandung: Hikmah, 2009, hlm. 72-90. 3 Muhamad Dede Rudliyana, Perkembangan Pemikiran Ulum Al-Hadits Dari Klasik sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 135. 4 Howard M. Federspiel, “H}adit} Literature in Twentieth Century Indonesia,” Oriente Moderno, Nuova serie, Anno 21 (82), Nr. 1, 2002, hlm. 115-116. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 250 | Jajang A. Rohmana Ini berbeda dengan karya para ulama hadis Nusantara abad ke17 yang diakui secara internasional dan tersebar di dunia Islam dalam bahasa Arab. Karya ulama hadis Nusantara pada saat itu ternyata tidak sesepi yang diasumsikan selama ini. Meskipun dari segi jumlah masih kalah jauh dibanding disiplin keilmuan lain terutama tasawuf dan fikih. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa perkembangan studi awal hadis di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari peranan komunitas ulama Jawi di Mekah dan Madinah (Haramayn).5 Bahkan terdapat kecenderungan di pelbagai kawasan dunia Islam termasuk Nusantara untuk mengembangkan disiplin keilmuan hadis yang distingtif. Literatur hadis pokok seperti kutub al-sittah (kitab hadis yang enam) menjadi titik pijak yang sama, tetapi pelbagai kawasan tersebut mengembangkan otoritas standar mereka sendiri yang berasal dari ulama berikutnya. Ini bisa dilihat dari penggunaan ijazah sanad hadis sebagai bentuk otoritas kesarjanaan hadis yang diperoleh dari pelbagai wilayah.6 Salah satu karangan ulama hadis Nusantara abad ke-17 adalah Hida>yat al-H}abi>b fi> al-Targhi>b wa al-Tarhi>b karangan Nuruddin alRaniri. Karya lainnya juga menunjukkan kuatnya akar kajian hadis di Nusantara, seperti Sharh} Lat}i>f ‘ala> Arba’i>n H}adi>than li al-Ima>m alNawawi> karangan Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, Tanbi>h al-Gha>fili>n karangan ‘Abdullah bin Lebai Abdul Mubin Pauh Bok al-Fatani, Fara>’id Fawa>’id al-Fikr fi> al-Ima>m al-Mahdi dan Kashf al-Ghummah karangan Dawud bin Abdullah al-Fatani, Tanqi>h al-Qawl H}athi>th karya Nawawi al-Bantani, Asa>ni>d wa Ija>za>t wa Musalsala>t alFadani> yang ditulis oleh Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani di penghujung abad ke-20. Karya lainnya adalah Manhaj Dhawi> al-Naz}ar fi Sharh Manzumat ‘Ilm al-Athar yang ditulis oleh ulama kelahiran 5 Oman Fathurahman, “The Roots of the Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din Al-Raniri,” Studia Islamika, Vol. 19 No. 1, 2012, hlm. 48. 6 John O. Voll, “Hadith Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the 18th Century Haramayn and Their Impact in the Islamic World,” Journal of Asian and African studies. 15: 1980, hlm. 264-265. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 251 Termas, Pacitan, Jawa Timur, Mah}fuz} Al-Tirmisi> (w. 1919).7 Ini menunjukkan bahwa sejumlah ulama Nusantara memiliki sanad yang kuat dan otoritatif sebagai ulama hadis di dunia Islam. Kemajuan kajian hadis oleh ulama Nusantara sejak abad ke-17 tersebut cenderung menurun hingga saat ini. Selain tidak terlalu banyak sarjana yang berminat mengambil spesialisasi di bidang hadis, keterbatasan kajian dalam bidang hadis juga tampak dari terbatasnya publikasi buku dan jurnal ataupun penelitian akademik di pelbagai PTKI di Indonesia yang secara khusus berkaitan dengan kajian hadis. Sesuatu yang kiranya berbeda bila dibandingkan dengan perkembangan kajian dalam bidang Al-Qur’an dan tafsir di Indonesia. Kajian terakhir cenderung meningkat paling tidak tampak dari sejumlah survey bibliografis tafsir Indonesia yang sudah dipublikasikan.8 Studi hadis di PTKI Indonesia sebenarnya cukup mendapatkan angin segar dengan diterbitkannya KMA No. 36 tahun 2009 tentang pembidangan ilmu. Studi keilmuan tafsir-hadis kini dijadikan dua program studi menjadi ilmu Al-Qur’an dan tafsir (IAT) dan ilmu hadis. 7 Oman Fathurahman, “The Roots of the Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara,” hlm. 48; Latifah AM., “Earliest Hadith Sciences Texts Written in Malay Archipelago,” Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 5 No.15, 2014, hlm. 550-558; Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2004, hlm. 147; Abdurrahman Mas’ud, “Mahfuz alTirmisi (d. 1338/1919): An Intellectual Biography,” Studia Islamika, Vol. 5 No. 2, 1998, hlm. 27-48. 8 Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an (Ithaca, New York: Cornel Modern Indonesia Project, 1994); Yunan Yusuf, “Perkembangan Metode Tafsir di Indonesia” dalam Jurnal Pesantren, Vol. VIII, No. 1, 1991; Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002); Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003); Peter G. Riddell, Translating the Qurʾān into Indonesian Languages, Al-Bayan Journal of Qur’an and Hadith Studies, 12 (2014): 1-27; M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: Dari Kontestasi Metodologi Hingga Kontekstualisasi, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 252 | Jajang A. Rohmana Ini kemudian berdampak pada pembukaan program studi ilmu hadis di sejumlah PTKI di Indonesia.9 Anggapan bahwa studi hadis cenderung “monoton” boleh jadi muncul sebagai reaksi terhadap kompleksitas studi hadis dibanding kajian keislaman lainnya. Boleh jadi kerumitan jejaring sanad yang bertebaran di pelbagai kitab hadis menjadi salah satu alasan keengganan sebagian sarjana untuk ikut terjun langsung mengurai belantara riwayat hanya untuk mengkaji satu buah hadis saja. Boleh jadi pula ini terkait pula dengan kedudukan hadis yang tidak seistimewa Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam disertasi problem historisitas dan otentisitas yang menyertainya. Problem terakhir berdampak pada munculnya semacam “jurang besar” perbedaan studi hadis di dunia Islam dan Barat. Umumnya kajian hadis di Indonesia cenderung didominasi pendekatan sanad dan matan yang diakui secara internal saja dibanding menitikberatkan pada pendekatan kritik dating kesejarahan sebagaimana tradisi studi hadis di Barat.10 Hal ini misalnya dilakukan oleh I. Goldziher, J. Schacht, G.H.A. Juynboll, H. Motzki, W. Graham, J. Brown dan lainnya.11 9 Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya: Studi atas Kurikulum IAIN Bukittinggi, IAIN Batusangkar, UIN Yogyakarta, dan IAIN Jember,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, 2015, hlm. 216. 10 Tentang kesarjanaan hadis di Barat, lihat Kamaruddin Amin, “The Realiability of the Traditional Science of Hadith,” Al-Jami’ah, Vol. 43, No. 2, 2005, hlm. 257-260. 11 Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien, 2 vols. Leiden, 1889-1890. Trans. S. M. Stern as Muslim Studies, 2 vols. London, 1967; Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950; G. H. A. Juynboll, Muslim Tradition. Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adi>th , Cambridge, 1983; Harald Motzki with Nicolet Boekhoff-van der Voort and Sean W. Anthony, Analysing Muslim Traditions, Studies in Legal, Exegetical, and Magha>z> Hadi>th, Leiden: Brill, 2010; W.A. Graham, Divine Word and Prophetic Word in Early Islam: A Reconsideration of the Sources, with Special References to the Divine Saying or Hadith Qudsi (Hague, 1977); Jonathan A.C. Brown, Hadith, Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, Oxford: OneWorld, 2009. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 253 Kendati demikian, di tengah keterbatasan kajian hadis di atas, awal abad ke-21 menandai perkembangan “baru” kajian hadis dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai salah satu ciri pentingnya. Ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh wacana pemikiran Islam kritis tahun 1970-an dalam diskursus kajian Islam. Karya-karya yang menitikberatkan penggunaan ilmu sosialhumaniora ini diinspirasikan oleh pelbagai cara berpikir yang berasal dari tiga kecenderungan: ilmu-ilmu sosial kritis Anglo-Amerika, Marxisme Barat, strukturalis Prancis dan pemikiran poststrukturalis.12 Pengaruhnya terhadap kajian Islam di Indonesia dirasa sangat signifikan dan memicu beragam respon di pelbagai kalangan Islam di tanah air. Diskursus tersebut salah satunya berdampak pada semakin terbukanya metodologi kajian Islam dengan menggunakan pendekatan multidisiplin terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora, seperti sosiologi, antropologi, filsafat, bahasa, gender, lingkungan dan lainnya. Kajian living hadis kiranya tidak bisa dilepaskan dari diskursus keilmuan modern tersebut. Kajian ini tidak lagi terlalu difokuskan pada teks hadis dilihat dari aspek sanad dan matan saja, tetapi mulai bersentuhan dengan aspek kontekstualisasi hadis di masyarakat. Ia berusaha mengungkap makna dan fungsi hadis yang real dipahami dan dialami masyarakat Muslim dalam kesehariannya. Salah satu pendekatan yang sangat penting untuk terus dikembangkan dalam kajian living hadis adalah antropologi. Sebuah disiplin ilmu sosial yang mengkaji tentang manusia terutama dilihat dari ragam unsur budaya salah satunya dinyatakan Kluckhohn, yakni sistem pengetahuan, ekonomi, teknologi, sosial, religi, kesenian dan bahasa.13 Pendekatan antropologi (agama) dalam studi hadis tidak Moch. Nur Ichwan, A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics: Nasr Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic Scholarship, Thesis submitted to the 12 Faculties of Theology and Arts of Leiden University, The Netherlands, August 1999, hlm. 31. 13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet. Ke-8, hlm. 21. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 254 | Jajang A. Rohmana dimaksudkan untuk memahami dan menganalisis aspek antropologis dalam matan hadis (fiqh al-h}adi>th atau ma’a>ni> al-hadi>th) dengan latar budaya Arab abad ke-7, tetapi terkait dengan apa yang disebut Rahman sebagai perkembangan dan perluasan living sunnah di pelbagai kawasan dunia Muslim—termasuk di Nusantara—sebagai hasil proses interpretasi dalam pelbagai kepentingan praktik aktual dan perbedaan praktik hukum yang semakin meluas.14 Tulisan ini merupakan kajian awal tentang penggunaan pendekatan antropologi tersebut dalam studi living hadis di Indonesia. Ia akan memfokuskan pada masalah perkembangan living hadis di Indonesia, pentingnya menggeser studi hadis dari teks ke masyarakat, arah studi living hadis dari tradisi besar ke tradisi kecil, penggunaan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi sebagai pendekatan sekaligus perspektif dan langkah-langkah metodologis yang bisa ditempuh dalam penelitian living hadis dengan pendekatan antropologi. Kajian ini penting mengingat pengembangan studi hadis tidak cukup berhenti pada teks hadis itu sendiri, tetapi pada masyarakat sebagai penerima, pengguna dan pengamal hadis dalam kehidupan kesehariannya (hadith in daily life). Kajian masyarakat sebagai pengguna hadis bukan saja bisa memberi warna kajian yang cenderung dinamis, tetapi membuka peluang kajian yang lebih inovatif dan luas. Studi Living Hadis di Indonesia Kajian living hadis di Indonesia bermula dari fenomena Qur’an and hadith in daily life yang marak satu dekade belakangan. Istilah living hadis awalnya memang tidak bisa dilepaskan dari kajian living Qur’an, mengingat keduanya secara teologis tidak dapat dipisahkan. Kedekatan kedua disiplin keilmuan Islam ini, tergambarkan dari ucapan Aisyah yang menyebut akhlak Nabi adalah Al-Qur’an (ka>na Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute, 1995, 3rd Reprint, hlm. 32. 14 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 255 khuluquh al-Qur’a>n).15 Karenanya, sejatinya makna living Qur’an secara historis awalnya merujuk pada pribadi Nabi Muhammad sendiri, sebagai “gambaran Al-Qur’an yang hidup” baik dalam ucapan maupun perbuatan (hadis, sunnah).16 Namun, istilah living hadis sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari diskursus “living sunnah” yang sudah lama diperkenalkan sejumlah sarjana. India dan Pakistan menjadi kawah candradimuka dalam diskusi penting hadis dan sunnah pada tahun 1960-an, bahkan jauh sebelumnya di akhir abad ke-19.17 Rahman termasuk salah satu ilmuwan yang mencoba menawarkan gagasan living sunnah sekitar tahun 1962.18 Ia dianggap sebagai salah satu penyumbang utama bagi peninjauan ulang tradisi Islam tersebut. Ia berusaha mendefinisikan ulang sunnah. Baginya, sunnah tidak hanya dipahami sebagai contoh normatif Nabi, tetapi juga harus dipahami sebagai interpretasi kolektif komunitas Muslim tentang teladan Nabi. Ia tidak statis, tetapi tumbuh dan berkembang. Sunnah dalam pengertian ini mewakili interpretasi, elaborasi, dan penerapan umat Islam akan sunnah Nabi dalam situasi spesifik. Diilhami oleh contoh Nabi dan mengambil contoh itu, tetapi formulasi spesifiknya merupakan karya kaum Muslim sendiri.19 Bagi Rahman, hadis terbentuk sesudah sunnah, bukan sebelumnya. Hadis merupakan refleksi dan dokumentasi verbal “sunnah yang hidup” (living sunnah) dalam masyarakat, sehingga hadis tumbuh sejajar dengan sunnah. Di sini, Rahman berusaha membedakan hadis dan sunnah secara tegas. Ia percaya pada tesis ، َشة َ ِعائ َّ ُع ْبد َ ُسأ َ ْلت َ ، َ ارة َ ، َ ع ْن قَت َادَة َ ، ع ْن َم ْع َم ٍر َ ،ق َ َحدَّثَنَا15 َ : قَا َل، س ْع ِد ب ِْن ِهش ٍَام َ ع ْن َ ع ْن ُز َر ِ الر َّزا َّ ُ َ ْ سلَّ َم ؟ فَقَا َل ُ َّ .) (مسند أحمد. َ َكانَ ُخلُقُهُ ْالقُ ْرآن: ت و ه ي ْ ل ع اَّلل ى ل ص هللا ل و س ر ق ل خ ع ْن ِ َ أ َ ْخ ِب ِرينِي: ُفَقُ ْلت َ َ َ ُ َ ِ ِ ُ َ ِ 16 Andrew Rippin, Muslims Their Their Religious Beliefs and Practices, London and New York: Routledge, 2005, hlm. 89. 17 Alan M. Guenther, “The Hadith in Christian-Mulim Discourse in BritishIndia, 1857-1888,” Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1997. 18 Fazlur Rahman, “Concept Sunnah, Ijtihad and Ijma’ in the Early Period,” Islamic Studies 1 (1), 1962. 19 Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 132. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 256 | Jajang A. Rohmana Goldziher dan Schacht bahwa hadis sebenarnya tidak sepenuhnya diucapkan oleh Nabi. Hadis berasal dari proses kreatif para ulama dalam menyalurkan otoritas kenabian untuk membimbing umat. Ia lalu diproyeksikan ke belakang, ke titik labuhnya yang paling alamiah, yaitu Nabi Saw.20 Pengertian living sunnah yang diformulasikan Rahman sedikit banyak menjadi pijakan dasar diskursus living hadis pada era belakangan. Bila Rahman merujuk pada pembentukan sunnah (tradisi) yang hidup di awal-awal pembentukan Islam di pelbagai kawasan secara luas, maka living hadis didasarkan pada adanya tradisi yang hidup di komunitas tertentu yang didasarkan pada teks hadis itu sendiri. Meskipun dari sisi lain, boleh jadi terdapat titik temu antara keduanya dilihat dari pelembagaan tradisi Islam yang terus hidup dan dipraktikkan di seluruh wilayah dunia Islam. Hanya saja bedanya, living hadis cenderung lebih spesifik dilakukan di daerah dan komunitas tertentu saja pada masa belakangan yang disandarkan pada teks hadis tertentu pula. Studi awal yang cukup jelas dalam mendefinisikan makna living hadis misalnya, dilakukan Metcalf dalam salah satu tulisannya tahun 1993. Ia melakukan pembacaan tradisi living hadis dalam organisasi Jamaah Tabligh di India. Baginya, istilah living hadis bagi para pengikut Jamaah Tabligh memiliki dua makna, yakni: “mencoba hidup dengan hadis (live by hadith)” dan “menginternalisasi teks hadis sampai pada titik bahwa mereka bercita-cita secara ideal dalam arti menjadi hadis yang hidup (become living hadith)” (Followers attempt to live by hadith but in such a way that they aspire to internalize the written/heard texts to the point that they ideally become, in a sense, “living hadith”). Metcalf mencontohkan bagaimana teks terjemah ringkasan hadis berbahasa Urdu, Tabli>ghi> nisa>b dan Faz}a>'il-i a'ma>l yang ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariyya Kandhalawi (18981982), seorang ulama Jamaah Tabligh, tidak saja digunakan untuk Jonathan A.C. Brown, Hadith, Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, Oxford: OneWorld, 2009, hlm. 250. 20 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 257 mengkomunikasikan ajaran-ajaran gerakan Jamaah Tabligh tetapi juga membentuk organisasi dan pengalaman gerakan tersebut.21 Living hadis karenanya tidak saja dimaknai sebagai gejala yang tampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi, tetapi juga proses internalisasi hadis ke arah pencapaian cita-cita ideal untuk menjadikan hadis sebagai “pedoman hidup yang terus hidup.” Ia tidak sekedar berkaitan dengan pola-pola perilaku sebagai bagian dari respon umat dalam interaksinya dengan hadishadis Nabi, tetapi pengaruh signifikan hadis terhadap kondisi dan pencapaian cita-cita umat itu sendiri. Ini mengingatkan pada studi Woodward terhadap terjemah hadis Riyad as-Salihin untuk melegitimasi kerjasama ormas keagamaan seperti NU dengan pemerintah dan sebagai kritik terhadap kaum modernis, aktifis radikal dan penganut Islam kejawen yang cenderung mengabaikan syariat. Terjemah hadis itu dilakukan sebagai bagian dari komentar dan respon penerjemahnya atas situasi sosial yang dihadapinya.22 Umumnya kajian living hadis memfokuskan pada pelbagai respon masyarakat terhadap hadis berupa resepsi mereka terhadap teks hadis tertentu, hasil pemahaman dan praktik yang dilakukannya.23 Resepsi sosial terhadap hadis misalnya, dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti hadis tentang shalawat yang kerap dijadikan landasan dalam tradisi shalawat pada acara atau seremoni sosial keagamaaan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Studi tentang tarian spiritual yang dilakukan oleh komunitas Joged Shalawat Mataram di Yogyakarta menjadi contoh real fenomena living hadis. Tradisi tersebut didasarkan pada sejumlah teks hadis yang 21 Barbara Metcalf, “Living Hadith in the Tablighi Jamaat, Journal of Asian Studies, 52, No. 3, (1993), hlm. 585. 22 Mark R. Woodward, “Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts,” The Journal of Asian Studies 52, 3 (Agustus 1993), hlm. 565. 23 Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Model-model Living Hadis” dalam Sahiron Syamsuddin ed., Metodologi Penelitian Living Qur'an dan Hadis, Yogyakarta: TH Press, 2005, hlm. 107-114. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 258 | Jajang A. Rohmana memerintahkan untuk bershalawat atas Nabi dan meneladaninya.24 Teks hadis yang hidup di masyarakat itulah yang disebut dengan the living hadis. Karena ia berkaitan dengan pola prilaku sebagai respon dan interaksi masyarakat atas hadis, maka objek kajian living hadis sangat luas. Suryadilaga membaginya ke dalam tiga wilayah kajian, yakni tradisi tulis, lisan dan praktik.25 Tradisi tulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk tulisan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang strategis, tetapi juga tradisi tulis yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi. Sedangkan tradisi lisan dalam living hadis muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam, seperti bacaan dalam salat shubuh di hari jum'at, tahlil, bacaan qunut subuh, shalawat, talqi>n mayit, bacaan zikir dan do’a ba’da salat dan lainnya.26 Adapun tradisi berupa praktik dalam living hadis merujuk pada praktik yang dilakukan oleh umat Islam yang disandarkan pada hadis, seperti khitan perempuan, ruqyah, joged shalawat, salat wetu telu, gerakan salat dhuha, pembacaan kitab hadis dan lainnya.27 24 Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Mafhu>m al-S}alawa>t ‘inda Majmu>’at Joged Shalawat Mataram: Dira>sah fi> al-H}adi>th al-H}ayy,” Studia Islamika, Vo. 21, No. 3, 2014, hlm. 555-557. 25 Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Model-model Living Hadis,” hlm. 110. 26 M. Khoiril Anwar, “Living Hadis,” Farabi, Vol. 12, No. 1, 2015, hlm. 7286. 27 Berikut beberapa judul penelitian living hadis yang sudah dilakukan di beberapa PTKI dan sebagiannya dipublikasikan di beberapa jurnal: Kolil Mustafid, “Mujahadah Bukhoren di Kec. Tempuran dan Salaman, Magelang Jawa Tengah,” Skripsi UIN Yogyakarta, 2008; Yusuf, “Pengkajian Kitab Hadis Bulughul Maram di Ponpes Tegal Al-Amien Prenduan Madura,” Skripsi UIN Yogyakarta, 2008; Ahmad Arrofiqi, “Implementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia pada Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2009; Arif, “Studi Living Sunnah tentang Makna Hadis Anjuran Menikah di Kalangan Aktifis HTI Malang,” Skripsi UIN Malang, 2011; Maulida Himatun Najih, “Pemahaman dan Praktik Hadis Kepemimpinan Perempuan (Studi Living Hadis di Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak Yogyakarta),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2013; Halimatus Sa’diyah, “Majelis Bukhoren di Kasultanan Ngayogyak Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 259 Meski sudah sejak satu dekade lalu studi living hadis dijadikan bagian dari program pengembangan, tetapi para sarjana mengakui bahwa pengembangan living hadis di lingkungan masyarakat akademis masih belum banyak mendapatkan perhatian. Meski sudah terdapat beberapa kajian living hadis yang dilakukan, tetapi umumnya penelitian di bidang hadis di PTKI masih dominan di wilayah kajian teks hadis, baik studi teori mustala>h} al-h}adi>th, kritik hadis (sanad dan matan), studi kitab hadis, studi tokoh, hadis tematik, maupun produk pemahaman atas hadis (fiqh al-hadith atau ma’a>ni> al-h}adi>th). Hasil survey skripsi hadis di UIN Makassar dalam rentang waktu 1994-2013 misalnya, menunjukkan dari 97 skripsi tidak ada satupun yang melakukan kajian living hadis.28 Begitu pun di UIN Yogyakarta sebagai salah satu lembaga perintis pengembangan kajian living hadis, jumlah skripsi prodi ilmu hadis yang menggunakan pendekatan living hadis masih sedikit dibanding studi di sekitar teks hadis.29 Hingga saat ini masih belum banyak PTKIN di Indonesia yang menjadikan living hadis sebagai salah satu mata kuliah wajib di program studi ilmu Hartahadiningrat (Studi living Hadis),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2013; Muhammad Hanafi, “Tradisi Salat Kajat di Bulan Suro pada Masyarakat Dukuh Teluk Kragian Gantiwarno Klaten (Studi Living Hadis),” Skripsi UIN Yogyakarta, 2013; Nasrulloh, “Konstruksi Sosial Hadis-hadis Misoginis di Kalangan Aktifis Ormas (Studi Living Hadis di Kota Malang),” Disertasi UIN Surabaya, 2013; Abdurrahman Abu Hanif, “Gerakan Salat Dhuha (Studi Living Hadis dalam Majelis Dhuha Bantul,” Tesis UIN Yogyakarta, 2015; Adrika Fitrotul Aini, “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa,” Ar-Raniry, Vol. 2, No.1, Juni 2014: 221-235; Umi Sumbulah, “Islam dan Ahl Al-Kitab: Kajian Living Sunnah di Kalangan Pimpinan NU , Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Malang,” AlTahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011: 151-171; Abu Azam Al-Hamdi, “Living Hadith Wakaf Menurut Ulama Tradisional dan Modern di Gresik,” Islamica, Volume 9, Nomor 1, September 2014: 223-243, dan lain-lain. 28 Arifuddin Ahmad dkk, “Kecenderungan Kajian Hadi@th di UIN Alauddin Makassar (Tracer Studi terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013),” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, (2015): 249-266. 29 Lihat data skripsi prodi tafsir-hadis yang tercantum dalam web digital library UIN Sunan Kalijaga: http://digilib.uin-suka.ac.id/view/divisions/jur=5Ftha/ (diakses Senin, 01/02/2016 pukul 15.51). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 260 | Jajang A. Rohmana hadis.30 Sesuatu yang boleh jadi tidak jauh berbeda dengan pengembangan kajian living Qur’an.31 Kajian living hadis sebagaimana kajian ilmu-ilmu sosial tentu saja memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan. Muhamad Ali misalnya, mencontohkan bagaimana living hadis bisa menyentuh wilayah tradisi lisan dan praktik keseharian yang luas, misalnya melalui bacaan, hapalan, lagu, pemahaman, penerapan dan praktik masyarakat atau lembaga tertentu. Menarik juga dikaji masalah hadis tertentu yang lebih populer di masyarakat tertentu ketimbang ayat Al-Qur’an dan soal bagaimana bagaimana ayat dan hadis saling menguatkan kepentingan dan konteks tertentu.32 Secara umum, Rafiq dalam konteks penjelasannya tentang signifikansi studi living Al-Qur’an yang dilakukannya, bisa dijadikan dasar untuk mempertegas signifikansi studi living hadis dalam pengembangan kajian keislaman di Indonesia, di antaranya: 1) perluasan bidang studi hadis khususnya dan kajian keislaman pada umumnya; 2) penguatan penggunaan pendekatan multidisiplin terhadap studi hadis; dan 3) pengungkapan beragam fenomena keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia.33 30 Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia,” hlm. 224. 31 Jajang A Rohmana, “Pengembangan Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia: Kajian Pendahuluan Studi Kawasan Tafsir di Tatar Sunda,” Disampaikan dalam acara Kuliah Umum “Model Pengembangan Kajian Al-Qur’an di Indonesia,” Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Rabu, 18 Nopember 2015, hlm. 14. Tentang wilayah kajian living Qur’an, lihat Islah Gusmian, “Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia,” Jawa Pos, 16 Januari 2005; Hamam Faizin, “AlQur’an sebagai Fenomena yang Hidup: Kajian atas Pemikiran para Sarjana AlQur’an,” Makalah pada International Seminar and Qur’anic Conference II 2012, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 24 Februari 2012, hlm. 6-10. 32 Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur’a>n dan Living H}adi@th,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, (2015), hlm. 161. 33 Ahmad Rafiq, “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community,” Diseertation, The Temple University, 2014, hlm. 9-10. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 261 Dalam studi hadis, kajian living hadis tujuan utamanya adalah berusaha menghubungkan fenomena hadis dengan fenomena masyarakat. Hadis dibatasi oleh sanad dan matan, tetapi studi living hadis memperluasnya ke dalam masyarakat yang menerima dan mempraktikkan kandungannya. Masyarakat memproduksi sistem sosial, budaya dan agama berdasar pada penerimaannya atas hadis. Dengan demikian, studi tentang hadis di sini bisa pula menjadi studi tentang masyarakat itu sendiri. Karenanya studi hadis sangat penting dalam menggunakan pendekatan multidisiplin yang bersifat empiris melalui ilmu-ilmu sosial sebagai alat analisis.34 Ia tidak hanya menggunakan analisis teks, tetapi juga analisis sosial, budaya dan sejarah untuk menunjukkan posisi hadis dalam membentuk kehidupan masyarakat Muslim. Ia mengungkap fungsi aktual hadis sebagai sebuah susunan teks, tulisan, pembacaan atau praktik ritual, di samping fungsi idealnya sebagai pedoman. Sebagai susunan teks, hadis terdiri dari kata-kata dan bahasa dengan makna tekstual tertentu. Sebagai tulisan, hadis bisa berupa aksara Arab yang merangkai susunan hadis dalam satu atau sebagian kumpulan hadis. Sebagai sebuah bacaan, hadis dibaca secara lisan. Sebagai praktik ritual, hadis dijadikan landasan dalam kegiatan upacara atau ritual keagamaan di masyarakat. Signifikansi lainnya, studi living hadis mencoba mengungkap ragam fenomena keagamaan dalam setiap masyarakat Muslim di Indonesia. Dalam perspektif global, ini penting dalam memberikan wacana penyeimbang dalam kajian masyarakat Muslim di dunia. Kajian tentang masyarakat Muslim umumnya lebih banyak terkait langsung dengan kehidupan Muslim di Timur Tengah yang dianggap sebagai “pusat Islam,” tempat di mana mayoritas Muslim tidak berada di sana, melainkan di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pandangan bahwa Timur Tengah sebagai pusat Islam, boleh jadi cenderung U. Maman Kh. dkk., Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 15. 34 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 262 | Jajang A. Rohmana semakin bergeser dengan semakin berkembangnya Islam dan studi Islam di Barat.35 Dalam konteks Indonesia, studi living hadis sangat penting dalam memberikan informasi seputar tradisi Islam dan kaum Muslim di pelbagai wilayah lokal di Indonesia, tidak hanya Melayu dan Jawa tetapi juga Sunda, Bali, Bugis, Dayak, Ambon, Sasak, Papua dan lainnya. Studi fenomena budaya Islam lokal juga penting dalam merespon narasi besar tentang masyarakat Muslim yang terlalu digeneralisasi dan dianggap homogen. Ia tidaklah tunggal, tetapi sangat dinamis sehingga tidak bisa dibatasi pada narasi dan pola yang sama. Bahkan kini keragaman budaya lokal dan nasional semakin diperkaya dengan budaya kosmopolit yang dihasilkan oleh budaya globalisasi jika tidak dikelola dengan bisa saja mengancam keragaman budaya lokal di Indonesia.36 Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum terlalu banyak sarjana yang mempublikasikan kajian living hadis. Meskipun beberapa tahun belakangan ini muncul beberapa karya sarjana yang termasuk ke dalam bidang kajian ini, di antaranya: Barbara Metcalf, “Living Hadith in the Tablighi Jamaat, Journal of Asian Studies, 52, No. 3, (1993): 584-608; Mark R. Woodward, “Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts,” The Journal of Asian Studies 52, 3 (Agustus 1993): 565-83; Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Living Hadis dalam Tradisi Sekar Makam,” Al-Risalah, Vol. 13 No. 1, 2013: 163-172; Muhammad Alfatih Suryadilaga, “Mafhu>m alS}alawa>t ‘inda Majmu>’at Joged Shalawat Mataram: Dira>sah fi> alH}adi>th al-H}ayy,” Studia Islamika, Vo. 21, No. 3, 2014; Adrika Ziauddin Sardar, “The Future of Islamic Studies,” Islamic Culture 57 (1983), hlm. 197. 36 Azyumardi Azra, “Cultural Pluralism in Indonesia: Continuous Reinventing of Indonesian Islam in Local, National and Global,” Paper Annual Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-10, Banjarmasin, 1 – 4 November 2010, hlm. 5. 35 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 263 Fithrotul Aini, “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa,” Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies, Vol. 2, No.1, Juni 2014, hlm. 221-235, dan lainnya. Dari teks hadis ke praktik masyarakat Antropologi dipahami sebagai ilmu yang mengkaji tentang manusia (anthropos dan logos). Meski banyak ilmu yang mempelajari tentang manusia, tetapi titik tekan antropologi lebih pada masalah sejarah perkembangan manusia secara biologis, ras, bahasa, dan budaya. Ia lalu dibedakan menjadi antropologi fisik dan budaya. Antropologi budaya mengkaji tentang tujuh unsur budaya, yakni sistem pengetahuan, ekonomi, teknologi, sosial, religi, kesenian dan bahasa.37 Sistem religi dan kepercayaan menjadi bagian penting dari kebudayaan.38 Ia kemudian menjadi salah satu bidang spesialisasi dalam antropologi yang kemudian dikenal dengan “antropologi agama.” Sebuah studi antropologis terhadap keyakinan, institusi dan ideologi keagamaan.39 Para sarjana belakangan mulai mengembangkan apa yang disebut antropologi Islam (the anthropology of Islam) terutama sejak meningkatnya ketegangan antara representasi Islam dan pandangan Barat di awal milenium. Perspektif antropologis dipertimbangkan kembali dalam mendekati Islam setelah sekian lama antropolog memfokuskan perhatiannya pada aspek eksotis Islam.40 Karenanya, antropologi Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks global tersebut. Mengkaji Islam di Indonesia kontemporer sangat penting dilakukan Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 202. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974, hlm. 137. 39 Brian Morris, Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Ak Group, 2007, hlm. vi. 40 Lila Abu-Lughod, “Honor and the Sentiments of Loss in a Bedouin Society,” American Etnologiest, 12.2 (1985): 245-261; Clifford Geertz, Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia, Chicago: The University of Chicago Press, 1968. 37 38 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 264 | Jajang A. Rohmana dengan mempertimbangkan beragam jejaring global Islam di negara lain.41 Karena antropologi Islam menitikberatkan pada studi akademik tentang fenomena Islam di seluruh dunia, maka istilah tersebut tidak dimaksudkan dalam pengertian “Islamisasi ilmu” yang berkeinginan “mengislamkan” antropologi ke dalam pandangan dunia Islam. Studi ini berusaha menggunakan pendekatan antropologi yang berkembang dalam tradisi ilmiah akademik secara objektif untuk mengkaji fenomena Islam dan masyarakat Muslim di dunia. Namun tak bisa dipungkiri terdapat hambatan yang berkembang terkait diskursus antropologi Islam di kalangan sarjana. Sebagian mengakui bahwa studi antropologis tentang Islam masih diganggu dengan masalah pendefinisian dan netralitasnya. Apa sebetulnya yang hendak dikaji? Apakah pelbagai praktik lokal, teks dan standar perilaku universal atau keseluruhannya? Apakah pelbagai praktik tradisi lokal Islam betul-betul mencerminkan Islam yang sebenarnya atau hanya merupakan tradisi yang terislamkan? Sarjana lain juga terus bersikukuh dengan pertanyaan bukankah sebagaimana Said katakan, antropologi merupakan bagian dari produk pengetahuan “orientalisme” Barat atas bangsa lainnya demi kepentingan penundukkan dan kekuasaan?42 Selain itu, muncul pula kekhawatiran antropologi akan mengganggu kesakralan ritual Islam yang kadang tabu untuk dipelajari. Karena dalam keyakinan penganutnya, ritual itu bukan merupakan ciptaan manusia melainkan perintah Tuhan yang dianggap suci. Menjawab keraguan di atas, Bowen berusaha memberikan keyakinan bahwa pendekatan antropologi terhadap Islam dilakukan dengan melihat Islam sebagai seperangkat sumber dan praktik 41 Gabriele Marranci, The Anthropology of Islam, New York: Berg, 2008, hlm. 5. 42 Ronald Lukens-Bull, “Between Text and Practice: Considerations in the Anthropological Study of Islam,” Marburg Journal of Religion, Vo. 4 No. 2, 1999, hlm. 1; Talal Asad, “The Idea of An Anthropology of Islam,” Occasional Papers Series, Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986, hlm. 1. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 265 interpretif. Dari sumber-sumber Islam berupa teks, ide dan metode muncul pengertian bahwa semua Muslim terlibat dalam tradisi yang mendunia. Dari praktik Islam berupa ibadah, hukum dan pergumulannya muncul kemampuan untuk beradaptasi menghadapi tantangan dan perbedaan. Analisis yang disebut Bowen sebagai “antropologi Islam baru” tersebut menegaskan bahwa analisisnya dimulai dari upaya individu-individu menangkap sumber-sumber itu dan membentuk pelbagai praktik dengan cara yang penuh makna. Ini berbeda dengan antropolog lainnya yang mempelajari Islam sekarang dengan mata rantai penafsiran manusia secara sosial yang terhubung dengan praktik sekarang kapanpun di semua masyarakat.43 Bagi Bowen, cara ini melihat Islam mulai dari gambaran pemeluknya tentang tradisi teks sampai pada praktik sosialnya melalui lensa antropologis. Ini memungkinkan kita menggunakan dua cara analisis yang saling melengkapi: pertama, fokus ke dalam (focusing inward), dengan pendalaman pemahaman tujuan, pemahaman, dan emosi di sekitar praktik tertentu, biasanya menyangkut perhatian terhadap kesaksian individu dan sejarah. Tetapi pada saat yang sama mengikuti cara kedua, yakni dengan membuka ke luar (opening outward), ke arah signifikansi sosial dari praktik dan kondisi keagamaannya. Antropologi Islam baru ini melakukan penekanan pada teks dan ide keagamaan, tetapi hanya sebagaimana mereka memahami dan mewujudkannya ke dalam ruang dan waktu tertentu. Antropologi berusaha memahami bagaimana Muslim tertentu memahami dan menggunakan bagian-bagian tertentu dari teks dan ide tersebut.44 Apa yang diungkapkan Bowen di atas kiranya menjadi arah pengembangan dalam studi living hadis. Fenomena living hadis merupakan bagian kecil dari keseluruhan realitas “Islam yang hidup” (the living Islam) itu sendiri. Islam yang dipraktikkan dalam seluruh kehidupan keseharian kaum Muslim yang terkait dengan seluruh John R. Bowen, A New Anthropology of Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 2012, hlm. 3. 44 John R. Bowen, A New Anthropology of Islam, hlm. 4. 43 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 266 | Jajang A. Rohmana praktik ritual Islam di sekitar Al-Qur’an, hadis, fiqih, sufisme, dan lainnya. Ia tidak lagi berfokus di sekitar teks suci, tetapi bergeser ke arah masyarakat dan budayanya. Ia yang dalam bahasa Bowen berusaha melihat gambaran pemeluknya tentang tradisi teks sampai pada praktiknya melalui analisis “fokus ke dalam” (pemahaman individu atas praktik living hadis) sekaligus “membuka ke luar” (signifikansi sosial dari praktik tersebut). Dalam pandangan antropologi, fenomena living hadis sebagaimana juga umumnya fenomena agama di masyarakat menunjukkan bahwa ia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya.45 Istilah budaya seringkali dipahami sebagai hasil cipta, karsa dan rasa manusia melalui akal budinya (buddhi, buddhayah).46 Budaya memberi pengaruh signifikan dalam membentuk keragaman ekspresi penerimaan hadis di kalangan kaum Muslim. Sumber teks hadis boleh jadi umumnya sama, tetapi ekspresi dan kreasi penerimaannya di pelbagai wilayah dunia Muslim berbeda-beda. Karenanya, posisi masyarakat sebagai penerima dan pengembang budaya living hadis sangat signifikan. Terdapat sejumlah hadis yang hanya bisa dipahami dengan baik secara kontekstual dengan menggunakan perspektif masyarakatnya. Memahami hadis yang sudah dipraktikkan dan menjadi tradisi di masyarakat menjadi tidak lengkap tanpa melibatkan kajian terhadap masyarakat itu sendiri. Di sinilah arti penting antropologi bagi studi living hadis. Karenanya, relevansi pendekatan antropologi bagi studi living hadis kiranya terkait dengan kepentingannya untuk membantu mempelajari dinamika resepsi hadis secara empirik. Kajian living hadis dalam hal ini harus diarahkan pada konteks sosial budaya yang melingkupinya ketika hadis itu diresepsi dan dipraktikkan saat ini. 45 Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,” artikel pilihan http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Kumpulan%20Makalah/K AJIAN%20ISLAM%20DENGAN%20PENDEKATAN%20ANTROPOLOGI.htm (diakses Senin, 07/02/2016 pukul 10.14). 46 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 181. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 267 Pentingnya memahami hadis secara empiris ini terkait dengan masyarakat sebagai pengguna dan penerima hadis itu sendiri. Tanpa memahami masyarakat, maka pemahaman hadis dalam konteks saat ini menjadi kurang sempurna. Masyarakat melalui olah pikirnya membentuk dan mengkonstruksi ajaran hadis ke dalam bentuk ritual, upacara dan tradisi yang melembaga dan diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat menerjemahkan ajaran hadis sesuai dengan kebutuhannya di dalam lingkungan budayanya. Keragaman latar sosial budaya melahirkan keragaman bentuk living hadis dalam setiap masyarakat. Karenanya, kajian antropologi dalam living hadis pada akhirnya akan memberikan gambaran tentang pengaruh keragaman budaya terhadap resepsi hadis di masyarakat. Dalam konteks Islam di Indonesia, resepsi tersebut melahirkan beragam tradisi Islam lokal di pelbagai daerah, seperti Jawa, Sunda, Bugis, Sasak dan lainnya. Pemahaman tentang realitas living hadis yang berbeda bisa menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan ajaran Islam. Pemahaman hadis di pelbagai masyarakat yang tidak pernah bisa steril dari pengaruh ragam latar budaya memunculkan kearifan dalam menerima perbedaan. Living hadis mendorong upaya saling memahami di antara pelbagai keragaman dalam praktik Islam dan agama lokal di Indonesia.47 Penerimaan akan keragaman tradisi Islam lokal dalam kajian living hadis didasarkan pada landasan bahwa antropologi tidak mempersoalkan benar-tidaknya, bidah-tidaknya, menyimpangtidaknya, ada tidaknya contoh Nabi, bahkan dhaif-tidaknya sumber hadis dari suatu praktik living hadis di masyarakat. Ia tidak berhak mengadili dan menilai. Antropologi berusaha memahami, memaparkan dan menjelaskan praktik agama tanpa terlalu jauh 47 Tentang pandangan agama dunia dan agama lokal, lihat Samsul Ma’arif, “Kajian Kritis Agama Lokal,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk, Studi Agama di Indonesia, Refleksi Pengalaman, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya/CRCS, UGM Yogyakarta, 2015, hlm. 30. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 268 | Jajang A. Rohmana melakukan penilaian atas dasar keyakinan yang dianutnya.48 Bagi antropolog, biarlah para ahli teologi yang melakukan pembuktian kebenaran praktik tersebut.49 Karenanya, siapapun bisa melakukan studi living hadis, Muslim atau Non Muslim. Praktik living hadis karenanya diharapkan memiliki kontribusi penting dalam memperkuat apa yang disebut distingsi Islam Nusantara.50 Sebuah diskursus yang menegaskan pentingnya penguatan identitas Islam lokal di Indonesia yang bagi sebagian sarjana dianggap tidak betul-betul Islami, di mana living hadis juga menjadi bagian penting dalam praktik keberagamaannya.51 Kajian living hadis dengan menggunakan pendekatan antropologi dapat diarahkan pada analisis konsep-konsep Islam lokal tentang bagaimana penerimaan hadis dan budaya di masyarakat saling berinteraksi. Diskursus Islam lokal menjadi agenda penting dalam konteks pengembangan studi living hadis di Indonesia. Sebuah cerminan pertautan antara penerimaan Islam dan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan penting artikulasi Islam di Nusantara yang sejak lama dikenal toleran dan menerima perbedaan. Ia menjadi bagian dari keragaman “tradisi kecil” yang boleh jadi tidak persis sama dengan “tradisi besar” Islam sebagai sumber awalnya. Dari tradisi besar ke tradisi kecil Salah satu topik penting dalam perdebatan antropologi Islam dan juga termasuk di dalamnya studi living hadis adalah kesulitan 48 Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012, hlm. 251. 49 Daniel Martin Varisco, Islam Obscured: The Rhetoric of Anthropological Representation, New York: Palgrave Macmillan, 2005, hlm. 2. 50 Tentang Islam Nusantara, lihat misalnya, Akhmad Sahal dan Munawir Aziz ed., Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih hingga Faham Kebangsaan , Bandung: Mizan, 2015; M. Ishom Yusqi, Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka STAINU, 2015; Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka Afid, 2015. 51 Martin van Bruinessen, “Global and Local in Indonesian Islam,” Southeast Asian Studies, 37, 1999, hlm. 159. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 269 kaum Muslim untuk menyesuaikan dengan model etnografi umumnya. Teks dan ritual dalam Islam hampir selalu dianggap lebih penting dari pelbagai unsur lokal. Keduanya membawa penganutnya keluar dari kampung tempat mereka tinggal untuk masuk ke dalam sebuah komunitas kaum beriman di seluruh dunia.52 Kapan dan di manapun, mereka tidak bisa lepas dari “pengakuan” dirinya sebagai sesama Muslim yang terikat dalam teks dan ritual yang sama dibanding struktur sosial dan budaya lokalnya. Untuk memposisikan pendekatan antropologi dalam studi living hadis, penting untuk membaca analisis Redfield yang membagi tradisi agama-agama ke dalam teori tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Baginya, tradisi besar atau bentuk ortodoks dari pusat agama merupakan praktik kaum elit. Agama dengan sedikit renungan dan banyak dipelajari di sekolah-sekolah dan tempat ibadah. Tradisi besar juga disebut tradisi tekstual, ortodoksi, agama filosofis, tradisi tinggi, dan tradisi universal. Sedangkan tradisi kecil adalah bentuk heterodoks (lawan ortodoks) berada di wilayah pinggiran agama. Tradisi kecil menggabungkan banyak elemen tradisi dan praktik lokal. Ia merupakan agama sebagaimana dipraktikkan oleh orang biasa dalam kesehariannya. Tradisi kecil dipraktikkan begitu saja secara taken for granted tanpa perlu pemahaman cermat, perbaikan atau pemurnian. Tradisi kecil seringkali juga disebut dengan tradisi lokal, tradisi rendah atau agama rakyat.53 Dalam antropologi agama, beberapa agama dunia seperti Yahudi, Kristen dan Islam juga terbagi ke dalam bentuk tradisi “tinggi” dan “rendah” tergantung pada kesesuaian atau perbedaan dari ajaran pokoknya. Pandangannya secara luas didasarkan pada doktrin ajaran kaum elit agama dibanding manifestasi popular rakyat biasa. 54 52 Ronald Lukens-Bull, “Between Text and Practice,” hlm. 4. Robert Redfield, Peasant Society and Culture, An Anthropological Approach to Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1956, hlm. 70. 54 Fiona Bowie, The Anthropology of Religion, An Introduction , Oxford: Blackwell Publishers, 2001, hlm. 25. 53 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 270 | Jajang A. Rohmana Bila ditarik ke dalam tradisi Islam di Indonesia, dua jenis tradisi keagamaan ini dengan mudah bisa ditemukan. Dalam pandangan Geertz, istilah santri dan abangan paling tidak mewakili kedua jenis tradisi tersebut, meskipun tidak sepi dari ragam kritik.55 Tradisi santri merupakan tradisi besar Islam yang dipraktikkan kaum elit agama (kyai) di pesantren. Tradisi abangan merepresentasikan “tradisi kecil” yang menggabungkan banyak elemen tradisi lokal dengan Islam dalam kesehariannya.56 Kyai sebagai elit agama kerapkali menjadi pialang budaya yang menjembatani kaum santri dan masyarakat termasuk kaum abangan.57 Dalam konteks studi living hadis, kiranya penting untuk mempertimbangkan wilayah tradisi lokal sebagai bagian dari objek studinya. Ini didasarkan pada tujuan utama antropologi yang memfokuskan pada analisis terhadap budaya masyarakat dibanding doktrin agama. Studi tradisi besar Islam sudah sangat umum dilakukan dalam tradisi kajian Islam melalui analisis teologis. Bahkan seringkali antropolog Muslim terlalu banyak memberi sikap terhadap subjek penelitian secara teologis. Terkesan analisisnya menjadi kajian dengan “misi dakwah” dibanding objektifitas ilmiah.58 Ini tentu sangat berbeda dengan pendekatan antropologi yang menitikberatkan pada kajian budaya masyarakat secara apa adanya. Karenanya, tradisi lokal dalam studi living hadis menjadi sangat penting. Berikut beberapa praktik yang dalam batas tertentu bisa dipertimbangkan dalam penelitian living hadis, terutama dalam tradisi besar dan tradisi kecil di kalangan orang Islam Sunda, baik dahulu 55 Respon terhadap Geertz didiskusikan secara singkat dalam A.G. Muhaimin, The Islamic Traditions of Cirebon, Ibadah and Adat among Javanese Muslims, Canberra: ANU E Press, 2006, hlm. 3-4. 56 Zaini Muchtarom, “Santri and Abangan in Java,” Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1975, hlm. 55-60 57 Clifford Geertz, ‘The Javanese Kyai: The Changing Role of Cultural Broker’ Comparative Studies in Society and History, (2), 1959, hlm. 250-256. 58 Lihat misalnya, R. Abuy Sodikin dkk., Memahami Islam melalui Pendekatan Antropologi, Bandung: Tarbiyah Press, 2003. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 271 maupun sekarang.59 Ini boleh jadi bisa dijadikan sebagai tema penelitian living hadis dengan menggunakan pendekatan antropologi. No 1. Tradisi Besar Doa dan Syukur 2. Doa 3. Memberi nama yang baik 4. Sunat 5. Doa 6. Dzikir, Doa 7. Sedekah Tradisi Kecil Doa Nurbuwat saat mengandung dan melahirkan; Membaca wawacan layang she, Rawi Mulud, Nabi Yusuf dll. (hamil, melahirkan, salametan); Membaca surat Yusuf/Maryam saat hamil; Sidekah selamatan saat tingkeban, ekah, puput puseur; Marhabaan; Sumber Hadis Hadis tentang perintah berdoa, akikah dan sedekah. Barjanzi. Mengadzankan bayi; Merendam rumput Fatimah pasca melahirkan; Beragam tabu saat hamil dan melahirkan. Memberi nama Arab bagi anak, dari Sulaiman ke Eman, Khadijah ke Ijah Sunat perempuan, dari sundat ke sunat Tradisi khataman Dzikir dan shalawat akbar, Muludan, Rajaban, Majelis Rasulullah Gelar sorban saat pangajian; Nyair sumbangan (memungut sumbangan Hadis tentang perintah adzan bagi bayi dan doa anak saleh. Hadis keutamaan nama-nama. Hadis tentang sunat perempuan Hadis tentang fadilah membaca Al-Qur’an Hadis tentang dzikir dan shalawat Hadis tentang fadilah sedekah untuk masjid. Haji Hasan Mustapa, Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta, Ditjitakna di kantor tjitak Kangdjeng Goepernemen di nagara Batawi, 1913. 59 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 272 | Jajang A. Rohmana No Tradisi Besar 8. Doa 9. Sunnah janggut 10. Poligami 11. Ibadah bulan Ramadhan 12. Doa, sedekah 13. 14. Talqin mayit, sedekah Bagi warisan 15. Salat Dhuha 16. Pengobatan Nabi 17. Tradisi Kecil pembangunan masjid di pinggir jalan) Palakiah pertanian, dari mantra ke doa Memanjangkan janggut dan fenomena obat penyubur Nyandung, memadu di kalangan aktifis dakwah Tradisi ifthar berjamaah, taraweh, itikaf berjamaah, dan walilat malam takbiran Salametan membangun/pindah rumah Tahlil malam ke-1 hingga 100 hari Tradisi sumun dalam warisan Gerakan salat dhuha berjamaah Pengobatan alternatif ruqyah, bekam, habbatusaudah, dll. Sumber Hadis Hadis perintah berdoa. Hadis memanjangkan janggut. Hadis tentang poligami. Hadis fadilah ibadah bulan Ramadhan Hadis tentang rumah Hadis tentang talqin, pahala sedekah. Hadis tentang bagian waris. Hadis tentang salat dhuha Hadis tentang t}ibb al-nabawi dll. Pentingnya mempertimbangkan isu tradisi kecil dalam living hadis karena ini terkait dengan kenyataan bahwa umumnya Muslim dalam kesehariannya mengamalkan agamanya tidak terkait dengan pertanyaan besar teologi dalam “teks utama” (high text), tetapi lebih pada masalah ringan dan dekat. Muslim umumnya tinggal di tempat tertentu dengan menyesuaikan tradisi Islam ke dalam nilai lokal, meskipun penyesuaian ini menimbulkan perdebatan hangat di kalangan Muslim seputar kesesuaiannya dengan Islam. Bowen menyebut bahwa antropologi menempuh jalan di mana Muslim mencoba melampaui batas-batas masyarakatnya sendiri, bagaimana Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 273 mereka mencoba mengatur kehidupannya dalam memahami “teks utama” itu agar dimengerti dalam kehidupan lokal.60 Studi living hadis dan ragam perspektif antropologi Mengkaji living hadis dengan pendekatan antropologi tidak bisa dilepaskan dengan ragam perspektif di dalamnya. Para sarjana menyebut dengan beragam istilah yang boleh jadi secara umum mengarah pada maksud yang kurang lebih sama, misalnya kerangka teori, aliran, mazhab, paradigma hingga perspektif. Intinya semua merujuk pada cara pandang teoritis peneliti dalam memahami budaya masyarakat yang bersumber dari teori-teori antropolog sebelumnya. Peneliti akan dihadapkan pada ragam pilihan perspektif antropologi termasuk dalam membaca tradisi living hadis. Bisa saja peneliti menggunakan lebih dari satu perspektif antropologis untuk penelitiannya. Pemahaman akan ragam perspektif antropologi ini penting untuk memahami perkembangan teori-teori antropologi sekaligus untuk mempertajam analisis terhadap objek pembahasan. Melalui analisis ragam perspektif pula peneliti dituntut untuk memperjelas posisinya dalam perdebatan teoritis antropologi yang selama ini berkembang. Berikut beberapa perspektif antropologis yang diolah dari pelbagai sumber untuk dijadikan pijakan tepat oleh para pengkaji living hadis. Pertama, perspektif akulturasi. Perspektif ini merupakan perkembangan dari teori klasik difusi kebudayaan yang saah satunya disebabkan adanya penyebaran manusia. Penyebaran Islam dari Timur Tengah misalnya, melalui jalur budaya, ekonomi, sosial dan politik kemudian menularkan budaya tertentu. Terjadi ragam perubahan sebagai akibat adanya kontak budaya tersebut. Muncul konsep akulturasi di mana suatu kebudayaan bertemu dengan budaya lain lalu mengambil budaya baru tersebut dan mengubahnya menjadi seperti 60 John R. Bowen, A New Anthropology of Islam, hlm. 5-6. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 274 | Jajang A. Rohmana budaya sendiri.61 Pertemuan Islam dan budaya Jawa mengundang banyak analsis melalui perspektif ini. Geertz misalnya, cenderung menganggap bahwa Islam di Jawa bercorak sinkretik, artinya terdapat perpaduan di antara dua atau lebih budaya yang disebut agama Jawa. Pandangan Geertz yang menggunakan konsep sinkretik selanjutnya digunakan pula oleh Mulder, Koentjaraningrat dan Beatty.62 Sementara para pengkritik Geertz seperti tampak pada Woodward, Pranowo, Muhaimin dan Nur Syam cenderung menolaknya dan menganggap bahwa Islam dan budaya lokal Jawa sesuatu yang akulturatif. Ia tidak antonim, tetapi kompatibel. Ada proses mengambil dan menerima, sehingga terjadilah Islam tersebut sebagai agama yang bercorak khas, Islam Jawa.63 Peneliti bisa menggunakan perspektif akulturatif dalam menganalisis gejala sosial-budaya dalam konteks living hadis. Tradisi tahlilan di rumah keluarga yang meninggal misalnya, tidak dipandang sinkretik atau tidak murni karena berbaur dengan elemen pra-Islam. Melalui perspektif akulturatif, tradisi tersebut dipandang secara positif bahwa Islam menyerap budaya lokal, mengkompromikan, mengislamkan dan membentuknya menjadi identitas khas, Islam lokal. Tidak ada bentuk sinkretisme atau sempalan di sini, yang ada adalah proses akulturatif-kolaboratif yang positif dari tradisi lokal ke dalam Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 100. 62 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1983) dan Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, terj. Satrio Widiatmoko (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999); Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994); Andrew Beatty, Varietes of Javanese Religion: An Anthropological Account (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). 63 Mark R. Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. ke-4.; M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet dan INSEF, 2009); A.G. Muhaimin, The Islamic Traditions of Cirebon, Ibadat and Adat Among Javanese Muslims (Canberra: ANU E Press, 2006); Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 287289. 61 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 275 tradisi Islam lokal dan menjadi bagian dari identitasnya yang tidak terpisahkan. Kedua, perspektif fungsional. Pengertian fungsi merujuk pada manfaat budaya bagi kelangsungan masyarakat, baik laten (tidak disadari) maupun manifes (tidak disadari atau dikehendaki). Fungsi religi misalnya, secara sosial dapat mempersatukan masyarakat. Kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat memiliki fungsi memelihara struktur masyarakat sehingga bisa lestari. Analisis fungsional atau fungsional struktural dalam antropologi cenderung bersifat mikro dan memiliki lokus terbatas (desa, komunitas, etnis dan lainnya).64 Karenanya penggunaan perspektif fungsional dalam living hadis diarahkan pada fungsi sosial-budaya praktik keseharian hadis dalam pandangan hidup, nilai, norma, aturan dan perilaku masyarakat. Seluruh ritual Islam di masyarakat pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari fungsi sosial-budaya. Salat, membaca Al-Qur’an, puasa, Jumatan, muludan, haji, akikah dan lainnya, semua memiliki fungsi baik psikologis, sosial, ekonomi maupun politik. Salat berjamaah misalnya, memiliki fungsi sosial penting sebagai perekat solidaritas sosial masyarakat. Begitu pun dzikir salah satunya berfungsi menghindarkan diri dari kecemasan dan gangguan psikologis lainnya. Penelitian antropologi Bowen menjelaskan bahwa salat di Indonesia memiliki banyak makna dan fungsi sosial-politik. Ia bisa menjadi simbol perlawanan bagi masyarakat Aceh, komunikasi di antara masyarakat Gayo dan menjadi penentu batas-batas sosial di kalangan pengikut Islam Jamaah di Jakarta.65 Peneliti living hadis bisa menggunakan perspektif ini untuk mengungkap ragam fungsi hadis dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LkiS, 2007, hlm. 33; Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 100; David Kaplan dan Robert Manners, Teori Budaya, terj. Landung Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 79. 65 John R. Bowen, “Salat in Indonesia: The Social Meaning of an Islamic Ritual,” Man, New Series, Vol. 24, No. 4 (Dec., 1989), hlm. 601-606. 64 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 276 | Jajang A. Rohmana Ketiga, perspektif strukturalisme. Perspektif ini mendefinisikan budaya layaknya struktur dalam bahasa. Ia memiliki pola atau model berupa relasi, oposisi biner dan korelasi yang saling mempengaruhi di antara manusia dan tradisinya. Meski etnis manusia di dunia berbedabeda, tetapi bukan berarti tidak terdapat pola atau model dari realitas yang memiliki kesamaan sebagai pola umum yang berlaku mendasar. Perspektif ini dirintis oleh Levi-Strauss. Ia umumnya dipakai untuk membaca mitos dan dongeng yang hidup dalam struktur pengetahuan masyarakat di masa lalu hingga sekarang.66 Peneliti bisa menggunakan perspektif ini untuk menganalisis mitos atau dongeng di sekitar Nabi dan para sahabat yang berkembang di masyarakat lokal. Bagi orang Sunda, cerita wawacan Amir Hamzah, Nabi-Panghulu-Raja, Nabi Paras, barjanzi, wawacan Nabi Yusuf atau cerita Keansantang yang bertemu Sayyidina Ali bisa menjadi objek kajian melalui perspektif strukturalisme. Cerita tersebut boleh jadi bersumber dari sejumlah hadis, athar sahabat atau kisah orang-orang suci yang masih hidup di masyarakat. Analisis strukturalisme terhadap cerita tersebut bisa menjelaskan pola atau model dari struktur pengetahuan orang Sunda. Keempat, perspektif fenomenologi. Perspektif ini menggali secara mendalam pelbagai gejala sosial-budaya dilihat dari sudut pandang, persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek penelitian (masyarakat) tentang sesuatu di luar dirinya. Perspektif ini memiliki hubungan dekat dengan perspektif kognisi yang mengkaji pikiran, mood, perasaan, keyakinan dan nilai yang dianut masyarakat.67 Ini terkait dengan kesadaran dan pandangan dunia subjek (pelaku) tentang “dunia” tempat mereka berada, termasuk tradisi, ritual, upacara atau praktik yang mereka lakukan. Karenanya perspektif ini—juga perspektif antropologi lainnya—tidak berusaha menilai kebenaran pandangan pelaku tersebut. Peneliti “diam” dan Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, hlm. 70. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarakan, 1991, hlm. 27; Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi, hlm. 50. 66 67 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 277 bertugas menggali pandangan subjektif pelaku tentang tradisinya dan masuk ke dalam dunia pelaku yang ditelitinya (emik).68 Studi living hadis penting menggunakan perspektif emik ini mengingat sejumlah tradisi akan lebih tepat bila dipahami dengan menggunakan sudut pandang pelaku sebagai pemilik tradisi itu. Tradisi “sumun” di masyarakat Sunda misalnya, awalnya berasal dari tradisi besar Islam dalam Al-Qur’an dan hadis yang dikenal dengan konsep “tsumun” (seperdelapan). Ia berarti bagian seperdelapan harta waris bagi istri mayit. Tetapi bagi orang Sunda di Sumedang, konsep ini dipahami sebagai hibah (berapa pun besarnya) dari anak pada janda mayit baik berkedudukan sebagai ibunya sendiri maupun ibu tiri. Ini disebabkan pandangan orang Sunda bahwa penerima waris dalam kenyataannya hanyalah anak kandung.69 Pandangan pelaku tradisi sumun semacam ini tidak bisa dinilai oleh peneliti sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran tradisi besar Islam. Peneliti secara fenomenologis hanya berkewajiban menggali cara pandang masyarakat tentang tradisi tersebut. Kelima, perspektif hermeneutik, simbolik, atau interpretif. Inilah perspektif yang banyak diminati para antropolog belakangan terkait budaya kaum Muslim. Perspektif ini mencoba memahami gejala sosial budaya secara mendalam layaknya sebuah teks (hermeneutik).70 Bila teks dipenuhi oleh simbol bahasa, maka gejala sosial budaya juga pada dasarnya memiliki serangkaian simbol-simbol berupa benda, perilaku, ritual, bacaan dan lainnya. Peneliti melalui perspektif ini berusaha membaca, memahami dan menafsirkan jejaring makna dalam simbol-simbol tersebut (interpretif, simbolik). Geertz menyebut perspektif ini dengan thick description (deskripsi tebal). Ia Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 44. Cik Hasan Bisri, “Pergumulan Hukum Islam dengan Kaidah Lokal dalam Pembagian Harta,” dalam Cik Hasan Bisri ed., Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, hlm. 180. 70 Mh. Nurul Huda, “Budaya sebagai Teks, Narasi dan Hermeneutik” dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 195. 68 69 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 278 | Jajang A. Rohmana berusaha mendeskripsikan apa yang sedang dikerjakan dan dipikirkan masyarakat untuk kemudian diinterpretasikan.71 Penelitiannya tentang tradisi sabung ayam di Bali misalnya, dipahaminya sebagai simbol dari “permainan mendalam” (deep play). Ia tidak sekedar menunjukkan adu kekuatan ayam jago untuk berjudi, tetapi persaingan pemiliknya untuk mendapatkan kekuatan. Ayam jago adalah simbol kejantanan dan kebesaran status hirarki sosial pemiliknya.72 Perspektif ini sangat penting untuk memahami tradisi living hadis di masyarakat. Tradisi sunat perempuan misalnya, meski tidak ada manfaatnya secara medis, tetapi praktik ini tetap dilakukan. Sebuah praktik yang bisa dimaknai sebagai upaya menempatkan anakanak dalam komunitas Muslim sebagai “pribadi bermoral.” 73 Umumnya praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan sebagai sikap simbolik saja tanpa adanya pemotongan klitoris sebagaimana dilakukan di negara-negara Afrika.74 Peneliti bisa terus menggali makna dari pelbagai simbol tradisi tersebut melalui perspektif gender, psikologi, relasi sosial hubungannya dengan hadis Nabi tertentu yang biasanya dijadikan sebagai landasan praktik tersebut. Metodologi dan langkah penelitian living hadis dengan pendekatan antropologi Fenomena living hadis merupakan fenomena empiris sosialbudaya, maka model metode penelitian yang dipakai merupakan 71 David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis,” dalam Peter Connoly ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LkiS, 2001, hlm. 46; Daniel L. Pals, Seven theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 407. 72 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, Selected Essays, New York: Basic Books, 1973, hlm. 419. 73 Lynda Newland, “Female Circumcision: Muslim Identities and Zero Toerance Policies in West Java,” Women's Studies International Forum 29 (2006): 394-404. 74 Andree Feillard and Lies Marcoes, “Female Circumcision in Indonesia: To ‘Islamize’ in Ceremony or Secrecy,” Archipel 56, Paris, 1998: 337-367. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 279 model penelitian sosial dan budaya secara kualitatif.75 Karenanya, peneliti dalam menggunakan pendekatan antropologi harus berupaya mengikuti prosedur penelitian kualitatif berbasis riset lapangan di masyarakat (field research, field work) yang terkait dengan respon dan penerimaan atas hadis dalam kesehariannya. Umumnya terdapat beberapa metode yang digunakan dalam melakukan riset budaya dalam antropologi: etnografi, folklor, grounded theory, dan lainnya. Etnografi mendeskripsikan suatu kebudayaan budaya sebagaimana adanya secara holistik melalui alur penelitian maju bertahap. Holistik artinya gejala sosial-budaya yang diteliti dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat. Agama misalnya, dilihat sebagai sistem yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sosial, ekonomi, politik dan budaya.76 Dalam penelitian etnografi, sedikitnya peneliti harus tinggal di lokasi penelitian selama enam bulan untuk melakukan pengamatan terlibat (participant observation) di mayarakat;77 Metode folklor digunakan bagi studi tradisi lisan berupa mitos di balik ritual tertentu di masyarakat; grounded theory merupakan model penelitian yang berusaha mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Teori dihasilkan secara induktif berdasarkan data real.78 Peneliti bisa memanfaatkan ragam metode tersebut untuk mempermudah studi living hadis di lapangan. Adapun langkah-langkah metodis studi living hadis dengan pendekatan antropologi minimal terdiri dari: 1) menentukan informan dan lokasi; 2) menggunakan pendekatan dan perspektif subyek 75 Mudjahirin Thohir, Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi dan Aplikasi, Semarang: Fasindo, 2007, hlm. 49. 76 David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis,” hlm. 34. James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elisabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007, hlm. 3; Esther Kuntjara, Penelitian Kebudayaan, Sebuah Pengantar Praktis, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hlm. 7. 78 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, hlm. 50-69; Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, hlm. 173; Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, hlm. 32. 77 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 280 | Jajang A. Rohmana penelitian (emik); 3) teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan; 4) membuat catatan lapangan (field notes) 5) menentukan unit analisis data berupa individu, kelompok atau benda atau suatu latar peristiwa sosial-budaya yang ditentukan dengan teknik snowball; 6) pengolahan data dilakukan dengan teknik triangulasi melalui analisis interaktif berupa induksi-interpretasikonseptualisasi atau bisa juga berupa display (penyajian data), reduksi (pemilahan) dan interpretasi (analisis data menggunakan kerangka teori yang ada). Berikut salah satu contoh outline penelitian living hadis dengan pendekatan antropologi yang diambil dari tesis Abdurrahman Abu Hanif, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015 yang berjudul “Gerakan Shalat Dhuha (Studi Living Hadis dalam Majelis Dhuha Bantul)”: 79 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian D. Kerangka Teoritik E. Metode Penelitian F. Telaah Pustaka F. Sistematika Pembahasan BAB II FENOMENA SALAT DHUHA SEBAGAI LIVING HADIS A. Makna Salat Dhuha bagi Masyarakat B. Fenomena Salat Dhuha pada Awal-awal Islam C. Fenomena Salat Dhuha pada Masa Sekarang BAB III IMPLEMENTASI SALAT DHUHA DALAM MAJELIS DHUHA 79 Abdurrahman Abu Hanif, “Gerakan Salat Dhuha (Studi Living Hadis dalam Majelis Dhuha Bantul,” Tesis UIN Yogyakarta, 2015. http://digilib.uinsuka.ac.id/17598/ (diakses tanggal 07/02/2016 pukul 14.57). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 281 BANTUL A. Majelis Dhuha Bantul B. Tim Pelaksana dan Peserta Majelis Dhuha Bantul C. Tempat Pelaksanaan dan Sarana Prasarana Majelis Dhuha Bantul D. Pelaksanaan Kegiatan Majelis Dhuha Bantul BAB IV ANALISIS RESEPSI LIVING HADIS DI MAJELIS DHUHA BANTUL A. Resepsi Hermeneutis B. Resepsi Estetis C. Resepsi Kultural BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran dan Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN Penutup Kajian hadis di Indonesia mencoba untuk terus dikembangkan. Salah satu upayanya dilakukan melalui pendekatan multidisiplin dengan melibatkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fenomena studi living hadis merupakan salah satu upaya pengembangan kajian hadis yang selama ini dianggap “sepi” dibanding studi keislaman lainnya. Meski belum lama ditawarkan, tetapi studi ini diharapkan mampu menggairahkan studi hadis di Indonesia. Ia sangat penting untuk diapresiasi di tengah kebutuhan masyarakat akademik untuk terus melakukan inovasi keilmuan secara integratif-interkonektif. Studi living hadis—juga living Qur’an—dengan menggunakan pendekatan antropologi relatif masih sangat baru. Dalam tradisi antropologi, studi semacam ini belum banyak terpublikasi apalagi mendapat respon akademik yang luas. Jangankan “antropologi hadis,” untuk antropolog yang meriset tentang Islam saja, para sarjana— Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 282 | Jajang A. Rohmana dengan pengecualian Geertz—dianggap belum berhasil menjangkau audiens akademik yang luas di luar subdisiplin miliknya sendiri.80 Karenanya pendekatan antropologi dalam living hadis masih perlu penguatan basis argumen, baik pada level teori dan metodologi. Tulisan ini baru merupakan “provokasi” awal soal studi living hadis dengan pendekatan antropologi. Ini penting untuk memposisikan studi ini di tengah diskursus keilmuan sosial yang terus berkembang. Studi ini mencoba mempertegas signifikansi studi living hadis di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Abu-Lughod, Lila. “Honor and the Sentiments of Loss in a Bedouin Society,” American Etnologiest, 12.2 (1985): 245-261. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “The Living Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012. Ahmad, Arifuddin. dkk. “Kecenderungan Kajian Hadi@th di UIN Alauddin Makassar (Tracer Studi terhadap Skripsi Mahasiswa Tahun 1994-2013),” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, (2015): 249-266. Ali, Muhamad. “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur’a>n dan Living H}adi@th,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, (2015). Amin, Kamaruddin. “The Realiability of the Traditional Science of Hadith,” Al-Jami’ah, Vol. 43, No. 2, 2005. _______. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Bandung: Hikmah, 2009. Anwar, M. Khoiril. “Living Hadis,” Farabi, Vol. 12, No. 1, 2015. Asad, Talal. “The Idea of An Anthropology of Islam,” Occasional Papers Series, Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, 1986. 80 Gabriele Marranci, The Anthropology of Islam, hlm. 4. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 283 Azra, Azyumardi. “Cultural Pluralism in Indonesia: Continuous Reinventing of Indonesian Islam in Local, National and Global,” Paper Annual Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-10, Banjarmasin, 1 – 4 November 2010. Beatty, Andrew. Varietes of Javanese Religion: An Anthropological Account (Cambridge: Cambridge University Press, 1999). Bisri, Cik Hasan. “Pergumulan Hukum Islam dengan Kaidah Lokal dalam Pembagian Harta,” dalam Cik Hasan Bisri ed., Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998. Bowen, John R. “Salat in Indonesia: The Social Meaning of an Islamic Ritual,” Man, New Series, Vol. 24, No. 4 (Dec., 1989). _______. A New Anthropology of Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 2012. Bowie, Fiona. The Anthropology of Religion, An Introduction, Oxford: Blackwell Publishers, 2001. Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000. Brown, Jonathan A.C. Hadith, Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World, Oxford: OneWorld, 2009. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006. Fathurahman, Oman. “The Roots of the Writing Tradition of Hadith Works in Nusantara: Hidayat al-Habib by Nur al-Din Al-Raniri,” Studia Islamika, Vol. 19 No. 1, 2012. Federspiel, Howard M. “H}adit} Literature in Twentieth Century Indonesia,” Oriente Moderno, Nuova serie, Anno 21 (82), Nr. 1, 2002. Feillard, Andree. and Marcoes, Lies. “Female Circumcision in Indonesia: To ‘Islamize’ in Ceremony or Secrecy,” Archipel 56, Paris, 1998: 337-367. Geertz, Clifford. ‘The Javanese Kyai: The Changing Role of Cultural Broker’ Comparative Studies in Society and History, (2), 1959. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 284 | Jajang A. Rohmana _______. Islam Observed, Religious Development in Morocco and Indonesia, Chicago: The University of Chicago Press, 1968. _______. The Interpretation of Cultures, Selected Essays, New York: Basic Books, 1973. Gellner, David N. “Pendekatan Antropologis,” dalam Peter Connoly ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LkiS, 2001. Goldziher, Ignaz. Muhammedanische Studien, 2 vols. Leiden, 18891890. Trans. S. M. Stern as Muslim Studies, 2 vols. London, 1967. Graham, W.A. Divine Word and Prophetic Word in Early Islam: A Reconsideration of the Sources, with Special References to the Divine Saying or Hadith Qudsi, Hague, 1977. Guenther, Alan M. “The Hadith in Christian-Mulim Discourse in British-India, 1857-1888,” Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1997. Huda, Mh. Nurul. “Budaya sebagai Teks, Narasi dan Hermeneutik” dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005. Ichwan, Moch. Nur. A New Horizon in Qur’anic Hermeneutics: Nasr Hamid Abu Zayd’s Contribution to Critical Qur’anic Scholarship, Thesis submitted to the Faculties of Theology and Arts of Leiden University, The Netherlands, August 1999. Juynboll, G. H. A. Muslim Tradition. Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early H{adi>th, Cambridge, 1983. Kaplan, David. dan Manners, Robert. Teori Budaya, terj. Landung Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. al-Khuli, Amin. Mana>hij Tajdi>d, fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa alTafsi>r wa al-Adab, (tt.: Da>r al-Ma’rifah, 1962). _______, Da>’irah al-Ma’a>rif al-Isla>miyyah, entri tafsi>r, jilid 5. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia, 1974. _______. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet. Ke-8. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 285 _______. Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994). Kuntjara, Esther. Penelitian Kebudayaan, Sebuah Pengantar Praktis, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006. Latifah AM., “Earliest Hadith Sciences Texts Written in Malay Archipelago,” Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol. 5 No.15, 2014: 550-558. Lukens-Bull, Ronald. “Between Text and Practice: Considerations in the Anthropological Study of Islam,” Marburg Journal of Religion, Vo. 4 No. 2, 1999. Maman Kh., U. dkk. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Marranci, Gabriele. The Anthropology of Islam, New York: Berg, 2008. Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Mas’ud, Abdurrahman. “Mahfuz al-Tirmisi (d. 1338/1919): An Intellectual Biography,” Studia Islamika, Vol. 5 No. 2, 1998: 2748. _______. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2004. Metcalf, Barbara. “Living Hadith in the Tablighi Jamaat, Journal of Asian Studies, 52, No. 3, (1993). Morris, Brian. Antropologi Agama, Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: Ak Group, 2007. Motzki, Harald. with Nicolet Boekhoff-van der Voort and Sean W. Anthony, Analysing Muslim Traditions, Studies in Legal, Exegetical, and Magha>z> Hadi>th, Leiden: Brill, 2010. Muchtarom, Zaini. “Santri and Abangan in Java,” Thesis, McGill University, Montreal Canada, 1975. Muhaimin, A.G. The Islamic Traditions of Cirebon, Ibadah and Adat among Javanese Muslims, Canberra: ANU E Press, 2006. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarakan, 1991. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 286 | Jajang A. Rohmana Mulder, Niels. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1983). _______. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya, terj. Satrio Widiatmoko (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999). Mustapa, Haji Hasan. Bab Adat2 Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti Eta, Ditjitakna di kantor tjitak Kangdjeng Goepernemen di nagara Batawi, 1913. Newland, Lynda. “Female Circumcision: Muslim Identities and Zero Toerance Policies in West Java,” Women's Studies International Forum 29 (2006): 394-404. Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001. Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam Jawa (Jakarta: Alvabet dan INSEF, 2009). Rafiq, Ahmad. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community,” Diseertation, The Temple University, 2014. Rahman, Fazlur. “Concept Sunnah, Ijtihad and Ijma’ in the Early Period,” Islamic Studies 1 (1), 1962. _______. Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute, 1995, 3rd Reprint. Redfield, Robert. Peasant Society and Culture, An Anthropological Approach to Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1956. Rippin, Andrew. Muslims Their Their Religious Beliefs and Practices, London and New York: Routledge, 2005. Rohmana, Jajang A. “Pengembangan Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia: Kajian Pendahuluan Studi Kawasan Tafsir di Tatar Sunda,” Disampaikan dalam acara Kuliah Umum “Model Pengembangan Kajian Al-Qur’an di Indonesia,” Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, Rabu, 18 Nopember 2015. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Pendekatan Antropologi dalam Studi Living Hadis di Indonesia | 287 Rudliyana, Muhamad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulum AlHadits Dari Klasik sampai Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2004. Samsul Ma’arif, “Kajian Kritis Agama Lokal,” dalam Zainal Abidin Bagir dkk, Studi Agama di Indonesia, Refleksi Pengalaman, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya/CRCS, UGM Yogyakarta, 2015. Sardar, Ziauddin. “The Future of Islamic Studies,” Islamic Culture 57 (1983): 193-205. Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford, 1950. Sodikin, R. Abuy. dkk. Memahami Islam melalui Pendekatan Antropologi, Bandung: Tarbiyah Press, 2003. Spradley, James P. Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elisabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007. Suryadilaga, Muhammad Alfatih. “Model-model Living Hadis” dalam Sahiron Syamsuddin ed., Metodologi Penelitian Living Qur'an dan Hadis, Yogyakarta: TH Press, 2005. _______. “Mafhu>m al-S}alawa>t ‘inda Majmu>’at Joged Shalawat Mataram: Dira>sah fi> al-H}adi>th al-H}ayy,” Studia Islamika, Vo. 21, No. 3, 2014. _______. “Ragam Studi Hadis di PTKIN Indonesia dan Karakteristiknya: Studi atas Kurikulum IAIN Bukittinggi, IAIN Batusangkar, UIN Yogyakarta, dan IAIN Jember,” Journal of Qur’a>n and H}adi@th Studies, Vol. 4, No. 2, 2015. Syam, Nur. Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005). _______. Madzhab-madzhab Antropologi, Yogyakarta: LkiS, 2007. Thohir, Mudjahirin. Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi dan Aplikasi, Semarang: Fasindo, 2007. Van Bruinessen, Martin. “Global and Local in Indonesian Islam,” Southeast Asian Studies, 37, 1999. Varisco, Daniel Martin. Islam Obscured: The Rhetoric of Anthropological Representation, New York: Palgrave Macmillan, 2005. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 288 | Jajang A. Rohmana Voll, John O. “Hadith Scholars and Tariqahs: An Ulama Group in the 18th Century Haramayn and Their Impact in the Islamic World,” Journal of Asian and African studies. 15: 1980. Woodward, Mark R. “Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian Translations of Arabic Hadith Texts,” The Journal of Asian Studies 52, 3 (Agustus 1993): 565-83. _______. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 2008), cet. ke-4. Internet Abu Hanif, Abdurrahman. “Gerakan Salat Dhuha (Studi Living Hadis dalam Majelis Dhuha Bantul,” Tesis UIN Yogyakarta, 2015. http://digilib.uin-suka.ac.id/17598/ (diakses tanggal 07/02/2016 pukul 14.57). http://digilib.uin-suka.ac.id/view/divisions/jur=5Ftha/ (diakses Senin, 01/02/2016 pukul 15.51). Ma’ruf, Jamhari. “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam,” artikel pilihan http://pustaka.islamnet.web.id/Bahtsul_Masaail/Artikel/Kumpu lan%20Makalah/KAJIAN%20ISLAM%20DENGAN%20PEN DEKATAN%20ANTROPOLOGI.htm (diakses Senin, 07/02/2016 pukul 10.14). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 STUDI HADIS DENGAN PENDEKATAN SOSIOLOGIS: Paradigma Living-Hadis Ja’far Assagaf IAIN Surakarta Email: [email protected] Abstract As a paragon who is followed by Muslims, the Prophet Muhammad’s hadiths serve as one of the main sources for Islamic tenets as a universal religion for all mankind. Meanwhile, the prophet was also a man who lived in a society with certain cultures, traditions, and geographical elements which differ, to some extent, from those of Muslims all over the world. Sociological approaches to the life of the Prophet, thus, become necessary in order to realize his guidance by contextual understanding to the gist of hadiths. Sociological approaches can be done by combining different perspectives of Sociology, such as Sociology of religion, Sociology of Language, Sociology of Culture, and so on, with Sociological theories which are widely well-known in either Islamic world or the West. In order not to be detached from the spirit of Islam, the analysis from the Sociological perspectives should be combined with hadith’s sciences (‘ûlûm al-ḥadîth) covering the isnâd and the matn. The significance of such kind of approach can be seen in its possibilities to reveal –to mention some of them- why the transmitters and collectors of hadith have the similar names and why one hadith seems to contradict the other. Some sub-disciplines of hadith sciences which have been combined with sociological approaches (including names, tittles, country of origins of the transmitters, as well as the contradictive and strange hadith) can prove significance of Sociological approaches to the study of hadith. 289 290 | Ja’far Assagaf Abstrak Berpijak dari Nabi Muhammad saw sebagai panutan yang senantiasa diteladani oleh kaum Muslim maka hadis menjadi sumber utama dalam Islam sebagai agama universal untuk semua umat manusia. Sementara Nabi saw juga seorang manusia yang hidup di lingkungan budaya, adat istiadat, sosial, geografis yang berbeda dengan kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Studi sosilogis, karenanya, menjadi keniscayaan dewasa ini dalam upaya membumikan hadis-hadis Nabi saw melalui pemahaman kontekstual tanpa melepas ikatan teks dan inti kandungan hadis. Pendekatan sosiologis dapat dilakukan dengan berbagai disiplin ilmu sosiologi seperti sosiologi agama, sosiologi bahasa, sosiologi budaya dan sebagainya dengan teori-teori sosilogi yang telah dikenal baik dari kalangan Islam maupun dari Barat. Agar tidak lepas dari spirit Islam, analisa sosiologi dipadukan dengan ilmu-ilmu hadis yang telah mapan. Ilmu-ilmu tersebut mencakup sanad dan matan hadis. Melalui pendekatan sosiologi, seorang pemerhati atau peneliti hadis dapat menemukan kenapa perawi-perawi hadis tertentu memiliki nama, gelar yang sama dengan lainnya, atau memperoleh penjelasan kenapa suatu hadis nampak bertentangan dan sebagainya. Beberapa bagian ilmu hadis yang telah ditelaah dengan pendekatan sosiologis seperti ilmu tentang nama dan gelar perawi, negeri dan tempat-tempat perawi maupun ilmu tentang pemahaman kosa kata, latar belakang sebuah hadis maupun hadis-hadis yang nampak bertentangan, membuktikan urgennya penggunaan sosiologi sebagai pendekatan untuk memahami ilmu hadis, baik sanad maupun matan. _____________ Kata Kunci: Pendekatan sosiologi, sanad dan matan, ilmu Ikhtila>f alH{adi>s|, ilmu Asba>b al-Wurud al-H{adi>s | A. Latar Belakang Hampir semua umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan sumber hukum bersama al-Qur’an, atau sumber kedua setelah kitab suci Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 291 yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.1 Fakta ini adalah sebuah keniscayaan karena Nabi saw merupakan tokoh sentral dalam Islam yang menjadi panutan (QS: al-Ah{za>b;21) dan bertugas sebagai penjelas dari keseluruhan isi al-Qur’an (QS:al-Nah}al;44) bahkan ketaatan padanya secara mandiri bernilai sama dengan menaati Allah swt (QS:alNu>r;56). Beragam perilaku, interpertasi bahkan apapun yang berasal dari Nabi saw, oleh sementara ulama dinilai sebagai penjelasan paling otoritatif dan orisinil terhadap al-Qur’an baik dari aspek teoritis maupun praktis.2 Sementara itu, walau dalam aspek spiritual dan sifat insa>niyyah Nabi Muhammad saw berbeda, namun Rasul terakhir tersebut juga seorang manusia yang sama dengan manusia lainnya dari aspek kebutuhan sandang, pangan dan papan (telusuri kata بشرmisalnya dalam QS:al-Kahfi; 110) bahkan Nabi saw juga bersosialisasi (misalnya QS: al-Furqa>n; 7) dan merupakan bagian dari sebuah komunitas masyarakat sosial yang hidup di kawasan jazirah Arab pertengahan abad VI sampai VII Masehi (± 571 M- 632 M). Kondisi internal maupun eksternal tersebut merupakan sebuah potret beragam situasi dan kondisi saat agama Islam hadir. Berpijak dari fakta dan fenomena tersebut, kajian dalam studi hadis patut menyertakan beragam disiplin ilmu, baik terkait dengan ilmu-ilmu alam maupun sosial. Pendekatan untuk menyelamai makna yang terkandung dalam hadis Nabi saw, bagi seorang Muslim sesungguhnya tak bermaksud untuk menciderai apalagi menimbulkan ketidak percayaan dengan ajaran Islam, tetapi bertujuan agar ajaran Islam dipahami sesuai dengan misi universalnya yaitu rahmatan li al‘a>lami>n (QS: al-Anbiya>’; 107) dengan menggunakan akhlaq al-Nabiyyi, sehingga teks-teks agama; Qur’an maupun hadis tidak dipahami secara literal, tekstual yang kaku, namun ajaran-ajaran itu benar-benar Muhammad Muhammad Abu> Zahw, al-H{adi>s| wa al-Muh}addisu>n (Cairo: alMaktabah al-Taufi>qiyyah, t.th), h. 20-21. 2 Nu>ruddi>n al-‘Itr, Manhaj al-Naqad ‘inda al-Muh}addisi>n (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu‘a>s}irah; 1997), h. 22, 24-25 1 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 292 | Ja’far Assagaf membumi dan mampu dirasakan oleh siapapun yang bersentuhan dengan Islam. B. Kerangka Teori Sosiologi dalam Hadis Berpijak dari latar belakang di atas, maka pemahaman terhadap hadis-hadis Nabi Muhammad saw dimungkinkan melalui pendekatan sosiologis. Kajian sosiologis merupakan sesuatu yang urgen dalam memahamai hadis Nabi saw, karena selain banyaknya hadis yang terait dengan masalah hubungan manusia dengan manusia (mua>‘malah) juga terdapat tiga aspek yang tak bisa lepas dari hadis itu sendiri. Pertama, Nabi saw bagi umat Islam adalah patron atau teladan dan memiliki otoritas untuk menyampaikan wahyu Allah swt sebagaimana dijelaskan, sehingga semua yang disampaikan bernilai mutlak kebenarannya (QS:al-Najm; 3-4). Karena tak mungkin seorang Nabi akan mengalami kekeliruan apalagi berbuat dosa, teristimewa saat dia menyampaikan risa>lah.3 Keyakinan ini tentu tidak terlepas dari kajian polemik ulama us{u>l tentang kemungkinan terjadi ijtihad dari Nabi saw ketika tidak terdapat nash dalam al-Qur’an,4 walau menurut al-A<midiy (w. 631 H) dan al-Sya>t{ibiy (w. 790 H) bahwa ijttihad Nabi saw senantiasa benar karena tak mungkin ajaran yang Nabi saw sampaikan kontradiktif dengan al-Qur’an.5 Kedua, secara faktual ternyata terdapat hadis yang nampak bertentangan dengan hadis lain misalnya larangan ziarah kubur dan kebolehannya, perintah memerangi non Muslim sampai mereka beriman, serta hadis tentang kawin mut‘ah, Muhammad al-‘Aru>siy ‘Abd Qa>dir, Af‘a>l al-Rasu>l saw. wa Dila>latuha> ‘ala> Ah}ka>m, (Jeddah: Da>r al-Mujtama‘, cet. I, 1984), h. 24. 3 4 Keterangan saling melengkapi, lihat: Abu> H{asan ‘Ali bin Muhammad alA<midiy (w. 631 H), al-Ih}ka>m li al-A<midiy, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2003), jilid II, vol. IV, h. 311-316; Muhammad bin ‘Ali al-Syauka>niy, Irsya>d al-Fuh}u>l, diedit oleh Muhammad Sa‘i>d al-Badriy, (Beirut: Da>r al-Fikr, cet. I, 1992), h. 426-428; Muhammad Khud}ariy Biek, Us}u>l al-Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Tija>rah al-Kubra>, 1962), h. 407-410. 5 Lihat: al-A<midiy, al-Ih}ka>m li al-A<midiy, jilid II, vol. IV, h. 317; Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m bin Mu>sa> al-Lakhmi>y al-Gharna>t}iy al-Sya>t{ibiy, al-Muwafaqa>t fi> Us}u>l alSyari>‘ah, (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, t.th), juz IV, h. 21. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 293 bahkan terdapat hadis yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an seperti larangan memakan daging keledai jinak dengan QS:al-An‘a>m; 145. Dalam studi hadis sudah ada ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| yang spesifik mengkaji teks-teks hadis yang tampak bertentangan tersebut. Ketiga, Nabi saw secara individu juga merupakan bagian dari sebuah masyarakat sosial saat itu. Interaksi yang terjadi antara Nabi saw dengan kaum Muslim lainnya maupun non-Muslim secara gamblang mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat saat itu. Interaksi tersebut meliputi di antaranya hubungan individual, sosial dan multiplex yaitu interaksi yang terikat oleh berbagai tipe kepentingan6 untuk hidup bersama. Karena itu, interaksi dalam kajian ini memasuki ranah obyek sosial yaitu manusia selaku perseorangan maupun salah satu dari komunitas masyarakat.7 Dalam studi hadis terdapat ilmu asba>b al-wuru>d al-h{adi>s| yang berisi tentang latar belakang peristiwa yang mengiringi terjadinya suatu hadis. Tiga alasan mengenai urgennya pendekatan sosiologis dalam kajian hadis di atas dapat dilakukan dengan cara mensinerginakan atau memadukan ilmu sosiologi dengan studi ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| maupun ilmu Asba>b al-Wurud al-H{adi>s|. Pendekatan ilmu sosial dapat dilakukan misalnya dengan mengkaji sosiologi Agama, sosiologi perkotaan atau pedesaan bahkan sosiologi tentang masyarakat nomaden atau masyarakat yang hidup di wilayah tertentu seperti padang pasir dan gurun. Adapun ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s yang sejatinya merupakan kajian para ahli hadis sekaligus ahli usu} >l a-Fiqh dengan menggunakan pendekatan sosiologis dapat ditelusuri lebih jauh konteks sosial suatu hadis berisi kebijakan yang berbeda disebabkan perbedaan situasi dan kondisi. Sementara ilmu Asba>b Wurud al-H{adi>s| pada bagian tertentu Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi: edisi baru, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 374-375. 7 Deobold DE. Vandalen, Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial; Beberapa Perbedaan, dalam Jujun S. Suryasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 135. 6 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 294 | Ja’far Assagaf dapat membantu melihat latar belakang terjadinya suatu hadis dan keterkaitannya dengan sejarah, namun masih banyak dalam konteks individu terkait dengan hadis yang tengah dikaji sehingga dimungkinkan untuk mengkaji dalam konteks sosial masyarakat yang lebih luas. Tanpa memungkiri ada pula beberapa hadis melalui ilmu Asba>b Wurud al-H{adi>s telah sampai menyentuh konteks sosial dimaksud, namun karena minimnya kajian studi ini dan karena ilmu ini adalah ilmu yang ‘baru’ dalam studi hadis yang berdiri sendiri8 maka diperlukan pendekatan ilmu sosiologi untuk memperoleh konklusi atas kandungan suatu hadis. Pendekatan sosiologi dalam hadis mangacu pada berbagai aspek kehidupan masyarakat yang hidup ketika hadis Nabi saw disabdakan. Kajian sosiologi terkait dengan masyarakat karena segala sesuatu berasal dari masyarakat,9yaitu dengan mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara beragam gejala sosial seperti ekonomi dengan agama, politik dengan agama atau antara gejala sosial dengan gejala non sosial misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya. Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang kategoris membatasi diri pada apa yang terjadi dan bukan apa yang seharusnya terjadi karena sosiologi dapat menetapkan bahwa suatu masyarakat di suatu tempat dan waktu memiliki nilai-nilai tertentu namun selanjutnya tak dapat ditentukan bagaimana nilai-nilai itu semestinya.10 Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami ajaran suatu agama, namun perlu dipahami bahwa hasil 8 Sepertinya kitab pertama yang sampai pada kita dalam studi ilmu Asba>b Wurud al-H{adi>s adalah karya al-Suyut}iy (w. 911 H) berjudul al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud al-H{adi>s lalu diikuti oleh Ibra>hi>m al-Dimasyqiy (w.1120 H/1708 M), dengan karyanya al-Baya>n wa al-Ta‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s.| Lihat Muh}yiddin ‘At}iyyah et al, Dali>l Muallifa>t al-H{adi>s| al-Syari>f al-Mat}bu>‘ah al-Qadi>mah wa al-H{adi>sa| h (Beirut: Da>r Ibn H{azm, cet I, 1995), jilid I, h. 87-88. 9 Nyoman Kutha Ratna SU, Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu Sosial, Humaniora pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet I), h. 367. 10 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, cet 46), h. 17-18. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 295 penelitian sosiologi dalam hal ini sosiologi agama tidak mesti sama hasilnya dengan doktrin yang terdapat dalam teks suci agama yang diteliti, karena ilmu ini tidak mengkaji benar tidaknya suatu agama melainkan bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya.11 Dalam studi hadis sebagaimana dijelaskan bahwa memahami kandungan hadis dapat melalui pendekatan beragam macam dispilin ilmu sosiologi, semakin banyak ilmu terkait sosiologi yang digunakan semakin mungkin penelitian hadis menemukan kandungan hadis yang tidak dipahami secara parsial tetapi mendapati keterkaitan hadis satu dengan lainnya dalam suatu masalah yang dapat dipahami secara universal. Dalam sejarah Islam, kajian sosiologis telah Ibn Khaldu>n (w. 808 H/1406 M) lakukan saat mengajukan beberapa prinsip pokok terkait dengan fenomena dan peristiwa sosial dalam sejarah Islam.12 Dalam Muqaddimahnya, Ibn Khaldu>n merinci kajian sosiologi sejarahnya dalam enam bagian: (1) Peradaban yang manusia ciptakan; (2) Peradaban Arab nomaden, masyarakat liar serta kabilah-kabilah; (3) Pemerintahan secara umum dan tingkatan-tingkatan kekuasaan; (4) Berbagai negeri dan kota serta peradabannya; (5) Beragam mata pencaharian, usaha dan profesi dan (6) Beragam Ilmu sifat-sifatnya, proses belajar-mengajar serta metode dengan berbagai aspeknya.13 Melalui karyanya tersebut, Ibn Khaldu>n sesungguhnya telah meletakkan teori-teori sosiologi terkait dengan sejarah dan agama. Interpertasi hadis kepemimpinan dari suku Quraisy yang awalnya merupakan keharusan pemimpin dari suku Quraisy menurut ulama, namun bagi Ibn Khaldu>n yang menukil pendapat al-Ba>gila>niy (w. 403 H) bahwa Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 402-403. 12 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 2728. 13 Abu> Zaid ‘Abd Rah}ma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad alH{ad}ramiy al-Isybi>liy; Ibn Khaldu>n, Muqaddimah; al-‘Ubr wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar fi> Ayya>m al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas| al‘Arabiy, cet IV, t.th), h. 1-588. 11 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 296 | Ja’far Assagaf kepemimpinan tersebut disebabkan adanya sifat-sifat orang Quraisy saat itu dan jika ketiadaan sifat-sifat tersebut maka gugurlah kepemimpinan tersebut.14 Interpertasi Ibn Khaldu>n sesungguhnya bukan hal yang baru seperti terlihat di atas, namun Ibn Khaldu>n menginterpertaskan hadis melalui pendekatan sosiologi dengan teori sosial yang dia formulasikan di kitab muqaddimahnya tersebut, hal mana yang tak dilakukan oleh ulama hadis dalam kitab mereka maupun kitab syarh} secara khusus seperti syarh} Bukha>riy dan Muslim maupun lainnya. Studi hadis masa kini dengan menggunakan teori-teori sosiologi akan menarik disebabkan kajian-kajian agama masih banyak yang dipahami secara normatif tanpa melihat aspek sosial. Padahal ajaran Islam selain berisi hubungan dengan sang pencipta, juga mengatur dan menekankan hubungan antar manusia. Pendekatan sosiologis menjadi sebuah keniscayaan untuk mendekati pemahaman yang tepat terhadap hadis Nabi saw sesuai dengan konteks hadis saat disabdakan dan memperoleh inti ajaran yang dapat kita pahami dalam konteks kekinian. C. Lingkup Kajian Hadis dengan Pendekatan Sosiologis Berbicara tentang lingkup kajian hadis berarti mengkaji hadis secara totalitas yang mencakup kajian sanad maupun matan hadis. Studi sanad dinilai memiliki pijakan teori yang kokoh di antara ilmu-ilmu murni Islam bersama kajian tafsir dan us}u>l fiqh,. Walau sebenarnya ulama hadis tidak pernah meninggalkan kajian matan, tetapi dari keseluruhan karya ahli hadis terutama masa klasik (abad 1-3 atau 4 Hijriah) dapat dibuktikan bahwa keseriusan mereka dalam mengkaji sanad hadis lebih banyak dan mendalam ketimbang kajian mereka terhadap matan hadis. Fenomena ini dapat dipahami karena beberapa faktor yaitu: (1) Terjadi pemalsuan hadis; (2) Hadis belum ditulis secara keseluruhan di zaman Nabi saw; (3) Beragam peristiwa terjadi sebelum Penulisan hadis secara kolektif (100 H); (4); Periwayatan hadis secara makna dan (5) sifat alami manusia yang pelupa. Sekalipun alasan-alasan ini juga dapat menjadi penyebab ulama hadis meneliti matan, tetapi 14 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah, h. 194. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 297 penelitian sanad lebih kuat dengan beralasan kelima faktor tersebut. 1. Studi Sanad Hadis dengan Pendekatan Sosiologis Studi sanad hadis mencakup dua kategori besar yaitu studi perawi hadis disebut ilmu rijal hadis dengan cabang-cabganya dan studi kondisi hadis yaitu ketersambngan dan keterputusan sanad suatu hadis. Pendekatan sosiologis dapat diterapkan saat mengkaji ilmu rijal hadis. Di antara ilmu rijal hadis yaitu: (a) ilmu tentang nama-nama dan gelar perawi; (b) ilmu tentang guru-guru maupun teman-teman seangkatan dari perawi; (c) ilmu tentang tempat dan negeri perawi. a. Ilmu Tentang Nama-nama dan Gelar Perawi ( اْلسماء والكنىdan )اْللقاب15 Pada bagian ini dapat dibagi menjadi ilmu tentang nama-nama dan gelar perawi ( )اْلسماء والكنىmaupun gelar berupa panggilan () اْللقاب, dan ilmu tentang nama-nama perawi yang sama namanya maupun nama ayahnya dengan perawi lain ()المتفق والمفترق16 maupun perawi yang tulisan namanya sama tetapi cara membacanya berbeda () المؤتلف والمختلف.17 Keempat ilmu di atas memiliki fokus kajian masing-masing, namun memiliki tujuan yang sama yaitu tidak terjadi kesalahpahaman pada orang yang mempelajari dan meriwayatkan hadis tentang perawi tertentu yang kemungkinan memiliki nama, gelar (al-kuna> maupun alqa>b), person (al-muttafiq wa al-muftariq), maupun tulisan nama yang sama dengan nama perawi yang lain (al-mu'talif wa al-mukhtalif). Semua itu, agar hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dapat diketahui kuat tidaknya. Ranah kajian ulama hadis memang semuanya mengarah pada satu titik ini. Pendekatan sosiologis dapat digunakan misalnya dengan Abu> al-Khair; Muh}ammad bin ‘Abd Rah}ma>n al-Sakha>wiy (w. 902 H), Fath} al-Mugi>s| bi Syarh} Alfiyah al-H{adi>s| (Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, cet I, 1426 H), 15 jilid IV, h. 198-211, 212-221. 16 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 285-312. 17 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 222-284 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 298 | Ja’far Assagaf mencermati kenapa sebuah masyarakat memanggil seseorang dengan gelarnya saja bahkan gelarnya menyatu dengan namanya seperti perawi Abu> Bila>l al-As’ariy, Abu> Bakar bin ‘Ayya>s al-Muqri’ (w. 193 H). Adapula perawi yang hanya dikenal dengan gelarnya tapi tidak memiliki nama seperti Abu> Syaibah saudaranya Abu> Sa‘i>d al-Khudriy (w. 74 H).18 Atau mencari alasan kenapa masyarakat memberikan gelar buruk pada orang yang sesungguhnya baik dan bahkan terpercaya seperti Abdullah al-D{a‘i>f yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Yahya dan Mu‘a>wiyah al-Dd{a>ll bernama Mu‘a>wiyah bin ‘Abd Kari>m.19 Demikian pula mencari konteks sosial mengenai penamaan seorang perawi yang sama dengan lainnya tapi personnya berbeda seperti Ma>lik bin Anas yang satu pendiri mazhab Maliki dari Madinah (w. 179 H) dan yang satu berasal dari Kufah tetapi hadisnya sedikit, sementara Ahmad al-Khali>l adalah nama untuk enam orang perawi di mana kualitas mereka dalam periwayatan berbeda-beda,20 atau tulisan dari nama seorang perawi sama namun cara membacanya berbeda seperti حصينdibaca H{as}i>n pada Abu> H{as}i>n ‘Us|ma>n bin ‘A>s}im sementara perawi lainnya dibaca H{us}ain.21 Ulama hadis memang telah menerangkan penyebab seorang perawi diberi nama seperti itu atau gelar tersebut, namun mereka belum cukup mengeksplor konteks sosial masyarakat bahwa apakah peristiwaperistiwa tersebut disebabkan oleh social class atau status group dalam sosiologi. Karena menurut Joseph Schumper bahwa kelas-kelas dalam masyarakat terbentuk untuk menyesuaikan mereka dengan beragam kepentingan yang nyata.22 Teori ini dapat dianalisa juga melalui keadaan sosial masyarakat di mana perawi tersebut diberi nama atau gelar tertentu, termasuk polarisasi bahasa sehingga terjadi perbedaan Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 203-205, 207. Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 216-217. 20 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 287-292. 21 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 261. 22 Sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 203. 18 19 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 299 penyebutan atau dialek dalam studi khusus ilmu mu'talif wa mukhtalif. b. Ilmu tentang Para Guru ( ) مشائيخ الرواةmaupun Teman Seangkatan dari Perawi ( ) طبقات الرواة.23 Ilmu yang spesifik membicarakan guru seorang perawi hadis ( ) مشائيخ الرواة. Siapapun gurunya dengan berbagai latar belakang dikaji dalam studi ini. Selanjutnya ilmu yang membicarakan teman-teman belajar dari seorang perawi ( ) طبقات الرواة, baik teman itu seumuran maupun tidak bahkan teman dari berbagai wilayah. Fungsi ilmu ini jelas untuk mencari dan menfilter riwayat yang dianggap benar dari seorang guru dengan melihat kapasitas guru tersebut dan melakukan komperatif riwayat dengan teman-teman seangkatan dari perawi tertentu, sekaligus membedakan periwayat yang nama dan gearnya sama dalam satu tingkatan.24 Teori sosiologi seperti kelompok-kelompok sosial sebagaimana dikembangkan oleh George Simmel tentang individu mempengaruhi kelompoknya maupun interaksi antara kelompok tersebut25 dapat digunakan dalam studi ilmu masyai>kh maupun t{abaqa>t perawi untuk melihat misalnya ada hadishadis yang beredar di murid-murid dari seorang guru tertentu sementara hadis-hadis itu tidak memiliki jalur di komunitas perawi lainnya. c. Ilmu Tentang Tempat dan Negeri Perawi ) أوطان وبلدان )الرواة.26 Spesifikasi ilmu ini yaitu mempelajari tempat dan daerah di mana seorang perawi lahir, wafat, berguru, dan berdomisili maupun tempat yang pernah perawi itu singgahi. Kajian ilmu ini sangat menarik bukan saja untuk mencari hadis yang beredar dari seorang perawi berasal dari wilayah mana, tetapi bisa mengetahui kondisi sosial wilayah tersebut sebagaimana orang-orang Arab mengidentikkan diri Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 498-505. Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 498-499, 501. 25 Sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi; Suatu Pengantar, h. 102. 26 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h. 515-528. 23 24 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 300 | Ja’far Assagaf mereka kepada bangsa, kabilah dan keluarga mereka padahal orangorang ajam mengidentikkan dirinya kepada negeri-negerinya. 27 Mungkin beberapa teori sosiologi dapat dikembangakan dalam studi ilmu ini ) ) أوطان وبلدان الرواةseperti teori tentang lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat, kekuasaan dan perubahan sosial di tempat-tempat yang seorang perawi memperoleh hadis, sehingga dapat kita telusuri kenapa hadis-hadis tertentu dari tokoh hadis ternama tidak sampai kepada kita melalui mukharrij terkenal seperti riwayat Ja’far alS{a>diq (83-148 H) dan al-Syafi’iy (150-204 H) yang tak terdapat dalam s{ah}i>h} al-Bukha>riy dan sebagainya. 2. Studi Matan Hadis dengan Pendekatan Sosiologis Bagian matan hadis menjadi obyek paling menarik untuk diuji lantaran matan adalah teks hadis itu sendiri sehingga bila matan tu diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa maka setiap orang akan dapat terlibat dalam studi ini. Pada bagian ini akan dianalisa pendekatan sosiologis bisa memainkan peranan yang penting dalam mengkaji suatu matan hadis melalui ilmu Gari>b al-H{adi>s, Asba>b Wuru>d al-H{adi>s|, Ikhtila>lf al-H{adi>s|, | dan sebagainya. a. Ilmu Gari>b al-H{adi>s ( ) علم غريب الحديث Ilmu ini secara khusus mengkaji kosa kata yang sulit dalam hadis lantaran jarang penggunaannya28. Kosa kata tersebut digunakan masyarakat Arab bersamaan dengan datanganya Islam, sehingga studi ini menjadi menarik dengan pendekatan sosiologi bahasa atau simbol yang digunakan saat itu. Hadis Nabi saw yang dapat dicontohkan dalam studi ilmu ini seperti: (1) Hadis tentang non Muslim masuk ke dalam Masjid Imam al-Bukha>riy meriwayatkan: ٍ ِال حدَّثَنا سعِيد بن أَِب سع َِّ حدَّثَنا عبد ال َ َيد ََِس َع أَبَا ُهَريْ َرَة ق َ َف ق ُ َْ َ َ ُ ال َحدَّثَنَا اللَّْي َ وس َ ُ ْ ُ َ َ َ َ َث ق ُ ُاَّلل بْ ُن ي 27 28 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid IV, h.515-516. Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid III, h. 412. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 301 ٍ ِ ِ َّ ث النَِِّب صلَّى ال لَهُ ُُثَ َامةُ بْ ُن ُ ت بَِر ُج ٍل ِم ْن بَِِن َحنِي َفةَ يُ َق ْ َاَّلل َعلَْيه َو َسلَّ َم َخْي اًل قبَ َل ََْند فَ َجاء َ ُّ َ بَ َع ِِ ِ ٍِ ال أَطْلِ ُقوا َ اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق َّ صلَّى ُّ ِأُثَ ٍال فَ َربَطُوهُ بِ َسا ِريَة م ْن َس َوا ِري الْ َم ْسجد فَ َخَر َج إِلَْيه الن َ َِّب ٍ ُُثَ َامةَ فَانْطَلَ َق إِ ََل ََنْ ٍل قَ ِر ََِّال أَ ْش َه ُد أَ ْن ََ إِلَهَ إ َ يب ِم َن الْ َم ْس ِج ِد فَا ْغتَ َس َل ُُثَّ َد َخ َل الْ َم ْس ِج َد فَ َق 29ِ َّ اَّللُ َوأ اَّلل َّ ول ُ َن ُُمَ َّم ادا َر ُس َّ Kata ساريةberarti tiang, biasanya terbuat dari kayu. Atau dalam shalat berjama‘ah misalnya tiang pemisah, karena tiang dimaksud adalah bagian dari barisan atau shaf.30 Penggunaan kata ini spesifik pada tiang yang berada dalam satu s{af atau barisan salat. Arti ini menjadi berbeda dengan beberapa arti yang terkait dengan kata ساريةitu sendiri. Pendekatan sosiologi bahasa akan dapat menelusuri sejak kapan kata ساريةtersebut menjadi arti khusus bagi tiang yang berada dalam s{af, atau kenapa kata tersebut bisa berarti demikian. Tentu perubahan bahasa dan makna yang ada dalam satu kosa kata sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial, karena bahasa merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan sebagaimana lembaga yang lain seperti pergaulan, pertentangan dan sebagainya.31 Sosio-linguistik membicarakan hubungan bahasa dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Sebagian ahli membedakan menyatakan kajian sosio-linguistik bersifat kualitatif sementara kajian sosiologi bahasa bersifat kauntitatif. (2) Hadis Tentang Larangan Memakai Sutera Imam al-Bukha>riy meriwayatkan: ِ ِ ِ اعيل حدَّثَنَا أَبو عوانَةَ عن ْاْلَ ْشع ث بْ ِن ُسلَْي ٍم َع ْن ُم َعا ِويَةَ بْ ِن ُس َويْ ِد بْ ِن َ ْ َ ََ ُ َ َ َوسى بْ ُن إ َْس َ َحدَّثَنَا ُم َِّ ول ٍ م َق ِرٍن َعن الْب ر ِاء بْ ِن َعا ِز اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بِ َسْب ٍع َونَ َهانَا َع ْن َسْب ٍع َّ صلَّى ُ أ ََمَرنَا َر ُس:ال َ َب ق َ اَّلل ُ ََ ْ Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>riy (194-256 H), S{ah}i>h} al-Bukha>riy bi H{a>syiah al-Sindiy (Beirut: Da>r al-Fikr, 1995), juz I, h. 112 (no. 462) } 30 Majd al-Ddi>n; Muba>rak bin Muh}ammad Ibn al-As|i>r (w. 606 H), al-Niha>yah fi> Gari>b al-H{adi>s| wa al-As|ar (Beirut: Da>r al-Fikr, 1979.), jilid II, h. 365. 31 Abdul Chaer & Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Perkenalan Awal 29 (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 2. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 302 | Ja’far Assagaf ِ ِِ ِ س وإِجاب ِة الد ِْ يض واتِب ِاع ِ ِ ِ ر ِر َّ َّاعي َوإِفْ َش ِاء ْ َالس ًَلِ َون َ َ ِ أ ََمَرنَا بعيَ َادة الْ َم ِر َ َ َ ِ اْلنَ َازةِ َوتَ ْشميت الْ َعاط ِال ننِي ِة الْ ِفضَّة ِ ِ ِ ِ الذ َه َّ الْمظْلُوِ وإِبْرا ِر الْم ْق ِس ِم ونَ َهانَا َع ْن َخواتِي ِم َ َ َب َو َع ْن الشُّْرب ِِف الْفضَّة أ َْو ق َ ُ َ َ َ َ 32 ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َو َع ْن الْ َميَاثر َوالْ َقس ِي َو َع ْن لُْب اج َو ْاْل ْستَْب َرق ِ َاْلَرير َوالديب ْ س Kata املياثرdalam konteks hadis ini berarti hiasan kendaraan milik orang-orang selain Arab yang dibuat dari sutera seperti pelana, atau juga bantal. Adapun pakaian yang terbuat dari katun bercampur dengan sutera berasal dari negeri Mesir dan penghujung daerah Damaskus القسي. Sementara kata اْلريرdigunakan untuk semua jenis sutera secara umum. اْلريرmerupakan sebutan yang sudah dikenal di masa Nabi saw untuk jenis sutera apapun. Kata الديباجadalah (Syiria) disebut dengan pakaian yang terbuat dari sutera. Kata ini berasal dari bahasa Persia namun dijadikan sebagai bahasa Arab. Semua jenis sutera yang tebal disebut dengan اْلستربق, berasal dari bahasa selain bahasa Arab.33 Dalam hadis di atas nampak bahwa sutera disebut secara berbeda dengan spesifikasi masing-masing disebabkan bahan sutera itu dan penyebutan masyarakat setempat berbeda saat menyebut sutera. Dalam hadis ini Nabi saw menjelaskan apapun nama sutera dan dari manapun asalnya maka status hukumnya tetap sama. Pendekatan sosiologi bahasa dan kawasan atau teori zone konsentris oleh Burgers34 mungkin dapat digunakan dalam studi hadis ini karena masa Nabi saw Madinah merupakan pusat Islam sebagai kota di antara kota-kota lain di Mesi, al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, }juz III, h. 353 (no. 5635). Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) (Sukoharjo: Fataba Press, 2015, cet II ), h. 139-140 34 Teori ini sebenarnya menyangkut perkembangan atau pertumbuhan kota. Pola tersebut merupakan suatu model hubungan antara kedudukan sosial dengan jarak pemukiman dari pusat kota. Lihat Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. 87-88. 32 33 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 303 Syiria dan Persia tempat asalnya sutera-sutera tersebut. b. Ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s| ( ( علم أسباب ورود الحديث Ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s merupakan ilmu yang mempelajari sebab musabab terjadinya suatu hadis atau latar belakang terjadinya suatu hadis.35 Urgensi pendekatan sosiologis terhadap ilmu ini sangat nyata, karena ilmu Asba>b Wuru>d al-H{adi>s dengan sosiologi akan samasama membicarakan sebuah latar belakang individu maupun sosial berupa kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hadis yang dapat dicontohkan dalam studi ini melalui pendekatan sosiologis di antaranya: (1) Larangan Mendatangi Isteri di waktu Malam jika Suami Berlayar dalam Waktu yang lama. Imam al-Bukha>riy meriwayatkan: َِّ حدَّثَنا ُُم َّمد بن م َقاتِ ٍل أَخب رنَا عبد ِ َّعِ ِِب أَنَّهُ ََِس َع َجابَِر ُ َْ َ َ ْ ْ اَّلل أ ْ َخبَ َرنَا َعاص ُم بْ ُن ُسلَْي َما َن َع ْن الش ُ ُْ ُ َ َ َ َِّ ول َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِذَا أَط َّ صلَّى ُ ال َر ُس َ َول ق ُ اَّللِ يَ ُق َّ بْ َن َعْب ِد َُح ُد ُك ْم الْغَْيبَةَ فَ ًَل يَطُْر ْق أ َْهلَه َ اَّلل َ ال أ 36 لَْي اًل Al-Suyu>t}iy menerangkan di antara sebabnya hadis tersbut yaitu dua orang suami masing-masing mendapati isteri mereka bersama dengan lelaki yang lain.37 Kondisi ini memungkinkan terjadi disebabkan masa transisi dari jahiliyyah ke Islam belum benar-benar kuat sehingga perselingkuhan terjadi, terlebih jika suami meninggalkan isterinya terlalu lama. Pendekatan melalui metode sosiologis dapat dilakukan karena metode ini bersifat obyektif yang memiliki gagasan bahwa fakta sosial merupakan hal-hal yang harus ditangani bahkan sampai ke praktek penanganan masalahnya.38 Perubahan yang dicanangkan oleh Islam mengarah ke arah Nuruddi>n ‘Itr, Manhaj al-Naqad, h. 334. al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz III, h. 284 (no. 5244) 37 ‘Abd Rah{man bin Abu> Bakar al-Suyu>t}iy, al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud al-H{adi>s (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), h. 66-67. 38 Soerjono Soekanto, Emile Durkheim; Aturan-Aturan metode Sosiologis (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 139. 35 36 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 304 | Ja’far Assagaf positif, sehingga apa yang terekam dalam hadis di atas termasuk faktor penghambat terjadinya perubahan sosial kearah yang baik disebabkan adanya kepentingan yang telah tertanam kuat, alasan ideologis maupun adat39 di suatu masyarakat. (2) Hadis Terkait Status Anak yang Terlahir dari Wanita Yang Dianggap Curang Imam al-Bukha>riy meriwayatkan: ِ َِّ حدَّثَنا عبد ٍ ك َعن ابْ ِن ِشه اَّللُ َعْن َها َّ اب َع ْن ُعْرَوَة َع ْن َعائِ َشةَ َر ِض َي ُ َْ َ َ ْفأ َ وس َ ْ ٌ َخبَ َرنَا َمال ُ ُاَّلل بْ ُن ي ِ ِ قَالَت َكا َن عْتبةُ ع ِه َد إِ ََل أ َّ َخ ِيه َس ْع ٍد أ ِ ك فَلَ َّما َكا َن َعا َ الْ َفْت ْ ِيدةِ َزْم َعةَ ِم ِِن فَاقْب َ َن ابْ َن َول َ ضهُ إِلَْي ْ َ َُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ال أَخي َوابْ ُن َولي َدة أَِب ُول َد َعلَى َ َل فيه فَ َقا َ َعْب ُد بْ ُن َزْم َعةَ فَ َق َ َخ َذهُ َس ْع ٌد فَ َق ََّ ِال ابْ ُن أَخي َع ِه َد إ َأ ِ اَّللِ ابن أ َخي قَ ْد َكا َن َع ِه َد ِ ِفَِر ِاش ِه فَتَ َس َاوقَا إِ ََل الن َ ال َس ْع ٌد يَا َر ُس َ اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق َّ صلَّى َ َِّب ُ ْ َّ ول ِ ِ ال عب ُد بن زمعةَ أ ِ ِ ََّ ِإ اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َّ صلَّى َ يدةِ أَِب ُولِ َد َعلَى فَِر ِاش ِه فَ َق َ َخي َوابْ ُن َول ُّ ِال الن َ َِّب َ ْ َ ُ ْ َْ َ َل فيه فَ َق ِ َ َاْلجر ُُثَّ ق ِ ِ ِ ِ ِ ك يَا َعْب ُد بْ َن َزْم َعةَ الْولَ ُد لِْل ِفر احتَ ِجِِب ِمْنهُ لِ َما َ َُه َو ل ْ َال ل َس ْوَد َة بِْنت َزْم َعة ُ َ َْ اش َول ْل َعاهر َ َ 40 ِ ِ َّ نها َح ََّّت لَِق َي َ َرأَى م ْن َشبَ ِهه بِ ُعْتبَةَ فَ َما َر َاَّلل Hadis ini memiliki konteks sosial yang mirip dengan contoh hadis pertama, namun hadis ini lebih spesifik terkait dengan wanita yang menjadi budak lalu disetubuhi oleh bukan pemiliknya. Pendekatan sosiologis dalam kasus hadis ini bisa dengan teori social class atau menurut Max Weber pembagian berdasarkan ekonomi.41 (3) Ukuran Kebaikan Sosial Bergantung Penilaian Orang Lain Ibn ‘Asa>kir (499-571 H) meriwayatkan: أخربنا أبو نرر غالب بن أمحد بن املسلم أنبأنا أبو عبد هللا بن إبراهيم بن ُممد بن أمين 39 Soerjono menyebutkan tiga hal tersebut di antara faktor yang menghalangi perubahan sosial, lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 284-286. 40 al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz IV, h. 191 (no. 6749); al-Suyu>t}iy, al-Luma‘.., h. 60. 41 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 205; Max Weber, Essays From Max Weber, diterjemahkan oleh Abd Qodir Shaleh dengan judul Teori dasar Analisis Budayawan (Yogyakarta: IRCISoD, 2013), h. 207-209. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 305 الدينوري أنبأنا أبو اْلسن علي بن موسى بن اْلسني بن السمسار إجازة أخربين أبو اخلري أمحد بن علي بن عبد هللا بن سعيد اْلمري اْلافظ حدثِن أبو بكر ُممد بن جعفر بن سعيد الرتمخي حدثنا اْلسن بن علي مبعان سنة ستني ومائتني حدثنا عبد الرزاق عن معمر عن اْلعمش عن شقيق بن سلمة عن عبد هللا بن مسعود قال أتى رجل النِب صلى هللا عليه وسلم فقال يا رسول هللا مَّت أكون ُمسنا قال إذا أثىن عليك جريانك أنك ُمسن فأنت ُمسن قال 42 فمَّت أكون مسيئا قال إذا أثىن عليك جريانك أنك مسئ فأنت مسئ Peristiwa di hadis ini merujuk pada kebaikan seseorang bergantung dengan penilaian sosial masyarakat padanya. Dengan latar belakang masyarakat Arab saat hadis ini muncul, mungkin dapat menerapkan teori tentang masyarakat bersahaja atau masyarakat yang terdiri dari gerombolan-gerombolan. Mereka menurut Durkheim disebut klen sebagai bagian terkecil yang tak dapat dibagi lagi, dan menjadi benih dari semua jenis sosial yang berkembang.43 Masyarakat Arab saat Islam muncul juga terdiri dari klen-klen atau dikenal dengan qabi>lah. Hadis di atas menarik untuk didekati secara sosiologis dengan melihat penggunaan kata جريانكapakah tetangga yang dimaksud adalah dari klen yang berbeda ataukah dari klen yang sama?, karena masyarakat saat itu menyemayatkan kata tersebut untuk klen lain yang melindungi mereka walau berbeda qabi>lah. c. Ilmu Ikhtila>f al-H{adi>s| ( ) علم إختَلف الحديث Ilmu yang secara spesifik ini membahas hadis-hadis yang nampak bertentangan, dengan menggunakan metode penyelesainnya melalui al-jam‘u, al-tarji>h}, al-na>sikh wa al-mansu>kh dan jalan terakhirnya al-tawaqquf yaitu menunda memberi keputusan terhadap Abu> Qa>sim Ali bin H{asan; Ibn ‘Asa>kir, Ta>ri>kh Dimasyq (Beirut: Da>r al-Fikr, cet I, 1998), juz 53, h. 93-94; Ibra>hi>m bin Muhammad al-Dimasyqiy, al-Baya>n wa alTa‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s| (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, cet I, 2003), h. 53-54. 43 Soerjono Soekanto, Emile Durkheim…, h. 80. 42 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 306 | Ja’far Assagaf suatu hadis sampai mendapatkan solusinya.44 Terlepas dari urutanurutan cara penyelesaian hadis yang kontradiktif, menarik dicermati metode al-jam‘u dan al-tarji>h}, sebab kedua metode ini menjadikan hadis manapun ‘bisa’ hidup dan diamalkan, sehingga al-Laknawiy ulama bermazhab Hanafi (w. 1304 H) berusaha meminimalisir keberadaan alna>sikh wa al-mansu>kh karena metode penyelesaian ini menjadikan ada hadis yang bakal tak terpakai dan atau ‘mati’.45 Di antara cara penyelesaian metode al-tarji>h} menurut al-A<midiy dan al-Ira>qiy (w. 806 H), kedua ulama sya>fi‘iyyah memunculkan langkah dengan menggunakan bantuan eksternal seperti kebiasan masyarakat dan sebagainya.46 Titik tolak pendekatan sosiologis semakin meyakinkan pemerhati hadis masa kini untuk menggunakannya melalui pola al-jam‘u dan dan terutama al-tarji>h terhadap hadis-hadis yang nampak kontradiktif secara lahir maupun maknanya. Berikut dapat disebutkan beberapa contoh hadis yang menggunakan kedua metode tersebut. (1) Larangan Ziarah Kubur dan Izin Menziarahinya Imam Muslim meriwayatkan ظ ِْلَِب بَ ْك ٍر َوابْ ِن َّ َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِب َشْيبَةَ َوُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْب ِد ُ اَّللِ بْ ِن ُُنٍَْري َوُُمَ َّم ُد بْ ُن الْ ُمثَ َّىن َواللَّ ْف ٍ ِ ِ ان وُهو ِضرار بْن مَّرَة َعن ُُمَا ِر ب بْ ِن ِدثَا ٍر َع ْن ابْ ِن َ ُُُنٍَْري قَالُوا َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ف ْ ُ ُ ُ َ َ َ َضْي ٍل َع ْن أَِب سن 47 ِ َّ اَّللِ صلَّى ِ ِ ِ …وها ُ ال َر ُس َ َال ق َ َبَُريْ َد َة َع ْن أَبِ ِيه ق َ ور َ َّ ول ُ اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم نَ َهْيتُ ُك ْم َع ْن زيَ َارة الْ ُقبُور فَ ُز Agaknya ahli hadis seperti al-Nawawiy (632-676 H) dan Ibn 44 Al-Sakha>wiy, Fath} al-Mugi>s,| jilid III, h. 471-475; Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar al-Asqala>niy (773-852 H), Nuzhah al-Naz}ar Syarh} Nukhbah al-Fikar, diberi notasi oleh Ish}a>q ‘Azu>r (Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990), h. 35-36. 45 Abu> al-H{asana>t; Muhammad ‘Abd al-H{ayyi al-Laknawiy, al-Ajwibah alFa>d}ilah li al-As'ilah al-‘Asyrah al-Ka>milah (Ha{lab: Maktabah al-Nahd}ah, 1984), h. 183, 193-196. 46 al-A<midiy, al-Ih}ka>m li al-A<midiy, jilid II, vol. IV, h. 359-379; Zainuddi>n ‘Abd al-Rah}i>m al-‘Ira>qiy, al-Taqyi>d wa al-I>d}a>h} (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991), h. 289. 47 Muslim bin H{ajja>j bin Muslim al-Naisa>bu>riy al-Qusyairiy (206-261 H), S{ah}i>h Muslim (Beirut: Da>r al-Fikr, 1993), jilid I, h. 429-430 (no. 977). Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 307 H{ajar (773-852 H) menggiring hadis ini pada konsep al-na>sikh wa almansu>kh dalam pengertian yang ketat yaitu yang dihapus (al-mansu>kh) tidak diamalkan lagi, sementara yang menghapus (al-na>sikh) diamalkan. Mereka cenderung melihat bahwa akhir dari ziarah kubur sesungguhnya adalah mengingat kematian, karena itu ziarah kubur diizinkan padahal di masa awal hal tersebut dilarang.48 Belum ada penjelasan tentang kenapa ziarah kubur pada awalnya diharamkan lalu pada akhirnya diizinkan? Kajian ini bisa melalui pendekatan konteks sosial dengan melihat misalnya kemungkinan larangan tersebut disebabkan masa awal Islam adalah masa transisi keimanan sementara kebiasaan orang-orang Arab saat berziarah melakukan aneka aktifitas yang menurut kacamata Islam hal-hal itu tidak baik, maka lahirlah larangan tersebut. Setelah melawati transisi tersebut, kekhawatiran itu tidak ada disebabkan fenomena sosial telah berubah sehingga ziarah kubur diizinkan. Konsep al-na>sikh wa al-mansu>kh bila bertujuan jika bertujuan di antaranya memudahkan umat sebagaimana klaim al-Zarkasyi (w. 794 H), maka ziarah kubur dibolehkan karena bagian dari sarana mengingat kematian, namun bila ziarah kubur menjadikan orang-orang tertentu harus bersusah payah mencari uang sehingga kebutuhan pokok mereka terabaikan maka konteks kebolehan ziarah kubur layak untuk ditinjau kembali atau bahkan dilarang. Begitu pula sebaliknya, jika fenomena tersebut tidak ada, maka ziarah kubur dibolehkan karena hukum asalnya demikian.49 Interpertasi ini dengan sendirinya menyempitkan ruang gerak konsep al-na>sikh wa al-mansu>kh. Untuk hadis di atas pendekatan sosiologis dapat dilakukan dengan studi tentang perubahan-perubahan sosial dan perubahanperubahan kebudayaan. Menurut Kingsley Davis bahwa perubahan Yah}ya> bin Syarafuddi>n al-Nawawiy, S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} al-Nawawiy, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), jilid, vol, h. ; Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar al-Asqala>niy (773852 H), Fath} al-Ba>riy bi Syarh} S{ah}i>h al-Bukha>riy (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), juz h. 49 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis), h. 64-65. 48 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 308 | Ja’far Assagaf sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, dan perubahan kebudayaan mencakup semua bagian.50 Teori ini memungkinkan peneliti hadis melihat apakah ziarah kubur merupakan kebudayaan masyarakat Arab secara umum ataukah suku-suku dan kabilah tertentu saja dan bagaimana kondisinya sebelum Islam. (2) Perintah Memerangi non Muslim sampai Mereka Beriman Imam al-Bukha>riy meriwayatkan: ال َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن ْ ال َحدَّثَنَا أَبُو َرْو ٍح َ َاْلََرِم ُّي بْ ُن ُع َم َارَة ق َ َي ق َّ َحدَّثَنَا َعْب ُد ُّ اَّللِ بْ ُن ُُمَ َّم ٍد الْ ُم ْسنَ ِد َِّ ول ِ ِ َ َواقِ ِد ب ِن ُُم َّم ٍد ق َّ ث َع ِن ابْ ِن ُع َمَر أ ال َ َاَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َّ صلَّى َ َن َر ُس ُ ت أَِب ُُيَد َ ْ َ ُ ال ََس ْع َ اَّلل ِ ِ ِ ِ َّ اَّللُ َوأ َّ ول ُ َن ُُمَ َّم ادا َر ُس َّ َََِّّاس َح ََّّت يَ ْش َه ُدوا أَ ْن ََ إِلَهَ إ َّ يموا َالر ًَلة ُ أُمْر ُ اَّلل َويُق َ ت أَ ْن أُقَات َل الن ِ ِْ ر ُموا ِم ِِن ِد َماءَ ُه ْم َوأ َْموا ََلُ ْم إََِّ ِِبَ ِق َّ َويُ ْؤتُوا اْل ْس ًَلِ َو ِح َسابُ ُه ْم َعلَى َ الزَكا َة فَِإ َذا فَ َعلُوا َذل َ ك َع َ 51ِ اَّلل َّ Hadis ini termasuk hadis yang paling dipolemikkan dewasa kini terkait kebebasan non Muslim memeluk agama tertentu. Islam yang mengklaim dirinya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (QS:alAnbiya>'; 107) dipertanyakan, begitu pula beberapa ayat maupun hadis yang justeru berisi toleransi kepada non Muslim. Kondisi ini belum lagi ditambah dengan fakta-fakta sejarah berisi banyaknya peperangan di masa Nabi Muhammad saw. Ulama seperti Ibn H{ajar telah menginterpertasikan maksud hadis tersebut di antaranya adalah perang untuk memperoleh pengakuan eksistensi Islam, demikian pula dengan Muhammad al-Gaza>liy (w. 1996 M) menyatakan bahwa perang bukanlah tujuan tapi sarana yang terpakai di saat-saat penting.52 Armstrong melihat dalam konteks sejarah sekaligus perubahan sosial bahwa perang di masa itu untuk mempertahankan diri mereka sendiri dan sebuah perubahan sosial saat itu tak mungkin terjadi kecuali Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 205 al-Bukha>riy, S{ah}i>h} al-Bukha>riy …, juz I, h. 13 (no. 25) 52 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis), h. 167, 171. 50 51 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 309 melalui peperangan.53 Apa yang dinyatakan Armstrong dapat ditelusuri fakta-fakta sejarah tentang terjadinya perang antara Muslim dengan non Muslim, yang secara komperhensip dapat dinyatakan perang terjadi lantaran penghianatan yang diawali oleh non Muslim kepada kaum Muslim.54 Selain pendekatan sejarah melalui fakta-faktanya, dapat digunakan pendekatan sosiologi misalnya tentang teori konflik, baik yang ditawarkan oleh Karl Max yang melihat masyarakat manusia dari sudut konflik sepanjang sejarah, atau teori konflik lainnya.55 Teori-teori tersebut diharapkan mampu membaca konteks sejarah dan sosial masyarakat Islam di masa Nabi saw dengan kondisi dua imperium besar; Romawi dan Persia yang senantiasa berusaha merongrong pihak lain termasuk Islam, selain hubungan kaum Muslim dengan kafir Quraisy dan Yahudi Madinah. Kajian living hadis dengan pendekatan sosiolgis juga dapat melihat bagaimana hadis ini bisa hidup dan bahkan gencar disuarakan oleh komunitas Islam tertentu, sehingga living hadis tidak hanya melihat fenomena atau kebiasaan masyarakat yang ternyata memiliki sumber hadis yang popular, tetapi juga melihat bagaimana hadis-hadis tertentu yang sudah dianggap s{ah}i>h} bisa hidup dan menjamur dengan pemahaman yang terkesan tekstual dan radikal. (3) Nikah mut‘ah Polemik mengenai nikah mut‘ah dalam hadis dapat ditelusuri kedua hadis berikut: pertama, hadis tentang Nabi saw telah melarang mut‘ah bersamaan dengan larangan memakan daging keledai jinak seperti riwayat al-Bukha>riy: 53 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis), h. 170. 54 Ja’far Assagaf, Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis), h. 168-169. Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 278-279; Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Islamic Sosiology; An Introduction, diterjemahkan oleh Hamid Basyaib (Bandung: Mizan, 1988), h. 22. 55 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 310 | Ja’far Assagaf ِ ِ ُ ِحدَّثَنَا مال اْلَ َس ُن بْ ُن ُُمَ َّم ِد بْ ِن ْ َخبَ َرِين ُ ي يَ ُق ُّ يل َحدَّثَنَا ابْ ُن ُعيَ ْي نَةَ أَنَّهُ ََِس َع َّ الزْه ِر ْ ول أ َ َ َ ك بْ ُن إ َْسَاع ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ٍ َّال َبْ ِن َعب َّ اَّلل بْ ُن ُُمَ َّمد َع ْن أَبِي ِه َما أ َِّب َ َاَّللُ َعْنهُ ق َّ َن َعليضا َرض َي َّ َخوهُ َعْب ُد َّ ِاس إِ َّن الن ُ َعل ٍي َوأ 56ر اْلَهلِي ِة زمن خيب ر ِ ْ ِاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّم نَ َهى َع ْن الْ ُمْت َع ِة َو َع ْن ُْلُو َّ صلَّى َ َ َْ َ َ ََ َّ ْ ْ اْلُ ُم َ Kedua, hadis tentang nikah mut‘ah dibolehkan alias halal seperti riwayat al-Bukha>riy: َِّ حدَّثَنا ُُم َّمد بن عب ِد ِ ٍ يع َوابْ ُن بِ ْش ٍر َع ْن إِ َْسَعِيل َع ْن قَ ْي س َْ ُ ْ ُ َ َ َ ٌ اَّلل بْ ِن ُُنٍَْري ا َْلَْم َد ِاينُّ َحدَّثَنَا أَِب َوَوك َ َِّ ول ِ َ َق ِ ول ُكنَّا نَ ْغزو مع رس َّ ِ َّ صلَّى س لَنَا نِ َساءٌ فَ ُق ْلنَا ُ اَّللِ يَ ُق َّ ت َعْب َد ُ ال ََس ْع َ اَّلل َُ ََ ُ َ اَّللُ َعلَْيه َو َسل َم لَْي ِ ِ ِ أَََ نَستَخ ِ ِ ِ ….57َج ٍل َ ري فَنَ َهانَا َع ْن ذَل ْ ْ َ ص لَنَا أَ ْن نَْنك َ الْ َمْرأَةَ بالث َّْوب إ ََل أ َ ك ُُثَّ َر َّخ Kedua hadis kotradiktif tersebut diselesaikan dengan cara al-na>sikh wa al-mansu>kh bahwa pada akhirnya nikah tersebut dilarang sebagaimana pendapat mayoritas ulama kecuali Syi’ah.58 Untuk menelusuri hadis tersebut layak dilakukan pendekatan sosiologis misalnya dengan mengajukan dua hipotesa: pertama, mengkomparatifkan sebab terjadinya nikah mut‘ah saat itu karena sahabat Nabi saw pergi berperang sementara mereka jauh dari isteriisteri mereka sebagaimana nampak di hadis pertama. Jika analisa ini di terima, maka di masa kini melalui pendekatan sosiologis terkait dengan kebutuhan sex maka masih dimungkinkan nikah mut‘ah dibolehkan bagi mereka yang sedang melakukan studi di suatu tempat sementara isteriisteri mereka tidak menyertai mereka. Kedua, melihat konteks sosial masyarakat saat itu yang memiliki lembaga-lembaga keamsyarakatan seperti lembaga perkawinan sebelum datangnya Islam, yaitu seorang suami mengizinkan isterinya disetubuhi lelaki lain, dan lelaki itulah yang akan memberi turunan pada suami dan isteri tersebut,59 dan atau lelaki saat itu al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz III, h. 260 (no. 5115 ) Muslim, S{ah}i>h…, jilid I, h. 640 (no. 1404). 58 Al-Nawawiy, Syarh} Muslim…, jilid V, vol. IX, h. 151-153; Ibn H{ajar, Fath} al-Ba>riy …, juz X, h. 209-213. 59 Salah satu dari empat model pernikahan di zaman Jahiliyyah. Adapun yang 56 57 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 311 memiliki banyak isteri (poligami), sehingga nikah mut‘ah adalah solusi sementara agar kaum pria tidak semena-mena melakukan hubungan dengan wanita yang bersuami sekaligus membatasi angka yang diizinkan untuk berpoligami. Konsekunsi dari pemahaman ini adalah nikah mut‘ah tetap menjadi haram sampai kapanpun. (4) Hukuman Mati Bagi Pelaku Murtad Pelaku murtad dalam fiqh Islam akan dieksekusi beradasarkan teks beberapa hadis Nabi saw. Secara faktual di masa Nabi saw eksekusi yang terjadi pada Yahudi di Yaman yang murtad terjadi tanpa sepengetahuan Nabi saw, sementara eksekusi mati pada beberapa orang dari suku ‘Ukl dan ‘Urainah disebabkan kedua suku tersebut melakukakn kejahatan publik dengan membunuh Yasa>r al-Naubi pengembala yang diperintahkan oleh Nabi saw untuk menemani kedua suku di atas.60 Dua eksekusi terhadap pelaku murtad tersebut bertolak belakang dengan amnesty yang Rasulullah saw berikan pada ‘Abdullah bin Abi Sarh} (w. 57 H) lantaran adanya permohonan ‘Us|ma>n bin ‘Affa>n (w. 35 H). sebagaimana hadis berikut: ِ َمحَ ُد بْ ُن الْ ُم َفض ال َز َع َم َ َر ٍر ق َ ََّل ق َ ََحدَّثَنَا ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِب َشْيبَةَ ق ْ ال َحدَّثَنَا أ ْ ََسبَا ُط بْ ُن ن ْ ال َحدَّثَنَا أ َِّ ول ِ ر َع اَّلل َّ صلَّى ُ ال لَ َّما َكا َن يَ ْوُ فَْت ِ َم َّكةَ أ ََّم َن َر ُس َ َب بْ ِن َس ْع ٍد َع ْن َس ْع ٍد ق ُّ الس ِد ُّ ْ ي َع ْن ُم َ اَّلل ِ ْ ني و ََسَّاهم وابن أَِب سرٍح فَ َذ َكر ِ َعلَْي ِه وسلَّم الن ِ ال َوأ ََّما ابْ ُن أَِب َ َيث ق َ اْلَد ْ َ ُ ْ َ ْ ُ َ ْ ََّاس إََّ أ َْربَ َعةَ نَ َف ٍر َو ْامَرأَت َ َ َ ََ ِ َّ ِ َّ صلَّى َّاس إِ ََل َّ ول ُ اختَبَأَ ِعْن َد ُعثْ َما َن بْ ِن َعفَّا َن فَلَ َّما َد َعا َر ُس ْ َُسْرٍح فَِإنَّه َ اَّلل َ اَّلل َعلَْيه َو َسل َم الن ِاَّلل َِّ ول ِ الْب ي ع ِة جاء بِِه ح ََّّت أَوقَ َفه َعلَى رس َّ اَّللِ بَايِ ْع َعْب َد َّ ِب َ اَّلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َق َّ صلَّى َّ َِال يَا ن ُ ْ َ َ َ َ َْ َ اَّلل َُ tiga yaitu: (1) pernikahan seperti sekarang ini yang kita kenal; (2) beberapa lelaki (sekitar 10 orang) menyetubuhi wanita, saat wanita itu hamil ia menunjuk ayah dari bayi yang dikandungnya pada salah satu lelaki yang telah menyetubuhinya; (4) dengan pelacur. ihat: al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz III, h. 262-263 (no. 5127). 60 Ja‘far assagaf, Kontekstualisasi Hukum Murtad dalam Perspektif Sejarah Sosial Hadis dalam Jurnal Ijtihad; Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan (Salatiga: STAIN Salatiga, Juni 2014), vol. 14, no 1, h. 23-25, 33-35. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 312 | Ja’far Assagaf ِ ٍ ال أ ََما َكا َن َ َص َِابِِه فَ َق َ فَ َرفَ َع َرأْ َسهُ فَنَظََر إِلَْي ِه ثًََلثاا ُك ُّل ذَل ْ ك يَأْ ََب فَبَايَ َعهُ بَ ْع َد ثًََلث ُُثَّ أَقْ بَ َل َعلَى أ ِ ت يَ ِدي َع ْن بَْي َعتِ ِه فَيَ ْقتُلُهُ فَ َقالُوا َما نَ ْد ِري يَا ُ في ُك ْم َر ُج ٌل َرِشي ٌد يَ ُقوُ إِ ََل َه َذا َحْي ُ ث َر ِنين َك َف ْف َِّ ول ِ ُ ال إِنَّهُ ََ يَْنبَغِي لِنَِ ٍِب أَ ْن تَ ُكو َن لَهُ َخائِنَةُ ْاْل َْع ني َ َك ق َ َر ُس َ ِت إِلَْي نَا بِ َعْين َ اَّلل َما ِِف نَ ْف ِس َ ْك أَََ أ َْوَمأ 61 ِ َِّ ال أَبو داود َكا َن عبد ِ َخا ُعثْ َما َن ِم َن اعة ُ َْ َ الر َ َ َق َض َ اَّلل أ Pendekatan sosiologis tentang klen dan kelompok gerombolan dari Durkheim seperti telah disebutkan, akan menjadi menarik disebabkan masyarakat Arab saat itu memang menjadikan kepala suku atau yang dianggap senior dari suatu kabilah sebagai tempat mereka mencari perlindungan, terlebih Ibn Abi> Sarh} di ini adalah saudara sesusuan dari ‘Us|ma>n bin ‘Affa>n ra. (5) Tentang Bersyair Dua hadis yang kontradiktif tentang bersyair diriwayatkan oleh imam al-Bukha>riy sebagai berikut ِ َّ الر ْمحَ ِن أ َن َ َالزْه ِر ِي ق ُّ ب َع ْن َّ َخبَ َرِين أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن َعْب ِد ْ ال أ ْ ) َحدَّثَنَا أَبُو الْيَ َمان أ1( ٌ َخبَ َرنَا ُش َعْي ِ َّ َخبَ َرهُ أ َّ َخبَ َرهُ أ ُب بْ َن ْ َمْرَوا َن بْ َن َّ َن َعْب َد ََّ َن أ َ َُس َوِد بْ ِن َعْبد يَغ ْ وث أ ْ اْلَ َك ِم أ ْ الر ْمحَ ِن بْ َن ْاْل ٍ َك ْع ْبأ َُخبَ َره 62 َِّ ول ِ ال إِ َّن ِمن َّ أ َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َّ صلَّى َ َن َر ُس الش ْع ِر ِح ْك َمةا َ اَّلل ْ َِّ )حدَّثَنا عب يد2( ٍِ َخبَ رنَا َحْنظَلَةُ َع ْن َس اَّللُ َعْن ُه َما َّ اِل َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َر ِض َي ُ ْ َُ َ َ َ اَّلل بْ ُن ُم َ ْ وسى أ َح ِد ُك ْم قَْي اِا َخْي ٌر لَهُ ِم ْن أَ ْن ِ َِع ْن الن َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق َّ صلَّى ُ ال َْلَ ْن ميَْتَلِ َئ َج ْو َ َِّب َفأ 63 ِ ِ ميَْتَل َئ ش ْعارا Ulama telah menjelaskan bahwa maksud dari kedua hadis di atas adalah larangan bersyair yang berisi hal-hal yang diharamkan oleh Islam dan atau orang yang senantiasa suka bersyair dan karena aktifitasnya Abu> Da>ud Sulaiyma>n bin Asy‘as|| al-Sijista>niy (w. 275 H), Sunan Abi> Da>ud (Beirut: Da>r al-Fikr, 2003), juz II, h. 410 (no. 2683, lihat juga no. 2684). 62 al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz IV, h. 84 (no. 6145) 63 al-Bukha>riy, S{ah}i>h…, juz IV, h. 86 (no. 6154) 61 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 313 tersebut dia menjadi lalai dari mengingat Allah swt. Namun jika syair yang lantunkan tidak berisi hal-hal yang dilarang dan tidak melalaikan pelantunnya maka hal tersebut tidak dilarang.64 Dalam kaitan ini, Muhammad al-Gaza>liy menyatakan mungkin karena banyaknya keburukan yang selama ini terjadi di seputar nyanyian maka ulama banyak yang mengharamkan nyanyian sementara dalil tentang pengharamannya tidak kami temukan.65 Studi tentang kedua hadis ini selama ini selain mempertanyakan makna syair yang dilarang maupun yang dibolehkan juga mengenai transformasi hadis yang tidak lengkap dari perawi tertentu.66 Kedua hadis di atas dapat dianalisa misalnya melalui pendekatan sosiologis mengenai budaya seni yang berkembang di suatu masyarakat dengan gerak kebudayaan akibat adanya penemuan-penemuan baru dalam hal ini ide atau gagasan yang diciptakan seorang individu,67 baik gagasan itu terkait dengan agama maupun lainnya. D. Konklusi Studi hadis dengan pendekatan sosiologis merupakan suatu keniscayaan, langkah ini menjadi kombinasi yang menarik dengan ilmuilmu hadis yang sudah ada agar hadis dapat dipahami secara kontekstual sesuai dengan kondisi sebenarnya saat sebuah hadis muncul. Kondisikondisi masyarakat masa itu ditelaah dengan berbagai pendekatan sosiologis, baik politik, teori konflik, bahasa dan sebagainya untuk memperoleh ajaran Islam yang bersesuaian dengan misi universalnya yaitu rah}matan li al-‘a>lami>n dan hadis menjadi bagian yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Al-Nawawiy, Syarh} Muslim…, jilid VIII, vol. XIV, h.11-12; Ibn H{ajar, Fath} al-Ba>riy …, juz XII, h. 174-175, 184-186. 65 Muh}ammad al-Gaza>liy, al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adi>s|, (Cairo: Da>r al-Syuru>q, 1992), h. 90. 66 Musfir ‘Azmullah al-Ddimyaniy, Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-H{adi>s| (Riya>d}: t.p, 64 1984), h. 105-106. 67 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 274. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 314 | Ja’far Assagaf KEPUSTAKAAN Al-Qur’an ‘Abd Qa>dir, Muhammad al-‘Aru>siy. Af‘a>l al-Rasu>l saw. wa Dila>latuha> ‘ala> Ah}ka>m. Jeddah: Da>r al-Mujtama‘, cet. I, 1984. Abu> Zahw, Muhammad Muhammad. al-H{adi>s| wa al-Muh}addisu>n. Cairo: al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, t.th. al-A<midiy, Abu> H{asan ‘Ali bin Muhammad. al-Ih}ka>m li al-A<midiy. Jilid II. Vol IV. Beirut: Da>r al-Fikr, 2003. al-Asqala>niy, Ah}mad bin ‘Ali; Ibn H{ajar. Fath} al-Ba>riy bi Syarh} S{ah}i>h al-Bukha>riy. Juz X, XII. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000. ____________. Nuzhah al-Naz}ar Syarh} Nukhbah al-Fikar. Diberi notasi oleh Ish}a>q ‘Azu>r. Cairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, 1990. Assagaf, Ja’far. Jejak-Jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis). Cet II. Sukoharjo: Fataba Press, 2015. _____________, Jurnal Ijtihad; Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. Vol 14. No 1. Salatiga: STAIN Salatiga, Juni 2014. ‘At}iyyah, Muh}yiddin et al. Dali>l Muallifa>t al-H{adi>s| al-Syari>f alMat}bu>‘ah al-Qadi>mah wa al-H{adi>s|ah. Jilid I. Beirut: Da>r Ibn H{azm, cet I, 1995. Biek, Muhammad Khud}ariy Us}ul> al-Fiqh. Mesir: Maktabah al-Tija>rah al-Kubra>, 1962. al-Bukha>riy, Muh}ammad bin Isma>‘i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>riy bi H{a>syiah alSindiy. Juz I-IV. Beirut: Da>r al-Fikr, 1995. Chaer, Abdul & Leonie Agustina. Sosiolinguistik Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. al-Ddimyaniy, Musfir ‘Azmullah. Maqa>yi>s Naqd Mutu>n al-H{adi>s|. Riya>d}: t.p, 1984. al-Dimasyqiy, Ibra>hi>m bin Muhammad. al-Baya>n wa al-Ta‘ri>f fi> Asba>b Wuru>d al-H{adi>s|. Cet I. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, 2003. al-Gaza>liy, Muh}ammad. al-Sunnah al-Nabawiyyah bayna Ahl al-Fiqh Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Studi Hadis dengan Pendekatan Sosiologis: Paradigma Living Hadis | 315 wa Ahl al-H{adi>s|. Cairo: Da>r al-Syuru>q, 1992. Ibn ‘Asa>kir, Abu> Qa>sim Ali bin H{asan. Ta>ri>kh Dimasyq. Juz 53. Beirut: Da>r al-Fikr, cet I, 1998. Ibn al-As|i>r, Majd al-Ddi>n; Muba>rak bin Muh}ammad. Al-Niha>yah fi> Gari>b al-H{adi>s| wa al-As|ar . Jilid II. Beirut: Da>r al-Fikr, 1979. Ibn Khaldu>n, Abu> Zaid ‘Abd Rah}ma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-H{ad}ramiy al-Isybi>liy. Muqaddimah; al‘Ubr wa Di>wa>n al-Mubtada’ wa al-Khabar fi> Ayya>m al‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Turas| al-‘Arabiy, cet IV, t.th. al-‘Ira>qiy, Zainuddi>n ‘Abd al-Rah}i>m. al-Taqyi>d wa al-I>da} >h}. Beirut: Da>r al-Fikr, 1991. al-‘Itr, Nu>ruddi>n. Manhaj al-Naqad ‘inda al-Muh}addisi>n. Beirut: Da>r alFikr al-Mu‘a>s}irah; 1997. al-Laknawiy, Abu> al-H{asana>t; Muhammad ‘Abd al-H{ayyi. al-Ajwibah al-Fa>d}ilah li al-As'ilah al-‘Asyrah al-Ka>milah. Ha{lab: Maktabah al-Nahd}ah, 1984. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014. al-Nawawiy, Yah}ya> bin Syarafuddi>n. S{ah}i>h} Muslim bi Syarh} alNawawiy. Jilid V. Vol IX, VIII. Vol. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000. al-Qusyairiy, Muslim bin H{ajja>j bin Muslim al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h Muslim. Jilid I. Beirut: Da>r al-Fikr, 1993. Ratna SU, Nyoman Kutha. Metodologi Penelitian; Kajian Budaya dan Ilmu Sosial, Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. al-Sakha>wiy, Abu> al-Khair; Muh}ammad bin ‘Abd Rah}ma>n. Fath} alMugi>s| bi Syarh} Alfiyah al-H{adi>s|. Jilid IV. Riya>d}: Maktabah Da>r al-Minha>j, cet I, 1426 H. al-Sijista>niy, Abu> Da>ud Sulaiyma>n bin Asy‘as||. Sunan Abi> Da>ud. Juz II. Beirut: Da>r al-Fikr, 2003. Soekanto, Soerjono. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 316 | Ja’far Assagaf Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993. Emile Durkheim; Aturan-Aturan Metode Sosiologis. Jakarta: Rajawali, 1985. _______________. Kamus Sosiologi: Edisi Baru. Jakarta: Rajawali _______________. Press, 1993. Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi; Suatu Pengantar Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cet 46. 2014. Suryasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. al-Sya>t{ibiy, Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m bin Mu>sa> al-Lakhmi>y al-Gharna>t}iy. alMuwafaqa>t fi> Us}ul> al-Syari>‘ah. Juz IV. Beirut: Da>r alMa‘rifah, t.th. al-Syauka>niy, Muhammad bin ‘Ali. Irsya>d al-Fuh}u>l. Diedit oleh Muhammad Sa‘i>d al-Badriy. Beirut: Da>r al-Fikr, cet. I, 1992. al-Suyu>t}iy, ‘Abd Rah{man bin Abu> Bakar, al-Luma‘ fi> Asba>b Wurud alH{adi>s. Beirut: Da>r al-Fikr, 1996. Weber, Max. Essays From Max Weber. Diterjemahkan oleh Abd Qodir Shaleh dengan judul Teori dasar Analisis Budayawan. Yogyakarta: IRCISoD, 2013.. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS DALAM STUDI LIVING HADITS Masykur Wahid IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email: [email protected] Abstract: This paper discusses about Ricoeur’s phenomenological hermeneutics. It is a method based on the text interpretation. Author interested in the phenomenon of religiosity in the study of living hadith. It raises the question, what is Ricoeur's phenomenological hermeneutics and how it can be applied? Ricoeur's phenomenological hermeneutics is a synthesis of hermeneutics and phenomenology. In its application, utilizing the text paradigm, the interpretation should be developed through three stages: semantics, reflective and existential. It concludes that the phenomenological hermeneutics can analyze the phenomenon of religiosity that produces eschatology. Abstrak: Tulisan ini menjelaskan hermeneutika fenomenologi ala Ricoeur. Hermeneutika fenomenologis sebagai metode yang didasarkan pada interpretasi teks. Dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada fenomena religiusitas di dalam studi living hadits. Memunculkan pertayaan, apa itu hermeneutika fenomenologis Ricoeur? dan bagaimana hermeneutika fenomenologis dapat diterapkan? Hermeneutika fenomenologis Ricoeur merupakan sintesis dari hermeneutika dan fenomenologi. Dalam penerapannya, dengan paradigm teks, interpretasi harus melalui tiga tahap, semantik, reflektif dan eksistensial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hermeneutika fenomenologi dapat menganalisis fenomena religiuistas yang memproduksi eskatologi. 317 318 | Masykur Wahid Kata-kata kunci: Hermenenutika fenomenologis, Ricoeur, fenomena religiusitas A. Pendahuluan Fenomena pembacaan shalawat diba’ di Nusantara merupakan fenomena unik dan menarik. Keunikannya, pembacaan shalawat diba’ diyakini sebagai tradisi masyarakat Islam yang sakral dan dipraktikkan secara turuntemurun sejak para Walisongo hingga era globalisasi ini. Menariknya, pembacaan shalawat diba’ memiliki jaringan global dari kutub Timur hingga kutub Barat di dunia dengan ragam tradisi yang berbeda-beda. Fenomena seperti ini dapat dijadikan sumber penelitian dalam studi living hadits. Living hadits menandaskan hadits senantiasa berkembang dinamis sesuai dinamika perkembangan manusia pada setiap zaman. Dinamika hadits sesuai dengan penggunaan model interpretasi terhadap hadits. Model interpretasi tergantung pada bentuk hermeneutikanya yang dari zaman ke zaman mengalami pergeseran. Ada lima bentuk hermeneutika: Hermeneutika romantis, hermeneutika ontologis-eksistensial, hermeneutika fenoemenologis, hermeneutika kritis, dan hermeneutika materialistis. Hadits telah mengalami fiksasi makna, yang tertulis dalam teks. Tepat, jika studi living hadits mengaitkan dengan hermeneutika fenomenologis, karena hermeneutika fenomenologis yang ditemukan oleh Paul Ricoeur, seorang filsuf Perancis, didasarkan pada interpretasi teks. Tulisan ini menjelaskan apa itu hermeneutika fenomenologis ala Paul Ricoeur? Bagaimana hermeneutika fenomenologis dapat diterapkan? Berdasarkan dua pertanyaan itu, ada tiga bahasan yang dipaparkan di sini, yaitu sekilas studi living hadits, hermeneutika fenomenologis, dan tahapan hermeneutika fenomenologi. B. Sekilas Studi Living Hadits Term “living hadits” diambil dari term “living al-Qur’an.” Living hadits diartikan sebagai “fenomena yang tampak di dalam masyarakat berupa polapola perilaku yang bersumber dari dan/atau sebagai respons pemaknaan Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 319 terhadap hadist.” Dikatakan studi living hadits disebabkan adanya pergeseran wilayah kajian, dari kajian tekstual menuju kajian sosial budaya.1 Studi ini membuka cakrawala pengritik hadits untuk terlibat langsung di dalam menafsirkan hadits, karena pengritik hadits juga bagian dari konstruksi sosial budaya masyarakat. Dengan pendekatan partisipatif, pengritik hadits mampu menemukan kondisi sosial budaya masyarakat secara kontekstual. Hadits kontekstual menjelaskan apa dan kenapa hadits dipraktikkan. Hadits atau sunnah, menurut pandangan ulama muta’akhirin, diartikan sama, yaitu “segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW”.2 Studi living hadits sudah banyak diterapkan di lingkungan PTKI. Fenomena tradisi shalawatan diba’ sudah diteliti di Majlis Shalawat Diba’ bil Musthafa, Krapyak, Yogyakarta. Dalam hasil penelitiannya, tradisi pembacaan shalawat diba’ bukan hal yang baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin (NU). Pembacaan shalawat banyak dilakukan dalam acara maulud Nabi Muhammad SAW. Dalam perkembangan selanjutnya, tradisi ini dilakukan dalam acara tasyakuran, dan lain sebagainya. Di daerah Krapyak, terdapat majelis shalawat diba’ bil Musthafa yang rutin melakukan tradisi shalawatan ini pada setiap minggunya. Menurut Aini, pada dasarnya pembacaan shalawat tersebut sebagai ritual bershalawat yang merupakan ekspresi umat terhadap hadist-hadist Rasulullah.3 Hadist dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada” (H.R. Abu Daud No. 2042 dan Ahmad 2: 367). Selain itu, landasan yang dijadikan shalawatan yang diadakan setiap minggu, hadist dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, h.193 2 Salih, Subhi. 1988. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm lilMalayin, h.3-5 3 Aini, Adrika Fithrotul. 2014. “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa” dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies. Vol. 2, No.1, Juni, h.222 1 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 320 | Masykur Wahid yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah mengucapkan sholawat kepadanya 10 kali” (H.R. Muslim no. 408). C. Hermeneutika Fenomenologis Term “hermeneutika” (hermeneutics), dalam Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy,4 berasal dari bahasa Yunani herméneuein yang merupakan derivasi dari kata kerja hermeneuô yang berarti “mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, dan menerjemahkan.” Kata sifatnya, hermeneuticos dan kata bendanya herméneia, berarti “penafsiran” dan “interpretasi”.5 Term hermeneutika (hermeneutics) dibedakan dari term hermeneutik (hermeneutic). Penulis lebih memilih istilah hermeneutics daripada hermeneutic, karena istilah hermeneutics menunjukkan wilayah kerja hermeneutika.6 Term hermeneutics juga menunjukkan pada bidang hermeneutika secara umum. Sedangkan, term hermeneutic menunjukkan teori tertentu, misalnya hermeneutik Bultmann. Selain itu, term hermeneutics itu dapat dibedakan dari kata sifat hermeneutic atau hermeneutical, karena kata sifat itu tetap tampak sebagai kata sifat kecuali disertai dengan “the” atau beberapa modifikasi. Sedangkan, term hermeneutic memberi kesan pada aturan dan teori. Argumentasi itu tidak mempersoalkan alasan filosofis. Alasan filosofis memperhatikan pada penggunaan huruf “s” pada kata akhir hermeneutics, karena term hermeneutics disamakan dengan istilah arithmetics atau pun rhetorics yang tetap menunjukkan bidang umum. Sementara itu, term hermeneutic merupakan bentuk singular perempuan dalam bahasa modern yang lain (Jerman, hermeneutik – Prancis, herméneutique) yang berasal dari bahasa Latin hermeneutica. Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy. 2000. London & New York: Routledge, h.348 5 Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jilid I. Jakarta: Gramedia, h.224. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993, h.23 6 Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press, h. xiv 4 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 321 Richard E. Robinson menegaskan bahwa menghilangkan huruf “s” dapat mendorong arah baru bagi teori hermeneutis, yang dapat disebut Hermeneutik Baru.7 Dengan mengikuti pemikiran tersebut, term hermeneutics dalam paper ini menunjukkan bidang umum yang dapat disamakan dengan term physics, politics, economics, maupun ethics. Dalam perspektif mitologi Yunani, term herméneuein berasal dari nama dewa “Hermes,” tokoh mitos Yunani, yang bertugas menjadi perantara antara dewa Zeus (dewa keteraturan) dan manusia. Pada waktu itu, Hermes dihadapkan pada persoalan yang sulit, ketika harus menyampaikan pesan Zeus kepada manusia. Hermes menjelaskan bagaimana bahasa Zeus yang menggunakan “bahasa langit” supaya dapat dimengerti oleh manusia yang menggunakan “bahasa bumi.” Dengan cerdik dan bijaksana, Hermes menafsirkan atau menginterpretasikan bahasa Zeus ke dalam bahasa manusia, sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci. Kata “teks” berasal dari bahasa Latin, yang berarti “produk tenunan” atau “pintalan.” Dalam konteks ini, yang dipintal oleh Hermes adalah gagasan dan kata-kata supaya diproduksi sebuah narasi dalam bahasa manusia yang bisa dipahami oleh manusia.8 Pada pemikiran yang lain, Hermes itu diinterpretasikan sebagai seorang duta yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermens diilustrasikan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, Hermes lebih dikenal dengan sebutan Mercurius. Tugas Hermes ini menginterpretasikan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Tugas Hermes sangat penting, karena apabila terjadi kesalahpahaman terhadap pesan-pesan dewa tersebut dapat mengakibatkan bahaya bagi seluruh umat manusia. Dalam Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern 7 University Press, h. xiv 8 Crapanzano, Vincent. 1992. Hermes’ Dilemma and Hamlet’s Desire: On the Epistemology of Interpretation. Cambridge: Harvard University Press, h.16. Bauman, Zygmun. 1978. Hermeneutics and Social Science. New York: Columbia, University Press, h. 76. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 322 | Masykur Wahid konteks itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh manusia. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu diinterpretasikan.9 Kedua pemikiran tersebut sama-sama memperhatikan interpretasi terhadap pesan dewa sebagai teks suci. Pada substansinya, Hermes yang menyampaikan pesan dewa kepada manusia itu, dapat dikatakan bahwa: “Ia tidak hanya mengatakan kepada mereka, kata demi kata saja, tetapi juga bertindak sebagai interpreter yang membuat katakata dewa dapat dimengerti dengan jelas (dan bermakna) yang dapat memunculkan beberapa klarifikasi atau lainnya, tambahan, komentar”.10 Dalam konteks Hermes itu, hermeneutika secara konsekuen terikat dengan dua tugas. Pertama, memastikan isi makna kata, kalimat, atau teks. Kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terkandung di dalam bentuk simbolis. Hermeneutika secara sporadis muncul dan berkembang ketika interpretasi diperlukan untuk menerjemahkan literatur otoritatif dalam kondisi-kondisi yang tidak mungkin diakses, karena persoalan jarak ruang dan waktu atau perbedaan bahasa. Dengan mengikuti maksud itu, makna asli teks dapat saja diperdebatkan atau tetap tersembunyi, sehingga diperlukan penjelasan interpretatif supaya transparan. Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika pada awalnya dipergunakan dalam tiga jenis kapasitas. Pertama, untuk membantu pembahasan mengenai bahasa teks, yang memunculkan filologi. Kedua, untuk memfasilitasi penafsiran literatur Kitab Suci. Ketiga, untuk menuntun yurisdiksi.11 Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993, h.23-24 10 Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, h. 11 11 Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, h. 11. 9 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 323 Secara sederhana hermeneutika, sebagaimana yang didefinisikan oleh Bruns, adalah “sebuah tradisi pemikiran atau refleksi filosofis yang mencoba mengklarifikasi konsep verstehen, yaitu pemahaman”.12 Berdasarkan pada isi interpretasi dan pemahaman, disiplin ilmu yang pertama dan yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir Kitab Suci. Semua Kitab Suci yang mendapatkan inspirasi ilahi, seperti al-Qur’an, Injil: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Taurat, Talmud, Veda, dan Upanishad, supaya dapat dipahami, maka diperlukan interpretasi. Interpretasi yang digunakan sangat tergantung pada bagaimana hermeneutika dioperasionalkan. Secara historis hermeneutika dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu hermeneutika kuno dan hermeneutika modern. Dalam hermeneutika kuno, para filsuf memperhatikan masalah interpretasi dan pemahaman terhadap “apa yang diucapkan”. Hermeneutika kuno ini dapat ditelusuri sejarahnya pada pemikiran filosofis Plato, Aristoteles, dan Philo. Dalam hermeneutika modern, para filsuf dan pemikir lainnya lebih jauh memperhatikan masalah interpretasi dan pemahaman terhadap “teks dari apa yang diucapkan”. Hermeneutika modern ini dapat ditelusuri sejarahnya pada pemikiran filosofis Ast, Wolf, Schleiermacher, Dilthey, Betti, Heidegger, Bultmann, dan Gadamer. Hermeneutika fenomenologis (phenomenological hermeneutics) atau fenomenologi hermeneutik (hermeneutical phenomenogy) merupakan dua term yang sama. Term itu ditujukan kepada hermeneutika dan fenomenologi dari Paul Ricoeur.13 Hermeneutika fenomenologis merupakan sintesis dari hermeneutika dan fenomenologi. Sambil mengkritik idealisme Edmund Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak Bruns, Gerald L. 1992. Hermeneutics: Ancient and Modern (New Haven and London: Yale University Press, h. 1 13 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.2005 12 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 324 | Masykur Wahid tergantikan bagi hermeneutika. Sebaliknya, fenomenologi tidak dapat menjalankan cara kerjanya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh, tanpa penafsiran terhadap pengalamanpengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu, dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan “kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek ‘memaknai’ obyek-obyek di sekitarnya.” Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutika terlibat di sana. Oleh sebab itu, pada dasarnya, fenomenologi dan hermeneutika saling melengkapi. Dengan pemikiran itu, Ricoeur mengembangkan hermeneutika fenomenologis. Hermeneutika fenomenologis didasarkan pada interpretasi teks. Hermeneutika didefinisikan oleh Ricoeur adalah “teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi teks”.14 Di samping itu, Ricoeur mengartikan hermeneutika adalah “interpretasi terhadap simbol-simbol”.15 Ricoeur memperluas definisi tersebut dengan lebih memperhatikan kepada “teks.” Teks (text) adalah “suatu diskursus yang difiksasi dengan tulisan”. Fiksasi dengan tulisan merupakan ketentuan teks itu sendiri.16 Teks sebagai penghubung antara tanda dan simbol yang dapat membatasi ruang lingkup hermeneutika di mana budaya lisan dapat dipersempit. Dalam konteks tersebut, hermeneutika hanya berhubungan dengan kata-kata yang tertulis sebagai pengganti kata-kata yang diucapkan. Definisi yang tidak terlalu luas itu justru memiliki intensitas.17 Interpretasi teks yang dimaksud adalah “sebuah pembacaan makna yang tersembunyi di dalam teks yang mengandung makna yang Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h. 53 15 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h. 17 16 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.106 17 Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.193 14 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 325 tampak.18 Pengoperasian pemahaman (ketika menginterpretasikan teks) dilakukan di dalam “lingkaran hermeneutika”. Lingkaran hermeneutika dipahami sebagai penempatan kembali penjelasan dan interpretasi dengan konsep global yang menyatukan “penjelasan dan pemahaman” dalam pembacaan teks untuk dapat menemukan makna dan sense-nya. Lingkaran hermeneutika Ricoeur ini merupakan kombinasi hermeneutika romantis dan hermeneutika ontologis-eksistensial. Lingkaran hermeneutika romantis dipahami sebagai alat metodologis dalam interpretasi yang mempertimbangkan semua aspek yang berhubungan dengannya. Lingkaran hermeneutika ontologiseksistensial dipahami sebagai kondisi pemahaman ontologis; secara umum hasil dari komunitas yang mengikat kita dengan tradisi, dan secara khusus objek penjelasan kita; menghubungan antara keberakhiran dan universalitas, dan antara teori dan praktik.19 Hermeneutika fenomenologis Ricoeur didasarkan pada interpretasi teks. Interpretasi teks Ricoeur telah memberikan sebuah metode hermeneutika baru untuk menginterpretasikan teks. Dengan melakukan interpretasi terhadap teks berarti telah melakukan pemahaman teks melalui struktur semantik. Inti interpretasi teks dalam hermeneutika fenomenologis ada dalam paradigma teksnya, yang dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman), (b) makna teks terlepas dari maksud pengarang, (c) teks melakukan dekontekstualisasi diri dari lingkup sosial dan sejarahnya, dan (d) teks terbebas dari batas-batas referensi ostensif. Empat paradigma teks tersebut menjadikan “teks sebagai tindakan penuh makna dan otonom”, sehingga tindakan manusia (pengalaman) tampak sebagai karya terbuka. Paradigma teks tersebut dapat dijelaskan dalam lingkaran hermeneutika dengan bagan berikut ini: Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, h.22 19 Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul, h.267 18 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 326 | Masykur Wahid [a] Fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman) [d] Teks terbebas dari referensi ostensif TEKS [b] Makna teks terlepas dari intensi pengarang Dekontekstualisasi teks dari lingkup sosial dan sejarah [c] Bagan. Lingkaran Hermeneutika Fenomenologis Interpretasi teks dalam hermeneutika Ricoeur sebagai karakteristiknya ketika dia menginterpretasikan eksistensi dalam hermeneutika fenomenologisnya. Interpretasi sendiri adalah masalah khusus mengenai pemahaman. Interpretasi teks sebagai pemahaman yang diterapkan pada ekspresi-ekspresi kehidupan yang tertulis. Dengan demikian, Ricoeur mengatakan bahwa tugas hermeneutika adalah menjaga perluasan maksud hermeneutika yang berkembang, seperti hermeneutika tertentu yang digabungkan ke dalam hermeneutika umum. Gerakan de-regionalisasi ini tidak dapat ditekankan sampai akhir, kecuali kalau pada saat yang sama perhatian hermeneutika epistemologis secara benar (untuk mencapai status ilmiah) ditangguhkan pada pra-anggapan ontologis di mana pemahaman berhenti menampakan sebagai model pengetahuan yang sederhana, karena menjadi cara mengada dan cara menjadi beings dan to being. Gerakan de-regionalisasi digabungkan dengan gerakan Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 327 radikalisasi membuat hermeneutika tidak hanya menjadi umum tetapi fundamental.20 Tugas hermeneutika tersebut merupakan sebuah garis penghubung dari epistemologi interpretasi yang dijelaskan oleh Schleiermacher dan Dilthey menuju ontologi pemahaman yang dijelaskan oleh Heidegger dan Gadamer. Garis penghubung yang dimaksud adalah: “Untuk menunjukkan bahwa eksistensi dapat sampai pada ekspresi, makna dan refleksi, hanya melalui penafsiran terusmenerus dari seluruh penandaan yang dijelaskan di dalam dunia budaya”.21 Hermeneutika fenomenologis memosisikan persoalan hermeneutika menjadi persoalan filsafat analitika mengenai being, seperti Dasein yang eksis melalui pemahaman.22 Ada dua cara untuk memahami Dasein. Cara pertama (1) menjelaskan bahwa filsafat analitik atas Dasein bukan alternatif yang memaksa kita harus memilih antara epistemologi interpretasi yang diungkapkan hermeneutika romantis dan ontologi pemahaman yang diungkapkan hermeneutika ontologis-eksistensial. Oleh karena itu, diperlukan cara kedua (2), yaitu refleksi menuju tahap ontologi, yang dapat dicapai setelah melalui tahapan-tahapan tertentu dengan mengikuti secara berturut-turut investigasi ke dalam semantik dan refleksi. Cara kedua memunculkan berikut ini: “Apakah yang terjadi pada epistemologi interpretasi memunculkan refleksi tentang penafsiran, metode sejarah, psikologi, fenomenologi religius, dan sebagainya ketika Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press,54 21 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.22 22 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.6 20 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 328 | Masykur Wahid disentuh, digerakkan, seperti kita harus mengatakan, dan diinspirasi oleh ontologi pemahaman?”.23 Syarat-syarat bagi ontologi pemahaman yang dimaksudkan adalah untuk memahami sepenuhnya makna revolusi pemikiran yang ditawarkan ontologi. Dalam satu lompatan dari Logical Investigations Husserl menuju Being and Time Heidegger, diperlukan pada diri sendiri mengenai apa yang di dalam fenomenologi Husserl tampak signifikan dan kaitannya dengan revolusi pemikiran tersebut. Selanjutnya, apa harus disadari dalam keradikalannya yang penuh adalah pembalikan dari pertanyan itu sendiri, sebuah pembalikan yang, dalam epistemologi interpretasi, menyiapkan sebuah ontologi pemahaman. Hal itu merupakan pertanyaan yang menghindari setiap cara untuk merumuskan persoalan erkenntnistheoretisch, yang akhirnya membentuk ide bahwa “hermeneutika adalah metode” yang menjadi sempurna di atas sebuah dasar yang setara dengan metode ilmu-ilmu alam. Persetujuan terhadap sebuah metode pemahaman yang rigid seperti itu, berarti bahwa orang masih terjebak di dalam pradugapraduga mengenai teori pengetahuan Kantian. Menurut Ricoeur, “orang harus bergerak secara bebas ke luar dari lingkaran yang mempesona mengenai persoalan subyek dan obyek, dan menanyakan being pada diri sendiri”. Untuk menanyakan pada diri sendiri tentang being secara umum, pertama-tama perlu menanyakan lebih dahulu being dari semua being yang ada “di sana,” tentang Dasein, yaitu tentang being yang eksis di dalam model pemahaman mengenai being, model being yang eksis melalui pemahaman. Gerak pembalikan terhadap hubungan antara pemahaman dan being ini memenuhi harapan mendalam filsafat Dilthey, karena baginya life was the prime concept. Di dalam seluruh tulisan Dilthey, pemahaman historis tidak sungguh-sungguh menjadi lawan teori alam, relasi antara hidup dan ekspresinya lebih menjadi akar Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.7 23 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 329 umum bagi relasi ganda manusia dengan alam dan sejarah. Jika kita mengikuti pemikiran seperti ini, maka persoalannya, bagi Ricoeur adalah: “Bukan memperkuat pengetahuan historis dalam menghadapi pengetahuan psikis, akan tetapi menggali berdasarkan pengetahuan ilmiah dengan semua generalitasnya. Oleh karena itu, mencari hubungan antara being historis dengan seluruh ada yang lebih primordial daripada dengan hubungan subyek-obyek dalam teori pengetahuan”. 24 D. Tahapan Hermeneutika Fenomenologis Ada tiga tahapan interpretasi teks yang harus dilakukan di dalam hermeneutika fenomenologi, yaitu semantik, reflektif, dan eksistensial. Pertama (1), tahap semantik. Dalam tahap pertama, dijelaskan bahwa dalam bahasa semua pemahaman ontologis berakhir pada ekspresinya. Semantik sebagai sumber referensi yang diperlukan bagi seluruh hermeneutika. Pemikiran itu tampak pada penafsiran yang telah diperkenalkan sebelumnya, bahwa: “Teks memiliki beberapa makna yang seringkali tumpangtindih, seperti makna spiritual yang ‘ditransfer’ menjadi makna historis dan literal, karena kelebihan makna.25 Ekspresi-ekspresi multi-vokal ini terjadi secara “simbolis.” Pada satu sisi, ia memberi makna yang lebih sempit kepada kata symbol dibandingkan dengan para pengarang yang menyebut simbolis bagi setiap pemahaman kenyataan melalui tanda-tanda, persepsi, mitos, seni, dan ilmu pengetahuan, seperti Ernst Cassirer. Pada sisi lain, ia memberi makna yang lebih luas daripada para pengarang yang mereduksi simbol menjadi analogi, dengan berpijak pada retorika Latin atau tradisi neoRicoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h. 8 25 Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.11 24 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 330 | Masykur Wahid Platonik. Oleh sebab itu, Ricoeur mempertahankan makna awal penafsiran sebagai interpretasi atas makna-makna yang tersembunyi. Simbol dan interpretasi menjadi konsep-konsep yang saling berkaitan. Interpretasi muncul ketika makna multi-vokal ada. Dalam interpretasi ini, pluralitas makna dimanifestasikan. Kedua (2), pada tahap reflektif. Pada tahap reflektif, mengintegrasikan pemahaman semantik dengan pemahaman ontologis. Untuk itu, jembatan menuju eksistensi adalah “refleksi” sebagai penghubung antara pemahaman tanda-tanda dan pemahaman-diri. Dengan penghubung ini, diri sendiri dapat memiliki kesempatan untuk menemukan eksistensi. Untuk menghubungkan bahasa simbolis dengan pemahaman-diri itu, dijelaskan di dalam hermeneutika dengan pemikiran bahwa: “Tujuan semua interpretasi untuk menaklukkan keterpisahan, yaitu jarak antara epoché budaya masa lalu (di mana teks melekat) dan interpreter. Dengan menaklukkan jarak ini, dengan membuat dirinya sendiri sesuai dengan teks, interpreter dapat menyesuaikan maknanya pada dirinya sendiri: meski asing, interpreter membuat teks dikenal, yaitu miliknya sendiri”.26 Dengan pemikiran itu, setiap hermeneutika secara eksplisit atau implisit merupakan tindakan memahami diri sendiri dengan cara memahami orang lain. Pada tahap kedua tersebut, hermeneutika dapat dimasukkan ke dalam fenomenologi, bukan hanya pada tataran teori makna yang diekspresikan di dalam Logical Investigations, melainkan juga pada tataran problematika cogito yang terhampar dari Ideen I sampai Cartesian Meditions. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa dengan menggabungkan makna-makna yang multi-vokal dengan pengetahuan diri yang mendalam berarti kita ikut mengubah problematika cogito. Artinya, apakah dalam pemahaman-diri menunjukkan pada interpretasi Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.16 26 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 331 psikoanalitis atau penafsiran tekstual. Sesungguhnya kita pernah tidak mengetahui sebelumnya, selain hanya setelah menganalisisnya, dan sayangnya keinginan untuk mengerti diri sendiri hanya dituntun oleh sebuah konsep. Mengapa diri sendiri yang menuntun interpretasi dapat menyadari bahwa dirinya adalah hasil dari interpretasi? Ricoeur memberikan dua alasan. (a) pertama, Cogito Cartesian yang dipahami dalam diri sendiri secara langsung dalam pengalaman keraguan bahwa kebenaran sama sia-sianya dengan ketidakpastian. Cogito berkembang menjadi being dan tindakan, eksistensi dan operasi pemikiran: I am, I think; to exist is to think; I exist insofar as I think. Kebenaran ini hanya sia-sia saja, karena langkah awalnya tidak akan mampu diikuti oleh berikutnya selama ego dari ergo cogito tidak ditangkap di dalam cermin obyek, karya, dan akhirnya tindakannnya. Untuk menjelaskan ini, Ricoeur mengatakan: “Refleksi merupakan intuisi buta jika tidak dijembatani oleh apa yang Dilthey sebut ekspresi-ekspresi di mana kehidupan mengobyektivasikan dirinya sendiri. Atau, menggunakan bahasa Jean-Nabert, refleksi merupakan tidak lain dari apropriasi tindakan mengada kita melalui kritik yang diterapkan pada karya, sehingga tindakan merupakan tanda mengada.27 Selanjutnya, refleksi adalah sebuah kritik, bukan dalam pengertian Kantian mengenai justifikasi ilmu dan tanggung jawabnya, melainkan dalam pengertian bahwa cogito dapat ditemukan hanya dengan mengambil jalan memutar terhadap penguraian dokumendokumen kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa refleksi adalah “apropriasi usaha kita untuk mengada dan hasrat kita untuk menjadi berarti melalui karya yang menyaksikan usaha dan hasrat”. Ricoeur menambahkan bahwa cogito seperti ruang hampa yang dari waktu ke waktu ditempati oleh cogito yang keliru (false cogito). Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.17 27 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 332 | Masykur Wahid Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dalam semua disiplin penafsiran dan khususnya psikonalisis kesadaran yang pertama merupakan “kesadaran yang keliru.” Dari situ, diperlukan pengabungan kritik atas kesadaran yang keliru dengan berbagai macam penemuan atas subyek cogito di dalam dokumen-dokumen kehidupannya. Maka, jelas bahwa filsafat refleksi berbeda dengan filsafat kesadaran. (b) Kedua, bukan hanya “I” yang mampu menangkap kembali dirinya di dalam ekspresi-ekspresi kehidupan yang mengobyektivikasikannya, melainkan juga penafsiran tekstual terhadap kesadaran yang bertentangan (misinterpretation) dari kesadaran yang keliru. Schleiermarcher mengatakan bahwa “hermeneutics is found wherever there was first misinterpretation.” Dengan begitu, secara tidak langsung refleksi harus memunculkan sebuah kritik yang korelatif terhadap kesalahpahaman menuju pemahaman. Dengan penjelasan tahap refleksi ini, Ricoeur mengatakan bahwa tahap semantik diletakkan sebagai fakta bagi eksistensi terhadap bahasa yang tidak dapat direduksikan menjadi makna-makna yang univokal. Ia memberikan contoh bahwa: “Ternyata, pengakuan terhadap kesadaran kebersalahan melampaui simbolisme noda, dosa, dan rasa bersalah. Keinginan yang diresapi diekspresikan di dalam simbolisme yang menunjukkan stabilitas tertentu melalui mimpi, pepatah kuno, legenda dan mitos. Yang suci diekspresikan di dalam simbolisme unsur-unsur: langit, bumi, air dan api”.28 Kegunaan filosofis pada bahasa itu masih terbuka bagi serangan para ahli logika bahwa bahasa yang samar-samar menyediakan argumen yang keliru. Oleh karena itu, justifikasi terhadap hermeneutika dapat radikal jika hanya pada hakikat pemikiran reflektif yang terdalam orang dapat menemukan prinsip logika yang bermakna ganda. Logika tersebut Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.18 28 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 333 bukan logika formal (verifikasi empiris), melainkan logika transendental (probabilitas). Ketiga (3), tahap eksistensial. Di dalam tahap eksistensial ini, Ricoeur menunjukkan hubungan hermeneutika dengan problematika eksistensi. Ontologi yang terpisah dari pemahaman hanya ada di dalam interpretasi saja ketika memahami being yang diinterpretasikan. Ontologi pemahaman diungkapkan dalam metodologi interpretasi mengikuti hermeneutic circle yang dikatakan Heidegger. Selain itu, hanya di dalam sebuah konflik hermeneutika yang berbeda-beda saja dapat memahami being yang diinterpretasikan. Oleh karenanya, setiap hermeneutika menemukan aspek eksistensi yang dijadikan sebagai metode. Dengan pemikiran itu, apa yang sesungguhnya dapat diharapkan dengan ontologi fundamental ini? Menurut Ricoeur, ada dua yang dapat diharapkan, yaitu: (a) pertama, dapat membubarkan persoalan klasik mengenai subyek sebagai kesadaran. (b) Kedua, dapat memulihkan persoalan eksistensi sebagai hasrat. Melalui kritik kesadaran ini, psikoanalisis menunjukkan aspek ontologisnya. Interpretasi terhadap mimpi, fantasi, mitos, dan simbol selalu berbeda dengan beberapa pretensi kesadaran dalam diri sendiri sebagai akar makna. Perlawanan melawan narsisme, ekuivalen dengan false cogito Freudian, membawa kepada penemuan bahwa bahasa berakar secara mendalam di dalam keinginan dan impuls-impuls instingtual kehidupan. Dengan cara itu, psikoanalisis membawa kembali kepada pertanyaan: bagaimana penandaan dapat tercakup di dalam kehidupan? Kemunduran makna hasrat itu mengindikasikan kemungkinan transendensi refleksi ke arah eksistensi. Selanjutnya, cogito tidak lagi menjadi tindakan prestisius, karena pretensi sendiri telah ada di dalam being. Sebagai meditasi filosofis terhadap psikoanalisis, tahap refleksif dapat mengatasi problematika eksistensi melalui interpretasi untuk menyingkap tipuan-tipuan hasrat (tricks of desire) yang berakar pada makna. Ricoeur sendiri tidak memunculkan hasrat di luar proses interpretasi, karena hasrat selalu berwujud being yang diinterpretasikan. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 334 | Masykur Wahid Dengan memahami hermeneutika, sesungguhnya eksistensi yang ditemukan psikoanalisis adalah hasrat. Dengan kata lain, eksistensi sebagai hasrat. Eksistensi seperti ini secara prinsipil tampak di dalam arkeologi mengenai subyek. Sebaliknya, dalam filsafat roh, hermeneutika digunakan untuk mengubah akar makna, sehingga eksistensi tidak lagi berada di belakang subyek melainkan di depannya. Sebagaimana, tampak dalam analisis Hegel dalam Phenomenology of the Spirit, bahwa hermeneutika mengenai kedatangan Tuhan, kedatangan Nabi Isa dan Iman Mahdi, pendekatan Kerajaannya, dapat menghadirkan ramalan kesadaran. Pada tahap ini, kita dapat menganalisis pemaknaan hadits yang dijelaskan oleh Ibnu Mas`ud ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bila tidak kekal dunia ini kecuali sehari saja, maka Allah akan panjangkan hari itu hingga Dia mengutus seseorang dari aku atau dari ahli bait-ku, namanya sesuai dengan namaku dan nama ayahnya sesuai dengan nama ayahku. Dia akan memenuhi dunia dengan keadilan dan qisth, sebagaimana dunia ini sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan al-Juur” (H.R. At-Tirmizy dalam Kitab Fitan). Kedatangan Imam al-Mahdi ini sebelum turunnya Nabi Isa as yang akan memberi petunjuk kepada umat manusia dan menegakkan hujjah Allah SWT. Di dalam hadits lain, dijelaskan bahwa dari Ali bin Abi Tholib ra ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:“Al-Mahdi dari golongan kami, ahlul bait, Allah memperbaikinya dalam satu malam” (Musnad Ahmad 2/58 dan Sunan Ibnu Majah 2/1367. Ricoeur memperbandingkan dengan Hegel, karena model interpretasinya kontradiksi diametris dengan Freud. Psikoanalisis menawarkan kepada kita sebuah kemunduran menuju yang kuno. Sedangkan, fenomenologi roh menawarkan pada kita sebuah gerakan Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 335 yang di dalamnya masing-masing figur menemukan maknanya, bukan di dalam apa yang telah berlalu, melainkan di dalam apa yang akan terjadi kemudian. Bagi Ricoeur: “Kesadaran menggambarkan di luar dirinya sendiri, di depan dirinya sendiri, menuju makna yang bergerak dalam tahap berikutnya. Dengan kata lain, teleologi subyek dipertentangan dengan arkeologi subyek”.29 Apa yang penting, ternyata bahwa teleologi ini sama dengan arkeologi Freudian. Roh direalisasikan hanya di dalam persilangan dari satu figur ke figur lainnya. Oleh karenanya, hal tersebut menjelaskan mengapa filsafat mempertahankan hermeneutika, yaitu pengungkapan makna yang tersembunyi dalam teks yang mengandung makna yang tampak. Demikian itu, tugas hermeneutika untuk menunjukkan bahwa eksistensi memunculkan ekspresi, makna dan refleksi, hanya melalui penafsiran berkelanjutan dari semua penandaan yang dijelaskan di dalam dunia budaya. Eksistensi bisa menjadi diri yang manusiawi dan dewasa hanya dengan apropriasi makna-makna yang pertama, terletak “di luar” karyakarya, institusi-institusi dan monumen-monumen kultural, di dalam kehidupan roh yang diobyektifkan. Dalam fenomenologi religius Van der Leeuw dan Mircea Eliade, deskripsi sederhana mengenai ritus, mitos dan kepercayaan, dianggap sebagai bentuk tingkah laku, bahasa dan perasaan, karena manusia sendiri yang mengarahkan kepada sesuatu “suci.” Menurut Ricoeur, apabila fenomenologi tetap bertahan pada tingkat deskritif, maka Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.21 29 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 336 | Masykur Wahid tindakan interpretasi yang reflektif dapat berjalan lebih jauh lagi. Caranya: “Dengan pemahaman-diri sendiri yang mendalam dan melalui tanda yang suci, manusia menampakkan pelarian diri sendiri secara sangat radikal yang mungkin bayangkan”.30 Ketidakmilikan itu melampaui yang telah dilakukan psikoanalisis Freudian dan fenomenologi Hegelian, baik secara individual maupun ketika efek-efeknya dikombinasikan. Sebuah arkeologi dan sebuah teleologi masih tetap mengandung arché dan telos yang dapat dikendalikan subyek ketika memahaminya. Yang suci memanggil manusia. Dalam panggilannya, yang suci memanifestasikan dirinya, seperti menguasai eksistensinya, karena yang suci menyimpan eksistensi secara absolut sejalan dengan usaha dan hasrat yang mengalir darinya. Adanya hermeneutika yang berbeda-beda dengan caranya masing-masing merupakan akar-akar ontologi pemahaman. Masingmasing dalam caranya sendiri menegaskan sebuah ketergantungan kepada eksistensi. Ketergantungan psikoanalisis ditunjukkan di dalam arkeologi subyek. Ketergantungan fenomenologi roh ditunjukkan di dalam teleologi figur-figur. Ketergantungan fenomenologi religius di dalam tanda-tanda suci. Semua itu merupakan implikasi ontologis dari interpretasi. Dengan kata lain, ontologi terpisah dari interpretasi. Ontologi ditangkap di dalam lingkaran yang dibentuk oleh penghubung antara tindakan interpretasi dan being yang diinterpretasikan. Hal itu menandakan sama sekali bukan kemenangan ontologi dan bukan sebuah ilmu, karena ontologi tidak mampu menghindari resiko interpretasi dan bahkan ontologi tidak dapat lepas seluruhnya dari peperangan internal di mana bermacam-macam hermeneutika yang lebur di antara mereka sendiri. Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.22 30 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 337 Meskipun demikian, bagi Ricoeur hermeneutika yang bertentangan bukan hanya sekadar “language games.” Dalam filsafat bahasa, semua interpretasi sama-sama valid di dalam batas-batas teori, sehingga aturan-aturan pembacaan dapat ditemukan. Interpretasi yang sama-sama valid. Hal ini tetap mempertahankan permainan bahasa masing-masing hingga ditunjukkan bahwa setiap interpretasi didasarkan pada satu fungsi eksistensial tertentu. Dengan hal itu, dapat dikatakan bahwa: “Psikoanalisis memiliki dasarnya di dalam arkeologi subyek, fenomenologi roh di dalam teleologi, dan fenomenologi religius dalam eskatologi”.31. E. Kesimpulan Hermeneutika fenomenologis ala Ricoeur dianggap sebagai mediator antara Schleiermacher dan Dilthey dalam tradisi hermeneutika romantisnya dan Heidegger dan Gadamer dalam tradisi hermeneutika ontologis-eksistensialnya. Misalnya, Ricoeur menempatkan hermeneutika sebagai kajian terhadap ekspresi-ekspresi kehidupan yang difiksasi secara linguistik. Ia tidak hanya berhenti pada langkah psikologisme untuk merekonstruksi pengalaman penulis, seperti Schleiermacher, maupun usaha penemuan diri sendiri pada diri orang, seperti Dilthey, melainkan juga menyingkap potensi Being atau eksistensi, seperti Heidegger dan Gadamer. Hermeneutika fenomenologis ala Ricoeur dipahami dengan interpretasi teks. Teks sebagai tindakan yang penuh makna. Dengan interpretasi itu, teks memediasi penjelasan yang objektif dan pemahaman yang subjektif. Hermenentika fenomenologis sebagai proses interpretasi dari fiksasi makna (tekstualisasi pengalaman), teks terlepas dari intensi pengarang (objektivasi pengalaman), dan dekontekstualisasi dari lingkup sosial dan sejarah, dan teks terlepas referensi ostensif. Ricoeur, Paul. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press, h.23 31 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 338 | Masykur Wahid Dalam penerapannya, fenomena pembacaan shalawat diba’ di dalam masyarakat Krapyak, Yogyakarta harus melalui proses fiksasi makna. Setelah teks tertulis, kita melakukan tiga tahap interpretasi teks. Pertama, tahap semantik, pemahaman semantik. Kedua, tahap reflektif, mengintegrasikan pemahaman semantik dengan pemahaman ontologis. Kedua, tahap eksistensial, pemahaman eksistensial yang akan memproduksi eskatologi sebagai analisis hermeneutika fenomenologi religius. Itulah hermeneutika fenomenologis sebagai metode di dalam studi living hadits. DAFTAR PUSTAKA Aini, Adrika Fithrotul. 2014. “Living Hadis dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat Diba’ Bil-Mustofa” dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies. Vol. 2, No.1, Juni, hlm. 221-235. Bauman, Zygmun. 1978. Hermeneutics and Social Science. New York: Columbia, University Press. Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. Jilid I. Jakarta: Gramedia. Bleicher, Josef. 1980. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique. London: Routledge & Kegan Paul. Bruns, Gerald L. 1992. Hermeneutics: Ancient and Modern (New Haven and London: Yale University Press. Concise Routledge: Encyclopedia of Philosophy. 2000. London & New York: Routledge. Crapanzano, Vincent. 1992. Hermes’ Dilemma and Hamlet’s Desire: On the Epistemology of Interpretation. Cambridge: Harvard University Press. Montefiore, Alan (ed.). 1983. Philosophy in France Today. Cambridge: Cambridge University Press. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Hermeneutika Fenomenologis dalam Studi Living Hadis | 339 Palmer, Richard E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press. Ricoeur, Paul. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics. Trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press. ___________. 1981. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation. Ed. and Trans. John B. Thompson. Cambrige: Cambridge University Press. ____________. 1976. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus Meaning, Texas: The Texas Christian University Press. ____________. 1974. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics. Ed. Don Ihde. Evanston: Northwester University Press. Salih, Subhi. 1988. Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Ilm lil-Malayin. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. 2006. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015 ISSN: 2460-8939 340