Mandiri Teknologi Pertanian, Bisa! Oleh : Marhendro Kunjungan Presiden SBY ke Balai Besar Penelitian Padi, Badan Litbang Pertanian, tanggal 24 Juli 2008 lalu menunjukkan betapa penting peranan suatu lembaga penelitian. Bagaimana pun juga lembaga penelitian semacam inilah yang diharapkan mampu menghasilkan inovasi-inovasi baru yang menjadi tulang punggung di pembangunan Indonesia, khususnya dalam mendukung penyelesaian krisis yang berkaitan dengan pertanian yang terjadi belakangan ini. Paling tidak ada tiga krisis yang perlu diantisipasi, yaitu krisis pangan, krisis energi yang mengarah ke bioenergi dengan risiko persaingan versus penyediaan pangan, dan antisipasi perubahan iklim. Peran inovasi teknologi menjadi sangat diperlukan untuk mengatasi ini. Tentu saja, Balai Besar Penelitian Padi tidak bisa sendiri karena hanya akan mampu mengatasi sebagian krisis yang disebutkan di atas, yaitu krisis pangan itu pun hanya beras. Untuk itu, masih diperlukan lembaga penelitian kuat lain yang perlu dikunjungi presiden untuk memberikan semangat juang menghasilkan inovasi yng dibutuhkan. Tentu teknologi yang dihasilkan tidak akan mampu menggerakkan roda pembangunan pertanian tanpa didukung fondasi yang kuat. Paling tidak ada lima fondasi pembangunan pertanian yang dibutuhkan untuk bisa efektifnya teknologi yang dihasilkan yaitu penyediaan/perbaikan infrastruktur termasuk perbaikan sistim perbenihan/perbibitan, penguatan kelembagaan, perbaikan sistim penyuluhan, penanganan pembiayaan pertanian, dan fasilitasi pemasaran hasil pertanian. Mampukah Indonesia mandiri di bidang teknologi pertanian? Pertanyaan ini tentu menjadi sangat aneh tatkala kita telah dari dulu memproklamirkan Indonesia sebagai negara agraris yang pertanian sebagai tulang punggung kehidupan. Meski demikian, kebutuhan akan produk pertanian yang tinggi seiring dengan makin bertambahnya jumlah penduduk dan makin menciutnya lahan pertanian. Pertanyaan ini menjadi tidak aneh. Ketergantungan pada teknologi pertanian produk asing berarti menyerahkan perut kita pada orang lain. Kemandirian untuk menghasilkan teknologi mutlak diperlukan. Lalu strategi apa yang perlu dilakukan? Strategi untuk mandiri Paling tidak ada beberapa strategi untuk mengarah pada mandiri teknologi pertanian. Pertama, pengembangan program penelitian pertanian terintegrasi. Pernyataan ini memang mudah ditulis, tetapi sulit dilaksanakan. Begitu banyak lembaga penelitian pertanian di Indonesia yang membawa visi dan misi masing-masing yang ujung-ujungnya tingginya egoisme kelembagaan yang sulit dipersatukan. Agenda Riset Nasional 2006-2009 tampaknya perlu penjabaran yang lebih operasional. Meskipun demikian, haruskah kita menyerah? Tentu tidak. Badan Litbang Pertanian melalui Program Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang dilaksanakan sejak TA 2007 mencoba membangun sinergi program pertanian dengan perguruan tinggi melalui pengusulan proposal penelitian yang dibangun bersama antara peneliti Badan Litbang Pertanian dan Peneliti/staf pengajar perguruan tinggi yang sifatnya kompetitif. Tentu banyak manfaatnya karena bisa saling share knowledge dan saling mengisi untuk mendapatkan proposal penelitian yang kompetitif yang diharapkan mendapatkan hasil yang lebih baik pula. Namun, tampaknya, untuk bidang penelitian pertanian, proposal yang lolos dan dibiayai 80 persen masih dari IPB dan UGM. Upaya lain untuk meningkatkan sinergi program penelitian adalah membangun konsorsium penelitian untuk beberapa komoditas, antara lain, padi, kedelai, kelapa sawit yang melibatkan stakeholder pada komoditas tersebut. Keterlibatan berbagai pihak ini tentu akan dapat memberikan input yang beragam sehingga sekali lagi diharapkan mendapat hasil penelitian yang lebih baik. Hal itu, tentu akan lebih baik ketimbang membangun sinergi melalui kontrak penelitian tanpa melibatkan penelitian institusi pengontrak. Kedua, pengembangan sumber daya peneliti. Tidak cukup hanya mengirimkan peneliti training untuk mendapatkan jenjang pendidikan dan keterampilan yang lebih tinggi, tetapi juga perlu memberikan insentif yang pada prinsipnya untuk meningkatkan effort peneliti untuk terus mengasilkan penelitian yang berkualitas. Tidak harus selalu dalam bentuk finansial, bisa dalam bentuk yang lain, misal mengikuti scientific exchange. Ini perlu diperhatikan mengingat produk dari peneliti dikenal bukan dari keseluruhan produk, tapi hanya produk peneliti yang paling bagus. Sementara, proses produk penelitian itu awalnya dipenuhi dengan ketidakpastian karena bisa saja peneliti bagus, kurang bagus, atau bahkan tidak menghasilkan sama sekali. Ketiga, networking fasilitas antara institusi penelitian. Barangkali sudah waktunya lembaga penelitian pertanian saling membuka diri terhadap fasilitas penelitian, termasuk fasilitas untuk dapat diketahui, dan tentu saja dipergunakan peneliti dari lembaga penelitian yang membutuhkan. Jelas ini lebih efisien dan efektif ketimbang masing-masing lembaga penelitian mempunyai fasilitas masing-masing yang belum tentu sepanjang tahun dipergunakan. Pembangunan Bank Gen, Laboraturium Flavor Beras, BSL3 di Badan Litbang Pertanian adalah sebagian fasilitas penelitian yang dengan susah payah dibangun. Tentu hal seperti itu akan sangat berarti apabila fasilitas ini dan fasilitas institusi penelitian lain dapat diketahui sehingga dapat dimanfaatkan dan tidak perlu dibangun lagi di tempat yang lain. Keempat, pengelolaan anggaran yang flexibel, tapi akuntabel. Anggaran penelitian masih sangat rendah dan selalu menjadi sasaran untuk dipotong. Hasil penelitian yang intangible tidak serta merta dapat dilihat. Harapan kita tentu anggaran penelitian kita perlu dinaikkan meskipun tidak perlu sebesar Swedia yang menurut Prof Zuhal 3,7 persen dari GDP atau Amerika Serikat yang 2,74 persen. PP No 20 Tahun 2005 yang mengatur hasil alih teknologi kekayaan intelektual serta hasil penelitian dan pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan, yang diharapkan mampu memberikan tambahan sumber anggaran bagi institusi penelitian, belum dapat diterapkan. Ini terjadi karena belum adanya petunjuk pelaksanaan dari Departemen Keuangan. Kelima, kesetaraan kerja sama luar negeri. Kerja sama penelitian pertanian untuk meningkatkan kapabilitas, mutlak diperlukan. Meskipun demikian prinsip kesetaraan dan simbiosis mutualisme pelu terus ditekankan. Pemberian hibah yang pada awalnya dipandang sebagai anugerah, bisa jadi musibah manakala kita terpancing melaksanakan kegiatan hibah terus menerus, sementara program penelitian yang desain untuk mendukung program pembangunan pertanian justru ditelantarkan. Kemandirian teknologi pertanian memang tidak cukup hanya lima strategi yang disebutkan di atas. Namun, dengan strategi tersebut kemandirian teknologi di bidang pertanian dapat didorong dan diwujudkan. Jadi, mandiri teknologi pertanian, bisa ! Marhendro Penulis adalah Kepala Bagian Kerja Sama dan Humas, Badan Litbang Pertanian Dimuat dalam Surat Kabar Republika, 6 Agustus 2008