Bab 19 Fisiologi Respirasi dan Patosisiologi BRIAN P. KAVANAGH GORAN HEDENTIERNA Poin Utama: - Pembuangan CO2 diatur oleh ventilasi alveolus, bukan oleh jumlah (menit) - ventilasi. Ventilasi ruang rugi (dead space) dapat ditingkatkan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis dan emboli paru sampai lebih dari 80% - menit ventilasi. Bernafas dengan volum paru yang kecil meningkatkan hambatan udara - dan menimbulkan penutupan jalan nafas. Hipoksemia dapat disebabkan oleh hipoventilasi alveolus, gangguan difusi, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, dan shunt kanan ke kiri (right- - to-left shunt). Hampir semua jenis anestesi mengurangi tonus otot rangka, yang menurunkan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity [FRC]) sampai pada nilai yang mendekati volum residu (residual volume - [RV]). Atelektasis pada saat anestesi disebabkan oleh berkurangnya kapasitas residu fungsional dan tingginya penggunaan konsentrasi oksigen yang - dihirup (FiO2), termasuk menghirup oksigen sebelum induksi anestesi. Anestesi umum menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi - (penutupan jalan nafas) dan atelektasis. Campuran vena disebabkan oleh ketidakseimbangan VA/Q (respon terhadap peningkatan Fio2) dan shunt (tidak respon terhadap peningkatan - Fio2). Reaksi vasokontriksi pulmonal hipoksia dihambat oleh sebagian besar - anestesi sehingga meningkatkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Kerja pernafasan ditingkatkan selama anestesi sebagai konsekuensi dari penurunan pemenuhan respirasi dan peningkatan hambatan jalan nafas. FISIOLOGI RESPIRASI SELAMA ANESTESI Fungsi respirasi tidak bisa terlepas dari praktik anestesi. Efek respirasi yang berkebalikan dapat terjadi selama anestesi, dan kasus paling serius melibatkan hipoksemi. Kejadian ini dapat berupa hipoksemia yang parah disebabkan oleh hilangnya patensi jalan nafas sampai pada depresi pernafasan post operasi akibat opioid atau anestesi regional. Bila tidak ada reaksi yang berkebalikan, anestesi umum memiliki efek yang signifikan pada fungsi respirasi dan fisiologi paru yang didapat dari observasi di ruang operasi. Perubahan fisiologi yang diinduksi anestesi (mekanisme bronkospasme, pengaruh ventilasi mekanik) serta perkembangan monitor (pulse oximetry dan kapnografi) dihubungkan dengan kemampuan kegawatdaruratan anestesi sebagai pemimpin dalam keselamatan pasien). Pada akhirnya, pengukuran yang terintegrasi untuk fungsi respirasi, kapasitas latihan, konsumsi O2 global, cenderung merupakan prediktor baik tidaknya hasil anestesi dan bedah. FISIOLOGI PARU Suatu mekanisme di mana disebabkan oleh gangguan respirasi yang berhubungan dengan anestesi dapat diketahui melalui pemeriksaan fungsi normal dan mekanisme pernafasan pada orang sehat. Kami secara singkat menjelaskan respirasi seluler di mana O2 dikonsumsi dan CO2 diproduksi, transport O2 dan CO2 dalam darah, dan prinsip bahwa paru mengoksigenasi darah dan membuang CO2. RESPIRASI DI SEL Tekanan parsial oksigen (PaO2) di darah arteri yang normal adalah 100 mmHg, dan berkurang dari 4 - 22 mmHg di mitokondria tempat dia dikonsumsi. Glukosa (C6H12O6) diubah menjadi piruvat (CH3COCOO-) dan H+ melalui glikolisis dalam sitoplasma. Piruvat berdifusi ke dalam mitokondria membentuk zat awal untuk siklus Krebs, yang nantinya menghasilkan nikotinamide adenine dinukleotida (NADH), adenosine trifosfat (ATP), CO 2, dan H2O. NADH adalah donor elektron kunci (H+) dalam prosess fosforilasi oksidatif, di mana O2 dan ADP dikonsumsi dan ATP serta H2O diproduksi. Hasilnya adalah oksidasi glukosa untuk menghasilkan energi terutama ATP, H2O, dan CO2. TRANSPORT O2 DALAM DARAH O2 sampai di sel dengan mengikuti transport darah arteri, dan pengangkutan total O2 (delivery of O2/DO2) adalah produk darah arteri O2 (CaO2) dan aliran darah (cardiac output, Q) dengan: DO2 = CaO2 x Q Kandungan darah ada dalam 2 bentuk: O2 mengelilingi hemoglobin (bagian terbesar) dan O2 terlarut dalam plasma, dinyatakan sebagai jumlah komponen berikut ini: CaO2 = (SaO2 x Hb x kapasitas kombinasi O2 pada Hb ) + (kelarutan O2 x PaO2) Di mana CaO2 (kandungan O2) adalah milliliter O2 per 100 mL darah, SaO2 adalah fraksi hemoglobin (Hb) yang tersaturasi dengan O2, kapasitas kombinasi O2 pada Hb adalah 1,34 mL O2 per gram Hb, Hb adalah gram Hb per 100 mL darah, PaO2 adalah ketegangan O2 (O2 terlarut), dan kelarutan O2 dalam plasma adalah 0,003 mL O2 per 100 mL plasma untuk tiap 100 mmHg PaO2. Pengikatan O2 pada hemoglobin merupakan mekanisme yang kompleks. Penting memahami bagaimana keabnormalan alat transportasi O2 darah (seperti keracunan karbonmonoksida, methemoglobinemia) mempengaruhi ketegangan O2, kandungan, dan pengirimannya. Methemoglobin (MetHb), dibentuk melalui oksidasi Fe3+(ferric), dan bukan Fe2+ (ferrous) seperti biasa. MetHb kurang berikatan dengan O2, sehingga mengurangi kandungan O2 serta pengiriman O2 yang berkurang. Pada kasus ini, PaO2 (bila tidak terdapat penyakit paru) akan normal. Jika kandungan O 2 dihitung dari PaO2 nilainya akan normal, namun bila diukur nilainya akan rendah. Sebaliknya, kadar MetHb akan naik. Pada kasus yang parah, asidosis laktat dapat terjadi karena gangguan pengiriman O2. Selain itu, karena MetHb berwarna biru kecoklatan, pasien akan tampak biru, bahkan jika kadar MetHb sedang dan oksimetri khusus dapat mengukur kadar MetHb secara terpisah. Sianosis yang terlihat tidak responsive pada pemberian O 2 dan terapinya melibatkan perubahan (pengurangan) MetHb menjadi Hb (menggunakan metilen biru). Penyebab penting MetHb adalah benzokain, dapson, atau pada pasien yang rentan terhadap nitrat oksida (NO). Pada kasus keracunan CO, CO berikatan dengan Hb dengan kecendurangan yang jauh lebih besar (lebih dari 200 kali lipat) daripada dengan O2, membentuk ikatan CO-Hb yang kuat dan menghasilkan dua efek utama. Pertama, pembentukan CO-Hb mengurangi kandungan O2. Kedua, pembentukan CO-Hb menyebabkan perubahan pada molekul Hb sehingga kecenderungan melepaskan O2 berkurang. Efek ini berhubungan dengan pergeseran kurva disosiasi Hb-O2 ke kiri, dan meskipun ikatan CO tidak mengurangi kandungan O 2 atau pengiriman O2 secara luas, ikatan CO mengurangi pelepasan O2 dan pengirimannya dalam sel. Karena warna CO-Hb mirip seperti warna O 2-Hb, warna darah (dan pasien) merah terang, namun seiring dengan MetHb, PaO 2 akan menjadi normal (tanpa penyakit paru) dengan perhitungan CaO 2. Namun pengukuran CO2 akan menjadi rendah dan apabila berat, akan terjadi asidosis laktat. Alat canggih dapat membedakan Hb-O2 dan CO-Hb. Efek Bohr berhubungan dengan pergeseran disosiasi kurya yang disebabkan oleh perubahan CO2 atau pH. Pada kapiler sistemik, PCO2 lebih tinggi daripada dalam darah arteri (pH yang berhubungan lebih rendah) karena produksi CO2 setempat. Hal ini menyebabkan pergeseran kurva disosiasi ke kanan, yang meningkatkan pengurangan O2 ke jaringan. Hal sebaliknya terjadi pada kapiler paru; PaCO2 lebih rendah (pH yang berhubungan lebih tinggi) karena pembuangan CO2, dan kurva disosiasi bergeser ke kiri untuk memfasilitasi pengikatan O2 terhadap Hb. TRANSPORT CO2 DALAM DARAH CO2 dihasilkan melalui metabolisme dalam mitokondria, di mana kadar CO2nya tertinggi. Jalur transportasi (yang melibatkan penurunan gradient tekanan) adalah dari mitokondria melalui sitoplasma, ke dalam venula dan akhirnya darah vena campuran dibuang melalui alveolus. Dalam darah, CO2 dibawa dalam tiga bentuk utama: terlarut (PaCO2, tekanan parsial; 5%dari CO2 yang diangkut), ion bikarbonat (HCO3-; hampir 90%), dan CO2 karbamino (CO2 yang berdekatan dengan grup amino terminal pada molekul Hb, tepatnya 5%). Jumlah CO 2 biasa dalam arteri dan vena (campuran) berturut-turut adalah 21,5 dan 23,3 mmol CO2 per liter darah. Menghirup O2 terkadang dapat menimbulkan hiperkapnea, seperti yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik yang menghirup O 2 tambahan. Meskipun dulunya diperkirakan hal ini disebabkan oleh meningkatnya PaO 2 yang mengurangi laju ventilasi, saat ini hal tersebut tidak lagi menjadi pertimbangan. Hiperkapnea disebabkan oleh efek Haldane, begitu juga dari gangguan vasokontriksi pulmonal hipoksia. Efek Haldane adalah perbedaan antara jumlah CO2 yang diangkut dalam darah beroksigenasi dan yang tidak beroksigenasi. Ada dua mekanisme menjelaskan hal ini. Pertama, peningkatan PaO 2 mengurangi kemampuan membentuk senyawa karbamino-mengurangi jumlah CO 2 yang berikatan dengan Hb- oleh karena itu meningkatkan jumlah CO2 terlarut (peningkatan PCO2). Kedua, asam amino histidin, yang memiliki grup imidazole yang merupakan buffer H+ yang efektif dalam fisiologi pH, adalah molekul penghubung yang penting antara gugus heme dan rantai Hb. Peningkatan tekanan parsial oksigen (PaO2) meningkatkan jumlah O2 yang berikatan dengan Hb. Hal ini mengubah molekul H, sehingga mengubah histidin yang terhubung dengan heme dan mengurangi kapasitas buffer H+. Oleh karena itu, semakin banyaknya H+ bebas lalu berikatan dengan HCO3-, sebankin banyak pelepasan CO2 yang tersimpan. Gagalnya vasokontriksi pulmonal hipoksia oleh peningkatan O2 menyebabkan peningkatan perfusi ke lokasi dengan ventilasi rendah. Hal ini menimbulkan turunnya perfusi (dan pengiriman O2) ke lokasi dengan ventilasi yang rendah, sehingga mengiringi efisiensi pembuangan CO2. Pasien dengan gangguan kemampuan dalam meningkatkan ventilasi alveolus (VA) tidak dapat mengkompensasi peningkatan CO2, oleh karena itu pada pasien ini, penambahan O2 tambahan dapat meningkatkan PaCO2. OKSIGENASI PARU Darah vena sistemik (darah vena sentral) memasuki ventrikel kanan melalui atrium kanan. Saturasi O2 (SO2) membedakan lapisan utama: SO2 vena yang lebih tinggi menunjukkan aliran darah yang lebih besar, pengambilan oksigen jaringan yang berkurang, atau keduanya. SO2 biasanya lebih tinggi di vena kava inferior daripada vena kava superior, kemungkinan karena aliran hepar dan ginjal yang tinggi yang berhubungan dengan penggunaan O2. Di ventrikel kanan, darah vena sentral (ScvO2) dari vena kava superior dan inferior, bercampur dengan darah vena tambahan dari sirkulasi koroner (melalui sinus koroner). Di ventrikel kanan, drainase vena dalam jumlah sedikit dari miokardium masuk lewat vena Thebesian, dan saat seluruh darah vena ini memasuki arteri pulmonalis maka disebut darah vena campuran (SvO2), sehingga SvO2 < ScvO2, meskipun masingmasing biasanya berbanding lurus. VENTILASI Ventilasi adalah pertukaran udara yang dihirup ke dalam paru dengan udara yang dikeluarkan dari paru. VENTILASI ALVEOLUS Udara segar memasuki paru melalui pernafasan pada laju dan kedalaman (volum tidal, VT) yang ditentukan oleh kebutuhan metabolisme, biasanya 7-8 L/menit. Saat sebagian besar udara yang diinspirasi mencapai alveoli, sebagian dari VT ( 100-150 mL) masih berada di saluran nafas dan tidak mengikuti pertukaran gas. Ruang rugi tersebut (VD) merupakan sepertiga dari tiap VT. VD anatomis adalah bagian dari VT yang berada di saluran nafas, dan VD fisiologis adalah bagian dari VD yang tidak mengikuti pertukaran gas. Untuk setiap volum tidal (VT, mL), persamaanya adalah: VT = VA + VD Hasil VT (mL) dikalikan laju respirasi (per menit) adalah menit ventilasi (VE). Dijumlahkan dalam waktu, menit ventilasi (VE, mL/menit) adalah: VE = VA + f x VD Bagian dari VE yang mencapai alveoli dan bronkiolus setiap menit dan ikut dalam pertukaran gas disebut ventilasi alveolar (V A), tepatnya 5 L/menit. Karena sama dengan aliran darah melewati paru (kardiak output, yang juga 5 L/menit), perbandingan ventilasi-perfusi alveolar seluruhnya adalah 1. VENTILASI RUANG RUGI Mempertahankan PaCO2 adalah mempertahankan keseimbangan antara produksi CO2 (VCO2, menunjukkan aktivitas metabolik) dan ventilasi alveolar (VA). Jika VE konstan namun VD meningkat, VA akan berkurang, dan PaCO2 akan meningkat. Oleh karena itu, jika VD meningkat, VE juga harus meningkat untuk mencegah kenaikan PaCO2. Peningkatan pada VD terjadi ketika masker digunakan, dan pada beberapa kasus, penambahan VD disebut sebagai “ruang rugi alat” (dapat mencapai 300 mL; VD anatomis saluran nafas adalah 100-150 mL. Gambar 19-1. Ruang rugi dan ventikasi alveolar pada paru yang normal dan pada penyakit paru. Baik aliran darah yang berhenti maupun ventilasi alveolar yang berlebihan dapat meningkatkan ruang rugi. Jika VD ditingkatkan, kompensasi yang meningkat dalam menit ventilasi dibutuhkan dalam menjaga V A. VD/VT, rasio ruang rugi terhadap volum tidal; VA, ventilasi alveolar; VE, menit ventilasi. VE = VA + f × VD. Panah dobel menunjukkan pertukaran CO2 yang normal. COPD, Chronic obstructive pulmonary. Peningkatan volum dalam saluran nafas (misal bronkiektasis) meningkatkan sedikit nilai VD secara keseluruhan. Peningkatan yang lebih signifikan terjadi ketika perfusi terhadap alveoli yang terventilasi dalam jumlah besar terganggu, seperti yang terjadi emboli paru. Pada emboli paru multiple, VD/VT dapat melebihi 0,8 (2,7 kali lipat dari normal). Pada kasus seperti itu, untuk mempertahankan VA normal (5 L/menit), VE juga harus meningkat (2,7 kali lipat) sampai hampir 20 L/menit. Hal ini menyebabkan sesak nafas, selain sesak nafas yang disebabkan menurunnya PaO2. Penyakit paru obstruksi dapat mengalihkan udara yang diinspirasi menuju ke bagian paru yang terventilasi (non obstruksi) namun dengan perfusi yang buruk. Hal ini menyebabkan penimbunan ventilasi lokal (rasio V A/VQ yang tinggi), yang ekuivalen dengan peningkatan VD/VT. Pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik dapat memiliki rasio VD/VT sampai 0,9; dan harus berhiperventilasi dalam jumlah yang besar (30-50 L/menit) untuk mempertahankan PaCO2 yang normal, yang tidak mungkin di mana cadangan ventilasi dikurangi. Pasien seperti itu menunjukkan berkurangnya VA namun VE meningkat. Mekanisme kompensasi penting adalah bahwa kadar VA yang rendah akan mempertahankan pengeluaran CO2 yang stabil di saat PaCO2 meningkat. VOLUM PARU STATIS-KAPASITAS RESIDU FUNGSIONAL Jumlah udara dalam paru setelah ekspirasi biasa disebut sebagai kapasitas residu fungsional, berkisar 3-4 L dan terjadi karena keseimbangan gaya ke dalam (paru) dan gaya keluar (dinding dada). Gaya ke dalam adalah kemampuan elastis paru yang berasal dari jaringan paru yang elastis, kontraksi otot saluran nafas, dan tegangan permukaan alveolus. Gaya keluar berasal dari tulang rusuk, persendian, dan otot dinding dada. FRC bertambah besar dengan peningkatan tinggi dan umur (kehilangan jaringan paru yang elastis) dan semakin kecil pada wanita dan obesitas. Ada dua alasan mengapa mempertahankan udara di paru-paru pada akhir ekspirasi sangat penting. Pertama, memompa paru yang sudah terbuka lebih mudah daripada ketika paru mengempis.Ini karena kolaps paru menyebabkan permukaan yang hanya berisi cairan berhubungan dengan alveoli (sehingga tekanan permukaan tinggi) di mana alveoli pada paru yang terpompa sebagian memiliki permukaan air-udara (tegangan permukaan yang rendah). Kedua, meskipun perfusi paru fasik, frekuensinya tinggi dan osilasi alirannya rendah sehingga menghasilkan aliran yang berkelanjutan.Ventilasi adalah hal yang berbeda: frekuensinya jauh lebih pelan dan ukuran osilasinya lebih besar. Jika paru mengempis dengan sempurna setelah bernafas, aliran darah dari alveoli yang tertutup (tanpa O2) akanmemiliki SO2 yang sangat rendah (sama pada darah vena campuran); ini akan bercampur dengan aliran darah total dari paru dan menyebabkan desaturasi O2 setelah setiap pernafasan keluar. RESPIRASI MEKANIK Penelitian mengenai respirasi mekanik menjelaskan bagaimana udara yang dihirup disebarkan ke dalam paru dan banyaknya keparahan penyakit paru.Komponen impedansi total penafasan berasal dari keelastisan, hambatan, dan inersia. PEMENUHAN SISTEM RESPIRASI Paru-paru seperti balon karet yang bisa dikembangkan dengan tekanan positif di dalam atau tekanan negatif di luar. Pada kondisi yang normal, pengembangan paru dipertahankan karena meskipun tekanan di dalam (tekanan alveolus) adalah 0, tekanan di luar (tekanan pleura) adalah negatif.Tekanan pengembangan, di mana perbedaan tekanan saluran nafas (positif) /P AW dan tekanan pleura/PPL (negatif) disebut sebagai tekanan transpulmonal /PTP. Sehingga, PTP = PAW - PPL Lebih jelasnya, peningkatan PAW meningkatkan PTP.Selain itu, penurunan PPL (yang biasanya negatif) juga meningkatkan PTP. Pemenuhan respirasi menunjukkan seberapa banyak distensi (volum dalam liter) pada nilai PTP tertentu (tekanan, cm H2O); biasanya sebesar 0,2-0,3 L/cm H2O. Namun, semakin tinggi nilai P TP dalam mempertahankan nilai pembukaan paru yang lebih besar, kurva hubungan antara tekanan yang terpakai dan volum hasilnya melengkung. Nilai pemenuhan paru tergantung pada volum paru, nilai terendah pada FRC yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Pada penyakit paru ditandai oleh pemenuhan paru yang berkurang (ARDS, fibrosis paru, atau edema), kurva tekanan-volum mengalami pergeseran ke kanan. Sebaliknya, meskipun emfisema melibatkan hilangnya jaringan elastis, kehilangan jaringan paru total (seperti yang terlihat pada CT scan) menunjukkan bahawa pemenuhan parunya meningkat. Oleh karena itu, kurva tekanan-volum bergeser ke kiri dan semakin curam. Impedansi dinding dada tidak diketahui pada saat pernafasan spontan karena pompa respirasi melibatkan dinding dada. Mekanika dinding dada dapat diukur hanya jika terjadi relaksasi sempurna dari otot respirasi. Namun, pada saat ventilasi mekanik otot respirasi dapat mengalami relaksasi sempurna. Saat paru dikembangkan oleh PAW, dinding dada akan menentukan perubahan PPL. Pada kondisi ini, penambahan volum paru per unit yang meningkatkan PPL adalah pemenuhan dinding dada. Nilai pemenuhan dinding dada kurang lebih sama seperti pada paru dan berkurang dengan obesitas, edema dinding dada, efusi pleura, dan penyakit persendian kostovertebra. Kotak 19.1 Persamaan Udara Alveolus Tekanan Oksigen Aveolus (PAO2) P AO 2=PI O2− PAC O2 1−R + PAC O2 x Fi O2 x R R [ ] di mana PIO2 adalah tekanan oksigen inspirasi, PACO2 adalah tegangan CO2 alveolus (dianggap sama dengan PCO2 arteri), R adalah rasio ekspirasi pernafasan (normalnya 0,8-1,0), dan FiO 2 adalah fraksi oksigen inspirasi. Rumus dalam tanda kurung merupakan kompensasi pengambilan O2 yang lebih besar daripada pembuangan CO2 pada membran kapiler alveolus. Persamaan sederhana dapat ditulis tanpa rumus kompensasi: PA O 2=PI O2− PAC O2 R Ventilasi Alveolus Ventilasi alveolus (VA) dapat dirumuskan sebagai: VA = f x (VT – VDS) di mana f adalah nafas per menit, VT adalah volum tidal, dan VDS adalah ruang rugi fisiologis. Ventilasi alveolus dapat diturunkan dari: VCO2 = c x VA x FACO2 di mana VCO2 adalah pembuangan VCO2, c adalah konstanta konversi, dan FACO 2 adalah konsentrasi CO2 alveolus. Jika satuan VA adalah L/menit, VCO2 dalam mL/menit, dan FACO2 digantikan oleh PACO2 dalam mmHg, c = 0,863. Dengan penyusunan kembali rumusnya: V A= VC O2 x 0,863 PAC O2 Gambar 19.2 A. Ventilasi dan volum paru pada subjek yang sehat dengan paru normal. B, pasien A dengan penyakit paru restriksi. C, pasien A dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada penyakit restriksi, kapasitas vital (VC) berkurang dan laju aliran ekspirasi meningkat (lebih curam daripada lereng normal kurva ekspirasi paksa). Pada PPOK, volum residu (RV) ditingkatkan, VC berkurang, dan ekspirasi paksa diperlambat. ERV, Expiratory reserve volume; TLC, total lung capacity. HAMBATAN SISTEM RESPIRASI Jalan Nafas Hambatan menghalangi jalannya udara ke dalam (dan keluar) paru. Komponen utama hambatan adalah hambatan yang digunakan oleh jalan nafas (besar dan kecil), serta komponen minor adalah pergeseran paru dan jaringan dinding dada pada saat inspirasi (dan ekspirasi). Hambatan diatasi oleh laju tekanan. Pada pernafasan spontan, laju tekanan akan menjadi P PL; pada ventilasi tekanan positif laju tekanan akan menjadi perbedaan antara tekanan pada tuba endotrakheal (PAW; “sumber”) dan alveolus (PALV; tujuan). Hambatan (R) dihitung sebagai laju tekanan (ΔP) dibagi dengan aliran udara (F): R= ΔP F Nilai hambatan udara tepatnya 1 cm H2O/L/detik, dan lebih tinggi pada penyakit paru obstruksi (PPOK, asma). Pada asma yang parah nilainya naik 10 kali lipat. Adanya pipa endotrakheal menambahkan hambatan 5 atau 8 cm H2O/L/menit untuk sebuah pipa dengan diameter internal 8 atau 7 cm. Untuk pipa di mana aliran udaranya berlapis, hambatan meningkat sebanding dengan panjang pipa dan meningkat secara dramatis saat diameter pipa berkurang. Ada dua faktor yang menjelaskan mengapa sebagian besar (hampir 80%) impedansi pada aliran udara terjadi pada jalan nafas yang besar. Pertama, saat bronkus bercabang, hambatan tersusun secara paralel dan total daerah potong lintang pada tingkat bronkiolus terminal digabungkan sampai hampir 10 kali lipat di trakea. Kedua, pada pipa yang besar, ireguler, atau bercabang, alirannya sering berputar, tidak berlapis. Ketika alirannya berlapis, maka: F(lam) = ∆P R Sebaliknya, ketika alirannya berputar: F(turb)= ∆P R2 Oleh karena itu, pada jarak tertentu, lebih banyak tekanan dibutuhkan untuk mencapai aliran yang sebanding ketika alirannya berputar. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha yang lebih besar dan bila parah akan terjadi gagal nafas. Gambar 19-3. Hubungan tekanan-volum pada paru-paru. Hubungannya berupa kurvilinier (tipikal untuk struktur elastis). Tekanan pleura lebih rendah (lebih sub atmosfer) pada bagian yang lebih atas. Pada pasien biasa, tekanan transpulmonal (PTP = PAW – PPL) lebih tinggi pada apeks daripada daerah basal. Hal ini menghasilkan posisi yang berbeda pada kurva tekanan-volum pada paru bagian atas (lebih datar) dibandingkan paru bagian bawah (lebih curam). Oleh karena itu, paru bagian bawah lebih mengembang (menerima lebih banyak ventilasi) untuk peningkatan tekanan transpulmonal tertentu daripada bagian atas. TLC, total lung capacity. Gambar 19-4. tekanan-volum sehat dan pada Pada fibrosis, Kurva pada paru penyakit paru. lereng kurva lebih datar, menunjukkan peningkatan variasi tekanan dan kerja respirasi. Pada asma atu bronkitis, terdapat pergeseran ke atas pada kurva tekanan-volum, menunjukkan peningkatan pada volum paru namun tidak terdapat perubahan dalam pemenuhan respirasi. Pada emfisema, lereng kurva lebih curam, menunjukkan hilangnya jaringan serta kemungkinan peningkatan pemenuhan. Namun, pada emfisema, asma, atau bronkitis, hambatan jalan udara ditingkatkan. Hal ini meningkatkan kerja pernafasan dan mengesampingkan manfaat dari peningkatan pemenuhan respirasi. Beberapa faktor dapat mengubah hambatan aliran udara. Pertama, hambatan berkurang saat volum paru meningkat. Seperti saat peningkatan volum (tekanan positif atau pernafasan spontan) mengembangkan diameter jalan nafas, hambatannya menjadi kecil. Hal sebaliknya terjadi saat membuang nafas. Namun, saat paru mencapai RV-seperti yang terjadi pada saat anestesi- jalan nafas menyempit sejajar dengan jaringan paru yang tertekan dan hambatan naik secara bertingkat. Efek ini terlihat dengan ventilasi aktif maupun pasif. Kedua, ventilasi aktif memiliki efek tambahan. Ekspirasi paksa dapat menekan jalan nafas yang kecil (misal yang tidak mengandung kartilago). Selain itu, ekspirasi paksa dapat menyebabkan aliran berputar pada jalan nafas yang kecil pada pasien dengan PPOK, tekanan turun dengan cepat dalam lumen sehingga menyempitkan bronkiolus dan menyebabkan pembatasan aliran ekspirasi. Setelah bernafas berkali-kali, pada akhirnya terjadi “hiperinflasi dinamik”. Ekspirasi melawan hambatan (pursed-lips breathing) kadang-kadang digunakan pada pasien PPOK untuk membuat pernafasan menjadi lebih mudah. Pernafasan ini bekerja dengan meningkatkan hambatan ekspirasi dan memperlambat ekspirasi. Ekspirasi yang lambat mengurangi gradient tekanan yang mendorong ekspirasi (tekanan tertinggi di alveolus, lebih rendah menuju mulut). Oleh karena itu, udara di sepanjang cabang jalan nafas di mana tekanan di dalam jalan nafas telah berkurang sampai kurang dari tekanan di luar jalan nafas (sama dengan tekanan pleura) dipindahkan dari jalan nafas yang mudah kolaps menuju mulut yang tidak mudah kolaps. Hal ini mencegah kolapsnya jalan nafas yang lebih kecil, yang vital untuk pertukaran udara. Gambar 19-5. Gambar skema yang menunjukkan hambatan aliran udara dengan volum paru pada laju kecepatan yang berbeda. Saat volum paru turun, hambatan terhadap aliran meningkat; peningkatan ini jauh lebih besar pada volum paru di bawah kapasitas residu fungsional (FRC). Selain itu, laju aliran udara yang lebih tinggi dihubungkan dengan hambatan yang lebih besar. Pada volum paru yang sangat rendah, hambatannya sebanding dengan nilai yang dilihat pada asma sedang sampai berat (6-8 cm H2O x l-1 x detik). RV, residual volume; TLC, total lung capacity. Gambar 19-6. Gambar skema mengenai konsep equal pressure point (EPP) dan kompresi dinamis jalan nafas. A, sedikit ekspirasi paksa saat kondisi normal. Dengan penggunaan otot ekspirasi, tekanan pleura (Ppl) positif, 4 cm H2O (0,4 kPa). Tekanan recoil elastik (Pst) alveoli (6 cm H2O) dan tekanan pleura ditambahkan menghasilkan tekanan intraalveolar (Palv) (10 cm H2O). Ini menyebabkan aliran ekspirasi. Pada beberapa titik yang turun menuju pembukaan jalan nafas, tekanan jalan nafas (Paw) telah turun sebanyak 6 cm H2O, sehingga tekanan intraluminal dan pleura, tekanan ekstraluminal adalah sama. Ini adalah EPP. Dari titik ini menuju mulut, tekanan jalan nafas intraluminal lebih rendah dari sekitarnya, sehingga tekanan ekstraluminal dan jalan nafas dapat ditekan. C, usaha untuk menstabilkan jalan nafas yang disebut pursed-lip breathing. Hambatan yang meningkat terhadap aliran ekspirasi memerlukan usaha peningkatan ekspirasi untuk mempertahankan aliran udara. Oleh karena itu, tekanan pleura ditingkatkan dalam perbandingan terhadap kondisi yang normal (Ppl = 20 cm H2O). Tekanan recoil elastik alveolus (Pst) sama seperti saat kondisi awal, dengan syarat volum paru sama. Jika aliran ekspirasi besarnya sama saat pernafasan normal, tekanan sepanjang jalan nafas turun sampai pada nilai yang sama pada saat pernafasan normal. Oleh karena itu, EPP akan memiliki lokasi yang sama pada saat pernafasan normal, dan stabilisasi jalan nafas tidak tercapai. Dua cara perpindahan EPP menuju mulut dan untuk mengurangi jalan nafas yang mudah kolaps adalah dengan meningkatkan tekanan recoil alveolus (Pst) dengan peningkatan volum paru atau menurunkan laku aliran ekspirasi sehingga tekanan di sepanjang jalan nafas diperlambat. Jalan nafas yang besar (faring, laring, dan trakea) berada di luar dinding dada. Saat inspirasi, jalan nafas intra thoraks diisi dengan tekanan ekstraluminal (PPL) yang kurang dari tekanan lumen. Sebaliknya, jalan nafas ekstra thoraks diisi dengan tekanan lumen yang kurang dari tekanan ekstraluminal (atmosfer). Hal ini, bersamaan dengan peregangan ke arah bawah yang diinduksi inspirasi, mempersempit jalan nafas ekstra thoraks yang luas, dan dengan adanya penyempitan (seperti pembesaran tiroid atau tumor, paralisis pita suara, epiglotitis) dapat mengurangi masuknya udara. Jaringan Hambatan jaringan paru merupakan tekanan yang digunakan pada jaringan dibagi kecepatan gerakan jaringan. Ada berbagai pendekatan untuk mendeteksi hal ini pada manusia, termasuk mengukur karakteristik tekanan volum (PV) menggunakan plethysmografi (di mana daerah kurva PV bekerja melawan hambatan paru total) dan tekanan esophagus (di mana daerah kurva PV bekerja melawan hambatan jaringan). Pendekatan alternatif secara matematis meniru respon paru terhadap frekuensi respirasi yang bervariasi. Hambatan jaringan paru berjumlah 20% dari total hambatan pernafasan, dapat dinaikkan 3 atau 4 kali lipat pada penyakit paru kronis, serta dikurangi dengan memperpendek pernafasan. Pada ARDS, hambatan dinding dada meningkat. INERSIA DAN PERCEPATAN UDARA SERTA JARINGAN Komponen akhir dari impedansi total pernafasan adalah inersia (kelembaman), atau tekanan yang diperlukan untuk mempercepat udara dan jaringan saat inspirasi dan ekspirasi. Komponen ini minor, namun dapat diukur saat pernafasan normal, baik itu pada paru sehat atau tidak. Inersia jaringan bernilai besar saat ventilasi, dan dapat menjadi penting pada saat pernafasan cepat, dangkal, atau oskilasi dengan frekuensi tinggi. DISTRIBUSI UDARA INSPIRASI Udara yang diinspirasi tidak didistribusikan merata ke seluruh bagian paru. Lebih banyak udara memasuki bagian paru yang mengembang paling besar saat inspirasi. Pada paru yang beristirahat, sebagian besar udara memasuki basal paru (dorsal, ketika supinasi; paru kanan bawah ketika posisi lateral kanan). Distribusi ini dikarenakan pemenuhan paru dan efek posisi pada distribusi tekanan pleura yang mengalami distensi (gradient PPL). Perubahan ini tidak berhubungan dengan kandungan udara yang diinspirasi. Pada posisi tegak lurus, PPL kurang negatif pada basal paru daripada di apeks. Karena nilai PA sama pada seluruh bagian paru, P TP yang mengalami distensi lebih besar pada apeks. Oleh karena itu, sebelum inspirasi dimulai, apeks paru lebih terbuka daripada basal paru. Dengan inspirasi, diafragma yang berkontraksi menurunkan PPL dalam jumlah yang sebanding pada semua area permukaan pleura (karena paru normal seperti cairan) dan lebih berdistensi ke basal daripada ke apeks. Karena gradient tekanan pleura ditujukan menurut gravitasi, distribusi ventilasi berubah dengan posisi tubuh. Gradient PPL ada karena densitas paru, gravitasi, dan penyesuaian paru terhadap bentuk thoraks menyebabkan pendesakan jaringan paru basal, membuat PPL setempat kurang negatif pada bagian basal. Karena densitas paru normal tepatnya 0,3 PPL akan menjadi lebih positif sebesar 0,3 cm H 2O untuk setiap centimeter vertikal ke arah bawah, dan lebih banyak dengan paru yang terluka atau edema. Penurunan berat badan mengurangi persebaran distribusi yang inhomogen, namun tidak menyingkirkannya. Oleh karena itu, faktor non gravitasi (jaringan, jalan nafas) juga berperan. Meskipun tinggi vertikal paru sama pada posisi pronasi maupun supinasi, mungkin karena mediastinum menekan paru ketika supinasi maka sisanya menekan sternum saat pronasi. Distribusi yang lebih merata pada udara yang diinspirasi-dengan oksigenasi yang lebih baik-pada posisi pronasi diprediksi oleh Bryan pada tahun 1974, dan telah dikonfirmasi secara eksperimental. Saat laju aliran rendah (saat istirahat), distribusi ditentukan oleh perbedaan pemenuhan dan bukan oleh hambatan jalan nafas. Karena pemenuhan paru pada saat mulainya inflasi kurang pada apeks, ventilasi lebih diarahkan ke basal. Sebaliknya, pada laju udara yang tinggi, hambatan (bukan pemenuhan) adalah penentuan kunci distribusi. Karena hambatan lebih rendah pada bagian atas, lebih banyak bagian paru yang mengembang, meningkatkan laju aliran dan menyamakan distribusi ventilasi, seperti yang ditunjukkan oleh gas 133 Xe pada manusia. Hal ini penting pada saat latihan atau stress karena jumlah area permukaan yang lebih besar akan digunakan. PENUTUPAN JALAN NAFAS Ekspirasi menyebabkan jalan nafas menyempit, dan ekspirasi dalam dapat menutup jalan nafas. Sisa volum di atas RV di mana ekspirasi di bawah FRC menutup beberapa jalan nafas disebut closing volume (CV). Volum ini ditambahkan ke RV dan disebut sebagai closing capacity (CC; kapasitas total paru saat menutup). Penutupan jalan nafas saat ekspirasi berlangsung normal dan diperkuat oleh meningkatnya PPL, terutama dengan ekspirasi aktif. Ketika PPL melebihi PAW, jalan nafas-jika mudah kolaps-akan cenderung menutup, dan ini biasanya mulai pada basal karena PPL basal adalah yang paling besar. Tiga aplikasi dari prinsip penting ini merupakan relevansi kunci bagi anestesi. Pertama, penutupan jalan nafas tergantung pada umur: pada orang yang masih muda, penutupan tidak terjadi sampai ekspirasi sampai pada atau hampir mendekati nilai RV, di mana pada umur yang lebih tua, penutupan terjadi lebih awal pada ekspirasi (volum paru yang lebih tinggi). Hal ini terjadi karena P PL ratarata lebih positif (tekanan atmosfer, sama dengan PAW) seiring bertambahnya umur. Penutupan dapat terjadi pada atau di atas FRC pada individu berusia 65-70 tahun sehingga bagian tertentu akan mengalami penutupan saat ekspirasi normal. Hal ini dapat menjadi alasan utama mengapa oksigenasi berkurang dengan umur. Kedua, pada posisi supinasi FRC berkurang dibandingksn posisi tegak lurus, namun CC tidak berubah. Oleh karena itu, pembuangan VT biasa (dari FRC) melanggar batas CC pada posisi supinasi individu 45 tahun, dan penutupan dapat berlanjut pada posisi supinasi pada individu 70 tahun. PPOK meningkatkan volum paru saat terjadi penutupan, dan eksaserbasi disebabkanoleh edema jalan nafas dan meningkatnya tonus bronkial. Gambar 19-7. Skema alveolar regional dan volum jalan nafas pada paru bagian atas (A) dan bawah (B) (panel kiri). Terdapat gradient tekanan pleura vertikal (PPL) antara daerah yang paling atas dan paling bawah (-6,5 sampai 1 = -7,5 cm H2O). Tekanan jalan nafas (PAW) sama seperti atmosfer, atau 0 cm H2O. Oleh karena itu, pada daerah atas PAW > PPL untuk mempertahankan jalan nafas terbuka. Sebaliknya, pada daerah yang lebih rendah, PL > PAW menyebabkan penutupan jalan nafas- yang cenderung mengalami eksaserbasi melalui absorpsi udara alveolus di belakang jalan nafas yang tertutup. Panel kanan menunjukkan distribusi rasio ventilasi dan perfusi dari teknik eliminasi gas inersia multiple. Bentuk normal ventilasi dan aliran darah (A) dapat dilihat berhubungan dengan alveoli yang terbuka dan berventilasi pada bagian atas paru. Selain itu terdapat rentang rasio VA/Q yang rendah dengan perfusi yang lebih banyak daripada ventilasi (B). Pola ini kompatibel dengan penutupan jalan nafas intermiten saat pernafasan. Gambar 19-8. Distribusi ventilasi pada paru bagian atas dibanding paru bagian bawah saat aliran inspirasi diubah. Pada aliran rendah, aliran udara menuju bagian yang lebih rendah. Pada laju aliran yang lebih tinggi (saat beraktivitas) distribusinya lebih merata, menyebabkan penggunaan membran alveolus-kapiler yang lebih efisien untuk perpindahan udara (dengan kondisi bahwa aliran darah pulmonal menunjukkan pola distribusi yang serupa). DIFUSI UDARA Udara bergerak dalam jalan nafas yang berukuran luas sampai sedang dengan aliran yang besar (konveksi) menjelaskan bahwa molekul udara berpindah bersama pada kecepatan rata-rata tertentu berdasar gradient tekanan. Alirannya melewati beberapa cabang bronki, dan hambatannya turun pada tiap cabang. Setelah cabang ke-14, jalan nafas menjadi satu dengan alveoli dan ikut dalam pertukaran udara (bronkiolus respirasi). Daerah potong lintang mengembang dengan luas (trachea 2,5 cm2; cabang bronkus ke-23 0,8 m 2; permukaan alveolus 140 m2), sehingga menyebabkan penurunan tajam hambatan total. Karena jumlah molekul gas konstan, kecepatannya turun dengan cepat, di mana saat udara memasuki alveoli dengan kecepatan 0,001 mm/detik dan bernilai 0 saat mencapai membran alveolus. Kecepatan gas memasuki alveolus lebih lambat daripada laju difusi O2 dan CO2, Oleh karena itu difusi diperlukan untuk transportasi di jalan nafas distal dan alveoli. CO2 terdeteksi di mulut setelah beberapa detik menahan nafas, karena difusi cepat dan karena oskilasi jantung (pencampuran). Pencampuran udara lengkap di alveoli paru normal saat pernafasan normal. Namun, jika alveolus mengembang (seperti pada emfisema), jarak difusi dapat menjadi terlalu besar untuk dapat mencapai pencampuran lengkap, dan cenderung meninggalkan lapisan udara kaya CO2 sepanjang membran alveolus dan udara kaya O2 di alveolus. Ini mencerminkan versi mikro dari distribusi ventilasi yang inhomogen. PERFUSI Sirkulasi paru berbeda dari sirkulasi sistemik. Sirkulasi paru bekerja pada 5-10 kali lipat tekanan yang lebih rendah, dan pembuluh darahnya lebih pendek serta lebih lebar. Ada dua konsekuensi penting dari hambatan pembuluh darah yang rendah. Pertama, aliran darah ke bawah pada kapiler paru berpulsasi, berkebalikan dengan aliran kapiler sistemik yang lebih konstan. Kedua, dinding kapiler dan alveolus dilindungi dari tingginya tekanan hidrostatis. Oleh karena itu, keduanya cukup tipis untuk mengoptimalkan difusi (pertukaran) udara namun tidak membiarkan kebocoran plasma atau darah ke rongga udara. Saat peningkatan tiba-tiba tekanan arteri/vena pulmonal dapat menyebabkan rusaknya kapiler, peningkatan secara perlahan (berbulan sampai bertahun) merangsang remodeling pembuluh darah. Remodeling ini dapat melindungi dari edema paru (dan kemungkinan kerusakan paru), namun proses difusi akan terganggu. DISTRIBUSI ALIRAN DARAH PARU Aliran darah pulmonal tergantung pada pengaturan tekanan dan hambatan pembuluh darah. Faktor-faktor tersebut tidak homogen pada seluruh paru. Pemikiran tradisional mengenai perfusi paru menekankan pentingnya gravitasi; namun faktor-faktor selain gravitasi juga penting. Gambar 19.9 Kapasitas residu fungsional saat istirahat (FRC) dan closing capacity (CC). FRC meningkat dengan umur (karena hilangnya jaringan elastis), dan menunjukkan ukuran di atas adalah langkah pengurangan pada FRC dengan posisi supinasi (karena naiknya diafragma oleh abdomen), dan penurunan lebih jauh dengan anestesi pada proses supinasi. CC juga meningkat seiring dengan umur, namun jauh lebih tajam, menyebabkan penutupan jalan nafas di atas FRC pada subjek tegak lurus (> 65 tahun) dan pada subjek supinasi (> 45 tahun). Hubungan antara CC dan FRC menjelaskan penurunan oksigenasi seiring dengan umur. Gambar 19-10. Distribusi vertikal aliran darah paru. Zona I, II, III, dan IV terlihat. Di zona I tidak ada perfusi, hanya ventilasi. Di zona II, tekanan arteri paru melebihi tekanan alveolus yang kemudian melebihi tekanan vena; tekanan laju adalah P PA-PA. Di zona III, kedua tekanan arteri dan vena melebihi tekanan alveolus, dan di sini tekanan laju adalah PPA-PLA. Di basal paru, aliran darah dikurangi kemungkinan karena peningkatan tekanan interstitial yang menekan pembuluh darah ekstra alveolus. PA, tekanan alveolus; PALV, tekanan intraalveolar positif; PLA, tekanan arteri positif; PPA, tekanan arteri pulmonal; QT, kardiak output. DISTRIBUSI ALIRAN DARAH DI PARU: EFEK GRAVITASI Darah memiliki berat dan oleh karena itu tekanan darah dipengaruhi pleh gravitasi. Tinggi (basal ke apeks) pada pasien dewasa tepatnya 25 cm; oleh karena itu ketika seseorang sedang berdiri, tekanan hidrostastis di basal adalah sebesar 25 cm H2O (tepatnya 18 mmHg) lebih tinggi daripada di apeks. Tekanan arteri pulmonal rata-rata adalah 12 mmHg setinggi jantung, dan tekanan arteri pulmonal pada apeks paru dapat mencapai 0. Oleh karena itu, aliran darah yang berkurang akan terjadi pada apeks (dibandingkan basal). Dan pada ventilasi tekanan positif, alveolus apeks dapat menekan kapiler sekelilingnya dan mencegah aliran darah lokal. Berdasarkan distribusi gravitasi pada tekanan arteri pulmonal, seperti efek perluasan alveolus, West dan koleganya membagi paru ke dalam zona I sampai III. System ini berdasarkan prinsip bahwa perfusi ke alveolus tergantung pada tekanan di arteri pulmonalis (PPA), vena pulmonalis (PPV), dan alveolus (PALV). Di apeks (zona I), penting bahwa tekanan arteri pulmonal kurang dari tekanan alveolar. Oleh karena itu, tidak terjadi perfusi. Kondisi zona I dapat terjadi saat ventilasi mekanik dan bisa dieksaserbasi melalui P PA yang rendah. Di manapun terdapat kondisi zona I, alveolus non perfusi merupakan ruang rugi tambahan (VD). Di bawah apeks di zona II, P PV kurang dari tekanan alveolus, dan vena kolaps kecuali pada saat aliran, seperti dalam “air terjun vaskular”. Meskipun P ALV selalu lebih besar daripada PPV, perfusi terjadi ketika PPA melebihi PALV (secara intermiten, saat sistol). Di bawah zona ini adalah zona III, di mana ada 2 perbedaan penting: PPA dan PPV keduanya selalu melebihi PALV. Hasilnya, terdapat perfusi yang menyeluruh saat sistol dan diastole (serta inspirasi dan ekspirasi). Gravitasi menghasilkan peningkatan PPA dan PPV yang sama pada basal paru; oleh karena itu, gravitasi tidak dapat mempengaruhi aliran melalui zona III dengan meningkatkan PPA sampai gradient tekanan PPV sendiri. Namun, masih ada kemungkinan bahwa berat darah yang lebih besar yang lebih dekat ke basal menghasilkan dilatasi pembuluh darah, Oleh karena itu menyebabkan penurunan hambatan pembuluh darah dan meningkatkan aliran. Berikutnya diketahui bahwa juga terdapat penurunan perfusi di basal paru, atau zona IV, yang kemungkinan terjadi karena efek gravitasi yang menekan basal paru-dan pembuluh darah di sana- dan oleh karena itu meningkatkan hambatan pembuluh darah. Bukti tambahan mengenai efek gravitasi berasal dari percobaan sukarelawan di mana gravitasi ditingkatkan dengan mengubah pola penerbangan pesawat jet. Pada percobaan ini, gravitasi nol mengurangi oskilasi jantung O 2 dan CO2 saat menahan nafas, menunjukkan perkembangan perfusi yang lebih homogen. Sebaliknya, lebih banyak percobaan terbaru mengenai analisa gas ekspirasi melaporkan bahwa heterogenitas perfusi paru berkurang, namun tidak menghilang, dengan adanya mikrogravitasi menunjukkan bahwa gravitasi berperan serta dalam heterogenitas distribusi aliran darah namun tidak menjelaskan secara keseluruhan. Sementara peranan yang tepat mengenai gravitasi masih diperdebatkan, gravitasi cenderung memainkan peranan yang lebih kecil ketika poisi supinasi dibandingkan ketika posisi tegak lurus. DISTRIBUSI ALIRAN DARAH DI PARU: PENGARUH DARI FAKTORFAKTOR YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN GRAVITASI Percobaan penting telah mempertimbangkan mengenai efek gravitasi. Aliran darah yang diukur di bidang gravitasi yang sama lebih sedikit per satuan jaringan paru di apeks daripada di basal. Selain itu, penilaian mikro menunjukkan variabilitas yang signifikan dalam bidang iso-gravitasi, dan tinggi paru terhitung 10% dari distribusi aliran baik pada posisi supinasi maupun pronasi. Selain itu, inhomogenitas di bidang horizontal dapat melebihi bidang vertikal. Studi lain melaporkan perfusi yang lebih besar ke jaringan paru pusat (dibandingkan peripheral), yang bisa dibalik melalui penggunaan positive end-expiratory pressure (PEEP). Meskipun panjang pembuluh darah yang lebih besar dianggap menjelaskan perbedaan pusat-periferal ini, teori lain menjelaskan bahwa hal tersebut tidak signifikan. Sehingga terdapat berbagai perbedaan teori mengenai hambatan pembuluh darah lokal di bagian paru. Distribusi pola geometris aliran darah dapat menjadi lebih penting daripada pengaruh gravitasi. Pola geometris perfusi menunjukkan bahwa di bagian tertentu, akan ada “korelasi spasial” (kesamaan ) aliran darah antara bagian yang berdekatan. Meskipun metode untuk mempelajari perfusi paru itu kompleks-dan terdapat bermacam pendapat, data yang dikumpulkan menunjukkan faktor-faktor selain gravitasi berkontribusi terhadap heterogenitas distribusi perfusi. Gambar 19-11. Distribusi aliran darah (ventral, dorsal) pada posisi supinasi dibandingkan pronasi. Distribusi dari ventral ke dorsal serupa, posisi yang tidak berpengaruh menunjukkan bahwa posisi anatomis (dan tidak hanya gravitasi) menentukan distribusi aliran. Besar variabilitas baik pada posisi supinasi maupun pronasi (inhomogenitas non gravitasi) jauh lebih besar daripada perbedaan distribusi antara posisi supinasi dan pronasi. VASOKONTRIKSI PULMONAL HIPOKSIA Vasokontriksi pulmonal hipoksia adalah mekanisme kompensasi yang mengalihkan aliran darah menjauh dari bagian paru yang hipoksia menuju daerah dengan oksigenasi yang lebih baik. Stimulus utama untuk HPV adalah tegangan oksigen alveolus yang rendah (PAO2), apakah disebabkan oleh hipoventilasi atau dengan menghirup udara dengan PO2 yang rendah, dan lebih kuat ketika mempengaruhi bagian paru yang lebih kecil. Stimulus hipoksia yang bercampur dengan darah vena lebih lemah. Sedangkan pada manusia anestesi uap yang lebih tua diperkirakan menghambat HPV lebih dari anestesi intravena (pada manusia). Anestesi uap yang modern, terutama sevofluran dan desfluran, memiliki efek yang sedikit. Pada saat anestesi intravena, pemaparan satu paru terhadap 1,0 FiO2 dan paru yang kontralateral terhadap campuran udara hipoksia (0,12 sampai 0,05 FiO2)mengurangi perfusi terhadap paru yang hipoksia sampai 30% kardiak output. Hipertensi pulmonal, karena remodeling pembuluh darah terhadap HPV yang berkelanjutan, dapat terjadi pada manusia pada ketinggian atau adanya penyakit paru hipoksemia kronik. PENILAIAN KLINIS FUNGSI PARU SPIROMETRI – KAPASITAS TOTAL PARU DAN CABANGNYA Volum udara dalam paru setelah inspirasi maksimum disebut kapasitas total paru (total lung capacity, TLC, sebesar 6-8 L). TLC dapat ditingkatkan pada PPOK dengan perluasan alvelolus atau dengan penghancuran dinding alveolus, menghasilkan hilangnya jaringan elastis, seperti pada emfisema. Pada kasus yang ekstrim, TLC dapat ditingkatkan 10-12 L. Pada penyakit paru restriksi, TLC berkurang, menunjukkan derajat fibrosis, dan menjadi serendah 3-4 L. Berdasar usaha ekspirasi maksimum, sedikit udara tertinggal dalam paru dan merupakan RV (sekitar 2 L). Namun, biasanya tidak ada bagian yang kolaps karena jalan nafas distal (<2 mm) menutup sebelum alveoli kolaps, menjebak udara, dan mencegah pengosongan alveoli. Selain itu, ada batas seberapa banyak dinding dada, tulang rusuk, dan diafragma dapat dikompresi. Pentingnya mencegah jaringan paru kolaps telah dijelaskan lebih awal. Volum maksimal yang dapat dihirup dan kemudian dikeluarkan disebut sebagai kapasitas vital (vital capavity,VC, 4-6 L) dan ini adalah perbedaan antara TLC dan RV. VC berkurang pada penyakit paru restriksi dan obstruksi. Pada restriksi, pengurangan VC menunjukkan hilangnya volum paru, seperti pada efek konstriksi fibrosis. Pada penyakit paru obstruksi, penjebakan udara dalam waktu lama meningkatkan RV dan dapat terjadi dengan melanggar batas (dan mengurangi) VC atau dengan hubungannya dengan peningkatan FVC. Volum tidal (VT, biasanya 0,5 L) diinspirasi dari volum paru istirahat yang dicapai saat akhir ekspirasi (FRC, 2 L). Dengan peningkatan ventilasi, seperti pada saat aktivitas, VT ditingkatkan dan FRC dapat dikurangi tepatnya 0,5 L. Namun, pada obstruksi jalan nafas, pembuangan nafas dihalangi sehingga inspirasi dimulai sebelum volum paru istirahat tercapai; oleh karena itu volum akhir ekspirasi meningkat. Penjebakan udara mengurangi hambatan terhadap aliran udara pada jalan nafas yang menyempit, namun karena jaringan paru mengalami hiperinflasi, kerja pernafasan seluruhnya meningkat. FRC meningkat seiring dengan pertambahan umur saat jaringan paru elastis menghilang; ini mengurangi gaya recoil paru yang berlawanan dengan gaya dinding dada keluar, dan paru menanggung volum yang lebih tinggi. Laju proses penuaan ini dipercepat pada PPOK karena kontribusi penjebakan udara yang kronik dan hilangnya jaringan elastis. FRC berkurang pada penyakit paru fibrosis, kadang-kadang sampai 1,5 L. Reseksi paru juga mengurangi FRC, namun sisa parunya akan mengembang untuk mengisi sebagian kekosongan jaringan paru, yang disebut emfisema kompensasi. KAPASITAS DIFUSI (DLCO)--DIFUSI MELEWATI MEMBRAN ALVEOLUS-KAPILER Uji kapasitas difusi menggabungkan banyak fenomena yang merupakan pusat fisiologi pernafasan. Uji dan faktor-faktor yang mempengaruhi interpretasinya dijelaskan di sini. Di paru-paru, O 2 dan CO2 berdifusi secara pasif: O2 dari udara alveolus ke dalam plasma dan sel darah merah yang berikatan dengan hemoglobin, dan CO2 di arah sebaliknya, dari plasma ke alveoli. Jumlah yang dapat berdifusi melewati membran pada waktu tertentu kapasitas difusi, dan adalah ditentukan berdasar persamaan berikut: di mana SA adalah luas permukaan membran yang terkena udara, ΔP adalah gradien tekanan sebagian antara udara yang masuk dibandingkan tegangan darah, Sol adalah kelarutan udara dalam membrane, dan MW adalah berat molekul udara. Penilaian kapasitas difusi (kadang disebut faktor transfer) menggunakan CO sebagai udara uji, yang diinhalasi dalam konsentrasi yang kecil (0,3%) pada TLC setelah ekspirasi maksimal, mengisi paru sebanyak mungkin dengan CO terlarut. Nafas ditahan lalu dibuang dengan dalam sampai RV. Perbedaan antara jumlah CO yang dibuang dibandingkan yang dihirup akan diambil oleh darah perfusi (Hb) atau sisanya di paru (RV). Selanjutnya dapat ditentukan apakah CO digabungkan ke gas tak terlarut (He) yang tersisa di paru. Luas Permukaan Luas permukaan dihitung sebagai luas yang mampu menukar udara pada alveolus dan kapiler, yang menilai paru yang berventilasi dan berperfusi. Nilainya akan lebih rendah pada paru yang kecil, fibrosis paru (restriksi), setelah reseksi paru, atau pada kasus dengan kerusakan jaringan paru, seperti pada emfisema. Ketebalan Membran Membran yang lebih tebal mengurangi perpindahan CO karena semakin panjang jarak difusi semakin rendah kapasitas difusi, dan kelarutan O 2 (dan CO2) lebih rendah pada jaringan fibrosis daripada plasma. Membedakan antara efek volum darah kapiler dan ketebalan membran dapat menjadi sulit, namun karena oksigen dan CO bersaing untuk berikatan dengan hemoglobin, membedakan hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengukur perpindahan CO dengan FiO2 yang diubah. Gradien Tekanan Semakin besar perbedaan tegangan O2 atau CO2 antara fase udara (alveolus) dan plasma (kapiler), semakin besar laju difusi. Darah vena campuran yang memasuki kapiler pulmonal memiliki PO 2 sebesar 40 mmHg (5,3 kPa) dan PO2 alveolus ntepatnya 100 mmHg (13,3 kPa); oleh karena itu tekanan laju (ΔP) sebesar 60 mmHg (8 kPa). Ketika darah mengalir melalui kapiler, darah mengambil oksigen dan mengantar CO2, namun karena tekanan oksigen dibangun dalam kapiler darah, laju difusi menjadi lambat dan menjadi nol ketika tekanan diseimbangkan melewati dinding alveolus-kapiler. Saat istirahat, keseimbangan biasanya dicapai dalam 25-30% panjang kapiler, dan hampir tidak ada perpindahan udara yang terjadi pada sisa kapiler. Namun, saat aktivitas atau stress (kardiak ouput tinggi), aliran darah melalui kapiler lebih cepat, dan jarak kapiler yang lebih panjang dibutuhkan sebelum keseimbangan tercapai. Membrane alveolus-kapiler yang menebal akan memperpanjang proses keseimbangan, dan apabila berat dapat mencegah keseimbangan terjadi serta peningkatan hipoksemi. Jika PO 2 (PmvO2) vena campuran lebih rendah daripada normal, tekanan laju meningkat dan sebagian mengkompensasi keseimbangan dengan O2 alveolus. Laju tekanan digambarkan sebagi: ΔP = (PaO2 – PmvO2) mmHg Sebagian besar oksigen yang terlarut dalam plasma berdifusi ke dalam sel darah merah dan berikatan dengan hemoglobin; oleh karena itu 1 L darah (Hb 150 g/L) dengan saturasi 98%-normal dalam darah arteri-membawa 200 mL O 2 yang berikatan dengan Hb, dibandingkan dengan 3 mL yang terlarut (PaO2 100 mmHg). Oksigen yang berikatan dengan Hb tidak menciptakan tekanan dalam plasma,hal ini penting karena membuat oksigen lebih banyak untuk berdifusi melaui membran sebelum keseimbangan tekanan tercapai. Anemia mengurangi-dan polisitemia meningkatkan-kapasitas difusi. Berat Molekul dan Kelarutan Laju difusi udara berhubungan terbalik dengan akar persegi berat molekulnya (MW). Semakin besar molekul, semakin lambat difusinya. O2 adalah udara ringan (MW 32) dan CO2 lebih berat (MW 44). Namun, difusi juga secara langsung sebanding dengan kelarutan dalam jaringan, dan CO2 hampir 30 kali lipat lebih larut daripada O2. Kumpulan efeknya adalah CO2 berdifusi sekitar 20 kali lipat lebih cepat daripada O2. Oleh karena itu, tidak ada penyakit paru yang sebanding dengan kehidupan yang mengukur gangguan difusi CO2. Gambar 19-12. Skema oksigenasi darah kapiler pulmonal. Pada subjek yang sehat, terdapat keseimbangan yang cepat (<30% panjang kapiler) pada tegangan oksigen pada darah kapiler dengan udara alveolus. Namun, saat aktivitas, laju alirannya lebih besar dan sebagian besar jarak kapiler digunakan sebelum keseimbangan tercapai. Efek ini dapat diseimbangkan dengan distensi dan pengumpulan kapiler pulmonal. Jika difusi terganggu, keseimbangan terjadi lebih lama, dan tidak tercapai dengan aktivitas. KEJADIAN RESPIRASI INTRAOPERATIF FUNGSI RESPIRASI SAAT ANESTESI Anestesi mengganggu fungsi paru, baik apakah pasien bernafas spontan maupun menggunakan ventilasi mekanik. Oksigenasi darah yang terganggu terjadi pada sebagian besar subjek yang dianestesi. Inilah mengapa O 2 tambahan (FiO2 biasanya 0,3-0,5) hampir tanpa kecuali digunakan. Hipoksemi ringan sampai sedang (SaO2, 85-90%) berlangsung beberapa detik sampai menit, kadang-kadang berat, dan tepatnya 20% pasien mengalami SaO 2 kurang dari 81% sampai 5 menit. Lebih dari 50% kasus kematian yang berhubungan dengan anestesi berhubungan dengan hipoksemi saat anestesi. Dalam ruangan operasi, perubahan fungsi paru dibutuhkan saat anestesi berlangsung: secara klinis komplikasi pulmonal yang signifikan dapat dilihat pada 1-2% pasien setelah operasi minor, dan sampai 20% pasien setelah operasi thoraks atau abdomen. Konsekuensi anestesi tersebut menempati kepentingan utama dalam memastikan penyebab disfungsi respirasi perioperatif dan pendekatan klinis sampai terapi. Dalam bagian ini, kami menjelaskan efek anestesi dan ventilasi mekanis pada fungsi paru. Penyusunan bagian ini sejajar dengan pola kejadian termasuk oksigenasi darah dan pembuangan CO2. Oleh karena itu, fenomena pertama yang dapat dilihat dengan anestesi adalah hilangnya tonus otot dengan perubahan yang berurutan dalam keseimbangan antara gaya keluar (otot respirasi) dan gaya ke dalam (jaringan elastic dalam paru) membuat turunnya FRC. Ini menyebabkan peningkatan paru yang elastic dan peningkatan hambatan respirasi. Penurunan FRC mempengaruhi patensi jaringan paru dengan pembentukan atelektasis (lebih buruk dengan penggunanan oksigen konsentrasi tinggi) dan penutupan jalan nafas. Ini mengubah distribusi ventilasi dan aliran darah serta menghalangi oksigenasi darah serta pembuangan karbondioksida. VOLUM PARU DAN MEKANIK RESPIRASI SAAT ANESTESI Volum paru Volum paru istirahat (FRC) berkurang hampir 1 L dengan berpindah dari posisi tegak lurus ke posisi supinasi. Induksi anestesi lebih jauh lagi menurunkan FRC sebanyak 0,5 L. Ini mengurangi FRC dari 3,5 ke 2 L, nilai yang mendekati RV. Anestesi general menyebabkan turunnya FRC (tepatnya 20%), baik itu pernafasan yang dikontrol ataupun spontan, dan apakah anestesinya inhalasi ataupun intravena. Ini adalah kontributor utama terhadap penurunan oksigenasi. Paralisis otot pada anestesi general tidak menyebabkan pengurangan FRC. Dasar anatomis pengurangan FRC tidak dipahami dengan baik. Percobaan pada 3 sukarelawan menggunakan tomografi dua dimensi menunjukkan bahwa terdapat pergeseran cephalic pada diafragma yang diinduksi oleh anestesi dan paralisis. Studi terbaru menggunakan CT scan juga menunjukkan pergeseran diafragma cephalic seperti pada penurunan daerah dada transversal. Namun, data lain menunjukkan peranan kecil dari diafragma, dengan pergeseran kaudal pada aspek anterior. CT sederhana menunjukkan pergeseran cranial kecuali pada penyakit paru obstruksi berat. Meskipun komponen anatomis pada FRC yang berkurang masih diperdebatkan, mekanisme yang muncul berhubungan dengan hilangnya tonus otot respirasi. FRC dipertahankan oleh keseimbangan gaya ke dalam (recoil paru) dann gaya ke luar (recoil dinding dada, otot dinding dada, diafragma). Contohnya, mempertahankan tonus otot menggunakan ketamin sebagai anestesi tidak mengurangi FRC. Karena posisi pasien biasanya supinasi, FRC telah dikurangi, dan pada pasien yang lebih tua, efek anestesinya lebih ditandai. Seperti yang terlihat pada gambar, FRC berkurang sesuai dengan umur dengan asumsi berat tidak berubah. Pemenuhan dan Hambatan Sistem Respirasi Pemenuhan statis pada sistem respirasi total (paru dan dinding dada) berkurang dari 95 sampai 60 mL/cm H2O saat anestesi. Sebagian besar studi mengenai pemenuhan paru saat anestesi menunjukkan pengurangan dibandingkan dalam kondisi bangun, dan kumpulan data dari beberapa studi menunjukkan bahwa anestesi dihubungkan dengan pengurangan pemenuhan statis rata-rata dari hampir 190 sampai 150 mL/cm H2O. Data mengenai perubahan hambatan respirasi masih kurang jelas. Meskipun sebagian besar studi menunjukkan bahwa anestesi meningkatkan hambatan respirasi, terutama saat ventilasi mekanis tidak ada data yang mengkoreksi volum paru dan laju aliran, dan mungkin perubahan hambatan terjadi karena hilangnya volum. ATELEKTASIS DAN PENUTUPAN JALAN NAFAS SAAT ANESTESI Artikel klasik oleh Bendixen dan koleganya mengajukan konsep atelektasis sebagai penyebab terganggunya oksigenasi dan berkurangnya pemenuhan respirasi saat anestesi. Studi tersebut menjelaskan pengurangan pemenuhan respirasi yang progresif yang sejajar dengan berkurangnya oksigenasi pada manusia yang dianestesi maupun binatang percobaan, yang diinterpretasikan sebagai atelektasis yang progresif. Namun, studi lain mengetahui penurunan pemenuhan yang mendadak dan penurunan PaO2 saat induksi anestesi, begitu juga atelektasis tidak dapat ditunjukkan pada radiografi dada konventional. Semenjak itu, CT scan telah memperbaiki pengetahuan kita mengenai atelektasis yang diinduksi anestesi, dan teknik menunjukkan perkembangan densitas yang cepat pada kedua paru saat anestesi. Studi morfologi mengenai densitas ini pada berbagai binatang mendukung diagnosis atelectasis. Contoh atelektasis pada CT scan ditunjukkan pada gambar 19-14. Gambar 19-13. Anestesi menginduksi pergeseran kranial diafragma dan penurunan diameter transversal thoraks. Efek ini menyebabkan menurunnya kapasitas residu fungsional (FRC). Penurunan volum ventilasi (atelektasis dan penutupan jalan naafs) dapat menyebabkan penurunan pemenuhan respirasi (CL). Penurunan dimensi jalan nafas oleh penurunan FRC dapat menyebabkan peningkatan hambatan jalan nafas (Raw). Gambar 19-14. Computed tomografi dengan potongan transversal dada ketika subjek sadar (panel atas) dan mengalami anestesi (panel bawah). Pada kondisi sadar, paru mengalami aerasi dengan baik (radiasi dari kateter arteri pulmonal terlihat di jantung.). Saat anestesi, atelektesis terjadi pada daerah tertentu (area ireguler abuabu/putih). Area abu-abu/putih yang luas di tengah paru kanan disebabkan pergeseran cranial diafragma dan liver di bawahnya. Atelektasis terjadi pada 90% pasien yang dianestesi, tapi tidak berhubungan dengan pilihan anestesi. Hal ini terlihat pada pernafasan spontan dan setelah paralisis otot ketika anestesi intravena ataupun inhalasi digunakan. Area atelektasis dekat diafrgama berkisar 5-6% dari area total paru, namun dapat melebihi 20%. Jumlah jaringan paru yang kolaps lebih banyak, karena area atelektasis terdiri dari sebagian besar jaringan paru (sisanya menjadi udara). Oleh karena itu, 15-20% paru mengalami atelektasis saat anestesi sebelum operasi dimulai; berkurang menuju apeks, yang biasanya tetap beraerasi. Namun, derajat atelektasis ini lebih besar (>50% volum paru) setelah operasi thoraks atau bypass kardiopulmonal, dan berlangsung selama beberapa jam. Operasi abdomen menyebabkan sedikit atelektasis, namun setelah operasi tersebut atelektasis dapat bertahan beberapa hari. Atelektasis adalah penyebab penting hipoksemi: ada korelasi yang kuat dan signifikan antara derajat atelektasis dan ukuran shunt pulmonal (R = 0,81) di mana atelektasis merupakan persentase area paru di atas diafragma pada CT scan dan shunt merupakan persentase kardiak output menggunakan teknik pembuangan gas inersia multiple (MIGET). Pusat shunt yang meningkat telah dilokalisasi terhadap area atelektasis, menggunakan teknik yang mengkombinasi CT scan dan single photo emission computed tomography (SPECT). Sebagai tambahan pada shunt, atelektasis dapat berbentuk sebagai fokus infeksi dan dapat menyebabkan komplikasi pulmonal. Di samping anestesi (dan tipe pembedahan), sulit memperkirakan perkembangan atelektasis. Meskipun obesitas dihubungkan dengan derajat atelektasis yang lebih besar, hanya ada korelasi yang lemah antara berat badan (atau body mass index, BMI) dan luasnya atelektasis. Selain itu, bukan umur maupun adanya PPOK yang memprediksi perkembangan atau perluasan atelektasis. Pada PPOK, kemungkinan penutupan jalan nafas mendahului pentupan alveolus. Hilangnya elastisitas paru yang lebih besar melawan jaringan dinding dada dapat melindungi dari atelektasis. Gambar 19-15. Rekonstruksi thoraks tiga dimensi pada pasien yang dianestesi yang mengalami atelektasis pada kedua paru. Terdapat sedikit penurunan derajat atelektasis menuju apeks (distal pada gambar ini) Gambar 19-16. Atelektasis serta distribusi ventilasi dan aliran darah. Panel kiri adalah bagian potong lintang gambar computed tomography pada dada pasien anestesi, menggambarkan atelektasis di region basal (dorsal). Panel kanan menunjukkan distribusi ventilasi dan perfusi melalui bagian tersebut. Bagian terbesar ventilasi ada di bagian atas paru (zona A), berkebalikan dengan subjek yang sadar tanpa atelektasis, dan melebihi tingkat perfusi lokal. Hal ini mneyebabkan ventilasi yang terbuang (ruang rugi) pada bagian atas. Pada bagian bawah (zona B), ventilasinya kurang (kemungkinan karena penutupan jalan nafas intermiten) dan dilebihi perfusi local, menunjukkan bagian dengan VA/Q rendah, menyebabkan hipoksemi. Pada daerah paling bawah sebelahnya (zona C). terdapat penghentian sempurna dari ventilasi karena atelektasis, namun sedikit perfusi masih ada dan menyebabkan shunt. Semakin jauh dari puncak paru, semakin tinggi perfusi. Namun pada bagian yang paling rendah perfusi berkurang. PENCEGAHAN ATELEKTASIS SAAT ANESTESI Beberapa intervensi dapat membantu mencegah atelektasis atau bahkan membuka kembali jaringan yang kolaps, seperti yang akan didiskusikan pada paragraf berikut. Positive End-Expiratory Pressure Penggunaan tekanan positif akhir ekspirasi (Positive End-Expiratory Pressure/PEEP) sebesar 10 cm H2O telah berulang kali diperagakan untuk membuka kembali sebagian atelektasis. Beberapa atelektasis dapat bertahan dan mungkin membutuhkan PEEP dan tekanan saluran nafas inspirasi yang lebih besar. Penerapan PEEP pada level lebih besar dapat memberikan efek yang kompleks. Pembalikkan hipoksemia tidak berkaitan secara proporsional dengan penerapan PEEP, dan terdapat ambang batas pada banyak kasus. Selain itu, SaO2 dapat menurun selama penerapan peningkatan PEEP yang disebabkan oleh karena dua alasan. Pertama, peningkatan PPL oleh karena PEEP dapat mengganggu aliran balik vena, khususnya bila terdapat hipovolemia, menurunkan output jantung dan CO2 dan dengan demikian akan mengurangi O2 vena campuran (Cv-O2). Pada kasus di mana terdapat intrapulmonary shunt, seperti atelektasis, darah vena yang bercampur yang langsung ke paru akan menyebabkan desaturasi arteri. Kedua, peningkatan PEEP dapat menyebabkan redistribusi aliran darah jauh dari daerah aerasi, daerah diperluas (mengembang oleh PEEP) menuju daerah atelektasis (tidak mengembang oleh PEEP). Dalam konteks ini, ketahanan atelektasis di paru bergantung pada proporsi yang lebih besar dari total aliran darah pulmonal dibandingkan bila tanpa PEEP. Pada akhirnya, anestesi yang diinduksi atelektasis secara cepat akan tampak kembali setelah menghentikan PEEP. Tentu saja, Hewlett dkk, pada tahun 1974 telah memberikan peringatan terhadap “penggunaan PEEP secara sembarangan pada anestesi rutin”. Gambar 19-17. CT scan dan distribusi VA/ Q pada paru sehat, subjek yang sadar saat anestesi (zero positive end-expiratory pressure [ZEEP]) dan saat anestesi (10 cm H2O positive end-expiratory pressure [PEEP]). Pada saat sadar, tidak ada atelektasis dan distribusi VA/Q yang rendah (bagian kiri plot) menunjukkan penutupan jalan nafas intermiten. Saat anestesi dengan ZEEP, atelektasis terlihat pada paru basal (dan diafragma telah didorong secara cranial). VA/Q yang rendah telah diganti oleh atelektasis dan shunt yang besar. Selain itu, VA/Q yang tinggi (bagian kanan plot) menunjukkan ruang rugi alveolus pada paru atas. Dengan tambahan PEEP selama anestesi, jarungan paru yang kolaps telah dikumpulkan dan shunt telah dikurangi. Selain itu, VA/Q yang tinggi telah meningkat, menunjukkan inflasi tambahan pada paru atas non perfusi. Manuver Rekrutmen Sebuah manuver bernafas, atau VT yang besar, telah disarankan untuk membalikkan atelektasis . Akan tetapi, atelektasis tidak secara seragam diturunkan oleh peningkatan VT atau bernafas pada PAW 20 cm H2O. Sebaliknya, PAW 30 cm H20 dibutuhkan untuk pembukaan awal, dan 40 cm H2O untuk lengkap. pembalikkan Pada paru-paru normal, inflasi setara dengan VC oleh karena itu dapat disebut sebagai manuver VC (meskipun dicapai dengan positif PAW). Selain itu, efek hemodinamik yang signifikan mungkin terjadi apabila didukung maneuver VC; pada kenyataanya, inflasi dengan PAW 40 cm H2O untuk 7 sampai 8 detik dapat membuka hampir semua anestesi yang diinduksi atelektasis. Meminimalisasi Gas Resorpsi Walaupun pencapaian anestesi yang diinduksi atelektasis sangat mungkin dilakukan baik dengan PEEP ataupun manuver VC, penerapan berlanjut PEEP pada level tertentu dibutuhkan untuk mencegah rekurensi atelektasis secara cepat. Namun demikian, N2- gas insoluble yang tidak diabsorbsi ke dalam darah dapat “membebat” alveolus apabila alveolus sudah terbuka. Akibatnya, pada pasien yang teranestesi, manuver VC diikuti oleh ventilasi gas bercampur N2 sebanyak 60% (40% O2) yang akan mengurangi kecenderungan untuk mengakumulasi ulang atelektasis hanya 20% yang muncul kembali yaitu 40 menit setelah rekrutmen. Prinsip yang sama juga diterapkan pada praktek preoksigenasi pasien selama induksi anestesi. Tujuannya adalah untuk mencegah desaturasi O2 (mendapatkan batas aman O2) selama induksi sebelum jalan nafas diamankan ketika anestesiologis mengatur ventilasi dan oksigenasi. Secara tradisional, pengaplikasian FiO2 1.0 telah digunakan. Walaupun SaO2 biasanya dipertahankan dengan baik menggunakan metode ini, terbentuknya atelektesis tidak dapat dihindari. Penggunaan 30% dibandingkan 100% O2 selama induksi diujicobakan pada studi klinis untuk mengeliminasi pembentukan atelektasis.Selanjutnya, dilakukan perbandingan bernafas dengan komposisi 100%, 80%, dan 60% O 2 selama induksi menunjukkan terbentuknya atelektasis di banyak tempat dengan menggunakan O2 100%, lebih sedikit pada O2 80%, dan lebih sedikit lagi paada O2 60%. Atelektasis semakin kecil berarti semakin kecil pula batas aman sebelum desaturasi O2 terjadi. Sebuah metode alternatif yang mungkin adalah menggunakan tekanan udara positif kontinu (Continuous Positive Airway Pressure [CPAP]). Penggunaan CPAP 10 cm H2O memungkinkan inspirasi dengan O2 100% tanpa pembentukan atelektasis secara signifikan. Penggunaan CPAP tersebut dapat menjadi kombinasi yang ideal dengan risiko minimal terhadap desaturasi O 2 maupun atelektasis, namun hal ini belum diverifikasi secara ulang. Gambar 19.18. Gambaran gamma kamera pada aliran darah paru pada subjek anestesi dalam posisi lateral. Saat ventilasi mekanis dengan zero end-expiratory pressure (ZEEP), perfusi didominasi (60-70% kardiak output) pada paru bawah. Pemakaian PEEP (10 cm H2O) pada kedua paru memaksa perfusi lebih banyak pada paru bawah, tanpa perfusi pada paru utara. Sebaliknya, penggunaan selektif PEEP pada paru bawah menyebabkan distribusi ulang perfusi ke paru bagian atas. Tentu, gambar yang disajikan adalah jaringan dengan perfusi. Gambar 19-19. CT scan saat sadar dan dianestesi dengan perubahan tekanan jalan nafas (PAW). CT scan pada subjek yang sadar (panel kiri atas) menunjukkan vaskularisasi normal dan tanpa atelektasis. Saat anestesi (PAW, 0 cm H2O; upper right panel), atelektasis basal bilateral terlihat, PAW meningkat (20 cm H2O terlihat), namun atelektasis tidak dibalik sampai PAW 40 cm H2O diaplikasikan (panel kanan bawah). Oleh karena itu, maneuver kapasitas vital dibutuhkan untuk membuka paru. Gambar 19-20. Pembentukan atelektasis pada subjek anestesi mengikuti pre oksigenasi dengan konsentrasi oksigen inspirasi yang berbeda. Peningkatan FiO2 saat preoksigenasi meningkatkan kecenderungan atelektasis (symbol tertutup), meskipun ada banyak variabilitas. Lingkaran terbuka sekitar konsentrasi oksigen ekspirasi sebesar 25% mewakili data dari anestesi yang diinduksi selama bernafas dengan 30% O2. Mempertahankan Tonus Otot Oleh karena kehilangan tonus otot pada diafragma ataupun dinding dada dapat meningkatkan resiko atelektasis, teknik yang dapat mempertahankan tonus otot mungkin akan memberikan keuntungan. Ketamin intravena tidak mengganggu tonus otot dan hanya merupakan anestesi individu yang tidak menyebabkan atelektasis. Apabila blokade neuromuskular ditambahkan, atelektasis terjadi sebagai interaksi dengan anestesi lainnya. Ketamin adalah sebuah agen yang sangat berguna pada kondisi-kondisi khusus, tetapi ketamin memiliki kendala yang signifikan pada kasus rutin. Sebuah metode ekperimental dalam usaha memperbaiki tonus otot yaitu dengan cara difragma pacing. Metode ini dicapai dengan cara stimulasi nervus phrenicus, metode ini dapat menurunkan derajat atelektasis secara sederhana, namun demikian , efek yang dihasilkan kecil dan metode ini sulit. Atelektasis pasca operasi Hipoksemia adalah suatu hal yang biasa muncul setelah anestesi dan operasi. Hal tersebut didukung oleh karena pasien bernafas dengan oksigen sebelum induksi anestesi dan adanya penyedotan (suctioning) pada saluran nafas (tekanan negatif) sebelum ekstubasi trakea. Selain itu, splinting dan penghambat batuk berhubungan dengan nyeri dapat menyebabkan atelektasis pasca operasi. Beberapa metode telah dilakukan untuk mengatasi atelektasis terkait hipoksemia pasca operasi. Penggunaan 100% O2 dipasangkan dengan manuver VC ternyata tidak efektif, hal ini mungkin disebabkan ketika VC manuver merekrut paru-paru, pembukaan alveolus tidak dipertahankan (faktanya penutupan alveolus didorong oleh N2-bebas O2). Namun, manuver VC yang diikut oleh konsentrasi O2 yang lebih rendah (40% O2 dalam N2) dapat mempertahankan pembukaan sampai pada akhir oksigenasi anestesi. Oksigenasi akan dipertahankan dalam periode yang lama setelah ventilasi dengan O2 50% di udara (yaitu N2) dibandingkan dengan penggunaan O2 100% apabila memakai cardiopulmonary bypass. Pada akhirnya, perawatan pada hipoksemia pascaoperasi, yang dianggap sebagai penyebab atelektasis, akan memberikan hasil lebih baik jika menggunakan CPAP dibandingkan dengan penggunaan O2 100%. Gambar 19-21. Tiga pembagian model ventilasi dan perfusi saat anestesi. Pada bagian atas, alveoli dan jalan nafas terbuka (panel kiri, A). Di bagian bawah, jalan nafas tertutup secara intermiten (B), dan atelektasis terjadi pada bagian bawah (C). Distribusi ventilasi-perfusi (teknik eliminasi gas inersia multiple) digambarkan di panel kanan. Model A menyebabkan ventilasi dan perfusi yang baik, di mana model B menunjukkan penutupan jalan nafas intermiten. Selain itu, terdapat shunt pada daerah atelektasis. Penutupan saluran nafas Penutupan saluran nafas sementara mengurangi ventilasi alveolus yang terlibat. Beberapa daerah paru dapat menjadi daerah dengan VA/Q rendah apabila perfusi dipertahankan atau tidak dikurangi menjadi setingkat dengan ventilasi. Kecenderungan penutupan saluran nafas akan meningkat seiring dengan usia, seperti halnya perfusi yang rendah pada daerah VA/Q. Anestesi mengurangi FRC sebanyak kira-kira0.5 Lyang akan meningkatkan penutupan saluran nafas selama ventilasi tidal. Faktanya, pengurangan ventilasi pada paru yang tidak atelektasis disebabkan oleh penutupan saluran nafas. Selain itu, ventilasi di daerah ini lebih rendah daripada perfusi (yaitu pada daerah rendah VA/Q) dan memberikan kontribusi terhadap terganggunya oksigenasi selama anestesi. Bila disimpulkan, kombinasi antara atelektasis dan penutupan saluran nafas menjelaskan sekitar 75% dari keseluruhan penurunan pada proses oksigenasi. Selain itu, di mana (CVERV) menunjukkan jumlah penutupan saluran nafas yang terjadi di bawah FRC (ERV [expiratory reserve volume] adalah volume cadangan ekspirasi), nilai ini akan meningkat dengan induksi anestesi, dan terdapat korelasi yang baik antara VA/Q rendah dengan sejauh mana penutupan saluran nafas. Kesimpulannya, model paru tiga kompartemen sederhana (normal VA/Q daerah pencocokan, daerah penutupan saluran nafas, dan paru dengan atelektasis) menjelaskan dengan baik komponen-komponen yang berkontribusi dalam terganggunya oksigenasi selama anestesi. Distribusi Ventilasi dan Aliran Darah Selama Anestesi Distribusi Ventilasi Redistribusi gas yang diinspirasi dari daerah paru dependen ke daerah nondependen telah didemonstrasikan dengan menggunakan teknik isotop pada manusia yang dibius dan pada posisi telentang. Radiolabeled aerosol dan SPECT mendemonstrasikan bahwa ventilasi didistribusikan terutama ke paru-paru bagian atas kemudian secara berturut-turut mengalami penurunan menuju bagian paruparu yang lebih rendah, tidak adanya ventilasi di bagian paru paling bawah secara konsisten ditemukan atelektasis yang dibuktikan oleh CT. Manuver rekrutmen meningkatkan ventilasi paru dependen pada subjek yang dianestesi dalam posisi lateral dan telentang (supine), memulihkan distribusi ventilasi pada kondisi sadar. dengan demikian, pemulihan keseluruhan FRC terhadap tingkatan sadar mengembalikan distribusi gas terhadap pola sadar. Penjelasannya adalah merekrut paru yang atelektasis, membuka kembali saluran nafas yang tertutup, dan ekspansi lebih jauh terhadap bagian paru yang sudah mengembang (bagian atas), mengurangi pemenuhan regional, dan mengurangi ventilasi tambahan. Distribusi Aliran Darah Paru Distribusi aliran darah paru telah diteliti dengan menggunakan injeksi berlabel radioaktif macroaggregated albumin dan SPECT.Selama anestesi, peningkatan perfusi terjadi secara berturut-turut dari bagian atas menuju bagian yang lebih rendah, dengan sedikit penurunan perfusi pada paru bagian paling bawah, yang atelektasis ditunjukkan pada CT secara simultan (lihat Gambar 1916). PEEP akan menghambat aliran balilk vena ke jantung kanan dan mengurangi curah jantung. Hal itu juga dapat berdampak pada resistensi pembuluh darah pulmonal, meskipun hal ini hanya berpengaruh kecil pada cardiac output. Selain itu, PEEP mendistribusikan kembali aliran darah ke arah daerah paru dependen, mengurangi aliran (dan meningkatkan ruang rugi) pada paru bagian atas; peningkatan aliran dependen dapat meningkatkan shunt melalui paru yang atelektasis. Vasokontriksi Pulmonal Hipoksia Beberapa anestesi inhalasi -namun bukan anestesi intravena- dapat mengahambat HPV pada preparat paru yang terisolasi. Penelitian manusia tentang HPV terbilang kompleks dengan adanya parameter multipel yang berubah secara simultan, sehingga mengacaukan respon HPV terhadap perubahan curah jantung, kontraktilitas miokard, tonus pembuluh darah, distribusi volume darah, pH, PCO2, dan pergerakan paru. Namun, pada penelitian tanpa perubahan yang jelas pada cardiac output, isoflurane dan halothane menekan respon HPV sebesar 50% pada 2 konsentrasi alveolar minimal (minimum alveolar concentration [MAC]) (Gambar 19-22).VA/Q tinggi dapat dijelaskan oleh karena perfusi yang kecil pada sudut pembuluh darah septa interalveolar di paru bagian atas, yaitu tempat di mana tekanan alveolar dapat melebihi tekanan pembuluh darah paru (zona 1). Gangguan eliminasi CO2 ini paling mudah diperbaiki dengan cara meningkatkan ventilasi, lagipula jarang ditemukan masalah pada anestesi rutin dengan ventilasi mekanik. Gambar 19-22. Efek anestesi inhalasi pada vasokontriksi pulmonal hipoksia (HPV). Konsentrasi sebesar 1 MAC menyebabkan penurunan 20-30% HPV, dan penurunan terjadi dengan konsentrasi tinggi. Efeknya adalah shunt (perfusi melewati bagian non ventilasi) akan berkurang saat anestesi inhalasi. Oksigenasi Penurunan oksigenasi arteri selama anestesi lebih ditandai dengan peningkatan usia, obesitas, dan merokok (lihat Bab 80). Campuran vena, dihitung dengan persamaan shunt oksigen standar, juga menunjukkan peningkatan selama anestesi yaitu sekitar 10% dari cardiac output. Namun, ini adalah perhitungan rata-rata yang menganggap hiposia disebabkan murni oleh shunt saja, padahal sebenarnya hal itu disebabkan oleh kombinasi dari shunt “sejati” (yaitu, paru nonventilated), ventilasi yang buruk dari beberapa bagian, dan bagian yang berventilasi namun perfusi lebih besar daripada ventilasi (daerah V A/Q rendah). Kombinasi dari hal tersebut disebut dengan venous admixture. Persamaan dari shunt (Kotak 19-2) mengasumsikan bahwa semua aliran darah melalui paru-paru menuju ke salah satu dari dua kompartemen; salah satunya (fraksi non-shunt), semua darah teroksigenasi, dan satunya lagi (fraksi shunt), semua darah dialirkan. Persamaan shunt (atau venous admixture) dituliskan sebagai berikut: Oleh karena darah pada ujung kapiler pulmonal diasumsikan tersaturasi maksimal (karena itu SCO2 = 1), kuantitas O2 terlarut dapat diabaikan, dan perbedaan CvO2 dan CvO2 dapat diasumsikan kecil (sehingga dianggap CvO2 = CvO2) maka : Dengan demikian, efek intervensi shunt dapat dihitung dengan mudah dari perubahan SaO2 dan SvO2. Tingkat venous admixture tergantung pada fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2). Semakin tinggi fraksi oksigen inspirasi, semakin sedikit daerah V A/Q rendah. Namun, dengan FiO2 yang tinggi, daerah VA/Q rendah dapat kolaps disebabkan oleh adsorpsi gas dan kemudian diubah menjadi daerah shunt. Korelasi yang kuat antara venous admixture dengan jumlah total shunt “sejati” dan perfusi daerah VA/Q rendah telah ditunjukkan pada sebuah penelitian yang melibatkan 45 subjek (Gambar 19-24). Derivat shunt oksigen atau venous admixture ditunjukkan pada Kotak 19-2. Pada relawan muda yang sehat, selama dianestesi menggunakan thiopental dan methoxyflurane, baik ventilasi maupun perfusi didistribusikan ke area yang lebih luas pada rasio VA/Q yang dapat dinyatakan sebagai peningkatan pada standar deviasi logaritmik dari distribusi perfusi (log SDQ). Pada kelompok serupa dari pasien yang diteliti, selama anestesi menggunakan halotan dan saat kelumpuhan otot, log SDQ hampir dua kali lipat (0.43 saat sadar, 0.80 selama anestesi). Selain itu, shunt “sejati” meningkat menjadi rata-rata 8%. Peningkatan serupa pada shunt yaitu 1% pada saat sadar menjadi rata-rata 9% saat anestesi telah tercatat pada penelitian dengan subjek pasien bedah usia pertengahan (37-64 tahun) dan juga terdapat perluasan distribusi (log SDQ: 0.47 saat sadar, 1.01 saat anestesi). Pada pasien usia lebih tua dengan gangguan fungsi paru-paru yang lebih berat, anestesi halotan dengan dengan paralisis otot, dengan atau tanpa nitrious oxide, menyebabkan pelebaran yang besar dari distribusi VA/Q (log SDQ 0.87 saat sadar, 1.73 saat anestesi). Selain itu, shunt meningkat menjadi rata-rata 15%, dengan variasi yang besar di antara pasien (0% - 30%). Dengan demikian, temuan yang paling konsisten selama anestesi adalah mismatch VA/Q yang meningkat, yang dinyatakan sebagai peningkatan log SDQ, dan peningkatan shunt. Ventilasi secara spontan sering berkurang selama anestesi; oleh karena itu anestesi inhalasi127 atau barbiturate 128 mengurangi sensitivitas terhadap CO 2. Respon yang terjadi tergantung pada dosis; ventilasi akan menurun dengan semaakin dalamnya anestsi. Anestesi juga mengurangi respon terhadap hipoksia, hal itu mungkin disebabkan oleh efek pada kemoreseptor badan karotid. Efek anestesi pada fungsi otot pernafasan menjadi lebih dimengerti. Efek yang ditimbulkan tidak seragam. Penyimpangan (excursion) tulang rusuk berkurang dengan anestesi yang lebih dalam. Respon ventilasi normal terhadap CO2 dihasilkan oleh otot-otot interkostal, namun tanpa disertai peningkatan yang jelas dari pergerakan tulang rusuk dengan rebreathing CO2 selama anestesi halotan. Dengan demikian, berkurangnya respon ventilasi terhadap CO 2 selama anestesi disebabkan oleh terhambatnya fungsi otot interkostal. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan selama anestesi Pernafasan Spontan Kebanyakan penelitian tentang fungsi paru telah dilakukan pada yang dianestesi, subjek maupun binatang yang ventilasinya secara mekanik. Pernafasan spontan jarang diteliti. FRC menurun pada tingkat yang sama selama anestesi, terlepas apakah relaksan otot digunakan dan atelektasis terjadi hampir pada tingkat yang sama pada subjek yang dianestesi, subjek yang bernafas secara spontan seperti pada kondisi kelumpuhan otot. Selanjutnya pergeseran bagian kranial diafragma seperti yang dilaporkan oleh Froese dan Bryan, adalah sama besarnya baik selama anestesi maupun saat bernafas spontan dan dengan kelumpuhan otot, meskipun perbedaan pergerakan diafragma dari posisi istirahat telah diketahui. Dengan demikian, selama pernafasan spontan, yang di bawah, bergantung pada bagian diafragma yang pergerakannya paling besar, sedangkan kelumpuhan otot, bagian atas, tidak tergantung pada pada bagian yang menunjukkan perpindahan paling besar. Semua temuan ini telah mengangkat sebuah pertanyaan apakah ada perbedaan daerah ventilasi pada pernafasan spontan dengan ventilasi mekanik, dan apakah ventilasi mekanik memperburuk VA/Q sebagai konsekuensi dari ventilasi yang kurang pada perfusi yang baik, bergantung pada area paru. Namun, tidak banyak literatur yang mendukung bahwa kelumpuhan otot memperburuk pertukaran udara. Beberapa penelitian distribusi VA/Q yang telah dilakukan juga tidak mendukung hal tersebut. Dueck dan koleganya menemukan peningkatan yang sama pada mismatch VA/Q pada domba yang dianestesi selama proses anestesi berlangsung, terlepas dari apakah mereka bernafas secara spontan atau dengan ventilasi mekanik. Log SDQ menunjukkan tingkat mismatch meningkat ((0,66[terjaga],0.83 [menghirup anestesi dengan pernapasan spontan], 0,89 [Mekanik ventilasi]). Shunt juga meningkat selama anestesi dari 1% (terjaga) menjadi 11% (dibius, spontan bernapas) atau 14% (dibius, ventilasi mekanik). Dalam sebuah penelitian pada subjek manusia yang dianestesi shunt dan log SDQ meningkat dari 1% dan 0,47 saat terjaga sampai 6% dan 1.03 selama anestesi dengan pernapasan spontan dan 8% dan 1,01 selama ventilasi mekanik. Oleh karena itu, sebagian besar efek pertukaran gas anestesi terjadi saat bernafas spontan dengan sedikit atau tanpa gangguan lebih lanjut, ditambah pada saat terjadi kelumpuhan otot dan pada saat ventilasi mekanik. Peningkatan Fraksi Oksigen Dalam penelitian yang dikutip sejauh ini, fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) yangdigunakan adalah sekitar 0.4. Anjou-Lindskog dan koleganya menginduksi anestesi pada subjek yang bernafas dengan udara bebas (FiO 2, 0.21) pasien yang diteliti berusia paruh baya sampai dengan yang lebih tua selama anestesi intravena sebelum operasi paru elektif dan penelitian tersebut hanya menemukan shunt yang kecil saja yaitu 1% sampai 2%, meskipun log SDQ meningkat sekitar 0.77-1.13. Ketika FiO2 meningkat menjadi 0.5, shunt juga akan meninngkat (sebesar 3% sampai 4%). Pada penelitian lain yang melibatkan pasien lebih tua selama anestesi menggunakan halotan, peningkatan FiO2 dari 0.53 menjadi 0.85 menyebabkan peningkatan shunt dari 7% menjadi 10% pada cardiac output. Dengan demikian, peningkatan FiO2 akan meningkatkan shunt, hal ini mungkin karena peredaman (attenuation) HPV terjadi karena peningkatan FiO 2 122 atau pembentukan lebih lanjut daripada atelektasis dan shunt pada paru dengan rasio VA/Q rendah. Posisi Tubuh Kapasitas residual fungsional berkurang secara dramatis oleh efek gabungan antara posisi telentang dan anestesi (lihat Bab 41). Efek pada FRC, dalam menginduksi anestesi pada posisi berdiri tegak telah diujicobakan oleh Heneghan dan asosiasinya dan ternyata tidak terdapat perbedaan pada semirecumbent dibandingkan dengan posisi telentang. Penurunan cardiac output dan meningkatnya inhomogenitas distriusi aliran darah dapat lebih besar daripada efek yang ditimbulkan oleh postur tubuh. Perfusi fraksional dari daerah paru yang paling dependen-sangat rendah atau bahkan tidak berventilasi- sebenarnya telah meningkat pada posisi semirecumbent. Pada posisi lateral, terdapat perbedaan pada mekanika paru-paru, volume paru-paru saat istirahat, dan pembentukan atelektasis antara daerah dependen dan nondependent pada paru-paru telaah didemonstrasikan.138 dan terbukti menghasilkan gangguan lebih lanjut pada pasangan ventilasi-perfusi, disertai kerusakkan berat pada oksigenasi. Namun demikian terdapat variasi yang besar dan tak terduga. Dengan menggunakan teknik isotop, peniingkatan mismatch VA/Q juga diperlihatkan pada kondisi teranestesi, yaitu pasien lumpuh pada posisi lateral dan terlihat adanya peningkatan pada posisi telungkup. Selain itu, inhomogenitas vertikal dari distribusi perfusi kurang terlihat pada posisi telungkup, hal ini mungkin mencerminkan perbedaan bagian pada konfigurasi vaskular yang meningkatkan perfusi bagian dorsal paru, terlepas itu adalah pada posisi dependen atau nondependent. Pada akhirnya, distribusi ventilasi dapat menjadi seragam pada subjek dengan posisi telungkup. Usia Oksigenasi kurang efisien pada pasien yang lebih tua. Namun demikian, pembentukan atelektasis tidak meningkat seiring dengan usia pada orang dewasa, dan beberapa penelitian CT pada infant selama anestesi menunjukkan derajat atelektasis yang lebih besar. Selain itu, shunt tidak tergantung pada usia antara 23 dan 69 tahun. Akan tetapi, mismatch VA/Q meningkat seiring dengan usia, disertai dengan peningkatan perfusi daerah rendah VA/Q pada saat sadar dan pada saat dianestesi. Penyebab utama dari gangguan pertukaran gas selama anestesi pada pasien di bawah 50 tahun adalah karena shunt, sedangkan di atas 50 tahun mismatch VA/Q (yaitu peningkatan log SDQ) menjadi semakin berperan penting. Karena korelasi antara log SDQ dan usia saat dianestesi hampir sejajar dengan saat kondisi sadar, dapat dikatakan bahwa anestesi akan memperburuk VA/Q matching setara penuaan sebanyak 20 tahun. Obesitas Obesitas dapat memperburuk oksigenasi terutama oleh karena berkurangnya FRC menyebabkan kecenderungan lebih besar untuk penutupan saluran nafas. Selain itu, penggunaan oksigen berkonsentrasi tinggi meningkatkan pembentukan atelektasis secara cepat pada alveoli bagian distal sampai pada penutupan saluran nafas, terdapat pula korelasi yang kuat antara BMI dengan luas dari atelektasis (baik selama atau setelah anestesi)dan antara BMI dengan shunt pulmonal. Mencegah penurunan FRC dengan cara menggunakan CPAP selama induksi anestesi mungkin dapat mngurangi pembentukan atelekasis, dan dengan demikian dapat mempertahankan oksigenasi. Pada pasien obesitas “safety window” (waktu yang dibutuhkan untuk membentuk desaturasi mengikuti penghirupan oksigen selama induksi anestesi) jauh berkurang, dan hal ini dappat diperpanjang oleh PEEP atau CPAPyang meningkatkan volume paru dan meningkatkan reservoir O2 yang tersedia untuk difusi sampai pada kapiler darah. Kegunaan dari inspirasi dengan konsetrasi oksigen level tinggi, atau hampir 100%, adalah untuk menjaga tingkat oksigenasi selama anestesi dan operasi, cara ini mungkin sederhana namun cara ini belum tentu merupakan cara yang terbaik. Cara ini dapat meningkatkan pembentukan atelektasis dan apabila shunt lebih besar dari 30% yang mungkin menjadi kasus pada pasien ini, penambahan oksigen mungkin akan menambah sedikit oksigenasi pada arteri. Penerapan PEEP telah dianjurkan, dan mungkin dapat mengurangi pembentukan atelektasis akan tetapi PEEP juga memiliki efek samping, seperti berkurangnya cardiac output dan redistribusi aliran darah menuju ke sisa-sisa bagian paru yang kolaps. Ventilasi dengan inflasi hampir serupa dengan VC dalam mengembalikan jaringan yang kolaps, ventilasi yang diikuti dengan penambahan PEEP merupakan salah satu pilihan yang lain. Perekrutan paru-paru dengan inflasi hingga 55 cm H2O membukan seluruh jaringan paru-paru yang kolaps pada pasien dengan BMI 40 kg/m2 atau lebih. Namun demikian, perekrutan saja tidak dapat menjaga paru tetap terbuka lebih dari beberapa menit. Untuk menjaga agar paru tetap mengembang, PEEP 10 cm H2O dibutuhkan setelah rekrutmen. PEEP 10 tidak cukup untuk membuka paru. Posisi tubuh dapat memberikan efek yang subsansial pada volume paru dan harus menjadi pertimbangan sejauh mana operasi diperbolehkan. Gambar 19-25. Hubungan antara BMI dan perluasan atelektasis saat anestesi umum. Penyakit Paru yang Sudah Ada Sebelumnya Perokok dan pasien dengan penyakit paru kronik memiliki gangguan pertukaran gas, baik saat sadar, maupun pada saat dianestesi, hal ini berhbungan dengan deteorisasi dari oksigenasi yang jauh lebih baik pada individu yang sehat.10 Menariknya, perokok yang memiliki keterbatasan aliran udara moderat dapat memiliki shunt yang lebih sedikit dibandingkan subjek yang sehat apabila diukur dengan menggunakan MIGET. Dengan demikian, pada pasien bronkitis derajat ringan sampai sedang yang menjalani operasi paru-paru atau operasi rekonstruksi vaskuler di kaki, hanya sedikit shunt yang terdeteksi, namun log SDQ meningkat. Pada pasien bronkitis kronik yang diteliti dengan menggunakan MIGET dan CT, tidak terdapat atau hanya atelektasi terbatas yang terbentuk selama anestesi dan tidak ada atau hanya minor shunt yang terbentuk; namun mismatch yang cukup besar terlihat pada fraksi perfusi yang besar untuk daerah rendah VA/Q. Akibatnya oksigenasi arteri lebih rendah dibandingkan dengan subjek paru sehat, tetapi penyebabnya berbeda pada subjek sehat. Sebbuah alasan yang mungkin untuk tidak terbenntuknya atelektasis dan shunt pada pasien ini adalah karena hiperinflasi kronis, yang mengubah perilaku mekanik paru-paru dan interaksinya dengan dinding dada sehingga mengurangi kecenderungan paru untuk kolaps. Hal ini harus diingat bahwa pasien dengan penyakit paru obstruktif dapat memiliki daerah rasio VA/Q rendah yang luas yang dapat dikonversi dari waktu ke waktu untuk meresorpsi atelektasis. Dengan demikian perlindungan selama anestesi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif mungkin tidak bertahan lama. Daerah dengan VA/Q rendah dapat tergantikan dengan atelektasis sebagai akibat dari penyerapan gas yang lambat di belakang saluran nafas yang tersumbat selama operasi dan periode pasca operasi. Anestesi Regional Efek ventilasi anestesi regional tergantung pada tipe dan sejauh mana blok motoriknya . Dengan blok motorik yang luas yang mencakup seluruh segemen toraks dan lumbal, kapasitas inspirasi akan berkurang sebesar 20% dan volume cadangan ekspirasi mendekati nol. Fungsi diafragma, bagaimanapun, sering terhindar, bahkan pada kasus anestesi subdural atau blok sensorik epidural yang diperluas hingga segmen serviks. Penanganan yang terampil dalam anestesi regional akan mempengaruhi pertukaran gas paru secara minimal. Oksigenasi arteri dan eliminasi karbondioksida dipertahankan dengan baik selama anestesi spinal maupun epidural. Hal ini sejalan dengan temuan tidak berubahnya hubungan antara CC dan FRC dengan tidak berubahnya distribusi rasio ventilasiperfusi yang dinilai MIGET selama anestesi epidural. Penyebab Hipoksemia dan Hiperkapnia Pada bagian sebelumnya, telah dibahas tentang ventilasi, distribusi gas, dan mekanisme pernafasan yang mengatur distribusi, difusi dan perfusi paru. Semua komponen fungi paru-paru ini dapat mempengaruhi oksigenasi darah, dan semuanya kecuali difusi dapat pula mempengaruhi eliminasi CO 2 secara terukur. Perbedaan mekanisme di balik hipoksemia dan retensi CO2, atau hiperkapnia atau hiperkarbia, telah disebutkan sebelumnya namun akan dianalisis lebih dalam di sini. Penyebab hipoksemia termasuk di antaranya hipoventilasi, mismatch VA/Q, gangguan difusi, dan shunt kanan-ke-kiri (Tabel 19-1). Hiperkapnia biasanya disebabkan oleh hipoventilasi meskipun dapat pula disebabkan oleh mismatch VA/Q dan shunt (Tabel 19-2). Peningkatan VCO 2 terjadi pada kondisi hipermetabolik (misalnya demam, hipertemia malignan, krisis tiroid) atau dengan penggunaan CO2 yang menghasilkan buffer seperti NaHCO3. Hipoventilasi Apabila ventilasi rendah sebanding dengan kebutuhan metabolik, maka eliminasi CO2 tidak memadai, dan CO2 tersebut akan terkumpul dalam alveoli, darah, dan jaringan tubuh lainnya. Hipoventilasi sering didefinisikan sebagai ventilasi yang menghasilkan PaCO2 lebih besaar dari 45 mmHg (6kPa). Dengan demikian, hipoventilasi dapat muncul bahkan ketika ventilasi permenit tinggi, asalkan kebutuhan metabolik atau ventilasi dead space meningkat ke tingkat yang lebih besar. Peningkatan PCO2 alveolar mengurangi ruang alveolar yang tersedia untuk oksigen. PO2 alveolar (PAO2) dapat diperkirakan menggunakan persamaan gas alveolar (lihat Kotak 19-1). Persamaan yang sederhana dapat dituliskan sebagai berikut : PaO2 = PIO2 -(PaCO2 / R) Dengan asumsi bahwa rasio pertukaran pernafasan (R) adalah 0,8 (lebih atau kurang benar pada saat istirahat), PaO 2 dapat diperkirakan. Dengan asumsi Di paru-paru yang ideal, PaO2 sama PaO2. Sebagai contoh, jika PiO2 adalah 149 mm Hg (19,9 kPa) dan PaCO2 adalah 40 mm Hg (5.3 kPa),maka PaO 2 adalah 99 mm Hg (13.2 kPa). Jika hipoventilasi terbentuk dan PaCO2 meningkat menjadi 60 mm Hg (8 kPa) dan tidak terdapat penurunan pertukaran gas lainnya, PaO2 akan jatuh ke 74 mm Hg (9.9 kPa). Di sini digambarkan secara jelas bahwa penurunan PaO2 yang disebabkan oleh hipoventilasi dapat dengan mudah diatasi dengan menigkatkan PiO2 (yaitu dengan meningkatkan FiO2). Jika ada perbedaan antara PaO2 (yang diperkirakan) dengan persamaan ini dengan PaO 2 yang diukur (yang sebenarnya), maka dapat disimpulkan adanya penyebab hipoksemia yang lain selain hipoventilasi. Penyebab lain akan dibahas di paragraf berikutnya. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi Untuk pertukaran gas yang optimal, ventilasi dan perfusi harus cocok satu sama lain di seluruh wilayah paru. Pada saat istirahat, baik ventilasi dan perfusi meningkat semakin menuju ke arah bawah melalui paru-paru. Namun, perfusi meningkat lebih banyak daripada ventilasi, perbedaan antara bagian paling atas dan bagian paling bawah, 5-cm segmen, ventilasi meningkat sebanyak tiga kali lipat dan perfusi meningkat sebanyak sepuluh kali lipat. perubahan ini menghasilkan rata-rata rasio VA/Q lebih kurang sebesar 1, di suatu bagian pada tengah-tengah paru dan terdapat range rasio VA/Q (0.5 di dasar, 5.0 di apex; lihat Gambar 19-23, panel atas, distribusi perfusi digambarkan secara sedehana pada Gambar 19-11). Cara lain untuk menunjukkan pencocokkan (matching) antara ventilasi dengan aliran darah adalah dengan menggambarkan suatu multikomparmental mengenai analisis ventilasi dan distribusi aliran darah terhadap rasio V A/Q. Hal ini dapat dinilai menggunakan MIGET. Singkatnya, MIGET didasarkan pada konstanta infus intravena dari sejumlah gas inert (biasanya enam) dengan kelarutan yang berbeda dalam darah. Ketika melaui kapiler paru-paru, gas-gas yang berbeda dieliminasi melalui alveoli, dan berakhir secara proporsional sesuai kelarutannya. Gas yang sulit larut akan dengan cepat meninggalkan aliran darah dan menjadi lebih atau kurang menjadi benar-benar dihiilangkan dan dihembuskan.(misalnya sulfur heksafluorida); gas dengan kelarutan tinggi dalam darah hampir sepenuhnya akan dipertahankan dalam darah dan tidak akan dihembuskan (misalnya aseton); dan gas dengan tingkat kelarutan menengah akan dipertahankan (dan ekspirasi) pada tingkat menengah. Akibatnya konsentrasi berbagai gas dalam darah arteri bebeda-beda, dengan konsetrasi paling tinggi berasal dari gas dengan kelarutan tinggi. Retensi dapat dihitung sebagai rasio antara darah konsentrasi arteri dan vena campuran. Demikian pula rasio konsentrasi (yaitu ekspirasi : campuran vena) dapat dihitung dan ditunjukkan pada Tabel 19-3. Dalam paragraph berikut ini akan membahas contoh dari mismatch VA/Q. Jika ventilasi dan perfusi tidak cocok (mismatch), pertukaran gas akan terpengaruh. Penyebab paling umum dari gangguan oksigenasi adalah karena ventilasi tidak cukup untuk mengoksidasi darah sepenuhnya, kerusakan yang ditimbulkan bergantung pada derajat mismatch VA/Q; namun pada kenyataanya, bahkan pada daerah paru-paru VA/Q normal (0.5-1) tidak bisa menjenuhkan darah sepenuhnya. Dengan demikian, PaO2 tidak bisa disamakan dengan PO2 alveolar, dan perbedaan (PaO2-PO2) dari 3 sampai 5 mmHG (0.4-0.7kPa) adalah normal. Dengan mismatch VA/Q yang lebih besar, perbedaan PaO2-PO2 akan meningkat lebih jauh. Mismatch VA/Q dapat dihitung pada semua kasus hipoksemia yang muncul pada pasien dengan obstruksi berat.Shunt (Q, namun bukan VA), yang sering diklaim ada pada pasien dengan PPOK, sebagian besar tidak terlihat pada saat dianalisis dengan teknik yang lebih canggih seperti MIGET. Memang, shunt pada pasien dengan obstruksi mungkin merupakan faktor yang rumit dalam penyakit tersebut (Gambar 19-26). Pada asma berat, pola bimodal rasio rendah terlihat ketika menggunakan MIGET 157 (lihat Gambar 19-26). Alasannya mungkin alveoli di belakang saluran nafas yang terhalangi edema (atau plug lender atau spasme) masih bisa berventilasi dengan ventilasi tambahan (yaitu pori-pori alveolar, komunikasi interbronkial); daerah ini seharusnya terdapat shunt (bukan VA, beberapa Q), sehingga puncak tambahan VA/Q menjelaskan distribusi bimodal. Ventilasi tambahan seperti itu mungkin menjadi bagian dari alasan mengapa shunt sejati terlihat tidak normal pada pasien PPOK. Tentu saja, jika persamaan shunt standar digunakan untuk menjelaskan hipoksemia, tidak ada kapasitas untuk membedakan antara kontribusi VA/Q rendah dengan shunt untuk kasus hipoksemia (efek paling bersih disebut dengan venous admixture). Obstruksi jalan nafas yang tidak merata, menghasilkan rasio VA/Q yang dengan variasi yang besar. Memang, ventilasi didistribusikan dari daerah dengan resistensi tinggi kemudian ke daerah lainnya yang kemudian dapat menjadi overventilasi pada proporsinya untuk perfusi; hal ini menyebabkan tingginya rasio VA/Q. Di daerah apeks biasanya memiliki rasio VA/Q sampai 5, tetapi rasio 100 atau lebih yang ada pada pasien dengan obstruksi, membuat daerah tersebut praktis berbeda dari deadspace sebenarnya; inilah yang menyebabkan peningkatan deadspace fisiologis pada penyakit paru obstruktif. Pengaruh tinggi VA/Q juga sama terhadap deadspace saluran nafas, yaitu adalah ventilasi yang sepertinya tidak berperan serta dalam pertukaran gas (“ventilasi yang terbuang”). Akibatnya, pasien dengan PPOK yang memiliki VA/Q rendah (menghambat oksigenasi) dan yang tinggi VA/Q (meniru deadspace, menghambat eliminasi CO2). Namun MIGET menilai lebih kompleks, penelitian berorientasi pada alat, perhitungan deadspace untuk tujuan klinis bergantung hanya pada CO 2 yang diekspirasi. Derivasi deadspace CO2 ditunjukkan pada Kotak 19-3. Mismatch VA/Q terdapat pada berbagai derajat pada semua pasien dengan PPOK, dan menjelaskan sepenuhnya sebagian besar hipoksemia yang terdapat pada mereka. Hipoventilasi juga dapat memberikan kontribusi, sedangkan gangguan difusi dan shunt jarang memberikan kontribusi untuk timbulnya hipoksemia. Kapasitas difusi, atau tes transfer dapat berkurang secara nyata pada pasien PPOK berat, khususnya pada emfisema; dalam hal ini penurunan tersebut tidak disebabkan penebalan membran kapiler alveolar, melainkan dengan berkurangnya volume darah kapiler akan mengurangi daerah untuk difusi. Pembuluh paru dapat dipengaruhi oleh penyakit paru, hal tersebut menyebabkan mismatch VA/Q dengan cara mengahambat daerah aliran darah. Penyakit sistemik yang melibatkan pembuluh darah dapat menyebabkan disfungsi paru yang parh karena mismatch, gangguan difusi, dan shunt. Mismatch VA/Q menyebabkan sebagian besar hipoksemia fibrosis paru. Selain itu, hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan difusi (khususnya, selama aktivitas, kalau itu bisa mendominasi) dan shunt dengan derajat yang bervariasi (akan dibahas selanjutnya). Emboli pulmonal menyebabkan mismatch VA/Q melalui tiga cara. Pertama, bantalan vaskular yang tersumbat, menyebabkan VA/Q lokal sangat tinggi, hal ini bermanifestasi sebagai peningkatan deadspace. Kedua, bantalan vaskular yang tersumbat mengalihkan aliran darah ke lainnya, daerah yang sudah memiliki ventilasi, sehingga mengubah ini ke dalam daerah V A/Q rendah. Akhirnya, jika PPA (tekanan arteri paru) meningkat secara nyata, maka kecenderungan untuk setiap shunt akan meningkat. Pada pasien dengan emboli paru akut, tampaknya hipoksemia terutama disebabkan oleh variabilitas V A/Q, dan hal ini telah dikonfirmasi secara eksperimental. Pneumonia yang melibatkan daerah yang luas dari konsolidasi, edema, atau atelektasis paru (yaitu semua area non aerasi) melibatkan shunt yang signifikan, dan daerah aerasi parsial berkontribusi terhadap mismatch VA/Q (lihat Gambar 19-26) Dalam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri, HPV tampak terhambat, yang merupakan mekanisme memburuknya hipoksemia. Gambar 19-26. Distribusi ventilasi dan perfusi (A) paru normal (B) asma (C) PPOK (D)pneumonia lobaris Pengaruh VA/Q pada Eliminasi CO2 Sebuah persepsi umum adalah bahwa meskipun VA/Q menghambat oksigenasi, VA/Q juga memiliki efek yang kecil terhadap pembersihan CO 2. Sebenarnya, eliminasi CO2 lebih dibatasi oleh VA/Q dibandingkan oleh oksigenasi darah. ; namun demikian hal ini jarang menyebabkan hiperkapnia karena kenaikan minimal VA cepat dikoreksi oleh PaCO2. Apabila ventilasi alveolar telah terganggu dan tidak dapat ditingkatkan, maka mismatch V A/Q akan meningkatkan PaCO2. Gambar 19-23. Gambaran skematis (A) distribusi ventilasi vertikal (VA) dan aliran darah sepanjang paru (Q) dan (B) hasil distribusi ventilasiperfusi (VA/Q). Distribusi VA/Q dipusatkan pada rasio 1, berhubungan dengan perpotongan kurva distribusi ventilasi dan perfusi. Ventilasi yang sedikit lebih besar daripada perfusi di bagian paru atas berkontribusi nilai rasio VA?Q lebih besar dari 1, di mana perfusi yang lebih besar daripada ventilasi di paru bawah adalah penyebab rendahnya rasio VA/Q kurang dari 1. Gambar 19-24. Efek umur pada oksigenasi saat anestesi. Kombinasi shunt dengan VA/Q yang rendah meningkat tajam seiring dengan umur. Cacat difusi Hipoksemia dapat terjadi karena gangguan difusi pada fibrosis atau vaskular penyakit karena membran alveolar-kapiler sangat menebal. Difusi diperlambat dan sepanjang kapiler mungkin dibutuhkan sebelum seluruh darah kapiler teroksigenasi, bahkan pada kondisi istirahat. Di sisi lain, hal ini berarti bahwa penghalang difusi tidak mungkin menyebabkan hipoksemia yang menyediakan waktu perfusi dan ruang yang memungkinkan keseimbangan O2 (lihat Gambar 19-12). Namun, ketika cadangan ini dihabiskan, PaO2 mulai turun. Penurunan ini terutama terlihat pada pasien dengan fibrosis paru, yang mungkin memiliki PaO2 normal pada saat istirahat tetapi menunjukkan penurunan dramatis selama aktivitas. Pengembangan, atau peningkatan shunt kanan-ke-kiri dalam hati, seperti defek septum atrium, dapat juga menyebabkan hipoksemia yang terinduksi aktivitas, karena shunt kiri ke kanan saat istirahat akan menjadi kananke-kiri (atau shunt kanan-ke-kiri yang kecil meningkat) karena meningkatnya PPA. Kotak 19-3 Penurunan persamaan dead space fisiologis Kuantitas ekspirasi CO2 pada volume tidal yang dihembuskan = FECO2 x VT Ini berasal dari paru yang berperfusi daan paru yang tidak berperfusi. CO2 yang dihembuskan dari paru yang berperfusi = FACO2 x VA = FACO2 x (VT - VD) CO2 dari daerah nonperfusi (dead space) diturunkan dari gas yang diinspirasi = FICO2 x VD Dengan demikian, FECO2 x VT = FACO2(VT VD) + (FICO2 x VD) Dapat ditulis sebagai berikut VDS FA−FE = VT FA−FI Bila FI = 0, F diganti P, and Pa diganti Pa, untuk CO2, VDS PaCO 2−PECO 2 Shunt = Kanan-ke-Kiri VT PaCO 2 ketika FE, FA, and FI berturut-turut adalah ekspirasi campuran, alveolar, and konsentrasi gas diinspirasi, dan berturut-turut VT, VDS, and VA adalah volume tidal, Jika darah melewati paru-paru tanpa melalui alveoli berventilasi, maka darah tidak akan dioksidasi atau melepaskan CO2. Kondisi ini disebut shunt, dan menurunkan PaO2 dan dapat meningkatkan PaCO2. Orang sehat memiliki shunt kecil (2% hingga 3% dari curah jantung) yang disebabkan oleh drainase vena dari otot jantung ke dalam atrium kiri oleh pembuluh darah Thebesian. Di daerahdaerah patologis, shunt berkisar dari 2% sampai 50% dari cardiac output. Shunt sering dikacaukan dengan mismatch VA/Q. Sementara VA/ Q nol (beberapa perfusi, tidak ada ventilasi) merupakan shunt, ada dua perbedaan yang jelas dan penting antara VA/Q rendah dan shunt. Pertama, anatomi shunt berbeda dari daerah rendah VA /Q. Daerah dengan rendah VA/Q yang ditandai dengan penyempitan saluran nafas dan pembuluh darah, yang mengurangi ventilasi dan aliran darah di beberapa daerah, dan hal tersebut meningkat pada orang lain. Contohnya adalah penyakit paru obstruktif dan gangguan pembuluh darah. Shunt disebabkan oleh penghentian lengkap ventilasi di suatu daerah, biasanya sebagai akibat dari kolaps (atelektasis) atau konsolidasi (Misalnya, pneumonia). Asma atau PPOK tidak melibatkan pembentukan shunt jika terdapat shunt, maka hal ini menunjukkan komplikasi. Kedua, O2 tambahan meningkatkan hipoksemia disebabkan oleh VA/Q rendah, tetapi O2 tambahan memiliki efek yang kurang pada hipoksemia yang disebabkan oleh shunt. Meskipun aerasi mungkin rendah di daerah VA / Q rendah, aerasi tidak ada dalam daerah ini, dan konsentrasi O2 di alveoli tersebut dapat diperkaya dengan meningkatkan FiO2. Sebaliknya, tambahan O2 tidak dapat mengakses alveoli pada (anatomi) shunt sejati. Anatomi shunt dan VA/Q rendah biasanya berjalan berdampingan, dan efek bersih kadang-kadang disebut sebagai persen shunt (per persamaan shunt standar). Dalam situasi ini, komponen VA/Q rendah akan memberikan kontribusi pada respon meningkatkan FiO2, dan daerah-daerah anatomi shunt sejati tidak akan memberikan kontribusi; Oleh karena itu, PaO2 shunt akan selalu lebih rendah (pada setiap FiO2). Ketika perhitungan fraksi meningkat sampai 25%, respon untuk meningkatkan FiO2 akan kecil; ketika meningkat sampai 30% atau lebih, responnya akan tak berarti. Respon yang bervariasi ini adalah efek bersih pencampuran darah dari darah ujung kapiler pulmonal normal dengan darah shunt, yang memiliki PO2 sama dengan darah vena campuran. Apabila shunt cukup besar dari total fraksi aliran darah paru, O2 tambahan yang secara fisik dapat memperbaiki dengan cara meningkatkan FiO2 efeknya menjadi sangat kecil sehingga hampir dikatakan tak terukur; shunt seperti itu dikatakan shunt yang sulit ditangani. Fungsi Pernafasan Selama ventilasi Satu Paru Oksigenasi dapat menjadi sebuah tantangan selama operasi satu paru. Satu pasru tidak berventilasi namun masih memiliki perfusi, dan pada periode pasca operasi, integritas restorasi paru dan pencocokkan ventilasi-perfusi dapat membutuhkan waktu (lihat Bab 66). Teknik anestesi satu-paru dan ventilasi berarti bahwa hanya satu paru-paru yang berventilasi dan paru paru tersebut juga memberikan oksigenasi- serta mengeliminasi karbon dioksida dari darah-. Paerfusi yang bertahan melalui paru tidak berventilasi menyebabkan shunt dan menurunkan PaO2 (Gambar 19-27.); Langkah-langkah dapat diambil untuk mengurangi aliran darah ke daerah ini. Selama anestesi satu-paru, ada dua kontributor utama untuk gangguan oksigenasi: (1) terus berlangsungnya aliran darah melalui paru-paru nonventilated dan (2) pengembangan dari atelektasis di paru-paru dependen, sehingga shunt lokal dan VA/Q rendah 0,139 Manuver rekrutmen dapat mengubah pengaruh atelektasis dependen167; peningkatan serial dalam tekanan udara puncak dan PEEP diarahkan untuk daerah dependen, ventilasi paru meningkatkan PaO2 secara signifikan, hal ini menunjukkan bahwa atelektasis dependen adalah penyebab penting dari hipoksemia. Dalam situasi ini, pengalihan perfusi dari paru dependen (ventilasi) ke nondependen (yaitu nonventilated), akan memperburuk oksigenasi dan bukannya memperbaiki. Rekrutmen juga dapat mempengaruhi VD. Rekrutmen selama anestesi satu-paru meningkatkan oksigenasi, tetapi juga menurunkan VD. Kemiringan kurva CO2 selama eksirasi tidal (fase III) adalah datar, menunjukkan distribusi gas terinspirasi ke seluruh paru-paru dan pengosongan alveolar lebih sinkron. Dengan demikian, efek sekunder merekrut jaringan paru-paru yang kolaps dapat (mungkin tidak saat perekrutan menyebabkan overinflation) menyebabkan ventilasi lebih merata dan penurunan fraksi dead space. Efek ini harus memfasilitasi penggunaan VT kecil. Kontras dengan rekrutmen individu, penerapan peningkatan PAW terus menerus (PEEP dititrasi untuk pemenuhan optimal dalam paru-paru berventilasi) meningkatkan pemenuhan sebesar 10% tapi sedikit memperburuk oksigenasi, mungkin karena redistribusi darah dari paru yang berventilasi untuk paru yang tidak berventilasi (nondependen). Alasan yang rasional untuk mengidentifikasi dan menggunakan PEEP yang optimal juga telah diteliti.Manuver juga dapat diterapkan untuk paru-paru non dependen. Efek dari menekan paru-paru nondependen pada oksigenasi diperiksa menggunakan sensor O2 intra-arteri, yang menunjukkan PaO2 sesaat dan terus menerus. Kompresi menghasilkan peningkatan PaO2, hal ini mengakibatkan pergeseran aliran darah dari paru yang nondependen (nonventilated) ke paru dependen (ventilasi); penyerapan sempurna atelektasis pada paru nondependen mungkin memiliki efek yang sama. Inhalasi oksida nitrat (NO; vasodilator paru) dan almitrine intravena (vasokonstriktor paru) telah dipelajari secara terpisah dan dalam kombinasi (lihat Bab 104). NO sendiri memiliki pengaruh yang kecil, tapi oksigenasi meningkat ketika NO dikombinasikan dengan almitrine. Almitrine sendiri juga meningkatkan oksigenasi dengan dosis yang tidak tidak mengubah PPA atau cardiac output. Meskipun dihirup, NO meningkatkan perfusi ke daerah yang sudah berventilasi (meningkat VA /Q), almitrine mempotensiasikan HPV, menurunkan perfusi untuk daerah nonventilated (yaitu, shunt) (mengurangi shunt) dan berpotensi mengalihkan aliran darah ke daerah paru berventilasi. Vasodilatasi paru selektif telah diteliti. Analisis yang cermat dari obstruksi mekanis yang disebabkan dengan pengkusutan pembuluh paru dan oleh HPV telah menunjukkan bahwa HPV merupakan faktor penting dari pengalihan aliran darah dari paru-paru nonventilated (meskipun tidak menyelesaikan) 0,179 Selain itu, posisi pasien dapat mempengaruhi tingkat shunting. Gambar Gambar 19-27. Skema distribusi shunt padas aat ventilasi dua paru dan satu paru saat anetesi. Pneumoperitoneum Operasi Laparoskopi biasanya dilakukan dengan cara insuflasi CO2 ke dalam rongga perut. Efek yang ditimbulkan adalah dua kali lipat. Pertama, konsekuensi dari hiperkapnia asidosis termasuk tertekannya kontraktilitas jantung, sensitisasi dari miokardium terhadap efek aritmogenik dari katekolamin, dan vasodilatasi sistemik. Bisa juga terdapat efek pasca operasi yang bertahan lama pada kontrol bernafas. Selain itu, efek dari pneumoperitoneum penting secara fisik. Hal ini termasuk penurunan FRC dan VC, pembentukkan atelektasis, berkurangnya pernafasan optimal, dan peningkatan tekanan nafas puncak. Meskipun demikian, shunt berkurang dan oksigenasi arteri sebagian besar membaik selama CO2 pneumoperitoneum. Paradoks ini -atelektasis bertambah dan shunt yang berkurang- menunjukkan redistribusi yang efisien aliran darah dari daerah paru-paru kolaps disebabkan oleh hiperkapnia asidosis CO2. Memang, sebuah penelitian eksperimental baru-baru ini menunjukkan bahwa jika perut diinflasi dengan udara, shunt yang lebih besar akan terbentuk dibandingkan jika menggunakan CO2 untuk inflasi. Fungsi Paru setelah Operasi Jantung Operasi jantung menghasilkan atelektasis dengan derajat yang besar pada periode pasca operasi (lihat Bab 67), mungkin hal ini disebabkan karena kedua paru-paru sering kolaps. Resolusi spontan dari atelektasis terjadi secara bertahap, meninggalkan shunt residual sampai 30% di hari pertama atau hari kedua; namun demikian rekrutmen pada akhir kasus mungkin terjadi. dalam beberapa kasus, 30 cm H2O selama 20 detik sudah cukup, yang difasilitasi oleh paru yang terbuka. Manuver rekrutmen (Dengan nol PEEP) menyebabkan peningkatan sementara PaO2 dan EELV, dan dengan PEEP saja EELV meningkat tetapi PaO2 tidak berubah; Namun, manuver perekrutan yang diikuti oleh PEEP menghasilkan peningkatan yang besar dan berkelanjutan di kedua PaO2 dan EELV. Pemisahan efek dimana PEEP sendiri meningkatkan EELV ke tingkat yang lebih besar daripada meningkatkan oksigenasi menunjukkan pembukaan lebih lanjut paruparu yang sudah terbuka daripada pembukaan paru atelektasis. Perbandingan head-tohead antara CPAP intermiten dengan ventilasi bantuan tekanan konstan noninvasif melaporkan adanya temuan menarik. Terdapat sedikit bukti radiografik yang menunjukkan atelektasis terbentuk mengikuti pemakaian ventilasi bantuan, tanpa adanya perbedaan oksigenasi di samping percobaan fungsi pulmonal. Meskipun kesimpulan penulis adalah tidak ada manfaat klinis dengan ventilasi bantuan tekanan konstan noninvasif perbedaan di FiO2 dapat menyebabkan perbedaan dalam kecenderungan untuk atelektasis. Manuver rekrutmen sampai ke tingkat tekanan saluran nafas yang sangat tinggi (46 cm H2O) tidak muncul untuk mempengaruhi resistensi pembuluh darah atau afterload ventrikel kanan, hal ini merupakan hal yang yang sangat penting pada operasi jantung. Meskipun demikian, adalah bijaksana untuk memppertimbangkan pemuatan RV dan ejeksi RV dalam keadaan seperti itu, terutama di pengaturan pengurangan cadangan RV dan regurgitasi trikuspid. Pada akhirnya, sekarang banyak operasi jantung yang dilakukan dengan “off pump” dan dengan efek pulmonal pasca operasi berkurang, dengan berkurangnya shunt intrapulmonal dan berkurangnya lama opname. Fisioterapi Pasca Operasi Fisioterapi setelah operasi banyak diperdebatkan (termasuk pada operasi jantung; lihat bab 103) hal ini berhubungan dengan rekrutmen paru yang lebih efektif (terlihat pada CT dada) ketika metode ini dilakukan secara sengaja, seperti metode flow bottles following exercise. Akibatnya, inspirasi yang besar dan dini setelah operasi mungkin menjadi kunci untuk mncegah komplikasi paru pasca operasi. Tidak diketahui dengan pasti apakah inspirasi yang dalam harus dicapai dengan alat pernafasan paksa yang spesifik. PENGARUH TIDUR PADA PERNAFASAN Tidur memiliki pengaruh yang besar pada berbagai aspek respirasi, mungkin yang paling terlihat adalah pada ventilasi. Tidur mengurangi VT dan dorongan inspirasi, dan V E turun sekitar 10%, tergantung pada tahap tidur, dengan sebagian besar penurunan tersebut terjadi selama tidur rapid-eyemovement (REM). Volume paru (yaitu, FRC) juga berkurang; ini dimulai segera setelah onset tidur, dan tingkat terendah FRC (turun ke 10% dari tingkat istirahat) terjadi pada tidur REM. penelitian CT pada sukarelawan sehat menunjukkan bahwa penurunan pada tidur diinduksi di FRD dengan disertai penurunan aerasi dalam paru-paru dependen. Kerugian tersebut di aerasi ditunjukkan pada pasien yang dibius ketika mereka FiO2 meningkat sebesar 0,3-1,0; maka atelektasis berkembang dengan pesat. Ada kemungkinan bahwa selama tidur normal, bernapas dengan O2 tingkat tinggi juga akan menyebabkan atelektasis.